13 PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM

advertisement
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
PROMOTING SMEs GREEN INDUSTRIES
Hasan Jauhari
Staf Ahli Menteri Koperasi dan UKM Bidang Pengembangan Iklim Usaha dan Kemitraan
Jalan H.R. Rasuna Said Kav. 3-5 Jakarta
Email: [email protected]
Dikirim 21 November 2014, diedit 25 November 2014, disetujui 1 Desember 2014
Abstrak
Tulisan ini menggali konsep industri hijau UKM dan upaya yang perlu dilakukan untuk
mengembangkannya. UKM memiliki peran penting untuk mengambil bagian dalam pertumbuhan
ekonomi yang ramah lingkungan dengan terlibat dalam industri hijau. Mengingat ukuran UKM
secara alami sangat kecil, tidak ada kebijakan pengembangan industri hijau akan berhasil kecuali
UKM aktif dan bersedia berpartisipasi dalam program industri hijau. Selanjutnya, banyak teknologi
dan program dukungan yang diperlukan untuk mengembangkan keterlibatan bisnis UKM dalam
untuk menjadi pelaku bisnis yang ramah lingkungan. Kebijakan ini meliputi kebijakan dari
sisi permintaan yang akan memudahkan UKM menjadi pengguna teknologi dan produk ramah
lingkungan, serta kebijakan dari sisi penawaran yang akan membantu UKM mengembangkan dan
memasarkan teknologi dan produk ramah lingkungan. Selain itu, kerjasama internasional bisa
menjadi salah satu cara untuk mempercepat upaya dalam pemberdayaan industri hijau UKM di
Indonesia.
kata kunci: industri hijau, kebijakan pendukung, dan kerjasama internasional.
Abstract
This article explores the concept and the relevant initiative necessary to foster Gren
SMEs. SMEs have an important role to take part in green growth by engaging in green industry.
Since the size of SME by nature is so small, no green policies will be successful unless SMEs
actively and willingly participate in green programs. Further, many of the technologies and
support programs are necessary to successfully transform SMEs business engagement into green
These policies include demand-side policies which will facilitate SMEs becoming users of green
technologies and products, as well as supply-side policies which will assist SMEs develop and
market green technologies and products. Furthermore,international cooperation could be one
way of accelerating on the fostering of green SMEs industries in Indonesia.
Pendahuluan
Industri hijau adalah industri yang dalam
proses produksinya mengutamakan upaya
daya secara berkelanjutan, sehingga mampu
menyelaraskan pembangunan industri dengan
kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
dapat memberi manfaat bagi masyarakat
(Kementerian Perindustrian, 2014).
Pengembangan
industri
hijau
pada
13
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
dasarnya baik langsung atau tidak langsung
terkait dengan upaya pelestarian lingkungan
hidup. Urgensi pengembangan industri ramah
lingkungan tidak terlepas dari fakta bahwa
kerusakan lingkungan di Indonesia pada
khususnya dan dunia pada umumnya akibat
kegiatan manusia cukup mengkhawatirkan.
Keseriusan Indonesia untuk menyelamatkan
lingkungan hidup tercermin dari besarnya
sanksi bagi perbuatan yang merusak lingkungan
sebagimana tertuang dalam pasal 98 UU
nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan lingkungan hidup yang
memberikan sanksi pidana kepada setiap orang
yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, di pidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan
paling banya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah) (Kementerian Lingkungan
Hidup, 2009).
Laju deforestasi di Indonesia mencapai
1,8 juta hektar/tahun yang mengakibatkan 21%
dari 133 juta hektar hutan Indonesia hilang.
Hilangnya hutan menyebabkan penurunan
kualitas lingkungan, meningkatkan peristiwa
bencana alam, dan terancamnya kelestarian
hektar terumbu karang di Indonesia mengalami
kerusakan. Kerusakan terumbu karang
meningkatkan resiko bencana terhadap daerah
pesisir, mengancam keanekaragaman hayati
laut, dan menurunkan produksi perikanan
laut. Akibat degradasi lingkungan telah
menghadapkan umat manusia pada risiko
bencana alam dengan dampak kerugian yang
sangat besar yang disebabkannya. Sebagai
ilustrasi badai Sandy yang menerpa Amerika
Serikat sebagai negara yang super siaga
terhadap bencana musiman, telah menyebabkan
kerugian sebesar 75 miliar dolar (Kim, 2013).
Apabila konsep pertumbuhan ekonomi
negara
berkembang
seperti
Indonesia
14
mengikuti konsep pertumbuhan ekonomi yang
dilaksanakan negara maju, maka total emisi gas
rumah kaca (GRK) diyakini akan meningkat
cukup drastis dan cepat. Kekhawatiran ini
cukup beralasan dengan makin meningkatnya
kapasitas dan kontribusi negara berkembang
pada perekonomian global pada beberapa
tahun terakhir. Dampak sosial dan ekonomi
dari penurunan kualitas lingkungan merupakan
tantangan serius yang dihadapi negara
berkembang mengingat ketergantungan mereka
pada sumber daya alam untuk pertumbuhan
ekonomi dan kerentanan terhadap energi,
makanan, air bersih, perubahan iklim dan
risiko cuaca ekstrim. Perubahan iklim yang
terjadi sejak beberapa dekade yang lalu, sangat
mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia
(Ramadhan, 2011).
