Untitled - STKIP Siliwangi Bandung

advertisement
PROSIDING SEMINAR NASIONAL
PERAN BAHASA, SASTRA DAN PEMBELAJARANNYA
DALAM MEBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
Cetakan 1, Desember 2014
Editor
: Teha Sugiyo, M.Pd.
Rancang Sampul
: Dida Firmansyah, S.Pd
Tata Letak
: Indra Permana, S.S
Yeni Rostikawati, S.Pd
Diterbitkan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia
STKIP Siliwangi Bandung
ISBN: 978-602-14802-1-2
Alamat
Telp
Website
: Jalan Terusan Jenderal Sudirman, Cimahi
: (022)6658680
: www.stkipsiliwangi.ac.id
Dilarang mencopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi dari prosiding
tanpa seizin tertulis dari penyusun atau penyelenggara
ii
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT.
karena atas rahmat dan karunia-Nya serta usaha maksimal dari kami para
dosen, peneliti, dan guru, buku ini dapat kami selesaikan. Buku ini merupakan
bentuk perhatian kami terhadap dunia pendidikan yang dinamis, senantiasa
berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan ini berpengaruh
terhadap rancangan kurikulum yang merupakan ―jantungnya‖ pendidikan.
Kurikulum senantiasa berubah disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan jaman. Kurikulum terakhir yang digulirkan adalah kurikulum
2013. Kurikulum tersebut diberlakukan mulai Januari tahun 2013, namun
dalam pelaksanaannya menuai berbagai pro dan kontra. Hingga tahun 2014,
seiring pergantian pemerintahan, maka kurikulum 2013 tersebut ditinjau ulang.
Hasilnya, pemerintah memutuskan untuk merevisi bahkan kembali lagi untuk
menerapkan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) atau
kurikulum 2006. Tentunya, perubahan tersebut bukan merupakan perubahan ke
arah yang baru lagi karena kurikulum 2006 sudah pernah digulirkan
sebelumnya. Perubahan itu pun tidak menghentikan semangat berinovasi bagi
para pelaku pendidikan. Salah satu inovasi yang harus senantiasa menjadi
perhatian adalah tentang pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini begitu
penting karena menjadi tonggak utama acuan keberhasilan dalam pelaksanaan
proses pendidikan.
Pendidikan karakter ini sebetulnya sudah didengungkan semenjak
lama, bahkan semenjak kurikulum 2004. Puncaknya dalam kurikulum 2013
dimasukkan menjadi Kompetensi Inti yaitu pada Kompetensi 1 dan 2.
Walaupun saat ini kurikulum 2013 dikembalikan pada kurikulum KTSP,
pendidikan karakter tetap menjadi perhatian utama untuk membenahi moral
generasi muda. Oleh karena itu, topik utama yang diangkat dalam buku ini
adalah Peran Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya dalam Membangun
Karakter Generasi Muda. Berdasarkan topik utama tersebut, buku ini memuat
46 makalah dengan kajian tentang (1) peran bahasa dalam membangun
karakter generasi muda, (2) peran sastra dalam membangun karakter generasi
muda, dan (3) peran pembelajaran bahasa dan sastra dalam membangun
karakter generasi muda.
Buku ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pelaksanaan
pendidikan, di tengah pergantian kurikulum oleh pemerintah saat ini.
Pemikiran-pemikiran yang ada dalam buku ini diharapkan dapat menjadi acuan
bagi para guru sebagai pelaksana pendidikan di lapangan dalam memajukan
dan mewujudkan pendidikan yang berkualitas, khususnya dalam pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Bandung, Desember 2014
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................... iv
PEMAKALAH UTAMA
PERANAN SASTRA DALAM PENDIDIKAN GENERASI MUDA
Prof. Dr. D. Cristiana Victoria Marta, MA .............................................................. 1
GERAKAN PENDIDIKAN KARAKTER ATAU REVOLUSI MENTAL MELALUI
MAPEL BARU "BAHASA DAN CARA PANDANG INDONESIA"
Drs. Maryanto, M.Hum.…………………………………………………… ………..11
PEMAKALAH PENDAMPING
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MAHASISWA MELALUI MATA
KULIAH BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI
Abdul Azis dan Nurwati Syam ................................................................................ 18
MODEL PROJECT BASED LEARNING BERORIENTASI PENDIDIKAN
KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN PADA
SISWA SMP
Adi Rustandi .............................................................................................................. 36
―MASTODON DAN BURUNG KONDOR‖ SEBAGAI BAHAN
PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI GENERASI MUDA
Agus Priyanto ............................................................................................................ 50
IMPLEMENTASI PENILAIAN SIKAP DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA
Alfa Mitri Suhara....................................................................................................... 64
ALUR PADA CERPEN ANAK DALAM SURAT KABAR KOMPAS
Arini Noor Izzati ....................................................................................................... 75
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA CETAK (Studi Kasus Media
Cetak Kompas dan Radar Sulteng)
Arum Pujiningtyas ....................................................................................................87
PEMBELAJARAN AKTIF BERORIENTASI KARAKTER DALAM
PEMBELAJARAN MEMBACA
Bambang Sulistyo .....................................................................................................97
IDEOLOGI FEMINISME LEGENDA PELET MARONGGE SEBAGAI
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
Burhan Sidik ............................................................................................................ 117
iv
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM
MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA
Daroe Iswatiningsih ................................................................................................ 134
PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TOKOH PUBLIK TERHADAP
PERKEMBANGAN KARAKTER GENERASI MUDA (Kajian Deskriptif
Bahan Pembelajaran Pembinaan dan Pengembangan Bahasa)
Diena San Fauziya ...................................................................................................144
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KESANTUNAN BERBAHASA ANAK
Eli Syarifah Aeni ..................................................................................................... 154
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM MEMBENTUK KARAKTER
GENERASI MUDA
Engla Tivana ............................................................................................................ 161
HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN MUTU PENGAJARAN (Studi
Kasus pada Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri)
F. Riyan Sulistyowati .............................................................................................. 169
RELEVANSI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DENGAN KARAKTER BANGSA
Heni Hernawati ........................................................................................................ 184
JALAN MENIKUNG: MENYOAL KARAKTER TOKOH PADA
PERGESERAN KELAS SOSIAL (Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya,
Pengarang dan Masyarakat)
Heri Isnaini ............................................................................................................... 201
MODEL PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER BERBASIS KEARIFAN
LOKAL
Iis Ristiani ................................................................................................................ 212
KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM ―PRIANGAN SI JELITA‖
RAMADHAN K.H. (Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik)
Ika Mustika............................................................................................................... 227
MEMBANGUN KARAKTER POSITIF MELALUI PEMBELAJARAN
TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI DI SMA NEGERI 1 CIPARAY
KABUPATEN BANDUNG
Imas Mulyati ............................................................................................................ 238
STRATEGI KEBAHASAAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER
GENERASI MUDA: KAJIAN KONSEPTUALPSIKOPRAGMASTILISTIKA
Jatmika Nurhadi....................................................................................................... 248
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
v
WANDA RARANCAGAN DAN JEJEMPLANG PESAN MORAL DALAM
RUMPAKA TEMBANG SUNDA CIANJURAN
Latifah ....................................................................................................................... 265
MENELISIK KANDUNGAN KARAKTER DALAM PENDIDIKAN DAN
PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Lis Setiawati ............................................................................................................. 276
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BIOGRAFI
RASULULLAH KARYA MAHDI RIZQULLAH AHMAD (Kajian
Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi)
Nini Ibrahim dan Fauzi Rahman ........................................................................... 286
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN ―KISAH DI
KANTOR POS‖ KARYA MUHAMAD ALI
Nofiyanti ................................................................................................................... 309
TUTURAN EMOSIONAL PENGGUNA JALAN DAN DAMPAKNYA
BAGI PERKEMBANGAN EMOSI DAN BAHASA ANAK
Nunung Supratmi ....................................................................................................327
DUTA KAYUAGUNG DALAM TUJUH CERITA PENDEK
Purhendi .................................................................................................................... 335
PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI
SASTRA
Ratu Badriyah .......................................................................................................... 348
BERGURU PADA ALAM: TELAAH METAFORIS
Resti Nurfaidah ........................................................................................................ 357
KESANTUNAN BERBAHASA PARA SISWA SDIT KABUPATEN
BANDUNG: SEBUAH STUDI KASUS PEMBANGUNAN KARAKTER
Riadi Darwis ............................................................................................................ 372
OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER PESERTA DIDIK MELALUI
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA ANAK
Riana Dwi Lestari....................................................................................................384
NILAI LOKALITAS DALAM SASTRA SEBAGAI PEMBANGUN
KARAKTER
Ridzky Firmansyah F.F .......................................................................................... 398
PERAN KATA GANTI DALAM MEMBANGUN KARAKTER GENERASI
MUDA
Roikhan Mochamad Aziz ....................................................................................... 412
MEMBANGUN KARAKTER KREATIF MELALUI PEMBELAJARAN
MEMBACA DAN MENULIS
R. Mekar Ismayani ..................................................................................................424
vi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA SUNDA DAN BAHASA
INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA
R.Yudi Permadi ....................................................................................................... 434
REAKTUALISASI PUISI NYANYIAN ANGSA SEBAGAI PEMBANGUN
KARAKTER
Sari Puji Rahayu ...................................................................................................... 445
FILOSOFI ALAM TAKAMBANG JADI GURU DALAM SASTRA
MINANGKABAU
Sri Rustiyanti ........................................................................................................... 457
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TEKS KEILMUAN
Taqyuddin Bakri ...................................................................................................... 464
IMPLEMENTASI KONTEKS BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA BERDASARKAN KURIKULUM 2013
Teti Sobari ................................................................................................................ 472
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL AYAHKU BUKAN
PEMBOHONG KARYA TERE LIYE
Tri Wahyuni M dan Ratu Badriyah ...................................................................... 481
KARAKTER DEMOKRASI DALAM UNGKAPAN DAN PERIBAHASA
BAHASA SUNDA DAN INDONESIA
Umi Kulsum ............................................................................................................. 492
RELEVANSI DONGENG PADA GAMBAR VISUAL ANAK
Wanda Listiani dan Maylanny Christin ................................................................ 504
PENILAIAN AUTENTIK UNTUK MEMBANGUN KARAKTER
GENERASI MUDA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA
Wikanengsih ............................................................................................................ 510
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Woro Wuryani ......................................................................................................... 518
METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN NEGOSIASI PADA
PESERTA DIDIK KELAS X SEKOLAH MENENGAH ATAS (Upaya
Menanamkan Karakter Bersahabat dan Komunikatif pada Siswa)
Yeni Rostikawati ..................................................................................................... 538
IBU: INSPIRASI DARI BALIK JERUJI BESI (Membangun Karakter
Generasi Muda yang Berkonflik dengan Hukum)
Yostiani Noor Asmi Harini ............................................................................553
REKONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS APRESIASI SASTRA
Yusep Ahmadi F. .......................................................................................... 566
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
vii
METAFORIS DALAM KUMPULAN SAJAK ―BATU PELANGI‖:
SARANA PENYAMPAI PESAN BUDAYA UNTUK MEMBENTUK
KARAKTER BANGSA
Yusra Dewi, Sudaryono dan Nopriyando Eko S. ........................................ 578
viii
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PERANAN SASTRA DALAM
PENDIDIKAN GENERASI MUDA
Prof. Dr. D. Cristiana Victoria Marta, MA
Salah satu komponen seni adalah sastra. Sastra merupakan cara
pengungkapan perasaan peristiwa dan konsep-konsep tentang dunia dan
kehidupan Sastra masih dianggap sebagai seni kerkata, suatu bahasa yang
berbeda dari ‗norma‘ bahasa yang biasa. Cinta, alam, patriotisme, perjuangan,
nasib, dan perang, adalah sebagian dari tema-tema penting dalam
kesusasteraan baik lokal maupun universal atau dunia yang berhubungan
dengan masalah fundamental manusia dan masyarakat.
Minat terhadap nilai kesusasteraan yang di masa lampau dan masa
sekarang baik dari bangsa sendiri maupun dari bangsa lain semakin makin
besar. Mengetahui tentang karya sastra dari bangsa lain membantu untuk
melihat momen-momen tertentu, membantu untuk mengapresiasi bentukbentuk spesifik dari karya sastra, aliran kesusasteraan, gagasan, tema-tema, dan
motif-motif literar yang muncul dalam kesusateraan asing.
Sastra memainkan peranan penting dalam pembentukan dan pendidikan
generasi muda, karena memperluas wawasan pengetahuan, membantu dalam
pembentukan
karakter mereka dari berbagai sisi. Pertama, kesusasteraan
membantu dalam pembentukan selera untuk membaca
estetika.
dan implisit untuk
Dengan demikian, terbentuk dan berkembang selera untuk
menikmati sebuah karya sastra. Kedua, sastra membantu perluasan wawasan
dan pengetahuan di semua bidang. Dengan membaca mendapat hal baru,
mengembangkan cara berbicara, memperkaya kosa kata, melihat berbagai hal,
peristiwa, cerita dengan kaca mata lain, dan
membantu perkembangan
berpikir, intelektual, dan afektif. Misalnya, setelah membaca sebuah buku
sejarah, kita mendapat informasi baru yang dapat
mempengaruhi dalam
penilaian suatu fakta atau peristiwa, membentuk rasa hormat, dan rasa cinta
tanah air.
Dalam masyarakat masa kini yang menitikberatkan pada penemuan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sastra tetap memberikan kontribusi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
1
penting bagi manusia untuk berhasil dalam kehidupan. Kemampuan belajar,
bekerja, bahkan hidup bergantung dari bacaan.
James Mofett dan Betty Jane Wagner ( 1991:73) mengatakan bahwa
membaca buku erat hubungannya dengan pengetahuan umum individu.
Kompetensi yang diakumulasi selama membaca, misalnya menemukan pokok
bahasan dan ide sentral, kemudian mengembangkannya menurut pandangan
pribadi tentang kehidupan, merupakan hal penting dalam kehidupan seharihari. Praktek membaca memperkaya secara substansial pengalaman pribadi
dan merevitalisasi kapasitas beradaptasi terhadap permintaan masyarakat di
mana kita hidup.
Jadi, sastra bukan hanya sebuah objek sederhana, tetapi dia merupakan
juga suatu instrumen edukasi dan perkembangan individual, baik di masa studi
maupun dalam kehidupan pada umumnya. Kemampuan untuk membaca
merupakan kondisi fundamental keberhasilan dalam kehidupan. Selain itu,
peranan esensial seperti kompetensi berbicara, bahkan kompetensi diam,
bercakap, ketawa, dan lain-lain.
Buku bacaan atau sebuah karya sastra merupakan elemen sentral yang
membantu membentuk pikiran yang sehat, wawasan yang luas, dukungan
ketika kita sedang down, lebih dari seorang guru, seorang teman, atau kenalan.
Victor Hugo, seorang pengarang, poet, dan dramaturg terkenal di Perancis
(1875-1963) mengatakan bahwa : It is from books that wise people derive
consolation in the troubles of life. Suatu karya sastra merupakan cara
berkomunikasi dan merupakan suatu susunan kata dalam bentuk yang paling
ekpresif.
Remaja masa kini melihat realita dengan mata lain. Berjuang dengan
waktu, hampir lupa bahwa mereka
―hidup‖ , menjauhi dunia, menjauhi
bacaan, berarti menjauhi sastra. Pada masa kini statistik menunjukkan bahwa
murid atau mahasiswa yang mengunjungi perpustakaan makin sedikit, buku
yang mereka telah baca sudah lama dibacanya dan bahkan lupa judulnya.
Hanya sedikit orang yang mengingat judulnya dan mau membacanya kembali.
Membaca merupakan aktivitas yang sangat jarang ditemukan di kalangan
remaja, mereka lebih banyak menyukai internet, film atau games. Buku-buku
2
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
ditinggalkan walaupun buku lebih berharga dari pada hal yang lain. Waktu
membaca antara pembaca dan penulis terbangun suatu hubungan dan mereka
bertemu sepanjang cerita dan dalam konflik cerita itu. Sayangnya para
mahasiswa membaca hanya buku yang diwajibkan, ini juga kadang-kadang
tidak dibaca. Mereka berpola pikir upaya minim hasil maksimal. Seringkali
mereka menggunakan resume buku yang tersedia di internet. Perpustakaan
virtual lebih sering dikunjungi dari pada perpustakaan sekolah atau universitas.
Akan tetapi, gemar membaca bukan hanya buku tetapi juga bisa
majalah, artikel, blog dan yang lain atau berpartisipasi dalam seminar-seminar
atau kursus-kursus. Jika ingin mengisi waktu senggang , generasi muda lebih
suka nonton TV .
Padahal, membaca itu memberikan keuntungan yang dapat menuntun
kita dalam kehidupan.
Mengapa kesusasteraan itu penting?
Membaca berpengaruh terhadap perkembangan pribadi.
kognitif, membaca akan membantu
Pada level
perkembangan otak. Jika menyoroti
bahasa, perlu dipahami bahwa membaca adalah unsur vital dalam
perkembangannya, akan mampu dilakukan dekodifikasi yang lebih baik katakata polisemantis dan pemahaman makna kata,.
Dari segi memori, telah diteliti dan ditemukan
bahwa ada sebuah
hubungan yang erat antara tingkat aktivasi memori dan kemungkinan diagnosis
demensia dan Alzheimer, karena melalui bacaan, memori bisa mengaktifkan
mekanisme–mekanisme
spesifik,
memaksimalkan
kapasitas
otak
dan
menyempurnakan aspek seleksi dan prosesnya.
Imaginasi atau khayalan, sangat erat hubungannya dengan bacaan,
karena itulah yang mengolah informasi yang diterima dan mengubahnya agar
memiliki peranan untuk memperkaya kehidupan kita intern dan ekstern. Pada
level motivasional dapat kita melihat berbagai aspek,
apakah seseorang
bermotivasi menyelesaikan bacaan dan mendapat kepuasan pribadi
atau
termotivasi untuk membaca untuk berkembang dari segi sosial.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
3
Pada masa kini, masalah yang muncul adalah bahwa generasi muda
kurang memiliki orientasi nilai. Biasanya, generasi muda mencampurkan
informasi ilmiah dan keyakinan sendiri dengan fakta. Dari segi budaya dan
sosial, membaca adalah kesempatan evolusi manusia, kesempatan untuk
mengenal kemampuanya sendiri, untuk mengembangkan pemikiran rasional
berdasarkan kehidupan, yang tercermin dalam perkembangan intuitif.
Menanam minat terhadap baca membuka jalan untuk otonomi pemikiran, dan
meditasi.
Sastra merupakan faktor penting dalam kehidupan generasi muda
karena kesusasteraan membentuk karakternya. Jika kita berbicara tentang
karakter sehubungan dengan bacaan, terdapat hubungan erat lebih- lebih di
masa kanak-kanak di bawah pengaruh tokoh-tokoh di dalam buku. Hal ini
terjadi karena adanya empati, perasaan lain, bacaan menjadi sebuah contoh
mempelajari keberhasilan dan kegagalan para tokoh baik yang fiktif .
Sayangnya tidak semua orang gemar membaca. Beberapa orang
mengatakan bahwa tidak ada waktu, yang lain tidak menyukai kegiatan ini.
Akan tetapi, jika seorang tidak membaca, itu disebabkan oleh orang tua. Anakanak harus dibiasakan membaca sejak usia dini, bahkan kadang-kadang harus
dipaksa.
Orang tua harus mencintai juga membaca agar menjadi panutan atau
model bagi anaknya. Jika olahraga dan menari mempertahankan kesehatan
dan disiplin, membaca memiliki beberapa keuntungan. Jika kita membaca satu
jam per hari, itu baik untuk perkembangan psikis dan jiwa. Inilah beberapa
keuntungan membaca :
1. Memperkaya pembendaharaan kata. Sering kita temukan mahasiswa
atau juga murid yang sulit mengutarakan pikirannya dan juga tidak
memahami makna berbagai kata
2. Memperkaya wawasan. Ketika membaca buku, menemukan hal yang
baru dan tempat baru, ambisi terbangun dan muncul keinginan berhasil
dalam kehidupan. Jika orang yang membaca menderita atau punya
masalah, membaca akan memberikan dia solusi
4
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
3. Memperkaya pengetahuan. Di sekolah atau di bangku kuliah tidak
serba dipelajari. Oleh karena itu, harus banyak membaca. Kadangkadang seorang otodidak lebih cerdas dari pada orang yang mengikuti
alur pendidikan
4. Membuat kehidupan lebih indah dan lebih ringan. Seorang yang
membaca akan menggunakan informasi yang diperoleh di buku dalam
kehidupan sehari-hari
5. Mendidik dan mendisiplinkan. Di dalam buku ada tokoh protagonis
dan antagonis, begitu pula dalam kehidupan kita. Dengan prinsip
bahwa kebaikan selalu menang, pembaca
belajar bahwa dengan
penipuan dan kejahatan tidak akan berhasil di dalam masyarakat dan
kehidupan
6. Mengenal kehidupan. Di dalam buku terdapat masalah manusia, risiko,
kegagalan, dan sukses.
Dengan membaca, remaja terutama
akan
belajar bagaimana menghadapi masalah dengan optimisme. Buku
bacaan membentuk
manusia yang cerdas, romantis, percaya diri,
berani , baik, dan berempati
7. Membentuk kapasitas komunikasi yang benar dan koheren baik tulisan
maupun verbal
8. Mengembangkan selera estetis
9. Memahami berbagai genre sastra
10. Mengarahkan bagaimana membentuk visi dan mendapat nilai, hal yang
sulit tanpa kesusateraan
Kebiasaan membaca harus dibentuk sejak dini.
Orang tua harus
membantu anak agar membaca, menjadikannya sebagai suatu kebutuhan dan
kegemaran. Ada beberapa cara untuk membiasakan anak membaca sejak kecil.
Pertama adalah dibacakan dari kecil dongeng atau cerita, atau diceritakan di
waktu sengang atau sebelum tidur. Ketika anak mulai besar tentu saja mereka
ingin nonton film di TV dari pada membaca, karena sebuah film lebih
gampang dicerna dari pada sebuah buku. Akan tetapi, sebuah film tidak
menstimulasi imaginasi, karena segala sesuatu tampak di layar dengan jelas.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
5
Bagaimana membuat mereka membaca, agar memilih buku dan bukan film?
Dapat digunakan cara sebagai berikut.
1. Menerangkan bahwa film yang baik dibuat berdasarkan sebuah buku
dan film yang berdurasi 1 atau 2 jam tidak mungkin menceritakan
segala yang ada di sebuah buku. Jika anak tidak menerima, bisa
membaca buku bersama baru menonton film agar menyadari bahwa
buku lebih bagus dari pada film
2. Membaca atau diceritakan buku setiap hari atau dongeng
3. Jalan-jalan bisa memberi motivasi untuk membaca. Misalnya rambu
lalu lintas, warna, reaksi orang-orang, sejarah tempat dan banyak hal
yang lain dapat diceritakan sambil kegiatan jalan-jalan. Hal seperti ini
akan merangsang rasa ingin tahu dan dengan sendirinya akan mencari
lebih banyak informasi tentang apa yang menarik bagi dirinya.
4. Menggambar, belajar musik atau hal lain bisa dilakukan
sambil
membaca.
Setiap karya sastra yang bermutu berkontribusi dalam pengenalan
kehidupan secara mendalam. Akan tetapi, kekayaan informasi yang terdapat
dalam sebuah buku bukan hanya satu-satunya hal yang didapatkan oleh
individu, tetapi juga cara pengarang mempresentasikan hal-hal itu, dan
bagaimana dia menciptakan emosi dalam diri pembaca.
Buku-buku sekolah berisi cukup banyak pengetahuan meskipun bukan karya
sastra. Informasi ilmiah menawarkan informasi berharga membuat kita
berpikir, karena ilmu bekerja dengan rasio dan gagasan yang abstrak.
Karya sastra membuka aspek-aspek
realitas dan bersama ilmu
pengetahuan berkontribusi untuk menemukan kebenaran. Hanya metodenya
berbeda. Sastra
berangkat dari hal tunggal, dari tokoh-tokoh dan aksi
individual dan mengemukakan karakter tipikal mereka. Melalui deskripsi dan
kompleksitas keadaan jiwa manusia melalui kekuatan konflik, dari tokohtokoh , melalui kekuatan konflik, dan kekayan gagasan, pengarang membuka
secara nyata sebagian dari realitas.
Pengarang menstimulasi emosi pembaca, menariknya melalui bacaan,
kecantikan tempat, kehangatan perasaan, kebenaran gagasan, dan perjuangan
6
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dalam cerita.
Isi edukatif dari sebuah karya sastra terletak
pada nilai
artistiknya, dan kekuatan mendeskripsikan realitas, karena sebuah karya sastra
bisa memiliki nilai artistik hanya ketika mendeskripsikan realita , bagaimana
dapat menimbulkan emosi dalam diri pembaca dan meyakinkan pembaca akan
kebenaran gagasan. Karya sastra memberikan kemampuan kepada pembaca
untuk memahami diri sendiri dan memahami orang lain juga.
Selama membaca, antara pembaca dan penulis terdapat suatu jembatan
dan mereka bertemu di dalam atmosfir dan konflik cerita. Pembaca merasakan,
menjiwai perasaan penulis, mencintai, takut, atau membencinya. Bertemu
dengan tokoh – tokoh membuka pemikiran dan hobby, serta masalah
kehidupan.
Olliver Wendell Holmes , seorang pengarang dan penyair Amerika
mengatakan bahwa :
The best of a book is not the thought which it contains, but the thought which it
suggests; just as the charm of music dwells not in the tones but in the echoes of
our hearts.
Buku dan pembaca
Membaca
buku
merupakan
mempertahankan kondisi intelektual,
aktivitas
fundamental
untuk
cakrawala perasaan yang dijiwai,
kemampuan memahami kebahagiaan dan penderitaan orang lain. Ketika
berbicara dengan seseorang yang banyak membaca, kekayaan gagasan dan
pengetahuan sangat mempesona. Akan tetapi, kultur atau pendidikan bahkan
wawasan kesusateraan berarti lebih dari spesialitas terbatas dan itu dibentuk
hanya melalui kegiatan membaca terus menerus. Ada beberapa tipe pembaca:
1. Pembaca yang hobby membaca berbagai macam buku tanpa memilih
jenis apa
2. Pembaca
analis
yang
menyukai
baca
untuk
mengeksplorasi
pengetahuannya
3. Pembaca filosof dengan tendensi pemikiran kritis
4. Pembaca yang menganggap bahwa kesusasteraan menjadi materi
sekolah dan perlu dihiraukan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
7
Bagaimana sebuah buku dibaca ?
Sebuah buku dapat dipelajari dan dapat dibaca. Buku yang dapat dibaca
bergantung dari jenis buku dan tujuan yang ada. Sebuah buku jika dibaca
hanya untuk relaksasi biasanya tidak perlu melihat masalah-masalah yang ada
di dalamnya. Beda lagi jika kita membaca buku dengan tujuan tertentu. Tentu
saja pembaca tidak dapat mengigat segalanya. Dikatakan bahwa sebuah buku
harus dibaca dengan pensil di tangan, Biasanya, orang dewasa mengarisbawahi
atau membuat catatan di pinggir buku. Sekarang dapt dikatakan bahwa lebih
baik membaca dengan pensil di tangan dan buku tulis dekat kita.
Periode 10-14 tahun merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak
ke masa remaja. Pemikiran logis sudah terbentuk, kemapuan untuk memahami
sudah terpenuhi, pengalaman itu cukup kaya dan pengetahuan bermacammacam. Mereka mulai mimpi hal yang besar, kejadian istimewa di mana
mereka bisa membuktikan keberanian dan ketrampilan. Ini adalah masa
kontradiksi, kegembiraan, dan keberanian atau ketidakberanian. Pada usia ini
membaca akan membentuk karakter. Mereka mencari buku di mana dapat
menemukan solusi dari masalah mereka, mencari idola, pada masa ini harus
dihindari bacaan yang mendeskripsikan kehidupan dalam sisi negatif dan
sedih. Tokoh-tokoh juga harus optimis dan dan percaya diri.
Seorang pengajar kesusasteraan memainkan peranan yang penting
dalam perkembangan para anak didiknya. Dialah orang yang dapat
menumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra, menumbuhkan kegemaran
membaca.
Seorang pengajar memiliki profesi yang sangat penting yang menjamin
persiapan kepribadian generasi muda dan persiapan professional mereka. Hal
ini erat hubungannya dengan kehidupan aktivitas sosio-profesional dan moral.
Kepribadian pengajar bisa memiliki ciri:
1. Kualitas sikap, humanisme–harus menunjukkan sensibilitas, rasa
hormat
terhadap manusia, cinta terhadap anak-anak, karakter dan
moral terpuji, sederhana, sabar, optimis, dapat mengkontrol diri
8
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
2. Bertanggung jawab. Menurut Habert, seorang pengajar harus
bertanggung jawab terhadap anak didik, masa depan anak didik,
bersikap didaktik dan edukatif.
3. Membentuk anak didik untuk menjadi pemikir, komunikatif, mengikuti
perkembangan psikis anak didik, memiliki empati, imaginasi, dan
kreatif.
Ada tiga tipe pengajar :
a. Spontan, impulsif, dan menyukai anak didik yang rajin, yang penurut
b. Perfeksionis, serba teratur, mengajar efisien,
c. Tekun, efisien mengajar dan senang anak didik rajin
Selain kesusasteraan lokal, kesusasteraan dunia juga sangat penting
untuk dipelajari. Kesusateraan dunia sangat kaya akan karya sastra dari
pengarang terkenal seperti Corneille, Racine, Voltaire, Boileau, Moliere,
Cervantes, Tolstoy, Dostoyevsky, dll. Dengan mempelajari karya sastra dari
pengarang asing akan memahami berbagai peristiwa yang terjadi di dunia,
akan memahami pola pikir bangsa lain, dan juga akan menikmati gaya
penulisan yang berbeda. Misalnya, siapa yang tidak mendengar tokoh Don
Quijote seorang prajurit miskin yang sangat suka membaca novel-novel yang
menstimulasi jiwa dan pikirannya untuk melakukan kebaikan? Don Quijote
tidak ingin menjadi raja, bukan juga pemimpin, dia hidup untuk orang lain,
berjuang untuk menghilangkan kejahatan, agar kebenaran menang di bumi ini.
Siapa yang tidak tahu tokoh Rodrigo dalam karya Corneille ― Le Cide‖
yang membela harga diri dan mengorbangkan cintanya? Atau tokoh Emma
Bovary dalam karya Flaubert ―Madame Bovary‖ ? Atau Anna Karenina di
karya Dostoyevsky?
Ini adalah hanya beberapa tokoh dari ribuan tokoh yang terdapat di
karya sastra dunia. Masih banyak tokoh yang dapat mengispirasi pembaca,
belum lagi peristiwa-peristiwa yang dideskripsikan. Oleh karena itu,
kesusasteraan dunia pun harus menjadi bagian dari pembelajaran sastra. Jika
murid/ mahasiswa tidak membaca karya-karya yang penting dari kesusasteraan
dunia sulit untuk memahami pola pikir orang lain yang sangat mereka
butuhkan di kehidupan kelak. Kesusasteraan dunia memberikan solusi dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
9
saran untuk komunitas dan masyarakat yang memiliki pengalaman yang sama.
Bersama dengan sejarah dan agama, kesusasteraan dunia berkontribusi dalam
pembentukan perasaan, identitas nasional, dan patriotisme bisa juga
ditanamkan melalui karya asing.
Penutup
Melalui bacaan, terbentuk pengetahuan dan volumenya dapat menjadi
fleksibel, berarti makin banyak membaca makin banyak pengetahuan yang
terakumulasi dan memiliki wawasan makin luas. Ketika berbicara tentang
pemikiran sebagai proses psikis kognitif superior dan dampaknya terhadap
bacaan terhadap pemikiran harus digaris bawahi bahwa dengan membaca
menurun kemungkinan ketepatan fungsional berkembang kapasitas analogi
dan pemikiran berrtendensi menjadi divergen dan berorientasi pada strategi
euristik dalam penyelesaian masalah maka manusia akan mampu keluar dari
masalah.
Ini bukan berarti harus selalu baca dan tidak melakukan hal; lain, ini
bergantung dari kita sendiri apakah bisa membagi kegiatan kita dan
menjalankan semua aspek kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Agathocleous, Tanya and Ann C. Dean. Teaching Literature: A Companion,
Palgrave Macmillan : New York, 2003
Alderman, M.Kay. Motivation for acchivement: Possibilities for Teaching and
Learning, Mahwah : Lawrence Erlbaum assoc.,2004
Felman, Jyl Lynn. Never a Dull Moment : Teaching and Art of Performance.
New York : Routledge, 2001
Moffett, James & Wagner Betty Jane. Student Centered Reading Activities,
The English Journal, Vol.80,No.6
10
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
11
12
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
13
14
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
15
16
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
17
PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MAHASISWA
MELALUI MATA KULIAH BAHASA INDONESIA
DI PERGURUAN TINGGI
Abdul Azis dan Nurwati Syam
Jurusan BSI FBS UNM Makassar
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Pengembangan Kepribadian Mahasiswa melalui Mata Kuliah Bahasa Indonesia
di Perguruan Tinggi. Mata kuliah Bahasa Indonesia di PT pada dasarnya bertujuan
untuk membantu mahasiswa dalam menguasai kaidah-kaidah bahasa untuk digunakan
dalam bentuk lisan maupun tulisan. Diharapkan mahasiswa mampu menggunakan
Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, pembelajaran Bahasa Indonesia
seharusnya sudah bukan dalam bentuk teori akan tetapi lebih dalam bentuk
pengaplikasian dalam menulis dan berbicara sesuai dengan bidang studinya. Akan
tetapi, sebagian mahasiswa masih mengesampingkannya dan belum dapat
menggunakannya secara maksimal sebagai media memublikasikan karya. Pesatnya
perkembangan informasi sekarang ini, menuntut masyarakat akademik di perguruan
tinggi untuk memiliki kemampuan menulis guna menunjang pembelajaran serta dalam
rangka menyemarakkan dan menggairahkan kebudayaan nasional. Pengajaran Bahasa
Indonesia akan lebih terasa manfaatnya jika tujuan pengajaran dilakukan secara
bertingkat mulai SD hingga PT. Tingkat PT mengacu pada kemampuan mahasiswa
untuk menransformasi pengetahuan dalam bahasa yang lebih tinggi, mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kata Kunci: Bahasa Indonesia, kepribadian, potensi diri
PENDAHULUAN
Penerapan pengetahuan kebahasaan di dalam berbagai objek adalah
suatu aktifitas. Aktifitas dalam pengajaran bahasa bukanlah studi teoretis,
melainkan penerapan temuan dalam studi teoretis. Orang yang bergerak dalam
pengajaran kebahasaan (dosen bahasa) adalah pengguna teori dan bukanlah
penghasil teori bahasa. Mereka hanya pengguna teori yang dihasilkan oleh
pakar bahasa atau ahli bahasa. Menurut Stevick (dalam Pateda, 2006), tugas
dosen bahasa meliputi tiga hal. Ketiga tugas itu adalah (1) mengembangkan
18
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
potensi komunikasi, (2) mengembangkan potensi kebahasaan, dan (3)
mengembangkan potensi personal.
Tugas dosen yang berhubungan dengan upaya mengembangkan
kompentensi komunikasi mengacu pada upaya agar mahasiswa mampu
berkomunikasi, baik sesama teman maupun dengan manusia lain. Tugas
utamanya adalah berusaha agar mahasiswa berani dan tidak ragu-ragu untuk
mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya. Ketiga domain itu tentu
harus menggunakan bahasa yang benar. Mahasiswa harus memahami kaidahkaidah bahasa yang digunakan ketika ia berkomunikasi. Hal itu perlu agar
tidak terjadi salah paham.
Kompetensi berkomunikasi dan kompetensi kebahasaan bersama-sama
akan memperkuat kemandirian mahasiswa sebagai makhluk yang berkembang
dan didengar pendapatnya. Keberanian berkomunikasi menggunakan bahasa
yang tepat menimbulkan rasa kepercayaan pada diri sendiri bahwa ia
merupakan pribadi yang berarti. Ia tidak akan ragu-ragu karena ia mengetahui
kemampuan dirinya. Dalam keadaan tertentu ia dapat menentukan sikap
terhadap
sejumlah
alternatif
yang
dihadapinya
karena
kompentensi
personalnya telah berkembang sedemikian melalui interaksi positif antara
dosen dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa, dosen dan
mahasiswa dengan lingkungan.
Kompentensi berkomunikasi dan kompentensi kebahasaan berkembang
secara baik apabila pada diri mahasiswa sendiri terdapat motivasi. Motivasi
yang
dimaksud
adalah
berkomunikasi,
mengembangkan
komunikasi
kebahasaan bahkan mengembangkan komunikasi personal.
PEMBAHASAN
Dosen dan Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Tugas dosen memang berat karena dosen bukanlah manusia yang
menghadapi benda mati, bukan menghadapi tumpukan kertas, dosen bukanlah
dosen tik yang kalau salah mengetik tersedia tip ex untuk memperbaiki
kesalahan itu. Dosen adalah manusia biasa yang penuh keterbatasan. Selain itu,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
19
ia menghadapi manusia yang sedang berkembang yang memiliki sejumlah
potensi yang harus dilacak dan dikembangkan.
Secara ideal, seorang dosen Bahasa Indonesia adalah seorang ahli
Bahasa Indonesia, peneliti, dan penulis bahan pelajaran kebahasaan. Ia juga
harus selalu mendalami dan mengikuti perkembangan ilmu yang diajarkannya.
Seorang dosen Bahasa Indonesia mau tidak mau harus menguasai kebahasaan.
Sekali pun harapan ideal pertama, yaitu menjadi ahli bahasa dapat diperlunak,
tetapi dengan pengetahuan kebahasaan yang dimiliki, dosen Bahasa Indonesia
dapat mengajarkan aspek Bahasa Indonesia sehingga mahasiswa dengan
mudah menguasai bahan yang diajarkan.
Seorang dosen Bahasa Indonesia tidak boleh hanya mengajarkan
kaidah-kaidah Bahasa Indonesia. Kaidah Bahasa Indonesia dapat diajarkan
untuk menuntun pola penggunaan Bahasa Indonesia ketika mahasiswa
berkomunikasi. Dosen sebaiknya memahami bagaimana agar kaidah bahasa
yang dianalisis berdasarkan konsep kebahasaan dapat menampakkan diri
dalam pemakaian bahasa mahasiswa. Hal itu perlu ditekankan karena dosen
Bahasa Indonesia tidak mengajar mahasiswa menjadi ahli Bahasa Indonesia,
tetapi berusaha agar mahasiswa mahir berbahasa.
Mahasiswa adalah bibit unggul bangsa yang pada masanya nanti bibit
ini akan melahirkan pemimpin dunia. Karena itulah diperlukan pendidikan
moral dan akademis yang akan menunjang sosok pribadi mahasiswa.
Kepribadian mahasiswa akan tumbuh seiring dengan waktu dan mengalami
proses pembenahan, pembekalan, penentuan, dan akhirnya pemutusan prinsip
diri. Negara, masyarakat masa datang, diperlukan ilmu yang cukup untuk dapat
mendukung kokohnya pendirian suatu negara.
MPK Bahasa Indonesia dan Kepribadian Bangsa
MPK Bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan sikap
dan mental mahasiswa yang cerdas dan memiliki rasa tanggung jawab yang
penuh. Selain itu, menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
kepentingan bangsa dan negaranya sesuai dengan aturan yang berlaku.
20
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dengan dihasilkannya mahasiswa yang berkompetensi dalam MPK
Bahasa Indonesia, maka akan meminimalisir masalah yang kompleks dalam
permasalahan kesadaran dalam berkomunikasi yang santun dan bangsa
Indonesia akan menjadi lebih aman dan tentram.
Di Perguruan Tinggi (PT) baik negeri maupun swasta di Indonesia ini
terdapat Mata Kuliah Dasar Umum Bahasa Indonesia. Mata kuliah tersebut
bersifat wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa di setiap jurusan terkecuali di
jurusan Bahasa Indonesia karena memang sedang memperdalam ilmu
kebahasaan Indonesia. Kewajiban untuk mempelajari Bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai berikut: Pertama, mempelajari Bahasa Indonesia merupakan
suatu bentuk rasa nasionalisme, suatu bentuk kecintaan terhadap bangsa dan
negara sebagaimana tertuang di Sumpah Pemuda. Kedua, sebagai alasan sosial
sebagaimana yang kita ketahui bahwa angka pengangguran di Indonesia sangat
tinggi. Dengan ada kebijakan wajibnya pembelajaran Bahasa Indonesia di PT
maka lulusan dari jurusan Bahasa Indonesia dapat tersalurkan. Fenomena ini
pun dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi angka pengangguran.
Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa pemahaman Bahasa Indonesia yang
dipelajari dari SD hingga SMA belum menjadi fondasi yang kuat untuk
menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Hal ini yang membuat
mata kuliah Bahasa Indonesia yang wajib diikuti bagi seluruh mahasiswa,
walaupun mengulang pelajaran-pelajaran terdahulu.
Mata kuliah Bahasa Indonesia di PT pada dasarnya bertujuan untuk
membantu mahasiswa dalam menguasai kaidah-kaidah bahasa untuk
digunakan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Diharapkan mahasiswa mampu
menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Selain itu, tujuan
pembelajaran Bahasa Indonesia di PT untuk mengetahui sejarah perkembangan
bahasa.
Melihat tujuan pengajaran tersebut, terlihat adanya tidak tepat guna
dalam pengajaran Bahasa Indonesia. Jika pembelajaran Bahasa Indonesia
memfokuskan hanya pada EYD, maka tidak akan terjadi peningkatan
kemampuan bahasa. Apabila pengajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk
mengetahui sejarah perkembangan bahasa maka pembelajaran akan terasa sia-
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
21
sia. Alangkah lebih baiknya jika pembelajaran Bahasa Indonesia difokuskan
kepada bidang studi yang dipelajari oleh mahasiswa tersebut. Sebagai contoh
mahasiswa Jurusan Teknik, seharusnya lebih mempelajari bagaimana
penggunaan Bahasa Indonesia di bidangnya sehingga akan sangat membantu
dalam peningkatan keilmuan di bidang tersebut. Dari contoh kasus tersebut,
seharusnya PT lebih mengetahui dan memahami kebutuhan dari para
mahasiswa untuk mendukung dalam peningkatan pembelajaran di bidang
studinya. Pembelajaran Bahasa Indonesia seharusnya sudah bukan dalam
bentuk teori akan tetapi lebih dalam bentuk pengaplikasian dalam menulis dan
berbicara sesuai dengan bidang studinya.
Pengajaran Bahasa Indonesia akan lebih terasa manfaatnya jika tujuan
pengajaran dilakukankan secara bertingkat mulai SD hingga PT. Sebagai
contoh, pengajaran di SD mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk
membaca dan menulis, pengajaran di SMP mengacu pada kemampuan
mahasiswa untuk menggunakan bahasa dalam memenuhi kebutuhan seharihari, di tingkat SMA mengacu pada kemampuan mahasiswa untuk mengakses
ilmu pengetahuan dan di tingkat PT mengacu pada kemampuan mahasiswa
untuk mengtransformasi pengetahuan dalam bahasa yang lebih tinggi.
Pada kenyataan sekarang ini acuan-acuan atau tujuan-tujuan dalam
pengajaran bahasa pada tiap tingkat terlihat kurang terpenuhi. Pengajaran
materi yang sama dari SD hingga PT tidak akan mengubah mahasiswa dalam
penguasaaan Bahasa Indonesia dengan maksimal. Dalam hal ini sebaiknya
pihak pengembang kurikulum Bahasa Indonesia baik SD, SMP, SMA maupun
PT harus mulai melek terhadap fenomena ini.
Perguruan tinggi (PT) diminta untuk memberikan ruang lebih besar
terhadap pendalaman Bahasa Indonesia sebab peran Bahasa Indonesia sangat
penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Dendy Sugono, Kepala Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (dalam Nikelas, 2008) menyatakan,
―PT tidak boleh mengerdilkan peran Bahasa Indonesia. Apalagi, sampai
Bahasa Indonesia tergeser oleh bahasa asing‖. Dia mengatakan, minimnya
peran PT untuk memberikan pendalaman Bahasa Indonesia bagi mahasiswa
bisa dilihat dari kurikulum yang diterapkan.―Bahasa Indonesia memang
22
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dipakai dalam tes masuk PT dan PTN. Namun, setelah tes, saat pembelajaran,
mata kuliah Bahasa Indonesia tidak terlalu didalami. Memang tidak semua PT
begitu. Ada juga PT yang memang tetap memprioritaskan Bahasa Indonesia,‖
katanya.
Namun, masih banyak orang yang menganggap Bahasa Indonesia itu
sulit. Sejak duduk di Sekolah Dasar (SD) sampai masuk ke jenjang Perguruan
Tinggi (PT), masih dipertemukan dengan pelajaran Bahasa Indonesia.
Sebenarnya banyak alasan dan faktor-faktor yang menjadi pemicu mengapa
Bahasa Indonesia masih saja dipelajari.
Pertama, alasan yang paling utama dan sudah menjadi fakta umum
adalah bahwasanya Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang sudah sejak lama dikumandangkan oleh para pemuda
bahkan sebelum adanya UUD 1945. Sudah sewajarnya, kita sebagai bangsa
Indonesia menjadikan Bahasa Indonesia sebagai identitas negara kita yang
diakui oleh undang-undang dan diakui di mata dunia.
Kedua, Bahasa Indonesia adalah pemersatu. Para pemuda di zaman
dahulu telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia dengan bahasa yang satu
Bahasa Indonesia melalui semangat Sumpah Pemuda 1982. Sebagai penerus
para pejuang kita harus menjaga dan melestarikan Bahasa Indonesia.
Ketiga, sangat penting Bahasa Indonesia untuk dipelajari secara baik
dan benar sebagai alat untuk mengenali dan mengembangkan kebudayaan yang
bangsa Indonesia miliki. Bagaimana mungkin kita mengapresiasi hasil karya
seperti syair, puisi, cerita dan lainnya jika kita tidak mengerti dan memahami
serta mempelajari karya-karya tersebut. Tugas kitalah untuk mengembangkan
dan menjaga serta mengapresiasi kebudayaan itu agar dapat dikenali terus.
Cara untuk melakukan semua ini adalah dengan terus mempelajari Bahasa
Indonesia.
Keempat, komunikasi yang dilakukan oleh setiap orang tidak hanya
secara lisan melainkan secara tulisan. Dalam hal ini Bahasa Indonesia
dipelajari untuk penulisan kata yang baik dan benar juga dalam penulisan kata
baku. Tidak mungkin kita menulis surat resmi dengan kata-kata yang
berantakan, ataupun dengan menggunakan bahasa lisan yang tidak ada
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
23
intonasi, nada bicara ataupun mimik wajah. Mempelajari Bahasa Indonesia
dalam hal ini berfungsin agar tidak ada kesalahpahaman.
Kelima, dapat saling memahami. Dengan saling memahami dengan
orang lain kita akan mudah dalam belajar, bekerja, atau melakukan berbagai
aktivitas. Semakin kita mampu memahami orang lain, maka orang lain akan
semakin memahami kita. Dengan begitu, kita akan semakin populer dan
semakin berhasil dalam bermasyarakat.
Keenam, dalam bermasyarakat kita sering mendengarkan pembicaraan
orang lain, membaca tulisan orang lain, mewicara atau berbicara dengan orang
lain. Dalam hal ini, Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan karena bahasa seharihari yang digunakan adalah Bahasa Indonesia.
Ketujuh, sebelum memahami struktur bahasa asing, alangkah baiknya
jika kita mampu memahami struktur bahasa bangsa sendiri. Aneh rasanya jika
kita sebagai bangsa Indonesia tidak mampu memahami struktur kalimat
Bahasa Indonesia.
Dalam era globalisasi masa kemajuan informatika dan komunikasi
setiap individu dituntut untuk menyumbangkan karya kreatifnya dan
menuangkannya dalam bentuk tulisan. Terutama bagi kalangan mahasiswa
yang dituntut untuk selalu berkarya baik berbentuk tulis maupun nontulisan.
Akan tetapi dalam dunia tulis menulis di kalangan mahasiswa, masih banyak
kerancuan yang menyimpang dari kaidahnya dalam tulisan. Apa lagi budaya
menulis yang sesuai kaidah EYD sudah mulai terlupakan akibat dari kemajuan
teknologi dan informatika yang bersifat instan. Selain itu, gairah tulis menulis
telah mengalami penurunan, sehingga tidak heran di kalangan mahasiswa lebih
menyukai copy paste dari karya orang ataupun membeli karya orang yang
diaku sebagai karyanya. Padahal dengan kemajuan teknologi dan informatika,
membuka lahan yang seluas-luasnya bagi manusia untuk terus berkarya dan
menuangkan segala bentuk kreativitasnya, terutama dalam bentuk tulisan.
Misalnya dalam dunia internet tersedia berbagai informasi yang dapat
menambah pengetahuan dan wawasan serta wadah yang siap menampung
segala kreativitas dan uneg-uneg manusia yang berupa tulisan seperti situs blog
maupun jejaring sosial. Akan tetapi kebanyakan mahasiswa Indonesia masih
24
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mengenyampingkannya dan belum dapat menggunakannya secara maksimal
sebagai media mempublik karya. Pesatnya perkembangan arus informasi
sekarang ini, menuntut masyarakat akademik di perguruan tinggi untuk
memiliki kemampuan menulis guna menunjang pembelajaran serta dalam
rangka menyemarakkan dan menggairahkan kebudayaan nasional. Di kalangan
intelektual, gagasan lebih sering disampaikan secara lisan melalui seminar,
diskusi interaktif, debat, dan sejenisnya, namun sering tidak dilengkapi dengan
bahan tertulis. Membuat karya tulis masih merupakan pekerjaan yang amat
berat bagi sebagian orang, termasuk mahasiswa (Supriadi, 2007).
Kemahiran berbahasa Indonesia bagi mahasiswa di Indonesia tercermin
melalui tatapikir, tataucap, tatatulis, dan tatalaku berbahasa Indonesia dalam
konteks ilmiah atau akademis. Oleh karena itu, Bahasa Indonesia masuk ke
dalam kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian mahasiswa, yang
kelak akan menjadi insan terpelajar yang terjun ke dalam kancah kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagai pemimpin dalam lingkungan mereka masingmasing. Mahasiswa diharapkan kelak dapat menyebarkan pemikiran dan ilmu
mereka, mereka diberi kesempatan untuk melahirkan karya tulis ilmiah dalam
berbagai bentuk, dan menyajikannya dalam forum ilmiah. Kesempatan berlatih
diri dalam menulis akan mengambil proporsi sebesar 70% dibandingkan dalam
penyajian lisan. Jadi, praktik penggunaan Bahasa Indonesia dalam dunia
akademik karya ilmiah mendapatkan perhatian yang sangat tinggi dalam
perkuliahan pengembangan kepribadian (Yacub Nasucha, dkk., 2009).
Pelaksanaan pembelajaran MPK Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi
yang sampai dengan saat ini masih saja mengalami kendala-kendala. Kendalakendala ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor dosen
dan mahasiswa itu sendiri. Satu hal yang sangat memprihatinkan, pembelajaran
Bahasa Indonesia bagi mahasiswa Indonesia dianggap tidak berhasil. Salah
satu indikatornya adalah nilai MPK Bahasa Indonesia yang kadang masih
rendah dan tidak jarang pula masih tertinggal jauh dari Mata Kuliah eksak dan
bahasa asing.
Faktor lain yang menyebabkan lemahnya penguasaan Bahasa Indonesia
di perguruan tinggi, antara lain: (1) Bahasa Indonesia merupakan Mata Kuliah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
25
minoritas di beberapa perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta; (2) Ada
beberapa pendapat yang menganggap bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa
yang mudah, hal ini ditegaskan oleh pendapat James Sneddon(dalam Wieke,
2009), associate professor dari Griffith University, yang menyayangkan
bentuk promosi yang menekankan bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa
yang mudah.
Sasaran MPK Bahasa Indonesia dan Pengembangan Kepribadian
Mahasiswa
Landasan dan pola pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri didasarkan pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada pasal 3 tentang Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Lebih lanjut ditegaskan lagi pada pasal 36, ayat (3) tentang kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan memperhatikan: (1) Peningkatan iman dan takwa;
(2) Peningkatan akhlak mulia; (3) Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat
peserta didik; (4) Keragaman potensi daerah dan lingkungan; (5) Tuntutan
pembangunan daerah
dan nasional;
(6)
Tuntutan dunia kerja; (7)
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (8) Agama; (9)
Dinamika perkembangan global; dan (10) Persatuan nasional dan nilai-nilai
kebangsaan. Dalam pasal 38, ayat (3) juga disebutkan tentang kurikulum
pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.
Alasan Bahasa Indonesia masih harus dijadikan Mata Kuliah dan
dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan
tinggi tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
26
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi
menyelenggarakan beberapa Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang
lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah
Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, Mata Kuliah Bahasa Indonesia
dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu
berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK.
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan
kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
berkepribadian mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Kompetensi umum dan kompetensi khusus pada pembelajaran Mata
Kuliah Pengembangan Kepribadian Bahasa Indonesia di perguruan tinggi,
adalah: (1) Kompetensi umum: mahasiswa mampu mengungkapkan pikiran
dan gagasan secara efektif, efisien, dan komunikasi dalam menulis ilmiah,
laporan, surat, proposal, dan mampu berbahasa lisan dalam berbahasa lisan
secara spontan maupun terencana; (2) Kompetensi khusus: mahasiswa
berpengetahuan memadai dan merasa bangga tentang arti, sejarah, kedudukan,
fungsi Bahasa Indonesia; mampu menjelaskan ciri ragam bahasa ilmiah dan
mengaplikasikannya dalam kinerja akademik; mampu membaca kritis bagi
keperluan penulisan ilmiah dan kegiatan akademis; mampu menjelaskan ciriciri makalah akademik, artikel, laporan, proposal, surat resmi, naskah dan
praktik berpidato, berdiskusi yang efektif, efisien, dan komunikatif;
mengaplikasi proses penulisan makalah ilmiah, artikel, laporan, proposal, surat
resmi, dan naskah pidato dengan ragam bahasa baku; mengaplikasi langkahlangkah presentasi ilmiah secara efektif dan menarik dalam situasi formal; dan
terampil menyajikan presentasi ilmiah dengan multimedia (Syihabuddin,
2006).
Sejalan dengan itu, maka Visi dan Misi dari Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian, yaitu Visi: Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai
salah satu sarana pengembangan kepribadian insan terpelajar yang mahir
berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia dengan santun. Misi: (1) Membina
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
27
mahasiswa bangga berBahasa Indonesia dalam berbagai forum dan
bertanggung jawab untuk memeliharanya dengan sungguh-sungguh; (2)
Memotivasi mahasiswa merefleksikan nilai-nilai budaya melalui bahasa
persatuannya dalam kehidupan sehari-hari; (3) Membina pembelajaran Bahasa
Indonesia di perguruan tinggi semakin berkualitas sesuai dengan pembelajaran
yang
berkualitas
dalam
menggunakan
Bahasa
Indonesia
dan
mengaplikasikannya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni, dan budaya dengan rasa tanggung jawab sebagai warga Negara Indonesia
dan warga dunia (Widjono, 2007).
Pada
Departemen
Surat
Keputusan
Pendidikan
Direktur
Nasional
Jenderal
Republik
Pendidikan
Tinggi
Indonesia
Nomor
43/DIKTI/Kep./2006 dijelaskan pula tentang rambu-rambu pelaksanaan
kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan
Tinggi, yakni Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan MPK Bahasa
Indonesia. Merujuk pada SK tersebut Bahasa Indonesia harus diajarkan di
semua program studi D-3 dan S-1 sebagai Mata Kuliah pengembangan
kepribadian. Dengan demikian, semakin lebar peluang untuk mengembangkan
Bahasa Indonesia secara lisan dan tertulis untuk semua mahasiswa yang
berlatar belakang geografis berbeda-beda (Rahayu, 2007). Menurut Dendy
Sugono (dalam Nikelas, 2008), hal ini dilakukan mengingat peran Bahasa
Indonesia sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga
perguruan tinggi diminta untuk memberikan ruang lebih besar terhadap
pendalaman Bahasa Indonesia.
Selain itu, Bahasa Indonesia itu penting untuk dipelajari diperguruan
tinggi, dikarenakan di universitas setiap mahasiswa berasal dari berbagai
daerah di Indonesia. Kemudian, Bahasa Indonesia sebagai panduan untuk
penyusunan dan penggunaan tata bahasa yang baik dan benar dalam
komunikasi ilmiah (skripsi, tesis, disertasi, dan lain-lain). Selain itu
mempelajari Bahasa Indonesia bagi mahasiswa di universitas sama halnya
seperti mempelajari mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA, namun
pembahasan di universitas lebih spesifik dan mendalam, dan sebagian besar
28
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mahasiswa masih tetap ingin mempelajari Bahasa Indonesia dikarenakan agar
mereka mampu bertata bahasa dengan baik dan benar.
Diajarkannya mata kuliah Bahasa Indonesia di berbagai universitas dan
perguruan tinggi memiliki tujuan umum yang meliputi:
1. Menumbuhkan kesetiaan terhadap Bahasa Indonesia, yang nantinya
diharapkan dapat mendorong mahasiswa memelihara Bahasa
Indonesia.
2. Menumbuhkan kebanggan terhadap Bahasa Indonesia, yang
nantinya diharapkan mampu mendorong mahasiswa mengutamakan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambing identitas bangsa.
3. Menumbuhkan dan memelihara kesadaran akan adanya norma
Bahasa Indonesia, yang nantinya diharapkan agar mahasiswa
terdorong untuk menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan
kaidah dan aturan yang berlaku.
Selain tujuan umum, Mata kuliah Bahasa Indonesia ini juga memiliki
tujuan khusus. Secara khusus mata kuliah ini bertujuan agar mahasiswa, calon
sarjana, terampil dalam menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, baik apakah itu secara lisan, ataupun tertulis, sebagai pengungkapan
gagasan ilmiah.
Jika dilihat dari tujuan diberikannya mata kuliah ini sebenarnya cukup
jelas apalagi di zaman seperti ini khususnya anak muda generasi penerus
Bangsa saat ini kurang sadar akan pentingnya berBahasa Indonesia yang baik
dan benar, kurang merasa bangga dengan bahasa nasional, contohnya adanya
bahasa gaul yang malah lebih sering digunakan sehari-hari sampai diterbitkan
pula kamus bahasa gaul, apakah ini berarti Bahasa Indonesia sudah dilupakan?
Maka dari itu dengan adanya mata kuliah Bahasa Indonesia ini setidaknya
mempunyai harapan untuk para penerus bangsa agar tidak pernah melupakan
bahasa Ibu mereka, yaitu Bahasa Indonesia.
Manfaat mempelajari Bahasa Indonesia secara umum ini dilakukan
untuk:
1. Menumbuhkan sikap bahasa yang positif terhadap Bahasa
Indonesia;
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
29
2. Menjadi bahasa pemersatu dari berbagai bahasa dari tiap daerah di
Indonesia;
3. Kebanggaan terhadap bangsa Indonesia;
4. Kesetiaan akan Bahasa Indonesia;
5. Meningkatkan kesadaran akan adanya norma dalam berbahasa dan
secara khusus bertujuan untuk terampil berBahasa Indonesia
dengan baik dan benar.
Hubungan MPK Bahasa Indoensia dengan Pengembangan Kepribadian
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 menyatakan ―Kami putra dan putri
Indonesia mengaku bertanah air satu – tanah air Indonesia. Kami putra dan
putri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri
Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.‖ Sumpah
ini membuktikan bahwa pengakuan bertanah air satu, berbangsa satu
Indonesia, dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia,
memiliki fungsi yang luarbiasa dalam mengembangkan kepribadian bangsa.
Fungsi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia senantiasa
berkepribadian, berperilaku, dan berbudi bahasa khas Indonesia.
Pengalaman berbahasa yang amat berharga dalam pengembangan
kepribadian ini kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang Dasar1945 yang
menyatakan bahwa bahasa negara adalah Bahasa Indonesia. Penegasan ini
menunjukkan kedudukan dan fungsi yang bersifat formal. Sebagai bahasa
negara, bahasa ini harus digunakan dalam berbagai komunikasi resmi baik
dalam lembaga pemerintah maupun nonpemerintah,termasuk diberbagai
tingkat lembaga pendidikan di negara Republik Indonesia.
Sejak tahun 2002, Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai mata kuliah
wajib bagi setiap mahasiswa di perguruan tinggi dalam kelompok mata kuliah
pengembangan
kepribadian.
Hal
ini,
selain
untuk
mengembangkan
kepribadian, juga untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai sarana
komunikasi ilmiah bagi mahasiswa dan ilmuwan lulusan perguruan tinggi.
Pengalaman membuktikan bahwa jumlah penulisan buku ilmiah di Indonesia
relatif kecil. Di sisi lain, hampir setiap mahasiswa mengeluh jika ditugasi oleh
30
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dosen untuk menulis makalah, kertas kerja (paper), skripsi, atau karangan
ilmiah lainnya. Sekalipun mengeluh tugas tersebut memang dibuat oleh
mahasiswa, namun bahasa yang digunakan belum memenuhi harapan.
Sebagai mata kuliah pengembang kepribadian, pengajaran Bahasa
Indonesia bertujunan agar mahasiswa memahami konsep penulisan ilmiah dan
menerapkannya dalam penulisan karya ilmiahnya. Untuk itu, mahasiswa
dibekali bekali berbagai keterampilan kognitif, psikomotorik, dan afektif yang
terkait dengan penggunaan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang
sekaligus dapat mengembangkan kecerdasan, karakter, dan kepribadiannya.
Melalui
pembelajaran,
penguasaan
Bahasa
Indonesia
dapat
mengembangkan berbagai kecerdasan, karakter dan kepribadian. Orang yang
menguasai
Bahasa
Indonesia secara aktif
dan pasif akan
dapat
mengekspresikan pemahaman dan kemampuan dirinya secara sistematis, logis
dan lugas. Hal ini dapat menandai kemampuan mengorganisasi karakter
dirinya yang terkait dengan potensi daya pikir, emosi, keinginan, dan
harapannya yang kemudian diekspresikannya dalam berbagai bentuk artikel,
proposal proyek, penulisan laporan, dan lamaran pekerjaan.
Di sisi lain, orang yang menguasai Bahasa Indonesia dengan baik akan
mampu pula memahami konsep-konsep, pemikiran, dan pendapat orang lain.
Kemampuan ini akan dapat mengembangkan karakter dan kepribadiannya
melalui proses berpikir sinergis, yaitu kemampuan menghasilkan konsep baru
berdasarkan
pengalaman
yang sudah
dimilikinya
bersamaan
dengan
pengalaman yang baru diperolehnya. Dampaknya, oarang yang berkarakter
demikian akan menjadi lebih cerdas dan kreatif dalam memanfaatkan situasi,
stimulus, dan pengalaman baru yang diperolehnya.
Kecerdasan yang didukung oleh kepribadian dan moral yang tinggi
memungkinkan setiap orang senantiasa menggali potensi yang ada di
sekitarnya dan mengembangkannya menjadi kreativitas baru. Kecerdasan ini
memungkinkan seseorang memiliki kepekaan yang tinggi untuk memanfaatkan
kekayaan budaya, seni, iptek, dan kekayaan alam menjadi sumber kreatifitas
baru yang tidak akan pernah habis.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
31
Untuk mewujudkan kecerdasan dan kepribadian tersebut mahasiswa
dibekali keterampilan berbahasa yang secara alami diawali denagn pemahaman
fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dalam berbagai ragam kebahasaan.
Selanjutnya, mahasiswa dibekali keterampilan bagaimana mendapatkan ide
ilmiah, mengorganisasikannya dengan kerangka karangan sebagai kerangka
berpikir, dan mengekspresikannya dengan ejaan yang benar, pilihan kata yang
tepat, kalimat yang efektif, dan paragraf yang benar dalam sebuah karangan.
Untuk menyempurnakan karangan tersebut, mahasiswa dibekali
pengetahuan dan keterampilan menyunting naskah. Daripadanya, mereka
diharapkan dapat manulis karangan ilmiah (opini, artikel, makalah, paper,
skripsi) yang berkualitas. Untuk memperkaya keterampilan tersebut mahasiswa
dibekali pengalaman menulis resensi buku. Pengayaan ini, secara kognitif,
diharapkan
dapat
meningkatkan
kemampuannya
sehingga
dapat
menyempurkan karya ilmiah yang ditulisnya.
Kini, sejak awal tahun 2000-an sejak didengungkan globalisasi
informasi yang didukung berbagai peralatan komunikasi mutakhir yang sangat
efektif dalam berbagai aktifitas masyarakat dunia, fungsi Bahasa Indonesia
sebagai sarana pengembang kepribadian bangsa mulai menghadapi tantangan
dari berbagai bahasa dunia terutama bahasa internasional yang digunakan oleh
berbagai bangsa. Tantangan ini harus dihadapai dengan membenahi sistem
pengajaran Bahasa Indonesia, baik tingkat kedalaman maupun keluasannya.
Untuk itu, fungsi mata kuliah Bahasa Indonesia kini dan masa depan, bagi
mahasiswa, menjadi lebih penting, bukan saja sebagai perekat dan pemersatu
bangsa, tetapi juga sebagai sarana komunikasi ilmiah.
Fungsi Bahasa Indonesia sebagai matakuliah pengembang kepribadian
diarahkan pada kemampuan berbahasa yang baik (dapat diterima oleh orang
lain) dan benar (sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia). Fungsi tersebut
mencakup berbagai aspek:
1. Mengembangkan
kemampuan
berkomunikasi
berbagai media lisan maupun tulisan.
2. Mengembangkan kemampuan akademis.
32
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
ilmiah
dalam
3. Mengembangkan berbagai sikap, seperti sikap ilmiah, sikap
paradigmatis dalam mengembangakan pola-pola berpikir, dan sikap
terpelajar dalam mengaktualisasi hasil belajarnya.
4. Mengembangakan kecerdasan berbahasa.
5. Mengembangkan kepribadian terutama menciptakan kreativitas
baru terkait dengan pengalaman, pengetahuan, potensi, dan situasi
baru yang dihadapinya, serta kemampuan mengekpresikannya
6. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi antarpribadi sehingga
memantapkan perkembangan pribadinya, dan
7. Mengembangkan kemampuan sebagai lambang bangsa dan negara.
PENUTUP
Dengan menilik pada pembahasan data di atas, maka penulis dapat
menyimpulan bahwa sudah selayaknya dan seharusnya kita sebagai bangsa
Indonesia mempelajari dan mendalami serta melestarikan Bahasa Indonesia
dengan terus belajar dan menggali ilmu pengetahuan tentang Bahasa
Indonesia. Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari pembelajaran Bahasa
Indonesia. Salah satunya yang terpenting untuk kita sebagai mahasiswa adalah
mampu menciptakan suatu karya tulis yang baik dalam Bahasa Indonesia yang
baik dan benar serta bernalar.
Alasan Bahasa Indonesia masih harus dijadikan Mata Kuliah dan
dipelajari di semua jurusan atau program di seluruh fakultas di perguruan
tinggi tiada lain karena Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Pendidikan Nasional, Pasal 37 Ayat 2 mewajibkan perguruan tinggi
menyelenggarakan beberapa Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian yang
lebih umum disingkat menjadi MPK. Satu di antara beberapa MPK adalah
Mata Kuliah Bahasa Indonesia. Sebelumnya, Mata Kuliah Bahasa Indonesia
dan sejenisnya diwadahi dalam Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), lalu
berkembang menjadi Mata Kuliah Umum (MKU), dan terakhir menjadi MPK.
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) adalah kelompok bahan
kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
33
berkepribadian mantap dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dari hasil paparan di atas mengenai pentingnya mempelajari Bahasa
Indonesia di Perguruan Tinggi, maka bisa disarankan kepada para pembaca
agar mampu menyadari bahwa mempelajari Bahasa Indonesia sangatlah
penting. Tentunya pemerintah mempunyai tujuan tersendiri sehingga di tingkat
Perguruan Tinggi pun kita masih harus mempelajari Bahasa Indonesia. Oleh
karena itu, sebagai mahasiswa sebaiknya mempelajari Bahasa Indonesia
dengan sungguh-sungguh demi tercapainya tujuan pendidikan nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, Sanggup. dkk. 2012. Bahasa Indonesia Pengembang Kepribadian.
Medan: UNIMED.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. 2006.
“Acuan Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Bahasa Indonesia” Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Muslich, Masnur. 2010. Bahasa Indonesia pada Era Globalisasi: Kedududkan,
Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nikelas, Syhwin. 2008. Pengantar Kebahasaan untuk Dosen Bahasa. Jakarta:
Depdikbud.
Pateda, Mansoer. 2006. Kebahasaan Terapan. Flores: Nusa Indah.
Rahayu, Minto. 2007. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi: Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian. Jakarta: PT Grasindo.
Rosmana, I. A. 2008. Pendidikan Bahasa Indonesa. Bandung: Sonagar Press.
Suara Pembaruan, Kamis, 28 Mei 2009 | SP/Dwi Agro Santosa –
Dendy Sugono
Supriadi, D.2007. Kreativitas, Kebudayaan, dan Perkembangan Iptek.
Bandung: CV Alfabeta.
Syihabuddin. 2006. Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai MPK Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
34
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Widjono, H.S. 2007. Bahasa Indonesia: Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi. Jakarta: Grasindo.
Yacub Nasucha, Muhammad Rohmadi, Agus Budi Wahyudi. 2009. Bahasa
Indonesia untuk Penulisan Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Media
Perkasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
35
MODEL PROJECT BASED LEARNING BERORIENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN
MENULIS CERPEN PADA SISWA SMP
Adi Rustandi
Sekolah Pascasarjana UPI
Pos-el : [email protected]
ABSTRAK
Model Project Based Learning Berorientasi Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran Menulis Cerpen pada Siswa SMP. Kajian ini merupakan konsep
gagasan yang perlu diujicobakan di lapangan. Menulis merupakan salah satu
keterampilan berbahasa setelah mendengarkan, berbicara, dan membaca. Menulis
menjadi salah satu keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap siswa. Salah satunya
adalah menulis cerpen. Banyak cara yang bisa dilakukan dalam pembelajaran menulis
cerpen. Termasuk penerapan model pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk
dicermati tentang bagaimana penerapan model project based learning berorientasi
pendididikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen. Model project based
learning meliputi kegiatan penentuan proyek, perencanaan langkah-langkah
penyelesaian proyek, penyusunan jadwal pelaksanaan proyek, penyelesaian proyek
dengan fasilitas dan monitoring guru, penyusunan laporan dan presentasi/publikasi
hasil proyek, serta evaluasi proses dan hasil proyek. Adapun pendidikan karakter
dalam pembelajaran menulis cerpen meliputi menghargai bahasa Indonesia sebagai
sarana menyampaikan realita sosial melalui cerpen, kreatif dalam menyusun teks
cerita pendek yang menarik dengan ide-ide yang cemerlang, dan tanggung jawab
dalam mengerjakan tugas seperti menelaah, merevisi, dan meringkas teks cerita
pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual.
Kata kunci: project based learning, pendidikan karakter, menulis cerpen
PENDAHULUAN
Salah satu keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis.
Keterampilan menulis termasuk keterampilan yang paling tinggi tingkat
kesulitannya bagi pembelajar dibandingkan dengan ketiga keterampilan
lainnya (Iskandarwassid, 2011: 291). Hal ini senada dengan yang diungkapkan
oleh Ishak (2014: viii) yang mengatakan bahwa keterampilan menulis itu sulit
dilakukan. Anggapan ini mengakibatkan siswa kurang berminat mempelajari
keterampilan menulis. Padahal, kegiatan menulis selalu dihadapi oleh kaum
akademisi, seperti menulis makalah, laporan penelitian atau cerpen, esai, opini
dan lain-lain. Akhadiah (2003: v) mengatakan bahwa masalah yang sering
dilontarkan dalam pengajaran karang-mengarang adalah kurang mampunya
mahasiswa atau siswa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
36
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Hal ini terlihat dari pilihan kata yang kurang tepat, kalimat yang kurang
efektif, sukar mengungkapkan gagasan karena kesulitan memilih kata atau
membuat kalimat, bahkan kurang mampu mengembangkan ide secara teratur
dan sistematis di samping kesalahan ejaan yang sering dijumpai.
Beberapa surat kabar menyatakan kemampuan menulis para pelajar
sangat lemah. Di perguruan tinggi para dosen yang mengeluh bahwa
mahasiswa kurang terampil menulis paper, makalah, apalagi skripsi. Kadangkadang para dosen sendiri dianggap kurang mampu menulis. Buktinya baru
segelintir dari mereka yang mempunyai karya tulis berupa buku teks (Tarigan,
1987: 186).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan, diketahui
bahwa sebagian besar siswa merasa tidak dapat mengungkapkan dan
menemukan ide dan gagasan yang akan ditulis. Siswa tidak tahu bagaimana
memulai dan menyusun ide-ide untuk menulis. Bahkan, 77% siswa
menyatakan bahwa pembelajaran menulis itu sulit. Kondisi ini diperkuat oleh
pernyataan bahwa pengajaran menulis belum terlaksana dengan baik di
sekolah. Kelemahannya terletak pada cara guru mengajar. Umumnya kurang
variasi, tidak merangsang dan kurang pula dalam frekuensi (Tarigan, 1987:
186).
Beberapa
pertanyaan yang muncul kemudian, di antaranya seperti
bagaimana cara meningkatkan kemampuan menulis siswa, khususnya dalam
menulis cerpen? Metode pembelajaran seperti apa yang tepat untuk
meningkatkan kemampuan menulis cerpen yang berorientasi pendidikan
karakter?
Upaya untuk memecahkan masalah berdasarkan pertanyaan di atas
cukup membuat para guru bingung. Ada yang beranggapan bahwa kemampuan
menulis cerpen itu nanti juga datang sendiri. Ketika siswa berhasil menulis
cerpen, tidak ada apresiasi karena gurunya sendiri
tidak tahu bagaimana
menulis cerpen.
Kajian ini merupakan upaya meramu hasil membaca dan mengolah
kembali hasil bacaan itu untuk dijadikan model yang akan mengantarkan dan
membuka pemahaman tentang bagaimana cara menerapkan project based
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
37
learning berorientasi karakter dalam pembelajaran menulis cerpen pada siswa
SMP kelas VII. Diharapkan kajian ini dapat membantu siswa dan guru mampu
menulis dan menghasilkan karya berupa tulisan yang dapat disusun menjadi
sebuah buku antologi cerpen.
Menulis itu ibarat orang sedang berbicara. Artinya, mengatur kata-kata
yang disampaikan secara lisan, berekspresi dengan mimik wajah, dan diikuti
dengan intonasi, artikulasi, serta volume suara yang jelas. Biasanya, orang
yang berbicara dengan enak dan tanpa beban itu seperti air yang mengalir.
Tidak merasa dibebani, tetapi merasa nyaman senyaman menikmati udara
pegunungan.
Ada ungkapan, menulislah sebelum nama kita ditulis di batu nisan.
Ungkapan ini jelas sangat memotivasi kita untuk berkarya melalui tulisan.
Sekali pun kita telah tiada, jika kita mampu menulis dan menghasilkan karya
lewat tulisan, maka karya itu akan terus dibaca oleh orang lain.
Akhadiah (2003:1-2) merinci berbagai keuntungan yang hendak dicari
orang dalam menulis. Dengan menulis (1) lebih mengenali kemampuan dan
potensi diri kita, (2) mengembangkan berbagai gagasan, (3) lebih banyak
menyerap, mencari, serta menguasai informasi dengan topik yang kita tulis, (4)
mengorganisasikan gagasan secara sistematis, (5) dapat menilai gagasan secara
lebih objektif, (6) lebih mudah memecahkan permasalahan, (7) mendorong kita
lebih aktif, dan (8) membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib.
Berdasarkan keuntungan menulis di atas, proses pembelajaran
sepenuhnya diarahkan pada delapan keuntungan tersebut, artinya agar siswa
mampu menuangkan gagasannya dengan baik dan tersusun secara tertib.
Dengan demikian, proses pembelajaran menulis cerpen yang baik bukan hanya
akan meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis, akan tetapi juga
melahirkan karya berupa tulisan yang berkualitas. Tentunya, semua itu
didukung oleh berbagai aspek. Salah satunya adalah model pembelajaran yang
tepat.
38
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Model Project Based Learning
Model project based learning merupakan sebuah model pembelajaran
yang sudah banyak dikembangkan di Amerika Serikat. Jika diterjemahkan
dalam bahasa
Indonesia,
project
based learning
bermakna sebagai
pembelajaran berbasis proyek. Kementerian Pendididikan dan Kebudayaan
(2014: 38) menyatakan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based
Learning/PjBL)
adalah
model
pembelajaran
yang
menggunakan
proyek/kegiatan sebagai media. Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh
Hosnan (2014: 319) bahwa project based learning atau model pembelajaran
berbasis
proyek
adalah
model
pembelajaran
yang
menggunakan
proyek/kegiatan sebagai medianya.
Guru menugaskan siswa untuk melakukan eksplorasi, penilaian,
interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil
belajar. Model pembelajaran ini menggunakan masalah sebagai langkah awal
dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan
pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata (Hosnan, 2014: 319).
Menurut Gear (dalam Hosnan, 2014: 321) pembelajaran berbasis
proyek (project based learning) memiliki potensi yang besar untuk
memberikan pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna. Sedangkan
menurut Buck Institute for Education (Hosnan, 2014: 321) pembelajaran
berbasis proyek (project based learning) memiliki karakter sebagai berikut.
1.
Siswa mengambil keputusan sendiri dalam rangka kerja yang telah
ditentukan bersama sebelumnya.
2.
Siswa berusaha memecahkan sebuah masalah atau tantangan yang tidak
memiliki satu jawaban pasti.
3.
Siswa ikut merancang proses yang akan ditempuh dalam mencari solusi.
4.
Siswa
didorong
untuk
berpikir
kritis,
memecahkan
masalah,
berkolaborasi, serta mencoba berbagai macam bentuk komunikasi.
5.
Siswa bertanggung jawab mencari dan mengolah sendiri informasi yang
mereka kumpulkan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
39
6.
Pakar-pakar bidang yang berkaitan dengan proyek yang dijalankan sering
diundang menjadi guru tamu dalam sesi-sesi tertentu untuk memberi
pencerahan bagi siswa.
7.
Evaluasi dilakukan secara terus menerus selama proyek berlangsung.
8.
Siswa secara regular merefleksikan dan merenungi apa yang telah mereka
lakukan, baik proses maupun hasilnya.
9.
Produk akhir dari proyek (belum tentu berupa material, tapi bisa berupa
presentasi, drama, dan lain-lain) dipresentasikan di depan umum
(maksudnya, tidak hanya pada gurunya, namun bisa saja pada dewan guru,
orang tua, dan lain-lain) dan dievaluasi kualitasnya.
10. Di dalam kelas dikembangkan suasana penuh toleransi terhadap kesalahan
dan perubahan, serta mendorong bermunculannya umpan balik serta
revisi.
Menurut Thomas (dalam Hosnan, 2014: 323), pembelajaran berbasis
proyek (project based learning) memiliki lima prinsip sebagai berikut.
1.
Keterpusatan (centrality)
2.
Berfokus pada pertanyaan atau masalah
3.
Investigasi konstruktif atau desain
4.
Otonomi
5.
Realisme
Manfaat model pembelajaran berbasis proyek (project based learning)
ini adalah sebagai berikut.
1.
Memperoleh pengetahuan dan keterampilan baru dalam pembelajaran.
2.
Membuat peserta didik dalam pemecahan masalah.
3.
Membuat peserta didik lebih aktif dalam memecahkan masalah yang
kompleks dengan hasil produk nyata berupa barang atau jasa.
4.
Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam
mengelola sumber/bahan/alat untuk menyelesaikan tugas.
5.
Meningkatkan kolaborasi peserta didik khususnya pada PBL yang bersifat
kelompok.
Menurut Hosnan (2014: 325) langkah-langkah model pembelajaran
berbasis proyek (project based learning) dapat dijelaskan sebagai berikut.
40
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
2.
1. Penentuan
proyek
6. Evaluasi proses
dan hasil proyek
Perancangan
langkahlangkah
penyelesaian
proyek
3. Penyusunan
jadwal
pelaksanaan
proyek
4. Penyusunan laporan
dan
presentasi/publikasi
hasil proyek
5. Penyusunan
jadwal proyek
Sumber: Diadaptasi dari Keser & Karagoca (2010)
Berdasarkan bagan tersebut, kegiatan yang harus dilakukan pada setiap
langkah dalam pembelajaran berbasis proyek (project based learning) adalah
sebagai berikut.
1.
Penentuan proyek
Pada langkah ini, peserta didik menentukan tema/topik proyek
berdasarkan tugas proyek yang diberikan oleh guru. Peserta didik
diberikan kesempatan untuk memilih/menentukan proyek yang akan
dikerjakannya, baik secara kelompok ataupun mandiri dengan catatan
tidak menyimpang dari tugas yang diberikan guru.
2.
Perencanaan langkah-langkah penyelesaian proyek
Peserta didik merancang langkah-langkah kegiatan penyelesaian dari awal
sampai akhir beserta pengelolaannya. Kegiatan perancangan proyek ini
berisi aturan main dalam pelaksanaan tugas proyek, pemilihan aktivitas
yang
dapat
mendukung
tugas
proyek,
pengintegrasian
berbagai
kemungkinan penyelesaian tugas proyek, perencanaan sumber/bahan/alat
yang dapat mendukung penyelesaian tugas pokok dan kerja sama
antaranggota kelompok.
3.
Penyusunan jadwal pelaksanaan proyek
Melalui pendampingan guru peserta didik dapat melakukan penjadwalan
semua kegiatan yang telah dirancangnya. Berapa lama proyek itu harus
diselesaikan tahap demi tahap.
4.
Penyelesaian proyek dengan fasilitas dan monitoring guru
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
41
Langkah ini merupakan langkah pengimplementasian rancangan proyek
yang telah dibuat. Aktivitas yang dapat dilakukan dalam kegiatan proyek,
di antaranya adalah dengan (a) membaca, (b) meneliti, (c) observasi, (d)
interviu, (e) merekaam, (f) berkarya seni, (g) mengunjungi objek proyek
karya seni, (g) mengunjungi objek proyek, atau (h) akses internet. Guru
bertanggung jawab memonitor aktivitas peserta didik dalam melakukan
tugas proyek, melalui proyek, mulai proyek hingga penyelesaian proyek.
Pada kegiatan monitoring, guru membuat rubrik yang dapat merekam
aktivitas peserta didik dalam menyelesaikan tugas proyek.
5.
Penyusunan laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek
Hasil proyek dalam bentuk produk, baik itu berupa produk karya tulis,
karya seni, atau karya teknologi/prakarya dipresentasikan dan /atau
dipublikasikan kepada peserta didik yang lain dan guru atau masyarakat
dalam bentuk pameran produk pembelajaran.
6.
Evaluasi proses dan hasil proyek
Guru dan peserta didik pada akhir proses pembelajaran melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil tugas proyek. Proses refleksi pada tugas
proyek dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Pada tahap
evaluasi, peserta didik diberi kesempatan mengemukakan pengalamannya
selama menyelesaikan tugas proyek. Pada tahap ini, juga dilakukan umpan
balik terhadap proses dan produk yang telah dihasilkan.
Keunggulan dan Kelemahan Model Project Based Learning
Keunggulan Model Project Based Learning
McDonell (dalam Abidin, 2014:170) menyebut beberapa keuntungan
menggunakan model project based learning sebagai berikut.
a. Meningkatkan kemampuan mengajukan pertanyaan, mencari informasi,
dan menginterpretasikan informasi (visual dan tekstual) yang mereka lihat,
dengar, atau baca.
b. Meningkatkan kemampuan membuat rencana penelitian, mencatat temuan,
berdebat, berdiskusi, dan membuat keputusan.
42
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
c. Meningkatkan kemampuan bekerja untuk menampilkan dan mengontruksi
informasi secara mandiri.
d. Meningkatkan kemampuan berbagi pengetahuan dengan orang lain,
bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, dan mengakui bahwa setiap
orang memiliki keterampilan tertentu yang berguna untuk proyek yang
sedang dikerjakan.
e. Meningkatkan kemampuan menampilkan semua disposisi intelektual dan
sosial yang penting yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dunia
nyata.
Kelemahan Model Project Based Learning
Abidin (2014:170) menyebut beberapa kelemahan menggunakan model
project based learning sebagai berikut.
a. Memerlukan banyak waktu dan biaya.
b. Memerlukan banyak media dan sumber belajar.
c. Memerlukan guru dan siswa yang sama-sama siap belajar dan berkembang.
d. Ada kekhawatiran siswa hanya akan menguasai satu topik tertentu yang
dikerjakannya.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dikenal dengan pendidikan budi pekerti yang
bertujuan
untuk
mengantarkannya
meningkatkan
pada
kecerdasan
kesuksesan
hidup.
emosi
siswa
Budimansyah
yang
(2012:
akan
15)
mengatakan bahwa pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan
nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Hal ini senada dengan
yang disampaikan oleh Zubaedi (dalam Kurniawan, 2013: 30) bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus yang intinya
merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan
tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
43
masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat
dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif
(perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan
ranah skill (keterampilan, terampil, mengolah data, mengemukakan pendapat,
dan kerja sama).
Pendidikan karakter dalam pembelajaran menulis cerpen yang akan
penulis kembangkan sesuai dengan buku Mahir Bahasa Indonesia kelas VII
(2013: 138) adalah sebagai berikut.
a. Menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana menyampaikan realita sosial
melalui cerpen.
b. Kreatif, yaitu mampu menyusun teks cerita pendek yang menarik dengan
ide-ide yang cemerlang.
c. Tanggung jawab, yaitu mampu menelaah, merevisi, dan meringkas teks
cerita pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual.
Dengan demikian, pembelajaran menulis cerpen yang penulis rancang
ini tidak hanya menjadikan siswa menjadi generasi masa depan yang cerdas
secara intelektual semata, tetapi juga cerdas secara emosional, spiritual, dan
sosial. Potret generasi semacam inilah yang kelak diharapkan penulis agar
siswa sanggup menghadapi rumitnya tantangan zaman secara arif, cerdas,
kreatif, mandiri, dan luhur budi.
Konsep Dasar Pembelajaran Menulis
Menulis
dapat
didefinisikan
sebagai
kegiatan
atau
proses
mengemukakan ide dan gagasan dalam bahasa tulis. Menulis adalah sebuah
kegiatan kreatif menuangkan apa yang ada dalam pikiran ke dalam bahasa
tulis. Ishak (2014: 5) mengungkapkan bahwa menulis adalah upaya melakukan
komunikasi dengan pembaca. Abidin (2012: 181) mengatakan bahwa menulis
adalah sebuah proses berkomunikasi secara tidak langsung antara penulis
dengan pembacanya. Sementara Akhadiah (2003: 2) memandang menulis
adalah sebuah proses, yaitu proses penuangan gagasan atau ide dalam bahasa
tulis yang dalam praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa
tahapan menulis, yakni tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi.
44
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Hal ini senada dengan Abidin (2012:184) yang mengemukakan bahwa
menulis adalah sebuah proses. Proses tersebut meliputi tahapan-tahapan
sebagai berikut. Tahap pertama, pemerolehan ide. Pada tahap ini penulis
mendayagunakan kepekaannya untuk mereaksi berbagai fenomena hidup dan
kehidupan manusia yang diketahuinya melalui berbagai peranti pemerolehan
ide. Tahap kedua, tahap pengolahan ide. Pada tahap ini penulis akan
mendayagunakan beberapa kemampuan meliputi kemampuan berpikir,
kemampuan bahasa, dan kemampuan berimajinasi. Penggunaan kemampuan
ini akan sangat bergantung pada tujuan tulisan yang akan diproduksi. Tahap
ketiga, tahap produksi ide. Pada tahap ini penulis akan menggunakan peranti
produksi ide yakni pengetahuan bahasa dan pengetahuan konvensi karya.
Pengetahuan bahasa merupakan peranti utama yang digunakan oleh penulis
dalam mengemas gagasan yang telah diolahnya. Melalui penggunaan
pengetahuan atau kemampuan berbahasa ini sebuah ide dikemas sesuai dengan
tujuannya serta memenuhi asas ketatabahasaan yang berterima di kalangan
pembacanya.
Orientasi Pembelajaran Menulis
Secara esensial Abidin (2012: 187) mengatakan bahwa minimalnya ada
tiga tujuan utama pembelajaran menulis yang dilaksanakan para guru di
sekolah. Pertama, menumbuhkan kecintaan menulis pada diri siswa. Kedua,
mengembangkan kemampuan siswa menulis. Dan ketiga, membina jiwa
kreativitas para siswa untuk menulis.
Tujuan pertama pembelajaran menulis adalah menumbuhkan kecintaan
menulis pada diri siswa. Tujuan ini menjadi sangat penting. Mencintai menulis
adalah modal awal bagi siswa agar mau menulis, sehingga ia akan menjadi
seorang yang terbiasa menulis. Semakin sering seseorang menulis, maka
diyakini akan semakin baik pula hasil tulisannya.
Tujuan kedua adalah mengembangkan kemampuan siswa menulis.
Tujuan ini, pembelajaran menulis harus diarahkan agar mampu membekali
siswa berbagai strategi menulis, macam-macam tulisan, serta sarana publikasi
tulisan. Dalam praktiknya di sekolah, beberapa ragam tulisan yang harus
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
45
dikuasai siswa meliputi tulisan umum mencakup karangan narasi, deskripsi,
eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Selain itu, siswa juga harus mampu
menulis dalam genre umum dan genre sastra seperti menulis puisi, prosa fiksi,
drama, dan karya sastra kreatif semisal komik, khususnya menulis cerpen.
Tujuan ketiga adalah agar siswa mampu menulis secara kreatif.
Artinya, agar siswa menjadikan menulis bukan sekedar sebagai kompetensi
yang harus dikuasai selama mengikuti pembelajaran, melainkan agar siswa
mampu memanfaatkan menulis sebagai sebuah aktivitas yang mendatangkan
berbagai keuntungan yang bersifat psikologis, ekonomis, maupun sosiologis.
Adapun pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan model
project based learning yang harus dikembangkan dalam makalah ini adalah
meliputi hal-hal berikut.
a. Menentukan proyek akhir pembelajaran menulis cerpen
b. Merancang langkah-kangkah penyelesaian proyek
c. Menyusun jadwal pelaksanaan proyek
d. Menyelesaikan proyek dengan memfasilitasi siswa dan melakukan
monitoring
e. Menyusun laporan dan presentasi/publikasi hasil proyek
f. Mengevaluasi proses dan hasil proyek
Cerpen
Cerpen adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di
dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam
latar dan alur (Kurniawan, 2012: 59). Cerpen, sesuai namanya adalah cerita
yang pendek. Hal tersebut terlihat dari jumlah kata, jumlah halaman, atau
lamanya waktu yang digunakan untuk membaca cerpen. Jalan cerita atau
peristiwa di dalam cerpen lebih padat. Menurut Nurgiyantoro (2002: 10)
ukuran panjang pendeknya cerpen itu tidak ada aturannya, tak ada satu
kesepakatan diantara para pengarang dan para ahli.
Edgar Allan Poe (Jassin, 1961: 72) dalam Nurgiyantoro (2002:10)
mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam
sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam. Walaupun
46
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
sama-sama pendek, panjang cerpen bervariasi, ada yang pendek (short short
story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500-an kata, cerpen yang
panjangnya cukup (middle short story), dan cerpen yang panjang (long short
story).
Cerpen mempunyai unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
ekstrinsik meliputi latar belakang pengarang, waktu dan tempat penulisan
karya sastra tersebut, serta nilai-nilai yang terkandung dalam cerpen. Unsur
intrinsik cerpen meliputi tema, latar, alur, penokohan, sudut pandang, amanat,
dan gaya bahasa.
Langkah-langkah menulis cerpen menurut Kurniawan (2012:78-91)
yaitu sebagai berikut.
1.
Pencarian Ide
Ide dalam menulis cerpen adalah masalah yang bersumber dari peristiwa
ataupun benda. Masalah sebagai sumber ide dalam menulis cerpen adalah
ketertarikan kita pada fenomena atau benda yang membangkitkan rasa
ingin menulis cerpen.
2.
Pengendapan dan pengolahan ide
Jika sudah mendapatkan ide dan merumuskan masalahnya, maka
segeralah memikirkan logika cerita dan jawabannya sebelum dituliskan.
Logika jawaban ini bisa diperoleh dengan pengetahuan dan imajinasi,
tetapi jika logika ini bisa dibangun dengan dasar agama, budaya, dan ilmu
pengetahuan maka hal ini bisa memperlihatkan kualitas cerpen itu sendiri.
Proses pengendapan ide itu bisa dilakukan dengan dua teknik, yaitu (1)
teknik tulis, yaitu menuliskan rangkaian peristiwa yang akan menjadi
jawaban atas ide dan permasalahannya, dan (2) teknik renung, yaitu hanya
merenungkan
dan
mengontemplasikan
kemungkinan-kemungkinan
rangkaian peristiwa dalam pikiran dan perasaannya sebelum dituliskan.
3.
Penulisan
Proses penulisan ini adalah tahap yang paling sulit, karena berbagai
kendala selalu ada. Prinsip utama yang harus dijunjung tinggi dalam
menuliskan ide dan pengendapannya adalah harus saat itu juga dan harus
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
47
jadi. Artinya, jika ide yang sudah diolah sudah matang, maka segeralah
menulis hari itu juga.
4.
Editing dan Revisi
Editing ini berkaitan dengan pembetulan aspek kebahasaan dan penulisan,
sedangkan revisi berkaitan dengan isi, misalnya, alur yang tidak
kronologis, anakronisme, kesalahan bercerita, konflik yang datar dan tidak
dramatik, dan sebagainya. Editing dan revisi harus dilakukan sebagai
proses akhir untuk menghasilkan cerpen yang baik.
SIMPULAN
Penerapan model project based learning berorientasi pendidikan
karakter dalam pembelajaran menulis cerpen diharapkan mampu menjadi
solusi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, terutama untuk pengajaran
menulis cerpen pada siswa SMP kelas VII. Siswa tidak hanya diajarkan
tentang bagaimana menulis cerpen. Tetapi, secara tidak langsung apa yang
dilakukan oleh siswa melalui kegiatan menulis cerpen telah membentuk
karakter pribadinya. Seperti menghargai bahasa Indonesia sebagai sarana
menyampaikan realita sosial melalui cerpen, kreatif dalam menyusun teks
cerita pendek yang menarik dengan ide-ide yang cemerlang, dan tanggung
jawab dalam mengerjakan tugas seperti menelaah, merevisi, dan meringkas
teks cerita pendek secara objektif serta berdasarkan bukti-bukti tekstual.
Bahkan lebih dari itu, cerpen yang dibuat oleh siswa pun menyimpan pesan
moral (karakter) bagi pembaca karya tulisnya. Dan pada akhirnya, dengan
menggunakan model project based learning ini, guru bersama-sama dengan
siswa pun bisa menghasilkan sebuah karya (proyek akhir) yaitu sebuah buku
kumpulan cerpen (antologi) yang bernilai karakter.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus. 2013. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter.
Bandung: Refika Aditama.
Abidin, Yunus. 2014. Desain Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum 2013.
Bandung: Refika Aditama.
48
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Akhadiah, Sabarti dkk. 2003. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Budimansyah, Dasim. 2012. Perancangan Pembelajaran Berbasis Karakter.
Bandung: Widya Aksara Press.
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran
Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ishak, Saidulkarnain. 2014. Cara Menulis Mudah. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Iskandarwassid. 2011. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung: Rosda.
Kurniawan, Heru dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar Ruzz
Media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tarigan, H. G. 1987. Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Tim.Edukatif. 2013. Mahir Bahasa Indonesia untuk SMP/MTs Kelas VII.
Jakarta: Erlagga.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
49
“MASTODON DAN BURUNG KONDOR” SEBAGAI BAHAN
PENGEMBANGAN KARAKTER BAGI GENERASI MUDA
Agus Priyanto
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
“Mastodon dan Burung Kondor” sebagai Bahan Pengembangan Karakter bagi
Generasi Muda. WS Rendra yang merupakan pendukung Manifes Kebudayaan
dengan konsep humanisme universalnya ternyata karyanya juga kontekstual pada
zamannya.Salah satu karya dramanya yaitu Mastodon dan Burung Kondor bisa
menjadi bahan untuk pengembangan karakter generasi muda.Kampus perguruan
tinggi bisa menjadi salah satu tempat pengembangan karakter generasi muda yang
pontensial.Maka kampus perlu menghadirkan seni budaya dan melibatkan generasi
muda dalam prosesnya.Salah satu seni itu adalah seni (sastra) drama.Dalam kajian
karya seni terutama karya sastra drama bisa menggunakan pendekatan hermeneutik
dan semiotik.Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan..Mastodon adalah sebuah binatang yang mirip
gajah dan hidup di jaman purba.Burung Kondor adalah burung buas yang besar
pemakan bangkai kepalanya gundul tak berbulu biasanya terdapat di pegunungan
Andes.Dia adalah burung pengelana.Tafsir semiotik mastodon adalah metafor dari
para penguasa, pejabat yang menjelma jadi pengusaha.Atau orang yang memiliki
kekuasaan dan keuangan sekaligus, yaitu para cukong-cukong pemodal besar yang
sekaligus penguasa. Sedangkan burung kondor adalah metafor dari rakyat yang
memakan bangkai sisa-sisa makanan dari mastodon. Rakyat yang bekerja keras tetapi
mereka tidak sadar atas dirinya yang ditindas oleh mastodon. Dan seniman, yaitu
penyair adalah rakyat yang sadar akan keadaan dirinya yang tertindas.
Kata Kunci: Mastofon, burung Kondor, karakter
PENDAHULUAN
Saat WS Rendra mementaskan Mastodon dan Burung Kondor tahun
1973 kontekstual sekali pada zamannya. Ketika dipentaskan pada zaman
reformasi tahun 2012 tidak relevan lagi kontekstnya. Walaupun demikian,
konsep pemikiran tentang politik ekonomi sosial, seni dan budaya masih bisa
relevan dan abadi sepanjang masa. Contohnya, bahwa ketidakberesan sosial
politik ekonomi yang disebabkan oleh pemerintah tidak perlu dilakukan
dengan cara revolusi. Sebab revolusi berdarah-darah, setelah terjadi
penggantinya sama saja hanya berbeda pakaian saja. Diktator diganti dengan
diktator.
50
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Perubahan kebudayaan itu lebih penting dilakukan dengan cara
pendidikan pada tingkatan grassroot atau istilah dalam drama ini underground.
Bisa dilakukan lewat kantong-kantong eksperimen kebudayaan.Ini melibatkan
emansipasi individu rakyatnya. Pemikiran Rendra ini sesuai dengan cara
berfikir filsafat kritis. Ciri-ciri filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan
erat dengan kritik terhadap hubungan–hubungan sosial yang nyata. Pemikiran
kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika
srtuktur-struktur penindasan dan emasipasi. WS Rendra tahu pemerintahan
Orba antikritik, maka WS Rendra mensiasati karyanya dengan cara strategi
karambol. Strategi tembakan karambol ini jitu. Sindiran-sindiran dan kritikankritikan yang tajam pada penguasa orba disampaikan melalu negara latin. WS
Rendra ini lewat dramanya ini mengajarkan pada generasi muda adalah kalau
jadi pejabat atau pengusaha diharapkan tidak menjadi mastodon yang rakus,
korupsi, mementingkan dirinya saja atau kelompoknya saja.Generasi muda
kalau nanti jadi pemimpin jangan sampai menelantarakan rakyatnya sehingga
rakyat yang terlantar jadi seperti burung kondor. Generasi muda harus bisa
mensiasati keadaan agar terus kreatif dan produktif. Generasi muda diajak oleh
WS Rendra untuk berfikir kritis menghadapi semua permasalahan.
Perdebatan sastra universal dan sastra kontekstual terus berlanjut
hingga kini.Sastra universal ini dikomandoi oleh kaum pemuja humanisme
universal, sedangkan sastra kontekstual diagung-agungkan oleh kaum sosialis.
Bagaimana WS Rendra yang merupakan pendukung Manifes Kebudayaan
dengan konsep humanisme universalnya ternyata karya drama dan puisinya
penuh kontekstual pada zamannya?Konsep sastra universal menurut Gunoto
Saparie ―bukanlah diktatorisme nilai atau homogenisasi prinsip kesusastraan.
Tetapi ia justru membuka luas daerah kebebasan kreatif para sastrawan. Kalau
konsep sastra universal dipandang sebagai sebab merajalelanya estetisme, hal
itu disebabkan estetika memang mutlak dalam sastra.‖Pendapat Gunoto
Saparie ini cocok menegaskan tentang WS Rendra.Sastrawan bebas berkreasi
tetapi konsep estetisnya tetap terjaga. Karya WS Rendra yang universal dan
kontekstual ini akan ditelaah secara kritis untuk pengembangan karakter
generasi muda.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
51
Mastodon dan Burung Kondor di Universitas Padjadjaran
Pada tanggal 12 dan 13 Januari mengawali tahun 2012 sebuah peristiwa
budaya yaitu pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor oleh kelompok
Ken Zuraida Project digelar di Graha Sanusi Hardjadinata Universitas
Pajajaran. Setelah menonton pertunjukan tersebut timbullah pertanyaanpertanyaan yang muncul di benak saya.Kenapa Mastodon dan Burung Kondor
dipentaskan oleh Universitas Padjadjaran? Kenapa Universitas Padjadjaran
memilih Mastodon dan Burung Kondor? Ada apa dengan Mastodon dan
Burung Kondor? Mastodon dan Burung Kondor dibuat oleh WS Rendra tahun
1973 yaitu zaman permulaan masa Orde Baru, masih relevankah Mastodon dan
Burung Kondor dipentaskan pada saat situasi zaman reformasi seperti sekarang
ini? Apakah ada jarak antara Mastodon dan Burung Kondor dengan generasi
sekarang?
Kenapa Mastodon dan Burung Kondor dipentaskan oleh Universitas
Padjadjaran? Universitas Padjadjaran adalah sebuah kampus yang belakangan
ini mencoba
menghadirkan seni budaya ditengah-tengah mahasiswa dan
civitas akademikanya. Sebuah awal tahun yang bagus dimulai dengan kalender
akademik kebudayaan. Tidak hanya awal tahun 2012 sekarang ini saja. Tahun
sebelumnya pun Universitas Padjadjaran mencoba membangun kebudayaan
dengan serius. Kali ini Universitas Padjadjaran menggelar pementasan
Mastodon dan Burung Kondor.Tidak hanya Mastodon dan Burung Kondor
yang pernah pentas di Universitas Padjadjaran, beberapa seni budaya yang pop
maupun yang tradisional dipentaskan juga.Misalkan Darso penyanyi pop
Sunda yang fenomenal di tahun 2000-an ini juga pernah pentas di Universitas
Padjadjaran.Sampai sekarang secara rutin Universitas Padjajaran mengundang
dan menghadirkan seni budaya baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Universitas
Padjadjaran
menyadari
bahwa
kebudayaan
itu
penting.Salah satu teori kebudayaan yang betul-betul disadari adalah tentang
unsur-unsur kebudayaan.Unsur-unsur kebudayaan itu ada tujuh unsur.Salah
satu unsur kebudayaan adalah kesenian.Unsur-unsur budaya selengkapnya
yang disarikan oleh Koentjaraningrat (1990) maupun Soerjono Soekanto
(1997) dari Universal Catagories of culture (1953) adalah sebagai berikut :
52
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
1. Bahasa
2. Sistem pengetahuan
3. Organisasi sosial (sistem kemasyarakatan)
4. Sistem peralatan hidup
5. Sistem ekonomi (mata pencaharian)
6. Sistem religi (kepercayaan)
7. Kesenian
Salah satu pilar dari tujuh unsur budaya adalah kesenian.Inilah unsur
yang biasanya terlupakan oleh para akademisi kampus.Unsur-unsur lain, selain
kesenian, mendapat porsi perhatian yang besar oleh kaum akademisi perguruan
tinggi. Ini terbukti 6 unsur yang lain di dipelajari bahkan dibentuk jurusan atau
fakultas di perguruan tinggi tersebut.Mereka hanya berteori tetapi tidak
menghadirkannya secara serius.Menurut Harsojo (1977) yang membedakan
manusia dan hewan secara fundamental adalah bahwa manusia itu mampu
berbudaya, sedangkan hewan tidak.Berkaca pada pendapat Harsojo ini maka
kampus
yang
menyelenggarakan
kesenian
adalah
kampus
yang
manusiawi.Atau sebaliknya, kampus yang tidak pernah menyelenggarakan
kesenian adalah kampus yang tidak manusiawi (alias hewani) atau bahasa
eufemismenya kampus yang kurang manusiawi.
Kembali kepada Mastodon dan Burung Kondor.Mastodon dan Burung
Kondor dibuat antara tahun 1971 sampai 1973.Mastodon dan Burung Kondor
adalah salah satu masterpiece karya WS Rendra. Mastodon dan Burung
Kondor pertama kali dipentaskan tahun 1973 oleh Bengkel Teater di tiga
tempat yaitu di sport Hall Kridosono Yogyakarta, di Gedung Merdeka
Bandung dan di Istora Senayan. Lalu tahun 2011 istri WS Rendra yaitu Ken
Zuraida mencoba mementaskan Mastodon dan Burung Kondor dengan
membawa bendera KenZuraida Project di Graha Bakti Budaya TIM Jakarta
dan di Festival seni Surabaya.Dan awal tahun 2012 di pentaskan di Graha
Sanusi Hardjadinata Universitas Padjadjaran Bandung.Nah bagaimana drama
Mastodon dan Burung Kondor yang di buat tahun 1973 zaman Orde baru itu
kembali dipentaskan di zaman reformasi tahun 2012 ini apakah bisa
menggelitik penonton? Atau bisa membangkitkan kesadaran generasi muda?
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
53
Kalau pun membangkitkan kesadaran, lalu membangkitkan kesadaran untuk
apa?Apakah bisa memberi pencerahan pada generasi muda?Dan bergunakah
Mastodon dan Burung Kondor buat generasi muda?Perbedaan zaman yang
hampir 40 tahun lebih itu apakah berpengaruh?Pertanyaan-pertanyaan tersebut
diatas mungkin menemukan relevansinya dengan pernyataan-pernyataan
dibawah ini.
Hermeneutik, Semiotika Mastodon dan Burung Kondor
Dalam kajian karya seni terutama karya sastra bisa menggunakan
pendekatan
hermeneutik.Yaitu
sebuah
pendekatan
dengan
cara
menginterpretasikan. Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.Oleh Sumaryono hermeneutik
diartikan ―proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi
mengerti‖. (E. Sumaryono:1999) Jadi pada dasarnya hermeneutik berhubungan
dengan bahasa karena untuk mengerti itu dibutuhkan proses menggunakan
media bahasa. Kita berpikir melalui bahasa.Kita menulis, berekspresi,
berpidato, berbicara melalui bahasa.Bahkan berfikir ilmiah menggunakan
sarana bahasa. Jujun S Suriasumantri mengatakan : Untuk dapat melakukan
kegiatan berfikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa
bahasa, logika, matematika dan statistika. (Jujun S Suriasumantri: 2009) Jadi
bahasa itu penting dalam proses berfikir. Jadi melalui bahasa akhirnya kita
mengerti dan memahami dan menginterpretasi.Sebuah makna akan muncul
saat kita mengidentifikasi, memahami atau menyakini sesuatu tersebut melalui
bahasa.
Unsur bahasa yang paling kecil dan punya makna adalah kata. Maka
mari kita telaah makna kata dalam judul pementasan Mastodon dan Burung
Kondor. Mastodon adalah sebuah binatang yang mirip gajah dan hidup
dijaman purba.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mastodon adalah 1
binatang purba, mamalia raksasa; 2 sesuatu yang serba besar.Dalam puisi
WS Rendra berjudul ―Kesaksian Tentang Mastodon Mastodon‖ dijelaskan apa
itu mastodon yaitu sebangsa binatang gajah. Inilah cuplikan puisi tersebut.
Aku memberi kesaksian
Bahwa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon
54
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Mereka jadi setinggi menara dan sebesar berhala
Lalu siapakah sebenarnya mastodon itu? Dia itu kan binatang purba
mirip gajah dan lebih besar yang sudah tidak ada lagi sekarang ini. Lebih jauh
WS Rendra menggambarkan mastodon sebagai berikut ini.
Tirani dan pemusatan
Adalah naluri dari kebudayaan pejabat dan pegawai
Bagaikan gajah para pejabat
Menguasai semua rumput dan daun-daunan
……………
Aku memberi kesaksian bahwa
Gajah-gajah telah menulis hukum dengan tinta yang munafik
Mereka mengangkang dengan angker dan perkasa
Tanpa bisa diperiksa
Tanpa bisa dituntut
Tanpa bisa diadili secara terbuka
………
Aku memberi kesaksian
Bahwa gajah-gajah bisa menjelma menjadi mastodon-mastodon
Mereka jadi setinggi menara dan sebesar berhala
Mastodon-mastodon yang masuk ke laut dan menghabiskan semua ikan
Mastodon yang melahap semen dan kayu lapis
Melahap tiang-tiang listrik dan filem-filem import
Melahap minyak mentah, cengkeh, kopi, dan bawang putih
Mastodon-mastodon ini akan selalu membengkak
Selalu lapar
Selalu merasa terancam
Selalu menunjukan wajah yang angker
Dan menghentak-hentakan kaki ke bumi.
Jadi menurut puisi WS Rendra tersebut, mastodon adalah metafor dari
para penguasa, pejabat yang menjelma jadi pengusaha.Atau orang yang
memiliki kekuasaan dan keuangan sekaligus, yaitu para cukong-cukong
pemodal besar.Begitu juga pengertian mastodon menurut naskah drama
Mastodon dan Burung Kondor. Kita lihat dialog yang ada dalam naskah
tersebut.Dalam
sebuah
pertemuan
Mahasiswa
penyair
Jose
Karosta
membacakan puisinya pada adegan 10.
Jose Karosta : Saya memberi kesaksian bahwa pemerintah telah bersungguhsungguh membina tenaga tidak untuk mobilitas, tetapi untuk
kekukuhan, tidak untuk dinamis tetapi untuk teguh dan angker.
Tidak untuk menciptakan barisan semut-semut yang bekerja,
tetapi barisan gajah-gajah yang suka serba mempertahankan.
Saya memberi kesaksian akan adanyasatu kekhawatiran,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
55
bahwa gajah-gajah akan beranak pinak sehingga dalam
tempo singkat diseluruh padang belantar, diseluruh hutan
rimba di lembah-lembah bahkan di seluruh lorong-lorong
kota, akan dipenuhi oleh gajah-gajah yang lalu menjadi
mastodon-mastodon dengan derak-derak kaki yang terlalu
berat, dengan tubuh-tubuh yang terlalu tegak, dengan gadinggading perkasa dan memusnahkan alam secara lahap.
Mastodon lebih jelas digambarkan oleh WS Rendra dalam
dialog Juan Frederico dan Hernadez dalam markas mereka pada adegan 11.
Hernadez
: Bajingan. Benar-benar dia bajingan kelas menengah.
Semuanya serba setengah-setengah.
Juan Frederico : Tutup mulut! Kamu tenanglah! Dengar! Ada hal yang sangat
menguntungkan. Ia telah berbicara tentang mastodonmastodon. Titik ini harus digunakan sebaik-baiknya.Kita
harus berusaha mempengaruhi koran-koran underground
agar membesar-besarkan masalah ini. Kita akan menyebarkan
karikatur, kolonel Max Carlos dengan tubuh, kaki dan belalai
mastodon. Kemudian kakinya itu menginjak-injak rakyat. Dan
di bawah karikatur itu kita akan menuliskan kutipan dari sajak
Jose Karosta tentang mastodon-mastodon.
Kalau mastodon adalah penguasa sekaligus pengusaha atau sebaliknya,
pengusaha sekaligus penguasa, lalu siapakah burung kondor itu?Burung
kondor adalah burung buas yang besar pemakan bangkai kepalanya gundul tak
berbulu biasanya terdapat di pegunungan Andes.Dia adalah burung
pengelana.Dan siapakah burung kondor yang disebut WS Rendra dalam
naskah dramanya ini?Langsung saja kita kutip dialog-dialog drama Mastodon
dan Burung Kondor berikut ini.Pada adegan 1 Penyair Jose Karosta
membacakan sajak.
Jose Karosta : Dari pagi sampai siang, rakyat negriku bergerak-gerak
menggai-gapai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, dalam
usaha tak menentu. Dari siang sampai sore, mereka menjadi
onggokan sampah.Dan di malam hari, mereka terbanting di
lantai dan sukmanya menjadi burung kondor.Beribu-ribu
burung kondor, berjuta-juta burung kondor, gumpalangumpalan awan burung kondor, bergerak menuju puncak
gunung yang tinggi.Dan disana mendapatkan hiburan dan
sepi.Karena hanya sepi yang mampu menghisap dendam dan
sakit hati.
Itulah tadi Penyair Jose karosta bersajak. Ketika pertemuan mahasiswa
dibubarkan oleh letnan Don Carvalho terjadilah dialog antara letnan Don
Carvalho dan Jose Karosta yaitu :
56
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Don Carvalho :
Jose Karosta, kamu tidak wajar. Kamu suka cari
perkara.Kamu suka kesulitan dan kamu suka publikasi.Ada
banyak burung ditanah air kita.ada burung nuri, ada burung
betet,tapi kamu bersajak tentang burung kondor.
Berikutnya dialog Jose Karosta dengan Gloria.
Gloria
: Jose Kamu belum menuliskan dongeng dan kisah percintaan
itu bukan? Kamu belum sempat menuliskannya.Dewasa ini
kamu juga seperti mereka kamu menjadi burung
kondor.Bedanya cuma ini.Mereka tidak menyadari keadaan
mereka, sedangkan kamu menyadari keadaanmu.
Jose Karosta : Burung kondor yang sadar ya?
Gloria
: Bukankah memang tugas penyair untuk menangkap
kesadaran?
Begitu juga dialog Gloria curhat dengan Padre Alfonso pada adegan 8
menjelaskan tentang burung kondor lebih lanjut.
Padre Alfonso :
Burung Kondor Burung Kelana…
Gloria
: Aku ingin menjaganya. Aku ingin memeliharanya.Aku ingin
menyediakan sarang bagi si burung kondor itu.Aku ingin
berbakti kepada cita-citanya.Ia adalah burung liar, anak dari
alam, aku ingin ia tahu bahwa sesudah mengembara ia selalu
bisa pulang kepadaku.
Jadi di sini burung kondor adalah metafor dari rakyat yang memakan
sisa-sisa makanan dari mastodon yaitu bangkai.Rakyat yang bekerja keras
tetapi mereka tidak sadar atas dirinya yang ditindas oleh mastodon. Dan
seniman, yaitu penyair adalah rakyat yang sadar akan keadaan dirinya yang
tertindas.
Dari alur cerita Mastodon dan Burung Kondor menceriterakan bahwa
Jose Karosta, sang penyair, mengajak berfikir kritis.Banyak dialog-dialog yang
berupa sebuah diskusi pemahaman tentang sesuatu khususnya sosial, politik,
seni dan budaya. Latar belakang sosial politik yang digambarkan dalam
Mastodon dan Burung Kondor adalah mirip dengan Orde Laman dan Orde
Baru. Tentu sudah kelihatan usang atau tidak lagi sesuai dengan kondisi sosial
politik tahun 2014 sekarang. Keadaan sosial politik yang digambarkan persis
kondisi sosial politik zaman Orde Lama dan Orde Baru yang represif, antikritik
dan militeristik. Ini jauh berbeda dengan sekarang yang Orde Reformasi,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
57
dimana keterbukaan betul-betul orang bebas bicara.Zaman orde baru
mahasiswa diskusi atau sekedar berkesenian baca puisi misalnya, bisa
dibubarkan oleh aparat.Ini persis gambaran adegan 1 di drama Mastodon dan
Burung Kondor. Zaman sekarang tak akan terjadi hal seperti itu. Jangankan
sekedar diskusi, demonstrasi pun dibolehkan zaman sekarang ini.Bahkan
saking terbuka dan bebasnya zaman reformasi ini, demontrasi hampir setiap
hari terjadi di dalam berita di media masa.
Jadi saat WS Rendra mementaskan Mastodon dan Burung Kondor
tahun 1973 kontekstual sekali pada zamannya.Sedangkan ketika dipentaskan
pada zaman reformasi tahun 2012 tidak relevan lagi kontekstnya. Walaupun
demikian, konsep pemikiran tentang politik dan seni dan budaya masih bisa
relevan dan abadi sepanjang masa.Ini yang disebut nilai-nilai universal.Kita
lihat pemikiran kritis tentang makna ―lembaga‖ pada adegan 9.
Padre Alfonso
Jose Karosta
Padre Alfonso
Jose Karosta
Padre Alfonso
: …. Tuhan menurunkan wahyu, ia memberikan sabda,
tetapi manusia dalam melaksanakan sabda itu tertawan
oleh badan. Roh manusia memerlukan badan sebagai
pengucapan antar manusia.
: Ya. Padre, ya.
: Dan Jose, akhirnya sedemikian terbatas kemanusiaan
sehingga perlu didirikan lembaga, termasuk lembaga
agama. Lembaga agama adalah badan mistikdari sabda
Roh Yang Agung.
: Namun seniman tidak memerlukan lembaga.
: Banyak seniman tidak memerlukan lembaga. Tetapi toh
tetap ada lembaga kesenian dimana saja.Demikian pula
banyak orang agama yang tidak butuh lembaga.Banyak
santo dan nabi yang tidak butuh lembaga.Tetapi toh ada
lembaga agama di mana pun juga.Inilah salah satu
keterbatasan manusia.
Dialog-dialog pemikiran kritis juga mengenai sosial, politik, ekonomi
ada dalam adegan 21.Perdebatan antara Jose Karosta dengan Profesor Topas.
WS Rendra yang mewakilkan dirinya pada Jose Karosta mengatakan bahwa
ketidakberesan sosial politik ekonomi yang disebabkan oleh pemerintah tidak
perlu dilakukan dengan cara revolusi. Sebab revolusi setelah terjadi
penggantinya sama saja hanya berbeda pakaian saja. Diktator diganti dengan
diktator.Diktator Orde Lama diganti diktator Orde Baru. Perubahan
kebudayaan itu lebih penting dilakukan dengan cara pendidikan pada tingkatan
58
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
grassroot atau istilah dalam drama ini underground. Bisa dilakukan
lewatkantong-kantong eksperimen kebudayaan.Ini melibatkan emansipasi
individu rakyatnya.Tetapi memang perlu makan banyak waktu. Tetapi
perubahan kebudayaan dengan cara demikian lebih mendasar dan tidak
berdarah-darah.
Pemikiran Rendra lewat Jose Karosta ini sesuai dengan cara berfikir
filsafat kritis. Ciri-ciri filsafat kritis adalah bahwa ia selalu berkaitan erat
dengan kritik terhadap hubungan–hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis
merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika
srtuktur-struktur
penindasan
dan
emasipasi.
(Frans
Magnis
Suseno:
1992)Pemikiran kritis merasa dirinya bertanggung jawab terhadap keadaan
sosial yang nyata.Cocok sekali dengan karya-karya puisi maupun drama WS
Rendra yang selalu mengkritisi keadan sosial bangsanya.Sepertinya ada
hubungan pemikiran WS Rendra dengan teori kritis.
Filsafat kritis ini bermula dan berkembang dari filsafat Karl Marx
(Marxisme).Filsafat marxisme ini tidak sekedar menjelajah dunia filsafat saja,
tetapi menyeluruh dalam segala bidang, baik sosial ekonomi, politik, budaya
bahkan seni.Memang teori kritis berpijak pada marxisme, tetapi sekaligus
kemudian jauh meninggalkannya.Teori kritis lebih mengarah kreatif dalam
menghadapi persoalan-persoalan masyarkat industri maju.Teori kritis menjadi
booming pada tahun 1960-an. Para sarjana-sarjana sosiologi dan filsafat gencar
mendiskusikan teori kritis.Tahun 1961 Deutsche Gesellschaft fur Soziologie
mengadakan pertemuan dimana terjadi perdebatan yang sengit antara Theodor
Wiesengrund Adorno dan Karl Popper.Perdebatan itu berlanjut sampai antara
Jurgen Habermas dipihak Adorno dan Hans Albert di pihak Popper.Perdebatan
ini terjadi di panggung universitas-universitas di Jerman (terutama di
Frankfurt) tetapi gemanya keseluruh dunia filsafat.
