BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1. Pendahuluan II.1.1. Batasan Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air bumi, terjadinya, peredaran dan distribusinya, sifat-sifat kimia dan fisikanya dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup. Karena perkembangannya begitu cepat, hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan sumberdayasumberdaya air yang merupakan pengembangan, distribusi dan penggunaan sumberdaya-sumberdaya air secara terencana. Banyak proyek di dunia (rekayasa air, irigasi, pengendalian banjir, drainase, tenaga air dan lain-lain) dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi yang cukup. Surveisurvei tersebut meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan, sampai pemprosesan data dan karena itu menghasilkan data sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan (Seyhan, 1990). II.1.2. Sejarah Singkat Manusia, dari semula, telah menyadari pentingnya air bagi dia dan lingkungannya. Ahli filsafat terdahulu memandang air sebagai salah satu dari 4 unsur dasar (api, bumi, udara dan air). Sampai abad ke-16 teka-teki besar adalah mengenai asal muasal air. Konsep daur hidrologi belum disadari. Karena itulah, kondensasi, presipitasi, evaporasi dan infiltrasi belum dapat dikaitkan satu sama lain. Namun, pada abad ke-16 Leonardo da Vinci menuliskan gambaran yang paling awal, dan Universitas Sumatera Utara paling tepat tentang daur hidrologi. Bernard Palissy mengusulkan pada abad yang sama satu versi yang diperhalus dari gagasan-gagasan Vinci. Namun, selama 250 tahun versi tersebut adalah tidak masuk akal. Hanya pada abad ke-19 gagasan daur hidrologi diterima dan penelitian-penelitian kuantitatif dipercepat. Selama tahun 1500-1800 filsafat hidrologi didasarkan atas percobaan dan pengembangan teknik-teknik pengukuran. Pada periode ini, pengukuran curah hujan diperkenalkan di Eropa, mekanisme pita berlobang dikembangkan, table logaritmik dihasilkan, rumus aliran saluran (dari Chezy) disusun, hubungan kecepatan-tekanan (dari Bernoulli) dikembangkan, curah hujan dihubungkan dengan ketinggian tempat, dan lain-lain. Selama tahun-tahun 1800-1900, penelitian sampai pada era yang lain dan perkembangan yang penting dalam alat-alat penghitung dan model telah dilakukan. Pada tahun-tahun 1900-1930 (periode empirisme), sebagian besar pekerjaan berdasarkan rumus-rumus empiris. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya (1930-1950: periode rasionalisasi), dimulailah tahun-tahun keemasan hidrologi yang pertama. Pada tahun 1939, Aitken menghasilkan bentuk komputer digital yang pertama. Pada tahun 1943 Eckert dan Mauchley menghasilkan komputer listrik pertama yang disebut ENIAC. Metode semi-empiris dan hidrolika air tanah diperkenalkan. II.2. Tanggapan Sistem II.2.1. Konsep Sistem Universitas Sumatera Utara Suatu sistem diberi batasan sebagai kumpulan objek dan subsistem yang disatukan dengan beberapa bentuk interaksi (saling-tindak) yang beraturan. Sebaliknya, subsistem-subsistem terdiri atas komponen-komponen dan/atau peubahpeubah yang semuanya bersama-sama membentuk subsistem yang khusus tersebut, yang berhubungan dengan subsistem lainnya. Bila kita memandang suatu sistem yang mengalir yang dapat diterapkan pada suatu daerah aliran sungai, maka akan tampak bahwa struktur sistem dari sistem ini adalah MASUKAN → STUKTUR → SISTEM KELUARAN Daerah aliran sungai yang merupakan lahan total dan permukaan air yang dibatasi oleh suatu batas-air topografi dan dengan salah satu cara memberikan sumbangan terhadap debit suatu sungai pada suatu irisan melintang tertentu. Faktor-faktor berikut adalah 1. Faktor iklim 2. Faktor tanah a) Topografi b) Tanah c) Geologi d) Geomorfologi 3. Tata guna lahan Faktor-faktor tersebut membentuk subsistem dan bertindak sebagai operator di dalam mengubah urutan terjadinya presipitasi secara alami, P(t), menjadi urutan waktu limpasan, Q(t) yang dihasilkan. Keragaman dalam keluaran, dalam hal ini limpasan, tergantung pada saling tindak diantara subsistem-subsistem ini. Tentu saja, Universitas Sumatera Utara sutu system secara kuatitatif diberi batasan dengan komponen-komponen atau peubah-peubah. Misalnya, tata guna lahan pada suatu daerah aliran sungai dapat digambarkan dengan peubah-peubah seperti persentase lahan hutan, persentase lahan rumput, persentase lahan yang diusahakan dan lain-lain. Kelompok semua peubah tersebut yang bertindak saling berhubungan satu sama lain mengendalikan kerja subsistem tersebut dan akhirnya juga kenampakan akhir dari presipitasi (masukan) sebagai limpasan (keluaran) setelah melewati beberapa tahapan. Tanggapan daerah aliran sungai tidak hanya merupakan limpasan saja, melainkan juga erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia. Tiga tanggapan ini juga bersaling tindak antara mereka sendiri di dalam mengendalikan perubahanperubahan dalam daerah aliran sungai. Dalam suatu analisis sistem (yang mempelajari sifat kesaling-hubungan antar subsistem) di mana limpasan dilihat sebagai suatu keluaran, erosi dan pengangkutan bahan-bahan kimia dapat dihilangkan karena proses-prosesnya sangat lambat. II.2.2. Tanggapan Daerah Aliran Sungai-Daur Hidrologi Daur hidrologi diberi batasan sebagai suksesi tahapan-tahapan yang dilalui air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer. Daur ini dimulai