Persepsi Lanjut Usia Terhadap Faktor

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.1 Pengertian Rheumatoid arthritis
Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk
tubuh dan bertanggung jawab terhadap pergerakan. Komponen
utama sistem muskuloskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini
terdiri dari tulang, sendi, otot, rangka, tendon, ligamen, bursa,
dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan strukturstruktur ini (Price & Wilson, 2005). Tulang-tulang dihubungkan
satu
dengan
lainnya
melalui
persendian.
Pada
daerah
persendian dapat terjadi kerusakan atau peradangan yang
menimbulkan rasa nyeri. Penyakit yang menyerang persendian
ini
dikenal
dengan
(rheumatismos-bahasa
nama
Yunani).
rheumatoid
atau
Peradangan
rematik
persendian
adalah suatu reaksi tubuh terhadap proses berbagai penyakit
termasuk trauma pada sendi (fraktur), infeksi virus dan bakteri,
gangguan bendungan dan gesekan pada sendi. Seringnya
peradangan menghilang, setelah penyakit sembuh karena obatobatan antibiotik, atau sembuh karena sistem kekebalan
(imunologi). Bila penyakit atau trauma tidak hilang dalam waktu
lama, terjadi perubahan bentuk sendi (deformitas). Keadaan
seperti ini terjadi pada arthritis (Yatim, 2006).
Rheumatoid atau rematik adalah salah satu penyakit
yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat (Setiawan,
2008). Penyakit rematik dapat menyerang semua lapisan
masyarakat
dengan
berbagai
tingkat
sosio-ekonomi,
pendidikan, ras, gender, dan usia. Penyebabnya sangat
beragam, mulai dari infeksi, trauma pada sendi, autoimun,
gangguan metabolik, dan keganasan. Bahkan dari data di
Negara Latvia, sekitar 38% penderita rematik akut tidak
diketahui penyebabnya. Gejala dari penyakit ini diantaranya
rasa sakit yang kronis, kelemahan, pembengkakan sendi, dan
kelelahan. Nyeri sendi dan kekakuan sendi paling banyak
dikeluhkan oleh penderitanya. Sering kali disertai keluhan lain,
seperti demam, rasa lelah, penurunan berat badan, sulit tidur
dan sebagainya. Keadaan ini yang menyebabkan turunnya
produktivitas penderita bahkan sampai tidak dapat melakukan
aktivitas apapun (disabilitas)(Setiawan. 2008).
Rheumatoid arthritis (RA) merupakan penyakit reumatik
autoimun dengan proses peradangan menahun yang tersebar
diseluruh tubuh, mencakup keterlibatan sendi dan berbagai
organ di luar persendian. Peradangan kronis di persendian
menyebabkan
kerusakan
struktur
sendi
yang
terkena.
Peradangan sendi biasanya mengenai beberapa persendian
(poliartritis)
sekaligus.
Peradangan
terjadi
akibat
proses
sinovitis (radang selaput sendi) serta pembentukan pannus
(jaringan granulasi yang juga ikut merusak sendi) yang
mengakibatkan kerusakan pada rawan sendi dan tulang di
sekitarnya, terutama di persendian tangan dan kaki yang
sifatnya simetris (terjadi pada dua sisi).
Gambar 2.1 Rheumatoid arthritis pada tangan
Sumber: www.majalahkesehatan.com
Gambar 2.2 Penampang sendi
Rheumatoid arthritis
Sumber: www.medicastore.com
1.2 Penyebab Rheumatoid arthritis
yang
terkena
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui
secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme
imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus
(Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
Faktor
hormon
juga
memainkan
peranan
besar
seseorang mendapatkan rheumatoid arthritis. Perempuan lebih
rentan
terhadap
penyakit
dibandingkan
laki-laki
dan
penyakitnya mungkin akan diperparah ketika sang wanita
sedang hamil atau menyusui. Selain itu, telah terlihat bahwa
ketika seorang wanita mengambil kontrasepsi, itu akan
mengubah kemungkinan sedang berkembang penyakit.
Pada saat ini RA diduga disebabkan oleh faktor
autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen
tipe II; faktor infeksi mungkin disebabkan oleh karena virus dan
organisme mikroplasma atau grup difterioid yang menghasilkan
antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita
(Mansjour, 2001).
Hasil
penelitian
mutakhir
telah
diketahui
bahwa
timbulnya penyakit ini akibat proses imunologis di persendian.
