Bab III Aspek Kedua Perayaan Keselamatan Aspek Individual Berkat keselamatan yang menjadi bagian individu dalam gereja sebagaimana yang dirumuskan dalam credo ada tiga: pengampunan dosa, kebangkitan daging dan kehidupan yang kekal. Calvin mengelompokkan itu dalam dua kategori. Pertama, berkat yang sudah mulai direalisasikan pada masa kini, yakni sejak seseorang ambil bagian dan persekutuan tubuh Krustus. Berkat itu adalah pengampunan dosa (remisionem peccatorum). Kedua, yang baru akan dinyatakan kelak, yakni ketika Yesus Kristus datang kembali sebagai bagian orang-orang yang hidup dalam percaya kepada Yesus Kristus. Berkat itu adalah: kebangkitan daging (Resurrectionem carnis) dan kehidupan yang kekal (vitae aeternam).79 Berkat ini disediakan Allah bagi semua manusia tanpa kecuali. Meskipun begitu demikian kata Calvin berkat itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang ambil bagian dalam persekutuan keselamatan. Calvin menegaskan itu dalam kalimat: “Mereka yang menahan dirinya dari persekutuan tubuh Kristus dan yang keluar 79 Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 122. 85 dari persekutuan itu tidak mendapat bagian dari berkat tadi.”80 Hal yang sama ditegaskan juga oleh Alkitab tetapi dengan nada yang positif sebagaimana kita baca dalam Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.81 Hanya orang-orang yang menjadi anggota tubuh Kristuslah yang dapat menikmati berkat keselamatan di dalam persekutuan Kerajaan Allah. Ini tidak bermaksud untuk mempersempit ruang lingkup keselamatan Allah. Keselamatan Allah itu lebih besar dari ruang lingkup persekutuan kelihatan yang bernama gereja. Penekanan pada keberadaan sebagai anggota gereja untuk memperoleh keselamatan dimaksud untuk menggarisbawahi pentingnya jawaban dan penerimaan manusia kepada Allah. Allah bisa dan mampu menyelamatkan manusia tanpa mendengar jawaban manusia, tetapi itu sama sekali tidak sejalan dengan hakikat Allah yang adalah kasih dan bertentangan dengan isi perjanjian yang dicanangkan Allah di dalam kekekalan. 80 81 86 Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 135. Cetak miring merupakan tekanan yang dibuat penulis. Pengampunan Dosa Mengawali pokok ini baiklah kami ingatkan hal berikut. Perjamuan makan bersama (tafelgemeenschap) bagi orang Timur Tengah Kuno mengandung pesan yang sangat dalam. Ia mengisyaratkan keakraban dari para pihak yang ambil bagian dalam perjamuan itu. Di antara orang-orang yang makan bersama tidak ada permusuhan, sikap curiga atau hal-hal yang tidak berkenan.82 Selanjutnya, memakan sesuatu artinya membuat makanan itu menyatu dengan kita. Makan roti sama dengan membuat roti itu menjadi satu dengan hidup kita atau sebaliknya. Tafelgemeenschap yang dirayakan gereja adalah moment di mana umat percaya makan roti dan minum anggur yang secara figuratif menunjuk pada tubuh dan darah Kristus. Jadi yang terjadi dalam sakramen perjamuan adalah moment di mana tiap peserta menjadi satu dengan Yesus Kristus baik dalam hidup maupun pada saat. Wolfhart Pannenberg menjelaskan itu demikian: “Setiap kali orang-orang percaya bersekutu menyatukan dirinya dengan yang kudus itu, persekutuan yang intim itu punya hubungan dengan pengampunan dosa. Itu merupakan konsekwensi langsung dari penyatuan mereka dengan Kristus. Ia membuat keseluruhan hidup orang-orang percaya dimurnikan.”83 82 83 D.J. Baarslag. Gelijkenissen des Heeren. hlm. 115. Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. Een uitleg van de apostolische geloofsbelijdenis door mensen van nu. Baarn: Ten Have. 1976. hlm. 160. 87 Pengampunan dosa merupakan kenyataan konkret dari berdiamnya keselamatan Allah yang dikerjakan Yesus di dalam diri manusia yang menyatukan hidupnya dengan Yesus Kristus. Inilah kenyataan terindah yang menjadi bagian dari tiap orang yang menyatakan diri menerima Yesus Kristus di dalam hidupnya dan terus-menerus ambil bagian dalam tafelgemeenschap dengan sikap yang benar dan kudus. Selain pengampunan dosa ada lagi dua berkat keselamatan, yakni: kebangkitan daging dan kehidupan yang kekal. Tiga berkat keselamatan yang mengarah kepada individu orang percaya bukan tiga hal yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain. Tidak. Ketiganya merupakan tiga aspek keselamatan yang menjadi milik tiap orang percaya yang menjawab YA kepada Allah dan menyatukan hidupnya sebagai anggota tubuh Kristus. Hubungan ketiga aspek ini bercorak perichoresis. Kalau dalam credo pengampunan dosa ditempatkan mendahului kebangkitan daging dan hidup yang kekal itu hanya mau menekankan hal berikut. Pengampunan dosa adalah uang muka dari dua yang akan menyusul. Calvin menjelaskan hal ini dengan mengatakan pengampunan dosa sudah mulai terjadi sekarang, sedangkan kebangkitan daging dan hidup yang kekal baru akan terjadi kelak. Pannenberg menegaskan hal yang sama. Menurut dia pengampunan dosa mendahului kebangkitan daging dan hidup kekal 88 sebagai jari yang menunjuk kita dua hal yang menyusul.84 Pengampunan dosa memiliki dua arti. Pertama, manusia dibebaskan dari hal-hal yang memisahkan dia dari Allah. Kami sudah membicarakan tentang dahsyatnya dosa. Ia mengasingkan manusia dari dirinya sendiri dan dari Allah. Akibatnya ia menjadi hidup dalam permusuhan dengan Allah dan kehidupannya terus dijalani dalam kepalsuan. Berbagai upaya manusia untuk mendekatkan diri dengan Allah dan sesama membuat permusuhan dan kepalsuan itu makin bertambah. Satu-satunya jalan untuk memulihkan persekutuan manusia dengan Allah dan dengan sesamanya tidak bisa dilepaskan dari pengampunan dosa. Kedua, pembebasan dari dosa juga berarti manusia memiliki masa depan baru. Dosa membuat manusia takluk pada maut (Rm. 6:23). Ia menjadi hamba dosa (Yoh. 8:34). Dengan adanya pengampunan dosa berarti bahwa manusia diberikan status baru yakni menjadi hamba kebenaran (Rm. 6:18). Manusia lama diganti dengan manusia baru. Pembaharuan status manusia ini berhubungan erat dengan baptisan. Dalam kekristenan purba pengampunan dosa dihubungkan secara erat dengan sakramen baptisan yang menunjuk kepada penyatuan hidup penerima baptisan dengan Yesus Kristus.85 84 85 Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 160. Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 161. 89 Baptisan menyatukan hidup seseorang dengan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Status semula dari manusia yakni sebagai budak dosa berakhir, mati. Budak dosa itu dikuburkan bersama-sama dengan Kristus dan sebagaimana Kristus yang dikuburkan itu bangkit dari antara orang mati sebagai yang sulung dari mereka yang meninggal manusia lama tadi ikut pula dibangkitkan untuk hidup yang baru selaku kebenaran (Rm. 6:3-4). Baptisan adalam moment di mana kemanusiaan kita yang lama diganti. Penerima baptisan itu hidup, tetapi bukan lagi dia yang hidup melainkan Kristus yang hidup di dalamnya (Gal. 2:20). Ia bukan lagi milik maut tetapi milik Kristus. Tanda untuk itu adalah nama baru yang dia terima, nama yang dimasukkan ke dalam namanya. Atau lebih tepat, namanya dimasukkan ke dalam nama Allah. Itulah yang terjadi dengan Abram dan Sarai. Nama keduanya diperbaharui. Abram menjadi Abraham, Sarai menjadi Sarah. Nico Ter Linden menunjukan adanya penambahan huruf H dalam nama mereka. H menunjuk pada nama Yahwe (Ibr: ehyeh asyer ehyeh).86 Abraham dan sarah hidup tetapi bukan lagi mereka yang hidup melainkan Allah yang hidup di dalam mereka. Ini juga yang melatarbelakangi terjadinya pergantian nama dari banyak orang ketika mereka memutuskan untuk menerima baptisan. Dalam sebuah Nico Ter Linden. Het verhaal gaat I. Kampen: J.H. Kok. 1997. hlm. 61. 86 90 buku kecil berjudul Bastian: de kleine Timorese, Ds. Dukstra, ketua sinode GMIT pertama menunjukkan bahwa pergantian nama penting karena nama semula diperoleh dari berhala. Nama itu harus diganti karena dengan baptisan yang bersangkutan menjadi milik Allah di dalam Kristus.87 Ia bukan lagi hamba dosa. Ia telah hidup dalam pengampunan. Betapapun pengampunan dosa berhubungan erat dengan sakramen baptisan, tetapi gereja menyadari bahwa pengampunan dosa tidak dibatasi hanya pada saat seseorang menerima sakramen baptisan. Tidak! Baptisan sebagai akta pencangkokan hidup seseorang kepada Yesus Kristus adalah sebuah kiasan (I Pet. 3:21) untuk kehidupan seluruhnya dari penerima baptisan. Baptisan hanya terjadi sekali tetapi pengampunan dosa yang diterima dari Kristus berlangsung sampai yang bersangkutan meninggal. Kesimpulan kita akan arti pengampunan dosa adalah sebagai berikut. Seseorang yang diampuni dosa oleh Allah ia dibebaskan dari maut dan menerima jaminan sebagai pewaris kehidupan baru di dalam kerajaan Allah. Manusia itu berpindah dari kematian kepada kehidupan. Itu sebabnya dalam credo, segera setelah rumusan tentang pengampunan dosa menyusul rumusan kebangkitan daging dan hidup yang kekal. Ds. Durkstra. Bastian: de kleine Timorese. Baarn: Bosch en Keuning. 1949. hlm. 61. 87 91 Kebangkitan Daging Orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus akan mati. Tetapi kematian tidak akan membuat mereka binasa, habis atau lenyap (Yoh. 3:16). Mereka akan dibangkitkan. Akan ada kebangkitan orang mati pada saat Yesus Kristus datang kembali. Alkitab: PL dan PB menegaskan hal itu. Penegasan itu tidak hanya berasal dari para nabi dan rasul. Yesus Kristus sendiri membenarkan pengajaran itu. (Mt. 22:24-30, Yoh. 5:25, 6:39, 40,44-54; 11:24-24). Menurut Alkitab kebangkitan adalah peristiwa yang konkret. Tubuh dan daging yang akan dibangkitkan. Kalau dunia non-kristen mengajarkan tentang kehidupan setelah kematian dalam bentuk kekekalan jiwa, Injil mengajarkan adanya kebangkitan orang mati.88 Plato mengajarkan tentang kehidupan kekal sebagai pembebasan dari tubuh. Injil memberitakan tentang kehidupan kekal sebagai pembebasan tubuh dari maut.89 Kebangkitan bukan sekedar bersifat spiritual seperti yang diajarkan Himeneus dan Filetus (2 Tim. 2:18). Tubuh dan daging yang dimakamkan dan yang hancur di dalam tanah itu akan dicari dan ditemukan Allah (Pkh. 3:15) untuk dibangkitkan (Yes. 26:19). Allah tidak akan membiarkan perbuatan tanganNya Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 169. C.A. Van Peursen. “Shepping en Lichamelijkheid.” Dalam: Kerk en Theologie 9e Jaargang. No.2. April 1975. Wageningen: H. Veenman & Zonen. hlm. 104. 88 89 92 menghilang (Mz. 138:8). Ia tetap setia untuk selamanya (Mz. 146:6). Tentang bagaimana keadaan tubuh pada saat dibangkitkan? Moltmann mengatakan bahwa keadaan manusia saat kebangkitan orang mati adalah seperti malaikat.90 Tetapi tubuh kebangkitan itu dapat kita lihat pada kebangkitan Yesus Kristus karena Ia adalah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati. Kebangkitan manusia akan menyusul (I Kor. 15:20, 23).91 Ada diskontinutas pada tubuh Yesus Kristus yang bangkit itu. Tubuh itu sama sekali baru. Tetapi toh ada juga kontinutas. Tubuh Yesus yang bangkit itu masih sama.92 Fletcher mengatakan: “Kristus yang bangkit itu adalah tetap Yesus dari Nazaret, sebagaimana Ia pernah hidup, mengajar, berkarya dan menderita. 93 Yesus menampakkan diri kepada murid-murid dalam rupa yang baru. Itu sebabnya murid-murid ragu-ragu (Mt. 28:17). Dua murid yang ke Emaus tidak mengenal Dia (Lk. 24:16,41). Yesus tiba-tiba hadir dan tiba-tiba J. Moltmann. God in Creation. London: SCM Press. 1985. hlm. 138. 91 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 722. 92 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” Dalam: Gereformeerd Theologisch Tijdschrift. No. 1. 1996. Zesennegentigste Jaargang. Februari. Kampen: Uitgeverij Kok. hlm. 15. 93 Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2007. hlm. 506. 90 93 menghilang dari mereka (Lk. 24:32,36). Dia dapat masuk ke dalam ruangan sekalipun pintu dan jendela tertutup rapat (Yoh. 20:19, 26). Apa yang terjadi pada Yesus yang bangkit, akan terjadi juga pada kebangkitan manusia.94 Tubuh yang baru itu masih bisa dikenal tetapi tidak lagi terikat dengan hal-hal jasmani seperti makan dan minum, kawin dan dikawinkan (Mt. 22:30). Tubuh yang baru itu tidak lagi takluk pada hukum-hukum biologis dan tata ruang. Ia bisa masuk ke dalam ruangan tertutup dan bisa menghilang begitu saja.95 Origenes menggambarkan tubuh kebangkitan itu adalah baru, tubuh spiritual (I Kor. 15:40). Perubahan sifat dan kualitas itu tidak akan mengubah bentuk fisik dari tubuh itu. Perubahan itu justru mempertinggi fungsi dan kegunaan dari keadaanya semula. Nico Syukur Dister menjelaskan perubahan itu sebagai berikut. “Dalam hidup sekarang ini di dunia, dalam hidup yang belum diubah oleh kematian, roh ditentukan oleh badan, khususnya sejauh badan membuat roh kita (dalam derajat tertentu) terikat pada waktu dan tempat, dan dibatasi olehnya. Akan tetapi dalam kebangkitan, sebaliknya badan ditentukan oleh roh.”96 Van Peursen menulis begini: “Adam pertama Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. United Kingdom: The Paternoster Press. 