SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | KASUS STUDI Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu,Sebuah Montase Sejarah Eko Bagus Prasetyo [email protected] Mahasiswa Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Grand Hotel Preanger merupakan sebuah hotel kolonial yang masih berjejak kokoh di Kota Bandung. Hotel yang terletak persis di Jalan Asia–Afrika ini telah berumur lebih dari satu abad semenjak pembangunan awalnya oleh W. H. C. van Deeterkom. Cikal pendirian hotel bergaya Art Deco tersebut adalah peristiwa penggabungan sebuah pesanggrahan dan toko yang gulung tikar di Grote Postweg (sekarang Jalan Asia–Afrika) pada tahun 1897. Pembangunan Grand Hotel Preanger pada masa itu menjadi sebuah primadona tersendiri bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Kota Bandung. Selain itu, kaum borjuis tempo dulu sering menghabiskan akhir pekannya untuk bermalam di sana ketika turun ke pusat kota. Bahkan sekarang, meskipun sarat dengan kesan bangunan kuno, Grand Hotel Preanger masih tetap memikat para pelancong untuk datang menginap. Sementara fungsi asli bangunan tetap dipertahankan, bagaimanapun juga, seiring dengan perkembangan zaman, Grand Hotel Preanger telah sedikit-banyak mengalami perubahan, terutama dalam wujud dan bentuk fisik bangunan. Oleh karenanya, dalam tulisan ini akan ditelusur lebih jauh tentang perbandingan kondisi Grand Hotel Preanger tempo dulu dan sekarang dengan metode observasi dan temuan arsip yang tertinggal. Kata-kunci : Art Deco, Bandung, Grote Postweg, kolonial, sejarah Pendahuluan Grand Hotel Preanger, yang sekarang berganti nama menjadi Prama Grand Preanger, adalah sebuah bekas bangunan hotel kolonial di Kota Bandung yang masih dipertahankan fungsi dan ciri khasnya sampai saat ini. Hotel yang berlokasi cukup strategis karena dilalui oleh Grote Postweg tersebut pada awalnya didirikan dengan me-redevelopment sebuah herberg ‘pesanggrahan’ serta bangunan Hotel Thiem dan toko di sebelahnya yang dikelola oleh C. P. E. Loheyde 1 . Orang-orang Belanda yang mayoritas adalah pemilik perkebunan di Priangan—sebutan wilayah Bandung zaman dulu—sering datang ke toko milik Loheyde tersebut untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari mereka. Toko yang dikelola oleh Loheyde tidak bertahan lama dan akhirnya mengalami kebangkrutan pada tahun 1897. Kepemilikan toko sekaligus Hotel Thiem lalu berpindah tangan kepada W. H. C. van Deeterkom. Melihat banyaknya para pelancong dari sekitar Priangan yang datang ke kawasan Grote Postweg, Deeterkom akhirnya berniat menggabungkan toko dan hotel kecil yang telah ia beli dengan herberg di sampingnya menjadi sebuah hotel yang berukuran lebih besar dengan gaya arsitektur Indische Empire dan sentuhan gaya Greek Revival 2 . Pada tahun 1920 Deeterkom kemudian mengubah nama hotel tersebut menjadi Grand Hotel Preanger, mengambil serapan dari kata priangan yang berarti ‘terletak di daerah pegunungan’. 1 2 Sudarsono Katam dan Lulus Abadi, Album Bandoeng Tempo Doloe (Bandung: Khazanah Bahari, 2010), hlm. 52. Ibid. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 327 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Pada tahun 1929 hotel bergaya Indische Empire ini dibangun ulang oleh C. P. Wolff Schoemaker dibantu oleh muridnya sebagai juru gambar, Ir. Soekarno 3. Rancang ulang dilakukan terutama pada bentuk dan gaya arsitektur bangunan; gaya bangunan baru yang diterapkan adalah gaya Art Deco geometrik yang lebih berkesan modern. Rancangan Schoemaker terhadap wajah baru bangunan Grand Hotel Preanger ini dipengaruhi gaya arsitektur Frank Lloyd Wright. Konsep Art Deco pada bagian fasad bangunan inilah yang masih dipertahankan hingga sekarang. Walaupun telah berdiri sejak lama dengan langgam bangunan yang berkesan kuno dan kontras tertinggal dari gaya arsitektur pada bangunan hotel