dengan penguapan air dari laut. Uap yang dihasilkan dibawa oleh udara yang bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut terkondensasi membentuk awan, yang pada akhirnya dapat menghasilkan presipitasi. Presipitasi yang jatuh ke bumi menyebar dengan arah yang berbeda-beda dalam beberapa cara. Sebagian besar dari presipitasi tersebut untuk sementara tertahan pada tanah di dekat tempat ia jatuh dan pada akhirnya dikembalikan lagi ke atmosfer oleh penguapan (evaporasi) dan Universitas Sumatera Utara pemeluhan (transpirasi) oleh tanaman. Sebagian air mencari jalannya sendiri melalui permukaan dan bagian atas tanah menuju sungai, sementara lainnya menembus masuk lebih jauh ke dalam tanah (groundwater). Di bawah pengaruh gaya gravitasi, baik aliran air permukaan (surface streamflow) maupun air dalam tanah bergerak menuju tempat yang lebih rendah dan akhirnya mengalir ke laut. Namun sejumlah besar air permukaan dan air bawah tanah dikembalikan ke atmosfer oleh penguapan dan pemeluhan sebelum sampai ke laut. Uraian mengenai daur hidrologi ini merupakan uraian yang benar-benar disederhanakan. Sebagai contoh, air dari sebagian aliran permukaan mungkin berperkolasi menjadi air tanah sedangkan pada kejadian lain, air tanah merupakan sumber aliran sungai (stream flow). Daur hidrologi merupakan peraga yang baik untuk menggambarkan lingkup hidrologi, yang memisahkan antara presipitasi pada daratan dan kembalinya air ke atmosfer atau laut. Daur tersebut juga memperlihatkan empat fase yaitu presipitasi, evaporasi, aliran permukaan dan air tanah. Pembahasan mengenai daur hidrologi tidak perlu memberikan kesan tentang adanya mekanisme yang kontinu, dimana dari awal sampai akhir air bergerak secara tunak dengan kecepatan konstan. Pergerakan air melalui daur tersebut tidak menentu, baik mengenai waktu maupun daerahnya. Kadang-kadang alam memberikan hujan yang amat deras, yang menyebabkan kapasitas saluran di permukaan tanah menjadi penuh. Pada kesempatan lain mungkin terkihat bahwa mekanisme daur itu berhenti sama sekali, dengan demikian presipitasi dan aliran sungai pun ikut terhenti. Sebagaimana dapat dilihat dari penjelasan singkat tentang daur hidrologi, tanggapan daerah aliran sungai terhadap presipitasi merupakan keluaran dari saling tindak (interaksi) semua proses ini. Limpasan Nampak pada sistem yang sangat Universitas Sumatera Utara kompleks setelah perlintasan presipitasi melalui beberapa langkah penyimpanan dan transfer. Kompleksitas ini meningkat dengan keragaman areal vegetasi, formasiformasi geologi, kondisi tanah dan di samping ini juga keragaman-keragaman areal dan waktu dari faktor-faktor iklim. Sumber: http://kelembagaandas.wordpress....-rlps-1/ Gambar 2.1. Daur Hidologi II.2.3. Ekosistem Daerah Aliran Sungai Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponen-komponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu, tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunnya. Besar-kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai suatu ekosistem. Ekositem terdiri atas komponen biotis dan abiots yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem Universitas Sumatera Utara tidak ada satu komponen pun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, langsung atau tidak langsung, besar atau kecil. Aktivitas suatu komponen sistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia adalah salah satu komponen ekosistem yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbalbalik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil. Sebaliknya bila hubungan timbal-balik antar komponenkomponen lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis. Uraian di atas mengisyaratkan bahwa ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistic dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi terwujudnya pemanfaatan sumberdaya alam untuk pembangunan yang berkelanjutan. Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupkan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan Universitas Sumatera Utara lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain, dari segi fungsi tata air. Oleh karena itu, DAS hulu seringkali menjadi fokus perencanaan pengelolaan DAS mengingat bhwa dalam suatu DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. II.3. Hujan II.3.1. Pengertian Umum Hujan merupakan komponen masukan yang paling penting dalam proses hidrologi, karena jumlah kedalaman hujan (rainfall depth) ini yang dialihragamkan menjadi aliran di sungai, baik melalui limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow, sub surface flow) maupun sebagai aliran air tanah (groundwater flow). Agar terjadi proses pembentukan hujan, maka ada 2 syarat yang harus dipenuhi: 1. Tersedia udara lembab Universitas Sumatera Utara 2. Tersedia sarana, keadaan yang mengangkat udara tersebut ke atas sehingga terjadi kondensasi. Udara lembab biasanya terjadi karena adanya gerakan udara mendatar, terutama yang berasal dari atas lautan, yang dapat mencapai ribuan kilometer. Terangkatnya udara ke atas dapat terjadi dengan tiga cara: 1. Konvektif, bila terjadinya ketidakseimbangan udara karena panas setempat, dan udara bergerak ke atas dan berlaku proses adiabatik. Hujan yang terjadi disebut hujan konvektif, dan biasanya merupakan hujan dengan intensitas tinggi, dan terjadi dalam waktu yang relatif singkat, di daerah yang relatif sempit. 