PENETAPAN TERSANGKA MIRANDA S. GOELTOM DALAM

advertisement
PENETAPAN TERSANGKA MIRANDA S. GOELTOM DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Santi Frannita
NIM : 1111048000080
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
PROGRAM STUDI
ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ABSTRAK
Santi Frannita. NIM 1111048000080. PENETAPAN TERSANGKA
MIKRANDA S. GOELTOM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI.
Program Studi Ilmu Hukum,Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1436H/2015M. ix + 67 halaman. Skripsi ini membahas tentang penetapan
tersangka Miranda S. Goeltom dalam tindak pidana korupsi. Hal ini
dilatarbelakangi oleh adanya tudingan terhadap KPK yang dikatakan menjalankan
tugas dan fungsinya secara sewenang-wenang dalam penetapan tersangka
Miranda S. Goeltom, tidak sesuai dengan Undang-Undang Pemeberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. KPK
sebagai lembaga independen negara yang dipercaya menangani kasus tindak
pidana korupsi tentunya mempunyai aturan dan ketetapan sendiri dalam
menindaklanjuti kasus tindak pidana tersebut yaitu Undang-undang Komisi
Pemberantasan Korupsi selain KUHAP. Tujuan penelitian ini adalah untuk
melihat ulang apakah keputusan serta kewenangan KPK dalam menetapkan
Miranda S. Goeltom sebagai tersangka benar-benar dilandasi hukum yang kuat.
Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan cara meneliti dan mengkaji
peratuan perundang-undangan yang mengatur tentang fungsi dan kewenangan
KPK dan prosedur penetapan tersangka. Selain meneliti undang-undang, penulis
juga meneliti buku-buku, pendapat para ahli, serta dokumen-dokumen lainnya
yang berkenaan dengan penelitian. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejauh
kewenangan KPK dalam menetapakan tersangka sebuah kasus tindak pidana
korupsi terkait kasus penetapan tersangka Miranda S. Goletom, KPK telah
menjalankan kewenangannya sesuai dengan prosedur yang berlaku menurut
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan tidak bertentangan
dengan KUHAP.
Kata Kunci
Pembimbing
Daftar Pustaka
: Korupsi, Penetapan Tersangka, Kewenangan
Pemberantasan Korupsi
: Dr. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH
: Tahun 1962 sampai Tahun 2014
iv
Komisi
KATA PENGANTAR
‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬
Segala puji dan syukur ke-Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, Alhamdulillahi Robbil
‘alamin
terucap
dengan
ikhlas
segala
rasa
syukur
kepada-Nya
atas
terselesaikannya skripsi ini oleh penulis. Sholawat serta salam semoga selalu
tercurah limpahkan kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW.
Dengan penuh rasa tulus penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan, akan tetapi skripsi ini merupakan hasil usaha dan upaya
yang maksimal. Tidak sedikit hambatan, ujian dan kesulitan yang penulis temui.
Banyak hal yang tidak dapat dilampirkan didalam skripsi ini karena keterbatasan
pengetahuan dan waktu. Namun patut dan selalu disyukuri atas pengalaman suka
duka yang didapatkan dalam penulisan skripsi ini.
Penulis sangat berterimakasih, tanpa motivasi dari pembimbing dan semua
pihak yang mendukung penelitian ini, penelitian ini tidak dapat terselesaikan.
Pada kesempatan kali ini izinkanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.
2.
Bapak Dr. Djawahir Hejjazziey, SH, MA, MH., Ketua Prodi Ilmu Hukum
sekaligus
Dosen Pembimbing penulis
yang selalu sabar dalam
membimbing penulis dan selalu membantu serta memotivasi penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Bapak Arip Purqon, MA.,
sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.
v
3. Burhanudin, M.Hum., Dosen Pembimbing Akademik penulis dari
semester awal hingga semester akhir perkuliahan.
4. Kedua orang tua penulis bapak Syafi’i dan ibu Siti Azinar yang selalu
mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan motivasi, doa
dan selalu mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri. Kak Eti, kak Asni,
bang Firdi, mas Sukarto selaku kakak-kakak penulis serta Dimas dan
Fathir selaku keponakan tercinta
5. Bapak Nur Habibi, SH, MH., selaku dosen perkuliahan penulis yang selalu
membantu, memberikan masukan, solusi, saran dan motivasi kepada
penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MPSD dan Drs. Abu Thamrin, SH,
M.Hum., selaku dosen penguji skripsi penulis.
7. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Program Studi Ilmu Hukum.
8. Staf Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selalu ramah dan
membantu penulis untuk memperoleh data penunjang penulisan skripsi.
9. Seluruh kawan-kawan Program Studi Ilmu Hukum terutama kawan-kawan
seperjuangan konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara 2011.
10. Semua sahabat penulis Tiwi, Dini, Inggrit, Mazda, Khadafi, Ilma, Endah,
Resa, Isti, Ilma, Uthi. Semua teman kost penulis ka Tiwi, ka Riza, Farid,
Hani dan teman KKN yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu.
vi
Atas semua jasa, dukungan dan bantuan dari semua pihak yang telah
disebutkan diatas penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan
selalu mendoakan semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan yang
berlipat ganda atas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang turut serta
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah
SWT selalu memeberikan Rahmat dan Hidayah-Nya serta mencurahkan kasih
sayang-Nya kepada kita semua. Amin Allahuma Amin.
Jakarta, 29 Mei 2015
Santi Frannita
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ..............................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................... .
ii
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................
v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................................
1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ........................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................................
5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ..........................................................
6
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu ........................................................
9
F. Metode Penelitian.................................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 14
BAB II LANDASAN TEORI
A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) .......................................................................... 16
B. Penetapan Tersangka Menurut Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi .................................................. 25
BAB III PROFIL KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)
A. Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK)
1. Sejarah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .............................. 29
viii
2. Visi dan Misi KPK ........................................................................... 31
3. Tugas dan Kewenangan KPK .......................................................... 31
4. Strukutur Organisasi dan Keanggotaan KPK ................................... 36
B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan .................................. 38
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA
A. Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom .................................. 44
B. Implementasi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom ................... 54
C. Faktor-Faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda
S. Goeltom .............................................................................................. 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 62
B. Saran-Saran ............................................................................................. 63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 65
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak sekali pemberitaan yang timbul mengenai korupsi di
Indoneisa. Dari tahun ke tahun sejak tahun lima puluhan, masalah korupsi di
Indonesia tidak pernah sepi dari pembicaraan, perdebatan sampai usaha
memperbaiki undang-undang. Bahkan muncul rasa putus asa untuk
memberantasnya.1 Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang
dalam tiga tahap, yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Tahap yang paling kritis,
ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit
penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai
pada tahap sistematik.2
Berbicara masalah korupsi jelas sangat menarik sebab menyangkut
orang-orang yang memiliki kekuasaan dan jabatan. Perbuatan korupsi
biasanya dilakukan dalam bentuk rekayasa yang seolah-olah dibenarkan oleh
hukum dan bahkan terkandung dibalik kelemahan hukum itu sendiri. Melihat
korupsi di Indonesia, korupsi ini sudah tergolong extra-ordinary crimes karena
telah merusak dan meluluhlantakan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik,
dan tatanan hukum nasional. Diperlukan suatu cara dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi secara luar biasa yang dilaksanakan oleh suatu lembaga
1
Andi Hamzah,Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Jakarta, Raja Grafindo Persada, cet-ke 7, 2008, h. VII.
2
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h.12.
1
2
khusus berfungsi untuk memberantas tindak pidana korupsi. 3 Maka
dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai sebuah lembaga
yang menangani khusus tindak pidana korupsi yang dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun.
Kehadiran KPK di Indonesia tidak secara otomatis menghentikan
praktik-praktik korupsi yang sudah marak4 bahkan kewenangan yang dimiliki
KPK saat ini masihlah disertai dengan lemahnya pengawasan terhadap sistem
dan kinerja KPK sehingga kehadiran KPK yang digadang-gadang sebagai
lembaga independen negara terkesan menjalankan fungsinya secara sewenangwenang dan tentu saja dapat meyebabkan terjadinya penyalahgunaan
kewenangan oleh segelintir oknum KPK. Pada kenyataanya akhirnya timbul
berita terjadinya kesewenang-wenangan KPK dalam menetapkan tersangka
atau bisa dikatakan KPK menyalahi ketentuan undang-undang yang berlaku di
KPK serta KUHAP dalam hal menetapkan tersangka yang akhir-akhir ini
timbul di media. Masalah yang terakhir ini diduga karena dalam penetapan
tersangka, KPK tidak memiliki bukti permulaan yang cukup. Kesulitan
pemahaman tentang bukti permulaan yang cukup dirasakan oleh kalangan
aparat penegak hukum sendiri karena banyaknya pendapat mengenai “bukti
permulaan yang cukup”.
3
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Balikpapan, Sinar Grafika, edisi ke-2, 2008, h. 13.
4
Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Memberangus Korupsi,Yogyakarta: Pustaka Timur, 2008,h.59-60.
3
Belum hilang dari ingatan kita bagaimana beberapa tahun yang lalu
seorang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani
kasus yang menyangkut seorang Gubernur Senior Bank Indonesia, Miranda
Swaray Goeltom, yang didesak publik untuk diusut tuntas kasusnya,
menjelaskan kepada publik, bahwa kasus tersebut belum bisa dilakukan
penyidikan karena belum ditemukan alat bukti yang cukup. KPK minimal
memerlukan 2 alat bukti yang cukup untuk memproses lebih lanjut kasus
tersebut sehingga memenuhi kriteria sebagai bukti permulaan yang cukup
yang ditentukan oleh undang-undang KPK sendiri dan berdasarkan KUHAP.
Disebutkan dapat dipahami oleh karena dalam Pasal 44 ayat (2) Undang
undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diatur bahwa “ Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti ….dan
seterusnya”.
Tanpa terpenuhinya minimal dua alat bukti tersebut menyebabkan
kasus tersebut belum dapat ditingkatkan ketahap penyidikan karena belum
adanya bukti permulaan yang cukup. Sebagaimana kita ketahui bahwa alat
bukti sah dalam perkara pidana ada lima, yaitu keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk dan terakhir keterangan terdakwa.
Ini berarti dibutuhkan sesuatu hal yang baru dalam menelaah kembali
kinerja lembaga tersebut melihat kedudukan lembaga negara ini yang bersifat
independen. Tidak dengan menambah instrumen hukum semacam komisi
pengawasan yang baru yang nantinya akan bertindak selaku pengawas kinerja
4
KPK atau „siapa yang akan menjadi pengawas dari para pengawas
tersebut?’5 melainkan digunakannya „due process of law’ yang baik dan
benar dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di KPK sesuai dengan
Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP
serta adanya transparansi KPK dalam penanganan kasus korupsi terhadap
masyarakat.
