perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Akne Vulgaris
a. Definisi Akne Vulgaris
Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang dapat sembuh
sendiri berupa peradangan kronis folikel pilosebasea dengan penyebab
multifaktor dan manifestasi klinis berupa komedo, papul, pustul,
nodul serta kista (Sitohang et al., 2015).
Akne vulgaris adalah penyakit kulit yang terjadi akibat dari
induksi hormon androgen yang menyebabkan peningkatan produksi
sebum, perubahan keratinisasi, inflamasi, dan kolonisasi bakteri pada
folikel rambut di wajah, leher, dada, dan punggung oleh
Propionibacterium acnes (Williams et al., 2012).
b. Epidemiologi
Akne vulgaris diperkirakan mengenai 9,4% populasi dunia
yang membuatnya meraih peringkat delapan penyakit dengan
prevalensi tertinggi di dunia (Tan et al., 2015). Perempuan ras Afrika
Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi akne tinggi, yaitu 37% dan
32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India
23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan dengan
lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal.
commit to user
4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5
Tetapi pada ras Kaukasia, akne komedonal lebih sering dibandingkan
dengan akne inflamasi, yaitu 14% akne komedonal, 10% akne
inflamasi (Ramdani et al., 2015).
Shen et al (2012) melaporkan dari 17.345 responden di China,
sebanyak 1.399 responden menderita akne vulgaris. Akne merupakan
penyakit yang sering dijumpai dan sebagian besar merupakan kelainan
fisiologis. Akne ringan dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dan
dapat berlanjut sampai neonatus (Pindha, 2007).
Dari survei di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-80% kasus
akne, sedangkan di Indonesia catatan kelompok studi dermatologi
kosmetika Indonesia menunjukkan 60% penderita akne vulgaris pada
tahun 2006 dan 80% pada tahun 2007 (Afriyanti, 2015). Akne vulgaris
umumnya muncul ketika masa remaja dan berkurang setelah
pertengahan usia 20 tahun. Puncak prevalensi terjadi sebesar 40%
pada wanita usia 14-17 tahun dan 35% pada pria usia 16-19 tahun. Hal
ini membuktikan bahwa akne berkembang lebih awal pada wanita
dibandingkan dengan pria (Archer et al., 2012).
Studi populasi di Jerman melaporkan bahwa sebanyak 64%
usia 20-29 tahun dan 43% usia 30-39 tahun masih terlihat memiliki
akne. Sedangkan studi lain melaporkan bahwa dari 2.000 populasi
orang dewasa, 3% laki-laki dan 5% wanita masih memiliki akne di
usia 40-49 tahun (Williams et al., 2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6
c. Etiologi
Terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya
akne vulgaris, antara lain:
1) Faktor genetik : keturunan memegang peranan penting terhadap
kemungkinan seseorang menderita akne. Penelitian di Jerman
menunjukkan bahwa akne terdapat pada 45% remaja yang salah
satu atau kedua orang tuanya menderita akne, dan hanya 8% bila
ke dua orang tuanya tidak menderita akne.
2) Faktor ras : warga Amerika berkulit putih lebih banyak menderita
akne dibandingkan dengan yang berkulit hitam dan akne yang
diderita lebih berat dibandingkan dengan orang Jepang.
3) Hormonal : beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat
memengaruhi akne. Pada wanita, 60-70% akne yang diderita
menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan
menetap sampai seminggu setelah menstruasi.
4) Iklim : cuaca yang panas dan lembab memperburuk akne. Hidrasi
pada stratum korneum epidermis dapat merangsang terjadinya
akne. Sebagai contoh, pekerjaan di tempat yang lembab dan panas.
Pajanan sinar matahari yang berlebihan dapat memperburuk akne.
5) Lingkungan : akne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih
berat di daerah industri dan pertambangan dibandingkan dengan
di pedesaan. Berbagai faktor mungkin berperan antara lain:
genetik, iklim, polusi, dan lain-lain.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
6) Stres : akne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita
dengan stres emosional.
