TINJAUAN PUSTAKA Program Raksa Desa Program Raksa Desa merupakan salah satu program pengembangan masyarakat desa dengan memberdayakan pemerintah dan masyarakat desa dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Penyusunan kriteria dan penentuan desa yang akan memperoleh bantuan guna pembangunan desa ditentukan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, yang mana secara hierarkhi Pemerintah Daerah bekerjasama dengan kecamatan, desa dan RT/RW. Adapun kriteria desa yang memperoleh bantuan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut: 1. Desa miskin, yang ditentukan dengan banyaknya rumah tangga yang berstatus keluarga pra-sejahtera dan sejahtera 1. 2. Desa rawan air bersih, yang ditentukan dengan sumber air bersih bagi kegiatan rumah tangga yang dominan digunakan di desa tersebut (sungai, danau, air hujan, dan rawa). 3. Desa rawan infras truktur jalan, yang ditentukan dengan jenis lapisan jalan yang dominan terdapat di desa tersebut (kerikil, batu, dan tanah) 4. Desa rawan listrik, yang ditentukan oleh proporsi rumah tangga yang berlangganan listrik, baik PLN maupun Non PLN (kurang dari 50 persen). 5. Desa rawan sanitasi, yang ditentukan oleh jenis pembuangan air besar yang dominan digunakan di desa tersebut ( sungai, danau) 6. Desa rawan prasarana pendidikan, yang ditentukan oleh proporsi bangunan Sekolah Dasar rusak berat (lebih dari 40 persen). Pertimbangan lain dalam penentuan desa yang mendapat bantuan dana adalah desa yang belum mendapatkan bantuan program sejenis, seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Proyek Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MD). 18 Tugas Pembantuan kepada Desa ini dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip sebagai berikut: a Kebijakan dan program Raksa Desa ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi. b Dana program Raksa Desa bersifat specific grant dari Pemerintah Propinsi dan penyaluran dana diberikan secara langsung kepada desa. c Tenaga pendamping yaitu fasilitator kecamatan ditetapkan dan didanai oleh Pemerintah Propinsi melalui Satuan Pelaksana Kecamatan. d Penentuan jenis kegiatan serta pelaksanaannya diselenggarakan oleh desa dengan membentuk kelompok kerja sesuai dengan garis kebijakan Propinsi Jawa Barat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat desa yang secara teknis diusulkan oleh desa kepada Satuan Pelaksana Kecamatan. e Pelaporan dan pertanggungjawaban dilakukan oleh desa dan disampaikan secara berjenjang kepada Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi Jawa Barat. f Pemantauan dan pengawasan kegiatan dilakukan oleh Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi bekerjasama dengan Satuan Pelaksana Kabupaten/Kota yang secara operasional dikendalikan dan dikoordinasikan oleh Camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota. g Seluruh kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis maupun administratif, transparansi dan partisipatif. h Hasil kegiatan dapat dilestarikan dan dikembangkan baik oleh pemerintah desa maupun masyarakat di kemudian hari. Pelaksanaan Program Raksa Desa sangat mengutamakan partisipasi masyarakat desa penerima bantuan melalui Satuan Pelaksana (Satlak) Desa dengan pendekatan-pendekatan sebagai berik ut: 1. Mengembangkan peran serta masyarakat melalui pola padat karya dengan memberikan insentif untuk melaksanakan pekerjaan konstruksi sesuai persyaratan teknis. 2. Mengembangkan peran serta masyarakat dalam perguliran ekonomi dengan memberikan dana bagi pengembangan usaha masyarakat desa. 19 Bantuan Program Raksa Desa diberikan dalam bentuk pagu sebesar Rp 100 juta/desa, masing-masing 40 persen untuk perbaikan infrastruktur dan 60 persen untuk perguliran ekonomi yang disalurkan secara langsung ke rekening desa di Bank Jabar. Kepala Desa sebagai Ketua Satuan Pelaksana yang didampingi pengurus lainnya harus mengadakan pertemuan dengan melibatkan unsur masyarakat seperti kelompok masyarakat dan tokoh masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan berikut: 1. Memberikan informasi bantuan Program Raksa Desa kepada masyarakat. 2. Melakukan musyawarah desa untuk mengusulkan prioritas pembangunan infrastruktur dan penentuan prioritas penerima bantuan dana perguliran. Maksud dan Tujuan Program Raksa Desa Maksud Pemerintah Propinsi menyelenggarakan Program Raksa Desa adalah untuk mempercepat pencapaian peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dengan memberdayakan Pemerintah dan Masyarakat Desa dengan mendayagunakan sumberdaya lokal secara mandiri dan sumberdaya pembangunan secara optimal (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun tujuan yang hendak dicapai dari terselenggaranya Program Raksa Desa adalah; a. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar masyarakat. b. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana pendidikan dasar. c. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana dasar perdesaan. d. Meningkatnya kualitas sarana dan prasarana ekonomi perdesaan. e. Meningkatnya ketersediaan permodalan bagi kelompok usaha ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan produksi, kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. f. Meningkatnya kinerja Aparat Desa/Kelurahan. g. Meningkatnya upaya pemerataan pembangunan antar wilayah di Jawa Barat. Satuan Pelaksana Desa Menurut Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 147/KEP.200. DEKON/2003 tentang penyelenggaraan Program Raksa Desa, untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pengelolaan Program Raksa Desa dibentuk kelompok 20 kerja pada setiap tingkatan, yakni Satuan Pelaksana Tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan Tingkat Desa. Adapun untuk penyelenggaraan di tingkat Desa, maka Satuan Pelaksana Desa yang diketuai oleh Kepala Desa bertanggung jawab terhadap Program Raksa Desa. Sesuai petunjuk teknis Program Raksa Desa (2003) diuraikan tugas pokok dan fungsi Satuan Pelaksana Desa sebagai berikut: 1. Menyebarluaskan informasi tentang kegiatan Program Raksa Desa kepada masyarakat di desa. 2. Menyelenggarakan musyawarah Desa ke I dan Ke II. 3. Menampung usulan kegiatan dan usulan penerima bantuan permodalan. 4. Bersama masyarakat menentukan prioritas rencana kegiatan dan penerima bantuan. 5. Melaksanakan kegiatan program (permodalan untuk pemanfaatan bantuan dan pembangunan sarana dan prasarana dasar). 6. Melakukan pemantauan dan pengawasan pelaksanaan kegiatan. 7. Membuat laporan pelaksanaan kegiatan dan laporan pencairan dana triwulan kepada Satuan Pelaksana Kecamatan dan dapat mengirimkan secara langsung kepada Gubernur dengan tembusan kepada Bupati/Walikota dan Camat. Adapun tugas dan tanggung jawab Sarjana Pendamping yaitu: 1. Memberi pengertian dan informasi tentang konsep Program Raksa Desa kepada Desa melalui Forum Musyawarah Desa. 2. Memandu pelaksanaan Forum Musyawarah Desa ke I dan ke II. 3. Membantu Satuan Pelaksana Desa untuk menampung usulan-usulan kegiatan dari Tingkat RW/Dusun. 