harmonisasi hukum asean tentang jual beli barang

advertisement
HARMONISASI HUKUM ASEAN
TENTANG
JUAL BELI BARANG INTERNASIONAL DAN PENGADAAN BARANG
& JASA PUBLIK
Bayu Seto Hardjowahono 1
PENDAHULUAN
Sesuai terms of reference yang disampaikan kepada kami untuk memberikan
beberapa sumbangsih pemikiran dalam Forum Harmonisasi Hukum Nasional
dan Hukum Internasional, khususnya di bidang Hukum Dagang, maka dalam
makalah sederhana ini kami akan mencoba memusatkan perhatian pada
beberapa aspek mikro bidang hukum perdagangan, khususnya mengenai:
(a) Harmonisasi di bidang hukum jual-beli barang internasional dengan
mengacu pada the 1980 UNCITRAL Convention on Contracts for the
International Sale of Goods (selanjutnya “CISG”), dan
(b) Harmonisasi di bidang hukum tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik
(Government Procurement), dengan mengacu pada UNCITRAL Model Law
on Public Procurement.
Pembahasan dalam makalah ini dibagi ke dalam dua paragraf utama, yaitu (i)
mengenai ada tidaknya kebutuhan bagi Indonesia untuk meratifikasi CISG,
dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional, dan (ii) sejauh mana
UNCITRAL Model Law on Public Procurement (verse 2011) dapat berfungsi
sebagai model law dalam menyusun peraturan perUUan Nasional untuk
Government Contracts.
1
Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan – Bandung. Makalah dipersiapkan
untuk disajikan dalam “FORUM HARMONISASI HUKUM DAGANG ASEAN DALAM RANGKA MENUJU
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015”, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum
dan HAM RI, Jakarta, 27 Juni 2013.
Page 1 of 11
Mengingat keterbatasan waktu dan juga keterbatasan daya jangkau ekspertis
penulis dalam penyusunan makalah ini, maka harapan penulis adalah bahwa
penyajian ini akan membuka permasalahan-permasalahan baru yang lebih
bersifat praktikal dan yang harus diperhatikan dalam kerangka harmonisasi
hukum regional ASEAN.
I. CISG DAN HARMONISASI HUKUM JUAL-BELI BARANG INTERNASIONAL
Hampir setiap ulasan mengenai CISG diawali dengan pujian karena
keberhasilan konvensi ini sebagai sebuah pranata hukum internasional yang
mendorong terciptanya unifikasi secara global di bidang kontrak jual-beli
barang internasional (international sale of goods). Harus diakui bahwa
banyaknya jumlah negara yang meratifikasi (dari 11 negara pertama di tahun
1980 menjadi 79 Negara pada tahun 2013 2) dapat menggambarkan
keberhasilan CISG dalam merealisasi tujuan yang hendak dicapainya, yaitu
unifikasi hukum materiil (substantive law) dalam satu faset terpenting
perdagangan internasional, y.i jual beli barang internasional (international
sale of goods). Hal lain yang tampak sangat signifikan dari CISG adalah
kenyataan bahwa komposisi negara-negara peratifikasi konvensi ini
samasekali tidak menggambarkan adanya dominasi kelompok negara-negara
atau blok-blok ekonomi regional tertentu3. Kenyataan ini tentunya
menunjukkan ada sesuatu yang “sangat positif” dari CISG, mengingat bahwa
selama puluhan tahun sebelumnya berbagai upaya untuk melahirkan
konvensi internasional semacam ini ternyata mengalami kegagalan 4.
2
Lihat : United Nations Treaty Collection, http://treaties.un.org/pages, updated June 26,
2013.
3
Negara-negara Ekonomi Kuat seperti Amerika Serikat, China, negara-negara Uni Eropa,
Jepang, atau negara-negara industri baru seperti Korea Selatan, Singapura, India, atau
negara-negara Amerika Latin dan eks persemakmuran Uni Sovyet, adalah peratifikasi
CISG, walaupun dengan beberapa reservasi. Bahkan dalam konteks ASEAN, walaupun
baru Singapura yang meratifikasi CISG, tetapi negara-negara mitra-dagang ASEAN
hampir seluruhnya adalah peratifikasi konvensi ini (Jepang, AS, India, Korea Selatan,
Australia).