7) Kosmetik : pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu, secara
terus-menerus dalam waktu lama, dapat menyebabkan suatu
bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup
dengan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu. Bahan
yang sering menyebabkan akne ini terdapat pada berbagai krim
muka seperti alas bedak (foundation), pelembab (moisturizer),
krim penahan sinar matahari (sunscreen) dan krim malam (night
cream)
yang
mengandung
bahan-bahan,
seperti
lanolin,
petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan dan bahan-bahan kimia
murni, seperti butil stearat, lauril alkohol, bahan-bahan pewarna
merah D&C dan asam oleat.
8) Bahan-bahan kimia : beberapa macam bahan kimia dapat
menyebabkan erupsi yang mirip dengan akne (acneiformeruption), seperti iodida, kortikosteroid, isoniazid, obat anti
konvulsan (difenilhidantoin, fenobarbital dan trimetandion),
tetrasiklin, dan vitamin B12 (Widjaja, 2015).
9) Diet : asupan makanan dapat meningkatkan Insulin like Growth
Factor (IGF)-1 yang akan memicu timbulnya akne vulgaris
melalui peningkatan aktivitas hormon androgen (Zaenglein et al.,
2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
d. Patogenesis
Terdapat empat proses yang berperan sangat penting dalam
pembentukan lesi pada akne, yaitu peningkatan produksi sebum,
keratinisasi
abnormal
duktus
pilosebasea,
kolonisasi
Propionibacterium acnes, dan proses inflamasi. Androgen berperan
penting pada patogenesis akne vulgaris. Akne mulai terjadi saat
adrenarke,
yaitu
saat
kelenjar
adrenal
aktif
menghasilkan
dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita akne
memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum
penderita akne masih dalam batas normal. Androgen akan
meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi
sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus
seboglandularis dan akroinfundibulum (Zouboulis et al., 2005).
Kelenjar sebasea mulai berkembang pada usia individu 7-8
tahun akibat rangsangan hormon androgen. Hormon androgen
berperan dalam perubahan sel-sel sebosit demikian pula sel-sel
keratinosit folikular sehingga menyebabkan terjadinya mikrokomedo
dan komedo yang akan berkembang menjadi lesi inflamasi. Sel-sel
sebosit dan keratinosit folikel pilosebasea memiliki mekanisme selular
yang digunakan untuk mencerna hormon androgen, yaitu enzimenzim 5-α-reduktase (tipe 1) serta 3β dan 7β hidroksisteroid
dehidrogenase yang terdapat pada sel sebosit basal yang belum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
mengalami diferensiasi. Setelah sel-sel sebosit berdiferensiasi
kemudian terjadi ruptur dengan melepaskan sebum ke dalam duktus
pilosebasea. Proses diferensiasi sel-sel sebosit tersebut dipicu oleh
hormon androgen yang akan berikatan dengan reseptornya pada inti
sel sebosit, selanjutnya terjadi rangsangan transkripsi gen dan
diferensiasi sebosit (Sitohang et al., 2015).
Pada penderita akne terjadi hiperkeratosis duktus pilosebasea
yang secara klinis tampak sebagai komedo tertutup (whitehead
comedones) dan komedo terbuka (blackhead comedones) yang
didahului oleh mikrokomedo. Mikrokomedo merupakan lesi inisial
akne dengan inflamasi dan non inflamasi. Komedo tertutup
mengandung keratin dan debris lemak, sedangkan komedo terbuka
berasal dari oksidasi tirosin menjadi melanin melalui pori-pori yang
terbuka. Penyebab terjadinya hiperkeratosis, yaitu androgen selain
merangsang kelenjar sebasea juga berpengaruh pada hiperkeratosis
saluran kelenjar dan pada penderita akne komposisi sebum
menunjukkan penurunan konsentrasi asam linoleat yang signifikan
serta terdapat hubungan terbalik antara produksi sebum dan
konsentrasi asam linoleat. Hal ini dapat menginduksi hiperkeratosis
folikel dan penurunan fungsi barier epitel.
