BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persalinan Persalinan adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri) yang
dapat hidup di luar rahim melalui jalan lahir atau dengan cara lain (Mochtar, 2000).
Persalinan adalah serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang
cukup bulan atau hampir cukup bulan disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput
janin dari ibu (Depkes RI, 2004).
2.1.1 Metode Persalinan
Menurut caranya persalinan dapat dikelompokkan atas dua cara yaitu partus
biasa (normal) dan partus luar biasa (abnormal) (Salfariani, 2012).
a.
Partus Biasa (Normal)
Partus biasa disebut juga partus spontan yaitu proses lahirnya bayi berdasarkan
letak belakang kepala secara normal. Persalinan normal adalah proses lahirnya
janin dengan tenaga ibu sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu
dan bayi yang pada umumnya berlangsung kurang dari 24 jam (Manuaba, 2008).
b. Partus Luar Biasa (Abnormal)
Partus luar biasa yaitu persalinan pervaginam abnormal dengan bantuan alat atau
melalui dinding perut dengan operasi SC. Istilah Caesar berasal dari bahasa Latin
caedere yang artinya memotong atau menyayat. Sectio caesarea (SC) adalah
upaya mengeluarkan janin melalui pembedahan pada dinding perut dan dinding
rahim (Kasdu, 2003). Persalinan SC dilakukan sebagai alternatif jika persalinan
lewat jalan lahir tidak dapat dilakukan.
10
11
Prinsip SC menurut Winkjosastro, 2007 :
1. Merupakan suatu tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat diatas 500
gram, melalui sayatan pada dinding uterus yang masih utuh.
2. Keadaan yang tidak memungkinkan jalan dilahirkan pervaginam, dan
3. Keadaan gawat darurat yang memerlukan pengakhiran kehamilan atau
persalinan segera, yang tidak mungkin menunggu kemajuan persalinan
pervaginam secara fisiologis.
Adapun jenis-jenis SC yaitu SC primer (efektif), SC sekunder, SC ulang, dan SC
histerektomi. Salfariani & Saidah (2012), mengatakan bahwa pertolongan operasi
persalinan dengan SC mempunyai sejarah yang panjang. Bahaya infeksi merupakan
ancaman serius sehingga banyak terjadi kematian. Perkembangan teknologi SC
demikian majunya sehingga bahayanya makin dapat ditekan. Oleh karenanya
persalinan SC makin banyak dilakukan.
2.1.2 Komplikasi Persalinan dengan Metode Sectio Caesar (SC)
Komplikasi SC sangat serius sehingga jauh lebih berbahaya dibandingkan
persalinan normal, dan berdampak bagi ibu maupun janin. Salfariani & Saidah (2012)
menyatakan, resiko persalinan secara SC dibagi menjadi:
1. Komplikasi Jangka Pendek
Adapun komplikasi jangka pendek yaitu infeksi pada bekas jahitan, infeksi
rahim, keloid terjadinya penonjolan jaringan parut, cedera pembuluh darah,
cedera pada kandung kemih saat SC dilakukan organ ini bisa saja terpotong,
perdarahan darah yang hilang lewat SC dua kali lipat dibandingkan dengan
persalinan normal, air ketuban masuk ke dalam pembuluh darah sehingga
terjadi pulmonary embolism, jantung dan pernafasan ibu bisa berhenti secara
tiba-tiba terjadilah kematian mendadak, pembekuan darah, kematian saat
12
persalinan yang umumnya disebabkan karena kesalahan pembiusan atau
perdarahan yang tidak ditangani secara cepat, kelumpuhan kandung kemih Ini
terjadi karena saat proses pembedahan kandung kemih terpotong, hematoma
akibatnya fatal yaitu kematian ibu. mengingat resiko perdarahan pada SC lebih
tinggi, resiko hematoma pun lebih besar, usus terpilin, keracunan darah jika
ketuban pecah kuman masuk kedalam pembuluh darah ketika operasi SC
berlangsung, dan menyebar ke seluruh tubuh keracunan darah yang berat dapat
menyebabkan kematian ibu.
