UNIVERSITAS DIPONEGORO ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B TAMBANG BATUBARA PT. BUMA SITE BINUNGAN, BERAU, KALIMANTAN TIMUR TUGAS AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana AGUS SABAR SABDONO 21100112130051 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG JUNI 2017 i HALAMAN PENGESAHAN Tugas Akhir ini diajukan oleh Nama : Agus Sabar Sabdono NIM : 21100112130051 Jurusan/Departemen : Teknik Geologi Judul Tugas Akhir : Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang Batubara PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur Telah berhasil dipertahankan dihadapan Tim Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. TIM PENGUJI Pembimbing I : Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T. Pembimbing II : Devina Trisnawati, S.T., M. Eng. Penguji : Ahmad Syauqi Hidayatillah, S.T., M.T. Semarang, 8 Juni 2017 Mengetahui, Ketua Departemen Teknik Geologi Najib, S.T., M. Eng., Ph.D NIP. 197710202005011001 ii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan ini saya menyatakan, bahwa dalam Tugas Akhir ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari suatu Perguruan Tinggi. Berdasarkan pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diakui dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Nama : Agus Sabar Sabdono NIM : 21100112130051 Tanda Tangan : Tanggal : 8 Juni 2017 iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika Universitas Diponegoro, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Agus Sabar Sabdono NIM : 21100112130051 Departemen : Teknik Geologi Fakultas : Teknik Jenis Karya : Tugas Akhir demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Diponegoro Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : ANALISIS KESTABILAN LERENG PIT 7 WEST B TAMBANG BATUBARA PT. BUMA SITE BINUNGAN, BERAU, KALIMANTAN TIMUR Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti/Noneksklusif ini Universitas Diponegoro berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Semarang Pada Tanggal : 8 Juni 2017 Yang menyatakan Agus Sabar Sabdono iv KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur alhamdulillah atas segala rahmat, berkat, dan karunia Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kelancaran dan kesabaran sehingga dapat terselesaikannya Tugas Akhir ini. Tugas Akhir ini berjudul Analisis Kestabilan Lereng Pit 7 West B Tambang Batubara PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur, diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. Dalam Laporan Tugas Akhir ini, penulis berusaha memberikan analisis kestabilan lereng daerah penelitian studi Tugas Akhir pada Blok Penambangan Batubara PT.BUMA Site Binungan yang masuk kedalam area Cekungan Tarakan (Sub-Cekungan Berau). Pekerjaan yang dilakukan antara lain analisis geologi regional daerah penelitian, pembuatan sayatan, pembuatan penampang, survey lapangan, analisis kondisi geologi lokasi penelitian, pembuatan permodelan lereng, dan melakukan analisis kestabilan lereng. Berdasarkan bab dan sub-bab dalam laporan Tugas Akhir ini, penulis berharap informasi dapat diterima pembaca dengan mudah sehingga pembaca dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang daerah penelitian. Laporan Tugas Akhir ini masih memiliki kekurangan, dan jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan ini serta laporan yang akan datang. Penulis telah memberikan yang terbaik dalam penelitian maupun penyusunannya dan semoga laporan Tugas Akhir ini bisa bermanfaat bagi semua pihak, terutama yang sedang melakukan penelitian terkait denga tema yang sama. Amin. Semarang, 8 Juni 2017 Penulis v HALAMAN PERSEMBAHAN “Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Bapak Sapardi Joko Damono, S.P.d.i,.M.Pd., Ibu Suji, Adik Muhammad Akbar Jamaludin dan keluarga Trah Eyang Mijo Mangun Tinoyo, Trah Eyang Harto Suripto” Dan Kami jadikan di bumi gunung-gunung yang kukuh supaya ia meneguhkannya. Dan Kami jadikan padanya celah-celah sebagai jalan supaya mereka mendapatkan petunjuk (Al Anbiyaa : 31) Dan engkau lihat gunung-gunung itu, engkau kira ia tetap di tempatnya padahal dia berjalan seperti awan berjalan. Perbuatan Allah yang mengukuhkan segala sesuatu. Sesungguhnya Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan (An Naml : 88) Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian kami pisahkan keduannya, dan dari air kami jadikan sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (Al-Anbiya : 30) Ya Tuhan kami, jauhkanlah azab jahannam dari kami karena sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal. Sungguh, jahannam itu seburukburuk tempat menetap dan tempat kediaman. (QS. Al-Furqon[25] : 65-66) vi UCAPAN TERIMA KASIH Dalam penyusunan Laporan Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang besar kepada : 1. Najib, S.T., M. Eng., Ph.D sebagai ketua Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang. 2. Ir. Wahju Krisna Hidajat, M.T. dan Devina Trisnawati, S.T., M. Eng., sebagai dosen pembimbing Tugas Akhir yang telah memberikan ilmu dan bimbinganya sehingga Tugas Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik. 3. Ibu dan Bapak yang selalu memberikan kasih sayang, perhatian, semangat dan dorongan doa serta bantuan moral, material sehingga Tugas Akhir ini dapat terselesaikan. 4. Kepada Departemen Engineering PT. BUMA Site Binungan, Berau, Kalimantan Timur. I Gusti Ngurah Agung, Irfandi Oky P, Asto Budoyo K, Dian Oktavianto, Jheny Eka Wijaya, Petsi Chandra, Izaku Mike A, Ibnu Widigdo, Ayu, Sarjono, Agung Kurniawan, Ridwansyah Sitepu, Ardian Adkhan, Syamsuar, Doni Setiawan, Anang, Muhammad Ulya, Yunita Sari. 5. Kakak Agung Iswanto yang juga sedang melaksanakan skripsi, yang memberikan semangat, ide dan motivasi. 6. Sahabat KKN UNDIP Tim I tahun 2016 Desa Giyono, Kecamatan Jumo, Kab.Temanggung. Latifah Chikmawati, Kurnia Rizqia Rahmawati, Alifa Rizqia Rahmawati, Dahona Lenthe Lavinia, Theresia Evelyn, Mona Pradipta H, M. Khoirur Rijal, Imam Oktariadi, Gilang Mustika Aji. 7. Andi, Sukri dan rekan-rekan MT PT. BUMA Site Binungan sebagai teman ngobrol dan sharing-sharing pengalaman selama berada di Mess Binungan yang ikut memberikan supportnya. 8. Kepada seluruh teman-teman Geologi UNDIP khususnya angkatan 2012 yang selalu memberi motivasi dan dukungannya, dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semarang, 8 Juni 2017 Penulis vii ABSTRAK Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar, salah satunya adalah batubara. Batubara memiliki peranan penting dalam sektor energi sebagai energi alternatif pembangkit listrik atau penggerak sektor industri. Batubara ditambang secara terbuka atau open pit mining. Proses penambangan batubara khususnya pada tahap eksploitasi harus memperhatikan tingkat kestabilan lereng agar proses penambangan dapat berjalan dengan baik, aman dan kondusif. Keamanan lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi tercapainya Zero Harm (kondisi tidak terjadi atau meminimalkan kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi geologi dan tingkat kestabilan lereng tambang pada Pit 7 West B PT. BUMA Site Binungan yang berada di Desa Sambaliung, Kecamatan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Metode yang digunakan meliputi studi pustaka, observasi lapangan serta analisis data primer maupun sekunder, sedangkan software yang digunakan dalam pengolahan data adalah minescape, roclab, rocscience slide 6, autocad dan arc gis. Hasil penelitian menunjukkan pada Pit 7 West B masuk ke dalam Formasi Latih (Tml) dengan litologi penyusun berupa batupasir kuarsa, batulempung dan batubara. Struktur geologi primer berupa perlapisan, parallel laminasi, wavy ripple, normal graded bedding dan nodul. Struktur geologi sekunder berupa mudcrack, convolute, kekar tarik dan kekar gerus. Berdasarkan hasil measuring stratigraphy dapat diketahui lingkungan pengendapan berada pada kawasan rawa atau lacustrine, dengan litologi dari tua ke muda berupa batupasir, batulempung, batubara. Bidang perlapisan antara batubara, batulempung dan batupasir memiliki strike/dip N 2280 E/510 dan N 2200 E/480. Analisis kestabilan lereng dilakukan terhadap lereng lowwall dan highwall pada kondisi aktual maupun desain tahun 2017 dan didapatkan hasil untuk kondisi aktual lereng lowwall memiliki nilai FK rata-rata 4,1 dan lereng highwall memiliki FK rata-rata 3,5 sedangkan untuk desain penambangan tahun 2017 didapatkan nilai FK rata-rata lereng lowwall sebesar 2,6 dan nilai FK untuk lereng highwall sebesar 1,8 sehingga keduanya dinyatakan aman/stabil. Kata Kunci : Pit 7 West B, Kondisi Geologi, Analisis Kestabilan Lereng viii ABSTRACT Indonesia has large potential resource, one of them is coal. Coal has significant contribution in part of energy as alternative energy as electrical generator or power in industrial sector. Coal is mined openly or open pit mining. Coal mining process, especially in exploitation stage, must pay attention to slope stability grade so that the mining process can be done well, safely and conducively. A safe mining location becomes main priority to achieve Zero Harm (zero accident condition or minimalize accident that can cause disadvantage for the company). This research aims to know the geology condition and slope stability mining level in Pit 7 West B PT.BUMA Site Binungan that located in Sambaliung Village, Tanjung Redeb District, Berau Regency, East Borneo Province. Method that used in this research are literature study, in site observation, primary and secondary data analysis, while the software used in data processing is minescape, roclab, rocscience slide 6, autocad and arc gis. Result shows that Pit 7 West B included in Latih Formation (Tml) which consists of quartz sandstone, mudstone, and coal lithology. Primary geology structure are bedding, parallel lamination, wavy ripple, normal graded bedding and nodul, while secondary geology structure are mudcrack, convolute, shear joint and tension joint. Based on stratigraphy measurement report, it is known that depositional environment is located in swamp area or lacustrine, with lithology order from older to young: sandstone, mudstone, coal. Bedding side between coal, mudstone, and sandstone have strike/dip N 2280E/510 and N 2200 E/480. Slope stability analysis done to lowwall and highwall slopes,both in actual condition and 2017 design. Result shows that actual contour lowwall slope has FK mean value 4,1 and highwall slope has FK mean value 3,5, while for 2017 mining design shows FK mean value 2,6 for the lowwall slope and 1,8 for highwall slope,so both are declared safe. Keyword : Pit 7 West B, Geological Condition, Slope Stability Analysis ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................v HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii ABSTRAK .......................................................................................................... viii ABSTRACT .......................................................................................................... ix DAFTAR ISI ...........................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................xv DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................. 2 1.3 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3 1.4 Perumusan Masalah ............................................................................. 3 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 4 1.6 Penelitian Terdahulu ............................................................................ 6 1.7 Kerangka Pikir Penelitian .................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian ................................................... 8 2.2 Rock Quality Designation .................................................................. 17 2.3 Massa Batuan ..................................................................................... 19 2.4 Bidang Diskontinuitas ...................................................................... 20 2.5 Geological Strength Index ................................................................. 22 2.6 Faktor Kerusakan ............................................................................... 24 2.7 Window Mapping ............................................................................... 26 2.8 Mekanisme Keruntuhan ..................................................................... 30 2.9 Jenis Longsoran ................................................................................. 33 2.10 Kestabilan Lereng ............................................................................ 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian........................................................................ 49 3.2 Tahapan Penelitian............................................................................. 49 3.3 Alat dan Bahan .................................................................................. 51 3.4 Sumber Data ...................................................................................... 52 3.5 Hipotesis ............................................................................................ 53 3.6 Diagram Alir Penelitian ..................................................................... 53 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Geologi Pit 7 West B ........................................................... 55 4.2 Data Pemboran Geologi ..................................................................... 72 4.3 Pemetaan Geoteknik .......................................................................... 75 4.4 Penampang Lereng Pit 7 West B ....................................................... 78 x 4.5 Analisis Kestabilan Lereng ................................................................ 82 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...................................................................................... 104 5.2 Saran ................................................................................................ 105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Peta Administrasi Lokasi Penelitian ........................................... .5 Gambar 1.2 Sayatan Lereng Pit 7 West Section 1-1‟...................................... .6 Gambar 1.3 Penampang Lereng Pit 7 West Section 1-1‟................................ .6 Gambar 1.4 Analisis Desain Awal Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ ............... .6 Gambar 1.5 Kondisi Lereng Pit 7 West Section 1-1‟ Counter Weight ........... .7 Gambar 1.6 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟ FK 1.35.............. .7 Gambar 1.7 Analisis Desain Awal Pit 7 West Section 1-1‟ Sidecase ............. .8 Gambar 1.8 Kerangka Pikir Penelitian ........................................................... .9 Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur ........................................11 Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur ..............13 Gambar 2.3 Stratigrafi Daerah Berau, Kalimantan Timur ..............................16 Gambar 2.4 Perhitungan Rock Quality Designation (Deere, 1963)………….20 Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004) ...................21 Gambar 2.6 Diagram GSI berdasarkan Hoek dan Marinos (2000) .................25 Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock (Hoek dan Karzulovic, 2000).......................................................28 Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981) .........................35 Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981) ..................................36 Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981) .........................36 Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981) ....................37 Gambar 2.12 Sketsa lereng dan gaya yang bekerja .........................................45 Gambar 2.13 Gaya yang bekerja pada dinding lereng (A.W.Bishop,1955)… 46 Gambar 2.14 Sketsa gaya yang bekerja pada satu sayatan ..............................46 Gambar 2.15 Upaya peningkatan kestabilan lereng ........................................49 Gambar 2.16 Tahapan Penurunan MAT..........................................................50 Gambar 3.1 Diagram alir penelitian ................................................................56 Gambar 4.1 Sisi selatan Pit 7 West B ..............................................................58 Gambar 4.2 Sisi utara Pit 7 West B .................................................................58 Gambar 4.3 Kenampakan Pit 7 West B dari puncak sidewall .........................59 Gambar 4.4 Peta Lokasi Pit 7 West B ..............................................................59 Gambar 4.5 Peta geologi Pit 7 West B.............................................................60 Gambar 4.6 Kontak lapisan batubara dan batulempung ..................................60 Gambar 4.7 Batubara seam X dengan sisipan amber ......................................61 Gambar 4.8 Batulempung di sebelah tenggara seam X ...................................62 Gambar 4.9 Batupasir diantara seam X1 dan X5 ............................................62 Gambar 4.10 Kondisi lereng extremely weathered sisi timur Pit 7 West B.....63 Gambar 4.11 Kenampakan lereng distinctly weathered sisi barat Pit West B.64 Gambar 4.12 Struktur perlapisan batubara, batulempung dan batupasir .........65 Gambar 