BAB 2 KAJIAN TEORITIS SUMBERDAYA AIR Bab dua pada studi penelitian ini berisi tinjauan teori yang mendasari analisa studi penelitian. Tinjauan teori dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian pengertian yang menyangkut sistem tata air dan pendekatan -pendekatan yang digunakan dalam pemilihan metoda perhitungan potensi dan pemanfaatan sumberdaya air. 2.1 Sumberdaya Air Pada sub bab ini di jelaskan pengertian-pengertian yang menyangkut sumberdaya air, siklus hidrologi, limpasan air permukaan, infiltrasi dan n eraca air. 2.1.1 Pengertian Sumberdaya Air Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, yang dimaksud dengan air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, maupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertiaan ini air permu kaan, air tanah, air hujan, dna air laut yang berada di darat. Sedangkan sumberdaya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya. Sumberdaya air dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Takeda, 1993 dalam Subroto, 2001:20), yaitu: - Berdasarkan sumber airnya , meliputi air permukaan, air tanah, air laut, dll. - Berdasarkan fungsi dan pemanfaatannya, meliputi air untuk keperluan domestik, industri, pertanian, PLTA dan lain-lain. - Berdasarkan keterdapatannya, yaitu dapat secara potens ial maupun secara efektif 17 18 Berdasarkan potensinya, keberadaan sumberdaya air di Indonesia dibagi menjadi 3 kelompok wilayah (Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup Tahun 1987, dalam Silalahi, 1996:9): a. Wilayah dengan potensi rendah, kurang dari 10.0 00m3/kapita/th, meliputi pulau-pulau Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara b. Wilayah dengan potensi sedang, antara 10.000 – 100.000 m 3/kapita/th, meliputi pulau-pulau Sumatra, Sulawesi dan Maluku c. Wilayah dengan potensi tinggi, yaitu lebih dari 100.000 m 3/kapita/th, meliputi pulau-pulau Kalimantan dan Irian Jaya Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu wilayah adalah sejumlah air yang bersumber dari hujan yang jatuh di wilayah tersebut, ditambah dengan cadangan air yang tersimpan di dalam tanah. Pemanfa atan potesi sumberdaya air ditentukan oleh waktu, tempat, teknologi dan kondisi ekonomi dan social politik (Nace 1976, dalam Kusuma, 1988, Hal. 57) 2.1.2 Siklus Hidrologi Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi relatif tetap dari masa ke masa. Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung terus menerus. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi. Siklus hidrologi (Suparmoko, 1997: 187): 1. Evaporasi (air dari permukaan laut yang menguap) 2. Transpirasi (air dari tumbuh-tumbuhan yang menguap) 3. Peralihan secara horizontal dari uap air/udara 4. Presipitasi/hujan 5. Run-off (air yang langsung mengalir ke laut) 19 Beberapa faktor yang diperhitungkan dalam analisis hidrologi ini antara lain adalah: - Curah hujan, yaitu sejumlah air hujan turun di permukaan tanah suatu daerah - Evapotranspirasi, yang terdiri dari besaran pernguapan air hujan oleh tanah dan oleh tumbuhan (transpirasi). - Limpasan air permukaan, adalah sejumlah air hujan yang jatuh dipermukaan tanah yang tidak t erserap ke dalam tanah Sebagian air hujan yang tiba di permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah (infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk lekuk permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang rendah, masuk ke sungai, dan akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam perjalanan ke laut, sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai -sungai (disebut aliran intra = interflow). Tetapi sebagaian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater) yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air tanah). (Mori, 1977) 20 GAMBAR 2.1 SIKLUS HIDROLOGI Evapotranspirasi adalah mekanisme perubahan wujud fase cair ke fase gas melalui proses perpindahan molekul dari permukaan tanah, air, dan jaringan tanaman ke atmosfer, sedangkan potensial evapotranspirasi adalah jumlah maksimum air yang dapat diuapkan oleh permukaan tanaman pendek yang rapat dengan anggapan bahwa air yang tersedia cukup. Dalam perh itungan Evapotranspirasi, terdapat beberapa metode untuk mencari pendugaan nilai evapotranspirasi potensial, yaitu Blaney Criddle, Thfornwaite, Penman, Radiasi, Hargreaves, dll. Dan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode Penman, karena metode Penm an adalah metoda yang hasil ketelitian pendugaannya hampir mendekati hasil yang tepat karena memperhatikan banyak memperhatikan variabel -variabel, berikut rumus metode Penman PET AH 0,27 E A 0,27 , H R 1 r 0,18 0,55 S T 4 0,56 0,092 e d 0,1 0,9 S E 0,35ea ed 1 0,0098W2 21 Wh 0,233 0,656 log10 h 4,75 W10 S 2,25n 90% Keterangan PET : Potensial Evapotranspirasi (mm H 2O/hari) E : Evaporasi A : Kemiringan Kurva tekanan uap air jenuh pada suhu udara ( Tabel II-1) T4 : B, radiasi black