BAB II Tinjauan Pustaka 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Akne Vulgaris a. Definisi Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel pilosebasea yang bersifat menahun dan dapat menyebabkan terjadinya sumbatan pengaliran sebum yang dikeluarkan kelenjar sebasea ke permukaan kulit, sehingga kemudian timbul erupsi ke permukaan kulit yang dimulai dengan terjadinya komedo, umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris terdiri dari berbagai kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodus, dan jaringan parut, baik jaringan parut hipotrofik maupun hipertrofik (Wasitaatmadja, 2012). b. Epidemiologi Menurut Wasitaatmadja (2013), akne vulgaris merupakan masalah kulit yang hampir seluruh manusia pernah mengalami. Akne vulgaris biasanya terjadi pada wanita umur 14-17 tahun dan 16-19 tahun pada pria. Akne vulgaris biasanya akan berkurang setelah masa remaja, namun dapat menetap sampai usia 30 tahun. Manifestasi akne vulgaris pada laki-laki biasanya akan lebih berat, namun gejala tersebut akan cepat berkurang. Ras oriental (Jepang, Cina, dan Korea) lebih jarang mengalami akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia (Eropa, Amerika) (Wasitaatmadja, 2010). c. Etiologi Patogenesis akne vulgaris diduga berhubungan dengan banyak faktor, namun etiologi akne vulgaris masih belum diketahui secara pasti. Menurut Wasitaatmadja (2010), faktor yang berperan yaitu: 1. Perubahan pola keratinisasi dalam folikel. 2. Produksi sebum yang meningkat sehingga menyebabkan meningkatnya unsur komedogenik dan inflamatogenik penyebab terjadinya lesi akne. 6 3. Terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya proses inflamasi folikel dalam sebum. 4. Peningkatan jumlah flora folikel (Propionibacterium acnes), terjadinya respons hospes berupa pembentukan circulating antibodies. 5. Peningkatan kadar hormon androgen, anabolik, kortikosteroid, gonadotropin serta ACTH yang mungkin menjadi faktor penting untuk aktivitas kelenjar sebasea. 6. Terjadinya stres psikis yang secara langsung merangsang kelenjar hipofisis sehingga dapat memicu aktivitas kelenjar sebasea 7. Faktor lain usia, ras familial, makanan, cuaca. Faktor herediter berpengaruh besar pada aktivitas glandula sebasea. Pasien dengan kedua orang tua mempunyai parut bekas akne, kemungkinan anaknya akan menderita akne (Harahap, 2000). Hormon androgen mengontrol sekresi kelenjar sebasea dan beperan dalam hiperkeratinisasi folikel. Hormon androgen yang utama adalah testosteron, namun pada wanita hormon androgen yang utama adalah dehydroepiandrosterone (DHEA) dan garam sulfat DHEA (DHEAS) yang mengatur sekresi kelenjar sebasea. DHEA dirubah dari testosteron oleh 5 α reduktase. Konsentrasi hormon testosteron pada pria dengan akne tidak berbeda dengan pria yang tidak menderita akne. Konsentrasi hormon androgen pada wanita yang menderita akne lebih banyak dibandingkan wanita tanpa akne, selain itu kelenjar sebasea wanita dengan akne juga memiliki hipersensitifitas terhadap hormon androgen. Mekanisme hormon esterogen dalam patogenesis akne masih belum jelas, namun diyakini akan menekan produksi kelenjar sebasea karena efek oposisi dengan hormon androgen (Bhambri et.al, 2009). Progesteron dalam jumlah fisiologik tak berpengaruh tehadap aktivitas kelenjar lemak, namun terkadang progesteron dapat menyebabkan akne premenstrual (Harahap, 2000). Akne vulgaris juga dipengaruhi oleh hormon IGF-1 yang akan merangsang pertumbuhan kelenjar sebasea (Bhambri et.al, 2009). 