Menyadari kerusakan lingkungan yang
terjadi akhir-akhir ini, maka pertumbuhan
ekonomi berbasis industri yang ramah
lingkungan saat ini mendapat memontem di
seluruh dunia, sebagai solusi untuk mengejar
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan
sosial melalui upaya mencegah degradasi
lingkungan,
hilangnya
keanekaragaman
hayati dan pemanfaatan sumber daya alam
yang dapat diperbaharui. Pertumbuhan
ekonomi yang ramah lingkungan menyiratkan
perlunya sinergitas pengembangan industri
yang menjamin kinerja ekonomi dan
kelestarian lingkungan. Upaya bersama
antar negara semakin kuat untuk merubah
orientasi kebijakan pembangunan kearah yang
lebih ramah terhadap lingkungan. Berbagai
kesepakatan baik yang bersifat sukarela
maupun mengikat telah dilakukan oleh banyak
negara.
Upaya untuk mewujudkan pertumbuhan
ekonomi yang ramah lingkungan menuntut
pelibatan semua sektor termasuk yang
tradisional untuk mendukung dan terlibat dalam
transisi untuk merubah kesadaran, orientasi,
kemampuan, kebijakan dan ketersediaan
sumberdaya
mendukung
pembangunan
berwawasan lingkungan, baik produsen
maupun konsumen, untuk mengambil bagian
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
terhadap praktek-praktek dalam kehidupan
yang berorientasi pada upaya menjamin
berkelanjutan.
Namun, dalam pengembangan industri
hijau selalu ada tarik menarik (trade-off) antara
kepentingan ekonomi jangka pendek dengan
upaya pelestarian lingkungan yang berdampak
jangka panjang. Para pelaku bisnis mungkin
akan melakukan upaya berebut peluang antara
menikmati manfaat ekonomi jangka pendek
yang barangkali tidak akan tersedia di masa
datang atau untuk mengorbankan sumberdaya
untuk
pengembangan
industri
hijau,
membangun kompetensi baru, peningkatan
keterampilan baru, mentransformasi industri
dengan teknologi dan cara yang baru dengan
risiko keberhasilan yang belum pasti.
Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa industri hijau membutuhkan upaya
mengadopsi teknologi baru dan model
bisnis yang baru melibatkan masyarakat dan
konsumen, pengembangan produk baru serta
menciptakan pola baru dalam permintaan pasar,
dimana konsumen perlu diberikan edukasi.
Pengembangan industri hijau dengan demikian
akan menuntut perubahan paradigma dalam
pengembangan industri, perubahan struktural
yang terkait dengan kebijakan dan yang tidak
kalah pentingnya perubahan mekanisme
pengalokasian sumberdaya produktif termasuk
pendanaan bagi industri hijau.
Manfaat penerapan industri hijau di semua
sektor, termasuk oleh UKM akan membawa
sehingga dapat mengurangi biaya operasi,
b) pengurangan biaya pengelolaan limbah
dan tambahan pendapatan dari produk hasil
samping, c) meningkatkan image perusahaan, d)
meningkatkan kinerja perusahaan, e) memperregulasi, g) terbukanya peluang pasar baru,
h) menjaga kelestarian fungsi lingkungan
(Kementerian Perindustrian, 2012).
Industri hijau di kalangan UKM tentu
akan berhasil dikembangkan secara berhasil
guna manakala tercipta kebijakan yang
kondusif, baik dalam bentuk pengaturan
maupun pemberdayaan, partisipasi sektor
industri termasuk UKM, kesadaran dan
kemauan konsumen untuk merubah orientasi
konsumsinya. Industri hijau sebagai bagian dari
upaya pelestarian lingkungan adalah bersifat
global, karena sesungguhnya isu lingkungan
tidak mengenal batas negara, maka menjadi
tangggungjawab semua untuk mengambil
bagian sesuai dengan kapasitasnya. Dalam
kaitan ini kerjasama internasional dalam
pengembangan industri hijau sudah menjadi
sebuah keniscayaan.
Konsepsi Industri Hijau UKM
Usaha berskala kecil memiliki karakter
yang unik dari beberapa aspek seperti padat
karya, jumlahnya yang sangat besar tersebar di
banyak sektor, teknologi produksi sederhana,
sebahagian besar beroperasi dengan cara
mengeksplorasi sumberdaya alam dengan
keterampilan yang turun temurun (inovasi
terbatas) serta banyak karakter lain yang
membedakannya dengan usaha berskala besar.
Karakter usaha berskala kecil ini menjadi
pertimbangan dalam upaya mendorong UKM
bergerak dalam industri hijau. Menuntut UKM
untuk melakukan perubahan secara mendasar
dalam usahanya menjadikan usahanya menjadi
industri hijau dipandang tidak bijaksana karena
bisa berakibat kegagalan karena berbagai
keterbatasan yang dimiliki serta keterbatasan
yang melekat pada karakter usahanya. Oleh
karena itu konsepsi pengembangan industri
hijau UKM diorientasikan pada upaya
mendorong dan memfasilitasi UKM untuk
menggunakan dan atau memproduksi produk
yang lebih hijau inilah yang dikenal dengan
konsep Greener SMEs. Dengan demikian
karakter industri UKM yang lebih hijau
(Greener SMEs) tersebut (Jauhari, 2014),
untuk:
1.
Menggunakan
atau
menghasilkan
produk yang lebih kecil dan atau lebih
ringan dalam rangka menghemat baik
sumberdaya dalam memproduksinya,
15
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
mengangkutnya dan menggunakannya
(smaller and lighter).
aman bagi lingkungan (zero dangerous
waste and pollution).
2.
