Proses Komunikasi dan Partisipasi Dalam

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Program Raksa Desa
Program Raksa Desa merupakan salah satu program pengembangan
masyarakat desa dengan
memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa
dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya
pembangunan
secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003).
Penyusunan kriteria dan penentuan desa yang akan memperoleh bantuan guna
pembangunan desa ditentukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat bekerjasama
dengan Pemerintah Daerah, yang mana secara hierarkhi Pemerintah Daerah
bekerjasama dengan kecamatan, desa dan RT/RW. Adapun kriteria desa yang
memperoleh bantuan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut:
1. Desa miskin, yang ditentukan dengan banyaknya rumah tangga yang berstatus
keluarga pra-sejahtera dan sejahtera 1.
2. Desa rawan air bersih, yang ditentukan dengan sumber air bersih bagi kegiatan
rumah tangga yang dominan digunakan di desa tersebut (sungai, danau, air
hujan, dan rawa).
3. Desa rawan infras truktur jalan, yang ditentukan dengan jenis lapisan jalan
yang dominan terdapat di desa tersebut (kerikil, batu, dan tanah)
4. Desa rawan listrik,
yang ditentukan oleh proporsi rumah tangga yang
berlangganan listrik, baik PLN maupun Non PLN (kurang dari 50 persen).
5. Desa rawan sanitasi, yang ditentukan oleh jenis pembuangan air besar yang
dominan digunakan di desa tersebut ( sungai, danau)
6. Desa rawan prasarana pendidikan, yang ditentukan oleh proporsi bangunan
Sekolah Dasar rusak berat (lebih dari 40 persen).
Pertimbangan lain dalam penentuan desa yang mendapat bantuan dana adalah
desa yang belum mendapatkan bantuan program sejenis, seperti Program
Pengembangan
Kecamatan
(PPK),
Proyek
Penanggulangan
Kemiskinan
Perkotaan (P2KP), Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah
(P2MD).
18
Tugas Pembantuan kepada Desa ini dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut:
a
Kebijakan dan program Raksa Desa ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi.
b Dana program Raksa Desa bersifat specific grant dari Pemerintah Propinsi dan
penyaluran dana diberikan secara langsung kepada desa.
c
Tenaga pendamping yaitu fasilitator kecamatan ditetapkan dan didanai oleh
Pemerintah Propinsi melalui Satuan Pelaksana Kecamatan.
d Penentuan jenis kegiatan serta pelaksanaannya diselenggarakan oleh desa
dengan membentuk kelompok kerja sesuai dengan garis kebijakan Propinsi
Jawa Barat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa yang secara
teknis diusulkan oleh desa kepada Satuan Pelaksana Kecamatan.
e
Pelaporan dan pertanggungjawaban dilakukan oleh desa dan disampaikan
secara berjenjang kepada Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi Jawa Barat.
f
Pemantauan dan pengawasan kegiatan dilakukan oleh Satuan Pelaksana
Tingkat Propinsi bekerjasama dengan Satuan Pelaksana Kabupaten/Kota yang
secara operasional dikendalikan dan dikoordinasikan oleh Camat sebagai
perangkat daerah Kabupaten/Kota.
g Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis
maupun administratif, transparansi dan partisipatif.
h Hasil kegiatan dapat dilestarikan dan dikembangkan baik oleh pemerintah desa
maupun masyarakat di kemudian hari.
Pelaksanaan Program Raksa Desa sangat mengutamakan partisipasi
masyarakat desa penerima bantuan melalui Satuan Pelaksana (Satlak) Desa
dengan pendekatan-pendekatan sebagai berik ut:
1. Mengembangkan peran serta masyarakat melalui pola padat karya dengan
memberikan insentif untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai
persyaratan teknis.
2. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam perguliran ekonomi dengan
memberikan dana bagi pengembangan usaha masyarakat desa.
19
Bantuan Program Raksa Desa diberikan dalam bentuk pagu sebesar Rp
100 juta/desa, masing-masing 40 persen untuk perbaikan infrastruktur dan 60
persen untuk perguliran ekonomi yang disalurkan secara langsung ke rekening
desa di Bank Jabar.
Kepala Desa sebagai Ketua
Satuan Pelaksana yang
didampingi pengurus lainnya harus mengadakan pertemuan dengan melibatkan
unsur masyarakat seperti kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat untuk
melakukan kegiatan-kegiatan berikut:
1. Memberikan informasi bantuan Program Raksa Desa kepada masyarakat.
2. Melakukan musyawarah desa untuk mengusulkan prioritas pembangunan
infrastruktur dan penentuan prioritas penerima bantuan dana perguliran.
Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa
Maksud Pemerintah Propinsi menyelenggarakan Program Raksa Desa
adalah untuk mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat
desa dengan memberdayakan Pemerintah dan Masyarakat Desa dengan
mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan
secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun tujuan yang
hendak dicapai dari terselenggaranya Program Raksa Desa adalah;
a. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar
masyarakat.
b. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar.
c. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan.
d. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan.
e. Meningkatnya ketersediaan permodalan bagi kelompok usaha ekonomi
masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, kesempatan kerja dan
pendapatan masyarakat.
f. Meningkatnya kinerja Aparat Desa/Kelurahan.
g. Meningkatnya upaya pemerataan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat.
Satuan Pelaksana Desa
Menurut
Keputusan
Gubernur
Jawa
Barat
No.
147/KEP.200.
DEKON/2003 tentang penyelenggaraan Program Raksa Desa, untuk menunjang
keberhasilan pelaksanaan pengelolaan Program Raksa Desa dibentuk kelompok
20
kerja pada setiap tingkatan, yakni Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi, Kabupaten,
Kecamatan, dan Tingkat Desa. Adapun untuk penyelenggaraan di tingkat Desa,
maka Satuan Pelaksana Desa yang diketuai oleh Kepala Desa bertanggung jawab
terhadap Program Raksa Desa. Sesuai petunjuk teknis Program Raksa Desa
(2003) diuraikan tugas pokok dan fungsi Satuan Pelaksana Desa sebagai berikut:
1. Menyebarluaskan informasi tentang kegiatan Program Raksa Desa kepada
masyarakat di desa.