4.13 Struktur wavy ripple ..................................................................65 Gambar 4.14 Struktur paralel laminasi ...........................................................66 Gambar 4.15 Struktur nodul pada batulempung..............................................66 Gambar 4.16 Struktur normal graded bedding ................................................66 Gambar 4.17 Struktur kekar tarik dan kekar gerus ..........................................67 Gambar 4.18 Struktur convolute antara seam X dan X1 .................................68 Gambar 4.19 Struktur mudcrack pada bench ..................................................69 xii Gambar 4.20 Rekahan 1-4 cm pada batulempung extremely weathered ........69 Gambar 4.21 Bidang erosional pada tebing batupasir sisipan batubara .........70 Gambar 4.22 Kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B.............................71 Gambar 4.23 Lanjutan 1 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B ...........72 Gambar 4.24 Lanjutan 2 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B ...........73 Gambar 4.25 Sekuen stratigrafi sedimen klastik endapan danau air tawar dan lakustrin (Nichols, 2009) ...........................................................74 Gambar 4.26 Peta geologi teknik Pit 7 West B................................................80 Gambar 4.27 Penampang aktual sayatan A-A‟ dan B-B‟................................81 Gambar 4.28 Penampang desain tahun 2017 sayatan A-A‟ dan B-B‟ ............82 Gambar 4.29 Penampang aktual sayatan C-C‟ dan D-D‟................................82 Gambar 4.30 Penampang desain tahun 2017 sayatan C-C‟ dan D-D‟ ............83 Gambar 4.31 Penampang aktual sayatan E-E‟ dan F-F‟ .................................83 Gambar 4.32 Penampang desain tahun 2017 sayatan E-E‟ dan F-F‟ ..............84 Gambar 4.33 Analisis kestabilan lereng sayatan A-A‟ sisi highwall ..............84 Gambar 4.34 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan A-A‟ .........86 Gambar 4.35 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi lowwall ....86 Gambar 4.36 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan A-A‟...........87 Gambar 4.37 Grafik FK kondisi aktual sayatan A-A‟ .....................................88 Gambar 4.38 Analisis kestabilan lereng sayatan B-B‟ sisi highwall...............88 Gambar 4.39 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan B-B‟ ..........89 Gambar 4.40 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi lowwall .....89 Gambar 4.41 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan B-B‟ ...........90 Gambar 4.42 Grafik FK kondisi aktual sayatan B-B‟ .....................................90 Gambar 4.43 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi highwall ....91 Gambar 4.44 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan C-C‟ ..........91 Gambar 4.45 Analisis kestabilan lereng sayatan C-C‟ sisi lowwall ................92 Gambar 4.46 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan C-C‟ ...........92 Gambar 4.47 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal sayatan C-C‟ .........94 Gambar 4.48 Analisis kestabilan lereng sayatan D-D‟ sisi highwall ..............94 Gambar 4.49 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan D-D‟ .........95 Gambar 4.50 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi lowwall .....96 Gambar 4.51 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan D-D‟...........96 Gambar 4.52 Grafik FK kondisi aktual sayatan D-D‟ .....................................96 Gambar 4.53 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi highwall ....97 Gambar 4.54 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan E-E‟ ..........97 Gambar 4.55 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi lowwall......98 Gambar 4.56 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan E-E‟ ...........99 Gambar 4.57 Grafik FK kondisi aktual sayatan E-E‟..................................... .99 Gambar 4.58 Analisis kestabilan lereng sayatan F-F‟ sisi highwall.............. .100 Gambar 4.59 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan F-F‟..........101 Gambar 4.60 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi lowwall .... .102 Gambar 4.61 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan F-F‟ ...........102 Gambar 4.62 Grafik nilai FK aktual sayatan F-F‟ ......................................... .102 Gambar 4.63 Lereng highwall sayatan B-B‟ desain 2017 ............................. 104 Gambar 4.64 Lereng highwall sayatan C-C‟ desain 2017 ............................ .104 xiii Gambar 4.65 Lereng highwall sayatan E-E‟ desain 2017 ............................. .105 xiv DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian.................................................................5 Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963) ....................20 Tabel 2.2 Pedoman memperkirakan faktor kerusakan (Hoek,2002) ................26 Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan ................................................................29 Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan ..................................................................29 Tabel 2.5 Bentuk blok batuan ...........................................................................30 Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan ..............................................................31 Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan ...................................................................31 Tabel 2.8 Tingkat kekasaran.............................................................................31 Tabel 2.9 Jenis material pengisi .......................................................................32 Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek,2001) ....................................................33 Tabel 2.11 Penyebab longsor di beberapa tempat ............................................41 Tabel 2.12 Hubungan nilai FK dengan intensitas longsor (Bowles, 1989) ......47 Tabel 3.1 Alat dan bahan ..................................................................................53 Tabel 3.2 Sumber data. .....................................................................................54 Tabel 4.1 Tingkat pelapukan terhadap kedalaman ...........................................77 Tabel 4.2 Geometri lereng Pit 7 West B ...........................................................81 Tabel 4.3 Nilai FK aktual dan desain ..............................................................103 xv DAFTAR ISTILAH Bench Blasting Disposal Hauling Road HD Highwall Load Lowwall MA Overburden Pit Seam Seismic load Sidewall Sump : jalan datar diantara 2 buah lereng. : peledakan batuan pada lokasi tambang, untuk menghilangkan lapisan overburden. : tempat penimbunan lapisan overburden hasil dari proses blasting. : jalan utama yang digunakan sebagai jalur transportasi pengangkutan batubara, overburden, dan mobilitas LV tambang. : High Dump (Truk pengangkut batubara atau material OB). : lereng dengan kemiringan memotong perlapisan batuan. : beban muatan HD yang melintasi hauling road. : lereng dengan kemiringan searah perlapisan batuan. : million years ago (juta tahun yang lalu), kurun waktu kejadian dalam skala waktu geologi. : lapisan batuan selain batubara di lokasi penambangan, seperti batupasir, batulempung, serpih lempungan dan sebagainya. : lokasi penambangan batubara. : perlapisan batubara. : gelombang yang dihasilkan dari proses blasting. : dinding lereng tambang yang di desain tegak lurus yang merupakan bagian sisi dari pit. : cekungan yang di desain untuk menampung air pada lokasi tambang dan berada di elevasi terendah. xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk Indonesia yang setiap tahunnya meningkat secara signifikan, menyebabkan peningkatan kebutuhan hidup. Upaya pemerintah untuk menyediakan kebutuhan terutama di sektor energi, yang memberikan sumbangan besar terhadap keberlangsungan pemenuhan kebutuhan berupa pasokan energi listrik dan bahan bakar fosil. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam berupa hutan, batubara, gas bumi, panas bumi, flora dan fauna. Kekayaan alam yang dimiliki, seyogyanya bisa dimanfaatkan se-optimal mungkin agar tercapainya stabilitas energi nasional. Sektor batubara merupakan penyumbang energi terbesar setelah migas, dengan menurunya harga jual migas dunia, yang mempengaruhi harga jual migas nasional menjadikan batubara sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar minyak. Batubara dapat digunakan sebagai bahan bakar pembangkit generator listrik, bahan bakar kereta api dan industri lain yang membutuhkan pasokan batubara. Melimpahnya batubara di Indonesia, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor batubara terbesar ke-3 di dunia dengan total cadangan 237.295 juta ton, setelah Cina dan Amerika Serikat (BP Statistical Review of World Energy, 2015) PT. BUMA (Bukit Makmur Mandiri Utama) adalah perusahaan penambangan batubara yang berlokasi di Kalimantan Timur dan berdiri sejak 1998. Perusahaan ini menyediakan jasa kepada pemilik hak eksploitasi (owner) batubara di Indonesia meliputi semua proses, termasuk survey geologi dan perencanaan, pengangkatan lapisan, penambangan batubara, produksi, reklamasi serta rehabilitasi. Proses penambangan batubara diawali dengan tahapan eksplorasi, eksploitasi dan rehabilitasi. Proses eksplorasi merupakan tahapan pencarian lokasi yang memiliki potensi sumber daya yang potensial untuk dilakukan penambangan, sedangkan proses eksploitasi adalah pengambilan sumber daya dari lokasi sumber ditemukanya menuju ke lokasi pengolahan yang kemudian 1 akan di distribusikan ke pasar atau industri yang membutuhkanya. Rehabilitasi memiliki peranan yang penting agar lahan bekas penambangan menjadi lahan yang tetap dapat ditumbuhi oleh vegetasi seperti sebelum dilakukan penambangan. Penambangan memperhatikan batubara tingkat khususnya kestabilan pada lereng tahap tambang eksploitasi, demi harus terciptanya lingkungan penambangan yang aman dan kondusif. Tingkat kestabilan lereng tambang sendiri dapat diketahui setelah dilakukan penyelidikan geoteknik yang meliputi pengeboran geoteknik, pengujian sifat fisik dan sifat mekanik batuan. Lereng dinyatakan stabil apabila memenuhi kriteria Bowles (1989) yang menyatakan bahwa lereng dengan nilai FK>1,25 berada pada kondisi stabil/aman. Kestabilan lereng tambang dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi kondisi massa batuan, desain tambang yang digunakan dan kondisi geologi lokasi penambangan, sedangkan faktor eksternal meliputi intensitas curah hujan dan tingkat pelapukan. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi geologi di lokasi penambangan, dengan menekankan pada aspek kestabilan lereng dinding lowwall dan highwall pada kondisi aktual dan rencana desain tambang pada tahun 2017. Analisis kestabilan lereng ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap desain penambangan yang paling optimal untuk digunakan serta memberikan gambaran mengenai kondisi dari masing-masing lereng, sehingga dapat dilakukan tindakan lebih lanjut untuk meminimalkan resiko terjadinya kecelakaan operasional yang dapat merugikan perusahaan. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan : 1. Mengetahui kondisi geologi lokasi penambangan. 2. Mengetahui tingkat kestabilan lereng tambang. 3. Mengetahui desain lereng tambang yang paling optimal untuk dikembangkan. 2 4. Mengetahui langkah-langkah untuk meningkatkan kestabilan lereng tambang. 1.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada : 1. Mahasiswa yang sedang belajar atau melakukan penelitian tentang kestabilan lereng dinding tambang sehingga dapat digunakan sebagai referensi atau literatur yang dapat menambah wawasan dan daftar pustaka. 2. Masyarakat ataupun pihak yang sedang membaca penelitian ini, sehingga dapat mengetahui potensi sumber daya yang berada di wilayah Tanjung Redeb, Berau, Kalimantan Timur 3. Instansi tempat dilakukanya penelitian yaitu PT. BUMA khususnya departemen engineering dengan mempertimbangkan hasil analisis faktor keamanan, sehingga dapat dilakukan penyesuaian desain tambang yang paling optimal untuk digunakan. 1.4 Perumusan Masalah 1.4.1 Rumusan Masalah 1. Terjadinya kasus longsoran di lereng pertambangan mengakibatkan terhentinya aktivitas penambangan. 2. Segi keamanan lokasi penambangan menjadi prioritas utama demi tercapainya Zero Harm (kondisi tidak terjadi/meminimalkan kecelakaan yang bisa merugikan perusahaan). 3. Desain tambang yang optimal dapat memberikan hasil produksi maksimal tanpa mengesampingkan segi keamanan pada lingkungan penambangan. 1.4.2 Batasan Masalah Batasan permasalahan dalam penelitian tugas akhir ini adalah : 1. Lokasi penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara PT.BUMA site Binungan, Kalimantan Timur. 3 2. Window mapping dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kondisi di lapangan secara cepat dan efektif. 3. Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan parameter dari data hasil pengeboran yang merupakan data sekunder, sedangkan untuk data primer berupa kondisi batuan di lapangan meliputi: jenis litologi, stratigrafi lapisan, arah strike/dip, struktur geologi dan persebaran batuan. 4. Kriteria keruntuhan yang digunakan dalam analisis kestabilan lereng adalah Hoek dan Brown (1989). 5. Analisis kestabilan lereng menggunakan permodelan dengan software Rockscience Slide 6. 6. Nilai faktor keamanan yang dianggap aman adalah FK>1,25 (Bowles, 1989). 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 1.5.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Pit 7 West B tambang batubara PT. BUMA site Binungan, Berau, Kalimantan Timur (Gambar 1.1, halaman 5) pada lereng lowwall dan highwall, untuk menuju ke lokasi dapat menggunakan transportasi udara dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta menuju Bandara Sepinggan, Balikpapan dengan waktu tempuh selama 3 jam, kemudian dilanjutkan kembali dengan transportasi udara menuju ke Bandara Kalimarau, Berau dengan waktu tempuh selama 1,5 jam, selanjutnya perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat menuju ke site penambangan dengan waktu selama 30 menit. 1.5.2 Waktu Penelitian Rentang waktu penelitian dilakukan selama 2 bulan dimulai pada bulan Desember 2016 dan berakhir pada akhir bulan Februari 2017, untuk rincian waktu penelitian beserta jadwal kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.1 halaman 5. 4 Tabel 1.1 Jadwal kegiatan penelitian Bulan Kegiatan Desember 2016 III IV Minggu ke- I Januari 2017 II III IV Februari 2017 I II Tahap Pendahuluan (Studi literatur) Tahap Pengambilan Data Lapangan Tahap Pengolahan Data Pembuatan Laporan dan Presentasi PETA ADMINISTRASI LOKASI PENELITIAN Gambar 1.1 Peta administrasi lokasi penelitian 1.6 Penelitian Terdahulu Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya pada daerah sekitar lokasi penelitian, seperti pada Tabel 1.2 halaman 6. 