1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepiting bakau tersebar luas di daerah tropis dan subtropis dan merupakan sumberdaya perikanan penting di Indonesia. Kepiting bakau ditemukan di daerah estuari dan kebanyakan ditangkap di daerah pesisir seperti di Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulistiono et al. 1994). Menurut La Sara (2000) kepiting bakau adalah salah satu komoditas perikanan yang termasuk spesies komersial di negara-negara Asia Tenggara. Kepiting bakau berasosiasi kuat dengan hutan mangrove karena daur hidup crustacea yang mempunyai nilai ekonomis tinggi ini sangat tergantung pada hutan mangrove (Ditjen Budidaya-DKP 2001). Hutan mangrove menjadi habitat bagi berbagai jenis organisme yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap perubahan ekosistem, salah satunya kepiting bakau (Tanod et al. 2000). Kepiting bakau dari genus Scylla merupakan kepiting dari famili Portunidae yang terdapat di kawasan estuari dan rawa mangrove di sepanjang wilayah Indo-Pasifik (Macnae 1968 & Hill 1976 in La Sara et al. 2002). Spesies yang bernilai ekonomis tinggi adalah kepiting bakau dari genus Scylla spp. (Watanabe et al. 2000). Komoditi ini diekspor ke Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, Australia, dan Prancis (Barness 1981 & Crane 1975 in Tanod et al. 2000). Di Indonesia, kepiting bakau merupakan makanan yang digemari karena rasanya enak terutama kepiting betina yang sedang bertelur. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan pengumpul kepiting di daerah Blanakan (Subang) dan Cirebon bahwa harga kepiting di pasaran lokal berkisar antara Rp. 30.000-120.000 per kilogram tergantung ukuran kepiting bakau. Garis Wallacea adalah sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi flora fauna Asia dan Australasia. Bagian barat garis ini berhubungan dengan spesies Asia dan di bagian timur kebanyakan berhubungan dengan spesies Australia (www.mapala-upn-yk.org 2008). Masing-masing wilayah ini dipisahkan oleh garis khayal, sebelah barat yang melintas dari selatan ke utara melalui Selat Lombok dan Selat Makasar disebut garis Wallacea. Indonesia di bagian barat, flora dan faunanya mengambil corak Benua Asia, di bagian timur mengambil corak benua 2 Australia, sedangkan di bagian tengah mengambil corak keduanya atau corak peralihan. Di Propinsi Sulawesi Tengah, seperti di daerah lainnya di Pulau Sulawesi, terdapat tumbuh-tumbuhan dan binatang yang bercorak Asia dan Australia (www.wikipedia.org 2008). Garis Wallacea yang membedakan flora dan fauna di Indonesia sangat menarik untuk dipelajari. Keanekaragaman yang ditemukan pada flora dan fauna terestrial belum diketahui bagaimana dengan fauna yang ada di perairan, dalam hal ini sumberdaya yang diteliti adalah kepiting bakau. Kepiting bakau dipilih selain karena penyebarannya yang luas juga memiliki mobilitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ikan. Sementara itu di Indonesia kepiting bakau didapatkan hampir di seluruh perairan pantai terutama perairan yang ada hutan mangrove (Moosa et al. 1985). Reproduksi merupakan suatu proses pengabadian spesies dan dengan pengabadian spesies ini juga terjadi pertukaran genetik yang akan menyebabkan munculnya sifat-sifat pada spesies yang baru. Reproduksi berperan dalam keberhasilan untuk hidup terus (survival) dan proses evolusi (Lagler 1977 in Sjafei et al. 1991). Crustacea adalah kelompok yang berhasil dalam mempertahankan spesiesnya dan merupakan kumpulan organisme yang menempati habitat beragam yaitu di lingkungan laut, estuari dan di darat. Hal ini ditunjukkan melalui keanekaragaman pola daur hidup dan strategi reproduksi (Sastry 1983). Reproduksi kepiting bakau merupakan salah satu aspek yang penting untuk dipelajari karena kepiting bakau memiliki fekunditas paling besar diantara krustasea lainnya (Ong 1966 in La Sara et al. 2002). 