Organisme yang dominan sebagai flora di folikel pilosebasea
adalah Propionibacterium acnes (P. acnes), yaitu difteroid pleomorfik
yang bersifat anaerob. Bakteri ini juga terdapat pada kulit normal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
Remaja dengan kulit berminyak mengandung P.acnes yang lebih
tinggi, tetapi sedikit hubungannya antara jumlah bakteri dengan
beratnya gejala klinis akne. Lingkungan bakteri lebih berpengaruh
dibandingkan dengan jumlah bakteri dalam pembentukan lesi akne.
Pada studi in-vitro ditunjukkan bahwa tekanan oksigen, pH, dan
asupan nutrisi, memengaruhi pertumbuhan P.acnes dan produksi
substansi aktif, seperti lipase, protease, hyaluronate lyase, fosfatase,
dan smooth muscle contracting substance. Propionibacterium acnes
menghasilkan enzim lipase yang dapat mengubah trigliserid dalam
sebum menjadi asam lemak bebas. Fraksi asam lemak ini dapat
menginduksi inflamasi dan memengaruhi kekentalan sebum. Apabila
kadar oksigen dalam folikel berkurang, akan terjadi kolonisasi
P.acnes. Hal ini dapat menerangkan mengapa akne hanya dapat terjadi
pada beberapa folikel, sedangkan folikel lainnya normal.
Proses inflamasi diakibatkan oleh mediator aktif yang
dihasilkan
oleh
P.acnes
yang
terdapat
di
dalam
folikel.
Propionibacterium acnes dapat memicu reaksi radang imun dan non
imun (Pindha, 2007).
e. Gejala Klinis
Bentuk lesi akne vulgaris adalah polimorf. Lesi yang khas
ialah komedo. Bila terjadi peradangan akan terbentuk papul, pustul,
nodul, dan kista. Bila sembuh, lesi dapat meninggalkan eritema dan
hiperpigmentasi setelah inflamasi, bahkan dapat terbentuk sikatrik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
seperti cetakan es yang atrofik (ice pick lilac atrophic scar) dan keloid.
Lesi terutama timbul di daerah yang banyak mempunyai kelenjar
sebasea, seperti muka, punggung, dan dada (Widjaja, 2015).
Sebesar 99% predileksi akne vulgaris mengenai bagian wajah
(Archer et al., 2012). Selain wajah, daerah yang paling umum terkena
akne vulgaris antara lain punggung bagian atas (52%), dada (30%),
punggung bagian bawah (22%), bahu atau lengan (16%), dan leher
(8%) (Tan et al., 2015).
f. Gradasi
Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan derajat akne
vulgaris, yaitu ringan, sedang dan berat, adalah klasifikasi menurut
Lehmann et al (2002) (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Gradasi Akne
Derajat
Lesi
Akne ringan
Komedo < 20, atau
lesi inflamasi < 15, atau
total lesi < 30
Akne sedang
Komedo 20-100, atau
lesi inflamasi 15-50, atau
total lesi 30-125
Akne berat
Kista > 5 atau komedo < 100, atau
lesi inflamasi > 50, atau
total lesi > 125
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
g. Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris pada umumnya mudah ditegakkan.
Penderita biasanya mengeluh adanya ruam kulit berupa komedo,
papul, pustul, nodul, atau kista dan dapat disertai rasa gatal (Afriyanti,
2015).
Lesi non inflamasi (komedonal) berkembang lebih awal
dibandingkan lesi inflamasi pada penderita yang lebih muda. Lesi
inflamasi bisa merupakan lanjutan dari lesi non inflamasi, terdiri dari
lesi superfisial dan lesi dalam. Lesi superfisial biasanya merupakan
papul dan pustul, sedangkan lesi dalam umumnya merupakan pustula
yang dalam dan nodul. Lesi yang dalam sering dikaitkan dengan bekas
luka (scar). Namun lesi yang superfisial bahkan lesi non inflamasi
dapat menimbulkan scar (Archer et al., 2012). Ada empat tipe bekas
luka (scar) karena akne, yaitu: icepick, rolling, boxcar, dan
hipertropik (Zaenglein et al., 2012).