2. Menyelenggarakan musyawarah Desa ke I dan Ke II.
3. Menampung usulan kegiatan dan usulan penerima bantuan permodalan.
4. Bersama masyarakat menentukan prioritas rencana kegiatan dan penerima
bantuan.
5. Melaksanakan kegiatan program (permodalan untuk pemanfaatan bantuan dan
pembangunan sarana dan prasarana dasar).
6. Melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan.
7. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan pencairan dana triwulan
kepada Satuan Pelaksana Kecamatan dan dapat mengirimkan secara langsung
kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Camat.
Adapun tugas dan tanggung jawab Sarjana Pendamping yaitu:
1. Memberi pengertian dan informasi tentang konsep Program Raksa Desa
kepada Desa melalui Forum Musyawarah Desa.
2. Memandu pelaksanaan Forum Musyawarah Desa ke I dan ke II.
3. Membantu Satuan Pelaksana Desa untuk menampung usulan-usulan kegiatan
dari Tingkat RW/Dusun.
4. Membantu penyusunan rencana kegiatan dan rencana pelaksanaan.
5. Memberikan bimbingan teknis kepada Satuan Pelaksana Desa.
6. Melaksanakan pemantauan dan pengendalian.
7. Membantu Satuan Pelaksana Desa dalam menyusun dokumen untuk pencairan
dana, serta menyusun laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan program.
21
Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa
Diseminasi dan sosialisasi Program Raksa Desa dilakukan secara
berjenjang yaitu: Sosialisasi di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan
sosialisasi di tingkat Desa, serta pelatihan bagi Satuan Pelaksana Kecamatan dan
Satuan Pelaksana Desa.
Penyebaran informasi Program Raksa Desa dilakukan melalui:
1. Berbagai forum musyawarah
dan kegiatan kemasyarakatan antara lain
kelompok pengajian, lembaga keagamaan lainnya, dan pemanfaatan papan
pengumuman.
2. Media massa, penyebarluasan informasi dilakukan juga oleh Pemerintah
Daerah melalui media massa elektronik dan cetak untuk diketahui oleh
masyarakat luas.
Strategi dan Pendekatan Program Raksa Desa
Basis pembangunan nasional adalah pembangunan masyarakat Desa.
Berdasarkan basis tersebut Pemerintah Jawa Barat menyadari pentingnya
pembangunan masyarakat desa, sebagai langkah tepat dalam meningkatkan Indek
Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan mencapai angka 80 pada tahun
2010 sesuai dengan visi dan misi Jawa Barat pada umumnya. Posisi demikian,
upaya memerankan desa dalam tugas pembantuan sesuai dengan paradigma
perencanaan
pembangunan
yang mengutamakan
pendekatan
partisipatif.
Pendekatan partisipatif ini diharapkan terjadi pelaksanaan pembangunan yang
sinergis, efisien dan efektif serta meningkatkan iklim demokrasi pemerintahan dan
pembangunan (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003).
Adapun strategi yang diterapkan oleh Pemerintah Jawa Barat yakni;
1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa, partisipa si masyarakat serta
transparansi.
2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan organisasi yang berakar pada
masyarakat desa.
3. Menjalin sinergi pembangunan desa dalam konteks kewilayahan.
4. Mendorong tumbuhnya kesetiakawanan sosial dalam pembangunan desa.
5. Meningkatkan
kontrol
sosial
masyarakat
terhadap
program-program
pembangunan desa.
22
Pendekatan pelaksanaan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut:
1. Pelaksanaan program dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada
kelompok masyarakat (Community Based Development).
2. Perencanaan prioritas kegiatan sepenuhnya diserahkan pada musyawarah
masyarakat desa.
3. Pemberian kredit permodalan bagi masyarakat/kelompok masyarakat yang
berusaha dalam skala mikro dan usaha kecil.
4. Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan diarahkan pada pembangunan
infrastruktur yang dapat mengungkit secara signifikan tingkat ekonomi
masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada pelayanan
kesehatan, pendidikan dasar serta sumberdaya ekonomi.
Proses Komunikasi
Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai
komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi
sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi.
Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi
sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi
berorientasi
sumber”
(source
komunikasi
sebagai
kegiatan
meyampaikan
ransangan
oriented
yang
guna
definition)
sengaja
yang
dilakukan
membangkitkan
mengisyaratkan
seseorang
respons
orang
untuk
lain.
Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa
semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif.
Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling
sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada mode l ini
komunikasi terjadi
karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada
orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai
yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan inte rpretasi lebih lanjut.
Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear
yang didesain
berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dalam
Mulyana (2003), seperti Gambar 1 berikut:
23
Sumber
Pesan
Saluran
Penerima
Gambar 1. Model Komunikasi Linear
Gambar ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu
arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini
lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau
indoktrinasi.
Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi
ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi
yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit
lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para
komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi
sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi
yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis.
Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang
terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi
walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga
bentuk yaitu (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut
Schramm (1973) dalam Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan
bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua
komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada
suatu saat sejumlah lingkaran
komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang
tindih.
Model heliks menurut Dance (1967) dalam Jahi (1993) menunjukkan
kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi
konvergen.
Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan
bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang
disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda.
Proses konvergen tidak selalu be rarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau
permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling
memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan.
24
Model ziczac menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) menunjukkan
situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tandatanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Model ini diperlukan
adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah
memahami apa yaang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian
iterasi. Peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses
negosiasi.
Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses
penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan
simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi
semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak
peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal.
Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi
tersebut tidak membatasi komunikan pada komunikasi yang disengaja atau respon
yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah
berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku
verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih
sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan
para pela ku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan
semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi.
Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh
ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi
yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari
tujuan berkomunikasinya.
Komunikator akan puas karena pesan yang
disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang
dikehenda ki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai
dengan kebutuhan.
Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari
efektifitas komunikasi
Berlo (1960) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan
efektivitas komunikasi yaitu: sumber - encoder, pesan, saluran, dan penerima
pesan – dekoder.
