Suara Perempuan Kemana? - Sistem Informasi Penelitian

advertisement
Suara Perempuan Kemana?:
Tantangan Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu 2014
Oleh
Arianti Ina Restiani Hunga ([email protected]; [email protected])
Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Univ. Kristen Satya Wacana
Abstrak
Perempuan merupakan salah satu kelompok pemilih terbesar dalam pemilu dan suara mereka menentukan
calon legislatif tahun 2014. Jumlah perempuan di DPR telah meningkat dari 11,09 persen pada pemilu
2004 menjadi 17,86 persen pada pemilu tahun 2009. Namun peningkatan tersebut masih jauh dari kuota
perempuan 30 persen. Pada Pemilu 2014, apakah perempuan memilih calon legislatif perempuan?
Pertanyaan ini menjadi relevan bila dikaitkan dengan kinerja legislatif perempuan ditengah masih
banyaknya produk UU yang belum pro perempuan atau belum sensitif gender. Situasi diperburuk dengan
legislatif perempuan dan pimpinan perempuan yang terbelit dalam kasus korupsi. Hal ini menjadi kontra
produktif dengan upaya mencapai target keterwakilan perempuan sebesar 30 % di DPR. Salah satu hal
mendasar kelemahan perempuan baik sebagai pemilih dan calon legislatif (caleg) adalah tidak memiliki
pengetahuan politik yang cukup dalam upaya memperjuangkan suara mereka. Oleh karenanya,
pendidikan politik pemilih perempuan menjadi penting dalam upaya menjadikan mereka pemilih yang
cerdas, artinya dapat menyalurkan suara mereka secara independen dan rasional. Pada sisi yang lain
adalah pendidikan politik bagi caleg dalam upaya menemu kenali persoalan dan kebutuhan perempuan,
serta menuangkan dalam program strategis untuk menggalang suara perempuan. Paper ini memaparkan;
1) pentingnya pendidikan politik pemilih perempuan; 2) relevansi pendidikan politik perempuan dan
peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dalam pemilu tahun 2014. Paper ini ditulis berdasarkan
penelitian kualitatif dengan menggunakan studi kasus pada pemilih perempuan marginal di Kota Salatiga.
Hasil awal penelitian menujukan bahwa pemilih perempuan, khususnya perempuan marginal belum
mendapat perhatian yang serius dalam pesta demokrasi oleh para caleg, khususnya caleg legislatif.
Sebagian pemilih perempuan belum mendapatkan pendidikan politik pemilih dalam upaya untuk
membangun suara perempuan dan memecahkan persoalan perempuan dalam masyarakat. Perubahan
kondisi perempuan ditentukan oleh kualitas pemilu yang dimulai sejak awal melalui pendidikan pemilih
dan pemilu, serta mengawal hasilnya untuk memperjuangnya kondisi masyarakat, khususnya perempuan
melalui peluang keterwakilan perempuan sebanyak 30 %.
Kata Kunci: Perempuan, legislatif, pendidik politik pelimih, pemilu, gender, keterwakilan perempuan
1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia sejak tahun 1955 hingga 2014 sudah melaksanakan 11 kali pemilihan
umum legislatif (pileg). Keterwakilan perempuan selama periode mengalami pasang-surut
(fruktuatif), berada pada titik terendah 3,8 % pada pemilu tahun 1955 dari 488 kursi anggota
legislatif. Kemudian meningkat menjadi 7,16 % pada pemilu tahun 1971 dan 8,04 % pada
pemilu tahun 1982 dari 460 anggota legislatif. Meningkat menjadi 13% pad pemilu tahun 1987
dari 500 anggota legislatif dan terus mengalami penurunan menjadi
12,5% pada pemilu
tahun 1992; menjadi 10,8% pada pemilu tahun 1997, dan 9% pada pemilu 1999 dari 500
anggota legislatif. Keterwakilan perempuan mengalami peningkatan kembali setelah Reformasi
1998 bersamaan dengan perjuangan dan tuntutan gerakan perempuan yang menghasilkan
Ketetapan kuota 30% perempuan di parlemen, sebagai tindakan afirmatif yang diterapkan
pertama kali pada Pemilu 2004. Perolehan suara perempuan dalam legislatif pata tahun 2004
1
meningkatkan menjadi 11,45 % dari 550 anggota legislatif. Peroleh suara perempuan mencapai
sebanyak 18,03 % dari 560 anggota legislatif pada pemilu 2009 (Fajar, Azman dan Launa, 2009;
Kartikasari, Dian., 2013; sulistiyono,Joko., 2013).
Secara khusus pada pemilu 2004 dan 2009, peta peroleh suara/kursi perempuan di
legislatif menunjukan trend yang meningkat di DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota
walaupun lebih rendah dari perolehan di DPR pusat. Secara umum angka keterwakilan suara
perempuan di DPRD propinsi (33 provinsi) meningkat dari 12 % pada pemilu tahun 2004
menjadi 16% (321 dari total 2.005 anggota DPRD provinsi) pada tahun 2009. Propinsi yang
tercatat berhasil memenuhi kuata 30 % perempuan di legislatif adalah Maluku berhasil
menghantarkan 14 perempuan dari 45 orang (31%) (KPU, 2009). Pada aras DPRD
kabupaten/kota, dari 461 kabupaten/kota memiliki total 15.750 anggota. Dari jumlah legislatif
ini, terpilih sebanyak 1.857 perempuan (12%0, persentasi ini naik hampir dua kali lipat dari
perolehan suara perempuan pemilu tahun 2004 sebesar 6% di DPRD kabupaten/kota. Namun
ii tingkat kabupaten/kota, masih terdapat DPRD yang tidak memiliki anggota perempuan.
Diperoleh data, dari 461 kabupaten/kota, terdapat 27 DPRD yang tidak ada anggota perempuan
terpilih (5,9% kabupaten/kota), antara lain; terbanyak di propinsi Aceh, NTT,
NTB, Maluku, Maluku Utara dan Papua. Tercatat sebanyak 64 DPRD kabupaten/kota yang
hanya memiliki satu anggota perempuan (Kartikasari, Dian., 2013)
Dari data diatas menunjukan bahwa perjuangan panjang perempuan untuk mencapai
target 30 % kuata perempuan dalam legislatif belum tercapai. Kondisi ini semakin
memprihatinkan bila melihat peroleh suara perempuan hasil pemilu tahun 2014. Hasil analisis
data pemilu tahun 2014 yang dilansir dalam pernyataan pers Pusat Kajian Politik – Departemen
Ilmu Politik FISIP UI (PUSKAPOL FISIP UI) memaparkan bahwa perolehan suara perempuan
pada pemilu tahun 2014 mengalami penurunan yang signifikan, pada pemilu tahun 2009 sebesar
18 % menurun menjadi 14 % dari 560 anggola legislatif. Perolehan ini tentunya memprihatinkan
ditengah upaya setiap komponen gerakan perempuan dan lembaga-lembaga yang pro terhadap
kebijakan ini untuk mencapai kuata 30 % perempuan di parlemen. Hal ini menjadi sangat
rasional bila melihat pada pemilu tahun 2014, sudah diberlakukan kebijakan penguatan afirmatif
kuata 30 % di parlemen yang diatur Undang Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
Kebijakan ini mewajibkan partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30 persen berjenis
kelamin perempuan dari total caleg di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Ada
tambahan klausula yang mempertegas bahwa bagi partai politik yang tidak menjalankannya
mendapatkan sanksi tidak ikut dalam pemilu.
