bab ii tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Pendahuluan
II.1.1. Batasan
Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran
dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya dan reaksi dengan lingkungannya,
termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Karena perkembangannya
begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan sumberdayasumberdaya air yang merupakan pengembangan, distribusi dan penggunaan
sumberdaya-sumberdaya air secara terencana. Banyak proyek di dunia (rekayasa air,
irigasi, pengendalian banjir, drainase, tenaga air dan lain-lain) dilakukan dengan
terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi yang cukup. Surveisurvei tersebut meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan, sampai
pemprosesan data dan karena itu menghasilkan data sesuai dengan tujuan yang telah
direncanakan (Seyhan, 1990).
II.1.2. Sejarah Singkat
Manusia, dari semula, telah menyadari pentingnya air bagi dia dan
lingkungannya. Ahli filsafat terdahulu memandang air sebagai salah satu dari 4 unsur
dasar (api, bumi, udara dan air). Sampai abad ke-16 teka-teki besar adalah mengenai
asal muasal air. Konsep daur hidrologi belum disadari. Karena itulah, kondensasi,
presipitasi, evaporasi dan infiltrasi belum dapat dikaitkan satu sama lain. Namun,
pada abad ke-16 Leonardo da Vinci menuliskan gambaran yang paling awal, dan
Universitas Sumatera Utara
paling tepat tentang daur hidrologi. Bernard Palissy mengusulkan pada abad yang
sama satu versi yang diperhalus dari gagasan-gagasan Vinci. Namun, selama 250
tahun versi tersebut adalah tidak masuk akal. Hanya pada abad ke-19 gagasan daur
hidrologi diterima dan penelitian-penelitian kuantitatif dipercepat.
Selama tahun 1500-1800 filsafat hidrologi didasarkan atas percobaan dan
pengembangan teknik-teknik pengukuran. Pada periode ini, pengukuran curah hujan
diperkenalkan di Eropa, mekanisme pita berlobang dikembangkan, table logaritmik
dihasilkan, rumus aliran saluran (dari Chezy) disusun, hubungan kecepatan-tekanan
(dari Bernoulli) dikembangkan, curah hujan dihubungkan dengan ketinggian tempat,
dan lain-lain.
Selama tahun-tahun 1800-1900, penelitian sampai pada era yang lain dan
perkembangan yang penting dalam alat-alat penghitung dan model telah dilakukan.
Pada tahun-tahun 1900-1930 (periode empirisme), sebagian besar pekerjaan
berdasarkan rumus-rumus empiris. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya (1930-1950:
periode rasionalisasi), dimulailah tahun-tahun keemasan hidrologi yang pertama.
Pada tahun 1939, Aitken menghasilkan bentuk komputer digital yang pertama. Pada
tahun 1943 Eckert dan Mauchley menghasilkan komputer listrik pertama yang
disebut ENIAC. Metode semi-empiris dan hidrolika air tanah diperkenalkan.
II.2.
Tanggapan Sistem
II.2.1. Konsep Sistem
Universitas Sumatera Utara
Suatu sistem diberi batasan sebagai kumpulan objek dan subsistem yang
disatukan dengan beberapa bentuk interaksi (saling-tindak) yang beraturan.
Sebaliknya, subsistem-subsistem terdiri atas komponen-komponen dan/atau peubahpeubah yang semuanya bersama-sama membentuk subsistem yang khusus tersebut,
yang berhubungan dengan subsistem lainnya. Bila kita memandang suatu sistem
yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, maka akan
tampak bahwa struktur sistem dari sistem ini adalah
MASUKAN → STUKTUR → SISTEM KELUARAN
Daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi
oleh suatu batas-air topografi dan dengan salah satu cara memberikan sumbangan
terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor
berikut adalah
1. Faktor iklim
2. Faktor tanah
a) Topografi
b) Tanah
c) Geologi
d) Geomorfologi
3. Tata guna lahan
Faktor-faktor tersebut membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator
di dalam mengubah urutan terjadinya presipitasi secara alami, P(t), menjadi urutan
waktu limpasan, Q(t) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran, dalam hal ini
limpasan, tergantung pada saling tindak diantara subsistem-subsistem ini. Tentu saja,
Universitas Sumatera Utara
sutu system secara kuatitatif diberi batasan dengan komponen-komponen atau
peubah-peubah. Misalnya, tata guna lahan pada suatu daerah aliran sungai dapat
digambarkan dengan peubah-peubah seperti persentase lahan hutan, persentase lahan
rumput, persentase lahan yang diusahakan dan lain-lain. Kelompok semua peubah
tersebut yang bertindak saling berhubungan satu sama lain mengendalikan kerja
subsistem tersebut dan akhirnya juga kenampakan akhir dari presipitasi (masukan)
sebagai limpasan (keluaran) setelah melewati beberapa tahapan.