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang hendak diteliti ialah bagaimana penetapan
tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK telah sesuai atau tidak dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan KUHAP. Serta faktor-faktor apa
saja yang mendasari penetapan tersangka tersebut. Rumusan tersebut dirinci
kedalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
a. Bagaimana penetapan tersangka Miranda S. Goeltom dilihat dari
Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
KUHAP ?
b. Faktor-faktor apa saja yang mendasari penetapan tersangka
Miranda S. Goeltom?
2.
Batasan Masalah
Mengingat luasnya pembahasan penelitian ini, maka permasalahan
penelitian ini akan dibatasi. Pemberantasan korupsi terdapat tiga unsur atau
5
Pepatah latih lama „Quis custodiet ipsos custodet?’
5
bidang, yaitu pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Penelitian
ini hanya membahas penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam tindak pidana korupsi sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Sejalan dengan batasan dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
a. Untuk membuktikan apakah penetapan status tersangka yang
dilakukan KPK sesuai dengan UU Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan KUHAP.
b. Untuk menjelaskan beberapa faktor-faktor yang mendasari penetapan
tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK.
2.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
a. Secara teoritis, penelitian ini memberikan penjelasan tentang Kinerja
KPK dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
b. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada para
peminat hukum tata negara dan praktisi ketatanegaraan dalam melihat
6
seluas apa kewenangan KPK. Penelitian ini juga diharapkan dapat
meningkatkan kinerja KPK sesuai Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana yang sudah ditentukan.
c. Secara akademis, penelitian ini merupakan syarat untuk meraih
gelar Sarjana Hukum dalam Program Studi Ilmu Hukum di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1.
Kerangka Teoritis
Sebagaimana pendapat Lord Acton bahwa “power tends to
corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan itu
bagaimanapun kecilnya cenderung untuk disalahgunakan. Semakin kuat
kekuasaan itu semakin kuat pula kecendrungan penyalahgunaannya.6
Pendapat ini terbukti dengan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi
di dunia, dan seberapa banyak kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Seiring dengan munculnya berbagai lembaga independen negara
memperkuat adanya kekuasaan yang disalahgunakan.
2.
Kerangka Konseptual
Pada bagian ini akan dikemukakan konsep dasar yang digunakan
sebagai dasar operasional dalam penelitian ini, antara lain adalah korupsi,
6
A Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2001, h. 11.
7
komisi pemberantasan korupsi, lembaga negara, lembaga negara
independen serta penetapan tersangka.
a. Korupsi
Korupsi sebagai fenomena menyimpang dalam kehidupan
sosial budaya, kemasyarakatan dan kenegaraan. Korupsi berasal dari
kata Latin Corruptio atau Corruptus, kemudian muncul dalam bahasa
Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie,
selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.7
Korupsi juga diartikan sebagai sebuah kejahatan yang menghancurkan
lembaga
demokrasi,
kepercayaan
menggerogoti
masyarakat
tatanan
terhadap
hukum,
negara,
pertumbuhan ekonomi, menghambat upaya-upaya
merusak
memperlamban
pengentasan
kemiskinan, mengganggu alokasi sumber daya, menurunkan daya
saing negara dan melumpuhkan investasi.8
b. Komisi Pemberantasan Korupsi
Merebaknya kasus korupsi yang melanda bangsa kita
belakangan ini, sungguh sangat memprihatinkan. Keprihatinan
masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya penyakit korupsi
yang melanda bangsa ini, maka pada tanggal 29 Desember 2003
7
A. Hamzah, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, (Jakarta :
Akademika Pressindo, 1985), h. 2-3.
8
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung : Grafiti,
2006), „dikutip dari kata pengantar Drs. Taufiequrrahman Ruki, S.H. , selaku mantan ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi, h. xi.
8
lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK,9 KPK
merupakan sebuah komisi yang dibentuk berdasarkan kepada Undangundang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
dengan
tujuan
untuk
mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.
c. Lembaga Negara
Lembaga
Negara
adalah
lembaga
pemerintahan
atau
"Civilizated Organization" dimana lembaga tersebut dibuat oleh
negara, dari negara, dan untuk negara dimana bertujuan untuk
membangun negara itu sendiri. Lembaga negara terbagi dalam
beberapa macam dan mempunyai tugas masing-masing antara lain
Lembaga Negara Utama dan Lembaga Negara Penunjang. Lembaga
Negara Utama dapat juga disebut Lembaga Tinggi Negara adalah
Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi (UUD),
sedangkan Lembaga Negara Penunjang dibentuk sesuai UU dan
merupakan penunjang terhadap fungsi Lembaga Negara Utama10.
d. Lembaga Negara Penunjang
9
Deni Setyawati,KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Memberangus Korupsi,(Yogyakarta: Pustaka Timur), 2008, h. 18.
10
https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcement-volume-3nomor-1-april-september-2009.pdf, diakses tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 14.20
9
Adapun istilah “lembaga negara bantu” merupakan yang
paling umum digunakan oleh para pakar dan sarjana hukum tata
negara, walaupun pada kenyataannya terdapat pula yang berpendapat
bahwa istilah “lembaga negara penunjang” atau “lembaga negara
independen”
e. Penetapan Tersangka
Penetapan tersangka adalah suatu proses ketika seseorang
diduga karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan yang patut diduga sebagai pelaku tindak pidana dan
menunjukkan ia patut diduga bersalah melakukan suatu delik.11
E. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
No. Aspek Perbandingan
Studi Terdahulu
1.
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Oleh
a. Judul Skripsi
Peyidik Pada Komisi Pemberantasan Korupsi
Menurut UU No. 30 Tahun 2002.
b. Fokus
Apakah tugas, wewenang dan kewajiban
Komisi Pemberantasan Korupsi menurut UU
No. 30 Tahun 2002, apa saja kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi di dalam
proses penyidikan tindak pidana korupsi
11
h.66.
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008,
10
menurut
UU
No.30
Tahun
2002
bagaimanakah
proses
penyidikan
dan
tindak
pidana korupsi oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi pada tingkat penyidikan menurut UU
No. 30 Tahun 2002.
2.
c. Waktu/Tempat
Universitas Indonesia, Depok 2004
a. Judul Skripsi
Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia :
Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu.
b. Fokus
Apa yang dimaksud dengan lembaga negara
bantu dan bagaimana kedudukannya dalam
suatu
sistem
bagaimanakah
Pemberantasan
ketatanegaraan
kedudukan
Korupsi
(KPK)
serta
Komisi
sebagai
lembaga negara bantu di dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia (RI).
3.
c. Waktu/Tempat
Universitas Indonesia, Depok 2007
a. Judul Skripsi
Urgensitas Kerjasama Antara KPK Dengan
PPATK Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia (Analisis Yuridis).
b. Fokus
Bagaimanakah
Undang-Undang
mengatur
kerjasama antara KPK dengan PPATK dalam
11
pemberantasan korupsi di Indonesia serta
bagaimanakah urgenitas kerjasama antara
KPK dengan PPATK dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi.
c. Waktu/Tempat
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta 2012
Yang membedakan penelitian yang akan saya lakukan dengan
penelitian sebelumnya ini adalah dimana penelitian lain lebih mengarah
kepada kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Sedangkan
penelitian yang akan saya lakukan lebih mengerucut kepada kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen negara yang
dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Kitab-Undangundang Hukum Acara Pidana. Penelitian
saya akan mengungkap dan membuktikan bahwasannya kewenangan dan
fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi yang saat ini terlaksana tidak
bertentangan dengan aturan hukum.
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangan KPK sebagai lembaga
super body yang seharusnya dilaksanakan secara transparan perlu dipublis
dan mudah diakses hasilnya oleh masyarakat, agar semua kalangan
masyarakat mengetahui apakah ada ketentuan-ketentuan atau kewengangankewenangan KPK yang menyalahi aturan hukum serta tentang batasan
kewenangan KPK dalam menjalankan fungsi serta tugasnya. Oleh karena itu
semua
kewenangan
KPK
sendiri
terkait
pelaksanaan
penyidikan,
penyelidikan dan penindakan pemberantasan korupsi perlulah diperjelas
dengan menyesuaikan Undang-undang yang mengaturnya.
12
F. Metode Penelitian
Metode
penelitian
adalah
suatu
cara
yang
digunakan
untuk
memecahkan permasalahan dan sebagai pedoman untuk memperoleh hasil
penelitian yang mencapai tingkat kecermatan dan ketelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan.
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif.
Penelitian jenis ini hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan atau hukum yang dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas.12Penelitian ini berlandaskan norma-norma hukum yang
berlaku yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Pendekatan Masalah
Dalam penelitian hukum normatif terdapat beberapa pendekatan.
Dengan pendekatan ini, Penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang akan dibahas. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian hukum normatif yaitu:13 pendekatan perundang-undangan,
pendekatan kasus, pendekatan historis dan pendekatan komparatif. Dalam
penelitian ini pendekatan yang Penulis gunakan adalah pendekatan
perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan komparatif.
12
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h.118.
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cet.VI,(Jakarta: Kencana,2010), h.93.
13
3. Bahan Hukum
a.
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum bersifat otoritatif.
Artinya sumber-sumber hukum yang dibentuk oleh pihak yang
berwenang.Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan, catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan.14
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan
dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai dengan
diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.15 Terdiri dari buku-buku teks, jurnal
hukum, kamus hukum, hasil penelitian yang berkaitan dengan
kedudukan
14
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
struktur
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
cet.IV,(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h.141.
15
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I,(Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2004), h.119.
14
ketatanegaraan dan penetapan tersangka menurut KUHAP dan Undangundang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.
Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dari bahan hukum yang sudah terkumpul baik bahan hukum primer
maupun bahan hukum sekunder diklasifikasikan sesuai isu hukum yang
akan dibahas. Kemudian bahan hukum tersebut diuraikan untuk
mendapatkan penjelasan yang sistematis. Pengolahan bahan hukum
bersifat deduktif yaitu menarik kesimpulan yang menggambarkan
permasalahan secara umum ke permasalahan yang khusus atau lebih
konkret.
Setelah menjelaskan permasalahan secara umum kemudian Penulis
menganalisisnya (melakukan penalaran ilmiah) untuk menjawab isu
hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
G. Pedoman Penulisan Skripsi
Penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. 1. 2012.”
H. Sistematika Penulisan
Pada bagian ini, penulis akan mensistematisasi persoalan-persoalan yang
akan dibahas dengan membagi ke dalam beberapa bab sebagai langkah
sistematisasi. Pada setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang akan membuat tulisan
lebih terarah, saling mendukung dan menjadi satu kesatuan yang utuh, sebagai
berikut:
15
BAB Pertama Tentang Pendahuluan
Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, tinjauan (review), metode
penelitian, pedoman penulisan skripsi dan sistematika penulisan.
BAB Kedua Tentang Landasan Teori
Terdiri dari Landasan Teori mengenai Penetapan Tersangka Menurut
Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB Ketiga Profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Terdiri dari Sejarah, Visi, Misi, Tugas dan Kewenangan, Struktur
Organisasi dan Keanggotaan serta Kedudukan Komisi Pemberantasan
Korupsi dalam Struktur Ketatanegaraan.
