perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Akne Vulgaris a. Definisi Akne Vulgaris Akne vulgaris merupakan penyakit kulit yang dapat sembuh sendiri berupa peradangan kronis folikel pilosebasea dengan penyebab multifaktor dan manifestasi klinis berupa komedo, papul, pustul, nodul serta kista (Sitohang et al., 2015). Akne vulgaris adalah penyakit kulit yang terjadi akibat dari induksi hormon androgen yang menyebabkan peningkatan produksi sebum, perubahan keratinisasi, inflamasi, dan kolonisasi bakteri pada folikel rambut di wajah, leher, dada, dan punggung oleh Propionibacterium acnes (Williams et al., 2012). b. Epidemiologi Akne vulgaris diperkirakan mengenai 9,4% populasi dunia yang membuatnya meraih peringkat delapan penyakit dengan prevalensi tertinggi di dunia (Tan et al., 2015). Perempuan ras Afrika Amerika dan Hispanik memiliki prevalensi akne tinggi, yaitu 37% dan 32%, sedangkan perempuan ras Asia 30%, Kaukasia 24%, dan India 23%. Pada ras Asia, lesi inflamasi lebih sering dibandingkan dengan lesi komedonal, yaitu 20% lesi inflamasi dan 10% lesi komedonal. commit to user 4 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 5 Tetapi pada ras Kaukasia, akne komedonal lebih sering dibandingkan dengan akne inflamasi, yaitu 14% akne komedonal, 10% akne inflamasi (Ramdani et al., 2015). Shen et al (2012) melaporkan dari 17.345 responden di China, sebanyak 1.399 responden menderita akne vulgaris. Akne merupakan penyakit yang sering dijumpai dan sebagian besar merupakan kelainan fisiologis. Akne ringan dapat terjadi pada bayi yang baru lahir dan dapat berlanjut sampai neonatus (Pindha, 2007). Dari survei di kawasan Asia Tenggara terdapat 40-80% kasus akne, sedangkan di Indonesia catatan kelompok studi dermatologi kosmetika Indonesia menunjukkan 60% penderita akne vulgaris pada tahun 2006 dan 80% pada tahun 2007 (Afriyanti, 2015). Akne vulgaris umumnya muncul ketika masa remaja dan berkurang setelah pertengahan usia 20 tahun. Puncak prevalensi terjadi sebesar 40% pada wanita usia 14-17 tahun dan 35% pada pria usia 16-19 tahun. Hal ini membuktikan bahwa akne berkembang lebih awal pada wanita dibandingkan dengan pria (Archer et al., 2012). Studi populasi di Jerman melaporkan bahwa sebanyak 64% usia 20-29 tahun dan 43% usia 30-39 tahun masih terlihat memiliki akne. Sedangkan studi lain melaporkan bahwa dari 2.000 populasi orang dewasa, 3% laki-laki dan 5% wanita masih memiliki akne di usia 40-49 tahun (Williams et al., 2012). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 6 c. Etiologi Terdapat faktor-faktor yang dapat memengaruhi terjadinya akne vulgaris, antara lain: 1) Faktor genetik : keturunan memegang peranan penting terhadap kemungkinan seseorang menderita akne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa akne terdapat pada 45% remaja yang salah satu atau kedua orang tuanya menderita akne, dan hanya 8% bila ke dua orang tuanya tidak menderita akne. 2) Faktor ras : warga Amerika berkulit putih lebih banyak menderita akne dibandingkan dengan yang berkulit hitam dan akne yang diderita lebih berat dibandingkan dengan orang Jepang. 3) Hormonal : beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat memengaruhi akne. Pada wanita, 60-70% akne yang diderita menjadi lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan menetap sampai seminggu setelah menstruasi. 4) Iklim : cuaca yang panas dan lembab memperburuk akne. Hidrasi pada stratum korneum epidermis dapat merangsang terjadinya akne. Sebagai contoh, pekerjaan di tempat yang lembab dan panas. Pajanan sinar matahari yang berlebihan dapat memperburuk akne. 5) Lingkungan : akne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di daerah industri dan pertambangan dibandingkan dengan di pedesaan. Berbagai faktor mungkin berperan antara lain: genetik, iklim, polusi, dan lain-lain. