PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM PROMOTING SMEs GREEN INDUSTRIES Hasan Jauhari Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pengembangan Iklim Usaha dan Kemitraan Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 3-5 Jakarta Email: [email protected] Dikirim 21 November 2014, diedit 25 November 2014, disetujui 1 Desember 2014 Abstrak Tulisan ini menggali konsep industri hijau UKM dan upaya yang perlu dilakukan untuk mengembangkannya. UKM memiliki peran penting untuk mengambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dengan terlibat dalam industri hijau. Mengingat ukuran UKM secara alami sangat kecil, tidak ada kebijakan pengembangan industri hijau akan berhasil kecuali UKM aktif dan bersedia berpartisipasi dalam program industri hijau. Selanjutnya, banyak teknologi dan program dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan keterlibatan bisnis UKM dalam untuk menjadi pelaku bisnis yang ramah lingkungan. Kebijakan ini meliputi kebijakan dari sisi permintaan yang akan memudahkan UKM menjadi pengguna teknologi dan produk ramah lingkungan, serta kebijakan dari sisi penawaran yang akan membantu UKM mengembangkan dan memasarkan teknologi dan produk ramah lingkungan. Selain itu, kerjasama internasional bisa menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya dalam pemberdayaan industri hijau UKM di Indonesia. kata kunci: industri hijau, kebijakan pendukung, dan kerjasama internasional. Abstract This article explores the concept and the relevant initiative necessary to foster Gren SMEs. SMEs have an important role to take part in green growth by engaging in green industry. Since the size of SME by nature is so small, no green policies will be successful unless SMEs actively and willingly participate in green programs. Further, many of the technologies and support programs are necessary to successfully transform SMEs business engagement into green These policies include demand-side policies which will facilitate SMEs becoming users of green technologies and products, as well as supply-side policies which will assist SMEs develop and market green technologies and products. Furthermore,international cooperation could be one way of accelerating on the fostering of green SMEs industries in Indonesia. Pendahuluan Industri hijau adalah industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya daya secara berkelanjutan, sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberi manfaat bagi masyarakat (Kementerian Perindustrian, 2014). Pengembangan industri hijau pada 13 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 dasarnya baik langsung atau tidak langsung terkait dengan upaya pelestarian lingkungan hidup. Urgensi pengembangan industri ramah lingkungan tidak terlepas dari fakta bahwa kerusakan lingkungan di Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya akibat kegiatan manusia cukup mengkhawatirkan. Keseriusan Indonesia untuk menyelamatkan lingkungan hidup tercermin dari besarnya sanksi bagi perbuatan yang merusak lingkungan sebagimana tertuang dalam pasal 98 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup yang memberikan sanksi pidana kepada setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Laju deforestasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21% dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang. Hilangnya hutan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa bencana alam, dan terancamnya kelestarian hektar terumbu karang di Indonesia mengalami kerusakan. Kerusakan terumbu karang meningkatkan resiko bencana terhadap daerah pesisir, mengancam keanekaragaman hayati laut, dan menurunkan produksi perikanan laut. Akibat degradasi lingkungan telah menghadapkan umat manusia pada risiko bencana alam dengan dampak kerugian yang sangat besar yang disebabkannya. Sebagai ilustrasi badai Sandy yang menerpa Amerika Serikat sebagai negara yang super siaga terhadap bencana musiman, telah menyebabkan kerugian sebesar 75 miliar dolar (Kim, 2013). Apabila konsep pertumbuhan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia 14 mengikuti konsep pertumbuhan ekonomi yang dilaksanakan negara maju, maka total emisi gas rumah kaca (GRK) diyakini akan meningkat cukup drastis dan cepat. Kekhawatiran ini cukup beralasan dengan makin meningkatnya kapasitas dan kontribusi negara berkembang pada perekonomian global pada beberapa tahun terakhir. Dampak sosial dan ekonomi dari penurunan kualitas lingkungan merupakan tantangan serius yang dihadapi negara berkembang mengingat ketergantungan mereka pada sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi dan kerentanan terhadap energi, makanan, air bersih, perubahan