body pada temperatur udara ( (Tabel II-1) ea : Tekanan uap pada suhu rata-rata (mm Hg) ((Tabel II-1) ed : Tekanan uap aktual (mm Hg) : RH x e a= RH : Kelembaban R : Solar radiasi pada permukaan horizontal di atas atmosfer ( Tabel II-2) r : Albedo (Tabel II-3) S : Radiasi Matahari (Sunshine) Wh : Kecepatan angin pada ketinggian h meter (mil/hari) n : jumlah hari hujan TABEL II-1 HUBUNGAN TEMPERATUR TERHADAP KEMIRINGAN TEKANAN UAP JENUH, RADIASI BLACK BODY, DAN TEKANAN UAP T (Celcius) A (Tekanan Uap) B (Konstanta Boltzman) ea mm Hg) 25 26 27 28 29 30 0,78 0,82 0,87 0,91 0,96 1,00 15,92 16,10 16,34 16,56 16,79 17,01 23,76 25,73 26,98 28,59 30,20 31,82 Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika 22 TABEL II-2 HUBUNGAN LINTANG DENGAN RADIASI MATAHARI Lintang o 10 LU 0 o 10o LS R 14,23 14,23 14,20 Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika TABEL II-3 PERKIRAAN BESARAN ALBEDO BERDASAKAN PERMUKAAN TATA GUNA LAHAN Lokasi Daerah hutan Daerah Batu Daerah Tumbuhan Hijau Daerah Semak Daerah Pasir Albedo 0,11 0,16 0,20 0,22 0,26 Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika 2.1.3 Limpasan Air Permukaan Curah hujan sebagai sumber air dalam setiap tahun jatuh ke permukaan bumi biasanya relatif konstan. Jatuhnya curah hujan ke per mukaan bumi menjadi tambahan sumberdaya air dalam bentuk limpasan air permukaan dan air yang meresap ke dalam tanah. Limpasan air permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas permukaan tanah, tidak terinfiltrasi dan bergerak ke tempat yan g lebih rendah menuju sungai, danau dan lautan. Limpasan air permukaan terjadi ketika curah hujan melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah, setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai mengalir mengisi cekungan -cekungan pada permukaan tanah, kemudia mengal ir di atas permukaan tanah dengan bebas sebaai limpasan permukaan. Koefisien limpasan air permukaan adalah total curah hujan yang mengalir di permukaan. Misalnya, koefisien limpasan 20%, artinya 20% dari total curah hujan akan mengalir menjadi limpasan air permukaan. Koefisien air limpasan merupakan 23 salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu daerah telah mengalami gangguan (fisik). Nilai koefisien yang besar menunjukkan ahwa lebih banyak air dari curah hujan mengalir dalam bentuk limpasan air permuk aan hal ini kurang menguntungkan karena besarnya air yang terserap ke dalam tanah menjadi berkurang dan pada musim kemarau dapat menyebabkan kekeringan, sementara semakin besarnya koefisien air permukaan dapat menyebabkan terjadinya erosi dan banjir. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai koefisien limpasan adalah laju infiltrasi tanah, kondisi dan sifat tanah, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan intensitas hujan. Untuk mengetahui besarnya limpasan air permukaan, ditentukan melalui pendekatan empiric, dengan menggunakan rumus rasional sebagai berikut (Peter 1980, dalam Kusuma, 1988, Hal 184) ( Rational Equation) (Ffolliott, 1980): Q = (P – ET) . Ai . Cro Keterangan: Q = Jumlah aliran air permukaan (m 3) P = Curah Hujan (mm) ET = Evapotranspirasi (mm/th) Ai = Luas lahan (m 3) Cro = Koefisien limpasan permukaan 2.1.4 Infiltrasi infiltrasi memegang peranan penting terhadap keberadaan air tanah, karena infiltrasi adalah proses terserapnya air ke dalam tanah, umumnya air tersebut berasal dari curah hujan, sedangkan air infiltrasi adalah air hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan langsung masuk ke dalam tanah. air hujan yang mengalir masuk ke dalam tanah, dalam batas tertentu berdifat mengendalikan ketersediaan ait untuk 24 keberlangsungan proses evapotranspirasi. Ketersediaan air tanah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, hidrogeologi dan topografi DAS. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intesitas curah hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Air tanah adalah sejumlah air di bawah permukaa n bumi yang dapat dikumpulkan dengan sumur -sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan pemompaan. Dapat juga disebut aliran yang secara alami mengalir ke permukaan tanah melalui pancaran atau rembesan (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry. 1979; Kodoatie, 1996). Air tanah adalah semua air yang berada di bawah permukaan tanah, mencakup air yang tidak bergerak maupun yang mengalir melalui rongga -rongga antar butiran di dalan tanah atau lapisan akifer yang merupakan lapisan formasi yang mampu meloloskan air, baik yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi, dengan kondisi jenuh air serta mempunyai suatu besaran konduktivitas hidraulik, sehingga dapat membawa air, atau air dapat diambil, dalam jumlah yang ekonomis (Kodoatie 1996, dalam Widiati, 1998, Hal 56). UU Sumber Daya Air mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di bumi, mencakup kira -kira 30% dari total air tawar atau 10,5 km 3. Akhir-akhir ini pemakaian air tanah meningkat cepat, bahkan di beberapa tempat tingkat eksploitasinya sudah sampai tingkat yang membahayakan. Air tanah biasa diambil, baik untuk sumber air bersih maupun untuk irigasi, melalui sumur terbuka, sumur tabung, spring , atau sumur horizontal. Kecenderungan memilih air tanah sebagai sumber air bersih dibandingkan dengan air permukaan, yaitu: 1. Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga distribusi lebih murah 2. Debit sumur biasanya relative stabil 3. Lebih bersih dari bahan cemaran permukaan 25 4. Kualitasnya lebih seragam 5. Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut atau tumbuhan dan binatang air Air tanah merupakan satu bagian dalam proses sirkulasi alamiah. Jika pemanfaatan air tanah itu memutuskan sistem sirkulasi yakni jika a ir yang dipompa melebihi besarnya pengisian kembali, maka akan terjadi pengurangan volume air tanah yang ada. Berkurangnya volume air tanah itu akan kelihatan dalam bentuk penurunan permukaan air tanah atau penurunan tekanan air tanah secara terus menerus. Untuk mengetahui jumlah air yang meresap ke dalam tanah ditentukan dengan perhitungan potensi air tanah dengan persamaan Ffolliot (1980) atau pendekatan empiris sebagai berikut (Peter 1980, dalam Kusuma, 1988, Hal. 84): R = (P – ET) . Ai . (1-Cro) Keterangan: 2.1.5 R = Volume air yang meresap ke dalam tanah (m 3) P = Curah Hujan (mm) ET = Evapotranspirasi (mm/th) Ai = Luas lahan (m 3) Cro = Koefisien limpasan permukaan Neraca Air Menurut Sri Harto (1999) pengembangan sumber daya air dapat diartikan secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Sedangkan neraca air merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah. Konsep fokus kajian pengembangan sumber daya air dapat meliputi kegiatan: 26 a. Perhitungan potensi sumber daya air. b. Analisis kebutuhan air baik tahun eksisting maupun masa yang akan datang dan sekaligus pembuatan analisis neraca sumber daya airnya. c. Pemberian alternatif sumberdaya alam yang dapat dimanfaa tkan. Analisis neraca air atau keseimbangan air adalah suatu analisa yang menggambarkan pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktor -faktor yang digunakan dalam perhitungan dan analisis neraca air ini adalah ketersediaan air dari daerah aliran sungai yang dikaji (yang merupakan ketersediaan air permukaan) dan kebutuhan air dari tiap daerah layanan yang dikaji (yang meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkotaan, industri , perikanan, peternakan dan irigasi). Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung neraca air dapat dinyatakan sebagai berikut: Neraca = Qketersediaan - Qkebutuhan Keterangan: Qketersediaan = debit ketersediaan air. Qkebutuhan = debit kebutuhan air. Dari persamaan tersebut maka dapat didefinisikan arti dari kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini adalah saat dimana total kebutuhan air untuk berbagai sektor lebih besar daripada jumlah air yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Atau juga dapat pula dikatakan bahwa kekering an terjadi saat neraca air mengalami defisit atau memiliki nilai negatif. 27 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan Dalam sub bab ini, dijelaskan secara singkat pengertian dan lingkup perubahan penggunaan lahan, pengendalian penggunaan lahan, dan hubungan sumberdaya air dengan penggunaan lahan. 2.2.1 Pengertian dan Lingkup Perubahan Penggunaan Lahan Adanya suatu pertumbuhan yang menimbulkan pembangunan, perkembangan dan pengembangan kota, maka perubahan penggunaan lahan adalah suatu hal yang normal. Menurut Zulkaidi (1999), perubahan penggunaan lahan adalah mencakup perubahan fungsi (landuse), intensitas dan ketentuan teknis masa bangunan ( bulk). Perubahan fungsi adalah perubahan jenis kegiatan, sedangkan perubahan intensitas adalah mencakup perubahan KLB, KDB, kepadatan pembangunan dan lain -lain. Perubahan fungsi mempunyai dampak yang paling besar terhadap lingkungan karena menghasilkan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan sebelumnya, dan dapat mengubah fungsi suatu kawasan. Perubahan penggunaan lahan tidak mengubah suatu luas lahan, tetapi hanya perubahan dinamis yang menyangkut aspek aspek kehidupan masyarakat. Perubahan kawasan lindung menjadi kawasan budidaya seperti permukiman, industri, pertanian erat kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya ya ng diperngaruhi kesejahteraan masyarakat. 2.2.2 Pengendalian Penggunaan Lahan Penyimpangan penggunaan lahan dapat dilihat dari rutinitas bencana seperti banjir, kekeringan dan bencana alam lainnya yang merupakan buruknya struktur dan pola penggunaan lahan. Penyimpangan dapat terjadi karena kurangnya penegakkan implementasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang mengatur penggunaan lahan. Adanya penggunaan lahan yang menyimpang dari arahan rencana yang ada, maka diperlukan pengend alian pemanfaatan ruang untuk 28 mengarahkan, membatasi dan mengendalikan perubahan penggunaan lahan baik perubahan fungsi maupun perubahan fisik. 