1994. hlm. 763. 95 Ebenhaizer Nuban Timo. Arsip Untuk Sorga. Kumpulan Khotbah Kematian. Kupang 2010. hlm. 83. 96 Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2. Ekonomi Keselamatan.Yogyakarta. 2004. hlm. 578. 94 94 menjadi makhluk yang hidup, sedangkan Adam terakhir adalah roh yang memberi kehidupan.”97 Kebangkitan tubuh itu berlaku bagi semua orang tanpa kecuali dan berlangsung serentak.98 Orang benar dan fasik, yang percaya dan yang tidak percaya akan mengalami kebangkitan tubuh (Kis. 24:15). Orang benar dan orang fasik akan sama-sama dibangkitkan untuk menjalani penghakiman (Why. 20:13-15). Bagi orang benar dan yang percaya kebangkitan itu adalah memperoleh upah dari Allah, yakni kehidupan kekal. Sedanngkan bagi orang fasik dan mereka yang menolak Kristus kebangkitan adalah saat penghukuman (Yoh. 5:29). Mereka yang menolak Kristus dan hidup dalam kefasikan akan mengalami kematian kedua (Why. 20: 14-15). Kebangkitan orang mati akan terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Tentang hari H kedatangan itu tidak ada seorang pun yang tahu. Juga bukan tugas manusia untuk menghitung hari H kedatangan kembali. Tugas manusia adalah menjalani hidup dalam percaya kepada Yesus, supaya pada saat kedatangan Yesus Kristus mereka dibangkitkan untuk dipermuliakan. Moment itu terjadi dalam bentuk pembacaan nama-nama dari dalam kitab kehidupan oleh Kristus. 97 C.A. Van Peursen. “Schepping en Lichamelijkheid.” hlm. 100. 98 Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170. 95 Maria dari Magdala adalah teladan untuk itu. Bersama dengan para perempuan lain, ia pergi ke kubur Yesus pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap di hari pertama minggu itu. Setelah mendengar kabar dari dua laki-laki berpakaian putih bahwa Yesus tidak di situ tetapi sudah bangkit, perempuan lain pulang ke kota. Maria tetap berdiri di kubur sambil menangis. Sesekali matanya melihat ke dalam kubur (Yoh. 20:12 dst). Yesus sudah bangkit. Dia tidak lagi ada di situ. Tetapi Maria tetap berada di kubur itu. Dia bukan sekedar ingin bertemu dengan Tuhan yang bangkit. Ia tetap di situ untuk mendapat kepastian dari Tuhan bahwa namanya berada dalam daftar orang-orang yang akan dibangkitkan. Kerinduan Maria itu terwujud. Ia bukan hanya menjadi orang pertama yang bertemu Tuhan yang bangkit. Ia juga menjadi orang pertama yang dipanggil namanya oleh Tuhan yang bangkit. Kedatangan kembali Yesus Kristus adalah adalah paskah yang tidak akan berakhir.99 Pandangan Kristen tentang Kematian Kebangkitan orang mati terjadi pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Adanya kebangkitan mengandaikan adanya kematian. Kalau bagitu apa itu kematian? Kehidupan dan kematian adalah dua bagian tak terpisahkan dari keberadaan sebagai ciptaan. Manusia pada hakikatnya akan mati. Kematian bukan G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 237. 99 96 sesuatu yang baru akan terjadi nanti di akhir hidup seseorang. Tidak! Sejak seseorang lahir bahkan seluruh masa hidupnya diwarnai oleh kematian. Kirchberger berkata bahwa hidup manusia bukan kenyataan yang tidak akan berakhir. Hidup dari mulanya diwarnai oleh kematian.100 Kematian dalam pengertian ini adalah peristiwa natural. Ia merupakan sebuah kenyataan medis-biologis. Semua manusia akan mengalami kematian dalam arti ini, tidak peduli apakah dia orang benar atau orang fasik. Luis Berkhof mengatakan bahwa Alkitab mengajarkan kepada kita tiga bentuk kematian: Kematian fisik, kematian spiritual dan kematian kekal.101 Pertama, kematian fisik. Itu akan dialami setiap orang dan juga semua ciptaan. Kematian seperti ini tidak punya hubungan dengan dosa. Jadi adalah keliru kalau manusia berpikir akan kematian sebagai akibat dari dosa. Manusia pasti mati dan harus mati entah dia berdosa atau pun tidak. Kematian adalah hal yang alami, wajar dan normal bagi ciptaan.102 Sebagai sebuah kenyataan yang normal dan alami kematian bukan hukuman melainkan injil. Ia adalah panggilan kepada manusia untuk masuk dalam persekutuan yang sungguh-sungguh dengan Kristus. Memperhatikan Georg Kirchberger. Allah Menggugat. hlm. 289. Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 668. 102 Dieter Becker. Pedoman Dogmatika.Suatu Kompedium Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001. hlm. 195. 100 101 97 aspek ini Dieter Becker menyebut kematian sebagai penebusan.103 Dosa tidak mendatangkan kematian. Dosa mendatangkan maut (Rm. 6:23). Dosa membuat kematian dialami bukan lagi sebagai injil dan penebusan melainkan sebagai sebuah pengalaman yang menakutkan, hukuman dan ancaman yang mengerikan.104 Oleh karena dosa manusia takut berhadapan dengan kematian sebab dia melihat kematian sebagai keterpisahan dengan Allah dan terjatuh dalam genggaman maut. Puisi berjudul Kematian Rangkap Tiga yang ditulis oleh Victor E. van Vriesland berikut kiranya memberi gambaran tentang bagimana kematian itu.105 Kali pertama aku mati secara fisik Tubuhku menghilang dari pandangan Daging dan tulang-tulangku berangsur-angsur lapuk di dalam tanah Orang tidak bakal menemukan sedikitpun sisa di dalam kubur Aku berasal dari debu dan harus kembali kepada debu Selanjutnya, aku mati di dalam hati kekasihkekasihku Dieter Becker. Pedoman Dogmatika. hlm. 196. M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 12. 105 Baers & Henau. God is Groot. Kampen: J.H. Kok. 985. hlm.497. 103 104 98 Memang kenangan terhadapku masih bertahan beberapa lama Tetapi seperti sebuah luka, kalau sudah sembuh Masih ada bekasnya. Tetapi lama-kelamaan hilang juga Juga dalam hati mereka, aku tidak lagi ditemukan Akhirnya, aku mati dalam ingatan dan kenangan mereka Inilah kuburanku yang ketiga, yang terakhir dan yang paling dingin Pada saat kuburan ketiga ini ditutup, habislah sudah cerita hidupku Kadang-kadang, pada waktu pemakaman namaku memang disebut Tetapi tidak lebih dari sekedar sebutan Ada yang melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan Begitu aku tiba di jalan menikung, tidak ada lagi yang melihatku Demikianlah aku tergusur dari pandangan Dari cinta dan juga dari ingatan mereka Dosa berujung kepada maut yang terwakili dalam puisi tadi. Sebaliknya, orang berdosa yang telah mempersilahkan Kristus hidup di dalam dirinya dan membuat dirinya berada di dalam Kristus kematian baginya adalah sebuah pintu gerbang yang membawa dia ke dalam persekutuan abadi dengan Kristus, leluhur mula-mula dari semua manusia. Alkitab menggunakan ungkapan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. (Kej. 99 25: 8, 17, 35:29, 49:33, Bil. 20:24, 27:13). Inilah yang dimaksud oleh Becker dengan kematian sebagai penebusan. Kedua, kematian spiritual. Pandangan Kristen tentang kematian tidak hanya berhenti pada kematian fisik. Selain kematian dalam arti medis-biologis, Alkitab juga mendefinisikan kematian sebagai sebuah kenyataan etis-teologis, yaitu satu keadaan di mana manusia memutuskan hubungan dengan Allah dan sesama. Dimensi etis-teologis dari kematian menunjuk kepada sikap pemberontakan manusia terhadap Allah dan menolak tunduk pada firman, ketetapan dan perintahperintah Allah. Kematian dalam arti inilah yang disebabkan oleh dosa. Alkitab menamakan kematian ini maut. Secara medis-biologis seseorang berada dalam keadaan hidup, tetapi karena dia menjauhkan diri dari Allah dan tidak memperhatikan hukum, ketetapan dan perintah Allah dalam hidup individu dan masyarakat, orang itu sesungguhnya mati, yakni dia sudah berada dalam kuasa maut. Ia masih hidup secara biologis tetapi secara teologis, spiritual ia sudah mati.106 Ketiga, kematian kekal. Itu baru akan terjadi nanti ketika Kristus datang kembali. Kematian tipe ini berlaku bagi mereka yang menolak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Sebagai lawan dari kematian kekal, ada kehidupan kekal Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work. Twelve Practical Doctrines. Grand Rapids: Baker Book House. 1980. 106 hlm. 95. 100 yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat. Jadi kesaksian Alkitab tentang kematian dapat kita rampung dalam butir-butir berikut. Pertama, kematian bukan akibat dosa. Kematian menurut Alkitab adalah masa selang, waktu antara di mana manusia beroleh kesempatan untuk diperbaharui oleh Allah bagi kehidupan baru, kehidupan yang lebih sempurna. Waktu antara yang bernama kematian dapat kita pahami kalau melihat seekor ulat yang berubah menjadi kupu-kupu. Perubahan itu tidak serta-merta. Si ulat perlu menjalani waktu sebagai kepompong. Ilustrasi ini secara implisit disebutkan Paulus dalam I Korintus 15:35 dst. Kedua, dosa membuat kematian menjadi pengalaman yang berat dan menakutkan. Sebab ia menyebabkan terjadinya perpisahan bukan hanya dengan keluarga dan karib kerabat, tetapi dengan Allah sumber hidup. Dosa membuat manusia bukan hanya mati, tetapi terbuang ke dalam kekuasaan maut, yakni terputus dari perhatian dan pengasihan Allah. Ketiga, bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus kematian tidak lagi menjadi saat yang menakutkan, karena maut sudah dikalahkan. Mereka yang mati di dalam Kristus boleh beristrahat dengan tenang karena mereka tidak jatuh ke tangan maut tetapi akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia (I Tes. 4:14). Keberadaan bersama-sama Allah baru akan terjadi nanti, pada kedatangan kembali Yesus Kristus, tetapi ketika yang bersangkutan mati ia tetap berada 101 dalam jangkauan kuasa keselamatan dan kasih Allah. Selama masa itu belum tiba, mereka yang mati di dalam Kristus menjalani masa reparasi untuk menerima tubuh yang baru, tubuh sorgawi yang cocok untuk menerima kemuliaan yang disediakan Allah sejak kekal bagi mereka.107 Keempat, bagi orang-orang yang percaya kepada Kristus kematian adalah akhir dari kehidupan saat ini, tetapi bukanlah akhir dari segala-galanya. Mereka yang mati akan dikuburkan, kembali kepada debu tanah dan menjadi debu tetapi mereka tidak habis, hilang dan lenyap di dalam tanah.108 Yesus Kristus sudah masuk ke dalam kubur untuk menganulir kutuk dosa atas tanah (Kej. 3:17) dan menguduskan kuburan bagi orang-orang tebusanNya sehingga maut tidak akan menguasai mereka. Tidak peduli kapan manusia mati, juga tidak peduli karena apa dan di mana seseorang mati. Juga tidak peduli cara pemakaman apa yang dibuat bagi si mati. Kalau ia selama hidupnya percaya kepada Yesus Kristus maka ia akan dibangkitkan untuk mewarisi hidup yang kekal. Kematian tidak boleh kita pahami dalam pengertian berhenti berada. Paham itu sangat statis. Memang secara biologis manusia berhenti berada ketika ia mati, tetapi secara teologis orang yang dianggap telah tiada itu ternyata berada secara baru. Dalam kematian manusia lahirah menghilang seluruhnya, tetapi bersamaan dengan itu berkembanglah manusia batiniah, 107 108 102 Ebenhaizer Nuban Timo. Arsip Untuk Sorga. hlm. 49. Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 668. sebagimana yang ditulis Paulus: “Meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (2 Kor. 4:16). Percakapan Yesus dengan seorang penjahat di atas salib juga menegaskan bahwa kematian tidak membuat si mati berhenti ada. Ia ada secara baru: “Bersama-sama Yesus di Firdaus” (Lk. 23:43). Dalam kisah Yesus tentang Lazarus, orang kaya dan Abraham (Lk. 16) menjadi jelas bahwa kematian bukan pembinasaan. Juga dalam beberapa kisah nyata tentang orang yang mati untuk beberapa waktu kemudian hidup realita kematian disingkapkan bagi kita, yakni mati bukan berarti berhenti ada, melainkan berada dalam cara yang baru. Kematian adalah kehidupan dalam cara yang baru, berbeda dengan kehidupan yang kita alami sekarang. Bentuk baru dari kehidupan itu Yesus namakan tidur (Mt. 9:24; Mk. 5:39; Lk. 8:52; Yoh. 11:1113). Ini adalah satu masa antara, masa di mana manusia itu beristrahat sambil menantikan kebangkitan (I Raja 2:10, 11:43). Rahner menulis: “Kematian adalah puncak pasivitas manusia yang menyangkut seluruh 109 eksistensinya.” Ini membuat manusia itu menderita sebagai person. Aktivitas manusia dalam kematian terletak dalam pengharapannya akan tindakan Allah. Di masa antara itu si mati tidur (Dan. 12:2). Tidur yang disebut kematian itu perlu karena ini 109 Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2. hlm. 577. 