Kejadian ini diawali dari antigen penyebab RA yang ada pada
membran sinovial yang diproses oleh antigen presenting cells
(APC). Setelah mengalami berbagai proses imunologis, antibodi
yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun dan masuk ke
dalam ruang sendi sehingga menyebabkan peningkatan
permeabilitas
mikrovaskular,
masuknya
sel
radang
dan
pengendapan fibrin pada membran sinovial. Proses fagositosis
oleh
sel
radang
terhadap
menghasilkan
radikal
prostaglandin,
dan
bebas
protease
kompleks
imun
oksigen
(RBO),
neutral
yang
tadi
akan
leukotrien,
menyebabkan
kerusakan rawan sendi dan tulang. RBO juga menyebabkan
penurunan viskositas cairan sendi, merusak kolagen dan
proteoglikan rawan sendi. Proses kerusakan sendi akan
berlangsung terus selama antigen penyebabnya tetap ada.
Rheumatoid faktor yang positif juga menyebabkan proses
peradangan berlanjut terus. Rheumatoid faktor adalah salah
satu antibodi yang terkait dengan progresivitas penyakit RA.
Masuknya
sel
radang
pada
membran
sinovial
juga
menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi
yang juga ikut merusak sendi (Setiawan, 2008).
1.3 Kriteria Diagnostik
Diagnostik RA dapat menjadi suatu proses yang
kompleks. Pada tahap dini mungkin hanya akan ditemukan
sedikit atau tidak ada uji laboratorium yang positif; perubahanperubahan pada sendi minor; dan gejala-gejalanya dapat hanya
bersifat sementara. Diagnosis tidak hanya bersandar pada satu
karakteristik saja tetapi berdasarkan pada suatu evaluasi dari
sekelompok tanda dan gejala. Kriteria diagnostik adalah
sebagai berikut:
a)
Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak 1 jam)
b)
Artritis pada tiga sendi atau lebih
c)
Artritis sendi-sendi jari tangan
d)
Artritis yang simetris
e)
Nodul rematoid
f)
Faktor rematoid dalam serum
g)
Perubahan-perubahan radiologik
Diagnosis RA dikatakan positif apabila sekurang-
kurangnya empat dari tujuh kriteria ini dipenuhi. Empat kriteria
yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurangkurangnya enam minggu (Price & Wilson, 2005).
Pada sendi cairan sinovial normal bersifat jernih,
berwarna kuning muda dan hitungan sel darah putih kurang
dari
200/mm3.
viskositasnya
Pada
dan
RA
hitungan
cairan
sel
sinovial
darah
putih
kehilangan
meningkat
mencapai 15.000-20.000 mm3. Hal ini membuat cairan menjadi
tidak jernih. Cairan semacam ini dapat membeku, tetapi
bekuan biasanya tidak kuat dan mudah pecah. Pemeriksaan
laboratorium khusus untuk membantu menegakkan diagnosis
lainnya,
misalnya
gambaran immunoelectrophoresis
HLA
(Human Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler Test.
1.4 Patofisiologi
Reaksi
autoimun
dalam
jaringan
sinovial
yang
melakukan proses fagositosis yang menghasilkan enzim-enzim
dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi edema
proliferasi membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus.
Pannus tersebut akan meghancurkan tulang rawan dan
menimbukan
erosi
tulang
sehingga
akan
berakibat
menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu
gerak sendi.
Skema 2.1 Pathway RA
Reaksi faktor Rheumatoid dengan antibodi, faktor metabolik, infeksi
dengan kecenderungan virus
.
Nyeri
Reaksi Peradangan
Kurang informasi
tentang proses
penyakit
Sinovial menebal
Pannus
Kurang
pengetahuan
Kerusakan
kartilago tulang
Nodul
Deformitas
Sendi
Infiltrasi ke dalam os Subcondria
Hambatan nutrisi pada kartilago artikularis
Kartilago nekrosis
Tendon dan
ligamen melemah
Gangguan Body
Image
Erosi kartilago
Hilangnya
kekuatan
otot
Adhesi pada permukaan sendi
Ankilosis fibrosa
Ankilosis tulang
Mudah luksasi
dan subluksasi
Kekakuan sendi
Resiko
Cedera
Gangguan
Mobilitas Fisik
Sumber: Sylvia and Lorraine, 2005
Terbatasnya gerakan
sendi
Defisit
Perawatan Diri
1.5 Gejala
Ada beberapa gambaran klinis yang lazim ditemukan
pada seseorang dengan RA. Gambaran klinis ini tidak harus
timbul sekaligus pada saat yang bersamaan oleh karena
penyakit ini memilki gambaran klinis sangat bervariasi.
a)
Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia,
berat badan menurun dan demam. Terkadang kelelahan
dapat demikian hebatnya.
b)
Poliartritis simetris terutama pada sendi perifer
Termasuk sendi-sendi di tangan, namun biasanya
tidak melibatkan sendi-sendi interfalang distal. Hampir
semua sendi diartrodial dapat terserang.
c)
Sendi tidak dapat digerakkan
Bila kerusakan rawan sendi meluas, tulang-tulang
yang
membentuk
persendian
akan
menyatu
(fusi).