h. Diagnosis Banding
Diagnosis banding akne vulgaris meliputi: 1) Erupsi
akneiformis; 2) Folikulitis; 3) Folikulitis pitirosporum; 4) Dermatitis
perioral; 5) Rosasea; 6) Dermatitis seboroik; 7) Akne agminata; 8)
Adenoma sebasea (Sitohang et al., 2015)
i. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan akne vulgaris bertujuan untuk mempercepat
penyembuhan, mencegah pembentukan akne baru, dan mencegah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
jaringan parut yang permanen. Sedangkan secara garis besar,
penatalaksanaan akne vulgaris dibagi atas:
1) Prinsip umum : diperlukan kerjasama antara dokter dan pasien,
harus berdasarkan penyebab atau faktor-faktor pencetus,
patogenesis, keadaan klinis atau gradasi akne, dan aspek
psikologis.
2) Diagnosis klinis dan gradasi serta aspek psikologis : sebagian
pasien akne vulgaris memiliki rasa malu yang berlebihan, rendah
diri, perasaan cemas dan menyendiri, sehingga memerlukan terapi
lebih efektif.
3) Tatalaksana umum : mencuci wajah minimal 2 kali sehari.
4) Tatalaksana medikamentosa : berdasarkan gradasi (ringan sampai
berat) akne, diikuti dengan terapi pemeliharaan atau pencegahan.
5) Tindakan : kortikosteroid intralesi, ekstraksi komedo, laser
(misalnya laser V-beam), electrosurgery, krioterapi, terapi
ultraviolet, bluelight (405-420 nm), red light (660 nm), chemical
peeling dan lain-lain (Sitohang et al., 2015).
Akne ringan hanya membutuhkan terapi topikal, sedangkan
penderita akne sedang dan berat membutuhkan terapi oral dan topikal.
Penderita mungkin membutuhkan antibiotik oral secara berkala
selama 6 bulan, sedangkan terapi topikal diperlukan selama perjalanan
penyakit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
1) Pengobatan topikal
Yang paling banyak dipakai adalah benzoil peroksida,
vitamin asam A, dan antibiotik topikal.
a) Tretinoin (Vitamin Asam A)
Cara kerja tretinoin salah satunya sebagai komedolitik,
yaitu mencegah sel-sel tanduk melekat satu sama lain dengan
menghambat pembentukan tonofilamen dan mengurangi
ikatan antara sel-sel keratin baik pada akne inflamasi atau non
inflamasi (Strauss et al., 2007). Pada permulaan, penderita
dianjurkan untuk memakai obat sekali sehari pada malam hari.
Bila tak terjadi eritema dan deskuamasi setelah lima hari, obat
dapat dipakai dua kali sehari. Pada umumnya hasil terapi baru
tampak setelah delapan minggu pengobatan.
b) Benzoil Peroksida
Zat ini tidak saja membunuh bakteri, melainkan juga
menyebabkan deskuamasi dan mencegah timbulnya gumpalan
di dalam folikel. Pada permulaan pengobatan, pasien merasa
seperti terbakar. Gejala ini akan berkurang dalam beberapa
minggu. Sebaiknya dimulai dari dosis yang rendah dahulu,
kemudian lambat laun diganti dengan dosis tinggi.
c) Antibiotik Topikal
Pemakaian
bahan
antimikroba
dibenarkan
bila
mengurangi populasi P.acnes atau hasil metabolismenya,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
seperti lipase atau porfirin. Antibiotik yang sering dipakai,
yaitu klindamisin 1%, eritromisin 2%, dan tetrasiklin ½%-5%
(Strauss et al., 2007).
d) Asam azeleat
Berfungsi sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan
bersifat bakterisida terhadap mikroorganisme gram negatif dan
gram positif serta pada bakteri yang resisten terhadap
antibiotik. Antikeratinisasi pada asam azeleat berfungsi
sebagai penghambat pembentukan komedo (Sieber dan Hegel,
2013).
e) Asam-Asam Alfa Hidroksi (AAAH)
Cara kerja dengan mengurangi kohesi korneosit
berguna untuk lesi yang tidak mengalami peradangan pada
konsentrasi rendah. Sedangkan pada konsentrasi tinggi, terjadi
epidermolisis pada sub-korneal dan pada dermis terjadi
sintesis kolagen baru (Widjaja, 2015).
