BAB 2 KAJIAN TEORITIS SUMBERDAYA AIR Bab dua pada studi

advertisement
BAB 2
KAJIAN TEORITIS SUMBERDAYA AIR
Bab dua pada studi penelitian ini berisi tinjauan teori yang mendasari analisa
studi penelitian. Tinjauan teori dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian pengertian yang menyangkut sistem tata air dan pendekatan -pendekatan yang
digunakan dalam pemilihan metoda perhitungan potensi dan pemanfaatan
sumberdaya air.
2.1
Sumberdaya Air
Pada sub bab ini di jelaskan pengertian-pengertian yang menyangkut
sumberdaya air, siklus hidrologi, limpasan air permukaan, infiltrasi dan n eraca air.
2.1.1
Pengertian Sumberdaya Air
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air,
yang dimaksud dengan air adalah semua air yang terdapat pada, di atas, maupun di
bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertiaan ini air permu kaan, air tanah, air
hujan, dna air laut yang berada di darat. Sedangkan sumberdaya air adalah air,
sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.
Sumberdaya air dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Takeda,
1993 dalam Subroto, 2001:20), yaitu:
- Berdasarkan sumber airnya , meliputi air permukaan, air tanah, air laut, dll.
- Berdasarkan fungsi dan pemanfaatannya, meliputi air untuk keperluan
domestik, industri, pertanian, PLTA dan lain-lain.
- Berdasarkan keterdapatannya, yaitu dapat secara potens ial maupun secara
efektif
17
18
Berdasarkan potensinya, keberadaan sumberdaya air di Indonesia dibagi
menjadi 3 kelompok wilayah (Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup
Tahun 1987, dalam Silalahi, 1996:9):
a. Wilayah dengan potensi rendah, kurang dari 10.0 00m3/kapita/th, meliputi
pulau-pulau Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara
b. Wilayah dengan potensi sedang, antara 10.000 – 100.000 m 3/kapita/th,
meliputi pulau-pulau Sumatra, Sulawesi dan Maluku
c. Wilayah dengan potensi tinggi, yaitu lebih dari 100.000 m 3/kapita/th, meliputi
pulau-pulau Kalimantan dan Irian Jaya
Potensi sumberdaya air yang terdapat pada suatu wilayah adalah sejumlah air
yang bersumber dari hujan yang jatuh di wilayah tersebut, ditambah dengan cadangan
air yang tersimpan di dalam tanah. Pemanfa atan potesi sumberdaya air ditentukan
oleh waktu, tempat, teknologi dan kondisi ekonomi dan social politik (Nace 1976,
dalam Kusuma, 1988, Hal. 57)
2.1.2
Siklus Hidrologi
Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi relatif tetap dari masa ke masa.
Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang berlangsung
terus menerus. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus hidrologi.
Siklus hidrologi (Suparmoko, 1997: 187):
1. Evaporasi (air dari permukaan laut yang menguap)
2. Transpirasi (air dari tumbuh-tumbuhan yang menguap)
3. Peralihan secara horizontal dari uap air/udara
4. Presipitasi/hujan
5. Run-off (air yang langsung mengalir ke laut)
19
Beberapa faktor yang diperhitungkan dalam analisis hidrologi ini antara lain
adalah:
-
Curah hujan, yaitu sejumlah air hujan turun di permukaan tanah suatu
daerah
-
Evapotranspirasi, yang terdiri dari besaran pernguapan air hujan oleh
tanah dan oleh tumbuhan (transpirasi).
-
Limpasan air permukaan, adalah sejumlah air hujan yang jatuh
dipermukaan tanah yang tidak t erserap ke dalam tanah
Sebagian air hujan yang tiba di permukaan tanah akan masuk ke dalam tanah
(infiltrasi). Bagian lain yang merupakan kelebihan akan mengisi lekuk lekuk
permukaan tanah, kemudian mengalir ke daerah yang rendah, masuk ke sungai, dan
akhirnya ke laut. Tidak semua butir air yang mengalir akan tiba ke laut. Dalam
perjalanan ke laut, sebagian akan menguap dan kembali ke udara. Sebagian air yang
masuk ke dalam tanah keluar kembali ke sungai -sungai (disebut aliran intra =
interflow). Tetapi sebagaian besar akan tersimpan sebagai air tanah (groundwater)
yang akan keluar sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang lama ke permukaan
tanah di daerah-daerah yang rendah (disebut groundwater runoff = limpasan air
tanah). (Mori, 1977)
20
GAMBAR 2.1
SIKLUS HIDROLOGI
Evapotranspirasi adalah mekanisme perubahan wujud fase cair ke fase gas
melalui proses perpindahan molekul dari permukaan tanah, air, dan jaringan tanaman
ke atmosfer, sedangkan potensial evapotranspirasi adalah jumlah maksimum air yang
dapat diuapkan oleh permukaan tanaman pendek yang rapat dengan anggapan bahwa
air yang tersedia cukup. Dalam perh itungan Evapotranspirasi, terdapat beberapa
metode untuk mencari pendugaan nilai evapotranspirasi potensial, yaitu Blaney
Criddle, Thfornwaite, Penman, Radiasi, Hargreaves, dll. Dan dalam penulisan ini,
penulis menggunakan metode Penman, karena metode Penm an adalah metoda yang
hasil ketelitian pendugaannya hampir mendekati hasil yang tepat karena
memperhatikan banyak memperhatikan variabel -variabel, berikut rumus metode
Penman
PET AH 0,27 E A 0,27 ,
H R 1 r 0,18 0,55 S T 4 0,56 0,092 e d 0,1 0,9 S E 0,35ea ed 1 0,0098W2 21
Wh
0,233 0,656 log10 h 4,75
W10