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 6) Stres : akne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita dengan stres emosional. 7) Kosmetik : pemakaian bahan-bahan kosmetika tertentu, secara terus-menerus dalam waktu lama, dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup dengan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu. Bahan yang sering menyebabkan akne ini terdapat pada berbagai krim muka seperti alas bedak (foundation), pelembab (moisturizer), krim penahan sinar matahari (sunscreen) dan krim malam (night cream) yang mengandung bahan-bahan, seperti lanolin, petrolatum, minyak tumbuh-tumbuhan dan bahan-bahan kimia murni, seperti butil stearat, lauril alkohol, bahan-bahan pewarna merah D&C dan asam oleat. 8) Bahan-bahan kimia : beberapa macam bahan kimia dapat menyebabkan erupsi yang mirip dengan akne (acneiformeruption), seperti iodida, kortikosteroid, isoniazid, obat anti konvulsan (difenilhidantoin, fenobarbital dan trimetandion), tetrasiklin, dan vitamin B12 (Widjaja, 2015). 9) Diet : asupan makanan dapat meningkatkan Insulin like Growth Factor (IGF)-1 yang akan memicu timbulnya akne vulgaris melalui peningkatan aktivitas hormon androgen (Zaenglein et al., 2012). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 d. Patogenesis Terdapat empat proses yang berperan sangat penting dalam pembentukan lesi pada akne, yaitu peningkatan produksi sebum, keratinisasi abnormal duktus pilosebasea, kolonisasi Propionibacterium acnes, dan proses inflamasi. Androgen berperan penting pada patogenesis akne vulgaris. Akne mulai terjadi saat adrenarke, yaitu saat kelenjar adrenal aktif menghasilkan dehidroepiandrosteron sulfat, prekursor testosteron. Penderita akne memiliki kadar androgen serum dan kadar sebum lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, meskipun kadar androgen serum penderita akne masih dalam batas normal. Androgen akan meningkatkan ukuran kelenjar sebasea dan merangsang produksi sebum, selain itu juga merangsang proliferasi keratinosit pada duktus seboglandularis dan akroinfundibulum (Zouboulis et al., 2005). Kelenjar sebasea mulai berkembang pada usia individu 7-8 tahun akibat rangsangan hormon androgen. Hormon androgen berperan dalam perubahan sel-sel sebosit demikian pula sel-sel keratinosit folikular sehingga menyebabkan terjadinya mikrokomedo dan komedo yang akan berkembang menjadi lesi inflamasi. Sel-sel sebosit dan keratinosit folikel pilosebasea memiliki mekanisme selular yang digunakan untuk mencerna hormon androgen, yaitu enzimenzim 5-α-reduktase (tipe 1) serta 3β dan 7β hidroksisteroid dehidrogenase yang terdapat pada sel sebosit basal yang belum commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 mengalami diferensiasi. Setelah sel-sel sebosit berdiferensiasi kemudian terjadi ruptur dengan melepaskan sebum ke dalam duktus pilosebasea. Proses diferensiasi sel-sel sebosit tersebut dipicu oleh hormon androgen yang akan berikatan dengan reseptornya pada inti sel sebosit, selanjutnya terjadi rangsangan transkripsi gen dan diferensiasi sebosit (Sitohang et al., 2015). Pada penderita akne terjadi hiperkeratosis duktus pilosebasea yang secara klinis tampak sebagai komedo tertutup (whitehead comedones) dan komedo terbuka (blackhead comedones) yang didahului oleh mikrokomedo. Mikrokomedo merupakan lesi inisial akne dengan inflamasi dan non inflamasi. Komedo tertutup mengandung keratin dan debris lemak, sedangkan komedo terbuka berasal dari oksidasi tirosin menjadi