lain di sekitarnya, Grand Hotel Preanger malah menjadi hotel dengan tingkat okupansi tertinggi di Kota Bandung. Gaya kuno khususnya pada bagian eksterior bangunan justru memberikan nilai lebih untuk menarik para wisatawan. Untuk menampung tingginya okupansi hotel pada tahun 1988 Grand Hotel Preanger mengalami renovasi dan perluasan bangunan dengan menambah jumlah kamar dan fasilitas hotel. Maka dari itu, dibangun sebuah tower setinggi sepuluh lantai dengan sentuhan gaya bangunan Art Deco untuk merespon bangunan lamanya. Upaya renovasi ini lantas mendapat banyak pujian dari berbagai khalayak. Proses renovasi disertai dengan upaya konservasi pada bangunan Grand Hotel Preanger kembali dilakukan dari tahun ke tahun. Langgam ikonik Art Deco pada bangunan hotel terus dipertahankan untuk menghargai sejarah awal pembangunannya. Menariknya, untuk mendukung upaya pelestarian sejarah pihak pemilik dan pengelola hotel menyediakan sebuah museum khusus untuk menyediakan informasi sejarah keberjalanan hotel dan memajang benda-benda peninggalannya. Penambahan fungsi historis ini merupakan salah satu solusi yang dirasa bagus untuk menanggapi banyaknya isu hilangnya identitas bangunan lama untuk memenuhi tuntutan kebutuhan dan fungsi baru di zaman yang serba modern seperti sekarang ini. Tulisan ini mencoba membuat telusur tentang sejarah perkembangan Grand Hotel Preanger sejak pertama kali didirikan pada tahun 1897. Proses observasi dan dokumentasi merupakan dua metode yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang proses perubahan kondisi dan wujud fisik Grand Hotel Preanger dari waktu ke waktu. Dari beberapa data kondisi fisik bangunan hotel nantinya akan dibandingkan antartemuan perubahan yang terjadi pada masing-masing eranya. Perkembangan Grand Hotel Preanger Sejarah perkembangan yang ditekat Grand Hotel Preanger memang sangat panjang: bermula dari sebuah herberg dan toko yang digabung menjadi sebuah hotel di era 1890-an sampai menjadi sebuah hotel bintang lima ternama pada masa sekarang ini. Sekiranya ada yang menarik untuk diamati tentang keberadaan bangunan yang sudah berusia lebih dari seabad ini, salah satunya adalah perkembangan wujud muka bangunan dari waktu ke waktu dan bagaimana bangunan berumur tersebut masih bisa eksis terhadap perubahan kondisi zaman yang sudah tak berasa lagi kondisi tempo dulunya. Wajah asli Grand Hotel Preanger sendiri bisa dilihat dari Jalan Asia Afrika dan Jalan Tamblong. Dari dua jalan tersebut tampak sebuah pemandangan gaya arsitektur yang unik dan cukup berbeda dengan bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Jika ditelusur dari album foto lama dan tampak bangunan sekarang, desain eksterior Grand Hotel Preanger tak banyak mengalami perubahan sejak terakhir kali pembangunan ulangnya oleh Schoemaker pada tahun 1929. Setelah dibangun ulang menjadi bangunan bergaya Art Deco, perubahan cukup signifikan terjadi ketika penambahan menara pada bangunan induk. Penambahan massa bangunan baru sebenarnya menjadi hal yang tak kasat mata karena wujud bangunan baru tersebut telah disesuaikan dengan pola-pola gaya arsitektur lamanya. Keberadaan wajah luar Grand 3 Didiet B. Ernanto, “Sejarah Panjang Grand Hotel Preanger Bandung” Harian Sinar Harapan, 16 Agustus 2003. 328 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Eko Bagus Prasetyo Hotel Preanger yang masih utuh dan asing di tengah-tengah bangunan bercorak gaya masa kini malah lebih menampilkannya sebagai bangunan klasik yang berkelas pada zamannya. Tahun 1900-an Gambar 1. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1900-an. sumber: Tropenmuseum, 1900 Gambar 2. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1910, tampak bangunan hotel menggunakan perpaduan gaya arsitektur Indische Empire dengan sentuhan arsitektur lokal. sumber: Katam, 2010 Pada awal pembangunannya Grand Hotel Preanger dirancang menggunakan gaya Indische Empire, mengikuti perkembangan gaya arsitektur di Hindia-Belanda kala itu. Gaya bangunan yang juga disebut sebagai The Dutch Indische Colonial Style 4 tersebut telah diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal H. W. Daendels 5 sejak tahun 1808. Namun, sebenarnya gaya Indische Empire sendiri merupakan gaya arsitektur yang memiliki ragam bentuk dan ciri khas bangunan-bangunan di Perancis, terlepas dari pengaruh kebudayaan asli Belanda. Hal ini tak dapat dipungkiri karena gaya Indische Empire tersebut merupakan sebuah imitasi Empire Style yang telah populer terlebih dahulu di Perancis pada pertengahan abad ke-19. Kemudian lambat laun, gaya Indische Empire berbau Perancis ini banyak mengalami perubahan dan penyesuaian dengan kondisi lingkungan dan iklim tropis di Hindia-Belanda—walaupun belum benar-benar digubah sedemikian rupa. Termasuk Grand Hotel Preanger, setelah pertama kali dibangun menjadi sebuah penginapan untuk para bangsawan Belanda dan pribumi elit, bentuk fisik bangunan, terutama jika dilihat dari tampak depan, mendapatkan pengaruh yang sangat kental dari gaya Indische Empire yang telah tersentuh oleh kondisi lokal. Seperti kebanyakan bangunan lainnya yang didesain dengan gaya tersebut, dapat dilihat beberapa kekhasan Grand Hotel Preanger pada masa 1900-an. Dari sisi muka, corak gaya arsitektur ke-indisch-eropa-an ini diwujudkan dengan pemberian halaman berukuran tak terlalu luas yang ditumbuhi oleh beberapa pohon palem sebagai salah satu elemen serambi bangunan sebelum berhubungan dengan bahu jalan. Di samping itu, jalan masuk yang berada di dekat halaman dibuat melingkar untuk tempat parkir kendaraan di bagian tepi. Ciri-ciri eksterior lainnya adalah atap yang berbentuk perisai, pintu masuk yang dibuat megah dan tinggi dengan beberapa jendela krepyak di kiri-kanannya, dan wajah bangunan yang terlihat simetris dengan penambahan gevel6 di bagian atap dan perletakan barisan kolom Doric khas Yunani pada teras depan yang terbuka. Sebutan gaya Indische Empire atau The Dutch Indische Colonial Style lebih dikenal sebagai gaya neoklasik di kawasan Hindia-Belanda. H. W. Daendels adalah seorang mantan perwira tentara angkatan darat Napoleon dari Perancis sehingga gaya arsitektur yang dia dirikan di HindiaBelanda banyak mendapatkan pengaruh kebudayaan Perancis. Lihat tulisan Handinoto yang berjudul “Indische Empire Style: Gaya Arsitektur ‘Tempo Doeloe’ yang Sekarang Sudah Mulai Punah” (1994), hlm. 8 dan bukunya yang berjudul Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1870–1940 (Yogyakarta: Andi Offset, 1996), hlm. 130–131. 6 Gevel adalah bentuk segitiga yang mengikuti bentuk atap, biasanya terletak di dinding fasad bangunan atau dinding samping bangunan. Lihat buku Yulianto Sumalyo yang berjudul Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993). 4 5 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 329 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Prinsip kesimetrisan dan keseimbangan pada bangunan Grand Hotel Preanger yang bergaya Indische Empire ini tidak hanya diterapkan pada fasad bangunan saja, tetapi juga pada denah interior ruangan. Layout ruangan yang simetris memungkinkan terbentuknya central room yang terhubung langsung dengan beranda, galeri, dan kamar-kamar penginapan di bagian perimeter. Selain itu, ciriciri interior bangunan Grand Hotel Preanger dengan gaya arsitektur tersebut bisa diamati pada jarak langit-langitnya yang tinggi, penutup lantai yang mewah dari material marmer, dan dinding yang cukup tebal dari bahan batu bata. Hal lainnya, dibandingkan dengan bangunan bergaya sama di Perancis, Grand Hotel Preanger mempunyai proporsi ukuran serambi atau teras depan yang jauh lebih luas. Alasan perluasan serambi depan ini adalah untuk memaksimalkan cross ventilation di dalam ruangan sehingga ruangan menjadi lebih sejuk pada siang harinya. Tahun 1920-an Gambar 3. Proses perbaikan bentuk dan wajah bangunan Grand Hotel Preanger pada tahun 1919, proses perbaikan ini tidak mengubah muka bangunan secara signifikan. Gambar 4. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1920-an, bangunan hotel hasil renovasi menggunakan gaya New Indies dan Greek Revival. sumber: Katam, 2010 sumber: Katam, 2010 Terpengaruh oleh perkembangan gaya Dutch Rationalism 7 dan aliran modernisme 8 yang terjadi di Hindia-Belanda di akhir abad ke-19, pada tahun 1919 Grand Hotel Preanger mengalami perbaikan dalam desain muka bangunan. Gaya Indische Empire pada Grand Hotel Preanger yang sudah terkesan terlalu klasik dan kuno sedikit dirubah untuk mengikuti tren gaya arsitektur modern pada masa itu. Lantas, bersamaan dengan dibukanya politik etis, perkembangan gaya Dutch Rationalism di Hindia-Belanda menciptakan gaya baru yang dinamakan New Indies Style. Gaya baru yang lebih berorientasi ke Eropa, khususnya Belanda inilah yang kemudian diterapkan pada proses pembangunan kembali wajah bangunan Grand Hotel Preanger. Setelah selesai direnovasi, penerapan gaya New Indies pada bentuk bangunan Grand Hotel Preanger dapat diamati utamanya pada penggunaan atap datar dan warna putih yang dominan di dinding bangunan. Ciri lain penggunaan gaya ini pada eksterior bangunan adalah pemasangan double facade pada bagian atas serambi depan untuk mencegah masuknya panas matahari dan tempias air hujan—yang sangat mungkin terjadi karena penggunaan atap datar. Halaman depan yang ditumbuhi pohon palem dihilangkan untuk memperluas jalan masuk yang menghadap langsung ke Groote Postweg. Selain itu, untuk menambah kesan grandeur ‘megah’ fasad bangunan diberikan sentuhan gaya Greek Revival, yaitu dengan memperbesar ukuran kolom yang menyangga entablature— elemen struktur horisontal semacam balok cincin—di ujungnya, mempertinggi pedestal lantai Gaya Dutch Rationalism adalah gaya arsitektur yang berusaha mengembangkan solusi baru untuk menggabungkan objek bangunan bergaya klasik dengan teknologi mutakhir. Gaya ini bisa disebut sebagai gaya arsitektur transisi antara tradisionalisme (Indische Empire Style) dan modernisme. Di Belanda sendiri gaya ini diperkenalkan oleh H. P. Berlage. Lihat tulisan Joop Walter yang berjudul “Het Indisch Woonhuis” (2011). 8 Aliran modernisme diperkenalkan oleh para arsitek Belanda yang datang ke Hindia-Belanda. Mereka mulai mencoba untuk menggunakan material baru dalam pembangunan kembali bangunan-bangunan bergaya neoklasik untuk mengembangkan arsitektur yang memadukan ciri khas bangunan Belanda dan iklim tropis. Hal inilah yang menjembatani perubahan gaya arsitektur klasik ke modern di Hindia-Belanda. Lihat buku Gunawan Tjahjono yang berjudul Indonesian Heritage 6, Architecture (Singapore: Archipelago Press, 1998), hlm. 120. 7 330 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Eko Bagus Prasetyo bangunan, dan memasang pediment berbentuk persegi panjang pada bagian atas bukaan jendelapintu. Tahun 1930–1960-an Gambar 5. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1930-an, tampak bangunan hotel yang dibangun ulang pada tahun 1929 menggunakan gaya Art Deco. Gambar 6. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1930-an, tampak Grote Postweg di depan hotel dengan lalu-lalang dokar atau kereta kuda. sumber: Mafiosoul, 2012 sumber: Katam, 2010 Perkembangan zaman mengakibatkan perubahan popularitas gaya arsitektur dari masa ke masa. Sesudah tahun 1920-an, perkembangan gaya Art Deco di Belanda memberikan pengaruh yang cukup besar pada perubahan bentuk bangunan-bangunan di Hindia-Belanda. Tak terkecuali, untuk bisa tetap eksis dan tidak ‘ketinggalan zaman’ Grand Hotel Preanger kembali dibangun ulang secara besar-besaran pada tahun 1929. Kali ini, C. P. Wolff