5 Tabel 1.2 Penelitian terdahulu No Judul 1 Peneliti Tujuan Metode Hasil Peta Geologi Berau, Situmorang Mengetahui Pemetaan Peta Kalimantan Timur Geologi Geologi dan Burhan kondisi (1995) geologi daerah daerah sekitar penelitian Berau, Kalimantan Timur 2 Analisis struktur PT. Indra Mengetahui Interpretasi Struktur geologi Suaran, Berau, Geodia struktur liniasi dari geologi Kalimantan Timur geologi SAR dan berupa daerah posisi lipatan, penelitian perlapisan, formasi pengamatan pembawa (1996) pola struktur batubara, struktur breksiasi pada jalur sesar 3 Analisis kestabilan PT.Berau lereng Pit 7 West Coal Mengetahui Bishop, Nilai tingkat Circular lereng kestabilan Failure, FK lereng Pit 7 Counter West Weight, Rocscience Slide 6 4 Analisis kestabilan PT. BUMA Mengetahui lereng Pit 7 West Bishop, Nilai tingkat Circular lereng kestabilan Failure, FK lereng Pit 7 Sidecase, West Rocscience Slide 6 6 1.7 Kerangka Pikir Penelitian Kerangka pikir dalam penelitian yang dilakukan, seperti pada Gambar 1.2 di bawah ini. Kawasan Berau merupakan bagian dari Cekungan Tarakan yang masuk kedalam SubCekungan Berau dengan Formasi Latih yang terdapat sumberdaya batubara Penambangan batubara di kabupaten Berau dikerjakan oleh beberapa kontraktor tambang, salah satunya PT.BUMA BINSUA Longsor yang terjadi pada lokasi penambangan dapat menghambat operasional penambangan dan kecelakaan yang merugikan pihak perusahaan Diperlukan adanya analisis untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng dinding tambang, untuk meminimalkan terjadinya resiko kecelakaan akibat longsornya dinding tambang Pemetaan geologi Peta geologi, permodelan lereng tambang Pemetaan geologi teknik Peta geoteknik, massa batuan, GSI, density, sudut geser dalam, dan kohesi Analisis Kestabilan Lereng menggunakan Software Rocscience Slide 6 - Mengetahui tingkat kestabilan lereng dinding tambang - Merekomendasikan langkah untuk meningkatkan kestabilan lereng dinding tambang Gambar 1.2 Kerangka pikir penelitian 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian 2.1.1 Fisiografi Cekungan Tarakan Cekungan Tarakan merupakan salah satu dari 3 (tiga) Cekungan Tersier utama yang terdapat di bagian timur continental margin Kalimantan dari utara ke selatan: Cekungan Tarakan, Cekungan Kutai dan Cekungan Barito, yang dicirikan oleh hadirnya batuan sedimen klastik sebagai penyusunnya yang dominan, berukuran halus sampai kasar dengan beberapa endapan karbonat. Fisiografi, Cekungan Tarakan meliputi kawasan daratan dan sebagianya lagi kawasan lepas pantai, di bagian utara dibatasi oleh tinggian Semporna yang terletak sedikit ke utara antara perbatasan Indonesia-Malaysia, di sebelah selatan oleh Punggungan Mangkalihat yang memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai, kearah barat dari cekungan meliputi kawasan daratan sejauh 60 sampai 100 km dari tepi pantai hingga Tinggian Kuching, ke arah timur batas cekunganya melewati kawasan paparan benua dari Laut Sulawesi. Cekungan Tarakan adalah daerah rendahan di sebelah utara Cekungan Kutai di bagian timur Pulau Kalimantan yang bersama dengan berbagai cekungan lainnya menjadi pusat pengendapan sedimen dari bagian timur laut Sundaland selama zaman Kenozoikum (65,5-0,01 MA) . Batas Cekungan Tarakan di bagian barat dibatasi oleh lapisan PraTersier Tinggian Kuching dan dipisahkan dari Cekungan Kutai oleh kelurusan timur-barat Tinggian Mangkalihat seperti yang terlihat pada Gambar 2.1 halaman 9. Proses pengendapan Cekungan Tarakan di mulai dari proses pengangkatan. Transgresi yang diperkirakan terjadi pada Kala Eosen sampai Miosen Awal (23-16 MA) bersamaan dengan terjadinya proses pengangkatan gradual pada Tinggian Kuching dari barat ke timur. Pada Kala Miosen Tengah (16-11,6 MA) terjadi penurunan (regresi) pada Cekungan Tarakan, yang dilanjutkan dengan terjadinya pengendapan 8 progradasi ke arah timur dan membentuk endapan delta, yang menutupi endapan prodelta dan batial. Cekungan Tarakan mengalami proses penurunan secara lebih aktif lagi pada Kala Miosen sampai Pliosen (23-2,6 MA). Proses sedimentasi delta yang tebal relatif bergerak ke arah timur terus berlanjut selaras dengan waktu. Gambar 2.1 Cekungan Tarakan Kalimantan Timur (Sumber: Core-Lab G&G Evaluation Simenggaris Block dengan modifikasi, 2009). Cekungan Tarakan berupa depresi berbentuk busur yang terbuka ke timur ke arah Selat Makasar atau Laut Sulawesi yang meluas ke utara Sabah dan berhenti pada zona subduksi di Tinggian Semporna dan merupakan cekungan paling utara di Kalimantan. Tinggian Kuching dengan inti lapisan Pra-Tersier (145-65,5 MA) terletak di sebelah baratnya, sedangkan batas selatannya adalah Ridge Suikersbood dan Tinggian Mangkalihat. Ditinjau dari fasies dan lingkungan pengendapannya, Cekungan Tarakan terbagi menjadi empat sub cekungan, yaitu Tidung Sub-basin, Tarakan Sub-basin, Muara Sub-basin dan Berau Sub-basin. 1. Tidung Sub-basin: Terletak paling utara dan untuk sebagian besar berkembang di daratan, terisi sedimen berumur Oligosen sampai Miosen Akhir (33,9-5,3 MA). Dipisahkan dengan Berau sub-basin di bagian selatan oleh Sekatak Ridge. 9 2. Berau Sub-basin: Terletak pada bagian selatan dan sebagian besar berkembang di daratan. Terisi oleh sedimen berumur Eosen Akhir sampai Miosen Akhir (55,8-5,3 MA). 3. Tarakan Sub-basin: Terletak pada bagian tengah dan merupakan sub cekungan paling muda. Perkembangan paling utara ke arah lepas pantai dan terisi dengan Formasi Tarakan-Bunyu yang berumur Miosen Akhir (11,6-5,3 MA). 4. Muara Sub-basin merupakan deposenter paling selatan dan perkembangan sedimennya ke arah lepas pantai di utara Tinggian Mangkalihat. Muara Sub-basin dipisahkan dengan Berau subbasin, di utaranya oleh Suikerbrood Ridge, yaitu suatu Tinggian yang berarah Barat-Timur. 2.1.2 Kondisi Geologi Sub Cekungan Berau Daerah Binungan terletak pada Cekungan Tarakan, salah satu dari 3 cekungan utama di mandala Kalimantan Timur yang terbentuk pada kurun Tersier. Cekungan Tarakan terdiri dari empat anak cekungan (sub-basin) yaitu : Tidung, Tarakan, Muras dan Berau. Daerah Binungan termasuk dari Cekungan Berau yang merupakan anak cekungan (sub basin) dari Cekungan Tarakan, yang terletak pada pantai Timurlaut Kalimantan Timur dan sebagian kecil berada di bagian Tenggara Sabah. Luas cekungan seluas 300 km2 arah Utara-Selatan dan 150 km2 arah Timur-Barat. Bagian Selatan dibatasi oleh Tinggian Mangkalihat yang merupakan pemisah antara Cekungan Tarakan dan Cekungan Kutai, di bagian Utara oleh Tinggian Kalimantan Utara (Malaysia), di sebelah Barat oleh Tinggian Sekatak dan dibagian Selatan dan Anak Cekungan Tidung di bagian Utara seperti Gambar 2.2 halaman 11. 10 Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah sekitar Berau, Kalimantan Timur (Situmorang dan Burhan, 1995 dengan modifikasi). Secara umum, geologi daerah Binungan terbentuk dari batuan Formasi Latih atau dikenal juga sebagai Formasi Lati. Batuannya berupa sedimen deltaik yang terdiri dari fraksi klastik halus serta lapisan batubara, dengan ketebalan bervariasi mulai dari <1 meter sampai dengan 8 meter. Data hasil pemboran eksplorasi menunjukkan dominasi batuan sedimen secara berurutan adalah batulanau, batulempung, batupasir, dan batubara. Pada beberapa lokasi yang relatif sempit, kadang terbentuk ”channel system”, yakni hilangnya lapisan fraksi halus atau batubara digantikan oleh lapisan batupasir. a) Struktur Geologi Analisis struktur yang diperoleh dari rangkuman hasil penelitian PT. Indera Geodia tahun 1996 (interpretasi liniasi dari SAR dan posisi perlapisan) dan hasil pengamatan pola struktur terhadap daerah yang baru dibuka, khususnya di daerah kupasan rencana jalan ke Suaran. Struktur Lipatan 11 Struktur lipatan yang terbentuk di daerah Binungan terdiri dari: 1. Sinklin Binungan Dengan arah Utara yang membentuk sayap (Timur dan Barat) relatif simetris dengan kemiringan 100-120, mendekati Sungai Binungan, sinklin ini menunjam secara landai. 2. Antiklin Rantau Arah Utara-Barat Laut, dimulai dari sebelah Utara Sungai Berau sampai Binungan Selatan. Sayap Barat Daya dengan kemiringan 500-700 sedangkan sayap Timur Laut dengan memiliki kemiringan 100-120. 3. Sinklin Suaran Sinklin Suaran membentuk lipatan terbuka dengan bentuk sayap relatif simetris dan menunjam ke arah Barat Laut dengan kemiringan 100-300. Terdapat dua struktur sesar yang terjadi di daerah Binungan ini, yaitu Sesar Binungan dan Sesar Kelay yang merupakan sesar ikutan (secondary fault). Sesar Binungan merupakan sesar utama memanjang 5 km dengan arah Barat Laut-Tenggara, sesar ini merupakan tipe sesar gunting (scissors-type fault). Daerah Barat diinterpretasi sebagai sesar naik relatif terhadap bagian Timur, hal ini didasarkan data sebagai berikut : Pengulangan berupa lapisan datar dari formasi pembawa batubara (coal measures) dengan penampakan kedua kemiringan lapisan kearah Barat dengan batas bagian Selatan dari sesar. 1. Adanya kenampakan pelurusan (lineament) 2. Ditemukan material terbreksikan (breciated) dengan komponen batugamping dan batupasir pada jalur sesar 3. Terdapat kemiringan relatif besar dekat zona sesar Sesar Kelai berarah Timur-Barat dengan pergeseran (throw) sekitar 30 m. Sesar ini diintepretasikan sebagai sesar naik dimana daerah Utara sesar bergerak naik relatif terhadap daerah Selatan. 12 b) Stratigrafi Secara regional, daerah Sub-Cekungan Berau merupakan bagian dari Cekungan Tarakan dan tersusun oleh batuan sedimen, batuan vulkanik dan batuan beku dengan kisaran umur dari Tersier sampai Kwarter (65,5-0,01 MA). Formasi yang menyusun stratigrafi Anak Cekungan Berau terdiri dari 4 (empat) formasi utama. Urutan dari yang tertua yaitu Formasi Birang (Formasi Globigerina Marl), Formasi Latih (Formasi Batubara Berau), Formasi Labanan (Formasi Domaring) dan Formasi Sinjin seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.3 halaman 14. 1. Formasi Birang Tersusun dari perselingan antara napal, batu gamping, tufa hablur di bagian atas, serta perselingan antara napal, rijang, konglomerat, batupasir kwarsa, dan batugamping di bagian bawah. Napal kelabu, kompak, mengandung foraminifera besar terutama orbituid. Konglomerat kompak, tersusun dari batuan beku, kwarsa dan kwarsit berukuran kerikil, membulat tanggung sampai menyudut tanggung dengan matriks berupa pasir berbutir halus sampai kasar. Batupasir kwarsa, kelabu-coklat kekuningan, berbutir halussedang, membundar tanggung, kompak, berlapis baik sampai dua meter, mengandung mineral kwarsa, mineral bijih, fragmen batuan dan mineral hitam. Batugamping, berwarna putih, sangat kompak, berlapis baik dan berselang-seling dengan batupasir kwarsa yang mengandung foraminifera besar dan kecil yang sangat berlimpah. 13 Formasi ini disebut juga Formasi Globigerina Marl yang berumur Oligo-Miosen (33,9-5,3 MA) dan diendapkan di lingkungan laut dangkal. Ketebalan formasi ini lebih dari 110 meter. Gambar 2.3 Stratigrafi daerah Berau Kalimantan Timur (Situmorang dan Burhan, 1995 dengan modifikasi). 2. Formasi Latih ( disebut juga Formasi Lati) Formasi Latih tersusun dari perselingan antara batupasir kwarsa, batulempung, batulanau dan batubara di bagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah. Batupasir kwarsa, berwarna kelabu muda, 14 coklat kekuningan, hingga ungu, berbutir halus hingga kasar, membulat tanggung hingga menyudut, berlapis baik, selang-seling dengan batulempung berwarna kelabu hingga kehitaman dan terdapat sisa tumbuhan. Batulanau, berwarna kelabu kekuningan, berselingan dengan batupasir kwarsa, umumnya tidak gampingan. Batubara, berwarna coklat-hitam, selang-seling dengan batupasir kwarsa dan batulempung, tebal dari beberapa centimeter hingga 5,5 meter. Serpih pasiran, berwarna coklat kemerahan, berbutir halus sampai sedang. Batugamping merupakan sisipan di bagian bawah, berwarna putih, sangat kompak dan berlapis baik. Ketebalan Formasi Latih kurang lebih 600 m (Klompe, 1941). Umur Miosen Tengah dan diendapkan pada lingkungan delta, estuarin dan laut dangkal. Formasi ini menjemari dengan atas Formasi Birang. Nama lain dari formasi ini adalah Formasi Batubara Berau (Klompe, 1941). Sebagai lapisan pembawa batubara (coal bearing), Formasi Latih cukup luas sebarannya, meliputi sebagian besar wilayah KPPT Berau Coal, termasuk daerah Binungan, yang dibagi menjadi blok 1-4, 5, 6 dan blok 7. Berdasarkan kedudukan posisi stratigrafinya Formasi Latih dibagi menjadi dua yaitu : a. Formasi Latih bagian atas yang terbentuk dari pengulangan pengendapan (selang seling) yang terdiri dari satuan: batupasir kwarsa, batu lanau, batu lempung dan batubara (Klompe, 1941). b. Formasi Latih bagian bawah, terbentuk dari sisipan serpih pasiran dan batugamping. Batugamping berwarna putih, sangat kompak dan berlapis baik dengan ketebalan 600 meter, berumur Miosen Tengah (16-11,6 MA). Umumnya batuan tersebut diendapkan pada 15 lingkungan delta, estuarin sampai laut dangkal. Formasi Latih bagian bawah ini menjemari dengan bagian atas Formasi Birang (Klompe, 1941). 3. Formasi Labanan Formasi Labanan tersusun dari perselingan konglomerat, batupasir, batulanau,batulempung dengan sisipan batugamping dan batubara. Konglomerat, terdiri dari fragmen batuan beku (andesit, basalt) kwarsa, kwarsit, berukuran kerikil, membundar tanggung-menyudut tanggung, matriks tersusun dari pasir halus-kasar. Batupasir, berwarna kelabu-coklat, kompak, berbutir halus sampai sedang, gampingan, fragmen terdiri dari batuan beku, kwarsa dan mineral bijih. Batulanau, berwarna kelabu kotor, kompak, mengandung sisa tumbuhan, perlapisan kurang baik. Batulempung, berwarna kelabu kehijauan, mengandung sisa tumbuhan dan fosil moluska. Batugamping, berwarna putih-kecoklatan, pasiran, kompak, berlapis baik. Batubara berwarna coklat-kehitaman, tebal di bagian atas hanya beberapa centimeter, sedangkan di bagian bawah mencapai 1,5 meter. Tebal Formasi Labanan lebih kurang 450 meter, umur Miosen Akhir (11,6-53 MA) dan terletak secara tidak selaras di atas Formasi Latih. Lingkungan pengendapannya adalah fluviatil. Nama lain dari Formasi Labanan ini adalah Formasi Domaring (Klompe, 1941). 4. Formasi Sinjin Formasi ini tersusun dari perselingan tuf, aglomerat, tuf lapili, lava andesit piroksen, tuf terkersikan, batulempung tufaan dan kaolin. Tuf berwarna putih kecoklatan-ungu, berbutir halus, lunak-kompak, berselingan dengan aglomerat dan tuf lapili, berwarna kelabu kehijauan, kehitaman, mengandung andesit dan basalt. Lava andesit piroksen menunjukkan struktur 16 aliran. Tuf terkersikan berwarna coklat muda-ungu, berlapis baik, berbutir sangat halus, mengandung mineral kwarsa, feldspar dan mineral hitam. Batulempung tufaan, kelabu kotor-kelabu kecoklatan, kompak, berlapis buruk, mengandung sisa tumbuhan. Tebal formasi ini lebih dari 500 meter, umurnya diduga Pliosen (5,3-2,6 MA) dan terletak secara tidak selaras di atas Formasi Labanan (Klompe, 1941). 2.2 Rock Quality Designation (RQD) RQD (Rock Quality Designation) merupakan metode untuk memperkirakan kualitas dari massa batuan secara kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai persentase dari perolehan inti bor (core) yang secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core), hanya bagian yang utuh dengan panjang lebih besar dari dua kali diameter inti yang dijumlahkan kemudian dibagi panjang total pengeboran (core run). RQD (Rock Quality Designation) dihitung dari data pemboran dengan menggunakan rumus (Deere, 1963). 𝑅𝑄𝐷 = Ʃ Panjang batuan inti > 2 𝑘𝑎𝑙𝑖 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑏𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑖𝑛𝑡𝑖 × 100% Panjang total inti batuan yang didapat (2.1) Keuntungan dalam penggunaan RQD ialah pengerjaan yang sederhana, hasil yang diinginkan cepat diperoleh dan biaya murah. RQD merupakan petunjuk kualitas batuan yang mempertimbangkan tingkat pelapukan, lunak, hancur dan terkekarkan sebagai bagian dari suatu massa batuan. Hubungan antara nilai RQD dan kualitas massa batuan dapat dilihat pada Tabel 2.1 halaman 18. 17 Tabel 2.1 Kualitas batuan berdasarkan nilai RQD (Deere, 1963). Kualitas Batuan RQD (%) Sangat buruk Buruk Sedang Baik Sangat baik 0-25 25-50 50-75 75-90 90-100 Metode langsung digunakan dalam perhitungan nilai RQD apabila tersedia data core logs. Selama pengukuran panjang core pieces, harus dilakukan pada sepanjang garis tengahnya. Inti bor yang retak ataupun pecah akibat aktivitas pemboran maka digabungkan dan dihitung sebagai satu batuan utuh. Inti bor yang mengalami pecah dikarenakan proses alami maka tidak diperhitungkan pada perhitungan RQD seperti pada Gambar 2.4. Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm panjang core >2 𝑥 𝑑 RQD = panjang core total X 100% 28+11+20+25 RQD = 100 RQD = 84 % X 100% Gambar 2.4 Perhitungan Rock Quality Designation (Deere, 1963). 18 2.3 Massa Batuan Hoek (2009), massa batuan merupakan susunan dari sistem blok-blok batuan utuh yang dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinuitas yang masing-masing saling bergantung sebagai sebuah kesatuan unit yang berupa joint, bidang perlapisan dan patahan. Massa batuan dibentuk dengan adanya diskontinuitas, tegangan overburden dan perubahan akibat proses pelapukan (Hunt, 2007). Pada Gambar 2.5 di bawah menjelaskan bahwa konsep dasar dari massa batuan berasal dari batuan utuh yang memiliki sifat homogen dan kemudian adanya bidang diskontinuitas membuat kekuatan massa batuan menjadi berkurang. Gambar 2.5 Konsep dasar massa batuan (Wylie dan Mah, 2004). Adanya bidang diskontinuitas ini membedakan kekuatan massa batuan dengan kekuatan batuan utuh atau intact rock. Massa batuan akan memiliki kekuatan yang lebih kecil dibandingkan dengan batuan utuh. Variasi yang besar dalam hal komposisi dan struktur dari batuan serta sifat dan keberadaan bidang diskontinuitas yang memotong batuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa batuan. Menurut Hoek dan Brown (1980), sifat atau karateristik massa batuan dapat menentukan dalam pekerjaan penggalian seperti terowongan dan lereng. Kekuatan massa batuan, kuat geser, kekuatan batuan utuh dan 19 perilaku tegangan-regangan batuan menjadi parameter penting dalam perhitungan desain, kegiatan pemboran dan peledakan dalam suatu pertambangan. 2.4 Bidang Diskontinuitas Secara umum bidang diskontinuitas merupakan bidang yang membagi massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Wyllie dan Mah (2004), bidang diskontinuitas dapat berupa bidang perlapisan, joint ataupun patahan. Bidang diskontinuitas dapat mempengaruhi kuat geser batuan termasuk bentuk dan tingkat kekasaran permukaan batuan. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang diskontinuitas terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal ini yang membedakan antara diskontinuitas alami yang terbentuk oleh peristiwa geologi atau geomorfologi, dengan diskontinuitas artifisial yang terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya pemboran, peledakan dan proses pembongkaran material batuan. Menurut Brady dan Brown (2004), struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur batuan, membentuk massa batuan. Beberapa macam bidang diskontinuitas sebagai berikut (Brady dan Brown, 2004): 1. Fault atau patahan Fault atau patahan adalah bidang diskontinuitas yang secara jelas memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slickenside atau jejak yang terdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas. 2. Joint atau kekar Joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk secara alami tanpa ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat. Kelompok joint yang sejajar 20 disebut joint set dan saling berpotongan membentuk joint system. Joint berdasarkan lokasi terjadinya atau tempat terbentuknya dapat dikelompokkan menjadi : a) Foliation joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang bidang foliasi pada batuan metamorf. b) Bedding joint adalah bidang diskontinuitas yang terbentuk sepanjang bidang perlapisan pada batuan sedimen. 