S 2,25n 90%
Keterangan
PET
: Potensial Evapotranspirasi (mm H 2O/hari)
E
: Evaporasi
A
: Kemiringan Kurva tekanan uap air jenuh pada suhu udara ( Tabel II-1)
T4
: B, radiasi black body pada temperatur udara ( (Tabel II-1)
ea
: Tekanan uap pada suhu rata-rata (mm Hg) ((Tabel II-1)
ed
: Tekanan uap aktual (mm Hg) : RH x e a=
RH
: Kelembaban
R
: Solar radiasi pada permukaan horizontal di atas atmosfer ( Tabel II-2)
r
: Albedo (Tabel II-3)
S
: Radiasi Matahari (Sunshine)
Wh
: Kecepatan angin pada ketinggian h meter (mil/hari)
n
: jumlah hari hujan
TABEL II-1
HUBUNGAN TEMPERATUR TERHADAP KEMIRINGAN TEKANAN
UAP JENUH, RADIASI BLACK BODY, DAN TEKANAN UAP
T
(Celcius)
A
(Tekanan Uap)
B
(Konstanta Boltzman)
ea
mm Hg)
25
26
27
28
29
30
0,78
0,82
0,87
0,91
0,96
1,00
15,92
16,10
16,34
16,56
16,79
17,01
23,76
25,73
26,98
28,59
30,20
31,82
Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika
22
TABEL II-2
HUBUNGAN LINTANG DENGAN
RADIASI MATAHARI
Lintang
o
10 LU
0
o
10o LS
R
14,23
14,23
14,20
Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika
TABEL II-3
PERKIRAAN BESARAN ALBEDO BERDASAKAN
PERMUKAAN TATA GUNA LAHAN
Lokasi
Daerah hutan
Daerah Batu
Daerah Tumbuhan Hijau
Daerah Semak
Daerah Pasir
Albedo
0,11
0,16
0,20
0,22
0,26
Sumber : Modul 3 Evapotranspirasi, mata kuliah Metorologi Geofisika
2.1.3
Limpasan Air Permukaan
Curah hujan sebagai sumber air dalam setiap tahun jatuh ke permukaan bumi
biasanya relatif konstan. Jatuhnya curah hujan ke per mukaan bumi menjadi tambahan
sumberdaya air dalam bentuk limpasan air permukaan dan air yang meresap ke dalam
tanah. Limpasan air permukaan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir di atas
permukaan tanah, tidak terinfiltrasi dan bergerak ke tempat yan g lebih rendah menuju
sungai, danau dan lautan. Limpasan air permukaan terjadi ketika curah hujan
melampaui laju infiltrasi ke dalam tanah, setelah laju infiltrasi terpenuhi, air mulai
mengalir mengisi cekungan -cekungan pada permukaan tanah, kemudia mengal ir di
atas permukaan tanah dengan bebas sebaai limpasan permukaan.
Koefisien limpasan air permukaan adalah total curah hujan yang mengalir di
permukaan. Misalnya, koefisien limpasan 20%, artinya 20% dari total curah hujan
akan mengalir menjadi limpasan air permukaan. Koefisien air limpasan merupakan
23
salah satu indikator untuk menentukan apakah suatu daerah telah mengalami
gangguan (fisik). Nilai koefisien yang besar menunjukkan ahwa lebih banyak air dari
curah hujan mengalir dalam bentuk limpasan air permuk aan hal ini kurang
menguntungkan karena besarnya air yang terserap ke dalam tanah menjadi berkurang
dan pada musim kemarau dapat menyebabkan kekeringan, sementara semakin
besarnya koefisien air permukaan dapat menyebabkan terjadinya erosi dan banjir.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi nilai koefisien limpasan adalah laju infiltrasi
tanah, kondisi dan sifat tanah, kemiringan lahan, tanaman penutup tanah, dan
intensitas hujan.
Untuk mengetahui besarnya limpasan air permukaan, ditentukan melalui
pendekatan empiric, dengan menggunakan rumus rasional sebagai berikut (Peter
1980, dalam Kusuma, 1988, Hal 184) ( Rational Equation) (Ffolliott, 1980):
Q = (P – ET) . Ai . Cro
Keterangan:
Q
= Jumlah aliran air permukaan (m 3)
P
= Curah Hujan (mm)
ET
= Evapotranspirasi (mm/th)
Ai
= Luas lahan (m 3)
Cro
= Koefisien limpasan permukaan
2.1.4
Infiltrasi
infiltrasi memegang peranan penting terhadap keberadaan air tanah, karena
infiltrasi adalah proses terserapnya air ke dalam tanah, umumnya air tersebut berasal
dari curah hujan, sedangkan air infiltrasi adalah air hujan yang jatuh ke permukaan
tanah dan langsung masuk ke dalam tanah. air hujan yang mengalir masuk ke dalam
tanah, dalam batas tertentu berdifat mengendalikan ketersediaan ait untuk
24
keberlangsungan proses evapotranspirasi. Ketersediaan air tanah dipengaruhi oleh
kondisi curah hujan, hidrogeologi dan topografi DAS. Kapasitas infiltrasi terjadi
ketika intesitas curah hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban
tanah.
Air tanah adalah sejumlah air di bawah permukaa n bumi yang dapat
dikumpulkan dengan sumur -sumur, terowongan atau sistem drainase atau dengan
pemompaan. Dapat juga disebut aliran yang secara alami mengalir ke permukaan
tanah melalui pancaran atau rembesan (Bouwer, 1978; Freeze dan Cherry. 1979;
Kodoatie, 1996). Air tanah adalah semua air yang berada di bawah permukaan tanah,
mencakup air yang tidak bergerak maupun yang mengalir melalui rongga -rongga
antar butiran di dalan tanah atau lapisan akifer yang merupakan lapisan formasi yang
mampu meloloskan air, baik yang terkonsolidasi maupun yang tidak terkonsolidasi,
dengan kondisi jenuh air serta mempunyai suatu besaran konduktivitas hidraulik,
sehingga dapat membawa air, atau air dapat diambil, dalam jumlah yang ekonomis
(Kodoatie 1996, dalam Widiati, 1998, Hal 56). UU Sumber Daya Air mendefinisikan
air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah
permukaan tanah.