103 merupakan masa di mana baju kehormatan dari jiwa, yaitu tubuh dibuka, direparasi dan diformat ulang untuk cocok bagi kemuliaan sorgawi yang akan dikaruniakan kepada manusia itu waktu Kristus datang kembali.110 Kebangkitan adalah moment di mana baju yang direparasi itu dikenakan kembali kepada manusia tadi untuk satu kehidupan yang sempurna (2 Kor. 5:1). Luis Berkhof menulis: “Bagi orang percaya, kematian bukan akhir tetapi permulaan bagi kehidupan yang sempurna.”111 Keberadaan Manusia Pada Saat Kematian Ada empat pendapat tentang keberadaan manusia pada saat kematian.112 Pertama, diskontinutas yang berkembang antara tubuh dan jiwa. Pengalaman menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan antara tubuh dan jiwa. Perkembangan tubuh makin melemah seiring bertambahnya usia seseorang, sementara jiwa menjadi makin kuat. Pada saat kematian terjadi anima separate, yakni terpisahnya jiwa dari tubuh. Kematian hanya berlaku pada tubuh dan tidak pada jiwa. Keberadaan jiwa pada saat mati adalah tersembunyi dalam Allah. Kesatuan tubuh dan jiwa tidak disangkali dan penting, tetapi itu tidak merupakan condition sine qua non bagi kelanjutan eksistensi jiwa. Dieter Becker. Pedoman Dogmatika. hlm. 195. Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 671. 112 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18-19. 110 111 104 Kesatuan itu juga dipahami sebagai yang dirancang untuk berlangsung selama-lamanya.113 Para anthropolog memperkuat pendapat ini. Mereka berkesimpulan bahwa kematian hanya berlaku bagi tubuh sedangkan jiwa bersifat kekal. Jiwa manusia itu immortal, tidak takluk pada kematian. Pada saat tubuh mati, jiwa masih berada di sekitar tubuh. Ia baru akan pergi ke negeri para leluhur jika diantar melalui satu upacara.114 Kematian adalah sebagai saat di mana tubuh dan jiwa yang semua adalah satu berpisah. Tubuh yang fana ini kembali ke tanah yang adalah asalnya. Sementara jiwa kembali kepada Allah yang daripadanya dia berasal. Suku Dayak Ngaju memandang kematian sebagai pintu gerbang bagi manusia untuk masuk ke negeri yang sangat luhur, yakni negeri para nenek moyang mereka.115 Suku Tetun di Belu (Timor) kehidupan digambarkan seperti bulan; muncul di Barat menjadi purnama dan berangsur-angsur hilang, tetapi tidak habis dan lenyap. Ia akan muncul kembali. Di kalangan suku Meto di Timor roh si mati dianggap sebagai pergi ke belakang kayu dan belakang batu (hau 113 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18. L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” hlm. 211. 115 Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah. 114 Penyelenggaraan Upacara Mengantar Arwah Menurut Budaya Masyarakat Dayak Ngaju. Seri Kebudayaan Fakultas Teologi UKSW. 2008. hlm. 3. 105 bian fatu bian). Bentuk hidup dan tempatnya saja yang berbeda. Si mati tidak habis lenyap.116 Manusia tidak mati dalam pengertian habis, hilang secara total dan definitif. Pada saat mati manusia tidak menghilang dalam masa lampau. Ia hanya berpindah saja ke tempat lain dalam ruang besar atau kosmos ini. Komunikasi dengan si mati sekali-kali dimungkinkan, meskipun pada umumnya tidak bisa dilakukan dengan setiap manusia melainkan melalui medium-medium khas untuk maksud itu. 117 Pendapat ini dianggap bertentangan dengan kesaksian Alkitab karena mengandaikan adanya dualisme antara tubuh dan jiwa. Alkitab tidak mengenal adanya pemisahan antara tubuh dan jiwa pada manusia. Yang Alkitab katakan tentang manusia ialah bahwa manusia itu adalah tubuh yang berjiwa atau jiwa yang bertubuh. Tubuh dan jiwa menunjuk pada manusia secara utuh.118 Kedua, kontinutas yang berkelanjutan dan parmanen antara tubuh dan jiwa. Kematian adalah akhir dari kehidupan. Kematian membuat manusia tidak ada lagi. Kematian terjadi atas tubuh dan jiwa atau roh.119 Dalam pengakuan iman yang dirumuskan pada tahun Eben Nuban Timo. Sidik Jari Allah Dalam Budaya. Maumere: Penerbit Ledalero. 2005. hlm. 41. 117 Olaf Schuuman. Agama-Agama, Kekerasan dan Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011. hlm. 105. 118 J.L.Ch. Abineno. Pokok-Pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 240. 119 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18. 116 106 1981 Gereja Toraja mencantumkan rumusan: manusia mati seutuhnya.120 Rumusan ini didasarkan pada Kejadian 2:7 yang menegaskan bahwa manusia yang diciptakan Allah adalah nefesy hayah. Manusia adalah satu totalitas: tubuh dan jiwa atau roh. Karena itu tubuh dan jiwa takluk pada kematian. Hanya Tuhan Allah saja yang tidak takluk pada maut (I Tim. 6:16). Karena kematian berhubungan dengan tubuh dan roh sekaligus. Padangan tentang kesatuan yang parmanen antara tubuh dan jiwa menurut Brinkman dalam sejarah gereja dianggap sebagai bidat.121 Keberatan kami ialah kalau memang kesatuan ini bersifat kekal, tidaklah perlu Allah membentuk manusia dari tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia. Proses penciptaan manusia dari tanah dan ada nafas yang ditiup Allah menunjukan bahwa sebelum itu kesatuan tubuh yang dari tanah dan nafas belum terwujud. Kesatuan tubuh dan jiwa adalah penting, tetapi tidak parmanen.122 Ketiga, kontinutas yang positif akan kesatuan tubuh dan jiwa. Kesatuan tubuh dan jiwa mendapat perhatian untuk berbicara tentang kehidupan. Kalau tidak ada tubuh maka tidak ada jiwa, karena itu jiwa membutuhkan sesuatu tempat dia menetap. Dengan 120 Andarias Kabanga. Formulasi “Manusia Mati Seutuhnya.” Dalam: A.A. Yewangoe, et.al. Kontekstualisasi Pemikiran Dogmatika di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. hlm. 222. 121 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18. 122 Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work. hlm. 99. 107 binasanya tubuh, jiwa mencari tempat tinggal yang baru. Kesetiaan Allah terletak dalam hal kemurahannya untuk menjamin adanya tempat tinggal yang baru bagi jiwa. Allah bertindak untuk mencarikan rumah baru bagi jiwa. Rumah baru itu adalah dari kenyataan ciptaan yang ada. Pandangan ini membawa kita pada ajaran tentang reinkarnasi.123 Gagasan ini jelas tidak sejalan dengan kesaksian Alkitab. Keempat, kontinutas yang transformatif dari kesatuan tubuh dan jiwa. Pendangan ini hampir sejajar dengan pendapat pertama. Tapi kalau pendapat pertama hanya mengatakan tentang menurunnya perkembangan tubuh sementara perkembangan jiwa terus meningkat serta mengabaikan adanya kebangkitan, pandangan keempat berbicara transformasi tubuh yang menurun itu ke dalam bentuk baru yang mulia, sehingga layak untuk penyatuan kembali di masa depan dengan jiwa pada saat kebangkitan orang mati. Kita berhadapan dengan empat pandangan tadi. Dari keempat pandangan tadi tinggal tiga yang patut kita gumuli. Padangan ketiga kita tolak karena kurang serius memperhatikan kesaksian Alkitab tentang kebangkitan daging. Mana dari ketiga pendapat ini yang Alkitabiah?124 Sebelum mendiskusikan pertanyaan ini 123 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19. Buku-buku dogmatika berbahasa Indonesia yang saya periksa mengambil sikap terhadap masalah ini. Buku J.L.Ch. Abineno. Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989 dengan tegas mengatakan bahwa manusia mati seutuhnya. Buku G. van Niftrik & B.J. Boland: 124 108 kami menunjukkan dua kisah nyata yang kami sendiri alami sehubungan dengan kematian. November 1994 bersama istri saya berangkat ke negeri Belanda untuk program studi paskah sarjana di Theologische Universiteit di Kampen. Kami baru selesai menikah. 10 April 1996 putri pertama kami lahir. Kami beri dia nama Fini Tetus. Istri saya menelpon ibunya di Kupang. Dia berjanji membawa Fini untuk dipangku Oma setahun kemudian, waktu saya selesai program magister. Awal Januari 1997 jadwal ujian thesis saya keluar yakni 28 Februari 1997. Empat hari sebelum jadwal ujian tiba, datang berita dari Kupang bahwa ibu istri saya yang adalah Oma dari Fini meninggal dunia (24 Februari 1997). Kesedihan memenuhi hati kami. Saya mendorong istri untuk terbang ke Indonesia menghadiri pemakaman ibunya sementara saya mempersiapkan diri untuk ujian magister. Setelah menimbang usul itu istri saya memutuskan menunggu satu bulan lagi supaya pulang bersama saya. Terlalu berat baginya untuk pulang lebih dahulu bersama Fini yang baru berumur 10 bulan. Perjalanan terlalu jauh. Ia juga mempertimbangkan jadwal ujian magister saya yang sudah begitu dekat. Ia tidak ingin saya sendiri menghadapi moment yang menegangkan itu. Kami memberi kabar ke Kupang Dogmatika Masa Kini terkesan menghindar masuk dalam diskusi tentang pokok ini. Buku Dieter Becker: Pedoman Dogmatika menyebutkan ada pihak yang menolak dan ada pihak yang menerima pendapat bahwa manusia mati seutuhnya. 109 bahwa bulan Maret 1997 baru kami kembali ke Kupang, pulang untuk seterusnya. Kami mohon maaf karena tidak dapat menghadiri pemakaman mama. Istri saya sedih karena ibunya tidak pernah melihat dan mengeding cucu dari anak bungsunya. Usai ujian magister dan dinyatakan lulus tanpa perbaikan thesis saya ditawari supervisor untuk melanjutkan program doktoral. Pihak universitas sebagai pemberi beasiswa mengijinkan kami pulang ke Indonesia selama 3 bulan untuk menumpahkan semua kerinduan dan berbagai kesedihan serta airmata karena peristiwa duka itu. Kami berangkat ke Indonesia 1 minggu sebelum peringatan 40 hari kematian ibu kandung istri saya. Sebelum berangkat seorang teman di Belanda menghadiahkan Fini sebuah boneka cantik dan lucu. Kalau tangan boneka itu ditekan maka boneka itu akan berkata: “Ik hou van jou mamie!” (Mama, Aku Cinta Padamu). Fini suka sekali boneka itu terutama kalau sedang bicara. Kami selalu terus-menerus menekan tombol di tangan boneka itu untuk mendengar suara merdu dari mulutnya. Setelah kurang lebih 29 jam bertolak dari Amsterdam kami tiba di Kupang. Waktu kira-kira pukul 15 petang. Semua keluarga menyambut kami di bandara El Tari. Pertemuan kembali sangat emosional. Airmata mengalir begitu saja dalam isak tangis yang syahdu. Malam itu kami menginap di rumah tua tempat istri saya dibesarkan. Karena kelelahan kami sudah terlelap saat jarum jam baru menunjukan pukul 21.00. Boneka kesayangan Fini kami taruh di atas kofer di sudut kamar tidur yang 110 berjarak kira-kira 2 meter. Tidak ada apa-apa di dekat boneka itu. Waktu menunjukkan kira-kira jam 5.00 pagi. Suasana masih sunyi sepi. Tiba-tiba ada suara yang sudah akrab di telinga kami: “Ik hou van jou, mamie!” Itu suara boneka. Kalimat itu diucapkan boneka itu tiga kali. Saya bangun dari tidur. Tidak ada siapasiapa di sekitar boneka itu. Tapi mengapa boneka itu berbicara? Harusnya ada seseorang yang pergi menekan tangan boneka tersebut. Boneka itu diam sejenak. Lalu dia berbicara, kalimat yang sama tiga kali. Itu berarti tangan boneka itu ditekan lagi untuk kali kedua. Tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar boneka itu. Saya pergi ke arah boneka itu dan memperbaiki letaknya. Boneka itu diam. Istri saya memperhatikan apa yang saya lakukan. Saya kembali ke tempat tidur untuk berbaring. Begitu saya akan berbaring, boneka tadi berbicara lagi untuk kali ketiga. Istri saya bangun dan melihat ke arah boneka itu. Sambil menangis ia berkata dalam dialek Kupang yang kental: “Mama. Kotong su datang bawa mama pung cucu. Itu dia di tempat tidur. Minta maaf mama karena kami tidak datang waktu mama dikuburkan. Beta sedih sekali karena mama sonde sempat gendong Fini.” Selesai istri saya berkata disela-sela tangisannya, ruangan tempat kami tidur dipenuhi dengan bau harum yang menyenangkan hati. Istri saya berkata: “Mama, terima kasih karena sudah datang lihat cucu.” Setelah bau harum itu pergi, saya mengajak istri saya berdoa. Pengalaman kedua terjadi sekitar bulan September 2006. Ibu kandung saya meninggal 3 Agustus 2005. Selama hidupnya, mama memberi 111 