Mechanism of Antibiotic Resistance in Bacteria Tri Wibawa Department of Microbiology, Faculty of Medicine, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Abstract Antibiotic resistance is a global problem which results to the significant increasing of mortality and medical care expenses. On the other hand, the new antibiotic discovery is gradually decreasing. Recently, there is few new antibiotic released into market. This review will address the antibiotic resistance mechanism in genetics and biochemical point of view. The understanding of antibiotic resistance mechanism is important to decrease the antibotic resistance prevalence. Key words: Antibiotics resistant, bacteria, mechanim, molecular Intisari Resistensi terhadap antibiotik menjadi masalah global. Akibat resistensi antibiotik maka terjadi kenaikan mortalitas dan biaya perawatan kesehatan yang signifikan. Sementara itu, penemuan antibiotik baru semakin lama semakin sedikit. Di dalam review ini akan dituliskan tentang mekanisme terjadinya resistensi antibiotik yang ditinjau dari aspek genetika maupun aspek biokimiawi. Pemahaman tentang mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik ini menjadi sangat penting dalam membantu penurunan angka resistensi antibiotik. Kata kunci: Resistensi antibiotika, bakteri, mekanisme, molekular 1 Latar Belakang Resistensi terhadap antibiotik menjadi masalah global. Penanggulangan resistensi antibiotik tidak lagi dibicarakan di tingkat nasional atau regional, namun di tingkat global. Tidak kurang WHO memperhatikan masalah ini dengan cukup serius. WHO Pada tahun 2001 mengeluarkan suatu petunjuk tentang bagaimana menjaga penyebaran resistensi terhadap antibiotik (WHO, 2001). Di dalamnya terdapat lima strategi yaitu: (1) menurunkan beban kesakitan dan penyebaran penyakit infeksi, (2) meningkatkan akses terhadap antibitok, (3) meningkatkan sistem kesehatan dan kemampuan survailans, (4) memperkuat regulasi dan perundangan, (5) mendorong pengembangan obat dan vaksin baru. Strategi ini dipandang perlu segera diimplementasikan untuk mencegah meningkatnya angka resistensi mikroba terhadap antibiotik dan juga penyebarannya. Sebelas tahun berikutnya WHO Patient Safety Programme mengeluarkan publikasi yang kembali menekankan lima strategi yang sudah pernah dicanangkan sekaligus mengevaluasi pelaksanaan dari lima strategi tersebut. Penanggulangan resistensi antibiotik dan penyebarannya bukan masalah yang sederhana. Memerlukan pendekatan multi sektor untuk mencapai tujuan tersebut. Masih terdapat banyak masalah yang menyebabkan lima strategi yang sudah dicanangkan satu dekade sebelumnya tidak dapat diimplementasikan dengan sempurna. Hasil akhirnya, resistensi antibiotik masih merupakan masalah yang nyata secara global (WHO, 2012). Sebagai gambaran besarnya angka resistensi antibiotik dapat dilihat pada laporan oleh European Antimicrobial Resistance Surveillance Network (EARS-Net) yang dibiayai oleh European Center for Disease Prevention and Control (ECDC) tahun 2010. EARS-Net melakukan survailans terhadap tujuh patogen utama meliputi Streptococcus pneumoniae, Escherichia coli, Enterococcus faecalis, Enterococcus faecium, Klebsiella pneumoniae and Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Duapuluh delapan negara di Eropa melaporkan dari 30.680 isolat Staphylococcus aureus, yang didapatkan dari pasien, terdapat 2 5.965 diantaranya adalah meticillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Secara keseluruhan dilaporkan MRSA dijumpai <1% di dua negara, 1-5% di lima negara, 5-10% di dua negara, 10-25% di sembilan negara, 25-50% di sembilan negara, dan > 50% di satu negara. Data ini masih menunjukkan angka yang cukup tinggi, walaupun terdapat tendensi penurunan proporsi MRSA di Eropa (ECDC, 2010). Di Amerika serikat, Center for Diseases Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa setiap tahunnya paling tidak dua juta orang menderita infeksi oleh bakteri yang resistan terhadap satu atau lebih antibiotik yang semestinya menjadi obat pilihan untuk bakteri tersebut. Lebih dari 23.000 orang meninggal setiap tahunnya oleh karena infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Resistensi S. pneumoniae diperkirakan terjadi pada 1,2 juta orang dengan 7.000 kematian setiap tahunnya. Resistensi P. aeruginosa terhadap lebih dari tiga kelas antibiotik diperkirakan terjadi pada 6.700 kasus dengan lebih kurang 440 kematian setiap tahunnya. Oleh karena itu CDC menerapkan empat program untuk menanggulangi resistensi antibiotik, yaitu: (1) mencegah infeksi dan penyebaran resisntensi terhadap antibiotik, (2) menelusur setiap bakteri yang resisten, (3) memperbaiki penggunaan antibiotik dan (4) mendorong penemuan antibiotik baru dan mengembangkan teknologi untuk mendeteksi adanya bakteri yang resisten (CDC, 2013). Di Asia Tenggara masalah resistensi antibiotik juga cukup serius. WHO regional Asia Tenggara menetapkan beberapa strategi, antara lain dengan merasionalkan penggunaan antibiotik, menurunkan selection preassure, merubah perilaku pemberi resep antibiotik dan menjadikan isu resistensi antibiotik ini menjadi masalah nasional di setiap negara di Asia Tenggara (WHO SEARO, 2010). Mekanisme Aksi Antibiotik Sebagian besar antibiotik yang digunakan pada saat ini adalah produk alami yang berasal dari bakteri atau jamur. Bahan aktif antibiotik ini dipergunakan untuk menekan pertumbuhan bakteri lain di lingkungannya. Sangat sedikit antibiotik yang merupakan bahan semi 3 sintetik seperti generasi ke-2 dan ke-3 penicilin dan cefalosporin, maupun yang sintetik seperti clarithromycin, azithromycin, dan ciprofloxacin (Walsh, 2000). Penicillin pertama kali digunakan untuk pengobatan pada tahun 1943. Selanjutnya berbagai macam antibiotik menyusul ditemukan, seperti tetracycline (1950), erythromycine (1953), methicilin (1960), gentamicin (1967), vancomycin (1972), hingga terakhir ceftarolin yang ditemukan pada tahun 2010 (CDC, 2013). Antibiotik dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme aksinya menjadi enam golongan besar, yaitu: (1) penghambat sintesis dinding sel, meliputi: penicillins, cephalosporins, vancomycin, penghambat betalactamase, carbapenems, aztreonam, polymyxcin dan bacitracin; (2) penghambat sintesis protein, meliputi: aminoglycosides (gentamicin), tetracyclines, macrolides, chloramphenicol, clindamycin, linezolid dan streptogramins; (3) penghambat sintesis DNA, seperti: fluoroquinolones dan metronidazole; (4) penghambat sintesis RNA: rifampisin; (5) penghambat sintesis asam mikolat: isoniazid; (6) penghambat sintesis asam folat: sulfonamides dan trimethoprim (Walsh, 2000; Dzidic et al., 2008). Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksi obat dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Penggolongan antibiotik berdasarkan mekanisme aksi 4 Awal Terjadinya dan Penyebaran Strain Bakteri Resistensi Antibiotik Resistensi antibiotik berhubungan erat dengan pemakaian antibiotik pada manusia, hewan ternak, pertanian, dan perikanan (Millman et al, 2013; Marti et al., 2014; Muziasari et al, 2014 ). Antibiotik banyak dipakai di peternakan bukan sebagai obat penyakit infeksi, namun sebagai obat perangsang pertumbuhan. Pemakaian antibiotik 5 sebagai perangsang pertumbuhan di peternakan sudah dilarang mulai 1 Januari 2006 di Uni Eropa (Castanon, 2007). Resistensi antibiotik terjadi karena adanya “selection pressure” yang terjadi pada saat antibiotik digunakan di klinik, hewan ternak, industri rumah tangga, maupun pertanian. Setiap penggunaan antibiotik berarti menambah terjadinya selection pressure. Mekanisme ini bahkan dapat ditemukan pada pengobatan dengan antibiotik jangka pendek (tujuh hari) pada pasien dengan febril netropenia (Jacquier et al., 2013). Hal yang mendasari proses terjadinya resistensi terhadap antibiotik dapat dijelaskan dengan menganalogikan adanya suatu populasi yang terdiri dari dua macam strain bakteri. Bakteri yang rentan terhadap antibiotik ditemukan dominan pada populasi tersebut, hanya sebagian kecil populasi bakteri memiliki mutasi genetik dan bersifat resisten terhadap antibiotik. Pemberian antibiotik dapat berlaku sebagai “selective pressure” pada populasi bakteri ini. Hasil akhirnya adalah terjadinya dominasi bakteri mutan yang resisten terhadap