Manusia Dalam Perjalanan Menjumpai Allah Yang Kudus : Suatu

advertisement
Bab III
Aspek Kedua Perayaan Keselamatan
Aspek Individual
Berkat keselamatan yang menjadi bagian
individu dalam gereja sebagaimana yang dirumuskan
dalam credo ada tiga: pengampunan dosa, kebangkitan
daging
dan
kehidupan
yang
kekal.
Calvin
mengelompokkan itu dalam dua kategori.
Pertama, berkat yang sudah mulai direalisasikan
pada masa kini, yakni sejak seseorang ambil bagian dan
persekutuan tubuh Krustus. Berkat itu adalah
pengampunan dosa (remisionem peccatorum). Kedua,
yang baru akan dinyatakan kelak, yakni ketika Yesus
Kristus datang kembali sebagai bagian orang-orang yang
hidup dalam percaya kepada Yesus Kristus. Berkat itu
adalah: kebangkitan daging (Resurrectionem carnis) dan
kehidupan yang kekal (vitae aeternam).79
Berkat ini disediakan Allah bagi semua manusia
tanpa kecuali. Meskipun begitu demikian kata Calvin
berkat itu hanya bisa diterima oleh orang-orang yang
ambil bagian dalam persekutuan keselamatan. Calvin
menegaskan itu dalam kalimat: “Mereka yang menahan
dirinya dari persekutuan tubuh Kristus dan yang keluar
79
Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 122.
85
dari persekutuan itu tidak mendapat bagian dari berkat
tadi.”80
Hal yang sama ditegaskan juga oleh Alkitab
tetapi dengan nada yang positif sebagaimana kita baca
dalam Yohanes 3:16: “Karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal.81 Hanya orang-orang yang menjadi anggota tubuh
Kristuslah yang dapat menikmati berkat keselamatan di
dalam persekutuan Kerajaan Allah.
Ini tidak bermaksud untuk mempersempit ruang
lingkup keselamatan Allah. Keselamatan Allah itu lebih
besar dari ruang lingkup persekutuan kelihatan yang
bernama gereja. Penekanan pada keberadaan sebagai
anggota gereja untuk memperoleh keselamatan
dimaksud untuk menggarisbawahi pentingnya jawaban
dan penerimaan manusia kepada Allah. Allah bisa dan
mampu menyelamatkan manusia tanpa mendengar
jawaban manusia, tetapi itu sama sekali tidak sejalan
dengan hakikat Allah yang adalah kasih dan
bertentangan dengan isi perjanjian yang dicanangkan
Allah di dalam kekekalan.
80
81
86
Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 135.
Cetak miring merupakan tekanan yang dibuat penulis.
Pengampunan Dosa
Mengawali pokok ini baiklah kami ingatkan hal
berikut. Perjamuan makan bersama (tafelgemeenschap)
bagi orang Timur Tengah Kuno mengandung pesan
yang sangat dalam. Ia mengisyaratkan keakraban dari
para pihak yang ambil bagian dalam perjamuan itu. Di
antara orang-orang yang makan bersama tidak ada
permusuhan, sikap curiga atau hal-hal yang tidak
berkenan.82 Selanjutnya, memakan sesuatu artinya
membuat makanan itu menyatu dengan kita. Makan roti
sama dengan membuat roti itu menjadi satu dengan
hidup kita atau sebaliknya.
Tafelgemeenschap yang dirayakan gereja adalah
moment di mana umat percaya makan roti dan minum
anggur yang secara figuratif menunjuk pada tubuh dan
darah Kristus. Jadi yang terjadi dalam sakramen
perjamuan adalah moment di mana tiap peserta menjadi
satu dengan Yesus Kristus baik dalam hidup maupun
pada saat. Wolfhart Pannenberg menjelaskan itu
demikian: “Setiap kali orang-orang percaya bersekutu
menyatukan dirinya dengan yang kudus itu,
persekutuan yang intim itu punya hubungan dengan
pengampunan dosa. Itu merupakan konsekwensi
langsung dari penyatuan mereka dengan Kristus. Ia
membuat keseluruhan hidup orang-orang percaya
dimurnikan.”83
82
83
D.J. Baarslag. Gelijkenissen des Heeren. hlm. 115.
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. Een uitleg
van de apostolische geloofsbelijdenis door mensen van nu.
Baarn: Ten Have. 1976. hlm. 160.
87
Pengampunan dosa merupakan kenyataan
konkret dari berdiamnya keselamatan Allah yang
dikerjakan Yesus di dalam diri manusia yang
menyatukan hidupnya dengan Yesus Kristus. Inilah
kenyataan terindah yang menjadi bagian dari tiap orang
yang menyatakan diri menerima Yesus Kristus di dalam
hidupnya dan terus-menerus ambil bagian dalam
tafelgemeenschap dengan sikap yang benar dan kudus.
Selain pengampunan dosa ada lagi dua berkat
keselamatan, yakni: kebangkitan daging dan kehidupan
yang kekal.
Tiga berkat keselamatan yang mengarah kepada
individu orang percaya bukan tiga hal yang berdiri
sendiri dan terpisah satu sama lain. Tidak. Ketiganya
merupakan tiga aspek keselamatan yang menjadi milik
tiap orang percaya yang menjawab YA kepada Allah dan
menyatukan hidupnya sebagai anggota tubuh Kristus.
Hubungan ketiga aspek ini bercorak perichoresis.
Kalau dalam credo pengampunan dosa
ditempatkan mendahului kebangkitan daging dan hidup
yang kekal itu hanya mau menekankan hal berikut.
Pengampunan dosa adalah uang muka dari dua yang
akan menyusul. Calvin menjelaskan hal ini dengan
mengatakan pengampunan dosa sudah mulai terjadi
sekarang, sedangkan kebangkitan daging dan hidup
yang kekal baru akan terjadi kelak. Pannenberg
menegaskan hal yang sama. Menurut dia pengampunan
dosa mendahului kebangkitan daging dan hidup kekal
88
sebagai jari yang menunjuk kita dua hal yang
menyusul.84
Pengampunan dosa memiliki dua arti. Pertama,
manusia dibebaskan dari hal-hal yang memisahkan dia
dari Allah. Kami sudah membicarakan tentang
dahsyatnya dosa. Ia mengasingkan manusia dari dirinya
sendiri dan dari Allah. Akibatnya ia menjadi hidup
dalam permusuhan dengan Allah dan kehidupannya
terus dijalani dalam kepalsuan. Berbagai upaya manusia
untuk mendekatkan diri dengan Allah dan sesama
membuat permusuhan dan kepalsuan itu makin
bertambah. Satu-satunya jalan untuk memulihkan
persekutuan manusia dengan Allah dan dengan
sesamanya tidak bisa dilepaskan dari pengampunan
dosa.
Kedua, pembebasan dari dosa juga berarti
manusia memiliki masa depan baru. Dosa membuat
manusia takluk pada maut (Rm. 6:23). Ia menjadi hamba
dosa (Yoh. 8:34). Dengan adanya pengampunan dosa
berarti bahwa manusia diberikan status baru yakni
menjadi hamba kebenaran (Rm. 6:18). Manusia lama
diganti dengan manusia baru.
Pembaharuan status manusia ini berhubungan
erat dengan baptisan. Dalam kekristenan purba
pengampunan dosa dihubungkan secara erat dengan
sakramen baptisan yang menunjuk kepada penyatuan
hidup penerima baptisan dengan Yesus Kristus.85
84
85
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 160.
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 161.
89
Baptisan menyatukan hidup seseorang dengan kematian
dan kebangkitan Yesus Kristus. Status semula dari
manusia yakni sebagai budak dosa berakhir, mati. Budak
dosa itu dikuburkan bersama-sama dengan Kristus dan
sebagaimana Kristus yang dikuburkan itu bangkit dari
antara orang mati sebagai yang sulung dari mereka yang
meninggal manusia lama tadi ikut pula dibangkitkan
untuk hidup yang baru selaku kebenaran (Rm. 6:3-4).
Baptisan adalam moment di mana kemanusiaan
kita yang lama diganti. Penerima baptisan itu hidup,
tetapi bukan lagi dia yang hidup melainkan Kristus yang
hidup di dalamnya (Gal. 2:20). Ia bukan lagi milik maut
tetapi milik Kristus. Tanda untuk itu adalah nama baru
yang dia terima, nama yang dimasukkan ke dalam
namanya. Atau lebih tepat, namanya dimasukkan ke
dalam nama Allah.
Itulah yang terjadi dengan Abram dan Sarai.
Nama keduanya diperbaharui. Abram menjadi
Abraham, Sarai menjadi Sarah. Nico Ter Linden
menunjukan adanya penambahan huruf H dalam nama
mereka. H menunjuk pada nama Yahwe (Ibr: ehyeh
asyer ehyeh).86 Abraham dan sarah hidup tetapi bukan
lagi mereka yang hidup melainkan Allah yang hidup di
dalam mereka.
Ini juga yang melatarbelakangi terjadinya
pergantian nama dari banyak orang ketika mereka
memutuskan untuk menerima baptisan. Dalam sebuah
Nico Ter Linden. Het verhaal gaat I. Kampen: J.H. Kok.
1997. hlm. 61.
86
90
buku kecil berjudul Bastian: de kleine Timorese, Ds.
Dukstra, ketua sinode GMIT pertama menunjukkan
bahwa pergantian nama penting karena nama semula
diperoleh dari berhala. Nama itu harus diganti karena
dengan baptisan yang bersangkutan menjadi milik Allah
di dalam Kristus.87 Ia bukan lagi hamba dosa. Ia telah
hidup dalam pengampunan.
Betapapun pengampunan dosa berhubungan
erat dengan sakramen baptisan, tetapi gereja menyadari
bahwa pengampunan dosa tidak dibatasi hanya pada saat
seseorang menerima sakramen baptisan. Tidak! Baptisan
sebagai akta pencangkokan hidup seseorang kepada
Yesus Kristus adalah sebuah kiasan (I Pet. 3:21) untuk
kehidupan seluruhnya dari penerima baptisan. Baptisan
hanya terjadi sekali tetapi pengampunan dosa yang
diterima dari Kristus berlangsung sampai yang
bersangkutan meninggal.
Kesimpulan kita akan arti pengampunan dosa
adalah sebagai berikut. Seseorang yang diampuni dosa
oleh Allah ia dibebaskan dari maut dan menerima
jaminan sebagai pewaris kehidupan baru di dalam
kerajaan Allah. Manusia itu berpindah dari kematian
kepada kehidupan. Itu sebabnya dalam credo, segera
setelah rumusan tentang pengampunan dosa menyusul
rumusan kebangkitan daging dan hidup yang kekal.
Ds. Durkstra. Bastian: de kleine Timorese. Baarn: Bosch
en Keuning. 1949. hlm. 61.
87
91
Kebangkitan Daging
Orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus
akan mati. Tetapi kematian tidak akan membuat mereka
binasa, habis atau lenyap (Yoh. 3:16). Mereka akan
dibangkitkan. Akan ada kebangkitan orang mati pada
saat Yesus Kristus datang kembali. Alkitab: PL dan PB
menegaskan hal itu. Penegasan itu tidak hanya berasal
dari para nabi dan rasul. Yesus Kristus sendiri
membenarkan pengajaran itu. (Mt. 22:24-30, Yoh. 5:25,
6:39, 40,44-54; 11:24-24).
Menurut Alkitab kebangkitan adalah peristiwa
yang konkret. Tubuh dan daging yang akan
dibangkitkan. Kalau dunia non-kristen mengajarkan
tentang kehidupan setelah kematian dalam bentuk
kekekalan jiwa, Injil mengajarkan adanya kebangkitan
orang mati.88 Plato mengajarkan tentang kehidupan
kekal sebagai pembebasan dari tubuh. Injil
memberitakan tentang kehidupan kekal sebagai
pembebasan tubuh dari maut.89
Kebangkitan bukan sekedar bersifat spiritual
seperti yang diajarkan Himeneus dan Filetus (2 Tim.
2:18). Tubuh dan daging yang dimakamkan dan yang
hancur di dalam tanah itu akan dicari dan ditemukan
Allah (Pkh. 3:15) untuk dibangkitkan (Yes. 26:19). Allah
tidak akan membiarkan perbuatan tanganNya
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 169.
C.A. Van Peursen. “Shepping en Lichamelijkheid.”
Dalam: Kerk en Theologie 9e Jaargang. No.2. April 1975.
Wageningen: H. Veenman & Zonen. hlm. 104.
88
89
92
menghilang (Mz. 138:8). Ia tetap setia untuk selamanya
(Mz. 146:6).
Tentang bagaimana keadaan tubuh pada saat
dibangkitkan? Moltmann mengatakan bahwa keadaan
manusia saat kebangkitan orang mati adalah seperti
malaikat.90 Tetapi tubuh kebangkitan itu dapat kita lihat
pada kebangkitan Yesus Kristus karena Ia adalah yang
sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati.
Kebangkitan manusia akan menyusul (I Kor. 15:20,
23).91
Ada diskontinutas pada tubuh Yesus Kristus
yang bangkit itu. Tubuh itu sama sekali baru. Tetapi toh
ada juga kontinutas. Tubuh Yesus yang bangkit itu
masih sama.92 Fletcher mengatakan: “Kristus yang
bangkit itu adalah tetap Yesus dari Nazaret, sebagaimana
Ia pernah hidup, mengajar, berkarya dan menderita. 93
Yesus menampakkan diri kepada murid-murid dalam
rupa yang baru. Itu sebabnya murid-murid ragu-ragu
(Mt. 28:17). Dua murid yang ke Emaus tidak mengenal
Dia (Lk. 24:16,41). Yesus tiba-tiba hadir dan tiba-tiba
J. Moltmann. God in Creation. London: SCM Press.
1985. hlm. 138.
91 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 722.
92
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” Dalam:
Gereformeerd Theologisch Tijdschrift. No. 1. 1996.
Zesennegentigste Jaargang. Februari. Kampen: Uitgeverij Kok.
hlm. 15.
93 Verne H. Fletcher. Lihatlah Sang Manusia. Suatu
Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2007. hlm. 506.
90
93
menghilang dari mereka (Lk. 24:32,36). Dia dapat masuk
ke dalam ruangan sekalipun pintu dan jendela tertutup
rapat (Yoh. 20:19, 26).
Apa yang terjadi pada Yesus yang bangkit, akan
terjadi juga pada kebangkitan manusia.94 Tubuh yang
baru itu masih bisa dikenal tetapi tidak lagi terikat
dengan hal-hal jasmani seperti makan dan minum,
kawin dan dikawinkan (Mt. 22:30). Tubuh yang baru itu
tidak lagi takluk pada hukum-hukum biologis dan tata
ruang. Ia bisa masuk ke dalam ruangan tertutup dan bisa
menghilang begitu saja.95 Origenes menggambarkan
tubuh kebangkitan itu adalah baru, tubuh spiritual (I
Kor. 15:40). Perubahan sifat dan kualitas itu tidak akan
mengubah bentuk fisik dari tubuh itu. Perubahan itu
justru mempertinggi fungsi dan kegunaan dari
keadaanya semula.