3. Fold atau Lipatan Lipatan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang terbentuk karena batuan mengalami deformasi sehingga terlipat. Lipatan dapat berskala luas ataupun lokal. Selama proses perlipatan, tegangan dan tekanan dapat meningkat sehingga dapat mengurangi kuat geser batuan. 4. Crack Crack adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil atau tidak menerus. Crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan. 5. Rupture Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinuitas yang terjadi karena proses ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain. 6. Fissure Fissure adalah bidang diskontinuitas yang berukuran kecil, terutama yang tidak terisi atau terbungkus oleh material isian. 7. Bedding Plane Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen. Bidang perlapisan dapat mengurangi kuat geser. 21 8. Shear Zone Shear Zone adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah ini bervariasi dari ukuran milimeter sampai meter. 9. Cleat Cleat merupakan rekahan pada lapisan batubara dengan arah memotong dan searah dengan lapisan batubara. 10. Vein Vein merupakan bidang diskontinuitas yang berupa material atau mineral yang mengisi celah pada batuan. Vein dapat berupa batuan beku akibat proses mineralisasi. Vein dapat menambah kekuatan massa batuan dan dapat mengurangi kekuatan batuan. 2.5 Geological Strength Index (GSI) Dalam penggunaan Kriteria Keruntuhan Hoek-Brown, GSI merupakan hal paling penting dimana merepresentasikan kekuatan batuan dan deformasi dari hasil laboratorium dan pengamatan di lapangan (Hoek, 1998). Kekuatan massa batuan terkekarkan tergantung kepada sifat/kekuatan batuan yang utuh dan juga kepada bebas atau tidaknya blok-blok batuan yang menyusun massa batuan tersebut untuk meluncur dan berotasi di bawah kondisi tegangan yang berbeda. Hal tersebut dikontrol oleh bentuk geometri dari blok-blok batuan tersebut. Suatu blok batuan yang menyudut dengan bidang permukaan kasar akan mempunyai kekuatan massa batuan yang lebih besar dibandingkan dengan blok batuan yang membundar dan bidang permukaannya terlapukan. GSI diperkenalkan oleh memperkirakan berkurangnya Hoek dkk (1995) kekuatan suatu ditujukan untuk massa batuan yang disebabkan oleh kondisi geologi yang berbeda. Menurut Marinos dkk (2005), GSI menggambarkan pengklasifikasian massa batuan dengan 22 parameter yaitu litologi, kondisi diskontinuitas, struktur diskontinuitas, bentuk massa batuan yang merepresentasikan proses geologi yang terjadi. Pada Gambar 2.6 di bawah menjelaskan bahwa Joint Condition menurut Bieniawski (1989) merepresentasikan permukaan diskontinuitas dan Rock Quality Designation menunjukkan spasi diskontinuitas. Menurut Hoek dkk (2013) hubungan antara GSI, Joint Condition dan RQD dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : GSI = 1,5 Jcond + RQD/2 …………………...(2.2) Gambar 2.6 Diagram GSI berdasarkan Hoek dan Marinos (2000). 23 2.6 Faktor Kerusakan (Disturbance Factor) Nilai D merupakan faktor kerusakan yang tergantung derajat kerusakan massa batuan yang disebabkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Dalam desain suatu lereng pada tambang terbuka dengan kriteria Hoek-Brown dengan asumsi massa batuan insitu tidak terganggu (undisturb in-situ rock masses) dimana D=0 adalah terlalu optimistis (Hoek, 2002). Kerusakan massa batuan dapat disebabkan oleh peledakan dan pelepasan tegangan (stress release) akibat lepasnya overburden, oleh karena itu harus dipertimbangkan adanya faktor untuk mempertimbangkan tingkat kerusakan massa batuan akibat proses tersebut, untuk mengakomodasi hal tersebut, Hoek (2002) memperkenalkan faktor kerusakan massa batuan/disturbance factor (D) yang merupakan nilai tingkat kerusakan massa batuan yang diakibatkan oleh peledakan maupun pelepasan tegangan. Pedoman untuk menentukan besaran nilai D disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Pedoman untuk memperkirakan faktor kerusakan (Hoek, 2002). Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Kualitas peledakan yang sangat baik atau Nilai D D=0 pengeboran menggunakan alat bor terowongan yang menghasilkan kerusakan minimum massa batuan di sekitar terowongan Penggalian mekanik pada massa batuan lemah (tanpa peledakan) menghasilkan D=0 D = 0.5 gangguan minimal. Penggalian lubang bukaan tambang menghasilkan pengangkatan lantai yang jelas, sehingga gangguan bisa sangat besar. 24 Tabel 2.2 Lanjutan Massa Batuan Deskripsi Massa Batuan Kualitas peledakan yang buruk pada Nilai D D = 0,8 terowongan batuan keras, tingkat kerusakan lokal besar, berpengaruh 2 sampai 3 m massa batuan sekitarnya. Pengaruh peledakan skala kecil pada lereng, mengakibatkan kerusakan menengah pada massa batuan. D = 0,7 (Peledakan Baik) D = 1,0 (Peledakan Buruk) Kemiringan lereng tambang terbuka yang sangat besar, mengalami gangguan yang besar karena hasil peledakan dan juga karena pengaruh dari pemindahan overburden. Pada beberapa batuan lemah, penggalian D = 1,0 (Peledakan Produksi) D = 0,7 (Penggalia n Mekanik) dapat dilakukan dengan menggaruk dan mendorong dengan alat mekanik, dan mengakibatkan tingkat kerusakan yang kecil pada lereng. Penentuan nilai D (Disturbance Factor), juga perlu memperhatikan luasan daerah yang terkena efek dari peledakan (Hoek, 2012). Pada lereng yang akan dianalisis, tidak semua daerah akan terkena dampak dari peledakan atau dengan kata lain nilai D tidak dapat disamaratakan. Daerah tersebut dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu Disturbed Rock Mass dan Undisturbed Rock Mass Gambar 2.7 halaman 26. Cara perhitungan menurut Hoek dan Karzulovic (2000), dapat dinyatakan sebagai berikut : T =1,5 x H ………………………………………….(2.3) 25 Gambar 2.7 Representasi antara Undisturbed Rockmass dan Blasted Rock (Hoek dan Karzulovic, 2000). 2.7 Window Mapping Pemetaan geoteknik merupakan metode dalam mendapatkan gambaran kondisi lapangan, dalam assessment geoteknik dan pit tambang. Menurut Wyllie dan Mah (2004), terdapat beberapa metode yang umum dipakai antara lain scanline mapping dan window mapping. Metode-metode ini dapat dilakukan di lereng tambang baik highwall maupun lowwall. Highwall merupakan lereng terjal yang arah kemiringannya memotong atau tegak lurus dari bidang perlapisan batubara sedangkan lowwall merupakan lereng landai yang arah kemiringannya sejajar dengan bidang perlapisan batubara (Swana dkk, 2012). Tujuan dilakukannya geotechnical mapping yaitu untuk mengumpulkan data antara lain : 1. Kehadiran, karakteristik dan keberagaman bidang diskontinuitas seperti bedding, kekar maupun patahan di lereng tambang. 2. Keberagaman karakteristik dan kekuatan massa batuan pada lereng tambang. 3. Kondisi massa batuan (pelapukan, kekuatan, kekar, bentuk blok, GSI). Hal-hal yang dimasukkan dalam Window Mapping antara lain lokasi mapping, koordinat, elevasi dan orientasi lereng. Parameter yang dihitung antara lain (Australian Standard, 2005) : 26 1. Deskripsi Massa Batuan, yang terdiri dari tingkat pelapukan, tingkat kekuatan, bentuk blok batuan, jumlah set discontinuity. Untuk pedoman dalam deskripsi massa batuan sebagai berikut seperti pada Tabel 2.3-2.5 halaman 27-28 : Tabel 2.3 Tingkat pelapukan batuan (Australian Standard, 2005) Pelapukan Kode Istilah Pengertian Tanah residu Tanah terbentuk pada batuan yang sangat RS lapuk, struktur dan material penyusunya massa batuan sudah tidak diketemukan Sangat lapuk Pelapukan batuan yang meluas dan memiliki XW material tanah dan akan memisahkan diri atau dapat dihancurkan dengan tangan di dalam air Lapuk Tegas Perybahan warna yang kontras, biasanya DW karena pelapukan mineral besi (Fe) dan kekuatan massa batuan telah berubah karena pelapukan Lapuk samar Sedikit mengalami perubahan warna, sedikit SW menunjukan perubahan pada kekuatan batuan Segar Tidak terdapat perubahan warna atau zat FR warna Tabel 2.4 Tingkat kekuatan batuan (Australian Standard, 2005) Kekuatan Istilah Is(50) (MPa) Pengertian Kode Rendah sekali <0,03 Mudah dihancurkan dengan tangan EL untuk material yang mengandung tanah Sangat rendah 0,03-0,1 Material hancur dibawah pukulan VL kuat dengan ujung runcing palu, dan dapat di kelupas dengan pisau, sangat sulit untuk memotong sample triaksial menggunakan tangan. Potongan diatas 30 mm dapat dihancurkan menggunakan tekanan jari Rendah 0,1-0,3 Dapat digores dengan pisau, retakan L dengan jarak 1-3 mm yang ditunjukan oleh sampel dengan pukulan kuat pada ujung palu. Satu potongan inti batuan yang panjangnya 150 mm dan diameter 27 Kode Istilah Is(50) (MPa) M Sedang 0,3-1 H Tinggi 1-3 VH Sangat Tinggi 3-10 EH Tinggi Sekali >10 Pengertian 50 mm dapat dihancurkan dengan tangan, sisi yang runcing pada inti batuan rapuh dan hancur ketika dipegang Sangat dapat digores dengan pisau, potongan inti batuan panjang 150 mm dan diameter 50 mm dapat dihancurkan dengan tangan dengan susah Potongan inti batuan panjang 150 mm dan diameter 50 mm tidak dapat dihancurkan menggunakan tangan tetapi dapat dihancurkan dengan palu dengan sekali pukulan Sampel batuan hancur dengan dengan lebih dari 1 kali pukulan, batuan bergetar karena pukulan Sampel batuan membutuhkan banyak pukulan dengan palu untuk menghancurkan ikantan marerial , batuan bergetar karena pukulan Tabel 2.5 Bentuk blok batuan (Australian Standard, 2005) Bentuk Kode Istilah Pengertian Kubus Seperti bentuk kubus dengan sisi yang menyerupai BLK Berlembar Berbentuk lempengan dengan tebal lebih kecil TAB dibandingkan panjang atau lebarnya Balok Tinggi bidang lebih besar dibandingkan lebar dan COL tebalnya Tidak Bentuk bidang tidak beraturan IRR Beraturan 2. Deskripsi Diskontinuitas, yang terdiri dari tipe diskontinuitas, orientasi bidang diskontinuitas, panjang, spasi, bentuk, kekasaran, material pengisi dan ketebalan. Untuk pedoman dalam bidang diskontinuitas sebagai berikut seperti pada Tabel 2.6-2.9 pada halaman 29-30 : 28 Tabel 2.6 Jenis-jenis ketidakselarasan (Australian Standard, 2005) Jenis Ketidakselarasan Kode Istilah Pengertian Bedding Kekar sejajar dengan perlapisan batuan B parting Joint Kekar yang memotong perlapisan batuan J Cleat Celah kekar yang tertutup material lain didalam C batubara Fault Ketidakselarasan mayor yang memotong sepanjang F perlapisan batuan dengan offset yang terlihat jelas atau perpindahan sepanjang sebuah bidang. Sesar dapat bersih atau terdapat zona sempit material pengisi Bedding Zona sempit dari pergeseran parallel terhadap salah S shear satu perlapisan sepanjang kontak antara dua lapisan yang berdekatan atau seluruhnya dengan sebagian lapisan, biasanya lempung, sepanjang pergeseran yang terjadi. Permukaan yang halus dan tegas muncul Fault/Shear Zona lempengan yang terdapat banyak parallel atau Z zone sesar mendatar karena perpindahan. Seringkali terdiri dari hancuran atau material yang telah bergerser. Tabel 2.7 Bentuk ketidakselarasan (Australian Standard, 2005) Bentuk Ketidakselarasan Kode Istilah Pengertian Datar Permukaan ketidakselarasan adalah bidang datar P Kurva Permukaan ketidakselarasan bebentuk melengkung, C bisa cekung atau cembung. Bentuk lengkungan bisa satu sumbu (silinder) atau dua sumbu (bola) Bergelombang Permukaan ketidakselarasan bergelombang atau W undulasi dan tersusun atas pengulangan bentuk cekung-cembungdari bidang tengah ketidakselarasan Putus-putus Permukaan ketidakselarasan tersusun atas bidang S runcing Tabel 2.8 Tingkat kekasaran (Australian Standard, 2005) Kekasaran Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Pengertian Putus-putus-kasar 4 BergelombangDatar1 7 Kasar kasar Putus-putus-halus 5 BergelombangDatar2 8 halus halus Putus-putusBergelombangDatar3 6 9 runcing runcing runcing 29 Tabel 2.9 Jenis material pengisi (Australian Standard, 2005) Material Pengisi Kode Pengertian Kode Pengertian Kode Clayed Coal A O T sand/sandy clay Carbonaceous Pyrite B P X matter C G L Calcite Graphite Limonite/iron staining Q R S Quartz Resin (amber) Sand Y Pengertian Silt Clean, no infill atau coating Clay 2.8 Mekanisme Keruntuhan 2.8.1 Konsep Keruntuhan Hoek and Brown Dalam analisis desain suatu lereng memperkirakan kekuatan dan karakteristik deformasi suatu massa batuan merupakan hal yang sangat penting (Hoek dkk, 2000), hal ini dikarenakan kekuatan batuan utuh yang didapatkan dari pengujian laboratorium belum mencerminkan kekuatan massa batuan, untuk itu diperlukan adanya rumusan yang menghubungkan kekuatan batuan utuh dengan kekuatan massa batuan. Rumusan Hoek dan Brown (1980) digunakan untuk memperkirakan kekuatan massa batuan berdasarkan hubungan antara blok batuan dan kondisi permukaan diantara blok batuan tersebut. Hoek dan Brown (1980) mengusulkan metode untuk mendapatkan kekuatan massa batuan terkekarkan yang dikenal sebagai Original Hoek-Brown Criterion. Kriteria ini dimulai dari kekuatan batuan utuh dengan faktor-faktor untuk mengurangi kekuatan tersebut berdasarkan karakteristik pada bidang diskontinuitas di dalam massa batuan. Kriteria ini terus dikembangkan oleh Hoek, dkk (1995) dengan memasukkan konsep Geological Strength Index (GSI). Nilai GSI diperoleh dari hasil deskripsi geologi berdasarkan struktur dan kondisi permukaan. Nilai mi dapat ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.10 halaman 31. 30 Tabel 2.10 Nilai parameter mi (Hoek, 2001). Rock Type Sedimentary Class Group Clastic Texture Coarse Medium Fine Very Fine Conglomerate Sandstone (17±4) Siltstone Claystone (21±3) (7±2) (4±2) Breccias Greywacke Shale (19±5) (18±3) (6±2) Marls (7±2) Non Clastic Carbonates Crystalline Sparitic Limestone Micritic Limestone Dolomites Limestone (10±2) (9±2) (9±3) Gypsum Anhydrite (8±2) (12±2) (12±3) Evaporites Organic Metamorphic Non Foliated Coal Chalk (8-21) (7±2) Marble Hornfels Quartzites (9±3) (19±4) (20±3) Metasandstone (19±3) Slightly Foliated Migmatite Amphibolites (29±3) (26±6) (28±5) Schist Phyllites Slates (12±3) (7±3) (7±4) Hypabissal Diabase Peridotite (20±5) (15±5) (25±5) Rhyollite Dacite Obsidian (25±5) (25±3) (19±3) Andesite Basalt (25±5) (25±5) Foliated Vulcanic Plutonic Light Granite (32±3) Gneiss Diorite (25±5) Granodiorite (29±3) Dark Gabbro Dolerite (27±3) (16±5) Norite (20±5) Hypabissal Vulcanic Lava Pyroclastic Agglomerat Breccia Tuff (19±3) (19±5) (13±5) 31 2.8.2 Konsep Keruntuhan Mohr-Coloumb Hoek dan Brown (1997) menyatakan bahwa kebanyakan software geoteknik masih mengacu pada kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb yang terlebih dahulu menentukan sudut geser dalam dan nilai kohesi yang setara untuk masing-masing massa batuan. Melalui penyesuaian pada plot Mohr-Coulomb, dihasilkan persamaan untuk mendapatkan nilai sudut geser dalam dan kohesi (Hoek dkk, 2002) : a 1 6amb s mb 3n ' ' sin 1 a 1 21 a 2 a 6amb s mb 3n ' 𝑐= …….…(2.4) 𝜎 𝑐𝑖 1+2𝑎 𝑠 + 1−𝑎 𝑚 𝑏 𝜎3𝑛 𝑠+ 𝑚 𝑏 𝜎3𝑛 𝑎 −1 1+𝑎 2+𝑎 1+ 6𝑎𝑚 𝑏 𝑠+ 𝑚 𝑏 𝜎3𝑛 𝑎 −1 1+𝑎 2+𝑎 3n 3'max / ci .......(2.5) ……………. (2.6) Nilai 𝜎3max merupakan batas akhir dari hubungan tegangan kriteria Hoek-Brown dan Mohr-Coloumb. Penentuan nilai σ3max pada lereng didapatkan berdasarkan rumusan (Hoek-Brown Criterion Edisi 2002) : 3 ' max ' 0.72 cm 'cm H 0.91 …………...(2.7) γ merupakan bobot isi batuan dan H merupakan tinggi lereng. Nilai 𝜎′𝑐𝑚 merupakan besarnya kuat tekan massa batuan yang diperoleh dari persamaan : 𝑚 𝜎′𝑐𝑚 = 𝜎𝑐𝑖 . 𝑚 𝑏 +4𝑠−𝑎 𝑚 𝑏 −8𝑠 ( 𝑏 +𝑠)𝑎 −1 4 2(1+𝑎)(2+𝑎) ………………..(2.8) 2.9 Jenis Longsoran Hoek dan Bray (1981) mengklasifikasikan longsoran pada tambang terbuka (Circular menjadi 4 jenis longsoran yaitu Longsoran Busur Failure), Longsoran Bidang (Plane Failure), Longsoran Baji (Wedge Failure), dan Longsoran Guling (Toppling Failure). 32 1. Longsoran Busur Longsoran busur merupakan longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang berbentuk busur Gambar 2.8 halaman 33. Longsoran busur paling umum terjadi di alam, terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras longsoran busur hanya dapat terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidangbidang lemah (rekahan) yang sangat rapat dan tidak dapat dikenal lagi kedudukannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu pada suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak saling mengikat. Penurunan sebagian permukaan atas lereng yang berada disamping rekahan menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan menimbulkan kelongsoran lereng. Gambar 2.8 Bentuk longsoran busur (Hoek dan Bray, 1981). 2. Longsoran Bidang Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran bidang dapat terjadi jika ditemukan tiga kondisi antara lain (Hoek dan Bray, 1981): 1. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus melebihi sudut geser dalam. 2. Kemiringan dari bidang diskontinuitas harus lebih kecil dari kemiringan muka lereng. 33 Secara umum longsoran bidang dapat terjadi apabila memenuhi beberapa syarat seperti pada Gambar 2.9 halaman 34: 1. Jurus bidang luncur (αp) sejajar atau mendekati sejajar terhadap jurus bidang permukaan lereng (αf) dengan perbedaan maksimal 20°. 2. Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil kemiringan bidang permukaan lereng (ψf). 3. Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar daripada sudut geser dalam. 4. Terdapatnya bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan yang longsor. Gambar 2.9 Longsoran bidang (Hoek dan Bray, 1981). 