Dan perlu diketahui tahun 1960-an juga WS Rendra sekolah di
Amerika, kemungkinan WS Rendra mengikuti perkembangan perdebatan teori
kritis, sebab infrastruktur pustaka di negara maju lengkap sekali dan cepat
aksesnya. WS Rendra bermukim di Amerika selama 3 tahun antara tahun
1964-1967.Setelah pulang dari Amerika, WS Rendra membentuk komunitas
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
59
teater yaitu Bengkel Teater di Yogyakarta.Setelah pulang belajar dari
Amerikakarya-karya WS Rendra berubah dan lebih menyoroti dan lebih tajam
memandang realita kehidupan masyarakat, membela rakyat, terutama membela
kaum pinggiran,membela kebenaran dan keadilan, serta membela hak asasi
manusia (HAM). Sekarang karya-karya WS Rendra tidak sekedar monumental
tetapi menjadi spirit dan menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia. Sampaisampai perusahaan travel Cipaganti memasang wajah WS Rendra di bodi
kendaraan travelnya dengan tulisanSpirit of Indonesia.WS Rendra sebagai
seniman mempunyai pengaruh yang besar bagi kehidupan di sekelilingnya.
Seniman mempunyai pengaruh yang besar pada lingkungannya ini
disadari betul oleh Karl Marx.Dalam buku Theory for Art History karya Jae
Emerling diterangkan sebagai berikut.Marx argued that some culture
productions (he often gives Shakespeare as an Example)
can transcend
ideology; thus, the superstructure can, in certain instances, alter the base.
Artwork have the potential to affect and even change how we view material
(social and historical) reality.Seniman (pekerja seni) sangat penting sekali dan
berpengaruh peranannya dalam memandang perkembangan kebudayaan yang
nyata.Oleh karena itu Marx mengkritik para seniman yang cuma bicara seni
untuk seni, dan seni sebagai produk kebudayaan yang dianggap lebih penting
dari ideologi. Pekerja seni memiliki kekuatan mempengaruhi dan merubah cara
memandang kehidupan realita.
Pemikiran Mark tidak berhenti sampai dia meninggal.Marxisme ini kini
jadi pijakan berpikir pemikiran-pemikiran kritis zaman akhir abad 20 dan awal
abad 21 ini.Pemikiran kritis era post marxisme adalah filsof dan sekaligus
pemikir seni adalah Theodor Adorno. Dalam buku berjudul 50 Filsuf
Kontemporer,dari Strukturalisme sampai Postmodernitas karangan Jhon
Lechte dikatakan bahwa dalam rangka menentang pengaruh homogenisasi
pada komersialisasi seni (baca reifikasi), dimana objek-objek seni akan
direduksikan menjadi hanya memiliki nilai tukar belaka. Subjektivitas akan
direduksikan menjadi yang memiliki status “objek” oleh nilai tukar ini. Oleh
sebab itu dalam pikiran Adorno ada keinginan untuk memelihara kemurnian
subjektivitas seperti yang tampil dalam objek seni, melawan serangan pasar
60
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dimana nilai itu disamakan dengan harga. (Jhon Lechte : 2001) Jelas sekali
disini pemikirannya menentang adanya dominasi pasar yang nota bene karakter
kapitalis yang dilawan kaum marxis.Pemikiran Adorno sejalan dengan karyakarya WS Rendra yang mengutamakankan nilai seni itu lebih penting dari pada
komersialisasi. Mungkin disinilah sutradara Ken Zuraida tidak memotong
sedikit pun naskah WS Rendra dalam pementasan Mastodon dan Burung
Kondor untuk sebuah nilai-nilai yang dianggap lebih penting itu sehingga
mengakibatkan pertunjukan dengan durasi panjang selama kurang lebih 3 jam.
Bagi generasi muda abad 21 yang digital dan dibesarkan oleh seribu chanel
teve, sejuta tayangan iklan yang ciamik dengan kecepatan adauhai, maka
pertunjukan teater Mastodon dan Burung Kondor yang 3 jam itu akan terasa
lambat dan membosankan.
WS Rendra tahu pemerintahan Orba antikritik, maka WS Rendra
mensiasati karyanya dengan cara teknik karambol. Tembakan karambol,
membidik sisi kiri, dengan sasaran sisi kanan. Mengkritisi kondisi negara
Indonesia saat itu (1973) dengan cara mementaskan Mastodon dan Burung
Kondor yang berlatar belakang sebuah negara latin bekas jajahan/koloni
Spanyol. Lihat nama-nama tokoh dalam drama Mastodon dan burung kondor,
Jose Karosta, Hernadez, Juan Frederico, Don Carvalho, Gloria, Padre
Alfonso, Fabiola Andrez, Profesor Topaz adalah nama-nama orang berbahasa
Spanyol. Begitu juga nama kota nama propinsi semua imajinasi WS Rendra
yang berbau nama-nama Spanyol. Strategi ini tembakan karambol ini jitu.
Para intelejen dan lembaga sensor orba tidak bisa mengendusnya Sindiransindiran dan kritikan-kritikan yang tajam pada penguasa orba disampaikan
melalu negara latin jajahan Spanyol tersebut. Sehingga karya WS Rendra ini
lolos dari sensor dan boleh dipentaskan.
SIMPULAN
Apa yang bisa diambil bagi generasi muda dari uraian di atas tentang
karya WS Rendra Mastodon dan Bururung Kondor? Generasi muda bisa
belajar dari karya WS Rendra ini.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
61
1. Generasi muda adalah penerus bangsa. Generasi muda yang akan
melanjutkan etafet tapuk pimpinan bangsa masa depan. Maka generasi
nanti kalau jadi pejabat atau pengusaha diharapkan tidak menjadi
mastodon yang rakus, korupsi, mementingkan dirinya saja atau
kelompoknya saja. Kelakuan mastodon dalam drama WS Rendra
tersebut jangan sampai ditiru oleh para generasi muda.
2. Generasi
muda
kalau
nanti
jadi
pemimpin
jangan
sampai
menelantarakan rakyatnya sehingga rakyat yang terlantar jadi seperti
burung kondor. Burung kondor adalah seekor burung yang memakan
sisa-sisa makanan dari mastodon yaitu bangkai. Generasi muda harus
bisa menjadi pemimpin yang bisa mensejahterakan rakyatnya.
3. Generasi muda tidak boleh putus asa. Generasi bisa mencontoh WS
Rendra bagaimana mensiasati tetap terus berkarya dalam tekanan
pemerintah. Ini artinya situasi masalah setiap generasi berbeda. Maka
siasatilah masalah sesuai kondisi zamannya.
4. Generasi muda diajak oleh WS Rendra untuk berfikir kritis menghadapi
semua permasalahan, baik masalah politik, ekonomi, sosial budaya.
Berfikir kritis terhadap masalah dengan cara dialektika.
5. Kampus adalah salah satu kawah candradumuka untuk generasi muda.
Dan seni adalah salah satu unsur kebudayaan yang penting. Maka
kampus harus menghadirkan atau melibatkan generasi muda dalam
proses-proses seni.
DAFTAR PUSTAKA
Harsojo. 1977. Pengantar Antropologi.. Bandung: Binacipta
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi.. Jakarta: Rineka Cipta
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta:RajaGrafindo
Persada.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakart:a
Kanisius.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Jakarta : Balai Pustaka.
62
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat sebagai ilmu kritis. Yogyakarta:
Kanisius..
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Rendra, WS. Mastodon dan Burung Kondor (naskah Drama)
Emerling,Jae. 2005. Theory for Art History. New York: Routledge Taylor &
Francis Group.
Lechte, Jhon. 2001. 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai
Postmodernitas.. Yogyakarta: Kanisius
http://inspirasi.co/polemik_yang_melegenda/post/9/134/sastra_universal_juga_
kontekstual_gunoto_saparie
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
63
IMPLEMENTASI PENILAIAN SIKAP
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
Alfa Mitri Suhara
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Implementasi Penilaian Sikap dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia. Makalah
ini memaparkan mengenai penilaian pada kurikulum 2013 yang memberikan penilaian
tidak hanya pada produk yang dihasilkan saja tetapi penilaian juga diberikan pada
proses pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pembelajaran
bahasa Indonesia di sekolah memiliki peranan penting. Hal ini dikarenakan
pembelajaran bahasa Indonesia tidak hanya bertujuan memberikan pengetahuan dan
keterampilan saja, namun pembelajaran bahasa Indonesia juga bertujuan memberikan
dan mengarahkan peserta didik untuk mengenali diri dan lingkungan sekitarnya.
Untuk mewujudkan tujuan tesebut, maka proses kegiatan pembelajaran haruslah
mendapatkan penilaian yang tepat dan berkesinambungan. Penilaian tersebut
dilakukan untuk membentuk karakter (pembentukan moral) peserta didik sesuai
dengan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia. Penilaian pada proses pembelajaran
dapat dilakukan dengan penilaian sikap yang mengukur tingkat pencapaian
kompetensi sikap dari peserta didik pada aspek menerima atau memerhatikan
(receiving atau attending), merespon atau menanggapi (responding), menilai atau
menghargai (valuing), mengorganisasi atau mengelolah (organization), dan
berkarakter (characterization). Penilaian proses (sikap) terhadap kelima aspek
tersebut dapat dilakuakan dengan teknik observasi, penilaian diri, penilaian
antarpeserta didik, dan jurnal.
Kata Kunci: pembelajaran bahasa indonesia, penilaian, kurikulum
PENDAHULUAN
Kurikulum pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan.
Perubahan tersebut dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan agar
peserta didik menjadi output yang berkualitas. Kurikulum 2013 yang dipakai
dalam kegitan pembelajaran saat ini merupakan pengembangan dari kurikulum
sebelumnya. Kurikulum 2013 menetapkan sikap sebagai aspek yang sangat
penting untuk dinilai dalam pembelajaran. Secara autentik, urutan penilaian
dimulai
dari
penilaian
sikap,
penilaian
pengetahuan,
dan
penilaian
keterampilan. Penilaian merupakan salah satu kegiatan penting dalam
pembelajaran. Melalui
64
kegiatan penilaian,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pihak-pihak terkait
dalam
pembelajaran baik guru, siswa, maupun pihak lainnya akan mengetahui
keberhasilan pembelajaran termasuk penguasaan kompetensi peserta didik.
Penilaian sebagai salah satu faktor penting untuk menentukan hasil
pencapaian pembelajaran. Penilaian dalam pembelajaran bahasa Indonesia
hendaknya disusun sesuai dengan tujuan pengajaran dan berkesinambungan
agar informasi yang diberikan mengenai proses dan hasil belajar dapat
digunakan dengan akurat. Proses dan hasil penilaian sangat dipengaruhi oleh
beragamnya pengamatan, latar belakang, dan pengalaman praktis evaluator.
Kurikulum 2013 mempertegas adanya pergeseran dalam melakukan penilaian,
yakni mengukur kompetensi pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Hal ini
dilakukan karena nilai yang diharapkan bukan hanya penilaian hasil/produk
saja, melainkan juga proses pembelajarannya (penilaian proses). Penilaian
pada kurikulum 2013 berdasarkan Permendikbud Nomor 66 tahun 2013
tentang Penilaian dan Permendikbud Nomor 81A tahun 2013 tentang
Implementasi Kurikulum 2013. Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut,
penilaian disamakan dengan istilah asesmen. Penilaian dilakukan melalui tiga
kegiatan, yakni pengukuran, penilaian, dan evaluasi. Oleh karena itu, penilaian
pada kurikulum 2013 harus memotret empat Kompetensi Inti: KI-1 berkenaan
dengan kompetensi inti sikap spiritual; KI-2 berkenaan dengan kompetensi inti
sikap sosial; KI-3 berkenaan dengan kompetensi inti pengetahuan; serta KI-4
berkenaan dengan kompetensi inti keterampilan. Masing-masing kompetensi
inti tersebut kemudian dijabarkan dalam kompetensi dasar. Penilaian untuk
keempat kompetensi tersebut harus dilakukan secara proses dan hasil. Artinya,
penilaian harus dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pembelajaran
hingga akhir pembelajaran.
Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini adalah merancang penilaian
sikap dalam pembelajaran bahasa Indonesia untuk membentuk karakter peserta
didik sesuai dengan tujuan kurikulum 2013. Rancangan yang disusun
disesuaikan dengan penilaian sikap pada kurikulum 2013. Pertama, penilaian
sikap (penilaian proses) merupakan serangkaian penilaian yang dilakukan
dalam kegiatan pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu
standar atau sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Kedua,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
65
pembelajaran bahasa Indonesia merupakan proses kerja sama antara siswa dan
guru yang memiliki tujuan terhadap peserta didik untuk mencapai kompetensi
terampil berbahasa baik secara lisan maupun tulisan. Hal tersebut dikemukan
Sanjaya (2013: 26) bahwa pembelajaran diartikan sebagai proses kerja sama
antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang
ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat,
bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar, maupun
potensi yang ada diluar diri siswa seperti lingkungan, sarana dan sumber
belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.
PEMBAHASAN
Sikap merupakan ungkapan perasaan atau ekspresi terhadap nilai atau
pandangan hidup yang dimiliki seseorang. Sikap berhubungan dengan
psikologis.
Objek sikap dapat berupa simbol, ungkapan, slogan, orang,
institusi, dan ide. Menurut (Mar‘at, 1984: 9), sikap sebagai suatu kesatuan
kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam pola yang
lebih luas. Dari sudut motivasi, sikap merupakan suatu keadaan kesediaan
untuk bangkitnya motif. Sikap belum merupakan tindakan/aktivitas, melainkan
berupa kecenderungan (tendency) atau predisposisi tingkah laku.
Sikap terdiri atas tiga komponen, yakni afektif, kognitif, dan konatif.
Afektif adalah perasaan yang dimiliki seseorang terhadap objek. Kognitif
adalah keyakinan seseorang terhadap objek. Konotatif adalah kecenderungan
untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu.
Komponen sikap menurut
Kunandar (2013: 99), sikap memiliki tiga, yakni 1) komponen afektif
mengenai kehidupan emosional individu, perasaan tertentu (positif atau
negatif) yang memengaruhi penerimaan atau penolakan terhadap objek sikap,
sehingga timbul rasa senang, tidak senang, takut, dan berani. 2) komponen
kognitif, yaitu aspek intelektual yang berhubungan dengan bilief, idea atau
konsep terhadap objek sikap. 3) Komponen behavioral, yaitu kecenderungan
individu untuk bertingkah laku terhadap objek sikap.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sikap yang dimiliki
seseorang dapat menunjukkan karakterisktik yang dimilikinya karena sikap
66
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
merupakan
ungkapan
perasaan,
kemampuan
pengetahuan,
dan
cara
bertindak/berperilaku terhadap objek. Berikut uraian mengenai implementasi
penilaian sikap dalam pembelajaran bahasa Indonesia.
Penilaian Sikap
Penilaian sikap dalam pembelajaran merupakan serangkaian kegiatan
pembelajaran. Penilaian sikap juga merupakan aplikasi suatu standar atau
sistem pengambilan keputusan terhadap sikap. Menurut Kunandar (2013:100)
bahwa penilaian kompetensi sikap adalah penilaian yang dilakukan guru untuk
mengukur tingkat pencapaian kompetensi sikap dari peserta didik yang
meliputi aspek menerima atau memerhatikan (receiving atau attending),
merespon atau menanggapi (responding), menilai atau menghargai (valuing),
mengorganisasi
atau
mengelolah
(organization),
dan
berkarakter
(characterization). Adapun cakupan penilaian pada kompetensi sikap
berdasarkan kurikulum 2013 sebagai berikut.
Cakupan Nilai pada KI-1 dan KI-2
No.
Jenis
1 Sikap spiritual
2
Sikap Sosial
Cakupan
Menghargai dan menghayati ajaran agama yang
dianut
a. Kejujuran
b. Kedisiplinan
c. Tanggung jawab
d. Toleransi
e. Gotong royong
f. Kesantunan
g. Percaya diri
Nilai-nilai pada KI-1 dan KI-2 dijabarkan ke dalam KD-KD pada setiap mata
pelajaran.
Cakupan penilaian kompetensi sikap, baik sikap spiritual (K1) maupun
sikap sosial (K2) tidak diajarkan dalam proses belajar mengajar tetapi menjadi
pembiasaan melalui keteladanan. Ruang lingkup penilaian kompetensi sikap
terdapat lima jenjang proses berpikir yang berkaitan dengan hasil penilaian
sikap berdasarkan cakupan nilai pada KI-1 dan KI-2. Menurut Kusnandar
(2013: 105-113), terdapat lima jenjang proses berpikir, sebagai berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
67
a. Menerima atau Memerhatikan (Receiving Atau Attending)
Kemampuan menerima merupakan kemampuan untuk menerima
rangsangan dari luar baik berupa gejala atau fenomena. Kemampuan menerima
adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan atau stimulus dari luar
yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala, dan lainlain. Pada tingkat menerima atau memerhatikan peserta didik memilih
keinginan memerhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas,
kegiatan, musik, dan sebagainya.
Kemampuan pada tingkat menerima atau memilih peserta didik
menjadikan fenomena sebagai objek pembelajaran afektif dan tugas pendidik
mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek
pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar
senang membaca buku, senang bekerja sama, dan sebagainya. Contoh hasil
belajar afektif pada jenjang ini, peserta didik menyadari bahwa diplin wajib
ditegakkan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan jauh-jauh.
b. Merespon atau Menanggapi (Responding)
Kemampuan merespon adalah kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena
tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Hasil
pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respon, keinginan
memberikan atau kepuasan dalam memberi respon.
c. Menilai atau Menghargai (Valuing)
Kemampuan menilai adalah kemampuan memberika penghargaan
terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak
dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam
kegiatan pembelajaran dapat ditunjukkan antara lain melalui mengapresiasi,
menghargai peran, menunjukkan perhatian, mengoleksi sesuatu, menunjukkan
sifat simpatik dan empati kepada orang lain, menjelaskan alasan
tentang
sesuatu yang dilakukannya, bertanggung jawab terhadap perilaku, menerima
kelebihan dan kekurangan diri, membuat rancangan hidup masa depan,
68
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
merefleksikan pengalaman pada suatu hal, membahas cara-cara melakukan
sesuatu, merenungkan nilai-nilai bagi kehidupan.
d. Mengorganisasi atau Mengelola (Organization)
Kemampuan mengatur atau mengorganisasikan artinya kemampuan
mempertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih
universal
yang
membawa
kepada
perbaikan
umum.
Megatur
atau
mengorganisasi merupakan pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem
organisasi termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain,
pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Kemampuan
mengorganisasikan merupakan tingkatan afektif yang lebih tinggi daripada
receiving. Contoh hasil belajar afektif jenjang penilaian adalah tumbuhnya
kemauan yang kuat pada diri pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin,
baik di sekolah, rumah maupun masyarakat.
e. Berkarakter (Characterization)
Kemampuan berkarakter adalah kemampuan memadukan semua sistem
nilai yang telah dimiliki seseorang yang memengaruhi pola kepribadian dan
tingkah lakunya. Ada lima tipe karakteristik afektif yang penting yaitu sikap,
minat, konsep diri, nilai, dan moral. Contoh hasil belajar afektif jenjang
kemampuan berkarakter adalah peserta didik menjadikan nilai disiplin sebagai
pola piker dalam bertindak di sekolah, rumah, dan masyarakat.
Berdasarkan lima jenjang proses berpikir di atas maka dapat kita
ketahui lebih lanjut bahwa indikator pencapaian kompetensi spiritual dan sosial
perlu dilakukan penilaian yang berkesinambungan sehingga peserta didik dapat
dipantau secara tepat dan berkelanjutan. Penilaian kompetensi sikap spiritual
dan sikap sosial agar sesuai dengan tujuan maka diperlukan tenik penilaian.
Adapun teknik-teknik penilaian kompetensi sikap dalam kurikulum 2013
menurut Kunandar (2013: 117-153), sebagai berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
69
Teknik Observasi
Observasi merupakan teknik penilaian yang dilakukan secara
berkesinambungan dengan menggunakan indera. Bentuk instrumen yang
digunakan untuk observasi adalah pedoman observasi yang berupa daftar cek
atau skala penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Daftar cek digunakan
untuk mengamati ada tidaknya suatu sikap atau perilaku peserta didik,
sedangkan skala penilaian menentukan posisi sikap atau perilaku peserta didik
dalam suatu rentangan sikap. Pedoman observasi secara umum memuat
pernyataan sikap atau perilaku yang diamati dan hasil pengamatan sikap atau
perilaku sesuai kenyataan. Pernyataan memuat sikap atau perilaku yang positif
atau negatif sesuai dengan indikator penjabaran sikap dalam kompetensi inti
dan kompetensi dasar. Rentang skala hasil pengamatan antara lain berupa: a)
selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak pernah, b) sangat baik, baik, cukup
baik, dan kurang baik. Pedoman observasi dilengkapi juga dengan rubrik dan
petunjuk penskoran. Rubrik memuat petunjuk/uraian dalam penilaian skala
atau daftar cek., sedangkan petunjuk penskoran memuat cara memberikan skor
dan mengolah skor menjadi nilai akhir.
Penilaian Diri
Penilaian diri merupakan teknik penilaian dengan cara meminta peserta
didik untuk menilai pencapaian kompetensi dirinya sendiri. Instrumen yang
digunakan berupa lembar penilaian diri menggunakan daftar cek atau skala
penilaian (rating scale) yang disertai rubrik. Skala penilaian dapat disusun
dalam bentuk skala Likert atau skala semantic differential. Skala Likert adalah
skala yang dapat dipergunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi
seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu gejala atau fenomena. Skala
semantic differential adalah skala untuk mengukur sikap, tetapi bentuknya
bukan pilihan ganda maupun check list, tetapi tersusun dalam satu garis
kontinu, jawaban yang sangat positif terletak di bagian kanan garis, dan
jawaban yang sangat negatif terletak di bagian kiri garis, atau sebaliknya. Data
yang diperoleh melalui pengukuran dengan skala semantic differential adalah
data interval. Skala bentuk ini biasanya digunakan untuk mengukur sikap atau
70
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
karakteristik tertentu yang dimiliki seseorang. Adapun kriteria penyusunan
lembar penilaian diri adalah sebagai berikut:
1) Berupa pertanyaan tentang pendapat, tanggapan dan sikap, misalnya sikap
responden terhadap sesuatu hal.
2) Menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dimengerti oleh
responden.
3) Pertanyaan diusahakan yang jelas dan khusus.
4) Harus dihindarkan pertanyaan yang mempunyai lebih dari satu pengertian
5) Harus dihindarkan pertanyaan yang mengandung sugesti.
6) Harus membuat pertanyaan yang berlaku bagi semua responden.
Penilaian Antarpeserta Didik
Penilaian antarpeserta didik merupakan teknik penilaian dengan cara
meminta peserta didik untuk saling menilai terkait dengan pencapaian
kompetensi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian antarpeserta didik
adalah daftar cek dan skala penilaian (rating scale) dengan teknik sosiometri
berbasis kelas. Guru dapat menggunakan salah satu dari keduanya atau
menggunakan dua-duanya.
Jurnal
Jurnal merupakan catatan pendidik di dalam dan di luar kelas yang
berisi informasi hasil pengamatan tentang kekuatan dan kelemahan peserta
didik yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Kelebihan yang ada pada
jurnal adalah peristiwa/kejadian dicatat dengan segera. Dengan demikian,
jurnal bersifat asli dan objektif dan dapat digunakan untuk memahami peserta
didik dengan lebih tepat. Terkait dengan pencatatan jurnal, guru perlu
mengenal dan memerhatikan perilaku peserta didik baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Aspek-aspek pengamatan ditentukan terlebih dahulu
oleh guru sesuai dengan karakteristik mata pelajaran yang diajarkan. Aspekaspek pengamatan yang sudah ditentukan tersebut kemudian dikomunikasikan
terlebih dahulu dengan peserta didik di awal semester. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam membuat jurnal yaitu a) catatan atas pengamatan guru
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
71
harus objektif, b) yang dicatat hanyalah kejadian/peristiwa yang berkaitan
dengan Kompetensi Inti, dan c) pencatatan segera dilakukan (jangan ditundatunda).
Penilaian Sikap dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia memiliki tujuan dan peranan yang
sangat penting di sekolah. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah memiliki
tujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik pada
empat aspek keterampilan berbahasa, mengarahkan peserta didik untuk bisa
mengenal dirinya, mengungkapkan gagasan dan perasaan, dan mampu
mengenal lingkuan hidup di sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut
Akhadiah dkk. (1991: 1) mengungkapkan tujuan pembelajaran bahasa
Indonesia adalah agar siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang
baik dan benar serta dapat menghayati bahasa dan sastra Indonesia sesuai
dengan situasi dan tujuan berbahasa serta tingkat pengalaman siswa sekolah
dasar.
Berdasarkan peranan dan tujuan pembelajaran bahasa Indonesia yang
telah disampaikan di atas dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa tidak
hanya meningkatkan kemampuan berkomunikasi peserta didik saja tetapi
pembelajaran bahasa dapat membentuk karakter peserta didik untuk memiliki
sikap-sikap yang luhur. Oleh karena itu, penilaian harus dilakukan dengan
tepat dan akurat agar tujuan dari pembelajaran bahasa Indonesia tercapai
dengan baik. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada kurikulum 2013 dalam
pelaksanaan penilaian pembelajaran haruslah melakukan penilaian proses pada
peserta didik agar penilaian akhir yang diperoleh tidak hanya pada kompetensi
pengetahuan dan keterampilan saja, tetapi kompetensi sikap juga dapat dinilai.
Selain itu, kurikulum 2013 lebih menekankan pada pembentukan sikap
(afektif) yang tertuang dalam kompetensi inti K1 dan K2. Adapun sasaran
penilaian hasil belajar oleh pendidik pada ranah sikap spiritual dan sikap sosial
berdasarkan Permendikbud tahun 2014 tentang pedoman penilaian hasil belajar
oleh pendidik adalah sebagai berikut.
72
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tabel 1. Pedoman Penilaian Hasil Belajar Ranah Sikap
Tingkatan Sikap
Menerima nilai
Deskripsi
Kesediaan menerima suatu nilai dan memberikan
perhatian terhadap nilai terebut
Kesediaan menjawab suatu nilai dan ada rasa puas
dalam membicarakan nilai tersebut
Menganggap nilai tersebut baik; menyukai nilai
tersebut; dan komitmen terhadap nilai tersebut
Memasukkan nilai tersebut sebagai bagian dari sistem
nilai dirinya
Mengembangkan nilai tersebut sebagai ciri dirinya
dalam berpikir, berkata, berkomunikasi, dan bertindak
(karakter)
Menanggapi nilai
Menghargai nilai
Menghayati nilai
Mengamalkan nilai
(Sumber: Olahan Krathwohl dkk.,1964)
Sasaran penilaian hasil belajar pada ranah sikap spiritual dan sosial
dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat tercapai apabila dilakukan
penilaian proses (sikap) pada kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia yang
mencakup empat keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca,
dan menulis).
PENUTUP
Sikap merupakan ungkapan perasaan, cara bertindak/berperilaku
terhadap objek yang didasarkan pada kemampuan pengetahuan yang dimiliki,
sehingga sikap yang dimiliki oleh seseorang menunjukkan karakter yang ia
miliki. Untuk menciptakan karakter yang unggul pada peserta didik harus
ditanamkan dan dilakukan pembinaan secara berkesinambungan. Oleh karena
itu, diperlukan penilaian proses selama kegiatan pembelajaran yang
berlangsung. Hal ini, bertujuan agar guru/tenaga pendidik dapat melakukan
penilaian secara akurat dan tepat dalam rangka membentuk karakter peserta
didik
untuk
memiliki
kepribadian
yang
unggul.
Dengan
demikian
pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah harus mampu mengarahkan peserta
didik
mengenal
dirinya
sendiri
dan
lingkungannya
dalam
kegiatan
pembelajaran melalui pengetahuan dan keterampilan keterampilan yang
dimiliki peserta didik.
Uraian mengenai implementasi penilaian sikap dalam pembelajaran
bahasa Indonesia tersebut masih sangat umum dan belum lengkap. Namun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
73
setidaknya, uraian tersebut dapat memberikan gambaran dalam menyusun
penilaian sikap (proses). Sesuai dengan pembelajaran tujuan pembelajaran
bahasa yang harus diintergrasikan ke dalam empat keterampilan berbahasa,
yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Akhir kata, penilaian atau evaluasi pembelajaran tidak hanya dilakukan
pada produk yang dihasilkan saja, tetapi dilakukan juga selama proses
pembelajaran berlangsung. Hal ini dilakukan agar peserta didik tidak hanya
memiliki kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan saja, namun
diharapkan peserta didk dapat memiliki kompetensi sikap (spiritual dan sosial)
yang unggul sebagai wujud pembentukan karakter peserta didik yang
berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Kunandar. 2009. Peniaian Autentik (Penilaian Hasil Belajar Peserta Didik
Berdasarkan Kurikulum 2013). Jakarta: Kharisma Putra Utama
Offset.
Mar‘at, S. 1984. Perubahan Sikap Serta Pengukurannya. Jakarta: Ghalila
Indonesia.
Permendikbud Nomor 81A Tahun 2013 tentang Implementasi Kurikulum.
Permendikbud Nomor 66 tahun 2013 tentang Penilaian.
Permendikbud tahun 2014 tentang Pedoman Penilaian.
Sanjaya, W. 2012. Media Komunikasi Pembelajaran. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
74
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
ALUR PADA CERPEN ANAK DALAM SURAT KABAR
KOMPAS
Arini Noor Izzati
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,Universitas Terbuka
Pos-el: [email protected] ; [email protected]
ABSTRAK
Alur pada Cerpen Anak dalam Surat Kabar Kompas. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan jenis alur yang terkandung dalam cerpen anak surat kabar
Kompas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-deskriptif, dengan teknik
dokumentasi. Penyajian data dilakukan secara deskriptif, untuk memaparkan unsur
alur pada cerpen anak dan implikasinya sebagai alternatif pembelajaran sastra pada
anak. Adapun data penelitian ini adalah teks cerpen anak yang terdapat pada rubrik
anak-anak surat kabar Kompas. Cerpen-cerpen tersebut berjudul, (1) Papan Catur
Kakek, (2) Kue Keranjang untuk Meylan, (3) Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk, (4)
Dimas tanpa Suara, (5) Dito Punya Cara, (6) Biarkan Burung Itu Bebas, (7) Si Agus
Juara, (8) Nyanyian Sang Katak, (9) Si Hitam dan Si Putih, (10) Kertas Daur Ulang,
(11) Sahabat dalam Kesunyian, (12) Surat Januari. Hasil analisis menunjukkan
bahwa cerpen-cerpen anak sebagian besar alurnya berpola awal-tengah-akhir. Hal itu
memperlihatkan bahwa jenis pola alur tersebut masih mendominasi cerpen-cerpen itu.
Tentunya dengan pertimbangan anak akan lebih mudah memahami isi cerita yang
tersaji. Selain itu pengenalan terhadap cerpen-cerpen ini, diharapkan akan dapat
membuat anak menjadi lebih akrab terhadap bentuk sastra anak itu sendiri, sehingga
membantu anak-anak atau siswa usia sekolah dasar dalam upaya pembentukan
karakter yang positif pada tahap-tahap awal kehidupan mereka.
Kata kunci : alur, cerpen anak, sastra.
PENDAHULUAN
Sumbangan karya sastra dalam membangun karakter insan Indonesia
merupakan hal yang sangat signifikan, pembangunan karakter ini dimulai dari awal
perkembangan individu. Sastra mendorong manusia untuk merenungi makna
kehidupan itu sendiri. Pembaca anak-anak, daya imajinasi maupun fantasinya baru
berkembang. Mereka dapat menerima segala macam cerita terlepas dari cerita tersebut
masuk akal atau tidak. Mengenai hal tersebut Stewig dalam Nurgiyantoro (2005: 4)
menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa anak diberi buku bacaan sastra adalah
agar mereka dapat memperoleh kesenangan dan mampu menstimulasi imajinasi anak.
Seperti yang juga diungkapkan oleh Hancock dalam Nodelman, (2008: 147) mengenai
sastra untuk anak-anak, menurutnya, “Children‟s literature can be defined as
literature that appeals to the interest, needs, and reading preferences of children and
captives children as its major audience.”Artinya, sastra anak merupakan jenis bacaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
75
sastra yang menarik minat, dibutuhkan dan lebih diminati untuk dibaca oleh
anak-anak sebagai penikmat utama dan terbesar dari sastra anak.
Anak sebagai individu yang sedang bertumbuh akan menyerap nilai-nilai yang
didapatnya dari pengalamannya, diantaranya adalah dari kegiatan membaca,
mendengar dan mengapresiasi karya sastra, seperti pada cerita anak. Berbincang
tentang sastra anak tentunya tidak boleh lepas dari dunia anak-anak itu sendiri. Sastra
untuk anak harus berkisah tentang anak, tentang kejadian yang melibatkan anak,
tentang lingkungan yang memang selalu melingkupi anak, seperti keluarga, sekolah,
pertemanan, cita-citanya, dunia khayal anak dan sebagainya. Nurgiyantoro (2005:8)
memberikan pendapatnya mengenai hal tersebut, menurutnya anak merupakan pusat
pemilik kebutuhan dan pusat perhatian dalam sastra anak, maka pada sastra anak hal
tersebut memang harus ditulis dan disediakan untuknya. Bentuk sastra anak ini
biasanya disajikan dalam berbagai bentuk, misalnya puisi, cerpen, novel dan drama.
Berkaitan dengan hal tersebut, bacaan sastra yang dapat cepat diapresiasi oleh
anak salah satunya adalah cerita pendek atau cerpen. Cerpen menyajikan isi cerita
yang tidak terlalu rumit alurnya, menarik, dan hanya membutuhkan waktu yang tidak
banyak untuk membacanya, sehingga anak pun tidak bosan ketika menikmati cerpen.
Dalam hal pemilihan surat kabar, tentunya dipilih surat kabar yang memiliki
kualitas yang baik dan memang menyediakan rubrik khusus untuk anak-anak secara
konsisten dan berkala. Contohnya adalah surat kabar KOMPAS, yang menyajikan
rubrik anak-anak yang di dalamnya memuat cerpen khusus anak-anak. Rubrik ini
hadir setiap hari minggu. Jadi, cerpen anak-anak dalam surat kabar KOMPAS dapat
menjadi alternatif sumber pembelajaran sastra untuk anak-anak usia sekolah dasar.
Tentunya dengan pertimbangan dan asumsi bahwa surat kabar ini merupakan salah
satu surat kabar yang beredar di Indonesia dan berkualitas dalam hal konten dan
pemberitaan.
Cerita Pendek Anak
Sebagaimana jenis fiksi untuk orang dewasa, fiksi untuk anak-anak juga
dibedakan
berdasarkan bentuknya, yaitu cerita pendek (cerpen)
dan novel.
Sebagaimana Nurgiyantoro (2005: 286) menyatakan bahwa berdasarkan panjang dan
pendeknya cerita yang dikisahkan, cerita fiksi anak-anak, dapat dibedakan ke dalam
novel dan cerita pendek (cerpen). Berbeda halnya dengan novel anak-anak yang
sering terbit dalam bentuk sebuah buku, cerpen anak-anak pada umumnya dimuat
76
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dalam surat kabar harian atau majalah. Cerpen anak sebagaimana juga cerpen dewasa,
yang hanya terdiri dari beberapa halaman atau sekitar seribu kata dan kandungan
ceritanya tidak terlalu melebar, tentunya tidak membutuhkan ruang yang banyak
dalam majalah atau surat kabar. Selain itu Sarumpaet (2010: 4) menyatakan berpikir
mengenai anak, kehidupan anak,
bacaan anak, serta bermacam persoalan yang
berkaitan dengannya, kita perlu secara sadar meletakkan semua itu dalam konteks
budaya anak-anak.
Sebagai jenis fiksi yang menyajikan cerita, cerpen dibangun oleh berbagai
unsur intrinsik yang sama, misalnya unsur penokohan, alur, latar, tema, amanat, sudut
pandang, dan lain-lain, walaupun dengan membawa konsekuensi tersendiri pada
keluasan cerita yang dikisahkan. Berkaitan dengan hal tersebut Nurgiyantoro (2005:
287) kembali menyatakan bahwa, cerpen tidak mungkin berbicara secara panjang
lebar tentang berbagai peristiwa, tokoh, dan latar karena dibatasi oleh jumlah
halaman. Sehingga dengan penampilannya yang hanya melibatkan sedikit tokoh,
peristiwa, latar, tema, dan moral, fokus ke pencapaian kesan tunggal tidak terlampau
sulit diperoleh.
Jadi dapat dikatakan bahwa cerita pendek anak, sebagaimana cerita pendek
untuk orang dewasa merupakan cerita yang singkat atau pendek, memiliki efek kesan
tunggal, imajinatif, dan padat. Cerpen anak juga memiliki satu permasalahan saja, dan
menikmatinya tidak perlu dalam waktu yang lama. Memang ada perbedaan dalam
bentuk penyajian dari cerita pendek untuk orang dewasa dan cerita pendek untuk
anak-anak, baik dari segi tampilan, tema, amanat, isi cerita, muatan nilai-nilai dan
penggunaan bahasa.
Alur Cerita Pendek Anak
Secara teoretis ada pola-pola tertentu yang lazim digunakan untuk
pengembangan alur sastra anak menyangkut substansi kualitas aksi tokoh maupun
sekuensi aksi tersebut. Menurut Sarumpaet (2010: 111-112) pada umumnya alur cerita
anak
dirancang
secara
kronologis,
yang
menaungi
periode
tertentu
dan
menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam periode tertentu tersebut. Ada dua tipe
kronologis yakni progresif dan episodik. Alur kronologis-progresif ditandai dengan
eksposisi, tempat tokoh-tokoh, latar, dan konflik dasar diperkenalkan. Setelah itu,
cerita dibangun hingga gawatan dan klimaks. Sedangkan alur kronologis-episodik
mengikat beberapa cerita pendek atau episode, masing-masing sebuah kebulatan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
77
dengan konflik dan penyelesaian. Episode-episode itu dipersatukan dengan tokoh
yang sama dan latar yang sama pula.
Pendapat Nurgiyantoro (2005:243-247) mengenai pola alur pada cerpen anak
adalah (1) awal-tengah-akhir, (2) kronologis versus sorot balik, (3) konflik dan
klimaks, (4) suspense dan surprise, dan (5) kesatupaduan. Pola awal-tengah-akhir
mengacu pada urutan cerita yang tersaji dari mulai pemunculan konflik, konflik mulai
berkembang, dan sampai konflik melewati tahap penyelesaian baik secara terbuka
maupun tertutup. Pola kronologis versus sorot balik adalah sekuensi peristiwa
dikisahkan berdasarkan urutan waktu dari ketidakruntutan waktu kejadian. Peristiwa
yang dimulai dari awal sampai akhir berdasarkan urutan normal disebut dengan
kronologis, sedangkan urutan peristiwa yang tidak berdasarkan urutan awal
berdasarkan kejadian, yakni peristiwa akibat didahulukan sebelum sebab, disebut
sorot balik. Pola konflik dan klimaks berupa substansi peristiwa yang dikisahkan
berkembang berdasarkan hubungan sebab akibat dan logika. Pola suspense dan
surprise berkaitan dengan rasa ingin tahu yang dirasakan pembaca tentang kelanjutan
cerita dan menahan pembaca untuk tetap menikmati alur cerita dalam rangkaian ikatan
emosional pembaca. Pola Kesatupaduan merupakan bentuk keterkaitan antara
peristiwa-peristiwa dan konflik sehingga secara keseluruhan cerita itu menampilkan
sesuatu yang memiliki ciri kesatupaduan (unity). Keterkaitan tersebut berupa
hubungan sebab akibat, kelogisan atau konteks kewacanaan sehingga alur cerita
menjadi lebih meyakinkan. Lima pola yang dikemukakan oleh Nurgiyantoro inilah
yang dijadikan pedoman dalam menganalisis alur pada cerpen anak dalam surat kabar
KOMPAS.
Rubrik KOMPAS Anak
Berdasarkan hasil observasi dan kunjungan untuk berwawancara dengan
koordinator rubrik KOMPAS Anak, Ibu Retnowati, di kantor redaksi KOMPAS Jalan
Palmerah Selatan No.26-28 Jakarta, maka didapat beberapa informasi mengenai
rubrik ini. KOMPAS Anak mulai terbit pertama kali bulan Oktober 2003. KOMPAS
Anak pada awalnya terdiri dari 4 halaman. Rubrik ini menerima kiriman naskah cerita
pendek atau dongeng. Karangan yang dikirim harus asli dan belum pernah diterbitkan.
Panjang karangan 3-4 halaman, diketik dua spasi. Pengiriman naskah ditujukan ke
Redaksi KOMPAS Anak. Naskah yang memang dianggap layak akan dimuat dalam
rubrik ini.
78
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Seiring dengan berjalannya waktu, halaman di harian KOMPAS menyusut,
maka halaman KOMPAS Anak pun ikut menciut menjadi 2 halaman, masih dengan
formula yang sama secara bergantian, atau disesuaikan dengan kebutuhan. Pada
halaman pertama terdiri atas kolom ―Ilmu pengetahuan‖ dan ―Resensi‖. Adapun
halaman 2, terdiri atas kolom ―Cerita-cerita‖ dan ―Ruang Kita‖.
METODE
Metode
Metode
ini
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif-deskriptif.
dipilih
karena
penelitian
ini
berupaya
mendeskripsikan
dan
menginterpretasikan unsur alur yang terkandung dalam cerita pendek anak-anak yang
termuat dalam rubrik ―Anak‘ pada surat kabar Kompas. Seperti yang diungkapkan
oleh Sugiyono (2010: 22) mengenai hal tersebut, menurutnya data yang terkumpul
menggunakan metode ini berupa atau berbentuk kata-kata atau gambar, sehingga tidak
terlalu menekankan pada angka. Jadi metode deskriptif digunakan untuk membantu
identifikasi dan pemaparan unsur-unsur yang menjadi fokus penelitian.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi. Instrumen penelitian
ini adalah peneliti sendiri. Untuk melaksanakan teknik penelitian digunakan alat
pendukung berupa, kartu analisis teks, kartu ini digunakan untuk menganalisis setiap
cerpen. Selain itu ada pedoman analisis teks, pedoman ini digunakan sebagai rujukan
dalam penganalisisan setiap cerpen, yang berupa pedoman analisis pola alur pada
cerpen-cerpen anak tersebut.
Data untuk penelitian ini adalah dua belas cerita pendek yang mewakili setiap
bulan selama tahun 2010, yang diambil secara acak (random sampling). Judul-judul
cerpen yang mewakili adalah: (1) ―Papan Catur Kakek” (3 Januari 2010), (2) ―Kue
Keranjang untuk Meylan” (7 Februari 2010), (3) ―Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk”
(14 Maret 2010), (4) ―Dimas tanpa Suara” (11 April 2010), (5) ―Dito Punya
Cara”(23 Mei 2010), (6) ―Biarkan Burung Itu Bebas” (6 Juni 2010), (7)‖Si Agus
Juara”(25 Juli 2010), (8) ―Nyanyian Sang Katak” (29 Agustus 2010), (9) ―Si Hitam
dan Si Putih” (5 September 2010), (10) ―Kertas Daur Ulang” (24 Oktober 2010),
(11) ―Sahabat dalam Kesunyian” (28 November 2010), (12) ―Surat Januari”(19
Desember 2010).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola alur pada cerpen 1(―Papan Catur Kakek”) alur kronologis versus sorot
balik. Begitu juga dengan cerpen 2 (―Kue Keranjang untuk Meylan‖) memiliki alur
kronologis versus sorot balik. Adapun cerpen 3 (“Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk”)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
79
alur yang dimiliki adalah alur awal-tengah-akhir. Pola alur awal-tengah-akhir juga
terdapat pada cerpen 4 (―Dimas Tanpa Suara”). Cerpen 5 (―Dito Punya Cara‖)
memiliki pola alur konflik dan klimaks. Pada cerpen 6 (“Biarkan Burung itu Bebas”)
memiliki pola alur awal-tengah-akhir. Alur konflik dan klimaks terdapat pada cerpen
7 (―Si Agus Juara‖). Selanjutnya cerpen 8 (―Nyanyian Sang Katak‖) pola alur yang
terdapat pada cerpen ini adalah awal-tengah-akhir. Cerpen 9 (―Si Hitam dan Si
Putih‖), Cerpen 10 (―Kertas Daur Ulang”), Cerpen 11 (―Sahabat dalam Kesunyian”),
juga memiliki pola alur awal-tengah-akhir. Terakhir, adalah cerpen 12 (―Surat
Januari”) yang memiliki pola alur kronologis versus sorot balik.
Untuk memperjelas sebaran kelima pola alur dalam 12 (dua belas) cerpen
tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.
No.
Judul
No.
Cerpen
Papan Catur
Kakek
2.
Kue
Keranjang
untuk
Meylan
3.
Anak-anak
Pelabuhan
Gilimanuk
4.
Dimas
Tanpa Suara
5.
Dito Punya
Cara
6.
Biarkan
Burung itu
Bebas
7.
Si Agus
Juara
8.
Nyanyian
Sang Katak
9.
Si Hitam dan
Si Putih
10.
Kertas Daur
Ulang
11.
Sahabat
dalam
Kesunyian
12.
Surat
Januari
Jumlah
AwalTengah
-Akhir
1.
Kronologis
Versus
Sorot Balik
V
Pola Alur
Konflik
Suspense dan
dan
Suprise
Klimaks
Kesatupaduan
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
V
7
3
2
Tabel tersebut memperlihatkan, dari keduabelas cerpen tersebut, yang memiliki
pola awal-tengah-akhir adalah cerpen 3, 4, 6, 8, 9, 10, dan 11. Adapun cerpen 1, 2,
80
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dan 12 memiliki pola alur kronologis versus sorot balik. Cerpen 5 dan 7 memiliki pola
alur konflik dan klimaks.
Analisis data
Analisis dari pola alur dari beberapa cerpen-cerpen tersebut diuraikan
sebagai berikut:
a.
Pola Alur Cerpen 1 (“Papan Catur Kakek”) Kronologis versus Sorot
Balik.
Pada awal cerita pengarang menceritakan tentang keinginan tokoh utama
yaitu Toni yang ingin memberikan hadiah papan catur untuk kakeknya,
walaupun Toni dan kakeknya sebenarnya tidak akur. Toni sering kesal karena
Kakek memiliki sifat cerewet dan suka menegurnya. Pada pertengahan, cerita
mengalami klimaks dan konflik batin tokoh utamanya yaitu Toni, karena tibatiba kakeknya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Toni merasa sangat
menyesal dan merasa bersalah, karena teringat pada masa lalu sering tidak akur
dengan kakeknya. Apalagi setelah dia tahu kakeknya memberi hadiah Natal
berupa sepeda untuknya yang dibeli dari hasil tabungan kakek. Terakhir,
dikisahkan Toni menjenguk kakeknya di rumah sakit, dan Toni meminta maaf
kepada kakeknya serta berjanji untuk tidak berburuk sangka lagi kepada
kakeknya. Pada perayaan Tahun Baru kakeknya sudah diperbolehkan pulang
ke rumah. Toni dan keluarganya merayakan Tahun Baru bersama kakek di
rumah.
b. Pola Alur Cerpen 2 (“Kue Keranjang untuk Meylan”) Kronologis versus
Sorot Balik.
Cerita ini berawal dari kesedihan hati tokoh utama cerita ini yang
bernama Meylan. Nenek Meylan yang bernama Oma Po telah meninggal
empat bulan yang lalu, sehingga pada perayaan Imlek tahun ini Oma Po tidak
ada di tengah-tengah keluarga Meylan. Pengarang memaparkan secara
kronologis jalannya cerita pada cerpen ini. Cerita bergerak dimulai dari
kegundahan hati Meylan yang sedih atas kepergian neneknya. Dia selalu
teringat kemahiran neneknya membuat kue keranjang. Jalan cerita berikutnya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
81
berpindah saat Meylan dihibur oleh ayahnya dengan membuatkan lampion dan
pohon angpau. Klimaks cerita ini ditandai dengan Meylan yang tidak kunjung
gembira karena masih ada yang kurang yaitu kue keranjang buatan Oma Po,
yang tidak ada pada saat Imlek ini. Namun hal tersebut akhirnya diketahui oleh
sopirnya, Pak Min. Akhirnya Pak Min memberi tahu mama Meylan tentang
kegundahan hati Meylan. Cerita diakhiri dengan dibuatkannya kue keranjang
oleh mamanya yang rasanya tidak kalah lezat dengan buatan Oma Po. Meylan
pun tak lupa mengucapkan terimakasih kepada Pak Min, atas disampaikannya
kegelisahan hatinya pada mamanya. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat
dikatakan bahwa cerita ini memiliki alur kronologis versus sorot balik.
c.
Pola alur Cerpen 3 (“Anak-anak Pelabuhan Gilimanuk”) AwalTengah-Akhir.
Peristiwa dalam cerita ini berawal dari kepulangan tokoh utama
yaitu
Wiwik, bersama dengan kakaknya Mas Anton pulang dari liburan di rumah
pamannya di Gianyar Bali. Selanjutnya ketika mereka tiba di pelabuhan
Gilimanuk, mereka melihat banyak anak pengambil koin. Kakaknya, Mas
Anton juga mencoba melempar koin yang diikuti dengan berebutnya anakanak tersebut untuk tejun ke laut mengambil koin yang dilempar Mas Anton.
Peristiwa mencapai puncaknya ketika ada copet yang mengambil tas Mas
Anton yang sedang dititipkan Wiwik, karena Mas Anton sedang asyik
memotret anak-anak tersebut. Namun akhirnya copet tersebut dapat ditangkap
dengan bantuan anak-anak pengambil koin yang sebagian sedang berkumpul di
atas kapal. Tas milik Mas Anton pun dapat diselamatkan. Mas Anton dan
Wiwik sangat berterimakasih kepada anak-anak pencari koin di Pelabuhan
Gilimanuk. Peristiwa pada cerpen tersebut berkembang maju, dengan memiliki
alur awal-tengah-akhir.
d.
Pola Alur Cerpen 4 (“Dimas Tanpa Suara”) Awal-Tengah-Akhir.
Peristiwa dalam cerita ini dimulai pada saat sepeda milik tokoh utama
yang bernama Sita dibawa oleh seorang anak yang berkepala botak, yang
belakangan diketahui bernama Dimas. Sita sangat kesal karena anak itu tidak
meminta izinnya ketika meminjam sepeda. Anak itu hanya mencolek-colek
82
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bahu Sita ketika akan memakai sepeda Sita. Sita takut sepeda barunya rusak,
karena sepeda itu hadiah ayahnya untuknya karena nilai rapor Sita bagus.
Arum, teman Sita sudah mencoba meredakan keresahan hati Sita, namun Sita
tetap kesal pada anak itu. Cerita berlanjut hingga menimbulkan konflik ketika
Sita tahu sepedanya penyok dan
anak itu mengendarai sepeda dengan
kencang. Anak itu pun tidak meminta maaf atas perbuatannya tersebut.
Walaupun Sita sudah mulai emosi, anak itu tidak merespon kemarahan Sita.
Klimaksnya, Sita naik pitam dan hampir saja mengeluarkan jurus
taekwondonya. Namun tiba-tiba datang ibu anak tersebut, dan menjelaskan
mengenai keadaan anaknya yang ternyata bernama Dimas itu. Dimas memiliki
kekurangan, dalam pendengaran dan kemampuan berbicara. Cerita diakhiri
dengan permintaan maaf dari ibunya Dimas. Sita pun mengerti mengapa tadi
Dimas hanya mencolek-colek badan Sita ketika mau pinjam sepeda.
Sepedanya pun tidak seberapa penyok, jika besok anak itu mau pinjam sepeda
lagi Sita akan meminjamkannya. Berdasarkan paparan tersebut, cerpen 4 ini
memiliki alur awal-tengah-akhir.
e.
Pola Alur Cerpen 5 (“Dito Punya Cara”) Konflik dan Klimaks
Peristiwa dalam cerita ini berawal ketika, pengarang memperkenalkan
tokoh utama yaitu Dito, seorang anak yang berasal dari kota, dan baru dua
bulan tinggal di sebuah desa. Dito merasa sedih, karena teman-teman
sekolahnya sering mengejeknya dngan sebutan anak kota yang lembek dan
tidak gesit. Apalagi jika mereka mengajak bermain bentengan, Dito pasti tidak
mau. Permainan bentengan adalah permainan mempertahankan benteng sambil
lari berkejar-kejaran. Konflik terjadi. Walaupun Dito pandai di sekolah, namun
teman-temannya tetap mengejeknya. Pengarang menggambarkan bagaimana
Dito selalu menyendiri saat jam istirahat di sekolahnya. Hal tersebut membuat
gurunya terutama ibunya bertanya-tanya mengapa Dito seperti itu. Cerita
mencapai klimaksnya ketika Dito berterus terang kepada ibunya mengenai apa
yang menimpanya. Ibunya langsung menebak kesulitan yang dialami anaknya
yaitu karena Dito tidak suka kegiatan lari, itulah mengapa Dito sering menolak
untuk bermain bentengan. Ibunya yang bijak membiarkan Dito mencari
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
83
jawaban atas masalah yang dialaminya. Beliau tahu anaknya memiliki banyak
akal
untuk
memecahkan
persoalannya
Kisahnya
berlanjut
dengan
didapatkannya solusi oleh Dito sendiri. Dia bisa aktif terlibat dalam bentengan
walaupun tidak ikut berlari-lari ketika bermain bentengan. Dito menawarkan
diri menjadi wasit dalam permainan bentengan, dengan alasan pada saat
permainan bentengan yang selama ini ia tonton, sering ada yang bermain
curang. Jadi harus ada yang mengawasi supaya adil. Teman-temannya pun
setuju. Sejak saat itu Dito pun aktif bermain bentengan dengan berperan
sebagai wasit. Permainan pun menjadi seru, teman-temannya tidak
mengejeknya lagi dan Dito bisa berangkat sekolah dengan wajah yang cerah.
Berdasarkan paparan yang telah diungkapkan maka dapat dikatakan bahwa
cerpen ini memiliki alur konflik dan klimaks.
f.
Pola Alur Cerpen 6 (“Biarkan Burung Itu Bebas”) Awal-TengahAkhir.
Awal cerita ini dimulai ketika tokoh utama yang bernama Doni yang
meminta dibelikan burung kepada ayahnya. Burung gereja yang dicat warnawarni dan dimasukkan ke dalam sangkar kawat kasa yang dijual oleh penjual
burung keliling. Namun ayah Doni tidak menyetujui permintaan Doni, tentu
saja Doni sangat kecewa pada ayahnya. Dia merasa ayahnya tidak mengerti
akan keinginan dirinya, banyak prasangka buruk yang menghinggapi Doni
terhadap ayahnya. Menurut Doni membeli burung gereja itu hanya persoalan
sepele, kenapa ayahnya jadi pelit, sekarang.
Sebenarnya ayah Doni memiliki pikiran yang berbeda dengan Doni, buat
ayahnya, hal tersebut sama saja menyiksa binatang, dengan mengurung burung
dalam sangkar, berarti membuat mereka kehilangan haknya untuk hidup bebas
sebagai makhluk hidup. Oleh karena itu ayah Doni berjanji untuk membuatkan
sesuatu yang akan mengganti permintaan Doni yang tidak disetujui ayahnya.
Ternyata ayahnya membuatkan tempat untuk singgah burung-burung gereja di
atas pohon mangga mereka di belakang rumah Doni. Tempat singgah burungburung tersebut, berasal dari papan-papan yang diberi kaleng untuk tempat
beras dan air bagi burung-burung. Menurut ayahnya dengan begitu, burung-
84
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
burung tersebut akan bebas berterbangan, dan akan lebih leluasa menikmati
tingkah lakunya yang lucu serta kicauannya yang merdu. Doni pun sekarang
akhirnya mengerti maksud ayahnya. Jadi, cerita ini bergerak maju atau beralur
awal-tengah-akhir.
g.
Plot AlurCerpen 7 (“Si Agus Juara”) Konflik dan Klimaks
Cerpen ini memiliki alur konflik dan klimaks. Hal tersebut ditandai
dengan merasa kesalnya tokoh Agus di awal cerita
karena teman-teman
sekelasnya mengubah namanya menjadi Agus Kurus. Hal tersebut karena
tubuh Agus memang kurus. Namun Agus tidak suka diberi julukan seperti itu.
Klimaksnya
Agus bertindak ekstrim, menambah porsi makannya menjadi
banyak. Akan tetapi itu dilarang oleh mamanya, yang kemudian menyarankan
agar Agus menjadi yang terbaik saja, dengan memiliki prestasi, baik di bidang
olah raga maupun pada pelajaran di sekolah. Agus pun menuruti saran
mamanya. Walaupun Agus masih sering dijuluki Agus kurus, namun Agus
tidak peduli, dia bertekad menjadi yang terbaik di kelasnya.
Akhirnya usaha Agus tidak sia-sia, dia menjadi juara tidak saja di bidang
olahraga namun juga di bidang pelajaran sekolah. Teman-teman Agus pun
dengan bangga mengakui hal tersebut, dan mengganti julukannya menjadi si
Agus Juara.
SIMPULAN
Pola alur awal-tengah-akhir mendominasi sebagian besar pola alur dari cerpencerpen. Pola alur meliputi tahap perkenalan, pertikaian, penyelesaian. Pengarang
memperkenalkan tokoh-tokoh dan penokohannya pada awal cerita, kemudian
dilanjutkan dengan menyajikan masalah dan kejadian hingga mencapai klimaks,
hingga akhirnya terdapat penyelesaian dari masalah dan kejadian yang dialami oleh
tokoh-tokohnya.Hal tersebut memang akan lebih memudahkan anak sebagai
pembacanya memahami isi cerita.
Hanya sebagian kecil cerpen yang memiliki pola kronologis versus sorot balik.
Adapun pola alur suspense dan surprise dan pola alur kesatupaduan tidak terdapat
pada cerpen-cerpen anak tersebut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
85
DAFTAR PUSTAKA
Nodelman, Perry. (2008). The Hidden Adult. Baltimore, Maryland. USA: The
Jhon Hopkins University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. (2005). Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia
Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. (2010). Teori Pengajaran Fiksi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Sarumpaet, Riris K. Toha. (2010). Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:
Pustaka Obor Indonesia.
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
86
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
KEKERASAN SIMBOLIK DALAM MEDIA CETAK
Studi Kasus Media Cetak Kompas dan Radar Sulteng
Arum Pujiningtyas
Universitas Tadulako
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Kekerasan Simbolik dalam Media Cetak. Stusi Kasus Media Cetak Kompas dan
Radar Sulteng. Media massa memiliki peran penting dalam membentuk karakter
manusia Indonesia, terutama generasi muda. Hal ini karena efek dari media massa
yang dapat mempengaruhi pemikiran hingga tingkah laku. Efek itu dapat terjadi bagi
penonton/pendengar untuk media elektronik, dan bagi pembaca untuk media cetak.
Berkenaan dengan itu, media seharusnya dapat menempatkan diri sebagai pemberi
informasi yang bernuansa pendidikan dan perdamaian. Nuansa pendidikan yang
dimaksud agar media memerankan diri secara edukatif, dan nuansa perdamaian agar
media dapat menjadi perekat persaudaraan antarmasyarakat melalui literasi yang
disampaikan. Berkenaan dengan itu, makalah ini akan menyajikan bentuk kekerasan
simbolik yang muncul dalam media cetak. Sumber data makalah ini adalah media
cetak Kompas dan Radar Sulteng. Teori yang digunakan untuk membedah kekerasan
simbolik adalah teori yang digunakan oleh Pierre Bourdieu, dan dianalisis dengan
metode alir Miles and Hubermann untuk menampilkan bentuk dan strategi kekerasan
simbolik. Hasil yang didapatkan, terjadi kekerasan simbolik dalam kedua media cetak
yang ditampilkan dalam teks berita. Teks berita yang muncul memiliki makna kasar,
seperti merendahkan, menyatakan kekuasaan, menekan, mempengaruhi, menjatuhkan,
dan memaksa.
Kata kunci: kekerasan simbolik, media cetak, teori Pierre Bourdieu
PENDAHULUAN
Kekerasan dapat diartikan sebagai suatu bentuk tindakan yang
melibatkan kekuatan fisik, seperti memukul, menganiaya, dan lain sebagainya.
Namun, kekerasan tidak hanya berupa kekerasan fisik saja, tetapi dapat pula
menggunakan kekuatan verbal, seperti memaki, mencibir, dan menghina orang
lain. Penjelasan mengenai kekerasan tidak sebatas itu saja, kekerasan juga
dapat ditemukan dalam bentuk tertulis dan biasanya kekerasan tertulis itu dapat
ditemukan dalam wacana-wacana berita. Dalam wacana atau teks berita itulah
dapat ditemukan kekerasan dalam berbahasa yang biasa disebut kekerasan
simbolik.
Kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang secara tidak
sadar dialami oleh masyarakat, karena kekerasan ini dilakukan secara halus
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
87
dan memiliki maksud tersembunyi yang diungkapkan melalui bahasa.
Kekerasan simbolik memiliki beberapa bentuk, seperti makna kabur atau
samar-samar (implisit) yang meliputi makna umum dan khusus, bersifat logika
bias (makna yang dihasilkan menyimpang dari maksud sebenarnya, serta
kadang melogiskan sesuatu yang tidak logis) yang meliputi generalisasi
berlebihan dan bukti-bukti pernyataan yang lemah.
Kekerasan di media massa terjadi akibat dari pemberitaan media yang
memaparkan suatu informasi secara tidak objektif. Hal-hal yang diberitakan
pun selalu tidak sesuai dengan kenyataan dan isinya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Sebuah media seharusnya menghibur, mendidik, dan
memberikan informasi dengan objektif agar para pembacanya dapat
memberikan asumsi positif terhadap wacana yang diberitakan, karena berita
dalam wacana itu memiliki fakta terhadap konteks sosial di masyarakat yang
sedang terjadi dan memberitakannya pun mengungkapkan fakta sosial di
media. Media massa memiliki peran penting dalam membentuk karakter
manusia Indonesia, terutama generasi muda. Hal ini karena efek dari media
massa yang dapat mempengaruhi pemikiran hingga tingkah laku. Efek itu
dapat terjadi bagi penonton atau pendengar untuk media elektronik, dan bagi
pembaca untuk media cetak. Berkenaan dengan itu, media seharusnya dapat
menempatkan diri sebagai pemberi informasi yang bernuansa pendidikan dan
perdamaian. Nuansa pendidikan yang dimaksud agar media memerankan diri
secara edukatif, dan nuansa perdamaian agar media dapat menjadi perekat
persaudaraan antarmasyarakat melalui literasi yang disampaikan.
Selanjutnya, kekerasan di media massa dapat diketahui melalui kata-kata
yang digunakan, yakni berupa rangkaian kalimat yang membentuk suatu
wacana. Wacana itu merupakan alat yang digunakan dalam menyampaikan
informasi-informasi kepada masyarakat, namun secara tidak langsung
informasi yang disampaikan terkadang memiliki makna yang kasar
dan
terkandung maksud untuk menyatakan kekuasaan terhadap suatu hal. Media
massa yang terkadang secara tidak langsung menggunakan wacana yang
memiliki makna kasar dan keras adalah media cetak. Hal itu diketahui dari
penggunaan kata-kata yang terletak dalam teks-teks beritanya.
88
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Teks berita itulah yang merupakan simbol bahasa media cetak yang
sering memiliki makna kasar walaupun makna tersebut hanya dapat diketahui
secara tersirat oleh pembaca tertentu. Makna-makna kasar yang dimaksud
seperti terdapat unsur pemaksaan, merendahkan, menyatakan kekuasaan
politik, menekan, mempengaruhi, dan menjatuhkan seseorang.
Kekerasan simbolik dapat dilakukan melalui beberapa cara atau strategi,
yaitu melalui cara eufimisme atau penghalusan, pelogisan informasi, dan
pemositifan informasi. Kekerasan simbolik melalui cara eufimisme meliputi
pelabelan informasi, pelabelan hal-hal negatif, dan pengonotasian, hal tersebut
dilakukan agar pembaca dapat disentuh rasa simpatinya, rasa benci, kesan
positif, kesan negatif, peninggian, merendahkan, penguatan, dan melemahkan.
Kekerasan simbolik melalui cara pelogisan informasi menjadikan suatu
informasi yang awalnya tidak memiliki hubungan yang logis namun tanpa
disadari menjadi logis atau dapat diterima oleh akal sehat. Kekerasan simbolik
melalui cara pemositifan informasi menjadikan informasi yang awalnya
terkesan negatif menjadi positif, karena telah didukung oleh adanya ketegasan,
penganalogian, dan pertentangan dalam pemberitaannya.
Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa kekerasan
simbolik memanfaatkan bahasa sebagai alat yang efektif dalam menyatakan
kekuasaannya, bahkan melakukan kekerasan simbolik, karena bahasa selalu
memiliki hubungan dengan keadaan sosial dan politik. Maka dari itu, peneliti
tertarik untuk menganalisis kekerasan simbolik yang terdapat di media massa
cetak.
Media cetak dipilih menjadi fokus penelitian, karena media cetak
merupakan salah satu alat komunikasi publik yang memiliki manfaat untuk
memberitakan dan menyampaikan informasi. Informasi yang diberitakan harus
memiliki kaitan erat dengan kehidupan dan kepentingan masyarakat, serta
disampaikan secara tertulis lalu dipublikasikan secara luas. Selain itu, media
cetak memiliki keunggulan dibandingkan dengan media elektronik yang
terkadang memiliki kendala teknis, karena bergantung dengan jaringan
internet.
Keunggulan
media cetak dapat
diketahui
dari kemudahan
mendapatkannya, harganya yang ekonomis, dapat disimpan dalam waktu yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
89
relatif lama, sehingga jika suatu waktu diperlukan media cetak dapat dibaca
kembali secara berulang-ulang, informasi yang diberitakan mendidik
masyarakat, bersifat representatif, dan berita yang ditulis dalam media cetak
bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan informasi di masyarakat.
Adapun media cetak yang akan diteliti adalah surat kabar yang
diterbitkan secara nasional maupun lokal dan memiliki sajian berita yang
terkandung kekerasan simbolik di dalam isi beritanya, seperti koran Kompas
dan Radar Sulteng. Kedua surat kabar itu dipilih menjadi sumber penelitian,
keunggulan dari isi penyampaian beritanya.
Berdasarkan latar belakang, permasalahan dalam penelitian ini, adalah:
1)
Bagaimanakah bentuk kekerasan simbolik dalam media cetak Kompas
dan Radar Sulteng?
2)
Bagaimanakah strategi kekerasan simbolik yang digunakan dalam media
cetak Kompas dan Radar Sulteng?
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1)
Mendeskripsikan bentuk kekerasan simbolik dalam media cetak Kompas
dan Radar Sulteng.
2)
Mendeskripsikan strategi kekerasan simbolik yang digunakan dalam
media cetak Kompas dan Radar Sulteng.
PEMBAHASAN
Konsep kekerasan dimaknai sebagai sebuah cara yang digunakan untuk
menghadirkan pemaksaan sebagai cara kerjanya. Pola-pola kekerasan pun
selalu berkaitan dengan kekuasaan, karena kekerasan akan terjadi jika
kekuasaan dilakukan. Hal itu sesuai dengan pola kekerasan simbolik yang
memiliki keterkaitan dengan kekuasaan untuk mendapatkan dominasi dan
mekanisme secara objektif tanpa disadari dan akhirnya diterima oleh
kelompok yang akan dikuasai. Mekanisme yang dimaksud berlangsung tanpa
disadari, karena mekanisme itu berlangsung secara halus sehingga
menyebabkan yang dikuasai menerima begitu saja. Mekanisme itu disebut
kekerasan simbolik yang menurut Bourdieu (2014:32) merupakan bentuk
90
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kekerasan yang halus dan tak tampak yang menyembunyikan di baliknya
relasi kekuasaan. Selanjutnya, kekerasan simbolik bukan saja bentuk
dominasi yang diterapkan melalui bahasa, tapi kekerasan ini merupakan
penerapan dominasi sedemikian rupa sehingga praktik dominasi itu diakui
secara salah dan meskipun begitu tetap diakui, karena kekerasan ini
mengambil bentuk yang sangat halus, tidak mengundang resistensi, dan sudah
mendapatkan lagitimasi sosial (Bourdieu, 2014:144).
Bentuk Kekerasan Simbolik
Roekhan
ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/1932)
(http://karyamenyatakan
bahwa
bentuk kekerasan simbolik terdiri atas makna kabur, logika yang bias dan nilainilai yang bias.
Makna kabur adalah makna yang tidak mudah diketahui dengan jelas,
karena masih samar-samar dan bersifat implisit. Makna kabur akan diketahui
secara tersirat jika seorang memiliki tingkat pemahaman yang baik.
Contoh (1): Menteri ESDM Sudirman Said menilai keputusan Presiden
Joko Widodo mengangkat Amien Sunaryadi sudah tepat.
Amien dinilai memiliki latar belakang yang baik dalam
memperbaiki sistem (Kompas, 20 November 2014).
Pada contoh di atas, kekerasan simbolik terdapat dalam kalimat “Amien
dinilai memiliki latar belakang yang baik dalam memperbaiki sistem”. Bentuk
kekerasan simbolik itu adalah adanya makna kabur, karena secara tidak
langsung argumen Sudirman Said menyatakan orang lain selain Amin tidak
memiliki latar belakang yang baik dalam hal sistem, maka presiden Joko
Widodo memilih dan menetapkan Amien sebagai kepala SKK Migas yang
baru. Pemilihan Amien menjadi Kepala SKK Migas tentu saja tidak mudah,
karena melalui berbagai proses.
Proses itu meliputi pemberhentian Rudi Rubiandini yang awalnya
menjabat sebagai Kepala SKK Migas, setelah itu pemberhentian Johannes
Widjonarko sebagai Pelaksana SKK Migas, kemudian pengusulan lima nama
dari Menteri ESDM, kemudian kelima nama itu akan diseleksi oleh Komite
Pengawasan sehingga menjadi dua nama yang akan langsung disampaikan ke
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
91
Presiden Joko Widodo untuk dipilih dan ditetapkan menjadi Kepala SKK
Migas. Setelah Presiden menyeleksi kedua nama itu berdasarkan data dan
berkas, Amin Sunaryadi lah yang terpilih menjadi Kepala SKK Migas.
Presiden menilai Amin memiliki jiwa seorang pejuang, karena
pengalamannya menjadi salah satu pimpinan KPK jilid pertama, sistem kerja
KPK pun diatur oleh Amin. Maka, seorang yang rela berjuanglah yang
dibutuhkan oleh SKK Migas, dan tidak salah jika Sudirman Said berpendapat
“keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Amien Sunaryadi sudah
tepat”.
Logika bias adalah suatu bentuk pemikiran yang tidak masuk akal, atau
pemikiran yang melenceng serta bertolak belakang dengan hal yang
sebenarnya.
Sebagai contoh: Pengamat politik Ray Rangkuti berpendapat, kini semua
bergantung kepada Basuki untuk mengoptimalkan koordinasi
dengan pemerintah pusat yang sebelumnya ini dirasa kurang
(Kompas, 20 November 2014).
Pada contoh itu, kekerasan simbolik tertulis dalam klausa “semua
bergantung kepada Basuki untuk mengoptimalkan koordinasi dengan
pemerintah pusat yang sebelumnya ini dirasa kurang”. Bentuk kekerasan
simbolik dalam klausa itu adalah adanya makna bias, karena klausa itu seakanakan menyatakan bahwa kerja pemerintahan pusat sebelumnya yakni
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak terlalu optimal dan
baik. Hal itu diketahui dari hasil kerja yang belum terlalu tampak, seperti
dalam menangani masalah banjir, pembangunan DKI, masalah kemiskinan,
dan masalah pemimpin tiap daerah. Maka, sebagai pengamat politik Ray
mengharapkan kepada Basuki yang saat ini menjabat Gubernur, agar
memperbaiki dan mengoptimalkan masalah yang belum terselesaikan, karena
Ray menganggap bahwa Basuki dapat menjalin kerja sama yang baik dengan
pemerintah pusat.
Nilai bias adalah suatu hal yang memiliki arti, berharga, dan memiliki
manfaat, sedangkan bias adalah sesuatu yang tidak sejalan. Jika disimpulkan
nilai bias adalah nilai yang dibelokkan atau nilai yang melenceng serta
92
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dipaksakan oleh seorang penulis berita di media massa. Bentuk-bentuk nilai
terdiri atas nilai moral, sosial, hukum, dan budaya.
Sebagai contoh: ―Namun, kekeringan masih bersifat temporer. Setiap
kabupaten paling hanya satu desa, jadi belum
mengkhawatirkan terhadap lahan pertanian,‖ kata Sarwa di
Semarang, kemarin (Radar Sulteng, 13 September 2014).
Pada kalimat di atas, terkandung nilai moral yang bersifat bias, karena
secara tidak langsung Sarwa menyelepelekan masalah kekeringan yang terjadi
di sebuah desa. Sarwa tidak memnganggap penting masalah kekeringan itu,
dan masih membiarkannya, bahkan tidak memikirkan dampak yang dialami
oleh masyarakat akibat dari kekeringan sawah yang melanda desa tersebut,
seperti kelaparan, kurangnya pasokan air, dan masalah kesehatan yang akan
diderita oleh masyarakatnya.
Strategi kekerasan simbolik
Roekhan
pun
(http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/
1932) menyatakan bahwa
kekerasan simbolik memiliki beberapa strategi
dalam penggunaannya, yaitu: eufimisme atau penghalusan informasi, pelogisan
informasi, dan pemositifan informasi.
Eufimisme atau penghalusan informasi adalah suatu bentuk cara yang
digunakan untuk meghaluskan makna yang terdapat dalam suatu teks. Suatu
teks yang memiliki maksud menjatuhkan seseorang tidak akan secara langsung
dituliskan begitu saja, tetapi orang tersebut akan menuliskannya menggunakan
kata-kata yang halus dan terkesan tidak memiliki maksud untuk menjatuhkan.
Pelogisan informasi adalah suatu bentuk hubungan yang berkaitan dengan
pikiran yang masuk akal, maksudnya semua bentuk informasi yang didapatkan
memiliki sifat yang logis, tegas, dan tidak melenceng dari kenyataan yang
sebenarnya.
Pemositifan informasi adalah suatu cara yang digunakan untuk
mengubah suatu informasi yang bersifat negatif menjadi positif saat
disampaikan kepada orang lain atau pembaca. Pemositifan informasi dapat
diketahui dari bentuk penulisan yang dihaluskan, seperti kata penjara dapat
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
93
dihaluskan menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP). Penghalusan tersebut, saat
ini dapat ditemukan dalam penulisan berita di surat kabar.
Sehubungan dengan pendapat Roekhan, Bourdieu (2014:145) juga
menyatakan bahwa terdapat dua cara kerja pengoperasian kekerasan simbolik,
yaitu dengan cara eufimisasi dan mekanisme sensor.
Mekanisme sensor adalah mekanisme yang beroperasi tidak hanya
berhubungan dengan produksi wacana ilmiah yang dibangun dalam teks
tertulis, tetapi bertujuan untuk membatasi wacana yang akan ditulis atau
dikatakan.
Eufimisasi adalah mekanisme kekerasan simbolik yang tidak tampak dan
bekerja secara halus. Tidak dikenali, dan berlangsung di bawah alam sadar
(Ulfah, 2013:81). Hal itu sejalan dengan pendapat Bourdieu (2014: 145)
menyatakan bahwa cara eufimisasi menjadikan kekerasan simbolik tidak
kelihatan, berlangsung secara lembut, serta mendorong orang untuk menerima
apa adanya.
Sebagai contoh: Basuki meyakini, permasalahan pelik terkait dengan
kelangsungan program-program pembangunan Jakarta
yang melibatkan pemerintah pusat dan DKI bisa cepat
terselesaikan. Hal ini, disebabkan komunikasi kedua belah
pihak dipastikan lebih cair dan lebih terbuka (Kompas, 20
November 2014).
Pada contoh itu, kekerasan simbolik terdapat dalam klausa “komunikasi
kedua belah pihak dipastikan lebih cair dan lebih terbuka.” Dalam klausa itu,
secara tidak langsung penulis berita menyatakan bahwa Jakarta saat di bawah
kepemimpinan sebelum Basuki, belum memiliki kerja sama yang baik dalam
hal berkomunikasi dengan pemerintah.
Komunikasi yang dilakukan oleh pimpinan sebelumnya dengan
pemerintah pusat itu memiliki kaitan erat dengan pembangunan daerah Jakarta
yang saat ini masih menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Masalah itu
meliputi pembangunan transportasi massal cepat, dan penanganan banjir.
Maka, dengan dilantiknya Basuki sebagai Gubernur DKI saat ini, masyarakat
memiliki harapan agar Basuki dapat menjalankan tugas-tugas yang belum
94
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
diselesaikan dengan baik oleh pemimpin sebelumnya, serta menjalin kerjasama
yang baik, lancar, dan terbuka dengan pemerintah pusat dan DKI.
Berdasarkan penjelasan contoh tersebut, kekerasan simbolik yang
dilakukan dengan strategi eufimisme atau penghalusan informasi bersifat
negatif, karena maksud dalam klausa tersebut menyudutkan pemimpin sebelum
Basuki yaitu Jokowi, yang dalam massa kepemimpinannya hal-hal yang telah
diprogramkan di awal massa jabatannya ternyata tidak terlaksana dengan baik.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik dalam media cetak
selalu menggunakan bahasa untuk menghaluskan dan membiaskan maksudmaksud tertentu menggunakan frase, klausa, bahkan kalimat untuk
menyudutkan, menyalahkan, bahkan menjatuhkan individu tertentu. Hal itu
terjadi, tentu saja karena adanya kerjasama antara penulis berita dengan tokoh
tertentu. Sehubungan dengan itu, melalui tulisan ini perlu diketahui bahwa
media dapat djadikan sarana untuk mengekspresikan diri melalui tulisan, tetapi
tulisan-tulisan yang dituangkan dalam media cetak hendaknya memngikuti
kaidah dan etika yang berlaku dalam ilmu jurnalistik, karena masyarakat
umumnya telah mengetahui aturan dalam menyampaikan berita melalui media
cetak, yaitu bersifat objektif, apa adanya, tidak memihak, dan selalu
berdasarkan fakta yang diperoleh di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Bourdieu, Pierre. 2014. Menyingkap Kuasa Simbolik. Terjemahan Fauzi
Fashri. 2007. Jalasutra: Yogyakarta.
Emma Bezergen. 2014. Perang Simbolik Bahasa dalam Iklan Selular (Sebuah
Analisis Wacana Kritis). Makalah disajikan dalam Seminar Tahunan
Linguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Tingkat Internasional,
Bandung, 13-14 Agustus 2014
Emzir. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta:
Rajawali Press.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi, Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
2014. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Kompas.
Kompas, 20 November 2014. “Era Baru Masa Depan Jakarta”. Halaman 1
dan 15.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
95
Mahsun. 2007. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
Noth, Winfried. 2006. Semiotik. Surabaya: Airlangga University Press.
Radar Sulteng, 13 September 2014.” Kekeringan Meluas ke Sejumlah
Wilayah”. Halaman 2
Roekhan, http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/1932.
[01/09/14, pukul 23:23]
Rohmadi, Muhammad. 2011. Jurnalistik Media Cetak: Kiat Sukses Menjadi
Penulis dan Wartawan Profesional. Surakarta: Cakrawala Media.
Satori, Djam‘an dan Aan Komariah. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Sumadiria, Haris. 2006. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Ulfa. 2013. Eufimisasi Sebagai Mekanisme Kekerasan Simbolik dalam
Pembelajaran di Sekolah. Jurnal Pendidikan, Kebudayaan, dan Seni
―Kreatif‖ Vo. 16, No. 3, September- Desember 2013.
96
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PEMBELAJARAN AKTIF BERORIENTASI KARAKTER
DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA
Bambang Sulistyo
Program Studi Pendidikan Bahasa,
Sastra Indonesia dan Daerah FKIP UNBARA
Pos-el: [email protected]
ABSTRACT
In the Indonesian language teaching at class XII, described in the core
competencies and developed through basic competence. KI SMA of class XII, in
point 4 is expressed. Processing, reasoning, explaining, and create in the realm
of concrete and abstract domains associated with the development of the
learned in school independently and act as an effective and creative, and able to
use the method according to the rules of science.KD 4.1, interpret the meaning
of the text narrative history, news, advertising, editorial / opinion, and fiction in
the novel both orally and in writing. Furthermore, KD 4.5, convert text
historical stories, news, advertising, editorial / opinion, and fiction in the novel
into another form in accordance with the structure and rules of the text both
orally and in writing. Associated with core competence and basic competences,
in this paper the author tries to analyze a result of research that has been
conducted by researchers in an experiment on active learning oriented
character in learning to read. Active learning is a character-oriented forms of
learning that allows students actively participate in the learning process itself
either in the form of student interaction with faculty and students in the learning
process. Character-oriented model of active learning can help students to
become a person who is able to adaptable, critial, active, creative, and
cooperative. Based on the testing that has been done that the t test, analysis of
the gain (d), the discussion of the quality of the learning process, and the
character development of students, it can be concluded that the Active Learning
Model (Active Learning) Oriented Character (MPABK) effective for teaching
reading comprehension. While it can also be argued that, based on the four tests
that have been done that, t-test, analysis of the gain (d), the discussion of the
quality of the learning process, which is performed during the learning model is
not more effective than MPABK to teach reading comprehension skills. Besides
MPABK improve learning outcomes of students' reading comprehension,
MPABK also make students aware of the importance of character, adaptable,
critical, active, creative, and cooperative, are characters positive that need to
be developed.
Key word: active learning character oriented model, reading.
PENDAHULUAN
Membicarakan kurikulum merupakan hal yang sangat menarik, terutama
bagi kita yang berprofesi sebagai pendidik. Kurikulum 2013 memberikan
harapan besar bagi negeri ini terhadap persiapan generasi dalam menyongsong
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
97
masa depan. Kunci sukses penerapan kurikulum adalah pada guru dalam
mengaplikasikannya. Semoga guru tidak lagi terjebak pada perlengkapan
administrasi yang luar biasa banyaknya, tetapi lebih ditekankan pada tenaga
dan pikiran yang selalu berkembang. Proses pembelajaran dalam kelas yang
membuat siswa betah, nyaman, dan bertahan dengan kondisi pembelajaran
yang diciptakan oleh guru bersama siswa merupakan hal yang sangat penting.
Dalam konteks penerapan kurikulum 2013, guru diharapkan lebih kreatif
dalam proses pembelajaran. Dalam mencermati pengembangan kurikulum
2013,
setidaknya
kita
perlu
memahami
landasan
pengembangannya,
diantaranya landasan filosofis, teoretis, dan yuridis.
a) Landasan filosofis
Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas
peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum,
proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan
peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.
Proses pendidikan adalah suatu proses yang memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan
berpikir rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna
terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan budaya
berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya dan sesuai dengan
tingkat kematangan psikologis serta kematangan fisik peserta didik. Selain
mengembangkan kemampuan berpikir rasional dan cemerlang dalam
akademik, Kurikulum 2013 memposisikan keunggulan budaya tersebut
dipelajari untuk menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan
dalam kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya, dan
dalam kehidupan berbangsa masa kini.
b) Landasan teoritis
Kurikulum 2013 dikembangkan atas teori ―pendidikan berdasarkan
standar‖ (standard-based education), dan teori kurikulum berbasis kompetensi
(competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan standar menetapkan
adanya standar nasional sebagai kualitas minimal warganegara yang dirinci
menjadi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar
98
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar
pengelolaan,
standar
pembiayaan,
dan
standar
penilaian
pendidikan.
Kurikulum berbasis kompetensi dirancang untuk memberikan pengalaman
belajar seluas-luasnya bagi peserta didik dalam mengembangkan kemampuan
untuk bersikap, berpengetahuan, berketerampilan, dan bertindak.
c) Landasan yuridis
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam kurikulum 2013, khususnya pelajaran bahasa Indonesia kelas XII,
dijabarkan dalam kompetensi inti dan dikembangkan melalui kompetensi
dasar. Kompetensi inti SMA kelas XII, pada butir 4 KI SMA kelas XII
dinyatakan; Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret
dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di
sekolah secara mandiri serta bertindak secara efektif dan kreatif, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
Kompetensi dasar4.1, menginterpretasi makna teks cerita sejarah, berita,
iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel baik secara lisan maupun
tulisan. Selanjutnya kompetensi dasar 4.5,mengonversi teks cerita sejarah,
berita, iklan, editorial/opini, dan cerita fiksi dalam novel ke dalam bentuk yang
lain sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun tulisan
Berkaitan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar tersebut, dalam
makalah ini penulis mencoba mengupas sebuah hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh peneliti, dalam sebuah eksperimen tentang pembelajaran aktif
berorientasi karakter dalam pembelajaran membaca.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
99
PEMBAHASAN
Hakikat Membaca
Membaca merupakan kegiatan yang kompleks karena diperlukan
keterampilan dalam pelaksanaannya. Reading is a set of skils that involves
making sense and deriving meaning from the printed words (Caroline, 2005:
69). Berbeda dengan pendapat tersebut, Spiro (1980: 3) mengatakan bahwa
membaca merupakan suatu proses interaktif yang multilevel. Misalnya, dalam
kegiatan membaca harus diperhatikan interaksi berdasarkan teks/bacaaan dan
juga interaksi yang berdasarkan pengetahuan yang telah ada dan dalam
berbagai level.
Cristie (1990:3) menegaskan lagi bahwa membaca itu
merupakan proses yang sangat kompleks yaitu kompleks untuk dipelajari dan
kompleks untuk diajarkan.
Membaca merupakan satu bagian atau komponen dari komunikasi
tulisan. Dalam komunikasi tulisan, lambang-lambang bunyi bahasa diubah
menjadi lambang-lambang tulisan. Pada tingkatan membaca permulaan, proses
pengubahan ini yang terutama dibina dan dikuasai, dan ini terutama dilakukan
pada masa anak-anak, khususnya pada permulaan di sekolah. Setelah
pengubahan tersebut dikuasai secara mantap, barulah penerapan diberikan pada
pemahaman isi bacaan. Dengan demikian, membaca pemahaman merupakan
kelanjutan dari membaca permulaan yang lebih menekakan pemahaman isi
bacaan daripada pengenalan huruf-huruf, kata, kalimat dan pengucapannya.
Anderson (2000:209) menjelaskan bahwa membaca adalah suatu proses
penyandian kembali dan pembacaan sandi (a recording and decoding process).
Pembacaan sandi (decoding process) tersebut merupakan suatu penafsiran atau
interpretasi terhadap ujaran dalam bentuk tulisan, sedangkan istilah penyandian
kembali (recording) karena mula-mula lambang tertulis diubah menjadi bunyi,
baru kemudian sandi itu dibaca. Meskipun demikian, menurut Finochiaro &
Bonomo (1973:11), didalam membaca, yang terpenting adalah “bringing
meaning to and getting meaning from printed or written material‖, yaitu
mendapatkan dan memahami makna yang terkandung dalam bahan tulisan.
Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam
100
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kegiatan membaca terdapat proses penerimaan pesan berupa pikiran, perasaan,
dan keinginan atau pemahaman makna melalui lambang-lambang.
Pada dasarnya kegiatan membaca bertujuan untuk mencari dan
memperoleh pesan memahami makna melalui bacaan. Tujuan membaca
tersebut akan terpengaruh pada jenis bacaan yang dipilih, misalnya, fiksi atau
nonfiksi. Menurut Anderson
(2000:214), ada tujuh macam tujuan dari
kegiatan membaca, yaitu (1) reading for details or fact, (2) reading for main
ideas, (3) reading for sequence or organization, (4) reading for inference, (5)
reading to classify, (6) reading to evaluate, dan (7) reading to compare or
contrast, ini berarti tujuan dari kegiatan membaca yaitu ialah untuk
memperoleh rincian atau fakta, mendapatkan ide-ide utama, mengetahui urutan
atau organisasi karangan, menyimpulkan, mengklasifikasikan, mengevaluasi
dan membandingkan atau mempertentangkan.
Wujud kegiatan dalam peningkatan kompetensi membaca dapat
berbentuk kemampuan mengakses informasi dari berbagai sumber, baik dari
buku maupun dari media internet, yang merupakan bagian dari literasi
informasi. Ini sebagai mana yang dikemukakan dalam hasil penelitian Wahyuli
(2008:109) bahwa kemampuan mengakses informasi, subjek penelitian dapat
diklasifikasikan sebagai learner, proficient, professional.
Tujuan kegiatan membaca yang dikemukan oleh Anderson di atas lebih
mengarah kepada tujuan akhir membaca, yaitu memahami isi bacaan.
Berdasarkan tujuan membaca tersebut seorang pembaca dapat memperoleh
informasi penting (fokus) yang diinginkan. Dalam penlitian ini pun, beberapa
tujuan kegiatan membaca seperti yang dikemukakan diatas akan dijadikan
landasan dalam memahami isi bacaan terutama pada tujuan untuk memperoleh
rincian atau fakta, mendapatkan ide-ide utama dalam bacaan dan
menyimpulkan isi bacaan.
Harjasujana dan Mulyati (1997:5) mengemukakan bahwa membaca
merupakan perkembangan keterampilan yang bermula dari kata dan berlanjut
kepada pembaca kritis. Membaca juga merupakan suatu proses psikologis dan
sensoris. Dalam hal ini, proses-proses yang menjadi dasar konsep membaca
tersebut akan tampak jelas diamati pada individu yang sedang belajar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
101
membaca dengan berusaha menciptakan auditory-image terhadap simbolsimbol tersebut.
Sejalan dengan pendapat di atas, Harras, dkk (2003:3) mengemukakan
bahwa membaca merupakan hasil interaksi antara persepsi terhadap lambanglambang yang mewujudkan bahasa melalui keterampilan berbahasa yang
dimiliki pembaca dan pengetahuannya tentang alam sekitar. Dalam hal ini
pembaca berusaha menciptakan kembali makna yang dimaksud penulis.
Senada dengan pendapat-pendapat sebelummnya tentang membaca,
Lado (1964: 132) mengartikan membaca sebagai to graps language pattern
from their written representation. Jadi membaca diartikan untuk memahami
pola-pola bahasa yang terpresentasikan dalam bentuk tulisan. Dalam
pengertian ini, tampaknya membaca dianggap sebagai proses pemahaman
bahasa dalam bentuk tulisan. Dengan demikian, pemahaman yang terdapat
dalam bentuk tulisan tersebut merupakan aspek yang signifikan untuk
memeproleh informasi. Hal ini sejalan dengan pendapat Rusyana (1984: 190)
yang mengartikan membaca sebagai suatu kegiatan memahami pola-pola
bahasa dalam penampilannya secara tertulis untuk memperoleh informasi
darinya.
Goodman (1996:2-3) menyatakan bahwa membaca merupakan suatu
proses dinamis untuk merekonstruksi suatu pesan yang secara grafis dikodekan
oleh penulis. Di dalam proses ini, penulis melakukan pengkodean linguistik
yang kemudian diuraikan oleh pembaca untuk mendapatkan pemahaman atau
makna. Penulis mengkodekan pikiran ke dalam bahasa, pembaca menafsirkan
kode tersebut menjadi pikiran dan makna. Dengan demikian dalam membaca
terjadi interaksi antara bahasa dan pikiran.
Membaca
merupakan
kegiatan
mengkonstruksi
makna.
Melalui
membaca, pembaca merekonstruksi pesan yang disampaikan penulis dalam
teks. Berkenaan dengan itu, Rosenblatt (dalam Tompkins, 1991:267)
berpendapat bahwa membaca merupakan proses transaksional. Proses
membaca meliputi sejumlah langkah selama pembaca mengkonstruk makna
melalui interaksinya dengan teks atau bahan bacaan. Makna dihasilkan melalui
102
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
proses transaksional ini. Dengan demikian, makna tidak semata-mata terletak
pada teks atau pembaca saja.
Membaca terdiri atas serangkaian respon yang kompleks, di antaranya
mencakup respon kognisi, sikap, dan manipulatif (Frederich Mc. Donald dalam
Burns, 1996:8). Membaca dapat dibagi dalam berbagai subketrampilan,
meliputi: sensori, persepsi, sekuensi, pengalaman, berpikir, belajar, asosiasi,
afektif dan konstruktif. Aktivitas membaca dapat terjadi jika berbagai
subketrampilan tersebut dilakukan secara bersama dalam keseluruhan yang
terpadu. Syafi‘ie (1999:7) juga menyatakan bahwa membaca pada hakikatnya
adalah suatu proses yang bersifat fisik dan psikologi. Proses yang bersifat fisik
atau proses mekanis berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual.
Sementara itu, proses psikologis merupakan kegiatan berpikir dalam mengolah
informasi.
Dari definisi yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa membaca
pada hakikatnya merupakan proses membangun makna dari pesan yang
disampaikan melalui simbol-simbol tulisan. Dalam proses tersebut, pembaca
mengintegrasikan atau mengaitkan antara informasi, pesan dalam tulisan
dengan pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki (skemata) pembaca.
Dalam proses membaca, pembaca menggunakan berbagai ketrampilan meliputi
ketrampilan fisik dan mental.
Model Pembelajaran Aktif (Active Learning)
Proses
pembelajaran
lebih
sering
diartikan
sebagai
pengajar
menjelaskan materi dan pembelajar mendengarkan secara pasif. Namun telah
banyak ditemukan bahwa kualitas pembelajaran akan meningkat jika para
pembelajar dalam sebuah proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang
luas untuk bertanya, berdiskusi, dan menggunakan secara aktif pengetahuan
baru yang diperoleh. Dengan cara ini diketahui pula bahwa pengetahuan baru
tersebut cenderung untuk dapat dipahami dan dikuasai secara lebih baik.
Dasgupta, Sanjoy dan Daniel Hsu (2008: 13) mengemukakan bahwa
model
pembelajaran
aktif
dimotivasioleh skenario yang mudah untuk
mengumpulkansejumlah besar data dalam pembelajaran. Selain itu Stolbach,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
103
Sara (2007: 2) mengajar algoritma dengan menggunakan model pembelajaran
aktif kemudian membandingkan hasil belajar mereka dengan kelas lainnya
menunjukkan susuatu yang lebih baik.
Banyak strategi, metode, dan teknik yang dapat dipergunakan dalam
pembelajaran. Secara garis besar dapat dilihat dalam bentuk lain piramida
berikut.
Keefektifan Model Pembelajaran Aktif
Tend to Remember
about:
Level of Involvement
Reading
20%
Hearing Words
30%
Looking at Pictures
Verbal
Receiving
PASSIVE
10%
Watching a Video
Looking at an Exhibit
50%
Watching a Demonstration
Visual
Receiving
Seeing it Done on Location
Participating in a Discussion
70%
Participating
ACTIVE
Giving a Talk
Doing a Dramatic Presentation
90%
Simulating the Real Experience
Doing
Doing the Real Thing
Samadhi (2008: 46)
Bagan di atas menunjukkan dua kelompok model pembelajaran yaitu
pembelajaran Pasif dan Pembelajaran Aktif. Bagan tersebut juga menunjukkan
bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat pembelajar lebih
mengingat (retention rate of knowledge) materi ajar. Oleh sebab itu dalam
setiap pembelajaran, model pembelajaran aktif ini merupakan alternatif yang
sangat perlu diperhatikan jika kita menginginkan peningkatan kualitas
pembelajaran dan lulusan. Penggunaan cara-cara pembelajaran aktif baik
sepenuhnya atau sebagai pelengkap cara-cara belajar tradisional akan
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pengertian Pembelajaran Aktif (Active Learning)
Pembelajaran aktif (activelearning) adalah suatu proses pembelajaran
dengan maksud untuk memberdayakan pembelajar agar belajar dengan
104
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menggunakan berbagai cara/ strategi secara aktif. Pembelajaran aktif (active
learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi
yang dimiliki oleh peserta didik, sehingga semua pembelajar dapat mencapai
hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka
miliki. Disamping itu pembelajaran aktif (active learning juga dimaksudkan
untuk menjaga
perhatian siswa/pembelajar agar tetap tertuju pada proses
pembelajaran.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian pembelajar
berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984)
menunjukkan bahwa siswa dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran
sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian
McKeachie (1986) menyebutkan bahwa dalam sepuluh menit pertama
perthatian siswa dapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20%
pada waktu 20 menit terakhir.
Kondisi tersebut di atas merupakan kondisi umum yang sering terjadi di
lingkungan sekolah. Hal ini menyebabkan seringnya terjadi kegagalan dalam
dunia pendidikan kita, terutama disebabkan anak didik di ruang kelas lebih
banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga
apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan.
Sebagaimana yang diungkapkan Konfucius:
"Apa yang saya dengar, saya lupa"
"Apa yang saya lihat, saya ingat"
"Apa yang saya lakukan, saya paham"
Ketiga pernyataan ini menekankan pada pentingnya belajar aktif agar
apa yang dipelajari di bangku sekolah tidak menjadi suatu hal yang sia-sia.
Ungkapan di atas sekaligus menjawab permasalahan yang sering dihadapi
dalam proses pembelajaran, yaitu tidak tuntasnya penguasaan anak didik
terhadap materi pembelajaran. Silberman (2001: 23) memodifikasi dan
memperluas pernyataan Confucius di atas menjadi apa yang disebutnya dengan
belajar aktif (active learning), sebagai berikut:
.
apa yang saya dengar, saya lupa;
.
apa yang saya dengar dan lihat, saya ingat sedikit;
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
105
.
apa yang saya dengar, lihat dan tanyakan atau diskusikan dengan
beberapa teman lain, saya mulai paham;
.
apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan lakukan, saya
memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
.
apa yang saya ajarkan pada orang lain, saya kuasai.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan mengenai penyebab mengapa
kebanyakan orang cenderung melupakan apa yang mereka dengar. Salah satu
jawaban yang menarik adalah karena adanya perbedaan antara kecepatan
berbicara guru dan tingkat kemampuan siswa mendengarkan apa yang
disampaikan pengajar. Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata per
menit, sementara anak didik hanya mampu mendengarkan 50-100 kata
permenitnya (setengah dari apa yang dikemukakan guru) karena siswa
mendengarkan pembicaraan guru sambil berpikir. Kerja otak manusia tidak
sama dengan tape recorder yang mampu merekam suara sebanyak apa yang
diucapkan dalam waktu yang
sama dengan waktu pengucapan. Otak
manusia selalu mempertanyakan setiap informasi yang masuk ke dalamnya,
dan otak juga memproses setiap informasi yang ia terima, sehingga perhatian
tidak dapat tertuju pada stimulus secara menyeluruh. Hal ini menyebabkan
tidak semua yang dipelajari dapat diingat dengan baik.
Penambahan visual pada proses pembelajaran dapat menaikkan ingatan
sampai 171% dari ingatan semula. Dengan penambahan visual di samping
auditori dalam pembelajaran, kesan yang masuk dalam diri anak didik
semakin kuat sehingga dapat bertahan lebih lama dibandingkan dengan
hanya menggunakan audio (pendengaran) saja. Hal ini disebabkan karena
fungsi sensasi perhatian yang dimiliki siswa saling menguatkan, apa yang
didengar dikuatkan oleh penglihatan (visual), dan apa yang dilihat dikuatkan
oleh audio (pendengaran). Dalam arti kata pada pembelajaran seperti ini sudah
diikuti oleh penguatan (reinforcement) yang sangat membantu bagi
pemahaman anak didik terhadap materi pembelajaran. Penelitian mutakhir
tentang otak menyebutkan bahwa belahan kanan korteks otak manusia bekerja
10.000 kali lebih cepat dari belahan kiri otak sadar.
106
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pemakaian bahasa membuat orang berpikir dengan kecepatan kata.
Limbik
(bagian otak yang lebih dalam) bekerja 10.000 kali lebih cepat dari
korteks otak kanan, serta mengatur dan mengarahkan seluruh proses otak
kanan.
Oleh karena itu sebagian proses mental jauh lebih cepat dibanding
pengalaman
atau
pemikiran
sadar
seseorang.
Strategi
pembelajaran
konvensional pada umumnya lebih banyak menggunakan belahan otak kiri
(otak sadar) saja, sementara belahan otak kanan kurang diperhatikan. Pada
pembelajaran dengan Active learning (belajar aktif) pemberdayaan otak kiri
dan kanan sangat dipentingkan.
Thorndike dalam Silberman(2001: 26) mengemukakan 3 hukum belajar,
yaitu:
a. Law of readiness, yaitu kesiapan seseorang untuk berbuat dapat
memperlancar hubungan antara stimulus dan respons.
b. Law of exercise, yaitu dengan adanya ulangan-ulangan yang
selalu dikerjakan maka hubungan antara stimulus dan respon akan
menjadi lancar
c. Law of effect, yaitu hubungan antara stimulus dan respon akan
menjadi lebih baik jika dapat menimbulkan hal-hal yang
menyenangkan, dan hal ini cenderung akan selalu diulang.
Belajar aktif (active
learning) pada dasarnya berusaha untuk
memperkuat dan memperlancar stimulus dan respon pembelajar dalam
pembelajaran
sehingga
menyenangkan,
tidak
Dengan
memberikan
proses pembelajaran
menjadi
strategi
hal
menjadi
yang membosankan
belajar
aktif
(active
hal
yang
bagi mereka.
learning)
pada
pembelajar dapat membantu ingatan (memory) mereka, sehingga mereka
dapat
dihantarkan kepada tujuan pembelajaran dengan sukses. Hal ini
kurang diperhatikan pada pembelajaran konvensional.
Dalam active learning setiap materi pelajaran yang baru harus dikaitkan
dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ada sebelumnya. Materi
pelajaran yang baru disediakan secara aktif dengan pengetahuan yang sudah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
107
ada. Agar pembelajar dapat belajar secara aktif, pengajar perlu menciptakan
strategi yang tepat guna sedemikian rupa, sehingga pembelajar mempunyai
motivasi yang tinggi untuk belajar.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa perbedaan antara pembelajaran
active learning (belajar aktif) dengan pembelajaran konvensional, seperti
terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1
Perbedaan Pembelajaran Aktif dengan Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional
Pembelajaran Aktif
Berpusat pada pengajar
Berpusat pada pembelajar/siswa
Penekanan pada menerima pengetahuan
Penekanan
pada
menemukan
pengetahuan
Kurang menyenangkan
Sangat menyenangkan
Kurang memberdayakan semua indera
Membemberdayakan semua indera
dan potensi pembelajar/siswa
dan potensi pembelajar/siswa
Menggunakan metode yang monoton
Menggunakan banyak metode
Kurang banyak media yang digunakan
Menggunakan banyak media
Tidak perlu disesuaikan dengan
Disesuaikan dengan pengetahuan yang
pengetahuan yang sudah ada
sudah ada
Perbandingan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan dan alasan
untuk menerapkan model pembelajaran aktif (activelearning) di kelas.
Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter
(MPABK) dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman
Orientasi model MPABK
Pembelajaran aktif berorientasi karakter adalah bentuk pembelajaran
yang memungkinkan siswa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran
itu sendiri baik dalam bentuk interaksi antar siswa maupun siswa dengan
pengajar dalam proses pembelajaran tersebut. Model pembelajaran aktif
berorientasi karakter dapat membantu siswa untuk menjadi pribadi yang
mampu beradaptasi (adaptable) tarhadap perkembangan teknologi informasi;
mampu berpikir kritis (critial) terhadap perkembangan pengetahuan, teknologi,
108
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dan informasi; aktif (active) terlibat sepenuhnya dalam setiap proses
pembelajaran; kreatif (creative) peranserta dalam mengikuti dan mengakses
perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi; dan pribadi yang
mampu bekerja sama (cooperative).
Untuk menerapkan pembelajaran aktif berorientasi karakter, harus
memerhatikan hal-hal berikut, agar tujuan pembelajaran dapat dicapai
sebagaimana mestinya.
1) Tujuan pembelajaran aktif harus ditegaskan dengan jelas
Harus diingat bahwa tujuan pembelajaran aktif adalah untuk
mengembangkan kemampuan berpikir analitis dari siswa dan kapasitas
siswa untuk menggunakan kemampuan tersebut pada materi-materi
pelajaran yang diberikan. Pembelajarn aktif tidak semata-mata digunakan
untuk menyampaikan informasi saja.
Lebih jauh lagi, pembelajaran aktif ini memiliki konsekuensi pada
siswa untuk mempersiapkan diri dengan baik di luar jam pelajaran. Siswa
memiliki tanggung jawab yang besar untuk mencari seluas-luasnya materi
yang melatarbelakangi perpelajaran sehingga dapat berpartisipasi dengan
baik dalam perpelajaran.
Pembelajaran aktif ditujukan agar siswa secara aktif bertanya dan
menyatakan pendapat dengan aktif selama proses pembelajaran. Dengan
proses seperti ini diharapkan siswa lebih memahami materi pelajaran.
2) Siswa harus diberitahu apa yang akan dilakukan
Pada saat awal pelajaran pada saat menjelsakan silabus pelajaran siswa
harus diberi penjelasan tentang yang akan dilakukan sehingga siswa dapat
mengerti apa yang diharapkan darinya selama proses pembelajaran.
Tekankan penjelasan ini berulang-ulang sehingga siswa memiliki kesadaran
dan keinginan yang tinggi untuk berpartisipasi aktif. Siswa diharapkan
mendapat gambaran/kepastian akan manfaat pentingnya pengembangan
karakter bagi kualitas pembelajaran dan bagi masa depannya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
109
3) Memberikan pengarahan yang jelas dalam diskusi
Diskusi dalam kelas merupakan tanggungjawab pengajar untuk menjaganya
dalam alur dan tempo yang baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam diskusi adalah:
-
buat ringkasan dan hal-hal penting yang menjadi pendapat siswa serta
kembalikan ke dalam diskusi untuk dapat mengundang pendapatpendapat lain,
-
terima terlebih dahulu semua pendapat yang berkembang dan beri
kesempatan yang sama pada pendapat-pendapat lain,
-
tunggu sampai beberapa siswa mengemukakan pendapat sebelum
pengajar memberikan komentar, setiap saat temukan isu penting yang
menjadi bahasan dalam materi pelajaran dan berikan penjelasan lebih
lengkap dan arahkan diskusi pada isu-isu berikutnya
Model MPABK dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman
Ada
dua
tipe
pemahaman
yaitu
pemahaman
literal
(literal
comprehension) adalah pemahaman paling dasar, dan pemahaman urutan yang
lebih tinggi (higher order comprehension) yang meliputi (1) pemahaman
interpretatif (interpretatif comprehension), (2) pemahaman kritis (critical
comprehension), dan (3) pemahaman kreatif (creative comprehension).
Model MPABK dalam Pembelajaran Membaca Pemahaman menekankan
proses pembelajaran membaca pemahaman pada tingkatan pemahaman
interpretatif, kritis, dan kreatif, dengan berorientasi pada pengembangan
karakter siswa.
Pemahaman interpretatif antara lain mencakup kemampuan (1) membuat
kesimpulan, (2) membuat generalisasi, (3) mencari hubungan sebab akibat, (4)
membuat perbandingan, dan (5) menemukan hubungan antarproposisi.
Pemahaman kritis bertujuan untuk pemahaman isi bacaan yang dilakukan
pembaca dengan berpikir secara kritis terhadap isi bacaan. Di sini pembaca
tidak hanya menginterpretasikan maksud penulis, tetapi sampai pada
memberikan penilaian terhadap apa yang disampaikan penulis. Pemahaman
jenis ini ditandai kemampuan (1) membandingkan isi bacaan dengan
110
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pengalaman siswa sendiri, (2) mempertanyakan maksud penulis, dan (3)
mereaksi secara kritis gaya penulisdalam menyampaikan gagasan-gagasannya.
Pemahaman kreatif merupakan tingkatan pemahaman paling tinggi
dalam membaca. Pemahaman kreatif adalah membaca untuk memahami
bacaan yang dilakukan melalui kegiatan berpikir secara interpretatif dan kritis
untuk memperoleh pandangan-pandangan baru, gagasan-gagasan baru, dan
pemikiran
yang
berimajinasi,
orisinil.
Membaca
merenungkan
jenis
ini
menuntut
kemungkinan-kemungkinan
kemampuan
baru
yang
menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki serta informasi
yang diolah dari bacaan. Membaca pemahaman ini menghasilkan ide-ide baru
dan menghasilkan kreasi baru untuk mencipta.
Indikator yang menyatakan aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar menurut Paul B. Diedrich
dalam Sardiman (1992:100) adalah
sebagai berikut.
a. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misalnya, membaca,
memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang
lain.
b. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi
saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi,
interupsi.
c. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan,
diskusi,musik, pidato.
d. Writing activities, seperti misalnya menulis cerita, karangan laporan,
angket, menyalin.
e. Drawing activities, misalnya menggambar, membuat grafik, peta,
diagram.
f. Motor actibities, yang termasuk di dalamnya antara lain melakukan
percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain,
berkebun, beternak.
g. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggap, mengingat,
memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil
keputusan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
111
h. Emotional activities, seperti misalnya menaruh minat, merasa bosan,
gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, tidak gugup.
Semua kegiatan tersebut merupakan aktivitas siswa. siswa diharapkan
dapat berperan aktif dalam mencari sesuatu informasi guna memecahkan suatu
permasalahan. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan suasana
belajar yang kondusif, dimana para pembelajar dapat mengembangkan
aktivitas
dan
kreativitas
belajarnya
secara
optimal,
sesuai
dengan
kemampuannya masing-masing.
Menurut Gibbs dalam Mulyasa (2007: 262) berdasarkan penelitiannya
menyimpulkan bahwa kreativitas dapat dikembangkan dengan memberi
kepercayaan, komunikasi yang bebas, pengarahan diri, dan pengawasan yang
tidak terlalu ketat. Hasil penelitian tersebut dapat diterapkan atau ditransfer
dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini pembelajar akan lebih kreatif jika:
a. dikembangkannya rasa percaya diri pada pembelajar dan mengurangi
rasa takut.
b. memberi kesempatan kepada seluruh pembelajar untuk berkomunikasi
ilmiah secara bebas dan terarah.
c. melibatkan
pembelajar
dalam
menentukan
tujuan
belajar
dan
evaluasinya.
d. memberikan pengawasan yang tidak terlalu ketat dan tidak otoriter.
e. melibatkan mereka secara aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran
secara keseluruhan.
Pembelajaran efektif adalah proses pembelajaran yang berhasil, atau
mencapai tujuan sebagaimana ditetapkan dengan mendayagunakan sumber
daya pembelajaran yang ada. Guru menggunakan kemampuan profesionalnya
untuk menggerakkan sumber daya pembelajaran sehingga tercapai tujuan
pengajaran yang ditetapkan (Syafaruddin, 2005:212).
Sintaks MPABK
Sintaks atau langkah-langkah pembelajaran meliputi 6 fase, dengan peran
guru/pendidik pada tiap fase dapat dilihat seperti pada tabel berikut ini.
112
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tabel 2
Sintaks Model Pembelajaran Aktif Berorientasi Karakter (MPABK)
Fase
Peran Guru/Pendidik
1
1. Menyampaikan tujuan & mempersiapkan Siswa
2
Guru menjelaskan tujuan & kompetensi yang ingin dicapai, informasi
latar belakang, pelajaran, pentingnya pelajaran, dan mempersiapkan
siswa/pembelajar untuk belajar.
Guru menekankan pentingnya siswa memiliki karakter adaptable,
critics, active, creative, dan cooperative, khususnya dalam kaitannya
dalam belajar.
Guru menekankan pada siswa tentang pentingnya keterampilan
membaca dalam hidup.
2.Mendemonstrasikan pengetahuan atau
keterampilan
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan
informasi tahap demi tahap.
Guru mendemonstrasikan peningkatan pemahaman pada tingkatan
lateral
(lateral
comprehensions)interpretative
(interpretative
comprehension), pemahamanan kritis (critical comprehension) dan
pemahaman kreatif (creative comprehension).
3. Membimbing dalam pembelajaran
Guru merencanakan & memberikan bimbingan pelatihan awal.
Guru membentuk kelompok kerja.
Guru melibatkan mehasiswa dalam menentukan tema wacana yang
akan dijadikan bahan pelajaran
4. Mengarahkan
Guru memantau aktivitas, kreatifitas, dan kerjasama antar siswa dalam
pembelajaran.
Guru
mengarahkan
semua
siswa
untuk
terlibat
aktif
dalam
pembelajaran.
Guru mengarahkan jalannya diskusi.
5. Mengecek pemahaman dan memberikan umpan
balik.
Guru mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan
baik.
Guru memberikan umpan balik.
6. Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan
dan penerapan
Guru mempersiapkan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melakukan latihan lanjutan.
Guru meminta siswa melakukan tugas yang sama dengan bahan bacaan
yang di cari sendiri oleh siswa.
SIMPULAN
Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan yaitu uji t,analisis gain(d),
pembahasan kualitas proses pembelajaran, dan perkembangan karakter siswa,
maka dapat disimpulkan bahwa Model Pembelajaran Aktif (Active Learning)
Berorientasi Karakter (MPABK) efektif untuk pembelajaran membaca
pemahaman. Sementara itu dapat pula dikemukakan bahwa berdasarkan
keempat pengujian yang telah dilakukan yaitu, uji t,analisis gain(d),
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
113
pembahasan kualitas proses pembelajaran, model pembelajaran yang dilakukan
selama ini tidak lebih efektif dibandingkan dengan MPABK untuk
mengajarkan
keterampilan membaca
pemahaman. Secara
keseluruhan
generalisasi dari temuan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter
(MPABK) adalah model pembelajaan baru (hibrida) dalam pembelajaran
keterampilan membaca pemahaman yang dibangun
berdasarkan
perpaduan antara teori belajar dengan teori pembelajaran keterampilan
berbahasa. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi
Karakter (MPABK), yang merupakan paradigma baru dalam pembelajaran
membaca pemahaman, memiliki keunggulan-keunggulan yang dapat
meningkatkan hasil belajar siswa dalam membaca pemahaman. Keserasian
antara prinsip, kondisi, dan model pembelajaran MPABK dapat berpotensi
untuk:
a. meningkatkan kemampuan membaca pemahaman melalui proses
ilmiah;
b. mengembangkan kegiatan inquiri dalam memahami wacana/teks
bacaan melalui strategi peningkatan aktifitas;
c. menumbuhkan kesadaran diri siswa untuk belajar mandiri, memupuk
rasa
percaya
diri,
mengembangkan
sikap
adaptif
terhadap
pekembangan teknologi, dan membina sikap bekerjasama;
d. membina kreatifitas berpikir kritis dan kreatif dengan mengemukakan
pendapat atau merespon dalam forum secara demokratis;
e. memberikan variasi pengalaman;
2. Model Pembelajaran Aktif (Active Learning) Berorientasi Karakter
(MPABK) memiliki keunggulan tidak hanya dalam meningkatkan hasil
belajar membaca pemahaman, tetapi menaikkan level/tingkat pemahaman
siswa, yaitu tingkat kritis dan kreatif.
3. Model Pembelajaran yang diterapkan kebanyakan masih memiliki
kelemahan-kelemahan yang dapat menghambat peningkatan hasil belajar
membaca pemahaman siswa. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:
114
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
a. proses pembelajaran kurang memberikan stimulus kepada siswa dalam
berpikir kritis dan kreatif;
b. proses pembelajaran tidak menenamkan sikap atau tidak memberikan
peluang untuk mengembangkan pola belajar kerjasama, justru
cenderung individualistis;
c. kurang menumbuhkan kreatifitas siswa, yang berkaitan dengan minat
baca siswa;
d. proses pembelajaran terkesan kaku, karena dalam prosesnya siswa
hanya melalui aktivitas dengan dihadapkan pada tuntutan membaca
teks/wacana dan menjawab soal.
4. Melalui MPABK, siswa mengetahui alasan mengapa dia harus aktif dalam
belajar, mengapa dia harus membaca, dan mengapa membaca merupakan
kebutuhan. Secara psikologis, siswa melakukan kegiatan belajar sebagai
suatu kebutuhan.
5. Melalui MPABK, siswa mengetahui pentingnya berpikir kritis dan kreatif.
Dia dapat membedakannya dengan orang lain yang membaca tanpa
mendapatkan makna apa-apa, hanya sekedar menghafal fakta-fakta yang
tersurat di dalam teks.
6. Selain MPABK meningkatkan hasil belajar membaca pemahaman siswa,
MPABKjuga membuat siswa menyadari pentingnya karakter tanggung
jawab, kedisiplinan, kritis,kreatif, inovatif dan kerjasama sebagai karakter
positif yang perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Caroline. 2005. Practical English Language teaching: Young Leaners. New
York: Mcgraw-Hill
Dasgupta, Sanjoy dan Daniel Hsu. 2008. Hierarchical for Active Learning
Models.San Diego: University of California.
Harras, dkk. 2003. Reading strategy and Implementation.London: Falmer
Press.
Lado, R. 1964. Language, Modem: Study and Teaching. McGraw-Hill (New
York)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
115
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 tentang
Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah
Atas/Madrasah Aliyah.
Samadhi, Ari. 2008. "Pembelajaran Aktif (Aktif Learning)." TIW: Engineering
Education Development Project.
Silberman, Malvin L. 1996. Active Learning: 101 Strategies to teach any
subject. Boston:Allyn and Bacon Publishing.
Spiro., R. J. dkk (Penyunting). 1980. Theoritical Issues in reading
Comprehension. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers
116
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
IDEOLOGI FEMINISME LEGENDA PELET
MARONGGE SEBAGAI PENDIDIKAN
KARAKTER BANGSA
Burhan Sidik
Ganesha Operation Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Ideologi Feminisme Legenda Pelet Marongge sebagai Pendidikan Karakter
Bangsa. Penelitian ini menitikberatkan pada kajian feminisme yang menjadikan
pendidikan karakter bangsa. Keistimewaan tokoh mbah Gabuk dapat dijadikan
teladan bagi perempuan-perempuan Sunda yang ingin hidup mandiri. Metode
penelitian ini bersifat kualitatif. Permasalahan penelitian ini mengungkap citra
perempuan berprinsip yang ada dalam legenda pelet Marongge. Pembicaraan
mengenai citra berarti menyangkut pembicaraan tentang sesuatu yang ada dalam
pikiran manusia. Untuk mengetahui hal terebut, digunakan indikator yang dituangkan
dalam sikap, prinsip hidup tokoh, dan narasi dalam sebuah cerita. Hasilnya
mengungkapkan, dalam legenda ini pada akhirnya dapat diketahui bahwa wanita
menjadi pemenang dalam sebuah kompetisi. Bahwa wanita bisa mengalahkan
kekuatan laki-laki meskipun sebagian besar laki-laki menganggap wanita itu lemah
dan tak berdaya. Mbah Gabuk sebagai tokoh sentral dalam legenda ini digambarkan
sebagai perempuan cantik luar biasa dengan kekuatan ilmu sihir yang luar biasa. Dia
menjalani kehidupan sebagai perempuan suci, yaitu perempuan yang menolak
pernikahan sebab pernikahan hanyalah penjara bagi perempuan dan penjajahan moral
yang tak terbantahkan. Dalam pandangannya perempuan mampu hidup mandiri, hidup
bebas layaknya laki-laki. Nasib perempuan yang menunggu belas kasihan laki-laki
seperti dalam pernikahan adalah kesalahan besar bagi takdir perempuan. Dalam
legenda ini, dibahas mengenai sepak terjang Mbah Gabuk dalam mengalahkan rajaraja Sunda melalui kajian feminisme.
Kata kunci: feminisme, legenda, pelet, marongge,
PENDAHULUAN
Feminisme adalah sebuah paham yang menentang budaya maupun
kebijakan politik yang tidak menguntungkan kaum perempuan. Paham ini
berkembang menjadi sebuah gerakan di negara-negara barat pada sekitar tahun
1970-an. Pada masa itu, segelintir kaum perempuan yang diklaim sebagai
feminis, berjuang untuk memperoleh haknya sebagai warga negara. Salah satu
hal yang ditekankan dari gerakan feminis ini adalah perempuan ingin
mendapatkan
akses
untuk
pekerjaan
yang
layak,
perempuan
ingin
mendapatkan akses pendidikan, dan perempuan ingin mendapatkan haknya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
117
untuk berpolitik. Singkatnya, perempuan menuntut hak yang sama dengan
yang kaum laki-laki dapatkan. Perjuangan ini pun terus berjalan, seiring
dengan berkembangnya gerakan perempuan di berbagai negara, termasuk di
negara-negara Asia.
Di Indonesia sendiri, paham feminisme berkembang cukup pesat. Lagilagi hanya segelintir perempuan yang melibatkan diri untuk menjadi bagian
dari gerakan tersebut. Sering muncul pertanyaan, ―Mengapa hanya segelintir
perempuan saja yang feminis?” Lalu berkembang menjadi pertanyaan,
―Mengapa seorang perempuan bisa menjadi feminis?‖ Pertanyaan ini dijawab
sederhana saja. Tidak semua perempuan paham akan makna feminisme yang
sesungguhnya. Pertama, karena perempuan masa kini tidak lahir pada era di
mana kaum perempuan benar-benar dijadikan makhluk subordinat di dalam
kehidupan masyarakat. Kedua, perempuan yang kini mengklaim dirinya
sebagai feminis lahir melalui sebuah kontemplasi pikiran perempuan dan
pengalaman. Pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh buku-buku literatur
feminisme, dan juga buku-buku yang mengangkat pengalaman perempuan
yang tertindas oleh budaya patriarki. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa
kontemplasi pikiran dan pengalaman perempuan tidak menghasilkan suatu
interpretasi yang sama. Seringkali paham feminisme berkembang menjadi
paham-paham lain seperti: feminisme radikal, feminisme Marxist, feminisme
lesbian dan lain-lain.