4
UNIDROIT Convention on the Uniform Law of International Sale of Goods (1964) dan The
Convention on the Uniform Law on the For the Formation of Contracts for the
International Sale of Goods (The Hague, Netherlands).
Page 2 of 11
Hal positif yang tampak pada CISG adalah bahwa ia merupakan sebuah
instrumen hukum yang lengkap dan menyentuh hampir semua komponen
yang relevan dengan siklus-hidup normal sebuah kontrak jual-beli barang
(internasional). Bagian Pertama mengatur tentang lingkup berlaku CISG dan
ketentuan-ketentuan umum (general provisions), Bagian Kedua mengatur
tentang Pembentukan Kontrak Jual-beli (formation), Bagian Ketiga mengatur
tentang Transaksi Jual-beli Barang (Sale of goods) dan mencakup kewajibankewajiban substantif penjual dan pembeli, peralihan risiko, serta ketentuanketentuan yang berlaku umum bagi penjual dan pembeli 5. Artinya, dengan
berpegang pada ketentuan-ketentuan CISG, maka pihak-pihak dalam kontrak
jual-beli internasional memperoleh jaminan bahwa sebagian besar aspekaspek hukum umum dari sebuah transaksi dan kontrak jual-beli internasional
telah diatur di dalamnya.
Hal positif lain yang mengemuka dari CISG adalah bahwa asas dan aturan
yang membentuk substansi konvensi ini lebih banyak didasarkan pada best
practices dan juga better rule approach ditinjau dari perspektif perdagangan
internasional. Artinya, CISG mencoba untuk meramu seperangkat tata aturan
hukum jual-beli yang tidak diwarnai oleh tradisi hukum tertentu, seperti
Common Law atau Common Law 6. Hal-hal yang dianggap konsisten dengan
kebutuhan praktik jual-beli internasional, baik yang bersumber pada tradisitradisi hukum yang berbeda, diupayakan untuk diramu secara harmonis dan
dibentuk menjadi sebuah sistem jual-beli internasional yang otonom.
Yang menarik untuk diperhatikan sebagai ciri khas dari CISG, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat dipahami sebagai kelemahan-kelemahan
(atau kekuatan?) dari konvensi ini, adalah beberapa hal di bawah ini:
a. Lingkup berlaku CISG pada dasarnya hanya terbatas pada Kontrak JualBeli Barang Internasional saja. Hal ini menggambarkan lingkup berlaku
CISG yang relatif sempit, terutama apabila diperhatikan pembatasan-
5
6
Bagian Keempat mengatur tentang keberlakuan CISG sebagai instrumen hukum
internasional.
Misalnya untuk perbandingan antara CISG dengan Uniform Commercial Law AS, lihat:
Honnold, John O., Reitz, Curtis R., Sales Transactions: Domestic and International Law –
nd
Cases, Problems and Materials, 2 Edition, Foundation Press, New York, 2001Hal. 27
dst.
Page 3 of 11
pembatasan lebih lanjut yang menyangkut pengertian “barang” (goods) 7.
Di samping itu, Article 2 CISG juga mengecualikan transaksi-transaksi jual
beli barang-barang konsumen, melalui lelang, melalui eksekusi atau atas
kewenangan hukum, saham, surat berharga atau uang, kapal laut, kapal
samudra, hovercraft, pesawat terbang, atau listrik. CISG pasti tidak dapat
digunakan untuk perdagangan jasa (provision of services). Hal inilah yang
diatasi oleh penerbitan The UNIDROIT Principle for the International
Commercial Contracts (UPICC) yang banyak diinspirasi oleh keberhasilan
CISG namun didesain untuk penerapan segala jenis transaksi dan kontrak
perdagangan internasional 8.