3. Longsoran Baji Pada Gambar 2.10 halaman 35, merupakan kondisi dimana terjadinya longsoran baji. Longsoran ini hanya bisa terjadi pada batuan yang mempunyai lebih dari satu bidang lemah yang saling berpotongan membentuk baji (plane A dan plane B), dalam kondisi yang sangat sederhana longsoran baji terjadi pada sepanjang garis potong kedua bidang lemah tersebut (line of intersection). 34 Gambar 2.10 Bentuk longsoran baji (Hoek dan Bray, 1981). 4. Longsoran Guling Longsoran guling terjadi pada lereng terjal untuk batuan yang keras dengan bidang-bidang lemah tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Kondisi untuk mengguling ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan sudut bidang gelincirnya, suatu balok dengan tinggi h terletak pada bidang miring dengan sudut kemiringan sebesar α yang disajikan pada Gambar 2.11. Longsoran dapat terjadi bila ψ > 900+Ø-α dimana ψ adalah kemiringan bidang lemah, Ø adalah sudut geser dalam dan α adalah kemiringan lereng. Gambar 2.11 Bentuk longsoran guling (Hoek dan Bray, 1981). 2.10 Kestabilan Lereng 2.10.1 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan 35 Kesumadharma, 1991, dalam Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991). Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden 1993, dalam Dikau et.al., 1996 diantaranya adalah : 1) Pelapukan (fisika, kimia dan biologi) dan erosi. 2) penurunan tanah (ground subsidence). 3) deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah) 4) getaran dan aktivitas seismik. 5) jatuhan tepra. 6) perubahan rezim air Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air/water content (%) dan kejenuhan air/saturation (Sr :%). Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Hirnawan dan Zakaria, 1991). Penambahan (pembuatan/peletakan beban di bangunan, tubuh lereng misalnya bagian dengan atas membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau di puncak bukit) merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan lereng pada pekerjaan cut&fill, jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Letak atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan 36 penting. Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguangangguan internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikut-sertanya peranan air dalam tubuh lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kenaikan airtanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor Keamanan 2.10, pada halaman 41). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion) meningkat, akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993). Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992) Bukit Lantiak, Padang dan Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena kehadiran air dalam tubuh lereng, Tabel 2.11 halaman 40. A. Cuaca / Iklim Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi kadar air/water content (%) dan kejenuhan air/saturation (Sr, %). Pada beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah (mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan faktor kemanan lereng (Hirnawan dan Zufialdi, 1993). Kondisi lingkungan geologi fisik sangat berperan dalam kejadian gerakan tanah selain kurangnya kepedulian masyarakat karena kurang informasi ataupun karena semakin merebaknya 37 pengembangan wilayah yang mengambil tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor. B. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutserta-kan peranan aktivitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun. Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar pula penurunan faktor keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor. Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan lain-lain, atau erosi (Hirnawan, 1993). Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain: 1) longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat tebing yang hampir tegak lurus. 2) longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan perumahan (real estate). 3) longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan Raya BandungCirebon) juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban. 38 C. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin meningkat dan akhirnya terjadilah longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi. Letak atau posisi penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi faktor keamanan lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki lereng akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman tanaman keras di puncak lereng justru akan menurunkan Faktor Keamanan Lereng sehingga memperlemah kestabilan lereng (Hirnawan, 1993). Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan internal yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikut sertanya peranan air dalam tubuh lereng. 39 Tabel 2.11 Kejadian longsor di Indonesia (Sumber:http.earthquake.usgs.gov, 2001) Waktu Lokasi Penyebab Kerugian&korban jiwa Kejadian 8 Januari 1999 Desa Tegal- Bukit >70 0 tinggi 100 - 39 meninggal Pupuan, alang, Gianyar, Bali m runtuh - Irigasi Subak terganggu 3 Februari Desa Gemawang, Kec. 1999 Jambu, Kab. Semarang 7 Juli 1999 Desa Bontosolama, Hujan lebat -7 orang meninggal - rumah hancur Hujan deras - > 11 orang meninggal Sinjai, Sulawesi Selatan Lantiak, Sungai - Kerugian Rp. 4,2 M Bukit terjal 45 0 9 Desember Bukit 1999 Muara, Padang 24 Februari Desa Windusakti, Kab. Hujan deras 2000 Brebes, Jawa Tengah 30 Oktober Kab. Hujan 2000 Cilacap&Banyumas, menerus -56 orang tewas Tidak ada hujan deras -10 orang tewas terus -24 orang tewas -88 Jawa Tengah rumah tertutup lumpur -113 rumah rusak 3-9 Desa Simongari, Bukit Hujan November Menoreh, Purworejo menerus deras terus -56 orang tewas 2000 tempat tinggal 11 Dusun Desember Kulonprogo, Yogyakarta Ngaran, Kab. Hujan sangat lebat dan lama 2000 9 -531 KK kehilangan -17 tewas -80 KK kehilangan tempat tinggal Januari 2001 Desa Kanding, Hujan terus menerus Somogede, Banyumas -39 rumah terendam lumpur -ce kdam rusak 24 Januari Desa Aek Lotong, 2001 Sipirok, Tapanuli Selatan 8 Desa Februari 2001 Gempa struktur sesar -34 rumah rusak berat Sumatera Wangunrejo, Hujan deras 2 pekan -ruas jalan Nyalindung, Sukabumi menerus padanan km 62&km 71 rusak berat D. Naiknya Muka Airtanah Kehadiran airtanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagi kestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat 40 meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kehadiraran airtanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka airtanah juga memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion). Akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984 dalam Hirnawan, 1993). 2.10.2 Cara Analisis Kestabilan Lereng Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F dapat dihitung dengan metode sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop, untuk suatu lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan nilai faktor keamanannya dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi kelongsoran suatu lereng, sebaiknya nilai F yang diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan dalam suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai F (faktor keamanan lereng) adalah sebagai berikut : a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng) meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke puncak lereng. b. Data mekanika tanah sudut geser dalam (Ф: derajat) bobot satuan isi tanah basah (𝛾wet: g/cm3 atau kN/m3 atau ton/m3) kohesi (c: kg/cm2 atau kN/m2 atau ton/m2) kadar air tanah (ω: %) 41 Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak terganggu. Kadar air tanah (ω) diperlukan terutama dalam perhitungan yang menggunakan komputer (terutama bila memerlukan data 𝛾dry bobot satuan isi tanah kering, yaitu : 𝛾dry = 𝛾 wet /( 1 + 𝜔 ). Pada lereng yang dipengaruhi oleh muka air tanah nilai F (dengan metode sayatan, Fellenius) adalah : 𝐹= cL +tan θ Ʃ(Wi cos αi−μi×Ii) Ʃ(Wi sin αi) …………………….…………(2.9) Keterangan : C : kohesi (kN/m2) θ : sudut geser dalam (derajat) 𝞪 : sudut bidang gelincir tiap sayatan (derajat) µ : tekanan air pori (kN/m2) l : panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m) L : jumlah panjang bidang gelincir µi+Ii: tekanan pori di setiap sayatan (kN/m) W : luas tiap bidang sayatan (m2)×bobot satuan isi tanah (ᵞ,kN/m3) Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah : 𝐹= cL +tan θ Ʃ(Wi cos αi) Ʃ(Wi sin αi) …………………………………………………(2.10) Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut: 1) Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. 42 Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng. 2) Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi akibat beberapa faktor : (a) tak terdrainase. (b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan. (c) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman. (d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah. Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah melalui metode sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir yang dapat dihitung. 3) Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan. Rumus perhitungan faktor keamanan lereng (material tanah) yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng ini seperti pada Gambar 2.12 halaman 44. Rumus dasar Faktor Keamanan (Factor of Safety) lereng (material tanah) yang 43 diperkenalkan oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan oleh Lambe&Whitman (1969), Parcher&Means (1974): Gambar 2.12 Sketsa lereng dan gaya yang bekerja (Zakaria, 2009) Gaya normal merupakan gaya yang dimiliki oleh suatu benda untuk menolak atau memberikan perlawanan terhadap gaya yang berasal dari atas, sedangkan gaya geser adalah gaya yang dimiliki oleh batuan untuk melakukan perlawanan terhadap desakan atau tarikan. Mekanisme arah gaya yang bekerja pada masing-masing lereng seperti Gambar 2.13 halaman 45 dan gaya yang bekerja pada sebuah lereng seperti pada Gambar 2.14 halaman 45. Semakin besar gaya normal dan gaya geser yang dimiliki suatu lereng maka lereng akan semakin stabil, sedangkan untuk densitas (kN/m3) semakin besar nilainya akan menurunkan tingkat kestabilan suatu lereng dan nilai kohesi, sudut geser dalam (phi) jika semakin besar nilainya maka lereng akan semakin stabil. 44 Gambar 2.13 Gaya yang bekerja pada dinding lereng (A.W.Bishop,1955) Gambar 2.14 Sketsa gaya yang bekerja pada satu sayatan (Zakaria, 2009) Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsoranya (Bowles, 1989), seperti yang diperlihatkan pada Tabel 2.12 halaman 46. 45 Tabel 2.12 Hubungan nilai faktor keamanan dengan intensitas longsoran (Bowles, 1989) Kejadian/Intensitas Longsor Nilai Faktor Keamanan F < 1,07 Longsor terjadi biasa/sering (lereng labil) F antara 1,07-1,25 Longsor pernah terjadi (lereng kritis) F > 1,25 Longsor jarang terjadi (lereng relatif stabil) 2.10.3 Cara Peningkatan Kestabilan Lereng Pengelolaan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi, mencegah dan menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif. Kajiannya didasarkan pada studi kelayakan teknik atau studi geologi yang mencakup geologi teknik, mekanika tanah dan hidrogeologi. Dengan demikian pendekatan dalam menangani lereng rawan longsor selain didasarkan oleh hasil rekomendasi studi kelayakan teknik atau studi geologi, juga didasarkan oleh pengelolaan lingkungannya. Pengelolaan yang baik akan sangat mempengaruhi kestabilan suatu lereng jika lereng memiliki resiko untuk terjadi longsor, hal ini dapat kita ketahui dari kondisi batuan yang sudah lapuk, tingkat ketinggian serta kemiringan lereng. Diharapkan mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih jauh lagi sehingga dapat mengantisipasi kekuatan dan keruntuhan suatu lereng. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kondisi fisik dan mekanik perlu diketahui pula. Pengaruh kenaikan kadar air, peletakan beban, penanaman vegetasi dan kondisi kegempaan/getaran terhadap tubuh lereng, merupakan kajian yang paling baik untuk mengenal kondisi suatu lereng. Secara umum pencegahan/penanggulangan lereng longsor adalah mencoba mengendalikan faktor-faktor penyebab maupun pemicunya, meskipun demikian, tidak semua faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan tetapi dapat dikurangi. Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng seperti Gambar 2.15, halaman 48 adalah sebagai berikut : 46 (1) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara : Pemangkasan lereng, pemotongan lereng atau cut biasanya digabungkan dengan pengisian/pengurugan atau fill di kaki lereng, pembuatan undak-undak dan sebagainya (2) Menambah beban di kaki lereng dengan cara : Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama). Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif cepat, dinding penahan atau retaining wall harus didesain terlebih dahulu) Membuat „bronjong‟, batu-batu bentuk menyudut diikatkan dengan kawat, bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan dengan bentuk bulat, dan sebagainya (3) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi kenaikan kadar airtanah di dalam tubuh lereng seperti Gambar 2.16, halaman 49. Kadar airtanah dan muka airtanah biasanya meningkat pada musim hujan, pencegahan dengan cara : Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa paralon) di kemiringan lereng dekat ke kaki lereng. Kegunaanya agar muka airtanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir keluar, sehingga muka airtanah turun. Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh lereng (infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara tersebut. Penanaman rerumputan jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off. Memperbanyak saluran drainase dengan tujuan air tidak terlalu lama menggenang pada tubuh lereng ang akan berakibat pada meningkatnya beban lereng. 47 (4) Mengendalikan air permukaan dengan cara: Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang. Penanaman vegetasi rerumputan juga mengurangi air larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi. Pembuatan parit di sepanjang bench lereng dengan tujuan untuk mengurangi intensitas air yang masuk ke dalam tubuh lereng Pembuatan tempat penampungan air yang berada pada elevasi terendah. Gambar 2.15 Upaya peningkatan kestabilan lereng (Zakaria, 2009) 48 Revegetasi Dinding penahan Drainase Pipa penyaliran Gambar 2.16 Tahapan penurunan muka air tanah (MAT) Zakaria, 2009 49 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metodologi Penelitian Penelitian Tugas Akhir dilakukan dengan menggabungkan 3 metode, yaitu metode studi pustaka, metode observasi lapangan dan metode analisis dari data primer maupun data sekunder. Studi pustaka digunakan untuk mendapatkan gambaran awal mengenai penelitian yang akan dilakukan dari penelitian terdahulu yang bersumber pada buku, jurnal ataupun paper yang berkaitan dengan penelitian. Observasi lapangan dilakukan dengan tujuan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk keperluan analisis, sedangkan analisis merupakan tahapan untuk mendapatkan hasil berupa nilai (value) dari parameter-parameter yang didapatkan selama observasi sehingga dapat dikembangkan menjadi sebuah laporan maupun rekomendasi. 3.2 Tahapan Penelitian Tahapan dalam penelitian Tugas Akhir dibuat dengan tujuan agar penelitian yang dilakukan dapat terstruktur dan terjadwalkan dengan baik, sehingga data yang diperoleh dapat maksimal. Berikut ini tahapan penelitian yang dilakukan. 1. Tahapan Pendahuluan Kondisi lereng tambang yang tidak stabil, menimbulkan resiko terjadinya kecelakaan yang dapat berakibat fatal dan merugikan pihak perusahaan, maka dari itu diperlukan adanya analisis mengenai tingkat kestabilan lereng untuk meminimalkan timbulnya kerugian ataupun korban jiwa pada lokasi penambangan. Tahapan lanjutan setelah didapatkan rumusan masalah adalah studi literatur. Literatur diambil dari buku, jurnal, dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. 2. Tahapan Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan melalui observasi secara langsung di 50 lapangan, sedangkan data sekunder didapatkan dari uji laboratorium. Observasi dilakukan pada Pit 7 West B site Binungan PT.BUMA, untuk mendapatkan data mengenai jenis batuan, kondisi batuan, jarak kekar, kondisi kekar, air tanah serta orientasi dari kekar. 3. Tahapan Analisis Data Analisis dilakukan dengan mengolah data yang didapatkan menggunakan software Autocad 7, Rocscience Slide 6, Minescape 4.1, Roclab, Corel Draw X4, Ms. Office 7, Ms. Power Point 7 dan Ms.Excell 7. Berikut tahapan dalam pengolahan data yang didapatkan : a. Pembuatan Peta Lokasi Penelitian. b. Pembuatan Penampang Lereng. c. Pengolahan Data dari Sifat Mekanik Batuan. d. Penentuan Nilai Kestabilan Lereng. Setelah didapatkan permodelan penampang lereng tambang dari software Rocscience Slide 6 dan nilai FoS didapatkan, maka dapat dilakukan rekomendasi untuk meningkatkan nilai kestabilan lereng atau mempertahankan model lereng tambang yang ada karena nilainya yang sudah stabil/mantap yakni dengan acuan Nilai FK>1,25. 4. Tahapan Pembuatan Laporan Laporan dibuat berdasarkan dari hasil analisis yang didapatkan. Hasil analisis memberikan kesimpulan berupa kondisi lereng tambang apakah stabil atau tidak stabil, jika lereng tambang tidak stabil maka diperlukan suatu upaya untuk menstabilkan lereng dengan mengubah sudut lereng atau melakukan pemompaan airtanah yang masih terperangkap dalam pori batuan tempat lereng tersebut berada. Rekomendasi dilakukan sampai didapatkan hasil yang diinginkan, yaitu kondisi lereng dalam keadaan aman/safety. 