4. Membantu penyusunan rencana kegiatan dan rencana pelaksanaan. 5. Memberikan bimbingan teknis kepada Satuan Pelaksana Desa. 6. Melaksanakan pemantauan dan pengendalian. 7. Membantu Satuan Pelaksana Desa dalam menyusun dokumen untuk pencairan dana, serta menyusun laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan program. 21 Diseminasi dan Sosialisasi Program Raksa Desa Diseminasi dan sosialisasi Program Raksa Desa dilakukan secara berjenjang yaitu: Sosialisasi di tingkat Propinsi, Kabupaten, Kecamatan, dan sosialisasi di tingkat Desa, serta pelatihan bagi Satuan Pelaksana Kecamatan dan Satuan Pelaksana Desa. Penyebaran informasi Program Raksa Desa dilakukan melalui: 1. Berbagai forum musyawarah dan kegiatan kemasyarakatan antara lain kelompok pengajian, lembaga keagamaan lainnya, dan pemanfaatan papan pengumuman. 2. Media massa, penyebarluasan informasi dilakukan juga oleh Pemerintah Daerah melalui media massa elektronik dan cetak untuk diketahui oleh masyarakat luas. Strategi dan Pendekatan Program Raksa Desa Basis pembangunan nasional adalah pembangunan masyarakat Desa. Berdasarkan basis tersebut Pemerintah Jawa Barat menyadari pentingnya pembangunan masyarakat desa, sebagai langkah tepat dalam meningkatkan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang ditargetkan mencapai angka 80 pada tahun 2010 sesuai dengan visi dan misi Jawa Barat pada umumnya. Posisi demikian, upaya memerankan desa dalam tugas pembantuan sesuai dengan paradigma perencanaan pembangunan yang mengutamakan pendekatan partisipatif. Pendekatan partisipatif ini diharapkan terjadi pelaksanaan pembangunan yang sinergis, efisien dan efektif serta meningkatkan iklim demokrasi pemerintahan dan pembangunan (Pemerintah Propinsi Jawa Barat, 2003). Adapun strategi yang diterapkan oleh Pemerintah Jawa Barat yakni; 1. Mendorong tumbuh dan berkembangnya prakarsa, partisipa si masyarakat serta transparansi. 2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dan organisasi yang berakar pada masyarakat desa. 3. Menjalin sinergi pembangunan desa dalam konteks kewilayahan. 4. Mendorong tumbuhnya kesetiakawanan sosial dalam pembangunan desa. 5. Meningkatkan kontrol sosial masyarakat terhadap program-program pembangunan desa. 22 Pendekatan pelaksanaan Program Raksa Desa adalah sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program dilakukan dengan pembangunan yang bertumpu pada kelompok masyarakat (Community Based Development). 2. Perencanaan prioritas kegiatan sepenuhnya diserahkan pada musyawarah masyarakat desa. 3. Pemberian kredit permodalan bagi masyarakat/kelompok masyarakat yang berusaha dalam skala mikro dan usaha kecil. 4. Pembangunan infrastruktur dasar perdesaan diarahkan pada pembangunan infrastruktur yang dapat mengungkit secara signifikan tingkat ekonomi masyarakat serta meningkatkan aksesibilitas masyarakat pada pelayanan kesehatan, pendidikan dasar serta sumberdaya ekonomi. Proses Komunikasi Menurut Mulyana (2003) terdapat tiga kerangka pemahaman mengenai komunikasi, yaitu: (1) komunikasi sebagai tindakan satu arah, (2) komunikasi sebagai interaksi, dan (3) komunikasi sebagai transaksi. Komunikasi Sebagai Tindakan Satu Arah. Pemahaman komunikasi sebagai proses satu arah disebutkan oleh Micheal Burgoon, sebagai “definisi berorientasi sumber” (source komunikasi sebagai kegiatan meyampaikan ransangan oriented yang guna definition) sengaja yang dilakukan membangkitkan mengisyaratkan seseorang respons orang untuk lain. Konseptualisasi komunikasi sebagai tindakan satu arah ini mengisyaratkan bahwa semua kegiatan komunikasi bersifat persuasif. Model komunikasi linear merupakan konsep komunikasi yang paling sederhana, yang dimaknai sebagai proses komunikasi sepihak. Pada mode l ini komunikasi terjadi karena ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang lain. Pengirim pesan menstimuli sehingga penerima pesan merespon sesuai yang diharapkan tanpa melakukan proses seleksi dan inte rpretasi lebih lanjut. Kejadian ini sesuai dengan ide dasar pembuatan model linear yang didesain berdasar sistem telepon (model Claude Shanon dan Warren, 1949) dalam Mulyana (2003), seperti Gambar 1 berikut: 23 Sumber Pesan Saluran Penerima Gambar 1. Model Komunikasi Linear Gambar ini memperlihatkan bahwa komunikasi yang terjadi bersifat satu arah, yakni dari sumber pesan kepada penerima pesan. Model komunikasi ini lebih tepat digunakan menyampaikan informasi yang lebih bersifat instruksi atau indoktrinasi. Komunikasi Sebagai Interaksi. Pandangan komunikasi sebagai interaksi ini menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi yang arahnya bergantian dan lebih dinamis. Komunikasi ini dianggap sedikit lebih dinamis daripada komunikasi satu arah, meskipun masih membedakan para komunikate sebagai komunikator dan komunikan, artinya masih tetap berorientasi sumber, meskipun kedua peran itu dianggap bergantian. Sehingga proses interaksi yang berlangsung pada dasarnya juga masih bersifat mekanis dan statis. Model interaktif menganggap komunikasi sebagai suatu transaksi yang terjadi antar komunikan yang saling berkontribusi pada terjadinya suatu transaksi walaupun dalam beda peringkat intensitas. Teori ini digambarkan dalam tiga bentuk yaitu (1) lingkaran tumpang tindih, (2) heliks dan (3) Ziczac. Menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) lingkaran tumpang tindih mengindikasikan bahwa dalam setiap kegiatan komunikasi akan selalu ditemukan lebih dari dua komunikan dalam suatu situasi komunikasi. Dengan demikian akan ada pada suatu saat sejumlah lingkaran komunikan atau ruang kehidupan yang tumpang tindih. Model heliks menurut Dance (1967) dalam Jahi (1993) menunjukkan kegiatan komunikasi di kalangan komunikan yang menimbulkan situasi konvergen. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu (1) komunikan bergerak menuju ke suatu arah dalam arti saling memahami pesan yang disampaikan, dan (2) seorang partisipan mungkin bergerak menuju arah berbeda. Proses konvergen tidak selalu be rarti harus ada komitmen terhadap persoalan atau permasalahan yang dikomunikasikan, karena lebih merupakan suatu proses saling memahami dengan lebih baik, tentang segala sesuatu yang dikomunikasikan. 