BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari komedo, papul, pustul dan nodul. Meskipun akne vulgaris bisa sembuh sendiri namun sekuelenya dapat menetap seumur hidup, dengan timbulnya jaringan parut hipotropi atau hipertropi.1 Akne vulgaris merupakan kelainan kulit yang paling sering dan diperkirakan mengenai sedikitnya 80% dari seluruh populasi yang berusia antara 12 dan 25 tahun. Walaupun akne vulgaris mungkin dapat dimulai pada usia praremaja, ketika androgen adrenal mulai menstimulasi glandula sebasea, namun paling umum terlihat selama masa remaja, ketika baik adrenal dan gonad memberikan stimulasi androgen dari sebosit. Akne vulgaris dapat juga dijumpai pada dewasa, terutama wanita selama dekade ketiga sampai kelima dalam kehidupan.2 Akne vulgaris mempengaruhi 60-70% orang Amerika pada beberapa waktu selama hidup mereka. Dua puluh persennya menderita akne vulgaris berat dengan dampak mental dan jaringan parut permanen.3 Di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2008, dari total 5.573 pasien yang berobat ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 107 pasien 1 Universitas Sumatera Utara 2 (1,91%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut, 8,41% berusia 0-12 tahun, 90,6% berusia 13-35 tahun dan hanya 0,93% yang berusia 36-65 tahun.4 Sedangkan pada periode Januari – Desember 2011, dari total 5.644 pasien yang berobat ke Poliklinik Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 88 pasien (1,55%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis akne vulgaris. Dari jumlah tersebut 1,13% berusia 0-12 tahun, 87,5% berusia 13-35 tahun dan 11,36 % yang berusia 36-65 tahun. Hal ini menggambarkan bahwa penderita akne vulgaris yang terbanyak adalah usia remaja dan dewasa muda. Patogenesis akne vulgaris bersifat multifaktorial, melibatkan empat faktor utama yang membantu menjelaskan variasi luas dalam manifestasi klinis; (1) Perubahan diferensiasi epitel folikular yang mengarah kepada hiperproliferasi dan deskuamasi abnormal, menyebabkan lesi prekusor dari semua lesi akne vulgaris lainnya, yaitu mikrokomedo. (2) Peningkatan produksi sebum. (3) Proliferasi dari Propionibacterium acne (P.acne). (4) Inflamasi menyebabkan terbentuknya sitokin pro inflamasi yang diproduksi oleh P.acne dan mungkin dari asam lemak bebas yang dihasilkan melalui hidrolisis sebum trigliserida oleh lipase yang disekresi oleh P.acne. Ruptur folikular dapat menyebabkan inflamasi yang lebih berat dan kronis.2 Penelitian terbaru etiopatogenesis akne vulgaris difokuskan pada peranan radikal bebas dan antioksidan. Dimana kulit secara konstan terpapar dengan kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) yang dihasilkan baik dari sumber endogen (metabolisme oksigen) maupun dari rangsangan pro-oksidan eksternal (paparan radiasi, polusi udara, intoksikasi Universitas Sumatera Utara 3 oksigen, rokok dan alkohol). Latihan fisik baik aerobik maupun anaerobik yang dilakukan dalam intensitas tinggi dan tidak teratur dapat menyebabkan stres oksidatif.5 ROS memediasi kerusakan oksidatif melalui interaksi dari radikal bebas dengan molekul seluler seperti lipid, karbohidrat, protein dan asam nukleat. Dari semua komponen ini, lipid yang paling sensitif, dimana asam lemak tak jenuh ganda dalam membran sel bereaksi dengan ROS membentuk produk peroksidasi. Untuk menghadapi efek berbahaya dari ROS, kulit dilengkapi dengan mekanisme pertahanan antioksidan berupa antioksidan enzimatik seperti glutathione peroxidase (GSH-Px), catalase, superoxide dismutase (SOD) dan non-enzimatik. Antioksidan non-enzimatik yang dijumpai dalam sel adalah αtokoferol, ubiquinon, β-karoten, askorbat dan glutathione. Diantara antioksidan ini, α-tokoferol dan β-karoten terkonsentrasi di dalam membran sel, secara in vivo berfungsi sebagai pelindung terhadap lipid peroksida. Proteksi antioksidan yang tidak kuat dan/atau peningkatan produksi ROS membuat suatu kondisi yang disebut sebagai stres oksidatif, yang berperan terhadap munculnya penyakit inflamasi kulit. Stres oksidatif dapat dijumpai pada akne dan dapat berperan dalam patogenesisnya.6,7 Vitamin E adalah adalah pengikat