3.3 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Tugas Akhir seperti pada Tabel 3.1 di bawah ini: 51 Tabel 3.1 Alat dan bahan. No Alat dan Bahan 1 Peralatan lapangan meliputi : a. Palu Geologi Kegunaan a. Mengambil sampel batuan. b. Menentukan koordinat lokasi b. GPS penelitian. (Global Positioning System) c. Mengukur nilai strike/dip c. Kompas Geologi “Brunton” perlapisan, mengukur d. Meteran trend/plunge struktur garis dan e. Alat Tulis, Clipboard, Peta menetukan arah utara. Topografi d. Mengukur dimensi singkapan. e. Memudahkan dalam mencatat hasil yang didapatkan di lapangan. 2 Safety Equipment, meliputi sepatu Melindungi diri dari safety, helm, kacamata rompi pelindung, kemungkinan terjadinya kecelakaan di lapangan, baik ke badan, kaki, kepala, mata dan bagian tubuh lainya. 52 Tabel 3.1 Lanjutan No 3 Alat dan Bahan Kegunaan Software meliputi : a. ArcGis a. Membuat peta lokasi penelitian. b. Autocad b. Membuat desain lereng dari c. Rocscience Slide 5 d. Minescape peta topografi lokasi penelitian. c. Membuat permodelan lereng e. Ms. Office Word 2007 dan analisis kestabilan lereng. f. Ms. Office Excell 2007 d. Membuat permodelan lokasi g. Ms. Office Power Point 2007 h. PhotoScape tambang. e. Membuat laporan. f. Mengolah data angka dari uji lab. g. Membuat slide presentasi. h. Mengolah foto yang didapatkan dari lapangan. 3.4 Sumber Data Penyusunan Tugas Akhir ini memerlukan sumber data yang dikelompokan menjadi 2, seperti pada Tabel 3.2 dibawah : Tabel 3.2 Sumber data. Data Primer Data Sekunder 1) Kondisi batuan meliputi: jenis a. Peta geologi lembar litologi, warna, tingkat pelapukan, muaralasan skala 1:250.000, kekuatan, bentuk blok, ukuran blok Sukardi dkk (1995) 2) Kondisi diskontinuitas meliputi: dip/d b. Topografi Pit 7 West B ip direction lereng, bentuk c. Data pemboran di lokasi diskontinuitas, kekasaran, material penelitian. pengisi, dan tebal bidang diskontinuitas. 3) Jarak spasi kekar 4) Kondisi kekar 5) Orientasi Kekar 6) Kondisi Air Tanah 7) Orientasi lereng meliputi strike/dip lapisan 53 3.5 Hipotesis Berdasarkan dari tinjauan pustaka didapatkan hipotesis sebagai berikut : 1. Litologi penyusun di lokasi penelitian adalah batupasir, batulempung, batubara dan batugamping dari 1 Formasi Latih (Tml). 2. Struktur geologi pada umumnya berupa kekar gerus dan kekar tarik (Peta Geologi lembar Muaralasan, Sukardi dkk, 1995). 3. Tingkat kestabilan lereng tambang lebih dipengaruhi oleh struktur geologi yang ada serta jenis litologinya. 4. Pelapukan batuan pada bagian atas dinding tambang lebih intensif yang menyebabkan berkurangnya tingkat kestabilan lereng tambang. 3.6 Diagram Alir Penelitian Penelitian Tugas Akhir ini memiliki tahapan pelaksanaan serta rincian data yang dibutuhkan seperti pada Gambar 3.1 halaman 54. 54 Gambar 3.1 Diagram alir penelitian. 55 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kestabilan lereng mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan proses penambangan. Proses penambangan khususnya batubara dilakukan secara open pit mining, dikarenakan batubara merupakan batuan sedimen yang penyebaranya secara lateral sehingga lebih mudah untuk dilakukan penambangan terbuka dibandingkan penambangan dengan sistem terowongan (tunnels). Kestabilan lereng pada tambang terbuka baik single slope ataupun overall slope harus sesuai dengan kriteria minimum stabilitas lereng, sesuai dengan kriteria Bowles (1989) yang menyatakan bahwa lereng dengan nilai FK>1,25 berada dalam kondisi aman. Penelitian ini dilakukan terhadap lereng lowwall dan highwall pada Pit 7 West B berdasarkan pada kontur aktual dan desain terbaru penambangan. Total 6 buah sayatan dibuat dari arah barat laut-tenggara, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang maksimal terhadap kondisi lereng pada lokasi penelitian. 4.1 Kondisi Geologi Pit 7 West B Penelitian dilakukan di wilayah operasional penambangan PT.BUMA Site Binungan tepatnya berada di Desa Sambaliung, Kecamatan Tanjung Redeb, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Daerah ini dalam peta geologi masuk kedalam lembar muaralasan, Kalimantan Timur dan termasuk dalam Formasi Latih (Tml) dengan litologi penyusun terdiri dari batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, batubara, serpih pasiran dan batugamping di bagian bawah. Lokasi penelitian seperti yang terlihat pada Gambar 4.1-4.3 halaman 5657. Morfologi di daerah ini berupa rawa yang tersusun atas crest (tinggian) dan through (lembah) dengan elevasi terendah -20 mdpl dan tertinggi 40 mdpl (berdasarkan pada kontur topografi aktual week 53 tahun 2016). Struktur geologi primer berupa perlapisan batubara, batupasir dan batulempung yang telah mengalami deformasi, sedangkan untuk struktur geologi sekunder didominasi oleh kekar tarik dan kekar gerus. Penelitian dilakukan pada sisi dinding barat dan timur dari Pit 7 West B yang mencakup area lowwall dan highwall Gambar 4.4 halaman 57. Pada area lowwall perlapisan batubara dan batulempung memiliki nilai strike/dip 56 N 2280 E/510 dan N 2200 E/480 sesuai dengan peta geologi Gambar 4.5 halaman 58. Gambar 4.1 Sisi selatan Pit 7 West B (PT.BUMA Site Binungan) Gambar 4.2 Sisi utara Pit 7 West B (PT.BUMA Site Binungan) 57 Gambar 4.3 Kenampakan Pit 7 West B dari puncak sidewall Gambar 4.4 Peta lokasi Pit 7 West B 58 Gambar 4.5 Peta geologi Pit 7 West B 4.1.1 Litologi Pada lokasi penelitian di Pit 7 West B ditemukan batuan penyusun terdiri dari batubara, batupasir kuarsa dan batulempung. Dengan kondisi fresh sampai distinctly weathered. Kontak antara batulempung dengan batubara memiliki stike/dip N 2280 E/510, seperti pada Gambar 4.6. Coal Batulempung Gambar 4.6 Kontak batubara seam X dengan batulempung 59 Batubara yang ditemukan memiliki struktur massif dengan kekar yang berbentuk blocky. Kekar terisi oleh material amber yang berasal dari getah pohon dikotil yang ikut tersedimentasikan pada waktu jutaan tahun yang lalu, sehingga mengalami diagenesis dan terjadi proses pengkayaan unsur karbon, material yang tadinya liquid yang berupa resin/getah ikut mengalami konsolidasi atau pemadaatan yang mengisi material rekahan pada batubara, seperti pada Gambar 4.7. Amber Gambar 4.7 Batubara seam X dengan sisipan amber Batulempung dengan struktur massif dan nodul berupa batupasir (inklusi pasir di dalam batulempung) dengan karakteristik warna abu-abu, ukuran butir <1/256 mm, bentuk butir well rounded, sortasi very well sorted dan kemas tertutup seperti pada Gambar 4.8 halaman 60. Batulempung terendapkan di lingkungan yang berarus tenang, pada umumnya endapan batulempung dengan ketebalan >5 meter terendapakan di daerah delta atau muara sungai selain itu dapat juga terendapkan di continental shelf dan continental slope dengan karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan endapan batulempung pada daerah sungai. 60 Komponen karbonat akan lebih banyak pada batulempung yang terendapkan di kawasan marine/laut. Batupasir dengan karakteristik wana putih pucat-kuning kecoklatan, struktur massif dan shear fracture, ukuran butir dari berbutir halus-kasar (1/8-1 mm), bentuk butir well rounded, sortasi very well sorted dan kemas tertutup, kenampakanya seperti pada Gambar 4.9. Nodul Gambar 4.8 Batulempung di sebelah tenggara seam x dengan keterdapatan nodul Shear Fracture Gambar 4.9 Batupasir diantara seam X1 dan X5 dengan kenampakan kekar gerus 61 Berdasarkan pada kontak antar lapisan yang terjadi, dapat diketahui umur relatifnya. Batulempung berumur lebih tua dibandingkan dengan batubara, kemudian di bagian atas tebing lowwall dan highwall dijumpai batupasir yang telah mengalami distinctly weathered sampai extremely weathered. Kenampakan lereng sisi timur merupakan sisi lowwall dari Pit 7 West B seperti pada Gambar 4.10 di bawah, sedangkan lereng sisi barat merupakan bagian highwall Pit 7 West B seperti pada Gambar 4.11 halaman 62. Pada bagian bawah tebing terdapat material longsoran hasil dari proses pelapukan. Proses pelapukan berlangsung intensif diakibatkan oleh kondisi geografi Kalimantan yang dilewati oleh garis khatulistiwa sehingga pelapukan fisik lebih dominan terjadi. Air hujan melarutkan unsur-unsur mineral yang tidak resisten menyebabkan terjadinya oksidasi pada batuan, mineral hornblende ataupun biotit yang kaya akan unsur Fe membentuk oksida besi (FeO2) yang terlihat seperti karat pada batuan, serta menimbulkan bau logam pada batuan. N Gambar 4.10 Kondisi lereng extremely weathered sisi timur Pit 7 West B 62 N sandstone Coal Gambar 4.11 Kenampakan lereng distinctly weathered sisi barat Pit West B 4.1.2 Struktur Geologi Struktur geologi memiliki pengaruh yang besar terhadap kestabilan suatu lereng. Keberadaan struktur geologi menurunkan nilai kestabilan lereng. Berdasarkan proses pembentukanya struktur geologi dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : a. Struktur Geologi Primer Struktur geologi primer yang ditemukan berupa perlapisan, wavy ripple, parallel laminasi, nodul dan normal graded bedding. Perlapisan adalah struktur sedimen yang terbentuk dari kontak antara 2 batuan atau lebih yang berbeda dengan tebal >1 cm seperti yang terlihat pada Gambar 4.12 halaman 63. Wavy ripple terbentuk karena perubahan arah arus pada waktu sedimentasi seperti pada Gambar 4.13 halaman 63 dan laminasi adalah perlapisan yang terbentuk dari kontak antar batuan ataupun masih dalam satu jenis batuan yang tebalnya <1 cm seperti pada Gambar 4.14 halaman 64, terbentuk ketika pengendapan material sedimen berlangsung secara lambat dalam arus yang tenang. Nodul adalah material batupasir didalam batulempung seperti pada Gambar 4.15 halaman 64, dan normal gradded bedding adalah lapisan yang terbentuk dari pemilahan 63 material pada waktu pengendapan yang berukuran kasar ke halus atau sebaliknya seperti Gambar 4.16 halaman 64. Gambar 4.12 Struktur perlapisan batubara, batulempung dan batupasir pada sidewall di sebelah tenggara lokasi penelitian Gambar 4.13 Struktur wavy ripple pada batupasir antara seam X dan X1 64 Gambar 4.14 Struktur paralel laminasi pada batupasir yang berada di antara seam X dan X1 Gambar 4.15 Struktur nodul pada batulempung diantara seam X1 dan X5 lereng highwall Gambar 4.16 Struktur normal graded bedding antara seam X1 dan X5 65 b. Struktur Geologi Sekunder Pada lokasi Pit 7 West B dijumpai geologi sekunder berupa kekar tarik, kekar gerus, convolute dan mudcrack dengan jarak spasi rekahan untuk kekar tarik sebesar 5 cm dan panjang mencapai 15 cm dengan nilai plunge/trend 670/N3350E, sedangkan pada batupasir yang telah mengalami extremely weathered didapatkan nilai plunge/trend 840/N890E, 700/N3300E, 800/N890E, 670/N3330E, 750/N510E, 750/3350E, 900/N150E, 720/N3280E, seperti pada Gambar 4.17. Kekar gerus Kekar tarik Gambar 4.17 Struktur kekar tarik dan kekar gerus Struktur convolute merupakan struktur yang terbentuk akibat adanya aktivitas tektonik serta pengaruh gravitasi bumi sehingga massa air yang terkandung di dalam material sedimen tiba-tiba menghilang atau berpindah tempat seperti yang terlihat pada Gambar 4.18 halaman 66. 66 Gambar 4.18 Struktur convolute pada batupasir yang berada diantara seam X dan X1 Pada batulempung memiliki nilai porositas tinggi, namun permeabilitasnya rendah, sehingga batulempung dapat menyimpan air tetapi tidak dapat mengalirkanya. Batulempung dalam kondisi jenuh air memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan batulempung dalam kondisi kering. Ketika terjadi pelepasan kadar air dari batulempung akibat proses pemanasan secara langsung oleh cahaya matahari, mengakibatkan struktur ikatan pada batulempung menjadi tidak stabil dan menimbulkan retakan yang berpola, struktur inilah yang dikenal sebagai mudcrack, seperti yang terlihat pada Gambar 4.19 halaman 67. Mudcrack merupakan struktur penciri top (lapisan atas) suatu batuan, karena struktur ini hanya dapat terbentuk pada bagian atas suatu batuan, berbeda dengan batupasir yang relatif memiliki porositas dan permeabilitas yang lebih baik jika dibandingkan dengan batulempung. Batupasir yang telah mengalami extremely weathered mengakibatkan ikatan antar komponen penyusunya menjadi tidak stabil seperti Gambar 4.20 halaman 67. Kondisi seperti inilah yang berpotensi memicu terjadinya suatu longsoran. 67 N Gambar 4.19 Mudcrack pada bench di lereng lowwall N Gambar 4.20 Rekahan 1-4 cm pada batulempung extremely weathered Morfologi dinding lereng dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti curah hujan, intensitas cahaya matahari ataupun karena penggalian yang dilakukan selama penambangan berlangsung. Pembentukan bidang erosional diakibatkan oleh air permukaan yang berasal dari air hujan mengerosi material yang menjadi bidang perlintasanya mengakibatkan bentukan concave dan convec yang memiliki pola tertentu, kenampakan bidang erosional seperti pada Gambar 4.21 halaman 68. 68 N Gambar 4.21 Bidang erosional pada tebing batupasir sisipan batubara 4.1.3 Unit Stratigrafi Stratigrafi adalah pemerian urutan tingkat batuan yang berumur tua ke muda dalam suatu formasi batuan. Stratigrafi dibedakan menjadi 3 yaitu kronostratigrafi, litostratigrafi dan biostratigrafi. Dalam penelitian ini pembuatan unit stratigrafi (measuring stratigraphy) dengan menggunakan prinsip litostratigrafi. Prinsip ini meletakan unit batuan berdasarkan urutan kejadian pembentukan, batuan yang berumur lebih muda berada di atas batuan yang lebih tua. Hasil penampang measuring stratigraphy adalah sebagai berikut, sesuai Gambar 4.22-4.24 halaman 69-71. Berdasarkan pada penampang stratigrafi tersebut, dapat dilakukan interpretasi mengenai fasies lingkungan pengendapan dan transport energy selama proses transportasi hingga kompaksi. Penentuan lingkungan pengendapan didasarkan pada bottom dan top dari penampang stratigrafi, kemudian adanya struktur sedimen dapat digunakan untuk menentukan energi pengendapan. 69 Gambar 4.22 Kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B 70 Gambar 4.23 Lanjutan 1 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B 71 Gambar 4.24 Lanjutan 2 kolom measuring stratigraphy Pit 7 West B Stratigrafi tersusun atas batulempung, batupasir kuarsa dan batubara dengan ketebalan dominan batulempung dan batupasir. Struktur sedimen bervariasi yaitu perlapisan, parallel laminasi, normal graded bedding, wavy ripple, convolute dan nodul. Pada bagian atas lapisan terdapat bekas endapan rawa yang membentuk crest (bukit) and through (lembah), yang sebagian besar telah mengalami pelapukan dan telah menjadi soil. Berdasarkan pada model stratigrafi Nichols (2009) pada Gambar 4.25 halaman 72, dapat diinterpretasikan lingkungan pengendapan batuan pada Pit 7 West B ini berada di lingkungan rawa (shallow lake) atau lacustrine. 72 Gambar 4.25 Sekuen stratigrafi sedimen klastik pada endapan danau air tawar dan lakustrin (Nichols, 2009) 4.2 Data Pemboran Geologi Berdasarkan pada hasil pemboran dapat diketahui bahwa sumur bor 1 yang berada pada koordinat 538372 E, 220436 N terdiri atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batulempung, batulempung pasiran, batupasir dan batubara. Tingkat pelapukan untuk batulempung termasuk dalam kategori FR 73 (fresh rock)/batuan segar, sedangkan untuk batulempung pasiran berada pada tingkat pelapukan FR-DW (Distinctly Weathered)/lapuk tegas, dan untuk batupasir berada pada kategori FR-DW-RS (tanah residu), serta batubara dalam tingkat FR. Tingkat kekuatan batuan berada pada level low (rendah) dengan kisaran GSI untuk batulempung antara 35-60, batulempung pasiran antara 55-60, batupasir antara 15-60 dan batubara antara 40-50 (Lampiran 1.1-1.2). Pada sumur bor 2 yang berada pada koordinat 538350 E, 220466 N terdiri atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batulanau, batubara, batulempung dan batupasir. Tingkat pelapukan untuk batulanau berada pada kategori DW-SW(slightly weathered)/lapuk samar, sedangkan untuk batubara berada pada kategori FR, serta batulempung berada pada kategori FR-SW -DW dan batupasir berada pada tingkat FR-SW. Tingkat kekuatan batuan untuk batulanau berada pada level VL (sangat rendah)-L (rendah), batubara berada pada level L, batulempung berada pada level VL-L-M (sedang), dengan kisaran GSI untuk batulanau antara 25-35, batubara 40-50, batulempung 35-60 dan batupasir 25-60 (Lampiran 1.3-1.4). Pada sumur bor 3 yang berada pada koordinat 538312 E, 220487 N terdiri atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batulempung, batupasir, batulempung pasiran, batubara dan betulempung lanauan. Tingkat pelapukan untuk batulempung dan batupasir berada pada kategori FR-SW, batubara pada tingkat FR dan batulempung lanauan berada pada DW-RS. Tingkat kekuatan batuan untuk batulempung dan batupasir berada pada level VL-L, batulempung pasiran pada level VL, batubara pada level VL dan batulempung lanauan berada pada level VL, dengan kisaran GSI untuk batulempung antara 25-66, batupasir antara 20-77, batulempung pasiran antara 60-66, batubara antara 40-50 (Lampiran 1.5-1.6). Pada sumur bor 4 yang berada pada koordinat 538278 E, 220524 N terdiri atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batupasir, batulempung, batulempung pasiran dan batupasir lempungan. Tingkat pelapukan untuk batupasir pada kategori FR-SW-DW-XW(sangat lapuk), batulempung pada 74 kategori FR-SW, batulempung pasiran antara FR-DW dan batupasir lempungan antara XW-RS. Tingkat kekuatan batuan untuk batupasir berada pada level VL-L, batulempung dan batulempung pasiran pada level L, dengan kisaran GSI untuk batupasir antara 25-77, batulempung antara 55-60, batulempung pasiran antara 45-60 dan batupasir lempungan antara 25-30 (Lampiran 1.7-1.8). Pada sumur bor 5 yang berada pada koordinat 538204 E, 220589 N terdiri atas satuan litologi dari yang tua ke muda berupa batupasir, batulempung, dan batulanau. Tingkat pelapukan untuk batupasir dan batulempung berada pada kategori FR-SW-DW, dan batulanau antara DW-RS. Tingkat kekuatan batuan untuk batupasir dan batulempung berada pada level VL-M, batulanau berada pada level VL, dengan kisaran GSI untuk batupasir antara 35-65, batulempung antara 35-60 dan batulanau antara 30-40 (Lampiran 1.9-1.10). Pada sumur bor 6 yang berada pada koordinat 538166 E, 220625 N terdiri atas satuan litologi batulempung, batupasir, batubara dan batulanau. Tingkat pelapukan untuk batulempung berada pada kategori FR-SW-DW, batupasir pada kategori FR-SW, batubara pada kategori FR dan batulanau pada kategori XW-RS. Tingkat kekuatan untuk batulempung antara VL-L, batupasir dan batulanau berada pada level L, batubara pada level VL, dengan kisaran GSI untuk batulempung antara 35-66, batupasir antara 50-66, batubara antara 40-50 dan batulanau antara 35-40 (Lampiran 1.11-1.12). Berdasarkan pada 6 sumur pengeboran dapat disimpulkan mengenai kisaran nilai GSI, kekuatan batuan dan tingkat pelapukan sampai pada kedalaman 55 m seperti pada Tabel 4.1 halaman 75. Litologi batulempung memiliki nilai GSI pada rentang 25-66, batupasir memiliki nilai GSI pada rentang 20-77 dan batubara pada rentang 25-50. Kekuatan batuan untuk batulempung berada antara M (sedang, 0,3-1 MPa)-VL (sangat rendah, 0,03 -0,1 MPa), untuk batupasir berada antara M (sedang, 0,3-1 MPa)-EL (rendah sekali, <0,03) dan batubara antara L (rendah, 0,1-0,3 MPa)-VL (sangat rendah, 0,03-0,1 MPa). 