perhatian khusus kepada saya. Sejak saya jadi pendeta apa saja yang saya minta pasti mama penuhi. Kalau saya memberi kabar akan berkunjung, mama sudah menyediakan makanan kesukaan saya. Kematian mama menyebabkan duka yang hebat dalam keluarga. Itu kematian pertama yang kami alami di dalam keluarga. Kira-kira satu tahun setelah mama dimakamkan, kami memperbaiki kuburan mama. Istilah yang dipakai di Timor adalah Metzel Kubur, yakni kuburan dibuat permanen dan dihiasi keramik atau marmer. Sebulan setelah selesai metzel kubur, saya mengajak istri mampir ke kuburan mama sebelum berangkat ke kantor. Kunjungan itu tidak direncanakan. Ide untuk mampir ke kubur baru muncul saat kami di perjalanan. Itu sebabnya kami tidak membawa sapu dan air untuk bersih-bersih kuburan mama seperti yang biasa kami lakukan. Begitu tiba di makam, ada kotoran anjing tepat di atas makam mama. Agaknya ada anjing yang membuang kotoran di makam mama sehari yang lalu. Saya melihat kotoran itu, tetapi karena tidak membawa air dan sapu lidi jadi kami tidak membersihkan atau membuang kotoran itu. Saya bilang kepada istri: “Ayo cepat. Kita harus segera ke kantor karena sudah ada janjian bertemu tamu.” Kami bergegas ke mobil. Kotoran anjing tetap di atas makam mama. Mesin mobil saya hidupkan dan siap berangkat. Pada saat itu bau tidak sedap, yakni bau kotoran anjing memenuhi mobil yang kami tumpangi. Saya menghentikan mobil dan memeriksa sepatu, janganjangan saya menginjak kotoran anjing. Istri saya juga 112 berbuat demikian. Tapi tidak ada apa-apa. Kami kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan. Bau itu tetap saja ada. Saya menyalakan AC tapi tdak ada pengaruh. Saya menurunkan semua kaca jendela mobil. Tapi bau itu tetap mengikuti kami. Sampai di kantor saya minta sopir untuk mencuci mobil dan membersihkan seluruh bagian dalam mobil karena ada bau tak sedap. Waktu jam kantor usai dan saya kembali ke mobil, bau busuk itu tetap saja ada di dalam mobil. Sopir melaporkan bahwa dia sudah mencuci mobil luar dan dalam. Dia juga heran karena dia tidak merasakan adanya bau tak sedap. Tetapi istri saya, kedua anak kami dan saya terus merasakan bau itu. Bau itu bertahan dalam mobil selama tiga hari. Tiga hari setelah bau tak sedap itu ada di dalam mobil, istri saya meminta agar dalam perjalanan ke kantor singgah di kuburan mama. Diam-diam istri saya sudah menyediakan sapu lidi, satu jergen air dan minyak wangi odok lonyo. Dia berniat membersihkan kuburan mama. Sepanjang perjalanan ke kuburan bau tak sedap itu tetap mengikuti kami. Sampai di kuburan, saya melihat kotoran anjing tadi masih tetap di atas makam. Istri saya membuang kotoran itu, mengepel dan mengeringkan tempat itu lalu memercikan minyak di atas kubur, sambil berkata: “Pak, kotong buru-buru ko tidak bersihkan kubur mama dari kotorang anjing itu. Bau busuk di dalam mobil selama tiga hari karena kotoran ini.” Saya termenung mendengar kata-kata istri dan membantu dia membersihkan rumput yang tumbuh di situ. Usai membersihkan kubur saya mengajak istri untuk berdoa di situ. Usai berdoa kami bernyanyi 113 bersama di sisi makam mama: “Ada Kota Yang Indah Cerah.” Hubungan saya dengan mama tidak berakhir karena kematian. Hubungan itu tetap. Tetapi saya tidak ingin memahami hubungan itu lepas dari iman saya dengan Allah sebagaimana yang mama ajarkan kepada kami selama hidupnya. Saya membingkai hubungan kami itu dalam iman kepada Kristus yang menjanjikan bagi saya dan mama pertemuan kembali di Rumah Bapa, Kota Allah yang kudus (Ibr. 13:14). Itulah yang terpikir dalam benak saya ketika kami mendendangkan kalimat: Indahnya saatnya kita jumpa di kota permai” yang terkandung dalam lagu itu. Usai bernyanyi kami kembali ke mobil untuk berangkat kerja. Bau tak sedap yang ada dalam mobil selama tiga hari tidak ada lagi. Bau itu hilang seiring kami membuang kotoran anjing dan membersihkan kuburan mama. Sambil mengendarai mobil ke kantor saya berpikir, mama sudah meninggal kurang lebih satu setengah tahun. Tubuhnya pasti sudah mulai keropos di dalam tanah. Kalau jiwa atau roh juga mati bersama-sama tubuh, bagaimana menerangkan dua pengalaman tadi? Mengapa boneka kesayangan Fini berbicara tanpa ada orang yang menekan tangannya dan berhenti berbicara ketiga istri saya memberitahukan kedatangan kami kepada ibunya yang sudah meninggal dua bulan lalu? Kalau jiwa juga ikut mati, penjelasan apa yang pas untuk bau busuk dalam mobil selama tiga hari dan baru berhenti setelah makam mama dibersihkan? Bagaimana keberadaan manusia pada saat mati? Jawaban pertama: tubuh manusia berhenti ada dan 114 lenyap, tetapi jiwanya tetap ada. Ia kembali kepada Allah atau masuk ke satu tempat khusus, si mati menjalani waktu antara untuk menanti penyatuan kembali dengan tubuh yang lenyap itu pada hari kedatangan kembali Yesus kristus untuk menjalani penghakiman. Pada waktu itu ditetapkan secara definitif kehidupan selanjutnya: mati kekal atau hidup kekal. Jawaban kedua: sejajar dengan yang pertama. Yang membedakan keduanya, ialah pendapat kedua, menekankan transformasi tubuh untuk siap menerima kemuliaan yang baru pada saat kebangkitan. Tubuh yang ditransformasi itu kembali bersatu dengan jiwa. Masa antara adalah kesempatan yang dipakai Allah untuk transformasi tubuh untuk menerima kemuliaan dalam kesatuan kembali dengan jiwa. Jawaban ketiga: manusia mati seutuhnya; tubuh dan jiwa. Tidak ada yang disebut waktu antara. Adanya roh atau jiwa si mati yang sering muncul lagi atau menampakan diri kepada keluarga adalah sesuatu yang asing. Bahkan ada yang mengatakan bahwa roh dan jiwa itu adalah iblis yang menyamar dalam rupa si mati untuk mengganggu iman keluarga.125 Pertanyaan berikut menjadi penting dan mendesak: “Manakah pandangan yang patut kita Disebutkan dalam Wilfrid Fini Ruku. Reading of the Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12). An Indonesian-Atoni Meto Contextual Hermeneutics. 125 Amsterdam: Vrije Univesiteit. 2008. hlm. 37. 115 pegang? Apakah kematian itu hanya terjadi pada tubuh ataukah manusia itu mati seutuhnya?” Alkitab tentang keadaan jiwa pada saat kematian Manakala kita berpaling pada kesaksian Alkitab kita menemukan jawaban yang pasti dalam hal berikut: kematian menandai berakhirnya kehidupan kekinian manusia sekaligus berakhir pula tubuh alami kita. Tubuh alami itu akan diperbaharui. Kualitas-kualitas baru akan diberikan kepadanya. Kami sudah menunjukkan itu di sub bab terdahulu. Mengenai pertanyaan: bagaimana dengan jiwa? Apakah kematian tubuh menyebabkan kehidupan berakhir ataukah jiwa tetap ada dan hidup? Alkitab juga memberi petunjuk yang kuat. Yang kekal itu hanya Allah saja, dalam arti Allah tidak takluk pada maut. Demikian kata Alkitab (I Tim. 6:15-16). Allah yang kekal itu tidak ingin memiliki kekekalan itu bagi diriNya sendiri. Ia berkenan memberikan kekekalan itu bagi ciptaan. Di dalam Kristus Ia memberikan kekekalan itu kepada manusia, yakni orang-orang yang percaya kepadaNya (Pkh. 3:11, Yoh. 3:16). Jadi makhluk ciptaan Tuhan juga dapat memiliki hidup yang kekal dari Allah. Kekekalan makhluk tidak berdiri sendiri. Ia adalah pemberiaan Allah. Malaikat-malaikat yang adalah ciptaan atas perkenanan Allah tidak mengalami kematian. Jiwa adalah kenyataan ciptaan. Karena ia 116 tidak ilahi ia memang harus mati.126 Tetapi jiwa bisa tidak mati jika Allah berkenan seperti yang terjadi dengan malaikat. Ini adalah kedaulatan Allah. Kita patut bersyukur untuk itu. Pada waktu mendiskusikan karya penciptaan Allah, kami tegaskan bahwa realita ciptaan Allah itu tampil berpasang-pasangan. Salah satu yang mau kami tekankan karena sangat sering diabaikan adalah realita ciptaan itu kelihatan dan tidak kelihatan. Selain manusia dan makhluk-makhluk di bumi, Allah juga adalah pencipta makhluk-makhluk yang tidak kelihatan di angkasa: malaikat, roh-roh dan penguasa-penguasa semesta yang tidak kasat mata. Allah memberikan kehidupan kepada mereka dalam bentuk yang berbeda dengan yang yang diberikan kepada manusia, yakni mereka ini tidak mengalami kematian. Apa yang Tuhan berkenan diberikan kepada ciptaan yang tidak kelihatan, berlaku juga bagi aspek yang satu ini dari manusia, yakni jiwa. Oleh kehendak Allah jiwa tetap hidup. van der Woude menulis: ”Imoratalitas jiwa bukanlah kualitas yang dimiliki manusia, tetapi melalui kematian dan atas penetapan Allah imortalitas 126 Pada posisi ini saya sependapat dengan Andarias Kabanga‟ yakni jiwa adalah kenyataan ciptaan. Allah menciptakan tubuh dan jiwa kemudiannya menyatukan keduanya menjadi satu, yakni manusia. Jadi manusia adalah satu totalitas, tubuh dan jiwa. Lihat, Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya. Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002. hlm. 200. 117 merupakan pemberian yang berasal karya keselamatan Kristus.”127 Bahwa jiwa bisa tetap ada atau tidak ikut mati pada saat tubuh mati mengemuka dalam berbagai fragmen kesaksian Alkitab. Dalam I Samuel 28. Dikatakan bahwa Samuel sudah mati. Dalam keadaan terjepit karena harus menghadapi peperangan Saul bertanya kepada TUHAN, tetapi TUHAN tidak menjawab dia, baik dengan mimpi, baik dengan Urim, baik dengan perantaraan para nabi. Maka Saul memilih jalan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dia bertemu seorang perempuan yang sanggup memanggil arwah untuk memanggil Samuel. Sekalipun sudah mati, tetapi Samuel tetap ada. Dikatakan dalam cerita itu Samuel muncul. Andarias Kabanga‟ menegaskan bahwa yang muncul untuk berbicara itu bukan jiwa (nefesy atau ruakh) Samuel, tetapi Samuel sendiri. “Aku”-nya Samuel itulah yang berbicara dengan Saul.128 Kami sepaham dengan Kabanga‟. Tetapi penegasan berikut dari perempuan ini: “Aku melihat sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi” membuat persoalan menjadi kompleks. Yang berbicara dengan Saul adalah Samuel, tetapi dalam wujud yang ilahi. Bentuk Ibraninya: olim dari olam yang artinya hidup dalam satu rentang waktu 127 A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en dood.” Dalam: Kerk en teologie. 22e jaargang no. 4. Oktober 1971. „S-Gravenhage. Boekencentrum. hlm. 315. 128 Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya. Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002. hlm. 203. 118 yang lama. Samuel sudah mati, tetapi dia tidak lenyap. Dia tetap hidup dalam wujud yang baru. Mengatakan bahwa manusia mati seutuhnya (tubuh, jiwa atau roh) akan menimbulkan banyak kesulitan dalam menjelaskan teks Alkitab tadi. Selain itu ada lagi beberapa fragmen yang patut mendapat perhatian. Pertama, kesaksian Alkitab mengenai kematian Yesus. Matius, Markus, Lukas dan Yohanes memberitakan hal yang sama tentang detik-detik terakhir kehidupan Yesus. Lukas secara eksplisit menulis: “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya” (Mt. 27:50, Mk. 15:37, Lk. 23:46, Yoh. 19:30).Yesus menyerahkan nyawa kepada Allah Bapa pada saat Ia mati. Ini memberi kesan kuat bahwa hanya tubuh saja yang mati. Tubuh itu yang kembali ke tanah. Nafas hidup pulang kepada Allah karena dia berasal dari Allah (Kej. 2:7). Origenes juga berpendapat demikian. Dengan melihat kepada kematian Yesus Kristus di salib Origenes percaya bahwa tubuh, jiwa dan roh Yesus Kristus terpisah untuk sementara waktu ketiga Yesus mati. Tubuh Yesus dimakamkan, jiwaNya pergi ke dunia orang mati (hades) sedangkan roh Kristus kembali kepada Allah Bapa. Bertolak dari situ Origenes berkata bahwa jiwa manusia tidak mengalami kematian. Kematian hanya berlaku bagi tubuh. Pada saat tubuh mati, jiwa menjalani kehidupan dalam satu dimensi 119 yang baru, berbeda dengan pada saat ia masih berdiam dalam tubuh.129 Kedua, Yesus Kristus hidup jauh hari setelah Abraham mati. Dalam salah satu pengajaranNya Yesus bercerita tentang Lazarus dan seorang kaya. Kedua orang ini mati. Tubuh mereka dikuburkan menurut kebiasaan orang Yahudi. Yang menarik dari cerita Yesus Lazarus ada di sorga dan orang kaya tadi di alam maut. Yesus juga mengatakan bahwa Lazarus ada di pangkuan Abraham, padahal Abraham sudah mati ribuan tahun sebelumnya (Lk. 16). Tidaklah mungkin Abraham, Lazarus dan orang kaya itu bertemu dan berbincangbincang di alam yang lain, kalau manusia mati seutuhnya. Dalam Matius 10:28 Yesus mengatakan bahwa jiwa tidak dapat dibunuh. Stanley J. Grenz menegaskan bahwa kisah ini bukan sebuah kejadian historis tetapi sebuah perumpamaan. Karena itu tidak bisa dipakai sebagai dasar bagi keberlanjutan jiwa pada saat kematian.130 Keberatan kami, kalau benar ini perumpamaan, mengapa Yesus menggunakan nama pribadi dari orangorang yang pernah hidup? Kalau kita perhatikan semua perumpamaan, Yesus tidak pernah menyebut nama pribadi. Cerita Yesus tentang Lazarus, orang kaya dan Abraham bukan perumpamaan, tetapi kisah historis. Geoffrey W. Bromiley. Historical Theology. An introduction. Edinburgh: T&T Clark. 