Perlu disadari bahwa tidak semua perempuan memiliki pendapat yang
sama tentang bagaimana kaumnya harus hidup di tengah masyarakat. Kini
sebagian besar perempuan modern sudah dapat menikmati akses yang begitu
luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan, yang selama
ratusan tahun diperjuangkan kaum feminis, yaitu equal right sudah ada di
tangan perempuan-perempuan modern. Yang menjadi permasalahan saat ini
adalah, bagaimana hak yang sudah ada di tangan itu bisa dimanfaatkan
secara maksimal? Peran pendidikan sangatlah penting. Perempuan kini dapat
bersekolah hingga lulus sarjana maupun master. Tapi, pendidikan saja ternyata
tidak cukup. Di sini peran feminis pun dibutuhkan untuk menjadi motivator
dan juga pendorong kaumnya. Feminis dibutuhkan untuk memberi pengarahan
118
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kepada perempuan, supaya perempuan mampu memaksimalkan ilmu yang
dimilikinya.
Teori feminisme dipersembahkan untuk menciptakan kultur perempuan
yang radikal dan terpisah. Chaarlote Perkins Gilman dalam Herlan (1915)
memberikan ungkapan imajinatif tentang feminisme kultural dalam cerita
mengenai suatu masyarakat dengan para perempuan yang dipimpin oleh
perempuan yang kuat, mempunyai kepedulian terhadap perdamaian dan
kerjasama. Feminis kultural mendeskripsikan bagaimana kultur perempuan
dalam musik, sastra, seni, puisi, ilmu pengetahuan, dan obat-obatan akan
menjadi anti- otoriter dan antistruktur. ( Bunch , 1981).
Beberapa feminis radikal berpikir bahwa patriakhi merupakan kultur
yang trans-historis dan meliputi semua dan oleh karenanya mereka percaya
bahwa perempuan hanya akan bebas dalam suatu kultur perempuan alternatif.
Hegemoni Patriakhi mendorong beberapa feminis untuk menarik diri dari aksi
politik tradisional dan malah membelok untuk menciptakan dunia perempuan
yang terpisah. Mary Dary khususnya mendeskripsikan banyak strategis feminis
kultural untuk melakuakan perubahan sosial. Dalam Gyn / ecologi, dia
menyebut resistensi itu sebagai sebuah proses percikan api persahabatan
perempuan. Dengan ― membalikkan ujung jarum kosmis‖ perempuan akan
menciptakan kultur baru dengan ritual, simbol, dan bahasa feminis yang baru
feminis (Dalih, 1978). Para kritikus menyatakan bahwa feminisme kultural
masih mengabaikan persoalan sampai sejauh mana keperempuanan itu
berfungsi sebagai pelengkap bagi laki- laki (Echols, 1984).
Feminisme
radikal
mendeskripsikan
kultur
perempuan
sebagai
masyarakat yang penuh dengan nilai-nilai keseluruhan, kepercayaan, dan
pengasuhan. Menurut feminis radikal pemisahan antara pengalaman laki-laki
dan perempuan berarti bahwa setiap masyarakat sebagai akibatnya,
mempunyai dua kultur yang terlihat, yaitu yang laki-laki dan tidak terlihat,
adalah perempuan. Misalnya Susan Griffin menyatakan bahwa dualisme
buatan masyarakat antara kultur dan natur, intelek dan emosi berasal dari
ketakutan akan tubuh dan membawa pada pembagian kerja yang menjangkau
semua (Griffin,
1982). Audre Laurde menyatakan bahwa definisi kultur
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
119
masyarakat dan pada saat yang sama ketakutan terhadap kaitan puisi dengan
wilayah pikiran tidak dikenal yang tergabung dalam ketakutan patriakis akan
perempuan, akan kegelapan, dan nilai-nilai hitam yang menunjukkan rahasia
pengetahuan yang lebih tua (Laurde, 1984).
Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang dialami perempuan tidak
terbatas pada keterlibatan perempuan dalam dunia sastra, tidak pula semua
penulis perempuan itu berpihak pada feminis, melainkan bagaimana
perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra. Gagasan perempuan
dalam teks sastra sudah ada sejak zaman Mesir kuno bahkan jauh lebih lama
lagi perempuan selalu menjadi inspirasi bagi para pencipta karya seni atau
sastrawan.
Pada zaman Mesir kuno, Cleopatra adalah tokoh perempuan yang
mengundang inspirasi dan kontroversi. Dalam sejarah, sepak terjang Cleoptra
diceritakan dengan sudut pandang yang berbeda. Namun, apa pun alur
ceritanya, Romawi bisa takluk dan tunduk oleh Mesir. Ini menunjukkan
kekuatan perempuan bisa menaklukan sebuah kerajaan yang sangat kuat,
seperti Romawi. Tidak kalah penting juga dalam mitologi Sunda kuno, tokoh
Purbalarang dan Purbasari pun adalah tokoh tokoh feminisme, di mana
kekuasan dan tahta sebuah kerajaan jatuh pada tangan perempuan.
Purbalarang yang berambisi menjadi ratu mengusir Purbasari dari
kerajaannya karena dia takut keratuan akan jatuh pada Purbasari. Walaupun di
sana ada tokoh Indrajit dan Guruminda, mereka hanya tokoh tempelan atau
pendamiping dari dua perempuan yang sedang berseteru. Dalam teks sastra
tersebut, legenda berpihak pada perempuan.
Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini bermaksud melihat bagaimana
citra perempuan digambarkan dalam teks sastra, terutama dalam cerita rakyat,
khusunya dalam legenda. Penelitian ini bukanlah penelitian folklore meskipun
teks yang diambil berangkat dari sastra lisan. Namun penelitian ini lebih
menitikberatkan konteks dari sastra lisan tersebut, yang merepresentasikan
perempuan di dalamnya.
Dalam makalah ini penulis membedah Legenda Pelet Marongge. Secara
garis besar legenda membahas cara hidup empat perempuan Mataram yang
120
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
hijrah ke Pajajaran. Mbah Gabuk adalah tokoh sentral dari empat perempuan
tersebut, hadir sebagai perempuan yang elok parasnya dan mempunyai ilmu
sihir yang luar biasa. Perempuan yang selalu dipotret dalam kecantikannya
menjadikan legenda menarik untuk dibahas. Kecantikan Mbah Gabuk yang
mempesona telah membuat kekacauan di tanah Pajajaran, membuat para
bangsawan dan para raja berseteru untuk memperebutkan Mbah Gabuk.
Namun, Mbah Gabuk hadir sebagai perempuan misterius yang sukar untuk
ditaklukkan dan akhirnya tak ada satu pun yang memiliki Mbah Gabuk. Sebab
bagi Mbah Gabuk pernikahan hanyalah penghalang jalan bagi dirinya untuk
mencapai moksa.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini bersifat kualitatif. Permasalahan penelitian ini
mengungkap citra perempuan berprinsip yang ada dalam legenda Pelet
Marongge. Pembicaraan mengenai citra berarti menyangkut pembicaraan
tentang sesuatu yang ada dalam pikiran manusia. Untuk mengetahui hal
tersebut, digunakan indikator yang dituangkan dalam sikap, prinsip hidup
tokoh, dan narasi dalam sebuah cerita.
Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah legenda Pelet
Marongge yang penulis peroleh langsung secara tuturan dari Kuncen kuburan
kramat Marongge. Beliau bernama Bapak Maman, 60 tahun, beralamat di desa
Marongge, Kabupaten Sumedang, sudah hampir sepuluh tahun menjadi kuncen
kuburan tersebut. Objek formal penelitian ini adalah ideologi feminis dalam
legenda Pelet Marongge dengan menggunakan kritik feminis.
Kritik sastra feminis dalah salah satu disiplin ilmu sastra yang
menekankan penelitian sastra dengan perspektif feminis. Feminis adalah
perempuan yang memperjuangkan hak haknya secara kelompok atau sebagai
kelas sosial terhadap kekuasaan patriarki.
Feminisme bukanlah sebuah paham atau gerakan yang bertujuan
mengungguli dan meresepsi laki-laki, namun paham ini hanya berkeinginan
mendekati persoalan dasar kehidupan bahwa ada hak-hak kemanusiaan yang
perlu diperjuangkan ketika hak-hak tersebut distorsi oleh ketimpangan gender.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
121
(Awuy, 1995: 88). Teori feminis menolak secara verbal tentang science of
man, bahwa segala sesuatu berorientasi pada pemikiran dan perspektif lakilaki. pemikiran feminis menekankan pentingnya untuk mendengar suara
perempuan dan belajar dari pengalaman perempuan. Dengan perpektif yang
kritis ini, penelitian feminis akan mengubah paradigma androsentris, yaitu
segala bentuk representasi yang berpusat pada pria sehingga mengabaikan
perempuan.
Pembacaan suatu teks dalam perpektif feminis berarti berusaha untuk
membongkar ideologi gender yang bersifat patriarki dalam teks. Dalam hal ini,
kirtik sastra feminis adalah bentuk negosiasi bukan konfrontasi yang menolak
gagasan patriarki. Kritik feminis memperlakukan karya sastra sebagai produk
budaya masyarakat sehingga analisisnya akan membahas relasi gender dan
kedudukannya dalam budaya masyarakat tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sinopsis Legenda Pelet Marongge
Pada zaman dahulu sekitar abad ke-15. ada empat perempuan sakti dari
Mataram. Mereka berempat kakak beradik. Kecantikan mereka sangat luar
biasa. Entah atas apa mereka datang ke kampung Babakan, yaitu daerah
perbukitan di wilayah Sumedang. Keempat perempuan itu telah membuat
geger raja-raja Pajajaran karena kecantikannya. Perempuan yang pertama
bernama Nyai Gabuk, dia adalah anak pertama dari bangsawan Mataram,
namun, anaknya siapa tidak diketahui. Perempuan yang kedua Nyai Setayu,
perempuan yang ketiga Nyai Naibah dan perempuan yang keempat Nyai
Naidah. Naibah dan Naidah diperkirakan saudara kembar. Sebab selain
namanya yang hampir serupa, sebuah cerita mengatakan bahwa Naibah dan
Naidah siga bebelahan terong maksudnya kecantikannya bagai pinang dibelah
dua.
Mereka berguru pada Kyai H. Putih Jagariksa. Kyai H. Putih
diasumsikan sebagai jin atau makhluk halus. Sebab dia adalah penunggu
sebuah bukit gaib di kampung Babakan. Mungkin, Kyai H. Putih Jagariksa
pernah hidup sebagai manusia, namun setelah meninggal dunia, perjalanan
hidupnya atau ajarannya dilanjutkan oleh jin khorinnya. Nah, Jin khorinnya
122
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
itulah yang telah mengajari keempat perempuan ini ilmu kanuragan dan ilmu
pelet yang menggegerkan raja-raja Sunda.
Sesaat setelah mereka titirah ke tahah Sunda. Raja-raja Sunda jatuh
cinta pada keempat perempuan ini. Bahkan ada yang ingin meminang
keempatnya menjadi permaisurinya. Namun, Nyai Arketik atau yang sekarang
disebut Mbah Gabuk mempunyai syarat barang siapa yang ingin meminangnya
atau adik-adiknya menjadi seorang istri maka harus mengalahkannya dalam
ilmu kanuragan.
Mbah Gabuk memberikan syarat barang siapa yang bisa menarik kukuk
– waluh, labu, - yang dihanyutkan di Sungai Cilutung ke arah hulu maka dialah
yang akan menjadi suaminya. Tantangan ini adalah sesuatu yang irasional
bagaimana mungkin seorang manusia bisa membalikkan arah aliran sungai dari
hilir ke hulu. Tak ada seorang raja pun yang sanggup melakukannya sebab itu
menantang hukum alam. Semua raja-raja Sunda itu menyerah. Kemudian
seorang raja menantang Nyai Arketik untuk melakukan hal itu. Di sanalah
kekuatatan Nyai Arketik diuji, ternyata dia sanggup menarik kukuk itu ke arah
hulu. Perempuan dari Mataram itu sanggup memutar arus sungai dengan ilmu
kanuragannya. Ilmu yang digunakannya adalah ajian kukuk mudik.
Sampai saat ini barang siapa yang ingin mempunyai kekuatan Nyai
Arketik maka harus semedi di Sungai Cilutung. Maka dia akan mempunyai
kecantikan nyai Arketik, artinya jangankan manusia makhluk bernyawa, benda
mati pun, yaitu kukuk dapat tertarik padanya. Ketiga adiknya hanya menuruti
kemauan kakaknya. Keegoisan kakaknya membuat adik- adiknya tak pernah
menikah. Namun adiknya yang kedua yang bernama Nyai Setayu jatuh cinta
pada salah seorang bangsawan Sunda.
Cinta Nyai Setayu tidak bisa diwujudkan sebab Mbah Gabuk melarang
adik-adiknya menerima cinta laki-laki yang lemah. Seorang laki-laki harus bisa
melindungi perempuan ucapnya. Bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa
melindunginya jika melawan perempuan saja dia tidak sanggup.
Akhirnya pada suatu malam, seorang raja yang mencintai Nyai Setayu
mengutus para panglimanya untuk menculik dan mengambil Nyai Setayu. Ada
ratusan panglima digjaya dan sakti dalam misi ini. Mbah Gabuk sudah punya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
123
firasat bahwa dia akan didatangi ratusan panglima sakti, maka pada malam itu
dia bersemadi dan mengibaskan selendangnya, Cindewulung di halaman
rumahnya. Ratusan panglima digjaya itu tidak menemukan rumah perempuan
sakti itu. Akhirnya mereka malah tertidur di tepi hutan karena tersesat. Pagi
harinya Mbah Gabuk membangunkan mereka dan menyuruh mereka pulang.
Nyai Setayu tidak terima ini, dia ingin pergi bersama laki-laki yang dia
cintai. Pada suatu malam Nyai Setayu melarikan diri untuk menemui pria yang
dicintainya.
Dia memilih pergi dengan bangsawan tersebut. Namun tidak
beberapa lama kemudian Nyai Setayu kembali lagi ke rumah kakaknya sebab
cinta yang ditawarkan bangsawan Sunda itu telah menyakitinya. Bangsawan
Sunda yang dicintai Nyai Setayu adalah seorang pria yang mempunyai banyak
istri dan Nyai Setayu hanyalah seorang gundik. Padahal, dia dididik oleh
kakaknya untuk menjadi seorang perempuan yang harus mempunyai eksistensi
di mata laki-laki. Mungkin kakaknya Nyai Arketik mempunyai pengalaman
memilukan mengenai seorang pria. Barangkali juga Nyai Arketik atau Mbah
Gabuk ini selalu waspada terhadap seorang pria. Oleh karena itu, hanya priapria terpilih yang bisa meminangnya. Namun, adiknya yang bernama Nyai
Setayu telah mengkhianati sumpahnya. Memang benar apa yang diperkirakan
Nyai Arketik, Nyai Setayu akhirnya disakiti laki-laki.
Namun, saat Nyai Setayu pulang, dia melihat Mbah Gabuk sedang sakit
keras. Mungkin karena memikirkan adiknya yang pergi bersama seorang pria
jahat. Mbah Gabuk kemudian dibawa ke bukit tempat H. Jagariksa berada.
Kemudian H. Putih Jagariksa menyuruhnya mencari buah laja. Akhirnya,
Mbah Gabuk dapat disembuhkan.
Nyai Setayu disuruh oleh Nyai Arketik untuk bertapa di atas bukit
bermalam-malam untuk memikirkan apa kesalahannya. Akhirnya, Nyai Setayu
mengambil sumpah untuk membantu orang-orang yang tersakiti oleh cinta,
maka dia akan membantunya. Dia membuat janji siapa pun yang datang
kepadaku dengan membawa cinta yang patah maka aku akan membuatnya
utuh kembali. Mintalah kepadaku pelet atau ajian pengasihan, maka pria mana
pun yang engkau suka akan kembali menyukaimu. Kau akan menjadi wanita
nomor satu dalam hidup seorang pria yang terkena peletku. Maka dia akan
124
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bertekuk lutut di bawah kakimu. Aku tidak ingin peristiwa menyakitkan
teralami oleh perempuan lain. Semua pria Sunda yang tampan dan kaya raya
akan menjadi budak untuk peletku. Itulah sumpah Nyai Setayu dan dia menjadi
seorang guru spiritual di kampung itu.
Untuk Nyai Naibah dan Nyai Naidah tidak begitu banyak diketahui
nasibnya. Yang pasti keempat perempuan itu tidak menikah sampai akhir
hayatnya.
Mereka
memilih
menjadi
seorang
sufi
perempuan
yang
menyerahkan kehidupannya pada dunia spiritual. Mereka menyepi di sebuah
bukit yang kini menjadi kuburannya. Mereka menimba ilmu pada Kyai. H.
Putih Jagariksa.
Bertahun-tahun kemudian Mbah Gabuk meninggal dunia, namun ada
sebuah keajaiban setelah Mbah Gabuk dimakamkan. Pada malam itu keluar
cahaya berpendar-pendar dari liang lahatnya. Makamnya mengeluarkan cahaya
biru dan putih yang meremang di antara pohon pohon range atau pohon
bambu. Dalam bahasa Sunda, cahaya yang keluar dari kegelapan yang
berpendar-pendar disebut dengan merong, dan batang-batang pohon bamboo
disebut dengan rangge dan jenazah Mbah Gabuk menghilang. Legenda ini
mengingatkan pada tokoh-tokoh spiritual lainnya, seperti Prabu Kiansantang,
Larasantang, dan Walangsungsang disinyalir juga mengalami hal serupa.
Mereka moksa atau tilem dalam bahasa Sunda. Akhirnya bukit tersebut disebut
dengan Marongge, yang artinya merong dina rangge. Cahaya yang berpendar
di antara batang-batang bambu.
Oleh karena peristiwa ajaib itu, masyarakat di sini menganggap kuburan
tersebut mempunyai kekuatan magis atau keramat. Sejak dari sanalah banyak
orang yang berziarah ke makam ini untuk meminta pelet atau berkah, berharap
ada kekuatan-kekuatan yang tersisa dari orang yang telah mati dan dikuburkan
di makam ini, mengingat orang tersebut mempunyai kekuatan yang luar biasa
semasa hidup, mempunyai pengaruh yang luar biasa bagi raja-raja Sunda.
Makam tersebut disebut dengan Marongge dan menjadi nama desa di sini.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
125
Analisis Ideologi Feminis
Ideologi Kecantikan
Sebutan cantik menjadi salah satu identitas yang ingin dicapai perempuan.
Karena itu, berbagai macam cara perempuan ingin tampil cantik sebagai identitas
dirinya. Namun, kecantikan perempuan itu dipandang laki-laki sebagai objek seks
atau pemuas birahi. Kebanyakan pria akan lebih tertarik pada perempuan cantik
daripada perempuan cerdas. Kayakinan perempuan harus cantik ini banyak diamini
oleh sebagian besar peempuan, jika tidak cantik maka tidak layak disebut perempuan.
Dari keyakinan ini banyak perempuan yang mengeksploitasi kecantikan sebagai
komoditas berharga untuk menaklukkan segala macam pria. Perempuan lebih tertarik
untuk merawat kecantikannya daripada merawat kecerdasaannya.
Mbah Gabuk adalah tokoh dalam legenda pelet Marongge. Dia
digambarkan sebagai perempuan yang serupa bidadari yang telah membuat
geger raja-raja Sunda. Untuk deskripsi lebih jelasnya, tak ada yang tahu seperti
apa kecantikan Mbah Gabuk. Yang pasti kecantikan direpresentasikan sesuai
dengan zaman dan budayanya saat itu.
Namun, Mbah Gabuk bukanlah perempuan sebagaimana perempuan
kebanyakan yang menggunakan kecantikan untuk menaklukkan banyak pria
atau menaklukkan dunia. Dia seorang perempuan cerdas yang mempunyai
prinsip dalam hidupnya. Dia tidak mengeksploitasi kecantikannya sebagai
komoditas berharga yang bisa ditawarkan kepada setiap pria. Mbah Gabuk
menggunakan kecantikaan untuk dikagumi banyak pria namun tidak untuk
dimiliki mereka.
Hal ini tergambar dari sikap Mbah Gabuk yang menolak banyak lelaki
yang meminangnya. Sekali dia akan menerima pinangan seorang pria, dia
mengajukan syarat bagi pria yang ingin meminangnya. Hal ini serupa dengan
kisah-kisah folklore Nusantara, seperti Dayang Sumbi yang menolak
Sangkuriang dengan mengajukan syarat dibuatkan bendungan dan perahu.
Roro Jonggrang yang minta dibuatkan seribu candi. Hal itu dilakukan sebagai
cara perempuan menolak pinangan pria, namun mereka tak sanggup
mengalahkan pria tersebut.
Lain halnya yang dilakukan Mbah Gabuk. Dia menantang semua lakilaki dalam sebuah adu tanding atau kanuragan. Dia bisa mengalahkan pria-pria
126
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
yang ingin meminangnya.
Dalam hal ini, kecantikan Mbah Gabuk tidak
dijadikan senjata untuk mengalahkan pria. Kekuatan kanuragannnya yang
membuat Mbah Gabuk keluar sebagai pemenang dalam kompetisi yang
diadakannya.
Kecantikan bagi Mbah Gabuk bukanlah sesuatu yang tampak dalam
fisik, namun kecantikan adalah sesuatu yang ada dalam jiwa. Dia
merepresentasi kecantikan melalui kekuatan kanuragannya dan aura mistis
yang ada dalam dirinya untuk memikat semua jiwa pria.
Setelah kompetisi itu, banyak pria yang semakin mengaguminya. Banyak
pria yang semakin jatuh cinta padanya, namun, Mbah Gabuk laksana mawar di
tepi jurang. Dia sangat cantik, tapi tak bisa dimiliki. Begitulah Mbah Gabuk
merepresentasikan kecantikan dirinya bahwa kecantikannya bukan sebuah
komoditas yang diperjualbelikan dan setiap laki-laki bisa menikmatinya.
Kecantikan adalah sesuatu yang hakiki yang hanya dimiliki oleh perempuan itu
sendiri.
Ideologi Menolak Pernikahan
Dalam mahzab feminisme radikal, lewat karya Vindication of the Rights
of Woman, 1797, Marry Wolllstonecraft, menganjurkan wanita mandiri dalam
bidang ekonomi, bahwa wanita bisa hidup tanpa bantuan pria. Kemudian pada
tahun 1830, Maria Stewart,
penguatan relasi hubungan pria dan wanita
bukanlah melalui hubungan pernikahan, melainkan sebagai rekan hidup yang
sama-sama menjalani hidup sebagai manusia mandiri. Berikutnya Elizabeth
Cuddy pada tahun 1880 menentang hak-hak seksual laki-laki terhadap
perempuan dan menantang justifikasi keagamaan yang menindas kaum wanita.
Feminisme radikal juga menyatakan bahwa pernikahan menyudutkan
perempuan pada perasaan keterasingan dan ketidakberdayaan yang diciptakan
secara politik oleh kaum pria karena itu tranformasi personal melalui aksi-aksi
radikal seperti menolak pernikahan merupakan cara dan tujuan yang paling
baik.
Bagi kaum feminis radikal, pengalaman pernikahan invidual wanita
yang membuat kesengsaraan dan ketidakadilan dalam berumah tangga
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
127
dianggap sebagai permasalahan kelompok. Sebab hampir semua wanita yang
menikah mengalami hal serupa, terutama dalam pengambilan keputusan.
Feminisme
radikal
mempunyai
pemikiran
bahwa
perempuan
mengalami penindasan dalam pernikahan, hak kebebasan sebagai manusia
telah dirampas. Kekuasaan laki-laki dalam pernikahan harus dikenali dan
dimengerti kemudian direduksi menjadi kekuasaan yang sosialis bukannya
kapitalis.
Dalam tokoh Mbah Gabuk yang notabene hidup sebelum feminisme
Barat berkembang, sudah muncul bibit-bibit perempuan mandiri, bahwa
perempuan bisa hidup tanpa harus ada seorang pria yang mendampinginya.
Pernikahan bagi Mbah Gabuk hanya mengeksploitasi wanita secara seksual
dan menjadikan perempuan tak punya hak untuk menentukan jalannya sendiri.
Contoh kecil dalam budaya Islam, bahwa perempuan yang sudah
menjadi istri harus bertindak tanduk seizin suami, bahkan saat orang tua
meninggal pun, seorang istri tidak punya hak untuk pergi ke pemakaman
ayahnya. Bagitu pun pergi jalan-jalan atau melakukan aktivitas lainnya, tanpa
izin suami, seorang istri tidak punya hak apa pun, selain menunggu takdir
suami.
Mbah Gabuk tidak sejalan dengan budaya semacam itu. Bagi Mbah
Gabuk wanita adalah mahkluk mandiri yang punya takdir sendiri. Baginya
menikah adalah sebuah pilihan, bukan sebuah kewajiban. Justru dalam
pernikahan, perempuan harus mengabdi pada laki-laki. Hal ini yang menjadi
dasar, dia menolak pernikahan. Mbah Gabuk tidak mau menjadi abdi laki-laki.
Aturan-aturan dalam pernikahan hanya menindas kaum perempuan. Bahkan
dalam sebuah budaya Sunda, seorang istri harus mengabdi pada suami. Itu
artinya perempuan hadir sebagai pembantu gratis, perempuan adalah pelayan.
Padahal, pernikahan adalah sebuah bentuk kerja sama antara laki-laki dan
perempuan dalam membangun rumah tangga. Namun, laki-laki cenderung
mendominasi dalam keluarga, seolah tanpa kehadirannya sebuah keluarga bisa
hancur, sedangkan perempuan hanya bersifat artifisial dalam rumah tangga,
yang bisa diganti oleh siapa pun. Hal itu juga yang membuat Mbah Gabuk
128
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menolak pernikahan yang membuat kebebasan perempuan sebagai manusia
merasa terampas.
Ideologi Perempuan Lebih Kuat daripada Laki-laki
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa perempuan lebih
kuat daripada laki-laki, feminisme radikal menolak keras patriarki. Feminisme
ini menunjukkan kekuatan wanita tidak bisa dipandang remeh. Marilyn French
berpendapat bahwa perbedaan perempuan lebih pada biologi bukan pada
sosial. Dalam bukunya yang berjudul Beyond Power, French mengisyaratkan
bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada laki-laki. Stratifikasi
laki-laki di atas perempuan pada gilirannya mengarahkan pada stratifikasi
kelas. French mengklaim bahwa nilai-nilai feminisme harus diintegrasikan ke
dalam masyarakat laki-laki yang telah diciptakan oleh ideologi patriarki.
Mary Daly merendahkan nilai-nilai maskulinitas tradisional. Dalam
bukunya Beyond God the Father, Daly menolak istilah maskulin dan feminism
secara keseluruhan. Daly menyimpulkan bahwa perempuan harus menolak apa
yang tampak merupakan aspek baik dari feminitas dan aspek buruk yang sudah
jelas-jelas buruk karena semua itu merupakan kontruksi yang dibuat laki-laki,
yang dibentuk untuk kepentingan menjebak perempuan di dalam penjara
patriarki yang dalam.
Dalam hal ini, Mbah Gabuk menantang semua raja-raja Sunda dalam
sebuah kompetisi ngadu kukuk. Ngadu dalam bahasa Indonesia artinya tanding
atau beradu jago sedangkan kukuk adalah sejenis labu kecil atau biasa disebut
dengan waluh. Kompetisi itu diadakan untuk memenangkan dirinya sendiri.
barang siapa yang berhasil mengalahkannya, maka pria itu akan menjadi
suaminya. Namun, apa yang terjadi tak ada satu pun raja yang bisa menandingi
keahliannya dalam menarik kukuk yang mengalir dibawa arus sungai.
Kukuk yang dilemparkan di sungai Cilutung itu harus ditarik dengan
kekuatan magis agar berbalik arah menuju hulu. Tak ada satu pun pria yang
sanggup melakukannya. Namun, Mbah Gabuk dengan ajaibnya kukuk itu
menggelinding melawan arus sungai dan hancur berantakan menabrak batu
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
129
besar. Semua laki-laki kagum sekaligus besedih karena tak ada satu pun lakilaki yang bisa memilikinya.
Peristiwa ini menunjukkan kekuatan perempuan lebih hebat daripada
laki-laki. Mbah Gabuk hanya perempuan desa biasa namun bisa mengalahkan
raja-raja di tanah Pajajaran. Di sinilah paham feminisme didukung bahwa
gerakan wanita lebih kuat daripada laki-laki bisa diapresiasi dari peristiwa
kukuk mudik. Bahwa wanita tidak sembaragan dijadikan komoditas seksualitas
pria, atau wanita harus mau menjadi isteri. Mbah Gabuk telah membuktikan
kekuatan wanita dan kearoganannya sebagai perempuan sakti yang tak bisa
disentuh seorang pria.
Nilai-nilai feminitas yang diusung Mbah Gabuk membawa kita pada
pemahaman bahwa wanita yang bernilai tidak akan menerima sembarang pria
sebagai suaminya. Mbah Gabuk memilih pria yang kuat yang hebat yang bisa
mengalahkan dirinya, namun tak ada seorang pun yang menjadi suaminya
sebab tak ada seorang pria yang bisa mengalahkannya.
Sisi feminitas dalam peristiwa itu pun tetap menjadi ciri Mbah Gabuk.
Dalam kompetisi adu jago ini, Mbah Gabuk tidak menantang raja-raja Sunda
itu dalam sebuah pertarungan fisik atau baku hantam seperti yang dalam
legenda Nyai Gandasari (baca Ajian Nyimas Gandasari) yang mengalahkan
banyak pria dalam pertarungan berdarah. Mbah Gabuk hanya menantang para
pria itu dengan melemparkan kukuk ke sungai kemudian menariknya kembali
tanpa disentuh tangan melainkan melalui energi murni yang ada dalam setiap
diri manusia. Namun, ternyata tak ada satu pria pun yang mempunyai energi
murni dalam diri setiap pria yang mengikuti kompetisi itu dan Mbah Gabuk
menolak semua pinangan.
Dia mengibaskan selendang Cindewulung, yang notabene adalah asesoris
perempuan, untuk menarik kukuk yang menggelinding dalam arus sungai. Di
sinilah kekuatan feminisme dibuktikan bahwa untuk memenangkan sebuah
kompetisi bukanlah pada kekuatan fisik yang selama ini diagungkan dunia
patriarki, melainkan lebih pada kekuatan jiwa, kelembutan seorang wanita.
Selendang yang menjadi cirri feminism telah menjadi kekuatan yang
mengalahkan kearoganan dunia partriaki.
130
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Ideologi Perempuan Mandiri
Dalam teori feminisme Barat, sistem kapitalis yang dikuasai laki-laki
telah mendiskreditkan kaum perempuan. Dalam hal ini laki-laki menjadi
pengendali roda perekonomian. Misalnya dalam keluarga, laki-laki bekerja dan
perempuan hanya di rumah menunggu asupan uang dari suami. Hal ini
menyebabkan perempuan dimarjinalkan dan membentuk kelas laki-laki dan
kelas perempuan. Perempuan seolah tidak bisa berbuat apa apa selain
menunggu nasib.
Mbah Gabuk muncul sebagai sosok yang mandiri dan tidak
membutuhkan pendamping atau suami dalam menjalan kehidupannya.
Meskipun dia hanya berprofesi sebagai petani dan tabib yang punya
penghasilan pas-pasan, dia tidak tertarik pada laki-laki kaya. Mbah Gabuk
menolak semuan pinangan raja-raja Sunda. Dia hanya tertarik pada pria yang
kuat secara jiwa dan memperlakukan perempuan sebagai manusia bukan objek
seks yang bisa mereka gunakan kapan pun dan bisa membuangnya kapan pun
setelah tidak berguna. Artinya, mbah Gabuk bukan perempuan matre yang
menggantungkan hidup dari nafkah lahir laki-laki. Dia memperjuangkan
haknya sebagai perempuan yang tidak mau jadi tunjangan laki-laki. Mbah
Gabuk merasa bahwa pinangan para raja itu hanya melihat kecantikannya
bukan tertarik pada dirinya. Coba saja jika Mbah Gabuk itu seorang
perempuan tua yang buruk rupa, tak akan pernah ada yang tertarik padanya. Di
sanalah bisa disimpulkan bahwa para pria hanya tertarik pada kecantikan fisik
wanita yang fana.
Mbah Gabuk bisa menjadi teladan untuk pendidikan karakter
perempuan Sunda bahwa seorang perempuan haruslah mandiri jangan
bergantung pada laki-laki. Selama nyawa dikandung badan, selama tenaga dan
pikiran masih digunakan, maka hiduplah dengan rejeki Tuhan yang diberikan
kepada tanganmu bukan melalui tangan orang lain. Jangan pernah
menunjukkan kelemahan di depan laki-laki sebab itu membuktikan bahwa
perempuan adalah makhluk lemah, kaum proletar yang membutuhkan
perlindungan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
131
Ideologi Feminisme Legenda Pelet sebagai Pendidikan Karakter
1.
Tokoh Mbah Gabuk dapat menjadi teladan bahwa kecantikan perempuan
bukanlah segalanya untuk menaklukkan pria.
2.
Kekuatan perempuan bukanlah terletak pada kekuatan fisiknya melainkan pada
kekuatan jiwanya.
3.
Menjadi perempuan mandiri yang tidak bergantung pada laki-laki. Meskipun
menolak pernikahan tidak bisa dijadikan teladan, sosok Mbah Gabuk yang bisa
menafkahi diri sendiri bisa menjadi percontohan untuk perempuan-perempuan
zaman sekarang yang lebih tertarik pada pria sebagai arena mereka
menggantungkan hidup.
4.
Jangan pernah menerima cinta pria yang tertarik pada kecantikan karena priapria semacam itu akan meninggalkan perempuan saat perempuan menjadi tua
dan buruk rupa.
5.
Menghargai dan saling mencintai antarsaudara, keempat tokoh perempuan dalam
legenda tersebut, hidup rukun sampai mereka tua. Mereka tetap bersatu dalam
sebuah keluarga sampai maut memisahkan mereka satu demi satu.
SIMPULAN
Legenda Pelet Marongge adalah kekayaan khasanah sastra Nusantra.
Sebagai kajian folklore Legenda Pelet Marongge layak dijadikan media
pendidikan karakter bangsa terutama bagi kaum perempuan yang berprinsip
dalam hidupnya. Tokoh Mbah Gabuk hadir sebagai perempuan berkarakter
kuat dan membawa alur cerita pada konflik peristiwa yang melibatkan cinta
dan tahta. Namun, Mbah Gabuk adalah perempuan yang menolak dunia
partriaki yang mendominasi. Dia memilih jalan hidup sendiri sebagai manusia
mandiri. Hal ini sejalan dengan teori feminisme yang menolak dominasi lakilaki dalam kehidupan.
Penelitian ini menitikberatkan pada kajian feminisme yang menjadikan
pendidikan karakter bangsa. Keistimewaan tokoh mbah Gabuk dapat dijadikan
teladan bagi perempuan-perempuan Sunda yang ingin hidup mandiri. Terlepas
dari mitos pelet yang konon katanya dapat menaklukkan semua pria, Mbah
Gabuk sendiri bukanlah seorang yang menaklukkan pria, namun semua pria
ingin menaklukkan hatinya.
132
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Legenda selalu menarik untuk dikaji dan ditelusuri jejak-jejaknya. Kita
bisa mengenal sebuah budaya dan karakter bangsa dari cerita rakyat yang
berkembang dalam masyarakatnya. Inilah Indonesia yang kaya dengan budaya.
Legenda pelet Marongge adalah salah satu kekayaan bangsa yang patut
dilestarikan dan diceritakan ulang pada anak-anak kita, agar mereka bisa
mengenal identitasnya. Bahwa tokoh-tokoh mitologi bisa dijadikan teladan
dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Awuy, Tommy. 1995. Wacana Tragedi dan Dekontruksi Kebudayaan.
Yogyakarta: Jantera Wacana Publika.
Fakih, Mansoer. 1996. Membincang Feminisme, Diskursus Gender dalam
Perpektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Fakih, Mansoer. 2003. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Stallnecht, Newton P and Horst Franz. 1971. Comtemporery Literature:
Method and Perspective. Carbondale and Edwardsville: Illionis
University Press.
Yanti, Prima Gusti. 2010. Diktat (Sastra Banding). Jakarta: FKIP UHAMKA.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
133
PERAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM
MEMBANGUN KARAKTER GENERASI MUDA
Daroe Iswatiningsih
Prodi. Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP
Universitas Muhammadiyah Malang
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra dalam Membangun Karakter Generasi
Muda. Pembelajaran merupakan upaya penanaman dan penguatan aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik pada anak (peserta didik). Aspek kognitif berkaitan dengan
substansi materi atau pengetahuan yang perlu dipahamkan kepada anak. Anak perlu
memahami serangkaian konsep dan teori dengan menggunakan nalar serta prinsip
keilmuan. Aspek afektif berkaitan dengan penanaman dan pengembangan nilai sikap
dan karakter kepada peserta didik. Dengan memiliki sikap sosial, emosional dan
spiritual, dan moral anak mampu memaknai hakikat hidup ketika harus berhubungan
dengan Tuhan, teman, diri sendiri, dan lingkungan. Adapun penguatan psikomotorik
pada anak dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilam
menggunakan
pengetahuan yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.Secara substansi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia memiliki peran penting dalam membangun
karakter generasi muda. Pembelalajaran bahasa dimaksudkan untuk menguatkan
kompetensi peserta didik (generasi muda) dalam berkomunikasi dan beriteraksi
dengan lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Beberapa aspek yang perlu
dipahami oleh seorang penutur saat berkomunikasi di antaranya: siapa yang dihadapi,
topik yang dibicarakan, situasi yang terjadi (konteks). Dengan demikian, secara tidak
langsung pembelajaran bahasa akan membangun karakter sopan santun, kerjasama,
toleransi, dan percaya diri. Adapun pembelajaran sastra dimaksudkan untuk
mengasah dan menumbuhkan kepekaan seseorang terhadap keindahan, kemanusiaan,
etika, serta moral. Oleh karena itu, dalam membelajarakan bahasa dan sastra
Indonesia guna membangun karakter peserta didik diperlukan strategi dan perangkat
pembelajaran yang memadai dari seorang guru. Guru hendaknya bertindak secara
profesional, baik sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik.
Kata kunci: pembelajaran bahasa dan sastra, karakter, generasi muda
PENDAHULUAN
Tulisan ini diawali dari pemahaman dua istilah yang sering digunakan
dalam bidang pendidikan, yakni pendidikan itu sendiri dan pengajaran. Hal ini
dikarenakan bahwa hasil akhir yang diharapkan dari sebuah proses pendidikan
adalah terbangunnya jiwa berkarakter atau berbudi pekerti pada peserta didik.
Sebuah usaha yang tidak dapat dilakukan secara instan namun terencana,
terarah dan berkesinambungan. Sebuah sikap dan perilaku yang perlu dibangun
134
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dan dikembangkan pada pesera didik guna membentengi diri dari berbagai
perubahan sosial dan teknologi yang berdampak buruk pada perilaku anak.
Ranah pendidikan mencakup tiga ruang, yakni keluarga, sekolah dan
masyarakat (tripartit). Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama
dalam meletakkan dasar nilai-nilai dasar kebajikan pada anak. Nilai-nilai
kebajikan yang ditanamkan pada anak tersebut bersumber dari nilai budaya
yang berkembang di masyarakat, pengetahuan dan keyakinan agama yang
ditanamkan orang tua. Dalam perkembangannya, karena tuntutan kebutuhan
dan pekerjaan yang harus dipenuhi keluarga,maka kebanyakan keluarga
menyerahkan tanggung jawabpendidikan pada lembaga/ institusi formal, yakni
sekolah. Banyak orang tua yang menyerahkan pengembangan potensi anak,
baik dari aspek emosional dan spiritual pada pihak sekolah – yang notabene
sekolah hanya mengurusi masalah intelektual – secara mutlak. Orang tua
merasa tidak banyak waktu untuk menanamkan dan mengembangkan budi
pekerti pada anak. Demikian halnya dengan lingkungan masyarakat.
Masyarakat kurang peduli pada upaya pembinaan dan pengembangan nilainilai karakter yang nantinya dapat dimanfaatkan anak dalam kehidupan
bermasyarakat, seperti sikap santun, kerja sama, empati, tanggung jawab dan
sebagainya.
Dengan
demikian,
beban
sekolah
dalam
mengasuh
(ngulawentah)anak semakin berat.
Pada dasarnya dalam jiwa manusia dibedakan menjadi dua aspek, yakni
aspek kemampuan (Ability) dan aspek kepribadian (personality). Aspek
kemampuan meliputi prestasi belajar, intelegensia, dan bakat; sedangkan aspek
kepribadian meliputi watak, sifat, penyesuaian diri, minat, emosi, sikap, dan
motivasi (Jaali, 2013:1). Pandangan tersebut memberi pemahaman bahwa
pengembangan jiwa manusia yang berorientasi pada peningkatan kemampuan
peserta didik menjadi tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar. Untuk
itu, makna pengajaran di sekolah lebih menonjolkan peranan guru dalam
mempersipkan materi untuk disampaikan kepada anak. Murid cenderung
bersikap pasif dan hanya menerima apa yang disuguhkan guru. Dan yang lebih
penting, anak mampu menyerap segala informasi yang diberikan guru sebagai
bentuk pengetahuan yang suatu saat akan diujikan sebagai bentuk penguasaan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
135
Namun demikian, dalam perkembangan dewasa ini, guru bukan lagi
sebagai pusat pembelajaran. Guru diharapkan tidak lagi berperan aktif sebagai
pelaku utama pembelajaran, yang mentranser ilmu dan informasi.Guru
hendaknya dapat memosisikan diri sebagai fasilitator, motivator, mediator, dan
evaluator dalam pembelajaran. Istilah pembelajaran yang merupakan reduksi
dari pengajaran lebih mensyaratkan bahwa kedua belah pihak, yakni guru dan
murid bersikap aktif. Sebagai pengajar, guru dapat memahami makna belajar
yang berlangsung di kelas. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI,
1998)belajar diartikan sebagai berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.
Bruner menandai bahwa dalam proses belajar terdapat tiga tahapan, yaitu tahap
informasi, transformasi dan evaluasi. Masing-masing tahapan ini dimaksudkan
untuk mengetahui dan lebih menguatkan pemahaman anak terhadap masalah
yang dipelajari. Dalam tahap informasi, guru dan siswa berusaha menggali
informasi dai berbagai sumber dan selanjutnya masing-masing pihak berhak
untuk mentransformasikannya. Artinya, guru mampu menciptakan suasana dan
linkungan belajar yang memupuk rasa percaya diri dan keberanian anak untuk
mengomunikasikan gagasan dan pikirannya. Dengan demikian, anak tidak
sekedar gelas kosong yang perlu diiisi. Selanjutnya, guru berperan sebagai
evaluator yang menilai perkembangan/kemajuan anak secara autentik dan
portofolio, bukan berdasarkan penilaian kelompok/kelas.
Pembelajaran dan pengajaran secara konseptual memang memiliki
pemahaman
yang
dekat.
Berdasarkan
penelusuran
beberapa
kamus
kontemporer,Brown (2007:8) mengartikan pembelajaran adalah penguasaan
atau pemerolehan pengetahuan tentang suatu subjek atau sebuah keterampilan
dengan belajar, pengalaman, atau instruksi. Adapun seorang psikolog
pendidikan mendefinisikan pembelajaran sebagai ―sebuah perubahan dalam
diri seseorang yang disebabkan oleh pengalaman (Slevin, 2003:138).
Pengajaran didefinisikan sebagai menunjukkan atau membantu seseorang
mempelajari cara melakukan sesuatu, memberi instrukiu, membantu dalam
pengkajian sesuatu, menyiapkan pengetahuan, menjadikan tahu atau paham.
Melihat definisi kedua istilah - pembelajaran dan pengajaran - maka keduanya
tidak
136
dapat
dipisahkan.
Pengajaran
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
memandu
dan
memfasilitasi
berlangsungnya pembelajaran. Dan diantara keduanya, pendidikan sebagai
wadah dalam menyelenggarakan pengajaran maupun pembelajaran. Dalam
pendidikan, segala potensi pada diri anak sebagai peserta didik harus
ditumbuhkan, yakni spiritual, intelekstual, emosional, kultural dan moral.
Pembelajaran Bahasa (dan Sastra) sebagai Pengembangan Kepribadian
Baru saja kita memperingati hari Sumpah Pemuda. Salah satu isi
Sumpah Pemuda tersebut adalah sebuah ikrar untuk menjunjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indoesia. Sebuah pemikiran strategis para pemuda masa dulu
dalam mempersatukan bangsa melalui bahasa. Hal ini mengingat negara
Indonesia yang terdiri dari ratusan bahasa daerah yang tersebar di wilayah
nusantara.
Lalu
apa
makna
sumpah
pengembangan kepribadian bangsa?
tersebut
dalam
hubungannya
Pengakuan atas menjunjung tinggi
bahasa persatuan, bahasa Indonesia memiliki fungsi yang luar biasa dalam
mengembangkan kepribadian bangsa. Sekali lagi, fungsi tersebut menegaskan
bahwa setiap warga negara Indonesia berkepribadian, berperilaku dan berbudi
bahasa khas Indonesia. Hal ini berdampak pada bersatunya para pemuda - kala
itu yang bersifat kedaerahan – untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
setiap komunikasi.
Untuk itu, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang saat ini
diajarkan di sekolah-sekolah mampu mengembangkan kepribadian peserta
didik. Hal ini bisa dilakukan mulai dari jenjang pendidikan dasar, seperti di
sekolah dasar. Sifat pembelajaran yang tematik dan terintegrasi menjadikan
guru harus mampu mengintegrasikan beberapa mata pelajaran dalam satu tema
yang sama. Adapun persiapan yang perlu dilakukan guru untuk mencapai
tujuan tersebut menyusun perangkat pembelajaran mulai dari rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) hingga persiapan lain seperti media, materi
yang relevan, strategi dan metode pembelaran, serta evaluasi. Guru hendaknya
kreatif dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. Karakter yang dapat
dikembangkan selama proses pembelajaran mulai dari mencintai bahasa dan
karya sastra Indonesia, berani, bertanggung jawab, disiplin, bekerja keras,
toleransi, menghargai karya orang, jujur, dan sebagainya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Caranya, guru
137
mempersiapkan bacaan sastra yang mengandung nilai-nilai kebajikanatau
sebaliknya yang diperankan para tokoh. Siswa diminta menunjukkan nilai yang
baik dan nilai yang tidak baik, meminta penjelasan atau alasan penilaian, juga
memeragakan karakter masing-masing tokoh secara berkelompok. Dengan
demikian, lambat laun sikap dan perilaku baik ini akan diingat dan diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Setiap saat guru pun memberi penguatan positif
pada sikap baik anak agar diulang lagi. Sebaliknya, guru memberi penguatan
negatif pada perilaku anak yang dinilai kurang agar anak tidak mengulanginya.
Evaluasi terhadap sikap afektif anak senantiasa didokumentasikan guru.
Guru kelas maupun guru bidang studi masing-masing bertanggung jawab
terhadap perkembangan kepribadian anak. Masalah akhlak anak bukan hanya
menjadi
tanggung
jawab
guru
agama
ataupun
guru
pendidikan
kewarganegaraan (Pkn). Semua guru memiliki tanggung jawab moral dalam
menumbuhkan, mengembangkan, mengawal dan menciptakan perilaku baik
anak. Pendidikan karakter dalam hal ini bukan merupakan satu mata pelajaran
atau ilmu pengetahuan, tetapi merupakan substansi yang mengisi semua bidang
kehidupan warga sekolah. Untuk itu, atmosfir sekolah harus mampu
mencerminkan suatu tekat kuat untuk membangun karakter anak yang
berkepribadian. Misalnya dengan memajang kalimat berkarakter ―Bersih itu
Indah‖, ―Membuang sampah di tempat menciptakan kebersihan‖, ―Budaya
antri wujud menghargai sesama‖, ―Membaca adalah jendela dunia‖, ―Raih
mimpimu menjadi nyata‖, ―Ungkapkan pikiran dan perasaanmu: untuk
menjadi Percaya Diri‖, ―Tubuh Sehat menjadikan Semangat Belajar‖, dan
sebagainya. Bukan hanya kata atau kalimat yang tidak bermakna. Semua
warga sekolah harus mampu menerapkannya denga baik.
Sastra dan Refleksi Kehidupan
Selama ini sastra dinilai sebagai karya imajinatif, fiksi atau cerita tidak
sebenarnya. Memang, saat pengarang menampilkan tokoh, maka tokoh yang
diceritakan adalah rekaan pengarang. Namun demikian, nilai kehidupan yang
ditampilkan dalam karya sastra terjadi di masyarakat. Sastra merupakan
produk pengarang yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Karya sastra hadir
138
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menggambarkan nilai-nilai yang tumbuh berkembang dalam masyarakat pada
zamannya. Untuk itu, sastra merupakan potret kehidupan masyarakat yang
sedang berlangsung.
Pada masa feodal misalnya, karya sastra banyak
mengangkat persoalan sosial yang berkaitan dengan kesenjangan sosial,
perbudakan, penindasan rakyat kecil serta kawin paksa. Adapun dalam masa
sekarang banyak karya sastra (novel) yang mengangkat tentang semangat
belajar hingga ke luar negeri, perjuangan perempuan untuk meraih cita-cita,
serta novel-novel inspiratif seperti biografi seseorang yang sukses dalam
perjalanan hidupnya.
Sehubungan dengan pembelajaran sastra, maka dengan hadirnya
beragam karya sastra memungkinkan guru untuk memilih bahan yang sesuai.
Guru
aktif
membaca,
kreatif
mengembangkan
bahan
dan
metode
pembelajaran. Mendekatkan nilai-nilai yang tidak disentuh anak menjadi
bagian dalam kehidupannya. Saat penulis berinteraksi dengan guru-guru
sekolah dasar dan menanyakan apakah pernah membaca novel ―Laskar
pelangi‖ karya Andrea Hirata banyak guru yang menggelengkan kepala.
Padahal novel tersebut termasuk genre pendidikan, yang menginspirasi
bagaimana meraih cita-cita dalam keterbatasan. Sebagian guru menyatakan
telah menonton filmnya, dengan alasan malas membaca, tidak ada waktu
membaca, serta berbagai alasan lainnya. Kemudian penulis bertanya lagi
seputar novel yang terkait dengan semangat pendidikan seperti ―Negeri 5
Menara‖ dan ―Sepatu Dahlan‖ para guru tersebut masih menggeleng. Jika
demikian adanya, maka semangat guru untuk mengembangkan wawasan
melalui apresiasi karya sastra perlu ditumbuhkan. Jika guru sudah mencintai
sastra, tentu akan menularkan semangatnya kepada peserta didik. Dengan
demikian, guru menjadi lebih memperhatikan keberadaan perpustakaan
sekolah, apakah koleksi buku telah memenuhi kelayakan sebagai sebuah
perpustakaan?
Peran sastra dalam pembelajaran sangat penting. Hal ini sebagaimana
dikemukakan Tarigan (1995), bahwa sastra berperan dalam pendidikan anak,
yaitu dalam 1) perkembangan bahasa 2) perkembangan kognitif, 3)
perkembangan kepribadian, dan 4) perkembangan sosial. Manfaat sastra dalam
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
139
perkembangan bahasa adalah bahwa anak setelah membaca atau menyimak
sastra, baik langsung maupun tidak langsung akan menambah kosakata anak.
Hal ini akan meningkatkan keterampilan berbahasa anak. Selanjutnya dengan
membaca sastra dapat memotivasi serta menunjang perkembangan kognitif
atau penalaran anak. Selain itu, dengan mengenal berbagai karakter yang
diperankan tokoh cerita, anak dapat mendalami perasaan, kepribadian tokoh,
menilai dan menentukan sikap tertentu dengan berbagai pertimbangan.Dengan
demikian, kepribadian anak semaki berkembang. Anak dapat belajar dari nilainilai yang dikembangkan dalam seriap karakter yang dihadirkan pengarang.
Sikap serta kepribadian yang telah dipelajari anak dari karya sastra akan
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat. Anak akan mudah
menentukan sikap saat bergaul dengan teman sebayanya, menghargai orang
yang lebih tua, membangun kepercayaan serta sikap-sikap lain yang berlaku
secara universal di masyarakat.
Karakter yang Perlu Dibangun pada Generasi Muda
Karakter apa saja yang perlu dibangun pada peserta didik sebagai
generasi muda bangsa? Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 20
Tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Dengan demikian, tujuan pendidikan tersebut sekaligus
membangun karakter pada diri peserta didik menjadi manusia dalam
hubungannya dengan pencipta (Tuhan), manusia dengan diri sendiri, dan
manusia dalam hubunganya dengan sesama (sebagai makhluk sosial).
Adapun dalam pandangan Lickona (1992), pendidikan karakter yang
perlu ditumbuhkan mencakup tiga kompoen karakter yang baik (components of
good character) yaitu pengetauan tentang moral (moral knowing), perasaan
tentang moral (moral feeling) dan perbuatan bermoral (moral action). Ketiga
komponen tersebut diperlukan agar peserta didik mampu memahami,
merasakan
140
dan
sekaligus
mengerjakan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
nilai-nilai
kebajikan.
Dalam
komponenmoral knowing terdapat enam hal yang menjadi tujuan, yaitu 1)
moral awareness, 2) knowing moral values, 3) perspective taking, 4) moral
reasoning, 5) decision making, dan 6) self knowledge. Dalam moral feeling
terdapat enam aspek emosi yang perlu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi
manusia berkarakter, yaitu 1) conscience,2) self-esteem, 3) emphaty, 4) loving
the good, 5) self-control, dan 6) humility. Selanjutnya dalam moral action,
tindakan atau perbuatan yag dilakukan oleh seseorang didorong oleh tiga aspek
karakter, yaitu 1) kompetensi (competence), 2) keinginan (will), dan 3)
kebiasaan (habits).
Ratna Megawangi (2004) sebagai pencetus pendidikan Karakter di
Indonesia telah menyusun karakter mulia yang selayaknya diajarkan kepada
anak, yang disebut dengan 9 pilar, yaitu: 1) cinta Tuhan dan Kebenaran, 2)
Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian, 3) amanah, 4) hormat dan
santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerjasama, 6) percaya diri, kreatif, dan
pantang menyerah, 7) keadilan dan kepemimpinan, 8)baik dan rendah hati, 9)
toleransi dan cinta damai.
Mencermati berbagai karakter yang telah disebutkan di atas, maka
karakter apa saja yang seyogyanya dikembangkan di sekolah, terlebih lagi
dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia? Tentunya semua nilai yang
dikemukakan di atas secara universal memiliki nilai kebajikan atau moral.
Namun demikian, tentunya setiap tahapan pembelajaran memiliki kesesuaian
dengan tema dan materi yang diajarkan. Untuk itu, secara bertahap nilai-nilai
karakter tersebut dapat dikembangkan dalam pendidikan, terlebih lagi dalam
pembelajaran.
Strategi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas Dasar
Terdapat sekian banyak karakter yang perlu ditumbuhkan dan
dikembangkan kepada anak. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam tujuan
pendidikan bahwa pendidikan mampu mengembangkan potensi anak didik
secara maksimal guna dimanfaatkan dalam menyelesaikan berbagai maslaha
yang dihadapi anak. Pemahaman terhadap strategi pembelajaran sangat
beragam. Hal ini bergantung pada sudut pandang pelaku dalam berproses dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
141
mencapai tujuan. Huda (1999) menggambarkan strategi sebagai sebagai sifat,
tingkah laku yang tidak teramati, atau langkah nyata yang teramati (dalam
Iskandarwassid, 2008).
Hakikat strategi pembelajaran menurut Mujiono (1992) diartikan
sebagai kegiatan pengajar untuk memikirkan dan mengupayakan terjadinya
konsistensi
antara
aspek-aspek
dan
komponen
pembentuk
system
instruksional, dimana untuk itu pengajar menggunakan siasat tertentu. Dalam
pandangan ini strategi pembelajaran memiliki dua dimensi, yaitu dalam
perancangan dan dalam pelaksanaan. Brown (2007) membedakan strategi
dalam pemerolehan bahasa kedua menjadi dua jenis, yakni strategi
pembelajaran dan strategi komunikasi. Adapun O‘Malley (dalam Brown,
2007) menggolongkan strategi pembelajaran menjadi tiga kelompok, yakni
strategi metakognitif, strategi kognitif dan strategi sosioafektif. Strategi
metakognitif melibatkan perencanaan belajarm pemikiran tentang proses
pembelajaran yang sedang berlangsung, pemantauan produksi dan pemahaman
seseorang, dan evaluasi pembelajaran setelah aktivitas selesai. Strategi kognitif
lebih terbatas pada tugas-tugas pembelajaran spesifik dan melibatkan
pemanfaatan yang lebih langsung terhadap materi pembelajaran itu sendiri.
Strategi sosioafektif berkenaan dengan aktivitas mediasi sosial dan interaksi
dengan yang lain.
Dengan demikian, dalam proses pembelajaran bahasa Indonesia – yang
di dalamnya termasuk sastra – guna membangun dan mengembangkan karakter
peserta didik, maka guru harus mampu menentukan strategi yang tepat. Pilihan
guru terhadap sebuah strategi pembelajaran didasarkan pada tujuan
pembelajaran.
PENUTUP
Sebagai kesimpulan dalam tulisan ini, seorang guru menyadari benar
hakikat, tujuan, serta ruang lingkup pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia
pada masing-masing jenjang pendidikan. Pencermatan terhadap kurikulum
serta persiapan perangkat pembelajaran perlu dilakukan. Belajar bahasa sangan
dengan dengan pembentukan karakter dan kepribadian seseorang. Bukan hanya
142
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
materi yang dihafalkan sebagai kemampuan kognitif, tetapi bagaimana
mengimplementasikan dalam sebuah sikap dan perilaku sehari-hari pada anak
(kemampuan afektif). Untuk itu, pengetahuan, sikap dan perbuatan terhadap
karakter itu sendiri menjadi bagian perilaku anak sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.
(Penerj. Noor Cholis). Pearson Education, Inc.
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta
Jaali. 2013. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Lickona, T. 1992. Educating for Character, How Our Shools Can Teach
Respect and Responsibility.New York:Bantam Books.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan Karakter. Jakarta : IHF.
Slavin, R. 2003. Educational Psycology:Teori and Practise. Boston: Allyn and
Bacon.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
143
PENGARUH PENGGUNAAN BAHASA TOKOH PUBLIK
TERHADAP PERKEMBANGAN KARAKTER
GENERASI MUDA
Kajian Deskriptif Bahan Pembelajaran Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa
Diena San Fauziya
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Pengaruh Penggunaan Bahasa Tokoh Publik terhadap Perkembangan
Karakter Generasi Muda. Tahun 2012 hingga 2014 merupakan tahun-tahun
yang memiliki banyak sejarah penting. Banyak tokoh publik yang muncul
seiring dengan banyaknya peristiwa yang mendapat sorotan dari masyarakat.
Kemunculan tokoh tersebut memberikan banyak dampak terhadap kehidupan
bermasyarakat, termasuk terhadap kalangan generasi muda. Dampak yang
terjadi salah satunya ada pada tataran gaya berbahasa. Berdasarkan
pengamatan dan survei, terbukti bahwa karakter generasi muda sekarang,
terutama dalam berbahasa, dipengaruhi oleh penggunaan bahasa-bahasa tokoh
publik. Untuk membentuk karakter positif, terutama dalam berbahasa,
pembinaan terhadap pengguna bahasa perlu dilakukan.
Kata kunci: bahasa, tokoh, karakter, pembinaan, generasi muda.
PENDAHULUAN
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan. Hampir setiap
waktu dan kesempatan bahasa digunakan oleh setiap orang. Bahasa menjadi
salah satu bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan. Dengan demikian,
sedikit banyaknya bahasa memiliki peran dalam memengaruhi kehidupan,
termasuk dalam pembentukan karakter.
Pembentukan karakter merupakan hal penting yang harus diperhatikan.
Keberhasilan seseorang terletak dari bagaimana proses pembentukan karakter.
Idealnya, pembentukan karakter ini dilakukan sedini mungkin. Namun, pada
masa-masa remaja, pembentukan karakter juga perlu dilakukan. Mengapa
demikian? Jawabannya tentu saja karena generasi muda merupakan harapan
bangsa sehingga harus berakhlakul karimah.
144
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dalam kehidupan berbangsa, generasi muda memiliki peran yang begitu
besar. Pernyataan Bung Karno, ―Beri aku sepuluh pemuda, akan ku guncang
dunia‖ menjadi saksi begitu sentralnya peran pemuda. Namun demikian, peran
pemuda seperti apa yang diharapkan? Tentu saja pemuda yang berkarakter.
Ironisnya, melihat karakter pemuda sekarang ini, mampukah mereka menjadi
harapan bangsa? Jawaban tersebut tentu begitu relatif. Pertanyaan yang
pertama kali harus dijawab adalah bagaimana karakter pemuda sekarang ini?
Sejalan dengan itu, dalam tulisan ini karakter pemuda akan disoroti dari segi
penggunaan bahasanya. Lebih lanjut, yang menjadi fokus pembahasan adalah
bagaimana pengaruh penggunaan bahasa tokoh terhadap perkembangan
karakter generasi muda tersebut.
Bahasan ini diambil seiring dengan keyakinan bahwa penggunaan bahasa
sedikit banyaknya mampu memengaruhi karakter seseorang. Ini sekaitan
dengan adanya pepatah ―bahasa menunjukkan bangsa‖ yang mengandung arti
baik buruknya karakter seseorang terlihat dari bagaimana ia berbahasa.
Lantas kemudian, apa kaitannya dengan penggunaan bahasa tokoh
publik? Keterkaitan ini diyakini muncul dengan berlandaskan pada salah teori
pemerolehan dan pembelajaran bahasa bahwa penggunaan bahasa seseorang
dipengaruhi oleh lingkungannya. Tahun 2014 ini merupakan tahun yang
penting karena banyak peristiwa yang banyak terjadi di dalamnya. Salah
satunya adalah munculnya tokoh-tokoh publik yang mendapat sorotan dengan
berbagai macam gaya berbahasa yang menarik.
Tujuan penulisan ini tidak lain sebagai jembatan untuk memotret
penggunaan bahasa sehingga akhirnya mengetahui bagaimana keterkaitan
penggunaan bahasa tokoh publik terhadap karakter berbahasa generasi muda.
Hal ini tentu saja sebagai bentuk perwujudan kepedulian atas penggunaan
bahasa baik tokoh publik maupun generasi muda. Selain itu, tulisan ini juga
diharapkan dapat menjadi bahan untuk memperkuat sikap bahasa, baik
kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, maupun kesadaran adanya norma dalam
berbahasa, seperti apa yang dijelaskan Chaer, (2013:54).
Penyusunan tulisan ini dilakukan melalui kajian deskriptif, yakni
menggambrakan penggunaan bahasa dari penuturnya (tokoh publik dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
145
generasi muda). Untuk mendapatkan data dilakukan teknik pengamatan.
Penjabaran data tersebut kemudian dilakukan secara deskriptif. Selain itu,
untuk mengetahui bagaimana pandangan generasi muda itu sendiri
dilakukanlah survei pada mahasiswa sebagai subjek penelitian yang mewakili
generasi muda.
PEMBAHASAN
Penggunaan bahasa pada kebanyakan tokoh publik dapat kita amat
begitu bagus, tertata apik, kosakata bahasa Indonesia benar, serta intonasi
menarik. Keadaan itu dapat kita amati dalam program-program acara yang
ditayangkan media massa elektronik terutama televisi, khususnya pada acaraacara yang dapat dikatakan formal atau semiformal. Namun, dalam beberapa
kesempatan, ada pula yang tidak demikian. Setiap tokoh menampilkan
penggunaan bahasa dengan kekhasan masing-masing. Kekhasan inilah yang
kemudian mendapat sorotan dari masyarakat luas, termasuk juga dalam tulisan
ini.
Penggunaan bahasa tokoh publik yang diamati sebagai data dalam tulisan
ini dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori, yakni tokoh hiburan atau
yang sering dikenal dengan istilah artis, tokoh motivasi, dan tokoh politik. Hal
ini disesuaikan dengan kemunculan mereka beberapa tahun terakhir yang
cukup menjadi sorotan publik dan penggunaan bahasanya sering didengar.
Berdasarkan pengamatan, dapat diketahui bahwa penggunaan bahasa
artis mendapat sorotan yang luar biasa. Ini sekaitan dengan sering munculnya
tokoh-tokoh tersebut dalam acara-acara televisi. Yang menjadi menarik adalah
penggunaan bahasa yang mendapat sorotan tersebut tentu saja penggunaan
bahasa yang ―aneh‖, yakni bahasa yang cenderung khas dan tidak sesuai
dengan bahasa Indonesia pada umumnya.
Salah satu artis yang mendapat sorotan adalah Syahrini. Tokoh publik ini
merupakan salah seorang yang mendapat sorotan begitu luar biasa terkait
dengan penggunaan bahasanya. Kata-kata ―sesuatu‖, ―olala‖, dan yang paling
terbaru ―maju-mundur-maju-mundur-cantik-cantik‖ menjadi ciri khas tokoh
tersebut. Fenomena munculnya kata-kata tersebut kemudian banyak ditiru oleh
146
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
masyarakat sehingga seperti sebuah ―wabah‖. Dalam tulisan ini disebut
sebagai ―wabah syahrini‖. Bukan hanya anak kecil, kaum dewasa pun banyak
yang terkena wabah penggunaan bahasa ini. Bahkan, banyak pula generasi
muda yang ikut-ikutan berbahasa seperti itu.
Sebagai sebuah fenomena bahasa, tentu tidak dapat dikatakan ada yang
salah karena sejatinya bahasa bersifat dinamis dan akan selalu berkembang.
Namun, dikaitkan dengan topik tulisan ini, tentu saja hal ini membuktikan
bahwa penggunaan bahasa tokoh memengaruhi perkembangan generasi muda.
Mengapa demikian? Tentu saja hal ini terkait dengan perilaku generasi muda
yang idealnya berkarakter menjadi ―terkontaminasi‖.
Bukti konkret yang teramati adalah pengaruh bahasa tokoh tersebut
muncul dalam forum formal, seperti pada kegiatan presentasi di dalam kelas.
Beberapa mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda memeragakan
penggunaan bahasa Syahrini tersebut lengkap dengan gayanya. Ini menjadi
bukti bahwa penggunaan bahasa tokoh begitu kuat memengaruhi perilaku
generasi muda.
Artis lain yang teramati adalah seorang presenter acara kuis yang juga
memiliki ciri khas, yakni David Bayu. Presenter ini memiliki penggunaan
bahasa yang khas, yakni ―salah keles‖ dan ―betul bingit‖. Penggunaan bahasa
ini ditengarai muncul dari kata ―salah kali‖ dan ―betul banget‖. Dampaknya,
ternyata banyak generasi muda yang kemudian menggunakan bahasa tersebut.
Lagi-lagi, hal ini menjadi bukti bagaimana tokoh publik memengaruhi generasi
muda.
Selain dua tokoh di atas, masih banyak juga artis-artis lain yang juga
memiliki kekhasan dalam menggunakan bahasa dan kekhasan tersebut
kemudian menyebar dan digunakan oleh para generasi muda. Akibatnya, dapat
ditinjau bahwa penggunaan bahasa tersebut menjadi ciri karakter orang
tersebut.
Di samping artis, tokoh yang teramati memiliki kekhasan dalam
berbahasa juga muncul dari kalangan motivator, salah satunya adalah Mario
teguh. Kemunculan tokoh ini sungguh luar biasa. Selain karena wejanganwejangannya, tokoh ini juga memiliki kekhasan dalam penggunaan bahasanya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
147
Berbeda dengan artis yang tadi diulas, motivator ini justru memberikan kesan
penggunaan bahasa yang bagus. Tokoh ini khas menggunakan bahasa yang
cenderung baku. Tatanan katanya begitu apik dan tertata. Beliau tetap
menggunakan kata ―tidak‖ dan bukan ―enggak‖, meskipun dalam ragam
percakapan kata ―enggak‖ dibenarkan. Kata ―salam super‖ melekat kuat pada
dirinya. Banyak generasi muda yang mengikuti penggunaan ―salam super‖nya, namun sayang, penggunaan bahasa yang benar lainnya kurang terikuti.
Berdasarkan survei, beberapa mahasiswa mengaku merasa aneh jika harus
menggunakan bahasa Indonesia ―seperti itu‖ (baik dan benar), setidaknya
untuk kata ―tidak‖.
Selain tokoh artis dan motivator, tokoh publik yang mendapat sorotan
dari penggunaan bahasanya juga muncul dari kalagan politikus. Penggunaan
bahasa tokoh politik ini juga dipandang memberikan kontribusi khusus
terhadap perkembangan karakter berbahasa pada generasi muda.
Seperti yang kita ketahui, tahun 2014 merupakan tahun penting karena
eksisnya elit-elit politik dalam pemerintahan. Media massa menjadikan tokohtokoh dari kalangan ini sebagai fokus pemberitaan sehingga kemunculan
tokoh-tokoh tersebut mendapat sorotan masyarakat, termasuk generasi muda.
Peristiwa ini tentu memberikan dampak dalam berbagai hal, termasuk dalam
penggunaan bahasa. Secara disadari ataupun tidak, gaya berbahasa tokoh
publik ini memberikan dampak tersendiri untuk kaum muda.
Bukti konkret
yang muncul dalam penggunaan bahasa tokoh
politik/pemerintahan pada massa sekarang adalah kurang digunakannya bahasa
Indonesia yang baik dan benar menurut aturan ketatabahasaan. Kosakatakosakata percakapan yang dinilai kurang cendekia sering kali muncul
menggeser kosakata yang cendekia, seperti kata ―enggak‖, ―udah‖. Padahal,
sebagai elite politik, akan lebih bagus jika menggunakan bahasa yang lebih
tertata sesuai dengan aturan bahasa yang benar karena akan lebih menunjukkan
sikap positif dalam berbahasa.
Sebagai pengajar bahasa Indonesia, problematik sering kali muncul
ketika membimbing peserta didik untuk menggunakan bahasa Indonesia yang
baik dan benar. Dalam beberapa kesempatan, muncul pernyataan ―anggota
148
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dewan saja bahasanya begitu‖, ―kaum-kaum politik juga begitu‖. Maksud
begitu di sini adalah menggunakan bahasa dengan ragam percakapan, santai,
tidak baku, tidak resmi. Padahal, sebagai tokoh publik yang dipandang
cendekia, diharapkan mampu menunjukkan sikap positif dalam berbahasa,
salah satunya dengan menggunakan kosakata yang sesuai dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Meskipun hakikat bahasa yang baik dan benar
tidak selalu berarti baku, elite-elite politik sebagai tokoh yang dipandang
tinggi, berwibawa, dan menjadi panutan baiknya menggunakan bahasa yang
rapi, setidaknya dalam menggunakan kosakata.
Selain permasalahan di atas, tokoh-tokoh publik juga sering kali
menggunakan kosakata asing sebagai gaya berbicaranya. Padahal, kosakata
bahasa asing yang digunakan tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa
Indonesia. Bertolak belakang dengan penggunaan bahasa yang tidak baku,
penggunaan kosakata asing ini memang dipandang lebih menunjukkan
kecendikiaan seseorang. Namun demikian, bagaimana pun penggunaan bahasa
asing
yang
telah
ada
padanannya
dalam
bahasa
Indonesia
harus
ditekan/dihindari karena secara tidak langsung akan memengaruhi eksistensi
bahasa Indonesia itu sendiri. Puspandari dalam Yulianeta dan Sri (2009:15)
mengemukakan bahwa pemerintah pernah mengeluarkan kebijakan nasional
pada 1995 yang mengharuskan pengindonesiaan istilah-istilah dari bahasa
asing. Saat itu, masyarakat mampu mengikutinya, namun ketika kebijakan itu
longgar, masyarakat kembali lagi menggunakan istilah-istilah asing.
Keadaan seperti apa yang telah diuraikan di atas merupakan bagian
perwujudan dari sikap berbahasa seseorang. Orang yang memiliki sikap bahasa
positif tentu akan lebih menghargai dan menggunakan bahasa sesuai dengan
aturan mainnya. Tokoh publik sebagai pihak yang sering kali ditiru oleh
masyarakat sebaiknya mampu menularkan sikap positif dalam berbahasa,
terutama pada generasi muda sebagai pengukir masa depan bangsa.
Garvin dan Mathiot (Chaer, 2013:54) mengemukakan tiga ciri sikap
bahasa, yakni (1) kesetiaan bahasa (language loyality) yang mendorong
masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu
mencegah adanya pengaruh dari bahasa lain; (2) kebanggaan bahasa (language
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
149
pride) yang mendorong orang mengembangkan bahasa dan menggunakannya
sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat; serta (3) kesadaran adanya
norma bahasa (awakeness of the norm) yang mendorong orang menggunakan
bahasanya dengan cermat dan santun dan merupakan factor yang sangat besar
pengaruhnya terhadap perbuatan, yaitu kegiatan menggunakan bahasa
(language use). Ketiga ciri tersebut akan muncul pada seseorang yang
memiliki sikap positif terhadap bahasa. Sebaliknya, jika ciri itu tidak tampak
atau hilang dari diri seseorang, maka kemungkinan besar justru sikap
negatiflah yang ada pada diri orang tersebut.
Selain berdasarkan pengamatan seperti apa yang telah diuraikan di atas,
hasil survei pun menunjukkan pandangan yang sejalan. Hasil survei
menunjukkan banyak responden yang menyoroti bahasa artis/bahasa-bahasa
ynag muncul dalam sinetron, beberapa mahasiswa menyoroti penggunaan
bahasa tokoh DPR yang muncul dalam acara-acara pers, dan beberapa lainnya
menyoroti bahasa musisi.
Setelah diamati dan dianalisis, diketahui bahwa bahasa artis/bahasa yang
muncul dalam sinetron terkesan aneh dan tidak wajar karena banyak kosakata
baru seperti ―bingit‖, ―keles‖, ―confie‖, ―rempong‖, ―cuco‖, jelong-jelong‖,
―binggo‖, ―OMG hello‖, ―he to the lo hello‖, ―wakwaw‖ dan sebagainya.
Bahkan muncul juga pernyataan yang otomatis akan muncul ketika ada
pertanyaan, ―di mana?‖, pernyataan itu adalah ―di Jonggol‖. Bahasa-bahasa
tersebut memang secara spontan datang dari kalangan artis/dari sinetron.
Selanjutnya, peran media massa sebagai perantara yang menyebarkan bahasa
tersebut ke seluruh penjuru membuat bahasa-bahasa tersebut menjadi wabah
yang kemudian banyak ditiru masyarakat, tidak terkecuali oleh generasi muda.
Lebih lanjut dari itu, ada pula yang menyoroti penggunaan bahasa salah
satu presenter senior yang memiliki gaya sendiri dalam berbahasa, yakni
dengan kata-kata khasnya seperti ―ndeso‖, ―katrok‖, dan ―tak sobek-sobek
mulutmu‖. Penggunaan bahasa seperti ini yang kemudian sangat berhubungan
dengan perkembangan karakter generasi muda. Baiknya, penggunaan bahasa
seperti ini dihindari.
150
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Sementara itu, untuk penggunaan bahasa anggota dewan/politikus,
terekamlah bahwa banyak tokoh dari kalangan tersebut yang sering
menggunakan
kosakata
asing
(bahasa
Inggris)
dalam
berbicaranya.
Penggunaan bahasa tersebut mengalir begitu saja, seolah tidak ada sesuatu
yang salah di dalamnya. Namun demikian, terkadang situasi itu justru
menimbulkan kesulitan dalam memahami maksudnya.
Selain artis dan tokoh politik, yang tidak terpikirkan adalah munculnya
sorotan responden terhadap presenter acara bola. Responden yang merupakan
mahasiswa ini menyoroti penggunaan bahasa presenter bola yang khas dengan
istilah ―ahay‖-nya. Dia mengaku bahwa penggunaan bahasa itu menarik dan
mampu memengaruhinya sehingga kemudian ia sering meniru penggunaan
bahasa tersebut. Selain itu, ada pula responden yang menyoroti gaya berbahasa
seorang musisi. Menurutnya, musisi tersebut sering kali menggunakan akhiran
–ku dalam pembicaraannya, seperti ―CS-ku‖, ―Mang-ku‖, ―sayangku‖,
―mamihku‖, ―anakku‖. Gaya berbahasa seperti itu kemudian ia akui
memengaruhinya dalam berbicara sehingga ia pun sering kali mengikuti cara
berbahasa seperti itu.
Berdasarkan perhitungan umum dari survei, dapat diketahui hampir 80%
responden mengaku penggunaan bahasa tokoh cenderung memengaruhi diri
responden dalam berbahasa. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sekitar
20% mengaku tidak terpengaruh. Sementara itu, hampir 90% responden
mengaku bahwa penggunaan bahasa tokoh memengaruhi temannya dalam
berbahasa. Itu mereka akui karena dalam percakapan sehari-hari, teman-teman
di sekitarnya itu sering kali meniru gaya berbahasa tokoh, bahkan sampai
dipraktikkan dengan gaya/gesturnya.
Sesungguhnya, sampel-sampel yang telah diuraikan di atas tidak untuk
digeneralisasikan sebagai populasi dari masing-masing golongan tokoh.
Namun demikian, penggolongan tersebut dilakukan sebagai bagian kecil saja
dari fenomena penggunaan bahasa tokoh yang sering muncul dan didengar
oleh generasi muda.
Menanggapi hasil yang ditemukan tersebut, alangkah lebih baiknya jika
kegiatan pembinaan bahasa dilakukan secara berkelanjutan. Yang menjadi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
151
sasaran pembinaan tentu bisa siapa saja. Namun dalam kasus ini, tentu saja
pembinaan perlu dilakukan pada tokoh-tokoh publik. Bukan apa-apa, kegiatan
pembinaan perlu dilakukan demi eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri.
Sekalipun tidak ada sanksi untuk kebebasan berbahasa, pembinaan tetap harus
dilakukan. Selain itu, pembinaan juga patut dilakukan sebagai upaya
membangun karakter generasi muda yang positif. Bahasa yang santun tentu
akan menunjukkan karakter yang positif sehingga generasi muda akan lebih
mampu berpikir dan bertindak positif.
Pembangunan dan pembentukan karakter generasi muda melalui
pembinaan bahasa ini perlu dilakukan secara rutin melalui pembiasaan. Ini
didasarkan pada teori Behaviorisme Watson (Chaer, 2003:87) bahwa semua
perilaku dipelajari menurut hubungan stimulus-respon dengan prinsip kebaruan
(recency principle) dan prinsip frekuensi (frequency principle). Menurut
prinsip kebaruan, jika suatu stimulus baru saja menimbulkan respons, maka
kemungkinan stimulus itu untuk menimbulkan respon yang saa apabila
diberikan umpan lagi akan lebih besar daripada kalau stimulus itu diberikan
umpan setelah lama berselang. Sementara itu, menurut prinsip frekuensi,
apabila suatu stimulus dibuat lebih sering menimbulkan respon, maka
kemungkinan stimulus itu akan menimbulkan respon yang sama pada waktu
yang lain akan lebih besar.
Di samping itu, pembinaan terhadap media massa juga patut dilakukan.
Hal ini sekaitan dengan peran media massa, terutama televisi yang begitu luar
biasa. Bajari dan Silalahi dalam Tamburaka (2013:237) meyakinkan bahwa
televisi adalah media yang berpengaruh. Dengan demikian, sebaiknya ada
kontrol-kontrol tertentu yang harus dilakukan dalam penggunaannya.
Meskipun demikian, lebih lanjut, Baran dalam Tamburaka (2013:235)
mengemukakan bahwa setiap orang yang terlibat memiliki kewajiban untuk
tanggung jawab berpartisipasi. Kebanyakan masayarakat memang memandang
bahwa televisi memberikan banyak pengaruh negative, namun menurutnya,
khalayak baiknya kritis dan bijaksana terhadap konten, serta melihat media
massa sebagai sebuah kebudayaan bercerita dan menjadikan konsep
komunikasi sebagai forum budaya.
152
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PENUTUP
Karakter generasi muda sekarang ini begitu beragam. Ditinjau dari
karakter berbahasa, banyak generasi muda yang kurang memiliki sikap positif
terhadap bahasa. Hal ini terbukti dari banyaknya generasi muda yang
terpengaruh oleh penggunaan bahasa tokoh publik yang kurang baik.
Penggunaan kosakata tidak baku seperti “enggak” dan “udah” telah terbiasa
mewarnai forum-forum resmi generasi muda karena banyak tokoh publik yang
menggunakannya dalam forum. Demikian juga dengan jargon-jargon yang
dikenalkan tokoh publik, seperti ―sesuatu‖, ―bingit‖, ―keles‖, ―cucok‖,
―OMG‖, dan sebagainya, telah banyak memengaruhi penggunaan bahasa
generasi muda. Selain itu, istilah-istilah asing yang sesungguhnya telah
memiliki padanan dalam bahasa Indonesia pun masih sering mewarnai
penggunaan bahasa generasi muda karena pengaruh penggunaan bahasa tokoh
publik.
Keadaan tersebut mencerminkan sikap bahasa yang masih rendah.
Sebagai upaya dalam membentuk karakter positif melalui pembangunan sikap
positif berbahasa, pembinaan mengenai bahasa perlu dilakukan pada beberapa
pihak, yakni tokoh publik, masyarakat khususnya generasi muda, serta media
massa sebagai pihak yang memiliki pengaruh luar biasa. Melalui sikap positif
berbahasa, pola pikir dan perilaku generasi muda diyakini akan terbentuk dan
berkembang secara positif sehingga akhirnya generasi muda memiliki karakter
positif.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Tamburaka, Apriadi. 2013. Literasi Media: Cerdas Bermedia Khalayak Media
Massa. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Yulianeta dan Sri Wiyanti. 2009. Bahasa Sastra Indonesia di Tengah Arus
Global. Bandung: Jurdiksatrasia FPBS UPI.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
153
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KESANTUNAN
BERBAHASA ANAK
Eli Syarifah Aeni
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Pendidikan Karakter dan Kesantunan Berbahasa Anak. Pendidikan
karakter sebagai landasan sikap, perilaku, moral dan kesantunan anak dalam
berbahasa sangatlah penting. Anak adalah aset bangsa yang harus dididik dan
ditempa sejak dini sehingga menumbuhkan karakter yang kuat, pantang
menyerah, solutif, dan santun. Kesantunan anak dalam berbahasa merupakan
ciri moral dan etika yang baik dalam berbahasa. Berbahasa yang benar dan
santun merupakan cara yang tepat dalam berkomunikasi. Pendidikan berbahasa
yang baik dan benar sesuai dengan situasi dan kondisi serta beretika dan santun
sesuai dengan norma-norma budaya akan menjadikan anak sebagai seseorang
yang mampu menghargai orang lain, bersikap empati dan tidak egois. Oleh
karena itu, dengan pemahaman dan pengetahuan tentang kesantunan berbahasa
tersebut diharapkan anak mampu menguasai dirinya, tidak arogan, tidak kasar,
dan jauh dari tindak atau perilaku yang tidak berbudi luhur.
Kata kunci: pendidikan karakter, ksantunan.
PENDAHULUAN
Melihat fenomena
yang terjadi akhir-akhir ini, banyak sekali
permasalahan dan tindakan kekerasan yang menimpa anak-anak, mulai dari
kekerasan yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri, pengasuh, guru, petugas
sekolah, dan bahkan perlakuan tidak manusiawi dari teman-teman di
lingkungannya. Pemerkosaan, sodomi, bullying, dan tawuran yang banyak
terjadi akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan. Padahal, kehancuran suatu
bangsa ditandai oleh hilangnya watak, budi pekerti, karakter, dan mentalitas
anak bangsa yang berbudi luhur. Sebetulnya, saat ini sudah banyak usaha yang
dilakukan oleh para praktisi pendidikan, komisi perlidungan anak, dan
pemerintah untuk dapat mengembalikan karakter anak bangsa yang dianggap
sudah rapuh menjadi karakter yang kuat dengan menerbitkan pertauran,
undang-undang, serta upaya penerapan dan upaya hukum lainnya.
154
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tentu saja untuk menghasilkan karakter anak bangsa yang positif,
seluruh masyarakat Indonesia harus menjaga etika berbahasa dan berbudaya
yang menjadi ciri dan cermin masyarakat Indonesia dan pembeda dari
masyarakat di negara lain. Dalam hal ini, kita patut mencontoh negara Jepang
yang telah berhasil menerapkan pendidikan karakter kepada anak-anaknya,
baik di sekolah, rumah, maupun lingkungannya.
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan di atas, alternatif lain yang
diharapkan mampu mengurangi, bahkan menjadikan kembali karakter anak
bangsa yang kuat adalah pendidikan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai bahasa
nasional dan mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan mulai
dari tingkat yang paling rendah sampai perguruan tinggi mempunyai ruang
yang sangat luas bagi para siswa dan pendidik untuk mengembangkan karakter
pendidikan. Salah satunya dengan mengajarkan kesantunan dalam berbahasa
yang dapat membentuk karakter anak dalam berkomunikasi. Sejak dini, anakanak sudah diajarkan untuk berbahasa yang baik dan benar sehingga ketika
mereka berkomunikasi dengan lawan tuturnya mereka sudah mampu
berkomunikasi sesuai dengan situasi dan kondisi.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter ialah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik
agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir,
raga, serta rasa dan karsa. Peserta didik diharapkan memiliki karakter yang
baik meliputi kejujuran, tanggung jawab, cerdas, peduli, dan kreatif. Karakter
tersebut
diharapkan
menjadi
kepribadian
untuh
yang mencerminkan
keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, pikir, raga, rasa, dan karsa
(Kemendiknas, 2010).
Konsep diri yang tumbuh secara positif akan membangun interaksi yang
baik dengan orang lain di sekitarnya. Jika mereka mampu membangun aspek
sosial emosi melalui konsep diri yang positif, mereka akan mudah meraih
kompetensi, harga diri, dan kontrol diri. Sebaliknya, jika anak tidak mampu
mengembangkan konsep dirinya dengan baik, ia akan dijajah oleh pemikiran
orang lain, selalu merasa kurang berharga, penuh kecemasan, dan tidak
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
155
mandiri (Faizah, 2010: 39). Oleh karena itu, konsep diri yang positif akan
menumbuhkan karakter baik bagi setiap anak. Sebaliknya, konsep diri yang
negatif akan menumbuhkan karakter anak yang buruk.
Oleh karena itu, kita harus belajar mengatasi berbagai permasalahan
yang muncul di lapaangan. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan pemberitaan
yang menyita perhatian para orangtua dan pendidik dengan adanya salah
seorang anak yang mengalami stres berat karena tuntutan orangtuanya yang
memaksa dia melakukan banyak les dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Kecemasan para orangtua dan para pendidik telah merenggut keindahan dunia
anak. Anak dituntut melakukan banyak hal secara paksa sehingga
membuahkan anak-anak yang berkarakter penuh kecemasan dan ketakutan
akibat perlakuan orangtua dan para pendidik yang salah dalam memberikan
pendidikan karakter kepada anak-anaknya.
Mengambil istilah Faizah tentang pendekatan yang sangat alamiah bagi
anak-anak yang bernama ―The Whole Language.‖ Menurut Weaver dalam
(Faizah, 2010: 36) bahwa ―The Whole Language (berbahasa secara utuh)
merupakan suatu filosofi yang berkarakter pada pembelajaran alamiah yang
dilakukan para pendidik di tingkat dasar. Menciptakan lingkungan kondusif
merupakan hal utama.‖ Jadi, dalam hal ini anak tidak hanya dijejali dengan
pengetahuan membaca dan menulis. Namun, membawa anak pada lingkungan
berbahasa yang baik melalui kegiatan mendengar dan
bercakap atau
berkomunikasi pun merupakan hal yang sangat penting untuk menumbuhkan
anak berkarakter baik.
Tuntutan untuk memahami konsep The Whole Language (Faizah, 2010:
37) adalah.
a.
Pembelajaran berbahasa dapat dikembangkan jika anak siap menerima
bahasa oral, membaca, dan menulis pengalaman yang diperoleh anak,
lingkungan hidup sehari-hari dan bahasa yang bermakna akan menuntun
anak dalam proses pembelajaran bahasa yang bermakna.
b.
Menumbuhkan perasaan sukses bagi semua anak bahwa mereka semua
bisaberbahasa. Mereka melihat diri mereka sebagai manusia pengguna
156
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bahasa. Mereka menjelajahi dunia bahasa dengan senang. Begitu pula bagi
anak yang mengalami gangguan bicara (tunarungu-wicara).
c.
Menghadirkan model sebagai tauladan anak. Guru mampu mengajarkan
bahasa dengan jelas, santun, aktif, dan komunikatif sehingga anak
terundang untuk melakukan kegiatan berbahasa.
d.
Menyediakan kesempatan anak untuk mengomunikasikan tentang apa pun
yang mereka ketahui, yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka rasakan
terkait dengan kognitif dan perkemabngan afeksi.
Kesantunan Berbahasa Anak
Berbahasa adalah penyampaian pikiran atau perasaan dari orang lain
yang berbicara mengenai masalah yang dihadapi dalam kehidupan budayanya
(Chaer,
2009:51).
Kesantunan
berbahasa
ialah
yang
didasari
akan
pertimbangan perasaan orang lain agar orang tersebut tidak terancam atau
tersingung (Yule, 1996: 132). Kesadaran pentingnya berbahasa yang santun
pada anak-anak, khususnya anak usia dini dapat menentukan perkembangan
karakter dan kepribadian anak. Peranan orangtua, guru, dan lingkungan
mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembentukan karakter dan
kesantunan berbahasa anak.
Kita ketahui bersama bahwa pada kanak-kanak dikenal istilah masa
keemasan (golden age) yang merupakan masa kritis bagi pembentukan
karakter anak. Jadi, pada masa ini anak harus sudah mulai mendapatkan
pendidikan karakter. Sebagaimana dijelaskan oleh Chaer bahwa antara usia 712 tahun anak mulai memegang kendali di dalam interaksi dengan ibunya.
Anak mulai dapat mengungkapkan keinginan dan kehendak secara lebih jelas
dan efektif (2009:51). Bahkan, menurut Sumarsono bahwa anak sudah mulai
dapat belajar berbicara pada usia 18 bulan dan pada usia 3,5 tahun anak sudah
menguasa ―tata bahasa‖ bahasa ibunya sehingga mereka sudah dapat
berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna (2012: 136). Jadi, di
sinilah pembentukan karakter dan berbahasa anak dimulai. Anak harus sudah
diperkenalkan bagaimana berbahasa yang sopan dan beretika ketika mereka
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
157
berbicara dengan orang tua, guru, teman, bahkan dengan orang-orang yang
baru dikenalnya.
Menurut Brown dan Levinson dalam (Rahardi, 2005:68) menjelaskan
bahwa perbedaan umur, jenis kelamin, jarak sosial, dan latar belakang
sosiokultural memiliki peringkat kesantunan berbahasa yang berbeda. Oleh
karena itu, sehubungan dengan pendidikan karakter, anak harus mengerti dan
paham bahwa ketika mereka sedang berhubungan atau bertutur dengan orang
lain, ada faktor-faktor yang harus diperhatikan sehingga mereka dapat
berbahasa dengan baik dan santun. Anak mulai diperkenalkan dengan siapa
lawan tutur ketika berbicara dan bagaimana seharusnya nada suranya apakah
harus tinggi, rendah atau biasa-saja. Sunaryati dalam (Rahardi, 2005:123)
menyebutkan bahwa intonasi adalah tinggi rendah suara, panjang pendek
suara, keras lemah suara, jeda, irama, dan timbre yang menyertai tuturan
menentukan peringkat kesantunan pemakaian tuturan dalam bahasa Indonesia.
Ungkapan-ungkapan penanda kesantunan sebagai penentu kesantunan
lingusitk yang disampaikan (Rahardi, 2005: 125) terdiri dari kata tolong,
mohon, silakan, mari, ayo, biar, coba, harap, hendaknya, hendaklah, -lah
sudi kiranya, sudilah kiranya, dan sudi apalah kiranya. Dengan
memperkenalkan ungkapan penanda kesantunan tersebut, seorang anak sudah
diajaran bagaimana memperhalus katanya dalam sebuah tuturan. Oleh karena
itu, dalam memperoleh bahasanya anak harus diperkenalkan dengan tatakrama
berbahasa. Tentu saja hal itu lebih penting jika kita berhadapan dengan
masyarakat yang mengenal toto kromo atau undak usuk basa seperti Sunda,
Jawa, dan Bali. Masyarakat di wilayah tersebut sangat memperhatikan sopan
santun berbahasa.
Dalam
Bahasa
Indonesia, pronomina
orang kedua
mempunyai
bermacam-macam bentuk, yaitu kamu, engkau, saudara, Anda, bapak, ibu,
dan lain-lain. Tentu saja dalam penggunaannya tidak dapat sembarangan
karena masing-masing bentuk tersebut sudah memiliki ketentuan atau aturan
sosial dalam bertutur dengan lawan tuturnya. Nino dan Snow dalam
(Dardjowidjojo, 2012: 266) menekankan petingnya perilaku berbahasa dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
158
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
1) pemerolehan niat komunikatif dan pengembangan ungkapan bahasanya;
2) pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dengan segala
urutannya;
3) pengembangan piranti untuk membentuk wacana yang kohesif.
Peranan orangtua sangat penting dalam pembentukan kosakata anak.
Sejalan dengan adanya teori perbedaan ragam tutur seperti yang sudah
disebutkan di atas disebabkan oleh sikap sosial masyarakat yang menentukan
adanya bentuk-bentuk tertentu yang hanya layak digunakan untuk situasi atau
kondisi tertentu. Untuk mendorong agar anak dapat berkomonunikasi dengan
baik dan mengikuti kesantunan dalam berbahas,
para orangtua dapat
mendorong motivasi anak agar dapat menggunakan kata-kata yang baik ketika
berinteraksi dengan lawan tutur.
Selain orangtua, peran guru pun diharapkan dapat menjaga komunikasi
yang baik dengan anak didiknya. Untuk membiasakan anak-anak berperilaku
yang baik, anak-anak harus dibiasakan dilatih mengucapkan kata-kata yang
baik dengan santun, sopan, tahu berterima kasih, membiasakan selalu bersalam
sapa, baik dengan teman maupun dengan guru. Anak pun senantiasa dapat
diajarkan untuk membiasakan meminta maaf jika melakukan kesalahan.
Mempersiapkan anak-anak dapat berbahasa dengan santun, harus
mencakup semua aspek yang mendukung keberhasilannya. Dalam artian bukan
hanya anak dituntut untuk pandai membaca dan menulis, tetapi justru ada hal
lain yang lebih penting, yaitu aspek komunikasi secara verbal, seperti bahasa
oral, bahasa tubuh, dan kemampuan mendengarkan dan menghargai tuturan
yang disampaikan lawan tutur.
Banyak disiplin ilmu yang terkait dengan kebahasaan yang patut dan
layak
untuk
anak.
Beberapa
disiplin
ilmu
seperti
psikolinguistik,
sosiolingustik, psikologi kognitif, psikologi perkembangan, antopologi, dan
etnografi komunikasitelah memberikan perubahan dalam kebahasaan.
Masinambouw dalam (Chaer, 2010: 172) yang mengatakan bahwa sistem
bahasa mempunyai fungsi sebagai saran berlangsungnya interaksi manusia
dalam masyarakat. Berarti, dalam tindak laku berbahasa haruslah disertai
norma-norma yang berlaku dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
159
menurut norma-norma budaya ini disebut etika berbahasa atau tata cara
berbahasa.
Etika berbahasa mengatur banyak aspek, seperti (a) apa yang harus anak
katakan ketika berbicara pada seseorang yang berbeda usia, status, dan jenis
kelaminnya. Termasuk aspek situasi dan kondisi tertentu. (b) anak diajarkan
bagaimana dia harus berbicara, ada saatnya dia berbicara, berhenti/diam, dan
bergiliran dengan lawan tuturnya. (c) bagaimana kualitas suara dan nada ketika
anak sedang berbicara kepada orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Faizah, D.U. 2010. Untuk Mereka Kita Belajar: Hore Aku Bisa Berbahasa dan
Membilang TK A. Bandung: Grafindo
Faizah, D.U. 2010. Untuk Mereka Kita Belajar: Hore Aku Bisa Berbahasa dan
Membilang TK B. Bandung: Grafindo
Kemendiknas. 2011. Pendidikan 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif
Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Karakter. http://pendikar.dikti.go.id, diakses tanggal 5 Desember 2014.
Rahardi, Riyadi. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Pragmatik. Malang: Dioma.
Sumarsono. Sosiolinguistik. 2012. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.
160
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
KESANTUNAN BERBAHASA
DALAM MEMBENTUK KARAKTER GENERASI MUDA
Engla Tivana
Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Kesantunan Berbahasa dalam Membentuk Karakter Generai Muda. Dalam
kehidupan sehari-hari kita sering menyaksikan fenomena penggunaan bahasa yang
tidak sopan dikalangan masyarakat yang jauh dari tatanan nilai budaya dan
kesantunan. Bahasa yang digunakan tidak lagi menjunjung tinggi etika. Fenomena ini
sering terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di rumah, apabila
komunikasi antaranggota keluarga tidak lancar, suasana menjadi semakin buruk yang
akhirnya anggota keluarga akanmencari kepuasan masing yang bertentangan dengan
moral-moral yang berlaku. Disekolah, apabila murid tidak menggunakan bahasa yang
santun terhadap guruataupun temannya, dia akan dikucilkan baik oleh gurunya
ataupun temannya. Begitu juga di masyarakat, apabila dalam bersosialisasi kita tidak
menerapkan prinsip-prinsipkesantunan berbahasa, kita akan dikucilkan oleh anggota
masyarakat yanglain. Apabila situasi ini terus berkepanjangan, nantinya juga akan
berakibat padaturunnya moral generasi muda.Apabila fenomena ketidaksantunan ini
dibiarkan akan berdampak pada rusaknya karakter generasi muda yang merupakan
tonggak karakter bangsa. Untuk mengantisipasi hal yang demikian, maka Leech
(1993: 206 – 207) mengajukan prinsip kesantunan berbahasa untuk meminimalisir
ketidaksantunan berbahasa yang sesuai dengan kaidah dan etika bangsa Indonesia.
Kata Kunci: kesantunan berbahasa, karakter generasi muda.
PENDAHULUAN
Bahasa pada prinsipnya merupakan alat komunikasi untuk menunjukan
identitas masyarakat pemakai bahasa. Masyarakat tutur timbul karena rapatnya
komunikasi atau integritas simbolis, dengan menghormati kemampuan
komunikatif penuturnya tanpa mengingat jumlah bahasa atau variabel bahasa
yang digunakan. Manusia dalam kehidupan memerlukan komunikasi untuk
dapat menjalin hubungan dengan manusia lain dalam lingkungannya. Ada dua
cara untuk dapat melakukan komunikasi, yaitu dengan cara tulisan dan tulisan.
Penggunaan secara tertulis merupakan hubungan tidak lansung, sedangkan
komunikasi menggunakan lisan merupakan hubungan langsung.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
161
Tujuan seseorang berkomunikasi kepada lawan bicara adalah untuk
menyampaikan pesan dan menjalin hubungan sosial. Dalam penyampaian
pesan tersebut biasanya digunakan bahasa verbal baik lisan maupun tulisan,
ataupun non verbal yang dipahami kedua belah pihak, sedangkan tujuan
komunikasi untuk menjalin hubungan sosial dilakukan dengan menggunakan
beberapa prinsip kesopanan. Misalnya, dengan menggunakan ungkapan
kesopanan dan ungkapan basa-basi.
Kesantunan atau etika adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang ditetapkan dan
disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga kesantunan
sekaligus menjadi prasyarat yangdisepakati oleh perilaku sosial. Oleh karena
itu, kesantunan ini disebut sebagai tatakrama
yang merupakan salah satu
karakter budaya bangsa Indonesia.Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
menyaksikan fenomenapenggunaan bahasa dikalangan masyarakat jauh dari
tatanan nilai budaya masyarakat. Bahasa yang digunakan tidak lagi mencirikan
sebuah bangsa yang menjunjung tinggi nilai etika. Banyak orang yang bertutur
secara bebas tanpa didasari dengan pertimbangan moral, nilai, maupun agama.
Akibatnya
muncullah
berbagai
pertentangan
dan
perselisihan
dalam
masyarakat. Banyak orang yang tersinggung dengan bahasa yang kita gunakan
karena dianggap tidak santun.
Ketidaksantunan dalam penggunaan bahasa tersebut dapat melahirkan
kesenjangan komunikasi sehingga berakibat pada buruknya situasi, baik di
keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Di rumah, apabila komunikasi
antaranggota keluarga tidak lancar, suasana menjadi semakin buruk yang
akhirnya anggota keluarga akanmencari kepuasan masing yang bertentangan
dengan
moral-moral
yang
berlaku.
Disekolah,
apabila
murid
tidak
menggunakan bahasa yang santun terhadap guruataupun temannya, dia akan
dikucilkan baik oleh gurunya ataupun temannya. Begitujuga di masyarakat,
apabila dalam bersosialisasi kita tidak menerapkan prinsip-prinsip kesantunan
berbahasa, kita akan dikucilkan oleh anggota masyarakat yanglain. Apabila
situasi ini terus berkepanjangan, nantinya juga akan berakibat pada turunnya
moral generasi muda.
162
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Untuk mengantisipasi hal yang demikian, maka Leech (1993: 206 – 207)
mengajukan
prinsip
kesantunan
berbahasa
untuk
meminimalisir
ketidaksantunan berbahasa yang sesuai dengan kaidah dan etika bangsa
Indonesia. Seseorang yang berbahasa harus mengetahui prinsip kesantunan
bahasa karena bahasa melambangkan karakter seseorang.
PEMBAHASAN
Dalam komunikasi kesantunan merupakan aspek penting dalam
kehidupan untukmenciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan
lawan tutur. Strategi kesantunan digunakan untuk lebih menghargai orang lain
maupun diri sendiri.Dalam komunikasi sehari-hari kita tidak dapat setiap saat
menyampaikan tuturandengan cara yang santun, hal tersebut berkemungkinan
akan menyakiti perasaan lawan tutur. Wijana (1996:55) mengungkapkan
bahwa pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle).
Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan sipetutur dengan lawan tutur.
Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005:60 – 66) dalam
bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada
peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsipprinsip
kesantunan
berbahasa.
Prinsip
kesantunan
berbahasa
yang
dikemukakan oleh Leech (1993: 206 – 207), yakni maksim kebijaksanaan (tact
maxsim), maksim kemurahaan (generosity maxsim), maksim penerimaan
(approbation maxsim), maksim kerendahan hati (modesty maxsim), maksim
kecocokan (agreement maxsim), maksim kesimpatian (sympathy maxsim).
Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri
sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain
adalah lawan tutur.
Ada beberapa bentuk ujaran yang digunakan untuk mengekspresikan
maksim-maksim tersebut. Bentuk ujaran yang dimaksud adalah bentuk ujaran
impositif, komisif, ekspresif, dan asertif. Bentuk ujaran komisif adalah bentuk
ujaran yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran. Ujaran
impositif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan perintah atau
suruhan. Ujaran ekspresif adalah ujaran yang digunakan untuk menyatakan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
163
sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu keadaan. Ujaran asertif adalah
ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran proposisi yang
diungkapkan.
Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)
Menurut Rahardi (2005:60), gagasan dasar maksim kebijaksaan dalam
prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang
pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan
memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam bertutur. Orang bertutur yang
berpegang dan melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan
sebagai orang santun. Leech (dalam Wijana, 1996) mengatakan bahwa
semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Menurut Tarigan (2009:45),
maksim kebijaksanaan adalah maksim yang diungkapkan dengan tuturan
imposistif dan komisif. Contoh:
Tuan rumah: ―Silahkan makan aja dulu, Nak!‖Tadi kami semua sudah
mendahului―.
Tamu: ―Wah, saya jadi tidak enak, Bu.‖
Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak
muda yang sedang bertamu di rumah Ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus
berada dirumah Ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras. Dalam
tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan si tuan rumah
sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu. Lazimnya, tuturan
semacam itu ditentukan dalam keluarga pada masyarakat tutur desa. Orang
desa biasanya sangat mengargai tamu, baik tamu yang datangnya secara
kebetulan
maupun
tamu
yang
sudah
direncanakan
terlebih
dahulu
kedatangannya.
Maksim Penerimaan
Di dalam maksim penghargaan dijelaskan bahwa seseorang akan dapat
dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan
penghargaan kepada pihak lain. Menurut Wijana (1996: 57), maksim
164
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
penghargaan ini diutarakan dengan kalimat ekspresif dan kalimat asertif.
Dengan maksim ini diharapkan peserta pertuturan tidak saling mengejek,
saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Maksim ini menuntut
setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain,
dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Contoh:
Siswa A
: ―Tadi saya maju presentasi pragmatik‖.
Siswa B
: ―Ya, presentasimu bagus dan jelas.‖
Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang siswa kepada teman
sekelasnya pada sebuah perguaruan tinggi. Pemberitahuan yang disampaikan
oleh siswa A terhadap rekannya siswa B pada contoh di atas, ditanggapi
dengan sangat baik bahkan disertai pujian atau penghargaan oleh siswa B.
dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, siswa B
berperilaku santun.
Maksim Kemurahan hati/ kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kemurahan hati adalah
buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri
sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005:61) mengatakan bahwa dengan
maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati, para peserta pertuturan
diharapkan dapat menghormati orang lain. Penghormatan terhadap orang lain
akan terjadi aabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri
dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain. Contoh:
Anak kost A
: ―Mari saya cucikan baju kotormu!
Pakaianku tidak banyak kok, yang kotor.‖
Anak kost B
: ‖Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan
mencuci juga, kok!‖
Tuturan ini merupakan percakapan antara anak kos pada sebuah rumah
kos di Bandung. Anak yang satu berhubungan erat dengan anak yang satunya
karena berasal satu kota yang sama. Dari tuturan yang disampaikan oleh si A
di atas, dapat dilihat dengan jelas bawha ia berusaha memaksimalkan
keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan beban bagi dirinya sendiri.
Orang yang tidak suka membantu orang lain, apalagi tidak pernah bekerja
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
165
bersama dengan orang lain, akan dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya
tidak akan mendapatkan banyak teman di dalam pergaulan keseharian
hidupnya.
Maksim Kerendahan Hati
Rahardi (2005:63) mengatakan bahwa di dalam maksim kerendahan hati
atau kesederhanaan, peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati
dengan cara mengurangi pujian terhadapdirinya sendiri. Dalam masyarakat
bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendaha hati banyak
digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Wijana
(1996:58) mengatakan maksim kerendahan hati ini diungkapkan dengan
kalimatekspresif dan asetif. Maksim kerendahan hati ini berpusat pada diri
sendiri. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri.
Sekretaris A
: ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu,
ya!‖
Sekretaris B
: ―Ya, Mba. Tapi saya jelek, lho.‖
Percakapan di atas dituturkan oleh seseorang sekretaris A kepada
sekretaris B yang masih junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di
ruang kerja mereka. Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat bahwa ia
bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya. Dengan demikian,
tuturan tersebut terasa santun.
Maksim Kecocokan
Menurut Rahardi (2005:64), maksim kecocokan ini ditekankan agar para
peserta tutur saling membina kecocokan atau kemufakatan di dalam kegiatan
bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan
mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat
diatakan bersikap santun. Wijana (1996:59) menggunakan istilah maksim
kecocokan dalam maksim kemufakatan. Maksim kecocokan diungkapkan
dengan kalimat ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap
166
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
penutur dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan diantara mereka,
dan meminimalkan ketidakcocokan diantara mereka. Contoh :
Fitri : ―Nanti malam kita makan bersama ya, Fit!‖
Ayu : ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖
Percakapan di atas, dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya
yang juga mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruagan kelas.
Tuturan ini terasa santun, karena Ayu mampu membina kecocokan dengan
Fitri. Dengan memaksimalkan kecocokan di antara mereka tuturan akan
menjadi santun.
Maksim Kesimpatisan
Leech (1993:207) mengatakan di dalam maksim kesimpatian diharapkan
agar para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang
satu dengan pihak yang lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta
tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap
antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak lain,
akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam
masyarakat. Menurut Wijana (1996:60), jika lawan tutur mendapatkan
kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Bila
lawan tutur mendapatkan kesusahan, atau musibah, penutur layak berduka,
atau mengutarakan ucapan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Contoh:
Andi
: ―Bud, nenekku meninggal.‖
Budi
: ―Innalillahiwainnailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖
Percakapan di atas, dituturkan oleh seseorang karyawan kepada
karyawan lain yang sudah berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang
kerja merka. Dari tuturan tersebut, terlihat Budi menunjukkan rasa simpatinya
kepada Andi. Orang yang mampu memaksimalkan rasa simpatinya kepada
orang lain akan dianggap orang yang santun.
Dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa maksim kebikajsanaan,
penerimaan, kemurahan, dan kerendahan hati adalah maksim yang berskala
dua kutub (bipolar scale maxsim) karena berhubungan dengan keuntungan dan
kerugian diri sendiri dan orang lain. Sementara itu maksim kecocokan,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
167
kesimpatian adalah maksim yang berskala satu kutub (untipolar scale maxsim)
karena berhubungan dengan penilaian baik buruk penutur terhadap dirinya
sendiri dan orang lain. Dalam kaitannya dalam maksim berskala dua kutub,
maksim kebijaksanaan dan kemurahan adalah maksim yang berpusat pada
orang lain (other centred maxsim), dan maksim penerimaan dan kerendahan
hati adalah maksim yang berpusat pada diri sendiri (self centred maxsim).
PENUTUP
Kesantunan berbahasa merupakan hal yang sangat penting dalam
berkomunikasi. Hal ini dilakukan agar dalam berkomuniksai tidak akan terjadi
kesalahpahaman karena anggota penuturnya kurang santun. Dalam berbicara
kita juga harus memperhatikan lawan bicara kita. Oleh karena itu, Leech
memunculkan prinsip kesantunan agar dalam berkomunikasi tidak terjadi
kesalahpahaman karena bahasa yang kita gunakan tidak atau kurang santun.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu upaya peningkatan karakter
generasi muda suatu bangsa karena untuk mencapai suatu bangsa yang
bermoral membutuhkan suatu proses dan salah satu sarana yang penting untuk
mecapai upayatersebut adalah bahasa. Jika masyarakat terutama generasi muda
berbahasa yang baik(santun) akan terwujud moral yang santun pula.
DAFTAR PUSTAKA
Leech, Geoffrey N. 1993. Principles of Pragmatics. London: Longman.
Rahardi, Riyadi. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Pragmatik. Malang: Dioma.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa
Bandung.
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta.
168
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
HUBUNGAN MOTIVASI KERJA DENGAN MUTU
PENGAJARAN
Studi Kasus pada Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan
Dalam Negeri
F. Riyan Sulistyowati
Biro Perencanaan, Akademik dan Kerjasama IPDN
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Hubungan Motivasi Kerja dengan Mutu Pengajaran. Studi Kasus pada Bidang
Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Tujuan penelitian ini untuk
memperoleh gambaran mengenai mutu pengajaran dalam kaitannya dengan motivasi
kerja yang dihubungkan pula dengan mutu/kualitas pengajaran di Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deskriptif analisis. Penelitian dilakukan dengan teknik observasi, mengamati
kejadian atau peristiwa yang sedang berlangsung, dilengkapi dengan kepustakaan dan
dokumentasi. Hasilnya menunjukkan bahwa hubungan antara motivasi kerja dengan
mutu pengajaran di Bidang Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
diperoleh angka sebesar 0,30 antara motivasi kerja dosen (pengajar) dengan mutu
pengajaran. Dengan kata lain, motivasi kerja yang meliputi sikap, situasi kerja, sosial,
keamanan dan ketertiban, penghargaan, mencapai tujuan kelembagaan memiliki
hubungan yang rendah dengan mutu pengajaran. Dengan koefisien determinasi
(keeratan hubungan) menurut Guillford, dinyatakan bahwa motivasi kerja mempunyai
pengaruh yang rendah tapi pasti terhadap mutu pengajaran. Hal ini dibuktikan dengan
hasil penelitian yang menunjukkan angka 19,00% pengaruh motivasi kerja terhadap
mutu pengajaran. Sisanya sebesar 81,00% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak
diteliti.
Kata kunci: motivasi kerja, mutu pengajaran
PENDAHULUAN
Salah satu azas pendidikan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN)
adalah pembentukan nilai yang bermakna bagi setiap siswa. Hal ini antara lain
dimaksudkan agar siswa memiliki kesadaran, kedewasaan pembentukan
pribadi yang baik, dengan sikap mental, penguasaan olah pikir dan
pengetahuan secara akademis. Program ini diterapkan melalui pengajaran
(kognitif) pelatihan (afektif) dan pengasuhan (psikomotorik) yang menekankan
pada sistem pendidikan yang memuat tritunggal terpusat melalui integralitas
(jarlatsuh) rangkaian dari pengetahuan (knowledge), psikomotorik (skill) dan
pembinaan sikap (attitude). Asas-asas lain yang juga ingin dicapai adalah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
169
siswa memiliki kesadaran dan sikap perjuangan dalam membentuk kepribadian
yang berorientasi pada masa depan.
Peningkatan
kemampuan
intelektual
termasuk
penguasaan
diri,
diterapkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi kemajuan pada era globalisasi, sehingga siswa dipersiapkan
untuk memiliki keunggulan kompetitif atau daya saing yang tinggi dengan
peningkatan etos kerja berdasarkan moralitas, budi pekerti yang luhur, dan
perwujudan budaya yang menuju ke arah pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang ditunjukkan dalam keunggulan pribadi.
Karena kondisi ini terkait dengan dampak globalisasi yang tidak dapat
dibendung sebagai implikasi perkembangan zaman, maka Lembaga akan
memberikan jawaban terhadap masyarakat pada umumnya. Salah satu upaya
untuk mewujudkan tujuan tersebut sesuai dengan pendapat Tilaar (2001: 95)
adalah strategi pembaharuan melalui pendidikan, pelatihan, dan pembinaan
yang mengandung :
1. Peningkatan kualitas mutu pengajaran
2. Pembuatan sistem dalam rangka menciptakan transparansi
3. Pengembangan sistem akuntabilitas dan kemampuan intelektual.
Selanjutnya terkait dengan tujuan itu diupayakan pengalaman empirik di
lapangan dengan melihat hasil pendidikan dan pembinaan yang sedang
dilakukan.
Penelitian ini diharapkan mempuyai manfaat baik secara teoritis agar
dapat disumbangkan sebagai wacana ilmu, maupun manfaat praktis,
memberikan
masukan
(input)
khusunya
kepada
para
dosen
dalam
melaksanakan tugasnya demi meningkatkan prestasi kerja. Hasil penelitian
diharapkan juga dapat dimanfaakan sebagai sumbangan pengabdian kepada
masyarakat oleh mahasiswa setelah lulus pendidikan.
Para leader atau pimpinan di lembaga Institut Pemerintahan Dalam
Negeri (IPDN) dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memiliki peran ganda,
yaitu sebagai pemimpin struktural dan fungsional. Diharapkan para pimpinan
dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, bijak, fleksibel serta dapat
menciptakan suasana harmonis pada bawahannya dari tingkat atas sampai pada
170
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tingkat bawah. Fugsi itu dilakukan dengan cara memberi tugas dan tanggung
jawab kepada karyawan secara berjenjang baik secara vertikal maupun
horizontal. Penyampaian informasi untuk mencapai perubahan sosial
sebaiknya dilakukan secara komunikatif baik secara langsung maupun tidak
langsung yang meliputi tiga (3) hal yaitu :
1.
Memastikan pemahaman
2.
Membina
3.
Memotivasi kegiatan.
Tugas dan fungsi dosen adalah mendidik, bertanggung jawab kepada
para mahasiswa dalam proses pembelajaran, sehingga terjadi peningkatan mutu
intelektual secara akademik dan terarah, teratur tertib demi terwujudnya
perkembangan optimal kompetensi pribadi mahasiswa. Pola pikir yang dimiliki
dosen dapat berpengaruh terhadap motivasi kerja dan hasil kerja yang
berlangsung selama proses belajar mengajar. Sebagai seorang pemimpin dosen
perlu memberikan motivasi kepada para mahasiswa dengan berbagai gaya,
sehingga hasil yang dicapai dapat optimal.
Pamuji (1992: 123)
mengemukakan bahwa, ―gaya motivasi (motivational style) pemimpin dalam
menggerakkan orang dapat berlangsung secara positif maupun negative. Secara
positif, motivasi dapat dilakukan dengan pemberian imbalan ekonomi berupa
hadiah. Secara negative motivasi dapat berupa ancaman, hukuman maupun
sanksi‖.
Berdasarkan pengamatan peneliti di Lembaga Institut Pemerintahan
Dalam Negeri saat ini terjadi penurunan motivasi kerja yang dapat
mempengaruhi mutu hasil kerja. Salah satu faktor yang menyebabkannya
adalah kesibukan pimpinan, sehingga kurang perhatian kepada bawahan.
Dalam pemberian motivasi dikenal tiga unsur, yaitu stimulus (daya rangsang,
motivasi), implementasi (keaktifan, rasa ingin tahu) dan respon (timbal balik,
keseimbangan antara siswa dengan pengajar). Demikian motivasi dan kinerja
pada dasarnya berpengaruh terhadap mutu pengajaran secara keseluruhan, baik
pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tilaar (1990 : 3) yang mengemukakan bahwa pendidikan harus
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
171
dilihat sebagai salah satu kekuatan sosial yang ikut memberikan bentuk, corak
dan arah pada kehidupan masyarakat di masa mendatang. Hal ini sejalan pula
dengan sasaran Pembangunan Jangka Panjang kedua (PJP II) di bidang
pendidikan. Yaitu terselenggaranya pendidikan nasional yang semakin
bermutu dan merata, mampu mewujudkan manusia beriman, bertakwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, tangguh, sehat, cerdas,
patriotik, berdisiplin, kreatif, produktif, dan professional. Dengan demikian,
pembangunan pendidikan diarahkan pada peningkatan mutu sumber daya
manusia.
Hubungan motivasi kerja dengan mutu pengajaran hendaknya dapat
dilaksanakan secara maksimal. Oleh karena itu perlu ditinjau ulang. Tilaar
(1992: 22) mengasumsikan bahwa mutu pendidikan dapat ditingkatkan apabila
ditangani secara efisien. Artinya bahwa ―berbagai sumber yang mempengaruhi
terjadinya proses pendidikan, perlu ditangani secara jelas, terkendali, dan
terarah, kurikulum dipersiapkan dan pelaksanaan dilakukan secara konsisten‖.
Pada dasarnya seorang pengajar akan memprogram dengan baik proses
belajar mengajar, sesuai dengan spesifikasi dan kompetensi yang dimilikinya.
Akan tetapi, berbagai
latar belakang pendidikan dan mutu dosen yang
berbeda, mengakibatkan hasil pendidikan yang tidak sesuai harapan. Kondisi
ini dapat berjalan sinkron bila suatu komponen dapat bekerja sama terutama
jika para top leader memiliki kecerdasan emosi dan mampu mengarahkan
secara konsisten, cerdas dan efektif, bijak, serta berjiwa besar. Daniel
Goleman, yang dikutip Anwar AA Prabu (2005: 4) mengatakan, bahwa
emotional quotient (EQ) atau kecerdasan emosi adalah suatu pendidikan diri,
kesabaran, keuletan. Pencapaian kinerja individu maupun organisasi ditentukan
80% oleh emotional quotient, sedangkan 20% ditentukan oleh
intelegent
quotient (IQ). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
konkret strategi alternatif pengoptimalisasian mutu pengajaran yang dikaitkan
dengan motivasi kerja.
172
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
METODE PENELITIAN
Metode merupakan suatu cara atau langkah – langkah yang dipergunakan
sebagai alat bantu untuk mengumpulkan, menyusun, dan menganalisis data
serta mengintegrasikan arti data yang diteliti menjadi suatu kesimpulan untuk
mencapai tujuan sesuai yang diharapkan dalam suatu penelitian. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Surakhmad (1990: 131) bahwa metode
merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk
menguji hipotetesis, dengan menggunakan teknik serta alat – alat tertentu.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Penelitian dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati kejadian – kejadian
ataupun peristiwa – peristiwa yang sedang berlangsung dan dibantu pula
dengan studi kepustakaan dan dokumentasi guna kelengkapan penelitian.