antibiotik. Sementara, bakteri yang rentan terhadap antibiotik tereradikasi dari populasi tersebut oleh karena pemberian antibiotik. Bakteri resisten ini yang akhirnya dijumpai di dalam tubuh host, manusia maupun hewan, yang pada gilirannya dapat bersirkulasi di lingkungan sekitarnya (Lai et al., 2011; Hui et al., 2013). Sirkulasi bakteri resisten yang terhindar dari eradikasi antibiotik ini melibatkan banyak sistem, yang meliputi sistem kehidupan manusia, rumah sakit, hewan peliharaan, hewan ternak, pertanian, limbah biologi, industri, lingkungan tanah dan air, dan juga kehidupan hewan liar (Davies dan Davies, 2010). Sebagai contoh, pemakaian antibitok pada hewan ternak dapat menyisakan bakteri komensal maupun patogen yang resisten terhadap antibiotik. Komensal dan patogen ini selanjutnya terdapat di dalam daging ternak yang kemudian dikonsumsi oleh manusia. Dengan demikian terjadilah loncatan strain bakteri resisten ini ke manusia. Di saat yang sama, limbah peternakan yang terkontaminasi bakteri resisten menyebabkan kontaminasi lingkungan dan sarana pembuangan limbah. Bakteri resisten yang sudah masuk 6 ke dalam limbah ini akan berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas, seperti tanah, sumber mata air, persawahan, perumahan penduduk, industri dan tempat-tempat lain yang pada akhirnya menjadi sumber kontak manusia dengan bakteri resisten terhadap antibiotik (Novo et al., 2013). Dengan demikian maka, penyebaran bakteri resisten tidak dapat dipandang hanya dari sisi manusia, namun harus dari sisi yang lebih luas di dalam seluruh ekosistem (Davies dan Davies, 2010). Gen pengkode resistensi antibiotik dapat menyebabkan perubahan karakteristik bakteri yang memilikinya. Misalnya menjadikannya memiliki kemampuan untuk hidup dan berkembang pada lingkungan yang mengadung senyawa yang berbahaya bagi sel bakteri, dalam hal ini antibiotik misalnya. Sesuai dengan karakteristik prokaryote, maka sel bakteri memiliki kemampuan untuk melakukan pertukaran materi genetik secara horizontal. Mekanisme perpindahan materi genetik dapat terjadi dengan cara konjugasi, transfromasi ataupun transduksi. Perolehan materi genetik secara horizontal dapat diperantarai oleh plasmid atau transposable elements lainnya seperti transposon dan integron. Dengan cara inilah terjadi penyebaran sifat resistensi terhadap antibiotik antar bakteri (Ochman et al, 2000). Transfer horizontal gen pengkode resistensi ini menambah potensi penyebaran bakteri resisten tidak hanya melalui mekanisme selection pressure yang diikuti oleh transmisi ke ekosistem, namun juga memungkinkan meloncatnya gena pengkode resistensi dari satu spesies ke spesies yang lain dan dari satu genus ke genus yang lainnya. Aspek Genetik Resistensi Antibiotik Mekanisme terjadinya resistensi antibiotik dapat diterangkan dari aspek genetika dan biokimiawi. Aspek genetika resistensi antibiotik meliputi berbagai perubahan pada genom dan regulasi gen pada bakteri yang berakibat pada resistensi antibiotik. Berbeda dengan aspek genetika, tinjauan dari sisi biokimia lebih dapat menerangkan mekanisme terjadinya resistensi dari sisi fenotipik bakteri. Meskipun demikian harus selalu diingat bahwa antara aspek genetika dan 7 fenotipik sangat berkaitan erat. Terjadinya perubahan pada fenotip adalah akibat dari perubahan genotip. Resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat terjadi secara intrinsik yang merupakan karakteristik asli bakteri tersebut, sebagai contoh E. coli resisten terhadap vancomycin. Resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi pula oleh karena dapatan. Sifat resistensi dapatan ini dapat terjadi oleh karena: mendapatkan gen pengkode resistensi dari proses transfer genetik horizontal, mutasi pada genome bakteri dan atau kombinasi dari keduanya (Hawkey, 1998). Mutasi Spontan Sifat resisten terhadap antibiotik dapat disebabkan oleh mutasi pada genom bakteri. Mutasi pada kromosom bakteri ini diakibatkan oleh karena terjadinya kesalahan pada saat replikasi DNA atau kegagalan proses perbaikan DNA (DNA repair). Mutasi jenis ini biasa disebut sebagai mutasi spontan yang dapat terjadi secara