Tanggapan daerah aliran sungai tidak hanya merupakan limpasan saja,
melainkan juga erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia. Tiga tanggapan ini juga
bersaling tindak antara mereka sendiri di dalam mengendalikan perubahanperubahan dalam daerah aliran sungai. Dalam suatu analisis sistem (yang
mempelajari sifat kesaling-hubungan antar subsistem) di mana limpasan dilihat
sebagai suatu keluaran, erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia dapat
dihilangkan karena proses-prosesnya sangat lambat.
II.2.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi
Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air
dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan
penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak.
Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan,
yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi
menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari
presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan
pada akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan
Universitas Sumatera Utara
pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui
permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus
masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi,
baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak
menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah
besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan
dan pemeluhan sebelum sampai ke laut.
Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar
disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin
berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan
sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik
untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada
daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan
empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah.
Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang
adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara
tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu,
baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan
yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi
penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti
sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti.
Sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan singkat tentang daur hidrologi,
tanggapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari saling
tindak (interaksi) semua proses ini. Limpasan Nampak pada sistem yang sangat
Universitas Sumatera Utara
kompleks setelah perlintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan
transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi, formasiformasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman-keragaman areal
dan waktu dari faktor-faktor iklim.
Sumber: http://kelembagaandas.wordpress....-rlps-1/
Gambar 2.1. Daur Hidologi
II.2.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen
yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut
mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang
menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan
batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah
dianggap sebagai suatu ekosistem.
Ekositem terdiri atas komponen biotis dan abiots yang saling berinteraksi
membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem
Universitas Sumatera Utara
tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan
dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas
suatu komponen sistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang
lain. Manusia adalah salah satu komponen ekosistem yang penting. Sebagai
komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali
mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan
demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbalbalik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem
berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya bila hubungan timbal-balik antar komponenkomponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis.
Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik,
yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem
serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistic
dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara
efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan
sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan
oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan
drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar
dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan
oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan.
Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupkan daerah
pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan
Universitas Sumatera Utara
lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat
merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh
bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah
estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah aliran sungai bagian tengah
merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda
tersebut di atas.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai
fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain, dari
segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan
pengelolaan DAS mengingat bhwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi.
II.3.
Hujan
II.3.1. Pengertian Umum
Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses
hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan
menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran
antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater
flow).
Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada 2 syarat yang harus
dipenuhi:
1. Tersedia udara lembab
Universitas Sumatera Utara
2. Tersedia sarana, keadaan yang mengangkat udara tersebut ke atas sehingga
terjadi kondensasi.
Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar,
terutama yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuan kilometer.
Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara:
1. Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat,
dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang terjadi
disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan intensitas
tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, di daerah yang relatif
sempit.
2. Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas
yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin. Hujan
ini biasanya terjadi dengan intensitasnsedang, mencakup daerah yang luas
dan berlangsung lama.
3. Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya
pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan
daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran
pegunungan.
Terjadinya pembentukan awan, tidak selalu memungkinkan terjadinya hujan.
Setidaknya diperlukan waktu, agar awan tersebut tumbuh menjadi awan hujan.
Pertumbuhan partikel-partikel awan dari ukuran 1-100 mikron (1 mikron = 10-3 mm)
menjadi partikel hujan, dengan ukuran lebih dari 1000 mikron (1 mm) memerlukan
waktu paling tidak 30 menit sejak pembentukan awan. Akan tetapi proses itu tidak
selalu terjadi, karena sangat tergantung dari keadaan atmosfer, pertikel awan tersebut
Universitas Sumatera Utara
dapat teruapkan kembali. Stabilitas udara sangat berpengaruh terhadap pembentukan
awan tersebut.
II.3.2. Hujan DAS
Pengukuran yang dilakukan adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi
pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah
data hujan rata-rata DAS (catchment rainfall). Untuk menghitung besaran ini dapat
ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini lazim digunakan, yaitu dengan:
1. Rata-rata Aljabar
Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini
merupakan cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang
tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap
mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan
yang terjadi di dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu
besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat
bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat
besar.
