BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH ...............dalam hatiku yang terdalam aku menjerit, tak pernah sedetikpun dalam hidupku aku menginginkan perasaan ini, aku berusaha membuang naluri ”gila” ini akan tetapi tak kunjung hilang. Aku terkadang melatih pikiranku, dan mengatakan bahwa aku wanita sejati yang mencintai laki-laki, tapi naluriku dengan kuat berkata bahwa aku mencinta wanita lain, yang membuatku tahan berjam-jam lamanya untuk berbincang dari telefon dengannya. Andai saja ada tongkat ajaib untuk membuang semua rasa ini. Aku sungguh menderita, andai saja aku bisa meninggalkan perasaan ini....................(Gay and Lesbian Center, 2007) Menyadari diri sendiri sebagai lesbian adalah hal yang menyakitkan (Carroll, 2005). Balsam dan Beauchaine (2005) meyakini bahwa hal ini terjadi sebagai respon psikologis kaum lesbian terhadap tekanan sosial dan stigma yang mereka dapatkan dari lingkungan sosial. Sementara Russer dan Joyner (2001) mengatakan bahwa penolakan yang kuat terhadap kaum lesbian oleh masyarakat terjadi karena kaum lesbian dianggap melawan agama, moral, etika dan kewajaran dalam kehidupan masyarakat. Gay and Lesbian Centre (2007) menambahkan bahwa penolakan yang didapatkan oleh kaum lesbian seperti di atas disinyalir sebagai prediktor munculnya gangguan psikis bagi kaum lesbian. Universitas Sumatera Utara Penolakan masyarakat yang sedemikian kuat membuahkan beragam perlakuan yang menyakitkan bagi kaum lesbian (D‟Augelly, 2000; King & McKeown, 2003). Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian mulai dari kecaman terhadap kaum lesbian bahwa mereka harus dibuang dari lingkungan sosial, dilecehkan, dihina, dilabel sebagai orang yang memiliki karakteristik yang negatif, diasingkan, dianggap sebagai orang yang “sakit”, dan sumber penyakit terutama penyakit seksual menular seperti HIV (Dohrenwed, 2000). Di Indonesia yang menganut nilai norma dan budaya yang tinggi. Masih banyak keluarga menutup mata dan telinga saat mengetahui anggota keluarganya adalah lesbian. Keluarga malah menekan dan menyadarkan, seolah-olah lesbian adalah aib dan sesuatu yang bertentangan dengan agama ( Kompas, 2009 ), sebagian masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa homoseksual, biseksual serta perilaku seks lainnya yang tidak sesuai dengan norma agama dan budaya sebagai perilaku yang menyimpang karena perilaku seksual seperti ini belum berlaku secara umum dimasyarakat (Puspitosari & Pujileksono, 2005). Perilaku ini memunculkan apa yang disebut dengan labeling yang merupakan pengindentifikasian seseorang sebagai seorang penyimpang, yang sering diikuti oleh adanya perubahan perlakuan orang lain terhadap Universitas Sumatera Utara orang tersebut (Horton & Hunt, 1996 ). Melalui labeling ini, masyarakat luas sering sekali memandang kaum homoseksual dengan penuh prasangka dan membangun stereotype yang menyesatkan. Diskriminasi dan tekanan sosial menyebabkan mereka hidup dengan identitas ganda di kaum heteroseksual. Mereka tidak bebas mengekspresikan dirinya sebagai lesbian, seperti juga manusia kebanyakan yang hidup, belajar, bekerja, bersosialisasi, mempunyai pasangan dan menikah. Kurang paham dan labeling atas orientasi seksual lesbian, membuat banyak lesbian pada awalnya tidak mau menerima keaadan mereka. Mereka mencoba untuk mengembangkan ketertarikannya pada lawan jenis, karena hal tersebut sesuai dengan pola seksualitas yang berlaku dimasyarakat umum. Keadaan ini menurut Zera (dalam Brannon 1996), biasanya dialami sebelum mereka memasuki usia dewasa. Mereka biasanya berkutat dengan pertentangan didalam diri mereka yang mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengan diri mereka, dan hal utama yang biasanya terjadi adalah hilangnya harga diri, yaitu disaat tidak adanya keberanian untuk membuka diri tentang perbedaan orientasi seksual mereka kepada keluarga dan teman-teman mereka. Wells (1989) juga menambahkan bahwa mereka mengingkari dorongan untuk menjadi Universitas Sumatera Utara lebih asertif , karena perilaku ini sering dihubungkan dengan lesbianisme , yang hanya akan menambah ketakutan dan kebencian. Ketakukan dan kebencian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Morh (dalam Finterbusch 1999), yang menemukan sebanyak 86% dari gay dan lesbian yang mengakui orientasi seksual mereka menjadi objek kekerasan dan pelecehan, kebanyakan satu dari lima orang gay atau lesbian pernah mengalami tonjokan, pukulan, tendangan , sedangkan 14% pernah diludahi. Laporan dari suatu lembaga yang menangani masalah remaja di Amerika (dalam Kelly 2001), juga menyebutkan banyaknya remaja gay dan lesbian yang melakukan bunuh diri, karena mereka dilihat sebagai kaum minoritas. Mereka cenderung untuk melakukan perilaku merusak diri (self-destructive behaviors), dengan minum minuman keras dan pemakaian obat-obatan terlarang (substance abuse). Perlakuan yang menyakitkan yang diterima oleh kaum lesbian adalah penolakan dan penganiayaan dari keluarga seperti orang tua, saudara, teman sebaya dan sahabat mereka, ( Stirratt, Kertzner, & Meyer, 2009 ) mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki dukungan yang sangat rendah dan sering diabaikan oleh keluarga dan teman-teman mereka karena orientasi seksual mereka. Mereka dianggap sebagai kutukan Tuhan dan dibuang dari keluarga mereka (Common Wealth of Universitas Sumatera Utara Australia, 2008). Padahal kehidupan lesbian dalam lingkungan keluarga penting dan mempengaruhi psychological well-being . Pada kenyataannya kaum lesbian yang membeberkan dirinya kepada orang tua dan temanteman cenderung menerima perlakuan yang buruk (Cramer & Roach, 1998). Sekitar 46% dari mereka kehilangan teman dekat setelah membeberkan orientasi seksualnya dan sekitar 48% dari mereka mendapat penolakan, siksaan bahkan diusir dari rumah dan banyak orangtua kaum lesbian menolak bahkan menghindari untuk berhubungan dengan anak mereka setelah mereka memberitahukan kepada orang tua mereka orientasi seksual mereka (D‟Augelli, 2000). Menurut Allen (2008 ), yang juga didukung oleh Russer dan Joyner (2001), perlakuan yang demikian bermuara pada rendahnya Psychological Well-being pada lesbian. Menurut Jones dan Hill (2005), rendahnya Psychological WellBeing yang dimiliki oleh lesbian disebabkan karena kaum lesbian tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan leluasa. mereka juga tidak dapat mengungkapkan identitas mereka yang sebenarnya sebagai lesbian karena penolakan masyarakat , stigma, dan pertentangan yang kuat yang mereka dapatkan dari masyarakat, sehingga mereka merasa terkukung dan takut kalau ada orang lain yang mengetahui orientasi seksual mereka. Universitas Sumatera Utara Pernyataan Ellison (2008) yang didukung oleh Daniels (2007) mengemukakan penolakan masyarakat, stigma, kecurigaan berdasarkan dengan anggapan bahwa kaum lesbian melakukan perbuatan cabul dan kotor, dan adanya pandangan masyarakat bahwa hubungan percintaan yang wajar adalah dengan lawan jenis, situasi ini terkadang membuat kaum lesbian berusaha berpura-pura menjadi heteroseksual dengan berpacaran dengan laki-laki. Akan tetapi, justru hal ini menjadi sumber yang dapat memperburuk psychological well-being mereka, karena hidup dalam keberpura-puraan adalah cerminan dari tidak dapat menikmati dan menerima kehidupan dan keadaan diri mereka (Hershberger, 2000). Padahal penerimaan keadaan diri sendiri bagi lesbian, menurut Diamond (2000) adalah transisi yang penting, yang menunjukan adanya perubahan identitas heteroseksual ke arah homoseksual. Keadaan tersebut digambarkan sebagai penemuan diri yang sesungguhnya, setelah terjadinya perubahan pada identitas, ketertarikan, dan perilaku seksualnya. Menurut Monteflores & Schultz (dalam Brannon 1996), penerimaan keadaan diri sendiri biasanya akan lebih mudah , daripada kemudian harus membuka orientasi atau perilaku seksual mereka kepada keluarga dan teman, yang lebih sering disebut dengan coming out. Istilah coming out sendiri, menurut Monteflores & Schultz (dalam Universitas Sumatera Utara Brannon 1996), berasal dari kata “coming out of the closet” dimana menggambarkan keadaan yang tersembunyi (hidden or closeted). Maka proses coming out adalah proses dari penemuan atau penerimaan diri sendiri dan pemberitahuan tentang orientasi lesbian atau gay seorang individu kepada orang lain. Untuk banyak lesbian hal tersebut merupakan beban sangat berat , sesuatu yang sangat sulit dan