24 Model ziczac menurut Schramm (1973) dalam Jahi (1993) menunjukkan situasi kegiatan komunikasi sebagai proses interaktif melalui pertukaran tandatanda informasi baik verbal, nonverbal, atau paralinguistik. Model ini diperlukan adanya waktu untuk meyakinkan diri bahwa komunikan sedikit banyak telah memahami apa yaang dimaksud yang dimungkinkan oleh persoalan pemakaian iterasi. Peristiwa komunikasi dalam model ziczac lebih mendekati dengan proses negosiasi. Komunikasi Sebagai Transaksi. Dalam konteks komunikasi ini, proses penyandian (encoding) dan penyandian balik (decoding) bersifat spontan dan simultan diantara para komunikate. Semakin banyak orang yang berkomunikasi semakin rumit transaksi komunikasi yang terjadi karena akan terdapat banyak peran, hubungan yang lebih rumit, serta lebih banyak pesan verbal dan non verbal. Kelebihan konseptualisasi komunikasi sebagai transaksi adalah komunikasi tersebut tidak membatasi komunikan pada komunikasi yang disengaja atau respon yang dapat diamati. Dalam komunikasi transaksional, komunikasi dianggap telah berlangsung bila seseorang telah menafsirkan perilaku orang lain, baik perilaku verbal maupun perilaku non verbal. Artinya konseptualisasi komunikasi ini lebih sesuai untuk konteks komunikasi interpersonal karena lebih bersifat dinamis dan para pela ku komunikasi tidak dibedakan antara sumber dan penerima, melainkan semuanya saling berpartisipasi dalam interaksi sebagai partisipan komunikasi. Ketiga konsep pemahaman komunikasi tersebut sangat dipengaruhi oleh ketepatan komunikasi (fidelity of communication). Dengan ketepatan komunikasi yang tinggi, para komunikate akan memperoleh apa yang mereka kehendaki dari tujuan berkomunikasinya. Komunikator akan puas karena pesan yang disampaikan dapat diterima dan dilaksanakan komunikan seperti yang dikehenda ki, dan komunikanpun akan puas karena pesan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan. Ketepatan komunikasi tersebut merupakan indikator dari efektifitas komunikasi Berlo (1960) mengemukakan, ada enam elemen dasar yang menentukan efektivitas komunikasi yaitu: sumber - encoder, pesan, saluran, dan penerima pesan – dekoder. 25 (a) Sumber - encoder Agar komunikasi menjadi efektif, seorang komunikator dalam proses berkomunikasi harus menentukan strategi bagaimana cara mempengaruhi komunikannya dan menganalisis pesan yang diterima sebelum memberi respon (encoding) terhadap pesan balik yang diterimanya. Ketepatan komunikasi sumber ditentukan oleh empat faktor yaitu: (1) keterampilan komunikasi (communication skills) secara lisan dan tulisan, (2) sikap jujur dan bersahabat (attitude), (3) tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan (knowledge), dan (4) mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikan. Menurut Berlo (1960) terdapat lima keterampilan komunika si verbal yaitu menulis, dan berbicara (keterampilan meng -encoding ), keterampilan membaca, dan mendengar/menyimak (keterampilan meng-decoding), serta pemikiran atau pertimbangan (thought or reasoning) merupakan keterampilan yang paling penting di dalam meng-encoding maupun meng-decoding pesan. Sikap komunikator (attitude), Sikap seorang komunikator yang bersahabat, hangat dan jujur sangat mempengaruhi efektifitas komunikasi. Menurut Berlo (1960), sikap komunikator mempengaruhi kebiasaannya berkomunikasi. Berlo mengartikan kata “sikap” dalam arti sempit dengan menjawab pertanyaan: How do the attitude of the source effect communication? Selanjutnya Berlo menjabarkan sikap komunikator menjadi tiga sikap yaitu: (1) sikap terhadap diri sendiri (attitude toward self), yang berkaitan dengan kepribadian individu dalam berkomunikasi; (2) sikap terhadap materi (pesan) yang dikomunikasikan (attitude toward subject matter). Bila seorang komunikator tidak yakin terhadap subject matternya, maka hal ini akan menyulitkan dia berkomunikasi secara efektif tentang subjek/materi itu. (3) sikap terhadap komunikan (attitude toward receiver). Sikap komunikator pada komunikannya berpengaruh terhadap komunikasi diantara mereka. Berlo mengilustrasikan; Bila pembaca atau pendengar menyadari bahwa apa yang ditulis/dibicarakan sama seperti yang mereka rasakan, maka kritik terhadap pesan yang dibaca/didengar akan sangat minim. Artinya kemungkinan besar pesan yang disampaikan oleh 26 penulis atau pembicara akan diterima oleh komunikan bila pesan itu sesuai kebutuhan mereka. Sedangkan pengertian sikap dalam konteks perilaku organisasi menurut Robbins (2001) adalah pernyataan evaluatif mengenai objek, orang atau peristiwa. Sikap tidak sama dengan nilai, tapi keduanya saling berhubungan. Saling keterhubungan antara sikap dan nilai tersebut dapat dilihat pada tiga komponen dari suatu sikap yaitu: (1) pengertian (understanding), (2) keharusan (affection), dan (3) perilaku (behavior). Komponen kognitif suatu sikap merupakan segmen pendapat atau keyakinan akan suatu sikap. Komponen afektif merupakan segmen emosional atau perasaan dari suatu sikap, sedangkan komponen perilaku suatu sikap merupakan suatu maksud untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu. Lebih lanjut Robbins menegaskan bahwa istilah sikap (attitude) pada hakekatnya merujuk ke bagian afektif dari tiga komponen tersebut. Bila kita kaitkan pengertian istilah sikap yang dikemukakan oleh Robbins dengan istilah sikap komunikator yang dikemukakan Berlo, maka dapat disimpulkan bahwa implementasi istilah sikap komunikator lebih mengarah pada komponen perilaku (behavior ) dari sikap. Sedangkan dalam perilaku organisasi, istilah sikap lebih mengarah pada komponen afektifnya. Tingkat pengetahuan (knowledge). Seorang komunikator harus memiliki tingkat pengetahuan yang luas tentang materi yang dikomunikasikan sehingga dia kredibel dimata khalayaknya. seorang Menurut Aristoteles dalam Cangara (2000), komunikator itu kredibel apabila memiliki ethos, pathos dan logos. Ethos ialah kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya. Pathos adalah kekuatan yang dimiliki pembicara dalam mengendalikan emosi pendengarnya. Sedangkan Logos ialah kekuatan yang dimiliki melalui argumentasinya (argumentasi kuat bila ditunjang tingkat pengetahuan yang luas). Memperluas pendapat Aristoteles, McCroskey, 1966 dalam Cangara (2000) mengungkapkan bahwa kredibilitas seorang komunikator dapat bersumber dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intension), kepribadian (personality), dan dinamika (dynamism). Kompetensi ialah penguasaan komunikator terhadap masalah yang dibahas 27 (tingkat pengetahuan terhadap materi yang cukup luas). Sikap menunjukkan pribadi komunikator apakah tegar atau toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apakah hal-hal yang disampaikan itu memiliki maksud baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah komunikator memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat. Sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru membosankan. Mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) komunikannya. Berlo menyatakan bahwa derajat pesan yang dapat diserap oleh penerima dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya adalah sistem sosial budaya penerima. Karena itu seorang komunikator seyogyanya memahami sistem sosial budaya komunikannya. (b) Pesan Berlo (1960) menegaskan pesan adalah sebagian produk fisik aktual (actual physical product) dari komunikator -komunikan. Ketika seseorang berpidato, menulis, menggambar, dan menggerakan anggota tubuh sebagai isyarat, maka isi pidato, tulisan, gambar, dan menggerakkan tangan serta ekspresi wajahnya merupakan pesan. Tiga faktor yang terkandung dalam pesan adalah kode pesan, isi pesan dan perlakukan pesan. Ketiga faktor tersebut ditinjau dari elemen dan struktur dari masing-masing faktor (elemen dan struktur dari kode pesan, elemen