RABU, 5 AGUSTUS 2015 Harapan Baru Penderita HIV-AIDS Menurut laporan Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan RI bulan Juli 2015, kasus HIV= 160.138 dan Penderita AIDS = 65.790. Setiap tahun jumlah pasien HIV dan AIDS selalu meningkat, meskipun sudah ada upaya pencegahan penularan dan penanganan pengobatan yang adekuat. Diperlukan upaya bersama agar peningkatan kasus HIV-AIDS dapat kita tekan semaksimal mungkin. Oleh Muchlis Achsan Udji Sofro P enemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA (Orang Dengan HIV dan AIDS). Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan. Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV: 1) Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT = Voluntary Counseling & Testing), artinya kita datang untuk testing atas kemauan sendiri. 2) Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (KTIP-PITC = Provider-Initiated Testing and Counseling). Dalam pelaksanaannya kesiapan untuk memanfaatkan tes HIV melalui VCT masih jauh dari harapan, sehingga dikembangkan pelaksanaan tes HIV melalui KTIP-PITC. Dan hasilnya, semakin banyak kasus HIV baru ditemukan baik di Klinik 24 jam, Puskesmas, maupun Rumah Sakit. KTIP-PITC merupakan kebijakan pemerintah untuk dilaksanakan di layanan kesehatan yang berarti semua petugas kesehatan harus menganjurkan tes HIV setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (penasun, PSK-pekerja seks komersial, LSL ñ lela- Kampanye hindari HIV ki seks dengan lelaki), pasien IMS (Infeksi Menular Seksual) dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV serta semua pihak menjaga kerahasiaan (prinsip 3C ñ counseling, consent, confidentiality). Sebagian pasien yang disarankan tes HIV masih ragu untuk menjalani tes karena khawatir kerahasiaannya tidak terjamin. Pemeriksaan Laboratorium Prosedur pemeriksaan laboratorium untuk tes HIV sesuai dengan panduan Nasional yang berlaku saat ini, yaitu dengan menggunakan strategi 3 dan selalu didahului dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat menggunakan pemeriksaan tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (lebih 99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (tes kedua dan ketiga, dengan darah yang sama) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (lebih 99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil înegatifî, maka perlu dilakukan tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko tertular HIV. ODHA yang akan memulai terapi antiretroviral (obat untuk HIV atau ARV) dengan CD4 di bawah 200 sel/mm3; dianjurkan untuk mengkonsumsi kotrimoksasol 2 minggu sebelum ARV. Hal tersebut berguna untuk 1) Mengkaji kepatuhan pasien dalam minum obat dan 2) menyingkirkan efek samping yang tumpang tindih antara kotrimoksasol dengan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping kotrimoksasol (Anemia, mual muntah, gatal, urtikaria). Untuk memulai terapi antiretroviral (ARV) perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum. Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa. a. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 maka penentuan mulai terapi ARV adalah didasarkan pada penilaian klinis. Stadium Klinis 3 (pasien HIV yang ada TB, Jamur di mulut dll) dan stadium klinis 4 (Wasting sindrom = badan kurus kering dll) tanpa melihat CD4 dapat langsung dimulai terapi ARV. b. Bila Tersedia pemeriksaan CD4 : maka mulai terapi ARV pada semua pasien dengan CD4 kurang 350 sel/mm3 (sebelumnya kurang 200 sel/mm3) tanpa memandang stadium klinisnya. Untuk Semua Pasien Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4. Khusus untuk TB-HIV, pasien mendapatkan pengobatan TB selama 2 minggu, setelah stabil dengan pengobatan TB baru dilanjutkan dengan pengobatan ARV. Anjuran Pemilihan Obat ARV Lini Pertama, paduan yang ditetapkan untuk lini pertama: 2 NRTI (Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors) + 1 NNRTI (Non Nucleosing Reverse Transcriptase Inhibitors). Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari paduan di bawah ini: Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau Zidovudin (AZT) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV). Dapat menggunakan pilihan terapi lain: Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Nevirapin (NVP) atau Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) + Efavirenz (EFV). (11) –– DR Muchlis AU Sofro, dokter spesialis penyakit dalam RSUP Dr Kariadi FK UndipSemarang. Terapi Antiretroviral pada Populasi Khusus BEBERAPA kelompok dan keadaan khusus yang memerlukan perhatian ketika akan memulai terapi antiretroviral antara lain: perempuan hamil; pecandu NAPZA suntik dan yang menggunakan Metadon. Sementara keadaan khusus yang perlu diperhatikan adalah Koinfeksi HIV dengan TB dan Koinfeksi HIV dengan Hepatitis B dan C. Terapi ARV untuk koinfeksi hepatitis B Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease (penyakit yang ditularkan melalui darah), membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV. Perlu diwaspadai timbulnya flare (kambuh) pada pasien ko-infeksi HIV/Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan apapun. Mulailah pengobatan ARV pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/Hepatitis B yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat: peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif. Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis Hepatitis B pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/Hepatitis B dengan menggunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap virus Hepatitis B dan HIV, yaitu Tenofovir (TDF) + Lamivudin (3TC) atau emtrisitabin (FTC) untuk peningkatan respon Viral Load (angka penekanan virus Hepatitis B) dan penurunan perkembangan virus Hepatitis B yang resisten terhadap obat. Pada pengobatan antiretroviral (ARV) untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare (munculnya kembali) hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari SGPT/SGOT dan munculnya gejala klinis hepatitis (lemah, mual, nyeri abdomen, dan ikterus) dalam 6- 12 minggu pemberian ART. Flare sulit dibedakan dari reaksi toksik pada hati yang dipicu oleh ARV atau obat hepatotoksik lainnya seperti kotrimoksasol, Obat Anti Tuberkulosis, atau sindrom pulih imun hepatitis B. Obat anti Hepatitis B harus diteruskan selama gejala klinis yang diduga flare terjadi. Bila tidak dapat membedakan antara kekambuhan hepatitis B yang berat dengan gejala toksisitas obat ARV derajat 4, maka terapi obat ARV perlu dihentikan hingga pasien dapat distabilkan. (11) Radang Sendi akibat Infeksi Oleh Rakhma Yanti Hellmi NYERI sendi merupakan keluhan yang sering ditemui dalam praktek dokter sehari-hari. Banyak penyakit muskuloskeletal (otot dan sendi) yang dimulai dengan nyeri pada satu atau beberapa sendi, sehingga penentuan diagnosis artritis (radang sendi) menjadi tidak mudah. Diagnosis yang tepat sangat penting untuk penatalaksanaan pasien yang datang dengan nyeri sendi. Dalam keadaan normal sendi diartrosis sangat resisten (kebal) terhadap infeksi bakteri karena adanya sistem daya tahan tubuh lokal pada sendi yang bersangkutan maupun sistemik. Akan dibahas mengenai artritis infektif (radang sendi yang disebabkan oleh infeksi), karena meskipun hanya mengenai satu sendi, artritis septik dapat berlanjut menjadi kondisi septikemia (infeksi menyeluruh) sehingga mengancam jiwa penderita. Penyakit sendi terutama artritis infektif, biasanya mengenai satu sendi/monoartritis dengan differential diagnosis diantaranya: Gout, pseudogout, artritis reaktif, trauma, hemartrosis (terdapat