Nico Syukur Dister menjelaskan perubahan itu
sebagai berikut. “Dalam hidup sekarang ini di dunia,
dalam hidup yang belum diubah oleh kematian, roh
ditentukan oleh badan, khususnya sejauh badan
membuat roh kita (dalam derajat tertentu) terikat pada
waktu dan tempat, dan dibatasi olehnya. Akan tetapi
dalam kebangkitan, sebaliknya badan ditentukan oleh
roh.”96 Van Peursen menulis begini: “Adam pertama
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God.
United Kingdom: The Paternoster Press. 1994. hlm. 763.
95
Ebenhaizer Nuban Timo. Arsip Untuk Sorga.
Kumpulan Khotbah Kematian. Kupang 2010. hlm. 83.
96 Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2. Ekonomi
Keselamatan.Yogyakarta. 2004. hlm. 578.
94
94
menjadi makhluk yang hidup, sedangkan Adam terakhir
adalah roh yang memberi kehidupan.”97
Kebangkitan tubuh itu berlaku bagi semua orang
tanpa kecuali dan berlangsung serentak.98 Orang benar
dan fasik, yang percaya dan yang tidak percaya akan
mengalami kebangkitan tubuh (Kis. 24:15). Orang benar
dan orang fasik akan sama-sama dibangkitkan untuk
menjalani penghakiman (Why. 20:13-15). Bagi orang
benar dan yang percaya kebangkitan itu adalah
memperoleh upah dari Allah, yakni kehidupan kekal.
Sedanngkan bagi orang fasik dan mereka yang menolak
Kristus kebangkitan adalah saat penghukuman (Yoh.
5:29). Mereka yang menolak Kristus dan hidup dalam
kefasikan akan mengalami kematian kedua (Why. 20:
14-15).
Kebangkitan orang mati akan terjadi pada saat
kedatangan kembali Yesus Kristus. Tentang hari H
kedatangan itu tidak ada seorang pun yang tahu. Juga
bukan tugas manusia untuk menghitung hari H
kedatangan kembali. Tugas manusia adalah menjalani
hidup dalam percaya kepada Yesus, supaya pada saat
kedatangan Yesus Kristus mereka dibangkitkan untuk
dipermuliakan. Moment itu terjadi dalam bentuk
pembacaan nama-nama dari dalam kitab kehidupan oleh
Kristus.
97
C.A. Van Peursen. “Schepping en Lichamelijkheid.”
hlm. 100.
98 Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170.
95
Maria dari Magdala adalah teladan untuk itu.
Bersama dengan para perempuan lain, ia pergi ke kubur
Yesus pagi-pagi sekali ketika hari masih gelap di hari
pertama minggu itu. Setelah mendengar kabar dari dua
laki-laki berpakaian putih bahwa Yesus tidak di situ
tetapi sudah bangkit, perempuan lain pulang ke kota.
Maria tetap berdiri di kubur sambil menangis. Sesekali
matanya melihat ke dalam kubur (Yoh. 20:12 dst).
Yesus sudah bangkit. Dia tidak lagi ada di situ.
Tetapi Maria tetap berada di kubur itu. Dia bukan
sekedar ingin bertemu dengan Tuhan yang bangkit. Ia
tetap di situ untuk mendapat kepastian dari Tuhan
bahwa namanya berada dalam daftar orang-orang yang
akan dibangkitkan. Kerinduan Maria itu terwujud. Ia
bukan hanya menjadi orang pertama yang bertemu
Tuhan yang bangkit. Ia juga menjadi orang pertama
yang dipanggil namanya oleh Tuhan yang bangkit.
Kedatangan kembali Yesus Kristus adalah adalah paskah
yang tidak akan berakhir.99
Pandangan Kristen tentang Kematian
Kebangkitan orang mati terjadi pada saat
kedatangan kembali Yesus Kristus. Adanya kebangkitan
mengandaikan adanya kematian. Kalau bagitu apa itu
kematian? Kehidupan dan kematian adalah dua bagian
tak terpisahkan dari keberadaan sebagai ciptaan.
Manusia pada hakikatnya akan mati. Kematian bukan
G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 237.
99
96
sesuatu yang baru akan terjadi nanti di akhir hidup
seseorang. Tidak! Sejak seseorang lahir bahkan seluruh
masa hidupnya diwarnai oleh kematian. Kirchberger
berkata bahwa hidup manusia bukan kenyataan yang
tidak akan berakhir. Hidup dari mulanya diwarnai oleh
kematian.100 Kematian dalam pengertian ini adalah
peristiwa natural. Ia merupakan sebuah kenyataan
medis-biologis. Semua manusia akan mengalami
kematian dalam arti ini, tidak peduli apakah dia orang
benar atau orang fasik.
Luis Berkhof mengatakan bahwa Alkitab
mengajarkan kepada kita tiga bentuk kematian:
Kematian fisik, kematian spiritual dan kematian
kekal.101 Pertama, kematian fisik. Itu akan dialami setiap
orang dan juga semua ciptaan. Kematian seperti ini tidak
punya hubungan dengan dosa. Jadi adalah keliru kalau
manusia berpikir akan kematian sebagai akibat dari
dosa. Manusia pasti mati dan harus mati entah dia
berdosa atau pun tidak. Kematian adalah hal yang alami,
wajar dan normal bagi ciptaan.102 Sebagai sebuah
kenyataan yang normal dan alami kematian bukan
hukuman melainkan injil. Ia adalah panggilan kepada
manusia untuk masuk dalam persekutuan yang
sungguh-sungguh dengan Kristus. Memperhatikan
Georg Kirchberger. Allah Menggugat. hlm. 289.
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 668.
102 Dieter Becker. Pedoman Dogmatika.Suatu Kompedium
Singkat. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2001. hlm. 195.
100
101
97
aspek ini Dieter Becker menyebut kematian sebagai
penebusan.103
Dosa tidak mendatangkan kematian. Dosa
mendatangkan maut (Rm. 6:23). Dosa membuat
kematian dialami bukan lagi sebagai injil dan penebusan
melainkan
sebagai
sebuah
pengalaman
yang
menakutkan,
hukuman
dan
ancaman
yang
mengerikan.104 Oleh karena dosa manusia takut
berhadapan dengan kematian sebab dia melihat
kematian sebagai keterpisahan dengan Allah dan
terjatuh dalam genggaman maut. Puisi berjudul
Kematian Rangkap Tiga yang ditulis oleh Victor E. van
Vriesland berikut kiranya memberi gambaran tentang
bagimana kematian itu.105
Kali pertama aku mati secara fisik
Tubuhku menghilang dari pandangan
Daging dan tulang-tulangku berangsur-angsur lapuk
di dalam tanah
Orang tidak bakal menemukan sedikitpun sisa di
dalam kubur
Aku berasal dari debu dan harus kembali kepada
debu
Selanjutnya, aku mati di dalam hati kekasihkekasihku
Dieter Becker. Pedoman Dogmatika. hlm. 196.
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 12.
105 Baers & Henau. God is Groot. Kampen: J.H. Kok. 985.
hlm.497.
103
104
98
Memang kenangan terhadapku masih bertahan
beberapa lama
Tetapi seperti sebuah luka, kalau sudah sembuh
Masih ada bekasnya. Tetapi lama-kelamaan hilang
juga
Juga dalam hati mereka, aku tidak lagi ditemukan
Akhirnya, aku mati dalam ingatan dan kenangan
mereka
Inilah kuburanku yang ketiga, yang terakhir dan
yang paling dingin
Pada saat kuburan ketiga ini ditutup, habislah sudah
cerita hidupku
Kadang-kadang, pada waktu pemakaman namaku
memang disebut
Tetapi tidak lebih dari sekedar sebutan
Ada yang melambaikan tangan sebagai tanda
perpisahan
Begitu aku tiba di jalan menikung, tidak ada lagi yang
melihatku
Demikianlah aku tergusur dari pandangan
Dari cinta dan juga dari ingatan mereka
Dosa berujung kepada maut yang terwakili
dalam puisi tadi. Sebaliknya, orang berdosa yang telah
mempersilahkan Kristus hidup di dalam dirinya dan
membuat dirinya berada di dalam Kristus kematian
baginya adalah sebuah pintu gerbang yang membawa
dia ke dalam persekutuan abadi dengan Kristus, leluhur
mula-mula dari semua manusia. Alkitab menggunakan
ungkapan dikumpulkan kepada kaum leluhurnya. (Kej.
99
25: 8, 17, 35:29, 49:33, Bil. 20:24, 27:13). Inilah yang
dimaksud oleh Becker dengan kematian sebagai
penebusan.
Kedua, kematian spiritual. Pandangan Kristen
tentang kematian tidak hanya berhenti pada kematian
fisik. Selain kematian dalam arti medis-biologis, Alkitab
juga mendefinisikan kematian sebagai sebuah kenyataan
etis-teologis, yaitu satu keadaan di mana manusia
memutuskan hubungan dengan Allah dan sesama.
Dimensi etis-teologis dari kematian menunjuk kepada
sikap pemberontakan manusia terhadap Allah dan
menolak tunduk pada firman, ketetapan dan perintahperintah Allah. Kematian dalam arti inilah yang
disebabkan oleh dosa. Alkitab menamakan kematian ini
maut. Secara medis-biologis seseorang berada dalam
keadaan hidup, tetapi karena dia menjauhkan diri dari
Allah dan tidak memperhatikan hukum, ketetapan dan
perintah Allah dalam hidup individu dan masyarakat,
orang itu sesungguhnya mati, yakni dia sudah berada
dalam kuasa maut. Ia masih hidup secara biologis tetapi
secara teologis, spiritual ia sudah mati.106
Ketiga, kematian kekal. Itu baru akan terjadi
nanti ketika Kristus datang kembali. Kematian tipe ini
berlaku bagi mereka yang menolak percaya kepada
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya.
Sebagai lawan dari kematian kekal, ada kehidupan kekal
Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work. Twelve
Practical Doctrines. Grand Rapids: Baker Book House. 1980.
106
hlm. 95.
100
yang disediakan Allah bagi mereka yang percaya kepada
Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juruselamat.
Jadi kesaksian Alkitab tentang kematian dapat
kita rampung dalam butir-butir berikut. Pertama,
kematian bukan akibat dosa. Kematian menurut Alkitab
adalah masa selang, waktu antara di mana manusia
beroleh kesempatan untuk diperbaharui oleh Allah bagi
kehidupan baru, kehidupan yang lebih sempurna.
Waktu antara yang bernama kematian dapat kita
pahami kalau melihat seekor ulat yang berubah menjadi
kupu-kupu. Perubahan itu tidak serta-merta. Si ulat
perlu menjalani waktu sebagai kepompong. Ilustrasi ini
secara implisit disebutkan Paulus dalam I Korintus 15:35
dst.
Kedua,
dosa membuat kematian menjadi
pengalaman yang berat dan menakutkan. Sebab ia
menyebabkan terjadinya perpisahan bukan hanya
dengan keluarga dan karib kerabat, tetapi dengan Allah
sumber hidup. Dosa membuat manusia bukan hanya
mati, tetapi terbuang ke dalam kekuasaan maut, yakni
terputus dari perhatian dan pengasihan Allah.
Ketiga, bagi orang yang percaya kepada Yesus
Kristus kematian tidak lagi menjadi saat yang
menakutkan, karena maut sudah dikalahkan. Mereka
yang mati di dalam Kristus boleh beristrahat dengan
tenang karena mereka tidak jatuh ke tangan maut tetapi
akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia (I
Tes. 4:14). Keberadaan bersama-sama Allah baru akan
terjadi nanti, pada kedatangan kembali Yesus Kristus,
tetapi ketika yang bersangkutan mati ia tetap berada
101
dalam jangkauan kuasa keselamatan dan kasih Allah.
Selama masa itu belum tiba, mereka yang mati di dalam
Kristus menjalani masa reparasi untuk menerima tubuh
yang baru, tubuh sorgawi yang cocok untuk menerima
kemuliaan yang disediakan Allah sejak kekal bagi
mereka.107
Keempat, bagi orang-orang yang percaya kepada
Kristus kematian adalah akhir dari kehidupan saat ini,
tetapi bukanlah akhir dari segala-galanya. Mereka yang
mati akan dikuburkan, kembali kepada debu tanah dan
menjadi debu tetapi mereka tidak habis, hilang dan
lenyap di dalam tanah.108 Yesus Kristus sudah masuk ke
dalam kubur untuk menganulir kutuk dosa atas tanah
(Kej. 3:17) dan menguduskan kuburan bagi orang-orang
tebusanNya sehingga maut tidak akan menguasai
mereka. Tidak peduli kapan manusia mati, juga tidak
peduli karena apa dan di mana seseorang mati. Juga
tidak peduli cara pemakaman apa yang dibuat bagi si
mati. Kalau ia selama hidupnya percaya kepada Yesus
Kristus maka ia akan dibangkitkan untuk mewarisi
hidup yang kekal.
Kematian tidak boleh kita pahami dalam
pengertian berhenti berada. Paham itu sangat statis.
Memang secara biologis manusia berhenti berada ketika
ia mati, tetapi secara teologis orang yang dianggap telah
tiada itu ternyata berada secara baru. Dalam kematian
manusia lahirah menghilang seluruhnya, tetapi
bersamaan dengan itu berkembanglah manusia batiniah,
107
108
102
Ebenhaizer Nuban Timo. Arsip Untuk Sorga. hlm. 49.
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 668.
sebagimana yang ditulis Paulus: “Meskipun manusia
lahiriah kami semakin merosot, namun manusia
batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari” (2 Kor.
4:16).
Percakapan Yesus dengan seorang penjahat di
atas salib juga menegaskan bahwa kematian tidak
membuat si mati berhenti ada. Ia ada secara baru:
“Bersama-sama Yesus di Firdaus” (Lk. 23:43). Dalam
kisah Yesus tentang Lazarus, orang kaya dan Abraham
(Lk. 16) menjadi jelas bahwa kematian bukan
pembinasaan. Juga dalam beberapa kisah nyata tentang
orang yang mati untuk beberapa waktu kemudian hidup
realita kematian disingkapkan bagi kita, yakni mati
bukan berarti berhenti ada, melainkan berada dalam
cara yang baru.