b. CISG hanya mengatur pembentukan kontrak jual-beli dan hak serta
kewajiban penjual dan pembeli yang terbit dari kontrak semacam itu
(Article 4). Karena itu persoalan-persoalan mengenai keabsahan kontrak
atau pasal-pasal di dalamnya (legality/validity) harus diatur berdasarkan
sistem hukum nasional yang dianggap relevan. Hal ini sejalan dengan
prinsip yang dikenal dan diterima dalam hukum kontrak internasional
yang cenderung membatasi asas kebebasan berkontrak terhadap
keberlakuan kaidah-kaidah hukum yang bersifat memaksa (mandatory
rules).Demikian pula, persoalan-persoalan yang menyangkut akibat dari
pelaksanaan kontrak jualbeli terhadap status kepemilikan atas barang
(property/title) harus diatur oleh sistem hukum nasional semacam itu.
c. CISG tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
yang terbit dari tanggung jawab penjual atas kematian atau kerugian
personal yang diderita orang akibat penggunaan atas barang (Article 5).
Karena itu, persoalan-persoalan tanggung-jawab produk juga harus
tunduk pada aturan-aturan hukum nasional yang relevan untuk
diberlakukan.
7
Article 3 (1) CISG membatasi pengertian sales pada kontrak-kontrak jual-beli, termasuk
kontrak pemasokan barang (supply of goods) yang harus dibuat atau diproduksi terlebih
dahulu, kecuali bila pihak pembeli (purchaser) menyanggupi untuk memasok sebagian
besar dari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi barang-barang itu.
8
Lihat dan bandingkan: The International Institute for the Unification of Private Law
rd
(UNIDROIT), UNIDROIT Principles of International Commercial Contracts, 3 edition,
Rome, 2010.
Page 4 of 11
d. Sebagai sebuah konvensi internasional CISG akan mengikat negaranegara peratifikasi dan menjadikannya bagian dari hukum nasional.
Artinya, kontrak-kontrak jual beli yang diadakan oleh pihak-pihak perdata
(private parties) dari negara-negara tersebut pada dasarnya harus tunduk
pada CISG. Namun demikian, tampaknya demi penegakan asas
kebebasan berkontrak, Article 6 CISG memberikan kebebasan pada pihakpihak semacam itu untuk mengesampingkan keberlakuan CISG atau
menyimpang dari CISG dalam hal bentuk kontrak, pembuktian kontrak
dan pembentukan kontrak (Article 11, 12, 29, serta Bagian Kedua CISG).
Dengan demikian, apabila para pihak dengan tegas menyatakan hal-hal
ini di dalam kontrak jual-beli mereka, maka CISG tidak berlaku. Jadi,
Article 6 CISG pada dasarnya menegaskan bahwa CISG adalah
aanvullendrecht atau background law sepanjang para pihak tidak
mengatur sendiri hak dan kewajiban mereka di dalam kontrak.
Sementara itu, untuk kontrak-kontrak jual-beli yang bersifat kompleks
dan berskala besar seringkali mendorong para pihak untuk mengatur
sendiri hak dan kewajiban mereka secara mendetil, dan
mengesampingkan ketentuan-ketentuan CISG 9. Hal ini dipertegas oleh
Article 96 CISG yang memungkinkan negara peserta untuk melakukan
reservasi terhadap pasal-pasal yang menyangkut bentuk dan pembuktian
kontrak di atas.
e. Sebagai penuntas “sempitnya” daya berlaku CISG, Article 95 CISG
membuka kesempatan bagi negara peserta konvensi untuk melakukan
reservasi terhadap Article 1 ayat (1) butir b CISG. Article yang disebut
terakhir ini menegaskan bahwa: CISG berlaku terhadap transaksitransaksi jual beli yang melibatkan salah satu pihak dari negara peserta
konvensi dan pihak lain yang bukan berasal dari negara peserta, apabila
kaidah hukum perdata internasional (private international law atau
choice of law rule) menunjuk ke arah hukum dari negara peserta konvensi
sebagai lex causae. Pasal yang seakan-akan memberikan kekuatan
berlaku atas transaksi jual-beli di luar negara peserta ini ternyata dapat
direservasi oleh negara peserta melalui pernyataan bahwa mereka tidak
9
Lihat Martinussen, Roald, Overview of International CISG Sales Law, Roald Martinussen,
2006, hal 18.