BAB Keempat Tentang Analisis Implementasi Standar Operasional
Prosedur KPK
Bab ini terdiri dari Implementasi Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) Dalam Penetapan Tersangka Miranda S.Goeltom,
Implementasi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom dan Faktor-Faktor yang
Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom.
16
BAB Kelima Tentang Penutup
Berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian,
dilengkapi juga dengan saran saran yang dapat membantu dan memberikan
masukan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, khususnya melalui
Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penetapan Tersangka Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP)
Menurut pasal 1 Nomor 14 KUHAP, bahwa yang dimaksud
dengan tersangka adalah “seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
tersangka tindak pidana”.
Definisi bukti permulaan yang cukup berdasarkan penjelasan
Pasal 17 KUHAP, adalah ”Bukti permulaan untuk menduga adanya
tindak pidana sesuai dengan bunyi pasal 1 butir 14”. Sementara Pasal
1 butir 14 KUHAP menyatakan ”Bahwa tersangka adalah seseorang
yang
karena
perbuatan
atau
keadaannya,
berdasarkan
bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Berdasarkan
Hasil Rapat Kerja Gabungan Mahkamah Agung, Kehakiman,
Kejaksaan, Kepolisian (Rakergab Makehjapol) 1 Tahun 1984
halaman 14, dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan bukti
permulaan yang cukup, seyogyanya minimal laporan polisi ditambah
dengan salah satu alat bukti lainnya. Sedangkan dalam Penetapan
Pengadilan Negeri Sidikalang Sumatera Utara No.4/Pred-Sdk/1982,
14 Desember 1982, bukti permulaan yang cukup harus mengenai
alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 (1) KUHAP bukan yang
16
16
17
lain-lainnya seperti: Laporan polisi dan sebagainya. 16 Pengertian
bukti
permulaan
menurut
Keputusan
Kapolri
No.
Pol.SKEEP/04/I/1982, 18-2-1982, adalah bukti yang merupakan
keterangan dan data yang terkandung di dalam dua diantara:
a. Laporan polisi
b. BAP di TKP
c. Laporan Hasil Penyelidikan
d. Keterangan saksi atau ahli; dan
e. Barang bukti
Mengenai bukti permulaan, Lamintang berpendapat bahwa:
Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17
KUHAP itu harus diartikan sebagai ”bukti minimal” berupa alat bukti
seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang dapat menjamin
bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan
penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak
pidana, setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan.17
Harun M. Husein menyatakan sependapat dengan pendapat
Lamintang diatas, dengan alasan untuk melakukan penangkapan terhadap
seseorang haruslah didasarkan hasil penyelidikan yang menyatakan
bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan tindak pidana tersebut dapat
disidik karena telah tersedia cukup data dan fakta bagi kepentingan
16
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,
Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112
17
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,
Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 113
18
penyidikan tindak pidana tersebut. Masih dijelaskan menurut Harun M.
Husein, bila laporan polisi ditambah dengan salah satu alat bukti
(keterangan saksi pelapor atau pengadu) dirasakan masih belum cukup
kuat untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup guna dipergunakan
sebagai alasan penangkapan seseorang. Terkecuali apabila laporan polisi
dimaksud diartikan sebagai laporan hasil penyelidikan yang berisi
tentang kepastian bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai
tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana,
terhadap tindak pidana yang dapat dilakukan penyidikan karena tersedia
cukup alat bukti untuk melakukan penyidikan.18
Menurut M.Yahya Harahap, mengenai apa yang dimaksud dengan
permulaan bukti yang cukup, pembuat undang-undang menyerahkan
sepenuhnya kepada penilaian penyidik. Akan tetapi, sangat disadari cara
penerapan yang demikian, bisa menimbulkan ”ketidakpastian” dalam
praktek hukum serta sekaligus membawa kesulitan bagi praperadilan
untuk menilai tentang ada atau tidak permulaan bukti yang cukup. Yang
paling rasional dan realitis, apabila perkataan ”permulaan” dibuang,
sehingga kalimat itu berbunyi :”diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup”.19
Jika seperti ini rumusan Pasal 17, pengertian dan penerapannya
lebih pasti. Pengertian yang dirumuskan dalam pasal 17 hampir sama
18
Harun M. Husein, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana,
Jakarta: Rineka Cipta, 1991, h. 112
19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158
19
dengan pengertian yang terdapat pada hukum acara pidana Amerika,
yang menegaskan bahwa untuk melakukan tindakan penangkapan atau
penahanan, harus didasarkan adanya bukti dan kesaksian. Jika ditelaah
pengertian bukti permulaan yang cukup, pengertiannya hampir serupa
dengan apa yang dirumuskan Pasal 183, yakni harus berdasar prinsip
”batas minimal pembuktian” yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua
alat bukti bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat
bukti lain.
Rasulullah SAW menjelaskan masalah pembebanan pembuktian
yang populer dalam perspektif hokum Islam adalah:
”Pembuktian dibebankan pada penggugat dan sumpah kepada
tergugat”
Pembuktian dibebankan pada penguggat (affirmanti incoumbil
probato), bahwa mendapatkan hukum yang sesuai petitum gugatannya,
seorang penguggat harus mengemukakan bukti-bukti yang membenarkan
dalil-dalil gugatannya. Dalam Islam kesaksian adalah salah satu bukti
yang sah. Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asy-syahadah
menurut bahasa memiliki arti sebagai berikut;
a)
Pernyataan atau pemberian yang pasti
b) Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan
penyaksian langsung;
c)
Mengetahui sesuatu secara pasti,mengalami, dan melihatnya.
Menurut syara‟ kesaksian adalah pemberitahuan yang pasti
20
yaitu; ucapan yang keluar dan diperoleh dari pengetahuan
yang diperoleh dengan penyaksian langsung.
Kesaksian dapat diterima sebagai alat bukti apabila jika
memenuhi syarat sebagai berikut;
1.
Kesaksian dilakukan didalam sidang pengadilan, jika
dilakukan diluar sidang pengadilan, meski itu dihadapan
hakim ,tidak dianggap sebagai kesakasian.
2.
Kesaksian diucapkan dengan lafad kesaksian, seperti saya
bersaksi.
3.
Jumlah dan syarat orang yang menjadi saksi sesuai dengan
syarat dan ketentuan syari‟at.
Dan adapun syarat yang lain adalah menjadi saksi karena Allah
SWT, seperti yang dijelaskan dalam surah An-nisa ayat 135 :
۟‫ُوا‬
‫ُون‬
‫ُوا۟ ك‬
‫َن‬
‫َ آم‬
‫ِين‬
‫ّذ‬
‫َا ال‬
َ
‫ّه‬
‫َي‬
ُ
‫َا أ‬
‫ي‬
‫ّه‬
ِ
‫ِل‬
‫ل‬
‫َاء‬
‫هد‬
َُ
‫ش‬
‫ِسۡط‬
ِ
‫ِالۡق‬
‫ب‬
‫ِني‬
َ
‫ّام‬
‫َو‬
َ
‫ق‬
)531(
...
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu
menjadi orang-orang yang sentiasa menegakkan keadilan, lagi
menjadi saksi (yang menerangkan kebenaran) kerana Allah...”
Dengan pembatasan yang lebih ketat daripada yang dulu diatur
dalam HIR, suasana penyidikan tidak lagi main tangkap dulu, baru nanti
21
dipikirkan pembuktian. Metode kerja penyidik menurut KUHAP, harus
dibalik, lakukan penyelidikan yang cermat dengan teknik dan taktis
investigasi yang mampu mengumpulkan bukti. Setelah cukup bukti, baru
dilakukan
pemeriksaan
penyidikan
ataupun
penangkapan
dan
penahanan.20
Berarti pada prinsipnya, penetapan seseorang menjadi tersangka
dilakukan melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan. penyelidikan
yaitu serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang adanya sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut cara yang diatur
dalam pasal 1 angka 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Di dalam pasal 1 angka 2 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana disebutkan juga bahwa penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan mengenai
kewenangan hakim dalam menetapkan saksi menjadi tersangka guna
menemukan tersangkanya. Jadi, penetapan tersangka terletak pada
penyelidikan dan penyidik. Berdasarkan pasal 1 butir 2, bahwa penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP, untuk mencari
serta mengumpulkan barang bukti, yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi guna menentukan tersangkanya.
20
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Jakarta: Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2007, h. 158
22
Penyelidikan dalam hukum acara pidana, tingkat acara pidana
dibagi dalam 4 tahap, yaitu:21
1. Tahap penyelidikan yang dilakukan oleh polisi negara
2. Tahap penuntutan yang dilakukan oleh jaksa atau Penuntut
Umum
3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh jaksa
4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dan lembaga
pemasyarakatan di bawah pengawasan ketua pengadilan yang
bersangkutan.
Berdasarkan tahap tersebut, penyelidikan merupakan suatu proses
atau langkah
awal
yang menentukan dari
keseluruhan proses
penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas.
Upaya untuk memyelidiki dan mengusut tindak pidana secara konkret
dapat dikatakan penyelidikan dinilai sesudah terjadinya tindak pidana
untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang :
1. Tindakan pidana apa yang dilakukan
2. Kapan tindakan itu dilakukan
3. Dimana tindakan itu dilakukan
4. Dengan apa tindakan itu dilakukan
5. Bagaimana tindakan itu dilakukan
6. Mengapa tindakan itu dilakukan
7. Siapa pelaku tindakan tersebut
21
Anton Freddy Susanto, Wajah Peradilan Kita Kontriksi Sosial Tentang
Penyimpangan Mekanisme Kontrol dan akuntanilitas Peradilan Pidana, PT. Refika
Aditama, 2004, Bandung , hlm 82.
23
Karena penyelidikan merupakan langkah awal yang menentukan
dari keseluruhan tahap acara pidana, maka dalam mencari keteranganketerangan seperti diatas seorang penyidik harus tunduk kepada
ketentuan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 8
tahun 1981 sebab jika tahap penyelidikan tersebut sangat penting bagi
proses penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses acara pidana
selanjutnya.
Apabila tahap penyelidikan saja sudah banyak melakukan
pelanggaran dan kesalahan diluar ketentuan Undang-undang yang
berlaku, maka secara otimatis tahap cara berikutnya akan terpengaruh
yang berarti tidak mungkin akan terjadi penyesatan putusan hakim.
Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelakanaan hukum acara
pidana dapat dilihat dalam hubungan dengan ketentuan-ketentuan
KUHAP mengenai penyidikan, penuntutan dan peradilan perkara.
Seorang penyidik harus melakukan penyelidikan secara tertip dan harus
selalu memperhatikan dalil-dalil yang ada dilapangan.