random pada saat pertumbuhan bakteri. Mutasi ini sering pula disebut dengan growth dependent mutation (Dzidic et al., 2008; Giedraitienë et al., 2011). Sebagai contoh mekanisme ini adalah terjadinya mutasi pada Helicobacter pylori yang bertanggungjawab pada terjadinya resistensi terhadap clarithromycin, metronidazole, amoxicillin, ciprofloxacin dan rifampin. Hasil perhitungan frekuensi mutasi spontan yang bertanggung jawab terhadap resistensi terhadap clarithromcin dan metronidazole <10-9 per pembelahan sel. Sementara itu frekuensi mutasi spontan resistensi terhadap rifampin 20 kali lebih besar. Namun frekuensi mutasi amoxicillin jauh lebih rendah (Wang et al., 2001). Mekanisme resistensi antibotik yang melibatkan berbagai mekanisme biokimiawi di dalam sel bakteri dapat diterangkan dengan adanya mutasi pada gen yang mengkode salah satu komponen yang terlibat di dalam interaksi biokimiawi antara antibiotik dan bakteri (Dzidic et al., 2008). Mutasi yang terjadi pada gen yang mengkode target molekul dari antibiotik merupakan contoh dari mekansime ini. Resistensi terhadap quinolon terjadi karena mutasi pada gen gyrA 8 dan parC (Yang et al, 2013). Resistensi M. tuberculosis terhadap rifamicin terjadi karena mutasi pada gena rpoB, sementara resistensi terhadap isoniazid disebabkan mutasi pada gena katG (Zakham et al., 2013). Resistensi H. pylori terhadap amoxicillin berhubungan dengan mutasi pada gen pbp1 (Kim dan Kim, 2013). Hypermutation Model “hypermutable state” menyatakan bahwa selama terjadi selective pressure berkepanjangan yang non letal, sebagian kecil bakteri akan berubah menjadi mudah mengalami mutasi (hypermutation state) yang bersifat sementara. Keadaan ini menyebabkan suatu baktari mampu mengalami mutasi 50-10.000 kali lebih sering dibandingan aslinya (Giedraitienë et al., 2011). Pada penyakit kronis seperti cycstic fibrosis, Pseudomonas aeruginosa sering menjadi penyebab infeksi yang sulit dieradikasi. Pemakaian antibiotik dalam jangka waktu lama menjadi tidak dapat terhindarkan. Dalam keadaan ini P. aeruginosa dapat mengalami mekanisme hypermutable. Selama proses infeksi, bakteri ini mengalami perubahan genotip dan fenotip untuk beradaptasi dengan lingkungan paru cystic fibrosis. P. aeruginosa akan meningkatkan diversitas populasi selnya untuk agar dapat bertahan. Hipermutasi pada genom regio tertentu merupakan salah satu strategi untuk bertahan. Meskipun demikian, dilaporkan bahwa keadaan hipermutasi ini tidak selalu berhubungan dengan tingginya tingkat resistensi terhadap antibiotik (Lutz et al., 2013). Hipermutator ditemukan pada bakteri E. coli, Salmonella enterica, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, Helicobacter pylori, Streptococcus pneumoniae, dan P. aeruginosa (Dzidic et al., 2008). Mutagenesis Adaptif Proses mutasi sebagian besar terjadi pada sel yang sedang membelah, oleh karena terjadinya kesalahan pada proses replikasi DNA. Namun demikian, mutasi dapat terjadi pula pada sel yang tidak sedang membelah atau membelah dengan lambat. Mutasi ini disebut dengan mutasi adaptif, yang ditunjang oleh adanya pemberian 9 antibiotik non letal sebagai selective pressure (Dzidic et al., 2008). Pemberian kanamycin dan streptomycin pada E. coli dapat menimbulkan mutagenesis adapatif yang berakibat pada resistensi terhadap antibiotik ini (Song et al., 2014) Aspek Biokimiawi Resistensi Antibiotik Perubahan fenotipik pada bakteri dapat berakibat pada resistensi bakteri terhadap antibiotik. Secara garis besar, terdapat beberapa mekanisme yang mendasari resistensi antibiotik, yaitu: (1) inaktivasi antibiotik, (2) modifikasi target molekul, (3) sistem pompa aktif dari dalam keluar sel (efflux pump), dan (4) perubahan outer membrane sel. Inaktivasi antibiotik Antibiotik dapat dinonaktifkan oleh sel bakteri dengan cara hidrolosis oleh enzim. Bakteri mensintesis enzim â-laktamase, suatu amidase, untuk menonaktifkan antibiotik yang memiliki cincin â-laktam, seperti golongan penicillin dan cefalosporin. Bakteri Gram positif maupun negatif mampu membentuk enzim ini. Lebih dari 200 macam enzim â-laktamase telah diidentifikasi, baik yang dikode