7 Makanan juga diperkirakan mempengaruhi munculnya akne. Produk susu mengandung 5α reduktase dan prekursor hormon steroid dari DHEA. Susu juga mengandung banyak faktor pertumbuhan. Konsumsi susu dan makanan dengan kadar glikemik tinggi akan secara langsung meningkatkan produksi IGF-1. Vitamin A diperlukan untuk fungsi normal folikel sehingga dapat menjadi efek protektif pada akne vulgaris. Yodium tidak bersifat komedogenik namun memperparah peradangan ( Kurokawa etal, 2009). Alkohol dapat memperparah akne karena efeknya yang dapat merangsang sel-sel inflamatori. Perokok memiliki insidensi akne vulgaris lebih tinggi daripada yang tidak merokok, namun mekanisme pasti belum dapat diketahui (Suh et al, 2011). Iklim juga diduga berpengaruh menyebabkan akne vulgaris, di daerah yang mempunyai empat musim biasanya akne bertambah parah pada musim dingin, sebaliknya kebanyakan membaik pada musim panas (Suh et.al, 2011). Sinar Ultraviolet mempunyai efek membunuh bakteri pada permukaan kulit. Sinar UV juga dapat mengadakan pengelupasan kulit yang dapat membantu menghilangkan sumbatan saluran pilosebasea, namun pada beberapa kasus akne memburuk karena musim panas bukan disebabkan oleh sinar UV melainkan oleh banyaknya keringat pada keadaan yang sangat lembab dan panas (Harahap, 2000). Penderita dengan stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan eksaserbasi akne dengan mekanisme yang belum diketahui secara pasti. Kecemasan sering menyebabkan penderita memanipulasi akne secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi baru yang meradang. Teori lain mengatakan hal ini disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon androgen (Harahap, 2000). Kosmetik tertentu yang digunakan secara terus menerus dapat menyebabkan suatu bentuk akne ringan yang terutama terdiri dari komedo tertutup dengan beberapa lesi papulopustular pada pipi dan dagu. Kosmetik yang sering menyebabkan akne adalah bedak dasar (foundation), pelembab (moisturiser), krim penahan matahari, dan krim malam yang mengandung bahan-bahan seperti lanolin, petrolatum, minyak 8 tumbuh-tumbuhan dan bahan kimia murni (butil stearat, lauril alkohol, bahan-bahan pewarna merah D&C dan asam oleik) ( Harahap, 2000). d. Patogenesis Empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne, yaitu kenaikan ekskresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan inflamasi. Kelenjar sebasea membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak pada masa pubertas sehingga akne biasanya mulai timbul. Pertumbuhan kelenjar sebasea dan produksi sebum dipengaruhi hormon androgen. Penderita akne mengalami peningkatan perubahan hormon androgen yang normal beredar dalam darah ( testosteron ) ke bentuk metabolit yang lebih aktif (5-alfa dihidrotestosteron). Hormon ini mengikat reseptor androgen di sitoplasma dan akhirnya menyebabkan proliferasi sel penghasil sebum. Produksi sebum yang meningkat pada penderita akne disebabkan oleh respon organ yang berlebihan pada kelenjar sebasea terhadap kadar normal androgen dalam darah. Sebum yang bersifat komedogenik tersusun dari campuran skualen, lilin (wax), ester dari sterol, kolesterol, lipid polar, dan trigliserida (Harahap, 2000). Salah satu yang penting dalam pembentukan akne adalah hiperkeratinisasi di infundibulum dan duktus sebasea yang menghasilkan mikrokomedo. Patogenesis hiperkeratinisasi masih belum jelas. IL-1 dilaporkan menginduksi hiperkeratinisasi di folikel infundibulum, selain itu filagrin (filamen protein deagregasi) yang ekspresinya meningkat diduga dapat menyebabkan gangguan dalam diferensiasi keratinosit infundibulum. Peningkatan hormon DHT juga dapat menyebabkan hiperkeratinisasi yang abnormal. Keratinisasi folikular mungkin dipicu oleh defisiensi asam linoleik pada epitel folikel setempat yang akan menyebabkan hiperkeratosis folikuler dan penurunan fungsi barier dari epitel, sehingga dinding komedo jadi lebih mudah ditembus bahan-bahan yang dapat menyebabkan peradangan. Arti penting P. acne dalam patogenesis akne vulgaris masih kontroversial dikarenakan P.acne merupakan flora normal yang tinggal di kulit (Kurokawa etal., 2009). 