Seorang penyelidik harus memperhatikan dan menyidik setiap
fakta yang ada dilapangan sekecil apapun karena sejalan dengan tujuan
hukum acara pidana, maka tugas penyelidikan perkara adalah “mencari
kebenaran materiil” memang, dalam penyelidikan perkara pidana
kebenaran materiil yang mutlak tidak akan pernah dapat diperoleh 100%
karena hanya Tuhanlah yang mengetahui. Walaupun demikian dengan
memperhatikan setiap dalil dan fakta sekecil apapun bukti-bukti yang
24
berkaitan dengan perkara pidana dapat dicari sebanyak-banyaknya
sehingga suatu penyelidikan dapat mendekati kebenaran bahwa ada suatu
tindak pidana yang dilakukan dan siapa pelaku-pelakunya.
Ada
pun
ketika
seorang
saksi
setelah
memberikannya
keterangannya dalam proses peradilan diubah statusnya menjadi
tersangka ini adalah kewenangan Hakim dalam mengubah status saksi
menjadi tersangka pada dasarnya memang di jelaskan. Status tersangka
bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa
jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Untuk
menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana
semata-mata dibebankan kepada penuntut umum.22 Namun, di dalam
ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah
siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun
1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk
Hadir di Sidang Pengadilan). Dan jika dalam persidangan ditemukan
bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat
penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi
tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama,
maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya
menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.
Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi
menjadi tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi untuk tindak
22
Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957,
di akses tanggal 14 Januari 2015, pukul 14.32
25
pidana
memberikan keterangan
palsu.
Kewenangan
itu
diatur
dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim
lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan
keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim
palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut
oleh penuntut umum karena sumpah palsu.
Berarti dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa
hakim bisa secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan
dapat pula secara tidak langsung menetapkan saksi menjadi tersangka,
yakni dengan meminta aparat penegak hukum lain, seperti kejaksaan,
kepolisian sampai KPK sebagai salah satu lembaga independen negara.
Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil
secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Saksi semacam
itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 Kitab UndangUndang Hukum Pidana (“KUHP”). Hakim tinggal memerintahkan
panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan
penuntutan. Jadi, wewenang jaksa tetap melakukan penuntutan.23
B. Penetapan
Tersangka
Menurut
Undang-Undang
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
KPK
sebagai
lembaga
pemberantas
korupsi
mempunyai
kewenangan dalam hal menetapkan tersangka. Bisa kita lihat pada salah
23
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2. Bandung :
Sumur Bandung, 1962, h.45
26
satu tugas KPK yang berdasarkan Pasal 6 huruf c Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (“UU KPK”) adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Secara umum, mekanisme
penanganan perkara di lembaga superbody ini sama seperti di lembaga
penegak hukum lainnya.
Pada saat KPK menangani suatu perkara (bukan karena operasi
tangkap tangan) yang telah masuk tahap penyelidikan, dalam aturannya
akan memvalidasi temuan informasi-informasi yang berkembang. Baik
informasi yang dipaparkan terperiksa, maupun informasi yang didapat
dari suatu dokumen serta hasil sadapannya. Validasi sendiri, dilakukan
dengan cara menelaah hasil temuannya itu. Biasanya KPK akan
memanggil orang-orang yang diduga berkaitan dengan perkara yang
tengah diselidikinya. Namun, orang tersebut masih berstatus 'terperiksa'.
Atau, validasi bisa dengan cara menelaah dan mencocokan barang bukti
satu dengan bukti lainnya. Setelah temuan-temuan tersebut atau ada hasil
validasi yang jelas, KPK akan melakukan gelar perkara atau sering
disebut ekspose. Gelar perkara akan dihadiri Penyelidik, Direktur
Penyelidikan, Direktur Penyidikan, Deputi Penindakan serta Pimpinan
KPK.24
Kewenangan KPK dalam melakukan penyidikan tindak pidan
korupsi adalah dalam melakukan pemeriksaan KPK dapat mengabaikan
24
Deni Setyawati, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan
Korupsi Dalam Memberangus Korupsi, Yogyakarta : Pustaka Timur, 2008, h.31
27
aturan tertentu jika tersangka yang ditangani oleh KPK adalah pejabat
negara, dengan tidak perlu mendapatkan izin terlebih dahulu untuk
melakukan pemeriksaan. Hal ini berdasarkan ketentuan dalam Pasal 46
ayat (1) Undang-Undang KPK “Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhitung sejak tanggal
penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka
pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
lain, tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang ini.”
Selanjutnya kewengan KPK dalam menetapkan seorang saksi
menjadi seorang tersangka adalah apabila seseorang yang terbukti
melakukan tindak pidana dan atau yang awalnya hanya sebagai saksi
dalam suatu kasus dan KPK memiliki dua alat bukti sebagai bukti
permulaan yang cukup dalam menetapkan sebagai tersangka. Saksi
dalam hal ini bisa dituntut juga sebagai tersangka dalam kasus yang sama
tetapi berkas yang baru. Dalam hal menetapkan tersangka berarti tidak
bisa sembarangan, harus adanya bukti yang cukup atau minimal dua alat
bukti seperti yang sudah dijabarkan di atas. Jika tidak terdapat dari
minimal dua alat bukti
tersebut tetapi pihak yang berwenang tetap
menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai
tersangka atau di tuduh sebagai pelaku tindak pidana maka hal ini disebut
fitnah dan berkata dusta. Dijelaskan dalan surah An-Nur ayat 11 :
28
                 
      
        
  
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita yang amat
dusta itu ialah segolongan dari kalangan kamu; janganlah kamu
menyangka (berita yang dusta) itru buruk bagi kamu, bahkan ia
baik bagi kamu. Tiap-tiap seorang di antara mereka akan
beroleh hukuman sepadan dengan kesalahan yang
dilakukannya itu dan orang yang mengambil bahagian besar
dalam menyiarkannya di antara mereka, akan beroleh seksa
yang besar (di dunia dan di akhirat).
Berdasarkan Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun
2002
Tentang
Komisi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
menyatakan bahwa ”Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk
dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik”.
Dan Pimpinan KPK juga menafsirkan bahwa keterangan lima orang saksi
yang bersesuaian satu dengan yang lainnya itu dianggap sebagai alat
bukti baru yaitu petunjuk.
BAB III
PROFIL KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Komisi Pemberantasan Korupsi
1.
Sejarah KPK
Keprihatinan masyarakat akan kenyataan semakin merajarelanya
penyakit korupsi yang melanda bangsa ini, membuat masyarakat serak
meneriakkan pemberantasan korupsi.25 Aspirasi masyarakat untuk membumi
hanguskan korupsi di negara ini semakin meningkat karena sudah
merebaknya korupsi ini ke seluruh lapisan masyarakat yang telah
menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan berujung dengan
timbulnya krisis di berbagai bidang.26
Korupsi di Indonesia, bukanlah hal yang baru namun telah ada sejak
era tahun 1950-an. Kegagalan penanggulangan korupsi di masa lalu
disebabkan berbagai institusi dan Tim-tim Pemberantasan Korupsi yang
dibentuk untuk maksud tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan efektif,
25
Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, cet-ke
1, 2005, h 3.
26
Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia
seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia
yang adil, makmur dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidana korupsi
pada khususnya. Lihat Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik: Teori,
Kebijakan, dan Implementasi, cet.V, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), h.143.
29
30
perangkat hukumnya lemah, faktor pemerintah dan aparat penegak hukum
yang tidak menyadari bahaya dari korupsi.27
Ada beberapa gagasan dalam pembentukan komisi ini yang pertama
diawali oleh TAP MPR Nomor II Tahun 1998. TAP ini mengamanatkan
kepada DPR dan Pemerintah untuk lebih progresif dalam menciptakan
pemerintah yang bersih dari korupis, koluis dan nepotisme. 28TAP inilah yang
akhirnya membuat Pemerintah dan DPR membentuk Undang-undang Nomor
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Koprupsi, Kolusi dan Nepotisme kemudian DPR dan Pemerintah juga
mencabut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dan menggantinya dengan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Pada saat inilah muncul gagasan
tentang KPK. Dan kemudian Undang-Undang KPK juga menjelaskan bahwa,
salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak terlepas dari performance
capaian lembaga penegak hukum yang ada. Terkait hal itu, konsideran
Undang-Undang KPK menyatakan, Lembaga Pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi.29
Pada tanggal 27 Desember 2003, Presiden Megawati akhirnya
melantik lima orang pemimpin KPK. Dengan dibentuknya KPK diharapkan
27
Yusril Ihza Mahendra, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I,
(Jakarta, Tim Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama Sekretariat
Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2002), h.31.
28
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin
du Tengah Kegelapan, (Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi), h.7
29
Saldi Isra, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2009), h.180.
31
korupsi yang sudah merajalela di negara ini dapat diberantas dan hukum
dapat ditegakkan.30 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga
awal di Indonesia yang telah resmi dibenti tanggal 29 Desember 2003 untuk
mengatasi, menanggulangi, dan memberantas korupsi di Indonesia.
2.
Visi dan Misi KPK
Sebagai sebuah lembaga independen negara Komisi Pemberantasan
Korupsi memiliki visi yaitu mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi.
Sedangkan misi dari Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu menjadi penggerak
perubahan
untuk
mewujudkan
bangsa
yang anti
korupsi.31
Untuk
mewujudkan visi dan misi ini, tentunya Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK)
harus menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan asas-asas yang
telah di jelaskan.
Jika dilihat dari visi dan misi KPK seperti yang sudah disebutkan,
maka terlihat sebuah tekad yang kuat dari lembaga KPK untuk segera
memberantas dan membersihkan Indonesia dari segala macam bentuk
korupsi. Dan sangat diharapkan pula melihat dari misi KPK tersebut komisi
ini bisa menjadi lembaga yang membudayakan anti korupsi baik di
masyarakat, swasta dan pemerintahan Republik Indonesia.
3.
Tugas dan Kewenangan KPK
Berdasarkan visi KPK, komisi ini mempunyai harapan dan keinginan
yang cukup mulia, yakni ingin membebaskan Indonesia dari korupsi. Sukses
30
Ensiklopedia Pemerintahan dan Kewarganegaraan,
Pemerintahan di Indonesia, h.95.
31
Sistem dan Bentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi,Mengenali dan Memberantas Korupsi, h.52
32
tidaknya KPK, tergantung dari kerja keras yang dilaksanakan untuk
memaksimalkan apa yang sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK seperti
yang sudah disebutkan dalam pasal 6 Undang-Undang Komisi Pemeberantan
Korupsi. Tugas dan Kewenangan KPK antara lain:
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.
Koordinasi
dengan
instansi
yang
berwenang
melakukan
berwenang
melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
Supervisi
terhadap
instansi
yang
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi;
d.
Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi;
dan
e.
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Dalam melaksanakan tugas koordinasi, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang:
a.
Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi;
b.
Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi;
c.
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
33
d.
Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi; dan
e.
Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas supervisi, KPK berwenang melakukan
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana
korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
Dalam melaksanakan wewenang tersebut, KPK berwenang juga
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam
pengambil alihan tersebut, pihak KPK wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan
dalam waktu paling lama 14 hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Hal tersebut disebutkan di dalam
Undang-undang KPK pasal 7, pasal 8 ayat (1), pasal 8 ayat (2), pasal 9 dan
pasal 8 ayat (3)
Kemudian di dalam Pasal 8 ayat (4) disebutkan bahwa penyerahan
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan
sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Selanjutnya dalam melaksanakan
tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang :
34
a.
Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b.
Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;
c.
Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
d.
Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e.
Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f.
Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait;
g.
Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi
perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang
cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang
sedang diperiksa;
h.
Meminta
bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan,
dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
35
i.
Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk
melakukan
penangkapan,
penahanan,
penggeledahan,
dan
penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
Dalam melaksanakan tugas pencegahan disebutkan pada pasal 13 UU
KPK, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai
berikut:
a.
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta
kekayaan penyelenggara negara;
b.
Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c.
Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap
jenjang pendidikan;
d.
Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi
pemberantasan tindak pidana korupsi;
e.
Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
f.
Melakukan kerja
sama bilateral
atau multilateral
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas monitor yang telah disebutkan juga dalam
pasal 14 UU KPK, KPK berwenang:
a. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di
semua lembaga negara dan pemerintah;
36
b. Memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah
untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian,
sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c. Melaporkan
Perwakilan
kepada
Presiden
Republik
Indonesia,
Dewan
Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa
Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut
tidak diindahkan.
4.
Struktur Organisasi dan Keanggotaan KPK
Salah satu modal utama agar kinerja KPK bisa efisien dan efektif
adalah melalui pembangunan yang profesional. Ini bisa tercipta dengan cara
mengoptimalkan seluruh elemen dari organisasi tersebut. Karenanya KPK
melakukan perbaikan-perbaikan agar tercipta sebuah lembaga yang kompeten.
Berdasarkan Lampiran Peraturan Pimpinan KPK Nomor: PER-08/XII/2008
tanggal 30 Desember 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK, struktur
organisasi KPK terdiri atas Pimpinan, Penasihat, Deputi dan Sekjen, Direktur,
dan Kepala Biro. Pimpinan KPK terdiri atas lima orang, yang masing-masing
adalah seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua
merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat
negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat. Sesuai
Undang-Undang KPK, pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun
dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.32
32
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, (Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2011), h.6.
37
Disebutkan dalam pasal 21 ayat (1) huruf b UU KPK untuk menjamin
perkuatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK mengangkat tim
penasihat yang terdiri atas empat anggota dan berasal dari berbagai bidang
kepakaran. Seperti yang dijelaskan pada pasal 23 UU KPK tim penasihat ini
berfungsi memberikan nasihat dan pertimbangan sesuai dengan kepakarannya
kepada KPK dalam pelaksanaan tugas dan wewenang KPK.
Pimpinan KPK membawahi empat bidang, yang terdiri atas bidang
Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan
Pengaduan Masyarakat (PIPM). Masing-masing bidang tersebut dipimpin
oleh seorang deputi. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang
Sekretaris Jenderal. Sekretaris Jenderal ini diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan
KPK. Deputi Bidang Pencegahan yang terdiri dari Direktorat Pendaftaran dan
Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP-LHKPN),
Direktorat Gratifikasi, Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat, dan
Direktorat Penelitiandan Pengembangan. Sementara itu, Deputi Bidang
Penindakan yang terdiri dari Direktorat Penyelidikan, Direktorat Penyidikan,
dan Direktorat Penuntutan.33
33
Deputi Bidang Informasi dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan
Informasi dan Data, Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan
Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat yang
terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat Pengaduan Masyarakat. Penjelasan
mengenai fungsi dari setiap Deputi KPK lihat Lampiran 2. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Laporan Tahunan 2008, h.6.
38
Peran pemimpin menjadi paling penting terutama dalam hal
pemberian contoh tidak melakukan korupsi, pemimpin yang mampu menjaga
citra ini akan disegani oleh bawahan, tetapi sebaliknya apabila pemimpin
tersebut melakukan korupsi maka bawahan tidak segan untuk melakukan hal
yang sama yaitu korupsi. Karena pentingnya peran pimpinan maka dibuat lah
secara khusus Kode Etik Pimpinan KPK melalui keputusan KPK No. KEP06/-KPK/02/2009.
B. Kedudukan KPK Dalam Struktur Ketatanegaraan
Sebelum membahas tentang kedudukan KPK dalam sturktur
ketatanegraan sebagai state auxiliary organ, penulis akan menjabarkan
tentang pengertian lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara bukan
konsep secara terminologis memiliki istilah tunggal dan seragam. Di dalam
literatur Inggris, istilah political institution digunakan untuk menyebut
lembaga negara, sedangkan bahasa belanda mengenal istilah staat organen
atau staatsorgaan untuk mengartikan lembaga negara, badan negara, organ
negara.34
Secara sederhana, istilah lembaga negara atau organ negara dapat
dibedakan dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat,
atau yang biasa dikenal dengan lembaga non-pemerintahan (ornop). Oleh
karena itu, lembaga apapun yang dibentuk bukan sebagai lembaga
masyarakat dapat disebut lembaga negara, baik berada dalam ranah eksekutif,
34
http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistem
ketatanegaraan-republik-Indonesia-ananlisis-kedudukan-komisi-pemberantasankorupsi/mrdetail/4770/diakses tanggal 20 Februari 2015 hari jumat,pukul 19.32
39
legislatif, yudikatif ataupun yang bersifat campuran. Lembaga negara di
Indonesia ada bermacam-macam. Ada lembaga tinggi negara, lembaga
departemen dan non-departemen dan juga ada pula yang disebut lembaga
negara apa saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan
oleh UUD 1945 ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaanya dari
UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden. Hierarki kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat
pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD 1945 merupakan
organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan UU adalah organ,
sementara yang hanya dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih
rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap
Sejak permulaan Orde Baru hingga era reformasi yang masih sedang
berlangsung saat ini, telah tumbuh demikian bayak lembaga-lembaga yang
berkaitan dengan tujuan negara, fungsi negara, dan tugas-tugas pemerintahan
dalam arti luas.. Kecenderungan lahirnya berbagai lembaga negara bantu
sebenarnya sudah terjadi sejak runtuhnya kekuasaan orde baru Presiden
Soeharto. Kemunculan lembaga baru seperti ini pun bukan merupakan
satunya-satunya di dunia. Di negara yang sedang menjalani proses transisi
menuju demokrasi juga lahir lembaga tambahan negara yang baru. Berdirinya
lembaga negara bantu merupakan perkembangan baru dalam sistem
pemerintahan. Teori klasik trias politica sudah tidak dapat lagi digunakan
untuk menganalisis relasi kekuasaan antarlembaga negara. Untuk menentukan
40
institusi mana saja yang disebut sebagai lembaga negara bantu dalam struktur
ketatanegaraan RI terlebih dahulu harus dilakukan pemilahan terhadap
lembaga-lembaga
negara
berdasarkan
dasar
pembentukannya.
Pascaperubahan konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke
dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas
perintah UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power).
Kedua, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang
(legislatively entrusted power). Dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk
atas dasar perintah keputusan presiden.
KPK disinii di tetapkan sebagai lembaga yang mempunyai
kewenangan ekstra. Pada prinsipnya, lembaga-lembaga ekstra itu selalu
diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran
yang
semilegislatif
dan
regulatif,
semi-administratif,
dan
bahkan
semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan
berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies)
yang berkembang di berbagai negara. Akan tetapi, gejala umum yang sering
kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra
itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur
ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah,
kekuasaan membuat undangundang, dan kekuasaan kehakiman. Hal ini tidak
terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik
pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat
dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi
41
yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen,
inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan.
Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan
pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena
pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan
yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari
hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam
kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga
ekstra
tersebut.
Ketidakjelasan
mekanisme
pertanggungjawaban
ini,
dikarenakan ketentuan yang mengatur lembaga-lembaga ekstra itu kadangkadang menciptakan mekanisme tersendiri yang berbeda satu sama lain tanpa
ada perangkat konstitusional yang logis.
Tetapi, keberadaan KPK harus dilihat secara lebih luas lagi, komisi ini
tidak sekedar lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum yang
bersifat represif, tetapi juga bersama masyarakat melaksanakan fungsi-fungsi
preventif dan edukatif. Dengan demikian, kehadiran KPK tidak dimaksudkan
menggantikan fungsi dan peran yang dijalankan polisi dan jaksa, tetapi justru
melengkapi, memperkuat, dan menyempurnakannya.35
Disamping hal tersebut diatas, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
diklasifikasikan sebagai komisi negara. Kemudian yang disebut dengan
komisi negara independen adalah organ negara (state organs) yang diidealkan
35
Menurut Yusril Ihza Mahendra (2002:32) Keberadaan KPK di tengah-tengah
lembaga penegakan hukum yang sudah ada selama ini dan di tengah-tengah krisis
kepercayaan masyarakat internasional, merupakan lembaga terakhir dan satu-satunya harapan
bangsa Indonesia. Eggi Sudjana, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, h.202.
42
independen dan karena berada diluar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif,
maupun yudikatif; namun justru mempunyai fungsi “campursari” ketiganya.
Status Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang
bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak
berada di bawah kekuasaan kehakiman. Dalam hal ini juga di tegaskan terkait
status keberadaan sebuah lembaga negara, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, instilah “lembaga negara”
tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja,
atau yang dibentuk berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga
negara lain yang dibentuk dengan dasar perintah dari peraturan di bawah
konstitusi, seperti Undang-Undang dan bahkan Keputusan Presiden
(Keppres).
Jika ada yang berpendapat bahwa keberadaan Komisi Pemberantasan
Korupsi adalah ekstra konstitusional itu adalah keliru. Karena, keberadaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara tegas diatur dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) sebagai bentuk politik hukum pemberantasan korupsi di tanah air.
Sejalan dengan putusan MK dalam menguji Undang-Undang Komisi
Penyiaran Indonesia eksistensi lembaga negara adalah sah sepanjang telah
diatur di dalam peraturan perundang-undangan termasuk bila diatur dalam
Undang-Undang.
43
Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga
pemberantas korupsi yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan,
tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang
rangka dasarnya sudah ada di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibutuhkan sebagai trigger mechanism untuk
mendorong lembaga-lembaga penegak hukum yang selam ini belum
berfungsi secara efektif, dan efisien dalam memberantas tindak pidana
korupsi.
BAB IV
ANALISIS IMPLEMENTASI PENETAPAN TERSANGKA
MIRANDA S. GOELTOM
A. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Adanya proses penetapan tersangka yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi terhadap Miranda S. Goeltom berjalan sesuai dengan
hukum yang berlaku yaitu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini.