Metode deskriptif adalah suatu metode penelitian bagi sekelompok
manusia atau individu untuk meneliti dan menganalisis objek/kejadian dengan
cara menyimpulkan suatu pemikiran tertentu pada masa sekarang saat sedang
terjadi atau ketika peristiwa berlangsung. Whitung yang dikutip Nazir (1998 :
64 ) mengatakan tentang penelitian deskriptif:
a. Memberikan gambaran megenai situasi atau kejadian yang aktual
sehingga menggunakan akumulasi data dasar belaka.
b. Kerja peneliti bukan saja membeikan gambaran tentang fenomenafenomena tetapi juga menerangkan, menguji, hipotesis, membuat
prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah
yang ingin dipecahkan.
Di samping pengamatan empirik, penelitian juga menggunakan studi
kepustakaan
dan dokumentasi. Studi kepusakaan untuk mendapatkan
keterangan maupun informasi melalui sumber-sumber kepustakaan atau
literatur yang relevan. Studi dokumentasi memberikan data
penunjang
kelengkapan maupun keterangan-keterangan yang diperlukan. Prosedur atau
tata cara pengumpulan data agar dapat memperoleh jawaban responden,
penulis menggunakan angket di samping wawancara langsung untuk
memperoleh data maupun informasi tambahan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
173
HASIL DAN PEMBAHASAN
Memperhatikan situasi yang ada, peneliti mengamati secara langsung
tentang
dimensi
sikap,
baik
dari
segi
disiplin,
waktu,
berpakaian
rapih/keserasian penjualan buku di kelas, tidak merokok di kelas maupun pada
tempat semestinya, keteladanan lainnya serta daftar hadir dan lain sebagainya.
Dimensi ini bersumber dari pelaksanaan perintah atasan tanggung jawab dan
kewajiban pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil yakni sesuai job description
masing-masing. Selain itu peraturan yang melekat secara tidak tertulis, yaitu:
norma-norma pelayanan, kesabaran, tulus ikhlas, toleransi, penerapan sanksi
sosial melalui teguran lisan, tertulis, dan dianjurkan mengajukan pindah kelain
instansi atau pengunduran diri termasuk gaji yang ditunda, dan lain-lain.
Selanjutnya yang menjadi tolok ukur motivasi kerja terdiri dari dimensi –
dimensi :1) Sikap yang meliputi; disiplin dan optimisme, 2) Situasi kerja yang
meliputi; Sinergi dengan atasan, ketenangan batin, 3)Sosial meliputi; saling
menjaga kebersihan, kondusif, 4) Keamanan dan ketertiban meliputi; ada
perlindungan hukum, aturan tertentu, 5) Penghargaan (reward) meliputi;
prestasi masa kerja, 6) Mencapai tujuan kelembagaan meliputi: Menransfer
ilmu dengan baik, wawasan luas, 7) Aktualisasi diri meliputi; menyenangi
profesi, spesialisas, kreativitas.
Disiplin dan Optimisme
Perlu diketahui bahwa kediplinan dosen beserta stafnya pada bidang
pengajaran IPDN Jatinangor Sumedang digambarkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1
Pernyataan Responden Mengenai Disiplin dan Optimisme
Alternatif
Frekuensi
Persentase
No
Bobot (B)
FxB
Jawaban
(F)
%
1
Sangat setuju
5
30
150
37,50
2
Setuju
4
48
192
60,00
3
Netral
3
2
6
2,50
4
Tidak Setuju
2
0
0
0,00
5
Sangat Tidak
1
0
0
0,00
Setuju
Jumlah
80
348
100,00
Skor
4,35
Pencapaian Skor
87 %
Kriteria
Sangat Baik
Sumber : Hasil penelitian, diolah
174
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 80 orang responden
penelitian, terdapat 30 orang (37,50%) yang menyatakan sangat setuju, dan 48
orang (60,00%) yang menyatakan setuju, sedangkan 2 orang (2,50%)
menyatakan netral. Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan tersebut
adalah 87% mempunyai kriteria sangat baik.
Hasil tanggapan responden menunjukkan bahwa sebagian besar
responden mendukung bahwa disiplin akan dapat tercapai jika optimisme
selalu tertanam pada diri mereka masing – masing.
Tanggungjawab Secara Tulus
Pernyataan responden mengenai tanggung jawab dapat meningkatkan
motivasi kerja di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2
Pernyataan Responden mengenai Tanggungjawab Secara Tulus
No
Alternatif Jawaban
Bobot
(B)
5
4
3
2
1
1
Sangat setuju
2
Setuju
3
Netral
4
Tidak Setuju
5
Sangat Tidak Setuju
Jumlah
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian, diolah.
Frekuendsi
FxB
(F)
29
145
43
172
6
18
2
4
0
0
80
339
4,24
84 %
Sangat Baik
Persentase
%
36,25
53,75
7,50
2,50
0,00
100,00
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa dari 80 orang responden
terdapat 29 orang (36,25%) menyatakan sangat setuju dan 43 orang (53,75%)
menyatakan setuju, sedangkan yang menyatakan netral 6 orang (7,50%) yang
tidak setuju 2 orang (2,50%). Hasil pencapaian skor 80,40 termasuk kriteria
sangat baik. Tanggapan responden menunjukkan bahwa motivasi dapat
dilakukakan bila ada kesadaran untuk bertanggung jawab agar mencapai
tujuan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
175
Situasi Kerja
Adalah suatu keadaan lingkungan sekitar, di mana ia menunjukkan
kenyataan yang sebenarnya, sehingga suasana secara otomatis akan
berpengaruh terhadap produktivitas seseorang. Pernyataan responden hal
hubungan dengan atasan yang sinergis dapat meningkatkan motivasi kerja di
bidang pengajaran dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 3
Pernyataan Responden mengenai Hubungan yang Sinergis Dapat
Meningkatkan Motivasi kerja
No
Alternatif Jawaban
Bobot
(B)
5
4
3
2
1
1
Sangat setuju
2
Setuju
3
Netral
4
Tidak Setuju
5
Sangat Tidak Setuju
Jumlah
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah
Frekuensi
(F)
19
38
14
9
0
80
FxB
90
153
42
18
0
307
3,84
76 %
Baik
Persentase
%
23,75
47,50
17,50
11,25
0,00
100,00
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dilihat dari 80 orang responden
penelitian yang menyatakan sangat setuju 19 orang (23,75%) dan yang setuju
38 orang (47,50%), dan 14 orang (17,50%) menyatakan netral termasuk 9
orang (11,25%) menyatakan tidak setuju. Pencapaian skor yang diperoleh dari
tanggapan tersebut adalah sejumlah 76% mempunyai kriteria baik.
Hasil tanggapan responden ini menunjukkan bahwa yang dilakukan
sehari-hari pada pelaksanaan pekerjaan mengerti apa arti penting suatu
hubungan searah/sinergis sesuai tujuan.
Keadaan Ketenangan Batin
Pernyataan responden mengenai kebijakan pimpinan sesuai keinginan
pada bagian pengajaran IPDNdapat dilihat pada tabel berikut ini :
176
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tabel 4
Pernyataan Responden mengenai Kebijakan Atasan Sesuai Keinginan dan
Merasa Ketenangan Batin Agar Termotivasi
Alternatif
Bobot
Jawaban
(B)
1
Sangat setuju
5
2
Setuju
4
3
Netral
3
4
Tidak Setuju
2
5
Sangat Tidak
1
Setuju
Jumlah
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah.
No
Frekuensi
(F)
7
32
28
12
1
80
35
128
84
24
1
Persentase
%
8,75
40,00
35,00
15,00
1,25
272
100,00
FxB
3,40
68 %
Baik
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian
terdapat 7 orang (8,75%) menyatakan sangat setuju, 32 orang (40,00%)
menyatakan setuju dan 28 orang (35,00%) menyatakan netral dan 12 orang
(15,00%) menyatakan tidak setuju dan 1 orang (1,25%) yang menyatakan
sangat tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang diperoleh pernyataan ini 68%
mempunyai kriteria baik.
Tanggapan responden menunjukkan bahwa kebijakan pimpinan dapat
ditanggapi dengan baik dan bisa mencapai tujuan karena proses motivasi kerja
dan ketenangan batin dapat diperoleh.
Keadaan Sosial
Adalah kesadaran manusia untuk melakukan sesuatu hal dalam
kebersamaan sehingga tercipta situasi yang sinergis. Pernyataan mengenai
lingkungan kerja nyaman, memenuhi syarat kesehatan, membuat suasana
kerasan menambah motivasi di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam
Negeri Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
177
Tabel 5
Pernyataan Responden mengenai Lingkungan Kerja Bersih Memenuhi
Syarat Kesehatan dan Memadai
Alternatif
Bobot Frekuensi
No
FxB
Persentase %
Jawaban
(B)
(F)
1
Sangat setuju
5
0
0
0,00
2
Setuju
4
32
128
40,00
3
Netral
3
30
90
37,50
4
Tidak Setuju
2
18
36
22,50
5
Sangat Tidak
1
0
0
0,00
Setuju
Jumlah
80
348
100,00
Skor
3,18
Pencapaian Skor
64 %
Kriteria
Baik
Sumber : Hasil penelitian diolah.
Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian ada
32 orang (40,00%) menyatakan setuju, 30 orang (37,50%) menyatakan netral
dan 18 orang (22,50) menyatakan tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang
diperoleh pernyataan ini 64% mempunyai kriteria baik. Tanggapan responden
menyatakan lingkungan kerja kurang nyaman dapat mempengaruhi tercapainya
hasil kerja.
Keadaan yang Kondusif
Pernyataan responden mengenai suasana kantor dan sekitarnya di masamasa sekarang di bagian pengajaran IPDN dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 6
Pernyataan Responden mengenai Terciptanya Suasana Kondusif
Alternatif
Bobot Frekuensi
Jawaban
(B)
(F)
1
Sangat setuju
5
6
2
Setuju
4
48
3
Netral
3
18
4
Tidak Setuju
2
6
5
Sangat Tidak
1
2
Setuju
Jumlah
80
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah.
No
178
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
FxB
Persentase %
30
192
54
12
2
7,50
60,00
22,50
7,50
2,50
348
3,63
72 %
Baik
100,00
Berdasarkan tabel 6 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian
terdapat 6 orang (7,50%) menyatakan sangat setuju dan 48 orang (60.00%)
menyatakan setuju, untuk 18 orang (22,50%) menyatakan netral dan 6 orang
(7,50%) menyatakan tidak setuju termasuk 2 orang (2,50%) menyatakan sangat
tidak setuju. Hasil pencapaian skor yang diperoleh 72% dengan kriteria baik.
Pernyataan responden menunjukkan bahwa suasana kantor dan sekitarnya
aman dan kondusif, sehingga akan berpengaruh terhadap motivasi kerja.
Adanya Perlindungan Hukum
Pernyataan responden mengenai pengawasan dan perlindungan hukum di
bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang,
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 7
Pernyataan Responden Mengenai Tidak Adanya Perlindungan Hukum
Alternatif
Bobot Frekuensi
Jawaban
(B)
(F)
1
Sangat setuju
5
17
2
Setuju
4
25
3
Netral
3
16
4
Tidak Setuju
2
19
5
Sangat Tidak
1
3
Setuju
Jumlah
80
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah.
No
FxB
Persentase %
85
100
48
38
3
21,25
31,25
20,00
23,75
3,75
274
3,43
68 %
Baik
100,00
Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat dari 80 orang responden penelitian
terdapat 17 orang (21,255) menyatakan sangat setuju dan 25 orang (31,25%)
menyatakan setuju, 16 orang (20,00%) menyatakan netral termasuk 19 orang
(23,75%) menyatakan tidak setuju termasuk 3 orang (3,75%) menyatakan
sangat tidak setuju. Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan responden
86% dengan kriteria baik. Hasil tanggapan tersebut menunjukkan walaupun
tidak ada perlindungan hukum, namuin pada kenyataanya keamanan dan
ketertiban dapat tercapai.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
179
Evaluasi Pengajaran
Pernyataan responden merasa puaskah bila setiap akhir semester tidak ada
evaluasi dosen di bagian pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Jatinangor Sumedang, dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 8
Pernyataan Responden tentang Evaluasi Pengajaran
Alternatif
Bobot
Jawaban
(B)
1
Sangat setuju
5
2
Setuju
4
3
Netral
3
4
Tidak Setuju
2
5
Sangat Tidak
1
Setuju
Jumlah
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah
No
Frekuensi
(F)
2
7
10
41
20
FxB
Persentase %
10
28
30
82
20
2,50
8,75
12,50
51,25
25,00
80
170
2,12
42 %
Kurang Baik
100,00
Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui dari 80 orang responden penelitian
terdapat 2 orang (2,50%) menyatakan sangat setuju dan 7 orang (8,75%)
menyatakan setuju, dan 10 orang (12,50%) menyatakan netral termasuk 41
orang (51,25%) menyatakan tidak setuju, menambah lagi 20 (25,00%)
menyatakan sangat tidak setuju. Jumlah pencapaian skor yang diperoleh dari
pernyataan ini 42% mempunyai kriteria kurang baik.
Hasil tanggapan responden menunjukkan bahwa kurangnya antusias
dosen untuk melakukan evaluasi tiap-tiap semester yang semestinya dilakukan
untuk mengukur kemampuan serta solusi pencapaian tujuan pendidikan
ditanggapi oleh responden
sebagai kurang baik. Artinya, responden
mengharapkan adanya evaluasi pada setiap akhir pengajaran.
180
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Penghargaan (Reward)
Pernyataan responden mengenai pimpinan yang tidak mempedulikan
dosen yang tidak berprestasi/sering terlambat datang mengajar, di bagian
pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri Jatinangor Sumedang, dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut :
Tabel 9
Pernyataan Responden Mengenai Pimpinan yang Tidak Mempedulikan
dosen yang tidak Berprestasi/Sering Terlambat datang Mengajar di Bidang
Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Alternatif
Bobot
Jawaban
(B)
1
Sangat setuju
5
2
Setuju
4
3
Netral
3
4
Tidak Setuju
2
5
Sangat Tidak
1
Setuju
Jumlah
Skor
Pencapaian Skor
Kriteria
Sumber : Hasil penelitian diolah
No
Frekuensi
(F)
3
9
23
29
16
80
FxB
Persentase %
15
36
69
58
16
3,75
11,25
28,75
36,25
20,00
194
100,00
2,42
48 %
Kurang Baik
Berdasarkan tabel 9 dapat diketahui 80 orang responden penelitian
terdapat 3 orang (3,75%) menyatakan sangat setuju, 9 (11,25%) menyatakan
setuju dan 23 orang (28,75%) menyatakan netral dan 29 orang (36,25%) tidak
setuju termasuk 16 orang (20,00%) menyatakan sangat tidak setuju.
Pencapaian skor yang diperoleh dari pernyataan responden adalah 48%
termasuk kriteria kurang baik. Hal ini menurut tanggapan responden
menunjukkan bahwa pimpinan sekedar perhatian dan kurang adanya sikap
maupun langkah tegas untuk melakukan perubahan guna mencapai tujuan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan
motivasi kerja dengan mutu pengajaran pada bidang Pengajaran Institut
Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor , dapat disimpulkan sebagai
berikut :
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
181
Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai variabel motivasi kerja
diperoleh rata-rata pencapaian skor dari variabel motivasi kerja sebesar
22,20%. Artinya motivasi kerja di bidang pengajaran Institut Pemerintahan
Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor temasuk kriteria kurang baik.
Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai mutu pengajaran
diperoleh nilai rata-rata sebesar 77,80%. Artinya mutu pengajaran di bidang
pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor termasuk
kriteria baik.
Hubungan antara motivasi kerja dengan mutu pengajaran di Bidang
Pengajaran Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dapat diketahui
melalui pengujian hipotesis yang telah diajukan, diperoleh sebesar 0,30 antara
motivasi kerja dosen (pengajar) dengan mutu pengajaran. Dalam perkataan
lain, motivasi kerja yang meliputi sikap, situasi kerja, sosial, keamanan dan
ketertiban, penghargaan, mencapai tujuan kelembagaan memiliki hubungan
yang rendah dengan mutu pengajaran di Bidang Pengajaran IPDN. Dengan
koefisien Determinasi (keeratan hubungan) menurut aturan Guillford, bahwa
motivasi kerja mempunyai pengaruh yang rendah tapi pasti terhadap mutu
pengajaran. Variabel mutu pengajaran dipengaruhi sebesar 19,00% untuk
motivasi kerja, sisanya sebesar 81,00% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak
diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
Ade, S. 1999. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya.
Almasdi. 2002. Aspek Sikap Mental dalam Manajemen Sumber Daya Manusia,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Badudu, dan Zain. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Balai
Pustaka.
Djoerban, Wachid. 1997. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Erlangga. .
Gafar, Fachry. 1989, Berbagi Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar.
Jakarta: PT. Bina Aksara.
Guillford, 1995. Fundamental Statistic in psychology and Education.
Singapore: McGraw Hill.
182
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Hasibuan, Malayu, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung:
PT. Alga .
Heidjarachman, R. Suad dan Husnan. 1990. Manajemen Personalia.
Yogyakarta: BPFE
Lenvile. 1990. Perilaku Organisasi. Jakarta: Alumni.
Mulyasa, E. 2005, Kinerja Tenaga Pendidikan yang Profesional. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya
Nitisemito, Alex, S. 1999. Motivasi. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Prabu, Anwar, AA. 1991. Motivasi Kerja Pegawai. Bandung : PT. Rinneka
Cipta.
Prabu, Anwar, AA. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan.
Bandung: Remaja Rosda Kaya.
Prabu, Anwar, AA. 2005. Kecerdasan Emosi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Prabu, Anwar, AA. 2005. Kinerja Sumber Daya Manusia. Bandung: Refika
Aditama.
Samparan, Lukman. 2003. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA
LAN Press.
Sedarmayanti. 2001. Kinerja Hasil Keluaran Proses Performance. Bandung:
Mandar Maju.
Suit, Yusuf dan Almasdi. 2000. Aspek Sikap Mental Dalam Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia.
Tilaar, H.H.R. 2001. Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya
Usman, Uzer. 2001. Metode Penelitian Administrasi Pendidikan. Bandung:
Alfabeta
Widodo. 2004. Cerdik Menyusun Proposal Penelitian, Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Jakarta: Yayasan Kelopak Magna Script
Yus, Alhuda Ayus. 2002. Hubungan Motivasi, Kemampuan, Kedisiplinan
terhadap Produktivitas Tenaga Kerja pada PT. Bangkinang Crumb
Rubber di Pekanbaru, Bandung: Tesis Unpad.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
183
RELEVANSI BAHAN AJAR BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DENGAN KARAKTER BANGSA
Heni Hernawati
STKIP Siliwangi
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Relevansi Bahan Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Karakter Bangsa.
Bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional materials) secara garis besar
terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam
rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terinci, jenis-jenis
materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur)
keterampilan dan sikap atau nilai. Bahan ajar yang baik adalah bahan ajar yang
disusun secara sistematis dengan memperhatikan prosedur penulisan bahan ajar
didalamnya mengandung nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Pada sisi lain bahan
ajar berkedudukan sebagai alat atau sarana untuk mencapai standar kompetensi inti
dan kompetensi dasar. Bahan ajar juga merupakan wujud pelayanan satuan pendidikan
terhadap peserta didik. Prinsip relevansi atau keterkaitan atau hubungan erat
maksudnya adalah materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pencapaian standar
kompetensi dan kopetensi dasar. Dalam menentukan bahan ajar keprofesionalan guru
sangat penting, baik dalam pembelajaran bahasa maupun sastra.Semua materi
hendaknya memiliki relevansi dan dapat membangun karakter bangsa agar unggul dan
mampu bersaing dalam menghadapi era globalisasi. Pendidikan karakter memberikan
kontribusi dalam membangun karakter bangsa melalui materi ajar yang diajarkan
sesuai kompetensi dasar.
Kata kunci : bahan ajar, bahasa, sastra, dan pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Di tengah era globalisasi manusia tidak hanya bersaing dalam segi
ekonomi pemerintahan ataupun politik. Dewasa ini manusia dihadapkan pada
persaingan ilmu pengetahuan. Jelas sekali, bahwa ilmu pengetahuan menjadi
ujung tombak dari semua aspek. Dengan ilmu pengetahuan manusia mampu
menciptakan ide atau gagasannya secara logis. Tentunya penyeimbang ilmu
pengetahuan adalah karakter sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang
terkandung dalam kehidupan sehari-hari (sosial).
Suatu bangsa dapat dikatakan menjadi besar apabila bangsa itu memiliki
karakter positif. Karakter positif inilah yang dianggap begitu penting dalam
kehidupan bernegara. Suatu bangsa dapat dikenal oleh bangsa lain melalui
karakter yang menjadi ciri utama. Salah satu karakter bangsa indonesia yang
menjadi perhatian dunia adalah bentuk tutur dan keramah tamahannya.
184
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Karakter inilah yang ditanamkan sejak dini baik dilingkungan keluarga dan
sekolah. Pada kurikulum 2013 penekanan nilai karakter menjadi hal utama
yang terapkan pada setiap kompetensi inti dan
dikembangkan dalam
kompetensi dasar sehinggga bangsa kita tidak akan kemiskinan nilai karakter.
Nilai karakter ditanamkan oleh setiap guru dalam materi bahan ajar
sehingga keduanya saling memberikan kontribusi positif terhadap proses
pembelajaran. Sebagaimana tercantum dalam undang-undang guru dan dosen
no. 14 tahun 2005 pasal 8 disebutkan bahwa ―Guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, sertifikasi, pendidik, sehat jasmani dan rohani serta
memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional‖.
Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
meliputi kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Dari kompetensi tersebut kompetensi inti yang wajib dimiliki seorang
guru atau dosen diantaranya dapat mengembangkan kurikulum yang terkait
dengan bidang pengembangan yang diampu ―dan‖ menyelenggarakan kegiatan
pengembangan
yang
mendidik
untuk
kompetensi
pedagogis,
serta
mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif dan
memanfaatkan teknologi dan komunikasi untuk berkomunikasi
dan
mengembangkan diri untuk kompetensi profesional.
Pada pengembangan materi/bahan agar guru atau dosen tidak hanya
dituntut untuk kreatif saja, akan tetapi memperhatikan, menimbang, memilah
dan memilih bahan ajar yang sesuai merupakan bentuk keharusan dan juga
tanggung jawab seorang pengajar. Mengingat dewasa ini bangsa kita tengah
mengalami kemerosotan karakter khususnya pada nilai sikap, etika, dan moral.
Sebaiknya guru atau dosen lebih selektif dalam membuat, menyusun bahkan
menggunakan bahan ajar yang sudah jadi.
Bahan ajar merupakan sebagian perangkat dalam menunjang proses
pembelajaran. Bahan ajar yang mampu memberikan nilai-nilai positif
setidaknya dapat memberi pengaruh besar terhadap pola pikir ataupun
perkembangan peserta didik. Membuat atau menyusun bahan ajar sebenarnya
adalah perkara yang gampang, namun karna faktor keterbatasan literatur
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
185
sehingga guru/ tenaga pendidik merasa kesulitan dalam merealisasikan
tuntutan tersebut. Alasan itulah yang menyebabkan banyaknya para pengajar
yang menggunakan bahan ajar buatan orang lain ataupun hasil copas, begitulah
saat ini orang-orang menyebutnya. Produk copas atau copy paste menjadi
produk andalan mereka tanpa memperhatikan baik buruknya dari materi atau
bahan ajar yang mereka gunakan dari hasil copas tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka sangat penting sekali pengaruh
dari materi bahan ajar yang digunakan secara selektif dengan memperhatikan
nilai-nilai karakter yang ada didalamnya karena dapat membangun bangsa
yang berdedikasi tinggi, berkarakter positif ditegah laju era globalisasi yang
penuh persaingan. Karena karakter dan proses pembentukannya yang tidak
mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa dibeli. Sehingga cukup
jelas kontribusi bahan ajar yang tepat memberi pengaruh dalam membentuk
karakter bangsa.
BAHAN AJAR
Pada proses pembelajaran dewasa ini produk instan yang digunakan
pengajar dalam menunjang kegiatan belajar mengajar adalah buku guru, buku
siswa, lembar kerja siswa yang dibuat suatu percetakan alhasil produk ini
dinamai produk instan atau produk siap saji, padahal mereka tahu dan sadar
benar akan kekurangan dan kelebihan bahkan tidak sesuai dengan konteks dan
sosial budaya peserta didik.
Menurut National Centre For Competeny Based Training (2007) bahan
ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru atau
instruktur dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Pandangan lain
menyatakan bahan ajar adalah seperangkat materi yang disusun secara
sistematis, baik tertulis maupun tidak tertulis sehingga tercipta lingkungan atau
suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar (Andi Prastowo 2013:
16). Kemudian ada pula yang berpendapat bahwa bahan ajar adalah informasi,
alat, dan teks yang diperlukan guru atau instruktur untuk perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran. Pandangan-pandangan tersebut juga
dilengkapi oleh pannen (2001) yang mengungkapkan bahwa bahan ajar adalah
186
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bahan-bahan atau materi pelajaran yang di susun secara sistematis, yang
digunakan guru atau peserta didik dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan pandangan diatas jelas sekali bahwa bahan ajar merupakan
segala bahan (baik informasi, alat, maupun teks) yang disusun secara
sistematis yang menamoilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai
perserta didik dan digunakan dalam proses pembelajaran dengan tujuan dan
penalaahan implementasi pembelajaran
Bahan ajar Konvensional - Bahan Ajar Inovatif
Dalam realitas pendidikan dilapangan banyak para pendidik yang masih
menggunakan bahan ajar konvensional. Bahan ajar konvensional yaitu bahan
yang tinggal pakai, tinggal beli, instan serta tanpa upaya merencanakan,
menyiapkan, dan menyusun sendiri (Andi Prastowo, 2013:181). Penggunaan
bahan ajar konvensional dinilai tidak kontekstual, tidak menarik dan cenderung
monoton karena tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Penggunaan
bahan ajar konvensioanal ini pula menyebabkan runtuhnya nilai-nilai
kreatifitas yang dialami para sebagian pengajar. Namun untuk sebagian guru
atau pengajar penggunaan bahan ajar konfensional ini dapat menjadi motivator
dalam menyusun bahan ajar yang dinamis, kreatif dan inovatif.
Adapun bentuk dari bahan ajar konvensional biasanya meliputi buku teks
pelajaran, dan LKS. Penggunaan buku teks pelajaran dan LKS sebagai bahan
ajar dimanfaatkan guru atau para pengajar dalam proses kegiatan
pembelajaran. Tentunya kita mengetahui dan sadar benar bahwa untuk
mnecapai pembelajaran yang dinamis, efektif dan efesien tentunya kita
memerlukan kreatifitas yang tinggi, yaitu dengan mengembangkan bahan ajar
konvensional diatas menjadi bahan ajar yang inovatis, variatif, kontekstual,
menarik tentunya sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Mutu pembelajaran menjadi rendah ketika pendidik hanya terpaku pada
bahan ajar konvensional tanpa ada kretifitas untuk mengembangkan bahan ajar
tersebut secara inovatif. Adapun bentuk dari bahan ajar inovatif adalah bahan
ajar yang disusun secara sistematis dengan memperhatikan sosial budaya
peserata didik, perkembangan psikologi peserta didik khususnya dalam materi
pelajaran, dan unsur-unsur yang menunjang kualitas bahan ajar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
187
Berdasarkan penjelasan tersebut kita pun dapat menarik sebuah
kesimpulan, bahwa pembelajaran yang menggunakan bahan ajar yang
menekankan kreatifitas tinggi dapat mengubah proses pembelajaran dari
konvensional menuju proses pembelajaran yang inovatif dan lebih dinamis.
Fungsi dan Tujuan serta Manfaat Pembuatan Bahan Ajar
Pada bagian ini, sebelum masuk pada penjelasan dari fungsi pembuatan
bahan ajar, hal yang tidak kalah penting dengan persoalan tersebut perlu
diungkapkan terlebih dahulu mengenal sumber belajar yang menjadi bahan
utama dalam penyusunan bahan ajar. Sumber belajar akan memperkaya
informasi yang diperlukan dalam menyusun bahan ajar, dan memudahkan
peserta didik dalam mempelajari kompetensi tertentu yang harus dicapai pada
proses pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa buku-buku yang
berlandaskan teori-teori yang dibutuhkan atau sesuai kompetensi yang akan
diajarkan. Kegunaan sumber belajar sangatlah penting karena dapat
memberikan kesan bermakna pada proses pembelajaran.
a) Fungsi Bahan Ajar
Fungsi bahan ajar diklasifikasikan menjadi beberapa fungsi, namun
fungsi yang paling menonjol adalah fungsi bahan ajar menurut pihak
yang memanfaatkannya adalah sebagai berikut :
1) Fungsi bahan ajar bagi pendidik, yaitu a) Menghemat waktu
pendidik dalam mengajar b) mengubah peran pendidikdari seorang
pengajar menjadi fasilitator c) meningkatkan proses pembelajaran
menjadi lebih efektif dan efesiensi d) sebagai pedoman bagi
pendidik yang akabn mengarahkan semua aktifitasnya dalam proses
pembelajaran
dan
merupakan
substansi
kompetensi
yang
semestinya diajarkan kepada peserta didik. e) sebagai alat evaluasi
pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran.
2) Fungsi bahan ajar bagi peserta didik Yaitu :
(a) peserta didik dapat belajar tanpa harus ada pendidik atau teman
peserta didik yang lain.
188
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
(b) peserta didik dapat belajar kapan saja dan dimana saja yang ia
kehendaki.
(c) peserta didik dapat belajar sesuai kecepatannya masing-masing.
(d) peserta didik dapat belajar sesuai urutan yang di pilihnya
sendiri.
(e) membantu
potensi
peserta
didik
untuk
menjadi
pelajar/mahasiswa yang mandiri.
(f) sebagai pedoman bagi peserta didik yang mengarahkan semua
aktifitasnya dalam proses pembelajaran dan merupakan
substansi
kompetensi
yang
seharusnya
dipelajari
atau
dikuasainya.
b) Tujuan Penulisan Bahan Ajar
Menurut Andi Prastowo (2013:26), terdapat empat hal pokok dalam
pembuatan bahan ajar, yaitu:
1) Membantu peserta didik dalam mempelajari sesuatu,
2) Menyediakan berbagai jenis pilihan bahan ajar, sehingga
mencegah timbulnya rasa bosan pada peserta didik
3) Memudahkan peserta didik dalam melaksanakan pembelajaran,
4) Agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik
c) Manfaat Penulisan Bahan Ajar
Manfaat penulisan bahan ajar dibedakan menjadi dua macam , yaitu
kegunaan bagi pendidik dna kegunaan bagi peserta didik.
1) Kegunaan Bagi Pendidik
(a) Pendidik akan memilih bahan ajar yang dapat membantu dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran.
(b) Bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk
menambah angka kredit pendidik guna keperluan kenaikan
pangkat.
(c) Menambah penghasilan bagi pendidik jika hasil karyanya
diterbitkan.
2) Kegunaan bagi peserta didik
(a) Kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
189
(b) Peserta didik lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk
belajar secara mandiri dengan bimbingan pendidik dan
(c) Peserta didik mendapatkan kemudahandalam mempelajari sikap
kompensi yang harus dikuasainya.
Berdasarkan fungsi, tujuan, dan manfaat yang sudah diuraikan di atas
cukup jelas bahwa kedudukan bahan ajar dalam proses pembelajaran dapat
memberi kontribusi serta pengaruh besar. Pembelajaran tentunya akan lebih
terpadu dan inovatif apabila seorang guru atau dosen benar-benar menyusun
bahan ajar secara kreatif untuk sistem pembelajaran yang lebih dinamis.
Bentuk dan Langkah Penyusunan Bahan Ajar
Selama ini kita beranggapan bahwa bentuk bahan ajar adalah
seperangkat buku teks yang memuat materi belajar selama satu semester atau
satu tahun. Padahal bahan ajar itu sendiri memiliki bentuk yang banyak dan
variatif. Pemanfaatannya pun sesuai dengan bidang kegiatan yang diampu.
Bentuk-bentuk bahan ajar meliputi handout yaitu kumpulan materi yang
berbentuk bahan cetak. Bahan cetak adalah sejumlah bahan yang disiapkan
dalam kertas yang berfungsi untuk keperluan pembelajaran atau penyampaian
informasi (kemp dan Dayton, 1985). Hand out, buku modul, lembar kerja
siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, merupakan contoh-contoh dan
bahan cetak. Selanjutnya yang termasuk bentuk bahan ajar lain yaitu modul,
buku teks, lembar kerja siswa, model (market), bahan ajar audio, video.
Bahan ajar interaktif untuk pembelajaran bahasa dan sastra tentunya
bentuk bahan ajar diatas dapat dijadikan suatu alternatif dalam menunjang
materi pelajaran seperti pemanfaatan foto atau gambar sebagai bahan ajar yang
digunakan untuk 4 keterampilan berbahasa khususnya dibidang menyimak,
berbicara, dan menulis atau pemanfaatan audio video untuk materi berita,
deklamasi puisi,drama, dan lain sebagainya. Semua bentuk dari bahan ajar
diatas tidak lain adalah suatu media yang membantu guru dalam menciptakan
pembelajaran yang tadinya biasa saja menjadi berbeda.
Selain bentuk bahan ajar, pada bagian ini akan dijelaskan bagaimana
langkah-langkah pembuatan bahan ajar. Menurut Andi Prastowo (2013:50) ada
190
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tiga tahapan yang dalam menyusun bahan ajar langkahnya yaitu menganalisis
kurikulum, analisis sumber belajar, dan penentuan jenis serta judul bahan ajar.
1) Langkah pertama : menganalisis kurikulum
Dalam menganalisis kurikulum ada lima hal yang perlu diperhatikan; pertama
standar kompetensi yakni kualifikasi kemampuan peserta didik yang
menggambarkan penguasaan siikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
diharapkan dalam setiap tingkat/smester. Kedua, kompetensi dasar yakni
sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran
tertentu sebagai rujukan untuk menyusun indikator kompetensi. Ketiga,
indikator kecapaian hasil belajar. Indikator merupakan rumusan kompetensi
yang spesifik yang dapat dijadiakan kriteria penialian dalam menentukan
kompetensi dasar (Nasar 2006). Keempat, materi pokok yakni sejumlah
informasi utama, pengatahuan, keterampilan, atau nilai yang di susun
sedemikian rupa oleh guru agar peserta didik menguasai kkompetensi yang
ditetapkan. Kelima, pengalaman belajar yakni sustu aktifitas yanag di desain
oleh pendidik supaya dilakukan para peserta didik agar mereka menguasai
kompetensi yang telah di tentukan.
2)
Langkah kedua : menganalisis sumber belajar
Kriteria Analisis sumber belajar dilakuakan berdasarkan ketersediaan,
kesesuaian, dan kemudahan dalam memanfaatkannya. Caranya dengan
menginfentarisasi ketersediaan sumber belajar yang dikaitkan dengan
kebutuhan
3)
Langkah ketiga : Memilih dan menentukan bahan ajar.
Langkah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu kriteria bahwa bahan
ajar harus menarik dan dapat membantu peserta dididk dalam mencapai
kompetensi. Menurut Ibid (Andi Prastowo 2013:58) ada tiga prinsip yang
dapat dijadikan pedoman. Pertama prinsip Relevansi, maksudnya bahan ajar
yang dipilih haruslah memiliki relasi atau hubung dengan pencapaian
kompetensi dasar. Kedua prinsip kecukupan maksudnya pemilihan bahan ajar
hendaknya memadai dalm membantu siswa dalam menguasai kompetensi
dasar yang diajaarkan. Ketiga prinsip konsistensi maksudnya bahan ajar yang
dipilih harus ajeg.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
191
Materi Ajar Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Sebelumnya dijelaskan penentuan sumber belajar dalam menunjang
pembuatan atau peyusunan bahan ajar haruslah memperhatikan faktor-faktor
yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi. Dalam hal ini pemilihan materi ajar
dianggap hal yang mudah karen guru biasanya memanfaatkan secara praktis
sumber-sumber belajar yang disediakan di sekolahn dengan ketersediaan
ataupun keteratasan tergantung pada sekolah tersebut. Namun perlu kita
ketahui bahwa pentignnya menentuakan, memilah dan memilih materi ajar
yang tepat dapat memberi pengaruh besar terhadap pembentukan pola pikir
dan kompetensi siswa itu sendiri.
Materi ajar tidak berbeda jauh dengan bahan ajar, hanya saja materi
disini dianggap lebih spesifik, materi ajaar merupakan bagian inti dari proses
pembelajaran, dimana guru tidak bisa menyusun bahan ajar tanpa adanya
materi ajar yang diikat oleh beberapa teori yang sudah valid.
Dalam pembelajaran bahasa contohnya penggunaan teks atau wacana
yang relevan akan berdampoak positif terhadap perkembangan pola pikir,
kompetensi dan perkembangan psikolgis siswa. Dalam kurikulum 2013 siswa
pembelajaran berbasis teks dan bersifat kontekstual produk pembelajaran
berupa teks merupakan bagian akhir yang harus dikuasai peserta didik diakhir
pembelajaran baik itu menulis, menyimak, berbicara maupun membaca. Semua
aspek itu saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan begitu pula ketika
peserta didik belajar sastra dimana keempat kegiatan tersebut dilakukan baik
secara bersamaan maupun disesuaikan dengan kebutuhan materi ajar seperti
membaca puisi, menulis puisi, mengapresiasi pusi, cerpen, novel, dan lain
sebagainya.
Teks/wacana
yang
dijadikan
materi
agar
harus
benar-benar
memperhatikan tiga aspek yang hampir sama dengan pengambangan buku teks
yaitu materi penyajian dan bahasa atau keterbatasan. Standar yang berkaitan
dengan materi adalah kelengkapan materi, keakuratan materi, kegiatan
yangmendukung
materi,
kemuktahiran
materi,
upaya
meningkatkan
kompetensi siswa, pengorganisasian materi mengikuti sistematika keilmuan,
192
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
materi
pengembang
keteramppilan
dan
kemampuan
berfikir,
materi
merangsang siswa untuk melakukan inquiry.
Selain itu aspek lain yang harus diperhatikan dalam menentukan teks
atau wacana sebagai materi ajar haruslah relevan dengan perkembangan
peserta didik berdasarkan gradasi pendidikannya, perkembangan psikologi
peserta didik, adanya korelasi mataeri yang diajarkan dengan mata pelajaran
lain dan kehidupan sehari-hari peserta didik. agar manfaatnya dapat mereka
aplikasikan dilingkungan tempat tinggalnya.
Dan penggunaan notasi, simbol dan satuan. Berdasarkan aspek diatas
cukup jelas bahwa materi yagn diajarkan memenuhi standar dan ketepatan
apabila memenuhi kriteria diatas. Tidak hanya itu saja faktor penyajiannya pun
menjadi hal penting. Pada tekhnik penyajiannya materi diuraikan atau
dipaparkan secara jelas,
memiliki
manfaat
dan kebermaknaan,
dan
penyampaian informasinya harus variatif dan mengembangkan pembentukan
ilmu pengetahuan dan dapat meningkatkan kualitas belajar. Sedangkan
berdasarkan aspek kebahasaannya materi ajar haruslah berpedoman pada
pengunaan bahasa indonesia yang baik dan benar meliputi penggunaan tanda
baca yang tepat, kejelasan bahasa, kesesuaian bahasa agar hasil akhir yang
diharapkan peserta didik kita menguasai bahasa secara baik dan benar tentunya
unggul dalam berbahasa. Namun berbeda apabila kita berbicara materi sastra
karena dalam sastra tidak ada aturan ataupun definisi yang mengikat. Sastra
sangatlah luas definisi yang relative dimiliki setiap penikmatnya memperkaya
materi dan teori sastra. Sehingga tata buku yang digunakan pun tidak terikat
dengan aturan ketata bahasaan yang baku ataupun formal karena kembali lagi
pada konteks diatas bahwa sastra tidak memiliki batasan.
Namun berbicara materi ajar sekali pun karya sastra tetap saja harus
relevan dengan kebutuhan nkompetensi dasar maupun kompeternsi siswa. Pada
teks cerpen , puisi, novel maupun drama disesuaikan dengan gradasi
pendidikan peserta didik.dimana tingkat sekolah dasar teks puisi ataupun
cerpennya hanya bertemakan perjuangan lingkungan, alam semesta, ketaatan
kepada Tuhan, bentuk hormat kepada orang tua , dan tentang kehidupan anakanak pada usia saat itu. Pada tingkatan sekolah menengah materi ajar pun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
193
semakin kompleks disesuaikan kebutuhan kompetensi, sedangkan pada
tingkatan sekolah menengah atas selain kompleks kegiatannya lebih banyak
mengapresiasi karena kegiatan ini dinilai dapat mengasah cara pandang siswa
terhadap karya sastra yang ditemuinya.
Materi Ajar Bahasa Indonesia dan Sastra dalam Membangun Karakter
Bangsa.
Apa itu pendiddikan karakter?
Dalam undang-undang tentang pendidikan nasional yang pertama kali
ialah UU 1946 yang berlaku tahun 1947, hingga UU Sisdiknas nomor 20 tahun
2003, yang terakhir pendidikan karakter telah ada, namun belum menjadi fokus
utama pendidikan. Pendidikan ahlak (karakter) masih digabungkan dalam mata
pelajaran agama dan sepenuhnya diserahkan kepada guru agama. Padahal
bukan tugas guru agama saja yang membangun karakter melainkan tugas dan
tanggung jawab kita semua sebagai guru atau dosen. Jadi bukanlah suatu
jaminan apabila pendidikan karakter hanya diserahkan pada guru agama saja.
Tentunya itu tidak akan berhasil, sehingga wajar pada saat ini pendidikan
karakter belum optimal.
Kembali lagi pada persoalan karakter, dewasa ini bangsa kita tengah
mengalami krisis etika, moral, budi pekerti dan ahklak. Dalam hal ini sulit
untuk menyalahkan salah satu pihak, namun semua itu akan terjawab apabila
kita semua berperan aktif mendukung program pemerintah, dibantu oleh guru
sekolah dan dipupuk sejak dini dari lingkungan keluarga.
Dalam kurikulum 2013 pendidikkan karakter menjadi dasar utama
dimana pendidikan karakter ini ada pada setiap kompetensi inti (KL 1-4).
Kurikulum 2013 ini mengelompokkan mata pelajaran menjadi tiga yaitu
kelompok A, kelompok B, dan kelompok C dengan tujuan untuk memberikan
pengetahuan penting tentang bangsa, bahasa, sikap sebagai bangsa, dan
kemampuan penting dalam mengembangkan logika peserta didik, masyarakat,
dan bangsa. Pengenalan lingkungan fisik dan alam, kebugaran jasmani serta
seni budaya daerah dan nasional (Yanuar, 2013:26).
194
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pendidikan karakter merupakan suatu proses yang diterapkan
disekolah, dirumah ataupun dalam lingkungan masyarakat dalam membentuk
kepribadian seseorang dalam mengendalikan emosi perasaan dan cara pandang
seseorang terhadap suatu hal. Jadi pendidikan karakter ini memiliki pengertian
yang sangat luas seperti yang dikemukakan oleh Hornby and Parnwell (1972)
mendefinisikan karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral,
nama atau reputasi. Sedangkan Tadkirotun Musfiroh (2008) mengatakan
karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors),
motivasi (motivations) dan keterampilan (skill).
Berdasarkan pandangan di atas cukup jelas bahwa pendidikan karakter
menunjukkan bagaimana seseorang bersikap atau bertingkah laku. Seseorang
dikatakan berkarakter apabila dia mampu menjaga kehormatan dirinya,orang
lain dengan cara menghargai, berlaku jujur, suka menolong tentulah orang
tersebut memanisfetasikan karakter.
Materi Ajar Bahasa dan Sastra Indonesia Bermuatan Karakter.
Dalam kurikulum 2013 bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran
sebagai penghela ilmu pengetahuan. Bahasa indonesia merupakan mata
pelajaran kelompok wajib A. Kelompok mata pelajaran A adalah mata
pelajaran yang memberikan orientasi kelompok lebih kepada aspek kognitif
dan efektif.
Materi ajar dalam bahan ajar pada kurikulum ini terdapat buku guru
dan buku siswa bertujuan memberikan kesempatan yang sama kepada peserta
didik untuk mempelajari atau mendalami materi sebagai materi ajar yang harus
mereka kuasai. Buku guru ini cukup membantu guru dalam proses
pembelajaran. Namun buku inipun bukanlah sebuah produk instan yang dapat
dinikmati begitu saja. Guru terlebih dahulu menganalisis buku yang dijadikan
sumber belajar. Seorang guru atau pengajar berhak menggunakan atau
membuat sendiri materi ajar ini akan dinilai lebih kreatif.
Maksud dan tujuan penulis bukan ingin memvonis bahwa buku guru
atau buku siswa tidak layak guna, namun penulis ingin mengajak guru atau
pengajar untuk sama-sama peduli terhadap materi dalam bahan ajar yang akan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
195
digunakan yaitu dengan cara menganalisis terlebih dahulu materi ajar sebelum
disampaikan kepada siswa, dengan menganalisis baik dari isi, ciri, bentuk, dan
manfaat materi tersebut untuk diajarkan karena tidak sedikit materi yang sudah
masuk pada buku teks terdapat kesalahan-kesalahan kecil (bersifat manusiawi),
dan ketidaktepatan materi ajar khususnya teks atau wacana yang dipilih
sebagai materi ajar.
Baik itu materi untuk bahasa ataupun sastra faktor keterbacaan wacana
atau teks harus diperhatikan. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
pertama tentukan topik atau tema yang sesuai dengan kompetensi dasar agar
tidak keluar dari konteks yang di ajarkan. Kedua menganalisis keterbacaan
wacana apakah sesuai dengan gradasi /jenjang pendidikan peserta didik. ketiga
sesuaikan teks atau wacana dengan latar belakang peserta didik yang bersifat
homogen dilihat dari otomi lingkungan tempat mereka tinggal atau
kebudayaannya. Hal ini akan berdampak baik pada proses pembelajaran
bahasa dan sastra karena materi yang disampaikan tidak jauh dari yang mereka
temui dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga materi ajar yang dibuat atau
dijadikan bahan ajar harus mengandung unsur-unsur seperti nilai karakter, nilai
relegius, sesuai dengan tingkat psikologi perkembangan peserta didik dan
dapat memotivasi kepada peserta didik. Menurut Greene dan Petty (Tangan 20)
menyusun cara penilaian buku teks. Pendapat ini bisa juga diterapkan dalam
penentuan materi ajar. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai
berikut :
1)
Buku teks haruslah menarik minat anak-anak yaitu para siswa yang
mempergunakannya,
2)
Buku teks haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang
akan memakainya,
3) Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik para siswa yang
memanfaatkannya,
4) Buku teks seyogyanyalah mempertimbangkan aspek-aspek linguistik
sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya,
196
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
5) Buku teks isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran
lainnya : lebih lagi dapat menunjanganya dengan rencana sehingga
semuanya merupakan suatu kebu;latan yang utuh dan terpadu,
6) Buku teks haruslah dapat menstimulasi, merangsang, aktivitas-aktivitas
pribadi para siswa yang menggunakannya,
7) Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep
yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para
siswa yang memakainya,
8) Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau ―point of view‖ yang
jelas dan tegas sehingga pada akhirnya menjadi sudut pandang para
pemakainya yang setia.
9) Buku teks haruslah mampu memberi pemantapan penekanan pada nilainilai anak dan orang dewasa, dan
10) Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para
siswa pemakainya.
Sepuluh butir kriteria yang dijelaskan di atas jelas sekali memberi
gambaran pada kita semua bahwa baik itu buku teks ataupun bahan ajar yang
digunakan harus benar-benar tersusun secara sistematis dengan memperhatikan
konsep tersebut agar materi yang diajarkan tepat guna.
Materi ajar yang bermuatan karakterpun berada dalam poin yang
diajarkan diatas. Jelas sekali konsep ini sudah ada sejak dulu dan dijadikan
pedoman dalam menyusun buku teks ataupun materi dalam bahan ajar. Materi
ajar yang baik berusaha memantapkan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dijadikan sebagai puncak yang harus
dicapai selain pendalaman teori.
Sekarang kita akan berbicara materi ajar bahasa dan
sastra yang
bermuatan nilai-nilai karakter. Banyaknya informasi yang dimuat dalam
sebuah teks atau wacana sebagai medianya, menjelaskan mengenai hal-hal
yang terjadi. Informasi yang bermaksud di sini dapat berupa opini atau fakta.
Materi yang disajikan biasanya bersifat up to date dan mereview kejadian
sebelumnya sebagai pembanding. Apabila kita mencermati kebutuhan
informasi dalam teks atau wacana yang disajikan terkadang kita menemukan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
197
kesalahan-kesalahan kecil seperti penulisan, penempatan tanda baca, ketepatan
pendiksian kata dan keterbacaan yang tidak relevan dengan gradasi atau
tingkat pendidikan. Contoh tersebut untuk sebagian mungkin beranggapan
kesalahan cetak atau kesalahan pengeditan editor, khususnya dalam bidang
ejaan, hal lain seperti pemilihan diksi yang tidak tepat dapat memberikan
pemahaman lain terhadap kemampuan berpikir peserta didik. Jelas sekali ini
akan berakibat fatal apabila diksi yang digunakan menggunakan pendiksian
yang tidak sesuai. Misalnya penggunaan kata-kata yang sukar untuk tingkatan
kelas rendah seperti SD dan SMP. Sebelumnya kita pernah dihebohkan dengan
pemberitaan mengenai munculnya teks atau wacana bernilai pornografi,
kekerasan, penggunaan ilustrasi gambar yang tidak sesuai yang dimuat dalam
buku pelajaran. Para pengamat pendidikan angkat bicara hal ini dapat
menurunkan citra dan juga dapat membentuk karakter negatif pada anak muda
sebagai generasi penerus bangasa. Sungguh ironi memang apabila kita sebagai
pengajar bersikap masa bodoh. Sebetulnya banyak sekali materi ajar baik
bahasa maupun sastra yang memiliki nilai-nilai yang dapat membentuk
karakter bangsa yang mandiri, dinamis,agamis dan memiliki edukasi yang
tinggi, contoh : Pemanfaatan biografi para pahlawan baik itu pahlawan revolusi
maupun pahlawan demokrasi saat ini, pemanfaatan berita atau informasi yang
mampu memberikan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai kehidupan. Pemanfaatan
karya sastra sesuai dengan perkembangan siswa sastra anak untuk gradasi
pendidikan rendah seperti sekolah dasar, cerita rakyat, legenda yang sesuai dan
mampu menanamkan sikap peduli terhadap tuhan YME, sesama, dan alam
semesta dalam menjaga kearifan lokal, agar peserta didik menjadi manusia
yang berbudaya. Pemanfaatan karya sastra lain seperti puisi, prosa, novel,
drama dan lain-lain sesuai dengan kompetensi yang diharapkan. Penekanan
pentingnya mengajarkan bahasa dalam konteks kehidupan nyata dalam
mendorong prestasi belajar baik belajar ketatabahasaannya maupun karya
sastra yang sesuai dengan kehidupan masyarakat kita yang berbudaya dan
mengkiblat ke masyarakat timur yang taat akan nilai-nilai religius. Kontribusi
materi ajar terhadap pembentukkan karakter bangsa membantu anak muda
yang menjadi ujung tombak bangsa memiliki ahlak mulia, bijaksana, tanggung
198
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
jawab, disiplin, dan mandiri. Pencitraan materi ajar ini juga yang dapat
membentuk kepribadian peserta didik. Dalam berkomunikasi peserta didik
menjadi generasi unggul dalam berbahasa, dengan demikian hal-hal diatas
dapat terealisasi dengan baik dan bijaksana apabila guru atau pengajar
merealisasikannya dalam proses belajar mengajar disekolah.
SIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas mengenai relevansi materi bahan ajar
bahasa dan sastra indonesia dalam membangun karakter bangsa. Masalah
utama yang paling menonjol adalah kesadaran guru atau pengajar terhadap
keterbatasan materi bahan ajar yang perlu di analisis, di revisi apabila terjadi
kesalahan, dan mampu mengembangkan materi ajar berdasarkan aspek-aspek
yang menjadi pedoman seperti menanamkan nilai-nilai sesuai dengan
kebiasaan dalam masyarakat, menjadikan bahan ajar lebih menarik sehingga
menarik minat peserta didik, dapat menghargai perbedaan, menstimulasi atau
merangsang peserta didik dalam mengembangkan kemampuannya, kesesuaian
atau relevansi isi materi dengan perkembangan psikologi peserta didik. Hal-hal
tersebut menjadi poin penting namun hal tersebut tidak akan terealisasi dengan
baik tanpa peranan guru atau pengajar yang dengan sigap mampu
menempatkan materi atau bahan ajar tersebut sesuai dengan konteks.
Materi ajar yang bermuatan karakter merupakan materi ajar yang berisi
pesan atau amanat positif didalamnya. Materi ajar ini merupakan bentuk
stimulus atau rangsangan sistematis dalam membentuk karakter bangsa
dimulai dari hal yang sederhana sampai yang kompleks melalui pemanfaatan
bahan ajar yang relevan baik bahasa maupun sastra memberi konstribusi positif
terhadap perkembangan peserta didik dalam membangun bangsa yang mandiri,
relegius, berbudi luhur, tanggung jawab, disiplin dan mampu bersaing dengan
bangsa lain. Tentunya berbagai upaya akan terus dilakukan para pelaku
pendidik dalam mewujudkan bangsa yang unggul dan berkarakter sebagai ciri
dari bangsa Indonesia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
199
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Karakter. Bandung : Alfabeta
Tarigan, Henri Guntur. 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung :
Angkasa Pratowo, Andi. 2013. Panduan Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Yogyakarta : Divapress
Rochman, Maman. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Moral, Semarang :
Unnespress
Setya Ningrum, Yanwar. 2013. Desain pembelajaran berbasis pencapaian
kompetensi. Jakarta : Pretasi Pusaka.
Sitepu. 2013. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung : Rosda Rmajakarya.
Suparman, Atwi. 2002. Desain Intruksional Modern. Jakarta : Erlangga
Wina Putra, Udin. 2005. Model-model Pembelajaran Inovatif. Jakarta : PAUPPAI.
200
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
JALAN MENIKUNG: MENYOAL KARAKTER TOKOH
PADA PERGESERAN KELAS SOSIAL
Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya, Pengarang dan Masyarakat
Heri Isnaini
Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Jalan Menikung: Menyoal Karakter Tokoh pada Pergeseran Kelas Sosial.
(Kajian Sosiologi Sastra: Hubungan Karya, Pengarang dan Masyarakat). Kajian
ini mendeskripsikan struktur pembangun novel yang merepresentasikan pergeseran
kelas sosial dalam masyarakat; dan adanya hubungan yang sangat erat antara sastra,
pengarang, dan masyarakat. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah
analisis teks untuk mengetahui strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami
lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra (Damono, 2010:3). Sastra adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya. Bahasa dalam
karya sastra diciptakan oleh masyarakat sosial dalam komunitasnya. Pengarang
sendiri adalah anggota kelompok dari masyarakat tersebut. Dalam sastra
penggambaran masyarakat dari berbagai peristiwa dan penggambaran kehidupannya
terekam dalam bentuk karya sastra yang mau tidak mau akan dikonsumsi oleh
masyarakat secara berkesinambungan dan timbal balik. Pendekatan terhadap sastra
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh beberapa ahli disebut
sosiologi sastra. Novel Jalan Menikung karya Umar Kayam adalah novel lanjutan dari
novel Para Priyayi. Novel ini membicarakan pergeseran kelas yang terjadi di dalam
cerita tersebut. Pergeseran kelas dalam novel ini menandakan bahwa ada hubungan
antara sastra, pengarang, dan masyarakat.
Kata Kunci: jalan menikung, pergeseran kelas, sosiologi sastra.
PENDAHULUAN
Jalan Menikung adalah novel lanjutan dari novel Para Priyayi karya
Umar Kayam. Novel ini berkisah tentang kehidupan generasi keempat
keluarga Sastrodarsono. Di dalam novel ini, Umar Kayam banyak bercerita
tentang problematika kelas sosial pada masyarakat Jawa kontemporer.
Problematika tersebut mencerminkan pandangan pengarang dalam menyikapi
realitas masyarakat yang terjadi. Pembahasan tentang problematika ini pada
hakikatnya memperlihatkan hubungan yang erat antara sastra, sastrawan, dan
masyarakat. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra. Ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra. Pertama,
pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan cermin
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
201
proses sosial-ekonomis belaka. Dalam pendekatan ini teks sastra tidak
dianggap utama, ia hanya merupakan epiphenomenon (gejala kedua). Kedua,
pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode
yang digunakan dalam pendekatan ini adalah analisis teks untuk mengetahui
strukturnya, kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial
di luar sastra (Damono, 2010: 3).
Kenyataan sejarah yang melatarbelakangi proses penciptaan karya sastra
mempunyai peranan penting dalam memberikan makna pada sebuah karya
sastra. Karya sastra seringkali memotret zaman tertentu dan akan menjadi
refleksi zaman tertentu pula. Karya sastra sebagai cerminan masyarakat pada
suatu zaman bisa juga dianggap sebagai dokumen sosial budaya, meskipun
unsur-unsur imajinasi tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab tidak mungkin
seorang pengarang dapat berimajinasi jika tidak ada kenyataan yang
melandasinya. Pradopo (2002: 59) mengemukakan bahwa karya sastra secara
langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh pengalaman dari lingkungan
pengarang. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak akan lepas dari
tatanan masyarakat dan kebudayaannya. Semua itu berpengaruh dalam proses
penciptaan karya sastra. Penciptaan karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan
proses imajinasi pengarang dalam melakukan proses kreatifnya. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pradopo (2002: 61) yang mengemukakan bahwa karya sastra
lahir di tengah-tengah masyarakat sebagai hasil imajinasi pengarang serta
refleksinya terhadap gejala-gejala sosial yang ada di sekitarnya.
Memperhatikan latar belakang pengarang novel Jalan Menikung, Umar
Kayam merupakan pengarang yang cukup kreatif. Kekreatifannya itu
membuatnya menjadi pengarang berkualitas. Umar Kayam lahir di Ngawi,
Jawa Timur, pada tanggal 30 April 1932 adalah seorang keturunan priyayi.
Dalam dunia sastra Umar Kayam termasuk dalam periode angkatan 50 (1950–
1970). Ia meraih gelar Doktor dari Cornell University, AS. Ia
mengajar
sebagai guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada sampai
pensiun pada 1977. Karya tulisnya yang lain adalah Seribu Kunang-kunang di
Manhattan (kumpulan cerpen); Sri Sumarah dan Bawuk (novel); Mangan Ora
Mangan Kumpul; Sugih Tanpa Banda; dan lain-lain. Keterlibatan pengarang
202
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dalam karya yang dibuatnya menjadi hal yang menarik untuk diteliti, yaitu
mengenai hubungan antara karya, pengarang, dan masyarakatnya.
Penjelasan tersebut membawa kita pada permasalahan mengenai hal-hal
berikut. Pertama, bagaimana pergeseran kelas sosial digambarkan pada
struktur novel? Kedua, bagaimana hubungan antara karya, pengarang, dan
masyarakat yang tergambar pada novel berkaitan dengan problematika
pergeseran kelas sosial? Hasil dari penelitian ini bertujuan memperoleh
deskripsi hal-hal sebagai berikut.
1. Menunjukkan
struktur
pembangun
novel
yang
merepresentasikan
pergeseran kelas sosial dalam masyarakat; dan
2. Menunjukkan hubungan karya, pengarang, dan masyarakat yang tergambar
pada novel berkaitan dengan problematika pergeseran kelas sosial
HASIL DAN PEMBAHASAN
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dipergunakan oleh para
kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara
pengarang dengan kelas sosial, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi
dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang
bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mutlak
terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu. Pada
prinsipnya, menurut Lauren dan Swingewood dalam Endraswara (2004: 79),
terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra yaitu; (1) Penelitian
yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) Penelitian
yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, (3)
Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan
keadaan sosial budaya.
Sementara Wellek dan Warren (1956: 84) membuat klasifikasi sebagai
berikut: Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial,
ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil
sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu
sendiri; yang menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
203
sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang
memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Klasifikasi tersebut
tidak banyak berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt (1964: 300-313)
dengan esainya yang berjudul ―Literature and Society‖. Esai tersebut
membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
yang secara keseluruhan merupakan bagan seperti berikut ini.
1. Konteks sosial pengarang
2. Sastra sebagai cermin masyarakat
3. Fungsi sosial sastra
Lowenthal dalam Endraswara (2004: 88) mengungkapkan sastra sebagai
cermin nilai dan perasaan, akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi
dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu bersosialisasi biasanya
akan menjadi sorotan pengarang yang tercemin lewat teks. Cermin tersebut,
dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. Maksudnya,
pengarang secara nyata memantulkan keadaan masyarakat lewat karyanya
tanpa
terlalu
banyak
diimajinasikan.
Karya
sastra
yang
cenderung
memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman.
Dalam hal ini, sebenarnya pengarang berupaya untuk mendokumentasikan
zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan
pembacanya. Oleh karena itu, masyarakat cenderung dinamis dan karya sastra
juga akan mencerminkan hal yang sama.
Ian Watt dalam Damono (2002: 5) merumuskan pendekatan sosiologi
sastra melalui tiga cara:
1. Konteks pengarang. Ini berhubungan dengan posisi sosial sastrawan
dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca.
2. Sastra sebagai cerminan masyarakat, sampai sejauh mana sastra dapat
dianggap mencerminkan keadaan masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai berapa jauh pula nilai sastra
dipengaruhi oleh nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus pendidikan bagi
masyarakat pembaca.
204
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Secara tersirat Howe dalam Damono (2010: 38) menyatakan bahwa
novelis politik harus melibatkan diri sebaik-baiknya dalam pergolakan politik;
tanpa hal itu, karyanya akan mentah. Gagasan tentang keterlibatan pengarang
ini lebih ditekankan lagi oleh Max Adereth dalam Damono, (2010: 28) yang
salah satu karangannya membicarakan literature engage (sastra yang terlibat).
Dalam karangan itu Adereth
mencoba
menampilkan dan sekaligus
mempertahankan gagasan tentang keterlibatan sastra dan sastrawan dalam
politik dan ideologi.
Gagasan ini timbul sebagai akibat dari pengaruh ideologi modern
terhadap kesusasteraan. Gagasan keterlibatan besumber pada dua hal pokok.
Pertama, kita dihadapkan kepada kenyataan yang bergerak begitu cepatnya
sehingga hampir tak ada kesempatan bagi kita untuk memahaminya. Kedua,
krisis yang mendalam telah menimpa peradaban kita.
Menurut Williams dalam Damono (2010: 37), ada tujuh macam cara
yang dipergunakan pengarang untuk memasukkan gagasan sosialnya ke dalam
novel.
1. Gagasan sosial disampaikan secara lugas, dengan kata lain
dipropagandakan dalam novel.
2. Novel yang tidak sepenuhnya menyampaikan gagasan dengan lugas, tetapi
tetap jelas menunjukkan niat untuk memikat orang ke arah gagsan
tertentu.
3. Gagasan dimasukkan ke dalam novel lewat perbantahan di antara tokohtokoh yang bermain di dalamnya.
4. Menyodorkan gagasan sebagai konvensi.
5. Memunculkan gagasan sebagai tokoh.
6. Melarutkan gagasan dalam keseluruhan dunia fiksi.
7. Menampilkan gagasan sebagai superstruktur.
Stratifikasi sosial adalah penggolongan anggota masyarakat ke dalam
kelas-kelas yang didasarkan pada karakteristik tertentu. Menurut Max Weber,
seorang sosiolog kelahiran Jerman, stratifikasi sosial didasarkan pada dimensi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
205
ekonomi, sosial dan politik. Maka dari itu masyarakat terbagi menjadi kelas
(secara ekonomi), kelompok status (sosial) dan partai (politik). Weber juga
menambahkan bahwa dimensi ekonomi adalah dimensi penentu bagi dimensi
lainnya. Pengertian kelas adalah kesetaraan kemampuan ekonomi orang-orang
dalam suatu kelompok untuk memenuhi kebutuhan hidup dan statusnya.
Semakin tinggi kemampuan ekonomi suatu kelas untuk memiliki jasa, benda
dan lain-lain berarti semakin tinggi kelasnya dalam masyarakat. Kelas
menengah ke bawah memiliki kemampuan ekonomi yang terbatas untuk
mendapatkan kemewahan selayaknya kelas atas. Hal ini kemudian menjadikan
masyarakat terbagi dalam tingkatan-tingkatan sosial
Dengan demikian, sosiologi sastra dapat meneliti sastra sekurangkurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra, artinya
peneliti menganalisis sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan
sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan life history seorang pengarang dan
latar belakang sosialnya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu penelitian
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra (Endraswara,
2004:81).
Sinopsis Para Priyayi
Perjalanan Sastrodarsono berawal dari desa Kedungsimo. Ia dahulu
bernama
Soedarsono,
anak
seorang
petani
desa
Atmokasan.
Ayah
Sastrodarsono sangat menginginkan anak-anaknya menjadi priyayi. Maka
berbeda dengan anak-anak petani lain Sastrodarsono disekolahkan. Setelah
lulus ia menjadi guru bantu sampai ia akhirnya menjadi guru di Wanagalih.
Sastrodarsono menikah dengan Ngaisah. Kemudian lahir tiga orang
anak, mereka bernama Noegroho, Hardojo dan Soemini. Mereka disekolahkan
di HIS, sekolah untuk priyayi. Anak-anak Sastrodarsono kemudian menjadi
priyayi birokrat kelas atas. Noegroho menjadi seorang pejabat militer, Hardojo
menjadi abdi dalem Mangkunegaran, dan Soemini menjadi istri seorang
wedana.
206
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Wage, anak seorang penjual tempe langganan keluarga Sastrodarsono
diangkat menjadi anak dalam keluarganya. Namanya kemudian menjadi
Lantip. Ia sebenarnya adalah keponakan Sastrodarsono. Lantip adalah anak
hasil hubungan luar nikah antara Soenandar dan Ngadiyem. Soenandar, sepupu
Sastrodarsono terkenal sebagai orang yang bersikap brutal dan tidak mengerti
tata krama. Ia meninggalkan Ngadiyem setelah menghamilinya. Di rumah
Sastrodarsono Lantip diajarkan tata krama dan budaya priyayi, ia juga
disekolahkan di tempat Sastrodarsono mengajar.
Ketiga anak Sastrodarsono telah memiliki keturunan. Lantip kemudian
diurus oleh Hardojo dan berkerabat dekat dengan Hari, anaknya. Runtutan
masalah kemudian terjadi. Marie, anak Noegroho, terpaksa menikah dengan
orang ‗rendahan‘ karena hamil di luar nikah. Hari terjerumus dalam organisasi
komunis dan berbagai konflik lainnya. Di saat genting Lantip datang
membantu menyelesaikan persoalan.
Sinopsis Jalan Menikung
Cerita ini adalah sekuel dari novel Para Priyayi yang pertama. Di dalam
cerita yang kedua ini, nuansa Jawa sudah tidak lagi terlalu kental seperti di
dalam cerita pendahulunya, Para Priyayi. Novel ini berkisah tentang
kehidupan generasi keempat keluarga Sastrodarsono. Cerita dimulai dengan
dipecatnya Harimurti, putra Hardojo, dari tempatnya bekerja karena
keterlibatannya dengan partai komunis di masa lalu. Ini menyebabkan
Harimurti melarang Eko, anaknya yang sedang studi di Amerika, untuk pulang.
Akhirnya, Eko memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika. Ia menikah
dengan Claire, seorang Yahudi-Amerika. Meskipun awalnya pernikahan
mereka kurang disetujui oleh keluarga Eko karena perbedaan suku dan agama,
akhirnya Eko direstui keluarganya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk
berkunjung ke Asia, termasuk ke Jakarta, disponsori oleh kantor Eko dalam
rangka urusan kerja. Di Jakarta, Tommi anak Nugroho ingin memugar makam
keluarga Sastrodarsono dengan mewah. Hal ini ditentang oleh Harimurti dan
Lantip, meskipun demikian, pemugaran makam tetap dilaksanakan dan
berjalan dengan lancar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
207
Kelas Sosial yang Tergambar pada Novel
Ada tiga kelompok kelas sosial besar pada masyarakat Jawa yang
tergambar pada novel, yaitu: priyayi, abangan, dan santri. Kelompok sosial
yang terpisah satu sama lain nampaknya tidak memungkinkan untuk menjalin
hubungan yang erat antarstatus. Para priyayi di satu sisi selalu dianggap
sebagai penguasa, sedangkan abangan, wong cilik, hanya menjadi pekerja
kasar. Hal tersebut memperlebar jarak dan juga memberikan batas antara kedua
kaum tersebut.
Konflik Antarkelas
Konflik dan ketegangan antarkelas disebabkan adanya perbedaan
ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas santri
dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun diantara abangan dan priyayi
juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi antara kedua kelas
tersebut dengan para santri terlihat lebih intens.
Para abangan, yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat
menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri
berpendapat bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada
Allah, maka kelak manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Para
abangan berpendapat bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka
tidak memiliki makanan atau pada saat emosi negatif bergejolak di hati
mereka. Cara untuk menghindari neraka bukanlah dengan berdoa atau
membaca Kitab Suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang baik. Para priyayi
mengritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka pergi naik
haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah suci
bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci
yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat
duniawi lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai
penyembah berhala, dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka
dengan Tuhan. Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh
sikap para abangan, yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka
mencoba untuk hidup seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para
208
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
priyayi mengatakan bahwa para abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan
kodratnya sebagai proletariat, kelas pekerja.
Pergeseran Kelas Sosial
Di dalam novel Jalan Menikung, dapat dilihat bagaimana Umar Kayam
kembali menjelaskan pembagian kelas di Jawa. Dia menunjukkan bahwa teori
trikotomi (priyayi, santri, abangan) sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan
kondisi masyarakat Jawa dewasa ini. Pertama, garis-garis pembatas antara
ketiga kelas tersebut sudah hilang, malahan banyak perbedaan yang muncul
dalam kelas priyayi itu sendiri. Sebagai contoh, bandingkanlah karakter
Harimurti dengan karakter Tommi. Hampir segala aspek dalam kehidupan
mereka sangatlah berbeda satu sama lain. Tommi kaya, Harimurti sederhana;
Tommi licik, Harimurti jujur; Tommi disegani, sedangkan Harimurti haknya
diinjak-injak. Kedua, di Jalan Menikung, beberapa karakter kembali tidak
dapat diklasifikasikan sebagai priyayi, santri, maupun abangan. Contohnya
anak Eko dan Claire. Menurut titik pandang keluarga Eko, ia dapat
dikategorikan sebagai priyayi, karena ia memang keturunan priyayi. Tetapi,
bila dilihat dari perspektif keluarga Claire, ia bukanlah seorang priyayi. Ia
adalah keturunan keluarga Levin, keluarga Yahudi-Amerika. Dapat dilihat
bahwa teori trikotomi sudah tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat
Jawa kontemporer. Untuk menjelaskan fenomena ini, mungkin dibutuhkan
lebih dari tiga kelas sosial.
SIMPULAN
Dari pembahasan tersebut dapat dilihat adanya hubungan yang sangat
erat antara sastra, pengarang, dan masyarakat. Hubungan ketiganya merupakan
hubungan yang dapat berupa hubungan timbal balik. Sastra adalah lembaga
sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Bahasa
dalam karya sastra diciptakan oleh masyarakat sosial dalam komunitasnya.
Sastrawan sendiri adalah anggota kelompok dari masyarakat tersebut. Dalam
sastra, penggambaran masyarakat dari berbagai peristiwa dan penggambaran
kehidupannya terekam dalam bentuk karya sastra yang mau tidak mau akan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
209
pula dikonsumsi oleh masyarakat secara berkesinambungan dan bertimbal
balik.
Fungsi sastra yang bisa saja berubah dari zaman ke zaman, berbeda-beda
di berbagai macam masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra
mungkin dipergunakan sebagai alat menyebarluaskan ideologi; di zaman dan
masyarakat yang lain ia mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang
aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan; mungkin saja sastra
dianggap mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan
yang luhur bagi pembacanya, sebagai bekal menghadapi kehidupan; namun
sastra mungkin juga sekadar dianggap bisa memberikan gambaran mengenai
keadaan dan tata cara negeri-negeri jauh.
Pembaca boleh dikatakan bebas menentukan kegunaan sastra bagi
dirinya sendiri, pengarang, dan penerbit juga menentukan maksud buku yang
ditulis dan diterbitkannya. Fungsi sastra yang senantiasa berubah itu
menunjukkan bahwa berbagai sistem yang melingkungi sastra itu boleh
dikatakan menentukan atau setidaknya berpengaruh besar terhadap sastra itu
sendiri sebagai suatu sistem formal. Sebagai bagian dari sistem formal itu,
novel Jalan Menikung karya Umar Kayam menunjukkan bahwa di dalam
karya sastra ada hubungan di antara segi-segi keformalan karya itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta:
Pusat Bahasa.
Damono, Sapardi Djoko. 2010. Sosiologi Sastra: Pengantar Ringkas. Ciputat:
Editum.
Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Widyatama
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastera: Persoalan Teori dan Metode. Kuala
Lumpur: Dewan Bahasa Kementerian Pelajaran Malaysia.
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe, IL: The Free Press.
210
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kayam, Umar. 1992. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
Kayam, Umar. 2010. Jalan Menikung: (Para Priyayi 2). Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti.
Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1995. Teori Kesusastraan (Penerjemah
Melani Budianta). Jakarta: Gramedia.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
211
MODEL PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA
INDONESIA DALAM PENGEMBANGAN KARAKTER
BERBASIS KEARIFAN LOKAL
Iis Ristiani
Universitas Suryakancana Cianjur
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Model Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Pengembangan
Karakter Berbasis Kearifan Lokal. Kajian ini bertujuan sebagai upaya untuk
memberikan alternatif mengatasi masalah yang dihadapi guru berkaitan
dengan pemilihan model pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang
memperhatikan karakter peserta pendidik serta pemanfaatan kearifan budaya
lokal yang ada di sekitar mereka. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah memacu para pelaku pendidikan untuk selalu beradaptasi dengan kebutuhan
sesuai dengan tuntutan dan tuntunan yang ada. Salah satu tuntutan dan tuntunan
tersebut adalah penyesuaian pembelajaran dengan standar yang telah ditentukan.
Standar proses pembelajaran ini merupakan kriteria minimal tentang pelaksanaan
pembelajaran pada program studi untuk memperoleh capaian pembelajaran lulusan.
Semuanya ini akan tampak di dalam karakteristik, perencanaan, dan pelaksanaan
pembelajaran yang mesti disiapkan oleh para pendidik, termasuk pendidik Bahasa dan
Sastra Indonesia. Menjawab tuntutan dan tuntunan yang ada, tulisan ini mencoba
menghadirkan beberapa praktik pembelajaran hasil kajian pustaka dan kolaborasi
pengalaman pembelajaran yang penulis lakukan. Pemilihan model pembelajaran ini
tentu saja tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia
di perguruan tinggi tetapi juga dapat dilaksanakan oleh para pengajar Bahasa dan
Sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Proses pembelajaran yang diciptakan oleh
pendidik disarikan dari berbagai kebutuhan yang merujuk pada pengembangan
karakter dengan basis budaya lokal sebagai jatidiri, kekhasan pembelajar. Model
pembelajaran dikemas melalui penciptaan proses pembelajaran yang interaktif,
holistik, integratif, saintifik, kontekstual, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada
mahasiswa/siswa sebagai pembelajar.
Kata Kunci: model pembelajaran, pengembangan karakter, kearifan lokal
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan kebangsaan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi dewasa ini, banyak hal yang perlu dibenahi dan disikapi positif oleh
para pelaku pendidikan, khususnya para pendidik, dan pemerhati pendidikan.
Hal yang perlu dibenahi tidak hanya pada siswa atau mahasiswa sebagai
pembelajar, tetapi juga pada para pendidik dan komponen pembelajaran lain
yang
212
banyak
mewarnai
proses
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pembelajaran
itu
sendiri,
seperti
kurikulum/bahan ajar, sarana prasarana, metode pembelajaran, sumber dan alat
atau media pembelajaran. Hal yang tidak bisa dilupakan juga adalah
lingkungan sebagai konteks pembelajar. Situasi dan kondisi pembelajar baik
internal maupun eksternal adalah bagian yang perlu diperhatikan juga oleh
para pendidik di dalam persiapan, pelaksanaan, maupun pengevaluasian suatu
pembelajaran.
Kaitannya dengan perkembangan kebangsaan, disadari bahwa bangsa
Indonesia merupakan bangsa yang beraneka budaya, beragam bahasa, dan
beragam corak adat istiadat. Meskipun berbeda-beda budaya, bahasa, dan adat
istiadat semuanya dituntut untuk memiliki kesadaran nasional yang tinggi.
Dengan kesadaran nasional yang tinggi, maka sikap-sikap negatif, merasa diri
lebih daripada yang lain, munculnya perselisihan, percekcokkan, tawuran, dan
lain-lain, semuanya dapat dihindari. Kesadaran nasional inilah yang perlu
ditanamkan, dibina, dan dipupuk pada semua pembelajar. Pendidik adalah
dalang utama yang harus menjadi yang terdepan di dalam mempersiapkan
semuanya itu. Perkembangan dewasa ini, menuntut sikap kebangsaan yang
tinggi dalam menghadapi segala hal yang berkaitan dengan bangsa dan negara.
Diperlukan pembinaan karakter kebangsaan yang kuat pada para pelaku
pendidikan. Dirasakan oleh para pemerhati pendidikan juga dilihat dari
kenyataan yang ada, bahwa telah terjadi perubahan atau lebih tepatnya
pergeseran budaya. Budaya seorang siswa pada pendidik, atau sebaliknya sikap
pendidik terhadap siswa. Budaya saling menghormati, saling menghargai,
sikap sopan santun, dan lain-lain sepertinya menurun. Sikap negatif tersebut,
seperti menurunnya sikap sopan santun siswa kepada gurunya; menurunnya
rasa hormat, taat dan patuh serta rasa segan kepada guru seakan memudar.
Banyak juga yang terjadi sebaliknya, pendidik yang tidak menyadari fungsi,
tugas pokoknya. Tentu saja hal ini merupakan masalah karakter yang perlu
dibina, dibiasakan, dan dilatih oleh pelaksana pendidikan, para pemerhati
pendidikan pada umumnya.
Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat.
Pemanfaatan hasil teknologi menuntut para pelaku pendidikan untuk lebih bisa
mengimbangi.
Bisa
menyesuaikan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pembelajaran
dengan
konteks
213
perkembangan dan tuntutan kebutuhan yang ada. Dalam memenuhi kebutuhan
tersebut, guru/dosen sebagai pendidik khususnya perlu mempersiapkan
pembelajaran dengan lebih matang. Menentukan metode pembelajaran yang
tepat dan efektif, dan menyikapi semuanya itu, pendidik memiliki peran yang
sangat penting dalam meningkatkan peran anak didik sebagai manusia sejati.
Mendikbud Anis Baswedan dalam acara Mata Najwa @Metro_TV (11/11)
mengatakan bahwa:
Pendidikan adalah tentang manusia dan interaksi antarmanusia.
Karena itu, konsentrasi ke depan harus pada pendidiknya. Pendidiknya
itu sendiri adalah guru dan orang tua. Menurutnya kedua komponen itu
sekarang sering terlupakan. Selain itu, kurikulum dan buku disiapkan
untuk menstrukturkan interaksinya agar interaksi itu dapat dilakukan di
semua tempat dengan baik.Intinya tetap pada gurunya. Siswa bisa
menyukai sebuah mata pelajaran karena metode mengajar guru yang
menyenangkan. Sebaliknya, di sisi lain siswa yang menyenangi suatu
pelajaran tertentu, bisa jadi menjadi tidak suka pada pelajaran tersebut
karena metode yang digunakan gurunya tidak menyenangkan. Karena
itu, ia mengatakan bahwa fokus pendidikan adalah pada penyiapan
pendidiknya. Pendidik di sekolah adalah guru, sedangkan pendidik di
rumah adalah orang tua. Berbeda dengan orang tua, guru sebagai
pendidik itu harus dipersiapkan. Karenanya bagi guru itu ada
pelatihannya.
Berdasarkan latar belakang di atas, tulisan ini mencoba memaparkan
berbagai konsep penting berkenaan dengan Model Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia dalam Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan
Budaya Lokal. Topik ini diangkat sebagai sebuah upaya guna menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi guru dengan menyajikan model pembelajaran
bahasa dan sastra Indonesia khususnya, yang memperhatikan karakter peserta
pendidikan serta pemanfaatan kearifan budaya lokal yang ada di sekitar
mereka. Untuk itu, dalam tulisan ini diuraikan pikiran-pikiran hasil telaahan
atas pertanyaan: 1) Apa dan bagaimana memilih sebuah model pembelajaran?;
2) Bagaimana menyusun sebuah model pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia?; 3) Karakter apa yang dapat dikembangkan dan dibina melalui
pemilihan model pembelajaran tersebut?; 4) Bagaimana mengangkat kearifan
lokal di dalam penerapan model pembelajaran tersebut? Berikut paparan
mengenai hal yang dimaksud.
214
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pemilihan dan Penyusunan Sebuah Model Pembelajaran
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat kita akan menyusun
sebuah model pembelajaran, antara lain: 1) apa tujuan yang akan dicapai dari
pembelajaran tersebut?; 2) Materi apa yang akan disampaikan; 3) Siapa yang
akan belajar?; 4) Bagaimana situasi dan kondisi/konteks pembelajarannya?
Oleh karena itu, berbicara sebuah model pembelajaran adalah berbicara sebuah
lingkungan pembelajaran yang akan diciptakan.
Sebagaimana yang telah penulis kemukakan dalam disertasi penulis
bahwa ―menciptakan sebuah model pembelajaran merupakan kreativitas seni
belajar dan seni mengajar seorang guru atau siswa dalam kegiatan belajar
mengajar‖ (Ristiani, 2009:11). Berdasarkan objek penyelidikan, berbicara
model pembelajaran dari sudut filsafat pendidikan berarti berbicara sesuatu
yang praktis atau produktif.
Menurut Mudyaraharjo (2002:30), dikatakan praktis karena tujuan
penciptaan model pembelajaran ini membicarakan perbuatan guru dan siswa
serta keadaan karakter yang dihasilkan. Dikatakan produktif karena tujuan
penciptaan model itu adalah adanya objek yang dihasilkan, yakni perbuatan
dan kualitas objek itu sendiri.
“Model of teaching are really models of learning‖ (model pengajaran
sama dengan model pembelajaran) (Joyce dan Weil, 1992: 1). Lebih
lengkapnya ia menjelaskan
Models of teaching are really models of learning. As we help
students acquire information, ideas, skills, values, ways of thinking,
and means of expressing themselves, we are also teaching them how to
learn. In fact, the most important long-term outcome of instruction may
be the students increased capabilities to learn more easily and
effectively in the future, both because of the knowledge and skill they
have acquired and because they have mastered learning process.
(Model pengajaran sesungguhnya adalah model pembelajaran,
karena kita membantu para siswa memperoleh informasi, ide,
keterampilan, nilai-nilai, pola pikir yang bertujuan untuk
mengekspresikan dirinya sendiri, juga mengajari mereka bagaimana
caranya belajar. Fakta menunjukkan hasil pembelajaran jangka panjang
dalam pengajaran memungkinkan meningkatkan kemampuan para
siswa untuk belajar lebih mudah dan lebih efektif di masa yang akan
datang, karena kedua aspek, pengetahuan dan keterampilan yang
mereka raih, sehingga mereka menguasai proses pembelajaran).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
215
Pada pernyataan lain, Joyce & Weil (1992: 4) juga menyebutkan bahwa
model mengajar (model of teaching) adalah “a plan or pattern that we can use
to design face-to-face teaching in classroom or tutorial setting and shape
instructional materials-including books, films, tapes, computer-mediated
programs, and curricula (longterm courses of study)”.(―Model pengajaran
adalah sebuah rencana atau pola yang dapat digunakan untuk merancang
pembelajaran langsung di dalam kelas atau di lapangan secara tutorial dan
membentuk materi pengajaran seperti buku, film, tape, program komputer, dan
kurikulum (belajar jangka panjang‖).
Ristiani (2009: 20) menjelaskan bahwa dari pernyataan Joyce dan Weil
tersebut dapat dilihat bahwa ―sebuah model pengajaran dapat diartikan sebagai
suatu rencana atau pola yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar-mengajar
di kelas, mengatur materi pelajaran, juga dalam menyusun kurikulum‖.
Pendapat Joyce & Weil ini sama dengan apa yang disampaikan oleh
Brady (1985: 7) yang menjelaskan ”A models of teaching is defined as a
blueprint which can be used to guide the preparation for and implementation
of teaching. Any model selected for teaching will reflect in a dynamic way the
values and perceptions of the selector.‖ (―Model pengajaran diartikan sebagai
kisi-kisi yang dapat digunakan untuk membimbing persiapan dalam
implementasi pengajaran. Ada model yang diseleksi untuk pengajaran yang
akan merefleksikan pola dan dinamika nilai-nilai serta persepsi penyeleksi‖).
Pernyataan Brady (1985: 7) menurut Ristiani (2009: 20) ―menunjukkan
bahwa model pengajaran itu merupakan sebuah rencana atau pedoman yang
dapat digunakan guru sebagai persiapan pelaksanaan pengajaran. Karena itu
model yang dipilih dapat mencerminkan sebuah cara/arah yang lebih dinamis
dari guru sebagai pemilih model‖.
Hal
yang perlu
dipersiapkan
dalam
menyusun
sebuah
model
pembelajaran, menurut Joyce (1992) dalam buku Models of Teaching yang
juga dijelaskan oleh Sukmadinata (2002) seperti yang disebutkan Ristiani
(2009: 13-14) dikatakan bahwa sebuah model pembelajaran itu mengandung
komponen-komponen seperti: sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem
216
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pendukung, instruksional, dan dampak pengiring. Berikut penjelasan yang
dimaksud.
a.
Sintaks adalah serangkaian tahapan dalam suatu model pembelajaran.
b.
Sistem sosial adalah menunjukkan peranan hubungan guru-siswa dan
nilai-nilai yang mengikat mereka dalam pembelajaran.
c.
Prinsip reaksi adalah gambaran sikap guru dalam menghargai dan
merespon siswa.
d.
Sistem pendukung adalah pemanfaatan sarana dan prasarana/fasilitas yang
mendukung sehingga siswa mudah belajar.
e.
Instruksional adalah dampak yang dirasakan secara langsung.
f.
Dampak pengiring adalah dampak yang dihasilkan secara tidak langsung.
Dari model pembelajaran yang dipilih atau ditentukan, seorang pendidik
perlu memperhatikan pendekatan yang digunakan. Dengan kata lain,
menentukan sebuah model pembelajaran termasuk di dalamnya memikirkan
pendekatan pembelajaran, metode, dan teknik pembelajaran yang akan
digunakan. Menurut Joyce dan Weil (1992) ada tiga hal yang perlu disiapklan
dalam penyusunan model yakni skenario, orientasi model, dan tahapan model
mengajar.
Pendekatan Scientific dalam Pembelajaran
Dalam memilih dan menyusun sebuah model pembelajaran, tentu saja
tidak bisa kita dilepaskan dari kurikulum. Para pendidik, termasuk juga
pendidik/guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah, pada masa
sekarang ini telah menggunakan Kurikulum 2013 (Kurtilas). Dalam kaitannya
dengan proses belajar, Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran dengan
pendekatan saintifik. Menurut para pengembang kurikulum 2013, pendekatan
saintifik adalah pendekatan ilmiah yang merupakan titian emas perkembangan
dan pengembangan sikap, keterampilan, dan pengetahuan (Kemendikbud,
Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan
Mutu Pendidikan).
Dengan pendekatan ilmiah, seorang pembelajar diarahkan pada kegiatan
untuk mengedepankan penalaran induktif. Dalam pelaksanaannya, penalaran
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
217
induktif menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam hubungan materi/kajian
yang lebih luas. Selain itu, dalam pembelajaran berbasis ilmiah, para
pembelajar didorong untuk menemukan fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika dan penalaran tertentu; bukan khayalan, dan bukan
pula dongeng semata.
Dalam pendekatan saintifik, siswa didorong untuk berpikir kritis, analitis
sehingga mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi, memahami,
memecahkan, dan mengaplikasikan masalah yang ada. Dengan pendekatan ini
juga, siswa dilatih untuk dapat berpikir hipotetik dalam melihat sebuah
persamaan atau perbedaan yang dikaji. Karenanya, kajian yang dilakukan
disesuaikan dengan kenyataan yang ada (fakta empiris).
Apabila proses belajarnya dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang
berbasis pada fakta empiris, maka hasil belajar yang diharapkan, siswa
mempunyai daya nalar, dan daya tanggap yang tinggi. Dengan daya yang
dilatih terus, yang kemudian dimilikinya menghasilkan pembelajar yang
produktif, kreatif, dan inovatif, serta efektif dengan penguasaan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Penguasaan atas terpadunya
ketiga ranah tersebut, diharapkan mampu melahirkan manusia-manusia yang
memiliki keseimbangan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan
menjadi manusia yang memiliki kecakapan untuk hidup layak (hard skills).
Langkah pembelajaran yang dilakukan dalam permbelajaran berbasis
pendekatan ilmiah adalah dengan kegiatan mengamati, menanyakan, menalar,
mencoba, dan membentuk jejaring. Kegiatan mengamati dilakukan dengan
kegiatan melihat, membaca, mendengar, dan menyimak. Kegiatan menanyakan
dilakukan dengan bertanya jawab, diberikan pertanyaan atau pernyataan yang
meminta penjelasan. Kegiatan menalar dilakukan dengan pencermatan fakta
yang ada baik dengan penalaran induktif. Kegiatan mencoba dilakukan dengan
melatih siswa untuk melakukan uji coba sesuai materi pelajaran yang sedang
dikaji. Kegiatan membentuk jejaring dilakukan dengan melatih siswa untuk
mampu
membentuk
hubungan
sebab
antarfenomena yang ada.
218
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
akibat,
dan
menghubungkan
Pendekatan saintifik ini dilakukan dengan pendekatan pembelajaran
berbasis proyek (Project Based Learning), pendekatan pembelajaran berbasis
masalah (Problem BasedLearning), dan pendekatan pembelajaran penemuan
(Discovery Learning). Di perguruan tinggi, menurut Permendikbud Nomor 49
tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi Pasal 11, ayat (1)
disebutkan bahwa proses pembelajaran dikemas melalui penciptaan proses
pembelajaran yang interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, efektif,
kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa/siswa sebagai pembelajar
Pengembangan Karakter melalui Penanaman Nilai-nilai
Sebagaimana diketahui, bahwa pemilihan model pembelajaran akan
menentukan bentuk dan proses pembelajaran yang dilakukan. Pendekatan
scientific melalui pendekatan pembelajaran berbasis proyek, pendekatan
pembelajaran berbasis masalah, dan pendekatan pembelajaran penemuan
dilaksanakan dengan tujuan agar menghasilkan para pembelajar yang memiliki
keseimbangan kemampuan untuk menjadi manusia yang baik dan manusia
yang memiliki kecakapan untuk hidup layak (seimbang antara soft skills dan
hard skills).
Guna memetik hasil pembelajaran yang mampu melahirkan manusia
yang baik dan cakap tersebut, maka perlu dipahami karakter-karakter yang
harus dikembangkan di dalam pembelajarannya. Untuk itu, harus diketahui
oleh para pendidik sejumlah karakter yang perlu dilatih dan dikembangkan,
serta cara pengembangan pembelajarannya.
―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab‖ (Undang-Undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/UU
Sisdiknas). Merujuk pada tujuan pendidikan nasional di atas dan tujuan dari
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
219
digunakannya pendekatan saintifik dalam pembelajaran, ada banyak karakter
yang dapat digali, dibina, dan dikembangkan pada para pembelajar.
Karakter menurut Hasan, dkk. (2010: 3) adalah ―watak, tabiat, akhlak,
atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara
pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan
hormat kepada orang lain.‖ Kaitannya dengan karakter yang perlu
dikembangkan dalam pembelajaran, adalah dimaknai dengan ditanamkannya
nilai-nilai yang perlu dimiliki para pembelajar. Di negara Indonesia, nilai-nilai
itu bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional.
Nilai-nilai
yang
ditanamkan
dalam
pendidikan
sebagai
upaya
pengembangan karakter menurut Hasan, dkk. (2010: 9-10) adalah sebagai
berikut.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
220
Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja
sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa
Dengan memahami sejumlah nilai yang perlu ditanamkan pada para
pembelajar sebagai usaha untuk pembinaan dan pengembangan karakter
tersebut, maka pendidik harus memahami dan harus mampu mengemas sebuah
pembelajaran yang dipersiapkan dan dilaksanakan untuk itu. Untuk itulah,
pentingnya memahami model pembelajaran. Melalui model pembelajaran yang
dipersiapkan, seorang pendidik sudah mencanangkan karakter apa yang akan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
221
dikembangkan dalam pembelajarannya tersebut dengan memikirkan terlebih
dahulu Sintaks, Sistem Sosial, Prinsip Reaksi, Instruksional/dampak yang
dirasakan secara langsung, serta dampak pengiring/dampak penyerta dari
model yang digunakannya.
Model Pembelajaran Berbasis KearifanLokal
Hasan, dkk. (2010:5) mengatakan bahwa ―Pendidikan adalah suatu upaya
sadar untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal. Usaha sadar
itu tidak boleh dilepaskan dari lingkungan peserta didik berada, terutama dari
lingkungan budayanya, karena peserta didik hidup tak terpisahkan dalam
lingkungannya dan bertindak sesuai dengan kaidah-kaidah budayanya‖.
Menurut Said (dalam : http://buginese.blogspot.com/2007/09/kearifan-lokaldalam-sastra-bugis.html) ―Kearifan lokal atau kebijaksanaan setempat
(local
wisdom) atau pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genious), merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan
berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat setempat dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka‖. Kearifan lokal dimaknai sebagai segala budaya yang ada
di suatu masyarakat, baik berwujud ide, aktivitas, maupun berwujud bendabenda. Ristiani (2011: 8) menyebutkan bahwa ―kearifan lokal ini berkaitan
dengan nilai-nilai yang dipegang oleh kultur lokal. Kultur lokal itu sendiri
dapat meliputi wilayah kabupaten, kota, provinsi, bahkan nasional‖. Menurut
Sarono, kultur lokal (budaya lokal) merupakan ―kekuasaan dan potensi riil
yang
dimiliki
suatu
daerah
sebagai
aset
daerah
yang
mendorong
pengembangan dan pembangunan daerah‖ (Oyos Sarono H.N, pembaca sastra,
pemulung kata-kata. Sumber: http://ulunlampung.blogspot.com/2007/10/sastramenggali-nilai-baru-budaya-lokal.html).
Sebagai contoh di Kabupaten Cianjur, potensi riil yang merupakan
kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Cianjur, antara lain:
1. Sistem teknologi dan alat produksi (senjata kujang, lentera guntur, beras,
tauco, manisan)
222
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
2. Sistem Pengetahuan (filosofi yang melambangkan aspek keparipurnaan,
yaitu
Maos
(membaca),
Ngaos
(mengaji
Al-Qur‘an),
Mamaos
(menembang, bersenandung tembang Sunda/Cianjuran), Maenpo (silat),
dan Ngibing (menari tradisional).
3. Mata Pencaharian (pembibitan ayam peluang)
4. Sistem Religi (Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah)
5. Sistem Kemasyarakatan (perkawinan adat pengantin Sunda dan pada
Upacara Prosesi Pernikahan)
6. Sistem Bahasa (Mulok Basa, pagelaran lomba sastra sajak Sunda,
ngadongeng, presenter berbahasa Sunda )
7. Sistem Kesenian (Cianjuran)
Pemahaman kearifan lokal sebagai dasar pertimbangan dalam memilih
dan mengorganisasikan bahan pembelajaran senantiasa dipadukan dengan
pemilihan model pembelajaran yang tepat, sesuai bahan atau materi ajar.
Sebagai contoh, kita mempersiapkan sebuah model pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia berbasis kearifan lokal, misalnya ―Model Belajar Kelompok
dalam Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui
Pendekatan Berbasis Masalah‖.
Hal yang harus disiapkan untuk menyusun model tersebut adalah:
1. Skenario
Kegiatan yang dipersiapkan oleh pendidik untuk melaksanakan
sebuah pembelajaran. Mulai menentukan kompetensi yang akan dicapai,
indikator pembelajarannya, kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir
yang akan dilakukan selama pembelajaran.
2. Orientasi Model
Adalah pengkajian terhadap teori yang dijadikan sebagai rujukan
oleh pengembang model tersebut.
3. Tahapan Model Mengajar
Adalah tahapan-tahapan yang dilakukan mulai sintaks sampai
dampak pengiringnya.
Karakter yang dikembangkan dalam Model Belajar Kelompok dalam
Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui Pendekatan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
223
Berbasis Masalah tersebut adalah sifat Religius, Jujur Disiplin, Kerja Keras,
Kreatif, Rasa Ingin Tahu, Cinta Tanah Air, Bersahabat/ Komuniktif, Cinta
Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Tanggung-jawab.
Kearifan lokalnya itu sendiri merupakan bahan-bahan yang dikaji para
pembelajar dfi dalam mengembangkan topik-topik tulisan yang ditugaskan.
Misalnya dengan pendekatan berbasis masalah tersebut, siswa bersama timnya
mengkaji hal berkenaan dengan sistem kemasyarakatan, sistem pencaharian,
sistem religi, atau sistem bahasa, dan lain-lain. Dalam kegiatan ini, tentu para
pembelajaran sudah mendapat petunjuk untuk melakukan langkah-langkah
kegiatannya.
SIMPULAN
Di dalam mempersiapkan sebuah pembelajaran, tentu saja seorang
pendidik harus memikirkan target atau tujuan yang diharapkan. Pencapaian
tujuan pembelajaran tidak terlepas dari komponen pembelajaran lainnya,
seperti
materi
ajar,
pendekatan
pembelajaran,
metode
dan
teknik
pembelajarannya, sarana dan prasarana yang akan digunakan. Dalam kaitannya
itu, seorang pendidik dapat mempersiapkan pembelajaran dalam sebuah
kemasan model pembelajaran. Pemilihan model didasarkan pada kebutuhan
siswa dan konteks atau fakta empiris yang ada. Sebagai contoh, bahan yang
dikaji di dalam pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan konteks yang ada
di sekitar siswa sebagai pembelajar.
Selain itu, pada saat kita memikirkan model pembelajaran sekaligus kita
memikirkan pula pendekatan pembelajarannya. Pendekatan pembelajaran yang
digunakan akan turut menentukan bagaimana keberlangsungan sebuah
pembelajaran. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional kita, maka
pembelajaran yang disiapkan itu harus dapat menggali, membina, dan
mengembangkan nilai-nilai baik sebagai karakter yang perlu ditanamkan dan
dipupuk pada para pembelajar.
Sebagai contoh kita mengemas sebuah Model Belajar Kelompok dalam
Pembelajaran Teks Deskriptif Bersumber Kearifan Lokal melalui Pendekatan
Berbasis Masalah. Tentu saja, masih banyak model-model mengajar lain yang
224
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dapat dikembangkan. Joyce dan Marsha Weil menyebutkan sejumlah model
pembelajaran yang dapat dikembangkan di dalam kelas. Ia mengelompokkan
ke dalam empat rumpun besar, yaitu: Model Informasi, Model Personal, Model
Interaksi Sosial, dan Model Perilaku. Cakupan dari keempat rumpun model
tersebut, yakni Model Pembelajaran Kognitif, Model Pembelajaran Inkuiri,
Model Pembelajaran Presentasi, Pengajaran Non-Direktif, Latihan Kesadaran ,
Sinektik, Sistem Konseptual, Belajar Kelompok, Pertemuan Kelas, Inkuiri
Sosial, Model Laboratorium, Model Yurisprudensi, Bermain Peran, Simulasi
Sosial, Pengajaran Berprograma, Interactive Teaching, dan Microteaching.
Semua model tersebut dapat dikembangkan dengan memperhatikan
pendekatan-pendekatan yang ada. Dari model yang dikemas, selanjutnya dapat
dipersiapkan rencana pembelajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Brady, Laurie. 1985. Models and Methods of Teaching. Australia: PrenticeHall.
Hasan, Said Hamid, dkk. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya
Saing dan Karakter Bangsa. Pusat Kurikulum, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Joyce, Bruce & Marsha Weil.1992. Models of Teaching. USA: Allyn and
Bacon.
Kemendikbud, Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan.Konsep Pendekatan Scientific. PPT-2.1
Mendikbud @anisbaswedan dalam acara Mata Najwa @Metro_TV (11/112014)
Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Rosdakarya.
Permendikbud Nomor 49 tahun 2014.
Ristiani, Iis. 2009. Peningkatan Kemampuan Menulis Narasi melalui Model
Pembelajaran Teknik Visual-Auditif-Taktil. Bandung: UPI.
Ristiani, Iis. 2011. Materi Seminar. Pemahaman Metode Pengajaran dan
Kearifan Lokal dalam Peningkatan Profesionalisme Guru. Disampaikan
pada Seminar Guru di Kabupaten Cianjur.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
225
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
PendidikanNasional/UU Sisdiknas.
http://buginese.blogspot.com/2007/09/kearifan-lokal-dalam-sastra-bugis.html.
2007. Kearifan Lokal dalam Sastra Bugis.
http://ulunlampung.blogspot.com/2007/10/sastra-menggali-nilai-baru-budayalokal.html). Oyos Sarono H.N, pembaca sastra, pemulung kata-kata.
226
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Said.
KEARIFAN LINGKUNGAN DALAM
“PRIANGAN SI JELITA” RAMADHAN K.H.
Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik
Ika Mustika
STKIP Siliwangi, Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Kearifan Lingkungan dalam “Priangan Si Jelita” Ramadhan K.H.
Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik. Karya sastra merupakan suatu
produk ciptaan manusia dengan mendayagunakan imajinasi yang terdapat
dalam diri pengarangnya. Di dalamnya ada gagasan, ide-ide, pengalaman juga
amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Diharapkan pembaca dapat
mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang
dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Analisis karya sastra dengan
perspektif ekokritik bermaksud membongkar hubungan antara sastra dengan
lingkungan. Dengan cara seperti itu gagasan, ide-ide, pengalaman juga pesan
moral yang terdapat pada karya sastra dapat dimanfaatkan untuk menggugah
kesadaran dan pandangan pembaca akan pentingnya menjaga dan melestarikan
alam dan lingkungan. Model analisis karya sastra berperspektif ekokritik
digunakan sebagai landasan dalam melacak nilai-nilai kearifan lingkungan
kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan. K.H.
Kata kunci: kumpulan puisi, analisis, ekokritik.
PENDAHULUAN
Dewasa ini keberadaan sastra mulai disikapi secara ekosentris yakni
sebagai artefak budaya yang memusatkan perhatian terhadap lingkungan
secara keseluruhan yang menempatkan manusia sebagai salah satu entitas
yang memiliki kedudukan yang sama dalam kehidupan alam semesta untuk
bertanggung jawab secara moral terhadap seluruh kehidupan lain di alam
semesta. Sekaitan dengan itu, analisis karya sastra berperspektif ekokritik
bermaksud melacak hubungan antara karya sastra dengan lingkungan.
Sukmawan (2014) mengemukakan dua model kajian ekokritik, yakni
model kajian berperspektif sastra lingkungan dan model kajian berperspektif
etis.
Model
kajian
ekokritik
berperspektif
sastra
lingkungan
dapat
mengontruksi paras sastra (kearifan) lingkungan dengan fokus kajian muatan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
227
narasi pastoral dan narasi apokaliptik. Sementara itu model kajian ekokritik
berperspektif etis difokuskan pada muatan sikap hormat terhadap alam
(respect for nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility
for nature), sikap solidaritas terhadap alam (cosmic solidarity), sikap kasih
sayang dan kepedulian terhadap alam (caring for nature), serta sikap tidak
mengganggu kehidupan alam (no harm).
Tulisan ini menggunakan model kajian ekokritik berperspektif etis
sebagai acuan dalam mendeskripsikan nilai-nilai kearifan lingkungan
kumpulan sajak Priangan si Jelita karya Ramadhan K.H. Dengan cara seperti
itu pesan-pesan moral tentang kearifan lingkungan yang termuat dalam karya
sastra dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran akan lingkungan.
Sikap ―sadar lingkungan‖ akan berimplikasi terhadap perubahan cara pandang
manusia terhadap lingkungan dengan menghargai lingkungan sebagai bagian
dari alam semesta yang patut dijaga dan dilestarikan keberadaannya bukan
malah sebaliknya.
PEMBAHASAN
Sekilas tentang Ekokritik
Istilah Ecocriticism pertama kali dicetuskan oleh William Ruekert pada
tahun 1978, membahas isu-isu tentang alam dan lingkungan. Cheryll Glotfelty
menyatakan bahwa alam bukanlah fokus utama kajian ekokritik melainkan
juga perbatasan, hewan, kota, wilayah geografis tertentu, sungai, gunung,
padang pasir, teknologi, sampah, dan tubuh. Dengan demikian ekokritik
mencakup berbagai isu yang melibatkan seluruh konteks kehidupan baik yang
menyangkut unsur luar maupun unsur dalam manusia. Ekokritik mempunyai
keyakinan bahwa seluruh kehidupan yang ada di dunia memiliki keterkaitan,
saling berhubungan satu dengan lainnya sehingga untuk mempelajari
lingkungan hidup akan melibatkan pemahaman tentang bagaimana manusia
mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkungan(Dreese, 2002:4).
Lebih lanjut Garrard (Juliasih, 2012) mendefinisikan ecocriticism
sebagai studi tentang hubungan antara manusia dan non-manusia, sejarah
manusia dan budaya yang berkaitan dengan analisis kritis tentang manusia dan
228
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
lingkungannya. Kajian ekologi bukan sebatas melihat harmonisasi
dan
stabilitas lingkungan melainkan untuk melihat sikap dan perilaku manusia
terhadap lingkungan. Dari uraian tersebutdapat disimpulkan kajian ekokritik
dalam karya sastra akan melacak hubungan antara karya sastra dan lingkungan
dengan menekankan perhatian pada sikap dan perilaku manusia terhadap
lingkungan. Sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan akan berwujud
pada prinsip-prinsip moral berupa sikap hormat terhadap alam (respect for
nature), sikap tanggung jawab terhadap alam (moral responsibility for nature),
sikap solidaritas terhadap alam (cosmic solidarity), sikap kasih sayang dan
kepedulian terhadap alam (caring for nature), serta sikap tidak mengganggu
kehidupan alam (no harm) (Sukmawan, 2014).
Buell (Sukmawan,1995) mengemukakan untuk dapat dikatakan
sebagai sastra ekokritik terdapat sejumlah kriteria yang harus diperhatikan,
yaitu (1) lingkungan bukan-manusia hadir tidak hanya sebagai sebuah bingkai
tetapi kehadiran yang menunjukkan bahwa sejarah manusia diimplikasikan
dalam sejarah alam, (2) kepentingan manusia tidak dipahami sebagai satusatunya kepentingan yang sah, (3) akuntabilitas manusia terhadap lingkungan
merupakan bagian dari orientasi etis teks, dan (4) beberapa pengertian
lingkungan adalah sebagai suatu proses bukan sebagai pengertian yang
konstan atau suatu pemberian yang paling tidak tersirat dalam teks.
Dengan demikian,kajian ekokritik menempatkan karya sastra sebagai
media representasi sikap, pandangan, dan tanggapan masyarakat terhadap
lingkungan sekitarnya. Hal ini sangat beralasan mengingat karya sastra
tumbuh, berkembang dan bersumber dari lingkungan sekitar termasuk
lingkungan alam. Seperti disampaikan Teeuw (1983) sastra tidak lahir dalam
kekosongan budaya.
Analisis Karya Sastra Berperspektif Ekokritik
Mengacu paparan yang dikemukakan di atas,ekokritik merupakan studi
tentang hubungan antara sastra dengan lingkungan. Alam dan lingkungan telah
lama menjadi sumber inspirasi pengarang dalam menuangkan gagasan, ide-ide
yang diekspresikan dengan menggunakan bahasa pilihan yang elok. Ramadhan
K.H. salah satu dari sejumlah sastrawan yang mengumandangkan perlunya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
229
manusia menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan lingkungan.
Kepedulian
Ramadhan
K.H
terhadap
lingkungan
sekitarnya
telah
menempatkan alam dan lingkungan sebagai sumber inspirasi yang tiada pernah
ada habisnya seperti yang tertuang dalam kumpulan sajak Priangan si Jelita.
Kumpulan sajak Priangan si Jelita (2003) dipandang sebagai ikon
kepenyairan Ramadhan K.H. yang lahir di Bandung 16 Maret 1927, meninggal
16 Maret 2006. Buku tersebut mendapat hadiah sastra dari BMKN (Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional) untuk sajak-sajak terbaik tahun 19561958. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.Priangan si Jelita
merupakan kumpulan sajak yang didalamnya memuat tiga kelompok sajak.
Akan tetapi ketiga kelompok sajak tersebut beranak pinak. Kelompok pertama
berjudul Tanah Kelahiran memuat tujuh sajak yang ditandai dengan nomornomor 1,2,3,4,5,6, dan 7. Kelompokkedua berjudul Dendang Sayang memuat
tujuh sajak dengan tanda-tanda yang sama, dan kelompok ketiga berjudul
Pembakaran memuat tujuh sajak dengan ciri yang sama pula.
Selain dalam bentuk kumpulan sajak, Ramadhan juga menulis esai, novel
dan biografi. Diantaranya Novel Royan Revolusi (1970), Kemelut Hidup
(1976), Keluarga Permana (1978), Ladang Perminus (1990), dan biografi
Kuantar ke Gerbang Kisah Cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981), E.A.
Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1988), Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan
Tindakan saya (bersama G. Dwipayana, 1988) Kepiawaian Ramadhan dalam
menyajikan tulisan dengan indah dan menarik menghantarkan beliau meraih
berbagai penghargaan. Buku-buku biografi tokoh yang ditulis Ramadhan K.H.
menjadi perbincangan banyak orang dan referensi sejarah.
Paparan berikut mengkaji kumpulan sajak Priangan si Jelita Ramadhan
K.H.untuk mengetahui bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap
lingkungan.
230
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Representasi Sikap Hormat Terhadap Alam
Sikap hormat terhadap alam merepresentasikan bahwa manusia
mempunyai kewajiban moral untuk menghargai alam. Bentuk penghargaan
terhadap alam diwujudkan melalui sikap membiarkan alam hidup, tumbuh, dan
berkembang secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya, seperti
penggalan sajak berikut.
Hijau tanahku,
hijau tago,
dijaga gunung-gunung berombak
Dan mawar merah
disobek di tujuh arah,
dikira orang menyanyi,
lewat di kayu kecapi,
Hijau tanahku
Hijau tago,
Dijaga gunung-gunung berombak
Dan perawan sendirian
Disamun di tujuh jalan
Dikira orang menyanyi
Tangiskan lagu kinanti
Hijau tanahku
Hijau tago,
Dijaga gunung-gunung berombak
(Tanah Kelahiran -5)
Kutipan sajak di atas diawali dengan bait hijau tanahku, hijau tago,
dijaga gunung-gunung berombak. Terjadi pengulangan yang sama pada bait
ketiga dan kelima. Seolah memberikan penegasan makna tentang pentingnya
menjaga lingkungan. Sajak tersebut juga merepresentasikan bahwa alam
sebagai objek yang dibiarkan hidup, tumbuh, dan berkembang secara alamiah.
Alhasil, alam menjadi pemandangan yang sangat indah. Keindahan alam
tercermin melalui untaian kalimat“hijau tanahku”yang memiliki makna tanah
kelahiranku merupakan tanah yang sangat subur dan kalimat “dijaga gununggunung berombak” artinya gunung-gunung yang ada di tanah kelahiranku
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
231
merupakan gunung-gunung dengan pepohonan yang subur pula. Hijau dan
suburnya tanah kelahiran dalam sajak di atas terwujud karena adanya
kesadaran manusia bahwa alam mempunyai hak untuk dihormati melalui cara
dijaga dan dipelihara keberadaaannya. Adapun gambaran alam pada sajak di
atas mengacu pada alam priangan. Diksi yang menunjukan hal tersebut adalah
―kecapi” dan “kinanti ―. Kecapi mengacu pada alat musik petik yang berasal
dari Jawa Barat. Kinanti mengacu pada pupuh kinanti yakni bentuk puisi
tradisional bahasa sunda bertemakan penantian. Sajak di atas merefleksikan
keindahan alam priangan terwujud karena adanya kesadaran moral manusia
dalam menjaga dan melestarikan alam lingkungan. Kesadaran lingkungan ini
tentu saja harus tetap terpelihara secara utuh agar dapat dinikmati secara
lestari.
Representasi Sikap Tanggung Jawab Moral Terhadap Alam
Sikap tanggung jawab moral merepresentasikan manusia sebagai bagian
integral dari alam bertanggung jawab untuk memelihara dan menjaga
lingkungan. Tanggung jawab tersebut bukan hanya bersifat individual
melainkan juga bersifat kolektif. Hal ini berarti kelestarian bahkan kerusakan
lingkungan merupakan tanggung jawab bersama seluruh manusia. Representasi
sikap tanggung jawab moral terhadap alam tercermin pada untaian sajak
berikut.
Siapa cinta anak,
Jangan jual
Tanah sejengkal.
Siapa cinta tanah air,
Jangan lupakan
Bunda meninggal.
Siapa ingat hari esok,
Mesti sekarang
Mulai menerjang.
(Pembakaran – 4)
Kutipan sajak tersebut diawali dengan kata tanya ―Siapa”. Bahkan kata
tanya siapa mengawali setiap bait pada sajak. Kata tanya siapa pada sajak di
atas secara implisit merepresentasikan kehadiran subjek manusia. Artinya
232
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
setiap manusia memiliki tanggung jawab moral terhadap alam/lingkungan.
Lingkungan dalam pemahaman ekokritik bukan hanya merujuk kepada hal
yang bersifat fisikal melainkan juga menjangkau makna yang bersifat mental
maupun spiritual.Aspek lingkungan yang dihadirkan secara mental tercermin
melalui ―Siapa cinta anak Jangan jual Tanah sejengkal‖ dan ―Siapa cinta
tanah air, Jangan lupakan Bunda meninggal”Sementara itu, aspek lingkungan
secara spiritual dihadirkan melalui ―Siapa ingat hari esok. Mesti sekarang
Mulai menerjang‖.
Perwujudan sikap tanggung jawab secara mental
termanifestasi bahwa manusia harus memiliki kesadaran untuk mencintai tanah
air sebagai tanah kelahiran. Tanah air digambarkan sebagai ―tempat‖ dimana
kita hidup dan kita akan mati. Sementara itu perwujudan sikap tanggung jawab
secara spiritual termanifestasi bahwa tujuan akhir kehidupan manusia adalah
mencapai kebahagiaan yang hakiki yakni kebahagiaan di akhirat,maka barang
siapa yang memanfaatkan waktu yang singkat di dunia dengan melakukan halhal yang bermanfaat, pastilah akan selamat dalam kehidupan akhirat.
Representasi Sikap Solidaritas terhadap Alam
Sikap solidaritas terhadap alam merepresentasikan sikap bahwa manusia
memiliki kedudukan yang sama dengan alam. Manusia tidak lebih baik dari
non-manusia (alam) sehingga semua pihak berkedudukan sejajar. Kenyataan
ini menumbuhkan perasaan solidaritas dalam diri manusia, perasaan
sepenanggungan dengan alam dan dengan sesame makhluk hidup lainnya
untuk kemudian secara bersama-sama menyelamatkanalam dan lingkungan.
Penggalan sajak berikut menunjukkan sikap dominasi manusia terhadap
alam. Manusia menempatkan dirinya sebagai pihak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan makhluk lainnya dalam hal ini hewan (kijang). Manusia
seolah memiliki kewenangan untuk melakukan perburuan hewan. Dampak
perburuan hewan yang dilakukan manusia secara terus-menerus akan
menyebabkan
hilangnya
keseimbangan
alam.Untaian
kalimat
yang
menunjukkan hal tersebut “kijang jadi buruan, ladang kesepian”.
Kijang
jadi buruan,
ladang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
233
kesepian
(Malam hitam
gemetar.)
Kijang
Minta pengurbanan,
tanda
kejantanan
(Bulan perak
memudar.)
(Dendang Sayang – 6)
Sajak tersebut merefleksikan bahwa pengabaian terhadap alam akan
menyebabkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada ketidakseimbangan
terhadap lingkungan. Oleh karena itu, penanaman sikap solidaritas terhadap
alam merupakan sebuah upaya terciptanya keseimbangan antara alam,
manusia, hewan, dan tumbuhan. Keseimbangan ini tentu saja dibutuhkan untuk
mencapai kedamaian hidup. Sikap solidaritas terhadap alam juga mendorong
manusia untuk mengambil kebijakan yang prolingkungan sehingga akan
menentang setiap tindakan yang merusak alam.
Representasi Sikap Kasih Sayang dan Kepedulian Terhadap Alam
Sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam merepresentasikan
sikap bahwa setiap makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi,
dipelihara, dan dirawat. Penggalan sajak berikut menggambarkan suasana alam
priangan yang dilindungi, dipelihara, dan dirawat keberadaaannya sehingga
menggemakan suasana lingkungan yang nyaman.
Seruling di pasir tipis,
Merdu antara gundukan pohon pina,
Tembang menggema di dua kaki,
Burangrang – Tangkubanprahu
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di air tipis menurun
Membelit tangga di tanah merah
Dikenal gadis-gadis dari bukit
Nyanyikan kentang sudah digali,
234
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kenakan kebaya merah ke pewayangan.
Jamrut di pucuk-pucuk
Jamrut di hati gadis menurun
(Tanah Kelahiran -1)
Gambaran alam priangan yang nyaman diwakili diksi “seruling……”,
“merdu…..”, “tembang menggema…..”. Sajak di atas merepresentasikan
harmoni lingkungan alam khas priangan. Harmonisasi ini terwujud atas
kesadaran manusia dalam melindungi dan memelihara alam dengan sebaikbaiknya sehingga ketenangan dan keselarasan alam terwujud.
Bentuk
ketenangan alam priangan digambarkan melalui harmonisasi tiupan seruling
yang merdu yang bergema di antara Gunung Burangrang dan Gunung
Tangkubanprahu. Representasi sikap kepedulian dan sikap kasih sayang
manusia terhadap alam ini dapat terus terjaga dan terpelihara manakala setiap
manusia selalu berusaha, bersikap, dan bertindak mencintai sesama makhluk
hidup termasuk mencintai alam.
Representasi Sikap Tidak Mengganggu Kehidupan Alam
Sikap tidak mengganggu kehidupan alam berkaitan dengan sikap tidak
menggangu keberadaan sesama makhluk hidup yang merupakan salah satu
wujud nilai tenggangrasa manusia (toleransi). Sikap tenggangrasa diwujudkan
melalui kemampuan manusia dalam menghormati dan menjaga keberadaan
alam sehingga masing-masing pihak tidak dirugikan. Penggalan sajak berikut
merepresentasikan sikap toleransi terhadap alam.
Di Cikajang ada gunung,
Lembah lengang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati;
Kembang rampe di kuburan
Selalu jauh kekasih.
Di Cikajang ada kurung,
Menahan selangkah kaki,
Bebas unggas di udara,
Pelita di kampung mati,
Fajar pijar, bulan perak,
Takut mengungkung di hati.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
235
Di Cikajang hanya burung,
Bebas lepas terbang lari,
Di bumi bayi turunnya,
Besar di bawah mengungsi.
Sepi di bumi priangan,
Sepi menghadap mati.
(Dendang Sayang – 1)
Diksi “ Di Cikajang ada gunung…..”, “ Di Cikajang ada kurung……”,
“ Di Cikajang hanya burung, bebas lepas terbang lari……” menunjukkan
sikap toleransi manusiaterhadap alam dengan membiarkan makhluk lain
(hewan) untuk hidup secara damai dan bebas di alam semesta. Masyarakat di
daerah Cikajang seperti direpresentasikan dalam sajak tersebut, tampaknya
sudah memiliki kesadaran untuk tidak mengganggu kehidupan alam.Menjaga
keseimbangan alam dan lingkungan dengan cara mencintai dan ramah
terhadapnya merupakan cara agar kelangsungan hidup manusia terus berjalan.