iklim dan risiko cuaca ekstrim. Perubahan iklim yang terjadi sejak beberapa dekade yang lalu, sangat mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia (Ramadhan, 2011). Menyadari kerusakan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini, maka pertumbuhan ekonomi berbasis industri yang ramah lingkungan saat ini mendapat memontem di seluruh dunia, sebagai solusi untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial melalui upaya mencegah degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan menyiratkan perlunya sinergitas pengembangan industri yang menjamin kinerja ekonomi dan kelestarian lingkungan. Upaya bersama antar negara semakin kuat untuk merubah orientasi kebijakan pembangunan kearah yang lebih ramah terhadap lingkungan. Berbagai kesepakatan baik yang bersifat sukarela maupun mengikat telah dilakukan oleh banyak negara. Upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan menuntut pelibatan semua sektor termasuk yang tradisional untuk mendukung dan terlibat dalam transisi untuk merubah kesadaran, orientasi, kemampuan, kebijakan dan ketersediaan sumberdaya mendukung pembangunan berwawasan lingkungan, baik produsen maupun konsumen, untuk mengambil bagian PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) terhadap praktek-praktek dalam kehidupan yang berorientasi pada upaya menjamin berkelanjutan. Namun, dalam pengembangan industri hijau selalu ada tarik menarik (trade-off) antara kepentingan ekonomi jangka pendek dengan upaya pelestarian lingkungan yang berdampak jangka panjang. Para pelaku bisnis mungkin akan melakukan upaya berebut peluang antara menikmati manfaat ekonomi jangka pendek yang barangkali tidak akan tersedia di masa datang atau untuk mengorbankan sumberdaya untuk pengembangan industri hijau, membangun kompetensi baru, peningkatan keterampilan baru, mentransformasi industri dengan teknologi dan cara yang baru dengan risiko keberhasilan yang belum pasti. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa industri hijau membutuhkan upaya mengadopsi teknologi baru dan model bisnis yang baru melibatkan masyarakat dan konsumen, pengembangan produk baru serta menciptakan pola baru dalam permintaan pasar, dimana konsumen perlu diberikan edukasi. Pengembangan industri hijau dengan demikian akan menuntut perubahan paradigma dalam pengembangan industri, perubahan struktural yang terkait dengan kebijakan dan yang tidak kalah pentingnya perubahan mekanisme pengalokasian sumberdaya produktif termasuk pendanaan bagi industri hijau. Manfaat penerapan industri hijau di semua sektor, termasuk oleh UKM akan membawa sehingga dapat mengurangi biaya operasi, b) pengurangan biaya pengelolaan limbah dan tambahan pendapatan dari produk hasil samping, c) meningkatkan image perusahaan, d) meningkatkan kinerja perusahaan, e) memperregulasi, g) terbukanya peluang pasar baru, h) menjaga kelestarian fungsi lingkungan (Kementerian Perindustrian, 2012). Industri hijau di kalangan UKM tentu akan berhasil dikembangkan secara berhasil guna manakala tercipta kebijakan yang kondusif, baik dalam bentuk pengaturan maupun pemberdayaan, partisipasi sektor industri termasuk UKM, kesadaran dan kemauan konsumen untuk merubah orientasi konsumsinya. Industri hijau sebagai bagian dari upaya pelestarian lingkungan adalah bersifat global, karena sesungguhnya isu lingkungan tidak mengenal batas negara, maka menjadi tangggungjawab semua untuk mengambil bagian sesuai dengan kapasitasnya. Dalam kaitan ini kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau sudah menjadi sebuah keniscayaan. Konsepsi Industri Hijau UKM Usaha berskala kecil memiliki karakter yang unik dari beberapa aspek seperti padat karya, jumlahnya yang sangat besar tersebar di banyak sektor, teknologi produksi sederhana, sebahagian besar beroperasi dengan cara mengeksplorasi sumberdaya alam dengan keterampilan yang turun temurun (inovasi terbatas) serta banyak karakter lain yang membedakannya dengan usaha berskala besar. Karakter usaha berskala kecil ini menjadi pertimbangan dalam upaya mendorong UKM bergerak dalam industri hijau. Menuntut UKM untuk melakukan perubahan secara mendasar dalam usahanya menjadikan usahanya menjadi industri hijau dipandang tidak bijaksana karena bisa berakibat kegagalan karena berbagai keterbatasan yang dimiliki serta keterbatasan yang melekat pada karakter usahanya. Oleh karena itu konsepsi pengembangan industri hijau UKM diorientasikan pada upaya mendorong dan memfasilitasi UKM untuk menggunakan dan atau memproduksi produk yang lebih hijau inilah yang dikenal dengan konsep Greener SMEs. Dengan demikian karakter industri UKM yang lebih hijau (Greener SMEs) tersebut (Jauhari, 2014), untuk: 1. Menggunakan atau menghasilkan produk yang lebih kecil dan atau lebih ringan dalam rangka menghemat baik sumberdaya dalam memproduksinya, 15 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 mengangkutnya dan menggunakannya (smaller and lighter). aman bagi lingkungan (zero dangerous waste and pollution). 