25
(a) Sumber - encoder
Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses
berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi
komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon
(encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber
ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication
skills) secara lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat
pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan
(4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system)
komunikan.
Menurut Berlo (1960) terdapat lima keterampilan komunika si verbal yaitu
menulis, dan berbicara (keterampilan meng -encoding ), keterampilan membaca,
dan mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran
atau pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling
penting di dalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan.
Sikap komunikator (attitude),
Sikap seorang komunikator yang
bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi efektifitas komunikasi.
Menurut
Berlo
(1960),
sikap
komunikator
mempengaruhi
kebiasaannya
berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan
menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication?
Selanjutnya Berlo menjabarkan sikap komunikator menjadi tiga sikap yaitu: (1)
sikap terhadap diri sendiri (attitude toward self), yang berkaitan dengan
kepribadian individu dalam berkomunikasi; (2) sikap terhadap materi (pesan)
yang dikomunikasikan (attitude toward subject matter). Bila seorang komunikator
tidak yakin terhadap subject matternya, maka hal ini akan menyulitkan dia
berkomunikasi secara efektif tentang subjek/materi itu.
(3) sikap terhadap
komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada komunikannya
berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo mengilustrasikan; Bila
pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang ditulis/dibicarakan sama
seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan yang dibaca/didengar
akan sangat minim. Artinya kemungkinan besar pesan yang disampaikan oleh
26
penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan itu sesuai
kebutuhan mereka.
Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut
Robbins (2001) adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau peristiwa.
Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan.
Saling
keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen
dari suatu sikap yaitu: (1) pengertian (understanding), (2) keharusan (affection),
dan (3) perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen
pendapat atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen
emosional atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu
sikap merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu
terhadap seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah
sikap (attitude) pada hakekatnya merujuk ke bagian afektif dari tiga komponen
tersebut.
Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robbins
dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan Berlo, maka dapat
disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada
komponen perilaku (behavior ) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi,
istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya.
Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki
tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia
kredibel dimata khalayaknya.
seorang
Menurut Aristoteles dalam Cangara (2000),
komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos.
Ethos ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga
ucapan-ucapannya dapat dipercaya.
Pathos adalah kekuatan yang dimiliki
pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya. Sedangkan Logos ialah
kekuatan yang dimiliki melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang
tingkat pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey,
1966 dalam Cangara (2000) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang
komunikator dapat bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude),
tujuan (intension),
kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism).
Kompetensi ialah penguasaan komunikator terhadap masalah yang dibahas
27
(tingkat pengetahuan terhadap materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan
pribadi komunikator apakah tegar atau toleran dalam prinsip.
Tujuan
menunjukkan apakah hal-hal yang disampaikan itu memiliki maksud baik atau
tidak.
Kepribadian menunjukkan apakah komunikator memiliki pribadi yang
hangat dan bersahabat.
Sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang
disampaikan itu menarik atau justru membosankan.
Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural
system) komunikannya.
Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat
diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem
sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami
sistem sosial budaya komunikannya.
(b) Pesan
Berlo (1960) menegaskan pesan adalah sebagian produk fisik aktual
(actual physical product) dari komunikator -komunikan.
Ketika seseorang
berpidato, menulis, menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai
isyarat, maka isi pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi
wajahnya merupakan pesan.
Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan
perlakukan pesan. Ketiga faktor tersebut ditinjau dari elemen dan struktur dari
masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur
dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakukan pesan).
Eleme n dan struktur pesan.
elemen-elemen pesan.
Struktur pesan merupakan gabungan dari
Misalnya kita menulis sebuah kata Buku maka Buku
merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf b,u, k dan u. Hal
yang penting diketahui dalam komunikasi adala h perbedaan antara bentuk
(struktur) dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan,
perlu diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang
lebih penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur).
Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri
atas rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu
objek. Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur
sehingga memiliki arti.
Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti
28
bukanlah kode (Berlo, 1960 dalam Cangara, 2000). Lampu pengatur lalu lintas
(Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah
kode bagi pemakai jalan.
Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan
digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3)
metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih.
Tujuan pemilihan
tersebut adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi.
Isi pesan.
Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh
komunikator untuk mengekspresikan tujuan.
Yang termasuk isi pesan adalah
pernyataan/pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan
yang kita buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan.
Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator
untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu
perlakuan pada pesan adalah kepribadian, karakter individu, keterampilan, sikap,
pengetahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga
disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan.
Berlo
menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku
pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dll. Kemudian
menganalisis pesan yang disampaikan dari segi kode, isi dan perlakuan pesan.
Jadi karakter individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan.
(c) Saluran (channel)
Saluran
komunikasi
adalah
alat
untuk
menyalurkan
pesan
dari
komunikator ke komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran
komunikasi atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran
interpersonal.
Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang
memungkinkan pencapaia n komunikan dalam jumlah besar, yang dapat
menembus batas waktu dan ruang seperti radio, televisi, koran dan sebagainya.
Sedangkan saluran interpersonal merupakan saluran komunikasi melalui
pertemuan tatap muka antara komunikator dan komunikan.
Hanafi
(1986)
dalam
bukunya
Memasyarakatkan
Ide-ide
Baru
menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit.
Saluran interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan
29
komunikator yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran
interpersonal lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari
dalam sistem sosial komunikan.
Penentuan dan penggunaan saluran komunikan yang tepat sangatlah
penting di dalam proses penyampaian informasi.
Saluran komunikasi media
massa lebih efektif digunakan pada tahap pengenalan suatu ide/teknologi.
Dimana saluran tersebut berfungsi untuk menyampaikan informasi/pengetahuan
(knowledge) kepada khalayak dalam jumlah yang besar.
Sedangkan saluran
komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi karena
kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi, sehingga
saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi
perbedaan kedua saluran tersebut pada da mpak (efek) yang ditimbulkan. Media
interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan dan perubahan
sikap dan rendah pada kognitif. Sedangkan media massa berefek tinggi pada
kognitif dan rendah pada pembentukkan dan perubahan sikap komunikan
(audience).
Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara
maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi
(1986) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang
peranan penting dalam tahap pengenalan suatu ide/teknologi, terutama saluran
interpersonal kosmopolit. Hal tersebut menurut Hanafi kemungkinan disebabkan
oleh (1) kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikasi di
wilayah perdesaan, (2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak
relevannya pesan-pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan
masyarakat, atau (4) mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana
hiburan daripada sebagai media informasi.
(d) Komunikan
Komunikan biasa disebut juga dengan is tilah penerima pesan, decoder,
khalayak, sasaran, audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah
satu faktor dalam proses komunikasi. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat
ditentukan oleh komunikan.
30
Komunikasi dalam studi komunikasi bisa be rupa individu, kelompok dan
masyarakat (Cangara, 2000). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi
seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khalayaknya.
Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang perlu diketahui
komunikator te ntang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil
psikologi, dan aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodemografik antara lain
adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa
yang digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek
profil psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti: emosi
(bagaimana temperamennya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah
keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek
karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi,
nilai dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka
berterus terang atau tidak.
Terlepas dari hal itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat
diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya
adalah keterampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial
budaya komunikan.
Sama halnya dengan komunikator seperti penjelasan
sebelumnya.
Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang
mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang
manfaat program yang diintroduksikan pada individu bersangkutan.
Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli bukan
ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan oleh karakteristik individu
yang memberikan respon pada stimuli tersebut (Rakhmat, 2000)
Menurut hasil penelitian Widatri (1995) tentang ”Birokrasi Lokal dan
Partisipasi Masyarakat” dikata kan bahwa komunikasi sebagai faktor yang
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pada dasarnya
merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi
di dalam organisasi
birokrasi lokal, baik komunikasi dari atas ke bawah maupun dari bawah keatas.
Sastropoetro (1988) mengatakan bahwa sikap masyarakat dalam berpartisipasi
ditentukaan oleh karakteristik dan intensitas komunikasinya. Muliawati (1993)
31
mengatakan orang yang berpendidikan tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi
di dalam pembangunan, karena dengan berpendidikan tinggi ia mampu
menganalisa serta aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pemanfaatan. Soemantri (1998) menjelaskan bahwa intensitas komunikasi
berpengaruh pada perilaku petani, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka
semakin tinggi partisipasinya.
Peranan Pemerintah dalam Pembangunan
Di kebanyakan negara di Dunia Ketiga, Birokrasi pemerintahan
merupakan suatu alat pembangunan yang paling dominan peranannya (Effendi,
dalam Percikan Pemikiran Fisipol UGM tentang Pembangunan 1990). Dominasi
birokrasi ini terjadi bukan semata-mata karena kelemahan sektor swasta dan
preferensi ideologi di negara -negara tadi, tetapi lebih karena luasnya jangkauan
birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi memiliki fungsi integratif yang sangat
besar.
Sulit dan kompleknya peranan birokrasi di negara
dunia ketiga
diantaranya disebabkan karena birokrasi di negara dunia ketiga tidak hanya
berfungsi untuk menjaga, mengatur serta mempeluas infrastruktur sosial bagi
masing-masing masyarakat, tetapi juga bertugas untuk melaksanakan keputusan
pimpinan politik, yang praktis
harus
dimulai dari menyusun rencana,
melaksanakannya sampai dengan memelihara segala program pembangunan.
Keberhasilan pembangunan tergantung pada kemampuan birokrasi,
sementara
dipihak
lain
proses
pembangunan
juga
menentukan
corak
perkembangan birokrasi, dalam arti semakin cepat gerakan roda pembangunan,
maka semakin besar pula peran birokrasi tersebut. Pentingnya birokrasi dalam
pembangunan ini juga dikemukakan oleh Moelyarto (1987) dengan mengajukan
premis dalam makalahnya yang berjudul Budaya Birokrasi dalam Kontek
Tranformasi Struktural antara harapan dan Kenyataan, antara lain menyebutkan
birokrasi
menduduki
posisi
strategis
instrumental
untuk
mewujudkan
pembangunan suatu negara, value premis ini disimpulkan, bahwa secara normatif,
semua elemen birokrasi, seperti struktur dan kultur birokrasi, complience system,
working norms, prosedur kerja, serta client relationship mengacu pada tujuan
pembangunan nasional, tujuan pembangunan nasional juga dapat berubah, maka
32
sosok dari elemen-elemen birokrasi tadi seharusnya juga merefleksikan perubahan
tadi. Birokrasi
sebagai
wahana
strategis
instrumental
untuk
mencapai
pertumbuhaan ekonomi setinggi-tingginya, misalnya seharusnya mempunyai
karakteristik lain dari birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk
mengemban tugas untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia.
Posisi dominan yang dimiliki oleh birokrasi tersebut makin memperoleh
justifikasi, apabila dihubungkaan dengan konteks sosio-kultural dan ekonomi
negara-negara dunia ketiga. Karakteristik dunia ketiga yang disamakan dengan
kemiskinan merupakan salah satu faktor yang memandang birokrasi untuk tampil
sebagai pelopor pembangunan (Ndraha, 1987). Kemiskinan, kemelaratan dan
sebagainya tentu saja sangat menurunkan semangat dan kemampuan masyarakat
dalam pembangunan, maka pada fase awal, prakarsa pembangunan hanya
diharapkan
dan agen organisasi ya ng menonjol, hal ini dimungkinkan karena
birokrasi mempunyai kewenangan
manusia dan sebagainya.
dalam
hal dana, teknologi, sumber daya
Didorong oleh realitas interaksi semacam ini, maka
strategi ”Top Down” dalam pelaksanaan pembangunan yang sering juga disebut
dengan pendekatan birokratis, dapat berlangsung terus, dan lama kelamaan
prakarsa pemerintah dalam pembangunan menjadi suatu pola dan
kemudian
melembaga sebagai sistem.