1994. hlm. 47-48. Calvin juga menganut paham tentang keabadian jiwa. 130 Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 771. 129 120 Liem Khiem Yang mengkategorikan kisah ini dalam perumpamaan yang bersifat exemplum, yakni perumpamaan yang mengetengahkan peri kehidupan berbagai orang secara langsung menjadi satu contoh yang jelas.131 Ketiga, ada satu peristiwa dalam kisah hidup Yesus yang juga menarik untuk mendapat perhatian, yakni mengenai penampakan Musa dan Elia untuk berbincang-bincang dengan Yesus beberapa waktu sebelum kematianNya (Mt. 17:3). Menurut Ulangan 34:5 Musa mati pada usia 120 tahun dan dikuburkan di BetPeor di satu lembah di tanah Moab. Musa yang sudah mati ini bersama Elia menjumpai Yesus. Andarias Kabanga‟ menjelaskan masalah ini dengan menunjuk pada rahasia Allah dan kedaulatanNya. Bahwa Allah berdaulat menghadirkan Musa untuk berbincang-bincang dengan Yesus.132 Kami tidak keberatan dengan penjelasan ini. Tetapi itu berarti setiap kali ada hal serupa kita akan memberi penjelasan yang sama, yakni itu adalah kedaulatan Allah seperti untuk dua fenomena dalam pengalaman pribadi penulis. Jawaban seperti itu baik tetapi menyangkali peran akal dan rasio dalam upaya mencari pemahaman terhadap realitas iman. Liem Khiem Yang. Mendengarkan Perumpamaan Yesus. Suatu Pedoman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999. Cetakan keempat. 2009. hlm. 56. 132 Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya. Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002. hlm. 209. 131 121 Keempat, dalam PL Allah melarang Israel untuk melakukan kontak dengan arwah (Im. 19:31, 20:27, Ul. 18:11). Ini mengandaikan bahwa orang yang sudah mati tidak lenyap. Ia tetap ada dalam satu cara baru. Allah sendiri mengakui itu. Selain itu beberapa ayat Alkitab jelas menunjukan adanya perpisahan antara tubuh dan jiwa (roh) pada saat kematian (Yoh. 19:30, Kis. 7:59, Yak 2:26). Pengkhotbah 12:7 mengatakan: “Debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.” Penegasan ini mengingatkan kita kepada Kejadian 2:7 yang menegaskan tentang tubuh dari debu dan nafas hidup dari Allah bersatu sehingga manusia itu hidup. Kelima, Alkitab berbicara tentang ada sheol, dunia orang mati sebagai tempat ke mana manusia pergi (Pengk. 9:10). Di sana si mati tidur. Mengatakan bahwa jiwa juga mati sama artinya dengan mengabaikan kesaksian Alkitab tentang adanya sheol. Kalau alur kesaksian ini kita ikut secara konsisten sampailah kita pada kesimpulan bahwa jiwa tidak mati. Itu bukan karena jiwa bersifat ilahi. Juga bukan karena jiwa itu kekal. Tidak! Jiwa juga adalah ciptaan, tetapi Allah berkenan memberi sifat immortal kepada jiwa untuk mempertahankan kontinutas identitas personal masa kini si mati sampai ke masa depan di mana ia dibangkitan dari kematian untuk menerima hukuman ataupun pujian.133 Bagi yang menerima hukuman pada parousia, ia akan mengalami 133 122 Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170. kematian kekal yang berlaku atas tubuh dan jiwa. Hal ini secara implisit disinyalir dalam Roh 4:17: “Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.” Tetapi perlu juga dicatat bahwa keberlangsungan hidup jiwa yang telah berpisah dari tubuh tidak memiliki eksistensi yang penuh. Orangorang yang pernah dinyatakan mati oleh dokter tetapi setelah 30-45 menit hidup kembali bercerita bahwa pada saat mati mereka keluar dari tubuh dan berjalan, mereka bertemu dan berbicara dengan orang-orang yang mereka kenal tetapi orang-orang itu tidak mempedulikan mereka, mereka meraih tangan orangorang itu tetapi tak berhasil memegang apa-apa. Ceritacerita ini menunjukkan dengan jelas bahwa jiwa yang telah berpisah dari tubuh tidak memiliki eksistensi yang penuh.134 Itulah sebabnya, kata Pannenberg sejak awal mula para pemikir Kristen merasa perlu menegaskan bahwa tubuh dan jiwa satu adanya. Demi memelihara keberlangsungan identitas personal si mati sampai ke saat kebangkitan orang mati, gereja Katholik sejak 1513 mengumumkan dogma tentang kontinutas kehidupan jiwa pada saat seseorang meninggal dunia. 135 Orang mati tetap memiliki kesadaran tetapi tidak lagi ikut terlibat 134 George C. Ritsche. “Return from Tomorrow.” Dalam: Life After Death. A Reprint From Guidepost Magazine. hlm. 11-12. 135 Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170. 123 dalam peristiwa-peristiwa di bumi, kehidupan keluarga yang ditinggalkan.136 juga dalam Keberadaan jiwa pada saat kematian adalah tetap. Jiwa tidak mati tetapi ia tidak memiliki eksistensi penuh. Ayat-ayat Alkitab yang menegaskan bahwa di dunia orang mati tidak akan ada yang menaikan syukur dan memuliakan Tuhan (Mz. 6:6, 88:11, 115:17) dapat kita pahami dari realita ini. Wujud Kehidupan Baru Pada Saat Kematian Memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Alkitab tentang keberlangsungan hidup jiwa. Tetapi indikasi-indikasi untuk itu cukup banyak seperti sudah kita lihat. Kematian seperti yang nampak dalam kisahkisah Alkitab tadi bukan berhenti berada atau hilang lenyap tetapi berada secara baru. Bagaimanakah wujud dari cara berada yang baru itu? Dalam episode yang menegangkan tadi dikatakan bahwa perempuan itu melihat sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi (I Sam. 28:13). Dia itu tidak lain adalah Samuel. Kehidupan dalam bentuk baru yang dialami manusia pada saat kematian adalah masuk dalam kehidupan yang ilahi atau menjalani hidup dalam modus sebagai yang ilahi. Memperhatikan prinsip thinking before the Bible dan thinking inside-out people own context Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God. hlm. 777. 136 124 patutlah kita katakan bahwa kematian bukan berarti manusia berhenti ada. Kematian berarti manusia itu menjalani hidup dalam satu cara berada yang baru yang berbeda dengan cara berada sebelumnya. Tubuhnya mati, terbaring tanpa daya dan gerak di satu tempat tetapi si mati itu hidup. Kalau di atas kita berkata bahwa seseorang dianggap sudah mati (dalam arti teologis) sekalipun badannya, tubuhnya masih berjalan dan melakukan aktivitas rutinnya, mengapa hal yang sama tidak berlaku dengan kematian? Yakni sekalipun badan dan tubuh manusia itu sudah mati, tetapi manusia itu ternyata hidup. Kehidupan yang dijalani orang itu pada saat kematian mengambil bentuk yang baru. Memang sulit untuk menerangkan bentuk kehidupan baru yang dijalaninya pada saat kematian. Yang biasa dan lazim dikatakan tentang keberadaan seseorang pada saat kematian ialah tubuhnya mati. Tubuh yang mati itu menjalani masa transformasi. Jiwa tidak mati. Jiwanya ada dalam bentuk bayang-bayang,137 ada tetapi tidak berpribadi.138 George E. Ladd. The Last Things. hlm. 32. Sewaktu masih SMP dan SMA ada beberapa buku kesaksian iman kisah nyata tentang kematian yang saya baca. Kurang lebih ada lima buku, dua di antaranya masih saya ingat: “Sejenak di Alam Baka dan Aku Pernah Mati. Bukubuku itu menceritakan dengan jelas bahwa pada saat mereka menghembuskan nafas terakhir jiwa mereka keluar dari tubuh dan mulai melakukan perjalanan ke satu tempat yang suasananya berbeda dengan yang mereka alami di dunia. Kisah-kisah itu mau menunjukkan bahwa jiwa tidak mati. 137 138 125 Jadi apakah kematian itu hanya berlaku pada tubuh ataukah manusia itu mati seutuhnya? Jawabannya bergantung pada bagaimana kita memahami kesatuan antara tubuh dan jiwa. Manakalah kesatuan keduanya kita pahami hanya dari logika keilmuan, maka jawabannya adalah pada opsi kedua (kontinutas berkelanjutan dan parmanen). Posisi memang dapat juga dikonstruksi dari perspektif Alkitab dan makin memiliki dukungan yang cukup kuat dari berbagai teolog. Tetapi benturan dengan pengalaman manusia dalam berbagai masyarakat dan masa tidak bisa dihindari. Tidak sedikit pula orang yang menolak hal ini.139 Kalau kita melihat kesatuan itu dalam perspektif kebangkitan orang mati, dalam arti tubuh kebangkitan itu akan memperoleh kualitas-kualitas yang baru, maka posisinya tidak bisa lain pada pandangan pertama dan keempat (diskontinutas yang berkembang dan diskontinutas yang transformatif). Posisi ini berseberangan jauh dengan communis opinio di kalangan para ilmuan, baik teologi maupun ilmu pengetahuan modern sebab dua opsi tadi mengandaikan bahwa ada sesuatu dari manusia yang tetap ada sampai kedatangan kembali Yesus Kristus. Pandangan bercorak paradoksal, tetapi memberikan kontribusi yang tidak bisa didiamkan bagi ilmu pengetahuan dan teologi dalam memikirkan keadaan manusia pada fase terakhir kehidupan duniawinya.140 139 140 126 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19. M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19. Kembali kepada di atas: “Apakah kematian itu hanya berlaku pada tubuh ataukah manusia itu mati seutuhnya? Pertama, kami akui bahwa keadaan manusia pada saat mati memang merupakan sebuah misteri karena senyata-nyatanya manusia itu mati, berhenti ada. Tetapi pada saat yang sama dan juga senyata-nyatanya manusia yang mati itu tidak hilang atau habis. Manusia itu tetap ada hanya dalam cara yang baru.141 Tanpa mengurangi misteri itu kami melihat bahwa pandangan diskontinutas yang berkembang dan diskontinutas yang transformatif memperlihatkan banyak persesuaian dengan kesaksian Alkitab tentang kehidupan dan kematian manusia. Dan atas dasar itu kami memilih opsi keempat, pandangan yang bercorak diskontinutas yang transformatif mengenai kesatuan tubuh dan jiwa. Kematian adalah fase di mana manusia memulai satu kehidupan dalam cara baru. Manusia tidak lenyap dan habis. Ia pulang kepada Allah atau seperti yang diungkapkan PL dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. Hidup dalam bentuk yang baru itu, sebagaimana kita lihat pada kasus Samuel, Lazarus, orang kaya dan Abraham adalah menjalani hidup dalam modus sebagai 141 Secara pribadi kami tidak setuju dengan Suh Sung Min yang mengatakan bahwa immortalitas jiwa yang ditekankan juga dalam beberapa pengakuan iman gereja adalah karena pengaruh filsafat. Itu bukan konsep Alkitab. Kami juga tidak setuju dengan kesimpulannya bahwa manusia mati seutuhnya. Lihat: Suh Sung Min. Injil dan Penyembahan Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo. 2001. hlm. 267. 127 yang ilahi. I Petrus 3:20 menyebut orang yang sudah mati sebagai roh. Manusia hidup dalam wujud roh pada waktu kematian. Relasi antara si mati dengan keluarganya tetap ada. Relasi itu tidak dalam ingatan, dalam perasaan atau dalam kesadaran.142 Relasi itu nyata dan konkret. Itu yang juga ditunjukan dalam kisah Samuel dan juga cerita Yesus dengan orang kaya yang merasa prihatin dengan keselamatan lima orang saudaranya (Lk. 16). Keberadaan hidup dalam wujud ilahi bukan berarti bahwa yang bersangkutan menjadi Allah, tetapi itu diperkenankan Allah untuk menjaga kelangsungan identitas personal si mati sampai saat penghakiman. Sebagai yang berwujud roh si mati tidak memiliki independent substansial existence.143 Tempat Tinggal Jiwa Sebelum Kebangkitan Kalau kita kembali memeriksa kesaksian Alkitab tentang tempat tinggal wujud rohani seseorang pada saat kematian, kita bertemu dengan dua alur kesaksian. Pertama, pada saat kematian jiwa atau roh seseorang yang percaya akan kembali kepada Allah sedangkan mereka yang memberontak terhadap Allah akan berada di alam maut. Ini nampak dalam cerita Yesus tentang Lazarus dan orang kaya (Lk. 16:22-24). Kesaksian ini sejalan dengan roh Yesus (Yoh. 19:30) dan Stefanus (Kis. 142 Lihat penjelasan rinci tentang itu dalam Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 677. 143 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 676. 