2. Hujan siklon, bila gerakan udara ke atas terjadi akibat adanya udara panas yang bergerak di atas lapisan udara yang lebih padat dan lebih dingin. Hujan ini biasanya terjadi dengan intensitasnsedang, mencakup daerah yang luas dan berlangsung lama. 3. Hujan orografik, terjadi karena udara bergerak ke atas akibat adanya pegunungan. Akibatnya, terjadi dua daerah yang disebut daerah hujan dan daerah bayangan hujan. Sifat hujan ini dipengaruhi oleh sifat dan ukuran pegunungan. Terjadinya pembentukan awan, tidak selalu memungkinkan terjadinya hujan. Setidaknya diperlukan waktu, agar awan tersebut tumbuh menjadi awan hujan. Pertumbuhan partikel-partikel awan dari ukuran 1-100 mikron (1 mikron = 10-3 mm) menjadi partikel hujan, dengan ukuran lebih dari 1000 mikron (1 mm) memerlukan waktu paling tidak 30 menit sejak pembentukan awan. Akan tetapi proses itu tidak selalu terjadi, karena sangat tergantung dari keadaan atmosfer, pertikel awan tersebut Universitas Sumatera Utara dapat teruapkan kembali. Stabilitas udara sangat berpengaruh terhadap pembentukan awan tersebut. II.3.2. Hujan DAS Pengukuran yang dilakukan adalah untuk memperoleh data hujan yang terjadi pada satu tempat saja. Akan tetapi dalam analisis umumnya yang diinginkan adalah data hujan rata-rata DAS (catchment rainfall). Untuk menghitung besaran ini dapat ditempuh beberapa cara yang sampai saat ini lazim digunakan, yaitu dengan: 1. Rata-rata Aljabar Cara hitungan dengan rata-rata aljabar (mean arithmetic method) ini merupakan cara yang paling sederhana, akan tetapi memberikan hasil yang tidak teliti. Hal tersebut diantaranya karena setiap stasiun dianggap mempunyai bobot yang sama. Hal ini hanya dapat digunakan kalau hujan yang terjadi di dalam DAS homogen dan variasi tahunannya tidak terlalu besar. Keadaan hujan di Indonesia (daerah tropik pada umumnya) sangat bersifat ‘setempat’, dengan variasi ruang (spatial variation) yang sangat besar. P = (P1 + P2 + … + Pn) (2.1) 2. Poligon Thiessen Cara ini memberikan bobot tertentu untuk setiap stasiun hujan dengan pengertian bahwa setiap stasiun hujan dianggap mewakili hujan dalam suatu daerah dengan luas tertentu dan luas tersebut merupakan faktor koreksi bagi hujan di stasiun yang bersangkutan. Luas masing-masing daerah tersebut diperoleh dengan cara berikut: Universitas Sumatera Utara • Semua stasiun yang di dalam (atau di luar) DAS dihubungkan dengan garis, sehingga terbentuk jaringan segitiga-segitiga. Hendaknya dihindari terbentuknya segitiga dengan sudut sangat tumpul. • Pada masing-masing segitiga ditarik garis sumbunya, dan semua garis sumbu tersebut membentuk poligon. • Luas daerah yang hujannya dianggap diwakili oleh salah satu stasiun yang bersangkutan adalah daerah yang dibatasi oleh garis-garis poligon tersebut (atau dengan batas DAS). • Luas relatif daerah ini dengan luas DAS merupakan faktor koreksinya. • Selanjutnya hitungan dilakukan sebagai berikut: Sta Pi Luas FK P= I P1 A1 α1 α1 P1 II P2 A2 α2 α2 P2 … … … … … N Pn An αn αn Pn Dengan: Pi = kedalaman hujan di stasiun i Ai = luas daerah yang diwakili stasiun i A = luas DAS total FK = faktor koreksi, αi = P = hujan rata-rata DAS Universitas Sumatera Utara P = Pi x FK (2.2) Gambar 2.2. Cara Poligon Thiessen Cara di atas dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang (dianggap) diwakili. Akan tetapi cara ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak tampak. Demikian pula apabila salah satu stasiun tidak berfungsi, misalnya rusak atau data tidak benar, masa poligon harus diubah. 3. Isohyet Cara lain yang diharapkan lebih baik (dengan mencoba memasukkan pengaruh topografi) adalah dengan cara isohyets. Isohyets ini adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai kedalaman hujan sama pada saat yang bersamaan. Pada dasarnya cara hitungan sama dengan yang digunakan dalam cara poligon Thiessen, kecuali dalam penetapan besaran faktok koreksinya. Hujan Pi ditetapkan sebagai hujan rata-rata antara Universitas Sumatera Utara dua buah isohyets (atau dengan batas DAS) terhadap luas DAS. Kesulitan yang dijumpai adalah kesulitan dalam setiap kali harus menggambar garis isohyet, dan juga masuknya unsur subjektivitas dalam penggambaran isohyet. = (2.3) Dengan, A1, A2, …, An = luas bagian-bagian antara garis-garis Isohyet R1, R2, …, Rn= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2, …, An Gambar 2.32. Cara Garis Isohyet Dalam prakteknya, cara kedua (poligon Thiessen) adalah cara ‘terbaik’ yang paling banyak digunakan dalam anlisis. Selain hitungan-hitungan yang dijelaskan terdahulu, beberapa sifat hujan lain perlu diketahui, seperti, 1. Frekuensi hujan, hubungan antara kedalaman hujan dengan kala-ulang (return period). Universitas Sumatera Utara 2. Hubungan antara kedalaman hujan, luas DAS dan lama-hujan (depth area duration). 