Kematian adalah kehidupan dalam cara yang
baru, berbeda dengan kehidupan yang kita alami
sekarang. Bentuk baru dari kehidupan itu Yesus
namakan tidur (Mt. 9:24; Mk. 5:39; Lk. 8:52; Yoh. 11:1113). Ini adalah satu masa antara, masa di mana manusia
itu beristrahat sambil menantikan kebangkitan (I Raja
2:10, 11:43). Rahner menulis: “Kematian adalah puncak
pasivitas
manusia
yang
menyangkut
seluruh
109
eksistensinya.” Ini membuat manusia itu menderita
sebagai person. Aktivitas manusia dalam kematian
terletak dalam pengharapannya akan tindakan Allah.
Di masa antara itu si mati tidur (Dan. 12:2).
Tidur yang disebut kematian itu perlu karena ini
109
Nico Syukur Dister. Teologi Sistematika 2. hlm. 577.
103
merupakan masa di mana baju kehormatan dari jiwa,
yaitu tubuh dibuka, direparasi dan diformat ulang untuk
cocok bagi kemuliaan sorgawi yang akan dikaruniakan
kepada manusia itu waktu Kristus datang kembali.110
Kebangkitan adalah moment di mana baju yang
direparasi itu dikenakan kembali kepada manusia tadi
untuk satu kehidupan yang sempurna (2 Kor. 5:1). Luis
Berkhof menulis: “Bagi orang percaya, kematian bukan
akhir tetapi permulaan bagi kehidupan yang
sempurna.”111
Keberadaan Manusia Pada Saat Kematian
Ada empat pendapat tentang keberadaan
manusia pada saat kematian.112 Pertama, diskontinutas
yang berkembang antara tubuh dan jiwa. Pengalaman
menunjukkan bahwa ada perbedaan perkembangan
antara tubuh dan jiwa. Perkembangan tubuh makin
melemah seiring bertambahnya usia seseorang,
sementara jiwa menjadi makin kuat. Pada saat kematian
terjadi anima separate, yakni terpisahnya jiwa dari
tubuh. Kematian hanya berlaku pada tubuh dan tidak
pada jiwa. Keberadaan jiwa pada saat mati adalah
tersembunyi dalam Allah. Kesatuan tubuh dan jiwa
tidak disangkali dan penting, tetapi itu tidak merupakan
condition sine qua non bagi kelanjutan eksistensi jiwa.
Dieter Becker. Pedoman Dogmatika. hlm. 195.
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 671.
112 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18-19.
110
111
104
Kesatuan itu juga dipahami sebagai yang dirancang
untuk berlangsung selama-lamanya.113
Para anthropolog memperkuat pendapat ini.
Mereka berkesimpulan bahwa kematian hanya berlaku
bagi tubuh sedangkan jiwa bersifat kekal. Jiwa manusia
itu immortal, tidak takluk pada kematian. Pada saat
tubuh mati, jiwa masih berada di sekitar tubuh. Ia baru
akan pergi ke negeri para leluhur jika diantar melalui
satu upacara.114 Kematian adalah sebagai saat di mana
tubuh dan jiwa yang semua adalah satu berpisah. Tubuh
yang fana ini kembali ke tanah yang adalah asalnya.
Sementara jiwa kembali kepada Allah yang daripadanya
dia berasal.
Suku Dayak Ngaju memandang kematian
sebagai pintu gerbang bagi manusia untuk masuk ke
negeri yang sangat luhur, yakni negeri para nenek
moyang mereka.115 Suku Tetun di Belu (Timor)
kehidupan digambarkan seperti bulan; muncul di Barat
menjadi purnama dan berangsur-angsur hilang, tetapi
tidak habis dan lenyap. Ia akan muncul kembali. Di
kalangan suku Meto di Timor roh si mati dianggap
sebagai pergi ke belakang kayu dan belakang batu (hau
113
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18.
L.P. van den Bosch. “Dood en religie.” hlm. 211.
115
Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah.
114
Penyelenggaraan Upacara Mengantar Arwah Menurut
Budaya Masyarakat Dayak Ngaju. Seri Kebudayaan Fakultas
Teologi UKSW. 2008. hlm. 3.
105
bian fatu bian). Bentuk hidup dan tempatnya saja yang
berbeda. Si mati tidak habis lenyap.116
Manusia tidak mati dalam pengertian habis,
hilang secara total dan definitif. Pada saat mati manusia
tidak menghilang dalam masa lampau. Ia hanya
berpindah saja ke tempat lain dalam ruang besar atau
kosmos ini. Komunikasi dengan si mati sekali-kali
dimungkinkan, meskipun pada umumnya tidak bisa
dilakukan dengan setiap manusia melainkan melalui
medium-medium khas untuk maksud itu. 117
Pendapat ini dianggap bertentangan dengan
kesaksian Alkitab karena mengandaikan adanya
dualisme antara tubuh dan jiwa. Alkitab tidak mengenal
adanya pemisahan antara tubuh dan jiwa pada manusia.
Yang Alkitab katakan tentang manusia ialah bahwa
manusia itu adalah tubuh yang berjiwa atau jiwa yang
bertubuh. Tubuh dan jiwa menunjuk pada manusia
secara utuh.118
Kedua, kontinutas yang berkelanjutan dan
parmanen antara tubuh dan jiwa. Kematian adalah akhir
dari kehidupan. Kematian membuat manusia tidak ada
lagi. Kematian terjadi atas tubuh dan jiwa atau roh.119
Dalam pengakuan iman yang dirumuskan pada tahun
Eben Nuban Timo. Sidik Jari Allah Dalam Budaya.
Maumere: Penerbit Ledalero. 2005. hlm. 41.
117
Olaf Schuuman. Agama-Agama, Kekerasan dan
Perdamaian. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2011. hlm. 105.
118 J.L.Ch. Abineno. Pokok-Pokok Penting dari Iman
Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1989. hlm. 240.
119 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18.
116
106
1981 Gereja Toraja mencantumkan rumusan: manusia
mati seutuhnya.120 Rumusan ini didasarkan pada
Kejadian 2:7 yang menegaskan bahwa manusia yang
diciptakan Allah adalah nefesy hayah. Manusia adalah
satu totalitas: tubuh dan jiwa atau roh. Karena itu tubuh
dan jiwa takluk pada kematian. Hanya Tuhan Allah saja
yang tidak takluk pada maut (I Tim. 6:16). Karena
kematian berhubungan dengan tubuh dan roh sekaligus.
Padangan tentang kesatuan yang parmanen
antara tubuh dan jiwa menurut Brinkman dalam sejarah
gereja dianggap sebagai bidat.121 Keberatan kami ialah
kalau memang kesatuan ini bersifat kekal, tidaklah perlu
Allah membentuk manusia dari tanah dan
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidung manusia.
Proses penciptaan manusia dari tanah dan ada nafas
yang ditiup Allah menunjukan bahwa sebelum itu
kesatuan tubuh yang dari tanah dan nafas belum
terwujud. Kesatuan tubuh dan jiwa adalah penting,
tetapi tidak parmanen.122
Ketiga, kontinutas yang positif akan kesatuan
tubuh dan jiwa. Kesatuan tubuh dan jiwa mendapat
perhatian untuk berbicara tentang kehidupan. Kalau
tidak ada tubuh maka tidak ada jiwa, karena itu jiwa
membutuhkan sesuatu tempat dia menetap. Dengan
120
Andarias Kabanga. Formulasi “Manusia Mati
Seutuhnya.” Dalam: A.A. Yewangoe, et.al. Kontekstualisasi
Pemikiran Dogmatika di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2004. hlm. 222.
121 M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 18.
122 Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work. hlm. 99.
107
binasanya tubuh, jiwa mencari tempat tinggal yang
baru. Kesetiaan Allah terletak dalam hal kemurahannya
untuk menjamin adanya tempat tinggal yang baru bagi
jiwa. Allah bertindak untuk mencarikan rumah baru
bagi jiwa. Rumah baru itu adalah dari kenyataan ciptaan
yang ada. Pandangan ini membawa kita pada ajaran
tentang reinkarnasi.123 Gagasan ini jelas tidak sejalan
dengan kesaksian Alkitab.
Keempat, kontinutas yang transformatif dari
kesatuan tubuh dan jiwa. Pendangan ini hampir sejajar
dengan pendapat pertama. Tapi kalau pendapat pertama
hanya mengatakan tentang menurunnya perkembangan
tubuh sementara perkembangan jiwa terus meningkat
serta mengabaikan adanya kebangkitan, pandangan
keempat berbicara transformasi tubuh yang menurun
itu ke dalam bentuk baru yang mulia, sehingga layak
untuk penyatuan kembali di masa depan dengan jiwa
pada saat kebangkitan orang mati.
Kita berhadapan dengan empat pandangan tadi.
Dari keempat pandangan tadi tinggal tiga yang patut
kita gumuli. Padangan ketiga kita tolak karena kurang
serius memperhatikan kesaksian Alkitab tentang
kebangkitan daging. Mana dari ketiga pendapat ini yang
Alkitabiah?124 Sebelum mendiskusikan pertanyaan ini
123
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19.
Buku-buku dogmatika berbahasa Indonesia yang saya
periksa mengambil sikap terhadap masalah ini. Buku J.L.Ch.
Abineno. Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen. Jakarta:
BPK Gunung Mulia. 1989 dengan tegas mengatakan bahwa
manusia mati seutuhnya. Buku G. van Niftrik & B.J. Boland:
124
108
kami menunjukkan dua kisah nyata yang kami sendiri
alami sehubungan dengan kematian.
November 1994 bersama istri saya berangkat ke
negeri Belanda untuk program studi paskah sarjana di
Theologische Universiteit di Kampen. Kami baru
selesai menikah. 10 April 1996 putri pertama kami
lahir. Kami beri dia nama Fini Tetus. Istri saya
menelpon ibunya di Kupang. Dia berjanji membawa
Fini untuk dipangku Oma setahun kemudian, waktu
saya selesai program magister. Awal Januari 1997
jadwal ujian thesis saya keluar yakni 28 Februari
1997. Empat hari sebelum jadwal ujian tiba, datang
berita dari Kupang bahwa ibu istri saya yang adalah
Oma dari Fini meninggal dunia (24 Februari 1997).
Kesedihan
memenuhi
hati
kami.
Saya
mendorong istri untuk terbang ke Indonesia
menghadiri pemakaman ibunya sementara saya
mempersiapkan diri untuk ujian magister. Setelah
menimbang usul itu istri saya memutuskan
menunggu satu bulan lagi supaya pulang bersama
saya. Terlalu berat baginya untuk pulang lebih
dahulu bersama Fini yang baru berumur 10 bulan.
Perjalanan terlalu jauh. Ia juga mempertimbangkan
jadwal ujian magister saya yang sudah begitu dekat.
Ia tidak ingin saya sendiri menghadapi moment yang
menegangkan itu. Kami memberi kabar ke Kupang
Dogmatika Masa Kini terkesan menghindar masuk dalam
diskusi tentang pokok ini. Buku Dieter Becker: Pedoman
Dogmatika menyebutkan ada pihak yang menolak dan ada
pihak yang menerima pendapat bahwa manusia mati
seutuhnya.
109
bahwa bulan Maret 1997 baru kami kembali ke
Kupang, pulang untuk seterusnya. Kami mohon maaf
karena tidak dapat menghadiri pemakaman mama.
Istri saya sedih karena ibunya tidak pernah melihat
dan mengeding cucu dari anak bungsunya.
Usai ujian magister dan dinyatakan lulus tanpa
perbaikan thesis saya ditawari supervisor untuk
melanjutkan program doktoral. Pihak universitas
sebagai pemberi beasiswa mengijinkan kami pulang
ke Indonesia selama 3 bulan untuk menumpahkan
semua kerinduan dan berbagai kesedihan serta
airmata karena peristiwa duka itu. Kami berangkat ke
Indonesia 1 minggu sebelum peringatan 40 hari
kematian ibu kandung istri saya.
Sebelum berangkat seorang teman di Belanda
menghadiahkan Fini sebuah boneka cantik dan lucu.
Kalau tangan boneka itu ditekan maka boneka itu
akan berkata: “Ik hou van jou mamie!” (Mama, Aku
Cinta Padamu). Fini suka sekali boneka itu terutama
kalau sedang bicara. Kami selalu terus-menerus
menekan tombol di tangan boneka itu untuk
mendengar suara merdu dari mulutnya.
Setelah kurang lebih 29 jam bertolak dari
Amsterdam kami tiba di Kupang. Waktu kira-kira
pukul 15 petang. Semua keluarga menyambut kami di
bandara El Tari. Pertemuan kembali sangat
emosional. Airmata mengalir begitu saja dalam isak
tangis yang syahdu. Malam itu kami menginap di
rumah tua tempat istri saya dibesarkan. Karena
kelelahan kami sudah terlelap saat jarum jam baru
menunjukan pukul 21.00. Boneka kesayangan Fini
kami taruh di atas kofer di sudut kamar tidur yang
110
berjarak kira-kira 2 meter. Tidak ada apa-apa di dekat
boneka itu.
Waktu menunjukkan kira-kira jam 5.00 pagi.
Suasana masih sunyi sepi. Tiba-tiba ada suara yang
sudah akrab di telinga kami: “Ik hou van jou, mamie!”
Itu suara boneka. Kalimat itu diucapkan boneka itu
tiga kali. Saya bangun dari tidur. Tidak ada siapasiapa di sekitar boneka itu. Tapi mengapa boneka itu
berbicara? Harusnya ada seseorang yang pergi
menekan tangan boneka tersebut. Boneka itu diam
sejenak. Lalu dia berbicara, kalimat yang sama tiga
kali. Itu berarti tangan boneka itu ditekan lagi untuk
kali kedua. Tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar
boneka itu.
Saya pergi ke arah boneka itu dan memperbaiki
letaknya. Boneka itu diam. Istri saya memperhatikan
apa yang saya lakukan. Saya kembali ke tempat tidur
untuk berbaring. Begitu saya akan berbaring, boneka
tadi berbicara lagi untuk kali ketiga. Istri saya bangun
dan melihat ke arah boneka itu. Sambil menangis ia
berkata dalam dialek Kupang yang kental: “Mama.
Kotong su datang bawa mama pung cucu. Itu dia di
tempat tidur. Minta maaf mama karena kami tidak
datang waktu mama dikuburkan. Beta sedih sekali
karena mama sonde sempat gendong Fini.” Selesai
istri saya berkata disela-sela tangisannya, ruangan
tempat kami tidur dipenuhi dengan bau harum yang
menyenangkan hati. Istri saya berkata: “Mama,
terima kasih karena sudah datang lihat cucu.” Setelah
bau harum itu pergi, saya mengajak istri saya berdoa.
Pengalaman kedua terjadi sekitar bulan
September 2006. Ibu kandung saya meninggal 3
Agustus 2005. Selama hidupnya, mama memberi
111
perhatian khusus kepada saya. Sejak saya jadi pendeta
apa saja yang saya minta pasti mama penuhi. Kalau
saya memberi kabar akan berkunjung, mama sudah
menyediakan makanan kesukaan saya. Kematian
mama menyebabkan duka yang hebat dalam
keluarga. Itu kematian pertama yang kami alami di
dalam keluarga.