Aplikasi model-model tersebut diatas tidak jarang menghasilkan programprogram pembangunan yang bukan hanya mengabaikan tetapi juga menurunkan
kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah
yang mereka
hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari itu membuat mereka menjadi sangat
tergantung kepada birokrasi-birokrasi yang terpusat, yang memiliki absorbsi
sumber daya yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kepekaan untuk
menanggulangi kebutuhan-kebutuhan lokal.
Terdapat tiga karakteristik utama peranan birokrasi dalam setiap strategi
pembangunan seperti dikemukakan Korten (1985), dalam Moelyarto (1987) yaitu:
pertama, dalam strategi pertumbuhan, birokrasi berperanan sebagai entrepreneur,
kedua, dalam strategic basic needs, birokrasi berperanan sebagai service provider
dan yang ketiga, dalam strategic people centered, birokrasi berperanan sebagai
enabler atau fasilitator.
33
Sebagai entrepreneur, birokrasi tampil dalam proses pembangunan dengan
menerapkan blue-print approach dan top-down , serta merumuskan proyek yang
bersifat stereotip dan seragam. Ini dapat dilihat dalam aplikasi model
pembangunan dalam P elita I dan II, yang terbukti efektif dalam meningkatkan
pertumbuhan eknomi, hal ini memang merupakan suatu keuntungan dari
penerapan pendekatan ”atas- bawah” dalam pelaksanaan pembangunan.
Dalam penerapan pendekatan atas bawah posisi birokrasi begitu kuat dan
dominan, karena dia berperan sebagai ”agen tunggal” yang ditangannya
terkonsentrasi kekuasaan di dalam mengelola pembangunan, kekuatan diluar
birokrasi dipandang rendah, sehingga tidak dapat diharapkan peran sertanya
dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan masyarakat kurang mempunyai
”rasa memiliki” dan menjadi terasing terhadap suatu proyek yang sebetulnya
diperuntukkan bagi mereka sendiri. Proyek tersebut menjadi proyek pemerintah,
sehingga proyek berakhir bersamaan dengan berakhirnya campur tangan birokrasi.
Dalam
peranannya
sebagai
pembentukkan kemampuan
entrepreneur
dan proses
ini,
birokrasi
mengabaikan
pembinaan konstitusi, sehingga akan
membahayakan kemampuan masyarakat untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri.
Untuk lebih jelasnya akan terlihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom-up dalam Pembangunan
Pendekatan
Pengelolaan sumberdaya yang
bertumpu pada masyarakat
1. Ciri Khas
Sumber-sumber pemacu adalah
sumber lokal yang diarahkan sendiri
2. Keterandalan
Sumber pusat yang tidak memadai.
Sumber daerah tidak dimanfaatkan
sepenuhnya. Pembangunan
kemampuan lokal untuk ketahanan
dan kepercayaan diri.
3. Keuntungan
Cepat dan mudah
Pemanfaatan daerah sepenuhnya
4. Kerugian
Menciptakan
ketergantungan Sulit dimulai, lamban dan sulit
program pembangunan sosial mengelolanya
berakhir
5. Prioritas
Infrastruktur sistem diberikan Pengikisan kemiskinan.
Sumberpusat sumber -sumber potensial sumber dikerahkan masyarakat lokal
diekplorasi birokrasi pusat
Sumber: Moelyarto, Politik Pembangunan Sebuah analisis konsep arah dan strategi, Tiara
Wacana , Yogyakarta.
Ciri-ciri
Atas-Bawah, Cetak biru Top Down; Blue Print
Segala sumber disediakan
birokrasi
Manakala ada sumber pusat
yang melimpah dan tidak ada
sumber daerah yang
menganggur
34
Tidak jauh berbeda dengan peranan khas yang ditampilkan birokrasi
sebagai entrepreneur dalam proses pembangunan masyarakat, maka dalam
penampilannya sebagai service provider, birokrasi tetap sebagai penentu dalam
menciptakan fasilitas-fasilitas sosial bagi masyarakat secara seragam dan kurang
memberi peluang bagi pemanfaatan sumber daya lokal
dalam pelaksanaan
program-programnya, masyarakat hanya diharapkan menerima secara pasif
pelayanan apapun yang diberikan oleh birokr asi pemerintah sesuai dengan
kebijaksanaan mereka, dengan cara, waktu dan tempat yang ditentukan oleh
birokrasi (Korten, 1985). Masyarakat dipandang tidak memiliki pendapat dan
aspirasi sendiri, tidak berpengalaman dalam pembangunan, hanya sebagai energi
dan bukan sebagai sumber informasi yang penting bagi keberhasilan
pembangunan
sehingga
tidak
menciptakan
partisipasi
masyarakat
dan
menghambat timbulnya suatu self sustaining development dalam pembangunan
desa.
Dengan peranan yang demikian itu, tidak jarang pengabaian birokrasi
terhadap potensialitas partisipasi dan kontribusi masyarakat terhadap pemberian
pelayanan sosial dan fasilitas sosia l akan membatasi kemampuannya
untuk
menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial.
Peranan birokrasi baik sebagai entrepreneur maupun service provider
ternyata kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mandiri dalam
mengelola pembangunannya, untuk mengatasi kelemahan tersebut Korten (1985)
mengemukakan suatu alternatif strategi pembanguna n dan peranan birokrasi yang
khas, yaitu pembangunaan yang berpusat pada manusia (people centered
development), yang tidak hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat,
tetapi juga mengembangkan secara lebih baik kualitas hidup masyarakat, serta
memungkinkan berkurangnya ketergantungan masyarakat pada birokrasi yang
lebih menjamin
tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat dalam
pembangunan.
Sementara itu Thoha (1987) mengatakan bahwa apabila birokrasi ingin
berhasil dalam memainkan peranannya, maka birokrasi harus melihat kenyataan
akan kecendrungaan arah baru proses pembangunan yang bersifat partisipatory,
dengan menekankan model pembangunannya pada pelaksana atau implementasi
35
program-programnya dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran
serta masyarakat dalam proses pembangunan.
Korten menyebut jenis manajemen atau administrasi yang cocok dalam
rangka pelaksanaan model pembangunan dengan community based resource.
Manajemen dengan ciri- ciri sebagai berikut:
1. Secara bertahap pr akarsa dan proses pengambilan keputusan
untuk
memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri.