2) Pengobatan Oral
a) Antibiotik Oral
Indikasi primer antibiotik oral adalah akne bentuk
papulopustular sedang sampai berat dan akne konglobata.
Antibiotik tak pernah dipakai sendiri tetapi bersama-sama
dengan obat yang dapat menyebabkan pengelupasan kulit.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
Antibiotik yang paling dikenal adalah tetrasiklin, eritromisin,
linkomisin dan klindamisin, serta trimetropim.
b) D.D.S (Diamino Difenil Sulfon)
Seperti
sulfonamida,
DDS
dapat
menghambat
pemakaian PABA (Para Amino Benzoic Acid) oleh bakteri.
Obat ini hanya digunakan untuk akne dengan peradangan yang
sangat hebat, seperti akne konglobata dan papulopustular yang
sukar diobati.
c) Hormon
Hormon-hormon yang berpengaruh antara lain:
kortikosteroid, estrogen dan pil anti hamil, anti-androgen,
vitamin A, isotretinoin, seng (Zink), dan diuretika (Widjaja,
2015).
2. Tidur
a. Definisi Tidur
Tidur merupakan suatu periode istirahat untuk tubuh dan
pikiran yang selama masa ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan
sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian
dihentikan. Tidur juga telah dideskripsikan sebagai status tingkah laku
yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan sensitivitas
reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar
(Dorland, 2010).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
b. Fisiologi Tidur
Terdapat berbagai tahap dalam tidur, dari tidur yang sangat
ringan sampai tidur yang sangat dalam. Para peneliti tidur juga
membagi tidur menjadi dua tipe yang secara keseluruhan berbeda,
yang memiliki kualitas yang berbeda pula. Setiap malam, seseorang
mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian satu sama lain.
1) Tidur gelombang-lambat
Pada tipe ini, gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya
sangat rendah. Setiap malamnya, sebagian besar masa tidur terdiri
atas gelombang lambat yang bervariasi, yakni tidur yang
nyenyak/dalam dan tenang yang dialami seseorang pada jam-jam
pertama tidur sesudah terjaga selama beberapa jam sebelumnya.
Tahap tidur ini begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan
penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi
vegetatif tubuh lain. Contohnya, tekanan darah, frekuensi
pernapasan, dan kecepatan metabolisme basal akan berkurang 1020%.
2) Rapid Eye Movement (REM) Sleep
Pada tipe tidur ini, mata bergerak dengan cepat meskipun
orang tetap tidur. Tidur REM timbul dalam episode-episode dan
meliputi sekitar 25% dari seluruh masa tidur pada orang dewasa,
dimana setiap episode normalnya terjadi kembali setiap 90 menit.
Tipe tidur ini tak begitu tenang, dan biasanya berhubungan dengan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
mimpi dan pergerakan otot tubuh yang aktif. Seseorang lebih sukar
dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur gelombang
lambat, namun orang-orang terbangun spontan di pagi hari
sewaktu episode tidur REM. Ringkasnya, tidur REM merupakan
tipe tidur saat otak benar-benar dalam keadaan aktif. Namun,
aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang itu
siaga penuh terhadap keadaan sekelilingnya sehingga orang
tersebut benar-benar tertidur (Guyton, 2007a).
c. Kualitas Tidur
Kualitas tidur mengacu pada keadaan tidur yang terus
berlanjut tanpa adanya interupsi. Kualitas tidur dapat juga dinilai
dari beberapa keadaan seperti onset awal tidur, sedikit interupsi,
dan bangun tidak terlalu pagi (Mak et al., 2014).
Menurut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas
tidur dibagi menjadi dua, yaitu good sleep dan bad sleep. Kualitas
tidur yang baik atau good sleep adalah tidur yang memiliki skor
kurang dari lima, sedangkan kualitas tidur yang buruk atau bad
sleep memiliki skor lebih atau sama dengan lima.