melanin melalui pori-pori yang terbuka. Penyebab terjadinya hiperkeratosis, yaitu androgen selain merangsang kelenjar sebasea juga berpengaruh pada hiperkeratosis saluran kelenjar dan pada penderita akne komposisi sebum menunjukkan penurunan konsentrasi asam linoleat yang signifikan serta terdapat hubungan terbalik antara produksi sebum dan konsentrasi asam linoleat. Hal ini dapat menginduksi hiperkeratosis folikel dan penurunan fungsi barier epitel. Organisme yang dominan sebagai flora di folikel pilosebasea adalah Propionibacterium acnes (P. acnes), yaitu difteroid pleomorfik yang bersifat anaerob. Bakteri ini juga terdapat pada kulit normal. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 Remaja dengan kulit berminyak mengandung P.acnes yang lebih tinggi, tetapi sedikit hubungannya antara jumlah bakteri dengan beratnya gejala klinis akne. Lingkungan bakteri lebih berpengaruh dibandingkan dengan jumlah bakteri dalam pembentukan lesi akne. Pada studi in-vitro ditunjukkan bahwa tekanan oksigen, pH, dan asupan nutrisi, memengaruhi pertumbuhan P.acnes dan produksi substansi aktif, seperti lipase, protease, hyaluronate lyase, fosfatase, dan smooth muscle contracting substance. Propionibacterium acnes menghasilkan enzim lipase yang dapat mengubah trigliserid dalam sebum menjadi asam lemak bebas. Fraksi asam lemak ini dapat menginduksi inflamasi dan memengaruhi kekentalan sebum. Apabila kadar oksigen dalam folikel berkurang, akan terjadi kolonisasi P.acnes. Hal ini dapat menerangkan mengapa akne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel, sedangkan folikel lainnya normal. Proses inflamasi diakibatkan oleh mediator aktif yang dihasilkan oleh P.acnes yang terdapat di dalam folikel. Propionibacterium acnes dapat memicu reaksi radang imun dan non imun (Pindha, 2007). e. Gejala Klinis Bentuk lesi akne vulgaris adalah polimorf. Lesi yang khas ialah komedo. Bila terjadi peradangan akan terbentuk papul, pustul, nodul, dan kista. Bila sembuh, lesi dapat meninggalkan eritema dan hiperpigmentasi setelah inflamasi, bahkan dapat terbentuk sikatrik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 seperti cetakan es yang atrofik (ice pick lilac atrophic scar) dan keloid. Lesi terutama timbul di daerah yang banyak mempunyai kelenjar sebasea, seperti muka, punggung, dan dada (Widjaja, 2015). Sebesar 99% predileksi akne vulgaris mengenai bagian wajah (Archer et al., 2012). Selain wajah, daerah yang paling umum terkena akne vulgaris antara lain punggung bagian atas (52%), dada (30%), punggung bagian bawah (22%), bahu atau lengan (16%), dan leher (8%) (Tan et al., 2015). f. Gradasi Klasifikasi yang digunakan untuk menentukan derajat akne vulgaris, yaitu ringan, sedang dan berat, adalah klasifikasi menurut Lehmann et al (2002) (Tabel 2.1). Tabel 2.1. Gradasi Akne Derajat Lesi Akne ringan Komedo < 20, atau lesi inflamasi < 15, atau total lesi < 30 Akne sedang Komedo 20-100, atau lesi inflamasi 15-50, atau total lesi 30-125 Akne berat Kista > 5 atau komedo < 100, atau lesi inflamasi > 50, atau total lesi > 125 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 g. Diagnosis Diagnosis akne vulgaris pada umumnya mudah ditegakkan. Penderita biasanya mengeluh adanya ruam kulit berupa komedo, papul, pustul, nodul, atau kista dan dapat disertai rasa gatal (Afriyanti, 2015). Lesi non inflamasi (komedonal) berkembang lebih awal dibandingkan lesi inflamasi pada penderita yang lebih muda. Lesi inflamasi bisa merupakan lanjutan dari lesi non inflamasi, terdiri dari lesi superfisial dan lesi dalam. Lesi superfisial biasanya merupakan papul dan pustul, sedangkan lesi dalam umumnya merupakan pustula yang dalam