PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERAN BAHASA, SASTRA DAN PEMBELAJARANNYA DALAM MEBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Cetakan 1, Desember 2014 Editor : Teha Sugiyo, M.Pd. Rancang Sampul : Dida Firmansyah, S.Pd Tata Letak : Indra Permana, S.S Yeni Rostikawati, S.Pd Diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung ISBN: 978-602-14802-1-2 Alamat Telp Website : Jalan Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi : (022)6658680 : www.stkipsiliwangi.ac.id Dilarang mencopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi dari prosiding tanpa seizin tertulis dari penyusun atau penyelenggara ii Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 KATA PENGANTAR Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT. karena atas rahmat dan karunia-Nya serta usaha maksimal dari kami para dosen, peneliti, dan guru, buku ini dapat kami selesaikan. Buku ini merupakan bentuk perhatian kami terhadap dunia pendidikan yang dinamis, senantiasa berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan ini berpengaruh terhadap rancangan kurikulum yang merupakan ―jantungnya‖ pendidikan. Kurikulum senantiasa berubah disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. Kurikulum terakhir yang digulirkan adalah kurikulum 2013. Kurikulum tersebut diberlakukan mulai Januari tahun 2013, namun dalam pelaksanaannya menuai berbagai pro dan kontra. Hingga tahun 2014, seiring pergantian pemerintahan, maka kurikulum 2013 tersebut ditinjau ulang. Hasilnya, pemerintah memutuskan untuk merevisi bahkan kembali lagi untuk menerapkan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) atau kurikulum 2006. Tentunya, perubahan tersebut bukan merupakan perubahan ke arah yang baru lagi karena kurikulum 2006 sudah pernah digulirkan sebelumnya. Perubahan itu pun tidak menghentikan semangat berinovasi bagi para pelaku pendidikan. Salah satu inovasi yang harus senantiasa menjadi perhatian adalah tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini begitu penting karena menjadi tonggak utama acuan keberhasilan dalam pelaksanaan proses pendidikan. Pendidikan karakter ini sebetulnya sudah didengungkan semenjak lama, bahkan semenjak kurikulum 2004. Puncaknya dalam kurikulum 2013 dimasukkan menjadi Kompetensi Inti yaitu pada Kompetensi 1 dan 2. Walaupun saat ini kurikulum 2013 dikembalikan pada kurikulum KTSP, pendidikan karakter tetap menjadi perhatian utama untuk membenahi moral generasi muda. Oleh karena itu, topik utama yang diangkat dalam buku ini adalah Peran Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya dalam Membangun Karakter Generasi Muda. Berdasarkan topik utama tersebut, buku ini memuat 46 makalah dengan kajian tentang (1) peran bahasa dalam membangun karakter generasi muda, (2) peran sastra dalam membangun karakter generasi muda, dan (3) peran pembelajaran bahasa dan sastra dalam membangun karakter generasi muda. Buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pelaksanaan pendidikan, di tengah pergantian kurikulum oleh pemerintah saat ini. Pemikiran-pemikiran yang ada dalam buku ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi para guru sebagai pelaksana pendidikan di lapangan dalam memajukan dan mewujudkan pendidikan yang berkualitas, khususnya dalam pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung, Desember 2014 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI............................................................................................................... iv PEMAKALAH UTAMA PERANAN SASTRA DALAM PENDIDIKAN GENERASI MUDA Prof. Dr. D. Cristiana Victoria Marta, MA .............................................................. 1 GERAKAN PENDIDIKAN KARAKTER ATAU REVOLUSI MENTAL MELALUI MAPEL BARU "BAHASA DAN CARA PANDANG INDONESIA" Drs. Maryanto, M.Hum.…………………………………………………… ………..11 PEMAKALAH PENDAMPING PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI Abdul Azis dan Nurwati Syam ................................................................................ 18 MODEL PROJECT BASED LEARNING BERORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN PADA SISWA SMP Adi Rustandi .............................................................................................................. 36 ―MASTODON DAN BURUNG KONDOR‖ SEBAGAI BAHAN PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI GENERASI MUDA Agus Priyanto ............................................................................................................ 50 IMPLEMENTASI PENILAIAN SIKAP DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Alfa Mitri Suhara....................................................................................................... 64 ALUR PADA CERPEN ANAK DALAM SURAT KABAR KOMPAS Arini Noor Izzati ....................................................................................................... 75 KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA CETAK (Studi Kasus Media Cetak Kompas dan Radar Sulteng) Arum Pujiningtyas ....................................................................................................87 PEMBELAJARAN AKTIF BERORIENTASI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA Bambang Sulistyo .....................................................................................................97 IDEOLOGI FEMINISME LEGENDA PELET MARONGGE SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Burhan Sidik ............................................................................................................ 117 iv Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA Daroe Iswatiningsih ................................................................................................ 134 PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TOKOH PUBLIK TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER GENERASI MUDA (Kajian Deskriptif Bahan Pembelajaran Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) Diena San Fauziya ...................................................................................................144 PENDIDIKAN KARAKTER DAN KESANTUNAN BERBAHASA ANAK Eli Syarifah Aeni ..................................................................................................... 154 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MEMBENTUK KARAKTER GENERASI MUDA Engla Tivana ............................................................................................................ 161 HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN MUTU PENGAJARAN (Studi Kasus pada Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri) F. Riyan Sulistyowati .............................................................................................. 169 RELEVANSI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN KARAKTER BANGSA Heni Hernawati ........................................................................................................ 184 JALAN MENIKUNG: MENYOAL KARAKTER TOKOH PADA PERGESERAN KELAS SOSIAL (Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya, Pengarang dan Masyarakat) Heri Isnaini ............................................................................................................... 201 MODEL PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL Iis Ristiani ................................................................................................................ 212 KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM ―PRIANGAN SI JELITA‖ RAMADHAN K.H. (Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik) Ika Mustika............................................................................................................... 227 MEMBANGUN KARAKTER POSITIF MELALUI PEMBELAJARAN TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI DI SMA NEGERI 1 CIPARAY KABUPATEN BANDUNG Imas Mulyati ............................................................................................................ 238 STRATEGI KEBAHASAAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA: KAJIAN KONSEPTUALPSIKOPRAGMASTILISTIKA Jatmika Nurhadi....................................................................................................... 248 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 v WANDA RARANCAGAN DAN JEJEMPLANG PESAN MORAL DALAM RUMPAKA TEMBANG SUNDA CIANJURAN Latifah ....................................................................................................................... 265 MENELISIK KANDUNGAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Lis Setiawati ............................................................................................................. 276 NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BIOGRAFI RASULULLAH KARYA MAHDI RIZQULLAH AHMAD (Kajian Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi) Nini Ibrahim dan Fauzi Rahman ........................................................................... 286 NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN ―KISAH DI KANTOR POS‖ KARYA MUHAMAD ALI Nofiyanti ................................................................................................................... 309 TUTURAN EMOSIONAL PENGGUNA JALAN DAN DAMPAKNYA BAGI PERKEMBANGAN EMOSI DAN BAHASA ANAK Nunung Supratmi ....................................................................................................327 DUTA KAYUAGUNG DALAM TUJUH CERITA PENDEK Purhendi .................................................................................................................... 335 PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA Ratu Badriyah .......................................................................................................... 348 BERGURU PADA ALAM: TELAAH METAFORIS Resti Nurfaidah ........................................................................................................ 357 KESANTUNAN BERBAHASA PARA SISWA SDIT KABUPATEN BANDUNG: SEBUAH STUDI KASUS PEMBANGUNAN KARAKTER Riadi Darwis ............................................................................................................ 372 OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA ANAK Riana Dwi Lestari....................................................................................................384 NILAI LOKALITAS DALAM SASTRA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER Ridzky Firmansyah F.F .......................................................................................... 398 PERAN KATA GANTI DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA Roikhan Mochamad Aziz ....................................................................................... 412 MEMBANGUN KARAKTER KREATIF MELALUI PEMBELAJARAN MEMBACA DAN MENULIS R. Mekar Ismayani ..................................................................................................424 vi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA SUNDA DAN BAHASA INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA R.Yudi Permadi ....................................................................................................... 434 REAKTUALISASI PUISI NYANYIAN ANGSA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER Sari Puji Rahayu ...................................................................................................... 445 FILOSOFI ALAM TAKAMBANG JADI GURU DALAM SASTRA MINANGKABAU Sri Rustiyanti ........................................................................................................... 457 PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TEKS KEILMUAN Taqyuddin Bakri ...................................................................................................... 464 IMPLEMENTASI KONTEKS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2013 Teti Sobari ................................................................................................................ 472 PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL AYAHKU BUKAN PEMBOHONG KARYA TERE LIYE Tri Wahyuni M dan Ratu Badriyah ...................................................................... 481 KARAKTER DEMOKRASI DALAM UNGKAPAN DAN PERIBAHASA BAHASA SUNDA DAN INDONESIA Umi Kulsum ............................................................................................................. 492 RELEVANSI DONGENG PADA GAMBAR VISUAL ANAK Wanda Listiani dan Maylanny Christin ................................................................ 504 PENILAIAN AUTENTIK UNTUK MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Wikanengsih ............................................................................................................ 510 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Woro Wuryani ......................................................................................................... 518 METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN NEGOSIASI PADA PESERTA DIDIK KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS (Upaya Menanamkan Karakter Bersahabat dan Komunikatif pada Siswa) Yeni Rostikawati ..................................................................................................... 538 IBU: INSPIRASI DARI BALIK JERUJI BESI (Membangun Karakter Generasi Muda yang Berkonflik dengan Hukum) Yostiani Noor Asmi Harini ............................................................................553 REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS APRESIASI SASTRA Yusep Ahmadi F. .......................................................................................... 566 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 vii METAFORIS DALAM KUMPULAN SAJAK ―BATU PELANGI‖: SARANA PENYAMPAI PESAN BUDAYA UNTUK MEMBENTUK KARAKTER BANGSA Yusra Dewi, Sudaryono dan Nopriyando Eko S. ........................................ 578 viii Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PERANAN SASTRA DALAM PENDIDIKAN GENERASI MUDA Prof. Dr. D. Cristiana Victoria Marta, MA Salah satu komponen seni adalah sastra. Sastra merupakan cara pengungkapan perasaan peristiwa dan konsep-konsep tentang dunia dan kehidupan Sastra masih dianggap sebagai seni kerkata, suatu bahasa yang berbeda dari ‗norma‘ bahasa yang biasa. Cinta, alam, patriotisme, perjuangan, nasib, dan perang, adalah sebagian dari tema-tema penting dalam kesusasteraan baik lokal maupun universal atau dunia yang berhubungan dengan masalah fundamental manusia dan masyarakat. Minat terhadap nilai kesusasteraan yang di masa lampau dan masa sekarang baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain semakin makin besar. Mengetahui tentang karya sastra dari bangsa lain membantu untuk melihat momen-momen tertentu, membantu untuk mengapresiasi bentukbentuk spesifik dari karya sastra, aliran kesusasteraan, gagasan, tema-tema, dan motif-motif literar yang muncul dalam kesusateraan asing. Sastra memainkan peranan penting dalam pembentukan dan pendidikan generasi muda, karena memperluas wawasan pengetahuan, membantu dalam pembentukan karakter mereka dari berbagai sisi. Pertama, kesusasteraan membantu dalam pembentukan selera untuk membaca estetika. dan implisit untuk Dengan demikian, terbentuk dan berkembang selera untuk menikmati sebuah karya sastra. Kedua, sastra membantu perluasan wawasan dan pengetahuan di semua bidang. Dengan membaca mendapat hal baru, mengembangkan cara berbicara, memperkaya kosa kata, melihat berbagai hal, peristiwa, cerita dengan kaca mata lain, dan membantu perkembangan berpikir, intelektual, dan afektif. Misalnya, setelah membaca sebuah buku sejarah, kita mendapat informasi baru yang dapat mempengaruhi dalam penilaian suatu fakta atau peristiwa, membentuk rasa hormat, dan rasa cinta tanah air. Dalam masyarakat masa kini yang menitikberatkan pada penemuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sastra tetap memberikan kontribusi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 1 penting bagi manusia untuk berhasil dalam kehidupan. Kemampuan belajar, bekerja, bahkan hidup bergantung dari bacaan. James Mofett dan Betty Jane Wagner ( 1991:73) mengatakan bahwa membaca buku erat hubungannya dengan pengetahuan umum individu. Kompetensi yang diakumulasi selama membaca, misalnya menemukan pokok bahasan dan ide sentral, kemudian mengembangkannya menurut pandangan pribadi tentang kehidupan, merupakan hal penting dalam kehidupan seharihari. Praktek membaca memperkaya secara substansial pengalaman pribadi dan merevitalisasi kapasitas beradaptasi terhadap permintaan masyarakat di mana kita hidup. Jadi, sastra bukan hanya sebuah objek sederhana, tetapi dia merupakan juga suatu instrumen edukasi dan perkembangan individual, baik di masa studi maupun dalam kehidupan pada umumnya. Kemampuan untuk membaca merupakan kondisi fundamental keberhasilan dalam kehidupan. Selain itu, peranan esensial seperti kompetensi berbicara, bahkan kompetensi diam, bercakap, ketawa, dan lain-lain. Buku bacaan atau sebuah karya sastra merupakan elemen sentral yang membantu membentuk pikiran yang sehat, wawasan yang luas, dukungan ketika kita sedang down, lebih dari seorang guru, seorang teman, atau kenalan. Victor Hugo, seorang pengarang, poet, dan dramaturg terkenal di Perancis (1875-1963) mengatakan bahwa : It is from books that wise people derive consolation in the troubles of life. Suatu karya sastra merupakan cara berkomunikasi dan merupakan suatu susunan kata dalam bentuk yang paling ekpresif. Remaja masa kini melihat realita dengan mata lain. Berjuang dengan waktu, hampir lupa bahwa mereka ―hidup‖ , menjauhi dunia, menjauhi bacaan, berarti menjauhi sastra. Pada masa kini statistik menunjukkan bahwa murid atau mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan makin sedikit, buku yang mereka telah baca sudah lama dibacanya dan bahkan lupa judulnya. Hanya sedikit orang yang mengingat judulnya dan mau membacanya kembali. Membaca merupakan aktivitas yang sangat jarang ditemukan di kalangan remaja, mereka lebih banyak menyukai internet, film atau games. Buku-buku 2 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 ditinggalkan walaupun buku lebih berharga dari pada hal yang lain. Waktu membaca antara pembaca dan penulis terbangun suatu hubungan dan mereka bertemu sepanjang cerita dan dalam konflik cerita itu. Sayangnya para mahasiswa membaca hanya buku yang diwajibkan, ini juga kadang-kadang tidak dibaca. Mereka berpola pikir upaya minim hasil maksimal. Seringkali mereka menggunakan resume buku yang tersedia di internet. Perpustakaan virtual lebih sering dikunjungi dari pada perpustakaan sekolah atau universitas. Akan tetapi, gemar membaca bukan hanya buku tetapi juga bisa majalah, artikel, blog dan yang lain atau berpartisipasi dalam seminar-seminar atau kursus-kursus. Jika ingin mengisi waktu senggang , generasi muda lebih suka nonton TV . Padahal, membaca itu memberikan keuntungan yang dapat menuntun kita dalam kehidupan. Mengapa kesusasteraan itu penting? Membaca berpengaruh terhadap perkembangan pribadi. kognitif, membaca akan membantu Pada level perkembangan otak. Jika menyoroti bahasa, perlu dipahami bahwa membaca adalah unsur vital dalam perkembangannya, akan mampu dilakukan dekodifikasi yang lebih baik katakata polisemantis dan pemahaman makna kata,. Dari segi memori, telah diteliti dan ditemukan bahwa ada sebuah hubungan yang erat antara tingkat aktivasi memori dan kemungkinan diagnosis demensia dan Alzheimer, karena melalui bacaan, memori bisa mengaktifkan mekanisme–mekanisme spesifik, memaksimalkan kapasitas otak dan menyempurnakan aspek seleksi dan prosesnya. Imaginasi atau khayalan, sangat erat hubungannya dengan bacaan, karena itulah yang mengolah informasi yang diterima dan mengubahnya agar memiliki peranan untuk memperkaya kehidupan kita intern dan ekstern. Pada level motivasional dapat kita melihat berbagai aspek, apakah seseorang bermotivasi menyelesaikan bacaan dan mendapat kepuasan pribadi atau termotivasi untuk membaca untuk berkembang dari segi sosial. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 3 Pada masa kini, masalah yang muncul adalah bahwa generasi muda kurang memiliki orientasi nilai. Biasanya, generasi muda mencampurkan informasi ilmiah dan keyakinan sendiri dengan fakta. Dari segi budaya dan sosial, membaca adalah kesempatan evolusi manusia, kesempatan untuk mengenal kemampuanya sendiri, untuk mengembangkan pemikiran rasional berdasarkan kehidupan, yang tercermin dalam perkembangan intuitif. Menanam minat terhadap baca membuka jalan untuk otonomi pemikiran, dan meditasi. Sastra merupakan faktor penting dalam kehidupan generasi muda karena kesusasteraan membentuk karakternya. Jika kita berbicara tentang karakter sehubungan dengan bacaan, terdapat hubungan erat lebih- lebih di masa kanak-kanak di bawah pengaruh tokoh-tokoh di dalam buku. Hal ini terjadi karena adanya empati, perasaan lain, bacaan menjadi sebuah contoh mempelajari keberhasilan dan kegagalan para tokoh baik yang fiktif . Sayangnya tidak semua orang gemar membaca. Beberapa orang mengatakan bahwa tidak ada waktu, yang lain tidak menyukai kegiatan ini. Akan tetapi, jika seorang tidak membaca, itu disebabkan oleh orang tua. Anakanak harus dibiasakan membaca sejak usia dini, bahkan kadang-kadang harus dipaksa. Orang tua harus mencintai juga membaca agar menjadi panutan atau model bagi anaknya. Jika olahraga dan menari mempertahankan kesehatan dan disiplin, membaca memiliki beberapa keuntungan. Jika kita membaca satu jam per hari, itu baik untuk perkembangan psikis dan jiwa. Inilah beberapa keuntungan membaca : 1. Memperkaya pembendaharaan kata. Sering kita temukan mahasiswa atau juga murid yang sulit mengutarakan pikirannya dan juga tidak memahami makna berbagai kata 2. Memperkaya wawasan. Ketika membaca buku, menemukan hal yang baru dan tempat baru, ambisi terbangun dan muncul keinginan berhasil dalam kehidupan. Jika orang yang membaca menderita atau punya masalah, membaca akan memberikan dia solusi 4 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 3. Memperkaya pengetahuan. Di sekolah atau di bangku kuliah tidak serba dipelajari. Oleh karena itu, harus banyak membaca. Kadangkadang seorang otodidak lebih cerdas dari pada orang yang mengikuti alur pendidikan 4. Membuat kehidupan lebih indah dan lebih ringan. Seorang yang membaca akan menggunakan informasi yang diperoleh di buku dalam kehidupan sehari-hari 5. Mendidik dan mendisiplinkan. Di dalam buku ada tokoh protagonis dan antagonis, begitu pula dalam kehidupan kita. Dengan prinsip bahwa kebaikan selalu menang, pembaca belajar bahwa dengan penipuan dan kejahatan tidak akan berhasil di dalam masyarakat dan kehidupan 6. Mengenal kehidupan. Di dalam buku terdapat masalah manusia, risiko, kegagalan, dan sukses. Dengan membaca, remaja terutama akan belajar bagaimana menghadapi masalah dengan optimisme. Buku bacaan membentuk manusia yang cerdas, romantis, percaya diri, berani , baik, dan berempati 7. Membentuk kapasitas komunikasi yang benar dan koheren baik tulisan maupun verbal 8. Mengembangkan selera estetis 9. Memahami berbagai genre sastra 10. Mengarahkan bagaimana membentuk visi dan mendapat nilai, hal yang sulit tanpa kesusateraan Kebiasaan membaca harus dibentuk sejak dini. Orang tua harus membantu anak agar membaca, menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dan kegemaran. Ada beberapa cara untuk membiasakan anak membaca sejak kecil. Pertama adalah dibacakan dari kecil dongeng atau cerita, atau diceritakan di waktu sengang atau sebelum tidur. Ketika anak mulai besar tentu saja mereka ingin nonton film di TV dari pada membaca, karena sebuah film lebih gampang dicerna dari pada sebuah buku. Akan tetapi, sebuah film tidak menstimulasi imaginasi, karena segala sesuatu tampak di layar dengan jelas. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 5 Bagaimana membuat mereka membaca, agar memilih buku dan bukan film? Dapat digunakan cara sebagai berikut. 1. Menerangkan bahwa film yang baik dibuat berdasarkan sebuah buku dan film yang berdurasi 1 atau 2 jam tidak mungkin menceritakan segala yang ada di sebuah buku. Jika anak tidak menerima, bisa membaca buku bersama baru menonton film agar menyadari bahwa buku lebih bagus dari pada film 2. Membaca atau diceritakan buku setiap hari atau dongeng 3. Jalan-jalan bisa memberi motivasi untuk membaca. Misalnya rambu lalu lintas, warna, reaksi orang-orang, sejarah tempat dan banyak hal yang lain dapat diceritakan sambil kegiatan jalan-jalan. Hal seperti ini akan merangsang rasa ingin tahu dan dengan sendirinya akan mencari lebih banyak informasi tentang apa yang menarik bagi dirinya. 4. Menggambar, belajar musik atau hal lain bisa dilakukan sambil membaca. Setiap karya sastra yang bermutu berkontribusi dalam pengenalan kehidupan secara mendalam. Akan tetapi, kekayaan informasi yang terdapat dalam sebuah buku bukan hanya satu-satunya hal yang didapatkan oleh individu, tetapi juga cara pengarang mempresentasikan hal-hal itu, dan bagaimana dia menciptakan emosi dalam diri pembaca. Buku-buku sekolah berisi cukup banyak pengetahuan meskipun bukan karya sastra. Informasi ilmiah menawarkan informasi berharga membuat kita berpikir, karena ilmu bekerja dengan rasio dan gagasan yang abstrak. Karya sastra membuka aspek-aspek realitas dan bersama ilmu pengetahuan berkontribusi untuk menemukan kebenaran. Hanya metodenya berbeda. Sastra berangkat dari hal tunggal, dari tokoh-tokoh dan aksi individual dan mengemukakan karakter tipikal mereka. Melalui deskripsi dan kompleksitas keadaan jiwa manusia melalui kekuatan konflik, dari tokohtokoh , melalui kekuatan konflik, dan kekayan gagasan, pengarang membuka secara nyata sebagian dari realitas. Pengarang menstimulasi emosi pembaca, menariknya melalui bacaan, kecantikan tempat, kehangatan perasaan, kebenaran gagasan, dan perjuangan 6 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dalam cerita. Isi edukatif dari sebuah karya sastra terletak pada nilai artistiknya, dan kekuatan mendeskripsikan realitas, karena sebuah karya sastra bisa memiliki nilai artistik hanya ketika mendeskripsikan realita , bagaimana dapat menimbulkan emosi dalam diri pembaca dan meyakinkan pembaca akan kebenaran gagasan. Karya sastra memberikan kemampuan kepada pembaca untuk memahami diri sendiri dan memahami orang lain juga. Selama membaca, antara pembaca dan penulis terdapat suatu jembatan dan mereka bertemu di dalam atmosfir dan konflik cerita. Pembaca merasakan, menjiwai perasaan penulis, mencintai, takut, atau membencinya. Bertemu dengan tokoh – tokoh membuka pemikiran dan hobby, serta masalah kehidupan. Olliver Wendell Holmes , seorang pengarang dan penyair Amerika mengatakan bahwa : The best of a book is not the thought which it contains, but the thought which it suggests; just as the charm of music dwells not in the tones but in the echoes of our hearts. Buku dan pembaca Membaca buku merupakan mempertahankan kondisi intelektual, aktivitas fundamental untuk cakrawala perasaan yang dijiwai, kemampuan memahami kebahagiaan dan penderitaan orang lain. Ketika berbicara dengan seseorang yang banyak membaca, kekayaan gagasan dan pengetahuan sangat mempesona. Akan tetapi, kultur atau pendidikan bahkan wawasan kesusateraan berarti lebih dari spesialitas terbatas dan itu dibentuk hanya melalui kegiatan membaca terus menerus. Ada beberapa tipe pembaca: 1. Pembaca yang hobby membaca berbagai macam buku tanpa memilih jenis apa 2. Pembaca analis yang menyukai baca untuk mengeksplorasi pengetahuannya 3. Pembaca filosof dengan tendensi pemikiran kritis 4. Pembaca yang menganggap bahwa kesusasteraan menjadi materi sekolah dan perlu dihiraukan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 7 Bagaimana sebuah buku dibaca ? Sebuah buku dapat dipelajari dan dapat dibaca. Buku yang dapat dibaca bergantung dari jenis buku dan tujuan yang ada. Sebuah buku jika dibaca hanya untuk relaksasi biasanya tidak perlu melihat masalah-masalah yang ada di dalamnya. Beda lagi jika kita membaca buku dengan tujuan tertentu. Tentu saja pembaca tidak dapat mengigat segalanya. Dikatakan bahwa sebuah buku harus dibaca dengan pensil di tangan, Biasanya, orang dewasa mengarisbawahi atau membuat catatan di pinggir buku. Sekarang dapt dikatakan bahwa lebih baik membaca dengan pensil di tangan dan buku tulis dekat kita. Periode 10-14 tahun merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Pemikiran logis sudah terbentuk, kemapuan untuk memahami sudah terpenuhi, pengalaman itu cukup kaya dan pengetahuan bermacammacam. Mereka mulai mimpi hal yang besar, kejadian istimewa di mana mereka bisa membuktikan keberanian dan ketrampilan. Ini adalah masa kontradiksi, kegembiraan, dan keberanian atau ketidakberanian. Pada usia ini membaca akan membentuk karakter. Mereka mencari buku di mana dapat menemukan solusi dari masalah mereka, mencari idola, pada masa ini harus dihindari bacaan yang mendeskripsikan kehidupan dalam sisi negatif dan sedih. Tokoh-tokoh juga harus optimis dan dan percaya diri. Seorang pengajar kesusasteraan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan para anak didiknya. Dialah orang yang dapat menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra, menumbuhkan kegemaran membaca. Seorang pengajar memiliki profesi yang sangat penting yang menjamin persiapan kepribadian generasi muda dan persiapan professional mereka. Hal ini erat hubungannya dengan kehidupan aktivitas sosio-profesional dan moral. Kepribadian pengajar bisa memiliki ciri: 1. Kualitas sikap, humanisme–harus menunjukkan sensibilitas, rasa hormat terhadap manusia, cinta terhadap anak-anak, karakter dan moral terpuji, sederhana, sabar, optimis, dapat mengkontrol diri 8 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 2. Bertanggung jawab. Menurut Habert, seorang pengajar harus bertanggung jawab terhadap anak didik, masa depan anak didik, bersikap didaktik dan edukatif. 3. Membentuk anak didik untuk menjadi pemikir, komunikatif, mengikuti perkembangan psikis anak didik, memiliki empati, imaginasi, dan kreatif. Ada tiga tipe pengajar : a. Spontan, impulsif, dan menyukai anak didik yang rajin, yang penurut b. Perfeksionis, serba teratur, mengajar efisien, c. Tekun, efisien mengajar dan senang anak didik rajin Selain kesusasteraan lokal, kesusasteraan dunia juga sangat penting untuk dipelajari. Kesusateraan dunia sangat kaya akan karya sastra dari pengarang terkenal seperti Corneille, Racine, Voltaire, Boileau, Moliere, Cervantes, Tolstoy, Dostoyevsky, dll. Dengan mempelajari karya sastra dari pengarang asing akan memahami berbagai peristiwa yang terjadi di dunia, akan memahami pola pikir bangsa lain, dan juga akan menikmati gaya penulisan yang berbeda. Misalnya, siapa yang tidak mendengar tokoh Don Quijote seorang prajurit miskin yang sangat suka membaca novel-novel yang menstimulasi jiwa dan pikirannya untuk melakukan kebaikan? Don Quijote tidak ingin menjadi raja, bukan juga pemimpin, dia hidup untuk orang lain, berjuang untuk menghilangkan kejahatan, agar kebenaran menang di bumi ini. Siapa yang tidak tahu tokoh Rodrigo dalam karya Corneille ― Le Cide‖ yang membela harga diri dan mengorbangkan cintanya? Atau tokoh Emma Bovary dalam karya Flaubert ―Madame Bovary‖ ? Atau Anna Karenina di karya Dostoyevsky? Ini adalah hanya beberapa tokoh dari ribuan tokoh yang terdapat di karya sastra dunia. Masih banyak tokoh yang dapat mengispirasi pembaca, belum lagi peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan. Oleh karena itu, kesusasteraan dunia pun harus menjadi bagian dari pembelajaran sastra. Jika murid/ mahasiswa tidak membaca karya-karya yang penting dari kesusasteraan dunia sulit untuk memahami pola pikir orang lain yang sangat mereka butuhkan di kehidupan kelak. Kesusasteraan dunia memberikan solusi dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 9 saran untuk komunitas dan masyarakat yang memiliki pengalaman yang sama. Bersama dengan sejarah dan agama, kesusasteraan dunia berkontribusi dalam pembentukan perasaan, identitas nasional, dan patriotisme bisa juga ditanamkan melalui karya asing. Penutup Melalui bacaan, terbentuk pengetahuan dan volumenya dapat menjadi fleksibel, berarti makin banyak membaca makin banyak pengetahuan yang terakumulasi dan memiliki wawasan makin luas. Ketika berbicara tentang pemikiran sebagai proses psikis kognitif superior dan dampaknya terhadap bacaan terhadap pemikiran harus digaris bawahi bahwa dengan membaca menurun kemungkinan ketepatan fungsional berkembang kapasitas analogi dan pemikiran berrtendensi menjadi divergen dan berorientasi pada strategi euristik dalam penyelesaian masalah maka manusia akan mampu keluar dari masalah. Ini bukan berarti harus selalu baca dan tidak melakukan hal; lain, ini bergantung dari kita sendiri apakah bisa membagi kegiatan kita dan menjalankan semua aspek kehidupan. DAFTAR PUSTAKA Agathocleous, Tanya and Ann C. Dean. Teaching Literature: A Companion, Palgrave Macmillan : New York, 2003 Alderman, M.Kay. Motivation for acchivement: Possibilities for Teaching and Learning, Mahwah : Lawrence Erlbaum assoc.,2004 Felman, Jyl Lynn. Never a Dull Moment : Teaching and Art of Performance. New York : Routledge, 2001 Moffett, James & Wagner Betty Jane. Student Centered Reading Activities, The English Journal, Vol.80,No.6 10 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 11 12 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 13 14 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 15 16 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 17 PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MAHASISWA MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI Abdul Azis dan Nurwati Syam Jurusan BSI FBS UNM Makassar Pos-el: [email protected] ABSTRAK Pengembangan Kepribadian Mahasiswa melalui Mata Kuliah Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Mata kuliah Bahasa Indonesia di PT pada dasarnya bertujuan untuk membantu mahasiswa dalam menguasai kaidah-kaidah bahasa untuk digunakan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Diharapkan mahasiswa mampu menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya sudah bukan dalam bentuk teori akan tetapi lebih dalam bentuk pengaplikasian dalam menulis dan berbicara sesuai dengan bidang studinya. Akan tetapi, sebagian mahasiswa masih mengesampingkannya dan belum dapat menggunakannya secara maksimal sebagai media memublikasikan karya. Pesatnya perkembangan informasi sekarang ini, menuntut masyarakat akademik di perguruan tinggi untuk memiliki kemampuan menulis guna menunjang pembelajaran serta dalam rangka menyemarakkan dan menggairahkan kebudayaan nasional. Pengajaran Bahasa Indonesia akan lebih terasa manfaatnya jika tujuan pengajaran dilakukan secara bertingkat mulai SD hingga PT. Tingkat PT mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk menransformasi pengetahuan dalam bahasa yang lebih tinggi, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Kata Kunci: Bahasa Indonesia, kepribadian, potensi diri PENDAHULUAN Penerapan pengetahuan kebahasaan di dalam berbagai objek adalah suatu aktifitas. Aktifitas dalam pengajaran bahasa bukanlah studi teoretis, melainkan penerapan temuan dalam studi teoretis. Orang yang bergerak dalam pengajaran kebahasaan (dosen bahasa) adalah pengguna teori dan bukanlah penghasil teori bahasa. Mereka hanya pengguna teori yang dihasilkan oleh pakar bahasa atau ahli bahasa. Menurut Stevick (dalam Pateda, 2006), tugas dosen bahasa meliputi tiga hal. Ketiga tugas itu adalah (1) mengembangkan 18 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 potensi komunikasi, (2) mengembangkan potensi kebahasaan, dan (3) mengembangkan potensi personal. Tugas dosen yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kompentensi komunikasi mengacu pada upaya agar mahasiswa mampu berkomunikasi, baik sesama teman maupun dengan manusia lain. Tugas utamanya adalah berusaha agar mahasiswa berani dan tidak ragu-ragu untuk mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Ketiga domain itu tentu harus menggunakan bahasa yang benar. Mahasiswa harus memahami kaidahkaidah bahasa yang digunakan ketika ia berkomunikasi. Hal itu perlu agar tidak terjadi salah paham. Kompetensi berkomunikasi dan kompetensi kebahasaan bersama-sama akan memperkuat kemandirian mahasiswa sebagai makhluk yang berkembang dan didengar pendapatnya. Keberanian berkomunikasi menggunakan bahasa yang tepat menimbulkan rasa kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia merupakan pribadi yang berarti. Ia tidak akan ragu-ragu karena ia mengetahui kemampuan dirinya. Dalam keadaan tertentu ia dapat menentukan sikap terhadap sejumlah alternatif yang dihadapinya karena kompentensi personalnya telah berkembang sedemikian melalui interaksi positif antara dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, dosen dan mahasiswa dengan lingkungan. Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi kebahasaan berkembang secara baik apabila pada diri mahasiswa sendiri terdapat motivasi. Motivasi yang dimaksud adalah berkomunikasi, mengembangkan komunikasi kebahasaan bahkan mengembangkan komunikasi personal. PEMBAHASAN Dosen dan Mata Kuliah Bahasa Indonesia Tugas dosen memang berat karena dosen bukanlah manusia yang menghadapi benda mati, bukan menghadapi tumpukan kertas, dosen bukanlah dosen tik yang kalau salah mengetik tersedia tip ex untuk memperbaiki kesalahan itu. Dosen adalah manusia biasa yang penuh keterbatasan. Selain itu, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 19 ia menghadapi manusia yang sedang berkembang yang memiliki sejumlah potensi yang harus dilacak dan dikembangkan. Secara ideal, seorang dosen Bahasa Indonesia adalah seorang ahli Bahasa Indonesia, peneliti, dan penulis bahan pelajaran kebahasaan. Ia juga harus selalu mendalami dan mengikuti perkembangan ilmu yang diajarkannya. Seorang dosen Bahasa Indonesia mau tidak mau harus menguasai kebahasaan. Sekali pun harapan ideal pertama, yaitu menjadi ahli bahasa dapat diperlunak, tetapi dengan pengetahuan kebahasaan yang dimiliki, dosen Bahasa Indonesia dapat mengajarkan aspek Bahasa Indonesia sehingga mahasiswa dengan mudah menguasai bahan yang diajarkan. Seorang dosen Bahasa Indonesia tidak boleh hanya mengajarkan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia. Kaidah Bahasa Indonesia dapat diajarkan untuk menuntun pola penggunaan Bahasa Indonesia ketika mahasiswa berkomunikasi. Dosen sebaiknya memahami bagaimana agar kaidah bahasa yang dianalisis berdasarkan konsep kebahasaan dapat menampakkan diri dalam pemakaian bahasa mahasiswa. Hal itu perlu ditekankan karena dosen Bahasa Indonesia tidak mengajar mahasiswa menjadi ahli Bahasa Indonesia, tetapi berusaha agar mahasiswa mahir berbahasa. Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang pada masanya nanti bibit ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan moral dan akademis yang akan menunjang sosok pribadi mahasiswa. Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip diri. Negara, masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat mendukung kokohnya pendirian suatu negara. MPK Bahasa Indonesia dan Kepribadian Bangsa MPK Bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan sikap dan mental mahasiswa yang cerdas dan memiliki rasa tanggung jawab yang penuh. Selain itu, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan bangsa dan negaranya sesuai dengan aturan yang berlaku. 20 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dengan dihasilkannya mahasiswa yang berkompetensi dalam MPK Bahasa Indonesia, maka akan meminimalisir masalah yang kompleks dalam permasalahan kesadaran dalam berkomunikasi yang santun dan bangsa Indonesia akan menjadi lebih aman dan tentram. Di Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun swasta di Indonesia ini terdapat Mata Kuliah Dasar Umum Bahasa Indonesia. Mata kuliah tersebut bersifat wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di setiap jurusan terkecuali di jurusan Bahasa Indonesia karena memang sedang memperdalam ilmu kebahasaan Indonesia. Kewajiban untuk mempelajari Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berikut: Pertama, mempelajari Bahasa Indonesia merupakan suatu bentuk rasa nasionalisme, suatu bentuk kecintaan terhadap bangsa dan negara sebagaimana tertuang di Sumpah Pemuda. Kedua, sebagai alasan sosial sebagaimana yang kita ketahui bahwa angka pengangguran di Indonesia sangat tinggi. Dengan ada kebijakan wajibnya pembelajaran Bahasa Indonesia di PT maka lulusan dari jurusan Bahasa Indonesia dapat tersalurkan. Fenomena ini pun dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi angka pengangguran. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa pemahaman Bahasa Indonesia yang dipelajari dari SD hingga SMA belum menjadi fondasi yang kuat untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini yang membuat mata kuliah Bahasa Indonesia yang wajib diikuti bagi seluruh mahasiswa, walaupun mengulang pelajaran-pelajaran terdahulu. Mata kuliah Bahasa Indonesia di PT pada dasarnya bertujuan untuk membantu mahasiswa dalam menguasai kaidah-kaidah bahasa untuk digunakan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Diharapkan mahasiswa mampu menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di PT untuk mengetahui sejarah perkembangan bahasa. Melihat tujuan pengajaran tersebut, terlihat adanya tidak tepat guna dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Jika pembelajaran Bahasa Indonesia memfokuskan hanya pada EYD, maka tidak akan terjadi peningkatan kemampuan bahasa. Apabila pengajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk mengetahui sejarah perkembangan bahasa maka pembelajaran akan terasa sia- Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 21 sia. Alangkah lebih baiknya jika pembelajaran Bahasa Indonesia difokuskan kepada bidang studi yang dipelajari oleh mahasiswa tersebut. Sebagai contoh mahasiswa Jurusan Teknik, seharusnya lebih mempelajari bagaimana penggunaan Bahasa Indonesia di bidangnya sehingga akan sangat membantu dalam peningkatan keilmuan di bidang tersebut. Dari contoh kasus tersebut, seharusnya PT lebih mengetahui dan memahami kebutuhan dari para mahasiswa untuk mendukung dalam peningkatan pembelajaran di bidang studinya. Pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya sudah bukan dalam bentuk teori akan tetapi lebih dalam bentuk pengaplikasian dalam menulis dan berbicara sesuai dengan bidang studinya. Pengajaran Bahasa Indonesia akan lebih terasa manfaatnya jika tujuan pengajaran dilakukankan secara bertingkat mulai SD hingga PT. Sebagai contoh, pengajaran di SD mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk membaca dan menulis, pengajaran di SMP mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk menggunakan bahasa dalam memenuhi kebutuhan seharihari, di tingkat SMA mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk mengakses ilmu pengetahuan dan di tingkat PT mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk mengtransformasi pengetahuan dalam bahasa yang lebih tinggi. Pada kenyataan sekarang ini acuan-acuan atau tujuan-tujuan dalam pengajaran bahasa pada tiap tingkat terlihat kurang terpenuhi. Pengajaran materi yang sama dari SD hingga PT tidak akan mengubah mahasiswa dalam penguasaaan Bahasa Indonesia dengan maksimal. Dalam hal ini sebaiknya pihak pengembang kurikulum Bahasa Indonesia baik SD, SMP, SMA maupun PT harus mulai melek terhadap fenomena ini. Perguruan tinggi (PT) diminta untuk memberikan ruang lebih besar terhadap pendalaman Bahasa Indonesia sebab peran Bahasa Indonesia sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (dalam Nikelas, 2008) menyatakan, ―PT tidak boleh mengerdilkan peran Bahasa Indonesia. Apalagi, sampai Bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing‖. Dia mengatakan, minimnya peran PT untuk memberikan pendalaman Bahasa Indonesia bagi mahasiswa bisa dilihat dari kurikulum yang diterapkan.―Bahasa Indonesia memang 22 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dipakai dalam tes masuk PT dan PTN. Namun, setelah tes, saat pembelajaran, mata kuliah Bahasa Indonesia tidak terlalu didalami. Memang tidak semua PT begitu. Ada juga PT yang memang tetap memprioritaskan Bahasa Indonesia,‖ katanya. Namun, masih banyak orang yang menganggap Bahasa Indonesia itu sulit. Sejak duduk di Sekolah Dasar (SD) sampai masuk ke jenjang Perguruan Tinggi (PT), masih dipertemukan dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Sebenarnya banyak alasan dan faktor-faktor yang menjadi pemicu mengapa Bahasa Indonesia masih saja dipelajari. Pertama, alasan yang paling utama dan sudah menjadi fakta umum adalah bahwasanya Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sudah sejak lama dikumandangkan oleh para pemuda bahkan sebelum adanya UUD 1945. Sudah sewajarnya, kita sebagai bangsa Indonesia menjadikan Bahasa Indonesia sebagai identitas negara kita yang diakui oleh undang-undang dan diakui di mata dunia. Kedua, Bahasa Indonesia adalah pemersatu. Para pemuda di zaman dahulu telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia dengan bahasa yang satu Bahasa Indonesia melalui semangat Sumpah Pemuda 1982. Sebagai penerus para pejuang kita harus menjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia. Ketiga, sangat penting Bahasa Indonesia untuk dipelajari secara baik dan benar sebagai alat untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan yang bangsa Indonesia miliki. Bagaimana mungkin kita mengapresiasi hasil karya seperti syair, puisi, cerita dan lainnya jika kita tidak mengerti dan memahami serta mempelajari karya-karya tersebut. Tugas kitalah untuk mengembangkan dan menjaga serta mengapresiasi kebudayaan itu agar dapat dikenali terus. Cara untuk melakukan semua ini adalah dengan terus mempelajari Bahasa Indonesia. Keempat, komunikasi yang dilakukan oleh setiap orang tidak hanya secara lisan melainkan secara tulisan. Dalam hal ini Bahasa Indonesia dipelajari untuk penulisan kata yang baik dan benar juga dalam penulisan kata baku. Tidak mungkin kita menulis surat resmi dengan kata-kata yang berantakan, ataupun dengan menggunakan bahasa lisan yang tidak ada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 23 intonasi, nada bicara ataupun mimik wajah. Mempelajari Bahasa Indonesia dalam hal ini berfungsin agar tidak ada kesalahpahaman. Kelima, dapat saling memahami. Dengan saling memahami dengan orang lain kita akan mudah dalam belajar, bekerja, atau melakukan berbagai aktivitas. Semakin kita mampu memahami orang lain, maka orang lain akan semakin memahami kita. Dengan begitu, kita akan semakin populer dan semakin berhasil dalam bermasyarakat. Keenam, dalam bermasyarakat kita sering mendengarkan pembicaraan orang lain, membaca tulisan orang lain, mewicara atau berbicara dengan orang lain. Dalam hal ini, Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan karena bahasa seharihari yang digunakan adalah Bahasa Indonesia. Ketujuh, sebelum memahami struktur bahasa asing, alangkah baiknya jika kita mampu memahami struktur bahasa bangsa sendiri. Aneh rasanya jika kita sebagai bangsa Indonesia tidak mampu memahami struktur kalimat Bahasa Indonesia. Dalam era globalisasi masa kemajuan informatika dan komunikasi setiap individu dituntut untuk menyumbangkan karya kreatifnya dan menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terutama bagi kalangan mahasiswa yang dituntut untuk selalu berkarya baik berbentuk tulis maupun nontulisan. Akan tetapi dalam dunia tulis menulis di kalangan mahasiswa, masih banyak kerancuan yang menyimpang dari kaidahnya dalam tulisan. Apa lagi budaya menulis yang sesuai kaidah EYD sudah mulai terlupakan akibat dari kemajuan teknologi dan informatika yang bersifat instan. Selain itu, gairah tulis menulis telah mengalami penurunan, sehingga tidak heran di kalangan mahasiswa lebih menyukai copy paste dari karya orang ataupun membeli karya orang yang diaku sebagai karyanya. Padahal dengan kemajuan teknologi dan informatika, membuka lahan yang seluas-luasnya bagi manusia untuk terus berkarya dan menuangkan segala bentuk kreativitasnya, terutama dalam bentuk tulisan. Misalnya dalam dunia internet tersedia berbagai informasi yang dapat menambah pengetahuan dan wawasan serta wadah yang siap menampung segala kreativitas dan uneg-uneg manusia yang berupa tulisan seperti situs blog maupun jejaring sosial. Akan tetapi kebanyakan mahasiswa Indonesia masih 24 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mengenyampingkannya dan belum dapat menggunakannya secara maksimal sebagai media mempublik karya. Pesatnya perkembangan arus informasi sekarang ini, menuntut masyarakat akademik di perguruan tinggi untuk memiliki kemampuan menulis guna menunjang pembelajaran serta dalam rangka menyemarakkan dan menggairahkan kebudayaan nasional. Di kalangan intelektual, gagasan lebih sering disampaikan secara lisan melalui seminar, diskusi interaktif, debat, dan sejenisnya, namun sering tidak dilengkapi dengan bahan tertulis. Membuat karya tulis masih merupakan pekerjaan yang amat berat bagi sebagian orang, termasuk mahasiswa (Supriadi, 2007). Kemahiran berbahasa Indonesia bagi mahasiswa di Indonesia tercermin melalui tatapikir, tataucap, tatatulis, dan tatalaku berbahasa Indonesia dalam konteks ilmiah atau akademis. Oleh karena itu, Bahasa Indonesia masuk ke dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian mahasiswa, yang kelak akan menjadi insan terpelajar yang terjun ke dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai pemimpin dalam lingkungan mereka masingmasing. Mahasiswa diharapkan kelak dapat menyebarkan pemikiran dan ilmu mereka, mereka diberi kesempatan untuk melahirkan karya tulis ilmiah dalam berbagai bentuk, dan menyajikannya dalam forum ilmiah. Kesempatan berlatih diri dalam menulis akan mengambil proporsi sebesar 70% dibandingkan dalam penyajian lisan. Jadi, praktik penggunaan Bahasa Indonesia dalam dunia akademik karya ilmiah mendapatkan perhatian yang sangat tinggi dalam perkuliahan pengembangan kepribadian (Yacub Nasucha, dkk., 2009). Pelaksanaan pembelajaran MPK Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi yang sampai dengan saat ini masih saja mengalami kendala-kendala. Kendalakendala ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor dosen dan mahasiswa itu sendiri. Satu hal yang sangat memprihatinkan, pembelajaran Bahasa Indonesia bagi mahasiswa Indonesia dianggap tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah nilai MPK Bahasa Indonesia yang kadang masih rendah dan tidak jarang pula masih tertinggal jauh dari Mata Kuliah eksak dan bahasa asing. Faktor lain yang menyebabkan lemahnya penguasaan Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, antara lain: (1) Bahasa Indonesia merupakan Mata Kuliah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 25 minoritas di beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta; (2) Ada beberapa pendapat yang menganggap bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah, hal ini ditegaskan oleh pendapat James Sneddon(dalam Wieke, 2009), associate professor dari Griffith University, yang menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Sasaran MPK Bahasa Indonesia dan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa Landasan dan pola pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri didasarkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada pasal 3 tentang Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Lebih lanjut ditegaskan lagi pada pasal 36, ayat (3) tentang kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: (1) Peningkatan iman dan takwa; (2) Peningkatan akhlak mulia; (3) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (4) Keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5) Tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (6) Tuntutan dunia kerja; (7) Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (8) Agama; (9) Dinamika perkembangan global; dan (10) Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Dalam pasal 38, ayat (3) juga disebutkan tentang kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi. Alasan Bahasa Indonesia masih harus dijadikan Mata Kuliah dan dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan tinggi tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang 26 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan beberapa Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Kompetensi umum dan kompetensi khusus pada pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Bahasa Indonesia di perguruan tinggi, adalah: (1) Kompetensi umum: mahasiswa mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan secara efektif, efisien, dan komunikasi dalam menulis ilmiah, laporan, surat, proposal, dan mampu berbahasa lisan dalam berbahasa lisan secara spontan maupun terencana; (2) Kompetensi khusus: mahasiswa berpengetahuan memadai dan merasa bangga tentang arti, sejarah, kedudukan, fungsi Bahasa Indonesia; mampu menjelaskan ciri ragam bahasa ilmiah dan mengaplikasikannya dalam kinerja akademik; mampu membaca kritis bagi keperluan penulisan ilmiah dan kegiatan akademis; mampu menjelaskan ciriciri makalah akademik, artikel, laporan, proposal, surat resmi, naskah dan praktik berpidato, berdiskusi yang efektif, efisien, dan komunikatif; mengaplikasi proses penulisan makalah ilmiah, artikel, laporan, proposal, surat resmi, dan naskah pidato dengan ragam bahasa baku; mengaplikasi langkahlangkah presentasi ilmiah secara efektif dan menarik dalam situasi formal; dan terampil menyajikan presentasi ilmiah dengan multimedia (Syihabuddin, 2006). Sejalan dengan itu, maka Visi dan Misi dari Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian, yaitu Visi: Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai salah satu sarana pengembangan kepribadian insan terpelajar yang mahir berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan santun. Misi: (1) Membina Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 27 mahasiswa bangga berBahasa Indonesia dalam berbagai forum dan bertanggung jawab untuk memeliharanya dengan sungguh-sungguh; (2) Memotivasi mahasiswa merefleksikan nilai-nilai budaya melalui bahasa persatuannya dalam kehidupan sehari-hari; (3) Membina pembelajaran Bahasa Indonesia di perguruan tinggi semakin berkualitas sesuai dengan pembelajaran yang berkualitas dalam menggunakan Bahasa Indonesia dan mengaplikasikannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya dengan rasa tanggung jawab sebagai warga Negara Indonesia dan warga dunia (Widjono, 2007). Pada Departemen Surat Keputusan Pendidikan Direktur Nasional Jenderal Republik Pendidikan Tinggi Indonesia Nomor 43/DIKTI/Kep./2006 dijelaskan pula tentang rambu-rambu pelaksanaan kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan MPK Bahasa Indonesia. Merujuk pada SK tersebut Bahasa Indonesia harus diajarkan di semua program studi D-3 dan S-1 sebagai Mata Kuliah pengembangan kepribadian. Dengan demikian, semakin lebar peluang untuk mengembangkan Bahasa Indonesia secara lisan dan tertulis untuk semua mahasiswa yang berlatar belakang geografis berbeda-beda (Rahayu, 2007). Menurut Dendy Sugono (dalam Nikelas, 2008), hal ini dilakukan mengingat peran Bahasa Indonesia sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga perguruan tinggi diminta untuk memberikan ruang lebih besar terhadap pendalaman Bahasa Indonesia. Selain itu, Bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari diperguruan tinggi, dikarenakan di universitas setiap mahasiswa berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kemudian, Bahasa Indonesia sebagai panduan untuk penyusunan dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain). Selain itu mempelajari Bahasa Indonesia bagi mahasiswa di universitas sama halnya seperti mempelajari mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, namun pembahasan di universitas lebih spesifik dan mendalam, dan sebagian besar 28 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mahasiswa masih tetap ingin mempelajari Bahasa Indonesia dikarenakan agar mereka mampu bertata bahasa dengan baik dan benar. Diajarkannya mata kuliah Bahasa Indonesia di berbagai universitas dan perguruan tinggi memiliki tujuan umum yang meliputi: 1. Menumbuhkan kesetiaan terhadap Bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan dapat mendorong mahasiswa memelihara Bahasa Indonesia. 2. Menumbuhkan kebanggan terhadap Bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu mendorong mahasiswa mengutamakan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambing identitas bangsa. 3. Menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya norma Bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan agar mahasiswa terdorong untuk menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah dan aturan yang berlaku. Selain tujuan umum, Mata kuliah Bahasa Indonesia ini juga memiliki tujuan khusus. Secara khusus mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa, calon sarjana, terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik apakah itu secara lisan, ataupun tertulis, sebagai pengungkapan gagasan ilmiah. Jika dilihat dari tujuan diberikannya mata kuliah ini sebenarnya cukup jelas apalagi di zaman seperti ini khususnya anak muda generasi penerus Bangsa saat ini kurang sadar akan pentingnya berBahasa Indonesia yang baik dan benar, kurang merasa bangga dengan bahasa nasional, contohnya adanya bahasa gaul yang malah lebih sering digunakan sehari-hari sampai diterbitkan pula kamus bahasa gaul, apakah ini berarti Bahasa Indonesia sudah dilupakan? Maka dari itu dengan adanya mata kuliah Bahasa Indonesia ini setidaknya mempunyai harapan untuk para penerus bangsa agar tidak pernah melupakan bahasa Ibu mereka, yaitu Bahasa Indonesia. Manfaat mempelajari Bahasa Indonesia secara umum ini dilakukan untuk: 1. Menumbuhkan sikap bahasa yang positif terhadap Bahasa Indonesia; Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 29 2. Menjadi bahasa pemersatu dari berbagai bahasa dari tiap daerah di Indonesia; 3. Kebanggaan terhadap bangsa Indonesia; 4. Kesetiaan akan Bahasa Indonesia; 5. Meningkatkan kesadaran akan adanya norma dalam berbahasa dan secara khusus bertujuan untuk terampil berBahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hubungan MPK Bahasa Indoensia dengan Pengembangan Kepribadian Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 menyatakan ―Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertanah air satu – tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.‖ Sumpah ini membuktikan bahwa pengakuan bertanah air satu, berbangsa satu Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia, memiliki fungsi yang luarbiasa dalam mengembangkan kepribadian bangsa. Fungsi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia senantiasa berkepribadian, berperilaku, dan berbudi bahasa khas Indonesia. Pengalaman berbahasa yang amat berharga dalam pengembangan kepribadian ini kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar1945 yang menyatakan bahwa bahasa negara adalah Bahasa Indonesia. Penegasan ini menunjukkan kedudukan dan fungsi yang bersifat formal. Sebagai bahasa negara, bahasa ini harus digunakan dalam berbagai komunikasi resmi baik dalam lembaga pemerintah maupun nonpemerintah,termasuk diberbagai tingkat lembaga pendidikan di negara Republik Indonesia. Sejak tahun 2002, Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai mata kuliah wajib bagi setiap mahasiswa di perguruan tinggi dalam kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian. Hal ini, selain untuk mengembangkan kepribadian, juga untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi ilmiah bagi mahasiswa dan ilmuwan lulusan perguruan tinggi. Pengalaman membuktikan bahwa jumlah penulisan buku ilmiah di Indonesia relatif kecil. Di sisi lain, hampir setiap mahasiswa mengeluh jika ditugasi oleh 30 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dosen untuk menulis makalah, kertas kerja (paper), skripsi, atau karangan ilmiah lainnya. Sekalipun mengeluh tugas tersebut memang dibuat oleh mahasiswa, namun bahasa yang digunakan belum memenuhi harapan. Sebagai mata kuliah pengembang kepribadian, pengajaran Bahasa Indonesia bertujunan agar mahasiswa memahami konsep penulisan ilmiah dan menerapkannya dalam penulisan karya ilmiahnya. Untuk itu, mahasiswa dibekali bekali berbagai keterampilan kognitif, psikomotorik, dan afektif yang terkait dengan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang sekaligus dapat mengembangkan kecerdasan, karakter, dan kepribadiannya. Melalui pembelajaran, penguasaan Bahasa Indonesia dapat mengembangkan berbagai kecerdasan, karakter dan kepribadian. Orang yang menguasai Bahasa Indonesia secara aktif dan pasif akan dapat mengekspresikan pemahaman dan kemampuan dirinya secara sistematis, logis dan lugas. Hal ini dapat menandai kemampuan mengorganisasi karakter dirinya yang terkait dengan potensi daya pikir, emosi, keinginan, dan harapannya yang kemudian diekspresikannya dalam berbagai bentuk artikel, proposal proyek, penulisan laporan, dan lamaran pekerjaan. Di sisi lain, orang yang menguasai Bahasa Indonesia dengan baik akan mampu pula memahami konsep-konsep, pemikiran, dan pendapat orang lain. Kemampuan ini akan dapat mengembangkan karakter dan kepribadiannya melalui proses berpikir sinergis, yaitu kemampuan menghasilkan konsep baru berdasarkan pengalaman yang sudah dimilikinya bersamaan dengan pengalaman yang baru diperolehnya. Dampaknya, oarang yang berkarakter demikian akan menjadi lebih cerdas dan kreatif dalam memanfaatkan situasi, stimulus, dan pengalaman baru yang diperolehnya. Kecerdasan yang didukung oleh kepribadian dan moral yang tinggi memungkinkan setiap orang senantiasa menggali potensi yang ada di sekitarnya dan mengembangkannya menjadi kreativitas baru. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang memiliki kepekaan yang tinggi untuk memanfaatkan kekayaan budaya, seni, iptek, dan kekayaan alam menjadi sumber kreatifitas baru yang tidak akan pernah habis. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 31 Untuk mewujudkan kecerdasan dan kepribadian tersebut mahasiswa dibekali keterampilan berbahasa yang secara alami diawali denagn pemahaman fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam berbagai ragam kebahasaan. Selanjutnya, mahasiswa dibekali keterampilan bagaimana mendapatkan ide ilmiah, mengorganisasikannya dengan kerangka karangan sebagai kerangka berpikir, dan mengekspresikannya dengan ejaan yang benar, pilihan kata yang tepat, kalimat yang efektif, dan paragraf yang benar dalam sebuah karangan. Untuk menyempurnakan karangan tersebut, mahasiswa dibekali pengetahuan dan keterampilan menyunting naskah. Daripadanya, mereka diharapkan dapat manulis karangan ilmiah (opini, artikel, makalah, paper, skripsi) yang berkualitas. Untuk memperkaya keterampilan tersebut mahasiswa dibekali pengalaman menulis resensi buku. Pengayaan ini, secara kognitif, diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya sehingga dapat menyempurkan karya ilmiah yang ditulisnya. Kini, sejak awal tahun 2000-an sejak didengungkan globalisasi informasi yang didukung berbagai peralatan komunikasi mutakhir yang sangat efektif dalam berbagai aktifitas masyarakat dunia, fungsi Bahasa Indonesia sebagai sarana pengembang kepribadian bangsa mulai menghadapi tantangan dari berbagai bahasa dunia terutama bahasa internasional yang digunakan oleh berbagai bangsa. Tantangan ini harus dihadapai dengan membenahi sistem pengajaran Bahasa Indonesia, baik tingkat kedalaman maupun keluasannya. Untuk itu, fungsi mata kuliah Bahasa Indonesia kini dan masa depan, bagi mahasiswa, menjadi lebih penting, bukan saja sebagai perekat dan pemersatu bangsa, tetapi juga sebagai sarana komunikasi ilmiah. Fungsi Bahasa Indonesia sebagai matakuliah pengembang kepribadian diarahkan pada kemampuan berbahasa yang baik (dapat diterima oleh orang lain) dan benar (sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia). Fungsi tersebut mencakup berbagai aspek: 1. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi berbagai media lisan maupun tulisan. 2. Mengembangkan kemampuan akademis. 32 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 ilmiah dalam 3. Mengembangkan berbagai sikap, seperti sikap ilmiah, sikap paradigmatis dalam mengembangakan pola-pola berpikir, dan sikap terpelajar dalam mengaktualisasi hasil belajarnya. 4. Mengembangakan kecerdasan berbahasa. 5. Mengembangkan kepribadian terutama menciptakan kreativitas baru terkait dengan pengalaman, pengetahuan, potensi, dan situasi baru yang dihadapinya, serta kemampuan mengekpresikannya 6. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarpribadi sehingga memantapkan perkembangan pribadinya, dan 7. Mengembangkan kemampuan sebagai lambang bangsa dan negara. PENUTUP Dengan menilik pada pembahasan data di atas, maka penulis dapat menyimpulan bahwa sudah selayaknya dan seharusnya kita sebagai bangsa Indonesia mempelajari dan mendalami serta melestarikan Bahasa Indonesia dengan terus belajar dan menggali ilmu pengetahuan tentang Bahasa Indonesia. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari pembelajaran Bahasa Indonesia. Salah satunya yang terpenting untuk kita sebagai mahasiswa adalah mampu menciptakan suatu karya tulis yang baik dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar serta bernalar. Alasan Bahasa Indonesia masih harus dijadikan Mata Kuliah dan dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan tinggi tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan beberapa Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, Mata Kuliah Bahasa Indonesia dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK. Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 33 berkepribadian mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dari hasil paparan di atas mengenai pentingnya mempelajari Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, maka bisa disarankan kepada para pembaca agar mampu menyadari bahwa mempelajari Bahasa Indonesia sangatlah penting. Tentunya pemerintah mempunyai tujuan tersendiri sehingga di tingkat Perguruan Tinggi pun kita masih harus mempelajari Bahasa Indonesia. Oleh karena itu, sebagai mahasiswa sebaiknya mempelajari Bahasa Indonesia dengan sungguh-sungguh demi tercapainya tujuan pendidikan nasional. DAFTAR PUSTAKA Barus, Sanggup. dkk. 2012. Bahasa Indonesia Pengembang Kepribadian. Medan: UNIMED. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2006. “Acuan Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian Bahasa Indonesia” Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Muslich, Masnur. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedududkan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara. Nikelas, Syhwin. 2008. Pengantar Kebahasaan untuk Dosen Bahasa. Jakarta: Depdikbud. Pateda, Mansoer. 2006. Kebahasaan Terapan. Flores: Nusa Indah. Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian. Jakarta: PT Grasindo. Rosmana, I. A. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesa. Bandung: Sonagar Press. Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2009 | SP/Dwi Agro Santosa – Dendy Sugono Supriadi, D.2007. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek. Bandung: CV Alfabeta. Syihabuddin. 2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai MPK Berbasis Kompetensi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 34 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Widjono, H.S. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo. Yacub Nasucha, Muhammad Rohmadi, Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa Indonesia untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Media Perkasa. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 35 MODEL PROJECT BASED LEARNING BERORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN PADA SISWA SMP Adi Rustandi Sekolah Pascasarjana UPI Pos-el : [email protected] ABSTRAK Model Project Based Learning Berorientasi Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Menulis Cerpen pada Siswa SMP. Kajian ini merupakan konsep gagasan yang perlu diujicobakan di lapangan. Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa setelah mendengarkan, berbicara, dan membaca. Menulis menjadi salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Salah satunya adalah menulis cerpen. Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pembelajaran menulis cerpen. Termasuk penerapan model pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk dicermati tentang bagaimana penerapan model project based learning berorientasi pendididikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen. Model project based learning meliputi kegiatan penentuan proyek, perencanaan langkah-langkah penyelesaian proyek, penyusunan jadwal pelaksanaan proyek, penyelesaian proyek dengan fasilitas dan monitoring guru, penyusunan laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek, serta evaluasi proses dan hasil proyek. Adapun pendidikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen meliputi menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana menyampaikan realita sosial melalui cerpen, kreatif dalam menyusun teks cerita pendek yang menarik dengan ide-ide yang cemerlang, dan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas seperti menelaah, merevisi, dan meringkas teks cerita pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual. Kata kunci: project based learning, pendidikan karakter, menulis cerpen PENDAHULUAN Salah satu keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis. Keterampilan menulis termasuk keterampilan yang paling tinggi tingkat kesulitannya bagi pembelajar dibandingkan dengan ketiga keterampilan lainnya (Iskandarwassid, 2011: 291). Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Ishak (2014: viii) yang mengatakan bahwa keterampilan menulis itu sulit dilakukan. Anggapan ini mengakibatkan siswa kurang berminat mempelajari keterampilan menulis. Padahal, kegiatan menulis selalu dihadapi oleh kaum akademisi, seperti menulis makalah, laporan penelitian atau cerpen, esai, opini dan lain-lain. Akhadiah (2003: v) mengatakan bahwa masalah yang sering dilontarkan dalam pengajaran karang-mengarang adalah kurang mampunya mahasiswa atau siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 36 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata atau membuat kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide secara teratur dan sistematis di samping kesalahan ejaan yang sering dijumpai. Beberapa surat kabar menyatakan kemampuan menulis para pelajar sangat lemah. Di perguruan tinggi para dosen yang mengeluh bahwa mahasiswa kurang terampil menulis paper, makalah, apalagi skripsi. Kadangkadang para dosen sendiri dianggap kurang mampu menulis. Buktinya baru segelintir dari mereka yang mempunyai karya tulis berupa buku teks (Tarigan, 1987: 186). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan, diketahui bahwa sebagian besar siswa merasa tidak dapat mengungkapkan dan menemukan ide dan gagasan yang akan ditulis. Siswa tidak tahu bagaimana memulai dan menyusun ide-ide untuk menulis. Bahkan, 77% siswa menyatakan bahwa pembelajaran menulis itu sulit. Kondisi ini diperkuat oleh pernyataan bahwa pengajaran menulis belum terlaksana dengan baik di sekolah. Kelemahannya terletak pada cara guru mengajar. Umumnya kurang variasi, tidak merangsang dan kurang pula dalam frekuensi (Tarigan, 1987: 186). Beberapa pertanyaan yang muncul kemudian, di antaranya seperti bagaimana cara meningkatkan kemampuan menulis siswa, khususnya dalam menulis cerpen? Metode pembelajaran seperti apa yang tepat untuk meningkatkan kemampuan menulis cerpen yang berorientasi pendidikan karakter? Upaya untuk memecahkan masalah berdasarkan pertanyaan di atas cukup membuat para guru bingung. Ada yang beranggapan bahwa kemampuan menulis cerpen itu nanti juga datang sendiri. Ketika siswa berhasil menulis cerpen, tidak ada apresiasi karena gurunya sendiri tidak tahu bagaimana menulis cerpen. Kajian ini merupakan upaya meramu hasil membaca dan mengolah kembali hasil bacaan itu untuk dijadikan model yang akan mengantarkan dan membuka pemahaman tentang bagaimana cara menerapkan project based Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 37 learning berorientasi karakter dalam pembelajaran menulis cerpen pada siswa SMP kelas VII. Diharapkan kajian ini dapat membantu siswa dan guru mampu menulis dan menghasilkan karya berupa tulisan yang dapat disusun menjadi sebuah buku antologi cerpen. Menulis itu ibarat orang sedang berbicara. Artinya, mengatur kata-kata yang disampaikan secara lisan, berekspresi dengan mimik wajah, dan diikuti dengan intonasi, artikulasi, serta volume suara yang jelas. Biasanya, orang yang berbicara dengan enak dan tanpa beban itu seperti air yang mengalir. Tidak merasa dibebani, tetapi merasa nyaman senyaman menikmati udara pegunungan. Ada ungkapan, menulislah sebelum nama kita ditulis di batu nisan. Ungkapan ini jelas sangat memotivasi kita untuk berkarya melalui tulisan. Sekali pun kita telah tiada, jika kita mampu menulis dan menghasilkan karya lewat tulisan, maka karya itu akan terus dibaca oleh orang lain. Akhadiah (2003:1-2) merinci berbagai keuntungan yang hendak dicari orang dalam menulis. Dengan menulis (1) lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita, (2) mengembangkan berbagai gagasan, (3) lebih banyak menyerap, mencari, serta menguasai informasi dengan topik yang kita tulis, (4) mengorganisasikan gagasan secara sistematis, (5) dapat menilai gagasan secara lebih objektif, (6) lebih mudah memecahkan permasalahan, (7) mendorong kita lebih aktif, dan (8) membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib. Berdasarkan keuntungan menulis di atas, proses pembelajaran sepenuhnya diarahkan pada delapan keuntungan tersebut, artinya agar siswa mampu menuangkan gagasannya dengan baik dan tersusun secara tertib. Dengan demikian, proses pembelajaran menulis cerpen yang baik bukan hanya akan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis, akan tetapi juga melahirkan karya berupa tulisan yang berkualitas. Tentunya, semua itu didukung oleh berbagai aspek. Salah satunya adalah model pembelajaran yang tepat. 38 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Model Project Based Learning Model project based learning merupakan sebuah model pembelajaran yang sudah banyak dikembangkan di Amerika Serikat. Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, project based learning bermakna sebagai pembelajaran berbasis proyek. Kementerian Pendididikan dan Kebudayaan (2014: 38) menyatakan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning/PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Hosnan (2014: 319) bahwa project based learning atau model pembelajaran berbasis proyek adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai medianya. Guru menugaskan siswa untuk melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Model pembelajaran ini menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata (Hosnan, 2014: 319). Menurut Gear (dalam Hosnan, 2014: 321) pembelajaran berbasis proyek (project based learning) memiliki potensi yang besar untuk memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna. Sedangkan menurut Buck Institute for Education (Hosnan, 2014: 321) pembelajaran berbasis proyek (project based learning) memiliki karakter sebagai berikut. 1. Siswa mengambil keputusan sendiri dalam rangka kerja yang telah ditentukan bersama sebelumnya. 2. Siswa berusaha memecahkan sebuah masalah atau tantangan yang tidak memiliki satu jawaban pasti. 3. Siswa ikut merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi. 4. Siswa didorong untuk berpikir kritis, memecahkan masalah, berkolaborasi, serta mencoba berbagai macam bentuk komunikasi. 5. Siswa bertanggung jawab mencari dan mengolah sendiri informasi yang mereka kumpulkan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 39 6. Pakar-pakar bidang yang berkaitan dengan proyek yang dijalankan sering diundang menjadi guru tamu dalam sesi-sesi tertentu untuk memberi pencerahan bagi siswa. 7. Evaluasi dilakukan secara terus menerus selama proyek berlangsung. 8. Siswa secara regular merefleksikan dan merenungi apa yang telah mereka lakukan, baik proses maupun hasilnya. 9. Produk akhir dari proyek (belum tentu berupa material, tapi bisa berupa presentasi, drama, dan lain-lain) dipresentasikan di depan umum (maksudnya, tidak hanya pada gurunya, namun bisa saja pada dewan guru, orang tua, dan lain-lain) dan dievaluasi kualitasnya. 10. Di dalam kelas dikembangkan suasana penuh toleransi terhadap kesalahan dan perubahan, serta mendorong bermunculannya umpan balik serta revisi. Menurut Thomas (dalam Hosnan, 2014: 323), pembelajaran berbasis proyek (project based learning) memiliki lima prinsip sebagai berikut. 1. Keterpusatan (centrality) 2. Berfokus pada pertanyaan atau masalah 3. Investigasi konstruktif atau desain 4. Otonomi 5. Realisme Manfaat model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) ini adalah sebagai berikut. 1. Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran. 2. Membuat peserta didik dalam pemecahan masalah. 3. Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah yang kompleks dengan hasil produk nyata berupa barang atau jasa. 4. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam mengelola sumber/bahan/alat untuk menyelesaikan tugas. 5. Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PBL yang bersifat kelompok. Menurut Hosnan (2014: 325) langkah-langkah model pembelajaran berbasis proyek (project based learning) dapat dijelaskan sebagai berikut. 40 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 2. 1. Penentuan proyek 6. Evaluasi proses dan hasil proyek Perancangan langkahlangkah penyelesaian proyek 3. Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek 4. Penyusunan laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek 5. Penyusunan jadwal proyek Sumber: Diadaptasi dari Keser & Karagoca (2010) Berdasarkan bagan tersebut, kegiatan yang harus dilakukan pada setiap langkah dalam pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah sebagai berikut. 1. Penentuan proyek Pada langkah ini, peserta didik menentukan tema/topik proyek berdasarkan tugas proyek yang diberikan oleh guru. Peserta didik diberikan kesempatan untuk memilih/menentukan proyek yang akan dikerjakannya, baik secara kelompok ataupun mandiri dengan catatan tidak menyimpang dari tugas yang diberikan guru. 2. Perencanaan langkah-langkah penyelesaian proyek Peserta didik merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian dari awal sampai akhir beserta pengelolaannya. Kegiatan perancangan proyek ini berisi aturan main dalam pelaksanaan tugas proyek, pemilihan aktivitas yang dapat mendukung tugas proyek, pengintegrasian berbagai kemungkinan penyelesaian tugas proyek, perencanaan sumber/bahan/alat yang dapat mendukung penyelesaian tugas pokok dan kerja sama antaranggota kelompok. 3. Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek Melalui pendampingan guru peserta didik dapat melakukan penjadwalan semua kegiatan yang telah dirancangnya. Berapa lama proyek itu harus diselesaikan tahap demi tahap. 4. Penyelesaian proyek dengan fasilitas dan monitoring guru Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 41 Langkah ini merupakan langkah pengimplementasian rancangan proyek yang telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan proyek, di antaranya adalah dengan (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d) interviu, (e) merekaam, (f) berkarya seni, (g) mengunjungi objek proyek karya seni, (g) mengunjungi objek proyek, atau (h) akses internet. Guru bertanggung jawab memonitor aktivitas peserta didik dalam melakukan tugas proyek, melalui proyek, mulai proyek hingga penyelesaian proyek. Pada kegiatan monitoring, guru membuat rubrik yang dapat merekam aktivitas peserta didik dalam menyelesaikan tugas proyek. 5. Penyusunan laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek Hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis, karya seni, atau karya teknologi/prakarya dipresentasikan dan /atau dipublikasikan kepada peserta didik yang lain dan guru atau masyarakat dalam bentuk pameran produk pembelajaran. 6. Evaluasi proses dan hasil proyek Guru dan peserta didik pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi terhadap aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas proyek dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap evaluasi, peserta didik diberi kesempatan mengemukakan pengalamannya selama menyelesaikan tugas proyek. Pada tahap ini, juga dilakukan umpan balik terhadap proses dan produk yang telah dihasilkan. Keunggulan dan Kelemahan Model Project Based Learning Keunggulan Model Project Based Learning McDonell (dalam Abidin, 2014:170) menyebut beberapa keuntungan menggunakan model project based learning sebagai berikut. a. Meningkatkan kemampuan mengajukan pertanyaan, mencari informasi, dan menginterpretasikan informasi (visual dan tekstual) yang mereka lihat, dengar, atau baca. b. Meningkatkan kemampuan membuat rencana penelitian, mencatat temuan, berdebat, berdiskusi, dan membuat keputusan. 42 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 c. Meningkatkan kemampuan bekerja untuk menampilkan dan mengontruksi informasi secara mandiri. d. Meningkatkan kemampuan berbagi pengetahuan dengan orang lain, bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, dan mengakui bahwa setiap orang memiliki keterampilan tertentu yang berguna untuk proyek yang sedang dikerjakan. e. Meningkatkan kemampuan menampilkan semua disposisi intelektual dan sosial yang penting yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dunia nyata. Kelemahan Model Project Based Learning Abidin (2014:170) menyebut beberapa kelemahan menggunakan model project based learning sebagai berikut. a. Memerlukan banyak waktu dan biaya. b. Memerlukan banyak media dan sumber belajar. c. Memerlukan guru dan siswa yang sama-sama siap belajar dan berkembang. d. Ada kekhawatiran siswa hanya akan menguasai satu topik tertentu yang dikerjakannya. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter dikenal dengan pendidikan budi pekerti yang bertujuan untuk mengantarkannya meningkatkan pada kecerdasan kesuksesan hidup. emosi siswa Budimansyah yang (2012: akan 15) mengatakan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Zubaedi (dalam Kurniawan, 2013: 30) bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang intinya merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 43 masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama). Pendidikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen yang akan penulis kembangkan sesuai dengan buku Mahir Bahasa Indonesia kelas VII (2013: 138) adalah sebagai berikut. a. Menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana menyampaikan realita sosial melalui cerpen. b. Kreatif, yaitu mampu menyusun teks cerita pendek yang menarik dengan ide-ide yang cemerlang. c. Tanggung jawab, yaitu mampu menelaah, merevisi, dan meringkas teks cerita pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual. Dengan demikian, pembelajaran menulis cerpen yang penulis rancang ini tidak hanya menjadikan siswa menjadi generasi masa depan yang cerdas secara intelektual semata, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan sosial. Potret generasi semacam inilah yang kelak diharapkan penulis agar siswa sanggup menghadapi rumitnya tantangan zaman secara arif, cerdas, kreatif, mandiri, dan luhur budi. Konsep Dasar Pembelajaran Menulis Menulis dapat didefinisikan sebagai kegiatan atau proses mengemukakan ide dan gagasan dalam bahasa tulis. Menulis adalah sebuah kegiatan kreatif menuangkan apa yang ada dalam pikiran ke dalam bahasa tulis. Ishak (2014: 5) mengungkapkan bahwa menulis adalah upaya melakukan komunikasi dengan pembaca. Abidin (2012: 181) mengatakan bahwa menulis adalah sebuah proses berkomunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembacanya. Sementara Akhadiah (2003: 2) memandang menulis adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan gagasan atau ide dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan menulis, yakni tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi. 44 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Hal ini senada dengan Abidin (2012:184) yang mengemukakan bahwa menulis adalah sebuah proses. Proses tersebut meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut. Tahap pertama, pemerolehan ide. Pada tahap ini penulis mendayagunakan kepekaannya untuk mereaksi berbagai fenomena hidup dan kehidupan manusia yang diketahuinya melalui berbagai peranti pemerolehan ide. Tahap kedua, tahap pengolahan ide. Pada tahap ini penulis akan mendayagunakan beberapa kemampuan meliputi kemampuan berpikir, kemampuan bahasa, dan kemampuan berimajinasi. Penggunaan kemampuan ini akan sangat bergantung pada tujuan tulisan yang akan diproduksi. Tahap ketiga, tahap produksi ide. Pada tahap ini penulis akan menggunakan peranti produksi ide yakni pengetahuan bahasa dan pengetahuan konvensi karya. Pengetahuan bahasa merupakan peranti utama yang digunakan oleh penulis dalam mengemas gagasan yang telah diolahnya. Melalui penggunaan pengetahuan atau kemampuan berbahasa ini sebuah ide dikemas sesuai dengan tujuannya serta memenuhi asas ketatabahasaan yang berterima di kalangan pembacanya. Orientasi Pembelajaran Menulis Secara esensial Abidin (2012: 187) mengatakan bahwa minimalnya ada tiga tujuan utama pembelajaran menulis yang dilaksanakan para guru di sekolah. Pertama, menumbuhkan kecintaan menulis pada diri siswa. Kedua, mengembangkan kemampuan siswa menulis. Dan ketiga, membina jiwa kreativitas para siswa untuk menulis. Tujuan pertama pembelajaran menulis adalah menumbuhkan kecintaan menulis pada diri siswa. Tujuan ini menjadi sangat penting. Mencintai menulis adalah modal awal bagi siswa agar mau menulis, sehingga ia akan menjadi seorang yang terbiasa menulis. Semakin sering seseorang menulis, maka diyakini akan semakin baik pula hasil tulisannya. Tujuan kedua adalah mengembangkan kemampuan siswa menulis. Tujuan ini, pembelajaran menulis harus diarahkan agar mampu membekali siswa berbagai strategi menulis, macam-macam tulisan, serta sarana publikasi tulisan. Dalam praktiknya di sekolah, beberapa ragam tulisan yang harus Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 45 dikuasai siswa meliputi tulisan umum mencakup karangan narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Selain itu, siswa juga harus mampu menulis dalam genre umum dan genre sastra seperti menulis puisi, prosa fiksi, drama, dan karya sastra kreatif semisal komik, khususnya menulis cerpen. Tujuan ketiga adalah agar siswa mampu menulis secara kreatif. Artinya, agar siswa menjadikan menulis bukan sekedar sebagai kompetensi yang harus dikuasai selama mengikuti pembelajaran, melainkan agar siswa mampu memanfaatkan menulis sebagai sebuah aktivitas yang mendatangkan berbagai keuntungan yang bersifat psikologis, ekonomis, maupun sosiologis. Adapun pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan model project based learning yang harus dikembangkan dalam makalah ini adalah meliputi hal-hal berikut. a. Menentukan proyek akhir pembelajaran menulis cerpen b. Merancang langkah-kangkah penyelesaian proyek c. Menyusun jadwal pelaksanaan proyek d. Menyelesaikan proyek dengan memfasilitasi siswa dan melakukan monitoring e. Menyusun laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek f. Mengevaluasi proses dan hasil proyek Cerpen Cerpen adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur (Kurniawan, 2012: 59). Cerpen, sesuai namanya adalah cerita yang pendek. Hal tersebut terlihat dari jumlah kata, jumlah halaman, atau lamanya waktu yang digunakan untuk membaca cerpen. Jalan cerita atau peristiwa di dalam cerpen lebih padat. Menurut Nurgiyantoro (2002: 10) ukuran panjang pendeknya cerpen itu tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) dalam Nurgiyantoro (2002:10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Walaupun 46 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 sama-sama pendek, panjang cerpen bervariasi, ada yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500-an kata, cerpen yang panjangnya cukup (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short story). Cerpen mempunyai unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik meliputi latar belakang pengarang, waktu dan tempat penulisan karya sastra tersebut, serta nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen. Unsur intrinsik cerpen meliputi tema, latar, alur, penokohan, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Langkah-langkah menulis cerpen menurut Kurniawan (2012:78-91) yaitu sebagai berikut. 1. Pencarian Ide Ide dalam menulis cerpen adalah masalah yang bersumber dari peristiwa ataupun benda. Masalah sebagai sumber ide dalam menulis cerpen adalah ketertarikan kita pada fenomena atau benda yang membangkitkan rasa ingin menulis cerpen. 2. Pengendapan dan pengolahan ide Jika sudah mendapatkan ide dan merumuskan masalahnya, maka segeralah memikirkan logika cerita dan jawabannya sebelum dituliskan. Logika jawaban ini bisa diperoleh dengan pengetahuan dan imajinasi, tetapi jika logika ini bisa dibangun dengan dasar agama, budaya, dan ilmu pengetahuan maka hal ini bisa memperlihatkan kualitas cerpen itu sendiri. Proses pengendapan ide itu bisa dilakukan dengan dua teknik, yaitu (1) teknik tulis, yaitu menuliskan rangkaian peristiwa yang akan menjadi jawaban atas ide dan permasalahannya, dan (2) teknik renung, yaitu hanya merenungkan dan mengontemplasikan kemungkinan-kemungkinan rangkaian peristiwa dalam pikiran dan perasaannya sebelum dituliskan. 3. Penulisan Proses penulisan ini adalah tahap yang paling sulit, karena berbagai kendala selalu ada. Prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam menuliskan ide dan pengendapannya adalah harus saat itu juga dan harus Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 47 jadi. Artinya, jika ide yang sudah diolah sudah matang, maka segeralah menulis hari itu juga. 4. Editing dan Revisi Editing ini berkaitan dengan pembetulan aspek kebahasaan dan penulisan, sedangkan revisi berkaitan dengan isi, misalnya, alur yang tidak kronologis, anakronisme, kesalahan bercerita, konflik yang datar dan tidak dramatik, dan sebagainya. Editing dan revisi harus dilakukan sebagai proses akhir untuk menghasilkan cerpen yang baik. SIMPULAN Penerapan model project based learning berorientasi pendidikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen diharapkan mampu menjadi solusi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, terutama untuk pengajaran menulis cerpen pada siswa SMP kelas VII. Siswa tidak hanya diajarkan tentang bagaimana menulis cerpen. Tetapi, secara tidak langsung apa yang dilakukan oleh siswa melalui kegiatan menulis cerpen telah membentuk karakter pribadinya. Seperti menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana menyampaikan realita sosial melalui cerpen, kreatif dalam menyusun teks cerita pendek yang menarik dengan ide-ide yang cemerlang, dan tanggung jawab dalam mengerjakan tugas seperti menelaah, merevisi, dan meringkas teks cerita pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual. Bahkan lebih dari itu, cerpen yang dibuat oleh siswa pun menyimpan pesan moral (karakter) bagi pembaca karya tulisnya. Dan pada akhirnya, dengan menggunakan model project based learning ini, guru bersama-sama dengan siswa pun bisa menghasilkan sebuah karya (proyek akhir) yaitu sebuah buku kumpulan cerpen (antologi) yang bernilai karakter. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus. 2013. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Abidin, Yunus. 2014. Desain Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013. Bandung: Refika Aditama. 48 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Akhadiah, Sabarti dkk. 2003. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Budimansyah, Dasim. 2012. Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter. Bandung: Widya Aksara Press. Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia. Ishak, Saidulkarnain. 2014. Cara Menulis Mudah. Jakarta: Elex Media Komputindo. Iskandarwassid. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda. Kurniawan, Heru dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar Ruzz Media. Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tarigan, H. G. 1987. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Tim.Edukatif. 2013. Mahir Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Erlagga. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 49 “MASTODON DAN BURUNG KONDOR” SEBAGAI BAHAN PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI GENERASI MUDA Agus Priyanto STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK “Mastodon dan Burung Kondor” sebagai Bahan Pengembangan Karakter bagi Generasi Muda. WS Rendra yang merupakan pendukung Manifes Kebudayaan dengan konsep humanisme universalnya ternyata karyanya juga kontekstual pada zamannya.Salah satu karya dramanya yaitu Mastodon dan Burung Kondor bisa menjadi bahan untuk pengembangan karakter generasi muda.Kampus perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat pengembangan karakter generasi muda yang pontensial.Maka kampus perlu menghadirkan seni budaya dan melibatkan generasi muda dalam prosesnya.Salah satu seni itu adalah seni (sastra) drama.Dalam kajian karya seni terutama karya sastra drama bisa menggunakan pendekatan hermeneutik dan semiotik.Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan..Mastodon adalah sebuah binatang yang mirip gajah dan hidup di jaman purba.Burung Kondor adalah burung buas yang besar pemakan bangkai kepalanya gundul tak berbulu biasanya terdapat di pegunungan Andes.Dia adalah burung pengelana.Tafsir semiotik mastodon adalah metafor dari para penguasa, pejabat yang menjelma jadi pengusaha.Atau orang yang memiliki kekuasaan dan keuangan sekaligus, yaitu para cukong-cukong pemodal besar yang sekaligus penguasa. Sedangkan burung kondor adalah metafor dari rakyat yang memakan bangkai sisa-sisa makanan dari mastodon. Rakyat yang bekerja keras tetapi mereka tidak sadar atas dirinya yang ditindas oleh mastodon. Dan seniman, yaitu penyair adalah rakyat yang sadar akan keadaan dirinya yang tertindas. Kata Kunci: Mastofon, burung Kondor, karakter PENDAHULUAN Saat WS Rendra mementaskan Mastodon dan Burung Kondor tahun 1973 kontekstual sekali pada zamannya. Ketika dipentaskan pada zaman reformasi tahun 2012 tidak relevan lagi kontekstnya. Walaupun demikian, konsep pemikiran tentang politik ekonomi sosial, seni dan budaya masih bisa relevan dan abadi sepanjang masa. Contohnya, bahwa ketidakberesan sosial politik ekonomi yang disebabkan oleh pemerintah tidak perlu dilakukan dengan cara revolusi. Sebab revolusi berdarah-darah, setelah terjadi penggantinya sama saja hanya berbeda pakaian saja. Diktator diganti dengan diktator. 50 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Perubahan kebudayaan itu lebih penting dilakukan dengan cara pendidikan pada tingkatan grassroot atau istilah dalam drama ini underground. Bisa dilakukan lewat kantong-kantong eksperimen kebudayaan.Ini melibatkan emansipasi individu rakyatnya. Pemikiran Rendra ini sesuai dengan cara berfikir filsafat kritis. Ciri-ciri filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan–hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika srtuktur-struktur penindasan dan emasipasi. WS Rendra tahu pemerintahan Orba antikritik, maka WS Rendra mensiasati karyanya dengan cara strategi karambol. Strategi tembakan karambol ini jitu. Sindiran-sindiran dan kritikankritikan yang tajam pada penguasa orba disampaikan melalu negara latin. WS Rendra ini lewat dramanya ini mengajarkan pada generasi muda adalah kalau jadi pejabat atau pengusaha diharapkan tidak menjadi mastodon yang rakus, korupsi, mementingkan dirinya saja atau kelompoknya saja.Generasi muda kalau nanti jadi pemimpin jangan sampai menelantarakan rakyatnya sehingga rakyat yang terlantar jadi seperti burung kondor. Generasi muda harus bisa mensiasati keadaan agar terus kreatif dan produktif. Generasi muda diajak oleh WS Rendra untuk berfikir kritis menghadapi semua permasalahan. Perdebatan sastra universal dan sastra kontekstual terus berlanjut hingga kini.Sastra universal ini dikomandoi oleh kaum pemuja humanisme universal, sedangkan sastra kontekstual diagung-agungkan oleh kaum sosialis. Bagaimana WS Rendra yang merupakan pendukung Manifes Kebudayaan dengan konsep humanisme universalnya ternyata karya drama dan puisinya penuh kontekstual pada zamannya?Konsep sastra universal menurut Gunoto Saparie ―bukanlah diktatorisme nilai atau homogenisasi prinsip kesusastraan. Tetapi ia justru membuka luas daerah kebebasan kreatif para sastrawan. Kalau konsep sastra universal dipandang sebagai sebab merajalelanya estetisme, hal itu disebabkan estetika memang mutlak dalam sastra.‖Pendapat Gunoto Saparie ini cocok menegaskan tentang WS Rendra.Sastrawan bebas berkreasi tetapi konsep estetisnya tetap terjaga. Karya WS Rendra yang universal dan kontekstual ini akan ditelaah secara kritis untuk pengembangan karakter generasi muda. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 51 Mastodon dan Burung Kondor di Universitas Padjadjaran Pada tanggal 12 dan 13 Januari mengawali tahun 2012 sebuah peristiwa budaya yaitu pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor oleh kelompok Ken Zuraida Project digelar di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Pajajaran. Setelah menonton pertunjukan tersebut timbullah pertanyaanpertanyaan yang muncul di benak saya.Kenapa Mastodon dan Burung Kondor dipentaskan oleh Universitas Padjadjaran? Kenapa Universitas Padjadjaran memilih Mastodon dan Burung Kondor? Ada apa dengan Mastodon dan Burung Kondor? Mastodon dan Burung Kondor dibuat oleh WS Rendra tahun 1973 yaitu zaman permulaan masa Orde Baru, masih relevankah Mastodon dan Burung Kondor dipentaskan pada saat situasi zaman reformasi seperti sekarang ini? Apakah ada jarak antara Mastodon dan Burung Kondor dengan generasi sekarang? Kenapa Mastodon dan Burung Kondor dipentaskan oleh Universitas Padjadjaran? Universitas Padjadjaran adalah sebuah kampus yang belakangan ini mencoba menghadirkan seni budaya ditengah-tengah mahasiswa dan civitas akademikanya. Sebuah awal tahun yang bagus dimulai dengan kalender akademik kebudayaan. Tidak hanya awal tahun 2012 sekarang ini saja. Tahun sebelumnya pun Universitas Padjadjaran mencoba membangun kebudayaan dengan serius. Kali ini Universitas Padjadjaran menggelar pementasan Mastodon dan Burung Kondor.Tidak hanya Mastodon dan Burung Kondor yang pernah pentas di Universitas Padjadjaran, beberapa seni budaya yang pop maupun yang tradisional dipentaskan juga.Misalkan Darso penyanyi pop Sunda yang fenomenal di tahun 2000-an ini juga pernah pentas di Universitas Padjadjaran.Sampai sekarang secara rutin Universitas Padjajaran mengundang dan menghadirkan seni budaya baik dari dalam maupun dari luar negeri. Universitas Padjadjaran menyadari bahwa kebudayaan itu penting.Salah satu teori kebudayaan yang betul-betul disadari adalah tentang unsur-unsur kebudayaan.Unsur-unsur kebudayaan itu ada tujuh unsur.Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian.Unsur-unsur budaya selengkapnya yang disarikan oleh Koentjaraningrat (1990) maupun Soerjono Soekanto (1997) dari Universal Catagories of culture (1953) adalah sebagai berikut : 52 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 1. Bahasa 2. Sistem pengetahuan 3. Organisasi sosial (sistem kemasyarakatan) 4. Sistem peralatan hidup 5. Sistem ekonomi (mata pencaharian) 6. Sistem religi (kepercayaan) 7. Kesenian Salah satu pilar dari tujuh unsur budaya adalah kesenian.Inilah unsur yang biasanya terlupakan oleh para akademisi kampus.Unsur-unsur lain, selain kesenian, mendapat porsi perhatian yang besar oleh kaum akademisi perguruan tinggi. Ini terbukti 6 unsur yang lain di dipelajari bahkan dibentuk jurusan atau fakultas di perguruan tinggi tersebut.Mereka hanya berteori tetapi tidak menghadirkannya secara serius.Menurut Harsojo (1977) yang membedakan manusia dan hewan secara fundamental adalah bahwa manusia itu mampu berbudaya, sedangkan hewan tidak.Berkaca pada pendapat Harsojo ini maka kampus yang menyelenggarakan kesenian adalah kampus yang manusiawi.Atau sebaliknya, kampus yang tidak pernah menyelenggarakan kesenian adalah kampus yang tidak manusiawi (alias hewani) atau bahasa eufemismenya kampus yang kurang manusiawi. Kembali kepada Mastodon dan Burung Kondor.Mastodon dan Burung Kondor dibuat antara tahun 1971 sampai 1973.Mastodon dan Burung Kondor adalah salah satu masterpiece karya WS Rendra. Mastodon dan Burung Kondor pertama kali dipentaskan tahun 1973 oleh Bengkel Teater di tiga tempat yaitu di sport Hall Kridosono Yogyakarta, di Gedung Merdeka Bandung dan di Istora Senayan. Lalu tahun 2011 istri WS Rendra yaitu Ken Zuraida mencoba mementaskan Mastodon dan Burung Kondor dengan membawa bendera KenZuraida Project di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta dan di Festival seni Surabaya.Dan awal tahun 2012 di pentaskan di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran Bandung.Nah bagaimana drama Mastodon dan Burung Kondor yang di buat tahun 1973 zaman Orde baru itu kembali dipentaskan di zaman reformasi tahun 2012 ini apakah bisa menggelitik penonton? Atau bisa membangkitkan kesadaran generasi muda? Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 53 Kalau pun membangkitkan kesadaran, lalu membangkitkan kesadaran untuk apa?Apakah bisa memberi pencerahan pada generasi muda?Dan bergunakah Mastodon dan Burung Kondor buat generasi muda?Perbedaan zaman yang hampir 40 tahun lebih itu apakah berpengaruh?Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas mungkin menemukan relevansinya dengan pernyataan-pernyataan dibawah ini. Hermeneutik, Semiotika Mastodon dan Burung Kondor Dalam kajian karya seni terutama karya sastra bisa menggunakan pendekatan hermeneutik.Yaitu sebuah pendekatan dengan cara menginterpretasikan. Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.Oleh Sumaryono hermeneutik diartikan ―proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti‖. (E. Sumaryono:1999) Jadi pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa karena untuk mengerti itu dibutuhkan proses menggunakan media bahasa. Kita berpikir melalui bahasa.Kita menulis, berekspresi, berpidato, berbicara melalui bahasa.Bahkan berfikir ilmiah menggunakan sarana bahasa. Jujun S Suriasumantri mengatakan : Untuk dapat melakukan kegiatan berfikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. (Jujun S Suriasumantri: 2009) Jadi bahasa itu penting dalam proses berfikir. Jadi melalui bahasa akhirnya kita mengerti dan memahami dan menginterpretasi.Sebuah makna akan muncul saat kita mengidentifikasi, memahami atau menyakini sesuatu tersebut melalui bahasa. Unsur bahasa yang paling kecil dan punya makna adalah kata. Maka mari kita telaah makna kata dalam judul pementasan Mastodon dan Burung Kondor. Mastodon adalah sebuah binatang yang mirip gajah dan hidup dijaman purba.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mastodon adalah 1 binatang purba, mamalia raksasa; 2 sesuatu yang serba besar.Dalam puisi WS Rendra berjudul ―Kesaksian Tentang Mastodon Mastodon‖ dijelaskan apa itu mastodon yaitu sebangsa binatang gajah. Inilah cuplikan puisi tersebut. Aku memberi kesaksian Bahwa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon 54 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Mereka jadi setinggi menara dan sebesar berhala Lalu siapakah sebenarnya mastodon itu? Dia itu kan binatang purba mirip gajah dan lebih besar yang sudah tidak ada lagi sekarang ini. Lebih jauh WS Rendra menggambarkan mastodon sebagai berikut ini. Tirani dan pemusatan Adalah naluri dari kebudayaan pejabat dan pegawai Bagaikan gajah para pejabat Menguasai semua rumput dan daun-daunan …………… Aku memberi kesaksian bahwa Gajah-gajah telah menulis hukum dengan tinta yang munafik Mereka mengangkang dengan angker dan perkasa Tanpa bisa diperiksa Tanpa bisa dituntut Tanpa bisa diadili secara terbuka ……… Aku memberi kesaksian Bahwa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon Mereka jadi setinggi menara dan sebesar berhala Mastodon-mastodon yang masuk ke laut dan menghabiskan semua ikan Mastodon yang melahap semen dan kayu lapis Melahap tiang-tiang listrik dan filem-filem import Melahap minyak mentah, cengkeh, kopi, dan bawang putih Mastodon-mastodon ini akan selalu membengkak Selalu lapar Selalu merasa terancam Selalu menunjukan wajah yang angker Dan menghentak-hentakan kaki ke bumi. Jadi menurut puisi WS Rendra tersebut, mastodon adalah metafor dari para penguasa, pejabat yang menjelma jadi pengusaha.Atau orang yang memiliki kekuasaan dan keuangan sekaligus, yaitu para cukong-cukong pemodal besar.Begitu juga pengertian mastodon menurut naskah drama Mastodon dan Burung Kondor. Kita lihat dialog yang ada dalam naskah tersebut.Dalam sebuah pertemuan Mahasiswa penyair Jose Karosta membacakan puisinya pada adegan 10. Jose Karosta : Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguhsungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk kekukuhan, tidak untuk dinamis tetapi untuk teguh dan angker. Tidak untuk menciptakan barisan semut-semut yang bekerja, tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan. Saya memberi kesaksian akan adanyasatu kekhawatiran, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 55 bahwa gajah-gajah akan beranak pinak sehingga dalam tempo singkat diseluruh padang belantar, diseluruh hutan rimba di lembah-lembah bahkan di seluruh lorong-lorong kota, akan dipenuhi oleh gajah-gajah yang lalu menjadi mastodon-mastodon dengan derak-derak kaki yang terlalu berat, dengan tubuh-tubuh yang terlalu tegak, dengan gadinggading perkasa dan memusnahkan alam secara lahap. Mastodon lebih jelas digambarkan oleh WS Rendra dalam dialog Juan Frederico dan Hernadez dalam markas mereka pada adegan 11. Hernadez : Bajingan. Benar-benar dia bajingan kelas menengah. Semuanya serba setengah-setengah. Juan Frederico : Tutup mulut! Kamu tenanglah! Dengar! Ada hal yang sangat menguntungkan. Ia telah berbicara tentang mastodonmastodon. Titik ini harus digunakan sebaik-baiknya.Kita harus berusaha mempengaruhi koran-koran underground agar membesar-besarkan masalah ini. Kita akan menyebarkan karikatur, kolonel Max Carlos dengan tubuh, kaki dan belalai mastodon. Kemudian kakinya itu menginjak-injak rakyat. Dan di bawah karikatur itu kita akan menuliskan kutipan dari sajak Jose Karosta tentang mastodon-mastodon. Kalau mastodon adalah penguasa sekaligus pengusaha atau sebaliknya, pengusaha sekaligus penguasa, lalu siapakah burung kondor itu?Burung kondor adalah burung buas yang besar pemakan bangkai kepalanya gundul tak berbulu biasanya terdapat di pegunungan Andes.Dia adalah burung pengelana.Dan siapakah burung kondor yang disebut WS Rendra dalam naskah dramanya ini?Langsung saja kita kutip dialog-dialog drama Mastodon dan Burung Kondor berikut ini.Pada adegan 1 Penyair Jose Karosta membacakan sajak. Jose Karosta : Dari pagi sampai siang, rakyat negriku bergerak-gerak menggai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, dalam usaha tak menentu. Dari siang sampai sore, mereka menjadi onggokan sampah.Dan di malam hari, mereka terbanting di lantai dan sukmanya menjadi burung kondor.Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, gumpalangumpalan awan burung kondor, bergerak menuju puncak gunung yang tinggi.Dan disana mendapatkan hiburan dan sepi.Karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan sakit hati. Itulah tadi Penyair Jose karosta bersajak. Ketika pertemuan mahasiswa dibubarkan oleh letnan Don Carvalho terjadilah dialog antara letnan Don Carvalho dan Jose Karosta yaitu : 56 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Don Carvalho : Jose Karosta, kamu tidak wajar. Kamu suka cari perkara.Kamu suka kesulitan dan kamu suka publikasi.Ada banyak burung ditanah air kita.ada burung nuri, ada burung betet,tapi kamu bersajak tentang burung kondor. Berikutnya dialog Jose Karosta dengan Gloria. Gloria : Jose Kamu belum menuliskan dongeng dan kisah percintaan itu bukan? Kamu belum sempat menuliskannya.Dewasa ini kamu juga seperti mereka kamu menjadi burung kondor.Bedanya cuma ini.Mereka tidak menyadari keadaan mereka, sedangkan kamu menyadari keadaanmu. Jose Karosta : Burung kondor yang sadar ya? Gloria : Bukankah memang tugas penyair untuk menangkap kesadaran? Begitu juga dialog Gloria curhat dengan Padre Alfonso pada adegan 8 menjelaskan tentang burung kondor lebih lanjut. Padre Alfonso : Burung Kondor Burung Kelana… Gloria : Aku ingin menjaganya. Aku ingin memeliharanya.Aku ingin menyediakan sarang bagi si burung kondor itu.Aku ingin berbakti kepada cita-citanya.Ia adalah burung liar, anak dari alam, aku ingin ia tahu bahwa sesudah mengembara ia selalu bisa pulang kepadaku. Jadi di sini burung kondor adalah metafor dari rakyat yang memakan sisa-sisa makanan dari mastodon yaitu bangkai.Rakyat yang bekerja keras tetapi mereka tidak sadar atas dirinya yang ditindas oleh mastodon. Dan seniman, yaitu penyair adalah rakyat yang sadar akan keadaan dirinya yang tertindas. Dari alur cerita Mastodon dan Burung Kondor menceriterakan bahwa Jose Karosta, sang penyair, mengajak berfikir kritis.Banyak dialog-dialog yang berupa sebuah diskusi pemahaman tentang sesuatu khususnya sosial, politik, seni dan budaya. Latar belakang sosial politik yang digambarkan dalam Mastodon dan Burung Kondor adalah mirip dengan Orde Laman dan Orde Baru. Tentu sudah kelihatan usang atau tidak lagi sesuai dengan kondisi sosial politik tahun 2014 sekarang. Keadaan sosial politik yang digambarkan persis kondisi sosial politik zaman Orde Lama dan Orde Baru yang represif, antikritik dan militeristik. Ini jauh berbeda dengan sekarang yang Orde Reformasi, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 57 dimana keterbukaan betul-betul orang bebas bicara.Zaman orde baru mahasiswa diskusi atau sekedar berkesenian baca puisi misalnya, bisa dibubarkan oleh aparat.Ini persis gambaran adegan 1 di drama Mastodon dan Burung Kondor. Zaman sekarang tak akan terjadi hal seperti itu. Jangankan sekedar diskusi, demonstrasi pun dibolehkan zaman sekarang ini.Bahkan saking terbuka dan bebasnya zaman reformasi ini, demontrasi hampir setiap hari terjadi di dalam berita di media masa. Jadi saat WS Rendra mementaskan Mastodon dan Burung Kondor tahun 1973 kontekstual sekali pada zamannya.Sedangkan ketika dipentaskan pada zaman reformasi tahun 2012 tidak relevan lagi kontekstnya. Walaupun demikian, konsep pemikiran tentang politik dan seni dan budaya masih bisa relevan dan abadi sepanjang masa.Ini yang disebut nilai-nilai universal.Kita lihat pemikiran kritis tentang makna ―lembaga‖ pada adegan 9. Padre Alfonso Jose Karosta Padre Alfonso Jose Karosta Padre Alfonso : …. Tuhan menurunkan wahyu, ia memberikan sabda, tetapi manusia dalam melaksanakan sabda itu tertawan oleh badan. Roh manusia memerlukan badan sebagai pengucapan antar manusia. : Ya. Padre, ya. : Dan Jose, akhirnya sedemikian terbatas kemanusiaan sehingga perlu didirikan lembaga, termasuk lembaga agama. Lembaga agama adalah badan mistikdari sabda Roh Yang Agung. : Namun seniman tidak memerlukan lembaga. : Banyak seniman tidak memerlukan lembaga. Tetapi toh tetap ada lembaga kesenian dimana saja.Demikian pula banyak orang agama yang tidak butuh lembaga.Banyak santo dan nabi yang tidak butuh lembaga.Tetapi toh ada lembaga agama di mana pun juga.Inilah salah satu keterbatasan manusia. Dialog-dialog pemikiran kritis juga mengenai sosial, politik, ekonomi ada dalam adegan 21.Perdebatan antara Jose Karosta dengan Profesor Topas. WS Rendra yang mewakilkan dirinya pada Jose Karosta mengatakan bahwa ketidakberesan sosial politik ekonomi yang disebabkan oleh pemerintah tidak perlu dilakukan dengan cara revolusi. Sebab revolusi setelah terjadi penggantinya sama saja hanya berbeda pakaian saja. Diktator diganti dengan diktator.Diktator Orde Lama diganti diktator Orde Baru. Perubahan kebudayaan itu lebih penting dilakukan dengan cara pendidikan pada tingkatan 58 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 grassroot atau istilah dalam drama ini underground. Bisa dilakukan lewatkantong-kantong eksperimen kebudayaan.Ini melibatkan emansipasi individu rakyatnya.Tetapi memang perlu makan banyak waktu. Tetapi perubahan kebudayaan dengan cara demikian lebih mendasar dan tidak berdarah-darah. Pemikiran Rendra lewat Jose Karosta ini sesuai dengan cara berfikir filsafat kritis. Ciri-ciri filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan–hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika srtuktur-struktur penindasan dan emasipasi. (Frans Magnis Suseno: 1992)Pemikiran kritis merasa dirinya bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata.Cocok sekali dengan karya-karya puisi maupun drama WS Rendra yang selalu mengkritisi keadan sosial bangsanya.Sepertinya ada hubungan pemikiran WS Rendra dengan teori kritis. Filsafat kritis ini bermula dan berkembang dari filsafat Karl Marx (Marxisme).Filsafat marxisme ini tidak sekedar menjelajah dunia filsafat saja, tetapi menyeluruh dalam segala bidang, baik sosial ekonomi, politik, budaya bahkan seni.Memang teori kritis berpijak pada marxisme, tetapi sekaligus kemudian jauh meninggalkannya.Teori kritis lebih mengarah kreatif dalam menghadapi persoalan-persoalan masyarkat industri maju.Teori kritis menjadi booming pada tahun 1960-an. Para sarjana-sarjana sosiologi dan filsafat gencar mendiskusikan teori kritis.Tahun 1961 Deutsche Gesellschaft fur Soziologie mengadakan pertemuan dimana terjadi perdebatan yang sengit antara Theodor Wiesengrund Adorno dan Karl Popper.Perdebatan itu berlanjut sampai antara Jurgen Habermas dipihak Adorno dan Hans Albert di pihak Popper.Perdebatan ini terjadi di panggung universitas-universitas di Jerman (terutama di Frankfurt) tetapi gemanya keseluruh dunia filsafat. Dan perlu diketahui tahun 1960-an juga WS Rendra sekolah di Amerika, kemungkinan WS Rendra mengikuti perkembangan perdebatan teori kritis, sebab infrastruktur pustaka di negara maju lengkap sekali dan cepat aksesnya. WS Rendra bermukim di Amerika selama 3 tahun antara tahun 1964-1967.Setelah pulang dari Amerika, WS Rendra membentuk komunitas Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 59 teater yaitu Bengkel Teater di Yogyakarta.Setelah pulang belajar dari Amerikakarya-karya WS Rendra berubah dan lebih menyoroti dan lebih tajam memandang realita kehidupan masyarakat, membela rakyat, terutama membela kaum pinggiran,membela kebenaran dan keadilan, serta membela hak asasi manusia (HAM). Sekarang karya-karya WS Rendra tidak sekedar monumental tetapi menjadi spirit dan menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia. Sampaisampai perusahaan travel Cipaganti memasang wajah WS Rendra di bodi kendaraan travelnya dengan tulisanSpirit of Indonesia.WS Rendra sebagai seniman mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan di sekelilingnya. Seniman mempunyai pengaruh yang besar pada lingkungannya ini disadari betul oleh Karl Marx.Dalam buku Theory for Art History karya Jae Emerling diterangkan sebagai berikut.Marx argued that some culture productions (he often gives Shakespeare as an Example) can transcend ideology; thus, the superstructure can, in certain instances, alter the base. Artwork have the potential to affect and even change how we view material (social and historical) reality.Seniman (pekerja seni) sangat penting sekali dan berpengaruh peranannya dalam memandang perkembangan kebudayaan yang nyata.Oleh karena itu Marx mengkritik para seniman yang cuma bicara seni untuk seni, dan seni sebagai produk kebudayaan yang dianggap lebih penting dari ideologi. Pekerja seni memiliki kekuatan mempengaruhi dan merubah cara memandang kehidupan realita. Pemikiran Mark tidak berhenti sampai dia meninggal.Marxisme ini kini jadi pijakan berpikir pemikiran-pemikiran kritis zaman akhir abad 20 dan awal abad 21 ini.Pemikiran kritis era post marxisme adalah filsof dan sekaligus pemikir seni adalah Theodor Adorno. Dalam buku berjudul 50 Filsuf Kontemporer,dari Strukturalisme sampai Postmodernitas karangan Jhon Lechte dikatakan bahwa dalam rangka menentang pengaruh homogenisasi pada komersialisasi seni (baca reifikasi), dimana objek-objek seni akan direduksikan menjadi hanya memiliki nilai tukar belaka. Subjektivitas akan direduksikan menjadi yang memiliki status “objek” oleh nilai tukar ini. Oleh sebab itu dalam pikiran Adorno ada keinginan untuk memelihara kemurnian subjektivitas seperti yang tampil dalam objek seni, melawan serangan pasar 60 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dimana nilai itu disamakan dengan harga. (Jhon Lechte : 2001) Jelas sekali disini pemikirannya menentang adanya dominasi pasar yang nota bene karakter kapitalis yang dilawan kaum marxis.Pemikiran Adorno sejalan dengan karyakarya WS Rendra yang mengutamakankan nilai seni itu lebih penting dari pada komersialisasi. Mungkin disinilah sutradara Ken Zuraida tidak memotong sedikit pun naskah WS Rendra dalam pementasan Mastodon dan Burung Kondor untuk sebuah nilai-nilai yang dianggap lebih penting itu sehingga mengakibatkan pertunjukan dengan durasi panjang selama kurang lebih 3 jam. Bagi generasi muda abad 21 yang digital dan dibesarkan oleh seribu chanel teve, sejuta tayangan iklan yang ciamik dengan kecepatan adauhai, maka pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor yang 3 jam itu akan terasa lambat dan membosankan. WS Rendra tahu pemerintahan Orba antikritik, maka WS Rendra mensiasati karyanya dengan cara teknik karambol. Tembakan karambol, membidik sisi kiri, dengan sasaran sisi kanan. Mengkritisi kondisi negara Indonesia saat itu (1973) dengan cara mementaskan Mastodon dan Burung Kondor yang berlatar belakang sebuah negara latin bekas jajahan/koloni Spanyol. Lihat nama-nama tokoh dalam drama Mastodon dan burung kondor, Jose Karosta, Hernadez, Juan Frederico, Don Carvalho, Gloria, Padre Alfonso, Fabiola Andrez, Profesor Topaz adalah nama-nama orang berbahasa Spanyol. Begitu juga nama kota nama propinsi semua imajinasi WS Rendra yang berbau nama-nama Spanyol. Strategi ini tembakan karambol ini jitu. Para intelejen dan lembaga sensor orba tidak bisa mengendusnya Sindiransindiran dan kritikan-kritikan yang tajam pada penguasa orba disampaikan melalu negara latin jajahan Spanyol tersebut. Sehingga karya WS Rendra ini lolos dari sensor dan boleh dipentaskan. SIMPULAN Apa yang bisa diambil bagi generasi muda dari uraian di atas tentang karya WS Rendra Mastodon dan Bururung Kondor? Generasi muda bisa belajar dari karya WS Rendra ini. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 61 1. Generasi muda adalah penerus bangsa. Generasi muda yang akan melanjutkan etafet tapuk pimpinan bangsa masa depan. Maka generasi nanti kalau jadi pejabat atau pengusaha diharapkan tidak menjadi mastodon yang rakus, korupsi, mementingkan dirinya saja atau kelompoknya saja. Kelakuan mastodon dalam drama WS Rendra tersebut jangan sampai ditiru oleh para generasi muda. 2. Generasi muda kalau nanti jadi pemimpin jangan sampai menelantarakan rakyatnya sehingga rakyat yang terlantar jadi seperti burung kondor. Burung kondor adalah seekor burung yang memakan sisa-sisa makanan dari mastodon yaitu bangkai. Generasi muda harus bisa menjadi pemimpin yang bisa mensejahterakan rakyatnya. 3. Generasi muda tidak boleh putus asa. Generasi bisa mencontoh WS Rendra bagaimana mensiasati tetap terus berkarya dalam tekanan pemerintah. Ini artinya situasi masalah setiap generasi berbeda. Maka siasatilah masalah sesuai kondisi zamannya. 4. Generasi muda diajak oleh WS Rendra untuk berfikir kritis menghadapi semua permasalahan, baik masalah politik, ekonomi, sosial budaya. Berfikir kritis terhadap masalah dengan cara dialektika. 5. Kampus adalah salah satu kawah candradumuka untuk generasi muda. Dan seni adalah salah satu unsur kebudayaan yang penting. Maka kampus harus menghadirkan atau melibatkan generasi muda dalam proses-proses seni. DAFTAR PUSTAKA Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi.. Bandung: Binacipta Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.. Jakarta: Rineka Cipta Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo Persada. Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakart:a Kanisius. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Jakarta : Balai Pustaka. 62 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai ilmu kritis. Yogyakarta: Kanisius.. Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Rendra, WS. Mastodon dan Burung Kondor (naskah Drama) Emerling,Jae. 2005. Theory for Art History. New York: Routledge Taylor & Francis Group. Lechte, Jhon. 2001. 