Page 5 of 11
terikat oleh Article 1 ayat (1) butir b CISG. Akibatnya negara-negara
peserta yang melakukan reservasi, dalam kasus-kasus semacam itu, dapat
mengesampingkan CISG dan memberlakukan hukum kontrak jual-beli
domestik mereka.
Hal-hal di atas dapat dipahami sebagai “keunggulan-keunggulan CISG” yang
menurut pandangan kami menjadi alasan mengapa begitu banyak negara
tidak berkeberatan untuk meratifikasi konvensi ini. Namun demikian, pada
saat yang bersamaan, hal-hal di atas dapat dilihat sebagai “kelemahankelemahan” (flaws) yang melekat pada konvensi ini. Apabila CISG dibangun
sebagai sebagai uniform sales law yang bertujuan menciptakan keseragaman
dalam pengaturan kontrak-kontrak jual-beli internasional, dan karena itu
mengurangi persoalan-persoalan hukum perdata internasional dalam
transaksi-transaksi dan kontrak-kontrak jual-beli internasional, maka
berbagai kemungkinan untuk mengesampingkan CISG atau aturan-aturan di
dalamnya, justru menimbulkan persoalan-persoalan HPI atau hukum
perselisihan yang seringkali kompleks dan tidak memberikan jalan keluar
yang adil bagi para pihak.
Indonesia & Ratifikasi CISG
Yang menjadi persoalan dalam konteks seminar ini adalah, apakah Indonesia
perlu meratifikasi CISG dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum
nasional? Penulis agak ragu untuk memberikan jawaban afirmatif terhadap
pertanyaan itu, namun agak ragu pula untuk bersifak negatif terhadapnya
mengingat banyaknya negara-negara di dunia yang telah meratifikasinya
namun pada saat yang sama melakukan reservasi terhadapnya. Di tingkat
ASEAN, hanya Singapura yang telah meratifikasi konvensi ini namun dengan
reservasi terhadap Article 1 ayat (1) b. Akibatnya transaksi-transaksi eksporimpor yang melibatkan pelaku usaha Indonesia dengan Singapura tidak akan
tunduk pada CISG melainkan pada asas-asas hukum kontrak Singapura
seandainya hukum Singapura yang harus diberlakukan terhadap kontrak yang
bersangkutan (berdasarkan penunjukkan oleh kaidah HPI yang relevan).
Seandainya Indonesia meratifikasi CISG, maka untuk transaksi-transaksi jualbeli seperti contoh di atas berlaku Article 1 ayat (1) a yang mewajibkan
Page 6 of 11
berlakunya CISG 10. Sementara itu, negara-negara anggota ASEAN lainnya
belum ada yang meratifikasi Konvensi ini.
Ratifikasi CISG bagi Indonesia mungkin akan memberikan manfaat sebagai
langkah harmonisasi hukum di bidang perdagangan di ASEAN (dan mitramitra dagangnya), apabila semua negara anggota ASEAN melakukan hal yang
sama, dan tanpa melakukan reservasi terhadap kebebasan mengenai bentuk
kontrak, pembentukan kontrak, dan pembuktian kontrak yang dimungkinkan
oleh Article 96 CISG. Namun apabila, pihak-pihak tetap memiliki kebebasan
untuk mengesampingkan CISG dalam kontrak mereka (opt out), maka
manfaat ratifikasi juga akan berkurang juga.
Kemungkinan lain yang dapat menjadi alternatif adalah menggunakan CISG
sebagai model perundang-undangan (model law) untuk membangun aturan
hukum nasional tentang jual-beli internasional sebagai aturan yang berdiri
sendiri atau sebagai tindakan penyempurnaan terhadap Buku III Bab V
KUHPerdata tentang Jual-beli. Kembali bila dikaitkan dengan upaya
harmonisasi, maka diharapkan bahwa negara-negara anggota ASEAN lainnya
juga melakukan reformasi hukum di bidang jual-beli internasionalnya, baik
melalui ratifikasi ataupun melalui penggunaan CISG sebagai model law.