Kira-kira satu tahun setelah mama dimakamkan,
kami memperbaiki kuburan mama. Istilah yang
dipakai di Timor adalah Metzel Kubur, yakni
kuburan dibuat permanen dan dihiasi keramik atau
marmer. Sebulan setelah selesai metzel kubur, saya
mengajak istri mampir ke kuburan mama sebelum
berangkat ke kantor. Kunjungan itu tidak
direncanakan. Ide untuk mampir ke kubur baru
muncul saat kami di perjalanan. Itu sebabnya kami
tidak membawa sapu dan air untuk bersih-bersih
kuburan mama seperti yang biasa kami lakukan.
Begitu tiba di makam, ada kotoran anjing tepat di
atas makam mama. Agaknya ada anjing yang
membuang kotoran di makam mama sehari yang lalu.
Saya melihat kotoran itu, tetapi karena tidak
membawa air dan sapu lidi jadi kami tidak
membersihkan atau membuang kotoran itu. Saya
bilang kepada istri: “Ayo cepat. Kita harus segera ke
kantor karena sudah ada janjian bertemu tamu.”
Kami bergegas ke mobil. Kotoran anjing tetap di atas
makam mama.
Mesin mobil saya hidupkan dan siap berangkat.
Pada saat itu bau tidak sedap, yakni bau kotoran
anjing memenuhi mobil yang kami tumpangi. Saya
menghentikan mobil dan memeriksa sepatu, janganjangan saya menginjak kotoran anjing. Istri saya juga
112
berbuat demikian. Tapi tidak ada apa-apa. Kami
kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan. Bau
itu tetap saja ada. Saya menyalakan AC tapi tdak ada
pengaruh. Saya menurunkan semua kaca jendela
mobil. Tapi bau itu tetap mengikuti kami.
Sampai di kantor saya minta sopir untuk mencuci
mobil dan membersihkan seluruh bagian dalam
mobil karena ada bau tak sedap. Waktu jam kantor
usai dan saya kembali ke mobil, bau busuk itu tetap
saja ada di dalam mobil. Sopir melaporkan bahwa dia
sudah mencuci mobil luar dan dalam. Dia juga heran
karena dia tidak merasakan adanya bau tak sedap.
Tetapi istri saya, kedua anak kami dan saya terus
merasakan bau itu. Bau itu bertahan dalam mobil
selama tiga hari.
Tiga hari setelah bau tak sedap itu ada di dalam
mobil, istri saya meminta agar dalam perjalanan ke
kantor singgah di kuburan mama. Diam-diam istri
saya sudah menyediakan sapu lidi, satu jergen air dan
minyak
wangi
odok
lonyo.
Dia
berniat
membersihkan kuburan mama. Sepanjang perjalanan
ke kuburan bau tak sedap itu tetap mengikuti kami.
Sampai di kuburan, saya melihat kotoran anjing tadi
masih tetap di atas makam. Istri saya membuang
kotoran itu, mengepel dan mengeringkan tempat itu
lalu memercikan minyak di atas kubur, sambil
berkata: “Pak, kotong buru-buru ko tidak bersihkan
kubur mama dari kotorang anjing itu. Bau busuk di
dalam mobil selama tiga hari karena kotoran ini.”
Saya termenung mendengar kata-kata istri dan
membantu dia membersihkan rumput yang tumbuh
di situ. Usai membersihkan kubur saya mengajak istri
untuk berdoa di situ. Usai berdoa kami bernyanyi
113
bersama di sisi makam mama: “Ada Kota Yang Indah
Cerah.” Hubungan saya dengan mama tidak berakhir
karena kematian. Hubungan itu tetap. Tetapi saya
tidak ingin memahami hubungan itu lepas dari iman
saya dengan Allah sebagaimana yang mama ajarkan
kepada kami selama hidupnya. Saya membingkai
hubungan kami itu dalam iman kepada Kristus yang
menjanjikan bagi saya dan mama pertemuan kembali
di Rumah Bapa, Kota Allah yang kudus (Ibr. 13:14).
Itulah yang terpikir dalam benak saya ketika kami
mendendangkan kalimat: Indahnya saatnya kita
jumpa di kota permai” yang terkandung dalam lagu
itu. Usai bernyanyi kami kembali ke mobil untuk
berangkat kerja. Bau tak sedap yang ada dalam mobil
selama tiga hari tidak ada lagi. Bau itu hilang seiring
kami membuang kotoran anjing dan membersihkan
kuburan mama.
Sambil mengendarai mobil ke kantor saya
berpikir, mama sudah meninggal kurang lebih satu
setengah tahun. Tubuhnya pasti sudah mulai keropos
di dalam tanah. Kalau jiwa atau roh juga mati
bersama-sama tubuh, bagaimana menerangkan dua
pengalaman tadi? Mengapa boneka kesayangan Fini
berbicara tanpa ada orang yang menekan tangannya
dan
berhenti
berbicara
ketiga
istri
saya
memberitahukan kedatangan kami kepada ibunya
yang sudah meninggal dua bulan lalu? Kalau jiwa juga
ikut mati, penjelasan apa yang pas untuk bau busuk
dalam mobil selama tiga hari dan baru berhenti
setelah makam mama dibersihkan?
Bagaimana keberadaan manusia pada saat mati?
Jawaban pertama: tubuh manusia berhenti ada dan
114
lenyap, tetapi jiwanya tetap ada. Ia kembali kepada
Allah atau masuk ke satu tempat khusus, si mati
menjalani waktu antara untuk menanti penyatuan
kembali dengan tubuh yang lenyap itu pada hari
kedatangan kembali Yesus kristus untuk menjalani
penghakiman. Pada waktu itu ditetapkan secara definitif
kehidupan selanjutnya: mati kekal atau hidup kekal.
Jawaban kedua: sejajar dengan yang pertama.
Yang membedakan keduanya, ialah pendapat kedua,
menekankan transformasi tubuh untuk siap menerima
kemuliaan yang baru pada saat kebangkitan. Tubuh
yang ditransformasi itu kembali bersatu dengan jiwa.
Masa antara adalah kesempatan yang dipakai Allah
untuk transformasi tubuh untuk menerima kemuliaan
dalam kesatuan kembali dengan jiwa.
Jawaban ketiga: manusia mati seutuhnya; tubuh
dan jiwa. Tidak ada yang disebut waktu antara. Adanya
roh atau jiwa si mati yang sering muncul lagi atau
menampakan diri kepada keluarga adalah sesuatu yang
asing. Bahkan ada yang mengatakan bahwa roh dan jiwa
itu adalah iblis yang menyamar dalam rupa si mati
untuk mengganggu iman keluarga.125
Pertanyaan berikut menjadi penting dan
mendesak: “Manakah pandangan yang patut kita
Disebutkan dalam Wilfrid Fini Ruku. Reading of the
Fifth Commandment Contextually (Exodus 20:12). An
Indonesian-Atoni
Meto
Contextual
Hermeneutics.
125
Amsterdam: Vrije Univesiteit. 2008. hlm. 37.
115
pegang? Apakah kematian itu hanya terjadi pada tubuh
ataukah manusia itu mati seutuhnya?”
Alkitab tentang keadaan jiwa pada saat kematian
Manakala kita berpaling pada kesaksian Alkitab
kita menemukan jawaban yang pasti dalam hal berikut:
kematian menandai berakhirnya kehidupan kekinian
manusia sekaligus berakhir pula tubuh alami kita.
Tubuh alami itu akan diperbaharui. Kualitas-kualitas
baru akan diberikan kepadanya. Kami sudah
menunjukkan itu di sub bab terdahulu.
Mengenai pertanyaan: bagaimana dengan jiwa?
Apakah kematian tubuh menyebabkan kehidupan
berakhir ataukah jiwa tetap ada dan hidup? Alkitab juga
memberi petunjuk yang kuat. Yang kekal itu hanya
Allah saja, dalam arti Allah tidak takluk pada maut.
Demikian kata Alkitab (I Tim. 6:15-16). Allah yang
kekal itu tidak ingin memiliki kekekalan itu bagi
diriNya sendiri. Ia berkenan memberikan kekekalan itu
bagi ciptaan.
Di dalam Kristus Ia memberikan kekekalan itu
kepada manusia, yakni orang-orang yang percaya
kepadaNya (Pkh. 3:11, Yoh. 3:16). Jadi makhluk ciptaan
Tuhan juga dapat memiliki hidup yang kekal dari Allah.
Kekekalan makhluk tidak berdiri sendiri. Ia adalah
pemberiaan Allah. Malaikat-malaikat yang adalah
ciptaan atas perkenanan Allah tidak mengalami
kematian. Jiwa adalah kenyataan ciptaan. Karena ia
116
tidak ilahi ia memang harus mati.126 Tetapi jiwa bisa
tidak mati jika Allah berkenan seperti yang terjadi
dengan malaikat. Ini adalah kedaulatan Allah. Kita patut
bersyukur untuk itu.
Pada waktu mendiskusikan karya penciptaan
Allah, kami tegaskan bahwa realita ciptaan Allah itu
tampil berpasang-pasangan. Salah satu yang mau kami
tekankan karena sangat sering diabaikan adalah realita
ciptaan itu kelihatan dan tidak kelihatan. Selain
manusia dan makhluk-makhluk di bumi, Allah juga
adalah pencipta makhluk-makhluk yang tidak kelihatan
di angkasa: malaikat, roh-roh dan penguasa-penguasa
semesta yang tidak kasat mata. Allah memberikan
kehidupan kepada mereka dalam bentuk yang berbeda
dengan yang yang diberikan kepada manusia, yakni
mereka ini tidak mengalami kematian. Apa yang Tuhan
berkenan diberikan kepada ciptaan yang tidak
kelihatan, berlaku juga bagi aspek yang satu ini dari
manusia, yakni jiwa. Oleh kehendak Allah jiwa tetap
hidup. van der Woude menulis: ”Imoratalitas jiwa
bukanlah kualitas yang dimiliki manusia, tetapi melalui
kematian dan atas penetapan Allah imortalitas
126
Pada posisi ini saya sependapat dengan Andarias
Kabanga‟ yakni jiwa adalah kenyataan ciptaan. Allah
menciptakan tubuh dan jiwa kemudiannya menyatukan
keduanya menjadi satu, yakni manusia. Jadi manusia adalah
satu totalitas, tubuh dan jiwa. Lihat, Andarias Kabanga‟.
Manusia Mari Seutuhnya. Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002.
hlm. 200.
117
merupakan pemberian yang berasal karya keselamatan
Kristus.”127
Bahwa jiwa bisa tetap ada atau tidak ikut mati
pada saat tubuh mati mengemuka dalam berbagai
fragmen kesaksian Alkitab. Dalam I Samuel 28.
Dikatakan bahwa Samuel sudah mati. Dalam keadaan
terjepit karena harus menghadapi peperangan Saul
bertanya kepada TUHAN, tetapi TUHAN tidak
menjawab dia, baik dengan mimpi, baik dengan Urim,
baik dengan perantaraan para nabi. Maka Saul memilih
jalan yang bertentangan dengan kehendak Allah. Dia
bertemu seorang perempuan yang sanggup memanggil
arwah untuk memanggil Samuel. Sekalipun sudah mati,
tetapi Samuel tetap ada. Dikatakan dalam cerita itu
Samuel muncul.
Andarias Kabanga‟ menegaskan bahwa yang
muncul untuk berbicara itu bukan jiwa (nefesy atau
ruakh) Samuel, tetapi Samuel sendiri. “Aku”-nya Samuel
itulah yang berbicara dengan Saul.128 Kami sepaham
dengan Kabanga‟. Tetapi penegasan berikut dari
perempuan ini: “Aku melihat sesuatu yang ilahi muncul
dari dalam bumi” membuat persoalan menjadi
kompleks. Yang berbicara dengan Saul adalah Samuel,
tetapi dalam wujud yang ilahi. Bentuk Ibraninya: olim
dari olam yang artinya hidup dalam satu rentang waktu
127
A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en
dood.” Dalam: Kerk en teologie. 22e jaargang no. 4. Oktober
1971. „S-Gravenhage. Boekencentrum. hlm. 315.
128
Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya.
Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002. hlm. 203.
118
yang lama. Samuel sudah mati, tetapi dia tidak lenyap.
Dia tetap hidup dalam wujud yang baru.
Mengatakan bahwa manusia mati seutuhnya
(tubuh, jiwa atau roh) akan menimbulkan banyak
kesulitan dalam menjelaskan teks Alkitab tadi. Selain itu
ada lagi beberapa fragmen yang patut mendapat
perhatian. Pertama, kesaksian Alkitab mengenai
kematian Yesus. Matius, Markus, Lukas dan Yohanes
memberitakan hal yang sama tentang detik-detik
terakhir kehidupan Yesus. Lukas secara eksplisit
menulis: “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: "Ya
Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku." Dan
sesudah berkata demikian Ia menyerahkan nyawa-Nya”
(Mt. 27:50, Mk. 15:37, Lk. 23:46, Yoh. 19:30).Yesus
menyerahkan nyawa kepada Allah Bapa pada saat Ia
mati. Ini memberi kesan kuat bahwa hanya tubuh saja
yang mati. Tubuh itu yang kembali ke tanah. Nafas
hidup pulang kepada Allah karena dia berasal dari Allah
(Kej. 2:7).
Origenes juga berpendapat demikian. Dengan
melihat kepada kematian Yesus Kristus di salib Origenes
percaya bahwa tubuh, jiwa dan roh Yesus Kristus
terpisah untuk sementara waktu ketiga Yesus mati.
Tubuh Yesus dimakamkan, jiwaNya pergi ke dunia
orang mati (hades) sedangkan roh Kristus kembali
kepada Allah Bapa. Bertolak dari situ Origenes berkata
bahwa jiwa manusia tidak mengalami kematian.
Kematian hanya berlaku bagi tubuh. Pada saat tubuh
mati, jiwa menjalani kehidupan dalam satu dimensi
119
yang baru, berbeda dengan pada saat ia masih berdiam
dalam tubuh.129
Kedua, Yesus Kristus hidup jauh hari setelah
Abraham mati. Dalam salah satu pengajaranNya Yesus
bercerita tentang Lazarus dan seorang kaya. Kedua
orang ini mati. Tubuh mereka dikuburkan menurut
kebiasaan orang Yahudi. Yang menarik dari cerita Yesus
Lazarus ada di sorga dan orang kaya tadi di alam maut.
Yesus juga mengatakan bahwa Lazarus ada di pangkuan
Abraham, padahal Abraham sudah mati ribuan tahun
sebelumnya (Lk. 16). Tidaklah mungkin Abraham,
Lazarus dan orang kaya itu bertemu dan berbincangbincang di alam yang lain, kalau manusia mati
seutuhnya. Dalam Matius 10:28 Yesus mengatakan
bahwa jiwa tidak dapat dibunuh.