2. Menggunakan atau menghasilkan produk yang dapat didaur ulang termasuk didalamnya katagori produk yang bisa dipakai ulang baik untuk fungsi yang sama atau fungsi lain (recycle and reuse). 3. Menggunakan atau menghasilkan produk yang komponennya dapat diisi ulang ( ). Pengembangann industri hijau UKM dengan pendekatan konsepsi seperti diuraikan diatas, diharapkan UKM mampu melakukan adaptasi dengan mudah dan dilakukan secara bertahap mempertimbangkan kemampuan dan kapasitas yang dimiliki oleh UKM. 4. Menggunakan atau menghasilkan produk ( 5. ). Menggunakan atau menghasilkan produk dengan produk samping dan limbah yang Hambatan Pengembangan Industri Hijau UKM Meskipun upaya pengembangan industri hijau di kalangan UKM konsepsinya lebih sederhana dan dilakukan dengan pendekatan dalam lingkup kemampuan dan kapasitas UKM untuk melakukan adaptasi, namun dalam implementasinya tetap saja dihadapkan pada Gambar 1. Alur Konsepsi Pengembangan Industri Hijau UKM Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 16 PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) berbagai kendala. Kendala pengembangan industri hijau di kalangan UKM perlu dipahami sebagai pertimbangan untuk mengembangkan kebijakan pemberdayaan bagi UKM. Menurut Jauhari (2014), sumber kendala, penyebab hambatan dalam pengembangan industri hijau UKM diantaranya adalah: 1. Rendahnya kesadaran pelaku UKM akan pentingnya melakukan upaya adaptasi dalam usahanya agar lebih ramah lingkungan. Kurangnya kesadaran ini sebagai konsekuensi kurangnya sosialisasi dan edukasi. Pencemaran lingkungan sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk diketahui dan membuktikannya terkait sumber pencemaran, terutama yang sifatnya kimiawi (Helmi, 2012). 2. Harga produk ramah lingkungan relatif sama sebagai konsekuensi mahalnya biaya riset dan penggunaan teknologi ramah lingkungan dan terbatasnya input produksi, sehingga biaya produksinya lebih mahal dan akibatnya daya saingnya lebih rendah. 3. Teknologi untuk industri hijau umumnya belum tersedia secara luas di pasar sehingga memerlukan inovasi yang harus dilakukan sendiri oleh perusahaan UKM. Biaya untuk melakukan inovasi seringkali juga tidak murah sehingga tidak layak dilakukan pada skala UKM. 4. Perilaku konsumen yang belum sepenuhnya menggemari produk ramah lingkungan karena pengetahuan dan kesadaran yang masih kurang. Produk ramah lingkungan di mata konsumen sering kali juga kalah menarik dibandingkan dengan produk pada umumnya. 5. Perilaku produsen yang kurang tanggap terhadap upaya adaptasi ke arah pengembangan industri hijau sebagai akibat dari situasi dimana mereka menghadapi persaingan usaha yang ketat, berorientasi untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dalam rangka menjadi usahanya, sehingga seringkali juga mengabaikan upaya pelestarian lingkungan. Hambatan yang dialami UKM dalam mengembangkan industri hijau sudah barang tentu sulit untuk dipecahkan melalui mekanisme pasar, apalagi harus dipecahkan sendiri masalahnya oleh UKM. Pendekatan secara kelembagaan dalam memberdayakan UKM mengembangkan industri hijau menjadi hal yang perlu dilakukan. Kelembagaan yang dimaksud mencakup aturan main pengembangan industri hijau UKM, mulai dari perangkat pengaturan, kebijakan pemberdayaan, instansi yang bertanggungjawab, wadah pengembangan, perencanaan program dan alokasi sumberdaya. Kasus UKM yang bergerak di industri tahu rumahan merupakan ilustrasi bagaimana pencemaran limbah pabrik tahu mengakibatkan rusaknya kualitas lingkungan perairan. Rusaknya lingkungan akibat limbah pabrik tahu yang berdampak buruk terhadap kehidupan ekosistem sangat merugikan kualitas mutu air serta manfaatnya. Limbah tahu membawa akibat bagi lingkungan, karena mempunyai bahan–bahan berbahaya yang dibuang ke perairan seperti limbah berbahaya dan beracun. Jika pencemaran limbah tahu dibiarkan terus menerus, maka kelangsungan hidup ekosistem diperairan pun semakin terancam (Jessy, 2013). Upaya mengatasi akibat buruk dari industri rumahan seperti ini tentu tidak sederhana, karena diperlukan bukan saja aturan tetapi upaya pemberdayaan. Alasan Melibatkan UKM dalam Industri Hijau Terkait dengan pengembangan industri hijau oleh pelaku usaha, ada tiga faktor yang menjadi pendorongnya yaitu, a) adanya kesadaran akan pentingnya secara sukarela bagi pelaku industri mengembangkan industri