Semua hal terkait kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan
Miranda S. Gultom dikumpulkan dan ditetapkan sebagai sekumpulan bukti
permulaan dalam penetapan tersangka Miranda S. Goeltom.
Berawal dari pengakuan politisi PDIP Agus Condro Prayitno pada 4
Juni 2008 yanag menjadi bukti permulaan pertama penetapan Miranda S.
Goeltom sebagai tersangka. Ia mengaku menerima suap dalam bentuk cek
perjalanan. Ia juga menyatakan ada anggota Komisi IX DPR periode 19992004 yang juga menerima suap36. Menindaklanjuti itu, pada 9 September
2008, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
melaporkan adanya aliran 480 lembar cek pelawat ke 41 dari 56 anggota
Komisi XI DPR Periode 2004-2009 dari Arie Malangjudo, seorang asisten
36
http://nasional.kompas.com/read/2009/11/05/1101534/Thahjo.Kumolo.Dijadwalkan.J
alani.Pemeriksaan.KPK, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 15.12
44
45
sekaligus Direktur PT. Wahana Esa Sejati milik Nunun Nurbaeti, istri mantan
Wakapolri Adang Daradjatun.
Kasus ini kemudian diserahkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan pada 9 Juni 2009, KPK mengumumkan empat anggota
Komisi XI DPR sebagai tersangka perdana. Mereka adalah Dudhie Makmun
Murod (PDIP), Endin AJ. Soefihara (PPP), Hamka Yandhu (PBR), dan Udju
Djuhaeri (TNI/Polri). Dudhie, Hamka, Endin, dan Udju kemudian divonis
bersalah hampir setelah berstatus tersangka, pada 17 Mei 2010. Dari
pengakuan mereka, KPK mengembangkan kasus tersebut dan pada 1
September 2010 menetapkan 26 anggota Komisi XI DPR RI sebagai
tersangka baru lainnya dan tersangka yang telah diproses hukum, di antaranya
Paskah Suzetta dan Panda Nababan37.
Dari keterangan yang diberikan oleh Agus Condro didapatkan lah
nama Nunun Nurbaeti yang turut serta dalam kasus ini, iya berperan sebagai
fasilitator penerimaan suap oleh anggota Komisi XI DPR RI. Kemudian KPK
lanjut menetapkan Nunun Nurbaeti sebagai tersangka atas kasus suap cek
pelawat tersebut. Ditetapkannya Nunun Nurbaeti sebagai tersangka oleh KPK
dianggap sebagai titik terang untuk menjerat oknum-oknum lainnya yang
turut serta melakukan kasus suap ini. Dalam persidangan kasus Nunun
Nurbaeti ini Nunun akhirnya ditetapkan sebagai terdakwa kasus suap cek
pelawat dan kemudia Miranda S. Goeltom dihadirkan menjadi saksi.
37
Lihat, h. 36-39 dari 136 h, Putusan Nomor : 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST
46
Dalam
persidangan,
Nunun
Nurbaeti
mengaku
memfasilitasi
pertemuan antara Miranda S. Goeltom dan beberapa anggota Komisi IX DPR
RI dan pernyataan Nunun Nurbaeti ini pun sebagai bukti permulaan kedua
yang membuktikan keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus Traveller
Cheque.
Dalam proses penetapan tersangka, yang sebelumnya Miranda S.
Goeltom adalah sebagai saksi dalam sidang terdakwa Nunun Nurbaeti
bukan lah hal yang tidak diperbolehkan atau melanggar hukum, adanya
penetapan tersangka Miranda S. Goeltom karena terbuktinya Miranda S.
Goeltom melakukan tindak pidana korupsi.
Dan ini merupakan
kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi
tersangka juga terdapat di dalam KUHAP, tetapi ketentuan ini untuk
tindak pidana memberikan keterangan palsu.
Terucap lagi oleh publik bahwa tidak adilnya hakim dalam menaikan
status Miranda S.Goeltom yang tadinya sebagai saksi peradilan Nunun
Nurbaeti pada saat itu pula berubah statusnya menjadi tersangka. Dimulai dari
keterangan saksi yang dimana adalah alat bukti pertama seperti yang tertera di
Pasal 184 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981. Hakim juga diminta „bersungguhsungguh memperhatikan‟ keterangan saksi demi kepentingan penilaian
kebenaran keterangan tersebut. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya
keterangan saksi. Ada empat hal yang perlu sungguh-sungguh diperhatikan
hakim, yaitu:
a) Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain.
b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.
47
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan
keterangan tertentu; dan
d) cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang
diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan
berstatus sebagai saksi. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling
berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai
keterangan untuk menguatkan terlaksananya perubahan status itu. Jika dalam
persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim
dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan
keterlibatan saksi tersebut. Jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara
yang sama, maka bisa saja saksi dapat langsung dikenakan status tersangka.
Tetapi Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status
tersangka.
Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi
tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan
keterangan palsu. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu
memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu.
Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim
langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum
karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera
48
langsung membuat berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan ke
penuntut umum sebagai dasar menuntut tersangka.38
Dalam Pasal 183 KUHAP juga diatur bahwa Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Akan tetapi dalam praktek persidangan perkara pidana di
pengadilan, termasuk perkara korupsi, keterangan minimal dua orang saksi
yang bersesuaian satu sama lain dan tidak ditemukan alat bukti lainnya
termasuk keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan dan keterangan
saksi tersebut dipandang valid oleh hakim dan hakim yakin akan kesalahan
terdakwa maka hakim akan menyatakan terdakwa bersalah dan menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa tersebut.
Jika hakim berpendapat bahwa keterangan saksi-saksi tersebut yang
bersesuaian satu sama lain hanya sebagai satu alat bukti, maka 30 % terdakwa
dalam perkara pidana yang diajukan ke pengadilan yang terdakwanya
menyangkal perbuatannya akan dibebaskan oleh hakim, karena 30 % perkara
pidana yang diajukan ke pengadilan hanya mempunyai alat bukti saksi-saksi
dan terdakwa menyangkal perbuatannya. Dalam hal ini Hakim memberi
penafsiran terhadap undang-undang dengan merujuk pada ketentuan Pasal
185 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa “Keterangan seorang saksi
saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
38
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakimmengubah-status-saksi-menjadi-tersangka, diunduh tanggal 16 Juni 2015 hari selasa, pukul 12.08
49
perbuatan yang didakwakan padanya”. Selanjutnya dalam ayat ke (3) Pasal
185 KUHAP tersebut diatur lebih lanjut bahwa “Ketentuan sebagaimana
tersebut dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti
sah lainnya”. Dari ketentuan yang dikutip diatas dapat disimpulkan bahwa
keterangan seorang saksi saja tanpa didukung minimal satu alat bukti sah
lainnya tidak dapat dijadikan dasar untuk menyatakan seseorang bersalah dan
dijatuhkan pidana dan hal mana adalah selaras dengan azas satu saksi
bukanlah saksi yang dianut dalam proses peradilan pidana. Dari uraian di atas
ternyata keterangan seorang saksi yang menurut undang-undang tidak
dianggap sebagai satu alat bukti sah atau dapat dikatakan baru setengah alat
butki sah, akan tetapi apabila disertai dengan alat bukti sah lainnya (tanpa
disyaratkan minimal dua alat bukti sah), maka telah dianggap memenuhi
persyaratan minimal dua alat bukti sah yang disyaratkan oleh undang-undang.
Dapat ditafsirkan pula bahwa jika ada kesaksian dari dua orang atau
lebih dan hakim yakin akan kebenaran keterangan saksi-saksi tersebut, maka
terdakwa harus dinyatakan bersalah dan dipidana. Kalaupun ada hakim yang
berpegang ketat pada prinsip legalisme, hakim boleh menafsirkan bahwa dari
keterangan saksi-saksi tersebut telah diperoleh satu alat bukti lain yaitu
petunjuk, karena alat bukti petunjuk diperoleh dari alat bukti keterangan
saksi, surat ataupun keterangan terdakwa. Dalam perkara korupsi alat bukti
petunjuk tersebut dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu. Demikian pula dari setiap rekaman
50
data atau infomasi yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
dikertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna, sebagai mana diatur dalam
Pasal 26 A Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa seorang
penyelidik ataupun seorang penyidik dalam memproses suatu kasus pidana
termasuk kasus korupsi jangan terlalu kaku dengan mempertahankan
pendirian bahwa keterangan dua orang atau lebih saksi-saksi yang
bersesuaian satu sama lain hanya dipandang sebagai satu alat bukti saja dan
oleh karena itu kasus tersebut harus dihentikan penyelidikan atau
penyidikannya.
Penyelidik ataupun penyidik harus berpandangan progresif dengan
berpendapat bahwa dari keterangan saksisaksi tersebut telah diperoleh alat
bukti petunjuk sehingga secara formal ketentuan minimal dua alat bukti sah
telah tercukupi dan kasusnya dapat diteruskan ketingkat penyidikan dan atau
penuntutan. Eksistensi dari bukti permulaan yang cukup itu sendiri di
Indonesia dianggap sangat penting karena dalam proses penyelidikan untuk
menahan atau menangkap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
diperlukan suatu alat bukti yang harus memenuhi syaratsyarat dalam bukti
permulaan yang cukup agar dapat melanjutkan ke tahap penyidikan. Maka
pejabat penyelidik tidak dapat semudah itu menangkap atau menahan
51
seseorang tanpa mengumpulkan alat bukti yang memenuhi syarat bukti
permulaan yang cukup. Tapi dalam prakteknya banyak pejabat penyelidik
yang menahan seseorang tanpa mengetahui alat bukti tersebut memenuhi
syarat sebagai bukti permulaan yang cukup atau tidak. Dan keterangan diatas
menjelaskan bahwa sebagian besar kewenangan KPK dalam menetapkan
seseorang sebgai tersangka kasus korupsi sesuai dengan penetapan tersangka
secara umum atau sesuai dengan prosedur-prosedur yang terdapat didalam
KUHAP.
Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status
tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa
ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan
keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan
saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Berarti
dalam penjelasan sebelumnya dapat kita ketahui bahwa hakim bisa secara
langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dan dapat pula secara tidak
langsung menetapkan saksi menjadi tersangka, yakni dengan meminta aparat
penegak hukum lain, seperti kejaksaan, kepolisian sampai KPK sebagai salah
satu lembaga independen Negara.
Berdasarkan kesaksian Agus Chondro, dan bukti lain data dari Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, tentunya kita dapat menduga
bahwa oknum dibalik kasus penyuapan traveller cheque ini adalah Miranda S
Geoltom ditambah lagi kesaksian terdakwa Nunun Nurbaeti yang mengaku
mefasilitasi pertemuan antata Miranda S. Goeltom dengan anggota Komisi XI
DPR RI terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI.