Akibatnya persendian tidak dapat digerakkan lagi dan
struktur persendian hancur. Keadaan ini disebut ankilosis.
Proses ini bisa terjadi di semua persendian. Misalnya di
ruas tulang leher (vertebra servikalis), pergelangan bahu,
siku, pergelangan tangan dan kaki, pangkal jari tangan dan
kaki, ruas pertama jari tangan dan kaki, panggul, lutut, dan
tumit.
d)
Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam
Dapat
bersifat
generalisata
tetapi
terutama
menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan
kekakuan
sendi
pada
osteoartritis,
yang
biasanya
berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang
dari 1 jam.
e)
Artritis erosif
Merupakan ciri khas penyakit ini pada gambaran
radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan
erosi di tepi tulang.
f)
Deformitas
Kerusakan struktur penunjang sendi meningkat
dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau deviasi
jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas
boutonnierre dan leher angsa adalah beberapa deformitas
tangan yang sering dijumpai. Pada kaki terdapat protrusi
(tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari
subluksasi metatarsal. Sendi-sendi yang besar juga dapat
terserang
dan
mengalami
pengurangan
kemampuan
bergerak terutama dalam melakukan gerakan ekstensi.
g)
Nodul-nodul reumatoid
Adalah massa subkutan yang ditenukan pada
sekitar sepertiga orang dewasa pasien RA. Lokasi yang
paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon
(sendi siku) atau di sepanjang ekstensor dari lengan;
walaupun demikian nodula-nodula ini
dapat juga timbul
pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini
biasanya merupakan petunjuk suatu penyakit yang aktif
dan lebih berat.
h)
Manifestasi ekstra-artikular
RA juga dapat menerang organ-organ lain di luar
sendi. Jantung (perikarditis), paru-paru (pleuritis), mata,
dan pembuluh darah dapat rusak.
i)
Bercak merah dikulit
Pembuluh
darah
kulit
meradang
(vaskulitis)
sehingga tampak berupa bercak-bercak kemerahan akibat
perdarahan dikulit (Setiawan, 2008).
1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan
RA
didasarkan
pada
pengertian
patofisiologis penyakit ini. Selain itu, perhatian juga ditujukan
terhadap manifestasi psikofisiologis dan kekacauan-kekacauan
psikososial
yang
menyertainya
yang
disebabkan
oleh
perjalanan penyakit yang fluktuatif dan kronik (Price and Wilson,
2005).
Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai
berikut:
a)
Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.
b)
Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan
maksimal dari pasien.
c)
Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi
pada sendi.
Ada sejumlah penatalaksanaan yang sengaja dirancang
untuk mencapai tujuan-tujuan ini, yaitu:
a)
Pendidikan
Diberikan kepada pasien, keluarganya, dan siapa
saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang
diberikan
meliputi
pengertian
tentang
patofisiologi,
penyebab dan prognosis penyakit ini, semua komponen
dalam program penatalaksanaan termasuk regimen obat
yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi
penyakit
ini,
dan
metode-metode
efektif
tentang
penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan.
b)
Rehabilitasi
Merupakan
tindakan
untuk
mengembalikan
kemampuan penderita RA dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari.
Cara-cara
mengistirahatkan
sendi
rehabilitasi
yang
sakit,
antara
lain
pemanasan,
pendinginan, meningkatkan ambang rasa sakit dengan
arus listrik, dan sebagainya. Kegemukan (obesitas) yang
merupakan beban bagi persendian yang menopang berat
badan,
harus
dihindari
dan
penderita
harus
mempertahankan berat badan ideal.
c)
Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
OAINS diberikan sejak awal sakit untuk mengatasi
nyeri sendi akibat proses peradangan. Kelompok obat ini
mengurangi peradangan dengan menghalangi proses
produksi mediator peradangan. Tepatnya, obat-obat ini
menghambat sintesa prostaglandin atau siklo-oksigenase.