yang ramah lingkungan, b) adanya 17 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 insentif ekonomi yang cukup besar karena tumbuhnya permintaan akan produk yang ramah lingkungan dan c) adanya aturan tentang pelestarian lingkungan yang boleh jadi membatasi industri untuk melakukan usaha yang merusak lingkungan dan harus menggantinya dengan industri yang ramah lingkungan (Jauhari, 2014). Bagi pengusaha berskala besar relatif mudah bagi mereka untuk melakukan penyesuaian terhadap tuntutan pengembangan industri hijau baik karena tumbuhnya kesadaran, kemampuan melihat peluang maupun kemampuan untuk mentaati peraturan perundangan yang mengharuskan perusahaan melakukan penyesuaian diri terhadap tuntutan pelestarian lingkungan. Bagi perusahaan berskala besar cukup mudah untuk menyisihkan sebahagian keuntungannya untuk mengembangkan program CSR yang kerap diimplementasikan sebagai bagian dari kepedulian perusahaan besar melibatkan masyarakat melestarikan lingkungan. Pemanfaatan CSR dalam pelestarian lingkungan hidup bisa dilakukan dalam berbagai hal seperti pembiayaan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup, pengelolaan sampah dan lain sebagainya (Kementerian Lingkungan Hidup, 2012). Bagi usaha berskala kecil keterlibatannya dalam pengembangan industri hijau lebih mendesak karena usaha berskala kecil secara umum selain memberikan tekanan lebih besar terhadap lingkungan juga karena jumlah pelakunya yang sangat banyak. Mengabaikan keterlibatan usaha bersakal kecil dalam program pelestarian lingkungan berisiko lebih besar terhadap proses degradasi lingkungan. Secara lebih rinci alasan perlunya keterlibatan usaha berskala kecil dalam pengembangan industri hijau didasarkan pada alasan yang bersifat universal sebagai berikut (Jauhari,2014): 1. 18 Usaha berskala kecil banyak yang bergerak di sektor yang mengeksplorasi sumber daya alam dengan cara-cara berproduksi yang kurang peduli terhadap kelestarian lingkungan. Dengan demikian usaha berskala kecil memberi tekanan berat kepada lingkungan baik melalui eksplorasi sumber daya yang berlebihan, pembuangan limbah, penggunaan bahan pengawet berbahaya dan lain-lain. 2. Usaha berskala kecil umumnya lambat beradaptasi terhadap upaya pelestarian lingkungan boleh jadi karena tidak tersedianya sumber daya dan teknologi yang bisa diakses oleh usaha berskala kecil. 3. Usaha berskala kecil kurang sadar akibat buruk yang ditanggung oleh lingkungan. Karena memang dampak perusahaan terhadap lingkungan acapkali bersifat jangka panjang. 4. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan relatif mahal dan memerlukan penelitian dan inovasi. Usaha berskala kecil memiliki kemampuan yang terbatas untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan. 5. Keuntungan jangka pendek seringkali menjadi pertimbangan bisnis usaha berskala kecil. Melakukan adaptasi ke dalam industri hijau yang belum tentu memiliki prospek yang bagus, membuat usaha berskala kecil terkonsentrasi menggeluti bisnis yang sudah biasa mereka lakukan. 6. Produk ramah lingkungan secara umum tidak lebih menarik dimata konsumen dibandingkan dengan produk pada umumnya, baik dari segi fungsi, bentuk maupun rasanya. Oleh karena itu prospek bisnis industri hijau sangat tergantung kepada kesadaran konsumen akan pentingnya menggunakan dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan. Dalam kaitan ini edukasi memegang peran penting untuk mempengaruhi konsumen untuk mau menggunakan produk ramah lingkungan. Upaya mengedukasi konsumen selayaknya juga diikuti oleh PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) 7. kemauan semua sektor usaha untuk menghasilkan produk ramah lingkungan. Strategi Dasar Pengembangan Industri Hijau UKM Kesepakatan internasional dalam penyelamatan lingkungan sebagai konsekuensi dari ketiadaan batas negara terkait dengan bencana yang timbul akibat kerusakan lingkungan. Banyak negara sepakat untuk menggalang usaha bersama dalam pelestarian lingkungan termasuk memberdayakan UKM agar mampu melakukan adaptasi. Kerjasama Eropa dan Asia yang tergabung dalam Asia and Europe Meeting (ASEM) dan Asia(APEC), dimana Indonesia sebagai anggotanya aktif mengembangkan kerjasama untuk mengembangkan Green SMEs. Mempertimbangkan karakteristik, keterbatasan, kelemahan serta hambatan UKM dalam mengembangkan industri hijau, maka pendekatan yang perlu dilakukan untuk melibatkan UKM dalam industri hijau adalah dengan pendekatan strategi dasar sebagai berikut: Usaha kecil Indonesia yang sebagian bergerak di sektor berbasis sumberdaya alam seperti di sektor pertanian memiliki pengaruh yang besar terhadap kelestarian lingkungan, demikian juga pada sektor industri