PENETAPAN TERSANGKA MIRANDA S. GOELTOM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Santi Frannita NIM : 1111048000080 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M ABSTRAK Santi Frannita. NIM 1111048000080. PENETAPAN TERSANGKA MIKRANDA S. GOELTOM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI. Program Studi Ilmu Hukum,Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436H/2015M. ix + 67 halaman. Skripsi ini membahas tentang penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dalam tindak pidana korupsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya tudingan terhadap KPK yang dikatakan menjalankan tugas dan fungsinya secara sewenang-wenang dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom, tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. KPK sebagai lembaga independen negara yang dipercaya menangani kasus tindak pidana korupsi tentunya mempunyai aturan dan ketetapan sendiri dalam menindaklanjuti kasus tindak pidana tersebut yaitu Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi selain KUHAP. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ulang apakah keputusan serta kewenangan KPK dalam menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka benar-benar dilandasi hukum yang kuat. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan cara meneliti dan mengkaji peratuan perundang-undangan yang mengatur tentang fungsi dan kewenangan KPK dan prosedur penetapan tersangka. Selain meneliti undang-undang, penulis juga meneliti buku-buku, pendapat para ahli, serta dokumen-dokumen lainnya yang berkenaan dengan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejauh kewenangan KPK dalam menetapakan tersangka sebuah kasus tindak pidana korupsi terkait kasus penetapan tersangka Miranda S. Goletom, KPK telah menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur yang berlaku menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tidak bertentangan dengan KUHAP. Kata Kunci Pembimbing Daftar Pustaka : Korupsi, Penetapan Tersangka, Kewenangan Pemberantasan Korupsi : Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH : Tahun 1962 sampai Tahun 2014 iv Komisi KATA PENGANTAR بسم اهلل الرحمن الرحيم Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil ‘alamin terucap dengan ikhlas segala rasa syukur kepada-Nya atas terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui. Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan. Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. 2. Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum sekaligus Dosen Pembimbing penulis yang selalu sabar dalam membimbing penulis dan selalu membantu serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Bapak Arip Purqon, MA., sekretaris Program Studi Ilmu Hukum. v 3. Burhanudin, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis dari semester awal hingga semester akhir perkuliahan. 4. Kedua orang tua penulis bapak Syafi’i dan ibu Siti Azinar yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa dan selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Kak Eti, kak Asni, bang Firdi, mas Sukarto selaku kakak-kakak penulis serta Dimas dan Fathir selaku keponakan tercinta 5. Bapak Nur Habibi, SH, MH., selaku dosen perkuliahan penulis yang selalu membantu, memberikan masukan, solusi, saran dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MPSD dan Drs. Abu Thamrin, SH, M.Hum., selaku dosen penguji skripsi penulis. 7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Program Studi Ilmu Hukum. 8. Staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selalu ramah dan membantu penulis untuk memperoleh data penunjang penulisan skripsi. 9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011. 10. Semua sahabat penulis Tiwi, Dini, Inggrit, Mazda, Khadafi, Ilma, Endah, Resa, Isti, Ilma, Uthi. Semua teman kost penulis ka Tiwi, ka Riza, Farid, Hani dan teman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu. vi Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan selalu mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin. Jakarta, 29 Mei 2015 Santi Frannita vii DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... . ii LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii ABSTRAK ......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ....................................................................................... v DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................................ 4 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 5 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .......................................................... 6 E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ........................................................ 9 F. Metode Penelitian.................................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 14 BAB II LANDASAN TEORI A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) .......................................................................... 16 B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .................................................. 25 BAB III PROFIL KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) A. Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) 1. Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .............................. 29 viii 2. Visi dan Misi KPK ........................................................................... 31 3. Tugas dan Kewenangan KPK .......................................................... 31 4. Strukutur Organisasi dan Keanggotaan KPK ................................... 36 B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan .................................. 38 BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA A. Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom .................................. 44 B. Implementasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom ................... 54 C. Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom .............................................................................................. 59 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 62 B. Saran-Saran ............................................................................................. 63 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Banyak sekali pemberitaan yang timbul mengenai korupsi di Indoneisa. Dari tahun ke tahun sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan sampai usaha memperbaiki undang-undang. Bahkan muncul rasa putus asa untuk memberantasnya.1 Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Tahap yang paling kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistematik.2 Berbicara masalah korupsi jelas sangat menarik sebab menyangkut orang-orang yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Perbuatan korupsi biasanya dilakukan dalam bentuk rekayasa yang seolah-olah dibenarkan oleh hukum dan bahkan terkandung dibalik kelemahan hukum itu sendiri. Melihat korupsi di Indonesia, korupsi ini sudah tergolong extra-ordinary crimes karena telah merusak dan meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum nasional. Diperlukan suatu cara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara luar biasa yang dilaksanakan oleh suatu lembaga 1 Andi Hamzah,Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet-ke 7, 2008, h. VII. 2 Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h.12. 1 2 khusus berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. 3 Maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah lembaga yang menangani khusus tindak pidana korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Kehadiran KPK di Indonesia tidak secara otomatis menghentikan praktik-praktik korupsi yang sudah marak4 bahkan kewenangan yang dimiliki KPK saat ini masihlah disertai dengan lemahnya pengawasan terhadap sistem dan kinerja KPK sehingga kehadiran KPK yang digadang-gadang sebagai lembaga independen negara terkesan menjalankan fungsinya secara sewenangwenang dan tentu saja dapat meyebabkan terjadinya penyalahgunaan kewenangan oleh segelintir oknum KPK. Pada kenyataanya akhirnya timbul berita terjadinya kesewenang-wenangan KPK dalam menetapkan tersangka atau bisa dikatakan KPK menyalahi ketentuan undang-undang yang berlaku di KPK serta KUHAP dalam hal menetapkan tersangka yang akhir-akhir ini timbul di media. Masalah yang terakhir ini diduga karena dalam penetapan tersangka, KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Kesulitan pemahaman tentang bukti permulaan yang cukup dirasakan oleh kalangan aparat penegak hukum sendiri karena banyaknya pendapat mengenai “bukti permulaan yang cukup”. 3 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h. 13. 4 Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi,Yogyakarta: Pustaka Timur, 2008,h.59-60. 