BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai sel (cellmediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014). 2.2. Penyebab Tuberkulosis Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA) (Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun (Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis 11 12 tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013). 2.3. Cara Penularan Tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percian dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes RI, 2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan, lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013). 13 Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler, sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula. 2.4. Pathogenensis Tuberkulosis 2.4.1. Infeksi Primer Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Depkes RI, 2008). Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister 14 atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2008). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25% sebagai “kasus kronik” yang tetap menular (WHO, 1999). 2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2008). 2.5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis 2.5.1. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam : a. Tuberkulosis Paru BTA Positif Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan 15 biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk (Depkes RI, 2008). Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan. 2.5.2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu : a. TBC Ekstra Paru Ringan Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 16 b. TBC Ekstra Paru Berat Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes RI, 2008). 2.6. Gejala Tuberkulosis Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari sebulan. Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut: a. Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik. b. Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TBC pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain. 17 c. Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. d. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel, paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha. e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to thrive). f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain. g. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare. 2.7. Diagnosis Tuberkulosis 2.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa. Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium Tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2013). Diagnosis tuberkulosis ditegakkan dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) yaitu: a. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung ke tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC. 18 b. Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari segera setelah bangun tidur. c. Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi ke tempat pengobatan. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS diulang. Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak mendukung TBC, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan biakan/kultur. Pemeriksaan biakan/kultur memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana memilikinya, sehingga jarang dilakukan (Depkes RI, 2008). Saat ini di Indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan diagnosis TBC pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC. Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TBC milier dan morbili (Depkes RI, 2008). 2.7.2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak. TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil 19 dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain melihat gejala umum TBC anak, seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008). a. Uji Tuberkulin (Mantoux) Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan) dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit sangat berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2008). b. Reaksi Cepat BCG Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium tubercolosis (Depkes RI, 2008). 20 c. Foto Rontgen dada Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah milier, atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja (Depkes RI, 2008). d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara Polymery Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008). e. Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. 21 Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa (IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TBC anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC. Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut: parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TBC menular mempunyai nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Diagnosis TB Anak ditegakkan oleh Dokter. Jika dijumpai skrofulderma, maka langsung didiagnosis TBC. Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak dan diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 22 Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TBC di Fasyankes Parameter Kontak TBC 0 Tidak jelas 1 - Uji tuberkulin (Mantoux) Negatif - 2 Laporan keluarga, BTA (-) / BTA tidak jelas/ tidak tahu - - BB/TB<90% atau BB/U<80% Demam yang tidak diketahui penyebabnya Batuk kronik Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Foto toraks - ≥2 minggu - ≥3 minggu ≥1 cm, lebih dari 1 KGB, tidak nyeri Ada pembengkakan - - - - Gambaran sugestif (mendukung) TB Skor Total - - Normal/ kelainan tidak jelas Skor Positif (≥10 mm atau ≥5 mm pada imunokompromais) - Berat Badan/ Keadaan Gizi - Klinis gizi buruk atau BB/TB<70% atau BB/U<60% - 3 BTA (+) - Sumber: Kemenkes RI, 2013 2.8. Faktor Risiko TBC Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu risiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor penentu, yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit. Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit TBC antara lain: 23 2.8.1. Faktor Predisposisi a. Umur. Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan pada usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5 tahun mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2008). b. Pendidikan dan Pengetahuan Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Lina, 2009). c. Perilaku Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TBC Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya (Misnadiarly, 2006). 24 d. Imunisasi Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas seseorang. Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh karena itu diberikan perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa pemberian vaksinasi BCG pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi BCG belum menjamin 100% seseorang tidak akan terkena infeksi TBC namun setidaknya dapat menghindarkan terjadinya TBC berat pada anak (Misnadiarly, 2006). e. Status Gizi Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TBC Paru. Oleh sebab itu salah satu upaya menangkalnya adalah dengan status gizi yang baik (Achmadi, 2005). f. Kontak Penderita Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Semakin sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan yang kurang sehat (Depkes, 2008). 25 g. Status Sosial Ekonomi WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga menurun kemampuannya. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru. Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2005). 2.8.2. Faktor Pendukung a. Kepadatan Hunian Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Depkes RI, 2001). Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaian dengan jumlah 26 penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkankurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota keluarga yang lain ( Notoatmodjo, 2003). b. Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil TBC, karena itu sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. c. Ventilasi dan Kelembaban Udara Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab (Achmadi, 2005). 27 2.8.3. Faktor Pendorong a. Ketinggian Wilayah Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan air laut sebesar 0,5 oC. Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan oksigen, mycobacterium tiberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC (Achmadi, 2005). Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang paling mendasar tergantung dari: a. Tingkat penularan Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penularan (derajat sputum BTA). Pasien TBC dewasa dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC. Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013). b. Lamanya kontak Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru dewasa dan orang dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada paru-paru). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan. Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin besar 28 pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung dan sering berinteraksi langsung (Kemenkes RI, 2013). c. Daya tahan tubuh anak. Menurut WHO (1999), pencetus infeksi TBC anak yang berat adalah daya tahan tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadi sakit TBC. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic) seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi pada seseorang juga akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah satu penyebab lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi. Pemenuhan gizi yang seimbang berkorelasi langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh anak. Makin baik gizinya, makin baik pula imunitas tubuhnya. Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi. Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi. 29 2.9. Pengobatan Penderita Tuberkulosis Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah: menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien, mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT). Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR 30 Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT. Tabel 2. Paduan OAT Kategori I Rumus 2HRZE/ 4H3R3 Indikasi • Penderita baru TB paru BTA positif. • Penderita TBC paru BTA negatif foto toraks positif • Penderita TB ekstra paru Tahap intensif Selama 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat Tahap lanjutan Selama 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat II 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3 • Penderita kambuh (relaps) • Penderita gagal • Penderita dengan pengobatan setelah putus berobat (default) Satu bulan berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat. Selama 2 bulan setiap hari Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat. Selama 4 bulan setiap hari Anak 2RHZ/ 4RH Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak Sumber: Depkes RI, 2008 Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang 31 dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008). 2.9.1. Paduan OAT Anak Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan TBC pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2- 32 4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak Berat badan Intensif (2 bulan) Lanjutan (4 bulan) (kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50) 5-7 1 tablet 1 tablet 8-11 2 tablet 2 tablet 12-16 3 tablet 3 tablet 17-22 4 tablet 4 tablet 23-30 5 tablet 5 tablet Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa Sumber: Kemenkes RI, 2013 2.10. Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas Untuk dapat menjalankan memberikan beberapa pelayanan program pokok kesehatan salah menyeluruh, satunya adalah puskesmas Program Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program penanggulangan TB 33 Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2008). Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu: a. Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana. b. Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis. c. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). d. Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu dengan mutu terjamin. 34 e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan. 2.11. Pencegahan Tuberkulosis Pencegahan dapat dilakukan dengan cara: a. Terapi pencegahan. b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan. c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis. Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB. Terapi pencegahan: Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).