Pandecta Kewajiban Partai Politik Berideologi

advertisement
Volume 11. Nomor 2. December 2016
Pandecta
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari PrinsipPrinsip Negara Hukum Indonesia
Putra Perdana Ahmad Saifulloh 
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jaya, Bekasi Utara, Indonesia
DOI: http://dx.doi.org/10.15294/pandecta.v11i1.9276
Info Artikel
Abstrak
Article History:
Received : June 2016;
Accepted: November 2016;
Published: December 2016
Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1985 Tentang Partai Politik, dan Golongan Karya. UU tersebut
mewajibkan parpol menggunakan asas Pancasila sebagai asas tunggal dan sampai
sekarang dalam UU No. 2 Tahun 2008, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011
Tentang Partai Politik masih berlaku. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis undang-undang partai politik yang mewajibkan setiap parpol di Indonesia berideologi
Pancasila dan kesesuannya dengan prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis-normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan Pasal 28 UUD 1945 kewajiban Partai
politik berideologikan Pancasila merupakan pembatasan hak dan kebebasan sesuai
dengan prinsip negara hukum yang berlaku di Indonesia. Ideologi Pancasila pertama
kali ditegaskan sebagai satu-satunya asas bagi parpol dalam Ketetapan Nomor II/
MPR/1983 dan UU Parpol, dan Golkar Tahun 1985.
Keywords:
Political Parties; Ideology of
Pancasila; State of Law
Abstract
The obligation of Political Parties with the Ideology of Pancasila has been regulated
in Law Number 3 Year 1985 on Political Parties, and the Working Group (Golongan
Karya). The law requires political parties to use the principle of Pancasila as a single
principle and until now in Law number 2 of 2008, and Law number 2 Year 2011 on
Political Parties still apply. This paper aims to analyze the laws of political parties that
require every political party in Indonesia to ideology Pancasila and its loyalty to the
principles of Indonesian Law State. The research method used is juridical-normative
research method. The results of this study indicate that based on Article 28 of the
1945 Constitution, the obligation of political parties to ideology of Pancasila is a restriction of rights and freedoms in accordance with the principles of the applicable law
state in Indonesia. The ideology of Pancasila was first emphasized as the only principle
for political parties in Decree Number II / MPR / 1983 and Political Parties Law, and
Golkar Year 1985.

Address : Jl Perjuangan - Bekasi Utara 17142
Email
: [email protected]
© 2016 Universitas Negeri Semarang
ISSN 1907-8919 (Cetak)
ISSN 2337-5418 (Online)

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
1.Pendahuluan
Pada tanggal 11 Juli 1945, Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK) memutuskan agar dibentuk Panitia Kecil Perancang UUD (Saafroedin Bahar,
et.al, (Ed), 1995, 222). Rancangan UUD yang
dibuat oleh Panitia Kecil tersebut pada tanggal 13 Juli dikemukakan dalam rapat oleh
Ketua Panitia Kecil Soepomo. Dalam rancangan UUD tersebut telah diatur beberapa hak
yaitu hak atas persamaan kedudukan dalam
hukum dan pemerintahan (Pasal 28 ayat (1)),
hak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 28 ayat (2)),
hak atas kebebasan beragama dan beribadah
(Pasal 29), hak untuk ikut serta dalam pembelaan negara (Pasal 30 ayat (1), dan hak untuk mendapatkan pengajaran (Pasal 31 ayat
(1)) (Bahar, et.al, (Ed), 1995:231).
Dalam rapat tanggal 15 Juli 1945, timbul dua pendapat yang berbeda mengenai
urgensi dimasukkannya hak berserikat dan
hak kemerdekaan berpikir. Dengan disetujuinya kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan, maka bertambahlah jaminan hak
yang diatur dalam UUD 1945, yaitu dalam
Pasal 27 ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebelum
perubahan. Setelah perubahan UUD 1945,
jaminan terhadap HAM diatur dan dijamin
lebih banyak lagi dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 28, Pasal 28A hingga Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya Penulis
sebut UUD 1945). Selain itu, kemerdekaan
yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus
1945, merupakan refleksi dari keinginan kuat
bangsa Indonesia untuk lepas dari belenggu
penjajahan. Salah satu dari konkretisasi pembebasan tersebut, adalah pengakuan hak-hak
masyarakat atau rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Hak untuk itu, lebih populer dan dikenal
oleh masyarakat adalah partisipasi aktif rakyat dalam aktivitas tertentu, misalnya dalam
konteks pemerintahan rakyat bisa aktif berpartisipasi melalui pengawasan, atau dapat
juga berhimpun dalam sebuah partai politik,
serikat pekerja dan Organisasi Kemasyarakatan (Winayanti, 2011:1).
Partisipasi tersebut, secara hakiki merupakan implementasi hak asasi manusia
seseorang baik dalam konteks ketatanegaraan, maupun dalam lingkup profesi. Hak
asasi dalam lingkup profesi, bisa diwujudkan
dalam kebebasan berasosiasi, misalnya pengembangan dan perlindungan yang berwujud dalam bentuk partai politik. Selanjutnya,
baik hak asasi dalam konteks ketatanegaraan,
maupun dalam konteks profesi, sesungguhnya berlandaskan pada nilai yang sama, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD
1945 tentang “kemerdekaan berserikat dan
berkumpul”. Masih dalam kaitan partisipasi, lebih lanjut dapat diartikan yang dimaksud partisipasi adalah setiap warga negara
mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi ini dibangun atas
dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara
serta berpartisipasi secara konstruktif (Nugroho, 2003:219).
Dalam konteks sejarah, hak asasi manusia tidak diperoleh dengan begitu saja dan
mudah, melainkan melalui perjuangan yang
panjang, dan jalan berliku–liku. Artinya, jalan
yang ditempuh untuk mencapai pengakuan
hak–hak asasi manusia tidaklah dapat terlepas dari awal tumbuhnya gagasan hak asasi
manusia itu sendiri, sebagai suatu fase/tahap
terpenting dalam sejarah ketatanegaraan
(Kartodihardjo, 1983:181). Meskipun hakikat dan gagasan berkaitan dengan hak asasi
manusia itu telah muncul dan mewarnai kehidupan bangsa-bangsa sejak berabad-abad
lamanya, namun secara konkret manifestasinya baru dimulai sejak Magna Charta tahun
1215. Piagam Magna Charta ini, mengakhiri
revolusi di Inggris dan memberi pengakuan
atas hak-hak asasi bagi setiap manusia tanpa
kecuali (Amin, 1976:44). Dengan demikian,
konsep hak asasi manusia muncul berawal
dari adanya pergulatan antara kelompok
kepentingan elite dalam negara dengan kelompok masyarakat yang berada dalam Negara bersangkutan. Artinya, sejarah hak asasi
manusia berawal dari tuntutan pembebasan
tindakan sewenang-wenang pengausa suatu
negara terhadap rakyatnya. Menurut John
Locke, konsep hak asasi manusia sesungguh175