3. Hubungan antara intensitas hujan, lama hujan dan kala-ulang. II.3.3. Analisis Frekuensi Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi frekuensi dan yang banyak digunakan dalam hidrologi yaitu: 1. Distribusi normal 2. Distribusi log-normal 3. Distribusi log-Pearson tipe III 4. Distribusi Gumbel Dalam analisis frekuensi data hidrologi baik data hujan maupun data data debit sungai terbukti bahwa sangat jarang dijumpai seri data yang sesuai dengan distribusi normal. Sebaliknya, sebagian besar data hidrologi sesuai dengan tiga distribusi yang lainnya. Masing-masing distribusi memiliki sifat-sifat khas sehingga setiap data hidrologi harus diuji kesesuaiannya dengan sifat statistik masing-masing distribusi tersebut. Pemilihan distribusi yang tidak benar dapat mengundang kesalahan perkiraan yang (dapat) cukup besar, baik ‘overestimated’ maupun ‘underestimated’, keduanya tidak diinginkan. Dengan demikian jelas bahwa pengambilan salah satu distribusi secara sembarang untuk analisis tanpa pengujian data hidrologi sangat tidak dianjurkan, meskipun dalam praktek harus diakui bahwa besar kemungkinan distribusi tersebut sesuai dengan jenis distribusi tertentu. (Catatan: di Indonesia banyak dilakukan analisis frekuensi dengan menggunakan distribusi Gumbel tanpa pengujian data terlebih dahulu dan tanpa alas an hidrolik yang jelas). Dikhawatirkan Universitas Sumatera Utara cara ini akan dianggap sebagai cara ‘rutin’, karena jekas mengandung resiko penyimpangan yang tidak dikehendaki. Dengan pengujian atas data hujan dan debit di Pulau Jawa ditemukan distribusi Gumbel hanya sesuai dengan 75% kasus. Demikian pula distribusi normal. 90% lainnya ternyata mengikuti distribusi lognormal dan log-Pearson tipe III. Analisis frekuensi atas data hidrologi menurut syarat tertentu untuk data yang bersangkutan, yaitu harus seragam (homogeneous), ‘independent’ dan mewakili (representative). Data yang seragam berarti bahwa data tersebut harus berasal dari populasi yang sama. Dalam arti lain, stasiun pengumpul data yang bersangkutan, baik stasiun hujan maupun hidrometri harus tidak dipindah, DAS tidak berbah menjadi DAS perkotaan (urban cacthment), maupun tidak ada gangguan-gangguan lain yang menyebabkan data yang terkumpul menjadi lain sifatnya. Batasan ‘ independent’ di sini berarti bahwa besaran data ekstrem tidak terjadi lebih dari sekali. 1. Distribusi Normal Distribusi ini mempunyai ‘ probability density function’ sebagai berikut: P’(X) = e (2.4) Dengan, σ = varian µ = rata-rata 2. Distribusi Log-Normal ‘Probability density function’ distribusi ini adalah: P’ x = eksp 2 ), (µ > 0) (2.5) Universitas Sumatera Utara Dengan = ln ( ) (2.6) = ln ( ) (2.7) Besarnya asimetri adalah γ= (2.8) 0,5 dengan (2.9) kurtosis k= (2.10) 3. Distribusi Log-Pearson III n ∑ LogX Log Xr = i =1 1 n (2.11) Dengan: Xr = nilai rerata curah hujan Xi = curah hujan ke-I (mm) n = banyaknya data pengamatan n ∑ ( LogX 1 − LogXr ) Sx = 2 i =1 n −1 (2.12) dengan: Universitas Sumatera Utara Sx = standard deviasi Nilai XT bagi setiap probabilitas dihitung dari persamaan yang telah dimodifikasikan : Log XT = log Xr + K. log Sx (2.13) dengan : XT = besarnya curah hujan rancangan untuk periode ulang pada T tahun K = faktor freluensi yang merupakan fungsi dari periode ulang dan tipe distribusi frekuensi. 4. Distribusi Gumbel X = µ + σ .K (2.14) Dengan µ = Nilai tengah (mean) populasi σ = Standard deviasi populasi K = Factor frekwensi Rumus (2.14) dapat diketahui dengan X = X + sK (2.15) Dengan, X = nilai tengah sampel s = Standard deviasi sampel Universitas Sumatera Utara Faktor frekwensi K untuk nilai-nilai ekstrim Gumbel ditulis dengan humus berikut ini : K= YT − Ys Sn (2.16) YT = − ln[− ln{(Tr − 1) / Tr }] (2.17) Dengan, YT = Reduced variate Yn = Reduced mean yang tergantung dari besarnya sampel n Sn = Reduced Standard deviation yang tergantung dari besarnya sampel n II.3.4. Intensitas Hujan Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut terkonsentrasi. Intensitas curah hujan dinotasikan dengan huruf I dengan satuan mm/jam. Durasi adalah lamanya suatu kejadian hujan. Intensitas hujan yang tinggi pada umumnya berlangsung dengan durasi pendek dan meliputi daerah yang tidak sangat luas. Hujan yang meliputi daerah luas, jarang sekali dengan intensitas tinggi, tetapi dapat berlangsung dengan durasi cukup panjang. Kombinasi dari intensitas hujan yang tinggi dengan durasi panjang jarang terjadi, tetapi apabila terjadi berarti sejumlah besar volume air bagaikan ditumpahkan dari langit. analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau disebabkan oleh karena alatnya tidak ada, Universitas Sumatera Utara dapat ditempuh cara-cara empiris dengan mempergunakan rumus-rumus eksperimental seperti rumus Talbot, Mononobe, Sherman dan Ishigura. II.4. Infiltrasi II.4.1. Pengertian Umum Air cair yang diterima pada permukaan bumi akhirnya, jika permukaannya tidak kedap air, dapat bergerak ke dalam tanah dengan gaya gerak gravitasi dan kapiler dalam suatu aliran yang disebut infiltrasi. Ini merupakan bagian yang sangat penting dalam daur hidrologi maupun dalam proses pengalihragaman hujan menjadi aliran sungai. Pengertian infiltrasi (infiltration) sering dicampurkan-adukkan untuk kepentingan praktis dengan pengertian perkolasi (percolation). Yang terakhir ini merupakan proses aliran air dalam tanah secara vertical akibat gaya berat. Memang keduanya saling berpengaruh akan tetapi hendaknya secara teoretik pengertian keduanya dibedakan. Dalam kaitan ini terdapat dua pengertian tentang kuantitas infiltrasi, yaitu kapasitas infiltrasi, dan laju infiltrasi. Kapasitas infiltrasi adalah laju infiltrasi maksimum untuk suatu jenis tanah tertentu, sedangkan laju infiltrasi adalah laju infiltrasi nyata suatu jenis tanah tertentu. Secara fisik terdapat faktor yang