9 e. Gejala Klinis Akne vulgaris merupakan peradangan kronis dari pilosebasea yang ditandai dengan komedo, papula, pustula, nodul, dan scar. Komedo merupakan bentuk yang paling umum, komedo dapat berupa bentuk kulit yang rata atau sedikit meninggi. Komedo dapat berbentuk komedo terbuka dengan keratin yang menghitam (black head) dan komedo tertutup biasanya berukuran 1mm dengan papul kekuningan (James etal., 2011). Komedo tertutup lebih mudah diraba daripada dilihat dan sangat jarang terjadi peradangan, komedo jenis ini paling umum terjadi di dahi dan pipi (Brown dan Burns, 2002). Sebagian pasien akan mengalami papula dan pustula. Papula dapat dilihat dengan bintik kecil berwarna kemerahan dan pustula dapat dilihat dengan kulit yang sedikit meninggi dengan bagian tengah berwarna putih dengan dasar kemerahan. Bentuk ini biasanya akan disertai dengan keluhan gatal sampai nyeri. Lesi yang tadinya papula biasanya akan berkembang menjadi pustula. Lesi ini biasanya akan menghilang setelah beberapa hari (Brown dan Burns, 2002). Keadaan yang semakin parah dan peradangan yang semakin dalam akan membuat bentuk lesi semakin besar dan semakin mudah dilihat serta diraba yang biasanya berbentuk nodul. Lesi ini biasanya sangat mengganggu penampilan penderita karena biasanya berlangsung lebih lama dibandingkan lesi jenis lain (Brown dan Burns, 2002). Jaringan parut atau scar merupakan bentuk akhir dari peradangan akne. Jaringan parut ini pada beberapa orang bertahan seumur hidup (Brown dan Burns, 2002). Akne paling sering terjadi di wajah, leher, punggung bagian atas, dan lengan atas. Wajah paling sering terjadi di pipi, dan lebih jarang di dahi, dagu, dan hidung. Bagian leher yang paling sering adalah di bagian belakang. Pada lelaki muda biasanya akan lebih parah daripada wanita muda (James etal., 2011). 10 a b c Gambar 1. Gambaran klinis akne (a) Akne dengan komedo terbuka, (b) akne dengan papula dan pustula, (c) akne dengan peradangan papula dan nodul (Brown dan Burns, 2002). f. Gradasi Menurut Wasitaatmadja (2010), gradasi akne vulgaris menunjukkan berat ringannya penyakit dan digunakan untuk pilihan pengobatan. Gradasi akne vulgaris adalah sebagai berikut : o Ringan, apabila beberapa lesi tak meradang pada 1 predileksi, sedikit lesi tak meradang pada beberapa tempat predileksi, sedikit lesi meradang pada 1 predileksi. o Sedang, apabila banyak lesi tak meradang pada 1 predileksi, beberapa lesi tak meradang pada lebih dari 1 predileksi, beberapa lesi meradang pada 1 predileksi, sedikit lesi meradang pada lebih dari 1 predileksi. o Berat, apabila banyak lesi tak meradang pada lebih dari 1 predileksi, banyak lesi meradang pada 1 atau lebih predileksi. Akne dinyatakan sedikit bila jumlah akne <5, dinyatakan beberapa dengan jumlah akne 5-10, dan banyak apabila jumlah akne >10. Akne yang tidak meradang berarti komedo putih, komedo hitam, dan papul, sedangkan akne yang meradang berarti pustul, nodus, dan kista. 11 g. Diagnosis Akne vulgaris dapat ditegakkan diagnosisnya berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan ekskohlasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo ekstraktor. Sebum yang menyumbat folikel akan terlihat sebagai massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak seperti nasi yang ujungnya kadang berwarna hitam. Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jenis renik jarang dilakukan namun mempunyai peran pada etiologi dan patogenesis akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2010). Selain dari diagnosis klinis akne vulgaris, terkadang dibutuhkan pemeriksaan pada kondisi tertentu yaitu pada wanita dengan dismenore. Pada keadaan ini perlu dicek kadar hormon, baik kadar hormon testosteron total, kadar testosteron bebas, dehydroepidrosterone sulfat, hormon luteinezing, dan follicle stimulating hormon (Wasitaatmadja, 2010). Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik yaitu sebukan sel radang kronis di sekitar folikel polisebasea dengan massa sebum di dalam folikel, sedangkan akne dalam bentuk kista peradangan sudah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatas massa cair sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati, dan keratin yang lepas (Wasitaatmadja, 2010). Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat ditujukan untuk mengetahui etiologi dan patogenesis. Kadar asam lemak bebas meningkat pada penderita akne vulgaris dan karena itu pencegahan dan pengobatan digunakan cara untuk menurunkan asam lemak bebas (Wasitaatmadja, 2010). h. Diagnosis Banding Menurut Wasitaatmadja (2010) diagnosis banding akne vulgaris yaitu: 1. Erupsi akneiformis kortikosteroid, INH, yang disebabkan barbiturat, oleh bromida, induksi yodida, obat, difenil misalnya hidantoin, trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi papulo pustul 12 mendadak tanpa adanya komedo di hampir seluruh bagian, dapat disertai demam dan dapat terjadi di semua usia. 2. Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis. Umumnya lesi monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan tempat predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsangan fisiknya. Memiliki beberapa varian yaitu akne kosmetik, akne minyak rambut, akne klor, akne pekerjaan. 3. Rosasea, merupakan penyakit peradangan kronik di daerah muka dengan gejala eritema, pustul, telangiektasi dan kadang-kadang disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali bila kombinasi dengan akne. 4. Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dengan gejala klinis polimorfi eritema, papul, pustul, disekitar mulut yang terasa gatal. i. Penatalaksanaan Penatalaksanaan akne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya erupsi dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi. Kedua usaha tersebut dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan terjadi akibat pengaruh dilakukan untuk mencegah multifaktorial (Wasitaatmadja, 2010). 1. Pengobatan topikal, Pengobatan topikal pembentukan komedo, menekan peradangan, dan mempercepat penyembuhan lesi. Bahan iritan yang dapat digunakan untuk peeling misalnya sulfur (4-8%), resorsinol(1-5%), asam salisilat (2-5%), peroksida benzoil (2,5-10%) dan asam azeleat (15-20%). Selain itu ada juga asam alfa hidroksi (AHA) misalnya glikolat(3-8%) dan juga retinoid (Wasitaatmadja, 2010). Benzoil peroksida tidak saja membunuh bakteri, melainkan juga menyebabkan deskuamasi dan mencegah timbulnya gumpalan di dalam folikel. Pasien biasanya mengeluhkan terbakar saat permulaan pengobatan, namun gejala akan berkurang dalam beberapa minggu. Sebaiknya dimulai dengan dosis rendah dan kemudian lambat laun diganti dengan dosis tinggi. Cara kerja benzoil peroksida sebagai anti bakteri yang kuat, komedolitik, dan counter-iritant (Harahap, 2000). Benzoil peroksida merupakan pengobatan 13 lini pertama untuk akne derajat ringan, apabila hasil pengobatan tidak memuaskan harus ditambahkan dengan tretinoin topical atau adapalane. Kombinasi benzoil peroksida, antibiotik topikal, dan topikal retinoid (tretinoin, adapalane, atau tazorotene) digunakan sebagai pengobatan pada akne derajat sedang (Whitney&Ditre, 2011). Benzoil peroksida ada dalam beberapa formulasi ada yang dalam bentuk sabun muka, gel, krim dan lotion. Gel biasanya lebih disukai dikarenakan sifatnya yang lebih stabil dan dibandingkan krim maupun lotion sifat iritannya sangat minimal. Keterbatasan yang utama adalah zat ini akan menyebabkan kemerahan, rasa terbakar, dan kulit yang kering pada awal penggunaan dan akan berkurang seiring dengan lama penggunaan ( Rathi, 2011). Retinoid sudah digunakan lebih dari 30 tahun yang lalu. Target kerja retinoid adalah mikrokomedo. Sekarang retinoid digunakan sebagai lini pertama pada akne dengan derajat radang ringan sampai sedang dan untuk terapi pemeliharaan. Cara kerja retinoid adalah mengurangi hiperproliferasi epitel folikel abnormal, mengurangi penyumbatan folikel, mengurangi mikrokomedo, dan mengurangi lesi akne baik yang sedang meradang ataupun