dan struktur dari isi pesan serta elemen dan struktur dari perlakukan pesan). Eleme n dan struktur pesan. elemen-elemen pesan. Struktur pesan merupakan gabungan dari Misalnya kita menulis sebuah kata Buku maka Buku merupakan struktur yang tersusun dari elemen-elemen huruf b,u, k dan u. Hal yang penting diketahui dalam komunikasi adala h perbedaan antara bentuk (struktur) dan substansi (elemen) dalam proses komunikasi. Berlo menyatakan, perlu diperjelas dan menjadi bahan perdebatan dalam komunikasi, mana yang lebih penting antara ide (elemen) atau organisasi ide (struktur). Kode pesan. Pesan yang dikirim komunikator kepada komunikan terdiri atas rangkaian simbol dan kode. Simbol adalah lambang yang memiliki suatu objek. Sedangkan kode adalah simbol yang tersusun secara sistematis dan teratur sehingga memiliki arti. Dengan demikian simbol yang tidak memiliki arti 28 bukanlah kode (Berlo, 1960 dalam Cangara, 2000). Lampu pengatur lalu lintas (Traffic light) adalah simbol polisi lalu lintas, sedangkan simbol warna adalah kode bagi pemakai jalan. Ketika kita meng-encode pesan, kita harus memutuskan kode yang akan digunakan meliputi (1) kode yang mana saja, (2) elemen kode yang mana, dan (3) metode struktur elemen dari kode mana yang kita pilih. Tujuan pemilihan tersebut adalah agar pesan dapat diterima komunikan tanpa distorsi. Isi pesan. Isi pesan merupakan materi pesan yang terseleksi oleh komunikator untuk mengekspresikan tujuan. Yang termasuk isi pesan adalah pernyataan/pemaknaan yang kita buat, informasi yang kita tampilkan, kesimpulan yang kita buat, dan pembenaran (judgments) yang kita maksud dalam pesan. Perlakuan pesan. Perlakuan pada pesan adalah keputusan komunikator untuk memilih dan menyusun kode dan isi pesan yang dikirim. Faktor penentu perlakuan pada pesan adalah kepribadian, karakter individu, keterampilan, sikap, pengetahuan, budaya, dan status dalam sistem sosial. Perlakuan pesan bisa juga disimpulkan sebagai cara komunikator menyusun kode dan isi pesan. Berlo menambahkan kita dapat mengidentifikasi individu berdasarkan karakter perilaku pesan melalui tulisan seseorang, musik yang dihasilkan, dll. Kemudian menganalisis pesan yang disampaikan dari segi kode, isi dan perlakuan pesan. Jadi karakter individu dapat dianalisis melalui pesan yang dihasilkan. (c) Saluran (channel) Saluran komunikasi adalah alat untuk menyalurkan pesan dari komunikator ke komunikan. Roger dan Shoemaker (1971) membedakan saluran komunikasi atas dua jenis yaitu (1) saluran media massa, dan (2) saluran interpersonal. Saluran media massa adalah alat penyampai pesan yang memungkinkan pencapaia n komunikan dalam jumlah besar, yang dapat menembus batas waktu dan ruang seperti radio, televisi, koran dan sebagainya. Sedangkan saluran interpersonal merupakan saluran komunikasi melalui pertemuan tatap muka antara komunikator dan komunikan. Hanafi (1986) dalam bukunya Memasyarakatkan Ide-ide Baru menambahkan, saluran interpersonal dapat bersifat kosmopolit dan lokalit. Saluran interpersonal kosmopolit adalah saluran komunikasi yang melibatkan 29 komunikator yang berasal dari luar sistem sosial komunikan. Sedangkan saluran interpersonal lokalit adalah saluran komunikasi dimana komunikator berasal dari dalam sistem sosial komunikan. Penentuan dan penggunaan saluran komunikan yang tepat sangatlah penting di dalam proses penyampaian informasi. Saluran komunikasi media massa lebih efektif digunakan pada tahap pengenalan suatu ide/teknologi. Dimana saluran tersebut berfungsi untuk menyampaikan informasi/pengetahuan (knowledge) kepada khalayak dalam jumlah yang besar. Sedangkan saluran komunikasi interpersonal lebih tepat digunakan pada tahapan persuasi karena kontak antara komunikator dan komunikan lebih banyak bersifat pribadi, sehingga saluran interpersonal dapat memainkan peranan penting pada tahap persuasi. Jadi perbedaan kedua saluran tersebut pada da mpak (efek) yang ditimbulkan. Media interpersonal mempunyai efek yang tinggi pada pembentukan dan perubahan sikap dan rendah pada kognitif. Sedangkan media massa berefek tinggi pada kognitif dan rendah pada pembentukkan dan perubahan sikap komunikan (audience). Penggunaan saluran komunikasi ternyata berbeda antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hanafi (1986) bahwa di negara berkembang media interpersonal masih memegang peranan penting dalam tahap pengenalan suatu ide/teknologi, terutama saluran interpersonal kosmopolit. Hal tersebut menurut Hanafi kemungkinan disebabkan oleh (1) kurang tersedianya media massa yang dapat menjangkau komunikasi di wilayah perdesaan, (2) masih tingginya tingkat buta huruf penduduk, dan (3) tidak relevannya pesan-pesan yang dimuat media massa itu dengan kebutuhan masyarakat, atau (4) mungkin media massa lebih dipandang sebagai sarana hiburan daripada sebagai media informasi. (d) Komunikan Komunikan biasa disebut juga dengan is tilah penerima pesan, decoder, khalayak, sasaran, audience dan lain sebagainya. Komunikan merupakan salah satu faktor dalam proses komunikasi. Berhasil tidaknya proses komunikasi sangat ditentukan oleh komunikan. 30 Komunikasi dalam studi komunikasi bisa be rupa individu, kelompok dan masyarakat (Cangara, 2000). Karena itu sebelum memulai proses komunikasi seorang komunikator harus mengetahui siapa dan bagaimana khalayaknya. Lebih lanjut Cangara menambahkan ada tiga aspek yang perlu diketahui komunikator te ntang komunikannya yaitu: aspek sosiodemografik, aspek profil psikologi, dan aspek karakteristik perilaku. Aspek sosiodemografik antara lain adalah: jenis kelamin, usia, jumlah populasi, lokasi, tingkat pendidikan, bahasa yang digunakan, agama, pekerjaan, ideologi, dan pemilikan media massa. Aspek profil psikologis ialah memahami komunikan dari segi kejiwaan seperti: emosi (bagaimana temperamennya), bagaimana pendapat-pendapat mereka, adakah keinginan mereka yang perlu dipenuhi, dan sebagainya. Sedangkan dari aspek karakteristik perilaku komunikan yang perlu diketahui diantaranya adalah hobi, nilai dan norma, mobilitas sosial, dan perilaku komunikasi, kebiasaan suka berterus terang atau tidak. Terlepas dari hal itu semua, perlu diingat bahwa derajat pesan yang dapat diserap (didecode) oleh komunikan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi, tingkat pengetahuan, dan sistem sosial budaya komunikan. Sama halnya dengan komunikator seperti penjelasan sebelumnya. Selama terjadi perbedaan kerangka acuan dan kerangka pengalaman yang mendasari sikap individu, memungkinkan terjadinya perbedaan persepsi tentang manfaat program yang diintroduksikan pada individu bersangkutan. Dengan kata lain, persepsi individu terhadap suatu stimuli bukan ditentukan oleh jenis atau bentuk stimuli, melainkan oleh karakteristik individu yang memberikan respon pada stimuli tersebut (Rakhmat, 2000) Menurut hasil penelitian Widatri (1995) tentang ”Birokrasi Lokal dan Partisipasi Masyarakat” dikata kan bahwa komunikasi sebagai faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, pada