pengolahan. Pengembangan industri UKM melalui pengembangan kesadaran dan pengaturan boleh jadi masih sulit, oleh karena itu pemberdayaan dan insentif ekonomis boleh jadi lebih mudah untuk menarik partisipasi UKM dalam mengembangkan industri hijau. Beberapa contoh industri hijau UKM yang memiliki prospek ekonomi seperti kopi organik, produk hortikultura organik, batik dengan pewarna alam serta banyak lagi produk yang menggunakan bahan limbah industri. Secara umum UKM memiliki peluang ekonomis untuk bergerak dalam industri hijau melalui berbagai cara seperti terlibat dalam yang didukung oleh kegiatan inovasi atau menghasilkan komponen industri hijau yang dibutuhkan oleh perusahaan multi nasional. Bila mana tidak mampu melakukan proses produksi produk ramah lingkungan, UKM dapat bergerak dalam bisnis produk-produk ramah lingkungan sebagai distributor, agen atau pengecer (Koo,2010). 1. UKM diarahkan untuk menghasilkan produk ramah lingkungan yang memiliki pasar yang potensial. Hal ini dilakukan agar menjamin kelangsungan usaha UKM. Dengan pendekatan ini orientasi pasar menjadi pertimbangan utama. Bilamana pasar belum berkembang, maka pemerintah dan pihak-pihak lain dihimbau untuk melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan produk yang ramah lingkungan. 2. Pengembangan industri hijau diprioritaskan dalam kapasitas UKM. Pengembangan industri hijau UKM dimulai dari tahapan yang mudah dilakukan oleh UKM seperti melakukan proses produksi bersih. Bila mana UKM memiliki kemampuan yang memadai, maka mereka didorong untuk melakukan inovasi. 3. Ketersediaan sumber daya, menjadi pertimbangan dalam mendorong industri hijau UKM dengan pertimbangan kesinambungan usaha, akses terhadap sumberdaya lokal. Pengembangan industri hijau di sektor pertanian organik dengan konsep zero waste adalah contoh industri yang berbasisi sumberdaya lokal. Sumberdaya produktif yang juga tidak kalah pentingnya adalah sumber pembiayaan bagi pengembangan teknologi ramah lingkungan. Malaysia sebagai contoh pada tahun 2010 mengalokasikan dana sebesar 1,5 miliar ringgit untuk Green Financing Sheme (Williams, 2011). 19 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 4. 5. Transfer teknologi merupakan cara cepat bagi UKM untuk dapat mengimplementasikan teknologi ramah lingkungan. Pengembangan teknologi ramah lingkungan relatif sulit dilakukan pada skala UKM, oleh karenanya dinegara maju sekalipun pemerintah menyediakan insentif yang sangat besar dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan. Transfer teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang seperti Indonesia sangat dimungkinkan untuik dipakai oleh UKM. Pembangkit tenaga listrik bertenaga surya, air dan angin sudah banyak dikembangkan di banyak negata maju. Melalui transfer teknologi UKM Indonesia memiliki kesempatan yang besar untuk memanfatkan teknologi ramah lingkungan. Perlu diketahui bahwa salah satu agenda kerjasama internasional di bidang UKM adalah dalam hal transfer teknologi yang perlu dimanfaatkan oleh Indonesia. APEC telah memprakarsai pembentukan APEC Green Tecknology Network Platform sebagai uapaya mengembangkan jejaring untuk mengembangkan teknologi hijau antar UKM di kawaqsan APEC. Kemitraan (business partnership) adalah cara lain untuk memastikan bahwa industri hijau UKM dapat berkembang dengan cara mengembangkan kolaborasi antar pelaku usaha dengan kelebihan masing-masing seperti sumberdaya alam, modal, teknologi, manajemen dalam bentuk kerjasama bisnis yang saling menguntungkan. Istilah demand-side policy dalam pengembangan industri hijau UKM dimaksudkan agar pemerintah memberikan kemudahan dan insentif bagi UKM yang bersedia menggunakan teknologi dan bahanbahan kebutuhan produksi yang diproduksi dengan konsep ramah lingkungan. Penggunaan energi atau menggunakan energi terbarukan 20 adalah contoh dari kebijakan dari segi demand–side. Dalam konteks ini meskipun UKM belum mampu memproduksi barang yang ramah lingkungan (eco-product), paling tidak secara bertahap UKM sudah diarahkan untuk mengunakan faktor produksi yang ramah lingkungan. Sementara istilah supply-side policy dimaksudkan agar UKM didukung dengan kebijakan dan program agar mampu melakukan keseluruhan bisnisnya dengan konsep ramah lingkungan mulai dari pemanfaatan bahan baku, penggunaan teknologi, cara berproses menghasilkan produk, pengemasan, transportasi, berpromosi sampai kepada bagaimana produk dikonsumsi atau dipakai oleh konsumen. Dalam supply side ini, upaya melakukan edukasi kepada konsumen terhadap kesadarannya mengkonsumsi atau memakai produk ramah lingkungan menjadi faktor penting sebagai bagian dari sistem dalam industri hijau UKM. Satu hal yang sangat