dan nodul. Lesi yang dalam sering dikaitkan dengan bekas luka (scar). Namun lesi yang superfisial bahkan lesi non inflamasi dapat menimbulkan scar (Archer et al., 2012). Ada empat tipe bekas luka (scar) karena akne, yaitu: icepick, rolling, boxcar, dan hipertropik (Zaenglein et al., 2012). h. Diagnosis Banding Diagnosis banding akne vulgaris meliputi: 1) Erupsi akneiformis; 2) Folikulitis; 3) Folikulitis pitirosporum; 4) Dermatitis perioral; 5) Rosasea; 6) Dermatitis seboroik; 7) Akne agminata; 8) Adenoma sebasea (Sitohang et al., 2015) i. Penatalaksanaan Penatalaksanaan akne vulgaris bertujuan untuk mempercepat penyembuhan, mencegah pembentukan akne baru, dan mencegah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 jaringan parut yang permanen. Sedangkan secara garis besar, penatalaksanaan akne vulgaris dibagi atas: 1) Prinsip umum : diperlukan kerjasama antara dokter dan pasien, harus berdasarkan penyebab atau faktor-faktor pencetus, patogenesis, keadaan klinis atau gradasi akne, dan aspek psikologis. 2) Diagnosis klinis dan gradasi serta aspek psikologis : sebagian pasien akne vulgaris memiliki rasa malu yang berlebihan, rendah diri, perasaan cemas dan menyendiri, sehingga memerlukan terapi lebih efektif. 3) Tatalaksana umum : mencuci wajah minimal 2 kali sehari. 4) Tatalaksana medikamentosa : berdasarkan gradasi (ringan sampai berat) akne, diikuti dengan terapi pemeliharaan atau pencegahan. 5) Tindakan : kortikosteroid intralesi, ekstraksi komedo, laser (misalnya laser V-beam), electrosurgery, krioterapi, terapi ultraviolet, bluelight (405-420 nm), red light (660 nm), chemical peeling dan lain-lain (Sitohang et al., 2015). Akne ringan hanya membutuhkan terapi topikal, sedangkan penderita akne sedang dan berat membutuhkan terapi oral dan topikal. Penderita mungkin membutuhkan antibiotik oral secara berkala selama 6 bulan, sedangkan terapi topikal diperlukan selama perjalanan penyakit. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 1) Pengobatan topikal Yang paling banyak dipakai adalah benzoil peroksida, vitamin asam A, dan antibiotik topikal. a) Tretinoin (Vitamin Asam A) Cara kerja tretinoin salah satunya sebagai komedolitik, yaitu mencegah sel-sel tanduk melekat satu sama lain dengan menghambat pembentukan tonofilamen dan mengurangi ikatan antara sel-sel keratin baik pada akne inflamasi atau non inflamasi (Strauss et al., 2007). Pada permulaan, penderita dianjurkan untuk memakai obat sekali sehari pada malam hari. Bila tak terjadi eritema dan deskuamasi setelah lima hari, obat dapat dipakai dua kali sehari. Pada umumnya hasil terapi baru tampak setelah delapan minggu pengobatan. b) Benzoil Peroksida Zat ini tidak saja membunuh bakteri, melainkan juga menyebabkan deskuamasi dan mencegah timbulnya gumpalan di dalam folikel. Pada permulaan pengobatan, pasien merasa seperti terbakar. Gejala ini akan berkurang dalam beberapa minggu. Sebaiknya dimulai dari dosis yang rendah dahulu, kemudian lambat laun diganti dengan dosis tinggi. c) Antibiotik Topikal Pemakaian bahan antimikroba dibenarkan bila mengurangi populasi P.acnes atau hasil metabolismenya, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 seperti lipase atau porfirin. Antibiotik yang sering dipakai, yaitu klindamisin 1%, eritromisin 2%, dan tetrasiklin ½%-5% (Strauss et al., 2007). d) Asam azeleat Berfungsi sebagai antiinflamasi, antioksidan, dan bersifat bakterisida terhadap mikroorganisme gram negatif dan gram positif serta pada bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Antikeratinisasi pada asam azeleat berfungsi sebagai penghambat pembentukan komedo (Sieber dan Hegel, 2013). e) Asam-Asam Alfa Hidroksi (AAAH) Cara kerja dengan mengurangi kohesi korneosit berguna untuk lesi yang tidak mengalami peradangan pada konsentrasi rendah. Sedangkan pada konsentrasi tinggi, terjadi epidermolisis pada sub-korneal dan pada dermis terjadi sintesis kolagen baru (Widjaja, 2015). 