perdarahan di sendi), keganasan, ataupun osteoartritis. Wawancara oleh dokter yang menyeluruh, pemeriksaaan fisik secara seksama, dan pemeriksaan penunjang yang tepat, akan mampu menegakkan diagnosis secara akurat, sehingga penatalaksanaan akan lebih komprehensif. Pasien dengan keluhan panas, bengkak, nyeri dan memerah pada satu sendi dan terdapat keter- Persendian yang sering sakit batasan gerak atau Range Of Motion (ROM), dilakukan tatalaksana sebagai artritis septik. Pada kondisi fisik yang memiliki faktor risiko tinggi terjadinya artritis septik, mekipun tanpa demam dikelola sebagai artritis septik. Fakto risiko tersebut adalah: 1. Terdapat penyakit sendi sebelumnya, misal Rematoid Artritis (RA) atau osteoartritis (OA), 2. Sendi buatan (prosthetic joints), 3. Sosial ekonomi rendah, 4. Pengguna obat-obat terlarang, 5. Pengguna alkohol, 6. Diabetes millitus, 7. Penggunaaan suntikan steroid langsung ke sendi sebelumnya, dan 8. Adanya kulit dengan ulserasi (lecet -lecet) Artritis septik adalah infeksi pada sinovium (cairan sendi) yang disebabkan oleh bakteri, mengakibatkan terbentuknya nanah (pus) pada rongga sendi. Kejadian Artritis Septik berkisar antar 2-10/100.000 pertahun pada populasi umum. Masuknya kuman ke dalam sendi dapat terjadi melalui aliran darah ataupun secara langsung. Pada penyebaran melalui aliran darah terjadi karena rongga sendi kaya akan pembuluh darah kecil tanpa proteksi dari membrana basalis (aliran darah di otak), sehingga kuman akan dengan mudah menyebar dan berkembang biak. Faktor yang mempengaruhi kejadian artritis septik adalah interaksi antara bakteri penyebab dengan respon imun tubuh. Kuman penyebab terbanyak adalah Staphylococcus Aureus atau Streptococci dengan peningkatan insiden Meticillin-Resistant Staphylococcus Aureus (kuman yang kebal terhadap antibiotik). Pada dewasa muda terdapat kejadian yang signifikan artritis gonokokal, radang sendi yang dise- babkan oleh kuman gonorhe (biasanya akibat Infeksi Menular Seksual). Organisme gram negatif banyak menyerang usia lanjut dan pasien dengan kondisi imunokompremis (misal pasien Diabetes Melitus, keganasan) daripada usia muda. Sedangkan pada pasien dengan kecelakaan, kuman anaerob (yang tidak memerlukan oksigen) lebih dominan. Pemeriksaan cairan sendi direkomendasikan pada kecurigaan artritis septik dengan rekomendasi sebagai berikut: (1) Aspirasi cairan sendi dan dilakukan analisa cairan sendi yang meliputi pengecatan gram, jamur, BTA serta kultur cairan efusi (cairan di dalam sendi) sebelum dilakukan pemberian antibiotik. Pasien dengan kontinyu pemberian antikoagulan (pengencer darah seperti warfarin) bukan kontra indikasi untuk dilakukan aspirasi. (2) Pada kasus dengan infeksi pada sendi buatan (prostetik) perlu kerjasama dengan ahli bedah tulang (ortopedi). (3) Bila tidak ditemukan organisme pada penegecatan gram, atau tidak ada hasil perkembangbiakan kuman pada hasil kultur, artritis septik dapat disingkirkan. Namun apabila secara klinis gambaran artritis septik jelas, dapat diberikan antibiotik meskipun tidak didukung oleh hasil pemeriksaan laborat. (4) Spesimen (cairan sendi) harus dikirim dalam kondisi baru dan laboratorium dapat segera memeriksa. (5) Pemeriksaan tes polymerase chain reaction (PCR) tidak rutin dilakukan. (6) Mikroskop polimerai dilakukan untuk mengevaluasi kristal pada cairan sendi. Bila analisa kristal tidak dapat dilakukan segera, sampel dapat disimpan dalam suhu ruangan. Pemeriksaan laboratorium yang lain pada sendi yang dicurigai terjadi artritis septik adalah: - Kultur darah. - Hitung jenis lekosit, Laju Endap Darah, Creactive protein (CRP). Ketiadaan peningkatan hasil laboratorium ini tidak serta merta meniadakan diagnosis artritis septik, jika klinis mendukung, tetap dapat diberikan terapi. Marker