penting dipahami bahwa penyelamatan bumi dari degradasi hanya akan berhasil bila dilakukan secara bersama oleh semua komponen masyarakat tanpa ada batas negara dan profesi, karena memang isu lingkungan tanpa batas. Jaminan keberlangsungan usaha UKM dalam industri hijau menjadi pertimbangan penting dalam mendorong UKM beradaptasi dan berpartisipasi dalam pengembangan industri hijau dengan berbagai kompleksitasnya. Beberapa contoh produk dari industri UKM antara lain: Industri makanan olahan berbasis produk organik seperti kopi organik. Peralatan rumah tangga dari berbahan tanah dan kayu seperti periuk tanah, sendok kayu. Produk interior berbahan kayu dan gerabah. Produk kecantikan-herbal dan jamu, produk dari serat alam, pewarna alam, tas pandan dan bahan limbah daur ulang. Produk mainan kayu, mainan kertas dan bahan daur ulang. Produk bangunan seperti , dan desain rumah tropis minimalis hemat energi. Energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air. PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) Khusus untuk produk pertanian ramah lingkungan, Kementerian Pertanian merekomendasikan beberapa komoditas yang memiliki prospek pasar dan menjadi bagian dari program pemerintah seperti untuk tanaman pangan adalah padi organis sementara untuk sayuran organik adalah brokoli, kubis merah, petsai, caisin, bayam daun, labu siyam, cho putih, kubis tunas, oyong dan baligo. Produk buah organis nangka, durian, salak, mangga, jeruk dan manggis. Untuk perkebunan kelapa, pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan kopi. Untuk rempah-rempah dan obat adalah jahe, kunyit, temu lawak dan temuan-temuan lainnya. Sedang untuk produk peternakan adalah susu, telur dan daging. Kerjasama Internasional Pengembangan Industri Hijau UKM Tidak dapat dipungkiri bahwa semua negara mengakui posisi penting dari UKM dalam hal memberikan kontribusi dalam kesempatan kerja, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, memicu pertumbuhan ekonomi serta termasuk dalam ikut melestarikan lingkungan. Oleh karena itu adanya pengakuan atas posisi penting UKM ini telah menjadikannya sebagai salah satu aspek penting dalam pengembangan kerjasama internasional. Saat ini terdapat enam forum kerjasama internasional di bidang UKM dimana Indonesia aktif sebagai anggotanya yaitu forum APEC ( Cooperation), ASEM (ASIA and Europe Meeting), ASEAN, BIMP-EAGA serta dua forum untuk koperasi masing-masing dalam ICA (International Cooperative Alliances) dan ACEDAC (ASEAN Center for the Development of Agriculture Cooperative). Kerjasama internasional di bidang pengembangan UKM meliputi aspek pengakuan bersama atas pentingnya UKM, pertukaran informasi dan kebijakan, pertukaran kunjungan personil dan dalam sektor tertentu dikembangkan kerjasama perdagangan dan aliansi strategis. Dalam pengembangan industri hijau UKM, maka bagi Indonesia, keikutsertaan dalam forum kerjasama internasional tetap penting dan bermanfaat, karena melalui kerjasama dalam berbagai forum dapat dilakukan pertukaran informasi, kebijakan, pengalaman, pandangan dan gagasan serta berbagai kemungkinan dukungan dalam pembangunan kebijakan dan program industri hijau UKM di Indonesia. Kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau UKM yang diakomodasi oleh berbagai forum dimana Indonesia aktif sebagai anggotanya dapat ditelusuri dari berbagai aktivitas di masingmasing forum kerjasama internasional sebagai berikut: 1. Dalam forum ASEM, kerjasama pengembangan industri hijau UKM dimulai saat dilaksanakannya ASEM Forum on Green Growth and SME yang dilaksanakan di Korea Selatan pada tahun 2010. Forum ini selanjutnya merekomendasikan didirikannya ASEM Eco-Innovation Center (ASEIC) yang juga terletak di Korea Selatan. Selanjutnya pada tahun 2012 sebangai anggota ASEM, Indonesia dan Korea bekerjasama mendirikan GBC (Green Business Center) berlokasi di SME Tower Jakarta. Tujuan GBC tidak lain sebagai inkubator bagi UKM Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan industri yang ramah lingkungan. 2. Dalam forum APEC, kerjasama pengembangan industri hijau UKM dimulai setelah selesainya Deagu Initiative bagian pertama yang berfokus pada kerjasama pengembangan UKM inovatif. Kerjasama pengembangan industri hijau UKM dalam forum APEC ditandai sebagai Deagu Initiative 2nd Round. 