2) Pengobatan Oral a) Antibiotik Oral Indikasi primer antibiotik oral adalah akne bentuk papulopustular sedang sampai berat dan akne konglobata. Antibiotik tak pernah dipakai sendiri tetapi bersama-sama dengan obat yang dapat menyebabkan pengelupasan kulit. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 Antibiotik yang paling dikenal adalah tetrasiklin, eritromisin, linkomisin dan klindamisin, serta trimetropim. b) D.D.S (Diamino Difenil Sulfon) Seperti sulfonamida, DDS dapat menghambat pemakaian PABA (Para Amino Benzoic Acid) oleh bakteri. Obat ini hanya digunakan untuk akne dengan peradangan yang sangat hebat, seperti akne konglobata dan papulopustular yang sukar diobati. c) Hormon Hormon-hormon yang berpengaruh antara lain: kortikosteroid, estrogen dan pil anti hamil, anti-androgen, vitamin A, isotretinoin, seng (Zink), dan diuretika (Widjaja, 2015). 2. Tidur a. Definisi Tidur Tidur merupakan suatu periode istirahat untuk tubuh dan pikiran yang selama masa ini kemauan dan kesadaran ditangguhkan sebagian atau seluruhnya dan fungsi-fungsi tubuh sebagian dihentikan. Tidur juga telah dideskripsikan sebagai status tingkah laku yang ditandai dengan posisi tak bergerak yang khas dan sensitivitas reversibel yang menurun, tapi siaga terhadap rangsangan dari luar (Dorland, 2010). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 b. Fisiologi Tidur Terdapat berbagai tahap dalam tidur, dari tidur yang sangat ringan sampai tidur yang sangat dalam. Para peneliti tidur juga membagi tidur menjadi dua tipe yang secara keseluruhan berbeda, yang memiliki kualitas yang berbeda pula. Setiap malam, seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian satu sama lain. 1) Tidur gelombang-lambat Pada tipe ini, gelombang otak sangat kuat dan frekuensinya sangat rendah. Setiap malamnya, sebagian besar masa tidur terdiri atas gelombang lambat yang bervariasi, yakni tidur yang nyenyak/dalam dan tenang yang dialami seseorang pada jam-jam pertama tidur sesudah terjaga selama beberapa jam sebelumnya. Tahap tidur ini begitu tenang dan dapat dihubungkan dengan penurunan tonus pembuluh darah perifer dan fungsi-fungsi vegetatif tubuh lain. Contohnya, tekanan darah, frekuensi pernapasan, dan kecepatan metabolisme basal akan berkurang 1020%. 2) Rapid Eye Movement (REM) Sleep Pada tipe tidur ini, mata bergerak dengan cepat meskipun orang tetap tidur. Tidur REM timbul dalam episode-episode dan meliputi sekitar 25% dari seluruh masa tidur pada orang dewasa, dimana setiap episode normalnya terjadi kembali setiap 90 menit. Tipe tidur ini tak begitu tenang, dan biasanya berhubungan dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 mimpi dan pergerakan otot tubuh yang aktif. Seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur gelombang lambat, namun orang-orang terbangun spontan di pagi hari sewaktu episode tidur REM. Ringkasnya, tidur REM merupakan tipe tidur saat otak benar-benar dalam keadaan aktif. Namun, aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang sesuai agar orang itu siaga penuh terhadap keadaan sekelilingnya sehingga orang tersebut benar-benar tertidur (Guyton, 2007a). c. Kualitas Tidur Kualitas tidur mengacu pada keadaan tidur yang terus berlanjut tanpa adanya interupsi. Kualitas tidur dapat juga dinilai dari beberapa keadaan seperti onset awal tidur, sedikit interupsi, dan bangun tidak terlalu pagi (Mak et al., 