Stanley J. Grenz menegaskan bahwa kisah ini
bukan sebuah kejadian historis tetapi sebuah
perumpamaan. Karena itu tidak bisa dipakai sebagai
dasar bagi keberlanjutan jiwa pada saat kematian.130
Keberatan kami, kalau benar ini perumpamaan,
mengapa Yesus menggunakan nama pribadi dari orangorang yang pernah hidup? Kalau kita perhatikan semua
perumpamaan, Yesus tidak pernah menyebut nama
pribadi. Cerita Yesus tentang Lazarus, orang kaya dan
Abraham bukan perumpamaan, tetapi kisah historis.
Geoffrey W. Bromiley. Historical Theology. An
introduction. Edinburgh: T&T Clark. 1994. hlm. 47-48. Calvin
juga menganut paham tentang keabadian jiwa.
130 Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God.
hlm. 771.
129
120
Liem Khiem Yang mengkategorikan kisah ini dalam
perumpamaan yang bersifat exemplum, yakni
perumpamaan yang mengetengahkan peri kehidupan
berbagai orang secara langsung menjadi satu contoh
yang jelas.131
Ketiga, ada satu peristiwa dalam kisah hidup
Yesus yang juga menarik untuk mendapat perhatian,
yakni mengenai penampakan Musa dan Elia untuk
berbincang-bincang dengan Yesus beberapa waktu
sebelum kematianNya (Mt. 17:3). Menurut Ulangan 34:5
Musa mati pada usia 120 tahun dan dikuburkan di BetPeor di satu lembah di tanah Moab. Musa yang sudah
mati ini bersama Elia menjumpai Yesus.
Andarias Kabanga‟ menjelaskan masalah ini
dengan
menunjuk
pada
rahasia
Allah
dan
kedaulatanNya. Bahwa Allah berdaulat menghadirkan
Musa untuk berbincang-bincang dengan Yesus.132 Kami
tidak keberatan dengan penjelasan ini. Tetapi itu berarti
setiap kali ada hal serupa kita akan memberi penjelasan
yang sama, yakni itu adalah kedaulatan Allah seperti
untuk dua fenomena dalam pengalaman pribadi penulis.
Jawaban seperti itu baik tetapi menyangkali peran akal
dan rasio dalam upaya mencari pemahaman terhadap
realitas iman.
Liem Khiem Yang. Mendengarkan Perumpamaan
Yesus. Suatu Pedoman. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999.
Cetakan keempat. 2009. hlm. 56.
132
Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya.
Yogyakarta: Madia Pressindo. 2002. hlm. 209.
131
121
Keempat, dalam PL Allah melarang Israel untuk
melakukan kontak dengan arwah (Im. 19:31, 20:27, Ul.
18:11). Ini mengandaikan bahwa orang yang sudah mati
tidak lenyap. Ia tetap ada dalam satu cara baru. Allah
sendiri mengakui itu. Selain itu beberapa ayat Alkitab
jelas menunjukan adanya perpisahan antara tubuh dan
jiwa (roh) pada saat kematian (Yoh. 19:30, Kis. 7:59, Yak
2:26). Pengkhotbah 12:7 mengatakan: “Debu kembali
menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada
Allah yang mengaruniakannya.” Penegasan ini
mengingatkan kita kepada Kejadian 2:7 yang
menegaskan tentang tubuh dari debu dan nafas hidup
dari Allah bersatu sehingga manusia itu hidup.
Kelima, Alkitab berbicara tentang ada sheol,
dunia orang mati sebagai tempat ke mana manusia pergi
(Pengk. 9:10). Di sana si mati tidur. Mengatakan bahwa
jiwa juga mati sama artinya dengan mengabaikan
kesaksian Alkitab tentang adanya sheol.
Kalau alur kesaksian ini kita ikut secara
konsisten sampailah kita pada kesimpulan bahwa jiwa
tidak mati. Itu bukan karena jiwa bersifat ilahi. Juga
bukan karena jiwa itu kekal. Tidak! Jiwa juga adalah
ciptaan, tetapi Allah berkenan memberi sifat immortal
kepada jiwa untuk mempertahankan kontinutas
identitas personal masa kini si mati sampai ke masa
depan di mana ia dibangkitan dari kematian untuk
menerima hukuman ataupun pujian.133 Bagi yang
menerima hukuman pada parousia, ia akan mengalami
133
122
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170.
kematian kekal yang berlaku atas tubuh dan jiwa. Hal
ini secara implisit disinyalir dalam Roh 4:17: “Allah
yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan
dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada.”
Tetapi
perlu
juga
dicatat
bahwa
keberlangsungan hidup jiwa yang telah berpisah dari
tubuh tidak memiliki eksistensi yang penuh. Orangorang yang pernah dinyatakan mati oleh dokter tetapi
setelah 30-45 menit hidup kembali bercerita bahwa
pada saat mati mereka keluar dari tubuh dan berjalan,
mereka bertemu dan berbicara dengan orang-orang
yang mereka kenal tetapi orang-orang itu tidak
mempedulikan mereka, mereka meraih tangan orangorang itu tetapi tak berhasil memegang apa-apa. Ceritacerita ini menunjukkan dengan jelas bahwa jiwa yang
telah berpisah dari tubuh tidak memiliki eksistensi yang
penuh.134
Itulah sebabnya, kata Pannenberg sejak awal
mula para pemikir Kristen merasa perlu menegaskan
bahwa tubuh dan jiwa satu adanya. Demi memelihara
keberlangsungan identitas personal si mati sampai ke
saat kebangkitan orang mati, gereja Katholik sejak 1513
mengumumkan dogma tentang kontinutas kehidupan
jiwa pada saat seseorang meninggal dunia. 135 Orang mati
tetap memiliki kesadaran tetapi tidak lagi ikut terlibat
134
George C. Ritsche. “Return from Tomorrow.” Dalam:
Life After Death. A Reprint From Guidepost Magazine. hlm.
11-12.
135
Wolfhart Pannenbrg. De geloofsbelijdenis. hlm. 170.
123
dalam peristiwa-peristiwa di bumi,
kehidupan keluarga yang ditinggalkan.136
juga
dalam
Keberadaan jiwa pada saat kematian adalah
tetap. Jiwa tidak mati tetapi ia tidak memiliki eksistensi
penuh. Ayat-ayat Alkitab yang menegaskan bahwa di
dunia orang mati tidak akan ada yang menaikan syukur
dan memuliakan Tuhan (Mz. 6:6, 88:11, 115:17) dapat
kita pahami dari realita ini.
Wujud Kehidupan Baru Pada Saat Kematian
Memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Alkitab tentang keberlangsungan hidup jiwa. Tetapi
indikasi-indikasi untuk itu cukup banyak seperti sudah
kita lihat. Kematian seperti yang nampak dalam kisahkisah Alkitab tadi bukan berhenti berada atau hilang
lenyap tetapi berada secara baru. Bagaimanakah wujud
dari cara berada yang baru itu? Dalam episode yang
menegangkan tadi dikatakan bahwa perempuan itu
melihat sesuatu yang ilahi muncul dari dalam bumi (I
Sam. 28:13). Dia itu tidak lain adalah Samuel.
Kehidupan dalam bentuk baru yang dialami manusia
pada saat kematian adalah masuk dalam kehidupan yang
ilahi atau menjalani hidup dalam modus sebagai yang
ilahi.
Memperhatikan prinsip thinking before the
Bible dan thinking inside-out people own context
Stanley J. Grenz. Theology for the Community of God.
hlm. 777.
136
124
patutlah kita katakan bahwa kematian bukan berarti
manusia berhenti ada. Kematian berarti manusia itu
menjalani hidup dalam satu cara berada yang baru yang
berbeda dengan cara berada sebelumnya. Tubuhnya
mati, terbaring tanpa daya dan gerak di satu tempat
tetapi si mati itu hidup. Kalau di atas kita berkata bahwa
seseorang dianggap sudah mati (dalam arti teologis)
sekalipun badannya, tubuhnya masih berjalan dan
melakukan aktivitas rutinnya, mengapa hal yang sama
tidak berlaku dengan kematian? Yakni sekalipun badan
dan tubuh manusia itu sudah mati, tetapi manusia itu
ternyata hidup. Kehidupan yang dijalani orang itu pada
saat kematian mengambil bentuk yang baru.
Memang sulit untuk menerangkan bentuk
kehidupan baru yang dijalaninya pada saat kematian.
Yang biasa dan lazim dikatakan tentang keberadaan
seseorang pada saat kematian ialah tubuhnya mati.
Tubuh yang mati itu menjalani masa transformasi. Jiwa
tidak mati. Jiwanya ada dalam bentuk bayang-bayang,137
ada tetapi tidak berpribadi.138
George E. Ladd. The Last Things. hlm. 32.
Sewaktu masih SMP dan SMA ada beberapa buku
kesaksian iman kisah nyata tentang kematian yang saya baca.
Kurang lebih ada lima buku, dua di antaranya masih saya
ingat: “Sejenak di Alam Baka dan Aku Pernah Mati. Bukubuku itu menceritakan dengan jelas bahwa pada saat mereka
menghembuskan nafas terakhir jiwa mereka keluar dari
tubuh dan mulai melakukan perjalanan ke satu tempat yang
suasananya berbeda dengan yang mereka alami di dunia.
Kisah-kisah itu mau menunjukkan bahwa jiwa tidak mati.
137
138
125
Jadi apakah kematian itu hanya berlaku pada
tubuh ataukah manusia itu mati seutuhnya? Jawabannya
bergantung pada bagaimana kita memahami kesatuan
antara tubuh dan jiwa. Manakalah kesatuan keduanya
kita pahami hanya dari logika keilmuan, maka
jawabannya adalah pada opsi kedua (kontinutas
berkelanjutan dan parmanen). Posisi memang dapat juga
dikonstruksi dari perspektif Alkitab dan makin memiliki
dukungan yang cukup kuat dari berbagai teolog. Tetapi
benturan dengan pengalaman manusia dalam berbagai
masyarakat dan masa tidak bisa dihindari. Tidak sedikit
pula orang yang menolak hal ini.139
Kalau kita melihat kesatuan itu dalam perspektif
kebangkitan orang mati, dalam arti tubuh kebangkitan
itu akan memperoleh kualitas-kualitas yang baru, maka
posisinya tidak bisa lain pada pandangan pertama dan
keempat (diskontinutas yang berkembang dan
diskontinutas yang transformatif).
Posisi ini berseberangan jauh dengan communis
opinio di kalangan para ilmuan, baik teologi maupun
ilmu pengetahuan modern sebab dua opsi tadi
mengandaikan bahwa ada sesuatu dari manusia yang
tetap ada sampai kedatangan kembali Yesus Kristus.
Pandangan bercorak paradoksal, tetapi memberikan
kontribusi yang tidak bisa didiamkan bagi ilmu
pengetahuan dan teologi dalam memikirkan keadaan
manusia pada fase terakhir kehidupan duniawinya.140
139
140
126
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19.
M.E. Brinkman. “ Voorbij de Dood.” hlm. 19.
Kembali kepada di atas: “Apakah kematian itu
hanya berlaku pada tubuh ataukah manusia itu mati
seutuhnya? Pertama, kami akui bahwa keadaan manusia
pada saat mati memang merupakan sebuah misteri
karena senyata-nyatanya manusia itu mati, berhenti ada.
Tetapi pada saat yang sama dan juga senyata-nyatanya
manusia yang mati itu tidak hilang atau habis. Manusia
itu tetap ada hanya dalam cara yang baru.141
Tanpa mengurangi misteri itu kami melihat
bahwa pandangan diskontinutas yang berkembang dan
diskontinutas yang transformatif memperlihatkan
banyak persesuaian dengan kesaksian Alkitab tentang
kehidupan dan kematian manusia. Dan atas dasar itu
kami memilih opsi keempat, pandangan yang bercorak
diskontinutas yang transformatif mengenai kesatuan
tubuh dan jiwa.
Kematian adalah fase di mana manusia memulai
satu kehidupan dalam cara baru. Manusia tidak lenyap
dan habis. Ia pulang kepada Allah atau seperti yang
diungkapkan PL dikumpulkan kepada kaum leluhurnya.
Hidup dalam bentuk yang baru itu, sebagaimana kita
lihat pada kasus Samuel, Lazarus, orang kaya dan
Abraham adalah menjalani hidup dalam modus sebagai
141
Secara pribadi kami tidak setuju dengan Suh Sung Min
yang mengatakan bahwa immortalitas jiwa yang ditekankan
juga dalam beberapa pengakuan iman gereja adalah karena
pengaruh filsafat. Itu bukan konsep Alkitab. Kami juga tidak
setuju dengan kesimpulannya bahwa manusia mati
seutuhnya. Lihat: Suh Sung Min. Injil dan Penyembahan
Nenek Moyang. Yogyakarta: Media Pressindo. 2001. hlm. 267.
127
yang ilahi. I Petrus 3:20 menyebut orang yang sudah
mati sebagai roh.
Manusia hidup dalam wujud roh pada waktu
kematian. Relasi antara si mati dengan keluarganya
tetap ada. Relasi itu tidak dalam ingatan, dalam perasaan
atau dalam kesadaran.142 Relasi itu nyata dan konkret.
Itu yang juga ditunjukan dalam kisah Samuel dan juga
cerita Yesus dengan orang kaya yang merasa prihatin
dengan keselamatan lima orang saudaranya (Lk. 16).
Keberadaan hidup dalam wujud ilahi bukan berarti
bahwa yang bersangkutan menjadi Allah, tetapi itu
diperkenankan Allah untuk menjaga kelangsungan
identitas personal si mati sampai saat penghakiman.
Sebagai yang berwujud roh si mati tidak memiliki
independent substansial existence.143
Tempat Tinggal Jiwa Sebelum Kebangkitan
Kalau kita kembali memeriksa kesaksian Alkitab
tentang tempat tinggal wujud rohani seseorang pada saat
kematian, kita bertemu dengan dua alur kesaksian.
Pertama, pada saat kematian jiwa atau roh seseorang
yang percaya akan kembali kepada Allah sedangkan
mereka yang memberontak terhadap Allah akan berada
di alam maut. Ini nampak dalam cerita Yesus tentang
Lazarus dan orang kaya (Lk. 16:22-24). Kesaksian ini
sejalan dengan roh Yesus (Yoh. 19:30) dan Stefanus (Kis.
142
Lihat penjelasan rinci tentang itu dalam Luis Berkhof.
Systematic Theology. hlm. 677.
143 Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 676.
128
7:59) pada saat mati. Penegasan Yesus kepada penjahat
yang disalibkan bersamaNya juga menunjuk pada
kesimpulan yang sama (Lk. 23:43).