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
nya telah ada secara alamiah dan dimiliki secara pribadi, yaitu: hak akan hidup, hak akan
kebebasan atau kemerdekaan, hak akan
milik, hak akan memiliki sesuatu (Soehino,
1980:108).
Kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar manusia untuk hidup berorganisasi. Dalam pandangan John Locke dan
J.J. Rousseu, kecenderungan berorganisasi
timbul untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan-kepentingan yang sama dari
individu-individu untuk mencapai tujuan
bersama berdasarkan persamaan pikiran
dan hati nurani. Oleh karena itu dalam
perkembangannya kebebasan berserikat
menjadi salah satu kebebasan dasar manusia yang diakui secara universal sebagai
bagian dari hak asasi manusia dengan
istilah kemerdekaan berserikat (freedom of
association). Menurut Richard H. Pildes,
tanpa adanya kemerdekaan berserikat,
harkat kemanusiaan dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak
dapat mengekspresikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya (Safa’at,
2009:16).
Pengakuan kemerdekaan berserikat
secara internasional dikukuhkan dalam Artikel 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Artikel 21 dan 22 Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan
Artikel 5 d (ix) Konvenan Pemberantasan
Diskriminasi Rasial. Kemerdekaan berserikat semakin penting karena terkait dengan
diakuinya hak-hak politik seperti hak memilih (the right to vote), hak berorganisasi (the
right of association), hak atas kebebasan berbicara (the right of free speech), dan hak
persamaan politik (the right to political
equality) (Safa’at, 2009:16).
Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, merupakan landasan
konstitusional untuk kegiatan-kegiatan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran
baik lisan maupun tertulis. Atas dasar landasan konstitusional mengenai kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, manusia sebagai
makhluk sosial diberikan haknya untuk da176
pat hidup berkelompok baik yang bersifat
tetap maupun yang bersifat tidak tetap atau
sementara yang di dalam UUD 1945 diberi
istilah berserikat dan berkumpul. Ketentuan
yang bersifat pokok atau mendasar tentang
berserikat atau berorganisasi tersebut membentuk landasan konstitusional untuk mendirikan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Pada dewasa ini dikenal dengan istilah
organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan yang terdiri dari ormas profesional
dan fungsional serta berbagai macam lembaga swadaya masyarakat. Pengorganisasian secara modern ini memungkinkan diorganisasikannya kedaulatan rakyat secara efektif dan
efisien (Winayanti, 2011 (2):11-28).
Kebebasan mengeluarkan pendapat
diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan
mengeluarkan pendapat mencakup hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan
gagasan serta informasi dalam menyalurkan
aspirasi. Kebebasan ini merupakan suatu hak
yang memilik banyak sisi yang menunjukkan keluasan dan cakupan hukum hak asasi
manusia. Hal ini memberi konsekuensi bahwa setiap tindakan manusia atau kelompok
orang, bukanlah tidak terbatas. Harus ada
langkah-langkah untuk memastikan agar kebebasan mengeluarkan pendapat tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain (Marzuki, et.al, 2008:100-101).
Salah satu implementasi dari kemerdekaan berserikat dan berkumpul yaitu dibentuknya partai politik. Berdasarkan sejarah,
partai politik pertama kali lahir di Negara-negara eropa barat, yaitu dengn meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang
perlu diperhitungkan serta diikutsertakan dalam proses politik, maka secara spontan lahirlah partai politik, dan kemudian berkembang
menjadi penghubung antara rakyat di satu
pihak, dan pemerintah di pihak lain (Kamis,
2016).
Di Negara-negara yang menganut sistem demokrasi gagasan mengenai partisipasi mempunyai dasar ideologis bahwa rakyat
berhak untuk menentukan siapa saja yang
menjadi pemimpin yang nantinya menentu
Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
kan public policy. Di Negara-negara totaliter,
gagasan-gagasan mengenai partisipasi rakyat
didasari pandangan elite politiknya bahwa rakyat perlu dibimbing, dan dibina untuk mencapai stabilitas yang langsung. Untuk mencapai tujuan itu, partai politik merupakan
alat yang baik (Budiardjo, 1977:159-160).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
di suatu Negara yang bersistem demokrasi,
pembentukan partai politik merupakan suatu keharusan. Pembentukan partai politik di
Negara-negara yang menganut sistem demokrasi biasanya berbeda antara Negara yang
satu dengan yang lain. Menurut Hume, pembentukan partai politik paling tidak didasarkan pada tiga hal, yaitu: asas, kesetiaan, dan
kepentingan (Kranenburg, 1980:115).
Partai politik merupakan wadah partisipasi politik (Suny, 1977:23). Partisipasi politik
adalah kegiatan warga biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan, dan pelaksanaan
kebijaksanaan umum, dan ikut menentukan
pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain, mengajukan tuntutan,
membayar pajak, mengjukan kritik, dan
koreksi atas pelaksanaan kebijakan umum,
dan mendukung atau menentang pemimpin
tertentu, mengajukan alternatif pemimpin,
dan memilih wakil rakyat dalam pemilihan
umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan,
mendorong, dan mengajak para anggota partai dan anggota masyarakat yang lain untuk
menggunakan partai politik sebagai saluran
kegiatan mempengaruhi proses politik (Surbakti, 1992:118). Menurut Jimly Asshiddiqie,
di banyak Negara modern, pengisian jabatan
anggota lembaga perwakilan biasanya dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum
yang diikuti oleh partai-partai politik yang
menghimpun, dan mengorganisasikan aspirasi, pendapat, dan suara rakyat yang berdaulat itu. Oleh karena itu, sistem demokrasi
di Negara modern tidak bisa dilepaskan dari
permasalahan pemilihan umum, dan partai
politik (Asshiddiqie, 1994:68).
Partai politik secara umum dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang bergabung atas dasar adanya kesamaan visi,
orientasi, dan persepsi politik. Ketiga hal
itu melahirkan suatu nilai tertentu yang la-
zim disebut sebagai ”ideologi partai” (Indra
Perwira, 2). Ideologi secara umum merupakan sistem keyakinan yang dianut oleh masyarakat untuk menata dirinya sendiri (Bell,
2001). Ideologi juga dapat dianggap sebagai
visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (Bagus, 2000). Ideologi
itu dituangkan dalam sebuah konstitusi partai
yang di kita dikenal sebagai Anggaran Dasar,
yang kemudian dijabarkan lebih rinci dalam
flatform perjuangan partai, yang tergambar
dalam Anggaran Dasar, dan Anggaran Rumah
Tangga (Alrasid, 2007:150). Ideologi merupakan sebuah nilai kolektif yang akan mempengaruhi sikap dan perilaku para anggota,
sehingga dari pendirian, sikap dan perilaku
seseorang, semestinya dapat diduga dari partai politik mana seseorang tersebut berasal.
Ideologi Partai Politik di Indonesia pada
awal-awal kemerdekaan adalah mengambil
peran-peran dalam kehidupan kenegaraan
yang berdasarkan Pancasila, khususnya melalui kursi pemerintah, dan kursi di Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) (Priyanto,
2015:7). Memasuki masa demokrasi terpimpin yang diawali dengan Dekrit Presiden
Soekarno, Tanggal 5 Juli 1959, seluruh partai
politik dipaksa untuk mendukung ideologi
NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Semua partai politik, termasuk partai politik islam dipaksa untuk mendukung ideologi
ini. Partai politik yang menolak NASAKOM
adalah Partai Masyumi. Oleh karena sikapnya
tersebut, Partai Masyumi dibubarkan Soekarno pada Tahun 1960 (Romli, 2006:3-4).
Pasca era Orde Lama tumbang digantikan oleh era Orde Baru (Juwono Sudarsono (Ed), 1985, xi). Di era Orde Baru sejalan
dengan gaya pemerintahannya yang otoriter
(Mochtar, 2016:81-82), mulai membatasi
kemerdekaan berserikat, dan berkumpul,
terutama untuk ideologi partai politik. Dalam Undang-Undang yang diberi nama Partai Politik, dan Golongan Karya, Pemerintah,
dan DPR mewajibkan Partai Politik, dan
Golongan Karya untuk berideologikan Pancasila. Hal ini terlihat dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang No.3 Tahun 1975 Tentang
Partai Politik, dan Golongan Karya menyebutkan: ”Azas Partai Politik dan Golongan
Karya adalah Pancasila dan Undang-Undang
177