2014). Menurut Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI), kualitas tidur dibagi menjadi dua, yaitu good sleep dan bad sleep. Kualitas tidur yang baik atau good sleep adalah tidur yang memiliki skor kurang dari lima, sedangkan kualitas tidur yang buruk atau bad sleep memiliki skor lebih atau sama dengan lima. Kualitas tidur juga dapat dinilai dari durasi waktu tidur yang didapatkan setiap malam. Tidur yang cukup dapat meningkatkan kualitas tidur, sebaliknya kurang tidur dapat menurunkan kualitas tidur. commit to user Durasi waktu tidur yang perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 direkomendasikan untuk remaja adalah 8-10 jam (Tabel 2.2) (Hirshkowitz et al., 2015). Tabel 2.2. Durasi Waktu Tidur Umur Rekomendasi (jam) 0-3 bulan 14 – 17 Tidak direkomendasikan (jam) Kurang dari 11 Lebih dari 19 4-11 bulan 12 – 15 Kurang dari 10 Lebih dari 18 1-2 tahun 11 – 14 Kurang dari 9 Lebih dari 16 3-5 tahun 10 – 13 Kurang dari 8 Lebih dari 14 6-13 tahun 9 – 11 Kurang dari 7 Lebih dari 12 14-17 tahun 8 – 10 Kurang dari 7 Lebih dari 11 18-25 tahun 7–9 Kurang dari 6 Lebih dari 11 26-64 tahun 7–9 Kurang dari 6 Lebih dari 10 >65 tahun 7–8 Kurang dari 5 Lebih dari 9 commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 3. Hubungan Kualitas Tidur dengan Kejadian Akne Vulgaris Pengurangan waktu tidur menyebabkan beberapa efek yang di antaranya kemungkinan berpengaruh terhadap patogenesis akne vulgaris. Hal-hal yang kemungkinan berpengaruh ini antara lain meningkatnya stres dan meningkatnya kadar ghrelin yang disertai penurunan leptin pada malam hari. Meningkatnya stres dapat disebabkan oleh kualitas tidur yang buruk. Penelitian ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Benham (2010) dan Heiskanen et al (2013) yang menunjukkan bahwa kualitas tidur yang buruk dapat memicu timbulnya stres. Stres berhubungan dengan meningkatnya kerja kelenjar sebasea, baik secara langsung ataupun melalui rangsangan terhadap kelenjar hipofisis (Wasitaatmadja, 2011). Peningkatan produksi sebum berhubungan dengan peningkatan asam lemak bebas. Asam lemak bebas dapat memicu inflamasi yang merupakan salah satu dasar patogenesis akne (Pindha, 2007). Hormon ghrelin merupakan suatu hormon yang berperan untuk merangsang perilaku makan. Sedangkan hormon leptin berperan untuk menurunkan nafsu makan (Guyton, 2007b). Meningkatnya kadar ghrelin serta menurunnya kadar leptin pada malam hari yang diakibatkan oleh kualitas tidur yang buruk memiliki pengaruh untuk seseorang mengkonsumsi lebih banyak makanan (Heiskanen et al., 2013). Adanya makanan dalam usus akan meningkatkan kadar insulin terkait glukosa dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 sekresi dari pankreas (Guyton, 2007b). Asupan makanan juga meningkatkan sekresi dari Insulin like Growth Factor-1 (IGF-1) (Clemmons, 2004). Sedangkan IGF-1 merangsang hormon pertumbuhan di kelenjar hipofisis selama pubertas, yang merangsang produksi hormon androgen (Melnik et al., 2009). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 B. Kerangka Konsep Kualitas Tidur yang buruk 1. Kadar ghrelin Stres meningkat meningkat 2. Kadar leptin menurun Asupan makanan bertambah Kadar IGF-1 meningkat a. Faktor genetik Akne Vulgaris b. Faktor ras c. Hormonal d. Iklim e. Lingkungan f. Stres g. Diet h. Kosmetik Gambar 2.1. Skema Kerangka Konsep Keterangan: : Variabel yang diteliti : commit userditeliti Variabel yangtotidak perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 C. Hipotesis 1. Ada hubungan antara kualitas tidur dengan kejadian akne vulgaris di SMAN 1 Surakarta. 2. Kualitas tidur yang buruk merupakan salah satu faktor risiko timbulnya akne vulgaris. commit to user