Air tanah merupakan sumber air tawar terbesar di bumi, mencakup kira -kira
30% dari total air tawar atau 10,5 km 3. Akhir-akhir ini pemakaian air tanah
meningkat cepat, bahkan di beberapa tempat tingkat eksploitasinya sudah sampai
tingkat yang membahayakan. Air tanah biasa diambil, baik untuk sumber air bersih
maupun untuk irigasi, melalui sumur terbuka, sumur tabung, spring , atau sumur
horizontal. Kecenderungan memilih air tanah sebagai sumber air bersih dibandingkan
dengan air permukaan, yaitu:
1. Tersedia dekat dengan tempat yang memerlukan, sehingga distribusi lebih
murah
2. Debit sumur biasanya relative stabil
3. Lebih bersih dari bahan cemaran permukaan
25
4. Kualitasnya lebih seragam
5. Bersih dari kekeruhan, bakteri, lumut atau tumbuhan dan binatang air
Air tanah merupakan satu bagian dalam proses sirkulasi alamiah. Jika
pemanfaatan air tanah itu memutuskan sistem sirkulasi yakni jika a ir yang dipompa
melebihi besarnya pengisian kembali, maka akan terjadi pengurangan volume air
tanah yang ada. Berkurangnya volume air tanah itu akan kelihatan dalam bentuk
penurunan permukaan air tanah atau penurunan tekanan air tanah secara terus
menerus.
Untuk mengetahui jumlah air yang meresap ke dalam tanah ditentukan dengan
perhitungan potensi air tanah dengan persamaan Ffolliot (1980) atau pendekatan
empiris sebagai berikut (Peter 1980, dalam Kusuma, 1988, Hal. 84):
R = (P – ET) . Ai . (1-Cro)
Keterangan:
2.1.5
R
= Volume air yang meresap ke dalam tanah (m 3)
P
= Curah Hujan (mm)
ET
= Evapotranspirasi (mm/th)
Ai
= Luas lahan (m 3)
Cro
= Koefisien limpasan permukaan
Neraca Air
Menurut Sri Harto (1999) pengembangan sumber daya air dapat diartikan
secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam agar dapat
dimanfaatkan secara optimal. Sedangkan neraca air merupakan suatu gambaran
umum mengenai kondisi ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah.
Konsep fokus kajian pengembangan sumber daya air dapat meliputi kegiatan:
26
a. Perhitungan potensi sumber daya air.
b. Analisis kebutuhan air baik tahun eksisting maupun masa yang akan
datang dan sekaligus pembuatan analisis neraca sumber daya airnya.
c. Pemberian alternatif sumberdaya alam yang dapat dimanfaa tkan.
Analisis neraca air atau keseimbangan air adalah suatu analisa yang
menggambarkan pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan
pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktor -faktor yang
digunakan dalam perhitungan dan analisis neraca air ini adalah ketersediaan air dari
daerah aliran sungai yang dikaji (yang merupakan ketersediaan air permukaan) dan
kebutuhan air dari tiap daerah layanan yang dikaji (yang meliputi kebutuhan air untuk
domestik, perkotaan, industri , perikanan, peternakan dan irigasi).
Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung neraca air dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Neraca = Qketersediaan - Qkebutuhan
Keterangan:
Qketersediaan = debit ketersediaan air.
Qkebutuhan
= debit kebutuhan air.
Dari persamaan tersebut maka dapat didefinisikan arti dari kekeringan.
Kekeringan yang dimaksud disini adalah saat dimana total kebutuhan air untuk
berbagai sektor lebih besar daripada jumlah air yang tersedia untuk mencukupi
kebutuhan tersebut. Atau juga dapat pula dikatakan bahwa kekering an terjadi saat
neraca air mengalami defisit atau memiliki nilai negatif.
27
2.2
Perubahan Penggunaan Lahan
Dalam sub bab ini, dijelaskan secara singkat pengertian dan lingkup
perubahan penggunaan lahan, pengendalian penggunaan lahan, dan hubungan
sumberdaya air dengan penggunaan lahan.
2.2.1
Pengertian dan Lingkup Perubahan Penggunaan Lahan
Adanya suatu pertumbuhan yang menimbulkan pembangunan, perkembangan
dan pengembangan kota, maka perubahan penggunaan lahan adalah suatu hal yang
normal. Menurut Zulkaidi (1999), perubahan penggunaan lahan adalah mencakup
perubahan fungsi (landuse), intensitas dan ketentuan teknis masa bangunan ( bulk).
Perubahan fungsi adalah perubahan jenis kegiatan, sedangkan perubahan intensitas
adalah mencakup perubahan KLB, KDB, kepadatan pembangunan dan lain -lain.
Perubahan fungsi mempunyai dampak yang paling besar terhadap lingkungan karena
menghasilkan kegiatan yang berbeda dengan kegiatan sebelumnya, dan dapat
mengubah fungsi suatu kawasan.
Perubahan penggunaan lahan tidak mengubah suatu luas lahan, tetapi hanya
perubahan dinamis yang menyangkut aspek aspek kehidupan masyarakat. Perubahan
kawasan lindung menjadi kawasan budidaya seperti permukiman, industri, pertanian
erat kaitannya dengan aspek ekonomi, sosial dan budaya ya ng diperngaruhi
kesejahteraan masyarakat.