berpengaruh, yaitu : 1. Jenis tanah 2. Kepadatan tanh 3. Kelembaban tanah 4. Tutup tumbuhan ( vegetation cover ) 5. Kemiringan suatu daerah 6. Penambahan zat kimia pada tanah Universitas Sumatera Utara 7. Menutup areal permukaan tanah ( top soil ) Setiap jenis tanah mempunyai laju infiltrasi karakteristik yang berbeda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai yang sangat rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi, akan tetapi tanah liat sebaliknya, cenderung mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Untuk satu jenis tanah yang sama dengan kepadatan yang berbeda mempunyai laju infiltrasi yang berbeda pula. Makin padat suatu kondisi tanah, maka makin kecil pula laju infiltrasinya, begitu juga sebaliknya, makin renggang suatu kondisi butir-butir tanah, maka laju infiltrasinya akan semakin besar pula. Kelembaban tanah yang selalu berubah-ubah setiap saat juga berpengaruh terhadap laju infiltrasi. Makin tinggi kadar air dalam tanah, maka laju infiltrasi tanah tersebut makin kecil. Pengaruh tanaman diatas permukaan tanah terdapat dua pengaruh, yaitu berfungsi sebagai penghambat aliran di permukaan tanah sehingga kesempatan untuk berinfiltrasi akan semakin besar, sedangkan yang kedua adalah, sistem akar-akaran yang dapat lebih menggemburkan struktur tanahnya sehingga laju infiltrasi dapat menjadi cepat. Maka makin baik tutup tanaman yang ada, laju infiltrasi cenderung lebih tinggi. Kemiringan lahan memberikan pengaruh yang kecil terhadap infiltrasi, walaupun begitu, terdapat perbedaan infiltrasi antara lahan datar dengan lahan miring. Infiltrasi pada lahan datar akan lebih besar daripada lahan miring. Penambahan bahan kimia dalam tanah ada dua jenis. Yang pertama dimaksudkan untuk memperkuat formasi agregat tanah, sehingga struktur tanah menjadi diperbaiki. Akibatnya bukan saja infiltrasi yang meningkat, tetapi juga pergerakan air di dalam tanah (perkolasi). Yang kedua dimaksud untuk melapisi permukaan tanah agar air yang mengalir di atasnya lancar, hal ini biasanya digunakan untuk saluran drainase. Pada kondisi ini infiltrasi bisa Universitas Sumatera Utara dikatakan tidak terjadi sama sekali. Apabila permukaan tanah tertutup oleh suatu bahan seperti beton, batako, dan sebagainya, maka areal tanah tersebut tidak bisa berinfiltrasi sama sekali. II.4.2. Kepentingan Praktis Infiltrasi 1. Berkurangnya banjir 2. Berkurangnya erosi tanah 3. Memberikan air bagi vegetasi dan tanaman 4. Mengisi kembali reservoir air tanah 5. Menyediakan aliran pada sungai pada musim kemarau II.4.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi 1. Karakteristik hujan 2. Kondisi permukaan tanah 3. Kondisi penutup permukaan 4. Transmisibilitas tanah 5. Karakteristik air yang berinfiltrasi II.5. Evaporasi II.5.1. Pengertian Umum Evaporasi adalah penguapan air dari permukaan air, tanah dan bentuk permukaan vegetasi lainnya oleh proses fisika. Dua unsure utama untuk berlangsungnya evaporasi adalah energi (radiasi) matahari dan ketersediaan air II.5.2. Unsur Utama Evaporasi 1. Radiasi matahari Sebagian radiasi gelombang pendek (shortwave radiation) matahari akan diubah menjadi energi panas di dalam tanaman, air dan tanah. Energy panas Universitas Sumatera Utara tersebut akan menghangatkan udara di sekitarnya. Panas yang dipakai untuk menghangatkan partikel-partikel berbagai material udara tanpa mengubah bentuk partikel tersebut dinamakan panas tampak (sensible heat). Sebagian dari energi matahari akan diubah menjadi energi mekanik. Energi mekanik ini akan menyebabkan perputaran udara dan uap air di atas permukaan tanah. Keadaan ini akan menyebabkan udara di atas permukaan tanah jenuh, dan dengan demikian, mempertahankan tekanan uap air yang tingi pada permukaan bidang evaporasi. 2. Ketersediaan air Melibatkan tidak saja jumlah air yang ada, tetapi juga persedian air yang siap untuk terjadinya evaporasi. Permukaan bidang evaporasi yang kasar akan memberikan lajuevaporasi yang lebih tinggi daripada bidang rata karena pada bidang permukaan yang lebih kasar besarnya turbulent meningkat. II.5.3. Faktor-faktor Penentu Evaporasi Proses-proses fisika yang menyertai berlangsungnya perubahan dari zat cair menjadi gas berlaku pada kedua proses evaporasi. Oleh karenanya, kondisi fisika yang mempengaruhi laju evaporasi umum terjadi pada kedua proses alamiah tersebut. Faktor-faktor yang berpengaruh antara lain: 1. Panas diperlukan untuk berlangsungnya perubahan bentuk dari zat cair ke gas dan secara alamiah matahari menjadi sumber energy panas. Energi panas tak tampak (latent heat) pada proses evaporasi dating sebagai energy panas gelombang pendek (shortwave radiation) dan energy panas gelombang panjang (longwave radiation). Energi panas gelombang pendek merupakan Universitas Sumatera Utara sumber energy panas terbesar dan akan mempengaruhi besarnya air yang dapat diuapkan dari permukaan bumi sesuai dengan ketinggian tempat dan musim yang berlangsung. Sedangkan energi panas gelombang panjang adalah panas yang dilepaskan oleh permukaan bumi ke udara dan bersifat menambah yang telah dihasilkan oleh energi panas gelombang pendek. 