oleh kromosom maupun plasmid (Dzidic et al., 2008). Terdapat beberapa kelas enzim â-laktamase menurut Ambler classification, klasifikasi berdasaran homologi asam amino, yaitu: Kelas A serine-lactamase, Kelas A extendedspectrum â-lactamases (ESBL), Kelas A serine carbapenemases, Kelas B metallo-â–lactamases, Kelas C serine cephalosporinases, dan Kelas D serine oxacillinases (Drawz dan Bonomo, 2010). Hidrolisis oleh enzim menyebabkan perubahan struktur kimia yang berakibat tidak berfungsinya antibiotik. Hidrolosis oleh kelas A serine lactamase dijumpai pada E. coli, K. Pneumoniae, P. aeruginosa dan A. baumannii. Enzim ini dapat dikode oleh gen kromosomal, plasmid maupun integron. Extended spectrum â-lactamases (ESBL) menyebabkan terjadinya resistensi pada semua golongan penicillin, cefalosporin generasi ketiga (seperti: ceftazidime, cefotaxim, ceftriaxon), aztreonam, cefamadol, dan cefoperazone, namun tidak untuk cephamycin (cefoxitin 10 dan cefotetan) dan carbapenem. Bakteri produsen ESBL dapat dihambat oleh clavulanic acid, sulbactam, atau tazobactam. Umumnya bakteri produsen ESBL resisten pula terhadap quinolon. ESBL sangat bervariasi, terdapat lebih dari 200 macam ESBL sudah diidentifikasi. ESBL umumnya dikode oleh plasmid, dan dapat ditransfer melalui pertukaran plasmid atau transposon. Enzim ini umumnya ditemukan pada Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan Proteus mirabilis, namun juga ditemukan pada Enterobacteriaceae yang lain dan P. aeruginosa (Bradford, 2001; Giedraitienë et al., 2011). Enzim lain yang dapat menghidrolisis antibiotik adalah esterase. Gena ereB pada E. coli mengkode erythromycin esterase II yang menghidrolisis cincin lactone erythromycin A dan oleandomycin (Giedraitienë et al., 2011). Inaktivasi antibiotik dapat dilakukan oleh enzim transferase, yaitu suatu enzim yang dapat menambahkan gugus adenylyl, phosphoryl atau acetyl ke dalam molekul antibiotik. Dengan penbambahan gugusgugus ini maka antibiotik golongan aminoglycoside, chloramphenicol, streptogramin, macrolides atau rifampicin mengalami perubahan kemampuan berikatan dengan molekul target. Dengan cara inilah terjadinya resistensi terhadap antibiotik ini didapatkan (Dzidic et al., 2008). Modifikasi Molekul Target Interaksi antara antibiotik dan molekul target memiliki peranan penting pada mekanisme kerja antibotik menghambat pertumbuhan bakteri. Perubahan molekul target dapat berakibat pada efisiensi interaksi ini, yang berakibat pada resisntensi. Perubahan struktur peptidoglikan dapat menjadi dasar terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan penicillin, cephalosporin, carbapenem, monobactam, dan glycopeptide. Hal ini terjadi oleh karena antibiotik ini bekerja dengan menghambat sintesis dinding sel yang dilakukan oleh â-laktam. Penicillin-binding protein 2 (PBP2) yang dimiliki oleh N. Gonorrhoeae merupakan target molekul dari antibiotik â-laktam. Isolat N. Gonorrhoeae resisten memiliki mutasi pada gen 11 pengkode PBP2 berupa insersi aspartat (Asp-345a) dan beberapa mutasi lainnya (Powell et al., 2009). Mutasi pada quinolone resistancedetermining regions (QRDRs) dilaporkan bertanggungjawab terhadap terjadinya resistensi quinolon pada E. coli (Aoike et al., 2013). Perubahan pada bagian C-terminal dari gen pbp5 berhubungan dengan adanya resistensi terhadap ampicilin pada Enterobacter faecium (Poeta et al., 2007). Vancomycin menghambat sintesis dinding sel bakteri Gram positif dengan cara berikatan dengan C-terminal acyl-D-alanyl-D-alanine (acylD-Ala-D-Ala) dari prekursor peptidoglikan. Resistensi dapat terjadi dengan perubahan D-Ala-D-Ala menjadi D-alanyl-D-lactate (D-AlaD-Lac) atau D-alanyl-D-serine (D-Ala-D-Ser). Hasil akhir dari perubahan menjadi (D-Ala-D-Lac) adalah terjadinya penurunan afinitas vancomycin hingga 1000 kali lebih rendah dibanding C terminal prekursor peptidoglikan wild type (Cooper et al., 2000; Dzidic et al., 2008). Banyak antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara menghambat sintesis protein misalnya: aminoglycoside, tetracycline, macrolide, chloramphenicol, fusidic acid, mupirocin, streptogramin,oxazolidinones