2.3.2 Hubungan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan Sumberdaya air dan tata guna lahan terdapat hubungan eko logis, dimana terdapat dua hal yang mendasari sistem hubungan tersebut. Pertama, air menyediakan sumberdaya (baik secara ku antitas, kualitas maupun kontin uitas) untuk mendukung upaya penggunaan lahan secara optimal. Kedua, sebaliknya penggunaan lahan yang tidak memperhatikan kaidah konservasi air akan sangat terganggu kelangsungan sumberdaya air (Kodotie, 2005). Atas dasar keterkaitan timbal balik di atas, maka pengelolaan lahan (penataaguna dan pemanfaatan lahan) harus dilakukan sejalan dengan pengelolaa n sumber daya air. Dalam wilayah DAS terdapat berbagai jenis penggunaan lahan, baik pertanian, permukiman, sampai industri, dimana masing-masing kegiatan tersebut akan memberikan dampak yang berbeda terhadap keseimbangan hidrologi. Besarnya aliran limpasan air menuju sungai yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tanah dalam menyerap air, tidak saja berdampak pada berkurangnya ketersediaan air tanah, akan tetapi dapat meningkatkan frekuensi dan besarnya genangan banjir, erosi dan sedimentasi, penurunan kualitas air, dan lain sebagainya. Berdasarkan persamaan neraca keseimbangan air dalam sistem wadah sumberdaya air baik berupa DAS maupun CAT, parameter koefisien aliran permukaan (Cro) menjadi salah satu indikator utama yang menggambarkan keefektifan penggunaan lahan dalam menjadi sumberdaya air. Nilai Cro berkisar antara 0 dan 1 ( 0 < Cro < 1), dimana Cro = 0, curah hujan yang jatuh pada suatu DAS secara keseluruhan akan terserap ke dalam tanah dan menjadi aliran dasar yang berfungsi sebagai imbuhan air tanah, dan nilai Cro = 1, keseluruhan air hujan yang jatuh tidak mampu terserap ke dalam tanah, akan mengganggu keseimbangan air 29 tanah, serta menjadi air limpasan sungai yang dapat menimbulkan banjir di musim hujan. Dengan mempertimbangkan karakteristik f isik dasar wilayah dan jenis penggunaan lahannya, ditetapkan besarnya variasi dari nilai koefisien limpasan (Cro) seperti dijelaskan dalam tabel II-4 dan II-5: TABEL II-4 KOEFISIEN LIMPASAN KAWASAN PERDESAAN Kondisi Topografi & Vegetasi 1. Hutan a. Datar (0-5%) b. Bergelombang (5-10%) c. Berbukit (10-30%) 2. Padang Rumput a. Datar b. Bergelombang c. Berbukit 3. Pertanian a. Datar b. Bergelombang c. Berbukit Nilai Cro Berdasarkan Kondisi Tanah Terbuka & Berpasir Berlempung & Lanau Endapan Berlempung 0,10 0,25 0,30 0,30 0,35 0,50 0,40 0,50 0,60 0,10 0,16 0,22 0,30 0,36 0,42 0,40 0,55 0,60 0,30 0,40 0,52 0,50 0,60 0,72 0,60 0,70 0,82 Sumber : William M. Marsh (1991, Hal 118) 30 TABEL II-5 NILAI KOEFISIEN AIR LARIAN (CRO) Tipe Daerah Lapangan rumput - Tanah berpasir, datar 2% - Tanah berpasir, rata-rata 2 - 7% - Tanah berpasir, berlereng 7% - Tanah berat, datar 2% - Tanah berat, rata-rata 2 - 7% - Tanah berat, berlereng 7% Daerah usaha - Daerah usaha di kota - Daerah usaha di kampung Daerah permukiman - Perumahan individual - Multi unit, berdiri sendiri -sendiri - Multi unit, tergabung - Suburban - Daerah permukiman, apartemen Industri - Industri berat - Industri ringan Taman, kuburan Daerah permainan (play grounds) Daerah stasiun kereta api Jalan - Aspal - Beton - Bata - Kerikil - Tak diperkeras, lahan kosong Atap (genteng) Koefisien Air Larian (Cro) 0,05 - 0,10 0,10 - 0,15 0,15 - 0,20 0,13 - 0,17 0,18 - 0,22 0,25 - 0,35 0,70 - 0,95 0,50 - 0,70 0,30 - 0,50 0,40 - 0,60 0,60 - 0,75 0,25 - 0,40 0,50 - 0,70 0,50 - 0,80 0,60 - 0,90 0,10 - 0,25 0,20 - 0,40 0,10 - 0,30 0,70 - 0,95 0,80 - 0,95 0,70 - 0,85 0,15 - 0,30 0,75 - 0,95 0,01 - 0,10 Sumber : Otto Soemarwoto (2001) 2.3 Peranan Sumberdaya Air Air merupakan sumberdaya alam yang selalu di butuhkan bagi kelangsung hidup manusia dan bagi pengembangan lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai sumberdaya alam, agar ketersediaannya tercukupi, air perlu penanganan dan pengelolahan khusus, sehingga kebutuhan makhluk hidup termasuk manusia akan air 31 tidak terganggu. Secara umum, Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Barat (1996) membagi peruntukkan kebutuhan air ke dalam 4 kelompok penggunaan, yaitu penggunaan air untuk kebutuhan pendud uk (rumah tangga), fasilitas sos ial-ekonomi, pertanian dan industri. 