2.2.2
Pengendalian Penggunaan Lahan
Penyimpangan penggunaan lahan dapat dilihat dari rutinitas bencana seperti
banjir, kekeringan dan bencana alam lainnya yang merupakan buruknya struktur dan
pola penggunaan lahan. Penyimpangan dapat terjadi karena kurangnya penegakkan
implementasi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang
mengatur penggunaan lahan. Adanya penggunaan lahan yang menyimpang dari
arahan rencana yang ada, maka diperlukan pengend alian pemanfaatan ruang untuk
28
mengarahkan, membatasi dan mengendalikan perubahan penggunaan lahan baik
perubahan fungsi maupun perubahan fisik.
2.3.2
Hubungan Sumberdaya Air dengan Penggunaan Lahan
Sumberdaya air dan tata guna lahan terdapat hubungan eko logis, dimana
terdapat dua hal yang mendasari sistem hubungan tersebut. Pertama, air menyediakan
sumberdaya (baik secara ku antitas, kualitas maupun kontin uitas) untuk mendukung
upaya penggunaan lahan secara optimal. Kedua, sebaliknya penggunaan lahan yang
tidak memperhatikan kaidah konservasi air akan sangat terganggu kelangsungan
sumberdaya air (Kodotie, 2005).
Atas dasar keterkaitan timbal balik di atas, maka pengelolaan lahan
(penataaguna dan pemanfaatan lahan) harus dilakukan sejalan dengan pengelolaa n
sumber daya air. Dalam wilayah DAS terdapat berbagai jenis penggunaan lahan, baik
pertanian, permukiman, sampai industri, dimana masing-masing kegiatan tersebut
akan memberikan dampak yang berbeda terhadap keseimbangan hidrologi. Besarnya
aliran limpasan air menuju sungai yang disebabkan oleh berkurangnya kemampuan
tanah dalam menyerap air, tidak saja berdampak pada berkurangnya ketersediaan air
tanah, akan tetapi dapat meningkatkan frekuensi dan besarnya genangan banjir, erosi
dan sedimentasi, penurunan kualitas air, dan lain sebagainya.
Berdasarkan persamaan neraca keseimbangan air dalam sistem wadah
sumberdaya air baik berupa DAS maupun CAT, parameter koefisien aliran
permukaan (Cro) menjadi salah satu indikator utama yang menggambarkan
keefektifan penggunaan lahan dalam menjadi sumberdaya air. Nilai Cro berkisar
antara 0 dan 1 ( 0 < Cro < 1), dimana Cro = 0, curah hujan yang jatuh pada suatu
DAS secara keseluruhan akan terserap ke dalam tanah dan menjadi aliran dasar yang
berfungsi sebagai imbuhan air tanah, dan nilai Cro = 1, keseluruhan air hujan yang
jatuh tidak mampu terserap ke dalam tanah, akan mengganggu keseimbangan air
29
tanah, serta menjadi air limpasan sungai yang dapat menimbulkan banjir di musim
hujan.
Dengan mempertimbangkan karakteristik f isik dasar wilayah dan jenis
penggunaan lahannya, ditetapkan besarnya variasi dari nilai koefisien limpasan (Cro)
seperti dijelaskan dalam tabel II-4 dan II-5:
TABEL II-4
KOEFISIEN LIMPASAN KAWASAN PERDESAAN
Kondisi Topografi & Vegetasi
1. Hutan
a. Datar (0-5%)
b. Bergelombang (5-10%)
c. Berbukit (10-30%)
2. Padang Rumput
a. Datar
b. Bergelombang
c. Berbukit
3. Pertanian
a. Datar
b. Bergelombang
c. Berbukit
Nilai Cro Berdasarkan Kondisi Tanah
Terbuka & Berpasir
Berlempung & Lanau
Endapan Berlempung
0,10
0,25
0,30
0,30
0,35
0,50
0,40
0,50
0,60
0,10
0,16
0,22
0,30
0,36
0,42
0,40
0,55
0,60
0,30
0,40
0,52
0,50
0,60
0,72
0,60
0,70
0,82
Sumber : William M. Marsh (1991, Hal 118)
30
TABEL II-5
NILAI KOEFISIEN AIR LARIAN (CRO)
Tipe Daerah
Lapangan rumput
- Tanah berpasir, datar 2%
- Tanah berpasir, rata-rata 2 - 7%
- Tanah berpasir, berlereng 7%
- Tanah berat, datar 2%
- Tanah berat, rata-rata 2 - 7%
- Tanah berat, berlereng 7%
Daerah usaha
- Daerah usaha di kota
- Daerah usaha di kampung
Daerah permukiman
- Perumahan individual
- Multi unit, berdiri sendiri -sendiri
- Multi unit, tergabung
- Suburban
- Daerah permukiman, apartemen
Industri
- Industri berat
- Industri ringan
Taman, kuburan
Daerah permainan (play grounds)
Daerah stasiun kereta api
Jalan
- Aspal
- Beton
- Bata
- Kerikil
- Tak diperkeras, lahan kosong
Atap (genteng)
Koefisien Air Larian
(Cro)
0,05 - 0,10
0,10 - 0,15
0,15 - 0,20
0,13 - 0,17
0,18 - 0,22
0,25 - 0,35
0,70 - 0,95
0,50 - 0,70
0,30 - 0,50
0,40 - 0,60
0,60 - 0,75
0,25 - 0,40
0,50 - 0,70
0,50 - 0,80
0,60 - 0,90
0,10 - 0,25
0,20 - 0,40
0,10 - 0,30
0,70 - 0,95
0,80 - 0,95
0,70 - 0,85
0,15 - 0,30
0,75 - 0,95
0,01 - 0,10
Sumber : Otto Soemarwoto (2001)
2.3
Peranan Sumberdaya Air
Air merupakan sumberdaya alam yang selalu di butuhkan bagi kelangsung
hidup manusia dan bagi pengembangan lingkungan hidup di sekitarnya. Sebagai
sumberdaya alam, agar ketersediaannya tercukupi, air perlu penanganan dan
pengelolahan khusus, sehingga kebutuhan makhluk hidup termasuk manusia akan air
31
tidak terganggu. Secara umum, Dinas Pertambangan Propinsi Jawa Barat (1996)
membagi peruntukkan kebutuhan air ke dalam 4 kelompok penggunaan, yaitu
penggunaan air untuk kebutuhan pendud uk (rumah tangga), fasilitas sos ial-ekonomi,
pertanian dan industri.