2. Suhu udara, permukaan bidang penguapan (air, vegetasi dan tanah) dan energy panas yang berasal dari matahari adalah factor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam menghitung besarnya evaporasi. Makin tinggi suhu udara di atas permukaan bidang penguapan, makin mudah terjadi perubahan bentuk dari zat cair menjadi gas. Dengan demikian, laju evaporasi menjadi lebih besar di daerah tropic daripada daerah beriklim sedang. Perbedaan laju evaporasi yang sama juga dijumpai di daerah tropic pada musim kering dan musim basah. 3. Kapasitas kadar air dalam udara juga dipengaruhi secara langsung oleh tinggi rendahnya suhu di tempat tersebut. Besarnya kadar air dalam udara di suatu tempat ditentukan oleh tekanan uap air, ea, (vapour pressure) yang ada di tempat tersebut. Proses evaporasi tergantung dari deficit tekanan uap air jenuh, Dvp, (saturated vapour pressure deficit) di udara atau jumlah uap air yang dapat diserap oleh udara sebelum udara tersebut menjadi jenuh. Deficit tekanan uap air jenuh adalah beda keadaan antara tekanan uap air jenuh pada permukaan bidang penguapan dan tekanan uap air nyata di udara. Dengan demikian evaporasi lebih banyak terjadi di daerah pedalaman dimana kondisi udara cenderung lebih kering daripada daerah pantai yang lebih lembab akibat penguapan dari permukaan laut. Universitas Sumatera Utara 4. Ketika proses penguapan berlangsung, udara di atas permukaan bidang penguapan secara bertahap menjadi lebih lembab, sampai pada tahap ketika udara menjadi jenuh dan tidak mapu menampung uap air lagi. Pada tahap ini, udara jenuh di atas bidang penguapan tersebut akan berpindah ke tempat lain akibat beda tekanan dan kerapatan udara, dan dengan demikian, proses penguapan air dari bidang penguapan tersebut akan berlangsung secara terusmenerus. Hal ini terjadi karena adanya pergantian udara lembab oleh udara yang lebih kering atau gerakan massa udara dari tempat dengan tekanan udara lebih tinggi ke tempat dengan tekanan udara lebih rendah. Proses perpindahan massa udara seperti itu disebut proses adveksi. Dalam hal ini, peranan kecepatan angin di atas permukaan bidang penguapan merupakan factor penting intuk terjadinya evaporasi. Penguapan air di daerah lapang seharusnya lebih besar dibandingkan daerah dengan banyak naungan karena pada keadaan yang pertama perpindahan udara menjadi lebih bebas. 5. Sifat alamiah bidang permukaan penguapan akan mempengaruhi proses evaporasi melalui perubahan pola perilaku angin. Pada bidang permukaan yang kasar atau tidak beraturan, kecepatan angin akan berkurang oleh adanya proses gesekan. Tetapi, pada tingkat tertentu, permukaan bidang yang kasar juga dapat menimbulkan gerakan angin berputar (turbulent) yang dapat memperbesar evaporasi. Pada bidang permukaan air yang luas, angin kencang juga dapat menimbulkan gelombang air besar dan dapat mempercepat terjadinya evaporasi. II.6. Limpasan Permukaan Dan Hidrologi Sungai II.6.1. Batasan-batasan Universitas Sumatera Utara Jika intensitas curah hujan melebihi laju infiltrasi, maka kelebihan air mulai berakumulasi sebagai cadangan permukaan. Bila kapasitas cadangan permukaan dilampaui (merupakan fungsi depresi permukaan dan gaya tegangan muka), limpasan permukaan mulai sebagai suatu aliran lapisan yang tipis. Pada akhirnya, lapisan aliran air ini berkumpul ke dalam aliran air sungai yang diskrit. Dalam artian yang umum, ait yang mengalir pada saluran-saluran yang kecil ini, parit-parit, sungaisungai dan aliran-aliran merupakan kelebihan curah hujan terhadap evapottanspirasi, cadangan permukaan dan air bawah tanah. Dalam kepustakaan kata-kata yang berlainan seperti limpasan, aliran sungai, debit sungai digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sama. Untuk mengatasi sebagian kesulitan tersebut terminologi berikut digunakan di sini. 1. Limpasan: bagian presipitasi (juga kontribusi permukaan dan bawah permukaan) yang terdiri atas gerakan gravitasi air dan tampak pada saluran permukaan dari bentuk permanen maupun terputus-putus. Kata-kata yang sinonim adalah aliran sungai, debit sungai dan produksi tangkapan. 2. Aliran murni: limpasan yang tidak dipengaruhi oleh pengaliran buatan, simpanan maupun tindakan manusia lainnya pada atau di atas saluran maupun pada daerah aliran sungai. 3. Limpasan permukaan: bagian limpasan yang melintas di atas permukaan tanah menuju saluran sungai. Kata-kata sinonim adalah limpasan di atas lahan. 4. Limpasan bawah permukaan: limpasan ini merupakan sebagian dari limpasan permukaan yang disebabkan oleh bagian presipitasi yang berinfiltrasi ke Universitas Sumatera Utara tanah permukaan dan bergerak secara lateral melalui horizon-horizon tanah bagian atas menuju sungai. Kata-kata sinonim adalah aliran hujan bawah permukaan, aliran bawah permukaan, aliran antara dan perembesan. 5. Limpasan permukaan langsung: bagian limpasan permukaan memasuki sungai secara langsung setelah curah hujan. Limpasan ini sama dengan: kehilangan presipitasi (= intersepsi + infiltrasi + evaporasi + cadangan permukaan). Kata-kata sinonim adalah limpasan langsung dan limpasan hujan. Limpasan permukaan langsung adalah sama dengan hujan efektif jika hanya hujan yang terlibat dalam membentuk limpasan permukaan. Kelebihan presipitasi (atau kelebihan curah hujan) adalah sama dengan kontribusi presipitasi terhadap limpasan permukaan. II.6.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Limpasan Aliran sungai itu tergantung dari berbagai faktor secara bersamaan. Faktorfaktor tersebut dibagi dalam 2 kelompok, yakni elemen meteorologi yang diwakili oleh curah hujan dan elemen daerah pengaliran yang menyatakan sifat-sifat fisik daerah pengaliran. 