2. Komplikasi Jangka Panjang
a. Masalah psikologis
Berdasarkan penelitian, perempuan yang mengalami SC mempunyai
perasaan negatif usai operasi seperti depresi pasca persalinan. Beberapa
mengalami reaksi stress pascatrauma berupa mimpi buruk, atau ketakutan luar
biasa terhadap kehamilan, yang disebabkan karena ibu tidak siap menghadapi
operasi.
b. Perlekatan organ bagian dalam.
Penyebab perlekatan organ bagian dalam pada SC adalah tidak bersihnya
lapisan permukaan dari noda darah. Terjadilah perlengketan yang
menyebabkan rasa sakit pada panggul, masalah pada usus besar, serta nyeri
pada saat melakukan hubungan seksual.
c. Pembatasan kehamilan
Perempuan yang pernah mengalami operasi SC hanya boleh melakukan
persalinan sebanyak 3 kali boleh 5 kali tetapi resiko dan komplikasi lebih berat.
13
3. Komplikasi Persalinan Selanjutnya
a. Sobeknya jahitan rahim
Ada 7 lapisan jahitan yang dibuat saat operasi SC. Yaitu jahitan pada kulit,
lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim
dan rahim. Jahitan rahim ini dapat sobek pada persalinan berikutnya. Makin
sering manjalani operasi SC makin tinggi resiko terjadinya robekan.
b. Pengerasan plasenta
Plasenta bisa tumbuh ke dalam melewati dinding rahim, sehingga sulit
dilepaskan. Bila plasenta sampai menempel terlalu dalam (sampai ke
myometrium), harus dilakukan pengangkatan rahim karena plasenta mengeras.
Resikonya terjadi plasenta ini bisa meningkat karena SC.
c. Tersayat
Tersayatnya bayi saat SC terjadi jika, air ketuban yang membuat volume ruang
dalam rahim menyusut. Akibatnya, ruang gerak bayipun berkurang dan lebih
mudah terjangkau pisau bedah. Selain itu, pembedahan lapisan perut yang
mengalirkan darah terus menerus sehingga semburan darah membuat janin
sulit terlihat. Pembedahan yang dilakukan tidak hati-hati, bisa membuat bayi
tersayat, terlebih dinding rahim sangat tipis.
d. Masalah pernafasan
Bayi yang lahir lewat SC, cenderung mempunyai masalah pernafasan yaitu
nafas cepat dan tak teratur. Ini terjadi karena bayi tidak mengalami tekanan
saat lahir seperti bayi yang lahir alami sehingga cairan pam-parunya tidak bisa
keluar. Masalah pernafasan ini akan berlanjut sampai beberapa hari setelah
lahir.
14
e. Angka APGAR rendah
Rendahnya angka APGAR merupakan efek anastesi dari SC, kondisi bayi yang
stress menjelang lahir, atau bayi tidak distimulasi sebagaimana bayi yang lahir
lewat persalinan normal. Beberapa penelitian, bayi yang lahir SC butuh
perawatan lanjutan dan alat bantu pernafasan yang lebih tinggi dibandingkan
bayi lahir normal.
2.2 Teori Perilaku Lawrence Green
Perilaku kesehatan yaitu suatu respons seseorang terhadap stimulus atau objek
yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, sistem pelayanan kesehatan, serta
lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Perilaku menurut teori dari Lawrence Green (1980)
yang membedakan masalah kesehatan menjadi 2 determinan yaitu faktor perilaku dan non
perilaku. Untuk faktor perilaku sendiri bertujuan untuk mendorong terjadinya perubahan
perilaku pada setiap individu.
Berdasarkan teori dari Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003),
tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan seperti keputusan
memilih proses persalinan, maka dapat dibuat suatu kerangka teori yang dapat
menggambarkan setiap komponen yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut. Green
membagi faktor perilaku menjadi 3 faktor utama yaitu faktor predisposisi, pemungkin
dan penguat.
Faktor predisposisi (predisposing factors), merupakan faktor antesenden
terhadap perilaku yang menjadi dasar motivasi bagi pelaku yang masuk dalam faktor
ini adalah pendidikan, pengetahuan, dan faktor-faktor lainnya yang mendukung
keputusan ibu seperti faktor usia, paritas, faktor kecemasan persalinan normal dan
kepercayaan.