Persoalan yang muncul, kalau jiwa langsung
pergi kepada Allah atau alam maut pada saat kematian,
apa perlunya lagi kebangkitan daging? Alkitab
menyediakan jawaban berikut. Mereka yang percaya
rohnya pulang kepada Allah untuk menjalani istrahat
(Why. 14:13). Kebahagiaan yang sempurna itu baru
akan diberikan kepada mereka pada saat kebangkitan
tubuh, tetapi mereka sudah mulai mengalami riak-riak
awal dari kebahagiaan itu. Mereka yang tidak percaya
langsung meluncur ke alam maut (Bil. 16:30, Mz. 49:1516). Penghukuman terakhir belum terjadi, tetapi mereka
sudah mulai mengalami hukuman dan penderitaan di
alam maut. Api yang dahsyat dan menghanguskan
orang-orang durhaka belum dinyalakan (Ibr. 10:27),
tetapi mereka sudah mulai merasakan penderitaan
akibat api itu.144
Alur kesaksian kedua berkata tentang sheol atau
hades sebagai tempat tinggal sementara dari jiwa pada
saat kematian. Kebanyakan teks Alkitab yang menyebut
tempat ini sebagai tempat tinggal sementara dari orangorang yang tidak percaya kepada Allah (Ay. 21:13, Mz.
9:18, Ams. 5:5, 7:27, 9:18, 15:24). Keberadaannya di
sheol adalah untuk menunggu kebangkitan tubuh. Di
situ ia sudah mulai merasakan dahsyatnya kehidupan
yang terpisah dari Allah, tetapi tidak lagi tersedia
144
Alfred A. Glenn. Taking Your Faith to Work.. hlm.
101.
129
baginya kesempatan untuk bertobat dan memperoleh
pengampunan (Lk. 9:27, 2 Kor. 6:2, Ibr. 9:27).
Meskipun demikian ada teks menarik, dalam
Pengkhotbah 9:10. Di sana disebutkan bahwa manusia,
siapapun dia akan pergi ke dunia orang mati. Di sana tak
ada pekerjaan, pertimbangan, pengetahuan dan hikmat.
Dunia orang mati merupakan tempat di mana manusia
hidup dalam peristrahatan. Ya seperti tidur.
Atas dasar ini, dikembangkan berbagai spekulasi
tentang sheol.145 Ada yang berpendapat bahwa sheol
adalah tempat jiwa manusia beristrahat selama menanti
saat kebangkitan. Kaum Anabaptist dan Socianian
adalah penganut gagasan ini. Ini bukan tempat
penghukuman atau pun penghormatan. Sheol
merupakan tempat tanpa pembedaan moral. Jiwa orang
baik dan orang jahat masuk ke sana dalam keadaan tak
sadar.
Justinus Martir, Irenaeus, Tertulianus, Origenes,
Ambrosius dan Augustinus menggambarkan sheol
sebagai yang terdiri dari dua bagian: untuk jiwa orang
jahat dan untuk jiwa orang baik. Di sana sudah mulai
terjadi proses penghukuman dan penghormatan, tentu
saja dalam kadar yang lebih rendah dari penghukuman
dan penghormatan yang bakal diterima pada saat
penghakiman terakhir.
Gereja Roma Katholik menyebutkan dua bagian
dari sheol. Mereka yang jahat langsung masuk ke bagian
Disarikan dari Luis Berkhof. Systematic Theology.
hlm. 681.
145
130
untuk penghukuman. Mereka yang pergi bagian sheol
untuk orang baik akan menjalani pemurnian iman
supaya berlayak untuk sorga. Orang-orang suci dan para
martir tidak membutuhkan pemurnian itu. Jiwa mereka
langsung ke sorga.
Apa pun juga sheol itu, Alkitab menunjukkan
bahwa wilayah itu tetap berada dalam kuasa dan
perhatian Allah. Mazmur 139:8 menegaskan hal itu
dalam kalimat berikut: “Jika aku menaruh tempat
tidurku di dunia orang mati, di situ pun Engkau.”
Perang Terhadap Penyembahan Roh Leluhur
Karena kematian berarti manusia menjalani
hidup dalam modus baru, yakni sebagai yang ilahi atas
perkenanan Allah maka orang mati sering dijadikan
obyek ibadah dan penyembahan oleh mereka yang
masih hidup. Penyembahan terhadap orang mati inilah
yang tidak boleh manusia lakukan. Allah dengan keras
melarang manusia melakukan kontak dengan arwah
(Ibr: ov Im. 19:31). Pelarangan ini mengandaikan bahwa
ada sesuatu dari manusia yang tetap ada pada saat mati.
Orang yang sudah mati menjalani hidup dalam
wujud yang baru. Pendapat bahwa manusia mati
seutuhnya, sebagaimana dirumuskan oleh Gereja Toraja
dalam pengakuan imannya tidak boleh dipahami sebagai
penegasan bahwa manusia itu habis dan hilang.146 Ia
146
Andarias Kabanga.
Seutuhnya.” hlm. 228.
Formulasi
“Manusia
Mati
131
harus dipahami sebagai pernyataan perang (suara
kenabian) gereja terhadap pemahaman orang Toraja
bahwa manusia belum dianggap mati (to makula)
apabila keluarga belum mengadakan baginya upacara
pemakaman. Rumusan ini juga berfungsi sebagai
penolakan terhadap penyembahan arwah atau
leluhur.147 Rumusan pengakuan iman manusia mati
seutuhnya merupakan solusi yang ditawarkan Gereja
Toraja untuk memerangi dua hal tadi.
Kami setuju dengan pernyataan perang tadi.
Penyembahan terhadap leluhur dan arwah orang mati
ditolak karena bertentangan dengan firman pertama
dasa titah. J. Verkuyl menunjukkan kepada kita tiga
motif dari praktek penyembahan nenek moyang.148
Pertama, perasaan hormat dan cinta kasih. Verkuyl
memberi nilai positif untuk motif ini. Dua motif
lainnya: rasa takut dan keinginan untuk memperoleh
berkat serta perlindungan. Dua motif ini diberi nilai
negatif oleh Verkuyl.
Perang terhadap penyembahan orang mati dan
leluhur patut kita lakukan. Tapi kami tidak setuju jika
terjadi penyangkalan terhadap adanya keberlanjutan
hidup setelah mati. Kami perlu mengingatkan bahwa
kematian tidak berarti berakhirnya kehidupan,
melainkan si mati masuk dalam fase kehidupan yang
baru. Itu bararti hubungan si mati dengan keluarganya
147
Andarias Kabanga‟. Manusia Mari Seutuhnya. hlm.
295-7.
J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. Jakarta: BPK
Gunung Mulia. 1961. hlm. 27-8.
148
132
masih terus berlanjut. Hubungan di antara mereka tetap
ada.
Dalam cerita tentang orang kaya dan Lazarus
Yesus jelas mengatakan bahwa orang kaya itu tetap
mengingat lima saudaranya yang masih hidup. Jadi
bukan hanya orang hidup yang mengingat si mati. Si
mati juga mengingat yang hidup. Hubungan yang tetap
ada antara orang yang hidup dengan yang sudah mati
menjadi tantangan iman bagi keluarga yang masih
hidup. Tanpa pemahaman yang benar tentang
bagaimana sepatutnya hubungan itu dibangun keluarga
yang ditinggalkan dapat jatuh dalam bahaya
penyembahan orang mati.
Gereja dan teologi yang dikerjakannya patut
menolong keluarga untuk tidak terjerumus dalam
praktek ini. Tetapi tidak juga dibenarkan jika karena
ketakutan pada bahaya penyembahan orang mati Gereja
lalu mengajarkan tentang kematian sebagai kematian,
yakni habislah semua hubungan cinta kasih. Kematian
menurut Alkitab adalah tidur.
Sikap penolakan banyak pihak di Toraja atas
rumusan pengakuan iman: manusia mati seutuhnya
sebagaimana yang dicatat oleh Kabanga‟ menurut
pendapat kami disebabkan oleh perhatian yang tidak
berimbang terhadap pemahaman lokal (thinking insideout) dari pengalaman konkret manusia sekaligus
pengabaian kesaksian Alkitab tentang keberadaan
133
manusia dalam wujud roh pada saat kematian (thinking
after the Bible).149
Dalam hubungan ini van der Woude
menegaskan: “Pendapat modern bahwa kematian adalah
kematian tidak memiliki dasar dalam Perjanjian Lama
demikian juga dalam sejarah agama-agama dan dalam
parapsychology.”150 Selanjutnya van der Wouden
menulis: “Tanpa terjebak dalam dualism anthropologi,
kontinutas kehidupan individu tetap diasumsikan dalam
Perjanjian Lama dan juga dunia Timur kuno. Dalam
dunia kuno manusia dianggap tetap hidup dalam wujud
roh setelah kematian tubuh.”
Waktu seseorang meninggal dunia, ia tidak
berhenti ada. Secara biologis dan fisik dia telah tiada.
Tetapi ia masih tetap hidup dalam ingatan dan kasih
keluarga yang ditinggalkan. Alkitab bahkan memberi
kesaksian bahwa mereka yang mati masih ada. Setidaktidaknya mereka ada dalam wujud roh (I Pet. 3:20).
Hubungan keluarga yang ditinggalkan dengan si mati
tetap ada dan mestinya tetap dijaga. Yang salah atau
yang tidak boleh dilakukan ialah hubungan itu berubah
menjadi hubungan penyembahan.
Sikap penyembahan adalah dosa, menurut
Verkuyl karena melangkahi hukum pertama dari
149
A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en
dood.” Dalam: Kerk en teologie. 22e jaargang no. 4. Oktober
1971. „S-Gravenhage. Boekencentrum. hlm. 314.
150 A.S. van der Woude. “Onsterfelijkheid, leven en
dood.” hlm. 314.
134
sepuluh firman. Meminta perlindungan dan berkat dari
si mati adalah perbuatan yang bertentangan dengan
kehendak Allah. Wilfrid Fini Ruku menunjukkan
kepada kita bagaimana seharusnya sikap Kristen
berhadapan dengan tuntutan korban dari pihak roh-roh,
yakni memperhadapkan tuntutan roh-roh itu dengan
Yesus Kristus.151
Penghormatan Kepada Si Mati
Alkitab menolak penyembahan roh orang mati.
Praktek itu disamakan dengan perzinahan (Im. 20:6).
Perbuatan itu sama dengan berubah setia terhadap
Tuhan dan firmanNya.152 Lalu bagiamana dengan
penghormatan terhadap orang mati?
Di kalangan orang Kristen praktek mengunjungi
makam kekasih yang sudah meninggal merupakan gejala
yang terjadi secara masal pada saat-saat menjelang natal,
pergantian tahun dan juga paskah. Mereka pergi untuk
membersihkan makam, meletakkan bunga, menyalakan
lilin, membawa sedikit makanan bahkan ada juga
keluarga yang berkumpul untuk berdoa dan bernyanyi
151
Wilfrid Fini Ruku adalah dosen Perjanjian Lama
Fakultas Teologi UKAW Kupang yang menulis thesis tentang
kutuk orang tua terhadap anak. Pada waktu naskah buku ini
dipersiapkan dia sedang melakukan penelitian untuk disertasi
doktoralnya di Fak. Teologi UKDW Jogjakarta. Kami sudah
menguraikan solusi yang ditawarkan Fini Ruku dalam bab
terdahulu di bawah judul korban berdarah.
152 J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 29.
135
bersama di sisi makam orang-orang dekat mereka. Ada
kekosongam batin jika hari-hari raya keagamaan dijalani
tanpa menengok makam orang-orang yang dikasihi.
Selain mengunjungi makam pada hari-hari besar
gerejawi, tidak sedikit warga gereja yang membangun
makam yang megah dan mewah bagi orang-orang yang
mereka kasihi. Di makam itu ditaruh berbagai simbol
Kristen bahkan diberi keramik yang diukir wajah Yesus.
Bahkan
cukup
banyak
warga
gereja
yang
menyelenggarakan ibadah syukuran memperingati
tahun ke sekian kematian orang yang mereka kasihi.
Leonardo Duil dalam penelitiannya menemukan
beberapa motivasi di balik praktek ini.153 Pertama,
sebagai ungkapan cinta dan hormat. Mereka ini percaya
bahwa masih ada hubungan batin antara mereka yang
hidup dan yang sudah mati. Mereka berpendapat bahwa
si mati mengetahui dan mengerti perasaan hati
mereka.154
Kedua, perbuatan itu hanya berguna bagi yang
hidup saja. Mereka yang sudah meninggal tidak tahu
apa-apa, sebab mereka telah dijemput malaikat-malaikat
ke sorga pada saat mati. Gunanya bagi yang hidup
adalah untuk mengenang dan mengingat cinta kasih
Leonardo Duil. Persekutuan Orang Kudus. Suatu
Tinjauan Dogmatis tentang Makna Persekutuan Orang Kudus
Dalam Pengakuan Iman Rasuli dan Implikasinya bagi Jemaat
GMIT Karmel Fatululi Klasis Kota Kupang. Skripsi. Kupang:
Fak. Teologi UKAW. 2011. hlm. 62.
154 Jublina Tefu, (jemaat), Wawancara, Fatululi, 15 April
2011.
153
136
mereka yang sudah meninggal.155 Ketiga, perbuatan itu
dilakukan untuk mendapatkan berkat dan perlindungan
dari roh mereka yang sudah meninggal. Roh orang mati
masih hidup karena dilindungi serta diberkati oleh
Tuhan. Roh mereka itu seperti malaikat yang selalu
melindungi dan menjaga kita.156
Tidak sedikit pendeta yang menilai praktek ini
secara negatif karena itu mereka menolak melayani
permintaan syukuran. Di beberapa kelompok doa
praktek ini disamakan dengan penyembahan berhala.
Pemimpin kelompok doa itu melarang anggotanya
berpartisipasi dalam semua kegiatan yang berhubungan
dengan kematian, termasuk menjengguk jenazah,
menolong keluarga duka atau mendoakan keluarga duka
pasca pemakaman. Tubuh si mati dianggap sebagai najis
sehingga harus dijauhi.
Menurut kami penilaian itu perlu dipahami
ulang. Gereja memang menolak penyembahan orang
mati, tetapi tidak boleh serta-merta mengutuk praktekpraktek penghormatan kepada si mati. Kita tidak boleh
sekedar melihat pada wujud yang kelihatan melainkan
juga pada motivasi dari praktek itu sebelum mengambil
sikap.
Praktek-praktek tadi umumnya didasari atas
penghormatan dan cinta kasih terhadap jasad. Ini
Thomas Nuhalawang (jemaat), Wawancara, Fatululi,
13 April 2011.
156 Noch Wabang (jemaat), Wawancara, Fatululi, 22 April
2011.