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
Dasar 1945”. Bahkan dalam Pasal I Angka 2
Ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1985
Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik, dan
Golongan Karya mempertegas ideologi partai
politik dengan menyebutkan: ”Partai Politik
dan Golongan Karya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”.
Walaupun pada Tahun 1998, Rezim
Orde Baru berhasil ditumbangkan karena
adanya tuntutan reformasi. Dengan tumbangnya orde baru, maka dimulailah kehidupan ketatanegaraan yang baru, yang akrab
disebut reformasi (Muntoha, 2010, 1), Reformasi yang terjadi di Indonesia menuntut
adanya reformasi di bidang politik. Salah satu
bukti reformasi di bidang politik (Ni’matul
Huda, 2008, 196), pada awal reformasi diundangkan Undang-Undang No.2 Tahun 1999
Tentang Partai Politik. Akan tetapi, sekalipun
sudah di Era Reformasi, Undang-Undang
No.2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik masih mewajibkan setiap partai politik untuk
berideologikan Pancasila. Hal ini bisa dilihat
dalam Pasal 2 Ayat (2) yang berbunyi:
Partai Politik yang dibentuk sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memenuhi syarat:
a.
mencantumkan Pancasila sebagai
dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam anggaran dasar
partai;
b. asas atau ciri, aspirasi dan program Partai Politik tidak bertentangan dengan
Pancasila.
Dinamika Ideologi Partai Politik terjadi
di Undang-Undang No.31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik sebagai Undang-Undang
Partai Politik pengganti Undang-Undang
No.2 Tahun 1999. Dalam Pasal 5 UndangUndang No.31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik membebaskan partai politik untuk
menentukan asas, dan ciri selama tidak bertentangan dengan Pancasila (Ifan Noor Adham, 2007, 32). Akan tetapi, dalam UndangUndang No.2 Tahun 2008 Tentang Partai
Politik1 kembali dipertegas bahwa asas, dan
1Undang-Undang Organik terbaru tentang
Partai Politik, yaitu: Undang-Undang No.2
Tahun 2011, akan tetapi Undang-Undang ini
hanya merupakan revisi terbatas dari UndangUndang No.2 Tahun 2008. Jadi mengenai
178
ciri partai politik merupakan penjabaran dari
Pancasila, dan UUD 1945. Jadi pengaturan
ideologi dalam Undang-Undang No.2 Tahun
2008 menggugurkan pengaturan ideologi dalam Pasal 5 Undang-Undang No.31 Tahun
2002. Pasal 9 Undang-Undang No.2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik, berbunyi:
1)Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri
tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita Partai Politik yang
tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Penggunaan asas Pancasila sendiri sebagai asas tunggal untuk partai politik menimbulkan pro-kontra di kalangan umat
islam. Menurut Deliar Noer penggunaan
pancasila sebagai satu-satunya asas mengakibatkan empat hal (Noer, 1983:60-61):
1.Asas tunggal menafikan kebhinekaan
masyarakat yang berkembang menurut
keyakinan masing-masing. Keyakinan
ini bisa bersumber pada ajaran agama
atau keyakinan lain;
2. Asas tunggal menghalangi orang-orang
yang sama-sama keyakinan untuk
mengelompok sesamanya, dan bertukar fikiran dengan sesamanya berdasarkan keyakinan, termasuk agama
yang dianutnya masing-masing;
3. Asas tunggal menafikan hubungan antara agama, dan politik;
4.Asas tunggal mengandung kecenderungan ke arah sistem partai tunggal;
5.Asas tunggal menghalangi kemungkinan faham-faham yang bersumber dari
agama, yang mungkin memperkuat
Pancasila.
Jika dikaitkan dengan konsep Negara
pengaturan ideologi, dalam Undang-Undang
ini masih diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang
No.2 Tahun 2008.

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
hukum, dimana syarat Negara hukum yang
pertama, dan utama adalah memberikan jaminan, dan perlindungan hak asasi manusia
(Asshiddiqie, 2006:141), juga pertanyaan
mengapa ada partai politik di suatu Negara?
karena implementasi dari kebebasan berserikat, dan berkumpul yang merupakan bagian
dari hak asasi manusia (Safa’at, 2009:24).
Kebebasan berideologi untuk partai
politik sendiri merupakan bagian dari hak
asasi manusia, mengingat ideologi partai politik tidak harus sama dengan ideologi Negara (Mohammad Novrizal Bahar, 2016) Untuk
itulah penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip Negara Hukum Indonesia”. Berdasarkan latar belakang
masalah, yang menjadi rumusan masalah
dalam paper ini adalah: (1). Mengapa dalam
Undang-Undang Partai Politik, Pembentuk
Undang-Undang mewajibkan setiap partai
politik di Indonesia berideologikan Pancasila?, dan (2). Apakah Kewajiban Parpol Berideologi Pancasila sudah sejalan dengan Prinsip-Prinsip Negara Hukum Indonesia?.
2.Metode Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang Penulis teliti, penelitian ini adalah penelitian
hukum (legal research). Menurut F. Sugeng
Istanto, penelitian hukum adalah penelitian
yang diterapkan atau diberlakukan khusus
pada ilmu hukum (Istanto, 2007:29). Berdasarkan identifikasi masalah sebagaimana
diuraikan di depan, metode penelitian yang
tepat untuk maksud tersebut ialah metode
penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang secara doktrinal meneliti dasar aturan dan perundang-undangan (Soekanto,
1986:10) mengenai partai politik di Indonesia.
Pendekatan penelitian yang akan digunakan dalam penyusunan paper ini adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis, dan pendekatan politik. Pendekatan perundang-undangan ini akan melakukan pengkajian perundang-undangan
yang berhubungan dengan tema sentral penelitian, selain itu juga digunakan pendekatan
lain yang diperlukan guna memperjelas ana-
lisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian
normatif (Ibrahim, 2006:295).
Pendekatan historis dipilih karena penulis ingin melihat mengapa dalam UndangUndang Partai Politik menetapkan Pancasila
sebagai sati-satunya asas untuk partai politik
dalam Risalah Rapat Pembentukan UndangUndang No.3 Tahun 1985, sehingga dengan
pendekatan historis diharapkan latar belakang perubahan-perubahan itu sendiri dapat dipahami secara utuh dengan melakukan penjelajahan dan pelacakan atas sejarah
(Marzuki, 2005:126)
Pendekatan politik Penulis pilih karena
ketentuan undang-undang dasar dan peraturan perundang-undangan lainnya lahir sebagai produk kesepakatan politik yang oleh
K.C. Wheare diistilahkan sebagai resultante
dari berbagai kekuatan (politik, ekonomi dan
sosial) yang berjalan pada waktu pembentukan (Wheare, 2003:103). Menurut Moh.
Mahfud MD, Pendekatan politik adalah pendekatan yang digunakan agar mengetahui
pertimbangan elite kekuasaan politik dan
partisipasi massa dalam pembuatan dan penegakan berbagai peraturan hukum (Mahfud MD, 1993:68). Pendekatan politik akan
membantu Penulis dalam melihat hukum dalam arti “law in action”, sebagai pelengkap
dari “law in the books” (Rahardjo, 1980:71).
Tanpa pendekatan politik akan menjadi sulit
bagi Penulis untuk memahami maksud suatu
norma dan latar belakang pergulatan politik
yang akhirnya melahirkan norma tersebut sebagai suatu kesepakatan politik hukum Mahfud MD, 1999:4).
Data atau informasi dalam penelitian
ini diperoleh secara kualitatif, dan disajikan
dengan pendekatan deskriptif-analitis, yaitu
dasar hukum, data dan fakta-fakta yang ada
dideskripsikan dan kemudian dianalisis berdasarkan teori. Analisis ini ditujukan untuk
memecahkan masalah hukum (Mertokusumo, 2009: 32).
3.Hasil Penelitian dan Pembahasan
Original Intent Pembentukan, dan Proses
Pembahasan Pasal Tentang Kewajiban Partai Politik Berideologikan Pancasila dalam
Undang-Undang Partai Politik.
179