1.2. Perumusan Masalah Permintaan terhadap komoditi kepiting bakau dari tahun ke tahun cenderung meningkat baik di pasar lokal maupun mancanegara (Kasry 1996). Namun yang mencemaskan adalah dalam memenuhi semua permintaan ini seluruhnya berasal dari hasil tangkapan di alam yaitu sebesar 70% (Tanod et al. 2000). Sementara itu telah terjadi gejala overfishing terhadap sumberdaya kepiting bakau. Teknologi budidaya yang belum optimal menjadi penyebab kegiatan budidaya kepiting bakau di Indonesia sampai saat ini belum mampu dikembangkan. 3 Jika penangkapan di alam dilakukan secara intensif, maka diperkirakan populasi kepiting akan semakin menurun (Moosa et al. 1985). Beberapa tahun terakhir, masalah penurunan produksi kepiting bakau terjadi di banyak wilayah perairan mangrove di Indonesia. Kecemasan terhadap kelestarian populasi kepiting bakau juga mulai dirasakan oleh nelayan atau penangkap kepiting di pesisir Pulau Jawa. Jumlah hasil tangkapan nelayan semakin menurun dengan ukuran kepiting bakau yang tertangkap semakin kecil. Hal yang sama diperkirakan juga terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Menurut Siahainenia (2008) penurunan kualitas dan kuantitas populasi kepiting bakau di alam diduga akibat degradasi ekosistem mangrove dan atau kelebihan tangkap (over exploitation). Penelitian tentang berbagai aspek biologi yang penting untuk dilakukan salah satunya adalah reproduksi, dalam upaya pengelolaan dan perlindungan sumberdaya hayati kepiting bakau. Hingga saat ini biologi reproduksi kepiting bakau belum dipelajari dengan baik dan baru ada beberapa penelitian mengenai biologi reproduksi kepiting bakau di daerah tropis (Tongdee 2001 in La Sara et al. 2002). Penelitian tentang biologi reproduksi kepiting bakau telah dilakukan sebelumnya antara lain oleh Tanod et al (2000) di Segara Anakan, Cilacap (Jawa Tengah), La Sara et al (2002) di Teluk Lawele (Sulawesi Tenggara), Tuhuteru (2004) di Ujung Pangkah, Gresik (Jawa Timur), dan Asmara (2004) di Segara Anakan, Cilacap (Jawa Tengah). Perbedaan karakteristik fauna berdasarkan hipotesis Garis Wallacea diasumsikan berpengaruh terhadap variasi reproduksi kepiting bakau. Menurut informasi yang diperoleh penulis, belum ada penelitian yang khusus untuk mempelajari keragaan atau gambaran reproduksi kepiting bakau di masing-masing daerah di Indonesia. Informasi biologi reproduksi kepiting bakau masih sebatas berasal dari penelitian yang dilakukan terhadap populasi kepiting bakau yang ada di suatu lokasi tertentu. Penelitian yang akan dilakukan di beberapa perairan Indonesia antara lain di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua ini hasilnya akan memberikan informasi mengenai keragaan reproduksi kepiting bakau. Hal ini disebabkan karena perbedaan lokasi geografis yang memungkinkan terjadinya perbedaan kondisi lingkungan perairan, tingkat eksploitasi dan faktor lainnya. 4 1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaan (performance) reproduksi jenis-jenis kepiting bakau (Scylla spp.) di Indonesia melalui pengamatan aspek reproduksi yang meliputi tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, diameter telur, histologi gonad, dan hubungan antara lebar karapas dengan berat tubuh. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai keragaan reproduksi kepiting bakau (Scylla spp.) di perairan Indonesia. Selain itu juga dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pengelolaan serta perlindungan sumberdaya hayati kepiting bakau dalam upaya menekan tingkat eksploitasi, sehingga pemanfaatan kepiting bakau sebagai sumber protein dan juga sumber devisa dapat terus ditingkatkan dan berkelanjutan.