128 7:59) pada saat mati. Penegasan Yesus kepada penjahat yang disalibkan bersamaNya juga menunjuk pada kesimpulan yang sama (Lk. 23:43). Persoalan yang muncul, kalau jiwa langsung pergi kepada Allah atau alam maut pada saat kematian, apa perlunya lagi kebangkitan daging? Alkitab menyediakan jawaban berikut. Mereka yang percaya rohnya pulang kepada Allah untuk menjalani istrahat (Why. 14:13). Kebahagiaan yang sempurna itu baru akan diberikan kepada mereka pada saat kebangkitan tubuh, tetapi mereka sudah mulai mengalami riak-riak awal dari kebahagiaan itu. Mereka yang tidak percaya langsung meluncur ke alam maut (Bil. 16:30, Mz. 49:1516). Penghukuman terakhir belum terjadi, tetapi mereka sudah mulai mengalami hukuman dan penderitaan di alam maut. Api yang dahsyat dan menghanguskan orang-orang durhaka belum dinyalakan (Ibr. 10:27), tetapi mereka sudah mulai merasakan penderitaan akibat api itu.144 Alur kesaksian kedua berkata tentang sheol atau hades sebagai tempat tinggal sementara dari jiwa pada saat kematian. Kebanyakan teks Alkitab yang menyebut tempat ini sebagai tempat tinggal sementara dari orangorang yang tidak percaya kepada Allah (Ay. 21:13, Mz. 9:18, Ams. 5:5, 7:27, 9:18, 15:24). Keberadaannya di sheol adalah untuk menunggu kebangkitan tubuh. Di situ ia sudah mulai merasakan dahsyatnya kehidupan yang terpisah dari Allah, tetapi tidak lagi tersedia 144 Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work.. hlm. 101. 129 baginya kesempatan untuk bertobat dan memperoleh pengampunan (Lk. 9:27, 2 Kor. 6:2, Ibr. 9:27). Meskipun demikian ada teks menarik, dalam Pengkhotbah 9:10. Di sana disebutkan bahwa manusia, siapapun dia akan pergi ke dunia orang mati. Di sana tak ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat. Dunia orang mati merupakan tempat di mana manusia hidup dalam peristrahatan. Ya seperti tidur. Atas dasar ini, dikembangkan berbagai spekulasi tentang sheol.145 Ada yang berpendapat bahwa sheol adalah tempat jiwa manusia beristrahat selama menanti saat kebangkitan. Kaum Anabaptist dan Socianian adalah penganut gagasan ini. Ini bukan tempat penghukuman atau pun penghormatan. Sheol merupakan tempat tanpa pembedaan moral. Jiwa orang baik dan orang jahat masuk ke sana dalam keadaan tak sadar. Justinus Martir, Irenaeus, Tertulianus, Origenes, Ambrosius dan Augustinus menggambarkan sheol sebagai yang terdiri dari dua bagian: untuk jiwa orang jahat dan untuk jiwa orang baik. Di sana sudah mulai terjadi proses penghukuman dan penghormatan, tentu saja dalam kadar yang lebih rendah dari penghukuman dan penghormatan yang bakal diterima pada saat penghakiman terakhir. Gereja Roma Katholik menyebutkan dua bagian dari sheol. Mereka yang jahat langsung masuk ke bagian Disarikan dari Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 681. 145 130 untuk penghukuman. Mereka yang pergi bagian sheol untuk orang baik akan menjalani pemurnian iman supaya berlayak untuk sorga. Orang-orang suci dan para martir tidak membutuhkan pemurnian itu. Jiwa mereka langsung ke sorga. Apa pun juga sheol itu, Alkitab menunjukkan bahwa wilayah itu tetap berada dalam kuasa dan perhatian Allah. Mazmur 139:8 menegaskan hal itu dalam kalimat berikut: “Jika aku menaruh tempat tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau.” Perang Terhadap Penyembahan Roh Leluhur Karena kematian berarti manusia menjalani hidup dalam modus baru, yakni sebagai yang ilahi atas perkenanan Allah maka orang mati sering dijadikan obyek ibadah dan penyembahan oleh mereka yang masih hidup. Penyembahan terhadap orang mati inilah yang tidak boleh manusia lakukan. Allah dengan keras melarang manusia melakukan kontak dengan arwah (Ibr: ov Im. 19:31). Pelarangan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu dari manusia yang tetap ada pada saat mati. Orang yang sudah mati menjalani hidup dalam wujud yang baru. Pendapat bahwa manusia mati seutuhnya, sebagaimana dirumuskan oleh Gereja Toraja dalam pengakuan imannya tidak boleh dipahami sebagai penegasan bahwa manusia itu habis dan hilang.146 Ia 146 Andarias Kabanga. Seutuhnya.” hlm. 228. Formulasi “Manusia Mati 131 harus dipahami sebagai pernyataan perang (suara kenabian) gereja terhadap pemahaman orang Toraja bahwa manusia belum dianggap mati (to makula) apabila keluarga belum mengadakan baginya upacara pemakaman. Rumusan ini juga berfungsi sebagai penolakan terhadap penyembahan arwah atau leluhur.147 Rumusan pengakuan iman manusia mati seutuhnya merupakan solusi yang ditawarkan Gereja Toraja untuk memerangi dua hal tadi. Kami setuju dengan pernyataan perang tadi. Penyembahan terhadap leluhur dan arwah orang mati ditolak karena bertentangan dengan firman pertama dasa titah. J. Verkuyl menunjukkan kepada kita tiga motif dari praktek penyembahan nenek moyang.148 Pertama, perasaan hormat dan cinta kasih. Verkuyl memberi nilai positif untuk motif ini. Dua motif lainnya: rasa takut dan keinginan untuk memperoleh berkat serta perlindungan. Dua motif ini diberi nilai negatif oleh Verkuyl. Perang terhadap penyembahan orang mati dan leluhur patut kita lakukan. Tapi kami tidak setuju jika terjadi penyangkalan terhadap adanya keberlanjutan hidup setelah mati. Kami perlu mengingatkan bahwa kematian tidak berarti berakhirnya kehidupan, melainkan si mati masuk dalam fase kehidupan yang baru. Itu bararti hubungan si mati dengan keluarganya 147 Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya. hlm. 295-7. J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1961. hlm. 27-8. 148 132 masih terus berlanjut. Hubungan di antara mereka tetap ada. Dalam cerita tentang orang kaya dan Lazarus Yesus jelas mengatakan bahwa orang kaya itu tetap mengingat lima saudaranya yang masih hidup. Jadi bukan hanya orang hidup yang mengingat si mati. Si mati juga mengingat yang hidup. Hubungan yang tetap ada antara orang yang hidup dengan yang sudah mati menjadi tantangan iman bagi keluarga yang masih hidup. Tanpa pemahaman yang benar tentang bagaimana sepatutnya hubungan itu dibangun keluarga yang ditinggalkan dapat jatuh dalam bahaya penyembahan orang mati. Gereja dan teologi yang dikerjakannya patut menolong keluarga untuk tidak terjerumus dalam praktek ini. Tetapi tidak juga dibenarkan jika karena ketakutan pada bahaya penyembahan orang mati Gereja lalu mengajarkan tentang kematian sebagai kematian, yakni habislah semua hubungan cinta kasih. Kematian menurut Alkitab adalah tidur. Sikap penolakan banyak pihak di Toraja atas rumusan pengakuan iman: manusia mati seutuhnya sebagaimana yang dicatat oleh Kabanga‟ menurut pendapat kami disebabkan oleh perhatian yang tidak berimbang terhadap pemahaman lokal (thinking insideout) dari pengalaman konkret manusia sekaligus pengabaian kesaksian Alkitab tentang keberadaan 133 manusia dalam wujud roh pada saat kematian (thinking after the Bible).149 Dalam hubungan ini van der Woude menegaskan: “Pendapat modern bahwa kematian adalah kematian tidak memiliki dasar dalam Perjanjian Lama demikian juga dalam sejarah agama-agama dan dalam parapsychology.”150 Selanjutnya van der Wouden menulis: “Tanpa terjebak dalam dualism anthropologi, kontinutas kehidupan individu tetap diasumsikan dalam Perjanjian Lama dan juga dunia Timur kuno. Dalam dunia kuno manusia dianggap tetap hidup dalam wujud roh setelah kematian tubuh.” Waktu seseorang meninggal dunia, ia tidak berhenti ada. Secara biologis dan fisik dia telah tiada. Tetapi ia masih tetap hidup dalam ingatan dan kasih keluarga yang ditinggalkan. Alkitab bahkan memberi kesaksian bahwa mereka yang mati masih ada. Setidaktidaknya mereka ada dalam wujud roh (I Pet. 3:20). Hubungan keluarga yang ditinggalkan dengan si mati tetap ada dan mestinya tetap dijaga. Yang salah atau yang tidak boleh dilakukan ialah hubungan itu berubah menjadi hubungan penyembahan. Sikap penyembahan adalah dosa, menurut Verkuyl karena melangkahi hukum pertama dari 149 A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en dood.” Dalam: Kerk en teologie. 22e jaargang no. 4. Oktober 1971. „S-Gravenhage. Boekencentrum. hlm. 314. 150 A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en dood.” hlm. 314. 134 sepuluh firman. Meminta perlindungan dan berkat dari si mati adalah perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Wilfrid Fini Ruku menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya sikap Kristen berhadapan dengan tuntutan korban dari pihak roh-roh, yakni memperhadapkan tuntutan roh-roh itu dengan Yesus Kristus.151 Penghormatan Kepada Si Mati Alkitab menolak penyembahan roh orang mati. Praktek itu disamakan dengan perzinahan (Im. 20:6). Perbuatan itu sama dengan berubah setia terhadap Tuhan dan firmanNya.152 Lalu bagiamana dengan penghormatan terhadap orang mati? Di kalangan orang Kristen praktek mengunjungi makam kekasih yang sudah meninggal merupakan gejala yang terjadi secara masal pada saat-saat menjelang natal, pergantian tahun dan juga paskah. Mereka pergi untuk membersihkan makam, meletakkan bunga, menyalakan lilin, membawa sedikit makanan bahkan ada juga keluarga yang berkumpul untuk berdoa dan bernyanyi 151 Wilfrid Fini Ruku adalah dosen Perjanjian Lama Fakultas Teologi UKAW Kupang yang menulis thesis tentang kutuk orang tua terhadap anak. Pada waktu naskah buku ini dipersiapkan dia sedang melakukan penelitian untuk disertasi doktoralnya di Fak. Teologi UKDW Jogjakarta. Kami sudah menguraikan solusi yang ditawarkan Fini Ruku dalam bab terdahulu di bawah judul korban berdarah. 152 J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 29. 135 bersama di sisi makam orang-orang dekat mereka. Ada kekosongam batin jika hari-hari raya keagamaan dijalani tanpa menengok makam orang-orang yang dikasihi. Selain mengunjungi makam pada hari-hari besar gerejawi, tidak sedikit warga gereja yang membangun makam yang megah dan mewah bagi orang-orang yang mereka kasihi. Di makam itu ditaruh berbagai simbol Kristen bahkan diberi keramik yang diukir wajah Yesus. Bahkan cukup banyak warga gereja yang menyelenggarakan ibadah syukuran memperingati tahun ke sekian kematian orang yang mereka kasihi. Leonardo Duil dalam penelitiannya menemukan beberapa motivasi di balik praktek ini.153 Pertama, sebagai ungkapan cinta dan hormat. Mereka ini percaya bahwa masih ada hubungan batin antara mereka yang hidup dan yang sudah mati. Mereka berpendapat bahwa si mati mengetahui dan mengerti perasaan hati mereka.154 Kedua, perbuatan itu hanya berguna bagi yang hidup saja. Mereka yang sudah meninggal tidak tahu apa-apa, sebab mereka telah dijemput malaikat-malaikat ke sorga pada saat mati. Gunanya bagi yang hidup adalah untuk mengenang dan mengingat cinta kasih Leonardo Duil. Persekutuan Orang Kudus. Suatu Tinjauan Dogmatis tentang Makna Persekutuan Orang Kudus Dalam Pengakuan Iman Rasuli dan Implikasinya bagi Jemaat GMIT Karmel Fatululi Klasis Kota Kupang. Skripsi. Kupang: Fak. Teologi UKAW. 2011. hlm. 62. 154 Jublina Tefu, (jemaat), Wawancara, Fatululi, 15 April 2011. 153 136 mereka yang sudah meninggal.155 Ketiga, perbuatan itu dilakukan untuk mendapatkan berkat dan perlindungan dari roh mereka yang sudah meninggal. Roh orang mati masih hidup karena dilindungi serta diberkati oleh Tuhan. Roh mereka itu seperti malaikat yang selalu melindungi dan menjaga kita.156 Tidak sedikit pendeta yang menilai praktek ini secara negatif karena itu mereka menolak melayani permintaan syukuran. Di beberapa kelompok doa praktek ini disamakan dengan penyembahan berhala. Pemimpin kelompok doa itu melarang anggotanya berpartisipasi dalam semua kegiatan yang berhubungan dengan kematian, termasuk menjengguk jenazah, menolong keluarga duka atau mendoakan keluarga duka pasca pemakaman. Tubuh si mati dianggap sebagai najis sehingga harus dijauhi. Menurut kami penilaian itu perlu dipahami ulang. Gereja memang menolak penyembahan orang mati, tetapi tidak boleh serta-merta mengutuk praktekpraktek penghormatan kepada si mati. Kita tidak boleh sekedar melihat pada wujud yang kelihatan melainkan juga pada motivasi dari praktek itu sebelum mengambil sikap. Praktek-praktek tadi umumnya didasari atas penghormatan dan cinta kasih terhadap jasad. Ini Thomas Nuhalawang (jemaat), Wawancara, Fatululi, 13 April 2011. 156 Noch Wabang (jemaat), Wawancara, Fatululi, 22 April 2011. 