Tentunya fakta peroleh data keterwakilan perempuan tahun 2014 ini memberikan
konsekuensi logis dalam peta ‘kekuatan’ parlemen dalam menghasilkan kebijakan dan produk
perundang-undangan yang bisa menjawab persoalan perempuan dan anak yang masih
memprihatinka yang dialami perempuan dan anak, antara lain; kemiskinan, kematian ibu
melahirkan dan bayi,
KDRT, kekerasan seksual, perdagangan perempuan dan anak, dan
2
kekerasan kemanusiaan lainnya. Kondisi ini semakin parah bila kualitas legislatif perempuan
tidak jauh berbeda atau bahkan lebih rendah dari legislatif perempuan pada periode tahun 20092014. Hal ini menjadi masuk akal bila mengacu pada beberapa hasil penelitian dari beberapa
lembaga terhadap kinerja legislatif perempuan pada periode ini. Koalisi Perempuan Indonesia
(Kartikasari, Dian., 2013) memaparkan bahwa kesadaran kritis legislatif perempuan pada tataran
individu dan kelompok legislatif perempuan tidak otomatis mereka mampu memberikan manfaat
positif kepada perempuan sebagai basis perjuangannya di masyarakat. Faktanya produk
kebijakan publik yang dibahas dan dihasilkan, termasuk alokasi anggaran dan program lebih
ditujukan untuk kepentingan kelompok partai, pribadi dan kelompok, dan justru tidak pro pada
perempuan dan anak. Tentunya ini semakin parah bila legislatif perempuan tersebut justru tidak
memiliki kapasitas pendidikan politik dan kapasitas kritis. Temuan Women Research Institute
(WRI) tahun 2012 juga menunjukan bahwa kinerja perempuan legislatif belum menunjukan
mereka masih terjebak pada peran proseduran administratif dan kepentingan partai. Jurnal
Perempuan (2014) menemukan bahwa sebagian besar caleg perempuan justri tidak memiliki
kapasitas politik yang memadai dan basis organisasi politik.
Pada sisi yang lain, ada kecenderungan media mempertontonkan beberapa legislatif
perempuan yang terjebak dalam praktek korupsi tanpa menganalisis lebih ‘dalam’ mengapa
mereka cenderung terjebak/dijebak dalam pusaran korupsi? Sebaliknya media kurang menyoroti
atau mempublikasikan prestasi para perempuan yang memberikan kontribusi yang strategis
dalam legislatif. Pemberitaan yang tidak proporsional ini menciptakan opini publik yang buruk
terhadap legislatif perempuan. Juga berimbas pada pandangan yang jelek pada kiprah perempuan
secara umum di ruang publik, khususnya di legislatif. Pencitraan buruk tentunya memberikan
implikasi pada menurunnya kepercayaan publik terhadap mereka. Fakta korupsi yang melanda
para perempuan legislatif menunjukan bahwa mereka belum menyadari makna keterwakilannya
untuk memperjuangkan kualitas hidup para perempuan di akar rumput yang seharusnya menjadi
subyek perjuangannya di legislatif. Hal ini tidak terlepaskan dari pendidikan politik bagi caleg
dalam upaya menemu-kenali persoalan dan kebutuhan perempuan, serta menuangkan dalam
program strategis untuk menggalang suara perempuan. Paper ini memaparkan; 1) Marginalisasi
Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan; dan 2) relevansi pendidikan politik
perempuan dan peningkatan keterwakilan perempuan di DPR dalam pemilu tahun 2014.
Paper ini ditulis menggunakan data penelitian yang dilakukan pada pemilu tahun 2009
dan pemilu tahun 2014. Penelitian ini merupakan riset-aksi menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan metode studi kasus berwawasan gender yang dilakukan di Kota Salatiga. Studi
kasus digunakan sebagai basis unit analisis untuk melihat relialitas keterwakilan perempuan dan
mencoba mengembangkan persepktif dalam konteks yang lebih luas.
3
2. Marginalisasi Perempuan legislatif dan Pendidikan Politik Perempuan
Tahun 2014 merupakan tahun politik dimana pemilihan legislatif dan presiden
berlangsung dan peristiwa ini menentukan perjalanan bangsa pada lima tahun mendatang.
Ditengah hiruk-pikuk pemilu, pertanyaan penting yang perlu diungkap dipublik adalah
bagaimana dengan nasip perempuan yang merupakan pendudukan Indonesia yang lebih dari lima
puluh persen pendudukan Indonesia? sejauhmana para perempuan legislatif memperjuangkan
kepentingan perempuan ini dalam arus pembangunan di Indonesia? Pertanyaan ini bisa
dikaitkan dengan fungsi legislasi dalam menghasilkan kebijakan terkait dengan kualitas hidup
perempuan. Bila membandingkan jumlah UU yang dihasilkan oleh DPR RI periode 2004‐2009
dengan 2009‐2014 dan jumlah perempuan legislatif dalam periode tersebut menunjukan bahwa pada
periode tahun 2004 – 2009 dengan keterwakilan perempuan sebesar 11 % atau lebih kecil dibandingklan
DPR RI pada periode 2004 ‐2009 (18%), DPR RI periode 2004‐2009 lebih banyak
menghasilkan
undang‐undang yaitu sebanyak 7 produk UU yang merupakan implementasi Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on Elimination all form Discrimination
Against Women‐CEDAW) dibandingkan periode DPR RI tahun 2009-2014 yang hanya menghasilkan 3
produk UU. Lebih jelas dalam tabel 1 dibawah ini.
Tabel. 1 Produk UU Periode DPR RI Tahun 2004-2009 dan 2009-2014
Sumber: Kartika, Dian (2013) dan DPR RI (2013)
Kondisi lainnya diparah oleh bermunculan banyak Perda yang mendiskriminasi kaum
perempuan. Komnas Perempuan (2013) menunjukan data sebanyak 342 Perda yang
mendiskriminasi perempuan. Selain Perda yang mendiskriminasi perempuan, masalah lain yang
hingga kini dihadapi perempuan Indonesia, seperti kekerasan seksual, hak reproduksi,
perkawinan anak, pedagangan manusia, dan perlindungan lainnya. Kalyanamitra (2008) dalam
hasil penelitiannya menegaskan bahwa perempuan yang terpilih sebagai wakil rakyat di DPR
4
(pusat dan daerah) tidak sesuai dengan harapan pemilihnya, terutama kaum perempuan. Para
perempuan politisi di legislatif tidak melakukan fungsi sosial-politiknya sebagai wakil kaum
perempuan. Peran mereka di legislatif tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan para
pemilihnya. Terkait fungsi lainnya, seperti fungsi anggaran dan pengawasan terhadap pemerintah
tidak berjalankan maksimal. Mereka tidak mengabdi kepada kepentingan kaum perempuan,
tetapi kepada kepentingan pemodal dan parpol masing-masing serta egoism diri sendiri (korupsi,
kolusi, nepotism, dll). Hal ini bisa dikaitkan dengan fakta empiri yang menunjukan target MDGs
tahun 2015 terkait penekanan angka kematian ibu dan anak, indeks IPM, indeks gender masih
menjadi persoalan. Sebagai contoh, tahun 1991, angka kematian ibu melahirkan 390/100 ribu
kelahiran, tahun 2007 menjadi 228/100 ribu kelahiran, namun tahun 2013 mengalami kenaikan
menjadi 359/100 ribu kelahiran.