52
Wanita yang lahir di Jakarta pada 9 Juni 1949 ini dikenal sebagai guru
besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), akhirnya ditetapkan
oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, menjadi
tersangka dalam kasus pemberian cek pelawat. Jakarta, Kamis 26 Januari
2012. Tuduhan untuk Miranda ditetapkan menjadi tersangka adalah turut
membantu atau turut serta dengan tersangka oleh Miranda S. Goeltom
memberikan cek pelawat kepada anggota DPR periode 1999-2004.
Sebagai keterangan terbuktinya kasus suap yang dilakukan oleh
Miranda S. Goeltom terhadap anggota Komisi XI DPR RI adalah terbuktinya
Dudhie Makmun Murod dari fraksi PDIP, Endin AJ Soefihara dari fraksi PPP
dan Hamka Yandhu dari fraksi Golkar membagi-bagi cek travel BII kepada
kolega di fraksinya masing-masing di Komisi IX DPR RI, yaitu:
a. Duhie Makmun Murod yang menerima kantong belanja dengan
kode merah, di dalamnya berisi cek BII dengan nilai per lembarnya
Rp50 juta dengan jumlah keseluruhannya kurang lebih Rp9,8
Miliar. Cek tersebut dibagi untuk dirinya sendiri sebanyak 10 cek
senilai Rp500 juta, Agus Condro Prayitno sebanyak 10 lembar
senilai Rp500 juta, Emir Moeis sebanyak 4 lembar senilai Rp200
juta, dan selebihnya dibagikan kepada teman-temannya sesama
anggota Komisi IX dari fraksi PDIP.
b. Endin AJ Soefihara yang menerima kantong belanja dengan kode
warna hijau, di dalamnya berisi cek travel BII dengan nilai per
lembarnya Rp500 juta dengan jumlah keseluruhannya senilai
53
Rp1,25 Miliar. Cek itu dibagikan untuk dirinya sendiri sebanyak 10
lembar senilai Rp500 juta, Danial Tandjung, Sofyan Usman dan
Uray Faisal Hamid masing-masing 5 lembar senilai Rp250 juta.
c. Hamka Yandhu yang menerima kantong belanja dengan kode
warna kuning, di dalamnya berisi cek travel BII dengan nilai per
lembarnya Rp50 juta dengan jumlah keseluruhannya senilai Rp7,8
Miliar. Cek itu dibagi untuk dirinya sendiri 10 lembar senilai
Rp500 juta, Paskah Suzetta sebanyak 12 lembar senilai Rp600 juta,
dan selebihnya kepada teman-temannya sesama anggota komisi IX
dari fraksi Golkar.39
Dalam penjabaran bukti di atas menunjukkan bahwa adanya kasus
suap yang dilakukan Miranda S. Goeltom terhadap anggota Komisi IX
DPR RI merupakan “permohonan” Miranda S. Goeltom agar memilihnya
menjadi Deputi Gubernur Senior BI selanjutnya. Didalam Islam jelas di
larang, adapun seseorang yang meminta jabatan sebagai Ketua dijelaaskan
dalam hadist sebagai berikut :
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam pernah menasehatkan
kepada Abdurrahman bin Samurah :
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta
kepemimpinan. Karena jika engkau diberi tanpa memintanya, niscaya
39
Lihat, h 41-50 dari 184 h, Putusan Nomor : 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
54
engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik kepada kebenaran).
Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan
dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong).”
Dan Syaikh Ibnu „Utsaimin juga berkata: “Seseorang yang
meminta jabatan seringnya bertujuan untuk meninggikan dirinya di
hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya.
Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai
balasannya, ia tidak akan mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh
karena itu seseorang dilarang untuk meminta jabatan.” (Syarh Riyadhdus
Shalihin, 2/469).40
Dengan demikian, Miranda Goeltom dengan dibantu Nunun
Nurbaeti, telah memberi cek travel BII senilai Rp20,85 Miliar, yang
merupakan bagian dari total 480 lembar cek travel BII senilai Rp24 Miliar
kepada anggota DPR RI. Dengan penjabaran kasus tersebut juga bisa kita
simpulkan penetapan tersangka Miranda S. Goeltom mencukupi 2 alat
bukti permulaan, diatur dalam KUHAP
B. Implementasi Penetapan Tersangka Miranda S. Goeltom menurut
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh pemerintah demi
menangani kasus korupsi yang tak kunjung ada habisnya, dimulai dari upaya
pembenahan aspek peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
40
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-meminta-jabatan-1-tulisan-ke-1-daridua-tulisan/, diunggah tanggal 8 April 2015,pukul 16.35 WIB
55
hukum acara tindak pidana korupsi seperti lahirnya UU No. 24 Tahun 1960
Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
kemudian diganti dengan UU N0. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan dua tahun kemudian diubah/ditambah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999, sampai
dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 2002.
Dilihat dari semua upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah
guna melakukan pemberantasan korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi-lah
yang kini di agung-agungkan menjadi salah satu dari lembaga negara selain
Kepolisian dan Kejaksaan yang sangat tepat memberantas para koruptor di
Indonesia. Tetapi dalam perjalanan kinerja KPK sejauh ini banyak yang
berasumsi bahwa KPK telah melakukan kesewenang-wenangan dalam
melakukan tugas dan fungsinya sebagai lembaga anti korupsi yang indepen.
Terbentuknya suatu lembaga anti korupsi atau badan baru dalam
sebuah pemerintahan tentunya harus memiliki batasan kewenangan yang jelas,
sebagaimana yang dimaksud ialah suatu pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instansi pemerintahan. Salah satu lembaga baru yang dibentuk ini ialah KPK,
bertujuan untuk menanggulangi masalah korupsi yang ada di Indonesia.
Artinya KPK pun mempunyai aturan sendiri yang menjadi acuan dalam
melaksanakan tugasnya sebagai lembaga independen negara anti korup.
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah segala
56
peraturan yang dimiliki dan diterapkan oleh KPK dan sudah pasti menjadi
landasan KPK dalam menjalankan tugasnya untuk memerangi korupsi di
Indonesia. Tidak hanya itu saja, adanya Undang-undang tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi ini juga menjadi batasan kewenangan KPK dalam
menjalankan tugas dan kewenangannya mengingat KPK adalah lembaga
independen negara yang berkekuatan superbody dan supervisi agar tidak
melakukan abuse of power.
Dalam hal penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus
Traveller Cheque ini, Komisi Pemberantasan Korupsi menjalani ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang KPK. Pertama, dalam penetapan
tersangka Miranda S. Goeltom, adanya bukti yang melebihi sebagai kategori
bukti permulaan yang cukup dalam penetapan tersangka telah dimiliki KPK.
Adanya alat bukti yang dimiliki KPK menguatkan keputusan KPK dalam
menetapakan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka terkait kasus Traveller
Cheque.
Wanita yang mulai mengajar sebagai dosen FEUI pada 1975 dan yang
memiliki khas rambut pendek ini adalah pakar ekonomi moneter terkemuka
di Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas
Indonesia, sementara gelar Master dan PhD-nya didapatkan dari Universitas
Boston, Amerika Serikat. Karirnya yang dimulai pada 1973 sebagai
koordinator dan staf pengajar untuk kursus jangka pendek dan jangka panjang
pada Program Perencanaan Nasional, Bappenas-FEUI. Miranda pernah
menjadi konsultan Bank Dunia dalam berbagai proyek dan Badan Bantuan
57
Pengembangan Internasional Amerika (USAID), Jakarta. Pada 1998, ia
menjadi Presiden Komisaris PT. Bank UPPINDO dan Komisaris Utama PT.
ASKRINDO sebagai wakil pemegang saham Bank Indonesia. Pada 2004,
Miranda menjabat Presiden Komisaris PT Rabobank Internasional Indonesia
setelah sebelumnya
sempat menjadi Alternate Governor pada Bank
Pembangunan Asia untuk Indonesia. Ia turut dalam pemilihan gubernur BI
pada 2003 namun kalah dari Burhanuddin Abdullah. Akhirnya dia harus puas
menjabat posisi deputi senior. Jabatan Deputi Senior Gubernur BI ini
disandangnya dari 2004 sampai 2008, setelah sebelumnya menjabat deputi
Gubernur BI41.
Dimulai sekitar awal bulan Mei 2004, Komisi IX DPR RI menerima
tugas dari Pimpinan DPR-RI untuk melaksanakan proses uji kepatutan dan
kelayakan (fit and proper test) dalam rangka pemilihan Deputi Gubernur
Senior Bank Indonesia (DGSBI) sebagaimana yang diusulkan oleh Presiden
RI Megawati Soekarnoputri, sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 41 UU
Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan
UU Nomor 3 tahun 2004 - dengan 3 orang calon yaitu Miranda Goeltom,
Hartadi A Sarwono dan Budi Rochadi.
Sebelum pelaksanaan pemilihan, Miranda yang pernah gagal dipilih
dalam pemilihan Gubernur Bank Indonesia di tahun 2003 - melakukan
pertemuan dengan Nunun Nurbaeti, dimana dalam pertemuan itu ia meminta
Nunun ikut membantu mengusahakan kemenangan Miranda dalam fit and
41
https://id.wikipedia.org/wiki/Miranda_Goeltom, diunduh tanggal 2 Juni 2015 hari
selasa, pukul 19.08
58
proper test Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Miranda pun meminta
Nunun memperkenalkan teman-teman Nunun yang menjadi anggota Komisi
IX DPR RI, guna mencari dukungan atas pencalonannya. Nunun pun
menyetujui permintaan Miranda.
Sampai akhirnya pada tahun 2012, Miranda S. Goeltom telah
dipersepsikan publik sebagai jantung dari kasus Cek Pelawat yang menjerat
banyak anggota DPR periode 2004-2009. Pemberitaan di media massa telah
mendorong kebanyakan orang untuk menghakimi Miranda sebagai orang
yang tahu dan berkepentingan atas beredarnya Cek Pelawat tersebut, yang
juga dipersepsikan sebagai landasan terpilihnya Miranda sebagai Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia periode 2004-2008.
Penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka oleh Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad berlandaskan bukti adanya
keterlibatan Miranda S. Goeltom dalam kasus yang menjerat Nunun Nurbaeti.
Miranda diduga kuat turut andil dalam kasus ini. Setelah statusnya
ditingkatkan menjadi tersangka, KPK mulai mengembangkan penyidikan
dalam kasus ini.
Terkait alat bukti yang dimiliki KPK sama akan halnya yang sudah
disebutkan di dalam KUHAP adanya keterangan saksi dan keterangan
terdakwa. Tetapi ada bukti tambahan yang menambah kekuatan KPK dalam
menetapkan
Miranda
S.
Goeltom
sebagai
tersangka
yaitu
adanya
keterangangan saksi yang lain atau keterangan dari beberapa anggota Komisi
IX DPR RI selain Agus Condro dinyatakan sebagai petunjuk. Sehingga ada
59
tiga bukti permulaan yang cukup untuk menetapkan Miranda S. Goeltom
sebagai tersangka. Bukti keterangan saksi yang lain sah menurut Pasal 44
ayat (2) “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas
pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
baik secara biasa maupun elektronik atau optic”.