15
Faktor pemungkin (enabling factors), adaiah faktor antesenden terhadap
perilaku yang rnemungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Faktor ini
terwujud dalam biaya, dimana sumber biaya berasal dari pendapatan keluarga atau
biaya sendiri, yang dibandingkan dengan biaya persalinan normal biaya SC jauh lebih
tinggi (Kasdu, 2003). Dalam biaya persalinan yang relatif tinggi tidak menjadi masalah
bagi kaum ibu hamil yang berkunjung ke RSU. BROS karena sudah merupakan trend
bagi masyarakat golongan ekonomi menengah keatas yang melakukan persalinan SC
di BROS. Keadaan ekonomi atau kondisi ekonomi keluarga yang tinggi mendorong
ibu untuk melakukan persalinan SC karena kelurga merasa mampu dalam memenuhi
kebutuhannya dan kemudahan untuk mencapainya. Kejadian melahirkan melalui SC
hampir dilakukan oleh wanita dengan latar belakang sosio ekonomi tinggi serta
memiliki akses antenatal yang baik (Niino, 2011).
Faktor penguat (reinforcing factors), adalah faktor yang menentukan apakah
tindakan kesehatan memperoleh dukungan atau tidak. Sumber penguat tentu saja
tergantung pada tujuan dan jenis program. Faktor ini terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat. Termasuk dalam faktor ini adalah petugas kesehatan/tenaga
medis yang dapat mempengaruhi ibu di dalam pengambilan keputusan untuk memilih
persalinan SC. Selain itu kesepakatan dari suami, kerjasama ini juga dibutuhkan dalam
pemilihan proses persalinan nantinya. Dimana proses tersebut disepakati dan disetujui
oleh suami dan istri (Kasdu, 2003).
Green menyatakan bahwa pendidikan kesehatan mempunyai peranan penting
dalam mengubah dan menguatkan ketiga kelompok faktor itu agar searah dengan
tujuan kegiatan sehingga menimbulkan perilaku positif dari masyarakat terhadap
program tersebut dan terhadap kesehatan pada umumnya.
16
2.3 Faktor Penyebab dilakukannya Tindakan Sectio Caesar (SC)
Adapun penyebab dilakukannya operasi SC menurut Oxorn, 2010 adalah :
A. Faktor Medis (Ibu dan Janin)
1. Locus Menorus Resisten (LMR)/Persalinan sebelumnya dengan operasi SC
Persalinan melalui bedah SC sebenarnya tidak mempengaruhi persalinan
selanjutnya harus berlangsung secara operasi atau tidak. Umumnya operasi SC
dilakukan lagi pada persalinan kedua apabila operasi sebelumnya menggunakn
sayatan vertical (corporal).
2. Ketuban pecah dini
Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya, yang dapat menyebabkan bayi
harus segera dilahirkan. Dalam kejadian ini diperlukan tindakan yang cepat
untuk mencegah masuknya bakteri lewat vagina, agar tidak akan menyebabkan
infeksi pada ibu hamil dan janin di dalam kandungannya.
3. Gawat Janin
Gawat janin terjadi apabila gangguan pada ari-ari dan gangguan pada tali pusat
sehingga jatah oksigen yang disalurkan ke bayi menjadi berkurang. Akibatnya,
janin akan tercekik karena kehabisan napas dan menyebabkan janin mengalami
kerusakan otak, bahkan meninggal dalam rahim. Oleh sebab itu tindakan
dengan operasi SC harus segera dilakukan.
4. Kelainan Letak Janin
Keadaan janin sungsang dan melintang atau miring menyebabkan poros janin
tidak sesuai dengan jalan lahir. Letak lintang biasanya karena adanya kelainan
bentuk rahimnya. Sehingga jalan lahir normal tidak bisa dilewati, oleh karena
itu dilakukan tindakan SC.
17
5. Bayi dengan Berat Badan Besar atau Bayi Kembar
Berat bayi lahir sekitar 4.000 gram atau lebih, menyebabkan sulit keluar dari
jalan lahir. Selain itu, janin dengan berat badan kurang (<2,5 kg), lahir
prematur, dan dismatur (intrauterine growth retardation) atau pertumbuhan
janin terhambat, dianjurkan untuk dilakukannya SC.