Dari paparan diatas menunjukan bahwa peningkatan jumlah keterwakilan perempuan
dalam legislatif tidak otomatis meningkatkan produk per-UU yang dihasilkan DPR RI menjadi
lebih banyak dan lebih adil gender. Kemampuan perempuan legislatif memainkan peran dalam
legislatif terkait erat dengan pendidikan politik perempuan yang memadai. Modal ini menjadi
penting dalam menghadapi sistem DPR RI yang lebih didominasi oleh para laki-laki legislatif.
Hasil survei nasional yang dilakukan oleh Poltracking Indtitute (2014) menunjukan bahwa
sebagian besar masyarakat tidak puas dengan kinerja legislatif. Hanya 12% responden yang
menyatakan kinerja DPR baik. Penilaian kinerja tersebut dianggap rendah kualitas dan
kuantitasnya didasarkan atas tiga fungsi utama mereka, yakni fungsi legislasi, penganggaran dan
pengawasan.
Pentingnya keterwakilan perempuan dalam legislatif dapat dikaitkan dengan kualitas hidup
perempuan dan anak yang masih memperihatinkan. WRI (2012) memaparkan fakta ini, antara
lain; angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara
Vietnam1. Human Development Report (HDR) tahun 2011 menempatkan Indonesia pada
rangking 124 atau sedikit lebih baik dari negara Vietnam dan Kamboja. Namun, Gender
Inequality Index (GII) Indonesia berada pada rangking 100 dan di bawah GII Vietnam yang
berada pada rangking 48. Dua dari indikator GII ini adalah AKI dan persentase perempuan yang
duduk di parlemen. Rangking GII Indonesia dan Vietnam yang demikian menunjukkan bahwa
AKI Indonesia 240/100.000 kelahiran sedangkan Vietnam adalah 56/100.000 kelahiran.
Sementara persentase perempuan di parlemen Vietnam adalah 25,8%, sedangkan Indonesia
adalah 18% 2. Fakta lainnya, selain itu, World Economic Forum3 pada tahun 2009 mengeluarkan
Global Gender Gap Index (GGI) berdasarkan data Gender Empowerment Measurement (GEM),
Gender Development Index (GDI) dan Human Development Index (HDI) tahun 2007. Apabila
kita lihat situasi Indonesia, maka akan terlihat GGI 0,62. Angka ini diperoleh dari data Indonesia
1
Noerdin, Edriana. Mencari Ujung Tombak Penurunan Angka Kematian Ibu di Indonesia, (Jakarta: Women Research Institute,
2011).
2
Summary Human Development Report 2011 - Sustainability and Equity: A Better Future for All, (UNDP, 2011),hal. 19.
3
Power, Voice and Rights. A Turning Point for Gender Equality in Asia and the Pacific, (UNDP, Macmillan, 2010).
5
untuk GEM 0,4, GDI 0,72 dan HDI 0,73. GEM (0,4) mencerminkan kesempatan ekonomi dan
politik perempuan yang cenderung lebih rendah dari GDI (0,72). Hal ini menunjukkan bahwa
sekalipun perempuan mempunyai kapasitas, mereka belum tentu memiliki kesempatan yang
setara untuk menggunakan kapasitasnya. Meskipun di Indonesia telah menunjukkan adanya
peningkatan kapasitas, pencapaian dalam kaitannya dengan kondisi dan posisi perempuan di
bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Posisi Indonesia rangking HDI lebih tinggi
dibandingkan Vietnam, namun situasi dan posisi perempuannya masih lebih rendah terutama
dalam hal AKI dan persentase perempuan di parlemen.
Kualitas hidup perempuan dan anak yang dipaparkan diatas, diperkirakan tidak banyak
berubah bila hasil pemilu 2014 tidak memberikan hasil yang signifikan. Berdasarkan analisis
perbandingan data hasil pemilu tahun 2009 dan 2014, Puskapol FISIP UI (2014) memaparkan
dua hasil temuan, pertama, analisis hasil pemilu secara umum menyimpulkan; (1) kekuatan
partai politik didaerah berubah dari Partai Demokrat pada pemilu tahun 2009 menjadi terpusat
pada persaingan antara PDIP dan Golkar. PDIP sebagai pemenang pemilu, unggul dalam
perolehan suara di 36 dapil, disusul Golkar yang unggul di 25 dapil. Berturut-turut partai
lainnya: PKB unggul di 6 dapil, Gerindra dan Demokrat masing-masing unggul di 4 dapil,
kemudian PAN dan Nasdem masing-masing unggul di 1 dapil. Sementara PKS, PPP, dan Hanura
tidak unggul di seluruh dapil; (2) Kecenderungan semakin meningkat pemilih yang memberikan
suara untuk nama caleg pada surat suara yang terlihat dari sebanyak 70 % coblos nama caleg dan
30 % pada partai politik. Kondisi tersebut hampir sama dengan hasil Pemilu 2009, yaitu 69.03%
untuk caleg dan 30.96% untuk partai; (3) mayoritas pilih caleg laki-laki yang terlihat dari data
sebagian besar (76,69%) memilih caleg laki-laki dan sisanya (23,31%) memberikan suara untuk
caleg perempuan. Persentase perolehan suara caleg perempuan tersebut masih jauh dari
pencalonan perempuan yang mencapai 37% pada Pemilu 2014 ini. Di sisi lain, sekalipun masih
jauh lebih rendah dari suara yang diberikan untuk caleg laki-laki, jika dibandingkan data Pemilu
2009 maka ada peningkatan sedikit perolehan suara caleg perempuan (dari 22.45% menjadi
23.31%); (4) Perolehan tertinggi caleg perempuan dari partai PPP (23,33%) dan terendah dari
partai PKS (13,20%). Adapun rincian peroleh suara caleg perempuan menurut partai, antara lain;
PPP (23,33%), Nasdem (19,74%), Demokrat (18,56%), PAN (17,60%), Golkar (16,22%), PDIP
(15,89%), Gerindra (15,50%), Hanura (13,57%), PKB (13,23%), dan PKS (13,20%); (4) ada 20
daerah pemilihan dengan suara caleg lebih dari 30 % dan sebanyak 4 daerah pemilihan yang
perolehan suara dibawah 30 %, antara lain; Aceh 1 (10.61%), Jateng II (9.15%), kemudian Bali
(8.9%), dan NTT 1 (10.51%).
