BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tuberkulosis

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TBC (Mycobacterium tuberculosis) (Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah
penyakit infeksius, yang terutama menyerang parenkim paru. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya
termasuk meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002).
Tuberkulosis
merupakan
infeksi
bakteri
kronik
yang
disebabkan
oleh
Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada
jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas yang diperantarai sel (cellmediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).
2.2. Penyebab Tuberkulosis
Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA)
(Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan
pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013),
tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur selama beberapa tahun
(Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human
dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis
11
12
tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara
yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).
2.3. Cara Penularan Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang ke
orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa
atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percian dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap,
sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang
rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan
di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan, kuman
TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui saluran
peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan
oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat
positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes RI,
2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat penularan,
lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013).
13
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,
sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan
meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula.
2.4. Pathogenensis Tuberkulosis
2.4.1. Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TBC.
Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem
pertahanan mukosilier bronkus, dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus
dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC berhasil berkembangbiak
dengan cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam
paru. Saluran limfe akan membawa kuman TBC ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi
sampai pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi
dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif
menjadi positif (Depkes RI, 2008).
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi
daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TBC.
Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister
14
atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita TBC. Masa inkubasi, yaitu waktu yang
diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan
(Depkes RI, 2008). Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita
TBC akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi,
dan 25% sebagai “kasus kronik” yang tetap menular (WHO, 1999).
2.4.2. Tuberkulosis Pasca Primer
Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun
sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca
primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi
pleura (Depkes RI, 2008).
2.5. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
2.5.1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru (parenkim
paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak,
menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi dalam :
a.
Tuberkulosis Paru BTA Positif
Sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Satu
spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan
gambar tuberkulosis aktif. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan
15
biakan kuman TBC positif. Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif
setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasil BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
b.
Tuberkulosis Paru BTA Negatif
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. Foto rontgen dada
menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA negatif rontgen positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan
paru yang luas dan/atau keadaan umum penderita buruk (Depkes RI, 2008). Tidak
ada
perbaikan
setelah
pemberian
antibiotika
non
OAT.
Ditentukan
(dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.5.2. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain
selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium) kelenjar
lymfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan
lain-lain.
TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit yaitu :
a.
TBC Ekstra Paru Ringan
Misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral tulang (kecuali tulang
belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
16
b.
TBC Ekstra Paru Berat
Misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis, pleuritis eksudativa duplex,
TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran kencing dan alat kelamin (Depkes
RI, 2008).
2.6. Gejala Tuberkulosis
Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama tiga
minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau
dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari
sebulan.
Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut:
a.
Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau
berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan
setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b.
Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik
TBC pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum
lain.
17
c.
Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d.
Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel,
paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
e.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
f.
Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g.
Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
2.7. Diagnosis Tuberkulosis
2.7.1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa.
Diagnosis pasti TBC seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan kuman penyebab TBC yaitu kuman Mycobacterium Tuberculosis
pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura
ataupun biopsi jaringan (Kemenkes RI, 2013). Diagnosis tuberkulosis ditegakkan
dengan mengumpulkan riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik, rontgen dada, usap
BTA, kultur sputum, dan tes kulit tuberkulin (Smeltzer & Bare, 2002).
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan 3 spesimen dahak
Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) yaitu:
a.
Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita pertama kali berkunjung ke
tempat pengobatan dan dicurigai menderita TBC.
18
b.
Pagi (P): pengambilan dahak pada keesokan harinya, yaitu pada pagi hari
segera setelah bangun tidur.
c.
Sewaktu (S): pengambilan dahak saat penderita mengantarkan dahak pagi ke
tempat pengobatan.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif bila sekurang-kurang 2 dari 3 spesimen
dahak SPS hasilnya positif. Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan
pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan dahak SPS
diulang. Bila hasil rontgen mendukung TBC, maka penderita didiagnosis
menderita TBC BTA positif, namun bila hasil rontgen tidak mendukung TBC,
maka pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan, maka
dapat
dilakukan
pemeriksaan
biakan/kultur.
Pemeriksaan
biakan/kultur
memerlukan waktu yang cukup lama serta tidak semua unit pelaksana
memilikinya, sehingga jarang dilakukan (Depkes RI, 2008).