tidak. Tretinoin, adapalen, tazarotene, isotretinoin, metretinide, retinaldehid,dan β-retinoil glucuronide adalah retinoid topikal yang tersedia sekarang (Rathi, 2011). Isotretinoin efektif digunakan untuk akne vulgaris yang berat (Whitney&Ditre, 2011). Kelebihan isotretinoin jika dibandingkan dengan tretinoin efek antiinflamasi lebih baik dan kurang iritatif (Harahap, 2000). Bahan antimikroba bisa digunakan apabila mengurangi populasi P.Acne atau hasil metabolismenya, seperti lipase atau porfirin (Harahap, 2000). Antibiotik topikal ini berfungsi untuk menghambat pertumbuhan P.Acnes dan mengatasi peradangan. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah klindamisin dan eritromisin, keduanya efektif untuk peradangan jerawat dalam bentuk topikal dengan kadar 1-4% dengan atau tanpa penambahan zink. 14 Efek samping antibiotik topikal termasuk kecil yang meliputi kemerahan, mengelupas, kulit kering, dan rasa terbakar. Efek samping yang perlu diwaspadai adalah resistensi bakteri, oleh karena itu sebaiknya antibiotik tidak digunakan sebagai monoterapi (Rathi, 2011). Obat topikal yang lain misalnya adalah asam salisilat, obat ini telah digunakan selama bertahun-tahun dan bersifat komedolitik namun tidak sekuat retinoid topikal. Asam azelaik tersedia dalam bentuk krim topikal 1020% telah terbukti efektif untuk jerawat yang meradang dan komedo. Asam laktat digunakan untuk mencegah dan mengurangi lesi akne. Gel asam Pikolinik 10% ini adalah metabolit antara dari asam amino triptofan. Memiliki antivirus, antibakteri, dan immunomodulator (Rathi, 2011). 2. Pengobatan Sistemik Menurut Wasitaatmadja (2013), pengobatan sistemik ditujukan terutama untuk menekan aktivitas mikroorganisme, mengurangi reaksi radang, menekan produksi sebum, dan mempengaruhi keseimbangan hormonal. Antibiotik oral ditujukan untuk akne sedang sampai berat. Pilihan yang pertama adalah tetrasiklin dan turunannya. Pilihan lainnya adalah makrolid, kotrimoksazol, dan trimetropim. Dosis tetrasiklin yang biasa digunakan adalah 500mg-1 gram/hari (Rathi,2011). Tetrasiklin dapat menghambat lipase ekstraseluler yang dikeluarkan oleh bakteri P.Acnes (Harahap, 2000). Eritromisin adalah obat pilihan untuk penderita yang sensitif terhadap tetrasiklin atau wanita hamil (Harahap, 2000). Eritromisin mempunyai efek bakterisida terhadap P. Acnes. Dosis yang biasa digunakan adalah 500mg-1 gram/hari (Rathi, 2011). Selain itu ada doksisiklin (50-200mg/hari), minocycline (50-200mg/hari), dan kotrimoksazol, trimetropim, azitromisin ( dosis 500mg tiga kali seminggu) (Rathi, 2011). Efek samping yang paling sering terjadi adalah gangguan pencernaan dan kandidiasis vagina. Terapi jangka panjang dengan antibiotik tidak hanya membuat resisten P.Acnes tapi juga membuat ancaman resisten Staphylococci koagulase negatif pada kulit, S. 15 Aureus dalam hidung, dan streptococci dalam rongga mulut. Monoterapi antibiotik harus dihindari dan dikombinasikan dengan retinoid topikal atau benzoil peroksida. Antimikroba dipakai dengan durasi minimum terapi adalah 6-8 minggu, namun dapat diberikan 12-18 minggu (Rathi, 2011). Pengobatan hormonal digunakan untuk menekan produksi androgen dan secara kompetitif menduduki reseptor organ target di kelenjar sebasea (Wasitaatmadja, 2010). Konsultasi dengan dokter kandungan dibutuhkan sebelum menggunakan terapi hormonal. Kontrasepsi oral yang berisi esterogen dan progestin efek anti jerawat diatur oleh penurunan tingkat androgen sirkulasi melalui penghambatan luteinizing hormon (LH) dan folikel stimulating hormon (FSH). Spironolakton terutama berfungsi sebagai penghambat reseptor androgen, efeksampingnya bisa terjadi hiperkalemia pada gangguan ginjal dan jantung. Cyproterone asetat adalah androgen reseptor bloker yang digunakan untuk wanita yang menderita jerawat. Dosis yang biasa digunakan 2mg/ hari (Rathi, 2011). Retinoid oral diindikasikan pada jerawat yang sedang sampai berat yang tidak sembuh dengan pengobatan konvensional. Dosis yang diberikan adalah 0,5-2mg/kg/hari yang biasanya diberikan selama 20 minggu. Isotretinoid oral merupakan teratogen potensial sehingga sebelum memakai obat ini harus dipastikan bahwa pengguna tidak hamil (Rathi, 2011). 