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
Dalam melihat Original Intent (Maksud, dan Tujuan) Pembentukan, dan Proses
Pembahasan Undang-Undang (Isra, 2013)
Partai Politik. Penulis merasa perlu meneliti
dan melihat konfigurasi politik dalam risalahrisalah rapat pembentukan Undang-Undang
Partai Politik terutama pengaturan tentang
Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk seluruh partai politik di Indonesia.
Konsep asas tunggal Pancasila yang
Penulis telusuri bermula dari pidato Preside Soeharto di Pekanbaru, Riau, dalam
Pembukaan Rapim ABRI Tanggal 27 Maret
1980, dan Ulang Tahun Kopassus Tanggal
16 April 1980. Dalam kedua pidato itu Presiden Soeharto menginginkan agar Pancasila, dan UUD 1945 menjadi landasan dasar
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Hal ini agar Pancasila tidak
disalahgunakan, dan dirongrong oleh berbagai kekuatan, baik itu ekstrim kiri, maupun
ekstrim kanan. Keinginan Presiden Soeharto
itu lalu pada Sidang Paripurna DPR Tanggal
16 Agustus 1980 ditegaskan kembali perlunya asas tunggal pancasila bagi kekuatan sosial politik di Indonesia (Romli, 2006:68).
Kebijaksanaan tentang asas tunggal
pancasila dalam sistem kepartaian di Indonesia untuk pertama kali dimuat dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1983 Tentang GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN), yang
menyatakan bahwa (Ditjen Dikti Depdikbud,
1984:107):
Untuk memantapkan stabilitas di bidang politik haruslah diusahakan makin kokohnya
persatuan, dan kesatuan bangsa, serta makin
tegak tumbuhnya kehidupan yang konstitusional, demokratis, dan berdasarkan hukum
berlandaskan UUD 1945. Dalam rangka ini,
dan kelestarian, dan pengamalan pancasila, kekuatan-kekuatan sosial politik khususnya Partai Politik, dan Golongan Karya harus
benar-benar menjadi kekuatan sosial politik
yang hanya bersaskan pancasila sebagai satusatunya asas.
Kebijaksanaan tersebut oleh Presiden
Soeharto dijelaskan bahwa (Suara Merdeka,
16 Agustus 1984, 13-14):
Apabila kekuatan sosial politik telah meng180
gunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas,
maka di masa depan, semua kekuatan sosial
politik itu akan berlomba-lomba menawarkan
gagasan yang sebaik-baiknya, dan tokoh-tokoh
yang secakap-cakapnya kepada bangsanya
dalam perlombaan besar pembangunan besar
sebagai pengamalan pancasila dalam rangka mencapai tujuan nasional. Oleh karena
semua kekuatan politik telah secara terbuka
menegaskan Pancasila sebagai satu-satumya
asas, maka akan mudah dicegah, dan dihindarkan menajamnya pertentangan golongan
dalam usaha mencapai tujuan masing-masing
yang mengakibatkan timbulnya bentrokan,
dan membahayakan persatuan, dan kesatuan
nasional.
Dengan penegasan semua kekuatan sosial
politik mengenai satu-satunya asas Pancasila yang mereka gunakan, maka di satu pihak
maka kita semua akan terbebas dari sisa-sisa
saling curiga, dan saling khawatir yang telah
tumbuh karena pengalaman nyata di masa
lalu; dan di pihak lain, lenyapnya saling curiga, dan saling khawatir tadi akan menyegarkan
tumbuh suburnya demokrasi pancasila.
Dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas,
tidak berarti kita akan mengabaikan atau menurunkan kadar kita dalam usaha mengembangkan kehidupan Bergama di Indonesia.
Sebaliknya kita akan mengembangkan hubungan yang sebaik-baiknya antara kehidupan
beragama, dan kehidupan politik dalam masyarakat Indonesia.
Agama-agama merupakan sumber motivasi, dan inspirasi bagi penganutnya masingmasing, untuk sebagai warga Negara yang
bertanggung jawab menjatuhkan pilihannya
kepada kekuatan sosial politik yang ada, yang
semuanya telah menggunakan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Dengan demikian maka
setiap agama yang ada di Indonesia dapat
memberikan dasar etik, dan moral yang kuat
kepada kehidupan politik.
Dengan demikian, pemahaman terhadap Kebijaksanaan tentang asas tunggal pancasila di atas merupakan usaha pemerintah
untuk mengeliminir ideologi partai-partai politik di Indonesia, yaitu menghapuskan asas