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas.. Yogyakarta: Kanisius http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/9/134/sastra_universal_juga_ kontekstual_gunoto_saparie Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 63 IMPLEMENTASI PENILAIAN SIKAP DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA Alfa Mitri Suhara STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Implementasi Penilaian Sikap dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Makalah ini memaparkan mengenai penilaian pada kurikulum 2013 yang memberikan penilaian tidak hanya pada produk yang dihasilkan saja tetapi penilaian juga diberikan pada proses pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah memiliki peranan penting. Hal ini dikarenakan pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan dan keterampilan saja, namun pembelajaran bahasa Indonesia juga bertujuan memberikan dan mengarahkan peserta didik untuk mengenali diri dan lingkungan sekitarnya. Untuk mewujudkan tujuan tesebut, maka proses kegiatan pembelajaran haruslah mendapatkan penilaian yang tepat dan berkesinambungan. Penilaian tersebut dilakukan untuk membentuk karakter (pembentukan moral) peserta didik sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Penilaian pada proses pembelajaran dapat dilakukan dengan penilaian sikap yang mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik pada aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending), merespon atau menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelolah (organization), dan berkarakter (characterization). Penilaian proses (sikap) terhadap kelima aspek tersebut dapat dilakuakan dengan teknik observasi, penilaian diri, penilaian antarpeserta didik, dan jurnal. Kata Kunci: pembelajaran bahasa indonesia, penilaian, kurikulum PENDAHULUAN Kurikulum pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan agar peserta didik menjadi output yang berkualitas. Kurikulum 2013 yang dipakai dalam kegitan pembelajaran saat ini merupakan pengembangan dari kurikulum sebelumnya. Kurikulum 2013 menetapkan sikap sebagai aspek yang sangat penting untuk dinilai dalam pembelajaran. Secara autentik, urutan penilaian dimulai dari penilaian sikap, penilaian pengetahuan, dan penilaian keterampilan. Penilaian merupakan salah satu kegiatan penting dalam pembelajaran. Melalui 64 kegiatan penilaian, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pihak-pihak terkait dalam pembelajaran baik guru, siswa, maupun pihak lainnya akan mengetahui keberhasilan pembelajaran termasuk penguasaan kompetensi peserta didik. Penilaian sebagai salah satu faktor penting untuk menentukan hasil pencapaian pembelajaran. Penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia hendaknya disusun sesuai dengan tujuan pengajaran dan berkesinambungan agar informasi yang diberikan mengenai proses dan hasil belajar dapat digunakan dengan akurat. Proses dan hasil penilaian sangat dipengaruhi oleh beragamnya pengamatan, latar belakang, dan pengalaman praktis evaluator. Kurikulum 2013 mempertegas adanya pergeseran dalam melakukan penilaian, yakni mengukur kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hal ini dilakukan karena nilai yang diharapkan bukan hanya penilaian hasil/produk saja, melainkan juga proses pembelajarannya (penilaian proses). Penilaian pada kurikulum 2013 berdasarkan Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang Penilaian dan Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum 2013. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, penilaian disamakan dengan istilah asesmen. Penilaian dilakukan melalui tiga kegiatan, yakni pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Oleh karena itu, penilaian pada kurikulum 2013 harus memotret empat Kompetensi Inti: KI-1 berkenaan dengan kompetensi inti sikap spiritual; KI-2 berkenaan dengan kompetensi inti sikap sosial; KI-3 berkenaan dengan kompetensi inti pengetahuan; serta KI-4 berkenaan dengan kompetensi inti keterampilan. Masing-masing kompetensi inti tersebut kemudian dijabarkan dalam kompetensi dasar. Penilaian untuk keempat kompetensi tersebut harus dilakukan secara proses dan hasil. Artinya, penilaian harus dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pembelajaran hingga akhir pembelajaran. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah merancang penilaian sikap dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk membentuk karakter peserta didik sesuai dengan tujuan kurikulum 2013. Rancangan yang disusun disesuaikan dengan penilaian sikap pada kurikulum 2013. Pertama, penilaian sikap (penilaian proses) merupakan serangkaian penilaian yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Kedua, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 65 pembelajaran bahasa Indonesia merupakan proses kerja sama antara siswa dan guru yang memiliki tujuan terhadap peserta didik untuk mencapai kompetensi terampil berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Hal tersebut dikemukan Sanjaya (2013: 26) bahwa pembelajaran diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar, maupun potensi yang ada diluar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu. PEMBAHASAN Sikap merupakan ungkapan perasaan atau ekspresi terhadap nilai atau pandangan hidup yang dimiliki seseorang. Sikap berhubungan dengan psikologis. Objek sikap dapat berupa simbol, ungkapan, slogan, orang, institusi, dan ide. Menurut (Mar‘at, 1984: 9), sikap sebagai suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang lebih luas. Dari sudut motivasi, sikap merupakan suatu keadaan kesediaan untuk bangkitnya motif. Sikap belum merupakan tindakan/aktivitas, melainkan berupa kecenderungan (tendency) atau predisposisi tingkah laku. Sikap terdiri atas tiga komponen, yakni afektif, kognitif, dan konatif. Afektif adalah perasaan yang dimiliki seseorang terhadap objek. Kognitif adalah keyakinan seseorang terhadap objek. Konotatif adalah kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu. Komponen sikap menurut Kunandar (2013: 99), sikap memiliki tiga, yakni 1) komponen afektif mengenai kehidupan emosional individu, perasaan tertentu (positif atau negatif) yang memengaruhi penerimaan atau penolakan terhadap objek sikap, sehingga timbul rasa senang, tidak senang, takut, dan berani. 2) komponen kognitif, yaitu aspek intelektual yang berhubungan dengan bilief, idea atau konsep terhadap objek sikap. 3) Komponen behavioral, yaitu kecenderungan individu untuk bertingkah laku terhadap objek sikap. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sikap yang dimiliki seseorang dapat menunjukkan karakterisktik yang dimilikinya karena sikap 66 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 merupakan ungkapan perasaan, kemampuan pengetahuan, dan cara bertindak/berperilaku terhadap objek. Berikut uraian mengenai implementasi penilaian sikap dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Penilaian Sikap Penilaian sikap dalam pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Menurut Kunandar (2013:100) bahwa penilaian kompetensi sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang meliputi aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending), merespon atau menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelolah (organization), dan berkarakter (characterization). Adapun cakupan penilaian pada kompetensi sikap berdasarkan kurikulum 2013 sebagai berikut. Cakupan Nilai pada KI-1 dan KI-2 No. Jenis 1 Sikap spiritual 2 Sikap Sosial Cakupan Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianut a. Kejujuran b. Kedisiplinan c. Tanggung jawab d. Toleransi e. Gotong royong f. Kesantunan g. Percaya diri Nilai-nilai pada KI-1 dan KI-2 dijabarkan ke dalam KD-KD pada setiap mata pelajaran. Cakupan penilaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual (K1) maupun sikap sosial (K2) tidak diajarkan dalam proses belajar mengajar tetapi menjadi pembiasaan melalui keteladanan. Ruang lingkup penilaian kompetensi sikap terdapat lima jenjang proses berpikir yang berkaitan dengan hasil penilaian sikap berdasarkan cakupan nilai pada KI-1 dan KI-2. Menurut Kusnandar (2013: 105-113), terdapat lima jenjang proses berpikir, sebagai berikut. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 67 a. Menerima atau Memerhatikan (Receiving Atau Attending) Kemampuan menerima merupakan kemampuan untuk menerima rangsangan dari luar baik berupa gejala atau fenomena. Kemampuan menerima adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lainlain. Pada tingkat menerima atau memerhatikan peserta didik memilih keinginan memerhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, dan sebagainya. Kemampuan pada tingkat menerima atau memilih peserta didik menjadikan fenomena sebagai objek pembelajaran afektif dan tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerja sama, dan sebagainya. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini, peserta didik menyadari bahwa diplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh. b. Merespon atau Menanggapi (Responding) Kemampuan merespon adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respon, keinginan memberikan atau kepuasan dalam memberi respon. c. Menilai atau Menghargai (Valuing) Kemampuan menilai adalah kemampuan memberika penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kegiatan pembelajaran dapat ditunjukkan antara lain melalui mengapresiasi, menghargai peran, menunjukkan perhatian, mengoleksi sesuatu, menunjukkan sifat simpatik dan empati kepada orang lain, menjelaskan alasan tentang sesuatu yang dilakukannya, bertanggung jawab terhadap perilaku, menerima kelebihan dan kekurangan diri, membuat rancangan hidup masa depan, 68 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 merefleksikan pengalaman pada suatu hal, membahas cara-cara melakukan sesuatu, merenungkan nilai-nilai bagi kehidupan. d. Mengorganisasi atau Mengelola (Organization) Kemampuan mengatur atau mengorganisasikan artinya kemampuan mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa kepada perbaikan umum. Megatur atau mengorganisasi merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisasi termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Kemampuan mengorganisasikan merupakan tingkatan afektif yang lebih tinggi daripada receiving. Contoh hasil belajar afektif jenjang penilaian adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, rumah maupun masyarakat. e. Berkarakter (Characterization) Kemampuan berkarakter adalah kemampuan memadukan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Ada lima tipe karakteristik afektif yang penting yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai, dan moral. Contoh hasil belajar afektif jenjang kemampuan berkarakter adalah peserta didik menjadikan nilai disiplin sebagai pola piker dalam bertindak di sekolah, rumah, dan masyarakat. Berdasarkan lima jenjang proses berpikir di atas maka dapat kita ketahui lebih lanjut bahwa indikator pencapaian kompetensi spiritual dan sosial perlu dilakukan penilaian yang berkesinambungan sehingga peserta didik dapat dipantau secara tepat dan berkelanjutan. Penilaian kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial agar sesuai dengan tujuan maka diperlukan tenik penilaian. Adapun teknik-teknik penilaian kompetensi sikap dalam kurikulum 2013 menurut Kunandar (2013: 117-153), sebagai berikut. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 69 Teknik Observasi Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara berkesinambungan dengan menggunakan indera. Bentuk instrumen yang digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang berupa daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek digunakan untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku peserta didik, sedangkan skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum memuat pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau perilaku yang positif atau negatif sesuai dengan indikator penjabaran sikap dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan antara lain berupa: a) selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah, b) sangat baik, baik, cukup baik, dan kurang baik. Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan petunjuk penskoran. Rubrik memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala atau daftar cek., sedangkan petunjuk penskoran memuat cara memberikan skor dan mengolah skor menjadi nilai akhir. Penilaian Diri Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk menilai pencapaian kompetensi dirinya sendiri. Instrumen yang digunakan berupa lembar penilaian diri menggunakan daftar cek atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Skala penilaian dapat disusun dalam bentuk skala Likert atau skala semantic differential. Skala Likert adalah skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena. Skala semantic differential adalah skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya bukan pilihan ganda maupun check list, tetapi tersusun dalam satu garis kontinu, jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya. Data yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantic differential adalah data interval. Skala bentuk ini biasanya digunakan untuk mengukur sikap atau 70 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang. Adapun kriteria penyusunan lembar penilaian diri adalah sebagai berikut: 1) Berupa pertanyaan tentang pendapat, tanggapan dan sikap, misalnya sikap responden terhadap sesuatu hal. 2) Menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh responden. 3) Pertanyaan diusahakan yang jelas dan khusus. 4) Harus dihindarkan pertanyaan yang mempunyai lebih dari satu pengertian 5) Harus dihindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti. 6) Harus membuat pertanyaan yang berlaku bagi semua responden. Penilaian Antarpeserta Didik Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian kompetensi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian antarpeserta didik adalah daftar cek dan skala penilaian (rating scale) dengan teknik sosiometri berbasis kelas. Guru dapat menggunakan salah satu dari keduanya atau menggunakan dua-duanya. Jurnal Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Kelebihan yang ada pada jurnal adalah peristiwa/kejadian dicatat dengan segera. Dengan demikian, jurnal bersifat asli dan objektif dan dapat digunakan untuk memahami peserta didik dengan lebih tepat. Terkait dengan pencatatan jurnal, guru perlu mengenal dan memerhatikan perilaku peserta didik baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Aspek-aspek pengamatan ditentukan terlebih dahulu oleh guru sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkan. Aspekaspek pengamatan yang sudah ditentukan tersebut kemudian dikomunikasikan terlebih dahulu dengan peserta didik di awal semester. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat jurnal yaitu a) catatan atas pengamatan guru Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 71 harus objektif, b) yang dicatat hanyalah kejadian/peristiwa yang berkaitan dengan Kompetensi Inti, dan c) pencatatan segera dilakukan (jangan ditundatunda). Penilaian Sikap dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki tujuan dan peranan yang sangat penting di sekolah. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik pada empat aspek keterampilan berbahasa, mengarahkan peserta didik untuk bisa mengenal dirinya, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan mampu mengenal lingkuan hidup di sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut Akhadiah dkk. (1991: 1) mengungkapkan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia adalah agar siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah dasar. Berdasarkan peranan dan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang telah disampaikan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa tidak hanya meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik saja tetapi pembelajaran bahasa dapat membentuk karakter peserta didik untuk memiliki sikap-sikap yang luhur. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan tepat dan akurat agar tujuan dari pembelajaran bahasa Indonesia tercapai dengan baik. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada kurikulum 2013 dalam pelaksanaan penilaian pembelajaran haruslah melakukan penilaian proses pada peserta didik agar penilaian akhir yang diperoleh tidak hanya pada kompetensi pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi kompetensi sikap juga dapat dinilai. Selain itu, kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan sikap (afektif) yang tertuang dalam kompetensi inti K1 dan K2. Adapun sasaran penilaian hasil belajar oleh pendidik pada ranah sikap spiritual dan sikap sosial berdasarkan Permendikbud tahun 2014 tentang pedoman penilaian hasil belajar oleh pendidik adalah sebagai berikut. 72 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tabel 1. Pedoman Penilaian Hasil Belajar Ranah Sikap Tingkatan Sikap Menerima nilai Deskripsi Kesediaan menerima suatu nilai dan memberikan perhatian terhadap nilai terebut Kesediaan menjawab suatu nilai dan ada rasa puas dalam membicarakan nilai tersebut Menganggap nilai tersebut baik; menyukai nilai tersebut; dan komitmen terhadap nilai tersebut Memasukkan nilai tersebut sebagai bagian dari sistem nilai dirinya Mengembangkan nilai tersebut sebagai ciri dirinya dalam berpikir, berkata, berkomunikasi, dan bertindak (karakter) Menanggapi nilai Menghargai nilai Menghayati nilai Mengamalkan nilai (Sumber: Olahan Krathwohl dkk.,1964) Sasaran penilaian hasil belajar pada ranah sikap spiritual dan sosial dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat tercapai apabila dilakukan penilaian proses (sikap) pada kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia yang mencakup empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis). PENUTUP Sikap merupakan ungkapan perasaan, cara bertindak/berperilaku terhadap objek yang didasarkan pada kemampuan pengetahuan yang dimiliki, sehingga sikap yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan karakter yang ia miliki. Untuk menciptakan karakter yang unggul pada peserta didik harus ditanamkan dan dilakukan pembinaan secara berkesinambungan. Oleh karena itu, diperlukan penilaian proses selama kegiatan pembelajaran yang berlangsung. Hal ini, bertujuan agar guru/tenaga pendidik dapat melakukan penilaian secara akurat dan tepat dalam rangka membentuk karakter peserta didik untuk memiliki kepribadian yang unggul. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus mampu mengarahkan peserta didik mengenal dirinya sendiri dan lingkungannya dalam kegiatan pembelajaran melalui pengetahuan dan keterampilan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Uraian mengenai implementasi penilaian sikap dalam pembelajaran bahasa Indonesia tersebut masih sangat umum dan belum lengkap. Namun Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 73 setidaknya, uraian tersebut dapat memberikan gambaran dalam menyusun penilaian sikap (proses). Sesuai dengan pembelajaran tujuan pembelajaran bahasa yang harus diintergrasikan ke dalam empat keterampilan berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Akhir kata, penilaian atau evaluasi pembelajaran tidak hanya dilakukan pada produk yang dihasilkan saja, tetapi dilakukan juga selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan agar peserta didik tidak hanya memiliki kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan saja, namun diharapkan peserta didk dapat memiliki kompetensi sikap (spiritual dan sosial) yang unggul sebagai wujud pembentukan karakter peserta didik yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Kunandar. 2009. Peniaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Kurikulum 2013). Jakarta: Kharisma Putra Utama Offset. Mar‘at, S. 1984. Perubahan Sikap Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalila Indonesia. Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum. Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang Penilaian. Permendikbud tahun 2014 tentang Pedoman Penilaian. Sanjaya, W. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 74 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 ALUR PADA CERPEN ANAK DALAM SURAT KABAR KOMPAS Arini Noor Izzati Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Terbuka Pos-el: [email protected] ; [email protected] ABSTRAK Alur pada Cerpen Anak dalam Surat Kabar Kompas. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis alur yang terkandung dalam cerpen anak surat kabar Kompas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, dengan teknik dokumentasi. Penyajian data dilakukan secara deskriptif, untuk memaparkan unsur alur pada cerpen anak dan implikasinya sebagai alternatif pembelajaran sastra pada anak. Adapun data penelitian ini adalah teks cerpen anak yang terdapat pada rubrik anak-anak surat kabar Kompas. Cerpen-cerpen tersebut berjudul, (1) Papan Catur Kakek, (2) Kue Keranjang untuk Meylan, (3) Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk, (4) Dimas tanpa Suara, (5) Dito Punya Cara, (6) Biarkan Burung Itu Bebas, (7) Si Agus Juara, (8) Nyanyian Sang Katak, (9) Si Hitam dan Si Putih, (10) Kertas Daur Ulang, (11) Sahabat dalam Kesunyian, (12) Surat Januari. Hasil analisis menunjukkan bahwa cerpen-cerpen anak sebagian besar alurnya berpola awal-tengah-akhir. Hal itu memperlihatkan bahwa jenis pola alur tersebut masih mendominasi cerpen-cerpen itu. Tentunya dengan pertimbangan anak akan lebih mudah memahami isi cerita yang tersaji. Selain itu pengenalan terhadap cerpen-cerpen ini, diharapkan akan dapat membuat anak menjadi lebih akrab terhadap bentuk sastra anak itu sendiri, sehingga membantu anak-anak atau siswa usia sekolah dasar dalam upaya pembentukan karakter yang positif pada tahap-tahap awal kehidupan mereka. Kata kunci : alur, cerpen anak, sastra. PENDAHULUAN Sumbangan karya sastra dalam membangun karakter insan Indonesia merupakan hal yang sangat signifikan, pembangunan karakter ini dimulai dari awal perkembangan individu. Sastra mendorong manusia untuk merenungi makna kehidupan itu sendiri. Pembaca anak-anak, daya imajinasi maupun fantasinya baru berkembang. Mereka dapat menerima segala macam cerita terlepas dari cerita tersebut masuk akal atau tidak. Mengenai hal tersebut Stewig dalam Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah agar mereka dapat memperoleh kesenangan dan mampu menstimulasi imajinasi anak. Seperti yang juga diungkapkan oleh Hancock dalam Nodelman, (2008: 147) mengenai sastra untuk anak-anak, menurutnya, “Children‟s literature can be defined as literature that appeals to the interest, needs, and reading preferences of children and captives children as its major audience.”Artinya, sastra anak merupakan jenis bacaan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 75 sastra yang menarik minat, dibutuhkan dan lebih diminati untuk dibaca oleh anak-anak sebagai penikmat utama dan terbesar dari sastra anak. Anak sebagai individu yang sedang bertumbuh akan menyerap nilai-nilai yang didapatnya dari pengalamannya, diantaranya adalah dari kegiatan membaca, mendengar dan mengapresiasi karya sastra, seperti pada cerita anak. Berbincang tentang sastra anak tentunya tidak boleh lepas dari dunia anak-anak itu sendiri. Sastra untuk anak harus berkisah tentang anak, tentang kejadian yang melibatkan anak, tentang lingkungan yang memang selalu melingkupi anak, seperti keluarga, sekolah, pertemanan, cita-citanya, dunia khayal anak dan sebagainya. Nurgiyantoro (2005:8) memberikan pendapatnya mengenai hal tersebut, menurutnya anak merupakan pusat pemilik kebutuhan dan pusat perhatian dalam sastra anak, maka pada sastra anak hal tersebut memang harus ditulis dan disediakan untuknya. Bentuk sastra anak ini biasanya disajikan dalam berbagai bentuk, misalnya puisi, cerpen, novel dan drama. Berkaitan dengan hal tersebut, bacaan sastra yang dapat cepat diapresiasi oleh anak salah satunya adalah cerita pendek atau cerpen. Cerpen menyajikan isi cerita yang tidak terlalu rumit alurnya, menarik, dan hanya membutuhkan waktu yang tidak banyak untuk membacanya, sehingga anak pun tidak bosan ketika menikmati cerpen. Dalam hal pemilihan surat kabar, tentunya dipilih surat kabar yang memiliki kualitas yang baik dan memang menyediakan rubrik khusus untuk anak-anak secara konsisten dan berkala. Contohnya adalah surat kabar KOMPAS, yang menyajikan rubrik anak-anak yang di dalamnya memuat cerpen khusus anak-anak. Rubrik ini hadir setiap hari minggu. Jadi, cerpen anak-anak dalam surat kabar KOMPAS dapat menjadi alternatif sumber pembelajaran sastra untuk anak-anak usia sekolah dasar. Tentunya dengan pertimbangan dan asumsi bahwa surat kabar ini merupakan salah satu surat kabar yang beredar di Indonesia dan berkualitas dalam hal konten dan pemberitaan. Cerita Pendek Anak Sebagaimana jenis fiksi untuk orang dewasa, fiksi untuk anak-anak juga dibedakan berdasarkan bentuknya, yaitu cerita pendek (cerpen) dan novel. Sebagaimana Nurgiyantoro (2005: 286) menyatakan bahwa berdasarkan panjang dan pendeknya cerita yang dikisahkan, cerita fiksi anak-anak, dapat dibedakan ke dalam novel dan cerita pendek (cerpen). Berbeda halnya dengan novel anak-anak yang sering terbit dalam bentuk sebuah buku, cerpen anak-anak pada umumnya dimuat 76 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dalam surat kabar harian atau majalah. Cerpen anak sebagaimana juga cerpen dewasa, yang hanya terdiri dari beberapa halaman atau sekitar seribu kata dan kandungan ceritanya tidak terlalu melebar, tentunya tidak membutuhkan ruang yang banyak dalam majalah atau surat kabar. Selain itu Sarumpaet (2010: 4) menyatakan berpikir mengenai anak, kehidupan anak, bacaan anak, serta bermacam persoalan yang berkaitan dengannya, kita perlu secara sadar meletakkan semua itu dalam konteks budaya anak-anak. Sebagai jenis fiksi yang menyajikan cerita, cerpen dibangun oleh berbagai unsur intrinsik yang sama, misalnya unsur penokohan, alur, latar, tema, amanat, sudut pandang, dan lain-lain, walaupun dengan membawa konsekuensi tersendiri pada keluasan cerita yang dikisahkan. Berkaitan dengan hal tersebut Nurgiyantoro (2005: 287) kembali menyatakan bahwa, cerpen tidak mungkin berbicara secara panjang lebar tentang berbagai peristiwa, tokoh, dan latar karena dibatasi oleh jumlah halaman. Sehingga dengan penampilannya yang hanya melibatkan sedikit tokoh, peristiwa, latar, tema, dan moral, fokus ke pencapaian kesan tunggal tidak terlampau sulit diperoleh. Jadi dapat dikatakan bahwa cerita pendek anak, sebagaimana cerita pendek untuk orang dewasa merupakan cerita yang singkat atau pendek, memiliki efek kesan tunggal, imajinatif, dan padat. Cerpen anak juga memiliki satu permasalahan saja, dan menikmatinya tidak perlu dalam waktu yang lama. Memang ada perbedaan dalam bentuk penyajian dari cerita pendek untuk orang dewasa dan cerita pendek untuk anak-anak, baik dari segi tampilan, tema, amanat, isi cerita, muatan nilai-nilai dan penggunaan bahasa. Alur Cerita Pendek Anak Secara teoretis ada pola-pola tertentu yang lazim digunakan untuk pengembangan alur sastra anak menyangkut substansi kualitas aksi tokoh maupun sekuensi aksi tersebut. Menurut Sarumpaet (2010: 111-112) pada umumnya alur cerita anak dirancang secara kronologis, yang menaungi periode tertentu dan menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu tersebut. Ada dua tipe kronologis yakni progresif dan episodik. Alur kronologis-progresif ditandai dengan eksposisi, tempat tokoh-tokoh, latar, dan konflik dasar diperkenalkan. Setelah itu, cerita dibangun hingga gawatan dan klimaks. Sedangkan alur kronologis-episodik mengikat beberapa cerita pendek atau episode, masing-masing sebuah kebulatan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 77 dengan konflik dan penyelesaian. Episode-episode itu dipersatukan dengan tokoh yang sama dan latar yang sama pula. Pendapat Nurgiyantoro (2005:243-247) mengenai pola alur pada cerpen anak adalah (1) awal-tengah-akhir, (2) kronologis versus sorot balik, (3) konflik dan klimaks, (4) suspense dan surprise, dan (5) kesatupaduan. Pola awal-tengah-akhir mengacu pada urutan cerita yang tersaji dari mulai pemunculan konflik, konflik mulai berkembang, dan sampai konflik melewati tahap penyelesaian baik secara terbuka maupun tertutup. Pola kronologis versus sorot balik adalah sekuensi peristiwa dikisahkan berdasarkan urutan waktu dari ketidakruntutan waktu kejadian. Peristiwa yang dimulai dari awal sampai akhir berdasarkan urutan normal disebut dengan kronologis, sedangkan urutan peristiwa yang tidak berdasarkan urutan awal berdasarkan kejadian, yakni peristiwa akibat didahulukan sebelum sebab, disebut sorot balik. Pola konflik dan klimaks berupa substansi peristiwa yang dikisahkan berkembang berdasarkan hubungan sebab akibat dan logika. Pola suspense dan surprise berkaitan dengan rasa ingin tahu yang dirasakan pembaca tentang kelanjutan cerita dan menahan pembaca untuk tetap menikmati alur cerita dalam rangkaian ikatan emosional pembaca. Pola Kesatupaduan merupakan bentuk keterkaitan antara peristiwa-peristiwa dan konflik sehingga secara keseluruhan cerita itu menampilkan sesuatu yang memiliki ciri kesatupaduan (unity). Keterkaitan tersebut berupa hubungan sebab akibat, kelogisan atau konteks kewacanaan sehingga alur cerita menjadi lebih meyakinkan. Lima pola yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro inilah yang dijadikan pedoman dalam menganalisis alur pada cerpen anak dalam surat kabar KOMPAS. Rubrik KOMPAS Anak Berdasarkan hasil observasi dan kunjungan untuk berwawancara dengan koordinator rubrik KOMPAS Anak, Ibu Retnowati, di kantor redaksi KOMPAS Jalan Palmerah Selatan No.26-28 Jakarta, maka didapat beberapa informasi mengenai rubrik ini. KOMPAS Anak mulai terbit pertama kali bulan Oktober 2003. KOMPAS Anak pada awalnya terdiri dari 4 halaman. Rubrik ini menerima kiriman naskah cerita pendek atau dongeng. Karangan yang dikirim harus asli dan belum pernah diterbitkan. Panjang karangan 3-4 halaman, diketik dua spasi. Pengiriman naskah ditujukan ke Redaksi KOMPAS Anak. Naskah yang memang dianggap layak akan dimuat dalam rubrik ini. 78 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Seiring dengan berjalannya waktu, halaman di harian KOMPAS menyusut, maka halaman KOMPAS Anak pun ikut menciut menjadi 2 halaman, masih dengan formula yang sama secara bergantian, atau disesuaikan dengan kebutuhan. Pada halaman pertama terdiri atas kolom ―Ilmu pengetahuan‖ dan ―Resensi‖. Adapun halaman 2, terdiri atas kolom ―Cerita-cerita‖ dan ―Ruang Kita‖. METODE Metode Metode ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif. dipilih karena penelitian ini berupaya mendeskripsikan dan menginterpretasikan unsur alur yang terkandung dalam cerita pendek anak-anak yang termuat dalam rubrik ―Anak‘ pada surat kabar Kompas. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiyono (2010: 22) mengenai hal tersebut, menurutnya data yang terkumpul menggunakan metode ini berupa atau berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak terlalu menekankan pada angka. Jadi metode deskriptif digunakan untuk membantu identifikasi dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Untuk melaksanakan teknik penelitian digunakan alat pendukung berupa, kartu analisis teks, kartu ini digunakan untuk menganalisis setiap cerpen. Selain itu ada pedoman analisis teks, pedoman ini digunakan sebagai rujukan dalam penganalisisan setiap cerpen, yang berupa pedoman analisis pola alur pada cerpen-cerpen anak tersebut. Data untuk penelitian ini adalah dua belas cerita pendek yang mewakili setiap bulan selama tahun 2010, yang diambil secara acak (random sampling). Judul-judul cerpen yang mewakili adalah: (1) ―Papan Catur Kakek” (3 Januari 2010), (2) ―Kue Keranjang untuk Meylan” (7 Februari 2010), (3) ―Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk” (14 Maret 2010), (4) ―Dimas tanpa Suara” (11 April 2010), (5) ―Dito Punya Cara”(23 Mei 2010), (6) ―Biarkan Burung Itu Bebas” (6 Juni 2010), (7)‖Si Agus Juara”(25 Juli 2010), (8) ―Nyanyian Sang Katak” (29 Agustus 2010), (9) ―Si Hitam dan Si Putih” (5 September 2010), (10) ―Kertas Daur Ulang” (24 Oktober 2010), (11) ―Sahabat dalam Kesunyian” (28 November 2010), (12) ―Surat Januari”(19 Desember 2010). HASIL DAN PEMBAHASAN Pola alur pada cerpen 1(―Papan Catur Kakek”) alur kronologis versus sorot balik. Begitu juga dengan cerpen 2 (―Kue Keranjang untuk Meylan‖) memiliki alur kronologis versus sorot balik. Adapun cerpen 3 (“Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk”) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 79 alur yang dimiliki adalah alur awal-tengah-akhir. Pola alur awal-tengah-akhir juga terdapat pada cerpen 4 (―Dimas Tanpa Suara”). Cerpen 5 (―Dito Punya Cara‖) memiliki pola alur konflik dan klimaks. Pada cerpen 6 (“Biarkan Burung itu Bebas”) memiliki pola alur awal-tengah-akhir. Alur konflik dan klimaks terdapat pada cerpen 7 (―Si Agus Juara‖). Selanjutnya cerpen 8 (―Nyanyian Sang Katak‖) pola alur yang terdapat pada cerpen ini adalah awal-tengah-akhir. Cerpen 9 (―Si Hitam dan Si Putih‖), Cerpen 10 (―Kertas Daur Ulang”), Cerpen 11 (―Sahabat dalam Kesunyian”), juga memiliki pola alur awal-tengah-akhir. Terakhir, adalah cerpen 12 (―Surat Januari”) yang memiliki pola alur kronologis versus sorot balik. Untuk memperjelas sebaran kelima pola alur dalam 12 (dua belas) cerpen tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut. No. Judul No. Cerpen Papan Catur Kakek 2. Kue Keranjang untuk Meylan 3. Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk 4. Dimas Tanpa Suara 5. Dito Punya Cara 6. Biarkan Burung itu Bebas 7. Si Agus Juara 8. Nyanyian Sang Katak 9. Si Hitam dan Si Putih 10. Kertas Daur Ulang 11. Sahabat dalam Kesunyian 12. Surat Januari Jumlah AwalTengah -Akhir 1. Kronologis Versus Sorot Balik V Pola Alur Konflik Suspense dan dan Suprise Klimaks Kesatupaduan V V V V V V V V V V V 7 3 2 Tabel tersebut memperlihatkan, dari keduabelas cerpen tersebut, yang memiliki pola awal-tengah-akhir adalah cerpen 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 11. Adapun cerpen 1, 2, 80 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dan 12 memiliki pola alur kronologis versus sorot balik. Cerpen 5 dan 7 memiliki pola alur konflik dan klimaks. Analisis data Analisis dari pola alur dari beberapa cerpen-cerpen tersebut diuraikan sebagai berikut: a. Pola Alur Cerpen 1 (“Papan Catur Kakek”) Kronologis versus Sorot Balik. Pada awal cerita pengarang menceritakan tentang keinginan tokoh utama yaitu Toni yang ingin memberikan hadiah papan catur untuk kakeknya, walaupun Toni dan kakeknya sebenarnya tidak akur. Toni sering kesal karena Kakek memiliki sifat cerewet dan suka menegurnya. Pada pertengahan, cerita mengalami klimaks dan konflik batin tokoh utamanya yaitu Toni, karena tibatiba kakeknya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Toni merasa sangat menyesal dan merasa bersalah, karena teringat pada masa lalu sering tidak akur dengan kakeknya. Apalagi setelah dia tahu kakeknya memberi hadiah Natal berupa sepeda untuknya yang dibeli dari hasil tabungan kakek. Terakhir, dikisahkan Toni menjenguk kakeknya di rumah sakit, dan Toni meminta maaf kepada kakeknya serta berjanji untuk tidak berburuk sangka lagi kepada kakeknya. Pada perayaan Tahun Baru kakeknya sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Toni dan keluarganya merayakan Tahun Baru bersama kakek di rumah. b. Pola Alur Cerpen 2 (“Kue Keranjang untuk Meylan”) Kronologis versus Sorot Balik. Cerita ini berawal dari kesedihan hati tokoh utama cerita ini yang bernama Meylan. Nenek Meylan yang bernama Oma Po telah meninggal empat bulan yang lalu, sehingga pada perayaan Imlek tahun ini Oma Po tidak ada di tengah-tengah keluarga Meylan. Pengarang memaparkan secara kronologis jalannya cerita pada cerpen ini. Cerita bergerak dimulai dari kegundahan hati Meylan yang sedih atas kepergian neneknya. Dia selalu teringat kemahiran neneknya membuat kue keranjang. Jalan cerita berikutnya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 81 berpindah saat Meylan dihibur oleh ayahnya dengan membuatkan lampion dan pohon angpau. Klimaks cerita ini ditandai dengan Meylan yang tidak kunjung gembira karena masih ada yang kurang yaitu kue keranjang buatan Oma Po, yang tidak ada pada saat Imlek ini. Namun hal tersebut akhirnya diketahui oleh sopirnya, Pak Min. Akhirnya Pak Min memberi tahu mama Meylan tentang kegundahan hati Meylan. Cerita diakhiri dengan dibuatkannya kue keranjang oleh mamanya yang rasanya tidak kalah lezat dengan buatan Oma Po. Meylan pun tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Pak Min, atas disampaikannya kegelisahan hatinya pada mamanya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa cerita ini memiliki alur kronologis versus sorot balik. c. Pola alur Cerpen 3 (“Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk”) AwalTengah-Akhir. Peristiwa dalam cerita ini berawal dari kepulangan tokoh utama yaitu Wiwik, bersama dengan kakaknya Mas Anton pulang dari liburan di rumah pamannya di Gianyar Bali. Selanjutnya ketika mereka tiba di pelabuhan Gilimanuk, mereka melihat banyak anak pengambil koin. Kakaknya, Mas Anton juga mencoba melempar koin yang diikuti dengan berebutnya anakanak tersebut untuk tejun ke laut mengambil koin yang dilempar Mas Anton. Peristiwa mencapai puncaknya ketika ada copet yang mengambil tas Mas Anton yang sedang dititipkan Wiwik, karena Mas Anton sedang asyik memotret anak-anak tersebut. Namun akhirnya copet tersebut dapat ditangkap dengan bantuan anak-anak pengambil koin yang sebagian sedang berkumpul di atas kapal. Tas milik Mas Anton pun dapat diselamatkan. Mas Anton dan Wiwik sangat berterimakasih kepada anak-anak pencari koin di Pelabuhan Gilimanuk. Peristiwa pada cerpen tersebut berkembang maju, dengan memiliki alur awal-tengah-akhir. d. Pola Alur Cerpen 4 (“Dimas Tanpa Suara”) Awal-Tengah-Akhir. Peristiwa dalam cerita ini dimulai pada saat sepeda milik tokoh utama yang bernama Sita dibawa oleh seorang anak yang berkepala botak, yang belakangan diketahui bernama Dimas. Sita sangat kesal karena anak itu tidak meminta izinnya ketika meminjam sepeda. Anak itu hanya mencolek-colek 82 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bahu Sita ketika akan memakai sepeda Sita. Sita takut sepeda barunya rusak, karena sepeda itu hadiah ayahnya untuknya karena nilai rapor Sita bagus. Arum, teman Sita sudah mencoba meredakan keresahan hati Sita, namun Sita tetap kesal pada anak itu. Cerita berlanjut hingga menimbulkan konflik ketika Sita tahu sepedanya penyok dan anak itu mengendarai sepeda dengan kencang. Anak itu pun tidak meminta maaf atas perbuatannya tersebut. Walaupun Sita sudah mulai emosi, anak itu tidak merespon kemarahan Sita. Klimaksnya, Sita naik pitam dan hampir saja mengeluarkan jurus taekwondonya. Namun tiba-tiba datang ibu anak tersebut, dan menjelaskan mengenai keadaan anaknya yang ternyata bernama Dimas itu. Dimas memiliki kekurangan, dalam pendengaran dan kemampuan berbicara. Cerita diakhiri dengan permintaan maaf dari ibunya Dimas. Sita pun mengerti mengapa tadi Dimas hanya mencolek-colek badan Sita ketika mau pinjam sepeda. Sepedanya pun tidak seberapa penyok, jika besok anak itu mau pinjam sepeda lagi Sita akan meminjamkannya. Berdasarkan paparan tersebut, cerpen 4 ini memiliki alur awal-tengah-akhir. e. Pola Alur Cerpen 5 (“Dito Punya Cara”) Konflik dan Klimaks Peristiwa dalam cerita ini berawal ketika, pengarang memperkenalkan tokoh utama yaitu Dito, seorang anak yang berasal dari kota, dan baru dua bulan tinggal di sebuah desa. Dito merasa sedih, karena teman-teman sekolahnya sering mengejeknya dngan sebutan anak kota yang lembek dan tidak gesit. Apalagi jika mereka mengajak bermain bentengan, Dito pasti tidak mau. Permainan bentengan adalah permainan mempertahankan benteng sambil lari berkejar-kejaran. Konflik terjadi. Walaupun Dito pandai di sekolah, namun teman-temannya tetap mengejeknya. Pengarang menggambarkan bagaimana Dito selalu menyendiri saat jam istirahat di sekolahnya. Hal tersebut membuat gurunya terutama ibunya bertanya-tanya mengapa Dito seperti itu. Cerita mencapai klimaksnya ketika Dito berterus terang kepada ibunya mengenai apa yang menimpanya. Ibunya langsung menebak kesulitan yang dialami anaknya yaitu karena Dito tidak suka kegiatan lari, itulah mengapa Dito sering menolak untuk bermain bentengan. Ibunya yang bijak membiarkan Dito mencari Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 83 jawaban atas masalah yang dialaminya. Beliau tahu anaknya memiliki banyak akal untuk memecahkan persoalannya Kisahnya berlanjut dengan didapatkannya solusi oleh Dito sendiri. Dia bisa aktif terlibat dalam bentengan walaupun tidak ikut berlari-lari ketika bermain bentengan. Dito menawarkan diri menjadi wasit dalam permainan bentengan, dengan alasan pada saat permainan bentengan yang selama ini ia tonton, sering ada yang bermain curang. Jadi harus ada yang mengawasi supaya adil. Teman-temannya pun setuju. Sejak saat itu Dito pun aktif bermain bentengan dengan berperan sebagai wasit. Permainan pun menjadi seru, teman-temannya tidak mengejeknya lagi dan Dito bisa berangkat sekolah dengan wajah yang cerah. Berdasarkan paparan yang telah diungkapkan maka dapat dikatakan bahwa cerpen ini memiliki alur konflik dan klimaks. f. Pola Alur Cerpen 6 (“Biarkan Burung Itu Bebas”) Awal-TengahAkhir. Awal cerita ini dimulai ketika tokoh utama yang bernama Doni yang meminta dibelikan burung kepada ayahnya. Burung gereja yang dicat warnawarni dan dimasukkan ke dalam sangkar kawat kasa yang dijual oleh penjual burung keliling. Namun ayah Doni tidak menyetujui permintaan Doni, tentu saja Doni sangat kecewa pada ayahnya. Dia merasa ayahnya tidak mengerti akan keinginan dirinya, banyak prasangka buruk yang menghinggapi Doni terhadap ayahnya. Menurut Doni membeli burung gereja itu hanya persoalan sepele, kenapa ayahnya jadi pelit, sekarang. Sebenarnya ayah Doni memiliki pikiran yang berbeda dengan Doni, buat ayahnya, hal tersebut sama saja menyiksa binatang, dengan mengurung burung dalam sangkar, berarti membuat mereka kehilangan haknya untuk hidup bebas sebagai makhluk hidup. Oleh karena itu ayah Doni berjanji untuk membuatkan sesuatu yang akan mengganti permintaan Doni yang tidak disetujui ayahnya. Ternyata ayahnya membuatkan tempat untuk singgah burung-burung gereja di atas pohon mangga mereka di belakang rumah Doni. Tempat singgah burungburung tersebut, berasal dari papan-papan yang diberi kaleng untuk tempat beras dan air bagi burung-burung. Menurut ayahnya dengan begitu, burung- 84 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 burung tersebut akan bebas berterbangan, dan akan lebih leluasa menikmati tingkah lakunya yang lucu serta kicauannya yang merdu. Doni pun sekarang akhirnya mengerti maksud ayahnya. Jadi, cerita ini bergerak maju atau beralur awal-tengah-akhir. g. Plot AlurCerpen 7 (“Si Agus Juara”) Konflik dan Klimaks Cerpen ini memiliki alur konflik dan klimaks. Hal tersebut ditandai dengan merasa kesalnya tokoh Agus di awal cerita karena teman-teman sekelasnya mengubah namanya menjadi Agus Kurus. Hal tersebut karena tubuh Agus memang kurus. Namun Agus tidak suka diberi julukan seperti itu. Klimaksnya Agus bertindak ekstrim, menambah porsi makannya menjadi banyak. Akan tetapi itu dilarang oleh mamanya, yang kemudian menyarankan agar Agus menjadi yang terbaik saja, dengan memiliki prestasi, baik di bidang olah raga maupun pada pelajaran di sekolah. Agus pun menuruti saran mamanya. Walaupun Agus masih sering dijuluki Agus kurus, namun Agus tidak peduli, dia bertekad menjadi yang terbaik di kelasnya. Akhirnya usaha Agus tidak sia-sia, dia menjadi juara tidak saja di bidang olahraga namun juga di bidang pelajaran sekolah. Teman-teman Agus pun dengan bangga mengakui hal tersebut, dan mengganti julukannya menjadi si Agus Juara. SIMPULAN Pola alur awal-tengah-akhir mendominasi sebagian besar pola alur dari cerpencerpen. Pola alur meliputi tahap perkenalan, pertikaian, penyelesaian. Pengarang memperkenalkan tokoh-tokoh dan penokohannya pada awal cerita, kemudian dilanjutkan dengan menyajikan masalah dan kejadian hingga mencapai klimaks, hingga akhirnya terdapat penyelesaian dari masalah dan kejadian yang dialami oleh tokoh-tokohnya.Hal tersebut memang akan lebih memudahkan anak sebagai pembacanya memahami isi cerita. Hanya sebagian kecil cerpen yang memiliki pola kronologis versus sorot balik. Adapun pola alur suspense dan surprise dan pola alur kesatupaduan tidak terdapat pada cerpen-cerpen anak tersebut. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 85 DAFTAR PUSTAKA Nodelman, Perry. (2008). The Hidden Adult. Baltimore, Maryland. USA: The Jhon Hopkins University Press. Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengajaran Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sarumpaet, Riris K. Toha. (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia. Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. 86 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA CETAK Studi Kasus Media Cetak Kompas dan Radar Sulteng Arum Pujiningtyas Universitas Tadulako Pos-el: [email protected] ABSTRAK Kekerasan Simbolik dalam Media Cetak. Stusi Kasus Media Cetak Kompas dan Radar Sulteng. Media massa memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia Indonesia, terutama generasi muda. Hal ini karena efek dari media massa yang dapat mempengaruhi pemikiran hingga tingkah laku. Efek itu dapat terjadi bagi penonton/pendengar untuk media elektronik, dan bagi pembaca untuk media cetak. Berkenaan dengan itu, media seharusnya dapat menempatkan diri sebagai pemberi informasi yang bernuansa pendidikan dan perdamaian. Nuansa pendidikan yang dimaksud agar media memerankan diri secara edukatif, dan nuansa perdamaian agar media dapat menjadi perekat persaudaraan antarmasyarakat melalui literasi yang disampaikan. Berkenaan dengan itu, makalah ini akan menyajikan bentuk kekerasan simbolik yang muncul dalam media cetak. Sumber data makalah ini adalah media cetak Kompas dan Radar Sulteng. Teori yang digunakan untuk membedah kekerasan simbolik adalah teori yang digunakan oleh Pierre Bourdieu, dan dianalisis dengan metode alir Miles and Hubermann untuk menampilkan bentuk dan strategi kekerasan simbolik. Hasil yang didapatkan, terjadi kekerasan simbolik dalam kedua media cetak yang ditampilkan dalam teks berita. Teks berita yang muncul memiliki makna kasar, seperti merendahkan, menyatakan kekuasaan, menekan, mempengaruhi, menjatuhkan, dan memaksa. Kata kunci: kekerasan simbolik, media cetak, teori Pierre Bourdieu PENDAHULUAN Kekerasan dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan yang melibatkan kekuatan fisik, seperti memukul, menganiaya, dan lain sebagainya. Namun, kekerasan tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, tetapi dapat pula menggunakan kekuatan verbal, seperti memaki, mencibir, dan menghina orang lain. Penjelasan mengenai kekerasan tidak sebatas itu saja, kekerasan juga dapat ditemukan dalam bentuk tertulis dan biasanya kekerasan tertulis itu dapat ditemukan dalam wacana-wacana berita. Dalam wacana atau teks berita itulah dapat ditemukan kekerasan dalam berbahasa yang biasa disebut kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang secara tidak sadar dialami oleh masyarakat, karena kekerasan ini dilakukan secara halus Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 87 dan memiliki maksud tersembunyi yang diungkapkan melalui bahasa. Kekerasan simbolik memiliki beberapa bentuk, seperti makna kabur atau samar-samar (implisit) yang meliputi makna umum dan khusus, bersifat logika bias (makna yang dihasilkan menyimpang dari maksud sebenarnya, serta kadang melogiskan sesuatu yang tidak logis) yang meliputi generalisasi berlebihan dan bukti-bukti pernyataan yang lemah. Kekerasan di media massa terjadi akibat dari pemberitaan media yang memaparkan suatu informasi secara tidak objektif. Hal-hal yang diberitakan pun selalu tidak sesuai dengan kenyataan dan isinya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebuah media seharusnya menghibur, mendidik, dan memberikan informasi dengan objektif agar para pembacanya dapat memberikan asumsi positif terhadap wacana yang diberitakan, karena berita dalam wacana itu memiliki fakta terhadap konteks sosial di masyarakat yang sedang terjadi dan memberitakannya pun mengungkapkan fakta sosial di media. Media massa memiliki peran penting dalam membentuk karakter manusia Indonesia, terutama generasi muda. Hal ini karena efek dari media massa yang dapat mempengaruhi pemikiran hingga tingkah laku. Efek itu dapat terjadi bagi penonton atau pendengar untuk media elektronik, dan bagi pembaca untuk media cetak. Berkenaan dengan itu, media seharusnya dapat menempatkan diri sebagai pemberi informasi yang bernuansa pendidikan dan perdamaian. Nuansa pendidikan yang dimaksud agar media memerankan diri secara edukatif, dan nuansa perdamaian agar media dapat menjadi perekat persaudaraan antarmasyarakat melalui literasi yang disampaikan. Selanjutnya, kekerasan di media massa dapat diketahui melalui kata-kata yang digunakan, yakni berupa rangkaian kalimat yang membentuk suatu wacana. Wacana itu merupakan alat yang digunakan dalam menyampaikan informasi-informasi kepada masyarakat, namun secara tidak langsung informasi yang disampaikan terkadang memiliki makna yang kasar dan terkandung maksud untuk menyatakan kekuasaan terhadap suatu hal. Media massa yang terkadang secara tidak langsung menggunakan wacana yang memiliki makna kasar dan keras adalah media cetak. Hal itu diketahui dari penggunaan kata-kata yang terletak dalam teks-teks beritanya. 88 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Teks berita itulah yang merupakan simbol bahasa media cetak yang sering memiliki makna kasar walaupun makna tersebut hanya dapat diketahui secara tersirat oleh pembaca tertentu. Makna-makna kasar yang dimaksud seperti terdapat unsur pemaksaan, merendahkan, menyatakan kekuasaan politik, menekan, mempengaruhi, dan menjatuhkan seseorang. Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui beberapa cara atau strategi, yaitu melalui cara eufimisme atau penghalusan, pelogisan informasi, dan pemositifan informasi. Kekerasan simbolik melalui cara eufimisme meliputi pelabelan informasi, pelabelan hal-hal negatif, dan pengonotasian, hal tersebut dilakukan agar pembaca dapat disentuh rasa simpatinya, rasa benci, kesan positif, kesan negatif, peninggian, merendahkan, penguatan, dan melemahkan. Kekerasan simbolik melalui cara pelogisan informasi menjadikan suatu informasi yang awalnya tidak memiliki hubungan yang logis namun tanpa disadari menjadi logis atau dapat diterima oleh akal sehat. Kekerasan simbolik melalui cara pemositifan informasi menjadikan informasi yang awalnya terkesan negatif menjadi positif, karena telah didukung oleh adanya ketegasan, penganalogian, dan pertentangan dalam pemberitaannya. Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik memanfaatkan bahasa sebagai alat yang efektif dalam menyatakan kekuasaannya, bahkan melakukan kekerasan simbolik, karena bahasa selalu memiliki hubungan dengan keadaan sosial dan politik. Maka dari itu, peneliti tertarik untuk menganalisis kekerasan simbolik yang terdapat di media massa cetak. Media cetak dipilih menjadi fokus penelitian, karena media cetak merupakan salah satu alat komunikasi publik yang memiliki manfaat untuk memberitakan dan menyampaikan informasi. Informasi yang diberitakan harus memiliki kaitan erat dengan kehidupan dan kepentingan masyarakat, serta disampaikan secara tertulis lalu dipublikasikan secara luas. Selain itu, media cetak memiliki keunggulan dibandingkan dengan media elektronik yang terkadang memiliki kendala teknis, karena bergantung dengan jaringan internet. Keunggulan media cetak dapat diketahui dari kemudahan mendapatkannya, harganya yang ekonomis, dapat disimpan dalam waktu yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 89 relatif lama, sehingga jika suatu waktu diperlukan media cetak dapat dibaca kembali secara berulang-ulang, informasi yang diberitakan mendidik masyarakat, bersifat representatif, dan berita yang ditulis dalam media cetak bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan informasi di masyarakat. Adapun media cetak yang akan diteliti adalah surat kabar yang diterbitkan secara nasional maupun lokal dan memiliki sajian berita yang terkandung kekerasan simbolik di dalam isi beritanya, seperti koran Kompas dan Radar Sulteng. Kedua surat kabar itu dipilih menjadi sumber penelitian, keunggulan dari isi penyampaian beritanya. Berdasarkan latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini, adalah: 1) Bagaimanakah bentuk kekerasan simbolik dalam media cetak Kompas dan Radar Sulteng? 2) Bagaimanakah strategi kekerasan simbolik yang digunakan dalam media cetak Kompas dan Radar Sulteng? Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mendeskripsikan bentuk kekerasan simbolik dalam media cetak Kompas dan Radar Sulteng. 2) Mendeskripsikan strategi kekerasan simbolik yang digunakan dalam media cetak Kompas dan Radar Sulteng. PEMBAHASAN Konsep kekerasan dimaknai sebagai sebuah cara yang digunakan untuk menghadirkan pemaksaan sebagai cara kerjanya. Pola-pola kekerasan pun selalu berkaitan dengan kekuasaan, karena kekerasan akan terjadi jika kekuasaan dilakukan. Hal itu sesuai dengan pola kekerasan simbolik yang memiliki keterkaitan dengan kekuasaan untuk mendapatkan dominasi dan mekanisme secara objektif tanpa disadari dan akhirnya diterima oleh kelompok yang akan dikuasai. Mekanisme yang dimaksud berlangsung tanpa disadari, karena mekanisme itu berlangsung secara halus sehingga menyebabkan yang dikuasai menerima begitu saja. Mekanisme itu disebut kekerasan simbolik yang menurut Bourdieu (2014:32) merupakan bentuk 90 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan di baliknya relasi kekuasaan. Selanjutnya, kekerasan simbolik bukan saja bentuk dominasi yang diterapkan melalui bahasa, tapi kekerasan ini merupakan penerapan dominasi sedemikian rupa sehingga praktik dominasi itu diakui secara salah dan meskipun begitu tetap diakui, karena kekerasan ini mengambil bentuk yang sangat halus, tidak mengundang resistensi, dan sudah mendapatkan lagitimasi sosial (Bourdieu, 2014:144). Bentuk Kekerasan Simbolik Roekhan ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/1932) (http://karyamenyatakan bahwa bentuk kekerasan simbolik terdiri atas makna kabur, logika yang bias dan nilainilai yang bias. Makna kabur adalah makna yang tidak mudah diketahui dengan jelas, karena masih samar-samar dan bersifat implisit. Makna kabur akan diketahui secara tersirat jika seorang memiliki tingkat pemahaman yang baik. Contoh (1): Menteri ESDM Sudirman Said menilai keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Amien Sunaryadi sudah tepat. Amien dinilai memiliki latar belakang yang baik dalam memperbaiki sistem (Kompas, 20 November 2014). Pada contoh di atas, kekerasan simbolik terdapat dalam kalimat “Amien dinilai memiliki latar belakang yang baik dalam memperbaiki sistem”. Bentuk kekerasan simbolik itu adalah adanya makna kabur, karena secara tidak langsung argumen Sudirman Said menyatakan orang lain selain Amin tidak memiliki latar belakang yang baik dalam hal sistem, maka presiden Joko Widodo memilih dan menetapkan Amien sebagai kepala SKK Migas yang baru. Pemilihan Amien menjadi Kepala SKK Migas tentu saja tidak mudah, karena melalui berbagai proses. Proses itu meliputi pemberhentian Rudi Rubiandini yang awalnya menjabat sebagai Kepala SKK Migas, setelah itu pemberhentian Johannes Widjonarko sebagai Pelaksana SKK Migas, kemudian pengusulan lima nama dari Menteri ESDM, kemudian kelima nama itu akan diseleksi oleh Komite Pengawasan sehingga menjadi dua nama yang akan langsung disampaikan ke Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 91 Presiden Joko Widodo untuk dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala SKK Migas. Setelah Presiden menyeleksi kedua nama itu berdasarkan data dan berkas, Amin Sunaryadi lah yang terpilih menjadi Kepala SKK Migas. Presiden menilai Amin memiliki jiwa seorang pejuang, karena pengalamannya menjadi salah satu pimpinan KPK jilid pertama, sistem kerja KPK pun diatur oleh Amin. Maka, seorang yang rela berjuanglah yang dibutuhkan oleh SKK Migas, dan tidak salah jika Sudirman Said berpendapat “keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Amien Sunaryadi sudah tepat”. Logika bias adalah suatu bentuk pemikiran yang tidak masuk akal, atau pemikiran yang melenceng serta bertolak belakang dengan hal yang sebenarnya. Sebagai contoh: Pengamat politik Ray Rangkuti berpendapat, kini semua bergantung kepada Basuki untuk mengoptimalkan koordinasi dengan pemerintah pusat yang sebelumnya ini dirasa kurang (Kompas, 20 November 2014). Pada contoh itu, kekerasan simbolik tertulis dalam klausa “semua bergantung kepada Basuki untuk mengoptimalkan koordinasi dengan pemerintah pusat yang sebelumnya ini dirasa kurang”. Bentuk kekerasan simbolik dalam klausa itu adalah adanya makna bias, karena klausa itu seakanakan menyatakan bahwa kerja pemerintahan pusat sebelumnya yakni pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak terlalu optimal dan baik. Hal itu diketahui dari hasil kerja yang belum terlalu tampak, seperti dalam menangani masalah banjir, pembangunan DKI, masalah kemiskinan, dan masalah pemimpin tiap daerah. Maka, sebagai pengamat politik Ray mengharapkan kepada Basuki yang saat ini menjabat Gubernur, agar memperbaiki dan mengoptimalkan masalah yang belum terselesaikan, karena Ray menganggap bahwa Basuki dapat menjalin kerja sama yang baik dengan pemerintah pusat. Nilai bias adalah suatu hal yang memiliki arti, berharga, dan memiliki manfaat, sedangkan bias adalah sesuatu yang tidak sejalan. Jika disimpulkan nilai bias adalah nilai yang dibelokkan atau nilai yang melenceng serta 92 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dipaksakan oleh seorang penulis berita di media massa. Bentuk-bentuk nilai terdiri atas nilai moral, sosial, hukum, dan budaya. Sebagai contoh: ―Namun, kekeringan masih bersifat temporer. Setiap kabupaten paling hanya satu desa, jadi belum mengkhawatirkan terhadap lahan pertanian,‖ kata Sarwa di Semarang, kemarin (Radar Sulteng, 13 September 2014). Pada kalimat di atas, terkandung nilai moral yang bersifat bias, karena secara tidak langsung Sarwa menyelepelekan masalah kekeringan yang terjadi di sebuah desa. Sarwa tidak memnganggap penting masalah kekeringan itu, dan masih membiarkannya, bahkan tidak memikirkan dampak yang dialami oleh masyarakat akibat dari kekeringan sawah yang melanda desa tersebut, seperti kelaparan, kurangnya pasokan air, dan masalah kesehatan yang akan diderita oleh masyarakatnya. Strategi kekerasan simbolik Roekhan pun (http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/ 1932) menyatakan bahwa kekerasan simbolik memiliki beberapa strategi dalam penggunaannya, yaitu: eufimisme atau penghalusan informasi, pelogisan informasi, dan pemositifan informasi. Eufimisme atau penghalusan informasi adalah suatu bentuk cara yang digunakan untuk meghaluskan makna yang terdapat dalam suatu teks. Suatu teks yang memiliki maksud menjatuhkan seseorang tidak akan secara langsung dituliskan begitu saja, tetapi orang tersebut akan menuliskannya menggunakan kata-kata yang halus dan terkesan tidak memiliki maksud untuk menjatuhkan. Pelogisan informasi adalah suatu bentuk hubungan yang berkaitan dengan pikiran yang masuk akal, maksudnya semua bentuk informasi yang didapatkan memiliki sifat yang logis, tegas, dan tidak melenceng dari kenyataan yang sebenarnya. Pemositifan informasi adalah suatu cara yang digunakan untuk mengubah suatu informasi yang bersifat negatif menjadi positif saat disampaikan kepada orang lain atau pembaca. Pemositifan informasi dapat diketahui dari bentuk penulisan yang dihaluskan, seperti kata penjara dapat Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 93 dihaluskan menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP). Penghalusan tersebut, saat ini dapat ditemukan dalam penulisan berita di surat kabar. Sehubungan dengan pendapat Roekhan, Bourdieu (2014:145) juga menyatakan bahwa terdapat dua cara kerja pengoperasian kekerasan simbolik, yaitu dengan cara eufimisasi dan mekanisme sensor. Mekanisme sensor adalah mekanisme yang beroperasi tidak hanya berhubungan dengan produksi wacana ilmiah yang dibangun dalam teks tertulis, tetapi bertujuan untuk membatasi wacana yang akan ditulis atau dikatakan. Eufimisasi adalah mekanisme kekerasan simbolik yang tidak tampak dan bekerja secara halus. Tidak dikenali, dan berlangsung di bawah alam sadar (Ulfah, 2013:81). Hal itu sejalan dengan pendapat Bourdieu (2014: 145) menyatakan bahwa cara eufimisasi menjadikan kekerasan simbolik tidak kelihatan, berlangsung secara lembut, serta mendorong orang untuk menerima apa adanya. Sebagai contoh: Basuki meyakini, permasalahan pelik terkait dengan kelangsungan program-program pembangunan Jakarta yang melibatkan pemerintah pusat dan DKI bisa cepat terselesaikan. Hal ini, disebabkan komunikasi kedua belah pihak dipastikan lebih cair dan lebih terbuka (Kompas, 20 November 2014). Pada contoh itu, kekerasan simbolik terdapat dalam klausa “komunikasi kedua belah pihak dipastikan lebih cair dan lebih terbuka.” Dalam klausa itu, secara tidak langsung penulis berita menyatakan bahwa Jakarta saat di bawah kepemimpinan sebelum Basuki, belum memiliki kerja sama yang baik dalam hal berkomunikasi dengan pemerintah. Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan sebelumnya dengan pemerintah pusat itu memiliki kaitan erat dengan pembangunan daerah Jakarta yang saat ini masih menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Masalah itu meliputi pembangunan transportasi massal cepat, dan penanganan banjir. Maka, dengan dilantiknya Basuki sebagai Gubernur DKI saat ini, masyarakat memiliki harapan agar Basuki dapat menjalankan tugas-tugas yang belum 94 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 diselesaikan dengan baik oleh pemimpin sebelumnya, serta menjalin kerjasama yang baik, lancar, dan terbuka dengan pemerintah pusat dan DKI. Berdasarkan penjelasan contoh tersebut, kekerasan simbolik yang dilakukan dengan strategi eufimisme atau penghalusan informasi bersifat negatif, karena maksud dalam klausa tersebut menyudutkan pemimpin sebelum Basuki yaitu Jokowi, yang dalam massa kepemimpinannya hal-hal yang telah diprogramkan di awal massa jabatannya ternyata tidak terlaksana dengan baik. Maka, dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik dalam media cetak selalu menggunakan bahasa untuk menghaluskan dan membiaskan maksudmaksud tertentu menggunakan frase, klausa, bahkan kalimat untuk menyudutkan, menyalahkan, bahkan menjatuhkan individu tertentu. Hal itu terjadi, tentu saja karena adanya kerjasama antara penulis berita dengan tokoh tertentu. Sehubungan dengan itu, melalui tulisan ini perlu diketahui bahwa media dapat djadikan sarana untuk mengekspresikan diri melalui tulisan, tetapi tulisan-tulisan yang dituangkan dalam media cetak hendaknya memngikuti kaidah dan etika yang berlaku dalam ilmu jurnalistik, karena masyarakat umumnya telah mengetahui aturan dalam menyampaikan berita melalui media cetak, yaitu bersifat objektif, apa adanya, tidak memihak, dan selalu berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan. DAFTAR PUSTAKA Bourdieu, Pierre. 2014. Menyingkap Kuasa Simbolik. Terjemahan Fauzi Fashri. 2007. Jalasutra: Yogyakarta. Emma Bezergen. 2014. Perang Simbolik Bahasa dalam Iklan Selular (Sebuah Analisis Wacana Kritis). Makalah disajikan dalam Seminar Tahunan Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Tingkat Internasional, Bandung, 13-14 Agustus 2014 Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Press. Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius. 2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas. Kompas, 20 November 2014. “Era Baru Masa Depan Jakarta”. Halaman 1 dan 15. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 95 Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Noth, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press. Radar Sulteng, 13 September 2014.” Kekeringan Meluas ke Sejumlah Wilayah”. Halaman 2 Roekhan, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/1932. [01/09/14, pukul 23:23] Rohmadi, Muhammad. 2011. Jurnalistik Media Cetak: Kiat Sukses Menjadi Penulis dan Wartawan Profesional. Surakarta: Cakrawala Media. Satori, Djam‘an dan Aan Komariah. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sumadiria, Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Ulfa. 2013. Eufimisasi Sebagai Mekanisme Kekerasan Simbolik dalam Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan, Kebudayaan, dan Seni ―Kreatif‖ Vo. 16, No. 3, September- Desember 2013. 96 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PEMBELAJARAN AKTIF BERORIENTASI KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA Bambang Sulistyo Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UNBARA Pos-el: [email protected] ABSTRACT In the Indonesian language teaching at class XII, described in the core competencies and developed through basic competence. KI SMA of class XII, in point 4 is expressed. Processing, reasoning, explaining, and create in the realm of concrete and abstract domains associated with the development of the learned in school independently and act as an effective and creative, and able to use the method according to the rules of science.KD 4.1, interpret the meaning of the text narrative history, news, advertising, editorial / opinion, and fiction in the novel both orally and in writing. Furthermore, KD 4.5, convert text historical stories, news, advertising, editorial / opinion, and fiction in the novel into another form in accordance with the structure and rules of the text both orally and in writing. Associated with core competence and basic competences, in this paper the author tries to analyze a result of research that has been conducted by researchers in an experiment on active learning oriented character in learning to read. Active learning is a character-oriented forms of learning that allows students actively participate in the learning process itself either in the form of student interaction with faculty and students in the learning process. Character-oriented model of active learning can help students to become a person who is able to adaptable, critial, active, creative, and cooperative. Based on the testing that has been done that the t test, analysis of the gain (d), the discussion of the quality of the learning process, and the character development of students, it can be concluded that the Active Learning Model (Active Learning) Oriented Character (MPABK) effective for teaching reading comprehension. While it can also be argued that, based on the four tests that have been done that, t-test, analysis of the gain (d), the discussion of the quality of the learning process, which is performed during the learning model is not more effective than MPABK to teach reading comprehension skills. Besides MPABK improve learning outcomes of students' reading comprehension, MPABK also make students aware of the importance of character, adaptable, critical, active, creative, and cooperative, are characters positive that need to be developed. Key word: active learning character oriented model, reading. PENDAHULUAN Membicarakan kurikulum merupakan hal yang sangat menarik, terutama bagi kita yang berprofesi sebagai pendidik. Kurikulum 2013 memberikan harapan besar bagi negeri ini terhadap persiapan generasi dalam menyongsong Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 97 masa depan. Kunci sukses penerapan kurikulum adalah pada guru dalam mengaplikasikannya. Semoga guru tidak lagi terjebak pada perlengkapan administrasi yang luar biasa banyaknya, tetapi lebih ditekankan pada tenaga dan pikiran yang selalu berkembang. Proses pembelajaran dalam kelas yang membuat siswa betah, nyaman, dan bertahan dengan kondisi pembelajaran yang diciptakan oleh guru bersama siswa merupakan hal yang sangat penting. Dalam konteks penerapan kurikulum 2013, guru diharapkan lebih kreatif dalam proses pembelajaran. Dalam mencermati pengembangan kurikulum 2013, setidaknya kita perlu memahami landasan pengembangannya, diantaranya landasan filosofis, teoretis, dan yuridis. a) Landasan filosofis Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum, proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya. Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan dalam kehidupan berbangsa masa kini. b) Landasan teoritis Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori ―pendidikan berdasarkan standar‖ (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar 98 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak. c) Landasan yuridis Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam kurikulum 2013, khususnya pelajaran bahasa Indonesia kelas XII, dijabarkan dalam kompetensi inti dan dikembangkan melalui kompetensi dasar. Kompetensi inti SMA kelas XII, pada butir 4 KI SMA kelas XII dinyatakan; Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. Kompetensi dasar4.1, menginterpretasi makna teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel baik secara lisan maupun tulisan. Selanjutnya kompetensi dasar 4.5,mengonversi teks cerita sejarah, berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan Berkaitan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar tersebut, dalam makalah ini penulis mencoba mengupas sebuah hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, dalam sebuah eksperimen tentang pembelajaran aktif berorientasi karakter dalam pembelajaran membaca. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 99 PEMBAHASAN Hakikat Membaca Membaca merupakan kegiatan yang kompleks karena diperlukan keterampilan dalam pelaksanaannya. Reading is a set of skils that involves making sense and deriving meaning from the printed words (Caroline, 2005: 69). Berbeda dengan pendapat tersebut, Spiro (1980: 3) mengatakan bahwa membaca merupakan suatu proses interaktif yang multilevel. Misalnya, dalam kegiatan membaca harus diperhatikan interaksi berdasarkan teks/bacaaan dan juga interaksi yang berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan dalam berbagai level. Cristie (1990:3) menegaskan lagi bahwa membaca itu merupakan proses yang sangat kompleks yaitu kompleks untuk dipelajari dan kompleks untuk diajarkan. Membaca merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi tulisan. Dalam komunikasi tulisan, lambang-lambang bunyi bahasa diubah menjadi lambang-lambang tulisan. Pada tingkatan membaca permulaan, proses pengubahan ini yang terutama dibina dan dikuasai, dan ini terutama dilakukan pada masa anak-anak, khususnya pada permulaan di sekolah. Setelah pengubahan tersebut dikuasai secara mantap, barulah penerapan diberikan pada pemahaman isi bacaan. Dengan demikian, membaca pemahaman merupakan kelanjutan dari membaca permulaan yang lebih menekakan pemahaman isi bacaan daripada pengenalan huruf-huruf, kata, kalimat dan pengucapannya. Anderson (2000:209) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses penyandian kembali dan pembacaan sandi (a recording and decoding process). Pembacaan sandi (decoding process) tersebut merupakan suatu penafsiran atau interpretasi terhadap ujaran dalam bentuk tulisan, sedangkan istilah penyandian kembali (recording) karena mula-mula lambang tertulis diubah menjadi bunyi, baru kemudian sandi itu dibaca. Meskipun demikian, menurut Finochiaro & Bonomo (1973:11), didalam membaca, yang terpenting adalah “bringing meaning to and getting meaning from printed or written material‖, yaitu mendapatkan dan memahami makna yang terkandung dalam bahan tulisan. Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam 100 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kegiatan membaca terdapat proses penerimaan pesan berupa pikiran, perasaan, dan keinginan atau pemahaman makna melalui lambang-lambang. Pada dasarnya kegiatan membaca bertujuan untuk mencari dan memperoleh pesan memahami makna melalui bacaan. Tujuan membaca tersebut akan terpengaruh pada jenis bacaan yang dipilih, misalnya, fiksi atau nonfiksi. Menurut Anderson (2000:214), ada tujuh macam tujuan dari kegiatan membaca, yaitu (1) reading for details or fact, (2) reading for main ideas, (3) reading for sequence or organization, (4) reading for inference, (5) reading to classify, (6) reading to evaluate, dan (7) reading to compare or contrast, ini berarti tujuan dari kegiatan membaca yaitu ialah untuk memperoleh rincian atau fakta, mendapatkan ide-ide utama, mengetahui urutan atau organisasi karangan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, mengevaluasi dan membandingkan atau mempertentangkan. Wujud kegiatan dalam peningkatan kompetensi membaca dapat berbentuk kemampuan mengakses informasi dari berbagai sumber, baik dari buku maupun dari media internet, yang merupakan bagian dari literasi informasi. Ini sebagai mana yang dikemukakan dalam hasil penelitian Wahyuli (2008:109) bahwa kemampuan mengakses informasi, subjek penelitian dapat diklasifikasikan sebagai learner, proficient, professional. Tujuan kegiatan membaca yang dikemukan oleh Anderson di atas lebih mengarah kepada tujuan akhir membaca, yaitu memahami isi bacaan. Berdasarkan tujuan membaca tersebut seorang pembaca dapat memperoleh informasi penting (fokus) yang diinginkan. Dalam penlitian ini pun, beberapa tujuan kegiatan membaca seperti yang dikemukakan diatas akan dijadikan landasan dalam memahami isi bacaan terutama pada tujuan untuk memperoleh rincian atau fakta, mendapatkan ide-ide utama dalam bacaan dan menyimpulkan isi bacaan. Harjasujana dan Mulyati (1997:5) mengemukakan bahwa membaca merupakan perkembangan keterampilan yang bermula dari kata dan berlanjut kepada pembaca kritis. Membaca juga merupakan suatu proses psikologis dan sensoris. Dalam hal ini, proses-proses yang menjadi dasar konsep membaca tersebut akan tampak jelas diamati pada individu yang sedang belajar Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 101 membaca dengan berusaha menciptakan auditory-image terhadap simbolsimbol tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas, Harras, dkk (2003:3) mengemukakan bahwa membaca merupakan hasil interaksi antara persepsi terhadap lambanglambang yang mewujudkan bahasa melalui keterampilan berbahasa yang dimiliki pembaca dan pengetahuannya tentang alam sekitar. Dalam hal ini pembaca berusaha menciptakan kembali makna yang dimaksud penulis. Senada dengan pendapat-pendapat sebelummnya tentang membaca, Lado (1964: 132) mengartikan membaca sebagai to graps language pattern from their written representation. Jadi membaca diartikan untuk memahami pola-pola bahasa yang terpresentasikan dalam bentuk tulisan. Dalam pengertian ini, tampaknya membaca dianggap sebagai proses pemahaman bahasa dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, pemahaman yang terdapat dalam bentuk tulisan tersebut merupakan aspek yang signifikan untuk memeproleh informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Rusyana (1984: 190) yang mengartikan membaca sebagai suatu kegiatan memahami pola-pola bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk memperoleh informasi darinya. Goodman (1996:2-3) menyatakan bahwa membaca merupakan suatu proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikodekan oleh penulis. Di dalam proses ini, penulis melakukan pengkodean linguistik yang kemudian diuraikan oleh pembaca untuk mendapatkan pemahaman atau makna. Penulis mengkodekan pikiran ke dalam bahasa, pembaca menafsirkan kode tersebut menjadi pikiran dan makna. Dengan demikian dalam membaca terjadi interaksi antara bahasa dan pikiran. Membaca merupakan kegiatan mengkonstruksi makna. Melalui membaca, pembaca merekonstruksi pesan yang disampaikan penulis dalam teks. Berkenaan dengan itu, Rosenblatt (dalam Tompkins, 1991:267) berpendapat bahwa membaca merupakan proses transaksional. Proses membaca meliputi sejumlah langkah selama pembaca mengkonstruk makna melalui interaksinya dengan teks atau bahan bacaan. Makna dihasilkan melalui 102 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 proses transaksional ini. Dengan demikian, makna tidak semata-mata terletak pada teks atau pembaca saja. Membaca terdiri atas serangkaian respon yang kompleks, di antaranya mencakup respon kognisi, sikap, dan manipulatif (Frederich Mc. Donald dalam Burns, 1996:8). Membaca dapat dibagi dalam berbagai subketrampilan, meliputi: sensori, persepsi, sekuensi, pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi, afektif dan konstruktif. Aktivitas membaca dapat terjadi jika berbagai subketrampilan tersebut dilakukan secara bersama dalam keseluruhan yang terpadu. Syafi‘ie (1999:7) juga menyatakan bahwa membaca pada hakikatnya adalah suatu proses yang bersifat fisik dan psikologi. Proses yang bersifat fisik atau proses mekanis berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual. Sementara itu, proses psikologis merupakan kegiatan berpikir dalam mengolah informasi. Dari definisi yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa membaca pada hakikatnya merupakan proses membangun makna dari pesan yang disampaikan melalui simbol-simbol tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca mengintegrasikan atau mengaitkan antara informasi, pesan dalam tulisan dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki (skemata) pembaca. Dalam proses membaca, pembaca menggunakan berbagai ketrampilan meliputi ketrampilan fisik dan mental. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Proses pembelajaran lebih sering diartikan sebagai pengajar menjelaskan materi dan pembelajar mendengarkan secara pasif. Namun telah banyak ditemukan bahwa kualitas pembelajaran akan meningkat jika para pembelajar dalam sebuah proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang luas untuk bertanya, berdiskusi, dan menggunakan secara aktif pengetahuan baru yang diperoleh. Dengan cara ini diketahui pula bahwa pengetahuan baru tersebut cenderung untuk dapat dipahami dan dikuasai secara lebih baik. Dasgupta, Sanjoy dan Daniel Hsu (2008: 13) mengemukakan bahwa model pembelajaran aktif dimotivasioleh skenario yang mudah untuk mengumpulkansejumlah besar data dalam pembelajaran. Selain itu Stolbach, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 103 Sara (2007: 2) mengajar algoritma dengan menggunakan model pembelajaran aktif kemudian membandingkan hasil belajar mereka dengan kelas lainnya menunjukkan susuatu yang lebih baik. Banyak strategi, metode, dan teknik yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran. Secara garis besar dapat dilihat dalam bentuk lain piramida berikut. Keefektifan Model Pembelajaran Aktif Tend to Remember about: Level of Involvement Reading 20% Hearing Words 30% Looking at Pictures Verbal Receiving PASSIVE 10% Watching a Video Looking at an Exhibit 50% Watching a Demonstration Visual Receiving Seeing it Done on Location Participating in a Discussion 70% Participating ACTIVE Giving a Talk Doing a Dramatic Presentation 90% Simulating the Real Experience Doing Doing the Real Thing Samadhi (2008: 46) Bagan di atas menunjukkan dua kelompok model pembelajaran yaitu pembelajaran Pasif dan Pembelajaran Aktif. Bagan tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat pembelajar lebih mengingat (retention rate of knowledge) materi ajar. Oleh sebab itu dalam setiap pembelajaran, model pembelajaran aktif ini merupakan alternatif yang sangat perlu diperhatikan jika kita menginginkan peningkatan kualitas pembelajaran dan lulusan. Penggunaan cara-cara pembelajaran aktif baik sepenuhnya atau sebagai pelengkap cara-cara belajar tradisional akan meningkatkan kualitas pembelajaran. Pengertian Pembelajaran Aktif (Active Learning) Pembelajaran aktif (activelearning) adalah suatu proses pembelajaran dengan maksud untuk memberdayakan pembelajar agar belajar dengan 104 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menggunakan berbagai cara/ strategi secara aktif. Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga semua pembelajar dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Disamping itu pembelajaran aktif (active learning juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/pembelajar agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian pembelajar berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa siswa dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama perthatian siswa dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir. Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam dunia pendidikan kita, terutama disebabkan anak didik di ruang kelas lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Sebagaimana yang diungkapkan Konfucius: "Apa yang saya dengar, saya lupa" "Apa yang saya lihat, saya ingat" "Apa yang saya lakukan, saya paham" Ketiga pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar apa yang dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia. Ungkapan di atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi dalam proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan anak didik terhadap materi pembelajaran. Silberman (2001: 23) memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius di atas menjadi apa yang disebutnya dengan belajar aktif (active learning), sebagai berikut: . apa yang saya dengar, saya lupa; . apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit; Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 105 . apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan beberapa teman lain, saya mulai paham; . apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan; . apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai. Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai penyebab mengapa kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu jawaban yang menarik adalah karena adanya perbedaan antara kecepatan berbicara guru dan tingkat kemampuan siswa mendengarkan apa yang disampaikan pengajar. Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata per menit, sementara anak didik hanya mampu mendengarkan 50-100 kata permenitnya (setengah dari apa yang dikemukakan guru) karena siswa mendengarkan pembicaraan guru sambil berpikir. Kerja otak manusia tidak sama dengan tape recorder yang mampu merekam suara sebanyak apa yang diucapkan dalam waktu yang sama dengan waktu pengucapan. Otak manusia selalu mempertanyakan setiap informasi yang masuk ke dalamnya, dan otak juga memproses setiap informasi yang ia terima, sehingga perhatian tidak dapat tertuju pada stimulus secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan tidak semua yang dipelajari dapat diingat dengan baik. Penambahan visual pada proses pembelajaran dapat menaikkan ingatan sampai 171% dari ingatan semula. Dengan penambahan visual di samping auditori dalam pembelajaran, kesan yang masuk dalam diri anak didik semakin kuat sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan hanya menggunakan audio (pendengaran) saja. Hal ini disebabkan karena fungsi sensasi perhatian yang dimiliki siswa saling menguatkan, apa yang didengar dikuatkan oleh penglihatan (visual), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio (pendengaran). Dalam arti kata pada pembelajaran seperti ini sudah diikuti oleh penguatan (reinforcement) yang sangat membantu bagi pemahaman anak didik terhadap materi pembelajaran. Penelitian mutakhir tentang otak menyebutkan bahwa belahan kanan korteks otak manusia bekerja 10.000 kali lebih cepat dari belahan kiri otak sadar. 106 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pemakaian bahasa membuat orang berpikir dengan kecepatan kata. Limbik (bagian otak yang lebih dalam) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari korteks otak kanan, serta mengatur dan mengarahkan seluruh proses otak kanan. Oleh karena itu sebagian proses mental jauh lebih cepat dibanding pengalaman atau pemikiran sadar seseorang. Strategi pembelajaran konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan belahan otak kiri (otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang diperhatikan. Pada pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri dan kanan sangat dipentingkan. Thorndike dalam Silberman(2001: 26) mengemukakan 3 hukum belajar, yaitu: a. Law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat memperlancar hubungan antara stimulus dan respons. b. Law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi lancar c. Law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respon akan menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang. Belajar aktif (active learning) pada dasarnya berusaha untuk memperkuat dan memperlancar stimulus dan respon pembelajar dalam pembelajaran sehingga menyenangkan, tidak Dengan memberikan proses pembelajaran menjadi strategi hal menjadi yang membosankan belajar aktif (active hal yang bagi mereka. learning) pada pembelajar dapat membantu ingatan (memory) mereka, sehingga mereka dapat dihantarkan kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini kurang diperhatikan pada pembelajaran konvensional. Dalam active learning setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi pelajaran yang baru disediakan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 107 ada. Agar pembelajar dapat belajar secara aktif, pengajar perlu menciptakan strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga pembelajar mempunyai motivasi yang tinggi untuk belajar. Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa perbedaan antara pembelajaran active learning (belajar aktif) dengan pembelajaran konvensional, seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1 Perbedaan Pembelajaran Aktif dengan Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional Pembelajaran Aktif Berpusat pada pengajar Berpusat pada pembelajar/siswa Penekanan pada menerima pengetahuan Penekanan pada menemukan pengetahuan Kurang menyenangkan Sangat menyenangkan Kurang memberdayakan semua indera Membemberdayakan semua indera dan potensi pembelajar/siswa dan potensi pembelajar/siswa Menggunakan metode yang monoton Menggunakan banyak metode Kurang banyak media yang digunakan Menggunakan banyak media Tidak perlu disesuaikan dengan Disesuaikan dengan pengetahuan yang pengetahuan yang sudah ada sudah ada Perbandingan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan dan alasan untuk menerapkan model pembelajaran aktif (activelearning) di kelas. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter (MPABK) dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Orientasi model MPABK Pembelajaran aktif berorientasi karakter adalah bentuk pembelajaran yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan pengajar dalam proses pembelajaran tersebut. Model pembelajaran aktif berorientasi karakter dapat membantu siswa untuk menjadi pribadi yang mampu beradaptasi (adaptable) tarhadap perkembangan teknologi informasi; mampu berpikir kritis (critial) terhadap perkembangan pengetahuan, teknologi, 108 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dan informasi; aktif (active) terlibat sepenuhnya dalam setiap proses pembelajaran; kreatif (creative) peranserta dalam mengikuti dan mengakses perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi; dan pribadi yang mampu bekerja sama (cooperative). Untuk menerapkan pembelajaran aktif berorientasi karakter, harus memerhatikan hal-hal berikut, agar tujuan pembelajaran dapat dicapai sebagaimana mestinya. 1) Tujuan pembelajaran aktif harus ditegaskan dengan jelas Harus diingat bahwa tujuan pembelajaran aktif adalah untuk mengembangkan kemampuan berpikir analitis dari siswa dan kapasitas siswa untuk menggunakan kemampuan tersebut pada materi-materi pelajaran yang diberikan. Pembelajarn aktif tidak semata-mata digunakan untuk menyampaikan informasi saja. Lebih jauh lagi, pembelajaran aktif ini memiliki konsekuensi pada siswa untuk mempersiapkan diri dengan baik di luar jam pelajaran. Siswa memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencari seluas-luasnya materi yang melatarbelakangi perpelajaran sehingga dapat berpartisipasi dengan baik dalam perpelajaran. Pembelajaran aktif ditujukan agar siswa secara aktif bertanya dan menyatakan pendapat dengan aktif selama proses pembelajaran. Dengan proses seperti ini diharapkan siswa lebih memahami materi pelajaran. 2) Siswa harus diberitahu apa yang akan dilakukan Pada saat awal pelajaran pada saat menjelsakan silabus pelajaran siswa harus diberi penjelasan tentang yang akan dilakukan sehingga siswa dapat mengerti apa yang diharapkan darinya selama proses pembelajaran. Tekankan penjelasan ini berulang-ulang sehingga siswa memiliki kesadaran dan keinginan yang tinggi untuk berpartisipasi aktif. Siswa diharapkan mendapat gambaran/kepastian akan manfaat pentingnya pengembangan karakter bagi kualitas pembelajaran dan bagi masa depannya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 109 3) Memberikan pengarahan yang jelas dalam diskusi Diskusi dalam kelas merupakan tanggungjawab pengajar untuk menjaganya dalam alur dan tempo yang baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam diskusi adalah: - buat ringkasan dan hal-hal penting yang menjadi pendapat siswa serta kembalikan ke dalam diskusi untuk dapat mengundang pendapatpendapat lain, - terima terlebih dahulu semua pendapat yang berkembang dan beri kesempatan yang sama pada pendapat-pendapat lain, - tunggu sampai beberapa siswa mengemukakan pendapat sebelum pengajar memberikan komentar, setiap saat temukan isu penting yang menjadi bahasan dalam materi pelajaran dan berikan penjelasan lebih lengkap dan arahkan diskusi pada isu-isu berikutnya Model MPABK dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman Ada dua tipe pemahaman yaitu pemahaman literal (literal comprehension) adalah pemahaman paling dasar, dan pemahaman urutan yang lebih tinggi (higher order comprehension) yang meliputi (1) pemahaman interpretatif (interpretatif comprehension), (2) pemahaman kritis (critical comprehension), dan (3) pemahaman kreatif (creative comprehension). Model MPABK dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman menekankan proses pembelajaran membaca pemahaman pada tingkatan pemahaman interpretatif, kritis, dan kreatif, dengan berorientasi pada pengembangan karakter siswa. Pemahaman interpretatif antara lain mencakup kemampuan (1) membuat kesimpulan, (2) membuat generalisasi, (3) mencari hubungan sebab akibat, (4) membuat perbandingan, dan (5) menemukan hubungan antarproposisi. Pemahaman kritis bertujuan untuk pemahaman isi bacaan yang dilakukan pembaca dengan berpikir secara kritis terhadap isi bacaan. Di sini pembaca tidak hanya menginterpretasikan maksud penulis, tetapi sampai pada memberikan penilaian terhadap apa yang disampaikan penulis. Pemahaman jenis ini ditandai kemampuan (1) membandingkan isi bacaan dengan 110 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pengalaman siswa sendiri, (2) mempertanyakan maksud penulis, dan (3) mereaksi secara kritis gaya penulisdalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Pemahaman kreatif merupakan tingkatan pemahaman paling tinggi dalam membaca. Pemahaman kreatif adalah membaca untuk memahami bacaan yang dilakukan melalui kegiatan berpikir secara interpretatif dan kritis untuk memperoleh pandangan-pandangan baru, gagasan-gagasan baru, dan pemikiran yang berimajinasi, orisinil. Membaca merenungkan jenis ini menuntut kemungkinan-kemungkinan kemampuan baru yang menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki serta informasi yang diolah dari bacaan. Membaca pemahaman ini menghasilkan ide-ide baru dan menghasilkan kreasi baru untuk mencipta. Indikator yang menyatakan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar menurut Paul B. Diedrich dalam Sardiman (1992:100) adalah sebagai berikut. a. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. b. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. c. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi,musik, pidato. d. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan laporan, angket, menyalin. e. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta, diagram. f. Motor actibities, yang termasuk di dalamnya antara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak. g. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggap, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 111 h. Emotional activities, seperti misalnya menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, tidak gugup. Semua kegiatan tersebut merupakan aktivitas siswa. siswa diharapkan dapat berperan aktif dalam mencari sesuatu informasi guna memecahkan suatu permasalahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif, dimana para pembelajar dapat mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajarnya secara optimal, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Menurut Gibbs dalam Mulyasa (2007: 262) berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi kepercayaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang tidak terlalu ketat. Hasil penelitian tersebut dapat diterapkan atau ditransfer dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini pembelajar akan lebih kreatif jika: a. dikembangkannya rasa percaya diri pada pembelajar dan mengurangi rasa takut. b. memberi kesempatan kepada seluruh pembelajar untuk berkomunikasi ilmiah secara bebas dan terarah. c. melibatkan pembelajar dalam menentukan tujuan belajar dan evaluasinya. d. memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter. e. melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran secara keseluruhan. Pembelajaran efektif adalah proses pembelajaran yang berhasil, atau mencapai tujuan sebagaimana ditetapkan dengan mendayagunakan sumber daya pembelajaran yang ada. Guru menggunakan kemampuan profesionalnya untuk menggerakkan sumber daya pembelajaran sehingga tercapai tujuan pengajaran yang ditetapkan (Syafaruddin, 2005:212). Sintaks MPABK Sintaks atau langkah-langkah pembelajaran meliputi 6 fase, dengan peran guru/pendidik pada tiap fase dapat dilihat seperti pada tabel berikut ini. 112 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tabel 2 Sintaks Model Pembelajaran Aktif Berorientasi Karakter (MPABK) Fase Peran Guru/Pendidik 1 1. Menyampaikan tujuan & mempersiapkan Siswa 2 Guru menjelaskan tujuan & kompetensi yang ingin dicapai, informasi latar belakang, pelajaran, pentingnya pelajaran, dan mempersiapkan siswa/pembelajar untuk belajar. Guru menekankan pentingnya siswa memiliki karakter adaptable, critics, active, creative, dan cooperative, khususnya dalam kaitannya dalam belajar. Guru menekankan pada siswa tentang pentingnya keterampilan membaca dalam hidup. 2.Mendemonstrasikan pengetahuan atau keterampilan Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap. Guru mendemonstrasikan peningkatan pemahaman pada tingkatan lateral (lateral comprehensions)interpretative (interpretative comprehension), pemahamanan kritis (critical comprehension) dan pemahaman kreatif (creative comprehension). 3. Membimbing dalam pembelajaran Guru merencanakan & memberikan bimbingan pelatihan awal. Guru membentuk kelompok kerja. Guru melibatkan mehasiswa dalam menentukan tema wacana yang akan dijadikan bahan pelajaran 4. Mengarahkan Guru memantau aktivitas, kreatifitas, dan kerjasama antar siswa dalam pembelajaran. Guru mengarahkan semua siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran. Guru mengarahkan jalannya diskusi. 5. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik. Guru mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik. Guru memberikan umpan balik. 6. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan Guru mempersiapkan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan latihan lanjutan. Guru meminta siswa melakukan tugas yang sama dengan bahan bacaan yang di cari sendiri oleh siswa. SIMPULAN Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan yaitu uji t,analisis gain(d), pembahasan kualitas proses pembelajaran, dan perkembangan karakter siswa, maka dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter (MPABK) efektif untuk pembelajaran membaca pemahaman. Sementara itu dapat pula dikemukakan bahwa berdasarkan keempat pengujian yang telah dilakukan yaitu, uji t,analisis gain(d), Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 113 pembahasan kualitas proses pembelajaran, model pembelajaran yang dilakukan selama ini tidak lebih efektif dibandingkan dengan MPABK untuk mengajarkan keterampilan membaca pemahaman. Secara keseluruhan generalisasi dari temuan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter (MPABK) adalah model pembelajaan baru (hibrida) dalam pembelajaran keterampilan membaca pemahaman yang dibangun berdasarkan perpaduan antara teori belajar dengan teori pembelajaran keterampilan berbahasa. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter (MPABK), yang merupakan paradigma baru dalam pembelajaran membaca pemahaman, memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam membaca pemahaman. Keserasian antara prinsip, kondisi, dan model pembelajaran MPABK dapat berpotensi untuk: a. meningkatkan kemampuan membaca pemahaman melalui proses ilmiah; b. mengembangkan kegiatan inquiri dalam memahami wacana/teks bacaan melalui strategi peningkatan aktifitas; c. menumbuhkan kesadaran diri siswa untuk belajar mandiri, memupuk rasa percaya diri, mengembangkan sikap adaptif terhadap pekembangan teknologi, dan membina sikap bekerjasama; d. membina kreatifitas berpikir kritis dan kreatif dengan mengemukakan pendapat atau merespon dalam forum secara demokratis; e. memberikan variasi pengalaman; 2. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter (MPABK) memiliki keunggulan tidak hanya dalam meningkatkan hasil belajar membaca pemahaman, tetapi menaikkan level/tingkat pemahaman siswa, yaitu tingkat kritis dan kreatif. 3. Model Pembelajaran yang diterapkan kebanyakan masih memiliki kelemahan-kelemahan yang dapat menghambat peningkatan hasil belajar membaca pemahaman siswa. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain: 114 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 a. proses pembelajaran kurang memberikan stimulus kepada siswa dalam berpikir kritis dan kreatif; b. proses pembelajaran tidak menenamkan sikap atau tidak memberikan peluang untuk mengembangkan pola belajar kerjasama, justru cenderung individualistis; c. kurang menumbuhkan kreatifitas siswa, yang berkaitan dengan minat baca siswa; d. proses pembelajaran terkesan kaku, karena dalam prosesnya siswa hanya melalui aktivitas dengan dihadapkan pada tuntutan membaca teks/wacana dan menjawab soal. 4. Melalui MPABK, siswa mengetahui alasan mengapa dia harus aktif dalam belajar, mengapa dia harus membaca, dan mengapa membaca merupakan kebutuhan. Secara psikologis, siswa melakukan kegiatan belajar sebagai suatu kebutuhan. 5. Melalui MPABK, siswa mengetahui pentingnya berpikir kritis dan kreatif. Dia dapat membedakannya dengan orang lain yang membaca tanpa mendapatkan makna apa-apa, hanya sekedar menghafal fakta-fakta yang tersurat di dalam teks. 6. Selain MPABK meningkatkan hasil belajar membaca pemahaman siswa, MPABKjuga membuat siswa menyadari pentingnya karakter tanggung jawab, kedisiplinan, kritis,kreatif, inovatif dan kerjasama sebagai karakter positif yang perlu dikembangkan. DAFTAR PUSTAKA Caroline. 2005. Practical English Language teaching: Young Leaners. New York: Mcgraw-Hill Dasgupta, Sanjoy dan Daniel Hsu. 2008. Hierarchical for Active Learning Models.San Diego: University of California. Harras, dkk. 2003. Reading strategy and Implementation.London: Falmer Press. Lado, R. 1964. Language, Modem: Study and Teaching. McGraw-Hill (New York) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 115 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah. Samadhi, Ari. 2008. "Pembelajaran Aktif (Aktif Learning)." TIW: Engineering Education Development Project. Silberman, Malvin L. 1996. Active Learning: 101 Strategies to teach any subject. Boston:Allyn and Bacon Publishing. Spiro., R. J. dkk (Penyunting). 1980. Theoritical Issues in reading Comprehension. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers 116 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 IDEOLOGI FEMINISME LEGENDA PELET MARONGGE SEBAGAI PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA Burhan Sidik Ganesha Operation Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Ideologi Feminisme Legenda Pelet Marongge sebagai Pendidikan Karakter Bangsa. Penelitian ini menitikberatkan pada kajian feminisme yang menjadikan pendidikan karakter bangsa. Keistimewaan tokoh mbah Gabuk dapat dijadikan teladan bagi perempuan-perempuan Sunda yang ingin hidup mandiri. Metode penelitian ini bersifat kualitatif. Permasalahan penelitian ini mengungkap citra perempuan berprinsip yang ada dalam legenda pelet Marongge. Pembicaraan mengenai citra berarti menyangkut pembicaraan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Untuk mengetahui hal terebut, digunakan indikator yang dituangkan dalam sikap, prinsip hidup tokoh, dan narasi dalam sebuah cerita. Hasilnya mengungkapkan, dalam legenda ini pada akhirnya dapat diketahui bahwa wanita menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi. Bahwa wanita bisa mengalahkan kekuatan laki-laki meskipun sebagian besar laki-laki menganggap wanita itu lemah dan tak berdaya. Mbah Gabuk sebagai tokoh sentral dalam legenda ini digambarkan sebagai perempuan cantik luar biasa dengan kekuatan ilmu sihir yang luar biasa. Dia menjalani kehidupan sebagai perempuan suci, yaitu perempuan yang menolak pernikahan sebab pernikahan hanyalah penjara bagi perempuan dan penjajahan moral yang tak terbantahkan. Dalam pandangannya perempuan mampu hidup mandiri, hidup bebas layaknya laki-laki. Nasib perempuan yang menunggu belas kasihan laki-laki seperti dalam pernikahan adalah kesalahan besar bagi takdir perempuan. Dalam legenda ini, dibahas mengenai sepak terjang Mbah Gabuk dalam mengalahkan rajaraja Sunda melalui kajian feminisme. Kata kunci: feminisme, legenda, pelet, marongge, PENDAHULUAN Feminisme adalah sebuah paham yang menentang budaya maupun kebijakan politik yang tidak menguntungkan kaum perempuan. Paham ini berkembang menjadi sebuah gerakan di negara-negara barat pada sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, segelintir kaum perempuan yang diklaim sebagai feminis, berjuang untuk memperoleh haknya sebagai warga negara. Salah satu hal yang ditekankan dari gerakan feminis ini adalah perempuan ingin mendapatkan akses untuk pekerjaan yang layak, perempuan ingin mendapatkan akses pendidikan, dan perempuan ingin mendapatkan haknya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 117 untuk berpolitik. Singkatnya, perempuan menuntut hak yang sama dengan yang kaum laki-laki dapatkan. Perjuangan ini pun terus berjalan, seiring dengan berkembangnya gerakan perempuan di berbagai negara, termasuk di negara-negara Asia. Di Indonesia sendiri, paham feminisme berkembang cukup pesat. Lagilagi hanya segelintir perempuan yang melibatkan diri untuk menjadi bagian dari gerakan tersebut. Sering muncul pertanyaan, ―Mengapa hanya segelintir perempuan saja yang feminis?” Lalu berkembang menjadi pertanyaan, ―Mengapa seorang perempuan bisa menjadi feminis?‖ Pertanyaan ini dijawab sederhana saja. Tidak semua perempuan paham akan makna feminisme yang sesungguhnya. Pertama, karena perempuan masa kini tidak lahir pada era di mana kaum perempuan benar-benar dijadikan makhluk subordinat di dalam kehidupan masyarakat. Kedua, perempuan yang kini mengklaim dirinya sebagai feminis lahir melalui sebuah kontemplasi pikiran perempuan dan pengalaman. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh buku-buku literatur feminisme, dan juga buku-buku yang mengangkat pengalaman perempuan yang tertindas oleh budaya patriarki. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa kontemplasi pikiran dan pengalaman perempuan tidak menghasilkan suatu interpretasi yang sama. Seringkali paham feminisme berkembang menjadi paham-paham lain seperti: feminisme radikal, feminisme Marxist, feminisme lesbian dan lain-lain. Perlu disadari bahwa tidak semua perempuan memiliki pendapat yang sama tentang bagaimana kaumnya harus hidup di tengah masyarakat. Kini sebagian besar perempuan modern sudah dapat menikmati akses yang begitu luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan, yang selama ratusan tahun diperjuangkan kaum feminis, yaitu equal right sudah ada di tangan perempuan-perempuan modern. Yang menjadi permasalahan saat ini adalah, bagaimana hak yang sudah ada di tangan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal? Peran pendidikan sangatlah penting. Perempuan kini dapat bersekolah hingga lulus sarjana maupun master. Tapi, pendidikan saja ternyata tidak cukup. Di sini peran feminis pun dibutuhkan untuk menjadi motivator dan juga pendorong kaumnya. Feminis dibutuhkan untuk memberi pengarahan 118 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kepada perempuan, supaya perempuan mampu memaksimalkan ilmu yang dimilikinya. Teori feminisme dipersembahkan untuk menciptakan kultur perempuan yang radikal dan terpisah. Chaarlote Perkins Gilman dalam Herlan (1915) memberikan ungkapan imajinatif tentang feminisme kultural dalam cerita mengenai suatu masyarakat dengan para perempuan yang dipimpin oleh perempuan yang kuat, mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan kerjasama. Feminis kultural mendeskripsikan bagaimana kultur perempuan dalam musik, sastra, seni, puisi, ilmu pengetahuan, dan obat-obatan akan menjadi anti- otoriter dan antistruktur. ( Bunch , 1981). Beberapa feminis radikal berpikir bahwa patriakhi merupakan kultur yang trans-historis dan meliputi semua dan oleh karenanya mereka percaya bahwa perempuan hanya akan bebas dalam suatu kultur perempuan alternatif. Hegemoni Patriakhi mendorong beberapa feminis untuk menarik diri dari aksi politik tradisional dan malah membelok untuk menciptakan dunia perempuan yang terpisah. Mary Dary khususnya mendeskripsikan banyak strategis feminis kultural untuk melakuakan perubahan sosial. Dalam Gyn / ecologi, dia menyebut resistensi itu sebagai sebuah proses percikan api persahabatan perempuan. Dengan ― membalikkan ujung jarum kosmis‖ perempuan akan menciptakan kultur baru dengan ritual, simbol, dan bahasa feminis yang baru feminis (Dalih, 1978). Para kritikus menyatakan bahwa feminisme kultural masih mengabaikan persoalan sampai sejauh mana keperempuanan itu berfungsi sebagai pelengkap bagi laki- laki (Echols, 1984). Feminisme radikal mendeskripsikan kultur perempuan sebagai masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai keseluruhan, kepercayaan, dan pengasuhan. Menurut feminis radikal pemisahan antara pengalaman laki-laki dan perempuan berarti bahwa setiap masyarakat sebagai akibatnya, mempunyai dua kultur yang terlihat, yaitu yang laki-laki dan tidak terlihat, adalah perempuan. Misalnya Susan Griffin menyatakan bahwa dualisme buatan masyarakat antara kultur dan natur, intelek dan emosi berasal dari ketakutan akan tubuh dan membawa pada pembagian kerja yang menjangkau semua (Griffin, 1982). Audre Laurde menyatakan bahwa definisi kultur Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 119 masyarakat dan pada saat yang sama ketakutan terhadap kaitan puisi dengan wilayah pikiran tidak dikenal yang tergabung dalam ketakutan patriakis akan perempuan, akan kegelapan, dan nilai-nilai hitam yang menunjukkan rahasia pengetahuan yang lebih tua (Laurde, 1984). Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang dialami perempuan tidak terbatas pada keterlibatan perempuan dalam dunia sastra, tidak pula semua penulis perempuan itu berpihak pada feminis, melainkan bagaimana perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra. Gagasan perempuan dalam teks sastra sudah ada sejak zaman Mesir kuno bahkan jauh lebih lama lagi perempuan selalu menjadi inspirasi bagi para pencipta karya seni atau sastrawan. Pada zaman Mesir kuno, Cleopatra adalah tokoh perempuan yang mengundang inspirasi dan kontroversi. Dalam sejarah, sepak terjang Cleoptra diceritakan dengan sudut pandang yang berbeda. Namun, apa pun alur ceritanya, Romawi bisa takluk dan tunduk oleh Mesir. Ini menunjukkan kekuatan perempuan bisa menaklukan sebuah kerajaan yang sangat kuat, seperti Romawi. Tidak kalah penting juga dalam mitologi Sunda kuno, tokoh Purbalarang dan Purbasari pun adalah tokoh tokoh feminisme, di mana kekuasan dan tahta sebuah kerajaan jatuh pada tangan perempuan. Purbalarang yang berambisi menjadi ratu mengusir Purbasari dari kerajaannya karena dia takut keratuan akan jatuh pada Purbasari. Walaupun di sana ada tokoh Indrajit dan Guruminda, mereka hanya tokoh tempelan atau pendamiping dari dua perempuan yang sedang berseteru. Dalam teks sastra tersebut, legenda berpihak pada perempuan. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini bermaksud melihat bagaimana citra perempuan digambarkan dalam teks sastra, terutama dalam cerita rakyat, khusunya dalam legenda. Penelitian ini bukanlah penelitian folklore meskipun teks yang diambil berangkat dari sastra lisan. Namun penelitian ini lebih menitikberatkan konteks dari sastra lisan tersebut, yang merepresentasikan perempuan di dalamnya. Dalam makalah ini penulis membedah Legenda Pelet Marongge. Secara garis besar legenda membahas cara hidup empat perempuan Mataram yang 120 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 hijrah ke Pajajaran. Mbah Gabuk adalah tokoh sentral dari empat perempuan tersebut, hadir sebagai perempuan yang elok parasnya dan mempunyai ilmu sihir yang luar biasa. Perempuan yang selalu dipotret dalam kecantikannya menjadikan legenda menarik untuk dibahas. Kecantikan Mbah Gabuk yang mempesona telah membuat kekacauan di tanah Pajajaran, membuat para bangsawan dan para raja berseteru untuk memperebutkan Mbah Gabuk. Namun, Mbah Gabuk hadir sebagai perempuan misterius yang sukar untuk ditaklukkan dan akhirnya tak ada satu pun yang memiliki Mbah Gabuk. Sebab bagi Mbah Gabuk pernikahan hanyalah penghalang jalan bagi dirinya untuk mencapai moksa. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini bersifat kualitatif. Permasalahan penelitian ini mengungkap citra perempuan berprinsip yang ada dalam legenda Pelet Marongge. Pembicaraan mengenai citra berarti menyangkut pembicaraan tentang sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Untuk mengetahui hal tersebut, digunakan indikator yang dituangkan dalam sikap, prinsip hidup tokoh, dan narasi dalam sebuah cerita. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah legenda Pelet Marongge yang penulis peroleh langsung secara tuturan dari Kuncen kuburan kramat Marongge. Beliau bernama Bapak Maman, 60 tahun, beralamat di desa Marongge, Kabupaten Sumedang, sudah hampir sepuluh tahun menjadi kuncen kuburan tersebut. Objek formal penelitian ini adalah ideologi feminis dalam legenda Pelet Marongge dengan menggunakan kritik feminis. Kritik sastra feminis dalah salah satu disiplin ilmu sastra yang menekankan penelitian sastra dengan perspektif feminis. Feminis adalah perempuan yang memperjuangkan hak haknya secara kelompok atau sebagai kelas sosial terhadap kekuasaan patriarki. Feminisme bukanlah sebuah paham atau gerakan yang bertujuan mengungguli dan meresepsi laki-laki, namun paham ini hanya berkeinginan mendekati persoalan dasar kehidupan bahwa ada hak-hak kemanusiaan yang perlu diperjuangkan ketika hak-hak tersebut distorsi oleh ketimpangan gender. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 121 (Awuy, 1995: 88). Teori feminis menolak secara verbal tentang science of man, bahwa segala sesuatu berorientasi pada pemikiran dan perspektif lakilaki. pemikiran feminis menekankan pentingnya untuk mendengar suara perempuan dan belajar dari pengalaman perempuan. Dengan perpektif yang kritis ini, penelitian feminis akan mengubah paradigma androsentris, yaitu segala bentuk representasi yang berpusat pada pria sehingga mengabaikan perempuan. Pembacaan suatu teks dalam perpektif feminis berarti berusaha untuk membongkar ideologi gender yang bersifat patriarki dalam teks. Dalam hal ini, kirtik sastra feminis adalah bentuk negosiasi bukan konfrontasi yang menolak gagasan patriarki. Kritik feminis memperlakukan karya sastra sebagai produk budaya masyarakat sehingga analisisnya akan membahas relasi gender dan kedudukannya dalam budaya masyarakat tertentu. HASIL DAN PEMBAHASAN Sinopsis Legenda Pelet Marongge Pada zaman dahulu sekitar abad ke-15. ada empat perempuan sakti dari Mataram. Mereka berempat kakak beradik. Kecantikan mereka sangat luar biasa. Entah atas apa mereka datang ke kampung Babakan, yaitu daerah perbukitan di wilayah Sumedang. Keempat perempuan itu telah membuat geger raja-raja Pajajaran karena kecantikannya. Perempuan yang pertama bernama Nyai Gabuk, dia adalah anak pertama dari bangsawan Mataram, namun, anaknya siapa tidak diketahui. Perempuan yang kedua Nyai Setayu, perempuan yang ketiga Nyai Naibah dan perempuan yang keempat Nyai Naidah. Naibah dan Naidah diperkirakan saudara kembar. Sebab selain namanya yang hampir serupa, sebuah cerita mengatakan bahwa Naibah dan Naidah siga bebelahan terong maksudnya kecantikannya bagai pinang dibelah dua. Mereka berguru pada Kyai H. Putih Jagariksa. Kyai H. Putih diasumsikan sebagai jin atau makhluk halus. Sebab dia adalah penunggu sebuah bukit gaib di kampung Babakan. Mungkin, Kyai H. Putih Jagariksa pernah hidup sebagai manusia, namun setelah meninggal dunia, perjalanan hidupnya atau ajarannya dilanjutkan oleh jin khorinnya. Nah, Jin khorinnya 122 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 itulah yang telah mengajari keempat perempuan ini ilmu kanuragan dan ilmu pelet yang menggegerkan raja-raja Sunda. Sesaat setelah mereka titirah ke tahah Sunda. Raja-raja Sunda jatuh cinta pada keempat perempuan ini. Bahkan ada yang ingin meminang keempatnya menjadi permaisurinya. Namun, Nyai Arketik atau yang sekarang disebut Mbah Gabuk mempunyai syarat barang siapa yang ingin meminangnya atau adik-adiknya menjadi seorang istri maka harus mengalahkannya dalam ilmu kanuragan. Mbah Gabuk memberikan syarat barang siapa yang bisa menarik kukuk – waluh, labu, - yang dihanyutkan di Sungai Cilutung ke arah hulu maka dialah yang akan menjadi suaminya. Tantangan ini adalah sesuatu yang irasional bagaimana mungkin seorang manusia bisa membalikkan arah aliran sungai dari hilir ke hulu. Tak ada seorang raja pun yang sanggup melakukannya sebab itu menantang hukum alam. Semua raja-raja Sunda itu menyerah. Kemudian seorang raja menantang Nyai Arketik untuk melakukan hal itu. Di sanalah kekuatatan Nyai Arketik diuji, ternyata dia sanggup menarik kukuk itu ke arah hulu. Perempuan dari Mataram itu sanggup memutar arus sungai dengan ilmu kanuragannya. Ilmu yang digunakannya adalah ajian kukuk mudik. Sampai saat ini barang siapa yang ingin mempunyai kekuatan Nyai Arketik maka harus semedi di Sungai Cilutung. Maka dia akan mempunyai kecantikan nyai Arketik, artinya jangankan manusia makhluk bernyawa, benda mati pun, yaitu kukuk dapat tertarik padanya. Ketiga adiknya hanya menuruti kemauan kakaknya. Keegoisan kakaknya membuat adik- adiknya tak pernah menikah. Namun adiknya yang kedua yang bernama Nyai Setayu jatuh cinta pada salah seorang bangsawan Sunda. Cinta Nyai Setayu tidak bisa diwujudkan sebab Mbah Gabuk melarang adik-adiknya menerima cinta laki-laki yang lemah. Seorang laki-laki harus bisa melindungi perempuan ucapnya. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa melindunginya jika melawan perempuan saja dia tidak sanggup. Akhirnya pada suatu malam, seorang raja yang mencintai Nyai Setayu mengutus para panglimanya untuk menculik dan mengambil Nyai Setayu. Ada ratusan panglima digjaya dan sakti dalam misi ini. Mbah Gabuk sudah punya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 123 firasat bahwa dia akan didatangi ratusan panglima sakti, maka pada malam itu dia bersemadi dan mengibaskan selendangnya, Cindewulung di halaman rumahnya. Ratusan panglima digjaya itu tidak menemukan rumah perempuan sakti itu. Akhirnya mereka malah tertidur di tepi hutan karena tersesat. Pagi harinya Mbah Gabuk membangunkan mereka dan menyuruh mereka pulang. Nyai Setayu tidak terima ini, dia ingin pergi bersama laki-laki yang dia cintai. Pada suatu malam Nyai Setayu melarikan diri untuk menemui pria yang dicintainya. Dia memilih pergi dengan bangsawan tersebut. Namun tidak beberapa lama kemudian Nyai Setayu kembali lagi ke rumah kakaknya sebab cinta yang ditawarkan bangsawan Sunda itu telah menyakitinya. Bangsawan Sunda yang dicintai Nyai Setayu adalah seorang pria yang mempunyai banyak istri dan Nyai Setayu hanyalah seorang gundik. Padahal, dia dididik oleh kakaknya untuk menjadi seorang perempuan yang harus mempunyai eksistensi di mata laki-laki. Mungkin kakaknya Nyai Arketik mempunyai pengalaman memilukan mengenai seorang pria. Barangkali juga Nyai Arketik atau Mbah Gabuk ini selalu waspada terhadap seorang pria. Oleh karena itu, hanya priapria terpilih yang bisa meminangnya. Namun, adiknya yang bernama Nyai Setayu telah mengkhianati sumpahnya. Memang benar apa yang diperkirakan Nyai Arketik, Nyai Setayu akhirnya disakiti laki-laki. Namun, saat Nyai Setayu pulang, dia melihat Mbah Gabuk sedang sakit keras. Mungkin karena memikirkan adiknya yang pergi bersama seorang pria jahat. Mbah Gabuk kemudian dibawa ke bukit tempat H. Jagariksa berada. Kemudian H. Putih Jagariksa menyuruhnya mencari buah laja. Akhirnya, Mbah Gabuk dapat disembuhkan. Nyai Setayu disuruh oleh Nyai Arketik untuk bertapa di atas bukit bermalam-malam untuk memikirkan apa kesalahannya. Akhirnya, Nyai Setayu mengambil sumpah untuk membantu orang-orang yang tersakiti oleh cinta, maka dia akan membantunya. Dia membuat janji siapa pun yang datang kepadaku dengan membawa cinta yang patah maka aku akan membuatnya utuh kembali. Mintalah kepadaku pelet atau ajian pengasihan, maka pria mana pun yang engkau suka akan kembali menyukaimu. Kau akan menjadi wanita nomor satu dalam hidup seorang pria yang terkena peletku. Maka dia akan 124 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bertekuk lutut di bawah kakimu. Aku tidak ingin peristiwa menyakitkan teralami oleh perempuan lain. Semua pria Sunda yang tampan dan kaya raya akan menjadi budak untuk peletku. Itulah sumpah Nyai Setayu dan dia menjadi seorang guru spiritual di kampung itu. Untuk Nyai Naibah dan Nyai Naidah tidak begitu banyak diketahui nasibnya. Yang pasti keempat perempuan itu tidak menikah sampai akhir hayatnya. Mereka memilih menjadi seorang sufi perempuan yang menyerahkan kehidupannya pada dunia spiritual. Mereka menyepi di sebuah bukit yang kini menjadi kuburannya. Mereka menimba ilmu pada Kyai. H. Putih Jagariksa. Bertahun-tahun kemudian Mbah Gabuk meninggal dunia, namun ada sebuah keajaiban setelah Mbah Gabuk dimakamkan. Pada malam itu keluar cahaya berpendar-pendar dari liang lahatnya. Makamnya mengeluarkan cahaya biru dan putih yang meremang di antara pohon pohon range atau pohon bambu. Dalam bahasa Sunda, cahaya yang keluar dari kegelapan yang berpendar-pendar disebut dengan merong, dan batang-batang pohon bamboo disebut dengan rangge dan jenazah Mbah Gabuk menghilang. Legenda ini mengingatkan pada tokoh-tokoh spiritual lainnya, seperti Prabu Kiansantang, Larasantang, dan Walangsungsang disinyalir juga mengalami hal serupa. Mereka moksa atau tilem dalam bahasa Sunda. Akhirnya bukit tersebut disebut dengan Marongge, yang artinya merong dina rangge. Cahaya yang berpendar di antara batang-batang bambu. Oleh karena peristiwa ajaib itu, masyarakat di sini menganggap kuburan tersebut mempunyai kekuatan magis atau keramat. Sejak dari sanalah banyak orang yang berziarah ke makam ini untuk meminta pelet atau berkah, berharap ada kekuatan-kekuatan yang tersisa dari orang yang telah mati dan dikuburkan di makam ini, mengingat orang tersebut mempunyai kekuatan yang luar biasa semasa hidup, mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi raja-raja Sunda. Makam tersebut disebut dengan Marongge dan menjadi nama desa di sini. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 125 Analisis Ideologi Feminis Ideologi Kecantikan Sebutan cantik menjadi salah satu identitas yang ingin dicapai perempuan. Karena itu, berbagai macam cara perempuan ingin tampil cantik sebagai identitas dirinya. Namun, kecantikan perempuan itu dipandang laki-laki sebagai objek seks atau pemuas birahi. Kebanyakan pria akan lebih tertarik pada perempuan cantik daripada perempuan cerdas. Kayakinan perempuan harus cantik ini banyak diamini oleh sebagian besar peempuan, jika tidak cantik maka tidak layak disebut perempuan. Dari keyakinan ini banyak perempuan yang mengeksploitasi kecantikan sebagai komoditas berharga untuk menaklukkan segala macam pria. Perempuan lebih tertarik untuk merawat kecantikannya daripada merawat kecerdasaannya. Mbah Gabuk adalah tokoh dalam legenda pelet Marongge. Dia digambarkan sebagai perempuan yang serupa bidadari yang telah membuat geger raja-raja Sunda. Untuk deskripsi lebih jelasnya, tak ada yang tahu seperti apa kecantikan Mbah Gabuk. Yang pasti kecantikan direpresentasikan sesuai dengan zaman dan budayanya saat itu. Namun, Mbah Gabuk bukanlah perempuan sebagaimana perempuan kebanyakan yang menggunakan kecantikan untuk menaklukkan banyak pria atau menaklukkan dunia. Dia seorang perempuan cerdas yang mempunyai prinsip dalam hidupnya. Dia tidak mengeksploitasi kecantikannya sebagai komoditas berharga yang bisa ditawarkan kepada setiap pria. Mbah Gabuk menggunakan kecantikaan untuk dikagumi banyak pria namun tidak untuk dimiliki mereka. Hal ini tergambar dari sikap Mbah Gabuk yang menolak banyak lelaki yang meminangnya. Sekali dia akan menerima pinangan seorang pria, dia mengajukan syarat bagi pria yang ingin meminangnya. Hal ini serupa dengan kisah-kisah folklore Nusantara, seperti Dayang Sumbi yang menolak Sangkuriang dengan mengajukan syarat dibuatkan bendungan dan perahu. Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi. Hal itu dilakukan sebagai cara perempuan menolak pinangan pria, namun mereka tak sanggup mengalahkan pria tersebut. Lain halnya yang dilakukan Mbah Gabuk. Dia menantang semua lakilaki dalam sebuah adu tanding atau kanuragan. Dia bisa mengalahkan pria-pria 126 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 yang ingin meminangnya. Dalam hal ini, kecantikan Mbah Gabuk tidak dijadikan senjata untuk mengalahkan pria. Kekuatan kanuragannnya yang membuat Mbah Gabuk keluar sebagai pemenang dalam kompetisi yang diadakannya. Kecantikan bagi Mbah Gabuk bukanlah sesuatu yang tampak dalam fisik, namun kecantikan adalah sesuatu yang ada dalam jiwa. Dia merepresentasi kecantikan melalui kekuatan kanuragannya dan aura mistis yang ada dalam dirinya untuk memikat semua jiwa pria. Setelah kompetisi itu, banyak pria yang semakin mengaguminya. Banyak pria yang semakin jatuh cinta padanya, namun, Mbah Gabuk laksana mawar di tepi jurang. Dia sangat cantik, tapi tak bisa dimiliki. Begitulah Mbah Gabuk merepresentasikan kecantikan dirinya bahwa kecantikannya bukan sebuah komoditas yang diperjualbelikan dan setiap laki-laki bisa menikmatinya. Kecantikan adalah sesuatu yang hakiki yang hanya dimiliki oleh perempuan itu sendiri. Ideologi Menolak Pernikahan Dalam mahzab feminisme radikal, lewat karya Vindication of the Rights of Woman, 1797, Marry Wolllstonecraft, menganjurkan wanita mandiri dalam bidang ekonomi, bahwa wanita bisa hidup tanpa bantuan pria. Kemudian pada tahun 1830, Maria Stewart, penguatan relasi hubungan pria dan wanita bukanlah melalui hubungan pernikahan, melainkan sebagai rekan hidup yang sama-sama menjalani hidup sebagai manusia mandiri. Berikutnya Elizabeth Cuddy pada tahun 1880 menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap perempuan dan menantang justifikasi keagamaan yang menindas kaum wanita. Feminisme radikal juga menyatakan bahwa pernikahan menyudutkan perempuan pada perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan yang diciptakan secara politik oleh kaum pria karena itu tranformasi personal melalui aksi-aksi radikal seperti menolak pernikahan merupakan cara dan tujuan yang paling baik. Bagi kaum feminis radikal, pengalaman pernikahan invidual wanita yang membuat kesengsaraan dan ketidakadilan dalam berumah tangga Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 127 dianggap sebagai permasalahan kelompok. Sebab hampir semua wanita yang menikah mengalami hal serupa, terutama dalam pengambilan keputusan. Feminisme radikal mempunyai pemikiran bahwa perempuan mengalami penindasan dalam pernikahan, hak kebebasan sebagai manusia telah dirampas. Kekuasaan laki-laki dalam pernikahan harus dikenali dan dimengerti kemudian direduksi menjadi kekuasaan yang sosialis bukannya kapitalis. Dalam tokoh Mbah Gabuk yang notabene hidup sebelum feminisme Barat berkembang, sudah muncul bibit-bibit perempuan mandiri, bahwa perempuan bisa hidup tanpa harus ada seorang pria yang mendampinginya. Pernikahan bagi Mbah Gabuk hanya mengeksploitasi wanita secara seksual dan menjadikan perempuan tak punya hak untuk menentukan jalannya sendiri. Contoh kecil dalam budaya Islam, bahwa perempuan yang sudah menjadi istri harus bertindak tanduk seizin suami, bahkan saat orang tua meninggal pun, seorang istri tidak punya hak untuk pergi ke pemakaman ayahnya. Bagitu pun pergi jalan-jalan atau melakukan aktivitas lainnya, tanpa izin suami, seorang istri tidak punya hak apa pun, selain menunggu takdir suami. Mbah Gabuk tidak sejalan dengan budaya semacam itu. Bagi Mbah Gabuk wanita adalah mahkluk mandiri yang punya takdir sendiri. Baginya menikah adalah sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban. Justru dalam pernikahan, perempuan harus mengabdi pada laki-laki. Hal ini yang menjadi dasar, dia menolak pernikahan. Mbah Gabuk tidak mau menjadi abdi laki-laki. Aturan-aturan dalam pernikahan hanya menindas kaum perempuan. Bahkan dalam sebuah budaya Sunda, seorang istri harus mengabdi pada suami. Itu artinya perempuan hadir sebagai pembantu gratis, perempuan adalah pelayan. Padahal, pernikahan adalah sebuah bentuk kerja sama antara laki-laki dan perempuan dalam membangun rumah tangga. Namun, laki-laki cenderung mendominasi dalam keluarga, seolah tanpa kehadirannya sebuah keluarga bisa hancur, sedangkan perempuan hanya bersifat artifisial dalam rumah tangga, yang bisa diganti oleh siapa pun. Hal itu juga yang membuat Mbah Gabuk 128 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menolak pernikahan yang membuat kebebasan perempuan sebagai manusia merasa terampas. Ideologi Perempuan Lebih Kuat daripada Laki-laki Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa perempuan lebih kuat daripada laki-laki, feminisme radikal menolak keras patriarki. Feminisme ini menunjukkan kekuatan wanita tidak bisa dipandang remeh. Marilyn French berpendapat bahwa perbedaan perempuan lebih pada biologi bukan pada sosial. Dalam bukunya yang berjudul Beyond Power, French mengisyaratkan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada laki-laki. Stratifikasi laki-laki di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan pada stratifikasi kelas. French mengklaim bahwa nilai-nilai feminisme harus diintegrasikan ke dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriarki. Mary Daly merendahkan nilai-nilai maskulinitas tradisional. Dalam bukunya Beyond God the Father, Daly menolak istilah maskulin dan feminism secara keseluruhan. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa yang tampak merupakan aspek baik dari feminitas dan aspek buruk yang sudah jelas-jelas buruk karena semua itu merupakan kontruksi yang dibuat laki-laki, yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara patriarki yang dalam. Dalam hal ini, Mbah Gabuk menantang semua raja-raja Sunda dalam sebuah kompetisi ngadu kukuk. Ngadu dalam bahasa Indonesia artinya tanding atau beradu jago sedangkan kukuk adalah sejenis labu kecil atau biasa disebut dengan waluh. Kompetisi itu diadakan untuk memenangkan dirinya sendiri. barang siapa yang berhasil mengalahkannya, maka pria itu akan menjadi suaminya. Namun, apa yang terjadi tak ada satu pun raja yang bisa menandingi keahliannya dalam menarik kukuk yang mengalir dibawa arus sungai. Kukuk yang dilemparkan di sungai Cilutung itu harus ditarik dengan kekuatan magis agar berbalik arah menuju hulu. Tak ada satu pun pria yang sanggup melakukannya. Namun, Mbah Gabuk dengan ajaibnya kukuk itu menggelinding melawan arus sungai dan hancur berantakan menabrak batu Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 129 besar. Semua laki-laki kagum sekaligus besedih karena tak ada satu pun lakilaki yang bisa memilikinya. Peristiwa ini menunjukkan kekuatan perempuan lebih hebat daripada laki-laki. Mbah Gabuk hanya perempuan desa biasa namun bisa mengalahkan raja-raja di tanah Pajajaran. Di sinilah paham feminisme didukung bahwa gerakan wanita lebih kuat daripada laki-laki bisa diapresiasi dari peristiwa kukuk mudik. Bahwa wanita tidak sembaragan dijadikan komoditas seksualitas pria, atau wanita harus mau menjadi isteri. Mbah Gabuk telah membuktikan kekuatan wanita dan kearoganannya sebagai perempuan sakti yang tak bisa disentuh seorang pria. Nilai-nilai feminitas yang diusung Mbah Gabuk membawa kita pada pemahaman bahwa wanita yang bernilai tidak akan menerima sembarang pria sebagai suaminya. Mbah Gabuk memilih pria yang kuat yang hebat yang bisa mengalahkan dirinya, namun tak ada seorang pun yang menjadi suaminya sebab tak ada seorang pria yang bisa mengalahkannya. Sisi feminitas dalam peristiwa itu pun tetap menjadi ciri Mbah Gabuk. Dalam kompetisi adu jago ini, Mbah Gabuk tidak menantang raja-raja Sunda itu dalam sebuah pertarungan fisik atau baku hantam seperti yang dalam legenda Nyai Gandasari (baca Ajian Nyimas Gandasari) yang mengalahkan banyak pria dalam pertarungan berdarah. Mbah Gabuk hanya menantang para pria itu dengan melemparkan kukuk ke sungai kemudian menariknya kembali tanpa disentuh tangan melainkan melalui energi murni yang ada dalam setiap diri manusia. Namun, ternyata tak ada satu pria pun yang mempunyai energi murni dalam diri setiap pria yang mengikuti kompetisi itu dan Mbah Gabuk menolak semua pinangan. Dia mengibaskan selendang Cindewulung, yang notabene adalah asesoris perempuan, untuk menarik kukuk yang menggelinding dalam arus sungai. Di sinilah kekuatan feminisme dibuktikan bahwa untuk memenangkan sebuah kompetisi bukanlah pada kekuatan fisik yang selama ini diagungkan dunia patriarki, melainkan lebih pada kekuatan jiwa, kelembutan seorang wanita. Selendang yang menjadi cirri feminism telah menjadi kekuatan yang mengalahkan kearoganan dunia partriaki. 130 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Ideologi Perempuan Mandiri Dalam teori feminisme Barat, sistem kapitalis yang dikuasai laki-laki telah mendiskreditkan kaum perempuan. Dalam hal ini laki-laki menjadi pengendali roda perekonomian. Misalnya dalam keluarga, laki-laki bekerja dan perempuan hanya di rumah menunggu asupan uang dari suami. Hal ini menyebabkan perempuan dimarjinalkan dan membentuk kelas laki-laki dan kelas perempuan. Perempuan seolah tidak bisa berbuat apa apa selain menunggu nasib. Mbah Gabuk muncul sebagai sosok yang mandiri dan tidak membutuhkan pendamping atau suami dalam menjalan kehidupannya. Meskipun dia hanya berprofesi sebagai petani dan tabib yang punya penghasilan pas-pasan, dia tidak tertarik pada laki-laki kaya. Mbah Gabuk menolak semuan pinangan raja-raja Sunda. Dia hanya tertarik pada pria yang kuat secara jiwa dan memperlakukan perempuan sebagai manusia bukan objek seks yang bisa mereka gunakan kapan pun dan bisa membuangnya kapan pun setelah tidak berguna. Artinya, mbah Gabuk bukan perempuan matre yang menggantungkan hidup dari nafkah lahir laki-laki. Dia memperjuangkan haknya sebagai perempuan yang tidak mau jadi tunjangan laki-laki. Mbah Gabuk merasa bahwa pinangan para raja itu hanya melihat kecantikannya bukan tertarik pada dirinya. Coba saja jika Mbah Gabuk itu seorang perempuan tua yang buruk rupa, tak akan pernah ada yang tertarik padanya. Di sanalah bisa disimpulkan bahwa para pria hanya tertarik pada kecantikan fisik wanita yang fana. Mbah Gabuk bisa menjadi teladan untuk pendidikan karakter perempuan Sunda bahwa seorang perempuan haruslah mandiri jangan bergantung pada laki-laki. Selama nyawa dikandung badan, selama tenaga dan pikiran masih digunakan, maka hiduplah dengan rejeki Tuhan yang diberikan kepada tanganmu bukan melalui tangan orang lain. Jangan pernah menunjukkan kelemahan di depan laki-laki sebab itu membuktikan bahwa perempuan adalah makhluk lemah, kaum proletar yang membutuhkan perlindungan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 131 Ideologi Feminisme Legenda Pelet sebagai Pendidikan Karakter 1. Tokoh Mbah Gabuk dapat menjadi teladan bahwa kecantikan perempuan bukanlah segalanya untuk menaklukkan pria. 2. Kekuatan perempuan bukanlah terletak pada kekuatan fisiknya melainkan pada kekuatan jiwanya. 3. Menjadi perempuan mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki. Meskipun menolak pernikahan tidak bisa dijadikan teladan, sosok Mbah Gabuk yang bisa menafkahi diri sendiri bisa menjadi percontohan untuk perempuan-perempuan zaman sekarang yang lebih tertarik pada pria sebagai arena mereka menggantungkan hidup. 4. Jangan pernah menerima cinta pria yang tertarik pada kecantikan karena priapria semacam itu akan meninggalkan perempuan saat perempuan menjadi tua dan buruk rupa. 5. Menghargai dan saling mencintai antarsaudara, keempat tokoh perempuan dalam legenda tersebut, hidup rukun sampai mereka tua. Mereka tetap bersatu dalam sebuah keluarga sampai maut memisahkan mereka satu demi satu. SIMPULAN Legenda Pelet Marongge adalah kekayaan khasanah sastra Nusantra. Sebagai kajian folklore Legenda Pelet Marongge layak dijadikan media pendidikan karakter bangsa terutama bagi kaum perempuan yang berprinsip dalam hidupnya. Tokoh Mbah Gabuk hadir sebagai perempuan berkarakter kuat dan membawa alur cerita pada konflik peristiwa yang melibatkan cinta dan tahta. Namun, Mbah Gabuk adalah perempuan yang menolak dunia partriaki yang mendominasi. Dia memilih jalan hidup sendiri sebagai manusia mandiri. Hal ini sejalan dengan teori feminisme yang menolak dominasi lakilaki dalam kehidupan. Penelitian ini menitikberatkan pada kajian feminisme yang menjadikan pendidikan karakter bangsa. Keistimewaan tokoh mbah Gabuk dapat dijadikan teladan bagi perempuan-perempuan Sunda yang ingin hidup mandiri. Terlepas dari mitos pelet yang konon katanya dapat menaklukkan semua pria, Mbah Gabuk sendiri bukanlah seorang yang menaklukkan pria, namun semua pria ingin menaklukkan hatinya. 132 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Legenda selalu menarik untuk dikaji dan ditelusuri jejak-jejaknya. Kita bisa mengenal sebuah budaya dan karakter bangsa dari cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakatnya. Inilah Indonesia yang kaya dengan budaya. Legenda pelet Marongge adalah salah satu kekayaan bangsa yang patut dilestarikan dan diceritakan ulang pada anak-anak kita, agar mereka bisa mengenal identitasnya. Bahwa tokoh-tokoh mitologi bisa dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Awuy, Tommy. 1995. Wacana Tragedi dan Dekontruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jantera Wacana Publika. Fakih, Mansoer. 1996. Membincang Feminisme, Diskursus Gender dalam Perpektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti. Fakih, Mansoer. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stallnecht, Newton P and Horst Franz. 1971. Comtemporery Literature: Method and Perspective. Carbondale and Edwardsville: Illionis University Press. Yanti, Prima Gusti. 2010. Diktat (Sastra Banding). Jakarta: FKIP UHAMKA. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 133 PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA Daroe Iswatiningsih Prodi. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah Malang Pos-el: [email protected] ABSTRAK Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Membangun Karakter Generasi Muda. Pembelajaran merupakan upaya penanaman dan penguatan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pada anak (peserta didik). Aspek kognitif berkaitan dengan substansi materi atau pengetahuan yang perlu dipahamkan kepada anak. Anak perlu memahami serangkaian konsep dan teori dengan menggunakan nalar serta prinsip keilmuan. Aspek afektif berkaitan dengan penanaman dan pengembangan nilai sikap dan karakter kepada peserta didik. Dengan memiliki sikap sosial, emosional dan spiritual, dan moral anak mampu memaknai hakikat hidup ketika harus berhubungan dengan Tuhan, teman, diri sendiri, dan lingkungan. Adapun penguatan psikomotorik pada anak dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilam menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.Secara substansi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki peran penting dalam membangun karakter generasi muda. Pembelalajaran bahasa dimaksudkan untuk menguatkan kompetensi peserta didik (generasi muda) dalam berkomunikasi dan beriteraksi dengan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Beberapa aspek yang perlu dipahami oleh seorang penutur saat berkomunikasi di antaranya: siapa yang dihadapi, topik yang dibicarakan, situasi yang terjadi (konteks). Dengan demikian, secara tidak langsung pembelajaran bahasa akan membangun karakter sopan santun, kerjasama, toleransi, dan percaya diri. Adapun pembelajaran sastra dimaksudkan untuk mengasah dan menumbuhkan kepekaan seseorang terhadap keindahan, kemanusiaan, etika, serta moral. Oleh karena itu, dalam membelajarakan bahasa dan sastra Indonesia guna membangun karakter peserta didik diperlukan strategi dan perangkat pembelajaran yang memadai dari seorang guru. Guru hendaknya bertindak secara profesional, baik sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik. Kata kunci: pembelajaran bahasa dan sastra, karakter, generasi muda PENDAHULUAN Tulisan ini diawali dari pemahaman dua istilah yang sering digunakan dalam bidang pendidikan, yakni pendidikan itu sendiri dan pengajaran. Hal ini dikarenakan bahwa hasil akhir yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan adalah terbangunnya jiwa berkarakter atau berbudi pekerti pada peserta didik. Sebuah usaha yang tidak dapat dilakukan secara instan namun terencana, terarah dan berkesinambungan. Sebuah sikap dan perilaku yang perlu dibangun 134 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dan dikembangkan pada pesera didik guna membentengi diri dari berbagai perubahan sosial dan teknologi yang berdampak buruk pada perilaku anak. Ranah pendidikan mencakup tiga ruang, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat (tripartit). Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam meletakkan dasar nilai-nilai dasar kebajikan pada anak. Nilai-nilai kebajikan yang ditanamkan pada anak tersebut bersumber dari nilai budaya yang berkembang di masyarakat, pengetahuan dan keyakinan agama yang ditanamkan orang tua. Dalam perkembangannya, karena tuntutan kebutuhan dan pekerjaan yang harus dipenuhi keluarga,maka kebanyakan keluarga menyerahkan tanggung jawabpendidikan pada lembaga/ institusi formal, yakni sekolah. Banyak orang tua yang menyerahkan pengembangan potensi anak, baik dari aspek emosional dan spiritual pada pihak sekolah – yang notabene sekolah hanya mengurusi masalah intelektual – secara mutlak. Orang tua merasa tidak banyak waktu untuk menanamkan dan mengembangkan budi pekerti pada anak. Demikian halnya dengan lingkungan masyarakat. Masyarakat kurang peduli pada upaya pembinaan dan pengembangan nilainilai karakter yang nantinya dapat dimanfaatkan anak dalam kehidupan bermasyarakat, seperti sikap santun, kerja sama, empati, tanggung jawab dan sebagainya. Dengan demikian, beban sekolah dalam mengasuh (ngulawentah)anak semakin berat. Pada dasarnya dalam jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni aspek kemampuan (Ability) dan aspek kepribadian (personality). Aspek kemampuan meliputi prestasi belajar, intelegensia, dan bakat; sedangkan aspek kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap, dan motivasi (Jaali, 2013:1). Pandangan tersebut memberi pemahaman bahwa pengembangan jiwa manusia yang berorientasi pada peningkatan kemampuan peserta didik menjadi tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar. Untuk itu, makna pengajaran di sekolah lebih menonjolkan peranan guru dalam mempersipkan materi untuk disampaikan kepada anak. Murid cenderung bersikap pasif dan hanya menerima apa yang disuguhkan guru. Dan yang lebih penting, anak mampu menyerap segala informasi yang diberikan guru sebagai bentuk pengetahuan yang suatu saat akan diujikan sebagai bentuk penguasaan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 135 Namun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, guru bukan lagi sebagai pusat pembelajaran. Guru diharapkan tidak lagi berperan aktif sebagai pelaku utama pembelajaran, yang mentranser ilmu dan informasi.Guru hendaknya dapat memosisikan diri sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan evaluator dalam pembelajaran. Istilah pembelajaran yang merupakan reduksi dari pengajaran lebih mensyaratkan bahwa kedua belah pihak, yakni guru dan murid bersikap aktif. Sebagai pengajar, guru dapat memahami makna belajar yang berlangsung di kelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI, 1998)belajar diartikan sebagai berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Bruner menandai bahwa dalam proses belajar terdapat tiga tahapan, yaitu tahap informasi, transformasi dan evaluasi. Masing-masing tahapan ini dimaksudkan untuk mengetahui dan lebih menguatkan pemahaman anak terhadap masalah yang dipelajari. Dalam tahap informasi, guru dan siswa berusaha menggali informasi dai berbagai sumber dan selanjutnya masing-masing pihak berhak untuk mentransformasikannya. Artinya, guru mampu menciptakan suasana dan linkungan belajar yang memupuk rasa percaya diri dan keberanian anak untuk mengomunikasikan gagasan dan pikirannya. Dengan demikian, anak tidak sekedar gelas kosong yang perlu diiisi. Selanjutnya, guru berperan sebagai evaluator yang menilai perkembangan/kemajuan anak secara autentik dan portofolio, bukan berdasarkan penilaian kelompok/kelas. Pembelajaran dan pengajaran secara konseptual memang memiliki pemahaman yang dekat. Berdasarkan penelusuran beberapa kamus kontemporer,Brown (2007:8) mengartikan pembelajaran adalah penguasaan atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan dengan belajar, pengalaman, atau instruksi. Adapun seorang psikolog pendidikan mendefinisikan pembelajaran sebagai ―sebuah perubahan dalam diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman (Slevin, 2003:138). Pengajaran didefinisikan sebagai menunjukkan atau membantu seseorang mempelajari cara melakukan sesuatu, memberi instrukiu, membantu dalam pengkajian sesuatu, menyiapkan pengetahuan, menjadikan tahu atau paham. Melihat definisi kedua istilah - pembelajaran dan pengajaran - maka keduanya tidak 136 dapat dipisahkan. Pengajaran Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 memandu dan memfasilitasi berlangsungnya pembelajaran. Dan diantara keduanya, pendidikan sebagai wadah dalam menyelenggarakan pengajaran maupun pembelajaran. Dalam pendidikan, segala potensi pada diri anak sebagai peserta didik harus ditumbuhkan, yakni spiritual, intelekstual, emosional, kultural dan moral. Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) sebagai Pengembangan Kepribadian Baru saja kita memperingati hari Sumpah Pemuda. Salah satu isi Sumpah Pemuda tersebut adalah sebuah ikrar untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indoesia. Sebuah pemikiran strategis para pemuda masa dulu dalam mempersatukan bangsa melalui bahasa. Hal ini mengingat negara Indonesia yang terdiri dari ratusan bahasa daerah yang tersebar di wilayah nusantara. Lalu apa makna sumpah pengembangan kepribadian bangsa? tersebut dalam hubungannya Pengakuan atas menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia memiliki fungsi yang luar biasa dalam mengembangkan kepribadian bangsa. Sekali lagi, fungsi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia berkepribadian, berperilaku dan berbudi bahasa khas Indonesia. Hal ini berdampak pada bersatunya para pemuda - kala itu yang bersifat kedaerahan – untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap komunikasi. Untuk itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang saat ini diajarkan di sekolah-sekolah mampu mengembangkan kepribadian peserta didik. Hal ini bisa dilakukan mulai dari jenjang pendidikan dasar, seperti di sekolah dasar. Sifat pembelajaran yang tematik dan terintegrasi menjadikan guru harus mampu mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu tema yang sama. Adapun persiapan yang perlu dilakukan guru untuk mencapai tujuan tersebut menyusun perangkat pembelajaran mulai dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) hingga persiapan lain seperti media, materi yang relevan, strategi dan metode pembelaran, serta evaluasi. Guru hendaknya kreatif dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Karakter yang dapat dikembangkan selama proses pembelajaran mulai dari mencintai bahasa dan karya sastra Indonesia, berani, bertanggung jawab, disiplin, bekerja keras, toleransi, menghargai karya orang, jujur, dan sebagainya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Caranya, guru 137 mempersiapkan bacaan sastra yang mengandung nilai-nilai kebajikanatau sebaliknya yang diperankan para tokoh. Siswa diminta menunjukkan nilai yang baik dan nilai yang tidak baik, meminta penjelasan atau alasan penilaian, juga memeragakan karakter masing-masing tokoh secara berkelompok. Dengan demikian, lambat laun sikap dan perilaku baik ini akan diingat dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap saat guru pun memberi penguatan positif pada sikap baik anak agar diulang lagi. Sebaliknya, guru memberi penguatan negatif pada perilaku anak yang dinilai kurang agar anak tidak mengulanginya. Evaluasi terhadap sikap afektif anak senantiasa didokumentasikan guru. Guru kelas maupun guru bidang studi masing-masing bertanggung jawab terhadap perkembangan kepribadian anak. Masalah akhlak anak bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama ataupun guru pendidikan kewarganegaraan (Pkn). Semua guru memiliki tanggung jawab moral dalam menumbuhkan, mengembangkan, mengawal dan menciptakan perilaku baik anak. Pendidikan karakter dalam hal ini bukan merupakan satu mata pelajaran atau ilmu pengetahuan, tetapi merupakan substansi yang mengisi semua bidang kehidupan warga sekolah. Untuk itu, atmosfir sekolah harus mampu mencerminkan suatu tekat kuat untuk membangun karakter anak yang berkepribadian. Misalnya dengan memajang kalimat berkarakter ―Bersih itu Indah‖, ―Membuang sampah di tempat menciptakan kebersihan‖, ―Budaya antri wujud menghargai sesama‖, ―Membaca adalah jendela dunia‖, ―Raih mimpimu menjadi nyata‖, ―Ungkapkan pikiran dan perasaanmu: untuk menjadi Percaya Diri‖, ―Tubuh Sehat menjadikan Semangat Belajar‖, dan sebagainya. Bukan hanya kata atau kalimat yang tidak bermakna. Semua warga sekolah harus mampu menerapkannya denga baik. Sastra dan Refleksi Kehidupan Selama ini sastra dinilai sebagai karya imajinatif, fiksi atau cerita tidak sebenarnya. Memang, saat pengarang menampilkan tokoh, maka tokoh yang diceritakan adalah rekaan pengarang. Namun demikian, nilai kehidupan yang ditampilkan dalam karya sastra terjadi di masyarakat. Sastra merupakan produk pengarang yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Karya sastra hadir 138 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menggambarkan nilai-nilai yang tumbuh berkembang dalam masyarakat pada zamannya. Untuk itu, sastra merupakan potret kehidupan masyarakat yang sedang berlangsung. Pada masa feodal misalnya, karya sastra banyak mengangkat persoalan sosial yang berkaitan dengan kesenjangan sosial, perbudakan, penindasan rakyat kecil serta kawin paksa. Adapun dalam masa sekarang banyak karya sastra (novel) yang mengangkat tentang semangat belajar hingga ke luar negeri, perjuangan perempuan untuk meraih cita-cita, serta novel-novel inspiratif seperti biografi seseorang yang sukses dalam perjalanan hidupnya. Sehubungan dengan pembelajaran sastra, maka dengan hadirnya beragam karya sastra memungkinkan guru untuk memilih bahan yang sesuai. Guru aktif membaca, kreatif mengembangkan bahan dan metode pembelajaran. Mendekatkan nilai-nilai yang tidak disentuh anak menjadi bagian dalam kehidupannya. Saat penulis berinteraksi dengan guru-guru sekolah dasar dan menanyakan apakah pernah membaca novel ―Laskar pelangi‖ karya Andrea Hirata banyak guru yang menggelengkan kepala. Padahal novel tersebut termasuk genre pendidikan, yang menginspirasi bagaimana meraih cita-cita dalam keterbatasan. Sebagian guru menyatakan telah menonton filmnya, dengan alasan malas membaca, tidak ada waktu membaca, serta berbagai alasan lainnya. Kemudian penulis bertanya lagi seputar novel yang terkait dengan semangat pendidikan seperti ―Negeri 5 Menara‖ dan ―Sepatu Dahlan‖ para guru tersebut masih menggeleng. Jika demikian adanya, maka semangat guru untuk mengembangkan wawasan melalui apresiasi karya sastra perlu ditumbuhkan. Jika guru sudah mencintai sastra, tentu akan menularkan semangatnya kepada peserta didik. Dengan demikian, guru menjadi lebih memperhatikan keberadaan perpustakaan sekolah, apakah koleksi buku telah memenuhi kelayakan sebagai sebuah perpustakaan? Peran sastra dalam pembelajaran sangat penting. Hal ini sebagaimana dikemukakan Tarigan (1995), bahwa sastra berperan dalam pendidikan anak, yaitu dalam 1) perkembangan bahasa 2) perkembangan kognitif, 3) perkembangan kepribadian, dan 4) perkembangan sosial. Manfaat sastra dalam Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 139 perkembangan bahasa adalah bahwa anak setelah membaca atau menyimak sastra, baik langsung maupun tidak langsung akan menambah kosakata anak. Hal ini akan meningkatkan keterampilan berbahasa anak. Selanjutnya dengan membaca sastra dapat memotivasi serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran anak. Selain itu, dengan mengenal berbagai karakter yang diperankan tokoh cerita, anak dapat mendalami perasaan, kepribadian tokoh, menilai dan menentukan sikap tertentu dengan berbagai pertimbangan.Dengan demikian, kepribadian anak semaki berkembang. Anak dapat belajar dari nilainilai yang dikembangkan dalam seriap karakter yang dihadirkan pengarang. Sikap serta kepribadian yang telah dipelajari anak dari karya sastra akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Anak akan mudah menentukan sikap saat bergaul dengan teman sebayanya, menghargai orang yang lebih tua, membangun kepercayaan serta sikap-sikap lain yang berlaku secara universal di masyarakat. Karakter yang Perlu Dibangun pada Generasi Muda Karakter apa saja yang perlu dibangun pada peserta didik sebagai generasi muda bangsa? Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian, tujuan pendidikan tersebut sekaligus membangun karakter pada diri peserta didik menjadi manusia dalam hubungannya dengan pencipta (Tuhan), manusia dengan diri sendiri, dan manusia dalam hubunganya dengan sesama (sebagai makhluk sosial). Adapun dalam pandangan Lickona (1992), pendidikan karakter yang perlu ditumbuhkan mencakup tiga kompoen karakter yang baik (components of good character) yaitu pengetauan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling) dan perbuatan bermoral (moral action). Ketiga komponen tersebut diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan 140 dan sekaligus mengerjakan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 nilai-nilai kebajikan. Dalam komponenmoral knowing terdapat enam hal yang menjadi tujuan, yaitu 1) moral awareness, 2) knowing moral values, 3) perspective taking, 4) moral reasoning, 5) decision making, dan 6) self knowledge. Dalam moral feeling terdapat enam aspek emosi yang perlu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yaitu 1) conscience,2) self-esteem, 3) emphaty, 4) loving the good, 5) self-control, dan 6) humility. Selanjutnya dalam moral action, tindakan atau perbuatan yag dilakukan oleh seseorang didorong oleh tiga aspek karakter, yaitu 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), dan 3) kebiasaan (habits). Ratna Megawangi (2004) sebagai pencetus pendidikan Karakter di Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada anak, yang disebut dengan 9 pilar, yaitu: 1) cinta Tuhan dan Kebenaran, 2) Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) amanah, 4) hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8)baik dan rendah hati, 9) toleransi dan cinta damai. Mencermati berbagai karakter yang telah disebutkan di atas, maka karakter apa saja yang seyogyanya dikembangkan di sekolah, terlebih lagi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Tentunya semua nilai yang dikemukakan di atas secara universal memiliki nilai kebajikan atau moral. Namun demikian, tentunya setiap tahapan pembelajaran memiliki kesesuaian dengan tema dan materi yang diajarkan. Untuk itu, secara bertahap nilai-nilai karakter tersebut dapat dikembangkan dalam pendidikan, terlebih lagi dalam pembelajaran. Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Dasar Terdapat sekian banyak karakter yang perlu ditumbuhkan dan dikembangkan kepada anak. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan bahwa pendidikan mampu mengembangkan potensi anak didik secara maksimal guna dimanfaatkan dalam menyelesaikan berbagai maslaha yang dihadapi anak. Pemahaman terhadap strategi pembelajaran sangat beragam. Hal ini bergantung pada sudut pandang pelaku dalam berproses dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 141 mencapai tujuan. Huda (1999) menggambarkan strategi sebagai sebagai sifat, tingkah laku yang tidak teramati, atau langkah nyata yang teramati (dalam Iskandarwassid, 2008). Hakikat strategi pembelajaran menurut Mujiono (1992) diartikan sebagai kegiatan pengajar untuk memikirkan dan mengupayakan terjadinya konsistensi antara aspek-aspek dan komponen pembentuk system instruksional, dimana untuk itu pengajar menggunakan siasat tertentu. Dalam pandangan ini strategi pembelajaran memiliki dua dimensi, yaitu dalam perancangan dan dalam pelaksanaan. Brown (2007) membedakan strategi dalam pemerolehan bahasa kedua menjadi dua jenis, yakni strategi pembelajaran dan strategi komunikasi. Adapun O‘Malley (dalam Brown, 2007) menggolongkan strategi pembelajaran menjadi tiga kelompok, yakni strategi metakognitif, strategi kognitif dan strategi sosioafektif. Strategi metakognitif melibatkan perencanaan belajarm pemikiran tentang proses pembelajaran yang sedang berlangsung, pemantauan produksi dan pemahaman seseorang, dan evaluasi pembelajaran setelah aktivitas selesai. Strategi kognitif lebih terbatas pada tugas-tugas pembelajaran spesifik dan melibatkan pemanfaatan yang lebih langsung terhadap materi pembelajaran itu sendiri. Strategi sosioafektif berkenaan dengan aktivitas mediasi sosial dan interaksi dengan yang lain. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia – yang di dalamnya termasuk sastra – guna membangun dan mengembangkan karakter peserta didik, maka guru harus mampu menentukan strategi yang tepat. Pilihan guru terhadap sebuah strategi pembelajaran didasarkan pada tujuan pembelajaran. PENUTUP Sebagai kesimpulan dalam tulisan ini, seorang guru menyadari benar hakikat, tujuan, serta ruang lingkup pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada masing-masing jenjang pendidikan. Pencermatan terhadap kurikulum serta persiapan perangkat pembelajaran perlu dilakukan. Belajar bahasa sangan dengan dengan pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Bukan hanya 142 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 materi yang dihafalkan sebagai kemampuan kognitif, tetapi bagaimana mengimplementasikan dalam sebuah sikap dan perilaku sehari-hari pada anak (kemampuan afektif). Untuk itu, pengetahuan, sikap dan perbuatan terhadap karakter itu sendiri menjadi bagian perilaku anak sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Penerj. Noor Cholis). Pearson Education, Inc. Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta Jaali. 2013. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Shools Can Teach Respect and Responsibility.New York:Bantam Books. Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta : IHF. Slavin, R. 2003. Educational Psycology:Teori and Practise. Boston: Allyn and Bacon. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 143 PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TOKOH PUBLIK TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER GENERASI MUDA Kajian Deskriptif Bahan Pembelajaran Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Diena San Fauziya STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Pengaruh Penggunaan Bahasa Tokoh Publik terhadap Perkembangan Karakter Generasi Muda. Tahun 2012 hingga 2014 merupakan tahun-tahun yang memiliki banyak sejarah penting. Banyak tokoh publik yang muncul seiring dengan banyaknya peristiwa yang mendapat sorotan dari masyarakat. Kemunculan tokoh tersebut memberikan banyak dampak terhadap kehidupan bermasyarakat, termasuk terhadap kalangan generasi muda. Dampak yang terjadi salah satunya ada pada tataran gaya berbahasa. Berdasarkan pengamatan dan survei, terbukti bahwa karakter generasi muda sekarang, terutama dalam berbahasa, dipengaruhi oleh penggunaan bahasa-bahasa tokoh publik. Untuk membentuk karakter positif, terutama dalam berbahasa, pembinaan terhadap pengguna bahasa perlu dilakukan. Kata kunci: bahasa, tokoh, karakter, pembinaan, generasi muda. PENDAHULUAN Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hampir setiap waktu dan kesempatan bahasa digunakan oleh setiap orang. Bahasa menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Dengan demikian, sedikit banyaknya bahasa memiliki peran dalam memengaruhi kehidupan, termasuk dalam pembentukan karakter. Pembentukan karakter merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Keberhasilan seseorang terletak dari bagaimana proses pembentukan karakter. Idealnya, pembentukan karakter ini dilakukan sedini mungkin. Namun, pada masa-masa remaja, pembentukan karakter juga perlu dilakukan. Mengapa demikian? Jawabannya tentu saja karena generasi muda merupakan harapan bangsa sehingga harus berakhlakul karimah. 144 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dalam kehidupan berbangsa, generasi muda memiliki peran yang begitu besar. Pernyataan Bung Karno, ―Beri aku sepuluh pemuda, akan ku guncang dunia‖ menjadi saksi begitu sentralnya peran pemuda. Namun demikian, peran pemuda seperti apa yang diharapkan? Tentu saja pemuda yang berkarakter. Ironisnya, melihat karakter pemuda sekarang ini, mampukah mereka menjadi harapan bangsa? Jawaban tersebut tentu begitu relatif. Pertanyaan yang pertama kali harus dijawab adalah bagaimana karakter pemuda sekarang ini? Sejalan dengan itu, dalam tulisan ini karakter pemuda akan disoroti dari segi penggunaan bahasanya. Lebih lanjut, yang menjadi fokus pembahasan adalah bagaimana pengaruh penggunaan bahasa tokoh terhadap perkembangan karakter generasi muda tersebut. Bahasan ini diambil seiring dengan keyakinan bahwa penggunaan bahasa sedikit banyaknya mampu memengaruhi karakter seseorang. Ini sekaitan dengan adanya pepatah ―bahasa menunjukkan bangsa‖ yang mengandung arti baik buruknya karakter seseorang terlihat dari bagaimana ia berbahasa. Lantas kemudian, apa kaitannya dengan penggunaan bahasa tokoh publik? Keterkaitan ini diyakini muncul dengan berlandaskan pada salah teori pemerolehan dan pembelajaran bahasa bahwa penggunaan bahasa seseorang dipengaruhi oleh lingkungannya. Tahun 2014 ini merupakan tahun yang penting karena banyak peristiwa yang banyak terjadi di dalamnya. Salah satunya adalah munculnya tokoh-tokoh publik yang mendapat sorotan dengan berbagai macam gaya berbahasa yang menarik. Tujuan penulisan ini tidak lain sebagai jembatan untuk memotret penggunaan bahasa sehingga akhirnya mengetahui bagaimana keterkaitan penggunaan bahasa tokoh publik terhadap karakter berbahasa generasi muda. Hal ini tentu saja sebagai bentuk perwujudan kepedulian atas penggunaan bahasa baik tokoh publik maupun generasi muda. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi bahan untuk memperkuat sikap bahasa, baik kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, maupun kesadaran adanya norma dalam berbahasa, seperti apa yang dijelaskan Chaer, (2013:54). Penyusunan tulisan ini dilakukan melalui kajian deskriptif, yakni menggambrakan penggunaan bahasa dari penuturnya (tokoh publik dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 145 generasi muda). Untuk mendapatkan data dilakukan teknik pengamatan. Penjabaran data tersebut kemudian dilakukan secara deskriptif. Selain itu, untuk mengetahui bagaimana pandangan generasi muda itu sendiri dilakukanlah survei pada mahasiswa sebagai subjek penelitian yang mewakili generasi muda. PEMBAHASAN Penggunaan bahasa pada kebanyakan tokoh publik dapat kita amat begitu bagus, tertata apik, kosakata bahasa Indonesia benar, serta intonasi menarik. Keadaan itu dapat kita amati dalam program-program acara yang ditayangkan media massa elektronik terutama televisi, khususnya pada acaraacara yang dapat dikatakan formal atau semiformal. Namun, dalam beberapa kesempatan, ada pula yang tidak demikian. Setiap tokoh menampilkan penggunaan bahasa dengan kekhasan masing-masing. Kekhasan inilah yang kemudian mendapat sorotan dari masyarakat luas, termasuk juga dalam tulisan ini. Penggunaan bahasa tokoh publik yang diamati sebagai data dalam tulisan ini dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yakni tokoh hiburan atau yang sering dikenal dengan istilah artis, tokoh motivasi, dan tokoh politik. Hal ini disesuaikan dengan kemunculan mereka beberapa tahun terakhir yang cukup menjadi sorotan publik dan penggunaan bahasanya sering didengar. Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa penggunaan bahasa artis mendapat sorotan yang luar biasa. Ini sekaitan dengan sering munculnya tokoh-tokoh tersebut dalam acara-acara televisi. Yang menjadi menarik adalah penggunaan bahasa yang mendapat sorotan tersebut tentu saja penggunaan bahasa yang ―aneh‖, yakni bahasa yang cenderung khas dan tidak sesuai dengan bahasa Indonesia pada umumnya. Salah satu artis yang mendapat sorotan adalah Syahrini. Tokoh publik ini merupakan salah seorang yang mendapat sorotan begitu luar biasa terkait dengan penggunaan bahasanya. Kata-kata ―sesuatu‖, ―olala‖, dan yang paling terbaru ―maju-mundur-maju-mundur-cantik-cantik‖ menjadi ciri khas tokoh tersebut. Fenomena munculnya kata-kata tersebut kemudian banyak ditiru oleh 146 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 masyarakat sehingga seperti sebuah ―wabah‖. Dalam tulisan ini disebut sebagai ―wabah syahrini‖. Bukan hanya anak kecil, kaum dewasa pun banyak yang terkena wabah penggunaan bahasa ini. Bahkan, banyak pula generasi muda yang ikut-ikutan berbahasa seperti itu. Sebagai sebuah fenomena bahasa, tentu tidak dapat dikatakan ada yang salah karena sejatinya bahasa bersifat dinamis dan akan selalu berkembang. Namun, dikaitkan dengan topik tulisan ini, tentu saja hal ini membuktikan bahwa penggunaan bahasa tokoh memengaruhi perkembangan generasi muda. Mengapa demikian? Tentu saja hal ini terkait dengan perilaku generasi muda yang idealnya berkarakter menjadi ―terkontaminasi‖. Bukti konkret yang teramati adalah pengaruh bahasa tokoh tersebut muncul dalam forum formal, seperti pada kegiatan presentasi di dalam kelas. Beberapa mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda memeragakan penggunaan bahasa Syahrini tersebut lengkap dengan gayanya. Ini menjadi bukti bahwa penggunaan bahasa tokoh begitu kuat memengaruhi perilaku generasi muda. Artis lain yang teramati adalah seorang presenter acara kuis yang juga memiliki ciri khas, yakni David Bayu. Presenter ini memiliki penggunaan bahasa yang khas, yakni ―salah keles‖ dan ―betul bingit‖. Penggunaan bahasa ini ditengarai muncul dari kata ―salah kali‖ dan ―betul banget‖. Dampaknya, ternyata banyak generasi muda yang kemudian menggunakan bahasa tersebut. Lagi-lagi, hal ini menjadi bukti bagaimana tokoh publik memengaruhi generasi muda. Selain dua tokoh di atas, masih banyak juga artis-artis lain yang juga memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa dan kekhasan tersebut kemudian menyebar dan digunakan oleh para generasi muda. Akibatnya, dapat ditinjau bahwa penggunaan bahasa tersebut menjadi ciri karakter orang tersebut. Di samping artis, tokoh yang teramati memiliki kekhasan dalam berbahasa juga muncul dari kalangan motivator, salah satunya adalah Mario teguh. Kemunculan tokoh ini sungguh luar biasa. Selain karena wejanganwejangannya, tokoh ini juga memiliki kekhasan dalam penggunaan bahasanya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 147 Berbeda dengan artis yang tadi diulas, motivator ini justru memberikan kesan penggunaan bahasa yang bagus. Tokoh ini khas menggunakan bahasa yang cenderung baku. Tatanan katanya begitu apik dan tertata. Beliau tetap menggunakan kata ―tidak‖ dan bukan ―enggak‖, meskipun dalam ragam percakapan kata ―enggak‖ dibenarkan. Kata ―salam super‖ melekat kuat pada dirinya. Banyak generasi muda yang mengikuti penggunaan ―salam super‖nya, namun sayang, penggunaan bahasa yang benar lainnya kurang terikuti. Berdasarkan survei, beberapa mahasiswa mengaku merasa aneh jika harus menggunakan bahasa Indonesia ―seperti itu‖ (baik dan benar), setidaknya untuk kata ―tidak‖. Selain tokoh artis dan motivator, tokoh publik yang mendapat sorotan dari penggunaan bahasanya juga muncul dari kalagan politikus. Penggunaan bahasa tokoh politik ini juga dipandang memberikan kontribusi khusus terhadap perkembangan karakter berbahasa pada generasi muda. Seperti yang kita ketahui, tahun 2014 merupakan tahun penting karena eksisnya elit-elit politik dalam pemerintahan. Media massa menjadikan tokohtokoh dari kalangan ini sebagai fokus pemberitaan sehingga kemunculan tokoh-tokoh tersebut mendapat sorotan masyarakat, termasuk generasi muda. Peristiwa ini tentu memberikan dampak dalam berbagai hal, termasuk dalam penggunaan bahasa. Secara disadari ataupun tidak, gaya berbahasa tokoh publik ini memberikan dampak tersendiri untuk kaum muda. Bukti konkret yang muncul dalam penggunaan bahasa tokoh politik/pemerintahan pada massa sekarang adalah kurang digunakannya bahasa Indonesia yang baik dan benar menurut aturan ketatabahasaan. Kosakatakosakata percakapan yang dinilai kurang cendekia sering kali muncul menggeser kosakata yang cendekia, seperti kata ―enggak‖, ―udah‖. Padahal, sebagai elite politik, akan lebih bagus jika menggunakan bahasa yang lebih tertata sesuai dengan aturan bahasa yang benar karena akan lebih menunjukkan sikap positif dalam berbahasa. Sebagai pengajar bahasa Indonesia, problematik sering kali muncul ketika membimbing peserta didik untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam beberapa kesempatan, muncul pernyataan ―anggota 148 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dewan saja bahasanya begitu‖, ―kaum-kaum politik juga begitu‖. Maksud begitu di sini adalah menggunakan bahasa dengan ragam percakapan, santai, tidak baku, tidak resmi. Padahal, sebagai tokoh publik yang dipandang cendekia, diharapkan mampu menunjukkan sikap positif dalam berbahasa, salah satunya dengan menggunakan kosakata yang sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Meskipun hakikat bahasa yang baik dan benar tidak selalu berarti baku, elite-elite politik sebagai tokoh yang dipandang tinggi, berwibawa, dan menjadi panutan baiknya menggunakan bahasa yang rapi, setidaknya dalam menggunakan kosakata. Selain permasalahan di atas, tokoh-tokoh publik juga sering kali menggunakan kosakata asing sebagai gaya berbicaranya. Padahal, kosakata bahasa asing yang digunakan tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bertolak belakang dengan penggunaan bahasa yang tidak baku, penggunaan kosakata asing ini memang dipandang lebih menunjukkan kecendikiaan seseorang. Namun demikian, bagaimana pun penggunaan bahasa asing yang telah ada padanannya dalam bahasa Indonesia harus ditekan/dihindari karena secara tidak langsung akan memengaruhi eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri. Puspandari dalam Yulianeta dan Sri (2009:15) mengemukakan bahwa pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan nasional pada 1995 yang mengharuskan pengindonesiaan istilah-istilah dari bahasa asing. Saat itu, masyarakat mampu mengikutinya, namun ketika kebijakan itu longgar, masyarakat kembali lagi menggunakan istilah-istilah asing. Keadaan seperti apa yang telah diuraikan di atas merupakan bagian perwujudan dari sikap berbahasa seseorang. Orang yang memiliki sikap bahasa positif tentu akan lebih menghargai dan menggunakan bahasa sesuai dengan aturan mainnya. Tokoh publik sebagai pihak yang sering kali ditiru oleh masyarakat sebaiknya mampu menularkan sikap positif dalam berbahasa, terutama pada generasi muda sebagai pengukir masa depan bangsa. Garvin dan Mathiot (Chaer, 2013:54) mengemukakan tiga ciri sikap bahasa, yakni (1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh dari bahasa lain; (2) kebanggaan bahasa (language Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 149 pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasa dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; serta (3) kesadaran adanya norma bahasa (awakeness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan factor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). Ketiga ciri tersebut akan muncul pada seseorang yang memiliki sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, jika ciri itu tidak tampak atau hilang dari diri seseorang, maka kemungkinan besar justru sikap negatiflah yang ada pada diri orang tersebut. Selain berdasarkan pengamatan seperti apa yang telah diuraikan di atas, hasil survei pun menunjukkan pandangan yang sejalan. Hasil survei menunjukkan banyak responden yang menyoroti bahasa artis/bahasa-bahasa ynag muncul dalam sinetron, beberapa mahasiswa menyoroti penggunaan bahasa tokoh DPR yang muncul dalam acara-acara pers, dan beberapa lainnya menyoroti bahasa musisi. Setelah diamati dan dianalisis, diketahui bahwa bahasa artis/bahasa yang muncul dalam sinetron terkesan aneh dan tidak wajar karena banyak kosakata baru seperti ―bingit‖, ―keles‖, ―confie‖, ―rempong‖, ―cuco‖, jelong-jelong‖, ―binggo‖, ―OMG hello‖, ―he to the lo hello‖, ―wakwaw‖ dan sebagainya. Bahkan muncul juga pernyataan yang otomatis akan muncul ketika ada pertanyaan, ―di mana?‖, pernyataan itu adalah ―di Jonggol‖. Bahasa-bahasa tersebut memang secara spontan datang dari kalangan artis/dari sinetron. Selanjutnya, peran media massa sebagai perantara yang menyebarkan bahasa tersebut ke seluruh penjuru membuat bahasa-bahasa tersebut menjadi wabah yang kemudian banyak ditiru masyarakat, tidak terkecuali oleh generasi muda. Lebih lanjut dari itu, ada pula yang menyoroti penggunaan bahasa salah satu presenter senior yang memiliki gaya sendiri dalam berbahasa, yakni dengan kata-kata khasnya seperti ―ndeso‖, ―katrok‖, dan ―tak sobek-sobek mulutmu‖. Penggunaan bahasa seperti ini yang kemudian sangat berhubungan dengan perkembangan karakter generasi muda. Baiknya, penggunaan bahasa seperti ini dihindari. 150 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Sementara itu, untuk penggunaan bahasa anggota dewan/politikus, terekamlah bahwa banyak tokoh dari kalangan tersebut yang sering menggunakan kosakata asing (bahasa Inggris) dalam berbicaranya. Penggunaan bahasa tersebut mengalir begitu saja, seolah tidak ada sesuatu yang salah di dalamnya. Namun demikian, terkadang situasi itu justru menimbulkan kesulitan dalam memahami maksudnya. Selain artis dan tokoh politik, yang tidak terpikirkan adalah munculnya sorotan responden terhadap presenter acara bola. Responden yang merupakan mahasiswa ini menyoroti penggunaan bahasa presenter bola yang khas dengan istilah ―ahay‖-nya. Dia mengaku bahwa penggunaan bahasa itu menarik dan mampu memengaruhinya sehingga kemudian ia sering meniru penggunaan bahasa tersebut. Selain itu, ada pula responden yang menyoroti gaya berbahasa seorang musisi. Menurutnya, musisi tersebut sering kali menggunakan akhiran –ku dalam pembicaraannya, seperti ―CS-ku‖, ―Mang-ku‖, ―sayangku‖, ―mamihku‖, ―anakku‖. Gaya berbahasa seperti itu kemudian ia akui memengaruhinya dalam berbicara sehingga ia pun sering kali mengikuti cara berbahasa seperti itu. Berdasarkan perhitungan umum dari survei, dapat diketahui hampir 80% responden mengaku penggunaan bahasa tokoh cenderung memengaruhi diri responden dalam berbahasa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sekitar 20% mengaku tidak terpengaruh. Sementara itu, hampir 90% responden mengaku bahwa penggunaan bahasa tokoh memengaruhi temannya dalam berbahasa. Itu mereka akui karena dalam percakapan sehari-hari, teman-teman di sekitarnya itu sering kali meniru gaya berbahasa tokoh, bahkan sampai dipraktikkan dengan gaya/gesturnya. Sesungguhnya, sampel-sampel yang telah diuraikan di atas tidak untuk digeneralisasikan sebagai populasi dari masing-masing golongan tokoh. Namun demikian, penggolongan tersebut dilakukan sebagai bagian kecil saja dari fenomena penggunaan bahasa tokoh yang sering muncul dan didengar oleh generasi muda. Menanggapi hasil yang ditemukan tersebut, alangkah lebih baiknya jika kegiatan pembinaan bahasa dilakukan secara berkelanjutan. Yang menjadi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 151 sasaran pembinaan tentu bisa siapa saja. Namun dalam kasus ini, tentu saja pembinaan perlu dilakukan pada tokoh-tokoh publik. Bukan apa-apa, kegiatan pembinaan perlu dilakukan demi eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri. Sekalipun tidak ada sanksi untuk kebebasan berbahasa, pembinaan tetap harus dilakukan. Selain itu, pembinaan juga patut dilakukan sebagai upaya membangun karakter generasi muda yang positif. Bahasa yang santun tentu akan menunjukkan karakter yang positif sehingga generasi muda akan lebih mampu berpikir dan bertindak positif. Pembangunan dan pembentukan karakter generasi muda melalui pembinaan bahasa ini perlu dilakukan secara rutin melalui pembiasaan. Ini didasarkan pada teori Behaviorisme Watson (Chaer, 2003:87) bahwa semua perilaku dipelajari menurut hubungan stimulus-respon dengan prinsip kebaruan (recency principle) dan prinsip frekuensi (frequency principle). Menurut prinsip kebaruan, jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respon yang saa apabila diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan umpan setelah lama berselang. Sementara itu, menurut prinsip frekuensi, apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan respon, maka kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respon yang sama pada waktu yang lain akan lebih besar. Di samping itu, pembinaan terhadap media massa juga patut dilakukan. Hal ini sekaitan dengan peran media massa, terutama televisi yang begitu luar biasa. Bajari dan Silalahi dalam Tamburaka (2013:237) meyakinkan bahwa televisi adalah media yang berpengaruh. Dengan demikian, sebaiknya ada kontrol-kontrol tertentu yang harus dilakukan dalam penggunaannya. Meskipun demikian, lebih lanjut, Baran dalam Tamburaka (2013:235) mengemukakan bahwa setiap orang yang terlibat memiliki kewajiban untuk tanggung jawab berpartisipasi. Kebanyakan masayarakat memang memandang bahwa televisi memberikan banyak pengaruh negative, namun menurutnya, khalayak baiknya kritis dan bijaksana terhadap konten, serta melihat media massa sebagai sebuah kebudayaan bercerita dan menjadikan konsep komunikasi sebagai forum budaya. 152 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PENUTUP Karakter generasi muda sekarang ini begitu beragam. Ditinjau dari karakter berbahasa, banyak generasi muda yang kurang memiliki sikap positif terhadap bahasa. Hal ini terbukti dari banyaknya generasi muda yang terpengaruh oleh penggunaan bahasa tokoh publik yang kurang baik. Penggunaan kosakata tidak baku seperti “enggak” dan “udah” telah terbiasa mewarnai forum-forum resmi generasi muda karena banyak tokoh publik yang menggunakannya dalam forum. Demikian juga dengan jargon-jargon yang dikenalkan tokoh publik, seperti ―sesuatu‖, ―bingit‖, ―keles‖, ―cucok‖, ―OMG‖, dan sebagainya, telah banyak memengaruhi penggunaan bahasa generasi muda. Selain itu, istilah-istilah asing yang sesungguhnya telah memiliki padanan dalam bahasa Indonesia pun masih sering mewarnai penggunaan bahasa generasi muda karena pengaruh penggunaan bahasa tokoh publik. Keadaan tersebut mencerminkan sikap bahasa yang masih rendah. Sebagai upaya dalam membentuk karakter positif melalui pembangunan sikap positif berbahasa, pembinaan mengenai bahasa perlu dilakukan pada beberapa pihak, yakni tokoh publik, masyarakat khususnya generasi muda, serta media massa sebagai pihak yang memiliki pengaruh luar biasa. Melalui sikap positif berbahasa, pola pikir dan perilaku generasi muda diyakini akan terbentuk dan berkembang secara positif sehingga akhirnya generasi muda memiliki karakter positif. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Tamburaka, Apriadi. 2013. Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Yulianeta dan Sri Wiyanti. 2009. Bahasa Sastra Indonesia di Tengah Arus Global. Bandung: Jurdiksatrasia FPBS UPI. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 153 PENDIDIKAN KARAKTER DAN KESANTUNAN BERBAHASA ANAK Eli Syarifah Aeni STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Pendidikan Karakter dan Kesantunan Berbahasa Anak. Pendidikan karakter sebagai landasan sikap, perilaku, moral dan kesantunan anak dalam berbahasa sangatlah penting. Anak adalah aset bangsa yang harus dididik dan ditempa sejak dini sehingga menumbuhkan karakter yang kuat, pantang menyerah, solutif, dan santun. Kesantunan anak dalam berbahasa merupakan ciri moral dan etika yang baik dalam berbahasa. Berbahasa yang benar dan santun merupakan cara yang tepat dalam berkomunikasi. Pendidikan berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi serta beretika dan santun sesuai dengan norma-norma budaya akan menjadikan anak sebagai seseorang yang mampu menghargai orang lain, bersikap empati dan tidak egois. Oleh karena itu, dengan pemahaman dan pengetahuan tentang kesantunan berbahasa tersebut diharapkan anak mampu menguasai dirinya, tidak arogan, tidak kasar, dan jauh dari tindak atau perilaku yang tidak berbudi luhur. Kata kunci: pendidikan karakter, ksantunan. PENDAHULUAN Melihat fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali permasalahan dan tindakan kekerasan yang menimpa anak-anak, mulai dari kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri, pengasuh, guru, petugas sekolah, dan bahkan perlakuan tidak manusiawi dari teman-teman di lingkungannya. Pemerkosaan, sodomi, bullying, dan tawuran yang banyak terjadi akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan. Padahal, kehancuran suatu bangsa ditandai oleh hilangnya watak, budi pekerti, karakter, dan mentalitas anak bangsa yang berbudi luhur. Sebetulnya, saat ini sudah banyak usaha yang dilakukan oleh para praktisi pendidikan, komisi perlidungan anak, dan pemerintah untuk dapat mengembalikan karakter anak bangsa yang dianggap sudah rapuh menjadi karakter yang kuat dengan menerbitkan pertauran, undang-undang, serta upaya penerapan dan upaya hukum lainnya. 154 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tentu saja untuk menghasilkan karakter anak bangsa yang positif, seluruh masyarakat Indonesia harus menjaga etika berbahasa dan berbudaya yang menjadi ciri dan cermin masyarakat Indonesia dan pembeda dari masyarakat di negara lain. Dalam hal ini, kita patut mencontoh negara Jepang yang telah berhasil menerapkan pendidikan karakter kepada anak-anaknya, baik di sekolah, rumah, maupun lingkungannya. Sehubungan dengan banyaknya permasalahan di atas, alternatif lain yang diharapkan mampu mengurangi, bahkan menjadikan kembali karakter anak bangsa yang kuat adalah pendidikan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan mulai dari tingkat yang paling rendah sampai perguruan tinggi mempunyai ruang yang sangat luas bagi para siswa dan pendidik untuk mengembangkan karakter pendidikan. Salah satunya dengan mengajarkan kesantunan dalam berbahasa yang dapat membentuk karakter anak dalam berkomunikasi. Sejak dini, anakanak sudah diajarkan untuk berbahasa yang baik dan benar sehingga ketika mereka berkomunikasi dengan lawan tuturnya mereka sudah mampu berkomunikasi sesuai dengan situasi dan kondisi. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter ialah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, peduli, dan kreatif. Karakter tersebut diharapkan menjadi kepribadian untuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, rasa, dan karsa (Kemendiknas, 2010). Konsep diri yang tumbuh secara positif akan membangun interaksi yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Jika mereka mampu membangun aspek sosial emosi melalui konsep diri yang positif, mereka akan mudah meraih kompetensi, harga diri, dan kontrol diri. Sebaliknya, jika anak tidak mampu mengembangkan konsep dirinya dengan baik, ia akan dijajah oleh pemikiran orang lain, selalu merasa kurang berharga, penuh kecemasan, dan tidak Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 155 mandiri (Faizah, 2010: 39). Oleh karena itu, konsep diri yang positif akan menumbuhkan karakter baik bagi setiap anak. Sebaliknya, konsep diri yang negatif akan menumbuhkan karakter anak yang buruk. Oleh karena itu, kita harus belajar mengatasi berbagai permasalahan yang muncul di lapaangan. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pemberitaan yang menyita perhatian para orangtua dan pendidik dengan adanya salah seorang anak yang mengalami stres berat karena tuntutan orangtuanya yang memaksa dia melakukan banyak les dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Kecemasan para orangtua dan para pendidik telah merenggut keindahan dunia anak. Anak dituntut melakukan banyak hal secara paksa sehingga membuahkan anak-anak yang berkarakter penuh kecemasan dan ketakutan akibat perlakuan orangtua dan para pendidik yang salah dalam memberikan pendidikan karakter kepada anak-anaknya. Mengambil istilah Faizah tentang pendekatan yang sangat alamiah bagi anak-anak yang bernama ―The Whole Language.‖ Menurut Weaver dalam (Faizah, 2010: 36) bahwa ―The Whole Language (berbahasa secara utuh) merupakan suatu filosofi yang berkarakter pada pembelajaran alamiah yang dilakukan para pendidik di tingkat dasar. Menciptakan lingkungan kondusif merupakan hal utama.‖ Jadi, dalam hal ini anak tidak hanya dijejali dengan pengetahuan membaca dan menulis. Namun, membawa anak pada lingkungan berbahasa yang baik melalui kegiatan mendengar dan bercakap atau berkomunikasi pun merupakan hal yang sangat penting untuk menumbuhkan anak berkarakter baik. Tuntutan untuk memahami konsep The Whole Language (Faizah, 2010: 37) adalah. a. Pembelajaran berbahasa dapat dikembangkan jika anak siap menerima bahasa oral, membaca, dan menulis pengalaman yang diperoleh anak, lingkungan hidup sehari-hari dan bahasa yang bermakna akan menuntun anak dalam proses pembelajaran bahasa yang bermakna. b. Menumbuhkan perasaan sukses bagi semua anak bahwa mereka semua bisaberbahasa. Mereka melihat diri mereka sebagai manusia pengguna 156 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bahasa. Mereka menjelajahi dunia bahasa dengan senang. Begitu pula bagi anak yang mengalami gangguan bicara (tunarungu-wicara). c. Menghadirkan model sebagai tauladan anak. Guru mampu mengajarkan bahasa dengan jelas, santun, aktif, dan komunikatif sehingga anak terundang untuk melakukan kegiatan berbahasa. d. Menyediakan kesempatan anak untuk mengomunikasikan tentang apa pun yang mereka ketahui, yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka rasakan terkait dengan kognitif dan perkemabngan afeksi. Kesantunan Berbahasa Anak Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang lain yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya (Chaer, 2009:51). Kesantunan berbahasa ialah yang didasari akan pertimbangan perasaan orang lain agar orang tersebut tidak terancam atau tersingung (Yule, 1996: 132). Kesadaran pentingnya berbahasa yang santun pada anak-anak, khususnya anak usia dini dapat menentukan perkembangan karakter dan kepribadian anak. Peranan orangtua, guru, dan lingkungan mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan karakter dan kesantunan berbahasa anak. Kita ketahui bersama bahwa pada kanak-kanak dikenal istilah masa keemasan (golden age) yang merupakan masa kritis bagi pembentukan karakter anak. Jadi, pada masa ini anak harus sudah mulai mendapatkan pendidikan karakter. Sebagaimana dijelaskan oleh Chaer bahwa antara usia 712 tahun anak mulai memegang kendali di dalam interaksi dengan ibunya. Anak mulai dapat mengungkapkan keinginan dan kehendak secara lebih jelas dan efektif (2009:51). Bahkan, menurut Sumarsono bahwa anak sudah mulai dapat belajar berbicara pada usia 18 bulan dan pada usia 3,5 tahun anak sudah menguasa ―tata bahasa‖ bahasa ibunya sehingga mereka sudah dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna (2012: 136). Jadi, di sinilah pembentukan karakter dan berbahasa anak dimulai. Anak harus sudah diperkenalkan bagaimana berbahasa yang sopan dan beretika ketika mereka Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 157 berbicara dengan orang tua, guru, teman, bahkan dengan orang-orang yang baru dikenalnya. Menurut Brown dan Levinson dalam (Rahardi, 2005:68) menjelaskan bahwa perbedaan umur, jenis kelamin, jarak sosial, dan latar belakang sosiokultural memiliki peringkat kesantunan berbahasa yang berbeda. Oleh karena itu, sehubungan dengan pendidikan karakter, anak harus mengerti dan paham bahwa ketika mereka sedang berhubungan atau bertutur dengan orang lain, ada faktor-faktor yang harus diperhatikan sehingga mereka dapat berbahasa dengan baik dan santun. Anak mulai diperkenalkan dengan siapa lawan tutur ketika berbicara dan bagaimana seharusnya nada suranya apakah harus tinggi, rendah atau biasa-saja. Sunaryati dalam (Rahardi, 2005:123) menyebutkan bahwa intonasi adalah tinggi rendah suara, panjang pendek suara, keras lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia. Ungkapan-ungkapan penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan lingusitk yang disampaikan (Rahardi, 2005: 125) terdiri dari kata tolong, mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, -lah sudi kiranya, sudilah kiranya, dan sudi apalah kiranya. Dengan memperkenalkan ungkapan penanda kesantunan tersebut, seorang anak sudah diajaran bagaimana memperhalus katanya dalam sebuah tuturan. Oleh karena itu, dalam memperoleh bahasanya anak harus diperkenalkan dengan tatakrama berbahasa. Tentu saja hal itu lebih penting jika kita berhadapan dengan masyarakat yang mengenal toto kromo atau undak usuk basa seperti Sunda, Jawa, dan Bali. Masyarakat di wilayah tersebut sangat memperhatikan sopan santun berbahasa. Dalam Bahasa Indonesia, pronomina orang kedua mempunyai bermacam-macam bentuk, yaitu kamu, engkau, saudara, Anda, bapak, ibu, dan lain-lain. Tentu saja dalam penggunaannya tidak dapat sembarangan karena masing-masing bentuk tersebut sudah memiliki ketentuan atau aturan sosial dalam bertutur dengan lawan tuturnya. Nino dan Snow dalam (Dardjowidjojo, 2012: 266) menekankan petingnya perilaku berbahasa dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 158 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 1) pemerolehan niat komunikatif dan pengembangan ungkapan bahasanya; 2) pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan segala urutannya; 3) pengembangan piranti untuk membentuk wacana yang kohesif. Peranan orangtua sangat penting dalam pembentukan kosakata anak. Sejalan dengan adanya teori perbedaan ragam tutur seperti yang sudah disebutkan di atas disebabkan oleh sikap sosial masyarakat yang menentukan adanya bentuk-bentuk tertentu yang hanya layak digunakan untuk situasi atau kondisi tertentu. Untuk mendorong agar anak dapat berkomonunikasi dengan baik dan mengikuti kesantunan dalam berbahas, para orangtua dapat mendorong motivasi anak agar dapat menggunakan kata-kata yang baik ketika berinteraksi dengan lawan tutur. Selain orangtua, peran guru pun diharapkan dapat menjaga komunikasi yang baik dengan anak didiknya. Untuk membiasakan anak-anak berperilaku yang baik, anak-anak harus dibiasakan dilatih mengucapkan kata-kata yang baik dengan santun, sopan, tahu berterima kasih, membiasakan selalu bersalam sapa, baik dengan teman maupun dengan guru. Anak pun senantiasa dapat diajarkan untuk membiasakan meminta maaf jika melakukan kesalahan. Mempersiapkan anak-anak dapat berbahasa dengan santun, harus mencakup semua aspek yang mendukung keberhasilannya. Dalam artian bukan hanya anak dituntut untuk pandai membaca dan menulis, tetapi justru ada hal lain yang lebih penting, yaitu aspek komunikasi secara verbal, seperti bahasa oral, bahasa tubuh, dan kemampuan mendengarkan dan menghargai tuturan yang disampaikan lawan tutur. Banyak disiplin ilmu yang terkait dengan kebahasaan yang patut dan layak untuk anak. Beberapa disiplin ilmu seperti psikolinguistik, sosiolingustik, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, antopologi, dan etnografi komunikasitelah memberikan perubahan dalam kebahasaan. Masinambouw dalam (Chaer, 2010: 172) yang mengatakan bahwa sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai saran berlangsungnya interaksi manusia dalam masyarakat. Berarti, dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 159 menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa mengatur banyak aspek, seperti (a) apa yang harus anak katakan ketika berbicara pada seseorang yang berbeda usia, status, dan jenis kelaminnya. Termasuk aspek situasi dan kondisi tertentu. (b) anak diajarkan bagaimana dia harus berbicara, ada saatnya dia berbicara, berhenti/diam, dan bergiliran dengan lawan tuturnya. (c) bagaimana kualitas suara dan nada ketika anak sedang berbicara kepada orang lain. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Faizah, D.U. 2010. Untuk Mereka Kita Belajar: Hore Aku Bisa Berbahasa dan Membilang TK A. Bandung: Grafindo Faizah, D.U. 2010. Untuk Mereka Kita Belajar: Hore Aku Bisa Berbahasa dan Membilang TK B. Bandung: Grafindo Kemendiknas. 2011. Pendidikan 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Karakter. http://pendikar.dikti.go.id, diakses tanggal 5 Desember 2014. Rahardi, Riyadi. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Pragmatik. Malang: Dioma. Sumarsono. Sosiolinguistik. 2012. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. 160 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MEMBENTUK KARAKTER GENERASI MUDA Engla Tivana Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Kesantunan Berbahasa dalam Membentuk Karakter Generai Muda. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomena penggunaan bahasa yang tidak sopan dikalangan masyarakat yang jauh dari tatanan nilai budaya dan kesantunan. Bahasa yang digunakan tidak lagi menjunjung tinggi etika. Fenomena ini sering terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di rumah, apabila komunikasi antaranggota keluarga tidak lancar, suasana menjadi semakin buruk yang akhirnya anggota keluarga akanmencari kepuasan masing yang bertentangan dengan moral-moral yang berlaku. Disekolah, apabila murid tidak menggunakan bahasa yang santun terhadap guruataupun temannya, dia akan dikucilkan baik oleh gurunya ataupun temannya. Begitu juga di masyarakat, apabila dalam bersosialisasi kita tidak menerapkan prinsip-prinsipkesantunan berbahasa, kita akan dikucilkan oleh anggota masyarakat yanglain. Apabila situasi ini terus berkepanjangan, nantinya juga akan berakibat padaturunnya moral generasi muda.Apabila fenomena ketidaksantunan ini dibiarkan akan berdampak pada rusaknya karakter generasi muda yang merupakan tonggak karakter bangsa. Untuk mengantisipasi hal yang demikian, maka Leech (1993: 206 – 207) mengajukan prinsip kesantunan berbahasa untuk meminimalisir ketidaksantunan berbahasa yang sesuai dengan kaidah dan etika bangsa Indonesia. Kata Kunci: kesantunan berbahasa, karakter generasi muda. PENDAHULUAN Bahasa pada prinsipnya merupakan alat komunikasi untuk menunjukan identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur timbul karena rapatnya komunikasi atau integritas simbolis, dengan menghormati kemampuan komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa yang digunakan. Manusia dalam kehidupan memerlukan komunikasi untuk dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungannya. Ada dua cara untuk dapat melakukan komunikasi, yaitu dengan cara tulisan dan tulisan. Penggunaan secara tertulis merupakan hubungan tidak lansung, sedangkan komunikasi menggunakan lisan merupakan hubungan langsung. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 161 Tujuan seseorang berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Dalam penyampaian pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan maupun tulisan, ataupun non verbal yang dipahami kedua belah pihak, sedangkan tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan beberapa prinsip kesopanan. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan kesopanan dan ungkapan basa-basi. Kesantunan atau etika adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yangdisepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini disebut sebagai tatakrama yang merupakan salah satu karakter budaya bangsa Indonesia.Dalam kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomenapenggunaan bahasa dikalangan masyarakat jauh dari tatanan nilai budaya masyarakat. Bahasa yang digunakan tidak lagi mencirikan sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai etika. Banyak orang yang bertutur secara bebas tanpa didasari dengan pertimbangan moral, nilai, maupun agama. Akibatnya muncullah berbagai pertentangan dan perselisihan dalam masyarakat. Banyak orang yang tersinggung dengan bahasa yang kita gunakan karena dianggap tidak santun. Ketidaksantunan dalam penggunaan bahasa tersebut dapat melahirkan kesenjangan komunikasi sehingga berakibat pada buruknya situasi, baik di keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di rumah, apabila komunikasi antaranggota keluarga tidak lancar, suasana menjadi semakin buruk yang akhirnya anggota keluarga akanmencari kepuasan masing yang bertentangan dengan moral-moral yang berlaku. Disekolah, apabila murid tidak menggunakan bahasa yang santun terhadap guruataupun temannya, dia akan dikucilkan baik oleh gurunya ataupun temannya. Begitujuga di masyarakat, apabila dalam bersosialisasi kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa, kita akan dikucilkan oleh anggota masyarakat yanglain. Apabila situasi ini terus berkepanjangan, nantinya juga akan berakibat pada turunnya moral generasi muda. 162 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Untuk mengantisipasi hal yang demikian, maka Leech (1993: 206 – 207) mengajukan prinsip kesantunan berbahasa untuk meminimalisir ketidaksantunan berbahasa yang sesuai dengan kaidah dan etika bangsa Indonesia. Seseorang yang berbahasa harus mengetahui prinsip kesantunan bahasa karena bahasa melambangkan karakter seseorang. PEMBAHASAN Dalam komunikasi kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan untukmenciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan lawan tutur. Strategi kesantunan digunakan untuk lebih menghargai orang lain maupun diri sendiri.Dalam komunikasi sehari-hari kita tidak dapat setiap saat menyampaikan tuturandengan cara yang santun, hal tersebut berkemungkinan akan menyakiti perasaan lawan tutur. Wijana (1996:55) mengungkapkan bahwa pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan sipetutur dengan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005:60 – 66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsipprinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206 – 207), yakni maksim kebijaksanaan (tact maxsim), maksim kemurahaan (generosity maxsim), maksim penerimaan (approbation maxsim), maksim kerendahan hati (modesty maxsim), maksim kecocokan (agreement maxsim), maksim kesimpatian (sympathy maxsim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan maksim-maksim tersebut. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 163 sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang diungkapkan. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim) Menurut Rahardi (2005:60), gagasan dasar maksim kebijaksaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Menurut Tarigan (2009:45), maksim kebijaksanaan adalah maksim yang diungkapkan dengan tuturan imposistif dan komisif. Contoh: Tuan rumah: ―Silahkan makan aja dulu, Nak!‖Tadi kami semua sudah mendahului―. Tamu: ―Wah, saya jadi tidak enak, Bu.‖ Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada dirumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras. Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditentukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat mengargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya. Maksim Penerimaan Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Menurut Wijana (1996: 57), maksim 164 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Dengan maksim ini diharapkan peserta pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Contoh: Siswa A : ―Tadi saya maju presentasi pragmatik‖. Siswa B : ―Ya, presentasimu bagus dan jelas.‖ Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang siswa kepada teman sekelasnya pada sebuah perguaruan tinggi. Pemberitahuan yang disampaikan oleh siswa A terhadap rekannya siswa B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh siswa B. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, siswa B berperilaku santun. Maksim Kemurahan hati/ kedermawanan Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kemurahan hati adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005:61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi aabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh: Anak kost A : ―Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.‖ Anak kost B : ‖Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok!‖ Tuturan ini merupakan percakapan antara anak kos pada sebuah rumah kos di Bandung. Anak yang satu berhubungan erat dengan anak yang satunya karena berasal satu kota yang sama. Dari tuturan yang disampaikan oleh si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bawha ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 165 bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya. Maksim Kerendahan Hati Rahardi (2005:63) mengatakan bahwa di dalam maksim kerendahan hati atau kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadapdirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendaha hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimatekspresif dan asetif. Maksim kerendahan hati ini berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. Sekretaris A : ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!‖ Sekretaris B : ―Ya, Mba. Tapi saya jelek, lho.‖ Percakapan di atas dituturkan oleh seseorang sekretaris A kepada sekretaris B yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka. Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun. Maksim Kecocokan Menurut Rahardi (2005:64), maksim kecocokan ini ditekankan agar para peserta tutur saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat diatakan bersikap santun. Wijana (1996:59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim kemufakatan. Maksim kecocokan diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap 166 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Contoh : Fitri : ―Nanti malam kita makan bersama ya, Fit!‖ Ayu : ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖ Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruagan kelas. Tuturan ini terasa santun, karena Ayu mampu membina kecocokan dengan Fitri. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan menjadi santun. Maksim Kesimpatisan Leech (1993:207) mengatakan di dalam maksim kesimpatian diharapkan agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat. Menurut Wijana (1996:60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Contoh: Andi : ―Bud, nenekku meninggal.‖ Budi : ―Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖ Percakapan di atas, dituturkan oleh seseorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja merka. Dari tuturan tersebut, terlihat Budi menunjukkan rasa simpatinya kepada Andi. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun. Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa maksim kebikajsanaan, penerimaan, kemurahan, dan kerendahan hati adalah maksim yang berskala dua kutub (bipolar scale maxsim) karena berhubungan dengan keuntungan dan kerugian diri sendiri dan orang lain. Sementara itu maksim kecocokan, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 167 kesimpatian adalah maksim yang berskala satu kutub (untipolar scale maxsim) karena berhubungan dengan penilaian baik buruk penutur terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kaitannya dalam maksim berskala dua kutub, maksim kebijaksanaan dan kemurahan adalah maksim yang berpusat pada orang lain (other centred maxsim), dan maksim penerimaan dan kerendahan hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxsim). PENUTUP Kesantunan berbahasa merupakan hal yang sangat penting dalam berkomunikasi. Hal ini dilakukan agar dalam berkomuniksai tidak akan terjadi kesalahpahaman karena anggota penuturnya kurang santun. Dalam berbicara kita juga harus memperhatikan lawan bicara kita. Oleh karena itu, Leech memunculkan prinsip kesantunan agar dalam berkomunikasi tidak terjadi kesalahpahaman karena bahasa yang kita gunakan tidak atau kurang santun. Kesantunan berbahasa merupakan salah satu upaya peningkatan karakter generasi muda suatu bangsa karena untuk mencapai suatu bangsa yang bermoral membutuhkan suatu proses dan salah satu sarana yang penting untuk mecapai upayatersebut adalah bahasa. Jika masyarakat terutama generasi muda berbahasa yang baik(santun) akan terwujud moral yang santun pula. DAFTAR PUSTAKA Leech, Geoffrey N. 1993. Principles of Pragmatics. London: Longman. Rahardi, Riyadi. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Pragmatik. Malang: Dioma. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa Bandung. Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. 168 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN MUTU PENGAJARAN Studi Kasus pada Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri F. Riyan Sulistyowati Biro Perencanaan, Akademik dan Kerjasama IPDN Pos-el: [email protected] ABSTRAK Hubungan Motivasi Kerja dengan Mutu Pengajaran. Studi Kasus pada Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tujuan penelitian ini untuk memperoleh gambaran mengenai mutu pengajaran dalam kaitannya dengan motivasi kerja yang dihubungkan pula dengan mutu/kualitas pengajaran di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Penelitian dilakukan dengan teknik observasi, mengamati kejadian atau peristiwa yang sedang berlangsung, dilengkapi dengan kepustakaan dan dokumentasi. Hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antara motivasi kerja dengan mutu pengajaran di Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) diperoleh angka sebesar 0,30 antara motivasi kerja dosen (pengajar) dengan mutu pengajaran. Dengan kata lain, motivasi kerja yang meliputi sikap, situasi kerja, sosial, keamanan dan ketertiban, penghargaan, mencapai tujuan kelembagaan memiliki hubungan yang rendah dengan mutu pengajaran. Dengan koefisien determinasi (keeratan hubungan) menurut Guillford, dinyatakan bahwa motivasi kerja mempunyai pengaruh yang rendah tapi pasti terhadap mutu pengajaran. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan angka 19,00% pengaruh motivasi kerja terhadap mutu pengajaran. Sisanya sebesar 81,00% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti. Kata kunci: motivasi kerja, mutu pengajaran PENDAHULUAN Salah satu azas pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) adalah pembentukan nilai yang bermakna bagi setiap siswa. Hal ini antara lain dimaksudkan agar siswa memiliki kesadaran, kedewasaan pembentukan pribadi yang baik, dengan sikap mental, penguasaan olah pikir dan pengetahuan secara akademis. Program ini diterapkan melalui pengajaran (kognitif) pelatihan (afektif) dan pengasuhan (psikomotorik) yang menekankan pada sistem pendidikan yang memuat tritunggal terpusat melalui integralitas (jarlatsuh) rangkaian dari pengetahuan (knowledge), psikomotorik (skill) dan pembinaan sikap (attitude). Asas-asas lain yang juga ingin dicapai adalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 169 siswa memiliki kesadaran dan sikap perjuangan dalam membentuk kepribadian yang berorientasi pada masa depan. Peningkatan kemampuan intelektual termasuk penguasaan diri, diterapkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemajuan pada era globalisasi, sehingga siswa dipersiapkan untuk memiliki keunggulan kompetitif atau daya saing yang tinggi dengan peningkatan etos kerja berdasarkan moralitas, budi pekerti yang luhur, dan perwujudan budaya yang menuju ke arah pengetahuan, keterampilan dan sikap yang ditunjukkan dalam keunggulan pribadi. Karena kondisi ini terkait dengan dampak globalisasi yang tidak dapat dibendung sebagai implikasi perkembangan zaman, maka Lembaga akan memberikan jawaban terhadap masyarakat pada umumnya. Salah satu upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut sesuai dengan pendapat Tilaar (2001: 95) adalah strategi pembaharuan melalui pendidikan, pelatihan, dan pembinaan yang mengandung : 1. Peningkatan kualitas mutu pengajaran 2. Pembuatan sistem dalam rangka menciptakan transparansi 3. Pengembangan sistem akuntabilitas dan kemampuan intelektual. Selanjutnya terkait dengan tujuan itu diupayakan pengalaman empirik di lapangan dengan melihat hasil pendidikan dan pembinaan yang sedang dilakukan. Penelitian ini diharapkan mempuyai manfaat baik secara teoritis agar dapat disumbangkan sebagai wacana ilmu, maupun manfaat praktis, memberikan masukan (input) khusunya kepada para dosen dalam melaksanakan tugasnya demi meningkatkan prestasi kerja. Hasil penelitian diharapkan juga dapat dimanfaakan sebagai sumbangan pengabdian kepada masyarakat oleh mahasiswa setelah lulus pendidikan. Para leader atau pimpinan di lembaga Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memiliki peran ganda, yaitu sebagai pemimpin struktural dan fungsional. Diharapkan para pimpinan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, bijak, fleksibel serta dapat menciptakan suasana harmonis pada bawahannya dari tingkat atas sampai pada 170 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tingkat bawah. Fugsi itu dilakukan dengan cara memberi tugas dan tanggung jawab kepada karyawan secara berjenjang baik secara vertikal maupun horizontal. Penyampaian informasi untuk mencapai perubahan sosial sebaiknya dilakukan secara komunikatif baik secara langsung maupun tidak langsung yang meliputi tiga (3) hal yaitu : 1. Memastikan pemahaman 2. Membina 3. Memotivasi kegiatan. Tugas dan fungsi dosen adalah mendidik, bertanggung jawab kepada para mahasiswa dalam proses pembelajaran, sehingga terjadi peningkatan mutu intelektual secara akademik dan terarah, teratur tertib demi terwujudnya perkembangan optimal kompetensi pribadi mahasiswa. Pola pikir yang dimiliki dosen dapat berpengaruh terhadap motivasi kerja dan hasil kerja yang berlangsung selama proses belajar mengajar. Sebagai seorang pemimpin dosen perlu memberikan motivasi kepada para mahasiswa dengan berbagai gaya, sehingga hasil yang dicapai dapat optimal. Pamuji (1992: 123) mengemukakan bahwa, ―gaya motivasi (motivational style) pemimpin dalam menggerakkan orang dapat berlangsung secara positif maupun negative. Secara positif, motivasi dapat dilakukan dengan pemberian imbalan ekonomi berupa hadiah. Secara negative motivasi dapat berupa ancaman, hukuman maupun sanksi‖. Berdasarkan pengamatan peneliti di Lembaga Institut Pemerintahan Dalam Negeri saat ini terjadi penurunan motivasi kerja yang dapat mempengaruhi mutu hasil kerja. Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kesibukan pimpinan, sehingga kurang perhatian kepada bawahan. Dalam pemberian motivasi dikenal tiga unsur, yaitu stimulus (daya rangsang, motivasi), implementasi (keaktifan, rasa ingin tahu) dan respon (timbal balik, keseimbangan antara siswa dengan pengajar). Demikian motivasi dan kinerja pada dasarnya berpengaruh terhadap mutu pengajaran secara keseluruhan, baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar (1990 : 3) yang mengemukakan bahwa pendidikan harus Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 171 dilihat sebagai salah satu kekuatan sosial yang ikut memberikan bentuk, corak dan arah pada kehidupan masyarakat di masa mendatang. Hal ini sejalan pula dengan sasaran Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP II) di bidang pendidikan. Yaitu terselenggaranya pendidikan nasional yang semakin bermutu dan merata, mampu mewujudkan manusia beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas, patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif, dan professional. Dengan demikian, pembangunan pendidikan diarahkan pada peningkatan mutu sumber daya manusia. Hubungan motivasi kerja dengan mutu pengajaran hendaknya dapat dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu perlu ditinjau ulang. Tilaar (1992: 22) mengasumsikan bahwa mutu pendidikan dapat ditingkatkan apabila ditangani secara efisien. Artinya bahwa ―berbagai sumber yang mempengaruhi terjadinya proses pendidikan, perlu ditangani secara jelas, terkendali, dan terarah, kurikulum dipersiapkan dan pelaksanaan dilakukan secara konsisten‖. Pada dasarnya seorang pengajar akan memprogram dengan baik proses belajar mengajar, sesuai dengan spesifikasi dan kompetensi yang dimilikinya. Akan tetapi, berbagai latar belakang pendidikan dan mutu dosen yang berbeda, mengakibatkan hasil pendidikan yang tidak sesuai harapan. Kondisi ini dapat berjalan sinkron bila suatu komponen dapat bekerja sama terutama jika para top leader memiliki kecerdasan emosi dan mampu mengarahkan secara konsisten, cerdas dan efektif, bijak, serta berjiwa besar. Daniel Goleman, yang dikutip Anwar AA Prabu (2005: 4) mengatakan, bahwa emotional quotient (EQ) atau kecerdasan emosi adalah suatu pendidikan diri, kesabaran, keuletan. Pencapaian kinerja individu maupun organisasi ditentukan 80% oleh emotional quotient, sedangkan 20% ditentukan oleh intelegent quotient (IQ). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran konkret strategi alternatif pengoptimalisasian mutu pengajaran yang dikaitkan dengan motivasi kerja. 172 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 METODE PENELITIAN Metode merupakan suatu cara atau langkah – langkah yang dipergunakan sebagai alat bantu untuk mengumpulkan, menyusun, dan menganalisis data serta mengintegrasikan arti data yang diteliti menjadi suatu kesimpulan untuk mencapai tujuan sesuai yang diharapkan dalam suatu penelitian. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Surakhmad (1990: 131) bahwa metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji hipotetesis, dengan menggunakan teknik serta alat – alat tertentu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis. Penelitian dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati kejadian – kejadian ataupun peristiwa – peristiwa yang sedang berlangsung dan dibantu pula dengan studi kepustakaan dan dokumentasi guna kelengkapan penelitian. Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian bagi sekelompok manusia atau individu untuk meneliti dan menganalisis objek/kejadian dengan cara menyimpulkan suatu pemikiran tertentu pada masa sekarang saat sedang terjadi atau ketika peristiwa berlangsung. Whitung yang dikutip Nazir (1998 : 64 ) mengatakan tentang penelitian deskriptif: a. Memberikan gambaran megenai situasi atau kejadian yang aktual sehingga menggunakan akumulasi data dasar belaka. b. Kerja peneliti bukan saja membeikan gambaran tentang fenomenafenomena tetapi juga menerangkan, menguji, hipotesis, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Di samping pengamatan empirik, penelitian juga menggunakan studi kepustakaan dan dokumentasi. Studi kepusakaan untuk mendapatkan keterangan maupun informasi melalui sumber-sumber kepustakaan atau literatur yang relevan. Studi dokumentasi memberikan data penunjang kelengkapan maupun keterangan-keterangan yang diperlukan. Prosedur atau tata cara pengumpulan data agar dapat memperoleh jawaban responden, penulis menggunakan angket di samping wawancara langsung untuk memperoleh data maupun informasi tambahan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 173 HASIL DAN PEMBAHASAN Memperhatikan situasi yang ada, peneliti mengamati secara langsung tentang dimensi sikap, baik dari segi disiplin, waktu, berpakaian rapih/keserasian penjualan buku di kelas, tidak merokok di kelas maupun pada tempat semestinya, keteladanan lainnya serta daftar hadir dan lain sebagainya. Dimensi ini bersumber dari pelaksanaan perintah atasan tanggung jawab dan kewajiban pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil yakni sesuai job description masing-masing. Selain itu peraturan yang melekat secara tidak tertulis, yaitu: norma-norma pelayanan, kesabaran, tulus ikhlas, toleransi, penerapan sanksi sosial melalui teguran lisan, tertulis, dan dianjurkan mengajukan pindah kelain instansi atau pengunduran diri termasuk gaji yang ditunda, dan lain-lain. Selanjutnya yang menjadi tolok ukur motivasi kerja terdiri dari dimensi – dimensi :1) Sikap yang meliputi; disiplin dan optimisme, 2) Situasi kerja yang meliputi; Sinergi dengan atasan, ketenangan batin, 3)Sosial meliputi; saling menjaga kebersihan, kondusif, 4) Keamanan dan ketertiban meliputi; ada perlindungan hukum, aturan tertentu, 5) Penghargaan (reward) meliputi; prestasi masa kerja, 6) Mencapai tujuan kelembagaan meliputi: Menransfer ilmu dengan baik, wawasan luas, 7) Aktualisasi diri meliputi; menyenangi profesi, spesialisas, kreativitas. Disiplin dan Optimisme Perlu diketahui bahwa kediplinan dosen beserta stafnya pada bidang pengajaran IPDN Jatinangor Sumedang digambarkan dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Pernyataan Responden Mengenai Disiplin dan Optimisme Alternatif Frekuensi Persentase No Bobot (B) FxB Jawaban (F) % 1 Sangat setuju 5 30 150 37,50 2 Setuju 4 48 192 60,00 3 Netral 3 2 6 2,50 4 Tidak Setuju 2 0 0 0,00 5 Sangat Tidak 1 0 0 0,00 Setuju Jumlah 80 348 100,00 Skor 4,35 Pencapaian Skor 87 % Kriteria Sangat Baik Sumber : Hasil penelitian, diolah 174 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 80 orang responden penelitian, terdapat 30 orang (37,50%) yang menyatakan sangat setuju, dan 48 orang (60,00%) yang menyatakan setuju, sedangkan 2 orang (2,50%) menyatakan netral. Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan tersebut adalah 87% mempunyai kriteria sangat baik. Hasil tanggapan responden menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendukung bahwa disiplin akan dapat tercapai jika optimisme selalu tertanam pada diri mereka masing – masing. Tanggungjawab Secara Tulus Pernyataan responden mengenai tanggung jawab dapat meningkatkan motivasi kerja di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 2 Pernyataan Responden mengenai Tanggungjawab Secara Tulus No Alternatif Jawaban Bobot (B) 5 4 3 2 1 1 Sangat setuju 2 Setuju 3 Netral 4 Tidak Setuju 5 Sangat Tidak Setuju Jumlah Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian, diolah. Frekuendsi FxB (F) 29 145 43 172 6 18 2 4 0 0 80 339 4,24 84 % Sangat Baik Persentase % 36,25 53,75 7,50 2,50 0,00 100,00 Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa dari 80 orang responden terdapat 29 orang (36,25%) menyatakan sangat setuju dan 43 orang (53,75%) menyatakan setuju, sedangkan yang menyatakan netral 6 orang (7,50%) yang tidak setuju 2 orang (2,50%). Hasil pencapaian skor 80,40 termasuk kriteria sangat baik. Tanggapan responden menunjukkan bahwa motivasi dapat dilakukakan bila ada kesadaran untuk bertanggung jawab agar mencapai tujuan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 175 Situasi Kerja Adalah suatu keadaan lingkungan sekitar, di mana ia menunjukkan kenyataan yang sebenarnya, sehingga suasana secara otomatis akan berpengaruh terhadap produktivitas seseorang. Pernyataan responden hal hubungan dengan atasan yang sinergis dapat meningkatkan motivasi kerja di bidang pengajaran dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3 Pernyataan Responden mengenai Hubungan yang Sinergis Dapat Meningkatkan Motivasi kerja No Alternatif Jawaban Bobot (B) 5 4 3 2 1 1 Sangat setuju 2 Setuju 3 Netral 4 Tidak Setuju 5 Sangat Tidak Setuju Jumlah Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah Frekuensi (F) 19 38 14 9 0 80 FxB 90 153 42 18 0 307 3,84 76 % Baik Persentase % 23,75 47,50 17,50 11,25 0,00 100,00 Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian yang menyatakan sangat setuju 19 orang (23,75%) dan yang setuju 38 orang (47,50%), dan 14 orang (17,50%) menyatakan netral termasuk 9 orang (11,25%) menyatakan tidak setuju. Pencapaian skor yang diperoleh dari tanggapan tersebut adalah sejumlah 76% mempunyai kriteria baik. Hasil tanggapan responden ini menunjukkan bahwa yang dilakukan sehari-hari pada pelaksanaan pekerjaan mengerti apa arti penting suatu hubungan searah/sinergis sesuai tujuan. Keadaan Ketenangan Batin Pernyataan responden mengenai kebijakan pimpinan sesuai keinginan pada bagian pengajaran IPDNdapat dilihat pada tabel berikut ini : 176 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tabel 4 Pernyataan Responden mengenai Kebijakan Atasan Sesuai Keinginan dan Merasa Ketenangan Batin Agar Termotivasi Alternatif Bobot Jawaban (B) 1 Sangat setuju 5 2 Setuju 4 3 Netral 3 4 Tidak Setuju 2 5 Sangat Tidak 1 Setuju Jumlah Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah. No Frekuensi (F) 7 32 28 12 1 80 35 128 84 24 1 Persentase % 8,75 40,00 35,00 15,00 1,25 272 100,00 FxB 3,40 68 % Baik Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian terdapat 7 orang (8,75%) menyatakan sangat setuju, 32 orang (40,00%) menyatakan setuju dan 28 orang (35,00%) menyatakan netral dan 12 orang (15,00%) menyatakan tidak setuju dan 1 orang (1,25%) yang menyatakan sangat tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang diperoleh pernyataan ini 68% mempunyai kriteria baik. Tanggapan responden menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan dapat ditanggapi dengan baik dan bisa mencapai tujuan karena proses motivasi kerja dan ketenangan batin dapat diperoleh. Keadaan Sosial Adalah kesadaran manusia untuk melakukan sesuatu hal dalam kebersamaan sehingga tercipta situasi yang sinergis. Pernyataan mengenai lingkungan kerja nyaman, memenuhi syarat kesehatan, membuat suasana kerasan menambah motivasi di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 177 Tabel 5 Pernyataan Responden mengenai Lingkungan Kerja Bersih Memenuhi Syarat Kesehatan dan Memadai Alternatif Bobot Frekuensi No FxB Persentase % Jawaban (B) (F) 1 Sangat setuju 5 0 0 0,00 2 Setuju 4 32 128 40,00 3 Netral 3 30 90 37,50 4 Tidak Setuju 2 18 36 22,50 5 Sangat Tidak 1 0 0 0,00 Setuju Jumlah 80 348 100,00 Skor 3,18 Pencapaian Skor 64 % Kriteria Baik Sumber : Hasil penelitian diolah. Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian ada 32 orang (40,00%) menyatakan setuju, 30 orang (37,50%) menyatakan netral dan 18 orang (22,50) menyatakan tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang diperoleh pernyataan ini 64% mempunyai kriteria baik. Tanggapan responden menyatakan lingkungan kerja kurang nyaman dapat mempengaruhi tercapainya hasil kerja. Keadaan yang Kondusif Pernyataan responden mengenai suasana kantor dan sekitarnya di masamasa sekarang di bagian pengajaran IPDN dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6 Pernyataan Responden mengenai Terciptanya Suasana Kondusif Alternatif Bobot Frekuensi Jawaban (B) (F) 1 Sangat setuju 5 6 2 Setuju 4 48 3 Netral 3 18 4 Tidak Setuju 2 6 5 Sangat Tidak 1 2 Setuju Jumlah 80 Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah. No 178 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 FxB Persentase % 30 192 54 12 2 7,50 60,00 22,50 7,50 2,50 348 3,63 72 % Baik 100,00 Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian terdapat 6 orang (7,50%) menyatakan sangat setuju dan 48 orang (60.00%) menyatakan setuju, untuk 18 orang (22,50%) menyatakan netral dan 6 orang (7,50%) menyatakan tidak setuju termasuk 2 orang (2,50%) menyatakan sangat tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang diperoleh 72% dengan kriteria baik. Pernyataan responden menunjukkan bahwa suasana kantor dan sekitarnya aman dan kondusif, sehingga akan berpengaruh terhadap motivasi kerja. Adanya Perlindungan Hukum Pernyataan responden mengenai pengawasan dan perlindungan hukum di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 7 Pernyataan Responden Mengenai Tidak Adanya Perlindungan Hukum Alternatif Bobot Frekuensi Jawaban (B) (F) 1 Sangat setuju 5 17 2 Setuju 4 25 3 Netral 3 16 4 Tidak Setuju 2 19 5 Sangat Tidak 1 3 Setuju Jumlah 80 Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah. No FxB Persentase % 85 100 48 38 3 21,25 31,25 20,00 23,75 3,75 274 3,43 68 % Baik 100,00 Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian terdapat 17 orang (21,255) menyatakan sangat setuju dan 25 orang (31,25%) menyatakan setuju, 16 orang (20,00%) menyatakan netral termasuk 19 orang (23,75%) menyatakan tidak setuju termasuk 3 orang (3,75%) menyatakan sangat tidak setuju. Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan responden 86% dengan kriteria baik. Hasil tanggapan tersebut menunjukkan walaupun tidak ada perlindungan hukum, namuin pada kenyataanya keamanan dan ketertiban dapat tercapai. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 179 Evaluasi Pengajaran Pernyataan responden merasa puaskah bila setiap akhir semester tidak ada evaluasi dosen di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 8 Pernyataan Responden tentang Evaluasi Pengajaran Alternatif Bobot Jawaban (B) 1 Sangat setuju 5 2 Setuju 4 3 Netral 3 4 Tidak Setuju 2 5 Sangat Tidak 1 Setuju Jumlah Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah No Frekuensi (F) 2 7 10 41 20 FxB Persentase % 10 28 30 82 20 2,50 8,75 12,50 51,25 25,00 80 170 2,12 42 % Kurang Baik 100,00 Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui dari 80 orang responden penelitian terdapat 2 orang (2,50%) menyatakan sangat setuju dan 7 orang (8,75%) menyatakan setuju, dan 10 orang (12,50%) menyatakan netral termasuk 41 orang (51,25%) menyatakan tidak setuju, menambah lagi 20 (25,00%) menyatakan sangat tidak setuju. Jumlah pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan ini 42% mempunyai kriteria kurang baik. Hasil tanggapan responden menunjukkan bahwa kurangnya antusias dosen untuk melakukan evaluasi tiap-tiap semester yang semestinya dilakukan untuk mengukur kemampuan serta solusi pencapaian tujuan pendidikan ditanggapi oleh responden sebagai kurang baik. Artinya, responden mengharapkan adanya evaluasi pada setiap akhir pengajaran. 180 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Penghargaan (Reward) Pernyataan responden mengenai pimpinan yang tidak mempedulikan dosen yang tidak berprestasi/sering terlambat datang mengajar, di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : Tabel 9 Pernyataan Responden Mengenai Pimpinan yang Tidak Mempedulikan dosen yang tidak Berprestasi/Sering Terlambat datang Mengajar di Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Alternatif Bobot Jawaban (B) 1 Sangat setuju 5 2 Setuju 4 3 Netral 3 4 Tidak Setuju 2 5 Sangat Tidak 1 Setuju Jumlah Skor Pencapaian Skor Kriteria Sumber : Hasil penelitian diolah No Frekuensi (F) 3 9 23 29 16 80 FxB Persentase % 15 36 69 58 16 3,75 11,25 28,75 36,25 20,00 194 100,00 2,42 48 % Kurang Baik Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui 80 orang responden penelitian terdapat 3 orang (3,75%) menyatakan sangat setuju, 9 (11,25%) menyatakan setuju dan 23 orang (28,75%) menyatakan netral dan 29 orang (36,25%) tidak setuju termasuk 16 orang (20,00%) menyatakan sangat tidak setuju. Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan responden adalah 48% termasuk kriteria kurang baik. Hal ini menurut tanggapan responden menunjukkan bahwa pimpinan sekedar perhatian dan kurang adanya sikap maupun langkah tegas untuk melakukan perubahan guna mencapai tujuan. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan motivasi kerja dengan mutu pengajaran pada bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor , dapat disimpulkan sebagai berikut : Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 181 Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai variabel motivasi kerja diperoleh rata-rata pencapaian skor dari variabel motivasi kerja sebesar 22,20%. Artinya motivasi kerja di bidang pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor temasuk kriteria kurang baik. Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai mutu pengajaran diperoleh nilai rata-rata sebesar 77,80%. Artinya mutu pengajaran di bidang pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor termasuk kriteria baik. Hubungan antara motivasi kerja dengan mutu pengajaran di Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dapat diketahui melalui pengujian hipotesis yang telah diajukan, diperoleh sebesar 0,30 antara motivasi kerja dosen (pengajar) dengan mutu pengajaran. Dalam perkataan lain, motivasi kerja yang meliputi sikap, situasi kerja, sosial, keamanan dan ketertiban, penghargaan, mencapai tujuan kelembagaan memiliki hubungan yang rendah dengan mutu pengajaran di Bidang Pengajaran IPDN. Dengan koefisien Determinasi (keeratan hubungan) menurut aturan Guillford, bahwa motivasi kerja mempunyai pengaruh yang rendah tapi pasti terhadap mutu pengajaran. Variabel mutu pengajaran dipengaruhi sebesar 19,00% untuk motivasi kerja, sisanya sebesar 81,00% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak diteliti. DAFTAR PUSTAKA Ade, S. 1999. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Almasdi. 2002. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia. Badudu, dan Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai Pustaka. Djoerban, Wachid. 1997. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Erlangga. . Gafar, Fachry. 1989, Berbagi Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Bina Aksara. Guillford, 1995. Fundamental Statistic in psychology and Education. Singapore: McGraw Hill. 182 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Hasibuan, Malayu, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: PT. Alga . Heidjarachman, R. Suad dan Husnan. 1990. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE Lenvile. 1990. Perilaku Organisasi. Jakarta: Alumni. Mulyasa, E. 2005, Kinerja Tenaga Pendidikan yang Profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Nitisemito, Alex, S. 1999. Motivasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Prabu, Anwar, AA. 1991. Motivasi Kerja Pegawai. Bandung : PT. Rinneka Cipta. Prabu, Anwar, AA. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosda Kaya. Prabu, Anwar, AA. 2005. Kecerdasan Emosi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Prabu, Anwar, AA. 2005. Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika Aditama. Samparan, Lukman. 2003. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA LAN Press. Sedarmayanti. 2001. Kinerja Hasil Keluaran Proses Performance. Bandung: Mandar Maju. Suit, Yusuf dan Almasdi. 2000. Aspek Sikap Mental Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia. Tilaar, H.H.R. 2001. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Usman, Uzer. 2001. Metode Penelitian Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta Widodo. 2004. Cerdik Menyusun Proposal Penelitian, Skripsi, Tesis, dan Disertasi. Jakarta: Yayasan Kelopak Magna Script Yus, Alhuda Ayus. 2002. Hubungan Motivasi, Kemampuan, Kedisiplinan terhadap Produktivitas Tenaga Kerja pada PT. Bangkinang Crumb Rubber di Pekanbaru, Bandung: Tesis Unpad. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 183 RELEVANSI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DENGAN KARAKTER BANGSA Heni Hernawati STKIP Siliwangi Pos-el: [email protected] ABSTRAK Relevansi Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Karakter Bangsa. Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terinci, jenis-jenis materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur) keterampilan dan sikap atau nilai. Bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan memperhatikan prosedur penulisan bahan ajar didalamnya mengandung nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Pada sisi lain bahan ajar berkedudukan sebagai alat atau sarana untuk mencapai standar kompetensi inti dan kompetensi dasar. Bahan ajar juga merupakan wujud pelayanan satuan pendidikan terhadap peserta didik. Prinsip relevansi atau keterkaitan atau hubungan erat maksudnya adalah materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar kompetensi dan kopetensi dasar. Dalam menentukan bahan ajar keprofesionalan guru sangat penting, baik dalam pembelajaran bahasa maupun sastra.Semua materi hendaknya memiliki relevansi dan dapat membangun karakter bangsa agar unggul dan mampu bersaing dalam menghadapi era globalisasi. Pendidikan karakter memberikan kontribusi dalam membangun karakter bangsa melalui materi ajar yang diajarkan sesuai kompetensi dasar. Kata kunci : bahan ajar, bahasa, sastra, dan pendidikan karakter PENDAHULUAN Di tengah era globalisasi manusia tidak hanya bersaing dalam segi ekonomi pemerintahan ataupun politik. Dewasa ini manusia dihadapkan pada persaingan ilmu pengetahuan. Jelas sekali, bahwa ilmu pengetahuan menjadi ujung tombak dari semua aspek. Dengan ilmu pengetahuan manusia mampu menciptakan ide atau gagasannya secara logis. Tentunya penyeimbang ilmu pengetahuan adalah karakter sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan sehari-hari (sosial). Suatu bangsa dapat dikatakan menjadi besar apabila bangsa itu memiliki karakter positif. Karakter positif inilah yang dianggap begitu penting dalam kehidupan bernegara. Suatu bangsa dapat dikenal oleh bangsa lain melalui karakter yang menjadi ciri utama. Salah satu karakter bangsa indonesia yang menjadi perhatian dunia adalah bentuk tutur dan keramah tamahannya. 184 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Karakter inilah yang ditanamkan sejak dini baik dilingkungan keluarga dan sekolah. Pada kurikulum 2013 penekanan nilai karakter menjadi hal utama yang terapkan pada setiap kompetensi inti dan dikembangkan dalam kompetensi dasar sehinggga bangsa kita tidak akan kemiskinan nilai karakter. Nilai karakter ditanamkan oleh setiap guru dalam materi bahan ajar sehingga keduanya saling memberikan kontribusi positif terhadap proses pembelajaran. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang guru dan dosen no. 14 tahun 2005 pasal 8 disebutkan bahwa ―Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi, pendidik, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional‖. Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut meliputi kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Dari kompetensi tersebut kompetensi inti yang wajib dimiliki seorang guru atau dosen diantaranya dapat mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu ―dan‖ menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik untuk kompetensi pedagogis, serta mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif dan memanfaatkan teknologi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri untuk kompetensi profesional. Pada pengembangan materi/bahan agar guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk kreatif saja, akan tetapi memperhatikan, menimbang, memilah dan memilih bahan ajar yang sesuai merupakan bentuk keharusan dan juga tanggung jawab seorang pengajar. Mengingat dewasa ini bangsa kita tengah mengalami kemerosotan karakter khususnya pada nilai sikap, etika, dan moral. Sebaiknya guru atau dosen lebih selektif dalam membuat, menyusun bahkan menggunakan bahan ajar yang sudah jadi. Bahan ajar merupakan sebagian perangkat dalam menunjang proses pembelajaran. Bahan ajar yang mampu memberikan nilai-nilai positif setidaknya dapat memberi pengaruh besar terhadap pola pikir ataupun perkembangan peserta didik. Membuat atau menyusun bahan ajar sebenarnya adalah perkara yang gampang, namun karna faktor keterbatasan literatur Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 185 sehingga guru/ tenaga pendidik merasa kesulitan dalam merealisasikan tuntutan tersebut. Alasan itulah yang menyebabkan banyaknya para pengajar yang menggunakan bahan ajar buatan orang lain ataupun hasil copas, begitulah saat ini orang-orang menyebutnya. Produk copas atau copy paste menjadi produk andalan mereka tanpa memperhatikan baik buruknya dari materi atau bahan ajar yang mereka gunakan dari hasil copas tersebut. Berdasarkan latar belakang diatas, maka sangat penting sekali pengaruh dari materi bahan ajar yang digunakan secara selektif dengan memperhatikan nilai-nilai karakter yang ada didalamnya karena dapat membangun bangsa yang berdedikasi tinggi, berkarakter positif ditegah laju era globalisasi yang penuh persaingan. Karena karakter dan proses pembentukannya yang tidak mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Sehingga cukup jelas kontribusi bahan ajar yang tepat memberi pengaruh dalam membentuk karakter bangsa. BAHAN AJAR Pada proses pembelajaran dewasa ini produk instan yang digunakan pengajar dalam menunjang kegiatan belajar mengajar adalah buku guru, buku siswa, lembar kerja siswa yang dibuat suatu percetakan alhasil produk ini dinamai produk instan atau produk siap saji, padahal mereka tahu dan sadar benar akan kekurangan dan kelebihan bahkan tidak sesuai dengan konteks dan sosial budaya peserta didik. Menurut National Centre For Competeny Based Training (2007) bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau instruktur dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Pandangan lain menyatakan bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar (Andi Prastowo 2013: 16). Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa bahan ajar adalah informasi, alat, dan teks yang diperlukan guru atau instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Pandangan-pandangan tersebut juga dilengkapi oleh pannen (2001) yang mengungkapkan bahwa bahan ajar adalah 186 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bahan-bahan atau materi pelajaran yang di susun secara sistematis, yang digunakan guru atau peserta didik dalam proses pembelajaran. Berdasarkan pandangan diatas jelas sekali bahwa bahan ajar merupakan segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara sistematis yang menamoilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai perserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan dan penalaahan implementasi pembelajaran Bahan ajar Konvensional - Bahan Ajar Inovatif Dalam realitas pendidikan dilapangan banyak para pendidik yang masih menggunakan bahan ajar konvensional. Bahan ajar konvensional yaitu bahan yang tinggal pakai, tinggal beli, instan serta tanpa upaya merencanakan, menyiapkan, dan menyusun sendiri (Andi Prastowo, 2013:181). Penggunaan bahan ajar konvensional dinilai tidak kontekstual, tidak menarik dan cenderung monoton karena tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Penggunaan bahan ajar konvensioanal ini pula menyebabkan runtuhnya nilai-nilai kreatifitas yang dialami para sebagian pengajar. Namun untuk sebagian guru atau pengajar penggunaan bahan ajar konfensional ini dapat menjadi motivator dalam menyusun bahan ajar yang dinamis, kreatif dan inovatif. Adapun bentuk dari bahan ajar konvensional biasanya meliputi buku teks pelajaran, dan LKS. Penggunaan buku teks pelajaran dan LKS sebagai bahan ajar dimanfaatkan guru atau para pengajar dalam proses kegiatan pembelajaran. Tentunya kita mengetahui dan sadar benar bahwa untuk mnecapai pembelajaran yang dinamis, efektif dan efesien tentunya kita memerlukan kreatifitas yang tinggi, yaitu dengan mengembangkan bahan ajar konvensional diatas menjadi bahan ajar yang inovatis, variatif, kontekstual, menarik tentunya sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Mutu pembelajaran menjadi rendah ketika pendidik hanya terpaku pada bahan ajar konvensional tanpa ada kretifitas untuk mengembangkan bahan ajar tersebut secara inovatif. Adapun bentuk dari bahan ajar inovatif adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan memperhatikan sosial budaya peserata didik, perkembangan psikologi peserta didik khususnya dalam materi pelajaran, dan unsur-unsur yang menunjang kualitas bahan ajar. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 187 Berdasarkan penjelasan tersebut kita pun dapat menarik sebuah kesimpulan, bahwa pembelajaran yang menggunakan bahan ajar yang menekankan kreatifitas tinggi dapat mengubah proses pembelajaran dari konvensional menuju proses pembelajaran yang inovatif dan lebih dinamis. Fungsi dan Tujuan serta Manfaat Pembuatan Bahan Ajar Pada bagian ini, sebelum masuk pada penjelasan dari fungsi pembuatan bahan ajar, hal yang tidak kalah penting dengan persoalan tersebut perlu diungkapkan terlebih dahulu mengenal sumber belajar yang menjadi bahan utama dalam penyusunan bahan ajar. Sumber belajar akan memperkaya informasi yang diperlukan dalam menyusun bahan ajar, dan memudahkan peserta didik dalam mempelajari kompetensi tertentu yang harus dicapai pada proses pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa buku-buku yang berlandaskan teori-teori yang dibutuhkan atau sesuai kompetensi yang akan diajarkan. Kegunaan sumber belajar sangatlah penting karena dapat memberikan kesan bermakna pada proses pembelajaran. a) Fungsi Bahan Ajar Fungsi bahan ajar diklasifikasikan menjadi beberapa fungsi, namun fungsi yang paling menonjol adalah fungsi bahan ajar menurut pihak yang memanfaatkannya adalah sebagai berikut : 1) Fungsi bahan ajar bagi pendidik, yaitu a) Menghemat waktu pendidik dalam mengajar b) mengubah peran pendidikdari seorang pengajar menjadi fasilitator c) meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan efesiensi d) sebagai pedoman bagi pendidik yang akabn mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang semestinya diajarkan kepada peserta didik. e) sebagai alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran. 2) Fungsi bahan ajar bagi peserta didik Yaitu : (a) peserta didik dapat belajar tanpa harus ada pendidik atau teman peserta didik yang lain. 188 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 (b) peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja yang ia kehendaki. (c) peserta didik dapat belajar sesuai kecepatannya masing-masing. (d) peserta didik dapat belajar sesuai urutan yang di pilihnya sendiri. (e) membantu potensi peserta didik untuk menjadi pelajar/mahasiswa yang mandiri. (f) sebagai pedoman bagi peserta didik yang mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan substansi kompetensi yang seharusnya dipelajari atau dikuasainya. b) Tujuan Penulisan Bahan Ajar Menurut Andi Prastowo (2013:26), terdapat empat hal pokok dalam pembuatan bahan ajar, yaitu: 1) Membantu peserta didik dalam mempelajari sesuatu, 2) Menyediakan berbagai jenis pilihan bahan ajar, sehingga mencegah timbulnya rasa bosan pada peserta didik 3) Memudahkan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran, 4) Agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik c) Manfaat Penulisan Bahan Ajar Manfaat penulisan bahan ajar dibedakan menjadi dua macam , yaitu kegunaan bagi pendidik dna kegunaan bagi peserta didik. 1) Kegunaan Bagi Pendidik (a) Pendidik akan memilih bahan ajar yang dapat membantu dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran. (b) Bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah angka kredit pendidik guna keperluan kenaikan pangkat. (c) Menambah penghasilan bagi pendidik jika hasil karyanya diterbitkan. 2) Kegunaan bagi peserta didik (a) Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 189 (b) Peserta didik lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan pendidik dan (c) Peserta didik mendapatkan kemudahandalam mempelajari sikap kompensi yang harus dikuasainya. Berdasarkan fungsi, tujuan, dan manfaat yang sudah diuraikan di atas cukup jelas bahwa kedudukan bahan ajar dalam proses pembelajaran dapat memberi kontribusi serta pengaruh besar. Pembelajaran tentunya akan lebih terpadu dan inovatif apabila seorang guru atau dosen benar-benar menyusun bahan ajar secara kreatif untuk sistem pembelajaran yang lebih dinamis. Bentuk dan Langkah Penyusunan Bahan Ajar Selama ini kita beranggapan bahwa bentuk bahan ajar adalah seperangkat buku teks yang memuat materi belajar selama satu semester atau satu tahun. Padahal bahan ajar itu sendiri memiliki bentuk yang banyak dan variatif. Pemanfaatannya pun sesuai dengan bidang kegiatan yang diampu. Bentuk-bentuk bahan ajar meliputi handout yaitu kumpulan materi yang berbentuk bahan cetak. Bahan cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan dalam kertas yang berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian informasi (kemp dan Dayton, 1985). Hand out, buku modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, merupakan contoh-contoh dan bahan cetak. Selanjutnya yang termasuk bentuk bahan ajar lain yaitu modul, buku teks, lembar kerja siswa, model (market), bahan ajar audio, video. Bahan ajar interaktif untuk pembelajaran bahasa dan sastra tentunya bentuk bahan ajar diatas dapat dijadikan suatu alternatif dalam menunjang materi pelajaran seperti pemanfaatan foto atau gambar sebagai bahan ajar yang digunakan untuk 4 keterampilan berbahasa khususnya dibidang menyimak, berbicara, dan menulis atau pemanfaatan audio video untuk materi berita, deklamasi puisi,drama, dan lain sebagainya. Semua bentuk dari bahan ajar diatas tidak lain adalah suatu media yang membantu guru dalam menciptakan pembelajaran yang tadinya biasa saja menjadi berbeda. Selain bentuk bahan ajar, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana langkah-langkah pembuatan bahan ajar. Menurut Andi Prastowo (2013:50) ada 190 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tiga tahapan yang dalam menyusun bahan ajar langkahnya yaitu menganalisis kurikulum, analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul bahan ajar. 1) Langkah pertama : menganalisis kurikulum Dalam menganalisis kurikulum ada lima hal yang perlu diperhatikan; pertama standar kompetensi yakni kualifikasi kemampuan peserta didik yang menggambarkan penguasaan siikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dalam setiap tingkat/smester. Kedua, kompetensi dasar yakni sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Ketiga, indikator kecapaian hasil belajar. Indikator merupakan rumusan kompetensi yang spesifik yang dapat dijadiakan kriteria penialian dalam menentukan kompetensi dasar (Nasar 2006). Keempat, materi pokok yakni sejumlah informasi utama, pengatahuan, keterampilan, atau nilai yang di susun sedemikian rupa oleh guru agar peserta didik menguasai kkompetensi yang ditetapkan. Kelima, pengalaman belajar yakni sustu aktifitas yanag di desain oleh pendidik supaya dilakukan para peserta didik agar mereka menguasai kompetensi yang telah di tentukan. 