3. Dalam forum ASEAN isu pengembangan industri hijau bagi UKM tidak terlepas sebagai konsekuensi dari keanggotaannya dalam forum ASEM dan APEC. Khusus 21 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 pada forum BIMP-EAGA pengembangan industri hijau melekat pada agenda pengembangan plagship project (proyek kerjasama antar negara). Kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau UKM belakangan cukup mendapat perhatian dalam berbagai agenda mulai dari pernyataan dari para pemimpin negara, kesepakan pada tingkat menteri sampai pada bentuk proyek bersama antar negara. Keterlibatan Indonesia dalam kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau di tanah air akan memberikan manfaat dalam hal memahami konsep pengembangan industri hijau UKM, penyususnan kebijakan pendukung serta kerjasama dalam alih teknologi ramah lingkungan bagi UKM serta membuka peluang pasar bagi produk-produk ramah lingkungan di pasar internasional. Dalam pengembangan industri hijau melalui kerjasama internasional, maka pendekatan co-incubation melibatkan lebih dari satu negara (ekonomi) merupakan usulan yang diajukan oleh Indonesia dalam forum APEC. Program co-incubation ini dimaksudkan agar dapat dilakukan kegiatan berbagi pengalaman, transfer teknologi, kemitraan usaha antar UKM serta membuka peluang investasi di sektor industri hijau UKM (APEC Secretariat, 2014). Kerangka kelembagaan co-incubators dalam kerjasama internasional yang diusulkan dalam forum APEC oleh Indonesia memiliki beberapa komponen yaitu adanya tim internasional yang terdiri dari para ahli dari lingkungan anggota ekonomi APEC Tabel 1. Inisiatif Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 22 PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) Gambar 2. Gagasan Kerangka Kerjasama APEC dalam pengembangan co-incubation. Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. dengan komposisi pengarah, pelaksana dan penasehat. Sementara pada tingkat nasional di masing-masing anggota ekonomi dibentuk tim tingkat nasional yang juga mengandung unsur pengarah, pelaksana dan penasehat. Pada tingkat operasional dikembangkan coincubator yang dioperasikan lebih dari satu institusi dan terbuka untuk partisipasi dari negara lain. GBC (Green Business Center; Co-Incubator) Sebagai wujud komitmen Indonesia dan Korea Selatan menindaklanjuti kerjasama pengembangan industri hijau dalam forum ASEM, pada tahun 2011 dibentuk Green Business Center (GBC) yang berlokasi di SME Tower, Jakarta. Pembentukan GBC ini dibiayai secara bersama oleh Indonesia dan Gambar 3. Gagasan Kerangka Kelembagaan Pengembangan co-incubation Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. 23 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 Korea Selatan baik untuk keperluan sarana, manajemen maupun operasionalisasinya. Fungsi utama GBC pada dasarnya melakukan proses inkubasi bagi UKM yang menjadi tenantnya dalam hal pengembangan teknologi ramah lingkungan, akses pembiayaan, akses pemasaran serta layanan dalam aspek legal baik berupa mendapatkan maupun terkait perizinan usaha. Melalui pemberian layanan kepada UKM Indonesia dan Korea Selatan dalam satu atap, juga diharapkan akan berkembangnya kerjasama usaha antara UKM Indonesia dangan UKM Korea Selatan. Proses seleksi bagi UKM dilakukan di Indonesia untuk calon tenant UKM Indonesia dan di Korea Selatan untuk UKM calon tenant UKM Korea Selatan. Calon tenant UKM diharuskan memaparkan pengembangan industri hijaunya di depan anggota steering committee untuk dievaluasi dengan kriteria utama pada aspek sejauhmana industri yang diajukan memiliki konsep yang ramah lingkungan. Proposal yang memenuhi syarat akan menjadi tenant GBC selama 3 tahun dan mendapatkan pelayanan sesuai dengan program yang telah dirancang oleh GBC. Dalam memberikan layanan inkubasi kepada UKM, GBC mengembangkan kerjasama dengan pusat-pusat penelitian da inkubator yang relevan dengan pengembangan industri ramah lingkungan UKM. Pada saat ini dari target sebanyak 10 tenant dari Korea Selatan dan 3 dari UKM Indonesia, jumlah tenant dari Korea Selatan baru ada 5 UKM tenant sementara dari Indonesia ada 2 UKM tenant seperti terlihat dalam tabel berikut. Tenant Korea Selatan umumnya bergerak pada bidang usaha dengan Gambar 4. Alur Proses Inkubasi bagai UKM Indonesia dan UKM Korea Selatan dalam GBC. Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 24 PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) basis inovasi teknologi sementara tenant dari Indonesia satu berbasis inovasi teknologi dan satu lagi berbasis sumberdaya alam. Meskipun penulis belum memperoleh data terkait dengan informasi kerjasama UKM dengan pelaku lain baik di dalam maupun dengan pengusaha di luar negeri, akan tetapi prospek kerjasama UKM dengan pelaku secara umum diperkirakan akan semakin besar dimasa yang akan datang sejalan dengan tumbuhnya kesadaran konsumen untuk menggunakan produk ramah lingkungan. Contoh kerjasama UKM dengan usaha lain dalam pengembangan produk pertanian organik adalah antara UKM dengan pelaku usaha dari Korea dan