3 Belum hilang dari ingatan kita bagaimana beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani kasus yang menyangkut seorang Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda Swaray Goeltom, yang didesak publik untuk diusut tuntas kasusnya, menjelaskan kepada publik, bahwa kasus tersebut belum bisa dilakukan penyidikan karena belum ditemukan alat bukti yang cukup. KPK minimal memerlukan 2 alat bukti yang cukup untuk memproses lebih lanjut kasus tersebut sehingga memenuhi kriteria sebagai bukti permulaan yang cukup yang ditentukan oleh undang-undang KPK sendiri dan berdasarkan KUHAP. Disebutkan dapat dipahami oleh karena dalam Pasal 44 ayat (2) Undang undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur bahwa “ Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti ….dan seterusnya”. Tanpa terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut menyebabkan kasus tersebut belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum adanya bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana kita ketahui bahwa alat bukti sah dalam perkara pidana ada lima, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan terakhir keterangan terdakwa. Ini berarti dibutuhkan sesuatu hal yang baru dalam menelaah kembali kinerja lembaga tersebut melihat kedudukan lembaga negara ini yang bersifat independen. Tidak dengan menambah instrumen hukum semacam komisi pengawasan yang baru yang nantinya akan bertindak selaku pengawas kinerja 4 KPK atau „siapa yang akan menjadi pengawas dari para pengawas tersebut?’5 melainkan digunakannya „due process of law’ yang baik dan benar dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di KPK sesuai dengan Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP serta adanya transparansi KPK dalam penanganan kasus korupsi terhadap masyarakat. B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang hendak diteliti ialah bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK telah sesuai atau tidak dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. Serta faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka tersebut. Rumusan tersebut dirinci kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dilihat dari Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP ? b. Faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka Miranda S. Goeltom? 2. Batasan Masalah Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan penelitian ini akan dibatasi. Pemberantasan korupsi terdapat tiga unsur atau 5 Pepatah latih lama „Quis custodiet ipsos custodet?’ 5 bidang, yaitu pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Penelitian ini hanya membahas penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan: a. Untuk membuktikan apakah penetapan status tersangka yang dilakukan KPK sesuai dengan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. b. Untuk menjelaskan beberapa faktor-faktor yang mendasari penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK. 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat untuk: a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang Kinerja KPK dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam melihat 6 seluas apa kewenangan KPK. Penelitian ini juga diharapkan dapat meningkatkan kinerja KPK sesuai Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang sudah ditentukan. c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Sebagaimana pendapat Lord Acton bahwa “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan itu bagaimanapun kecilnya cenderung untuk disalahgunakan. Semakin kuat kekuasaan itu semakin kuat pula kecendrungan penyalahgunaannya.6 Pendapat ini terbukti dengan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di dunia, dan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Seiring dengan munculnya berbagai lembaga independen negara memperkuat adanya kekuasaan yang disalahgunakan. 2. Kerangka Konseptual Pada bagian ini akan dikemukakan konsep dasar yang digunakan sebagai dasar operasional dalam penelitian ini, antara lain adalah korupsi, 6 A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, h. 11. 7 komisi pemberantasan korupsi, lembaga negara, lembaga negara independen serta penetapan tersangka. a. Korupsi Korupsi sebagai fenomena menyimpang dalam kehidupan sosial budaya, kemasyarakatan dan kenegaraan. Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus, kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.7 Korupsi juga diartikan sebagai sebuah kejahatan yang menghancurkan lembaga demokrasi, kepercayaan menggerogoti masyarakat tatanan terhadap hukum, negara, pertumbuhan ekonomi, menghambat upaya-upaya merusak memperlamban pengentasan kemiskinan, mengganggu alokasi sumber daya, menurunkan daya saing negara dan melumpuhkan investasi.8 b. Komisi Pemberantasan Korupsi Merebaknya kasus korupsi yang melanda bangsa kita belakangan ini, sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, maka pada tanggal 29 Desember 2003 7 A. Hamzah, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1985), h. 2-3. 8 Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : Grafiti, 2006), „dikutip dari kata pengantar Drs. Taufiequrrahman Ruki, S.H. , selaku mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, h. xi. 8 lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK,9 KPK merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tujuan untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. c. Lembaga Negara Lembaga Negara adalah lembaga pemerintahan atau "Civilizated Organization" dimana lembaga tersebut dibuat oleh negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk membangun negara itu sendiri. Lembaga negara terbagi dalam beberapa macam dan mempunyai tugas masing-masing antara lain Lembaga Negara Utama dan Lembaga Negara Penunjang. Lembaga Negara Utama dapat juga disebut Lembaga Tinggi Negara adalah Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD), sedangkan Lembaga Negara Penunjang dibentuk sesuai UU dan merupakan penunjang terhadap fungsi Lembaga Negara Utama10. d. Lembaga Negara Penunjang 9 Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi,(Yogyakarta: Pustaka Timur), 2008, h. 18. 10 https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcement-volume-3nomor-1-april-september-2009.pdf, diakses tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 14.20 9 Adapun istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara independen” e. Penetapan Tersangka Penetapan tersangka adalah suatu proses ketika seseorang diduga karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana dan menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik.11 E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu No. Aspek Perbandingan Studi Terdahulu 1. Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh a. Judul Skripsi Peyidik Pada Komisi Pemberantasan Korupsi Menurut UU No. 30 Tahun 2002. b. Fokus Apakah tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi menurut UU No. 30 Tahun 2002, apa saja kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi 11 h.66. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008, 10 menurut UU No.30 Tahun 2002 bagaimanakah proses penyidikan dan tindak pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tingkat penyidikan menurut UU No. 30 Tahun 2002. 2. c. Waktu/Tempat Universitas Indonesia, Depok 2004 a. Judul Skripsi Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia : Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu. b. Fokus Apa yang dimaksud dengan lembaga negara bantu dan bagaimana kedudukannya dalam suatu sistem bagaimanakah Pemberantasan ketatanegaraan kedudukan Korupsi (KPK) serta Komisi sebagai lembaga negara bantu di dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI). 3. c. Waktu/Tempat Universitas Indonesia, Depok 2007 a. Judul Skripsi Urgensitas Kerjasama Antara KPK Dengan PPATK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia (Analisis Yuridis). b. Fokus Bagaimanakah Undang-Undang mengatur kerjasama antara KPK dengan PPATK dalam 11 pemberantasan korupsi di Indonesia serta bagaimanakah urgenitas kerjasama antara KPK dengan PPATK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. c. Waktu/Tempat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012 Yang membedakan penelitian yang akan saya lakukan dengan penelitian sebelumnya ini adalah dimana penelitian lain lebih mengarah kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Sedangkan penelitian yang akan saya lakukan lebih mengerucut kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen negara yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab-Undangundang Hukum Acara Pidana. Penelitian saya akan mengungkap dan membuktikan bahwasannya kewenangan dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini terlaksana tidak bertentangan dengan aturan hukum. Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan KPK sebagai lembaga super body yang seharusnya dilaksanakan secara transparan perlu dipublis dan mudah diakses hasilnya oleh masyarakat, agar semua kalangan masyarakat mengetahui apakah ada ketentuan-ketentuan atau kewengangankewenangan KPK yang menyalahi aturan hukum serta tentang batasan kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Oleh karena itu semua kewenangan KPK sendiri terkait pelaksanaan penyidikan, penyelidikan dan penindakan pemberantasan korupsi perlulah diperjelas dengan menyesuaikan Undang-undang yang mengaturnya. 12 F. Metode Penelitian Metode penelitian adalah suatu cara yang digunakan untuk memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat dipertanggungjawabkan. 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.12Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif yaitu:13 pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Dalam penelitian ini pendekatan yang Penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif. 12 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.118. 