2.3.1 Kebutuhan Sumberdaya Air bagi Penduduk (Rumah Tangga) Kebutuhan sumberdaya air untuk keperluan domestik dipengaruhi oleh laju pertubuhan penduduk. Oleh karena itu untuk mengetahui kebutuhan sumberdaya air untuk keperluan domestik di masa data ng, hal pertama yang harus dilakukan adalah memproyeksikan pertumbuhan penduduk. Proyeksi jumlah penduduk dihitung dengan model pertumbuhan Eksponensial (Mode l Geometri/Model Bunga Berganda. Penggunaan model pertumbuhan eksponensial dikarenakan pada model tersebut terjadi perkalian yang diulang -ulang. Jadi pertumbuhan penduduk didapat dengan angka pertumbuhan (rate of growth) adalah sama untuk setiap tahun. Rumus pertumbuhan penduduk ini adalah sebagai berikut: Pt = Po (1 + r) n Keterangan: Pt : Jumlah penduduk akhir tahun proye ksi Po : Jumlah penduduk awal tahun proyeksi r : Tingkat pertumbuhan penduduk n : Rentang tahun Selain proyeksi pertumbuhan penduduk, dalam perhitungan proyeksi kebutuhan sumberdaya air juga dibutuhkan standar kebutuhan air bagi penduduk dan rumah tangga didasarkan pada pembagian jenis kota menurut jumlah penduduk, yang disajikan pada tabel II-6: 32 TABEL II-6 STANDAR KEBUTUHAN AIR RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS KOTA No. 1 2 3 4 5 Kategori Kota Kota Metropolitan Kota Besar Kota Sedang Kota Kecil Kota Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) >1.000.000 500.000 - 1.000.000 100.000 - 500.000 20.000 - 100.000 3.000 - 20.000 Standar Kebutuhan Air (lt/Jiwa/Hari) 190 170 150 130 100 Sumber : Ditjen Cipta Karya, DPU, 1990 2.3.2 Kebutuhan Sumberdaya Air bagi Fasilitas Sosial Ekonomi Kebutuhan sumberdaya air untuk pemenuhan berbagai sarana -prasarana sosial ekonomi masyarakat didasarkan pada jenis fasilitas yang ada, seperti fasilitas pendidikan (sekolah), fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesma, dll), fasilitas peribadatan (masjid, gereja, dll), fasilitas perkantoran, fasilitas perdagangan (pasar), fasilitas pariwisata, dan fasilitas transportasi (terminal). Analisis kebutuhan sumberdaya air untuk pemenuhan kebutuhan air untuk prasarana dan sarana sosial ekonomi didasarkan pada kecenderungan perkembangan prasarana dan sarana dimaksud dan standar kebutuhan untuk masing -masing jenis prasarana dan sarana disajikan pada tabel2.7: 33 TABEL II-7 STANDAR KONSUMSI AIR UNTUK PEMENUHAN FASILITAS SOSIAL EKONOMI No. Jenis Fasilitas 1 Fasilitas Pendidikan 2 Fasilitas Kesehatan Standar Kebutuhan Air *) *) 400 lt/hari (146 m 3/th) 250 lt/hari (91,25 m3/th) 3 Fasilitas Peribadatan *) 200 lt/ hari (73 m3/th) 4 Fasilitas Perkantoran **) 2 - 4 m3/hr/unit 5 Fasilitas Perdagangan **) 6 Fasilitas Pariwisata 2 - 3 m3/hr/unit 30 lt/hr/pengunjung **) 150/lt/hr/tempat tidur 7 Fasilitas Transportasi Sumber 2.3.3 **) 2 - 3 m3/hr/unit : *) Pedoman RUTR Wilayah Inti Metropolitan Bandung Raya ( dalam Sari, 1995) **) Suparmoko (1997) Kebutuhan Sumberdaya Air b agi Pertanian Kebutuhan sumberdaya air untuk kegiatan pertanian ditentukan oleh jenis komoditi yang ditanam pada satuan luas tertentu (jenis komoditi/luas/waktu), seperti pertanian lahan basah (padi) yang biasanya menggnakan irigasi teknis, pertanian lahan kering (palawija) dengan irigasi non -teknis, tanaman kehutanan, kegiatan peternakan dan perikanan. Standar kebutuhan air untuk berbagai kegiatan pertanian disajikan pada tabel II-8: 34 TABEL II-8 STANDAR KEBUTUHAN AIR TIAP SEKTOR DI DAERAH PENGALIRAN SUNGAI KALI PROGO No. 1 2 3 Jenis Fasilitas (Sektor)Standar Kebutuhan Air Pertanian *) a. Lahan basah (padi) b. Lahan kering (palawija) Peternakan a. Ternak besar b. Unggas Perikanan a. Luas sawah (kolam sawah) (m2) Standar Kebutuhan Air 1/lt/dt/hari 0.25 lt/dt/hari 25 lt/hari/ekor 2.5 lt/hari/ekor 3.1536 m/thn Sumber : Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Suparmoko (1997) *) Sesuai dengan konsep Pasten 2.3.4 Kebutuhan Sumberdaya Air Bagi Industri Industri merupakan salah satu jasa yang mana menjadi salah satu basis perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu, penanganannya menuntut suatu upaya yang efisien untuk memperoleh nilai tambah yang optimal. Berdasarkan jenis produk yang dihasilkannya, industri dapat berupa industri pengolahan, jasa, pariwisata, dan lain-lain. Sedangkan menurut skala operasinya, dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam aktifitasnya , yaitu: 1. Industri kecil, dengan jumah tenaga kerja 1 – 19 orang 2. Industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja 20 – 99 orang 3. Indutri besar, dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang Perlunya penggunaan air dalam suatu industri, umumnya digunakan untuk proses produksi, pendinginan, pembuangan limbah, keperluan domestik, dll. Menurut kammerer (Kusumah, 1988, Hal. 123), besarnya suatu industri antara lain ditentukan oleh kebutuhan satuan produksi/unit, kebutuhan air per tenaga kerja, dan kebutuhan pertambahan nilai atau nilai produksi. Standar kebutuhan air untuk berbagai kegiatan industri disajikan pada tabel II-9 : 35 TABEL II-9 TABEL STANDAR KONSUMSI AIR UNTUK KEBUTUHAN INDUSTRI Fasilitas Industri Sumber : 2.4 Jumlah 120 *) 2 – 3 **) Satuan Liter/orang/hari m3/hari/unit *) Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Suparmoko (1997) **) Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. Pekerjaan Umum, 1989 Pengelolaan