2.3.1
Kebutuhan Sumberdaya Air bagi Penduduk (Rumah Tangga)
Kebutuhan sumberdaya air untuk keperluan domestik dipengaruhi oleh laju
pertubuhan penduduk. Oleh karena itu untuk mengetahui kebutuhan sumberdaya air
untuk keperluan domestik di masa data ng, hal pertama yang harus dilakukan adalah
memproyeksikan pertumbuhan penduduk. Proyeksi jumlah penduduk dihitung dengan
model pertumbuhan Eksponensial (Mode l Geometri/Model Bunga Berganda.
Penggunaan model pertumbuhan eksponensial dikarenakan pada model tersebut
terjadi perkalian yang diulang -ulang. Jadi pertumbuhan penduduk didapat dengan
angka pertumbuhan (rate of growth) adalah sama untuk setiap tahun. Rumus
pertumbuhan penduduk ini adalah sebagai berikut:
Pt = Po (1 + r) n
Keterangan:
Pt
: Jumlah penduduk akhir tahun proye ksi
Po
: Jumlah penduduk awal tahun proyeksi
r
: Tingkat pertumbuhan penduduk
n
: Rentang tahun
Selain proyeksi pertumbuhan penduduk, dalam perhitungan proyeksi
kebutuhan sumberdaya air juga dibutuhkan standar kebutuhan air bagi penduduk dan
rumah tangga didasarkan pada pembagian jenis kota menurut jumlah penduduk, yang
disajikan pada tabel II-6:
32
TABEL II-6
STANDAR KEBUTUHAN AIR RUMAH TANGGA BERDASARKAN JENIS
KOTA
No.
1
2
3
4
5
Kategori Kota
Kota Metropolitan
Kota Besar
Kota Sedang
Kota Kecil
Kota Kecamatan
Jumlah Penduduk
(Jiwa)
>1.000.000
500.000 - 1.000.000
100.000 - 500.000
20.000 - 100.000
3.000 - 20.000
Standar Kebutuhan Air
(lt/Jiwa/Hari)
190
170
150
130
100
Sumber : Ditjen Cipta Karya, DPU, 1990
2.3.2 Kebutuhan Sumberdaya Air bagi Fasilitas Sosial Ekonomi
Kebutuhan sumberdaya air untuk pemenuhan berbagai sarana -prasarana sosial
ekonomi masyarakat didasarkan pada jenis fasilitas yang ada, seperti fasilitas
pendidikan (sekolah), fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesma, dll), fasilitas
peribadatan (masjid, gereja, dll), fasilitas perkantoran, fasilitas perdagangan (pasar),
fasilitas pariwisata, dan fasilitas transportasi (terminal). Analisis kebutuhan
sumberdaya air untuk pemenuhan kebutuhan air untuk prasarana dan sarana sosial
ekonomi didasarkan pada kecenderungan perkembangan prasarana dan sarana
dimaksud dan standar kebutuhan untuk masing -masing jenis prasarana dan sarana
disajikan pada tabel2.7:
33
TABEL II-7
STANDAR KONSUMSI AIR UNTUK PEMENUHAN
FASILITAS SOSIAL EKONOMI
No.
Jenis Fasilitas
1 Fasilitas Pendidikan
2 Fasilitas Kesehatan
Standar Kebutuhan Air
*)
*)
400 lt/hari (146 m 3/th)
250 lt/hari (91,25 m3/th)
3 Fasilitas Peribadatan
*)
200 lt/ hari (73 m3/th)
4 Fasilitas Perkantoran
**)
2 - 4 m3/hr/unit
5 Fasilitas Perdagangan **)
6
Fasilitas Pariwisata
2 - 3 m3/hr/unit
30 lt/hr/pengunjung
**)
150/lt/hr/tempat tidur
7 Fasilitas Transportasi
Sumber
2.3.3
**)
2 - 3 m3/hr/unit
: *) Pedoman RUTR Wilayah Inti Metropolitan Bandung Raya ( dalam
Sari, 1995)
**)
Suparmoko (1997)
Kebutuhan Sumberdaya Air b agi Pertanian
Kebutuhan sumberdaya air untuk kegiatan pertanian ditentukan oleh jenis
komoditi yang ditanam pada satuan luas tertentu (jenis komoditi/luas/waktu), seperti
pertanian lahan basah (padi) yang biasanya menggnakan irigasi teknis, pertanian
lahan kering (palawija) dengan irigasi non -teknis, tanaman kehutanan, kegiatan
peternakan dan perikanan. Standar kebutuhan air untuk berbagai kegiatan pertanian
disajikan pada tabel II-8:
34
TABEL II-8
STANDAR KEBUTUHAN AIR TIAP SEKTOR
DI DAERAH PENGALIRAN SUNGAI KALI PROGO
No.