Schoemaker, seorang arsitek keturunan Belanda yang lahir dan tinggal di Hindia-Belanda, memegang kendali atas perancangan bentuk dan wajah baru Grand Hotel Preanger. Banyak terpengaruh oleh karya-karya arsitektur beraliran modernisme dari Frank Lloyd Wright9, Schoemaker mengadopsi gaya Art Deco tersebut untuk menciptakan kesan bangunan hotel yang lebih glamour, anggun, dan romantis. Ekspresi gaya Art Deco karya Schoemaker pada Grand Hotel Preanger terlihat jelas diterapkan pada bagian fasad bangunan yang mengekspos warna dan elemen-elemen geometris. Dari gaya New Indies yang banyak memiliki corak bangunan imperial Yunani, Grand Hotel Preanger berubah menjadi bangunan modern yang bercitra futuristik. Elemen-elemen geometris dan kubustis yang disusun secara asimetris menjadi unsur dominan komponen penyusun fasad hotel. Kemudian, penerapan konsep Art Deco pada Grand Hotel Preanger juga terlihat pada perubahan massa bangunan yang menjadi lebih masif—ruang portico ‘serambi berkolom’ yang membuat bangunan lebih terbuka telah dihilangkan. Oleh Schoemaker, kesan masif pada massa hotel ini disiasati dengan penambahan unsur-unsur streamline10, yakni elemen ornamentasi berbentuk garis-garis lurus yang ikut menghiasi fasad kubistis Art Deco sehingga massa bangunan menjadi terlihat langsing dan ramping. Di samping perubahan pada kondisi bentuk dan wajah bangunan, peralihan kondisi fisik juga terjadi pada lingkungan dan area tapak di depan bangunan Grand Hotel Preanger. Jalur masuk ke dalam hotel diperluas kembali sehingga menciptakan area terbuka yang lebih lapang pada muka bangunan. Perluasan jalur masuk ini ditujukan sebagai ruang-ruang parkir kendaraan untuk menampung Frank Lloyd Wright adalah arsitek pelopor gaya arsitektur modern yang memperkenalkan gaya arsitektur organik dan Mayan Revival . Unsur ornamentasi yang menjadi ciri khas gaya Mayan Revival disadur oleh C. P. Wolff Schoemaker untuk memperindah konsep Art Deco pada desain Grand Hotel Preanger yang baru. Lihat buku Marjorie Ingle yang berjudul Mayan Revival Style: Art Deco Mayan Fantasy (Salt Lake City: Peregrine Smith Books, 1984), hlm. v. 10 Gaya Art Deco dengan penggunaan unsur-unsur streamline sebagai elemen pembentuk ruang dan fasad ini sering disebut dengan gaya Nieuwe Bouwen atau Streamline Moderne. Lihat buku B. Dawson dan J. Gillow yang berjudul The Traditional Architecture of Indonesia (London: Thames and Hudson, 1994), hlm. 25. 9 Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 331 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah pengunjung hotel yang semakin banyak. Antara area parkir tersebut dan jalur pedestrian yang bersebelahan dengan Grote Posweg di depannya sengaja didirikan pagar pembatas yang terbuka dan tidak terlalu tinggi agar kemegahan wajah Grand Hotel Preanger bisa terlihat jelas dari bagian bawah sampai ke atasnya. Gambar 7. Menara Grand Hotel Preanger pada tahun 1930-an. Gambar 8. Suasana sisi belakang Grand Hotel Preanger yang berada di sudut simpang Tamblongweg (Jalan Tamblong) dan Naripanweg (Jalan Naripan) pada tahun 1930-an. sumber: Katam, 2010 sumber: Katam, 2010 Gambar 7. Suasana Grote Postweg di depan Grand Hotel Preanger pada tahun 1939. Gambar 8. Suasana bagian depan Grand Hotel Preanger pada tahun 1940. sumber: Katam, 2010 sumber: theluxton.com, — Setelah tahun 1960-an sampai saat ini Sesudah tahun 1960, Grand Hotel Preanger tidak banyak mengalami perubahan dari segi bentuk dan wajah bangunan walaupun bangunannya sendiri telah mengalami beberapa kali renovasi dari tahun ke tahun setelah itu. Penambahan massa bangunan berupa tower setinggi sepuluh lantai pada bangunan induk sempat dilakukan pada tahun 1988 untuk memperbanyak jumlah kamar dan melengkapi fasilitas hotel. Pembangunan massa bangunan baru pada Grand Hotel Preanger ini tidak mengubah penampilan massa bangunan secara