dasarnya merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi di dalam organisasi birokrasi lokal, baik komunikasi dari atas ke bawah maupun dari bawah keatas. Sastropoetro (1988) mengatakan bahwa sikap masyarakat dalam berpartisipasi ditentukaan oleh karakteristik dan intensitas komunikasinya. Muliawati (1993) 31 mengatakan orang yang berpendidikan tinggi mempunyai partisipasi yang tinggi di dalam pembangunan, karena dengan berpendidikan tinggi ia mampu menganalisa serta aktif terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemanfaatan. Soemantri (1998) menjelaskan bahwa intensitas komunikasi berpengaruh pada perilaku petani, semakin tinggi intensitas komunikasi, maka semakin tinggi partisipasinya. Peranan Pemerintah dalam Pembangunan Di kebanyakan negara di Dunia Ketiga, Birokrasi pemerintahan merupakan suatu alat pembangunan yang paling dominan peranannya (Effendi, dalam Percikan Pemikiran Fisipol UGM tentang Pembangunan 1990). Dominasi birokrasi ini terjadi bukan semata-mata karena kelemahan sektor swasta dan preferensi ideologi di negara -negara tadi, tetapi lebih karena luasnya jangkauan birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi memiliki fungsi integratif yang sangat besar. Sulit dan kompleknya peranan birokrasi di negara dunia ketiga diantaranya disebabkan karena birokrasi di negara dunia ketiga tidak hanya berfungsi untuk menjaga, mengatur serta mempeluas infrastruktur sosial bagi masing-masing masyarakat, tetapi juga bertugas untuk melaksanakan keputusan pimpinan politik, yang praktis harus dimulai dari menyusun rencana, melaksanakannya sampai dengan memelihara segala program pembangunan. Keberhasilan pembangunan tergantung pada kemampuan birokrasi, sementara dipihak lain proses pembangunan juga menentukan corak perkembangan birokrasi, dalam arti semakin cepat gerakan roda pembangunan, maka semakin besar pula peran birokrasi tersebut. Pentingnya birokrasi dalam pembangunan ini juga dikemukakan oleh Moelyarto (1987) dengan mengajukan premis dalam makalahnya yang berjudul Budaya Birokrasi dalam Kontek Tranformasi Struktural antara harapan dan Kenyataan, antara lain menyebutkan birokrasi menduduki posisi strategis instrumental untuk mewujudkan pembangunan suatu negara, value premis ini disimpulkan, bahwa secara normatif, semua elemen birokrasi, seperti struktur dan kultur birokrasi, complience system, working norms, prosedur kerja, serta client relationship mengacu pada tujuan pembangunan nasional, tujuan pembangunan nasional juga dapat berubah, maka 32 sosok dari elemen-elemen birokrasi tadi seharusnya juga merefleksikan perubahan tadi. Birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk mencapai pertumbuhaan ekonomi setinggi-tingginya, misalnya seharusnya mempunyai karakteristik lain dari birokrasi sebagai wahana strategis instrumental untuk mengemban tugas untuk melaksanakan pembangunan sumber daya manusia. Posisi dominan yang dimiliki oleh birokrasi tersebut makin memperoleh justifikasi, apabila dihubungkaan dengan konteks sosio-kultural dan ekonomi negara-negara dunia ketiga. Karakteristik dunia ketiga yang disamakan dengan kemiskinan merupakan salah satu faktor yang memandang birokrasi untuk tampil sebagai pelopor pembangunan (Ndraha, 1987). Kemiskinan, kemelaratan dan sebagainya tentu saja sangat menurunkan semangat dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan, maka pada fase awal, prakarsa pembangunan hanya diharapkan dan agen organisasi ya ng menonjol, hal ini dimungkinkan karena birokrasi mempunyai kewenangan manusia dan sebagainya. dalam hal dana, teknologi, sumber daya Didorong oleh realitas interaksi semacam ini, maka strategi ”Top Down” dalam pelaksanaan pembangunan yang sering juga disebut dengan pendekatan birokratis, dapat berlangsung terus, dan lama kelamaan prakarsa pemerintah dalam pembangunan menjadi suatu pola dan kemudian melembaga sebagai sistem. Aplikasi model-model tersebut diatas tidak jarang menghasilkan programprogram pembangunan yang bukan hanya mengabaikan tetapi juga menurunkan kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi melalui inisiatif lokal dan lebih dari itu membuat mereka menjadi sangat tergantung kepada birokrasi-birokrasi yang terpusat, yang memiliki absorbsi sumber daya yang sangat besar akan tetapi tidak memiliki kepekaan untuk menanggulangi kebutuhan-kebutuhan lokal. Terdapat tiga karakteristik utama peranan birokrasi dalam setiap strategi pembangunan seperti dikemukakan Korten (1985), dalam Moelyarto (1987) yaitu: pertama, dalam strategi pertumbuhan, birokrasi berperanan sebagai entrepreneur, kedua, dalam strategic basic needs, birokrasi berperanan sebagai service provider dan yang ketiga, dalam strategic people centered, birokrasi berperanan sebagai enabler atau fasilitator. 33 Sebagai entrepreneur, birokrasi tampil dalam proses pembangunan dengan menerapkan blue-print approach dan top-down , serta merumuskan proyek yang bersifat stereotip dan seragam. Ini dapat dilihat dalam aplikasi model pembangunan dalam P elita I dan II, yang terbukti efektif dalam meningkatkan pertumbuhan eknomi, hal ini memang merupakan suatu keuntungan dari penerapan pendekatan ”atas- bawah” dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam penerapan pendekatan atas bawah posisi birokrasi begitu kuat dan dominan, karena dia berperan sebagai ”agen tunggal” yang ditangannya terkonsentrasi kekuasaan di dalam mengelola pembangunan, kekuatan diluar birokrasi dipandang rendah, sehingga tidak dapat diharapkan peran sertanya dalam proses pembangunan. Hal ini disebabkan masyarakat kurang mempunyai ”rasa memiliki” dan menjadi terasing terhadap suatu proyek yang sebetulnya diperuntukkan bagi mereka sendiri. Proyek tersebut menjadi proyek pemerintah, sehingga proyek berakhir bersamaan dengan berakhirnya campur tangan birokrasi. Dalam peranannya sebagai pembentukkan kemampuan entrepreneur dan proses ini, birokrasi mengabaikan pembinaan konstitusi, sehingga akan membahayakan kemampuan masyarakat untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Untuk lebih jelasnya akan terlihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Perbedaan Pendekatan Top-down dan Bottom-up dalam Pembangunan Pendekatan Pengelolaan sumberdaya yang bertumpu pada masyarakat 1. Ciri Khas Sumber-sumber pemacu adalah sumber lokal yang diarahkan sendiri 2. Keterandalan Sumber pusat yang tidak memadai. Sumber daerah tidak dimanfaatkan sepenuhnya. Pembangunan kemampuan lokal untuk ketahanan dan kepercayaan diri. 3. Keuntungan Cepat dan mudah Pemanfaatan daerah sepenuhnya 4. Kerugian Menciptakan ketergantungan Sulit dimulai, lamban dan sulit program pembangunan sosial mengelolanya berakhir 5. Prioritas Infrastruktur sistem diberikan Pengikisan kemiskinan. Sumberpusat sumber -sumber potensial sumber dikerahkan masyarakat lokal diekplorasi birokrasi pusat Sumber: Moelyarto, Politik Pembangunan Sebuah analisis konsep arah dan strategi, Tiara Wacana , Yogyakarta. Ciri-ciri