radikal peroksil yang ampuh, merupakan antioksidan pemecah rantai yang mencegah berlanjutnya kerusakan akibat radikal bebas dalam membran biologi. D-α-tokoferol bentuk vitamin E dalam plasma merupakan antioksidan yang efektif dalam stabilisasi lipid yang tidak jenuh melawan autooksidasi.8,9 El-akawi et al. (2005) melakukan penelitian kadar vitamin E dalam plasma pada 100 orang pasien dengan akne vulgaris dengan derajat berat, sedang dan Universitas Sumatera Utara 4 ringan dan 100 subyek kontrol. Derajat keparahan akne vulgaris ditetapkan berdasarkan Global Acne Grading System (GAGS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin E secara bermakna lebih rendah pada pasien dengan akne vulgaris derajat berat dibandingkan dengan akne vulgaris derajat sedang, ringan dan kontrol.9 Abulnaja (2008) melakukan penelitian status oksidan/antioksidan pada wanita dewasa yang gemuk dengan akne vulgaris menunjukkan bahwa kadar vitamin E secara bermakna lebih rendah pada wanita gemuk dan normal dengan akne vulgaris dibandingkan wanita gemuk dan normal tanpa akne vulgaris.10 Ayres dan Mihan (1981) telah melaporkan keberhasilan pengobatan terhadap lebih dari 100 pasien akne vulgaris yang menerima 100.000 IU vitamin A dengan 800 IU vitamin E setiap hari. Kebanyakan merespon dalam beberapa minggu dan kontrol pemeliharaan diperoleh dengan dosis yang lebih rendah.11 Michaelson (1984) memberikan 0,2 mg selenium ditambah 10 mg tokoferil suksinat dua kali sehari pada 29 orang pasien akne vulgaris selama 6 sampai 12 minggu, dijumpai hasil yang baik, terutama pada pasien dengan akne pustular dan dengan aktivitas GSH-Px yang rendah. Efek yang menguntungkan biasanya pararel dengan peningkatan yang lambat dari GSH-Px. Setelah 6 sampai 8 minggu penghentian pengobatan, kadar GSH-Px kembali seperti semula sebelum pengobatan.12,13 Zat antioksidan yang mengandung beberapa zat gizi oral telah menjadi subyek penelitian selama 12 minggu pada 48 pasien akne vulgaris. Antioksidan ini dimakan tiga kali sehari dengan total 45 mg zinc, 180 mg vitamin C, 18 mg campuran karotenoid, 45 IU d-alfa-tokoferol asetat dan 390 mcg kromium. Universitas Sumatera Utara 5 Perbaikan yang bermakna tercatat dalam evaluasi dokter setelah 8 minggu, dan setelah 12 minggu 79% dari pasien ditemukan memiliki peningkatan 80% atau lebih. Karena ini merupakan penelitian open-label, kesimpulan yang luas tidak dapat dibuat mengenai hasilnya.14 Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kadar vitamin E plasma pada akne vulgaris terutama bila dihubungkan dengan derajat keparahan akne vulgaris masih sedikit sekali. Peneliti berminat untuk melakukan penelitian tentang perbandingan kadar vitamin E plasma pada berbagai derajat keparahan akne vulgaris, karena sejauh ini penelitian mengenai hal tersebut belum pernah dilaksanakan di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan kadar vitamin E plasma pada kelompok akne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat ? 1.3 Hipotesis Ada perbedaan bermakna dari kadar vitamin E plasma pada kelompok akne vulgaris derajat ringan, sedang, dan berat. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum: Menganalisis perbedaan kadar vitamin E plasma pada berbagai derajat keparahan akne vulgaris. 1.4.2 Tujuan khusus: Mengetahui kadar vitamin E plasma pada penderita akne vulgaris derajat ringan, sedang dan berat. Universitas Sumatera Utara 6 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bidang akademik atau ilmiah Membuka wawasan yang lebih mendalam tentang kompleksitas patofisiologi akne vulgaris, terutama mengenai peranan antioksidan khususnya vitamin E dalam patofisiologi akne vulgaris. 1.5.2 Pelayanan masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang peran vitamin E dalam terjadinya akne vulgaris sehingga nantinya dapat ditambahkan dalam pola makanannya. 1.5.3 Pengembangan penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi data bagi penelitian selanjutnya dalam mengevaluasi peranan antioksidan dalam patofisiologi akne vulgaris, sehingga dapat bermanfaat untuk penatalaksanaan akne vulgaris di masa mendatang. Universitas Sumatera Utara