155 137 motivasi pertama. Para penyembah berhala juga memperlakukan jasad orang mati dengan perasaan hormat.157 Alkitab mengajarkan bahwa tubuh yang dibentuk Allah adalah baik. Ia memiliki nilai dan kudus karena merupakan tiruan dari Allah (gambar Allah). Juga pada saat mati tubuh itu tetap berharga. Pada parousia nanti Allah akan membangkitkan kembali tubuh itu untuk diberi mahkota kehidupan. Kedua, keyakinan akan kehidupan kekal yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan kekal itu bukan sesuatu yang baru akan diterima pada parousia, atau ketika seseorang meninggal dunia tetapi sudah mulai menjadi milik manusia semasa hidup, yakni saat ia memberi diri kepada Yesus Kristus. Seseorang mati tetapi sesungguhnya ia hidup (Yoh. 11:25). Ketiga, sikap takut atau penyembahan. Praktekpraktek tadi dijalani untuk menjaga agar roh si mati tidak murka dan mencelakakan atau mengganggu keluarga. Sebaliknya supaya si mati mengaruniakan berkat dan melindungi keluarga dari berbagai bencana. Untuk itu keluarga melakukan hal-hal tadi supaya menyenangkan si mati. Melarang penyembahan kepada si mati karena anggapan bahwa roh si mati bisa mendatangkan celaka atau memberi berkat dan perlindungan adalah hal yang harus dilakukan gereja. Jelasnya, butir ketiga dari motivasi yang mendasari perlakukan terhadap si mati adalah kekeliruan. Sedangkan butir pertama dan kedua 157 138 Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah. hlm. 92. sama sekali tidak bertolak belakang dengan iman Kristen. Para leluhur Israel yang oleh Alkitab disebut sebagai teladan iman (Ibr. 11) juga memperlakukan butir pertama dan kedua terhadap kekasih mereka yang sudah mati. Abraham membangun makam bagi Sarah istrinya (Kej. 23:17-20). Ia berpesan kepada Isak agar dimakamkan di sana (Kej. 25:9). Isak, Lea, Yakub dan Yusuf juga dikuburkan di makam yang dibangun Abraham. Pemakaman mereka berlangsung dalam satu ritus yang panjang, juga melalui masa perkabungan selama 40 hari. Yakub bukan hanya memakamkan Rahel secara baik. Ia bahkan mendirikan sebuah tugu di makam Rahel sebagai tanda cinta kasih dan hormat (Kej. 35:20). Makam-makam itu masih ada sampai hari ini, tentu saja karena dirawat dan dipelihara sebagai ingatan dan penghormatan akan keteladanan iman mereka. Penghormatan kepada si mati dan mengenang kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan perlu dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka tunjukan dalam kita. Paul Budi Kleden menulis dengan sangat indah tentang hal ini: “Kita tidak menghormati nenek moyang hanya karena mereka adalah nenek moyang, namun karena mereka menjadi tanda historis dari kasih Allah yang berdaya menghidupkan dan menyembuhkan.”158 Dalam Alex Jebadu. Bukan Berhala! Penghormatan Kepada Para Leluhur. Maumere: Penerbit Ledalero. 2009. 158 hlm. viii. 139 Dalam Keluaran 20:12 Allah memerintahkan Israel demikian: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” Tentang firman ini J. Verkuyl mengatakan: “Tuhan juga meminta kita supaya kita memperingati dengan hormat mereka yang telah meninggal dunia. Tuhan menghendaki supaya kita memperingati dengan hormat dan berterima kasih atas segala kebaikan yang telah kita terima dari mereka yang sudah mendahului kita ke alam baka (Ibr. 11 dan 12:1,2).159 Kita perlu menghormati bukan memperilah para leluhur. Demi menjaga agar cinta dan hormat itu tidak berubah menjadi penyembahan Gereja perlu mendorong warganya agar menaruh praktek itu dalam bingkai pengharapan akan kebangkitan dan pertemuan kembali pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Ini artinya cinta dan sikap hormat kepada si mati ditempatkan di bawah cinta dan hormat mereka kepada Tuhan. Lebih jauh itu, gereja juga perlu membimbing warga agar menunjukkan cinta dan hormat kepada orang tua dan saudara bukan hanya pada saat dia sudah mati. Adalah lebih berguna jika cinta dan hormat itu sudah dinyatakan ketika yang bersangkutan hidup. Cinta dan hormat yang tunjukkan kepada seseorang setelah dia meninggal dengan cara membawakan makanan dan minuman, makam160 yang dimetzel tidak 159 160 140 J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 28. Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah. hlm. 5. memberi nilai tambah apapun kepada si mati. Arwah tidak makan dan minum, tidak membutuhkan ritus dan upacara yang high cost, juga tidak membutuhkan kuburan dan rumah.161 Ia dipelihara dengan lebih baik oleh Allah. Alangkah baiknya, jika semua pengorbanan itu diberikan ketika mereka masih hidup, sebagaimana yang dilakukan oleh seorang perempuan yang meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu. Jadi menolak memimpin ibadah syukuran berhubungan dengan ulang tahun kematian, mengutuk kebiasaan mengunjungi makam dan merawat makam itu bukan merupakan sikap yang bijak. Kita cenderung mengharapakan hasil yang segera sehingga menyangka sikap penolakan itu akan membuat praktek-praktek tadi akan segera punah. Tidak! Yang terjadi justru sebaliknya. Makin dilarang dan dikutuk, ia justru makin bertambah subur malah akan makin dikuasai oleh praktek penyembahan. Yang perlu gereja buat adalah mendampingi warganya dengan setia sambil memberi pemahaman yang benar melalui pengajaran dan khotbah, juga pada saat-saat mereka melakukan ritus-ritus dimaksud. Perubahan pola pikir dan sikap dari penyembahan kepada penghormatan kepada si mati memerlukan waktu dan kesabaran. Allah yang berkuasa untuk membaharui pola pikir dan pola tingkah laku. Tugas kita ialah ambil bagian dalam proses ke arah itu. 161 Bandingkan uraian dalam bab ini di bawah judul Yesus menampakan diri sebagai yang hidup. 141 Kesurupan Roh Si Mati Sebelum mengakhiri diskusi tentang kematian fenomena berikut patut mendapat perhatian. Ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang kami lakukan dengan beberapa kelompok ketika buku ini sedang dalam proses editing. Fenomena itu adalah kesurupan. Saat-saat menjelang pemakaman atau setelah pemakaman sering terjadi bahwa salah seorang anggota keluarga jatuh pingsan. Dalam keadaan tak sadar diri ia berbicara dengan suara dan gaya bicara si mati. Isi dari pembicaraannya adalah pemberitahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan sebab-sebab kematiannya atau hal-hal tertentu yang diperbuat si mati selama hidup yang belum diketahui keluarga. Inilah yang kami maksudkan dengan kesurupan. Suku Timor menyebut fenomena ini niut sae, saat di mana roh si mati menggunakan salah seorang kerabat sebagai medium untuk mengisahkan hal-hal yang patut diketahui keluarga yang ditinggalkan. Sewaktu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama penulis melihat sendiri peristiwa ini. Seorang bapak yang sudah meninggal berbicara melalui salah seorang kerabat tentang sejumlah besar uang yang dia sembunyikan di salah satu tempat di halaman rumah. Ketika keluarga mengikuti petunjuk yang disampaikan tadi, mereka menemukan uang-uang itu tepat seperti yang disampaikan lewat si kerabat. Juga ada cerita bahwa roh si mati suka memberi informasi tentang sebab kematiannya, seperti dia diguna-guna oleh seseorang. 142 Umumnya para peserta diskusi berpendapat bahwa si mati menyampaikan hikayat kematiannya kepada keluarga supaya mereka mengambil tindakantindakan yang perlu dalam rangka mencari keadilan.162 Ini juga merupakan pendapat umum di kalangan warga masyarakat dan juga warga gereja di banyak tempat di Indonesia. Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana fenomena ini ditanggapi dari segi iman Kristen? Benarkan si mati yang berbicara melalui medium yang dipakai ataukah itu roh jahat yang menyamar? Berhadapan dengan fenomena ini baiklah kita memperhatikan beberapa hal berikut. Pertama, Alkitab berkata bahwa setelah membunuh Habel, Kain mengguburkan Habel secara diam-diam dan berlaku seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tetapi darah Habel berteriak kepada Allah dari tanah (Kej. 4:10). Darah Habel memiliki suara dan dapat berbicara. Teriakan darah Habel dialamatkan kepada Allah. Isi dari teriakan itu adalah menuntut Allah melakukan pembalasan, karena memang Allah saja yang pantas melakukan pembalasan (Ibr. 10:30). 162 Pendapat ini diungkapkan oleh Soleman Baun, Adriana Sole, Bernadus Leo, Yonathan Leobisa, Fenetson Parikaes, Karmelia Tamonob. Mereka adalah mahasiwa pasca sarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang dalam diskusi dalam kuliah tanggal 22 Agustus 2012. 143 Allah yang mendengarkan teriakan darah Habel itu menjumpai Kain dan membawa berita itu. Kain mengetahui teriakan darah Habel dari Allah. Darah Habel mencari dan mengejar Kain melalui Firman dan Allah juga menyampaikan suara darah Habel kepada Kain melalui firman. Firman Allah yang membawa suara darah Habel kepada Kain adalah firman yang menuntut dan mendakwa. Firman Allah menuntut pertanggung jawaban dari Kain. Firmanlah yang mengejar Kain dan membuat dia menyadari diri bahwa dia berdosa di hadapan allah dan harus siap menerima hukuman dari Allah. Kedua, Alkitab memberikan kita kesan yang kuat bahwa lalulintas perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia orang mati adalah satu arah (one way traffic). Orang hiduplah yang akan menyusul ke dunia orang mati, sedangkan orang mati tidak mungkin kembali lagi ke dunia orang hidup. Kesan ini kita temukan dalam kisah kematian anak yang dilahirkan Batseba kepada Daud (II Sam. 12:23) dan juga dalam kisah Lazarus dan orang kaya, di mana si orang kaya meminta bapak Abraham mengizinkan Lazarus untuk kembali ke dunia untuk menjumpai kelima saudaranya yang masih hidup, tetapi permintaan itu ditolak bapak Abraham. Memperhatikan dua catatan tadi baiklah kita menyikapi fenomena kesurupan secara bijak. Apakah mungkin Allah mengijinkan roh si mati kembali ke dunia orang hidup untuk memberi informasi tentang misteri kematiannya, seperti yang dipahami oleh para peserta diskusi dari cerita Kain dan Habel? 144 Menurut pendapat kami meskipun ada semacam kesejajaran antara kesurupan dan teriakan darah Habel, hal itu tidak dengan sendirinya menegaskan bahwa kedua gejala itu identik. Darah Habel memang memiliki suara. Dia berbicara setelah Habel mati dibunuh. Tentang hal ini Baarlink berkata: “Darah Habel berteriak kepada Allah untuk menuntut balas atau untuk meminta Allah menghukum sang pembunuh. Teriakan itu dialamatkan ke sorga, kepada Allah yang berhak menuntut balas. Darah itu tidak berteriak kepada siapa-siapa. Ia hanya berteriak kepada Allah. Allah yang mendengarkan teriakan itu bertindak menjumpai Kain. Allah meneruskan suara teriakan darah Habel kepada Kain.”163 Suara teriakan dari darah Habel mencari keadilan pada Allah. Lalu Allah menjumpai Kain untuk memberitahukan dia bahwa ia harus siap untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Ini jelas berbeda dengan gejala kesurupan, di mana si mati mengalamatkan teriakannya bukan kepada Allah, tetapi kepada keluarganya dan mendesak keluarganya untuk melakukan pembalasan. Kami lebih cenderung berpendapat bahwa fenomena kesurupan lebih merupakan tipu muslihat si jahat terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ia menyamar dengan menggunakan suara si mati. Betapapun yang dia sampaikan itu benar, tetapi dia bermaksud membuat H. Baarlink. De Stem van het Bloed. Dalam: Gereformeerd Theologische Tijdschrift. Vierenzeventigste Jaargang. Mei 1974. Kampen: J.H. Kok. hlm. 74. 