membuat stress. dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Sedangkan , menurut Zera (dalam Brannon 1996), coming out menjadi sesuatu yang penting karena ini berhubungan dengan hilangnya rasa sakit dan rasa bingung dalam proses penerimaan diri & dan perkembangan seorang lesbian, sehingga pada akhirnya mereka akan menjadi individu yang lebih berbahagia dengan keadaan diri mereka sendiri, dan mempunyai hubungan yang lebih sehat dengan pasangannya. GLEN (2008), juga mengatakan bahwa penerimaan diri merupakan hal yang sangat penting dalam pembentukan psychological well-being yang Universitas Sumatera Utara sehat. Seperti yang sudah dijelaskan pada halaman sebelumnya bahwa yang paling menyakitkan bagi kaum lesbian adalah ketika mereka mendapat penolakan dan kekerasan dari orang tua, keluarga, dan temanteman mereka sehingga kaum lesbian sering merasa kesepian, merasa terisolasi dan merasa terasing (Fish, 2007). Pengisolasian yang dilakukan terhadap kaum lesbian juga menjadikan lesbian merasa berbeda dengan teman-teman mereka dan merasa bahwa mereka bukan merupakan anggota suatu masyarakat atau komunitas tertentu, sehingga kaum lesbian memiliki perasaan komunitas (sense of community) yang rendah. Andeson (dalam Pace, 2002) mengatakan bahwa perasaan memiliki komunitas dengan orang lain adalah hal yang penting dalam perkembangan psychological well-being bagi seseorang. Perasaan terisolasi dari keluarga dan komunitas ini dapat menghancurkan atau menurunkan harga diri dan konsep diri yang negatif, sehingga kaum lesbian cenderung menilai diri mereka secara negatif (Paul, 2003). Stirratt (2009) menambahkan bahwa perasaan ini berpotensi besar bagi kaum lesbian untuk melakukan bunuh diri dan perilaku menyakiti diri sendiri. Berikut ini merupakan cuplikan kasus bunuh diri yang dialami oleh kaum Universitas Sumatera Utara lesbian karena mendapat penolakan dan kekerasan dari keluarga sehubungan dengan orientasi seksual mereka sebagai lesbian. Jane adalah perempuan berusia 20 tahun, setelah diketahui oleh ibunya bahwa dia adalah lesbian, maka keluarganya mengusir dia dari rumah dan mengatakan bahwa dia adalah kutukan dari Tuhan sehingga harus dibuang. Akhirnya Jane kabur dari rumah dan hidup gelandangan selama 8 bulan. 5 bulan berikutnya mayat Jane ditemukan di sungai, polisi menduga bahwa meninggalnya Jane adalah karena bunuh diri (Gay and Lesbian Centre, 2000). Pace (2005) yang selanjutnya diklarifikasi oleh GLEN (2008) mengatakan bahwa kaum lesbian yang diterima oleh orang tuanya dan teman-temannya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih baik daripada kaum lesbian yang ditolak oleh orang tua dan teman-teman mereka. Menurut D‟Augelli (2000), hubungan antara orangtua dan anak, dimana orang tua yang menolak anak mereka karena orientasi seksual mereka menjadi sumber stres besar bagi kaum lesbian yang bermuara pada timbulnya gangguan-gangguan psikis seperti depresi sehingga memberikan kontribusi terhadap rendahnya psychological well-being kaum lesbian itu sendiri Kondisi yang demikian mendorong kaum lesbian bergabung atau melakukan suatu perkumpulan dalam sebuah komunitas gay dan lesbian, supaya mereka mendapat dukungan emosional dan penerimaan dari orang Universitas Sumatera Utara lain. Meski komunitas yang mereka miliki dapat menerima mereka apa adanya dan mereka berkumpul dalam suatu komunitas yang kohesif, namun menurut Warner , dkk (2004) kondisi yang demikian tidak dapat menyelesaikan perasaan terisolasi mereka. Justru tindakan itu mengakibatkan kaum lesbian semakin merasa terpisah dan berbeda dengan lingkungan sosial dan teman-teman mereka yang lain, dan merasa rendah diri terhadap kaum heteroseksual (Siegel dan Lowe, 2007; Warner, 2004). Arber dan Davidson (2004) menambahkan bahwa orientasi seksual sebagai lesbian memiliki risiko besar untuk memiliki psychological wellbeing yang rendah. Sementara Bates (2005) menjelaskan bahwa orientasi seksual sebagai lesbian berkorelasi positif dengan psikopatologi. Pernyatan ini terbukti dari beberapa kesimpulan hasil penelitian internasional yang dilakukan oleh GLEN (Gay and Lesbian Equality Network), 2008 yaitu: (1). Kaum lesbian memiliki stres berat yang mengarah kepada tingginya