Kedua, analisis hasil pemilu dilihat dari suara perempuan, antara lain; (1) caleg perempuan
terpilih sebanyak 79 orang atau 14%. Jumlah ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan
dengan hasil Pemilu 2009 yaitu 103 orang atau 18%. Data ini menarik disimak bila melihat
tingkat pencalonan dan perolehan riil suara antara pemilu tahun 2009 dan 2004. Pada pemilu
2004 pencalonan perempuan mencapai 37 % dan angka ini lebih tinggi dari pemilu 2009 sebesar
6
33,6% namun pereoleh suara perempuan pemilu 2014 justru lebih rendah (14%) dibandingkan
pemilu tahun 2009 (18%). Tingkat pencalonan pemilu 2014 sejalan dengan adanya Peraturan
KPU (PKPU) yang mengatur minimum 30% pencalonan perempuan dalam Daftar Calon Tetap
di setiap dapil DPR/DPRD. Temuan ini menunjukkan bahwa hambatan dan tantangan bagi
keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara otomatis teratasi dengan dikeluarkannya
peraturan teknis yang secara formal ditujukan untuk mengawal proses pencalonan perempuan.;
(2) Sebagian caleg perempuan yang diperkirakan terpilih didominasi oleh “wajah-wajah baru” di
parlemen. Dari 103 anggota perempuan di DPR RI periode 2009–2014, hanya ada 36 orang yang
diperkirakan terpilih kembali. Dengan kata lain, hanya sekitar 34% perempuan petahana lolos
kembali menjabat di DPR RI.; (3) ada kesenjangan yang lebar antara perolehan suara perempuan
dengan perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2009 tercatat 22.45% rata-rata perolehan suara
perempuan untuk DPR RI dengan 18% hasil perolehan kursi perempuan. Pada pemilu 2014
tercatat perkiraan 23.42% perolehan suara perempuan untuk DPR RI namun hasil perolehan
kursi hanya mencapai sekitar 14%. Hal ini terkait dengan kebijakan internal partai dalam
penentuan kursi celeg perempuan. Perempuan cenderung diletakan dalam nomer urut besar dan
hal ini menunjukan komitmen internal partai lebih sekedar pemenuhan syarat administratif dalam
tahap pencalonan sebagaimana ditetapkan oleh peraturan/UU.; (4) Keterwakilan perempuan
dalam DPR RI tersebar dalam 10 partai dengan prosentasi 3 % sampai 24 %. Tiga prosentasi
tertinggi dari partai PPP (24%), golkar (22%) dan Demokrat (22%) dan terendah dari PKS (3%).;
(5) kenaikan perolehan kursi partai tidak selalu diikuti oleh kenaikan persentase kursi
perempuan. Perolehan keterwakilan perempuan dari partai-partai relatif fruktuatif dan cenderung
menurun. Demokrat adalah partai yang mengalami penurunan paling signifikan yaitu tahun
2009 sebanyak 36 kursi menjadi 12 kursi perempuan. Namun secara agregat perolehan kursi
perempuan dari partai Demokrat relatif stabil dari 24 % menjadi 22 % (turun 4 %). Penurunan
dialami 5 partai lainnya yaitu PKS (2 %), PDI Perjuangan (7%), PKB (8%), Gerindra (10%),
dan Hanura (16%). Dari sembilan partai yang dapat dibandingkan, hanya ada tiga partai yang
persentase perkiraan perolehan kursi perempuannya naik, yaitu: PPP (11%), PAN (3%), dan
Golkar (2%). Adapun peningkatan kursi perempuan di DPR RI diperkirakan paling tajam
mencapai 11% berasal dari PPP. Penurunan paling drastis mencapai 16% yakni pada Partai
Hanura.; (6) Basis rekrutmen para perempuan legislatif belum mempertimbangkan kapasitas,
basis partai, dan akar rumput sebagai modal dalam melakukan peran mereka di legislatif. Hal ini
terlihat dari sebagian besar perempuan legislatif (39%) yang terpilih pada pemilu 2014
menggunakan jaringan kekerabatan dengan elit politik (laki-laki). Hal ini terlihat dari hubungan
yang dimiliki terkait sebagai isteri, anak, menantu, dan sejenisnya dengan pejabat politik dan
atau pejabat partai. Sisanya, sebanyak 13 % dari elit ekonomi, 7% dari publik figur (artis), 7%
dari LSM/aktifis, 8% dari anggota DPR/DPRD, dam 26% merupakan kader partai; (7) Data
sementara berdasarkan perkiraan keterpilihan caleg perempuan di DPR RI menunjukkan
dominasi jaringan kekerabatan dengan elit politik sebagai basis rekrutmen caleg hingga
7
mencapai 39%. Persentase ini diperoleh melalui penelusuran latar belakang masing-masing
perempuan terpilih dan didapati sebagian besar dari mereka adalah adik, kakak, ataupun istri dari
penguasa/pejabat politik serta petinggi partai politik yang mencalonkan mereka. Penting untuk
dicatat bahwa situasi ini sebenarnya telah ditemukan juga pada hasil pemilu 2009 dimana sekitar
42% perempuan terpilih sebagai anggota DPR RI merupakan bagian dari perpanjangan tangan
penguasa/pejabat politik serta petinggi partai. Penurunan signifikan tercatat pada basis
keterpilihan sebagai selebriti/figur populer, yakni dari 25% di tahun 2009 menjadi 7% di tahun
2014.; (8) dominasi basis keterpilihan caleg perempuan yang berlandaskan hubungan
kekerabatan dengan politik sejak pemilu 2009 hingga pemilu 2014 (sekitar 40% lebih)
mengindikasikan stagnasi sempitnya landasan rekrutmen caleg perempuan oleh partai. Fakta ini
semakin menegaskan ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan, kekuatan material, dan
pelanggengan dominasi laki-laki (patriarkhi) terhadap perempuan. Lebih lanjut, situasi ini
bermuara pada terkonsentrasinya kekuasaan elit politik dan elit ekonomi di tangan segelintir
orang dalam parlemen atau praktek politik oligarki.; (9) kehadiran caleg perempuan adalah hasil
dari kebijakan afirmatif yang lebih formalitas administratif sejauh partai dapat meloloskan diri
untuk ikut dalam pemilu dan bukan substantif.
Perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik memiliki dua makna. Pertama, untuk
mewujudkan pemenuhan Hak Politik Perempuan dalam tatanan kehidupan Demokrasi‐yaitu
Hak memilih dan dipilih serta hak untuk ikut serta dalam perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan publik . Kedua ditujukan untuk mewujudkan keadilan gender secara substantif
(Subatantive Equality), yaitu keadilan bagi laki‐laki dan perempuan dalam pembangunan, yaitu
keadilan dalam menjangkau (akses), ikut serta (partisipasi) , dan pengambilan keputusan
(kontrol) dalam pembangunan serta keadilan dalam penguasaan dan penikmatan hasil‐hasil
pembangunan. Dengan demikian maka keadilan yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan,
merupakan keadilan dari sisi proses dan hasil. Bukan sekedar memperjuangkan jumlah dan
proses. Namun hasil pemilu 2014 diatas memberikan sinyal awal bahwa masyarakat belum bisa
berharap banyak dengan kiprah perempuan legislatif di parlemen karena kehadiran mereka baru
sebatas administratif prosedural.