1. Elemen meteorologi Faktor-faktor yang terhisab kelompok elemen-elemen meteorologi adalah sebagai berikut: a) Jenis presipitasi Pengaruhnya terhadap limpasan sangat berbeda, yang tergantung pada jenis presipitasinya yakni hujan. Jika hujan maka pengaruhnya adalah Universitas Sumatera Utara langsung dan hidrograf itu hanya dipengaruhi intensitas curah hujan dan besarnya curah hujan. b) Intensitas curah hujan Pengaruh intensitas curah hujan pada limpasan permukaan tergantung dari kapasitas infiltrasi. Jika intensitas curah hujan melampaui kapasitas infiltrasi, maka besarnya limpasan permukaan akan segera meningkat sesuai dengan peningkatan intensitas curah hujan. Akan tetapi, besarnya peningkatan limpasan itu tidak sebanding dengan peningkatan curah hujan lebih, yang disebabkan oleh efek penggenangan di permukaan tanah. c) Lamanya curah hujan Di setiap daerah aliran terdapat suatu lamanya curah hujan yang kritis. Jika lamanya curah hujan itu kurang dari lamanya yang kritis, maka lamanya limpasan itu praktis akan sama dan tidak tergantung dari intensitas curah hujan. Jika lamanya curah hujan itu lebih panjang, maka lamanya limpasan permukaan itu juga menjadi lebih panjang. Lamanya curah hujan juga mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi. Untuk curah hujan yang jangka waktunya panjang, limpasan permukaannya akan menjadi lebih besar meskipun intensitasnya adalah relatif sedang. d) Distribusi curah hujan dalam daerah pengaliran Jika kondisi-kondisi seperti topografi, tanah dan lain-lain diseluruh daerah pengaliran itu sama dan umpamanya jumlah curah hujan itu sama, maka curah hujan yang distribusinya merata yang mengakibatkan debit puncak yang minimum. Banjir di daerah pengaliran yang besar kadang-kadang Universitas Sumatera Utara terjadi oleh curah hujan lebat yang distribusinya merata, dan sering kali terjadi oleh curah hujan biasa yang mencakup daerah yang luas meskipun intensitasnya kecil. Sebaliknya, di daerah pengaliran yang kecil, debit puncak maksimum dapat terjadi oleh curah hujan lebat dengan daerah hujan yang sempit. Mengingat limpasan yang diakibatkan oleh curah hujan itu sangat dipengaruhi oleh distribusi curah hujan, maka untuk skala penunjuk faktor ini digunakan koefisien distribusinya. Distribusi koefisien adalah harga curah hujan maksimum dibagi harga curah hujan rata-rata di daerah pengaliran itu. Jadi curah hujan yang jumlahnya tetap mempunyai debit puncak yang lebih besar yang sesuai dengan koefisien distribusinya yang bertambah besar. e) Arah pergerakan curah hujan Umumnya pusat curah ujan itu bergerak. Jadi suatu curah hujan lebat bergerak sepanjang system aliran sungai akan sangat mempengaruhi debit puncak dan lamanya limpasan permukaan. f) Curah hujan terdahulu dan kelembaban tanah Jika kadar kelembaban lapisan teratas tanah itu tinggi, maka akan mudah terjadi banjir karena kapasitas infiltrasi yang kecil. Demikian pula jika kelembaban tanah itu meningkat dan mencapai kapasitas lapangan, maka air infiltrasi akan mencapai permukaan air tanah dan memperbesar aliran air tanah. Selama periode pengurangan kelembaban tanah oleh evapotranspirasi dan lain-lain, suatu curah hujan yang lebat tidak akan mengakibatkan kenaikan permukaan air, karena air hujan yang Universitas Sumatera Utara menginfiltrasi itu tertahan sebagai kelembaban tanah. Sebaliknya, jika kelembaban tanah itu sudah meningkat karena curah hujan terdahulu yang cukup besar, maka kadang-kadang curah hujan dengan intensitas yang kecil dapat mengakibatkan kenaikan pemukaan air yang besar dan kadang-kadang dapat mengakibatkan banjir. g) Kondisi-kondisi meteorologi yang lain Seperti telah dikemukakan di atas, dari elemen-elemen meteorologi, curah hujan mempunyai pengaruh yang terbesar pada limpasan. Secara tidak langsung, suhu, kecepatan angin, kelembaban relatif, tekanan udara ratarata, curah hujan tahunan dan seterusnya yang berhubungan satu dengan yang lain juga mengontrol iklim di daerah itu dan mempengaruhi limpasan. 2. Elemen daerah pengaliran a) Kondisi penggunaan tanah (Landuse) Hidrograf sebuah sungai adalah sangat dipengaruhi oleh kondisi penggunaan tanah dalam daerah pengaliran itu. Daerah hutan yang ditutupi tumbuh-tumbuhan yang lebat adalah sulit mengadakan limpasan permukaan karena kapasitas infiltrasinya yang besar. Jika daerah hutan ini dijadikan daerah pembangunan dan dikosongkan (hutannya ditebang), maka kapasitas infiltrasi akan turun karena pemampatan permukaan tanah. Air hujan akan mudah berkumpul ke sungai-sungai dengan kecepatan yang tinggi yang akhirnya dapat mengakibatkan banjir yang belum pernah dialami terdahulu. b) Daerah pengaliran Universitas Sumatera Utara Jika semua faktor-faktor termasuk besarnya curah hujan, intensitas curah hujan dan lain-lain itu tetap, maka limpasan itu (yang dinyatakan dengan dalamnya air rata-rata) selalu sama, dan tidak tergantung dari luas daerah pengaliran. Berdasarkan asumsi ini, mengingat aliran per satuan luas itu tetap, maka hidrograf itu adalah sebanding dengan luas daerah pengaliran. Akan tetapi sebenarnya, makin besar daerah pengaliran, makin lama limpasan mencapai tempat titik pengukuran. Jadi, panjang dasar hidrograf debit banjir menjadi lebih besar dan