Mengacu uraian di atas, kumpulan sajak Priangan si Jelita karya
Ramadhan K.H. sarat dengan nilai-nilai kearifan lingkungan. Muatan nilainilai kearifan lingkungan dimanifestasikan melalui sikap hormat terhadap
alam, sikap tanggung jawab terhadap alam, sikap solidaritas terhadap alam,
sikap kasih sayang dan kepedulian terhadap alam, serta sikap tidak
mengganggu kehidupan alam. Dengan memahami
nilai-nilai kearifan
lingkungan pada kumpulan sajak di atas diharapkan dapat menghantarkan
manusia menjadi pribadi yang lebih peduli terhadap keberadaan alam dan
lingkungan.
Selain Ramadhan K.H. terdapat beberapa sastrawan yang mengangkat
alam sebagai sumber ilham. Diantaranya Moh. Yamin, Amir Hamzah, Sanusi
Pane, Taufik Ismail, Ahmad Tohari, Sapardi Djoko Damono dan masih banyak
sastrawan lainnya. Kesadaran mengenai pentingnya alam dalam kehidupan
manusia sudah sejak lama digaungkan para sastrawan. Melalui karya-karyanya
para sastrawan tidak hanya menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam
juga menekankan pentingnya menjaga persaudaran dengan alam. Persaudaraan
dengan alam dan kepedulian terhadap lingkungan yang digaungkan para
sastrawan merupakan sebuah upaya yang tidak dapat diabaikan begitu saja
dalam memberikan sumbangsih pemikiran terhadap gerakan cinta lingkungan.
236
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PENUTUP
Analisis karya sastra berperspektif ekokritik bermaksud melacak
hubungan antara sastra dengan lingkungan. dengan menekankan perhatian
pada sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan. Sikap dan perilaku
manusia terhadap lingkungan akan berwujud pada prinsip-prinsip moral yang
tertuang dalam berbagai sikap yang mengarah pada pelestarian lingkungan.
Hal ini berimplikasi
terhadap perubahan cara pandang manusia dalam
memperlakukan alam sebagai salah satu entitas yang wajib dijaga dan
dipelihara keberadaannya secara bertanggung jawab bukan untuk dieksploitasi
apalagi disalahgunakan keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dreese, Donelle N. 2002. Ecocriticism: creating self and place in environmental and
American Indian Literatures. New York: Peter Lang Publishing, Inc.
Juliasih, K. 2012. Manusia dan Lingkungan dalam Novel Life in The Iron Mills Karya
Rebecca Hardings Davis. Jurnal Litera Universitas Negeri Yogyakarta. 11(1),
83-96.
Ramadhan K.H. 2003. Priangan si Jelita. Magelang: Indonesiatera.
Sukmawan, Sony. 2014. Model-model Kajian Ekokrtitik Sastra. [Online]. Tersedia:
fib.ub.ac.id .Diakses 25 November 2014.
Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: P.T. Gramedia
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
237
MEMBANGUN KARAKTER POSITIF MELALUI
PEMBELAJARAN TEKS LAPORAN HASIL OBSERVASI
DI SMA NEGERI 1 CIPARAY KABUPATEN BANDUNG
Imas Mulyati
SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Membangun Karakter Positif melalui Pembelajaran Teks Laporan Hasil
Observasi di SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung. Penelitian ini bertujuan
memberikan gambaran hasil studi dokumentasi yang dilakukan para siswa SMA
dengan teknik reportase. Metode yang dilakukan dalam penelitian adalah metode
penelitian deskriptif dengan teknik studi dokumentasi. Dokumen yang dijadikan objek
studi adalah proses pembelajaran siswa yang dilaksanakan melalui reportase.
Penelitian dilakukan terhadap lima belas tayangan video reportase yang dibuat oleh
siswa pada pembelajaran teks laporan hasil observasi di kelas X tahun ajaran 2013 dan
2014. Reportase yang dilakukan oleh para siswa adalah reportase langsung yang
disampaikan secara lisan. Mereka berperan sebagaimana layaknya seorang reporter
televisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran ‗Teks Laporan
Hasil Observasi dengan Teknik Reportase‘ terdapat pengintegrasian berbagai karakter
bangsa. Di antara berbagai karakter yang ditemukan adalah: religius, jujur, toleransi,
disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/ komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Hampir semua dari delapan belas karakter yang direkomendasikan, dapat dicapai
melalui pembelajaran ini.
Kata kunci: pendidikan karakter, pembelajaran, teknik reportase
PENDAHULUAN
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan
pendidikan nasional diwujudkan sebagai suatu upaya pembentukan karakter
positif bangsa melalui pendidikan dan pembelajaran. Pada kenyataanyya,
pembangunan jati diri bangsa semakin memudar. Hal ini disebabkan antara
lain oleh: kurangnya keteladanan, pemberitaan media cetak & elektronik yang
238
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tidak mendidik, dan pendidikan belum banyak memberi kontribusi optimal
dalam pembentukan karakter peserta didik.
Perilaku siswa bukan hanya ditentukan oleh pendidikan yang diterima
dari sekolah, melainkan juga ditentukan oleh jalur pendidikan lain. Pendidikan
di dalam keluarga dan masyarakat sangat memegang peran yang penting. Oleh
karena itu, pendidikan pada setiap jalur dan jenjang harus diselenggarakan
secara terprogram dan sistematis mengarah kepada pencapaian tujuan
pendidikan nasional, dengan mengintegrasikan muatan nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa, untuk menghasilkan insan Indonesia yang cerdas dan
kompetitif.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang dilakukan ini adalah sebuah penelitian deskriptif dengan
teknik studi dokumentasi. Dokumen yang dijadikan objek studi adalah proses
pembelajaran
siswa
yang
dilaksanakan
melalui
reportase.
Penelitian
dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Pemilihan populasi dan sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah 24 tayangan video reportase siswa.
Populasi ini
berasal dari proses pembelajaran pada materi ―Teks
Laporan Hasil Observasi‖. Sumber data dalam populasi ini adalah para
siswa kelas X MIA 1 dan 2 tahun ajaran 2013-2014 dan 2014-2015.
Dari 24 tayangan video, penulis memilih 15 tayangan video sebagai
sampel.
2. Analisis data
Data yang dianalisis dari 15 tayangan video adalah data berupa
gambaran karakter positif yang terkandung dalam proses pembuatan
video. Selain itu, data yang tersaji dalam tayangan video pun dapat
menjadi sumber untuk analisis data terkait dengan pendidikan karakter.
Sejumlah karakter yang muncul dalam data berupa tayangan video
kemudian diidentifikasi berdasarkan delapan belas karakter yang
direkomendasikan dalam kurikulum.
3. Pendeskripsian pendidikan karakter berdasarkan temuan data
4. Pelaporan hasil analisis
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
239
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Materi Ajar Teks Laporan Hasil Observasi dalam Kurikulum 2013
Dalam struktur kurikulum 2013, teks laporan hasil observasi dengan
tema meneroka alam semesta, tercantum pada silabus dengan nomor urut
materi pertama. Materi pembelajaran ‗teks laporan hasil observasi‘ yang
direkomendasikan di dalam silabus adalah sebagai berikut.
1) Struktur teks laporan hasil
2) Langkah menyusun teks laporan hasil observasi
3) Penelaahan dan revisi teks (struktur dan ciri kebahasaan)
4) Meringkas teks laporan hasil observasi
5) Membuat pantun
Kelima materi pembelajaran tersebut dibahas dalam tiga tahap. Ketiga
tahap itu adalah pemodelan teks, kerja sama membangun teks, dan kerja
mandiri membangun teks. Proses pembelajaran dengan teknik reportase adalah
bagian dari proses pembuatan teks laporan hasil observasi secara kelompok.
Integrasi Karakter pada Proses Pembelajaran Teks Laporan Hasil Observasi
Tabel 1
No
240
Integrasi Karakter Positif Bangsa
pada Proses Pembelajaran Teks Laporan Hasil Observasi
Nomor Sampel
Identifikasi
Karakter
1
2
3
4
5
6
7
8
Ket
9
10
11
12 13 14 15
1
Religius
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
2
Jujur
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
3
Toleransi
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
4
Disiplin
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
5
Kerja keras
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
6
Kreatif
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
7
Mandiri
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Nomor Sampel
Identifikasi
Karakter
1
9
10
11
12 13 14 15
8
Demokratis
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
9
Rasa Ingin
Tahu
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
10
Semangat
Kebangsaan
√ √ √ √ √ 0
0 √ √
√
√
0
0
0
0
64.2 %
11
Cinta Tanah
Air
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
0
√
√
√
√
93.3%
12
Menghargai
Prestasi
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
13
Bersahabat/
komunikatif
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
14
Cinta Damai √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
15
Gemar
membaca
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
16
Peduli
lingkungan
√ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
17
Peduli sosial √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√
√
√
√
√
100 %
18
Tanggung
jawab
√
√
√
√
√
√
100 %
No
Ket
2
3
4
5
6
7
8
√ √ √ √ √ √ √ √ √
Berdasarkan hasil studi dokumentasi terhadap lima belas video reportase,
setiap karakter positif yang direkomendasikan dalam pendidikan karakter telah
tampak pada setiap reportase kelompok. Integrasinya tampak pada berbagai
perilaku kelompok yang cenderung sama.
1) Religius; ditunjukkan dengan sikap menyukuri indahnya alam
ciptaan Tuhan.
2) Jujur; ditunjukkan dengan keaslian karya.
3) Toleransi; ditunjukkan dengan sikap saling menghargai sesama
anggota kelompok atau antarkelompok.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
241
4) Disiplin; ditunjukkan dengan ketepatan waktu pelaksanaan
pengamatan dan waktu reportase. Selain itu, perilaku disiplin juga
ditunjukkan dengan cara bekerja.
5) Kerja keras; sangat tampak pada upaya setiap individu dalam
kelompok untuk membuat reportase sampai selesai dengan hasil
yang lebih dari memuaskan.
6) Kreatif; sangat tampak pada cara siswa membuat sebuah tayangan
reportase mendekati reportase televisi.
7) Mandiri; para siswa melaksanakan pengamatan dan reportase tanpa
bimbingan guru secara langsung.
8) Demokratis; tampak pada pembagian tugas sebagai juru kamera,
pelapor, editor (naskah), pengatur laku, dan sebagainya.
9) Rasa ingin tahu; ditunjukkan dengan sikap dan perilaku menjadi
sekelompok petugas pemberitaan.
10) Semangat kebangsaan; ditunjukkan dengan upaya menggunakan
bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Namun, masih ada
beberapa kelompok yang belum menunjukkan perilaku karakter ini.
11) Cinta tanah air; pada umunya setiap kelompok melakukan
pengamatan pada daerah masing-masing (mengangkat potensi
daerah). Namun, ada satu kelompok yang belum melaksanakannya.
12) Menghargai prestasi; tampak pada upaya pembagian tugas yang
disesuaikan dengan kemampuan dan prestasi masing-masing.
13) Bersahabat/ komunikatif; sangat tampak pada penggunaan bahasa
yang mudah dipahami, bersahabat dengan lingkungan dan dengan
orang-orang sekitar.
14) Cinta damai; sangat tampak pada perilaku saling menyayangi,
menjaga kekompakan dalam kelompok dan dengan orang-orang
lain di luar kelompok.
15) Gemar membaca; tampak pada persiapan reportase. Siswa dituntut
untuk banyak membaca referensi tentang reportase dan tentang
objek reportase.
242
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
16) Peduli lingkungan; sangat tampak pada sikap dan perilaku setelah
pembelajaran. Di antaranya: menyayangi lingkungan, seperti
menjaga kebersihan dan keindahan di lingkungan sekitar.
17) Peduli sosial; tampak pada kepedulian terhadap orang-orang lain
yang bukan rekan, yang ditemui di daerah objek pengamatan.
18) Tanggung jawab; ditunjukkan dengan pelaksanaan pengamatan dan
reportase dengan semangat dan penuh kesungguhan.
PEMBAHASAN
Hakikat, Tujuan, dan Fungsi Pendidikan Karakter
Pada hakikatnya, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan
mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter
adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation)
sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai
yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter
yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan
yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral
action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup
peserta didik.
Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai yang
membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan
berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3)
mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri,
bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi untuk (1) membangun kehidupan
kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang
cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan
kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik,
berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun
sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup
berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
243
Nilai-Nilai Pembentuk Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan
melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional
satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan
karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya diperkuat dengan 18
nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi yang dimaksud
seperti: keagamaan, gotong royong, kebersihan, kedisiplinan, kebersamaan,
peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya
Untuk lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan
pendidikan, telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2)
Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8)
Demokratis, (9) Rasa ingin tahu, (10) Semangat kebangsaan, (11) Cinta tanah
air, (12) Menghargai prestasi, (13) Bersahabat/ komunikatif, (14) Cinta damai,
(15) Gemar membaca, (16) Peduli lingkungan, (17) Peduli sosial, (18)
Tanggung jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Pembelajaran Terpadu (Terintegrasi)
Menurut
Kurniawan
(2011),
model-model
pembelajaran
terpadu/terintegrasi dimulai dari derajat keterpaduan/integrasi rendah sampai
dengan derajat keterpaduan/integrasi tinggi. Klasifikasinya terangkum dalam
skema berikut ini.
244
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Gambar 1
Skema Model-Model Pembelajaran Terpadu
Dari sejumlah model pembelajaran terpadu/ terintegrasi, pendidikan
karakter teridentifikasi sebagai model tersarang (nested model). Dalam
organisasi kurikulum, model tersarang ini didefinisikan sebagai suatu integrasi
multitarget kemampuan yang ingin dicapai. Beberapa kemampuan yang ingin
dicapai itu disajikan dalam satu topik yang ada pada satu mata pelajaran
tertentu. Contoh: kemampuan sosial, berpikir, kemampuan penguasaan materi
pelajaran, diintegrasikan dalam satu topik materi fotosintesis pada mata
pelajaran IPA.
Model pembelajaran nested sangat cocok digunakan ketika guru ingin
memasukkan kemampuan berpikir dan kemampuan sosial ke dalam isi
pelajaran. Sementara tetap fokus pada tujuan penguasaan materi, ditambahkan
dengan pembentukan kemampuan berpikir dan kemampuan sosial di
dalamnya. Penguasaan pembentukan sikap, keterampilan berpikir, dipadukan
dalam satu kegiatan belajar. Upaya ini akan lebih meningkatkan kualitas
pengalaman belajar siswa (Kurniawan, 2011: 56).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
245
Teknik Reportase
Reportase adalah 1) Pemberitaan; pelaporan. 2) Laporan kejadian
(berdasarkan pengamatan atau sumber tulisan (KBBI, 1991: 836). Reportase
sebagai teknik pembelajaran adalah suatu proses pembelajaran suatu topik
dengan cara melaporkan suatu objek berdasarkan pengamatan atau sumber
tulisan.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pembelajaran teknik reportase
adalah sebagai berikut.
a.
Memilih topik/ materi ajar yang sesuai
b.
Membentuk kelompok reportase
c.
Merencanakan reportase dalam kelompok sesuai dengan
kesepakatan kelompok
1)
Menentukan objek pengamatan
2)
Menentukan waktu pengamatan
3)
Membagi tugas secara individual
d.
Melaksanakan pengamatan
e.
Menulis konsep reportase
f.
Melakukan reportase dan pendokumentasian reportase
dalam bentuk video sederhana
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran ‗Teks Laporan
Hasil Observasi dengan Teknik Reportase‘ terdapat pengintegrasian berbagai
karakter bangsa. Di antara berbagai karakter yang ditemukan adalah religius,
jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin
tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/
komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial,
dan tanggung jawab. Jelasnya, hampir semua dari delapan belas karakter yang
direkomendasikan, dapat diintegrasikan melalui pembelajaran ini.
Secara keseluruhan, delapan belas karakter positif telah dapat
diintegrasikan melalui pembelajaran ini. Namun, belum semua kelompok dapat
mencapainya secara total. Karena itu, setiap guru harus berupaya keras untuk
246
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mengintegrasikan karakter-karakter positif bangsa dalam pembelajaran. Selain
itu, siswa pun harus ada kesadaran individual untuk dapat menerapkan setiap
karakter positif itu dalam kehidupan nyata sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. 2010. Metodologi dan Aplikasi Riset Pendidikan. Bandung:
Pustaka Cendekia Utama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fasold, Ralph. 1984. The Linguistics of Society. New York: Basil Blackwell
Inc.
Fishman, A. Joshua. 1972. The Sociology of Language. Massachusetts:
Newburryhouse Publisher.
Hymes, Dell. 1974. Foundation of Sociolinguistics: An Etnographic Approach.
Philadelphia: University of Pennsylvania P. Melalui
Kementerian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat
Kurikulum dan Perbukuan. 2011. Panduan Pelaksanaan Pendidikan
Karakter. Jakarta.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia: Ekspresi
Diri dan Akademik. Jakarta.
Kurniawan, Deni. 2011. Pembelajaran Terpadu: Teori, Praktik, dan Penilaian.
Bandung: Pustaka Cendekia Utama.
Parera, Jos Daniel. 1982. Belajar Mengemukakan Pendapat. Jakarta: Erlangga.
Permendiknas terkait Kurikulum 2013: Salinan Lampiran Permendikbud No.
64 Tahun 2013 ttg Standar Isi Salinan Lampiran Permendikbud No. 65
Tahun 2013 ttg Standar Proses Salinan Lampiran Permendikbud No. 69
th 2013 tentang Kurikulum SMA-MA Salinan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2014 tentang
Kurikulum 2013 SMA/ MA
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Undang-Undang RI No-20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas.
.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
247
STRATEGI KEBAHASAAN DALAM MEMBANGUN
KARAKTER GENERASI MUDA: KAJIAN KONSEPTUAL
PSIKOPRAGMASTILISTIKA
Jatmika Nurhadi
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Strategi Kebahasaan dalam Membangun Karakter Generasi Muda: Kajian
Konseptual Psikopragmastilistika. Penelitian ini merupakan hasil kajian konseptual
yang mendeskripsikan strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi
muda. Penelitian ini menghasilkan sebelas strategi kebahasaan dalam membangun
karakter generasi muda, yakni (1) penggunaan frasa positif dan frasa negatif, (2)
penggunaan presuposisi, (3) penggunaan pacing dan leading, (4) penggunaan pilihan
paralel (paralelisme), (5) penggunaan perintah tersirat, (6) penggunaan developing
question, (7) penggunaan majas prolepsis, (8) penggunaan majas epizeuksis, (9)
penggunaan majas simile, (10) penggunaan majas metafora, dan (11) penggunaan
tuturan ekspresif. Dapat disimpulkan bahwa strategi kebahasaan memudahkan
seseorang untuk menerima informasi karena bahasa-bahasa yang disampaikan bersifat
permisif.
Kata kunci: psikologi, pragmatik, stilistika, strategi, karakter
PENDAHULUAN
Dewasa ini, moralitas generasi muda masuk dalam kondisi yang
mengkhawatirkan. Bahkan, dapat dikatakan sudah masuk tahap krisis. Krisis
moralitas tersebut terwujud pada sikap-sikap seperti: tidak peduli orang lain,
tidak peduli dengan lingkungan, tidak peduli dengan norma, dan jauh dari
agama. Tentunya, hal demikian tidak dapat dibiarkan begitu saja. Diperlukan
suatu pendidikan karakter untuk menangani krisis moralitas tersebut. Lickona
(2003) menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha
yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami,
memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.
Pendidikan karakter itu sendiri bertujuan mengembangkan kemampuan
seseorang untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara hal yang baik,
dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh
hati. Ini menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya
248
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
membentuk dan menanamkan nilai-nilai karakter seseorang melalui pendidikan
yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata.
Kemendiknas (2010: 9-10) mengidentifikasi delapan belas nilai atau
karakter bangsa yang perlu ditanamkan kepada anak-anak Indonesia, yakni:
religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, dan tanggung jawab.
Upaya membentuk dan menanamkan nilai-nilai
tersebut
dalam
pendidikan karakter adalah melalui bahasa. Bahasa dapat menjadi media yang
kuat untuk memengaruhi pikiran seseorang. Upaya memengaruhi pikiran
tersebut dapat dijadikan upaya untuk memperkuat karakter yang baik dan
memperbaiki karakter yang buruk. Dalam memengaruhi pikiran seseorang,
bahasa yang disampaikan harus memenuhi tiga syarat dalam memengaruhi
seperti yang disebutkan Aristoteles, yakni: ethos, pathos, dan logos.
Rakhmat (2007: 7) memperjelas batasan ethos, pathos, dan logos. Ethos
adalah kesanggupan untuk menunjukkan kepada khalayak bahwa pembicara
memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang
terhormat. Pathos kemampuan untuk menyentuh hati khalayak. Logos adalah
memengaruhi khalayak melalui logika (otak).
Cara penyampaian bahasa yang memenuhi ketiga syarat tersebut terdapat
dalam retorik. Badib (dalam Sunarni, 2008: 29) mengemukakan bahwa retorik
merupakan suatu bidang ilmu yang memayungi pragmatik, wacana (discourse),
stilistika, dan seni menuturkan dengan baik (elocution).
Retorik berkaitan erat dengan strategi dan gaya bahasa tertentu untuk
memengaruhi pikiran seseorang. Dalam memengaruhi pikiran seseorang
(receiver
‗penerima‘),
memperhatikan
isi
seseorang
informasi
(sender
yang
ingin
‗pengirim‘)
jangan
disampaikan,
tetapi
hanya
juga
memperhatikan cara dan gaya menyampaikan isi informasi itu dengan strategi
kebahasaan yang paling mudah diterima orang lain (bahasa permisif). Hal ini
senada seperti yang dinyatakan oleh Hendrikus (1991: 14), yakni retorika
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
249
kesenian untuk berbicara baik (Kunst, gut zu reden atau Ars bene dicendi), yang
dicapai berdasarkan talenta dan keterampilan teknis.
Ketika pikiran seseorang mudah menerima informasi, tentu seseorang
mudah pula membangun karakter-karakter berdasarkan informasi yang
diterimanya. Dengan demikian, strategi dan gaya bahasa dapat menjadi media
untuk
membangun
karakter-karakter
positif
melalui
informasi
yang
disampaikan. Oleh karena itu, perlu adanya suatu penelitian yang
mendeskripsikan strategi dan gaya bahasa yang dapat digunakan sebagai media
untuk membangun karakter generasi muda. Dalam retorika telaah yang paling
berkaitan dengan strategi dan gaya berdasarkan konteks bicara adalah
pragmastilistika. Hickey (1993: 578-584) menyatakan beberapa pandangannya
sebagai berikut.
1. Pragmastilistika adalah gaya bahasa, tetapi dengan komponen
pragmatik yang ditambahkan ke dalamnya.
2. Pragmastilistika memberi perhatian khusus tidak hanya terhadap
fitur-fitur yang dipilih pembicara, tetapi juga cara mencapai tujuan
tertentu atau menyatakannya dengan cara yang berbeda.
3. Pragmastilistika melibatkan studi tentang semua kondisi
linguistik dan ekstralinguistik, yang memungkinkan aturan dan potensi
bahasa untuk bergabung dengan unsur-unsur konteks untuk
menghasilkan teks yang mampu menyebabkan perubahan internal pada
keadaan, pikiran atau pengetahuan.
4. Jika linguis tertarik untuk bertanya ―What do you say?‖ ―Apa
yang Anda katakan?‖, ahli stilistika bertanya ―How do you say?‖
―Bagaimana Anda mengatakannya?‖, ahli pragmatik bertanya ―What
do you do?‖ ―Apa yang Anda lakukan?‖, ahli pragmastilistika akan
bertanya ―How do you do?‖ ―Bagaimana Anda melakukannya?‖.
Nurhadi (2013: 23) menyatakan bahwa kajian pragmastilistika
merupakan gabungan antara pragmatik dan stilistika yang mengkaji dan
memaparkan gaya bahasa dilihat dari aspek-aspek pragmatik seperti tindak
tutur dan konteks situasi. Selain itu, pragmastilistika tidak hanya mengkaji
maksud tuturan, tetapi juga mengkaji cara tuturan tersebut diujarkan untuk
dapat melakukan suatu tindakan. Selain memanfaatkan telaah pragmastilistika,
penelitian ini memanfaatkan telaah psikolinguistik untuk memahami kaitan
pikiran dengan bahasa. Oleh karena itu, dilakukanlah kajian konseptual
mengenai hal tersebut yang berjudul ―Strategi Kebahasaan dalam Membangun
Karakter Generasi Muda: Kajian Konseptual Psikopragmastilistika‖. Tulisan
250
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
ini bermaksud untuk mendeskripsikan strategi kebahasaan yang dapat
memengaruhi pikiran generasi muda dalam membangun karakternya.
LANDASAN TEORI
Deskripsi retorika, sarana pemengaruhan persepsi manusia, dan
komponen retorika dalam penelitian ini digunakan telaah yang dikemukakan
Hendrikus (1991), Rakhmat (2007) dan Badib (dalam Sunarni, 2008).
Pendeskripsian strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi muda
memakai kajian pragmatik dan stilistika dengan menggunakan komponenkomponen yang dideskripsikan Hickey (1993), Eriyanto (2005), Yule (2006),
Sudaryat (2009), Ratna (2009), Keraf (2009), dan Black (2011).
Strategi Kebahasaan dalam Membangun Karakter Generasi Muda
Pendeskripsian strategi kebahasaan dalam membangun karakter generasi
muda disenaraikan dalam sebelas strategi, di antaranya adalah sebagai berikut.
a.
Penggunaan Frasa Positif vs Frasa Negatif
Untuk membangun karakter positif, diperlukan suatu fondasi mental yang
positif. Bahasa dapat menjadi fondasi yang kuat dalam membangun mental
tersebut. Salah satu caranya adalah memilih penggunaan frasa, baik positif
maupun negatif. Frasa positif dan negatif dibedakan dengan ada tidaknya
negasi. Frasa positif tidak mengandung negasi, sedangkan frasa negatif
mengandung negasi. Untuk menunjukkan negasi pada frasa perhatikan kalimatkalimat berikut ini.
(1)
(2)
(3)
Jadi orang jangan suka bohong, ya! *)
Kamu, tidak boleh nakal, ya! *)
Mari kita ikuti gerakan antiperang! *)
Pada kalimat (1), (2), dan (3) terkandung frasa-frasa negatif. Frasa-frasa
tersebut adalah jangan suka bohong, tidak boleh nakal, dan antiperang.
Seseorang yang dinasihati dengan frasa-frasa tersebut justru akan menerima
kata bohong, nakal, dan perang. Hal itu terjadi karena negasi tidak diterima
dalam pikiran, yang diterima adalah kata yang dinegasikannya. Sekalipun frasa
yang mengandung negasi dapat diterima, seseorang harus memikirkan makna
kebalikan dari frasa negatif tersebut. Maksudnya, secara psikologis ada
kecenderungan bahwa ketika seseorang diberi nasihat atau informasi yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
251
dinegasikan, misalnya, tidak boleh nakal, justru hal itu akan membangun
karakter seseorang yang nakal. Untuk menghindari hal tersebut, dapat
dilakukan dengan cara mengubah frasa negatif tersebut menjadi frasa yang
positif. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
(4)
(5)
(6)
Jadi orang jujur banyak untungnya lho!
Kamu, mesti jadi anak yang baik, ya!
Mari kita ikuti gerakan properdamaian!
Pada kalimat (4), (5), dan (6) terkandung frasa-frasa positif. Frasa-frasa
tersebut terkandung seperti pada orang jujur, anak yang baik, dan
properdamaian. Frasa positif memudahkan pikiran seseorang menerima frasa
tersebut. Hal ini terjadi karena informasi yang masuk langsung diterima tanpa
harus mencari kebalikan seperti pada frasa yang dinegasikan.
Walaupun demikian, terdapat pula frasa negatif yang sebaiknya
digunakan dan frasa positif yang sebaiknya dihindari. Perhatikan kalimatkalimat berikut ini.
(7)
(8)
Walaupun menjadi orang jujur itu tidak mudah,
kita harus tetap berusaha dengan sebaik-baiknya.
Kamu itu pemalas, ya! *)
Pada kalimat (7) terdapat frasa tidak mudah. Hal ini justru akan
memberikan input bahwa jujur itu mudah. Frasa negatif seperti ini justru
diperbolehkan untuk dipergunakan sebagai motivasi dan nasihat daripada
memilih frasa positif, seperti jujur itu susah, yang justru nantinya akan
berdampak tidak baik.
Pada kalimat (8) tidak terkandung negasi, yakni pemalas. Hal ini justru
akan berdampak tidak baik karena seseorang akan fokus pada kata pemalas.
Lebih baik digunakan frasa yang negatif, yakni tidak rajin. Dengan demikian,
dapat dideskripsikan bahwa penggunaan frasa positif dan frasa negatif perlu
diperhatikan penggunannya dan disesuaikan dengan kata yang terdapat pada
frasa tersebut.
b.
Penggunaan Presuposisi
Eriyanto (2005) mengungkapkan bahwa presuposisi digunakan untuk
mendukung makna suatu teks dengan memberikan premis yang dapat dipercaya
252
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kebenarannya. Presuposisi hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya
sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Misalnya dengan menggunakan frasa
tertentu, seperti: jadi, jadi jelas, itu tandanya, itu berarti, itu menandakan, itu
mewujudkan dan itu menunjukkan. Perhatikan kalimat-kalimat berikut ini.
(9)
Jadi jelas, saat kita yakin dengan kemampuan diri
kita, rasa percaya diri akan semakin muncul.
(10) Orang yang mau berusaha dengan sekuat tenaga
menandakan ia adalah pekerja keras dan tangguh.
Kalimat (9) dan (10) mengandung presuposisi yang ditandai dengan
adanya frasa jadi jelas dan kata menandakan. Dengan frasa dan kata tersebut,
sebuah ide atau premis yang diyakini kebenarannya diperkuat dan dipertegas
sehingga seseorang ikut meyakini kebenaran tersebut. Perhatikan kalimat tanpa
menggunakan penanda presuposisi.
(11) Kalau Anda ingin percaya diri, Anda harus yakin dengan
kemampuan diri Anda.
(12) Jika Anda mau jadi pekerja keras dan tangguh,
Anda harus berusaha sekuat tenaga.
Kalimat (11) dan (12) justru akan mematahkan motivasi seseorang karena
ada ide yang dipaksakan seolah-olah ide tersebut merupakan aturan yang baku.
Hal tersebut ditandai dengan adanya modalitas harus. Ketika pikiran seseorang
merasa terpaksa, tentu sebuah ide akan sulit ditanamkan. Hal ini berbeda
dengan kalimat (9) dan (10) yang sifatnya lebih permisif. Kalimat (9) dan (10)
tidak memaksakan sebuah ide sehingga ide tersebut lebih mudah diterima
karena tidak mengandung keharusan atau aturan mengikat.
Presuposisi juga dapat digunakan untuk memunculkan proses melalui
pesan bawah sadar bahwa suatu hal sudah terjadi atau sedang meningkat
intensitasnya, dengan cara menggunakan kata ―mulai‖ atau ―semakin‖.
Perhatikan contoh kalimat berikut ini!
(13) Anda mulai bertanggung jawab atas semua hal
yang terjadi pada hidup Anda, itu tandanya
gerbang kesuksesan semakin terbuka lebar bagi
Anda.
(14) Anda semakin jujur dalam berbagai hal, itu berarti
kepercayaan yang besar dari banyak pihak akan
menghampiri Anda.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
253
Ketika seseorang menerima kalimat (13), secara psikologis orang tersebut akan
menerima pesan bawah sadar bahwa semakin ia bertanggung jawab ia akan semakin
sukses. Begitu juga dengan kalimat (14) ketika seseorang jujur berarti banyak orang
akan semakin percaya. Kata mulai dan semakin memberikan sugesti ―akan adanya
peningkatan‖ terhadap suatu hal. Selain itu, terdapat pula frasa itu tandanya dan itu
berarti yang berfungsi untuk mengaitkan satu hal dengan hal lain. Misalnya pada
kalimat (13) untuk mengaitkan tanggung jawab dengan kesuksesan atau pada kalimat
(14) untuk mengaitkan jujur dengan kepercayaan.
Kadang-kadang ditemui beberapa wujud presuposisi yang perlu
dihindari penggunaannya karena dapat memberikan pengaruh yang buruk bagi
lawan bicara. Misalnya:
(15) Kamu suka menyontek, kamu mau jadi koruptor? *)
(16) Jadi jelas, kamu tidak peduli sosial karena kamu tidak
mau menyumbang untuk amal. *)
Presuposisi pada kalimat (15) dan (16) sebaiknya perlu dihindari
penggunaannya. Pada kalimat (15) terdapat premis yang dipaksakan. Hal itu
ditunjukkan dengan adanya kata menyontek dikaitkan dengan koruptor.
Padahal, belum tentu ada kaitan semua orang yang menyontek akan menjadi
koruptor di kemudian hari. Belum tentu juga ada kaitan semua koruptor pernah
menyontek. Dengan menggunakan, labelisasi yang kurang tepat seperti itu, hal
itu akan menyugestikan pada seseorang bahwa di masa depan ia akan menjadi
koruptor karena suka menyontek saat masih muda.
Begitu pula pada kalimat (16), mengaitkan dengan presuposisi yang
salah, yakni mengaitkan tidak peduli sosial karena tidak mau menyumbang.
Padahal, belum tentu sesorang tidak peduli sosial karena tidak mau
menyumbang. Bisa jadi saat itu dia tidak memiliki sesuatu untuk
disumbangkan. Belum tentu juga seseorang yang menyumbang dia peduli
sosial, bisa jadi seseorang menyumbang karena pamer. Oleh karena itu,
penggunaan presuposisi seperti pada kalimat (13) dan (14) sebaiknya dihindari.
Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa penggunaan presuposisi lebih
baik digunakan untuk mengaitkan premis-premis bernilai positif. Singkatnya,
memahami presuposisi adalah seperti cause and effect ‗sebab dan akibat‘. Jika
254
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
penyebabnya hal yang baik, hasilnya akan baik. Jika penyebabnya tidak baik,
hasilnya akan tidak baik.
c.
Penggunaan Teknik Pacing dan Leading
Pacing
mengandung pengertian
mengumpan,
yakni
memberikan
perhatian pada lawan bicara sehingga seolah-olah lawan bicara diumpan agar
memberikan respons berupa perhatian balik. Setelah, perhatian itu didapatkan
baru pembicara dapat melakukan leading atau menuntun/mengarahkan.
Maksudnya menuntun sesuai kehendak pembicara. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh berikut ini.
(17) Anda datang ke tempat ini, kemudian duduk di
posisi Anda sekarang, sambil memperhatikan ke
arah papan tulis ini, saya yakin Anda ingin
memuaskan rasa ingin tahu Anda supaya Anda
menjadi pribadi yang lebih kreatif dan berprestasi.
(18) Anda sudah mengakui kesalahan Anda dan berani
berkata jujur, saya yakin Anda adalah orang yang
bertanggung jawab.
Contoh (17) menunjukkan sebuah kalimat yang diucapkan seorang guru
saat mengawali pembicaraan dalam kelas. Kalimat (17) mengandung pacing
dan leading. Bagian pacing terkandung pada klausa Anda datang ke tempat ini,
kemudian duduk di posisi Anda sekarang, sambil memperhatikan ke arah
depan. Sementara itu, bagian leading terkandung pada klausa saya yakin Anda
ingin memuaskan rasa ingin tahu Anda supaya Anda menjadi pribadi yang
lebih kreatif dan berprestasi. Bagian pacing berfungsi untuk menyebutkan halhal yang sedang dilakukan atau terjadi pada lawan bicara. Fungsi pacing adalah
untuk menunjukkan bahwa kita memberi perhatian lawan bicara. Seseorang
yang merasa diberi perhatian secara psikologis akan memberikan umpan balik
berupa perhatian kepada pembicara. Jika pacing diikuti oleh kalimat-kalimat
leading, tentu lawan bicara akan memperhatikan hal yang di-leading-kan oleh
pembicara. Biasanya kalimat leading itu akan menyugesti lawan bicara dengan
mudah jika sebelumnya didahului kalimat pacing. Hasilnya diharapkan lawan
bicara akan termotivasi untuk memiliki ―rasa ingin tahu‖ agar ―kreatif dan
berprestasi‖.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
255
Begitu juga dengan kalimat (18), kalimat yang diucapkan seseorang
kepada lawan bicara yang jujur mengakui kesalahannya. Bagian pacing
terdapat pada Anda sudah mengakui kesalahan Anda dan berani berkata jujur,
sedangkan bagian leading terdapat pada saya yakin Anda adalah orang yang
bertanggung jawab. Kalimat (18) lebih permisif yang memungkinkan hal yang
dikatakan menjadi lebih sugestif bagi lawan bicaranya sehingga diharapkan
lawan bicara menjadi ―jujur dan bertanggung jawab‖ di kemudian hari.
d.
Penggunaan Pilihan Paralel (Majas Paralelisme)
Paralelisme menggambarkan kesejajaran unsur-unsur dalam suatu
konstruksi. Pernyataan ini ada kesejalanan dengan pendapat Ratna (2009: 441)
yang mengungkapkan bahwa pararelisme merupakan majas dengan kesejajaran
kata-kata atau frasa, dengan fungsi yang sama. Pararelisme dapat dimanfaatkan
untuk mengondisikan lawan bicara untuk memilih hal yang seolah-olah
berbeda, tetapi sebenarnya secara harafiah sama. Untuk lebih jelasnya
perhatikan kalimat berikut ini.
(19) Mana yang akan Anda tanamkan terlebih dahulu
dalam kehidupan Anda kerja keras atau
kreativitas?
(20) Apakah Anda mau memaafkannya sekarang atau
memberikan kesempatan kedua?
Pada kalimat (19) dan (20) terkandung paralelisme. Pada kalimat (19)
Paralelisme terkandung kerja keras dan kreativitas. Keduanya secara harafiah
merupakan hal yang positif sehingga kendati lawan bicara memilih hal yang
mana pun keduanya akan menjadi hal yang bermanfaat baginya. Begitu juga
pada kalimat (20) terkandung paralelisme yang terwujud dalam memaafkannya
sekarang dan memberi kesempatan kedua. Keduanya tampak berbeda, tetapi
memiliki keserupaan. Bandingkan dengan hal pilihan berikut ini.
(21) Mana yang akan Anda pilih ―jujur, tapi miskin‖ atau
―kaya hasil korupsi‖?
(22) Apakah Anda mau memaafkannya atau tidak?
Pada kalimat (21) dan (22) terdapat pilihan-pilihan. Namun, pilihanpilihan tersebut memiliki perbedaan. Hal yang akan dipilih dapat dipastikan
256
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menghasilkan akibat yang berbeda. Berbeda dengan kalimat (19) dan (20),
pilihannya menghasilkan akibat yang serupa.
e.
Penggunaan Perintah Tersirat/Tersisip (Embedded Command)
Perintah dapat dapat diutarakan langsung melalui kalimat imperatif atau
dapat disisipkan dalam bentuk kalimat afirmatif ataupun kalimat interogatif.
Perintah yang disisipkan dalam bentuk kalimat afirmatif dan kalimat interogatif
mengurangi kesan bahwa lawan bicara sedang diperintah. Untuk lebih jelasnya
perhatikan contoh-contoh berikut ini.
(23) Pengetahuan akan lebih mudah didapat jika Anda
luangkan waktu untuk membaca.
(24) Mampukah Anda pelajari cara menjadi pribadi yang
lebih mandiri?
Kalimat (23) merupakan kalimat afirmatif mengandung perintah tersisip
yang ditandai dengan adanya verba imperatif luangkan. Kalimat pernyataan ini
tidak hanya untuk menyatakan bahwa pengetahuan akan lebih mudah didapat,
tetapi juga digunakan untuk memerintahkan lawan bicara untuk meluangkan
waktu. Perintah itu disisipkan agar kesan memerintah menjadi hilang sehingga
informasi lebih mudah diterima.
Selain dalam bentuk kalimat afirmatif, perintah tersisip dapat juga
diwujudkan ke dalam bentuk kalimat interogatif, seperti yang terdapat dalam
kalimat (24) yang ditandai dengan adanya verba imperatif pelajari. Maksud
dari kalimat tersebut tidak hanya menanyakan kemampuan lawan bicara dalam
mempelajari
cara menjadi pribadi
yang lebih
mandiri,
tetapi
juga
memerintahkan secara tersirat agar lawan bicara mempelajari cara menjadi
pribadi yang lebih mandiri. Kalimat (24) termasuk juga ke dalam bentuk retoris
atau erotesis. Erotesis adalah majas yang diungkapkan dalam bentuk
pertanyaan yang tidak menghendaki jawaban melainkan respons baik berupa
perbuatan atau sikap. Pada dasarnya secara psikologis perintah langsung lebih
sukar diterima pikiran sehingga alternatifnya dapat menggunakan bahasa yang
lebih permisif seperti pada kalimat (23) dan (24).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
257
f.
Penggunaan
Pertanyaan
untuk
Mengembangkan
Persepsi
(Developing Question)
Untuk mengembangkan gagasan atas suatu hal, memahami gambaran
besar tentang suatu konsep dalam pikiran lawan bicara atau dengan kata lain
mengembangkan persepsi lawan bicara, kita dapat menggunakan pertanyaan.
Misalnya, seseorang mengatakan ―Saya ingin sukses.‖ Tentu konsep sukses
bagi
setiap
orang
berbeda-beda.
Untuk
membantu
lawan
bicara
mengembangkan konsepnya menjadi konkret. Kita dapat mempergunakan
pertanyaan, misalnya pada kalimat tanya berikut ini.
(25) Sukses dalam bidang apa?
(26) Apa yang akan Anda lakukan pertama kali untuk meraih
kesuksesan itu?
(27) Apa manfaat kesuksesan bagi Anda?
Pertanyaan (25), (26), dan (27) dapat membuat konsep yang abstrak
tentang sukses menjadi hal yang lebih konkret. Kalimat (25) dapat memberikan
keterangan spesifik terhadap kesuksesan pada bidang yang dituju. Kemudian
dengan menggunakan kalimat pertanyaan (26), kita dapat memancing lawan
bicara untuk mendeskripsikan langkah awal dalam meraih kesuksesan.
Sementara itu, kalimat (27) dapat memperluas persepsi terhadap manfaat
kesuksesan bagi lawan bicara. Manfaat tersebut akan memperkuat motivasinya.
Walaupun demikian, terdapat pula kalimat pertanyaan yang sebaiknya dihindari
karena dapat berdampak tidak baik. Perhatikan contoh kalimat berikut ini.
(28) A: Saya bukan orang yang percaya diri.
B: Mengapa Anda tidak percaya diri?
A: Karena ...., ...., ...., ...., dan seterusnya.
Kalimat yang diucapkan B pada contoh (28) memang mengembangkan
persepsi, tetapi sebaiknya dihindari karena akan memperkuat alasan seseorang
untuk semakin tidak percaya diri. Dengan demikian, dapat dideskripsikan
bahwa jika lawan bicara sedang mengeluhkan hal yang negatif, kita hindari
menggunakan kata tanya ―mengapa‖. Jika ingin memberikan persepsi berbeda,
sebaiknya kita mempergunakan kalimat tanya lain misalnya.
(29) A: Saya bukan orang yang percaya diri.
B: Pernah tidak sekali saja, Anda merasakan rasa
percaya diri?
258
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
A: (Kemungkinan jawaban) Oh, pernah saat saya ...., ....,
dan seterusnya.
B: Tahukah Anda bahwa percaya diri akan membuat
Anda lebih kreatif?
A: Benarkah?
B: Ya, tentu.
Kalimat pertama yang diucapkan B pada contoh (29) akan
mengembangkan persepsi berbeda. Selain itu, dalam pikiran lawan bicara akan
dibuka kesempatan bahwa ia pernah merasakan percaya diri. Jadi, keyakinan
dirinya akan mengalami perubahan juga. Tentu dalam pembentukan karakter,
hal semacam ini sebaiknya menjadi perhatian karena pertanyaan berbeda dapat
menimbulkan persepsi yang berbeda pula. Kalimat kedua pada contoh (29)
mengandung rumusan ―jika seseorang percaya diri, seseorang akan lebih
kreatif”. Maksudnya, jika seseorang diingatkan bahwa tindakannya untuk
berubah menghasilkan sesuatu yang positif, orang tersebut akan tertarik
melakukan perubahan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Lieberman
(2011: 77) yang menyatakan bahwa seseorang perlu percaya dan diingatkan
bahwa tindakan-tindakan dapat memberikan hasil.
g.
Penggunaan Majas Prolepsis (Majas Antisipasi)
Prolepsis atau antisipasi adalah kata-kata seolah-olah mendahului
peristiwanya (Ratna, 2009: 447). Dengan majas ini, kerangka pemikiran yang
akan terjadi disampaikan terlebih dahulu sebelum peristiwanya sendiri terjadi.
Prolepsis memungkinkan lawan bicara menerima suatu rancangan peristiwa
sehingga rancangan peristiwa tersebut menjadi perintah tersirat yang bersifat
permisif. Perhatikan contoh berikut ini.
(30) Nanti,jika sifat bersahabat sudah Anda bangun
dalam kehidupan Anda, tentu di mana pun Anda
berada, Anda akan memiliki banyak relasi yang
membantu Anda meraih kesuksesan Anda.
(31) Ketika Anda masuk ke dunia wirausaha,
kemandirian, kreativitas dan kerja keras yang Anda
latih terus-menerus dapat membantu Anda untuk
mendapatkan kesuksesan usaha Anda.
(32) Sebelum Anda memasuki suatu tempat yang
berbeda budaya, toleransi antarbudaya yang akan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
259
Anda pelajaridapat membantu Anda
beradaptasi dengan budaya apa pun.
untuk
Pada kalimat (30), (31), dan (32) terkandung penanda prolepsis, yakni:
nanti, ketika, dan sebelum. Penanda prolepsis tersebut memberikan suatu
rancangan yang bersifat imajinatif dalam pikiran lawan bicara. Dengan kata
lain, terdapat kata-kata mendahului peristiwa yang mungkin akan terjadi.
Misalnya, pada kalimat (31) terdapat rancangan peristiwa yang ditanamkan,
yakni ketika Anda masuk ke dunia wirausaha. Kenyataannya, lawan bicara
belum merasakan dunia wirausaha, tetapi dalam pikirannya sudah ada
rancangan bahwa agar sukses dalam dunia usaha ia harus mandiri, kreatif dan
bekerja keras.
h.
Penggunaan Majas Epizeuksis (Repetisi)
Epizeuksis adalah pengulangan kata, frasa, klausa, atau kalimat secara
langsung (Ratna, 2009: 442). Pengulangan memiliki beberapa manfaat, seperti:
menegaskan, memperkuat intensitas informasi, menghindari kekeliruan, dan
memudahkan informasi diingat. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut
ini.
(33) Kejujuran adalah kebijaksanaan.
Kejujuran adalah kepercayaan.
Kejujuran adalah perilaku baik.
(34) Membaca adalah kunci sukses! Membaca adalah kunci
sukses!
Bentuk pengulangan terdapat dalam contoh (33) dan (34). Pada kalimat
(33) pengulangan ditekankan pada kata kejujuran. Sementara itu, pada contoh
(34) pengulangan terdapat pada keseluruhan kalimat. Pengulangan pada contoh
(34) merupakan bentuk penegasan pada keseluruhan kalimat.
i.
Penggunaan Majas Simile
Simile merupakan majas perbandingan yang bersifat eksplisit, yakni
perbandingan yang langsung-menyatakan sesuatu sama dengan hal lain yang
diwujudkan melalui kata-kata: seperti, sama, sebagai, seakan-akan, seolah-
260
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
olah, laksana, dan sebagainya (Keraf, 2009: 138). Perhatikan contoh
penggunaan simile berikut ini.
(35) Bayangkan semangat kebangsaan Anda berkobar
seolah-olah Anda adalah seorang pejuang yang
berhasil merebut markas pasukan musuh seorang
diri! Bayangkan betapa bangganya diri Anda!
(36) Bekerjalah seakan-akan Anda hidup selamanya
dan beribadahlah seakan-akan Anda mati esok!
Penggunaan simile pada kalimat (35) dan (36) ditandai dengan
penggunaan kata seolah-olah dan seakan-akan. Penggunaan kata seolah-olah
pada kalimat (35) memberikan gambaran semangat kebangsaan yang
diimajinasikan melalui simile tentang seorang pejuang yang berhasil merebut
markas pasukan musuh seorang diri. Gambaran tersebut akan meningkatkan
kekuatan motivasi agar semangat kebangsaan bertambah.
Begitu juga kalimat (36) memberikan gambaran bahwa jika seseorang
bekerja seakan-akan hidup selamanya, orang tersebut akan bersemangat karena
ia akan menikmati hasilnya seumur hidup. Sementara itu, seseorang yang
beribadah seakan-akan mati besok, maka ia akan beribadah dengan sungguhsungguh. Dengan demikian, dapat dideskripsikan bahwa strategi penggunaan
simile ini dapat membantu memperkuat informasi yang diberikan.
j.
Penggunaan Majas Metafora
Jika simile merupakan kiasan langsung, metafora merupakan kiasan tidak
langsung. Cirinya tidak menggunakan perwujudan kata-kata seperti pada
simile. Penggunaan metafora dapat dimaksudkan sebagai ornamen. Namun,
dalam strategi kebahasaan metafora dapat menjadi pembenar atas pernyataan
yang diutarakan Biasanya menggunakan peribahasa, pepatah, petuah leluhur,
ungkapan sehari-hari dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut ini.
(37) Benar kata pepatah: “Semakin tinggi pohon
menjulang, semakin kencang angin menerjang”.
Begitu juga dengan tanggung jawab kita. Semakin
besar tanggung jawab yang kita emban, semakin
besar juga tantangan yang harus dihadapi. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar tanggung
jawab yang Anda miliki, semakin hebat diri Anda.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
261
Penggunaan metafora pada kalimat (37) memperkuat pernyataan yang
akan disampaikan berikutnya. Dengan demikian, kalimat tersebut memberikan
pembenaran bahwa tanggung jawab yang besar akan sesuai dengan tantangan
yang dihadapi. Kemudian diikuti oleh kalimat ―Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar tanggung jawab yang Anda miliki, semakin hebat diri Anda.”
yang berfungsi untuk memotivasi lawan bicara supaya menjadi orang hebat
dengan mau memikul tanggung jawab besar.
k.
Penggunaan Tuturan Ekspresif
Menurut Yule (2006: 93) dalam tuturan ekspresif terdapat pernyataan
yang menggambarkan apa yang penutur rasakan. Tuturan ini mencerminkan
pernyataan-pernyataan psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Namun,
dalam strategi kebahasaan, pernyataan psikologis yang digunakan untuk
memperkuat motivasi lawan bicara adalah memuji (praising) dan memberi
ucapan selamat (congratulating). Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh
berikut ini.
(38) Wah, bagus sekali karya Anda, jika terus-menerus
dilatih, saya yakin kreativitas Anda akan membawa
Anda pada kesuksesan.
Kalimat (38) merupakan tuturan ekspresif yang mengandung pujian.
Lawan bicara akan merasa dihargai. Dengan penghargaan tersebut, lawan
bicara akan meningkat motivasinya. Namun, perlu dihindari untuk melakukan
pujian hanya sebagai sindiran, biasanya seseorang akan menjadi malu dan
kecewa sehingga hilang motivasi untuk berkarya kembali. Misalnya pada
contoh (39) berikut ini.
(39) Wah, hebat sekali pekerjaan Anda, Anda berhasil
membuatnya terlihat buruk.
Sebaiknya, penggunaan tuturan ekspresif pada kalimat (39) dihindari.
Jika memang seseorang berbuat buruk, lebih baik menggunakan reframing
(kerangka ulang) agar dia termotivasi untuk melakukan lebih baik. Perhatikan
contoh berikut ini.
(40) Sepertinya hasilnya masih kurang baik, saya yakin
Anda punya kemampuan jauh lebih baik dari itu,
262
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mungkin bukan kesulitan bagi Anda, Anda hanya
butuh waktu untuk melatihnya. Semoga berhasil.
Kalimat (40) tidak mengandung sindiran. Pada kalimat (40) justru lawan
bicara diyakinkan bahwa dia memiliki kemampuan yang lebih baik. Kemudian
terdapat pernyataan reframing bahwa hal itu bukan kesulitan, tetapi hanya
butuh waktu sehingga lawan bicara akan menerima bahwa hal itu hanya perlu
latihan.
SIMPULAN
Dari pendeskripsian strategi kebahasaan untuk membangun karakter
generasi muda. dihasilkan beberapa simpulan, yakni: (1) bahasa memiliki
peran yang strategis sebagai media untuk membentuk karakter melalui
motivasi dan sugesti, (2) bahasa yang memiliki strategi tertentu, bersifat
permisif sehingga lebih mudah diterima oleh pikiran seseorang, dan (3)
penggunaan strategi bahasa didasarkan pada suatu perencanaan secara sadar
dan sengaja untuk membentuk karakter positif melalui motivasi dan sugesti
yang tepat.
Penelitian ini masih bersifat konseptual sehingga efektivitas dari strategi
kebahasaan yang dipaparkan perlu dilakukan pengujian secara mendalam.
Dengan demikian, untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan penelitian
mengenai: (1) efektivitas strategi kebahasaan dalam penelitian ini, (2)
membandingkan efektivitas strategi dalam penelitian ini dengan strategi
kebahasaan lain, dan (3) melengkapi dan menyempurnakan strategi kebahasaan
sehingga dapat membentuk suatu strategi bahasa yang paling permisif dalam
membentuk karakter generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, John L. 1962. How to Do Things with Words. Oxford: Oxford
University Press.
Black, Elizabeth. 2011. Stilistika Pragmatis Terjemahan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Suatu Perkenalan
Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
263
Eriyanto. 2005. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKiS.
Hendrikus, Dori Wuwur. 1991. Retorika: Terampil Berpidato, Berdiskusi,
Berargumentasi, Bernegosiasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hickey, Leo. 1993. ―Stylistics, Pragmatics and Pragmastylistics‖. Dalam:
Revue belge de philologie et d'histoire. Tome 71 fasc. 3, 573-586.
Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya
dan Karakter Bangsa, Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum
Balitbang.
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Lickona, Thomas. 1993. The Return of Character Education. (Journal of
Educational leadership, Vol. 3 No. 3/November 1993, hlm 6-11).
Tersedia:
http://www.ascd,org/publications/educationalleadership/Nov93/vol51/num03/The Return of Character Education.aspx.
Lieberman, David J. 2011. Agar Siapa Saja Mau Berubah untuk Anda
(Terjemahan). Jakarta: Serambi.
Nurhadi, Jatmika. 2013. ―Tuturan Hipnoterapi dalam Bahasa Indonesia: Suatu
Kajian Pragmastilistika‖. Bandung: Tesis Program Pascasarjana Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Retorika Modern. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Ratna, Kutha Nyoman. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana: Prinsip-prinsip Semantik
Pragmatik. Bandung: Yrama Widya.
Sunarni, Nani. 2008. ―Tindak Tutur Penolakan dalam Bahasa Jepang: Kajian
Pragmatik‖. Surabaya: Disertasi Universitas Negeri Surabaya.
Yule, George. 2006. Pragmatik (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
264
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
WANDA RARANCAGAN DAN JEJEMPLANG
PESAN MORAL DALAM RUMPAKA TEMBANG SUNDA
CIANJURAN
Latifah
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Wanda Rarancagan dan Jejemplang Pesan Moral dalam Rumpaka Tembang
Sunda Cianjuran. Cianjuran disebut pula Tembang Sunda, atau lebih lengkap
disebut Tembang Sunda Cianjuran. Kata ‗Tembang‘ menunjukkan jenis kesenian
vokal, sedangkan ‗Sunda‘ merujuk pada kepemilikan kesenian tersebut, sementara
‗Cianjuran‘ ditujukan pada gaya daerah asal kesenian ini bermula. Cianjuran
merupakan seni tradisi Sunda yang berasal dari Cianjur. Cianjuran menyuguhkan
lagu-laguan yang dilantunkan oleh jurumamaos (penyanyi) serta iringan musik oleh
juru pirig/ pamirig. Pamirig adalah istilah untuk pemain waditra (instrumen/ alat
musik tradisional). Alunan musik berasal dari alat musik tradisional khas Sunda.
Kesenian ini dalam Karawitan dikenal dengan istilah sekar gending (vokal dan
instrumen). Tembang Sunda Cianjuran memiliki 6 wanda Wanda Papantunan, Wanda
Jejemplangan, Wanda Rarancagan Wanda Dedegungan, Wanda Panambih, dan
Wanda Kakawén (saléndro). Dalam Tembang Sunda Cianjuran dikenal juga istilah
Rumpaka atau lirik rumpaka secara singkat berarti kata-kata yang digunakan dalam
lagu, diidentikkan dengan syair simbol bahasa dari sang komponis untuk
mengekspresikan perasaannya. Dalam syair yang dituliskan dalam Tembang Sunda
Cianjuran mengandung pesan moral bagi pendengar atau penikmat lagu tersebut.
Pesan yang disampaikan berisi hal-hal yang mengajak pendengar atau penikmatnya
untuk berprilaku positif /baik.
Kata kunci: wanda rarancagan, jejemplang, rumpaka, pesan moral
PENDAHULUAN
Tembang Sunda Cianjuran pada saat ini kerap menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari sebuah pertunjukan kesenian pada acara-acara
penyambutan tamu bagi masyarakat Sunda, seperti pernikahan ataupun
khitanan. Alunan suara sekar (sinden) yang merdu diiringan instrumen kecapi
dan suling membuat suasana lebih anggun, santun, khidmat, penuh dengan
ramah-tamah dan hati merasa nyaman sehingga para tamu yang datang pasti
terbawa suasana. Tembang Cianjuran pada awalnya merupakan musik yang
diperuntukkan bagi para pejabat atau masyarakat kelas tinggi. Oleh sebab itu,
pertunjukan Tembang Sunda Cianjuran biasanya selalu diadakan di pendopopendopo kabupaten.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
265
Seiring dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat
Tembang Cianjuran menjadi begitu akrab di masyarakat. Kini Tembang
Cianjuran sangat mudah ditemui dalam acara pesta-pesta perkawinan
masyarakat Sunda. Penikmat Tembang Cianjuran memang tidak sebanyak
jenis kesenian lain seperti dangdut, tetapi peminat dan penikmat Tembang
Cianjuran cukup signifikan. Meski zaman selalu berubah, namun Tembang
Cianjuran termasuk jenis kesenian yang mendapat respon positif dari
masyarakat global, kehadirannya diterima dengan baik oleh semua pihak baik
masyarakat lokal maupun internasional ikut serta melestarikan warisan budaya
sunda ini. Buktinya sampai saat ini masih banyak dijumpai para mahasiswa
asing yang serius mempelajari kesenian Tembang Sunda Cianjuran.
Mempelajari Seni Sunda Tembang Cianjuran tidaklah terlalu sulit, walaupun
tidak semudah mempelajari Seni Sunda Angklung misalnya. Tingkat kesulitan
mempelajari Tembang Cianjuran bergantung pada grade atau level saat
mencoba menyanyikan atau memainkan alat musik tersebut serta penjiwaan
dalam membawakan kesenian ini. Sekar gending mamaos Cianjuran disajikan
dalam enam wanda, yakni: papantun, jejemplangan, dedegungan, rarancagan,
kakawen, dan panambih. Dalam artikel ini hanya akan dibahas dua wanda
yaitu rarancagan dan wanda jejemplang dalam beberapa rumpaka Tembang
Sunda Cianjuran.
PEMBAHASAN
Sesuai namanya tembang Sunda Cianjuran berasal dari daerah Cianjur
Jawa Barat, awal mulanya Tembang Cianjuran dikenal dengan sebutan
Tembang Pajajaran. Penamaan Tembang Pajajaran ini terjadi ini terjadi ketika
R.A.A. Kusumaningrat menjadi bupati Cianjur (1834-1864). Beliau berserta
nayaga lebet menciptakan lagu-lagu yang diolah dari seni pantun menjadi dua
kelompok lagu yang kini dikenal sebagai wanda papantunan dan jejemplangan.
Teks lagu-lagu yang dibawakan sama dengan teks cerita pantun, bertemakan
seputar kerajaan Pajajaran karena seluruh teks lagu menceritakan tokoh,
situasi, dan kondisi di zaman kerajaan Pajajaran.
266
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Penyebutan seni Tembang Pajajaran berganti menjadi seni mamaos
setelah Bupati Prawiradiredja II (1864-1910) menggantikan ayahnya menjadi
Bupati Cianjur (Wiratmadja, 1996:125). Pada masa itu, lagu Tembang
Pajajaran semakin kaya dengan lahirnya lagu-lagu yang diolah dari seni
degung (wanda dedegungan), tembang rancag (wanda rarancagan), dan
kakawen wayang golek (wanda kakawen). Teks yang dibawakan tidak lagi
menceritakan kerajaan Pajajaran, bertambah dengan tema percintaan,
hubungan dengan Tuhan, alam, dan lingkungan. Pemilihan istilah mamaos di
masa itu, dipandang mewakili tema kelompok lagu yang ada. Secara etimologi
mamaos berasal dari kata maos, atau kata lain dari maca (membaca). Kata
maca (membaca) menjadi maos mengandung arti bahwa banyak yang harus
dibaca, tidak hanya membaca tulisan saja (Natamihardja, 2009:56).
Dengan begitu, pemilihan nama mamaos untuk mengganti nama
Tembang Pajajaran didasari pemahaman dan kenyataan yang terjadi pada
perkembangan seni Tembang Pajajaran, di mana lirik yang dibawakan tidak
lagi berorientasi ‗membaca‘ ke masa silam (mamaos ka tukang ka jaman
Pajajaran), tetapi juga membaca ‗mamaos‘ ka diri sorangan (membaca diri
sendiri), mamaos ka satungkebing alam (membaca alam), mamaos jeung Gusti
Allah (hubungan dengan sang pencipta), dan ‗membaca‘ sesama manusia
(hablumminannas). Penyebutan mamaos terhadap kesenian ini masih kental di
kalangan seniman Cianjur. Walaupun masyarakat pada umumnya lebih
mengenal kesenian ini dengan sebutan tembang Sunda Cianjuran. Istilah
tembang Sunda Cianjuran mulai digunakan setelah diadakannya Seminar
Tembang Sunda pada tahun 1976 yang diikuti oleh para tokoh, baik dari
kalangan seniman, budayawan, maupun masyarakat. Secara harfiah tembang
Sunda Cianjuran dapat diartikan sebagai ‖seni tembang gaya Cianjur‖.
Walaupun istilah tembang Sunda Cianjuran sudah cukup memasyarakat,
tetapi tidak sedikit para seniman tembang Sunda Cianjuran yang menyebut
kesenian ini dengan istilah tembang Sunda atau Cianjuran saja
Peralatan
musik yang digunakan dalam mamaos Cianjuran adalah: kacapi, suling dan
rebab. Kacapi terbuat dari kayu yang keras dan kawat tembaga. Bagianbagiannya terdiri atas: papalayu, yaitu papan bagian atas; pureut yaitu alat
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
267
untuk menyetem (nyurupkeun) yang dipasang di bagian depan; dan inang yaitu
alat yang berbentuk kerucut atau limas yang ditempatkan pada papalayu. Alat
ini gunanya untuk merentangkan kawat (dawai) dengan bagian tumpangsari
yang berfungsi untuk menyetem (melaras). Sedangkan, suling terbuat dari
bambu tamiang. Bagian-bagiannya terdiri atas: sumber (lubang suling bagian
atas); suliwer (seutas tali yang dililitkan pada bagian atas suling); lubang nada
(lubang untuk menghasilkan nada). Sementara, bagian-bagian rebab yang
terbuat dari kayu dan kawat terdiri atas: pucuk (bagian paling atas rebab);
pureut (alat untuk menyetem yang juga terdapat di bagian atas rebab); wangkis
yang berfungsi sebagai resonater; beuti cariang (bagian bawah wangkis); soko
bagian paling bawah rebab; dan tumpangsari (alat yang diikatkan pada dua
buah kawat yang direntengkan). Kemudian, bagian penggesek terdiri atas
pucuk, gandar, dan bulu-bulu pengesat. Pemain kesenian yang disebut sebagai
mamaos Cianjuran terdiri atas: seorang pemain kacapi indung yang tugasnya
adalah memberi pasieup, narangtang, pangkat lagu, dan mengiringi lagu baik
mamaos maupun panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang
bertugas membuat hiasan pada iringan kacapi indung ketika penembang
membawakan wanda panambih; sementara yang satunya lagi bertugas sebagai
anggeran wilatan (memberi batasan-batasan ketukan); seorang pemain suling
yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di sela-sela kekosongan sekaran
(vokal) dan memberi lelemah sora (dasar nada); dan penembang yang
membawakan berbagai jenis lagu mamaos Cianjuran. Sebagai catatan, lagu
panambih hanya dilantunkan oleh penembang wanita. Adapun busana yang
dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju takwa, sinjang (dodot), dengan
benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang dikenakan oleh para
pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang. Seiring dengan
berkembangnya seni Tembang Sunda Cianjuran Sekar gending mamaos
cianjuran tidak disajikan dalam dalam dua wanda tetapi disajikan dalam enam
wanda, yakni: papantun, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, kakawen, dan
panambih.
Wanda papantunan adalah lagu-lagu Cianjuran yang isinya
berupa ceritera-ceritera dalam pantun. Ciri-ciri wanda ini adalah: (1) lagu-
268
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
lagunya mempunyai gelenyu dan pirigen-nya mandiri; (2) jatuhnya irigan lagu
pada nada 2 dan 3 pada laras pelog; (3) syairnya berbentuk puisi pantun
(berjumlah 8 suku kata pada setiap barisnya dan murwakanti); (4) berbentuk
sisindiran dan pupuh; (5) lagu yang dibawakannya pndek-pendek dengan suara
dada; dan (6) pepantunnya agung. Wanda jejemplangan adalah dua nada yang
dibunyikan secara bersamaan. Ciri-cirinya; (1) memakai lelemah sora 2 dan 5
atau I dan 4; (2) teknik suaranya eur-eur dan gelesoh; (3) syair bersajak
menurut aturan pupuh; dan (4) berwatak sedih. Wanda dedegungan adalah lagu
gamelan degung yang disesuaikan dengan nuansa Cianjuran yang rumpakanya.
Fungsi kesenian yang disebut sebagai mamaos Cianjuran adalah sebagai
hiburan sedangkan nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar
estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama
tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki
beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan
demikian, suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas
tidak hanya tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran,
tetapi juga dalam pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa
menghilangkan rohnya (jati diri kesenian mamaos Cianjuran)
Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari lagu, atau syairsyair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai seperti
nasihat dan doa. Nasihat dan doa ini dilihat dari sudut komunikasi memiliki
kemiripan yakni adanya tujuan pengungkapan yang disampaikan pada
pendengar. Nasihat adalah harapan supaya isi pesan rumpaka sampai kepada
pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.
Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya ditembangkan
oleh sejumlah penembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam hal ini juru
tembang setuju dengan isi rumpaka kemudian ingin menyampaikannya
kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang berisi doa.
Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari rumpaka. Apabila
nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia dan permohonan doa
disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah religius. Nasihat
merupakan hablum minanas dan doa merupakan hablum minallah. Amanat
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
269
yang disampaikan melaluil lantunan tembang terasa lebih hidmat baik
dirasakan oleh penembang maupun didengar oleh penikmat.
Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam
wilayah religius inimemiliki kedudukan penting pada Rumpaka Tembang
Cianjuran. Perintis awal Tembang Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang
taat beragama, bahkan ada yang menganggap ‖Alima al-alamah (ulama
pandai), mencapai Waliyullah ((Su‘eb, 1997: 36).
Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke
manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang memiliki nilai positif.
Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral
dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral
adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara ekplisit
adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa
moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral dalam zaman
sekarang memiliki nilai implisit karena banyak orang yang memiliki moral
atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar
yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus memiliki moral jika ia
ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam
kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari
kebudayaan masyarakat setempat. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan
seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. apabila yang dilakukan
seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan
dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu
dinilai memiliki moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk
dari budaya dan Agama. Setiap budaya memiliki standar moral yang berbedabeda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama.
Beberapa contoh Tembang Sunda Cianjuran di bawah ini mengandung pesan
moral yang baik.
270
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Judul lagu
: Sinom Liwung (Liwung)
Pencipta
:-
Lagam
: Cianjuran
Laras
: Pelog Degung
Wanda
: Rarancagan
Deskripsi
Transkripsi
Sinom pamekaring rasa
Sinom pemekar rasa
Rasa Suci kang diwincik
yang dibahas, Rasa Suci
racikan ungkara basa
jalinan bahasa
basa pamekaring budi
bahasa pemekar budi
budi daya nastiti
budi yang tangguh karena kehati-
nutur galuring luluhur
hatian
babaran kaelingan
mengikuti jejak leluhur
digending dirakit dangding
tentang keimanan
komaraning daya sastra Kasundaan dijadikan
tembang
digubah
dangding
kewibawaan dari kekuatan sasatra
Kasundaan
Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam
pupuh ini ada tanda yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa Suci mengacu kepada Inti
Kedirian manusia yangdianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga
Badan Rohani. Roh yang sengaja diciptakan Allah dengan dilengkapi ikatan
Nur-Nya. Kata kedua yakni babaran kaelingan ‘pembahasan tentang
keimanan‘. Pengertian eling ‘iman‘ bahwa kita sebagai manusia harus
memiliki keimanan yang kuat dan kokoh serta keimanan tersebut harus
diaplikasikan dalam kehidupan kita . Dilihat dari isi rumpaka di atas, jelaslah
kekuatan dari kesusastraan Sunda pada masa itu memiliki pesan moral yang
baik, pesan tentang penguatan kita tentang rasa iman kepada Allah harus
dikukuhkan di dalam lahir dan batin kita
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
271
Judul lagu
: Tahajud (Sujud)
Pencipta
: Bakang Abubakar
Lagam
: Cianjuran
Laras
: Madenda
Wanda
: Rarancagan
Deskripsi
Tengah
peuting
sedeng
Transkripsi
jemplang- Tengah malam sunyi senyap
jempling
angkasa kehilangan wibawa
awang-awang keur ilang dangiang
dingin tenang sepi
tiis lirih rehe combrek
(Seorang)
makhluk nuju menekung
bersujud
nyambat-nyambat Ilahi Robbi
memanggil-manggil Ilahi Robbi
Gusti Nu Murbeng Alam
Tuhan Penguasa Alam
sim abdi sumujud
hamba tunduk
tur pinuh karumaosan
dengan penuh kesadaran
dosa abdi teu wasa ngawincik deui
dosa hamba tak bisa dirinci lagi
tina ageung-ageungna
karena besarnya
Gusti abdi seja tobat.
Ya Tuhan, hamba tobat
Mugi kitu maksad abdi Gusti
Oleh karena itu hamba memohon
da Gusti mah sifat Maha Welas
karena Engkau Maha Pengasih
mugi dihapunten bae
semoga hamba diampuni
sareng abdi piunjuk
dan hamba menyatakan
bade tumut pangersa Gusti
akan tunduk pada Kehendak-Mu
sumembah salamina
menyembah selamanya
siang wengi sujud
bersujud siang dan malam
mugi taufik hidayah, dilimpahkeun
hamba memohon taufik hidayah-
ka abdi Gusti nu laip
Mu
hoyong husnul hotimah, Gusti ......
dilimpahkan
mugi ngaiijabah.
kepada hamba yang hina
(Sobirin, 1987: 82)
ingin husnul hotimah
semoga
makhluk
Engkau
permintan hamba.
272
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
sedang
memenuhi
Sesuai dengan judulnya rumpaka ini menceritakan tentang seorang
hamba Allah yang sedang melakukan sholat pada waktu malam hari dengan
situasi yang sunyi senyap dan udara yang dingin. Hamba ini meminta
permohonan ampunan kepada Allah yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang, kemudian berjanji akan selalu tunduk serta menerima setiap takdir
yang diberikan Allah, serta meminta taufik dan hidayanh-Nya, walaupun
bergelimang dosa tetapi berharap dengan permohonan sambil melakukan
sholat tahajud (sujud) akan menjadikan seorang hamba yang husnul hotimah.
Teks ini dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang
permohonan kepada Tuhan. Pesan moral yang disampaikan bahwa walaupun
kita mempunyai banyak dosa akan tetapi apabila kita bertaubat dan memohon
ampunan kepada Allah maka harapan untuk menjadi manusia yang lebih lagi
akan terbuka, karena Allah maha pengampun dan maha penyayang, Allah akan
memberikan taufik dan hidayahnya bagi manusia yang benar-benar bertobat
dan menyesali dosa-dosanya serta tidak mengulangi kesalahannya lagi
rumpaka-rumpaka lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh
yang berisi nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain :
judul lagu
: Naratas Jalan
pencipta
: Uking Sukri
lagam
: Cianjuran
laras
: Pelog Degung
wanda
: Jejemplang
Deskripsi
Transkripsi
Geura bral geura mariang
Silakan berangkatlah
geura prak naratas jalan
buka jalan
teangan kasugemaan
cari kepuasan
enggoning keur kumelendang
selama berkelana
kumelendang masing yakin
dalam
dibarengan kaimanan
keyakinan
yakin kana pamadegan
disertai keimanan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
berkelana
disertai
273
Deskripsi
Transkripsi
tangtungan wanda sorangan
yakin pada pendirian
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
keyakinan hati nurani
Kaangkuhan anu mawa
namun
kana jalan kaambrukan
keangkuhan
hirup teh lain sorangan
Keangkuhan membawa
loba pisan nu marengan
ke jalan kebinasaan
keur urang silih tulungan
(sadari) hidup tidak sendiri
lain eukeur pacengkadan
banyak sekali sesama manusia
nu taya hartina pisan
untuk saling tolong-menolong
nimbulkeun pondok harepan
bukan untuk berselisih
janganlah
disertai
ilang akal keur ngudag-udagan yang tak bermanfaat
urang
yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan
akal
yang
akan
menyertai kita
Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan
kesatuan yang mendukung pada judul Naratas Jalan ‘Membuka Jalan‘.
Apabila dikaitkan dengan penggunaan pupuh, ”membuka jalan‖ pada konteks
ini, memiliki makna membuat pijakan hidup dalam mencari kebahagiaan untuk
diteladani oleh orang-orang kemudian. Teks Naratas Jalan dipandang dari
sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang menjalani kehidupan.
Dalam menjalani kehidupan harus disertai keimanan, mempunyai pendirian
yang kuat, dan mempunyai hati nurani . Sebagai makhluk sosial kita tidak
dapat hidup sendiri jadi sudah seharusnya sesama manusia harus saling tolongmenolong bukan untuk berselisih yang sama sekali tidak ada manfaatnya.
Rumpaka-rumpaka di atas merupakan sebagian kecil contoh dari
Tembang Cianjuran yang selalu memiliki intisari pesan moral kebajiakan,
nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai kemuliaan. Menjalani
kehidupan ini ke arah yang lebih baik.
274
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
SIMPULAN
Tembang Cianjuran merupakan karya seni yang berkaitan erat dengan
pakem karawitan Sunda. Rumpaka atau teks lagu pada Tembang Cianjuran
berisi nasihat, do‘a, dan segala sesuatu yang mengajak manusia dalam hidup di
dunia selalu berada di jalan yang lurus yaitu jalan yang diridhai Tuhan Sang
Pencipta. Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan manusia
sebagai makhluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling
mendoakan antarsesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada
Sang Pencipta. Dalam rumpaka Tembang Sunda Cianjuran mengandung pesan
moral yang sangat baik, kesenian ini harus dilestarikan sebagai kekayaan
budaya yang dibanggakan.
DAFTAR PUSTAKA
Galba, Sindu. 2007. Kesenian Tradisional Masyarakat Cianjur.
Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan &
Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
http://denis-aji.blogspot.com/2012/05/sejarah-dan-nilai-tembangcianjuran.html
http://ronanusantara.wordpress.com/2010/10/05/mendengar-cianjuranmembaca-cianjur-110/
http://uun-halimah.blogspot.com/2008/06/mamaos-cianjuran.html
http://cianjurtiger.goodforum.net/t69-mengenal-seni-budaya-cianjur-tembangcianjuran
Kalsum. 2007. Nasihat dan Doa pada Tembang Cianjuran.
Natapradja,Iwan. 2003. Sekar Gending. Bandung:Karya Cipta Lestari.
Sobirin, 1987. Lagu-Lagu Mamaos Tembang Sunda Laras Pelog dan Sorog :
Stensilan.
Su‘eb, Ace Hasan. 1997. Wawasan Tembang Sunda. Bandung : Geger Sunten.
Tim Seksi Kebudayaan.2002. Deskripsi Seni Tradisional Reak. Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Cianjur.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
275
MENELISIK KANDUNGAN KARAKTER DALAM
PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN
SASTRA INDONESIA
Lis Setiawati
Universitas Terbuka
Pos-el : [email protected]
ABSTRAK
Menelisik Kandungan Karakter dalam Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia. Kajian konseptual ini ingin mendeskripsikan kandungan
karakter dalam pembelajaan bahasa dan sastra Indonesia. Indonesia memiliki tokoh
pendidikan yang kehebatannya tidak kalah dengan tokoh-tokoh dunia lainnya yaitu Ki
Hajar Dewantara. Beliau menjelaskan bahwa pendidikan adalah sebuah upaya dalam
meningkatkan tumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran, intelek) dari
tubuh anak, sehingga kehidupan anak didik selaras dengan dunianya. Pembelajaran
didefinisikan oleh Knowles sebagai cara pengorganisasian peserta didik untuk
mencapai tujuan. Budi pekerti secara operasional merupakan suatu perilaku positif
yang dilakukan melalui kebiasaan yang akan terbentuk menjadi karakter
seseorang/peserta didik. Berdasarkan definisi-definisi tersebut tampak bahwa
pendidikan, pembelajaran, budi pekerti/karakter merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan lainnya. Perilaku positif yang harus dilatihkan kepada peserta
didik terdiri atas banyak aspek. Satu diantaranya adalah cara berbicara. Dengan
demikian, melatih kemampuan berbicara yang mengandung perilaku positif menjadi
kewajiban guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Keterampilan berbahasa pun tidak
dapat dilatihkan secara terpisah antarsatu keterampilan dengan keterampilan
berbahasa yang lain. Kalau bahasa merupakan alat dan sekaligus media untuk
membangun karakter, maka sastra juga dapat difungsikan sebagai media dan
sekaligus alat untuk membangun karakter. Sastra adalah gambaran kehidupan
manusia. Guru yang profesional, tidak merasa terebani untuk menyusun strategi
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang dikaitkan dengan pendidikan karakter.
Sastra menjadi media yang tepat di dalam menanamkan karakter positif bagi peserta
didik. Melalui guru bahasa Indonesia yang profesional akan terbentuk sebuah generasi
muda yang memiliki budi pekerti luhur/berkarakter kuat.
Kata kunci: pendidikan, karakter, pembelajaran, bahasa dan sastra
PENDAHULUAN
Karakter menjadi topik pembicaraan hebat dalam pendidikan kita
sekarang ini. Gaung karakter sangat mengejutkan masyarakat khususnya dunia
pendidikan. Apa dan ada apa dengan karakter. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia:karakter memiliki arti: 1) sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. 2) karakter juga bisa
bermakna "huruf". Pengertian yang sedang dibahas di sini adalah makna kata
276
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
yang pertama. Berdasarkan makna kata karakter tersebut diketahui bahwa
setiap orang memiliki sifat, akhlak atau budi pekerti yang satu dengan lainnya
berbeda. Di mana letak perbedaannya? Ditjen Dikdasmen - Kementerian
Pendidikan Nasional menjelaskan perbedaan karakter antarindividu yakni:
―Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap
individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah
individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusan yang ia buat‖. Berkarakter baik menjadi frase
kunci bahwa ada orang yang memiliki karakter baik dan ada yang berkarakter
buruk.
Seorang guru profesional akan mengerti apa yang akan dihasilkan dari
pekerjaan/tugasnya sebagai guru. Jika dengan ini (penjelasan Mendikdasmen)
masih ada guru yang belum bisa memahami apa perannya sebagai guru maka
dia harus membuka kembali, membaca, dan memahami bunyi ayat 3 pasal 31
Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) ―Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang‖ Jika bunyi butir
undang-undang ini dilaksanakan secara konsisten oleh semua guru di semua
jenjang pendidikan, mestinya tidak ada sesuatu yang aneh. Mengapa harus
keluar atau dibuat undang-undang baru tentang pendidikan bermuatan karakter
melalui Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional BAB I Pasal 1 ayat 1 berbunyi: ―Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Fungsi pendidikan di Indonesia dijelaskan dalam undang-undang ini
pada BAB II Pasal 3: ―Fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam
rangka
mencerdaskan
kehidupan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bangsa,
bertujuan
untuk
277
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Isi UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UU Nomor 20 tahun 2003
ini sangat jelas ke mana arah pendidikan nasional negara kita. Bila dari sini
masih ada guru yang belum memahami tugas-tugasnya sebagai guru,
sebaiknya segera menyadari akan kelemahannya. Belajar dan memahami
tentang pendidikan dan pembelajaran harus segera dilakukan agar benar-benar
menjadi guru profesional demi terwujudnya bangsa yang beradab, maju,
terhormat, dan berwibawa.
Pendidikan dan Pembelajaran
Sebagai guru bahasa Indonesia, penulis selalu mencari makna sebuah
kata melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pendidikan berasal dari kata
didik yang berarti pelihara dan latih. Kata dasar ini mendapat awalan pe- dan
akhiran –an menjadi pendidikan yang dimaknai sebagai proses pengubahan
sikap tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Beberapa ahli dalam
http://sanggurukdb.blogspot.sg/2014/02
menjelaskan
atau
mendefinisikan
pendidikan sebagai berikut.
Langeveld: Pendidikan adalah pemberian bimbingan dan pertolongan rohani
dari orang dewasa kepada mereka yang memerlukan.
Crow and Crow: Pendidikan adalah proses pengalaman yang memberikan
pengertian, pandangan dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan ia
berkembang.
John Dewey: Pendidikan adalah suatu proses yang membantu pertumbuhan
batin tanpa batas usia.
Ki Hajar Dewantara: Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan
bertumbuhnya budi Pekerti (kekuatan batin/ karakter), pikiran (intelek), dan
jasmani anak selaras dengan dunianya.
278
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Definisi pendidikan dari empat ahli di atas, tiga diantaranya
menekankan pada usaha pertumbuhan batin seseorang. Pertumbuhan batin di
sini berhubungan dengan pengembangan budi pekerti atau karakter peserta
didik. Tokoh pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara menyeimbangkan ranah
batin dan lahir atau rohani dan jasmani. Unsur batin menjadi perhatian utama
dalam pendidikan, menyusul kemudian unsur jasmani.
Uraian di atas sangat mudah untuk dipahami dan melahirkan sebuah
pengetahuan bahwa tidak ada pendidikan yang tidak mengemban penanaman
karakter positif. Tidak disebutkan mata pelajaran yang mengandung karakter
dan ada mata pelajaran yang tidak mengandung atau terkait dengan karakter.
Suatu pandangan yang keliru, jika ada guru yang menunjuk pelajaran agama
yang bermuatan karakter, mata pelajaran lain tidak.
Begitu pentingnya pendidikan bagi seorang anak manusia. Hal ini kita
ketahui melalui firman-firman Allah berikut ini.
“Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isteri kamu surga ini, dan makanlah
makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai, dan
janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orangorang yang zalim” (QS 2: 35). Ayat ini mengandung pendidikan
karakter/perilaku patuh kepada zat yang memang seharusnya kita taati/
terhormat/ maha tinggi. Jika di dalam sebuah keluarga (manusia) ayat ini dapat
diibaratkan seorang tua yang menasehati anaknya demi kebaikan anaknya
kelak. Lihat pula ketika Allah mendidik Yunus dengan memasukkannya ke
dalam perut ikan paus. “ Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika ia
pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan
mempersempitnya (menyulitkannya) maka ia menyeru dalam keadaan yang
sangat gelap: „ Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh
aku termasuk orang-orang yang zalim" (QS al-Anbiya: 87). Nasehat Lukman
kepada anaknya. ―Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri‖ (QS. Lukman: 18).―Dan sederhanalah kamu dalam
berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
279
suara keledai.‖ (QS. Lukman: 19). Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa
seperti itulah seharusnya sifat-sifat/perilaku yang dimiliki oleh setiap manusia.
Perilaku/tabiat/watak baik tidak datang dengan sendirinya. Anak, generasi
penerus harus dibimbing, dilatih untuk bisa memilikinya. Di rumah orang tua
wajib melaksanakan ini, di sekolah guru mengambil alih tanggung jawab ini.
Pendidikan budi pekerti/karakter merupakan suatu proses, daya upaya
membina budi pekerti peserta didik. Dengan demikian pendidikan memerlukan
kegiatan untuk sampai pada tujuannya. Kegiatan memberikan bimbingan,
proses, upaya tersebut adalah pembelajaran seperti yang diutarakan para ahli
berikut ini tentang pembelajaran.
Knowles: Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk
mencapai tujuan.
Slavin: Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku individu yang disebabkan
oleh pengalaman.
Crow dan Crow: Pembelajaran adalah pemerolehan tabiat, pengetahuan dan
sikap.
Rahil Mahyudin: Pembelajaran adalah perubahan tingkah laku yang
melibatkan keterampilan kognitif yaitu penguasaan ilmu dan perkembangan
Achjar Calil: Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik
dan
sumber
belajar
pada
suatu
lingkungan
belajar
(http://carapedia.com).
Definisi-definisi pembelajaran di atas menggambarkan adanya sebuah
kegiatan atau proses yang melibatkan pendidik dan peserta didik. Kegiatan
tersebut dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mengubah perilaku,
tabiat, sikap peserta didik menjadi lebih baik (berakhlak dan berilmu
pengetahuan).
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Setelah memahami definisi-definisi pendidikan dan pembelajaran,
seorang guru profesional menerapkan pemahamannya di dalam pelaksanaan
pembelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Tujuan pendidikan dicapai
melalui pembelajaran berupa pemberian pengalaman kepada peserta didik.
280
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kendaraan yang mengantar sebuah pembelajaran adalah kurikulum. Oleh
sebab itu, perumusan dan penyusunan kurikulum harus dilakukan dengan
sangat teliti dan hati-hati. Grand desain atau rencana besar sebuah pendidikan
harus disusun dengan benar. Hal pertama yang harus dirumuskan adalah
tujuan. Kendaraan yang membawanya adalah kurikulum, kegiatannya adalah
pembelajaran, untuk mengetahui hasilnya adalah penilaian, kebenaran atau
ketepatan hasil yang diperoleh perlu dicocokkan dengan tujuan (pendidikan)
yaitu manusia yang berakhlak/berbudi pekerti luhur, cerdas, dan berilmu. Bila
dibuatkan diagram alur pencapaian pendidikan adalah sebagai berikut.
PENDIDIKAN
TUJUAN
KURIKULUM
PEMBELAJARAN
PENILAIAN
Bagan berikut menggambarkan tujuan utama adalah tercapainya tujuan
pembelajaran (bersifat pengetahuan/kognitif dan psikomotor).
KURIKULUM
Pembelajaran
Perencanaan
Pelaksanaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Evaluasi
281
Kompetensi Inti Bahasa Indonesia dan Kompetensi Dasar Bahasa
Indonesia SMP/MTs
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Menghargai dan menghayati
perilaku
jujur,
disiplin,
tanggung
jawab,
peduli
(toleransi, gotong royong),
santun, percaya diri dalam
berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan
alam
dalam
jangkauan
pergaulan dan keberadaannya
o Memiliki perilaku jujur dalam
menceritakan sudut pandang moral yang
eksplisit
o Memiliki perilaku peduli, cinta tanah air,
dan semangat kebangsaan atas karya
budaya yang penuh makna
o Memiliki perilaku demokratis, kreatif,
dan santun dalam berdebat tentang kasus
atau sudut pandang
o Memilikiperilaku jujur dan percaya diri
dalam mengungkapkan kembali tujuan
dan metode serta hasil kegiatan
o Memiliki perilaku jujur dan percaya diri
dalam pengungkapan kembali peristiwa
hidup diri sendiri dan orang lain
Pada kompetensi inti di atas tampak adanya muatan karakter (jujur, disiplin,
tanggung jawab, peduli, santun, percaya diri, berinteraksi efektif). Beranjak
dari kompetensi inti ini guru dapat memilih kompetensi dasar yang akan
ditanamkan/diterapkan kepada peserta didik. Berlandaskan kompetensi inti dan
kompetensi dasar yang telah ditentukan guru memilih/menetapkan teks yang
selaras dengan kompetensi tersebut. Teks tidak hanya sekadar dibaca,
dipahami isinya, tetapi juga harus dapat diterapkan di dalam kehidupan peserta
didik. Sifat baik/luhur yang sudah diperoleh selalu dilatihkan/dilakukan sampai
terbentuk pada diri peserta didik.
Kompetensi dasar
o Memiliki perilaku peduli, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan atas
karya budaya yang penuh makna
Teks
Membaca Tanda-Tanda
Taufik Ismail
Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas dari tangan dan
Meluncur dari sela-sela jari kita
Ada sesuatu yang mulanya tak begitu jelas
282
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tapi, kini kita telah mulai merindukannya
Kita saksikan udara abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau yang semakin surut tampaknya
Burung-burung kecil tak lagi berkicau di pagi hari
Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kehilangan dahan
Dahan kehilangan hutan
Kita saksikan gunung memompa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa banjir
Banjir membawa air
Air mata
Kita saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda
Dengan
teks
di
atas,
guru
mengajak
peserta
didik
untuk
mengungkapkan semua yang ada dalam benak mereka. Apa yang tampak oleh
mereka melalui puisi Membaca Tanda-Tanda. Perasaan apa yang bisa lahir
dari hati mereka. Apa yang akan mereka perbuat setelah melihat dan
menyadari adanya tanda-tanda alam tersebut. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat
didahului dengan pertanyaan-pertanyaan tekstual/tersurat misalnya:

Apa warna yang digambarkan oleh puisi tersebut?

Bagaimana keadaan danaunya?

Bagaimana penyair menggambarkan hutan di dalam puisi tersebut?
Pertanyaan-pertanyaan berikutnya dapat semakin tinggi yakni ke makna
tersirat misal:

Apa yang dikisahkan oleh penyair di dalam puisinya?

Ungkapkan apa yang terbayang oleh kalian ketika/setelah membaca
puisi tersebut?
Pertanyaan terus bergeser ke ranah afektif misalnya:

Bagaimana perasaan kamu bila menyaksikan keadaan alam seperti
yang kalian lihat (melalui puisi) tesebut?

Jika itu benar-benar terjadi di lingkungan kalian, apa yang akan kalian
lakukan?
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
283

Apakah jawaban kalian datang dari lubuk hati atau sekadar membuat
Ibu/Bapak guru menjadi senang? dll.
Pembentukan karakter berlanjut pada aplikasi sehari-hari di sekolah
(memelihara lingkungan, dengan berbagai tanaman, menjaga kebersihan,
peduli kepada sesama.
Karakter baik atau buruk akan terbentuk oleh latihan, kebiasaan, dan
usaha yang terus menerus. Seorang guru profesional akan mampu membentuk
karakter positif ke dalam diri peserta didik. Tugas ini dilakukan setiap saat di
dalam maupun di luar kelas hingga peserta didik tumbuh dan berkembang
menjadi generasi berbudi luhur sesuai dengan definisi-definisi pendidikan yang
dikemukakan para ahli, sesuai dengan bunyi ayat dalam UUD 45 dan UU
Nomor 20 Tahun 2003 mengenai sistem pendidikan nasional.
Masalah pemilihan teks yang sesuai dengan kompetensi merupakan
tugas guru. Memang bukan tugas mudah, di sini guru dituntut memiliki
perbendaharan teks yang memadai. Setelah memiliki banyak teks untuk
digunakan di dalam pembelajaran, guru juga harus mampu menentukan
strategi pembelajaran yang tepat sampai pada proses penilaian yang tepat pula.
SIMPULAN
Guru profesional, berakhlak mulia, berpengetahuan luas adalah modal
utama bagi kemajuan dunia pendidikan kita. Tanpa ini harapan menjadi negara
besar dengan bangsa terhormat dan berwibawa hanya akan menjadi anganangan.
Tugas berat bertumpu di pundak para pahlawan pendidikan. Jika tidak
ingin atau tidak sanggup mengemban tugas ini, lebih baik beralih ke profesi
lain dengan tugas yang lebih ringan. Thomas Lickona, seorang guru besar
pendidikan dari Cortland University (Glock dan Stark, 1966) dalam Ali (2009:
147-148) mengungkapkan bahwa, ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus
diwaspadai. Jika tanda-tanda ini sudah ada maka berarti sebuah bangsa sedang
menuju kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah: (1) meningkatnya
kekerasan di kalangan remaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang
memburuk, (3) pengaruh kelompok sebaya (peer group) yang dalam tindak
284
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,
(6) menurunnya etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang
tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,
(9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa saling curiga dan
kebencian diantara sesama.
Seorang guru yang selalu menanamkan karakter positif, seorang
pemimpin yang baik, seorang pemuda yang berani, atau seorang warga yang
peduli pada keberlangsungan hidup bangsa ini dapat menjawab dengan baik
pertanyaan:
―Sudahkah
tanda-tanda
tersebut
singgah
di
dalam
lingkungan_negara kita?‖ Apakah kita akan diam saja? Kita tidak hancur
karena negara, tetapi kita menjadi penyebab hancurnya negara. Keadaan yang
menakutkan ini dapat diatasi melalui pendidikan. Untuk itu diperlukan guruguru profesional. Guru bahasa Indonesia yang profesional mampu membentuk
peserta didik yang berkarater positif melalui berbagai teks lisan dan tulis yang
tepat dan diolah dengan baik di dalam sebuah pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. 2009. Pendidikan untuk Pembangunan Nasional. Jakarta:
Grasindo.
Indah.
- Pengertian Definisi Pembelajaran Menurut Para Ahli.
http://carapedia.com/pengertian_definisi_pembelajaran_menurut_para_
ahli_info507.html.Diunduh 21 November 2014.
…….
.
2014.
Pengertian
Pendidikan
Menurut
Para
Ahli.(http://sanggurukdb.blogspot.sg/2014/
02/pengertian_pendidikan_menurut_para_ahli. html).
Diunduh21
November 2014
Soemanto, W. 1982. Dasar dan Teori Tantangan Bagi Para Pemimpin
Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, Hal: 9-10
....... . 2010. UUD 1945 Amandemen Pertama s/d Keempat. Yogyakarta: Jogja
Bangkit.
....... . Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
285
NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM
BIOGRAFI RASULULLAH
KARYA MAHDI RIZQULLAH AHMAD
Kajian Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi
Nini Ibrahim dan Fauzi Rahman
Sekolah Pascasarjana – Universitas Muhammadiyah Prof. DR. HAMKA
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Biografi Rasulullah Karya Mahdi
Risqullah Ahmad. Kajian Strukturalisme Genetik dan Analisis Isi. Penelitian
dengan metode analisis isi ini bertujuan untuk mengetahui representasi mengenai
Nilai-nilai Pendidikan Berkarakter dalam Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah
Ahmad. Hasil yang dicapai dari penelitian ini yaitu mengenai unsur intrinsik ini dapat
diketahui bahwa dalam buku tersebut, terdapat alur progresif atau alur maju
(Perkenalan, awal konflik, konflik, klimaks, penyelesaian), latar tempat peristiwa di
kota Mekah dan Madinah, tokoh (Rasulullah s.a.w. dan para sahabat serta
kerabatnya), dan tentu saja pesan atau amanat yang menyiratkan seseorang perlu
berakhlak mulia. Selanjutnya, mengenai kajian struktural genetik yang dibagai dalam
tiga pembahasan yaitu homologi, kelas-kelas sosial, dan pandangan dunia. Dari hasil
analisis yang telah dilakukan, aspek paling dominan dalam Biografi Rasulullah adalah
karakter Religius (dengan 40 Contoh), kemudian yang terbanyak kedua adalah
karakter Peduli Sosial (dengan 34 contoh).
Kata kunci: pendidikan karakter, biografi rasulullah, struktural genetik
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sosial di masyarakat, tidak dipungkiri lagi memang
kondisi moral, mental, pola pikir, etika, dan nilai yang dipegang para remaja
penerus bangsa di negara ini dalam status yang memprihatinkan. Jika dahulu
kala Presiden RI yang pertama, Bapak Ir. Soekarno selalu mengedepankan
pemuda untuk membuat negara ini maju dengan semboyannya, ―Berikan aku
10 pemuda, maka akan aku guncangkan dunia!‖. Hal tersebut memang tidaklah
mustahil, mengingat kondisi pemuda pada saat kepemimpinan beliau masih
sangat dapat diharapkan dan diandalkan. Hal tersebut tentu berbanding terbalik
dengan kondisi pemuda khususnya remaja pada saat ini. Remaja yang pada
umumnya seorang pelajar baik itu di SMA ataupun SMK, sebagai generasi
muda penerus bangsa seharusnya berdiri paling depan dalam memajukan
bangsa dan negara. Para pemuda tentu harus berada di garda terdepan dalam
286
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menerapkan intelektualitas dan karakter yang baik (akhlakul kariimah) sebagai
harapan bangsa.
Remaja yang seharusnya menjadi tumpuan dan tulang punggung negara,
pada saat ini, justru kenyataannya berada pada kemerosotan moral dan etika.
Banyak kita dengar di media televisi dan membaca di media masa tentang apa
yang dilakukan oleh banyak pemuda di negara ini. Mulai dari tindakan tawuran
antarpelajar yang hampir setiap saat kita dengar, kasus narkoba yang
menjadikan para remaja sebagai sasaran utama, pemerkosaan terhadap kawan
sendiri sesama siswa, perilaku seks bebas, konsumsi minuman keras, dan yang
terakhir
mencuat
ke
masyarakat
adalah
perilaku
pemuda
yang
mengatasnamakan ―Geng Motor‖ yang meresahkan masyarakat dan ketertiban
umum.
Mungkin pada dasarnya kita harus berkaca pada apa yang dilakukan oleh
para orang dewasa yang merupakan contoh dan panutan para remaja yang
sedang dalam kondisi psikologis yang berapi-api. Sering kita saksikan di
televisi acara-acara yang kurang bermutu, perilaku korupsi para pejabat, sikap
serakah, sikap saling menjatuhkan antarlawan politik yang menjadi tontonan
sehari-hari sehingga menyebabkan para penikmatnya khususnya remaja,
menganggap hal ini merupakan hal lumrah karena sudah terlalu sering terjadi
di masyarakat. Kondisi dan situasi ini menunjukkan bahwasanya masyarakat
khususnya para remaja yang notabene siswa sekolah, mengalami krisis akan
sosok keteladanan yang patut dicontoh sebagai suritauladan yang baik.
Indonesia sejatinya memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang besar.
Hal tersebut bukan tidak mungkin karena Indonesia telah dikenal sebagai
negara dengan budaya dan keluhuran budi pekertinya, serta kekayaan sumber
daya alam yang tak terhingga. Namun, fenomena degradasi moral dan etika
yang marak terjadi di sekitar kita jelas memperburuk citra remaja dan citra
bangsa Indonesia ini. Maka dari itu, diperlukan upaya sungguh-sungguh dari
seluruh pihak yang berkepentingan dalam pendidikan untuk mengembalikan
karakter bangsa sehingga mampu melahirkan bangsa yang cerdas dan
gemilang.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
287
Berkaitan dengan pembelajaran analisis wacana berbentuk biografi di
Sekolah, Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad ini sangatlah
cocok diaplikasikan. Hal ini dilakukan mengingat pentingnya isi yang
terkandung dalam buku tersebut, dan pentingnya membaca wacana kritis bagi
siswa. Sehingga, selain menambah ilmu, dengan menggunakan media ini siswa
juga akan mendapatkan wawasan yang lebih luas serta manfaat positif akan
keteladanan yang terkandung dalam buku.
Selain itu, pembinaan karakter juga hal yang perlu diajarkan dan
direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Maka dari itu,
penulis merasa perlu untuk menyusun tesis dengan permasalahan ini sebagai
bahasan utama agar konsep pendidikan karakter tidak hanya hadir dalam teori,
akan tetapi terdapat pula internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan
sehari-hari.
Mengenai karakter tersebut, sebenarnya tujuan pendidikan Indonesia
sudah dapat disebut sebagai tujuan yang sempurna. Hal tersebut pada
pernyataan yang tertuang dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas, pasal 3 disebutkan bahwa watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab. (Depdiknas, 2004)
Sederhananya, penelitian ini membahas tentang representasi pendidikan
karakter dalam Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Dari
buku tersebut, maka akan dibahas seperti apa sosok Nabi Muhammad SAW
dalam menjalani keseharian, dan kehidupan, serta keputusan-keputusan
pentingnya. Dari gambaran karakter tersebut, maka pembaca penelitian ini
dapat menangkap sebuah karakter yang bagus sebagai suri tauladan, sehingga
dapat diaplikasikan dalam konsep pendidikan karakter.
Bagaimana representasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Biografi
Rasulullah karya Mahdi Rizqullah Ahmad melalui kajian strukturalisme
genetik dan analisis isi?
288
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pendidikan Karakter
Lickona menjelaskan bahwa karakter yang baik sebagai kehidupan
dengan melakukan tindakan-tindakan yang benar sehubungan dengan diri
seseorang dan orang lain. Dengan mengutip definisi dari seorang filsif bernama
Michael Noval, Lickona juga menambahkan bahwa karakter merupakan
campuran kompatibel dari seluruh kebaikan yang diidentifikasikan oleh tradisi
religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang
ada dalam sejarah. (Lickona, 2012:81)
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan
adat istiadat.
Zubaedi (2011:9) menjelaskan definisi karakter yaitu paduan dari segala
tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk
membedakan orang yang satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
karakter sebagai identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap
sehingga seseorang atau sesuatu tersebut berbeda dari yang lain.
Karakter mengacu pada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviour), motivasi (motivation), dan keterampilan (Skills). Selanjutnya,
Zubaedi juga menambahkan bahwa,
Karakter meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang
terbaik, kapasitas intelektual seperti kritis dan alasan moral, perilaku
seperti jujur dan bertanggungjawab, mempertahankan prinsip-prinsip
moral dalam situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan
emosional yang memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif
dalam berbagai keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan
komunitas dan masyarakatnya. (Zubaedi, 2011:9)
Karakter itu sendiri merupakan perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
289
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, peraasan, perkataan, adn
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan
adat istiadat. Individu yang berkarakter adalah dia yang baik dan unggul, serta
selalu berusaha melakukan hal yang terbaik terhadap Tuhannya, dirinya
sendiri, sesama, dan lingkungannya. Hal tersebut dilakukan dengan
mengoptimalkan potensi dirinya disertai dengan kesadaran, emosi, dan
perasaannya.
Rohman (mengutip dari rumusan pendidikan karakter Depdikbud)
menjelaskan nilai-nilai pendidikan karakter dalam bukunya yang berjudul
Kurikulum Berkarakter, sebagai berikut.
1) Religius : Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran
agama yang dianutnya, toleran terhadap pelasksanaan ibadah agama
lain, dan selalu hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2) Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya
sebagai orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3) Toleransi : sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,
suku, etnis, pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari
dirinya.
4) Disiplin : Tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5) Kerja Keras : Perilaku yang menunjukan upaya sungguh-sungguh
dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6) Kreatif : Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau
hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7) Mandiri : Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8) Demokratis : Cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama
hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
290
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
9) Rasa Ingin Tahu : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajari,
dilihat dan didengar.
10) Semangat Kebangsaan : Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri
dan kelompoknya.
11) Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukan
rasa kesetiaan, kepedulian dan penghargaan yang tinggi terhadap
bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12) Menghargai Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan
mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13) Bersahabat/Komunikatif : Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan berkerja sama dengan orang lain.
14) Cinta Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadirian dirinya.
15) Gemar Membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16) Peduli Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam yang ada di sekitarnya, dan
mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi.
17) Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan
pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18) Tanggung-Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap dirinya
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan
Tuhan Yang Maha Esa. (Rohman, 2012: 237-239)
Biografi
Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang hidup seseorang yang
ditulis oleh orang lain. Tugas penulis biografi adalah menghadirkan kembali
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
291
jalan hidup seseorang berdasarkan sumber-sumber atau fakta yang dapat
dikumpulkannya. Teknik penyusunan riwayat hidup tersebut biasanya
kronologis, dimulai dari kelahirannya, masa kanak-kanak, masa muda, dewasa,
dan akhir hayatnya. Sebuah karya biografi biasanya menyangkut kehidupan
tokoh-tokoh penting dalam masyarakat atau tokoh-tokoh sejarah. (Sumardjo
dan Saini, 1988:22)
Biografi menganalisa dan menerangkan kejadian-kejadian dalam hidup
seseorang. Lewat biografi, akan ditemukan hubungan, keterangan arti dari
tindakan tertentu atau misteri yang melingkupi hidup seseorang, serta
penjelasan mengenai tindakan dan perilaku hidupnya. Biografi biasanya dapat
bercerita tentang kehidupan seorang tokoh terkenal atau tidak terkenal, namun
demikian, biografi tentang orang biasa akan menceritakan mengenai satu atau
lebih tempat atau masa tertentu.
Biografi dapat dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang
jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intelektualnya, yang
tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis
tentang psikologi pengarang dan proses kreatif. Biografi adalah genre yang
sudah kuno. Pertama-tama, biografi secara kronologis maupun secara logis
adalah bagian dari historiografi. Biografi tidak membedakan negarawan,
jenderal, arsitek, ahli hukum, dan pengenggur. (Renne dan Wellek, 1989:82)
Pendapat menurut Wellek dan Werren di atas relevan dengan pendapat
Coleridge (dalam Wellek dan Werren, 1989:82), ―Setiap kehidupan walaupun
tak ada artinya, jika diceritakan secara jujur pasti akan menarik‖ Di mata
penulis biografi, orang yang ditulis adalah orang yang mengalami
perkembangan moral, intelektual, karir dan emosinya dapat direkonstruksi dan
dinilai berdasarkan standar tertentu. Biasanya sistem nilai etika dan normanorma perilaku tertentu. Oleh karena itu, biografi dapat berbentuk fakta biasa,
seperti fakta tentang kehidupan siapa saja.
Strukturalisme Genetik
Di dalam sebuah karya sastra terdapat sebuah unsur atau struktur. Faruk
menjelaskan bahwa, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan
292
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses
strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya
sastra yang bersangkutan. (Faruk, 2013:56)
Secara definitif, strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan
memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Secara ringkas berarti bahwa
strukturalisme genetik sekaligus memberikan perhatian terhadap analisis
intrinsik dan ekstrinsik. Meskipun demikian definisi tentang strukturalisme
genetic, sebagai teori yang telah teruji validitasnya, strukturalisme genetic
masih ditopang oleh beberapa konsep canggih yang tidak dimiliki oleh teori
sosial lain, misalnya: simetri atau homologi, kelas-kelas sosial, subjek
transindividual, dan pandangan dunia. (Ratna, 2013:121-123)
Penjelasan di atas menerangkan bahwa strukturalisme genetik secara
sekaligus berarti menerangkan sebuah karya sastra baik secara intrinsik
maupun secara ekstrinsik. Kedua unsur ini lah yang sering banyak disebut para
kritikus dalam rangka mengkaji dan membicarakan novel atau karya sastra
pada umumnya.
Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya
sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir
sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang
membaca karya sastra. Sedangkan unsur ekstrinsik menurut Nurgiyantoro
yaitu, unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak
langsung memengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau,
secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi
bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di
dalamnya. (Nurgiyantoro, 2002:23)
Selanjutnya, secara definitif srukturalisme genetik harus menjelaskan
struktur dan asal-usul struktur itu sendiri, dengan memperhatikan relevansi
konsep homologi, kelas sosial, subjek transindividual dan pandangan dunia.
(Ratna, 2013:127)
Dalam sebuah penelitian struktural genetik, langkah-langkah yang perlu
dilakukan menurut Ratna antara lain,
1) Meneliti unsur-unsur karya sastra (intrinsik dan ekstrinsik)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
293
2) Hubungan unsur-unsur karya sastra dengan totalitas karya sastra
3) Meneliti unsur-unsur masyarakat yang berfungsi sebagai genesis
karya sastra
4) Hubungan unsur-unsur masyarakat dengan totalitas masyarakat
5) Hubungan karya sastra secara keseluruhan dengan masyarakat
secara keseluruhan. (Ratna, 2013:127)
METODOLOGI
Metode yang akan digunakan dalam menganalisis nilai pendidikan
karakter dalam Biografi Rasulullah: Sebuah Studi analitis berdasarkan
sumber-sumber yang otentik, karya Mahdi Rizqullah Ahmad adalah metode
deskriptif kualitatif dengan teknik analisis konten atau kajian isi dalam sebuah
objek berbentuk buku. kajian isi, merupakan teknik apapun yang digunakan
untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan
dilakukan secara objektif dan sistematis. (Moleong, 2013:220)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah mengkaji unsur intrinsik selanjutnya peneliti mengkaji
struktural genetik buku Biografi Rasulullah. Kajian struktural genetik tersebut
terdiri dari:
1) Homologi
2) Kelas sosial
3) Pandangan dunia
Pada aspek homologi, penulis mendapati bahwa karya ini merupakan
sebuah karya Biografi yang bagus. Alasan pertama adalah buku ini termasuk
ke dalam kategori buku Best Seller. Hal tersebut disebabkan pengarangnya
sendiri menjelaskan bahwa buku ini dibuat dengan metodologi dan
pembahasan yang sesuai dengan yang dibutuhkan pada masa ini, yaitu
lengkap, valid, dan hanya dalam satu jilid (tidak dibuat berjilid-jilid seperti
sirah Nabi pada umumnya). Dijelaskan bahwa riwayat yang berhubungan
dengan sejarah hidup Rasulullah sangat banyak. Namun dalam Biografi
294
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tersebut para pembaca akan mendapati pengarang mengabaikan beberapa
riwayat dhaif. Hal ini berarti segala kejadian yang dituliskan hanya
berdasarkan hadist yang relevan dan valid (sahih).
Pada aspek Kelas Sosial, penulis mendapati bahwa pengarang buku
Biografi Rasulullah, Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, merupakan orang yang
kompeten dan latar belakangnya cukup representatif untuk menyusun sebuah
buku Biografi yang bertemakan sejarah Nabi. Pengarang Biografi Rasulullah
tersebut. Tercatat bahwa Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad, kini mengajar bidang
studi ―Sejarah Nabi‖ di Fakultas Kebudayaan Islam, Universitas Raja Sa‘ud
Riyadh, Saudi Arabia, sejak tahun 1397 Hijriyah atau tahun 1977 Masehi
hingga sekarang.
Pada aspek Pandangan Dunia, dalam proses penciptaannya, Biografi
Rasulullah tentunya tidak lepas dari bagaimana pengarangnya memandang
terhadap kecenderungan dunia/kelompok tertentu mengenai kebutuhannya
akan sebuah hal. Dalam hal ini, pengarang merasa membutuhkan terciptanya
sebuah karya yang mampu dan dianggap representatif sebagai bahan referensi
yang layak mengenai sejarah hidup Nabi Muhammad s.a.w.
Mahdi Rizqullah Ahmad memandang bahwa kajian seperti ini (kajian
terhadap sirah Nabi) seharusnya dilakukan oleh para ahli hadis masa kita ini.
Namun, karena belum ada di antara mereka yang melakukannya, beliau pun
memberanikan diri untuk merambah ke bidang tersebut. Dalam membuat buku
sejarah tentang kehidupan Rasulullah s.a.w., sebagai sumber rujukan, pada
umumnya diciptakannya biografi Nabi s.a.w antara lain merujuk Al Quran dan
Hadist.
Setelah menganalisis masalah unsur karya dan struktural genetik karya,
selanjutnya peneliti mengkaji tentang nilai-nilai pendidikan karakter yang
terkandung dalam Biografi Rasulullah. Dari kajian yang telah dilakukan, dapat
diketahui bahwa konsep pendidikan karakter yang berjumlah 18 poin yang
terdiri dari, yaitu 1) religius, 2) jujur, 3) toleransi, 4) disiplin, 5) kerja keras, 6)
kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10) semangat
kebangsaan,
11)
cinta
tanah
air,
12)
menghargai
prestasi,
13)
bersahabat/komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca, 16) peduli
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
295
lingkungan, 17) peduli sosial, 18) tangung jawab, terepresentasikan dalam
buku Biografi Rasulullah karya Dr. Mahdi Rizqullah Ahmad. Ke delapan belas
poin pendidikan karakter
yang tergambarkan dalam buku tersebut,
kesemuanya merupakan contoh karakter yang positif dan dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Pembahasan
Homologi
Dalam konsep homologi, kualitas sebuah analisis ditentukan dari karya itu
sendiri, bukan ditentukan oleh struktur sosial pengarang. Jadi, bagaimana
pengarang Biografi Rasulullah menjadi begitu berkualitas tergantung pada
hasil ciptaannya sendiri.
Dalam proses penciptaannya, Biografi Rasulullah karya Mahdi Rizqullah
Ahmad, sesuai dengan metode pembahasan yang dituliskan langsung oleh
pengarangnya, dijelaskan bahwa Riwayat yang berhubungan dengan sejarah
hidup Rasulullah sangat banyak. Namun dalam Biografi tersebut para pembaca
akan mendapati pengarang mengabaikan beberapa riwayat dhaif. Hal ini
berarti segala kejadian yang dituliskan hanya berdasarkan hadist yang relevan
dan valid (sahih). Pengarang menjelaskan alasannya bahwa diciptakannya
Biografi Rasulullah tidak bertujuan untuk melakukan pencacahan terhadap
semua riwayat yang periwayatan yang terkait dengan biografi Muhammad
s.a.w. yang sering terdengar, melainkan untuk melukiskan kerangka sejarah
hidup Nabi s.a.w. berdasarkan riwayat dan periwayatan yang sahih.
Pengarang menjelaskan lebih lanjut, bahwa bila suatu peristiwa tidak
memiliki sumber atau periwayatan yang sahih, sepanjang peristiwa itu tidak
berkaitan dengan soal-soal akidah dan syariat, pengarang jiga akan
menggunakan riwayat-riwayat dhaif. Hal tersebut beliau lakaukan karena
banyak ulama memperbolehkan penggunaan atau penyebutan hadis-hadis dhaif
dalam hal-hal yang tidak menyangkut akidah dan hukum-hukum fikih.
Namun demikian, pengarang memesankan bahwa patut digarisbawahi
prinsip pokok dari biografi Rasulullah karyanya untuk selalu menyandarkan
diri pada riwayat dan periwayatan yang sahih saja. Buku ini dibuat tidak terlalu
tabah, pengarangnya berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi jumlah
296
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
catatan kaki yang dibutuhkan. Walaupun pada kenyataannya jumlah catatan
kaki pada biografi Rasulullah tetap mencapai hampir sepertiga tebal buku. Hal
tersebut tidak lain karena kepentingan ilmiah memang mengharuskan
demikian. Terlebih lagi, realitas menunjukkan behwa penyebutan hadis-hadis
dhaif tersebut perlu dan harus selalu disertai penyebutan bukti, keterangan, dan
fakta lain untuk memperkuat posisinya.
Pengarang Biografi Rasulullah berusaha sedemikian rupa agar seluruh
data dan fakta dalam buku tersebut dapat dipercaya. Tujuannya untuk
memudahkan pembaca dan memeriksa validasi data dan fakta yang ada dalam
buku tersebut, juga agar pembaca dapat mengambil lebih banyak data dan
informasi.
Selanjutnya, untuk penggunaan dalil, pengarang menerapkan skala
prioritas. Pengarang lebih dulu menggunakan dalil-dalil dari ayat-ayat alQuran,
kemudian dari hadits-hadits Rasulullah yang sahih, dan banyak tersebar di
dalam kitab tafsir, hadis, hikmah, cerita, sejarah, sastra, dan kitab lainnya.
Terakhir, pengarang juga melihat pentingnya menyimpulkan pokok-pokok
permasalahan fikih, hikmah, dan pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi
dalam sejarah hidup Muhammad s.a.w..
Kelas-kelas Sosial
Dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan kelas sosial adalah bahwa
kelas yang dimaksudkan identik dengan kelas sosial pengarang. Kenyataan
tersebut pada umumnya memandang bahwa karya sastra sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dengan kehidupan pengarangnya.
Pengarang Biografi Rasulullah menjelaskan bahwa beliau dipercaya untuk
mengajar bidang studi ―Sejarah Nabi‖ di Fakultas Kebudayaan Islam,
Universitas Raja Sa‘ud Riyadh, Saudi Arabia, sejak tahun 1397 Hijriyah
hingga sekarang. Selama rentang waktu tersebut, beliau merasa kesulitan
mendapatkan referensi yang layak untuk para dosen maupun mahasiswa.
Beliau pun belum menemukan buku sejarah yang memenuhi beberapa kriteria
yang terpikirkan dalam benaknya sejak lama. Karena keterbatasan pengalaman
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
297
dan pengetahuan beliau, dari dulu mengharapkan sebuah buku sejarah dengan
beberapa kriteria yaitu:
1) Kaya akan materi ilmiah dan memuat semua peristiwa penting
dalam sirah Nabi.
2) Ringkas dan padat, tidak lebih dari satu jilid, atau sekitar 600
halaman.
3) Mengikuti metode penulisan seperti yang beliau harapkan
sebagaimana
metode
yang
digunakan
dalam
Biografi
Rasulullah, hasil karyanya.
Itulah beberapa faktor yang mendorong Pengarang untuk memberanikan
diri menulis buku Biografi Rasulullah tersebut.
Mengingat bahwa Mahdi Rizqullah Ahmad, sebagaimana beliau
menjelaskan bahwa dirinya mengajar pada bidang studi ―Sejarah Nabi‖, maka
tentunya hasil karya yang berupa Biografi Rasulullah yang telah diciptakan
atau dibuat, tentunya sangat relevan sesuai dengan kelas sosialnya. Hal
tersebut kembali mengingatkan kita bahwa sebuah karya dan latar belakang
pengarangnya memang tidak dapat dipisahkan.
Pandangan Dunia
Pandangan dunia merupakan masalah pokok dalam struktural genetik.
Pandangan dunia inilah yang memicu subjek/ Pengarang menciptakan sebuah
karangan. Identifikasi pandangan dunia dianggap sebagai salah satu ciri
keberhasilan suatu karya. Dengan mengatahui pandangan dunia suatu
kelompok tertentu, berarti mengetahui kecenderungan suatu masyarakat.
Dalam proses penciptaannya, Biografi Rasulullah tentunya tidak lepas dari
bagaimana
pengarangnya
memandang
terhadap
kecenderungan
dunia/kelompok tertentu mengenai kebutuhannya akan sebuah hal. Dalam hal
ini, pengarang merasa membutuhkan terciptanya sebuah karya yang mampu
dan dianggap representatif sebagai behan referensi yang layak mengenai
sejarah hidup Nabi Muhammad s.a.w.
298
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Mahdi Rizqullah Ahmad memandang bahwa kajian seperti ini (kajian
terhadap sirah Nabi) seharusnya dilakukan oleh para ahli hadis masa kita ini.
Namu, karena belum ada di antara mereka yang melakukannya, beliau pun
memberanikah diri untuk merambah ke bidang tersebut.
Banyak sekali ayat Al Quran yang membicarakan kehidupan Muhammad
s.a.w. dalam berbagai kondisi. Sebelum maupun sesudah beliau diangkat
menjadi nabi.
Sebenarnya, banyak pengarang yang menciptakan buku sejarah nabi
Muhammad s.a.w.. Pengarang Biografi Rasulullah sendiri menyebutkan bahwa
kita dapat membaca karya Dr. Muhammad Izzat Darwazah, Sirah Ar Rasul
s.a.w: Sirah Muqtabasah min al Quran al Karim. Sama hal nya dengan karya
Mahdi Rizqullah Ahmad, buku tersebut juga melukiskan biografi Rasulullah
berdasarkan ayat-ayat alQuran. Kita pun, di Indonesia mengenal sirah Nabi
yang terkenal karya Prof. Dr. Quraisy Shihab.
Fakta tersebut membuktikan bahwa rujukan utama untuk mempelajari
biografi Nabi s.a.w. adalah al Quran, siapapun pengarang buku tersebut. Hal
itu disebabkan isi Al Quran sudah pasti kebenarannya. Bahkan, Al Quran
adalah satu-satunya buku yang isinya paling valid sepanjang sejarah kehidupan
manusia
Selain Al Quran, Rujukan lain sebagai sumber rujukan diciptakannya
biografi Nabi s.a.w antara lain:
1) Hadits Nabi
2) Buku-buku akhlak
3) Buku-buku tentang bukti-bukti kenabian (Mukjizat)
4) Buku-buku sejarah peperangan dan Biografi Nabi s.a.w.