2. Kemampuan masyarakat
untuk mengelola dan memobilisasi sumber-
sumber yang ada harus ditingkatkan.
3. Memperhatikan variasi lokal
4. Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas
5. Membentuk
net-working
antara
birokrasi
dan
lembaga -lembaga
masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut
fasilitator
diatas, maka peranan birokrasi sebagai
atau enabler dipandang sebagai peranan yang lebih menentukan
pencapaian tujuan, karena sebagai fasilitator, birokrasi melaksanakan perencanaan
bersama dengan masyarakat, dan menempatkan masyarakat sebagai partner yang
memungkinkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam keseluruhan proses
pembangunan, sehingga menimbulkan rasa memiliki, ini berarti peranan birokrasi
sebagai fasilitator memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi
terhadap pembangunan dengan cara: pertama, kemampuan memberi dukungan
atau support, kedua komitmen terhadap program pembangunan, dan ketiga
kepekaan terhadap aspirasi masyarakat.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Pembangunan
merupakan
suatu
proses
perubahan
sosial
dengan
partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk
kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan
dan kuaalitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang
lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungaan mereka (Rogers, 1983)
Dalam pembangunan, kepedulian dominan pada partisipasi telah dikaitkan dengan
sektor ”masyarakat” atau sosial. Sebuah kajian yang sangat berpengaruh pada
36
akhir tahun 1970-an, mendefinisikan partisipasi sebagai ”upaya terorganisasi
untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan lembaga pengatur
dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai
sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu” (Stiefel dan
Wolfe:1994:5 dalam Gaventa dan Valderrama, 2001).
Gaventa dan
Valderrama (2001) mengatakan bahwa belakangan ini,
definisi partisipasi dalam pembangunan sering ditemukaan dalam proyek dan
program pembangunan, sebagai sarana penguatan relevansi, kualitas serta
kesinambungannya.
Dalam sebuah pernyataan yang berpengaruh, kelompok
kajian Bank Dunia mengenai partisipasi mendefinisikan ”partisipasi sebagai
proses dimana pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi
pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang
berdampak pada mereka”. Dari sudut pandang ini, partisipasi dapat dilihat pada
tatanan konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus
proyek, dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan
evaluasi.
Walaupun proyek partisipasi itu bisa saja didanai oleh negara,
partisipasi didalamnya dipandang tidak terkait pada masalah-masalah politik atau
pemerintahan yang lebih luas, namun sebagai cara untuk mendorong tindakan di
luar lingkup pemerintah. Lagi pula, fokusnya lebih pada partisipasi langsung para
pemilik kepentingan utama, dan
bukan pada partisipasi tak langsung melalui
para wakil yang dipilih.
Salah satu cara untuk memahami partisipasi yang dikemukakan Sherry
Arnstein dalam Gaventa dan Valderrama (2001) adalah dengan menggunakan
”tangga partisipasi”.
Walau sudah
20 tahun,
cara ini masih tetap relevan.
Tangga ini memperlihatkan berbagai cara organisasi menyikapi suatu kegiatan,
misalnya suatu Pemerintah
yang dalam
Daerah dapat melibatkan partisipannya (peserta),
hal ini adalah warganya. Untuk melihat tangga partisipasi dapat
dilihat pada Gambar 2 dibawah ini:
37
Pengawasan oleh warga
Pendelegasian kekuasaan
Kekuasaan Warga
Kemitraan
Konsultasi
Menginformasikan
Tokenisme
Penentraman
Manipulasi
Tidak ada partisipasi
Gambar 2: Tangga partisipasi masyarakat dalam program pemerintah. (Sumber.
Gaventa dan Valderrama, Mewujudkan Partisipasi, The British
Council, Jakarta)
Tangga partisipasi diatas membantu kita memahami apa yang dimaksud
oleh seseorang saat mereka berbicara mengenai “partisipasi” atau “keterlibatan”.
Empat tangga dari bawah mengindikasikan besarnya intervensi pemerintah.
Pada tangga manipulasi tergambar bahwa tidak ada partisipasi. Pada tangga
konsultasi, menginformasikan dan pene ntraman
tokenisme, artinya kebijakan sekedarnya
menggambarkan terjadinya
yang berupa
upaya superfisial
(dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian tujuan.
Djohani (1996) dalam Proyek Pengembangan Dataran Tinggi Nusa
Tenggara (KPDTNT) dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA)
menjelaskan bahwa PRA adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan
kajian
untuk memahami keadaan
atau kondisi desa
dengan melibatkan
partisipasi masyarakat. Dengan cita-cita dasar bahwa kegiatan pembangunan
pada akhirnya dikembangkan dan dimiliki sendiri oleh masyarakat, hal ini berarti
yang ikut serta adalah ”orang luar”
pembangunan
masyarakat
pada
yakni
kegiatan
para petugas lembaga -lembaga
masyarakat, bukan sebaliknya,
38
masyarakatlah yang ikut serta pada kegiatan ”orang luar”. Artinya, program
bukan dirancang oleh
orang luar
kemudian masyarakat diminta
ikut
melaksanakan, tetapi program dirancang oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh
orang luar.
Aktivitas pembangunan selalu menempatkan masyarakat sebagai
pelaku utama pembangunan. Yusri (1993) mengemukakan keberhasilan aparatur
pemerintah dalam menghidupkan partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh
nilai efektivitas kepemimpinan aparatur pe merintah tersebut. Makin tinggi nilai
efektivitasnya, akan besar pula peranannya dalam pembangunan. Hal ini dapat
ditafsirkan, bahwa aparatur pemerintah/kepala desa dapat memikirkan peranannya
yang lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan yang sudah
mendapat
simpati
masyarakatnya
dengan
melekatkan
simpati
mereka.
Kemampuan yang tinggi akan tercapai efektivitas yang tinggi pula. Kebijaksanaan
dan kemampuan serta keterampilan kepala desa menjadi pokok masalah dalam
hubungan kerja sama dalam pemba ngunan yang menjadi kunci keberhasilankeberhasilan dalam menghidupkan partisipasi masyarakat, sebab efektivitas itu
suatu bentuk perpaduan nilai.