dan juga menghambat proses transkripsi, seperti misalnya rifampicin. Antibiotik baru, bactobolin, diyakini memiliki target molekul baru yang tidak dimiliki oleh antibiotik yang sudah ada. Bactobolin mentarget 50S ribosome-associated L2 protein. Perubahan pada protein L2 bertangggung jawab secara spesifik resistensi Bacillus subtilis terhadap bactobolin (Chandler et al., 2012). Clostridium perfringens yang diisolasi dari babi dilaporkan resisten terhadap linezolid, florfenicol, dan erythromycin oleh karena mutasi pada gen fplD yang mengkode protein L4 pada subunit 50S ribosome (Holzel et al., 2010). Laporan lainnya menyatakan bahwa perubahan pada protein L4 ini menyebabkan perubahan struktur subunit 50S yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya gangguan pada proses translasi, seperti: terjadinya frameshift, perubahan asam amino (missense), pembacaan melebihi stop codon dan pemakaian bukan UAG sebagai start codon (O’connor et al., 2004). 12 Mutasi pada gena pengkode 16S methylase dilaporkan sebagai kandidat gen resisten baru pada isolat bakteri yang resisten terhadap gentamicin dan amikacin. Protein yang dikode oleh gen baru ini hanya memiliki kesamaan lebih kurang 42% dibandingkan urutan asam amino 16S rRNA yang telah diketahui sebelumnya (Moore et al., 2013). Mutasi pada gen 23S rRNA bertanggungjawab pada resistensi Mycoplasma pneumoniae terhadap macrolite (Uh et al., 2013) Fluoroquinolone, seperti ciprofloxacin, levofloxacin dan ofloxacin, berinteraksi dengan DNA gyrase dan topoisomerase IV yang dapat menyebabkan terjadinya kegagalan sintesis DNA dan proses transkripsi. Apabila terjadi mutasi pada gen yang mengkode kedua enzim tersebut dapat terjadi perubahan struktur enzym yang berakibat pada kegagalan ikatan antara antibiotik dengan enzim target (Dzidic et al., 2008). Sistem Pompa Aktif dari Dalam Keluar Sel (Efflux Pump). Sistem pompa aktif adalah suatau mekanisme yang bertangggung jawab terhadap perpindahan bahan toksik, termasuk antibiotik, dari dalam keluar sel. Mekanisme ini penting di dalam ilmu kedokteran oleh karena dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik. Hal ini dapat terjadi pada semua antibiotik, kecuali polymixin. Namun demikian yang paling utama terpengaruh adalah macrolide, tetracycline, dan fluroquinolone. Hal ini terjadi oleh karena antibiotik golongan ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dan DNA, sehingga untuk dapat berefek dengan baik, antibiotik ini harus dapat berada di dalam sel. Sistem pompa aktif ini untuk dapat bekerja membutuhkan energi. Sistem pompa aktif pada bakteri dapat digolongkan menjadi lima macam, yaitu: Major facilitator superfamily (MFS), ATP-binding cassette superfamily (ABC), Small multidrug resistance family (SMR), Resistancenodulation-cell division superfamily (RND), dan Multi antimicrobial extrusion protein family (MATE). 13 Giedraitienë et al. (2011) telah merangkum di dalam tulisannya tentang sistem pompa antibiotik dari dalam keluar sel seperti pada tabel 2. Banyak sistem pompa aktif yang sudah diidentifikasi berperan mengeluarkan antibiotik keluar sel bakteri. Sistem pompa dapat spesifik untuk antibiotik tertentu, namun demikian yang umum terjadi adalah multidrug transporter. Tabel 2. Sistem pompa aktif antibiotik pada beberapa bakteri Perubahan Outer Membrane (OM) Sel Bakteri Gram negatif memiliki OM yang terdiri dari fosfolipid di bagian dalam dan lipid A di bagian luar. Komposisi OM bakteri 14 berpengaruh terhadap masukan dan transportasi antibiotik ke dalam sel. Molekul antibiotik dapat masuk ke dalam sel bakteri dengan tiga cara, yaitu: difusi melalui porin, difusi melalui billayer, dan self-promoted uptake (Dzidic et al., 2008). Perubahan OM oleh bakteri bersama-sama dengan pompa aktif sel merupakan latar belakang mekanisme resistensi terhadap antibiotik yang didasari pada strategi untuk menghambat akses antibiotik intraseluler. Sebagai contoh adalah antibiotik golongan âlaktam dan fluoroquinolon. Kedua golongan antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram negatif yang memiliki struktur molekul kecil dan hidrofilik, sehingga masuk ke