keseluruhan karena penampilan bangunan baru tersebut telah disesuaikan dengan konsep gaya arsitektur lamanya, yaitu Art Deco. Hingga saat ini, gaya Art Deco yang dipadu dengan unsur-unsur streamline tersebut masih tetap dipertahankan dan dijadikan ciri khas bangunan Grand Hotel Preanger. Namun demikian, perluasan lebar Grote Posweg (Jalan Asia–Afrika) seiring dengan majunya moda transportasi memakan banyak ruang terbuka di bagian depan hotel. Selain itu, sebagai alasan keamanan, pagar di muka hotel dibuat lebih tertutup sehingga menghalangi sebagian wajah bangunan dari seberang jalan. 332 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Eko Bagus Prasetyo Gambar 9. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 1960-an. sumber: Sumber: Katam, Katam, 2010 2010 Gambar 10. Suasana Grand Hotel Preanger pada tahun 2010. sumber: Katam, 2010 Gambar 11. Suasana wajah Grand Hotel Preanger pada tahun 2017, tampak jalur pedestrian tertata rapi di seberang Jalan Asia–Afrika. sumber:Sumber: dokumentasi pribadi, 20172017 dokumen pribadi, Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 333 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Gambar 12. Fasad bergaya Art Deco dengan penambahan elemen-elemen streamline pada Grand Hotel Preanger. sumber: dokumentasi pribadi, 2017 Gambar 13. Kanopi pada bagian pintu masuk Grand Hotel Preanger. sumber: dokumentasi pribadi, 2017 Gambar 14. Tower setinggi sepuluh lantai yang ditambahkan pada bangunan induk Grand Hotel Preanger. sumber: dokumentasi pribadi, 2017 334 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 Eko Bagus Prasetyo Perbandingan dari Waktu ke Waktu Dari pembahasan sejarah perkembangan Grand Hotel Preanger dengan menggunakan metode observasi serta studi dan dokumentasi literatur dapat dibandingkan perubahan kondisi dan wujud fisik Grand Hotel Preanger pada masing-masing eranya sebagai berikut. Tabel 1. Perbandingan Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu Elemen Pembanding Gaya bangunan Tahun 1900-an Gaya Indische Empire atau The Dutch Indische Colonial Style (gaya neoklasik) Tahun 1930–1960an Setelah Tahun 1960an sampai Saat Ini Gaya New Indies dengan sentuhan gaya Greek Revival Gaya Art Deco aliran Gaya Art Deco aliran Bentuk bangunan simetris dengan penggunaan atap datar, cat dinding warna putih yang dominan, Doric yang diperbesar, double facade, entablature dan pedestal yang lebih tebal, serta pediment di atas bukaan jendela-pintu Bentuk bangunan kubustis dan asimetris yang masif, tetapi terlihat ramping dengan penambahan elemen-elemen fasad geometris berwujud garis-garis lurus serta penghilangan kolom di bagian depan Bentuk bangunan kubustis dengan elemen-elemen fasad geometris dan penambahan massa bangunan baru yang bercorak sama Tahun 1920-an steamline (Nieuwe Bouwen) steamline (Nieuwe Bouwen) Bentuk eksterior bangunan Bentuk bangunan simetris dengan penggunaan atap perisai, gevel segitiga, Doric, serta bukaan pintu yang tinggi dan jendela krepyak di kirikanannya Denah Denah simetris dengan central room yang terhubung langsung dengan beranda, galeri, dan kamar-kamar penginapan di bagian perimeter serta portico (teras berkolom) di bagian depan Denah simetris dengan central room dan portico di bagian depan Denah asimetris dengan penghilangan serambi dan galeri Denah asimetris dengan penghilangan serambi dan galeri serta penambahan sepuluh lantai pada bangunan tower yang baru Ruang terbuka Ruang terbuka berupa halaman depan yang cukup luas dan ditumbuhi oleh beberapa pohon palem serta jalan masuk di bagian depan yang melingkar Halaman depan yang dihilangkan dan jalur masuk yang diperluas untuk parkir kendaraan Halaman depan yang dihilangkan dan jalur masuk yang diperluas untuk parkir kendaraan Halaman depan yang dihilangkan dan jalur masuk yang diperluas untuk parkir kendaraan Transisi bangunan