Menggunakan atau menghasilkan produk
yang dapat didaur ulang termasuk
didalamnya katagori produk yang bisa
dipakai ulang baik untuk fungsi yang
sama atau fungsi lain (recycle and reuse).
3.
Menggunakan atau menghasilkan produk
yang komponennya dapat diisi ulang
(
).
Pengembangann industri hijau UKM
dengan pendekatan konsepsi seperti diuraikan
diatas, diharapkan UKM mampu melakukan
adaptasi dengan mudah dan dilakukan secara
bertahap mempertimbangkan kemampuan dan
kapasitas yang dimiliki oleh UKM.
4.
Menggunakan atau menghasilkan produk
(
5.
).
Menggunakan atau menghasilkan produk
dengan produk samping dan limbah yang
Hambatan Pengembangan Industri Hijau
UKM
Meskipun upaya pengembangan industri
hijau di kalangan UKM konsepsinya lebih
sederhana dan dilakukan dengan pendekatan
dalam lingkup kemampuan dan kapasitas
UKM untuk melakukan adaptasi, namun dalam
implementasinya tetap saja dihadapkan pada
Gambar 1. Alur Konsepsi Pengembangan Industri Hijau UKM
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau
UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM
di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
16
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
berbagai kendala. Kendala pengembangan
industri hijau di kalangan UKM perlu dipahami
sebagai pertimbangan untuk mengembangkan
kebijakan pemberdayaan bagi UKM.
Menurut Jauhari (2014), sumber kendala,
penyebab hambatan dalam pengembangan
industri hijau UKM diantaranya adalah:
1.
Rendahnya kesadaran pelaku UKM akan
pentingnya melakukan upaya adaptasi
dalam usahanya agar lebih ramah
lingkungan. Kurangnya kesadaran ini
sebagai konsekuensi kurangnya sosialisasi
dan edukasi. Pencemaran lingkungan
sering terjadi secara kumulatif, sehingga
sulit untuk diketahui dan membuktikannya
terkait sumber pencemaran, terutama
yang sifatnya kimiawi (Helmi, 2012).
2.
Harga produk ramah lingkungan relatif
sama sebagai konsekuensi mahalnya
biaya riset dan penggunaan teknologi
ramah lingkungan dan terbatasnya input
produksi, sehingga biaya produksinya
lebih mahal dan akibatnya daya saingnya
lebih rendah.
3.
Teknologi untuk industri hijau umumnya
belum tersedia secara luas di pasar
sehingga memerlukan inovasi yang harus
dilakukan sendiri oleh perusahaan UKM.
Biaya untuk melakukan inovasi seringkali
juga tidak murah sehingga tidak layak
dilakukan pada skala UKM.
4.
Perilaku
konsumen
yang
belum
sepenuhnya menggemari produk ramah
lingkungan karena pengetahuan dan
kesadaran yang masih kurang. Produk
ramah lingkungan di mata konsumen
sering kali juga kalah menarik
dibandingkan dengan produk pada
umumnya.
5.
Perilaku produsen yang kurang tanggap
terhadap upaya adaptasi ke arah
pengembangan industri hijau sebagai
akibat dari situasi dimana mereka
menghadapi persaingan usaha yang
ketat, berorientasi untuk mendapatkan
keuntungan jangka pendek dalam rangka
menjadi
usahanya, sehingga
seringkali juga mengabaikan upaya
pelestarian lingkungan.
Hambatan yang dialami UKM dalam
mengembangkan industri hijau sudah
barang tentu sulit untuk dipecahkan melalui
mekanisme pasar, apalagi harus dipecahkan
sendiri masalahnya oleh UKM. Pendekatan
secara kelembagaan dalam memberdayakan
UKM mengembangkan industri hijau
menjadi
hal
yang perlu dilakukan.
Kelembagaan yang dimaksud mencakup
aturan main pengembangan industri hijau
UKM, mulai dari perangkat pengaturan,
kebijakan pemberdayaan, instansi yang
bertanggungjawab, wadah pengembangan,
perencanaan program dan alokasi sumberdaya.
Kasus UKM yang bergerak di
industri tahu rumahan merupakan ilustrasi
bagaimana pencemaran limbah pabrik tahu
mengakibatkan rusaknya kualitas lingkungan
perairan. Rusaknya lingkungan akibat limbah
pabrik tahu yang berdampak buruk terhadap
kehidupan ekosistem sangat merugikan
kualitas mutu air serta manfaatnya. Limbah
tahu membawa akibat bagi lingkungan, karena
mempunyai bahan–bahan berbahaya yang
dibuang ke perairan seperti limbah berbahaya
dan beracun. Jika pencemaran limbah tahu
dibiarkan terus menerus, maka kelangsungan
hidup ekosistem diperairan pun semakin
terancam (Jessy, 2013). Upaya mengatasi
akibat buruk dari industri rumahan seperti ini
tentu tidak sederhana, karena diperlukan bukan
saja aturan tetapi upaya pemberdayaan.
Alasan Melibatkan UKM dalam Industri
Hijau
Terkait dengan pengembangan industri
hijau oleh pelaku usaha, ada tiga faktor yang
menjadi pendorongnya yaitu, a) adanya
kesadaran akan pentingnya secara sukarela
bagi pelaku industri mengembangkan
industri yang ramah lingkungan, b) adanya
17
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
insentif ekonomi yang cukup besar karena
tumbuhnya permintaan akan produk yang
ramah lingkungan dan c) adanya aturan
tentang pelestarian lingkungan yang boleh
jadi membatasi industri untuk melakukan
usaha yang merusak lingkungan dan harus
menggantinya dengan industri yang ramah
lingkungan (Jauhari, 2014).