6. Faktor Kelainan pada Tali Pusat
Lilitan tali pusat ke tubuh janin berbahaya jika kondisi tali pusat terjepit atau
terpelintir, yang menyebabkan aliran oksigen dan nutrisi ke tubuh janin tidak
lancar. Pada keadaan ini persalinan SC menjadi salah satu solusinya.
7. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang kaku sehingga
tidak memungkinkan adanya pembukaan, adanya tumor, dan kelainan bawaan
jalan lahir, tali pusat pendek, dan ibu sulit bernapas. Keadaan ini menyebabkan
persalinan terhambat atau macet, yang biasa disebut distosia. Setelah
menunggu dan tidak ada perkembangan untuk dilakukan persalinan secara
normal maka akan dilakukan segera tindakan operasi SC.
8. Tulang Panggul
Cephalopelvic disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak
dapat melahirkan secara alami, sehingga proses melahirkan SC dilakukan.
B. Faktor Non Medis
Sesuai dengan Teori Lawrence Green (1980) yang mengaitkan faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, seperti keputusan untuk memilih
metode persalinan pada ibu hamil.
18
Adapun faktor perilaku menurut Lawrence Green yang menjadi dasar
motivasi ibu untuk memilih proses persalinan SC tanpa indikasi medis yaitu faktor
pengetahuan, pendidikan, sikap, dan faktor-faktor lainnya yang mendukung
keputusan ibu seperti faktor usia, paritas, faktor kecemasan persalinan normal dan
kepercayaan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ibu memilih persalinan SC tanpa
indikasi medis. Faktor dari masing-masing individu berbeda-beda (Kasdu, 2003).
Alasan non medis disini yaitu adanya SC karena ada permintaan khusus dari pasien
yang tidak memiliki gangguan atau resiko tinggi dalam persalinan secara normal.
Adapun beberapa faktornya yaitu sebagai berikut :
1. Faktor Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil "tahu", pengetahuan terjadi setelah orang
melakukan penginderaan baik melalui indra pengelihatan, pendengaran,
penciuman, perasa dan indra peraba terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003).
Dari hasil penelitian Salfariani & Saidah (2012) didapatkan bahwa
faktor pengetahuan yang mempengaruhi ibu memilih persalinan dengan
metode SC tanpa indikasi medis yaitu sebesar (81,8%), yang juga sejalan
dengan penelitian (Suhartatik, 2014) yang meyatakan ada pengaruh
pengetahuan ibu hamil di dalam memilih persalinan SC (p=0,016). Dan hasil
penelitian Purnawati Eka (2009) dikatakan bahwa terdapat hubungan yang
19
bermakna antara pengetahuan ibu hamil dengan sikap ibu hamil memilih
persalinan secara SC.
Semakin tinggi pengetahuan ibu maka semakin luas pandangan ibu
dalam memilih proses persalinan yang tepat (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan ibu hamil tentang persalinan sangatlah penting. Hal ini akan
berdampak pada pemeliharaan kehamilan dan pengambilan keputusan
persalinan pada akhir kehamilannya (Salfariani, 2012). Meningkatnya
kecenderungan wanita melahirkan dengan operasi berhubung dengan semakin
meningkatnya perhatian mereka terhadap kehamilannya (Kasdu, 2003).
Pengetahuan ibu hamil sangat penting untuk dapat menentukan proses
persalinan yang tepat, karena semakin baik pengetahuan ibu tentang risiko
persalinans semakin besar pula sikap ibu untuk memilih proses persalinan
normal yang risikonya lebih rendah dari pada persalinan SC (Nunung, 2009).
Dari hasil penelitian Purnawati Eka Lestari (2009) dikatakan bahwa sebagian
besar ibu hamil yang pengetahuan tentang risiko persalinan baik lebih memilih
persalinan normal daripada persalinan secara SC, sedangkan sebagian besar
ibu hamil yang pengethauannya kurang lebih memilih persalinan secara SC
meskipun ada beberapa yang pengetahuannya baik juga lebih memilih
persalinan SC.
2. Pendidikan
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003,
jenjang pendidikan terdiri atas jenjang pendidikan formal dan informal.
Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan
landasan seseorang dalam berbuat sesuatu. Notoatmodjo (2003) juga
menyatakan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin
20
banyak bahan, materi atau pengetahuan yang diperoleh untuk mencapai
perubahan tingkah laku yang baik. Berbagai penelitian melaporkan adanya
hubungan positif antara pendidikan dengan proses persalinan secara SC
(Mubarak, 2006).