13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI,(Jakarta: Kencana,2010), h.93. 13 3. Bahan Hukum a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif. Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang berwenang.Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.14 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002 b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.15 Terdiri dari buku-buku teks, jurnal hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan kedudukan 14 Komisi Pemberantasan Korupsi dalam struktur Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.141. 15 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h.119. 14 ketatanegaraan dan penetapan tersangka menurut KUHAP dan Undangundang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih konkret. Setelah menjelaskan permasalahan secara umum kemudian Penulis menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. G. Pedoman Penulisan Skripsi Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.” H. Sistematika Penulisan Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan-persoalan yang akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah sistematisasi. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang akan membuat tulisan lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai berikut: 15 BAB Pertama Tentang Pendahuluan Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review), metode penelitian, pedoman penulisan skripsi dan sistematika penulisan. BAB Kedua Tentang Landasan Teori Terdiri dari Landasan Teori mengenai Penetapan Tersangka Menurut Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. BAB Ketiga Profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Terdiri dari Sejarah, Visi, Misi, Tugas dan Kewenangan, Struktur Organisasi dan Keanggotaan serta Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Struktur Ketatanegaraan. BAB Keempat Tentang Analisis Implementasi Standar Operasional Prosedur KPK Bab ini terdiri dari Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom, Implementasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom dan Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom. 16 BAB Kelima Tentang Penutup Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, dilengkapi juga dengan saran saran yang dapat membantu dan memberikan masukan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya melalui Komisi Pemberantasan Korupsi. BAB II LANDASAN TEORI A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Menurut pasal 1 Nomor 14 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan tersangka adalah “seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tersangka tindak pidana”. Definisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, adalah ”Bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara Pasal 1 butir 14 KUHAP menyatakan ”Bahwa tersangka adalah seseorang yang karena perbuatan atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Berdasarkan Hasil Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian (Rakergab Makehjapol) 1 Tahun 1984 halaman 14, dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti lainnya. Sedangkan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Sidikalang Sumatera Utara No.4/Pred-Sdk/1982, 14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup harus mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP bukan yang 16 16 17 lain-lainnya seperti: Laporan polisi dan sebagainya. 16 Pengertian bukti permulaan menurut Keputusan Kapolri No. Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara: a. Laporan polisi b. BAP di TKP c. Laporan Hasil Penyelidikan d. Keterangan saksi atau ahli; dan e. Barang bukti Mengenai bukti permulaan, Lamintang berpendapat bahwa: Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.17 Harun M. Husein menyatakan sependapat dengan pendapat Lamintang diatas, dengan alasan untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang haruslah didasarkan hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi kepentingan 16 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112 17 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 113 18 penyidikan tindak pidana tersebut. Masih dijelaskan menurut Harun M. Husein, bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti (keterangan saksi pelapor atau pengadu) dirasakan masih belum cukup kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup guna dipergunakan sebagai alasan penangkapan seseorang. Terkecuali apabila laporan polisi dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi tentang kepastian bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana, terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan karena tersedia cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.18 Menurut M.Yahya Harahap, mengenai apa yang dimaksud dengan permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ”ketidakpastian” dalam praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang paling rasional dan realitis, apabila perkataan ”permulaan” dibuang, sehingga kalimat itu berbunyi :”diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup”.19 Jika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya lebih pasti. Pengertian yang dirumuskan dalam pasal 17 hampir sama 18 Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112 19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158 19 dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika, yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau penahanan, harus didasarkan adanya bukti dan kesaksian. Jika ditelaah pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir serupa dengan apa yang dirumuskan Pasal 183, yakni harus berdasar prinsip ”batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat bukti lain. Rasulullah SAW menjelaskan masalah pembebanan pembuktian yang populer dalam perspektif hokum Islam adalah: ”Pembuktian dibebankan pada penggugat dan sumpah kepada tergugat” Pembuktian dibebankan pada penguggat (affirmanti incoumbil probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai petitum gugatannya, seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya. Dalam Islam kesaksian adalah salah satu bukti yang sah. Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asy-syahadah menurut bahasa memiliki arti sebagai berikut; a) Pernyataan atau pemberian yang pasti b) Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung; c) Mengetahui sesuatu secara pasti,mengalami, dan melihatnya. Menurut syara‟ kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti 20 yaitu; ucapan yang keluar dan diperoleh dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung. Kesaksian dapat diterima sebagai alat bukti apabila jika memenuhi syarat sebagai berikut; 1. Kesaksian dilakukan didalam sidang pengadilan, jika dilakukan diluar sidang pengadilan, meski itu dihadapan hakim ,tidak dianggap sebagai kesakasian. 2. Kesaksian diucapkan dengan lafad kesaksian, seperti saya bersaksi. 3. Jumlah dan syarat orang yang menjadi saksi sesuai dengan syarat dan ketentuan syari‟at. Dan adapun syarat yang lain adalah menjadi saksi karena Allah SWT, seperti yang dijelaskan dalam surah An-nisa ayat 135 : ُ۟وا ُون ُوا۟ ك َن َ آم ِين ّذ َا ال َ ّه َي ُ َا أ ي ّه ِ ِل ل َاء هد َُ ش ِسۡط ِ ِالۡق ب ِني َ ّام َو َ ق )531( ... Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah...” Dengan pembatasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dulu, baru nanti 21 dipikirkan pembuktian. Metode kerja penyidik menurut KUHAP, harus dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan teknik dan taktis investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru dilakukan pemeriksaan penyidikan ataupun penangkapan dan penahanan.20 Berarti pada prinsipnya, penetapan seseorang menjadi tersangka dilakukan melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan. penyelidikan yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang adanya sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana disebutkan juga bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan mengenai kewenangan hakim dalam menetapkan saksi menjadi tersangka guna menemukan tersangkanya. Jadi, penetapan tersangka terletak pada penyelidikan dan penyidik. Berdasarkan pasal 1 butir 2, bahwa penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangkanya. 20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158 22 Penyelidikan dalam hukum acara pidana, tingkat acara pidana dibagi dalam 4 tahap, yaitu:21 1. Tahap penyelidikan yang dilakukan oleh polisi negara 2. Tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau Penuntut Umum 3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh jaksa 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga pemasyarakatan di bawah pengawasan ketua pengadilan yang bersangkutan. Berdasarkan tahap tersebut, penyelidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang menentukan dari keseluruhan proses penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas. Upaya untuk memyelidiki dan mengusut tindak pidana secara konkret dapat dikatakan penyelidikan dinilai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang : 1. Tindakan pidana apa yang dilakukan 2. Kapan tindakan itu dilakukan 3. Dimana tindakan itu dilakukan 4. Dengan apa tindakan itu dilakukan 5. Bagaimana tindakan itu dilakukan 6. Mengapa tindakan itu dilakukan 7. Siapa pelaku tindakan tersebut 21 Anton Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita Kontriksi Sosial Tentang Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan akuntanilitas Peradilan Pidana, PT. Refika Aditama, 2004, Bandung , hlm 82. 