Bagi pengusaha berskala besar relatif
mudah bagi mereka untuk melakukan
penyesuaian terhadap tuntutan pengembangan
industri hijau baik karena tumbuhnya
kesadaran, kemampuan melihat peluang
maupun
kemampuan
untuk
mentaati
peraturan perundangan yang mengharuskan
perusahaan melakukan penyesuaian diri
terhadap tuntutan pelestarian lingkungan.
Bagi perusahaan berskala besar cukup mudah
untuk menyisihkan sebahagian keuntungannya
untuk mengembangkan program CSR yang
kerap diimplementasikan sebagai bagian
dari kepedulian perusahaan besar melibatkan
masyarakat
melestarikan
lingkungan.
Pemanfaatan
CSR
dalam
pelestarian
lingkungan hidup bisa dilakukan dalam
berbagai hal seperti pembiayaan pendidikan
dan pelatihan bagi masyarakat dalam
pelestarian lingkungan hidup, pengelolaan
sampah dan lain sebagainya (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2012).
Bagi usaha berskala kecil keterlibatannya dalam pengembangan industri hijau
lebih mendesak karena usaha berskala kecil
secara umum selain memberikan tekanan
lebih besar terhadap lingkungan juga karena
jumlah pelakunya yang sangat banyak.
Mengabaikan keterlibatan usaha bersakal
kecil dalam program pelestarian lingkungan
berisiko lebih besar terhadap proses degradasi
lingkungan. Secara lebih rinci alasan perlunya
keterlibatan usaha berskala kecil dalam
pengembangan industri hijau didasarkan pada
alasan yang bersifat universal sebagai berikut
(Jauhari,2014):
1.
18
Usaha berskala kecil banyak yang
bergerak di sektor yang mengeksplorasi
sumber daya alam dengan cara-cara
berproduksi yang kurang peduli terhadap
kelestarian lingkungan. Dengan demikian
usaha berskala kecil memberi tekanan
berat kepada lingkungan baik melalui
eksplorasi sumber daya yang berlebihan,
pembuangan limbah, penggunaan bahan
pengawet berbahaya dan lain-lain.
2.
Usaha berskala kecil umumnya lambat
beradaptasi terhadap upaya pelestarian
lingkungan boleh jadi karena tidak
tersedianya sumber daya dan teknologi
yang bisa diakses oleh usaha berskala
kecil.
3.
Usaha berskala kecil kurang sadar akibat
buruk yang ditanggung oleh lingkungan.
Karena memang dampak perusahaan
terhadap lingkungan acapkali bersifat
jangka panjang.
4.
Menggunakan teknologi yang ramah
lingkungan relatif mahal dan memerlukan
penelitian dan inovasi. Usaha berskala
kecil memiliki kemampuan yang terbatas
untuk mengembangkan teknologi ramah
lingkungan.
5.
Keuntungan jangka pendek seringkali
menjadi pertimbangan bisnis usaha
berskala kecil. Melakukan adaptasi ke
dalam industri hijau yang belum tentu
memiliki prospek yang bagus, membuat
usaha berskala kecil terkonsentrasi
menggeluti bisnis yang sudah biasa
mereka lakukan.
6.
Produk ramah lingkungan secara
umum tidak lebih menarik dimata
konsumen dibandingkan dengan produk
pada umumnya, baik dari segi fungsi,
bentuk maupun rasanya. Oleh karena
itu prospek bisnis industri hijau sangat
tergantung kepada kesadaran konsumen
akan pentingnya menggunakan dan
mengkonsumsi produk ramah lingkungan.
Dalam kaitan ini edukasi memegang peran
penting untuk mempengaruhi konsumen
untuk mau menggunakan produk
ramah lingkungan. Upaya mengedukasi
konsumen selayaknya juga diikuti oleh
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
7.
kemauan semua sektor usaha untuk
menghasilkan produk ramah lingkungan.
Strategi Dasar Pengembangan Industri
Hijau UKM
Kesepakatan
internasional
dalam
penyelamatan
lingkungan
sebagai
konsekuensi dari ketiadaan batas negara
terkait dengan bencana yang timbul akibat
kerusakan lingkungan. Banyak negara
sepakat untuk menggalang usaha bersama
dalam pelestarian lingkungan termasuk
memberdayakan UKM agar mampu
melakukan adaptasi. Kerjasama Eropa
dan Asia yang tergabung dalam Asia
and Europe Meeting (ASEM) dan Asia(APEC),
dimana Indonesia sebagai anggotanya
aktif mengembangkan kerjasama untuk
mengembangkan Green SMEs.
Mempertimbangkan
karakteristik,
keterbatasan, kelemahan serta hambatan
UKM dalam mengembangkan industri hijau,
maka pendekatan yang perlu dilakukan untuk
melibatkan UKM dalam industri hijau adalah
dengan pendekatan strategi dasar sebagai
berikut:
Usaha kecil Indonesia yang sebagian
bergerak di sektor berbasis sumberdaya
alam seperti di sektor pertanian memiliki
pengaruh yang besar terhadap kelestarian
lingkungan, demikian juga pada sektor
industri pengolahan. Pengembangan industri
UKM melalui pengembangan kesadaran dan
pengaturan boleh jadi masih sulit, oleh karena
itu pemberdayaan dan insentif ekonomis boleh
jadi lebih mudah untuk menarik partisipasi
UKM dalam mengembangkan industri hijau.