5) Buku-buku sejarah kota Mekah dan Madinah (al Haramain)
6) Buku-buku sejarah umum
7) Buku-buku sejarah lain
8) Buku-buku sastra
Kendatipun metode dan penulisan sirah Nabi dapat berbeda, namun
siapapun yang menulis biografi Nabi s.a.w. tentu saja harus bersandar dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
299
merujuk pada ahli-ahli yang telah disepakati secara universal. Para pengaji dan
penulis sejarah zaman ini hendaknya selalu melihat sanad-sanad meraka dan
menelitinya dengan cermat. Singkatnya, sebaiknya siapapun pengarangnya
harus mengambil riwayat-riwayat yang sahih saja dan meninggalkan riwayatriwayat yang lemah. Namun, kembali lagi diungkapkan oleh Mahdi Rizqullah
Ahmad, bahwa untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan masalah-akidah
dan hukum, riwayat-riwayat yang lemah ini pada tahap tertentu bisa
dipertimbangkan penggunaannya sebagai dalil.
Nilai-nilai Pendidikan Karakter
1) Religius
Religiusitas dalam Islam tentunya dapat dinilai dari bagaimana seorang
umat melakukan ibadah (shalat) dalam kondisi apapun juga. Dalam Biografi
Rasulullah, digambarkan bahkan saat hendak akan berperang, jika waktu shalat
sudah sampai, maka diwajibkan untuk umat menunaikan shalat. Sebagaimana
kutipan berikut.
Di tengah perjalanan, tepatnya ketika mereka baru tiba di Rauham
Rasulullah memanggil Abu Lubabah dan memerintahkannya untuk kembali ke
Madinah. Sebelum itu, beliau memerintahkan Abdullah ibn Ummi Maktum
mengumandangkan azan untuk melaksanakan shalat. (BR. Hlm. 20).
2) Jujur
Rasulullah s.a.w. sendiri, seumur hidupnya belumlah pernah melakukan
sebuah kebohongan apalagi berkata dusta kepada orang lain. Tentunya hal ini
pun dirasakan dan dialami oleh para sahabat, sebagaimana ucapan mereka
berikut ini.
Mereka (para Sahabat) menjawab, ―Kami tidak pernah menemukan
kebohongan darimu (Rasulullah) sebelumnya). (BR. Hlm. 192)
3) Toleransi
Sikap toleransi merupakan sikap menghargai perbedaan baik itu agama,
maupun perbedaan hal lain. Menghargai perbedaan agama bukan lantas kita
mengikuti apa yang dilakukan oleh agama lain. Akan tetapi, menghargai dalam
hal ini berarti membatasi diri agar tidak menyakiti orang lain yang berbeda
300
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
keyakinan tanpa harus mengikuti ajaran lain tersebut. Masalah toleransi
tersebut dapat kita simak pada kutipan peristiwa berikut.
Sewaktu mereka (kafir Quraisy) berkata kepada Rasulullah, ―Sembahlah
tuhan kami pada hari tertentu, dan kami akan menyembah Tuhanmu pada
waktu yang telah ditentukan, ―Allah menurunkan firmanNya, ―Katakanlah,
„hai orang-orang kafir‟! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu bukan penyembah Ilah yang aku sembah, dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan
untukkulah agamaku‟.” (QS. Al Kafirun: 1-6) (BR. Hlm. 208)
4) Disiplin
Sikap disiplin tentunya tidak terbatas pada menaati peraturan dan
melaksanakan peraturan dan kewajiban dengan baik. Akan tetapi, bagaimana
cara memelihara peraturan dan menempatkan sesuatu sesuai dengan
proporsinya pun dapat dikatakan sebagai sikap berdisiplin. Hal tersebut
tercermin dalam pribadi Rasulullah saat menempatkan orang-orang sesuai
dengan keahliannya. Hal ini tentunya beliau lakukan agar yang dikerjakan
dapat dilaksanakan semaksimal mungkin. Sikap tersebut dapat kita simak
sebagai berikut.
Dalam memimpin dan mengatur pelaksanaan pembangunan masjid ini,
rasulullah selalu menempatkan orang sesuai dengan keahlian masing-masing.
Sebagai contoh, Thalaq ibn Ali al Yamami al Hanafi menceritakan, Rasulullah
berkata kepada para sahabat yang bekerja membangun masjid, ―Serahkanlah
urusan pengadonan tanah kepada al Yamani, sebab ia paling ahli di antara
kalian dalam hal membuat adonan tanah.” (BR. Hlm. 363).
5) Kerja Keras
Sebagai cerminan hidup kerja keras yang dilakukan oleh Rasulullah dan
dicontohkan kepada umatnya. Hal tersebut berimbas pada kehidupan para
sahabat dan umat yang mengikuti ajaran beliau. Itu terbukti dari sikap kerja
keras yang dilakukan oleh sahabat. Berikut adalah salah satu peristiwa yang
dikutip.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
301
Sa‘ad pun menunjukkan kepadanya pasar Bani Qainuqa. Maka
Abdurrahman pergi ke pasar itu dan kembali dengan membawa keuntungan
berupa keju dan minyak samin. Kemudian, sejak itu ia terus berdagang di pasar
hingga bisa mandiri dan hidupnya tidak lagi tergantung kepada saudaranya,
Sa‘ad. (BR. Hlm. 375)
6) Kreatif
Nabi Muhammad s.a.w. sendiri merupakan seorang yang kreatif, mulai dari
bekerja, hingga menyelesaikan masalah atau konflik yang terjadi di
hadapannya. Berikut adalah satu kutipan peristiwa di mana Rasulullah s.a.w.
menunjukkan kreativitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah.
Beberapa hari kemudian, ketika hendak menaruh Hajar Aswad ke
tempatnya semula, mereka berselisih pendapat tentang siapa yang berhak
membawa dan menaruhnya di tempat semula. Singkat cerita, akhirnya mereka
sepakat bahwa yang berhak meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula
adalah orang yang pertama kali keluar dari sebuah lorong kota Mekah yang
telah ditentukan. Dan ternyata Muhammadlah yang pertama kali keluar dari
lorong itu menuju ke arah mereka. Namun, Muhammad memutuskan untuk
menaruh Hajar Aswad di atas sehelai kain panjang, kemudian diangkat
bersama-sama oleh wakil seluruh kabilah. (BR. Hlm. 161)
7) Mandiri
Rasulullah s.a.w. juga mengajarkan kepada sahabat dan umatnya untuk
hidup mandiri dan tidak tergantung pada kebaikan orang lain. Berikut
kutipannya.
Beberapa orang Anshar juga berkata kepada beliau, ―Bagilah hasil kurma
kami dengan mereka (orang-orang Muhajirin)
Beliau (Rasulullah) menjawab, ―Jangan! Cukuplah kalian membantu
mereka dengan mengikutsertakan mereka dalam merawat pohon-pohon itu lalu
membagi kedua hasilnya. (BR. Hlm. 371).
8) Demokratis
Sejarah mencatat, bahwa untuk menghargai hak-hak umat lain yang
berseberangan dengan Rasulullah s.a.w. beliau beberapa kali membuat
302
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
perjanjian-perjanjian yang sifatnya menguntungkan bagi kedua pihak. Berikut
salah satu kutipannya.
Setelah menetap di Madinah, Rasulullah ingin mengatur hubungan sosial
kemasyarakatan penduduknya. Beliau pun membuat sebuah kesepakatan
tertulis yang dalam terminologi kuno dikenal dengan sebutan ―perjanjian‖ (alkitab) atau ―lembar kesepakatan‖ (Ash-shahifah). Adapun dalam terminologi
modern, hal itu lebih dikenal dengan sebutan ―undang-undang dasar‖ (ad
dustur) dan ―piagam‖ (al watsiqah). (BR. Hlm. 378)
9) Rasa Ingin Tahu
Sikap rasa ingin tahu sebenarnya telah ada semenjak manusia diciptakan
pertama kali. Hal ini pula lah yang terjadi pada manusia umumnya. Selain
Rasulullah s.a.w. sendiri, ada sebuah kisah yang menunjukkan sikap rasa ingin
tahu akan sesuatu hal yang baru.
Menyaksikan keadaan Rasulullah yang demikian mengibakan, kedua anak
Rabi‘ah terusik belas kasihnya. Mereka menyuruh seorang budak lelaki
beragama Nasrani yang bernama Adas untuk memberikan serenceng anggur
kepada Rasulullah. Dikisahkan, Adas sempat kaget dan heran ketika
mendengar beliau membaca ―Bismillaah‖ sebelum makan anggur tersebut.
Namun, keheranan itu sirna setelah Rasulullah memberitahukan bahwa beliau
adalah seorang Nabi. Serta-merta Adas mencium kepala, kedua tangan, dan
kedua kaki beliau. (BR. Hlm. 273).
10) Semangat Kebangsaan
Dalam hal persatuan dan kesatuan, Rasulullah sangat bersemangat dalam
mempersatukan umat muslim. Hal tersebut dapat kita lihat pada kutipan
berikut.
Rasulullah sangat bersemangat mempersaudarakan satu Muslim dengan
Muslin yang lain. Ini merupakan bukti kesungguhan beliau yang kemudian
membuahkan keridhaan Allah bagi kaum Muslimin untuk mengukuhkan
keberadaannnya di muka bumi dan merealisasikan seluruh ajaran Islam dalam
semua segi kehidupan. (BR. Hlm. 377).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
303
11) Cinta Tanah Air
Rasulullah sangat mencintai kota Mekah. Beliau melarang adanya
peperangan dan perpecahan yang dapat menimbulkan kerusakan di kota
Mekah. Ini merupakan sebuah bentuk kecintaan beliau kepada tempat
kelahirannya. Berikut adalah kutipan yang merupakan bukti bahwa Rasulullah
s.a.w. mengistimewakan kota kelahirannya tersebut.
Demikianlah, Rasulullah memilih untuk memaafkan dan bersikap sabar
sebagai keutamaan dan pelaksanaan wahyu. Setelah itu, beliau menjelaskan
kepada semua yang hadir tentang kehormatan tanah Mekah, dan bahwa Mekah
tidak boleh diperangi lagi setelah penaklukan kali itu. Beliau juga mengangkat
kedudukan kaum Quraisy dan melarang pembunuhan terhadap orang-orang
Quraisy setelah hari penaklukan Mekah sampai kelak hari kiamat. (BR. Hlm.
752).
12) Menghargai Prestasi
Rasulullah s.a.w. sangat menghargai seseorang yang telah bekerja keras.
Terdapat peristiwa di mana beliau memuji sahabat yang telah bersemangat
dalam melaksanakan pekerjaannya. Salah satu sahabat tersebut yaitu Ammar
ibn Yasir. Berikut peristiwanya.
Ammar ibn Yasir adalah orang yang paling bersemangat dalam bekerja.
Terbukti, ketika orang lain hanya mengusung satu batu, ia membawa dua.
Rasulullah pun mengusap-usap punggungnya seraya berkata, ―Wahai putra
Sumayyah,
ketika
orang-orang
mendapatkan
satu
pahala,
engkau
mendapatkan dua pahala. Akhir kekuatanmu adalah seteguk air susu, dan
engau kelak akan dibunuh oleh golongan yang zalim.”(BR. Hlm. 363-364)
13) Bersahabat/ Komunikatif
Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa sikap komunikatif Rasulullah
s.a.w. saat melakukan perjanjian Hudaibiyah bersama orang kafir. Kendati
banyak sekali permintaan yang memberatkan dari pihak Quraisy, akan tetapi
Rasulullah tetap tenang dan menjaga kondisi perjanjian agar lancar dan tidak
terjadi pertikaian. Intinya, dalam hal ini Rasulullah sangat terbuka. Inilah sikap
bersahabat dan komunikatif yang ditunjukkan oleh Rasulullah s.a.w.
304
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Sesampainya di hadapan Rasulullah (Utusan kafir Quraisy), ia berbicara
panjang lebar untuk mengutarakan maksud dan keinginan kaum Quraisy.
Bahkan terjadi perundingan yang cukup alot antara beliau dengannya sebelum
akhirnya perjanjian sama-sama disepakati oleh kedua pihak. (BR. Hlm. 642)
14) Cinta Damai
Berikut ini, terdapat beberapa kutipan yang diambil yang memerintahkan
kepada kita untuk lebih mengutamakan perdamaian. Kutipan berikut dapat kita
simak sebagai berikut.
Jadi, Allah melarang kita untuk mencaci tuhan-tuhan kaum musyrikin,
kendati dalam tindakan ini terdapat maslahat atau kebaikan. Perlu diingat
bahwa tindakan seperti itu juga bisa menimbulkan kerusakan yang lebih besar.
Kaum musyrikin akan mencela dan menghina Allah secara berlebih-lebihan
dan tanpa batas. (BR. Hlm. 211)
15) Gemar Membaca
Sikap gemar membaca ditirukan oleh salah seorang sahabatnya bernama
Abdullah ibn Mas‘ud. Tercatat, Abdullah ibn Mas‘ud merupakan orang yang
sangat gemar membaca Al Quran dengan suara lantang. Hal tersebut selalu ia
lakukan kendatipun telah diingatkan oleh para sahabat lain, karena hal tersebut
dapat membahayakan keselamatannya.
Orang yang pertama kali berani membaca Al Quran dengan suara lantang
di Mekah selain Rasulullah adalah Abdullah ibn Mas‘ud. Bahkan ia tetap
melakukan hal itu kendati beberapa sahabat sudah memperingatkannya. Kaum
musyrikin tentu tak akan segan-segan menganiayanya bila perbuatannya
sampai diketahui oleh mereka. Benar saja, ketika Abdullah ibn Mas‘ud tengah
melakukan hal itu, tiba-tiba sekelompok musyrikin memukuli wajahnya
sampai berbekas. Sesudah itu, salah satu sahabat berkata kepadanya, ―Inilah
yang kami khawatirkan selama ini‖. (BR. Hlm. 219)
16) Cinta Lingkungan
Rasulullah s.a.w. menunjukkan kecintaannya dan kepeduliannya terhadap
Mekah. Hal tersebut terbukti ketika beliau membuat peraturan-peraturan terkait
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan di dalam kota suci tersebut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
305
Berikut adalah kutipan-kutipan keistimewaan dan kepedulian Rasulullah
terhadap Mekah untuk menghindarkannya dari kerusakan.
Pada khutbah ketiga, Rasulullah mengumumkan kehormatan tanah Mekah,
keharaman berburu binatang-binatang di Mekah, memotong rerumputan
Mekah dan pohon-pohon mekah, mengambil harta temuan di Mekah, dan
berperang di Mekah. Beliau menuturkan bahwa Allah menghalalkan berperang
di Mekah kepada beliau hanya beberapa waktu, yaitu saat penaklukan kota
Mekah. Rasulullah juga bersabda bahwa tidak ada lagi hijrah setelah
penaklukan kota Mekah. Akan tetapi, jihad dan niat masih tetap berlaku. Oleh
karena itu, beliau membai‘at kaum Muslimin pascapenaklukan kota Mekah
untuk tetap Islam, beriman, dan berjihad. Beliau tidak membai‘at kaum
Muslimin untuk hijrah.
17) Peduli Sosial
Rasulullah s.a.w. sendiri menganjurkan kita untuk peduli kepada sesama
dan berperan dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikutip berikut ini.
Selanjutnya,
beliau
menegaskan,
“Seorang
mukmin
itu
senang
bermasyarakat dan disukai, dan sesungguhnya tidak ada kebaikan pada diri
orang yang tidak bermasyarakat dan tidak disukai. Sebaik-baik manusia
adalah yang paling bermanfaat bagi mereka.” (BR. Hlm. 172)
18) Tanggung Jawab
Pernah suatu hari, paman Rasulullah, Abi Thalib meminta beliau untuk
menghentikan dakwahnya karena keselamata Rasulullah semakin terancam.
Namun Rasulullah tidak bisa menerima apa yang diusulkan oleh pamannya
tersebut.
Dari ucapan pamannya, Rasulullah mengira sang paman tidak mau lagi
melindunginya. Maka beliau berkata kepadanya, ―Demi Allah, Paman,
seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan
kiriku dengan maksud supaya aku meninggalkan tugasku (berdakwah
menyiarkan agama Allah ini sampai tersiar di muka bumi) atau sampai aku
binasa di dalamnya, niscaya aku tetap tidak akan meninggalkannya.” (BR.
Hlm. 196-197)
306
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
SIMPULAN
Jika kita melihat pada hasil yang diperoleh mengenai representasi
pendidikan karakter yang paling dominan dari karakter yang dicontohkan oleh
Rasulullah s.a.w. dan para sahabat yaitu karakter Religius, maka hal tersebut
tidaklah mengherankan. Hal tersebut karena tujuan utama Rasulullah menjadi
Nabi dan Rasul adalah untuk mengajak umat manusia memeluk Islam dan
beribadah sesuai dengan tuntunan dan syariat Islam.
Aspek religius yang dominan ditunjukkan dalam kehidupan Rasulullah
s.a.w. dan para sahabat yang digambarkan dalam biografinya, ternyata secara
esensial berbanding lurus dengan tujuan pendidikan nasional Indonesia. Tujuan
pendidikan nasional yaitu, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab. Tujuan yang paling
utama adalah sikap religius (beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
dan berakhlak mulia). Dapat ditarik sebuah sintesis bahwa sikap religius akan
berdampak dan berbanding lurus dengan karakter-karakter yang lain. Ketika
seseorang memiliki sikap religius, maka secara tersadar akan memahami
tentang pentingnya memenuhi kriteria karakter yang lain. Maka dari itu, sikap
religius inilah yang paling utama ditanamkan kepada seseorang sejak dini.
Ketika seseorang telah memiliki sifat religius, maka orang tersebut akan jujur,
menjaga jasmani, rohani, kreatif, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. Undang-undang No. 20 Tahun 2004, Sistem Pendidikan Nasional.
http://www.depdiknas.go.id. Diakses pada: Rabu, 26 Februari 2014. Pukul 14.27
WIB.
Faruk. 2013. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lickona, Thomas, 2012. Educating for Character. Jakarta: Bumi Aksara.
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda, 2013.
Nurgiantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Pres.
Ratna, Nyoman Kuta . 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
307
Retno dan Qani‘ah. 2012. Buku Pintar Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Familia.
Rohman, Muhammad. 2012. Kurikulum Berkarakter. Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
Sumardjo dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia
Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam
Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana.
308
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM CERPEN
“KISAH DI KANTOR POS” KARYA MUHAMAD ALI
Nofiyanti
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Nilai Pendidikan Karakter dalam Cerpen ”Kisah di Kantor Pos” Karya
Muhamad Ali. Meningkatnya persoalan moral dalam masyarakat, menjadi
keprihatinan pemerintah. Berbagai alternatif penyelesaian pun digunakan, salah
satunya melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter menjadi relevan untuk
diterapkan karena bersumber dari nilai luhur karakter dasar manusia, moral, dan
agama. Pendidikan karakter diintegrasikan dalam karya sastra, salah satunya melalui
cerpen. Tujuan penulisan makalah ini adalah mendeskripsikan nilai pendidikan
karakter dalam cerpen kisah di kantor pos karya Muhamad Ali. Nilai pendidikan
karakter dapat dilihat melalui gambaran karakter tokoh. Selain itu dapat dilihat
melalui tema dan amanat cerpen, sehingga diharapkan memperoleh gambaran yang
jelas mengenai nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen kisah di kantor
pos karya Muhamad Ali..Kajian ini menggunakan pendekatan moral. Dengan
pendekatan moral ini maka penulis dapat melihat sejauh mana sebuah karya sastra itu
memiliki moral. Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada dalam cerpen
kisah di kantor pos karya Muhamad Ali ini adalah sebuah karya sastra (cerpen) yang
menarik dan baik. Hal ini dapat dilihat dari unsur-unsur intrinsik pembangunya, selain
itu dalam cerpen ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran khususnya dalam
penanaman nilai pendidikan karakter. Karena dalam cerpen ini mengandung nilainilai pendidikan karakter. Nilai pendidikan karakter yang terdapat cerpen kisah di
kantor pos adalah nilai kejujuran, kesabaran, menghormati dan menghargai dan nilai
keberanian. Nilai tersebut tampak pada karakter beberapa tokoh cerita. Nilai
pendidikan karakter diungkapkan pengarang melalui sifat, perbuatan, perkataan,
maupun pemikiran-pemikiran tokoh cerita.
Kata kunci: pendidikan karakter, cerpen.
PENDAHULUAN
Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari sejauh mana cerminan moral
para generasinya. Meskipun teknologi dan ilmu pengetahuan cukup
berkembang pesat, tapi jika tidak didukung dengan perilaku yang luhur, tetap
saja bangsa tersebut tidak layak dijadikan panutan. Dunia saat ini tengah
berada dalam gempuran hegemoni tertentu. Globalisasi membawa dampak
buruk dalam melunturkan identitas suatu bangsa. Indonesia pun tidak lepas
dari pergeseran arus di dunia dan tengah berada dalam cengkraman globalisasi
yang membuat generasinya seakan kehilangan identitas. Lunturnya nilai-nilai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
309
moral, seperti maraknya kekerasan, kriminalitas dan perilaku-perilaku negatif
lainnya membuat bangsa semakin kehilangan jati diri dan mengalami
kemunduran moralitas.
Siswa adalah generasi muda, generasi penerus, yang akan menjadi
pemilik masa depan bangsa. Akan tetapi, pendidikan yang ada selama ini
dianggap gagal dalam membentuk karakter siswa. Selama ini pendidikan
hanya berorientasi pada angka/nilai semata. Pembentukan karakter merupakan
salah satu tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU Sisdiknas tahun
2003, Bab II, pasal 3, jelas disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud
agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun
juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi
bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai
luhur bangsa serta agama.Untuk itu, membangun karakter siswa sejak sekarang
menjadi pekerjaan bersama (khususnya para guru dan orang tua) yang amat
penting.
Pendidikan memang bukanlah sekedar transfer pengetahuan saja, akan
tetapi sebagai alat pembentukan kepribadian, mulai dari pola pikir, kejiwaan
dan pola tingkah laku. Oleh sebab itu, muncullah kesadaran tentang perlu
dikembangkannya kembali pendidikan karakter di sekolah. Berangkat dari
permasalahan tersebut, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menanamkan pendidikan karakter adalah setiap sekolah harus menyisipkan
nilai-nilai karakter dalam materi pembelajaranya. Salah satu contoh produk
budaya yang dapat digunakan untuk menanamkan nilai pendidikan karakter
adalah adalah karya sastra. Dalam karya sastra kita bisa memetik nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya. Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan
pola pikir dan ide kreatif yang dibangunya. Pemikiran, gagasan dan pola pikir
310
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dari pengarang pada dasarnya bersumber dari keadaan sekitar lingkungan
pengarang. Oleh karena itu, di dalam karya sastra terdapat tafsiran-tafsiran
masalah dunia nyata. Melalui karya sastra seorang pengarang bermaksud
menyampaikan informasi, gambaran atau pesan tertentu kepada pembaca.
Sesuatu yang disampaikan itu biasanya merupakan gagasan tentang kehidupan
yang ada di sekitar pengarang.
Salah satu fungsi sastra adalah dulce et utile, artinya indah dan
bermanfaat. Dari aspek keindahan, sastra disusun dalam bentuk, yang apik dan
menarik sehingga membuat orang senang membaca, mendengar, melihat, dan
menikmatinya. Sementara itu, dari aspek isi ternyata karya sastra sangat
bermanfaat. Di dalamnya terdapat nilai-nilai pendidikan moral yang berguna
untuk menanamkan pendidikan karakter. Nilai-nilai moral, seperti kejujuran,
pengorbanan, kepedulian sosial, cinta tanah air, santun, keberanian dan
sebagainya, banyak ditemukan dalam karya-karya sastra. Baik puisi, cerita
pendek, novel, maupun drama. Melalui pengajaran sastra yang optimal, siswa
didik akan dibawa pada situasi pembelajaran yang memungkinkan mereka
untuk menafsirkan, menilai, menemukan, dan mengkonstruksi materi ajar yang
mereka terima sesuai dengan pengalaman belajar yang mereka temukan.
Dengan demikian, pengajaran sastra diyakini dapat membantu proses
pembentukan karakter siswa, karena di dalam karya sastra terkandung nilainilai positif, nilai budaya, sosial, moral, kemanusiaan, hingga nilai
agama/religius.
PEMBAHASAN
Pendidikan Karakter
Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika,
ahlak, atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral. Karakter menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi
pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat, yaitu perangai atau perbuatan
yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Menurut Ramli (2003), pendidikan
karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
311
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.
Hal ini senada dengan menurut Suyanto (2009) bahwa karakter adalah sebagai
cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup
dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun
negara.
Menurut Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2011:10)
telah merumuskan materi pendidikan karakter yang mencakup aspek-aspek
sebagai berikut: (1) religius, (2) jujur, (3) toleran, (4) disiplin, (5) kerja keras,
(6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat
kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat atau
komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan,
(17) peduli sosial, tanggung jawab. Sedangkan menurut Kosasih (1999:130131) menemukan beberapa nilai karakter yaitu (1) keberanian, (2) Ketaqwaan,
(3) kesatriaan, (4) kesetiaan, (5) persahabatan, (6) hormat pada orang tua, (7),
kasih sayang orang tua terhadap anak, (8) kesabaran, (9) kemanusiaan, (10)
kedermawanan, (11) kesederhanaan, (l2) kepemimpinan.
Sementara itu, Suyanto (2009) berpendapat ada sembilan pilar karakter
yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu (1) cinta kepada Tuhan dan
segenap
ciptaannya,
(2)
kemandirian
dan
tanggung
jawab,
(3)
kejujuran/amanah, diplomatis, (3) hormat dan santun, (5) dermawan, suka
menolong dan gotong royong/kerja sama, (6) percaya diri dan pekerja keras (7)
kepemimpinan dan keadilan, (8) baik dan rendah hati, (9) toleransi, kedamaian,
dan kesatuan. Pandangan ini cukup menarik dan kontekstual jika dikaitkan
dengan situasi kekinian yang dinilai menunjukkan adanya kecenderungan
perilaku anomali sosial yang menghinggapi kaum remaja pelajar kita yang
makin abai terhadap nilai-nilai pendidkan karakter. Dengan kata lain, bahwa
sudah saatnya proses ―pembusukan‖ budaya dan pembonsaian karakter siswa
segera diakhiri dengan cara mengintensifkan pengembangan karakter siswa
melalui pembelajaran apresiasi sastra yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan.
312
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Cerpen
Cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Menurut
Suryadi (2007:54), cerita pendek adalah sebuah narasi fiksi yang panjangnya
sekitar 500 sampai 10.000 kata dan lebih fokus daripada novelet, apalagi
novel. Karena cerita yang disajikan dalam cerita pendek ini tergolong singkat,
biasanya cerita pendek hanya menceritakan kejadian yang tunggal, dengan
karakter yang tunggal, atau hanya beberapa. Begitu pun Nurgiyantoro
(1994:10), menurutnya sesuai dengan namanya, cerita pendek merupakan
cerita yang pendek. Pendek dalam arti, cerita ini dapat dibaca dalam sekali
duduk, dalam waktu antara setengah sampai dua jam. Dalam cerpen dikisahkan
sepenggal kehidupan tokoh, yang penuh pertikaian, peristiwa yang
mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah
dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431). Sama dengan karya sastra lainnya, cerpen
juga memiliki unsur-unsur pembentuknya. Salah satu unsur pembentuk cerpen
adalah unsur intrinsik. Pengertian unsur intrinsik adalah unsur yang terbentuk
dari dalam cerita itu sendiri. Adapun unsur-unsur intrinsik dalam cerpen adalah
tema, alur/plot, latar/setting, tokoh/penokohan, sudut pandang, dan amanat.
Pendekatan Struktural dan Pendekatan Moral
Ada dua macam pendekatan yang digunakan penulis dalam mengkaji
cerpen ―Kisah di Kantor Pos‖ yaitu dengan menggunakan pendekatan
struktural dan pendekatan moral.
1. Pendekatan
struktural,
merupakan
pendekatan
intrinsik,
yakni
membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya
satra dari dalam. Menurut Teeuw (1984:135) Pendekatan struktural
mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur
karya
sastra
sebagai
kesatuan
struktural
yang
bersama-sama
menghasilkan makna menyeluruh. Dengan demikian, pendekatan
struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara
kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya
sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaitan unsur-unsur
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
313
tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. Analisis struktural
merupakan hubungan antar unsur yang bersifat timbal balik, saling
menentukan, mempengaruhi yang secara bersama membentuk satu
kesatuan yang utuh. Selanjutnya berkaitan dengan pendekatan
struktural di atas, menurut Nurgiyantoro (2010:37), adapun langkahlangkah dalam menerapkan teori strukturalisme adalah sebagai berikut:
1) Mengidentifikasikan unsur-unsur instrinsik yang membangun karya
sastra secara lengkap dan jelas meliputi tema, tokoh, latar dan alur; 2)
Mengkaji unsur-unsur yang telah diidentifikasi sehingga diketahui
bagaimana tema, tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 3)
Mendeskripsikan fungsi masing-masing unsur sehingga diketahui tema,
tokoh, latar, dan alur dari sebuah karya sastra; 4) Menghubungkan
masing-masing unsur sehingga diketahui tema, tokoh, latar, dan alur
dalam sebuah karya sastra. Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
analisis karya sastra, dalam hal ini cerpen, dapat dilakukan dengan
terlebih dahulu mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi
dan
kemudian
menghubungkan
antar
unsur
instrinsik
yang
bersangkutan.
2. Pendekatan Moral
Pendekatan moral adalah seperangkat asumsi yang paling berkaitan
tentang sastra dalam hubungannya dengan nilai-nilai moral dan
pengajarannya. Menurut Semi (1989;71) pendekatan moral bertolak
dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengahtengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat manusia sebagai mahluk berbudaya, berfikir dan
berketuhanan. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi adalah karya
sastra yang mengandung
nilai moral yang tinggi, yang dapat
mengangkat harkat umat manusia. Dalam hal ini, karya sastra
diciptakan oleh seorang penulis tidak semata-mata mengandalkan bakat
dan kemahiran berekspresi tetapi lebih dari itu, seorang penulis
melahirkan sastra juga memiliki visi, aspirasi, itikad baik dan
perjuangan sehingga karya sastra yang dihasilkan memiliki nilai tinggi.
314
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tetapi tidak
memperhatikan moral dinilai karya yang tidak bermutu. Pendekatan
moral menghendaki sastra menjadi medium perekaman keperluan
zaman,
yang memiliki semangat menggerakan masyarakat ke arah
budi pekerti yang terpuji, karya sastra dalam hal ini dinilai sebagai guru
yang dapat dijadikan panutan. Selain itu pendekatan ini menyangkut
masalah
didaktis
yakni
pendidikan
pengajaran
yang
dapat
mengantarkan pembaca kepada suatu arah tertentu, oleh sebab itu karya
sastra yang baik adalah karya sastra yang memperlihatkan tokoh-tokoh
yang memiliki kebijaksanaan dan kearifan sehingga pembaca dapat
mengambilnya sebagai teladan (Semi, 1989: 71). Oleh karena itu,
pendekatan ini berdekatan dengan relativitas konsep nilai moral.
Analisis unsur intrinsik dalam cerpen “ Kisah di Kantor Pos” karya
Muhamad Ali adalah sebagai berikut.
a. Tema
Dalam sebuah cerpen, tema merupakan unsur terpenting, tanpa tema
penulisan tidak berfungsi. Menurut Aminudin (2004: 83) menyatakan
bahwa tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan
juga sebagai titik tolak pengarang dalam memaparkan karya yang
diciptakannya. Dengan demikian tema adalah makna cerita, gagasan
sentral atau dasar cerita. Adapun tema dalam cerpen ―kisah di kantor
pos‖ karya Muhamad Ali adalah pembayaran poswesel. Dikatakan
demikian karena dalam cerpen tersebut menceritakan hal yang berkaitan
dengan pembayaran atau penerimaan poswesel yang dilakukan oleh si
pegawai wanita kepada laki-laki kurus kecil dan penerima poswesel
lain. Kebetulan dalam pembayaran poswesel terjadi kesalahan yang
dilakukan oleh pegawai wanita.
b. Alur/Plot
Alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
315
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Adapun alur dalam cerpen ―kisah di kantor pos‖ adalah alur
maju. Sebab peristiwa-peristiwa yang disajikan oleh pengarang secara
berurutan, yaitu dari peristiwa pertama, pada saat tokoh lelaki kurus
kecil menerima uang pembayaran poswesel. Kemudian dilanjutkan pada
peristiwa kedua, yaitu pada saattokoh lelaki kurus kecil mengembalikan
uang yang lebih dari pembayaran posweselnya, dan selanjutnya pada
peristiwa ketiga yaitu pada saat tokoh lelaki kurus kecil marah besar
kepada lelaki tegap yang dianggapnya mengolok-olokkan dirinya. Dari
peristiwa pertama, kedua dan ketiga itu berurutan terjadinya. Peristiwaperistiwa tersebut juga menunjukan hubungan sebab akibat.
c. Tokoh/Penokohan (perwatakan)
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa itu mampu menjalin
suatu cerita sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku
itu disebut dengan penokohan.
1) Tokoh lelaki kurus kecil
Tokoh ini merupakan tokoh sentral. Tokoh ini digambarkan sebagai
orang yang jujur dan lugu. Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada
kutipan sebagai berikut.
“Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan
uang poswesel kepada saya, sebab....?”
“Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tak
salah, sekian itu angka yang tertulis dalam poswesel saya.”
“Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor poswesel saudara.
“Si Pegawai lalu memeriksa salah satu jalur dalam daftar yang
terkembang di hadapanya, kemudian katanya, “Nah ini, wesel
nomor satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang tiga
ratus rupiah?”. Apa yang keliru? Bukankah tadi saudara terima
dari saya tiga ratus rupiah?
316
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tidak”, jawab laki-laki itu. “nona tadi memberikan kepada saya
bukan tiga lembar ratusan, tetapi empat lembar. Jadi empat ratus
rupiah yang saya terima tadi”.
Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai
akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula
lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja
lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus
rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟”
“Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?”
“Nona, sela si Pegawai cepat.
2) Tokoh pegawai wanita
Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Tokoh ini digambarkan
sebagai orang yang memiliki watak ketus, egois, tidak mau tahu
dengan urusan orang lain dan ceroboh. Gambaran tersebut dapat
dibuktikan pada kutipan sebagai berikut.
“Ayo lekas bung!‟‟ kata si pegawai kepada orang pertama serentak
derak jendela loket dibukanya. Laki-laki kurus kecil itu tersentak
dan buru-buru disodorkanya posweselnya ke loket. “Punya kartu
pengenal?” tanya si pegawai.
Lakunya itu terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu,
tetapi dia tentu mengerti dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai
berikut.
Satu jam telah berlalu dan si pegawai telah sibuk di mejanya, ketika
tiba-tiba muncul kembali laki-laki kurus kecil yg pertama yang telah
di layaninya tadi, di muka loket seraya berkata, “Maaf nyonya, saya
mengganggu lagi. Tidakkah....?”
“Nona” sela si pegawai, ketus.
“Ya, ya ada apa lagi?” desak si pegawai.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
317
“Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan
uang poswesel kepada saya, sebab....?”
“Mana bisa keliru?” si pegawai menyela denga cepat.
3) Lelaki tegap wataknya suka menolong tetapi tidak jujur. Gambaran
tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut.
Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah
candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat
menahan hati dan ikut pula menengahi. Dia bertanya kepada lakilaki kurus itu. “Apakah yang sesungguhnya mendorong saudara
dari jauh datang kembali, untuk menyerahkan uang itu?”.
“Nah sekarang masukan kembali ke kantong saudara delapan puluh
rupiah itu,” Ujar laki-laki berbadan tegap itu pula. Seratus rupiah
akan saya keluarkan dari kantong saya untuk mengembalikannya,”
seraya berpaling kepada si Pegawai dalam loket dan menyodorkan
selembar kertas ratusan. Ia pun berkata, “Terimakasih kembali
uang ini, Nyonya.....
Gambaran tersebut di tegaskan kembali pada kutipan sebagai
berikut.
Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus itu berkata
dengan hormat kepada kawanya barunya itu, “Saya mengucapkan
terimakasih, atas kemurahan saudara.....”ujarnya pada si Tegap.
“sebenarnya uang yang saya tadi kembalikan bukan uang saya.”
Si kurus belum juga mengerti.
“seperti yang saudara alami sebelumnya, begitulah si nona manis
itu telah memberi ekstra pula kepada saya, sejumlah seratus
rupiah.”
Kini si kurus sudah mengerti dan benar-benarlah sekujur tubuhnya
menggigil menahan amarah.
318
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
d. Setting/Latar
Latar
adalah
tempat,
waktu,
maupun
situasi
tertentu
yang
melatarbelakangi
peristiwa-peristiwa dalam cerita, baik latar ynag bersifat fisikal
(berhubungan dengan tempat) maupun latar yang bersifat psikologis
(berupa lingkungan atau benda-benda dalam lingkungan tertentu yang
mampu menuasakan suatu makna yang mampu mengapit emosi
pembaca).
1) Latar tempat : di kantor pos
2) Latar waktu : Pagi hari (jam kerja kantor pos)
3) Latar suasana : ramai, tegang, marah
Gambaran tersebut dapat dibuktikan pada kutipan sebagai berikut.
Sekurang-kurangnya sepuluh atau lima belas orang, laki-laki dan
perempuan, berdiri dalam satu deretan panjang, berbaris dari
belakang dan berhenti di ujungnya di depan sebuah loket. Di atas
loket itu tergantung sebilah papan bertulis dengan huruf-huruf putih
mungil. Mengambil uang poswesel bertanda C. Biasanya poswesselposwessel yang bertanda C berjumlah di bawah seribu rupiah
e. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang
sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai
peristiwa yang membentuk cerita. Adapun sudut pandang dalam cerpen
―kisah di kantor pos‖ adalah pengarang menggunakan sudut pandang
sebagai penonton. Sebab, pengarang seolah-olah mengetahui semua
peristiwa tersebut lalu menceritakanya ke dalam cerpen. Sedangkan kata
ganti yang digunakan adalah kata ganti orang ketiga (yaitu menyebut
tokoh dan kata ganti ia/ -nya).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
319
f. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah
cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis
serta mampu
menuangkan makna dan suasanadapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.Pada cerpen ini
pengarang menggunakan bahasa sehari-hari yang biasa digunakan. Gaya
bahasa yang sering digunakan dalam cerpen ini adalah gaya bahasa
perbandingan. Misalnya, dalam kalimat di bawah ini.
Yang berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan
bergayut pada kawat ranjang loket adalah seorang lelaki berperawakan
kurus kerempeng yang sekilas tampak seperti karung goni kosong yang
disampirkan ke jemuran.
Gambaran tersebut ditegaskan kembali pada kutipan sebagai
berikut.
Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah
candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat
menahan hati dan ikut pula menengahi.
g. Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari cerita atau pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Adapun amanat yang hendak
disampaikan pengarang kepada pembaca yang terdapat dalam cerpen
―kisah di kantor pos‖ karya Muhamad Ali adalah bahwa nilai kejujuran
melebihi dari nilai uang. Dengan kata lain, uang bukanlah di atas
segalanya. Ajaran ini dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus kecil yang
mau berusaha dengan susah payah mengembalikan uang yang bukan
miliknya atau haknya.
320
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Nilai pendidikan dalam cerpen “Kisah di Kantor Pos” karya Muhamad
Ali
Dalam bab ini, pengkaji menguraikan hasil kajian yang diperoleh dari
analisis pada cerpen ―Kisah di Kantor Pos‖ karya Muhamad Ali. Analisis
yang dibuat adalah berkaitan dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang
terdapat dalam cerpen ini. Analisis ini berdasarkan pada pendekatan
struktural dan pendekatan moral. Pada pendekatan struktural bertujuan
memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur
karya
sastra
yang
secara
bersama
menghasilkan
sebuah
kemenyeluruhan.Analisis struktural merupakan hubungan antar unsur yang
bersifat timbal balik, saling menentukan, mempengaruhi yang secara
bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Berdasarkan pendekatan
moral, kesusastraan memiliki tanggung jawab etika, yaitu sebagai alat untuk
memperbaiki moral masyarakat. Nilai pendidikan karakter yang terdapat
dalam cerpen ini tujuanya untuk memberikan pendidikan kepada pembaca.
Penerapan nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen ini adalah
penting untung dijadikan panduan kepada pembaca dalam membentuk
akhlak dan pribadi yang mulia.
Adapun nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam cerpen
―Kisah di Kantor Pos‖ karya Muhamad Ali adalah sebagai berikut.
1) Nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini dapat digambarkan/dibuktikan pada
kutipan sebagai berikut.
“Tadi agaknya telah terjadi kekeliruan ketika nona membayarkan uang
poswesel kepada saya, sebab....?”
“Mana bisa keliru?” si pegawai menyela denga cepat.
“Seharusnya saya menerima tiga ratus rupiah, bukan? Kalau tak
salah, sekian itu angka yang tertulis dalam poswesel saya.”
“Coba saya lihat dulu. Saya masih ingat nomor poswesel saudara. “Si
Pegawai lalu memeriksa salah satu jalur dalam daftar yang
terkembang di hadapanya, kemudian katanya, “Nah ini, wesel nomor
satu empat tujuh dengan tanda huruf C. Jumlah uang tiga ratus
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
321
rupiah?”. Apa yang keliru? Bukankah tadi saudara terima dari saya
tiga ratus rupiah?
Tidak”, jawab laki-laki itu. “nona tadi memberikan kepada saya
bukan tiga lembar ratusan, tetapi empat lembar. Jadi empat ratus
rupiah yang saya terima tadi”.
Ada semacam perasaan ganjil yang menggelitik di hatinya hampirhampir ia menjerit karenanya, itulah pula sebabnya ia bisa membuka
mulut sesaat lamanya.
Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai
akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula
lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja
lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus
rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟”
“Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?”
“Nona, sela si Pegawai cepat.
Kutipan-kutipan di atas menggambarkan nilai kejujuran yang patut kita
tiru dan kita contoh. Dari kutipan-kutipan tersebut, pembaca bisa
termotivasi dan dapat menerapkan nilai kejujuran pada kehidupan
sehari-hari. Nilai kejujuran yang dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus
dapat dijadikan panutan untuk kita semua, bahwa nilai kejujuran
melebihi dari nilai uang. Dengan kata lain, uang bukanlah di atas
segalanya. Ajaran ini dicontohkan oleh tokoh lelaki kurus kecil yang
mau berusaha dengan susah payah mengembalikan uang ―kelebihan‖
yang bukan miliknya atau haknya.
2) Nilai
keberanian,
yaitu
keberanian
pegawai
dalam
mengakui
kekeliruanya. Nilai keberanian ini dapat digambarkan/dibuktikan pada
kutipan sebagai berikut.
“Oh kalau begitu, saya keliru. Benar-benar keliru, “kata si pegawai
akhirnya dengan kemalu-maluan. “Maklum banyak kerja. Lagi pula
lembaran-lembaran uang itu masih baru benar hingga mudah saja
322
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
lengket karenanya. Jadi saudara mau kembalikan uang yang seratus
rupiah itu kepada saya, sekarang?‟‟”
“Betul saya akan mengembalikanya kepada Nyonya.....?”
3) Nilai menghargai dan menghormati orang lain. Nilai menghargai dan
menghormati ini dapat digambarkan/dibuktikan pada kutipan sebagai
berikut.
Seorang laki-laki berbadan besar tegap laksana reruntuhan sebuah
candi, yang baru saja mendapat gilirannya, akhirnya tak dapat
menahan hati dan ikut pula menengahi. Dia bertanya kepada laki-laki
kurus itu. “Apakah yang sesungguhnya mendorong saudara dari jauh
datang kembali, untuk menyerahkan uang itu?”.
Laki-laki kurus itu berpikir sejenak mencari kata-kata yang patut untuk
menjadikanya jawaban bagi pertanyaan yang yang datang tidak
tersangka-sangka itu. Katanya saya merasa uang itu bukan milik saya.
Jadi harus saya kembalikan kepada yang berhak.”
“Saya merasa sungguh-sungguh terharu, menyaksikan kejujuran
saudara. Jarang saya jumpa orang sejujur saudara. Kejujuran seperti
ini patut kita hargai!”. Wajiblah kita hormati saudara.
Maaf, Nona manis. “Lalu kepada laki-laki kurus, “sekarang sudah
selesai . mari kita sama-sama pergi.”
Setiba mereka di tempat penitipan sepeda, laki-laki kurus itu berkata
dengan hormat kepada kawanya barunya itu, “Saya mengucapkan
terimakasih, atas kemurahan saudara.....”ujarnya pada si Tegap.
4) Nilai kesabaran. Nilai kesabaran dapat digambarkan/dibuktikan pada
kutipan sebagai berikut.
“Ayo lekas bung !‟‟ kata si pegawai kepada orang pertama serentak
derak jendela loket dibukanya. Laki-laki kurus kecil itu tersentak dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
323
buru-buru disodorkanya posweselnya ke loket. “Punya kartu
pengenal?” tanya si pegawai.
Dari saku celananya laki-laki itu mengeluarkan kartu yang dimaksud
dan sekali lagi menyodorkanya ke dalam loket. Si pegawai kini
mencocokan tanda tangan dalam poswesel itu dengan tanda tangan
yang tertera pada kartu pengenal. Lalu ia mulai membandingbandingkan potret dalam kartu dengan muka laki-laki di hadapanya.
Lakunya itu terang tidak menyenangkan laki-laki kurus kecil itu, tetapi
dia tentu mengerti dalam hal ini tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kedua tanda tangan ini agak berbeda satu sama lain. Dan potret ini,
benarkah ini potret saudara sendiri?” tanya si pegawai pada akhirnya
“Mengapa? itu potret saya dua tahun yang lalu....”
“Dua tahun? Mengapa begini jauh bedanya?”
Laki-laki itu memandang tajam kepada si pegawai itu dan urat-urat di
wajahnya meregang serempak. Tapi ia tetap membisu dan sabar.
Apakah lantaran pandangan tajam itu, entahlah si pegawai itu
kemudian berkatalah. “ Ya kali ini biarlah, tak mengapa. Sebaiknya
saudara ganti kartu pengenal dengan potret yang terbaru. Maklumlah,
orang-orang sekarang rupanya lekas berubah jadi tua. Memang,
sehari-hari zaman ini lebih serakah mengisap darah kita.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik yang ada pada cerpen ―Kisah
Di Kantor Pos‖ Karya Muhamad Ali adalah sebagai berikut: a) tema dalam
cerpen ini adalah pembayaran poswesel; b) latar yang ada dalam cerpen ini
adalah latar tempat, latar waktu; dan latar suasana; c) alur yang ada dalam
cerpen ini adalah alur maju; d) tokoh yang ada dalam cerpen ini adalah tokoh
laki-laki kurus kecil, tokoh si pegawai wanita, dan tokoh lelaki tegap; e) gaya
bahasa yang digunakan dalam cerpen ini pengarang menggunakan bahasa
324
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
sehari-hari yang biasa digunakan. Gaya bahasa yang sering digunakan dalam
cerpen ini adalah gaya bahasa perbandingan, misalnya dalam kalimat: Yang
berdiri paling depan dalam deretan itu, atau lebih tepat dikatakan bergayut
pada kawat ranjang loket adalah seorang lelaki berperawakan kurus
kerempeng yang sekilas tampak seperti karung goni kosong yang disampirkan
ke jemuran; f) sudut pandang yang digunakan cerpen kisah di kantor pos
adalah pengarang menggunakan sudut pandang sebagai penonton. Sebab,
pengarang
seolah-olah
mengetahui
semua
peristiwa
tersebut
lalu
menceritakanya ke dalam cerpen. Kata ganti yang digunakan adalah kata ganti
orang ketiga (yaitu menyebut tokoh dan kata ganti ia/ -nya); dan g) amanat
yang ada dalam cerpen ini adalahnilai kejujuran melebihi dari nilai uang.
Dengan kata lain, uang bukanlah di atas segalanya. Ajaran ini dicontohkan
oleh tokoh lelaki kurus kecil yang mau berusaha dengan susah payah
mengembalikan uang yang bukan miliknya atau haknya, sedangkan nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerpen kisah di kantor pos adalah
nilai kejujuran, kesabaran, menghormati dan menghargai dan nilai
keberanian. Nilai tersebut tampak pada karakter beberapa tokoh cerita. Nilai
pendidikan karakter diungkapkan pengarang melalui sifat, perbuatan,
perkataan, maupun pemikiran-pemikiran tokoh cerita.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhamad. 1997. Kisah di Kantor Pos. Dalam Horison. Edisi Juli . Hlm 38
Aminudin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Badudu, J.S. 1984. Sari Kesustraan Indonesia 1. Bandung: CV Pustaka Prima.
Darma, Budi. 1981. Moral dalam sastra, Pidato Ilmiah. Surabaya. IKIP.
Djahiri, A. Kosasih. 1989. Teknik Pengembangan Program Pengajaran
Pendidikan Nilai Moral. Bandung: Lab. PMPKn. FPIPS IKIP Bandung.
Haryadi. 1994. Sastra Melayu. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
325
Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Suyanto.2009. Urgensi Pendidikan Karakter.
http:// www. mendikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
326
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
TUTURAN EMOSIONAL PENGGUNA JALAN
DAN DAMPAKNYA
BAGI PERKEMBANGAN EMOSI DAN BAHASA ANAK
Nunung Supratmi
Universitas Terbuka
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Tuturan Emosional Pengguna Jalan dan Dampaknya bagi Perkembangan Emosi
dan Bahasa Anak. Tuturan emosional dapat terjadi di mana pun dan dituturkan oleh
siapa pun, tidak terkecuali oleh para pengguna jalan, baik oleh pejalan kaki maupun
oleh pengendara bermotor. Kemacetan lalu lintas dan pengguna jalan yang tidak tertib
acapkali membuat emosi para pejalan kaki dan pengendara bermotor meningkat.
Meningkatnya emosi para pejalan kaki dan pengendara bermotor seringkali dibarengi
dengan tuturan yang kurang baik didengar. Tuturan emosional yang kurang baik
dituturkan oleh penutur tentu saja akan memberikan dampak negatif bagi
pendengarnya, terutama bagi anak-anak yang sedang dalam tahap perkembangan
emosi dan bahasa. Pemaparan ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi
pembaca tentang dampak negatif tuturan emosional bagi anak sehingga akan lebih
berhati-hati dalam bertutur.
Kata kunci: tuturan emosional, perkembangan emosi dan bahasa anak
PENDAHULUAN
Dalam keadaan emosi, baik emosi senang, gembira, bahagia, tertekan,
tersinggung,
atau
pun
marah
seringkali
manusia
tidak
dapat
mengendalikannya. Berbagai bentuk perbuatan sering ditunjukkan untuk
meluapkan rasa emosi. Salah satunya dalam bentuk tuturan. Dalam keadaan
senang atau gembira, bentuk tuturan emosional dapat berupa tuturan yang
menunjukkan rasa kagum, memuji, ataupun tuturan bentuk syukur terhadap
Tuhan YME. Sebaliknya, dalam keadaan tertekan, tersinggung, ataupun marah,
tuturan emosional seringkali bernada kasar, dan tidak enak didengar, baik
berupa umpatan, caci maki, atau pun hinaan.
Luapan emosi ini terjadi karena adanya situasi atau kejadian yang
memicu reaksi seseorang. Salah satu situasi yang membuat emosi seseorang
meningkat adalah pada saat kemacetan lalu lintas dan pengguna jalan yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
327
tidak tertib. Kata-kata kasar, cacian, dan makian sering kita dengar tanpa
mempedulikan apakah tuturan tersebut membawa dampak negatif bagi
pendengarnya terutama bagi anak-anak.
Anak-anak adalah peniru sejati. Ketika orang dewasa menuturkan katakata kasar, anak-anak akan merekam tuturan tersebut. Ketika mereka
menghadapi situasi yang sama mereka akan menuturkan kata-kata yang pernah
mereka dengar tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap
tuturan emosional para pengguna jalan, baik yang dituturkan oleh orang
dewasa
maupun
anak-anak
dan
juga
pengalaman
pribadi
penulis,
menginspirasi penulis untuk memaparkan bagaiman tuturan emosional
pengguna jalan mampu memberikan dampak bagi perkembangan emosi dan
bahasa anak. Tulisan ini hanya memaparkan bagaimana tuturan emosional
yang mengandung rasa marah, tidak senang kepada pengguna jalan lainnya dan
dampaknya bagi perkembangn emosi dan bahasa anak.
Tuturan Emosional Langsung
Tuturan emosional merupakan tuturan yang mengandung emosi. Berikut
adalah beberapa pengertian emosi yang diungkapkan oleh para pakar.
 Luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat. (KBBI,
2008:368).
 Emosi dalam pemakaian sehari-hari mengacu pada ketegangan yang terjadi
pada individu akibat dari tingkat kemarahan yang tinggi‖. (Hude,
2006:hlm15)
 Emosi adalah suatu bentuk energi batiniah yang muncul dari pusat alam
perasaan seseorang yang merupakan daya pendorong untuk menuju hidup
yang lebih baik‖. (Tridhonanto dan Beranda…)
 Perasaan dan emosi seseorang bersifat subjektif dan temporer yang muncul
dari suatu kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui
pengalaman dari orang-orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi
seseorang membentuk suatu garis kontinum yang bergerak dari ujung yang
328
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
yang paling postif sampai dengan paling negatif, seperti: senang-tidak
senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega
(straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
(http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosi-psikologiumum/)
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa selain
emosi negatif terdapat pula emosi positif. Bentuk-bentuk emosi tersebut
dipaparkan oleh Tridhonanto dan Beranda ―emosi terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu emosi positif dan emosi negatif, dan kombinasi perasaan (antara positif
dan negatif). Emosi positif meliputi rasa senang, bahagia, lega, dan puas.
Emosi negatif meliputi rasa sedih, takut, gelisah, malu dan marah. Emosi
kombinasi perasaan meliputi rasa bersalah, cemburu, frustrasi, dan bingung.‖
Emosi yang timbul dari dalam perasaan individu kemudian diekspresikan
dalam berbagai bentuk, diantaranya dalam bentuk gerak tubuh, mimik wajah,
dan tuturan. Dalam bentuk tuturan, emosi positif diekspresikan dengan
menuturkan kata-kata yang terdengar santun, misalnya kata-kata memuji,
mengungkapkan kekaguman, dan mengungkapkan rasa syukur. Sebaliknya,
bentuk tuturan emosi negatif terdengar tidak santun karena kata-kata yang
keluar merupakan luapan emosi dari rasa amarah yang disebabkan oleh
berbagai hal. Di dalam masyarakat, tuturan tidak santun sering disebut dengan
tuturan emosional.
Berbagai macam situasi dapat menyebabkan ketidaksantunan berbahasa
terjadi. Salah satu situasi yang sering menimbulkan ketidaksantunan berbahasa
adalah situasi di jalan, baik di jalan raya maupun di jalan yang hanya dapat
dilalui kendaraan sepeda motor. Kemacetan lalu lintas dan pengendara yang
tidak tertib lalu lintas acapkali membuat emosi para pengendara meningkat.
Meningkatnya emosi para pengendara seringkali dibarengi dengan tuturan
yang kurang baik untuk didengar, bahkan terdengar kasar dan bernuansa
kekerasan. Kalimat-kalimat emosional yang sering kita dengar di jalan ada
yang dituturkan secara langsung ke penggun jalan dan ada yang tidak
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
329
langsung. Berikut adalah beberapa contoh tuturan emosional yang sering
dituturkan di jalan berdasarkan hasil pengamatan langsung di lapangan.
Tuturan Emosional Langsung.
Tuturan emosional langsung ini dituturkan di hadapan petutur. Biasanya
dituturkan dengan nada tinggi dan kata-kata yang digunakan lebih kasar,
contohnya adalah sebagai berikut.
a.
―Dasar goblok!”
b. “Bego lo!”,
c. “Mata lo taruh di mana”
d. “Bisa nyetir ngga?‖
e. “Ngga punya otak ya!”,
Tuturan Tidak Langsung
Tuturan tidak langsung adalah tuturan yang dilakukan tidak langsung di
hadapan orang yang mendengarkan tuturannya. Tuturan emosional tidak
langsung biasanya dituturkan dengan nada lebih rendah dibandingkan dengan
tuturan langsung kata-kata yang digunakan tidak sekasar tuturan langsung.
Contohnya adalah sebagai berikut.
a. “Kebelet pipis kali tuh orang”!
Kalimat ini biasanya dituturkan ketika ada kendaraan lain menyalip
kendaraan lain dengan kecepatan tinggi.
b. “Dasar orang kaya baru!”
Kalimat ini biasanya dituturkan ketika sebuah kendaran melaju dengan
cepat di jalan sempit tanpa memperhatikan pengguna jalan lain.
c. “Matanya ditaruh di mana sih tuh orang, nyebrang jalan ngga lihatlihat!”
330
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kalimat ini biasanya dituturkan ketika ada penyebrang jalan tidak
mempedulikan kendaraan yang sedang melintas di jalan yang
dilaluinya.
d. ―Ngga punya SIM kali tuh orang!”
Kalimat ini biasanya dituturkan ketika pengendara lain tidak mematuhi
rambu-rambu lalu lintas yang mengakibatkan kemacetan. Misalnya, ada
tanda verboden tapi kendaraan tetap masuk sehingga kendaraan lain
dari arah yang berlawanan tidak bisa lewat dan mengakibatkan
kemacetan panjang.
Selain contoh-contoh tersebut, masih ada kata-kata dalam tuturan
emosional yang sering dituturkan pengguna jalan, Misalnya nama-nama
binatang (anjing lo, monyet lo, bangsat lo, dll) dan bahkan kata ―setan lo‖ juga
seringkali dituturkan jika penutur sedang dalam kedaan emosi. Kalimat dan
kata-kata tersebut memang terdengar sangat kasar, tidak enak di telinga, dan
tidak santun, tetapi merupakan pemandangan biasa yang kita lihat dan dengar
di jalan dan dianggap hal yang biasa bagi sebagian besar masyarakat.
Jika berbicara mengenai kesantunan berbahasa, kata-kata kasar yang
dituturkan pengguna jalan tentu saja melanggar prinsip kesantunan berbahasa.
Jika mengacu pada prinsip kesantunan berbahasa yang diungkapkan oleh
Leech, maka penutur telah melanggar salah satu prinsip kesantunan berbahasa,
yaitu prinsip kerendahan hati yaitu ―sedikit mungkin memuji diri sendiri dan
mengecam diri sendiri sebanyak mungkin‖ (Leech, 1993:207).
Prinsip kesantunan ini menekankan pada penutur untuk rendah hati,
tidak mengecam orang lain atau melecehkan orang lain dengan kata-kata yang
merugikan orang yang mendengarkan tuturannya. Prinsip ini tentu saja banyak
dilanggar oleh para pengguna jalan. Dalam keadaan emosional yang tinggi dan
tidak dapat mengendalikan emosinya, maka tuturan emosional tentu saja tidak
dapat dihindarkan dan bahkan secara otomatis akan dituturkan. Dalam keadaan
emosi tinggi, penutur akan lebih banyak mengecam orang lain dibandingkan
mengecam diri sendiri.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
331
Dampak Tuturan Emosional bagi Perkembangan Emosi dan Bahasa
Anak
Ketika orang dewasa menuturkan kata-kata tidak santun di jalan mungkin
sudah dianggap biasa oleh pendengarnya. Akan tetapi,
jika tuturan tidak
santun tersebut didengar dan ditiru oleh anak-anak akan menjadi hal yang
sangat buruk. Cobalah kita perhatikan ketika kita berada di jalan raya. Tidak
jarang kita jumpai anak-anak yang merasa tidak nyaman ketika berada di jalan
menuturkan kata-kata yang kasar dan tidak santun. Hal ini membuktikan
bahwa saat ini bukan orang tua saja yang berkata kasar di jalan raya, tetapi
remaja dan bahkan anak-anak sering kita dengar berkata kasar ketika berada di
jalan.
Sebagai contoh, seorang anak berusia tujuh tahun sudah mampu
menuturkan kalimat emosional berikut.
1. Ayah, orang itu ngga punya mata kali ya, nyebrang jalan ngga lihat-lihat.
Untung ayah ngerem klo ngga ketabrak tu orang
2. Lihat yah, mobil itu ngebut sopirnya kebelet mau pipis kali ya.
3. Ayah, sopirnya ngga bisa nyetir tuh, lambat sekali bawa mobilnya.
Apa yang akan dilakukan oleh orang tua ketika mendengar anak usia tujuh
tahun menuturkan kalimat-kalimat tersebut? Ada orang tua yang mendengar
tuturan tersebut hanya bisa diam, tertawa, atau mengiyakan apa yang
dituturkan anak tersebut, tetapi ada juga yang menegur bahwa kalimat tersebut
tidak baik untuk dituturkan karena tidak santun. Perbedan perlakuan ini
disebabkan karena ada orang tua yang memang terbiasa menuturkan kalimatkalimat tersebut di depan anak-anaknya sehingga mereka merasa kalimat yang
diucapkan tersebut biasa saja dan tidak ada unsur ketidaksantunan berbahasa,
dan ada juga yang tidak pernah mengajarkan atau menuturkan kalimat-kalimat
tersebut di hadapan anak-anaknya sehingga ketika mendengar anaknya
menuturkan kalimat tersebut langsung menegurnya. Jika orang tua tidak
pernah mengajarkan kalimat-kalimat emosional tersebut kepad anak-anaknya,
lalu dari mana mereka mempelajari kalimat-kalimat tersebut? Mudah sekali
menjawabnya. Tentu saja dari contoh yang pernah mereka lihat, dengar, dan
rasakan dari orang lain. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan
332
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bahwa emosi dan bahasa diperoleh manusia melalui sebuh proses belajar,
seperti yang diungkapkan oleh Goleman ―emosi itu bukan bakat, melainkan
bisa dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan dan yang kurang baik
dikurangi
atau
dibuang
sama
sekali.
‖http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosi-psikologiumum/). Selain itu, Shaleh dan Wahab menyatakan bahwa ―makin besar anak
itu makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga perkembangan
emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan
hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya
lebih banyak ditentukan oleh proses belajar.‖
Pada pendahuluan telah dijelaskan bahwa anak-anak adalah peniru yang
baik. Apa yang diperbuat oleh orang lain akan ditirunya. Begitu juga dengan
apa yang dikatakan orang lain, maka dengan cepat akan ditirunya. Ketika
seseorang menuturkan kata-kata kurang santun maka akan disimak dengan
baik oleh anak-anak, kemudian direkam oleh mereka dan pada saat mereka
mengalami peristiwa yang sama, mereka akan menuturkan hal yang sama. Hal
ini menunjukkan bahwa tuturan emosional memberikan dampak yang besar
bagi perkembangan emosi dan bahasa anak. Anak akan ikut emosi ketika
pengendara atau pengguna jalan melakukan kesalahan terhadap dirinya.
Luapan emosi inilah yang memicu tuturan emosional sehingga kata-kata yang
mereka tuturkan terdengar tidak santun.
SIMPULAN
Anak-anak adalah peniru sejati. Apa yang kita tuturkan akan direkam
dengan baik dan kelak jika mereka mengalami situasi yang sama, mereka akan
menuturkan kata-kata yang sama seperti yang mereka dengar. Oleh karena itu,
sebagai orang dewasa kita harus mampu menjaga emosi terutama ketika
merasa tidak nyaman di kendaraan, karena perasaan yang tidak nyaman akan
menimbulkan emosi yang akan memicu tuturan emosional. Jika tuturan
emosional terdengar oleh anak-anak maka dapat memberikan dampak negatif
bagi perkembangan emosi dan bahasa anak.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
333
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa
http://yogacintaindonesia.wordpress.com/2014/02/19/makalah-emosipsikologi-umum/
Hude , M. Darwis. 2006. Emosi: Penjelajahan Religio-Psikologis tentang
Emosi Manusia di dalam Al-Quran. Jakarta: Erlangga
Leech, Geoffrey, 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik (terjemahan M.D.D Oka).
Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Shaleh, Abdul Rahman dan Muhbib Abdul Wahab. Psikologi Suatu Pengantar
(Dalam Prespektif Islam). Kencana. Jakarta. 2009 hlm 172-173
Tridhonanto, Al, dan Beranda Agency, 1996. Meraih Sukses dengan
Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo
334
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
DUTA KAYUAGUNG DALAM TUJUH CERITA PENDEK
Purhendi
Yayasan Robithotul Ma‘ahid Brebes/ Pascasarjana Agama Islam Darussalam Ciamis
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Duta Kayuagung dalam Tujuh Cerita Pendek. Dunia kriminal, dilihat dari sudut
pandang hukum agama dan hukum negara tetaplah merupakan suatu tindakan yang
dilarang. Konsekuensinya adalah ‗dosa‘ dan ‗penjara‘. Namun kenyataan di
masyarakat, hal demikian tetaplah ada. Pada komunitas masyarakat Kayuagung
(Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan), sampai saat ini dikenal adanya
duta. Alumnus Pascasarjana UGM, Mulyadi J. Amalik, mengistilahkannya dengan
sebutan ‗bandit sosial‘. Di Singapura, para kriminal jenis ini dijuluki ‗gang noble
wood‟. Di Malaysia dikenal dengan istilah ‗criminal Indon‟. Fenomena duta ini telah
ditulis penulis sendiri dalam tujuh cerpen yang berbeda. Bahkan pada tahun 2007,
telah ditayangkan pada acara ‗Delik RCTI‘ yang narasumbernya adalah para duta,
Mulyadi J. Amalik, dan Purhendi (penulis sendiri). Pada tujuh cerita pendek yang
diulas dalam makalah ini, penulis mengulas berbagai segi, baik yang berkaitan dengan
sikap ‗pribadi‘ para duta maupun sikap masyarakat di lingkungan para duta berada.
Ketujuh cerpen yang diulas penulis yaitu; Sedekah Lepas, Setakatan, Riak Arus
Sungai Komering, Putri Sang Duta, Istri Sang Duta, Seluang-Seluang Sungai
Komering, dan Sang Duta.
Kata kunci: duta, cerpen, kriminal.
PENDAHULUAN
Semasa penulis kuliah (1987—1993), dua orang dosen (Drs. Zaenal
Abidin Gani dan Zainal Abidin Gaffar), kurang lebih menyampaikan hal yang
sama tentang karya sastra yang berupa cerpen atau novel, yakni beliau
mengemukan bahwa karya sastra adalah suatu karya yang realitas imajinatif
atau imajinatif yang realistis. Artinya, ia hanyalah sebuah karya hasil khayalan,
bukan sebuah realita atau kenyataan, meskipun sumber ceritanya mungkin saja
bersumber dari kehidupan nyata.
Sebagai sebuah karya yang ‗bersumber dari kehidupan nyata‘,
keberadaan sebuah karya sastra, khususnya cerpen, berkaitan erat dengan
‗realitas itu sendiri‘ yang dikenal dengan ‗lokalitas‘ atau ‗warna lokal‘.
Dalam
suatu
kesempatan,
sastrawan
Maman
S.
Mahayana
menyampaikan bahwa lokalitas cerpen Indonesia janganlah hanya sekadar
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
335
aksesoris, melainkan sebagai bagian integral dari substansi karya. Di sini pun,
tentu saja tidak sekadar momotret kehidupan, tetapi lebih pada ‗pengisian‘ nilai
kehidupan itu sendiri dalam karya, baik berupa puisi, cerpen, novel, maupun
drama. Dalam hal inilah kemampuan sang pengarang diuji.
Menurut Kuntowijoyo, dalam salah satu esainya tahun 1973, tugas
pengarang bukan hanya memotret realitas, tetapi juga melakukan kritik,
idealisasi, dan simbolisasi terhadap realitas. Hal senada pun kembali
ditegaskan oleh Abdul Hadi WM saat Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di
Hotel Nuansa, Pekanbaru, 26 – 30 November 2005 lalu.
Tentang warna lokal ini, Dad Muniah lebih merinci lagi, bahwa dalam
operasionalnya, warna lokal diperlukan sebagai bagian dari struktur karya
sastra, khususnya sebagai salah satu aspek dari seting, atmosfer, dan
penggunaan bahasa. Dad Muniah lebih lanjut menjelaskan bahwa sebagai
bagian dari latar fisik dan ruang, warna lokal dikaitkan dengan geografi,
semisal Sumatra Barat, Riau, atau Jawa. Lebih sfesifik dengan Surakarta,
Yogyakarta, atau bahkan fiktif semacam Dukuh Paruk atau Wanagalih.
Beberapa sastrawan yang selama ini dikenal kental menampilkan warna
lokal (terutama Jawa), antara lain, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Linus
Suryadi, Darmanto Jatman, Mangunwijaya, dan Danarto. Sedangkan warna
lokal yang cenderung ‗global Indonesia‘, atau ‗outer Indonesia‘ menurut
Clifford Geertz, di antaranya yaitu Ibrahim Sattah, Hamid Jabbar, Darman
Munir, Harris Effendi Thahar, dan Korrie Layun Rampan.
Apa pun tinjauannya tentang warna lokal ini, setidaknya kita kembali
mengingat sejauh mana ‗pembatasan‘ lokalitas dalam sastra ini pada hasil KCI
lalu. Dalam kesempatan itu disimpulkan tujuh hal yang berkaitan warna lokal
sebagai hasil kongres. Di sini, saya cuplik kembali tiga simpulan yang khusus
berkaitan dengan warna lokal ini, yakni sebagai berikut.
Pertama, lokalitas dalam konsep budaya pada hakikatnya bukan
merupakan wilayah yang terikat pada batas ruang tertentu, melainkan berkaitan
dengan kesamaan sekaligus keragaman budaya.
Kedua, konsep estetika loka sebagai wilayah penciptaan yang dinamis
dan terbuka merupakan daya tawar global-lokal yang perlu dipahami dalam
336
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bentuk jamak dan citarasa seni serta kaidahnya dalam proses penerimaan dan
pembentukan karya kreatif berdasarkan berbagai interaksi pengaruh dan
dinamika budaya lintas batas.
Ketiga, lokalitas cerpen Indonesia bukan sekadar sebagai asesoris
melainkan sebagai bagian integral dari substansi karya yang bersangkutan.
Pada makalah sederhana ini, penulis tidak akan mengulas warna lokal.
Di sini penulis hanya akan menyajikan sebuah realitas keberadaan duta
Kayuagung dalam beberapa cerpen penulis. Sebenarnya, realitas ini pun tidak
lepas dari lokalitas atau warna lokal itu sendiri.
Istilah-istilah yang berkaitan dengan duta di Kayuagung
Dalam Kamus Besaar Bahasa Indonesia (2001: 281) dijelaskan bahwa
kata ‗duta‘ bermakna; 1) orang yang diutus oleh pemerintah (raja dsb) untuk
melakukan tugas khusus, biasanya ke luar negeri, utusan, serta 2) orang yang
mewakili suatu negara di Negara lain untuk mengurus kepentingan Negara
yang diwakilinya, membantu dan melindungi warga negaranya yang tinggal di
negara itu, dsb.
Namun, ‗duta‘ yang dimaksudkan dalam makalah ini,
meskipun ada ‗kemiripan‘ dalam sisi lain, tentulah bukan yang demikian
maknanya.
Dalam kamus bahasa Indonesia maupun kamus bahasa daerah di
Palembang, belum tercantum istilah-istilah yang berkaitan dengan duta seperti
yang penulis maksud. Istilah-istilah berikut ini penulis definisikan sendiri dari
temuan-temuan di masyarakat saat penulis mengumpulkan informasi, baik
untuk bahan penulisan cerpen, novel, tesis, maupun tayangan televisi. Istilahistilah yang dimaksud antara lain sebagai berikut.
Duta
Istilah ini sebagai julukan khusus untuk orang dari daerah Kayuagung
(Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) yang biasa mencari ‗penafkahan
khusus‘ di daerah lain, terutama di luar negeri. Dalam bahasa Kayuagung
sendiri dikenal dengan istilah keratak (perampok). Namun masyarakat menilai
bahwa seorang duta/keratak
tidak bisa disejajarkan dengan preman atau
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
337
perampok pada umumnya. Di samping mereka banyak beroperasi di luar
negeri, konon mereka pun pantang menyakiti/menganiaya korbannya, apalagi
sampai membunuh korban. Di Singapura dan Malaysia, menurut data Interpol,
para duta dikenal dengan julukan Nobel Wood atau Gang Nobel Wood. Khusus
di Malaysia, beberapa media massa menyebutnya sebagai Criminal Indon.
Kebanyakan duta, dari penelusuran penulis, mengaku bahwa mereka
sering beroperasi sendiri, tidak berkelompok. Mungkin ini hanya sebuah dalih.
Sebab kenyataannya, di antara kelompok duta ini ada yang bertugas meta,
sedangkan yang lainnya bertugas nage.
Konon, cara yang mereka lakukan untuk mendapatkan uang puluhan
juta sampai milyaran rupiah di antaranya dengan menjambret, menodong, atau
menukar tas korban, khususnya jika operasi dilakukan di dalam kantor/bank.
Para duta biasanya mampu dengan tepat menebak berapa juta uang yang ada di
dalam tas/koper calon korbannya. Lantas mereka memperdaya korbannya
dengan cara menggeser atau menukar tas korban dengan bentuk yang sama
atau hamper sama. Modus demikian oleh pohak kepolisian disebut ‗kelompok
geser‘.
Pada masa lalu mereka diidentikkan dengan Robin Hood. Namun di
masa kini sudah banyak terjadi pergeseran nilai. Bahkan konon pernah juga
terjadi saling bunuh di kampung sendiri karena memperebutkan uang hasil
ngeratak.
Pada masa lalu mereka diidentikkan dengan Robin Hood. Namun di
masa kini sudah banyak terjadi pergeseran nilai. Bahkan konon pernah juga
terjadi saling bunuh di kampung sendiri karena memperebutkan uang hasil
ngeratak.
Meta
Meta adalah tugas khusus seorang duta yang pekerjaannya menyelidiki
segala sesuatu tentang daerah target operasi atau calon korban (memetakan).
Semacam intelejennya duta. Biasanya mereka berangkat terlebih dahulu ke
lokasi atau negara tujuan. Setelah dipastikan bagaimana situasi dan kondisi di
338
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
wilayah target, barulah ia menghubungi temannya yang bertugas menjalankan
operasi (nage).
Nage
Nage bermakna ‗menagih‘, yaitu menagih ‗zakat‘ atau ‗utang‘ (versi para
duta), terhadap orang kaya yang kikir atau orang kaya non-Muslim, yang biasanya
keturunan Tionghoa. Alasan ini sepertinya berbau SARA. Namun pada kenyataannya
istilah ini digunakan para duta sekadar ‗dalih‘ dalam melakukan aksinya. Mereka
inilah yang berfungsi sebagai ‗eksekutor‘.
Mintar
Makna sebenarnya mintar adalah ‗pergi berusaha‘ atau ‗pergi berdagang‘.
Jadi mintar diartikan sebagai proses berusahanya/beroperasinya seorang duta ke
daerah tujuan.
Sedekah Lepas
Sedekah lepas adalah ritual khusus yang dilakukan para duta yang akan
berangkat mintar. Ritual yang dilakukan paling sederhana dilakukan yaitu
biasanya mereka membawa beras putih (antara 1 sampai 5 canting) dan sebutir
telur ayam kampung (diutamakan ayam putih) kepada seorang dukun/tokoh
masyarakat untuk minta doa selamat. Sang dukun/tokoh masyarakat itu
biasanya membacakan doa selamat atau Yaasin serta memberi wejangan
lainnya. Misalnya hari apa
mereka harus berangkat,
jam berapa, serta
persyaratan lain yang harus dilakukan atau pantangan yang harus dihindari.
Kebanyakan para duta (calon duta) mengadakan rutual sedekah lepas dengan
mengundang kerabat keluarga, tetangga, kadang tokoh masyarakat untuk makan
bersama, yang intinya mohon bantuan doa keselamatan. Semacam Yasinan. Identik
dengan ngarasulkeun dalam masyarakat Sunda.
Duta dalam Berita
Kisah tentang seorang duta telah ditayangkan RCTI pada tahun 2006 dalam
acara Delik. Narasumber utamanya adalah Mat Kribo (mantan duta yang sudah pernah
ngeratak ke Singapura, Malaysia, Hongkong, Brunei, Jerman, Swiss, dan Prancis).
Narasumber lainnya adalah penulis (Purhendi) dan Mulyadi J. Amalik (Mahasiswa
Pascasarjana UGM yang menulis tesis tentang duta).
Berikut ini beberapa petikan tulisan dan judul berita yang dimuat
beberapa media massa lokal dan nasional.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
339
a. Noble Wood : nama/istilah beken dari Kota Kayuagung menurut interpol
(kepolisian internasional), yaitu kelompok kejahatan terorganisasi di
Indonesia (dari Kayuagung). Info ini menurut Inspektur Jendral Didi
Widayadi, Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan (dari Pusat
Informasi Kompas, dalam Kompas, Jumat, 27-12-002, hal 25). Pada masa
itu Kapolres OKI dijabat oleh Ajun Komisaris Besar Zulkarnain Adi
Negara.
b. Criminal Indon, Penjahat dari Indonesia (dalam Kompas, Jumat, 4 Mei
2004).
c. Depati H. Muh. Rawas: mantan Duta. Muchtar Agung Rana : mantan duta
tahun 1960-an, dai kondang, terpilih menjadi Anggota Dewan periode 1992.
PENGANGGURAN PANGKAL DUTA KAMPUNG DUTA YANG
AMAN TENTRAM ‗MAFIOSO‘ ALA KAYUAGUNG AGAMA DI
KAMPUNG DUTA (dalam Panji No.16 tahun III, 4 Agustus 1999)
d. DUTA KUALAT MERAMPOK DI NEGERI SENDIRI (dalam Republika,
Minggu, 17 November 1996 , hal. 3)
e. Kisah Penjambret di Negeri Jiran, Jakarta Hanya Tempat Belajar (dalam
Kompas, Jumat, 14 Mei 2004)
f. Di Kota ―Bandit‖ Preman Dianggap Duta (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 19
Maret 1995)
g. Duta Necis Kayu Agung (dalam Gatra, 21 Juli 2001)
h. TUJAH, DUTA, DAN TINDAK KRIMINAL DI SUMATERA SELATAN
(dalam Kompas, Jumat, 27 Desember 2002, hal. 25)
Duta dalam Tujuh Cerpen
a. Tradisi Men-duta
Muslim (guru bahasa Indonesia dan penulis sastra di Palembang)
menulis Refleksi Budaya Lokal dalam “Isri Sang Duta”. Ia menyimpulkan
bahwa cerita pendek ini sangat padat dengan budaya lokal Kayuagung (dalam
Pelangi Bahasa dan Sastra, 2012: 125). Berarti, budaya lokal atau warna lokal
ini tidak terlepas dari kebiasaan atau tradisi masyarakat. Ini menunjukkan
bahwa tradisi ini ada di masyarakat.
340
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Secara tidak langsung, keberadaan tradisi (kebiasaan) men-duta ini juga
diakui oleh salah satu pemuda setempat, Ebhie Febrian,
yang menulis
KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT (DUTA) ??? KAYUAGUNG KOTA DUTA
???
(dalam
http://kayuagung-oki.blogspot.com/2009/02/kayuagung-kota-duta-
penulis-ebhie.html
3 febr 2009. Dia menulis sebagai berikut.
Saya membaca beberapa artikel di sebuah situs blog tentang
DUTA, bagaimana di blog menyatakan KAYUAGUNG KOTA
PENJAHAT salah besar apabila mendefinisi KAYUAGUNG KOTA
PENJAHAT, sangat tidak efisien atau tidak sesuai dengan faktanya di
kayuagung, kurun waktu 5 tahun bagaimana minimnya tindak kriminal
dikayuagung, Toh !!!, faktanya komonitas masyarakat kayuagung bisa
tenang dan merasakan bisa hidup nyaman dikota kayuagung, bahkan
kayuagung semakin di penuhi warga datangan. Dalam 5 tahun terakhir
hampir tidak sama sekali terjadi tindak anarkis di kayuagung, seperti
kerusuhan, demo (terakhir masa pemilukada toh itu hal biasa ang
terjadi di indeonesia), tawuran siswa, hingga tidak ada perdebatan
masalah kenaikan minyak dan kurangnya pasokan minyak.... ada yang
mungkin membuat anda sedikit terkejut, hasil dari profesi ini yang
sukses pernah mencapai 2 milyar, bayangkan dan bisa anda simpulkan
itu bukan pencurian seorang amatir lagi,….
Tulisan terkini yang berkaitan dengan duta, khusus membahas cerpenperpen penulis dari berbagai sudut pandang, ditulis oleh Fitrida Septiani
(2014). Dia adalah penduduk asli (sejak lahir sampai dewasa) Kayuagung.
Skripsinya berjudul “Refleksi Budaya Kayuagung dalam Cerpen-cerpen Karya
Purhendi”.
Tradisi atau kebiasaan masyarakat ada yang menjadi duta di antaranya
diungkap penulis dalam petikan cerpen berikut.
Malam berikutnya di rumahku, sudah menunggu beberapa duta
senior yang siap mengangkatku sebagai pemimpin generasi baru
mereka. Biarlah hanya aku dan mereka saja yang tahu keberhasilan
segala skenario yang barusan kujalani saat berkunjung ke Singapura
dan Malaysia.
“Saya sudah tahu beberapa saudara kita yang dipenjara, juga
tempat kediaman saudara-saudara kita lainnya. Kita tinggal mengatur
waktu untuk membebaskan mereka dan melanjutkan mintar di masamasa mendatang.” ucapku mantap. Orang-orang yang hadir di
rumahku tersenyum gembira. Bahkan satu dua di antaranya
memelukku tanda bangga dan percaya terhadapku.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
341
“Kami tak salah memilihmu untuk menajdi senior kami di masa
mendatang.” tutur salah satu yang paling tua di antara mereka.
“Besok, kita akan mulai kembali sedekah lepas.” tambahnya sambil
memelukku erat sekali. (Sang Duta, Juni 2004)
Dan bagi masyarakat kami, terutama di kampungku, tidak aneh
pula bila kemudian para lelaki berniat menjadi seorang duta. Bahkan
tidak jarang orang tua atau keluarga mertua pun sangat mendukung.
Dan tidak aneh juga kalau ternyata justru ada yang menganjurkan
agar lelaki yang ada di keluarganya menjadi seorang duta. (Riak Arus
Sungai Komering, dalam Sriwijaya Post, 31 Juli 2005)
Lagi pula, sudah bukan rahasia lagi, kekayaan yang dimiliki
keluarga istriku, terutama ayah Ariani, konon awalnya bukan karena
hasil usaha biasa. Ayah Ariani dikenal sebagai duta yang sukses. Di
mataku, tak ada bedanya antara seorang duta dan seorang perampok,
meskipun mereka merampoknya di luar negeri. Tapi memang, seorang
duta di kampungku memiliki kedudukan terhormat dan disegani oleh
masyarakat. Sehingga wajar jika banyak kaum lelaki di kota kecilku,
baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum, memilih hidup
menjadi duta untuk mencari uang banyak dan cepat, meskipun
resikonya sudah jelas; penjara atau nyawa! (Seluang-Seluang Sungai
Komering, Juni 2005).
b. Tradisi Sedekah Lepas
Seperti telah disingguh di atas, ritual sedekah lepas merupakan suatu
‗kewajiban‘ bagi para duta atau calon duta. Ritual ini disingguh juga oleh
Fitrida dalam skripsinya.
Berikut nukilan dari cerpen penulis perihal sedekah lepas.
Lewat Isya, undangan mulai berdatangan. Angin malam tipis
sekali berhembus. Langit biru bening dihiasi kemerlip berjuta bintang
meskipun kurasakan tampak jelaga. Bulan sesabit tampak sendiri.
Di kampungkun, bukan hal aneh dan bukan rahasia jika seorang
duta yang akan berangkat mengadakan acara selamatan terlebih dahulu.
Yasinan dan tahlilan biasanya . Semua warga sekitar diundang.
Perangkat desa pun tak luput diminta hadir. Bahkan aparat keamanan
pun tidak akan merasa aneh jika mendapat undangan seperti itu. (Putri
Sang Duta, dalam antologi Nyanyian Terakhir (2003: 26), dalam Lintas
Timur nomor 27/TH.I/Januari 2004 dan dalam Sriwijaya Post, 8 Februari
2004)
342
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Talam yang berisi sebutir telur ayam, secanting beras, dan
semangkuk air dari sembilan desa dengan bunga tujuh macam itu,
sambil bersila, ia sodorkan ke hadapan Nyai. Perempuan delapan puluh
tahunan itu menerima talam dengan segala isinya begitu takzim.
“Sedekah lepas ini kuterima. Mudah-mudahan segala usahamu
nanti lancar dan berhasil. Tapi ingat, seperti orang-orang yang
terdahulu, kau harus hindari pantangan-pantangannya. Jangan mintar
di daerah sendiri, jangan nyakiti korban, nage-lah pada yang kelebihan.
Carilah usaha yang baik-baik, yang diridoi Tuhan.” Nyai tercenung
sejenak. “Ada yang lain dari jiwamu, hatimu lembut, tidak segarang
namamu.” (Sedekah Lepas, dalam Berita Pagi, 16 Juli 2006)
c. Berlawanan dengan Moral
Meskipun tradisi duta ini ada di masyarakat Kayuagung, tidak berarti
semua lapisan masyarakat melegitimasi keabsahan duta ini. Bagaimanapun
juga, keadaan duta tetaplah bertentangan dengan moral, baik dari sudut
pandang hukum agama maupun hukum masyarakat/negara.
Berikut perlawanan moral para tokoh yang penulis angkat dalam
cerpen.
“Ibu menyarankan agar aku jadi keratak. Sebenarnya sudah
lama ibu menganjurkan begitu.” aku hanya mendesah mendengarkan
ucapan suamiku yang terasa berat. Aku tahu, ada ketidakrelaan di lubuk
hatinya untuk menjadi seorang keratak atau lebih dikenal orang luar
sebagai duta. Aku tahu betul sikap ibuku, ibu mertua suamiku, orangnya
agak pemaksa. Kalau ada kehendaknya yang belum terpenuhi selalu saja
dibicarakan berulang atau diungkit-ungkit. (Riak Arus Sungai
Komering, dalam Sriwijaya Post, 31 Juli 2005)
Petikan lainnya sebagai berikut.
“Kalau kau besar nanti, kau mau jadi apa ?” kutanya adikku ala
kadarnya sambil mengusap-usap kepalanya. Sebenarnya iseng saja
kutanyakan hal itu, sekedar melepas gundah.
“Aku mau jadi duta seperti Mang Udin yang sudah punya rumah
bertingkat. Seperti Wak Haji Naning juga boleh, biar bisa naik haji”.
jawab adikku polos. Ada nada kebanggaan kutangkap. Aku hanya
mendesah. Kumaklumi, mungkin tak salah cita-citanya itu. Di
kampungku memang bukan hal aneh jika seseorang menjadi duta atau
bercita-cita menjadi duta. Lalu apa bedanya antara seorang duta
dengan seorang perampok?
“Jelas beda. Seorang duta tidak boleh menyakiti fisik korbannya,
apalagi sampai membunuh. Juga tidak boleh beroperasi di kampung
atau di tanah air sendiri. Itu namanya pengecut. Tapi seorang duta jelas
harus siap kehilangan nyawanya jika ia sedang mintar!” demikian
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
343
antara lain pernah kudengar dari Wak Sobri yang juga pernah menjadi
duta. Wak Sobri kini dikenal sebagai seorang mantan duta yang
disegani. Ia pun sering dimintai petuah oleh para duta yang akan
mintar.
Tapi, ah entah bagaimana semuanya tak masuk akal bagiku.
Bukankah dalam agama pun ditegaskan agar kita mencari rizki yang
baik dan halal? Setidaknya ini yang pernah kudengar dari guru ngajiku,
juga dari para kiai jika sedang berceramah. (Putri Sang Duta, dalam
antologi Nyanyian Terakhir (2003: 26), dalam Lintas Timur nomor
27/TH.I/Januari 2004 dan dalam Sriwijaya Post, 8 Februari 2004)
Menjadi duta? Aku bukannya takut. Terserah apa kata orang.
Bagiku, itu artinya membohongi keyakinanku sendiri. Aku tak peduli,
apakah hal itu dianggap biasa oleh masyarakat! (Setakatan, dalam
Monica edisi 314, Minggu IV Januari 2006)
Sebagai seorang lelaki, calon kepala keluarga, jelas aku sanagt
memikirkan kehidupan materi untuk istri dan anakku kelak. Bahkan jika
mungkin, untuk kedua orang tuaku, orang tua istriku, atau mungkin juga
saudara yang lain. Tapi mestikah aku menjadi seorang duta untuk
memenuhi semua itu?
Di mataku, tak ada bedanya antara seorang duta dan seorang
perampok, meskipun mereka merampoknya di luar negeri. (SeluangSeluang Sungai Komering, Juni 2005)
d. Pengkhianatan Kawan
Dunia kriminal, bagaimanapun solidaritasnya, tetaplah memungkinkan
terjadi pengkhianatan terhadap kawan seprofesi. Umumnya ada dua hal yang
menyebabkan demikian. Pertama, karena tidak tahan saat diinterogasi pihak
berwajib dan kedua, karena keserakahan, tergiur untuk mendapatkan lebih
banyak daari hasil tindak kejahatan.
Pengkhianatan terhadap kawan seprofesi dalam dunia duta penulis
angkat juga dalam petikan cerpen berikut.
Begitu kugeser koper ke hadapanku, secepat kilat tangan
kananku merogoh kecepek yang terselip di punggungku. Secepat kilat
pula langsung kutarik picunya, kuledakkan tepat di depan kening Mang
Kiyay. Mang Kiyay tersentak begitu saja, matanya melotot ke arahku
bagai tidak percaya dengan apa yang kulakukan. Namun mulutnya
terlambat untuk bersuara meskipun hanya sebuah jeritan. Kening yang
tadinya agak berkeringat itu kini telah bersimbah warna merah segar
344
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dengan hamburan putih isi otaknya. Sebagian darah itu menyembur ke
wajahku, ke kursi, dan tentu saja menutupi wajah dan bagian dadanya.
Aku mencoba berdiri walau agak gemetar. Di telapak tangan
kanan Mang Kiyay tampak sebuah pistol kecil masih tergenggam. Ia
pun sebenarnya tadi refleks, mungkin juga karena kaget, mengambil
sesuatu dari pinggangnya. Namun ternyata gerakkanku lebih cepat
darinya.
Yang teringat dalam pikiranku kini, suamiku dulu pernah
berpesan bahwa kalau ia tewas saat mintar karena kelalaiannya
berarti tak ada apa pun yang bisa dibawa. Tetapi jika ia tewas karena
dikhianati kawan, setidaknya ia akan menitipkan sapu tangan warna
merah jambu yang dulu ia bawa dari rumah. (Istri Sang Duta, dalam
Sriwijaya Post, 23 Mei 2004)
Informasi yang penulis dapat dari masyarakat, dalam petikan berikut
yang ditulis oleh Ebhie Febrian, sebenarnya sang duta saling bunuh ketika
pulang lampung, ketika diduga mendapatkan uang hasil ngeratak sekitar dua
milyar, konon ditambah emas batangan. Perihal dugaan adanya emas batangan
ini pulalah yang diduga sebagai pemicu sengketa (peristiwanya terjadi sebelum
tahun 2000).
….ada yang mungkin membuat anda sedikit terkejut, hasil dari
profesi ini yang sukses pernah mencapai 2 milyar, bayangkan dan bisa
anda simpulkan itu bukan pencurian seorang amatir lagi, …. (dalam
http://kayuagung-oki.blogspot.com/2009/02/kayuagung-kota-duta-penulisebhie.html
3 febr 2009, KAYUAGUNG KOTA PENJAHAT (DUTA) ???
KAYUAGUNG KOTA DUTA ???).
PENUTUP
Sepengetahuan penulis, munculnya kasus duta didominasi oleh masalah
ekonomi. Diakui atau tidak, ‗kebodohan‘ pun turut melatarinya juga. Inilah di
antaranya yang diangkat penulis sebagai sebuah ‗kontrol sosial‘.
Eri Agus Kurnianto (dalam Sumatera Ekspres, 27 Juni 2004) menulis
demikian.
Kita pun sangat setuju, bahkan dapat saya katakana semua
manusia yang mempunyai hati nurani akan setuju, jika masalah
kemiskinan, kesengsaraan, kebodohan, dan kritik-kritik sosial ayng
berfungsi sebagai pengendali dalam berlayarnya biduk ini, yang
menimpa saudara-saudara kita dapat ditampilkan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
345
Hanya saja penampilan permasalahan tersebut tidak hanya
terbatas melalui suatu karya sastra yang menggunakan media bahasa
tulis…. (―Persoalan Sosial dalam Sastra,‖ Sumatera Ekspres, 27 Juni
2004)
Hal lain yang masih berkaitan juga ditulis oleh Muslim (dalam
Kasmansyah, 2012: 125). Dia mengungkapkan demikian.
Anggota dari seorang duta (tentu juga seorang dutanya)
menyadari bahwa risiko perbuatan mereka tidak kecil: paling kecil
penjara dan yang sangat malang nasibnya akan ditembak mati. Hal itu
menyiratkan makna bahwa mereka sesungguhnya menyadari
perbuatan menjadi duta dan minter itu adalah perbuatan melawan
hokum dan melanggar hak azazi manusia lain serta
menjungkirbalikkan norma-norma lain. (Refleksi Budaya Lokal dalam
―Istri Sang Duta‖, dalam Pelangi Bahasa dan Sastra, 2012: 125)
Sebagai bagian dari realitas imajinatif atau imajinatif yang realistis,
atau bahkan sebagai bagian dari lokalitas dalam sastra, cerpen-cerpen tentang
duta ini tetaplah menarik untuk dikaji dan dijadikan bahan studi, baik yang
berkaitan dengan sastra, sosial, dan bahkan criminal. Meskipun demikian,
penulis tetap mengungkap hal ini sebagai bagian ‗sumber kekayaan ide‘ untuk
melahirkan sebuah karya sastra, khususnya cerita pendek.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Bahasa.
Anwar, M. Sohim dkk. 2003. Nyanyian Terakhir. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Fadillah, Rendi. 2008. ―Teknik Budidaya Penulis‖ (dalam Berita Pagi,
Minggu, 6 Januari 2008). Palembang: Berita Pagi.
Hermawan, Dian. 2007. ―Perkembangan Kesusastraan Terkini di Palembang‖
(dalam Sriwijaya Post, Minggu, 27 Mei 2007). Palembang: Sriwijaya
Post.
Kasmansyah dkk. 2012. Pelangi Bahasa dan Sastra. Palembang: Universitas
Sriwijaya.
Kurnianto, Ery Agus. 2004. ―Persoalan Sosial dalam Karya Sastra‖ (dalam
346
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Sumatera Ekspres, Minggu, 27 Juni 2004). Palembang: Sumatera
Ekspres.
Purhendi. 2004. ―Putri Sang Duta‖ (dalam Lintas Timur, No. 27/TH.I/Januari
2004). Kayuagung: Lintas Timur.
_______. 2004. ―Putri Sang Duta‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 6 Februari
2004) Palembang: Sriwijaya Post.
_______. 2004. ―Istri Sang Duta‖ (dalam Sriwijaya Post, Minggu, 23 Mei
2004). Palembang: Sriwijaya Post.
_______. 2005. ―Riak Arus Sungai Komering‖ (dalam Sriwijaya Post,
Minggu, 31 Juli 2005). Palembang: Sriwijaya Post.
_______. 2006. ―Setakatan‖ (dalam Monica, Minggu IV, Januari 2006).
Palembang: Monica.
_______. 2006. ―Sedekah Lepas‖ (dalam Berita Pagi, Minggu, 16 Juli 2006).
Palembang: Berita Pagi.
_______. 2008. First Love. Palembang: SSSI Palembang & Agupena Sumsel.
Septiani, Fitrida. 2014. ―Refleksi Budaya Kayuagung dalam Cerpen-cerpen
Karya Purhendi‖. Palembang: Universitas Sriwijaya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
347
PEMBENTUKAN KARAKTER MELALUI
PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA
Ratu Badriyah
Universitas Terbuka
Pos-el: [email protected] / [email protected]
ABSTRAK
Pembentukan Karakter melalui Pembelajaran Apresiasi Sastra. Upaya
mencerdaskan bangsa dapat diwujudkan jika secara bersama-sama, kita sebagai
bangsa melakukan tugas sesuai dengan bidang kita masing-masing. Guru adalah
profesi yang mengemban tugas utama dalam mencerdaskan bangsa. Melalui
pembelajaran yang disajikan guru dituntut melaksanakan pembelajaran sesuai dengan
UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu alternatif
pembelajaran yang dapat memenuhi tugas tersebut adalah pembelajaran sastra. Salah
satu tujuan umum pembelajaran bahasa dan sastra adalah mampu menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, wawasan kehidupan,
meningkatkan kemampuan berbahasa, menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual. Dengan pembelajaran apresiasi
yang benar diharapkan akan terbentuk kepribadian positif yang pada puncaknya
membentuk karakter siswa seperti diamanatkan undang-undang.
Kata kunci: pembelajaran, apresiasi sastra, pembentukan karakter.
PENDAHULUAN
Akibat globalisasi dunia kini semakin mencengangkan. Pesatnya
perkembangan teknologi
dan komunikasi
yang seolah berlari
telah
memelekkan mata kita untuk mengejar ketertinggalan di samping mewaspadai
dampak yang ditimbulkan. Kewaspadaan tersebut sangat penting untuk bahan
pijakan bagi kita sebagai antisipasi bahwa kemajuan dalam bidang apa pun
selalu mempunyai sisi positif dan negatif. Sisi positif dampak globalisasi
adalah derasnya penemuan dari berbagai disiplin ilmu yang dapat membuat
kita tidak dapat mengejarnya. Demikian pula keberhasilan yang dicapai bidang
teknologi informasi yang membuat hubungan antara sesama manusia di bumi
seolah tidak berjarak. Hasil teknologi tersebut dapat kita saksikan dalam
berbagai bidang. Begitu canggihnya peralatan yang dihasilkan manusia dalam
teknologi sehingga tidak ada lagi yang sulit.
348
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Deminkian pula sisi negatif
dampak globalisasi terus menjejali
pemandangan kita. Peristiwa demi peristiwa perilaku keburukan semakin
menggila. Berbagai cerita penyimpangan dalam berbagai bentuk telah
membuat kita terperangah. Kejahatan seksual yang diekspos dengan vulgar,
penyalahgunaan obat-obat terlarang yang semakin sulit ditentukan jenis dan
kelompoknya, pencurian yang sudah semakin menjadi-jadi dan mengerikan,
korupsi global para berwenang dari lingkup terkecil sampai tertinggi,
perkelahian
antarsekolah,
antargeng,
antarsuku,
antarkampung,
dan
antaranggota dewan, dan antarangkatan bersenjata yang memalukan mewarnai
negeri ini. Berita-berita yang mengerikan sudah menjadi konsumsi sehari-hari
masyarakat karena ditayangkan bertubi-tubi di berbagai media, menambah
beban pikiran semakin berat.
Dengan ragam tayangan tersebut,
pasti akan berdampak pada
pembentukan karakter anak-anak bangsa ini khususnya siswa yang masih
memerlukan figur-figur baik sebagai model. Bagaimana seorang siswa dapat
mempertahankan karakter baik jika yang dihadapi keseharian mereka adalah
perilaku- perilaku buruk. Untuk mengatasi hal demikian sangat diperlukan
jalan keluar yang cepat dan sistematis. Jalan tersebut tidak bisa lain kecuali
melalui bidang pendidikan. Pendidikan karakter harus menjadi prioritas utama
dalam pendidikan,
sejalan dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 3. Bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya
mencerdaskan bangsa
melalui pembentukan karakter tersebut dapat
diwujudkan jika kita bersama-sama melakukannya sesuai bidang masingmasing.
Dosen atau guru tidak dapat lagi berdiam diri, tetapi harus segera
bergegas dan bertindak sebelum segalanya terlambat. Mari kita bersama-sama
mewujudkan upaya pencerdasan tersebut. Gurulah pengemban tugas utama
dalam pencerdasan bangsa melalui pembelajaran yang disajikannya. Salah satu
alternatif
pembelajaran yang dapat memenuhi tugas tersebut adalah
pembelajaran apresiasi sastra.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
349
Pembelajaran Apresiasi Sastra
Apresiasi sastra merupakan kegiatan menggeluti karya sastra dalam
rangka memahami, mengahayati dan mengambil nilai positif yang terkandung
dalam karya sastra untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Apresiasi
sastra juga dapat diartikan sebagai kegiatan mengakrabi karya sastra secara
sungguh-sungguh
sehingga
terjadi
proses
pengenalan,
pemahaman,
penghayatan, penikmatan, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Pengenalan terhadap karya sastra secara mendalam dapat diperoleh melalui
kegiatan membaca, mendengar, dan menonton karya sastra dengan sungguhsungguh.
Zaidan (2007) menjelaskan bahwa, apresiasi sastra pada hakikatnya sikap
menghargai sastra secara proporsional (pada tempatnya). Tidak hanya itu,
karya sastra berisi gambaran tentang kehidupan (Saini, 1991: 25). Karya sastra
diciptakan melalui pengamatan dan penganalisisan yang panjang tentang
masalah-masalah kehidupan. Oleh karena itu di dalam karya sastra terkandung
makna berupa pelajaran bagi pembaca/mahasiswa tentang kehidupan. Dalam
hal ini Zaidan (2007) menambahkan, ―Apresiasi sastra mengakrabkan kita
dengan
kehidupan‖.
Mengakrabkan
kita
dengan
kehidupan
berarti
mendekatkan kita dengan berbagai realitas (kenyataan) yang terjadi dalam
kehidupan. Akrab dengan realitas kehidupan itu sudah dengan sendirinya,
sebab kita ada dalam kenyataan kehidupan itu. Keakraban yang terjadi atau
terbentuk dengan sendirinya itu seringkali tidak disadari. Hal inilah yang
membuat manusia seringkali lupa atau tidak menyadari apakah kita berada
dalam koridor yang benar atau justru berada pada tempat yang salah. Hal
seperti ini harus selalu menjadi perhatian bagi orang dewasa terutama yang
berprofesi sebagai guru. Guru tidak hanya memiliki kewajiban terhadap
dirinya tetapi juga kepada para siswanya. Pembelajaran apresiasi sastra
merupakan satu dari sekian banyak media yang dapat digunakan untuk
menanamkan nilai-nilai positif kepada siswa. Menurut Saini (1991: 25) sastra
berupaya menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru,
dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan
bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan.
350
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Karya sastra dan apresiasi memperkuat keyakinan akan pentingnya
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah. Hal ini diutarakan Endraswara, (2005:
53),
―Pengajaran sastra melibatkan pendidikan kejiwaan sekaligus
kemanusiaan. Melalui pengajaran sastra, sesungguhnya kita telah dibawa ke
tingkat manusia terdidik, yaitu manusia yang mampu berpikir tentang hidup,
pandai memahami rahasia hidup, menghayati kehidupan dengan arif, dan
mempertajam pengalaman-pengalaman baru. Melalui pengajaran sastra pula,
peserta didik akan mampu memahami diri secara idividu dan kelompok,
hingga akan menjadi manusia utuh, bermental baik, dan humanis‖.
Untuk sampai pada kemampuan apresiatif, seseorang harus melalui
langkah-langkah berikut ini.
a. Keterlibatan jiwa. Melalui perasaan empati dan simpati terhadap karya
sastra, pembaca akan mampu menginternalisasi tokoh, peristiwa, dan
karakter sesuai dengan pengalaman pribadinya.
b. Penghyatan sejati terhadap karya sastra dengan memasuki cipta sastra
secara intens, menikmatinya dengan kedalaman jiwa dan imajinasi.
c. Pengimplemantasian pengalaman yang ada dalam karya sastra dengan
kehidupan nyata, sehingga sebuah karya sastra menjadi bermakna dan
kontekstual (Endraswara, 25: 78-79)
Penjelasan-penjelasan tersebut menyiratkan bahwa pengajaran apresiasi
sastra adalah sebuah pengajaran yang mengandung makna sangat dalam, bukan
pengajaran yang bertujuan sekadar siswa mengenal sastra dan karya sastra.
Melalui karya sastra yang dipelajarinya, siswa harus dapat menarik pesan yang
dikandung dalam karya tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari.
Nilai-nilai Positif dalam Pengajaran Apresiasi Sastra
Karya
sastra
adalah
hasil
kegiatan
kreatif
manusia
dalam
mengungkapkan penghayatan dengan menggunakan bahasa. Karya sastra
berisi gambaran kehidupan seseorang atau sekelompok orang/masyarakat
dengan segala kondisi yang melibatkan emosi, pikiran, dan wawasannya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
351
Sikap positif artinya perilaku baik yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma kehidupan yang berlaku dalam masyarakat. Sifat-sifat positif
pada diri seseorang/siswa tercermin dalam perilakunya. Sifat atau nilai positif
dalam kehidupan seseorang adalah sebagai berikut.
 Nilai positif yang erat dengan diri sendiri: disiplin, suka bekerja keras, ulet,
serta jujur.
 Nilai positif yang berkaitan dengan orang di luar diri: setia kawan,
kekeluargaan, rela berkorban, selalu menyelesaikan tanggung-jawab dengan
baik, penolong, berani membela kebenaran, serta memiliki toleransi yang
tinggi kepada orang lain.
 Nilai positif yang berkaitan dengan materi: hemat, gemar menabung, dan
hidup sederhana.
 Nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan: bertakwa kepada Tuhan,
selalu mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang
oleh-Nya. (school-press.com/2009).
Masih dalam hal nilai-nilai positif, Ismail berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan nilai-nilai positif adalah keimanan, kejujuran, ketertiban,
pengendalian diri, pengorbanan, demokrasi, kehausan ilmu, kearifan kepada
manusia dan kehidupan, terasah sensitivitas estetiknya, terpupuk empatinya,
berakhlak, mempersiapkan diri menghadapi masa depan. Baedowi dalam
kompas.com, membenarkan rincian Ismail dengan menyatakan bahwa melalui
apresiasi sastra siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal,
kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Bahkan Ismail
dalam keterangan yang sama menandaskan bahwa pengajaran sastra mestilah
menyemaikan nilai-nilai yang positif pada batin siswa. Nilai-nilai positif ini
akan membekali siswa dalam menghadapi kenyataan hidup masa kini.
Hubungan antara karya sastra dengan budi pekerti serta perilaku
manusia memang sangat erat. Karya sastra bisa membuat seseorang menjadi
lebih stabil dan mampu mengendalikan emosinya. Dengan banyak membaca
karya sastra, mempelajari kompleksitas hidup yang disajikan dalam cerita
sastra, seseorang biasanya tidak akan cepat marah karena karya sastra
352
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
menggugah pembacanya untuk berpikir dan bertindak secara positif. Tindakan
positif itu akan membentuk nilai-nilai positif yang berkaitan dengan empat hal.
Keempat hal tersebut pertama, berkaitan dengan diri sendiri yaitu:
disiplin; suka bekerja keras; ulet dan jujur. Kedua, berkaitan dengan orang di
luar
diri
yaitu:
setia
kawan;
kekeluargaan;
rela
berkorban;
selalu
menyelesaikan tanggung jawab dengan baik; penolong; berani membela
kebenaran, serta memiliki toleransi yang tinggi kepada orang lain. Ketiga, nilai
positif yang berkaitan dengan materi yaitu: hemat; gemar menabung; dan
hidup sederhana. Keempat, nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan
yaitu: bertaqwa kepada Tuhan; selalu mengerjakan perintah-Nya dan
meninggalkan segala yang dilarang-Nya.
Keempat nilai positif pada karya sastra tersebut merupakan nilai-nilai
karakter yang menjadi pusat tujuan pembentukan karakter siswa. Dalam nilainilai pendidikan karakter terdapat delapan belas nilai-nilai atau sifat yang
seharusnya ada pada seseorang yang karakternya baik yaitu: religius, jujur,
toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat
kebangsaan,
cinta
tanah
air,
menghargai
prestasi,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan,
peduli sosial, tanggung jawab. Kedelapan belas nilai tersebut terdapat pada
nilai-nilai positif pada karya sastra seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Salah satu tujuan umum pembelajaran bahasa dan sastra adalah agar siswa
mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan
kepribadian, wawasan kehidupan, meningkatkan kemampuan berbahasa,
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khasanah budaya dan
intelektual. Dengan pembelajaran apresiasi yang benar akan terbentuk
kepribadian positif yang pada puncaknya membentuk karakter siswa seperti
diamanatkan undang-undang tersebut.
Syarief
menyatakan bahwa
Oebaidillah
(http://akhmadsudrajat.wordpress.com)
karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
353
krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilainilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.
PENUTUP
Pendidikan karakter di sekolah memerlukan keterlibatan semua
komponen (stakeholders) termasuk komponen-komponen pendidikan itu
sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas
hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Menurut mantan Menteri Pendidikan Moh. Nuh, pendidikan karakter
membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan. Kata kuncinya
pada kata
membangun budi pekerti dan sopan santun dalam kehidupan.
Bahkan mantan Menteri Malik Fajar menegaskan tentang perbedaan
pendidikan karakter dengan pendidikan keahlian. Pendidikan karakter,
paparnya, lebih merupakan upaya menanamkan rasa kebangsaan dan kesadaran
dalam mencapai tujuan hidup berbangsa yang berperadaban. Ia mengingatkan
pendidikan karakter secara formal di sekolah menempatkan posisi dan peran
guru sebagai figur dan bukan sekedar penyampai materi pelajaran. Lebih dari
itu, guru merupakan pembimbing sehingga terjalin komunikasi yang dapat
melahirkan keterpaduan karakter, watak, akhlak dan budi pekerti dengan
materi pelajarannya. "Jadi posisi dan peran guru tidak cukup hanya berbekal
profesional juga didukung kekuatan moral," tegasnya.
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap
mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilainilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan
dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilainilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
354
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari
di masyarakat. Jadi jelaslah bahwa sastra merupakan alternatif pembentukan
karakter, karena pada sastra terdapat nilai-nilai positif yang setara dengan
nilai-nilai pendidikan karakter.
Mari kita resapi makna di balik puisi karya Hartono Andangjaya berikut!
Dari Seorang Guru kepada Murid-muridnya
Apakah yang kupunya, anak-anakku
Selain buku-buku dan sedikit ilmu
Sumber pengabdian kepadamu
Kalau di hari minggu engkau datang ke rumahku
Aku takut , anak-anakku
Kursi-kursi tua yang di sana
Dan meja tulis sederhana
Dan jendela-jendela yang tak pernah diganti kainnya
Semua padamu akan bercerita
Tentang hidupku di rumah tangga
Ah, tentang ini tak pernah aku bercerita
Depan kelas, sedang menatap wajah-wajahmu remaja
Horizon yang selalu biru bagiku
Karena kutahu, anak-anakku
Engkau terlalu muda
Engkau terlalu bersih dari dosa
Untuk mengenal ini semua
DAFTAR PUSTAKA
Dewi Andriyani .2007. Kerangka Dasar Kurikulum 2004 dalam
Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Bahasa Indonesia.
Jakarta : UT
Endraswara, Suwardi. 2005. Metode & Teori Pengajaran Sastra. Yogyakarta :
Buana Pustaka
http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com. Diunduh Senin 26/9/2011 jam 0913.
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php? Diunduh Agustus 2011
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2010/08/20/pendidikan-karakter-di-smp/
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
355
http://www.pendidikankarakter.com/7-hari-membentuk-karakter-anak/
http://www.pendidikankarakter.com/peran-pendidikan-karakter-dalam-melengkapikepribadian/
Ismail. Taufik dkk (ed). 2001. Dari Fansuri ke Handayani. Horizon Kaki
Langit. Jakarta : The Ford Foundation:
Kompas. 2008. Perlu Paradigma Baru dalam Pengajaran Sastra. Diunduh:
23 Februari 2009 dari
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/17/20103551/
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah
Pertama Jakarta.
Mulyana. Yoyo. 2000. Keefektifan Model Mengajar Respons pembaca dalam
Pengajaran Pengkajian Puisi; Studi Eksperimen pada Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS IKIP
Bandung, Tahun Ajaran 1998/1999. Disertasi. Bandung:PPSUPI.
N.N. 2009. Pengertian Sikap Positif dan Sikap Negatif. http://sman15.schoolpresss.com/2009/3/1/ Diambil 22 Februari 2009
Rahmanto B. 1988. ―Cerkan dan Drama: Jakarta : Universitas Terbuka
Rosenblatt, Louise M. 1991. “Literature – S.O.S.” Language Arts. Vol. 8
October.
Rudy, Rita I. 2002. ―Pengembangan Kualitas Pembelajaran Sastra sebagai
Seni Bahasa dalam menggali Nilai-nilai Budaya di Perguruan Tinggi.
Makalah. Dipresentasikan dalam Forum Sastra dan Budaya II di UPI
Bandung, 24-26 Oktober 2002.
Rumini, Mien. 2007. Pengajaran Apresiasi Sastra: BMP PBIN 4219. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Santosa Puji, dkk. 2006. Materi Pembelajaran bahasa Indonesia S.D. Jakarta:
Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1991. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta:
Gramedia
Zaidan, Abdul,Rozak. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka
Zaidan, Abdul Rozak. 2007. Apresiasi Sastra. Lampung: Radar
Wibowo, Agus. 2007. Apresiasi Sastra dan Problem Bahasa. Dari:
http://agus82.wordpress.com/2008/10/08/apresiasi Diuduhl 21 Februari.2010.
356
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
BERGURU PADA ALAM: TELAAH METAFORIS
Resti Nurfaidah
Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat
Jalan Sumbawa Nomor 11 Bandung 40113
Pos-el: [email protected] dan [email protected]
ABSTRAK
Berguru pada Alam: Telaah Metaforis. Alam dan manusia ibarat dua sisi mata
uang. Saling membutuhkan dan saling memberikan manfaat. Namun, perubahan
zaman menunjukkan bahwa manusia cenderung mengabaikan kepentingan dan
kebutuhan alam demi menjaga kelestariannya. Banyak sumber daya alam yang rusak,
disebabkan perilaku manusia. Dalam kondisi tersebut, sebagaian kalangan menyadari
perlunya membumikan kembali wawasan cinta lingkungan di dalam kehidupan
manusia. Kerusakan tersebut tidak perlu terjadi jika manusia sejak kecil diasuh
dengan pola pendidikan berbasis cinta lingkungan. Shimada mengalami hal ini di
bawah asuhan orang terdekat. Pendidikan tersebut berbuahkan kesuksesan mereka
ketika mencapai usia dewasa. Kajian ini dilakukan berlandaskan pada teori metafora
konseptual Lakoff dan Johnson. Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan berbasis
lingkungan dimetaforakan melalui aktivitas dan pandangan hidup orang yang
dianggap sebagai guru bagi Shimada, yaitu nenek.
Kata kunci: manusia, alam, hubungan, pendidikan
PENDAHULUAN
Dalam KBBI online, alam bermakna segala sesuatu yang termasuk dalam
satu lingkungan (golongan dan sebagainya) dan dianggap sebagai satu
keutuhan. Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam. Dari alam,
manusia dapat mempelajari hakikat kehidupan. Manusia dapat mengamati
karakter makhluk lain yang ia temukan. Manusia juga dapat mengamati sifatsifat benda lain seperti petir, air, dan angin. Benda-benda buatan manusia juga
mencerminkan karakter manusia itu sendiri, seperti kereta api atau roda
kendaraan. Alam dapat diibaratkan sebagai sekolah pertama manusia. Alam
bersahabat dengan manusia dan memiliki hubungan timbal balik. Alam
memerlukan pengertian yang dalam dan kasih sayang manusia. Oleh karena
itu, alam bersedia menjadi penyedia segala kebutuhan manusia. Namun,
seiring perkembangan zaman, teknologi, dan kehidupan sosial, perangai
manusia pun berubah. Kepentingan hidup manusia seakan menjadi tujuan
utama yang terkadang tidak disertai dengan kepedulian pada alam. Dapat
dicontohkan bahwa beberapa pemandangan di kawasan Jawa Barat dan DKI.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
357
Beberapa kampung yang semula merupakan kantung air, kini dilanda
kekeringan. Masyarakat sekitar dilanda kekurangan air bersih. Jika dilihat, di
kawasan tersebut telah terjadi perubahan lingkungan alam. Beberapa bukit
kecil (Sunda: hunyur) yang dianggap sebagai pasak bumi --berfungsi sebagai
penyeimbang kelestarian alam-- diratakan. Tanah, bebatuan, dan pasir digali
dari bukit itu dan dijual untuk beberapa proyek pembangunan. Beberapa
wilayah pantai di DKI bagian utara juga tidak luput dari perlakuan yang tidak
adil. Beberapa kawasan rawa direklamasi dan diratakan untuk membangun
kawasan hunian elit. Akibatnya, DKI kekurangan lahan serapan air. Sungaisungai di kawasan Bandung Selatan kerapkali melimpah debitnya dan
mengakibatkan banjir yang sangat parah. Pembuangan sampah seakan menjadi
agenda wajib bagi penduduk yang tinggal di kawasan bantaran sungai. Sungai
menjadi musuh manusia dan dianggap sebagai sumber penyakit. Asap-asap
industri semakin lama semakin menipiskan serta melubangi lapisan ozon.
Iklim bumi pun berubah dengan drastis, di antaranya naiknya permukaan air di
muka bumi karena mencairnya bongkahan es di wilayah kutub. Rusaknya alam
menimbulkan bencana, seperti banjir, longsor, atau isi perut bumi yang tidak
terkendali.
Setelah menyadari, beberapa kalangan menaruh perhatian pada
revitalisasi kondisi alam. Berbagai organisasi, baik lokal maupun universal,
menyusun dan melaksanakan program tersebut dengan berbagai cara. Pada
beberapa dekade, organisasi PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), dalam
laman http://tp-pkkpusat.org/, (diakses 16 November 2014), melaksanakan
beberapa program cinta lingkungan, di antaranya, pengolahan sampah yang
menghasilkan beberapa produk multiguna, misalnya, pembuatan tas dari
kemasan produk industri dan program tanaman dalam pot (tambulapot) untuk
memanfaatkan lahan terbatas. Selain itu, beberapa daerah menerapkan
pembuatan bioporii. Dalam lingkup global, Kelompok Kerja III PKK PUSAT
(POKJA III) mencantumkan poin ke-19, yaitu menjaga kelestarian hutan.
Dalam skala kecil, banyak pula individu yang berinisiatif melakukan programprogram berwawasan kelestarian lingkungan, seperti upaya pengembangan
jenis tanaman sorgum oleh Uskup Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, Pr. di
358
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
wilayah NTT (dalam http://kupang.tribunnews.com, diakses 16 November 2014).
Selain Uskup tersebut, masih ada nama lain penggiat budidaya tanaman
sorgum di kawasan yang sama, yaitu Maria Loretta. Berkat usahanya tersebut,
Maria terpilih sebagai salah satu kontestan dalam ajang pemilihan Perempuan
Inspiratif Nova 2014 (dalam Nova edisi 1392/XXVII, 2014: 56). Upaya
pemanfaatan limabah tanaman pisang juga dilakukan oleh kontestan lain dalam
ajang yang sama, yaitu Ratna Prawira dari Sleman, Yogyakarta (dalam Nova
edisi 1392/XXVII, 2014: 57). Di tangan perempuan tersebut, seluruh bagian
pohon pisang dapat dimanfaatkan dan menghasilkan berbagai produk baru.
Contoh lain dapat kita hargai pembangunan saluran air di kawasan Pasir Kadu,
Gunung Galunggung, Tasikmalaya, yang dilakukan oleh Mak Eroh, seorang
peraih hadiah Kalpataru (dalam http://www.koalisiperempuan.or.id, diakses 16
November 2014). Beberapa perusahaan besar juga mencanangkan program
kelestarian lingkungan tersendiri, antara lain, PT Garuda Indonesia yang
menanam sekitar 18.600 batang bibit tanaman bakau di kawasan Pantai Indah
Kapuk (dalam http://www.tribunnews.com, diakses 16 November 2014) dan PT
Hino Indonesia--bekerja sama dengan Kementrian Lingkungan Hidup dan
Solidaritas Gabungan Istri Kabinet Indonesia Bersatu--melaksanakan program
yang sama dengan jumlah bibit yang ditanam di kawasan pesisir Tanjung
Pasir,
Teluk
Naga,
Tangerang,
Banten,
mencapai
33.000
batang
(http://www.dealerhinojakarta.com, diakses 16 November 2014).
Berbagai program dilakukan demi menyelamatkan planet bumi
beserta isinya. Jika alam di permukaan bumi rusak, tentu saja, kehidupan
manusia pun akan punah. Untuk itu diperlukan kesadaran tentang pelestarian
alam sejak manusia masih kecil. Melalui teknik pendekatan dan pendidikan
cinta lingkungan yang dapat dimengerti oleh anak, kelestarian bumi pun dapat
berlangsung dalam keseharian. Ketika kehidupan bergaya individualisme
semakin menjadi di kalangan penduduk modern, kesadaran akan kelestarian
alam
dan
pendidikan
berbasis
linkungan
pun
dicanangkan.