2) Langkah kedua : menganalisis sumber belajar Kriteria Analisis sumber belajar dilakuakan berdasarkan ketersediaan, kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkannya. Caranya dengan menginfentarisasi ketersediaan sumber belajar yang dikaitkan dengan kebutuhan 3) Langkah ketiga : Memilih dan menentukan bahan ajar. Langkah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu kriteria bahwa bahan ajar harus menarik dan dapat membantu peserta dididk dalam mencapai kompetensi. Menurut Ibid (Andi Prastowo 2013:58) ada tiga prinsip yang dapat dijadikan pedoman. Pertama prinsip Relevansi, maksudnya bahan ajar yang dipilih haruslah memiliki relasi atau hubung dengan pencapaian kompetensi dasar. Kedua prinsip kecukupan maksudnya pemilihan bahan ajar hendaknya memadai dalm membantu siswa dalam menguasai kompetensi dasar yang diajaarkan. Ketiga prinsip konsistensi maksudnya bahan ajar yang dipilih harus ajeg. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 191 Materi Ajar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Sebelumnya dijelaskan penentuan sumber belajar dalam menunjang pembuatan atau peyusunan bahan ajar haruslah memperhatikan faktor-faktor yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi. Dalam hal ini pemilihan materi ajar dianggap hal yang mudah karen guru biasanya memanfaatkan secara praktis sumber-sumber belajar yang disediakan di sekolahn dengan ketersediaan ataupun keteratasan tergantung pada sekolah tersebut. Namun perlu kita ketahui bahwa pentignnya menentuakan, memilah dan memilih materi ajar yang tepat dapat memberi pengaruh besar terhadap pembentukan pola pikir dan kompetensi siswa itu sendiri. Materi ajar tidak berbeda jauh dengan bahan ajar, hanya saja materi disini dianggap lebih spesifik, materi ajaar merupakan bagian inti dari proses pembelajaran, dimana guru tidak bisa menyusun bahan ajar tanpa adanya materi ajar yang diikat oleh beberapa teori yang sudah valid. Dalam pembelajaran bahasa contohnya penggunaan teks atau wacana yang relevan akan berdampoak positif terhadap perkembangan pola pikir, kompetensi dan perkembangan psikolgis siswa. Dalam kurikulum 2013 siswa pembelajaran berbasis teks dan bersifat kontekstual produk pembelajaran berupa teks merupakan bagian akhir yang harus dikuasai peserta didik diakhir pembelajaran baik itu menulis, menyimak, berbicara maupun membaca. Semua aspek itu saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan begitu pula ketika peserta didik belajar sastra dimana keempat kegiatan tersebut dilakukan baik secara bersamaan maupun disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar seperti membaca puisi, menulis puisi, mengapresiasi pusi, cerpen, novel, dan lain sebagainya. Teks/wacana yang dijadikan materi agar harus benar-benar memperhatikan tiga aspek yang hampir sama dengan pengambangan buku teks yaitu materi penyajian dan bahasa atau keterbatasan. Standar yang berkaitan dengan materi adalah kelengkapan materi, keakuratan materi, kegiatan yangmendukung materi, kemuktahiran materi, upaya meningkatkan kompetensi siswa, pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan, 192 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 materi pengembang keteramppilan dan kemampuan berfikir, materi merangsang siswa untuk melakukan inquiry. Selain itu aspek lain yang harus diperhatikan dalam menentukan teks atau wacana sebagai materi ajar haruslah relevan dengan perkembangan peserta didik berdasarkan gradasi pendidikannya, perkembangan psikologi peserta didik, adanya korelasi mataeri yang diajarkan dengan mata pelajaran lain dan kehidupan sehari-hari peserta didik. agar manfaatnya dapat mereka aplikasikan dilingkungan tempat tinggalnya. Dan penggunaan notasi, simbol dan satuan. Berdasarkan aspek diatas cukup jelas bahwa materi yagn diajarkan memenuhi standar dan ketepatan apabila memenuhi kriteria diatas. Tidak hanya itu saja faktor penyajiannya pun menjadi hal penting. Pada tekhnik penyajiannya materi diuraikan atau dipaparkan secara jelas, memiliki manfaat dan kebermaknaan, dan penyampaian informasinya harus variatif dan mengembangkan pembentukan ilmu pengetahuan dan dapat meningkatkan kualitas belajar. Sedangkan berdasarkan aspek kebahasaannya materi ajar haruslah berpedoman pada pengunaan bahasa indonesia yang baik dan benar meliputi penggunaan tanda baca yang tepat, kejelasan bahasa, kesesuaian bahasa agar hasil akhir yang diharapkan peserta didik kita menguasai bahasa secara baik dan benar tentunya unggul dalam berbahasa. Namun berbeda apabila kita berbicara materi sastra karena dalam sastra tidak ada aturan ataupun definisi yang mengikat. Sastra sangatlah luas definisi yang relative dimiliki setiap penikmatnya memperkaya materi dan teori sastra. Sehingga tata buku yang digunakan pun tidak terikat dengan aturan ketata bahasaan yang baku ataupun formal karena kembali lagi pada konteks diatas bahwa sastra tidak memiliki batasan. Namun berbicara materi ajar sekali pun karya sastra tetap saja harus relevan dengan kebutuhan nkompetensi dasar maupun kompeternsi siswa. Pada teks cerpen , puisi, novel maupun drama disesuaikan dengan gradasi pendidikan peserta didik.dimana tingkat sekolah dasar teks puisi ataupun cerpennya hanya bertemakan perjuangan lingkungan, alam semesta, ketaatan kepada Tuhan, bentuk hormat kepada orang tua , dan tentang kehidupan anakanak pada usia saat itu. Pada tingkatan sekolah menengah materi ajar pun Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 193 semakin kompleks disesuaikan kebutuhan kompetensi, sedangkan pada tingkatan sekolah menengah atas selain kompleks kegiatannya lebih banyak mengapresiasi karena kegiatan ini dinilai dapat mengasah cara pandang siswa terhadap karya sastra yang ditemuinya. Materi Ajar Bahasa Indonesia dan Sastra dalam Membangun Karakter Bangsa. Apa itu pendiddikan karakter? Dalam undang-undang tentang pendidikan nasional yang pertama kali ialah UU 1946 yang berlaku tahun 1947, hingga UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus utama pendidikan. Pendidikan ahlak (karakter) masih digabungkan dalam mata pelajaran agama dan sepenuhnya diserahkan kepada guru agama. Padahal bukan tugas guru agama saja yang membangun karakter melainkan tugas dan tanggung jawab kita semua sebagai guru atau dosen. Jadi bukanlah suatu jaminan apabila pendidikan karakter hanya diserahkan pada guru agama saja. Tentunya itu tidak akan berhasil, sehingga wajar pada saat ini pendidikan karakter belum optimal. Kembali lagi pada persoalan karakter, dewasa ini bangsa kita tengah mengalami krisis etika, moral, budi pekerti dan ahklak. Dalam hal ini sulit untuk menyalahkan salah satu pihak, namun semua itu akan terjawab apabila kita semua berperan aktif mendukung program pemerintah, dibantu oleh guru sekolah dan dipupuk sejak dini dari lingkungan keluarga. Dalam kurikulum 2013 pendidikkan karakter menjadi dasar utama dimana pendidikan karakter ini ada pada setiap kompetensi inti (KL 1-4). Kurikulum 2013 ini mengelompokkan mata pelajaran menjadi tiga yaitu kelompok A, kelompok B, dan kelompok C dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan penting tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan kemampuan penting dalam mengembangkan logika peserta didik, masyarakat, dan bangsa. Pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta seni budaya daerah dan nasional (Yanuar, 2013:26). 194 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pendidikan karakter merupakan suatu proses yang diterapkan disekolah, dirumah ataupun dalam lingkungan masyarakat dalam membentuk kepribadian seseorang dalam mengendalikan emosi perasaan dan cara pandang seseorang terhadap suatu hal. Jadi pendidikan karakter ini memiliki pengertian yang sangat luas seperti yang dikemukakan oleh Hornby and Parnwell (1972) mendefinisikan karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Sedangkan Tadkirotun Musfiroh (2008) mengatakan karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan (skill). Berdasarkan pandangan di atas cukup jelas bahwa pendidikan karakter menunjukkan bagaimana seseorang bersikap atau bertingkah laku. Seseorang dikatakan berkarakter apabila dia mampu menjaga kehormatan dirinya,orang lain dengan cara menghargai, berlaku jujur, suka menolong tentulah orang tersebut memanisfetasikan karakter. Materi Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia Bermuatan Karakter. Dalam kurikulum 2013 bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran sebagai penghela ilmu pengetahuan. Bahasa indonesia merupakan mata pelajaran kelompok wajib A. Kelompok mata pelajaran A adalah mata pelajaran yang memberikan orientasi kelompok lebih kepada aspek kognitif dan efektif. Materi ajar dalam bahan ajar pada kurikulum ini terdapat buku guru dan buku siswa bertujuan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta didik untuk mempelajari atau mendalami materi sebagai materi ajar yang harus mereka kuasai. Buku guru ini cukup membantu guru dalam proses pembelajaran. Namun buku inipun bukanlah sebuah produk instan yang dapat dinikmati begitu saja. Guru terlebih dahulu menganalisis buku yang dijadikan sumber belajar. Seorang guru atau pengajar berhak menggunakan atau membuat sendiri materi ajar ini akan dinilai lebih kreatif. Maksud dan tujuan penulis bukan ingin memvonis bahwa buku guru atau buku siswa tidak layak guna, namun penulis ingin mengajak guru atau pengajar untuk sama-sama peduli terhadap materi dalam bahan ajar yang akan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 195 digunakan yaitu dengan cara menganalisis terlebih dahulu materi ajar sebelum disampaikan kepada siswa, dengan menganalisis baik dari isi, ciri, bentuk, dan manfaat materi tersebut untuk diajarkan karena tidak sedikit materi yang sudah masuk pada buku teks terdapat kesalahan-kesalahan kecil (bersifat manusiawi), dan ketidaktepatan materi ajar khususnya teks atau wacana yang dipilih sebagai materi ajar. Baik itu materi untuk bahasa ataupun sastra faktor keterbacaan wacana atau teks harus diperhatikan. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pertama tentukan topik atau tema yang sesuai dengan kompetensi dasar agar tidak keluar dari konteks yang di ajarkan. Kedua menganalisis keterbacaan wacana apakah sesuai dengan gradasi /jenjang pendidikan peserta didik. ketiga sesuaikan teks atau wacana dengan latar belakang peserta didik yang bersifat homogen dilihat dari otomi lingkungan tempat mereka tinggal atau kebudayaannya. Hal ini akan berdampak baik pada proses pembelajaran bahasa dan sastra karena materi yang disampaikan tidak jauh dari yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga materi ajar yang dibuat atau dijadikan bahan ajar harus mengandung unsur-unsur seperti nilai karakter, nilai relegius, sesuai dengan tingkat psikologi perkembangan peserta didik dan dapat memotivasi kepada peserta didik. Menurut Greene dan Petty (Tangan 20) menyusun cara penilaian buku teks. Pendapat ini bisa juga diterapkan dalam penentuan materi ajar. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut : 1) Buku teks haruslah menarik minat anak-anak yaitu para siswa yang mempergunakannya, 2) Buku teks haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang akan memakainya, 3) Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik para siswa yang memanfaatkannya, 4) Buku teks seyogyanyalah mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya, 196 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 5) Buku teks isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran lainnya : lebih lagi dapat menunjanganya dengan rencana sehingga semuanya merupakan suatu kebu;latan yang utuh dan terpadu, 6) Buku teks haruslah dapat menstimulasi, merangsang, aktivitas-aktivitas pribadi para siswa yang menggunakannya, 7) Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang memakainya, 8) Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau ―point of view‖ yang jelas dan tegas sehingga pada akhirnya menjadi sudut pandang para pemakainya yang setia. 9) Buku teks haruslah mampu memberi pemantapan penekanan pada nilainilai anak dan orang dewasa, dan 10) Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa pemakainya. Sepuluh butir kriteria yang dijelaskan di atas jelas sekali memberi gambaran pada kita semua bahwa baik itu buku teks ataupun bahan ajar yang digunakan harus benar-benar tersusun secara sistematis dengan memperhatikan konsep tersebut agar materi yang diajarkan tepat guna. Materi ajar yang bermuatan karakterpun berada dalam poin yang diajarkan diatas. Jelas sekali konsep ini sudah ada sejak dulu dan dijadikan pedoman dalam menyusun buku teks ataupun materi dalam bahan ajar. Materi ajar yang baik berusaha memantapkan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dijadikan sebagai puncak yang harus dicapai selain pendalaman teori. Sekarang kita akan berbicara materi ajar bahasa dan sastra yang bermuatan nilai-nilai karakter. Banyaknya informasi yang dimuat dalam sebuah teks atau wacana sebagai medianya, menjelaskan mengenai hal-hal yang terjadi. Informasi yang bermaksud di sini dapat berupa opini atau fakta. Materi yang disajikan biasanya bersifat up to date dan mereview kejadian sebelumnya sebagai pembanding. Apabila kita mencermati kebutuhan informasi dalam teks atau wacana yang disajikan terkadang kita menemukan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 197 kesalahan-kesalahan kecil seperti penulisan, penempatan tanda baca, ketepatan pendiksian kata dan keterbacaan yang tidak relevan dengan gradasi atau tingkat pendidikan. Contoh tersebut untuk sebagian mungkin beranggapan kesalahan cetak atau kesalahan pengeditan editor, khususnya dalam bidang ejaan, hal lain seperti pemilihan diksi yang tidak tepat dapat memberikan pemahaman lain terhadap kemampuan berpikir peserta didik. Jelas sekali ini akan berakibat fatal apabila diksi yang digunakan menggunakan pendiksian yang tidak sesuai. Misalnya penggunaan kata-kata yang sukar untuk tingkatan kelas rendah seperti SD dan SMP. Sebelumnya kita pernah dihebohkan dengan pemberitaan mengenai munculnya teks atau wacana bernilai pornografi, kekerasan, penggunaan ilustrasi gambar yang tidak sesuai yang dimuat dalam buku pelajaran. Para pengamat pendidikan angkat bicara hal ini dapat menurunkan citra dan juga dapat membentuk karakter negatif pada anak muda sebagai generasi penerus bangasa. Sungguh ironi memang apabila kita sebagai pengajar bersikap masa bodoh. Sebetulnya banyak sekali materi ajar baik bahasa maupun sastra yang memiliki nilai-nilai yang dapat membentuk karakter bangsa yang mandiri, dinamis,agamis dan memiliki edukasi yang tinggi, contoh : Pemanfaatan biografi para pahlawan baik itu pahlawan revolusi maupun pahlawan demokrasi saat ini, pemanfaatan berita atau informasi yang mampu memberikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Pemanfaatan karya sastra sesuai dengan perkembangan siswa sastra anak untuk gradasi pendidikan rendah seperti sekolah dasar, cerita rakyat, legenda yang sesuai dan mampu menanamkan sikap peduli terhadap tuhan YME, sesama, dan alam semesta dalam menjaga kearifan lokal, agar peserta didik menjadi manusia yang berbudaya. Pemanfaatan karya sastra lain seperti puisi, prosa, novel, drama dan lain-lain sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Penekanan pentingnya mengajarkan bahasa dalam konteks kehidupan nyata dalam mendorong prestasi belajar baik belajar ketatabahasaannya maupun karya sastra yang sesuai dengan kehidupan masyarakat kita yang berbudaya dan mengkiblat ke masyarakat timur yang taat akan nilai-nilai religius. Kontribusi materi ajar terhadap pembentukkan karakter bangsa membantu anak muda yang menjadi ujung tombak bangsa memiliki ahlak mulia, bijaksana, tanggung 198 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 jawab, disiplin, dan mandiri. Pencitraan materi ajar ini juga yang dapat membentuk kepribadian peserta didik. Dalam berkomunikasi peserta didik menjadi generasi unggul dalam berbahasa, dengan demikian hal-hal diatas dapat terealisasi dengan baik dan bijaksana apabila guru atau pengajar merealisasikannya dalam proses belajar mengajar disekolah. SIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas mengenai relevansi materi bahan ajar bahasa dan sastra indonesia dalam membangun karakter bangsa. Masalah utama yang paling menonjol adalah kesadaran guru atau pengajar terhadap keterbatasan materi bahan ajar yang perlu di analisis, di revisi apabila terjadi kesalahan, dan mampu mengembangkan materi ajar berdasarkan aspek-aspek yang menjadi pedoman seperti menanamkan nilai-nilai sesuai dengan kebiasaan dalam masyarakat, menjadikan bahan ajar lebih menarik sehingga menarik minat peserta didik, dapat menghargai perbedaan, menstimulasi atau merangsang peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya, kesesuaian atau relevansi isi materi dengan perkembangan psikologi peserta didik. Hal-hal tersebut menjadi poin penting namun hal tersebut tidak akan terealisasi dengan baik tanpa peranan guru atau pengajar yang dengan sigap mampu menempatkan materi atau bahan ajar tersebut sesuai dengan konteks. Materi ajar yang bermuatan karakter merupakan materi ajar yang berisi pesan atau amanat positif didalamnya. Materi ajar ini merupakan bentuk stimulus atau rangsangan sistematis dalam membentuk karakter bangsa dimulai dari hal yang sederhana sampai yang kompleks melalui pemanfaatan bahan ajar yang relevan baik bahasa maupun sastra memberi konstribusi positif terhadap perkembangan peserta didik dalam membangun bangsa yang mandiri, relegius, berbudi luhur, tanggung jawab, disiplin dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Tentunya berbagai upaya akan terus dilakukan para pelaku pendidik dalam mewujudkan bangsa yang unggul dan berkarakter sebagai ciri dari bangsa Indonesia. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 199 DAFTAR PUSTAKA Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung : Alfabeta Tarigan, Henri Guntur. 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung : Angkasa Pratowo, Andi. 2013. Panduan Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta : Divapress Rochman, Maman. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Moral, Semarang : Unnespress Setya Ningrum, Yanwar. 2013. Desain pembelajaran berbasis pencapaian kompetensi. Jakarta : Pretasi Pusaka. Sitepu. 2013. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung : Rosda Rmajakarya. Suparman, Atwi. 2002. Desain Intruksional Modern. Jakarta : Erlangga Wina Putra, Udin. 2005. Model-model Pembelajaran Inovatif. Jakarta : PAUPPAI. 200 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 JALAN MENIKUNG: MENYOAL KARAKTER TOKOH PADA PERGESERAN KELAS SOSIAL Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya, Pengarang dan Masyarakat Heri Isnaini Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Jalan Menikung: Menyoal Karakter Tokoh pada Pergeseran Kelas Sosial. (Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya, Pengarang dan Masyarakat). Kajian ini mendeskripsikan struktur pembangun novel yang merepresentasikan pergeseran kelas sosial dalam masyarakat; dan adanya hubungan yang sangat erat antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra (Damono, 2010:3). Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Bahasa dalam karya sastra diciptakan oleh masyarakat sosial dalam komunitasnya. Pengarang sendiri adalah anggota kelompok dari masyarakat tersebut. Dalam sastra penggambaran masyarakat dari berbagai peristiwa dan penggambaran kehidupannya terekam dalam bentuk karya sastra yang mau tidak mau akan dikonsumsi oleh masyarakat secara berkesinambungan dan timbal balik. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam adalah novel lanjutan dari novel Para Priyayi. Novel ini membicarakan pergeseran kelas yang terjadi di dalam cerita tersebut. Pergeseran kelas dalam novel ini menandakan bahwa ada hubungan antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Kata Kunci: jalan menikung, pergeseran kelas, sosiologi sastra. PENDAHULUAN Jalan Menikung adalah novel lanjutan dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam. Novel ini berkisah tentang kehidupan generasi keempat keluarga Sastrodarsono. Di dalam novel ini, Umar Kayam banyak bercerita tentang problematika kelas sosial pada masyarakat Jawa kontemporer. Problematika tersebut mencerminkan pandangan pengarang dalam menyikapi realitas masyarakat yang terjadi. Pembahasan tentang problematika ini pada hakikatnya memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra, sastrawan, dan masyarakat. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 201 proses sosial-ekonomis belaka. Dalam pendekatan ini teks sastra tidak dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra (Damono, 2010: 3). Kenyataan sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan karya sastra mempunyai peranan penting dalam memberikan makna pada sebuah karya sastra. Karya sastra seringkali memotret zaman tertentu dan akan menjadi refleksi zaman tertentu pula. Karya sastra sebagai cerminan masyarakat pada suatu zaman bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab tidak mungkin seorang pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang melandasinya. Pradopo (2002: 59) mengemukakan bahwa karya sastra secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari tatanan masyarakat dan kebudayaannya. Semua itu berpengaruh dalam proses penciptaan karya sastra. Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (2002: 61) yang mengemukakan bahwa karya sastra lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya. Memperhatikan latar belakang pengarang novel Jalan Menikung, Umar Kayam merupakan pengarang yang cukup kreatif. Kekreatifannya itu membuatnya menjadi pengarang berkualitas. Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April 1932 adalah seorang keturunan priyayi. Dalam dunia sastra Umar Kayam termasuk dalam periode angkatan 50 (1950– 1970). Ia meraih gelar Doktor dari Cornell University, AS. Ia mengajar sebagai guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada sampai pensiun pada 1977. Karya tulisnya yang lain adalah Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen); Sri Sumarah dan Bawuk (novel); Mangan Ora Mangan Kumpul; Sugih Tanpa Banda; dan lain-lain. Keterlibatan pengarang 202 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dalam karya yang dibuatnya menjadi hal yang menarik untuk diteliti, yaitu mengenai hubungan antara karya, pengarang, dan masyarakatnya. Penjelasan tersebut membawa kita pada permasalahan mengenai hal-hal berikut. Pertama, bagaimana pergeseran kelas sosial digambarkan pada struktur novel? Kedua, bagaimana hubungan antara karya, pengarang, dan masyarakat yang tergambar pada novel berkaitan dengan problematika pergeseran kelas sosial? Hasil dari penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi hal-hal sebagai berikut. 1. Menunjukkan struktur pembangun novel yang merepresentasikan pergeseran kelas sosial dalam masyarakat; dan 2. Menunjukkan hubungan karya, pengarang, dan masyarakat yang tergambar pada novel berkaitan dengan problematika pergeseran kelas sosial HASIL DAN PEMBAHASAN Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dipergunakan oleh para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosial, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mutlak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Pada prinsipnya, menurut Lauren dan Swingewood dalam Endraswara (2004: 79), terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu; (1) Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, (3) Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Sementara Wellek dan Warren (1956: 84) membuat klasifikasi sebagai berikut: Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 203 sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Klasifikasi tersebut tidak banyak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (1964: 300-313) dengan esainya yang berjudul ―Literature and Society‖. Esai tersebut membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat yang secara keseluruhan merupakan bagan seperti berikut ini. 1. Konteks sosial pengarang 2. Sastra sebagai cermin masyarakat 3. Fungsi sosial sastra Lowenthal dalam Endraswara (2004: 88) mengungkapkan sastra sebagai cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercemin lewat teks. Cermin tersebut, dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya, pengarang secara nyata memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya tanpa terlalu banyak diimajinasikan. Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam hal ini, sebenarnya pengarang berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya. Oleh karena itu, masyarakat cenderung dinamis dan karya sastra juga akan mencerminkan hal yang sama. Ian Watt dalam Damono (2002: 5) merumuskan pendekatan sosiologi sastra melalui tiga cara: 1. Konteks pengarang. Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. 2. Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. 3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus pendidikan bagi masyarakat pembaca. 204 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Secara tersirat Howe dalam Damono (2010: 38) menyatakan bahwa novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik; tanpa hal itu, karyanya akan mentah. Gagasan tentang keterlibatan pengarang ini lebih ditekankan lagi oleh Max Adereth dalam Damono, (2010: 28) yang salah satu karangannya membicarakan literature engage (sastra yang terlibat). Dalam karangan itu Adereth mencoba menampilkan dan sekaligus mempertahankan gagasan tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam politik dan ideologi. Gagasan ini timbul sebagai akibat dari pengaruh ideologi modern terhadap kesusasteraan. Gagasan keterlibatan besumber pada dua hal pokok. Pertama, kita dihadapkan kepada kenyataan yang bergerak begitu cepatnya sehingga hampir tak ada kesempatan bagi kita untuk memahaminya. Kedua, krisis yang mendalam telah menimpa peradaban kita. Menurut Williams dalam Damono (2010: 37), ada tujuh macam cara yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke dalam novel. 1. Gagasan sosial disampaikan secara lugas, dengan kata lain dipropagandakan dalam novel. 2. Novel yang tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan dengan lugas, tetapi tetap jelas menunjukkan niat untuk memikat orang ke arah gagsan tertentu. 3. Gagasan dimasukkan ke dalam novel lewat perbantahan di antara tokohtokoh yang bermain di dalamnya. 4. Menyodorkan gagasan sebagai konvensi. 5. Memunculkan gagasan sebagai tokoh. 6. Melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi. 7. Menampilkan gagasan sebagai superstruktur. Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max Weber, seorang sosiolog kelahiran Jerman, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 205 ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas (secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik). Weber juga menambahkan bahwa dimensi ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi lainnya. Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi orang-orang dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya. Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas menengah ke bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk mendapatkan kemewahan selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial Dengan demikian, sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurangkurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu penelitian menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara, 2004:81). Sinopsis Para Priyayi Perjalanan Sastrodarsono berawal dari desa Kedungsimo. Ia dahulu bernama Soedarsono, anak seorang petani desa Atmokasan. Ayah Sastrodarsono sangat menginginkan anak-anaknya menjadi priyayi. Maka berbeda dengan anak-anak petani lain Sastrodarsono disekolahkan. Setelah lulus ia menjadi guru bantu sampai ia akhirnya menjadi guru di Wanagalih. Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Kemudian lahir tiga orang anak, mereka bernama Noegroho, Hardojo dan Soemini. Mereka disekolahkan di HIS, sekolah untuk priyayi. Anak-anak Sastrodarsono kemudian menjadi priyayi birokrat kelas atas. Noegroho menjadi seorang pejabat militer, Hardojo menjadi abdi dalem Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri seorang wedana. 206 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Wage, anak seorang penjual tempe langganan keluarga Sastrodarsono diangkat menjadi anak dalam keluarganya. Namanya kemudian menjadi Lantip. Ia sebenarnya adalah keponakan Sastrodarsono. Lantip adalah anak hasil hubungan luar nikah antara Soenandar dan Ngadiyem. Soenandar, sepupu Sastrodarsono terkenal sebagai orang yang bersikap brutal dan tidak mengerti tata krama. Ia meninggalkan Ngadiyem setelah menghamilinya. Di rumah Sastrodarsono Lantip diajarkan tata krama dan budaya priyayi, ia juga disekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar. Ketiga anak Sastrodarsono telah memiliki keturunan. Lantip kemudian diurus oleh Hardojo dan berkerabat dekat dengan Hari, anaknya. Runtutan masalah kemudian terjadi. Marie, anak Noegroho, terpaksa menikah dengan orang ‗rendahan‘ karena hamil di luar nikah. Hari terjerumus dalam organisasi komunis dan berbagai konflik lainnya. Di saat genting Lantip datang membantu menyelesaikan persoalan. Sinopsis Jalan Menikung Cerita ini adalah sekuel dari novel Para Priyayi yang pertama. Di dalam cerita yang kedua ini, nuansa Jawa sudah tidak lagi terlalu kental seperti di dalam cerita pendahulunya, Para Priyayi. Novel ini berkisah tentang kehidupan generasi keempat keluarga Sastrodarsono. Cerita dimulai dengan dipecatnya Harimurti, putra Hardojo, dari tempatnya bekerja karena keterlibatannya dengan partai komunis di masa lalu. Ini menyebabkan Harimurti melarang Eko, anaknya yang sedang studi di Amerika, untuk pulang. Akhirnya, Eko memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika. Ia menikah dengan Claire, seorang Yahudi-Amerika. Meskipun awalnya pernikahan mereka kurang disetujui oleh keluarga Eko karena perbedaan suku dan agama, akhirnya Eko direstui keluarganya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Asia, termasuk ke Jakarta, disponsori oleh kantor Eko dalam rangka urusan kerja. Di Jakarta, Tommi anak Nugroho ingin memugar makam keluarga Sastrodarsono dengan mewah. Hal ini ditentang oleh Harimurti dan Lantip, meskipun demikian, pemugaran makam tetap dilaksanakan dan berjalan dengan lancar. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 207 Kelas Sosial yang Tergambar pada Novel Ada tiga kelompok kelas sosial besar pada masyarakat Jawa yang tergambar pada novel, yaitu: priyayi, abangan, dan santri. Kelompok sosial yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin hubungan yang erat antarstatus. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap sebagai penguasa, sedangkan abangan, wong cilik, hanya menjadi pekerja kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua kaum tersebut. Konflik Antarkelas Konflik dan ketegangan antarkelas disebabkan adanya perbedaan ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas santri dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun diantara abangan dan priyayi juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi antara kedua kelas tersebut dengan para santri terlihat lebih intens. Para abangan, yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Allah, maka kelak manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Para abangan berpendapat bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka bukanlah dengan berdoa atau membaca Kitab Suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang baik. Para priyayi mengritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala, dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan. Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para abangan, yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para 208 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 priyayi mengatakan bahwa para abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas pekerja. Pergeseran Kelas Sosial Di dalam novel Jalan Menikung, dapat dilihat bagaimana Umar Kayam kembali menjelaskan pembagian kelas di Jawa. Dia menunjukkan bahwa teori trikotomi (priyayi, santri, abangan) sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan kondisi masyarakat Jawa dewasa ini. Pertama, garis-garis pembatas antara ketiga kelas tersebut sudah hilang, malahan banyak perbedaan yang muncul dalam kelas priyayi itu sendiri. Sebagai contoh, bandingkanlah karakter Harimurti dengan karakter Tommi. Hampir segala aspek dalam kehidupan mereka sangatlah berbeda satu sama lain. Tommi kaya, Harimurti sederhana; Tommi licik, Harimurti jujur; Tommi disegani, sedangkan Harimurti haknya diinjak-injak. Kedua, di Jalan Menikung, beberapa karakter kembali tidak dapat diklasifikasikan sebagai priyayi, santri, maupun abangan. Contohnya anak Eko dan Claire. Menurut titik pandang keluarga Eko, ia dapat dikategorikan sebagai priyayi, karena ia memang keturunan priyayi. Tetapi, bila dilihat dari perspektif keluarga Claire, ia bukanlah seorang priyayi. Ia adalah keturunan keluarga Levin, keluarga Yahudi-Amerika. Dapat dilihat bahwa teori trikotomi sudah tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Jawa kontemporer. Untuk menjelaskan fenomena ini, mungkin dibutuhkan lebih dari tiga kelas sosial. SIMPULAN Dari pembahasan tersebut dapat dilihat adanya hubungan yang sangat erat antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Hubungan ketiganya merupakan hubungan yang dapat berupa hubungan timbal balik. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Bahasa dalam karya sastra diciptakan oleh masyarakat sosial dalam komunitasnya. Sastrawan sendiri adalah anggota kelompok dari masyarakat tersebut. Dalam sastra, penggambaran masyarakat dari berbagai peristiwa dan penggambaran kehidupannya terekam dalam bentuk karya sastra yang mau tidak mau akan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 209 pula dikonsumsi oleh masyarakat secara berkesinambungan dan bertimbal balik. Fungsi sastra yang bisa saja berubah dari zaman ke zaman, berbeda-beda di berbagai macam masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin dipergunakan sebagai alat menyebarluaskan ideologi; di zaman dan masyarakat yang lain ia mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan; mungkin saja sastra dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi pembacanya, sebagai bekal menghadapi kehidupan; namun sastra mungkin juga sekadar dianggap bisa memberikan gambaran mengenai keadaan dan tata cara negeri-negeri jauh. Pembaca boleh dikatakan bebas menentukan kegunaan sastra bagi dirinya sendiri, pengarang, dan penerbit juga menentukan maksud buku yang ditulis dan diterbitkannya. Fungsi sastra yang senantiasa berubah itu menunjukkan bahwa berbagai sistem yang melingkungi sastra itu boleh dikatakan menentukan atau setidaknya berpengaruh besar terhadap sastra itu sendiri sebagai suatu sistem formal. Sebagai bagian dari sistem formal itu, novel Jalan Menikung karya Umar Kayam menunjukkan bahwa di dalam karya sastra ada hubungan di antara segi-segi keformalan karya itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa. Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat: Editum. Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa Kementerian Pelajaran Malaysia. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe, IL: The Free Press. 210 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Kayam, Umar. 2010. Jalan Menikung: (Para Priyayi 2). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan (Penerjemah Melani Budianta). Jakarta: Gramedia. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 211 MODEL PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN LOKAL Iis Ristiani Universitas Suryakancana Cianjur Pos-el: [email protected] ABSTRAK Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal. Kajian ini bertujuan sebagai upaya untuk memberikan alternatif mengatasi masalah yang dihadapi guru berkaitan dengan pemilihan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang memperhatikan karakter peserta pendidik serta pemanfaatan kearifan budaya lokal yang ada di sekitar mereka. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memacu para pelaku pendidikan untuk selalu beradaptasi dengan kebutuhan sesuai dengan tuntutan dan tuntunan yang ada. Salah satu tuntutan dan tuntunan tersebut adalah penyesuaian pembelajaran dengan standar yang telah ditentukan. Standar proses pembelajaran ini merupakan kriteria minimal tentang pelaksanaan pembelajaran pada program studi untuk memperoleh capaian pembelajaran lulusan. Semuanya ini akan tampak di dalam karakteristik, perencanaan, dan pelaksanaan pembelajaran yang mesti disiapkan oleh para pendidik, termasuk pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia. Menjawab tuntutan dan tuntunan yang ada, tulisan ini mencoba menghadirkan beberapa praktik pembelajaran hasil kajian pustaka dan kolaborasi pengalaman pembelajaran yang penulis lakukan. Pemilihan model pembelajaran ini tentu saja tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di perguruan tinggi tetapi juga dapat dilaksanakan oleh para pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Proses pembelajaran yang diciptakan oleh pendidik disarikan dari berbagai kebutuhan yang merujuk pada pengembangan karakter dengan basis budaya lokal sebagai jatidiri, kekhasan pembelajar. Model pembelajaran dikemas melalui penciptaan proses pembelajaran yang interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa/siswa sebagai pembelajar. Kata Kunci: model pembelajaran, pengembangan karakter, kearifan lokal PENDAHULUAN Dalam perkembangan kebangsaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, banyak hal yang perlu dibenahi dan disikapi positif oleh para pelaku pendidikan, khususnya para pendidik, dan pemerhati pendidikan. Hal yang perlu dibenahi tidak hanya pada siswa atau mahasiswa sebagai pembelajar, tetapi juga pada para pendidik dan komponen pembelajaran lain yang 212 banyak mewarnai proses Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pembelajaran itu sendiri, seperti kurikulum/bahan ajar, sarana prasarana, metode pembelajaran, sumber dan alat atau media pembelajaran. Hal yang tidak bisa dilupakan juga adalah lingkungan sebagai konteks pembelajar. Situasi dan kondisi pembelajar baik internal maupun eksternal adalah bagian yang perlu diperhatikan juga oleh para pendidik di dalam persiapan, pelaksanaan, maupun pengevaluasian suatu pembelajaran. Kaitannya dengan perkembangan kebangsaan, disadari bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka budaya, beragam bahasa, dan beragam corak adat istiadat. Meskipun berbeda-beda budaya, bahasa, dan adat istiadat semuanya dituntut untuk memiliki kesadaran nasional yang tinggi. Dengan kesadaran nasional yang tinggi, maka sikap-sikap negatif, merasa diri lebih daripada yang lain, munculnya perselisihan, percekcokkan, tawuran, dan lain-lain, semuanya dapat dihindari. Kesadaran nasional inilah yang perlu ditanamkan, dibina, dan dipupuk pada semua pembelajar. Pendidik adalah dalang utama yang harus menjadi yang terdepan di dalam mempersiapkan semuanya itu. Perkembangan dewasa ini, menuntut sikap kebangsaan yang tinggi dalam menghadapi segala hal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Diperlukan pembinaan karakter kebangsaan yang kuat pada para pelaku pendidikan. Dirasakan oleh para pemerhati pendidikan juga dilihat dari kenyataan yang ada, bahwa telah terjadi perubahan atau lebih tepatnya pergeseran budaya. Budaya seorang siswa pada pendidik, atau sebaliknya sikap pendidik terhadap siswa. Budaya saling menghormati, saling menghargai, sikap sopan santun, dan lain-lain sepertinya menurun. Sikap negatif tersebut, seperti menurunnya sikap sopan santun siswa kepada gurunya; menurunnya rasa hormat, taat dan patuh serta rasa segan kepada guru seakan memudar. Banyak juga yang terjadi sebaliknya, pendidik yang tidak menyadari fungsi, tugas pokoknya. Tentu saja hal ini merupakan masalah karakter yang perlu dibina, dibiasakan, dan dilatih oleh pelaksana pendidikan, para pemerhati pendidikan pada umumnya. Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat. Pemanfaatan hasil teknologi menuntut para pelaku pendidikan untuk lebih bisa mengimbangi. Bisa menyesuaikan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pembelajaran dengan konteks 213 perkembangan dan tuntutan kebutuhan yang ada. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, guru/dosen sebagai pendidik khususnya perlu mempersiapkan pembelajaran dengan lebih matang. Menentukan metode pembelajaran yang tepat dan efektif, dan menyikapi semuanya itu, pendidik memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan peran anak didik sebagai manusia sejati. Mendikbud Anis Baswedan dalam acara Mata Najwa @Metro_TV (11/11) mengatakan bahwa: Pendidikan adalah tentang manusia dan interaksi antarmanusia. Karena itu, konsentrasi ke depan harus pada pendidiknya. Pendidiknya itu sendiri adalah guru dan orang tua. Menurutnya kedua komponen itu sekarang sering terlupakan. Selain itu, kurikulum dan buku disiapkan untuk menstrukturkan interaksinya agar interaksi itu dapat dilakukan di semua tempat dengan baik.Intinya tetap pada gurunya. Siswa bisa menyukai sebuah mata pelajaran karena metode mengajar guru yang menyenangkan. Sebaliknya, di sisi lain siswa yang menyenangi suatu pelajaran tertentu, bisa jadi menjadi tidak suka pada pelajaran tersebut karena metode yang digunakan gurunya tidak menyenangkan. Karena itu, ia mengatakan bahwa fokus pendidikan adalah pada penyiapan pendidiknya. Pendidik di sekolah adalah guru, sedangkan pendidik di rumah adalah orang tua. Berbeda dengan orang tua, guru sebagai pendidik itu harus dipersiapkan. Karenanya bagi guru itu ada pelatihannya. Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini mencoba memaparkan berbagai konsep penting berkenaan dengan Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Budaya Lokal. Topik ini diangkat sebagai sebuah upaya guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi guru dengan menyajikan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia khususnya, yang memperhatikan karakter peserta pendidikan serta pemanfaatan kearifan budaya lokal yang ada di sekitar mereka. Untuk itu, dalam tulisan ini diuraikan pikiran-pikiran hasil telaahan atas pertanyaan: 1) Apa dan bagaimana memilih sebuah model pembelajaran?; 2) Bagaimana menyusun sebuah model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia?; 3) Karakter apa yang dapat dikembangkan dan dibina melalui pemilihan model pembelajaran tersebut?; 4) Bagaimana mengangkat kearifan lokal di dalam penerapan model pembelajaran tersebut? Berikut paparan mengenai hal yang dimaksud. 214 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pemilihan dan Penyusunan Sebuah Model Pembelajaran Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat kita akan menyusun sebuah model pembelajaran, antara lain: 1) apa tujuan yang akan dicapai dari pembelajaran tersebut?; 2) Materi apa yang akan disampaikan; 3) Siapa yang akan belajar?; 4) Bagaimana situasi dan kondisi/konteks pembelajarannya? Oleh karena itu, berbicara sebuah model pembelajaran adalah berbicara sebuah lingkungan pembelajaran yang akan diciptakan. Sebagaimana yang telah penulis kemukakan dalam disertasi penulis bahwa ―menciptakan sebuah model pembelajaran merupakan kreativitas seni belajar dan seni mengajar seorang guru atau siswa dalam kegiatan belajar mengajar‖ (Ristiani, 2009:11). Berdasarkan objek penyelidikan, berbicara model pembelajaran dari sudut filsafat pendidikan berarti berbicara sesuatu yang praktis atau produktif. Menurut Mudyaraharjo (2002:30), dikatakan praktis karena tujuan penciptaan model pembelajaran ini membicarakan perbuatan guru dan siswa serta keadaan karakter yang dihasilkan. Dikatakan produktif karena tujuan penciptaan model itu adalah adanya objek yang dihasilkan, yakni perbuatan dan kualitas objek itu sendiri. “Model of teaching are really models of learning‖ (model pengajaran sama dengan model pembelajaran) (Joyce dan Weil, 1992: 1). Lebih lengkapnya ia menjelaskan Models of teaching are really models of learning. As we help students acquire information, ideas, skills, values, ways of thinking, and means of expressing themselves, we are also teaching them how to learn. In fact, the most important long-term outcome of instruction may be the students increased capabilities to learn more easily and effectively in the future, both because of the knowledge and skill they have acquired and because they have mastered learning process. (Model pengajaran sesungguhnya adalah model pembelajaran, karena kita membantu para siswa memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai-nilai, pola pikir yang bertujuan untuk mengekspresikan dirinya sendiri, juga mengajari mereka bagaimana caranya belajar. Fakta menunjukkan hasil pembelajaran jangka panjang dalam pengajaran memungkinkan meningkatkan kemampuan para siswa untuk belajar lebih mudah dan lebih efektif di masa yang akan datang, karena kedua aspek, pengetahuan dan keterampilan yang mereka raih, sehingga mereka menguasai proses pembelajaran). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 215 Pada pernyataan lain, Joyce & Weil (1992: 4) juga menyebutkan bahwa model mengajar (model of teaching) adalah “a plan or pattern that we can use to design face-to-face teaching in classroom or tutorial setting and shape instructional materials-including books, films, tapes, computer-mediated programs, and curricula (longterm courses of study)”.(―Model pengajaran adalah sebuah rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang pembelajaran langsung di dalam kelas atau di lapangan secara tutorial dan membentuk materi pengajaran seperti buku, film, tape, program komputer, dan kurikulum (belajar jangka panjang‖). Ristiani (2009: 20) menjelaskan bahwa dari pernyataan Joyce dan Weil tersebut dapat dilihat bahwa ―sebuah model pengajaran dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, mengatur materi pelajaran, juga dalam menyusun kurikulum‖. Pendapat Joyce & Weil ini sama dengan apa yang disampaikan oleh Brady (1985: 7) yang menjelaskan ”A models of teaching is defined as a blueprint which can be used to guide the preparation for and implementation of teaching. Any model selected for teaching will reflect in a dynamic way the values and perceptions of the selector.‖ (―Model pengajaran diartikan sebagai kisi-kisi yang dapat digunakan untuk membimbing persiapan dalam implementasi pengajaran. Ada model yang diseleksi untuk pengajaran yang akan merefleksikan pola dan dinamika nilai-nilai serta persepsi penyeleksi‖). Pernyataan Brady (1985: 7) menurut Ristiani (2009: 20) ―menunjukkan bahwa model pengajaran itu merupakan sebuah rencana atau pedoman yang dapat digunakan guru sebagai persiapan pelaksanaan pengajaran. Karena itu model yang dipilih dapat mencerminkan sebuah cara/arah yang lebih dinamis dari guru sebagai pemilih model‖. Hal yang perlu dipersiapkan dalam menyusun sebuah model pembelajaran, menurut Joyce (1992) dalam buku Models of Teaching yang juga dijelaskan oleh Sukmadinata (2002) seperti yang disebutkan Ristiani (2009: 13-14) dikatakan bahwa sebuah model pembelajaran itu mengandung komponen-komponen seperti: sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem 216 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pendukung, instruksional, dan dampak pengiring. Berikut penjelasan yang dimaksud. a. Sintaks adalah serangkaian tahapan dalam suatu model pembelajaran. b. Sistem sosial adalah menunjukkan peranan hubungan guru-siswa dan nilai-nilai yang mengikat mereka dalam pembelajaran. c. Prinsip reaksi adalah gambaran sikap guru dalam menghargai dan merespon siswa. d. Sistem pendukung adalah pemanfaatan sarana dan prasarana/fasilitas yang mendukung sehingga siswa mudah belajar. e. Instruksional adalah dampak yang dirasakan secara langsung. f. Dampak pengiring adalah dampak yang dihasilkan secara tidak langsung. Dari model pembelajaran yang dipilih atau ditentukan, seorang pendidik perlu memperhatikan pendekatan yang digunakan. Dengan kata lain, menentukan sebuah model pembelajaran termasuk di dalamnya memikirkan pendekatan pembelajaran, metode, dan teknik pembelajaran yang akan digunakan. Menurut Joyce dan Weil (1992) ada tiga hal yang perlu disiapklan dalam penyusunan model yakni skenario, orientasi model, dan tahapan model mengajar. Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran Dalam memilih dan menyusun sebuah model pembelajaran, tentu saja tidak bisa kita dilepaskan dari kurikulum. Para pendidik, termasuk juga pendidik/guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah, pada masa sekarang ini telah menggunakan Kurikulum 2013 (Kurtilas). Dalam kaitannya dengan proses belajar, Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran dengan pendekatan saintifik. Menurut para pengembang kurikulum 2013, pendekatan saintifik adalah pendekatan ilmiah yang merupakan titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kemendikbud, Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan). Dengan pendekatan ilmiah, seorang pembelajar diarahkan pada kegiatan untuk mengedepankan penalaran induktif. Dalam pelaksanaannya, penalaran Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 217 induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam hubungan materi/kajian yang lebih luas. Selain itu, dalam pembelajaran berbasis ilmiah, para pembelajar didorong untuk menemukan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika dan penalaran tertentu; bukan khayalan, dan bukan pula dongeng semata. Dalam pendekatan saintifik, siswa didorong untuk berpikir kritis, analitis sehingga mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan, dan mengaplikasikan masalah yang ada. Dengan pendekatan ini juga, siswa dilatih untuk dapat berpikir hipotetik dalam melihat sebuah persamaan atau perbedaan yang dikaji. Karenanya, kajian yang dilakukan disesuaikan dengan kenyataan yang ada (fakta empiris). Apabila proses belajarnya dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang berbasis pada fakta empiris, maka hasil belajar yang diharapkan, siswa mempunyai daya nalar, dan daya tanggap yang tinggi. Dengan daya yang dilatih terus, yang kemudian dimilikinya menghasilkan pembelajar yang produktif, kreatif, dan inovatif, serta efektif dengan penguasaan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Penguasaan atas terpadunya ketiga ranah tersebut, diharapkan mampu melahirkan manusia-manusia yang memiliki keseimbangan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan menjadi manusia yang memiliki kecakapan untuk hidup layak (hard skills). Langkah pembelajaran yang dilakukan dalam permbelajaran berbasis pendekatan ilmiah adalah dengan kegiatan mengamati, menanyakan, menalar, mencoba, dan membentuk jejaring. Kegiatan mengamati dilakukan dengan kegiatan melihat, membaca, mendengar, dan menyimak. Kegiatan menanyakan dilakukan dengan bertanya jawab, diberikan pertanyaan atau pernyataan yang meminta penjelasan. Kegiatan menalar dilakukan dengan pencermatan fakta yang ada baik dengan penalaran induktif. Kegiatan mencoba dilakukan dengan melatih siswa untuk melakukan uji coba sesuai materi pelajaran yang sedang dikaji. Kegiatan membentuk jejaring dilakukan dengan melatih siswa untuk mampu membentuk hubungan sebab antarfenomena yang ada. 218 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 akibat, dan menghubungkan Pendekatan saintifik ini dilakukan dengan pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning), pendekatan pembelajaran berbasis masalah (Problem BasedLearning), dan pendekatan pembelajaran penemuan (Discovery Learning). Di perguruan tinggi, menurut Permendikbud Nomor 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 11, ayat (1) disebutkan bahwa proses pembelajaran dikemas melalui penciptaan proses pembelajaran yang interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa/siswa sebagai pembelajar Pengembangan Karakter melalui Penanaman Nilai-nilai Sebagaimana diketahui, bahwa pemilihan model pembelajaran akan menentukan bentuk dan proses pembelajaran yang dilakukan. Pendekatan scientific melalui pendekatan pembelajaran berbasis proyek, pendekatan pembelajaran berbasis masalah, dan pendekatan pembelajaran penemuan dilaksanakan dengan tujuan agar menghasilkan para pembelajar yang memiliki keseimbangan kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan manusia yang memiliki kecakapan untuk hidup layak (seimbang antara soft skills dan hard skills). Guna memetik hasil pembelajaran yang mampu melahirkan manusia yang baik dan cakap tersebut, maka perlu dipahami karakter-karakter yang harus dikembangkan di dalam pembelajarannya. Untuk itu, harus diketahui oleh para pendidik sejumlah karakter yang perlu dilatih dan dikembangkan, serta cara pengembangan pembelajarannya. ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖ (Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/UU Sisdiknas). Merujuk pada tujuan pendidikan nasional di atas dan tujuan dari Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 219 digunakannya pendekatan saintifik dalam pembelajaran, ada banyak karakter yang dapat digali, dibina, dan dikembangkan pada para pembelajar. Karakter menurut Hasan, dkk. (2010: 3) adalah ―watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.‖ Kaitannya dengan karakter yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran, adalah dimaknai dengan ditanamkannya nilai-nilai yang perlu dimiliki para pembelajar. Di negara Indonesia, nilai-nilai itu bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam pendidikan sebagai upaya pengembangan karakter menurut Hasan, dkk. (2010: 9-10) adalah sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 220 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komuniktif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18. Tanggung-jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa Dengan memahami sejumlah nilai yang perlu ditanamkan pada para pembelajar sebagai usaha untuk pembinaan dan pengembangan karakter tersebut, maka pendidik harus memahami dan harus mampu mengemas sebuah pembelajaran yang dipersiapkan dan dilaksanakan untuk itu. Untuk itulah, pentingnya memahami model pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang dipersiapkan, seorang pendidik sudah mencanangkan karakter apa yang akan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 221 dikembangkan dalam pembelajarannya tersebut dengan memikirkan terlebih dahulu Sintaks, Sistem Sosial, Prinsip Reaksi, Instruksional/dampak yang dirasakan secara langsung, serta dampak pengiring/dampak penyerta dari model yang digunakannya. Model Pembelajaran Berbasis KearifanLokal Hasan, dkk. (2010:5) mengatakan bahwa ―Pendidikan adalah suatu upaya sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya‖. Menurut Said (dalam : http://buginese.blogspot.com/2007/09/kearifan-lokaldalam-sastra-bugis.html) ―Kearifan lokal atau kebijaksanaan setempat (local wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious), merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka‖. Kearifan lokal dimaknai sebagai segala budaya yang ada di suatu masyarakat, baik berwujud ide, aktivitas, maupun berwujud bendabenda. Ristiani (2011: 8) menyebutkan bahwa ―kearifan lokal ini berkaitan dengan nilai-nilai yang dipegang oleh kultur lokal. Kultur lokal itu sendiri dapat meliputi wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional‖. Menurut Sarono, kultur lokal (budaya lokal) merupakan ―kekuasaan dan potensi riil yang dimiliki suatu daerah sebagai aset daerah yang mendorong pengembangan dan pembangunan daerah‖ (Oyos Sarono H.N, pembaca sastra, pemulung kata-kata. Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/10/sastramenggali-nilai-baru-budaya-lokal.html). Sebagai contoh di Kabupaten Cianjur, potensi riil yang merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Cianjur, antara lain: 1. Sistem teknologi dan alat produksi (senjata kujang, lentera guntur, beras, tauco, manisan) 222 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 2. Sistem Pengetahuan (filosofi yang melambangkan aspek keparipurnaan, yaitu Maos (membaca), Ngaos (mengaji Al-Qur‘an), Mamaos (menembang, bersenandung tembang Sunda/Cianjuran), Maenpo (silat), dan Ngibing (menari tradisional). 3. Mata Pencaharian (pembibitan ayam peluang) 4. Sistem Religi (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah) 5. Sistem Kemasyarakatan (perkawinan adat pengantin Sunda dan pada Upacara Prosesi Pernikahan) 6. Sistem Bahasa (Mulok Basa, pagelaran lomba sastra sajak Sunda, ngadongeng, presenter berbahasa Sunda ) 7. Sistem Kesenian (Cianjuran) Pemahaman kearifan lokal sebagai dasar pertimbangan dalam memilih dan mengorganisasikan bahan pembelajaran senantiasa dipadukan dengan pemilihan model pembelajaran yang tepat, sesuai bahan atau materi ajar. Sebagai contoh, kita mempersiapkan sebuah model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia berbasis kearifan lokal, misalnya ―Model Belajar Kelompok dalam Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui Pendekatan Berbasis Masalah‖. Hal yang harus disiapkan untuk menyusun model tersebut adalah: 1. Skenario Kegiatan yang dipersiapkan oleh pendidik untuk melaksanakan sebuah pembelajaran. Mulai menentukan kompetensi yang akan dicapai, indikator pembelajarannya, kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir yang akan dilakukan selama pembelajaran. 2. Orientasi Model Adalah pengkajian terhadap teori yang dijadikan sebagai rujukan oleh pengembang model tersebut. 3. Tahapan Model Mengajar Adalah tahapan-tahapan yang dilakukan mulai sintaks sampai dampak pengiringnya. Karakter yang dikembangkan dalam Model Belajar Kelompok dalam Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui Pendekatan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 223 Berbasis Masalah tersebut adalah sifat Religius, Jujur Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Rasa Ingin Tahu, Cinta Tanah Air, Bersahabat/ Komuniktif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Tanggung-jawab. Kearifan lokalnya itu sendiri merupakan bahan-bahan yang dikaji para pembelajar dfi dalam mengembangkan topik-topik tulisan yang ditugaskan. Misalnya dengan pendekatan berbasis masalah tersebut, siswa bersama timnya mengkaji hal berkenaan dengan sistem kemasyarakatan, sistem pencaharian, sistem religi, atau sistem bahasa, dan lain-lain. Dalam kegiatan ini, tentu para pembelajaran sudah mendapat petunjuk untuk melakukan langkah-langkah kegiatannya. SIMPULAN Di dalam mempersiapkan sebuah pembelajaran, tentu saja seorang pendidik harus memikirkan target atau tujuan yang diharapkan. Pencapaian tujuan pembelajaran tidak terlepas dari komponen pembelajaran lainnya, seperti materi ajar, pendekatan pembelajaran, metode dan teknik pembelajarannya, sarana dan prasarana yang akan digunakan. Dalam kaitannya itu, seorang pendidik dapat mempersiapkan pembelajaran dalam sebuah kemasan model pembelajaran. Pemilihan model didasarkan pada kebutuhan siswa dan konteks atau fakta empiris yang ada. Sebagai contoh, bahan yang dikaji di dalam pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan konteks yang ada di sekitar siswa sebagai pembelajar. Selain itu, pada saat kita memikirkan model pembelajaran sekaligus kita memikirkan pula pendekatan pembelajarannya. Pendekatan pembelajaran yang digunakan akan turut menentukan bagaimana keberlangsungan sebuah pembelajaran. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional kita, maka pembelajaran yang disiapkan itu harus dapat menggali, membina, dan mengembangkan nilai-nilai baik sebagai karakter yang perlu ditanamkan dan dipupuk pada para pembelajar. Sebagai contoh kita mengemas sebuah Model Belajar Kelompok dalam Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui Pendekatan Berbasis Masalah. Tentu saja, masih banyak model-model mengajar lain yang 224 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dapat dikembangkan. Joyce dan Marsha Weil menyebutkan sejumlah model pembelajaran yang dapat dikembangkan di dalam kelas. Ia mengelompokkan ke dalam empat rumpun besar, yaitu: Model Informasi, Model Personal, Model Interaksi Sosial, dan Model Perilaku. Cakupan dari keempat rumpun model tersebut, yakni Model Pembelajaran Kognitif, Model Pembelajaran Inkuiri, Model Pembelajaran Presentasi, Pengajaran Non-Direktif, Latihan Kesadaran , Sinektik, Sistem Konseptual, Belajar Kelompok, Pertemuan Kelas, Inkuiri Sosial, Model Laboratorium, Model Yurisprudensi, Bermain Peran, Simulasi Sosial, Pengajaran Berprograma, Interactive Teaching, dan Microteaching. Semua model tersebut dapat dikembangkan dengan memperhatikan pendekatan-pendekatan yang ada. Dari model yang dikemas, selanjutnya dapat dipersiapkan rencana pembelajarannya. DAFTAR PUSTAKA Brady, Laurie. 1985. Models and Methods of Teaching. Australia: PrenticeHall. Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Joyce, Bruce & Marsha Weil.1992. Models of Teaching. USA: Allyn and Bacon. Kemendikbud, Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.Konsep Pendekatan Scientific. PPT-2.1 Mendikbud @anisbaswedan dalam acara Mata Najwa @Metro_TV (11/112014) Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosdakarya. Permendikbud Nomor 49 tahun 2014. Ristiani, Iis. 2009. Peningkatan Kemampuan Menulis Narasi melalui Model Pembelajaran Teknik Visual-Auditif-Taktil. Bandung: UPI. Ristiani, Iis. 2011. Materi Seminar. Pemahaman Metode Pengajaran dan Kearifan Lokal dalam Peningkatan Profesionalisme Guru. Disampaikan pada Seminar Guru di Kabupaten Cianjur. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 225 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional/UU Sisdiknas. http://buginese.blogspot.com/2007/09/kearifan-lokal-dalam-sastra-bugis.html. 2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis. http://ulunlampung.blogspot.com/2007/10/sastra-menggali-nilai-baru-budayalokal.html). Oyos Sarono H.N, pembaca sastra, pemulung kata-kata. 226 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Said. KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM “PRIANGAN SI JELITA” RAMADHAN K.H. Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik Ika Mustika STKIP Siliwangi, Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Kearifan Lingkungan dalam “Priangan Si Jelita” Ramadhan K.H. Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik. Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan manusia dengan mendayagunakan imajinasi yang terdapat dalam diri pengarangnya. Di dalamnya ada gagasan, ide-ide, pengalaman juga amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Diharapkan pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Analisis karya sastra dengan perspektif ekokritik bermaksud membongkar hubungan antara sastra dengan lingkungan. Dengan cara seperti itu gagasan, ide-ide, pengalaman juga pesan moral yang terdapat pada karya sastra dapat dimanfaatkan untuk menggugah kesadaran dan pandangan pembaca akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam dan lingkungan. Model analisis karya sastra berperspektif ekokritik digunakan sebagai landasan dalam melacak nilai-nilai kearifan lingkungan kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan. K.H. Kata kunci: kumpulan puisi, analisis, ekokritik. PENDAHULUAN Dewasa ini keberadaan sastra mulai disikapi secara ekosentris yakni sebagai artefak budaya yang memusatkan perhatian terhadap lingkungan secara keseluruhan yang menempatkan manusia sebagai salah satu entitas yang memiliki kedudukan yang sama dalam kehidupan alam semesta untuk bertanggung jawab secara moral terhadap seluruh kehidupan lain di alam semesta. Sekaitan dengan itu, analisis karya sastra berperspektif ekokritik bermaksud melacak hubungan antara karya sastra dengan lingkungan. Sukmawan (2014) mengemukakan dua model kajian ekokritik, yakni model kajian berperspektif sastra lingkungan dan model kajian berperspektif etis. Model kajian ekokritik berperspektif sastra lingkungan dapat mengontruksi paras sastra (kearifan) lingkungan dengan fokus kajian muatan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 227 narasi pastoral dan narasi apokaliptik. Sementara itu model kajian ekokritik berperspektif etis difokuskan pada muatan sikap hormat terhadap alam (respect for nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature), sikap solidaritas terhadap alam (cosmic solidarity), sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), serta sikap tidak mengganggu kehidupan alam (no harm). Tulisan ini menggunakan model kajian ekokritik berperspektif etis sebagai acuan dalam mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lingkungan kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan K.H. Dengan cara seperti itu pesan-pesan moral tentang kearifan lingkungan yang termuat dalam karya sastra dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran akan lingkungan. Sikap ―sadar lingkungan‖ akan berimplikasi terhadap perubahan cara pandang manusia terhadap lingkungan dengan menghargai lingkungan sebagai bagian dari alam semesta yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya bukan malah sebaliknya. PEMBAHASAN Sekilas tentang Ekokritik Istilah Ecocriticism pertama kali dicetuskan oleh William Ruekert pada tahun 1978, membahas isu-isu tentang alam dan lingkungan. Cheryll Glotfelty menyatakan bahwa alam bukanlah fokus utama kajian ekokritik melainkan juga perbatasan, hewan, kota, wilayah geografis tertentu, sungai, gunung, padang pasir, teknologi, sampah, dan tubuh. Dengan demikian ekokritik mencakup berbagai isu yang melibatkan seluruh konteks kehidupan baik yang menyangkut unsur luar maupun unsur dalam manusia. Ekokritik mempunyai keyakinan bahwa seluruh kehidupan yang ada di dunia memiliki keterkaitan, saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga untuk mempelajari lingkungan hidup akan melibatkan pemahaman tentang bagaimana manusia mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungan(Dreese, 2002:4). Lebih lanjut Garrard (Juliasih, 2012) mendefinisikan ecocriticism sebagai studi tentang hubungan antara manusia dan non-manusia, sejarah manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan 228 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 lingkungannya. Kajian ekologi bukan sebatas melihat harmonisasi dan stabilitas lingkungan melainkan untuk melihat sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Dari uraian tersebutdapat disimpulkan kajian ekokritik dalam karya sastra akan melacak hubungan antara karya sastra dan lingkungan dengan menekankan perhatian pada sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan akan berwujud pada prinsip-prinsip moral berupa sikap hormat terhadap alam (respect for nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature), sikap solidaritas terhadap alam (cosmic solidarity), sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), serta sikap tidak mengganggu kehidupan alam (no harm) (Sukmawan, 2014). Buell (Sukmawan,1995) mengemukakan untuk dapat dikatakan sebagai sastra ekokritik terdapat sejumlah kriteria yang harus diperhatikan, yaitu (1) lingkungan bukan-manusia hadir tidak hanya sebagai sebuah bingkai tetapi kehadiran yang menunjukkan bahwa sejarah manusia diimplikasikan dalam sejarah alam, (2) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satusatunya kepentingan yang sah, (3) akuntabilitas manusia terhadap lingkungan merupakan bagian dari orientasi etis teks, dan (4) beberapa pengertian lingkungan adalah sebagai suatu proses bukan sebagai pengertian yang konstan atau suatu pemberian yang paling tidak tersirat dalam teks. Dengan demikian,kajian ekokritik menempatkan karya sastra sebagai media representasi sikap, pandangan, dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat beralasan mengingat karya sastra tumbuh, berkembang dan bersumber dari lingkungan sekitar termasuk lingkungan alam. Seperti disampaikan Teeuw (1983) sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya. Analisis Karya Sastra Berperspektif Ekokritik Mengacu paparan yang dikemukakan di atas,ekokritik merupakan studi tentang hubungan antara sastra dengan lingkungan. Alam dan lingkungan telah lama menjadi sumber inspirasi pengarang dalam menuangkan gagasan, ide-ide yang diekspresikan dengan menggunakan bahasa pilihan yang elok. Ramadhan K.H. salah satu dari sejumlah sastrawan yang mengumandangkan perlunya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 229 manusia menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan lingkungan. Kepedulian Ramadhan K.H terhadap lingkungan sekitarnya telah menempatkan alam dan lingkungan sebagai sumber inspirasi yang tiada pernah ada habisnya seperti yang tertuang dalam kumpulan sajak Priangan si Jelita. Kumpulan sajak Priangan si Jelita (2003) dipandang sebagai ikon kepenyairan Ramadhan K.H. yang lahir di Bandung 16 Maret 1927, meninggal 16 Maret 2006. Buku tersebut mendapat hadiah sastra dari BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) untuk sajak-sajak terbaik tahun 19561958. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.Priangan si Jelita merupakan kumpulan sajak yang didalamnya memuat tiga kelompok sajak. Akan tetapi ketiga kelompok sajak tersebut beranak pinak. Kelompok pertama berjudul Tanah Kelahiran memuat tujuh sajak yang ditandai dengan nomornomor 1,2,3,4,5,6, dan 7. Kelompokkedua berjudul Dendang Sayang memuat tujuh sajak dengan tanda-tanda yang sama, dan kelompok ketiga berjudul Pembakaran memuat tujuh sajak dengan ciri yang sama pula. Selain dalam bentuk kumpulan sajak, Ramadhan juga menulis esai, novel dan biografi. Diantaranya Novel Royan Revolusi (1970), Kemelut Hidup (1976), Keluarga Permana (1978), Ladang Perminus (1990), dan biografi Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981), E.A. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1988), Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan saya (bersama G. Dwipayana, 1988) Kepiawaian Ramadhan dalam menyajikan tulisan dengan indah dan menarik menghantarkan beliau meraih berbagai penghargaan. Buku-buku biografi tokoh yang ditulis Ramadhan K.H. menjadi perbincangan banyak orang dan referensi sejarah. Paparan berikut mengkaji kumpulan sajak Priangan si Jelita Ramadhan K.H.untuk mengetahui bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap lingkungan. 230 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Representasi Sikap Hormat Terhadap Alam Sikap hormat terhadap alam merepresentasikan bahwa manusia mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam. Bentuk penghargaan terhadap alam diwujudkan melalui sikap membiarkan alam hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya, seperti penggalan sajak berikut. Hijau tanahku, hijau tago, dijaga gunung-gunung berombak Dan mawar merah disobek di tujuh arah, dikira orang menyanyi, lewat di kayu kecapi, Hijau tanahku Hijau tago, Dijaga gunung-gunung berombak Dan perawan sendirian Disamun di tujuh jalan Dikira orang menyanyi Tangiskan lagu kinanti Hijau tanahku Hijau tago, Dijaga gunung-gunung berombak (Tanah Kelahiran -5) Kutipan sajak di atas diawali dengan bait hijau tanahku, hijau tago, dijaga gunung-gunung berombak. Terjadi pengulangan yang sama pada bait ketiga dan kelima. Seolah memberikan penegasan makna tentang pentingnya menjaga lingkungan. Sajak tersebut juga merepresentasikan bahwa alam sebagai objek yang dibiarkan hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah. Alhasil, alam menjadi pemandangan yang sangat indah. Keindahan alam tercermin melalui untaian kalimat“hijau tanahku”yang memiliki makna tanah kelahiranku merupakan tanah yang sangat subur dan kalimat “dijaga gununggunung berombak” artinya gunung-gunung yang ada di tanah kelahiranku Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 231 merupakan gunung-gunung dengan pepohonan yang subur pula. Hijau dan suburnya tanah kelahiran dalam sajak di atas terwujud karena adanya kesadaran manusia bahwa alam mempunyai hak untuk dihormati melalui cara dijaga dan dipelihara keberadaaannya. Adapun gambaran alam pada sajak di atas mengacu pada alam priangan. Diksi yang menunjukan hal tersebut adalah ―kecapi” dan “kinanti ―. Kecapi mengacu pada alat musik petik yang berasal dari Jawa Barat. Kinanti mengacu pada pupuh kinanti yakni bentuk puisi tradisional bahasa sunda bertemakan penantian. Sajak di atas merefleksikan keindahan alam priangan terwujud karena adanya kesadaran moral manusia dalam menjaga dan melestarikan alam lingkungan. Kesadaran lingkungan ini tentu saja harus tetap terpelihara secara utuh agar dapat dinikmati secara lestari. Representasi Sikap Tanggung Jawab Moral Terhadap Alam Sikap tanggung jawab moral merepresentasikan manusia sebagai bagian integral dari alam bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga lingkungan. Tanggung jawab tersebut bukan hanya bersifat individual melainkan juga bersifat kolektif. Hal ini berarti kelestarian bahkan kerusakan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama seluruh manusia. Representasi sikap tanggung jawab moral terhadap alam tercermin pada untaian sajak berikut. Siapa cinta anak, Jangan jual Tanah sejengkal. Siapa cinta tanah air, Jangan lupakan Bunda meninggal. Siapa ingat hari esok, Mesti sekarang Mulai menerjang. (Pembakaran – 4) Kutipan sajak tersebut diawali dengan kata tanya ―Siapa”. Bahkan kata tanya siapa mengawali setiap bait pada sajak. Kata tanya siapa pada sajak di atas secara implisit merepresentasikan kehadiran subjek manusia. Artinya 232 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 setiap manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap alam/lingkungan. Lingkungan dalam pemahaman ekokritik bukan hanya merujuk kepada hal yang bersifat fisikal melainkan juga menjangkau makna yang bersifat mental maupun spiritual.Aspek lingkungan yang dihadirkan secara mental tercermin melalui ―Siapa cinta anak Jangan jual Tanah sejengkal‖ dan ―Siapa cinta tanah air, Jangan lupakan Bunda meninggal”Sementara itu, aspek lingkungan secara spiritual dihadirkan melalui ―Siapa ingat hari esok. Mesti sekarang Mulai menerjang‖. Perwujudan sikap tanggung jawab secara mental termanifestasi bahwa manusia harus memiliki kesadaran untuk mencintai tanah air sebagai tanah kelahiran. Tanah air digambarkan sebagai ―tempat‖ dimana kita hidup dan kita akan mati. Sementara itu perwujudan sikap tanggung jawab secara spiritual termanifestasi bahwa tujuan akhir kehidupan manusia adalah mencapai kebahagiaan yang hakiki yakni kebahagiaan di akhirat,maka barang siapa yang memanfaatkan waktu yang singkat di dunia dengan melakukan halhal yang bermanfaat, pastilah akan selamat dalam kehidupan akhirat. Representasi Sikap Solidaritas terhadap Alam Sikap solidaritas terhadap alam merepresentasikan sikap bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dengan alam. Manusia tidak lebih baik dari non-manusia (alam) sehingga semua pihak berkedudukan sejajar. Kenyataan ini menumbuhkan perasaan solidaritas dalam diri manusia, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesame makhluk hidup lainnya untuk kemudian secara bersama-sama menyelamatkanalam dan lingkungan. Penggalan sajak berikut menunjukkan sikap dominasi manusia terhadap alam. Manusia menempatkan dirinya sebagai pihak yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya dalam hal ini hewan (kijang). Manusia seolah memiliki kewenangan untuk melakukan perburuan hewan. Dampak perburuan hewan yang dilakukan manusia secara terus-menerus akan menyebabkan hilangnya keseimbangan alam.Untaian kalimat yang menunjukkan hal tersebut “kijang jadi buruan, ladang kesepian”. Kijang jadi buruan, ladang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 233 kesepian (Malam hitam gemetar.) Kijang Minta pengurbanan, tanda kejantanan (Bulan perak memudar.) (Dendang Sayang – 6) Sajak tersebut merefleksikan bahwa pengabaian terhadap alam akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada ketidakseimbangan terhadap lingkungan. Oleh karena itu, penanaman sikap solidaritas terhadap alam merupakan sebuah upaya terciptanya keseimbangan antara alam, manusia, hewan, dan tumbuhan. Keseimbangan ini tentu saja dibutuhkan untuk mencapai kedamaian hidup. Sikap solidaritas terhadap alam juga mendorong manusia untuk mengambil kebijakan yang prolingkungan sehingga akan menentang setiap tindakan yang merusak alam. Representasi Sikap Kasih Sayang dan Kepedulian Terhadap Alam Sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam merepresentasikan sikap bahwa setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, dan dirawat. Penggalan sajak berikut menggambarkan suasana alam priangan yang dilindungi, dipelihara, dan dirawat keberadaaannya sehingga menggemakan suasana lingkungan yang nyaman. Seruling di pasir tipis, Merdu antara gundukan pohon pina, Tembang menggema di dua kaki, Burangrang – Tangkubanprahu Jamrut di pucuk-pucuk Jamrut di air tipis menurun Membelit tangga di tanah merah Dikenal gadis-gadis dari bukit Nyanyikan kentang sudah digali, 234 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kenakan kebaya merah ke pewayangan. Jamrut di pucuk-pucuk Jamrut di hati gadis menurun (Tanah Kelahiran -1) Gambaran alam priangan yang nyaman diwakili diksi “seruling……”, “merdu…..”, “tembang menggema…..”. Sajak di atas merepresentasikan harmoni lingkungan alam khas priangan. Harmonisasi ini terwujud atas kesadaran manusia dalam melindungi dan memelihara alam dengan sebaikbaiknya sehingga ketenangan dan keselarasan alam terwujud. Bentuk ketenangan alam priangan digambarkan melalui harmonisasi tiupan seruling yang merdu yang bergema di antara Gunung Burangrang dan Gunung Tangkubanprahu. Representasi sikap kepedulian dan sikap kasih sayang manusia terhadap alam ini dapat terus terjaga dan terpelihara manakala setiap manusia selalu berusaha, bersikap, dan bertindak mencintai sesama makhluk hidup termasuk mencintai alam. Representasi Sikap Tidak Mengganggu Kehidupan Alam Sikap tidak mengganggu kehidupan alam berkaitan dengan sikap tidak menggangu keberadaan sesama makhluk hidup yang merupakan salah satu wujud nilai tenggangrasa manusia (toleransi). Sikap tenggangrasa diwujudkan melalui kemampuan manusia dalam menghormati dan menjaga keberadaan alam sehingga masing-masing pihak tidak dirugikan. Penggalan sajak berikut merepresentasikan sikap toleransi terhadap alam. Di Cikajang ada gunung, Lembah lengang nyobek hati, Bintang pahlawan di dada, Sepi di atas belati; Kembang rampe di kuburan Selalu jauh kekasih. Di Cikajang ada kurung, Menahan selangkah kaki, Bebas unggas di udara, Pelita di kampung mati, Fajar pijar, bulan perak, Takut mengungkung di hati. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 235 Di Cikajang hanya burung, Bebas lepas terbang lari, Di bumi bayi turunnya, Besar di bawah mengungsi. Sepi di bumi priangan, Sepi menghadap mati. (Dendang Sayang – 1) Diksi “ Di Cikajang ada gunung…..”, “ Di Cikajang ada kurung……”, “ Di Cikajang hanya burung, bebas lepas terbang lari……” menunjukkan sikap toleransi manusiaterhadap alam dengan membiarkan makhluk lain (hewan) untuk hidup secara damai dan bebas di alam semesta. Masyarakat di daerah Cikajang seperti direpresentasikan dalam sajak tersebut, tampaknya sudah memiliki kesadaran untuk tidak mengganggu kehidupan alam.Menjaga keseimbangan alam dan lingkungan dengan cara mencintai dan ramah terhadapnya merupakan cara agar kelangsungan hidup manusia terus berjalan. Mengacu uraian di atas, kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan K.H. sarat dengan nilai-nilai kearifan lingkungan. Muatan nilainilai kearifan lingkungan dimanifestasikan melalui sikap hormat terhadap alam, sikap tanggung jawab terhadap alam, sikap solidaritas terhadap alam, sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, serta sikap tidak mengganggu kehidupan alam. Dengan memahami nilai-nilai kearifan lingkungan pada kumpulan sajak di atas diharapkan dapat menghantarkan manusia menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap keberadaan alam dan lingkungan. Selain Ramadhan K.H. terdapat beberapa sastrawan yang mengangkat alam sebagai sumber ilham. Diantaranya Moh. Yamin, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Taufik Ismail, Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Damono dan masih banyak sastrawan lainnya. Kesadaran mengenai pentingnya alam dalam kehidupan manusia sudah sejak lama digaungkan para sastrawan. Melalui karya-karyanya para sastrawan tidak hanya menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam juga menekankan pentingnya menjaga persaudaran dengan alam. Persaudaraan dengan alam dan kepedulian terhadap lingkungan yang digaungkan para sastrawan merupakan sebuah upaya yang tidak dapat diabaikan begitu saja dalam memberikan sumbangsih pemikiran terhadap gerakan cinta lingkungan. 236 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PENUTUP Analisis karya sastra berperspektif ekokritik bermaksud melacak hubungan antara sastra dengan lingkungan. dengan menekankan perhatian pada sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan akan berwujud pada prinsip-prinsip moral yang tertuang dalam berbagai sikap yang mengarah pada pelestarian lingkungan. Hal ini berimplikasi terhadap perubahan cara pandang manusia dalam memperlakukan alam sebagai salah satu entitas yang wajib dijaga dan dipelihara keberadaannya secara bertanggung jawab bukan untuk dieksploitasi apalagi disalahgunakan keberadaannya. DAFTAR PUSTAKA Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: creating self and place in environmental and American Indian Literatures. New York: Peter Lang Publishing, Inc. Juliasih, K. 2012. Manusia dan Lingkungan dalam Novel Life in The Iron Mills Karya Rebecca Hardings Davis. Jurnal Litera Universitas Negeri Yogyakarta. 11(1), 83-96. Ramadhan K.H. 2003. Priangan si Jelita. Magelang: Indonesiatera. Sukmawan, Sony. 2014. Model-model Kajian Ekokrtitik Sastra. [Online]. Tersedia: fib.ub.ac.id .Diakses 25 November 2014. Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: P.T. Gramedia Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 237 MEMBANGUN KARAKTER POSITIF MELALUI PEMBELAJARAN TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI DI SMA NEGERI 1 CIPARAY KABUPATEN BANDUNG Imas Mulyati SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Membangun Karakter Positif melalui Pembelajaran Teks Laporan Hasil Observasi di SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran hasil studi dokumentasi yang dilakukan para siswa SMA dengan teknik reportase. Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah metode penelitian deskriptif dengan teknik studi dokumentasi. Dokumen yang dijadikan objek studi adalah proses pembelajaran siswa yang dilaksanakan melalui reportase. Penelitian dilakukan terhadap lima belas tayangan video reportase yang dibuat oleh siswa pada pembelajaran teks laporan hasil observasi di kelas X tahun ajaran 2013 dan 2014. Reportase yang dilakukan oleh para siswa adalah reportase langsung yang disampaikan secara lisan. Mereka berperan sebagaimana layaknya seorang reporter televisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran ‗Teks Laporan Hasil Observasi dengan Teknik Reportase‘ terdapat pengintegrasian berbagai karakter bangsa. Di antara berbagai karakter yang ditemukan adalah: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Hampir semua dari delapan belas karakter yang direkomendasikan, dapat dicapai melalui pembelajaran ini. Kata kunci: pendidikan karakter, pembelajaran, teknik reportase PENDAHULUAN Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional diwujudkan sebagai suatu upaya pembentukan karakter positif bangsa melalui pendidikan dan pembelajaran. Pada kenyataanyya, pembangunan jati diri bangsa semakin memudar. Hal ini disebabkan antara lain oleh: kurangnya keteladanan, pemberitaan media cetak & elektronik yang 238 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tidak mendidik, dan pendidikan belum banyak memberi kontribusi optimal dalam pembentukan karakter peserta didik. Perilaku siswa bukan hanya ditentukan oleh pendidikan yang diterima dari sekolah, melainkan juga ditentukan oleh jalur pendidikan lain. Pendidikan di dalam keluarga dan masyarakat sangat memegang peran yang penting. Oleh karena itu, pendidikan pada setiap jalur dan jenjang harus diselenggarakan secara terprogram dan sistematis mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan nasional, dengan mengintegrasikan muatan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan ini adalah sebuah penelitian deskriptif dengan teknik studi dokumentasi. Dokumen yang dijadikan objek studi adalah proses pembelajaran siswa yang dilaksanakan melalui reportase. Penelitian dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Pemilihan populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah 24 tayangan video reportase siswa. Populasi ini berasal dari proses pembelajaran pada materi ―Teks Laporan Hasil Observasi‖. Sumber data dalam populasi ini adalah para siswa kelas X MIA 1 dan 2 tahun ajaran 2013-2014 dan 2014-2015. Dari 24 tayangan video, penulis memilih 15 tayangan video sebagai sampel. 2. Analisis data Data yang dianalisis dari 15 tayangan video adalah data berupa gambaran karakter positif yang terkandung dalam proses pembuatan video. Selain itu, data yang tersaji dalam tayangan video pun dapat menjadi sumber untuk analisis data terkait dengan pendidikan karakter. Sejumlah karakter yang muncul dalam data berupa tayangan video kemudian diidentifikasi berdasarkan delapan belas karakter yang direkomendasikan dalam kurikulum. 3. Pendeskripsian pendidikan karakter berdasarkan temuan data 4. Pelaporan hasil analisis Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 239 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Materi Ajar Teks Laporan Hasil Observasi dalam Kurikulum 2013 Dalam struktur kurikulum 2013, teks laporan hasil observasi dengan tema meneroka alam semesta, tercantum pada silabus dengan nomor urut materi pertama. Materi pembelajaran ‗teks laporan hasil observasi‘ yang direkomendasikan di dalam silabus adalah sebagai berikut. 1) Struktur teks laporan hasil 2) Langkah menyusun teks laporan hasil observasi 3) Penelaahan dan revisi teks (struktur dan ciri kebahasaan) 4) Meringkas teks laporan hasil observasi 5) Membuat pantun Kelima materi pembelajaran tersebut dibahas dalam tiga tahap. Ketiga tahap itu adalah pemodelan teks, kerja sama membangun teks, dan kerja mandiri membangun teks. Proses pembelajaran dengan teknik reportase adalah bagian dari proses pembuatan teks laporan hasil observasi secara kelompok. Integrasi Karakter pada Proses Pembelajaran Teks Laporan Hasil Observasi Tabel 1 No 240 Integrasi Karakter Positif Bangsa pada Proses Pembelajaran Teks Laporan Hasil Observasi Nomor Sampel Identifikasi Karakter 1 2 3 4 5 6 7 8 Ket 9 10 11 12 13 14 15 1 Religius √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 2 Jujur √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 3 Toleransi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 4 Disiplin √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 5 Kerja keras √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 6 Kreatif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 7 Mandiri √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Nomor Sampel Identifikasi Karakter 1 9 10 11 12 13 14 15 8 Demokratis √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 9 Rasa Ingin Tahu √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 10 Semangat Kebangsaan √ √ √ √ √ 0 0 √ √ √ √ 0 0 0 0 64.2 % 11 Cinta Tanah Air √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 0 √ √ √ √ 93.3% 12 Menghargai Prestasi √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 13 Bersahabat/ komunikatif √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 14 Cinta Damai √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 15 Gemar membaca √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 16 Peduli lingkungan √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 17 Peduli sosial √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 100 % 18 Tanggung jawab √ √ √ √ √ √ 100 % No Ket 2 3 4 5 6 7 8 √ √ √ √ √ √ √ √ √ Berdasarkan hasil studi dokumentasi terhadap lima belas video reportase, setiap karakter positif yang direkomendasikan dalam pendidikan karakter telah tampak pada setiap reportase kelompok. Integrasinya tampak pada berbagai perilaku kelompok yang cenderung sama. 1) Religius; ditunjukkan dengan sikap menyukuri indahnya alam ciptaan Tuhan. 2) Jujur; ditunjukkan dengan keaslian karya. 3) Toleransi; ditunjukkan dengan sikap saling menghargai sesama anggota kelompok atau antarkelompok. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 241 4) Disiplin; ditunjukkan dengan ketepatan waktu pelaksanaan pengamatan dan waktu reportase. Selain itu, perilaku disiplin juga ditunjukkan dengan cara bekerja. 5) Kerja keras; sangat tampak pada upaya setiap individu dalam kelompok untuk membuat reportase sampai selesai dengan hasil yang lebih dari memuaskan. 6) Kreatif; sangat tampak pada cara siswa membuat sebuah tayangan reportase mendekati reportase televisi. 7) Mandiri; para siswa melaksanakan pengamatan dan reportase tanpa bimbingan guru secara langsung. 8) Demokratis; tampak pada pembagian tugas sebagai juru kamera, pelapor, editor (naskah), pengatur laku, dan sebagainya. 9) Rasa ingin tahu; ditunjukkan dengan sikap dan perilaku menjadi sekelompok petugas pemberitaan. 10) Semangat kebangsaan; ditunjukkan dengan upaya menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun, masih ada beberapa kelompok yang belum menunjukkan perilaku karakter ini. 11) Cinta tanah air; pada umunya setiap kelompok melakukan pengamatan pada daerah masing-masing (mengangkat potensi daerah). Namun, ada satu kelompok yang belum melaksanakannya. 12) Menghargai prestasi; tampak pada upaya pembagian tugas yang disesuaikan dengan kemampuan dan prestasi masing-masing. 13) Bersahabat/ komunikatif; sangat tampak pada penggunaan bahasa yang mudah dipahami, bersahabat dengan lingkungan dan dengan orang-orang sekitar. 14) Cinta damai; sangat tampak pada perilaku saling menyayangi, menjaga kekompakan dalam kelompok dan dengan orang-orang lain di luar kelompok. 15) Gemar membaca; tampak pada persiapan reportase. Siswa dituntut untuk banyak membaca referensi tentang reportase dan tentang objek reportase. 242 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 16) Peduli lingkungan; sangat tampak pada sikap dan perilaku setelah pembelajaran. Di antaranya: menyayangi lingkungan, seperti menjaga kebersihan dan keindahan di lingkungan sekitar. 17) Peduli sosial; tampak pada kepedulian terhadap orang-orang lain yang bukan rekan, yang ditemui di daerah objek pengamatan. 18) Tanggung jawab; ditunjukkan dengan pelaksanaan pengamatan dan reportase dengan semangat dan penuh kesungguhan. PEMBAHASAN Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Karakter Pada hakikatnya, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik. Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia. Pendidikan karakter berfungsi untuk (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 243 Nilai-Nilai Pembentuk Karakter Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi yang dimaksud seperti: keagamaan, gotong royong, kebersihan, kedisiplinan, kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya Untuk lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta tanah air, (12) Menghargai prestasi, (13) Bersahabat/ komunikatif, (14) Cinta damai, (15) Gemar membaca, (16) Peduli lingkungan, (17) Peduli sosial, (18) Tanggung jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10). Pembelajaran Terpadu (Terintegrasi) Menurut Kurniawan (2011), model-model pembelajaran terpadu/terintegrasi dimulai dari derajat keterpaduan/integrasi rendah sampai dengan derajat keterpaduan/integrasi tinggi. Klasifikasinya terangkum dalam skema berikut ini. 244 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Gambar 1 Skema Model-Model Pembelajaran Terpadu Dari sejumlah model pembelajaran terpadu/ terintegrasi, pendidikan karakter teridentifikasi sebagai model tersarang (nested model). Dalam organisasi kurikulum, model tersarang ini didefinisikan sebagai suatu integrasi multitarget kemampuan yang ingin dicapai. Beberapa kemampuan yang ingin dicapai itu disajikan dalam satu topik yang ada pada satu mata pelajaran tertentu. Contoh: kemampuan sosial, berpikir, kemampuan penguasaan materi pelajaran, diintegrasikan dalam satu topik materi fotosintesis pada mata pelajaran IPA. Model pembelajaran nested sangat cocok digunakan ketika guru ingin memasukkan kemampuan berpikir dan kemampuan sosial ke dalam isi pelajaran. Sementara tetap fokus pada tujuan penguasaan materi, ditambahkan dengan pembentukan kemampuan berpikir dan kemampuan sosial di dalamnya. Penguasaan pembentukan sikap, keterampilan berpikir, dipadukan dalam satu kegiatan belajar. Upaya ini akan lebih meningkatkan kualitas pengalaman belajar siswa (Kurniawan, 2011: 56). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 245 Teknik Reportase Reportase adalah 1) Pemberitaan; pelaporan. 2) Laporan kejadian (berdasarkan pengamatan atau sumber tulisan (KBBI, 1991: 836). Reportase sebagai teknik pembelajaran adalah suatu proses pembelajaran suatu topik dengan cara melaporkan suatu objek berdasarkan pengamatan atau sumber tulisan. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran teknik reportase adalah sebagai berikut. a. Memilih topik/ materi ajar yang sesuai b. Membentuk kelompok reportase c. Merencanakan reportase dalam kelompok sesuai dengan kesepakatan kelompok 1) Menentukan objek pengamatan 2) Menentukan waktu pengamatan 3) Membagi tugas secara individual d. Melaksanakan pengamatan e. Menulis konsep reportase f. Melakukan reportase dan pendokumentasian reportase dalam bentuk video sederhana SIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran ‗Teks Laporan Hasil Observasi dengan Teknik Reportase‘ terdapat pengintegrasian berbagai karakter bangsa. Di antara berbagai karakter yang ditemukan adalah religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Jelasnya, hampir semua dari delapan belas karakter yang direkomendasikan, dapat diintegrasikan melalui pembelajaran ini. Secara keseluruhan, delapan belas karakter positif telah dapat diintegrasikan melalui pembelajaran ini. Namun, belum semua kelompok dapat mencapainya secara total. Karena itu, setiap guru harus berupaya keras untuk 246 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mengintegrasikan karakter-karakter positif bangsa dalam pembelajaran. Selain itu, siswa pun harus ada kesadaran individual untuk dapat menerapkan setiap karakter positif itu dalam kehidupan nyata sehari-hari. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Fasold, Ralph. 1984. The Linguistics of Society. New York: Basil Blackwell Inc. Fishman, A. Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts: Newburryhouse Publisher. Hymes, Dell. 1974. Foundation of Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania P. Melalui Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum dan Perbukuan. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta. Kurniawan, Deni. 2011. Pembelajaran Terpadu: Teori, Praktik, dan Penilaian. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Parera, Jos Daniel. 1982. Belajar Mengemukakan Pendapat. Jakarta: Erlangga. Permendiknas terkait Kurikulum 2013: Salinan Lampiran Permendikbud No. 64 Tahun 2013 ttg Standar Isi Salinan Lampiran Permendikbud No. 65 Tahun 2013 ttg Standar Proses Salinan Lampiran Permendikbud No. 69 th 2013 tentang Kurikulum SMA-MA Salinan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 SMA/ MA Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Undang-Undang RI No-20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas. . Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 247 STRATEGI KEBAHASAAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA: KAJIAN KONSEPTUAL PSIKOPRAGMASTILISTIKA Jatmika Nurhadi STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Strategi Kebahasaan dalam Membangun Karakter Generasi Muda: Kajian Konseptual Psikopragmastilistika. Penelitian ini merupakan hasil kajian konseptual yang mendeskripsikan strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi muda. Penelitian ini menghasilkan sebelas strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi muda, yakni (1) penggunaan frasa positif dan frasa negatif, (2) penggunaan presuposisi, (3) penggunaan pacing dan leading, (4) penggunaan pilihan paralel (paralelisme), (5) penggunaan perintah tersirat, (6) penggunaan developing question, (7) penggunaan majas prolepsis, (8) penggunaan majas epizeuksis, (9) penggunaan majas simile, (10) penggunaan majas metafora, dan (11) penggunaan tuturan ekspresif. Dapat disimpulkan bahwa strategi kebahasaan memudahkan seseorang untuk menerima informasi karena bahasa-bahasa yang disampaikan bersifat permisif. Kata kunci: psikologi, pragmatik, stilistika, strategi, karakter PENDAHULUAN Dewasa ini, moralitas generasi muda masuk dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Bahkan, dapat dikatakan sudah masuk tahap krisis. Krisis moralitas tersebut terwujud pada sikap-sikap seperti: tidak peduli orang lain, tidak peduli dengan lingkungan, tidak peduli dengan norma, dan jauh dari agama. Tentunya, hal demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja. Diperlukan suatu pendidikan karakter untuk menangani krisis moralitas tersebut. Lickona (2003) menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Pendidikan karakter itu sendiri bertujuan mengembangkan kemampuan seseorang untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara hal yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya 248 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 membentuk dan menanamkan nilai-nilai karakter seseorang melalui pendidikan yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata. Kemendiknas (2010: 9-10) mengidentifikasi delapan belas nilai atau karakter bangsa yang perlu ditanamkan kepada anak-anak Indonesia, yakni: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Upaya membentuk dan menanamkan nilai-nilai tersebut dalam pendidikan karakter adalah melalui bahasa. Bahasa dapat menjadi media yang kuat untuk memengaruhi pikiran seseorang. Upaya memengaruhi pikiran tersebut dapat dijadikan upaya untuk memperkuat karakter yang baik dan memperbaiki karakter yang buruk. Dalam memengaruhi pikiran seseorang, bahasa yang disampaikan harus memenuhi tiga syarat dalam memengaruhi seperti yang disebutkan Aristoteles, yakni: ethos, pathos, dan logos. Rakhmat (2007: 7) memperjelas batasan ethos, pathos, dan logos. Ethos adalah kesanggupan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa pembicara memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat. Pathos kemampuan untuk menyentuh hati khalayak. Logos adalah memengaruhi khalayak melalui logika (otak). Cara penyampaian bahasa yang memenuhi ketiga syarat tersebut terdapat dalam retorik. Badib (dalam Sunarni, 2008: 29) mengemukakan bahwa retorik merupakan suatu bidang ilmu yang memayungi pragmatik, wacana (discourse), stilistika, dan seni menuturkan dengan baik (elocution). Retorik berkaitan erat dengan strategi dan gaya bahasa tertentu untuk memengaruhi pikiran seseorang. Dalam memengaruhi pikiran seseorang (receiver ‗penerima‘), memperhatikan isi seseorang informasi (sender yang ingin ‗pengirim‘) jangan disampaikan, tetapi hanya juga memperhatikan cara dan gaya menyampaikan isi informasi itu dengan strategi kebahasaan yang paling mudah diterima orang lain (bahasa permisif). Hal ini senada seperti yang dinyatakan oleh Hendrikus (1991: 14), yakni retorika Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 249 kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang dicapai berdasarkan talenta dan keterampilan teknis. Ketika pikiran seseorang mudah menerima informasi, tentu seseorang mudah pula membangun karakter-karakter berdasarkan informasi yang diterimanya. Dengan demikian, strategi dan gaya bahasa dapat menjadi media untuk membangun karakter-karakter positif melalui informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian yang mendeskripsikan strategi dan gaya bahasa yang dapat digunakan sebagai media untuk membangun karakter generasi muda. Dalam retorika telaah yang paling berkaitan dengan strategi dan gaya berdasarkan konteks bicara adalah pragmastilistika. Hickey (1993: 578-584) menyatakan beberapa pandangannya sebagai berikut. 1. Pragmastilistika adalah gaya bahasa, tetapi dengan komponen pragmatik yang ditambahkan ke dalamnya. 2. Pragmastilistika memberi perhatian khusus tidak hanya terhadap fitur-fitur yang dipilih pembicara, tetapi juga cara mencapai tujuan tertentu atau menyatakannya dengan cara yang berbeda. 3. Pragmastilistika melibatkan studi tentang semua kondisi linguistik dan ekstralinguistik, yang memungkinkan aturan dan potensi bahasa untuk bergabung dengan unsur-unsur konteks untuk menghasilkan teks yang mampu menyebabkan perubahan internal pada keadaan, pikiran atau pengetahuan. 4. Jika linguis tertarik untuk bertanya ―What do you say?‖ ―Apa yang Anda katakan?‖, ahli stilistika bertanya ―How do you say?‖ ―Bagaimana Anda mengatakannya?‖, ahli pragmatik bertanya ―What do you do?‖ ―Apa yang Anda lakukan?‖, ahli pragmastilistika akan bertanya ―How do you do?‖ ―Bagaimana Anda melakukannya?‖. Nurhadi (2013: 23) menyatakan bahwa kajian pragmastilistika merupakan gabungan antara pragmatik dan stilistika yang mengkaji dan memaparkan gaya bahasa dilihat dari aspek-aspek pragmatik seperti tindak tutur dan konteks situasi. Selain itu, pragmastilistika tidak hanya mengkaji maksud tuturan, tetapi juga mengkaji cara tuturan tersebut diujarkan untuk dapat melakukan suatu tindakan. Selain memanfaatkan telaah pragmastilistika, penelitian ini memanfaatkan telaah psikolinguistik untuk memahami kaitan pikiran dengan bahasa. Oleh karena itu, dilakukanlah kajian konseptual mengenai hal tersebut yang berjudul ―Strategi Kebahasaan dalam Membangun Karakter Generasi Muda: Kajian Konseptual Psikopragmastilistika‖. Tulisan 250 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 ini bermaksud untuk mendeskripsikan strategi kebahasaan yang dapat memengaruhi pikiran generasi muda dalam membangun karakternya. LANDASAN TEORI Deskripsi retorika, sarana pemengaruhan persepsi manusia, dan komponen retorika dalam penelitian ini digunakan telaah yang dikemukakan Hendrikus (1991), Rakhmat (2007) dan Badib (dalam Sunarni, 2008). Pendeskripsian strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi muda memakai kajian pragmatik dan stilistika dengan menggunakan komponenkomponen yang dideskripsikan Hickey (1993), Eriyanto (2005), Yule (2006), Sudaryat (2009), Ratna (2009), Keraf (2009), dan Black (2011). Strategi Kebahasaan dalam Membangun Karakter Generasi Muda Pendeskripsian strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi muda disenaraikan dalam sebelas strategi, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Penggunaan Frasa Positif vs Frasa Negatif Untuk membangun karakter positif, diperlukan suatu fondasi mental yang positif. Bahasa dapat menjadi fondasi yang kuat dalam membangun mental tersebut. Salah satu caranya adalah memilih penggunaan frasa, baik positif maupun negatif. Frasa positif dan negatif dibedakan dengan ada tidaknya negasi. Frasa positif tidak mengandung negasi, sedangkan frasa negatif mengandung negasi. Untuk menunjukkan negasi pada frasa perhatikan kalimatkalimat berikut ini. (1) (2) (3) Jadi orang jangan suka bohong, ya! *) Kamu, tidak boleh nakal, ya! *) Mari kita ikuti gerakan antiperang! *) Pada kalimat (1), (2), dan (3) terkandung frasa-frasa negatif. Frasa-frasa tersebut adalah jangan suka bohong, tidak boleh nakal, dan antiperang. Seseorang yang dinasihati dengan frasa-frasa tersebut justru akan menerima kata bohong, nakal, dan perang. Hal itu terjadi karena negasi tidak diterima dalam pikiran, yang diterima adalah kata yang dinegasikannya. Sekalipun frasa yang mengandung negasi dapat diterima, seseorang harus memikirkan makna kebalikan dari frasa negatif tersebut. Maksudnya, secara psikologis ada kecenderungan bahwa ketika seseorang diberi nasihat atau informasi yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 251 dinegasikan, misalnya, tidak boleh nakal, justru hal itu akan membangun karakter seseorang yang nakal. Untuk menghindari hal tersebut, dapat dilakukan dengan cara mengubah frasa negatif tersebut menjadi frasa yang positif. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (4) (5) (6) Jadi orang jujur banyak untungnya lho! Kamu, mesti jadi anak yang baik, ya! Mari kita ikuti gerakan properdamaian! Pada kalimat (4), (5), dan (6) terkandung frasa-frasa positif. Frasa-frasa tersebut terkandung seperti pada orang jujur, anak yang baik, dan properdamaian. Frasa positif memudahkan pikiran seseorang menerima frasa tersebut. Hal ini terjadi karena informasi yang masuk langsung diterima tanpa harus mencari kebalikan seperti pada frasa yang dinegasikan. Walaupun demikian, terdapat pula frasa negatif yang sebaiknya digunakan dan frasa positif yang sebaiknya dihindari. Perhatikan kalimatkalimat berikut ini. (7) (8) Walaupun menjadi orang jujur itu tidak mudah, kita harus tetap berusaha dengan sebaik-baiknya. Kamu itu pemalas, ya! *) Pada kalimat (7) terdapat frasa tidak mudah. Hal ini justru akan memberikan input bahwa jujur itu mudah. Frasa negatif seperti ini justru diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai motivasi dan nasihat daripada memilih frasa positif, seperti jujur itu susah, yang justru nantinya akan berdampak tidak baik. Pada kalimat (8) tidak terkandung negasi, yakni pemalas. Hal ini justru akan berdampak tidak baik karena seseorang akan fokus pada kata pemalas. Lebih baik digunakan frasa yang negatif, yakni tidak rajin. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa penggunaan frasa positif dan frasa negatif perlu diperhatikan penggunannya dan disesuaikan dengan kata yang terdapat pada frasa tersebut. b. Penggunaan Presuposisi Eriyanto (2005) mengungkapkan bahwa presuposisi digunakan untuk mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dapat dipercaya 252 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kebenarannya. Presuposisi hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Misalnya dengan menggunakan frasa tertentu, seperti: jadi, jadi jelas, itu tandanya, itu berarti, itu menandakan, itu mewujudkan dan itu menunjukkan. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini. (9) Jadi jelas, saat kita yakin dengan kemampuan diri kita, rasa percaya diri akan semakin muncul. (10) Orang yang mau berusaha dengan sekuat tenaga menandakan ia adalah pekerja keras dan tangguh. Kalimat (9) dan (10) mengandung presuposisi yang ditandai dengan adanya frasa jadi jelas dan kata menandakan. Dengan frasa dan kata tersebut, sebuah ide atau premis yang diyakini kebenarannya diperkuat dan dipertegas sehingga seseorang ikut meyakini kebenaran tersebut. Perhatikan kalimat tanpa menggunakan penanda presuposisi. (11) Kalau Anda ingin percaya diri, Anda harus yakin dengan kemampuan diri Anda. (12) Jika Anda mau jadi pekerja keras dan tangguh, Anda harus berusaha sekuat tenaga. Kalimat (11) dan (12) justru akan mematahkan motivasi seseorang karena ada ide yang dipaksakan seolah-olah ide tersebut merupakan aturan yang baku. Hal tersebut ditandai dengan adanya modalitas harus. Ketika pikiran seseorang merasa terpaksa, tentu sebuah ide akan sulit ditanamkan. Hal ini berbeda dengan kalimat (9) dan (10) yang sifatnya lebih permisif. Kalimat (9) dan (10) tidak memaksakan sebuah ide sehingga ide tersebut lebih mudah diterima karena tidak mengandung keharusan atau aturan mengikat. Presuposisi juga dapat digunakan untuk memunculkan proses melalui pesan bawah sadar bahwa suatu hal sudah terjadi atau sedang meningkat intensitasnya, dengan cara menggunakan kata ―mulai‖ atau ―semakin‖. Perhatikan contoh kalimat berikut ini! (13) Anda mulai bertanggung jawab atas semua hal yang terjadi pada hidup Anda, itu tandanya gerbang kesuksesan semakin terbuka lebar bagi Anda. (14) Anda semakin jujur dalam berbagai hal, itu berarti kepercayaan yang besar dari banyak pihak akan menghampiri Anda. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 253 Ketika seseorang menerima kalimat (13), secara psikologis orang tersebut akan menerima pesan bawah sadar bahwa semakin ia bertanggung jawab ia akan semakin sukses. Begitu juga dengan kalimat (14) ketika seseorang jujur berarti banyak orang akan semakin percaya. Kata mulai dan semakin memberikan sugesti ―akan adanya peningkatan‖ terhadap suatu hal. Selain itu, terdapat pula frasa itu tandanya dan itu berarti yang berfungsi untuk mengaitkan satu hal dengan hal lain. Misalnya pada kalimat (13) untuk mengaitkan tanggung jawab dengan kesuksesan atau pada kalimat (14) untuk mengaitkan jujur dengan kepercayaan. Kadang-kadang ditemui beberapa wujud presuposisi yang perlu dihindari penggunaannya karena dapat memberikan pengaruh yang buruk bagi lawan bicara. Misalnya: (15) Kamu suka menyontek, kamu mau jadi koruptor? *) (16) Jadi jelas, kamu tidak peduli sosial karena kamu tidak mau menyumbang untuk amal. *) Presuposisi pada kalimat (15) dan (16) sebaiknya perlu dihindari penggunaannya. Pada kalimat (15) terdapat premis yang dipaksakan. Hal itu ditunjukkan dengan adanya kata menyontek dikaitkan dengan koruptor. Padahal, belum tentu ada kaitan semua orang yang menyontek akan menjadi koruptor di kemudian hari. Belum tentu juga ada kaitan semua koruptor pernah menyontek. Dengan menggunakan, labelisasi yang kurang tepat seperti itu, hal itu akan menyugestikan pada seseorang bahwa di masa depan ia akan menjadi koruptor karena suka menyontek saat masih muda. Begitu pula pada kalimat (16), mengaitkan dengan presuposisi yang salah, yakni mengaitkan tidak peduli sosial karena tidak mau menyumbang. Padahal, belum tentu sesorang tidak peduli sosial karena tidak mau menyumbang. Bisa jadi saat itu dia tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan. Belum tentu juga seseorang yang menyumbang dia peduli sosial, bisa jadi seseorang menyumbang karena pamer. Oleh karena itu, penggunaan presuposisi seperti pada kalimat (13) dan (14) sebaiknya dihindari. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa penggunaan presuposisi lebih baik digunakan untuk mengaitkan premis-premis bernilai positif. Singkatnya, memahami presuposisi adalah seperti cause and effect ‗sebab dan akibat‘. Jika 254 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 penyebabnya hal yang baik, hasilnya akan baik. Jika penyebabnya tidak baik, hasilnya akan tidak baik. c. Penggunaan Teknik Pacing dan Leading Pacing mengandung pengertian mengumpan, yakni memberikan perhatian pada lawan bicara sehingga seolah-olah lawan bicara diumpan agar memberikan respons berupa perhatian balik. Setelah, perhatian itu didapatkan baru pembicara dapat melakukan leading atau menuntun/mengarahkan. Maksudnya menuntun sesuai kehendak pembicara. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. (17) Anda datang ke tempat ini, kemudian duduk di posisi Anda sekarang, sambil memperhatikan ke arah papan tulis ini, saya yakin Anda ingin memuaskan rasa ingin tahu Anda supaya Anda menjadi pribadi yang lebih kreatif dan berprestasi. (18) Anda sudah mengakui kesalahan Anda dan berani berkata jujur, saya yakin Anda adalah orang yang bertanggung jawab. Contoh (17) menunjukkan sebuah kalimat yang diucapkan seorang guru saat mengawali pembicaraan dalam kelas. Kalimat (17) mengandung pacing dan leading. Bagian pacing terkandung pada klausa Anda datang ke tempat ini, kemudian duduk di posisi Anda sekarang, sambil memperhatikan ke arah depan. Sementara itu, bagian leading terkandung pada klausa saya yakin Anda ingin memuaskan rasa ingin tahu Anda supaya Anda menjadi pribadi yang lebih kreatif dan berprestasi. Bagian pacing berfungsi untuk menyebutkan halhal yang sedang dilakukan atau terjadi pada lawan bicara. Fungsi pacing adalah untuk menunjukkan bahwa kita memberi perhatian lawan bicara. Seseorang yang merasa diberi perhatian secara psikologis akan memberikan umpan balik berupa perhatian kepada pembicara. Jika pacing diikuti oleh kalimat-kalimat leading, tentu lawan bicara akan memperhatikan hal yang di-leading-kan oleh pembicara. Biasanya kalimat leading itu akan menyugesti lawan bicara dengan mudah jika sebelumnya didahului kalimat pacing. Hasilnya diharapkan lawan bicara akan termotivasi untuk memiliki ―rasa ingin tahu‖ agar ―kreatif dan berprestasi‖. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 255 Begitu juga dengan kalimat (18), kalimat yang diucapkan seseorang kepada lawan bicara yang jujur mengakui kesalahannya. Bagian pacing terdapat pada Anda sudah mengakui kesalahan Anda dan berani berkata jujur, sedangkan bagian leading terdapat pada saya yakin Anda adalah orang yang bertanggung jawab. Kalimat (18) lebih permisif yang memungkinkan hal yang dikatakan menjadi lebih sugestif bagi lawan bicaranya sehingga diharapkan lawan bicara menjadi ―jujur dan bertanggung jawab‖ di kemudian hari. d. Penggunaan Pilihan Paralel (Majas Paralelisme) Paralelisme menggambarkan kesejajaran unsur-unsur dalam suatu konstruksi. Pernyataan ini ada kesejalanan dengan pendapat Ratna (2009: 441) yang mengungkapkan bahwa pararelisme merupakan majas dengan kesejajaran kata-kata atau frasa, dengan fungsi yang sama. Pararelisme dapat dimanfaatkan untuk mengondisikan lawan bicara untuk memilih hal yang seolah-olah berbeda, tetapi sebenarnya secara harafiah sama. Untuk lebih jelasnya perhatikan kalimat berikut ini. (19) Mana yang akan Anda tanamkan terlebih dahulu dalam kehidupan Anda kerja keras atau kreativitas? (20) Apakah Anda mau memaafkannya sekarang atau memberikan kesempatan kedua? Pada kalimat (19) dan (20) terkandung paralelisme. Pada kalimat (19) Paralelisme terkandung kerja keras dan kreativitas. Keduanya secara harafiah merupakan hal yang positif sehingga kendati lawan bicara memilih hal yang mana pun keduanya akan menjadi hal yang bermanfaat baginya. Begitu juga pada kalimat (20) terkandung paralelisme yang terwujud dalam memaafkannya sekarang dan memberi kesempatan kedua. Keduanya tampak berbeda, tetapi memiliki keserupaan. Bandingkan dengan hal pilihan berikut ini. (21) Mana yang akan Anda pilih ―jujur, tapi miskin‖ atau ―kaya hasil korupsi‖? (22) Apakah Anda mau memaafkannya atau tidak? Pada kalimat (21) dan (22) terdapat pilihan-pilihan. Namun, pilihanpilihan tersebut memiliki perbedaan. Hal yang akan dipilih dapat dipastikan 256 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menghasilkan akibat yang berbeda. Berbeda dengan kalimat (19) dan (20), pilihannya menghasilkan akibat yang serupa. e. Penggunaan Perintah Tersirat/Tersisip (Embedded Command) Perintah dapat dapat diutarakan langsung melalui kalimat imperatif atau dapat disisipkan dalam bentuk kalimat afirmatif ataupun kalimat interogatif. Perintah yang disisipkan dalam bentuk kalimat afirmatif dan kalimat interogatif mengurangi kesan bahwa lawan bicara sedang diperintah. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh-contoh berikut ini. (23) Pengetahuan akan lebih mudah didapat jika Anda luangkan waktu untuk membaca. (24) Mampukah Anda pelajari cara menjadi pribadi yang lebih mandiri? Kalimat (23) merupakan kalimat afirmatif mengandung perintah tersisip yang ditandai dengan adanya verba imperatif luangkan. Kalimat pernyataan ini tidak hanya untuk menyatakan bahwa pengetahuan akan lebih mudah didapat, tetapi juga digunakan untuk memerintahkan lawan bicara untuk meluangkan waktu. Perintah itu disisipkan agar kesan memerintah menjadi hilang sehingga informasi lebih mudah diterima. Selain dalam bentuk kalimat afirmatif, perintah tersisip dapat juga diwujudkan ke dalam bentuk kalimat interogatif, seperti yang terdapat dalam kalimat (24) yang ditandai dengan adanya verba imperatif pelajari. Maksud dari kalimat tersebut tidak hanya menanyakan kemampuan lawan bicara dalam mempelajari cara menjadi pribadi yang lebih mandiri, tetapi juga memerintahkan secara tersirat agar lawan bicara mempelajari cara menjadi pribadi yang lebih mandiri. Kalimat (24) termasuk juga ke dalam bentuk retoris atau erotesis. Erotesis adalah majas yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan yang tidak menghendaki jawaban melainkan respons baik berupa perbuatan atau sikap. Pada dasarnya secara psikologis perintah langsung lebih sukar diterima pikiran sehingga alternatifnya dapat menggunakan bahasa yang lebih permisif seperti pada kalimat (23) dan (24). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 257 f. Penggunaan Pertanyaan untuk Mengembangkan Persepsi (Developing Question) Untuk mengembangkan gagasan atas suatu hal, memahami gambaran besar tentang suatu konsep dalam pikiran lawan bicara atau dengan kata lain mengembangkan persepsi lawan bicara, kita dapat menggunakan pertanyaan. Misalnya, seseorang mengatakan ―Saya ingin sukses.‖ Tentu konsep sukses bagi setiap orang berbeda-beda. Untuk membantu lawan bicara mengembangkan konsepnya menjadi konkret. Kita dapat mempergunakan pertanyaan, misalnya pada kalimat tanya berikut ini. (25) Sukses dalam bidang apa? (26) Apa yang akan Anda lakukan pertama kali untuk meraih kesuksesan itu? (27) Apa manfaat kesuksesan bagi Anda? Pertanyaan (25), (26), dan (27) dapat membuat konsep yang abstrak tentang sukses menjadi hal yang lebih konkret. Kalimat (25) dapat memberikan keterangan spesifik terhadap kesuksesan pada bidang yang dituju. Kemudian dengan menggunakan kalimat pertanyaan (26), kita dapat memancing lawan bicara untuk mendeskripsikan langkah awal dalam meraih kesuksesan. Sementara itu, kalimat (27) dapat memperluas persepsi terhadap manfaat kesuksesan bagi lawan bicara. Manfaat tersebut akan memperkuat motivasinya. Walaupun demikian, terdapat pula kalimat pertanyaan yang sebaiknya dihindari karena dapat berdampak tidak baik. Perhatikan contoh kalimat berikut ini. (28) A: Saya bukan orang yang percaya diri. B: Mengapa Anda tidak percaya diri? A: Karena ...., ...., ...., ...., dan seterusnya. Kalimat yang diucapkan B pada contoh (28) memang mengembangkan persepsi, tetapi sebaiknya dihindari karena akan memperkuat alasan seseorang untuk semakin tidak percaya diri. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa jika lawan bicara sedang mengeluhkan hal yang negatif, kita hindari menggunakan kata tanya ―mengapa‖. Jika ingin memberikan persepsi berbeda, sebaiknya kita mempergunakan kalimat tanya lain misalnya. (29) A: Saya bukan orang yang percaya diri. B: Pernah tidak sekali saja, Anda merasakan rasa percaya diri? 258 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 A: (Kemungkinan jawaban) Oh, pernah saat saya ...., ...., dan seterusnya. B: Tahukah Anda bahwa percaya diri akan membuat Anda lebih kreatif? A: Benarkah? B: Ya, tentu. Kalimat pertama yang diucapkan B pada contoh (29) akan mengembangkan persepsi berbeda. Selain itu, dalam pikiran lawan bicara akan dibuka kesempatan bahwa ia pernah merasakan percaya diri. Jadi, keyakinan dirinya akan mengalami perubahan juga. Tentu dalam pembentukan karakter, hal semacam ini sebaiknya menjadi perhatian karena pertanyaan berbeda dapat menimbulkan persepsi yang berbeda pula. Kalimat kedua pada contoh (29) mengandung rumusan ―jika seseorang percaya diri, seseorang akan lebih kreatif”. Maksudnya, jika seseorang diingatkan bahwa tindakannya untuk berubah menghasilkan sesuatu yang positif, orang tersebut akan tertarik melakukan perubahan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Lieberman (2011: 77) yang menyatakan bahwa seseorang perlu percaya dan diingatkan bahwa tindakan-tindakan dapat memberikan hasil. g. Penggunaan Majas Prolepsis (Majas Antisipasi) Prolepsis atau antisipasi adalah kata-kata seolah-olah mendahului peristiwanya (Ratna, 2009: 447). Dengan majas ini, kerangka pemikiran yang akan terjadi disampaikan terlebih dahulu sebelum peristiwanya sendiri terjadi. Prolepsis memungkinkan lawan bicara menerima suatu rancangan peristiwa sehingga rancangan peristiwa tersebut menjadi perintah tersirat yang bersifat permisif. Perhatikan contoh berikut ini. (30) Nanti,jika sifat bersahabat sudah Anda bangun dalam kehidupan Anda, tentu di mana pun Anda berada, Anda akan memiliki banyak relasi yang membantu Anda meraih kesuksesan Anda. (31) Ketika Anda masuk ke dunia wirausaha, kemandirian, kreativitas dan kerja keras yang Anda latih terus-menerus dapat membantu Anda untuk mendapatkan kesuksesan usaha Anda. (32) Sebelum Anda memasuki suatu tempat yang berbeda budaya, toleransi antarbudaya yang akan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 259 Anda pelajaridapat membantu Anda beradaptasi dengan budaya apa pun. untuk Pada kalimat (30), (31), dan (32) terkandung penanda prolepsis, yakni: nanti, ketika, dan sebelum. Penanda prolepsis tersebut memberikan suatu rancangan yang bersifat imajinatif dalam pikiran lawan bicara. Dengan kata lain, terdapat kata-kata mendahului peristiwa yang mungkin akan terjadi. Misalnya, pada kalimat (31) terdapat rancangan peristiwa yang ditanamkan, yakni ketika Anda masuk ke dunia wirausaha. Kenyataannya, lawan bicara belum merasakan dunia wirausaha, tetapi dalam pikirannya sudah ada rancangan bahwa agar sukses dalam dunia usaha ia harus mandiri, kreatif dan bekerja keras. h. Penggunaan Majas Epizeuksis (Repetisi) Epizeuksis adalah pengulangan kata, frasa, klausa, atau kalimat secara langsung (Ratna, 2009: 442). Pengulangan memiliki beberapa manfaat, seperti: menegaskan, memperkuat intensitas informasi, menghindari kekeliruan, dan memudahkan informasi diingat. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. (33) Kejujuran adalah kebijaksanaan. Kejujuran adalah kepercayaan. Kejujuran adalah perilaku baik. (34) Membaca adalah kunci sukses! Membaca adalah kunci sukses! Bentuk pengulangan terdapat dalam contoh (33) dan (34). Pada kalimat (33) pengulangan ditekankan pada kata kejujuran. Sementara itu, pada contoh (34) pengulangan terdapat pada keseluruhan kalimat. Pengulangan pada contoh (34) merupakan bentuk penegasan pada keseluruhan kalimat. i. Penggunaan Majas Simile Simile merupakan majas perbandingan yang bersifat eksplisit, yakni perbandingan yang langsung-menyatakan sesuatu sama dengan hal lain yang diwujudkan melalui kata-kata: seperti, sama, sebagai, seakan-akan, seolah- 260 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 olah, laksana, dan sebagainya (Keraf, 2009: 138). Perhatikan contoh penggunaan simile berikut ini. (35) Bayangkan semangat kebangsaan Anda berkobar seolah-olah Anda adalah seorang pejuang yang berhasil merebut markas pasukan musuh seorang diri! Bayangkan betapa bangganya diri Anda! (36) Bekerjalah seakan-akan Anda hidup selamanya dan beribadahlah seakan-akan Anda mati esok! Penggunaan simile pada kalimat (35) dan (36) ditandai dengan penggunaan kata seolah-olah dan seakan-akan. Penggunaan kata seolah-olah pada kalimat (35) memberikan gambaran semangat kebangsaan yang diimajinasikan melalui simile tentang seorang pejuang yang berhasil merebut markas pasukan musuh seorang diri. Gambaran tersebut akan meningkatkan kekuatan motivasi agar semangat kebangsaan bertambah. Begitu juga kalimat (36) memberikan gambaran bahwa jika seseorang bekerja seakan-akan hidup selamanya, orang tersebut akan bersemangat karena ia akan menikmati hasilnya seumur hidup. Sementara itu, seseorang yang beribadah seakan-akan mati besok, maka ia akan beribadah dengan sungguhsungguh. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa strategi penggunaan simile ini dapat membantu memperkuat informasi yang diberikan. j. Penggunaan Majas Metafora Jika simile merupakan kiasan langsung, metafora merupakan kiasan tidak langsung. Cirinya tidak menggunakan perwujudan kata-kata seperti pada simile. Penggunaan metafora dapat dimaksudkan sebagai ornamen. Namun, dalam strategi kebahasaan metafora dapat menjadi pembenar atas pernyataan yang diutarakan Biasanya menggunakan peribahasa, pepatah, petuah leluhur, ungkapan sehari-hari dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut ini. (37) Benar kata pepatah: “Semakin tinggi pohon menjulang, semakin kencang angin menerjang”. Begitu juga dengan tanggung jawab kita. Semakin besar tanggung jawab yang kita emban, semakin besar juga tantangan yang harus dihadapi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tanggung jawab yang Anda miliki, semakin hebat diri Anda. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 261 Penggunaan metafora pada kalimat (37) memperkuat pernyataan yang akan disampaikan berikutnya. Dengan demikian, kalimat tersebut memberikan pembenaran bahwa tanggung jawab yang besar akan sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Kemudian diikuti oleh kalimat ―Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar tanggung jawab yang Anda miliki, semakin hebat diri Anda.” yang berfungsi untuk memotivasi lawan bicara supaya menjadi orang hebat dengan mau memikul tanggung jawab besar. k. Penggunaan Tuturan Ekspresif Menurut Yule (2006: 93) dalam tuturan ekspresif terdapat pernyataan yang menggambarkan apa yang penutur rasakan. Tuturan ini mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Namun, dalam strategi kebahasaan, pernyataan psikologis yang digunakan untuk memperkuat motivasi lawan bicara adalah memuji (praising) dan memberi ucapan selamat (congratulating). Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. (38) Wah, bagus sekali karya Anda, jika terus-menerus dilatih, saya yakin kreativitas Anda akan membawa Anda pada kesuksesan. Kalimat (38) merupakan tuturan ekspresif yang mengandung pujian. Lawan bicara akan merasa dihargai. Dengan penghargaan tersebut, lawan bicara akan meningkat motivasinya. Namun, perlu dihindari untuk melakukan pujian hanya sebagai sindiran, biasanya seseorang akan menjadi malu dan kecewa sehingga hilang motivasi untuk berkarya kembali. Misalnya pada contoh (39) berikut ini. (39) Wah, hebat sekali pekerjaan Anda, Anda berhasil membuatnya terlihat buruk. Sebaiknya, penggunaan tuturan ekspresif pada kalimat (39) dihindari. Jika memang seseorang berbuat buruk, lebih baik menggunakan reframing (kerangka ulang) agar dia termotivasi untuk melakukan lebih baik. Perhatikan contoh berikut ini. (40) Sepertinya hasilnya masih kurang baik, saya yakin Anda punya kemampuan jauh lebih baik dari itu, 262 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mungkin bukan kesulitan bagi Anda, Anda hanya butuh waktu untuk melatihnya. Semoga berhasil. Kalimat (40) tidak mengandung sindiran. Pada kalimat (40) justru lawan bicara diyakinkan bahwa dia memiliki kemampuan yang lebih baik. Kemudian terdapat pernyataan reframing bahwa hal itu bukan kesulitan, tetapi hanya butuh waktu sehingga lawan bicara akan menerima bahwa hal itu hanya perlu latihan. SIMPULAN Dari pendeskripsian strategi kebahasaan untuk membangun karakter generasi muda. dihasilkan beberapa simpulan, yakni: (1) bahasa memiliki peran yang strategis sebagai media untuk membentuk karakter melalui motivasi dan sugesti, (2) bahasa yang memiliki strategi tertentu, bersifat permisif sehingga lebih mudah diterima oleh pikiran seseorang, dan (3) penggunaan strategi bahasa didasarkan pada suatu perencanaan secara sadar dan sengaja untuk membentuk karakter positif melalui motivasi dan sugesti yang tepat. Penelitian ini masih bersifat konseptual sehingga efektivitas dari strategi kebahasaan yang dipaparkan perlu dilakukan pengujian secara mendalam. Dengan demikian, untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian mengenai: (1) efektivitas strategi kebahasaan dalam penelitian ini, (2) membandingkan efektivitas strategi dalam penelitian ini dengan strategi kebahasaan lain, dan (3) melengkapi dan menyempurnakan strategi kebahasaan sehingga dapat membentuk suatu strategi bahasa yang paling permisif dalam membentuk karakter generasi muda. DAFTAR PUSTAKA Austin, John L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford University Press. Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatis Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 263 Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS. Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hickey, Leo. 1993. ―Stylistics, Pragmatics and Pragmastylistics‖. Dalam: Revue belge de philologie et d'histoire. Tome 71 fasc. 3, 573-586. Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang. Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Lickona, Thomas. 1993. The Return of Character Education. (Journal of Educational leadership, Vol. 3 No. 3/November 1993, hlm 6-11). Tersedia: http://www.ascd,org/publications/educationalleadership/Nov93/vol51/num03/The Return of Character Education.aspx. Lieberman, David J. 2011. Agar Siapa Saja Mau Berubah untuk Anda (Terjemahan). Jakarta: Serambi. Nurhadi, Jatmika. 2013. ―Tuturan Hipnoterapi dalam Bahasa Indonesia: Suatu Kajian Pragmastilistika‖. Bandung: Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran. Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Retorika Modern. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ratna, Kutha Nyoman. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana: Prinsip-prinsip Semantik Pragmatik. Bandung: Yrama Widya. Sunarni, Nani. 2008. ―Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Jepang: Kajian Pragmatik‖. Surabaya: Disertasi Universitas Negeri Surabaya. Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 264 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 WANDA RARANCAGAN DAN JEJEMPLANG PESAN MORAL DALAM RUMPAKA TEMBANG SUNDA CIANJURAN Latifah STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Wanda Rarancagan dan Jejemplang Pesan Moral dalam Rumpaka Tembang Sunda Cianjuran. Cianjuran disebut pula Tembang Sunda, atau lebih lengkap disebut Tembang Sunda Cianjuran. Kata ‗Tembang‘ menunjukkan jenis kesenian vokal, sedangkan ‗Sunda‘ merujuk pada kepemilikan kesenian tersebut, sementara ‗Cianjuran‘ ditujukan pada gaya daerah asal kesenian ini bermula. Cianjuran merupakan seni tradisi Sunda yang berasal dari Cianjur. Cianjuran menyuguhkan lagu-laguan yang dilantunkan oleh jurumamaos (penyanyi) serta iringan musik oleh juru pirig/ pamirig. Pamirig adalah istilah untuk pemain waditra (instrumen/ alat musik tradisional). Alunan musik berasal dari alat musik tradisional khas Sunda. Kesenian ini dalam Karawitan dikenal dengan istilah sekar gending (vokal dan instrumen). Tembang Sunda Cianjuran memiliki 6 wanda Wanda Papantunan, Wanda Jejemplangan, Wanda Rarancagan Wanda Dedegungan, Wanda Panambih, dan Wanda Kakawén (saléndro). Dalam Tembang Sunda Cianjuran dikenal juga istilah Rumpaka atau lirik rumpaka secara singkat berarti kata-kata yang digunakan dalam lagu, diidentikkan dengan syair simbol bahasa dari sang komponis untuk mengekspresikan perasaannya. Dalam syair yang dituliskan dalam Tembang Sunda Cianjuran mengandung pesan moral bagi pendengar atau penikmat lagu tersebut. Pesan yang disampaikan berisi hal-hal yang mengajak pendengar atau penikmatnya untuk berprilaku positif /baik. Kata kunci: wanda rarancagan, jejemplang, rumpaka, pesan moral PENDAHULUAN Tembang Sunda Cianjuran pada saat ini kerap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah pertunjukan kesenian pada acara-acara penyambutan tamu bagi masyarakat Sunda, seperti pernikahan ataupun khitanan. Alunan suara sekar (sinden) yang merdu diiringan instrumen kecapi dan suling membuat suasana lebih anggun, santun, khidmat, penuh dengan ramah-tamah dan hati merasa nyaman sehingga para tamu yang datang pasti terbawa suasana. Tembang Cianjuran pada awalnya merupakan musik yang diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Oleh sebab itu, pertunjukan Tembang Sunda Cianjuran biasanya selalu diadakan di pendopopendopo kabupaten. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 265 Seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat Tembang Cianjuran menjadi begitu akrab di masyarakat. Kini Tembang Cianjuran sangat mudah ditemui dalam acara pesta-pesta perkawinan masyarakat Sunda. Penikmat Tembang Cianjuran memang tidak sebanyak jenis kesenian lain seperti dangdut, tetapi peminat dan penikmat Tembang Cianjuran cukup signifikan. Meski zaman selalu berubah, namun Tembang Cianjuran termasuk jenis kesenian yang mendapat respon positif dari masyarakat global, kehadirannya diterima dengan baik oleh semua pihak baik masyarakat lokal maupun internasional ikut serta melestarikan warisan budaya sunda ini. Buktinya sampai saat ini masih banyak dijumpai para mahasiswa asing yang serius mempelajari kesenian Tembang Sunda Cianjuran. Mempelajari Seni Sunda Tembang Cianjuran tidaklah terlalu sulit, walaupun tidak semudah mempelajari Seni Sunda Angklung misalnya. Tingkat kesulitan mempelajari Tembang Cianjuran bergantung pada grade atau level saat mencoba menyanyikan atau memainkan alat musik tersebut serta penjiwaan dalam membawakan kesenian ini. Sekar gending mamaos Cianjuran disajikan dalam enam wanda, yakni: papantun, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih. Dalam artikel ini hanya akan dibahas dua wanda yaitu rarancagan dan wanda jejemplang dalam beberapa rumpaka Tembang Sunda Cianjuran. PEMBAHASAN Sesuai namanya tembang Sunda Cianjuran berasal dari daerah Cianjur Jawa Barat, awal mulanya Tembang Cianjuran dikenal dengan sebutan Tembang Pajajaran. Penamaan Tembang Pajajaran ini terjadi ini terjadi ketika R.A.A. Kusumaningrat menjadi bupati Cianjur (1834-1864). Beliau berserta nayaga lebet menciptakan lagu-lagu yang diolah dari seni pantun menjadi dua kelompok lagu yang kini dikenal sebagai wanda papantunan dan jejemplangan. Teks lagu-lagu yang dibawakan sama dengan teks cerita pantun, bertemakan seputar kerajaan Pajajaran karena seluruh teks lagu menceritakan tokoh, situasi, dan kondisi di zaman kerajaan Pajajaran. 266 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Penyebutan seni Tembang Pajajaran berganti menjadi seni mamaos setelah Bupati Prawiradiredja II (1864-1910) menggantikan ayahnya menjadi Bupati Cianjur (Wiratmadja, 1996:125). Pada masa itu, lagu Tembang Pajajaran semakin kaya dengan lahirnya lagu-lagu yang diolah dari seni degung (wanda dedegungan), tembang rancag (wanda rarancagan), dan kakawen wayang golek (wanda kakawen). Teks yang dibawakan tidak lagi menceritakan kerajaan Pajajaran, bertambah dengan tema percintaan, hubungan dengan Tuhan, alam, dan lingkungan. Pemilihan istilah mamaos di masa itu, dipandang mewakili tema kelompok lagu yang ada. Secara etimologi mamaos berasal dari kata maos, atau kata lain dari maca (membaca). Kata maca (membaca) menjadi maos mengandung arti bahwa banyak yang harus dibaca, tidak hanya membaca tulisan saja (Natamihardja, 2009:56). Dengan begitu, pemilihan nama mamaos untuk mengganti nama Tembang Pajajaran didasari pemahaman dan kenyataan yang terjadi pada perkembangan seni Tembang Pajajaran, di mana lirik yang dibawakan tidak lagi berorientasi ‗membaca‘ ke masa silam (mamaos ka tukang ka jaman Pajajaran), tetapi juga membaca ‗mamaos‘ ka diri sorangan (membaca diri sendiri), mamaos ka satungkebing alam (membaca alam), mamaos jeung Gusti Allah (hubungan dengan sang pencipta), dan ‗membaca‘ sesama manusia (hablumminannas). Penyebutan mamaos terhadap kesenian ini masih kental di kalangan seniman Cianjur. Walaupun masyarakat pada umumnya lebih mengenal kesenian ini dengan sebutan tembang Sunda Cianjuran. Istilah tembang Sunda Cianjuran mulai digunakan setelah diadakannya Seminar Tembang Sunda pada tahun 1976 yang diikuti oleh para tokoh, baik dari kalangan seniman, budayawan, maupun masyarakat. Secara harfiah tembang Sunda Cianjuran dapat diartikan sebagai ‖seni tembang gaya Cianjur‖. Walaupun istilah tembang Sunda Cianjuran sudah cukup memasyarakat, tetapi tidak sedikit para seniman tembang Sunda Cianjuran yang menyebut kesenian ini dengan istilah tembang Sunda atau Cianjuran saja Peralatan musik yang digunakan dalam mamaos Cianjuran adalah: kacapi, suling dan rebab. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga. Bagianbagiannya terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 267 untuk menyetem (nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu alat yang berbentuk kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat ini gunanya untuk merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari yang berfungsi untuk menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari bambu tamiang. Bagian-bagiannya terdiri atas: sumber (lubang suling bagian atas); suliwer (seutas tali yang dililitkan pada bagian atas suling); lubang nada (lubang untuk menghasilkan nada). Sementara, bagian-bagian rebab yang terbuat dari kayu dan kawat terdiri atas: pucuk (bagian paling atas rebab); pureut (alat untuk menyetem yang juga terdapat di bagian atas rebab); wangkis yang berfungsi sebagai resonater; beuti cariang (bagian bawah wangkis); soko bagian paling bawah rebab; dan tumpangsari (alat yang diikatkan pada dua buah kawat yang direntengkan). Kemudian, bagian penggesek terdiri atas pucuk, gandar, dan bulu-bulu pengesat. Pemain kesenian yang disebut sebagai mamaos Cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan mengiringi lagu baik mamaos maupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan wanda panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sora (dasar nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos Cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju takwa, sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang. Seiring dengan berkembangnya seni Tembang Sunda Cianjuran Sekar gending mamaos cianjuran tidak disajikan dalam dalam dua wanda tetapi disajikan dalam enam wanda, yakni: papantun, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan panambih. Wanda papantunan adalah lagu-lagu Cianjuran yang isinya berupa ceritera-ceritera dalam pantun. Ciri-ciri wanda ini adalah: (1) lagu- 268 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 lagunya mempunyai gelenyu dan pirigen-nya mandiri; (2) jatuhnya irigan lagu pada nada 2 dan 3 pada laras pelog; (3) syairnya berbentuk puisi pantun (berjumlah 8 suku kata pada setiap barisnya dan murwakanti); (4) berbentuk sisindiran dan pupuh; (5) lagu yang dibawakannya pndek-pendek dengan suara dada; dan (6) pepantunnya agung. Wanda jejemplangan adalah dua nada yang dibunyikan secara bersamaan. Ciri-cirinya; (1) memakai lelemah sora 2 dan 5 atau I dan 4; (2) teknik suaranya eur-eur dan gelesoh; (3) syair bersajak menurut aturan pupuh; dan (4) berwatak sedih. Wanda dedegungan adalah lagu gamelan degung yang disesuaikan dengan nuansa Cianjuran yang rumpakanya. Fungsi kesenian yang disebut sebagai mamaos Cianjuran adalah sebagai hiburan sedangkan nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan rohnya (jati diri kesenian mamaos Cianjuran) Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari lagu, atau syairsyair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai seperti nasihat dan doa. Nasihat dan doa ini dilihat dari sudut komunikasi memiliki kemiripan yakni adanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapan supaya isi pesan rumpaka sampai kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan. Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan oleh sejumlah penembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru tembang setuju dengan isi rumpaka kemudian ingin menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari rumpaka. Apabila nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia dan permohonan doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat merupakan hablum minanas dan doa merupakan hablum minallah. Amanat Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 269 yang disampaikan melaluil lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh penikmat. Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah religius inimemiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang menganggap ‖Alima al-alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su‘eb, 1997: 36). Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama. Beberapa contoh Tembang Sunda Cianjuran di bawah ini mengandung pesan moral yang baik. 270 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Judul lagu : Sinom Liwung (Liwung) Pencipta :- Lagam : Cianjuran Laras : Pelog Degung Wanda : Rarancagan Deskripsi Transkripsi Sinom pamekaring rasa Sinom pemekar rasa Rasa Suci kang diwincik yang dibahas, Rasa Suci racikan ungkara basa jalinan bahasa basa pamekaring budi bahasa pemekar budi budi daya nastiti budi yang tangguh karena kehati- nutur galuring luluhur hatian babaran kaelingan mengikuti jejak leluhur digending dirakit dangding tentang keimanan komaraning daya sastra Kasundaan dijadikan tembang digubah dangding kewibawaan dari kekuatan sasatra Kasundaan Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh ini ada tanda yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yangdianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani. Roh yang sengaja diciptakan Allah dengan dilengkapi ikatan Nur-Nya. Kata kedua yakni babaran kaelingan ‘pembahasan tentang keimanan‘. Pengertian eling ‘iman‘ bahwa kita sebagai manusia harus memiliki keimanan yang kuat dan kokoh serta keimanan tersebut harus diaplikasikan dalam kehidupan kita . Dilihat dari isi rumpaka di atas, jelaslah kekuatan dari kesusastraan Sunda pada masa itu memiliki pesan moral yang baik, pesan tentang penguatan kita tentang rasa iman kepada Allah harus dikukuhkan di dalam lahir dan batin kita Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 271 Judul lagu : Tahajud (Sujud) Pencipta : Bakang Abubakar Lagam : Cianjuran Laras : Madenda Wanda : Rarancagan Deskripsi Tengah peuting sedeng Transkripsi jemplang- Tengah malam sunyi senyap jempling angkasa kehilangan wibawa awang-awang keur ilang dangiang dingin tenang sepi tiis lirih rehe combrek (Seorang) makhluk nuju menekung bersujud nyambat-nyambat Ilahi Robbi memanggil-manggil Ilahi Robbi Gusti Nu Murbeng Alam Tuhan Penguasa Alam sim abdi sumujud hamba tunduk tur pinuh karumaosan dengan penuh kesadaran dosa abdi teu wasa ngawincik deui dosa hamba tak bisa dirinci lagi tina ageung-ageungna karena besarnya Gusti abdi seja tobat. Ya Tuhan, hamba tobat Mugi kitu maksad abdi Gusti Oleh karena itu hamba memohon da Gusti mah sifat Maha Welas karena Engkau Maha Pengasih mugi dihapunten bae semoga hamba diampuni sareng abdi piunjuk dan hamba menyatakan bade tumut pangersa Gusti akan tunduk pada Kehendak-Mu sumembah salamina menyembah selamanya siang wengi sujud bersujud siang dan malam mugi taufik hidayah, dilimpahkeun hamba memohon taufik hidayah- ka abdi Gusti nu laip Mu hoyong husnul hotimah, Gusti ...... dilimpahkan mugi ngaiijabah. kepada hamba yang hina (Sobirin, 1987: 82) ingin husnul hotimah semoga makhluk Engkau permintan hamba. 272 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 sedang memenuhi Sesuai dengan judulnya rumpaka ini menceritakan tentang seorang hamba Allah yang sedang melakukan sholat pada waktu malam hari dengan situasi yang sunyi senyap dan udara yang dingin. Hamba ini meminta permohonan ampunan kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kemudian berjanji akan selalu tunduk serta menerima setiap takdir yang diberikan Allah, serta meminta taufik dan hidayanh-Nya, walaupun bergelimang dosa tetapi berharap dengan permohonan sambil melakukan sholat tahajud (sujud) akan menjadikan seorang hamba yang husnul hotimah. Teks ini dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang permohonan kepada Tuhan. Pesan moral yang disampaikan bahwa walaupun kita mempunyai banyak dosa akan tetapi apabila kita bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah maka harapan untuk menjadi manusia yang lebih lagi akan terbuka, karena Allah maha pengampun dan maha penyayang, Allah akan memberikan taufik dan hidayahnya bagi manusia yang benar-benar bertobat dan menyesali dosa-dosanya serta tidak mengulangi kesalahannya lagi rumpaka-rumpaka lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh yang berisi nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain : judul lagu : Naratas Jalan pencipta : Uking Sukri lagam : Cianjuran laras : Pelog Degung wanda : Jejemplang Deskripsi Transkripsi Geura bral geura mariang Silakan berangkatlah geura prak naratas jalan buka jalan teangan kasugemaan cari kepuasan enggoning keur kumelendang selama berkelana kumelendang masing yakin dalam dibarengan kaimanan keyakinan yakin kana pamadegan disertai keimanan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 berkelana disertai 273 Deskripsi Transkripsi tangtungan wanda sorangan yakin pada pendirian tapi poma 2x lain laku kaangkuhan. keyakinan hati nurani Kaangkuhan anu mawa namun kana jalan kaambrukan keangkuhan hirup teh lain sorangan Keangkuhan membawa loba pisan nu marengan ke jalan kebinasaan keur urang silih tulungan (sadari) hidup tidak sendiri lain eukeur pacengkadan banyak sekali sesama manusia nu taya hartina pisan untuk saling tolong-menolong nimbulkeun pondok harepan bukan untuk berselisih janganlah disertai ilang akal keur ngudag-udagan yang tak bermanfaat urang yang menimbulkan pendek pikiran kehilangan akal yang akan menyertai kita Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan kesatuan yang mendukung pada judul Naratas Jalan ‘Membuka Jalan‘. Apabila dikaitkan dengan penggunaan pupuh, ”membuka jalan‖ pada konteks ini, memiliki makna membuat pijakan hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan. Dalam menjalani kehidupan harus disertai keimanan, mempunyai pendirian yang kuat, dan mempunyai hati nurani . Sebagai makhluk sosial kita tidak dapat hidup sendiri jadi sudah seharusnya sesama manusia harus saling tolongmenolong bukan untuk berselisih yang sama sekali tidak ada manfaatnya. Rumpaka-rumpaka di atas merupakan sebagian kecil contoh dari Tembang Cianjuran yang selalu memiliki intisari pesan moral kebajiakan, nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai kemuliaan. Menjalani kehidupan ini ke arah yang lebih baik. 274 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 SIMPULAN Tembang Cianjuran merupakan karya seni yang berkaitan erat dengan pakem karawitan Sunda. Rumpaka atau teks lagu pada Tembang Cianjuran berisi nasihat, do‘a, dan segala sesuatu yang mengajak manusia dalam hidup di dunia selalu berada di jalan yang lurus yaitu jalan yang diridhai Tuhan Sang Pencipta. Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan manusia sebagai makhluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling mendoakan antarsesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada Sang Pencipta. Dalam rumpaka Tembang Sunda Cianjuran mengandung pesan moral yang sangat baik, kesenian ini harus dilestarikan sebagai kekayaan budaya yang dibanggakan. DAFTAR PUSTAKA Galba, Sindu. 2007. Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur. Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung. http://denis-aji.blogspot.com/2012/05/sejarah-dan-nilai-tembangcianjuran.html http://ronanusantara.wordpress.com/2010/10/05/mendengar-cianjuranmembaca-cianjur-110/ http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/mamaos-cianjuran.html http://cianjurtiger.goodforum.net/t69-mengenal-seni-budaya-cianjur-tembangcianjuran Kalsum. 2007. Nasihat dan Doa pada Tembang Cianjuran. Natapradja,Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung:Karya Cipta Lestari. Sobirin, 1987. Lagu-Lagu Mamaos Tembang Sunda Laras Pelog dan Sorog : Stensilan. Su‘eb, Ace Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung : Geger Sunten. Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 275 MENELISIK KANDUNGAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Lis Setiawati Universitas Terbuka Pos-el : [email protected] ABSTRAK Menelisik Kandungan Karakter dalam Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Kajian konseptual ini ingin mendeskripsikan kandungan karakter dalam pembelajaan bahasa dan sastra Indonesia. Indonesia memiliki tokoh pendidikan yang kehebatannya tidak kalah dengan tokoh-tokoh dunia lainnya yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah upaya dalam meningkatkan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran, intelek) dari tubuh anak, sehingga kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Pembelajaran didefinisikan oleh Knowles sebagai cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan. Budi pekerti secara operasional merupakan suatu perilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan yang akan terbentuk menjadi karakter seseorang/peserta didik. Berdasarkan definisi-definisi tersebut tampak bahwa pendidikan, pembelajaran, budi pekerti/karakter merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Perilaku positif yang harus dilatihkan kepada peserta didik terdiri atas banyak aspek. Satu diantaranya adalah cara berbicara. Dengan demikian, melatih kemampuan berbicara yang mengandung perilaku positif menjadi kewajiban guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Keterampilan berbahasa pun tidak dapat dilatihkan secara terpisah antarsatu keterampilan dengan keterampilan berbahasa yang lain. Kalau bahasa merupakan alat dan sekaligus media untuk membangun karakter, maka sastra juga dapat difungsikan sebagai media dan sekaligus alat untuk membangun karakter. Sastra adalah gambaran kehidupan manusia. Guru yang profesional, tidak merasa terebani untuk menyusun strategi pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dikaitkan dengan pendidikan karakter. Sastra menjadi media yang tepat di dalam menanamkan karakter positif bagi peserta didik. Melalui guru bahasa Indonesia yang profesional akan terbentuk sebuah generasi muda yang memiliki budi pekerti luhur/berkarakter kuat. Kata kunci: pendidikan, karakter, pembelajaran, bahasa dan sastra PENDAHULUAN Karakter menjadi topik pembicaraan hebat dalam pendidikan kita sekarang ini. Gaung karakter sangat mengejutkan masyarakat khususnya dunia pendidikan. Apa dan ada apa dengan karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:karakter memiliki arti: 1) sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. 2) karakter juga bisa bermakna "huruf". Pengertian yang sedang dibahas di sini adalah makna kata 276 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 yang pertama. Berdasarkan makna kata karakter tersebut diketahui bahwa setiap orang memiliki sifat, akhlak atau budi pekerti yang satu dengan lainnya berbeda. Di mana letak perbedaannya? Ditjen Dikdasmen - Kementerian Pendidikan Nasional menjelaskan perbedaan karakter antarindividu yakni: ―Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat‖. Berkarakter baik menjadi frase kunci bahwa ada orang yang memiliki karakter baik dan ada yang berkarakter buruk. Seorang guru profesional akan mengerti apa yang akan dihasilkan dari pekerjaan/tugasnya sebagai guru. Jika dengan ini (penjelasan Mendikdasmen) masih ada guru yang belum bisa memahami apa perannya sebagai guru maka dia harus membuka kembali, membaca, dan memahami bunyi ayat 3 pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ―Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang‖ Jika bunyi butir undang-undang ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua guru di semua jenjang pendidikan, mestinya tidak ada sesuatu yang aneh. Mengapa harus keluar atau dibuat undang-undang baru tentang pendidikan bermuatan karakter melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB I Pasal 1 ayat 1 berbunyi: ―Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Fungsi pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam undang-undang ini pada BAB II Pasal 3: ―Fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bangsa, bertujuan untuk 277 berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Isi UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UU Nomor 20 tahun 2003 ini sangat jelas ke mana arah pendidikan nasional negara kita. Bila dari sini masih ada guru yang belum memahami tugas-tugasnya sebagai guru, sebaiknya segera menyadari akan kelemahannya. Belajar dan memahami tentang pendidikan dan pembelajaran harus segera dilakukan agar benar-benar menjadi guru profesional demi terwujudnya bangsa yang beradab, maju, terhormat, dan berwibawa. Pendidikan dan Pembelajaran Sebagai guru bahasa Indonesia, penulis selalu mencari makna sebuah kata melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pendidikan berasal dari kata didik yang berarti pelihara dan latih. Kata dasar ini mendapat awalan pe- dan akhiran –an menjadi pendidikan yang dimaknai sebagai proses pengubahan sikap tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Beberapa ahli dalam http://sanggurukdb.blogspot.sg/2014/02 menjelaskan atau mendefinisikan pendidikan sebagai berikut. Langeveld: Pendidikan adalah pemberian bimbingan dan pertolongan rohani dari orang dewasa kepada mereka yang memerlukan. Crow and Crow: Pendidikan adalah proses pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia berkembang. John Dewey: Pendidikan adalah suatu proses yang membantu pertumbuhan batin tanpa batas usia. Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi Pekerti (kekuatan batin/ karakter), pikiran (intelek), dan jasmani anak selaras dengan dunianya. 278 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Definisi pendidikan dari empat ahli di atas, tiga diantaranya menekankan pada usaha pertumbuhan batin seseorang. Pertumbuhan batin di sini berhubungan dengan pengembangan budi pekerti atau karakter peserta didik. Tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyeimbangkan ranah batin dan lahir atau rohani dan jasmani. Unsur batin menjadi perhatian utama dalam pendidikan, menyusul kemudian unsur jasmani. Uraian di atas sangat mudah untuk dipahami dan melahirkan sebuah pengetahuan bahwa tidak ada pendidikan yang tidak mengemban penanaman karakter positif. Tidak disebutkan mata pelajaran yang mengandung karakter dan ada mata pelajaran yang tidak mengandung atau terkait dengan karakter. Suatu pandangan yang keliru, jika ada guru yang menunjuk pelajaran agama yang bermuatan karakter, mata pelajaran lain tidak. Begitu pentingnya pendidikan bagi seorang anak manusia. Hal ini kita ketahui melalui firman-firman Allah berikut ini. “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isteri kamu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orangorang yang zalim” (QS 2: 35). Ayat ini mengandung pendidikan karakter/perilaku patuh kepada zat yang memang seharusnya kita taati/ terhormat/ maha tinggi. Jika di dalam sebuah keluarga (manusia) ayat ini dapat diibaratkan seorang tua yang menasehati anaknya demi kebaikan anaknya kelak. Lihat pula ketika Allah mendidik Yunus dengan memasukkannya ke dalam perut ikan paus. “ Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: „ Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim" (QS al-Anbiya: 87). Nasehat Lukman kepada anaknya. ―Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri‖ (QS. Lukman: 18).―Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 279 suara keledai.‖ (QS. Lukman: 19). Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa seperti itulah seharusnya sifat-sifat/perilaku yang dimiliki oleh setiap manusia. Perilaku/tabiat/watak baik tidak datang dengan sendirinya. Anak, generasi penerus harus dibimbing, dilatih untuk bisa memilikinya. Di rumah orang tua wajib melaksanakan ini, di sekolah guru mengambil alih tanggung jawab ini. Pendidikan budi pekerti/karakter merupakan suatu proses, daya upaya membina budi pekerti peserta didik. Dengan demikian pendidikan memerlukan kegiatan untuk sampai pada tujuannya. Kegiatan memberikan bimbingan, proses, upaya tersebut adalah pembelajaran seperti yang diutarakan para ahli berikut ini tentang pembelajaran. Knowles: Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai tujuan. Slavin: Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku individu yang disebabkan oleh pengalaman. Crow dan Crow: Pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan sikap. Rahil Mahyudin: Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku yang melibatkan keterampilan kognitif yaitu penguasaan ilmu dan perkembangan Achjar Calil: Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (http://carapedia.com). Definisi-definisi pembelajaran di atas menggambarkan adanya sebuah kegiatan atau proses yang melibatkan pendidik dan peserta didik. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mengubah perilaku, tabiat, sikap peserta didik menjadi lebih baik (berakhlak dan berilmu pengetahuan). Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Setelah memahami definisi-definisi pendidikan dan pembelajaran, seorang guru profesional menerapkan pemahamannya di dalam pelaksanaan pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Tujuan pendidikan dicapai melalui pembelajaran berupa pemberian pengalaman kepada peserta didik. 280 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kendaraan yang mengantar sebuah pembelajaran adalah kurikulum. Oleh sebab itu, perumusan dan penyusunan kurikulum harus dilakukan dengan sangat teliti dan hati-hati. Grand desain atau rencana besar sebuah pendidikan harus disusun dengan benar. Hal pertama yang harus dirumuskan adalah tujuan. Kendaraan yang membawanya adalah kurikulum, kegiatannya adalah pembelajaran, untuk mengetahui hasilnya adalah penilaian, kebenaran atau ketepatan hasil yang diperoleh perlu dicocokkan dengan tujuan (pendidikan) yaitu manusia yang berakhlak/berbudi pekerti luhur, cerdas, dan berilmu. Bila dibuatkan diagram alur pencapaian pendidikan adalah sebagai berikut. PENDIDIKAN TUJUAN KURIKULUM PEMBELAJARAN PENILAIAN Bagan berikut menggambarkan tujuan utama adalah tercapainya tujuan pembelajaran (bersifat pengetahuan/kognitif dan psikomotor). KURIKULUM Pembelajaran Perencanaan Pelaksanaan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Evaluasi 281 Kompetensi Inti Bahasa Indonesia dan Kompetensi Dasar Bahasa Indonesia SMP/MTs Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya o Memiliki perilaku jujur dalam menceritakan sudut pandang moral yang eksplisit o Memiliki perilaku peduli, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan atas karya budaya yang penuh makna o Memiliki perilaku demokratis, kreatif, dan santun dalam berdebat tentang kasus atau sudut pandang o Memilikiperilaku jujur dan percaya diri dalam mengungkapkan kembali tujuan dan metode serta hasil kegiatan o Memiliki perilaku jujur dan percaya diri dalam pengungkapan kembali peristiwa hidup diri sendiri dan orang lain Pada kompetensi inti di atas tampak adanya muatan karakter (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, percaya diri, berinteraksi efektif). Beranjak dari kompetensi inti ini guru dapat memilih kompetensi dasar yang akan ditanamkan/diterapkan kepada peserta didik. Berlandaskan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang telah ditentukan guru memilih/menetapkan teks yang selaras dengan kompetensi tersebut. Teks tidak hanya sekadar dibaca, dipahami isinya, tetapi juga harus dapat diterapkan di dalam kehidupan peserta didik. Sifat baik/luhur yang sudah diperoleh selalu dilatihkan/dilakukan sampai terbentuk pada diri peserta didik. Kompetensi dasar o Memiliki perilaku peduli, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan atas karya budaya yang penuh makna Teks Membaca Tanda-Tanda Taufik Ismail Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan Meluncur dari sela-sela jari kita Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas 282 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tapi, kini kita telah mulai merindukannya Kita saksikan udara abu-abu warnanya Kita saksikan air danau yang semakin surut tampaknya Burung-burung kecil tak lagi berkicau di pagi hari Hutan kehilangan ranting Ranting kehilangan daun Daun kehilangan dahan Dahan kehilangan hutan Kita saksikan gunung memompa abu Abu membawa batu Batu membawa lindu Lindu membawa longsor Longsor membawa banjir Banjir membawa air Air mata Kita saksikan seribu tanda-tanda Bisakah kita membaca tanda-tanda Dengan teks di atas, guru mengajak peserta didik untuk mengungkapkan semua yang ada dalam benak mereka. Apa yang tampak oleh mereka melalui puisi Membaca Tanda-Tanda. Perasaan apa yang bisa lahir dari hati mereka. Apa yang akan mereka perbuat setelah melihat dan menyadari adanya tanda-tanda alam tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat didahului dengan pertanyaan-pertanyaan tekstual/tersurat misalnya: Apa warna yang digambarkan oleh puisi tersebut? Bagaimana keadaan danaunya? Bagaimana penyair menggambarkan hutan di dalam puisi tersebut? Pertanyaan-pertanyaan berikutnya dapat semakin tinggi yakni ke makna tersirat misal: Apa yang dikisahkan oleh penyair di dalam puisinya? Ungkapkan apa yang terbayang oleh kalian ketika/setelah membaca puisi tersebut? Pertanyaan terus bergeser ke ranah afektif misalnya: Bagaimana perasaan kamu bila menyaksikan keadaan alam seperti yang kalian lihat (melalui puisi) tesebut? Jika itu benar-benar terjadi di lingkungan kalian, apa yang akan kalian lakukan? Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 283 Apakah jawaban kalian datang dari lubuk hati atau sekadar membuat Ibu/Bapak guru menjadi senang? dll. Pembentukan karakter berlanjut pada aplikasi sehari-hari di sekolah (memelihara lingkungan, dengan berbagai tanaman, menjaga kebersihan, peduli kepada sesama. Karakter baik atau buruk akan terbentuk oleh latihan, kebiasaan, dan usaha yang terus menerus. Seorang guru profesional akan mampu membentuk karakter positif ke dalam diri peserta didik. Tugas ini dilakukan setiap saat di dalam maupun di luar kelas hingga peserta didik tumbuh dan berkembang menjadi generasi berbudi luhur sesuai dengan definisi-definisi pendidikan yang dikemukakan para ahli, sesuai dengan bunyi ayat dalam UUD 45 dan UU Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional. Masalah pemilihan teks yang sesuai dengan kompetensi merupakan tugas guru. Memang bukan tugas mudah, di sini guru dituntut memiliki perbendaharan teks yang memadai. Setelah memiliki banyak teks untuk digunakan di dalam pembelajaran, guru juga harus mampu menentukan strategi pembelajaran yang tepat sampai pada proses penilaian yang tepat pula. SIMPULAN Guru profesional, berakhlak mulia, berpengetahuan luas adalah modal utama bagi kemajuan dunia pendidikan kita. Tanpa ini harapan menjadi negara besar dengan bangsa terhormat dan berwibawa hanya akan menjadi anganangan. Tugas berat bertumpu di pundak para pahlawan pendidikan. Jika tidak ingin atau tidak sanggup mengemban tugas ini, lebih baik beralih ke profesi lain dengan tugas yang lebih ringan. Thomas Lickona, seorang guru besar pendidikan dari Cortland University (Glock dan Stark, 1966) dalam Ali (2009: 147-148) mengungkapkan bahwa, ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda ini sudah ada maka berarti sebuah bangsa sedang menuju kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh kelompok sebaya (peer group) yang dalam tindak 284 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama. Seorang guru yang selalu menanamkan karakter positif, seorang pemimpin yang baik, seorang pemuda yang berani, atau seorang warga yang peduli pada keberlangsungan hidup bangsa ini dapat menjawab dengan baik pertanyaan: ―Sudahkah tanda-tanda tersebut singgah di dalam lingkungan_negara kita?‖ Apakah kita akan diam saja? Kita tidak hancur karena negara, tetapi kita menjadi penyebab hancurnya negara. Keadaan yang menakutkan ini dapat diatasi melalui pendidikan. Untuk itu diperlukan guruguru profesional. Guru bahasa Indonesia yang profesional mampu membentuk peserta didik yang berkarater positif melalui berbagai teks lisan dan tulis yang tepat dan diolah dengan baik di dalam sebuah pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Ali, Mohammad. 2009. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Jakarta: Grasindo. Indah. - Pengertian Definisi Pembelajaran Menurut Para Ahli. http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_ ahli_info507.html.Diunduh 21 November 2014. ……. . 2014. Pengertian Pendidikan Menurut Para Ahli.(http://sanggurukdb.blogspot.sg/2014/ 02/pengertian_pendidikan_menurut_para_ahli. html). Diunduh21 November 2014 Soemanto, W. 1982. Dasar dan Teori Tantangan Bagi Para Pemimpin Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, Hal: 9-10 ....... . 2010. UUD 1945 Amandemen Pertama s/d Keempat. Yogyakarta: Jogja Bangkit. ....... . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 285 NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BIOGRAFI RASULULLAH KARYA MAHDI RIZQULLAH AHMAD Kajian Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi Nini Ibrahim dan Fauzi Rahman Sekolah Pascasarjana – Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA Pos-el: [email protected] ABSTRAK Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Biografi Rasulullah Karya Mahdi Risqullah Ahmad. Kajian Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi. Penelitian dengan metode analisis isi ini bertujuan untuk mengetahui representasi mengenai Nilai-nilai Pendidikan Berkarakter dalam Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah Ahmad. Hasil yang dicapai dari penelitian ini yaitu mengenai unsur intrinsik ini dapat diketahui bahwa dalam buku tersebut, terdapat alur progresif atau alur maju (Perkenalan, awal konflik, konflik, klimaks, penyelesaian), latar tempat peristiwa di kota Mekah dan Madinah, tokoh (Rasulullah s.a.w. dan para sahabat serta kerabatnya), dan tentu saja pesan atau amanat yang menyiratkan seseorang perlu berakhlak mulia. Selanjutnya, mengenai kajian struktural genetik yang dibagai dalam tiga pembahasan yaitu homologi, kelas-kelas sosial, dan pandangan dunia. Dari hasil analisis yang telah dilakukan, aspek paling dominan dalam Biografi Rasulullah adalah karakter Religius (dengan 40 Contoh), kemudian yang terbanyak kedua adalah karakter Peduli Sosial (dengan 34 contoh). Kata kunci: pendidikan karakter, biografi rasulullah, struktural genetik PENDAHULUAN Dalam kehidupan sosial di masyarakat, tidak dipungkiri lagi memang kondisi moral, mental, pola pikir, etika, dan nilai yang dipegang para remaja penerus bangsa di negara ini dalam status yang memprihatinkan. Jika dahulu kala Presiden RI yang pertama, Bapak Ir. Soekarno selalu mengedepankan pemuda untuk membuat negara ini maju dengan semboyannya, ―Berikan aku 10 pemuda, maka akan aku guncangkan dunia!‖. Hal tersebut memang tidaklah mustahil, mengingat kondisi pemuda pada saat kepemimpinan beliau masih sangat dapat diharapkan dan diandalkan. Hal tersebut tentu berbanding terbalik dengan kondisi pemuda khususnya remaja pada saat ini. Remaja yang pada umumnya seorang pelajar baik itu di SMA ataupun SMK, sebagai generasi muda penerus bangsa seharusnya berdiri paling depan dalam memajukan bangsa dan negara. Para pemuda tentu harus berada di garda terdepan dalam 286 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menerapkan intelektualitas dan karakter yang baik (akhlakul kariimah) sebagai harapan bangsa. Remaja yang seharusnya menjadi tumpuan dan tulang punggung negara, pada saat ini, justru kenyataannya berada pada kemerosotan moral dan etika. Banyak kita dengar di media televisi dan membaca di media masa tentang apa yang dilakukan oleh banyak pemuda di negara ini. Mulai dari tindakan tawuran antarpelajar yang hampir setiap saat kita dengar, kasus narkoba yang menjadikan para remaja sebagai sasaran utama, pemerkosaan terhadap kawan sendiri sesama siswa, perilaku seks bebas, konsumsi minuman keras, dan yang terakhir mencuat ke masyarakat adalah perilaku pemuda yang mengatasnamakan ―Geng Motor‖ yang meresahkan masyarakat dan ketertiban umum. Mungkin pada dasarnya kita harus berkaca pada apa yang dilakukan oleh para orang dewasa yang merupakan contoh dan panutan para remaja yang sedang dalam kondisi psikologis yang berapi-api. Sering kita saksikan di televisi acara-acara yang kurang bermutu, perilaku korupsi para pejabat, sikap serakah, sikap saling menjatuhkan antarlawan politik yang menjadi tontonan sehari-hari sehingga menyebabkan para penikmatnya khususnya remaja, menganggap hal ini merupakan hal lumrah karena sudah terlalu sering terjadi di masyarakat. Kondisi dan situasi ini menunjukkan bahwasanya masyarakat khususnya para remaja yang notabene siswa sekolah, mengalami krisis akan sosok keteladanan yang patut dicontoh sebagai suritauladan yang baik. Indonesia sejatinya memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang besar. Hal tersebut bukan tidak mungkin karena Indonesia telah dikenal sebagai negara dengan budaya dan keluhuran budi pekertinya, serta kekayaan sumber daya alam yang tak terhingga. Namun, fenomena degradasi moral dan etika yang marak terjadi di sekitar kita jelas memperburuk citra remaja dan citra bangsa Indonesia ini. Maka dari itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh dari seluruh pihak yang berkepentingan dalam pendidikan untuk mengembalikan karakter bangsa sehingga mampu melahirkan bangsa yang cerdas dan gemilang. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 287 Berkaitan dengan pembelajaran analisis wacana berbentuk biografi di Sekolah, Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad ini sangatlah cocok diaplikasikan. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya isi yang terkandung dalam buku tersebut, dan pentingnya membaca wacana kritis bagi siswa. Sehingga, selain menambah ilmu, dengan menggunakan media ini siswa juga akan mendapatkan wawasan yang lebih luas serta manfaat positif akan keteladanan yang terkandung dalam buku. Selain itu, pembinaan karakter juga hal yang perlu diajarkan dan direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu, penulis merasa perlu untuk menyusun tesis dengan permasalahan ini sebagai bahasan utama agar konsep pendidikan karakter tidak hanya hadir dalam teori, akan tetapi terdapat pula internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai karakter tersebut, sebenarnya tujuan pendidikan Indonesia sudah dapat disebut sebagai tujuan yang sempurna. Hal tersebut pada pernyataan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pasal 3 disebutkan bahwa watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. (Depdiknas, 2004) Sederhananya, penelitian ini membahas tentang representasi pendidikan karakter dalam Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Dari buku tersebut, maka akan dibahas seperti apa sosok Nabi Muhammad SAW dalam menjalani keseharian, dan kehidupan, serta keputusan-keputusan pentingnya. Dari gambaran karakter tersebut, maka pembaca penelitian ini dapat menangkap sebuah karakter yang bagus sebagai suri tauladan, sehingga dapat diaplikasikan dalam konsep pendidikan karakter. Bagaimana representasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah Ahmad melalui kajian strukturalisme genetik dan analisis isi? 288 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pendidikan Karakter Lickona menjelaskan bahwa karakter yang baik sebagai kehidupan dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri seseorang dan orang lain. Dengan mengutip definisi dari seorang filsif bernama Michael Noval, Lickona juga menambahkan bahwa karakter merupakan campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasikan oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah. (Lickona, 2012:81) Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Zubaedi (2011:9) menjelaskan definisi karakter yaitu paduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga seseorang atau sesuatu tersebut berbeda dari yang lain. Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviour), motivasi (motivation), dan keterampilan (Skills). Selanjutnya, Zubaedi juga menambahkan bahwa, Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. (Zubaedi, 2011:9) Karakter itu sendiri merupakan perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 289 kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, peraasan, perkataan, adn perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat. Individu yang berkarakter adalah dia yang baik dan unggul, serta selalu berusaha melakukan hal yang terbaik terhadap Tuhannya, dirinya sendiri, sesama, dan lingkungannya. Hal tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan potensi dirinya disertai dengan kesadaran, emosi, dan perasaannya. Rohman (mengutip dari rumusan pendidikan karakter Depdikbud) menjelaskan nilai-nilai pendidikan karakter dalam bukunya yang berjudul Kurikulum Berkarakter, sebagai berikut. 1) Religius : Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelasksanaan ibadah agama lain, dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2) Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3) Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4) Disiplin : Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5) Kerja Keras : Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif : Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7) Mandiri : Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8) Demokratis : Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 290 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 9) Rasa Ingin Tahu : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari, dilihat dan didengar. 10) Semangat Kebangsaan : Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11) Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12) Menghargai Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13) Bersahabat/Komunikatif : Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan berkerja sama dengan orang lain. 14) Cinta Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadirian dirinya. 15) Gemar Membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16) Peduli Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam yang ada di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17) Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18) Tanggung-Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. (Rohman, 2012: 237-239) Biografi Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain. Tugas penulis biografi adalah menghadirkan kembali Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 291 jalan hidup seseorang berdasarkan sumber-sumber atau fakta yang dapat dikumpulkannya. Teknik penyusunan riwayat hidup tersebut biasanya kronologis, dimulai dari kelahirannya, masa kanak-kanak, masa muda, dewasa, dan akhir hayatnya. Sebuah karya biografi biasanya menyangkut kehidupan tokoh-tokoh penting dalam masyarakat atau tokoh-tokoh sejarah. (Sumardjo dan Saini, 1988:22) Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau lebih tempat atau masa tertentu. Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Biografi adalah genre yang sudah kuno. Pertama-tama, biografi secara kronologis maupun secara logis adalah bagian dari historiografi. Biografi tidak membedakan negarawan, jenderal, arsitek, ahli hukum, dan pengenggur. (Renne dan Wellek, 1989:82) Pendapat menurut Wellek dan Werren di atas relevan dengan pendapat Coleridge (dalam Wellek dan Werren, 1989:82), ―Setiap kehidupan walaupun tak ada artinya, jika diceritakan secara jujur pasti akan menarik‖ Di mata penulis biografi, orang yang ditulis adalah orang yang mengalami perkembangan moral, intelektual, karir dan emosinya dapat direkonstruksi dan dinilai berdasarkan standar tertentu. Biasanya sistem nilai etika dan normanorma perilaku tertentu. Oleh karena itu, biografi dapat berbentuk fakta biasa, seperti fakta tentang kehidupan siapa saja. Strukturalisme Genetik Di dalam sebuah karya sastra terdapat sebuah unsur atau struktur. Faruk menjelaskan bahwa, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan 292 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan. (Faruk, 2013:56) Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian definisi tentang strukturalisme genetic, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetic masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek transindividual, dan pandangan dunia. (Ratna, 2013:121-123) Penjelasan di atas menerangkan bahwa strukturalisme genetik secara sekaligus berarti menerangkan sebuah karya sastra baik secara intrinsik maupun secara ekstrinsik. Kedua unsur ini lah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Sedangkan unsur ekstrinsik menurut Nurgiyantoro yaitu, unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. (Nurgiyantoro, 2002:23) Selanjutnya, secara definitif srukturalisme genetik harus menjelaskan struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual dan pandangan dunia. (Ratna, 2013:127) Dalam sebuah penelitian struktural genetik, langkah-langkah yang perlu dilakukan menurut Ratna antara lain, 1) Meneliti unsur-unsur karya sastra (intrinsik dan ekstrinsik) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 293 2) Hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra 3) Meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis karya sastra 4) Hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat 5) Hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat secara keseluruhan. (Ratna, 2013:127) METODOLOGI Metode yang akan digunakan dalam menganalisis nilai pendidikan karakter dalam Biografi Rasulullah: Sebuah Studi analitis berdasarkan sumber-sumber yang otentik, karya Mahdi Rizqullah Ahmad adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis konten atau kajian isi dalam sebuah objek berbentuk buku. kajian isi, merupakan teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis. (Moleong, 2013:220) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Setelah mengkaji unsur intrinsik selanjutnya peneliti mengkaji struktural genetik buku Biografi Rasulullah. Kajian struktural genetik tersebut terdiri dari: 1) Homologi 2) Kelas sosial 3) Pandangan dunia Pada aspek homologi, penulis mendapati bahwa karya ini merupakan sebuah karya Biografi yang bagus. Alasan pertama adalah buku ini termasuk ke dalam kategori buku Best Seller. Hal tersebut disebabkan pengarangnya sendiri menjelaskan bahwa buku ini dibuat dengan metodologi dan pembahasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan pada masa ini, yaitu lengkap, valid, dan hanya dalam satu jilid (tidak dibuat berjilid-jilid seperti sirah Nabi pada umumnya). Dijelaskan bahwa riwayat yang berhubungan dengan sejarah hidup Rasulullah sangat banyak. Namun dalam Biografi 294 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tersebut para pembaca akan mendapati pengarang mengabaikan beberapa riwayat dhaif. Hal ini berarti segala kejadian yang dituliskan hanya berdasarkan hadist yang relevan dan valid (sahih). Pada aspek Kelas Sosial, penulis mendapati bahwa pengarang buku Biografi Rasulullah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, merupakan orang yang kompeten dan latar belakangnya cukup representatif untuk menyusun sebuah buku Biografi yang bertemakan sejarah Nabi. Pengarang Biografi Rasulullah tersebut. Tercatat bahwa Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, kini mengajar bidang studi ―Sejarah Nabi‖ di Fakultas Kebudayaan Islam, Universitas Raja Sa‘ud Riyadh, Saudi Arabia, sejak tahun 1397 Hijriyah atau tahun 1977 Masehi hingga sekarang. Pada aspek Pandangan Dunia, dalam proses penciptaannya, Biografi Rasulullah tentunya tidak lepas dari bagaimana pengarangnya memandang terhadap kecenderungan dunia/kelompok tertentu mengenai kebutuhannya akan sebuah hal. Dalam hal ini, pengarang merasa membutuhkan terciptanya sebuah karya yang mampu dan dianggap representatif sebagai bahan referensi yang layak mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad s.a.w. Mahdi Rizqullah Ahmad memandang bahwa kajian seperti ini (kajian terhadap sirah Nabi) seharusnya dilakukan oleh para ahli hadis masa kita ini. Namun, karena belum ada di antara mereka yang melakukannya, beliau pun memberanikan diri untuk merambah ke bidang tersebut. Dalam membuat buku sejarah tentang kehidupan Rasulullah s.a.w., sebagai sumber rujukan, pada umumnya diciptakannya biografi Nabi s.a.w antara lain merujuk Al Quran dan Hadist. Setelah menganalisis masalah unsur karya dan struktural genetik karya, selanjutnya peneliti mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam Biografi Rasulullah. Dari kajian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa konsep pendidikan karakter yang berjumlah 18 poin yang terdiri dari, yaitu 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 295 lingkungan, 17) peduli sosial, 18) tangung jawab, terepresentasikan dalam buku Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Ke delapan belas poin pendidikan karakter yang tergambarkan dalam buku tersebut, kesemuanya merupakan contoh karakter yang positif dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan Homologi Dalam konsep homologi, kualitas sebuah analisis ditentukan dari karya itu sendiri, bukan ditentukan oleh struktur sosial pengarang. Jadi, bagaimana pengarang Biografi Rasulullah menjadi begitu berkualitas tergantung pada hasil ciptaannya sendiri. Dalam proses penciptaannya, Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah Ahmad, sesuai dengan metode pembahasan yang dituliskan langsung oleh pengarangnya, dijelaskan bahwa Riwayat yang berhubungan dengan sejarah hidup Rasulullah sangat banyak. Namun dalam Biografi tersebut para pembaca akan mendapati pengarang mengabaikan beberapa riwayat dhaif. Hal ini berarti segala kejadian yang dituliskan hanya berdasarkan hadist yang relevan dan valid (sahih). Pengarang menjelaskan alasannya bahwa diciptakannya Biografi Rasulullah tidak bertujuan untuk melakukan pencacahan terhadap semua riwayat yang periwayatan yang terkait dengan biografi Muhammad s.a.w. yang sering terdengar, melainkan untuk melukiskan kerangka sejarah hidup Nabi s.a.w. berdasarkan riwayat dan periwayatan yang sahih. Pengarang menjelaskan lebih lanjut, bahwa bila suatu peristiwa tidak memiliki sumber atau periwayatan yang sahih, sepanjang peristiwa itu tidak berkaitan dengan soal-soal akidah dan syariat, pengarang jiga akan menggunakan riwayat-riwayat dhaif. Hal tersebut beliau lakaukan karena banyak ulama memperbolehkan penggunaan atau penyebutan hadis-hadis dhaif dalam hal-hal yang tidak menyangkut akidah dan hukum-hukum fikih. Namun demikian, pengarang memesankan bahwa patut digarisbawahi prinsip pokok dari biografi Rasulullah karyanya untuk selalu menyandarkan diri pada riwayat dan periwayatan yang sahih saja. Buku ini dibuat tidak terlalu tabah, pengarangnya berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi jumlah 296 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 catatan kaki yang dibutuhkan. Walaupun pada kenyataannya jumlah catatan kaki pada biografi Rasulullah tetap mencapai hampir sepertiga tebal buku. Hal tersebut tidak lain karena kepentingan ilmiah memang mengharuskan demikian. Terlebih lagi, realitas menunjukkan behwa penyebutan hadis-hadis dhaif tersebut perlu dan harus selalu disertai penyebutan bukti, keterangan, dan fakta lain untuk memperkuat posisinya. Pengarang Biografi Rasulullah berusaha sedemikian rupa agar seluruh data dan fakta dalam buku tersebut dapat dipercaya. Tujuannya untuk memudahkan pembaca dan memeriksa validasi data dan fakta yang ada dalam buku tersebut, juga agar pembaca dapat mengambil lebih banyak data dan informasi. Selanjutnya, untuk penggunaan dalil, pengarang menerapkan skala prioritas. Pengarang lebih dulu menggunakan dalil-dalil dari ayat-ayat alQuran, kemudian dari hadits-hadits Rasulullah yang sahih, dan banyak tersebar di dalam kitab tafsir, hadis, hikmah, cerita, sejarah, sastra, dan kitab lainnya. Terakhir, pengarang juga melihat pentingnya menyimpulkan pokok-pokok permasalahan fikih, hikmah, dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi dalam sejarah hidup Muhammad s.a.w.. Kelas-kelas Sosial Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan kelas sosial adalah bahwa kelas yang dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang. Kenyataan tersebut pada umumnya memandang bahwa karya sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan pengarangnya. Pengarang Biografi Rasulullah menjelaskan bahwa beliau dipercaya untuk mengajar bidang studi ―Sejarah Nabi‖ di Fakultas Kebudayaan Islam, Universitas Raja Sa‘ud Riyadh, Saudi Arabia, sejak tahun 1397 Hijriyah hingga sekarang. Selama rentang waktu tersebut, beliau merasa kesulitan mendapatkan referensi yang layak untuk para dosen maupun mahasiswa. Beliau pun belum menemukan buku sejarah yang memenuhi beberapa kriteria yang terpikirkan dalam benaknya sejak lama. Karena keterbatasan pengalaman Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 297 dan pengetahuan beliau, dari dulu mengharapkan sebuah buku sejarah dengan beberapa kriteria yaitu: 1) Kaya akan materi ilmiah dan memuat semua peristiwa penting dalam sirah Nabi. 2) Ringkas dan padat, tidak lebih dari satu jilid, atau sekitar 600 halaman. 3) Mengikuti metode penulisan seperti yang beliau harapkan sebagaimana metode yang digunakan dalam Biografi Rasulullah, hasil karyanya. Itulah beberapa faktor yang mendorong Pengarang untuk memberanikan diri menulis buku Biografi Rasulullah tersebut. Mengingat bahwa Mahdi Rizqullah Ahmad, sebagaimana beliau menjelaskan bahwa dirinya mengajar pada bidang studi ―Sejarah Nabi‖, maka tentunya hasil karya yang berupa Biografi Rasulullah yang telah diciptakan atau dibuat, tentunya sangat relevan sesuai dengan kelas sosialnya. Hal tersebut kembali mengingatkan kita bahwa sebuah karya dan latar belakang pengarangnya memang tidak dapat dipisahkan. Pandangan Dunia Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam struktural genetik. Pandangan dunia inilah yang memicu subjek/ Pengarang menciptakan sebuah karangan. Identifikasi pandangan dunia dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. Dengan mengatahui pandangan dunia suatu kelompok tertentu, berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat. Dalam proses penciptaannya, Biografi Rasulullah tentunya tidak lepas dari bagaimana pengarangnya memandang terhadap kecenderungan dunia/kelompok tertentu mengenai kebutuhannya akan sebuah hal. Dalam hal ini, pengarang merasa membutuhkan terciptanya sebuah karya yang mampu dan dianggap representatif sebagai behan referensi yang layak mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad s.a.w. 298 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Mahdi Rizqullah Ahmad memandang bahwa kajian seperti ini (kajian terhadap sirah Nabi) seharusnya dilakukan oleh para ahli hadis masa kita ini. Namu, karena belum ada di antara mereka yang melakukannya, beliau pun memberanikah diri untuk merambah ke bidang tersebut. Banyak sekali ayat Al Quran yang membicarakan kehidupan Muhammad s.a.w. dalam berbagai kondisi. Sebelum maupun sesudah beliau diangkat menjadi nabi. Sebenarnya, banyak pengarang yang menciptakan buku sejarah nabi Muhammad s.a.w.. Pengarang Biografi Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa kita dapat membaca karya Dr. Muhammad Izzat Darwazah, Sirah Ar Rasul s.a.w: Sirah Muqtabasah min al Quran al Karim. Sama hal nya dengan karya Mahdi Rizqullah Ahmad, buku tersebut juga melukiskan biografi Rasulullah berdasarkan ayat-ayat alQuran. Kita pun, di Indonesia mengenal sirah Nabi yang terkenal karya Prof. Dr. Quraisy Shihab. Fakta tersebut membuktikan bahwa rujukan utama untuk mempelajari biografi Nabi s.a.w. adalah al Quran, siapapun pengarang buku tersebut. Hal itu disebabkan isi Al Quran sudah pasti kebenarannya. Bahkan, Al Quran adalah satu-satunya buku yang isinya paling valid sepanjang sejarah kehidupan manusia Selain Al Quran, Rujukan lain sebagai sumber rujukan diciptakannya biografi Nabi s.a.w antara lain: 1) Hadits Nabi 2) Buku-buku akhlak 3) Buku-buku tentang bukti-bukti kenabian (Mukjizat) 4) Buku-buku sejarah peperangan dan Biografi Nabi s.a.w. 5) Buku-buku sejarah kota Mekah dan Madinah (al Haramain) 6) Buku-buku sejarah umum 7) Buku-buku sejarah lain 8) Buku-buku sastra Kendatipun metode dan penulisan sirah Nabi dapat berbeda, namun siapapun yang menulis biografi Nabi s.a.w. tentu saja harus bersandar dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 299 merujuk pada ahli-ahli yang telah disepakati secara universal. Para pengaji dan penulis sejarah zaman ini hendaknya selalu melihat sanad-sanad meraka dan menelitinya dengan cermat. Singkatnya, sebaiknya siapapun pengarangnya harus mengambil riwayat-riwayat yang sahih saja dan meninggalkan riwayatriwayat yang lemah. Namun, kembali lagi diungkapkan oleh Mahdi Rizqullah Ahmad, bahwa untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan masalah-akidah dan hukum, riwayat-riwayat yang lemah ini pada tahap tertentu bisa dipertimbangkan penggunaannya sebagai dalil. Nilai-nilai Pendidikan Karakter 1) Religius Religiusitas dalam Islam tentunya dapat dinilai dari bagaimana seorang umat melakukan ibadah (shalat) dalam kondisi apapun juga. Dalam Biografi Rasulullah, digambarkan bahkan saat hendak akan berperang, jika waktu shalat sudah sampai, maka diwajibkan untuk umat menunaikan shalat. Sebagaimana kutipan berikut. Di tengah perjalanan, tepatnya ketika mereka baru tiba di Rauham Rasulullah memanggil Abu Lubabah dan memerintahkannya untuk kembali ke Madinah. Sebelum itu, beliau memerintahkan Abdullah ibn Ummi Maktum mengumandangkan azan untuk melaksanakan shalat. (BR. Hlm. 20). 2) Jujur Rasulullah s.a.w. sendiri, seumur hidupnya belumlah pernah melakukan sebuah kebohongan apalagi berkata dusta kepada orang lain. Tentunya hal ini pun dirasakan dan dialami oleh para sahabat, sebagaimana ucapan mereka berikut ini. Mereka (para Sahabat) menjawab, ―Kami tidak pernah menemukan kebohongan darimu (Rasulullah) sebelumnya). (BR. Hlm. 192) 3) Toleransi Sikap toleransi merupakan sikap menghargai perbedaan baik itu agama, maupun perbedaan hal lain. Menghargai perbedaan agama bukan lantas kita mengikuti apa yang dilakukan oleh agama lain. Akan tetapi, menghargai dalam hal ini berarti membatasi diri agar tidak menyakiti orang lain yang berbeda 300 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 keyakinan tanpa harus mengikuti ajaran lain tersebut. Masalah toleransi tersebut dapat kita simak pada kutipan peristiwa berikut. Sewaktu mereka (kafir Quraisy) berkata kepada Rasulullah, ―Sembahlah tuhan kami pada hari tertentu, dan kami akan menyembah Tuhanmu pada waktu yang telah ditentukan, ―Allah menurunkan firmanNya, ―Katakanlah, „hai orang-orang kafir‟! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku‟.” (QS. Al Kafirun: 1-6) (BR. Hlm. 208) 4) Disiplin Sikap disiplin tentunya tidak terbatas pada menaati peraturan dan melaksanakan peraturan dan kewajiban dengan baik. Akan tetapi, bagaimana cara memelihara peraturan dan menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsinya pun dapat dikatakan sebagai sikap berdisiplin. Hal tersebut tercermin dalam pribadi Rasulullah saat menempatkan orang-orang sesuai dengan keahliannya. Hal ini tentunya beliau lakukan agar yang dikerjakan dapat dilaksanakan semaksimal mungkin. Sikap tersebut dapat kita simak sebagai berikut. Dalam memimpin dan mengatur pelaksanaan pembangunan masjid ini, rasulullah selalu menempatkan orang sesuai dengan keahlian masing-masing. Sebagai contoh, Thalaq ibn Ali al Yamami al Hanafi menceritakan, Rasulullah berkata kepada para sahabat yang bekerja membangun masjid, ―Serahkanlah urusan pengadonan tanah kepada al Yamani, sebab ia paling ahli di antara kalian dalam hal membuat adonan tanah.” (BR. Hlm. 363). 5) Kerja Keras Sebagai cerminan hidup kerja keras yang dilakukan oleh Rasulullah dan dicontohkan kepada umatnya. Hal tersebut berimbas pada kehidupan para sahabat dan umat yang mengikuti ajaran beliau. Itu terbukti dari sikap kerja keras yang dilakukan oleh sahabat. Berikut adalah salah satu peristiwa yang dikutip. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 301 Sa‘ad pun menunjukkan kepadanya pasar Bani Qainuqa. Maka Abdurrahman pergi ke pasar itu dan kembali dengan membawa keuntungan berupa keju dan minyak samin. Kemudian, sejak itu ia terus berdagang di pasar hingga bisa mandiri dan hidupnya tidak lagi tergantung kepada saudaranya, Sa‘ad. (BR. Hlm. 375) 6) Kreatif Nabi Muhammad s.a.w. sendiri merupakan seorang yang kreatif, mulai dari bekerja, hingga menyelesaikan masalah atau konflik yang terjadi di hadapannya. Berikut adalah satu kutipan peristiwa di mana Rasulullah s.a.w. menunjukkan kreativitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Beberapa hari kemudian, ketika hendak menaruh Hajar Aswad ke tempatnya semula, mereka berselisih pendapat tentang siapa yang berhak membawa dan menaruhnya di tempat semula. Singkat cerita, akhirnya mereka sepakat bahwa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula adalah orang yang pertama kali keluar dari sebuah lorong kota Mekah yang telah ditentukan. Dan ternyata Muhammadlah yang pertama kali keluar dari lorong itu menuju ke arah mereka. Namun, Muhammad memutuskan untuk menaruh Hajar Aswad di atas sehelai kain panjang, kemudian diangkat bersama-sama oleh wakil seluruh kabilah. (BR. Hlm. 161) 7) Mandiri Rasulullah s.a.w. juga mengajarkan kepada sahabat dan umatnya untuk hidup mandiri dan tidak tergantung pada kebaikan orang lain. Berikut kutipannya. Beberapa orang Anshar juga berkata kepada beliau, ―Bagilah hasil kurma kami dengan mereka (orang-orang Muhajirin) Beliau (Rasulullah) menjawab, ―Jangan! Cukuplah kalian membantu mereka dengan mengikutsertakan mereka dalam merawat pohon-pohon itu lalu membagi kedua hasilnya. (BR. Hlm. 371). 8) Demokratis Sejarah mencatat, bahwa untuk menghargai hak-hak umat lain yang berseberangan dengan Rasulullah s.a.w. beliau beberapa kali membuat 302 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 perjanjian-perjanjian yang sifatnya menguntungkan bagi kedua pihak. Berikut salah satu kutipannya. Setelah menetap di Madinah, Rasulullah ingin mengatur hubungan sosial kemasyarakatan penduduknya. Beliau pun membuat sebuah kesepakatan tertulis yang dalam terminologi kuno dikenal dengan sebutan ―perjanjian‖ (alkitab) atau ―lembar kesepakatan‖ (Ash-shahifah). Adapun dalam terminologi modern, hal itu lebih dikenal dengan sebutan ―undang-undang dasar‖ (ad dustur) dan ―piagam‖ (al watsiqah). (BR. Hlm. 378) 9) Rasa Ingin Tahu Sikap rasa ingin tahu sebenarnya telah ada semenjak manusia diciptakan pertama kali. Hal ini pula lah yang terjadi pada manusia umumnya. Selain Rasulullah s.a.w. sendiri, ada sebuah kisah yang menunjukkan sikap rasa ingin tahu akan sesuatu hal yang baru. Menyaksikan keadaan Rasulullah yang demikian mengibakan, kedua anak Rabi‘ah terusik belas kasihnya. Mereka menyuruh seorang budak lelaki beragama Nasrani yang bernama Adas untuk memberikan serenceng anggur kepada Rasulullah. Dikisahkan, Adas sempat kaget dan heran ketika mendengar beliau membaca ―Bismillaah‖ sebelum makan anggur tersebut. Namun, keheranan itu sirna setelah Rasulullah memberitahukan bahwa beliau adalah seorang Nabi. Serta-merta Adas mencium kepala, kedua tangan, dan kedua kaki beliau. (BR. Hlm. 273). 10) Semangat Kebangsaan Dalam hal persatuan dan kesatuan, Rasulullah sangat bersemangat dalam mempersatukan umat muslim. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut. Rasulullah sangat bersemangat mempersaudarakan satu Muslim dengan Muslin yang lain. Ini merupakan bukti kesungguhan beliau yang kemudian membuahkan keridhaan Allah bagi kaum Muslimin untuk mengukuhkan keberadaannnya di muka bumi dan merealisasikan seluruh ajaran Islam dalam semua segi kehidupan. (BR. Hlm. 377). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 303 11) Cinta Tanah Air Rasulullah sangat mencintai kota Mekah. Beliau melarang adanya peperangan dan perpecahan yang dapat menimbulkan kerusakan di kota Mekah. Ini merupakan sebuah bentuk kecintaan beliau kepada tempat kelahirannya. Berikut adalah kutipan yang merupakan bukti bahwa Rasulullah s.a.w. mengistimewakan kota kelahirannya tersebut. Demikianlah, Rasulullah memilih untuk memaafkan dan bersikap sabar sebagai keutamaan dan pelaksanaan wahyu. Setelah itu, beliau menjelaskan kepada semua yang hadir tentang kehormatan tanah Mekah, dan bahwa Mekah tidak boleh diperangi lagi setelah penaklukan kali itu. Beliau juga mengangkat kedudukan kaum Quraisy dan melarang pembunuhan terhadap orang-orang Quraisy setelah hari penaklukan Mekah sampai kelak hari kiamat. (BR. Hlm. 752). 12) Menghargai Prestasi Rasulullah s.a.w. sangat menghargai seseorang yang telah bekerja keras. Terdapat peristiwa di mana beliau memuji sahabat yang telah bersemangat dalam melaksanakan pekerjaannya. Salah satu sahabat tersebut yaitu Ammar ibn Yasir. Berikut peristiwanya. Ammar ibn Yasir adalah orang yang paling bersemangat dalam bekerja. Terbukti, ketika orang lain hanya mengusung satu batu, ia membawa dua. Rasulullah pun mengusap-usap punggungnya seraya berkata, ―Wahai putra Sumayyah, ketika orang-orang mendapatkan satu pahala, engkau mendapatkan dua pahala. Akhir kekuatanmu adalah seteguk air susu, dan engau kelak akan dibunuh oleh golongan yang zalim.”(BR. Hlm. 363-364) 13) Bersahabat/ Komunikatif Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa sikap komunikatif Rasulullah s.a.w. saat melakukan perjanjian Hudaibiyah bersama orang kafir. Kendati banyak sekali permintaan yang memberatkan dari pihak Quraisy, akan tetapi Rasulullah tetap tenang dan menjaga kondisi perjanjian agar lancar dan tidak terjadi pertikaian. Intinya, dalam hal ini Rasulullah sangat terbuka. Inilah sikap bersahabat dan komunikatif yang ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w. 304 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Sesampainya di hadapan Rasulullah (Utusan kafir Quraisy), ia berbicara panjang lebar untuk mengutarakan maksud dan keinginan kaum Quraisy. Bahkan terjadi perundingan yang cukup alot antara beliau dengannya sebelum akhirnya perjanjian sama-sama disepakati oleh kedua pihak. (BR. Hlm. 642) 14) Cinta Damai Berikut ini, terdapat beberapa kutipan yang diambil yang memerintahkan kepada kita untuk lebih mengutamakan perdamaian. Kutipan berikut dapat kita simak sebagai berikut. Jadi, Allah melarang kita untuk mencaci tuhan-tuhan kaum musyrikin, kendati dalam tindakan ini terdapat maslahat atau kebaikan. Perlu diingat bahwa tindakan seperti itu juga bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Kaum musyrikin akan mencela dan menghina Allah secara berlebih-lebihan dan tanpa batas. (BR. Hlm. 211) 15) Gemar Membaca Sikap gemar membaca ditirukan oleh salah seorang sahabatnya bernama Abdullah ibn Mas‘ud. Tercatat, Abdullah ibn Mas‘ud merupakan orang yang sangat gemar membaca Al Quran dengan suara lantang. Hal tersebut selalu ia lakukan kendatipun telah diingatkan oleh para sahabat lain, karena hal tersebut dapat membahayakan keselamatannya. Orang yang pertama kali berani membaca Al Quran dengan suara lantang di Mekah selain Rasulullah adalah Abdullah ibn Mas‘ud. Bahkan ia tetap melakukan hal itu kendati beberapa sahabat sudah memperingatkannya. Kaum musyrikin tentu tak akan segan-segan menganiayanya bila perbuatannya sampai diketahui oleh mereka. Benar saja, ketika Abdullah ibn Mas‘ud tengah melakukan hal itu, tiba-tiba sekelompok musyrikin memukuli wajahnya sampai berbekas. Sesudah itu, salah satu sahabat berkata kepadanya, ―Inilah yang kami khawatirkan selama ini‖. (BR. Hlm. 219) 16) Cinta Lingkungan Rasulullah s.a.w. menunjukkan kecintaannya dan kepeduliannya terhadap Mekah. Hal tersebut terbukti ketika beliau membuat peraturan-peraturan terkait apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalam kota suci tersebut. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 305 Berikut adalah kutipan-kutipan keistimewaan dan kepedulian Rasulullah terhadap Mekah untuk menghindarkannya dari kerusakan. Pada khutbah ketiga, Rasulullah mengumumkan kehormatan tanah Mekah, keharaman berburu binatang-binatang di Mekah, memotong rerumputan Mekah dan pohon-pohon mekah, mengambil harta temuan di Mekah, dan berperang di Mekah. Beliau menuturkan bahwa Allah menghalalkan berperang di Mekah kepada beliau hanya beberapa waktu, yaitu saat penaklukan kota Mekah. Rasulullah juga bersabda bahwa tidak ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah. Akan tetapi, jihad dan niat masih tetap berlaku. Oleh karena itu, beliau membai‘at kaum Muslimin pascapenaklukan kota Mekah untuk tetap Islam, beriman, dan berjihad. Beliau tidak membai‘at kaum Muslimin untuk hijrah. 17) Peduli Sosial Rasulullah s.a.w. sendiri menganjurkan kita untuk peduli kepada sesama dan berperan dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikutip berikut ini. Selanjutnya, beliau menegaskan, “Seorang mukmin itu senang bermasyarakat dan disukai, dan sesungguhnya tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak bermasyarakat dan tidak disukai. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi mereka.” (BR. Hlm. 172) 18) Tanggung Jawab Pernah suatu hari, paman Rasulullah, Abi Thalib meminta beliau untuk menghentikan dakwahnya karena keselamata Rasulullah semakin terancam. Namun Rasulullah tidak bisa menerima apa yang diusulkan oleh pamannya tersebut. Dari ucapan pamannya, Rasulullah mengira sang paman tidak mau lagi melindunginya. Maka beliau berkata kepadanya, ―Demi Allah, Paman, seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku dengan maksud supaya aku meninggalkan tugasku (berdakwah menyiarkan agama Allah ini sampai tersiar di muka bumi) atau sampai aku binasa di dalamnya, niscaya aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (BR. Hlm. 196-197) 306 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 SIMPULAN Jika kita melihat pada hasil yang diperoleh mengenai representasi pendidikan karakter yang paling dominan dari karakter yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. dan para sahabat yaitu karakter Religius, maka hal tersebut tidaklah mengherankan. Hal tersebut karena tujuan utama Rasulullah menjadi Nabi dan Rasul adalah untuk mengajak umat manusia memeluk Islam dan beribadah sesuai dengan tuntunan dan syariat Islam. Aspek religius yang dominan ditunjukkan dalam kehidupan Rasulullah s.a.w. dan para sahabat yang digambarkan dalam biografinya, ternyata secara esensial berbanding lurus dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Tujuan pendidikan nasional yaitu, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Tujuan yang paling utama adalah sikap religius (beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia). Dapat ditarik sebuah sintesis bahwa sikap religius akan berdampak dan berbanding lurus dengan karakter-karakter yang lain. Ketika seseorang memiliki sikap religius, maka secara tersadar akan memahami tentang pentingnya memenuhi kriteria karakter yang lain. Maka dari itu, sikap religius inilah yang paling utama ditanamkan kepada seseorang sejak dini. Ketika seseorang telah memiliki sifat religius, maka orang tersebut akan jujur, menjaga jasmani, rohani, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. DAFTAR PUSTAKA Depdiknas. Undang-undang No. 20 Tahun 2004, Sistem Pendidikan Nasional. http://www.depdiknas.go.id. Diakses pada: Rabu, 26 Februari 2014. Pukul 14.27 WIB. Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lickona, Thomas, 2012. Educating for Character. Jakarta: Bumi Aksara. Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, 2013. Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres. Ratna, Nyoman Kuta . 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 307 Retno dan Qani‘ah. 2012. Buku Pintar Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Familia. Rohman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher. Sumardjo dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana. 308 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN “KISAH DI KANTOR POS” KARYA MUHAMAD ALI Nofiyanti STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerpen ”Kisah di Kantor Pos” Karya Muhamad Ali. Meningkatnya persoalan moral dalam masyarakat, menjadi keprihatinan pemerintah. Berbagai alternatif penyelesaian pun digunakan, salah satunya melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi relevan untuk diterapkan karena bersumber dari nilai luhur karakter dasar manusia, moral, dan agama. Pendidikan karakter diintegrasikan dalam karya sastra, salah satunya melalui cerpen. Tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan nilai pendidikan karakter dalam cerpen kisah di kantor pos karya Muhamad Ali. Nilai pendidikan karakter dapat dilihat melalui gambaran karakter tokoh. Selain itu dapat dilihat melalui tema dan amanat cerpen, sehingga diharapkan memperoleh gambaran yang jelas mengenai nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen kisah di kantor pos karya Muhamad Ali..Kajian ini menggunakan pendekatan moral. Dengan pendekatan moral ini maka penulis dapat melihat sejauh mana sebuah karya sastra itu memiliki moral. Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada dalam cerpen kisah di kantor pos karya Muhamad Ali ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunya, selain itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam penanaman nilai pendidikan karakter. Karena dalam cerpen ini mengandung nilainilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter yang terdapat cerpen kisah di kantor pos adalah nilai kejujuran, kesabaran, menghormati dan menghargai dan nilai keberanian. Nilai tersebut tampak pada karakter beberapa tokoh cerita. Nilai pendidikan karakter diungkapkan pengarang melalui sifat, perbuatan, perkataan, maupun pemikiran-pemikiran tokoh cerita. Kata kunci: pendidikan karakter, cerpen. PENDAHULUAN Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana cerminan moral para generasinya. Meskipun teknologi dan ilmu pengetahuan cukup berkembang pesat, tapi jika tidak didukung dengan perilaku yang luhur, tetap saja bangsa tersebut tidak layak dijadikan panutan. Dunia saat ini tengah berada dalam gempuran hegemoni tertentu. Globalisasi membawa dampak buruk dalam melunturkan identitas suatu bangsa. Indonesia pun tidak lepas dari pergeseran arus di dunia dan tengah berada dalam cengkraman globalisasi yang membuat generasinya seakan kehilangan identitas. Lunturnya nilai-nilai Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 309 moral, seperti maraknya kekerasan, kriminalitas dan perilaku-perilaku negatif lainnya membuat bangsa semakin kehilangan jati diri dan mengalami kemunduran moralitas. Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi pemilik masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang ada selama ini dianggap gagal dalam membentuk karakter siswa. Selama ini pendidikan hanya berorientasi pada angka/nilai semata. Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU Sisdiknas tahun 2003, Bab II, pasal 3, jelas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.Untuk itu, membangun karakter siswa sejak sekarang menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat penting. Pendidikan memang bukanlah sekedar transfer pengetahuan saja, akan tetapi sebagai alat pembentukan kepribadian, mulai dari pola pikir, kejiwaan dan pola tingkah laku. Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu dikembangkannya kembali pendidikan karakter di sekolah. Berangkat dari permasalahan tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menanamkan pendidikan karakter adalah setiap sekolah harus menyisipkan nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaranya. Salah satu contoh produk budaya yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai pendidikan karakter adalah adalah karya sastra. Dalam karya sastra kita bisa memetik nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan pola pikir dan ide kreatif yang dibangunya. Pemikiran, gagasan dan pola pikir 310 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dari pengarang pada dasarnya bersumber dari keadaan sekitar lingkungan pengarang. Oleh karena itu, di dalam karya sastra terdapat tafsiran-tafsiran masalah dunia nyata. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca. Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan yang ada di sekitar pengarang. Salah satu fungsi sastra adalah dulce et utile, artinya indah dan bermanfaat. Dari aspek keindahan, sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang berguna untuk menanamkan pendidikan karakter. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran, pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, santun, keberanian dan sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel, maupun drama. Melalui pengajaran sastra yang optimal, siswa didik akan dibawa pada situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan, menilai, menemukan, dan mengkonstruksi materi ajar yang mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang mereka temukan. Dengan demikian, pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilainilai positif, nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga nilai agama/religius. PEMBAHASAN Pendidikan Karakter Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika, ahlak, atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral. Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 311 menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Hal ini senada dengan menurut Suyanto (2009) bahwa karakter adalah sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Menurut Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10) telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, tanggung jawab. Sedangkan menurut Kosasih (1999:130131) menemukan beberapa nilai karakter yaitu (1) keberanian, (2) Ketaqwaan, (3) kesatriaan, (4) kesetiaan, (5) persahabatan, (6) hormat pada orang tua, (7), kasih sayang orang tua terhadap anak, (8) kesabaran, (9) kemanusiaan, (10) kedermawanan, (11) kesederhanaan, (l2) kepemimpinan. Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan segenap ciptaannya, (2) kemandirian dan tanggung jawab, (3) kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7) kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Pandangan ini cukup menarik dan kontekstual jika dikaitkan dengan situasi kekinian yang dinilai menunjukkan adanya kecenderungan perilaku anomali sosial yang menghinggapi kaum remaja pelajar kita yang makin abai terhadap nilai-nilai pendidkan karakter. Dengan kata lain, bahwa sudah saatnya proses ―pembusukan‖ budaya dan pembonsaian karakter siswa segera diakhiri dengan cara mengintensifkan pengembangan karakter siswa melalui pembelajaran apresiasi sastra yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. 312 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Cerpen Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Menurut Suryadi (2007:54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi novel. Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini tergolong singkat, biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Begitu pun Nurgiyantoro (1994:10), menurutnya sesuai dengan namanya, cerita pendek merupakan cerita yang pendek. Pendek dalam arti, cerita ini dapat dibaca dalam sekali duduk, dalam waktu antara setengah sampai dua jam. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431). Sama dengan karya sastra lainnya, cerpen juga memiliki unsur-unsur pembentuknya. Salah satu unsur pembentuk cerpen adalah unsur intrinsik. Pengertian unsur intrinsik adalah unsur yang terbentuk dari dalam cerita itu sendiri. Adapun unsur-unsur intrinsik dalam cerpen adalah tema, alur/plot, latar/setting, tokoh/penokohan, sudut pandang, dan amanat. Pendekatan Struktural dan Pendekatan Moral Ada dua macam pendekatan yang digunakan penulis dalam mengkaji cerpen ―Kisah di Kantor Pos‖ yaitu dengan menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan moral. 1. Pendekatan struktural, merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya satra dari dalam. Menurut Teeuw (1984:135) Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Dengan demikian, pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaitan unsur-unsur Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 313 tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Analisis struktural merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Selanjutnya berkaitan dengan pendekatan struktural di atas, menurut Nurgiyantoro (2010:37), adapun langkahlangkah dalam menerapkan teori strukturalisme adalah sebagai berikut: 1) Mengidentifikasikan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya sastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur; 2) Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui bagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 3) Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 4) Menghubungkan masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur dalam sebuah karya sastra. Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam analisis karya sastra, dalam hal ini cerpen, dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan kemudian menghubungkan antar unsur instrinsik yang bersangkutan. 2. Pendekatan Moral Pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan pengajarannya. Menurut Semi (1989;71) pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengahtengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya, berfikir dan berketuhanan. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya sastra yang mengandung nilai moral yang tinggi, yang dapat mengangkat harkat umat manusia. Dalam hal ini, karya sastra diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-mata mengandalkan bakat dan kemahiran berekspresi tetapi lebih dari itu, seorang penulis melahirkan sastra juga memiliki visi, aspirasi, itikad baik dan perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai tinggi. 314 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tetapi tidak memperhatikan moral dinilai karya yang tidak bermutu. Pendekatan moral menghendaki sastra menjadi medium perekaman keperluan zaman, yang memiliki semangat menggerakan masyarakat ke arah budi pekerti yang terpuji, karya sastra dalam hal ini dinilai sebagai guru yang dapat dijadikan panutan. Selain itu pendekatan ini menyangkut masalah didaktis yakni pendidikan pengajaran yang dapat mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu, oleh sebab itu karya sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat mengambilnya sebagai teladan (Semi, 1989: 71). Oleh karena itu, pendekatan ini berdekatan dengan relativitas konsep nilai moral. Analisis unsur intrinsik dalam cerpen “ Kisah di Kantor Pos” karya Muhamad Ali adalah sebagai berikut. a. Tema Dalam sebuah cerpen, tema merupakan unsur terpenting, tanpa tema penulisan tidak berfungsi. Menurut Aminudin (2004: 83) menyatakan bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga sebagai titik tolak pengarang dalam memaparkan karya yang diciptakannya. Dengan demikian tema adalah makna cerita, gagasan sentral atau dasar cerita. Adapun tema dalam cerpen ―kisah di kantor pos‖ karya Muhamad Ali adalah pembayaran poswesel. Dikatakan demikian karena dalam cerpen tersebut menceritakan hal yang berkaitan dengan pembayaran atau penerimaan poswesel yang dilakukan oleh si pegawai wanita kepada laki-laki kurus kecil dan penerima poswesel lain. Kebetulan dalam pembayaran poswesel terjadi kesalahan yang dilakukan oleh pegawai wanita. b. Alur/Plot Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 315 sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Adapun alur dalam cerpen ―kisah di kantor pos‖ adalah alur maju. Sebab peristiwa-peristiwa yang disajikan oleh pengarang secara berurutan, yaitu dari peristiwa pertama, pada saat tokoh lelaki kurus kecil menerima uang pembayaran poswesel. Kemudian dilanjutkan pada peristiwa kedua, yaitu pada saattokoh lelaki kurus kecil mengembalikan uang yang lebih dari pembayaran posweselnya, dan selanjutnya pada peristiwa ketiga yaitu pada saat tokoh lelaki kurus kecil marah besar kepada lelaki tegap yang dianggapnya mengolok-olokkan dirinya. Dari peristiwa pertama, kedua dan ketiga itu berurutan terjadinya. Peristiwaperistiwa tersebut juga menunjukan hubungan sebab akibat. c. Tokoh/Penokohan (perwatakan) Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut dengan penokohan. 1) Tokoh lelaki kurus kecil Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang jujur dan lugu. Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. “Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan uang poswesel kepada saya, sebab....?” “Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tak salah, sekian itu angka yang tertulis dalam poswesel saya.” “Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor poswesel saudara. “Si Pegawai lalu memeriksa salah satu jalur dalam daftar yang terkembang di hadapanya, kemudian katanya, “Nah ini, wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang tiga ratus rupiah?”. Apa yang keliru? Bukankah tadi saudara terima dari saya tiga ratus rupiah? 316 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tidak”, jawab laki-laki itu. “nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar ratusan, tetapi empat lembar. Jadi empat ratus rupiah yang saya terima tadi”. Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟” “Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?” “Nona, sela si Pegawai cepat. 2) Tokoh pegawai wanita Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Tokoh ini digambarkan sebagai orang yang memiliki watak ketus, egois, tidak mau tahu dengan urusan orang lain dan ceroboh. Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. “Ayo lekas bung!‟‟ kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket dibukanya. Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan buru-buru disodorkanya posweselnya ke loket. “Punya kartu pengenal?” tanya si pegawai. Lakunya itu terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tetapi dia tentu mengerti dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa. Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut. Satu jam telah berlalu dan si pegawai telah sibuk di mejanya, ketika tiba-tiba muncul kembali laki-laki kurus kecil yg pertama yang telah di layaninya tadi, di muka loket seraya berkata, “Maaf nyonya, saya mengganggu lagi. Tidakkah....?” “Nona” sela si pegawai, ketus. “Ya, ya ada apa lagi?” desak si pegawai. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 317 “Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan uang poswesel kepada saya, sebab....?” “Mana bisa keliru?” si pegawai menyela denga cepat. 3) Lelaki tegap wataknya suka menolong tetapi tidak jujur. Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi. Dia bertanya kepada lakilaki kurus itu. “Apakah yang sesungguhnya mendorong saudara dari jauh datang kembali, untuk menyerahkan uang itu?”. “Nah sekarang masukan kembali ke kantong saudara delapan puluh rupiah itu,” Ujar laki-laki berbadan tegap itu pula. Seratus rupiah akan saya keluarkan dari kantong saya untuk mengembalikannya,” seraya berpaling kepada si Pegawai dalam loket dan menyodorkan selembar kertas ratusan. Ia pun berkata, “Terimakasih kembali uang ini, Nyonya..... Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut. Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus itu berkata dengan hormat kepada kawanya barunya itu, “Saya mengucapkan terimakasih, atas kemurahan saudara.....”ujarnya pada si Tegap. “sebenarnya uang yang saya tadi kembalikan bukan uang saya.” Si kurus belum juga mengerti. “seperti yang saudara alami sebelumnya, begitulah si nona manis itu telah memberi ekstra pula kepada saya, sejumlah seratus rupiah.” Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya menggigil menahan amarah. 318 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 d. Setting/Latar Latar adalah tempat, waktu, maupun situasi tertentu yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa dalam cerita, baik latar ynag bersifat fisikal (berhubungan dengan tempat) maupun latar yang bersifat psikologis (berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang mampu menuasakan suatu makna yang mampu mengapit emosi pembaca). 1) Latar tempat : di kantor pos 2) Latar waktu : Pagi hari (jam kerja kantor pos) 3) Latar suasana : ramai, tegang, marah Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan perempuan, berdiri dalam satu deretan panjang, berbaris dari belakang dan berhenti di ujungnya di depan sebuah loket. Di atas loket itu tergantung sebilah papan bertulis dengan huruf-huruf putih mungil. Mengambil uang poswesel bertanda C. Biasanya poswesselposwessel yang bertanda C berjumlah di bawah seribu rupiah e. Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Adapun sudut pandang dalam cerpen ―kisah di kantor pos‖ adalah pengarang menggunakan sudut pandang sebagai penonton. Sebab, pengarang seolah-olah mengetahui semua peristiwa tersebut lalu menceritakanya ke dalam cerpen. Sedangkan kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga (yaitu menyebut tokoh dan kata ganti ia/ -nya). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 319 f. Gaya bahasa Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuangkan makna dan suasanadapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.Pada cerpen ini pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan. Gaya bahasa yang sering digunakan dalam cerpen ini adalah gaya bahasa perbandingan. Misalnya, dalam kalimat di bawah ini. Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat ranjang loket adalah seorang lelaki berperawakan kurus kerempeng yang sekilas tampak seperti karung goni kosong yang disampirkan ke jemuran. Gambaran tersebut ditegaskan kembali pada kutipan sebagai berikut. Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi. g. Amanat Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita atau pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Adapun amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca yang terdapat dalam cerpen ―kisah di kantor pos‖ karya Muhamad Ali adalah bahwa nilai kejujuran melebihi dari nilai uang. Dengan kata lain, uang bukanlah di atas segalanya. Ajaran ini dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus kecil yang mau berusaha dengan susah payah mengembalikan uang yang bukan miliknya atau haknya. 320 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Nilai pendidikan dalam cerpen “Kisah di Kantor Pos” karya Muhamad Ali Dalam bab ini, pengkaji menguraikan hasil kajian yang diperoleh dari analisis pada cerpen ―Kisah di Kantor Pos‖ karya Muhamad Ali. Analisis yang dibuat adalah berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen ini. Analisis ini berdasarkan pada pendekatan struktural dan pendekatan moral. Pada pendekatan struktural bertujuan memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan.Analisis struktural merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling menentukan, mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan pendekatan moral, kesusastraan memiliki tanggung jawab etika, yaitu sebagai alat untuk memperbaiki moral masyarakat. Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen ini tujuanya untuk memberikan pendidikan kepada pembaca. Penerapan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen ini adalah penting untung dijadikan panduan kepada pembaca dalam membentuk akhlak dan pribadi yang mulia. Adapun nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam cerpen ―Kisah di Kantor Pos‖ karya Muhamad Ali adalah sebagai berikut. 1) Nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini dapat digambarkan/dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. “Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan uang poswesel kepada saya, sebab....?” “Mana bisa keliru?” si pegawai menyela denga cepat. “Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tak salah, sekian itu angka yang tertulis dalam poswesel saya.” “Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor poswesel saudara. “Si Pegawai lalu memeriksa salah satu jalur dalam daftar yang terkembang di hadapanya, kemudian katanya, “Nah ini, wesel nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang tiga ratus Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 321 rupiah?”. Apa yang keliru? Bukankah tadi saudara terima dari saya tiga ratus rupiah? Tidak”, jawab laki-laki itu. “nona tadi memberikan kepada saya bukan tiga lembar ratusan, tetapi empat lembar. Jadi empat ratus rupiah yang saya terima tadi”. Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hatinya hampirhampir ia menjerit karenanya, itulah pula sebabnya ia bisa membuka mulut sesaat lamanya. Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟” “Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?” “Nona, sela si Pegawai cepat. Kutipan-kutipan di atas menggambarkan nilai kejujuran yang patut kita tiru dan kita contoh. Dari kutipan-kutipan tersebut, pembaca bisa termotivasi dan dapat menerapkan nilai kejujuran pada kehidupan sehari-hari. Nilai kejujuran yang dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus dapat dijadikan panutan untuk kita semua, bahwa nilai kejujuran melebihi dari nilai uang. Dengan kata lain, uang bukanlah di atas segalanya. Ajaran ini dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus kecil yang mau berusaha dengan susah payah mengembalikan uang ―kelebihan‖ yang bukan miliknya atau haknya. 2) Nilai keberanian, yaitu keberanian pegawai dalam mengakui kekeliruanya. Nilai keberanian ini dapat digambarkan/dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. “Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja 322 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟” “Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?” 3) Nilai menghargai dan menghormati orang lain. Nilai menghargai dan menghormati ini dapat digambarkan/dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat menahan hati dan ikut pula menengahi. Dia bertanya kepada laki-laki kurus itu. “Apakah yang sesungguhnya mendorong saudara dari jauh datang kembali, untuk menyerahkan uang itu?”. Laki-laki kurus itu berpikir sejenak mencari kata-kata yang patut untuk menjadikanya jawaban bagi pertanyaan yang yang datang tidak tersangka-sangka itu. Katanya saya merasa uang itu bukan milik saya. Jadi harus saya kembalikan kepada yang berhak.” “Saya merasa sungguh-sungguh terharu, menyaksikan kejujuran saudara. Jarang saya jumpa orang sejujur saudara. Kejujuran seperti ini patut kita hargai!”. Wajiblah kita hormati saudara. Maaf, Nona manis. “Lalu kepada laki-laki kurus, “sekarang sudah selesai . mari kita sama-sama pergi.” Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus itu berkata dengan hormat kepada kawanya barunya itu, “Saya mengucapkan terimakasih, atas kemurahan saudara.....”ujarnya pada si Tegap. 4) Nilai kesabaran. Nilai kesabaran dapat digambarkan/dibuktikan pada kutipan sebagai berikut. “Ayo lekas bung !‟‟ kata si pegawai kepada orang pertama serentak derak jendela loket dibukanya. Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 323 buru-buru disodorkanya posweselnya ke loket. “Punya kartu pengenal?” tanya si pegawai. Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud dan sekali lagi menyodorkanya ke dalam loket. Si pegawai kini mencocokan tanda tangan dalam poswesel itu dengan tanda tangan yang tertera pada kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingbandingkan potret dalam kartu dengan muka laki-laki di hadapanya. Lakunya itu terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tetapi dia tentu mengerti dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa. “Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini, benarkah ini potret saudara sendiri?” tanya si pegawai pada akhirnya “Mengapa? itu potret saya dua tahun yang lalu....” “Dua tahun? Mengapa begini jauh bedanya?” Laki-laki itu memandang tajam kepada si pegawai itu dan urat-urat di wajahnya meregang serempak. Tapi ia tetap membisu dan sabar. Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah si pegawai itu kemudian berkatalah. “ Ya kali ini biarlah, tak mengapa. Sebaiknya saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang terbaru. Maklumlah, orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang, sehari-hari zaman ini lebih serakah mengisap darah kita. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen ―Kisah Di Kantor Pos‖ Karya Muhamad Ali adalah sebagai berikut: a) tema dalam cerpen ini adalah pembayaran poswesel; b) latar yang ada dalam cerpen ini adalah latar tempat, latar waktu; dan latar suasana; c) alur yang ada dalam cerpen ini adalah alur maju; d) tokoh yang ada dalam cerpen ini adalah tokoh laki-laki kurus kecil, tokoh si pegawai wanita, dan tokoh lelaki tegap; e) gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa 324 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 sehari-hari yang biasa digunakan. Gaya bahasa yang sering digunakan dalam cerpen ini adalah gaya bahasa perbandingan, misalnya dalam kalimat: Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut pada kawat ranjang loket adalah seorang lelaki berperawakan kurus kerempeng yang sekilas tampak seperti karung goni kosong yang disampirkan ke jemuran; f) sudut pandang yang digunakan cerpen kisah di kantor pos adalah pengarang menggunakan sudut pandang sebagai penonton. Sebab, pengarang seolah-olah mengetahui semua peristiwa tersebut lalu menceritakanya ke dalam cerpen. Kata ganti yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga (yaitu menyebut tokoh dan kata ganti ia/ -nya); dan g) amanat yang ada dalam cerpen ini adalahnilai kejujuran melebihi dari nilai uang. Dengan kata lain, uang bukanlah di atas segalanya. Ajaran ini dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus kecil yang mau berusaha dengan susah payah mengembalikan uang yang bukan miliknya atau haknya, sedangkan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen kisah di kantor pos adalah nilai kejujuran, kesabaran, menghormati dan menghargai dan nilai keberanian. Nilai tersebut tampak pada karakter beberapa tokoh cerita. Nilai pendidikan karakter diungkapkan pengarang melalui sifat, perbuatan, perkataan, maupun pemikiran-pemikiran tokoh cerita. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhamad. 1997. Kisah di Kantor Pos. Dalam Horison. Edisi Juli . Hlm 38 Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Badudu, J.S. 1984. Sari Kesustraan Indonesia 1. Bandung: CV Pustaka Prima. Darma, Budi. 1981. Moral dalam sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya. IKIP. Djahiri, A. Kosasih. 1989. Teknik Pengembangan Program Pengajaran Pendidikan Nilai Moral. Bandung: Lab. PMPKn. FPIPS IKIP Bandung. Haryadi. 1994. Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 325 Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Suyanto.2009. Urgensi Pendidikan Karakter. http:// www. mendikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. 326 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 TUTURAN EMOSIONAL PENGGUNA JALAN DAN DAMPAKNYA BAGI PERKEMBANGAN EMOSI DAN BAHASA ANAK Nunung Supratmi Universitas Terbuka Pos-el: [email protected] ABSTRAK Tuturan Emosional Pengguna Jalan dan Dampaknya bagi Perkembangan Emosi dan Bahasa Anak. Tuturan emosional dapat terjadi di mana pun dan dituturkan oleh siapa pun, tidak terkecuali oleh para pengguna jalan, baik oleh pejalan kaki maupun oleh pengendara bermotor. Kemacetan lalu lintas dan pengguna jalan yang tidak tertib acapkali membuat emosi para pejalan kaki dan pengendara bermotor meningkat. Meningkatnya emosi para pejalan kaki dan pengendara bermotor seringkali dibarengi dengan tuturan yang kurang baik didengar. Tuturan emosional yang kurang baik dituturkan oleh penutur tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi pendengarnya, terutama bagi anak-anak yang sedang dalam tahap perkembangan emosi dan bahasa. Pemaparan ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi pembaca tentang dampak negatif tuturan emosional bagi anak sehingga akan lebih berhati-hati dalam bertutur. Kata kunci: tuturan emosional, perkembangan emosi dan bahasa anak PENDAHULUAN Dalam keadaan emosi, baik emosi senang, gembira, bahagia, tertekan, tersinggung, atau pun marah seringkali manusia tidak dapat mengendalikannya. Berbagai bentuk perbuatan sering ditunjukkan untuk meluapkan rasa emosi. Salah satunya dalam bentuk tuturan. Dalam keadaan senang atau gembira, bentuk tuturan emosional dapat berupa tuturan yang menunjukkan rasa kagum, memuji, ataupun tuturan bentuk syukur terhadap Tuhan YME. Sebaliknya, dalam keadaan tertekan, tersinggung, ataupun marah, tuturan emosional seringkali bernada kasar, dan tidak enak didengar, baik berupa umpatan, caci maki, atau pun hinaan. Luapan emosi ini terjadi karena adanya situasi atau kejadian yang memicu reaksi seseorang. Salah satu situasi yang membuat emosi seseorang meningkat adalah pada saat kemacetan lalu lintas dan pengguna jalan yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 327 tidak tertib. Kata-kata kasar, cacian, dan makian sering kita dengar tanpa mempedulikan apakah tuturan tersebut membawa dampak negatif bagi pendengarnya terutama bagi anak-anak. Anak-anak adalah peniru sejati. Ketika orang dewasa menuturkan katakata kasar, anak-anak akan merekam tuturan tersebut. Ketika mereka menghadapi situasi yang sama mereka akan menuturkan kata-kata yang pernah mereka dengar tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap tuturan emosional para pengguna jalan, baik yang dituturkan oleh orang dewasa maupun anak-anak dan juga pengalaman pribadi penulis, menginspirasi penulis untuk memaparkan bagaiman tuturan emosional pengguna jalan mampu memberikan dampak bagi perkembangan emosi dan bahasa anak. Tulisan ini hanya memaparkan bagaimana tuturan emosional yang mengandung rasa marah, tidak senang kepada pengguna jalan lainnya dan dampaknya bagi perkembangn emosi dan bahasa anak. Tuturan Emosional Langsung Tuturan emosional merupakan tuturan yang mengandung emosi. Berikut adalah beberapa pengertian emosi yang diungkapkan oleh para pakar. Luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. (KBBI, 2008:368). Emosi dalam pemakaian sehari-hari mengacu pada ketegangan yang terjadi pada individu akibat dari tingkat kemarahan yang tinggi‖. (Hude, 2006:hlm15) Emosi adalah suatu bentuk energi batiniah yang muncul dari pusat alam perasaan seseorang yang merupakan daya pendorong untuk menuju hidup yang lebih baik‖. (Tridhonanto dan Beranda…) Perasaan dan emosi seseorang bersifat subjektif dan temporer yang muncul dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang 328 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 yang paling postif sampai dengan paling negatif, seperti: senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega (straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing). (http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosi-psikologiumum/) Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa selain emosi negatif terdapat pula emosi positif. Bentuk-bentuk emosi tersebut dipaparkan oleh Tridhonanto dan Beranda ―emosi terbagi menjadi tiga jenis, yaitu emosi positif dan emosi negatif, dan kombinasi perasaan (antara positif dan negatif). Emosi positif meliputi rasa senang, bahagia, lega, dan puas. Emosi negatif meliputi rasa sedih, takut, gelisah, malu dan marah. Emosi kombinasi perasaan meliputi rasa bersalah, cemburu, frustrasi, dan bingung.‖ Emosi yang timbul dari dalam perasaan individu kemudian diekspresikan dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk gerak tubuh, mimik wajah, dan tuturan. Dalam bentuk tuturan, emosi positif diekspresikan dengan menuturkan kata-kata yang terdengar santun, misalnya kata-kata memuji, mengungkapkan kekaguman, dan mengungkapkan rasa syukur. Sebaliknya, bentuk tuturan emosi negatif terdengar tidak santun karena kata-kata yang keluar merupakan luapan emosi dari rasa amarah yang disebabkan oleh berbagai hal. Di dalam masyarakat, tuturan tidak santun sering disebut dengan tuturan emosional. Berbagai macam situasi dapat menyebabkan ketidaksantunan berbahasa terjadi. Salah satu situasi yang sering menimbulkan ketidaksantunan berbahasa adalah situasi di jalan, baik di jalan raya maupun di jalan yang hanya dapat dilalui kendaraan sepeda motor. Kemacetan lalu lintas dan pengendara yang tidak tertib lalu lintas acapkali membuat emosi para pengendara meningkat. Meningkatnya emosi para pengendara seringkali dibarengi dengan tuturan yang kurang baik untuk didengar, bahkan terdengar kasar dan bernuansa kekerasan. Kalimat-kalimat emosional yang sering kita dengar di jalan ada yang dituturkan secara langsung ke penggun jalan dan ada yang tidak Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 329 langsung. Berikut adalah beberapa contoh tuturan emosional yang sering dituturkan di jalan berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan. Tuturan Emosional Langsung. Tuturan emosional langsung ini dituturkan di hadapan petutur. Biasanya dituturkan dengan nada tinggi dan kata-kata yang digunakan lebih kasar, contohnya adalah sebagai berikut. a. ―Dasar goblok!” b. “Bego lo!”, c. “Mata lo taruh di mana” d. “Bisa nyetir ngga?‖ e. “Ngga punya otak ya!”, Tuturan Tidak Langsung Tuturan tidak langsung adalah tuturan yang dilakukan tidak langsung di hadapan orang yang mendengarkan tuturannya. Tuturan emosional tidak langsung biasanya dituturkan dengan nada lebih rendah dibandingkan dengan tuturan langsung kata-kata yang digunakan tidak sekasar tuturan langsung. Contohnya adalah sebagai berikut. a. “Kebelet pipis kali tuh orang”! Kalimat ini biasanya dituturkan ketika ada kendaraan lain menyalip kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. b. “Dasar orang kaya baru!” Kalimat ini biasanya dituturkan ketika sebuah kendaran melaju dengan cepat di jalan sempit tanpa memperhatikan pengguna jalan lain. c. “Matanya ditaruh di mana sih tuh orang, nyebrang jalan ngga lihatlihat!” 330 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kalimat ini biasanya dituturkan ketika ada penyebrang jalan tidak mempedulikan kendaraan yang sedang melintas di jalan yang dilaluinya. d. ―Ngga punya SIM kali tuh orang!” Kalimat ini biasanya dituturkan ketika pengendara lain tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas yang mengakibatkan kemacetan. Misalnya, ada tanda verboden tapi kendaraan tetap masuk sehingga kendaraan lain dari arah yang berlawanan tidak bisa lewat dan mengakibatkan kemacetan panjang. Selain contoh-contoh tersebut, masih ada kata-kata dalam tuturan emosional yang sering dituturkan pengguna jalan, Misalnya nama-nama binatang (anjing lo, monyet lo, bangsat lo, dll) dan bahkan kata ―setan lo‖ juga seringkali dituturkan jika penutur sedang dalam kedaan emosi. Kalimat dan kata-kata tersebut memang terdengar sangat kasar, tidak enak di telinga, dan tidak santun, tetapi merupakan pemandangan biasa yang kita lihat dan dengar di jalan dan dianggap hal yang biasa bagi sebagian besar masyarakat. Jika berbicara mengenai kesantunan berbahasa, kata-kata kasar yang dituturkan pengguna jalan tentu saja melanggar prinsip kesantunan berbahasa. Jika mengacu pada prinsip kesantunan berbahasa yang diungkapkan oleh Leech, maka penutur telah melanggar salah satu prinsip kesantunan berbahasa, yaitu prinsip kerendahan hati yaitu ―sedikit mungkin memuji diri sendiri dan mengecam diri sendiri sebanyak mungkin‖ (Leech, 1993:207). Prinsip kesantunan ini menekankan pada penutur untuk rendah hati, tidak mengecam orang lain atau melecehkan orang lain dengan kata-kata yang merugikan orang yang mendengarkan tuturannya. Prinsip ini tentu saja banyak dilanggar oleh para pengguna jalan. Dalam keadaan emosional yang tinggi dan tidak dapat mengendalikan emosinya, maka tuturan emosional tentu saja tidak dapat dihindarkan dan bahkan secara otomatis akan dituturkan. Dalam keadaan emosi tinggi, penutur akan lebih banyak mengecam orang lain dibandingkan mengecam diri sendiri. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 331 Dampak Tuturan Emosional bagi Perkembangan Emosi dan Bahasa Anak Ketika orang dewasa menuturkan kata-kata tidak santun di jalan mungkin sudah dianggap biasa oleh pendengarnya. Akan tetapi, jika tuturan tidak santun tersebut didengar dan ditiru oleh anak-anak akan menjadi hal yang sangat buruk. Cobalah kita perhatikan ketika kita berada di jalan raya. Tidak jarang kita jumpai anak-anak yang merasa tidak nyaman ketika berada di jalan menuturkan kata-kata yang kasar dan tidak santun. Hal ini membuktikan bahwa saat ini bukan orang tua saja yang berkata kasar di jalan raya, tetapi remaja dan bahkan anak-anak sering kita dengar berkata kasar ketika berada di jalan. Sebagai contoh, seorang anak berusia tujuh tahun sudah mampu menuturkan kalimat emosional berikut. 1. Ayah, orang itu ngga punya mata kali ya, nyebrang jalan ngga lihat-lihat. Untung ayah ngerem klo ngga ketabrak tu orang 2. Lihat yah, mobil itu ngebut sopirnya kebelet mau pipis kali ya. 3. Ayah, sopirnya ngga bisa nyetir tuh, lambat sekali bawa mobilnya. Apa yang akan dilakukan oleh orang tua ketika mendengar anak usia tujuh tahun menuturkan kalimat-kalimat tersebut? Ada orang tua yang mendengar tuturan tersebut hanya bisa diam, tertawa, atau mengiyakan apa yang dituturkan anak tersebut, tetapi ada juga yang menegur bahwa kalimat tersebut tidak baik untuk dituturkan karena tidak santun. Perbedan perlakuan ini disebabkan karena ada orang tua yang memang terbiasa menuturkan kalimatkalimat tersebut di depan anak-anaknya sehingga mereka merasa kalimat yang diucapkan tersebut biasa saja dan tidak ada unsur ketidaksantunan berbahasa, dan ada juga yang tidak pernah mengajarkan atau menuturkan kalimat-kalimat tersebut di hadapan anak-anaknya sehingga ketika mendengar anaknya menuturkan kalimat tersebut langsung menegurnya. Jika orang tua tidak pernah mengajarkan kalimat-kalimat emosional tersebut kepad anak-anaknya, lalu dari mana mereka mempelajari kalimat-kalimat tersebut? Mudah sekali menjawabnya. Tentu saja dari contoh yang pernah mereka lihat, dengar, dan rasakan dari orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan 332 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bahwa emosi dan bahasa diperoleh manusia melalui sebuh proses belajar, seperti yang diungkapkan oleh Goleman ―emosi itu bukan bakat, melainkan bisa dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan dan yang kurang baik dikurangi atau dibuang sama sekali. ‖http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosi-psikologiumum/). Selain itu, Shaleh dan Wahab menyatakan bahwa ―makin besar anak itu makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.