Beberapa contoh industri hijau UKM yang
memiliki prospek ekonomi seperti kopi
organik, produk hortikultura organik, batik
dengan pewarna alam serta banyak lagi produk
yang menggunakan bahan limbah industri.
Secara umum UKM memiliki peluang
ekonomis untuk bergerak dalam industri hijau
melalui berbagai cara seperti terlibat dalam
yang didukung oleh kegiatan inovasi atau
menghasilkan komponen industri hijau yang
dibutuhkan oleh perusahaan multi nasional.
Bila mana tidak mampu melakukan proses
produksi produk ramah lingkungan, UKM
dapat bergerak dalam bisnis produk-produk
ramah lingkungan sebagai distributor, agen
atau pengecer (Koo,2010).
1.
UKM diarahkan untuk menghasilkan
produk ramah lingkungan yang memiliki
pasar yang potensial. Hal ini dilakukan
agar menjamin kelangsungan usaha
UKM. Dengan pendekatan ini orientasi
pasar menjadi pertimbangan utama.
Bilamana pasar belum berkembang,
maka pemerintah dan pihak-pihak lain
dihimbau untuk melakukan edukasi
kepada masyarakat tentang pentingnya
menggunakan produk yang ramah
lingkungan.
2.
Pengembangan industri hijau diprioritaskan dalam kapasitas UKM. Pengembangan
industri hijau UKM dimulai dari tahapan
yang mudah dilakukan oleh UKM seperti
melakukan proses produksi bersih. Bila
mana UKM memiliki kemampuan yang
memadai, maka mereka didorong untuk
melakukan inovasi.
3.
Ketersediaan sumber daya, menjadi
pertimbangan dalam mendorong industri
hijau UKM dengan pertimbangan
kesinambungan usaha, akses terhadap
sumberdaya
lokal.
Pengembangan
industri hijau di sektor pertanian organik
dengan konsep zero waste adalah contoh
industri yang berbasisi sumberdaya
lokal.
Sumberdaya produktif yang
juga tidak kalah pentingnya adalah
sumber pembiayaan bagi pengembangan
teknologi ramah lingkungan. Malaysia
sebagai contoh pada tahun 2010
mengalokasikan dana sebesar 1,5 miliar
ringgit untuk Green Financing Sheme
(Williams, 2011).
19
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
4.
5.
Transfer
teknologi
merupakan
cara cepat bagi UKM untuk dapat
mengimplementasikan teknologi ramah
lingkungan. Pengembangan teknologi
ramah lingkungan relatif sulit dilakukan
pada skala UKM, oleh karenanya
dinegara maju sekalipun pemerintah
menyediakan insentif yang sangat besar
dalam pengembangan teknologi ramah
lingkungan. Transfer teknologi dari negara
maju ke negara sedang berkembang seperti
Indonesia sangat dimungkinkan untuik
dipakai oleh UKM. Pembangkit tenaga
listrik bertenaga surya, air dan angin
sudah banyak dikembangkan di banyak
negata maju. Melalui transfer teknologi
UKM Indonesia memiliki kesempatan
yang besar untuk memanfatkan teknologi
ramah lingkungan. Perlu diketahui
bahwa salah satu agenda kerjasama
internasional di bidang UKM adalah
dalam hal transfer teknologi yang perlu
dimanfaatkan oleh Indonesia. APEC telah
memprakarsai pembentukan APEC Green
Tecknology Network Platform sebagai
uapaya mengembangkan jejaring untuk
mengembangkan teknologi hijau antar
UKM di kawaqsan APEC.
Kemitraan (business partnership) adalah
cara lain untuk memastikan bahwa
industri hijau UKM dapat berkembang
dengan cara mengembangkan kolaborasi
antar pelaku usaha dengan kelebihan
masing-masing seperti sumberdaya alam,
modal, teknologi, manajemen dalam
bentuk kerjasama bisnis yang saling
menguntungkan.
Istilah demand-side policy dalam
pengembangan
industri
hijau
UKM
dimaksudkan agar pemerintah memberikan
kemudahan dan insentif bagi UKM yang
bersedia menggunakan teknologi dan bahanbahan kebutuhan produksi yang diproduksi
dengan konsep ramah lingkungan. Penggunaan
energi atau menggunakan energi terbarukan
20
adalah contoh dari kebijakan dari segi
demand–side. Dalam konteks ini meskipun
UKM belum mampu memproduksi barang
yang ramah lingkungan (eco-product), paling
tidak secara bertahap UKM sudah diarahkan
untuk mengunakan faktor produksi yang ramah
lingkungan.
Sementara istilah supply-side policy
dimaksudkan agar UKM didukung dengan
kebijakan dan program agar mampu melakukan
keseluruhan bisnisnya dengan konsep
ramah lingkungan mulai dari pemanfaatan
bahan baku, penggunaan teknologi, cara
berproses menghasilkan produk, pengemasan,
transportasi, berpromosi sampai kepada
bagaimana produk dikonsumsi atau dipakai
oleh konsumen. Dalam supply side ini,
upaya melakukan edukasi kepada konsumen
terhadap kesadarannya mengkonsumsi atau
memakai produk ramah lingkungan menjadi
faktor penting sebagai bagian dari sistem
dalam industri hijau UKM. Satu hal yang
sangat penting dipahami bahwa penyelamatan
bumi dari degradasi hanya akan berhasil
bila dilakukan secara bersama oleh semua
komponen masyarakat tanpa ada batas negara
dan profesi, karena memang isu lingkungan
tanpa batas.