23 Karena penyelidikan merupakan langkah awal yang menentukan dari keseluruhan tahap acara pidana, maka dalam mencari keteranganketerangan seperti diatas seorang penyidik harus tunduk kepada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 8 tahun 1981 sebab jika tahap penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses acara pidana selanjutnya. Apabila tahap penyelidikan saja sudah banyak melakukan pelanggaran dan kesalahan diluar ketentuan Undang-undang yang berlaku, maka secara otimatis tahap cara berikutnya akan terpengaruh yang berarti tidak mungkin akan terjadi penyesatan putusan hakim. Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelakanaan hukum acara pidana dapat dilihat dalam hubungan dengan ketentuan-ketentuan KUHAP mengenai penyidikan, penuntutan dan peradilan perkara. Seorang penyidik harus melakukan penyelidikan secara tertip dan harus selalu memperhatikan dalil-dalil yang ada dilapangan. Seorang penyelidik harus memperhatikan dan menyidik setiap fakta yang ada dilapangan sekecil apapun karena sejalan dengan tujuan hukum acara pidana, maka tugas penyelidikan perkara adalah “mencari kebenaran materiil” memang, dalam penyelidikan perkara pidana kebenaran materiil yang mutlak tidak akan pernah dapat diperoleh 100% karena hanya Tuhanlah yang mengetahui. Walaupun demikian dengan memperhatikan setiap dalil dan fakta sekecil apapun bukti-bukti yang 24 berkaitan dengan perkara pidana dapat dicari sebanyak-banyaknya sehingga suatu penyelidikan dapat mendekati kebenaran bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan dan siapa pelaku-pelakunya. Ada pun ketika seorang saksi setelah memberikannya keterangannya dalam proses peradilan diubah statusnya menjadi tersangka ini adalah kewenangan Hakim dalam mengubah status saksi menjadi tersangka pada dasarnya memang di jelaskan. Status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Untuk menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana semata-mata dibebankan kepada penuntut umum.22 Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan). Dan jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka. Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi untuk tindak 22 Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957, di akses tanggal 14 Januari 2015, pukul 14.32 25 pidana memberikan keterangan palsu. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Berarti dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa hakim bisa secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan dapat pula secara tidak langsung menetapkan saksi menjadi tersangka, yakni dengan meminta aparat penegak hukum lain, seperti kejaksaan, kepolisian sampai KPK sebagai salah satu lembaga independen negara. Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Saksi semacam itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (“KUHP”). Hakim tinggal memerintahkan panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan penuntutan. Jadi, wewenang jaksa tetap melakukan penuntutan.23 B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi mempunyai kewenangan dalam hal menetapkan tersangka. Bisa kita lihat pada salah 23 Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2. Bandung : Sumur Bandung, 1962, h.45 26 satu tugas KPK yang berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Secara umum, mekanisme penanganan perkara di lembaga superbody ini sama seperti di lembaga penegak hukum lainnya. Pada saat KPK menangani suatu perkara (bukan karena operasi tangkap tangan) yang telah masuk tahap penyelidikan, dalam aturannya akan memvalidasi temuan informasi-informasi yang berkembang. Baik informasi yang dipaparkan terperiksa, maupun informasi yang didapat dari suatu dokumen serta hasil sadapannya. Validasi sendiri, dilakukan dengan cara menelaah hasil temuannya itu. Biasanya KPK akan memanggil orang-orang yang diduga berkaitan dengan perkara yang tengah diselidikinya. Namun, orang tersebut masih berstatus 'terperiksa'. Atau, validasi bisa dengan cara menelaah dan mencocokan barang bukti satu dengan bukti lainnya. Setelah temuan-temuan tersebut atau ada hasil validasi yang jelas, KPK akan melakukan gelar perkara atau sering disebut ekspose. Gelar perkara akan dihadiri Penyelidik, Direktur Penyelidikan, Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan serta Pimpinan KPK.24 Kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidan korupsi adalah dalam melakukan pemeriksaan KPK dapat mengabaikan 24 Deni Setyawati, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi, Yogyakarta : Pustaka Timur, 2008, h.31 27 aturan tertentu jika tersangka yang ditangani oleh KPK adalah pejabat negara, dengan tidak perlu mendapatkan izin terlebih dahulu untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang KPK “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.” Selanjutnya kewengan KPK dalam menetapkan seorang saksi menjadi seorang tersangka adalah apabila seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana dan atau yang awalnya hanya sebagai saksi dalam suatu kasus dan KPK memiliki dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup dalam menetapkan sebagai tersangka. Saksi dalam hal ini bisa dituntut juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama tetapi berkas yang baru. Dalam hal menetapkan tersangka berarti tidak bisa sembarangan, harus adanya bukti yang cukup atau minimal dua alat bukti seperti yang sudah dijabarkan di atas. Jika tidak terdapat dari minimal dua alat bukti tersebut tetapi pihak yang berwenang tetap menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai tersangka atau di tuduh sebagai pelaku tindak pidana maka hal ini disebut fitnah dan berkata dusta. Dijelaskan dalan surah An-Nur ayat 11 : 28 Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu; janganlah kamu menyangka (berita yang dusta) itru buruk bagi kamu, bahkan ia baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang di antara mereka akan beroleh hukuman sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya itu dan orang yang mengambil bahagian besar dalam menyiarkannya di antara mereka, akan beroleh seksa yang besar (di dunia dan di akhirat). Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menyatakan bahwa ”Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”. Dan Pimpinan KPK juga menafsirkan bahwa keterangan lima orang saksi yang bersesuaian satu dengan yang lainnya itu dianggap sebagai alat bukti baru yaitu petunjuk. BAB III PROFIL KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI A. Komisi Pemberantasan Korupsi 1. Sejarah KPK Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, membuat masyarakat serak meneriakkan pemberantasan korupsi.25 Aspirasi masyarakat untuk membumi hanguskan korupsi di negara ini semakin meningkat karena sudah merebaknya korupsi ini ke seluruh lapisan masyarakat yang telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berujung dengan timbulnya krisis di berbagai bidang.26 Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif, 25 Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, cet-ke 1, 2005, h 3. 26 Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Lihat Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi, cet.V, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h.143. 29 30 perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.27 Ada beberapa gagasan dalam pembentukan komisi ini yang pertama diawali oleh TAP MPR Nomor II Tahun 1998. TAP ini mengamanatkan kepada DPR dan Pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan pemerintah yang bersih dari korupis, koluis dan nepotisme. 28TAP inilah yang akhirnya membuat Pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme kemudian DPR dan Pemerintah juga mencabut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan menggantinya dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada saat inilah muncul gagasan tentang KPK. Dan kemudian Undang-Undang KPK juga menjelaskan bahwa, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran Undang-Undang KPK menyatakan, Lembaga Pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.29 Pada tanggal 27 Desember 2003, Presiden Megawati akhirnya melantik lima orang pemimpin KPK. Dengan dibentuknya KPK diharapkan 27 Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, (Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h.31. 28 Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin du Tengah Kegelapan, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), h.7 29 Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), h.180. 