inflamasi (penanda peradangan) digunakan pula sebagai monitoring respon terhadap terapi. - Kadar asam urat darah tidak memiliki nilai diagnostik terhadap gout akut (rematik sendi yang disebabkan oleh peningkatan asam urat dalam darah) atau artritis infektif - Kadar Ureum (fungsi ginjal), elektrolit dan tes fungsi hati dapat dilakukan untuk mendeteksi kerusakan organ lain serta sebagai prognostik (meramalkan ke arah baik atau buruk) pada artritis septik dan fungsi ginjal juga digunakan untuk panduan pemilihan antibiotik - Jika terdapat riwayat penyakit saluran kemih atau saluran napas, dapat dilakukan swab Radang sendi di lutut (pemeriksaan dengan bahan asupan tenggorokan) atau kultur pada kedua organ sebelum dilakukan pemberian antibiotik. Pemeriksaan Imaging Pemeriksaan foto polos sendi tidak memilki nilai diagnosis pada artritis septik, foto polos dapat digunakan sebagai data dasar untuk mengevaluasi kerusakan sendi di kemudian hari. Adapun Scintigraphy and magnetic resonance imaging (MRI), tidak perlu dilakukan secara rutin pada kasus pembengkakan sendi. MRI dapat mendeteksi secara sensitif pada artritis septik yang telah sampai pada osteomielitis (infeksi di otot dan tulang), sebagai panduan untuk penatalaksanaan bedah. Pada kasus artritis infektif pada lengan atas maupun bahu, dapat dilakukan pengambilan cairan sendi dibantu USG (ultrasonografi) Artritis Reaktif Artritis Reaktif merupakan salah satu differensial diagnosis pada kasus dengan monoartritis (radang pada satu sendi). Definisi suatu kondisi inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi intra artikuler, terutama infeksi saluran kencing, dan saluran cerna. Pada studi di Swedia terdapat 28 kasus/100.000 penduduk, lebih sering ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, dengan faktor genetik HLA B27 yang dianggap berperan. Beberapa organisme dinyatakan terbukti berpengaruh sebagai pemicu Artritis reaktif, diantaranya : Salmonella enteritidis, Salmonella typhimurium, Yersinia enterocolitica, Campylobacter jejuni, Clostridium difficile, Shigella sonnei, Entamoeba histolytica, Cryptosporidium, Chlamydia trachomatis Adanya faktor genetik HLA-B27 dengan mekanisme molecular mimicry, dimana struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari mikroorganisme pencetus, menyebabkan proses inflamasi (peradangan) yang akan melibatkan fibroblas sinovial, menimbulkan diferensiasi dan aktifitas osteoklas. Pada penelitian yang dilakukan Bert Wilbrink dengan menggunakan PCR pada cairan sendi pasien dengan Artritis Reaktif diketemukan adanya DNA kuman, mRNA, rRNA serta komponen organisme yang memiliki kemiripan struktur protein Gejala dan Tanda Nyeri sendi tunggal terutama pada tungkai bawah. Sendi yang terkena akan mengalami bengkak, hangat dan nyeri, kadang disertai peradangan pada simpai sendi. Contoh Kasus Laki-laki 23 tahun, datang dengan keluhan nyeri pada lutut kiri sejak 5 hari yang lalu, belum menikah dan tidak melakukan hubungan seksual yang aktif. Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, temperatur 36,2oC, lutut kiri tampak bengkak, kemerahan dan balloting sign (+), dari pemeriksaan Range of Motion (kegiatan gerak sendi) mengalami keterbatasan, leukosit/sel darah putih 7.000 (normal), dengan PMN 70%, LED I 20 mm/h Dari hasil penyedotan cairan sendi didapatkan 35 cc cairan sendi lutut, dengan gambaran makroskopis cairan kuning keruh, kemudian dilakukan pemeriksaan cairan sendi di laboratorium. Pentalaksanan pasien tersebut meliputi : pemberian Antibiotika, penyedotan cairan sendi. Diperlukan Terapi pembedahan dan Intervensi terapi dengan penggunaan sendi buatan. Pembatasan aktivitas gerak sendi dan fisioterapi. (11) –– Dr Rakhma Yanti Hellmi, SpPD, spesialis penyakit dalam RSUP Dr Kariadi FK Undip Semarang.