Hasil penelitian Suhartatik (2014) dikatakan adanya pengaruh
pendidikan ibu hamil di dalam memilih persalinan SC bahwa (p= 0,031), yang
sejalan dengan penelitian Gomes (1999) yang memperoleh hasil bahwa tingkat
pendidikan ibu berpengaruh terhadap persalinan melalui SC, penelitian ini
sejalan dengan penelitian Rivo (2012) dimana ibu yang berpendidikan tinggi
memiliki kemungkinan 1,17 kali untuk melahirkan melalui SC dibanding ibu
yang berpendidikan rendah, meskipun tanpa indikasi medis (OR=1,17). Spetz
et al (2001), juga memperoleh adanya pengaruh tingkat pendidikan terhadap
pengambilan keputusan seorang ibu untuk melakukan persalinan melalui SC
(dalam Andree 2006). Dari hasil penelitian Salfariani & Saidah (2012)
menyatakan bahwa pendidikan responden yang mayoritas tinggi dapat
mempengaruhi pengetahuan dalam pembentukan sikap mereka tentang
memilih persalinan dengan tindakan SC tanpa indikasi medis.
Ibu dengan tingkat pendidikan lebih tinggi cenderung lebih
memperhatikan kesehatannya selama kehamilan bila dibandingkan dengan ibu
yang tingkat pendidikannya lebih rendah (Kasdu, 2003). Pendidikan responden
yang mayoritas tinggi dapat mempengaruhi pengetahuan dalam pembentukan
sikap mereka tentang tindakan SC (Suhartatik, 2014).
3. Usia Ibu
Menurut Prawirohardjo (2005) dalam kurun reproduksi sehat dikenal
bahwa usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Ibu yang
21
melahirkan untuk pertama kali pada usia sekitar 35 tahun, memiliki resiko
melahirkan dengan operasi. Apalagi pada wanita dengan usia 40 tabun ke atas.
Pada usia ini, biasanya seseorang memiliki penyakit yang beresiko, misalnya
tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kencing manis, dan preeklamsi. Hasil
penelitian dikatakan bahwa usia ibu (<20 tahun dan >35 tahun) lebih berisiko
terhadap tindakan persalinan SC dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia
21-34 tahun. Hal ini karena wanita dengan usia <20 tahun rahim dan panggul
belum berkembang dengan baik, sehingga dapat menimbulkan kesulitan
persalinan (Depkes RI,2003).
Umur reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah 20-30 tahun, dibawah dan
diatas umur tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan dan persalinan.
Kehamilan diatas umur 35 tahun mempunyai risiko 3 kali lebih besar terjadinya
persalinan SC dibandingkan dengar umur dibawah 35 tahun (Kasdu, 2003).
Herstad et al (2012) memperoleh ada hubungan yang sangat kuat antara
umur ibu dengan persalinan SC, sama seperti penelitian Gomes et al dalam
Andree (2006), yang menemukan kelompok umur >35 tahun memiliki peluang
3,4 kali untuk melahirkan melalui SC. Dalam hasil penelitian Isti Mulyawati
(2010) juga dikatakan bahwa ada hubungan antara usia ibu hamil dengan
persalinan metode SC (p= 0,022). Hasil dalam penelitian Rivo (2012)
menyatakan bahwa angka persalinan SC pada ibu tanpa indkasi medis di
Indonesia paling tinggi ditemukan pada kelompok umur >35 tahun (13,3%).
Sedangkan pada kelompok umur 20-34 tahun dan <20 tahun adalah sebesar
12,5% dan 8,3%.
22
4. Paritas
Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami wanita
(Maimunah, 2005). Paritas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap tindakan SC. Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan baik
lahir hidup maupun lahir mati (Kiki Amelia, 2012). Paritas digolongkan
menjadi 3 bagian yaitu ;
1) Golongan primipara adalah ibu dengan paritas 1,
2) Golongan multipara adalah ibu dengan paritas 2 –4,
3) Golongan grande multipara yaitu paritas lebih dari 4.