Selain kelemahan rekrutmen yang sudah dipaparkan diatas, kelemahan lain perempuan
legislatif adalah kapasitas politik agar bisa berkiprah secara substansial dalam parlemen. Hal ini
tidak terlepas dari lemahnya pendidikan politik bagi legislatif agar bisa mengambil peran aktif
baik di parlemen maupun pada basis massa di akar rumput, khususnya perempuan marginal yang
jumlahnya jauh lebih banyak.
2. Relevansi Pendidikan Politik Perempuan dan Keterwakilan perempuan
Keterwakilan perempuan dalam legislatif masih menjadi paradoks karena secara formal
dan substrantif dibutuhkan agar perempuan turut terlibat secara aktif dalam perubahan kualitas
hidup perempuan melalui kebijakan-kebijakan yang dihasilkan melalui legislatif. Namun
8
realitasnyannya langkah kearah ini masih menemui banyak kesulitan. Sistem politik yang masih
didominasi oleh sistem patriarkhi menjadi faktor mendasar yang menjadi kendala perjuangan ini.
Sistem ini dilanggengkan tidak saja oleh elit politik tetapi juga diterima dan dilanggengkan oleh
masyarakat secara luas, termasuk didalamnya perempuan. Oleh karenanya kebijakan kuota 30 %
di parlemen diharapkan dapat memecahkan persoalan ini. Gagasan ini sebagai bentuk sebagai
bentuk konkrit dari pergeseran politik gagasan (politics of ideas) ke arah politik kehadiran
(politics of presence) yang cetuskan Phillips, Anne (1995).
Pertanyaan klasik yang ada dimasyarakat adalah apakah keterwakilan perempuan secara
otomatis bisa merubah kondisi perempuan dan anak menjadi lebih baik? Logika ini juga sejalan
dengan pandangan bahwa secara teoritis, laki-laki bisa saja menjadi representasi perempuan
karena laki-laki mempunyai kapasitas untuk menyampaikan gagasan atau advokasi atas nama
perempuan. Bahkan berkembang argumentsi bahwa perspektif gender yang dimiliki laki-laki
diangap mampu mewakili perempuan. Namun logika ini sulit diterima karena faktanya sudah
berkali-kali pemilu yang dilalui Indonesia, perempuan selalu terlupakan sebagai bagian dari
agenda penting yang layak diperhatikan ditengah kompleksitas masyarakat. Susilastika, Dewi
Haryani (2014) menggunakan gagasan Prikin (1995) menjelaskan bahwa keterwakilan dalam
konteks pemilu mempunyai makna simbolis menjadi wakil/delegasi/juru bicara bahkan kuasa
yang menggantikan orang yang memilih mereka untuk menyalurkan aspirasi mereka dalam
mempengaruhi pengambulan keputusan. Jadi bila dilihat dalam gambaran data yang dipaparkan
diatas maka secara umum kehadiran laki-laki legislatif, apalagi perempuan legislatif tidak
mampu memenuhi makna simbolis ini yang berkahir pada pengambilan keputusan untuk
mewakili mereka yang telah memilih. Data diatas menunjukan bahwa dalam pemilu tahun 2009
dan 2014, lebih banyak pemilih yang memberikan suaranya kepada caleg dibandingkan kepada
partai. Hal ini menunjukan bahwa keterwakilan simbolis masih menjadi suatu yang penting.
Sejalan dengan teori representasi deskriptif yang menegaskan bahwa tingkat kepercayaan
pemilih sangat dipengaruhi oleh karakteristik wakil rakyat yang kasat mata, antara lain; jenis
kelamin; asal/etnis, kepercayaan dan hal-hal lain yang dianggap serupa/sam. Hal ini juga
bermakna bahwa pemilih akan memilih wakilnya yang menurut mereka memiliki ‘sesuatu’ yang
hampir mirip dengan mereka yang pada akhirnya dianggap bisa memahami dan bisa membantu
memecahkan persoalan dan kebutuhan mereka. Susilastika, Dewi Haryani (2014) mengutip
argumentasi Mansbridge (2000) memberikan ilustrasi bahwa wakil rakyat laki-laki akan
menghadapi kesulitan untuk memahami persoalan dan kebutuhan perempuan terkait dengan
fungsi reproduksi mereka, seperti; pentingnya tempat penitipan anak bagi mereka selama
mereka bekerja. Persoalannya, laki-laki tidak mengalami hal ini secara konkrit karena mereka
memiliki peran gender yang berbeda dengan perempuan di masyarakat. Dalam masyarakat, lakilaki tidak pernah merasakan beban bagaimana harus bekerja dan sekaligus memelihara anak
(beban ganda). Hal yang sama, sulit bagi laki-laki memahami pentingnya perlindungan bagi
9
perempuan korban perkosaan karena laki-laki tidak memiliki fungsi reproduksi dan implikasi
spikis-sosial menjadi korban perkosaan.
Oleh karenanya kehadiran perempuan secara fisik dapat dimaknai sebagai kehadiran
simbolis yang berimplikasi pada kehadiran secara substantif dalam memecahkan persoalan dan
kebutuhan perempuan yang kompleks. Dalam konteks ini menjadi sangat relevan untuk
memperjuangkan kuota keterwakilan perempuan 30 % di parlemen. Tentunya argumentasi ini
masih bisa dipertanyakan karena perempuan legislatif tidak hanya merepresentasikan
perempuan. Phillips, Anna (1991) mengatakan bahwa realitasnya perempuan sulit untuk
mereprestasikan dirinya dalam konteks perempuan semata. Sebagai makluk sosial, perempuang
bisa dimaknai secara jamak, misalnya partai, komunitas dan kelompoknya yang tidak lepas dari
banyak kepentingan. Kondisi ini semakin diperparah bila perempuan legislatif ternyata tidak
mengetahui persoalan dan kebutuhan perempuan secara praktis dan strategis. Dalam riset-aksi
yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Studi Gender UKSW pada pemilu 2009 yang lalu,
sebagian besar calon legislatif perempuan tidak mengetahui secara jelas persoalan dan kebutuhan
perempuan baik praktis dan strategis. Semakin parah lagi mereka juga tidak menguasai secara
dalam tugas-tugasnya sebagai calon legislatif. Hal ini menjadi persoalan mendasar seorang
perempuan legislatif yang bisa menjalan peran untuk mewakili pemilih yang telag memilihnya.
Persoalan inilah yang mendorong gagasan tentang affirmative action melalui kebijakan
pemberian kuota pada perempuan untuk bisa mempercepat pertambahan jumlah mereka di
parlemen (Dahlerup dan Freidnvall, 2003). Harapannya melalui kebijakan kuota ini, kehadiran
perempuan secara kuantitas-simbolis yang relatif cukup bisa memberi pengaruh pada
pengambilan keputusan dan perubahan pada sistem parlemen yang didominasi oleh para laki-laki
(Lovenduski dan Karam, 2002). Tentunya persoalannya belum selesai sampai disini karena ada
persoalan lainnya adalah bagaiman hal ini bisa terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimana
mendorong kehadiran yang simbolis-kuntitatif menjadi kehadiran/keterwakilan yang kualitatifsubstantif. Tentunya persoalan ini terarah pada bagaimana kapasitas perempuan legislatif
sebagai modal yang mereka miliki untuk bisa berperan kualitatif-substantif.