1
2
3
Jenis Fasilitas (Sektor)Standar Kebutuhan Air
Pertanian *)
a. Lahan basah (padi)
b. Lahan kering (palawija)
Peternakan
a. Ternak besar
b. Unggas
Perikanan
a. Luas sawah (kolam sawah) (m2)
Standar Kebutuhan Air
1/lt/dt/hari
0.25 lt/dt/hari
25 lt/hari/ekor
2.5 lt/hari/ekor
3.1536 m/thn
Sumber : Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Suparmoko (1997)
*)
Sesuai dengan konsep Pasten
2.3.4
Kebutuhan Sumberdaya Air Bagi Industri
Industri merupakan salah satu jasa yang mana menjadi salah satu basis
perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu, penanganannya menuntut suatu upaya
yang efisien untuk memperoleh nilai tambah yang optimal. Berdasarkan jenis produk
yang dihasilkannya, industri dapat berupa industri pengolahan, jasa, pariwisata, dan
lain-lain. Sedangkan menurut skala operasinya, dapat dikelompokkan berdasarkan
jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam aktifitasnya , yaitu:
1. Industri kecil, dengan jumah tenaga kerja 1 – 19 orang
2. Industri sedang, dengan jumlah tenaga kerja 20 – 99 orang
3. Indutri besar, dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 100 orang
Perlunya penggunaan air dalam suatu industri, umumnya digunakan untuk
proses produksi, pendinginan, pembuangan limbah, keperluan domestik, dll. Menurut
kammerer (Kusumah, 1988, Hal. 123), besarnya suatu industri antara lain ditentukan
oleh kebutuhan satuan produksi/unit, kebutuhan air per tenaga kerja, dan kebutuhan
pertambahan nilai atau nilai produksi. Standar kebutuhan air untuk berbagai kegiatan
industri disajikan pada tabel II-9 :
35
TABEL II-9
TABEL STANDAR KONSUMSI AIR
UNTUK KEBUTUHAN INDUSTRI
Fasilitas
Industri
Sumber :
2.4
Jumlah
120 *)
2 – 3 **)
Satuan
Liter/orang/hari
m3/hari/unit
*) Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Suparmoko (1997)
**) Direktorat Jenderal Cipta Karya, Dep. Pekerjaan Umum, 1989
Pengelolaan Sumberdaya Air
Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang sumberdaya air, pengelolaa n
sumberdaya air adalah merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi
penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan
pengendalian daya rusak air. Sedangkan pengelola sumberdaya air adalah institusi
yang diberi wewenang untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya air. Pengelolaan
sumberdaya air didasarkan pada asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum,
keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian serta transparasi dan akuntabilitas.
Sumberdaya air dikelola secar a menyeluruh, terpadu, dan berwawasan lingkungan
hidup dengan tujuan mewujudkan kemanfaatan sumberdaya air yang berkelanjutan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seiring dengan berjalannya waktu, dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk, kebutuhan akan air juga meningkat. Setiap individu/kelompok mempunyai
akses yang sama dalam menggunakan sumber daya air, sebagaimana layaknya
terhadap barang public, yang memiliki sifat tidak bersaing dalam megkonsumsinya
(non-rivalry),
dan
tidak
bersifat
eksklucif
( non-exclusion)
dimana
setiap
orang/kelompok berhak untuk menggunakannya (Yakin, 1997,hal. 54). Di lain pihak,
air yang tersedia di alam yang secara potensial dapat dimanfaatkan manusia adalah
tetap saja jumlahnya (Silalahi, 1996). Oleh karena itu, untuk menjag a kelestarian
sumber daya air dibutuhkan suatu pengelolaan pemanfaatan sumberdaya air yang
terpadu dengan pengaturan yang didasari oleh kaidah -kaidah pelestarian lingkungan.
36
2.5
Kawasan Konservasi
Pada bab ini dijelaskan mengenai definisi pengelolaan , fungsi, perencanaan
pengelolaan, keberlanjutan dan permasalahan sumberdaya air di kawasan konservasi.
2.5.1
Definisi Pengelolaan Kawasan Konservasi
Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya ( keep/save what you have), namun secara bijaksana
(wise use). Sedangkan menurut Rijksen (1981), konservasi merupakan suatu bentuk
evolusi kultural dimana pada saat dulu, upaya konservasi le bih buruk daripada saat
sekarang. Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam
untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.
Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam
beberapa batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi keperluan
manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama ( American
Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang optimal
secara sosial (Randall, 1982).
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hid up
termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang
meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai, penelitian,
administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat
memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui
untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
37
Konservasi sumberdaya air adalah upaya memelihara keberadaan serta
keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumberdaya air agar senantiasa tersedia
dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk
hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang. Fungsi kawasan
konservasi di Kawasan Bandung Utara yang terl etak di dataran tinggi adalah sebagai
wilayah resapan air tanah, sehingga ketika musim hujan, air dapat lebih menyerap ke
dalam tanah, dan mengurangi limpasan air permukaan, sehingga dapat menghambat
bajir untuk wilayah di bawahnya. (suara merdeka.com). Tujuan utama konservasi
menurut “Strategi Konservasi Sedunia” ( World Coservation Strategy ), ada tiga,
yaitu:
a. Memelihat proses ekologi yang esensial dan sistem pendukung kehidupan
b. Mempertahankan keanekaan genetis, dan
c. Menjamin pemanfaatan jenis (spesies) da n ekosistem secara berkelanjutan.
Kawasan konservasi didukung oleh kawasan penyangga yang mana
merupakan daerah yang sangat potensial untuk dikelola guna mempertahankan
kelestarian alam. Menurut Departemen Kehutanan, dalam menetapkan dan mengelola
daerah penyangga kawasan konservasi harus berdasarkan pada tiga aspek yang saling
terkait, yaitu aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sehingga daerah
penyangga memiliki ekonomi yang mampu meningkatkan tarah hidup dan persepsi
masyarakat dalam menjaga keutuhan kawasan konservasi. Model pengembangan dan
pengelolaannya dibagi dalam bentuk pembagian daerah penyangga ke dalam zonasi,
yaitu jalur hijau, jalur interaksi dan jalur kawasan budidaya.