kecenderungan untuk bunuh diri dan menyakiti diri sendiri, (2). Kaum lesbian memiliki psychological distress yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kaum heteroseksual, (3). Kaum lesbian memiliki risiko yang tinggi untuk menderita depresi, gangguan kecemasan, dan penyalahgunaan obat-obat terlarang dan minum Universitas Sumatera Utara minuman keras, (4). Kurangnya dukungan sosial yang diterima oleh kaum lesbian menjadi pemicu bagi mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri. Secara umum kaum lesbian memiliki kondisi psychological wellbeing yang lebih rendah daripada kaum heteroseksual (King, 2001). Warner (2004) juga mengatakan bahwa kaum lesbian memiliki gangguan psikologis yang lebih tinggi daripada kaum heteroseksual. Senada dengan pernyataan di atas, NAMI (2009) mengatakan bahwa kondisi orientasi homoseksual merupakan faktor risiko menderita gangguan mental dan memiliki tingkat psychological well-being yang rendah. Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum lesbian adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum lesbian tentunya menunjukan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai Psychological Well-Being pada lesbian, Telah disampaikan diatas, bahwa kaum lesbian mendapat resiko yang begitu komplek. Untuk mendapatkan gambaran Psychological Well-Being perempuan lesbian dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep Universitas Sumatera Utara psychological well-being yang dibuat oleh Ryff (1989). Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. B. RUMUSAN MASALAH Secara terperinci, rumusan masalah dalam penelitian ini diajukan melalui pertanyaan penelitian yaitu : 1. Bagaimanakah gambaran umum Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas? 2. Bagaimanakah gambaran Psychological Well-Being lesbian yang berusia 20 tahun keatas ditinjau dari dimensi-dimensinya, yaitu penerimaan diri, hubungn positive dengan orang lain, penguasaan terhadap lingkungan , otonomi, perkembangan pribadi , dan tujuan hidup? 3. Apakah ada perbedaan Psychological Well-Being pada lesbian yang berusia 20 tahun keatas dengan yang non lesbian? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bermaksud untuk mendapatkan data secara langsung mengenai psychological well-being pada lesbian. Data yang diperoleh Universitas Sumatera Utara nantinya akan digunakan dan diolah untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada lesbian D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara praktis maupun teoritis. Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat: 1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pada perempuan lesbian yang berusia diatas 20 tahun. 2. Memperkaya penelitian psikologi tentang kaum lesbian, mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual. 3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa. 4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological well-being pada lesbian Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat: Universitas Sumatera Utara 1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif 2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat. E. SISTEMATIKA PENULISAN Adapun sistematika penulisan yang disusun dalam penelitian ini adalah: BAB I : Pendahuluan Bab ini menjelaskan latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Universitas Sumatera Utara BAB II: Landasan Teori Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan psychological well-being dan lesbian. BAB III : Metodologi Penelitian Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, definisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan, uji validitas, dan reliabilitas, prosedur penelitian, serta metode analisis data. BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data Penelitian Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan juga membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan. BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran Bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari penelitian, hasil penelitian, serta saran-saran yang diperlukan, baik Universitas Sumatera Utara untuk penyempurnaan penelitian ataupun untuk penelitianpenelitian selanjutnya Universitas Sumatera Utara