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
lain di luar Pancasila (Priyanto, 2015:117).
Menurut Moh. Mahfud MD, langkah Soeharto untuk melakukan emaskulasi terhadap
partai politik, dan menguatkan Golongan Karya yang dijadikan partai pemerintah adalah
upaya yang dilakukan Soeharto untuk menjadikan Orde Baru sebagai negara yang kuat.
Langkah-langkah utama untuk menjadikan
Orde Baru sebagai negara yang kuat melakukan penggarapan terhadap Undang-Undang
Partai Politik, dan Golongan Karya (Mahfud
MD, 2010:214) yang nantinya mengatur, dan
mewajibkan setiap partai politik di Indonesia
untuk berasas tunggal Pancasila.
Undang-Undang pertama yang mewajibkan Pancasila sebagai satu-satunya asas
untuk setiap partai politik di Indonesia adalah
Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang
Tentang Partai Politik, dan Golongan Karya
merupakan usulan dari Pemerintah, dimana
dalam Pasal I Angka 2 Ayat (1) menyebutkan:
”Partai Politik dan Golongan Karya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”.
Untuk melihat alasan mengapa Pembentuk Undang-Undang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas untuk setiap
partai politik di Indonesia. Penulis merasa
perlu melihat Original Intent Pembentukan,
dan Proses Pembahasan Undang-Undang
No.3 Tahun 1985, dimana dalam Rapat Ke1, Ketua Panitia Khusus Lima Rancangan Undang-Undang Tentang Politik, Suhardiman
mengatakan (DPR RI, 10 Januari 1985, 2):
Sesuai amanat Ketetapan MPR No.II/
MPR/1983 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) bahwa Partai Politik, dan
Golongan Karya harus berlandaskan Pancasila
sebagai satu-satunya asas, maka Pansus, dan
Pemerintah tidak akan membuat Undang-Undang baru tentang Partai Politik, dan Golongan
Karya, tetapi ingin berusaha meningkatkan,
dan memantapkan struktur kehidupan politik
di Indonesia yang berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas.
Seperti gayung bersambut, Nurhasan
Ibnuhadjar yang mewakili Fraksi Persatuan Pembangunan dalam pandangan umum
mininya menyatakan: (DPR RI, 10 Januari
1985, 6).
Mengenai masalah asas, Fraksi kami berpendapat sudah tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan. Dalam Muktamar partai kami yang
dilaksanakan Agustus 1984, asas Pancasila sebagai satu-satunya asas telah diterima, dalam
telah dimasukkan dalam AD/ART Partai.
Hal ini makin diperkuat oleh Sugandhi Kartosubroto yang mewakili Fraksi Karya
Pembangunan dalam pandangan umum
mininya menyatakan: “Organisasi kekuatan
sosial politik adalah organisasi kader yang
beranggotakan perorangan, berpegang pada
Pancasila sebagai satu-satunya asas serta berorientasi pada program pembangunan nasional” (DPR RI, 10 Januari 1985, 12).
Fraksi ABRI adalah fraksi yang paling
tegas, dan konsisten mendukung Pancasila
sebagai satu-satunya asas yang dibuktikan
dari pandangan umum mini Fraksi ABRI yang
diwakili Harsono dengan menyatakan: “Fraksi ABRI berpendapat Pancasila sebagai satusatunya asas bagi Partai Politik, dan Golongan
Karya merupakan keharusan yang tidak dapat
ditunda-tunda lagi” (DPR RI, 10 Januari 1985,
27). Mengingat ketiga fraksi yang ada di DPR
sudah menyetujui Pancasila sebagai satu-satunya asas, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia
tidak ada pilihan lain selain menyetujui apa
yang diusulkan Pemerintah yang sudah didukung oleh F-PP, F-KP, dan F-ABRI. Hal ini ditunjukkan oleh sikap F-PDI yang diwakil oleh
Adipramoto yang menyatakan: “Partai Politik,
dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”
(DPR RI, 10 Januari 1985, 19).
Dalam sidang ke II, Pemerintah yang
diwakili Menteri Dalam Negeri, Supardjo
Rustam yang menegaskan: “Demi kelestarian,
dan pengamalan Pancasila, kekuatan sosial
politik di Indonesia, khususnya Partai Politik,
dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”
(DPR RI, 11 Januari 1985, 10). Sampai pada
persidangan terakhir, di Sidang ke-5 UndangUndang Partai Politik, dan Golongan Karya,
sikap semua fraksi yang ada di DPR, dan juga
Pemerintah tidak berubah atau bahasa anggota DPR dewasa ini ”tidak ke masuk angin”
181

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
tetap konsisten mendukung, dan Pancasila
sebagai satu-satunya asas (DPR RI, 4 Februari
1985, 1-12). Undang-Undang Partai Politik,
dan Golongan Karya yang diberi nomor oleh
Kementrian Sekretariat Negara sebagai Undang-Undang No.3 Tahun 1985, dan ditandatangani Presiden, serta dimasukkan dalam
lembaran negara Tanggal 19 Februari 1985.
Setelah penulis mempelajari original
intent dari risalah-risalah rapat pembentukan
Undang-Undang No.3 Tahun 1985, Penulis berkesimpulan DPR RI, dan Pemerintah
setuju untuk menjadikan Pancasila sebagai
satu-satunya asas untuk setiap partai politik
di Indonesia tujuannya semata-mata untuk
stabilitas basional, yaitu untuk mencegah,
dan menghindarkan pertentangan antar golongan dalam usaha mencapai tujuan masing-masing yang mengakibatkan timbulnya
bentrokan, dan membahayakan persatuan,
dan kesatuan nasional.
Menurut Moh. Mahfud MD, kelima paket Undang-Undang Tentang Politik adalah
produk hukum yang berkarakter ortodoks/
elitis/konservatif karena tujuan dari Pmerintah Orde Baru adalah menciptakan Pemerintahan yang kuat yang dapat menjamin
stabilitas nasional guna melaksanakan pembangunan yang yang bertitik berat pada ekonomi. Untuk itu diperlukan suasana politik
yang stabil dalam membangun Negara (Mahfud MD, 2010:313). Guna mendapatkan suasana politik yang stabil, Pemerintah Orde
Baru terbiasa mengontrol oposisi dengan cara
yang represif (Mahfud MD, 2010:225), akan
tetapi Pemerintah Orde Baru membungkus
tindakan-tindakan represif itu dengan jalan
yang konstitusional (Mahfud MD, 2010:308)
melalui pembatasan demokrasi politik, salah
satunya dengan menseragamkan ideologi untuk setiap partai politik di Indonesia melalui
Undang-Undang agar terkesan tidak melanggar hukum.
Kewajiban Partai Politik Berideologikan Pancasila merupakan pembatasan hak
dan kebebasan sesuai dengan prinsip negara
hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal
ini pengawasan terhadap asas Partai Politik
merupakan salah satu bentuk pembatasan
konstitusional yang dilaksanakan oleh negara. Ideologi Pancasila yang pertama kali dite182
gaskan sebagai satu-satunya asas bagi Partai
Politik dalam Ketetapan No. II/MPR/1983
dan Undang-Undang No.3 Tahun 1985.
Dalam Undang-Undang Partai Politik di era
Reformasipun, Pembentuk Undang-Undang
masih memandang Pancasila sebagai Ideologi Paripurna untuk asas partai politik.
Kewajiban Partai Politik Berasas Tunggal
Pancasila Dilihat Dalam Perspektif Prinsip-Prinsip Negara Hukum Indonesia
Original Intent Pembatasan Kemerdekaan
Berserikat dan Berkumpul Dalam UUD
1945
Di dalam kenyataannya hak asasi manusia memang tidak dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya, dalam arti tanpa batas, mengingat tiap-tiap individu mempunyai
hak yang sama. Oleh karena itu harus saling
menghormati yang berarti pula adanya saling
membatasi diantara individu-individu. Menurut Padmo Wahjono, hanya secara teoritis
abstrak kita dapat membayangkan HAM yang
mutlak tanpa memerlukan perumusan dalam
hubungannya dengan masyarakat (Wahjono,
1983: 10).
Pelaksanaan hak asasi manusia yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat dilepaskan dari cita hukum, nilai-nilai, dan pandangan hidup yang
dianut Indoneisa yang termuat dalam Pancasila. Ketiga hal tersebut menjadi dasar falsafah pelaksanaan hak asasi manusia dalam
peraturan perundang-undangan. Artinya,
adanya jamian perlindungan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dalam pelaksanaanya
harus dimaknai secara holisitik dalam kaitannya dengan cita hukum, nilai-nilai dan pandangan hidup bangsa Indonesia (Soendari
dan Udayati, (Ed), 1996:61).
Negara hukum Indonesia mengenal
dan menjamin hak asasi manusia yang bukan
ekspresi individualisme atau kolektivisme.
Dasar falsafah hak asasi manusia di Indonesia
adalah terletak pada adanya keseimbangan
dengan kewajiban asasinya sebagai anggota
masyarakat. Pemikiran ini berimplikasi bahwa dalam hak asasi manusia, kepentingan
pribadi seseorang tetap diletakkan dalam kerangka kesadaran kewajiban masyarakatnya,