Konteks yang sangat luas pengertian partisipasi dapat diacu dari pendapat
Davis dalam Huneryager (1992) yang memberikan definisi partisipasi sebagai
berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional
involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group
goals and to share responsibility for them”. Definisi ini mengemukakan tiga hal
pokok yang menjadi perhatian partisipasi, yakni: (1) titik berat keterlibatan
partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional, ini berarti bahwa kehadiran
secara fisik semata-mata didalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan mental dan
emosional bukanlah partisipasi, (2) sumbangan yang diberikan demi tercapainya
tujuan kelompok itu sangat beragam, (3) kesediaan untuk bertanggung jawab
diantara sesama anggota kelompok tersebut terbangkitkan.
Gaffar (1986)
menyatakan hakekat partisipasi adalah kemandirian, artinya setiap individu yang
melakukan kegiatan partisipasi harus berasal dari dirinya sendiri, atas inisiatif atau
kemauan sendiri, kalau seorang individu melakukan kegiatan karena didorong
atau digerakkan orang lain, atau karena merasa khawatir akan konsekuensi kalau
39
tidak melakukan partisipasi, maka apa yang sebenarnya terjadi adalah mobilisasi,
atau istilah populernya partisipasi yang digerakkan.
Perserikatan Bangsa -Bangsa memberikan definisi partisipasi masyarakat
apabila dikaitkan dengan pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna
dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam
proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan
dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b)
pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela,
dan (c)
pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto
(1988) memberikan pengertian partisipasi masyarakat
dalam pembangunan
pedesaan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program-program
sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri mereka sendiri.
Sementara itu Nasikun (1990) mendefinisikan partisipasi menjadi empat
tingkat konseptualis. Pertama , partisipasi pertama-tama harus mengandung arti
keterlibatan
didalam
proses
pengambilan
keputusan-keputusan
kebijakan
pembangunan. Kedua, berkaitan erat dengan bentuk partisipasi yang pertama,
tetapi pengungkapannya terjadi di dalam proses perkembangan program dimana
penduduk lapisan miskin ditempatkaan sebagai konsumen utama dari programprogram pembangunaan pedesaan. Ketiga, lapisan penduduk miskin dilihat
sebagai konstituen program-program pembangunan yang secara politik tidak
berdaya, dan oleh karena itu membutuhkan stimulasi dan dukungan, dan akhirnya
penduduk mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
Keempat,
menuntut keterlibatan penduduk miskin di dalam pekerjaan-pekerjaan
yang
disediakan masyarakat.
Umumnya yang dimaksud partisipasi oleh ilmuwan politik adalah
partisipasi
dalam pembuatan
keputusan, sedang menurut ilmuwan ekonomi,
partisipasi adalah dalam hal menikmati hasil pembangunan, namun yang didapati
pemerintah adalah kecendrungan untuk mengartikan partisipasi sebagai partis ipasi
dalam penerapan keputusan, bukan dalam pembuatan maupun evaluasi. Padahal
menurut Cohen dan Uphoff keempat jenis partisipasi tersebut merupakan suatu
siklus sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut ini:
40
(1) Decision Making
(2) Implementation
(3) Benefit
(4) Evaluasi
Gambar 3. Siklus Partisipasi
Cohen dan Uphoff (1979) dari gambar di atas mendefinisikan empat jenis,
dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan
keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil, serta yang perlu ditambahkan
partisipasi dalam evaluasi. Salah satu syarat yang diajukan Cohen dan Uphoff
adalah ”empowerment”
Efektivitas keikutsertaan warga masyarakat sangat
ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang dipunyainya.
Pembuatan keputusan secara lebih spesifik dalam partisipasi ini berpusat
pada pengumpulan gagasan, perumusan pilihan-pilihan (option), evaluasi pilihan,
tindakan memilih, dan merumuskan strategi untuk melakukan pilihan terhadap
dampak yang timbul. Dalam hal ini dikenal tiga macam tipe keputusan: (1) initial
decisions, (2) on going decisions, dan (3) operational decisions.
Implementasi, untuk berperan serta dalam aspek ini dalam satu program
dapat dilakukan melalui tiga cara yakni: (1) kontribusi sumber daya (recource
contributions), (2) usaha -usaha administrasi dan koordinasi, (3) terlibat dalam
program (programme enlisment activities).
Benefit, terlibat dalam suatu program sedikitnya dapat menarik tiga
macam keuntungan: (1) material, (2) sosial, dan (3) personal.
Keuntungan
material yaitu keuntungan untuk memenuhi kebutuhaan pokok individual.
Keuntungan sosial yaitu, keuntungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
Keuntungan personal biasanya berkaitan dengan keinginan yang bersifat
individual dengan melibatkan diri dalam suatu kelompok/organisasi yang
memiliki kekuasaan maupun sosial dalam suatu program.
Evaluasi, untuk berperan serta dalam evaluasi program dapat dilakukan
melalui dua kegiatan pokok yakni: (1) evaluasi formal terhadap proyek, (2)
41
pendapat umum. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan biasanya dilakukan
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan
lokal begitu mencuat, model pembangunannya menekankan pada pelaksanaan
implementasi program-program dari arus papan bawah, yakni melihat sampai
dimana peran serta masyarakat tidak hanya orang dipengaruhi dan dikenai
pembangunan saja yang menyukai partisipasi, akan tetapi juga para perencana
pembangunan (birokrat pemerintah) menginginkan agar rakyat
berpartisipasi
bukan hanya karena agar bisa menyumba ngkan peran aktifnya dalam setiap
langkah dari proses pembangunan ini, tetapi mulai dari pelaksanaan sampai ke
monitoringnya (Morss, 1976 dalam Thoha, 1987).
Adapun keuntungan yang diperoleh dengan adanya partisipasi dalam
pelaksanaan-pelaksanaan program pembangunan ini antara lain sebagai berikut:
1.
Banyak proyek pembangunan tidak bisa keluar dari lilitan persoalan, jika
rakyat yang dikenai proyek tidak terlibat. Sumber daya lokal merupakan
sumber
daya yang mengetahui kondisi dan potensi daerah.