(Wiknjosastro, 2005)
Paritas menunjukan jumlah kehamilan terdahulu yang telah mencapai
batas viabilitas dan tidak melihat janinnya hidup atau mati saat dilahirkan
serta tanpa mengingat jumlah anaknya. Artinya kelahiran anak kembar 3
hannya dihitung 1 paritas (Oxorn, 2010). Persalinan lebih dari 4 kali akan
menjadi faktor risiko bagi ibu selama kehamilan, persalinan dan nifas
(Depkes, 2004).
Menurut kasdu (2003), risiko untuk terjadinya persalinan SC pada
primipara 2 kali lebih besar daripada multipara. Menurut Wiknjosastro
(2007), paritas yang paling aman adalah paritas 2–3. Paritas 1 dan paritas lebih
dari 3 mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi
oleh kematangan dan penurunan fungsi organ –organ persalinan. Paritas tinggi
(>3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas
lebih tinggi kematian maternal.
Dalam hasil penelitian Isti Mulyawati (2010), dikatakan bahwa ada
hubungan antara paritas ibu hamil dengan persalinan metode SC (p=0,001).
23
Adapun penelitian lain yang mendukung, dikatakan hasil penelitian Dewi
Andriani (2012), bahwa faktor yang berhubungan dengan tindakan SC adalah
paritas ibu (p<0,05). Pada penelitian Rivo (2012), yang mengatakan hasil
penelitian bahwa kelompok paritas primipara memiliki risiko 1,15 kali untuk
melahirkan melalui SC tanpa indikasi medis dibanding kelompok multipara
(OR =1,15). Yang artinya tingkat keeratan hubungan paritas ibu dengan
persalinan operasi SC adalah cukup kuat. Hal ini sesuai teori yang menyatakan
bahwa seorang ibu yang sering melahirkan mempunyai risiko mengalami
komplikasi persalinan pada kehamilan berikutnya. Menurut Notoatmodjo
(2002), bahwa pengalaman itu merupakan sumber pengetahuan, atau
pengalaman
merupakan
suatu
cara
untuk
memperoleh
kebenaran
pengetahuan.
5.
Kecemasan Persalinan Normal
Cemas adalah respon emosional terhadap penilaian individu subjektif,
yang dipengaruhi alam sadar dan tidak diketahui secara khusus penyebabnya
(Dalami, 2009). Cemas pada individu dapat memberikan motivasi untuk
mencapai sesuatu dan merupakan sumber penting dalam usaha memelihara
keseimbangan hidup (Suliswati dalam Jenny, 2010). Menurut Abe Arkoff
dalam buku Kesehatan Mental dalam Kehidupan, kecemasan adalah suatu
keadaan menggoncang karena adanya ancaman terhadap kesehatan (Sundari,
2005).
Umumnya seorang wanita yang melahirkan secara alami akan
mengalami proses rasa sakit, yaitu berupa rasa mulas disertai rasa sakit
pinggang dan pangkal paha yang semakin kuat dan "menggigit". Kondisi
tersebut karena keadaan yang pernah atau baru akan terjadi dan sering
24
menyebabkan seorang wanita yang akan melahirkan akan merasa takut,
khawatir, dan cemas menjalaninya. Karena kekhawatiran atau kecemasan
mengalami rasa sakit persalinan normal maka ibu memilih persalinan SC untuk
mengeluarkan bayinya (Kasdu, 2003) . Kecemasan yang berlebihan juga akan
menghambat proses persalinan alami yang berlangsung (Kasdu, 2003).
Dari hasil penelitian Salfariani & Saidah (2012) menyatakan bahwa
kecemasan terhadap persalinan normal dapat mempengaruhi pemilihan
persalinan SC tanpa indikasi medis (59,1%), penelitian ini sejalan dengan
penelitian oleh Suhartatik (2014), yang menyatakan ada pengaruh kecemasan
persalinan normal ibu hamil di dalam memilih persalinan SC (p=0,014).
Penelitian lain juga mendukung bahwa responden menyatakan meminta
persalinan SC tanpa indikasi medis karena alasan kecemasan takut dengan rasa
sakit pada persalinan spontan sehingga lebih memilih persalinan SC (96,5%)
(Sarmana, 2004).