Atas-Bawah, Cetak biru Top Down; Blue Print Segala sumber disediakan birokrasi Manakala ada sumber pusat yang melimpah dan tidak ada sumber daerah yang menganggur 34 Tidak jauh berbeda dengan peranan khas yang ditampilkan birokrasi sebagai entrepreneur dalam proses pembangunan masyarakat, maka dalam penampilannya sebagai service provider, birokrasi tetap sebagai penentu dalam menciptakan fasilitas-fasilitas sosial bagi masyarakat secara seragam dan kurang memberi peluang bagi pemanfaatan sumber daya lokal dalam pelaksanaan program-programnya, masyarakat hanya diharapkan menerima secara pasif pelayanan apapun yang diberikan oleh birokr asi pemerintah sesuai dengan kebijaksanaan mereka, dengan cara, waktu dan tempat yang ditentukan oleh birokrasi (Korten, 1985). Masyarakat dipandang tidak memiliki pendapat dan aspirasi sendiri, tidak berpengalaman dalam pembangunan, hanya sebagai energi dan bukan sebagai sumber informasi yang penting bagi keberhasilan pembangunan sehingga tidak menciptakan partisipasi masyarakat dan menghambat timbulnya suatu self sustaining development dalam pembangunan desa. Dengan peranan yang demikian itu, tidak jarang pengabaian birokrasi terhadap potensialitas partisipasi dan kontribusi masyarakat terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosia l akan membatasi kemampuannya untuk menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari piramida sosial. Peranan birokrasi baik sebagai entrepreneur maupun service provider ternyata kurang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mandiri dalam mengelola pembangunannya, untuk mengatasi kelemahan tersebut Korten (1985) mengemukakan suatu alternatif strategi pembanguna n dan peranan birokrasi yang khas, yaitu pembangunaan yang berpusat pada manusia (people centered development), yang tidak hanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tetapi juga mengembangkan secara lebih baik kualitas hidup masyarakat, serta memungkinkan berkurangnya ketergantungan masyarakat pada birokrasi yang lebih menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat dalam pembangunan. Sementara itu Thoha (1987) mengatakan bahwa apabila birokrasi ingin berhasil dalam memainkan peranannya, maka birokrasi harus melihat kenyataan akan kecendrungaan arah baru proses pembangunan yang bersifat partisipatory, dengan menekankan model pembangunannya pada pelaksana atau implementasi 35 program-programnya dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat dalam proses pembangunan. Korten menyebut jenis manajemen atau administrasi yang cocok dalam rangka pelaksanaan model pembangunan dengan community based resource. Manajemen dengan ciri- ciri sebagai berikut: 1. Secara bertahap pr akarsa dan proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan harus diletakkan pada masyarakat sendiri. 2. Kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber- sumber yang ada harus ditingkatkan. 3. Memperhatikan variasi lokal 4. Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas 5. Membentuk net-working antara birokrasi dan lembaga -lembaga masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut fasilitator diatas, maka peranan birokrasi sebagai atau enabler dipandang sebagai peranan yang lebih menentukan pencapaian tujuan, karena sebagai fasilitator, birokrasi melaksanakan perencanaan bersama dengan masyarakat, dan menempatkan masyarakat sebagai partner yang memungkinkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan, sehingga menimbulkan rasa memiliki, ini berarti peranan birokrasi sebagai fasilitator memberi peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi terhadap pembangunan dengan cara: pertama, kemampuan memberi dukungan atau support, kedua komitmen terhadap program pembangunan, dan ketiga kepekaan terhadap aspirasi masyarakat. Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Pembangunan merupakan suatu proses perubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kuaalitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungaan mereka (Rogers, 1983) Dalam pembangunan, kepedulian dominan pada partisipasi telah dikaitkan dengan sektor ”masyarakat” atau sosial. Sebuah kajian yang sangat berpengaruh pada 36 akhir tahun 1970-an, mendefinisikan partisipasi sebagai ”upaya terorganisasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap sumberdaya dan lembaga pengatur dalam keadaan sosial tertentu, oleh pelbagai kelompok dan gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan dari fungsi pengawasan semacam itu” (Stiefel dan Wolfe:1994:5 dalam Gaventa dan Valderrama, 2001). Gaventa dan Valderrama (2001) mengatakan bahwa belakangan ini, definisi partisipasi dalam pembangunan sering ditemukaan dalam proyek dan program pembangunan, sebagai sarana penguatan relevansi, kualitas serta kesinambungannya. Dalam sebuah pernyataan yang berpengaruh, kelompok kajian Bank Dunia mengenai partisipasi mendefinisikan ”partisipasi sebagai proses dimana pemilik kepentingan (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi pengawasan atas inisiatif dan keputusan pembangunan serta sumberdaya yang berdampak pada mereka”. Dari sudut pandang ini, partisipasi dapat dilihat pada tatanan konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek, dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Walaupun proyek partisipasi itu bisa saja didanai oleh negara, partisipasi didalamnya dipandang tidak terkait pada masalah-masalah politik atau pemerintahan yang lebih luas, namun sebagai cara untuk mendorong tindakan di luar lingkup pemerintah. Lagi pula, fokusnya lebih pada partisipasi langsung para pemilik kepentingan utama, dan bukan pada partisipasi tak langsung melalui para wakil yang dipilih. Salah satu cara untuk memahami partisipasi yang dikemukakan Sherry Arnstein dalam Gaventa dan Valderrama (2001) adalah dengan menggunakan ”tangga partisipasi”. Walau sudah 20 tahun, cara ini masih tetap relevan. Tangga ini memperlihatkan berbagai cara organisasi menyikapi suatu kegiatan, misalnya suatu Pemerintah yang dalam Daerah dapat melibatkan partisipannya (peserta), hal ini adalah warganya. Untuk melihat tangga partisipasi dapat dilihat pada Gambar 2 dibawah ini: 37 Pengawasan oleh warga Pendelegasian kekuasaan Kekuasaan Warga Kemitraan Konsultasi Menginformasikan Tokenisme Penentraman Manipulasi Tidak ada partisipasi Gambar 2: Tangga partisipasi masyarakat dalam program pemerintah. (Sumber. Gaventa dan Valderrama, Mewujudkan Partisipasi, The British Council, Jakarta) Tangga partisipasi diatas membantu kita memahami apa yang dimaksud oleh seseorang saat mereka berbicara mengenai “partisipasi” atau “keterlibatan”. Empat tangga dari bawah mengindikasikan besarnya intervensi pemerintah. Pada tangga manipulasi tergambar bahwa tidak ada partisipasi. Pada tangga konsultasi, menginformasikan dan pene ntraman tokenisme, artinya kebijakan sekedarnya menggambarkan terjadinya yang berupa upaya superfisial (dangkal, pada permukaan) atau tindakan simbolis dalam pencapaian tujuan. Djohani (1996) dalam Proyek Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara (KPDTNT) dengan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) menjelaskan bahwa PRA adalah suatu cara yang digunakan dalam melakukan kajian untuk memahami keadaan atau kondisi desa dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Dengan cita-cita dasar bahwa kegiatan pembangunan pada akhirnya dikembangkan dan dimiliki sendiri oleh masyarakat, hal ini berarti yang ikut serta adalah ”orang luar” pembangunan masyarakat pada yakni kegiatan para petugas lembaga -lembaga masyarakat, bukan sebaliknya, 38 masyarakatlah yang ikut serta pada kegiatan ”orang luar”. Artinya, program bukan dirancang oleh orang luar kemudian masyarakat diminta ikut melaksanakan, tetapi program dirancang oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar. Aktivitas pembangunan selalu menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan. Yusri (1993) mengemukakan keberhasilan aparatur pemerintah dalam menghidupkan partisipasi masyarakat akan ditentukan oleh nilai efektivitas kepemimpinan aparatur pe merintah tersebut. Makin tinggi nilai efektivitasnya, akan besar pula peranannya dalam pembangunan. Hal ini dapat ditafsirkan, bahwa aparatur pemerintah/kepala desa dapat memikirkan peranannya yang lebih besar dalam melaksanakan program pembangunan yang sudah mendapat simpati masyarakatnya dengan melekatkan simpati mereka. Kemampuan yang tinggi akan tercapai efektivitas yang tinggi pula. Kebijaksanaan dan kemampuan serta keterampilan kepala desa menjadi pokok masalah dalam hubungan kerja sama dalam pemba ngunan yang menjadi kunci keberhasilankeberhasilan dalam menghidupkan partisipasi masyarakat, sebab efektivitas itu suatu bentuk perpaduan nilai. Konteks yang sangat luas pengertian partisipasi dapat diacu dari pendapat Davis dalam Huneryager (1992) yang memberikan definisi partisipasi sebagai berikut: ”Participation is defined as an individuals mental and emotional involvement in a group situation that encourrager him to contribute to group goals and to share responsibility for them”. Definisi ini mengemukakan tiga hal pokok yang menjadi perhatian partisipasi, yakni: (1) titik berat keterlibatan partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional, ini berarti bahwa kehadiran secara fisik semata-mata didalam suatu kelompok, tanpa keterlibatan mental dan emosional bukanlah partisipasi, (2) sumbangan yang diberikan demi tercapainya tujuan kelompok itu sangat beragam, (3) kesediaan untuk bertanggung jawab diantara sesama anggota kelompok tersebut terbangkitkan. Gaffar (1986) menyatakan hakekat partisipasi adalah kemandirian, artinya setiap individu yang melakukan kegiatan partisipasi harus berasal dari dirinya sendiri, atas inisiatif atau kemauan sendiri, kalau seorang individu melakukan kegiatan karena didorong atau digerakkan orang lain, atau karena merasa khawatir akan konsekuensi kalau 39 tidak melakukan partisipasi, maka apa yang sebenarnya terjadi adalah mobilisasi, atau istilah populernya partisipasi yang digerakkan. Perserikatan Bangsa -Bangsa memberikan definisi partisipasi masyarakat apabila dikaitkan dengan pembangunan sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan-tingkatan yang berbeda, yaitu: (a) dalam proses pembentukkan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan dan pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan tersebut, (b) pelaksanaan program-program dan proyek-proyek secara sukarela, dan (c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau proyek. Sedangkan Mubyarto (1988) memberikan pengertian partisipasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program-program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri mereka sendiri. Sementara itu Nasikun (1990) mendefinisikan partisipasi menjadi empat tingkat konseptualis. Pertama , partisipasi pertama-tama harus mengandung arti keterlibatan didalam proses pengambilan keputusan-keputusan kebijakan pembangunan. Kedua, berkaitan erat dengan bentuk partisipasi yang pertama, tetapi pengungkapannya terjadi di dalam proses perkembangan program dimana penduduk lapisan miskin ditempatkaan sebagai konsumen utama dari programprogram pembangunaan pedesaan. Ketiga, lapisan penduduk miskin dilihat sebagai konstituen program-program pembangunan yang secara politik tidak berdaya, dan oleh karena itu membutuhkan stimulasi dan dukungan, dan akhirnya penduduk mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Keempat, menuntut keterlibatan penduduk miskin di dalam pekerjaan-pekerjaan yang disediakan masyarakat. Umumnya yang dimaksud partisipasi oleh ilmuwan politik adalah partisipasi dalam pembuatan keputusan, sedang menurut ilmuwan ekonomi, partisipasi adalah dalam hal menikmati hasil pembangunan, namun yang didapati pemerintah adalah kecendrungan untuk mengartikan partisipasi sebagai partis ipasi dalam penerapan keputusan, bukan dalam pembuatan maupun evaluasi. Padahal menurut Cohen dan Uphoff keempat jenis partisipasi tersebut merupakan suatu siklus sebagaimana terlihat pada Gambar 3 berikut ini: 40 (1) Decision Making (2) Implementation (3) Benefit (4) Evaluasi Gambar 3. Siklus Partisipasi Cohen dan Uphoff (1979) dari gambar di atas mendefinisikan empat jenis, dimulai dari partisipasi dalam pembuatan keputusan, partisipasi dalam penerapan keputusan, partisipasi dalam pencapaian hasil, serta yang perlu ditambahkan partisipasi dalam evaluasi. Salah satu syarat yang diajukan Cohen dan Uphoff adalah ”empowerment” Efektivitas keikutsertaan warga masyarakat sangat ditentukan oleh berapa banyak ”power” yang dipunyainya. Pembuatan keputusan secara lebih spesifik dalam partisipasi ini berpusat pada pengumpulan gagasan, perumusan pilihan-pilihan (option), evaluasi pilihan, tindakan memilih, dan merumuskan strategi untuk melakukan pilihan terhadap dampak yang timbul. Dalam hal ini dikenal tiga macam tipe keputusan: (1) initial decisions, (2) on going decisions, dan (3) operational decisions. Implementasi, untuk berperan serta dalam aspek ini dalam satu program dapat dilakukan melalui tiga cara yakni: (1) kontribusi sumber daya (recource contributions), (2) usaha -usaha administrasi dan koordinasi, (3) terlibat dalam program (programme enlisment activities). Benefit, terlibat dalam suatu program sedikitnya dapat menarik tiga macam keuntungan: (1) material, (2) sosial, dan (3) personal. Keuntungan material yaitu keuntungan untuk memenuhi kebutuhaan pokok individual. Keuntungan sosial yaitu, keuntungan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Keuntungan personal biasanya berkaitan dengan keinginan yang bersifat individual dengan melibatkan diri dalam suatu kelompok/organisasi yang memiliki kekuasaan maupun sosial dalam suatu program. Evaluasi, untuk berperan serta dalam evaluasi program dapat dilakukan melalui dua kegiatan pokok yakni: (1) evaluasi formal terhadap proyek, (2) 41 pendapat umum. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan biasanya dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Pada saat ini, manajemen pengembangan sumberdaya yang berwawasan lokal begitu mencuat, model pembangunannya menekankan pada pelaksanaan implementasi program-program dari arus papan bawah, yakni melihat sampai dimana peran serta masyarakat tidak hanya orang dipengaruhi dan dikenai pembangunan saja yang menyukai partisipasi, akan tetapi juga para perencana pembangunan (birokrat pemerintah) menginginkan agar rakyat berpartisipasi bukan hanya karena agar bisa menyumba ngkan peran aktifnya dalam setiap langkah dari proses pembangunan ini, tetapi mulai dari pelaksanaan sampai ke monitoringnya (Morss, 1976 dalam Thoha, 1987). Adapun keuntungan yang diperoleh dengan adanya partisipasi dalam pelaksanaan-pelaksanaan program pembangunan ini antara lain sebagai berikut: 1. Banyak proyek pembangunan tidak bisa keluar dari lilitan persoalan, jika rakyat yang dikenai proyek tidak terlibat. Sumber daya lokal merupakan sumber daya yang mengetahui kondisi dan potensi daerah. Jika timbul masalah hanya orang-orang lokal yang memahaminya. 2. Dengan partisipasi, planner dilengkapi dengan informasi amat berharga, yang tidak bisa diperoleh dengan cara lain. Dengan kata lain, partisipasi informasi yang sangat berharga akan diperoleh planner dan para birokrat, sedangkan cara -cara lain barangkali tidak seberharga partispasi, 3. Rakyat akan sangat menerima perubahan yang diadakan jika mereka diajak berperan serta di dalam merancang, mengkonstruksi, melaksanakan, sampai pada saat mengevaluasi. Beberapa pendapat yang telah dirangkum diatas, dapatlah dikatakan bahwa partisipasi telah menjadi mitos pembangunan, meskipun dalam prakteknya setiap strategi pembangunan yang menampilkan peranan khas birokrasi pembangunannya, telah pula memberikan variasi dala m mengambil konsep partisipasi itu, nampaknya pendekatan top-down dan blue print praktis mengabaikan partisipasi masyarakat, karena pendekatan ini, seluruh kegiatan pembangunan diprakarsai, diarahkan dan dikontrol oleh pengaruh birokrasi, sedang masyarakat hanya dimobilisasikan untuk melaksanakan pembangunan. 42 Campur tangan birokrasi lokal yang tampil sebagai mesin utama pemerintahan dan pembangunan yang sangat dominan dalam keseluruhan proses pembangunan yang akan dilaksanakan tentunya telah merosotkan arti partisipasi, sebaliknya pendekatan pengelolaan yang bertumpu pada masyarakat sebagai derivasi pembangunan yang terpusat pada manusia, sangat memungkinkan adanya partisipasi yang tidak dimobilisasi yang mengakibatkan re-orientasi birokrasi pemerintah secara mendasar ke arah keterkaitan yang lebih efektif dengan komunitas. Menurut Pretty (1994) dalam Swanson et al. (1997) tipologi partisipasi dalam program pemerintah terdiri atas: (1) partisipasi pasif, (2) partisipasi informatif, (3) partisipasi konsultatif, (4) partisipasi insentif, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi mandiri. Partisipasi pasif memiliki karakterisitik yaitu: (a) masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi, (b) pengumuman sepihak oleh pelaksana program tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat sasaran, (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Partisipasi informatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, (b) masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian proyek, dan (c) akurasi hasil penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Partisipasi konsultatif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, (b) orang luar mendengarkan, menganalisis masalah dan memecahkannya, (c) tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, dan (d) para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat untuk ditindaklanjuti. Partisipasi insentif memiliki karakteristik yaitu: memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan (a) masyarakat berupa insentif/upah, (b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen- eksperimen yang dilakukan, dan (c) masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi fungsional mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan program, (b) pembentukkan kelompok biasanya setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati, dan (c) pada tahap awal, masyarakat 43 tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Partisipasi interaktif memiliki karakteristik yaitu: (a) masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukkan atau penguatan kelembagaan, (b) cenderung melibatkan metoda interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis, dan (c) masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas keputusankeputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. Partisipasi mandiri mempunyai karakteristik yaitu: (a) masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai- nilai yang mereka junjung, (b) masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan bantuan-bantuan/dukungan-dukungan teknis dan sumberdaya yang diperlukan, dan (c) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan. Selanjutnya menurut Margono Slamet (2003) dalam bukunya yang berjudul “ Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan” dikatakan bahwa setelah me nyadari betapa pentingnya partisipasi, maka perlu kita memikirkan lebih lanjut syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Adapun syarat-syarat tersebut digolongkan sebagai berikut: (1) adanya kesempatan untuk membangun, (2) adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan, dan (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Kesempatan untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang menuju peningkatan kualitas hidup itu dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain adanya sumber-sumber daya alam yang dapat dikembangkan, adanya pasaran yang terbuka (prospek untuk mengembangkan sesuatu), tersedianya modal (uang, kredit), tersedianya sarana dan prasarana, terbukanya lapangan kerja pembangunan dan lain sebagainya. Sedangkan kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang terbuka adalah pengertian, pengetahuan, keterampilan, sikap mental yang menunjang dan kesehatan tubuh yang memadai. Kecuali sumberdaya alam, kesempatan-kesempatan yang lain tentunya harus dapat diusahakan oleh pengelola-pengelola pembangunan untuk diadakan, dibuka, disediakan atau dikembangkan agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat yang 44 merasa memerlukannya. Kemampuan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, keterampilan dan juga sikap mental. Pengetahuan dan pengertian tentang pembangunan sesuatu sampai pada seluk beluk pelaksanaannya sangat perlu bagi masyarakat sehingga mereka dapat cepat tanggap terhadap kesempatan yang ada. Pengetahuan tentang adanya potensi dilingkungannya yang dapat dikembangkan atau dibangun sangat penting artinya. Demikian pula pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sumberdaya alam yang ada untuk dipadukan dengan berbagai sarana produksi lain sangat penting bagi keberhasilan masyarakat yang membangun. 45