Melihat hasil penelitian Kartika, Dian (2013), Jurnal Peremuan (2014) dan Puskapol
FISIP UI (2014) menunjukan bahwa sebagian besar (70%) caleg perempun tidak memiliki
pengalaman dan pendidikan politik yang memadai maka harapan kehadiran/keterwakilan
perempuan secara kualitatif-substantif menjadi sulit diharapkan. Kehadiran perempuan legislatif
pada periode 2014-2019 diprediksi tidak berubah menjadi lebih baik bila melihat sebagian dari
perempuan legislatif adalah legilatif pada periode 2009-2014.
Menurunnya peroleh kursi perempuan di legislatif tahun 2014 ini menjadi bentuk konkrit
dari turunnya kepercayaan para pemilih, khususnya perempuan terhadap caleg perempuan. Bila
diletakan dalam gagasan Phillips, Anna (1991) maka dapat dilihat bahwa pemilih perempuan
tidak melihat secara simbolis dan prinsip bahwa mereka bisa diwakili atau mewakilkan suaranya
(persoalan dan kebutuhan) pada para perempuan legislatif. Dalam konteks yang lain bisa artikan
10
bahwa perempuan legislatif tidak berbasis secara substantif pada perempuan di akar rumput atau
dalam istilah yang berbeda mereka ‘tercabut’ atau terputus dari ‘akar rumput”.
WRI (2012) menambhakan untuk memahami konsep representasi Phillips, Anna (1991)
mengatakan penting untuk mengkombinasikan apa yang disebut sebagai politics of presence dan
politics of ideas. Ada empat hal utama yang dibutuhkan untuk mendorong keterwakilan: (1)
representasi simbolik, yaitu memasukkan kelompok-kelompok marjinal menjadi bagian penting
agar mereka bisa bersuara; (2) bagaimana seorang calon legislatif dapat membawa isu-isu yang
tidak pernah diangkat sebelumnya; (3) untuk mengubah pola representasi, ada kebutuhan dari
kelompok di luar parlemen untuk berkontribusi terhadap kebijakan; dan (4) adanya beberapa isu
yang belum masuk dalam agenda yang disuarakan partai politik. Anne juga menambahkan
bahwa perempuan memiliki sejarah panjang sebagai entitas yang mengalami marjinalisasi,
diskriminasi, dan subordinasi sehingga mereka harus diikutsertakan untuk mengubah alur
representasi yang ada.
Argumentasi diatas bisa dijelaskan dalam skala yang lebih mikro dalam konteks
penelitian yang dilakukan oleh Progdi Sosiologi – Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi UKSW
pada menjelas pemilu dan pemilu tahun 2014 yang lalu di Kota Salatiga. Percakapan dengan ibu
Suti demikian:
“saya ini orang kecil, hanya pemulung sampah yang hari-hari bekerja memperoleh
makan dari hasil menjual sampah. Kami disini sangat kurang diperhatikan, padahal
tempat kami tempat menampung sampahnya orang kota. Kami selalu sulit air setiap
musim kemarau panjang, tidak bisa menyekolahkan anak, tidak ada pekerjajan lain
selain sampah. Desa kami hanya ramai didatangi caleg bila menjelang pemilu. Para
caleg, ya laki-laki dan perempuan sama saja, memberikan janji-janji. Kami tidak tahu
partai, kami tahu orangnya saja. Kalau sering beri bantuan ya menang. Misalnya;
dusun saya dapat bantuan pembangunan rumah yang difasilitasi oleh bapak (X). Saya
tahu dari RT dan RW bahwa Bapak (X) anggota DPR lama tetapi tidak tahu partai
apa. Kami diberi gambarnya dan diminta ingat-ingat, itu yang dicoblos. Pemilu tahun
2009, disini ada perempuan legislatif yang menang, ya juga bisa menang karena sering
kasih bantuan. Juga bapaknya pemborong rumah, ada orang desa sini yang dikasih
kerjaan. Tapi sudah lama tidak kesini, tidak tahu apa tidak ‘nyalon’ lagi. Seperti saya
ini orang ‘kecil’ ya manut apa kata suami dan Pak RT, pilih sesuai yang disuruh.
Disini tidak ada yang melakukan sosialisasi pemilu. Bila ada mungkin masyarakat
tidak tertarik, lha a a tidak mudeng, paling ya janji-janji. Lha mending saya kerja,
malah dapat duit”
Cuplikan wawancara lainnya dengan Mbak Desi, seorang Pemandu Karaoke di Kota
salatiga.
“saya tidak punya rencana untuk ikut pemilu tahun 2014 nanti. Saya tidak
merasa itu penting untuk saya sebagai pemandu karaoke. Lha, kami ini siapa
toooo mbak, orang tidak ‘dianggap’. Kalau mereka jadi, opo yo beri kami
bantuan? Mbok yo jalan ditempat kami didepan ini lho diperbaiki, bila baik yo
tamu yang kesini bisa banyak. Untungnya bukan untuk kami saja, yo untuk
semua. Kami bekerja keras malam sampai pagi, resikonya yo banyak, ada tamu
yang kasar, sok dan tidak menghargai. Saya tidak tahu kalau milih caleg, yo
hidup kami jadi lebih baik. jadi saya tidak semangat. Tapi mungkin kalau
11
pilpres, saya mau pilih karena mau coblos Jokowi. Saya joblos karena ia orang
sederhana dan kayaknya mau memperhatikan orang ‘kecil”. Disini tidak ada
sosialisasi pemilu dan saya tidak tahu calegnya siapa saja. Saya juga merantau
dari luar Jawa”.
Cuplikan wawancara lainnya dengan 3 orang caleg perempuan (Mbak Tia,
Mbak Mer, dan Mbak Yul) yang bisa dirangkum seperti ini.
“Mbak Tia memulai diskusi, “saya sebenarnya tidak tertarik menjadi caleg
tetapi ditawarin pengurus partai katanya untuk memenuhi syarat 30 %. Saya
tidak tahu persis apa pentingnya keterwakilan perempuan. Mbak Mer dan Yul
juga mengutarakan hal yang sama, bedanya Mbak Mer ditawarin bapaknya
yang dekat dengan elit partai, dan mbak Yul oleh suaminya. Mbak Yul
menambahkan, kaya suami saya coba-coba saja, bila katut lumayan khan
gajinya besar. Mbak Mer tidak kalah antusiasnya menambahkan ,” lho kalau
saya justru dipaksa-paksa sama bapak saya, katanya sekedar syarat-syarat, biar
partai lolos. Secara bergantian mereka mengungkapkan, ‘bagaimana ya mbak,
kami khan bukan orang partai, tidak tahu politik, tidak tahu mau sosialisasi
apa.”