6. Kepercayaan
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kepercayaan adalah anggapan
atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata. Harapan
dan keyakinan akan kejujuran dan kebaikan (Depdiknas, 2005). Persalinan SC
kadang dilakukan untuk alasan yang tradisional, misalnya untuk mendapatkan
hari kelahiran anak yang terbaik menurut kepercayaan (Kasdu, 2003). Menurut
Christilaw (2006), alasan pemilihan SC tanpa indikasi medis turut dipengaruhi
oleh kultur sosial budaya. Adanya keputusan pemilihan tanggal persalinan
melalui SC yang disesuaikan dengan adat budaya dan kepercayaan, meskipun
umur kehamilan belum mencapai 9 bulan (Rivo, 2012).
25
Proses persalinan SC dilakukan karena adanya kepercayaan yang
berkembang di masyarakat yang mengaitkan waktu kelahiran dengan
peruntungan nasib anak dengan harapan apabila anak dilahirkan pada tanggal
dan jam sekian maka akan memperoleh rezeki dan kehidupan yang lebih baik
(Kasdu, 2003). Operasi SC mulai memasyarakat sehingga persalinan dengan
operasi cenderung meningkat tiap tahunnya (Kasdu, 2003).
Salfariani (2012) menyatakan faktor kepercayaan (54,5%) yang merupakan
faktor yang mempengaruhi ibu memilih persalinan SC tanpa indikasi medis.
Penelitian Mei Munah Br.Sembiring (2014), juga menyatakan hasil
penelitiannya dimana permintaan persalinan SC tanpa indikasi medis oleh
karena faktor kebudayaan (14,3%). Dan adapun penelitian dari Meinar
Bagindo (2015) menyatakan bahwa ada hubungan antara kepercayaan dengan
keputusan pemilihan persalinan SC (p=0,003). Hal ini berarti bahwa
kepercayaan yang dianut oleh responden dapat menentukan keputusan untuk
pemilihan persalinan SC secara non medis.
2.4 Konsep Pengambilan Keputusan
A. Pengertian Keputusan
Keputusan adalah suatu reaksi terhadap beberapa solusi alternatif yang
dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan-kemungkinan
dari alternatif–alternatif tersebut bersama konsekuensinya (Salfariani, 2012).
B. Langkah-Langkah Pengambilan Keputusun
Berdasarkan teori pengambilan keputusan, maka relevansinya
dengan pengambilan keputusan pada ibu hamil dalam pemilihan proses
persalinan didasari dalam beberapa hal, antara lain (Rivai, 2004):
26
1. Berdasarkan pemikiran yang rasional, tentang pentingnya memilih proses
persalinan yang tepat dan tidak menimbulkan masalah lain berdasarkan
kemampuan pikirannya dan berdasarkan studi empiris yang ada mengenai
pemilihan persalinan SC;
2. Berdasarkan perasaan, yaitu suatu proses tak sadar yang diciptakan dari
dalam pengalaman yang terasing. Instuisi ini berjalan beriringan atau saling
melengkapi dengan analisis rasional. Intuisi adalah kekuatan di luar indera
atau indera keenam. Yang merupakan perasaan pada ibu hamil untuk berani
atau takut untuk memilih persalinan SC
3. Berdasarkan pilihan yang ada yaitu adanya pertimbangan-pertimbangan
membuat pilihan alternatif lain setelah mengaji untung ruginya. Seperti
untung ruginya dilakukan persalinan SC.
4. Berdasarkan perbedaan budaya/kepercayaan, yaitu adanya perbedaan latar
belakang budaya yang di anut sehingga keputusan ibu hamil yang di ambil
didasari oleh norma, kaedah, dan adat istiadat yang ada untuk menentukan
pilihan didalam memilih persalinan SC yang tanpa indikasi medis.
Menurut Rahmat (2005), meskipun masih banyak yang dapat diungkapkan
tentang proses penetapan keputusan. Tapi telah disepakati, bahwa faktor-faktor
personal amat menentukan apa yang diputuskan itu. Seperti keputusan ibu hamil
untuk memilih persalinan dengan metode SC tanpa indikasi medis yang
merupakan suatu reaksi, tanggapan dan sikap ibu hamil terhadap informasi yang
didapatnya untuk memutuskan pilihan tentang memilih persalinan normal atau SC.
Download