Kualitas tidur juga dapat dinilai dari durasi waktu tidur
yang didapatkan setiap malam. Tidur yang cukup dapat
meningkatkan kualitas tidur, sebaliknya kurang tidur dapat
menurunkan
kualitas
tidur.
commit to user
Durasi
waktu
tidur
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
direkomendasikan untuk remaja adalah 8-10 jam (Tabel 2.2)
(Hirshkowitz et al., 2015).
Tabel 2.2. Durasi Waktu Tidur
Umur
Rekomendasi
(jam)
0-3 bulan
14 – 17
Tidak
direkomendasikan
(jam)
Kurang dari 11
Lebih dari 19
4-11 bulan
12 – 15
Kurang dari 10
Lebih dari 18
1-2 tahun
11 – 14
Kurang dari 9
Lebih dari 16
3-5 tahun
10 – 13
Kurang dari 8
Lebih dari 14
6-13 tahun
9 – 11
Kurang dari 7
Lebih dari 12
14-17 tahun
8 – 10
Kurang dari 7
Lebih dari 11
18-25 tahun
7–9
Kurang dari 6
Lebih dari 11
26-64 tahun
7–9
Kurang dari 6
Lebih dari 10
>65 tahun
7–8
Kurang dari 5
Lebih dari 9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
3. Hubungan Kualitas Tidur dengan Kejadian Akne Vulgaris
Pengurangan waktu tidur menyebabkan beberapa efek yang di
antaranya kemungkinan berpengaruh terhadap patogenesis akne vulgaris.
Hal-hal yang kemungkinan berpengaruh ini antara lain meningkatnya
stres dan meningkatnya kadar ghrelin yang disertai penurunan leptin pada
malam hari.
Meningkatnya stres dapat disebabkan oleh kualitas tidur yang
buruk. Penelitian ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh
Benham (2010) dan Heiskanen et al (2013) yang menunjukkan bahwa
kualitas tidur yang buruk dapat memicu timbulnya stres. Stres
berhubungan dengan meningkatnya kerja kelenjar sebasea, baik secara
langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis
(Wasitaatmadja, 2011). Peningkatan produksi sebum berhubungan
dengan peningkatan asam lemak bebas. Asam lemak bebas dapat memicu
inflamasi yang merupakan salah satu dasar patogenesis akne (Pindha,
2007).
Hormon ghrelin merupakan suatu hormon yang berperan untuk
merangsang perilaku makan. Sedangkan hormon leptin berperan untuk
menurunkan nafsu makan (Guyton, 2007b). Meningkatnya kadar ghrelin
serta menurunnya kadar leptin pada malam hari yang diakibatkan oleh
kualitas tidur yang buruk memiliki pengaruh untuk seseorang
mengkonsumsi lebih banyak makanan (Heiskanen et al., 2013). Adanya
makanan dalam usus akan meningkatkan kadar insulin terkait glukosa dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
sekresi dari pankreas (Guyton, 2007b). Asupan makanan juga
meningkatkan sekresi dari Insulin like Growth Factor-1 (IGF-1)
(Clemmons, 2004). Sedangkan IGF-1 merangsang hormon pertumbuhan
di kelenjar hipofisis selama pubertas, yang merangsang produksi hormon
androgen (Melnik et al., 2009).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
B. Kerangka Konsep
Kualitas Tidur
yang buruk
1. Kadar ghrelin
Stres
meningkat
meningkat
2. Kadar leptin menurun
Asupan makanan
bertambah
Kadar IGF-1 meningkat
a. Faktor genetik
Akne Vulgaris
b. Faktor ras
c. Hormonal
d. Iklim
e. Lingkungan
f. Stres
g. Diet
h. Kosmetik
Gambar 2.1. Skema Kerangka Konsep
Keterangan:
:
Variabel yang diteliti
:
commit
userditeliti
Variabel
yangtotidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara kualitas tidur dengan kejadian akne vulgaris di
SMAN 1 Surakarta.
2. Kualitas tidur yang buruk merupakan salah satu faktor risiko timbulnya
akne vulgaris.
commit to user
Download