dalam sel bakteri melalui OmpF/C porins pada E. coli dan OprD pada P. aeruginosa (Masi dan Pages, 2013). Resistensi antibotik dari semua golongan pada P. aeruginosa disebabkan oleh menurunnya permiabilitas OM (Giedraitienë et al., 2011). Kesimpulan Resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah global. Penanggulangan penyakit infeksi menjadi terhambat oleh karena adanya resistensi antibiotik yang menyebar di seluruh dunia. Resistensi terhadap antibiotik tidak dapat dipahami hanya dalam kerangka hubungan patogen–manusia, namun lebih luas lagi mencakup seluruh lingkungan biologi di alam. Mekanisme terjadinya resistensi dapat ditinjau dari dua aspek, aspek genetik dan aspek biokimiawi. Aspek genetik mendasari mekanisme biokimiawi sesuai dengan dogma biologi molekuler. Daftar pustaka Aoike N, Saga T, Sakata R, Yoshizumi A, Kimura S, Iwata M, Yoshizawa S, Sugasawa Y, Ishii Y, Yamaguchi K, Tateda K. 2013. Molecular characterization of extraintestinal Escherichia coli isolates in Japan: relationship between sequence types and mutation patterns of quinolone resistance-determining regions analyzed by pyrosequencing. J Clin Microbiol. 51(6):1692-8. 15 Bradford PA. 2001. Extended-spectrum beta-lactamases in the 21st century: characterization, epidemiology, and detection of this important resistance threat. Clin Microbiol Rev. 14(4):933-51. Castanon JIR. 2007. History of the Use of Antibiotic as Growth Promoters in European Poultry Feeds. Poultry Sci. 86 (11):2466-71. CDC. 2013. Antibioticc Resistance Threats in the United States, 2013. US Department of Health and Human Service, Centers for Diseases Control and Prevention, Atlanta. Chandler JR, Truong TT, Silva PM, Seyedsayamdost MR, Carr G, Radey M, Jacobs MA, Sims EH, Clardy J, Greenberg EP. 2012. Bactobolin resistance is conferred by mutations in the L2 ribosomal protein. Mbio 3(6). pii: e00499-12. Cooper MA, Fiorini MT, Abell C, Williams DH. 2000. Binding of vancomycin group antibiotics to D-alanine and D-lactate presenting self-assembled monolayers. Bioorg Med Chem. 8(11):2609-16. Davies J dan Davis D. 2010. Origins and Evolution of Antibiotic Resistance. Microbioi Mol Biol Rev 74 (3): 417–33. Dzidic S, Suskovic J, Kos B. 2008. Antibiotic Resistance Mechanisms in Bacteria: Biochemical and Genetic Aspects. Food Technol. Biotechnol. 46 (1) 11– 21. Drawz SM dan Bonomo RA. 2010. Three Decades of â-Lactamase Inhibitors. Clin. Microbiol. Rev. 23 (1): 160-201. ECDC. 2010. Antimicrobial resistancesurveillance in Europe Annual report of the European Antimicrobial Resistance Surveillance Network (EARSNet) 2009. Stockholm. Hawkey PM, 1998. The origins and molecular basis of antibiotic resistance. BMJ 317:657-60. Giedraitienë A, Vitkauskienë A, Naginienë R dan Pavilonis A. 2011.Antibiotic Resistance Mechanisms of Clinically Important Bacteria. Medicina (Kaunas) 47(3):137-46. Hölzel CS, Harms KS, Schwaiger K, Bauer J. 2010. Resistance to linezolid in a porcine Clostridium perfringens strain carrying a mutation in 16 the rplD gene encoding the ribosomal protein L4. Antimicrob Agents Chemother 54(3):1351-3. Hui C, Lin MC, Jao MS, Liu TC, Wu RG. 2013. Previous antibiotic exposure and evolution of antibiotic resistance in mechanically ventilated patients with nosocomial infections. J Crit Care. 28(5):728-34. Jacquier H, Marcade´ G, Raffoux E, Dombret H, Woerther PL, Donay JL , Arlet G and Cambau E. 2013. In vivo selection of a complex mutant TEM (CMT) from an inhibitor-resistant TEM (IRT) during ceftazidime therapy. J Antimicrob Chemother 68: 2792–96. Kim BJ dan Kim JG. 2013. Substitutions in penicillin-binding protein 1 in amoxicillin-resistant Helicobacter pylori strains isolated from Korean patients. Gut Liver 7(6):655-60. Lai CC, Wang CY, Chu CC, Tan CK, Lu CL , Lee YC, Huang YT, Lee PI and Hsueh PR. 2011. Correlation between antibiotic consumption and resistance of Gram-negative bacteria causing healthcareassociated infections at a university hospital in Taiwan from 2000 to 2009. J Antimicrob Chemother. 