75 Tabel 4.1 Tingkat pelapukan terhadap kedalaman No Kedalaman Tingkat Pelapukan RS (Tanah residu)-SW (Lapuk samar) 1 0-5 m SW (Lapuk samar)-DW (Lapuk tegas) 2 5-10 m DW (Lapuk tegas)-SW (Lapuk samar )-FR 3 10-20 m (Batuan segar) SW (Lapuk samar)- FR (Batuan segar) 4 20-55 m 4.3 Pemetaan Geoteknik (Window Mapping Method) Pemetaan geoteknik dilakukan pada Pit 7 West B sepanjang pelamparan batuan dan dibagi menjadi 4 STA, pada masing-masing STA dilakukan pendeskripsian terhadap massa batuan, dan bidang diskontinuitas. Pada STA 1 yang terletak pada koordinat 538525 E, 220690 N ditemukan litologi penyusun lereng lowwall berupa batulempung, batupasir dan batubara di bagian bawah. Batubara yang ditemukan merupakan batubara seam X dengan kenampakan warna hitam, kilap cemerlang, cerat berwarna hitam, pecahan berbentuk kubus dan sebagian tidak beraturan, tingkat kekerasan sangat tinggi, cleat terisi oleh material amber, tingkat pelapukan termasuk ke dalam FR (batuan segar) dan ukuran blok ±270 m3, besarnya nilai GSI adalah 50. Pada bagian bawah dari seam X ditemukan batulempung dengan karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur laminasi, tingkat pelapukan termasuk ke dalam DW (lapuk tegas), kekuatan batuan sedang, bentuk kubus dan ukuran blok ±480 m3, besarnya nilai GSI adalah 60, kemudian di bagian bawah batulempung ditemukan batupasir dengan karakteristik warna kecoklatan, ukuran butir pasir halus (1/2-1mm), bentuk butir well rounded, sortasi baik, kemas tertutup, struktur massif, tingkat pelapukan termasuk ke dalam XW (lapuk sekali) pada bagian atas sedangkan pada bagian bawah masih termasuk ke dalam DW. Tingkat kekuatan rendah dengan bentuk blok tidak beraturan, ukuran blok ±270 m3, besarnya nilai GSI adalah 55. Pada bagian bawah batupasir ditemukan litologi berupa batulempung dengan karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur nodul, tingkat pelapukan termasuk ke dalam DW (lapuk tegas) dan kekuatan batuan rendah, sedangkan bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran ±450 m3, besarnya nilai GSI adalah 25, kemudian pada bagian atas lereng lowwall ditemukan tanah 76 dengan karakteristik warna coklat kemerahan yang diperkirakan merupakan hasil dari pelapukan batupasir yang termasuk ke dalam RS (tanah residu) dengan tingkat kekuatan batuan sangat rendah, bentuk blok tidak beraturan, ukuran blok ±300 m3, besarnya nilai GSI adalah 5. Ketidakselarasan yang ditemukan berupa kekar gerus dengan plunge/trend 870/N1250E, panjang kekar 17-25 cm dengan lebar kekar 1 cm, bentuk blok batuan berupa kubus dan memiliki tingkat kekasaran 8 (ISRM), (Lampiran 2.1). Pada STA 2 yang terletak pada koordinat 538518 E, 220687 N yang berada pada kaki lereng ditemukan litologi berupa batulempung dengan karakteristik warna abu-abu kehijauan, kilap lempung, struktur laminasi dengan tingkat pelapukan DW (lapuk tegas) dan kekuatan batuan tinggi, bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran ±420 m3, besarnya nilai GSI adalah 40, bergerak kearah barat laut ditemukan litologi yang berumur lebih muda berupa batupasir dengan karakteristik warna putih kecoklatan, ukuran butir pasir halus (1/4-1/2 mm), sortasi baik, kemas tertutup struktur massif, laminasi, wavy ripple. Tingkat pelapukan termasuk ke dalam DW, kekuatan batuan sedang dengan bentuk blok tidak beraturan dan ukuran ±510 m3, besarnya nilai GSI adalah 25, selanjutnya ke arah barat laut ditemukan litologi berupa batulempung dengan karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur laminasi, tingkat pelapukan termasuk DW, dan kekuatan batuan rendah. Bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran blok ±526 m3, besarnya nilai GSI adalah 40, kemudian ditemukan batupasir dengan karakteristik warna abu-abu, ukuran butir pasir halus (1/4-1/2mm), struktur massif, laminasi dan convolute, tingkat pelapukan antara XW-DW dengan kekuatan batuan rendah, bentuk blok tidak beraturan, ukuran blok ±560 m3, besarnya nilai GSI adalah 25, selanjutnya ditemukan batulempung dengan karakteristik warna abu-abu, kilap lempung, struktur massif, tingkat pelapukan DW dan kekuatan batuan sedang, bentuk blok tidak beraturan dengan ukuran ±425 m3, besarnya GSI adalah 40 (Lampiran 2.2). Pada STA 3 yang terletak pada koordinat 538393 E, 220626 N yang berada pada kaki lereng, ditemukan litologi berupa batubara seam X1 dengan 77 karakteristik warna kehitaman, kilap kusam, cerat berwarna hitam, pecahan berbentuk kubus dengan tingkat pelapukan termasuk ke dalam FR (batuan segar) dan kekuatan batuan tinggi, bentuk blok kubus dengan ukuran ±434 m3, besarnya nilai GSI adalah 50. Ditemukan juga batupasir dengan karakteristik warna putih pucat, ukuran pasir sedang (1/4-1/2 mm) dengan struktur normal graded bedding, tingkat pelapukan termasuk DW (lapuk tegas) dan tingkat kekuatan batuan sedang, bentuk blok kubus dan sebagian tidak beraturan dengan ukuran blok ±1505 m3, besarnya nilai GSI adalah 25, kearah barat laut ditemukan batulempung dengan karakteristik warna abu -abu, kilap lempung, tingkat pelapukan termasuk FR (batuan segar) dengan kekuatan batuan sangat tinggi, bentuk blok berupa kubus dengan ukuran ±2460 m3, besarnya nilai GSI adalah 40, selanjutnya ditemukan batupasir dengan karakteristik warna kecoklatan, ukuran butir pasir sedang (1/4-1/2 mm) yang termasuk ke dalam FR (batuan segar) dengan tingkat kekuatan sedang, bentuk blok berupa kubus dengan ukuran ±2730 m3, besarnya nilai GSI adalah 30, serta ditemukan batulempung dengan warna abu-abu, termasuk dalam DW (distinctly weathered) dengan tingkat kekuatan batuan sedang, bentuk blok kubus dan memiliki ukuran ±2550 m3, besarnya nilai GSI adalah 30. Bidang diskontinuitas yang ditemukan berupa kekar dengan plunge/trend 840/N890E, 800/N890E, 750/N510E, 900/N150E, panjang kekar antara 10-50 cm, jarak kekar antara 1-2 cm, dan bentuk dari bergelombang -putus-putus untuk tingkat kekasaran pada range 1 dan 5 (ISRM), (Lampiran 2.3). Pada STA 4 yang terletak pada koordinat 538475 E, 220790 N ditemukan litologi berupa batubara seam X5 dengan karakteristik warna hitam, cerat hitam, kilap kusam, pecahan tidak beraturan, termasuk ke dalam FR (batuan segar) dengan tingkat kekuatan tinggi, bentuk blok berupa kubus dengan ukuran ±240 m3, besarnya nilai GSI adalah 50, selanjutnya ditemukan batupasir dengan karakteristik warna putih pucat-kecoklatan, termasuk ke dalam DW (lapuk tegas), tingkat kekuatan rendah, bentuk blok kubus dengan ukuran ±1200 m3,besarnya GSI adalah 20 (Lampiran 2.4). 78 4.3.1 Peta Geologi Teknik Data yang didapatkan dari pemetaan geoteknik kemudian disusun menjadi peta geoteknik seperti pada Gambar 4.26 di bawah. Gambar 4.26 Peta geologi teknik Pit 7 West B 4.4 Penampang Lereng Pit 7 West B Penelitian dilakukan pada lereng lowwall dan highwall tambang batubara Pit 7 West B. Total 6 sayatan berarah baratlaut-tenggara dibuat untuk memudahkan dalam melakukan analisis kestabilan lereng, dengan sayatan tersebut diharapkan dapat mewakili kondisi aktual pada lereng tersebut. Geometri penampang seperti pada Tabel 4.2 halaman 79. Permodelan penampang pada Gambar 4.27,4.29,4.31 pada halaman 79-81 dibuat berdasarkan pada kontur aktual week 53 tahun 2016, yang merepresentasikan kondisi Pit 7 West B saat ini. Dalam proses eksploitasi selanjutnya, pada tahun 2017 ini direncanakan pembuatan desain tambang terbaru untuk mengoptimalkan hasil penambangan batubara. Desain tambang ini memiliki elevasi terendah (RL) -30 mdpl dan elevasi tertinggi 38 mdpl, seperti pada Gambar 4.28,4.30 dan 4.32 halaman 80-82. 79 Tabel 4.2 Geometri lereng Pit 7 West B. Section Bench Width (m) Single Slope Heigh (m) Single Slope Angle (0) Overall Height (m) A-A‟ B-B‟ C-C‟ D-D‟ E-E‟ F-F‟ 10,7 11,1 12,4 9,5 22,2 13,2 20 8 14,7 11 17 17,5 30 50 48 47 47 56 98 70 94 71,7 84 92 Overall Slope Angle (0) 48 41 48,5 49,7 44,2 50,6 Gambar 4.27 Penampang aktual sayatan A-A‟ dan B-B‟ Gambar 4.28 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan A-A‟ dan B-B‟ 80 Gambar 4.29 Penampang aktual sayatan C-C‟ dan D-D‟ Gambar 4.30 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan C-C‟ dan D-D‟ 81 Gambar 4.31 Penampang aktual sayatan E-E‟ dan F-F‟ Gambar 4.32 Penampang desain tambang tahun 2017 sayatan E-E‟ dan F-F‟ 4.5 Analisis Kestabilan Lereng Analisis kestabilan lereng merupakan suatu tindakan untuk mengetahui tingkat kestabilan suatu lereng. Serangkaian data diperlukan meliputi litologi penyusun kawasan lereng, nilai unit weight/density, kohesi dan nilai sudut geser dalam (phi), selain itu profil bagian atas penampang menyesuaikan dari kontur topografi aktual yang melewati sayatan. Pada penelitian ini dilakukan juga analisis terhadap rencana desain tambang yang akan dilakukan pada tahun 2017, sehingga dihasilkan 2 analisis kestabilan lereng yaitu analisis kondisi aktual lereng dan analisis rancangan desain tambang tahun 2017. 82 Analisis dilakukan dengan membuat 6 sayatan di sepanjang area penambangan Pit 7 West B berarah barat-timur. 4.5.1 Sayatan A-A’ A ’ A Gambar 4.33 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi highwall Sayatan A-A‟ memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Dengan sayatan yang dibuat didapatkan morfologi kontur aktual sehingga dapat dibuat permodelan lereng seperti pada Gambar 4.33 halaman 82. Permodelan lereng dibuat dan dianalisis menggunakan software Minescape, Autocad 7, dan Rocscience Slide 6. Elevasi di titik A adalah 28 mdpl dan elevasi di titik A‟ adalah 46 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 98 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl. Seismic load menunjukan pengaruh gelombang gempa yang dihasilkan dari proses blasting yang mengakibatkan getaran gelombang kearah horisontal maupun vertical sebesar 0,02 g. Sudut yang dibentuk antara perlapisan batupasir, batulempung dan batubara memiliki dip antara 450-500 dengan arah strike N 2150 E, secara umur relatif dapat diketahui dari penampang lereng, bahwa batupasir berumur lebih tua dari batulempung dan batulempung berumur lebih tua dari batubara. Analisis kestabilan lereng dilakukan dengan metode bishop karena metode ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode lainya, diantaranya perhitungan yang sederhana, cepat dan memberikan hasil perhitungan faktor keamanan yang cukup teliti. Pada analisis ini, menggunakan total 20 slice. Nilai material properties didapatkan dari 83 hasil uji laboratorium, setelah dilakukan input terhadap parameter densitas, kohesi dan sudut geser dalam didapatkan hasil kestabilan lereng minimal dinding highwall sayatan A-A‟ sebesar 3,1 yang menyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman sesuai dengan kriteria dari Bowles, 1989. A A ’ Gambar 4.34 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan A-A‟ Desain pada Gambar 4.34 di atas memiliki panjang 354 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 65 m dan sisi lowwall 76 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 500. Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X dan X1 dengan tebal masing-masing 4 m dan 3 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles,1989). A A ’ Gambar 4.35 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan A-A‟ sisi lowwall 84 Analisis kestabilan lereng sisi lowwall seperti pada Gambar 4.35 di atas, memiliki nilai FK 1,5 yang menandakan bahwa lereng ini aman (stable). Nilai FK terendah berada pada lapisan soil, sehingga upaya untuk meningkatkan nilai stabilitas lereng dapat dilakukan dengan menghilangkan lapisan soil dengan tebal sekitar 2-8 m, karena soil memiliki sifat menampung air sehingga ikatan antar partikel pada soil akan menurun seiring bertambahnya volume air yang masuk. Kekuatan gesernya pun akan menurun, sehingga dapat memicu terjadinya longsoran. Perlakuan lain yang dapat diterapkan adalah dengan merapikan bench dan lereng lowwall, melakukan pengeboran pada sisi lowwall secara tegak lurus untuk mengeluarkan air yang tersimpan dalam formasi batuan terutama pada batupasir karena batuan ini memiliki nilai porositas dan permeabilitas yang cukup baik, sehingga akan berpengaruh pada stabilitas dinding lereng, pembuatan parit pada bench juga akan memberikan dampak positif sehingga air hujan akan mengalir melalui parit dan penyerapan air oleh batuan pada dinding semakin berkurang. Desain lowwall pada Gambar 4.36 memiliki 3 slope dan 2 bench dengan kemiringan 470, dari hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989) A A ’ Gambar 4.36 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan A-A‟ 85 Gambar 4.37 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan A-A‟ Berdasarkan pada grafik yang ditunjukan oleh Gambar 4.37 di atas dapat diketahui bahwa nilai FK mengalami kenaikan sampai jarak 135 m kemudian mengalami kenaikan secara signifikan mulai 146 m sampai jarak 155 m dan mengalami penurunan kembali sampai jarak 160 m, naik kembali sampai jarak 170 m dan turun secara drastis sampai pada jarak 180 m. 2. Sayatan B-B’ B B ’ Gambar 4.38 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi highwall Sayatan B-B‟ seperti pada Gambar 4.38 memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik B adalah 21,1 mdpl dan elevasi di titik B‟ adalah 19 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 71 m yang dihitung dari elevasi 50 mdpl. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall 86 sayatan B-B‟ sebesar 2,6 yang menandakan bahwa lereng dalam kondisi aman (Bowles,1989) B B’ Gambar 4.39 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan B-B‟ Desain pada Gambar 4.39 di atas memiliki panjang 354 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 70 m dan sisi lowwall 63 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520. Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,7 yang menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles, 1989). Analisis kestabilan lereng untuk sisi lowwall seperti pada Gambar 4.40 memiliki nilai FK 3,8 yang menandakan bahwa lereng ini aman (stable) sesuai kriteria Bowles (1989). B B ’ Gambar 4.40 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan B-B‟ sisi lowwall 87 B B’ Gambar 4.41 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan B-B‟ Desain lowwall pada Gambar 4.41 memiliki 2 slope dan 1 bench dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 2,1 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989). Gambar 4.42 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan B-B‟ Berdasarkan pada Gambar 4.42 di atas dapat diketahui bahwa nilai FK mengalami kenaikan secara signifikan dari jarak 126 m sampai jarak 150 m, kemudian mengalami penurunan sampai jarak 172 m. Naik turunya nilai FK dipengaruhi tinggi lereng, sudut lereng, elevasi dan litologi yang ada. Semakin tinggi lereng nilai FK akan semakin kecil dan litologi dengan densitas lebih besar berpengaruh menurunkan nilai kestabilan lereng begitu pula dengan sudut lereng, semakin kecil sudut kelerengan (lereng landai) lereng akan cenderung lebih stabil. 88 3. Sayatan C-C’ C ’ C Gambar 4.43 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi highwall Sayatan C-C‟ Gambar 4.43 memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik C adalah 36 mdpl dan elevasi di titik C‟ adalah 39 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 94 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan C-C‟ sebesar 2,7 yang menyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman sesuai dengan kriteria dari Bowles (1989). C C ’ Gambar 4.44 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan C-C‟ Desain pada Gambar 4.44 di atas memiliki panjang 354 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 82 m dan sisi lowwall 82 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520. Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir, batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir 89 dengan batulempung memiliki strike/dip N 2220 E/ 460. Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,4 yang menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles,1989). Analisis lereng untuk sisi lowwall seperti pada Gambar 4.45 di bawah didapatkan nilai FK 2,2 dan menurut Bowles (1989) termasuk dalam kategori lereng aman/stabil. C’ C Gambar 4.45 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan C-C‟ sisi lowwall C’ C Gambar 4.46 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan C-C‟ Desain lowwall pada Gambar 4.46 memiliki 3 slope dan 2 bench dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989). Pada prinsipnya keberadaan lapisan soil menurunkan nilai kestabilan lereng, untuk mencegah terjadinya longsoran dapat dilakukan dengan 90 membuang lapisan soil (elevasi diatas 40 mdpl) karena soil memiliki sifat menampung air sehingga akan mengurangi kekuatan ikatan antar partikel selain itu juga akan menurunkan kekuatan geser seiring bertambahnya volume air yang terserap. Perlakuan lain yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan pengeboran pada sisi lowwall secara tegak lurus untuk mengeluarkan air yang tersimpan dalam formasi batuan terutama pada batupasir, karena batuan ini memiliki porositas dan permeabilitas yang tergolong baik sehingga akan berpengaruh pada stabilitas dinding lereng lowwall, pembuatan parit pada bench juga akan memberikan dampak positif sehingga air hujan akan mengalir melalui parit dan penyerapan air oleh batuan pada dinding semakin berkurang. Manifestasi air yang keluar dari dinding lereng baik lowwall maupun highwall mengindikasikan bahwa dibelakang lapisan batuan tersebut terdapat air bertekanan yang tersimpan pada batuan porous dan sewaktu-waktu dinding penahan (impermeable layer) tidak kuat menahan pergerakan air yang keluar menuruni lereng, akan terjadi longsoran yang diikuti dengan semburan air formasi. Hal ini dapat diketahui memalui rembesan air pada dinding lereng yang bukan diakibatkan karena hujan, gelembung-gelembung air pada dasar tambang di bagian sump ataupun genangan air. Struktur geologi berupa sesar akan menjadi tempat keluarnya air pada dinding lereng, jika struktur sesar jumlahnya relatif banyak maka akan menjadi media keluarnya aliran mata air dan ini sangat membahayakan proses penambangan. Berdasarkan pada Gambar 4.47 halaman 92 dapat diketahui bahwa nilai FK mengalami kenaikan secara signifikan mulai jarak 150 m hingga 172 m dan mengalami penurunan secara signifikan pula sampai pada jarak 193 m. 91 Gambar 4.47 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan C-C‟ 4. Sayatan D-D’ D’ D Gambar 4.48 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi highwall Sayatan D-D‟ memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik D adalah 12 mdpl dan elevasi di titik D‟ adalah 16 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 71,7 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan D-D‟ sebesar 3,4 seperti Gambar 4.48 yang menyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman sesuai dengan kriteria Bowles (1989). 92 D’ D Gambar 4.49 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan D-D‟ Desain pada Gambar 4.49 memiliki panjang 354 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 70 m dan sisi lowwall 74 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520. Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir, batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir dengan batulempung memiliki strike/dip N 2180 E/ 470. Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,4 yang menyatakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles,1989). Analisis lereng untuk yang sisi lowwall seperti pada Gambar 4.50 halaman 96, didapatkan nilai FK 2,8 yang menandakan bahwa lereng ini berada pada kondisi aman/stabil (Bowles,1989). Desain lowwall pada Gambar 4.51 halaman 94 memiliki 2 slope dan 1 bench dengan kemiringan 470. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 2,2 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989). 93 D’ D Gambar 4.50 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan D-D‟ sisi lowwall D’ D Gambar 4.51 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan D-D‟ Gambar 4.52 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan D-D‟ Berdasarkan pada Gambar 4.52 di atas dapat diketahui bahwa nilai FK dari jarak 140-155 m mengalami penurunan seiring berkurangnnya elevasi kemudian mengalami peningkatan secara signifikan sampai jarak 165 m dan pada jarak 165-170 nilai FK cenderung stabil hal ini dikarenakan melalui bench dengan litologi yang sama, kemudian naik 94 secara signifikan sampai jarak 180 m dan turun kembali sampai jarak 200 m. 5. Sayatan E-E’ E E ’ Gambar 4.53 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi highwall Sayatan E-E‟ pada Gambar 4.53 memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Elevasi di titik E adalah 33 mdpl dan elevasi di titik E‟ adalah 22 mdpl dengan tinggi maksimal lereng adalah 84 m yang dihitung dari elevasi -50 mdpl. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall sayatan E-E‟ sebesar 3,5 sehingga dapat dinyatakan bahwa lereng dalam kondisi aman sesuai dengan kriteria Bowles (1989). E ’ E Gambar 4.54 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan E-E‟ Desain pada Gambar 4.54 memiliki panjang 254 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 80 m dan sisi lowwall 78 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520. 95 Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir, batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir dengan batulempung memiliki strike/dip N 2270 E/ 460. Batubara yang masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,5 yang menandakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles,1989). Analisis kestabilan lereng sisi lowwall seperti pada Gambar 4.55 didapatkan nilai FK 2,8 yang menandakan bahwa lereng ini aman (safety) sesuai kriteria Bowles (1989). Desain lowwall pada Gambar 4.56 halaman 97 memiliki 3 slope dan 2 bench dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 1,9 yang menandakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989). E E’ Gambar 4.55 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan E-E‟ sisi lowwall E E ’ Gambar 4.56 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan E-E‟ 96 Gambar 4.57 Grafik FK kondisi aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan E-E‟ Berdasarkan pada Gambar 4.57 dapat diketahui bahwa kenaikan dan penurunan nilai FK sepanjang jarak sayatan terjadi secara fluktuatif. Nilai FK pada jarak 95-105 m mengalami penurunan hal ini dikarenakan mengikuti topografi lereng, kemudian mengalami kenaikan sampai jarak 115 m seiring melewati bench yang relative lebih stabil, kemudian mengalami penurunan kembali dan mengalami kenaikan signifikan dari jarak 118-142 m. 6. Sayatan F-F’ F’ F Gambar 4.58 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi highwall Sayatan F-F‟ Gambar 4.58 memiliki panjang 354 meter yang membentang dari barat laut ke tenggara pada peta. Ke arah timur sejauh 137 m morfologi berupa lereng bergelombang-berbukit dengan sudut lereng 150 (Van Zuidam, 1983). Bergerak ke arah timur sejauh 218 m 97 dijumpai morfologi dataran dengan sudut lereng 0-20 (Van Zuidam, 1983). Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir, batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara dengan batulempung memiliki strike/dip N 2280 E/ 510 dan kontak batubara dengan batupasir memiliki strike/dip N 2200 E/480. Batubara yang masuk ke dalam area penambangan Pit 7 West B ini terdapat 3 seam yaitu seam X, X1 dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m dan 2 m. Hasil analisis kestabilan lereng minimum dinding highwall dengan FK 2,3. Nilai seismic load merupakan ukuran dari getaran yang dihasilkan dari proses blasting terhadap kondisi lereng tambang disekitarnya. Pada area Pit 7 West B memiliki nilai seismic load 0.02g dan kapasitas jalan Hauling untuk 1 HD sebesar 561 kN karena HD yang beroperasi pada Pit ini adalah tipe HD 785 . Kesimpulan untuk lereng pada area ini adalah aman sesuai kriteria Bowles (1989). F F’ Gambar 4.59 Analisis kestabilan lereng desain highwall sayatan F-F‟ Desain pada Gambar 4.59 memiliki panjang 276 m dengan elevasi minimum (base) -50 m tinggi maksimal sisi highwall 85 m dan sisi lowwall 71 m dengan single slope 650 rata-rata overall slope 520. Litologi penyusun lereng lowwall dan highwall adalah batupasir, batubara dan batulempung, kontak perlapisan batubara, batupasir dengan batulempung memiliki strike/dip N 2200 E/ 460. Batubara yang 98 masuk ke dalam area ini adalah seam X, X1, dan X5 dengan tebal masing-masing 4 m, 3 m, 2 m. Berdasarkan pada hasil analisis didapatkan nilai FK 1,5 yang menandakan bahwa desain highwall ini aman untuk digunakan dalam proses penambangan (Bowles,1989). Analisis kestabilan lereng sisi lowwall seperti pada Gambar 4.60 halaman 100 didapatkan nilai FK 8,4 menandakan bahwa lereng ini aman/stabil, karena morfologi lerengnya yang tidak terlalu tinggi sehingga nilai FK nya sangat besar. Desain lowwall pada Gambar 4.61 halaman 100 memiliki 2 slope dan 1 bench dengan kemiringan 460. Dari hasil analisis didapatkan nilai FK 2,2 yang menyatakan bahwa desain ini aman untuk digunakan (Bowles, 1989) F F’ Gambar 4.60 Analisis kestabilan lereng aktual sayatan F-F‟ sisi lowwall F F’ Gambar 4.61 Analisis kestabilan lereng desain lowwall sayatan F-F‟ 99 Gambar 4.62 Grafik FK aktual terhadap jarak horizontal (koordinat x) sayatan F-F‟ Berdasarkan pada Gambar 4.62 dapat diketahui bahwa nilai FK dari penampang lereng sayatan F-F‟ pada jarak 88-100 m mengalami kenaikan sampai 2,7 kemudian mengalami penurunan sampai jarak 110 m dengan FK 2,5 dan mengalami kenaikan secara signifikan sampai jarak 120 m dengan FK 3,7 kemudian mengalami penurunan sampai pada jarak 130 m dengan FK 2,3. Rangkuman nilai FK aktual dan desain terdapat pada Tabel 4.3 di bawah ini. Tabel 4.3 Nilai FK aktual dan desain No Sayatan Nilai FK Lowwall Nilai FK Highwall Aktual Desain Aktual Desain 1 A-A‟ 1,5 1,9 3,1 1,9 2 B-B‟ 3,8 2,2 2,6 1,7 3 C-C‟ 2,2 1,9 2,7 1,3 4 D-D‟ 2,8 2,2 3,4 1,5 5 E-E‟ 2,8 1,9 3,5 1,5 6 F-F‟ 8,4 2,2 2,3 1,5 4.6 Rekomendasi Optimalisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kestabilan lereng tambang tanpa mengesampingkan perolehan produksi penambangan batubara. Nilai FK dapat ditingkatkan hingga mencapai 2, dengan cara memperkecil sudut lereng (single slope) pada tiap-tiap jenjang. Pada sayatan 100 B-B‟, C-C‟ dan E‟E‟ pada desain lereng highwall Pit 7 West B. Sudut desain lereng highwall sebelumnya adalah 650, setelah dilakukan perubahan sudut menjadi 28-350 didapatkan nilai FK sebesar ≥2 . 1. Sayatan B-B’ Merubah sudut lereng highwall menjadi 290 didapatkan nilai FK 2 dari yang sebelumnya memiliki FK 1.7 seperti Gambar 4.63 halaman 102. B NEW FK 2 B’ Gambar 4.63 Lereng highwall sayatan B-B‟ desain 2017 2. Sayatan C-C’ Merubah sudut lereng highwall menjadi 280 didapatkan FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1.8 seperti Gambar 4.64. C NEW FK 2 C’ Gambar 4.64 Lereng highwall sayatan C-C‟ desain 2017 3. Sayatan E-E’ Merubah sudut lereng highwall menjadi 310 didapatkan nilai FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1.5 seperti Gambar 4.65 halaman 103. 101 E NEW FK 2 E’ Gambar 4.65 Lereng highwall sayatan E-E‟ desain 2017 102 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Kondisi geologi pada Pit 7 West B, tersusun atas litologi batupasir kuarsa, batulempung dan batubara dan struktur geologi didominasi oleh kekar gerus dan kekar tarik. Struktur sedimen terdiri atas perlapisan, parallel laminasi, wavy ripple, convolute, nodul dan normal gradded bedding dengan strike/dip perlapisan batulempung, batubara dan batubara, batupasir sebesar N 2280 E/510, N 2200 E/480, trend/plunge untuk kekar gerus dan kekar tarik berarah N 890 E/840, N 890 E/800, N 510E/750, N 150E/900. Berdasarkan pada hasil measuring stratigraphy dapat diketahui bahwa lokasi penelitian memiliki lingkungan pengendapan rawa (shallow lake, model Nichols, 2009). 2. Tingkat kestabilan lereng lowwall dan highwall Pit 7 West B berada pada kategori aman/stabil (Bowles,1989), dengan rentang nilai FK kondisi aktual highwall antara 2,3-3,5 dan lowwall antara 1,5-8.4, sedangkan untuk nilai FK desain highwall berkisar antara 1,3-1,9 dan lowwall antara 1,9-2,2. 3. Optimalisasi nilai FK untuk lereng desain highwall untuk sayatan B-B‟ dapat dilakukan dengan merubah sudut lereng dari 650 menjadi 290 sehingga didapatkan nilai FK 2 dari yang sebelumnya 1,7, sedangkan untuk lereng desain highwall sayatan C-C‟ dilakukan dengan merubah sudut lereng dari 650 menjadi 280 sehingga didapatkan nilai FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,3. Optimalisasi lereng desain highwall sayatan E-E‟ dengan melakukan perubahan sudut lereng menjadi 310 sehingga didapatkan FK baru sebesar 2 dari yang sebelumnya 1,5. 4. Peningkatan stabilitas lereng dapat dilakukan dengan memperkecil sudut kelerengan atau menurunkan tinggi lereng serta menghilangkan lapisan tanah penutup pada elevasi di atas 40 mdpl. 103 5.2 Saran 1. Rekomendasi sudut lereng desain highwall adalah 280-350, sehingga didapatkan nilai FK≥2. 2. Pembuatan parit pada sepanjang bench merupakan upaya yang efektif dan efisien untuk meningkatkan stabilitas lereng serta mengurangi intensitas rembesan air pada dinding lereng dari air hujan. 104 DAFTAR PUSTAKA Australian Standart. 2005. Technical Memorandum for Geothecnical Mapping: Quensland. Azizi, M.A. 2012. Analisis Resiko Kestabilan Lereng Tambang Terbuka (Studi Kasus Tambang Mineral X). Prosiding Simposium dan Seminar Geomekanika ke-1: Jakarta. Azizi, M.A. 2014. Pengembangan Metode Reliabilitas Penentuan Kestabilan Lereng Tambang Terbuka Batubara di Indonesia. Disertasi (tidak dipublikasikan). Jurusan Rekayasa Teknik Pertambangan Institut Teknologi Bandung: Bandung. Bachtiar Andang. 2008. Geologi Pulau Kalimantan. Bandung. ITB. Slide PPT Bieniawski, Z.T. 1989. Engineering rock mass classification. John Wiley Interscience: New York. Bowles, J.E. 1984. Physical and Geotechnical Properties of Soil: Second Edition. McGraw-Hill: New York, USA. Brady, B.H.G and Brown, E.T. 2004. Rock Mechanics for Underground Mining Third Edition. Kluwer Academic Publishers: Boston, USA. Deere, D.U. 1963. Technical Description of Rock Cores for Engineering Purposes. Felsmechanik und Ingenieurgeologie (Rock Mechanics and Engineering Geology), 1(1). 16-22. Fossen Haakson. 2010. Structural Geology. New York. Cambridge University Press. Hoek, E and Brown, E.T. 1980. Empirical Strength Criterion for Rock Masses. Journal of the Geotechnical Engineering Division: Proceedings of American Society of Civil Engineers, Vol. 106. Hoek, E and Brown, E.T. 1997. Technical Note Practical Estimates of Rock Mass Strength. Elsevier: International Journal Rock Mechanics and Mining Sciences Vol 34, No 8 pages 1165-1186. Hoek, E and Bray, J.W. 1981. Rock Slope Engineering. The Institution of Mining and Metallurgy. 3rd edition : London. Hoek, E and Karzulovic, A. 2000. Rock Mass Properties for Surface Mines. Slope 105 Hoek, E and Marinos, P. 2000. GSI: Geologically Friendly Tool for Rock Mass Strength Estimation. Proceeding of the International Conference Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne. Hoek, E., Read, J., Karzulovic, A., Chen, Z.Y. 2000. Rock Slopes for Civil and Mining Engineering. Proceeding of the International Conference Geotechnical and Geological Engineering: Melbourne. Hoek,E., Torres, C.C., Corkum, B. 2002. Hoek Brown Criteria Failure Criteria 2002. NARMS-TAC Conference: Toronto. Hoek, E., Carter, T.G., Diedrichs, M.S. 2013. Quantification of Geological Strength Index Chart. Proceedings of 47th Geomechanic Symposium: San Fransisco. Lisle Richard J. 2004. Geological Structures and Map : A Practical Guide. Oxford,UK. Cardiff University. Nichols Gary. 2009. Sedimentology Stratigraphy. United Kingdom. WilleyBlackwell. Ragan Donald D. 2009. Structural Geology An Introduction to Geometrical Techniques. New York. Cambridge University Press. Reineck Singh. 1980. Depositional Sedimentary Environments. New York. Departement of Geology. Lucknow University India. Stability in Surface Mining Conference: Society for Mining, Metallurgical and Exploration 2000 p 59-70 Sukamto. 1996.Peta Geologi Indonesia. Skala 1:5000000. Puslitbang Sumber Daya Geologi: Bandung. Sukardi.1995. Peta Geologi Lembar Muaralasan, Kalimantan Skala 1:250000. Puslitbang Sumber Daya Geologi: Jakarta. Suwana, G.W. Desain Lereng Final Dengan Metode RMR, SMR, dan Analisis Kestabilan Lereng pada Tambang Terbuka. Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 7 Nomor 2: Bandung. Wesley Laurence D. 2010. Fundamentals of Soil Mechanics for Sedimentary and Residual Soils. New Jersey. John Willey & Sons,inc. Zakaria Zulfiadi. Analisis Kestabilan Lereng. Jurusan Teknik Geologi Universitas Padjajaran:Bandung 106 107 cviii