Sumberdaya Air Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, pengelolaa n sumberdaya air adalah merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air. Sedangkan pengelola sumberdaya air adalah institusi yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan sumberdaya air didasarkan pada asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian serta transparasi dan akuntabilitas. Sumberdaya air dikelola secar a menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seiring dengan berjalannya waktu, dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan akan air juga meningkat. Setiap individu/kelompok mempunyai akses yang sama dalam menggunakan sumber daya air, sebagaimana layaknya terhadap barang public, yang memiliki sifat tidak bersaing dalam megkonsumsinya (non-rivalry), dan tidak bersifat eksklucif ( non-exclusion) dimana setiap orang/kelompok berhak untuk menggunakannya (Yakin, 1997,hal. 54). Di lain pihak, air yang tersedia di alam yang secara potensial dapat dimanfaatkan manusia adalah tetap saja jumlahnya (Silalahi, 1996). Oleh karena itu, untuk menjag a kelestarian sumber daya air dibutuhkan suatu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya air yang terpadu dengan pengaturan yang didasari oleh kaidah -kaidah pelestarian lingkungan. 36 2.5 Kawasan Konservasi Pada bab ini dijelaskan mengenai definisi pengelolaan , fungsi, perencanaan pengelolaan, keberlanjutan dan permasalahan sumberdaya air di kawasan konservasi. 2.5.1 Definisi Pengelolaan Kawasan Konservasi Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya memelihara apa yang kita punya ( keep/save what you have), namun secara bijaksana (wise use). Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi le bih buruk daripada saat sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang. Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa batasan, sebagai berikut : 1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama ( American Dictionary). 2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal secara sosial (Randall, 1982). 3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hid up termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968). 4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980). 37 Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Fungsi kawasan konservasi di Kawasan Bandung Utara yang terl etak di dataran tinggi adalah sebagai wilayah resapan air tanah, sehingga ketika musim hujan, air dapat lebih menyerap ke dalam tanah, dan mengurangi limpasan air permukaan, sehingga dapat menghambat bajir untuk wilayah di bawahnya. (suara merdeka.com). Tujuan utama konservasi menurut “Strategi Konservasi Sedunia” ( World Coservation Strategy ), ada tiga, yaitu: a. Memelihat proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan b. Mempertahankan keanekaan genetis, dan c. Menjamin pemanfaatan jenis (spesies) da n ekosistem secara berkelanjutan. Kawasan konservasi didukung oleh kawasan penyangga yang mana merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan kelestarian alam. Menurut Departemen Kehutanan, dalam menetapkan dan mengelola daerah penyangga kawasan konservasi harus berdasarkan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah penyangga memiliki ekonomi yang mampu meningkatkan tarah hidup dan persepsi masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Model pengembangan dan pengelolaannya dibagi dalam bentuk pembagian daerah penyangga ke dalam zonasi, yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur kawasan budidaya. 2.5.2 Permasalahan Sumberdaya Air dalam Kawasan konservasi Dalam masalah kawasan konservasi juga terkait masalah tata ruang yang dikelola lembaga yang berbeda pula. Akibatnya, yang dihasilkan di lapangan adalah kebijakan sektoral dan seringkali justru antikonservasi. Penerbitan izin pengambilan air tanah kepada industri yang berlangsung dengan mudah tanpa memperhitungkan 38 aspek konservasi, bukan hanya memunculkan masalah lingkungan tetapi juga menimbulkan paradoks pemanfaatan air. Penyedotan air tanah yang intensif di kawasan industri, khususnya di kota -kota mengakibatkan penurunan permukaan tanah. Paradoks pemanfaatan air terjadi saat kepentingan produksi industri memanfaatkan air tanah (dalam) yang memiliki kualitas prima, sedangkan untuk kebutuhan hidup (minum dan kebersihan) masyarakat justru harus menggunakan air permukaan yang lebih "kotor", baik sudah maupun belum diolah. Penerbitan IMB oleh lembaga yang tidak langsung bersinggungan -secara fisik-dengan pengelolaan sumber daya air, mengakibatkan tidak terkendalinya konversi lahan di kawasan hulu. Patokan konservasi seperti tingkat penutupan lahan oleh bangunan dilanggar begitu saja. Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur media yang mengatur tata air, unsur pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan lingkungannya. Lahan kritis merupakan lahan yang kondisi tanahnya telah mengalami atau dalam proses mengalami kerusakanfisik kimia atau biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, permukiman dan kehidupan social ekonomi di sekitar daerah pe ngaruhnya (Setiawan dalam Adi, 1996). Luas lahan kritis di Indonesia juga mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 1984 terdapat sudah terdapat 11 juta Ha lahan kritis yang meningkat menjadi 46 juta Ha di tahun 2002. Terjadinya lahan kritis dan kerusakan kawasan konservasi sebenarnya disebabkan karena alasan yang klasik seperti penggundulan hutan, mendirikan bangunan di kawasan terlarang dan mencemari air permukaan yang juga mengakibatkan bencana kekeringan, banjir dan longsor. 39 2.6 Perencanaan Pemanfaatan Ruang Wilayah (RTRW) Dalam sub bab ini dijelaskan mengenai pengertian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), fungsi RTRW sebagai alat koordinas pengelolaan sumberdaya air. perencanaan pemanfaatan ruang dalam kawasan konservasi dan hubungan keseimbangan tata air dengan rencana pemanfaatan ruang. 2.6.1 Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Perencanaan Tata Ruang wilayah merupakan suatu upaya mencoba merumuskan usaha pemanfaatan ruang secara optimal dan efisien serta lestari bagi kegiatan usaha manusia di wil ayahnya yang berupa pembangunan sektoral, daerah, swasta dalam rangka mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu. Menurut UU No. 2 6 tahun 2007, tata ruang didefinisikan sebagai wujud struktural dan pola pemanf aatan ruang atau wadah. Untuk memberikan manfaat yang luas dan berkelanjutan terhadap suatu ruang atau wilayah diperlukan perencanaan terhadap penataan ruang, yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Perencanaan tata ruang sendiri lebih terfokus pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri, karena di wilayah inilah tempat manusia dan makhluk hidup lainnya berinteraksi menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya perencanaan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari usaha -usaha menjaga kelestarian lingkungan, keseimbangan ekosistem dan bermuara pada tercapainya kenyamanan hidup bagi segenap penghuninya. Penataan ruang tidak mengenal batas wilayah administrative, sebab lahan sebagai basis penataan ruang adalah bentang alam dan merupakan satu kesatuan toposequence yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewaji ban setiap Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan 40 pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan dari tata ruang tingkat propinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau -pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya. Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, maka tata ruang na sional, propinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi. 2.6.2 Hubungan Keseimbangan Tata Air dengan Rencana Pemanfaatan Ruang Berdasarkan penjelasan atas Undang -Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada Undang -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar -besar kemakmuran rakyar secara adil menjelaskan atas penguasaa sumber daya air oleh Negara dimaksud, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari -hari dan melakukan pengaturan hak atas air. Sejalan dengan perkembangan jumla h penduduk dan meningkatnya kegiatan masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumberdaya air dan meningkatnya daya rusak air. Selain itu kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendor ong lebih akan kuatnya nilai ekonomi yang memihak si pemilik modal dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor, antarwilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumberdaya air. oleh kare na itu, perlunya pendayagunaan sumberdaya air yang mana merupakan upaya penatagunaan, 41 penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air secara optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Penatagunaan sumberdaya air sendiri seperti halnya berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, Pasal 27, bahwa salah tujuan dilakukannya penatagunaan sumberdaya air adalah untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukkan air pada sumber air. Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004, rencana pengelolaan sumberdaya air adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya air. pengelolaan sumberdaya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harm onis antarwilayah, antarsektor dan antargenerasi. Untuk menjamin terselenggaraan pengelolaan sumberdaya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar -besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pengelolaan sumberdaya air yang juga melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas luasnya. Pola pengeloaan sumberdaya air harus didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air. rencana pengelolaan sumberdaya air merupakan salah satu u nsur dalam penyusunan peninjauan kembali, dan penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Perencanaan pengelolaan sumberdaya air disusun sesuai dengan standar perencanaan yang berlaku yaitu inventarisasi sumberdaya air, penyusunan, dan penetapan rencana peng elolaan sumberdaya air. 2.6.3 Perencanaan Pemanfaatan Ruang dalam Kawasan konservasi Di Indonesia, perencanaan pemanfaatan ruang merupakan bagian dari perencanaan penataan ruang, yang diatur berdasarkan Undang -Undang No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Pada pasal 33 ayat 1 Undang -Undang No. 26 tahun 2007, pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan 42 air, penatagunaan udara dan pentagunaan sumber daya alam lain sesuai dengan asas penataan ruang dimana definisi penataan ruang itu sendiri adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Berdasarkan uraian di atas, RTRW mempunyai peranan sangat penting dalam perencanaan pembangunan wilayah, karena dalam RTRW perencanaan dapat dijabarkan pembagian strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah Negara dari tingkat nasional sampai ke pr opinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain, RTRW dapat menjadi alat koordinasi antar sektor yang terkait baik secara vertikal maupun horizontal termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya air. Salah satu acuan yang digunakan dalam perencanaan tata ruang ada lah ketentuan tentang konservasi sumberdaya air, selain itu upaya perlindungan dan pelestarian sumber air juga dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan. Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004, konservasi sumberdaya air dilakukan melalui: 1. Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air 2. Pengendalian pemanfaatan sumber air 3. Pengisian air pada sumber air 4. Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi 5. Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air 6. Pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu 7. Pengaturan daerah sempadan sumber air 8. Rehabilitasi hutan dan lahan 9. Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam Kegiatan pengelolaan suberdaya alam termasuk kawasan penyangga meliputi perencanaan, implementasi dan pengawasan dan/atau pengendalian. Ketiga kegiatan pengelolaan suberdaya alam di kawasan penyangga memerlukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi (KIS) baik secara vertikal maupun secara horizontal. KIS secara 43 vertikal antara lain antara Pusat dan Daerah Propinsi serta Daerah Kabupaten, secara horizontal dimaksudkan KIS antar sektor dan antar instansi di masing -masing tingkat (pusat, propinsi dan kabupaten). Di kawasan penyangga terdapat berbagai jenis da n tingkat perencanaan yaitu: Perencanaan Umum Kawasan Taman Nasional (National Park Master Plan) ; Perencanaan Umum Kawasan Daerah Aliran Sungai (Watershed Master Plan ; Perencanaan Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten (Provincial and Kabupaten Spatial Plan ; Perencanaan Sektoral (Sectoral Plan); dan Perencanaan Regional (Regional Plan). Sampai saat ini, masing-masing perencanaan tersebut pada dasarnya mempunyai dimensi dan kepentingan sendiri -sendiri, tidak/ kurang saling mengisi dan melengkapi, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, sehingga pada implementasi kegiatan perencanaan di lapangan ditemui berbagai permasalahan. Hal ini antara lain : Pendekatan kegiatan perencanaan konservasi dan perlindungan kawasan penyangga yang ada masih sangat umum, sehingga strategi pengelolaan sumberdaya alam berkesinambungan di kawasan penyangga sulit dilaksanakan. Belum diikutsertakannya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan penyangga dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan . Ditemukan perbedaan rencana pengelolaan sumberdaya alam pada lokasi yang sama ditinjau dari segi kepentingan, seperti menurut rencana suatu lokasi merupakan kawasan konservasi dan harus dilindungi, sedangkan dari perencanaan sektoral lainnya pada lokasi yang sama akan dikembangkan kegiatan eksploitasi sumberdaya alam seperti perkebunan, pertambangan, transmigrasi dan lain sebagainya. 44 Salah satu cara yang dilakukan pengelolaan keseimbangan tata air adalah mempertahankan kualitas kawasan lindung. Sesuai Per da No. 2 Tahun 2003 tentang RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan kebijakan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas kawasan lindung di Jawa Barat. Kebijakan dijabarkan dalam beberapa program, yaitu: 1. Pengukuhan kawasan lindung agar tercapai targer luasan kawasan lindung hutan dan non hutan untuk seluruh Jawa Barat sebesar 45%; 2. Rehabilitasi lahan konservasi termasuk rehabilitasi lahan -lahan kritis; 3. Pengawasan, pengamanan dan pengaturan pemanfaatan sumber daya; 4. Pengembangan partisipasi masyarakat dala m pengelolaan Kawasan Lindung.