P = (P1 + P2 + … + Pn)
(2.1)
2. Poligon Thiessen
Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan
pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu
daerah dengan luas tertentu dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi
hujan di stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut
diperoleh dengan cara berikut:
Universitas Sumatera Utara
•
Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan
garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. Hendaknya
dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat tumpul.
•
Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis
sumbu tersebut membentuk poligon.
•
Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun
yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis
poligon tersebut (atau dengan batas DAS).
•
Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor
koreksinya.
•
Selanjutnya hitungan dilakukan sebagai berikut:
Sta
Pi
Luas
FK
P=
I
P1
A1
α1
α1 P1
II
P2
A2
α2
α2 P2
…
…
…
…
…
N
Pn
An
αn
αn Pn
Dengan:
Pi
= kedalaman hujan di stasiun i
Ai
= luas daerah yang diwakili stasiun i
A
= luas DAS total
FK
= faktor koreksi, αi =
P
= hujan rata-rata DAS
Universitas Sumatera Utara
P
= Pi x FK
(2.2)
Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen
Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap
kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan
tetapi cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak
tampak. Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya
rusak atau data tidak benar, masa poligon harus diubah.
3. Isohyet
Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan
pengaruh topografi) adalah dengan cara isohyets. Isohyets ini adalah garis
yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan
sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan
yang digunakan dalam cara poligon Thiessen, kecuali dalam penetapan
besaran faktok koreksinya. Hujan Pi ditetapkan sebagai hujan rata-rata antara
Universitas Sumatera Utara
dua buah isohyets (atau dengan batas DAS) terhadap luas DAS. Kesulitan
yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambar garis
isohyet, dan juga masuknya unsur subjektivitas dalam penggambaran isohyet.
=
(2.3)
Dengan,
A1, A2, …, An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet
R1, R2, …, Rn= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1,
A2, …, An
Gambar 2.32. Cara Garis Isohyet
Dalam prakteknya, cara kedua (poligon Thiessen) adalah cara ‘terbaik’ yang
paling banyak digunakan dalam anlisis. Selain hitungan-hitungan yang dijelaskan
terdahulu, beberapa sifat hujan lain perlu diketahui, seperti,
1. Frekuensi hujan,
hubungan antara kedalaman hujan dengan kala-ulang
(return period).
Universitas Sumatera Utara
2. Hubungan antara kedalaman hujan, luas DAS dan lama-hujan (depth area
duration).
3. Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan kala-ulang.
II.3.3. Analisis Frekuensi
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak
digunakan dalam hidrologi yaitu:
1. Distribusi normal
2. Distribusi log-normal
3. Distribusi log-Pearson tipe III
4. Distribusi Gumbel
Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data data
debit sungai terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan
distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga
distribusi yang lainnya.
Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data
hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi
tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengundang kesalahan
perkiraan yang (dapat) cukup besar, baik ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’,
keduanya tidak diinginkan. Dengan demikian jelas bahwa pengambilan salah satu
distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat
tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan
distribusi tersebut sesuai dengan jenis distribusi tertentu. (Catatan: di Indonesia
banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan distribusi Gumbel tanpa
pengujian data terlebih dahulu dan tanpa alas an hidrolik yang jelas). Dikhawatirkan
Universitas Sumatera Utara
cara ini akan dianggap sebagai cara ‘rutin’, karena jekas mengandung resiko
penyimpangan yang tidak dikehendaki. Dengan pengujian atas data hujan dan debit
di Pulau Jawa ditemukan distribusi Gumbel hanya sesuai dengan 75% kasus.
Demikian pula distribusi normal. 90% lainnya ternyata mengikuti distribusi lognormal dan log-Pearson tipe III.
Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang
bersangkutan, yaitu harus seragam (homogeneous), ‘independent’ dan mewakili
(representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari
populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan,
baik stasiun hujan maupun hidrometri harus tidak dipindah, DAS tidak berbah
menjadi DAS perkotaan (urban cacthment), maupun tidak ada gangguan-gangguan
lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘
independent’ di sini berarti bahwa besaran data ekstrem tidak terjadi lebih dari sekali.