Simpulan
Ratifikasi CISG oleh Indonesia pada dasarnya tidak akan membawa kerugian
yang berarti bagi Indonesia. Kepentingan-kepentingan nasional yang perlu
dijaga dalam percaturan jual-beli regional dapat diupayakan melalui aturanaturan hukum yang memaksa. Di lain pihak, ratifikasi semacam itu juga tidak
akan memberikan manfaat yang berarti, ditinjau dari perspektif harmonisasi
hukum di kawasan ASEAN, apabila negara-negara anggota ASEAN lainnya
tidak melakukan hal yang sama. Apabila ada kesepahaman secara regional
untuk melakukan hal itu, maka hal positif yang dapat diharapkan adalah
penggunaan CISG dalam transaksi-transaksi intra-regional dan/atau
10
Kecuali bila para pihak dengan tegas mengesampingkan CISG di dalam kontrak mereka.
Page 7 of 11
internasional dengan mitra-mitra perdagangan ASEAN (China, Amerika
Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, India, Negara-negara Masyarakat
Eropa – minus Inggris).
II. INDONESIA DAN INTERNATIONAL PUBLIC PROCUREMENT
Ulasan kedua yang dimintakan kepada kami adalah menyangkut harmonisasi
hukum ASEAN di bidang pengadaan publik (public procurement) dengan
mengacu pada UNCITRAL Model Law on Public Procurement 11 (selanjutnya
disebut “UNCITRAL Model Law”). Dengan demikian, persoalan mendasarnya
adalah apakah Indonesia perlu melakukan reformasi di bidang hukum
tentang pengadaan publik dengan menerbitkan peraturan perUUan nasional
yang mengacu pada UNCITRAL Model Law?
Keterbatasan pengetahuan dan persiapan penulis dalam bidang pengadaan
publik ini mendorong penulis, dalam bagian kedua ini, untuk memberikan
gambaran umum mengenai UNCITRAL Model Law ini. Idea dasar dari sebuah
model law adalah model undang-undang yang dapat digunakan oleh para
pembentuk undang-undang nasional dalam membangun peraturan
perundang-undangan tertentu. Semakin banyak negara menggunakan
sebuah model UU internasional untuk membangun perundang-undangan
nasionalnya, maka semakin besar harapan terwujudnya harmonisasi hukum
secara internasional.
UNCITRAL Model Law tahun 2011 pada dasarnya menggantikan UNCITRAL
Model Law on Procurement of Goods, Construction and Services tahun 1994
yang sebelumnya dianggap sebagai benchmark dalam reformasi hukum
tentang pengadaan publik. UNCITRAL Model Law diterbitkan untuk
menyesuaikan diri pada perkembangan-perkembangan internasional yang
terjadi di bidang ini.
Ketentuan-ketentuan utama dari UNCITRAL Model Law pada dasarnya
memungkinkan pihak pemerintah sebagai penerima pasokan (government
purchasers) memperoleh manfaat dari penggunan teknik-teknik komersial
11
The General Assembly, Sixty-sixth Session, Supplement 17 (A/66/17)
Page 8 of 11
modern, seperti e-procurement dan penggunaan framework agreement 12.
Tujuan utamanya adalah untuk memaksimalisasi nilai atas uang yang
dibelanjakan dalam pengadaan publik (maximizing value for money). Apabila
Indonesia menggunakan UNCITRAL Model Law dalam melakukan reformasi
hukum di bidang ini, maka diharapkan bahwa peraturan perundangundangan nasional akan mencakup aturan-aturan dengan standar
internasional yang menyangkut proses dan prosedur yang harus dijalani
untuk :
-
pengadaan biasa (standard procurement);
pengadaan mendesak dan darurat (urgent and emergency procurement);
pengadaan sederhana dengan nilai rendah (simple and low-value
procurement);
pengadaan dalam bentuk proyek-proyek besar dan kompleks (di mana
pemerintah dapat berinteraksi dengan pemasok-pemasok potensial dan
kontraktor-kontraktor untuk mencapai solusi yang terbaik demi
kepentingan masing-masing pihak).