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
dan kewajiban terhadap masyarakat dirasakan lebih besar dari kepentingan seseorang
(Mahfud MD, 2011:7).
Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, merupakan landasan
konstitusional untuk kegiatan-kegiatan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran
baik lisan maupun tertulis. Atas dasar landasan konstitusional mengenai kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, manusia sebagai
makhluk sosial diberikan haknya untuk dapat hidup berkelompok baik yang bersifat
tetap maupun yang bersifat tidak tetap atau
sementara yang di dalam UUD 1945 diberi
istilah berserikat dan berkumpul. Ketentuan
yang bersifat pokok atau mendasar tentang
berserikat atau berorganisasi tersebut membentuk landasan konstitusional untuk mendirikan organisasi-organisasi yang ada di Indonesia (Winayanti, 2011 (2):11-28), termasuk
Partai Politik.
Kebebasan mengeluarkan pendapat
diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan bahwa: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul,
dan mengeluarkan pendapat”. Kebebasan
mengeluarkan pendapat mencakup hak untuk mencari, menerima dan menyebarkan
gagasan serta informasi dalam menyalurkan
aspirasi. Kebebasan ini merupakan suatu hak
yang memiliki banyak sisi yang menunjukkan keluasan dan cakupan hukum hak asasi
manusia. Hal ini memberi konsekuensi bahwa setiap tindakan manusia atau kelompok
orang, bukanlah tidak terbatas. Harus ada
langkah-langkah untuk memastikan agar kebebasan mengeluarkan pendapat tidak merugikan hak dan kebebasan orang lain (Marzuki, et.al, 2008:100-101).
Walaupun kebebasan merdeka, berserikat dan berkumpul merupakan hak konstitusional setiap warga Negara, tapi makna
kebebasan tersebut jangan dimaknai sebebas-bebasnya tanpa mengindahkan norma
hukum dan norma-norma yang lain. Sebab
pemaknaan hak asasi manusia, termasuk hak
atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat harus diletakkan dalam konteks sistem
hukum nasional dengan Pancasila yang menjadi pedoman dasarnya. Pancasila sendiri,
menekankan pada adanya keseimbangan
antara hak dengan kewajiban tiap-tiap warga Negara. Kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat yang dimiliki seseorang dan merupakan hak asasinya tidak boleh merugikan
apalagi melanggar kebebasan dan hak yang
sama yang dimiliki oleh orang lain (Mahfud
MD, 2011:7).
Itulah esensi dan makna dari kebebasan untuk mengeluarkan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945, yang intinya menekankan pada
keseimbangan antara kebebasan dan hak
setiap warga Negara untuk mengeluaran
pendapat dengan kebebasan dan hak warga
Negara yang lain dalam masalah yang sama.
Kesimpulan tersebut diperkuat oleh pendapat perumus Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,
yang salah satu pendapatnya mengemukakan, bahwa (Mahkamah Konstitusi RI, 2008,
171-172):
Kemudian berkaitan dengan masalah hak asasi
tadi di dalam Pasal 28, kami mengkhususkan
tersendiri tentang masalah penekanan mengenai hak asasi. Ayat (1), Negara menjamin
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Ayat
(2) kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
tidak boleh bertentangan dengan norma agama, norma akhlak, norma sopan santun dan
norma hukum. Jadi dua kaidah yang dianut di
dalam kehidupan ini, kaidah pribadi dan kaidah antar pribadi harus kita cantumkan.
Adanya suatu kecenderungan belakangan ini
dengan era reformasi bahwa orang justru lebih
mengedepankan satu kebebasan, sementara
mereka mencoba mengenyampingkan masalah ketertiban padahal antara kebebasan dan
ketertiban adalah merupakan antinomi nilai
yang tidak bisa kita pisahkan satu sama lain.
Jadi boleh orang melakukan kebebasan di dalam melaksanakan praktek kehidupan dalam
pelaksanaan hak asasi manusia, tapi empat
norma ini tidak boleh mereka langgar. Kalaupun mereka berkumpul itu tidak boleh melanggar empat norma, yaitu norma agama,
183

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
norma akhlak yang bersifat kepada pribadi,
norma sopan santun ketika mereka berhubungan dengan orang lain dan norma hukum mereka berhadapan dengan masyarakat secara
keseluruhan, sedangkan norma agama adalah
bagaiaman hubungan mereka dengan Tuhan.
Jadi empat aspek ini tentunya mencakup juga
ajaran-ajaran yang ada di dalam agama mereka.
Jadi, original intent Pasal 28E ayat (3)
UUD 1945 sebenarnya mengacu pada cita
hukum, nilai-nilai, dan pandangan hidup
yang dianut Pancasila, yang dalam konteks
hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat
menekankan pada keseimbangan hak dan
kewajiban. Makna kebebasan mengeluarkan
pendapat tidak bersifat mutlak dan tanpa batas, melainkan terbatas dan dibatasi oleh hak
dan kebebasan yang sama yang dimiliki orang
lain, masyarakat, dan negara. Dalam bahasa
perumus Pasal tersebut dinyatakan bahwa,
setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap seseorang dengan
hati nurani sepanjang tidak merugikan orang
lain (Mahkamah Konstitusi RI, 2008, 224).
Karena hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat harus menghormati dan tidak
merugikan hak orang lain, maka hak tersebut
dapat dibatasi. Pembatasan itu hanya dibenarkan kalau menyangkut ketertiban umum,
kesusilaan misalnya, dan juga barangkali ada
hal yang sangat fundamental untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat
luas melalui undang-undang (Mahkamah
Konstitusi RI, 2008, 149).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hak atas kebebasan untuk
mengeluarkan pendapat dalam Pasal 28E
ayat (3) UUD 1945 didasarkan pada dua hal.
Pertama, di samping hak asasi manusia sebagai hak dasar, ada juga kewajiban dasar manusia dalam rangka hidup berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Kedua, memenuhi
kebutuhan hidup sebagai bangsa yang beradab dan Negara yang modern, dan untuk
memenuhi tanggungjawab moral dan hukum
(Mahkamah Konstitusi RI, 2008, 196-197).
Pancasila adalah Ideologi Paripurna Partai
Politik
Indonesia merupakan negara hukum.
184
Demikian yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” (Hamdan Zoelva, 2011, 15). Dalam Perubahan
UUD 1945 inilah tidak disebutkan lagi bahwa Indonesia menganut konsep Rechtsstaat
namun lebih diterjemahkan kedalam konsep
negara hukum. Yang menjadi pertanyaan
adalah apakah konsep negara hukum yang
sesungguhnya dianut oleh Indonesia pasca
Perubahan UUD 1945, apakah itu Rechtsstaat ataukah Rule of Law?. Untuk dapat
mengetahui apakah konsep negara hukum
yang sebenarnya dianut oleh negara Indonesia adalah dengan melihat pada Pembukaan
dan Pasal-pasal dalam UUD 1945 sebagai
keseluruhan sumber politik hukum Indonesia. Adapun yang menjadikan dasar penegasan keduanya sebagai sumber politik hukum nasional adalah: pertama, Pembukaan
dan Pasal-pasal dalam UUD 1945 memuat
tujuan, dasar, cita hukum, dan pijakan dari
politik hukum Indonesia. Kedua, Pembukaan
dan Pasal-pasal dalam UUD 1945 mengandung nilai khas yang bersumber dari pandangan dan budaya bangsa Indonesia yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa Indonesia
(Mahfud MD, 2006:23).
Dengan melihat pada dua parameter
tersebut jelas bahwa konsep yang dianut oleh
negara hukum Indonesia sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini bukanlah konsep
Rechtsstaat dan bukan pula konsep the Rule
of Law, melainkan membentuk suatu konsep
negara hukum baru yang bersumber pada
pandangan dan falsafah hidup luhur bangsa
Indonesia. Konsep baru tersebut adalah negara hukum Pancasila sebagai kristalisasi pandangan dan falsafah hidup yang sarat dengan
nilai-nilai etika dan moral yang luhur bangsa
Indonesia, sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 dan tersirat di dalam
Pasal-pasal UUD 1945. Dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan norma dasar negara
Indonesia (grundnorm) dan juga merupakan
cita hukum negara Indonesia (rechtsidee) sebagai kerangka keyakinan (belief framework)
yang bersifat normatif dan konstitutif. Bersifat
normatif karena berfungsi sebagai pangkal
dan prasyarat ideal yang mendasari setiap
hukum positif, dan bersifat konstitutif karena