3. Pengobatan fisik Menghilangkan komedo terbuka dan tertutup dapat dilakukan dengan komedo ekstraktor dan jarum halus. Sebelum ini dilakukan diberi retinoid terlebih dahulu akan mempermudah dalam menghilangkan komedo (Rathi, 2011). 4. Bedah Kulit Tindakan bedah kulit terkadang diperlukan terutama untuk memperbaiki jaringan parut akibat akne vulgaris yang meradang baik yang hipertrofik 16 maupun hipotrofik. Tindakan dilakukan setelah akne vulgaris sembuh (Wasitaatmadja, 2010). Bedah skalpel dilakukan untuk meratakan sisi jaringan parut yang menonjol atau melakukan eksisi elips pada jaringan parut hipotrofik yang dalam. Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah pengeluaran sebum atau pada nodulo kistik untuk drainase cairan isi yang dapat mempercepat penyembuhan. Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan jaringan parut yang berbenjol. Bedah beku dengan bubur CO2 beku atau N2 cair untuk mempercepat penyembuhan radang. Dermabrasi untuk meratakan jaringan parut hipo atau hipertrofi paska akne yang luas (Wasitaatmadja, 2010). 5. Terapi sinar Sinar UV efektif untuk membunuh P. acnes. Laser dan cahaya yang digunakan untuk pengobatan akne vulgaris biasanya dibagi dalam dua kelas, yaitu yang menghancurkan kelenjar sebaseus dan seluruh unit pilosebaseus dan yang membunuh P.acnes. Cahaya yang membunuh P.Acnes adalah sumber cahaya biru dan merah, green light laser, dan intense pulsed light (IPL) sources. Alat medis yang menghancurkan kelenjar sebasea termasuk laser dalam spektrum inframerah dekat dengan frekuensi radio (Gold, 2008). Terapi sinar biru merupakan terapi akne dengan memakai panjang gelombang 420 nm yang dapat membasmi P.acnes dengan cara merusak porfirin dalam sel bakteri (Wasitaatmadja, 2010). Terapi ini ditujukan pada akne dengan peradangan ringan sampai sedang. Sinar biru dapat digunakan pada semua jenis kulit dan efek samping belum terlihat (Gold, 2008). Terapi sinar hijau dengan panjang gelombang 532nm efektif untuk mengobati lesi akne vulgaris. Secara efektif akan diserap oleh porfirin dalam sel bakteri P.acnes (Gold, 2008) . Photodynamic Therapy (PDT) terdiri atas dua tahap terapi, yaitu pemberian photosensitizer (asam aminolevulinik, metilaminolevulinat) secara 17 topikal, oral atau intravena yang akan ditangkap oleh sel target dalam jaringan hiperproliferatif (kelenjar sebasea), kemudia diaktivasi menghasilkan oksigen oleh sumber sinar (Blue U, intense pulse light ) (Wasitaatmadja, 2010). j. Pencegahan Menurut Wasitaatmadja (2010), terdapat beberapa cara untuk mencegah akne vulgaris. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya peningkatan jumlah lapisan sebum dan perubahan isi sebum adalah dengan diet rendah lemak dan karbohidrat meskipun efektivitasnya masih diperdebatkan dan cara lainnya adalah melakukan perawatan kulit untuk membersihkan permukaan kulit dari kotoran dan mikroorganisme yang berperan dalam patogenesis akne vulgaris. Menghindari faktor pemicu terjadinya akne misalnya hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga sesuai kondisi tubuh, dan hindari stress. Kosmetika digunakan dengan sewajarnya, tidak menggunakan dalam jumlah banyak dan jangka waktu yang lama. Menjauhi minuman keras, merokok, makanan pedas, lingkungan yang tidak sehat, dan sebagainya agar mencegah terpacunya aktivitas kelenjar minyak (Wasitaatmadja, 2010). Informasi yang cukup harus diberikan pada penderita mengenai penyebab penyakit, pencegahan dan cara maupun lama pengobatannya, serta prognosisnya. Hal ini agar pasien tidak putus asa atau terlalu berharap terhadap usaha penatalaksanaannya (Wasitaatmadja, 2010). 