Dari cuplikan wawancara diatas, nampak pemilih maupun caleg perempuan tidak
memiliki pertimbangan sendiri memilih siapa. Selain itu ia juga tidak memiliki pengetahuan
yang cukup memahami arti suaranya dalam pemilu dana bagaimana keterhubungan perempuan
dari ‘akar rumput’ dan perempuan legislatif dalam konteks peran mereka sebagai legislator. Dari
data diatas, menunjukan bahwa pendidikan politik bagi perempuan pemilih dan caleg menjadi
penting dalam upaya membangun kapasitas pribadi dan koneksinas antar perempuan dalam
perannya yang berbeda. Lemahnya aspek ini menentukan terpilihnya perempuan sebagai
legislatif baik di DPRD RI dan PDRD. Pada aras nasional sudah dipaparkan datanya diatas,
menunjukan perolehan suara perempuan turun signifikan menjadi 14 % pada tahun 2014 dari 18
% pada pemilu tahun 2009. Hal sana terjadi di DPRD Kota Salatiga, hasil rekap KPUD Kota
Salatiga tahun 2014 menunjukan legislatif perempuan turun dari 7 kursi pada pemilu tahun 2009
menjadi 4 kursi pada tahun 2014. Bahkan yang cukup mencegangkan adalah perempuan
legislatif perempuan (sebut saja Ibu Debi) ang mempunyai kinerja yang bagus bahkan dikenal
luas karena kiprahnya yang positif dalam pengawasaan anggaran, dan memiliki pendidikan
politik yang baik justru harus berhenti dan tidak mencalonkan lagi pada periode pemilu 2014
karena mekanisme partainya. Usahanya untuk mendongkarak suara partai dan caleg perempuan
sebagai kolega (sebut saja Ibu Mona) yang dikaderkan tidak berhasil mengantarkan kadernya
dan juga partainya memperoleh kursi di DPRD Kota Salatiga.
Pentingnya pendidikan politik pemilih dan caleg menjadi pengalaman peneliti pada
pemilu tahun 2009 dan 2014. Pendidikan politik yang dilakukan pada pemilu 2009 pada celeg
perempuan di Kota Salatiga mampu mendongkrak kursi perempuan menjadi 7 atau 25 % dari
total kursi legislatif di Kota Salatiga. Dialog politik yang dibangun diantara caleg perempuan
bisa merumuskan agenda politik caleg perempuan yang menjadi program kampanye mereka
12
dalam pemilu tahun 2009 yang lalu. Pada sisi yang lain, pendidikan politik pemilih yang
dilakukan di 4 Kecamatan di Kota Salatiga, mampu membangun dialog caleg dan perempuan
pemilih yang dituangkan dalam kontrak politik sebagai media pembelajaran bersama dalam
mengawal suara perempuan di legislatif (Hunga, dkk., 2009). Peroleh suara perempuan di Kota
Salatiga tahun 2009 juga diperkuat oleh adanya beberapa program LSM, universitas, puslit, dan
aliansi antar LSM peduli suara perempuan yang melakukan program pendidikan politik baik pra
pemilu, pemilu, maupun pasca pemilu. Upaya LSM dan universitas (termasuk PPSG-UKSW)
merupakan bagian upaya keterwakilan perempuan.
Dalam Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa
pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak kewajiban dan
tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bila dikaitkan
dengan argumentasi Phillips, Anna (1991) maka pendidikan politik diletakan dalam konteks
bagaimana perempuan menjadi pihak yang sentral menyadari dan mengambil langkah strategis
untuk bisa memperoleh kesempatan merepresentasikan suara perempuan di akar rumput. Juga
pada sisi yang lain perempuan dari ‘akar rumput’ mempunyai koneksitas yang substantif untuk
bisa menyuarakan persioalan dan kebutuhannya, serta memperoleh ‘ruang’ untuk
memenuhannya melalu perempuan legislatif dalam mempengaruhi pengambilan keputusan
strategis di legislatif. Dalam hal ini pendidikan politik atau pendidikan politik perempuan
diarahkan, antara lain; membentuk kesadaran politik, komitmen, kemampuan untuk
berpartisipasi secara cerdas dan kritis dalam peristiwa-peristiwa politik sebagai bagian dari
komponen masyarakat dalam negara yang demokrasi.
Pendidikan politik dapat dilakukan melalui metode secara tidak langsung yaitu sosialisasi
dan pelatihan, teater, serta metode yang bersifat langsung yaitu pengajaran politik melalui
institusi pendidikan. Pilihan metode pendidikan ini secara teoritis menentukan efektifitas
pendidikan yang diberikan. Sebagai contoh pendidikan pemilih yang dilakukan oleh progdi
Sosiologi-FISKOM UKSW bekerjasama dengan Teater Rakyat STAIN Salatiga yang
mengusung judul “Demokrasi Ala Warung Kopi” yang dipentaskan di desa yang merupakan area
pemanpungan sampah akhir (TPA) kota Salatiga. Dalam pementasan ini para pemain
memainkan dua aktor yang berbeda karakter dan motivasinya maju sebagai caleg dalam pemilu
tahun 2014. Sebut saja Pak Broto memainkan tokoh arogan yang mengandalkan uang untuk
membeli suara kelompok masyarakat marginal di lokasi sekitar TPA Kota Salatiga. Sebaliknya,
tokoh caleg perempuan, sebut saja Ibu Tantri, melakukan observasi dan analisis sebagai acuan ia
menawarkan program pemecahan bagi masyarakat ini. Ibu tantri tidak datang dengan uang tetapi
tawaran kerjasama dan program sebagai agendanya pada saat jadi legislatif. Pementasan ini
mendapat sambutan yang riuh, ada terikan mencibir sikap Pak Broto yang arogan. Kata-kata
yang keluar secara spontan dari penonton antara lain ‘korupsi, pencuri uang, ojo dipilih,
bohooooog, dst’. Teriakan sebaliknya buat Ibu Tantri pada saat berkomunikasi dengan penonton,
misalnya; butuh pekerjaan, kesehatan gratis, hidup bu Tantri, dst.”.
13
Dari gambaran pementasan diatas, menunjukan bahwa dialog yang cerdas yang dikemas
sesuai dengan persoalan dan kebutuhan masyarakat, memudahkan penonton memahami apa
makna pemilu dan bagaimana mereka memberikan suaranta dengan cerdas dan bertanggung
jawab. Metode pendidikan pemilih yang dikemas secara sederhana dan sesuai dengan konteks
setempat memudahkan masyarakat paham dan bisa menerima pendidikan politik pemilih yang
ingin disampaikan.
Namun demikian, metode pendidikan yang sudah dikemas dengan baik belum menjamin
bahwa pemilih bisa mengkonkritkan pilihannya dengan cerdas karena banyak faktor diluar
mereka yang lebih kuat mengatur masyarakat marginal. Fakta yang patut disimak adalah
maraknya money politic maka metode pendidikan politik tidak berjalan efektif. Hal ini terungkap
dalam diskusi dibawah ini dengan Ibu Tatik di Kota Salatiga.
“Sosialisasi pemilu disini setahu saya tidak ada. Juga mungkin memang tidak
ada karena sudah ada kapling-kapling para caleg melalui tim suksesnya.