dengan lingkungan sekitar Bangunan dan Grote Postweg dipisahkan oleh pagar pembatas yang terbuka Bangunan dan Grote Postweg dipisahkan oleh pagar pembatas yang terbuka Bangunan dan Grote Postweg dipisahkan oleh pagar pembatas yang terbuka Bangunan dan Grote Postweg dipisahkan oleh pagar pembatas yang lebih tertutup Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | 335 Grand Hotel Preanger dari Waktu ke Waktu, Sebuah Montase Sejarah Kesimpulan Dari pembahasan dan temuan foto dokumentasi dari tahun ke tahun dapat disimpulkan bahwa Grand Hotel Preanger yang digagas pertama kali oleh Deeterkom mengalami perubahan yang sangat mencolok setelah pembangunan ulangnya oleh Schoemaker pada tahun 1929, yaitu dari gaya bangunan Indische Empire yang terkesan klasik dan formal menjadi gaya arsitektural Art Deco yang lebih terlihat modern. Proses renovasi dan perluasan bangunan setelah itu tidak banyak mengubah bentuk muka bangunan yang bergaya Art Deco tersebut. Jika dibandingkan lagi, kondisi tapak di sekitar bangunan hotel pada masa sekarang tidak semegah di era 1930–1960-an; pada masa itu Grand Hotel Preanger benar-benar berhubungan langsung dengan Grote Postweg di depannya—tak ada pagar pembatas jalan yang tertutup—sehingga wajah bangunan bisa terlihat secara jelas dari seberang jalan. Walaupun demikian, Grand Hotel Preanger masih tetap menyuguhkan panorama bangunan tempo dulu yang khas dan sarat nostalgia di tengah-tengah bangunan kekinian di sekitarnya. Penutup Tulisan ini memang dirasa terlalu singkat untuk menelusur sejarah perkembangan Grand Hotel Preanger yang sungguh panjang. Keterbatasan informasi menjadi salah satu dari beberapa kendala untuk merekam ulang tulisan-tulisan bernuansa sejarah. Oleh karenanya, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan untuk perbaikan dan kelengkapan tulisan tersebut. Tak lupa, ucapan rasa terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Bambang Setia Budi, ST, MT, Ph. D selaku pengampu penyusunan tulisan ini. Daftar Pustaka Dawson, B. & J. Gillow. 1994. The Traditional Architecture of Indonesia. London: Thames & Hudson. Handinoto. 1994. “Indische Empire Style: Gaya Arsitektur ‘Tempo Doeloe’ yang Sekarang Sudah Mulai Punah”. Dimensi 20/Ars. Universitas Kristen Petra Surabaya. ___:___. Handinoto. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya Tahun 1870–1940. Yogyakarta: Andi Offset. Harian Sinar Harapan. 2003. “Sejarah Panjang Grand Hotel Preanger Bandung”, edisi 16 Agustus. Hartono, Samuel. 2007. “The Amsterdam School dan Perkembangan Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda antara Tahun 1915–1940”. Jurnal Teknik Arsitektur. Petra Christian University. Nomor 35: 58. Ingle, Marjorie. 1984. Mayan Revival Style: Art Deco Mayan Fantasy. Salt Lake City: Peregrine Smith Books. Katam, Sudarsono & Lulus Abadi. 2010. Album Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Khazanah Bahari. Kunto, Haryoto. 1985. Wajah Bandung Tempo Doeloe. Bandung: PT Granesia. Mafiosoul. 2012. Terimakasih Soedah Bikinin Gedong-Gedong Art Deco di Kota Kami, Toewan! (online). https://republikpencitraan.wordpress.com/2012/05/10/terimakasih-soedah-bikinin-gedong2-art-deco-di-kotakami-toewan/. Diakses pada 22 Maret 2017 pukul 16.23. Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tjahjono, Gunawan. 1998. Indonesian Heritage 6, Architecture. Singapore: Archipelago Press. Walker, John. A. 1989. Design History and the History of Design. London: Pluto Press. Walter, Joop. 2011. “Het Indisch Woonhuis”. _____. _____. ___:___. _____. ____. Bandung Trip Advice (online). www.theluxton.com. Diakses pada 12 Maret 2017 pukul 21.06. _____. 2015. Hotel Preanger in 1930 (online). www.collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en. Diakses pada 17 Maret 2017 pukul 18.14. 336 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017