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
mengarahkan hukum pada tujuan yang hendak dicapai. Pada tahap selanjutnya Pancasila menjadi pokok kaidah fundamental negara
“staatsfundamentalnorm” dengan dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 (Mahfud
MD, 2006:23).
Menurut Moh. Mahfud MD, Konsep
negara hukum Pancasila inilah yang menjadi karakteristik utama dan membedakan
sistem hukum Indonesia dengan sistem hukum lainnya, dimana jika dikaitkan dengan
literatur tentang kombinasi antara lebih dari
satu pilihan nilai sosial, disebut sebagai pilihan prismatik yang dalam konteks hukum disebut sebagai hukum prismatik. Dapat dipahami bahwa negara hukum Pancasila adalah
bersifat prismatik (hukum prismatik). Hukum
prismatik adalah hukum yang mengintegrasikan unsur-unsur baik dari yang terkandung
di dalam berbagai hukum (sistem hukum) sehingga terbentuk suatu hukum yang baru dan
utuh (Mahfud MD, 2006:23).
Adapun karakteristik dari negara hukum Pancasila adalah sebagai berikut: Pertama, merupakan suatu negara kekeluargaan. Kedua, merupakan negara hukum
yang berkepastian dan berkeadilan. Ketiga,
merupakan religious nation state. Keempat,
memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum sebagai cermin
budaya masyarakat (Mahfud MD, 2006:2330). Mengingat Pancasila adalah politik hukum yang menjadi kaidah penuntun hukum umum untuk Melindungi semua unsur
bangsa demi integrasi bangsa; Mewujudkan
keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakatan; Mewujudkan demokrasi dan nomokrasi; dan Menciptakan hidup toleransi
beragama (Mahfud MD, 2009:52-54).
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dasar Negara Pancasila perlu difahami konsep, prinsip dan nilai yang terkandung
di dalamnya agar dapat dengan tepat mengimplementasikannya. Namun sebaiknya
perlu diyakini terlebih dahulu bahwa Pancasila memenuhi syarat sebagai Ideologi Partai
Politik di Indonesia dengan beragam suku,
agama, ras dan antar golongan yang ada.
Pancasila memenuhi syarat sebagai Ideologi
Partai Politik di Indonesia dengan alasan sebagai berikut:
a)Pancasila memiliki potensi menampung keadaan pluralistik masyarakat
Indonesia yang beraneka ragam suku,
agama, ras dan antar golongan. Pada
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, menjamin kebebasan untuk beribadah sesuai
agama dan keyakinan masing-masing.
Kemudian pada Sila Persatuan Indonesia, mampu mengikat keanekaragaman
dalam satu kesatuan bangsa dengan
tetap menghormati sifat masingmasing
seperti apa adanya;
b)Pancasila memberikan jaminan terealisasinya kehidupan yang pluralistik,
dengan menjunjung tinggi dan menghargai manusia sesuai dengan harkat
dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan secara berkeadilan yang disesuaikan dengan kemampuan dan hasil usahanya. Hal ini ditunjukkan dengan Sila
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
c)Pancasila memiliki potensi menjamin
keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terbentang dari Sabang
sampai Merauke, yang terdiri atas ribuan pulau sesuai dengan Sila Persatuan Indonesia;
d)Pancasila memberikan jaminan berlangsungnya demokrasi dan hak-hak
asasi manusia sesuai dengan budaya
bangsa. Hal ini, selaras dengan Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan;
e)Pancasila menjamin terwujudnya masyarakat yang adil dan sejahtera sesuai
dengan Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat sebagai acuan dalam mencapai tujuan tersebut;
Pancasila sebagai kaidah negara yang
fundamental berarti bahwa hukum dasar tertulis (UUD), hukum tidak tertulis (konvensi),
dan semua hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam negara
Republik Indonesia harus bersumber dan berada dibawah pokok kaidah negara yang fundamental tersebut (Asshiddiqie, 2009:135).
Menurut Harun Alrasid kedudukan Undang-Undang Dasar bagi suatu negara analog dengan kedudukan anggaran dasar, dan
anggaran rumah tangga bagi suatu partai po185

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
litik atau organisasi lainnya, yaitu merupakan
pegangan pokok bagi tindakan operasional
dari organisasi yang bersangkutan (Alrasid,
2007:150). Segala aktivitas dan fungsi partai
politik itu diselaraskan seperti yang telah tertulis dalam anggaran dasar tersebut.
Penulis berpendapat Pancasila sebagai dasar negara, kedudukannya lebih tinggi dibandingkan asas partai politik yang lain,
dan sudah menjadi fondasi abstrak dalam
mendukung pembangunan nasional, oleh
karena itu konsep ideologi Pancasila apabila
dihadapkan pada HAM yang berlaku konsep negara hukum bahwa negara menjamin
kebebasan berserikat dan berkumpul dalam
berorganisasi tetap membatasinya dengan
hukum, dalam hal ini Undang-Undang Partai
Politik agar dalam hal tujuan, program dan
kegiatan parpol tidak melanggar kepentingan
umum dan UUD 1945. Walaupun bukan garansi, penyebutan secara eksplisit Pancasila
sebagai asas tunggal untuk parpol, menjadi pedoman untuk parpol tidak melakukan
pelanggaran substansial terhadap nilai-nilai
Pancasila. Akan tetapi, demi mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, sebaiknya Pancasila tetap sebagai dijadikan asas bagi setiap
parpol. Untuk itu penulis melihat kewajiban
Partai Politik berideologikan Pancasila harus
dipandang dalam konteks Negara Hukum Indonesia.
4.Simpulan
Kewajiban Partai Politik Berideologikan Pancasila merupakan pembatasan hak
dan kebebasan sesuai dengan prinsip negara
hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal
ini pengawasan terhadap asas Partai Politik
merupakan salah satu bentuk pembatasan
konstitusional yang dilaksanakan oleh negara. Ideologi Pancasila yang pertama kali ditegaskan sebagai satu-satunya asas bagi Partai
Politik dalam Ketetapan No. II/MPR/1983
dan Undang-Undang No.3 Tahun 1985.
Dalam Undang-Undang Partai Politik di era
Reformasipun, Pembentuk Undang-Undang
masih memandang Pancasila sebagai Ideologi Paripurna untuk asas partai politik.
Penulis berpendapat Pancasila sebagai dasar negara, kedudukannya lebih ting186
gi dibandingkan asas partai politik yang lain,
dan sudah menjadi fondasi abstrak dalam
mendukung pembangunan nasional, oleh
karena itu konsep ideologi Pancasila apabila
dihadapkan pada HAM yang berlaku konsep negara hukum bahwa negara menjamin
kebebasan berserikat dan berkumpul dalam
berorganisasi tetap membatasinya dengan
hukum, dalam hal ini Undang-Undang Partai
Politik agar dalam hal tujuan, program dan
kegiatan parpol tidak melanggar kepentingan
umum dan UUD 1945. Walaupun bukan garansi, penyebutan secara eksplisit Pancasila
sebagai asas tunggal untuk parpol, menjadi pedoman untuk parpol tidak melakukan
pelanggaran substansial terhadap nilai-nilai
Pancasila. Akan tetapi, demi mencegah terjadinya disintegrasi bangsa, sebaiknya Pancasila tetap sebagai dijadikan asas bagi setiap
parpol. Untuk itu penulis melihat kewajiban
Partai Politik berideologikan Pancasila harus
dipandang dalam konteks Negara Hukum Indonesia.
Daftar Pustaka
Adham, Ifan Noor. 2007. Sumbangan Perusahaan Untuk Partai Plitik Perspektif Undang-Undang No.1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.
Adi, Rianto. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Alrasid, Harun. 2007. Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR, Jakarta: Universitas
Indonesia (UI-Press).
Amin, SM. 1976. Demokrasi Selayang Pandang, Jakarta:
Pradnya Paramita.
Asshiddiqie, Jimly. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat
dalam Konstitusi, dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve.
Assiddiqie, Jimly. 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi RI.
Assiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata
Negara. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bahar, Saafroedin, et.al, (Ed). 1995. Risalah Sidang
Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)-Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei

Putra Perdana & Ahmad Saifulloh, Kewajiban Partai Politik Berideologi Pancasila Ditinjau dari Prinsip-Prinsip...
1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Bell, Daniel. 2001. Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.
Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Departemen Pendidikan, dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1984. UUD
1945, P4, GBHN, TAP-TAP MAPR 1983, Pidato
Pertanggungjawaban Presiden/Mandataris, Bahan Penataran, dan Bahan Referensi Penataran.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan, dan Kebudayaan.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1985. Catatan Panitia Khusus Lima Rancangan Undang-Undang Tentang
Politik. Tanggal 10 Januari 1985, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1985. Catatan Panitia Khusus Lima Rancangan Undang-Undang Tentang
Politik. Tanggal 11 Januari 1985. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1985. Catatan Rapat Panitia
Khusus Lima Rancangan Undang-Undang Partai
Politik, dan Golongan Karya. Tanggal 4 Februari
1985. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI.
Endra, W. Surya. Kamus Politik, Surabaya: Studi Grup
Surabaya.
Huda, Ni’matul. 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Ibrahim, Johny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian
Hukum Normatif, Malang: Bayu Media.
Istanto, F. Sugeng. 2007. Penelitian Hukum, Yogyakarta:
CV Ganda.
Kania Winayanti, Nia. 2011 (2). Dasar Hukum Pendirian
dan Pembubaran Ormas (Organisasi Kemasyarakatan). Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Kania Winayanti, Nia. Makna Pasal 28 UUD 1945
terhadap Kebebasan Berserikat dalam Konteks
Hubungan Industrial. Jurnal Konstitusi, Volume
8. No.6. Desember 2011
Kranenburg. Ilmu Negara Umum. Diterjemahkan oleh
Sabaroedin. 1980, Jakarta: Pradnya Paramita.
Marzuki, Pieter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.
Marzuki, Suparman, et.al. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia.
MD, Moh Mahfud. 1993. Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
terhadap Karakter Produk Hukum di Indonesia.
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Univer-
sitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
MD, Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media.
MD, Moh. Mahfud. 2006. Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES.
MD, Moh. Mahfud. 2009. Konstitusi, dan Hukum
dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers.
MD, Moh. Mahfud. 2010. Politik Hukum di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers.
MD, Moh. Mahfud. 2011. Perdebatan Hukum Tata
Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta:
Rajawali Pers.
Mertokusumo, Sudikno. 2009. Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
Mochtar, Zainal Arifin. 2016. Lembaga Negara Independen: Dinamika Perkembangan, dan Urgensi
Penataannya Kembali Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers.
Muntoha. 2010. Otonomi Daerah dan Perkembangan
Peraturan Daerah Bernuansa Syariah. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Noer, Deliar. 1983. Islam, Pancasila, dan Asas Tunggal.
Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.
Perwira, Indra. Pembatasan Hak Berserikat, dan Berkumpul. Makalah Tanpa Tahun, dan Tanpa
Penerbit: 2.
Priyanto, At. Sugeng. 2015. Dinamika Ideologi Partai
Politik Keagamaan Pada Masa Orde Baru, Yogyakarta: Magnum Pustaka Utama.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan Masyarakat,
Bandung: Angkasa.
RI, Mahkamah Konstitusi. 2008. Naskah Komprehensif
Perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Latar Belakang,
Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku
VIII Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia, dan Agama. Jakarta: Sekretariat Jendral
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Romli, Lili. 2006. Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah
Perkembangan Partai-Partai Islam di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dengan Pusat Penelitian Politik LIPI.
Safa’at, Muchamad Ali. 2009. Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan
Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004).
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Soehino. 1980. Ilmu Negara, Liberty: Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soendari, Siti, dan Udayati, Agni (Ed). 1996. Hukum
187

Pandecta. Volume 11. Nomor 2. December 2016
Adat (dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan
Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi) Kumpulan Lima Makalah dari Prof. Dr. H. Moh. Koesnoe, S.H. Surabaya: UBHARA Press.
Soewargo Kartodihardjo. 1983. Asas-Asas Hukum Tata
Negara, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada.
Sudarsono, Juwono (Ed). 1985 Pembangunan Politik
dan Perubahan Politik, Sebuah Bunga Rampai.
Jakarta: PT Gramedia.
Suny, Ismail. 1977. Mekanisme Demokrasi Pancasila.
Jakarta: Aksara Baru.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Wahjono, Padmo. 1983. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wheare, K.C. 2003. Modern Constitutions. Diterjemahkan oleh Muhammad Hardani, Surabaya: Pustaka Eureka.
Zoelva, Hamdan. 2011. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang No.3 Tahun 1975 Tentang Partai Poli-
188
tik, dan Golongan Karya.
Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang No.3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik, dan Golongan Karya.
Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai
Politik.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Hasil Wawancara/Koran
Hasil wawancara Penulis dengan Guru Besar Hukum
Tata Negara Universitas Andalas, Prof. Dr. Saldi
Isra, S.H, MPA di Kampus Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Jl. Cik
Ditiro, No.1, Yogyakarta, Hari Sabtu, Tanggal 8
Desember 2013, Pukul 16.00 WIB..
Hasil wawancara Penulis dengan Dr. Margarito Kamis,
S.H., M.Hum, di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Depok, Jawa Barat, Tanggal 24 Mei
2016, Pukul 12:00 WIB.
Pidato Kenegaraan Presiden RI, Soeharto, di Depan
Sidang DPR, Tanggal 16 Agustus 1984, dalam
Suara Merdeka, Tanggal 16 Agustus 1984.

Download