Taiwan yang dikembangkan melalui program OVOP di Indonesia yang dikembangkan dibawah koordinasi Deputi Pengkajian KUMKM, Kementerian Koperasi dan UKM. Kesimpulan dan Saran Pengembangan industri hijau di kalangan UKM Indonesia relatif masih baru. Dengan demikian memahami konsepsi pengembangan industri hijau UKM dengan benar akan memudahkan bagi Indonesia untuk menyusun kebijakan dan program pemberdayaan. Ada dua pendekatan pengembangan industri hijau UKM yang dilakukan oleh banyak negara dan pendekatan ini banyak diadopsi dalam berbagai forum kerjasama internasional di bidang UKM yaitu dari sisi permintaan (demand side), UKM didorong untuk menggunakan sumberdaya dan faktor produksi yang ramah lingkungan sementara dari sisi supply, UKM didorong dan difasilitasi untuk memiliki kemampuan memproduksi barang dan jasa yang ramah lingkungan. Secara konsepsi partisipasi UKM dalam industri hijau relatif lebih sederhana Tabel 2. Daftar Tenant GBC Berdasarkan Bidang Usaha pada tahun 2014 Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. 25 INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27 yang dikenal dengan istilah greener SMEs. Menggunakan faktor produksi yang ramah lingkungan saja sudah termasuk kategori greener SME. Secara bertahap UKM tentu harus didorong dan difasilitasi dalam usahanya beradaptasi menghasilkan produk yang ramah lingkungan. Konsep Greener SMEs meliputi kemauan dan kemampuan UKM untuk menggunakan atau menghasilkan produk dengan fungsi yang sama tetapi lebih ringan, lebih kecil, dapat dipakai secara berulang kali, dapat didaur ulang limbahnya serta dalam proses pembuatannya maupun dalam distribusi dan penggunaannya oleh konsumen. Secara keseluruhan, UKM dituntut untuk mempertimbangkan dampak negatif terhadap lingkungan baik dalam mengeksplorasi bahan baku, menggunakan bahan penolong, proses produksi, pencemaran lingkungan akibat limbah serta dampak negatif terhadap lingkungan setelah produk dipakai atau dikonsumsi oleh konsumen. Upaya yang perlu dilakukan dalam rangka mendorong UKM untuk menerapkan industri ramah lingkungan dalam usahanya 26 meliputi upaya untuk memberikan edukasi kepada baik produsen maupun konsumen untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan terkait pentingnya memproduksi dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan, memberikan akses yang mudah bagi UKM produsen dalam penggunaan dan atau melakukan inovasi pengembangan teknologi ramah lingkungan, menyediakan sumberdaya produktif seperti pendanaan untuk memberikan insentif bagi UKM dalam pengembangan industri hijau dikalangan UKM serta mempromosikan kepada masyarakat luas tentang penggunaan produk UKM ramah lingkungan. Pengembangan kebijakan dan program pemberdayaan yang melembaga baik dalam bentuk tersedianya aturan pengembangan industri hijau UKM, maupun alokasi pendanaan terutama dari sumber APBN baik pusat maupun daerah, pengembangan wadah yang kompeten seperti pusat penelitian dan pengembangan industri hijau UKM, penumbuhan asosiasi UKM di sektor industri hijau, menjadi agenda yang perlu untuk dipersiapkan secara terencana melibatkan partisipasi pemangku kepentingan. PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM (Hasan Jauhari) Daftar Pustaka APEC Secretaeriat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC CoIncubation Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September 2014. Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014. Jessy, Adack. 2013. Dampak Pencemaran Limbah Pabrik Tahu Terhadap Lingkungan Hidup. Lex Administratum, Vol.1/No.3/Jul-Sept/2013. Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. UU R.I No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta : CV. Tamita Utama. Kementerian Lingkungan Hidup. 2012. Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang Lingkungan. Kementerian Perindustrian. 2012. Kebijakan Pengembangan Industri Hijau. Makalah Energi di IKM. Jakarta, 27 Maret 2012. Kementerian Perindustrian. 2014. UU Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian. Kim, Jiseok. 2013. Emergence of Carbon Labeling: Why all the Troble? Paper presented at the APEC Carbon Labeling Workshop. Seoul. 3rd Desember 2-13. Koo, Jay. 2010. Opportunities for SMEs in Green Growth. Paper presented at the ASEM Forum 2010 on Green Growth and SMEs. Korea. 7-8 May 2010. Ramadhan, Harisman. 2011. Indonesia’s Green Growth Strategy For Global Initiatives: Developing A Simple Model And Indicators Of Green Fiscal Policy In Indonesia. Badan Kebijakan Fiskal. Williams, Geoffrey. 2011. Best Practices from Eco-Innovation; Examples from Malaysia. Paper presented at the ASIEC Global Forum on Eco-Innovation. Seoul. 18th November 2011. 27