Saat ini di Indonesia, uji tuberkulin tidak mempunyai arti dalam menentukan
diagnosis TBC pada orang dewasa, sebab sebagian besar masyarakat sudah
terinfeksi dengan Mycobacterium Tuberculosis karena tingginya prevalensi TBC.
Suatu uji tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan pernah
terpapar dengan Mycobacterium Tuberculosis. Dilain pihak, hasil uji tuberkulin
dapat negatif meskipun orang tersebut menderita tuberkulosis, misalnya pada
penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, TBC milier dan morbili (Depkes RI, 2008).
2.7.2. Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak.
TBC anak adalah penyakit TBC yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun. Diagnosis
paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil
19
dari penderita. Tetapi pada anak hal ini sangat sulit dan jarang didapat, sehingga
sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis, gambaran
foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Selain melihat gejala umum TBC anak,
seorang anak harus dicurigai menderita tuberkulosis bila mempunyai sejarah
kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif dan terdapat reaksi
kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG (dalam 3-7 hari) (Depkes RI, 2008).
a.
Uji Tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan) dengan
semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran
dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi
baik ), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan
adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji
tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit
sangat berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan
dilakukan uji ulang (Depkes RI, 2008).
b.
Reaksi Cepat BCG
Saat penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan
indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi Mycobacterium
tubercolosis (Depkes RI, 2008).
20
c.
Foto Rontgen dada
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto biasanya
sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling
mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar kelenjar hilus atau kelenjar
paratrakeal. Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah milier,
atelektasis/kolaps konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura, kalsifikasi,
bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada diskongruensi antara gambar
klinis dan gambar rontgen harus dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya
dilakukan PA (postero-anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja
(Depkes RI, 2008).
d.
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi
Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya dilakukan
dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak. Pemeriksaan BTA
secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama. Cara baru untuk mendeteksi
kuman TBC dengan cara Polymery Chain Reaction (PCR) atau Bactec masih
belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga pemeriksaan serologis
seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis (Depkes RI, 2008).
e.
Diagnosis TB anak dengan Sistem Skoring
Pada waktu menegakkan diagnosis TBC anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
21
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian
oleh Ikatan Dokter Anak Indoneisa (IDAI), Kemenkes dan didukung oleh WHO
dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis
TBC anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini
membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis
maupun
pemeriksaan
penunjang
sederhana
sehingga
diharapkan
dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TBC.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TBC menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien
dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.
Diagnosis TB Anak ditegakkan oleh Dokter. Jika dijumpai skrofulderma, maka
langsung didiagnosis TBC. Setelah dinyatakan sebagai pasien TBC anak dan
diberikan pengobatan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus dilakukan pemantauan
hasil pengobatan secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon
klinis terhadap pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila
didapatkan respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
22
Tabel 1. Sistem Skoring (scoring system) Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TBC di
Fasyankes
Parameter
Kontak TBC
0
Tidak jelas
1
-
Uji tuberkulin
(Mantoux)
Negatif
-
2
Laporan
keluarga, BTA
(-) / BTA
tidak jelas/
tidak tahu
-
-
BB/TB<90% atau
BB/U<80%
Demam yang tidak
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik
Pembesaran
kelenjar limfe kolli,
aksila, inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi
panggul, lutut,
falang
Foto toraks
-
≥2 minggu
-
≥3 minggu
≥1 cm, lebih dari
1 KGB, tidak
nyeri
Ada
pembengkakan
-
-
-
-
Gambaran
sugestif
(mendukung) TB
Skor Total
-
-
Normal/
kelainan
tidak jelas
Skor
Positif (≥10 mm
atau ≥5 mm pada
imunokompromais)
-
Berat Badan/
Keadaan Gizi
-
Klinis gizi
buruk atau
BB/TB<70%
atau
BB/U<60%
-
3
BTA (+)
-
Sumber: Kemenkes RI, 2013
2.8. Faktor Risiko TBC
Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan suatu
risiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor penentu,
yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat menjadi sakit.
Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan penurunan
risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan dalam
kejadian penyakit TBC antara lain:
23
2.8.1. Faktor Predisposisi
a.
Umur.
Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak dan pada
usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5 tahun mempunyai
risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di Indonesia diperkirakan 75%
penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes,
2008).
b.
Pendidikan dan Pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan
penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang
akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat (Lina, 2009).
c.
Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku yang
mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi/tertular kuman
TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup mulut bila batuk
atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan menjemur kasur
ataupun bantal. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TBC Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan
cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang
sakit dan akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya
(Misnadiarly, 2006).
24
d.
Imunisasi
Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas seseorang.
Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita tuberkulosis, oleh karena itu
diberikan perlindungan terhadap infeksi kuman tuberkulosis berupa pemberian
vaksinasi BCG pada bayi berusia kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi
BCG belum menjamin 100% seseorang tidak akan terkena infeksi TBC namun
setidaknya dapat menghindarkan terjadinya TBC berat pada anak (Misnadiarly,
2006).
e.
Status Gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya kejadian
TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lainnya seperti
ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC merupakan kuman yang dapat
“tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki kesempatan “bangun” dan
menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian penyakit TBC Paru. Oleh sebab
itu salah satu upaya menangkalnya adalah dengan status gizi yang baik (Achmadi,
2005).
f.
Kontak Penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada orang
disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-anak. Semakin
sering seseorang melakukan kontak dengan penderita BTA positif maka semakin
besar pula risiko untuk tertular kuman tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan
kondisi rumah dan lingkungan yang kurang sehat (Depkes, 2008).
25
g.
Status Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang kelompok
sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan secara langsung
namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi
memburuk, perumahan tidak sehat, dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga
menurun kemampuannya. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan
kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru.
Menurut perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan
waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara
total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi, 2005).
2.8.2. Faktor Pendukung
a.
Kepadatan Hunian
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam
m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari kualitas
bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum
10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang.
Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat tidur
yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak
dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2
tahun (Depkes RI, 2001).
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaian dengan jumlah
26
penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab
disamping menyebabkankurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota
keluarga terkena penakit infeksi, akan mudah menularkan kepada anggota
keluarga yang lain ( Notoatmodjo, 2003).
b.
Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu
banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah, terutama
cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat
yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu
banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat
merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil TBC, karena itu
sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
c.
Ventilasi dan Kelembaban Udara
Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran udara
didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan oksigen yang
diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi juga
menyebabkan kelembaban di dalam ruangan meningkat. Kelembaban ini akan
menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/bakteri
penyebab penyakit, misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat mati bila
terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembab (Achmadi, 2005).
27
2.8.3. Faktor Pendorong
a.
Ketinggian Wilayah
Ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban dan suhu lingkungan. Setiap
kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan air laut sebesar 0,5 oC.
Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan oksigen, mycobacterium tiberculosis
sangat aerob, sehingga diperkirakan kerapatan pegunungan akan mempengaruhi
viabilitas kuman TBC (Achmadi, 2005).
Menurut Kemenkes RI (2013), faktor risiko penularan TBC pada anak yang
paling mendasar tergantung dari:
a.
Tingkat penularan
Faktor risiko infeksi TBC anak salah satunya dipengaruhi oleh tingkat penularan
(derajat sputum BTA). Pasien TBC dewasa dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pada pasien TBC dengan BTA
negatif, meskipun masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TBC.
Tingkat penularan pasien TBC BTA positif adalah 65%, pasien BTA negatif
dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TBC dengan hasil kultur
negatif dan foto thoraks positif adalah 17% (Kemenkes RI, 2013).
b.
Lamanya kontak
Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TBC paru dewasa dan
orang dewasa yang menderita TBC paru dengan kavitas (lubang pada paru-paru).
Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk,
bersin dan percakapan. Semakin sering terpajan dan lama kontak, makin besar
28
pula kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang
disebut kontak erat adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering
berkunjung dan sering berinteraksi langsung (Kemenkes RI, 2013).
c.
Daya tahan tubuh anak.
Menurut WHO (1999), pencetus infeksi TBC anak yang berat adalah daya tahan
tubuh yang rendah, di antaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TBC menjadi
sakit TBC. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh
seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic)
seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan
bisa mengakibatkan kematian. Kekurangan gizi pada seseorang juga akan
berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik
terhadap penyakit.
TBC menyebabkan keadaaan gizi anak memburuk dan merupakan salah satu
penyebab lingkaran sebab akibat dari kurang gizi dan infeksi. Pemenuhan gizi
yang seimbang berkorelasi langsung dengan pembentukan sistem imun tubuh
anak. Makin baik gizinya, makin baik pula imunitas tubuhnya. Berat badan adalah
salah satu parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Masa tubuh sangat
sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak seperti terkena infeksi.