Jaminan keberlangsungan usaha UKM
dalam industri hijau menjadi pertimbangan
penting dalam mendorong UKM beradaptasi
dan berpartisipasi dalam pengembangan
industri hijau dengan berbagai kompleksitasnya. Beberapa contoh produk dari industri
UKM antara lain: Industri makanan olahan
berbasis produk organik seperti kopi organik.
Peralatan rumah tangga dari berbahan tanah
dan kayu seperti periuk tanah, sendok kayu.
Produk interior berbahan kayu dan gerabah.
Produk kecantikan-herbal dan jamu, produk
dari serat alam, pewarna alam, tas pandan dan
bahan limbah daur ulang. Produk mainan kayu,
mainan kertas dan bahan daur ulang. Produk
bangunan seperti
, dan desain
rumah tropis minimalis hemat energi. Energi
terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga
air.
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
Khusus
untuk
produk
pertanian
ramah lingkungan, Kementerian Pertanian
merekomendasikan beberapa komoditas yang
memiliki prospek pasar dan menjadi bagian
dari program pemerintah seperti untuk tanaman
pangan adalah padi organis sementara untuk
sayuran organik adalah brokoli, kubis merah,
petsai, caisin, bayam daun, labu siyam, cho
putih, kubis tunas, oyong dan baligo. Produk
buah organis nangka, durian, salak, mangga,
jeruk dan manggis. Untuk perkebunan kelapa,
pala, jambu mete, cengkeh, lada, vanili dan
kopi. Untuk rempah-rempah dan obat adalah
jahe, kunyit, temu lawak dan temuan-temuan
lainnya. Sedang untuk produk peternakan
adalah susu, telur dan daging.
Kerjasama Internasional Pengembangan
Industri Hijau UKM
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua
negara mengakui posisi penting dari UKM
dalam hal memberikan kontribusi dalam
kesempatan kerja, pengentasan masyarakat
dari kemiskinan, memicu pertumbuhan
ekonomi serta termasuk dalam ikut
melestarikan lingkungan. Oleh karena itu
adanya pengakuan atas posisi penting UKM ini
telah menjadikannya sebagai salah satu aspek
penting dalam pengembangan kerjasama
internasional. Saat ini terdapat enam forum
kerjasama internasional di bidang UKM
dimana Indonesia aktif sebagai anggotanya
yaitu forum APEC (
Cooperation), ASEM (ASIA and Europe
Meeting), ASEAN, BIMP-EAGA serta dua
forum untuk koperasi masing-masing dalam
ICA (International Cooperative Alliances) dan
ACEDAC (ASEAN Center for the Development
of Agriculture Cooperative).
Kerjasama internasional di bidang
pengembangan UKM
meliputi aspek
pengakuan bersama atas pentingnya UKM,
pertukaran informasi dan kebijakan, pertukaran
kunjungan personil dan dalam sektor tertentu
dikembangkan kerjasama perdagangan dan
aliansi strategis.
Dalam pengembangan industri hijau
UKM, maka bagi Indonesia, keikutsertaan
dalam forum kerjasama internasional tetap
penting dan bermanfaat, karena melalui
kerjasama dalam berbagai forum dapat
dilakukan pertukaran informasi, kebijakan,
pengalaman, pandangan dan gagasan serta
berbagai kemungkinan dukungan dalam
pembangunan kebijakan dan program industri
hijau UKM di Indonesia.
Kerjasama
internasional
dalam
pengembangan industri hijau UKM yang
diakomodasi oleh berbagai forum dimana
Indonesia aktif sebagai anggotanya dapat
ditelusuri dari berbagai aktivitas di masingmasing forum kerjasama internasional sebagai
berikut:
1.
Dalam forum ASEM, kerjasama
pengembangan industri hijau UKM
dimulai saat dilaksanakannya ASEM
Forum on Green Growth and SME yang
dilaksanakan di Korea Selatan pada
tahun 2010.
Forum ini selanjutnya
merekomendasikan
didirikannya
ASEM Eco-Innovation Center (ASEIC)
yang juga terletak di Korea Selatan.
Selanjutnya pada tahun 2012 sebangai
anggota ASEM, Indonesia dan Korea
bekerjasama mendirikan GBC (Green
Business Center) berlokasi di SME
Tower Jakarta. Tujuan GBC tidak lain
sebagai inkubator bagi UKM Indonesia
dan Korea Selatan dalam pengembangan
industri yang ramah lingkungan.
2.
Dalam
forum
APEC,
kerjasama
pengembangan industri hijau UKM
dimulai setelah selesainya Deagu
Initiative bagian pertama yang berfokus
pada kerjasama pengembangan UKM
inovatif. Kerjasama pengembangan
industri hijau UKM dalam forum APEC
ditandai sebagai Deagu Initiative 2nd
Round.
3.
Dalam forum ASEAN isu pengembangan
industri hijau bagi UKM tidak terlepas
sebagai konsekuensi dari keanggotaannya
dalam forum ASEM dan APEC. Khusus
21
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
pada forum BIMP-EAGA pengembangan
industri hijau melekat pada agenda
pengembangan plagship project (proyek
kerjasama antar negara).
Kerjasama internasional dalam pengembangan industri hijau UKM belakangan
cukup mendapat perhatian dalam berbagai
agenda mulai dari pernyataan dari para
pemimpin negara, kesepakan pada tingkat
menteri sampai pada bentuk proyek bersama
antar negara. Keterlibatan Indonesia dalam
kerjasama internasional dalam pengembangan
industri hijau di tanah air akan memberikan
manfaat dalam hal memahami konsep
pengembangan
industri
hijau
UKM,
penyususnan kebijakan pendukung serta
kerjasama dalam alih teknologi ramah
lingkungan bagi UKM serta membuka peluang
pasar bagi produk-produk ramah lingkungan di
pasar internasional.