Miranda pun akhirnya dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf b atau
Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55
ayat (1) kesatu dan ayat 2 Jo Pasal 56 KUHP “Memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya”.
Sehingga dapat dipahami bahwa implementasi penetapan tersangka
Miranda S. Goeltom sesuai dengan UU KPK dan KUHAP. Tetapi di dalam
melaksanakan kewenangannya sebagai salah satu lembaga independen negara
yang mempunyai kekuatan superbody, KPK memiliki satu perbedaan dalam
melakukan
pelaksanaan
penyidikan
yaitu
tidak
dapat
melakukan
pemberhentian penyidikan perkara seperti yang bisa dilakukan oleh
Kejaksaan maupun Kepolisian.
C. Faktor-faktor yang Mendasari Penetapan Tersangka Miranda S.
Goeltom
Terungkapnya kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior dan
pemberian Traveller Cheque ini menjadi dasar penetapan Miranda S. Goltom
60
sebagai tersangka. Miranda adalah perempuan pertama yang menjabat Deputi
Gubernur Senior BI melalui uji kelayakan oleh DPR. Namanya kemudian
disangkutkan dengan kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank
Indonesia priode 2004 begitu kasus itu terbongkar aparat hukum. Miranda
diduga turut serta membantu Nunun Nurbaeti melakukan tindak pidana
korupsi dengan memberikan sejumlah cek perjalanan ke anggota Dewan
Perwakilan Rakyat priode 1999-2004.
Dilibatkannya Miranda S. Goeltom dalam kasus suap ini diawali dari
pengakuan salah satu anggota Komisi IX DPR RI yang mengaku menerima
suap dari Miranda atas bantuan Nunun, ini menjadi salah satu yang mendasari
penetapan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus suap cek pelawat.
Adapun dilakukannya fit and proper test yang dilakukan Miranda S. Goeltom
dalam proses pemilihan Deputi Gubernur Senior BI hanya menjadi sebuah
syarat atau formalitas atas terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai Deputi
Gubernur Senior BI tahun 2004.
Pengakuan
anggota
Komisi
IX
DPR
RI
tersebut
menjadi
pertimbangan serta celah bagi KPK untuk mencari lagi barang bukti yang
mendukung terlibatnya Miranda S. Goeltom dalam kasus suap ini. Dalam
kasus suap ini pastinya ada seseorang yang memberi dan mengharapkan
sesuatu entah berupa barang atau pun jasa. Ini menjadi suatu awal bagi
penyelidikan siapa yang yang memberikan suap tersebut sebagai pendukung
keterangan yang diberikan oleh anggota Komisi IX DPR RI. Dan dari hasil
61
penyelidikan tersebut terbukti lah Miranda S. Goeltom sebagai jantung kasus
suap tersebut.
Akhirnya Miranda telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
suap cek pelawat. Mantan DGS BI tahun 2004 tersebut, atas sangkaan
membantu atau turut serta membantu tersangka Nunun Nurbaeti dalam
memberikan cek pelawat kepada anggota Komisi IX DPR RI periode 19992004. Sehingga, diduga 480 cek pelawat senilai Rp 24 miliar tersebut
diberikan dalam rangka pemilihan DGS BI tahun 2004. Dugaan ini
disebutkan juga karena pemilihan DGS BI tahun 2004 itu dimenangkan oleh
Miranda S. Goeltom, maka dipastikan bahwa ada peran Miranda S. Goeltom
dibalik kasus suap tersebut kepada anggota Komisi IX DPR RI periode 19992004.
Atas sangkaan lainnya yang disangkakan Ketua KPK, Abraham
Samad terhadap Miranda S. Goeltom bahwa Abraham Samad mendapatkan
tambahan bukti baru yaitu adanya pengakuan dari anggota Komisi IX DPR RI
lainnya terkait kasus TC BII (Travellers Cheque Bank Internasional
Indonesia). Dari sinilah Ketua KPK, Abraham Samad berani menetapkan
Miranda S. Goeltom sebagai tersangka kasus suap pemilihan Deputi
Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI).
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh untuk menjelaskan sesuai atau
tidaknya implementasi penetapan tersangka Miranda S. Goeltom sebagai
tersangka dengan KUHAP serta UU KPK dan faktor-faktor apa saja yang
mendasari penetapan disimpulkan sebagai berikut :
1.
Penetapan tersangka Miranda S. Goeltom oleh KPK sudah sesuai dengan
semua ketentuan yang tertera di dalam KUHAP dan UU KPK. Adanya
bukti permulaan yang cukup sudah terpenuhi untuk KPK dapat
menetapkan Miranda S. Goeltom sebagai tersangka merupakan hal yang
disebutkan di dalam KUHAP dan dijelaskan lebih lengkap di dalam UU
KPK. Undang-Undang KPK yang memberi wewenang KPK sebagai
lembaga supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan korupsi, menjadikan KPK memiliki batasan kewenangan
yang luas tetapi tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku
diatasnya yaitu KUHAP.
2.
Ada beberapa faktor yang mendasari penetapan Miranda S. Goeltom
sebagai Tersangka yaitu adanya keterangan dari salah satu anggota
Komisi IX DPR RI yang mendatangi KPK dan mengaku menerima suap
setelah dilakukan pertemuan oleh Miranda S. Goeltom dengan sejumlah
anggota Komisi XI DPR RI, yang ternyata difasilitasi oleh Terdakwa
62
63
kasus suap Nunun Nurbaeti dan pertemuan ini diakui Nunun Nurbaeti
untuk membicarakan masalah pemilihan Miranda S. Goeltom sebagai
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Kemudian pengakuan Agus
Condro kepada KPK yang mengaku menerima suap atas pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia juga mengungkap semua pihak
yang menerima kasus suap cek pelawat dan terbukti bahwa Miranda S.
Goeltom yang dibantu oleh terdakwa Nunun Nurbaeti telah melakukan
suap dalam upaya terpilihnya Miranda S. Goeltom sebagai Deputi
Gubernur Senior BI.
B. SARAN
Sebagai penutup dari kesimpulan diatas penulis disini akan
memberikan saran-saran terkait dengan penetapan tersangka yang dilakukan
oleh KPK :
1.
Komisi Pemberantasan Korupsi seharusnya lebih terbuka lagi kepada
masyarakat terkait semua proses pemeriksaan dan penetapan tersangka
para koruptor agar dapat diakses oleh masyarakat melalui website Komisi
Pemberantasan Korupsi, mengingat asas yang digunakan KPK dalam
menjalankan
tugas,
fungsi
dan
kewenangannya
menganut
asas
transparansi serta mencegah hal-hal yang dapat meragukan masyarakat
bahwa
KPK
sebagai
lembaga
independen
negara
bisa
saja
menyalahgunakan kekuasaanya mengingat tidak ada lembaga lain yang
mengawasi kewenangan dan kenerja KPK tersebut. Adanya penjelasan
64
tambahan tersebut jika tercantum di dalam website KPK dapat
menambah wawasan masyarakat awam terkait kinerja KPK yang sesuai
dengan UU KPK itu sendiri tanpa menduga-duga atau terprofokasi pihakpihak yang ingin menjatuhkan KPK.
2.
Untuk KPK agar selalu jeli dalam menetapkan tersangka serta taat
menjalankan seluruh tugas dan kewenangannya sesuai dengan UU KPK
dan KUHAP. Dan tetap berpegang teguh pada asas-asas yang berlaku
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya yaitu asas kepastian hukum,
asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum serta asas
proporsionalitas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟anul Karim
Buku :
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.I, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Dharmawan, dkk,Jihad Melawan Korupsi,
2005.
Buku Kompas, Jakarta, cet-ke 1,
Djaja, Ermansyah, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Sinar Grafika, Balikpapan, edisi ke-2, 2008.
Ensiklopedia Pemerintahan dan
Pemerintahan di Indonesia.
Kewarganegaraan,
Sistem
dan
Bentuk
Hamzah, A, Korupsi : Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan, Akademika
Pressindo, Jakarta, 1985.
Hamzah, Andi, Pemberabtasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet-ke 7, 2008.
Harahap, Krisna, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Grafiti, Bandung,
2006.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan). Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Kedua, 2007.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.IV,
Bayumedia Publishing, Malang, 2008.
Ihza Mahendra, Yuhsril, Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia, cet.I, Tim
Pakar Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Bersama
Sekretariat Jenderal Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI,
Jakarta, 2002.
Isra, Saldi, Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, Kompas Media Nusantara, Jakarta,
2009.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Laporan Tahunan KPK 2007: Menyalakan Lilin
di Tengah Kegelapan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2007.
65
66
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2011, Komisi
Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2011.
M. Husein, Harun, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka
Cipta, Jakarta, 1991.
Mukti Arto, A, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2001.
ProdjodikoroWirjono. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2.Sumur Bandung,
Bandung, 1962.
Pepatah latih lama „Quis custodiet ipsos custodet?’
Setyawati, Deni, KPK Pemburu Koruptor Kiprah Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam Memberangus Korupsi, Pustaka Timur, Yogyakarta, 2008.
Sinambela, Poltak Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan, dan
Implementasi, cet.V, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
Soekardi, Sugriwadi, Dibawah Cengkraman KPK Pergulatan
Penyalahgunaan Kewenangan KPK, Jakarta, CV Ricardo, 2009.
Korban
Sudjana, Eggi, Republik Tanpa KPK: Koruptor Harus Mati, 2002.
Perundang-Undangan :
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957tertanggal 12 Oktober 1957
Putusan Nomor : 14/PID.B/TPK/2011/PN.JKT.PST
Putusan Nomor : 33/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
Putusan Nomor : 39/PID.B/TPK/2012/PN.JKT.PST
67
Media Sosial :
http://blog.unsri.ac.id/kedudukan-lembaga-negara-bantu-dalam-sistemketatanegaraan-republik-Indonesia-ananlisis-kedudukan-komisipemberantasan-korupsi/mrdetail/4770/.
http://www.darussalaf.or.id/fiqih/hukum-meminta-jabatan-1-tulisan-ke-1-daridua-tulisan/.
https://didiksukriono.files.wordpress.com/2012/01/jurnal-law-enforcementvolume-3-nomor-1-april-september-2009.pdf,
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fcf870e368a6/kewenangan-hakimmengubah-status-saksi-menjadi-tersangka
Pemberantasan Korupsi (KPK), Laporan Tahunan 2008. Deputi Bidang Informasi
dan Data yang terdiri dari Direktorat Pengolahan Informasi dan Data,
Direktorat Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi, dan
Direktorat Monitor. Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat yang terdiri dari Direktorat Pengawasan Internal dan Direktorat
Pengaduan Masyarakat. Penjelasan mengenai fungsi dari setiap Deputi
KPK lihat Lampiran 2. Komisi
Download