Seperti disini, sudah jelas siapa yang menang. Masyarakat tidak lihat partainya
tetapi calegnya. Ada persaingan caleg dalam partai yang sama, yaitu kuatkuatan uangnya. Sing banyak uang ya pasti jadi. Masyarakat tidak tahu apa itu
program caleg apalagi partai. Pokok’e yang kasih bantuan banyak, pasti
menang. Sosialisasi pemilu pakai ‘pertujuan4” dan musik sebenarnya
masyarakat suka (remen5) karena menghibur dan memberikan pengetahuan
bagaimana mencoblos. Caleg biasanya datang ke tempat kami bila dekat
pemilu. Saya tidak tahu program para caleg. Saya ya bigung karena terlalu
banyak partai dan caleg. Tapi ya itu, caleg yang beri bantuan sudah pasti
menang. Itu sudah diatur bapak-bapak, juga suami saya. saya lebih semangat
bila pilihan presiden nantinya. Saya sudah punya pilihan (JOKOWI) karena
orangnya baik, suka menolong, dan jujur. Saya tahu dia dari partai PDI
Perjuangan tetapi pada saat caleg, kami tidka pilih partainya tetapi pilig caleg
lain yang sudah beri bantuan. Tidak enak bila tidak jadi, nanti diminta kembali
bantuannya.”
Pada saat peneliti menanyakan, apakah tahu bagaimana caranya agar calon
presidennya bisa dapat melaju ke pilpres. Ibu Tatik menjawab cepat, “tidak
tahu”, karena tidak ada sosialisasi. Oya, apa ada aturannya to? Pada saat
peneliti mengatakan bahwa partai pilihannya bisa memperoleh 25 % atau lebih,
ibu Tatik nampak kaget dan spontan mengatakan o o o o, olah bagaimana lagi
(piye maneh)”.
Dari penggalan diskusi dengan sumber informasi menunjukan bahwa pilihan-pilihan
perempuan lebih banyak ditentukan oleh laki-laki dan mereka mempunyai pengetahuan yang
terbatas. Hal lainnya adalah calon legislatif perempuang tidak mempunyai koneksi yang baik
4
Yang dimaksud adalah pendidikan pemilih menggunakan teater rakyat yang dilakukan oleh FISKOM UKSW
menjeng pemilu dengan Judul “Demokrasi ala Warung Kopi”.
5
Bahasa Jawa yang artinya senang.
14
dengan calon pemilih perempuan. Mereka menemui calon pemilih dan memsosialisasikan
programnya.
Tidak terkoneksinya caleg perempuan sebenarnya terkait erat pada pendidikan politik
mereka yang juga terbatas. Penggalan diskusi diatas dengan caleg perempuan menjadi gambaran
konkrit betapa mereka tidak paham peran mereka yang sebenarnya di legislatif bila mereka
terpilih.
3. Kesimpulan
Perolehan suara/kursi perempuan dilegislatif pada pemilu tahun 2014 menurun menjadi
14 % dibandingkan dengan pemilu tahun 2009 sebesar 18%/. Penurunan ini signifak dan terjadi
pada saat UU pemilu terkait keterwakilan 30 % justru semakin tegas. Kondisi ini semakin
memprihatinkan mengingat sebagian besar dari perempuan legislatif yang terpilih tidak
memiliki kapasitas dan pendidikan politik yang memadai sebagai modal dirinya memainkan
peran-peran dalam parlemen. Fakta ini diperkirakan lebih memburuk kinerja legislatif tahun
2014 dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebenarnya buruk dibandingkan kinerja legislatif
tahun 2004. Fakta ini menunjukan bahwa keterwakilan perempuan selama ini lebih menunjukan
keterwakilan yang formalistik administratif dan belum kehadiran yang substrantif.
Anjloknya peroleh suara perempuan dilegislatif sebagai bentuk ‘terputusnya’ atau tidak
adanya koneksi yang sinergis antara perempuan di akar rumput dan legislatif perempuan; Hal ini
terjadi karena ketidak berdayaan perempuan dalam sistem politik yang masih didominasi oleh
laki-laki.
Keterwakilan perempuan dalam legislatif masih dibutuhkan dan perlu terus
diperjuangkan. Hal ini menjadi penting terus diperjuangkan dalam upaya menciptakan perubahan
kualitas hidup perempuan dan anak sebagai wujud perwujudan keadilan dan kesetaraan gender
dalam masyarakat.
Pendidikan politik perempuan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan perempuan
menjadi salah satu alternatif untuk memecahkan persolaan keterwakilan perempuan yang
substransif dalam legislatif. Namun disadari pendidikan politik menghadapi tantangan maraknya
praktek politik uang sebagai bentuk politik transaksional yang didominasi oleh para laki-laki
legislatif.
Daftar Pustaka
Alawiah, Juwito dan Syfa Syarifa., 2009. POLA KOMTJNIKASI POLITIK PEREMPUAI\
DALAM PEMILU. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol.1., N0.2, Oktober 2009.
Hunga, Arianti Ina. R.H., dkk., 2009. Pendidikan Politik Pemilih dan Pemilu untuk Perempuan
Marginal di Propinsi Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Studi Gender Univ. Kristen
satya Wacana bekerjasama dengan UNDP.
15
Kartikasari, Dian., 2013. “Keterwakilan Perempuan, Ketidakadilan dan Kebijakan Keadilan ke
depan. Disampaikan dalam Konferensi INFID , Pembangunan Untuk Semua, Jakarta
26‐27 November 2013
Launa dan Azman Fajar,2009.Representasi Politik Perempuan: Sekadar Warna, atau Turut
Mewarnai? Pengantar Redaksi. Jurnal Sosial Demokrasi
KPU Kota Salatiga., 2014. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Legislatif Terpilih dan Partai
Politik Kota salatiga.
Kalyanamitra, 2008. LAPORAN HASIL PENELITIAN. KUALITAS PEREMPUAN POLITISI
DI LEGISLATIF. Kalyanamitra Jakarta
Komnas Perempuan. Laporan Independen Komnas Perempuan mengenai Pelaksanaan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di Indonesia, 20072011. Jakarta: 2011, hal. 17.
Subono, Nur Iman., 2014. Partisipasi Perempuan, Politik Elektoral dan Kuota: Kuantitas,
Kualitas, Kesetaraan? dalam Perempuan Politisi. Jurnal Perempuan N0 81. Jurnal
perempuan Jakarta
Mar’iyah, Chusnul., 2011. “Keterwakilan Perempuan Melalui Kuota: Pengalaman Indonesia dan
Argentina”. Jurnal Afirmasi. Jakarta: WRI. 2011.
Perludem., 2014. Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pemilu 2014. Rekomendasi atas
Hasil Workshop Knowledge Sharing
Pitkin, Hanna. 1967. The Concept of Representation. University of California Press.
PUSKAPOL FISIP UI, 2014. Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI
POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN. PERNYATAAN
PERS Pusat Kajian Politik – Departemen Ilmu Politik FISIP UI
Susilastuti, Dewi Haryani., 2014. Kepemimpinan Perempuan: Perubahan Paradigma dari Politik
Gagasan ke Politik Kehadiran dalam Perempuan Politisi. Jurnal Perempuan N0 81.
Jurnal perempuan Jakarta
Women Research Indtitute, 2012. PENELITIAN KEBIJAKAN. perempuan Anggota DPR-RI
dan Proses Pembuatan Kebijakan Publik: Rancangan Perubahan Undang-Undang
tentang Pemilihan Umum.
16
Download