2.5.2
Permasalahan Sumberdaya Air dalam Kawasan konservasi
Dalam masalah kawasan konservasi juga terkait masalah tata ruang yang
dikelola lembaga yang berbeda pula. Akibatnya, yang dihasilkan di lapangan adalah
kebijakan sektoral dan seringkali justru antikonservasi. Penerbitan izin pengambilan
air tanah kepada industri yang berlangsung dengan mudah tanpa memperhitungkan
38
aspek konservasi, bukan hanya memunculkan masalah lingkungan tetapi juga
menimbulkan paradoks pemanfaatan air. Penyedotan air tanah yang intensif di
kawasan industri, khususnya di kota -kota mengakibatkan penurunan permukaan
tanah.
Paradoks pemanfaatan air terjadi saat kepentingan produksi industri
memanfaatkan air tanah (dalam) yang memiliki kualitas prima, sedangkan untuk
kebutuhan hidup (minum dan kebersihan) masyarakat justru harus menggunakan air
permukaan yang lebih "kotor", baik sudah maupun belum diolah. Penerbitan IMB
oleh lembaga yang tidak langsung bersinggungan -secara fisik-dengan pengelolaan
sumber daya air, mengakibatkan tidak terkendalinya konversi lahan di kawasan hulu.
Patokan konservasi seperti tingkat penutupan lahan oleh bangunan dilanggar begitu
saja.
Lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi lagi sebagai pengatur
media yang mengatur tata air, unsur pertanian, maupun unsur perlindungan alam dan
lingkungannya. Lahan kritis merupakan lahan yang kondisi tanahnya telah
mengalami atau dalam proses mengalami kerusakanfisik kimia atau biologi yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, permukiman
dan kehidupan social ekonomi di sekitar daerah pe ngaruhnya (Setiawan dalam Adi,
1996). Luas lahan kritis di Indonesia juga mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Tahun 1984 terdapat sudah terdapat 11 juta Ha lahan kritis yang meningkat menjadi
46 juta Ha di tahun 2002.
Terjadinya lahan kritis dan kerusakan kawasan konservasi sebenarnya
disebabkan karena alasan yang klasik seperti penggundulan hutan, mendirikan
bangunan di kawasan terlarang dan mencemari air permukaan yang juga
mengakibatkan bencana kekeringan, banjir dan longsor.
39
2.6
Perencanaan Pemanfaatan Ruang Wilayah (RTRW)
Dalam sub bab ini dijelaskan mengenai pengertian Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), fungsi RTRW sebagai alat koordinas pengelolaan sumberdaya air.
perencanaan pemanfaatan ruang dalam kawasan konservasi dan hubungan
keseimbangan tata air dengan rencana pemanfaatan ruang.
2.6.1
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Perencanaan Tata Ruang wilayah merupakan suatu upaya mencoba
merumuskan usaha pemanfaatan ruang secara optimal dan efisien serta lestari bagi
kegiatan usaha manusia di wil ayahnya yang berupa pembangunan sektoral, daerah,
swasta dalam rangka mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ingin
dicapai dalam kurun waktu tertentu. Menurut UU No. 2 6 tahun 2007, tata ruang
didefinisikan sebagai wujud struktural dan pola pemanf aatan ruang atau wadah.
Untuk memberikan manfaat yang luas dan berkelanjutan terhadap suatu ruang atau
wilayah diperlukan perencanaan terhadap penataan ruang, yang meliputi ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udara. Perencanaan tata ruang sendiri lebih terfokus
pada pemanfaatan ruang daratan itu sendiri, karena di wilayah inilah tempat manusia
dan makhluk hidup lainnya berinteraksi menjaga keseimbangan ekosistem. Artinya
perencanaan tata ruang tidak dapat dipisahkan dari usaha -usaha menjaga kelestarian
lingkungan, keseimbangan ekosistem dan bermuara pada tercapainya kenyamanan
hidup bagi segenap penghuninya. Penataan ruang tidak mengenal batas wilayah
administrative, sebab lahan sebagai basis penataan ruang adalah bentang alam dan
merupakan satu kesatuan toposequence yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu
pada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Pedoman ini
sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewaji ban setiap Propinsi, Kabupaten
dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan
40
pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata ruang berkaitan
dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan
ruang, rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang
sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan dari tata ruang
tingkat propinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata ruang yang
bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau -pulau kecil, jaringan jalan,
dan lain sebagainya. Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam
rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, maka tata ruang na sional,
propinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari
aspek substansi dan operasional harus konsistensi.
2.6.2
Hubungan Keseimbangan Tata Air dengan Rencana Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan penjelasan atas Undang -Undang Republik Indonesia No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada Undang -Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa
sumber daya air dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar -besar
kemakmuran rakyar secara adil menjelaskan atas penguasaa sumber daya air oleh
Negara dimaksud, Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi
pemenuhan kebutuhan pokok sehari -hari dan melakukan pengaturan hak atas air.
Sejalan dengan perkembangan jumla h penduduk dan meningkatnya kegiatan
masyarakat mengakibatkan perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif
terhadap kelestarian sumberdaya air dan meningkatnya daya rusak air. Selain itu
kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendor ong lebih akan
kuatnya nilai ekonomi yang memihak si pemilik modal dibanding nilai dan fungsi
sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar sektor,
antarwilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumberdaya air. oleh kare na itu,
perlunya pendayagunaan sumberdaya air yang mana merupakan upaya penatagunaan,
41
penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumberdaya air secara
optimal agar berhasil guna dan berdaya guna. Penatagunaan sumberdaya air sendiri
seperti halnya berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air, Pasal 27, bahwa salah tujuan dilakukannya penatagunaan sumberdaya air adalah
untuk menetapkan zona pemanfaatan sumber air dan peruntukkan air pada sumber
air.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004, rencana pengelolaan sumberdaya air
adalah hasil perencanaan secara menyeluruh dan terpadu yang diperlukan untuk
menyelenggarakan pengelolaan sumberdaya air. pengelolaan sumberdaya air perlu
diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harm onis antarwilayah,
antarsektor dan antargenerasi. Untuk menjamin terselenggaraan pengelolaan
sumberdaya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar -besarnya bagi
kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pengelolaan
sumberdaya air yang juga melibatkan peran masyarakat dan dunia usaha seluas luasnya. Pola pengeloaan sumberdaya air harus didasarkan pada prinsip
keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air. rencana
pengelolaan sumberdaya air merupakan salah satu u nsur dalam penyusunan
peninjauan kembali, dan penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Perencanaan
pengelolaan sumberdaya air disusun sesuai dengan standar perencanaan yang berlaku
yaitu inventarisasi sumberdaya air, penyusunan, dan penetapan rencana peng elolaan
sumberdaya air.