2.1.2 Tidur a. Definisi Tidur Menurut WHO (2004), tidur adalah kebutuhan dasar manusia dan sangat penting untuk kesehatan yang baik, kualitas hidup yang baik, dan penampilan yang maksimal sepanjang hari. Menurut Guyton&Hall (2007), tidur adalah suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsangan lain. 18 b. Fisiologi Tidur Kebanyakan orang dewasa tidur selama 7-8 jam sehari meskipun waktu, lama, dan struktur internal berbeda dipengaruhi usia. Orang dewasa dengan rentan tidur kurang dari empat jam dan lebih dari sembilan jam memiliki mortalitas yang lebih tinggi (Isselbacher, 2006). Tidur adalah suatu proses aktif, bukan hanya tidak terjaga. Aktivitas otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama stadium-stadium tidur tertentu, penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat terjaga normal (Isselbacher, 2006). Profil polisomnografi dibagi menjadi dua stadium tidur yaitu stadium REM (gerakan mata cepat atau mimpi atau desinkronisasi) dan stadium NREM ( gerakan mata tidak cepat atau sinkron). NREM dibagai menjadi empat stadium. NREM stadium satu merupakan transisi dari bangun yang ditandai dengan perubahan alfa reguler, dan munculnya amplitudo rendah, pola frekuensi campuran, dan gerakan mata berputar. NREM stadium dua ditandai dengan terbentuknya kompleks K dan kumparan tidur yang saling bertumpang tindih Saat awal tidur seseorang berpindah dari tidur ringan stadium 1 ke tidur stadium 4 selama periode tiga puluh sampai empat puluh lima menit, kemudian berbalik melalui stadium-stadium yang sama dalam periode waktu yang sama. Kompleks K merupakan discharge negatif (upward), amplitudo tinggi, lambat yang diikuti dengan defleksi positif (downward). NREM stadium 3 adalah delta tidur dengan 20-50 % merupakan delta dengan amplitudo tinggi. Kumparan tidur tetap ada, gerakan bola mata tidak ada, dan aktivitas EMG menetap pada kadar yang rendah. NREM stadium 4 mirip dengan stadium 3 yaitu gelombang delta sekitar 50 % (Isselbacher, 2006). Tidur REM ditandai oleh EEG frekuensi campuran, amplitudo rendah (Isselbacher, 2006). Tidur REM terjadi gerakan mata cepat dan menghentak namun simetris. Fase ini juga terdapat atonia otot skelet dan berkaitan dengan peningkatan nadi, tekanan darah, aliran darah ke otak, metabolisme otot dan ereksi penis pada pria (Treasaden, 2011). Tidur REM berlangsung 5-30 menit. Bila seseorang sangat 19 mengantuk, setiap tidur REM berlangsung singkat dan bahkan mungkin tidak ada, sebaliknya sewaktu orang menjadi semakin lebih nyenyak durasi tidur REM juga semakin lama. Tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh yang aktif. Pada tidur REM, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di seluruh otak meningkat sebanyak 20%. Pada EEG pola gelombang otak serupa dengan yang terjadi selama keadaan sehat (Guyton&Hall, 2007). Fase NREM stadium 1-4 terjadi dalam 45-60 menit setelah awitan tidur. Tidur gelombang lambat menonjol pada sepertiga malam pertama. Presentase gelombang lambat tergantung oleh beberapa faktor yang paling banyak adalah faktor usia. Fase tidur gelombang lambat paling menonjol terjadi pada masa anak-anak dan akan menurun tajam saat usia pubertas hingga dekade ketiga. Setelah usia 30 tahun penurunan akan terjadi secara progresif. Orang tua yang sehat terutama pada laki-laki fase tidur gelombang lambat tidak ada sama sekali. Tidur REM pertama muncul setelah 80 menit awitan tidur. Awitan tidur REM yang lebih cepat terutama pada dewasa muda mungkin merupakan suatu patologi terutama kalau awitan kurang dari 30 menit. Keadaan ini menandakan suatu patolgi misalnya depresi endogen, narkolepsi, gangguan irama sirkardian atau pemutusan obat. Tidur fase REM pada masa anak-anak terdiri dari 50 persen waktu tidur, sedangkan pada masa tua hampir keseluruhan adalah fase REM. Siklus REM dan NREM bergantian sepanjang malam selama 90-110 menit (Isselbacher, 2006). Panjang