31 korupsi yang sudah merajalela di negara ini dapat diberantas dan hukum dapat ditegakkan.30 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga awal di Indonesia yang telah resmi dibenti tanggal 29 Desember 2003 untuk mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia. 2. Visi dan Misi KPK Sebagai sebuah lembaga independen negara Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki visi yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi. Sedangkan misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu menjadi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang anti korupsi.31 Untuk mewujudkan visi dan misi ini, tentunya Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) harus menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan asas-asas yang telah di jelaskan. Jika dilihat dari visi dan misi KPK seperti yang sudah disebutkan, maka terlihat sebuah tekad yang kuat dari lembaga KPK untuk segera memberantas dan membersihkan Indonesia dari segala macam bentuk korupsi. Dan sangat diharapkan pula melihat dari misi KPK tersebut komisi ini bisa menjadi lembaga yang membudayakan anti korupsi baik di masyarakat, swasta dan pemerintahan Republik Indonesia. 3. Tugas dan Kewenangan KPK Berdasarkan visi KPK, komisi ini mempunyai harapan dan keinginan yang cukup mulia, yakni ingin membebaskan Indonesia dari korupsi. Sukses 30 Ensiklopedia Pemerintahan dan Kewarganegaraan, Pemerintahan di Indonesia, h.95. 31 Sistem dan Bentuk Komisi Pemberantasan Korupsi,Mengenali dan Memberantas Korupsi, h.52 32 tidaknya KPK, tergantung dari kerja keras yang dilaksanakan untuk memaksimalkan apa yang sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK seperti yang sudah disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemeberantan Korupsi. Tugas dan Kewenangan KPK antara lain: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; 33 d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam pengambil alihan tersebut, pihak KPK wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut disebutkan di dalam Undang-undang KPK pasal 7, pasal 8 ayat (1), pasal 8 ayat (2), pasal 9 dan pasal 8 ayat (3) Kemudian di dalam Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa penyerahan dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Selanjutnya dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang : 34 a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; 35 i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dalam melaksanakan tugas pencegahan disebutkan pada pasal 13 UU KPK, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut: a. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; b. Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; c. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; e. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas monitor yang telah disebutkan juga dalam pasal 14 UU KPK, KPK berwenang: a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; 36 b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. Melaporkan Perwakilan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. 4. Struktur Organisasi dan Keanggotaan KPK Salah satu modal utama agar kinerja KPK bisa efisien dan efektif adalah melalui pembangunan yang profesional. Ini bisa tercipta dengan cara mengoptimalkan seluruh elemen dari organisasi tersebut. Karenanya KPK melakukan perbaikan-perbaikan agar tercipta sebuah lembaga yang kompeten. Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan KPK Nomor: PER-08/XII/2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, struktur organisasi KPK terdiri atas Pimpinan, Penasihat, Deputi dan Sekjen, Direktur, dan Kepala Biro. Pimpinan KPK terdiri atas lima orang, yang masing-masing adalah seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Sesuai Undang-Undang KPK, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.32 32 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2011), h.6. 37 Disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) huruf b UU KPK untuk menjamin perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK mengangkat tim penasihat yang terdiri atas empat anggota dan berasal dari berbagai bidang kepakaran. Seperti yang dijelaskan pada pasal 23 UU KPK tim penasihat ini berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM). Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal ini diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Deputi Bidang Pencegahan yang terdiri dari Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP-LHKPN), Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, dan Direktorat Penelitiandan Pengembangan. Sementara itu, Deputi Bidang Penindakan yang terdiri dari Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan, dan Direktorat Penuntutan.33 33 Deputi Bidang Informasi dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat. Penjelasan mengenai fungsi dari setiap Deputi KPK lihat Lampiran 2. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2008, h.6. 38 Peran pemimpin menjadi paling penting terutama dalam hal pemberian contoh tidak melakukan korupsi, pemimpin yang mampu menjaga citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin tersebut melakukan korupsi maka bawahan tidak segan untuk melakukan hal yang sama yaitu korupsi. Karena pentingnya peran pimpinan maka dibuat lah secara khusus Kode Etik Pimpinan KPK melalui keputusan KPK No. KEP06/-KPK/02/2009. B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan Sebelum membahas tentang kedudukan KPK dalam sturktur ketatanegraan sebagai state auxiliary organ, penulis akan menjabarkan tentang pengertian lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara bukan konsep secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut lembaga negara, sedangkan bahasa belanda mengenal istilah staat organen atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara, badan negara, organ negara.34 Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa dikenal dengan lembaga non-pemerintahan (ornop). Oleh karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif, 34 http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem ketatanegaraan-republik-Indonesia-ananlisis-kedudukan-komisi-pemberantasankorupsi/mrdetail/4770/diakses tanggal 20 Februari 2015 hari jumat,pukul 19.32 39 legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Lembaga negara di Indonesia ada bermacam-macam. Ada lembaga tinggi negara, lembaga departemen dan non-departemen dan juga ada pula yang disebut lembaga negara apa saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD 1945 ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hierarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU adalah organ, sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap Sejak permulaan Orde Baru hingga era reformasi yang masih sedang berlangsung saat ini, telah tumbuh demikian bayak lembaga-lembaga yang berkaitan dengan tujuan negara, fungsi negara, dan tugas-tugas pemerintahan dalam arti luas.. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan untuk menganalisis relasi kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan 40 institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap lembaga-lembaga negara berdasarkan dasar pembentukannya. Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan presiden. KPK disinii di tetapkan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan ekstra. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undangundang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi 41 yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut. Ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban ini, dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadangkadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa ada perangkat konstitusional yang logis. Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.35 Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan 35 Menurut Yusril Ihza Mahendra (2002:32) Keberadaan KPK di tengah-tengah lembaga penegakan hukum yang sudah ada selama ini dan di tengah-tengah krisis kepercayaan masyarakat internasional, merupakan lembaga terakhir dan satu-satunya harapan bangsa Indonesia. Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, h.202. 42 independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya. Status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara” tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden (Keppres). Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air. Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepanjang telah diatur di dalam peraturan perundang-undangan termasuk bila diatur dalam Undang-Undang. 43 Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA MIRANDA S. GOELTOM A. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Adanya proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Miranda S. Goeltom berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini. Semua hal terkait kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Miranda S. Gultom dikumpulkan dan ditetapkan sebagai sekumpulan bukti permulaan dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom. Berawal dari pengakuan politisi PDIP Agus Condro Prayitno pada 4 Juni 2008 yanag menjadi bukti permulaan pertama penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka. Ia mengaku menerima suap dalam bentuk cek perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota Komisi IX DPR periode 19992004 yang juga menerima suap36. Menindaklanjuti itu, pada 9 September 2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan adanya aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten 36 http://nasional.kompas.com/read/2009/11/05/1101534/Thahjo.Kumolo.Dijadwalkan.J alani.Pemeriksaan.KPK, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 15.12 44 45 sekaligus Direktur PT. Wahana Esa Sejati milik Nunun Nurbaeti, istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun. Kasus ini kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pada 9 Juni 2009, KPK mengumumkan empat anggota Komisi XI DPR sebagai tersangka perdana. Mereka adalah Dudhie Makmun Murod (PDIP), Endin AJ. Soefihara (PPP), Hamka Yandhu (PBR), dan Udju Djuhaeri (TNI/Polri). Dudhie, Hamka, Endin, dan Udju kemudian divonis bersalah hampir setelah berstatus tersangka, pada 17 Mei 2010. Dari pengakuan mereka, KPK mengembangkan kasus tersebut dan pada 1 September 2010 menetapkan 26 anggota Komisi XI DPR RI sebagai tersangka baru lainnya dan tersangka yang telah diproses hukum, di antaranya Paskah Suzetta dan Panda Nababan37. Dari keterangan yang diberikan oleh Agus Condro didapatkan lah nama Nunun Nurbaeti yang turut serta dalam kasus ini, iya berperan sebagai fasilitator penerimaan suap oleh anggota Komisi XI DPR RI. Kemudian KPK lanjut menetapkan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka atas kasus suap cek pelawat tersebut. Ditetapkannya Nunun Nurbaeti sebagai tersangka oleh KPK dianggap sebagai titik terang untuk menjerat oknum-oknum lainnya yang turut serta melakukan kasus suap ini. Dalam persidangan kasus Nunun Nurbaeti ini Nunun akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa kasus suap cek pelawat dan kemudia Miranda S. Goeltom dihadirkan menjadi saksi. 37 Lihat, h. 36-39 dari 136 h, Putusan Nomor : 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST 46 Dalam persidangan, Nunun Nurbaeti mengaku memfasilitasi pertemuan antara Miranda S. Goeltom dan beberapa anggota Komisi IX DPR RI dan pernyataan Nunun Nurbaeti ini pun sebagai bukti permulaan kedua yang membuktikan keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus Traveller Cheque. Dalam proses penetapan tersangka, yang sebelumnya Miranda S. Goeltom adalah sebagai saksi dalam sidang terdakwa Nunun Nurbaeti bukan lah hal yang tidak diperbolehkan atau melanggar hukum, adanya penetapan tersangka Miranda S. Goeltom karena terbuktinya Miranda S. Goeltom melakukan tindak pidana korupsi. Dan ini merupakan kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi ketentuan ini untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu. Terucap lagi oleh publik bahwa tidak adilnya hakim dalam menaikan status Miranda S.Goeltom yang tadinya sebagai saksi peradilan Nunun Nurbaeti pada saat itu pula berubah statusnya menjadi tersangka. Dimulai dari keterangan saksi yang dimana adalah alat bukti pertama seperti yang tertera di Pasal 184 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981. Hakim juga diminta „bersungguhsungguh memperhatikan‟ keterangan saksi demi kepentingan penilaian kebenaran keterangan tersebut. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keterangan saksi. Ada empat hal yang perlu sungguh-sungguh diperhatikan hakim, yaitu: a) Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain. b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. 47 c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; dan d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan untuk menguatkan terlaksananya perubahan status itu. Jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka bisa saja saksi dapat langsung dikenakan status tersangka. Tetapi Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka. Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera 48 langsung membuat berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan ke penuntut umum sebagai dasar menuntut tersangka.38 Dalam Pasal 183 KUHAP juga diatur bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Akan tetapi dalam praktek persidangan perkara pidana di pengadilan, termasuk perkara korupsi, keterangan minimal dua orang saksi yang bersesuaian satu sama lain dan tidak ditemukan alat bukti lainnya termasuk keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan dan keterangan saksi tersebut dipandang valid oleh hakim dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa maka hakim akan menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut. Jika hakim berpendapat bahwa keterangan saksi-saksi tersebut yang bersesuaian satu sama lain hanya sebagai satu alat bukti, maka 30 % terdakwa dalam perkara pidana yang diajukan ke pengadilan yang terdakwanya menyangkal perbuatannya akan dibebaskan oleh hakim, karena 30 % perkara pidana yang diajukan ke pengadilan hanya mempunyai alat bukti saksi-saksi dan terdakwa menyangkal perbuatannya. Dalam hal ini Hakim memberi penafsiran terhadap undang-undang dengan merujuk pada ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap 38 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakimmengubah-status-saksi-menjadi-tersangka, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 12.08 49 perbuatan yang didakwakan padanya”. Selanjutnya dalam ayat ke (3) Pasal 185 KUHAP tersebut diatur lebih lanjut bahwa “Ketentuan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya”. Dari ketentuan yang dikutip diatas dapat disimpulkan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa didukung minimal satu alat bukti sah lainnya tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan seseorang bersalah dan dijatuhkan pidana dan hal mana adalah selaras dengan azas satu saksi bukanlah saksi yang dianut dalam proses peradilan pidana. Dari uraian di atas ternyata keterangan seorang saksi yang menurut undang-undang tidak dianggap sebagai satu alat bukti sah atau dapat dikatakan baru setengah alat butki sah, akan tetapi apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya (tanpa disyaratkan minimal dua alat bukti sah), maka telah dianggap memenuhi persyaratan minimal dua alat bukti sah yang disyaratkan oleh undang-undang. Dapat ditafsirkan pula bahwa jika ada kesaksian dari dua orang atau lebih dan hakim yakin akan kebenaran keterangan saksi-saksi tersebut, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dipidana. Kalaupun ada hakim yang berpegang ketat pada prinsip legalisme, hakim boleh menafsirkan bahwa dari keterangan saksi-saksi tersebut telah diperoleh satu alat bukti lain yaitu petunjuk, karena alat bukti petunjuk diperoleh dari alat bukti keterangan saksi, surat ataupun keterangan terdakwa. Dalam perkara korupsi alat bukti petunjuk tersebut dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Demikian pula dari setiap rekaman 50 data atau infomasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dikertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna, sebagai mana diatur dalam Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang penyelidik ataupun seorang penyidik dalam memproses suatu kasus pidana termasuk kasus korupsi jangan terlalu kaku dengan mempertahankan pendirian bahwa keterangan dua orang atau lebih saksi-saksi yang bersesuaian satu sama lain hanya dipandang sebagai satu alat bukti saja dan oleh karena itu kasus tersebut harus dihentikan penyelidikan atau penyidikannya. Penyelidik ataupun penyidik harus berpandangan progresif dengan berpendapat bahwa dari keterangan saksisaksi tersebut telah diperoleh alat bukti petunjuk sehingga secara formal ketentuan minimal dua alat bukti sah telah tercukupi dan kasusnya dapat diteruskan ketingkat penyidikan dan atau penuntutan. Eksistensi dari bukti permulaan yang cukup itu sendiri di Indonesia dianggap sangat penting karena dalam proses penyelidikan untuk menahan atau menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana diperlukan suatu alat bukti yang harus memenuhi syaratsyarat dalam bukti permulaan yang cukup agar dapat melanjutkan ke tahap penyidikan. Maka pejabat penyelidik tidak dapat semudah itu menangkap atau menahan 51 seseorang tanpa mengumpulkan alat bukti yang memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup. Tapi dalam prakteknya banyak pejabat penyelidik yang menahan seseorang tanpa mengetahui alat bukti tersebut memenuhi syarat sebagai bukti permulaan yang cukup atau tidak. Dan keterangan diatas menjelaskan bahwa sebagian besar kewenangan KPK dalam menetapkan seseorang sebgai tersangka kasus korupsi sesuai dengan penetapan tersangka secara umum atau sesuai dengan prosedur-prosedur yang terdapat didalam KUHAP. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Berarti dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa hakim bisa secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan dapat pula secara tidak langsung menetapkan saksi menjadi tersangka, yakni dengan meminta aparat penegak hukum lain, seperti kejaksaan, kepolisian sampai KPK sebagai salah satu lembaga independen Negara. Berdasarkan kesaksian Agus Chondro, dan bukti lain data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, tentunya kita dapat menduga bahwa oknum dibalik kasus penyuapan traveller cheque ini adalah Miranda S Geoltom ditambah lagi kesaksian terdakwa Nunun Nurbaeti yang mengaku mefasilitasi pertemuan antata Miranda S. Goeltom dengan anggota Komisi XI DPR RI terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI. 52 Wanita yang lahir di Jakarta pada 9 Juni 1949 ini dikenal sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), akhirnya ditetapkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, menjadi tersangka dalam kasus pemberian cek pelawat. Jakarta, Kamis 26 Januari 2012. Tuduhan untuk Miranda ditetapkan menjadi tersangka adalah turut membantu atau turut serta dengan tersangka oleh Miranda S. Goeltom memberikan cek pelawat kepada anggota DPR periode 1999-2004. Sebagai keterangan terbuktinya kasus suap yang dilakukan oleh Miranda S. Goeltom terhadap anggota Komisi XI DPR RI adalah terbuktinya Dudhie Makmun Murod dari fraksi PDIP, Endin AJ Soefihara dari fraksi PPP dan Hamka Yandhu dari fraksi Golkar membagi-bagi cek travel BII kepada kolega di fraksinya masing-masing di Komisi IX DPR RI, yaitu: a. Duhie Makmun Murod yang menerima kantong belanja dengan kode merah, di dalamnya berisi cek BII dengan nilai per lembarnya Rp50 juta dengan jumlah keseluruhannya kurang lebih Rp9,8 Miliar. Cek tersebut dibagi untuk dirinya sendiri sebanyak 10 cek senilai Rp500 juta, Agus Condro Prayitno sebanyak 10 lembar senilai Rp500 juta, Emir Moeis sebanyak 4 lembar senilai Rp200 juta, dan selebihnya dibagikan kepada teman-temannya sesama anggota Komisi IX dari fraksi PDIP. b. Endin AJ Soefihara yang menerima kantong belanja dengan kode warna hijau, di dalamnya berisi cek travel BII dengan nilai per lembarnya Rp500 juta dengan jumlah keseluruhannya senilai 53 Rp1,25 Miliar. Cek itu dibagikan untuk dirinya sendiri sebanyak 10 lembar senilai Rp500 juta, Danial Tandjung, Sofyan Usman dan Uray Faisal Hamid masing-masing 5 lembar senilai Rp250 juta. c. Hamka Yandhu yang menerima kantong belanja dengan kode warna kuning, di dalamnya berisi cek travel BII dengan nilai per lembarnya Rp50 juta dengan jumlah keseluruhannya senilai Rp7,8 Miliar. Cek itu dibagi untuk dirinya sendiri 10 lembar senilai Rp500 juta, Paskah Suzetta sebanyak 12 lembar senilai Rp600 juta, dan selebihnya kepada teman-temannya sesama anggota komisi IX dari fraksi Golkar.39 Dalam penjabaran bukti di atas menunjukkan bahwa adanya kasus suap yang dilakukan Miranda S. Goeltom terhadap anggota Komisi IX DPR RI merupakan “permohonan” Miranda S. Goeltom agar memilihnya menjadi Deputi Gubernur Senior BI selanjutnya. Didalam Islam jelas di larang, adapun seseorang yang meminta jabatan sebagai Ketua dijelaaskan dalam hadist sebagai berikut : Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin Samurah : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya 39 Lihat, h 41-50 dari 184 h, Putusan Nomor : 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST 54 engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).” Dan Syaikh Ibnu „Utsaimin juga berkata: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya. Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469).40 Dengan demikian, Miranda Goeltom dengan dibantu Nunun Nurbaeti, telah memberi cek travel BII senilai Rp20,85 Miliar, yang merupakan bagian dari total 480 lembar cek travel BII senilai Rp24 Miliar kepada anggota DPR RI. Dengan penjabaran kasus tersebut juga bisa kita simpulkan penetapan tersangka Miranda S. Goeltom mencukupi 2 alat bukti permulaan, diatur dalam KUHAP B. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah demi menangani kasus korupsi yang tak kunjung ada habisnya, dimulai dari upaya pembenahan aspek peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan 40 http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-meminta-jabatan-1-tulisan-ke-1-daridua-tulisan/, diunggah tanggal 8 April 2015,pukul 16.35 WIB 55 hukum acara tindak pidana korupsi seperti lahirnya UU No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diganti dengan UU N0. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002. Dilihat dari semua upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah guna melakukan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi-lah yang kini di agung-agungkan menjadi salah satu dari lembaga negara selain Kepolisian dan Kejaksaan yang sangat tepat memberantas para koruptor di Indonesia. Tetapi dalam perjalanan kinerja KPK sejauh ini banyak yang berasumsi bahwa KPK telah melakukan kesewenang-wenangan dalam melakukan tugas dan fungsinya sebagai lembaga anti korupsi yang indepen. Terbentuknya suatu lembaga anti korupsi atau badan baru dalam sebuah pemerintahan tentunya harus memiliki batasan kewenangan yang jelas, sebagaimana yang dimaksud ialah suatu pedoman atau acuan untuk melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja instansi pemerintahan. Salah satu lembaga baru yang dibentuk ini ialah KPK, bertujuan untuk menanggulangi masalah korupsi yang ada di Indonesia. Artinya KPK pun mempunyai aturan sendiri yang menjadi acuan dalam melaksanakan tugasnya sebagai lembaga independen negara anti korup. Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah segala 56 peraturan yang dimiliki dan diterapkan oleh KPK dan sudah pasti menjadi landasan KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memerangi korupsi di Indonesia. Tidak hanya itu saja, adanya Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ini juga menjadi batasan kewenangan KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya mengingat KPK adalah lembaga independen negara yang berkekuatan superbody dan supervisi agar tidak melakukan abuse of power. Dalam hal penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus Traveller Cheque ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menjalani ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang KPK. Pertama, dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom, adanya bukti yang melebihi sebagai kategori bukti permulaan yang cukup dalam penetapan tersangka telah dimiliki KPK. Adanya alat bukti yang dimiliki KPK menguatkan keputusan KPK dalam menetapakan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka terkait kasus Traveller Cheque. Wanita yang mulai mengajar sebagai dosen FEUI pada 1975 dan yang memiliki khas rambut pendek ini adalah pakar ekonomi moneter terkemuka di Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Indonesia, sementara gelar Master dan PhD-nya didapatkan dari Universitas Boston, Amerika Serikat. Karirnya yang dimulai pada 1973 sebagai koordinator dan staf pengajar untuk kursus jangka pendek dan jangka panjang pada Program Perencanaan Nasional, Bappenas-FEUI. Miranda pernah menjadi konsultan Bank Dunia dalam berbagai proyek dan Badan Bantuan 57 Pengembangan Internasional Amerika (USAID), Jakarta. Pada 1998, ia menjadi Presiden Komisaris PT. Bank UPPINDO dan Komisaris Utama PT. ASKRINDO sebagai wakil pemegang saham Bank Indonesia. Pada 2004, Miranda menjabat Presiden Komisaris PT Rabobank Internasional Indonesia setelah sebelumnya sempat menjadi Alternate Governor pada Bank Pembangunan Asia untuk Indonesia. Ia turut dalam pemilihan gubernur BI pada 2003 namun kalah dari Burhanuddin Abdullah. Akhirnya dia harus puas menjabat posisi deputi senior. Jabatan Deputi Senior Gubernur BI ini disandangnya dari 2004 sampai 2008, setelah sebelumnya menjabat deputi Gubernur BI41. Dimulai sekitar awal bulan Mei 2004, Komisi IX DPR RI menerima tugas dari Pimpinan DPR-RI untuk melaksanakan proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI) sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden RI Megawati Soekarnoputri, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 41 UU Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 tahun 2004 - dengan 3 orang calon yaitu Miranda Goeltom, Hartadi A Sarwono dan Budi Rochadi. Sebelum pelaksanaan pemilihan, Miranda yang pernah gagal dipilih dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia di tahun 2003 - melakukan pertemuan dengan Nunun Nurbaeti, dimana dalam pertemuan itu ia meminta Nunun ikut membantu mengusahakan kemenangan Miranda dalam fit and 41 https://id.wikipedia.org/wiki/Miranda_Goeltom, diunduh tanggal 2 Juni 2015 hari selasa, pukul 19.08 58 proper test Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Miranda pun meminta Nunun memperkenalkan teman-teman Nunun yang menjadi anggota Komisi IX DPR RI, guna mencari dukungan atas pencalonannya. Nunun pun menyetujui permintaan Miranda. Sampai akhirnya pada tahun 2012, Miranda S. Goeltom telah dipersepsikan publik sebagai jantung dari kasus Cek Pelawat yang menjerat banyak anggota DPR periode 2004-2009. Pemberitaan di media massa telah mendorong kebanyakan orang untuk menghakimi Miranda sebagai orang yang tahu dan berkepentingan atas beredarnya Cek Pelawat tersebut, yang juga dipersepsikan sebagai landasan terpilihnya Miranda sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2008. Penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad berlandaskan bukti adanya keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus yang menjerat Nunun Nurbaeti. Miranda diduga kuat turut andil dalam kasus ini. Setelah statusnya ditingkatkan menjadi tersangka, KPK mulai mengembangkan penyidikan dalam kasus ini. Terkait alat bukti yang dimiliki KPK sama akan halnya yang sudah disebutkan di dalam KUHAP adanya keterangan saksi dan keterangan terdakwa. Tetapi ada bukti tambahan yang menambah kekuatan KPK dalam menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka yaitu adanya keterangangan saksi yang lain atau keterangan dari beberapa anggota Komisi IX DPR RI selain Agus Condro dinyatakan sebagai petunjuk. Sehingga ada 59 tiga bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka. Bukti keterangan saksi yang lain sah menurut Pasal 44 ayat (2) “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optic”. Miranda pun akhirnya dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) kesatu dan ayat 2 Jo Pasal 56 KUHP “Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”. Sehingga dapat dipahami bahwa implementasi penetapan tersangka Miranda S. Goeltom sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. Tetapi di dalam melaksanakan kewenangannya sebagai salah satu lembaga independen negara yang mempunyai kekuatan superbody, KPK memiliki satu perbedaan dalam melakukan pelaksanaan penyidikan yaitu tidak dapat melakukan pemberhentian penyidikan perkara seperti yang bisa dilakukan oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. C. Faktor-faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom Terungkapnya kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior dan pemberian Traveller Cheque ini menjadi dasar penetapan Miranda S. Goltom 60 sebagai tersangka. Miranda adalah perempuan pertama yang menjabat Deputi Gubernur Senior BI melalui uji kelayakan oleh DPR. Namanya kemudian disangkutkan dengan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia priode 2004 begitu kasus itu terbongkar aparat hukum. Miranda diduga turut serta membantu Nunun Nurbaeti melakukan tindak pidana korupsi dengan memberikan sejumlah cek perjalanan ke anggota Dewan Perwakilan Rakyat priode 1999-2004. Dilibatkannya Miranda S. Goeltom dalam kasus suap ini diawali dari pengakuan salah satu anggota Komisi IX DPR RI yang mengaku menerima suap dari Miranda atas bantuan Nunun, ini menjadi salah satu yang mendasari penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus suap cek pelawat. Adapun dilakukannya fit and proper test yang dilakukan Miranda S. Goeltom dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Senior BI hanya menjadi sebuah syarat atau formalitas atas terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Pengakuan anggota Komisi IX DPR RI tersebut menjadi pertimbangan serta celah bagi KPK untuk mencari lagi barang bukti yang mendukung terlibatnya Miranda S. Goeltom dalam kasus suap ini. Dalam kasus suap ini pastinya ada seseorang yang memberi dan mengharapkan sesuatu entah berupa barang atau pun jasa. Ini menjadi suatu awal bagi penyelidikan siapa yang yang memberikan suap tersebut sebagai pendukung keterangan yang diberikan oleh anggota Komisi IX DPR RI. Dan dari hasil 61 penyelidikan tersebut terbukti lah Miranda S. Goeltom sebagai jantung kasus suap tersebut. Akhirnya Miranda telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap cek pelawat. Mantan DGS BI tahun 2004 tersebut, atas sangkaan membantu atau turut serta membantu tersangka Nunun Nurbaeti dalam memberikan cek pelawat kepada anggota Komisi IX DPR RI periode 19992004. Sehingga, diduga 480 cek pelawat senilai Rp 24 miliar tersebut diberikan dalam rangka pemilihan DGS BI tahun 2004. Dugaan ini disebutkan juga karena pemilihan DGS BI tahun 2004 itu dimenangkan oleh Miranda S. Goeltom, maka dipastikan bahwa ada peran Miranda S. Goeltom dibalik kasus suap tersebut kepada anggota Komisi IX DPR RI periode 19992004. Atas sangkaan lainnya yang disangkakan Ketua KPK, Abraham Samad terhadap Miranda S. Goeltom bahwa Abraham Samad mendapatkan tambahan bukti baru yaitu adanya pengakuan dari anggota Komisi IX DPR RI lainnya terkait kasus TC BII (Travellers Cheque Bank Internasional Indonesia). Dari sinilah Ketua KPK, Abraham Samad berani menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI). BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN Berdasarkan data yang diperoleh untuk menjelaskan sesuai atau tidaknya implementasi penetapan tersangka Miranda S. Goeltom sebagai tersangka dengan KUHAP serta UU KPK dan faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan disimpulkan sebagai berikut : 1. Penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK sudah sesuai dengan semua ketentuan yang tertera di dalam KUHAP dan UU KPK. Adanya bukti permulaan yang cukup sudah terpenuhi untuk KPK dapat menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka merupakan hal yang disebutkan di dalam KUHAP dan dijelaskan lebih lengkap di dalam UU KPK. Undang-Undang KPK yang memberi wewenang KPK sebagai lembaga supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan korupsi, menjadikan KPK memiliki batasan kewenangan yang luas tetapi tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku diatasnya yaitu KUHAP. 2. Ada beberapa faktor yang mendasari penetapan Miranda S. Goeltom sebagai Tersangka yaitu adanya keterangan dari salah satu anggota Komisi IX DPR RI yang mendatangi KPK dan mengaku menerima suap setelah dilakukan pertemuan oleh Miranda S. Goeltom dengan sejumlah anggota Komisi XI DPR RI, yang ternyata difasilitasi oleh Terdakwa 62 63 kasus suap Nunun Nurbaeti dan pertemuan ini diakui Nunun Nurbaeti untuk membicarakan masalah pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kemudian pengakuan Agus Condro kepada KPK yang mengaku menerima suap atas pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia juga mengungkap semua pihak yang menerima kasus suap cek pelawat dan terbukti bahwa Miranda S. Goeltom yang dibantu oleh terdakwa Nunun Nurbaeti telah melakukan suap dalam upaya terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI. B. SARAN Sebagai penutup dari kesimpulan diatas penulis disini akan memberikan saran-saran terkait dengan penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK : 1. Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya lebih terbuka lagi kepada masyarakat terkait semua proses pemeriksaan dan penetapan tersangka para koruptor agar dapat diakses oleh masyarakat melalui website Komisi Pemberantasan Korupsi, mengingat asas yang digunakan KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya menganut asas transparansi serta mencegah hal-hal yang dapat meragukan masyarakat bahwa KPK sebagai lembaga independen negara bisa saja menyalahgunakan kekuasaanya mengingat tidak ada lembaga lain yang mengawasi kewenangan dan kenerja KPK tersebut. Adanya penjelasan 64 tambahan tersebut jika tercantum di dalam website KPK dapat menambah wawasan masyarakat awam terkait kinerja KPK yang sesuai dengan UU KPK itu sendiri tanpa menduga-duga atau terprofokasi pihakpihak yang ingin menjatuhkan KPK. 2. Untuk KPK agar selalu jeli dalam menetapkan tersangka serta taat menjalankan seluruh tugas dan kewenangannya sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. Dan tetap berpegang teguh pada asas-asas yang berlaku dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum serta asas proporsionalitas. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟anul Karim Buku : Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, 2005. Buku Kompas, Jakarta, cet-ke 1, Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Sinar Grafika, Balikpapan, edisi ke-2, 2008. Ensiklopedia Pemerintahan dan Pemerintahan di Indonesia. Kewarganegaraan, Sistem dan Bentuk Hamzah, A, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985. Hamzah, Andi, Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet-ke 7, 2008. Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Grafiti, Bandung, 2006. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2007. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV, Bayumedia Publishing, Malang, 2008. Ihza Mahendra, Yuhsril, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, 2002. Isra, Saldi, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2009. Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2007. 65 66 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2011. M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Mukti Arto, A, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. ProdjodikoroWirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2.Sumur Bandung, Bandung, 1962. Pepatah latih lama „Quis custodiet ipsos custodet?’ Setyawati, Deni, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Memberangus Korupsi, Pustaka Timur, Yogyakarta, 2008. Sinambela, Poltak Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan Implementasi, cet.V, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010. Soekardi, Sugriwadi, Dibawah Cengkraman KPK Pergulatan Penyalahgunaan Kewenangan KPK, Jakarta, CV Ricardo, 2009. Korban Sudjana, Eggi, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, 2002. Perundang-Undangan : Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957 Putusan Nomor : 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST Putusan Nomor : 33/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST Putusan Nomor : 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST 67 Media Sosial : http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistemketatanegaraan-republik-Indonesia-ananlisis-kedudukan-komisipemberantasan-korupsi/mrdetail/4770/. http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-meminta-jabatan-1-tulisan-ke-1-daridua-tulisan/. https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcementvolume-3-nomor-1-april-september-2009.pdf, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakimmengubah-status-saksi-menjadi-tersangka Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2008. Deputi Bidang Informasi dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat. Penjelasan mengenai fungsi dari setiap Deputi KPK lihat Lampiran 2. Komisi