1. Distribusi Normal
Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut:
P’(X) =
e
(2.4)
Dengan,
σ = varian
µ = rata-rata
2. Distribusi Log-Normal
‘Probability density function’ distribusi ini adalah:
P’ x =
eksp
2
), (µ > 0)
(2.5)
Universitas Sumatera Utara
Dengan
=
ln (
)
(2.6)
= ln (
)
(2.7)
Besarnya asimetri adalah
γ=
(2.8)
0,5
dengan
(2.9)
kurtosis
k=
(2.10)
3. Distribusi Log-Pearson III
n
∑ LogX
Log Xr =
i =1
1
n
(2.11)
Dengan:
Xr
=
nilai rerata curah hujan
Xi
=
curah hujan ke-I (mm)
n
=
banyaknya data pengamatan
n
∑ ( LogX 1 − LogXr )
Sx =
2
i =1
n −1
(2.12)
dengan:
Universitas Sumatera Utara
Sx =
standard deviasi
Nilai XT
bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan
yang telah
dimodifikasikan :
Log XT = log Xr + K. log Sx
(2.13)
dengan :
XT
= besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun
K
= faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe
distribusi frekuensi.
4. Distribusi Gumbel
X = µ + σ .K
(2.14)
Dengan
µ = Nilai tengah (mean) populasi
σ = Standard deviasi populasi
K = Factor frekwensi
Rumus (2.14) dapat diketahui dengan
X = X + sK
(2.15)
Dengan,
X = nilai tengah sampel
s = Standard deviasi sampel
Universitas Sumatera Utara
Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus
berikut ini :
K=
YT − Ys
Sn
(2.16)
YT = − ln[− ln{(Tr − 1) / Tr }]
(2.17)
Dengan,
YT
= Reduced variate
Yn
= Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n
Sn
= Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n
II.3.4. Intensitas Hujan
Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu
kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan
dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan.
Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan
meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang
sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup
panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang
terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan
dari langit. analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri
data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk
mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada,
Universitas Sumatera Utara
dapat
ditempuh
cara-cara
empiris
dengan
mempergunakan
rumus-rumus
eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura.
II.4.
Infiltrasi
II.4.1. Pengertian Umum
Air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya
tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan
kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Ini merupakan bagian yang sangat
penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi
aliran sungai. Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk
kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini
merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang
keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian
keduanya dibedakan.
Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu
kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi
maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju
infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang
berpengaruh, yaitu :
1. Jenis tanah
2. Kepadatan tanh
3. Kelembaban tanah
4. Tutup tumbuhan ( vegetation cover )
5. Kemiringan suatu daerah
6. Penambahan zat kimia pada tanah
Universitas Sumatera Utara
7. Menutup areal permukaan tanah ( top soil )
Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang
bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir
umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat
sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah
yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda
pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya,
begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju
infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah
setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam
tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas
permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran
di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar,
sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan
struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup
tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan
memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat
perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan
datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah
ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregat tanah,
sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang
meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua
dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir di atasnya lancar,
hal ini biasanya digunakan untuk saluran drainase. Pada kondisi ini infiltrasi bisa
Universitas Sumatera Utara
dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu
bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa
berinfiltrasi sama sekali.
II.4.2. Kepentingan Praktis Infiltrasi
1. Berkurangnya banjir
2. Berkurangnya erosi tanah
3. Memberikan air bagi vegetasi dan tanaman
4. Mengisi kembali reservoir air tanah
5. Menyediakan aliran pada sungai pada musim kemarau
II.4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi
1. Karakteristik hujan
2. Kondisi permukaan tanah
3. Kondisi penutup permukaan
4. Transmisibilitas tanah
5. Karakteristik air yang berinfiltrasi
II.5.
Evaporasi
II.5.1. Pengertian Umum
Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk
permukaan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsure utama untuk
berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air
II.5.2. Unsur Utama Evaporasi
1. Radiasi matahari
Sebagian radiasi gelombang pendek (shortwave radiation) matahari akan
diubah menjadi energi panas di dalam tanaman, air dan tanah. Energy panas
Universitas Sumatera Utara
tersebut akan menghangatkan udara di sekitarnya. Panas yang dipakai untuk
menghangatkan partikel-partikel berbagai material udara tanpa mengubah
bentuk partikel tersebut dinamakan panas tampak (sensible heat). Sebagian
dari energi matahari akan diubah menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini
akan menyebabkan perputaran udara dan uap air di atas permukaan tanah.