Jika timbul
masalah hanya orang-orang lokal yang memahaminya.
2.
Dengan partisipasi, planner dilengkapi dengan informasi amat berharga,
yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Dengan kata lain, partisipasi
informasi yang sangat berharga akan diperoleh planner dan para birokrat,
sedangkan cara -cara lain barangkali tidak seberharga partispasi,
3.
Rakyat akan sangat menerima perubahan yang diadakan jika mereka diajak
berperan serta di dalam merancang, mengkonstruksi, melaksanakan, sampai
pada saat mengevaluasi.
Beberapa pendapat yang telah dirangkum diatas, dapatlah dikatakan bahwa
partisipasi telah menjadi mitos pembangunan, meskipun dalam prakteknya setiap
strategi
pembangunan
yang
menampilkan
peranan
khas
birokrasi
pembangunannya, telah pula memberikan variasi dala m mengambil konsep
partisipasi itu, nampaknya pendekatan top-down dan blue print praktis
mengabaikan partisipasi masyarakat, karena pendekatan ini, seluruh kegiatan
pembangunan diprakarsai, diarahkan dan dikontrol oleh pengaruh birokrasi,
sedang masyarakat hanya dimobilisasikan untuk melaksanakan pembangunan.
42
Campur tangan birokrasi lokal yang tampil sebagai mesin utama
pemerintahan dan pembangunan yang sangat dominan dalam keseluruhan proses
pembangunan yang akan dilaksanakan tentunya telah merosotkan arti partisipasi,
sebaliknya pendekatan pengelolaan yang bertumpu pada masyarakat sebagai
derivasi pembangunan yang terpusat pada manusia, sangat memungkinkan adanya
partisipasi yang tidak dimobilisasi yang mengakibatkan re-orientasi birokrasi
pemerintah secara mendasar ke arah keterkaitan yang lebih efektif dengan
komunitas. Menurut Pretty (1994) dalam Swanson et al. (1997) tipologi
partisipasi dalam program pemerintah terdiri atas: (1) partisipasi pasif, (2)
partisipasi informatif, (3) partisipasi konsultatif, (4) partisipasi insentif, (5)
partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi mandiri.
Partisipasi pasif memiliki karakterisitik yaitu: (a) masyarakat menerima
pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi, (b) pengumuman sepihak oleh
pelaksana program tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat sasaran, (c)
informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok
sasaran.
Partisipasi informatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat
menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, (b) masyarakat tidak
mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian proyek,
dan (c) akurasi hasil penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Partisipasi
konsultatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara
berkonsultasi, (b) orang luar mendengarkan, menganalisis masalah
dan
memecahkannya, (c) tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, dan
(d) para profesional
tidak berkewajiban
untuk mengajukan pandangan
masyarakat untuk ditindaklanjuti.
Partisipasi
insentif
memiliki
karakteristik
yaitu:
memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan
(a)
masyarakat
berupa insentif/upah,
(b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran
atau eksperimen-
eksperimen yang dilakukan, dan (c) masyarakat tidak memiliki andil untuk
melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi fungsional
mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat membentuk kelompok untuk
mencapai
tujuan program, (b) pembentukkan kelompok biasanya setelah ada
keputusan-keputusan utama yang disepakati, dan (c) pada tahap awal, masyarakat
43
tergantung
kepada
pihak
luar,
tetapi
secara
bertahap
menunjukkan
kemandiriannya. Partisipasi interaktif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat
berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukkan
atau
penguatan kelembagaan, (b) cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang
mencari
keragaman perspektif dalam proses
belajar yang terstruktur dan
sistematis, dan (c) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
Partisipasi mandiri mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat mengambil
inisiatif sendiri secara bebas
(tidak dipengaruhi
oleh pihak luar)
untuk
mengubah sistem atau nilai- nilai yang mereka junjung, (b) masyarakat
mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan-bantuan/dukungan-dukungan teknis dan sumberdaya yang diperlukan,
dan (c) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada
dan atau digunakan.
Selanjutnya menurut Margono Slamet (2003) dalam bukunya yang
berjudul “ Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan” dikatakan bahwa
setelah me nyadari betapa pentingnya partisipasi, maka perlu kita memikirkan
lebih lanjut syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi
dalam pembangunan. Adapun syarat-syarat tersebut digolongkan sebagai berikut:
(1) adanya kesempatan untuk membangun, (2) adanya kemampuan untuk
memanfaatkan kesempatan, dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi.
Kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang menuju
peningkatan kualitas hidup itu dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain
adanya sumber-sumber daya alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran
yang terbuka (prospek untuk mengembangkan sesuatu), tersedianya modal (uang,
kredit),
tersedianya
sarana
dan
prasarana,
terbukanya
lapangan
kerja
pembangunan dan lain sebagainya. Sedangkan kemampuan untuk memanfaatkan
kesempatan-kesempatan
yang
terbuka
adalah
pengertian,
pengetahuan,
keterampilan, sikap mental yang menunjang dan kesehatan tubuh yang memadai.
Kecuali sumberdaya alam, kesempatan-kesempatan yang lain tentunya harus
dapat diusahakan oleh pengelola-pengelola pembangunan untuk diadakan, dibuka,
disediakan atau dikembangkan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
yang
44
merasa memerlukannya.
Kemampuan
sangat dipengaruhi oleh pengetahuan,
keterampilan dan juga sikap mental.
Pengetahuan dan pengertian tentang
pembangunan sesuatu sampai pada seluk beluk pelaksanaannya sangat perlu bagi
masyarakat sehingga mereka dapat cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada.
Pengetahuan tentang adanya potensi dilingkungannya yang dapat dikembangkan
atau dibangun sangat penting artinya.
Demikian pula pengetahuan dan
keterampilan tentang teknologi tepat guna yang dapat
dimanfaatkan
untuk
mengembangkan sumberdaya alam yang ada untuk dipadukan dengan berbagai
sarana produksi lain sangat penting bagi keberhasilan masyarakat yang
membangun.
45
Download