Dalam pengembangan industri hijau
melalui kerjasama internasional, maka
pendekatan co-incubation melibatkan lebih dari
satu negara (ekonomi) merupakan usulan yang
diajukan oleh Indonesia dalam forum APEC.
Program co-incubation ini dimaksudkan agar
dapat dilakukan kegiatan berbagi pengalaman,
transfer teknologi, kemitraan usaha antar UKM
serta membuka peluang investasi di sektor
industri hijau UKM (APEC Secretariat, 2014).
Kerangka kelembagaan co-incubators
dalam
kerjasama
internasional
yang
diusulkan dalam forum APEC oleh Indonesia
memiliki beberapa komponen yaitu adanya
tim internasional yang terdiri dari para ahli
dari lingkungan anggota ekonomi APEC
Tabel 1. Inisiatif Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau UKM
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau
UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM
di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
22
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
Gambar 2. Gagasan Kerangka Kerjasama APEC dalam pengembangan co-incubation.
Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation
Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September
2014.
dengan komposisi pengarah, pelaksana dan
penasehat. Sementara pada tingkat nasional
di masing-masing anggota ekonomi dibentuk
tim tingkat nasional yang juga mengandung
unsur pengarah, pelaksana dan penasehat.
Pada tingkat operasional dikembangkan coincubator yang dioperasikan lebih dari satu
institusi dan terbuka untuk partisipasi dari
negara lain.
GBC (Green Business Center; Co-Incubator)
Sebagai wujud komitmen Indonesia dan
Korea Selatan menindaklanjuti kerjasama
pengembangan industri hijau dalam forum
ASEM, pada tahun 2011 dibentuk Green
Business Center (GBC) yang berlokasi di
SME Tower, Jakarta. Pembentukan GBC ini
dibiayai secara bersama oleh Indonesia dan
Gambar 3. Gagasan Kerangka Kelembagaan Pengembangan co-incubation
Sumber: APEC Secretariat. 2014. Promoting Innovative Economy Through APEC Co-Incubation
Initiative. Paper presented at The 39th APEC-SMEWG Meeting, Nanjing September
2014.
23
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
Korea Selatan baik untuk keperluan sarana,
manajemen maupun operasionalisasinya.
Fungsi utama GBC pada dasarnya
melakukan proses inkubasi bagi UKM yang
menjadi tenantnya dalam hal pengembangan
teknologi
ramah
lingkungan,
akses
pembiayaan, akses pemasaran serta layanan
dalam aspek legal baik berupa mendapatkan
maupun terkait perizinan usaha. Melalui
pemberian layanan kepada UKM Indonesia
dan Korea Selatan dalam satu atap, juga
diharapkan akan berkembangnya kerjasama
usaha antara UKM Indonesia dangan UKM
Korea Selatan.
Proses seleksi bagi UKM dilakukan di
Indonesia untuk calon tenant UKM Indonesia
dan di Korea Selatan untuk UKM calon tenant
UKM Korea Selatan. Calon tenant UKM
diharuskan
memaparkan
pengembangan
industri hijaunya di depan anggota steering
committee untuk dievaluasi dengan kriteria
utama pada aspek sejauhmana industri
yang diajukan memiliki konsep yang ramah
lingkungan. Proposal yang memenuhi syarat
akan menjadi tenant GBC selama 3 tahun
dan mendapatkan pelayanan sesuai dengan
program yang telah dirancang oleh GBC.
Dalam memberikan layanan inkubasi
kepada UKM, GBC mengembangkan
kerjasama dengan pusat-pusat penelitian da
inkubator yang relevan dengan pengembangan
industri ramah lingkungan UKM.
Pada saat ini dari target sebanyak 10
tenant dari Korea Selatan dan 3 dari UKM
Indonesia, jumlah tenant dari Korea Selatan
baru ada 5 UKM tenant sementara dari
Indonesia ada 2 UKM tenant seperti terlihat
dalam tabel berikut. Tenant Korea Selatan
umumnya bergerak pada bidang usaha dengan
Gambar 4. Alur Proses Inkubasi bagai UKM Indonesia dan UKM Korea Selatan dalam GBC.
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau
UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM
di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
24
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
basis inovasi teknologi sementara tenant dari
Indonesia satu berbasis inovasi teknologi dan
satu lagi berbasis sumberdaya alam.
Meskipun penulis belum memperoleh
data terkait dengan informasi kerjasama UKM
dengan pelaku lain baik di dalam maupun
dengan pengusaha di luar negeri, akan tetapi
prospek kerjasama UKM dengan pelaku secara
umum diperkirakan akan semakin besar dimasa
yang akan datang sejalan dengan tumbuhnya
kesadaran konsumen untuk menggunakan
produk ramah lingkungan. Contoh kerjasama
UKM dengan usaha lain dalam pengembangan
produk pertanian organik adalah antara UKM
dengan pelaku usaha dari Korea dan Taiwan
yang dikembangkan melalui program OVOP
di Indonesia yang dikembangkan dibawah
koordinasi Deputi Pengkajian KUMKM,
Kementerian Koperasi dan UKM.
