BAB IV KESIMPULAN Teori modernisasi yang

advertisement
BAB IV
KESIMPULAN
Teori modernisasi yang menyatakan bahwa proses industrialisasi dan
perkembangan ekonomi berujung pada perubahan positif dalam ranah sosial dan
politik pada dasarnya mengasumsikan bahwa negara-negara maju, termasuk
Jepang, tidak lagi harus direpotkan dengan permasalahan-permasalahan
kesenjangan
seperti
diskriminasi
dan
xenofobia.
Namun,
fakta
justru
menunjukkan bahwa perkembangan politik dan ekonomi Jepang dewasa ini
mengarah pada intoleransi dan eksklusivisme. Samuel Huntington sempat
melontarkan kritikan terhadap teori modernisasi dengan memberikan catatan
bahwa semakin cepat sebuah sistem masyarakat mengalami perkembangan atau
modernisasi, maka institusi politik yang mewadahinya harus dengan serta merta
mengimbangi dinamika tersebut demi menghindari situasi yang ia sebut sebagai
“praetorianism”. Senada dengan hal tersebut, perkembangan perpolitikan Jepang
dibawah komando Shinzo Abe mengarahkan Jepang menuju kemunduran. Upaya
restorasi Jepang menuju identitas lamanya sebagai sebuah kekuatan imperial baru
di masa modern seakan membenarkan pendapat Huntington. Pemerintah
demokratis yang menjadi ciri utama negara modern menjadi sebuah antitesis
dalam upaya restorasi Jepang menuju otoritarianisme dan eksklusivisme dimana
sebuah rezim tidak mampu atau menolak untuk mewadahi perubahan sosial di
level masyarakat dengan menafikan multikulturalisme dan menggalakkan
xenofobia.
Perspektif konstruktivisme memberikan asumsi-asumsi dasar yang relevan
dalam memaparkan analisa perilaku xenofobia. Konsep identitas, norma, dan
speech acts mampu membangun kerangka berpikir yang komprehensif ketika
menjelaskan perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern.
Jawaban terhadap rumusan masalah dalam skripsi ini terbagi kedalam paradigma
karakteristik identitas budaya sebagai landasan konstruksi norma sosial yang
diyakini secara kolektif oleh masyarakat, dan paradigma rezim penguasa yang
berkeyakinan untuk membawa perubahan dan restrukturisasi. Kedua paradigma
51
tersebut bermuara pada dua faktor, yaitu: faktor identitas budaya sebagai landasan
pembentuk norma sosial pendorong xenofobia; dan, faktor kepentingan aktor
politik dalam memobilisasi isu xenofobia.
Karakter identitas bangsa Jepang yang didasarkan pada “Semangat Jepang”
sebagai sebuah intersubjective understanding dan harmoni sebagai norma sosial
yang menjadi penjiwaan didalamnya menciptakan potensi mobilisasi terhadap
suatu isu oleh penguasa melalui berbagai agenda politik eksoterik dan esoteris
yang bernuansa nasionalis. Absennya landasan ideologis mutlak dalam “Semangat
Jepang” membuat konsep ini bersifat ambigu. Ia tidak dapat dijadikan patokan
untuk melakukan prediksi terhadap perilaku aktor, tidak pula dapat dijadikan
landasan untuk membedakan keadilan dan kezaliman. Posisinya yang netral
membuatnya mudah beradaptasi menjadi dorongan dalam merumuskan etika
kehidupan sehari-hari hingga perumusan kebijakan pemerintahan. Sebagai nilai
haluan, konsep “Semangat Jepang” berdiri diatas norma harmoni dalam wujud
“perasaan bersama”. Sehingga membuat seluruh aspek kehidupan masyarakat
Jepang selalu dilandaskan pada asas kolektif dalam kerangka ketertiban umum
dan kepentingan bersama.
Asas kolektif tersebut dimanfaatkan oleh rezim pemerintah konservatif
untuk memobilisasi isu nasionalisme. Selama lebih dari lima dasawarsa terakhir
ini pemerintah konservatif beriklim nasionalis di Jepang hampir tidak pernah
mendapatkan interupsi dari lawan politiknya. Kalangan konservatif bertanggung
jawab penuh terhadap kedigdayaan ekonomi Jepang pada masa pasca perang dan
tetap dipercaya untuk memerintah dalam menanggulangi resesi ekonomi pada
dasawarsa terakhir ini. Kini, disaat pemerintah Abe berhasil melakukan
restrukturisasi
ekonomi,
mulai
muncul
kecenderungan
perubahan
arah
perpolitikan Jepang menuju era nasionalisme baru. Konstituen politik Abe
menginginkan agar Jepang dapat mengapresiasi kembali nilai-nilai etika
tradisional Shinto yang sangat kental dengan nuansa patriotisme dan kebanggaan
akan imperialisme masa lalu. Para proponen argumen tersebut akan memulai era
restorasi baru dengan menghidupkan kembali aspek-aspek budaya Jepang yang
diberantas oleh Sekutu pasca PD II. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran
52
bahwa masa-masa kelam era imperialisme akan kembali menghantui konstelasi
perpolitikan Jepang di masa yang akan datang. Mungkin tidak dalam bentuk
kebijakan politik tingkat tinggi (high-politics), seperti deklarasi perang atau
ekspansi militer, namun dalam isu-isu low-politics seperti diskriminasi dan
intoleransi yang akan menjadi dasar terhadap justifikasi berbagai kebijakan antiasing atau xenofobia.
Xenofobia menjadi alat bagi pemerintah Jepang untuk melakukan adaptasi
terhadap fluktuasi keamanan di kawasan Asia Pasifik pada beberapa tahun
terakhir ini. Pemerintah berusaha untuk menciptakan bandwagon effect dengan
menyulut
sentimen
tersebut
agar
muncul
kesan
pergerakan
dalam
mempertahankan kedaulatan negara. Hal ini diperlukan demi tercapainya
kesadaran kolektif masyarakat Jepang dalam menjustifikasi perilaku xenofobia
sebagai tindakan yang perlu (necessary action) demi mempertahankan ketertiban
umum dan kepentingan bersama. Paradigma tersebut pada akhirnya akan
membuat segala preskripsi kebijakan negara terkait dengan permasalahan
keamanan di kawasan dapat dengan mudah diterima oleh publik. Dengan
demikian, terbukti bahwa eksistensi perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat
Jepang modern adalah sebagai alat politik untuk memobilisasi isu.
Dalam berbagai studi mengenai globalisasi disebutkan bahwa era
masyarakat dunia merupakan masa depan tak terelakan yang mesti direngkuh oleh
setiap entitas kebangsaan. Namun, sebuah bangsa dan gelora nasionalisme yang
melekat bersamanya sepertinya akan terus menjadi duri dalam daging selama
beberapa waktu kedepan. Nasionalisme sebagai sebuah karakter yang terwujud
dari konstruksi identitas ternyata masih menjadi kekuatan politik signifikan yang
berpotensi menimbulkan eskalasi ketegangan antar negara. Penelitian mengenai
perilaku xenofobia di Jepang memberikan gambaran tegas mengenai pengaruh
fundamental dari aspek konstruksi identitas terhadap perilaku aktor dalam sebuah
sistem. Dengan demikian, skripsi ini diharapkan mampu menekankan peran
konstruksi ide dan diskursus yang membentuk struktur ideasional sebagai sebuah
pendekatan yang mampu menjembatani kekosongan yang tidak mampu dijelaskan
oleh pertimbangan rasional dan material ala liberalisme dan realisme.
53
Download