Tidak
mengherankan jika kini tumbuh berbagai kelompok pecinta tanaman atau
hewan tertentu, kelompok revitalisasi lahan tandus, bahkan pendirian sekolah
alam di beberapa kawasan di Indonesia. Selain melalui pendirian berbagai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
359
organisasi, komunitas, dan lembaga tersebut, peranan keluarga dalam
pendidikan cinta lingkungan pun tidak dapat diabaikan. Bahkan, pendidikan
cinta lingkungan di kalangan keluarga akan lebih melekat dalam diri seseorang
hingga ia dewasa. Hal itu dapat ditemukan dalam kedua korpus berikut, yaitu
dua buku memoar yang berjudul Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari
Saga) dan Emak. Kedua memoar tersebut merupakan catatan atas pengalaman
kedua penulisnya, berupa pengalaman hidup yang sangat membekas dan
menjadi akar kesuksesan kedua penulis itu. Dalam kajian ini, hal-hal yang
berkaitan dengan pendidikan alam dan makna kehidupan yang dapat dipetik
dari alam diungkapkan, diklasifikasi, ditelaah, dan disimpulkan. Eksplorasi
akan pendidikan berbasis cinta lingkungan tersebut dilakukan dengan konsep
metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson. Lakoff (1993) mendefinisikan
metafora sebagai sebuah ekspresi linguistik yang tidak lazim atau puitis berupa
satu atau beberapa dengan sebuah konsep di luar makna konvensional untuk
mengekspresikan konsep serupa (hlm. 202)ii.
Berawal dari pandangan
pendapat Aristotle tentang konsep abstrak yang terdiri atas perbandingan
antara konsep konkret dan konsep abstrak, Lakoff dan Johnson, dikutip dalam
Danesi dan Person (1999, hlm. 166), mendapati bahwa konsep abstrak
dibentuk secara sistematis oleh konsep konkret melalui aspek metaforis.
Konsep tersebut kemudian disebut Lakoff dan Johnson (2003) sebagai
metafora konseptual dengan asumsi bahwa metafora tersebar dalam kehidupan
sehari-hari, bukan hanya dalam aspek kebahasaan (verbal), melainkan pula
dalam aspek lain--nonverbal--yang melibatkan cara pikiran dan tindakan (hlm.
4)iii. Lakoff dan Johnson menetapkan dua domain dalam metafora, yaitu
domain sasaran (target domain) dan domain sumber (source domain). Dalam
contoh kalimat LOVE IS JOURNEY atau ARGUMENT IS WAR, kata LOVE
dan ARGUMENT adalah domain sasaran sedangkan kata JOURNEY dan
WAR merupakan domain sumber atau lexical field. Domain sumber dapat
dikembangkan dengan konsep-konsep lain yang sejajar, misalnya, pada contoh
LOVE IS JOURNEY, Lakoff memberikan gambaran bahwa cinta itu bukan hal
yang mudah. Banyak hal yang terjadi dalam dunia percintaan yang dapat
diungkapkan dengan kosakata sebagai berikut, antara lain, pendekatan,
360
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pertautan, permusuhan, perseteruan, penyimpangan, persimpangan, atau
perpisahan. Komplikasi dalam dunia percintaan digambarkan Lakoff dan
Johnson sebagai JOURNEY.
Johnson dan Lakoff membagi metafora menjadi tiga bagian berikut,
yaitu,
(1) metafora struktural, yaitu perbandingan antara
sebuah konsep dengan
konsep yang lain yang menitikberatkan pada pembagian dua ranah, yaitu ranah
sumber dan ranah sasaran, serta memiliki korelasi sistematis pada pengalaman
sehari-hari:
(2) metafora orientasional, yaitu metafora yang berorientasi pada ruang
dengan berdasarkan pada manusia sebagai pemilik tubuh sementara tubuh
merupakan pengisi ruang. Sebagai pengisi ruang, manusia mengenal konsep
atas-bawah, kiri-kanan, dan depan-belakang. Lakoff dan Johnson memberikan
contoh HAPPY IS UP, SAD IS DOWN, HELATH IS UP, serta WEAK IS
DOWN. Dalam budaya kita dikenal istilah NAIK PITAM, NAIK DARAH,
TURUN TANAH, atau TURUN RANJANG; dan
(3) metafora ontologis, yaitu metafora yang melibatkan kejadian, emosi, dan
ide sebagai entitas dan substansi. Johnson dan Lakoff memberikan contoh
berikut.
INFLATION IS AN ENTITY.
Inflation is lowering our standard of living
(Inflasi merendahkan standar kehidupan kita)
Inflation makes me sick
(Inflasi membuat saya muak)
PEMBAHASAN
Pengalaman edukasional berbasis alam diawali dari peristiwa perpisahan
antara Shimada kecil dan ibunya. Ketika ayah Shimada meninggal, sang ibu
memutuskan untuk membiayai kedua anaknya dengan membuka bar di rumah
mereka. Ibu dan kedua anaknya tersebut tinggal di rumah sewaan. Semakin
lama, sang ibu menyadari bahwa lingkungan di sekitar bar bukan merupakan
lingkungan yang baik bagi seorang anak. Sang ibu akhirnya memutuskan untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
361
menitipkan Shimada kecil kepada ibunya yang tinggal di sebuah desa terpencil
bernama Saga. Perpisahan pun terjadi antara Shimada dan sang ibu. Perpisahan
itu meninggalkan jejak traumatis sampai Shimada dewasa. Shimada tidak
pernah dipersiapkan untuk berpisah dengan sang ibu sebelumnya. Tiba-tiba ia
dipaksa untuk tinggal dengan sang nenek yang hanya bertemu dengannya saat
masih kecil. Selama tinggal bersama neneknya itulah, Shimada banyak
mendapatkan pelajaran yang sangat berharga. Bahkan, hal itu membekas
hingga ia dewasa..
Nasi
Pelajaran pertama yang ia dapatkan dari sang nenek adalah menanak
nasi. Shimada tidak pernah mengerti akan hal itu. Hatinya dipenuhi pertanyaan
mengapa ia yang harus melakukan hal itu.
Berangsur-angsur, di dalam kepalaku pun muncul pertanyaan-pertanyaan,
―Kenapa aku harus melakukan ini? Apa maksudnya aku yang harus menanak
nasi?‖ dan berbagai pertanyaan lain. Sementara itu, di sebelahku Nenek sibuk
meneriakkan instruksi-instruksi.
―Jangan terlalu keras meniup.‖
―Kalau jaraknya terlalu jauh, apinya bakal mati.‖
Saat meniup-niup dengan diiringi perinta-perintah dari Nenek, entah bagaimana
akhirnya aku malah jadi bersungguh-sungguh berusaha menyalakan api itu.
Bila aku lelah dan meniup dengan napas lemah, api akan mengecil dan
mengancam mati. Kalau sudah begitu, aku akan buru-buru meniup dengan keras
lagi. Tapi mesti hati-hati juga, karena jika meniupnya terlalu kencang, percikan
api akan beterbangan, asap akan membesar, dan aku akan merasa kepanasan.
(Shimada, 2011: 35--36)
Menanak nasi merupakan ajaran pertama sang nenek kepada Shimada
kecil. Menanak nasi memerlukan kehati-hatian. Jika lengah, nasi yang ditanak
dapat menjadi terlalu lembek atau terlalu keras. Dalam aktivitas tersebut,
manusia dituntut untuk mengetahui komposisi seimbang antara air dan beras,
atau teknik memasak yang benar. Aktivitas menanak nasi juga berkaitan
dengan aktivitas lain yang tidak kalah penting, yaitu menyalakan api.
Menyalakan api juga memerlukan teknik yang tepat. Jika nafas yang ditiupkan
ke dalam buluh bambu terlalu lemah, api dalam tungku akan mengecil atau
padam. Namun, jika tiupan itu terlalu kuat, api dalam tungku akan membesar
dan bukan tidak mungkin jika si peniup akan merasa kepanasan.
362
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dalam teori Lakoff dan Johnson, dari data tadi terdapat metafora
COOKING RICE IS STRUGGLE dan LIGHTING A FIRE IS STRUGGLE.
COOKING RICE dan LIGHTING A FIRE merupakan domain sasaran,
sedangkan STRUGGLE merupakan domain sumber. STRUGGLE dapat
dikembangkan dengan berbagai bukti atau pernyataan di dalam data yang
menyatakan bahwa si pelaku harus melakukan STRUGGLE itu dengan
sungguh-sungguh. Dalam aktivitas COOKING RICE, STRUGGLE dapat
dikembangkan konsep menjaga suhu api yang tepat. Shimada kecil belum
dapat memenuhi hal itu hingga mendapatkan hasil berikut.
Akan tetapi, entah apa yang salah, nasi buatanku keras sekali. Bagian
atasnya memang keras seperti tidak matang, namun anehnya bagian
dasarnya bahkan ada yang gosong. (Shimada, 2011: 37)
Sementara itu, dalam aktivitas LIGHTING A FIRE, STRUGGLE dapat
dikaitkan dengan unsur ketepatan, kehati-hatian, dan ketahanan, dalam
beberapa fakta berikut, yaitu jarak tiupan, kekuatan tiupan, dan kekuatan nafas.
Generasi Lemah
Bersama neneknya, Shimada memupuk pemahaman yang tinggi
terhadap perubahan perilaku manusia. Pelajaran tentang perilaku tersebut
disadari Shimada sebagai berikut.
Tak ada uang, maka tak bahagia. Menurutku, semua orang kini kelewat terikat
dengan perasaan seperti itu.
Kemudian karena orang dewasa berpikir demikian, maka anak-anak pun tak ayal
ikut dibesarkan dalam keadaan ini.
Karena tidak diajak ke Disneyland, karena tidak dibelikan baju tren terkini, anakanak tidak mau menghormati orangtuanya.
Karena nilai rapor buruk, karena tidak berhasil masuk sekolah favorit, hanya
masa depan suram yang terlihat.
Bila hanya anak-anak seperti ini yang kita besarkan, maka setiap hari kian tidak
menyenangkan hati, tanpa ada harapan untuk masa depan, dan kenakalan remaja
pun makin meningkat. Padahal tanpa uang pun, cukup dengan perasaan tenang,
kita dapat hidup dengan ceria. (Shimada, 2011: 9--10)
Demikian pandangan Shimada terhadap generasi Jepang saat ini
khususnya dan generasi dunia umumnya. Generasi saat ini cenderung
hedonistis dan individualistis. Jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
363
atau meraih standar tertentu, generasi muda cenderung mengalami depresi dan
lemah. Mereka hanya mementingkan kepentingan dan keinginan pribadi tanpa
memedulikan kondisi dan situasi yang dihadapi orang lain, termasuk kedua
orangtuanya. Kehidupan berbasis materi menjadi tujuan utama, sementara
kehidupan ruhaniah cenderung terabaikan. Dalam teori Lakoff dan Johnson,
kondisi tersebut tepat dipadankan dengan konsep pengisi ruang WEAK IS
DOWN. Kelemahan generasi muda dianggap sebagai hal yang negatif.
Kelemahan generasi muda merupakan potret kemunduran dalam sebuah
negeri. Untuk hal-hal yang bernuansa negatif dianggap sebagai sesuatu yang
menurun atau DOWN. Jumlah generasi tersebut cukup banyak sehingga
lingkungan dirasakan semakin tidak menyenangkan terutama dari perspektif
generasi sebelumnya.
Waktu
Pada kesempatan lain, pelajaran ekonomi praktis diterima Shimada
adalah sebagai berikut.
Bersamaan dengan setiap langkahnya, aku dapat mendengar suara-suara yang
mencurigakan. Klang klang klang klang ...
Bila dilihat dengan cermat, sepertinya Nenek mengikat pinggangnya dengan
seutas tali dan menyeret-nyeret sesuatu di tanah dengan tali tersebut.
―Aku pulang.‖
Masih diiringi bunyi klang klang, Nenek berkata begitu dengan wajah tak
bersalah sambil masuk melalui pintu depan.
Ketika Nenek sudah di dalam dan sedang melepaskan tali dari pinggang, aku pun
melihat ke belakangnya. Setelah itu, aku pun tak tahan lagi untuk bertanya, ―Nek,
itu apa?‖
Dan di ujung tali itu memang tampak ada magnet yang terikat di sana. Lalu di
magnet tersebut menempel paku ataupun sampah logam lainnya.
―Sungguh sayang kalau kita sekadar berjalan. Padahal kalau kita berjalan sambil
menarik magnet, lihat, begini menguntungkannya.‖
―Menguntungkan?‖
―Kalau kita jual, sampah logam lumayan tinggi harganya. Benda yang jatuh pun
kalau kita sia-siakan, bisa dapat tulah.‖
Sambil berkata begitu, Nenek mencabuti sampah logam dari magnetnya
kemudian memasukkannya ke ember khusus. Di dalam ember tersebut sudah
menumpuk logam-logam lain yang bagai rampasan perang. (Shimada, 2011: 40-41)
364
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Pelajaran yang didapat oleh Shimada dari dialog tersebut adalah
menghargai waktu. Jika memungkinkan kita harus melatih diri untuk dapat
melakukan berbagai aktivitas dalam satu kesempatan. Dengan demikian, kita
dapat melatih kejelian, keterampilan, dan kecermatan dalam mengamati dan
memahami sesuatu. Dalam konsep Lakoff dan Johnson, hal itu dapat
dimetaforakan dengan WALK IS LUCKY. WALK merupakan domain sasaran
sementara LUCKY merupakan domain sumber yang dapat dihubungkan
dengan aktivitas lain: AKTIVITAS MENEMPEL PAKU dan MENCARI
KEUNTUNGAN dengan menjual paku tersebut kepada tengkulak. Nenek
mengajarkan Shimada untuk berlatih mengerjakan multitugas dalam waktu
yang sama. Nenek mengharapkan Shimada menjadi laki-laki yang cekatan,
cermat, dan tangguh.
Pelajaran Sungai
Pelajaran yang paling berharga bagi Shimada adalah menghormati
sungai dengan konsep simbiosis mutualisme.
Setelah memasukkan sampah logam perolehannya hari ini ke ember, selanjutnya
Nenek berjalan cepat ke arah sungai. Ketika aku mengikutinya, entah karena apa
aku mendapati Nenek sedang tersenyum lebar sambil mengamati aliran sungai.
―Akihiro, kau juga bantu,‖ sambil menoleh untuk berkata begitu, selanjutnya
Nenek mulai mengambili potongan ranting atau batang pohon dari sungai.
Di permukaan sungai yang bergelombang tampak terapung sebatang galah yang
dibentangkan sedemikian rupa. Kemudian tersangkut pada galah tersebut, ranting
pohon atau semacamnya.
[...]
Ternyata Nenek biasa mengumpulkan ranting atau batang pohon yang tersangkut
di galah tersebut, mengeringkannya, kemudian menggunakannya sebagai kayu
bakar.
―Selain sungai jadi bersih, kita mendapatkan bahan bakar secara cuma-cuma.
Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui,‖ ucap Nenek sambil tertawa keras.
(Shimada, 2011: 42--43)
Nenek Shimada menjadikan sungai sebagai supermarket gratisan.
Benda-benda yang tersangkut di sungai ibarat layan antar tanpa biaya.
Dari ke hari, berbagai benda hanyut di sungai lalu tersangkut di galah Nenek.
Itulah sebabnya Nenek menyebut sungai sebagai supermarket. Malah dengan
pelayanan ekstra, katanya, ―Belanjaan kita langsung diantar.‖
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
365
Yang dilanjutkan, ―Tanpa biaya pula,‖ ujarnya sambil memandang sungai di
depan rumah dan tertawa.
Terkadang bila tidak ada apa pun yang tersangkut di galah, Nenek akan berkata,
―Hari ini supermarket libur.‖ Dengan ekspresi menyayangkan.
Namun, Nenek juga berkata supermarket ini punya satu kekurangan. ―Misalnya,
meski ingin makan timun hari ini, belum tentu kita dapat makan timun. Pilihan
ada di tangan pasar.‖ (Shimada, 2011: 45--46)
Keuntungan juga dapat diperoleh dari perayaan hari besar.
―Benda yang didapat dari memungut sekalipun, belum tentu pantas dibuang,‖
demikianlah Nenek selalu berujar dengan penuh keyakinan. Sebagai contoh
benda yang Nenek maksudkan ini, antara lain, supermarket khusus kami
tentunya. Ditambah lagi festival makanan setahun sekali, yaitu acara obon,
festival musim panas.
Di area Kyusu, obon selalu dilaksanakan di hari terakhir festival. Untuk
mengantarkan roh yang berpulang kembali ke Buddha, anggota keluarga yang
ditinggalkan menghanyutkan perahu yang membawa makanan dan bunga di
atasnya ke sungai ritual ini bernama shouryou nagashi.
Bagi yang cepat tanggap, pasti sudah bisa menduga. Begitulah perahu-perahu
yang dihanyutkan dari hilir sungai tentunya kemudian tersangkut di galah yang
dipasang Nenek. Bila sudah begitu, apel, pisang, dan berbagai buah lain yang ada
di dalamnya pun akan dipungut.
Meskipun memang ingin makan apel ataupun pisang, tetap saja pertama kali
melihatnya, aku langsung merasa berdosa.
―Nek, bukankah semua ini sebenarnya persembahan untuk Buddha atau dewa,
ya?‖
―Memang.‖
―Nenek yakin kita boleh mengambilnya?‖
―Kau ini bicara apa? Kalau kita biarkan buah-buah ini busuk dan mengalir pergi
begitu saja, laut nanti akan kotor. Kasihan ikan-ikan di sana, bukan?‖ (Shimada,
2011: 73--75).
Dari ketiga data tadi, dapat kita simpulkan bahwa sungai dimetaforakan
supermarket. Nenek mengetahui bahwa jauh sungai itu melalui pasar sebelum
mengalir di depan rumahnya. Nenek mengetahui situasi dan kondisi di sekitar
jalur yang dilalui sungai itu, antara lain, terdapat pasar dan lokasi perayaan hari
besar. Pedagang di pasar akan memilih dan mencuci sayuran dan buah-buahan
sebelum dijual kepada pelanggan. Sisanya dibuang ke sungai.Nenek
memanfaatkan galah yang sebagai perangkap benda-benda yang hanyut di
sungai itu. Dalam salah satu perayaan di Jepang, terdapat ritual membuang
sesaji di sungai. Buah-buah yang dihanyutkan di sungai tersebut memiliki
366
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kualitas yang baik. Nenek tidak membuang kesempatan itu. Ia mengajarkan
Shimada untuk mengingat tanggal perayaan tersebut dan memanfaatkan isi
dalam perahu kecil tempat sesaji itu dihanyutkan. Setelah diambil isinya,
perahu kembali dihanyutkan nenek sambil mengiringinya dengan sembah
hormat pada benda itu.
Kondisi yang dihadapi nenek dan Shimada dimetaforakan dengan
RIVER IS A SUPERMARKET. Fungsi sungai merupakan sarana pengantar
sembako dalam kehidupan mereka. Sungai juga berfungsi sebagai petugas
layanan antar gratis. Pelajaran sungai lain dalam kehidupan Shimada adalah
melatih kesabaran, menentukan waktu dan momen yang tepat, membiasakan
hidup hemat, menjaga kelestarian alam, dan memahami orang lain. Konsep
supermarket dalam pandangan nenek secara harfiah sama dengan supermarket
yang kita temui sehari-hari. Namun, ada yang berbeda dalam konsep
supermartket tersebut, yaitu manusia tidak memiliki hak untuk menentukan
jenis sayuran, buah-buahan, atau benda yang hanyut di sungai. Konsep
supermarket lain yang disebut dalam data adalah tersedianya sarana untuk
bertanggung jawab pada alam dan Sang Pencipta. Konsep lain dapat
digunakan, yaitu RIVER IS LIFE. Sungai merupakan sumber kehidupan bagi
nenek dan penduduk lain di desa itu.
Mengenal Potensi Alam
Seiring waktu, Shimada mampu mengenali potensi alam di sekitar Desa
Saga, misalnya, mengenali tumbuhan yang dapat dimakan. Pada kesempatan
lain, sang nenek tidak pernah membuang sisa makanan, termasuk tulang
belulang.
Contoh pertama, saat perlu camilan, aku tidak perlu ke toko permen karena buahbuahan dapat diambil langsung dari pohonnya, sepuasnya. Yang pertama kali aku
makan di Saga adalah buah muku. Buah ini penampilannya memang tidak
menarik karena kecil dan berwarna hitam kelam, tapi rasanya asam manis seperti
aprikot. (Shimada, 2011: 55)
Tulang yang tersisa pun akan dijemur dan dikeringkan, untuk kemudian dicacah
halus dengan pisau hingga menyerupai bubuk, selanjutnya dijadikan pakan ayam.
Selain tulang, kulit apel ataupun bagian sayur yang agak cacat pun semua
dijadikan makanan untuk ayam. (Shimada, 2011: 73)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
367
Nenek mampu menghemat biaya hidup sehari-hari serta membagi
kehidupan pada makhluk lain. Jika dimetaforakan, kondisi tersebut adalah
NATURE IS LIFE. Alam memberikan kehidupan kepada manusia, di
antaranya, dengan beragam jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi manusia.
Alam dapat diibaratkan makhluk hidup yang denyut jantungnya tidak berhenti.
Nrimo
Pelajaran lain yang diterima Shimada kecil selama hidup bersama nenek
adalah sikap untuk menyadari diri sendiri.
―Nek, kita memang miskin sekarang, tapi suatu hari nanti enak juga ya kalau bisa
jadi kaya.‖
Tanpa diduga-duga, beginilah jawaban Nenek.
―Kau ini bicara apa? Ada dua jalan buat orang miskin. Miskin muram dan miskin
ceria. Kita ini miskin yang ceria. Selain itu karena bukan baru-baru ini saja
menjadi miskin, kita tidak perlu cemas. Tetaplah percaya diri. Keluarga kita
memang turun-temurun miskin. Pertama, jadi orang kaya itu susah. ―Selalu
makan enak, pergi berpelesir, hidupnya sibuk. Dan karena selalu berpakaian
bagus saaat bepergian, bahkan di saat jatuh pun, mereka harus tetap
memperhatikan cara jatuh mereka. Sedangkan orang miskin sejak awal kan selalu
mengenakan pakaian kotor. Entah itu saat hujan, saat harus duduk di tanah, mau
jatuh, ya bebas, terserah saja. Ahh, untung kita miskin.‖
Aku diam.
Lalu, ―Selamat tidur, Nek,‖ ujarku tanpa tahu harus berkata apa lagi. (Shimada,
2011: 63--64)
Melalui dialog tersebut, nenek mengajarkan bahwa Shimada kecil harus
menyadari diri sendiri, menerima kondisi dan kemampuan sang nenek. Selain
itu, nenek mengajak Shimada untuk memahami bahwa kondisi yang ada saat
itu bukan merupakan siksaan, tetapi berkah dari Tuhan. Jika dimetaforakan,
kondisi tersebut menjadi BEING POOR IS FUN. Nenek mengajarkan bahwa
kesulitan (kemiskinan) harus dihadapi dengan lapang dada dan hati yang cerita.
Kemiskinan tidak seharusnya disikapi dengan kebecian. Sebaliknya, nenek
memandang kemiskinan sebagai sarana pendidikan untuk mengenal alam,
sesama makhluk Tuhan, dan Tuhan itu sendiri. Nenek memandang bahwa
kemiskinan bukan merupakan kelemahan melainkan kekuatan bagi seseorang.
Kemiskinan mengajarkan kita untuk bersabar dan tegar dalam menghadapi
persoalan hidup.
368
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Perilaku Manusia
Shimada mendapat stimulasi untuk menghadapi perilaku manusia.
Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang tidak sanggup dalam
menghadapi kehilangan, baik harta benda atau orang-orang yang dicintainya.
Kehilangan sandal, misalnya, dapat membuat seseorang menderita selama
beberapa hari. Namun, pada akhirnya ia merasa kesal karena benda yang
disenanginya tidak kembali. Kekesalan itu mengalami puncaknya hingga
akhirnya ia memutuskan untuk membuang benda yang dianggap sudah tidak
layak pakai itu.
Lain waktu, datang mengalir bersama air sungai, geta (sandal kayu) yang benar-benar
masih baru.
―Tidak ada gunanya juga kalau hanya sebelah, kita jadikan kayu bakar saja,‖ ujarnya
sambil meraih kapak.
Namun saat itu Nenek pun berkata, ―Tunggulah dua atau tiga hari lagi, akan datang
yang sebelahnya.‖
Dipikirkan dari segi manapun, bakal sulit mendapatkan keberuntungan seperti itu,
bukan? Namun, dalam dua-tiga hari berikutnya, aku benar-benar terkejut ketika
melihat sebelah geta hanyut melewati depan rumah kami.
―Kalau kehilangan sandal, selama beberapa saat orang itu mungkin belum mau
menyerah, namun setelah berlalu dua-tiga hari, dia akhirnya akan menyerah dan
membuang yang sebelahnya lagi. Kalau sudah begitu, kita bakal punya sepasang geta
lewat di depan rumah.‖ (Shimada, 2011: 47--48)
Nenek dapat membaca keputusan yang diambil oleh si pemilik sandal.
Sandal itu akhirnya menjadi milik Shimada setelah penantian sepasang sandal
lain yang akhirnya dibuang oleh pemiliknya. Nenek mengajarkan Shimada
untuk melatih kepercayaan diri. Dalam konsep Lakoff dan Johnson, kondisi
tersebut merupakan CONFIDENCE IS IMPORTANT. Delapan tahun
lamanya, Shimada mendapatkan pendidikan tentang kehidupan dari sang
nenek. Shimada yang semula memandang apatis pada kehidupan, setelah
peristiwa perpisahan yang traumatis, pada akhirnya berhasil memupuk
kepercayaan diri, ketegaran, keuletan, dan keberhasilan dalam hidupnya.
Shimada tidak dapat membayangkan jika pada delapan tahun yang lalu, ia
tetap tinggal di lingkungan bar yang dikelola sang ibu. Shimada sangat
bersyukur karena mampu mengaplikasikan ilmu kepercayaan diri dan
ketangguhan dalam hidup yang diajarkan oleh sang nenek.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
369
SIMPULAN
Manusia dan alam ibarat dua sisi mata uang. Kedua hal itu saling
membutuhkan dan melengkapi. Manusia sangat memerlukan alam dan segala
isinya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula, alam memberikan segala
isinya kepada manusia. Kebutuhan manusia, seIring perkembangan zaman,
cenderung melampaui kemampuan alam. Akibatnya, alam mengalami
kerusakan. Kondisi tersebut menarik perhatian sebagian kalangan untuk
melakukan revitalisasi alam. Hal itu juga berlaku pada dunia pendidikan.
Shimada mendapatkan sekolah berwawasan lingkungan langsung dari
neneknya. Ia mendapatkan banyak poin penting yang kelak berguna ketika ia
dewasa. Pendidikan nenek tersebut menjadi akar kesuksesan Shimada sebagai
seorang pelawak terkenal di Jepang. Pendidikan tersebut dapat dimetaforakan
dengan beberapa konsep berikut, yaitu COOKING RICE STRUGGLE,
LIGHTING A FIRE IS STRUGGLE, RIVER IS LIFE, WEAK IS DOWN,
WALK IS LUCKY, RIVER IS A SUPERMARKET, NATURE IS LIFE,
BEING POOR IS FUN, dan CONFIDENCE IS IMPORTANT. Konsep
metafora tersebut dikaitkan dengan aktivitas dan pandangan hidup nenek
Shimada.
DAFTAR PUSTAKA
Shimada, Yoshichi. 2011. Saga no Gabai Bachan (Nenek Hebat dari Saga).
Jakarta: Kansha Books.
Hasuna. 2014. “Ikut Berjuang Atasi Krisis Pangan. Ratna Prawira: Pisang
Terbuang Jadi Andalan‖, dalam Nova edisi 1392/XXVII, 27 Oktober-2 November 2014, hlm. 57. Jakarta: Kompas Gramedia.
Danesi, Marcel dan Person, Paul. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction &
Handbook. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Lakoff, George. 1993. The Contemporary Theory of Metaphor. Cambridge:
Cambridge Universitas Press.
Lakoff, George dan Johnson, Mark. 2003. Metaphors We Live By. Chicago:
University of Chicago.
370
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Swita. 2014. ―Ikut Berjuang Atasi Krisis Pangan: Maria Loretta Terus
Kembangkan Sorgum”, dalam Nova edisi 1392/XXVII, 27 Oktober--2
November 2014, hlm. 56. Jakarta: Kompas Gramedia.
http://kupang.tribunnews.com
http://tp-pkkpusat.org
http://www.dealerhinojakarta.com
http://www.koalisiperempuan.or.id
http://www.tribunnews.com
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
371
KESANTUNAN BERBAHASA PARA SISWA SDIT
KABUPATEN BANDUNG: SEBUAH STUDI KASUS
PEMBANGUNAN KARAKTER
Riadi Darwis
Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung
Jln. Dr. Setiabudhi 186, Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Kesantunan Berbahasa Para Siswa SDIT Kabupaten Bandung: Sebuah Studi
Kasus Pembangunan Karakter. Kesantunan berbahasa merupakan awal dari
pembentuk karakter seseorang. Atas dasar itulah, dalam pembangunan karakter ada
empat koridor yang diperlukan meliputi (1)internalisasi tata nilai, (2) menyadari mana
yang boleh dan mana yang tidak boleh, (3) membentuk kebiasaan, dan (4)menjadi
teladan. Metode penelitian yang dipakai adalah studi kasus dengan menekankan pada
teknik observasi. Berdasarkan hasil temuan dari 15 situasi berbahasa menunjukkan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa para siswa SDIT Kabupaten Bandung dalam
kondisi perlu diwaspadai 40%. Selanjutnya, peran serta guru bahasa dan para guru
mata pelajaran lainnya perlu berkolaborasi untuk selalu memperhatikan aspek
perkembangan kesantunan berbahasa. Di samping itu, dukungan orang tua, keluarga,
dan masyarakat perlu diperkuat lagi untuk menjaga kesinambungan pendidikan
karakter anak.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, pembangunan karakter
PENDAHULUAN
Bahasa dalam kenyataannya memiliki peran penting dalam komunikasi
antarmanusia penuturnya. Secara garis besar bahasa memiliki fungsi untuk
mengekspresikan emosi, interaksi sosial, menunjukkan kekuatan suara,
mengontrol realitas, merekam fakta-fakta, dan menjadi alat berpikir (Crystal,
1997: 10-13).
Dengan demikian, peran bahasa secara lebih jauh bisa berpengaruh
terhadap segala aspek kehidupan, bahkan peradaban maupun kebudayaan
manusia sekalipun. Sebagai contoh, bahasa Inggris bisa menjadi bahasa
internasional saat ini karena adanya faktor dorongan ekpresi orang Inggris
yang memiliki kemampuan untuk bisa memperluas hubungan komunikasi
dengan dunia luar. Ini pun tidak lepas dari peran sistem kebahasaan maupun
nonkebahasaan yang membentuk karakter penuturnya menjadi pribadi yang
penuh percaya diri.
372
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Ada sebuah ungkapan bijak yang sarat dengan makna sebagai berikut:
‖Bila harta kita hilang, sebenarnya tidak ada yang hilang, bila kesehatan kita
hilang, ada sesuatu yang hilang, tetapi bila karakter kita hilang, kita akan
kehilangan segala-galanya (Soedarsono. 2008: 2).‖ Dengan demikian, betapa
bernilainya sebuah karakter dalam diri manusia.
Dalam Al Quran Surat 8 Al Anfaal: 53, Allah berfirman ―yang
demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan
mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.‖ Ayat ini
mengandung suatu pemahaman yang sangat jelas bahwa untuk terjadinya suatu
perubahan berarti dalam suatu kaum atau bangsa sangat bergantung pada
sesuatu yang terkandung dalam dirinya. Soedarsono menafsirkan ―yang ada
dalam diri mereka sendiri‖ adalah tekad, kehendak, pemikiran, jati diri,
karakter , dan semangat (Soedarsono. 2008: 2).‖
Menurutnya pula karakter dipandang sebagai nilai-nilai yang terpatri
dalam diri kita melalui pendidikan, pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan
pengaruh lingkungan, dipadukan dengan nilai-nilai dari dalam diri manusia
menjadi semacam nilai intrinsik yang mewujud dalam sistem daya juang,
melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku kita (Soedarsono. 2008: 16).
Perlu disadari pula bahwa karakter memiliki dua sisi yaitu ada karakter
baik dan karakter buruk sesuai dengan konsep qalbu/ hati yang bermakna
bolak-balik. Dalam Quran Surat 91 Asy Syam: 8-10, Allah berfirman ―Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaannya,
sesungguhnya
beruntunglah
orang
yang
menyucikan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.‖
jiwa
itu,
dan
Dalam ayat tersebut
sangat jelas bahwa manusia diberi dua pilihan yaitu fitrah kebaikan dan
keburukan. John Luther ( Megawangi, 2006: 17) pernah mengungkapkan
bahwa ‖Karakter yang baik, lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa.
Hampir semua bakat adalah anugrah. Karakter yang baik, sebaliknya, tidak
dianugrahkan kepada kita. Kita harus membangunnya sedikit demi sedikit –
dengan pikiran, latihan, keberanian dan usaha keras.‖ Begitupun sebaliknya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
373
Ibnu Jazzar Al Qairawani (dalam Megawangi, 2006: 19-20) mengungkapkan
bahwa
Sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak bukan berasal dari fitrah. Akan
tetapi, timbul karena kurangnya peringatan sejak dini dari orang tua dan para
pendidiknya. Semakin dewasa, semakin sulit meninggalkan sifat-sifat tersebut.
Banyak orang dewasa yang menyadari sifat buruknya, tetapi tidak mampu
mengubahnya, karena sifat tersebut sudah mengakar di dalam dirinya, dan
menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan
Sebagai penguat, McCaroll menambahkan bahwa karakter adalah kualitas otot
yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam dari seorang pejuang
spiritual (Megawangi, 2006: 48).
Atas dasar itulah, dalam pembangunan karakter ada empat koridor
yang diperlukan.
1. Internalisasi tata nilai.
2. Menyadari mana yang boleh dan mana yang tidak boleh (The does and the
don‟t).
3. Membentuk kebiasaan (habit forming)
4. Menjadi teladan (role model) sebagai pribadi berkarakter (Soedarsono,
2008: 28)
Karakter dalam istilah lain bisa disandingkan dengan istilah akhlak.
Sejumlah ahli memberikan beberapa ciri akhlak/ karakter yang baik sebagai
berikut.
1. Wajah yang berseri-seri, bermurah hati dan tidak menyakiti orang lain (Al
Hasan Al Basri dalam Asy Syahari, 2005: 153).
2. Tidak mau bermusuhan dengan orang lain dan tidak mau diajak bertengkar
dengannya (Al Wasithi dalam Asy Syahari, 2005: 153)
3. Tidak menyakiti orang lain dan memikirkan kehidupannya (Syah Al
Karmani dalam Asy Syahari, 2005: 153).
4. Berakhlak baik tecermin dalam tiga perkara, yaitu menjauhi perkara yang
haram, mencari perkara yang halal, dan memberikan kelonggaran dalam
keluarga. Sedangkan kunci berakhlak baik itu ada empat, yaitu hikmah,
pemberani, menjaga dari perkara yang haram, dan berbuat adil. Semua
perkara ini termasuk pokok-pokok akhlak yang baik (Ali bin Abi Thalib
dalam Asy Syahari, 2005: 153).
374
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
5. ‖Tiada amal yang lebih berat dalam timbangan orang mukmin di hari
kiamat daripada akhlak yang baik, dan sesungguhnya Allah swt. benci
terhadap orang yang berkata kotor dan berakhlak jelek (HR At Tirmidzi,
Ibnu Abi Ad Dunya, dan Abu Nu‘aim).
6. ‖Orang yang paling saya cintai diantara kalian dan paling dekat denganku
adalah orang yang baik akhlaknya, dan orang yang paling saya benci
diantara kalian dan paling jauh denganku adalah orang yang jelek
akhlaknya, yaitu orang yang banyak bicara, orang yang menghina orang
lain dengan perkataannya dan orang yang sombong (HR Ahmad dan Ibnu
Abi Ad Dunya).
Agar fitrah diri seseorang dapat terjaga dengan baik dalam rangka
membangun karakter yang baik harus mengupayakan dua langkah utama yaitu
pembersihan diri dan menjauhkan diri dari pengotoran jiwa. Pembersihan diri
yang dimaksud adalah
memperbanyak syukur, sabar, santun, sayang,
bijaksana, suka bertaubat, lemah lembut, benar, dan dapat dipercaya (Suyitno
dan Basa, 2005: 461). Menjauhkan diri dari pengotoran jiwa yang meliputi
tergesa-gesa, berkeluh kesah, gelisah, tidak suka berbuat baik, kikir, kufur,
susah payah, membantah, zalim, dan bodoh (Suyitno dan Basa, 2005: 463).
Kesantunan Berbahasa
Kesantunan dalam berbahasa ternyata merupakan awal dari pembentuk
karakter seseorang. Megawangi menjelaskan lebih jauh bahwa, seorang anak
perlu diajarkan untuk terbiasa berkata terima kasih, karena ini merupakan
atribut luar dari akhlak yang senantiasa bersyukur atau berterima kasih atas
segala anugerah yang diberikan kepadanya (Megawangi, 2006: 33).
La Bruyere memberikan suatu gambaran bahwa sopan santun tidak
selalu menghasilkan kebaikan hati, keadilan, kepuasan, atau rasa syukur, tetapi
ini dapat memberikan seseorang – paling tidak – terlihat sopan, dan
membuatnya tampak dari luar apa yang seharusnya menjadi benar-benar
terhormat (La Bruyere dalam Megawangi, 2006: 31).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
375
Sopan santuan adalah tiruannya, atau penampakan luar, dari kebajikan
yang darinya timbul kebajikan-kebajikan sebenarnya (Comte-Sponville, dalam
Megawangi, 2006: 30).
Dalam Al Quran, Allah banyak mengilustrasikan bagaimana keharusan
manusia untuk selalu memperhatikan perkataannya dalam batas-batas
kesantunan. Ada beberapa ciri kesantunan berbahasa yang disyaratkan.
1) Berkata baik dan lebih baik
QS 2: 263 Perkataan yang baik dan pemberian ma'af lebih baik dari
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan . Allah Maha Kaya
lagi Maha Penyantun.
QS 4: 8 Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim
dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik.
QS 17: 53 Dan katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah
mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik. Sesungguhnya syaitan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagi manusia.
2) Berkata benar
QS 4: 9 Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang
mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
QS 33: 70 Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada
Allah dan katakanlah perkataan yang benar.
Janganlah kewibawaan manusia itu mencegah seseorang untuk
mengatakan yang benar jika ia mengetahuinya. Ketahuilah sesungguhnya jihad
yang paling mulia adalah mengatakan sesuatu yang benar di hadapan penguasa
yang zalim (HR Ahmad).
376
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
3) Berkata yang membekas
QS 4: 63 Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa
yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan
berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang
berbekas pada jiwa mereka.
4) Pilihan kata yang terseleksi
QS 17: 23 Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduaduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.
5) Bermanfaat
QS 19: 62 Mereka tidak mendengar perkataan yang tak berguna di
dalam surga, kecuali ucapan salam. Bagi mereka rezekinya di surga itu tiaptiap pagi dan petang.
QS 28: 55 Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami
tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil".
QS 56: 25 Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia
dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa,
QS 78: 35 Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia
dan tidak perkataan dusta.
6) Fasih
QS 20: 28 supaya mereka mengerti perkataanku.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
377
7) Jelas
QS 21: 110 Sesungguhnya Dia mengetahui perkataan dengan terangterangan dan Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan.
8) Jujur/ tidak dusta
QS 22: 30 Demikianlah. Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang
terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.
Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang
diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala
yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.
9) Sederhana
QS 33: 32 Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita
yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya
dan
ucapkanlah perkataan yang baik.
10) Taat asas/ aturan
47:21 Ta'at dan mengucapkan perkataan yang baik . Apabila telah tetap
perintah perang. Tetapi jikalau mereka benar terhadap Allah, niscaya yang
demikian itu lebih baik bagi mereka.
47:30 Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka
kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tandatandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan
perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.
11) Muka yang berseri-seri
QS 83 Al Muttaffifiin: 24 Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka
kesenangan mereka yang penuh keni'matan.
12) Sikap tubuh yang baik
Allah memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang bersikap baik
ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan (HR Bukhari).
378
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Efek Berbahasa Santun
Penelitian mutakhir yang berkait dengan masalah penggunaan bahasa
adalah penelitian
yang dilakukan oleh Masaru Emoto (2006). Dalam
penelitianya, ia mengungkapkan sebuah fenomena bahwa sebuah perkataan
yang baik bisa memberikan perubahan pada struktur kristal sebuah benda (air).
Kesimpulan
yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut adalah sebuah
perkataan yang baik atau yang buruk memberikan efek berbeda untuk setiap
jenisnya. Harus disadari bahwa manusia hakikatnya 70% terdiri atas zat cair.
Bisa kita bayangkan andaikan manusia banyak berkata baik maka perubahan
yang dirasakan pastilah akan positif. Sebaliknya jika manusia banyak berkata
buruk maka berdampak pula terhadap dirinya.
Selain itu, dampak pola komunikasi dengan bermediakan bahasa yang
santun atau positif ditengarai memiliki pengaruh yang sangat kuat pada
kepribadian seseorang. Bloch dan Merit
mengatakan (2006: 21-24) ada
sembilan hal yang dapat diperoleh seseorang yaitu:
1. Percakapan pribadi yang positif membentuk kemandirian, otonomi, dan
tanggung jawab pribadi.
2. Melalui pengunaan percakapan pribadi, anak-anak dapat menggeser
konsep diri mereka dari pondasi luar menjadi pondasi dalam.
3. Percakapan pribadi yang positif meningkatkan kepercayaan diri dan
harga diri
seorang anak.
4. Percakapan pribadi yang positif dapat menyediakan suatu penangkal
terhadap rasa malu yang tidak sehat.
5. Percakapan pribadi yang positif dapat membantu anak-anak untuk
menetapkan dan meraih sasaran-sasaran pribadi.
6. Percakapan pribadi yang positif dapat mempengaruhi kesehatan dan
citra tubuh anak-anak secara positif.
7. Percakapan pribadi yang positif dapat mendorong anak-anak tetap
benar dan menolak tekanan.
8. Percakapan
pribadi
yang
positif
dapat
membantu
anak-anak
menanggapi kemalangan dengan sikapyang positif dan menguatkan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
379
9. Percakapan
pribadi
yang
positif
dapat
membantu
anak-anak
mengembangkan suatu optimisme yang lebih besar terhadap masa
depan.
Dalam sumber rujukan lain terdahulu diungkapkan pula bahwa, akhlak
yang jelek dan berkata kotor adalah sumber penyakit. Imam Al Mawardi
mengatakan Al Ahnaf bin Qais berkata ‖Maukah kalian saya beri tahu tentang
sumber dari segala penyakit? Mereka menjawab, ‖Ya, kemudian Al Ahnaf bin
Qais berkata, ‖akhlah yang jelek dan berkata kotor,‖ dan sebagian ahli hikmah
berkata, ‖Barangsiapa yang berakhlak jelek, maka rezekinya akan sempit,
adapun alasannya sudah jelas.‖ Sebagian ahli balaghah (orang yang fasih
dalam berbicara berkata, ‖akhlah yang baik menunjukkan ketenangan dalam
jiwanya dan orang lain selamat darinya sedangkan akhlak yang jelek
menunjukkan kekerasan dalam jiwanya dan termasuk musibah bagi orang
lain.‖
Sebagian ahli syair berkata, ‖Apabila suatu kaum tidak mempunyai
‘keluasan‘ budi pekerti, maka tempat yang luas seluas apa pun tetap tampak
sempit bagi mereka. Jika seseorang tidak diciptakan sebagai orang yang
bijaksana, maka sebenarnya kebijaksanaan itu tidak karena panjangnya umur. (
Asy Syahari, 2005: 153).‖ Akhlak yang baik bisa terwujud dengan watak yang
baik, lembut perilakunya, muka yang berseri-seri, tidak terburu-buru dan
berkata baik.
METODE PENELITIAN
Makalah ini merupakan hasil penelitian yang penulis lakukan secara
khusus lebih mengarah pada kasus atas adanya kegiatan pembelajaran dan
pengajaran multibahasa (bahasa Indonesia, bahasa Sunda, bahasa Inggris, dan
bahasa Arab) di dua SDIT yang ada di Kabupaten Bandung dan diwakili oleh
SDIT An-Ni‘mah, Kecamatan Margahayu dan SDIT At-Taqwim, Kecamatan
Katapang. Atas dasar itulah, metode penelitian yang dipakai adalah metode
penelitian studi kasus. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah kajian
yang penulis lakukan memiliki kesesuaian dengan uraian yang Yin (1997:1)
katakan tentang metode studi kasus yaitu : Studi kasus adalah salah satu
380
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
metode penelitian ilmu-ilmu sosial secara
umum studi kasus merupakan
strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan
dengan ‗how‟ atau ‗why‘ bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk
mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus
penelitiannya terletak pada fenomena
kontemporer (masa kini) di dalam
konteks kehidupan nyata.
Data Kasus Rekaman Percakapan Para Siswa SDIT Kabupaten Bandung
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana kondisi aktual karakter yang
terbentuk pada diri siswa? Untuk membuktikannya, perlu dilakukan sebuah
kajian melalui observasi. Dalam presentasi ini, penulis menyuguhkan data
temuan dengan mengambil sampel para siswa setingkat sekolah dasar. Dalam
penelitian ini penulis mengambil lokus di Kabupaten Bandung dan target
penelitiannya adalah para siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Sampel
penelitian adalah para siswa SDIT yang berada di dua kecamatan yaitu
Kecamatan Margahayu dan Kecamatan Katapang.
Di dua lokasi tersebutlah kemudian penulis melakukan observasi dalam
berbagai situasi. Situasi kebahasan yang penulis teliti terdiri atas 15 situasi
meliputi: (1) saat istirahat setelah olah raga, (2) di tempat penjualan poster
(luar sekolah), (3) acara pernikahan gurunya, (4) saat main sepak bola, (5) saat
ujian I, (6) perbincangan dengan guru, (7) latihan pramuka, (8) tongkrongan
belokan perumahan, (9) latihan sepak bola, (10) di rumah anak, (11) kumpulan
anak-anak, (12) saat main tanah di pinggir jalan, (13) di belokan jalan, (14)
saat ujian II, dan (15) saat ujian III.
Dari kelima belas situasi kebahasaan tersebut selanjutnya penulis kaji
dan ditemukanlah delapan permasalahan. Kedelapan permasalahan tersebut
meliputi: (1) kesantunan (40%), (2) tata bahasa (100%), (3) persepakbolaan
(6,7%), (4) pelajaran (20%), (5) kepramukaan (6,7%), (6) nasionalisme (6,7%),
(7) keolahragaan (6,7%), dan (8) permainan (6,7%).
Data tersebut yang menarik sesuai bahasan saat ini adalah aspek
kesantunan berbahasa para siswa saat berinteraksi dengan lawan bicaranya
dalam
situasi
yang
melingkupinya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Berdasarkan
angka
persentase
381
menunjukkan bahwa masalah kesantunan berbahasa para siswa dalam kondisi
perlu diwaspadai (40%). Ini berarti bahwa para siswa SDIT Kabupaten
Bandung masih memperlihatkan sikap negatif dalam mempergunakan
bahasanya. Hal tersebut dibuktikan dari masih adanya penggunaan kata-kata
yang dianggap tabu secara etika sosial meskipun dalam lingkup pendidikan
mereka adalah para siswa yang berada dalam naungan pendidikan yang
berbasis keagamaan yang relatif kental. Kecenderungan para siswa berperilaku
demikian diduga adanya pengaruh lingkungan yang masih tidak mendukung
seperti teman-teman sepermainan
maupun warga sekitar lainnya yang
memiliki latar sosial yang relatif berbeda dari sisi edukasi dengan mereka.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dari 15 situasi berbahasa menunjukkan
bahwa tingkat kesantunan berbahasa para siswa SDIT Kabupaten Bandung
dalam kondisi perlu diwaspadai 40%. Selanjutnya, peran serta guru bahasa dan
para guru mata pelajaran lainnya perlu berkolaborasi untuk selalu
memperhatikan aspek perkembangan kesantunan berbahasa. Di samping itu,
dukungan orang tua, keluarga, dan masyarakat perlu diperkuat lagi untuk
menjaga kesinambungan pendidikan karakter anak.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dan Terjemahannya
Asy Syahari, Majdi. 2005. Pesan-pesan bijak Luqmanul Hakim. Jakarta: Gema
Insani.
Bloch, Douglas dan Merrit, Jon. 2006. Kekuatan percakapan positif: Kata-kata
yang membuat setiap anak menjadi sukses. Batam: Karisma.
Effendi, Mukti. 2009. Mengembalikan jati diri bangsa. (Online). Tersedia:
http://bisnis-muktiplaza.blogspot.com/2009/10/mengembalikan-jatidiri- bangsa.html [10 November 2009]
Emoto, Masaru. 2006. The true power of water. Bandung: MQ Publishing.
Megawangi, Ratna. 2006. Yang terbaik untuk buah hatiku. Cet. VI. Bandung:
Khansa.
Soedarsono, Soemarno. 2007. Hasrat untuk berubah = The willingness to
change. Cet. 10. Jakarta: Elex Media Komputindo.
382
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Soedarsono, Soemarno. 2008. Membangun kembali jati diri bangsa. Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Yin, Robert K. (1997). Studi kasus (desain dan metode). Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
383
OPTIMALISASI PENDIDIKAN KARAKTER
PESERTA DIDIK
MELALUI PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA ANAK
Riana Dwi Lestari
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: rianadwilestari1985@ yahoo.com
ABSTRAK
Optimalisasi Pendidikan Karakter Peserta Didik melalui Pembelajaran
Apresiasi Sastra Anak. Penelitian ini bertujuan: (1) menganalisis kebutuhan
pendidikan karakter bagi peserta didik, (2) pengembangan pendidikan karakter di
sekolah; dan (3) pemanfaatan pembelajaran apresiasi sastra anak. Menurut Ramli
(2003), pendidikan karakter mempunyai esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak ,
supaya menjadi manusia yang baik. Sastra anak adalah sastra yang secara emosional
psikologis dapat ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat
dari fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan (Burhan Nurgiyantoro, 2013:6).
Dari teori tersebut, penulis berharap dengan pembelajaran apresiasi sastra anak dapat
membentuk pendidikan karakter bagi peserta didik, berdasarkan tingkat psikologinya.
Kata kunci : pendidikan karakter, pembelajaran, sastra anak.
PENDAHULUAN
Pembelajaran apresiasi sastra merupakan sarana strategis bagi
pengembangan pendidikan nilai karakter peserta didik. Bahasa dan karakter
seseorang merupakan dua hal yang saling berhubungan. Ada istilah bahwa
―bahasa merupakan cerminan jati diri seseorang‖, hal ini berarti bahwa
bahasa tidak hanya menunjukkan asal penutur bahasa, tetapi juga
menggambarkan hubungan antara bahasa sebagai salah satu unsur yang
membentuk karakter seseorang. Semakin baik bahasa yang digunakan maka
semakin tinggi pula tingkat intelegensi seseorang. Nilai karakter merupakan
hal yang sangat penting dan mendasar bagi manusia. Bangsa Indonesia
mengalami krisis moral yang sangat parah, mulai dari kasus narkoba,
kenakalan dan pergaulan bebas di kalangan remaja, , tawuran, korupsi,
kekerasan, dan tindakan anarkis yang mengindikasikan adanya pergeseran jati
diri sebagai ciri nilai karakter bangsa kita.
384
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Budaya spiritual seharusnya sudah tertanam dalam diri anak sebagai
pondasi kokoh dalam menghadapi perkembangan zaman. Dalam BAB II Pasal
3 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Penddikan Nasional menyebutkan
bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini berarti bahwa
pendidikan nilai karakter harus diaplikasikan sejak dini di semua jennjang
pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Anak yang mulai memasuki usia sekolah dasar memandang semua
peristiwa dengan objektif. Dari iklim yang egosentris, anak memasuki dunia
objektif dan dunia pikiran orang lain. Disamping keluarga , sekolah
memberikan pengaruh yang sistematis terhadap pembentukkan nilai karakter
anak. Menurut Kartini (2007: 138), mngatakan bahwa anak pada usia ini
sangat aktif dinamis. Segala sesuatu yang aktif dan bergerak akan sangat
menarik minat perhatian anak. Minatnya akan banyak tertuju pada macammacam aktivitas. Ini bisa kita wujudkan dengan banyak memberikan bukubuku bacaan anak daripada memfasilitasi mereka dengan suguhan tayangan
televisi yang hanya merusak nilai karakter anak bangsa.
Kehidupan fantasi mengalami perubahan penting dalam diri anak. Pada
usia 8-9 tahun anak menyukai sekali cerita-cerita dongeng, misalnya Timun
Emas, Bawang Putih Bawang Merah, Malin Kundang, dsb. Unsur-unsur yang
hebat dan ajaib dalam dongeng ini mencekam segenap minat anak. Lambat
laun, unsur kritis mulai juncul, dan anak mulai mengoreksi peristiwa riil yang
semestinya benar-benar terjadi. Pada kondisi semacam ini, anak membutuhkan
wadah untuk mengembangkan unsur kritis. Melaalui pembelajaran bahasa
terutama dalam bidang apresiasi sastra diharapkan dapat mengoptimalisasikan
pendidikan nilai karakter peserta didik.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
385
PEMBAHASAN
Pengembangan Pendidikan Nilai Karakter
Pendidikan merupakan proses pengubahan perilaku seseorang untuk
mendewasakan manusia melalui proses pembelajaran. Haitami Salim (2013:
27) mengelompokkan dua definisi pendidikan, yaitu (1) definisi pendidikan
secara luas yang mana pendidikan berlaku untuk semua orang dan dapat
dilakukan oleh semua orang bahkan lingkungan, dan (2) definisi pendidikan
secara sempit yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya
dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mengantarkan
kepada masa kedewasaan. Ki Hajar Dewantara mendefinisikan pendidikan
sebagai tuntutan segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka kelak
menjadi manusia dan anggota masyarakat yang dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Pendidikan seharusnya diarahkan untuk
mengembangkan karakter dan potensi yang dimiliki peserta didik. Sehingga
mampu membentuk perilaku jujur, cerdas, kreatif, dan inovatif. Wina Sanjaya
(2007:2) mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang
terencana, hal ini berarti proses pendidikan di seklah bukanlah proses yang
dilaksanakan secara assal-asalan dan utung-untungan, akan tetapi proses yang
bertujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan guru dan siswa diarahkan
pada pencapaian tujuan. Pendidikan seharusnya bertolak kepada pemberian
nilai spiritual, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
peserta didik. Orientasinya pada pembentukan sikap, pengembangan
kecerdasan, serta pengembangan keterampilan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan.
Secara etimologis istilah karakter berasal dari bahasa Latin Kharakter,
Kharassaein, dan Kharax, dalam bahasa Yunani Character dari kata
Charassein, yang berarti membuat tajam dan membuat dalam. Dalam bahasa
Indonesia lazim digunakan dengan istilah karakter. Heri Gunawan (2014: 3)
mengemukakan bahwa karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri
individu seseorang yang membedakan antara dirinya dengan orang lain.
Karakter merupakan ciri pribadi yang mencakup perilaku, kebiasaan, nilainilai, atau pemikiran yang terwujud dalam diri. Syamsul (2013:29)
386
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mengemukakan bahwa karakter mengacu pada sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
menurut Zubaedi meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan hal yang
terbaik, kapasitas intelektual seperti krisi dan alasan moral, perilaku seperti
jujur dan bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam
situasi penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan,
dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.
Karakter seseorang terbentuk dari tindakan yang dilakukan dalam
kesehariannya. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang
berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesame manusia, lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan
adat istiadat (Tobroni). Tindakan tersebut biasanya tidak disadari karena begitu
seringnya perilaku tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka akhirnya
menjadi sebuah kebiasaan.
Menurut Ramli (2003), pendidikan karakter mempunyai esensi dan
makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik.
Pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Berdasarkan grand designe yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara
psikologi dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga,
sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan nilai
karakter sebenarnya sudah lama diimplementasikan dalam pembelajaran di
sekolah-sekolah, namun belum optimal. Itu karena pendidikan karakter
bukanlah sebuah proses menghapal materi soal ujian dan teknik-teknik
menjawabnya . Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan yang ditanamkan
sejak dini, bukan sebuah pembiasaan yang bisa dibentuk secara instan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
387
Pembiasaan itu meliputi berperilaku jujur, demokratis, bertanggung jawab, dan
mencintai alam sekitar.
Kemendiknas (2010) melansir bahwa berdasarkan kajian nilai-nilai
agama, norma-norma sosial, peraturan/hukum, etika akademik, dan prinsipprinsip HAM, telah teridentifikasi 80 butir nilai karakter yang dikelompokkan
menjadi lima, yaitu; (1) nilai-nilai perilaku manusia dalam hubungannya
dengan Tuhan Yang Maha Esa, (2) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan diri sendiri, (3) nilai-nilai perilaku manusia dalam
hubungannya dengan sesama manusia, dan (4) nilai-nilai perilaku manusia
dalam hubungannya dengan lingkungan, serta (5) nilai-nilai perilaku manusia
dalam hubungannya dengan kebangsaan. Kemendiknas (2010) dalam buku
―Panduan pendidikan Karakter‖, kemudian secara ringkas kelima nilai-nilai
tersebut yang harus ditanamkan kepada siswa, berikut deskripsi ringkasannya
dijelaskan dalam tabel berikut ini.
Nilai – Nilai Karakter yang Dikembangkan di Sekolah
No
Nilai Karakter yang
Deskripsi Prilaku
Dikembangkan
1
Nilai karakter dalam Berkaitan dengan nilai ini, pikiran, perkataan,
hubungannya
dengan dan tindakan seseorang yang diupayakan
Tuhan Yang Maha Esa selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan
(Religius).
2
dan/atau ajaran agamanya.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan diri sendiri yang meliputi;
Jujur
Merupakan perilaku yang didassarkan pada
upaya menjaikan dirinya sebagai orang yang
selalu dapat dipercaya dalam perkataan,
tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri
dan pihak lain.
Bertanggung jawab
Merupakan sikap dan perilaku seseorang
untuk melakanakan tugas dan kewajibannya
sebagaimana yang seharusnya dia lakukan,
terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), Negara dan Tuhan
388
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
YME.
Bargaya hidup sehat
Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan
yang baik dalam menciptakan hidup yang
sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk
yang dapat mengganggu kesehatan.
Disiplin
Merupakan
suatu
tindakan
yang
menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
Kerja keras
Merupakan suatu perilaku yang menunjukkan
upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas
(belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
Percaya diri
Merupakan sikap yakin akan kemampuan diri
sendiri terhadap pemenuhan ketercaoaiannya
setiap keinginan dan harapannya.
Berjiwa wirausaha
Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai
atau
berbakat
mengenali
produk
baru,
menentukan cara produksi baru, menyusun
operasi
untuk
pengadaan
produk
baru,
memasarkannya, serta mengatur permodalan
operasinya.
Berpikir logis, kritis, Berpikir dan melakukan sesuatu secara
kreatif, dan inovatif
kenyataan atau logika untuk menghasilkan
cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa
yang telah dimiliki.
Mandiri
Suatu sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung
pada
orang
lain
dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
Ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
untuk mengetahui lebih mendlam dan meluas
dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
389
Cinta ilmu
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan
yang
tinggi
terhadap
pengetaphuan.
3
Nilai karakter dalam hubungannya dengan sesama
Sadar akan hak dan Sikap tahu dan mengerti serta melaksnakan
kewajiban
diri
orang lain.
dan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan
orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri
serta orang lain.
Patuh
pada
aturan- Sikap menurut dan taat terhadap aturan-
aturan sosial.
aturan berkenaan dengan masyarakat dan
kepentingan umum.
Menghargai karya dan Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
prestasi orang lain.
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna
bagi
masyarakat
dan
mengakui
dan
menghormati keberhasilan orang lain.
Santun
Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang
tata bahasa maupun tata perilakunya ke
semua orang.
Demokratis
Cara berpikir, bersikap dan bertindak yang
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
Nilai karakter dalam hubungannya dengan lingkungan
4
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam
di sekitarnya, dan mengembangkan upayauaya untuk memperbaiki kerusakan alam
yang sudah terjadi dan selalu ingin member
bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
5
Nilai kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang
menempatkan
390
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kepentingan
bangsa
dan
Negara
diatas
kepentingan
diri
dan
kelompoknya.
Nasionalis
Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi,
dan politik bangsanya.
Menghargai
Sikap
member
respek/hormat
terhadap
keberagaman
berbagai macam hal baik yang berbentuk
fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter di sekolah akan terlaksana dengan lancar, jika guru
dalam pelaksanaanya memperhatikan beberapa prinsip pendidikan karakter.
Kemendiknas (2010) memberikan rekomendasi 11 prinsip untuk mewujudkan
pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut:
a. mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter;
b. mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup
pemikiran, perasaan, dan perilaku;
c. menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk
membangun karakter;
d. menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian;
e. member kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku
yang baik;
f. memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang
yang mengahargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,
dan membantu mereka untuk sukses;
g. mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada peserta didik;
h. memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai
dasar yang sama;
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
391
i. adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter;
j. memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
usaha membangun karakter;
k. mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta
didik.
Sastra Anak
Istilah cerita anak, yang lebih umum dikenal selama ini yaitu sastra
anak. Sastra anak diyakini memiliki kontribusi yang besar bagi perkembangan
kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan. Sastra umumnya dan puisi
khususnya adalah semacam penggunaan bahasa dan bahwa penjelmaan bahasa
yang khas ini tidak mungkin kita pahami dengan sebaik – baiknya tanpa
pengertian, konsep bahasa yang tepat (A. Teeuw, 1083:1). Sastra diyakini
mampu digunakan sebagai salah satu sarana untuk menanam, mmupuk,
mengembangkan, dan bahkan melestarikan nilai-nilai pendidikan yang baik
dan sangat berharga oleh keluarga, masyarakat, dan bangsa (Retno Winarni,
2014:1).
Sastra adalah suatu karya yang spesifik, dengan pemilihan kata-kata
yang spesifik, karya yang dilukiskan dengan cara yang spesifik (Retno
Winarni, 2014:1). Pengenalan diri, sesama, lingkungan, pengalaman,
pendidikan, agama, keudayaan, dan berbagai permasalahannya akan terjadi
hanya jika ada keterlibatan dan pemahaman atas kualitas pendalaman setiap
karya yang dibaca. Artinya, pengalaman membaca yang melahirkan
pengetahuan juga merupakan tuntutan bagi keterlibatan itu. itulah sastra, cerita
mengenai kehidupan yang memampukan manusia menjadi manusia. Sastra
dengan cara yang spesifik menyampaikan peristiwa yang spesifik pula.
Sastra berbicara tentang hidup dan kehidupan, tentang berbagai
persoalan hidup manusia, tentang kehidupan di sekitar manusia, gentang
kehidupan pada umumnya, yang semuanya diungkapkan dengan cara dan
bahasa yang khas (Burhan Nurgiyantoro, 2013:2). Artinya baik cara
392
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
pengungkapan maupun bahasa yang dipergunakan untuk mengungkapkan
berbagai persoalan hidup, atau biasa disebut gagasan, adalah khas sastra, khas
dalam pengertian lain daripada yang lain. Artinya, pengungkapan dalam
bahasa sastra berbeda dengan cara-cara pengungkapan bahasa selain sastra,
yaitu cara-cara pengungkapan yang telah menjadi biasa, lazim, atau yang ituitu saja. Dalam bahasa sastra terkandung unsur dan tujuan keindahan. Bahasa
sastra lebih bernuansa keindahan daripada kepraktisan. Karakteristik tersebut
juga berlaku dalam sastra anak.
Satu hal yang tak boleh dilupakan dalam memahami dan bergaul
dengan sastra anak adalah pertama, bahwa kita berhadapan dengan karya sastra
dan dengan demikian menggunakan elemen sastra yang lazim seperti sudut
pandang, latar, watak, alur dan konflik, tema, gaya, dan nada. Kedua, kita
mendapat kesan mendalam dan serta merta yang kita temukan dalam (bahkan)
pada pembaca pertama adalah adanya kejujuran, penulisan yang sangat bersifat
langsung, serta informasi yang memperluas wawasan. Itulah sastra anak: karya
yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta- pada dasarnya-dibimbing orang
dewasa. (Riris Sarumpaet, 2010: 3).
Sastra anak adalah sastra yang dibaca anak-anak ―dengan bimbingan
dan pengarahan orang dewasa suatu masyarakat, sedang penulisnya juga
dilakukan orang dewasa‖ (Davis 1967 dalam Sarumpaet 1976:23). Stewig
1980 dalam Burhan Nurgiyantoro 2013:4. Mengungkapkan peran sastra bagi
anak dalah bahwa di samping memberikan kesenangan juga memberikan
pemahaman yang lebih baik terhadap kehidupan ini. Sastra mengandung
eksplorasi mengenai kebenaran kemanusiaan. Sastra juga menawarkan
berbagai bentuk motivasi manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat
mengundang pembaca untuk mengundang identifikasinya. Apalagi jika
pembaca itu adalah anak-anak yang fantasinya baru berkembang dan dapat
menerima segala macam cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.
Masih banyak lagi bebagai kandungan yang ditawarkan dan dapat diperoleh
lewat bacaan sastra anak karena sastra bukan tulisan yang biasa. Isi kandungan
yang memberikan pemahaman tentang kehidupan secara lebih baik itu
diungkap dalam bahasa yang menarik.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
393
Sastra anak adalah sastra yang secara emosional psikologis dapat
ditanggapi dan dipahami oleh anak, dan itu pada umumnya berangkat dari
fakta yang konkret dan mudah diimajinasikan (Burhan Nurgiyantoro, 2013:6).
Sastra anak dapat berkisah tentang apa saja, bahkan yang menurut ukuran
dewasa tidak masuk akal. Misalnya, kisah binatang yang dapat berbicara,
bertingkah laku, berpikir dan berperasaan layaknya manusia. Imajinasi dan
emosi anak dapat menerima cerita semacam itu secara wajar dan memang
begitulah seharusnya menurut jangkauan pemahaman anak. Isi cerita anak
tidak harus yang baik-baik saja, seperti kisah anak rajin, suka membantu ibu,
dan lain-lain. Anak-anak juga dapat menerima cerita yang ―tidak baik‖ seperti
anak malas, anak pembohong, kucing pemalas, atau binatang yang suka makan
sebangsanya. Cerita yang demikian pun bukan cerita yang tanpa moral dan
anak pun akan mengidentifikasi diri secara sebaliknya. Pendek kata cerita anak
dapat berkisah tentang apa saja yang menyangkut masalah sehingga mampu
memberikan informasi dan pemahaman yang lebih baik tentang kehidupan itu
sendiri. Bahkan, cerita anak tidak harus selalu berakhir yang menyenangkan,
tetapi dapat juga sebaliknya.
Pembelajaran Apresiasi Sastra Anak
Yunus Abidin (2013:1) mengemukakan bahwa istilah pembelajaran
dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Salah satu sudut pandang
yang dianggap paling awal menyajikan konsepsi pembelajaran adalah sudut
pandang behavioristik. Berdasarkan pandangan teori ini, pembelajaran sering
dikatakan sebagai proses perubahan tingkah laku siswa melalui pengoptimalan
lingkungan sebagai sumber stimulus belajar. Berdasarkan sudut pandang
kognitif, pembelajaran didefinisikan sebagai proses belajar yang dibangun oleh
guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan
kemampuan siswa dalam mengonstruksi pengetahuan baru sebagai upaya
meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi pelajaran. Pembelajaran
mengandung dua karakteristik utama, yakni :
a. Proses pembelajaran melibatkan proses mental siswa secara
maksimal yang mengehendaki aktivitas siswa untuk berpikir; dan
394
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
b. Pembelajaran diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan
kemampuan berpikir siswa , yang pada gilirannya kegiatan berpikir
itu dapat membantu siswa untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri.
Pembelajaran dalam konsep interaksi berfungsi untuk mengembangkan
berbagai potensi yang dimiliki siswa dalam rangka membangun pengetahuan
dalam dirinya. Menurut Degeng (dalam Husaman, 2013:34), pembelajaran
adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Secara implisit dalam pembelajaran
terdapat kegiatan memilih, menetapkan, mengembangkan metode untuk
mencapai hasil pengajaran yang diinginkan, serta didasarkan pada kondisi
pembelajaran yang ada.
Sebagai sebuah pemikiran, melalui pembelajaran apresiasi sastra anak,
diharapkan dapat dijadikan sarana dalam rangka mengembangkan pendidikan
karakter peserta didik. Pendidikan karakter diintegrasikan ke dalam mata
pelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam mengapresiasi sastra. Diharapkan
dengan apresiasi sastra anak bisa mengoptimalkan pendidikan karakter peserta
didik. Pendidikan nilai karakter ini dapat tertanam setelah siswa mengapresiasi
sastra anak dari setiap adegannya, baik itu dari perilaku para tokoh, cara
berpakaian, cara bertindak, cara bertutur, dll. Dari pemahaman yang
ditanamkan sejak dini, diharapkan mampu dijadikan perilaku atau kebiasaan
positif yang terus dilakukan peserta didik sebagai landasan bagi kehidupannya.
Pembentukan karakter ini sebagai wujud bangsa Indonesia yang membedakan
dengan Negara lain. Tetapi tidak terlepas dari peran orang tua dan guru. Anak
akan meniru apa yang dia lihat daripada mendengar apa yang dikatakan oleh
orang lain. Orang tua sebagai cermin bagi peserta didik membentuk perilaku di
rumah. Sedangkan guru adalah cermin bagi peserta didik yang akan
memberikan pembelajaran di kelas.
Proses pembelajaran harus didukung dengan metode pembelajaran
yang memungkinkan siswa dapat berkomunikasi dan berinteraksi, baik itu
dengan guru, temannya, maupun dengan lingkungannya. Metode apa pun yang
digunakan jika dikemas dengan prosedur yang benar akan menghasilkan
pembelajaran yang bermakna. Bukan karena metode yang digunakan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
395
merupakan metode yang sedang digembor-gemborkan. Pelaksanaan proses
pembelajaran sebaiknya dituangkan dalam Rencana Pelaksaan Pembelajaran
(RPP) yang berbasis pendidikan karakter.
SIMPULAN
Pembelajaran apresiasi sastra anak bertujuan untuk mengoptimalkan
pendidikan nilai karakter peserta didik. Dengan sastra anak diharapkan mampu
menjadi sarana dalam proses pembentukan pendidikan nilai karakter peseta
didik. Pendidikan nilai karakter sangat penting dilaksanakan secara sistematis
untuk memahami nilai-nilai perilaku baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun
dalam bermasyarakat. Pendidikan nilai karakter yang ditanamkan sejak dini
membutuhkan dukungan dari berbagai pihak bukan hanya orang tua tetapi guru
dan masyarakat menjadi bagian yang penting.
Hal yang harus diperhatikan dalam dunia pendidikan adalah
penanaman nilai religius dan kemanusiaan sebagai pondasi bagi pedoman
hidup. Sehingga bangsa kita lepas dari bayang – banyang korupsi, kenakalan
remaja, tawuran, seks bebas, kekerasan, dan tindakan anarkis.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus.2014.Desain Sistem Pembelajaran dalam Konteks Kurikulum
2013.Bandung:Refika Aditama.
Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.
Ampera, Taufik. 2010. Pengajaran Sastra Teknik Mengajar Sastra Anak
Berbasis
Aktivitas. Bandung: Widya Padjajaran.
Gunawan, Heri. 2014. Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi.
Bandung: Alfabeta.
Hurlock, Elizabeth B.1980.Psikologi Perkembangan suatu Pendekatan
Sepanjang
Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini.2007.Psikologi Anak.Bandung: Bandar Majun
KBBI (Kamus besar Bhasa Idonesia) edisi ketiga:Balai Pustaka.
396
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Kuniawan, Syamsul.2013.Pendidikan Karakter.Yogyakarta:Ar-Ruzz Media.
Nurgiantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Sanjaya, Wina. 2007. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta:Kencana Perdana Media Group.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak.
Jakarta:Pustaka
Obor Indonesia.
Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
397
NILAI LOKALITAS DALAM SASTRA SEBAGAI
PEMBANGUN KARAKTER
Ridzky Firmansyah F.F
Peneliti
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Nilai Lokalitas dalam Sastra sebagai Pembangun Karakter. Sastra bukan hanya
sekadar karya yang membuat pembacanya terhibur dengan tema, gagasan, atau kisah
yang disajikan. Sastra juga memiliki muatan didikan yang terejawantahkan dalam
kehadiran tokohnya atau dari segi konfliknya. Selain itu, sastra dapat menumbuhkan
rasa cinta, peka, dan empati pembacanya terhadap alam sekitar dan lingkungan
sosialnya. Hal itu terintegrasikan dalam deskripsi suasana, latar, atau bahkan
pandangan tokoh yang termaktub dalam dialog-dialog tokoh maupun antartokohnya.
Bacaan memang belum tentu secara drastis mengubah pandangan seseorang, namun
bacaan dapat berfungsi sebagai terapi ideologi atau intelektual. Melalui bacaan,
seorang pembaca yang mulanya kontra terhadap suatu gagasan tertentu kemudian
menjadi pro. Melalui bacaan, seorang pembaca terinspirasi untuk melakukan hal-hal
yang ditirunya dari perilaku tokoh dalam karya sastra yang dibacanya. Melalui
bacaan, seorang pembaca pun belajar guna melatih kepekaan imajinasi dan empatinya.
Kepekaan imajinasi dan empatilah yang dapat menjadi media penyampaian nilai,
pandangan, norma, atau gagasan umum yang dapat menggelisahkan pembaca
sehingga berkeinginan berbuat sesuatu yang sesuai dengan nilai yang dianutnya atau
kelompoknya. Penguatan nilai-nilai positif dalam sastra pun terlihat dari beberapa
karya sastrawan Indonesia. Katakanlah Ladang Perminus-nya Ramadhan K.H. yang
menyentil masalah penjahatan lingkungan dan korupsi. Juga dalam karya yang
dianggap terlampau vulgar oleh sebagian besar masyarakat yakni Jangan Main-main
dengan Kelaminmu-nya Djenar Maesa Ayu yang mengulas mengenai perilaku seks
yang serampangan. Bermula dari permasalahan, seperti yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Djenar, nilai positif dapat ―diselidiki‖, diperbincangkan, dan
diintegrasikan dalam wujudnya yang nyata. Sesungguhnya, melalui sastra, kesadaran
akan nilai-nilai positif dapat dikaji bahkan dalam studi lebih komprehensif dapat
ditumbuhkembangkan menjadi bentuk model pembelajaran.
Kata kunci: nilai lokalitas, sastra, karakter.
PENDAHULUAN
Karya sastra acap kali menginspirasi khalayak umum untuk melakukan
kegiatan di luar sastra yang menghasilkan pengalaman bersastra. Sebut saja
sebuah kelompok teater yang mementaskan naskah drama (drama dalam
dimensi pertama sebagai karya sastra). Bisa juga sebuah grup musik yang
kemudian lebih banyak mengaransemen teks-teks yang bukan bermula dari
syair melainkan dari puisi, terjadilah musikalisasi puisi.
398
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dari beberapa ilustrasi tersebut, persinggungan dengan karya sastra
menghasilkan pengalaman bersastra. Tak hanya menghasilkan pengalaman
bersastra pada praktisinya saja, khalayak umum pun pada akhirnya menikmati
karya sastra dalam bentuknya yang berbeda. Seseorang yang menyaksikan
pementasan
teater
dan
memiliki
ketertarikan
pada
jalan
ceritanya,
kemungkinan besar akan mencari dan membaca naskahnya. Begitu pun dengan
musikalisasi puisi yang didengarnya. Pada mulanya yang dipentingkan
hanyalah persoalan unsur melodinya, kemudian pendengar musikalisasi puisi
berupaya untuk membaca, menghafal, dan memahami teks puisinya. Hal
tersebut sama halnya dengan mendengarkan sebuah lagu. Pertama-tama yang
disimak hanyalah persoalan melodi yang mudah didengar (easy listening),
kemudian mencari lirik lagu dan menghafalnya agar bisa menyanyikannya.
Sama halnya seperti lagu, karya sastra baik itu berupa puisi, prosa,
maupun drama ialah alat untuk menyampaikan gagasan. Pengarang
menggunakan ragam sastra sebagai media penyampai pesan, penyampai
ideologi, bahkan penyampai kegelisahannya atas apa yang menimpanya atau
menimpa lingkungannya. Setiap pengarang bereaksi atas apa yang dilihatnya.
Pesan yang ingin disampaikan pengarang terkadang tidaklah terus terang.
Terkadang pengarang menggunakan perumpamaan dalam mengungkapkan
gagasannya. Dalam gagasan yang disampaikan, tentu saja ada hal yang ingin
dibagi, ada hal yang ingin diwartakan kepada pembaca, dan ada harapan agar
pembaca dapat tergugah dengan apa yang disampaikannya. Minimal,
pengarang berkeinginan agar pembaca memiliki ―kegelisahan‖ yang sama atas
suatu permasalahan yang dibicarakannya dalam sebuah karya. Jika dikaji,
pesan atau kegelisahan pengarang dapat diidentifikasi sebagai sebuah
pandangan yang wujudnya berupa ajakan atau sekadar nasihat.
PEMBAHASAN
Ladang Perminus: Novel ke Teater
Dalam novelnya, Ramadhan menulis pergolakan batin Hidayat yang
bekerja di sebuah perusahaan minyak negara yang penuh dengan tindakan
korup. Novel Ladang Perminus karya Ramadhan K.H. membongkar boroknya
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
399
penguasaan migas untuk kepentingan penguasa: Orde Baru. Ladang Perminus
mengisahkan tokoh utamanya yang bernama Hidayat, seorang bekas pejuang
angkatan ‗45 yang bekerja sebagai manajer pada perusahaan minyak negara
bernama Perusahaan Minyak Nusantara (Perminus), sebuah analogi untuk
Perusahaan Tambang dan Minyak Negara (Pertamina).
Dalam
novel
Ladang
Perminus,
dijabarkan
kenyataaan
yang
menyebutkan secara gamblang penguasaan perusahaan minyak atas aset
negara. Perminus merupakan negara di dalam negara. Tidak ada yang berani
menyentuh skandal yang terjadi di dalam tubuh perusahaan yang berfokus di
sektor migas itu. Skandal demi skandal muncul dan menggerogoti neraca
pembayaran minyak dan gas (migas) ke dalam kas negara. Perminus dalam
Ladang Perminus
merupakan pengejewantahan dari Pertamina
yang
merupakan alat pengeruk kekayaan negara pada masa Orde Baru. Ketika itu,
berita-berita tentang skandal korupsi di Pertamina tak pernah luput dari sorotan
media massa. Terlebih lagi, Harian Indonesia Raya yang paling gencar
memberitakan perilaku korupsi dalam tubuh perusahaan yang bergerak di
sektor migas milik negara ini. Pada akhirnya, media harus dibungkam oleh
kekuasaan. Harian Indonesia Raya pun dibreidel karena paling setia
memberitakan perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme yang terjadi di tubuh
Pertamina. Pertamina tak ubahnya seperti sapi gemuk yang habis badan karena
diperah penguasa negeri (www.teater-perminus.blogspot.com).
Ladang Perminus mengungkapkan betapa sudah mengguritanya
perilaku korupsi di perusahaan tersebut yang akhirnya harus ‖memaksa‖ setiap
orang yang berurusan dengan Perminus juga melakukan korupsi dan kolusi.
Novel Ladang Perminus tak hanya berbicara mengenai persoalan korupsi.
Persoalan lainnya yang berkait dengan korupsi bahkan menjadi ladang korupsi
ialah persoalan lingkungan dan hak azasi manusia. Lingkungan bukan hanya
menjadi ―perhatian‖ pelaku korupsi dalam mengeruk kekayaan. Namun
lingkungan pun seharusnya menjadi perhatian masyarakat. Jika kekayaan alam
Indonesia terus-menerus dikeruk tanpa ada dampak kesejahteraan bagi
rakyatnya, jelas itu merupakan pelanggaran sebab rakyat ditelantarkan dan
lingkungan dirusak melulu. Begitu banyak kasus korupsi yang berdampak pada
400
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
persoalan pencemaran lingkungan dan hak azasi manusia. Persoalan Lapindo,
Balongan, dan Freeport telah menjadi representasi kedahsyatan perusakan
lingkungan dan pelanggaran hak azasi manusia. Hal tersebut tak lepas dari
perilaku korupsi sebagai hasil dari ―percintaan sengit‖ antara pemilik modal
dan aparatur negara dalam konspirasi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya
tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan hak azasi manusia.
―Aku belum tentu menang, malahan mungkin kalah. Tapi akan
kutunjukkan bahwa aku punya pikiran dan pendirian. Pada saat yang tepat aku
akan melawan!‖ Kutipan dialog dalam novel Ladang Perminus tersebut
mendeskripsikan bahwa setiap individu mestilah memiliki pendirian. Hidayat,
mewujudkan pemikirannya atas negara dan aset negara dalam bentuk
keteguhan pendirian. Hidayat yang dikelilingi perilaku korup di kantornya, tak
terbawa arus untuk turut serta dalam pesta ―uang kaget‖. Karakter Hidayat
yang teguh, jujur, dan cerdas membuktikan kecerdasannya dengan tidak mau
diperbudak harta. Hidayat mengatakan pada saat yang tepat ia akan melawan.
Tentu saja melawan bukan dalam konteks fisik, melainkan melawan dengan
kecerdasan dan keteguhan pendirian. Seperti halnya empat aspek kecerdasan
yang mesti dimiliki generasi muda Indonesia: cerdas intelektual, cerdas sosial,
cerdas spiritual, dan cerdas emosional. Kecerdasan dan pendirian yang dimiliki
Hidayat dapat ditransformasikan ke dalam pembelajaran formal guna
menumbuhkan empat aspek kecerdasan generasi muda Indonesia. Hal tersebut
selaras seperti yang dikatakan Anna (www.kompas.com, 2012), bahwa
pelajaran sastra bagi pelajar memiliki peranan yang penting dalam
mengembangkan kecerdasan dan karakter siswa.
Ladang Perminus menunjukkan adanya keterkaitan antara sastra dan
masyarakat sebagaimana yang dikemukakan Wellek (1990: 111) yakni dari
aspek permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra. Dalam hal ini,
karya sastra dianggap sebagai dokumen sosial, sebagai cermin dari proses
sosial yang lambat laun akan mengubah pandangan masyarakat terhadap suatu
hal. Keterlibatan sosial, sikap, dan ideologi pengarang dapat dipelajari tidak
hanya melalui karya-karya mereka, tetapi juga dari dokumen biografi (Wellek,
1990: 113). Ramadhan yang juga seorang jurnalis mampu menggugah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
401
kesadaran kolektif masyarakat. Masyarakat dipicu untuk melek realitas sebab
kehadirannya sebagai pengarang dengan menulis persoalan sosial telah
mewakili posisi masyarakat untuk memegang kendali atas kontrol sosial yang
terjadi.
Nurgiyantoro (2012: 452) menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran
sastra di sekolah itu haruslah diarahkan agar peserta didik memeroleh sesuatu
yang bernilai lebih dibanding bacaan-bacaan lain yang bukan bacaan
kesastraan. Sesuatu tersebut bermacam jenisnya, yang jika dipilah menurut
Saryono (2009: 52-219) dapat berupa pengalaman, pengetahuan, kesadaran,
dan hiburan. Berbagai cara dapat dilakukan guna membentuk karakter positif
pada generasi muda Indonesia. Sastra memiliki caranya sendiri dalam
membangun karakter masyarakat_pembacanya. Begitu pun dengan bentuk
transformasinya: dari novel menjadi pementasan teater yang memiliki sisi
edukasi sekaligus rekreatif.
Nurgiyantoro (2012: 452-453) membagi bahan pembelajaran sastra ke
dalam dua golongan, yaitu bahan apresiasi langsung dan apresiasi tidak
langsung. Bahan pembelajaran apresiasi sastra langsung menunjuk pada bahan
yang berupa teks-teks kesastraan yang pada umumnya teks puisi, fiksi, dan
drama. Bahan apresiasi sastra yang tidak langsung menyaran pada bahan
pembelajaran yang bersifat teoretis dan kesejarahan, seperti teori sastra dan
sejarah sastra, atau pengetahuan sastra. Melalui sastra, siswa dapat
berkontemplasi, mengembarakan imajinasinya atas realitas teks yang
dihadirkan oleh pengarang. Melalui pementasan teater, siswa mendapatkan
pengetahuan sastra sebab pementasan teater bermula dari naskah (drama
sebagai dimensi satu: D1) begitu pun dengan pementasan teater Ladang
Perminus yang bermula dari sebuah novel.
Persoalan yang diungkap Ramadhan atas dasar fakta_realitas
kebobrokan pengelolaan sistem migas di negeri ini, kemudian diwujudkan
kembali dalam bentuk pementasan teater. Teater ibarat cermin bagi masyarakat
ketika lakon itu dihidupkan. Dalam setiap pementasannya, setiap orang akan
bercermin pada sosok dan persilangan ‖nasib‖ serta konflik yang telah, sedang,
dan kemungkinan akan terjadi. Itu sebabnya sebuah teater akan merawat daya
402
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kritisnya dalam menanggapi kondisi zamannya. Begitupun dengan pementasan
Ladang Perminus yang diangkat dari novel karya Ramadhan K.H. dengan
judul yang sama.
Fenomena korupsi yang terjadi di sektor migas dan kelangkaan bahan
bakar minyak ketika itu, menjadi pendorong terealisasinya pementasan teater
Ladang Perminus. Pementasan teater Ladang Perminus, sengaja digagas guna
menggugah kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda Indonesia atas
perilaku korupsi yang makin masif. Pementasan diselenggarakan selama dua
hari berturut-turut baik di Bandung dan di Jakarta serta satu hari di Solo dan
Semarang dengan sistem tidak berbayar alias gratis. Workshop mengenai
antikorupsi pun diselenggarakan agar seluruh tim paham atas isu yang
digulirkan. Diskusi publik pun diselenggarakan agar tersosialisasikannya isu
antikorupsi pada khalayak umum. Pementasan teater diselenggarakan agar
memungkinkan generasi muda Indonesia berbondong-bondong mengapresiasi
pementasan teater yang akan menumbuhkan kesadaran mereka atas rasa cinta
terhadap aset negerinya sendiri. Selain pementasan teater sebagai bentuk
kampanye antikorupsi, diselenggarakan pula perlombaan menulis esai dengan
tema korupsi, lingkungan hidup, dan hak azasi manusia.
Martabat Seharga Rp 5000 adalah sebuah judul esai yang ditulis siswa
SMA di Bandung. Judul esai tersebut merupakan judul sebuah kumpulan esai
yang ditulis generasi muda Indonesia. Setelah para pelajar dari dua kota:
Bandung dan Jakarta menyaksikan pementasan teater Ladang Perminus yang
diangkat dari novel Ladang Perminus, mereka diminta menulis esai dengan
tema korupsi, lingkungan, atau hak azasi manusia. Penulisan esai oleh siswa
SMA dimaksudkan untuk melengkapi proses pembelajaran terhadap isu yang
digulirkan. Ternyata, siswa SMA begitu antusias menulis esai bertema korupsi,
lingkungan hidup, dan hak azasi manusia. Pada mulanya para siswa diundang
untuk menonton pertunjukan secara gratis. Setelah itu dilakukan diskusi
mengenai tema pertunjukan dan dilanjutkan dengan mengumumkan kriteria
lomba menulis esai. Pementasan Ladang Perminus bukan menjadi kajian yang
mereka ulas.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
403
Pementasan Ladang Perminus hanyalah stimulus mengenai tema yang
dibicarakan dalam novel. Siswa dari berbagai sekolah di Bandung dan
Sumedang berhasil masuk dalam dua puluh besar esai yang lolos seleksi dan
dipublikasikan dalam bentuk buku. Buku yang kemudian diberi judul Martabat
Seharga Rp 5000 didistribusikan secara gratis ke sekolah-sekolah di Bandung,
Sumedang, dan Jakarta sebagai media kampanye antikorupsi. Hal tersebut
dilakukan guna membangun kesadaran antikorupsi dan membangun mental
serta karakter yang teguh juga positif bagi generasi muda Indonesia. Selain
publikasi dan distribusi tema antikorupsi, anti pencemaran lingkungan, dan anti
pelanggaran hak azasi manusia dalam bentuk buku, diedarkan pula DVD
pementasan Ladang Perminus secara gratis ke sekolah-sekolah. Distribusi
buku dan DVD dilakukan untuk lebih memperluas sosialisasi tema
pementasan. Melalui cara ini, diharapkan efek lanjutan pembangunan karakter
positif akan terus bergulir meski pementasan telah usai. Selain itu, dari
kegiatan menulis esai, terdapat nilai positif yang ditumbuhkembangkan yakni
mengenai
apresiasi.
Squire
dan
Taba
(Aminuddin,
2011:
34-36)
mengemukakan bahwa apresiasi melibatkan tiga unsur inti, yaitu aspek
kognitif, aspek emotif, dan aspek evaluatif.
Kegiatan apresiasi dapat menjadi bekal awal siswa mencintai dan lebih
lanjut memahami karya sastra. Setelah siswa bergelut dengan bentuk-bentuk
karya sastra (novel, pementasan teater yang bermula dari naskah drama, dan
esai), siswa dapat lebih peka menulis berbagai objek yang dilihatnya di
lingkungan sekitar. Hal tersebut berguna menumbuhkan sikap sensitivitas yang
merupakan perwujudan dari aspek kognitif, emotif, dan evaluatif. Setelah
siswa memiliki kemampuan menafsir karya berdasarkan fakta teks pada karya
sastra, siswa memahami kegelisahan pengarang, kemudian siswa dapat
memberikan penilaian atas gagasan yang ditawarkan pengarang dalam
karyanya. Dalam aplikasi studi lebih lanjut, siswa pada akhirnya memproduksi
teks yang merupakan hasil pergulatannya dengan aspek kognitif, emotif, dan
evaluatif.
404
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Jangan Main-main dengan Kelaminmu
Cerpen Jangan Main-main dengan Kelaminmu sesungguhnya tak
berbicara persoalan seksualitas semata. Namun ada pesan yang ingin
disampaikan sekaitan dengan persoalan moral yang membentuk karakter
positif pada generasi muda. Persoalan zaman menjadi ciri utama dalam cerpen
Jangan Main-main dengan Kelaminmu ini. Djenar memuat representasi
kehidupan masyarakat urban dengan ketidaksiapan mental: seks bebas. Dalam
karyanya, Djenar bukan mendeskripsikan perilaku terlebih lagi adegan seks,
melainkan sebagai kritik atas kengerian dan media sosialisasi gagasan secara
simbolis. Tentu saja gagasan atas nilai yang bergeser karena persoalan cara
pandang yang berubah: petuah leluhur dianggap sudah usang. Keputusan
Djenar mengambil latar metropolis sekaitan dengan pendapat Herder (Anwar,
2012: 7) bahwa karya sastra berakar pada lingkungan sosial dan geografikal.
Lebih lanjut, Herder mengatakan lingkungan sosial dan geografis mempunyai
fungsi khusus empiris dalam karya sastra sehingga tidak lagi membutuhkan
serangkaian bentuk penilaian atas nilai yang terkandung di dalamnya sebab
segalanya telah begitu adanya.
Luxemburg (1992: 23) mengatakan bahwa sastra yang ditulis pada
suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adatistiadat zaman itu. Sekaitan dengan hal tersebut, Djenar mengambil latar
metropolis dalam cerpennya berjudul Jangan Main-main dengan Kelaminmu
yang seolah-olah menjadi sindiran simbolik bagi kaum urban saat ini atas nilai
yang dianutnya. Tak perlu berpura-pura tidak tahu atau seolah-olah menutup
dengan fakta di masyarakat bahwa anak muda perkotaan pada khususnya,
sudah tidak menganggap hubungan seks sebagai hal yang tabu. Hal tersebut
disebabkan adanya kesalahan dari para orang tua sekaligus guru di sekolah
dalam memandang pendidikan seks. Rata-rata anak Indonesia tidak
mendapatkan pendidikan seks dari kedua orang tuanya, kecuali anak
perempuan. Itu pun hanya sebatas persoalan menstruasi. Sementara anak lakilaki, jarang sekali mendapatkan pendidikan seks dari orang tuanya. Meski ada
pula orang tua yang mengajarkan pendidikan seks pada anaknya, namun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
405
jumlahnya tidak seberapa. Itu pun sangat bergantung pada cara komunikasi dan
wawasan yang dimiliki orang tua.
Pendidikan seks dianggap tabu dibicarakan sebab stereotip yang
berkembang di masyarakat kita yakni pendidikan seks dianggap mengajarkan
bagaimana caranya melakukan hubungan seksual. Padahal pendidikan seks
tidak berbicara persoalan penetrasi penis-vagina melainkan mencakup
kesehatan reproduksi dan pengenalan alat kelamin sekaitan dengan fungsinya
yang benar. Pada tataran fungsi itulah penekanan perilaku seks yang benar
harus dijelaskan sebab sangat berkait dengan kesehatan reproduksi dan norma
yang berlaku di masyarakat. Jika siswa sudah paham betul mengenai kesehatan
reproduksi, niscaya dia akan sangat menjaga dirinya dengan tidak melakukan
hubungan seks sebelum menikah.
Jangan Main-main dengan Kelaminmu merupakan suatu representasi
bahwa di kota besar, saat ini seks bukan hanya sekadar istilah yang merujuk
pada kelamin. Seks sudah ―bertransformasi‖ menjadi gaya hidup. Meskipun
tokoh dalam Jangan Main-main dengan Kelaminmu bukanlah remaja, namun
cerpen tersebut menggambarkan bahwa tren melakukan hubungan seks ketika
berpacaran, terlebih lagi dalam konteks perselingkuhan seolah-olah menjadi
hal yang sama halnya dengan berjabat tangan. Gaya pacaran saat ini hampir
identik dengan hubungan badaniah, meskipun masih banyak kaum remaja yang
menerapkan ―pacaran sehat‖. Namun tak sedikit pula yang menganggap
seksualitas ialah sebuah kelumrahan dalam menjalin suatu hubungan.
Dalam cerpen tersebut, disebutkan tokohnya yang perempuan merasa
tidak dalam posisi yang rugi ketika dia sudah bersetubuh dengan seorang pria
dan tidak dinikahi sebab tidak terlintas dalam pikirannya tentang pernikahan.
Persoalan moral, persoalan karakter, dan nilai yang dianut tokoh sebagai
perwakilan dari sebagian masyarakat, bisa dikaji dalam konteks pembelajaran
berbasis masalah. Dalam jalan cerita, tokoh perempuan yang menjalani
hubungan seks di luar pernikahan merasa tidak memiliki beban sama sekali.
Namun jika dikaitkan dengan persoalan judul, jelas ada pesan yang ingin
disampaikan Djenar dalam karyanya. Pesan yang sama dengan judulnya:
Jangan main-main dengan kelaminmu. Dalam cerpennya yang lain (dalam
406
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
kumpulan
cerpen
Jangan
Main-main
dengan
Kelaminmu),
Djenar
menghadirkan dampak dari bermain-main kelamin. Efek penyakit kelamin
hingga terkena HIV/AIDS menjadi kasus-kasus kecil dalam cerpennya namun
justru itulah yang ingin disampaikan Djenar. Efek dari minimnya pendidikan
seks ialah perilaku seks yang serampangan sebelum saatnya. Efek seks
serampangan berakhir pada persoalan terkena penyakit atau kehamilan pada
perempuan. Jika perempuan hamil di luar pernikahan, pilihannya hanya dua:
melanjutkan kehamilan dengan atau tanpa pernikahan atau mengugurkan janin.
Secara tidak langsung, Djenar hendak berbicara persoalan moral, persoalan
karakter persoalan nilai yang sudah banyak bergeser sebab cara pandang orang
sudah semakin cepat berubah dan terlampau ekstrim. Djenar memotret
dinamika sosial masyarakat perkotaan dengan caranya yang justru bukan
vulgar melainkan nyinyir. Cara Djenar menghadirkan realitas, sekaitan dengan
realisme dialektik yang dikemukakan Lukacs (Anwar, 2012: 56) yakni karya
sastra yang bentuk dan isinya menampilkan interaksi sosial, interaksi alam,
interaksi sejarah yang mengungkapkan kekuatan-kekuatan ―spesifik‖ dari
dinamika sosial suatu masyarakat.
Dalam cerpennya yang lain (masih dalam antologi Jangan Main-main
dengan Kelaminmu), Djenar menyoroti persoalan pandangan orang, kebiasaan
orang, dan moral. Bahkan dalam cerpennya berjudul ―Moral‖, Djenar
melakukan sebuah sindiran dengan menyatakan melihat moral dipajang di
sebuah etalase pusat perbelanjaan dengan harga seribu rupiah. Djenar
menyindir banyak orang yang seakan-akan sudah bermoral, seakan-akan
dirinya yang paling bermoral tetapi masih berpikiran picik terhadap orang lain.
Persoalan moral yang menjadi dasar dalam karya Djenar bukanlah persoalan
sikap yang sangat bisa menipu sebab sikap dapat terlihat wujudnya pada saat
tertentu, sementara hati dan pikiran, itulah yang menjadi inti, dasar, dan wujud
sebenarnya dari sebuah moral. Siapa pun tak bisa menghalangi pikiran,
interpretasi, dan imajinasi seseorang terhadap orang lain, bahkan diri kita
sendiri pun tak dapat menghalangi yang namanya pikiran, interpretasi, dan
imajinasi. Itu sebabnya, persoalan moral yang acap kali digadang-gadang dan
dijadikan dalih oleh khalayak umum, belum sepenuhnya dipahami.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
407
Kemendiknas (Fransori: 2012) mengatakan fungsi sastra dalam
membentuk kepribadian, yakni sebagai pembentuk karakter anak, penanaman
nilai-nilai agama, dan pembinaan dari krisis moral dan krisis keteladanan.
Dalam hal ini, Djenar mengaktualisasikan fungsi sastra yang dimaksud
Kemendiknas dalam wujud nilai toleransi dan berpikir positif yang katanya
menjadi ciri masyarakat Indonesia. Djenar telah begitu apik menampilkan
persoalan karakter dengan gayanya yang khas.
Dalam narasi Jangan Main-main dengan Kelaminmu, Djenar
menuliskan: ―Awalnya memang urusan kelamin....‖ Dari narasi tersebut, jelas
persoalannya
adalah
pada
persoalan
mengumbar
berahi,
persoalan
mengeskpresikan bentuk cinta, sayang, dan segalanya itu dalam wujud yang
belum sepenuhnya benar: kelamin hubungan seks. Dikatakan belum
sepenuhnya benar sebab tiap-tiap orang hidup dalam sebuah norma yang
dianut masyarakat. Bayangkan saja jika persoalan yang diungkap Djenar dalam
cerpennya lantas terjadi pada diri kita, saudara, atau anak kita, lantas apakah
kita akan bersikap tak acuh. Urusan kelamin tak bisa dianggap sepele. Urusan
kelamin bisa menyebabkan media televisi lebih banyak menyiarkan berita
pelecehan seksual dan pemerkosaan yang berujung pada pembunuhan.
Persoalan moral dan karakter kembali ―digugat‖ oleh Djenar dengan cara
―mengeskploitasi‖ hal-hal yang bersifat badaniah.
Karya Djenar yang dianggap vulgar karena mendeskripsikan suatu
objek dengan verbal tanpa menggunakan analogi, ternyata memiliki
keterkaitan atau berujung pada kesadaran pembaca sastra. Kesadaran atas
kesehatan seksual dan reproduksi yang berujung pada persoalan moral dan
karakter generasi muda yang cukup banyak membaca karya-karyanya. Dalam
hal ini, jelaslah bahwa karya sastra tak sekadar menyelipkan informasi dan
ideologi pengarangnya semata. Karya sastra juga memiliki kontribusi dalam
hal membentuk karakter pembaca bahkan menjadi semacam media advokasi
dalam bidang seni pada umumnya, terlebih pada bidang sastra pada khususnya.
Wellek
(1990:
120)
mengatakan
sastrawan
dipengaruhi
dan
mempengaruhi masyarakat: seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga
membentuknya. Pendapat Wellek tersebut jelas mengindikasikan bahwa karya
408
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
sastra dapat membentuk pola pikir masyarakat pembaca. Pembentukan pola
pikir tersebut terwujud dalam bentuk nilai yang dianut oleh masyarakat yang
merupakan bentuk reaktualisasi atas nilai yang berkembang di masyarakat
namun posisi dan fungsinya mulai tergeser. Masyarakat bisa meniru karakter
yang dibuat oleh pengarang, bisa juga bersikap antipati.
Dalam pembelajaran apresiasi sastra yang langsung, peserta didik
secara kritis dibimbing untuk membaca dan memahami, mengenali berbagai
unsurnya yang khas, menunjukkan kaitan di antara berbagai unsur,
menunjukkan keindahan, menunjukkan berbagai pengalaman dan pengetahuan
yang dapat diperoleh, dan lain-lain, yang semuanya tercakup dalam wadah
apresiasi. Dengan demikian, kompetensi bersastra peserta didik akan lebih
bermakna daripada sekadar pengetahuan tentang sastra (Nurgiyantoro, 2012:
453). Pengetahuan mengenai hal di luar sastra wajib diperoleh siswa sebab halhal di luar sastra dapat menjadi bahan pembicaraan dalam sebuah karya. Siswa
pada akhirnya dapat merumuskan nilai-nilai estetis dalam karya (realitas teks)
yang berkaitan dengan nilai-nilai etis dalam kehidupan di masyarakat (realitas
sosial).
PENUTUP
Dari dua karya sastra yang menyoroti tema yang berbeda, keduanya
sama-sama menyuguhkan persoalan yang membumi: moral dan karakter
bangsa. Ramadhan dengan tema korupsinya dan Djenar dengan tema
seksualitas tidak sekadar menulis karya atas imajinasinya belaka. Keduanya
memiliki kegelisahan yang sama yang didasari semangat zaman. Keduanya
sama-sama menjadi represesntasi kepedulian masyarakat (sastrawan) atas suatu
permasalahan yang dirasa ―menggerogoti‖ masyarakat.
Kasus-kasus korupsi dan dampaknya di bidang migas masih saja terjadi
di Indonesia. Hingga saat ini, kelangkaan bahan bakar, sebagai akibat korupsi,
yang notabene sangat penting bagi kehidupan rakyat masih saja dialami rakyat
kecil sehingga harga-harga naik dan mencekik leher mereka. Jika persoalan ini
tidak dibenahi, bukan tidak mungkin negeri ini akan hancur oleh bangsanya
sendiri.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
409
Maraknya kasus aborsi dan meningkatnya hubungan seks di kalangan
remaja, khususnya pelajar menjadi representasi minimnya pemenuhan hak
kesehatan seksual dan reproduksi. Kaum remaja tidak mengetahui kesehatan
seksual dan reproduksi yang mestinya mereka dapatkan. Pada akhirnya mereka
melakukan hal-hal yang tidak mewakili karakter dirinya dan bangsanya sebab
mereka mencari pengejewantahan lain yang salah.
Sastra sangat bisa menjadi media pembentukan karakter, sekaligus
media penyampai informasi yang efektif. Melalui karyanya, sesungguhnya
Djenar hendak menginformasikan mengenai pendidikan seks dan kesehatan
reproduksi. Persoalan bahasa dan jalan cerita yang dianggap vulgar hanyalah
gaya personal sastrawan dalam menuliskan gagasannya. Begitu pun dengan
Ramadhan yang berani menyikapi masalah korupsi dengan membuat analogi
kembar perminyakan nusantara. Dari kedua karya tersebut, jelaslah bahwa
sastra dapat menjadi media diskursus yang simultan, dan itulah cara sastrawan
mengaktualisasikan nilai lokalitas dalam membangun karakter generasi
pembangun negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 2011. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Anna, Lusia Kus. 2012. Pelajaran Sastra, Kuncinya Kualitas Guru. [Online],
Tersedia: http://www.kompas.com [15 November 2014]. Diunduh 15
November 2014.
Anwar, Ahyar. 2012. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Ayu, Djenar Maesa. 2004. Jangan Main-main dengan Kelaminmu. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Fransori, Arinah. 2012. Hal Ihwal Pengajaran Sastra. [Online]. Tersedia:
http://nenggelisfransori.wordpress.com/2012/01/25/hal-ihwalpengajaran-sastra/ Diunduh 15 November 2014.
Gunawan, FX Rudy. 2009. Martabat Seharga Rp 5000. Jakarta: Spasi.
Hadimadja, Ramadhan Karta. 1990. Ladang Perminus. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.
410
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Luxemburg, Jan Van, dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT
Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis
Kompetensi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera
Publishing.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT
Gramedia.
http://www.teater-perminus.blogspot.com [Online]. [15 November 2015].
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
411
PERAN KATA GANTI DALAM MEMBANGUN
KARAKTER GENERASI MUDA
Roikhan Mochamad Aziz
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Peran Kata Ganti dalam Membangun Karakter Generasi Muda. Karakter
generasi muda memberikan wawasan bagi pengembangan Bahasa Indonesia. Ia
sejalan dengan fenomena bahasa agama yang terus mencari nilai universal dari
budaya dengan ilmu yang ada. Bahasa budaya menyodorkan keragaman yang
menjadi rahmat, sedangkan bahasa agama menyodorkan keuniversalan yang
menjadi pondasi bagi budaya yang bermacam-macam. Bahasa Indonesia akan
menjadi jembatan bagi keuniversalan dan keragaman tidak hanya di rumpun
pendidikan bahasa serta sastra. Untuk itu diperlukan penyempurnaan Tata
Bahasa Indonesia supaya lebih sesuai dengan nilai universal dalam bahasa
agama, diantaranya adalah penyesuaian kata ganti orang yang berjumlah satu,
dua, dan paling sedikit tiga orang.
Dalam Tata Bahasa Arab, baik Nahu maupun Sorof, kata ganti orang terdiri
dari kata ganti tunggal, kembar, dan jamak. Sedangkan Bahasa Indonesia
hanya mengenal kata ganti orang tunggal dan jamak. Dalam penelitian struktur
tata bahasa ini menggunakan pendekatan kualitatif merujuk pada metode
Hahslm dengan metodologi Sinlammim. Metodologi ini berlandaskan pada
Islam yang merupakan pondasi pada Al-Quran terutama Quran Surat Ali Imran
[3]:19 dan Al-Hijr [15]:87. Diperlukan cara berpikir non-linier untuk
menggabungkan analisis antara komparasi, analogi, maupun notifikasi dalam
agama dan keragaman serta ilmu. Kata ganti orang ke-2 dan ke-3 perlu
disisipkan berupa kata ganti orang yang berjumlah dua, sehingga kata ganti
orang yang berjumlah banyak merupakan kata ganti orang berjumlah paling
sedikit tiga orang. Dengan disisipkan kata ganti orang ke-2 yaitu Kada atau
Kamu Berdua dan kata ganti orang ke-3 yaitu Dida atau Dia Berdua, maka
Bahasa Indonesia sudah menemukan tata bahasa yang lebih universal serta
mencerminkan keragaman. Sehingga makna ‗banyak‘ dalam agama dapat
disepakati sebagai ‗sesuatu yang berjumlah paling sedikit tiga‘, ia akan
menjadi kontribusi tata bahasa yang baru bagi pencarian inti ilmu dan
membangun karakter generasi muda.
Kata kunci: bahasa, agama, kada, dida, kata, ganti
PENDAHULUAN
Ragam agama, bahasa, dan budaya pada era globalisasi ini menjadi suatu
bidang bahasan yang sangat menarik disebabkan oleh ia telah berada di tingkat
capaian yang cukup kompleks. Kaitan antara agama, bahasa, dan budaya saling
412
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tumpang tindih. Semula agama yang universal diturunkan untuk menjadi
petunjuk jalan lurus bagi manusia dan alam semesta untuk mencari pusat
kehidupan dengan cara yang sudah disampaikan oleh para wali, nabi, serta
rasul.
Berikutnya bahasa akan menjadi media universal untuk menyampaikan
kebenaran bagi seluruh umat manusia. Dan kemudian budaya akan menjadi
semakin baik untuk terus berusaha mencapai kedekatannya dengan
kesempurnaan. Tetapi ternyata saat ini terjadi kemandekan budaya dimanamana. Dibuktikan dengan masih hidupnya api konflik dalam sekam kehidupan
sosial-budaya di Indonesia dan masih adanya ketimpangan dalam budaya yang
dianut oleh negara-negara maju yang memiliki peradaban tinggi dengan
budayanya yang sangat bebas bahkan menjauh dari norma susila.
Budaya tinggi dalam hal peradaban yang tinggi, ternyata tidak mampu
ditafsirkan ke dalam budaya sosial yang tinggi juga. Ketidakmampuan budaya
untuk mengelaborasi dasar-dasar konseptual dan ideal bagi kehidupan bersama
yang baik, tinggi, dan universal ini perlu dirancang ulang untuk memberikan
nilai budaya yang baik di segala bidang.
Bahasa mencerminkan budaya merupakan pepatah yang menjadi tepat
untuk dibuat dasar pemikiran bahwa permasalahan budaya bisa berasal dari
bahasa. Walaupun bisa juga agama menjadi permasalahan tersendiri dari
perkembangan sastra, bahasa, dan budaya yang ada di suatu lingkungan. Dan
bisa juga bahwa penyelarasan antara agama dan bahasa menjadi permasalahan
lain yang mengakibatkan nilai budaya yang berbeda dari tujuan awal dalam
kehidupan bersama ini.
Dari berbagai permasalahan di atas, studi ini akan memfokuskan pada
adanya perbedaan pada bahasa dalam hal merumuskan prinsip-prinsip bahasa
yang bersifat universal. Sejatinya, tolok ukur keuniversalan sudah dapat
dipelajari dari risalah agama itu sendiri, sehingga tercipta bentuk agama,
bahasa, dan budaya yang konsisten serta menumbuhkan semangat nilai
universal.
Agama dalam hal ini Islam merupakan agama yang masih murni dan
konsisten dalam penelitian ini akan menjadi standar bagi fungsi kebahasaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
413
yang ada. Untuk itu dibutuhkan saling rujuk antara agama dalam hal ini AlQuran sebagai kitab suci agama Islam dengan bahasa dalam ini Bahasa
Indonesia, dan juga Bahasa Arab yang sudah menjadi dasar bagi tata bahasa
dalam Al-Quran.
LANDASAN TEORI
Ontologi
Setiap konsep utuh pasti memiliki dasar pemikiran konsisten. Dalam
pengetahuan sastra dan bahasa secara umum konsep yang senantiasa konsisten
sejatinya akan menjadi sebuah bentuk universal yang dipahami sebagai nilai
dasar yang akan dimiliki oleh bentuk lain. Begitu juga dengan ontologi dari
konsep universal sejatinya merupakan berasal dari ―Yang Satu‖ yaitu Allah
Swt. Sang Pencipta memberikan sinyal bahwa bentuk universal alam semesta
ini bisa disebut namanya sebagai Islam. Bahwa sistem kehidupan yang ada
pada diri manusia, di lingkungan sekitar, dalam bahasa, serta membangun
karakter generasi mudaterkanal pada konsep Islam. Dengan kata lain konsep
kaidah sastra dan bahasa semestinya sesuai dengan Islam atau dikenal dalam
industri syariah disebut sebagai Islamic Compliance.
Epistemologi
Islam dimaknai sebagai suatu sistem yang holistik, komprehensif, atau
menyeluruh. Kemudian Islam yang menyeluruh inilah yang menjadi
epistemology dari konsep bunyi dalam hal ini tata bahasa yang sedang
dikembangkan yaitu Kaffah.
Bunyi dalam hal ini tata bahasa yang menyeluruh merupakan
epistemology yang muncul karena beranggapan bahwa konsep dasar
kehidupan adalah Islam dan Islam dianggap sebagai suatu sistem. Menyeluruh
bermakna semua bagian tanpa terkecuali menjadi bagian dari suatu sistem.
Dengan konsep besar yang menyeluruh ini pada suatu bunyi dalam hal ini
bahasa maka setiap bagian tata bahasa harus dipetakan menjadi bagian dari tata
bahasa tersebut tanpa terkecuali.
414
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Aksiologi
Diawali dari ontologi berupa Islam sebagai alasan kehidupan termasuk
tata bahasa, kemudian epistemologi yang digunakan adalah Kaffah sebagai
suatu sistem dalam tata bahasa dan terakhir adalah aksiologi yang lebih
sederhana berupa penerapan dalam pengembangan tata bahasa yaitu adanya
keseimbangan dari 2 hal. Dalam aksiologi ini, hubungan tersebut selalu ada 2
hal yang merupakan hubungan antara 2 kata yang berlawanan art yang disebut
dengan antonim.
ANALISIS
Pendekatan yang dilakukan sesuai dengan filosofi yang ada adalah
berpikir sistem, sesuai dengan keutamaan dari bagian-bagian yang lebih
dominan terlebih dahulu. Dengan adanya hirarki antara bagian sehingga akan
memiliki bagian yang lebih tinggi dibandingkan bagian yang lain, atau ada
bagian yang sama rendah dengan bagian yang lain. Serta memiliki keterkaitan
antara satu sama lain, walaupun sebenarnya memiliki prioritas antara bagian
tetapi akan menjadi sebuah jaringan yang utuh. Sehingga satu bagian dengan
bagian yang lain dapat dipergantikan antar bagian karena dianggap sudah
berada pada strata yang sama. Metode ini yang menjadi suatu cara sebagai satu
dari sekian solusi untuk menembus pengembangan konsep dalam rangka
memecahkan permasalahan yang mendasar. Hal ini dirasakan perlunya suatu
metode yang lebih baik untuk menjadi perimbangan dalam mengatasi
keterbatasan metodologi dalam pembuktian antara bentuk universal dengan
tata bahasa.
Hal ini juga sejalan dengan perkembangan ilmu terakhir yang
menyatakan bahwa dirasakan perlu untuk mencari jalan tengah dari
permasalahan tata bahasa yang stagnan dengan beralih ke hal-hal yang
berkaitan dengan spiritual. Semakin hari manusia semakin menginginkan
konstruksi ilmu yang lebih baik, lebih tajam, dan mampu menjawab semua
aspek.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
415
Diagram Berpikir Sistem
Sistem
A
B
Umpan
balik
Diolah, 2014
Dengan adanya fenomena ini bahwa manusia merupakan satu kesatuan
utuh dari ciptaan Allah yang menjadi bagian dari mahluk hidup diantara
tumbuhan, hewan, dan manusia. Sehingga manusia dalam hal ini suara yang
selanjutnya akan disebut sebagai bunyi bisa dikatakan sebagai bagian dari
keuniversalan untuk merepresentasikan setiap ekspresi yang ada oleh setiap
mahluk hidup terutama manusia atau orang, maka tata bahasa yang berkaitan
dengan orang dalam hal ini adalah kata ganti orang menjadi standar utama
dalam tata bahasa.
Dan juga pendekatan berpikir sistem ini, dapat dikembangkan dalam
kehidupan seperti komparatif analogi antara bentuk universal dalam hal ini
Tata Bahasa Arab dengan Tata Bahasa Indonesia dalam hal ini Kata Ganti
Orang. Konsep ini memiliki beberapa elemen utama, yaitu elemen pertama
adalah Tuhan, kemudian elemen kedua adalah alam, dan elemen ketiga sebagai
umpan baliknya adalah ibadah.
Tabel Independent Nominative Personal Pronouns
No
1
2
3
4
5
6
7
8
416
Jumlah
Kata
Ganti
Orang
Ke- (c)(m/f)
Singular Ic
IIm
IIf
IIIm
IIIf
Dual
IIc
IIIc
Plural
Ic
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tata Bahasa Arab
Tulisan Bacaan
Tata
Bahasa
Indonesia
‗an
‗at
‗at
hw
hy
‗atm
hm
nhn
Saya
Kamu
Kamu
Dia
Dia
Kami
‗ana
‗anta
‗anti
huwa
hiya
‗antuma
huma
nahnu
IIm
‗atm
‗antuma
IIf
‗atn
‗antunna
IIIm
Hm
hum
IIIf
hn
hunna
Sumber: Schniedewind, 2007
9
10
11
12
Kalian
Kalian
Kalian
Kalian
Keterangan: c=corporation m=male, f=female
Dari Tabel Independent Nominative Personal Pronoun di atas,
disebutkan bahwa ada personal pronouns atau kata ganti personal dengan
jumlah 1 (satu) yang disebut sebagai singular, dan kata ganti personal dengan
jumlah 2 (dua) yang disebut sebagai dual, serta kata ganti personal dengan
jumlah 3 (tiga) yang disebut sebagai plural.
Sedangkan untuk kata ganti orang ke-I adalah untuk diri sendiri atau
orang yang sedang berbicara, dan untuk kata ganti orang ke-II adlah bagi orang
lain yang diajak berbicara, serta untuk kata ganti orang ke-III adalah bagi
orang lain yang sedang dibicarakan. Dalam teknik penulisan di atas,
dimasukkannya huruf abjad ‗ (koma di atas) atau apostrof untuk
merepresentasikan huruf hijaiyah alif.
Bila teman dari penelitian ini diterima dan dijadikan acuan baru bagi
pola tata bahasa yang baku, maka selayaknya translasi huruf hijaiyah ke dalam
huruf abjad Bahasa Indonesia juga menambahkan ‗ (koma atas) sebagai huruf
abjad resmi, sehingga penulisan translasi bacaan ‗ana (arab) dituliskan sebagai
‗n adalah terdiri dari 2 (dua) karakter atau 2 (dua) huruf abjad serta bukan
terdiri dari 1 (satu) huruf. Untuk itu dibutuhkan studi lebih lanjut perlunya
pengembangan huruf abjad disesuaikan dengan huruf hijaiyah dan tidak
dibatasi hanya pada teknik penulisan transliterasinya saja.
Pada Tabel Personal Pronouns di atas, dari 12 tulisan dan bacaan Tata
Bahasa Arab terdapat 2 baris yang tidak ada kata gantinya dalam Tata Bahasa
Indonesia, yaitu pada jumlah dual untuk Personal Pronouns II (‗atm, ‗antuma)
dan III (hm, huma). Dengan tidak adanya personal pronouns dengan jumlah
dua (dual) atau kembar dalam Tata Bahasa Indonesia, maka kebahasaan
Indonesia secara umum akan menyebutkan jumlah banyak (jamak) pada
ilangan setelah 1 (satu), secara sederhana dapat dikatakan bahwa 2 (dua)
adalah banyak.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
417
Tabel Komparasi Tata Bahasa Beberapa Negara
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Jumlah
Kata
Mandarin
Ganti
Orang
Ke(c)(m/f)
Singular Ic
Wo
Iim
Ni
Iif
Ni
IIIm
Ta
IIIf
Ta
Dual
Iic
IIIc
Plural
Ic
Women
Iim
Nimen
Iif
Nimen
IIIm
Tamen
IIIf
Tamen
Sumber: Diolah, 2014.
Samoan
Malay
English
(UK, US)
A‘u
Oe
Oe
Ia
Ia
Oulua
La‘ua
Matou
‗outou
‗antunna
Latou
Latou
Saya
Kamu
Kamu
Dia
Dia
Kami
Kalian
Kalian
Mereka
Mereka
I
You
You
He/she
He/she
We
You
You
They
They
Keterangan: c=corporation m=male, f=female
Dampak dari kebahasaan yang menyatakan bahwa 2 (dua) adalah
banyak (jamak), maka pola pikir seluruh pengguna Bahasa Indonesia akan
menyebutkan jumlah 2 (dua) orang atau jumlah 2 (dua) barang langsung
disebut sebagai banyak (jamak). Padahal dalam Tata Bahasa Arab jumlah 2
(dua) atau dual masih masuk dalam kategori belum banyak, belum jamak, dan
masih disebut sebagai kembar atau twin atau dual.
Dari tabel komparasi tata bahasa di beberapa negara di atas, secara
umum terlihat bahwa sebagian besar negara memiliki tata bahasa yang hampir
mirip dengan hanya berbeda pada kata ganti untuk jumlah 2 (dual) pada kata
ganti orang ke II (Oulua, Somoan), dan kata ganti orang ke III (La‘ua,
Somoan). Baik bahasa Mandarin, Bahasa Malay, dan Bahasa Inggri,
kesemuanya tidak memiliki kata ganti dengan jumlah 2 (dua) orang. Dan pola
kebahasaan yang lebih dominan ini selalu menyebutkan bahwa jumlah 2 (dua)
itu merupakan jumlah bilangan banyak (jamak) atau sering disebutkan bahwa
lebih dari 1 (satu) adalah sudah menunjukkan banyak (jamak).
418
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tabel Komparasi Kata Ganti Orang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
Kata
Tata Bahasa Arab
Ganti
LakiPerempuan
Orang
laki
KeI
Tunggal Huwa
Hiya
Kembar Huma
Huma
Jamak
Hum
Hunna
II
Tunggal Anta
Anti
Kembar Antuma Antuma
Jamak
Antum Antunna
III
Tunggal Ana
Ana
Jamak
Nahnu Nahnu
Sumber: Diolah, 2014
Tata
Bahasa
Indonesia
Dia
?