Kesimpulan dan Saran
Pengembangan industri hijau di kalangan
UKM Indonesia relatif masih baru. Dengan
demikian memahami konsepsi pengembangan
industri hijau UKM dengan benar akan
memudahkan bagi Indonesia untuk menyusun
kebijakan dan program pemberdayaan. Ada
dua pendekatan pengembangan industri hijau
UKM yang dilakukan oleh banyak negara dan
pendekatan ini banyak diadopsi dalam berbagai
forum kerjasama internasional di bidang UKM
yaitu dari sisi permintaan (demand side), UKM
didorong untuk menggunakan sumberdaya
dan faktor produksi yang ramah lingkungan
sementara dari sisi supply, UKM didorong
dan difasilitasi untuk memiliki kemampuan
memproduksi barang dan jasa yang ramah
lingkungan.
Secara konsepsi partisipasi UKM
dalam industri hijau relatif lebih sederhana
Tabel 2. Daftar Tenant GBC Berdasarkan Bidang Usaha pada tahun 2014
Sumber: Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional dalam Pengembangan Industri Hijau
UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi Green Technology Networking bagi UKM
di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober 2014.
25
INFOKOP VOLUME 24 NO. 2 - Desember 2014 : 13-27
yang dikenal dengan istilah greener SMEs.
Menggunakan faktor produksi yang ramah
lingkungan saja sudah termasuk kategori
greener SME. Secara bertahap UKM tentu
harus didorong dan difasilitasi dalam usahanya
beradaptasi menghasilkan produk yang ramah
lingkungan. Konsep Greener SMEs meliputi
kemauan dan kemampuan UKM untuk
menggunakan atau menghasilkan produk
dengan fungsi yang sama tetapi lebih ringan,
lebih kecil, dapat dipakai secara berulang
kali, dapat didaur ulang limbahnya serta
dalam proses pembuatannya maupun dalam
distribusi dan penggunaannya oleh konsumen.
Secara keseluruhan, UKM dituntut untuk
mempertimbangkan dampak negatif terhadap
lingkungan baik dalam mengeksplorasi
bahan baku, menggunakan bahan penolong,
proses produksi, pencemaran lingkungan
akibat limbah serta dampak negatif terhadap
lingkungan setelah produk dipakai atau
dikonsumsi oleh konsumen.
Upaya yang perlu dilakukan dalam
rangka mendorong UKM untuk menerapkan
industri ramah lingkungan dalam usahanya
26
meliputi upaya untuk memberikan edukasi
kepada baik produsen maupun konsumen
untuk
menumbuhkan
kesadaran
dan
pengetahuan terkait pentingnya memproduksi
dan mengkonsumsi produk ramah lingkungan,
memberikan akses yang mudah bagi
UKM produsen dalam penggunaan dan
atau melakukan inovasi pengembangan
teknologi ramah lingkungan, menyediakan
sumberdaya produktif seperti pendanaan
untuk memberikan insentif bagi UKM dalam
pengembangan industri hijau dikalangan UKM
serta mempromosikan kepada masyarakat
luas tentang penggunaan produk UKM ramah
lingkungan.
Pengembangan kebijakan dan program
pemberdayaan yang melembaga baik dalam
bentuk tersedianya aturan pengembangan
industri hijau UKM, maupun alokasi
pendanaan terutama dari sumber APBN baik
pusat maupun daerah, pengembangan wadah
yang kompeten seperti pusat penelitian
dan pengembangan industri hijau UKM,
penumbuhan asosiasi UKM di sektor industri
hijau, menjadi agenda yang perlu untuk
dipersiapkan secara terencana melibatkan
partisipasi pemangku kepentingan.
PENGEMBANGAN INDUSTRI HIJAU UKM
(Hasan Jauhari)
Daftar Pustaka
APEC
Secretaeriat.
2014.
Promoting
Innovative Economy Through APEC CoIncubation Initiative. Paper presented
at The 39th APEC-SMEWG Meeting,
Nanjing September 2014.
Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan
Hidup
Hasan Jauhari. 2014. Kerjasama Internasional
dalam Pengembangan Industri Hijau
UKM. Paper disampaikan pada Sosialisasi
Green Technology Networking bagi UKM
di kawasan APEC. Solo, 23 Oktober
2014.
Jessy, Adack. 2013. Dampak Pencemaran
Limbah
Pabrik
Tahu
Terhadap
Lingkungan Hidup. Lex Administratum,
Vol.1/No.3/Jul-Sept/2013.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2009. UU R.I
No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Jakarta : CV. Tamita Utama.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2012.
Petunjuk Pelaksanaan CSR Bidang
Lingkungan.
Kementerian Perindustrian. 2012. Kebijakan
Pengembangan Industri Hijau. Makalah
Energi di IKM. Jakarta, 27 Maret 2012.
Kementerian Perindustrian. 2014. UU Nomor
3 tahun 2014 tentang Perindustrian.
Kim, Jiseok. 2013. Emergence of Carbon
Labeling: Why all the Troble? Paper
presented at the APEC Carbon Labeling
Workshop. Seoul. 3rd Desember 2-13.
Koo, Jay. 2010. Opportunities for SMEs in
Green Growth. Paper presented at the
ASEM Forum 2010 on Green Growth and
SMEs. Korea. 7-8 May 2010.
Ramadhan, Harisman. 2011. Indonesia’s
Green Growth Strategy For Global
Initiatives: Developing A Simple Model
And Indicators Of Green Fiscal Policy In
Indonesia. Badan Kebijakan Fiskal.
Williams, Geoffrey. 2011. Best Practices
from Eco-Innovation; Examples from
Malaysia. Paper presented at the ASIEC
Global Forum on Eco-Innovation. Seoul.
18th November 2011.
27
Download