163 145 keluarga secara perlahan-lahan percaya kepada arwah dan selanjutnya melakukan penyembahan kepada arwah. Baiklah untuk fenomena yang satu ini pun kita tegaskan bahwa pada saat mati, jiwa manusia tetap ada. Tetapi jiwa yang terus hidup itu sekarang berada pada satu kawasan yang terpisah dari domain kehidupan kita. Jiwa itu tidak boleh lagi diganggu karena dia sedang menjalani masa istrahat yang diberikan Allah sambil menanti saat kebangkitan. Semua hal yang berhubungan dengan si mati menjadi urusan Allah. Si mati tidak lagi berkata-kata kepada manusia. Ia berkata-kata kepada Allah. Allah jugalah yang akan menyampaikan kepada keluarga yang masih hidup mengenai hal-hal yang terjadi pada si mati. Pengalaman Berjumpa Si Mati Lalu, bagaimana dengan adanya perjumpaan dengan si mati? Tidak sedikit orang yang mengalami perjumpaan dengan kekasih hati mereka yang meninggal, entahkah itu dalam mimpi ketika tidur ataukah juga dalam momen-momen tertentu, walau hanya sesaat. Seorang ibu di GPIB Marantha Bandung bertemu saya usai percakapan di bawah tema: Ke mana kita pada waktu mati yang saya pandu (8 Des. 2012). Suami si ibu telah meninggal dunia 15 tahun lalu, tetapi dia sering bermimpi bertemu suaminya, terutama saatsaat berat dalam hidup. Dia bertanya kepada saya siapakah sesungguhnya yang datang itu? Apakah itu 146 suaminya ataukah iblis yang menyamar dalam rupa suaminya? “Perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia orang mati hanya satu arah,” demikian saya menjawab ibu itu. Kita yang hidup yang akan pergi kepada mereka yang sudah meninggal sedangkan mereka yang sudah meninggal tidak akan kembali kepada kita. Hal itu ditegaskan dalam dua teks yang sudah saya tunjukkan, yakni: II Samuel 12:23 dan Lukas 16:26-31. Suami ibu tidak datang menjumpai ibu. Dia sudah beristrahat dengan tenang dalam Kristus. Apa yang ibu alami adalah ingatan ibu tentang suami, suatu tanda bahwa kematian ternyata tidak dapat memisahkan kita dari orang-orang yang kita kasihi dan cintai. “Satu hal patut diwaspadai,” begitu saya katakan kepada ibu itu, “yakni agar kita jangan menjadikan pengalaman itu sebagai titik tolak untuk melakukan penyembahan terhadap arwah untuk minta berkat atau perlindungan dari bahaya. Mintalah berkat dan perlindungan dari Tuhan.” Kesimpulan Kematian membuat hidup menurut pengertian biologis berakhir. Meskipun begitu relasi antara mereka yang hidup dengan mereka yang sudah meninggal tidak terputus. Begitu juga relasi antara si mati dengan Allah tetap ada. Cara paling baik untuk memelihara relasi dengan leluhur yang sudah meninggal tanpa jatuh dalam penyembahan arwah sebagaimana yang sudah kami 147 uraikan di atas adalah menempatkan relasi itu dalam iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Penolakan Abraham untuk menyuruh Lazarus yang sudah mati menjumpai lima saudaranya yang masih hidup sesuai permintaan orang kaya dengan alasan pada mereka ada kitab Taurat Musa dan para nabi (Lk. 18:28-31) hendak menegaskan bahwa tidak ada guna bagi pertumbuhan iman jika hubungan kita dengan si mati dilepaskan dari iman kepada Allah. Di luar bingkai iman, relasi dengan mereka yang sudah meninggal akan jatuh ke dalam penyembahan berhala, di mana pihak yang satu mengeksploitasi pihak lain demi kepentingannya. Melarang penyembahan kepada leluhur adalah tindakan yang tepat. Itu adalah dosa, pelanggaran terhadap firman pertama dasa titah. Tetapi penghormatan kepada leluhur adalah perlu. Allah memerintahkan kita untuk hal itu dalam firman kelima dasa titah, sejauh penghormatan itu melebihi atau menggantikan penyembahan kita kepada Allah.164 Yang perlu diperhatikan gereja ialah larangan kepada warganya untuk mempraktekan penyembahan kepada leluhur harus disertai kesiapan gereja menyelenggarakan bentuk ibadah atau liturgi alternatif yang berfungsi sebagai pengganti. Jika ini tidak diperhatikan, larangan gereja itu hanya akan membuat goncangan batin yang timbul akibat kematian orang yang dikasihi tidak dikelola dengan baik yang bisa membuat keluarga kembali ke praktek-praktek lama. Ada tiga contoh yang sudah kami tunjukan, masing-masing dari Choan-seng 164 148 J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 28. Song, Wilfrit Fini Ruku dan pengalaman penulis kiranya menunjukkan bahwa kematian merupakan moment peralihan ke satu bentuk kehidupan yang berbeda dengan sebelumnya. Hidup yang kekal Pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus (parousia) akan ada kebangkitan orang mati. Penghakiman manusia akan segera menyusul. Penghakiman itu akan menentukan tujuan akhir kehidupan manusia. Mereka yang hidup dalam perseteruan dengan Allah akan mengalami kematian kedua, sementara mereka yang selama hidupnya mencari dan merindukan persekutuan dengan Allah akan menerima hidup yang kekal.165 Hidup yang kekal adalah berkat keselamatan yang menjadi bagian dari individu yang memberi dirinya menjadi anggota dari tubuh Kristus, yakni gereja. Berkat ini baru akan manusia terima secara penuh pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Meskipun begitu, berkat ini sudah mulai diterima manusia dan dijalaninya pada masa kini bersamaan dengan berdiamnya Kristus dalam hatinya dan berdiamnya dia di dalam tubuh Kristus (Yoh. 17:3). 165 Soal tentang penghakiman serta tujuan akhir manusia akan kami bicarakan dalam bab yang menyusul, di bawah judul penghakiman manusia serta sorga dan neraka. 149 Hidup yang kekal itu, sebagaimana disaksikan oleh Alkitab bukanlah berarti kehidupan yang tidak berakhir tetapi kehidupan di dalam langit dan bumi yang baru.166 Berkhof menamakannya sebagai hidup dalam segala kepenuhan tanpa ada lagi gangguan dan ketidak sempurnaan.167 Kepenuhan hidup adalah ambil bagian dalam persekutuan dengan Allah, yang sama artinya dengan hidup yang kekal (Why. 21:3). Ada hubungan erat antara kehidupan kekal dengan penerimaan manusia akan Kristus (Yoh. 10:10). Satu-satunya manusia yang layak ada di dalam langit dan bumi yang baru adalah Yesus Kristus. Hidup kekal itu pertama-tama adalah milik Kristus. Supaya manusia bisa ikut ambil bagian di sana adalah perlu manusia mengenakan Kristus. Baptisan disebut di dalam Alkitab sebagai saat di mana manusia mengenakan Kristus. Galatia 3:27 mengatakan itu demikian: “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus.” Manusia ibarat kertas yang mudah rusak. Laminating adalah cara yang manusia tempuh untuk melindungi dokumen-dokumen penting dari kemungkinan rusak. Baptisan adalah saat di mana manusia delaminating. Hidupnya yang fana, rentan terhadap dosa dan kehancuran, terancam oleh berbagai kejahatan Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 172. Luis Berkhof. Systematic Theology. Michigan: W.M.B. Eerdmans Publishing Co. 1941. hlm. 737. 166 167 150 dan pemberontakan dibungkus dengan kehidupan Yesus Kristus. Manusia itu dilayakkan untuk hidup yang kekal dengan cara mengenakan Kristus.168 Hidup yang kekal itu bolehlah kita sebut juga sebagai ciptaan baru atau secara khusus manusia baru. Allah akan mengaruniakan manusia baru itu kepada semua yang hidupnya berpadanan dengan Kristus. Arti positif dari hidup baru atau kekal itu seperti kami katakan adalah ambil bagian dalam persekutuan dengan Allah. Sedangkan arti negatifnya adalah manusia bebas dari dosa. Allah tidak hanya membersihkan manusia dari tindakan dosa, Allah bahkan akan mencabut akar dosa dari hatinya. Manusia itu memiliki hati yang baru (Yeh. 36:26). Allah bahkan akan menghilangkan setiap jejak kuasa asing yang saat ini menindas dan membelenggu manusia. Dalam persekutuan yang penuh dengan Kristen manusia baru itu bebas dari berbagai ketidak sempurnaan baik yang datang dari luar dirinya maupun yang merupakan potensi internal dalam dirinya. Manusia baru itu bebas dari ancaman, bencana, penyakit, dan kematian. Semua yang berpotensi negatif menjadi bagian dari masa lalu. Semua yang kami sebutkan tentang kehidupan kekal ini akan manusia alami bukan hanya secara batin 168 Ebenhaizer I Nuban Timo. Alam Belum Berhenti Bercerita. hlm. 217. 151 atau spiritual. Manusia seutuhnya dalam tubuh dan roh akan mengalami kehidupan kekal itu, yakni persekutuan yang sempurna dengan Allah.169 Arti Etika dari Dogma Pendamaian KASIH adalah agenda etis yang harus manusia jalani manakala dalam credenda ia mengakui Allah sebagai pencipta. Kasih itu sebagaimana sudah kami tunjukan dalam bab dua nyata dalam kesediaan manusia untuk menaruh batas bagi keinginan dirinya sebagai bentuk imitatio dei. Agenda etis yang melekat pada credenda kita akan Allah sebagai pendamai dan penyelamat tidak lain dari hidup dalam IMAN. Iman artinya hidup dalam percaya kepada karya pendamaian dan penyelamatan Allah. IMAN sebagai agenda etika bukan sekedar sebuah pernyataan menerima rumusan dogma dan doktrin keagamaan, sebagaimana yang sudah kami uraikan panjang lebar dalam dua bab ini dan bab sebelumnya. Iman sebagaimana ditegaskan Helmut Thielicke menunjuk kepada adanya perjumpaan dengan Kristus. 170 Berjumpa dengan Kristus sebagaimana disaksikan Alkitab berlangsung dalam dua bentuk yang tidak terpisahkan satu sama lain, yakni doa dan Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 737. Helmut Thielicke. The Evangelical Faith Edinburgh: T&T Clark. 1997. hlm. 270. 169 170 152 II. pengabdian kepada Tuhan dalam aktivitas sosial.171 Bentuk pertama terjadi dalam gedung ibadah. Kita datang ke sana untuk berdoa dan berbakti. Di situ Kristus hadir sebagai Tuhan yang mulia dan berkuasa. Manusia datang ke hadapan Kristus sebagai abdi-abdi yang memohon berkat, perlindungan dan pertolongan. Tetapi doa kita kepada Allah dalam gedung ibadah bukan saat untuk kita menutup mata terhadap pekerjaan-pekerjaan, melainkan membuka mata kita kepada pekerjaan-pekerjaan yang dipertanggungkan Allah kepada kita dalam kehidupan sosial.172 Jadi berdoa dan berbakti artinya memperlengkapi diri untuk masuk dalam kehidupan kerja sebagai anak-anak kebenaran. Bentuk kedua dari perjumpaan dengan Kristus terjadi di luar gedung ibadah. Kristus yang manusia jumpai dalam gedung ibadah sebagai yang mulia dan berkuasa mengikuti perjalanan para peserta ibadah ke tempat kerja mereka masing-masing. Ia hadir di sana bukan lagi dalam wujud sebagai Tuhan yang berkuasa dan penuh kemuliaan, melainkan sebagai seorang yang hina dan membutuhkan perhatian. Bandingkan Ebenhaizer I Nuban Timo. Membuat Langit Tersenyum. Khotbah Sepanjang Tahun Gerejawi . Secara khusus khotbah yang berjudul Penampakan di Galilea. 171 Maumere: Penerbit Ledalero. 2009. hlm. 417-426. 172 Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1985. hlm. 81. 153 Itulah yang dialami tujuh murid di Tiberias (Yoh. 21:1-14). Petrus dan teman-teman tidak mengenal dia sebagai Tuhan karena Ia berada di tepi danau dengan pakaian yang compang-camping bahkan sebagai seorang pengemis yang meminta makanan dari mereka. Di gedung ibadah kita berjumpa dengan Yesus untuk memohon pengampunan dan pertolongan. Di tempat kerja Kristus hadir dalam rupa yang miskin, hina dan lemah. Ia berharap pertolongan dan pengasihan. Hidup dalam IMAN sebagai agenda etis dari penerimaan akan karya pendamaian dan penyelamatan berwujud dalam kesediaan kita untuk bertemu dengan Kristus dalam dua bentuk tadi. Berjumpa dengan Kristus tidak berarti bahwa manusia kehilangan identitas dan menjadi pasif. Manusia yang benar-benar berdoa dirinya tidak hilang. Ia justru mengalami pembaharuan diri untuk melakukan pekerjaan Allah dalam lingkungan sosial. Ada dua jenis mistik dalam kehidupan Kristen. Pertama yang memadamkan kemauan dan hasrat manusia saat berdoa dan beribadah. Dalam moment ini manusia larut dalam yang ilahi. Ciri utama dari tipe mistik ini adalah sikap pasif, manusia menunggu tanpa usaha. Ini bukan paham mistik yang disaksikan Alkitab. Jenis kedua lebih sejajar dengan Alkitab. Mistik ini menekankan pertemuan dan kesatuan Allah dan manusia dalam pengalaman doa, namun penyatuan itu tidak menghilangkan diri manusia. Dalam pertemuan itu manusia dibebaskan dan diubah. Diri manusia tidak 154 dihapuskan melainkan dimurnikan dan dipenuhi Roh Allah.173 Manusia itu dimampukan untuk masuk dalam lingkungan sosial dan melakukan pekerjaan-pekerjaan pendamaian dan penyelamatan. Dalam arti ini, IMAN bukan sekedar ungkapan percaya secara verbal, yakni mengucapkan sejumlah kata-kata bagus, berseru: “Haleluyah” atau “Puji Tuhan” tetapi juga ungkapan percaya dalam wujud perbuatan, yakni berseru: “Hosanna” yang sebenarnya berarti: “Tolonglah! Selamatkanlah! Percaya dan perbuatan tidak bisa dipisahkan, percaya itu adalah perbuatan.174 Singkatnya, Orang-orang beriman tidak bersembunyi di balik pakaian ibadah, tidak mengunci diri di kamar doa, tidak hanya saleh waktu jam ibadah. Iman kepada Allah dikenali waktu dia bekerja dalam dunia yang jauh dari ruang doanya. Di tempat yang penuh dengan godaan, bujukan, rayuan dan kesempatan untuk kejahatan-kejahatan dia bercahaya seperti lilin dan memberi cita rasa baru seperti garam. Dia menjadi seperti yang dikatakan Niebuhr: the moral man in the immoral society. Ijinkan kami mengakhiri bab ini dengan mengajak orang-orang percaya dan juga gereja-gereja di Indonesia untuk mengevaluasi diri dengan bertanya: 173 Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis. hlm. 83. G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 227, 230 dan 242. 174 155 “Sejauh manakah pengungkapan iman kita di tengah masyarakat yang notabene bergelut dengan aneka rupa permasalahan? Apakah baru sebatas Haleluya ataukah sudah mencapai Hosanna?” 156