66 (6):1374-82. Lutz L, Leão RS, Ferreira AG, Pereira DC, Raupp C, Pitt T, Marques EA, Barth AL. 2013. Hypermutable Pseudomonas aeruginosa in Cystic Fibrosis Patients from Two Brazilian Cities. J Clin Microbiol 51: 927– 30. Marti R, Tien YC, Murray R, Scott A, Sabourin L, Topp E. 2014. Safely Coupling Livestock and Crop Production Systems: How Rapidly Do Antibiotic Resistance Genes Dissipate in Soil Following a Commercial Application of Swine or Dairy Manure? Appl Environ Microbiol. 2014 Mar 14. E pubb. Masi M dan Pagès JM. 2013. Structure, Function and Regulation of Outer Membrane Proteins Involved in Drug Transport in Enterobactericeae: the OmpF/C - TolC Case. Open Microbiol J 7:2233. Millman JM , Waits K, Grande H, Marks AR, Marks JC, Price LB, Hungate BA. 2013. Prevalence of antibiotic-resistant E. coli in retail chicken: comparing conventional, organic, kosher, and raised without antibiotics. F1000 Research 2:155 17 Moore D. 2013. http://www.orthobullets.com/basic-science/9059/ antibiotic-classification-and-mechanism. Diakses pada 30 Maret 2014. Moore AM, Patel S, Forsberg KJ, Wang B, Bentley G, Razia Y, Qin X, Tarr PI, Dantas G. 2013. Pediatric fecal microbiota harbor diverse and novel antibiotic resistance genes. PLoS One 8(11):e78822. Muziasari WI, Managaki S, Pärnänen K, Karkman A, Lyra C, Tamminen M, Suzuki S, Virta M. 2014. Sulphonamide and trimethoprim resistance genes persist in sediments at baltic sea aquaculture farms but are not detected in the surrounding environment. PLoS One. 2014 Mar 20;9(3):e92702. Novo A, Andre´ S, Vianab P, Nunes OC dan Manaia CM. 2013. Antibiotic resistance, antimicrobial residues and bacterial community composition in urban Wastewater. Water Res 47: 1875-87. Ochman H, Lawrence JG and Groisman EA. 2000. Lateral gene transfer and the nature of bacterial innovation. Nature 405: 299-304. O’Connor M, Gregory ST, Dahlberg AE. 2004. Multiple defects in translation associated with altered ribosomal protein L4. Nucleic Acids Res 32(19):5750-6. Poeta P, Costa D, Igrejas G, Sáenz Y, Zarazaga M, Rodrigues J, Torres C. 2007. Polymorphisms of the pbp5 gene and correlation with ampicillin resistance in Enterococcus faecium isolates of animal origin. J Med Microbiol 56:236-40. Powell AJ, Tomberg J, Deacon AM, Nicholas RA, Davies C. 2009. Crystal structures of penicillin-binding protein 2 from penicillin-susceptible and -resistant strains of Neisseria gonorrhoeae reveal an unexpectedly subtle mechanism for antibiotic resistance. J Biol Chem 284(2):1202-12. Song W, Kim YH, Sim SH, Hwang S, Lee JH, Lee Y, Bae J, Hwang J, Lee K. 2014.Antibiotic stress-induced modulation of the endoribonucleolytic activity of RNase III and RNase G confers resistance to aminoglycoside antibiotics in Escherichia coli. Nucleic Acids Res. Jan 30. [Epub ahead of print]. 18 Uh Y, Hong JH, Oh KJ, Cho HM, Park SD, Kim J, Yoon KJ. 2013. Macrolide resistance of Mycoplasma pneumoniae and its detection rate by real-time PCR in primary and tertiary care hospitals. Ann Lab Med 33(6):410-4. Walsh C. 2000. Molecular Mechanisms that Confer Antibacterial Drug Resistance. Nature 406: 775-81. Wang F, Wilson TJM, Jiang Q, dan Taylor DE. 2001. Spontaneous Mutations That Confer Antibiotic Resistance in Helicobacter pylori. Antimicrob Agents Chemother 45 (3): 727-33. WHO. 2001. Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance. Geneva, World Health Organization, 2001, WHO/CDS/CSR/DRS/ 2001.2. WHO. 2012. The Evolving Threat of Antimicrobial Resistance Options for action, World Health Organization, Geneva. WHO SEARO. 2010. Regional Strategy on Prevention and Containment of Antimicrobial Resistance 2010-2015, WHO South East Asian Regional Office. New Delhi. India Yang H, Duan G, Zhu J, Zhang W, Xi Y, Fan Q. 2013. Prevalence and characterisation of plasmid-mediated quinolone resistance and mutations in the gyrase and topoisomerase IV genes among Shigella isolates from Henan, China, between 2001 and 2008. Int J Antimicrob Agents. 42 (2):173-7. Zakham F, Chaoui I, Echchaoui AH, Chetioui F, Elmessaoudi MD, Ennaji MM, Abid M, Mzibri ME. 2013. Direct sequencing for rapid detection of multidrug resistant Mycobacterium tuberculosis strains in Morocco. Infect Drug Resist. 6: 207-13. 19