waktu tidur bervariasi berdasarkan usia. Bayi yang baru lahir pada minggu pertama rata-rata tidur selama 16 jam. Seiring dengan bertambahnya usia waktu yang dibutuhkan tidur semakin berkurang. Anak pada usia 6-9 tahun membutuhkan waktu 10,5 jam untuk tidur. Pada usia dewasa muda 14-18 tahun ratarata membutuhkan waktu tidur selama 8-8,5 jam. Dan pada usia tua diatas 80 tahun rata-rata tidur 5,75-6 jam (Treasedan,2011) Semua sistem fisiologi tubuh dipengaruhi oleh tidur. Pada sistem kardiovaskular, tekanan darah dan nadi akan turun pada fase NREM. Disritmia dapat terjadi secara selektif pada fase REM. Sistem pernafasan juga dipengaruhi fase tidur, 20 frekuensi nafas akan menurun pada fase NREM dan menjadi bervariasi pada fase tidur REM. Refleks batuk berubah atau tidak ada selama tidur (Isselbacher, 2006). Fungsi endokrin juga bervariasi pada fase tidur. Tidur gelombang lambat dihubungkan dengan hormon pertumbuhan pada laki-laki muda. Peningkatan prolaktin juga berhubungan dengan tidur secara keseluruhan. Tidur juga berefek kompleks pada leutenizing hormone (LH), saat pubertas dihubungkan dengan peningkatan LH, pada wanita yang matang menghambat LH pada fase folikuler awal fase menstrual. Awitan tidur dihubungkan dengan inhibisi TSH dan ACTH (Isselbacher, 2006). c. Efek Tidur pada Kesehatan Tidur adalah kebutuhan dasar manusia dan sangat penting untuk kesehatan yang baik, kualitas hidup yang baik, dan penampilan yang maksimal sepanjang hari. Banyak efek yang akan timbul apabila tubuh kurang tidur. Efek utama yang mungkin akan timbul pada fisik adalah kelelahan, mengantuk dan hipertensi. Kurangnya tidur juga memiliki efek pada aspek kognitif misalnya penampilan yang buruk, motivasi dan konsentrasi yang menurun, berkurangnya kapasitas intelektual, dan meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas. Tidur yang tidak mencukupi akan mempengaruhi kemampuan untuk berfikir, kemampuan menghadapi stress, menurunnya sistem imun, dan menimbulkan stress tingkat sedang (WHO, 2004). Menurut Guyton &Hall (2007), keadaan siaga yang berkepanjangan akan menimbulkan gangguan proses berpikir yang progresif. Seseorang yang kurang tidur berkepanjangan seseorang akan mengalami kelambanan pikiran, mudah tersinggung, atau bahkan menjadi psikotik. 2.1.3 Hubungan Tidur dengan Akne Vulgaris Kurang tidur dapat menimbulkan beberapa efek pada tubuh. Beberapa efek itu mungkin berpengaruh terhadap patogenesis akne vulgaris. Kurangnya tidur dapat menyebabkan menurunnya sistem imun dan dapat menimbulkan stress tingkat sedang 21 (WHO, 2004). Kurang tidur dapat menurunkan hormon kortisol, seperti diketahui hormon kortisol berhubungan dengan kemampuan menghadapi stress (Vgontzas et.al, 2004). Stress berhubungan dengan peningkatan kerja kelenjar sebasea. Pengeluaran sebum yang berlebihan bersifat komedogenik yang merupakan salah satu patogenesis akne vulgaris (Wasitaatmadja, 2010). Stress juga akan cenderung membuat penderita memanipulasi akne secara mekanis, sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi beradang yang baru. Tidak hanya pengurangan hormon kortisol namun kurang tidur juga dapat meningkatkan sitokin-sitokin proinflamasi yaitu IL-6 dan TNF-α yang kemudian akan memperparah inflamasi dari akne vulgaris (Vgontzas et.al, 2004). 22 2.2 Kerangka Teori Kuantitas dan kualitas tidur yang buruk Hormon kortisol Makanan Usia ↑↑Produksi kelenjar sebasea Stress Menurunkan sistem imun Genetik Hormon ↑↑ Keratinisasi folikel Proses Inflamasi Akne Vulgaris Terapi Pengobatan Gambar 2. Kerangka teori. Abnormal mikroorganisme 23 2.3 Kerangka konsep Variabel bebas Variabel terikat Kuantitas dan Kualitas tidur Kejadian dan keparahan akne vulgaris Variabel Pengganggu Genetik Usia Kosmetik Stress Diet Sinar UV Hormon Gambar 3. Kerangka konsep. 2.4 Hipotesis Terdapat hubungan antara kualitas dan kuantitas tidur dengan kejadian dan keparahan akne vulgaris. .