‖ Pada pendahuluan telah dijelaskan bahwa anak-anak adalah peniru yang baik. Apa yang diperbuat oleh orang lain akan ditirunya. Begitu juga dengan apa yang dikatakan orang lain, maka dengan cepat akan ditirunya. Ketika seseorang menuturkan kata-kata kurang santun maka akan disimak dengan baik oleh anak-anak, kemudian direkam oleh mereka dan pada saat mereka mengalami peristiwa yang sama, mereka akan menuturkan hal yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa tuturan emosional memberikan dampak yang besar bagi perkembangan emosi dan bahasa anak. Anak akan ikut emosi ketika pengendara atau pengguna jalan melakukan kesalahan terhadap dirinya. Luapan emosi inilah yang memicu tuturan emosional sehingga kata-kata yang mereka tuturkan terdengar tidak santun. SIMPULAN Anak-anak adalah peniru sejati. Apa yang kita tuturkan akan direkam dengan baik dan kelak jika mereka mengalami situasi yang sama, mereka akan menuturkan kata-kata yang sama seperti yang mereka dengar. Oleh karena itu, sebagai orang dewasa kita harus mampu menjaga emosi terutama ketika merasa tidak nyaman di kendaraan, karena perasaan yang tidak nyaman akan menimbulkan emosi yang akan memicu tuturan emosional. Jika tuturan emosional terdengar oleh anak-anak maka dapat memberikan dampak negatif bagi perkembangan emosi dan bahasa anak. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 333 DAFTAR PUSTAKA Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosipsikologi-umum/ Hude , M. Darwis. 2006. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang Emosi Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga Leech, Geoffrey, 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (terjemahan M.D.D Oka). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam Prespektif Islam). Kencana. Jakarta. 2009 hlm 172-173 Tridhonanto, Al, dan Beranda Agency, 1996. Meraih Sukses dengan Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo 334 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 DUTA KAYUAGUNG DALAM TUJUH CERITA PENDEK Purhendi Yayasan Robithotul Ma‘ahid Brebes/ Pascasarjana Agama Islam Darussalam Ciamis Pos-el: [email protected] ABSTRAK Duta Kayuagung dalam Tujuh Cerita Pendek. Dunia kriminal, dilihat dari sudut pandang hukum agama dan hukum negara tetaplah merupakan suatu tindakan yang dilarang. Konsekuensinya adalah ‗dosa‘ dan ‗penjara‘. Namun kenyataan di masyarakat, hal demikian tetaplah ada. Pada komunitas masyarakat Kayuagung (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan), sampai saat ini dikenal adanya duta. Alumnus Pascasarjana UGM, Mulyadi J. Amalik, mengistilahkannya dengan sebutan ‗bandit sosial‘. Di Singapura, para kriminal jenis ini dijuluki ‗gang noble wood‟. Di Malaysia dikenal dengan istilah ‗criminal Indon‟. Fenomena duta ini telah ditulis penulis sendiri dalam tujuh cerpen yang berbeda. Bahkan pada tahun 2007, telah ditayangkan pada acara ‗Delik RCTI‘ yang narasumbernya adalah para duta, Mulyadi J. Amalik, dan Purhendi (penulis sendiri). Pada tujuh cerita pendek yang diulas dalam makalah ini, penulis mengulas berbagai segi, baik yang berkaitan dengan sikap ‗pribadi‘ para duta maupun sikap masyarakat di lingkungan para duta berada. Ketujuh cerpen yang diulas penulis yaitu; Sedekah Lepas, Setakatan, Riak Arus Sungai Komering, Putri Sang Duta, Istri Sang Duta, Seluang-Seluang Sungai Komering, dan Sang Duta. Kata kunci: duta, cerpen, kriminal. PENDAHULUAN Semasa penulis kuliah (1987—1993), dua orang dosen (Drs. Zaenal Abidin Gani dan Zainal Abidin Gaffar), kurang lebih menyampaikan hal yang sama tentang karya sastra yang berupa cerpen atau novel, yakni beliau mengemukan bahwa karya sastra adalah suatu karya yang realitas imajinatif atau imajinatif yang realistis. Artinya, ia hanyalah sebuah karya hasil khayalan, bukan sebuah realita atau kenyataan, meskipun sumber ceritanya mungkin saja bersumber dari kehidupan nyata. Sebagai sebuah karya yang ‗bersumber dari kehidupan nyata‘, keberadaan sebuah karya sastra, khususnya cerpen, berkaitan erat dengan ‗realitas itu sendiri‘ yang dikenal dengan ‗lokalitas‘ atau ‗warna lokal‘. Dalam suatu kesempatan, sastrawan Maman S. Mahayana menyampaikan bahwa lokalitas cerpen Indonesia janganlah hanya sekadar Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 335 aksesoris, melainkan sebagai bagian integral dari substansi karya. Di sini pun, tentu saja tidak sekadar momotret kehidupan, tetapi lebih pada ‗pengisian‘ nilai kehidupan itu sendiri dalam karya, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun drama. Dalam hal inilah kemampuan sang pengarang diuji. Menurut Kuntowijoyo, dalam salah satu esainya tahun 1973, tugas pengarang bukan hanya memotret realitas, tetapi juga melakukan kritik, idealisasi, dan simbolisasi terhadap realitas. Hal senada pun kembali ditegaskan oleh Abdul Hadi WM saat Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Hotel Nuansa, Pekanbaru, 26 – 30 November 2005 lalu. Tentang warna lokal ini, Dad Muniah lebih merinci lagi, bahwa dalam operasionalnya, warna lokal diperlukan sebagai bagian dari struktur karya sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari seting, atmosfer, dan penggunaan bahasa. Dad Muniah lebih lanjut menjelaskan bahwa sebagai bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi, semisal Sumatra Barat, Riau, atau Jawa. Lebih sfesifik dengan Surakarta, Yogyakarta, atau bahkan fiktif semacam Dukuh Paruk atau Wanagalih. Beberapa sastrawan yang selama ini dikenal kental menampilkan warna lokal (terutama Jawa), antara lain, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Linus Suryadi, Darmanto Jatman, Mangunwijaya, dan Danarto. Sedangkan warna lokal yang cenderung ‗global Indonesia‘, atau ‗outer Indonesia‘ menurut Clifford Geertz, di antaranya yaitu Ibrahim Sattah, Hamid Jabbar, Darman Munir, Harris Effendi Thahar, dan Korrie Layun Rampan. Apa pun tinjauannya tentang warna lokal ini, setidaknya kita kembali mengingat sejauh mana ‗pembatasan‘ lokalitas dalam sastra ini pada hasil KCI lalu. Dalam kesempatan itu disimpulkan tujuh hal yang berkaitan warna lokal sebagai hasil kongres. Di sini, saya cuplik kembali tiga simpulan yang khusus berkaitan dengan warna lokal ini, yakni sebagai berikut. Pertama, lokalitas dalam konsep budaya pada hakikatnya bukan merupakan wilayah yang terikat pada batas ruang tertentu, melainkan berkaitan dengan kesamaan sekaligus keragaman budaya. Kedua, konsep estetika loka sebagai wilayah penciptaan yang dinamis dan terbuka merupakan daya tawar global-lokal yang perlu dipahami dalam 336 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bentuk jamak dan citarasa seni serta kaidahnya dalam proses penerimaan dan pembentukan karya kreatif berdasarkan berbagai interaksi pengaruh dan dinamika budaya lintas batas. Ketiga, lokalitas cerpen Indonesia bukan sekadar sebagai asesoris melainkan sebagai bagian integral dari substansi karya yang bersangkutan. Pada makalah sederhana ini, penulis tidak akan mengulas warna lokal. Di sini penulis hanya akan menyajikan sebuah realitas keberadaan duta Kayuagung dalam beberapa cerpen penulis. Sebenarnya, realitas ini pun tidak lepas dari lokalitas atau warna lokal itu sendiri. Istilah-istilah yang berkaitan dengan duta di Kayuagung Dalam Kamus Besaar Bahasa Indonesia (2001: 281) dijelaskan bahwa kata ‗duta‘ bermakna; 1) orang yang diutus oleh pemerintah (raja dsb) untuk melakukan tugas khusus, biasanya ke luar negeri, utusan, serta 2) orang yang mewakili suatu negara di Negara lain untuk mengurus kepentingan Negara yang diwakilinya, membantu dan melindungi warga negaranya yang tinggal di negara itu, dsb. Namun, ‗duta‘ yang dimaksudkan dalam makalah ini, meskipun ada ‗kemiripan‘ dalam sisi lain, tentulah bukan yang demikian maknanya. Dalam kamus bahasa Indonesia maupun kamus bahasa daerah di Palembang, belum tercantum istilah-istilah yang berkaitan dengan duta seperti yang penulis maksud. Istilah-istilah berikut ini penulis definisikan sendiri dari temuan-temuan di masyarakat saat penulis mengumpulkan informasi, baik untuk bahan penulisan cerpen, novel, tesis, maupun tayangan televisi. Istilahistilah yang dimaksud antara lain sebagai berikut. Duta Istilah ini sebagai julukan khusus untuk orang dari daerah Kayuagung (Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) yang biasa mencari ‗penafkahan khusus‘ di daerah lain, terutama di luar negeri. Dalam bahasa Kayuagung sendiri dikenal dengan istilah keratak (perampok). Namun masyarakat menilai bahwa seorang duta/keratak tidak bisa disejajarkan dengan preman atau Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 337 perampok pada umumnya. Di samping mereka banyak beroperasi di luar negeri, konon mereka pun pantang menyakiti/menganiaya korbannya, apalagi sampai membunuh korban. Di Singapura dan Malaysia, menurut data Interpol, para duta dikenal dengan julukan Nobel Wood atau Gang Nobel Wood. Khusus di Malaysia, beberapa media massa menyebutnya sebagai Criminal Indon. Kebanyakan duta, dari penelusuran penulis, mengaku bahwa mereka sering beroperasi sendiri, tidak berkelompok. Mungkin ini hanya sebuah dalih. Sebab kenyataannya, di antara kelompok duta ini ada yang bertugas meta, sedangkan yang lainnya bertugas nage. Konon, cara yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang puluhan juta sampai milyaran rupiah di antaranya dengan menjambret, menodong, atau menukar tas korban, khususnya jika operasi dilakukan di dalam kantor/bank. Para duta biasanya mampu dengan tepat menebak berapa juta uang yang ada di dalam tas/koper calon korbannya. Lantas mereka memperdaya korbannya dengan cara menggeser atau menukar tas korban dengan bentuk yang sama atau hamper sama. Modus demikian oleh pohak kepolisian disebut ‗kelompok geser‘. Pada masa lalu mereka diidentikkan dengan Robin Hood. Namun di masa kini sudah banyak terjadi pergeseran nilai. Bahkan konon pernah juga terjadi saling bunuh di kampung sendiri karena memperebutkan uang hasil ngeratak. Pada masa lalu mereka diidentikkan dengan Robin Hood. Namun di masa kini sudah banyak terjadi pergeseran nilai. Bahkan konon pernah juga terjadi saling bunuh di kampung sendiri karena memperebutkan uang hasil ngeratak. Meta Meta adalah tugas khusus seorang duta yang pekerjaannya menyelidiki segala sesuatu tentang daerah target operasi atau calon korban (memetakan). Semacam intelejennya duta. Biasanya mereka berangkat terlebih dahulu ke lokasi atau negara tujuan. Setelah dipastikan bagaimana situasi dan kondisi di 338 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 wilayah target, barulah ia menghubungi temannya yang bertugas menjalankan operasi (nage). Nage Nage bermakna ‗menagih‘, yaitu menagih ‗zakat‘ atau ‗utang‘ (versi para duta), terhadap orang kaya yang kikir atau orang kaya non-Muslim, yang biasanya keturunan Tionghoa. Alasan ini sepertinya berbau SARA. Namun pada kenyataannya istilah ini digunakan para duta sekadar ‗dalih‘ dalam melakukan aksinya. Mereka inilah yang berfungsi sebagai ‗eksekutor‘. Mintar Makna sebenarnya mintar adalah ‗pergi berusaha‘ atau ‗pergi berdagang‘. Jadi mintar diartikan sebagai proses berusahanya/beroperasinya seorang duta ke daerah tujuan. Sedekah Lepas Sedekah lepas adalah ritual khusus yang dilakukan para duta yang akan berangkat mintar. Ritual yang dilakukan paling sederhana dilakukan yaitu biasanya mereka membawa beras putih (antara 1 sampai 5 canting) dan sebutir telur ayam kampung (diutamakan ayam putih) kepada seorang dukun/tokoh masyarakat untuk minta doa selamat. Sang dukun/tokoh masyarakat itu biasanya membacakan doa selamat atau Yaasin serta memberi wejangan lainnya. Misalnya hari apa mereka harus berangkat, jam berapa, serta persyaratan lain yang harus dilakukan atau pantangan yang harus dihindari. Kebanyakan para duta (calon duta) mengadakan rutual sedekah lepas dengan mengundang kerabat keluarga, tetangga, kadang tokoh masyarakat untuk makan bersama, yang intinya mohon bantuan doa keselamatan. Semacam Yasinan. Identik dengan ngarasulkeun dalam masyarakat Sunda. Duta dalam Berita Kisah tentang seorang duta telah ditayangkan RCTI pada tahun 2006 dalam acara Delik. Narasumber utamanya adalah Mat Kribo (mantan duta yang sudah pernah ngeratak ke Singapura, Malaysia, Hongkong, Brunei, Jerman, Swiss, dan Prancis). Narasumber lainnya adalah penulis (Purhendi) dan Mulyadi J. Amalik (Mahasiswa Pascasarjana UGM yang menulis tesis tentang duta). Berikut ini beberapa petikan tulisan dan judul berita yang dimuat beberapa media massa lokal dan nasional. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 339 a. Noble Wood : nama/istilah beken dari Kota Kayuagung menurut interpol (kepolisian internasional), yaitu kelompok kejahatan terorganisasi di Indonesia (dari Kayuagung). Info ini menurut Inspektur Jendral Didi Widayadi, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (dari Pusat Informasi Kompas, dalam Kompas, Jumat, 27-12-002, hal 25). Pada masa itu Kapolres OKI dijabat oleh Ajun Komisaris Besar Zulkarnain Adi Negara. b. Criminal Indon, Penjahat dari Indonesia (dalam Kompas, Jumat, 4 Mei 2004). c. Depati H. Muh. Rawas: mantan Duta. Muchtar Agung Rana : mantan duta tahun 1960-an, dai kondang, terpilih menjadi Anggota Dewan periode 1992. PENGANGGURAN PANGKAL DUTA KAMPUNG DUTA YANG AMAN TENTRAM ‗MAFIOSO‘ ALA KAYUAGUNG AGAMA DI KAMPUNG DUTA (dalam Panji No.16 tahun III, 4 Agustus 1999) d. DUTA KUALAT MERAMPOK DI NEGERI SENDIRI (dalam Republika, Minggu, 17 November 1996 , hal. 3) e. Kisah Penjambret di Negeri Jiran, Jakarta Hanya Tempat Belajar (dalam Kompas, Jumat, 14 Mei 2004) f. Di Kota ―Bandit‖ Preman Dianggap Duta (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 19 Maret 1995) g. Duta Necis Kayu Agung (dalam Gatra, 21 Juli 2001) h. TUJAH, DUTA, DAN TINDAK KRIMINAL DI SUMATERA SELATAN (dalam Kompas, Jumat, 27 Desember 2002, hal. 25) Duta dalam Tujuh Cerpen a. Tradisi Men-duta Muslim (guru bahasa Indonesia dan penulis sastra di Palembang) menulis Refleksi Budaya Lokal dalam “Isri Sang Duta”. Ia menyimpulkan bahwa cerita pendek ini sangat padat dengan budaya lokal Kayuagung (dalam Pelangi Bahasa dan Sastra, 2012: 125). Berarti, budaya lokal atau warna lokal ini tidak terlepas dari kebiasaan atau tradisi masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tradisi ini ada di masyarakat. 340 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Secara tidak langsung, keberadaan tradisi (kebiasaan) men-duta ini juga diakui oleh salah satu pemuda setempat, Ebhie Febrian, yang menulis KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT (DUTA) ??? KAYUAGUNG KOTA DUTA ??? (dalam http://kayuagung-oki.blogspot.com/2009/02/kayuagung-kota-duta- penulis-ebhie.html 3 febr 2009. Dia menulis sebagai berikut. Saya membaca beberapa artikel di sebuah situs blog tentang DUTA, bagaimana di blog menyatakan KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT salah besar apabila mendefinisi KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT, sangat tidak efisien atau tidak sesuai dengan faktanya di kayuagung, kurun waktu 5 tahun bagaimana minimnya tindak kriminal dikayuagung, Toh !!!, faktanya komonitas masyarakat kayuagung bisa tenang dan merasakan bisa hidup nyaman dikota kayuagung, bahkan kayuagung semakin di penuhi warga datangan. Dalam 5 tahun terakhir hampir tidak sama sekali terjadi tindak anarkis di kayuagung, seperti kerusuhan, demo (terakhir masa pemilukada toh itu hal biasa ang terjadi di indeonesia), tawuran siswa, hingga tidak ada perdebatan masalah kenaikan minyak dan kurangnya pasokan minyak.... ada yang mungkin membuat anda sedikit terkejut, hasil dari profesi ini yang sukses pernah mencapai 2 milyar, bayangkan dan bisa anda simpulkan itu bukan pencurian seorang amatir lagi,…. Tulisan terkini yang berkaitan dengan duta, khusus membahas cerpenperpen penulis dari berbagai sudut pandang, ditulis oleh Fitrida Septiani (2014). Dia adalah penduduk asli (sejak lahir sampai dewasa) Kayuagung. Skripsinya berjudul “Refleksi Budaya Kayuagung dalam Cerpen-cerpen Karya Purhendi”. Tradisi atau kebiasaan masyarakat ada yang menjadi duta di antaranya diungkap penulis dalam petikan cerpen berikut. Malam berikutnya di rumahku, sudah menunggu beberapa duta senior yang siap mengangkatku sebagai pemimpin generasi baru mereka. Biarlah hanya aku dan mereka saja yang tahu keberhasilan segala skenario yang barusan kujalani saat berkunjung ke Singapura dan Malaysia. “Saya sudah tahu beberapa saudara kita yang dipenjara, juga tempat kediaman saudara-saudara kita lainnya. Kita tinggal mengatur waktu untuk membebaskan mereka dan melanjutkan mintar di masamasa mendatang.” ucapku mantap. Orang-orang yang hadir di rumahku tersenyum gembira. Bahkan satu dua di antaranya memelukku tanda bangga dan percaya terhadapku. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 341 “Kami tak salah memilihmu untuk menajdi senior kami di masa mendatang.” tutur salah satu yang paling tua di antara mereka. “Besok, kita akan mulai kembali sedekah lepas.” tambahnya sambil memelukku erat sekali. (Sang Duta, Juni 2004) Dan bagi masyarakat kami, terutama di kampungku, tidak aneh pula bila kemudian para lelaki berniat menjadi seorang duta. Bahkan tidak jarang orang tua atau keluarga mertua pun sangat mendukung. Dan tidak aneh juga kalau ternyata justru ada yang menganjurkan agar lelaki yang ada di keluarganya menjadi seorang duta. (Riak Arus Sungai Komering, dalam Sriwijaya Post, 31 Juli 2005) Lagi pula, sudah bukan rahasia lagi, kekayaan yang dimiliki keluarga istriku, terutama ayah Ariani, konon awalnya bukan karena hasil usaha biasa. Ayah Ariani dikenal sebagai duta yang sukses. Di mataku, tak ada bedanya antara seorang duta dan seorang perampok, meskipun mereka merampoknya di luar negeri. Tapi memang, seorang duta di kampungku memiliki kedudukan terhormat dan disegani oleh masyarakat. Sehingga wajar jika banyak kaum lelaki di kota kecilku, baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum, memilih hidup menjadi duta untuk mencari uang banyak dan cepat, meskipun resikonya sudah jelas; penjara atau nyawa! (Seluang-Seluang Sungai Komering, Juni 2005). b. Tradisi Sedekah Lepas Seperti telah disingguh di atas, ritual sedekah lepas merupakan suatu ‗kewajiban‘ bagi para duta atau calon duta. Ritual ini disingguh juga oleh Fitrida dalam skripsinya. Berikut nukilan dari cerpen penulis perihal sedekah lepas. Lewat Isya, undangan mulai berdatangan. Angin malam tipis sekali berhembus. Langit biru bening dihiasi kemerlip berjuta bintang meskipun kurasakan tampak jelaga. Bulan sesabit tampak sendiri. Di kampungkun, bukan hal aneh dan bukan rahasia jika seorang duta yang akan berangkat mengadakan acara selamatan terlebih dahulu. Yasinan dan tahlilan biasanya . Semua warga sekitar diundang. Perangkat desa pun tak luput diminta hadir. Bahkan aparat keamanan pun tidak akan merasa aneh jika mendapat undangan seperti itu. (Putri Sang Duta, dalam antologi Nyanyian Terakhir (2003: 26), dalam Lintas Timur nomor 27/TH.I/Januari 2004 dan dalam Sriwijaya Post, 8 Februari 2004) 342 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Talam yang berisi sebutir telur ayam, secanting beras, dan semangkuk air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam itu, sambil bersila, ia sodorkan ke hadapan Nyai. Perempuan delapan puluh tahunan itu menerima talam dengan segala isinya begitu takzim. “Sedekah lepas ini kuterima. Mudah-mudahan segala usahamu nanti lancar dan berhasil. Tapi ingat, seperti orang-orang yang terdahulu, kau harus hindari pantangan-pantangannya. Jangan mintar di daerah sendiri, jangan nyakiti korban, nage-lah pada yang kelebihan. Carilah usaha yang baik-baik, yang diridoi Tuhan.” Nyai tercenung sejenak. “Ada yang lain dari jiwamu, hatimu lembut, tidak segarang namamu.” (Sedekah Lepas, dalam Berita Pagi, 16 Juli 2006) c. Berlawanan dengan Moral Meskipun tradisi duta ini ada di masyarakat Kayuagung, tidak berarti semua lapisan masyarakat melegitimasi keabsahan duta ini. Bagaimanapun juga, keadaan duta tetaplah bertentangan dengan moral, baik dari sudut pandang hukum agama maupun hukum masyarakat/negara. Berikut perlawanan moral para tokoh yang penulis angkat dalam cerpen. “Ibu menyarankan agar aku jadi keratak. Sebenarnya sudah lama ibu menganjurkan begitu.” aku hanya mendesah mendengarkan ucapan suamiku yang terasa berat. Aku tahu, ada ketidakrelaan di lubuk hatinya untuk menjadi seorang keratak atau lebih dikenal orang luar sebagai duta. Aku tahu betul sikap ibuku, ibu mertua suamiku, orangnya agak pemaksa. Kalau ada kehendaknya yang belum terpenuhi selalu saja dibicarakan berulang atau diungkit-ungkit. (Riak Arus Sungai Komering, dalam Sriwijaya Post, 31 Juli 2005) Petikan lainnya sebagai berikut. “Kalau kau besar nanti, kau mau jadi apa ?” kutanya adikku ala kadarnya sambil mengusap-usap kepalanya. Sebenarnya iseng saja kutanyakan hal itu, sekedar melepas gundah. “Aku mau jadi duta seperti Mang Udin yang sudah punya rumah bertingkat. Seperti Wak Haji Naning juga boleh, biar bisa naik haji”. jawab adikku polos. Ada nada kebanggaan kutangkap. Aku hanya mendesah. Kumaklumi, mungkin tak salah cita-citanya itu. Di kampungku memang bukan hal aneh jika seseorang menjadi duta atau bercita-cita menjadi duta. Lalu apa bedanya antara seorang duta dengan seorang perampok? “Jelas beda. Seorang duta tidak boleh menyakiti fisik korbannya, apalagi sampai membunuh. Juga tidak boleh beroperasi di kampung atau di tanah air sendiri. Itu namanya pengecut. Tapi seorang duta jelas harus siap kehilangan nyawanya jika ia sedang mintar!” demikian Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 343 antara lain pernah kudengar dari Wak Sobri yang juga pernah menjadi duta. Wak Sobri kini dikenal sebagai seorang mantan duta yang disegani. Ia pun sering dimintai petuah oleh para duta yang akan mintar. Tapi, ah entah bagaimana semuanya tak masuk akal bagiku. Bukankah dalam agama pun ditegaskan agar kita mencari rizki yang baik dan halal? Setidaknya ini yang pernah kudengar dari guru ngajiku, juga dari para kiai jika sedang berceramah. (Putri Sang Duta, dalam antologi Nyanyian Terakhir (2003: 26), dalam Lintas Timur nomor 27/TH.I/Januari 2004 dan dalam Sriwijaya Post, 8 Februari 2004) Menjadi duta? Aku bukannya takut. Terserah apa kata orang. Bagiku, itu artinya membohongi keyakinanku sendiri. Aku tak peduli, apakah hal itu dianggap biasa oleh masyarakat! (Setakatan, dalam Monica edisi 314, Minggu IV Januari 2006) Sebagai seorang lelaki, calon kepala keluarga, jelas aku sanagt memikirkan kehidupan materi untuk istri dan anakku kelak. Bahkan jika mungkin, untuk kedua orang tuaku, orang tua istriku, atau mungkin juga saudara yang lain. Tapi mestikah aku menjadi seorang duta untuk memenuhi semua itu? Di mataku, tak ada bedanya antara seorang duta dan seorang perampok, meskipun mereka merampoknya di luar negeri. (SeluangSeluang Sungai Komering, Juni 2005) d. Pengkhianatan Kawan Dunia kriminal, bagaimanapun solidaritasnya, tetaplah memungkinkan terjadi pengkhianatan terhadap kawan seprofesi. Umumnya ada dua hal yang menyebabkan demikian. Pertama, karena tidak tahan saat diinterogasi pihak berwajib dan kedua, karena keserakahan, tergiur untuk mendapatkan lebih banyak daari hasil tindak kejahatan. Pengkhianatan terhadap kawan seprofesi dalam dunia duta penulis angkat juga dalam petikan cerpen berikut. Begitu kugeser koper ke hadapanku, secepat kilat tangan kananku merogoh kecepek yang terselip di punggungku. Secepat kilat pula langsung kutarik picunya, kuledakkan tepat di depan kening Mang Kiyay. Mang Kiyay tersentak begitu saja, matanya melotot ke arahku bagai tidak percaya dengan apa yang kulakukan. Namun mulutnya terlambat untuk bersuara meskipun hanya sebuah jeritan. Kening yang tadinya agak berkeringat itu kini telah bersimbah warna merah segar 344 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dengan hamburan putih isi otaknya. Sebagian darah itu menyembur ke wajahku, ke kursi, dan tentu saja menutupi wajah dan bagian dadanya. Aku mencoba berdiri walau agak gemetar. Di telapak tangan kanan Mang Kiyay tampak sebuah pistol kecil masih tergenggam. Ia pun sebenarnya tadi refleks, mungkin juga karena kaget, mengambil sesuatu dari pinggangnya. Namun ternyata gerakkanku lebih cepat darinya. Yang teringat dalam pikiranku kini, suamiku dulu pernah berpesan bahwa kalau ia tewas saat mintar karena kelalaiannya berarti tak ada apa pun yang bisa dibawa. Tetapi jika ia tewas karena dikhianati kawan, setidaknya ia akan menitipkan sapu tangan warna merah jambu yang dulu ia bawa dari rumah. (Istri Sang Duta, dalam Sriwijaya Post, 23 Mei 2004) Informasi yang penulis dapat dari masyarakat, dalam petikan berikut yang ditulis oleh Ebhie Febrian, sebenarnya sang duta saling bunuh ketika pulang lampung, ketika diduga mendapatkan uang hasil ngeratak sekitar dua milyar, konon ditambah emas batangan. Perihal dugaan adanya emas batangan ini pulalah yang diduga sebagai pemicu sengketa (peristiwanya terjadi sebelum tahun 2000). ….ada yang mungkin membuat anda sedikit terkejut, hasil dari profesi ini yang sukses pernah mencapai 2 milyar, bayangkan dan bisa anda simpulkan itu bukan pencurian seorang amatir lagi, …. (dalam http://kayuagung-oki.blogspot.com/2009/02/kayuagung-kota-duta-penulisebhie.html 3 febr 2009, KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT (DUTA) ??? KAYUAGUNG KOTA DUTA ???). PENUTUP Sepengetahuan penulis, munculnya kasus duta didominasi oleh masalah ekonomi. Diakui atau tidak, ‗kebodohan‘ pun turut melatarinya juga. Inilah di antaranya yang diangkat penulis sebagai sebuah ‗kontrol sosial‘. Eri Agus Kurnianto (dalam Sumatera Ekspres, 27 Juni 2004) menulis demikian. Kita pun sangat setuju, bahkan dapat saya katakana semua manusia yang mempunyai hati nurani akan setuju, jika masalah kemiskinan, kesengsaraan, kebodohan, dan kritik-kritik sosial ayng berfungsi sebagai pengendali dalam berlayarnya biduk ini, yang menimpa saudara-saudara kita dapat ditampilkan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 345 Hanya saja penampilan permasalahan tersebut tidak hanya terbatas melalui suatu karya sastra yang menggunakan media bahasa tulis…. (―Persoalan Sosial dalam Sastra,‖ Sumatera Ekspres, 27 Juni 2004) Hal lain yang masih berkaitan juga ditulis oleh Muslim (dalam Kasmansyah, 2012: 125). Dia mengungkapkan demikian. Anggota dari seorang duta (tentu juga seorang dutanya) menyadari bahwa risiko perbuatan mereka tidak kecil: paling kecil penjara dan yang sangat malang nasibnya akan ditembak mati. Hal itu menyiratkan makna bahwa mereka sesungguhnya menyadari perbuatan menjadi duta dan minter itu adalah perbuatan melawan hokum dan melanggar hak azazi manusia lain serta menjungkirbalikkan norma-norma lain. (Refleksi Budaya Lokal dalam ―Istri Sang Duta‖, dalam Pelangi Bahasa dan Sastra, 2012: 125) Sebagai bagian dari realitas imajinatif atau imajinatif yang realistis, atau bahkan sebagai bagian dari lokalitas dalam sastra, cerpen-cerpen tentang duta ini tetaplah menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan studi, baik yang berkaitan dengan sastra, sosial, dan bahkan criminal. Meskipun demikian, penulis tetap mengungkap hal ini sebagai bagian ‗sumber kekayaan ide‘ untuk melahirkan sebuah karya sastra, khususnya cerita pendek. DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Anwar, M. Sohim dkk. 2003. Nyanyian Terakhir. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Fadillah, Rendi. 2008. ―Teknik Budidaya Penulis‖ (dalam Berita Pagi, Minggu, 6 Januari 2008). Palembang: Berita Pagi. Hermawan, Dian. 2007. ―Perkembangan Kesusastraan Terkini di Palembang‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 27 Mei 2007). Palembang: Sriwijaya Post. Kasmansyah dkk. 2012. Pelangi Bahasa dan Sastra. Palembang: Universitas Sriwijaya. Kurnianto, Ery Agus. 2004. ―Persoalan Sosial dalam Karya Sastra‖ (dalam 346 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Sumatera Ekspres, Minggu, 27 Juni 2004). Palembang: Sumatera Ekspres. Purhendi. 2004. ―Putri Sang Duta‖ (dalam Lintas Timur, No. 27/TH.I/Januari 2004). Kayuagung: Lintas Timur. _______. 2004. ―Putri Sang Duta‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 6 Februari 2004) Palembang: Sriwijaya Post. _______. 2004. ―Istri Sang Duta‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 23 Mei 2004). Palembang: Sriwijaya Post. _______. 2005. ―Riak Arus Sungai Komering‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 31 Juli 2005). Palembang: Sriwijaya Post. _______. 2006. ―Setakatan‖ (dalam Monica, Minggu IV, Januari 2006). Palembang: Monica. _______. 2006. ―Sedekah Lepas‖ (dalam Berita Pagi, Minggu, 16 Juli 2006). Palembang: Berita Pagi. _______. 2008. First Love. Palembang: SSSI Palembang & Agupena Sumsel. Septiani, Fitrida. 2014. ―Refleksi Budaya Kayuagung dalam Cerpen-cerpen Karya Purhendi‖. Palembang: Universitas Sriwijaya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 347 PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA Ratu Badriyah Universitas Terbuka Pos-el: [email protected] / [email protected] ABSTRAK Pembentukan Karakter melalui Pembelajaran Apresiasi Sastra. Upaya mencerdaskan bangsa dapat diwujudkan jika secara bersama-sama, kita sebagai bangsa melakukan tugas sesuai dengan bidang kita masing-masing. Guru adalah profesi yang mengemban tugas utama dalam mencerdaskan bangsa. Melalui pembelajaran yang disajikan guru dituntut melaksanakan pembelajaran sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat memenuhi tugas tersebut adalah pembelajaran sastra. Salah satu tujuan umum pembelajaran bahasa dan sastra adalah mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, wawasan kehidupan, meningkatkan kemampuan berbahasa, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual. Dengan pembelajaran apresiasi yang benar diharapkan akan terbentuk kepribadian positif yang pada puncaknya membentuk karakter siswa seperti diamanatkan undang-undang. Kata kunci: pembelajaran, apresiasi sastra, pembentukan karakter. PENDAHULUAN Akibat globalisasi dunia kini semakin mencengangkan. Pesatnya perkembangan teknologi dan komunikasi yang seolah berlari telah memelekkan mata kita untuk mengejar ketertinggalan di samping mewaspadai dampak yang ditimbulkan. Kewaspadaan tersebut sangat penting untuk bahan pijakan bagi kita sebagai antisipasi bahwa kemajuan dalam bidang apa pun selalu mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positif dampak globalisasi adalah derasnya penemuan dari berbagai disiplin ilmu yang dapat membuat kita tidak dapat mengejarnya. Demikian pula keberhasilan yang dicapai bidang teknologi informasi yang membuat hubungan antara sesama manusia di bumi seolah tidak berjarak. Hasil teknologi tersebut dapat kita saksikan dalam berbagai bidang. Begitu canggihnya peralatan yang dihasilkan manusia dalam teknologi sehingga tidak ada lagi yang sulit. 348 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Deminkian pula sisi negatif dampak globalisasi terus menjejali pemandangan kita. Peristiwa demi peristiwa perilaku keburukan semakin menggila. Berbagai cerita penyimpangan dalam berbagai bentuk telah membuat kita terperangah. Kejahatan seksual yang diekspos dengan vulgar, penyalahgunaan obat-obat terlarang yang semakin sulit ditentukan jenis dan kelompoknya, pencurian yang sudah semakin menjadi-jadi dan mengerikan, korupsi global para berwenang dari lingkup terkecil sampai tertinggi, perkelahian antarsekolah, antargeng, antarsuku, antarkampung, dan antaranggota dewan, dan antarangkatan bersenjata yang memalukan mewarnai negeri ini. Berita-berita yang mengerikan sudah menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat karena ditayangkan bertubi-tubi di berbagai media, menambah beban pikiran semakin berat. Dengan ragam tayangan tersebut, pasti akan berdampak pada pembentukan karakter anak-anak bangsa ini khususnya siswa yang masih memerlukan figur-figur baik sebagai model. Bagaimana seorang siswa dapat mempertahankan karakter baik jika yang dihadapi keseharian mereka adalah perilaku- perilaku buruk. Untuk mengatasi hal demikian sangat diperlukan jalan keluar yang cepat dan sistematis. Jalan tersebut tidak bisa lain kecuali melalui bidang pendidikan. Pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama dalam pendidikan, sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3. Bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya mencerdaskan bangsa melalui pembentukan karakter tersebut dapat diwujudkan jika kita bersama-sama melakukannya sesuai bidang masingmasing. Dosen atau guru tidak dapat lagi berdiam diri, tetapi harus segera bergegas dan bertindak sebelum segalanya terlambat. Mari kita bersama-sama mewujudkan upaya pencerdasan tersebut. Gurulah pengemban tugas utama dalam pencerdasan bangsa melalui pembelajaran yang disajikannya. Salah satu alternatif pembelajaran yang dapat memenuhi tugas tersebut adalah pembelajaran apresiasi sastra. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 349 Pembelajaran Apresiasi Sastra Apresiasi sastra merupakan kegiatan menggeluti karya sastra dalam rangka memahami, mengahayati dan mengambil nilai positif yang terkandung dalam karya sastra untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apresiasi sastra juga dapat diartikan sebagai kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga terjadi proses pengenalan, pemahaman, penghayatan, penikmatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Pengenalan terhadap karya sastra secara mendalam dapat diperoleh melalui kegiatan membaca, mendengar, dan menonton karya sastra dengan sungguhsungguh. Zaidan (2007) menjelaskan bahwa, apresiasi sastra pada hakikatnya sikap menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Tidak hanya itu, karya sastra berisi gambaran tentang kehidupan (Saini, 1991: 25). Karya sastra diciptakan melalui pengamatan dan penganalisisan yang panjang tentang masalah-masalah kehidupan. Oleh karena itu di dalam karya sastra terkandung makna berupa pelajaran bagi pembaca/mahasiswa tentang kehidupan. Dalam hal ini Zaidan (2007) menambahkan, ―Apresiasi sastra mengakrabkan kita dengan kehidupan‖. Mengakrabkan kita dengan kehidupan berarti mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya, sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Keakraban yang terjadi atau terbentuk dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Hal inilah yang membuat manusia seringkali lupa atau tidak menyadari apakah kita berada dalam koridor yang benar atau justru berada pada tempat yang salah. Hal seperti ini harus selalu menjadi perhatian bagi orang dewasa terutama yang berprofesi sebagai guru. Guru tidak hanya memiliki kewajiban terhadap dirinya tetapi juga kepada para siswanya. Pembelajaran apresiasi sastra merupakan satu dari sekian banyak media yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai-nilai positif kepada siswa. Menurut Saini (1991: 25) sastra berupaya menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. 350 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Karya sastra dan apresiasi memperkuat keyakinan akan pentingnya pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Hal ini diutarakan Endraswara, (2005: 53), ―Pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus kemanusiaan. Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup, pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula, peserta didik akan mampu memahami diri secara idividu dan kelompok, hingga akan menjadi manusia utuh, bermental baik, dan humanis‖. Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, seseorang harus melalui langkah-langkah berikut ini. a. Keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya. b. Penghyatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra secara intens, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi. c. Pengimplemantasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan kontekstual (Endraswara, 25: 78-79) Penjelasan-penjelasan tersebut menyiratkan bahwa pengajaran apresiasi sastra adalah sebuah pengajaran yang mengandung makna sangat dalam, bukan pengajaran yang bertujuan sekadar siswa mengenal sastra dan karya sastra. Melalui karya sastra yang dipelajarinya, siswa harus dapat menarik pesan yang dikandung dalam karya tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari. Nilai-nilai Positif dalam Pengajaran Apresiasi Sastra Karya sastra adalah hasil kegiatan kreatif manusia dalam mengungkapkan penghayatan dengan menggunakan bahasa. Karya sastra berisi gambaran kehidupan seseorang atau sekelompok orang/masyarakat dengan segala kondisi yang melibatkan emosi, pikiran, dan wawasannya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 351 Sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sifat-sifat positif pada diri seseorang/siswa tercermin dalam perilakunya. Sifat atau nilai positif dalam kehidupan seseorang adalah sebagai berikut. Nilai positif yang erat dengan diri sendiri: disiplin, suka bekerja keras, ulet, serta jujur. Nilai positif yang berkaitan dengan orang di luar diri: setia kawan, kekeluargaan, rela berkorban, selalu menyelesaikan tanggung-jawab dengan baik, penolong, berani membela kebenaran, serta memiliki toleransi yang tinggi kepada orang lain. Nilai positif yang berkaitan dengan materi: hemat, gemar menabung, dan hidup sederhana. Nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan: bertakwa kepada Tuhan, selalu mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. (school-press.com/2009). Masih dalam hal nilai-nilai positif, Ismail berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nilai-nilai positif adalah keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, pengorbanan, demokrasi, kehausan ilmu, kearifan kepada manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya, terpupuk empatinya, berakhlak, mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Baedowi dalam kompas.com, membenarkan rincian Ismail dengan menyatakan bahwa melalui apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Bahkan Ismail dalam keterangan yang sama menandaskan bahwa pengajaran sastra mestilah menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa. Nilai-nilai positif ini akan membekali siswa dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini. Hubungan antara karya sastra dengan budi pekerti serta perilaku manusia memang sangat erat. Karya sastra bisa membuat seseorang menjadi lebih stabil dan mampu mengendalikan emosinya. Dengan banyak membaca karya sastra, mempelajari kompleksitas hidup yang disajikan dalam cerita sastra, seseorang biasanya tidak akan cepat marah karena karya sastra 352 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 menggugah pembacanya untuk berpikir dan bertindak secara positif. Tindakan positif itu akan membentuk nilai-nilai positif yang berkaitan dengan empat hal. Keempat hal tersebut pertama, berkaitan dengan diri sendiri yaitu: disiplin; suka bekerja keras; ulet dan jujur. Kedua, berkaitan dengan orang di luar diri yaitu: setia kawan; kekeluargaan; rela berkorban; selalu menyelesaikan tanggung jawab dengan baik; penolong; berani membela kebenaran, serta memiliki toleransi yang tinggi kepada orang lain. Ketiga, nilai positif yang berkaitan dengan materi yaitu: hemat; gemar menabung; dan hidup sederhana. Keempat, nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan yaitu: bertaqwa kepada Tuhan; selalu mengerjakan perintah-Nya dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Keempat nilai positif pada karya sastra tersebut merupakan nilai-nilai karakter yang menjadi pusat tujuan pembentukan karakter siswa. Dalam nilainilai pendidikan karakter terdapat delapan belas nilai-nilai atau sifat yang seharusnya ada pada seseorang yang karakternya baik yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab. Kedelapan belas nilai tersebut terdapat pada nilai-nilai positif pada karya sastra seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Salah satu tujuan umum pembelajaran bahasa dan sastra adalah agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, wawasan kehidupan, meningkatkan kemampuan berbahasa, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual. Dengan pembelajaran apresiasi yang benar akan terbentuk kepribadian positif yang pada puncaknya membentuk karakter siswa seperti diamanatkan undang-undang tersebut. Syarief menyatakan bahwa Oebaidillah (http://akhmadsudrajat.wordpress.com) karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 353 krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. PENUTUP Pendidikan karakter di sekolah memerlukan keterlibatan semua komponen (stakeholders) termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Menurut mantan Menteri Pendidikan Moh. Nuh, pendidikan karakter membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan. Kata kuncinya pada kata membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan. Bahkan mantan Menteri Malik Fajar menegaskan tentang perbedaan pendidikan karakter dengan pendidikan keahlian. Pendidikan karakter, paparnya, lebih merupakan upaya menanamkan rasa kebangsaan dan kesadaran dalam mencapai tujuan hidup berbangsa yang berperadaban. Ia mengingatkan pendidikan karakter secara formal di sekolah menempatkan posisi dan peran guru sebagai figur dan bukan sekedar penyampai materi pelajaran. Lebih dari itu, guru merupakan pembimbing sehingga terjalin komunikasi yang dapat melahirkan keterpaduan karakter, watak, akhlak dan budi pekerti dengan materi pelajarannya. "Jadi posisi dan peran guru tidak cukup hanya berbekal profesional juga didukung kekuatan moral," tegasnya. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilainilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada 354 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Jadi jelaslah bahwa sastra merupakan alternatif pembentukan karakter, karena pada sastra terdapat nilai-nilai positif yang setara dengan nilai-nilai pendidikan karakter. Mari kita resapi makna di balik puisi karya Hartono Andangjaya berikut! Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya Apakah yang kupunya, anak-anakku Selain buku-buku dan sedikit ilmu Sumber pengabdian kepadamu Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku Aku takut , anak-anakku Kursi-kursi tua yang di sana Dan meja tulis sederhana Dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya Semua padamu akan bercerita Tentang hidupku di rumah tangga Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita Depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja Horizon yang selalu biru bagiku Karena kutahu, anak-anakku Engkau terlalu muda Engkau terlalu bersih dari dosa Untuk mengenal ini semua DAFTAR PUSTAKA Dewi Andriyani .2007. Kerangka Dasar Kurikulum 2004 dalam Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Bahasa Indonesia. Jakarta : UT Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Buana Pustaka http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com. Diunduh Senin 26/9/2011 jam 0913. http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php? Diunduh Agustus 2011 http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/ Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 355 http://www.pendidikankarakter.com/7-hari-membentuk-karakter-anak/ http://www.pendidikankarakter.com/peran-pendidikan-karakter-dalam-melengkapikepribadian/ Ismail. Taufik dkk (ed). 2001. Dari Fansuri ke Handayani. Horizon Kaki Langit. Jakarta : The Ford Foundation: Kompas. 2008. Perlu Paradigma Baru dalam Pengajaran Sastra. Diunduh: 23 Februari 2009 dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/20103551/ Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama Jakarta. Mulyana. Yoyo. 2000. Keefektifan Model Mengajar Respons pembaca dalam Pengajaran Pengkajian Puisi; Studi Eksperimen pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP Bandung, Tahun Ajaran 1998/1999. Disertasi. Bandung:PPSUPI. N.N. 2009. Pengertian Sikap Positif dan Sikap Negatif. http://sman15.schoolpresss.com/2009/3/1/ Diambil 22 Februari 2009 Rahmanto B. 1988. ―Cerkan dan Drama: Jakarta : Universitas Terbuka Rosenblatt, Louise M. 1991. “Literature – S.O.S.” Language Arts. Vol. 8 October. Rudy, Rita I. 2002. ―Pengembangan Kualitas Pembelajaran Sastra sebagai Seni Bahasa dalam menggali Nilai-nilai Budaya di Perguruan Tinggi. Makalah. Dipresentasikan dalam Forum Sastra dan Budaya II di UPI Bandung, 24-26 Oktober 2002. Rumini, Mien. 2007. Pengajaran Apresiasi Sastra: BMP PBIN 4219. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka. Santosa Puji, dkk. 2006. Materi Pembelajaran bahasa Indonesia S.D. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Zaidan, Abdul,Rozak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka Zaidan, Abdul Rozak. 2007. Apresiasi Sastra. Lampung: Radar Wibowo, Agus. 2007. Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa. Dari: http://agus82.wordpress.com/2008/10/08/apresiasi Diuduhl 21 Februari.2010. 356 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 BERGURU PADA ALAM: TELAAH METAFORIS Resti Nurfaidah Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung 40113 Pos-el: [email protected] dan [email protected] ABSTRAK Berguru pada Alam: Telaah Metaforis. Alam dan manusia ibarat dua sisi mata uang. Saling membutuhkan dan saling memberikan manfaat. Namun, perubahan zaman menunjukkan bahwa manusia cenderung mengabaikan kepentingan dan kebutuhan alam demi menjaga kelestariannya. Banyak sumber daya alam yang rusak, disebabkan perilaku manusia. Dalam kondisi tersebut, sebagaian kalangan menyadari perlunya membumikan kembali wawasan cinta lingkungan di dalam kehidupan manusia. Kerusakan tersebut tidak perlu terjadi jika manusia sejak kecil diasuh dengan pola pendidikan berbasis cinta lingkungan. Shimada mengalami hal ini di bawah asuhan orang terdekat. Pendidikan tersebut berbuahkan kesuksesan mereka ketika mencapai usia dewasa. Kajian ini dilakukan berlandaskan pada teori metafora konseptual Lakoff dan Johnson. Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbasis lingkungan dimetaforakan melalui aktivitas dan pandangan hidup orang yang dianggap sebagai guru bagi Shimada, yaitu nenek. Kata kunci: manusia, alam, hubungan, pendidikan PENDAHULUAN Dalam KBBI online, alam bermakna segala sesuatu yang termasuk dalam satu lingkungan (golongan dan sebagainya) dan dianggap sebagai satu keutuhan. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Dari alam, manusia dapat mempelajari hakikat kehidupan. Manusia dapat mengamati karakter makhluk lain yang ia temukan. Manusia juga dapat mengamati sifatsifat benda lain seperti petir, air, dan angin. Benda-benda buatan manusia juga mencerminkan karakter manusia itu sendiri, seperti kereta api atau roda kendaraan. Alam dapat diibaratkan sebagai sekolah pertama manusia. Alam bersahabat dengan manusia dan memiliki hubungan timbal balik. Alam memerlukan pengertian yang dalam dan kasih sayang manusia. Oleh karena itu, alam bersedia menjadi penyedia segala kebutuhan manusia. Namun, seiring perkembangan zaman, teknologi, dan kehidupan sosial, perangai manusia pun berubah. Kepentingan hidup manusia seakan menjadi tujuan utama yang terkadang tidak disertai dengan kepedulian pada alam. Dapat dicontohkan bahwa beberapa pemandangan di kawasan Jawa Barat dan DKI. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 357 Beberapa kampung yang semula merupakan kantung air, kini dilanda kekeringan. Masyarakat sekitar dilanda kekurangan air bersih. Jika dilihat, di kawasan tersebut telah terjadi perubahan lingkungan alam. Beberapa bukit kecil (Sunda: hunyur) yang dianggap sebagai pasak bumi --berfungsi sebagai penyeimbang kelestarian alam-- diratakan. Tanah, bebatuan, dan pasir digali dari bukit itu dan dijual untuk beberapa proyek pembangunan. Beberapa wilayah pantai di DKI bagian utara juga tidak luput dari perlakuan yang tidak adil. Beberapa kawasan rawa direklamasi dan diratakan untuk membangun kawasan hunian elit. Akibatnya, DKI kekurangan lahan serapan air. Sungaisungai di kawasan Bandung Selatan kerapkali melimpah debitnya dan mengakibatkan banjir yang sangat parah. Pembuangan sampah seakan menjadi agenda wajib bagi penduduk yang tinggal di kawasan bantaran sungai. Sungai menjadi musuh manusia dan dianggap sebagai sumber penyakit. Asap-asap industri semakin lama semakin menipiskan serta melubangi lapisan ozon. Iklim bumi pun berubah dengan drastis, di antaranya naiknya permukaan air di muka bumi karena mencairnya bongkahan es di wilayah kutub. Rusaknya alam menimbulkan bencana, seperti banjir, longsor, atau isi perut bumi yang tidak terkendali. Setelah menyadari, beberapa kalangan menaruh perhatian pada revitalisasi kondisi alam. Berbagai organisasi, baik lokal maupun universal, menyusun dan melaksanakan program tersebut dengan berbagai cara. Pada beberapa dekade, organisasi PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), dalam laman http://tp-pkkpusat.org/, (diakses 16 November 2014), melaksanakan beberapa program cinta lingkungan, di antaranya, pengolahan sampah yang menghasilkan beberapa produk multiguna, misalnya, pembuatan tas dari kemasan produk industri dan program tanaman dalam pot (tambulapot) untuk memanfaatkan lahan terbatas. Selain itu, beberapa daerah menerapkan pembuatan bioporii. Dalam lingkup global, Kelompok Kerja III PKK PUSAT (POKJA III) mencantumkan poin ke-19, yaitu menjaga kelestarian hutan. Dalam skala kecil, banyak pula individu yang berinisiatif melakukan programprogram berwawasan kelestarian lingkungan, seperti upaya pengembangan jenis tanaman sorgum oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr. di 358 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 wilayah NTT (dalam http://kupang.tribunnews.com, diakses 16 November 2014). Selain Uskup tersebut, masih ada nama lain penggiat budidaya tanaman sorgum di kawasan yang sama, yaitu Maria Loretta. Berkat usahanya tersebut, Maria terpilih sebagai salah satu kontestan dalam ajang pemilihan Perempuan Inspiratif Nova 2014 (dalam Nova edisi 1392/XXVII, 2014: 56). Upaya pemanfaatan limabah tanaman pisang juga dilakukan oleh kontestan lain dalam ajang yang sama, yaitu Ratna Prawira dari Sleman, Yogyakarta (dalam Nova edisi 1392/XXVII, 2014: 57). Di tangan perempuan tersebut, seluruh bagian pohon pisang dapat dimanfaatkan dan menghasilkan berbagai produk baru. Contoh lain dapat kita hargai pembangunan saluran air di kawasan Pasir Kadu, Gunung Galunggung, Tasikmalaya, yang dilakukan oleh Mak Eroh, seorang peraih hadiah Kalpataru (dalam http://www.koalisiperempuan.or.id, diakses 16 November 2014). Beberapa perusahaan besar juga mencanangkan program kelestarian lingkungan tersendiri, antara lain, PT Garuda Indonesia yang menanam sekitar 18.600 batang bibit tanaman bakau di kawasan Pantai Indah Kapuk (dalam http://www.tribunnews.com, diakses 16 November 2014) dan PT Hino Indonesia--bekerja sama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan Solidaritas Gabungan Istri Kabinet Indonesia Bersatu--melaksanakan program yang sama dengan jumlah bibit yang ditanam di kawasan pesisir Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangerang, Banten, mencapai 33.000 batang (http://www.dealerhinojakarta.com, diakses 16 November 2014). Berbagai program dilakukan demi menyelamatkan planet bumi beserta isinya. Jika alam di permukaan bumi rusak, tentu saja, kehidupan manusia pun akan punah. Untuk itu diperlukan kesadaran tentang pelestarian alam sejak manusia masih kecil. Melalui teknik pendekatan dan pendidikan cinta lingkungan yang dapat dimengerti oleh anak, kelestarian bumi pun dapat berlangsung dalam keseharian. Ketika kehidupan bergaya individualisme semakin menjadi di kalangan penduduk modern, kesadaran akan kelestarian alam dan pendidikan berbasis linkungan pun dicanangkan. Tidak mengherankan jika kini tumbuh berbagai kelompok pecinta tanaman atau hewan tertentu, kelompok revitalisasi lahan tandus, bahkan pendirian sekolah alam di beberapa kawasan di Indonesia. Selain melalui pendirian berbagai Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 359 organisasi, komunitas, dan lembaga tersebut, peranan keluarga dalam pendidikan cinta lingkungan pun tidak dapat diabaikan. Bahkan, pendidikan cinta lingkungan di kalangan keluarga akan lebih melekat dalam diri seseorang hingga ia dewasa. Hal itu dapat ditemukan dalam kedua korpus berikut, yaitu dua buku memoar yang berjudul Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga) dan Emak. Kedua memoar tersebut merupakan catatan atas pengalaman kedua penulisnya, berupa pengalaman hidup yang sangat membekas dan menjadi akar kesuksesan kedua penulis itu. Dalam kajian ini, hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan alam dan makna kehidupan yang dapat dipetik dari alam diungkapkan, diklasifikasi, ditelaah, dan disimpulkan. Eksplorasi akan pendidikan berbasis cinta lingkungan tersebut dilakukan dengan konsep metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson. Lakoff (1993) mendefinisikan metafora sebagai sebuah ekspresi linguistik yang tidak lazim atau puitis berupa satu atau beberapa dengan sebuah konsep di luar makna konvensional untuk mengekspresikan konsep serupa (hlm. 202)ii. Berawal dari pandangan pendapat Aristotle tentang konsep abstrak yang terdiri atas perbandingan antara konsep konkret dan konsep abstrak, Lakoff dan Johnson, dikutip dalam Danesi dan Person (1999, hlm. 166), mendapati bahwa konsep abstrak dibentuk secara sistematis oleh konsep konkret melalui aspek metaforis. Konsep tersebut kemudian disebut Lakoff dan Johnson (2003) sebagai metafora konseptual dengan asumsi bahwa metafora tersebar dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam aspek kebahasaan (verbal), melainkan pula dalam aspek lain--nonverbal--yang melibatkan cara pikiran dan tindakan (hlm. 4)iii. Lakoff dan Johnson menetapkan dua domain dalam metafora, yaitu domain sasaran (target domain) dan domain sumber (source domain). Dalam contoh kalimat LOVE IS JOURNEY atau ARGUMENT IS WAR, kata LOVE dan ARGUMENT adalah domain sasaran sedangkan kata JOURNEY dan WAR merupakan domain sumber atau lexical field. Domain sumber dapat dikembangkan dengan konsep-konsep lain yang sejajar, misalnya, pada contoh LOVE IS JOURNEY, Lakoff memberikan gambaran bahwa cinta itu bukan hal yang mudah. Banyak hal yang terjadi dalam dunia percintaan yang dapat diungkapkan dengan kosakata sebagai berikut, antara lain, pendekatan, 360 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pertautan, permusuhan, perseteruan, penyimpangan, persimpangan, atau perpisahan. Komplikasi dalam dunia percintaan digambarkan Lakoff dan Johnson sebagai JOURNEY. Johnson dan Lakoff membagi metafora menjadi tiga bagian berikut, yaitu, (1) metafora struktural, yaitu perbandingan antara sebuah konsep dengan konsep yang lain yang menitikberatkan pada pembagian dua ranah, yaitu ranah sumber dan ranah sasaran, serta memiliki korelasi sistematis pada pengalaman sehari-hari: (2) metafora orientasional, yaitu metafora yang berorientasi pada ruang dengan berdasarkan pada manusia sebagai pemilik tubuh sementara tubuh merupakan pengisi ruang. Sebagai pengisi ruang, manusia mengenal konsep atas-bawah, kiri-kanan, dan depan-belakang. Lakoff dan Johnson memberikan contoh HAPPY IS UP, SAD IS DOWN, HELATH IS UP, serta WEAK IS DOWN. Dalam budaya kita dikenal istilah NAIK PITAM, NAIK DARAH, TURUN TANAH, atau TURUN RANJANG; dan (3) metafora ontologis, yaitu metafora yang melibatkan kejadian, emosi, dan ide sebagai entitas dan substansi. Johnson dan Lakoff memberikan contoh berikut. INFLATION IS AN ENTITY. Inflation is lowering our standard of living (Inflasi merendahkan standar kehidupan kita) Inflation makes me sick (Inflasi membuat saya muak) PEMBAHASAN Pengalaman edukasional berbasis alam diawali dari peristiwa perpisahan antara Shimada kecil dan ibunya. Ketika ayah Shimada meninggal, sang ibu memutuskan untuk membiayai kedua anaknya dengan membuka bar di rumah mereka. Ibu dan kedua anaknya tersebut tinggal di rumah sewaan. Semakin lama, sang ibu menyadari bahwa lingkungan di sekitar bar bukan merupakan lingkungan yang baik bagi seorang anak. Sang ibu akhirnya memutuskan untuk Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 361 menitipkan Shimada kecil kepada ibunya yang tinggal di sebuah desa terpencil bernama Saga. Perpisahan pun terjadi antara Shimada dan sang ibu. Perpisahan itu meninggalkan jejak traumatis sampai Shimada dewasa. Shimada tidak pernah dipersiapkan untuk berpisah dengan sang ibu sebelumnya. Tiba-tiba ia dipaksa untuk tinggal dengan sang nenek yang hanya bertemu dengannya saat masih kecil. Selama tinggal bersama neneknya itulah, Shimada banyak mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Bahkan, hal itu membekas hingga ia dewasa.. Nasi Pelajaran pertama yang ia dapatkan dari sang nenek adalah menanak nasi. Shimada tidak pernah mengerti akan hal itu. Hatinya dipenuhi pertanyaan mengapa ia yang harus melakukan hal itu. Berangsur-angsur, di dalam kepalaku pun muncul pertanyaan-pertanyaan, ―Kenapa aku harus melakukan ini? Apa maksudnya aku yang harus menanak nasi?‖ dan berbagai pertanyaan lain. Sementara itu, di sebelahku Nenek sibuk meneriakkan instruksi-instruksi. ―Jangan terlalu keras meniup.‖ ―Kalau jaraknya terlalu jauh, apinya bakal mati.‖ Saat meniup-niup dengan diiringi perinta-perintah dari Nenek, entah bagaimana akhirnya aku malah jadi bersungguh-sungguh berusaha menyalakan api itu. Bila aku lelah dan meniup dengan napas lemah, api akan mengecil dan mengancam mati. Kalau sudah begitu, aku akan buru-buru meniup dengan keras lagi. Tapi mesti hati-hati juga, karena jika meniupnya terlalu kencang, percikan api akan beterbangan, asap akan membesar, dan aku akan merasa kepanasan. (Shimada, 2011: 35--36) Menanak nasi merupakan ajaran pertama sang nenek kepada Shimada kecil. Menanak nasi memerlukan kehati-hatian. Jika lengah, nasi yang ditanak dapat menjadi terlalu lembek atau terlalu keras. Dalam aktivitas tersebut, manusia dituntut untuk mengetahui komposisi seimbang antara air dan beras, atau teknik memasak yang benar. Aktivitas menanak nasi juga berkaitan dengan aktivitas lain yang tidak kalah penting, yaitu menyalakan api. Menyalakan api juga memerlukan teknik yang tepat. Jika nafas yang ditiupkan ke dalam buluh bambu terlalu lemah, api dalam tungku akan mengecil atau padam. Namun, jika tiupan itu terlalu kuat, api dalam tungku akan membesar dan bukan tidak mungkin jika si peniup akan merasa kepanasan. 362 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dalam teori Lakoff dan Johnson, dari data tadi terdapat metafora COOKING RICE IS STRUGGLE dan LIGHTING A FIRE IS STRUGGLE. COOKING RICE dan LIGHTING A FIRE merupakan domain sasaran, sedangkan STRUGGLE merupakan domain sumber. STRUGGLE dapat dikembangkan dengan berbagai bukti atau pernyataan di dalam data yang menyatakan bahwa si pelaku harus melakukan STRUGGLE itu dengan sungguh-sungguh. Dalam aktivitas COOKING RICE, STRUGGLE dapat dikembangkan konsep menjaga suhu api yang tepat. Shimada kecil belum dapat memenuhi hal itu hingga mendapatkan hasil berikut. Akan tetapi, entah apa yang salah, nasi buatanku keras sekali. Bagian atasnya memang keras seperti tidak matang, namun anehnya bagian dasarnya bahkan ada yang gosong. (Shimada, 2011: 37) Sementara itu, dalam aktivitas LIGHTING A FIRE, STRUGGLE dapat dikaitkan dengan unsur ketepatan, kehati-hatian, dan ketahanan, dalam beberapa fakta berikut, yaitu jarak tiupan, kekuatan tiupan, dan kekuatan nafas. Generasi Lemah Bersama neneknya, Shimada memupuk pemahaman yang tinggi terhadap perubahan perilaku manusia. Pelajaran tentang perilaku tersebut disadari Shimada sebagai berikut. Tak ada uang, maka tak bahagia. Menurutku, semua orang kini kelewat terikat dengan perasaan seperti itu. Kemudian karena orang dewasa berpikir demikian, maka anak-anak pun tak ayal ikut dibesarkan dalam keadaan ini. Karena tidak diajak ke Disneyland, karena tidak dibelikan baju tren terkini, anakanak tidak mau menghormati orangtuanya. Karena nilai rapor buruk, karena tidak berhasil masuk sekolah favorit, hanya masa depan suram yang terlihat. Bila hanya anak-anak seperti ini yang kita besarkan, maka setiap hari kian tidak menyenangkan hati, tanpa ada harapan untuk masa depan, dan kenakalan remaja pun makin meningkat. Padahal tanpa uang pun, cukup dengan perasaan tenang, kita dapat hidup dengan ceria. (Shimada, 2011: 9--10) Demikian pandangan Shimada terhadap generasi Jepang saat ini khususnya dan generasi dunia umumnya. Generasi saat ini cenderung hedonistis dan individualistis. Jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 363 atau meraih standar tertentu, generasi muda cenderung mengalami depresi dan lemah. Mereka hanya mementingkan kepentingan dan keinginan pribadi tanpa memedulikan kondisi dan situasi yang dihadapi orang lain, termasuk kedua orangtuanya. Kehidupan berbasis materi menjadi tujuan utama, sementara kehidupan ruhaniah cenderung terabaikan. Dalam teori Lakoff dan Johnson, kondisi tersebut tepat dipadankan dengan konsep pengisi ruang WEAK IS DOWN. Kelemahan generasi muda dianggap sebagai hal yang negatif. Kelemahan generasi muda merupakan potret kemunduran dalam sebuah negeri. Untuk hal-hal yang bernuansa negatif dianggap sebagai sesuatu yang menurun atau DOWN. Jumlah generasi tersebut cukup banyak sehingga lingkungan dirasakan semakin tidak menyenangkan terutama dari perspektif generasi sebelumnya. Waktu Pada kesempatan lain, pelajaran ekonomi praktis diterima Shimada adalah sebagai berikut. Bersamaan dengan setiap langkahnya, aku dapat mendengar suara-suara yang mencurigakan. Klang klang klang klang ... Bila dilihat dengan cermat, sepertinya Nenek mengikat pinggangnya dengan seutas tali dan menyeret-nyeret sesuatu di tanah dengan tali tersebut. ―Aku pulang.‖ Masih diiringi bunyi klang klang, Nenek berkata begitu dengan wajah tak bersalah sambil masuk melalui pintu depan. Ketika Nenek sudah di dalam dan sedang melepaskan tali dari pinggang, aku pun melihat ke belakangnya. Setelah itu, aku pun tak tahan lagi untuk bertanya, ―Nek, itu apa?‖ Dan di ujung tali itu memang tampak ada magnet yang terikat di sana. Lalu di magnet tersebut menempel paku ataupun sampah logam lainnya. ―Sungguh sayang kalau kita sekadar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya.‖ ―Menguntungkan?‖ ―Kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.‖ Sambil berkata begitu, Nenek mencabuti sampah logam dari magnetnya kemudian memasukkannya ke ember khusus. Di dalam ember tersebut sudah menumpuk logam-logam lain yang bagai rampasan perang. (Shimada, 2011: 40-41) 364 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Pelajaran yang didapat oleh Shimada dari dialog tersebut adalah menghargai waktu. Jika memungkinkan kita harus melatih diri untuk dapat melakukan berbagai aktivitas dalam satu kesempatan. Dengan demikian, kita dapat melatih kejelian, keterampilan, dan kecermatan dalam mengamati dan memahami sesuatu. Dalam konsep Lakoff dan Johnson, hal itu dapat dimetaforakan dengan WALK IS LUCKY. WALK merupakan domain sasaran sementara LUCKY merupakan domain sumber yang dapat dihubungkan dengan aktivitas lain: AKTIVITAS MENEMPEL PAKU dan MENCARI KEUNTUNGAN dengan menjual paku tersebut kepada tengkulak. Nenek mengajarkan Shimada untuk berlatih mengerjakan multitugas dalam waktu yang sama. Nenek mengharapkan Shimada menjadi laki-laki yang cekatan, cermat, dan tangguh. Pelajaran Sungai Pelajaran yang paling berharga bagi Shimada adalah menghormati sungai dengan konsep simbiosis mutualisme. Setelah memasukkan sampah logam perolehannya hari ini ke ember, selanjutnya Nenek berjalan cepat ke arah sungai. Ketika aku mengikutinya, entah karena apa aku mendapati Nenek sedang tersenyum lebar sambil mengamati aliran sungai. ―Akihiro, kau juga bantu,‖ sambil menoleh untuk berkata begitu, selanjutnya Nenek mulai mengambili potongan ranting atau batang pohon dari sungai. Di permukaan sungai yang bergelombang tampak terapung sebatang galah yang dibentangkan sedemikian rupa. Kemudian tersangkut pada galah tersebut, ranting pohon atau semacamnya. [...] Ternyata Nenek biasa mengumpulkan ranting atau batang pohon yang tersangkut di galah tersebut, mengeringkannya, kemudian menggunakannya sebagai kayu bakar. ―Selain sungai jadi bersih, kita mendapatkan bahan bakar secara cuma-cuma. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui,‖ ucap Nenek sambil tertawa keras. (Shimada, 2011: 42--43) Nenek Shimada menjadikan sungai sebagai supermarket gratisan. Benda-benda yang tersangkut di sungai ibarat layan antar tanpa biaya. Dari ke hari, berbagai benda hanyut di sungai lalu tersangkut di galah Nenek. Itulah sebabnya Nenek menyebut sungai sebagai supermarket. Malah dengan pelayanan ekstra, katanya, ―Belanjaan kita langsung diantar.‖ Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 365 Yang dilanjutkan, ―Tanpa biaya pula,‖ ujarnya sambil memandang sungai di depan rumah dan tertawa. Terkadang bila tidak ada apa pun yang tersangkut di galah, Nenek akan berkata, ―Hari ini supermarket libur.‖ Dengan ekspresi menyayangkan. Namun, Nenek juga berkata supermarket ini punya satu kekurangan. ―Misalnya, meski ingin makan timun hari ini, belum tentu kita dapat makan timun. Pilihan ada di tangan pasar.‖ (Shimada, 2011: 45--46) Keuntungan juga dapat diperoleh dari perayaan hari besar. ―Benda yang didapat dari memungut sekalipun, belum tentu pantas dibuang,‖ demikianlah Nenek selalu berujar dengan penuh keyakinan. Sebagai contoh benda yang Nenek maksudkan ini, antara lain, supermarket khusus kami tentunya. Ditambah lagi festival makanan setahun sekali, yaitu acara obon, festival musim panas. Di area Kyusu, obon selalu dilaksanakan di hari terakhir festival. Untuk mengantarkan roh yang berpulang kembali ke Buddha, anggota keluarga yang ditinggalkan menghanyutkan perahu yang membawa makanan dan bunga di atasnya ke sungai ritual ini bernama shouryou nagashi. Bagi yang cepat tanggap, pasti sudah bisa menduga. Begitulah perahu-perahu yang dihanyutkan dari hilir sungai tentunya kemudian tersangkut di galah yang dipasang Nenek. Bila sudah begitu, apel, pisang, dan berbagai buah lain yang ada di dalamnya pun akan dipungut. Meskipun memang ingin makan apel ataupun pisang, tetap saja pertama kali melihatnya, aku langsung merasa berdosa. ―Nek, bukankah semua ini sebenarnya persembahan untuk Buddha atau dewa, ya?‖ ―Memang.‖ ―Nenek yakin kita boleh mengambilnya?‖ ―Kau ini bicara apa? Kalau kita biarkan buah-buah ini busuk dan mengalir pergi begitu saja, laut nanti akan kotor. Kasihan ikan-ikan di sana, bukan?‖ (Shimada, 2011: 73--75). Dari ketiga data tadi, dapat kita simpulkan bahwa sungai dimetaforakan supermarket. Nenek mengetahui bahwa jauh sungai itu melalui pasar sebelum mengalir di depan rumahnya. Nenek mengetahui situasi dan kondisi di sekitar jalur yang dilalui sungai itu, antara lain, terdapat pasar dan lokasi perayaan hari besar. Pedagang di pasar akan memilih dan mencuci sayuran dan buah-buahan sebelum dijual kepada pelanggan. Sisanya dibuang ke sungai.Nenek memanfaatkan galah yang sebagai perangkap benda-benda yang hanyut di sungai itu. Dalam salah satu perayaan di Jepang, terdapat ritual membuang sesaji di sungai. Buah-buah yang dihanyutkan di sungai tersebut memiliki 366 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kualitas yang baik. Nenek tidak membuang kesempatan itu. Ia mengajarkan Shimada untuk mengingat tanggal perayaan tersebut dan memanfaatkan isi dalam perahu kecil tempat sesaji itu dihanyutkan. Setelah diambil isinya, perahu kembali dihanyutkan nenek sambil mengiringinya dengan sembah hormat pada benda itu. Kondisi yang dihadapi nenek dan Shimada dimetaforakan dengan RIVER IS A SUPERMARKET. Fungsi sungai merupakan sarana pengantar sembako dalam kehidupan mereka. Sungai juga berfungsi sebagai petugas layanan antar gratis. Pelajaran sungai lain dalam kehidupan Shimada adalah melatih kesabaran, menentukan waktu dan momen yang tepat, membiasakan hidup hemat, menjaga kelestarian alam, dan memahami orang lain. Konsep supermarket dalam pandangan nenek secara harfiah sama dengan supermarket yang kita temui sehari-hari. Namun, ada yang berbeda dalam konsep supermartket tersebut, yaitu manusia tidak memiliki hak untuk menentukan jenis sayuran, buah-buahan, atau benda yang hanyut di sungai. Konsep supermarket lain yang disebut dalam data adalah tersedianya sarana untuk bertanggung jawab pada alam dan Sang Pencipta. Konsep lain dapat digunakan, yaitu RIVER IS LIFE. Sungai merupakan sumber kehidupan bagi nenek dan penduduk lain di desa itu. Mengenal Potensi Alam Seiring waktu, Shimada mampu mengenali potensi alam di sekitar Desa Saga, misalnya, mengenali tumbuhan yang dapat dimakan. Pada kesempatan lain, sang nenek tidak pernah membuang sisa makanan, termasuk tulang belulang. Contoh pertama, saat perlu camilan, aku tidak perlu ke toko permen karena buahbuahan dapat diambil langsung dari pohonnya, sepuasnya. Yang pertama kali aku makan di Saga adalah buah muku. Buah ini penampilannya memang tidak menarik karena kecil dan berwarna hitam kelam, tapi rasanya asam manis seperti aprikot. (Shimada, 2011: 55) Tulang yang tersisa pun akan dijemur dan dikeringkan, untuk kemudian dicacah halus dengan pisau hingga menyerupai bubuk, selanjutnya dijadikan pakan ayam. Selain tulang, kulit apel ataupun bagian sayur yang agak cacat pun semua dijadikan makanan untuk ayam. (Shimada, 2011: 73) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 367 Nenek mampu menghemat biaya hidup sehari-hari serta membagi kehidupan pada makhluk lain. Jika dimetaforakan, kondisi tersebut adalah NATURE IS LIFE. Alam memberikan kehidupan kepada manusia, di antaranya, dengan beragam jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi manusia. Alam dapat diibaratkan makhluk hidup yang denyut jantungnya tidak berhenti. Nrimo Pelajaran lain yang diterima Shimada kecil selama hidup bersama nenek adalah sikap untuk menyadari diri sendiri. ―Nek, kita memang miskin sekarang, tapi suatu hari nanti enak juga ya kalau bisa jadi kaya.‖ Tanpa diduga-duga, beginilah jawaban Nenek. ―Kau ini bicara apa? Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita memang turun-temurun miskin. Pertama, jadi orang kaya itu susah. ―Selalu makan enak, pergi berpelesir, hidupnya sibuk. Dan karena selalu berpakaian bagus saaat bepergian, bahkan di saat jatuh pun, mereka harus tetap memperhatikan cara jatuh mereka. Sedangkan orang miskin sejak awal kan selalu mengenakan pakaian kotor. Entah itu saat hujan, saat harus duduk di tanah, mau jatuh, ya bebas, terserah saja. Ahh, untung kita miskin.‖ Aku diam. Lalu, ―Selamat tidur, Nek,‖ ujarku tanpa tahu harus berkata apa lagi. (Shimada, 2011: 63--64) Melalui dialog tersebut, nenek mengajarkan bahwa Shimada kecil harus menyadari diri sendiri, menerima kondisi dan kemampuan sang nenek. Selain itu, nenek mengajak Shimada untuk memahami bahwa kondisi yang ada saat itu bukan merupakan siksaan, tetapi berkah dari Tuhan. Jika dimetaforakan, kondisi tersebut menjadi BEING POOR IS FUN. Nenek mengajarkan bahwa kesulitan (kemiskinan) harus dihadapi dengan lapang dada dan hati yang cerita. Kemiskinan tidak seharusnya disikapi dengan kebecian. Sebaliknya, nenek memandang kemiskinan sebagai sarana pendidikan untuk mengenal alam, sesama makhluk Tuhan, dan Tuhan itu sendiri. Nenek memandang bahwa kemiskinan bukan merupakan kelemahan melainkan kekuatan bagi seseorang. Kemiskinan mengajarkan kita untuk bersabar dan tegar dalam menghadapi persoalan hidup. 368 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Perilaku Manusia Shimada mendapat stimulasi untuk menghadapi perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang tidak sanggup dalam menghadapi kehilangan, baik harta benda atau orang-orang yang dicintainya. Kehilangan sandal, misalnya, dapat membuat seseorang menderita selama beberapa hari. Namun, pada akhirnya ia merasa kesal karena benda yang disenanginya tidak kembali. Kekesalan itu mengalami puncaknya hingga akhirnya ia memutuskan untuk membuang benda yang dianggap sudah tidak layak pakai itu. Lain waktu, datang mengalir bersama air sungai, geta (sandal kayu) yang benar-benar masih baru. ―Tidak ada gunanya juga kalau hanya sebelah, kita jadikan kayu bakar saja,‖ ujarnya sambil meraih kapak. Namun saat itu Nenek pun berkata, ―Tunggulah dua atau tiga hari lagi, akan datang yang sebelahnya.‖ Dipikirkan dari segi manapun, bakal sulit mendapatkan keberuntungan seperti itu, bukan? Namun, dalam dua-tiga hari berikutnya, aku benar-benar terkejut ketika melihat sebelah geta hanyut melewati depan rumah kami. ―Kalau kehilangan sandal, selama beberapa saat orang itu mungkin belum mau menyerah, namun setelah berlalu dua-tiga hari, dia akhirnya akan menyerah dan membuang yang sebelahnya lagi. Kalau sudah begitu, kita bakal punya sepasang geta lewat di depan rumah.‖ (Shimada, 2011: 47--48) Nenek dapat membaca keputusan yang diambil oleh si pemilik sandal. Sandal itu akhirnya menjadi milik Shimada setelah penantian sepasang sandal lain yang akhirnya dibuang oleh pemiliknya. Nenek mengajarkan Shimada untuk melatih kepercayaan diri. Dalam konsep Lakoff dan Johnson, kondisi tersebut merupakan CONFIDENCE IS IMPORTANT. Delapan tahun lamanya, Shimada mendapatkan pendidikan tentang kehidupan dari sang nenek. Shimada yang semula memandang apatis pada kehidupan, setelah peristiwa perpisahan yang traumatis, pada akhirnya berhasil memupuk kepercayaan diri, ketegaran, keuletan, dan keberhasilan dalam hidupnya. Shimada tidak dapat membayangkan jika pada delapan tahun yang lalu, ia tetap tinggal di lingkungan bar yang dikelola sang ibu. Shimada sangat bersyukur karena mampu mengaplikasikan ilmu kepercayaan diri dan ketangguhan dalam hidup yang diajarkan oleh sang nenek. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 369 SIMPULAN Manusia dan alam ibarat dua sisi mata uang. Kedua hal itu saling membutuhkan dan melengkapi. Manusia sangat memerlukan alam dan segala isinya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula, alam memberikan segala isinya kepada manusia. Kebutuhan manusia, seIring perkembangan zaman, cenderung melampaui kemampuan alam. Akibatnya, alam mengalami kerusakan. Kondisi tersebut menarik perhatian sebagian kalangan untuk melakukan revitalisasi alam. Hal itu juga berlaku pada dunia pendidikan. Shimada mendapatkan sekolah berwawasan lingkungan langsung dari neneknya. Ia mendapatkan banyak poin penting yang kelak berguna ketika ia dewasa. Pendidikan nenek tersebut menjadi akar kesuksesan Shimada sebagai seorang pelawak terkenal di Jepang. Pendidikan tersebut dapat dimetaforakan dengan beberapa konsep berikut, yaitu COOKING RICE STRUGGLE, LIGHTING A FIRE IS STRUGGLE, RIVER IS LIFE, WEAK IS DOWN, WALK IS LUCKY, RIVER IS A SUPERMARKET, NATURE IS LIFE, BEING POOR IS FUN, dan CONFIDENCE IS IMPORTANT. Konsep metafora tersebut dikaitkan dengan aktivitas dan pandangan hidup nenek Shimada. DAFTAR PUSTAKA Shimada, Yoshichi. 2011. Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga). Jakarta: Kansha Books. Hasuna. 2014. “Ikut Berjuang Atasi Krisis Pangan. Ratna Prawira: Pisang Terbuang Jadi Andalan‖, dalam Nova edisi 1392/XXVII, 27 Oktober-2 November 2014, hlm. 57. Jakarta: Kompas Gramedia. Danesi, Marcel dan Person, Paul. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction & Handbook. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Lakoff, George. 1993. The Contemporary Theory of Metaphor. Cambridge: Cambridge Universitas Press. Lakoff, George dan Johnson, Mark. 2003. Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago. 370 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Swita. 2014. ―Ikut Berjuang Atasi Krisis Pangan: Maria Loretta Terus Kembangkan Sorgum”, dalam Nova edisi 1392/XXVII, 27 Oktober--2 November 2014, hlm. 56. Jakarta: Kompas Gramedia. http://kupang.tribunnews.com http://tp-pkkpusat.org http://www.dealerhinojakarta.com http://www.koalisiperempuan.or.id http://www.tribunnews.com Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 371 KESANTUNAN BERBAHASA PARA SISWA SDIT KABUPATEN BANDUNG: SEBUAH STUDI KASUS PEMBANGUNAN KARAKTER Riadi Darwis Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung Jln. Dr. Setiabudhi 186, Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Kesantunan Berbahasa Para Siswa SDIT Kabupaten Bandung: Sebuah Studi Kasus Pembangunan Karakter. Kesantunan berbahasa merupakan awal dari pembentuk karakter seseorang. Atas dasar itulah, dalam pembangunan karakter ada empat koridor yang diperlukan meliputi (1)internalisasi tata nilai, (2) menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, (3) membentuk kebiasaan, dan (4)menjadi teladan. Metode penelitian yang dipakai adalah studi kasus dengan menekankan pada teknik observasi. Berdasarkan hasil temuan dari 15 situasi berbahasa menunjukkan bahwa tingkat kesantunan berbahasa para siswa SDIT Kabupaten Bandung dalam kondisi perlu diwaspadai 40%. Selanjutnya, peran serta guru bahasa dan para guru mata pelajaran lainnya perlu berkolaborasi untuk selalu memperhatikan aspek perkembangan kesantunan berbahasa. Di samping itu, dukungan orang tua, keluarga, dan masyarakat perlu diperkuat lagi untuk menjaga kesinambungan pendidikan karakter anak. Kata kunci: kesantunan berbahasa, pembangunan karakter PENDAHULUAN Bahasa dalam kenyataannya memiliki peran penting dalam komunikasi antarmanusia penuturnya. Secara garis besar bahasa memiliki fungsi untuk mengekspresikan emosi, interaksi sosial, menunjukkan kekuatan suara, mengontrol realitas, merekam fakta-fakta, dan menjadi alat berpikir (Crystal, 1997: 10-13). Dengan demikian, peran bahasa secara lebih jauh bisa berpengaruh terhadap segala aspek kehidupan, bahkan peradaban maupun kebudayaan manusia sekalipun. Sebagai contoh, bahasa Inggris bisa menjadi bahasa internasional saat ini karena adanya faktor dorongan ekpresi orang Inggris yang memiliki kemampuan untuk bisa memperluas hubungan komunikasi dengan dunia luar. Ini pun tidak lepas dari peran sistem kebahasaan maupun nonkebahasaan yang membentuk karakter penuturnya menjadi pribadi yang penuh percaya diri. 372 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Ada sebuah ungkapan bijak yang sarat dengan makna sebagai berikut: ‖Bila harta kita hilang, sebenarnya tidak ada yang hilang, bila kesehatan kita hilang, ada sesuatu yang hilang, tetapi bila karakter kita hilang, kita akan kehilangan segala-galanya (Soedarsono. 2008: 2).‖ Dengan demikian, betapa bernilainya sebuah karakter dalam diri manusia. Dalam Al Quran Surat 8 Al Anfaal: 53, Allah berfirman ―yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.‖ Ayat ini mengandung suatu pemahaman yang sangat jelas bahwa untuk terjadinya suatu perubahan berarti dalam suatu kaum atau bangsa sangat bergantung pada sesuatu yang terkandung dalam dirinya. Soedarsono menafsirkan ―yang ada dalam diri mereka sendiri‖ adalah tekad, kehendak, pemikiran, jati diri, karakter , dan semangat (Soedarsono. 2008: 2).‖ Menurutnya pula karakter dipandang sebagai nilai-nilai yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang, melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku kita (Soedarsono. 2008: 16). Perlu disadari pula bahwa karakter memiliki dua sisi yaitu ada karakter baik dan karakter buruk sesuai dengan konsep qalbu/ hati yang bermakna bolak-balik. Dalam Quran Surat 91 Asy Syam: 8-10, Allah berfirman ―Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.‖ jiwa itu, dan Dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa manusia diberi dua pilihan yaitu fitrah kebaikan dan keburukan. John Luther ( Megawangi, 2006: 17) pernah mengungkapkan bahwa ‖Karakter yang baik, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa. Hampir semua bakat adalah anugrah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak dianugrahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit – dengan pikiran, latihan, keberanian dan usaha keras.‖ Begitupun sebaliknya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 373 Ibnu Jazzar Al Qairawani (dalam Megawangi, 2006: 19-20) mengungkapkan bahwa Sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak bukan berasal dari fitrah. Akan tetapi, timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orang tua dan para pendidiknya. Semakin dewasa, semakin sulit meninggalkan sifat-sifat tersebut. Banyak orang dewasa yang menyadari sifat buruknya, tetapi tidak mampu mengubahnya, karena sifat tersebut sudah mengakar di dalam dirinya, dan menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan Sebagai penguat, McCaroll menambahkan bahwa karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang spiritual (Megawangi, 2006: 48). Atas dasar itulah, dalam pembangunan karakter ada empat koridor yang diperlukan. 1. Internalisasi tata nilai. 2. Menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh (The does and the don‟t). 3. Membentuk kebiasaan (habit forming) 4. Menjadi teladan (role model) sebagai pribadi berkarakter (Soedarsono, 2008: 28) Karakter dalam istilah lain bisa disandingkan dengan istilah akhlak. Sejumlah ahli memberikan beberapa ciri akhlak/ karakter yang baik sebagai berikut. 1. Wajah yang berseri-seri, bermurah hati dan tidak menyakiti orang lain (Al Hasan Al Basri dalam Asy Syahari, 2005: 153). 2. Tidak mau bermusuhan dengan orang lain dan tidak mau diajak bertengkar dengannya (Al Wasithi dalam Asy Syahari, 2005: 153) 3. Tidak menyakiti orang lain dan memikirkan kehidupannya (Syah Al Karmani dalam Asy Syahari, 2005: 153). 4. Berakhlak baik tecermin dalam tiga perkara, yaitu menjauhi perkara yang haram, mencari perkara yang halal, dan memberikan kelonggaran dalam keluarga. Sedangkan kunci berakhlak baik itu ada empat, yaitu hikmah, pemberani, menjaga dari perkara yang haram, dan berbuat adil. Semua perkara ini termasuk pokok-pokok akhlak yang baik (Ali bin Abi Thalib dalam Asy Syahari, 2005: 153). 374 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 5. ‖Tiada amal yang lebih berat dalam timbangan orang mukmin di hari kiamat daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah swt. benci terhadap orang yang berkata kotor dan berakhlak jelek (HR At Tirmidzi, Ibnu Abi Ad Dunya, dan Abu Nu‘aim). 6. ‖Orang yang paling saya cintai diantara kalian dan paling dekat denganku adalah orang yang baik akhlaknya, dan orang yang paling saya benci diantara kalian dan paling jauh denganku adalah orang yang jelek akhlaknya, yaitu orang yang banyak bicara, orang yang menghina orang lain dengan perkataannya dan orang yang sombong (HR Ahmad dan Ibnu Abi Ad Dunya). Agar fitrah diri seseorang dapat terjaga dengan baik dalam rangka membangun karakter yang baik harus mengupayakan dua langkah utama yaitu pembersihan diri dan menjauhkan diri dari pengotoran jiwa. Pembersihan diri yang dimaksud adalah memperbanyak syukur, sabar, santun, sayang, bijaksana, suka bertaubat, lemah lembut, benar, dan dapat dipercaya (Suyitno dan Basa, 2005: 461). Menjauhkan diri dari pengotoran jiwa yang meliputi tergesa-gesa, berkeluh kesah, gelisah, tidak suka berbuat baik, kikir, kufur, susah payah, membantah, zalim, dan bodoh (Suyitno dan Basa, 2005: 463). Kesantunan Berbahasa Kesantunan dalam berbahasa ternyata merupakan awal dari pembentuk karakter seseorang. Megawangi menjelaskan lebih jauh bahwa, seorang anak perlu diajarkan untuk terbiasa berkata terima kasih, karena ini merupakan atribut luar dari akhlak yang senantiasa bersyukur atau berterima kasih atas segala anugerah yang diberikan kepadanya (Megawangi, 2006: 33). La Bruyere memberikan suatu gambaran bahwa sopan santun tidak selalu menghasilkan kebaikan hati, keadilan, kepuasan, atau rasa syukur, tetapi ini dapat memberikan seseorang – paling tidak – terlihat sopan, dan membuatnya tampak dari luar apa yang seharusnya menjadi benar-benar terhormat (La Bruyere dalam Megawangi, 2006: 31). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 375 Sopan santuan adalah tiruannya, atau penampakan luar, dari kebajikan yang darinya timbul kebajikan-kebajikan sebenarnya (Comte-Sponville, dalam Megawangi, 2006: 30). Dalam Al Quran, Allah banyak mengilustrasikan bagaimana keharusan manusia untuk selalu memperhatikan perkataannya dalam batas-batas kesantunan. Ada beberapa ciri kesantunan berbahasa yang disyaratkan. 1) Berkata baik dan lebih baik QS 2: 263 Perkataan yang baik dan pemberian ma'af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan . Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. QS 4: 8 Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. QS 17: 53 Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. 2) Berkata benar QS 4: 9 Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. QS 33: 70 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Janganlah kewibawaan manusia itu mencegah seseorang untuk mengatakan yang benar jika ia mengetahuinya. Ketahuilah sesungguhnya jihad yang paling mulia adalah mengatakan sesuatu yang benar di hadapan penguasa yang zalim (HR Ahmad). 376 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 3) Berkata yang membekas QS 4: 63 Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka. 4) Pilihan kata yang terseleksi QS 17: 23 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. 5) Bermanfaat QS 19: 62 Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di dalam surga, kecuali ucapan salam. Bagi mereka rezekinya di surga itu tiaptiap pagi dan petang. QS 28: 55 Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". QS 56: 25 Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa, QS 78: 35 Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak perkataan dusta. 6) Fasih QS 20: 28 supaya mereka mengerti perkataanku. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 377 7) Jelas QS 21: 110 Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan dengan terangterangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan. 8) Jujur/ tidak dusta QS 22: 30 Demikianlah. Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. 9) Sederhana QS 33: 32 Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. 10) Taat asas/ aturan 47:21 Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik . Apabila telah tetap perintah perang. Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. 47:30 Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tandatandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu. 11) Muka yang berseri-seri QS 83 Al Muttaffifiin: 24 Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh keni'matan. 12) Sikap tubuh yang baik Allah memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan (HR Bukhari). 378 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Efek Berbahasa Santun Penelitian mutakhir yang berkait dengan masalah penggunaan bahasa adalah penelitian yang dilakukan oleh Masaru Emoto (2006). Dalam penelitianya, ia mengungkapkan sebuah fenomena bahwa sebuah perkataan yang baik bisa memberikan perubahan pada struktur kristal sebuah benda (air). Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut adalah sebuah perkataan yang baik atau yang buruk memberikan efek berbeda untuk setiap jenisnya. Harus disadari bahwa manusia hakikatnya 70% terdiri atas zat cair. Bisa kita bayangkan andaikan manusia banyak berkata baik maka perubahan yang dirasakan pastilah akan positif. Sebaliknya jika manusia banyak berkata buruk maka berdampak pula terhadap dirinya. Selain itu, dampak pola komunikasi dengan bermediakan bahasa yang santun atau positif ditengarai memiliki pengaruh yang sangat kuat pada kepribadian seseorang. Bloch dan Merit mengatakan (2006: 21-24) ada sembilan hal yang dapat diperoleh seseorang yaitu: 1. Percakapan pribadi yang positif membentuk kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab pribadi. 2. Melalui pengunaan percakapan pribadi, anak-anak dapat menggeser konsep diri mereka dari pondasi luar menjadi pondasi dalam. 3. Percakapan pribadi yang positif meningkatkan kepercayaan diri dan harga diri seorang anak. 4. Percakapan pribadi yang positif dapat menyediakan suatu penangkal terhadap rasa malu yang tidak sehat. 5. Percakapan pribadi yang positif dapat membantu anak-anak untuk menetapkan dan meraih sasaran-sasaran pribadi. 6. Percakapan pribadi yang positif dapat mempengaruhi kesehatan dan citra tubuh anak-anak secara positif. 7. Percakapan pribadi yang positif dapat mendorong anak-anak tetap benar dan menolak tekanan. 8. Percakapan pribadi yang positif dapat membantu anak-anak menanggapi kemalangan dengan sikapyang positif dan menguatkan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 379 9. Percakapan pribadi yang positif dapat membantu anak-anak mengembangkan suatu optimisme yang lebih besar terhadap masa depan. Dalam sumber rujukan lain terdahulu diungkapkan pula bahwa, akhlak yang jelek dan berkata kotor adalah sumber penyakit. Imam Al Mawardi mengatakan Al Ahnaf bin Qais berkata ‖Maukah kalian saya beri tahu tentang sumber dari segala penyakit? Mereka menjawab, ‖Ya, kemudian Al Ahnaf bin Qais berkata, ‖akhlah yang jelek dan berkata kotor,‖ dan sebagian ahli hikmah berkata, ‖Barangsiapa yang berakhlak jelek, maka rezekinya akan sempit, adapun alasannya sudah jelas.‖ Sebagian ahli balaghah (orang yang fasih dalam berbicara berkata, ‖akhlah yang baik menunjukkan ketenangan dalam jiwanya dan orang lain selamat darinya sedangkan akhlak yang jelek menunjukkan kekerasan dalam jiwanya dan termasuk musibah bagi orang lain.‖ Sebagian ahli syair berkata, ‖Apabila suatu kaum tidak mempunyai ‘keluasan‘ budi pekerti, maka tempat yang luas seluas apa pun tetap tampak sempit bagi mereka. Jika seseorang tidak diciptakan sebagai orang yang bijaksana, maka sebenarnya kebijaksanaan itu tidak karena panjangnya umur. ( Asy Syahari, 2005: 153).‖ Akhlak yang baik bisa terwujud dengan watak yang baik, lembut perilakunya, muka yang berseri-seri, tidak terburu-buru dan berkata baik. METODE PENELITIAN Makalah ini merupakan hasil penelitian yang penulis lakukan secara khusus lebih mengarah pada kasus atas adanya kegiatan pembelajaran dan pengajaran multibahasa (bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan bahasa Arab) di dua SDIT yang ada di Kabupaten Bandung dan diwakili oleh SDIT An-Ni‘mah, Kecamatan Margahayu dan SDIT At-Taqwim, Kecamatan Katapang. Atas dasar itulah, metode penelitian yang dipakai adalah metode penelitian studi kasus. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah kajian yang penulis lakukan memiliki kesesuaian dengan uraian yang Yin (1997:1) katakan tentang metode studi kasus yaitu : Studi kasus adalah salah satu 380 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 metode penelitian ilmu-ilmu sosial secara umum studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan ‗how‟ atau ‗why‘ bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Data Kasus Rekaman Percakapan Para Siswa SDIT Kabupaten Bandung Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kondisi aktual karakter yang terbentuk pada diri siswa? Untuk membuktikannya, perlu dilakukan sebuah kajian melalui observasi. Dalam presentasi ini, penulis menyuguhkan data temuan dengan mengambil sampel para siswa setingkat sekolah dasar. Dalam penelitian ini penulis mengambil lokus di Kabupaten Bandung dan target penelitiannya adalah para siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Sampel penelitian adalah para siswa SDIT yang berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Margahayu dan Kecamatan Katapang. Di dua lokasi tersebutlah kemudian penulis melakukan observasi dalam berbagai situasi. Situasi kebahasan yang penulis teliti terdiri atas 15 situasi meliputi: (1) saat istirahat setelah olah raga, (2) di tempat penjualan poster (luar sekolah), (3) acara pernikahan gurunya, (4) saat main sepak bola, (5) saat ujian I, (6) perbincangan dengan guru, (7) latihan pramuka, (8) tongkrongan belokan perumahan, (9) latihan sepak bola, (10) di rumah anak, (11) kumpulan anak-anak, (12) saat main tanah di pinggir jalan, (13) di belokan jalan, (14) saat ujian II, dan (15) saat ujian III. Dari kelima belas situasi kebahasaan tersebut selanjutnya penulis kaji dan ditemukanlah delapan permasalahan. Kedelapan permasalahan tersebut meliputi: (1) kesantunan (40%), (2) tata bahasa (100%), (3) persepakbolaan (6,7%), (4) pelajaran (20%), (5) kepramukaan (6,7%), (6) nasionalisme (6,7%), (7) keolahragaan (6,7%), dan (8) permainan (6,7%). Data tersebut yang menarik sesuai bahasan saat ini adalah aspek kesantunan berbahasa para siswa saat berinteraksi dengan lawan bicaranya dalam situasi yang melingkupinya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Berdasarkan angka persentase 381 menunjukkan bahwa masalah kesantunan berbahasa para siswa dalam kondisi perlu diwaspadai (40%). Ini berarti bahwa para siswa SDIT Kabupaten Bandung masih memperlihatkan sikap negatif dalam mempergunakan bahasanya. Hal tersebut dibuktikan dari masih adanya penggunaan kata-kata yang dianggap tabu secara etika sosial meskipun dalam lingkup pendidikan mereka adalah para siswa yang berada dalam naungan pendidikan yang berbasis keagamaan yang relatif kental. Kecenderungan para siswa berperilaku demikian diduga adanya pengaruh lingkungan yang masih tidak mendukung seperti teman-teman sepermainan maupun warga sekitar lainnya yang memiliki latar sosial yang relatif berbeda dari sisi edukasi dengan mereka. SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dari 15 situasi berbahasa menunjukkan bahwa tingkat kesantunan berbahasa para siswa SDIT Kabupaten Bandung dalam kondisi perlu diwaspadai 40%. Selanjutnya, peran serta guru bahasa dan para guru mata pelajaran lainnya perlu berkolaborasi untuk selalu memperhatikan aspek perkembangan kesantunan berbahasa. Di samping itu, dukungan orang tua, keluarga, dan masyarakat perlu diperkuat lagi untuk menjaga kesinambungan pendidikan karakter anak. DAFTAR PUSTAKA Al Quranul Karim dan Terjemahannya Asy Syahari, Majdi. 2005. Pesan-pesan bijak Luqmanul Hakim. Jakarta: Gema Insani. Bloch, Douglas dan Merrit, Jon. 2006. Kekuatan percakapan positif: Kata-kata yang membuat setiap anak menjadi sukses. Batam: Karisma. Effendi, Mukti. 2009. Mengembalikan jati diri bangsa. (Online). Tersedia: http://bisnis-muktiplaza.blogspot.com/2009/10/mengembalikan-jatidiri- bangsa.html [10 November 2009] Emoto, Masaru. 2006. The true power of water. Bandung: MQ Publishing. Megawangi, Ratna. 2006. Yang terbaik untuk buah hatiku. Cet. VI. Bandung: Khansa. Soedarsono, Soemarno. 2007. Hasrat untuk berubah = The willingness to change. Cet. 10. Jakarta: Elex Media Komputindo. 382 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun kembali jati diri bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo. Yin, Robert K. (1997). Studi kasus (desain dan metode). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 383 OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA ANAK Riana Dwi Lestari STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: rianadwilestari1985@ yahoo.com ABSTRAK Optimalisasi Pendidikan Karakter Peserta Didik melalui Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis kebutuhan pendidikan karakter bagi peserta didik, (2) pengembangan pendidikan karakter di sekolah; dan (3) pemanfaatan pembelajaran apresiasi sastra anak. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter mempunyai esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak , supaya menjadi manusia yang baik. Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan (Burhan Nurgiyantoro, 2013:6). Dari teori tersebut, penulis berharap dengan pembelajaran apresiasi sastra anak dapat membentuk pendidikan karakter bagi peserta didik, berdasarkan tingkat psikologinya. Kata kunci : pendidikan karakter, pembelajaran, sastra anak. PENDAHULUAN Pembelajaran apresiasi sastra merupakan sarana strategis bagi pengembangan pendidikan nilai karakter peserta didik. Bahasa dan karakter seseorang merupakan dua hal yang saling berhubungan. Ada istilah bahwa ―bahasa merupakan cerminan jati diri seseorang‖, hal ini berarti bahwa bahasa tidak hanya menunjukkan asal penutur bahasa, tetapi juga menggambarkan hubungan antara bahasa sebagai salah satu unsur yang membentuk karakter seseorang. Semakin baik bahasa yang digunakan maka semakin tinggi pula tingkat intelegensi seseorang. Nilai karakter merupakan hal yang sangat penting dan mendasar bagi manusia. Bangsa Indonesia mengalami krisis moral yang sangat parah, mulai dari kasus narkoba, kenakalan dan pergaulan bebas di kalangan remaja, , tawuran, korupsi, kekerasan, dan tindakan anarkis yang mengindikasikan adanya pergeseran jati diri sebagai ciri nilai karakter bangsa kita. 384 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Budaya spiritual seharusnya sudah tertanam dalam diri anak sebagai pondasi kokoh dalam menghadapi perkembangan zaman. Dalam BAB II Pasal 3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Penddikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini berarti bahwa pendidikan nilai karakter harus diaplikasikan sejak dini di semua jennjang pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Anak yang mulai memasuki usia sekolah dasar memandang semua peristiwa dengan objektif. Dari iklim yang egosentris, anak memasuki dunia objektif dan dunia pikiran orang lain. Disamping keluarga , sekolah memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukkan nilai karakter anak. Menurut Kartini (2007: 138), mngatakan bahwa anak pada usia ini sangat aktif dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat menarik minat perhatian anak. Minatnya akan banyak tertuju pada macammacam aktivitas. Ini bisa kita wujudkan dengan banyak memberikan bukubuku bacaan anak daripada memfasilitasi mereka dengan suguhan tayangan televisi yang hanya merusak nilai karakter anak bangsa. Kehidupan fantasi mengalami perubahan penting dalam diri anak. Pada usia 8-9 tahun anak menyukai sekali cerita-cerita dongeng, misalnya Timun Emas, Bawang Putih Bawang Merah, Malin Kundang, dsb. Unsur-unsur yang hebat dan ajaib dalam dongeng ini mencekam segenap minat anak. Lambat laun, unsur kritis mulai juncul, dan anak mulai mengoreksi peristiwa riil yang semestinya benar-benar terjadi. Pada kondisi semacam ini, anak membutuhkan wadah untuk mengembangkan unsur kritis. Melaalui pembelajaran bahasa terutama dalam bidang apresiasi sastra diharapkan dapat mengoptimalisasikan pendidikan nilai karakter peserta didik. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 385 PEMBAHASAN Pengembangan Pendidikan Nilai Karakter Pendidikan merupakan proses pengubahan perilaku seseorang untuk mendewasakan manusia melalui proses pembelajaran. Haitami Salim (2013: 27) mengelompokkan dua definisi pendidikan, yaitu (1) definisi pendidikan secara luas yang mana pendidikan berlaku untuk semua orang dan dapat dilakukan oleh semua orang bahkan lingkungan, dan (2) definisi pendidikan secara sempit yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mengantarkan kepada masa kedewasaan. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan seharusnya diarahkan untuk mengembangkan karakter dan potensi yang dimiliki peserta didik. Sehingga mampu membentuk perilaku jujur, cerdas, kreatif, dan inovatif. Wina Sanjaya (2007:2) mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang terencana, hal ini berarti proses pendidikan di seklah bukanlah proses yang dilaksanakan secara assal-asalan dan utung-untungan, akan tetapi proses yang bertujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan pada pencapaian tujuan. Pendidikan seharusnya bertolak kepada pemberian nilai spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan peserta didik. Orientasinya pada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan, serta pengembangan keterampilan peserta didik sesuai dengan kebutuhan. Secara etimologis istilah karakter berasal dari bahasa Latin Kharakter, Kharassaein, dan Kharax, dalam bahasa Yunani Character dari kata Charassein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter. Heri Gunawan (2014: 3) mengemukakan bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang yang membedakan antara dirinya dengan orang lain. Karakter merupakan ciri pribadi yang mencakup perilaku, kebiasaan, nilainilai, atau pemikiran yang terwujud dalam diri. Syamsul (2013:29) 386 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mengemukakan bahwa karakter mengacu pada sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter menurut Zubaedi meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual seperti krisi dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya. Karakter seseorang terbentuk dari tindakan yang dilakukan dalam kesehariannya. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat (Tobroni). Tindakan tersebut biasanya tidak disadari karena begitu seringnya perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter mempunyai esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik. Pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Berdasarkan grand designe yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologi dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan nilai karakter sebenarnya sudah lama diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah-sekolah, namun belum optimal. Itu karena pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghapal materi soal ujian dan teknik-teknik menjawabnya . Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan yang ditanamkan sejak dini, bukan sebuah pembiasaan yang bisa dibentuk secara instan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 387 Pembiasaan itu meliputi berperilaku jujur, demokratis, bertanggung jawab, dan mencintai alam sekitar. Kemendiknas (2010) melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsipprinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan menjadi lima, yaitu; (1) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri, (3) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, dan (4) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan lingkungan, serta (5) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya dengan kebangsaan. Kemendiknas (2010) dalam buku ―Panduan pendidikan Karakter‖, kemudian secara ringkas kelima nilai-nilai tersebut yang harus ditanamkan kepada siswa, berikut deskripsi ringkasannya dijelaskan dalam tabel berikut ini. Nilai – Nilai Karakter yang Dikembangkan di Sekolah No Nilai Karakter yang Deskripsi Prilaku Dikembangkan 1 Nilai karakter dalam Berkaitan dengan nilai ini, pikiran, perkataan, hubungannya dengan dan tindakan seseorang yang diupayakan Tuhan Yang Maha Esa selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan (Religius). 2 dan/atau ajaran agamanya. Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang meliputi; Jujur Merupakan perilaku yang didassarkan pada upaya menjaikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain. Bertanggung jawab Merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melakanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), Negara dan Tuhan 388 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 YME. Bargaya hidup sehat Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. Disiplin Merupakan suatu tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Kerja keras Merupakan suatu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya. Percaya diri Merupakan sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan ketercaoaiannya setiap keinginan dan harapannya. Berjiwa wirausaha Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya, serta mengatur permodalan operasinya. Berpikir logis, kritis, Berpikir dan melakukan sesuatu secara kreatif, dan inovatif kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki. Mandiri Suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Ingin tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendlam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 389 Cinta ilmu Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetaphuan. 3 Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama Sadar akan hak dan Sikap tahu dan mengerti serta melaksnakan kewajiban diri orang lain. dan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain. Patuh pada aturan- Sikap menurut dan taat terhadap aturan- aturan sosial. aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum. Menghargai karya dan Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya prestasi orang lain. untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain. Santun Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang. Demokratis Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan 4 Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayauaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin member bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 5 Nilai kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan 390 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kepentingan bangsa dan Negara diatas kepentingan diri dan kelompoknya. Nasionalis Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya. Menghargai Sikap member respek/hormat terhadap keberagaman berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter Pendidikan karakter di sekolah akan terlaksana dengan lancar, jika guru dalam pelaksanaanya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan karakter. Kemendiknas (2010) memberikan rekomendasi 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut: a. mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter; b. mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran, perasaan, dan perilaku; c. menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun karakter; d. menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian; e. member kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku yang baik; f. memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang yang mengahargai semua peserta didik, membangun karakter mereka, dan membantu mereka untuk sukses; g. mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada peserta didik; h. memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai dasar yang sama; Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 391 i. adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter; j. memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha membangun karakter; k. mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik. Sastra Anak Istilah cerita anak, yang lebih umum dikenal selama ini yaitu sastra anak. Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan. Sastra umumnya dan puisi khususnya adalah semacam penggunaan bahasa dan bahwa penjelmaan bahasa yang khas ini tidak mungkin kita pahami dengan sebaik – baiknya tanpa pengertian, konsep bahasa yang tepat (A. Teeuw, 1083:1). Sastra diyakini mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, mmupuk, mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai pendidikan yang baik dan sangat berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa (Retno Winarni, 2014:1). Sastra adalah suatu karya yang spesifik, dengan pemilihan kata-kata yang spesifik, karya yang dilukiskan dengan cara yang spesifik (Retno Winarni, 2014:1). Pengenalan diri, sesama, lingkungan, pengalaman, pendidikan, agama, keudayaan, dan berbagai permasalahannya akan terjadi hanya jika ada keterlibatan dan pemahaman atas kualitas pendalaman setiap karya yang dibaca. Artinya, pengalaman membaca yang melahirkan pengetahuan juga merupakan tuntutan bagi keterlibatan itu. itulah sastra, cerita mengenai kehidupan yang memampukan manusia menjadi manusia. Sastra dengan cara yang spesifik menyampaikan peristiwa yang spesifik pula. Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, gentang kehidupan pada umumnya, yang semuanya diungkapkan dengan cara dan bahasa yang khas (Burhan Nurgiyantoro, 2013:2). Artinya baik cara 392 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 pengungkapan maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan berbagai persoalan hidup, atau biasa disebut gagasan, adalah khas sastra, khas dalam pengertian lain daripada yang lain. Artinya, pengungkapan dalam bahasa sastra berbeda dengan cara-cara pengungkapan bahasa selain sastra, yaitu cara-cara pengungkapan yang telah menjadi biasa, lazim, atau yang ituitu saja. Dalam bahasa sastra terkandung unsur dan tujuan keindahan. Bahasa sastra lebih bernuansa keindahan daripada kepraktisan. Karakteristik tersebut juga berlaku dalam sastra anak. Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam memahami dan bergaul dengan sastra anak adalah pertama, bahwa kita berhadapan dengan karya sastra dan dengan demikian menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya, dan nada. Kedua, kita mendapat kesan mendalam dan serta merta yang kita temukan dalam (bahkan) pada pembaca pertama adalah adanya kejujuran, penulisan yang sangat bersifat langsung, serta informasi yang memperluas wawasan. Itulah sastra anak: karya yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta- pada dasarnya-dibimbing orang dewasa. (Riris Sarumpaet, 2010: 3). Sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak ―dengan bimbingan dan pengarahan orang dewasa suatu masyarakat, sedang penulisnya juga dilakukan orang dewasa‖ (Davis 1967 dalam Sarumpaet 1976:23). Stewig 1980 dalam Burhan Nurgiyantoro 2013:4. Mengungkapkan peran sastra bagi anak dalah bahwa di samping memberikan kesenangan juga memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap kehidupan ini. Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga menawarkan berbagai bentuk motivasi manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat mengundang pembaca untuk mengundang identifikasinya. Apalagi jika pembaca itu adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan dapat menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak. Masih banyak lagi bebagai kandungan yang ditawarkan dan dapat diperoleh lewat bacaan sastra anak karena sastra bukan tulisan yang biasa. Isi kandungan yang memberikan pemahaman tentang kehidupan secara lebih baik itu diungkap dalam bahasa yang menarik. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 393 Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan (Burhan Nurgiyantoro, 2013:6). Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat berbicara, bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan memang begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak. Isi cerita anak tidak harus yang baik-baik saja, seperti kisah anak rajin, suka membantu ibu, dan lain-lain. Anak-anak juga dapat menerima cerita yang ―tidak baik‖ seperti anak malas, anak pembohong, kucing pemalas, atau binatang yang suka makan sebangsanya. Cerita yang demikian pun bukan cerita yang tanpa moral dan anak pun akan mengidentifikasi diri secara sebaliknya. Pendek kata cerita anak dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah sehingga mampu memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu sendiri. Bahkan, cerita anak tidak harus selalu berakhir yang menyenangkan, tetapi dapat juga sebaliknya. Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak Yunus Abidin (2013:1) mengemukakan bahwa istilah pembelajaran dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Salah satu sudut pandang yang dianggap paling awal menyajikan konsepsi pembelajaran adalah sudut pandang behavioristik. Berdasarkan pandangan teori ini, pembelajaran sering dikatakan sebagai proses perubahan tingkah laku siswa melalui pengoptimalan lingkungan sebagai sumber stimulus belajar. Berdasarkan sudut pandang kognitif, pembelajaran didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam mengonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pembelajaran mengandung dua karakteristik utama, yakni : a. Proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara maksimal yang mengehendaki aktivitas siswa untuk berpikir; dan 394 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 b. Pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir siswa , yang pada gilirannya kegiatan berpikir itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Pembelajaran dalam konsep interaksi berfungsi untuk mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki siswa dalam rangka membangun pengetahuan dalam dirinya. Menurut Degeng (dalam Husaman, 2013:34), pembelajaran adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk mencapai hasil pengajaran yang diinginkan, serta didasarkan pada kondisi pembelajaran yang ada. Sebagai sebuah pemikiran, melalui pembelajaran apresiasi sastra anak, diharapkan dapat dijadikan sarana dalam rangka mengembangkan pendidikan karakter peserta didik. Pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam mengapresiasi sastra. Diharapkan dengan apresiasi sastra anak bisa mengoptimalkan pendidikan karakter peserta didik. Pendidikan nilai karakter ini dapat tertanam setelah siswa mengapresiasi sastra anak dari setiap adegannya, baik itu dari perilaku para tokoh, cara berpakaian, cara bertindak, cara bertutur, dll. Dari pemahaman yang ditanamkan sejak dini, diharapkan mampu dijadikan perilaku atau kebiasaan positif yang terus dilakukan peserta didik sebagai landasan bagi kehidupannya. Pembentukan karakter ini sebagai wujud bangsa Indonesia yang membedakan dengan Negara lain. Tetapi tidak terlepas dari peran orang tua dan guru. Anak akan meniru apa yang dia lihat daripada mendengar apa yang dikatakan oleh orang lain. Orang tua sebagai cermin bagi peserta didik membentuk perilaku di rumah. Sedangkan guru adalah cermin bagi peserta didik yang akan memberikan pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran harus didukung dengan metode pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat berkomunikasi dan berinteraksi, baik itu dengan guru, temannya, maupun dengan lingkungannya. Metode apa pun yang digunakan jika dikemas dengan prosedur yang benar akan menghasilkan pembelajaran yang bermakna. Bukan karena metode yang digunakan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 395 merupakan metode yang sedang digembor-gemborkan. Pelaksanaan proses pembelajaran sebaiknya dituangkan dalam Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP) yang berbasis pendidikan karakter. SIMPULAN Pembelajaran apresiasi sastra anak bertujuan untuk mengoptimalkan pendidikan nilai karakter peserta didik. Dengan sastra anak diharapkan mampu menjadi sarana dalam proses pembentukan pendidikan nilai karakter peseta didik. Pendidikan nilai karakter sangat penting dilaksanakan secara sistematis untuk memahami nilai-nilai perilaku baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun dalam bermasyarakat. Pendidikan nilai karakter yang ditanamkan sejak dini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak bukan hanya orang tua tetapi guru dan masyarakat menjadi bagian yang penting. Hal yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan adalah penanaman nilai religius dan kemanusiaan sebagai pondasi bagi pedoman hidup. Sehingga bangsa kita lepas dari bayang – banyang korupsi, kenakalan remaja, tawuran, seks bebas, kekerasan, dan tindakan anarkis. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Yunus.2014.Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.Bandung:Refika Aditama. Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak Berbasis Aktivitas. Bandung: Widya Padjajaran. Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta. Hurlock, Elizabeth B.1980.Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Kartono, Kartini.2007.Psikologi Anak.Bandung: Bandar Majun KBBI (Kamus besar Bhasa Idonesia) edisi ketiga:Balai Pustaka. 396 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta:Graha Ilmu. Kuniawan, Syamsul.2013.Pendidikan Karakter.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media. Nurgiantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta:Gajah Mada University Press. Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:Kencana Perdana Media Group. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:Pustaka Obor Indonesia. Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta:Graha Ilmu. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 397 NILAI LOKALITAS DALAM SASTRA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER Ridzky Firmansyah F.F Peneliti Pos-el: [email protected] ABSTRAK Nilai Lokalitas dalam Sastra sebagai Pembangun Karakter. Sastra bukan hanya sekadar karya yang membuat pembacanya terhibur dengan tema, gagasan, atau kisah yang disajikan. Sastra juga memiliki muatan didikan yang terejawantahkan dalam kehadiran tokohnya atau dari segi konfliknya. Selain itu, sastra dapat menumbuhkan rasa cinta, peka, dan empati pembacanya terhadap alam sekitar dan lingkungan sosialnya. Hal itu terintegrasikan dalam deskripsi suasana, latar, atau bahkan pandangan tokoh yang termaktub dalam dialog-dialog tokoh maupun antartokohnya. Bacaan memang belum tentu secara drastis mengubah pandangan seseorang, namun bacaan dapat berfungsi sebagai terapi ideologi atau intelektual. Melalui bacaan, seorang pembaca yang mulanya kontra terhadap suatu gagasan tertentu kemudian menjadi pro. Melalui bacaan, seorang pembaca terinspirasi untuk melakukan hal-hal yang ditirunya dari perilaku tokoh dalam karya sastra yang dibacanya. Melalui bacaan, seorang pembaca pun belajar guna melatih kepekaan imajinasi dan empatinya. Kepekaan imajinasi dan empatilah yang dapat menjadi media penyampaian nilai, pandangan, norma, atau gagasan umum yang dapat menggelisahkan pembaca sehingga berkeinginan berbuat sesuatu yang sesuai dengan nilai yang dianutnya atau kelompoknya. Penguatan nilai-nilai positif dalam sastra pun terlihat dari beberapa karya sastrawan Indonesia. Katakanlah Ladang Perminus-nya Ramadhan K.H. yang menyentil masalah penjahatan lingkungan dan korupsi. Juga dalam karya yang dianggap terlampau vulgar oleh sebagian besar masyarakat yakni Jangan Main-main dengan Kelaminmu-nya Djenar Maesa Ayu yang mengulas mengenai perilaku seks yang serampangan. Bermula dari permasalahan, seperti yang terdapat dalam kumpulan cerpen Djenar, nilai positif dapat ―diselidiki‖, diperbincangkan, dan diintegrasikan dalam wujudnya yang nyata. Sesungguhnya, melalui sastra, kesadaran akan nilai-nilai positif dapat dikaji bahkan dalam studi lebih komprehensif dapat ditumbuhkembangkan menjadi bentuk model pembelajaran. Kata kunci: nilai lokalitas, sastra, karakter. PENDAHULUAN Karya sastra acap kali menginspirasi khalayak umum untuk melakukan kegiatan di luar sastra yang menghasilkan pengalaman bersastra. Sebut saja sebuah kelompok teater yang mementaskan naskah drama (drama dalam dimensi pertama sebagai karya sastra). Bisa juga sebuah grup musik yang kemudian lebih banyak mengaransemen teks-teks yang bukan bermula dari syair melainkan dari puisi, terjadilah musikalisasi puisi. 398 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dari beberapa ilustrasi tersebut, persinggungan dengan karya sastra menghasilkan pengalaman bersastra. Tak hanya menghasilkan pengalaman bersastra pada praktisinya saja, khalayak umum pun pada akhirnya menikmati karya sastra dalam bentuknya yang berbeda. Seseorang yang menyaksikan pementasan teater dan memiliki ketertarikan pada jalan ceritanya, kemungkinan besar akan mencari dan membaca naskahnya. Begitu pun dengan musikalisasi puisi yang didengarnya. Pada mulanya yang dipentingkan hanyalah persoalan unsur melodinya, kemudian pendengar musikalisasi puisi berupaya untuk membaca, menghafal, dan memahami teks puisinya. Hal tersebut sama halnya dengan mendengarkan sebuah lagu. Pertama-tama yang disimak hanyalah persoalan melodi yang mudah didengar (easy listening), kemudian mencari lirik lagu dan menghafalnya agar bisa menyanyikannya. Sama halnya seperti lagu, karya sastra baik itu berupa puisi, prosa, maupun drama ialah alat untuk menyampaikan gagasan. Pengarang menggunakan ragam sastra sebagai media penyampai pesan, penyampai ideologi, bahkan penyampai kegelisahannya atas apa yang menimpanya atau menimpa lingkungannya. Setiap pengarang bereaksi atas apa yang dilihatnya. Pesan yang ingin disampaikan pengarang terkadang tidaklah terus terang. Terkadang pengarang menggunakan perumpamaan dalam mengungkapkan gagasannya. Dalam gagasan yang disampaikan, tentu saja ada hal yang ingin dibagi, ada hal yang ingin diwartakan kepada pembaca, dan ada harapan agar pembaca dapat tergugah dengan apa yang disampaikannya. Minimal, pengarang berkeinginan agar pembaca memiliki ―kegelisahan‖ yang sama atas suatu permasalahan yang dibicarakannya dalam sebuah karya. Jika dikaji, pesan atau kegelisahan pengarang dapat diidentifikasi sebagai sebuah pandangan yang wujudnya berupa ajakan atau sekadar nasihat. PEMBAHASAN Ladang Perminus: Novel ke Teater Dalam novelnya, Ramadhan menulis pergolakan batin Hidayat yang bekerja di sebuah perusahaan minyak negara yang penuh dengan tindakan korup. Novel Ladang Perminus karya Ramadhan K.H. membongkar boroknya Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 399 penguasaan migas untuk kepentingan penguasa: Orde Baru. Ladang Perminus mengisahkan tokoh utamanya yang bernama Hidayat, seorang bekas pejuang angkatan ‗45 yang bekerja sebagai manajer pada perusahaan minyak negara bernama Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus), sebuah analogi untuk Perusahaan Tambang dan Minyak Negara (Pertamina). Dalam novel Ladang Perminus, dijabarkan kenyataaan yang menyebutkan secara gamblang penguasaan perusahaan minyak atas aset negara. Perminus merupakan negara di dalam negara. Tidak ada yang berani menyentuh skandal yang terjadi di dalam tubuh perusahaan yang berfokus di sektor migas itu. Skandal demi skandal muncul dan menggerogoti neraca pembayaran minyak dan gas (migas) ke dalam kas negara. Perminus dalam Ladang Perminus merupakan pengejewantahan dari Pertamina yang merupakan alat pengeruk kekayaan negara pada masa Orde Baru. Ketika itu, berita-berita tentang skandal korupsi di Pertamina tak pernah luput dari sorotan media massa. Terlebih lagi, Harian Indonesia Raya yang paling gencar memberitakan perilaku korupsi dalam tubuh perusahaan yang bergerak di sektor migas milik negara ini. Pada akhirnya, media harus dibungkam oleh kekuasaan. Harian Indonesia Raya pun dibreidel karena paling setia memberitakan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di tubuh Pertamina. Pertamina tak ubahnya seperti sapi gemuk yang habis badan karena diperah penguasa negeri (www.teater-perminus.blogspot.com). Ladang Perminus mengungkapkan betapa sudah mengguritanya perilaku korupsi di perusahaan tersebut yang akhirnya harus ‖memaksa‖ setiap orang yang berurusan dengan Perminus juga melakukan korupsi dan kolusi. Novel Ladang Perminus tak hanya berbicara mengenai persoalan korupsi. Persoalan lainnya yang berkait dengan korupsi bahkan menjadi ladang korupsi ialah persoalan lingkungan dan hak azasi manusia. Lingkungan bukan hanya menjadi ―perhatian‖ pelaku korupsi dalam mengeruk kekayaan. Namun lingkungan pun seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Jika kekayaan alam Indonesia terus-menerus dikeruk tanpa ada dampak kesejahteraan bagi rakyatnya, jelas itu merupakan pelanggaran sebab rakyat ditelantarkan dan lingkungan dirusak melulu. Begitu banyak kasus korupsi yang berdampak pada 400 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 persoalan pencemaran lingkungan dan hak azasi manusia. Persoalan Lapindo, Balongan, dan Freeport telah menjadi representasi kedahsyatan perusakan lingkungan dan pelanggaran hak azasi manusia. Hal tersebut tak lepas dari perilaku korupsi sebagai hasil dari ―percintaan sengit‖ antara pemilik modal dan aparatur negara dalam konspirasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan hak azasi manusia. ―Aku belum tentu menang, malahan mungkin kalah. Tapi akan kutunjukkan bahwa aku punya pikiran dan pendirian. Pada saat yang tepat aku akan melawan!