Enzim-enzim ini mengubah asam lemak sistemik endogen,
yaitu asam arakhidonat menjadi prostaglandin, prostasiklin,
tromboksan dan radikal-radikal oksigen. OAINS juga
memiliki efek analgesik yang baik. Contoh obat golongan
ini antara lain Asetosal, Ibuprofen, Natrium Diklofenak,
Indometasin,
Ketoprofen,
Asam
Flufenamat,
dan
Piroksikam. Obat golongan ini juga bisa dikombinasikan
dengan vitamin neurotropik seperti tablet Dolofenac yang
terdiri dari Natrium Diklofenak, vitamin B1-B6 dan B12.
d)
Latihan-latihan spesifik
Latihan
ini
dapat
bermanfaat
dalam
mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup
gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit,
sedikitnya
dua
kali
sehari.
Obat-obatan
untuk
menghilangkan nyeri mungkin perlu diberikan sebelum
memulai latihan. Kompres panas pada sendi-sendi yang
sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi
parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan
suhu panas dan dingin dapat dilakukan dirumah. Latihan
dan terapi panas ini paling baik diatur oleh pekerja
kesehatan yang sudah mendapatkan latihan khusus,
seperti fisioterapis atau terapis kerja. Latihan berlebihan
dapat merusak struktur penunjang sendi yang
memang sudah lemah oleh adanya penyakit.
1.7 Persepsi
2.7.1. Pengertian Persepsi
Persepsi
adalah
pengalaman
tentang
objek,
peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan
mengumpulkan informasi dan menafsirkan peran (Rakhmat,
2005).
Persepsi atau pandangan adalah suatu proses
dimana individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan
indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan
mereka. Bagaimanapun, apa yang telah dipersepsikan
seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Tidak
harus
demikian,
tetapi
sering
ada
ketidaksepakatan.
Persepsi menjadi penting dikarenakan perilaku orang-orang
di dalam organisasi didasarkan kepada persepsi mereka
mengenai apa yang realitas itu, bukan mengenai realitas itu
sendiri (Robbins, 2001).
Persepsi
disebut
inti
komunikasi,
karena
jika
persepsi kita tidak akurat kita tidak mungkin berkomunikasi
dengan efektif. Persepsilah yang menentukan kita memilih
suatu pesan dan mengabaikan pesan yang lain. Semakin
tinggi derajat kesamaan persepsi antarindividu, semakin
mudah dan semakin sering mereka berkomunikasi, dan
sebagai konsekuensinya semakin cenderung membentuk
kelompok budaya atau kelompok identitas (Mulyana, 2000
dalam Sobur 2010).
Dengan persepsi individu akan menyadari tentang
keadaan sekitarnya dan juga keadaan diri sendiri. Karena
persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri
individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut
aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam
persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan
berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama.
Maka dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi
mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu
lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff, 1981; Rogers,
1965 dalam Walgito, 2010).
2.7.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
Persepsi berawal dari stimulus yang didapat oleh
individu
sehingga
dalam
mempersepsikan
sesuatu
tergantung dari factor-faktor yang menstimulus individu
(Walgito, 2010).
a. Obyek yang dipersepsi
Obyek menimbulkan stimulus yang mengenai alat
indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar
individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat datang
dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung
mengenai syaraf
penerima yang
bekerja sebagai
reseptor.
b. Alat indera, syaraf dan pusat susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk
menerima stimulus. Disamping itu juga harus ada syaraf
sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang
diterima reseptor ke pusat susunan syaraf yaitu otak
sebagai pusat kesadaran, dan syaraf motorik untuk
mengadakan respon.
c. Perhatian
Perhatian merupakan langkah pertama sebagai
suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi.
Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari
seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu
atau sekumpulan obyek.
1.8 Konsep Lanjut Usia (Lansia)
2.8.1. Pengertian Lansia
Menurut UU Nomor 4 tahun 1945 Lansia adalah
seseorang yang mencapai umur 55 tahun, tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari
dan menerima nafkah dari orang lain (Wahyudi, 2000).
Di Indonesia, Pemerintah dan lembaga-lembaga
pengelola lansia, memberi patokan bahwa mereka yang
disebut lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia
60 tahun ke atas (Zainuddin, 2002).
Sedangkan pengertian lain menyebutkan bahwa
lansia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam
rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana
seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang
telah menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh
manfaat.
2.8.2. Batasan lansia
Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
a.
Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 4559 tahun
b.
Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun
c.
Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun
d.
Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun
keatas
Menurut Depkes RI tahun 1999, umur lansia dibagi
menjadi 3 yaitu:
a. Usia pra senelis atau virilitas adalah seseorang yang
berusia 45-49 tahun,
b. Usia lanjut adalah seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih,
c. Usia lanjut resiko tinggi adalah seseorang yang berusia
70 tahun atau lebih atau dengan masalah kesehatan.
Negara-negara
maju
di
Eropa
dan
Amerika
menganggap batasan umur lansia adalah 65 tahun dengan
pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan
pensiun.Tetapi akhir-akhir ini telah dicapai konsensus yang
di tetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia, World Health
Organization (WHO) bahwa sebagai batasan umur lansia
adalah 60 tahun.
2.8.3. Teori Penuaan
a. Teori Biologis
1) Teori Radikal Bebas
Radikal bebas yang terdapat di lingkungan
seperti:
asap kendaraan
pengawet
makanan,
bermotor,
radiasi
rokok,
sinar
zat
ultraviolet
mengakibatkan terjadinya perubahan pigmen dan
kolagen pada proses penuaan (Soetjiningsih, 2005).
Radikal
metabolisme
seluler
bebas
yang
adalah
merupakan
produk
bagian
molekul yang sangat aktif. Molekul ini mempunyai
muatan ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan
reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan
sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid
yang berada dalam membrane sel.
Proses
metabolisme
oksigen
diperkirakan menjadi sumber radikal bebas terbesar.
Secara
spesifik
oksidasi
lemak,
protein
dan
karbohidrat dalam tubuh menyebabkan formasi
radikal
bebas.
Polutan
lingkungan
merupakan
sumber eksternal radikal bebas (Potter and Perry,
2005).
2) Teori Cross Link
Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen
dan
zat
kimia
mengubah
fungsi
jaringan,
mengakibatkan terjadinya jaringan yang kaku
pada proses penuaan (Soetjiningsih, 2005).
3) Teori Imunologis
Teori ini menjelaskan bahwa perubahan pada
jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya
keseimbangan dalam sel T sehingga produksi
antibody dan kekebalan menurun (Potter and
Perry, 2005).
Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan
menyebabkan serangan pada jaringan tubuh
melalui
autoagresi
(penurunan
kemampuan
atau
imun).
untuk
imunodefisiensi
Tubuh
membedakan
kehilangan
proteinnya
sendiri dengan protein asing, sistem imun
menyerang dan menghancurkan jaringan sendiri
pada
kecepatan
bertahap.
yang
meningkat
secara
Dengan bertambahnya usia, kemampuan
sistem imun untuk bakteri, virus, dan jamur
melemah. Bahkan sistem ini mungkin tidak akan
tahan terhadap serangannya sehingga sel mutasi
terbentuk beberapa kali. Disfungsi sistem imun
ini
diperkirakan
menjadi
faktor
dalam
perkembangan penyakit kronis seperti kanker,
diabetes
dan
penyakit
kardiovaskuler
serta
infeksi (Potter and Perry, 2005).
b. Teori Psikologis
1) Teori Pembebasan (disengagement)
Teori ini menyatakan bahwa orang yang
menua menarik diri dari peran yang biasanya dan
terikat pada aktivitas yang lebih introspeksi dan
berfokus diri sendiri, meliputi empat konsep dasar
yaitu:
i.
Individu yang menua dan masyarakat secara
bersama saling menarik diri,
ii.
Disengagement adalah intrinsik dan tidak
dapat
diletakkan
secara
biologis
dan
psikologis,
iii.
Disengagement dianggap perlu untuk proses
penuaan,
iv.
Disengagement bermanfaat baik bagi lanjut
usia dan masnyarakat.
(Potter and Perry, 2005)
2) Teori Aktivitas
Lanjut usia dengan keterlibatan sosial yang
lebih besar memiliki semangat dan kepuasan hidup
yang tinggi, penyesuaian serta kesehatan mental
yang lebih positif daripada lanjut usia yang kurang
terlibat secara sosial (Potter and Perry, 2005).
3) Teori Kontinuitas
Teori kontinuitas atau teori perkembangan
menyatakan bahwa kepribadian tetap sama dan
perilaku menjadi lebih
mudah diprediksi seiring
penuaan. Kepribadian dan pola perilaku yang
berkembang
sepanjang
kehidupan
menentuka
derajat keterikatan dan aktivitas pada masa lanjut
usia (Potter and Perry, 2005).
Download