155
137
motivasi pertama. Para penyembah berhala juga
memperlakukan jasad orang mati dengan perasaan
hormat.157 Alkitab mengajarkan bahwa tubuh yang
dibentuk Allah adalah baik. Ia memiliki nilai dan kudus
karena merupakan tiruan dari Allah (gambar Allah).
Juga pada saat mati tubuh itu tetap berharga. Pada
parousia nanti Allah akan membangkitkan kembali
tubuh itu untuk diberi mahkota kehidupan.
Kedua, keyakinan akan kehidupan kekal yang
diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan kekal itu
bukan sesuatu yang baru akan diterima pada parousia,
atau ketika seseorang meninggal dunia tetapi sudah
mulai menjadi milik manusia semasa hidup, yakni saat ia
memberi diri kepada Yesus Kristus. Seseorang mati
tetapi sesungguhnya ia hidup (Yoh. 11:25).
Ketiga, sikap takut atau penyembahan. Praktekpraktek tadi dijalani untuk menjaga agar roh si mati
tidak murka dan mencelakakan atau mengganggu
keluarga. Sebaliknya supaya si mati mengaruniakan
berkat dan melindungi keluarga dari berbagai bencana.
Untuk itu keluarga melakukan hal-hal tadi supaya
menyenangkan si mati.
Melarang penyembahan kepada si mati karena
anggapan bahwa roh si mati bisa mendatangkan celaka
atau memberi berkat dan perlindungan adalah hal yang
harus dilakukan gereja. Jelasnya, butir ketiga dari
motivasi yang mendasari perlakukan terhadap si mati
adalah kekeliruan. Sedangkan butir pertama dan kedua
157
138
Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah. hlm. 92.
sama sekali tidak bertolak belakang dengan iman
Kristen.
Para leluhur Israel yang oleh Alkitab disebut
sebagai teladan iman (Ibr. 11) juga memperlakukan
butir pertama dan kedua terhadap kekasih mereka yang
sudah mati. Abraham membangun makam bagi Sarah
istrinya (Kej. 23:17-20). Ia berpesan kepada Isak agar
dimakamkan di sana (Kej. 25:9). Isak, Lea, Yakub dan
Yusuf juga dikuburkan di makam yang dibangun
Abraham. Pemakaman mereka berlangsung dalam satu
ritus yang panjang, juga melalui masa perkabungan
selama 40 hari. Yakub bukan hanya memakamkan Rahel
secara baik. Ia bahkan mendirikan sebuah tugu di
makam Rahel sebagai tanda cinta kasih dan hormat (Kej.
35:20). Makam-makam itu masih ada sampai hari ini,
tentu saja karena dirawat dan dipelihara sebagai ingatan
dan penghormatan akan keteladanan iman mereka.
Penghormatan kepada si mati dan mengenang
kebaikan dan jasa-jasanya bukan dosa. Itu bahkan perlu
dalam rangka menghidupkan teladan yang mereka
tunjukan dalam kita. Paul Budi Kleden menulis dengan
sangat indah tentang hal ini: “Kita tidak menghormati
nenek moyang hanya karena mereka adalah nenek
moyang, namun karena mereka menjadi tanda historis
dari kasih Allah yang berdaya menghidupkan dan
menyembuhkan.”158
Dalam Alex Jebadu. Bukan Berhala! Penghormatan
Kepada Para Leluhur. Maumere: Penerbit Ledalero. 2009.
158
hlm. viii.
139
Dalam Keluaran 20:12 Allah memerintahkan
Israel demikian: “Hormatilah ayahmu dan ibumu,
supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN,
Allahmu, kepadamu.” Tentang firman ini J. Verkuyl
mengatakan: “Tuhan juga meminta kita supaya kita
memperingati dengan hormat mereka yang telah
meninggal dunia. Tuhan menghendaki supaya kita
memperingati dengan hormat dan berterima kasih atas
segala kebaikan yang telah kita terima dari mereka yang
sudah mendahului kita ke alam baka (Ibr. 11 dan
12:1,2).159
Kita perlu menghormati bukan memperilah para
leluhur. Demi menjaga agar cinta dan hormat itu tidak
berubah
menjadi
penyembahan
Gereja
perlu
mendorong warganya agar menaruh praktek itu dalam
bingkai pengharapan akan kebangkitan dan pertemuan
kembali pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus. Ini
artinya cinta dan sikap hormat kepada si mati
ditempatkan di bawah cinta dan hormat mereka kepada
Tuhan.
Lebih jauh itu, gereja juga perlu membimbing
warga agar menunjukkan cinta dan hormat kepada
orang tua dan saudara bukan hanya pada saat dia sudah
mati. Adalah lebih berguna jika cinta dan hormat itu
sudah dinyatakan ketika yang bersangkutan hidup.
Cinta dan hormat yang tunjukkan kepada seseorang
setelah dia meninggal dengan cara membawakan
makanan dan minuman, makam160 yang dimetzel tidak
159
160
140
J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 28.
Isabell Jeniva & David Samiyono. Tiwah. hlm. 5.
memberi nilai tambah apapun kepada si mati. Arwah
tidak makan dan minum, tidak membutuhkan ritus dan
upacara yang high cost, juga tidak membutuhkan
kuburan dan rumah.161 Ia dipelihara dengan lebih baik
oleh Allah. Alangkah baiknya, jika semua pengorbanan
itu diberikan ketika mereka masih hidup, sebagaimana
yang dilakukan oleh seorang perempuan yang
meminyaki kaki Yesus dengan minyak narwastu.
Jadi menolak memimpin ibadah syukuran
berhubungan dengan ulang tahun kematian, mengutuk
kebiasaan mengunjungi makam dan merawat makam itu
bukan merupakan sikap yang bijak. Kita cenderung
mengharapakan hasil yang segera sehingga menyangka
sikap penolakan itu akan membuat praktek-praktek tadi
akan segera punah. Tidak! Yang terjadi justru
sebaliknya. Makin dilarang dan dikutuk, ia justru makin
bertambah subur malah akan makin dikuasai oleh
praktek penyembahan.
Yang perlu gereja buat adalah mendampingi
warganya dengan setia sambil memberi pemahaman
yang benar melalui pengajaran dan khotbah, juga pada
saat-saat mereka melakukan ritus-ritus dimaksud.
Perubahan pola pikir dan sikap dari penyembahan
kepada penghormatan kepada si mati memerlukan
waktu dan kesabaran. Allah yang berkuasa untuk
membaharui pola pikir dan pola tingkah laku. Tugas kita
ialah ambil bagian dalam proses ke arah itu.
161
Bandingkan uraian dalam bab ini di bawah judul Yesus
menampakan diri sebagai yang hidup.
141
Kesurupan Roh Si Mati
Sebelum mengakhiri diskusi tentang kematian
fenomena berikut patut mendapat perhatian. Ini
mengemuka dalam diskusi terbatas yang kami lakukan
dengan beberapa kelompok ketika buku ini sedang
dalam proses editing. Fenomena itu adalah kesurupan.
Saat-saat menjelang pemakaman atau setelah
pemakaman sering terjadi bahwa salah seorang anggota
keluarga jatuh pingsan. Dalam keadaan tak sadar diri ia
berbicara dengan suara dan gaya bicara si mati. Isi dari
pembicaraannya adalah pemberitahuan tentang hal-hal
yang berhubungan dengan sebab-sebab kematiannya
atau hal-hal tertentu yang diperbuat si mati selama
hidup yang belum diketahui keluarga.
Inilah yang kami maksudkan dengan kesurupan.
Suku Timor menyebut fenomena ini niut sae, saat di
mana roh si mati menggunakan salah seorang kerabat
sebagai medium untuk mengisahkan hal-hal yang patut
diketahui keluarga yang ditinggalkan.
Sewaktu masih duduk di bangku sekolah
menengah pertama penulis melihat sendiri peristiwa ini.
Seorang bapak yang sudah meninggal berbicara melalui
salah seorang kerabat tentang sejumlah besar uang yang
dia sembunyikan di salah satu tempat di halaman
rumah. Ketika keluarga mengikuti petunjuk yang
disampaikan tadi, mereka menemukan uang-uang itu
tepat seperti yang disampaikan lewat si kerabat. Juga ada
cerita bahwa roh si mati suka memberi informasi
tentang sebab kematiannya, seperti dia diguna-guna
oleh seseorang.
142
Umumnya para peserta diskusi berpendapat
bahwa si mati menyampaikan hikayat kematiannya
kepada keluarga supaya mereka mengambil tindakantindakan yang perlu dalam rangka mencari keadilan.162
Ini juga merupakan pendapat umum di kalangan warga
masyarakat dan juga warga gereja di banyak tempat di
Indonesia.
Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana
fenomena ini ditanggapi dari segi iman Kristen?
Benarkan si mati yang berbicara melalui medium yang
dipakai ataukah itu roh jahat yang menyamar?
Berhadapan dengan fenomena ini baiklah kita
memperhatikan beberapa hal berikut. Pertama, Alkitab
berkata bahwa setelah membunuh Habel, Kain
mengguburkan Habel secara diam-diam dan berlaku
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tetapi darah Habel
berteriak kepada Allah dari tanah (Kej. 4:10). Darah
Habel memiliki suara dan dapat berbicara. Teriakan
darah Habel dialamatkan kepada Allah. Isi dari teriakan
itu adalah menuntut Allah melakukan pembalasan,
karena memang Allah saja yang pantas melakukan
pembalasan (Ibr. 10:30).
162
Pendapat ini diungkapkan oleh Soleman Baun,
Adriana Sole, Bernadus Leo, Yonathan Leobisa, Fenetson
Parikaes, Karmelia Tamonob. Mereka adalah mahasiwa pasca
sarjana Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Kupang dalam
diskusi dalam kuliah tanggal 22 Agustus 2012.
143
Allah yang mendengarkan teriakan darah Habel
itu menjumpai Kain dan membawa berita itu. Kain
mengetahui teriakan darah Habel dari Allah. Darah
Habel mencari dan mengejar Kain melalui Firman dan
Allah juga menyampaikan suara darah Habel kepada
Kain melalui firman. Firman Allah yang membawa
suara darah Habel kepada Kain adalah firman yang
menuntut dan mendakwa. Firman Allah menuntut
pertanggung jawaban dari Kain. Firmanlah yang
mengejar Kain dan membuat dia menyadari diri bahwa
dia berdosa di hadapan allah dan harus siap menerima
hukuman dari Allah.
Kedua, Alkitab memberikan kita kesan yang
kuat bahwa lalulintas perjalanan dari dunia orang hidup
ke dunia orang mati adalah satu arah (one way traffic).
Orang hiduplah yang akan menyusul ke dunia orang
mati, sedangkan orang mati tidak mungkin kembali lagi
ke dunia orang hidup. Kesan ini kita temukan dalam
kisah kematian anak yang dilahirkan Batseba kepada
Daud (II Sam. 12:23) dan juga dalam kisah Lazarus dan
orang kaya, di mana si orang kaya meminta bapak
Abraham mengizinkan Lazarus untuk kembali ke dunia
untuk menjumpai kelima saudaranya yang masih hidup,
tetapi permintaan itu ditolak bapak Abraham.
Memperhatikan dua catatan tadi baiklah kita
menyikapi fenomena kesurupan secara bijak. Apakah
mungkin Allah mengijinkan roh si mati kembali ke
dunia orang hidup untuk memberi informasi tentang
misteri kematiannya, seperti yang dipahami oleh para
peserta diskusi dari cerita Kain dan Habel?
144
Menurut pendapat kami meskipun ada semacam
kesejajaran antara kesurupan dan teriakan darah Habel,
hal itu tidak dengan sendirinya menegaskan bahwa
kedua gejala itu identik. Darah Habel memang memiliki
suara. Dia berbicara setelah Habel mati dibunuh.
Tentang hal ini Baarlink berkata: “Darah Habel
berteriak kepada Allah untuk menuntut balas atau
untuk meminta Allah menghukum sang pembunuh.
Teriakan itu dialamatkan ke sorga, kepada Allah yang
berhak menuntut balas. Darah itu tidak berteriak
kepada siapa-siapa. Ia hanya berteriak kepada Allah.
Allah yang mendengarkan teriakan itu bertindak
menjumpai Kain. Allah meneruskan suara teriakan
darah Habel kepada Kain.”163
Suara teriakan dari darah Habel mencari
keadilan pada Allah. Lalu Allah menjumpai Kain untuk
memberitahukan dia bahwa ia harus siap untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Ini jelas
berbeda dengan gejala kesurupan, di mana si mati
mengalamatkan teriakannya bukan kepada Allah, tetapi
kepada keluarganya dan mendesak keluarganya untuk
melakukan pembalasan.
Kami lebih cenderung berpendapat bahwa
fenomena kesurupan lebih merupakan tipu muslihat si
jahat terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ia menyamar
dengan menggunakan suara si mati. Betapapun yang dia
sampaikan itu benar, tetapi dia bermaksud membuat
H. Baarlink. De Stem van het Bloed. Dalam:
Gereformeerd Theologische Tijdschrift. Vierenzeventigste
Jaargang. Mei 1974. Kampen: J.H. Kok. hlm. 74.
163
145
keluarga secara perlahan-lahan percaya kepada arwah
dan selanjutnya melakukan penyembahan kepada
arwah.
Baiklah untuk fenomena yang satu ini pun kita
tegaskan bahwa pada saat mati, jiwa manusia tetap ada.
Tetapi jiwa yang terus hidup itu sekarang berada pada
satu kawasan yang terpisah dari domain kehidupan kita.
Jiwa itu tidak boleh lagi diganggu karena dia sedang
menjalani masa istrahat yang diberikan Allah sambil
menanti saat kebangkitan. Semua hal yang berhubungan
dengan si mati menjadi urusan Allah. Si mati tidak lagi
berkata-kata kepada manusia. Ia berkata-kata kepada
Allah. Allah jugalah yang akan menyampaikan kepada
keluarga yang masih hidup mengenai hal-hal yang
terjadi pada si mati.
Pengalaman Berjumpa Si Mati
Lalu, bagaimana dengan adanya perjumpaan
dengan si mati? Tidak sedikit orang yang mengalami
perjumpaan dengan kekasih hati mereka yang
meninggal, entahkah itu dalam mimpi ketika tidur
ataukah juga dalam momen-momen tertentu, walau
hanya sesaat. Seorang ibu di GPIB Marantha Bandung
bertemu saya usai percakapan di bawah tema: Ke mana
kita pada waktu mati yang saya pandu (8 Des. 2012).
Suami si ibu telah meninggal dunia 15 tahun lalu, tetapi
dia sering bermimpi bertemu suaminya, terutama saatsaat berat dalam hidup. Dia bertanya kepada saya
siapakah sesungguhnya yang datang itu? Apakah itu
146
suaminya ataukah iblis yang menyamar dalam rupa
suaminya?