Keadaan ini akan menyebabkan udara di atas permukaan tanah jenuh, dan
dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tingi pada
permukaan bidang evaporasi.
2. Ketersediaan air
Melibatkan tidak saja jumlah air yang ada, tetapi juga persedian air yang siap
untuk terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan
memberikan lajuevaporasi yang lebih tinggi daripada bidang rata karena pada
bidang permukaan yang lebih kasar besarnya turbulent meningkat.
II.5.3. Faktor-faktor Penentu Evaporasi
Proses-proses fisika yang menyertai berlangsungnya perubahan dari zat cair
menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi. Oleh karenanya, kondisi fisika
yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada kedua proses alamiah
tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain:
1. Panas diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas
dan secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energi panas tak
tampak (latent heat) pada proses evaporasi dating sebagai energy panas
gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang
panjang (longwave radiation). Energi panas gelombang pendek merupakan
Universitas Sumatera Utara
sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi besarnya air yang
dapat diuapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian tempat dan
musim yang berlangsung. Sedangkan energi panas gelombang panjang adalah
panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan bersifat menambah
yang telah dihasilkan oleh energi panas gelombang pendek.
2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air, vegetasi dan tanah) dan
energy panas yang berasal dari matahari adalah factor-faktor penting yang
perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya evaporasi. Makin tinggi
suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi
perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju evaporasi
menjadi lebih besar di daerah tropic daripada daerah beriklim sedang.
Perbedaan laju evaporasi yang sama juga dijumpai di daerah tropic pada
musim kering dan musim basah.
3. Kapasitas kadar air dalam udara juga dipengaruhi secara langsung oleh tinggi
rendahnya suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu
tempat ditentukan oleh tekanan uap air, ea, (vapour pressure) yang ada di
tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung dari deficit tekanan uap air
jenuh, Dvp, (saturated vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air
yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Deficit
tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh pada
permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan
demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi
udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab
akibat penguapan dari permukaan laut.
Universitas Sumatera Utara
4. Ketika proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang
penguapan secara bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika
udara menjadi jenuh dan tidak mapu menampung uap air lagi. Pada tahap ini,
udara jenuh di atas bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain
akibat beda tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses
penguapan air dari bidang penguapan tersebut akan berlangsung secara terusmenerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian udara lembab oleh udara
yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan udara
lebih tinggi ke tempat dengan tekanan udara lebih rendah. Proses perpindahan
massa udara seperti itu disebut proses adveksi. Dalam hal ini, peranan
kecepatan angin di atas permukaan bidang penguapan merupakan factor
penting intuk terjadinya evaporasi. Penguapan air di daerah lapang
seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak naungan karena
pada keadaan yang pertama perpindahan udara menjadi lebih bebas.
5. Sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses
evaporasi melalui perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan
yang kasar atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya
proses gesekan. Tetapi, pada tingkat tertentu, permukaan bidang yang kasar
juga dapat menimbulkan gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat
memperbesar evaporasi. Pada bidang permukaan air yang luas, angin kencang
juga dapat menimbulkan gelombang air besar dan dapat mempercepat
terjadinya evaporasi.
II.6.
Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai
II.6.1. Batasan-batasan
Universitas Sumatera Utara
Jika intensitas curah hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai
berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan
dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegangan muka), limpasan
permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan
aliran air ini berkumpul ke dalam aliran air sungai yang diskrit. Dalam artian yang
umum, ait yang mengalir pada saluran-saluran yang kecil ini, parit-parit, sungaisungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapottanspirasi,
cadangan permukaan dan air bawah tanah.
Dalam kepustakaan kata-kata yang berlainan seperti limpasan, aliran sungai,
debit sungai digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sama. Untuk mengatasi
sebagian kesulitan tersebut terminologi berikut digunakan di sini.
1. Limpasan: bagian presipitasi (juga kontribusi permukaan dan bawah
permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan tampak pada saluran
permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus.
Kata-kata yang sinonim adalah aliran sungai, debit sungai dan produksi
tangkapan.
2. Aliran murni: limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan,
simpanan maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran
maupun pada daerah aliran sungai.
3. Limpasan permukaan: bagian limpasan yang melintas di atas permukaan
tanah menuju saluran sungai.
Kata-kata sinonim adalah limpasan di atas lahan.