2.6.3
Perencanaan Pemanfaatan Ruang dalam Kawasan konservasi
Di Indonesia, perencanaan pemanfaatan ruang merupakan bagian dari
perencanaan penataan ruang, yang diatur berdasarkan Undang -Undang No. 26 tahun
2007 tentang penataan ruang. Pada pasal 33 ayat 1 Undang -Undang No. 26 tahun
2007, pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana
tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan
42
air, penatagunaan udara dan pentagunaan sumber daya alam lain sesuai dengan asas
penataan ruang dimana definisi penataan ruang itu sendiri adalah upaya untuk
mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
Berdasarkan uraian di atas, RTRW mempunyai peranan sangat penting dalam
perencanaan pembangunan wilayah, karena dalam RTRW perencanaan dapat
dijabarkan pembagian strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah
Negara dari tingkat nasional sampai ke pr opinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata
lain, RTRW dapat menjadi alat koordinasi antar sektor yang terkait baik secara
vertikal maupun horizontal termasuk dalam hal pengelolaan sumberdaya air.
Salah satu acuan yang digunakan dalam perencanaan tata ruang ada lah
ketentuan tentang konservasi sumberdaya air, selain itu upaya perlindungan dan
pelestarian sumber air juga dijadikan dasar dalam penatagunaan lahan. Berdasarkan
UU No. 7 tahun 2004, konservasi sumberdaya air dilakukan melalui:
1. Pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air
2. Pengendalian pemanfaatan sumber air
3. Pengisian air pada sumber air
4. Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi
5. Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan lahan pada sumber air
6. Pengendalian pengelolaan tanah di daerah hulu
7. Pengaturan daerah sempadan sumber air
8. Rehabilitasi hutan dan lahan
9. Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan kawasan pelestarian alam
Kegiatan pengelolaan suberdaya alam termasuk kawasan penyangga meliputi
perencanaan, implementasi dan pengawasan dan/atau pengendalian. Ketiga kegiatan
pengelolaan suberdaya alam di kawasan penyangga memerlukan koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi (KIS) baik secara vertikal maupun secara horizontal. KIS secara
43
vertikal antara lain antara Pusat dan Daerah Propinsi serta Daerah Kabupaten, secara
horizontal dimaksudkan KIS antar sektor dan antar instansi di masing -masing tingkat
(pusat, propinsi dan kabupaten).
Di kawasan penyangga terdapat berbagai jenis da n tingkat perencanaan yaitu:
Perencanaan Umum Kawasan Taman Nasional (National Park Master Plan) ;
Perencanaan Umum Kawasan Daerah Aliran Sungai (Watershed Master Plan ;
Perencanaan Tata Ruang Wilayah Propinsi dan Kabupaten (Provincial and
Kabupaten Spatial Plan ;
Perencanaan Sektoral (Sectoral Plan); dan
Perencanaan Regional (Regional Plan).
Sampai saat ini, masing-masing perencanaan tersebut pada dasarnya
mempunyai dimensi dan kepentingan sendiri -sendiri, tidak/ kurang saling mengisi
dan melengkapi, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya, sehingga pada
implementasi kegiatan perencanaan di lapangan ditemui berbagai permasalahan. Hal
ini antara lain :
Pendekatan kegiatan perencanaan konservasi dan perlindungan kawasan
penyangga yang ada masih sangat umum, sehingga strategi pengelolaan
sumberdaya
alam
berkesinambungan
di
kawasan
penyangga
sulit
dilaksanakan.
Belum diikutsertakannya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan
penyangga dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan .
Ditemukan perbedaan rencana pengelolaan sumberdaya alam pada lokasi
yang sama ditinjau dari segi kepentingan, seperti menurut rencana suatu
lokasi merupakan kawasan konservasi dan harus dilindungi, sedangkan dari
perencanaan sektoral lainnya pada lokasi yang sama akan dikembangkan
kegiatan eksploitasi sumberdaya alam seperti perkebunan, pertambangan,
transmigrasi dan lain sebagainya.
44
Salah satu cara yang dilakukan pengelolaan keseimbangan tata air adalah
mempertahankan kualitas kawasan lindung. Sesuai Per da No. 2 Tahun 2003 tentang
RTRW Propinsi Jawa Barat 2010, telah ditetapkan kebijakan untuk meningkatkan
fungsi dan kualitas kawasan lindung di Jawa Barat. Kebijakan dijabarkan dalam
beberapa program, yaitu:
1. Pengukuhan kawasan lindung agar tercapai targer luasan kawasan lindung
hutan dan non hutan untuk seluruh Jawa Barat sebesar 45%;
2. Rehabilitasi lahan konservasi termasuk rehabilitasi lahan -lahan kritis;
3. Pengawasan, pengamanan dan pengaturan pemanfaatan sumber daya;
4. Pengembangan partisipasi masyarakat dala m pengelolaan Kawasan
Lindung.
Download