Semua prosedur yang diatur di dalam UNCITRAL Model Law pada dasarnya
tunduk pada mekanisme transparansi yang ketat, serta diarahkan untuk
mengutamakan persaingan yang sehat dan obyektivitas. Tujuan dari
UNCITRAL Model Law pada dasarnya adalah 13:
(a) mencapai hasil yang ekonomis dan efisiensi
(b) Partisipasi luas bagi pemasok dan kontraktor, dengan prinsip umum
bahwa pengadaan adalah terbuka untuk partisipasi internasional
(c) Memaksimalisasi persaingan yang sehat;
(d) Menjamin perlakuan yang adil dan berdasarkan kesetaraan;
(e) Memastikan integritas, keadilan dan kepercayaan publik dalam proses
pengadaan;
(f) Mengutamakan transparansi
Di samping itu, sasaran yang hendak dicapai oleh UNCITRAL Model law
adalah:
12
Bahan ini banyak diambil dari UNCITRAL Guide to Enactment of the UNCITRAL Model
Law on Public Procurement, 2012.
13
Lihat UNCITRAL Guide to Enactment of the UNCITRAL Model Law on Public
Procurement, hal 2 dan 3.
Page 9 of 11
-
-
Untuk menjadi model bagi semua negara untuk mengevaluasi dan
memodernisasi peraturan perundang-undangan dan praktik pengadaan
dan menerbitkan legislasi di bidang pengadaan yang belum ada;
Untuk mendukung harmonisasi regulasi tentang pengadaan secara
internasional dan karena itu memajukan perdagangan internasional.
Jadi, walaupun pemerintah memiliki kewenangan diskresioner untuk
menetapkan apa yang hendak diterimanya sebagai pasokan dan bagaimana
proses pengadaan hendak dilaksanakan, kewenangan itu tetap dikendalikan
melalui pengamanan-pengamanan (safeguards) yang sejalan atau konsisten
dengan standar internasional, khususnya berkaitan dengan United Nations
Convention Against Corruption dan WTO Agreement on Government
Procurement, serta beberapa standar dan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Dunia.
Perlu disadari bahwa UNCITRAL Model Law tidak memuat semua aturan yang
dibutuhkan untuk mengimplementasikan prosedur pengadaan di sebuah
negara. Pemanfaatan model law ini harus menjadi bagian yang koheren dan
melekat (holistic) pada sistem pengadaan yang termasuk aturan-aturan
hukum lain, infrastruktur hukum dan sarana-sarana untuk pengembangan
kapasitas para pelaku pengadaan.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum pemanfaatan UNCITRAL Model Law
dapat direalisasikan adalah:
-
-
penyiapan regulasi dan aturan-aturan hukum lain dalam pengadaan
barang dan jasa untuk mendukung UNCITRAL Model Law;
penyiapan infrastruktur hukum, misalnya di bidang hukum administrasi,
hukum perjanjian, e-commerce, hukum pidana dan tindak pidana korupsi,
dan hukum acarar perdata/pidana/administrasi);
penyiapan regulasi yang memadai di bidang ketenagakerjaan, lingkungan
hidup, kualifikasi pemasok atau kontraktor.
Dsb
Bagi Indonesia, yang pada dasarnya telah memiliki seperangkat aturan yang
membentuk sistem pengadaan publik, misalnya dengan berlakunya
Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 dengan segala penyempurnaannya.
UNCITRAL Model Law dapat digunakan sebagai acuan untuk penyempurnaan
dan pembaharuan sistem nasional pengadaan publik yang sudah ada itu ,
namun tentunya dengan juga
pembangunan di bidang-bidang dan
Page 10 of 11
infrastruktur hukum lain. UNCITRAL Model Law perlu dimanfaatkan sebagai
model undang-undang, namun dengan kesadaran bahwa model law ini
dibentuk dengan asumsi bahwa pengadaan publik juga harus dibuka sampai
tingkat internasional dalam rangka memajukan perdagangan internasional.
Penggunaan UNCITRAL Model Law tentunya harus juga dikawal oleh
kesadaran untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional serta
pengembangan potensi lokal dan nasional.
Page 11 of 11
Download