debit puncaknya berkurang. Salah satu sebab dari pengurangan debit puncak ialah hubungan antara intensitas curah hujan maksimum yang berbanding terbalik dengan luas daerah hujan. Berdasarkan asumsi tersebut, curah hujan dianggap merata. Akan tetapi mengingat intensitas curah hujan maksimum yang kejadiannya diperkirakan terjadi dalam frekuensi yang tetap menjadi lebih kecil sebanding dengan daerah pengaliran yang lebih besar, maka ada pemikiran bahwa puncak banjir akan menjadi lebih kecil. Seperti telah dikemukakan di atas, debit banjir yang diharapkan per satuan daerah pengaliran itu adalah berbanding terbalik dengan daerah pengaliran, jika karakteristik-karakteristik yang lain itu sama. Tetapi kali ini berbeda karena luas daerah tidak menghasilkan peristiwa yang disebut di atas. Tetapi jika faktor-faktor lain yang berbeda maka akan terjadi perbedaan besar dalam debit banjir. c) Kondisi topografi dalam daerah pengaliran Corak, elevasi, gradient, arah, dan lain-lain dari daerah pengaliran mempunyai pengaruh terhadap sungai dan hidrologi daerah pengaliran Universitas Sumatera Utara itu. Corak daerah pengaliran adalah faktor bentuk, yakni perbandingan panjang sungai utama terhadap lebar rata-rata daerah pengaliran. Jika factor bentuk menjadi lebih kecil dengan kondisi skla daerah pengaliran yang sama, maka hujan lebat yang merata akan berkurang dengan perbandingan yang sama sehingga sulit akan terjadi banjir. Elevasi daerah pengaliran dan elevasi rata-rata mempunyai hubungan yang penting terhadap suhu dan curah hujan. Demikian pula gradiennya mempunyai hubungan dengan infiltrasi, limpasan permukaan, kelembaban, dan pengisian air tanah. Gradien daerah pengaliran adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi waktu mengalirnya air permukaan, waktu konsentrasi ke sungai dari curah hujan dan mempunyai hubungan langsung terhadap debit banjir. Arah daerah pengaliran itu mempunyai pengaruh terhadap kehilangan evaporasi dan transpirasi karena mempengaruhi kapasitas panas yang diterima dari matahari. d) Jenis tanah Mengingat bentuk-bentuk butir tanah, coraknya dan cara mengendapnya adalah faktor-faktor yang menentukan kapasitas infiltrasi, maka karakteristik limpasan itu sangat dipengaruhi oleh jenis tanah daerah pengaliran tersebut. Juga bahan-bahan kolodial merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas infiltrasi karena bahan-bahan ini mengembang dan menyusut sesuai dengan variasi kadar kelembaban tanah. e) Faktor-faktor lain yang memberikan pengaruh Universitas Sumatera Utara Di samping hal-hal yang dikemukakan di atas, maka faktor-faktor penting lain yang mempengaruhi limpasan adalah karakteristik jaringan sungai, adanya daerah pengaliran yang tidak langsung, drainase buatan dan lainlain. II.7 Perhitungan Debit Banjir Metode Empiris Digunakan bila terdapat data hidrologi yang cukup banyak variabel yang mempengaruhi debit, sedang rumus-rumus empiris umumnya merupakan korelasi beberapa variabel, maka dengan sendirinya tidak mungkin diperoleh hasil yang dapat dipercaya. Tapi ini dapat memperkirakan harga yang kasar secara cepat. Adapun rumus empiris yang dikemukakan disini antara lain : Metode Haspers, Melchior, dan Metode Rasional. a. Metode Haspers Rumus umum dari debit banjir rancangan adalah QT= α . β . qT . A (2.19) Di mana : QT = Debit banjir maksimum (m3/dt), α = Koefisien pengaliran, Β = Koefisien reduksi, qT = Intensitas hujan untuk periode ulang tertentu (mm) A = Luas DAS (km2) b. Metode Melchior Besarnya debit banjir maksimum dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara Qmax = αT . β . rT . A (2.20) Di mana : Qmax = Debit banjir maksimum (m3/dt) αT = Koefisien pengaliran untuk masing-masing periode ulang tertentu rT = Intensitas hujan rancangan (mm) A = Luas DPS/ Catchment area (km2) c. Metode Rasional Rumus ini adalah rumus yang tertua dan terkenal diantara rumus-rumus empiris. Rumus ini banyak digunakan untuk sungai-sungai biasa dengan daerah pengaliran yang luas. Bentuk umum rumus rasional ini adalah sebagai berikut : Q= C *i *A = 0,00277 C *i *A (2.21) Di mana : Q = Debit banjir maksimum (m3/detik) C = Koefisien limpasan i = Intensitas curah hujan rata-rata selama waktu tiba dari banjir (mm/jam) A = Daerah pengaliran (Ha) Intensitas hujan rancangan menurut Mononobe dinyatakan dengan I= (2.22) dimana : Universitas Sumatera Utara Rt = Hujan rancangan untuk periode ulang tertentu (mm). Waktu konsentrasi dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : t = 0,0195 * L0,77 * S-0.385 * (2.23) dimana : L = panjang sungai (m) S = kemiringan sungai Adapun mengenai koefisien limpasan (C) dapat ditentukan harganya berdasarkan tabel berikut ini. Tabel 2.1 Nilai Koefisien Limpasan untuk Persamaan Rasional Tata Guna Lahan C Tata Guna Lahan Perkantoran Daerah pusat kota Daerah sekitar kota Perumahan Rumah tunggal Rumah susun, terpisah Rumah susun, bersambung Pinggiran kota Daerah Industri Kurang padat industri Padat industri Daerah beratap 0,70-0,95 0,50-0,70 0,30-0,50 0,40-0,60 0,60-0,75 0,25-0,40 0,50-0,80 0,60-0,90 Tanah Pertanian Ladang Garapan Tanah berat tanpa vegetasi Tanah berat dengan vegetasi Berpasir tanpa vegetasi Berpasir dengan vegetasi C 0,30-0,60 0,20-0,50 0,20-0,50 0,1-0,25 Padang Rumput Tanah berat Berpasir 0,15-0,45 0,05-0,25 Hutan 0,05-0,25 0,75-0,95 Universitas Sumatera Utara