Berdasarkan karakteristik ini, maka indeks berat badan dibagi umur digunakan
sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
29
2.9. Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Tujuan
pemberian
pengobatan
menurut
Kemenkes
RI
(2013)
adalah:
menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien,
mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan
TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah
perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Etambutol
(E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap
intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu. Sebagian besar
penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam dua bulan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
a.
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
c.
Kategori Anak: 2HRZ/4HR
30
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan
pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket
kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini
disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan penderita yang
mengalami efek samping OAT KDT.
Tabel 2. Paduan OAT
Kategori
I
Rumus
2HRZE/
4H3R3
Indikasi
• Penderita baru TB paru BTA
positif.
• Penderita TBC paru BTA
negatif foto toraks positif
• Penderita TB ekstra paru
Tahap intensif
Selama 2 bulan,
frekuensi 1 kali
sehari menelan
obat, jumlah 60 kali
menelan obat
Tahap lanjutan
Selama 4 bulan,
frekuensi 3 kali
seminggu, jumlah
54 kali menelan
obat
II
2HRZES/
HRZE/
5H3R3E3
• Penderita kambuh (relaps)
• Penderita gagal
• Penderita dengan pengobatan
setelah putus berobat (default)
Satu bulan
berikutnya selama 1
bulan, 1 kali sehari,
jumlah 30 kali
menelan obat.
Selama 2 bulan
setiap hari
Selama 5 bulan,
3kali seminggu,
jumlah total 66
kali menelan
obat.
Selama 4 bulan
setiap hari
Anak
2RHZ/
4RH
Prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat
dan diberikan
dalam waktu 6 bulan. Dosis
obat harus disesuaikan dengan
berat
badan anak
Sumber: Depkes RI, 2008
Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita
baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
31
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008).
2.9.1. Paduan OAT Anak
Prinsip pengobatan TBC anak adalah OAT diberikan dalam bentuk kombinasi
minimal tiga macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk
membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler, waktu pengobatan TBC pada
anak 6-12 bulan. Pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman
juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan. Pengobatan TBC
pada anak dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap intensif, selama dua bulan pertama.
Pada tahap intensif, diberikan minimal tiga macam obat, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Tahap Lanjutan, selama
4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat
ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk
mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak
diminum setiap hari. Pada TBC anak dengan gejala klinis yang berat, baik
pulmonal maupun ekstra pulmonal seperti TBC milier, meningitis TBC, TBC
tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus
TBC tertentu yaitu TBC milier, efusi pleura TBC, perikarditis TBC, TBC
endobronkial, meningitis TBC, dan peritonitis TBC, diberikan kortikosteroid
(prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis
maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-
32
4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang
sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan
mencegah terjadi perlekatan jaringan.
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah kategori anak dengan 3 macam obat:
2HRZ/4HR dan kategori anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR. Paduan
OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis
Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini
dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus
disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan
pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Tabel 3. Dosis kombinasi pada TB anak
Berat badan
Intensif (2 bulan)
Lanjutan (4 bulan)
(kg)
RHZ (75/50/150)
(RH (75/50)
5-7
1 tablet
1 tablet
8-11
2 tablet
2 tablet
12-16
3 tablet
3 tablet
17-22
4 tablet
4 tablet
23-30
5 tablet
5 tablet
Cat: BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa
Sumber: Kemenkes RI, 2013
2.10. Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas
Untuk
dapat
menjalankan
memberikan
beberapa
pelayanan
program
pokok
kesehatan
salah
menyeluruh,
satunya
adalah
puskesmas
Program
Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program penanggulangan TB
33
Paru yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada
tahun 1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi
DOTS dan dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi
DOTS dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK)
terutama Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar
(Depkes RI, 2008).
Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah penemuan
dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC tipe
menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian
menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan
dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a.
Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b.
Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c.
Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d.
Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu dengan mutu terjamin.
34
e.
Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
2.11. Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara:
a. Terapi pencegahan.
b. Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan.
c. Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis.
Pemberian proflaksis INH pada balita sehat yang memiliki kontak dengan
pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan
tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB.
Terapi pencegahan:
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau AIDS. Obat yang
digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg/kg BB
(tidak lebih dari 300 mg) sehari selama minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).
Download