“Perjalanan dari dunia orang hidup ke dunia
orang mati hanya satu arah,” demikian saya menjawab
ibu itu. Kita yang hidup yang akan pergi kepada mereka
yang sudah meninggal sedangkan mereka yang sudah
meninggal tidak akan kembali kepada kita. Hal itu
ditegaskan dalam dua teks yang sudah saya tunjukkan,
yakni: II Samuel 12:23 dan Lukas 16:26-31. Suami ibu
tidak datang menjumpai ibu. Dia sudah beristrahat
dengan tenang dalam Kristus. Apa yang ibu alami adalah
ingatan ibu tentang suami, suatu tanda bahwa kematian
ternyata tidak dapat memisahkan kita dari orang-orang
yang kita kasihi dan cintai.
“Satu hal patut diwaspadai,” begitu saya katakan
kepada ibu itu, “yakni agar kita jangan menjadikan
pengalaman itu sebagai titik tolak untuk melakukan
penyembahan terhadap arwah untuk minta berkat atau
perlindungan dari bahaya. Mintalah berkat dan
perlindungan dari Tuhan.”
Kesimpulan
Kematian membuat hidup menurut pengertian
biologis berakhir. Meskipun begitu relasi antara mereka
yang hidup dengan mereka yang sudah meninggal tidak
terputus. Begitu juga relasi antara si mati dengan Allah
tetap ada. Cara paling baik untuk memelihara relasi
dengan leluhur yang sudah meninggal tanpa jatuh dalam
penyembahan arwah sebagaimana yang sudah kami
147
uraikan di atas adalah menempatkan relasi itu dalam
iman kepada Allah di dalam Yesus Kristus. Penolakan
Abraham untuk menyuruh Lazarus yang sudah mati
menjumpai lima saudaranya yang masih hidup sesuai
permintaan orang kaya dengan alasan pada mereka ada
kitab Taurat Musa dan para nabi (Lk. 18:28-31) hendak
menegaskan bahwa tidak ada guna bagi pertumbuhan
iman jika hubungan kita dengan si mati dilepaskan dari
iman kepada Allah. Di luar bingkai iman, relasi dengan
mereka yang sudah meninggal akan jatuh ke dalam
penyembahan berhala, di mana pihak yang satu
mengeksploitasi pihak lain demi kepentingannya.
Melarang penyembahan kepada leluhur adalah
tindakan yang tepat. Itu adalah dosa, pelanggaran
terhadap firman pertama dasa titah. Tetapi
penghormatan kepada leluhur adalah perlu. Allah
memerintahkan kita untuk hal itu dalam firman kelima
dasa titah, sejauh penghormatan itu melebihi atau
menggantikan penyembahan kita kepada Allah.164 Yang
perlu diperhatikan gereja ialah larangan kepada
warganya untuk mempraktekan penyembahan kepada
leluhur harus disertai kesiapan gereja menyelenggarakan bentuk ibadah atau liturgi alternatif yang
berfungsi sebagai pengganti. Jika ini tidak diperhatikan,
larangan gereja itu hanya akan membuat goncangan
batin yang timbul akibat kematian orang yang dikasihi
tidak dikelola dengan baik yang bisa membuat keluarga
kembali ke praktek-praktek lama. Ada tiga contoh yang
sudah kami tunjukan, masing-masing dari Choan-seng
164
148
J. Verkuyl. Etika Kristen Kapita Selekta. hlm. 28.
Song, Wilfrit Fini Ruku dan pengalaman penulis kiranya
menunjukkan bahwa kematian merupakan moment
peralihan ke satu bentuk kehidupan yang berbeda
dengan sebelumnya.
Hidup yang kekal
Pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus
(parousia) akan ada kebangkitan orang mati.
Penghakiman manusia akan segera menyusul.
Penghakiman itu akan menentukan tujuan akhir
kehidupan manusia. Mereka yang hidup dalam
perseteruan dengan Allah akan mengalami kematian
kedua, sementara mereka yang selama hidupnya
mencari dan merindukan persekutuan dengan Allah
akan menerima hidup yang kekal.165
Hidup yang kekal adalah berkat keselamatan
yang menjadi bagian dari individu yang memberi
dirinya menjadi anggota dari tubuh Kristus, yakni
gereja. Berkat ini baru akan manusia terima secara
penuh pada saat kedatangan kembali Yesus Kristus.
Meskipun begitu, berkat ini sudah mulai diterima
manusia dan dijalaninya pada masa kini bersamaan
dengan berdiamnya Kristus dalam hatinya dan
berdiamnya dia di dalam tubuh Kristus (Yoh. 17:3).
165
Soal tentang penghakiman serta tujuan akhir manusia
akan kami bicarakan dalam bab yang menyusul, di bawah
judul penghakiman manusia serta sorga dan neraka.
149
Hidup yang kekal itu, sebagaimana disaksikan
oleh Alkitab bukanlah berarti kehidupan yang tidak
berakhir tetapi kehidupan di dalam langit dan bumi
yang baru.166 Berkhof menamakannya sebagai hidup
dalam segala kepenuhan tanpa ada lagi gangguan dan
ketidak sempurnaan.167 Kepenuhan hidup adalah ambil
bagian dalam persekutuan dengan Allah, yang sama
artinya dengan hidup yang kekal (Why. 21:3). Ada
hubungan erat antara kehidupan kekal dengan
penerimaan manusia akan Kristus (Yoh. 10:10).
Satu-satunya manusia yang layak ada di dalam
langit dan bumi yang baru adalah Yesus Kristus. Hidup
kekal itu pertama-tama adalah milik Kristus. Supaya
manusia bisa ikut ambil bagian di sana adalah perlu
manusia mengenakan Kristus. Baptisan disebut di dalam
Alkitab sebagai saat di mana manusia mengenakan
Kristus. Galatia 3:27 mengatakan itu demikian: “Karena
kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah
mengenakan Kristus.”
Manusia ibarat kertas yang mudah rusak.
Laminating adalah cara yang manusia tempuh untuk
melindungi dokumen-dokumen penting dari kemungkinan rusak. Baptisan adalah saat di mana manusia
delaminating. Hidupnya yang fana, rentan terhadap
dosa dan kehancuran, terancam oleh berbagai kejahatan
Karl Barth. The Faith of the Church. hlm. 172.
Luis Berkhof. Systematic Theology. Michigan: W.M.B.
Eerdmans Publishing Co. 1941. hlm. 737.
166
167
150
dan pemberontakan dibungkus dengan kehidupan Yesus
Kristus. Manusia itu dilayakkan untuk hidup yang kekal
dengan cara mengenakan Kristus.168
Hidup yang kekal itu bolehlah kita sebut juga
sebagai ciptaan baru atau secara khusus manusia baru.
Allah akan mengaruniakan manusia baru itu kepada
semua yang hidupnya berpadanan dengan Kristus. Arti
positif dari hidup baru atau kekal itu seperti kami
katakan adalah ambil bagian dalam persekutuan dengan
Allah. Sedangkan arti negatifnya adalah manusia bebas
dari dosa. Allah tidak hanya membersihkan manusia
dari tindakan dosa, Allah bahkan akan mencabut akar
dosa dari hatinya. Manusia itu memiliki hati yang baru
(Yeh. 36:26). Allah bahkan akan menghilangkan setiap
jejak kuasa asing yang saat ini menindas dan
membelenggu manusia.
Dalam persekutuan yang penuh dengan Kristen
manusia baru itu bebas dari berbagai ketidak
sempurnaan baik yang datang dari luar dirinya maupun
yang merupakan potensi internal dalam dirinya.
Manusia baru itu bebas dari ancaman, bencana,
penyakit, dan kematian. Semua yang berpotensi negatif
menjadi bagian dari masa lalu.
Semua yang kami sebutkan tentang kehidupan
kekal ini akan manusia alami bukan hanya secara batin
168
Ebenhaizer I Nuban Timo. Alam Belum Berhenti
Bercerita. hlm. 217.
151
atau spiritual. Manusia seutuhnya dalam tubuh dan roh
akan mengalami kehidupan kekal itu, yakni
persekutuan yang sempurna dengan Allah.169
Arti Etika dari Dogma Pendamaian
KASIH adalah agenda etis yang harus manusia
jalani manakala dalam credenda ia mengakui Allah
sebagai pencipta. Kasih itu sebagaimana sudah kami
tunjukan dalam bab dua nyata dalam kesediaan manusia
untuk menaruh batas bagi keinginan dirinya sebagai
bentuk imitatio dei. Agenda etis yang melekat pada
credenda kita akan Allah sebagai pendamai dan
penyelamat tidak lain dari hidup dalam IMAN. Iman
artinya hidup dalam percaya kepada karya pendamaian
dan penyelamatan Allah.
IMAN sebagai agenda etika bukan sekedar
sebuah pernyataan menerima rumusan dogma dan
doktrin keagamaan, sebagaimana yang sudah kami
uraikan panjang lebar dalam dua bab ini dan bab
sebelumnya. Iman sebagaimana ditegaskan Helmut
Thielicke menunjuk kepada adanya perjumpaan dengan
Kristus. 170
Berjumpa
dengan
Kristus
sebagaimana
disaksikan Alkitab berlangsung dalam dua bentuk yang
tidak terpisahkan satu sama lain, yakni doa dan
Luis Berkhof. Systematic Theology. hlm. 737.
Helmut Thielicke. The Evangelical Faith
Edinburgh: T&T Clark. 1997. hlm. 270.
169
170
152
II.
pengabdian kepada Tuhan dalam aktivitas sosial.171
Bentuk pertama terjadi dalam gedung ibadah. Kita
datang ke sana untuk berdoa dan berbakti. Di situ
Kristus hadir sebagai Tuhan yang mulia dan berkuasa.
Manusia datang ke hadapan Kristus sebagai abdi-abdi
yang memohon berkat, perlindungan dan pertolongan.
Tetapi doa kita kepada Allah dalam gedung
ibadah bukan saat untuk kita menutup mata terhadap
pekerjaan-pekerjaan, melainkan membuka mata kita
kepada pekerjaan-pekerjaan yang dipertanggungkan
Allah kepada kita dalam kehidupan sosial.172 Jadi berdoa
dan berbakti artinya memperlengkapi diri untuk masuk
dalam kehidupan kerja sebagai anak-anak kebenaran.
Bentuk kedua dari perjumpaan dengan Kristus
terjadi di luar gedung ibadah. Kristus yang manusia
jumpai dalam gedung ibadah sebagai yang mulia dan
berkuasa mengikuti perjalanan para peserta ibadah ke
tempat kerja mereka masing-masing. Ia hadir di sana
bukan lagi dalam wujud sebagai Tuhan yang berkuasa
dan penuh kemuliaan, melainkan sebagai seorang yang
hina dan membutuhkan perhatian.
Bandingkan Ebenhaizer I Nuban Timo. Membuat
Langit Tersenyum. Khotbah Sepanjang Tahun Gerejawi .
Secara khusus khotbah yang berjudul Penampakan di Galilea.
171
Maumere: Penerbit Ledalero. 2009. hlm. 417-426.
172 Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis dan
Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
1985. hlm. 81.
153
Itulah yang dialami tujuh murid di Tiberias
(Yoh. 21:1-14). Petrus dan teman-teman tidak mengenal
dia sebagai Tuhan karena Ia berada di tepi danau dengan
pakaian yang compang-camping bahkan sebagai seorang
pengemis yang meminta makanan dari mereka. Di
gedung ibadah kita berjumpa dengan Yesus untuk
memohon pengampunan dan pertolongan. Di tempat
kerja Kristus hadir dalam rupa yang miskin, hina dan
lemah. Ia berharap pertolongan dan pengasihan.
Hidup dalam IMAN sebagai agenda etis dari
penerimaan akan karya pendamaian dan penyelamatan
berwujud dalam kesediaan kita untuk bertemu dengan
Kristus dalam dua bentuk tadi. Berjumpa dengan Kristus
tidak berarti bahwa manusia kehilangan identitas dan
menjadi pasif. Manusia yang benar-benar berdoa dirinya
tidak hilang. Ia justru mengalami pembaharuan diri
untuk melakukan pekerjaan Allah dalam lingkungan
sosial.
Ada dua jenis mistik dalam kehidupan Kristen.
Pertama yang memadamkan kemauan dan hasrat
manusia saat berdoa dan beribadah. Dalam moment ini
manusia larut dalam yang ilahi. Ciri utama dari tipe
mistik ini adalah sikap pasif, manusia menunggu tanpa
usaha. Ini bukan paham mistik yang disaksikan Alkitab.
Jenis kedua lebih sejajar dengan Alkitab. Mistik
ini menekankan pertemuan dan kesatuan Allah dan
manusia dalam pengalaman doa, namun penyatuan itu
tidak menghilangkan diri manusia. Dalam pertemuan
itu manusia dibebaskan dan diubah. Diri manusia tidak
154
dihapuskan melainkan dimurnikan dan dipenuhi Roh
Allah.173 Manusia itu dimampukan untuk masuk dalam
lingkungan sosial dan melakukan pekerjaan-pekerjaan
pendamaian dan penyelamatan.
Dalam arti ini, IMAN bukan sekedar ungkapan
percaya secara verbal, yakni mengucapkan sejumlah
kata-kata bagus, berseru: “Haleluyah” atau “Puji Tuhan”
tetapi juga ungkapan percaya dalam wujud perbuatan,
yakni berseru: “Hosanna” yang sebenarnya berarti:
“Tolonglah! Selamatkanlah! Percaya dan perbuatan
tidak bisa dipisahkan, percaya itu adalah perbuatan.174
Singkatnya, Orang-orang beriman tidak bersembunyi di balik pakaian ibadah, tidak mengunci diri
di kamar doa, tidak hanya saleh waktu jam ibadah. Iman
kepada Allah dikenali waktu dia bekerja dalam dunia
yang jauh dari ruang doanya. Di tempat yang penuh
dengan godaan, bujukan, rayuan dan kesempatan untuk
kejahatan-kejahatan dia bercahaya seperti lilin dan
memberi cita rasa baru seperti garam. Dia menjadi
seperti yang dikatakan Niebuhr: the moral man in the
immoral society.
Ijinkan kami mengakhiri bab ini dengan
mengajak orang-orang percaya dan juga gereja-gereja di
Indonesia untuk mengevaluasi diri dengan bertanya:
173
Malcolm Brownlee. Pengambilan Keputusan Etis. hlm.
83.
G.C van Niftrik & B.J. Boland. Dogmatika Masa Kini.
Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1958. hlm. 227, 230 dan 242.
174
155
“Sejauh manakah pengungkapan iman kita di tengah
masyarakat yang notabene bergelut dengan aneka rupa
permasalahan? Apakah baru sebatas Haleluya ataukah
sudah mencapai Hosanna?”
156
Download