4. Limpasan bawah permukaan: limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan
permukaan yang disebabkan oleh bagian presipitasi yang berinfiltrasi ke
Universitas Sumatera Utara
tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah
bagian atas menuju sungai.
Kata-kata sinonim adalah aliran hujan bawah permukaan, aliran bawah
permukaan, aliran antara dan perembesan.
5. Limpasan permukaan langsung: bagian limpasan permukaan memasuki
sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan ini sama dengan:
kehilangan presipitasi (= intersepsi + infiltrasi + evaporasi + cadangan
permukaan).
Kata-kata sinonim adalah limpasan langsung dan limpasan hujan.
Limpasan permukaan langsung adalah sama dengan hujan efektif jika hanya
hujan yang terlibat dalam membentuk limpasan permukaan. Kelebihan
presipitasi (atau kelebihan curah hujan) adalah sama dengan kontribusi
presipitasi terhadap limpasan permukaan.
II.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Limpasan
Aliran sungai itu tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan. Faktorfaktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yakni elemen meteorologi yang diwakili
oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik
daerah pengaliran.
1. Elemen meteorologi
Faktor-faktor yang terhisab kelompok elemen-elemen meteorologi adalah
sebagai berikut:
a) Jenis presipitasi
Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada
jenis presipitasinya yakni hujan. Jika hujan maka pengaruhnya adalah
Universitas Sumatera Utara
langsung dan hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan
besarnya curah hujan.
b) Intensitas curah hujan
Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung
dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas
infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat
sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya
peningkatan limpasan itu tidak sebanding dengan peningkatan curah
hujan lebih, yang disebabkan oleh efek penggenangan di permukaan
tanah.
c) Lamanya curah hujan
Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis.
Jika lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka
lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari
intensitas curah hujan. Jika lamanya curah hujan itu lebih panjang, maka
lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang. Lamanya
curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk
curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan
menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang.
d) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran
Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain diseluruh daerah
pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka
curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak
yang minimum. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang
Universitas Sumatera Utara
terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali
terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun
intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit
puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan lebat dengan daerah
hujan yang sempit.
Mengingat limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat
dipengaruhi oleh distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk
faktor ini digunakan koefisien distribusinya. Distribusi koefisien adalah
harga curah hujan maksimum dibagi harga curah hujan rata-rata di daerah
pengaliran itu. Jadi curah hujan yang jumlahnya tetap mempunyai debit
puncak yang lebih besar yang sesuai dengan koefisien distribusinya yang
bertambah besar.
e) Arah pergerakan curah hujan
Umumnya pusat curah ujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat
bergerak sepanjang system aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit
puncak dan lamanya limpasan permukaan.
f) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah
Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah
terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika
kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka
air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran
air tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh
evapotranspirasi dan lain-lain, suatu curah hujan yang lebat tidak akan
mengakibatkan kenaikan permukaan air, karena air hujan yang
Universitas Sumatera Utara
menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika
kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang
cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas yang
kecil dapat mengakibatkan kenaikan pemukaan air yang besar dan
kadang-kadang dapat mengakibatkan banjir.
g) Kondisi-kondisi meteorologi yang lain
Seperti telah dikemukakan di atas, dari elemen-elemen meteorologi, curah
hujan mempunyai pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara tidak
langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara ratarata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan
yang lain juga mengontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi
limpasan.
2. Elemen daerah pengaliran
a) Kondisi penggunaan tanah (Landuse)
Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi
penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang
ditutupi tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan
permukaan karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hutan ini
dijadikan daerah pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang),
maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan
tanah. Air hujan akan mudah berkumpul ke sungai-sungai dengan
kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan banjir yang
belum pernah dialami terdahulu.
b) Daerah pengaliran
Universitas Sumatera Utara
Jika semua faktor-faktor termasuk besarnya curah hujan, intensitas curah
hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan
dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah
pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu
tetap, maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran.
Akan tetapi sebenarnya, makin besar daerah pengaliran, makin lama
limpasan mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf
debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah
satu sebab dari pengurangan debit puncak ialah hubungan antara
intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas
daerah hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, curah hujan dianggap merata.
Akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang
kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih
kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka ada
pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah
dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah
pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika
karakteristik-karakteristik yang lain itu sama. Tetapi kali ini berbeda
karena luas daerah tidak menghasilkan peristiwa yang disebut di atas.