‖ Kutipan dialog dalam novel Ladang Perminus tersebut mendeskripsikan bahwa setiap individu mestilah memiliki pendirian. Hidayat, mewujudkan pemikirannya atas negara dan aset negara dalam bentuk keteguhan pendirian. Hidayat yang dikelilingi perilaku korup di kantornya, tak terbawa arus untuk turut serta dalam pesta ―uang kaget‖. Karakter Hidayat yang teguh, jujur, dan cerdas membuktikan kecerdasannya dengan tidak mau diperbudak harta. Hidayat mengatakan pada saat yang tepat ia akan melawan. Tentu saja melawan bukan dalam konteks fisik, melainkan melawan dengan kecerdasan dan keteguhan pendirian. Seperti halnya empat aspek kecerdasan yang mesti dimiliki generasi muda Indonesia: cerdas intelektual, cerdas sosial, cerdas spiritual, dan cerdas emosional. Kecerdasan dan pendirian yang dimiliki Hidayat dapat ditransformasikan ke dalam pembelajaran formal guna menumbuhkan empat aspek kecerdasan generasi muda Indonesia. Hal tersebut selaras seperti yang dikatakan Anna (www.kompas.com, 2012), bahwa pelajaran sastra bagi pelajar memiliki peranan yang penting dalam mengembangkan kecerdasan dan karakter siswa. Ladang Perminus menunjukkan adanya keterkaitan antara sastra dan masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Wellek (1990: 111) yakni dari aspek permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra dianggap sebagai dokumen sosial, sebagai cermin dari proses sosial yang lambat laun akan mengubah pandangan masyarakat terhadap suatu hal. Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari dokumen biografi (Wellek, 1990: 113). Ramadhan yang juga seorang jurnalis mampu menggugah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 401 kesadaran kolektif masyarakat. Masyarakat dipicu untuk melek realitas sebab kehadirannya sebagai pengarang dengan menulis persoalan sosial telah mewakili posisi masyarakat untuk memegang kendali atas kontrol sosial yang terjadi. Nurgiyantoro (2012: 452) menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran sastra di sekolah itu haruslah diarahkan agar peserta didik memeroleh sesuatu yang bernilai lebih dibanding bacaan-bacaan lain yang bukan bacaan kesastraan. Sesuatu tersebut bermacam jenisnya, yang jika dipilah menurut Saryono (2009: 52-219) dapat berupa pengalaman, pengetahuan, kesadaran, dan hiburan. Berbagai cara dapat dilakukan guna membentuk karakter positif pada generasi muda Indonesia. Sastra memiliki caranya sendiri dalam membangun karakter masyarakat_pembacanya. Begitu pun dengan bentuk transformasinya: dari novel menjadi pementasan teater yang memiliki sisi edukasi sekaligus rekreatif. Nurgiyantoro (2012: 452-453) membagi bahan pembelajaran sastra ke dalam dua golongan, yaitu bahan apresiasi langsung dan apresiasi tidak langsung. Bahan pembelajaran apresiasi sastra langsung menunjuk pada bahan yang berupa teks-teks kesastraan yang pada umumnya teks puisi, fiksi, dan drama. Bahan apresiasi sastra yang tidak langsung menyaran pada bahan pembelajaran yang bersifat teoretis dan kesejarahan, seperti teori sastra dan sejarah sastra, atau pengetahuan sastra. Melalui sastra, siswa dapat berkontemplasi, mengembarakan imajinasinya atas realitas teks yang dihadirkan oleh pengarang. Melalui pementasan teater, siswa mendapatkan pengetahuan sastra sebab pementasan teater bermula dari naskah (drama sebagai dimensi satu: D1) begitu pun dengan pementasan teater Ladang Perminus yang bermula dari sebuah novel. Persoalan yang diungkap Ramadhan atas dasar fakta_realitas kebobrokan pengelolaan sistem migas di negeri ini, kemudian diwujudkan kembali dalam bentuk pementasan teater. Teater ibarat cermin bagi masyarakat ketika lakon itu dihidupkan. Dalam setiap pementasannya, setiap orang akan bercermin pada sosok dan persilangan ‖nasib‖ serta konflik yang telah, sedang, dan kemungkinan akan terjadi. Itu sebabnya sebuah teater akan merawat daya 402 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kritisnya dalam menanggapi kondisi zamannya. Begitupun dengan pementasan Ladang Perminus yang diangkat dari novel karya Ramadhan K.H. dengan judul yang sama. Fenomena korupsi yang terjadi di sektor migas dan kelangkaan bahan bakar minyak ketika itu, menjadi pendorong terealisasinya pementasan teater Ladang Perminus. Pementasan teater Ladang Perminus, sengaja digagas guna menggugah kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia atas perilaku korupsi yang makin masif. Pementasan diselenggarakan selama dua hari berturut-turut baik di Bandung dan di Jakarta serta satu hari di Solo dan Semarang dengan sistem tidak berbayar alias gratis. Workshop mengenai antikorupsi pun diselenggarakan agar seluruh tim paham atas isu yang digulirkan. Diskusi publik pun diselenggarakan agar tersosialisasikannya isu antikorupsi pada khalayak umum. Pementasan teater diselenggarakan agar memungkinkan generasi muda Indonesia berbondong-bondong mengapresiasi pementasan teater yang akan menumbuhkan kesadaran mereka atas rasa cinta terhadap aset negerinya sendiri. Selain pementasan teater sebagai bentuk kampanye antikorupsi, diselenggarakan pula perlombaan menulis esai dengan tema korupsi, lingkungan hidup, dan hak azasi manusia. Martabat Seharga Rp 5000 adalah sebuah judul esai yang ditulis siswa SMA di Bandung. Judul esai tersebut merupakan judul sebuah kumpulan esai yang ditulis generasi muda Indonesia. Setelah para pelajar dari dua kota: Bandung dan Jakarta menyaksikan pementasan teater Ladang Perminus yang diangkat dari novel Ladang Perminus, mereka diminta menulis esai dengan tema korupsi, lingkungan, atau hak azasi manusia. Penulisan esai oleh siswa SMA dimaksudkan untuk melengkapi proses pembelajaran terhadap isu yang digulirkan. Ternyata, siswa SMA begitu antusias menulis esai bertema korupsi, lingkungan hidup, dan hak azasi manusia. Pada mulanya para siswa diundang untuk menonton pertunjukan secara gratis. Setelah itu dilakukan diskusi mengenai tema pertunjukan dan dilanjutkan dengan mengumumkan kriteria lomba menulis esai. Pementasan Ladang Perminus bukan menjadi kajian yang mereka ulas. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 403 Pementasan Ladang Perminus hanyalah stimulus mengenai tema yang dibicarakan dalam novel. Siswa dari berbagai sekolah di Bandung dan Sumedang berhasil masuk dalam dua puluh besar esai yang lolos seleksi dan dipublikasikan dalam bentuk buku. Buku yang kemudian diberi judul Martabat Seharga Rp 5000 didistribusikan secara gratis ke sekolah-sekolah di Bandung, Sumedang, dan Jakarta sebagai media kampanye antikorupsi. Hal tersebut dilakukan guna membangun kesadaran antikorupsi dan membangun mental serta karakter yang teguh juga positif bagi generasi muda Indonesia. Selain publikasi dan distribusi tema antikorupsi, anti pencemaran lingkungan, dan anti pelanggaran hak azasi manusia dalam bentuk buku, diedarkan pula DVD pementasan Ladang Perminus secara gratis ke sekolah-sekolah. Distribusi buku dan DVD dilakukan untuk lebih memperluas sosialisasi tema pementasan. Melalui cara ini, diharapkan efek lanjutan pembangunan karakter positif akan terus bergulir meski pementasan telah usai. Selain itu, dari kegiatan menulis esai, terdapat nilai positif yang ditumbuhkembangkan yakni mengenai apresiasi. Squire dan Taba (Aminuddin, 2011: 34-36) mengemukakan bahwa apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yaitu aspek kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif. Kegiatan apresiasi dapat menjadi bekal awal siswa mencintai dan lebih lanjut memahami karya sastra. Setelah siswa bergelut dengan bentuk-bentuk karya sastra (novel, pementasan teater yang bermula dari naskah drama, dan esai), siswa dapat lebih peka menulis berbagai objek yang dilihatnya di lingkungan sekitar. Hal tersebut berguna menumbuhkan sikap sensitivitas yang merupakan perwujudan dari aspek kognitif, emotif, dan evaluatif. Setelah siswa memiliki kemampuan menafsir karya berdasarkan fakta teks pada karya sastra, siswa memahami kegelisahan pengarang, kemudian siswa dapat memberikan penilaian atas gagasan yang ditawarkan pengarang dalam karyanya. Dalam aplikasi studi lebih lanjut, siswa pada akhirnya memproduksi teks yang merupakan hasil pergulatannya dengan aspek kognitif, emotif, dan evaluatif. 404 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Jangan Main-main dengan Kelaminmu Cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu sesungguhnya tak berbicara persoalan seksualitas semata. Namun ada pesan yang ingin disampaikan sekaitan dengan persoalan moral yang membentuk karakter positif pada generasi muda. Persoalan zaman menjadi ciri utama dalam cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu ini. Djenar memuat representasi kehidupan masyarakat urban dengan ketidaksiapan mental: seks bebas. Dalam karyanya, Djenar bukan mendeskripsikan perilaku terlebih lagi adegan seks, melainkan sebagai kritik atas kengerian dan media sosialisasi gagasan secara simbolis. Tentu saja gagasan atas nilai yang bergeser karena persoalan cara pandang yang berubah: petuah leluhur dianggap sudah usang. Keputusan Djenar mengambil latar metropolis sekaitan dengan pendapat Herder (Anwar, 2012: 7) bahwa karya sastra berakar pada lingkungan sosial dan geografikal. Lebih lanjut, Herder mengatakan lingkungan sosial dan geografis mempunyai fungsi khusus empiris dalam karya sastra sehingga tidak lagi membutuhkan serangkaian bentuk penilaian atas nilai yang terkandung di dalamnya sebab segalanya telah begitu adanya. Luxemburg (1992: 23) mengatakan bahwa sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adatistiadat zaman itu. Sekaitan dengan hal tersebut, Djenar mengambil latar metropolis dalam cerpennya berjudul Jangan Main-main dengan Kelaminmu yang seolah-olah menjadi sindiran simbolik bagi kaum urban saat ini atas nilai yang dianutnya. Tak perlu berpura-pura tidak tahu atau seolah-olah menutup dengan fakta di masyarakat bahwa anak muda perkotaan pada khususnya, sudah tidak menganggap hubungan seks sebagai hal yang tabu. Hal tersebut disebabkan adanya kesalahan dari para orang tua sekaligus guru di sekolah dalam memandang pendidikan seks. Rata-rata anak Indonesia tidak mendapatkan pendidikan seks dari kedua orang tuanya, kecuali anak perempuan. Itu pun hanya sebatas persoalan menstruasi. Sementara anak lakilaki, jarang sekali mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya. Meski ada pula orang tua yang mengajarkan pendidikan seks pada anaknya, namun Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 405 jumlahnya tidak seberapa. Itu pun sangat bergantung pada cara komunikasi dan wawasan yang dimiliki orang tua. Pendidikan seks dianggap tabu dibicarakan sebab stereotip yang berkembang di masyarakat kita yakni pendidikan seks dianggap mengajarkan bagaimana caranya melakukan hubungan seksual. Padahal pendidikan seks tidak berbicara persoalan penetrasi penis-vagina melainkan mencakup kesehatan reproduksi dan pengenalan alat kelamin sekaitan dengan fungsinya yang benar. Pada tataran fungsi itulah penekanan perilaku seks yang benar harus dijelaskan sebab sangat berkait dengan kesehatan reproduksi dan norma yang berlaku di masyarakat. Jika siswa sudah paham betul mengenai kesehatan reproduksi, niscaya dia akan sangat menjaga dirinya dengan tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Jangan Main-main dengan Kelaminmu merupakan suatu representasi bahwa di kota besar, saat ini seks bukan hanya sekadar istilah yang merujuk pada kelamin. Seks sudah ―bertransformasi‖ menjadi gaya hidup. Meskipun tokoh dalam Jangan Main-main dengan Kelaminmu bukanlah remaja, namun cerpen tersebut menggambarkan bahwa tren melakukan hubungan seks ketika berpacaran, terlebih lagi dalam konteks perselingkuhan seolah-olah menjadi hal yang sama halnya dengan berjabat tangan. Gaya pacaran saat ini hampir identik dengan hubungan badaniah, meskipun masih banyak kaum remaja yang menerapkan ―pacaran sehat‖. Namun tak sedikit pula yang menganggap seksualitas ialah sebuah kelumrahan dalam menjalin suatu hubungan. Dalam cerpen tersebut, disebutkan tokohnya yang perempuan merasa tidak dalam posisi yang rugi ketika dia sudah bersetubuh dengan seorang pria dan tidak dinikahi sebab tidak terlintas dalam pikirannya tentang pernikahan. Persoalan moral, persoalan karakter, dan nilai yang dianut tokoh sebagai perwakilan dari sebagian masyarakat, bisa dikaji dalam konteks pembelajaran berbasis masalah. Dalam jalan cerita, tokoh perempuan yang menjalani hubungan seks di luar pernikahan merasa tidak memiliki beban sama sekali. Namun jika dikaitkan dengan persoalan judul, jelas ada pesan yang ingin disampaikan Djenar dalam karyanya. Pesan yang sama dengan judulnya: Jangan main-main dengan kelaminmu. Dalam cerpennya yang lain (dalam 406 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 kumpulan cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu), Djenar menghadirkan dampak dari bermain-main kelamin. Efek penyakit kelamin hingga terkena HIV/AIDS menjadi kasus-kasus kecil dalam cerpennya namun justru itulah yang ingin disampaikan Djenar. Efek dari minimnya pendidikan seks ialah perilaku seks yang serampangan sebelum saatnya. Efek seks serampangan berakhir pada persoalan terkena penyakit atau kehamilan pada perempuan. Jika perempuan hamil di luar pernikahan, pilihannya hanya dua: melanjutkan kehamilan dengan atau tanpa pernikahan atau mengugurkan janin. Secara tidak langsung, Djenar hendak berbicara persoalan moral, persoalan karakter persoalan nilai yang sudah banyak bergeser sebab cara pandang orang sudah semakin cepat berubah dan terlampau ekstrim. Djenar memotret dinamika sosial masyarakat perkotaan dengan caranya yang justru bukan vulgar melainkan nyinyir. Cara Djenar menghadirkan realitas, sekaitan dengan realisme dialektik yang dikemukakan Lukacs (Anwar, 2012: 56) yakni karya sastra yang bentuk dan isinya menampilkan interaksi sosial, interaksi alam, interaksi sejarah yang mengungkapkan kekuatan-kekuatan ―spesifik‖ dari dinamika sosial suatu masyarakat. Dalam cerpennya yang lain (masih dalam antologi Jangan Main-main dengan Kelaminmu), Djenar menyoroti persoalan pandangan orang, kebiasaan orang, dan moral. Bahkan dalam cerpennya berjudul ―Moral‖, Djenar melakukan sebuah sindiran dengan menyatakan melihat moral dipajang di sebuah etalase pusat perbelanjaan dengan harga seribu rupiah. Djenar menyindir banyak orang yang seakan-akan sudah bermoral, seakan-akan dirinya yang paling bermoral tetapi masih berpikiran picik terhadap orang lain. Persoalan moral yang menjadi dasar dalam karya Djenar bukanlah persoalan sikap yang sangat bisa menipu sebab sikap dapat terlihat wujudnya pada saat tertentu, sementara hati dan pikiran, itulah yang menjadi inti, dasar, dan wujud sebenarnya dari sebuah moral. Siapa pun tak bisa menghalangi pikiran, interpretasi, dan imajinasi seseorang terhadap orang lain, bahkan diri kita sendiri pun tak dapat menghalangi yang namanya pikiran, interpretasi, dan imajinasi. Itu sebabnya, persoalan moral yang acap kali digadang-gadang dan dijadikan dalih oleh khalayak umum, belum sepenuhnya dipahami. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 407 Kemendiknas (Fransori: 2012) mengatakan fungsi sastra dalam membentuk kepribadian, yakni sebagai pembentuk karakter anak, penanaman nilai-nilai agama, dan pembinaan dari krisis moral dan krisis keteladanan. Dalam hal ini, Djenar mengaktualisasikan fungsi sastra yang dimaksud Kemendiknas dalam wujud nilai toleransi dan berpikir positif yang katanya menjadi ciri masyarakat Indonesia. Djenar telah begitu apik menampilkan persoalan karakter dengan gayanya yang khas. Dalam narasi Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Djenar menuliskan: ―Awalnya memang urusan kelamin....‖ Dari narasi tersebut, jelas persoalannya adalah pada persoalan mengumbar berahi, persoalan mengeskpresikan bentuk cinta, sayang, dan segalanya itu dalam wujud yang belum sepenuhnya benar: kelamin hubungan seks. Dikatakan belum sepenuhnya benar sebab tiap-tiap orang hidup dalam sebuah norma yang dianut masyarakat. Bayangkan saja jika persoalan yang diungkap Djenar dalam cerpennya lantas terjadi pada diri kita, saudara, atau anak kita, lantas apakah kita akan bersikap tak acuh. Urusan kelamin tak bisa dianggap sepele. Urusan kelamin bisa menyebabkan media televisi lebih banyak menyiarkan berita pelecehan seksual dan pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan. Persoalan moral dan karakter kembali ―digugat‖ oleh Djenar dengan cara ―mengeskploitasi‖ hal-hal yang bersifat badaniah. Karya Djenar yang dianggap vulgar karena mendeskripsikan suatu objek dengan verbal tanpa menggunakan analogi, ternyata memiliki keterkaitan atau berujung pada kesadaran pembaca sastra. Kesadaran atas kesehatan seksual dan reproduksi yang berujung pada persoalan moral dan karakter generasi muda yang cukup banyak membaca karya-karyanya. Dalam hal ini, jelaslah bahwa karya sastra tak sekadar menyelipkan informasi dan ideologi pengarangnya semata. Karya sastra juga memiliki kontribusi dalam hal membentuk karakter pembaca bahkan menjadi semacam media advokasi dalam bidang seni pada umumnya, terlebih pada bidang sastra pada khususnya. Wellek (1990: 120) mengatakan sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat: seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Pendapat Wellek tersebut jelas mengindikasikan bahwa karya 408 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 sastra dapat membentuk pola pikir masyarakat pembaca. Pembentukan pola pikir tersebut terwujud dalam bentuk nilai yang dianut oleh masyarakat yang merupakan bentuk reaktualisasi atas nilai yang berkembang di masyarakat namun posisi dan fungsinya mulai tergeser. Masyarakat bisa meniru karakter yang dibuat oleh pengarang, bisa juga bersikap antipati. Dalam pembelajaran apresiasi sastra yang langsung, peserta didik secara kritis dibimbing untuk membaca dan memahami, mengenali berbagai unsurnya yang khas, menunjukkan kaitan di antara berbagai unsur, menunjukkan keindahan, menunjukkan berbagai pengalaman dan pengetahuan yang dapat diperoleh, dan lain-lain, yang semuanya tercakup dalam wadah apresiasi. Dengan demikian, kompetensi bersastra peserta didik akan lebih bermakna daripada sekadar pengetahuan tentang sastra (Nurgiyantoro, 2012: 453). Pengetahuan mengenai hal di luar sastra wajib diperoleh siswa sebab halhal di luar sastra dapat menjadi bahan pembicaraan dalam sebuah karya. Siswa pada akhirnya dapat merumuskan nilai-nilai estetis dalam karya (realitas teks) yang berkaitan dengan nilai-nilai etis dalam kehidupan di masyarakat (realitas sosial). PENUTUP Dari dua karya sastra yang menyoroti tema yang berbeda, keduanya sama-sama menyuguhkan persoalan yang membumi: moral dan karakter bangsa. Ramadhan dengan tema korupsinya dan Djenar dengan tema seksualitas tidak sekadar menulis karya atas imajinasinya belaka. Keduanya memiliki kegelisahan yang sama yang didasari semangat zaman. Keduanya sama-sama menjadi represesntasi kepedulian masyarakat (sastrawan) atas suatu permasalahan yang dirasa ―menggerogoti‖ masyarakat. Kasus-kasus korupsi dan dampaknya di bidang migas masih saja terjadi di Indonesia. Hingga saat ini, kelangkaan bahan bakar, sebagai akibat korupsi, yang notabene sangat penting bagi kehidupan rakyat masih saja dialami rakyat kecil sehingga harga-harga naik dan mencekik leher mereka. Jika persoalan ini tidak dibenahi, bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur oleh bangsanya sendiri. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 409 Maraknya kasus aborsi dan meningkatnya hubungan seks di kalangan remaja, khususnya pelajar menjadi representasi minimnya pemenuhan hak kesehatan seksual dan reproduksi. Kaum remaja tidak mengetahui kesehatan seksual dan reproduksi yang mestinya mereka dapatkan. Pada akhirnya mereka melakukan hal-hal yang tidak mewakili karakter dirinya dan bangsanya sebab mereka mencari pengejewantahan lain yang salah. Sastra sangat bisa menjadi media pembentukan karakter, sekaligus media penyampai informasi yang efektif. Melalui karyanya, sesungguhnya Djenar hendak menginformasikan mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi. Persoalan bahasa dan jalan cerita yang dianggap vulgar hanyalah gaya personal sastrawan dalam menuliskan gagasannya. Begitu pun dengan Ramadhan yang berani menyikapi masalah korupsi dengan membuat analogi kembar perminyakan nusantara. Dari kedua karya tersebut, jelaslah bahwa sastra dapat menjadi media diskursus yang simultan, dan itulah cara sastrawan mengaktualisasikan nilai lokalitas dalam membangun karakter generasi pembangun negara Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Anna, Lusia Kus. 2012. Pelajaran Sastra, Kuncinya Kualitas Guru. [Online], Tersedia: http://www.kompas.com [15 November 2014]. Diunduh 15 November 2014. Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Fransori, Arinah. 2012. Hal Ihwal Pengajaran Sastra. [Online]. Tersedia: http://nenggelisfransori.wordpress.com/2012/01/25/hal-ihwalpengajaran-sastra/ Diunduh 15 November 2014. Gunawan, FX Rudy. 2009. Martabat Seharga Rp 5000. Jakarta: Spasi. Hadimadja, Ramadhan Karta. 1990. Ladang Perminus. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 410 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT Gramedia. Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta. Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia. http://www.teater-perminus.blogspot.com [Online]. [15 November 2015]. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 411 PERAN KATA GANTI DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA Roikhan Mochamad Aziz Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Pos-el: [email protected] ABSTRAK Peran Kata Ganti dalam Membangun Karakter Generasi Muda. Karakter generasi muda memberikan wawasan bagi pengembangan Bahasa Indonesia. Ia sejalan dengan fenomena bahasa agama yang terus mencari nilai universal dari budaya dengan ilmu yang ada. Bahasa budaya menyodorkan keragaman yang menjadi rahmat, sedangkan bahasa agama menyodorkan keuniversalan yang menjadi pondasi bagi budaya yang bermacam-macam. Bahasa Indonesia akan menjadi jembatan bagi keuniversalan dan keragaman tidak hanya di rumpun pendidikan bahasa serta sastra. Untuk itu diperlukan penyempurnaan Tata Bahasa Indonesia supaya lebih sesuai dengan nilai universal dalam bahasa agama, diantaranya adalah penyesuaian kata ganti orang yang berjumlah satu, dua, dan paling sedikit tiga orang. Dalam Tata Bahasa Arab, baik Nahu maupun Sorof, kata ganti orang terdiri dari kata ganti tunggal, kembar, dan jamak. Sedangkan Bahasa Indonesia hanya mengenal kata ganti orang tunggal dan jamak. Dalam penelitian struktur tata bahasa ini menggunakan pendekatan kualitatif merujuk pada metode Hahslm dengan metodologi Sinlammim. Metodologi ini berlandaskan pada Islam yang merupakan pondasi pada Al-Quran terutama Quran Surat Ali Imran [3]:19 dan Al-Hijr [15]:87. Diperlukan cara berpikir non-linier untuk menggabungkan analisis antara komparasi, analogi, maupun notifikasi dalam agama dan keragaman serta ilmu. Kata ganti orang ke-2 dan ke-3 perlu disisipkan berupa kata ganti orang yang berjumlah dua, sehingga kata ganti orang yang berjumlah banyak merupakan kata ganti orang berjumlah paling sedikit tiga orang. Dengan disisipkan kata ganti orang ke-2 yaitu Kada atau Kamu Berdua dan kata ganti orang ke-3 yaitu Dida atau Dia Berdua, maka Bahasa Indonesia sudah menemukan tata bahasa yang lebih universal serta mencerminkan keragaman. Sehingga makna ‗banyak‘ dalam agama dapat disepakati sebagai ‗sesuatu yang berjumlah paling sedikit tiga‘, ia akan menjadi kontribusi tata bahasa yang baru bagi pencarian inti ilmu dan membangun karakter generasi muda. Kata kunci: bahasa, agama, kada, dida, kata, ganti PENDAHULUAN Ragam agama, bahasa, dan budaya pada era globalisasi ini menjadi suatu bidang bahasan yang sangat menarik disebabkan oleh ia telah berada di tingkat capaian yang cukup kompleks. Kaitan antara agama, bahasa, dan budaya saling 412 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tumpang tindih. Semula agama yang universal diturunkan untuk menjadi petunjuk jalan lurus bagi manusia dan alam semesta untuk mencari pusat kehidupan dengan cara yang sudah disampaikan oleh para wali, nabi, serta rasul. Berikutnya bahasa akan menjadi media universal untuk menyampaikan kebenaran bagi seluruh umat manusia. Dan kemudian budaya akan menjadi semakin baik untuk terus berusaha mencapai kedekatannya dengan kesempurnaan. Tetapi ternyata saat ini terjadi kemandekan budaya dimanamana. Dibuktikan dengan masih hidupnya api konflik dalam sekam kehidupan sosial-budaya di Indonesia dan masih adanya ketimpangan dalam budaya yang dianut oleh negara-negara maju yang memiliki peradaban tinggi dengan budayanya yang sangat bebas bahkan menjauh dari norma susila. Budaya tinggi dalam hal peradaban yang tinggi, ternyata tidak mampu ditafsirkan ke dalam budaya sosial yang tinggi juga. Ketidakmampuan budaya untuk mengelaborasi dasar-dasar konseptual dan ideal bagi kehidupan bersama yang baik, tinggi, dan universal ini perlu dirancang ulang untuk memberikan nilai budaya yang baik di segala bidang. Bahasa mencerminkan budaya merupakan pepatah yang menjadi tepat untuk dibuat dasar pemikiran bahwa permasalahan budaya bisa berasal dari bahasa. Walaupun bisa juga agama menjadi permasalahan tersendiri dari perkembangan sastra, bahasa, dan budaya yang ada di suatu lingkungan. Dan bisa juga bahwa penyelarasan antara agama dan bahasa menjadi permasalahan lain yang mengakibatkan nilai budaya yang berbeda dari tujuan awal dalam kehidupan bersama ini. Dari berbagai permasalahan di atas, studi ini akan memfokuskan pada adanya perbedaan pada bahasa dalam hal merumuskan prinsip-prinsip bahasa yang bersifat universal. Sejatinya, tolok ukur keuniversalan sudah dapat dipelajari dari risalah agama itu sendiri, sehingga tercipta bentuk agama, bahasa, dan budaya yang konsisten serta menumbuhkan semangat nilai universal. Agama dalam hal ini Islam merupakan agama yang masih murni dan konsisten dalam penelitian ini akan menjadi standar bagi fungsi kebahasaan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 413 yang ada. Untuk itu dibutuhkan saling rujuk antara agama dalam hal ini AlQuran sebagai kitab suci agama Islam dengan bahasa dalam ini Bahasa Indonesia, dan juga Bahasa Arab yang sudah menjadi dasar bagi tata bahasa dalam Al-Quran. LANDASAN TEORI Ontologi Setiap konsep utuh pasti memiliki dasar pemikiran konsisten. Dalam pengetahuan sastra dan bahasa secara umum konsep yang senantiasa konsisten sejatinya akan menjadi sebuah bentuk universal yang dipahami sebagai nilai dasar yang akan dimiliki oleh bentuk lain. Begitu juga dengan ontologi dari konsep universal sejatinya merupakan berasal dari ―Yang Satu‖ yaitu Allah Swt. Sang Pencipta memberikan sinyal bahwa bentuk universal alam semesta ini bisa disebut namanya sebagai Islam. Bahwa sistem kehidupan yang ada pada diri manusia, di lingkungan sekitar, dalam bahasa, serta membangun karakter generasi mudaterkanal pada konsep Islam. Dengan kata lain konsep kaidah sastra dan bahasa semestinya sesuai dengan Islam atau dikenal dalam industri syariah disebut sebagai Islamic Compliance. Epistemologi Islam dimaknai sebagai suatu sistem yang holistik, komprehensif, atau menyeluruh. Kemudian Islam yang menyeluruh inilah yang menjadi epistemology dari konsep bunyi dalam hal ini tata bahasa yang sedang dikembangkan yaitu Kaffah. Bunyi dalam hal ini tata bahasa yang menyeluruh merupakan epistemology yang muncul karena beranggapan bahwa konsep dasar kehidupan adalah Islam dan Islam dianggap sebagai suatu sistem. Menyeluruh bermakna semua bagian tanpa terkecuali menjadi bagian dari suatu sistem. Dengan konsep besar yang menyeluruh ini pada suatu bunyi dalam hal ini bahasa maka setiap bagian tata bahasa harus dipetakan menjadi bagian dari tata bahasa tersebut tanpa terkecuali. 414 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Aksiologi Diawali dari ontologi berupa Islam sebagai alasan kehidupan termasuk tata bahasa, kemudian epistemologi yang digunakan adalah Kaffah sebagai suatu sistem dalam tata bahasa dan terakhir adalah aksiologi yang lebih sederhana berupa penerapan dalam pengembangan tata bahasa yaitu adanya keseimbangan dari 2 hal. Dalam aksiologi ini, hubungan tersebut selalu ada 2 hal yang merupakan hubungan antara 2 kata yang berlawanan art yang disebut dengan antonim. ANALISIS Pendekatan yang dilakukan sesuai dengan filosofi yang ada adalah berpikir sistem, sesuai dengan keutamaan dari bagian-bagian yang lebih dominan terlebih dahulu. Dengan adanya hirarki antara bagian sehingga akan memiliki bagian yang lebih tinggi dibandingkan bagian yang lain, atau ada bagian yang sama rendah dengan bagian yang lain. Serta memiliki keterkaitan antara satu sama lain, walaupun sebenarnya memiliki prioritas antara bagian tetapi akan menjadi sebuah jaringan yang utuh. Sehingga satu bagian dengan bagian yang lain dapat dipergantikan antar bagian karena dianggap sudah berada pada strata yang sama. Metode ini yang menjadi suatu cara sebagai satu dari sekian solusi untuk menembus pengembangan konsep dalam rangka memecahkan permasalahan yang mendasar. Hal ini dirasakan perlunya suatu metode yang lebih baik untuk menjadi perimbangan dalam mengatasi keterbatasan metodologi dalam pembuktian antara bentuk universal dengan tata bahasa. Hal ini juga sejalan dengan perkembangan ilmu terakhir yang menyatakan bahwa dirasakan perlu untuk mencari jalan tengah dari permasalahan tata bahasa yang stagnan dengan beralih ke hal-hal yang berkaitan dengan spiritual. Semakin hari manusia semakin menginginkan konstruksi ilmu yang lebih baik, lebih tajam, dan mampu menjawab semua aspek. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 415 Diagram Berpikir Sistem Sistem A B Umpan balik Diolah, 2014 Dengan adanya fenomena ini bahwa manusia merupakan satu kesatuan utuh dari ciptaan Allah yang menjadi bagian dari mahluk hidup diantara tumbuhan, hewan, dan manusia. Sehingga manusia dalam hal ini suara yang selanjutnya akan disebut sebagai bunyi bisa dikatakan sebagai bagian dari keuniversalan untuk merepresentasikan setiap ekspresi yang ada oleh setiap mahluk hidup terutama manusia atau orang, maka tata bahasa yang berkaitan dengan orang dalam hal ini adalah kata ganti orang menjadi standar utama dalam tata bahasa. Dan juga pendekatan berpikir sistem ini, dapat dikembangkan dalam kehidupan seperti komparatif analogi antara bentuk universal dalam hal ini Tata Bahasa Arab dengan Tata Bahasa Indonesia dalam hal ini Kata Ganti Orang. Konsep ini memiliki beberapa elemen utama, yaitu elemen pertama adalah Tuhan, kemudian elemen kedua adalah alam, dan elemen ketiga sebagai umpan baliknya adalah ibadah. Tabel Independent Nominative Personal Pronouns No 1 2 3 4 5 6 7 8 416 Jumlah Kata Ganti Orang Ke- (c)(m/f) Singular Ic IIm IIf IIIm IIIf Dual IIc IIIc Plural Ic Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tata Bahasa Arab Tulisan Bacaan Tata Bahasa Indonesia ‗an ‗at ‗at hw hy ‗atm hm nhn Saya Kamu Kamu Dia Dia Kami ‗ana ‗anta ‗anti huwa hiya ‗antuma huma nahnu IIm ‗atm ‗antuma IIf ‗atn ‗antunna IIIm Hm hum IIIf hn hunna Sumber: Schniedewind, 2007 9 10 11 12 Kalian Kalian Kalian Kalian Keterangan: c=corporation m=male, f=female Dari Tabel Independent Nominative Personal Pronoun di atas, disebutkan bahwa ada personal pronouns atau kata ganti personal dengan jumlah 1 (satu) yang disebut sebagai singular, dan kata ganti personal dengan jumlah 2 (dua) yang disebut sebagai dual, serta kata ganti personal dengan jumlah 3 (tiga) yang disebut sebagai plural. Sedangkan untuk kata ganti orang ke-I adalah untuk diri sendiri atau orang yang sedang berbicara, dan untuk kata ganti orang ke-II adlah bagi orang lain yang diajak berbicara, serta untuk kata ganti orang ke-III adalah bagi orang lain yang sedang dibicarakan. Dalam teknik penulisan di atas, dimasukkannya huruf abjad ‗ (koma di atas) atau apostrof untuk merepresentasikan huruf hijaiyah alif. Bila teman dari penelitian ini diterima dan dijadikan acuan baru bagi pola tata bahasa yang baku, maka selayaknya translasi huruf hijaiyah ke dalam huruf abjad Bahasa Indonesia juga menambahkan ‗ (koma atas) sebagai huruf abjad resmi, sehingga penulisan translasi bacaan ‗ana (arab) dituliskan sebagai ‗n adalah terdiri dari 2 (dua) karakter atau 2 (dua) huruf abjad serta bukan terdiri dari 1 (satu) huruf. Untuk itu dibutuhkan studi lebih lanjut perlunya pengembangan huruf abjad disesuaikan dengan huruf hijaiyah dan tidak dibatasi hanya pada teknik penulisan transliterasinya saja. Pada Tabel Personal Pronouns di atas, dari 12 tulisan dan bacaan Tata Bahasa Arab terdapat 2 baris yang tidak ada kata gantinya dalam Tata Bahasa Indonesia, yaitu pada jumlah dual untuk Personal Pronouns II (‗atm, ‗antuma) dan III (hm, huma). Dengan tidak adanya personal pronouns dengan jumlah dua (dual) atau kembar dalam Tata Bahasa Indonesia, maka kebahasaan Indonesia secara umum akan menyebutkan jumlah banyak (jamak) pada ilangan setelah 1 (satu), secara sederhana dapat dikatakan bahwa 2 (dua) adalah banyak. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 417 Tabel Komparasi Tata Bahasa Beberapa Negara No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Jumlah Kata Mandarin Ganti Orang Ke(c)(m/f) Singular Ic Wo Iim Ni Iif Ni IIIm Ta IIIf Ta Dual Iic IIIc Plural Ic Women Iim Nimen Iif Nimen IIIm Tamen IIIf Tamen Sumber: Diolah, 2014. Samoan Malay English (UK, US) A‘u Oe Oe Ia Ia Oulua La‘ua Matou ‗outou ‗antunna Latou Latou Saya Kamu Kamu Dia Dia Kami Kalian Kalian Mereka Mereka I You You He/she He/she We You You They They Keterangan: c=corporation m=male, f=female Dampak dari kebahasaan yang menyatakan bahwa 2 (dua) adalah banyak (jamak), maka pola pikir seluruh pengguna Bahasa Indonesia akan menyebutkan jumlah 2 (dua) orang atau jumlah 2 (dua) barang langsung disebut sebagai banyak (jamak). Padahal dalam Tata Bahasa Arab jumlah 2 (dua) atau dual masih masuk dalam kategori belum banyak, belum jamak, dan masih disebut sebagai kembar atau twin atau dual. Dari tabel komparasi tata bahasa di beberapa negara di atas, secara umum terlihat bahwa sebagian besar negara memiliki tata bahasa yang hampir mirip dengan hanya berbeda pada kata ganti untuk jumlah 2 (dual) pada kata ganti orang ke II (Oulua, Somoan), dan kata ganti orang ke III (La‘ua, Somoan). Baik bahasa Mandarin, Bahasa Malay, dan Bahasa Inggri, kesemuanya tidak memiliki kata ganti dengan jumlah 2 (dua) orang. Dan pola kebahasaan yang lebih dominan ini selalu menyebutkan bahwa jumlah 2 (dua) itu merupakan jumlah bilangan banyak (jamak) atau sering disebutkan bahwa lebih dari 1 (satu) adalah sudah menunjukkan banyak (jamak). 418 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tabel Komparasi Kata Ganti Orang No 1 2 3 4 5 6 7 8 Kata Tata Bahasa Arab Ganti LakiPerempuan Orang laki KeI Tunggal Huwa Hiya Kembar Huma Huma Jamak Hum Hunna II Tunggal Anta Anti Kembar Antuma Antuma Jamak Antum Antunna III Tunggal Ana Ana Jamak Nahnu Nahnu Sumber: Diolah, 2014 Tata Bahasa Indonesia Dia ? Mereka Kamu ? Kalian Saya Kami Pola pikir yang terkooptasi dari struktur bahasa yang belum sesuai dengan dasar bahasa agama kitab suci mengakibatkan belum terbukanya ilmu pengetahuan secara menyeluruh. Untuk itu diperlukan penyelarasan tata bahasa dengan struktur bahasa asli Al-Quran yaitu Bahasa Arab. Demi menghindari adanya distorsi makna antara Islam yang bersumber dari Al-Quran dengan makna Islam yang dipahami dari pengalaman yang dipahami di Indonesia sebagai negara terbesar mayoritas muslim di dunia. Dalam Metodologi Sinlammim menunjukkan bahwa sin yang bermakna banyak (jamak) karena lazim diartikan sebagai yang diciptakan yaitu manusia atau alam semesta terkonfirmasi diwakili oleh bilangan berjumlah 3 (tiga) dan lam yang bermakna tunggal (esa) yang sering diterjemahkan sebagai yang menciptakan yaitu Tuhan dalam hal ini Allah Swt. terkonfirmasi direpresentasikan oleh bilangan berjumlah 1 (satu) atau tunggal. Sedangkan mim yang merupakan elemen penyambung antara manusia ke Tuhan atau bilangan penyambung antara 3 (tiga) ke 1 (sati0 maka dibutuhkan suatu bilangan yang lebih dari 1 (satu) tetapi kurang dari 3 (tiga) sehingga muncullah bilangan perantara yaitu 2 (dua). Untuk itu, dalam konkeks Tabel Kada Dan Dida Dalam Ibadah di atas, proksi untuk elemen ibadah yang merupakan elemen antara manusia ke Tuhannya, maka bilangan yang dipadupadankan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 419 adalah bilangan 2 (dua) sehingga tabel secara keseluruhan yang yang memiliki urutan bilangan 3,2,1 bermakna bahwa manusia beribadah pada Tuhannya. Tabel Kada Dan Dia dalam Ibadah Tuhan (1) (Singular) I Saya II Kamu III Dia Manusia (3) (Plural) I Kami II Kalian III Mereka Ibadah (2) (Dual) II Kada III Dida Sumber: Diolah 2014. Dalam Metodologi Sinlammim menyimpan makna manusia beribadah pada Tuhannya yang merupakan landasan utama dari keberagamaan islam, kemudian secara eksploratif deduktif juga mengkonfirmasi keharusan adanya keberadaan fungsi kata ganti orang berjumlah 2 9dua) sebagai penambah urutan kata ganti orang banyak (jamak) yang semula banyak (jamak) adalah 2 (dua) kemudian berubah dan ditetapkan menjadi 3 (tiga). Hal ini untuk menyinkronisasi makna agama dalam hal ini Islam dengan Tata Bahasa Indonesia, sehingga bisa dikatakan struktur bahwa sudah benar jika sudah sesuai dengan nilai universal (Universal Compliance), yang dalam industri Islam sering disebut Islamic Compliance atau Sharia Compliance. SIMPULAN Kata ganti orang dalam bentuk jumlah akan menjadi tolok ukur bagi platform bahasa dalam bentuk lain. Disebabkan oleh fungsi kata ganti orang menjadi dasar bagi semua pola, sehingga landasan pembentukan kata ganti orang harus sesuai dengan filosofi dan nilai universal dalam ini Islam. 420 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dalam Islam tersirat kata ganti personal untuk Tuhan adalah berjumlah 1 (satu), dan untuk manusi atau alam semesta adalah berjumlah 3 (tiga)., maka diperlukan kata ganti personal antara yaitu yang berjumlah 2 (dua) untuk mengantarai dari jumlah kata ganti personal 1 (satu) dengan kata ganti personal berjumlah 3 (tiga). Tata Bahasa Indonesia sangat memerlukan kata ganti personal untuk jumlah 2 (dua) orang untuk kata ganti orang II yaitu ‗kada‘ yang merupakan gabungan kata dari makna ‗kamu berdua‘ dan kata ganti orang III yaitu ‗dida‘ yang merupakan gabungan kata dari makna ‗dia berdua‘. Setelah mendapatkan kata ganti orang untuk jumlah 2 (dua) orang atau kembar atau dual maka makna banyak (jamak) menjadi jumlah orang dengan paling sedikit berjumlah 3 (tiga), sehingga jumlah 2 (dua) orang yang merupakan jumlah orang lebih dari 1 (satu) tetapi jumlahnya belum sampai 3 (tiga) bermakna belum bisa dikatakan sebagai berjumlah banyak (jamak). Dengan adanya Tata Bahasa Indonesia yang menyatakan kata ganti orang banyak (jamak) harus menyandarkan pada personal berjumlah 3 (tiga) orang, maka landasan untuk menyebutkan jumlah sesuatu yang menunjukkan kehadiran orang atau selain orang seperti hewan, tumbuhan, mahluk hidup, barang, benda mati yang menyebutkan banyak (jamak) jika dan hanya jika berjumlah minimal 3 (tiga), dan bukan berjumlah 2 (dua). Untuk selanjutnya penyebutan kata dengan jumlah banyak (jamak) harus dimulai dari jumlah 3 (tiga), sehingga penyandaran jumlah 3 (tiga) sebagai kata banyak (jamak) akan sesuai dengan nilai universal pada ragam bahasa, budaya, alam semesta, agama, terutama Islam. SARAN Dengan adanya sub sistem Tata Bahasa Indonesia yang baru dalam hal ini kata ganti orang maka semua pemangku kepentingan terhadap membangun karakter generasi muda serta bahasa juga berbagai pihak terkait perlu melakukan tindakan akomodatif pada pengembangan bahasa terkini. Untuk itu rekomendasi bagi berbagai kalangan antara lain: Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 421 Institusi yang menjadi penanggungjawab tertinggi pengembangan dan pembinaan bahasa dalam hal ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan mampu memberlakukan aturan baku dalam setiap lisan maupun penulisan dalam lingkup Bahasa Indonesia. Institusi pendidikan tinggi dalam halini Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan atau Tarbiyah mampu berperan aktif turut mengeksplorasi dan mengelaborasi pengembangan makna baru dari pola kata ganti yang baru ini. Setiap unit pengembangan dan pembinaan bahasa di semua institusi memberikan kontribusi atas perubahan pola kata ganti dalam jumlah pada Tata Bahasa Indonesia. Bagi individu maupun kelompok ikut memberikan sumbangsih pemikiran atas dimulainya pola tata bahasa untuk sinkronisasi di semua aspek kehidupan. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟ân al-Karim dan Terjemahnya. Lembaga Percetakan al-Qur‘ân Raja Fahd, 2006. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta, Departemen Agama, 2003. Alisjahbana, S. Takdir. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid I. Dian Rakyat, Jakarta, 1982. Al-Ayni, Abu Muhammad Mahmud ibn Ahmad. Al-Binayah fi Sharh alHidayah. Beirût: Dâr al-Fikr, Vol.11, 1990. Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis: Bahasa Indonesia.Rineka Cipta, Jakarta, 2009. Eid, Mushira, et al. Encyclopedia Of Arabic Language And Linguistic. Cambridge, London, 2009. Fromkin, Victoria, et al. An Introduction To Language. Thomson, New York, 2007. Ibn al-Athir, Majd al-Din Abi al-Sa‘adat al-Mubarak. Al-Nihayah fi Ghaîb alHadith wa al-Athar. Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1997. Jumin, Hasan Basri. Sains dan Teknologi Dalam Islam.Rajawali, Jakarta, 2012. 422 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu. Mizan, Jakarta, 2005. Khalid Saeed, Development Planning And Policy Design: A System Dynamics Approach (Cambridge: Avebury, 1994 Krisdalaksana, Harimurti. Beberapa Ciri Bahasa Indonesia Standar. Pengajaran Bahasa Dan Sastra. Jakarta, Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1975. Kroeger, Paul R. Analysing Grammar. Cambridge, New York, 2007. Mahzar, Armahedi. Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filasafat Islam, Bandung, 1983. Moeliono, Anton M. Struktur Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1982. Mochamad Aziz, Roikhan. Sinlammim Kode Tuhan. Jakarta: Esa Alam, 2006. Mochamad Aziz, Roikhan. Jejak Islam Yang Hilang. Jakarta: Sinlammim, 2007. Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary: With British And American Pronounciation And Spelling, Rajawali, Jakarta, 2005. Schniedewind, William M, et al. A Primer On Ugaritic: Language, Culture, And Literature. Cambridge, New York, 2007. Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan. Balai Pustaka, Jakarta, 1979. Poerwadaminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Remadja Karya, Bandung, 1985. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 423 MEMBANGUN KARAKTER KREATIF MELALUI PEMBELAJARAN MEMBACA DAN MENULIS R. Mekar Ismayani STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Membangun Karakter Kreatif melalui Pembelajaran Membaca dan Menulis. Penanaman pendidikan karakter pada kurikulum 2013 tertuang dalam kompetensi sikap religius dan sosial yang selanjutnya menjadi kompetensi inti yang harus ditanamkan pada semua mata pelajaran mulai dari tingkat SD sampai SMA. Kreativitas merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam kurikulum tersebut. Melaui kreativitas yang tinggi memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas kehidupannya, melalui interaksi dengan lingkungan fisik, sosial intelektual, dan spiritual secara konstruktif. Makalah ini merupakan kajian teori yang akan membahas tentang pengembangan karakter kreatif yang dapat diimplementasikan melalui pembelajaran membaca dan menulis. Kata kunci : karakter, kreatif, membaca, dan menulis PENDAHULUAN Nilai-nilai karakter yang menjadi tema utama kurikulum 2013 terlepas dari isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai media baik elektonik, media tulis, maupun media sosial akan keberlangsungan kurikulum yang baru berjalan lebih kurang 1 tahun ini, adalah produktif, kreatif, inovatif. Selain itu, pembelajaran terpadu mulai dari tingkat SD sampai SMA menjadi semangat kurikulum yang menjadikan saintifik sebagai ruh dalam proses pembelajaran. Kompetensi yang menjadi sasaran kurikulum 2013 meliputi kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Khusus untuk kompetensi sikap tidak diajarkan tetapi diterapkan atau diteladankan. Oleh karena itu, tulisan ini setidaknya mengkaji mengenai salah satu nilai karakter yang menjadi tema utama kurikulum 2013 yaitu kreatif atau kreativitas pada mata pelajaran bahsa dan sastra Indonesia yang dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui pembelajaran membaca dan menulis. Seperti yang telah diketahui, membaca dan menulis merupakan bagian dari keterampilan berbahasa yang bersifat aktif dan kreatif. Di samping itu, membaca dan menulis perupakan pasangan sejati yang berkorelasi dan tidak 424 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 bisa dipisahkan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayuti (2012) menyatakan bahwa, ‖Fungsi membaca sama dengan aktivitas menulis‖. Artinya, ketika seseorang membaca, sama dengan menulis ide-ide di dalam pikirannya. Keduanya saling berkaitan erat karena menulis itu membutuhkan wawasan dan pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, menulis merupakan kerja intelektual yang penting dikembangkan pada diri peserta didik. Ketika menulis, peserta didik diharapkan mempunyai wawasan dan gagasan yang luas. Gagasan-gagasan tersebut dapat diperoleh dari hasil membaca, pengamatan, dan diskusi. Dengan demikian, dapat dikatakan modal utama menulis adalah membaca. Membaca diibaratkan sebuah petualangan intelektual yang akan menambah wawasan kita dan meningkatkan daya imajinasi dalam menulis. Pernyataan tersebut senada dengan Mc Neil (Hernowo, 2003:111) yang menegaskan bahwa semakin banyak seseorang membaca, maka semakin baik pula tulisannya. Selain itu, ada pernyataan lain yang menyatakan bahwa gaya penulisan tidak didapat dari menulis, melainkan dari hasil membaca. Pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca sangat erat hubungannya dengan kegiatan menulis. Seorang penulis akan mempunyai karakter pada tulisannya sesuai dengan pengalaman yang diperoleh ketika ia membaca. Tulisan yang baik akan diketahui dari seberapa luas isi/kajian yang diungkap oleh penulis dalam suatu teks wacana. Keluasan kajian dalam tulisan seseorang sangat didukung oleh kemampuan seseorang ketika memahami suatu bacaan dengan bahasa yang linear. Oleh karena itu, pembelajaran membaca dan menulis dapat diberikan secara terpadu. Ihwal Pendidikan Karakter dan Kreativitas Kertajaya (Asmani, 2012:28) berpendapat bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespons sesuatu. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 425 Karakter yang kuat merupakan prasyarat bagi setiap insan untuk menjadi pemenang dalam medan kompetisi kuat seperti saat ini dan yang akan datang yang terkenal dengan era hiperkompetitif (Asmani, 2012). Artinya, karakter yang kuat akan menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupan. Kreativitas, kepercayaan diri, dan mentalitas yang tinggi merupakan nilai-nilai karakter yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan seseorang. Karakter yang kuat dapat diperoleh melalui pendidikan yang seimbang antara hard skill yang tertuang pada pengembangan IQ dan soft skill yang bisa dicapai melalui EQ dan SQ. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki keseimbangan hard skill dan soft skill adalah seseorang yang memiliki karakter kuat dan siap bertarung serta menjadi pemenang dalam era hiperkompetitif di masa mendatang. Kreativitas berasal dari bahasa Inggris yaitu creativity berarti mencipta atau daya cipta. Pengertian kreativitas dapat dibedakan ke dalam empat dimensi yaitu person, proses, produk, dan press. Pengertian kreativitas ditinjau dari dimensi person adalah ―Creativity refers to the Abilities that are characteristics of creative people‖ Guilford dalam Murniati (2012:10). Definisi kreativitas dari dimensi produk dikemukakan oleh Amabile (Murniati, 2012:13), suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Murniati sendiri berpendapat, kreativitas merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi, dan integrasi antara setiap tahap perkembangan (2012: 121). Rasa ingin tahu dan ingin mencoba merupakan ciri utama dari usia remaja yang baru saja meninggalkan masa kanak-kanak. Berkreasi dan berinovasi cenderung dimaknai dengan kebebasan yang kebablasan. Alih-alih semua itu mereka lakukan dengan mengatasnamakan kegiatan kreatif. Kegiatan tersebut seperti mencoret-coret atau melukis di dinding, mengikuti tren, main band dan kegiatan-kegiatan lain. Jika kreativitas dimaknai usia 426 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 remaja dengan kegiatan-kegiatan tersebut, maka sudah tentu akan menimbulkan keresahan bagi orang tua, guru, bahkan lingkungan. Kreativitas bukan hanya sekadar menciptakan sesuatu yang baru dan unik, tetapi juga harus bermanfaat. Pada usia remaja, kreativitas sering dimaknai suatu kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dan unik saja dengan mengenyampingkan bahwa kreativitas juga harus bermanfaat bagi lingkungan. Oleh karena itu, kreativitas pada kalangan remaja sering dimaknai dengan kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari norma-norma. Untuk mengontrol perilaku kreatif yang salah pada usia remaja, guru seyogyanya memiliki program untuk menyalurkan kreativitas siswa sesuai dengan perkembangan remaja. Program tersebut dapat dilakukan dengan memaksimalkan pembelajaran membaca dan menulis. Melalui budaya membaca dan menulis, kreativitas siswa usia remaja dapat disalurkan dan dikembangkan tanpa melanggar aturan atau norma masyarakat, agama, dan kesehatan. Siswa juga masih dapat berinovasi dan berkreasi. Sebagai bentuk upaya mengatasi permasalahan kreativitas di kalangan remaja, Farida (2014:76) berpendapat, terdapat beberapa hal yang bisa kita kondisikan sebagai berikut. 1. Menerima mereka dengan keunikan dan perubahan mood yang sering memicu perselisihan. Inilah saatnya memperlihatkan teladan yang baik, bahwa orang dewasa mampu mengelola konflik. 2. Memberikan peluang untuk lepas dari zona nyaman atau perlindungan yang sebelumnya diberikan orang tua dan keluarga. Sesekali izinkan mereka turun ke dapur, misalnya. Berikan arahan, berikan kepercayaan. 3. Sepakati konsekuensi yang proporsional. Bahaslah, mana yang termasuk kesalahan yang disengaja dan mana yang tidak. Pastikan kita membahasnya dengan cair, sehingga mood kretivitas tidak jadi padam. 4. Beri dukungan pada prosesnya, apresiasi hasilnya. Jika evaluasi diperlukan, minta remaja melakukannya sendiri, pastikan mereka paham bahwa tahap ini akan memberikan pengalaman besar untuk kesuksesan yang akan datang. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 427 Lebih lanjut, Murniati mengemukakan enam hal yang bisa dilakukan untuk memberi bantuan/bimbingan kepada anak-anak kreatif (2012:130), antara lain: 1. menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitas; 2. mengakui dan menghargai gagasan-gagasan anak; 3. menjadi pendorong bagi anak untuk mengkomunikaskan dan mewujudkan gagasan-gagasannya; 4. membantu anak memahami divergensinya dalam berpikir dan bersikap, dan bukan malah menghukumnya; 5. memberi peluang untuk mengkomunikasikan gagasannya; 6. memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia. Bagaimana pun pembentukan karakter selalu dimulai dari rumah. Demkian pun dengan kreativitas. Keluarga yang suportif akan menghasilkan seorang anak yang kreatif dan inisiatif. Keberhasilan pembentukan suatu karakter juga ditentukan oleh sekolah dan lingkungan. Sekolah, misalnya turut menjadi media untuk mengembangkan berbagai kehidupan intelektual dan sosial seorang anak. Berbicara kreativitas kepada remaja, perlu dijelaskan kepada mereka bahwa yang dimaksud kreativitas bukan hanya menciptakan karya seni, karya tulis, atau menghasilkan produk. Kreativitas memerlukan keterbukaan dalam gagasan dan kesediaan menerima berbagai masukan. Berikut ciri-ciri orang yang kreatif dikemukakan Munandar (Murniati, 2012:46). 1. Terbuka terhadap pengalaman baru dan luar biasa 2. Luwes dalam berpikir dan bertindak 3. Bebas dalam mengekspresikan diri 4. Dapat mengapresiasi fantasi 5. Berminat pada kegiatan-kegiatan kreatif 6. Percaya pada gagasan sendiri 7. Mandiri 428 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Ihwal Pembelajaran Membaca Membaca adalah suatu kegiatan interaktif untuk memetik serta memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bahan tulisan (Somadayo, 2011:4). Selanjutnya, Gilet dan Temple (Somadayo, 2011:5), menyatakan bahwa membaca adalah kegiatan visual, berupa serangkaian gerakan mata dalam mengikuti baris-baris tulisan, pemusatan penglihatan pada kata dan kelompok kata, melihat ulang kata-kata dan kelompok kata untuk memperoleh pemahaman terhadap bacaan. Masih dalam buku karangan Somadayo, Safie‘ie menyatakan bahwa sebagai suatu proses berpikir, membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, kritis, dan pemahamn kreatif (2011:6). Secara umum, kegiatan membaca mempunyai dua tujuan utama yaitu tujuan behavioral dan tujuan ekspresif seperti yang dijelaskan Tarigan (2011:3), secara garis besar, kegiatan membaca mempunyai dua maksud utama, yaitu tujuan behavioral yang disebut juga tujuan tertutup, ataupun tujuan instruksional dan tujuan ekspresif (tujuan terbuka). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa tujuan membaca behavioral biasanya diarhkan pada kegiatan-kegiatan membaca, antara lain: memahami makna kata (word attack); keterampilan-keterampilan studi (study skills); dan pemahaman (comprehension). Tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan-kegiatan seperti: membaca pengarahan diri sendiri (self-directed reading); membaca penafsiran, membaca interpretatif (interpretative reading); dan membaca kreatif (creativereading). Menurut Safi‘ie (1999:36), pemahaman kreatif adalah pemahaman tang paling tinggi tingkatannya dalam proses membaca. Hal ini sependapat dengan Somadayo (2011:25) menyatakan bahwa kemampuan membaca kreatif merupakan tingkatan tertinggi dari kemampuan membaca seseorang. Artinya, pembaca tidak hanya menangkap makna tersurat (reading the lines), makna antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading beyond the lines), tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil membacanya untuk kepentingan sehari-hari. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 429 Masih menurut Somadayo (2011:25), beberapa keterampilan membaca kreatif yang perlu dilatihkan antara lain keterampilan: 1. mengikuti petunjuk dalam bacaan kemudian menerapkannya; 2. membuat resensi buku; 3. memecahkan masalah sehari-hari melalui teori yang disajikan dalam buku; 4. mengubah buku cerita (cerpen atau novel) menjadi bentuk naskah drama dan sandiwara radio; 5. mengubah puis menjadi prosa; 6. mementaskan naskah drama yang telah dibaca; dan 7. membuat kritik balikan dalam bentuk esai atau artikel popular. Selanjutnya, Nurhadi (1991:223) berpendapat bahwa seseorang dikatakan memiliki pemahaman membaca kreatif jika dapat memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) kegiatan membaca tidak berhenti sampai pada saat menutup buku, (2) mampu menerapkan hasil untuk kepentingan hidup seharihari, (3) munculnya perubahan sikap dan tingkah laku setelah proses membaca selesai, (4) hasil membaca berlaku sepanjang masa, (5) mampu menilai secara kritis dan kreatif bahan-bahan bacaan, dan (6) mampu memecahkan masalah kehidupan sehari-hari berdasarkan hasil bacaan yang telah dibaca. Dari uraian di atas, kegiatan membaca merupakan faktor penting untuk menunjang beragam kreativitas seseorang. Membaca memiliki peran dan manfaat dalam meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan mencerdaskan generasi bangsa. Pengalaman yang diperoleh melalui membaca yaitu menemukan ide-ide yang memungkinkan menghadirkan ide-ide baru. Kemampuan berpikir yang merupakan proses membaca akan membentuk sikap kreatif dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Ihwal Pembelajaran Menulis Akadiah (Abidin,2012:181) memandang menulis adalah sebuah proses, yaitu proses perenuangan gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang merupakan satu sistem yang utuh. Menulis juga merupakan proses kreatif hal ini sesuai dengan Pranoto (2004:6) yang mengungkapkan, penulisan kreatif 430 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 (creativewriting) adalah proses menulis yang bersifat kreatif, direka-reka sedemikian rupa dengan diberi ruh dan nafas seni, khususnya seni sastra.Senada dengan Pranoto yang melihat menulis sebagai proses kreatif, Kurniawan dan Sutardi (2012:2) menyatakan menulis adalah pilihan eksistensi, yaitu kesadaran untuk berproses secara aktif-kreatif yang terus menerus. Ada pun tahap kreatif dalam menulis dikemukakan oleh Kurniawan dan Sutardi (2012:15), sebagai berikut. 1. Tahap pencarian ide dan pengendapan Ide atau inspirasi merupakan modal dasar menulis, oleh karenanya pencarian ide merupakan langkah awal menulis. Ide itu bisa datang dari setiap peristiwa atau hal-hal yang dijumpai atau dialami setiap hari. 2. Tahap penulisan Jika ide sudah didapatkan maka langkah selanjunya adalah tahap penulisan. Ida yang sudah diperoleh hendaknya jang ditunda-tunda lagi, segera tuangkan dalam bentuk tulisan. 3. Tahap editing dan revisi Tahap akhir dari proses kreatif adalah editing dan revisi, tahap ini bertujuan agar tulisan yang kita hasilkan siap untuk dipublikasikan dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan pada tahap penulisan. Pembelajaran menulis dapat dikategorikan pada pembelajaran yang sulit namun tidaklah mustahil untuk dipelajari. Dikatakan sulit karena menulis merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Sebagaimana diungkapkan Hastuti (Ismayani, 2014:19), bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sangat kompleks karena melibatkan cara berpikir yang teratur dan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan teknik penulisan, antara lain (1) adanya kesatuan gagasan, (2) penggunaan kalimat yang jelas dan efektif, (3) paragraf disusun dengan baik, (4) penerapan kaidah ejaan yang benar, dan (5) penguasaan kosakata yang memadai. Ada pun manfaat menulis, dikemukakan oleh Graves(Akadiah dkk, 1998:1.4) adalah: (1) menulis menyumbang kecerdasan, (2) menulis mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, (3) menulis menumbuhkan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 431 keberanian, dan (4) menulis mendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Dari uraian di atas, jelaslah jika menulis merupakan proses kreatif, hal tersebut dapat dilihat dari manfaat menulis yang dikemukakan oleh Graves, bahwa selain menyumbang kecerdasan, menumbuhkan keberanian, dan mendorong kemauan serta kemampuan mengumpulkan informasi, menulis juga dapat mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Maka, dengan demikian pembelajaran menulis dapat dijadikan sebagai media untuk menanamkan nilai karakter kreatif. PENUTUP Setelah menyimak uraian mengenai kreativitas, pembelajaran membaca dan menulis, tidaklah heran jika kurikulum 2013 mengangkat kreativitas sebagai salah satu tema yang diusung. Kreativitas memiliki kontribusi dalam kemajuan pribadi seseorang dalam kehidupannya. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, penanaman sikap kreatif dapat diperoleh melalui pembelajaran membaca dan menulis. Hal ini dikarenakan, aktivitas membaca sama dengan aktivitas dalam menulis. Selain itu, membaca dan menulis merupakan keterampilan dasar berbahasa yang penting dikuasai peserta didik karena dapat menunjang eksistensi hidup mereka. Melalui membaca, peserta didik dapat meningkatkan kreativitasnya dalam menulis. Itu sebabnya, kedua keterampilan ini dikatakan pasangan sejati atau dengan kata lain membaca merupakan jodohnya menulis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran membaca dan menulis merupakan pembelajaran yang dalam implementasinya dapat diberikan secara terpadu. Baik membaca maupun menulis keduanya merupakan kegiatan aktif dan kreatif. Oleh sebab itu, kedua keterampilan ini dapat dijadikan media untuk menanamkan karakter kreatif. 432 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 DAFTAR PUSTAKA Abidin, Y. 2012. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Pendidikan Karakter. Bandung: Refika Aditama. Akhadiah, S. dkk. 1998. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Asmani, J. M. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press. Farida, A. 2014.Pilar-pilar Pembangunan Karakter Remaja Metode Pembelajaran Aplikatif untuk Guru Sekolah Menengah. Bandung: Nuansa Cendikia. Ismayani, R.M. 2014. Model Pembelajran Literasi Teks Cerpen dengan Strategi Kreatif Berbasis Karakter pada Siswa Kelas VIII SMPN 5 Cimahi (Tesis). Universitas Pendidikan Indonesia. Kurniawan, H dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Murniati, E. 2012. Pendidikan dan Bimbingan Anak Kreatif. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Mandiri. Pranoto, N. 2004. Creative Writing 72 Jurus Seni Mengarang. Jakarta: PT Primamedia Pustaka. Sayuti, S. A. 2007. Membaca Jodohnya Menulis. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat. Somadayo, S. 2011. Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tarigan, H.G. 2011. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 433 FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA SUNDA DAN BAHASA INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA R.Yudi Permadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran Pos-el : [email protected] ABSTRAK Fungsi dan Kedudukan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Fungsi bahasa daerah/Sunda di Jawa Barat selain sebagai alat komunikasi juga sebagai bahasa yang dapat mengungkapkan berbagai arti kata Sunda dan juga kode-kode budaya Sunda yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa lain. Kata-kata dalam bahasa Sunda banyak yang mengandung simbol budaya/kearifan lokal dan dapat membentuk karakter masyarakat. Pada saat ini, kalangan generas muda di Jawa Barat khususnya yang tinggal di perkotaan, sudah sedikit yang menggunakan bahasa Sunda. Kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Adanya dualisme kepemilikan bahasa pada masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, menimbulkan isu atau permasalahan bahwa bahasa Indonesia adalah penyebab dari tergesernya bahasa Sunda terutama di perkotaan. Inilah yang akan menjadi kajian tulisan ini, apakah benar terjadi gesekan atau dominasi satu bahasa terhadap bahasa lainnya, dalam hal ini bahasa daerah yang terancam. Lantas langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar fungsi, peranan, dan kedudukan bahasa daerah dan nasional ini tidak saling menggeser. Upaya-upaya menetralisasi dan mencari jalan keluar agar kedua bahasa tersebut saling mendukung baik dalam fungsi maupun peranannya, sangat mendesak dilakukan sehingga tidak terjadi kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia mengancam peranan bahasa daerah. Jika upaya tersebut tidak dilakukan, bahasa sebagai pembentuk karakter, terutama bagi generasi muda, tidak akan terwujud. Kata kunci: bahasa sunda, bahasa indonesia, karakter. PENDAHULUAN Bahasa yang merupakan salah satu alat komunikasi dapat dikatakan sebagai wujud ekspresi pikiran dan perasaan yang diaktualisasikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Ekspresi timbul karena adanya dorongan ataupun desakan dari dalam untuk mengungkapkan maksud tertentu kepada orang lain, sehingga timbul kepuasan pribadi. Ekspresi yang berwujud bahasa dapat menjadi sebuah identitas karakter seseorang karena dengan inilah karakter yang tersembunyi itu dapat diketahui. 434 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dengan berbahasa, apa pun yang ingin diungkapkan dapat teraktualisasi lebih-lebih jika didukung oleh daya nalar dan wawasan yang memadai. Adanya hambatan dalam berbahasa salah satunya disebabkan oleh kurangnya wawasan tentang suatu hal. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa seseorang dapat ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kemampuan verbal, artinya bagaimana seseorang memaksimalkan kinerja otak/sarafnya untuk selalu aktif dan reaktif terhadap rangsangan atau sinyal-sinyal komunikasi dari luar. Faktor eksternal adalah masuknya wawasan atau pengetahuan dari berbagai sumber/media yang dapat mendukung kinerja otak sehingga terjadi sinergitas dengan kemampuan verbalnya. Kemampuan verbal seseorang yang dapat meyakinkan orang lain adalah suatu kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh semua orang. Kepiawaian seseorang dalam berbicara dapat menentukan karakter siapa dan bagaimana orang tersebut. Berdasarkan kemampuan dan pemerolehan bahasanya, seseorang dapat memiliki kemampuan berbahasa lebih dari satu bahasa. Sebagai bangsa Indonesia, sebagian besar suku bangsa di Indonesia dapat berbahasa Indonesia di samping berbahasa daerahnya. Bahasa daerah (mother langue) adalah bahasa Ibu yang diturunkan di keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya, sedangkan bahasa Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah formal dari taman kanak-kanan sampai perguruan tinggi. Bahasa Ibu diajarkan oleh para orang tua kepada anaknya semenjak dalam kandungan. Percakapan antara calon ayah dan ibu dapat didengar oleh janin dalam kandungan sehingga tersimpan dalam memori otaknya. Data percakapan yang masih dalam bentuk sinyal-sinyal inilah yang kelak menjadi sumber pendukung ketika ia belajar berbicara. Apabila terjadi kurang komunikasi antara calon ayah dan ibu dapat mengakibatkan lambatnya si janin berbicara kelak. Bahasa percakapan antara calon ayah dan ibu dapat menentukan kemampuan berbahasa si calon anak. Apabila mereka menggunakan bahasa daerah, kemungkinan si anak akan dapat belajar bahasa daerah itu dengan cepat tetapi apabila bahasa percakapan itu bahasa Indonesia, kemungkinan si anak akan dapat cepat berbahasa Indonesia. Kemungkinan lain adalah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 435 percakapan berbahasa daerah dapat menimbulkan efek pembentukan karakter yang sesuai dengan adat dan budaya daerah tersebut. Jadi, sebetulnya pembentukan karakter anak itu bermula dari pendidikan orang tuanya yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan yang menjadi perekat budaya antarsuku bangsa di Indonesia. Fungsi bahasa daerah adalah sebagai alat komunikasi dalam wilayah tertentu, misalnya orang Jawa Barat sebagian besar menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantarnya karena bahasa ini sudah turun-temurun digunakan di daerah ini. Saat ini terjadi gejala bahwa bahasa Sunda di perkotaan terutama yang dekat ke ibukota provinsi maupun ibukota negara, penggunaannya tergeser oleh bahasa Indonesia. Peranan bahasa daerah/Sunda di Jawa Barat adalah sebagai bahasa yang dapat mengungkapkan berbagai arti kata Sunda dan juga kiasan-kiasan budaya Sunda yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa lain. Terutama kodekode budaya Sunda yang hanya dapat dijelaskan oleh bahasa Sunda. Sulit sekali misalnya mengindonesiakan kiasan/peribahasa: handap asor, gurat batu, kokolot begog, biwir nyiru rombengeun, clom giriwil, poho ka purwa daksina, gemah ripah loh jinawi, lelengkah halu, tiis ceuli herang mata, pasini jangji pasang subaya, kawas jeler kasaatan, kawas ucing kumareumbi, meupeus keuyang, teng manuk teng anak merak kukuncungan, kokod monongeun, salenting bawaning angin, kolepat bawaning kilat, dan lain sebagainya. Kedudukan bahasa Sunda di wilayah Jawa Barat adalah sebagai bahasa ‗nasional‘-nya masyarakat Jabar dan sebagai bahasa pendamping bahasa Indonesia. Saat ini di lingkungan pemerintah kota dan kabupaten di Jawa Barat sudah ada peraturan daerah tentang ‗Rebo Nyunda‘ misalnya yang diberlakukan di Pemkot Bandung. Pada setiap hari Rabu semua aparat pemerintahan diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa Sunda. Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia menyangkut dua hal, yaitu pertama, fungsinya sebagai bahasa nasional yang meliputi; bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, sebagai lambang identitas nasional, alat perhubungan antarwarga secara nasional, alat pemersatu bangsa. Kedua, fungsinya sebagai bahasa negara mencakup: (1) bahasa resmi kenegaraan, 436 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 (2)bahasa pengantar di dunia pendidikan, (3) alat perhubungan tingkat nasional, (4) alat pengembangan ipteks. Kedudukan bahasa Indonesia mencakup dua hal. Pertama, sebagai bahasa nasional, sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928, dan kedua sebagai bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berinteraksi. Setiap bahasa memiliki konteks dan leksikonnya masing-masing. Dalam konteks keindonesiaan terdapat tiga leksikon umum berupa leksikon bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing. Keberadaan leksikon suatu bahasa memiliki pengaruh terhadap perkembangan bahasa di suatu negara (Listyaningrum, dlm.Prosiding Sem. Internasional UIN Jakarta, Nov. 2014, h. 255). Bahasa dalam konteks keindonesiaan mempunyai dua ranah yaitu bahasa nasional dan bahasa daerah. Bahasa nasional adalah bahasa yang telah disepakati bersama pada saat sumpah pemuda. Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi pemerintahan, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, dan bahasa alat pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, bahasa daerah adalah bahasa yang dimiliki oleh suku-suku yang ada di Indonesia. Bahasa daerah merupakan cermin adanya kemajemukan bahasa di Indonesia. Bahasa daerah yang dimiliki Indonesia sangatlah banyak, bisa mencapai ratusan, sebab setiap daerah memiliki bahasa dan dialeknya masing-masing. Karena kemajemukan bahasa inilah, sehingga dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak dapat berdiri sendiri. Pada saat kongres di Medan diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia diperkaya oleh berbegai bahasa salah satunya bahasa daerah. Pemerkayaan ini dapat dilakukan dengan terjemahan maupun adopsi dari leksikon-leksikon bahasa daerah. Proses pembentukan bahasa nasional inilah yang nantinya akan memunculkan politik bahasa. (ibid, h.256) Bahasa alamiah di seluruh dunia selalu mengalami perubahan. Perubahan terjadi diakibatkan berbagi faktor. Perubahan bahasa dapat terjadi karena dipicu oleh faktor internal bahasa atau sistem bahasa itu sendiri. Faktor internal yang dapat mengakibatkan perubahan bahasa, misalnya, pengayaan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 437 kosakata dan sistem pemakaian bahasa. Banyak bahasa di dunia memperkaya kosakatanya dari bahasa lain karena keperluan konsep baru (neologisme) atau gengsi(prestise) Perubahan yang terkait dengan sistem pemakaian antara lain variasi atau register tertentu untuk kepentingan tertentui dalam kehidupan sehari-hari penutur bahasa. Perubahan ini dapat dipicu secara internal untuk pengeyaan bahasa dan dapat pula dipicu oleh pengaruh bahasa lain. Terciptanya undakusuk atau tingkat tutur dalam bahasa Sunda merupakan salah satu perubahan pemakaian bahasa. Undak-usuk sebagai cara berbahasa yang umum tentunya memiliki nilai sosial yang luhur bagi penuturnya. Hal ini dapat terjadi karena berbicara dengan menggunakan undak-usuk diakui sebagai cara berbicara yang sesuai dengan aturan berbahasa, etika bermasyarakat, dan etika berbudaya. Etika berbahasa perlu dipertahankan karena ini merupakan salah satu etike dalam berkehidupan. (Wahya, dalam Prosiding Semnas : Peran Budaya Sunda dalam Membangun dan Memperkuat Karakter Bangsa, h.327, FASA Unpad, 2-3 November 2011) Adanya dualisme kepemilikan bahasa pada masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia, menimbulkan isu atau permasalahan bahwa bahasa Indonesia adalah penyebab dari tergesernya bahasa Sunda terutama di perkotaan. Inilah yang akan menjadi kajian tulisan ini, apakah benar terjadi gesekan atau dominasi satu bahasa terhadap bahasa lainnya, dalam hal ini bahasa daerah yang terancam. Lantas langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar fungsi, peranan, dan kedudukan bahasa daerah dan nasional ini tidak saling menindih, atau tidak saling menggeser. Upaya-upaya menetralisasi dan mencari jalan keluar agar kedua bahasa tersebut saling mendukung baik dalam fungsi maupun peranannya, sangat mendesak dilakukan sehingga tidak terjadi kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia mengancam peranan bahasa daerah. Jika tidak ada upaya yang nyata di dalam mengatasi permasalahan tersebut, dikhawatirkan fungsi dan peranan bahasa sebagai pembentuk karakter bangsa tidak akan terwujud. 438 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Asumsi dalam bagan di atas menunjukkan bahwa kontribusi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia memiliki porsi yang cukup besar dalam memperkaya kosakata bahasa ini. Bahasa daerah seperti bahasa Sunda dan lainnya juga berkontribusi terhadap pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memang lahir dan tumbuh karena adanya bahasa lain di samping bahasa Melayu yang merupakan sumber utama bahasa Indonesia. Dipilihnya bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia karena tidak dikenalnya undak-usuk atau tingkatan kasar-halus dalam bahasa ini. Pada saat ini kita dapat menyimak bahwa bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sangat dominan dalam menggeser kosakata bahasa Indonesia. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yakni menguraikan dan menganalisis secara komprehensif mengenai penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia di beberapa wilayah baik perdesaan maupun perkotaan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Selain itu, juga diuraikan masalah pengaruh penggunaan bahasa tersebut terhadap pembentukan karakter. PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan peneliti beberapa waktu yang lalu, di wilayah perdesaan Jawa Barat, seperti di Priangan Timur, penggunaan bahasa Sunda masih sangat dominan terutama di desa yang jauh dari kota/ibukota kabupaten. Hal tersebut terjadi karena bahasa Sunda sudah secara alamiah diturunkan dari generasi ke generasi baik melalui lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat. Penggunaan Bahasa Indonesia memang ada tetapi hanya dipakai di dalam kelas di sekolah-sekolah desa. Di luar kelas para murid dan guru kembali menggunakan bahasa Sunda. Kuatnya pengaruh lingkungan terhadap penggunaan bahasa Sunda di perdesaan menjadi sebuah bukti bahwa alam sekitar sangat berperanan di dalam pemertahanan bahasa dan budaya daerah. Di samping itu, di suatu desa banyak ungkapan atau peribahasa-peribahasa yang sulit diterjemahkan ke Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 439 dalam bahasa Indonesia. Bahasa Sunda adalah bahasa budaya, sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa komunikasi ketika mereka berada dalam situasi yang bersifat formal. Ketika orang-orang desa menerima tamu dari kota atau ketika mereka pergi ke luar desa menuju kota, bahasa yang digunakan umumnya bahasa Indonesia karena di kota dan orang kota sudah jarang yang menggunakan bahasa Sunda, walaupun ia orang Sunda. Dari hasil pengamatan langsung peneliti ke beberapa peloksok pedesaan di Jawa Barat, seperti desa-desa di Kabupaten Bandung, Garut, Tasikmalaya,Ciamis, Banjar, Cianjur, Purwakarta, dan Subang, masyarakatnya 98% masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar sehari-hari. Selebihnya, yang 2% adalah mereka yang menggunakan bahasa lain seperti bahasa Jawa dan bahasa Indonesia karena di desa tersebut ada kaum pendatang. Dengan masih dominannya penggunaan bahasa Sunda di perdesaan, peluang untuk tetapnya masyarakat memegang tradisi dan budaya Sunda akan terus terjaga. Seseorang yang menggunakan bahasa Sundanya dengan halus akan berpengaruh terhadap karakter atau kepribadiannya. Bahasa yang halus menunjukkan kesopan-santunan dalam berperilaku. Inilah yang merupakan salah satu karakter orang Sunda, yaitu ramah, someah hade ka semah artinya tutur katanya yang halus, santun, dan selalu baik kepada siapa pun yang berkunjung. Berdasarkan pengamatan secara menyeluruh peneliti dapat mencatat bahwa penggunaan bahasa Sunda di peloksok perdesaan memiliki komposisi: (1) di dalam keluarga 98% menggunakan bahasa sunda, sisanya bahasa lain karena mungkin ada pendatang yang menetap di keluarga itu (2) di lingkungan masyarakat sama 98%, sisanya bahasa lain (3) di lingkunagn pendidikan seperti sekolah adalah 90%, sisanya menggunakan bahasa Indonesia karena di dalam kelas harus menggunakan bahasa itu (4) di ruang publik seperti pasar, terminal, atau pusat keramaian adalah 85%, sisanya bahasa Indonesia atau lainnya karena sudah bercampurnya masyarakat dari berbagai daerah. Di desa yang merupakan daerah perbatasan dengan kota /kota kabupaten atau yang disebut desa transisi penggunaan bahasa Sundanya rata- 440 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 rata 85% di hampir semua kategori tempat. Hanya di ruang publik yang menyusut menjadi 80%. Desa transisi merupakan wilayah yang sudah hampir majemuk keberadaan masyarakatnya. Umumnya pendatang dari kota sudah cukup banyak yang tinggal menetap disitu. Akibatnya, terjadi percampuran bahasa-bahasa yang digunakan. Terminologi kota yang terkait dengan penelitian ini adalah kota kecil misalnya di pusat pemerintahan seperti kecamatan atau di kabupaten. Di tempat-tempat seperti itu umumnya terdapat kerumunan massa dan keramaian. Penggunaan bahasa Sunda di tempat seperti itu diprediksi mencapai rata-rata 55% di setiap kategori tempat. Selanjutnya, jika dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia baik di setiap kategori tempat maupun di lingkungan yang lebih luas, menunjukkan angka persentasi yang signifikan. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, penggunaan bahasa Indonesia di desa dengan kategori tempat di dalam keluarga adalah 2%, lingkungan warga: 2%, di lingkunagn pendidikan: 10%, dan di ruang publik: 10%. Di wilayah desa transisi, penggunaan bahasa Indonesia komposisinya adalah: di dalam keluarga:15%, di lingkungan warga:15%, di lingkungan pendidikan:15%, dan di ruang publik: 20%. Di perkotaan penggunaan bahasa Indonesia cukup signifikan, padahal perkotaan yang dimaksud adalah perkotaan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Persentasenya adalah: Di dalam keluarga: 50%, di lingkungan masyarakat: 50%, di lingkungan pendidikan: 50, di ruang publik: 50%. Kajian selanjutnya adalah bagaimanakah pengaruh penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Sunda terhadap karakter atau kepribadian masyarakat, berdasarkan hasil pengamatan serta asumsinya yang tertera dalam tabel di atas? Setelah dikaji secara menyeluruh, peneliti memperoleh asumsi bahwa pengaruh kedua bahasa tersebut saling melengkapi. Terdapat lima kategori karakter sebagai pengaruh dari penggunaan bahasa yang dijadikan sebagai representasi keseluruhan pengembangan kepribadian. Lima kategori tersebut adalah: fungsi bahasa Sunda dan bahasa Indonesia terhadap pemahaman budaya lokal, fungsinya terhadap kesadaran Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 441 berbangsa, fungsinya terhadap rasa solidaritas dan persatuan, fungsinya terhadap sikap santun berbahasa, dan fungsinya sebagai pembentuk jati diri. Berdasarkan asumsi persentase pada aktivitas komunikasi penutur, pengaruh penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia terhadap karakter masyarakat Sunda adalah: Bahasa Sunda dapat memaknai budaya lokal Sunda: 90%, kesadaran berbangsa: 60%, rasa persatuan: 20%, santun berbahasa: 90%, kesadaran terhadap jati diri: 80%. Penggunaan bahasa Indonesia dengan pengaruhnya terhadap lima aspek kategori yang sama, diprediksi sebagai berikut: fungsinya terhadap pemahaman budaya lokal Sunda: 50%, kesadaran berbangsa: 80%, rasa persatuan: 80%, santun berbahasa: 80%, dan kesadaran jati diri: 20%. Sebagai gambaran yang lebih konkret baik tentang persentase penutur daalm aktivitas komunikasinya maupun tentang pengaruh penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia terhadap pembentukan karakter dapat dijelaskan dalam tabel berikut. Tabel 1: Asumsi Penutur dalam Aktivitas Komunikasi Bahasa Tempat 1.Keluarga 2.Lingkungan/ Masyarakat 3.Lingkungan Pendidikan 4. Ruang Publik Sunda Sunda Sunda Indonesia Indonesia Indonesia Desa Transisi Kota Desa Transisi Kota 98% 85% 60% 2% 15% 50% 98% 85% 60% 2% 15% 50% 90% 85% 50% 10% 15% 50% 85% 80% 50% 10% 20% 50% Tabel 2: Asumsi Fungsi Penggunaan Bahasa terhadap Karakter Kategori fungsi 1.Pemahaman Budaya Lokal 2. Kesadaran berbangsa 3. Persatuan 4.Santun 442 Bahasa Sunda Bahasa Indonesia 90% 50% 60% 80% 20% 90% 80% 80% Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Berbahasa 5. Jati Diri 80% 20% SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dijelaskan dalam pembahasan, peneliti dapat menarik benang merah dari permasalahan tentang fungsi dan kedudukan antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dalam pembentukan karakter bangsa, yaitu : (1) Bahasa Sunda memiliki pengguna yang masih setia menggunakannya sebagai alat komunikasi sehari-hari terutama di peloksok perdesaan. (2) Kesetiaan menggunakan bahasa Sunda terus berlangsung karena bahasa ini merupakan warisan nenek moyang yang sudah mendarah daging. (3) Tidak mudah untuk menghapuskan penggunaan bahasa Sunda di peloksok pedesaan walaupun di situ bahasa Indonesia sudah ada. (4) Bahasa Sunda adalah bahasa yang mampu mengungkap nilai-nilai budaya Sunda yang sulit diungkapkan oleh bahasa Indonesia. (5) Bahasa Sunda selain berperan sebagai bahasa budaya, juga memberikan efek positif kepada penggunanya yakni dapat memperhalus budi pekerti dan menjaga perilaku untuk selalu ramah dan sopan kepada sesama. (6) Bahasa Sunda di peloksok perdesaan kemungkinan tidak akan punah walaupun dikepung oleh modernisasi. (7) Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa yang menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa. (8) Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang paling tinggi kedudukannya di samping bahasa daerah di seluruh Indonesia. (9) Bahasa Indonesia memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda dengan bahasa daerah. (10) Bahasa Indonesia di perkotaan Jawa Barat dapat menggeser keberadaan bahasa Sunda karena kemajemukan masyarakat kota. (11) Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dapat hidup berdampingan untuk saling melengkapi apabila penggunanya bisa memosisikan dirinya sebagai orang Sunda dan sebagai warga negara Indonesia Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 443 DAFTAR PUSTAKA Budiwiyanto, Adi.Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Bahasa. Kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel 1285 Djodjosuroto,Kinayati dan M.L.A.Sumaryati. 2000. Prinsip-prinsip Dasar Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa Cendikia Kartini, Tini. 1985. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Pusat Bahasa Nurhayati Mamun,Titin dkk.2011. Peran Kebudayaan Sunda dalam Membangun dan Memperkuat Karakter Bangsa. Prosiding Seminar Nasional. Jatinangor: FASA Unpad S.Anshori, Dadang dan Sumiyadi.2009. Bahasa dan Sastra dalam Perspektif Pendidikan. Bandung: FPBS UPI Subuki, Makyun dkk.2014. Pendidikan Berbasis Keragaman Budaya:Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Prosiding Seminar Internasional. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sugono,Dendy.et al. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Suryani, Elis NS. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia Indonesia 444 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 REAKTUALISASI PUISI NYANYIAN ANGSA SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER Sari Puji Rahayu Sekolah Pascasarjana UPI Pos-el: [email protected] ABSTRAK Reaktualisasi Puisi “Nyanyian Angsa” sebagai Pembangun Karakter. Sastra dapat menjadi bacaan yang inspiratif, bahkan menjadi bacaan yang representatif. Representatif sebagai pengejewantahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Sastra acap kali menjadi alat kontrol sosial dan medium kritik yang efektif. Dalam kritik tersebut terdapat nilai-nilai atau ideologi yang ditawarkan sebagai bentuk solusi atas permasalahan yang terdapat dalam realitas teks yang menjadi cerminan realitas sosial. Nilai-nilai tersebut dapat menjadi media pembelajaran karakter yang efektif dan mengasyikan tanpa mendogma pembacanya, terlebih kalangan pembaca pelajar sebab mereka diajak berimajinasi dan terhibur dengan konflik yang ditawarkan teks sastra. Sebagaimana halnya teks sastra pada umumnya, puisi pun memiliki daya tarik sebagai pembangun karakter pembacanya. Gagasan atau latar dalam puisi dapat menjadi reaktualisasi penggugah kesadaran karakter. Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra dapat menjadi bahan awal dalam kajian sastra yang tak hanya menyindir, tetapi juga mengajarkan kepada pembaca bagaimana sikap-nilai yang mestinya dimiliki masyarakat sebagai makhluk sosial. Melalui puisi Nyanyian Angsa, nilai-nilai karakter sebagai identitas masyarakat madani dapat diangkat dalam konteksnya sebagai pembangun karakter generasi muda. Kata kunci: puisi naratif, masyarakat, pembangun karakter. PENDAHULUAN Sastra tetap perlu diperhitungkan sebagai media untuk pembangunan karakter bangsa. Tentu saja selain dari aturan-aturan hukum, keteladanan, norma, sastra memiliki peran yang tidak perlu dikesampingkan dan tidak bisa dipandang sebelah mata. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh kita sendiri sebagai masyarakat yang selalu bergelut dengan sastra, sangat pesimis bahwa sastra mampu menjadi pembentuk karakter bangsa. Lihat saja bagaimana posisi para penulis dan sastrawan di negeri ini. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 445 Jika kita bertanya pada generasi muda saat ini, mungkin bisa dihitung dengan jari di antara mereka yang ingin jadi penulis, lebih-lebih ketika ditanya yang ingin menjadi spesialis puisi semacam W.S. Rendra. Lebih parahnya lagi, mungkin ada beberapa di antara mereka yang bahkan tidak mengenal siapa itu W.S. Rendra. Apakah sebanyak yang ingin jadi penyanyi hasil olahan pencarian bakat atau malah tidak ada? Tengok juga perbandingan jumlah pengunjung acara bedah buku sastra dengan acara konser musik. Terlihat jelas kalau kuantitas jumlah pengunjungnya sangat timpang. Salah satu keunggulan karya sastra, seperti puisi, adalah dalam masalah penyampaian gagasan atau ajaran. Bagi penulis puisi, kata-kata yang digunakan merupakan gerbang untuk mengekspresikan perasaan dan menyampaikan nilai-nilai kepada penikmat sastra. Tidak hanya kritik sosial, dalam puisi juga banyak nilai-nilai sosial yang dapat kita petik. Karena setiap pengarang merupakan bagian dari anggota masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Termasuk karya sastra yang dilahirkannya. Bisa saja karya sastra merupakan kritik untuk situasi sosial pengarang atau merupakan sebuah opini dan gagasan yang tidak bisa disampaikan pengarang secara lantang. Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik (nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan), nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata sehari-hari). Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra, sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan. 446 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya, yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati. PEMBAHASAN Puisi Kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Apabila kita menggunakan ungkapan ―mata keranjang‖ untuk menyebut seseorang yang mudah terpikat pada perempuan-perempuan yang dilihatnya, sebenarnya kita sudah menggunakan ekspresi puitis. Sebuah lirik lagu popular juga dapat berbau puitis dan ada pelajaran yang dapat kita ambil. Lirik lagu ―Kupu-kupu Malam‖ yang dipopulerkan kembali oleh grup band Peterpan, misalnya, memuat larik-larik yang mengatakan: Ada yang benci dirinya/ ada yang butuh dirinya/ ada yang berlutut mencintanya/ ada pula yang kejam menyiksa dirinya/. Ini hidup wanita si kupu-kupu malam/ bekerja bertaruh seluruh jiwa raga/ bibir senyum kata halus merayu memanja/ kepada setiap mereka yang datang/ dosakah yang dia kerjakan/ sucikah mereka yang datang/ kadang dia tersenyum dalam tangis/ kadang dia menangis di dalam senyuman. Dari lirik tersebut dapat kita lihat, diksi yang digunakan merupakan kunci dari kemenarikan sebuah karya. Untuk menggambarkan seorang pelacur yang selalu menjadi bahan hinaan oleh masyarakat. Bait lagu tersebut mempertanyakan mengenai kesalahan apa yang dilakukan oleh seorang kupukupu malam. Mereka selalu dipersalahkan, tetapi orang-orang yang datang kepada mereka selalu luput dari perhatian. Kehadiran kupu-kupu malam memang suatu dilema tersendiri bagi beberapa orang. Walaupun mereka melakukan hal yang sangat ditentang oleh norma agama dan norma susila tapi itu hanya dilakukan sebatas karena himpitan ekonomi semata. Horatius (dalam Budianta, 2003: 39-40) mensyaratkan dua hal bagi puisi, yaitu puisi harus indah dan menghibur (dulce), tetapi pada saat yang sama puisi juga harus berguna dan mengajarkan sesuatu (utile). Artinya, sebuah puisi, selain harus bersifat menghibur dan memiliki nilai estetika, juga dituntut memiliki nilai-nilai yang bersifat mendidik bagi pembacanya. Puisi Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 447 menjadi khas karena sebagai teks, ia menarik perhatian pembaca kepada teks itu sendiri,dan bukan kepada pengarangnya. Kehidupan manusia sehari-hari tidak lagi dapat dilepaskan dari kesusastraan, meskipun kegiatan ―bersastra‖ tersebut dilakukan tanpa sadar dan sekalipun kesusastraan itu sendiri tidak begitu mendapat tempat dalam kehidupan masa kini. Puisi Naratif Ada beberapa cara untuk menggolongkan ragam-ragam puisi. Budianta (2003:61-62) mengemukakan dari segi ungkapan, puisi dapat dikategorikan dalam lirik dan epik. Biasanya puisi lirik lebih mengutamakan suasana daripada tema, dan makna kerap perlu dipahami dalam kaitan dengan suasana batin tertentu yang hendak dibangun daripada dengan pesan-pesan moral. Di lain pihak, epic banyak menggunakan kisahan dan lebih bergaya prosais sambil tetap mempertahankan unsur puitik yang umum dijumpai dalam puisi, seperti rima, kesamaan jumlah ketukan, dan semacamnya. Oleh sebab itu, epik juga kerap disebut sajak naratif. Isinya pada umumnya tentang petualangan atau perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur yang dilakukannya. Selain berkisah tentang para ksatria dan pahlawan, ada juga sajak naratif yang menceritakan riwayat orang-orang biasa. Sajak yang pada zaman dahulu juga dibawakan leeway nyanyian ini disebut dengan balada. Seorang penyair terkemuka Indonesia yang banyak menghasilkan balada adalah W.S. Rendra. Tjahjono (1988: 74) mengungkapkan puisi naratif adalah puisi yang didalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku perwatakan, plot, dan latar tertentu yang menjalin suatu cerita. Yang termasuk ke dalam jenis ini adalah balada dan dalam puisi lama, syair pun tergolong jenis puisi ini. Sastra dan Masyarakat Membicarakan masalah sastra, kita tidak bisa terlepas dari manusia dan budaya yang turut memengaruhi sastra itu lahir. Menurut Semi (1989:52), sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia, bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami, 448 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat: ia terikat oleh status sosial tertentu. Sebagai dokumen sosial, sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial. Sudah dari dulu, sebuah karya sastra, khususnya puisi, merupakan potret realita. Sebuah potret yang menggambarkan realita yang ada di masa lalu atau saat sekarang ini. baik berupa kondisi pemerintahan di suatu Negara maupun lingkungan sosial masyarakat yang lebih kecil lagi, semua dapat digambarkan oleh seorang penyair melalui media kata-kata yang puitis. Antara karya sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena karya sastra itu sendiri dihasilkan oleh seorang penyair yang merupakan bagian dari masyarakat. Dalam praktiknya, puisi memang bisa menggantikan pengalaman langsung seseorang dan sejarawanpun bisa menjadikan sastra sebagai dokumen sosial. Sastra merupakan dokumen karena merupakan sebuah monument (Wellek dan Warren, 1989:111). ―Nyanyian Angsa‖ karya W.S. Rendra menggambarkan realitas sosial yang sangat akrab dengan kita semua, anggota masyarakat. Ia merupakan sosok penyair yang sangat peduli terhadap kehidupan sosial masyarakatnya. Bagian pembuka puisi ini, pembaca disuguhkan dengan dialog antara majikan rumah pelacuran, dalam istilah sekarang disebut mami atau mucikari, dan Maria Zaitun, pelacur yang sudah tidak ―laris‖ lagi karena sudah tua dan berpenyakitan, seperti dalam kutipan berikut ini, Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya: Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan padaku kamu berhutang. Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu mesti pergi.” Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 449 Pada bait tersebut dapat kita lihat realitas sosial, seorang kupu-kupu malam yang sudah tua dan mengidap penyakit berbahaya seperti tokoh Maria Zaitun suatu saat harus siap ―ditendang‖ dan tidak menjadi anak emas lagi oleh majikannya. Menjadi pelacur di tengah-tengah masyarakat kita dianggap jauh lebih hina daripada hewan. Ditambah lagi, Maria Zaitun yang tua merupakan pelacur dan terkena penyakit akibat ―profesi‖ yang dijalaninya. “Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra sebagai Pembangun Karakter Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Karakter sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama kita mengenal akhlak terpuji dan akhlak tercela. Puisi berjudul ―Nyanyian Angsa‖ karya W.S. Rendra ternyata sungguh luar biasa. Mengangkat isu sosial, yaitu mengenai pelacur, tepatnya kehidupan seorang pelacur bernama Maria Zaitun yang terpinggirkan karena sudah tua dan penyakit raja singa yang dideritanya. Namun, meskipun dibuang dan dicaci di sana-sini oleh banyak orang, bahkan malaikat penjaga surga pun enggan melihat wajahnya, tetapi ia malah menjadi kekasih Tuhan. Ia mendapatkan kenikmatan surga firdaus yang tak pernah dibayangkannya selama hidup di dunia. Padahal di dunia ia hina karena berprofesi sebagai pelacur. Puisi yang bertema sosial merupakan sebuah puisi yang dipersembahkan khusus untuk kehidupan sosial di Indonesia ini. Banyak kisah yang kita tuangkan dalam bait puisi. Ketidakadilan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Indonesia, terutama dalam mendapatkan kehidupan yang layak, seakan membuka mata kita bahwa kita selama ini telah mengabaikannya. Puisi sekiranya merupakan cara yang cerdas untuk mengkritik keadaan sosial kita. Kisah puisi W.S. Rendra, Nyanyian Angsa, dimulai dengan prolog percakapan seorang mucikari pada anak buahnya, seorang tuna susila. Perempuan tuna susila itu, Maria Zaitun namanya. Dikisahkan, Maria Zaitun 450 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 adalah wanita penghibur yang sudah tidak mampu lagi menarik perhatian para lelaki hidung belang di rumah pelacuran. Maria zaitun adalah tokoh sentral dalam puisi ini. Pendidikan karakter yang diajarkan kepada kita lewat puisi naratif W.S. Rendra yang satu ini mengarajarkan kepada kita semua bagaiman Maria Zaitun, pelacur yang tak laku lagi, tabah dalam menghadapi segala cercaan dari lingkungannya. Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya: “Sudah dua minggu kamu berbaring. Sakitmu makin menjadi. Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan padaku kamu berhutang. Ini biaya melulu. Aku tak kuat lagi. Hari ini kamu mesti pergi. …. Jam dua belas siang hari. Matahari terik di tengah langit. Tak ada angin. Tak ada mega. Maria Zaitun keluar rumah pelacuran. Pada bait ini dapat kita lihat bagaimana ketabahan seorang Maria Zaitun ketika diusir oleh ―maminya‖ karena sudah tidak menghasilkan uang lagi. Dua minggu terbaring, sakit semakin parah, malah hutang yang bertambah, dan akhirnya diusir tanpa membawa apapun. dia pergi tanpa ada marah dihatinya. Bahkan teman sekalipun membuang muka padanya. Dalam keadaan demam dan sipilis yang membakar tubuh Maria Zaitun keluar dari rumah pelacuran itu. Akhirnya ia pergi ke dokter. Di tempat itu lagi-lagi sikap tidak menyenangkan diterimanya. “Maria Zaitun, untungmu sudah banyak padaku,” kata dokter. “Ya,” jawabnya. “Sekarang uangmu berapa?” Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 451 “Tak ada.” Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang. Ia kesakitan waktu membuka baju Sebab bajunya lekat di borok ketiaknya “Cukup,” kata dokter. Dan ia tak jadi memeriksa. Lalu ia berbisik kepada jururawat: “Kasih ia injeksi vitamin C.” Dengan kaget jururawat berbisik kembali: “Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.” “Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal Yang diimpor dari luar negeri? Perlakuan seperti itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi rakyat Indonesia. Yang boleh sakit itu hanya orang kaya. Bagaimanapun usaha pemerintah untuk menyetarakan pengobatan bagi si kaya dan si miskin di negeri ini, pada praktiknya si miskin tetap akan mengalami kesulitan karena alasan ekonomi. Hal inilah yang diterima Maria Zaitun. Pelacur sengsara yang kurang cantik dan sudah tua. dokter sekalipun memperlakukannya seperti anjing. Enggan untuk memeriksa Maria Zaitun karena sekujur tubuhnya penuh borok. Bukankah sudah menjadi tugas bagi seorang dokter memeriksa pasien bagaimanapun keadaan dan jenis penyakit yang dideritanya. Vitamin C yang diceritakan disuntikan ke tubuh Maria Zaitun hanyalah kamuflase dari pengobatan yang diberikan sang dokter. Lagi-lagi Maria Zaitun tidak marah, bahkan tabah saja menrima perlakuan dari orang sekitarnya. Selain ketabahan Maria Zaitun, puisi ini juga mengajarkan tentang kepedulian sosial. Selain muncul tokoh dokter yang sombong dan kasar, juga ada tokoh pastor di sebuah gereja. Setelah mengorek sisa makanan dari giginya Ia menyalakan cerutu lalu bertanya: 452 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 “Kamu perlu apa?” Bau anggur dari mulutnya. Selopnya dari kulit buaya. Maria Zaitun menjawabnya: “Mau mengaku dosa.” “Tapi ini bukan jam bicara. Ini waktu saya untuk berdoa.” “Saya mau mati.” “Kamu sakit?” “Ya. Saya kena raja singa.” Mendengar itu pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret. …. Saya perlu tuhan atau apa saja untuk menemani saya.” Dan muka pastor menjadi merah padam. Ia menuding Maria Zaitun. “Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa.” Rumah Tuhan menjadi tujuan Maria Zaitun untuk memeroleh ketenangan bathin. Di gereja ia ingin mengakui segala dosa yang telah diperbuatnya. Sebagai makhluk yang sadar akan adanya Tuhan, dia ingin bertobat dan mengakui segala kesalahannya. Namun, seorang pastor yang seharusnya bersikap lebih peduli karena lebih banyak tahu tentang kitab suci dan memahami isinya, juga menghakimi sang pendosa. Ingin mengadu kepada Tuhan, tapi tidak diberi kebebasan. Seseorang dalam hal ini tidak memiliki kebebasan individu untuk melakukan aktivitasnya sebagai mahluk rohani/spiritual. Dari tokoh dokter dan pastor yang digambarkan di atas, kita mendapatkan sebuah pelajaran, bahwa penampilan fisik dan pendidikan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 453 seseorang tidak menjadi jaminan orang tersebut memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dokter dan tokoh agama di Indonesia dianggap memiliki rasa empati yang tinggi karena pada dasarnya sama-sama akan menjadi obat bagi masyarakat. Dokter merupakan tenaga medis yang seharusnya mampu menyembuhkan penyakit fisik yang diderita pasiennya, justru balik menghujam dengan kata-kata kasar. Satu lagi tokoh yang muncul dalam puisi ini adalah malaikat penjaga firdaus. (Malaikat penjaga firdaus Wajahnya tegas dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. …. (Malaikat penjaga firdaus wajahnya iri dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. …. (Malaikat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. …. (Malaikat penjaga firdaus wajahnya tampan dan dengki dengan pedang yang menyala mengusir pergi dan dengan rasa jijik ia tusukkan pedangnya perkasa di antara kelangkangku. …. Malaikat penjaga firdaus tak kaurasakan bahwa senja tekah tiba 454 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 angin turun dari gunung dan hari merebahkan badannya? …. Malaikat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki. Ia tak mau mendengar jawabanku. Ia tak mau melihat mataku. …. Malaikat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa dengan kaku ia beku. Tak berani lagi menuding kepadaku. Jika kita perhatikan dengan saksama, pada kutipan puisi tersebut ada perubahan sikap dari seorang malaikat penjaga firdaus. Pada bagian awal, malaikat penjaga firdaus bersikap tidak suka kepada Maria Zaitun karena ia adalah seorang pelacur yang menjual diri hingga akhirnya menderita penyakit yang sangat memalukan, raja singa. Beberapa kali larik itu diulang hingga dibagian akhir sang malaikat penjaga firdaus tak mampu lagi menduding ke arahnya. Maria Zaitun tak takut lagi. Hal ini menggambarkan bahwa seseorang yang hina pun juga memiliki sisi baik. Sampai-sampai seorang malaikat yang sangat mengutuk perbuatan Maria Zaitun akhirnya malah balik terdiam, kaku, dan beku karena ketabahan Maria Zaitun menghadapi segala caci dan maki dari orang di sekitarnya. PENUTUP Masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan tentang keborokan moral. Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 455 Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya diketahui karena sastra di dalamnya terkandung amanat, yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan pendidikan karakter. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat. Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran DAFTAR PUSTAKA Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa. Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan Apresiasi. Flores: Nusa Indah. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Theory of Literature. London: Harcourt Brace Javanovich. 456 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 FILOSOFI ALAM TAKAMBANG JADI GURU DALAM SASTRA MINANGKABAU Sri Rustiyanti Pos-el: [email protected] ABSTRAK Filosofi Alam Takambang Jadi Guru dalam Sastra Minangkabau. Adat dan alam merupakan pelajaran dan pedoman hidup bagi masyarakat Minang. Adat basandisyarak syarak basandi kitabullah adalah adat atau norma hukum yang berdasarkan kepada ajaran syarak, sedangkan syarak dan kitabullah artinya AlQuran. Adapun Alam terkembang jadi guru, maknanya banyak ayat-ayat ajaran Allah yag terhampar dalam alam dan hanya orang-orang pandailah yang dapat membacanya. Demikian filosofi yang dianut etnis Minang. Falsafah ini sangat „unique‟, sebagai panutan dan pelajaran hidup bagi manusia dan individu, dengan memetik suatu kejadian dari peristiwa dan proses alam. Kedatangan agama Islam telah menyempurnakan ajaran adat Minangkabau dan ungkapan filosofi adat basandisyarak, syarak basandi kitabullah tersebut mengandung arti, bahwa adat Minangkabau berdasarkan kepada aturan-aturan yang terdapat dalam ajaran agama Islam yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadist Nabi. Filsafat adat Minangkabau menempatkan pengetahuan sebagai sintesis dari aspek empirik dan rasionalitas. Hasil pengetahuan menurut filsafat adat Minangkabau tidak hanya didasarkan pada tangkapan indrawi dan rasionalitas semata (pareso/periksa), tetapi juga berpijak pada aspek hati (raso/rasa) sehingga bermuara pada konsep etis-argumentatif. Konsep inilah yang dalam filsafat adat Minangkabau disebut sebagai epistemologi raso pareso. Kata kunci: adat, alam, filosofi, minangkabau. PENDAHULUAN Membaca sejarah Minangkabau, maka kita akan menemukan berbagai kekayaan adat dan budaya negri ini. Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas negeri ini. Maka salah satu falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara‟, Syara‟ Basandi Kitabullah (ABS SBK), Syara‟ mangato, Adat mamakai. Falsafah ini seolah telah mengukuhkan eksistensi Islam dalam kehidupan sosial bermasyarakatnya, dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian orang Minang. Menilik sejarah Indonesia, maka kita akan menemukan deretan nama tokoh nasional yang memiliki darah keturunan Minangkabau. Banyak tercatat dalam sejarah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 457 Indonesia Orang Minangkabau yang memainkan kiprahnya di pentas nasional, mulai dari bidang politik, budaya dan sastra, agama, dan juga ekonomi. Sebut saja M. Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Buya Hamka, Tuanku Imam Bonjol, Sutan Syahrir, M. Yamin, M. Natsir, dan masih banyak lagi nama-nama putra Minang yang dikenal sebagai tokoh nasional. Sederatan nama tersebut seolah telah mengukuhkan Minangkabau sebagai ahli pikir pada masanya yang dulu. PEMBAHASAN Masyarakat Sumatera Barat menamakan tanah airnya Alam Minangkabau. Merantau merupakan pola migrasi suku Minangkabau, sehingga orang Minangkabau sangat dikenal dengan sifatnya yang suka merantau, dengan berbekal ajaran ‗di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung‟, mereka berani meninggalkan kampung halaman untuk mencapai cita-cita yang diharapkannya. Penyebaran mereka sampai ke berbagai daerah di kota-kota besar, seperti ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Medan, dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan untuk merantau, yang terutama dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, adanya keinginan untuk mendapatkan kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada, karena berkaitan dengan sistem matrilineal (mengikuti garis keturunan ibu); seorang anak laki-laki tidak mempunyai hak untuk menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri, kecuali menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua, karena adanya perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain. Kedua hal inilah yang mendorong orang-orang Minangkabau keluar dari daerah asalnya untuk pergi merantau.1 Di Provinsi Sumatera Barat yang sering juga disebut dengan Ranah Minang, juga terdapat beberapa jenis Kearifan Lokal yang berkaitan dengan Adat istiadat di Minangkabau yang telah berdiri kukuh dengan seluk beluknya itu dijaga dan dipelihara oleh penghulu dan pemangku adat. Penghulu pemegang kekuasaan adat dalam luhak (daerah) dan nagari, memakai mahkota yang namanya saluak. Saluak dengan lipatan-lipatan di kening yang lebar, melambangkan sifat dan watak seorang penghulu yang berpikiran tajam dan berwawasan luas. Bentuk saluak penghulu dibuat sedemikian rupa, melambangkan tampan serimbun rindang pohon 458 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 beringin sebagai lambang keadilan hukum adat. Kesaktian pohon beringin itu oleh orang Minangkabau melambangkan simbolik: Pohon baringin di tangah koto Ureknyo tampek baselo Batangnyo bakeh basanda Daunnyo untuak balinduang Balinduang katiko paneh Bataduah wakatu hujan (Pohon beringin di tengah kota Uratnya tempat bersila Batangnya tempat bersandar Daunnya untuk berlindung Berlindung ketika panas Berteduh waktu hujan) Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai egaliter atau kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak samo randah, tagak samo tinggi”. Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang tertinggi.Kekuasaan yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu nan bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan oleh orang Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang menggunakan akal.Nilai-nilai yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan Islam melengkapi penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau. Menurut adat pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda. Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan sehingga terdapat kebersamaan. Nan buto pahambuih lasuang, nan pakak palapeh badie, nan lumpuah paunyi rumah, nan kuek pambaok baban, nan binguang kadisuruah-suruah, nan cadiak lawan barundiang. (Yang buta penghembus lesung yang tuli pelepas bedil yang lumpuh penunggu rumah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 459 yang kuat membawa beban yang bingung disuruh-suruh yang pandai dibawa berunding). Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena semuanya saling isi mengisi. Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan; nan tuo dihormati, samo gadang baok bakawan, nan ketek disayangi. (Yang tua dihormati sama besar jadi kawan yang kecil disayangi). Kedatangan agama Islam di ranah Minang membuat konsep pandangan terhadap sesama lebih dipertegas lagi.Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilinial yang menekankan tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari, menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis. Orang Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kuat. Adat sangat penting dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam petatah Minangkabau diungkapkan, hiduik di kanduang adat. Maka, ada empat tingkatan adat di Minangkabau (Dirajo, Dt. Sangguno, 1987: 26-30): Adat Nan Sabana Adat Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah berubah oleh keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai, norma, dan hukum. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adatnan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati atau adat babuhua mati. Adat nan sabana adat bersumber dari alam. Pada hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah. Maka, adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan konsep dasar pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari konsep itu lahir pulalah falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi 460 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 guru.Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di Minangkabau, sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan masyarakat Minangkabau. Semua hukum adat, ketentuan adat, norma kemasyarakatan, dan peraturan-peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber dari adat nan sabana adat. Adat Nan Diadatkan Adat nan diadatkan adalah adat buatan yang dirancang, dan disusun oleh nenek moyang orang Minangkabau untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan yang berupa adat nan diadatkan disampaikan dalam petatah dan petitih, mamangan, pantun, dan ungkapan bahasa yang berkias hikmah.Orang Minangkabau mempercayai dua orang tokoh sebagai perancang, perencana, dan penyusun adat nan diadatkan, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Inti dari adat nan diadatkan yang dirancang Datuak Parpatiah Nan Sabatang ialah demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Sedangkan adat yang disusun Datuak Katumangguangan intinya melaksanakan pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang. Sepintas, kedua konsep adat itu berlawanan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya kedua konsep itu bertemu, membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan demokrasi yang khas di Minangkabau. Adat Nan Taradat Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk melaksanakan adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nagarinya. Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari melalui musyawarah dan mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingka nagari. Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki, diubah, dan diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat Minangkabau. Contoh penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun mandi, sunat rasul, dan perkawinan, yang selalu dipagari oleh ketentuan agama, di mana syarak mangato adaik mamakaikan. Adat Istiadat Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak dalam suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 461 sesuai menurut alua jo patuik, patuik jo mungkin. Ada dua proses terbentuknya adat istiadat. Pertama, berdasarkan usul dari anak nagari, anak kemenakan, dan masyarakat setempat. Kedua, berdasarkan fenomena atau gejala yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Adat istiadat umumnya tampak dalam bentuk kesenangan anak nagari seperti kesenian, langgam dan tari, dan olahraga. adat nan indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati, atau adat yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk karena hujan, dipindahkan tidak layur, dicabut tidak akan mati, artinya adat tersebut hidup terus sesuai dengan keperluan manusia, dan adat itu dapat dilaksanakan oleh orang Minangkabau walaupun di tanah perantauannya sendiri. Adat berbuhul mati, adalah adat sebenar adat yang datangnya dari Allah Khaliqul Alam, sesuai dengan fiotrah manusia. Maknanya, yang ditetapkan oleh syari‘at agama Islam, semestinya dipakaikan oleh adat di ranah Minangkabau SIMPULAN Alam terkembang jadi guru, demikian falsafah yang dianut etnis Minang etnis besar yang ada di Indonesia. Falsafah ini sangat “unique”, sebagai panutan dan pelajaran hidup bagi manusia dan individu, dengan memetik suatu kejadian dari peristiwa dan proses alam. Ada pertanyaan, apakah wanita Minang yang berkedudukan sebagai Bundo Kandung – limpapeh rumahnan gadang, sehingga para kaum wanitanya telah meninggalkan jati dirinya sebagai makhluk yang disanjung oleh adat dan budayanya (Umar Yunus, 1988: 23). Di sini sebagai seorang wanita minang, saya merasa berbahagia atas perlakukan adat dan budaya yang menempatkan kami sebagai makhluk yang disanjung, di mana masyarakatnya meyakini benar bahwa wanitalah bermula dan paling pantas menerima peran sosial dalam mempertahankan kelanggengan adat dan budaya. Ada pepatah yang memperlihatkan betapa kaum wanita ditempatkan dalam kedudukan yang istimewa. Bundo kandung limpapeh rumah nan gadang Umbun puro pegangan kunci Hiasan di dalam kampuang sumarak dalam nagari Sebaliknya, kaum pria mempunyai kewajiban untuk membimbing anak saudara perempuannya yang merupakan kemenakan bagi kaum pria. Dengan demikian seorang anak di Minangkabau mempunyai dua pelindung, yaitu perlindungan dari seorang Ayah dan perlindungan dari seorang Mamak seperti fatwa adat yang berbunyi : 462 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Anak dipangku kemenakandibimbing Anakdipangkujopancarian, Kamanakan dibimbing jopusako. DAFTAR PUSTAKA A. A. Navis (Ed). 1983. Dialektika Minangkabau. Padang: Genta Singgalang Press. Amran, Rusli. 1985. Sumatera Barat Plakat Panjang., Jakarta: Sinar Harapan. Amrin, Hamka, Mohammad Hatta, dkk. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia. Dirajo, Dt. Sangguno. 1987. Curaian Adat Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia, Esten, Mursal. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco, Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Yunus, Umar. 1988. ―Kebudayaan Minangkabau‖,dalam Koentjaraningrat (ed) Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 463 PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TEKS KEILMUAN Taqyuddin Bakri Universitas Tadulako Pos-el: [email protected] ABSTRAK Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Teks Keilmuan. Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang patut mendapatkan perhatian khusus. Hal ini patut dilakukan karena melalui keterampilan menulis, dapat diukur kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sejalan dengan itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan masih menjadi masalah yang perlu diperhatikan. Hal ini terlihat jelas dari teks keilmuan yang dihasilkan oleh mahasiswa Universitas Tadulako. Padahal, keterampilan menulis—terutama bagi kalangan mahasiswa—seharusnya sudah menjadi kebiasaan, sehingga tidak ditemukan lagi permasalahan dalam penulisan teks keilmuan. Oleh karena itu, terdapat permasalahan utama dalam makalah ini, yaitu: bagaimana permasalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako? Tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan permasalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako. Hasil penelitian kualitatif jenis studi kasus menunjukkan adanya problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa. Hal ini perlu dijadikan dasar pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia bagi mahasiswa. Kata kunci: penggunaan bahasa indonesia, teks keilmuan. PENDAHULUAN Peran bahasa Indonesia amat penting, terutama dalam pencerdasan bangsa Indonesia. Secara historis, bahasa Indonesia resmi diakui sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II yang mengikrarkan Sumpah Pemuda, ―... menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia‖. Ikrar ini, secara historis mengakar kuat dan menjadi dasar pijakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Lebih lanjut, bahasa Indonesia juga diakui secara yuridis sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Hal ini termaktub langsung dalam UndangUndang Dasar (UUD) 1945, Pasal 36 yang berbunyi ―bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia‖. Dari pasal ini diturunkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa negara, sarana interaksi, dan sarana penghubung antardaerah dan antarbudaya. 464 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Berkenaan dengan itu, peran bahasa Indonesia amat penting, terutama sebagai alat komunikasi antarsuku. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antarsuku ini dilatarbelakangi oleh beragamnya suku dan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga dipergunakan dalam komunikasi keilmuan. Dikatakan sebagai komunikasi keilmuan, karena bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mata pelajaran. Hal ini sesuai dengan amanah dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. Berkenaan dengan itu, bahasa Indonesia amat fundamental dalam pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (Suwignyo dan Santoso, 2008:3; Kurniawan, 2012:19). Dengan bahasa Indonesia, konsep keilmuan dan kreativitas budaya dapat dibentangkan. Itu menandakan bahwa sebagai sarana peningkatan harga diri bangsa dalam pergaulan global, bahasa Indonesia perlu dididikkan dengan bijak. Untuk itu, kualitas mahasiswa di pendidikan tinggi perlu dipersiapkan secara sistematis. Jika gedung direnovasi, kurikulum direformasi, daya nalar mahasiswa perlu direvolusi. Dengan begitu, keterpaduan kualitas fasilitas, penunjang pembelajaran dengan kualitas mahasiswa dapat dioptimalkan untuk meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia. Senada dengan itu, inovasi peningkatan mutu layanan pendidikan bahasa Indonesia perlu diintensifkan di bangku perkuliahan. Langkah ini dapat berdampak pada pemercepatan kompetensi berbahasa Indonesia mahasiswa. Kompetensi yang dimaksud, berkaitan langsung dengan aspek praktis, terutama dalam hal keterampilan berbahasa. Kenyataan yang ada, pengembangan kompetensi berbahasa Indonesia keilmuan mahasiswa di Universitas Tadulako masih dilematis. Hal ini terlihat dari hasil karya tulis ilmiah yang memiliki kualitas rendah. Rendahnya kualitas itu diukur dari dua hal, yaitu: ketepatan penggunaan ejaan, dan kemampuan menghubungkan antara satu gagasan dengan gagasan lainnya. Hal ini disinyalir terjadi akibat lemahnya minat baca mahasiswa. Sekaitan dengan itu, kebiasaan salah berbahasa Indonesia dapat memicu salah nalar, tetapi cermat berbahasa Indonesia memudahkan penyampaian gagasan (Kuntarto, 2008:25). Dalam pada itu, jika pandangan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 465 Rosidi (2010) tentang masalah bahasa Indonesia dan rekaman Prasetyo (2013) tentang kasus kebahasaan diabaikan, praktik berbahasa Indonesia di perguruan tinggi sulit diwujudkan (Arifin dan Tasai, 2009; Arifin dan Hadi, 2009; Rahardi, 2006). Ketika lemah berbahasa Indonesia, mahasiswa tentu sulit menjangkau rekayasa literasi untuk memberdayakan nalar (Alwasilah, 2012:159). Jadi, keunggulan bangsa memerlukan keunggulan prestasi; keunggulan prestasi memerlukan keunggulan berpikir; keunggulan berpikir memerlukan keunggulan berbahasa (Suherdi, 2012:13). Wajar jika salah berbahasa Indonesia dan lemah bernalar patut dihindari. Dalam konteks itu, daya nalar mahasiswa sulit dipisahkan dari keberaksaraan lingkungan sosialnya. Akankah dimaklumi jika problem berbahasa Indonesia dan problem bernalar dalam komunikasi keilmuan dialami mahasiswa Universitas Tadulako? Masalah pokok dalam makalah ini adalah bagaimana problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako? Penelitian bertujuan mendeskripsikan problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako. Dengan pendekatan kualitatif (K., 2010:65; Danim, 2002:16), studi kasus dilakukan. Dengan studi dokumentasi, data dalam karya tulis mahasiswa Universitas Tadulako dikumpulkan. Ketika itu, analisis model alir ditempuh. Akhirnya, problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako diuraikan berikut. PEMBAHASAN Data (1): Permasalahan Penggunaan Ejaan (a) Karena limpahannyalah kita dapat berkumpul di tempat ini. (b) Tuhan telah memberikan hidayahnya kepada kita semua. (c) Pada 28 oktober diperingati sebagai hari sumpah pemuda. Berdasar data (1) terdapat problem pemakaian ejaan pada kata limpahannyalah dan hidayahnya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Mendiknas, 2009), huruf kapital digunakan 466 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 untuk menyebut Tuhan. Dalam hal yang sama, huruf kapital juga digunakan untuk menulis nama-nama geografi. Akhirnya, ketiga kata itu dibetulkan menjadi limpahan-Nyalah, dan hidayah-Nya. Pada data (c) terdapat problem penulisan ejaan, yaitu 28 oktober, dan hari sumpah pemuda. Perlu ditegaskan kembali bahwa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 tahun 2009 perlu diterapkan. Penulisan huruf kapital pada nama bulan, hari besar, dan nama institusi perlu dipraktikkan. Jadi, data (7) ditulis menjadi 28 Oktober, dan Hari Sumpah Pemuda. Data (2): Permasalahan Penggunaan Kata Ganti (a) Marilah kita semua hindari penggunaan narkoba di kampus ini! (b) Narkoba dapat merusak kita semua. (c) Kami semua langsung pulang. Pada data (2), kita semua menunjuk orang pertama jamak. Menurut Putrayasa (2008:52), kita menggantikan persona pertama pluralis. Untuk itu, kita tidak diikuti oleh semua karena tidak melibatkan orang kedua jamak. Dalam kalimat itu, kita semua ditulis (a) Marilah kita hindari penggunaan narkoba di kampus ini!; dan (b) Narkoba dapat merusak kita. Selain itu, kami pada data (c) seharusnya tanpa kata semua. Data (3): Permasalahan Penulisan Kata (a) Pada hari Minggu aku ke ruma kakeku. (b) Karna hasil jerih paya, saya diterima di kampus negri. (c) Kami bersi-bersi di ruma neneku. Ketika membaca data (3), penghilangan konsonan /h/ tampak pada ruma, dan bersi. Menurut Kridalaksana (2009:18), penghilangan suatu bunyi di ujung kata disebut apokope. Selain itu, penghilangan konsonan juga ditemukan di tengah kata, yakni /k/ pada kata kakeku dan neneku, /h/ pada kata jeri payanya, dan /e/ pada kata karna dan negri. Menurut Kridalaksana (2009:222), Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 467 penghilangan bunyi konsonan di tengah kata disebut sinkope. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata itu seharusnya ditulis rumah, kakekku, nenekku, jerih payahnya, dan bersih. Data (4): Permasalahan Pemilihan Kata (a) Orang bilang kampus-ku maju. (b) Kenangan itu dilupain. (c) Ia ngebahagiain aku. Pada data (4) terdapat kata bilang, dilupain, dan ngebahagiain. Katakata itu disinyalir merupakan tiruan dari kata yang didengar siswa melalui media masa, bukan kata yang lazim berasal dari lingkungan sendiri. Jika situasi sosialnya tepat, kata itu boleh digunakan. Akan tetapi, dalam situasi formal, kata itu perlu dihindari. Menurut Suwignyo dan Santoso (2008:21) kosakata itu disebut nonstandar yang tidak digunakan dalam keilmuan. Oleh karena itu, jika formal, kata itu diganti mengatakan, dilupakan, dan membahagiakan. Data (5): Permasalahan Penyusunan Kalimat Efektif (a) Agar Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain. (b) Sehingga kita dapat berkumpul di sini. Pada data (5), rangkaian kata seolah menampakkan konstruksi kalimat, namun berupa kalimat buntung (Arifin dan Hadi, 2009:123). Agar berterima, kata agar, sehingga, dan karena di awal kalimat dihilangkan. Kalimat itu dibetulkan menjadi (a) Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain.; (b) Kita dapat berkumpul di sini.; (c) Kebersihan itu merupakan sebagian dari iman. Data (6): Permasalahan Penggunaan Verba Transitif (a) Kelemahan novel ini mengajari tentang remaja yang agak nakal. (b) Buku ini membahas tentang upaya pengembangan kompetensi bahasa Indonesia. (c) Novel menceritakan tentang cinta. 468 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dalam data (6) tercantum verba transitif mengajari, membahas, dan menceritakan. Ketiga kata itu seharusnya diikuti oleh objek tanpa kata tentang. Menurut Haryanta (2012:277) dan Kridalaksana (2009:246) bahwa verba transitif memerlukan objek tanpa dipisahkan kata tertentu. Kehadiran kata tentang menampakkan ketidaktepatan penggunaan verba transitif. Jadi, ketiga kalimat itu diperbaiki menjadi (a) Kelemahan novel ini mengajari remaja yang agak nakal.; (b) Buku ini membahas upaya pengembangan kompetensi bahasa Indonesia.; (c) Novel menceritakan cinta remaja. Data (7): Permasalahan Penggunaan Kata di mana (a) Universitas Tadulako merupakan kampus heterogen di mana mahasiswanya berasal dari berbagai daerah, dan suku. (b) Luwuk memiliki keunikan humanis di mana kerukunan hidup umat beragama teruji ratusan tahun. (c) Data penelitian diperoleh di mana penelitian ini dilaksanakan. Pada data (7) tercantum di mana. Padahal, di mana lazim digunakan sebagai kata untuk menanyakan tempat. Menurut Syahroni dkk. (2013:35), di mana tidak dipakai dalam kalimat pernyataan. Jadi, kalimat itu dibetulkan menjadi (a) Universitas Tadulako merupakan kampus heterogen yang mahasiswanya berasal dari berbagai daerah, dan suku.; (b) Luwuk memiliki keunikan humanis karena kerukunan hidup umat beragama teruji ratusan tahun.; (c) Data penelitian diperoleh di tempat penelitian ini dilaksanakan. Jadi, Permasalahan bahasa Indonesia di Universitas Tadulako, yakni penggunaan ejaan, pemakaian kata ganti, penulisan kata, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat efektif, verba transitif, dan di mana. SIMPULAN Berdasarkan masalah dan uraian tersebut dapat disimpulkan temuan pokok, yaitu permasalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako. Dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako, permasalahan penggunaan bahasa Indonesia berkenaan dengan penggunaan ejaan, pemakaian kata ganti, penulisan kata, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat efektif, verba transitif, dan di mana. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 469 Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan itu perlu dibenahi. Apalagi, dalam penyelesaian tugas akhir, mahasiswa tidak hanya sekadar menghasilkan skripsi, tetapi juga wajib mempublikasikan artikel dalam jurnal ilmiah. Kenyataan ini menjadi tantangan untuk semakin memperhatikan pentingnya aspek keterampilan berbahasa, terutama menulis dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khususnya bagi kalangan mahasiswa Universitas Tadulako. DAFTAR PUSTAKA Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Arifin, E. Zaenal. dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa: Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo. Arifin, E. Zaenal. dan Tasai, S. Amran. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: CV Akademika Pressindo. Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. De Bono, Edward. 2007. Revolusi Berpikir Edward de Bono: Mengajari Anak Anda Berpikir Canggih dan Kreatif dalam Memecahkan Masalah dan Memantik Ide-ide Baru. Terjemahan oleh Ida Sitompul dan Fahmy Yamani. Bandung: Penerbit Kaifa. Ghazali, A. Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT Refika Aditama. Ghazali, A. Syukur. 2013. Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Kedua. Malang: Bayumedia Publishing. K., Septiawan Santana. 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Karim, Ali. 2012. Analisis Wacana: Praktik dan Teori. Palu: Tadulako University Press. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kuntarto, Niknik M. 2008. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir. Jakarta: Mitra Wacana Media. Kurniawan, Khaerudin. 2012. Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan Tinggi. Bandung: Refika Aditama. 470 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Mendiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional. Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: PT Refika Aditama. Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional). Bandung: PT Refika Aditama. Rahardi, Kunjana. 2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Penerbit Erlangga. Ramlan, M. 2008. Kalimat, Konjungsi, dan Preposisi Bahasa Indonesia dalam Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Suwignyo, Heri. dan Santoso, Anang. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan berbasis Area Isi dan Ilmu. Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Yunidar. 2012. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Malang: Surya Pena Gemilang. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 471 IMPLEMENTASI KONTEKS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2013 Teti Sobari STKIP Siliwangi Pos-el: [email protected] ABSTRAK Implementasi Konteks Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Berdasarkan Kurikulum 2013. Bahasa Indonesia sebagai pembawa pengetahuan harus menjadi pendorong dalam menumbuhkan kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotor peserta didik. Selain itu, melalui pembelajaran bahasa Indonesia akan terbentuk karakter peserta didik yang menjadi bekal dalam membangun bangsa. Selain itu dengan pembelajaran berbasis budaya akan tercipta pemertahanan negara. Konteks sikap sosial peserta didik terbentuk secara langsung dan tidak langsung melalui proses pembelajaran yang berorientasi budaya setempat. Konteks budaya akan mampu memupuk sikap dan nilai positif peserta didik melalui pembelajaran.Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya memperhatikan konteks sosial budaya lokal. Peserta didik akan mengenal dan melestarikan serta mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Teks yang disodorkan kepada siswa memiliki keterkaitan dengan budaya tertentu. Melalui teks peserta didik diperkenalkan berbagai budaya nasional dengan tujuan untuk mengenal dan memahami keragaman budaya. Ketika belajar bahasa Indonesia maka siswa belajar budaya nasional melalui pemahaman teks.Teks sebagai saluran budaya yang digunakan dalam pembelajaran menjadi modal utama dalam pembentukan nilai-nilai sosial budaya. Kurikulum 2013 mengunggulkan karakter sebagai unggulan kompetensi akhir peserta didik. Kompetensi inti dan kompetensi dasar menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi konteks sosial budaya. Dengan demikian, Kurikulum 2013 menyelaraskan dengan kebutuhan guru dan peserta didik sehingga dapat mewujudkan konteks sosial budaya setempat yang didukung oleh sikap demokratis, kreatif, dan toleransi. Dengan sikap dan nilai konteks sosial budaya setempat akan terjalin harmonisasi pembelajaran yang diperankan guru beserta peserta didik. Implementasi budaya dalam pembelajaran bahasa Indonesia harus diselaraskan dengan pendekatan scientifik yang menjadi panduan pelaksanaan proses pembelajaran menurut Kurikulum 2013. Pada setiap kegiatan pendekatan scientifik perlu memperhatikan kompetensi sikap yang akan dicapai. Di samping itu pembelajaran bahasa Indonesia sebaiknya mengenalkan budaya setempat sebagai bahan ajar yang diimplementasikan dalam pembelajaran melalui teks sebagai medianya. Kata kunci : konteks sosial budaya, pembelajaran bahasa indonesia, kurikulum 2013. 472 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PENDAHULUAN Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran inti pada semua tingkat pendidikan baik pendidikan dasar maupun menengah. Untuk itu, muatan pembelajaran bahasa Indonesia harus mengacu pada berbagai kegiatan dengan menekankan pada aspek budaya, karakter, teks, keterampilan, pengetahuan, kompetensi, dan tema. Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks melalui metodologi pembelajaran dengan tahap membangun konteks, pemodelan, membangun teks secara berkelompok, membangun teks secara mandiri. Teks merupakan komponen bahasa yang mengandung ide serta informasi dengan struktur yang sistematis dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Mahsun (2013) bahwa dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks (Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013,Posted Tue, 04/23/2013 - 11:52 by sidiknas) Pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 yaitu berbasis teks. Teks merupakan salah satu genre. Pada konteks budaya yang lebih luas, genre adalah proses sosial yang berorientasi pada tujuan yang dicapai secara bertahap atau konteks budaya yang melatarbelakangi lahirnya teks. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 sangat memperhatikan keragaman budaya yang ada di masyarakat. Kompetensi Inti 3 yang terdapat pada Kurikulum 2013 mengandung konteks budaya sebagai bahan ajar sehingga peserta didik mampu memahami, menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan berdasarkan rasa ingin tahunya. Dalam Kompetensi Dasar unsur budaya diperkenalkan melalui teks tulisan maupun lisan melalui pembelajaran yang berbasis tema. Penggunaan bahasa berdasarkan konteks situasi bentuknya sangat beragam. Dengan demikian penggunaan bahasa disesuaikan dengan situasi dan daerah yang beragam. Setiap daerah memiliki ragam bahasa yang dipengaruhi oleh budaya setempat atau ragam budaya yang dipengaruhi bahasa setempat. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 473 Budaya daerah merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan mencerminkan kehidupan sosial di wilayahnya. Hal-hal yang termasuk budaya daerah diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan. Konteks Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Konteks budaya yang menjadi bahan ajar dalam kurikulum 2013 meliputi konteks kearifan lokal dan sikap serta nilai-nilai sebagai pemenuhan tujuan pembelajaran. Kearifan lokal dan sikap serta nilai yang menjadi bahan ajar dalam kurikulum 2013 meliputi pengenalan kesenian daerah nusantara ( pakaian, tarian, alat kesenian, dan rumah daerah), sistem sosial, keberagaman beragama, dan keberagaman mata pencaharian. Menurut E.B. Taylor (Suriasumantri, 1996: 261), kebudayaan merupakan keseluruhan aspek kehidupan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya Kuntjaraningrat (1996: 92) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Dengan demikian yang dimaksud kebudayaan adalah seluruh aspek kehidupan masyarakat yang dijadikan landasan dalam berkehidupan sosial. Kebudayaan masyarakat dapat mewariskan nilai-nilai kehidupan yang sesuai dengan konvensi pengguna budaya setempat. Selanjutnya wujud kebudayaan dibagi menjadi 3, yaitu: a. Suatu kompleks ide,gagasan,nilai,norma, peraturan dan sebagainta. b. Suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. c. Suatu benda-benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat, 2009: 150). Pewarisan budaya tersebut salah satunya melalui pendidikan yang diintegrasikan dalam setiap pembelajaran. Dengan demikian pembelajaranlah yang menjadi ruh lestari dan bertahannya budaya. 474 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kebudayaan dapat digolongkan berdasarkan sistem sosial, sistem kehidupan beragama, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem perangkat kehidupan, sistem bahasa, dll. Pembelajaran Bahasa Indonesia harus berorientasi budaya melalui teks sebagai pembangun konteks pembelajaran. Peserta didik memahami dan mengenal budaya berbagai daerah yang dikenal dengan kearipan budaya lokal. Implementasi nilai-nilai budaya dalam pembelajaran tidak terlepas dari peran pemerintah dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Melalui pembelajaran ini maka peserta didik akan mengenal dan melestarikan budaya daerahnya sebagai budaya tradisi nusantara. Budaya diwariskan melalui kehidupan sosial masyarakat pengguna bahasa. Budaya sebagai media penyambung pelestarian budaya antara peserta didik dengan konteks budaya melalui pembelajaran. Peserta didik sebagai penerus bangsa merupakan generasi yang memiliki eksistensi dalam pemertahanan budaya. Peserta didik sangat memegang peranan penting dalam proses pelestarian dan pemertahanan budaya. Namun, arus globalisasi budaya luar sangat kuat mempengaruhi karakter peserta didik. Dalam mengantisifasi hal tersebut maka pendidikan dan pembelajaran sebagai modal utama membentuk jati diri peserta didik. Pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan aspek budaya dan kearifan lokal dengan mengintegrasikan nilai-nilai dalam pembelajaran melalui teks. Hal ini dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai budaya lokal dalam kehidupan peserta didik dan juga untuk menangkal budaya global dalam mempengaruhi mental peserta didik. Selain teks, pengenalan budaya atau kearifan lokal juga dilakukan melalui multi modal atau gambar. Melalui gambar atau media pengenalan dan pelestarian budaya dapat diciptakan dalam pembelajaran yang berorientasi karakter. Aktivitas pembelajaran harus menumbuhkan aktivitas dan kreativitas siswa dengan menciptakan pembelajaran yang bervariatif. Melalui pengenalan teks peserta didik dapat memahami, menganalisis, serta memproduksi berbagai jenis teks. Konten teks yang menjadi bahan kajian meliputi struktur dan ciri bahasa teks. Jenis teks menurut kurikulum 2013 meliputi teks anekdot, teks eksposisi, teks laporan hasil observasi, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerpen, teks drama, teks eksemplum, teks deskriptif, teks editorial, teks naratif, teks prosedur kompleks, teks deskripsi, teks editorial, dll. Semua teks tersebut termaktub dalam kurikulum 2013 pada jenjang SD, SMP, dan SMA/MA/SMK. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 475 Pada Kurikulum 2013 budaya diintegrasikan dalam pembelajaran dengan mengacu pada ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini tercantum dalam Buku Siswa yaitu Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berbahasa yang dituntut tersebut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang jenis, kaidah dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan baik terencana maupun spontan, dan bermuara pada pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta sikap penghargaan terhadap Bahasa Indonesia sebagai warisan budaya bangsa.(2013:v) Implementansi Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2013 Berdasarkan kurikulum 2013 Bahasa Indonesia adalah penghela ilmu pengetahuan (carrier of knowledge) artinya bahwa pembelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan berbagai ilmu pengetahuan. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks merupakan pembelajaran yang mengedepankan pemahaman siswa terhadap teks. Melalui teks siswa mengenal ilmu pengetahuan yang lain. Bentuk teks menurut kurikulum 2013 yaitu lisan, tulisan, dan multi modal. Dengan demikian, siswa diharapkan memiliki kemampuan memahami berbagai bentuk teks dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Perbedaan Kurikulum 2013 dengan Kurikulum KTSP salah satunya adalah adanya Kompetensi Inti. KI dalam Kurikulum 2013 merupakan gambaran mengenai kemampuan yang harus tercapai yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan melalui pembelajaran aktif, kreatif, dan produktif. Kompetensi Dasar merupakan kompetensi yang dikembangkan secara akumulatif, saling memperkuat (reinforcement), dan memperkaya (enriched) untuk mencapai kompetensi dalam kompetensi inti Kompetensi Inti Bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2013 pada kelas X SMAmeliputi KI 1: Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya KI 2: Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam 476 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia KI 3: Memahami, menerapkan, menganalisis dan mengevaluasi pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah KI 4: Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan Prinsip pembelajaran bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2013 adalah Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia (Depdikbud, 2013: v) Proses pembelajaran menurut kurikulum 2013 harus menggunakan pendekatan sientifik yaitu pembelajaran yang menekankan aspek ilmiah. Peserta didik dibawa ke dalam situasi berfikir ilmiah. Pembelajaran harusmenyentuh tiga ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhir pembelajaran melahirkan kompetensi kreatif, produktif, inovatif, dan afektif. Langkah pembelajaran sientifik meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengomunikasikan. 1) Kegiatan mengamati merupakan kegiatan yang mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 learning). Kelebihan mengamatiyaitu 477 menyajikan media sebagai objek yang nyata, peserta didik merasa senang dan tertantang, selain itu juga mudah dilaksanakan. Kelematahan mengamati yaitu memerlukan waktu persiapan yang lama, biaya serta tenaga yang cukup banyak, dan apabila peserta didik tidak memahami maka akan melenceng dari tujuan pembelajaran. Kegiatan mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan melakukan observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru. Depdikbud (2013:28) Langkah-langkah kegiatan mengamati dalam Modul Pelatihan Guru Bahasa Indonesia (2013: 28) meliputi : a) Menentukan objek apa yang akan diobservasi b) Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi c) Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder d) Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi e) Menentukan secara jelas bagaimana observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar f) Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya. Pada kegiatan mengamati kompetensi sikap yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikiri nduktif serta deduktif dalam menyimpulkan. 2) Kegiatan menanya Kegiatan belajarnya meliputi kegiatan menyampaikan rumusan pertanyaan yang merupakan hasil dari rekontruksi pengetahaun yang sudah dipelajari dengan pengetahuan baru yang sedang dipelajari. Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pertanyaan dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. 478 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 3) Kegiatan mengumpulkan informasi/eksperimen Kegiatan belajarnya meliputi melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian, aktivitas, dan wawancara dengan narasumber. Kompetensi yang dikembangkan meliputi Mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belaja sepanjang hayat. 4) Kegiatan mengasosiasikan/mengolah Kegiatan belajarnya meliputi mengolah informasi yang sudah dikumpulkan, baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan . 5) Kegiatan mengomunikasikan. Kegiatan belajarnya yaitu menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnnya. Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. PENUTUP Bahasa Indonesia sebagai pembawa pengetahuan harus menjadi pendorong dalam menumbuhkan kecerdasan kognitif, afektif, maupun psikomotor peserta didik. Konteks sikap sosial peserta didik terbentuk secara langsung dan tidak langsung melalui proses pembelajaran yang berorientasi budaya setempat. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya memperhatikan konteks sosial budaya lokal. Peserta didik akan mengenal dan melestarikan serta mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya diintegrasikan dalam pengenalan teks. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 479 Teks sebagai saluran budaya yang digunakan dalam pembelajaran menjadi modal utama dalam pembentukan nilai-nilai sosial budaya. Kurikulum 2013 mengunggulkan karakter sebagai unggulan kompetensi akhir peserta didik. Kompetensi inti dan kompetensi dasar menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi konteks sosial budaya. Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya dapat menumbuhkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosial peserta didik. Dengan memahami nilai-nilai budaya pembelajaran dapat menunjang kreativitas guru dan siswa sehingga dapat meningkatkan kompetensi guru dan siswa. Dengan demikian Kurikulum 2013 perlu menyelaraskan dengan kebutuhan guru dan peserta didik sehingga dapat mewujudkan konteks sosial budaya setempat yang didukung oleh sikap demokratis, kreatif, dan toleransi. Dengan sikap dan nilai konteks sosial budaya setempat akan terjalin harmonisasi pembelajaran yang diperankan guru beserta peserta didik. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik untuk SMA Kelas X. Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif Depdikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Ilmu Pengetahuan untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif Depdikbud. 2013. Silabus SMA/SMK/MA. Depdikbud Depdikbud. 2014. Modul Pelatihan Bahasa Indonesia. Depdikbud Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Mahsun. 2013. Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013. Posted Tue, 04/23/2013 – 11:52 by sidiknas Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 480 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL AYAHKU BUKAN PEMBOHONG KARYA TERE LIYE Tri Wahyuni M dan Ratu Badriyah Universitas Terbuka Pos-el: [email protected]/[email protected] [email protected]/[email protected] ABSTRAK Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya Tere-Liye. Pesatnya laju globalisasi telah mengubah karakter manusia ke arah yang memprihatinkan. Keprihatinan ini menyangkut perubahan berbagai sisi kehidupan baik pola asuh, pola hidup, maupun gaya hidup. Akibat perubahan tersebut terbentuk sikap hidup manusia dari yang tadinya damai menjadi gelisah, dari bersahaja menjadi ingin serba ada, dari berpikir sederhana menjadi rumit, dan dari bersyukur menjadi takabur. Novel ―Ayahku Bukan Pembohong ― karya Tereliye memberi solusi cara membentuk karakter anak. Di dalamnya berisi banyak cara belajar tentang membentuk karakter anak menjadi positif melalui contoh cerita, keteladanan, dan perilaku positif yang ditanamkan seorang ayah kepada anaknya. Kata kunci: novel dan pendidikan karakter PENDAHULUAN “Kau seharusnya lebih sering memeluk ayah kau, Dam.” …………”Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk ayah mereka sendiri setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.”…….Sedikit sekali anak laki-laki yang memeluk ayahnya sendiri. Padahal boleh jadi ayah mereka kesepian di usia tua. (Tere Liye :256) Ayahku-Bukan-Pembohong. Novel ini menceritakan kehidupan seorang anak laki-laki semata wayang yang bernama Dam. Dam memiliki ayah yang dikenal sebagai sosok sederhana dan jujur. Kesederhanaan dan kejujurannya sangat terkenal di kotanya sehingga hampir semua orang di kota mengenal sifat-sifat lulusan master terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa itu. Ayah Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 481 lebih memilih menjadi pegawai golongan menengah dari pada berkedudukan sebagai hakim agung atau pejabat tinggi. Ayah Dam lebih memilih jadi orang biasa dengan hidup sederhana. Kesederhanaan hidup itulah yang telah ditanamkan kepada Dam sejak kecil. Ketika muda, ayah Dam seorang petualang. Kisah petualangan ayahnyalah yang menjadi bahan cerita menarik bagi Dam. Bukan hanya sekedar itu, Ayah Dam juga berhasil menjadikan kisah petualangannya sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan menjadi strategi yang dia terapkan sehari-hari dalam memaknai hidup. Ayah Dam mendidik Dam dengan strategi mendongeng yang berbentuk kisah petualangannya bersama Suku Penguasa Angin, Lembah Bukhara, Kisah Si Nomor Sepuluh, Kisah Si Raja Tidur, dan Danau Para Sufi. Kisah-kisah itulah yang menjadi sumber inspirasi Dam sehingga bagi Dam yang sejak kecil tak pernah dimanjakan dengan hadiahhadiah, kisah-kisah ayahnya menjadi salah satu hal terbaik yang bisa ia dapatkan sampai suatu saat ibunya meninggal ketika usia Dam masih duduk di kelas terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Kematian ibunya telah mengubah pandangn Dam terhadap ayahnya. Dam yang biasa senang mendengarkan kisah petualangan ayahnya sebagai sumber motivasi akhirnya mengkristal dan membalik menjadi kebencian terhadap ayahnya karena terlintas pada pikiran Dam, andai mereka punya uang, dan ayahnya sungguh-sungguh dapat mengobati penyakit ibunya, tentu ibunya akan terselamatkan. Melihat kondisi ibunya yang kesakitan di rumah sakit dengan kepala digundul dan beberapa kabel mengitarinya ia menjadi marah kepada ayahnya. Mulailah ia berpikir bahwa ayahnya hanya mengarangngarang semua cerita yang didengarnya sejak kecil hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Ia menuduh ayahnya telah membiarkan penyakit ibunya. Dam menganggap bahwa cerita-cerita ayahnya hanya dikarang-karang untuk menutupi ketidakmampuannya dalam mengobati penyakit ibunya. Menurut Dam, dengan mencekoki Dam berbagai kisah bertujuan agar kesederhanaan dan ketidakberdayaannya dapat dimaklumi. Kebencian Dam kepada ayahnya belum hilang sampai Dam mengusir ayahnya yang ketahuan menceritakan kisah-kisah yang sama kepada anak- 482 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 anak Dam sampai ayahnya ditemukan menjelang kematiannya di pemakaman tempat ibunya dimakamkan. Klimaks cerita Dam sadar kembali tentang kebaikan ayahnya tetapi sia-sia, karena ayahnya telah meninggal. Kutipan novel Tereliye pada awal tulisan ini, merupakan salah satu dari sekian kalimat yang termuat di dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong. Kutipan kalimat tersebut diletakkan pada bagian penting untuk mengingatkan kita bahwa kesibukan arus zaman telah melupakan hal-hal kecil yang sangat didamba oleh banyak orang. Meskipun kalimat tersebut ditujukan kepada masyarakat umum, bukan hanya generasi saat ini, ternyata ungkapan tersebut sangat menginspirasi. Betapa banyaknya lelaki yang karena sangat mementingkan logika daripada perasaannya mengakibatkan renggangnya kasih sayang dalam keluarga. Kehidupan di masa lalu (sebelum era globalisasi) tidak serumit yang kita hadapi masa kini. Dulu, perjalanan hidup seorang anak dari ia masih bayi hingga membentuk keluarga lagi adalah proses yang sangat sederhana. Seperti misalnya masa seorang anak dilahirkan, dapat bermain di masa kecil, latihan bekerja, menjadi pekerja, menikah, dan punya anak, begitu seterusnya. Pendidikan formal yang ada pun tidak kalah kiprahnya oleh pendidikan nonformal yang ada. Mereka belajar mengaji dan belajar bela diri di sela-sela latihan bekerja di rumah bagi anak-anak laki-laki, dan belajar mengaji dan keterampilan wanita bagi anak-anak perempuan. Kegiatan mereka memang sangat sederhana, tetapi tetap penuh pembelajaran. Mereka belajar mengenai sifat-sifat manusia baik dan buruk melalui dongeng. Bayangkan kesempatan mendengarkan dongeng, sekarang ini sudah langka. Mereka juga rata-rata dapat memperkuat hidupnya melalui belajar berbagai keterampilan. Yang wanita sedari kecil sudah belajar memasak, menjahit, dan lain-lain yang memperkuat kemampuan wanita. Yang pria juga demikian dengan belajar bercocok tanam, memelihara hewan sebagai bekal pencari nafkah kelak. Di samping itu mereka juga belajar ilmu-limu lainnya, seperti mengaji, berenang, bela diri, dan membaca melalui sekolah formal dan nonformal, sehingga pada saatnya mereka sudah terbentuk menjadi wanita handal untuk menjadi ibu, dan pria handal untuk menjadi ayah. Dari keseharian belajar yang mereka lalukan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 483 telah terbentuk nilai kejujuran, tanggung jawab, kemandirian melalui keteladanan yang diberikan orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat pada masa itu. Begitu sederhananya hidup. Tidak ada yang perlu dirisaukan oleh orang tua mengenai anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang membiarkan anakanaknya (tanpa sentuhannya) berproses dalam kehidupan, sehingga akhirnya mencapai kedewasaannya sendiri, dengan hanya mempercayakan pada lingkungan tempat anak berada. Pendidikan Karakter Berbeda halnya kehidupan yang kita hadapi sekarang. Perjalanan hidup seorang anak sampai dewasa sangat menuntut campur tangan orang tua atau lingkungan terdekatnya. Setiap hari orang tua direpotkan dengan berbagai hal yang berkenaan dengan anak-anaknya. Hal itu terjadi bukan hanya saat anak masih usia balita yang memang memerlukan bantuan, tetapi sampai sang anak menjadi dewasa pun sering masih dibantu dalam menyelesaikan tugas-tugas keseharinnya, bahkan untuk urusan mendapatkan pekerjaan atau lebih dari itu. Itulah salah satu penyebab anak-anak masa kini menjadi anak-anak yang kehilangan kemandiriannya. Itulah alasan penulis ingin mengajak pembaca melihat Novel Tere Liye yang berjudul Ayahku Bukan Pembohong. Benarkah novel tersebut dapat membentuk karakter? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita bahas dulu apakah pendidikan karakter. Sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara, (Suyanto 2009). Jadi pendidikan karakter adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk membentuk cara berpikir dan berperilaku seorang 484 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 siswa sehingga perilaku tersebut mengakar kepada individu tersebut dan muncul sebagai ciri khasnya. Membentuk ciri khas seseorang yang berperilaku baik memang membutuhkan usaha sadar karena hasilnya bukan sebentar tetapi akan terwujud dalam jangka panjang. Panjangnya waktu yang dibutuhkan dan rutinitas yang dilakukan dapat melampaui masa sekolah anak dalam beberapa jenjang. Bisa jadi mulai dari TK sampai SLTA atau lebih. Di samping itu rutinitas juga diperlukan karena kegiatan yang tidak rutin tentu tidak akan seberhasil latihan yang rutin. Ada 18 nilai atau sifat yang seharusnya ada pada seseorang yang karakternya baik yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Novel Pengertian novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. (hal. 788) Sugihastuti dan Suharto berpendapat, bahwa novel merupakan struktur yang bermakna. Novel bukan sekedar serangkaian tulisan yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang bermakna yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. (hal. 43) Selain itu Hoed berpendapat, bahwa novel adalah karya kreatif yang menyajikan bukan kenyataan di dunia ini, tetapi perlambangan dari kenyataan itu (hal. 6). HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi dan Analisis Berikut adalah nilai-nilai atau sifat pendidikan karakter yang terkandung dalam novel Ayahku Bukan Pembohong. Toleransi― Ayah tertawa, menyuruhku duduk.‖, Dam, jangan-jangan malam ini jika sang Kapten kalah, Kaulah yg paling sedih sedunia.‖ Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 485 Dan Ayah benar. Ayah benar, aku tiba-tiba menjadi orang paling sedih sedunia‖…….(hal.10) Jujur, toleransi ―Tidak mengapa, Dam, tidak mengapa.‖ Ayah mengelus rambutku, menghibur. ‖Kau tahu, kekalahan seperti ini justru baik bagi mereka. Agar mereka bisa menilai kembali kelebihan dan kekurangan tim. Sang kapten tahu persis, cepat atau lambat, mereka pasti kalah, hanya soal waktu.‖ (hal.11) Gemar membaca Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, ayah sudah suka bercerita. Ia menghabiskan banyak waktu menemaniku, membacakan bukubuku.‖ (hal.12) Religius, toleransi, peduli lingkungan, dan peduli sosial Aku menyeka ujung mata, teringat walau ayah bertahun-tahun bercerita tentang petualangan hebatnya, tidak sekalipun kami pernah pergi jauh dari rumah. Ayah tidak punya cukup uang untuk pelesir. Uang Ayah dihabiskan untuk hal yang lebih berguna (menurut versi Ayah), membantu tetangga, menyumbang apalah. (hal.228) Ayah ikut mnyetujui kalimat ibu. ―Ibu kau benar, kita bisa lanjutkan besok lusa.‖ Dan Ayah beranjak membereskan meja (hal.17) Bersahabat/komunikatif,cinta damai Tidak ada terapi yang bisa membuat ibu kau sembuh seratus persen. Satusatunya yang membuat ibu kau bertahan lama adalah rasa bahagianya.‖ (hal.232) Definisi kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita amat berbahagia.‖ (hal.233) Motivasi, toleransi, kerja keras, sederhana …‖Apa yang dini hari tadi ayah bilang? Sang kapten pernah menjadi tukang antar sup jamur dengan sepeda? Itu kabar hebat, sama denganku yang setiap hari harus mengayuh sepeda ke sekolah.. (20) 486 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Sabar, tanggung jawab, sederhana, tidak mengeluh, peduli ―Dua puluh tahun ibu hidup apa adanya. Sehat empat bulan, jatuh sakit satu dua minggu. Aku tidak pernah melihat ibu tertawa bahagia, kecuali tersenyum atau menangis terharu. Ibu tidak pernah ke mana-mana selain rumah kecil kita. Tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah. Rutinitas yang sama setiap hari, itu-itu saja. Kehidupan ibu hanya di sekitar itu. Ibu tidak pernah bahagia. Ibu boleh jadi bosan, tetapi dia tidak pernah mengeluh.‖ (hal.233) ―Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku. Ia langsung mengantarku ke klub renang kota kami.‖ (22) …..‖Si Raja Tidur benar, dengan perasaan bahagia ibu kau bisa bertahan begitu lama. Dia bahkan bisa melihat kau sekolah di Akademi Gajah, melihat Sang Kapten bermain di kota kita, melihat kau memenangkan piala renang, dan melihat kau tumbuh dengan pemahaman hidup yang berbeda dibandingkan jutaan orang lain (hal.234). ―Kau seharusnya lebih sering memeluk ayah kau, Dam.‖ Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk ayah mereka sendiri setelah setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.‖anak laki-laki (hal.256). … Mereka sibuk bertanya dari mana ide desain cemerlang itu. Aku hanya tersenyum kaku, berbohong. Sebenarnya, meskipun membenci ceritacerita ayah, aku selalu menjadikannya sumber inspirasi tidak terbatas. Ceritacerita yang kudengar saat kanak-kanak itu berubah menjadi imajinasi tentang bangunan, bentuk lengkung, bentuk runcing, dan trik arsitektur tidak terbayangkan. (hal.268) Jujur ―Tidak semua cerita ayah buruk, Dam. Bahkan itu bisa mendidik anakanak lebih baik. Kau lupa, kau mewarisi tabiat baik dari cerita-cerita itu. Seluruh penghuni kompleks ini mengenal kau. Dam yang ramah, baik hati, dan Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 487 ringan tangan membantu. Dam selalu menyapa, Dam pandai mendamaikan pertengkaran. Coba kau tanya sopir angkutan umum di terminal, mereka tahu rumah Dam Sang Arsitek tidak? Mereka bahkan dengan senang hati mengantar tamu yang bertanya ke rumah kita. Dan kau lupa, Ayah dikenal di seluruh kota sebagai pegawai yang jujur dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan pejabat tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela. Tidak pernah berbohong.‖ (hal.273) Bukankah kau jadi perenang andal setelah mendengar cerita tentang Sang Kapten? Kau jadi ingin tahu dunia luas dan menyayangi alam sekitar saat mendengar cerita Lembah Bukhara. Bahkan yang paling sederhana, kau membenci rokok dan perbuatan tidak berguna lainnya setelah mendengar cerita seperti suku Penguasa Angin. (275) Disiplin, tanggung jawab, bekerja keras, sederhana, tidak mudah putus asa. Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta benda, ketenaran, apalagi kekuasaan. Tidak perduli berapa jahat dan merusak sekitar, tidak perduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu akan bening kembali. ―Dia menikah dengan ayah enam bulan kemudian. Ayah membawanya ke Raja Tidur setahun kemudian, mendengarkan kesimpulan menyedihkan itu. Kami bicara malam itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun lagi, tidak masalah. Dan kau lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat melihat kau menangis menyambut kehidupan membuat ibu kau bertahan enam tahun. Kau masuk sekolah, mengenakan seragam, itu membuatnya bertahan tiga tahun lagi. Kau SMP, kau masuk Akademi Gajah. Ibu kau bertahan lebih lama dibandingkan perkiraan si Raja Tidur. Ibu kau bahagia, Dam, meski harus melupakan hari-hari hebatnya. Meski hidup sederhana, tidak memiliki perhiasan, ke mana-mana naik angkutan umum. Dia paham, dan dia memilih jalan itu, karena Ayah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu. Keteladanan, sikap baik 488 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 ―Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang yang baru dikenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar. Itu jalan hidup ayah. Dan itu juga yang dipilih ibu kau (hal.294) Motivasi Tubuhku lemas. Tangan dan kakiku semakin berat digerakkan. Ayolah, aku mendesis. Bukankah ayah tadi malam bilang sang Kapten tidak pernah menyerah? Semangatnya tidak pernah patah meskipun kakinya patah ditebas lawan. Karena itulah El Capino sejati (hal. 27) Aku menyeringai. Aduh, sepertinya Ayah tidak akan melanjutkan cerita kalau aku tidak mau meminumnya. Baiklah, enam tegukan cepat, gelas dalam genggamanku kosong. Aku perlihatkan pada ayah…(14) Motto untuk selalu berbuat baik ―Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus terus berlanjut, tidak peduli seberapa menyakitkan atau seberapa membahagiakan, biarkan waktu yang menjadi obat. Kau akan menemukan petualangan hebat berikutnya di luar sana (242). Sabar dan bijaksana Kau pasti Dam.‖Gadis itu sudah tertawa.‖ Tidak ada mahasiswa yang akan ringan hati memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau sekedar menyeringai datar ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan kebaikan sedetil itu. Kau pasti Dam (244). Optimistis/motivasi Tepatnya sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan, dan sejenisnya. Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita ayah, masakan special ibu, dan jenis hadiah yang tidak lazim kalian bayangkan. Kau sungguh tidak mau hadiah? Ayah menggoda. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 489 Aku terdiam. ―Aku ingin ibu lekas sembuh.‖ Ayah tersenyum, menepuk lututku.‖Itu bukan hadiah Dam, Itu keniscayaan.‖ Aku mengangguk. Ayah selalu cerita tentang optimisme. (97) SIMPULAN Berdasarkan isi novel tersebut dapat dikatakan bahwa pembentukan karakter dapat dilakukan melalui karya sastra berbentuk novel. Karya sastra berisi gambaran kehidupan seseorang atau sekelompok orang/masyarakat dengan segala kondisi yang melibatkan emosi, pikiran, dan wawasannya. Artinya gambaran kehidupan tersebut semakin lengkap tergambar semakin memenuhi aspek positif, atau sikap positif. Sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sifat-sifat positif pada diri seseorang/siswa tercermin dalam perilakunya. Sifat atau nilai positif dalam kehidupan seseorang adalah sebagai berikut. Nilai positif yang erat dengan diri sendiri: disiplin, suka bekerja keras, ulet, serta jujur. Nilai positif yang berkaitan dengan orang di luar diri: setia kawan, kekeluargaan, rela berkorban, selalu menyelesaikan tanggung-jawab dengan baik, penolong, berani membela kebenaran, serta memiliki toleransi yang tinggi kepada orang lain. Nilai positif yang berkaitan dengan materi: hemat, gemar menabung, dan hidup sederhana. Nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan: bertakwa kepada Tuhan, selalu mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang oleh-Nya. (school-press.com/2009). Atas kesetaraan antara nilai positif yang terdapat pada karya sastra dengan pendidikan karakter, maka karya sastra dapat dijadikan bahan atau media dalam pembentukan karakter pembaca, khususnya siswa remaja yang masih mencari identitas diri. 490 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Novel Ayahku Bukan Pembohong mengandung nilai-nilai atau sifat dalam pendidikan karakter, yaitu toleransi, jujur, gemar membaca, religius, bersahabat, motivasi, kerja keras, jujur, disiplin, keteladanan, dan tanggung jawab. DAFTAR PUSTAKA Hoed, Beny. . 1992 Kala dalam Novel . Yogyakarta: Gajah Mada University Press, http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/ (school-press.com/2009). Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia .1998. Jakarta: Balai Pustaka Sugihastuti, dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Tere-Liye . 2011. Ayahku Bukan Pembohong Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 491 KARAKTER DEMOKRASI DALAM UNGKAPAN DAN PERIBAHASA BAHASA SUNDA DAN INDONESIA Umi Kulsum Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat Pos-el: [email protected] ABSTRAK Karakter Demokrasi dalam Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Sunda dan Indonesia. Ungkapan budaya yang dihasilkan oleh para pendahulu tentu didasari pula oleh tujuan dan niat baik untuk mendidik dan membentuk karakter pribadi yang unggul bagi siapa pun yang mau mempelajarinya. Dalam tulisan ini dibahas ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda dan Indonesia yang mengandung dan terkait dengan karakter demokrasi (karakter nomor 9). Demokrasi dipilih sebagai topik karena karakter ini erat kaitannya pemerintahan yang melibatkan orang banyak (negara) dan demokrasi menjadi sesuatu yang akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Masalah dalan tulisan ini adalah (1) peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia apa saja yang berhubungan dengan karakter demokrasi? (2) Bagaimana budaya Sunda dan Indonesia (Melayu) terkait dengan demokrasi yang dinyatakan dalam ungkapan dan peribahasa? Tulisan in dapat dijadikan masukan untuk pembuatan bahan ajar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif. Metode yang digunakan dalam kajian ialan tulisan ini adalah metode padan referesial. Dari sumber data yang ada terkumpul sebanyak 46 ungkapan dan peribahasa yang mengandung atau berhubungan dengan demokrasi yang dapat dipilah atas beberapa bagian. Kata Kunci: demokrasi, ungkapan, peribahasa PENDAHULUAN Kearifan lokal budaya Indonesia merupakan butir-butir kecerdasan dan kebijaksanaan yang dihasilkan oleh masyarakat budaya Indonesia. Mempelajari, menghayati, dan mengembangkan budaya sendiri akan menghasilkan kecerdasan bagi para pelakunya karena mereka terlibat langsung dalam penciptaan budayanya melalui pengalaman hidup yang dijalani bersama. Agar kearifan lokal tetap dimiliki masyarakat pendukungnya, pewarisan bahasa daerah perlu dilakukan sebab kearifan lokal yang terkandung dalam bahasa daerah dapat menjadi penyaring derasnya arus budaya global yang masuk ke Indonesia. Selain itu, penguasaan budaya dan pengetahuan akan membentuk kemampuan logika. Dengan demikian, bahasa daerah berperan dalam mengembangan kecerdasan masyarakat Indonesia. 492 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Kearifan lokal adalah nilai-nilai terbaik yang merupakan norma-norma sosial suatu masyarakat. Kearifan lokal berarti etika masyarakatnya (Soemarjo dalam Rahyono 2011). Kearifan lokal suatu masyarakat (biasanya) dapat dilihat dari budaya, tatanan hidup, dan peradaban masyarakatnya sebagai hasil dari sebuah pemikiran masyarakat pendahulunya. Ungkapan budaya yang dihasilkan oleh para pendahulu tentu didasari pula oleh tujuan dan niat baik untuk mendidik dan membentuk karakter pribadi yang unggul bagi siapa pun yang mau mempelajarinya. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam dalam sebuah bahasa adalah nilai-nilai yang dapat mengarahkan dan menganjurkan kepada hal-hal yang positif (berbudi pekerti luhur, saling menghargai antarsesama, dapat meningkatkan persaudaraan, kegotong-royongan, menumbuhkan semangat bekerja, dan dapat dijadikan pegangan dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat), dan mencegah serta melarang kepada hal-hal yang negatif (melegalkan pembunuhan, mengganggu ketentraman orang lain, berlaku tidak jujur, mengambil hak orang lain (rakus), sombong, berlaku tidak sopan, dan sebagainya). Dalam ungkapan dan peribahasa Sunda, banyak terkandung pesan moral yang baik. Hal itu baik yang berhubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta, manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia. Hubungan (antara manusia dengan sesama manusia) dalam masyarakat Sunda pada dasarnya harus dilandasi oleh sikap silih asah, silih asuh, dan silih asih, artinya ‗harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh dan saling mengasihi‘, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Prinsip hidup seperti itu tampak pada peribahasa ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak artinya hidup rukun ke mana pun bersama-sama, maknanya hidup tentram penuh dengan kedamaian dan selalu membina rasa kebersamaan (tidak egois). Demikian pula pada peribahasa lainnya ati putih badan bodas artinya bersih hati, tidak mempunyai niat jahat. Hal itu dimaknai dalam pergaulan hidup harus didasari hati yang bersih, tidak dilandasi niat jahat terhadap sesama. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 493 Data yang diambil untuk tulisan ini berasal dari ungkapan (babasaan: disingkat ukp) dan peribahasa (paribasa: disingkat prb) bahasa Sunda dan Indonesia. Peribahasa dimaknai sebagai n 1 kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dl peribahasa termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan); 2 ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku, sedangkan peribahasa dimaknai sebagai n 1 apa-apa yg diungkapkan: ~ kedua saksi itu benar adanya; 2 Ling kelompok kata atau gabungan kata yg menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering kali menjadi kabur); 3 gerak mata (tangan dsb), perubahan air muka yg menyatakan perasaan hati (Sugono, 2005). Menurut Tamsyah (2010:9), peribahasa di dalam bahasa Sunda diartikan, paribasa teh babandingan jadi perlambang lakuning hirup, ngawangun hiji omongan (runtuyan kecap) anu geus puguh entep seureuhna, geus puhug surupanana, sarta geus tangtu pokpokanana „peribahasa merupakan perbandingan yang menjadi lambang kehidupan, membangun suatu pembicaraan yang sudah tetap susunan kalimatkalimatnya‘. Berdasarkan unsur strukturnya, ungkapan dan peribahasa memiliki struktur dan pilihan kata yang cenderung ―beku‖. Bentuk tuturan bersifat tetap dan tidak berubah-ubah atau berganti konstituen pembentuknya. Jadi, dalam peribahsa dan ungkapan terdapat kata-kata kunci yang menjadi pokok pikiran budaya yang dikomunikasikan. Delapan belas karakter pendidikan yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayan adalah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghayati prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli sosial, (17) peduli lingkungan, dan (18) tanggung jawab. Dalam tulisan ini dibahas ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda yang mengandung dan terkait dengan karakter demokrasi (karakter nomor 8). Demokrasi dipilih sebagai topik karena karakter ini erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak yang harus dipahami oleh generasi muda sebagai penerus bangsa. Selain itu, data ini dapat menjadi masukan pemahaman para elite politik 494 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 terdapat esensi demokrasi yang telah dihasilkan oleh para leluhur kita. Ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda dan Indonesia apa saja yang mengandung dan terkait erat dengan demokrasi dicoba diungkap dalam tulisan ini. Selain itu, tulisan ini juga mengungkap budaya Sunda dan Indonesia terkait dengan demokrasi yang dinyatakan dalam ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda dan Indonesia. Masalah . Tulisan ini mengungkap beberapa kearifan lokal dalam bahasa Sunda, yaitu yang berupa peribahasa dan ungkapan yang berhubungan dengan salah satu dari delapan belas karakter pendidikan yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu demokrasi. Masalah dalan tulisan ini adalah (1) peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia apa saja yang berhubungan dengan karakter demokrasi? (2) Bagaimana budaya Sunda dan Indonesia (Melayu) terkait dengan demokrasi yang dinyatakan dalam ungkapan dan peribahasanya? Tujuan Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mendeskripsikan (1) peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia yang berhubungan dengan karakter pendidikan yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayan, yaitu demokrasi dan (2) mendeskripsikan budaya Sunda dan Indonesia (Melayu) terkait dengan pendidikan yang dinyatakan dalam ungkapan dan peribahasanya. METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif. Metode deskriptif dalam tulisan ini dipakai untuk memaparkan hasil temuan yang berupa peribahasan dan ungkapan yang berhubungan dengan karakter pendidikan, yaitu demokrasi. Pengambilan data dilakukan dengan studi pustaka, yaitu mengumpulkan peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda yang Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 495 mengandung atau berkaitan dengan demokrasi. Kemudian, data tersebut dicatat dan dikartukan. Metode yang digunakan dalam kajian ialan tulisan ini adalah metode padan referensial, yaitu salah satu metode yang terkait dengan makna dan refensial dari unsur kebahasan yang ada dari sebuah tuturan yang dikomunikasikan. Selain itu, data diungkap secara kontekstual, yaitu diungkap tidak hanya menampilkan makna kata-kata secara struktur, tetapi melibatkan maksud yang dinyatakan melalui ungkapan dan peribahasa tersebut (melibatkan makna di balik kata-kata pembentuknya). HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai karakter bangsa merupakan bagian dari pendidikan karakter yang merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan modal, dan pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Demokrasi dalam pendidikan karakter melingkupi cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia demokrasi dinyatakan sebagai berikut: de·mo·kra·si /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau sistem) pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Untuk keperluan tulisan ini demokrasi mengacu pada pengertian kedua dalam KBBI, yaitu gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara. Berdasarkan data yang ada, ungkapan dan peribahasa Sunda dan Indonesia yang terkait dengan demokrasi dapat diklasifikasikan atas beberapa jenis. Berikut pemaparan ungkapan dan peribahasa yang terkait dengan topik yang dibahas dalam tulisan ini. 496 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Musyawarah Musyawarah merupakan salah satu bagian dari demokrasi. Dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dikenal peribahasa dan ungkapan yang mengandung musyawarah. Berikut adalah peribahasa dan ungkapan dari bahasa Sunda yang mengandung maksud yang menganjurkan untuk musyawarah. (1) nangtung di kariungan, ngadeg di karageman (prb) musyawarah (2) adab biada (unk) berembuk, bermusyawarah Peribahasa dan ungkatan tersebut mengandung makna bahwa hendaknya musyawarah atau berembuk menjadi cara untuk memilih atau menyelesaikan masalah. Hal yang sama juga terdapat dalam peribahasa dan ungkapan bahasa Indonesia yang dapat dilihat pada contoh berikut. (3) bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat (prb) dalam mengambil keputusan hendaknya harus disetujui orang banyak (4) elok kata dalam mufakat, buruk kata diluar mufakat (prb) jika menghendaki sesuatu, sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu (5) bulat digilingkan, pipih dilayangkan (prb) telah menemukan kata mufakat dalam bermusyawarah (6) hilang adat, hilang mufakat (prb) mengubah suatu keputusan harus melalui kesepakan bersama (7) elok kata dalam mufakat, buruk kata di luar mufakat (prb) hendaknya apa yang dikerjakan itu dimufakatkan terlebih dahulu sebab jika tidak, bisa menimbulkan penyesalan. Adil Sikap adil merupakan bagian dari demokrasi. Peribahasa dan ungkapan Sunda yang mengandung hal yang terkait dengan sikap adil dapat dilihat pada contoh berikut. (8) adil para marta (unk) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 497 sangat adil, penyabar, dan berbudi luhur Ungkapan adil mara marta merupakan ungkapan untuk seorang raja atau pemimpin yang menjadi dambaan masyarakat, yaitu mempimpin atau menjadi raja dengan adil, sabar, dan berbudi luhur. Akan tetapi, ada beberapa ungkapan dan peribahasa yang justru bersifat sebaliknya, yaitu ungkapan dan peribahasa negatif yang menjadi sindiran untuk pejabat, pemimpin, atau siapa pun yang berbuat tidak adil. Contohnya dapat dilihat pada bentuk berikut. (9) ngeunah eon teu ngeunah ehe (prb) tidak adil karena salah satu pihak berbuat licik atau pandai membuat peraturan yang menguntungkan diri sendiri (10) sireum atulan (unk) tidak adil dalam membagian sesuatu atau tidak sama besarnya dalam membuat sesuatu (11) dengdek topi (unk) tidak adil dalam membuat keputusan, berat sebelah. Dalam peribahasa dan ungkapan bahasa Indonesia juga banyak ditemukan sikap adil. Contohnya dapat dilihat pada bentuk berikut. (12) membuang jauh-jauh, menggantung tinggi-tinggi (prb) dalam mengambil suatu keputusan hendaknya dilakukan secara adil (13) tangan mencencang, bahu memikul (prb) hanya orang yang bersalah yang akan diberi hukuman (14) putus gayung dibelebas (prb) orang yang berbuat jahat hendaknya dihukum sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya (15) bagai gendang ditabuh sebelah (prb) memberi kasih sayang kepada anak yang satu dengan anak yang lain secara tidak adil (16) sariat palu memalu, hakikat balas membalas (prb) membalas sesuatu hendaknya harus sesuai dengan apa yang diterima 498 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 (17) harga ditilik pada rupa, nilai dipandang atas patut (prb) menempatkan sesuatu hendaknya pada tempatnya (18) mengganti sama berat, mengukur sama panjang (prb) dalam mengambil keputusan hendaknya secara adil (19) salah bunuh memberi balas, salah cencang memberi pampas (prb) menghukum orang yang berbuat kesalahan hendaknya harus sesuai dengan jenis kesalahannya Delapan peribahasa bahasa Indonesia tersebut merupakan anjuran berbuat adil. Di bawah ini peribahasa yang bersifat sebaliknya, yaitu larangan atau peringatan untuk orang yang tidak berbuat adil dalam bahasa Indonesia. (20) santan masuk pasu, ampasnya tumpah ke tanah (prb) orang tua yang membeda-bedakan kasih sayang pada anaknya (21) tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di dada dibusungkan (prb) memutuskan persoalan yang tidak adil (22) timbangan berat sebelah (prb) keputusan yang tidak adil. Berdasarkan Pertimbangan dan Bukti Pertimbangan dan bukti erat kaitannya dengan demokrasi. Peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda yang mengandung hal yang terkait dengan pertimbangan dan bukti dapat dilihat pada contoh berikut. (23) kudu asak jeujeuhan (prb) harus banyak pertimbangan (24) caina herang laukna menang (prb) berhasil mewujudkan keinginan dengan tidak menyakiti hari orang lain atau tidak menimbulkan percekcokan (25) gutat caige (unk) berdasarkan atas bukti yang ditemukan Dalam bahasa Indonesia juga ada peribahasa yang menganjurkan untuk mempertimbangkan sesuatu sebelum bertindak. Hal tersebut dapat dilihat pada peribahasa berikut. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 499 (26) manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan (prb) setiap perkataan seseorang hendaknya dipikirkan terlebih dahulu, sebelum kita mengambil keputusan. Nasihat untuk Pemimpin Nasihat untuk para pemimpin tercantum dalam peribahasa Indonesia, dalam bahasa Sunda tidak ditemukan peribahasa atau ungkapan yang mengacu pada hal tersebut. Contoh peribahasa Indonesia yang mengandung nasihat untuk para pemimpin dapat dilihat pada contoh berikut. (27) rendah bilang-bilang diseluduki, tinggi kayu ara dilangkahi (prb) seorang penguasa dalam menjalankan pekerjaannya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku (28) besar hendak melanda, panjang hendak melindih (prb) menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat peraturan yang dapat mengakibatkan rakyat menjadi sengsara (29) Ingat yang di atas, yang di bawah akan menimpa (prb) pemimpin harus bersikap bijaksana, serta mengetahui, bahwa bawahannya juga bisa mendatangkan bencana (30) Kayu besar di tengah padang, tempat bernaung kepanasan, tempat berlindung kehujanan (prb) seorang pemimpin adalah tempat mengadu hal ikhwal pada anak buahnya. Sindiran untuk Orang yang Merasa Paling Benar dan Mementingkan Diri Sendiri Peribahasa dan ungkapan Sunda yang mengandung hal yang terkait dengan sikap yang merasa paling benar dan mementingkan diri sendiri dapat dilihat pada contoh berikut. (31) nyeupeul ngahuapan maneh (prb) membuat peraturan yang menguntungkan diri sendiri (32) bener aing teu deungeun (prb) merasa diri paling benar, orang lain tidak ada yang benar (33) 500 adu renyom (unk) Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 berebut pendirian, masing-masing merasa benar (34) aing-aingan (unk) mementingkan diri sendiri, tidak mau bersatu. Dalam peribahasa Indonesia justru berlaku sebaliknya. Ditemukan data yang menjelaskan pengutamaan kepentingan orang lain/orang banyak. Hal tersebut dapat dilihat pada contoh berikut. (35) mencampakkan batu ke luar (prb) orang yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari pada dirinya sendiri. (36) kata orang dibulati, kata bersama disepakati (prb) lebih mendahulukan kepentingan orang banyak, daripada kepentingan diri sendiri. Sesuai dengan Peraturan yang Berlaku Dalam mengerjakan sesuatu hendaknya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut tecermin dalam peribahasa Indonesia berikut. (37) panjang beri ruas, kalau pendek beri berbuku (prb) mengerjakan sesuatu hendaknya menaati peraturan yang berlaku. (38) lurus lubang, lurus penjolok (prb) jangan bertindak sewenang-wenang dan patuhilah peraturan yang berlaku. Keberagaman Konsep keberagaman tercantum dalam peribahasa Indonesia berikut (39) lain dulang lain kaki, lain orang lain hati yang maknanya adalah setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dalam bahasa Sunda pun ada peribahasa yang mengacu pada keragaman seperti halnya dalam bahasa Indonesia, yaitu (40) desa mawa cara nagara mawa tata dan (41) ciri sabumi cara sadesa yang maknanya adalah setiap tempat memiliki adatkebiasaan dan caranya masing-masing. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 501 Selain itu, ada juga peribahasa Sunda lainnya yang menunjukkan keragaman adat atau budaya. Hal tersebut terungkap dalam peribahasa berikut: (42) jawadah tutug biritna, sacarana-sacarana, ciri sabumi cara sadesa, yang artinya adalah adat kebiasaan tidak sama. Dari peribahasa-peribahasa tersebut tecermin bahwa budaya lokal sangat penting dalam kehidupan bernegara. Pendirian yang Tidak Tetap Pendirian yang tidak tetap tecermin dalam beribahasa Indonesia berikut (43) menyimpan embacang busuk yang maknanya adalah orang yang tidak memiliki pendirian tetap. Peribahasa lainnya adalah (44) bagai embun di atas daun yang maknanya adalah orang yang tidak memiliki pendirian tetap. Sindiran terhadap Penyuap Sindiran untuk penyuap sudah ada dalam peribahasa Sunda berikut: (45) Di mana kayu bungkuk, di sanalah hendak meniti yang maknanya orang yang bodoh ingin mendapatkan keuntungan dengan cara yang singkat, seorang pemalas yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan jalan menyuap. Hukum dan Adat Hukum dan adat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan (satu kesatuan). Hal tersebut dapat dilihat pada peribahasa berikut: (46) Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitab Allah yang maknanya adalah hukum dan adat tidak bisa dipisahkan. SIMPULAN Dari sumber data yang ada terkumpul sebanyak 46 ungkapan dan peribahasa yang mengandung atau berhubungan dengan demokrasi dengan komposisi 9 ungkapan dan 37 peribahasa. Peribahasa dan ungkapan Sunda berjumlah 25 dan peribahasa Indonesia berjumlah 26. Ungkapan dan peribahasa tersebut dapat dipilah menjadi beberapa hal, yaitu (a) musyawarah (7 data), (b) adil (15 data), (c) berdasarkan pertimbangan dan bukti (4 data), (d) nasihat untuk pemimpin (4 data), (e) sindiran untuk orang yang merasa paling benar dan mementingkan diri sendiri (6 data), (f) sesuai dengan peraturan yang berlaku (2 data), (g) keberagaman (4 data), (h) pendirian yang 502 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 tidak tetap (2 data), (i) sindiaran terhadap penyuap (1 data), dan (j) hukum dan adat (1 data). Dari jumlah pemilahan tersebut, dapat dinyatakan bahwa yang terkait dengan adil merupakan jumlah yang terbanyak, yaitu 15 data. Jadi, dalam bahasa Sunda unsur sindiran lebih banyak daripada unsur yang bersifat positif dalam karakter demokarasi dan hal ini berbeda dengan dalam bahasa Indonesia yang umumnya bersifat positif (bukan sindiran). Sangat menarik mengamati budaya Sunda dan Melayu melalui ungkapan dan peribahasanya. Banyak nasihat yang terkandung di dalamnya yang dapat menjadi pegangan dan acuan kehidupan bernegara (pemerintahan) di Indonesia dan daerah (regional). Saran Tulisan ini hanya menyampaikan ungkapan dan peribahasa yang terkait salah satu karakter yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu demokrasi. Tulisan ini dapat dikembangkan dengan analisis makna yang lebih mendalam (berdasarkan unsur pembentuknya) dan juga karakter ini dapat diamati dan dibandingkan dari sumber lainnya, seperti cerita rakyat, sisindiran, pantun, dan mantera. Selain itu, data ini dapat dijadikan bahan untuk muatan lokal atau pelajaran bahasa Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1985. Kamus Basa Sunda. Bandung: Terate. Sugono, Dendy. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Balai Pustaka. Tamsyah, Budi Rahayu. 1995. Kamus Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Bandung: Pustaka Setia. Rahyono, F. X . ―Ekspresi Budaya Demokrasi dalam Proposisi Berbahasa Ibu‖. Dalam SIBI 2011. Suwitaningrum, Retno. 2010. Buku Pintar Peribahasa Pantun dan Puisi. Surakarta: Putra Mandiri. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 503 RELEVANSI DONGENG PADA GAMBAR VISUAL ANAK Wanda Listiani dan Maylanny Christin Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung Universitas Telkom Pos-el : [email protected] [email protected] ABSTRAK Relevansi Dongeng pada Gambar Visual Anak. Dongeng dan menggambar merupakan salah satu cara untuk anak berlatih mendengar dan memvisualisasikan kembali cerita dalam bentuk gambar berdasarkan imajinasi anak tentang tokoh dan ilustrasi cerita tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Responden adalah Siswa SD Sekolah Gagasceria di Jl. Malabar 80-84 Bandung. Peneliti mendongeng untuk anak, dan anak memvisualisasikan dalam bentuk gambar.Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa anak dominan menggambar sesuai dengan tokoh dan ilustrasi cerita yang diperdengarkan (dongeng) di depan kelas. Sisanya menggambar obyek lain sesuai imajinasi mereka diluar cerita yang diperdengarkan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita (dongeng) pada gambar visual anak dengan tingkatan kreativitas yang berbeda. Kata kunci : dongeng, ilustrasi, gambar visual anak, imajinasi PENDAHULUAN Masa anak-anak merupakan masa eksplorasi ide dengan cara yang asli dari pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Kecerdasan anak bergantung pada pengalaman belajar di kelas dan rumah. Pengalaman masa anak-anak akan membentuk karakter anak selanjutnya. Dongeng dan menggambar merupakan salah satu cara untuk anak berlatih mendengar dan memvisualisasikan kembali cerita dalam bentuk gambar berdasarkan imajinasi anak tentang tokoh dan situasi cerita tersebut.Melalui gambar visual, anak memahami perubahan, masalah, menafsirkan perasaan, penghargaan perbedaan dalam diri dan melatih ketekunan. Dongeng dapat mengembangkan daya pikir dan imajinasi, kemampuan berbicara, serta daya sosialisasi anak. Lewat dongeng anak menyerap sifat positif, seperti keberanian, kejujuran, kemanusiaan, kasih sayang, serta 504 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 membedakan hal yang baik dan buruk. Dongeng membantu merangsang berbagai aspek perkembangan anak, terutama sisi intelektual atau kecerdasan dan emosi. Dongeng juga sebagai mediapembentukan kepribadian dan moralitas anak usia dini (Haryani, t.t : 5-6). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Metode eksperimen (Bungin, 2005: 38-39) adalah suatu cara memanipulasi objek penelitian yang dilakukan sedemikian rupa sesuai dengan format penelitian yang diinginkan. Responden adalah Siswa SD Sekolah Gagasceria di Jl. Malabar 80-84 Bandung (dekat pasar palasari). Peneliti mendongeng untuk anak, dan anak memvisualisasikan dalam bentuk gambar. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini diawali dengan melakukan diskusi terlebih dahulu tentang kemampuan siswa SD kelas 1 dengan Guru Wali yang juga menjadi Guru Kelas Bahasa Indonesia. Kelas 1 di SD Gagasceria ini berjumlah 15 orang. Tim peneliti mendongeng cerita yang dipilih dalam waktu 30 menit dan anak diminta menggambarkan kembali cerita tentang beo, simpanse dan lebah dengan bebas diatas kertas yang telah disediakan selama 15 menit. Berikut suasana kelas dan tempat menggambar anak : Gambar 1 Suasana Kelas dan Tempat Menggambar Anak Sumber : Dokumentasi penulis, 2011 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 505 Sebelum mendongeng, guru kelas memberikan pengantar kepada anak tentang apa itu mendongeng dan apa yang harus dilakukan anak seperti mendengarkan, memperhatikan dan sebagainya. Gambar 2 Pengantar Guru Kelas Sebelum Mendongeng Sumber : Dokumentasi penulis, 2011 Setelah anak mendengarkan dongeng dan interaktif meniru suara dan gerakan tokoh-tokoh dalam dongeng selanjutnya mereka diminta untuk menggambar ulang apa saja yang mereka dengarkan tadi. 506 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Gambar 3 Saat Mendongeng dan Menggambar Tokoh Cerita Sumber : Dokumentasi penulis, 2011 Dari hasil eksperimen tersebut diperoleh prosentase tokoh cerita dalam hasil gambar anak setelah mendengarkan cerita (dongeng) di kelas yaitu No. Tabel 1 Kesesuaian Cerita dan Gambar Kesesuaian Cerita dan Jumlah Persentase Gambar 1. Sesuai 18 72% 2. Tidak 7 28% Total 25 100% Terdapat 72% atau 18 anak yang menggambar sesuai dengan tokoh dan ilustrasi cerita yang diperdengarkan (dongeng) di depan kelas. Sisanya yaitu 28% atau 7 anak menggambar obyek lain sesuai imajinasi mereka diluar cerita yang diperdengarkan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 507 Gambar 4 Hasil Menggambar Anak Sesuai Tokoh dan Ilustrasi Cerita Sumber : Dokumentasi penulis, 2011 Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita pada gambar visual anak tersebut dengan tingkatan kreativitas yang berbeda. Berikut prosentase penggambaran tokoh cerita : Tabel 2 Prosentase Penggambaran Tokoh Cerita No. Tokoh Cerita Jumlah Persentase 1. Beo 17 64% 2. Simpanse 2 8% 3. Lebah 1 4% 4. Lain-lain 7 24% 25 100% Total Tokoh cerita ―Beo‖ digambarkan dalam jumlah yang lebih banyak yaitu sebesar 64% atau 17 anak dengan penggambaran berbagai karakter (bentuk, ukuran, posisi dan warna). Sedangkan sebanyak 2 siswa atau 8% menggambarkan ―simpanse‖ serta 1 orang atau 4% menggambar ―lebah‖. 508 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 PENUTUP Anak menggambar sesuai dengan tokoh dan ilustrasi cerita yang diperdengarkan (dongeng) di depan kelas. Sisanya menggambar obyek lain sesuai imajinasi mereka diluar cerita yang diperdengarkan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita (dongeng) pada gambar visual anak dengan tingkatan kreativitas yang berbeda. Walau tokoh cerita digambarkan oleh anak dalam berbagai cara dan bentuk. DAFTAR PUSTAKA Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif : Komunikasi, Ekonomi dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana Haryani, t.t. Mencerdaskan Anak dengan Dongeng, Yogyakarta : UNY Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 509 PENILAIAN AUTENTIK UNTUK MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA Wikanengsih STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Penilaian Autentik untuk Membangun Karakter Generasi Muda pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia. Kelangsungan hidup sebuah negeri ditentukan oleh generasi mudanya. Para siswa sekolah merupakan bagian dari generasi muda. Pembinaan terhadap siswa dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang di dalamnya mengandung unsur penilaian. Penilaian autentik dapat dilakukan sebagai alternatif pembinaan siswa dalam pembentukan karakternya. Nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui penilaian autentik mencakup sejumlah nilai karakter sebagaimana dicanangkan Kemendikbud, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah tir, menghargai prestasi, bersahabat / komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. Kata kunci: penilaian autentik, karakter, generasi muda. PENDAHULUAN Karakter terbentuk pada diri seseorang berdasarkan pada kebiasaan. Kebiasaan baik akan membentuk karakter yang baik. Demikian pula, kebiasaan buruk akan membentuk karakter yang buruk. Para siswa sebagai generasi penerus bangsa berpeluang untuk dibentuk menjadi generasi muda yang memiliki karakter yang baik. Pembelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran yang terdapat di semua jenjang pendidikan memiliki peluang sangat besar untuk mewujudkan harapan mulia itu. Dalam prosesnya, pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana pelajaran-pelajaran yang lain mengandung beberapa unsur yang harus dilaksanakan, diantaranya unsur evaluasi. Kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini meskipun masih banyak mengandung kelemahan terutama dalam aspek penilaiannya menjadi menarik untuk dikaji. Pengkajian ini tidak bermaksud untuk menghujat terhadap pemberlakuan kurikulum tersebut yang telah banyak menguras tenaga, waktu maupun biaya dalam perjalanan ―hidup‖nya selama ini. Namun, pengkajian 510 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dimaksud dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki atau ―mempercantik ― nya sehingga upaya yang digulirkan pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat terwujud dengan baik. Tuntutan kurikulum dalam aspek evaluasi menghendaki penggunaan penilaian autentik, yaitu penilaian yang sebenar-benarnya. Penilaian yang berupaya menggambarkan prestasi belajar sesuai dengan kemampuan mereka yang sesungguhnya, meliputi aspek sikap, kognitif, dan psikomotor. (Kosasih, 2014: 131). Ketiga ranah kemampuan dimaksud pada prinsipnya bertujuan membangun pribadi siswa sebagai generasi muda yang handal dalam segi pengetahuan, mulia dalam segi sikap serta cakap dalam segi keterampilan. Jika seseorang sudah memiliki ketiga kemampuan dimaksud maka dipastikan akan menjadi pribadi manusia yang berkarakter. Oleh karena itu, upaya pembenahan dan perbaikan pada aspek penilaian autentik (penilaian yang menyeluruh: sikap, pengetahuan, keterampilan) berpeluang dapat membentuk karakter siswa sebagaimana diamanahkan dalam kurikulum. Nilai-nilai Karakter Lickona (2013) mengemukakan bahwa terdapat dua nilai dasar dalam karakter yaitu sikap hormat dan tanggungjawab. Dua nilai dasar karakter ini sangat diperlukan untuk: 1) pengembangan jiwa yang sehat; 2) kepedulian akan hubungan interpersonal; 3) menciptakan hubungan manusia yang humanis dan demokratis; 4) dunia yang adil dan damai. Hal itu berarti bahwa dari nilai karakter sikap hormat akan menurunkan sejumlah nilai karakter lain, yaitu peduli, demokratis, humanis, empati, dan damai. Demikian juga nilai karakter tanggung jawab akan menurunkan sejumlah nilai karakter yang lain. Untuk memaksimalkan perwujudan nilai karakter yang berasal dari dua nilai dasar karakter tersebut maka guru di sekolah dalam proses pembelajaran di kelas harus berupaya menanamkan dua nilai karakter utama itu. Nilai-nilai karakter lain yang sebaiknya ditanamkan di sekolah yang merupakan turunan ari dua nilai dasar sebagaimana dikemukakan Lickona (2013: 74) meliputi: kejujuran, keadilan, toleran, kebjaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 511 Agar mampu menanamkan nilai-nilai karakter yang baik kepada para siswa, guru harus memiliki pengetahuan tentang komponen karakter yang baik. Menurut Lickona (2013: 85-99) komponen tersebut terdiri atas: 1) pengetahuan moral, yang meliputi: kesadaran moral, mengetahui nilai moral, penentuan perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, pengetahuan pribadi; 2) perasaan moral, meliputi: hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang baik, kendali diri, kerendahan hati; 3) tindakan moral, meliputi: kompetensi, keinginan, dan kebiasaan. Untuk sampai pada pencapaian nilai karakter yang tertanam pada diri seseorang, pengetahuan moral saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan sikap moral dan tindakan moral. Keutuhan tiga komponen karakter yang baik tersebut dapat terimplementasikan ke dalam diri seseorang dalam waktu relatif panjang dan harus ditanamkan berkelanjutan. Faktor lingkungan keluarga di rumah, pergaulan dengan teman di luar rumah dan di luar sekolah menjadi penentu terintegrasinya ketiga komponen itu pada diri siswa. Di dunia pendidikan Indonesia, nilai-nilai karakter yang ditetapkan Kemdikbud meliputi 18 nilai, yaitu: 1) religius, 2) jujur, 3) toleran, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air, 12) menghargai prestasi, 13) bersahabat / komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca,16) peduli lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab. Penilaian Autentik Penilaian autentik (authentic assessment) adalah pengukuran yang bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan. (Kemendikbud: 2013) Penilaian autentik ini merupakan basis penilaian dalam Kurikulum 2013, yang memiliki peran penting dalam mengontrol keberhasilan proses pembelajaran. Titik tumpu penilaian autentik terletak pada proses belajar siswa yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan dan psikomotor. Dalam Kurikulum 2013, ranah sikap dijadikan urutan pertama dalam kompetensi dasar (KD), yang mencakup dua KD (KD I dan KD II), yaitu sikap 512 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 spiritual dan sikap social. Ranah kognitif tercantum dalam KD III, dan ranah psikomotor tercantum dalam KD IV. Penilaian terhadap nilai-nilai sikap (moral yang baik) sebagai roh pembentuk karakter siswa dapat dilakukan melalui banyak cara, misalnya lembar pengamatan, skala bertingkat, penilaian diri, penilaian antarsiswa, wawancara, angket, atau penilaian jurnal. Penilaian untuk bidang pengetahuan dapat dilakukan melalui tes lisan maupun tes tulis. Objek penilaian dapat mencakup bidang kebahasaan, sastra, maupun keterampilan berbahasa. Instrumen penilaian dapat berupa berbagi jenis soal, baik soal subjektif maupun soal objektif. Demikian pula bentuk soalnya, dapat menggunakan soal pilihan, isian, maupun soal uraian. Dalam penilaian ranah kognitif, terdapat dua dimensi , yaitu dimensi proses dan dimensi pengetahuan. Dimensi pengetahuan terdiri atas pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan proses dan pengetahuan metakognitif. Dimensi proses terdiri atas enam tingkat, yaitu: 1) ingatan; 2) pemahaman; 3) penerapan; 4) analisis; 5) evaluasi; dan 6) mencipta. (Anderson dan Kratwohl, 2010: 30). Penilaian untuk bidang keterampilan dapat dilakukan dalam bentuk tes berupa penilaian keterampilan siswa dalam bentuk praktik menyimak, praktik berbicara, praktik membaca, praktik menulis, praktik dramatisasi dan sejenisnya. Penerapan penilaian autentik akan terwujud dalam proses pembelajaran yang autentik pula. Demikian juga gurunya harus mencerminkan guru yang autentik dalam mengelola kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Penilaian autentik terdiri dari berbagai teknik penilaian. Pertama, pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan hasil jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua, penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang kompleks. Ketiga, analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon peserta didik atas perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang ada. (Kemendikbud: 2013). Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 513 Ditinjau dari segi jenis, penilaian autentik menurut Kemendikbud (2013) terdiri atas: 1) penilaian kinerja, yaitu penilaian yang terfokus pada pelibatan/partisipasi siswa dalam proses pembelajaran; 2) penilaian proyek, merupakan kegiatan penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh peserta didik menurut periode/waktu tertentu. Penyelesaian tugas dimaksud berupa investigasi yang dilakukan oleh peserta didik, mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan, analisis, dan penyajian data.; 3) penilaian portofolio, merupakan penilaian atas kumpulan artefak yang menunjukkan kemajuan dan dihargai sebagai hasil kerja dari dunia nyata. Penilaian portofolio bisa berangkat dari hasil kerja peserta didik secara perorangan atau diproduksi secara berkelompok, memerlukan refleksi peserta didik, dan dievaluasi berdasarkan beberapa dimensi; dan 4) penilaian tertulis, berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik mampu mengingat, memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Tes tertulis berbentuk uraian sebisa mungkin bersifat komprehensif, sehingga mampu menggambarkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik. PEMBAHASAN Peran Penilaian Autentik dalam Membangun Karakter Generasi Muda Generasi muda sebuah bangsa merupakan investasi yang sangat penting. Generasi muda merupakan penerus berlangsungnya sebuah negara. Jika generasi mudanya rapuh maka akan rapuh pula negara tersebut di masa yang akan datang. Siswa atau peserta didik yang merupakan bagian dari generasi muda dapat dibina sedemikian rupa sehingga tumbuh dan berkembang sebagai generasi penerus. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui proses pembelajaran. Keberhasilan sebuah proses pembelajaran dapat diukur melalui kegiatan evaluasi/penilaian. Penilaian tersebut dilakukan selama proses belajar berlangsung melalui penilaian. Selain penilaian proses, penilaian autentik dapat juga dilakukan untuk mengevaluasi hasil belajar. Jika dihubungkan dengan tujuan pembelajaran yaitu untuk mencapai tujuan yang termasuk ke 514 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 dalam ranah sikap, kognitif dan psikomotor maka penilaian autentik merupakan sarana untuk menguji ketiga ranah tersebut. Secara khusus, penilaian autentik dapat dikategorikan sebagai cara untuk membiasakan siswa dalam berkarakter baik. Lickona (2013) mengemukakan bahwa karakter seseorang akan terbentuk melalui kebiasaan, dan kebiasaan akan menjadi karakter seseorang. Selain itu, karakter dapat terbentuk dari pesan-pesan moral yang ditanamkan oleh keluarga, saudara atau guru melalui kata-kata atau kalimat yang sering mereka dengar sebagai bentuk penilaian terhadap diri seseorang.( Jensen, 2008: 117-118). Jenis karakter apakah yang dapat dibentuk melalui penilaian autentik? Jika merujuk pada teori karakter yang dikemukakan Lickona (2013: 74) bahwa karakter yang dapat ditanamkan di sekolah meliputi: kejujuran, keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis maka semua nilai karakter tersebut dapat dipastikan akan terbentuk melalui penilaian autentik. Sebagai contoh: nilai kejujuran akan tumbuh dan berkembang pada diri siswa melalui proses penilaian pada saat ulangan. Pemantauan terhadap sikap jujur siswa dengan tidak menyontek atau melakukan hal-hal lain berkaitan dengan kejujuran maka lama-kelamaan penguasaan terhadap sikap kejujuran itu akan menjadi kebiasaan, yang akhirnya akan menjadi permanen. Penilaian autentik yang dapat membentuk karakter siswa tidak saja hanya terpusat pada penialian untuk ranah sikap, melainkan proses penilaian untuk ranah kognitif dan psikomotor pun dapat menjadi jalan dalam pembentukan nilai-nilai karakter yang lain. Berikut sejumlah nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui penilaian autentik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Tabel 1 Nilai-nilai Karakter yang Dapat Dikembangkan melalui Penilaian Autentik Jenis Penilaian Otentik Kompetensi Dasar Sasaran Karakter Penilaian Kinerja: penilaian yang terfokus pada pelibatan/partisipasi siswa dalam proses pembelajaran Memahami dan Kerja keras, mandiri, mengidentifikasi komunikatif, gemar struktur teks membaca, toleran, demokratis, cinta Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 515 Jenis Penilaian Otentik Penilaian Proyek: penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh peserta didik menurut periode/waktu tertentu. Penyelesaian tugas dimaksud berupa investigasi yang dilakukan oleh peserta didik, mulai dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan, analisis, dan penyajian data Penilaian Portofolio: penilaian atas kumpulan artefak yang menunjukkan kemajuan dan dihargai sebagai hasil kerja dari dunia nyata. Kompetensi Dasar Memproduksi teks . Menyunting, mengabstraksi, memproduksi teks Penilaian Tertulis: berbentuk Memahami, uraian atau esai menuntut mengidentifikasi peserta didik mampu mengingat, memahami, jenis teks mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis, mengevaluasi, dan sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Sasaran Karakter damai. Jujur, kerja keras, disiplin, mandiri, gemar membaca, tanggungjawab, rasa ingin tahu, kreatif, cinta tanah air, komunikatif. Tanggungjawab, menghargai prestasi, gemar membaca, komunikatif, tanggung jawab, kreatif, disiplin, jujur, kerja keras, religius, peduli social. Kerja keras, jujur, gemar membaca, komunikatif, kerja keras SIMPULAN Kegiatan menilai sebagai salah satu unsur dalam proses pembelajaran dapat dijadikan sebagai sarana untuk mebentuk karakter siswa. Penilaian yang dimaksud yaitu penilaian autentik. Penilaian autentik dalam praktiknya dapat digunakan untuk menilai ketiga ranah aspek tujuan pendidikan, yaitu penguasaan kognitif, sikap dan psikomotor. Nilai-nilai karkater yang dicanangkan Kemendikbud dalam sistem pendidikan di Indonesia memiliki peluang dapat dikembangkan dengan pelaksanaan penilaian autentik yang konsisten dan berkesinambungan. 516 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 DAFTAR PUSTAKA Anderson, L dan Krathwohl, D. 2010.Kerangka Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen. Terjemah Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jensen, E. 2008.Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak. Penerjemah Narulita Yusron. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kosasih.2014. Strategi Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Yrama Widya. Lickona, T. 2013. Educaing for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility.Terjemahan: Juma Abu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara. Kemendikbud.2013. Konsep Panilaian Autentik pada Proses dan Hasil Belajar. Badan Pengembanagn Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 517 KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Woro Wuryani STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Kesantunan Berbahasa dalam Pendidikan Karakter. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Kesantunan berbahasa dalam pendidikan karakter adalah suatu usaha sadar sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik yang merupakan keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kabijakan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kata kunci: kesantunan berbahasa, pendidikan karakter PENDAHULUAN Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar pendidikan pada semua jenjang pendidikan di Indonesia. Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, yaitu mendengarkan atau menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Secara prinsip pengajaran bahasa bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berbahasa, yaitu keterampilan mendengarkan, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Empat keterampilan bahasa tersebut merupakan satu kesatuan yang merupakan catur tunggal. Berbicara adalah bercakap atau berbahasa yang memerlukan bahasa untuk menyampaikan maksud dan tujuan pada lawan bicaranya. Keterampilan berbicara memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antara penutur dan mitra tutur. Tuturan yang bisa dikatakan santun adalah apabila orang tersebut tidak terdengar memaksa atau angkuh. Tuturan itu memberi pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Jadi, dapat dikatakan bahwa kesantunan adalah sebuah penghormatan atau 518 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 penempatan seseorang pada tempat terhormat, atau sekurang-kurangnya menempatkan seseorang pada tempat yang diinginkannya. PEMBAHASAN Definisi Kesantunan Dalam KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang dimaksud dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Pendapat lain diuraikan dalam bahwa kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". Kesantunan bersifat relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamzani,dkk. (2010:2) kesantunan (politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan efektif. Kesantunan Berbahasa Menurut Rahardi (2005:35) penelitian kesantunan mengkaji penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu. Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser (melalui Rahardi, 2005:38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 519 1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette). 2) Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (face saving). Pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative principle). 3) Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh pertimbangan etiket berbahasa. 4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi, 2005: 40). Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010: 11) dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberipilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa 520 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan normanorma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Jadi, diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga hubungan baik dengan mitra tuturnya. Penggolongan Prinsip Kesantunan Berbahasa Wijana interpersonal, (1996:55) pragmatik mengungkapkan membutuhkan bahwa prinsip sebagai kesopanan retorika (politeness principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005:60-66) dalam bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsipprinsip kesantunan berbahasa. Prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut : 1) Maksim Kebijaksanaan Rahardi (2005:60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 521 orang santun. Wijana (1996:56) menambahkan bahwa semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Dalam maksim kebijaksanaan ini, Leech (1993:206) menggunakan istilah maksim kearifan. Contoh: Tuan rumah : ―Silakan makan saja dulu, nak!‖ Tadi kami semua sudah mendahului.‖ Tamu : ―Wah, saya jadi tidak enak, Bu.‖ Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera reda (Rahardi, 2005:60). Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu, baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi,2005: 60-61). 2) Maksim Kedermawanan Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005:61) mengatakan bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat 522 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.Rahardi (2005: 62) memberikan contoh sebagai berikut. Anak kos A : ― Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak banyak, kok, yang kotor.‖ Anak kos B : ―Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga, kok! Informasi Indeksial: Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan demikian eratdengan anak yang satunya. Dari tuturan yang disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005: 62). 3) Maksim Penghargaan Menurut Wijana (1996: 57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan contoh tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Rahardi (2005:63) menambahkan, dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 523 pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah lain, yakni maksim kemurahan. Contoh: Dosen A : ― Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas Bussines English.‖ Dosen B :―Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari sini.‖ Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi, 2005: 63).Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun (Rahardi, 2005: 63). 4) Maksim Kesederhanaan Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana (1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain, maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri. 524 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Contoh: Sekretaris A : ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!‖ Sekretaris B : ―Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.‖ Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005:64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun. 5) Maksim Permufakatan Menurut Rahardi (2005:64) dalam maksim ini, ditekankan agar para peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana (1996:59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim permufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka, dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka. Contoh: Noni : ―Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!‖ Yuyun : ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖ Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas (Rahardi, 2005:65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 525 mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akanmenjadi santun. 6) Maksim Kesimpatian Leech (1993:207) mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar parapeserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu denganpihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam masyarakat (Rahardi, 2005:65). Menurut Wijana (1996:60), jika lawan tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Contoh: Ani : ―Tut, nenekku meninggal.‖ Tuti : ―Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖ Informasi Indeksial: Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka (Rahardi, 2005:66). Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun. Ciri Kesantunan Berbahasa Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis skala kesantunan.Chaer (2010:63) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005:66-67) menyebutkan bahwa 526 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian kesantunan. Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum interpersonal itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Rahardi (2005:66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech dibagi menjadi lima. 1) Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67). 2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur, tuturan tersebut dianggaptidak santun (Rahardi, 2005: 67). 3) Indirectness scale atau skala ketidak langsungan menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan, akan dianggap semakin santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67). 4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 527 akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur itu (Rahardi, 2005: 67). 5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu (Rahardi, 2005:67). Berdasarkan keenam maksim kesantunan yang dikemukakan Leech (1993:206), Chaer (2010:56-57) memberikan ciri kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut : 1) Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya. 2) Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. 3) Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). Zamzani, dkk. (2010:20) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip kesantunan Leech, yakni sebagai berikut. a) Tuturan yang menguntungkan orang lain b) Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri c) Tuturan yang menghormati orang lain d) Tuturan yang merendahkan hati sendiri e) Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain f) Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain g) Gunakan kata ―bapak/ibu‖ untukmenyapa orang ketiga. Implementasi indikator kesantunan dalam berkomunikasi digunakan agar kegiatan berbahasa dapat mencapai tujuan. Berdasarkan pen dapat beberapa ahli, Pranowo (2009:110) menguraikanhal-hal yang diperhatikan agar komunikasi dapat berhasil, yakni sebagai berikut: 528 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 perlu 1) Perhatikan situasinya. 2) Perhatikan mitratuturnya. 3) Perhatikan pesan yang disampaikan. 4) Perhatikan tujuan yang hendak dicapai. 5) Perhatikan cara menyampaikan. 6) Perhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat. 7) Perhatikan ragam bahasa yang digunakan. 8) Perhatikan relevansi tuturannya. 9) Jagalah martabat atau perasaan mitra tutur. 10) Hindarihal-hal yang kurang baik bagi mitra tutur (konfrontasi dengan mitra tutur). 11) Hindari pujian untuk dirisendiri. 12) Berikan keuntungan pada mitra tutur. 13) Berikan pujian pada mitra tutur. 14) Ungkapkan rasa simpati pada mitra tutur. 15) Ungkapkan hal-hal yang membuat mitra tutur menjadi senang. 16) Buatlah kesepahaman dengan mitra tutur. Berdasarkan beberapa ciri kesantunan dari beberapa pendapat ahli di atas, disusunlah indikator kesantunan yang dapat digunakan untuk mengukur santun tidaknya sebuah tuturan peserta didik. Penyebab ketidaksantunan berbahasa Pranowo (melalui Chaer, 2010:69) menyatakan bahwa ada beberapa faktora tau hal yang menyebab kan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun .Penyebab ketidak santunan itu antara lain: 1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar Menurut Chaer (2010:70) kritik kepada lawan tutur secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Dengan memberikan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar tersebut dapat menyinggung perasaan lawan tutur,sehingga dinila itidak santun.contoh: Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 529 ―Pemerintah memang tidak pecus mengelola uang. Mereka bisanya hanya mengkorupsi uang saja.‖ Tuturan di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur . Kalimat di atas terasa tidak santun karena penutur menyatakan kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar. 2) Dorongan rasa emosi penutur Chaer (2010: 70) mengungkapkan, kadang kala ketika bertutur dorongan rasa emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah kepada lawan tuturnya .Tuturan yang diungkapkan dengan rasa emosi oleh penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak santun. Contoh:―Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas jawaban anda tidak masuk akal. Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan .Pada tuturan tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada pendapatnya , dan tidak mau menghargai pendapat orang lain. 3) Protek tif terhadap pendapat Menurut Chaer (2010: 1), seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan pada orang lain bahwa pendapatnya benar , sedang kan pendapat mitra tutur salah. Dengan tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun. Contoh: Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau pendapat saya yang paling benar. Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar dia memproteksi kebenaran tuturannya. Kemudian menyatakan pendapat yang dikemukakan lawan tuturnya salah. 4) Sengaja menuduh lawan tutur 530 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Chaer (2010: 71) menyatakan bahwa acap kali penutur menyampaikan tuduhan pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturan nyamenjadi tidak santun jika penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitratutur. contoh: ― Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah yakin tidak ada manipulasi data? Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar kecurigaan belaka terhadap lawan tutur. apa yang dituturkan dan juga cara menuturkannya dirasa tidak santun. 5) Sengaja memojokkan mitra tutur Chaer (2010:72) mengungkapkan bahwa adakala nya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini, tuturan yang disampaikan penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan pembelaan. Contoh: ―Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih diminta membayar iuran sekolah? Pada akhirnya masih banyak anak-anak yang putus sekolah.‖ Tuturan di atas terkesan sangat keras karena terlihat keinginan untuk memojokkan lawan tutur. Tuturan seperti itu dinilai tidak santun, karena menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar, dengan nada marah, dan rasa jengkel. Definisi Pendidikan Karakter Samani dan Hariyanto (2012:43) memaknai karakter sebagai: Nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena pengaruh hereditas maupun pengaruh lingkungan, yang membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 531 Definisi tersebut mewujudkan bahwa karakter sangat berperan penting terhadap setiap individu. Hal itu sebagai konsekuensi setiap individu yang melakukan kegiatan dalam suatu lingkungan social. Dengan demikian perlu memiliki karakter untuk bias bersosialisasi. Dengan karakterlah setiap individu mengekspresikan diri dalam lingkungan sosialnya sehingga harus memiliki karakter yang baik dan benar tentunya. Sementara itu, Soedarsono (dalam Mulyana, 2012)menyusun suatu definisi tentang karakter sebagai jati diri bangsa yaitu karakter bangsa yang merupakan nilai-nilai moral yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai intrinsik mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi, pemikiran, sikap dan perilaku kita. Dari devinisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter suatu bangsa senantiasa harus mengutamakan pendidikan yang mengandung unsur praktik langsung (pengalaman, aplikasi ilmu (percobaan) keikhlasan dalan menjalani proses pendidikan (pengorbanan), dan situasi-situasi masyarakat yang mendukung (pengaruh lingkungan). Semua aspek tersebut akan dapat tercapai dengan proses pendidikan yang mengandung nilai-nilai illahiah dan ruhiah sehingga rohani tidak kosong tetapi menjadi terasah. Selain itu, „..,.character isn‟tinherited. One its daily by the way one thinks and acts, thought by thought,action by action‟ „…karakter tidak diwariskan, tetapi suatu yang dibangun secara kesinambungan dari hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan‘(Helen G Doulas dalam Samani dan Hariyanto, 2012:41) Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter pun merupakan sesuatu yang tidak bersifat gen atau tergantung keturunan. Akan tetapi, harus dibangun dengan seimbang dan terus menerus baik dengan pikiran, terutama dengan perbuatan. 532 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa karakter merupakan suatu nilai dasar yang sangat penting untuk dibiasakan, sehingga terpatri dalamdiri yang mewujud baik dalam pikiran maupun tindakan yang baik dan benar tentunya. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 533 Hubungan Karakter dengan Pendidikan Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan atau pilihan yang diambil. Tujuan pendidikan secara umum adalah membawa anak didik mencapai tinggkat kedewasaan atau kemandirian dalam kehidupannya (Suryosubroto, 2010:9). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU Sisdiknas tahun 2003). Dengan demikian, pendidikan sejatinya harus memiliki tujuan yang ingin dicapai sehingga peserta didik benar-benar terarahkan dengan baik. Pendidikan pun membahas karakter di dalamnya, seperti telah terbahas oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter) pikiran,dan tubuh anak. Menurutnya, bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita (kemendiknasd,{tt}). Dari pendapat Ki Hajar Dewantara tersebut, terlihat bahwa pendidikan harusmemiliki nilai-nilai illahiah,yaitu memiliki kekuatan batin yang dapat membentuk karakter peserta didik. Dengan demikian, pendidik tidak hanya uraian-uraian kosong. Akan tetapi, memiliki keberartian dan kebermaknaan. Dalam kaitannya dalam pendidikan nasional, pendidikan nasional. Pendidikn nasional bertujuan untuk terdapat tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahkal mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Sisdiknas tahun 2003). Dari tujuan pendidikan secara umum sampai pada tujuan pendidikan nasional, terlihat adanya hubungan antara karakter dengan pendidikan sehingga memunculkan adanya pendidikan karakter. Keterhubungan itu terlihat dari adanya tujuan pendidikan menjadikan peserta didik kuat dalam bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),spirit keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, ahlak mulia, beriman dan bertakwa. Konsep tersebut sangat 534 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 berkaitan erat dengan ihwal karakter yang telah diuraikan di atas. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa karakter sangat berhubungan dengan pendidikan sehingga melahirkan konsep pendidikan karakter dengan nilai-nilai karsakter yang sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter bukan sesuatu hal yang baru. Pada hakikatnya pendidikan karakter telah dilakukan manusia dengan cara yang berbeda-beda. Pendidikan karakter pun pada prinsipnya tidak diajarkan, tetapi dibiasakan, harus bersama-sama baik pendidik maupun peserta didik; harus diciptakan lingkungan yang kondusif,dan harus terus menerus berproses (Mulyana,2010:4) Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter berpusat pada pembinaan hal yang baik dan benar terhadap pribadi peserta didik melalui keteladanan bersama.Hal ini diharapkan tumbuhnya manusia yang berkepribadian mulia. Sekaitan dengan pendidikan karakter,Kementrian Pendidikan Nasional pun telah menerbitkan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran. Kemendiknas merumuskan antara budaya dengan pendidikan karakter menjadi pendidikan budaya dan karakter bangsa. Berikut ini rumusan definisi pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diterbitkan oleh Kemendiknas. 1) Pendidikan merupan suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik. 2) Budaya merupakan keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat. 3) Karakter merupakan watak, tabiat,akhlak,atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kabijakan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap,dan bertindak. Dari beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah suatu usaha sadar sistematis Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 535 dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat (Kemendiknas:2010). Selain itu, pendidikan karakter pun merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik dengan terencana sehingga menjadikannya manusia yang berkarakter baik dan benar. Dengan karakter yang baik dan benar tersebut, peserta didik mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dengan semua makhluk dan pencipta-NYA (Samani dan Hariyanto, 2012:4546). SIMPULAN Dari uraian materi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya). Pendapat lain diuraikan bahwa kesantunan (politiness), kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Fraser (melalui Rahardi, 2005: 38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam bertutur. 1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the social-norm view). 2) Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka (faces aving). 3) Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). 4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik. 536 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Dalam penggolongan prinsip kesantunan berbahasa ada prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut. 1) Maksim Kebijaksanaan 2) Maksim Kedermawanan 3) Maksim Penghargaan 4) Maksim Kesederhanaan 5) Maksim Permufakatan 6) Maksim Kesimpatian Adapun faktor penyebab ketidaksantunan dalam berbahasa yaitu: 1) kritik secara langsung dengan kata-kata kasar 2) dorongan rasa emosi penutur 3) protektif terhadap pendapat 4) sengaja menuduh lawan tutur 5) sengaja memojokkan mitra tutur DAFTAR PUSTAKA Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pedoman Pendidikan dan Karakter Bangsa. Jakarta : Balitbang Pusat Kurikulum. Kementerian Pendidikan Nasional. (tt). Rencana Induk Pengembangan Pendidikan dan Karakter Bangsa. Diunduh 16-11-2014. Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pengembangan. Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat. (1999). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. http://lit.atmajaya.ac.id ―Realisasi Kesantunan Berbahasa Antar Generasi Dalam Masyarakat Indonesia‖. Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 537 METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN NEGOSIASI PADA PESERTA DIDIK KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS Upaya Menanamkan Karakter Bersahabat dan Komunikatif pada Siswa Yeni Rostikawati STKIP Siliwangi Bandung Pos-el: [email protected] ABSTRAK Metode Role Playing dalam Pembelajaran Negosiasi pada Peserta Didik Kelas X Sekolah Menengah Atas. Pembentukan karakter menjadi hal yang sangat disoroti dari kurikulum 2013 saat ini. Ada beberapa poin karakter yang harus dimunculkan pada diri siswa, diantaranya yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (BPPPuskur, 2010: 9-10). Karakterkarakter tersebut dapat dibentuk melalui proses pembelajaran yang tepat dan inovatif. Salah satu faktor yang mampu menciptakan proses pembelajaran efektif adalah pemilihan metode. Metode role playing yang dipilih oleh peneliti merupakan salah satu metode yang diajukan untuk menyiasati kurikulum 2013. Dalam kelas, peneliti menemukan permasalahan yang sering dihadapi siswa, yaitu permasalahan keterampilan berbicara yang masih kurang akibat rasa percaya diri siswa yang minim. Oleh karena itu, pemilihan metode role playing dalam pembelajaran negosiasi diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keefektifan penerapan metode role playing dalam pembelajaran negosiasi di kelas X. Penerapan metode tersebut diharapkan mampu memunculkan karakter bersahabat dan komunikatif pada siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif dengan desain penelitian one group pretest-postest design. Sampel yang diambil sebanyak 25 orang siswa kelas X Sekolah Menengah Atas. Setelah metode role playing ini diujicobakan dalam pembelajaran negosiasi, ternyata hasilnya efektif dalam menciptakan antusiasme belajar siswa sehingga menjadi pembiasaan dalam membentuk karakter bersahabat serta komunikatif pada siswa. Kata kunci: role playing, pembelajaran negosiasi, karakter bersahabat/komunikatif . PENDAHULUAN Ada sebuah pepatah menarik yang dikemukakan oleh Hull (dalam Holt, 2010:cover) yaitu jika kita mengajarkan anak-anak untuk berbicara, mereka tidak akan pernah belajar. Pepatah tersebut menyampaikan sebuah pesan yang mendalam, bahwa proses belajar itu bukan mengajarkan. Namun, membimbing peserta didik untuk belajar dan tanpa unsur paksaan. 538 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Demi proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, para ahli pendidikan (pemerintah) senantiasa melakukan revisi terhadap kurikulum dengam seluruh warga yang bergerak dalam bidang pendidikan dari tahun ke tahun. Saat ini, kurikulum yang sedang bergulir adalah kurikulum 2013. Kurikulum 2013 ini diharapkan mampu menjawab semua persoalan pendidikan yang berhubungan dengan degradasi nilai-nilai moral dan akhlak anak bangsa melalui pendidikan karakter sebagai ciri khasnya. Seperti yang terdapat dalam kutipan berikut: ―pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Selain itu, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.‖ (Mulyasa, 2013:7) Dalam kutipan tersebut perlu digaris bawahi bahwa pendekatan tematik dan kontekstual menjadi faktor utama yang diharapkan mampu mewujudkan tujuan pendidikan. Itu artinya bahwa proses pembelajaran harus sangat dekat dengan realitas kehidupan di sekeliling peserta didik sehingga ilmu yang didapatkan dari sekolah adalah ilmu yang siap pakai dalam kehidupan bermasyarakat. Mampu membentuk pribadi peserta didik yang cerdas dan terampil. Oleh karena itu, posisi peserta didik dalam proses pembelajaran pun bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek. Objek sifatnya pasif, tidak produktif, dan kurang kreatif. Sedangkan subjek sifatnya aktif, produktif, sehingga mampu berkreasi menciptakan sesuatu yang baru. Proses pembelajaran yang efektif tidak dapat dipisahkan dari kreativitas guru dalam mengorganisasikan proses pembelajaran dalam kelas. Proses pembelajaran yang baik pun tidak dapat dipisahkan dari metode atau strategi pembelajaran yang tepat. Jika antara guru, peserta didik, serta metode pembelajaran sudah terintegrasi dengan baik, maka akan tercipta suatu proses pembelajaran yang bermutu. Adapun dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia, ada empat keterampilan yang harus dikuasi peserta didik, yaitu membaca, berbicara, menulis, dan menyimak. Oleh karena itu, harus ada Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 539 metode pembelajaran yang cocok untuk meningkatkan keempat keterampilan tersebut pada peserta didik. Dalam makalah ini akan dibahas keterampilan berbicara pada kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA) kurikulum 2013, yaitu kemampuan bernegosiasi. Metode pembelajaran yang akan diujicobakan untuk meningkatkan kemampuan bernegosiasi ini yaitu metode role playing atau bermain peran. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experiment). Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mencari hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja ditimbulkan oleh peneliti. Kedua faktor tersebut adalah penerapan metode role playing (sebagai faktor penyebab) dan kemampuan bernegosiasi (sebagai faktor akibat). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan dengan teknik Tes Awal-Tes Akhir pada satu kelompok eksperimen (The one group Pretest-Posttest Design). Adapun teknik penelitian dilakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahapan pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Tahapan kedua, pengolahan data, Data kuantitatif terdiri atas data hasil pretes dan postes. Kedua data tersebut diteliti dan ditabulasikan untuk mengetahui rata-rata dan standar deviasinya. Setelah itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas. Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengolahan data dilanjutkan dengan uji-t atau t-test. Namun, apabila data tidak berdistribusi normal, maka pengolahan data dilanjutkan dengan penghitungan statistika nonparametrik. 540 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembelajaran Negosiasi (Keterampilan Berbicara) Pembelajaran negosiasi diambil dari Silabus Kurikulum 2013 sebagai berikut: Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Tujuan Pembelajaran 1 2 3 KI 1: 1. Mensyukuri anugerah Menghayati dan Tuhan akan mengamalkan ajaran keberadaan bahasa agama yang Indonesia dan dianutnya menggunakannya sesuai dengan kaidah dan konteks untuk mempersatukan bangsa 2. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi lisan dan tulis melalui teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, dan negosiasi 3. Mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Memunculkan rasa syukur peserta didik terhadap anugerah Tuhan yang telah menjadi sebab keberadaan bahasa Indonesia sehingga dapat menggunakan bahasa dengan baik dan benar dalam kehidupan seharihari serta memanfaatkannya untuk hal positif. 541 Kompetensi Inti Kompetensi Dasar KI 2: 1. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerja sama, toleran, damai), santun, responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap 2. sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri 3. sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia 4. 5. 542 eksposisi, dan negosiasi Menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli, responsif, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk membuat anekdot mengenai permasalahan sosial, lingkungan, dan kebijakan publik Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menceritakan hasil observasi Menunjukkan perilaku jujur, tanggung jawab, dan disiplin dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menunjukkan tahapan dan langkah yang telah ditentukan Menunjukkan perilaku jujur, disiplin, peduli, dan santun dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk bernegosiasi merundingkan masalah perburuhan, perdagangan, dan kewirausahaan Menunjukkan perilaku jujur, peduli, santun, dan tanggung jawab dalam penggunaan bahasa Indonesia untuk Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tujuan Pembelajaran mampu memunculkan karakter: 1. Jujur, menyampaikan informasi yang benar saat melakukan negosiasi. 2. Inisiatif, mampu mengutarakan ide dalam negosiasi dan mengambil keputusan secara cepat dan tepat. 3. Toleransi, mampu menahan emosi saat melakukan negosiasi berbeda pendirian. Kompetensi Inti KI 3: Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah Kompetensi Dasar 1. 2. 3. 4. 5. 6. memaparkan konflik sosial, politik, ekonomi,dan kebijakan publik Memahami struktur dan kaidah teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi, baik melalui lisan maupun tulisan Membandingkan teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi, baik melalui lisan maupun tulisan Menganalisis teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi, baik melalui lisan maupun tulisan Mengevaluasi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi berdasarkan kaidahkaidah teks, baik melalui lisan maupun tulisan Menginterpretasi makna teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi, baik secara lisan maupun tulisan Memproduksi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 Tujuan Pembelajaran 1. Memahami kaidah negosiasi. 2. Memahami prosedur negosiasi. 3. Menganalisis bentuk negosiasi. 4. Mengevaluasi hasil negosiasi. 543 Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Tujuan Pembelajaran dan negosiasi yang koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat, baik secara lisan maupun tulisan 7. Menyunting teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi sesuai dengan struktur dan kaidah teks, baik secara lisan maupun tulisan 8. Mengabstraksi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi, baik secara lisan maupun tulisan 9. Mengonversi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi ke dalam bentuk yang lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks, baik secara lisan maupun tulisan Keterampilan bernegosiasi dijadikan materi pembahasan dalam makalah ini mengingat bahwa kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kegiatan negosiasi. Dalam lingkungan masyarakat, keluarga, maupun pertemanan, selalu ada perbedaan pendapat sehingga untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tersebut diperlukan negosiasi. Negosiasi dilakukan oleh dua pihak yang berkepentingan untuk mencapai keputusan yang saling menguntungkan. Ada beberapa aspek yang terkandung dalam kegiatan negosiasi, yaitu: a. Melibatkan dua pihak atau lebih, baik secara perseorangan, kelompok, ataupun perwakilan organisasi ataupun perusahaan. 544 Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014 b. Berupa kegiatan komunikasi langsung (tatap muka), menggunakan bahasa lisan, didukung oleh gerak tubuh dan ekspresi wajah. c. Mengandung konflik, pertentangan, ataupun perselisihan. d. Menyelesaikannya melalui tawar-menawar (bargain) atau tukar-menukar (barter). e. Menyangkut suatu rencana, program, suatu keinginan, atau sesuatu yang belum terjadi. f. Berujung pada dua hal, yaitu sepakat atau tidak sepakat. Adapun Kompetensi Dasar (KD) yang dibahas dalam makalah ini adalah Kompetensi Inti 3 pada Kompetensi Dasar 4 yaitu. ―Mengevaluasi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks, eksposisi, dan negosiasi berdasarkan kaidah-kaidah teks, baik melalui lisan maupun tulisan.‖ Tujuan pembelajarannya yaitu peserta didik mampu mengevaluasi teks negosiasi dengan cara berperan untuk melakukan negosiasi. Proses evaluasi ini merupakan tujuan akhir pembelajaran setelah sebelumnya memahami kaidah negosiasi, memahami prosedur negosiasi, dan menganalisis bentuk negosiasi. Proses evaluasi ini membutuhkan praktik agar peserta didik dilatih aspek afektif dan psikomotor, disamping aspek kognitif. Dalam praktik negosiasi ini KI 1 dan 2 dapat diimplementasikan, misalnya, agar peserta didik dapat mensyukuri nikmat kemampuan berbahasa, maka mereka harus menggunakan bahasa tersebut dengan baik dan benar. Hal tersebut dapat diimplementasikan dalam proses bernegosiasi, sehingga negosiasi yang dilakukan tetap dalam koridor etika. Selain itu, dalam KI 2, sasaran utamanya adalah membentuk karakter peserta didik, karakter yang dibangun dalam negosiasi adalah jujur, inisiatif, dan toleransi. Evaluasi ini dilakukan terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain (peserta didik lain). Evaluasi terhadap diri sendiri melalui kemampuan mengapresiasi teks negosiasi sehingga mampu menginterpretasikan menjadi perbuatan, sedangkan evaluasi terhadap orang lain ada