Tetapi jika faktor-faktor lain yang berbeda maka akan terjadi perbedaan
besar dalam debit banjir.
c) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran
Corak, elevasi, gradient, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran
mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi daerah pengaliran
Universitas Sumatera Utara
itu. Corak daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan
panjang sungai utama terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika
factor bentuk menjadi lebih kecil dengan kondisi skla daerah pengaliran
yang sama, maka hujan lebat yang merata akan berkurang dengan
perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir. Elevasi daerah
pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang penting
terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai
hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan
pengisian air tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor
penting yang mempengaruhi waktu mengalirnya air permukaan, waktu
konsentrasi ke sungai
dari curah hujan dan mempunyai hubungan
langsung terhadap debit banjir. Arah daerah pengaliran itu mempunyai
pengaruh
terhadap
kehilangan
evaporasi dan
transpirasi
karena
mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari.
d) Jenis tanah
Mengingat bentuk-bentuk butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya
adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka
karakteristik limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah
pengaliran tersebut. Juga bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor
yang
mempengaruhi kapasitas
infiltrasi karena
bahan-bahan
ini
mengembang dan menyusut sesuai dengan variasi kadar kelembaban
tanah.
e) Faktor-faktor lain yang memberikan pengaruh
Universitas Sumatera Utara
Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, maka faktor-faktor penting
lain yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik jaringan sungai,
adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, drainase buatan dan lainlain.
II.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris
Digunakan bila terdapat data hidrologi yang cukup banyak variabel yang
mempengaruhi debit, sedang rumus-rumus empiris umumnya merupakan korelasi
beberapa variabel, maka dengan sendirinya tidak mungkin diperoleh hasil yang dapat
dipercaya. Tapi ini dapat memperkirakan harga yang kasar secara cepat.
Adapun rumus empiris yang dikemukakan disini antara lain : Metode
Haspers, Melchior, dan Metode Rasional.
a. Metode Haspers
Rumus umum dari debit banjir rancangan adalah
QT= α . β . qT . A
(2.19)
Di mana :
QT
= Debit banjir maksimum (m3/dt),
α
= Koefisien pengaliran,
Β
= Koefisien reduksi,
qT
= Intensitas hujan untuk periode ulang tertentu (mm)
A
= Luas DAS (km2)
b. Metode Melchior
Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
Universitas Sumatera Utara
Qmax = αT . β . rT . A
(2.20)
Di mana :
Qmax = Debit banjir maksimum (m3/dt)
αT
= Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu
rT
= Intensitas hujan rancangan (mm)
A
= Luas DPS/ Catchment area (km2)
c. Metode Rasional
Rumus ini adalah rumus yang tertua dan terkenal diantara rumus-rumus
empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah
pengaliran yang luas. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut :
Q=
C *i *A = 0,00277 C *i *A
(2.21)
Di mana :
Q
= Debit banjir maksimum (m3/detik)
C
= Koefisien limpasan
i
= Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam)
A
= Daerah pengaliran (Ha)
Intensitas hujan rancangan menurut Mononobe dinyatakan dengan
I=
(2.22)
dimana :
Universitas Sumatera Utara
Rt = Hujan rancangan untuk periode ulang tertentu (mm).
Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
t = 0,0195 * L0,77 * S-0.385 *
(2.23)
dimana :
L
= panjang sungai (m)
S
= kemiringan sungai
Adapun mengenai koefisien limpasan (C) dapat ditentukan harganya berdasarkan
tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional
Tata Guna Lahan
C
Tata Guna Lahan
Perkantoran
Daerah pusat kota
Daerah sekitar kota
Perumahan
Rumah tunggal
Rumah susun, terpisah
Rumah susun, bersambung
Pinggiran kota
Daerah Industri
Kurang padat industri
Padat industri
Daerah beratap
0,70-0,95
0,50-0,70
0,30-0,50
0,40-0,60
0,60-0,75
0,25-0,40
0,50-0,80
0,60-0,90
Tanah Pertanian
Ladang Garapan
Tanah berat tanpa vegetasi
Tanah berat dengan
vegetasi
Berpasir tanpa vegetasi
Berpasir dengan vegetasi
C
0,30-0,60
0,20-0,50
0,20-0,50
0,1-0,25
Padang Rumput
Tanah berat
Berpasir
0,15-0,45
0,05-0,25
Hutan
0,05-0,25
0,75-0,95
Universitas Sumatera Utara
Download