Mereka
Kamu
?
Kalian
Saya
Kami
Pola pikir yang terkooptasi dari struktur bahasa yang belum sesuai
dengan dasar bahasa agama kitab suci mengakibatkan belum terbukanya ilmu
pengetahuan secara menyeluruh. Untuk itu diperlukan penyelarasan tata bahasa
dengan struktur bahasa asli Al-Quran yaitu Bahasa Arab. Demi menghindari
adanya distorsi makna antara Islam yang bersumber dari Al-Quran dengan
makna Islam yang dipahami dari pengalaman yang dipahami di Indonesia
sebagai negara terbesar mayoritas muslim di dunia.
Dalam Metodologi Sinlammim menunjukkan bahwa sin yang
bermakna banyak (jamak) karena lazim diartikan sebagai yang diciptakan yaitu
manusia atau alam semesta terkonfirmasi diwakili oleh bilangan berjumlah 3
(tiga) dan lam yang bermakna tunggal (esa) yang sering diterjemahkan sebagai
yang menciptakan yaitu Tuhan dalam hal ini Allah Swt. terkonfirmasi
direpresentasikan oleh bilangan berjumlah 1 (satu) atau tunggal. Sedangkan
mim yang merupakan elemen penyambung antara manusia ke Tuhan atau
bilangan penyambung antara 3 (tiga) ke 1 (sati0 maka dibutuhkan suatu
bilangan yang lebih dari 1 (satu) tetapi kurang dari 3 (tiga) sehingga muncullah
bilangan perantara yaitu 2 (dua). Untuk itu, dalam konkeks Tabel Kada Dan
Dida Dalam Ibadah di atas, proksi untuk elemen ibadah yang merupakan
elemen antara manusia ke Tuhannya, maka bilangan yang dipadupadankan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
419
adalah bilangan 2 (dua) sehingga tabel secara keseluruhan yang yang memiliki
urutan bilangan 3,2,1 bermakna bahwa manusia beribadah pada Tuhannya.
Tabel Kada Dan Dia dalam Ibadah
Tuhan (1) (Singular)
I Saya
II Kamu
III Dia
Manusia (3) (Plural)
I Kami
II Kalian
III Mereka
Ibadah (2) (Dual)
II Kada
III Dida
Sumber: Diolah 2014.
Dalam Metodologi Sinlammim menyimpan makna manusia beribadah
pada Tuhannya yang merupakan landasan utama dari keberagamaan islam,
kemudian secara eksploratif deduktif juga mengkonfirmasi keharusan adanya
keberadaan fungsi kata ganti orang berjumlah 2 9dua) sebagai penambah
urutan kata ganti orang banyak (jamak) yang semula banyak (jamak) adalah 2
(dua) kemudian berubah dan ditetapkan menjadi 3 (tiga). Hal ini untuk
menyinkronisasi makna agama dalam hal ini Islam dengan Tata Bahasa
Indonesia, sehingga bisa dikatakan struktur bahwa sudah benar jika sudah
sesuai dengan nilai universal (Universal Compliance), yang dalam industri
Islam sering disebut Islamic Compliance atau Sharia Compliance.
SIMPULAN
Kata ganti orang dalam bentuk jumlah akan menjadi tolok ukur bagi
platform bahasa dalam bentuk lain. Disebabkan oleh fungsi kata ganti orang
menjadi dasar bagi semua pola, sehingga landasan pembentukan kata ganti
orang harus sesuai dengan filosofi dan nilai universal dalam ini Islam.
420
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dalam Islam tersirat kata ganti personal untuk Tuhan adalah berjumlah
1 (satu), dan untuk manusi atau alam semesta adalah berjumlah 3 (tiga)., maka
diperlukan kata ganti personal antara yaitu yang berjumlah 2 (dua) untuk
mengantarai dari jumlah kata ganti personal 1 (satu) dengan kata ganti personal
berjumlah 3 (tiga).
Tata Bahasa Indonesia sangat memerlukan kata ganti personal untuk
jumlah 2 (dua) orang untuk kata ganti orang II yaitu ‗kada‘ yang merupakan
gabungan kata dari makna ‗kamu berdua‘ dan kata ganti orang III yaitu ‗dida‘
yang merupakan gabungan kata dari makna ‗dia berdua‘. Setelah mendapatkan
kata ganti orang untuk jumlah 2 (dua) orang atau kembar atau dual maka
makna banyak (jamak) menjadi jumlah orang dengan paling sedikit berjumlah
3 (tiga), sehingga jumlah 2 (dua) orang yang merupakan jumlah orang lebih
dari 1 (satu) tetapi jumlahnya belum sampai 3 (tiga) bermakna belum bisa
dikatakan sebagai berjumlah banyak (jamak).
Dengan adanya Tata Bahasa Indonesia yang menyatakan kata ganti
orang banyak (jamak) harus menyandarkan pada personal berjumlah 3 (tiga)
orang, maka landasan untuk menyebutkan jumlah sesuatu yang menunjukkan
kehadiran orang atau selain orang seperti hewan, tumbuhan, mahluk hidup,
barang, benda mati yang menyebutkan banyak (jamak) jika dan hanya jika
berjumlah minimal 3 (tiga), dan bukan berjumlah 2 (dua).
Untuk selanjutnya penyebutan kata dengan jumlah banyak (jamak)
harus dimulai dari jumlah 3 (tiga), sehingga penyandaran jumlah 3 (tiga)
sebagai kata banyak (jamak) akan sesuai dengan nilai universal pada ragam
bahasa, budaya, alam semesta, agama, terutama Islam.
SARAN
Dengan adanya sub sistem Tata Bahasa Indonesia yang baru dalam hal
ini kata ganti orang maka semua pemangku kepentingan terhadap membangun
karakter generasi muda serta bahasa juga berbagai pihak terkait perlu
melakukan tindakan akomodatif pada pengembangan bahasa terkini. Untuk itu
rekomendasi bagi berbagai kalangan antara lain:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
421
Institusi yang menjadi penanggungjawab tertinggi pengembangan dan
pembinaan bahasa dalam hal ini Kementerian Pendidikan Kebudayaan mampu
memberlakukan aturan baku dalam setiap lisan maupun penulisan dalam
lingkup Bahasa Indonesia.
Institusi pendidikan tinggi dalam halini Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan atau Tarbiyah mampu berperan aktif turut mengeksplorasi dan
mengelaborasi pengembangan makna baru dari pola kata ganti yang baru ini.
Setiap unit pengembangan dan pembinaan bahasa di semua institusi
memberikan kontribusi atas perubahan pola kata ganti dalam jumlah pada Tata
Bahasa Indonesia.
Bagi individu maupun kelompok ikut memberikan sumbangsih
pemikiran atas dimulainya pola tata bahasa untuk sinkronisasi di semua aspek
kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟ân al-Karim dan Terjemahnya. Lembaga Percetakan al-Qur‘ân Raja
Fahd, 2006.
Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta, Departemen Agama, 2003.
Alisjahbana, S. Takdir. Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid I. Dian
Rakyat, Jakarta, 1982.
Al-Ayni, Abu Muhammad Mahmud ibn Ahmad. Al-Binayah fi Sharh alHidayah. Beirût: Dâr al-Fikr, Vol.11, 1990.
Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis: Bahasa Indonesia.Rineka Cipta, Jakarta,
2009.
Eid, Mushira, et al. Encyclopedia Of Arabic Language And Linguistic.
Cambridge, London, 2009.
Fromkin, Victoria, et al. An Introduction To Language. Thomson, New York,
2007.
Ibn al-Athir, Majd al-Din Abi al-Sa‘adat al-Mubarak. Al-Nihayah fi Ghaîb alHadith wa al-Athar. Beirût: Dâr al-Kutub al-‗Ilmiyyah, 1997.
Jumin, Hasan Basri. Sains dan Teknologi Dalam Islam.Rajawali, Jakarta,
2012.
422
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu. Mizan, Jakarta, 2005.
Khalid Saeed, Development Planning And Policy Design: A System Dynamics
Approach (Cambridge: Avebury, 1994
Krisdalaksana, Harimurti. Beberapa Ciri Bahasa Indonesia Standar.
Pengajaran Bahasa Dan Sastra. Jakarta, Pusat Pembinaan Dan
Pengembangan Bahasa, 1975.
Kroeger, Paul R. Analysing Grammar. Cambridge, New York, 2007.
Mahzar, Armahedi. Integralisme: Sebuah Rekonstruksi Filasafat Islam,
Bandung, 1983.
Moeliono, Anton M. Struktur Bahasa Indonesia. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1982.
Mochamad Aziz, Roikhan. Sinlammim Kode Tuhan. Jakarta: Esa Alam, 2006.
Mochamad Aziz, Roikhan. Jejak Islam Yang Hilang. Jakarta: Sinlammim,
2007.
Salim, Peter. The Contemporary English-Indonesian Dictionary: With British
And American Pronounciation And Spelling, Rajawali, Jakarta, 2005.
Schniedewind, William M, et al. A Primer On Ugaritic: Language, Culture,
And Literature. Cambridge, New York, 2007.
Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan. Balai Pustaka, Jakarta, 1979.
Poerwadaminta, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Remadja Karya,
Bandung, 1985.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
423
MEMBANGUN KARAKTER KREATIF MELALUI
PEMBELAJARAN MEMBACA DAN MENULIS
R. Mekar Ismayani
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Membangun Karakter Kreatif melalui Pembelajaran Membaca dan Menulis.
Penanaman pendidikan karakter pada kurikulum 2013 tertuang dalam kompetensi
sikap religius dan sosial yang selanjutnya menjadi kompetensi inti yang harus
ditanamkan pada semua mata pelajaran mulai dari tingkat SD sampai SMA.
Kreativitas merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam kurikulum tersebut. Melaui
kreativitas yang tinggi memungkinkan manusia untuk meningkatkan kualitas
kehidupannya, melalui interaksi dengan lingkungan fisik, sosial intelektual, dan
spiritual secara konstruktif. Makalah ini merupakan kajian teori yang akan membahas
tentang pengembangan karakter kreatif yang dapat diimplementasikan melalui
pembelajaran membaca dan menulis.
Kata kunci : karakter, kreatif, membaca, dan menulis
PENDAHULUAN
Nilai-nilai karakter yang menjadi tema utama kurikulum 2013 terlepas
dari isu-isu yang sedang hangat diperbincangkan di berbagai media baik
elektonik, media tulis, maupun media sosial akan keberlangsungan kurikulum
yang baru berjalan lebih kurang 1 tahun ini, adalah produktif, kreatif, inovatif.
Selain itu, pembelajaran terpadu mulai dari tingkat SD sampai SMA menjadi
semangat kurikulum yang menjadikan saintifik sebagai ruh dalam proses
pembelajaran.
Kompetensi yang menjadi sasaran kurikulum 2013 meliputi kompetensi
sikap, pengetahuan dan keterampilan. Khusus untuk kompetensi sikap tidak
diajarkan tetapi diterapkan atau diteladankan. Oleh karena itu, tulisan ini
setidaknya mengkaji mengenai salah satu nilai karakter yang menjadi tema
utama kurikulum 2013 yaitu kreatif atau kreativitas pada mata pelajaran bahsa
dan sastra Indonesia yang dapat ditanamkan dan dikembangkan melalui
pembelajaran membaca dan menulis.
Seperti yang telah diketahui, membaca dan menulis merupakan bagian
dari keterampilan berbahasa yang bersifat aktif dan kreatif. Di samping itu,
membaca dan menulis perupakan pasangan sejati yang berkorelasi dan tidak
424
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
bisa dipisahkan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Sayuti (2012)
menyatakan bahwa, ‖Fungsi
membaca sama dengan aktivitas menulis‖.
Artinya, ketika seseorang membaca, sama dengan menulis ide-ide di dalam
pikirannya. Keduanya saling berkaitan erat karena menulis itu membutuhkan
wawasan dan pengetahuan yang memadai. Oleh karena itu, menulis merupakan
kerja intelektual yang penting dikembangkan pada diri peserta didik. Ketika
menulis, peserta didik diharapkan mempunyai wawasan dan gagasan yang
luas. Gagasan-gagasan tersebut dapat diperoleh dari hasil membaca,
pengamatan, dan diskusi.
Dengan demikian, dapat dikatakan modal utama menulis adalah
membaca. Membaca diibaratkan sebuah petualangan intelektual yang akan
menambah wawasan kita dan meningkatkan daya imajinasi dalam menulis.
Pernyataan tersebut senada dengan Mc Neil (Hernowo, 2003:111) yang
menegaskan bahwa semakin banyak seseorang membaca, maka semakin baik
pula tulisannya. Selain itu, ada pernyataan lain yang menyatakan bahwa gaya
penulisan tidak didapat dari menulis, melainkan dari hasil membaca.
Pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca sangat
erat hubungannya dengan kegiatan menulis. Seorang penulis akan mempunyai
karakter pada tulisannya sesuai dengan pengalaman yang diperoleh ketika ia
membaca. Tulisan yang baik akan diketahui dari seberapa luas isi/kajian yang
diungkap oleh penulis dalam suatu teks wacana. Keluasan kajian dalam tulisan
seseorang sangat didukung oleh kemampuan seseorang ketika memahami
suatu bacaan dengan bahasa yang linear. Oleh karena itu, pembelajaran
membaca dan menulis dapat diberikan secara terpadu.
Ihwal Pendidikan Karakter dan Kreativitas
Kertajaya (Asmani, 2012:28) berpendapat bahwa karakter adalah ciri
khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah
asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan
merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,
berujar, dan merespons sesuatu.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
425
Karakter yang kuat merupakan prasyarat bagi setiap insan untuk menjadi
pemenang dalam medan kompetisi kuat seperti saat ini dan yang akan datang
yang terkenal dengan era hiperkompetitif (Asmani, 2012). Artinya, karakter
yang kuat akan menjadi penentu keberhasilan seseorang dalam kehidupan.
Kreativitas, kepercayaan diri, dan mentalitas yang tinggi merupakan nilai-nilai
karakter yang memiliki kontribusi terhadap keberhasilan seseorang. Karakter
yang kuat dapat diperoleh melalui pendidikan yang seimbang antara hard skill
yang tertuang pada pengembangan IQ dan soft skill yang bisa dicapai melalui
EQ dan SQ. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang
memiliki keseimbangan hard skill dan soft skill adalah seseorang yang
memiliki karakter kuat dan siap bertarung serta menjadi pemenang dalam era
hiperkompetitif di masa mendatang.
Kreativitas berasal dari bahasa Inggris yaitu creativity berarti mencipta
atau daya cipta. Pengertian kreativitas dapat dibedakan ke dalam empat
dimensi yaitu person, proses, produk, dan press.
Pengertian kreativitas
ditinjau dari dimensi person adalah ―Creativity refers to the Abilities that are
characteristics of creative people‖ Guilford dalam Murniati (2012:10).
Definisi kreativitas dari dimensi produk dikemukakan oleh Amabile (Murniati,
2012:13), suatu produk atau respons seseorang dikatakan kreatif apabila
menurut penilaian orang yang ahli atau pengamat yang mempunyai
kewenangan dalam bidang itu bahwa itu kreatif. Murniati sendiri berpendapat,
kreativitas
merupakan
kemampuan
berpikir
tingkat
tinggi
yang
mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berpikir, ditandai
oleh suksesi, diskontinuitas, diferensiasi, dan integrasi antara setiap tahap
perkembangan (2012: 121).
Rasa ingin tahu dan ingin mencoba merupakan ciri utama dari usia
remaja yang baru saja meninggalkan masa kanak-kanak. Berkreasi dan
berinovasi cenderung dimaknai dengan kebebasan yang kebablasan. Alih-alih
semua itu mereka lakukan dengan mengatasnamakan kegiatan kreatif.
Kegiatan tersebut seperti mencoret-coret atau melukis di dinding, mengikuti
tren, main band dan kegiatan-kegiatan lain. Jika kreativitas dimaknai usia
426
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
remaja
dengan
kegiatan-kegiatan
tersebut,
maka
sudah
tentu
akan
menimbulkan keresahan bagi orang tua, guru, bahkan lingkungan.
Kreativitas bukan hanya sekadar menciptakan sesuatu yang baru dan
unik, tetapi juga harus bermanfaat. Pada usia remaja, kreativitas sering
dimaknai suatu kemampuan menghasilkan sesuatu yang baru dan unik saja
dengan mengenyampingkan bahwa kreativitas juga harus bermanfaat bagi
lingkungan. Oleh karena itu, kreativitas pada kalangan remaja sering dimaknai
dengan kegiatan-kegiatan yang menyimpang dari norma-norma.
Untuk mengontrol perilaku kreatif yang salah pada usia remaja, guru
seyogyanya memiliki program untuk menyalurkan kreativitas siswa sesuai
dengan perkembangan remaja. Program tersebut dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pembelajaran membaca dan menulis. Melalui budaya
membaca dan menulis, kreativitas siswa usia remaja dapat disalurkan dan
dikembangkan tanpa melanggar aturan atau norma masyarakat, agama, dan
kesehatan. Siswa juga masih dapat berinovasi dan berkreasi.
Sebagai bentuk upaya mengatasi permasalahan kreativitas di kalangan
remaja, Farida (2014:76) berpendapat, terdapat beberapa hal yang bisa kita
kondisikan sebagai berikut.
1. Menerima mereka dengan keunikan dan perubahan mood yang sering
memicu perselisihan. Inilah saatnya memperlihatkan teladan yang baik,
bahwa orang dewasa mampu mengelola konflik.
2. Memberikan peluang untuk lepas dari zona nyaman atau perlindungan yang
sebelumnya diberikan orang tua dan keluarga. Sesekali izinkan mereka
turun ke dapur, misalnya. Berikan arahan, berikan kepercayaan.
3. Sepakati konsekuensi yang proporsional. Bahaslah, mana yang termasuk
kesalahan yang disengaja dan mana yang tidak. Pastikan kita membahasnya
dengan cair, sehingga mood kretivitas tidak jadi padam.
4. Beri dukungan pada prosesnya, apresiasi hasilnya. Jika evaluasi diperlukan,
minta remaja melakukannya sendiri, pastikan mereka paham bahwa tahap
ini akan memberikan pengalaman besar untuk kesuksesan yang akan
datang.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
427
Lebih lanjut, Murniati mengemukakan enam hal yang bisa dilakukan
untuk memberi bantuan/bimbingan kepada anak-anak kreatif (2012:130),
antara lain:
1. menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitas;
2. mengakui dan menghargai gagasan-gagasan anak;
3. menjadi pendorong bagi anak untuk mengkomunikaskan dan mewujudkan
gagasan-gagasannya;
4. membantu anak memahami divergensinya dalam berpikir dan bersikap, dan
bukan malah menghukumnya;
5. memberi peluang untuk mengkomunikasikan gagasannya;
6. memberikan informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia.
Bagaimana pun pembentukan karakter selalu dimulai dari rumah.
Demkian pun dengan kreativitas. Keluarga yang suportif akan menghasilkan
seorang anak yang kreatif dan inisiatif. Keberhasilan pembentukan suatu
karakter juga ditentukan oleh sekolah dan lingkungan. Sekolah, misalnya turut
menjadi media untuk mengembangkan berbagai kehidupan intelektual dan
sosial seorang anak.
Berbicara kreativitas kepada remaja, perlu dijelaskan kepada mereka
bahwa yang dimaksud kreativitas bukan hanya menciptakan karya seni, karya
tulis, atau menghasilkan produk. Kreativitas memerlukan keterbukaan dalam
gagasan dan kesediaan menerima berbagai masukan. Berikut ciri-ciri orang
yang kreatif dikemukakan Munandar (Murniati, 2012:46).
1. Terbuka terhadap pengalaman baru dan luar biasa
2. Luwes dalam berpikir dan bertindak
3. Bebas dalam mengekspresikan diri
4. Dapat mengapresiasi fantasi
5. Berminat pada kegiatan-kegiatan kreatif
6. Percaya pada gagasan sendiri
7. Mandiri
428
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Ihwal Pembelajaran Membaca
Membaca adalah suatu kegiatan interaktif untuk memetik serta
memahami arti atau makna yang terkandung di dalam bahan tulisan
(Somadayo, 2011:4). Selanjutnya, Gilet dan Temple (Somadayo, 2011:5),
menyatakan bahwa membaca adalah kegiatan visual, berupa serangkaian
gerakan mata dalam mengikuti baris-baris tulisan, pemusatan penglihatan pada
kata dan kelompok kata, melihat ulang kata-kata dan kelompok kata untuk
memperoleh pemahaman terhadap bacaan. Masih dalam buku karangan
Somadayo, Safie‘ie menyatakan bahwa sebagai suatu proses berpikir,
membaca mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi,
kritis, dan pemahamn kreatif (2011:6).
Secara umum, kegiatan membaca mempunyai dua tujuan utama yaitu
tujuan behavioral dan tujuan ekspresif seperti yang dijelaskan Tarigan
(2011:3), secara garis besar, kegiatan membaca mempunyai dua maksud
utama, yaitu tujuan behavioral yang disebut juga tujuan tertutup, ataupun
tujuan instruksional dan tujuan ekspresif (tujuan terbuka). Selanjutnya,
dijelaskan pula bahwa tujuan membaca behavioral biasanya diarhkan pada
kegiatan-kegiatan membaca, antara lain: memahami makna kata (word attack);
keterampilan-keterampilan
studi
(study
skills);
dan
pemahaman
(comprehension). Tujuan ekspresif terkandung dalam kegiatan-kegiatan
seperti: membaca pengarahan diri sendiri (self-directed reading); membaca
penafsiran, membaca interpretatif (interpretative reading); dan membaca
kreatif (creativereading).
Menurut Safi‘ie (1999:36), pemahaman kreatif adalah pemahaman tang
paling tinggi tingkatannya dalam proses membaca. Hal ini sependapat dengan
Somadayo (2011:25) menyatakan bahwa kemampuan membaca kreatif
merupakan tingkatan tertinggi dari kemampuan membaca seseorang. Artinya,
pembaca tidak hanya menangkap makna tersurat (reading the lines), makna
antarbaris (reading between the lines), dan makna di balik baris (reading
beyond the lines), tetapi juga mampu secara kreatif menerapkan hasil
membacanya untuk kepentingan sehari-hari.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
429
Masih menurut Somadayo (2011:25), beberapa keterampilan membaca kreatif
yang perlu dilatihkan antara lain keterampilan:
1. mengikuti petunjuk dalam bacaan kemudian menerapkannya;
2. membuat resensi buku;
3. memecahkan masalah sehari-hari melalui teori yang disajikan dalam buku;
4. mengubah buku cerita (cerpen atau novel) menjadi bentuk naskah drama
dan sandiwara radio;
5. mengubah puis menjadi prosa;
6. mementaskan naskah drama yang telah dibaca; dan
7. membuat kritik balikan dalam bentuk esai atau artikel popular.
Selanjutnya,
Nurhadi (1991:223) berpendapat bahwa seseorang
dikatakan memiliki pemahaman membaca kreatif jika dapat memenuhi kriteria
sebagai berikut: (1) kegiatan membaca tidak berhenti sampai pada saat
menutup buku, (2) mampu menerapkan hasil untuk kepentingan hidup seharihari, (3) munculnya perubahan sikap dan tingkah laku setelah proses membaca
selesai, (4) hasil membaca berlaku sepanjang masa, (5) mampu menilai secara
kritis dan kreatif bahan-bahan bacaan, dan (6) mampu memecahkan masalah
kehidupan sehari-hari berdasarkan hasil bacaan yang telah dibaca.
Dari uraian di atas, kegiatan membaca merupakan faktor penting untuk
menunjang beragam kreativitas seseorang. Membaca memiliki peran dan
manfaat dalam meningkatkan pengetahuan, pengalaman, dan mencerdaskan
generasi bangsa. Pengalaman yang diperoleh melalui membaca yaitu
menemukan ide-ide yang memungkinkan menghadirkan ide-ide baru.
Kemampuan berpikir yang merupakan proses membaca akan membentuk sikap
kreatif dan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Ihwal Pembelajaran Menulis
Akadiah (Abidin,2012:181) memandang menulis adalah sebuah proses,
yaitu proses perenuangan gagasan atau ide ke dalam bahasa tulis yang dalam
praktiknya proses menulis diwujudkan dalam beberapa tahapan yang
merupakan satu sistem yang utuh. Menulis juga merupakan proses kreatif hal
ini sesuai dengan Pranoto (2004:6) yang mengungkapkan, penulisan kreatif
430
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
(creativewriting) adalah proses menulis yang bersifat kreatif, direka-reka
sedemikian rupa dengan diberi ruh dan nafas seni, khususnya seni
sastra.Senada dengan Pranoto yang melihat menulis sebagai proses kreatif,
Kurniawan dan Sutardi (2012:2) menyatakan menulis adalah pilihan eksistensi,
yaitu kesadaran untuk berproses secara aktif-kreatif yang terus menerus.
Ada pun tahap kreatif dalam menulis dikemukakan oleh Kurniawan dan
Sutardi (2012:15), sebagai berikut.
1. Tahap pencarian ide dan pengendapan
Ide atau inspirasi merupakan modal dasar menulis, oleh karenanya
pencarian ide merupakan langkah awal menulis. Ide itu bisa datang dari
setiap peristiwa atau hal-hal yang dijumpai atau dialami setiap hari.
2. Tahap penulisan
Jika ide sudah didapatkan maka langkah selanjunya adalah tahap penulisan.
Ida yang sudah diperoleh hendaknya jang ditunda-tunda lagi, segera
tuangkan dalam bentuk tulisan.
3. Tahap editing dan revisi
Tahap akhir dari proses kreatif adalah editing dan revisi, tahap ini bertujuan
agar
tulisan
yang
kita
hasilkan
siap
untuk
dipublikasikan
dan
menyempurnakan kekurangan-kekurangan pada tahap penulisan.
Pembelajaran menulis dapat dikategorikan pada pembelajaran yang
sulit namun tidaklah mustahil untuk dipelajari. Dikatakan sulit karena menulis
merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Sebagaimana diungkapkan Hastuti
(Ismayani, 2014:19), bahwa kegiatan menulis merupakan kegiatan yang sangat
kompleks karena melibatkan cara berpikir yang teratur dan berbagai
persyaratan yang berkaitan dengan teknik penulisan, antara lain (1) adanya
kesatuan gagasan, (2) penggunaan kalimat yang jelas dan efektif, (3) paragraf
disusun dengan baik, (4)
penerapan kaidah ejaan yang benar, dan (5)
penguasaan kosakata yang memadai.
Ada pun manfaat menulis, dikemukakan oleh Graves(Akadiah dkk,
1998:1.4) adalah: (1) menulis menyumbang kecerdasan, (2) menulis
mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, (3) menulis menumbuhkan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
431
keberanian, dan (4) menulis mendorong kemauan dan kemampuan
mengumpulkan informasi.
Dari uraian di atas, jelaslah jika menulis merupakan proses kreatif, hal
tersebut dapat dilihat dari manfaat menulis yang dikemukakan oleh Graves,
bahwa selain menyumbang kecerdasan, menumbuhkan keberanian, dan
mendorong kemauan serta kemampuan mengumpulkan informasi, menulis
juga dapat mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas. Maka, dengan
demikian pembelajaran menulis dapat dijadikan sebagai media untuk
menanamkan nilai karakter kreatif.
PENUTUP
Setelah menyimak uraian mengenai kreativitas, pembelajaran membaca
dan menulis, tidaklah heran jika kurikulum 2013 mengangkat kreativitas
sebagai salah satu tema yang diusung. Kreativitas memiliki kontribusi dalam
kemajuan
pribadi
seseorang
dalam
kehidupannya.
Dalam
konteks
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, penanaman sikap kreatif dapat
diperoleh melalui pembelajaran membaca dan menulis. Hal ini dikarenakan,
aktivitas membaca sama dengan aktivitas dalam menulis. Selain itu, membaca
dan menulis merupakan keterampilan dasar berbahasa yang penting dikuasai
peserta didik karena dapat menunjang eksistensi hidup mereka. Melalui
membaca, peserta didik dapat meningkatkan kreativitasnya dalam menulis. Itu
sebabnya, kedua keterampilan ini dikatakan pasangan sejati atau dengan kata
lain membaca merupakan jodohnya menulis.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran membaca dan
menulis merupakan pembelajaran yang dalam implementasinya dapat
diberikan secara terpadu. Baik membaca maupun menulis keduanya
merupakan kegiatan aktif dan kreatif. Oleh sebab itu, kedua keterampilan ini
dapat dijadikan media untuk menanamkan karakter kreatif.
432
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. 2012. Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Pendidikan
Karakter. Bandung: Refika Aditama.
Akhadiah, S. dkk. 1998. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Asmani, J. M. 2012. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di
Sekolah. Yogyakarta: Diva Press.
Farida, A. 2014.Pilar-pilar Pembangunan Karakter Remaja Metode
Pembelajaran Aplikatif untuk Guru Sekolah Menengah. Bandung:
Nuansa Cendikia.
Ismayani, R.M. 2014. Model Pembelajran Literasi Teks Cerpen dengan
Strategi Kreatif Berbasis Karakter pada Siswa Kelas VIII SMPN 5
Cimahi (Tesis). Universitas Pendidikan Indonesia.
Kurniawan, H dan Sutardi. 2012. Penulisan Sastra Kreatif. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Murniati, E. 2012. Pendidikan dan Bimbingan Anak Kreatif. Yogyakarta: PT
Pustaka Insan Mandiri.
Pranoto, N. 2004. Creative Writing 72 Jurus Seni Mengarang. Jakarta: PT
Primamedia Pustaka.
Sayuti, S. A. 2007. Membaca Jodohnya Menulis. Yogyakarta: Kedaulatan
Rakyat.
Somadayo, S. 2011. Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Tarigan, H.G. 2011. Membaca Ekspresif. Bandung: Angkasa.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
433
FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA SUNDA DAN
BAHASA INDONESIA DALAM PEMBENTUKAN
KARAKTER BANGSA
R.Yudi Permadi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran
Pos-el : [email protected]
ABSTRAK
Fungsi dan Kedudukan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia dalam
Pembentukan Karakter Bangsa. Fungsi bahasa daerah/Sunda di Jawa Barat selain
sebagai alat komunikasi juga sebagai bahasa yang dapat mengungkapkan berbagai
arti kata Sunda dan juga kode-kode budaya Sunda yang tidak dapat diungkapkan oleh
bahasa lain. Kata-kata dalam bahasa Sunda banyak yang mengandung simbol
budaya/kearifan lokal dan dapat membentuk karakter masyarakat. Pada saat ini,
kalangan generas muda di Jawa Barat khususnya yang tinggal di perkotaan, sudah
sedikit yang menggunakan bahasa Sunda. Kebanyakan dari mereka menggunakan
bahasa Indonesia dalam kesehariannya. Adanya dualisme kepemilikan bahasa pada
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda dan
bahasa Indonesia, menimbulkan isu atau permasalahan bahwa bahasa Indonesia
adalah penyebab dari tergesernya bahasa Sunda terutama di perkotaan. Inilah yang
akan menjadi kajian tulisan ini, apakah benar terjadi gesekan atau dominasi satu
bahasa terhadap bahasa lainnya, dalam hal ini bahasa daerah yang terancam. Lantas
langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar fungsi, peranan, dan kedudukan
bahasa daerah dan nasional ini tidak saling menggeser. Upaya-upaya menetralisasi
dan mencari jalan keluar agar kedua bahasa tersebut saling mendukung baik dalam
fungsi maupun peranannya, sangat mendesak dilakukan sehingga tidak terjadi
kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia mengancam peranan bahasa daerah. Jika upaya
tersebut tidak dilakukan, bahasa sebagai pembentuk karakter, terutama bagi generasi
muda, tidak akan terwujud.
Kata kunci: bahasa sunda, bahasa indonesia, karakter.
PENDAHULUAN
Bahasa yang merupakan salah satu alat komunikasi dapat dikatakan
sebagai wujud ekspresi pikiran dan perasaan yang diaktualisasikan dalam
bentuk lisan maupun tulisan. Ekspresi timbul karena adanya dorongan ataupun
desakan dari dalam untuk mengungkapkan maksud tertentu kepada orang lain,
sehingga timbul kepuasan pribadi. Ekspresi yang berwujud bahasa dapat
menjadi sebuah identitas karakter seseorang karena dengan inilah karakter
yang tersembunyi itu dapat diketahui.
434
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dengan
berbahasa,
apa
pun
yang
ingin
diungkapkan
dapat
teraktualisasi lebih-lebih jika didukung oleh daya nalar dan wawasan yang
memadai. Adanya hambatan dalam berbahasa salah satunya disebabkan oleh
kurangnya wawasan tentang suatu hal. Oleh karena itu, kemampuan berbahasa
seseorang dapat ditentukan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal
adalah
kemampuan
verbal,
artinya
bagaimana
seseorang
memaksimalkan kinerja otak/sarafnya untuk selalu aktif dan reaktif terhadap
rangsangan atau sinyal-sinyal komunikasi dari luar. Faktor eksternal adalah
masuknya wawasan atau pengetahuan dari berbagai sumber/media yang dapat
mendukung kinerja otak sehingga terjadi sinergitas dengan kemampuan
verbalnya.
Kemampuan verbal seseorang yang dapat meyakinkan orang
lain adalah suatu kelebihan yang tidak banyak dimiliki oleh semua orang.
Kepiawaian seseorang dalam berbicara dapat menentukan karakter siapa dan
bagaimana orang tersebut.
Berdasarkan kemampuan dan pemerolehan bahasanya, seseorang dapat
memiliki kemampuan berbahasa lebih dari satu bahasa. Sebagai bangsa
Indonesia, sebagian besar suku bangsa di Indonesia dapat berbahasa Indonesia
di samping berbahasa daerahnya. Bahasa daerah (mother langue) adalah
bahasa Ibu yang diturunkan di keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya,
sedangkan bahasa Indonesia diajarkan di sekolah-sekolah formal dari taman
kanak-kanan sampai perguruan tinggi. Bahasa Ibu diajarkan oleh para orang
tua kepada anaknya semenjak dalam kandungan. Percakapan antara calon ayah
dan ibu dapat didengar oleh janin dalam kandungan sehingga tersimpan dalam
memori otaknya. Data percakapan yang masih dalam bentuk sinyal-sinyal
inilah yang kelak menjadi sumber pendukung ketika ia belajar berbicara.
Apabila terjadi kurang komunikasi antara calon ayah dan ibu dapat
mengakibatkan lambatnya si janin berbicara kelak.
Bahasa percakapan antara calon ayah dan ibu dapat menentukan
kemampuan berbahasa si calon anak. Apabila mereka menggunakan bahasa
daerah, kemungkinan si anak akan dapat belajar bahasa daerah itu dengan
cepat tetapi apabila bahasa percakapan itu bahasa Indonesia, kemungkinan si
anak akan dapat cepat berbahasa Indonesia. Kemungkinan lain adalah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
435
percakapan berbahasa daerah dapat menimbulkan efek pembentukan karakter
yang sesuai dengan adat dan budaya daerah tersebut. Jadi, sebetulnya
pembentukan karakter anak itu bermula dari pendidikan orang tuanya yang
memiliki latar belakang budaya dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia adalah
bahasa persatuan yang menjadi perekat budaya antarsuku bangsa di Indonesia.
Fungsi bahasa daerah adalah sebagai alat komunikasi dalam wilayah
tertentu, misalnya orang Jawa Barat sebagian besar menggunakan bahasa
Sunda sebagai bahasa pengantarnya karena bahasa ini sudah turun-temurun
digunakan di daerah ini. Saat ini terjadi gejala bahwa bahasa Sunda di
perkotaan terutama yang dekat ke ibukota provinsi maupun ibukota negara,
penggunaannya tergeser oleh bahasa Indonesia.
Peranan bahasa daerah/Sunda di Jawa Barat adalah sebagai bahasa
yang dapat mengungkapkan berbagai arti kata Sunda dan juga kiasan-kiasan
budaya Sunda yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa lain. Terutama kodekode budaya Sunda yang hanya dapat dijelaskan oleh bahasa Sunda. Sulit
sekali misalnya mengindonesiakan kiasan/peribahasa: handap asor, gurat batu,
kokolot begog, biwir nyiru rombengeun, clom giriwil, poho ka purwa daksina,
gemah ripah loh jinawi, lelengkah halu, tiis ceuli herang mata, pasini jangji
pasang subaya, kawas jeler kasaatan, kawas ucing kumareumbi, meupeus
keuyang,
teng manuk teng anak merak kukuncungan, kokod monongeun,
salenting bawaning angin, kolepat bawaning kilat, dan lain sebagainya.
Kedudukan bahasa Sunda di wilayah Jawa Barat adalah sebagai bahasa
‗nasional‘-nya masyarakat Jabar dan sebagai bahasa pendamping bahasa
Indonesia. Saat ini di lingkungan pemerintah kota dan kabupaten di Jawa Barat
sudah ada peraturan daerah tentang ‗Rebo Nyunda‘ misalnya yang
diberlakukan di Pemkot Bandung. Pada setiap hari Rabu semua aparat
pemerintahan diwajibkan berkomunikasi dengan bahasa Sunda.
Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia menyangkut dua hal, yaitu
pertama, fungsinya sebagai bahasa nasional yang meliputi; bahasa Indonesia
sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, sebagai lambang identitas nasional,
alat perhubungan antarwarga secara nasional, alat pemersatu bangsa. Kedua,
fungsinya sebagai bahasa negara mencakup: (1) bahasa resmi kenegaraan,
436
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
(2)bahasa pengantar di dunia pendidikan, (3) alat perhubungan tingkat
nasional, (4) alat pengembangan ipteks.
Kedudukan bahasa Indonesia mencakup dua hal. Pertama, sebagai
bahasa nasional, sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928, dan kedua sebagai
bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
masyarakat untuk berinteraksi. Setiap bahasa memiliki konteks dan
leksikonnya masing-masing. Dalam konteks keindonesiaan terdapat tiga
leksikon umum berupa leksikon bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa
asing. Keberadaan leksikon suatu bahasa memiliki pengaruh terhadap
perkembangan bahasa di suatu negara (Listyaningrum, dlm.Prosiding Sem.
Internasional UIN Jakarta, Nov. 2014, h. 255).
Bahasa dalam konteks keindonesiaan mempunyai dua ranah yaitu
bahasa nasional dan bahasa daerah. Bahasa nasional adalah bahasa yang telah
disepakati bersama pada saat sumpah pemuda. Dalam kedudukannya sebagai
bahasa nasional, bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi pemerintahan,
bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, dan bahasa alat pengetahuan dan
teknologi. Sementara itu, bahasa daerah adalah bahasa yang dimiliki oleh
suku-suku yang ada di Indonesia. Bahasa daerah merupakan cermin adanya
kemajemukan bahasa di Indonesia. Bahasa daerah yang dimiliki Indonesia
sangatlah banyak, bisa mencapai ratusan, sebab setiap daerah memiliki bahasa
dan dialeknya masing-masing. Karena kemajemukan bahasa inilah, sehingga
dalam perkembangannya bahasa Indonesia tidak dapat berdiri sendiri. Pada
saat kongres di Medan diketahui bahwa pertumbuhan dan perkembangan
bahasa Indonesia diperkaya oleh berbegai bahasa salah satunya bahasa daerah.
Pemerkayaan ini dapat dilakukan dengan terjemahan maupun adopsi dari
leksikon-leksikon bahasa daerah. Proses pembentukan bahasa nasional inilah
yang nantinya akan memunculkan politik bahasa. (ibid, h.256)
Bahasa alamiah di seluruh dunia selalu mengalami perubahan.
Perubahan terjadi diakibatkan berbagi faktor. Perubahan bahasa dapat terjadi
karena dipicu oleh faktor internal bahasa atau sistem bahasa itu sendiri. Faktor
internal yang dapat mengakibatkan perubahan bahasa, misalnya, pengayaan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
437
kosakata dan sistem pemakaian bahasa. Banyak bahasa di dunia memperkaya
kosakatanya dari bahasa lain karena keperluan konsep baru (neologisme) atau
gengsi(prestise)
Perubahan yang terkait dengan sistem pemakaian antara lain variasi
atau register tertentu untuk kepentingan tertentui dalam kehidupan sehari-hari
penutur bahasa. Perubahan ini dapat dipicu secara internal untuk pengeyaan
bahasa dan dapat pula dipicu oleh pengaruh bahasa lain. Terciptanya undakusuk atau tingkat tutur dalam bahasa Sunda merupakan salah satu perubahan
pemakaian bahasa.
Undak-usuk sebagai cara berbahasa yang umum tentunya memiliki
nilai sosial yang luhur bagi penuturnya. Hal ini dapat terjadi karena berbicara
dengan menggunakan undak-usuk diakui sebagai cara berbicara yang sesuai
dengan aturan berbahasa, etika bermasyarakat, dan etika berbudaya. Etika
berbahasa perlu dipertahankan karena ini merupakan salah satu etike dalam
berkehidupan. (Wahya, dalam Prosiding Semnas : Peran Budaya Sunda dalam
Membangun dan Memperkuat Karakter Bangsa, h.327, FASA Unpad, 2-3
November 2011)
Adanya dualisme kepemilikan bahasa pada masyarakat, khususnya
masyarakat Jawa Barat yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa
Indonesia, menimbulkan isu atau permasalahan bahwa bahasa Indonesia adalah
penyebab dari tergesernya bahasa Sunda terutama di perkotaan. Inilah yang
akan menjadi kajian tulisan ini, apakah benar terjadi gesekan atau dominasi
satu bahasa terhadap bahasa lainnya, dalam hal ini bahasa daerah yang
terancam. Lantas langkah-langkah apa yang mesti dilakukan agar fungsi,
peranan, dan kedudukan bahasa daerah dan nasional ini tidak saling menindih,
atau tidak saling menggeser. Upaya-upaya menetralisasi dan mencari jalan
keluar agar kedua bahasa tersebut saling mendukung baik dalam fungsi
maupun peranannya, sangat mendesak dilakukan sehingga tidak terjadi
kekhawatiran bahwa bahasa Indonesia mengancam peranan bahasa daerah.
Jika tidak ada upaya yang nyata di dalam mengatasi permasalahan tersebut,
dikhawatirkan fungsi dan peranan bahasa sebagai pembentuk karakter bangsa
tidak akan terwujud.
438
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Asumsi dalam bagan di atas menunjukkan bahwa kontribusi bahasa
asing terhadap bahasa Indonesia memiliki porsi yang cukup besar
dalam
memperkaya kosakata bahasa ini. Bahasa daerah seperti bahasa Sunda dan
lainnya juga berkontribusi terhadap pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia memang lahir dan tumbuh karena adanya bahasa lain
di samping bahasa Melayu yang merupakan sumber utama bahasa Indonesia.
Dipilihnya bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia karena tidak dikenalnya
undak-usuk atau tingkatan kasar-halus dalam bahasa ini. Pada saat ini kita
dapat menyimak bahwa bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sangat dominan
dalam menggeser kosakata bahasa Indonesia.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis
yakni menguraikan dan menganalisis secara komprehensif mengenai
penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia di beberapa wilayah baik
perdesaan maupun perkotaan yang berada di Provinsi Jawa Barat. Selain itu,
juga diuraikan masalah pengaruh penggunaan bahasa tersebut terhadap
pembentukan karakter.
PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan peneliti beberapa waktu yang lalu, di wilayah
perdesaan Jawa Barat, seperti di Priangan Timur, penggunaan bahasa Sunda
masih sangat dominan terutama di desa yang jauh dari kota/ibukota kabupaten.
Hal tersebut terjadi karena bahasa Sunda sudah secara alamiah diturunkan dari
generasi ke generasi baik melalui lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat. Penggunaan Bahasa Indonesia memang ada tetapi hanya dipakai
di dalam kelas di sekolah-sekolah desa. Di luar kelas para murid dan guru
kembali menggunakan bahasa Sunda.
Kuatnya pengaruh lingkungan terhadap penggunaan bahasa Sunda di
perdesaan menjadi sebuah bukti bahwa alam sekitar sangat berperanan di
dalam pemertahanan bahasa dan budaya daerah. Di samping itu, di suatu desa
banyak ungkapan atau peribahasa-peribahasa yang sulit diterjemahkan ke
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
439
dalam bahasa Indonesia. Bahasa Sunda adalah bahasa budaya, sedangkan
bahasa Indonesia adalah bahasa komunikasi ketika mereka berada dalam
situasi yang bersifat formal. Ketika orang-orang desa menerima tamu dari kota
atau ketika mereka pergi ke luar desa menuju kota, bahasa yang digunakan
umumnya bahasa Indonesia karena di kota dan orang kota sudah jarang yang
menggunakan bahasa Sunda, walaupun ia orang Sunda.
Dari hasil pengamatan langsung peneliti ke beberapa peloksok
pedesaan di Jawa Barat, seperti desa-desa di Kabupaten Bandung, Garut,
Tasikmalaya,Ciamis, Banjar, Cianjur, Purwakarta, dan Subang, masyarakatnya
98% masih menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar sehari-hari.
Selebihnya, yang 2% adalah mereka yang menggunakan bahasa lain seperti
bahasa Jawa dan bahasa Indonesia karena di desa tersebut ada kaum
pendatang. Dengan masih dominannya penggunaan bahasa Sunda di
perdesaan, peluang untuk tetapnya masyarakat memegang tradisi dan budaya
Sunda akan terus terjaga.
Seseorang yang menggunakan bahasa Sundanya dengan halus akan
berpengaruh terhadap karakter atau kepribadiannya. Bahasa yang halus
menunjukkan kesopan-santunan dalam berperilaku. Inilah yang merupakan
salah satu karakter orang Sunda, yaitu ramah, someah hade ka semah artinya
tutur katanya yang halus, santun, dan selalu baik kepada siapa pun yang
berkunjung.
Berdasarkan pengamatan secara menyeluruh peneliti dapat mencatat
bahwa penggunaan bahasa Sunda di peloksok perdesaan memiliki komposisi:
(1) di dalam keluarga 98% menggunakan bahasa sunda, sisanya bahasa lain
karena mungkin ada pendatang yang menetap di keluarga itu (2) di lingkungan
masyarakat sama 98%, sisanya bahasa lain (3) di lingkunagn pendidikan
seperti sekolah adalah 90%, sisanya menggunakan bahasa Indonesia karena di
dalam kelas harus menggunakan bahasa itu (4) di ruang publik seperti pasar,
terminal, atau pusat keramaian adalah 85%, sisanya bahasa Indonesia atau
lainnya karena sudah bercampurnya masyarakat dari berbagai daerah.
Di desa yang merupakan daerah perbatasan dengan kota /kota
kabupaten atau yang disebut desa transisi penggunaan bahasa Sundanya rata-
440
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
rata 85% di hampir semua kategori tempat. Hanya di ruang publik yang
menyusut menjadi 80%. Desa transisi merupakan wilayah yang sudah hampir
majemuk keberadaan masyarakatnya. Umumnya pendatang dari kota sudah
cukup banyak yang tinggal menetap disitu. Akibatnya, terjadi percampuran
bahasa-bahasa yang digunakan.
Terminologi kota yang terkait dengan penelitian ini adalah kota kecil
misalnya di pusat pemerintahan seperti kecamatan atau di kabupaten.
Di
tempat-tempat seperti itu umumnya terdapat kerumunan massa dan keramaian.
Penggunaan bahasa Sunda di tempat seperti itu diprediksi mencapai rata-rata
55% di setiap kategori tempat.
Selanjutnya, jika dibandingkan dengan penggunaan bahasa Indonesia
baik di setiap kategori tempat maupun di lingkungan yang lebih luas,
menunjukkan angka persentasi yang signifikan. Berdasarkan hasil pengamatan
peneliti, penggunaan bahasa Indonesia di desa dengan kategori tempat di
dalam keluarga adalah 2%, lingkungan warga: 2%, di lingkunagn pendidikan:
10%, dan di ruang publik: 10%.
Di wilayah desa transisi, penggunaan bahasa Indonesia komposisinya
adalah: di dalam keluarga:15%, di lingkungan warga:15%, di lingkungan
pendidikan:15%, dan di ruang publik: 20%.
Di perkotaan penggunaan bahasa Indonesia cukup signifikan, padahal
perkotaan yang dimaksud adalah perkotaan yang berada di Provinsi Jawa
Barat. Persentasenya adalah: Di dalam keluarga: 50%, di lingkungan
masyarakat: 50%, di lingkungan pendidikan: 50, di ruang publik: 50%.
Kajian selanjutnya adalah bagaimanakah pengaruh penggunaan bahasa
Indonesia dan bahasa Sunda terhadap karakter atau kepribadian masyarakat,
berdasarkan hasil pengamatan serta asumsinya yang tertera dalam tabel di
atas? Setelah dikaji secara menyeluruh, peneliti memperoleh asumsi bahwa
pengaruh kedua bahasa tersebut saling melengkapi.
Terdapat lima kategori karakter sebagai pengaruh dari penggunaan
bahasa yang dijadikan sebagai representasi keseluruhan pengembangan
kepribadian. Lima kategori tersebut adalah: fungsi bahasa Sunda dan bahasa
Indonesia terhadap pemahaman budaya lokal, fungsinya terhadap kesadaran
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
441
berbangsa, fungsinya terhadap rasa solidaritas dan persatuan, fungsinya
terhadap sikap santun berbahasa, dan fungsinya sebagai pembentuk jati diri.
Berdasarkan asumsi persentase pada aktivitas komunikasi penutur,
pengaruh penggunaan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia terhadap karakter
masyarakat Sunda adalah: Bahasa Sunda dapat memaknai budaya lokal Sunda:
90%, kesadaran berbangsa: 60%, rasa persatuan: 20%, santun berbahasa: 90%,
kesadaran terhadap jati diri: 80%.
Penggunaan bahasa Indonesia dengan pengaruhnya terhadap lima aspek
kategori yang sama, diprediksi sebagai berikut: fungsinya terhadap
pemahaman budaya lokal Sunda: 50%, kesadaran berbangsa: 80%, rasa
persatuan: 80%, santun berbahasa: 80%, dan kesadaran jati diri: 20%.
Sebagai gambaran yang lebih konkret baik tentang persentase penutur
daalm aktivitas komunikasinya maupun tentang pengaruh penggunaan bahasa
Sunda dan bahasa Indonesia terhadap pembentukan karakter dapat dijelaskan
dalam tabel berikut.
Tabel 1: Asumsi Penutur dalam Aktivitas Komunikasi
Bahasa
Tempat
1.Keluarga
2.Lingkungan/
Masyarakat
3.Lingkungan
Pendidikan
4. Ruang
Publik
Sunda Sunda
Sunda Indonesia Indonesia Indonesia
Desa Transisi Kota Desa
Transisi
Kota
98%
85%
60%
2%
15%
50%
98%
85%
60%
2%
15%
50%
90%
85%
50%
10%
15%
50%
85%
80%
50%
10%
20%
50%
Tabel 2: Asumsi Fungsi Penggunaan Bahasa terhadap Karakter
Kategori
fungsi
1.Pemahaman
Budaya Lokal
2. Kesadaran
berbangsa
3. Persatuan
4.Santun
442
Bahasa Sunda
Bahasa Indonesia
90%
50%
60%
80%
20%
90%
80%
80%
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Berbahasa
5. Jati Diri
80%
20%
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis yang telah dijelaskan dalam pembahasan,
peneliti dapat menarik benang merah dari permasalahan tentang fungsi dan
kedudukan antara bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dalam pembentukan
karakter bangsa, yaitu :
(1) Bahasa Sunda memiliki pengguna yang masih setia menggunakannya
sebagai alat komunikasi sehari-hari terutama di peloksok perdesaan.
(2) Kesetiaan menggunakan bahasa Sunda terus berlangsung karena bahasa
ini merupakan warisan nenek moyang yang sudah mendarah daging.
(3) Tidak mudah untuk menghapuskan penggunaan bahasa Sunda di
peloksok pedesaan walaupun di situ bahasa Indonesia sudah ada.
(4) Bahasa Sunda adalah bahasa yang mampu mengungkap nilai-nilai budaya
Sunda yang sulit diungkapkan oleh bahasa Indonesia.
(5) Bahasa Sunda selain berperan sebagai bahasa budaya, juga memberikan
efek positif kepada penggunanya yakni dapat memperhalus budi pekerti
dan menjaga perilaku untuk selalu ramah dan sopan kepada sesama.
(6) Bahasa Sunda di peloksok perdesaan kemungkinan tidak akan punah
walaupun dikepung oleh modernisasi.
(7) Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa yang menjadi perekat
persatuan dan kesatuan bangsa.
(8) Bahasa Indonesia sebagai bahasa yang paling tinggi kedudukannya di
samping bahasa daerah di seluruh Indonesia.
(9) Bahasa Indonesia memiliki fungsi dan kedudukan yang berbeda dengan
bahasa daerah.
(10) Bahasa Indonesia di perkotaan Jawa Barat dapat menggeser keberadaan
bahasa Sunda karena kemajemukan masyarakat kota.
(11) Bahasa Indonesia dan bahasa Sunda dapat hidup berdampingan untuk
saling melengkapi apabila penggunanya bisa memosisikan dirinya sebagai
orang Sunda dan sebagai warga negara Indonesia
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
443
DAFTAR PUSTAKA
Budiwiyanto, Adi.Kontribusi Kosakata Bahasa Daerah dalam Bahasa
Indonesia. Jakarta: Badan Bahasa.
Kemdikbud.go.id/lamanbahasa/artikel 1285
Djodjosuroto,Kinayati dan M.L.A.Sumaryati. 2000. Prinsip-prinsip Dasar
Penelitian Bahasa dan Sastra. Bandung: Nuansa Cendikia
Kartini, Tini. 1985. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Sunda di Jawa Barat.
Jakarta: Pusat Bahasa
Nurhayati Mamun,Titin dkk.2011. Peran Kebudayaan Sunda dalam
Membangun dan Memperkuat Karakter Bangsa. Prosiding Seminar
Nasional. Jatinangor: FASA Unpad
S.Anshori, Dadang dan Sumiyadi.2009. Bahasa dan Sastra dalam Perspektif
Pendidikan. Bandung: FPBS UPI
Subuki, Makyun dkk.2014. Pendidikan Berbasis Keragaman
Budaya:Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia. Prosiding Seminar
Internasional. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sugono,Dendy.et al. 2008. Bahasa dan Peta Bahasa di Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa
Suryani, Elis NS. 2011. Ragam Pesona Budaya Sunda. Bogor: Ghalia
Indonesia
444
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
REAKTUALISASI PUISI NYANYIAN ANGSA
SEBAGAI PEMBANGUN KARAKTER
Sari Puji Rahayu
Sekolah Pascasarjana UPI
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Reaktualisasi Puisi “Nyanyian Angsa” sebagai Pembangun Karakter. Sastra
dapat menjadi bacaan yang inspiratif, bahkan menjadi bacaan yang representatif.
Representatif sebagai pengejewantahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Sastra
acap kali menjadi alat kontrol sosial dan medium kritik yang efektif. Dalam kritik
tersebut terdapat nilai-nilai atau ideologi yang ditawarkan sebagai bentuk solusi atas
permasalahan yang terdapat dalam realitas teks yang menjadi cerminan realitas sosial.
Nilai-nilai tersebut dapat menjadi media pembelajaran karakter yang efektif dan
mengasyikan tanpa mendogma pembacanya, terlebih kalangan pembaca pelajar sebab
mereka diajak berimajinasi dan terhibur dengan konflik yang ditawarkan teks sastra.
Sebagaimana halnya teks sastra pada umumnya, puisi pun memiliki daya tarik sebagai
pembangun karakter pembacanya. Gagasan atau latar dalam puisi dapat menjadi
reaktualisasi penggugah kesadaran karakter. Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra
dapat menjadi bahan awal dalam kajian sastra yang tak hanya menyindir, tetapi juga
mengajarkan kepada pembaca bagaimana sikap-nilai yang mestinya dimiliki
masyarakat sebagai makhluk sosial. Melalui puisi Nyanyian Angsa, nilai-nilai
karakter sebagai identitas masyarakat madani dapat diangkat dalam konteksnya
sebagai pembangun karakter generasi muda.
Kata kunci: puisi naratif, masyarakat, pembangun karakter.
PENDAHULUAN
Sastra tetap perlu diperhitungkan sebagai media untuk pembangunan
karakter bangsa. Tentu saja selain dari aturan-aturan hukum, keteladanan,
norma, sastra memiliki peran yang tidak perlu dikesampingkan dan tidak bisa
dipandang sebelah mata. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga oleh kita
sendiri sebagai masyarakat yang selalu bergelut dengan sastra, sangat pesimis
bahwa sastra mampu menjadi pembentuk karakter bangsa. Lihat saja
bagaimana posisi para penulis dan sastrawan di negeri ini.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
445
Jika kita bertanya pada generasi muda saat ini, mungkin bisa dihitung
dengan jari di antara mereka yang ingin jadi penulis, lebih-lebih ketika ditanya
yang ingin menjadi spesialis puisi semacam W.S. Rendra. Lebih parahnya lagi,
mungkin ada beberapa di antara mereka yang bahkan tidak mengenal siapa itu
W.S. Rendra. Apakah sebanyak yang ingin jadi penyanyi hasil olahan
pencarian bakat atau malah tidak ada? Tengok juga perbandingan jumlah
pengunjung acara bedah buku sastra dengan acara konser musik. Terlihat jelas
kalau kuantitas jumlah pengunjungnya sangat timpang.
Salah satu keunggulan karya sastra, seperti puisi, adalah dalam masalah
penyampaian gagasan atau ajaran. Bagi penulis puisi, kata-kata yang
digunakan merupakan gerbang untuk mengekspresikan perasaan dan
menyampaikan nilai-nilai kepada penikmat sastra. Tidak hanya kritik sosial,
dalam puisi juga banyak nilai-nilai sosial yang dapat kita petik. Karena setiap
pengarang merupakan bagian dari anggota masyarakat, ia dapat dipelajari
sebagai makhluk sosial. Termasuk karya sastra yang dilahirkannya. Bisa saja
karya sastra merupakan kritik untuk situasi sosial pengarang atau merupakan
sebuah opini dan gagasan yang tidak bisa disampaikan pengarang secara
lantang.
Di dalam karya sastra, kita akan menemukan nilai hedonik (nilai yang
dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca), nilai artistik
(nilai yang dapat memanifestasikan seni atau keterampilan dalam melakukan
suatu pekerjaan), nilai kultural (nilai yang memberikan atau mengandung
hubungan yang mendalam dengan masyarakat, peradaban, atau kebudayaan),
nilai etis, moral, agama (nilai yang dapat memberikan atau memancarkan
petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral, atau agama), dan nilai
praktis (nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata sehari-hari).
Karena banyaknya kandungan nilai yang terdapat dalam teks sastra,
sangat beralasan apabila sastra dijadikan sebagai media yang tepat untuk
membangun karakter bangsa. Sastra menawarkan ruang apresiasi, ekspresi, dan
kreasi dengan berbagai kemungkinan penafsiran, perenungan, dan pemaknaan.
446
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dengan mengakrabi sastra, kita terlatih menjadi manusia yang berbudaya,
yakni manusia yang memiliki kepekaan nurani dan empati.
PEMBAHASAN
Puisi
Kehidupan sehari-hari kaya dengan berbagai ekspresi puitis yang tidak
secara langsung berkaitan dengan kegiatan berpuisi atau bersastra. Apabila kita
menggunakan ungkapan ―mata keranjang‖ untuk menyebut seseorang yang
mudah terpikat pada perempuan-perempuan yang dilihatnya, sebenarnya kita
sudah menggunakan ekspresi puitis. Sebuah lirik lagu popular juga dapat
berbau puitis dan ada pelajaran yang dapat kita ambil. Lirik lagu ―Kupu-kupu
Malam‖ yang dipopulerkan kembali oleh grup band Peterpan, misalnya,
memuat larik-larik yang mengatakan: Ada yang benci dirinya/ ada yang butuh
dirinya/ ada yang berlutut mencintanya/ ada pula yang kejam menyiksa
dirinya/. Ini hidup wanita si kupu-kupu malam/ bekerja bertaruh seluruh jiwa
raga/ bibir senyum kata halus merayu memanja/ kepada setiap mereka yang
datang/ dosakah yang dia kerjakan/ sucikah mereka yang datang/ kadang dia
tersenyum dalam tangis/ kadang dia menangis di dalam senyuman. Dari lirik
tersebut dapat kita lihat, diksi yang digunakan merupakan kunci dari
kemenarikan sebuah karya. Untuk menggambarkan seorang pelacur yang
selalu
menjadi
bahan
hinaan
oleh
masyarakat.
Bait
lagu
tersebut
mempertanyakan mengenai kesalahan apa yang dilakukan oleh seorang kupukupu malam. Mereka selalu dipersalahkan, tetapi orang-orang yang datang
kepada mereka selalu luput dari perhatian. Kehadiran kupu-kupu malam
memang suatu dilema tersendiri bagi beberapa orang. Walaupun mereka
melakukan hal yang sangat ditentang oleh norma agama dan norma susila tapi
itu hanya dilakukan sebatas karena himpitan ekonomi semata.
Horatius (dalam Budianta, 2003: 39-40) mensyaratkan dua hal bagi
puisi, yaitu puisi harus indah dan menghibur (dulce), tetapi pada saat yang
sama puisi juga harus berguna dan mengajarkan sesuatu (utile). Artinya,
sebuah puisi, selain harus bersifat menghibur dan memiliki nilai estetika, juga
dituntut memiliki nilai-nilai yang bersifat mendidik bagi pembacanya. Puisi
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
447
menjadi khas karena sebagai teks, ia menarik perhatian pembaca kepada teks
itu sendiri,dan bukan kepada pengarangnya. Kehidupan manusia sehari-hari
tidak lagi dapat dilepaskan dari kesusastraan, meskipun kegiatan ―bersastra‖
tersebut dilakukan tanpa sadar dan sekalipun kesusastraan itu sendiri tidak
begitu mendapat tempat dalam kehidupan masa kini.
Puisi Naratif
Ada beberapa cara untuk menggolongkan ragam-ragam puisi. Budianta
(2003:61-62) mengemukakan dari segi ungkapan, puisi dapat dikategorikan
dalam lirik dan epik.
Biasanya puisi lirik lebih mengutamakan suasana
daripada tema, dan makna kerap perlu dipahami dalam kaitan dengan suasana
batin tertentu yang hendak dibangun daripada dengan pesan-pesan moral. Di
lain pihak, epic banyak menggunakan kisahan dan lebih bergaya prosais sambil
tetap mempertahankan unsur puitik yang umum dijumpai dalam puisi, seperti
rima, kesamaan jumlah ketukan, dan semacamnya. Oleh sebab itu, epik juga
kerap disebut sajak naratif. Isinya pada umumnya tentang petualangan atau
perjalanan seorang pahlawan atau tokoh, serta berbagai perbuatan luhur yang
dilakukannya. Selain berkisah tentang para ksatria dan pahlawan, ada juga
sajak naratif yang menceritakan riwayat orang-orang biasa. Sajak yang pada
zaman dahulu juga dibawakan leeway nyanyian ini disebut dengan balada.
Seorang penyair terkemuka Indonesia yang banyak menghasilkan balada
adalah W.S. Rendra. Tjahjono (1988: 74) mengungkapkan puisi naratif adalah
puisi yang didalamnya mengandung suatu cerita, dengan pelaku perwatakan,
plot, dan latar tertentu yang menjalin suatu cerita. Yang termasuk ke dalam
jenis ini adalah balada dan dalam puisi lama, syair pun tergolong jenis puisi
ini.
Sastra dan Masyarakat
Membicarakan masalah sastra, kita tidak bisa terlepas dari manusia dan
budaya yang turut memengaruhi sastra itu lahir. Menurut Semi (1989:52),
sastra, sebagaimana halnya dengan sosiologi, berurusan dengan manusia,
bahkan sastra diciptakan oleh anggota masyarakat untuk dinikmati, dipahami,
448
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota
masyarakat: ia terikat oleh status sosial tertentu. Sebagai dokumen sosial,
sastra dipakai untuk menguraikan ikhtisar sejarah sosial.
Sudah dari dulu, sebuah karya sastra, khususnya puisi, merupakan
potret realita. Sebuah potret yang menggambarkan realita yang ada di masa
lalu atau saat sekarang ini. baik berupa kondisi pemerintahan di suatu Negara
maupun lingkungan sosial masyarakat yang lebih kecil lagi, semua dapat
digambarkan oleh seorang penyair melalui media kata-kata yang puitis. Antara
karya sastra dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena karya sastra itu
sendiri dihasilkan oleh seorang penyair yang merupakan bagian dari
masyarakat.
Dalam praktiknya, puisi memang bisa menggantikan pengalaman
langsung seseorang dan sejarawanpun bisa menjadikan sastra sebagai dokumen
sosial. Sastra merupakan dokumen karena merupakan sebuah monument
(Wellek dan Warren, 1989:111).
―Nyanyian Angsa‖ karya W.S. Rendra menggambarkan realitas sosial
yang sangat akrab dengan kita semua, anggota masyarakat. Ia merupakan
sosok penyair yang sangat peduli terhadap kehidupan sosial masyarakatnya.
Bagian pembuka puisi ini, pembaca disuguhkan dengan dialog antara majikan
rumah pelacuran, dalam istilah sekarang disebut mami atau mucikari, dan
Maria Zaitun, pelacur yang sudah tidak ―laris‖ lagi karena sudah tua dan
berpenyakitan, seperti dalam kutipan berikut ini,
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
449
Pada bait tersebut dapat kita lihat realitas sosial, seorang kupu-kupu
malam yang sudah tua dan mengidap penyakit berbahaya seperti tokoh Maria
Zaitun suatu saat harus siap ―ditendang‖ dan tidak menjadi anak emas lagi oleh
majikannya. Menjadi pelacur di tengah-tengah masyarakat kita dianggap jauh
lebih hina daripada hewan. Ditambah lagi, Maria Zaitun yang tua merupakan
pelacur dan terkena penyakit akibat ―profesi‖ yang dijalaninya.
“Nyanyian Angsa” karya W.S. Rendra sebagai Pembangun Karakter
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti. Karakter dapat diartikan sebagai tabiat,
yaitu perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan atau kebiasaan. Karakter
sebagai akhlak dapat bersifat positif atau negatif. Dalam pandangan agama kita
mengenal akhlak terpuji dan akhlak tercela.
Puisi berjudul ―Nyanyian Angsa‖ karya W.S. Rendra ternyata sungguh
luar biasa. Mengangkat isu sosial, yaitu mengenai pelacur, tepatnya kehidupan
seorang pelacur bernama Maria Zaitun yang terpinggirkan karena sudah tua
dan penyakit raja singa yang dideritanya. Namun, meskipun dibuang dan
dicaci di sana-sini oleh banyak orang, bahkan malaikat penjaga surga pun
enggan melihat wajahnya, tetapi ia malah menjadi kekasih Tuhan. Ia
mendapatkan kenikmatan surga firdaus yang tak pernah dibayangkannya
selama hidup di dunia. Padahal di dunia ia hina karena berprofesi sebagai
pelacur.
Puisi
yang
bertema
sosial
merupakan
sebuah
puisi
yang
dipersembahkan khusus untuk kehidupan sosial di Indonesia ini. Banyak kisah
yang kita tuangkan dalam bait puisi. Ketidakadilan yang dirasakan oleh
sebagian masyarakat Indonesia, terutama dalam mendapatkan kehidupan yang
layak,
seakan
membuka
mata
kita
bahwa
kita
selama
ini
telah
mengabaikannya. Puisi sekiranya merupakan cara yang cerdas untuk
mengkritik keadaan sosial kita.
Kisah puisi W.S. Rendra, Nyanyian Angsa, dimulai dengan prolog
percakapan seorang mucikari pada anak buahnya, seorang tuna susila.
Perempuan tuna susila itu, Maria Zaitun namanya. Dikisahkan, Maria Zaitun
450
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
adalah wanita penghibur yang sudah tidak mampu lagi menarik perhatian para
lelaki hidung belang di rumah pelacuran. Maria zaitun adalah tokoh sentral
dalam puisi ini.
Pendidikan karakter yang diajarkan kepada kita lewat puisi naratif W.S.
Rendra yang satu ini mengarajarkan kepada kita semua bagaiman Maria
Zaitun, pelacur yang tak laku lagi, tabah dalam menghadapi segala cercaan dari
lingkungannya.
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan padaku kamu berhutang.
Ini biaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu mesti pergi.
….
Jam dua belas siang hari.
Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak ada mega.
Maria Zaitun keluar rumah pelacuran.
Pada bait ini dapat kita lihat bagaimana ketabahan seorang Maria
Zaitun ketika diusir oleh ―maminya‖ karena sudah tidak menghasilkan uang
lagi. Dua minggu terbaring, sakit semakin parah, malah hutang yang
bertambah, dan akhirnya diusir tanpa membawa apapun. dia pergi tanpa ada
marah dihatinya. Bahkan teman sekalipun membuang muka padanya. Dalam
keadaan demam dan sipilis yang membakar tubuh Maria Zaitun keluar dari
rumah pelacuran itu. Akhirnya ia pergi ke dokter. Di tempat itu lagi-lagi sikap
tidak menyenangkan diterimanya.
“Maria Zaitun, untungmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu berapa?”
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
451
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
Sebab bajunya lekat di borok ketiaknya
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi memeriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C? Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa? Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
Yang diimpor dari luar negeri?
Perlakuan seperti itu sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi rakyat
Indonesia. Yang boleh sakit itu hanya orang kaya. Bagaimanapun usaha
pemerintah untuk menyetarakan pengobatan bagi si kaya dan si miskin di
negeri ini, pada praktiknya si miskin tetap akan mengalami kesulitan karena
alasan ekonomi. Hal inilah yang diterima Maria Zaitun. Pelacur sengsara yang
kurang cantik dan sudah tua. dokter sekalipun memperlakukannya seperti
anjing. Enggan untuk memeriksa Maria Zaitun karena sekujur tubuhnya penuh
borok. Bukankah sudah menjadi tugas bagi seorang dokter memeriksa pasien
bagaimanapun keadaan dan jenis penyakit yang dideritanya. Vitamin C yang
diceritakan disuntikan ke tubuh Maria Zaitun hanyalah kamuflase dari
pengobatan yang diberikan sang dokter. Lagi-lagi Maria Zaitun tidak marah,
bahkan tabah saja menrima perlakuan dari orang sekitarnya.
Selain ketabahan Maria Zaitun, puisi ini juga mengajarkan tentang
kepedulian sosial. Selain muncul tokoh dokter yang sombong dan kasar, juga
ada tokoh pastor di sebuah gereja.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
Ia menyalakan cerutu lalu bertanya:
452
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdoa.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena raja singa.”
Mendengar itu pastor mundur dua tindak. Mukanya mungkret.
….
Saya perlu tuhan atau apa saja untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
Rumah Tuhan menjadi tujuan Maria Zaitun untuk memeroleh
ketenangan bathin. Di gereja ia ingin mengakui segala dosa yang telah
diperbuatnya. Sebagai makhluk yang sadar akan adanya Tuhan, dia ingin
bertobat dan mengakui segala kesalahannya. Namun, seorang pastor yang
seharusnya bersikap lebih peduli karena lebih banyak tahu tentang kitab suci
dan memahami isinya, juga menghakimi sang pendosa. Ingin mengadu kepada
Tuhan, tapi tidak diberi kebebasan. Seseorang dalam hal ini tidak memiliki
kebebasan
individu
untuk
melakukan
aktivitasnya
sebagai
mahluk
rohani/spiritual.
Dari tokoh dokter dan pastor yang digambarkan di atas, kita
mendapatkan sebuah pelajaran, bahwa penampilan fisik dan pendidikan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
453
seseorang tidak menjadi jaminan orang tersebut memiliki jiwa sosial yang
tinggi. Dokter dan tokoh agama di Indonesia dianggap memiliki rasa empati
yang tinggi karena pada dasarnya sama-sama akan menjadi obat bagi
masyarakat. Dokter merupakan tenaga medis yang seharusnya mampu
menyembuhkan penyakit fisik yang diderita pasiennya, justru balik
menghujam dengan kata-kata kasar.
Satu lagi tokoh yang muncul dalam puisi ini adalah malaikat penjaga
firdaus.
(Malaikat penjaga firdaus
Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
….
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
….
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
….
(Malaikat penjaga firdaus
wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala mengusir pergi
dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
….
Malaikat penjaga firdaus
tak kaurasakan bahwa senja tekah tiba
454
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
….
Malaikat penjaga firdaus
wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabanku.
Ia tak mau melihat mataku.
….
Malaikat penjaga firdaus
wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa
dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding kepadaku.
Jika kita perhatikan dengan saksama, pada kutipan puisi tersebut ada
perubahan sikap dari seorang malaikat penjaga firdaus. Pada bagian awal,
malaikat penjaga firdaus bersikap tidak suka kepada Maria Zaitun karena ia
adalah seorang pelacur yang menjual diri hingga akhirnya menderita penyakit
yang sangat memalukan, raja singa. Beberapa kali larik itu diulang hingga
dibagian akhir sang malaikat penjaga firdaus tak mampu lagi menduding ke
arahnya. Maria Zaitun tak takut lagi. Hal ini menggambarkan bahwa seseorang
yang hina pun juga memiliki sisi baik. Sampai-sampai seorang malaikat yang
sangat mengutuk perbuatan Maria Zaitun akhirnya malah balik terdiam, kaku,
dan beku karena ketabahan Maria Zaitun menghadapi segala caci dan maki
dari orang di sekitarnya.
PENUTUP
Masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat
dari berbagai media yang memberitakan tentang keborokan moral. Untuk
mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan karakter
yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
455
Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat
didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan
bermanfaat). Kebermanfaatannya diketahui karena sastra di dalamnya
terkandung amanat, yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan pendidikan
karakter. Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan
karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat.
Peran sastra dalam pembentukan
karakter
bangsa tidak hanya
didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang
bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca,
mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan
karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan
dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada
kebaikan dan membela kebenaran
DAFTAR PUSTAKA
Budianta, Melani dkk. 2003. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra
untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.
Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.
Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1988. Sastra Indonesia: Pengantar Teori dan
Apresiasi. Flores: Nusa Indah.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Theory of Literature. London:
Harcourt Brace Javanovich.
456
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
FILOSOFI ALAM TAKAMBANG JADI GURU
DALAM SASTRA MINANGKABAU
Sri Rustiyanti
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Filosofi Alam Takambang Jadi Guru dalam Sastra Minangkabau. Adat dan
alam merupakan pelajaran dan pedoman hidup bagi masyarakat Minang. Adat
basandisyarak syarak basandi kitabullah adalah adat atau norma hukum yang
berdasarkan kepada ajaran syarak, sedangkan syarak dan kitabullah artinya AlQuran. Adapun Alam terkembang jadi guru, maknanya banyak ayat-ayat ajaran
Allah yag terhampar dalam alam dan hanya orang-orang pandailah yang dapat
membacanya. Demikian filosofi yang dianut etnis Minang. Falsafah ini sangat
„unique‟, sebagai panutan dan pelajaran hidup bagi manusia dan individu,
dengan memetik suatu kejadian dari peristiwa dan proses alam. Kedatangan
agama Islam telah menyempurnakan ajaran adat Minangkabau dan ungkapan
filosofi adat basandisyarak, syarak basandi kitabullah tersebut mengandung
arti, bahwa adat Minangkabau berdasarkan kepada aturan-aturan yang terdapat
dalam ajaran agama Islam yang bersumber kepada Al-Quran dan Hadist Nabi.
Filsafat adat Minangkabau menempatkan pengetahuan sebagai sintesis dari
aspek empirik dan rasionalitas. Hasil pengetahuan menurut filsafat adat
Minangkabau tidak hanya didasarkan pada tangkapan indrawi dan rasionalitas
semata (pareso/periksa), tetapi juga berpijak pada aspek hati (raso/rasa)
sehingga bermuara pada konsep etis-argumentatif. Konsep inilah yang dalam
filsafat adat Minangkabau disebut sebagai epistemologi raso pareso.
Kata kunci: adat, alam, filosofi, minangkabau.
PENDAHULUAN
Membaca sejarah Minangkabau, maka kita akan menemukan berbagai kekayaan
adat dan budaya negri ini. Kearifan adat dan budaya Minangkabau yang dilandasi
dengan nilai-nilai keislaman telah menjadi ciri khas negeri ini. Maka salah satu
falsafah yang dikenal dari masyarakat Minangkabau adalah Adat Basandi Syara‟,
Syara‟ Basandi Kitabullah (ABS SBK), Syara‟ mangato, Adat mamakai. Falsafah ini
seolah telah mengukuhkan eksistensi Islam dalam kehidupan sosial bermasyarakatnya,
dan menjadi hal yang tak terpisahkan dalam keseharian orang Minang.
Menilik sejarah Indonesia, maka kita akan menemukan deretan nama tokoh
nasional yang memiliki darah keturunan Minangkabau. Banyak tercatat dalam sejarah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
457
Indonesia Orang Minangkabau yang memainkan kiprahnya di pentas nasional, mulai
dari bidang politik, budaya dan sastra, agama, dan juga ekonomi. Sebut saja M. Hatta,
Tan Malaka, Agus Salim, Buya Hamka, Tuanku Imam Bonjol, Sutan Syahrir, M.
Yamin, M. Natsir, dan masih banyak lagi nama-nama putra Minang yang dikenal
sebagai tokoh nasional. Sederatan nama tersebut seolah telah mengukuhkan
Minangkabau sebagai ahli pikir pada masanya yang dulu.
PEMBAHASAN
Masyarakat Sumatera Barat menamakan tanah airnya Alam Minangkabau.
Merantau merupakan pola migrasi suku Minangkabau, sehingga orang Minangkabau
sangat dikenal dengan sifatnya yang suka merantau, dengan berbekal ajaran ‗di mana
bumi di pijak di situ langit dijunjung‟, mereka berani meninggalkan kampung
halaman untuk mencapai cita-cita yang diharapkannya. Penyebaran mereka sampai ke
berbagai daerah di kota-kota besar, seperti ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Medan,
dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan untuk merantau, yang
terutama dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, adanya keinginan untuk mendapatkan
kekayaan tanpa mempergunakan tanah-tanah yang telah ada, karena berkaitan dengan
sistem matrilineal (mengikuti garis keturunan ibu); seorang anak laki-laki tidak
mempunyai hak untuk menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri,
kecuali menggunakan tanah itu untuk kepentingan keluarga matrilinealnya. Kedua,
karena adanya perselisihan-perselisihan yang menyebabkan bahwa orang yang merasa
dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain.
Kedua hal inilah yang mendorong orang-orang Minangkabau keluar dari daerah
asalnya untuk pergi merantau.1
Di Provinsi Sumatera Barat yang sering juga disebut dengan Ranah Minang,
juga terdapat beberapa jenis Kearifan Lokal yang berkaitan dengan Adat istiadat di
Minangkabau yang telah berdiri kukuh dengan seluk beluknya itu dijaga dan
dipelihara oleh penghulu dan pemangku adat. Penghulu pemegang kekuasaan adat
dalam luhak (daerah) dan nagari, memakai mahkota yang namanya saluak.
Saluak dengan lipatan-lipatan di kening yang lebar, melambangkan sifat dan
watak seorang penghulu yang berpikiran tajam dan berwawasan luas. Bentuk saluak
penghulu dibuat sedemikian rupa, melambangkan tampan serimbun rindang pohon
458
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
beringin sebagai lambang keadilan hukum adat. Kesaktian pohon beringin itu oleh
orang Minangkabau melambangkan simbolik:
Pohon baringin di tangah koto
Ureknyo tampek baselo
Batangnyo bakeh basanda
Daunnyo untuak balinduang
Balinduang katiko paneh
Bataduah wakatu hujan
(Pohon beringin di tengah kota
Uratnya tempat bersila
Batangnya tempat bersandar
Daunnya untuk berlindung
Berlindung ketika panas
Berteduh waktu hujan)
Dalam hidup bermasyarakat, orang Minangkabau menjunjung tinggi nilai
egaliter atau kebersamaan. Nilai ini menyatakan mereka dengan ungkapan “Duduak
samo randah, tagak samo tinggi”. Dalam kegiatan yang menyangkut kepentingan
umum sifat komunal dan kolektif mereka sangat menonjol. Mereka sangat
menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Hasil mufakat merupakan otoritas yang
tertinggi.Kekuasaan yang tertinggi menurut orang Minangkabau bersifat abstrak, yaitu
nan bana (kebenaran). Kebenaran itu harus dicari melalui musyawarah yang
dibimbing oleh alur, patut dan mungkin. Penggunaan akal sehat diperlukan oleh orang
Minangkabau dan sangat menilai tinggi manusia yang menggunakan akal.Nilai-nilai
yang dibawa Islam mengutamakan akal bagi orang muslim, dan Islam melengkapi
penggunaan akal dengan bimbingan iman. Dengan sumber nilai yang bersifat
manusiawi disempurnakan dengan nilai yang diturunkan dalam wahyu, lebih
menyempurnakan kehidupan bermasyarakat orang Minangkabau. Menurut adat
pandangan terhadap seorang diri pribadi terhadap yang lainnya hendaklah sama
walaupun seseorang itu mempunyai fungsi dan peranan yang saling berbeda.
Walaupun berbeda saling dibutuhkan dan saling membutuhkan sehingga terdapat
kebersamaan.
Nan buto pahambuih lasuang,
nan pakak palapeh badie,
nan lumpuah paunyi rumah,
nan kuek pambaok baban,
nan binguang kadisuruah-suruah,
nan cadiak lawan barundiang.
(Yang buta penghembus lesung
yang tuli pelepas bedil
yang lumpuh penunggu rumah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
459
yang kuat membawa beban
yang bingung disuruh-suruh
yang pandai dibawa berunding).
Hanya fungsi dan peranan seseorang itu berbeda dengan yang lain, tetapi sebagai
manusia setiap orang itu hendaklah dihargai karena semuanya saling isi mengisi.
Saling menghargai agar terdapat keharmonisan dalam pergaulan, adat menggariskan;
nan tuo dihormati,
samo gadang baok bakawan,
nan ketek disayangi.
(Yang tua dihormati
sama besar jadi kawan
yang kecil disayangi).
Kedatangan agama Islam di ranah Minang membuat konsep pandangan
terhadap sesama lebih dipertegas lagi.Nilai egaliter yang dijunjung tinggi oleh orang
Minangkabau mendorong mereka untuk mempunyai harga diri yang tinggi. Nilai
kolektif yang didasarkan pada struktur sosial matrilinial yang menekankan
tanggungjawab yang luas seperti dari kaum sampai kemasyarakatan nagari,
menyebabkan seseorang merasa malu kalau tidak berhasil menyumbangkan sesuatu
kepada kerabat dan masyarakat nagarinya. Interaksi antara harga diri dan tuntutan
sosial ini telah menyebabkan orang Minangkabau untuk selalu bersifat dinamis.
Orang Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kuat. Adat sangat penting
dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam petatah Minangkabau
diungkapkan, hiduik di kanduang adat. Maka, ada empat tingkatan adat di
Minangkabau (Dirajo, Dt. Sangguno, 1987: 26-30):
Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat adalah kenyataan yang berlaku tetap di alam, tidak pernah
berubah oleh keadaan tempat dan waktu. Kenyataan itu mengandung nilai-nilai,
norma, dan hukum. Di dalam ungkapan Minangkabau dinyatakan sebagai adatnan
indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak
mati atau adat babuhua mati. Adat nan sabana adat bersumber dari alam. Pada
hakikatnya, adat ini ialah kelaziman yang terjadi sesuai dengan kehendak Allah.
Maka, adat Minangkabau tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal itu melahirkan
konsep dasar pelaksanaan adat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, yakni adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan syarak mangato, adat mamakai. Dari
konsep itu lahir pulalah falsafah dasar orang Minangkabau yakni alam takambang jadi
460
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
guru.Adat nan sabana adat menempati kedudukan tertinggi dari empat jenis adat di
Minangkabau, sebagai landasan utama dari norma, hukum, dan aturan-aturan
masyarakat
Minangkabau.
Semua
hukum
adat,
ketentuan
adat,
norma
kemasyarakatan, dan peraturan-peraturan yang berlaku di Minangkabau bersumber
dari adat nan sabana adat.
Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan adalah adat buatan yang dirancang, dan disusun oleh nenek
moyang orang Minangkabau untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Aturan
yang berupa adat nan diadatkan disampaikan dalam petatah dan petitih, mamangan,
pantun,
dan
ungkapan
bahasa
yang
berkias
hikmah.Orang
Minangkabau
mempercayai dua orang tokoh sebagai perancang, perencana, dan penyusun adat nan
diadatkan, yaitu Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuak Katumangguangan. Inti
dari adat nan diadatkan yang dirancang Datuak Parpatiah Nan Sabatang ialah
demokrasi, berdaulat kepada rakyat, dan mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Sedangkan adat yang disusun Datuak Katumangguangan intinya melaksanakan
pemerintahan yang berdaulat ke atas, otokrasi namun tidak sewenang-wenang.
Sepintas, kedua konsep adat itu berlawanan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya kedua
konsep itu bertemu, membaur, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan
demokrasi yang khas di Minangkabau.
Adat Nan Taradat
Adat nan taradat adalah ketentuan adat yang disusun di nagari untuk
melaksanakan adat nan sabana adat dan adat nan diadatkan sesuai dengan keadaan dan
kebutuhan nagarinya. Adat ini disusun oleh para tokoh dan pemuka masyarakat nagari
melalui musyawarah dan mufakat. Dari pengertian itu lahirlah istilah adat salingka
nagari. Adat nan taradat disebut juga adat babuhua sentak, artinya dapat diperbaiki,
diubah, dan diganti. Fungsi utamanya sebagai peraturan pelaksanaan dari adat
Minangkabau. Contoh penerapannya antara lain dalam upacara batagak pangulu, turun
mandi, sunat rasul, dan perkawinan, yang selalu dipagari oleh ketentuan agama, di
mana syarak mangato adaik mamakaikan.
Adat Istiadat
Adat istiadat merupakan aturan adat yang dibuat dengan mufakat niniak mamak
dalam suatu nagari. Peraturan ini menampung segala kemauan anak nagari yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
461
sesuai menurut alua jo patuik, patuik jo mungkin. Ada dua proses terbentuknya adat
istiadat. Pertama, berdasarkan usul dari anak nagari, anak kemenakan, dan masyarakat
setempat. Kedua, berdasarkan fenomena atau gejala yang tumbuh dan berkembang di
dalam masyarakat. Adat istiadat umumnya tampak dalam bentuk kesenangan anak
nagari seperti kesenian, langgam dan tari, dan olahraga. adat nan indak lakang dek
paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati, atau adat
yang tidak lekang oleh panas, tidak lapuk karena hujan, dipindahkan tidak layur,
dicabut tidak akan mati, artinya adat tersebut hidup terus sesuai dengan keperluan
manusia, dan adat itu dapat dilaksanakan oleh orang Minangkabau walaupun di tanah
perantauannya sendiri. Adat berbuhul mati, adalah adat sebenar adat yang datangnya
dari Allah Khaliqul Alam, sesuai dengan fiotrah manusia. Maknanya, yang ditetapkan
oleh syari‘at agama Islam, semestinya dipakaikan oleh adat di ranah Minangkabau
SIMPULAN
Alam terkembang jadi guru, demikian falsafah yang dianut etnis Minang etnis besar yang ada di Indonesia. Falsafah ini sangat “unique”, sebagai panutan dan
pelajaran hidup bagi manusia dan individu, dengan memetik suatu kejadian dari
peristiwa dan proses alam. Ada pertanyaan, apakah wanita Minang yang
berkedudukan sebagai Bundo Kandung – limpapeh rumahnan gadang, sehingga para
kaum wanitanya telah meninggalkan jati dirinya sebagai makhluk yang disanjung oleh
adat dan budayanya (Umar Yunus, 1988: 23). Di sini sebagai seorang wanita minang,
saya merasa berbahagia atas perlakukan adat dan budaya yang menempatkan kami
sebagai makhluk yang disanjung, di mana masyarakatnya meyakini benar bahwa
wanitalah bermula dan paling pantas menerima peran sosial dalam mempertahankan
kelanggengan adat dan budaya. Ada pepatah yang memperlihatkan betapa kaum
wanita ditempatkan dalam kedudukan yang istimewa.
Bundo kandung limpapeh rumah nan gadang
Umbun puro pegangan kunci
Hiasan di dalam kampuang
sumarak dalam nagari
Sebaliknya, kaum pria mempunyai kewajiban untuk membimbing anak saudara
perempuannya yang merupakan kemenakan bagi kaum pria. Dengan demikian
seorang anak di Minangkabau mempunyai dua pelindung, yaitu perlindungan dari
seorang Ayah dan perlindungan dari seorang Mamak seperti fatwa adat yang
berbunyi :
462
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Anak dipangku kemenakandibimbing
Anakdipangkujopancarian,
Kamanakan dibimbing jopusako.
DAFTAR PUSTAKA
A. A. Navis (Ed). 1983. Dialektika Minangkabau. Padang: Genta Singgalang Press.
Amran, Rusli. 1985. Sumatera Barat Plakat Panjang., Jakarta: Sinar Harapan.
Amrin, Hamka, Mohammad Hatta, dkk. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau,
Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Dirajo, Dt. Sangguno. 1987. Curaian Adat Alam Minangkabau. Bukittinggi:
Pustaka Indonesia,
Esten, Mursal. 1999. Desentralisasi Kebudayaan. Bandung: Angkasa
Koswara, E. 1991. Teori-teori Kepribadian. Bandung: Eresco,
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Yunus, Umar. 1988. ―Kebudayaan Minangkabau‖,dalam Koentjaraningrat (ed)
Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
463
PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA DALAM TEKS
KEILMUAN
Taqyuddin Bakri
Universitas Tadulako
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Teks Keilmuan. Keterampilan menulis
merupakan keterampilan berbahasa yang patut mendapatkan perhatian khusus. Hal ini
patut dilakukan karena melalui keterampilan menulis, dapat diukur kemampuan
mahasiswa dalam menggunakan bahasa Indonesia. Sejalan dengan itu, penggunaan
bahasa Indonesia dalam teks keilmuan masih menjadi masalah yang perlu
diperhatikan. Hal ini terlihat jelas dari teks keilmuan yang dihasilkan oleh mahasiswa
Universitas Tadulako. Padahal, keterampilan menulis—terutama bagi kalangan
mahasiswa—seharusnya sudah menjadi kebiasaan, sehingga tidak ditemukan lagi
permasalahan dalam penulisan teks keilmuan. Oleh karena itu, terdapat permasalahan
utama dalam makalah ini, yaitu: bagaimana permasalahan penggunaan bahasa
Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako? Tujuan penelitian,
yaitu mendeskripsikan permasalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam teks
keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako. Hasil penelitian kualitatif jenis studi kasus
menunjukkan adanya problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan
mahasiswa. Hal ini perlu dijadikan dasar pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia bagi mahasiswa.
Kata kunci: penggunaan bahasa indonesia, teks keilmuan.
PENDAHULUAN
Peran bahasa Indonesia amat penting, terutama dalam pencerdasan
bangsa Indonesia. Secara historis, bahasa Indonesia resmi diakui sebagai
bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II yang mengikrarkan Sumpah
Pemuda, ―... menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia‖. Ikrar ini,
secara historis mengakar kuat dan menjadi dasar pijakan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu.
Lebih lanjut, bahasa Indonesia juga diakui secara yuridis sebagai
bahasa nasional dan bahasa negara. Hal ini termaktub langsung dalam UndangUndang Dasar (UUD) 1945, Pasal 36 yang berbunyi ―bahasa persatuan adalah
bahasa Indonesia‖. Dari pasal ini diturunkan fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional, bahasa negara, sarana interaksi, dan sarana penghubung
antardaerah dan antarbudaya.
464
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Berkenaan dengan itu, peran bahasa Indonesia amat penting, terutama
sebagai alat komunikasi antarsuku. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi antarsuku ini dilatarbelakangi oleh beragamnya suku dan bahasa
daerah yang ada di Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga dipergunakan
dalam komunikasi keilmuan. Dikatakan sebagai komunikasi keilmuan, karena
bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mata pelajaran. Hal ini sesuai
dengan amanah dalam UU Nomor 24 Tahun 2009. Berkenaan dengan itu,
bahasa Indonesia amat fundamental dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni (Suwignyo dan Santoso, 2008:3; Kurniawan, 2012:19).
Dengan bahasa Indonesia, konsep keilmuan dan kreativitas budaya dapat
dibentangkan. Itu menandakan bahwa sebagai sarana peningkatan harga diri
bangsa dalam pergaulan global, bahasa Indonesia perlu dididikkan dengan
bijak.
Untuk itu, kualitas mahasiswa di pendidikan tinggi perlu dipersiapkan
secara sistematis. Jika gedung direnovasi, kurikulum direformasi, daya nalar
mahasiswa perlu direvolusi. Dengan begitu, keterpaduan kualitas fasilitas,
penunjang pembelajaran dengan kualitas mahasiswa dapat dioptimalkan untuk
meningkatkan mutu pembelajaran bahasa Indonesia.
Senada dengan itu, inovasi peningkatan mutu layanan pendidikan
bahasa Indonesia perlu diintensifkan di bangku perkuliahan. Langkah ini dapat
berdampak pada pemercepatan kompetensi berbahasa Indonesia mahasiswa.
Kompetensi yang dimaksud, berkaitan langsung dengan aspek praktis,
terutama dalam hal keterampilan berbahasa.
Kenyataan yang ada, pengembangan kompetensi berbahasa Indonesia
keilmuan mahasiswa di Universitas Tadulako masih dilematis. Hal ini terlihat
dari hasil karya tulis ilmiah yang memiliki kualitas rendah. Rendahnya kualitas
itu diukur dari dua hal, yaitu: ketepatan penggunaan ejaan, dan kemampuan
menghubungkan antara satu gagasan dengan gagasan lainnya. Hal ini disinyalir
terjadi akibat lemahnya minat baca mahasiswa.
Sekaitan dengan itu, kebiasaan salah berbahasa Indonesia dapat
memicu salah nalar, tetapi cermat berbahasa Indonesia memudahkan
penyampaian gagasan (Kuntarto, 2008:25). Dalam pada itu, jika pandangan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
465
Rosidi (2010) tentang masalah bahasa Indonesia dan rekaman Prasetyo (2013)
tentang kasus kebahasaan diabaikan, praktik berbahasa Indonesia di perguruan
tinggi sulit diwujudkan (Arifin dan Tasai, 2009; Arifin dan Hadi, 2009;
Rahardi, 2006). Ketika lemah berbahasa Indonesia, mahasiswa tentu sulit
menjangkau rekayasa literasi untuk memberdayakan nalar (Alwasilah,
2012:159). Jadi, keunggulan bangsa memerlukan keunggulan prestasi;
keunggulan prestasi memerlukan keunggulan berpikir; keunggulan berpikir
memerlukan keunggulan berbahasa (Suherdi, 2012:13). Wajar jika salah
berbahasa Indonesia dan lemah bernalar patut dihindari.
Dalam konteks itu, daya nalar mahasiswa sulit dipisahkan dari
keberaksaraan lingkungan sosialnya. Akankah dimaklumi jika problem
berbahasa Indonesia dan problem bernalar dalam komunikasi keilmuan dialami
mahasiswa Universitas Tadulako? Masalah pokok dalam makalah ini adalah
bagaimana problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan
mahasiswa Universitas Tadulako? Penelitian bertujuan mendeskripsikan
problem
penggunaan bahasa Indonesia dalam teks keilmuan mahasiswa
Universitas Tadulako. Dengan pendekatan kualitatif (K., 2010:65; Danim,
2002:16), studi kasus dilakukan. Dengan studi dokumentasi, data dalam karya
tulis mahasiswa Universitas Tadulako dikumpulkan. Ketika itu, analisis model
alir ditempuh. Akhirnya, problem penggunaan bahasa Indonesia dalam teks
keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako diuraikan berikut.
PEMBAHASAN
Data (1): Permasalahan Penggunaan Ejaan
(a) Karena limpahannyalah kita dapat berkumpul di tempat ini.
(b) Tuhan telah memberikan hidayahnya kepada kita semua.
(c) Pada 28 oktober diperingati sebagai hari sumpah pemuda.
Berdasar data (1) terdapat problem pemakaian ejaan pada kata
limpahannyalah dan hidayahnya. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 46 tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (Mendiknas, 2009), huruf kapital digunakan
466
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
untuk menyebut Tuhan. Dalam hal yang sama, huruf kapital juga digunakan
untuk menulis nama-nama geografi. Akhirnya, ketiga kata itu dibetulkan
menjadi limpahan-Nyalah, dan hidayah-Nya.
Pada data (c) terdapat problem penulisan ejaan, yaitu 28 oktober, dan
hari sumpah pemuda. Perlu ditegaskan kembali bahwa Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 46 tahun 2009 perlu diterapkan. Penulisan huruf
kapital pada nama bulan, hari besar, dan nama institusi perlu dipraktikkan.
Jadi, data (7) ditulis menjadi 28 Oktober, dan Hari Sumpah Pemuda.
Data (2): Permasalahan Penggunaan Kata Ganti
(a) Marilah kita semua hindari penggunaan narkoba di kampus ini!
(b) Narkoba dapat merusak kita semua.
(c) Kami semua langsung pulang.
Pada data (2), kita semua menunjuk orang pertama jamak. Menurut
Putrayasa
(2008:52), kita menggantikan persona pertama pluralis. Untuk itu, kita tidak
diikuti oleh semua karena tidak melibatkan orang kedua jamak. Dalam kalimat
itu, kita semua ditulis (a) Marilah kita hindari penggunaan narkoba di kampus
ini!; dan (b) Narkoba dapat merusak kita. Selain itu, kami pada data (c)
seharusnya tanpa kata semua.
Data (3): Permasalahan Penulisan Kata
(a) Pada hari Minggu aku ke ruma kakeku.
(b) Karna hasil jerih paya, saya diterima di kampus negri.
(c) Kami bersi-bersi di ruma neneku.
Ketika membaca data (3), penghilangan konsonan /h/ tampak pada
ruma, dan bersi. Menurut Kridalaksana (2009:18), penghilangan suatu bunyi di
ujung kata disebut apokope. Selain itu, penghilangan konsonan juga ditemukan
di tengah kata, yakni /k/ pada kata kakeku dan neneku, /h/ pada kata jeri
payanya, dan /e/ pada kata karna dan negri. Menurut Kridalaksana (2009:222),
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
467
penghilangan bunyi konsonan di tengah kata disebut sinkope. Dalam bahasa
Indonesia, kata-kata itu seharusnya ditulis rumah, kakekku, nenekku, jerih
payahnya, dan bersih.
Data (4): Permasalahan Pemilihan Kata
(a) Orang bilang kampus-ku maju.
(b) Kenangan itu dilupain.
(c) Ia ngebahagiain aku.
Pada data (4) terdapat kata bilang, dilupain, dan ngebahagiain. Katakata itu disinyalir merupakan tiruan dari kata yang didengar siswa melalui
media masa, bukan kata yang lazim berasal dari lingkungan sendiri. Jika situasi
sosialnya tepat, kata itu boleh digunakan. Akan tetapi, dalam situasi formal,
kata itu perlu dihindari. Menurut Suwignyo dan Santoso (2008:21) kosakata itu
disebut nonstandar yang tidak digunakan dalam keilmuan. Oleh karena itu, jika
formal, kata itu diganti mengatakan, dilupakan, dan membahagiakan.
Data (5): Permasalahan Penyusunan Kalimat Efektif
(a) Agar Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain.
(b) Sehingga kita dapat berkumpul di sini.
Pada data (5), rangkaian kata seolah menampakkan konstruksi kalimat,
namun berupa kalimat buntung (Arifin dan Hadi, 2009:123). Agar berterima,
kata agar, sehingga, dan karena di awal kalimat dihilangkan. Kalimat itu
dibetulkan menjadi (a) Indonesia tidak tertutupi oleh negara lain.; (b) Kita
dapat berkumpul di sini.; (c) Kebersihan itu merupakan sebagian dari iman.
Data (6): Permasalahan Penggunaan Verba Transitif
(a) Kelemahan novel ini mengajari tentang remaja yang agak nakal.
(b) Buku ini membahas tentang upaya pengembangan kompetensi bahasa
Indonesia. (c) Novel menceritakan tentang cinta.
468
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dalam data (6) tercantum verba transitif mengajari, membahas, dan
menceritakan. Ketiga kata itu seharusnya diikuti oleh objek tanpa kata tentang.
Menurut Haryanta (2012:277) dan Kridalaksana (2009:246) bahwa verba
transitif memerlukan objek tanpa dipisahkan kata tertentu. Kehadiran kata
tentang menampakkan ketidaktepatan penggunaan verba transitif. Jadi, ketiga
kalimat itu diperbaiki menjadi (a) Kelemahan novel ini mengajari remaja yang
agak nakal.; (b) Buku ini membahas upaya pengembangan kompetensi bahasa
Indonesia.; (c) Novel menceritakan cinta remaja.
Data (7): Permasalahan Penggunaan Kata di mana (a) Universitas
Tadulako merupakan kampus heterogen di mana mahasiswanya berasal dari
berbagai daerah, dan suku. (b) Luwuk memiliki keunikan humanis di mana
kerukunan hidup umat beragama teruji ratusan tahun. (c) Data penelitian
diperoleh di mana penelitian ini dilaksanakan.
Pada data (7) tercantum di mana. Padahal, di mana lazim digunakan
sebagai kata untuk menanyakan tempat. Menurut Syahroni dkk. (2013:35), di
mana tidak dipakai dalam kalimat pernyataan. Jadi, kalimat itu dibetulkan
menjadi (a) Universitas Tadulako merupakan kampus heterogen yang
mahasiswanya berasal dari berbagai daerah, dan suku.; (b) Luwuk memiliki
keunikan humanis karena kerukunan hidup umat beragama teruji ratusan
tahun.; (c) Data penelitian diperoleh di tempat penelitian ini dilaksanakan.
Jadi, Permasalahan bahasa Indonesia di Universitas Tadulako, yakni
penggunaan ejaan, pemakaian kata ganti, penulisan kata, pemilihan kata, dan
penyusunan kalimat efektif, verba transitif, dan di mana.
SIMPULAN
Berdasarkan masalah dan uraian tersebut dapat disimpulkan temuan
pokok, yaitu permasalahan penggunaan bahasa Indonesia dalam teks
keilmuan mahasiswa Universitas Tadulako. Dalam teks keilmuan mahasiswa
Universitas Tadulako, permasalahan penggunaan bahasa Indonesia berkenaan
dengan penggunaan ejaan, pemakaian kata ganti, penulisan kata, pemilihan
kata, dan penyusunan kalimat efektif, verba transitif, dan di mana.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
469
Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan itu perlu dibenahi. Apalagi,
dalam penyelesaian tugas akhir, mahasiswa tidak hanya sekadar menghasilkan
skripsi, tetapi juga wajib mempublikasikan artikel dalam jurnal ilmiah.
Kenyataan ini menjadi tantangan untuk semakin memperhatikan pentingnya
aspek keterampilan berbahasa, terutama menulis dalam pembelajaran bahasa
Indonesia, khususnya bagi kalangan mahasiswa Universitas Tadulako.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. Chaedar. 2012. Pokoknya Rekayasa Literasi. Bandung: PT
Kiblat Buku Utama.
Arifin, E. Zaenal. dan Hadi, Farid. 2009. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa:
Bahan Penyuluhan Bahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Arifin, E. Zaenal. dan Tasai, S. Amran. 2009. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: CV Akademika Pressindo.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
De Bono, Edward. 2007. Revolusi Berpikir Edward de Bono: Mengajari Anak
Anda Berpikir Canggih dan Kreatif dalam Memecahkan Masalah dan
Memantik Ide-ide Baru. Terjemahan oleh Ida Sitompul dan Fahmy
Yamani. Bandung: Penerbit Kaifa.
Ghazali, A. Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan
Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: PT Refika Aditama.
Ghazali, A. Syukur. 2013. Pemerolehan dan Pembelajaran Bahasa Kedua.
Malang: Bayumedia Publishing.
K., Septiawan Santana. 2010. Menulis Ilmiah Metodologi Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Karim, Ali. 2012. Analisis Wacana: Praktik dan Teori. Palu: Tadulako
University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kuntarto, Niknik M. 2008. Cermat dalam Berbahasa Teliti dalam Berpikir.
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Kurniawan, Khaerudin. 2012. Bahasa Indonesia Keilmuan untuk Perguruan
Tinggi. Bandung: Refika Aditama.
470
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Mendiknas. 2009. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun
2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Putrayasa, Ida Bagus. 2007. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika).
Bandung: PT Refika Aditama.
Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan
Infleksional). Bandung: PT Refika Aditama.
Rahardi, Kunjana. 2006. Dimensi-dimensi Kebahasaan: Aneka Masalah
Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Ramlan, M. 2008. Kalimat, Konjungsi, dan Preposisi Bahasa Indonesia dalam
Penulisan Karangan Ilmiah. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Suwignyo, Heri. dan Santoso, Anang. 2008. Bahasa Indonesia Keilmuan
berbasis Area Isi dan Ilmu. Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang.
Yunidar. 2012. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Malang: Surya Pena
Gemilang.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
471
IMPLEMENTASI KONTEKS BUDAYA DALAM
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERDASARKAN
KURIKULUM 2013
Teti Sobari
STKIP Siliwangi
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Implementasi Konteks Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Berdasarkan Kurikulum 2013. Bahasa Indonesia sebagai pembawa pengetahuan
harus menjadi pendorong dalam menumbuhkan kecerdasan kognitif, afektif, maupun
psikomotor peserta didik. Selain itu, melalui pembelajaran bahasa Indonesia akan
terbentuk karakter peserta didik yang menjadi bekal dalam membangun bangsa. Selain
itu dengan pembelajaran berbasis budaya akan tercipta pemertahanan negara. Konteks
sikap sosial peserta didik terbentuk secara langsung dan tidak langsung melalui proses
pembelajaran yang berorientasi budaya setempat. Konteks budaya akan mampu
memupuk sikap dan nilai positif peserta didik melalui pembelajaran.Pembelajaran
bahasa Indonesia berbasis budaya memperhatikan konteks sosial budaya lokal. Peserta
didik akan mengenal dan melestarikan serta mengimplementasikan dalam kehidupan
bermasyarakat. Teks yang disodorkan kepada siswa memiliki keterkaitan dengan
budaya tertentu. Melalui teks peserta didik diperkenalkan berbagai budaya nasional
dengan tujuan untuk mengenal dan memahami keragaman budaya. Ketika belajar
bahasa Indonesia maka siswa belajar budaya nasional melalui pemahaman teks.Teks
sebagai saluran budaya yang digunakan dalam pembelajaran menjadi modal utama
dalam pembentukan nilai-nilai sosial budaya. Kurikulum 2013 mengunggulkan
karakter sebagai unggulan kompetensi akhir peserta didik. Kompetensi inti dan
kompetensi dasar menjadi acuan dalam pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi
konteks sosial budaya. Dengan demikian, Kurikulum 2013 menyelaraskan dengan
kebutuhan guru dan peserta didik sehingga dapat mewujudkan konteks sosial budaya
setempat yang didukung oleh sikap demokratis, kreatif, dan toleransi. Dengan sikap
dan nilai konteks sosial budaya setempat akan terjalin harmonisasi pembelajaran yang
diperankan guru beserta peserta didik. Implementasi budaya dalam pembelajaran
bahasa Indonesia harus diselaraskan dengan pendekatan scientifik yang menjadi
panduan pelaksanaan proses pembelajaran menurut Kurikulum 2013. Pada setiap
kegiatan pendekatan scientifik perlu memperhatikan kompetensi sikap yang akan
dicapai. Di samping itu pembelajaran bahasa Indonesia sebaiknya mengenalkan
budaya setempat sebagai bahan ajar yang diimplementasikan dalam pembelajaran
melalui teks sebagai medianya.
Kata kunci : konteks sosial budaya, pembelajaran bahasa indonesia, kurikulum
2013.
472
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran inti pada semua tingkat
pendidikan baik pendidikan dasar maupun menengah. Untuk itu, muatan pembelajaran
bahasa Indonesia harus mengacu pada berbagai kegiatan dengan menekankan pada
aspek budaya, karakter, teks, keterampilan, pengetahuan, kompetensi, dan tema.
Pembelajaran Bahasa Indonesia berbasis teks melalui metodologi pembelajaran
dengan tahap membangun konteks, pemodelan, membangun teks secara berkelompok,
membangun teks secara mandiri.
Teks merupakan komponen bahasa yang mengandung ide serta informasi
dengan struktur yang sistematis dan utuh. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Mahsun (2013) bahwa dari sudut pandang teori semiotika sosial,
teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan
sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks
situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi
yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi
bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai.
Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register
atau bahasa sebagai teks (Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013,Posted Tue,
04/23/2013 - 11:52 by sidiknas)
Pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum 2013 yaitu
berbasis teks. Teks merupakan salah satu genre. Pada konteks budaya yang
lebih luas, genre adalah proses sosial yang berorientasi pada tujuan yang
dicapai secara bertahap atau konteks budaya yang melatarbelakangi lahirnya
teks. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia berdasarkan kurikulum
2013 sangat memperhatikan keragaman budaya yang ada di masyarakat.
Kompetensi Inti 3 yang terdapat pada Kurikulum 2013 mengandung
konteks budaya sebagai bahan ajar sehingga peserta didik mampu memahami,
menganalisis, dan mengevaluasi pengetahuan berdasarkan rasa ingin tahunya.
Dalam Kompetensi Dasar unsur budaya diperkenalkan melalui teks tulisan
maupun lisan melalui pembelajaran yang berbasis tema.
Penggunaan bahasa berdasarkan konteks situasi bentuknya sangat
beragam. Dengan demikian penggunaan bahasa disesuaikan dengan situasi dan
daerah yang beragam. Setiap daerah memiliki ragam bahasa yang dipengaruhi
oleh budaya setempat atau ragam budaya yang dipengaruhi bahasa setempat.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
473
Budaya daerah merupakan budaya yang dimiliki oleh suatu wilayah dan
mencerminkan kehidupan sosial di wilayahnya. Hal-hal yang termasuk budaya
daerah diantaranya adalah cerita rakyat, lagu daerah, ritual kedaerahan, adat
istiadat daerah, dan segala sesuatu yang bersifat kedaerahan.
Konteks Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Konteks budaya yang menjadi bahan ajar dalam kurikulum 2013 meliputi
konteks kearifan lokal dan sikap serta nilai-nilai sebagai pemenuhan tujuan
pembelajaran. Kearifan lokal dan sikap serta nilai yang menjadi bahan ajar dalam
kurikulum 2013 meliputi pengenalan kesenian daerah nusantara ( pakaian, tarian, alat
kesenian, dan rumah daerah), sistem sosial, keberagaman beragama, dan keberagaman
mata pencaharian.
Menurut E.B. Taylor (Suriasumantri, 1996: 261), kebudayaan
merupakan keseluruhan aspek kehidupan yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya
yang
diperoleh
manusia
sebagai
anggota
masyarakat.
Selanjutnya
Kuntjaraningrat (1996: 92) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan
unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan
organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata
pencaharian serta sistem teknologi dan peralatan. Dengan demikian yang
dimaksud kebudayaan adalah seluruh aspek kehidupan masyarakat yang
dijadikan landasan dalam berkehidupan sosial.
Kebudayaan masyarakat dapat mewariskan nilai-nilai kehidupan yang
sesuai dengan konvensi pengguna budaya setempat. Selanjutnya wujud
kebudayaan dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Suatu kompleks ide,gagasan,nilai,norma, peraturan dan sebagainta.
b. Suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
c. Suatu benda-benda hasil karya manusia ( Koentjaraningrat, 2009: 150).
Pewarisan budaya tersebut salah satunya melalui pendidikan yang diintegrasikan
dalam setiap pembelajaran. Dengan demikian pembelajaranlah yang menjadi ruh
lestari dan bertahannya budaya.
474
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kebudayaan dapat digolongkan berdasarkan sistem sosial, sistem kehidupan
beragama, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, sistem perangkat kehidupan,
sistem bahasa, dll.
Pembelajaran Bahasa Indonesia harus berorientasi budaya melalui teks sebagai
pembangun konteks pembelajaran. Peserta didik memahami dan mengenal budaya
berbagai daerah yang dikenal dengan kearipan budaya lokal.
Implementasi nilai-nilai budaya dalam pembelajaran tidak terlepas dari peran
pemerintah dalam menentukan kebijakan dalam pendidikan. Melalui pembelajaran ini
maka peserta didik akan mengenal dan melestarikan budaya daerahnya sebagai
budaya tradisi nusantara. Budaya diwariskan melalui kehidupan sosial masyarakat
pengguna bahasa. Budaya sebagai media penyambung pelestarian budaya antara
peserta didik dengan konteks budaya melalui pembelajaran.
Peserta didik sebagai penerus bangsa merupakan generasi yang memiliki
eksistensi dalam pemertahanan budaya. Peserta didik sangat memegang peranan
penting dalam proses pelestarian dan pemertahanan budaya. Namun, arus globalisasi
budaya luar sangat kuat mempengaruhi karakter peserta didik. Dalam mengantisifasi
hal tersebut maka pendidikan dan pembelajaran sebagai modal utama membentuk jati
diri peserta didik.
Pembelajaran bahasa Indonesia harus memperhatikan aspek budaya dan kearifan
lokal dengan mengintegrasikan nilai-nilai dalam pembelajaran melalui teks. Hal ini
dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai budaya lokal dalam kehidupan peserta didik
dan juga untuk menangkal budaya global dalam mempengaruhi mental peserta didik.
Selain teks, pengenalan budaya atau kearifan lokal juga dilakukan melalui multi
modal atau gambar. Melalui gambar atau media pengenalan dan pelestarian budaya
dapat diciptakan dalam pembelajaran yang berorientasi karakter.
Aktivitas pembelajaran harus menumbuhkan aktivitas dan kreativitas siswa
dengan menciptakan pembelajaran yang bervariatif. Melalui pengenalan teks peserta
didik dapat memahami, menganalisis, serta memproduksi berbagai jenis teks. Konten
teks yang menjadi bahan kajian meliputi struktur dan ciri bahasa teks.
Jenis teks menurut kurikulum 2013 meliputi teks anekdot, teks eksposisi, teks
laporan hasil observasi, teks negosiasi, teks eksplanasi, teks cerpen, teks drama, teks
eksemplum, teks deskriptif, teks editorial, teks naratif, teks prosedur kompleks, teks
deskripsi, teks editorial, dll. Semua teks tersebut termaktub dalam kurikulum 2013
pada jenjang SD, SMP, dan SMA/MA/SMK.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
475
Pada Kurikulum 2013 budaya diintegrasikan dalam pembelajaran dengan
mengacu pada ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini tercantum dalam
Buku Siswa yaitu
Kurikulum 2013 yang menekankan pentingnya keseimbangan kompetensi sikap,
pengetahuan dan keterampilan, kemampuan berbahasa yang dituntut tersebut dibentuk
melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang
jenis, kaidah dan konteks suatu teks, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu
teks tulis dan lisan baik terencana maupun spontan, dan bermuara pada pembentukan
sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta sikap penghargaan terhadap Bahasa
Indonesia sebagai warisan budaya bangsa.(2013:v)
Implementansi Budaya dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia menurut
Kurikulum 2013
Berdasarkan kurikulum 2013 Bahasa Indonesia adalah penghela ilmu
pengetahuan (carrier of knowledge) artinya bahwa pembelajaran bahasa Indonesia
sebagai sarana pengembangan berbagai ilmu pengetahuan. Pembelajaran bahasa
Indonesia berbasis teks merupakan pembelajaran yang mengedepankan pemahaman
siswa terhadap teks. Melalui teks siswa mengenal ilmu pengetahuan yang lain. Bentuk
teks menurut kurikulum 2013 yaitu lisan, tulisan, dan multi modal. Dengan demikian,
siswa diharapkan memiliki kemampuan memahami berbagai bentuk teks dan mampu
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perbedaan Kurikulum 2013 dengan Kurikulum KTSP salah satunya adalah
adanya Kompetensi Inti. KI dalam Kurikulum 2013 merupakan gambaran mengenai
kemampuan yang harus tercapai yang meliputi sikap, pengetahuan, dan keterampilan
melalui pembelajaran aktif, kreatif, dan produktif. Kompetensi Dasar merupakan
kompetensi
yang
dikembangkan
secara
akumulatif,
saling
memperkuat
(reinforcement), dan memperkaya (enriched) untuk mencapai kompetensi dalam
kompetensi inti
Kompetensi Inti Bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2013 pada kelas X
SMAmeliputi
KI 1:
Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
KI 2:
Menghayati
dan
mengamalkan
perilaku
jujur,
disiplin,
tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam
476
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam
serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam
pergaulan dunia
KI 3:
Memahami,
menerapkan,
menganalisis
dan
mengevaluasi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif
berdasarkan rasa ingin tahunya
tentang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan
prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat
dan minatnya untuk memecahkan masalah
KI 4:
Mengolah, menalar, menyaji, dan mencipta dalam ranah konkret
dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang
dipelajarinya di sekolah secara mandiri serta bertindak secara
efektif dan kreatif, dan mampu menggunakan metoda sesuai
kaidah keilmuan
Prinsip pembelajaran bahasa Indonesia menurut Kurikulum 2013 adalah
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dilaksanakan dengan menerapkan
prinsip bahwa (1) bahasa hendaknya dipandang sebagai teks, bukan semata-mata
kumpulan kata-kata atau kaidah-kaidah kebahasaan, (2) penggunaan bahasa
merupakan proses pemilihan bentuk-bentuk kebahasaan untuk mengungkapkan
makna, (3) bahasa bersifat fungsional, yaitu penggunaan bahasa yang tidak pernah
dapat dilepaskan dari konteks karena dalam bentuk bahasa yang digunakan itu
tercermin ide, sikap, nilai, dan ideologi penggunanya, dan (4) bahasa merupakan
sarana pembentukan kemampuan berpikir manusia (Depdikbud, 2013: v)
Proses pembelajaran menurut kurikulum 2013 harus menggunakan pendekatan
sientifik yaitu pembelajaran yang menekankan aspek ilmiah. Peserta didik dibawa ke
dalam situasi berfikir ilmiah. Pembelajaran harusmenyentuh tiga ranah sikap,
pengetahuan, dan keterampilan. Hasil akhir pembelajaran melahirkan kompetensi
kreatif, produktif, inovatif, dan afektif.
Langkah pembelajaran sientifik meliputi mengamati, menanya, menalar,
mencoba, dan mengomunikasikan.
1) Kegiatan mengamati merupakan kegiatan yang mengutamakan kebermaknaan
proses
pembelajaran
(meaningfull
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
learning).
Kelebihan
mengamatiyaitu
477
menyajikan media sebagai objek yang nyata, peserta didik merasa senang dan
tertantang, selain itu juga mudah dilaksanakan. Kelematahan mengamati yaitu
memerlukan waktu persiapan yang lama, biaya serta tenaga yang cukup banyak,
dan apabila peserta didik tidak memahami maka akan melenceng dari tujuan
pembelajaran.
Kegiatan mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta
didik, sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi.
Dengan melakukan observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada
hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang
digunakan oleh guru. Depdikbud (2013:28)
Langkah-langkah kegiatan mengamati dalam Modul Pelatihan Guru Bahasa
Indonesia (2013: 28) meliputi :
a) Menentukan objek apa yang akan diobservasi
b) Membuat pedoman observasi sesuai dengan lingkup objek yang akan diobservasi
c) Menentukan secara jelas data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer
maupun sekunder
d) Menentukan di mana tempat objek yang akan diobservasi
e) Menentukan
secara
jelas
bagaimana
observasi
akan
dilakukan
untuk
mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
f) Menentukan cara dan melakukan pencatatan atas hasil observasi , seperti
menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder, video perekam, dan alat-alat
tulis lainnya.
Pada kegiatan mengamati kompetensi sikap yang dikembangkan meliputi
mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras,
kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikiri nduktif serta
deduktif dalam menyimpulkan.
2) Kegiatan menanya
Kegiatan belajarnya meliputi kegiatan menyampaikan rumusan pertanyaan yang
merupakan hasil dari rekontruksi pengetahaun yang sudah dipelajari dengan
pengetahuan baru yang sedang dipelajari.
Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur, teliti,
toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pertanyaan dengan
singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan
benar.
478
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
3) Kegiatan mengumpulkan informasi/eksperimen
Kegiatan belajarnya meliputi melakukan eksperimen, membaca sumber
lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian, aktivitas, dan wawancara
dengan
narasumber.
Kompetensi
yang
dikembangkan
meliputi
Mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang
lain,
kemampuan
berkomunikasi,
menerapkan
kemampuan
mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari,
mengembangkan kebiasaan belajar dan belaja sepanjang hayat.
4) Kegiatan mengasosiasikan/mengolah
Kegiatan
belajarnya
meliputi
mengolah
informasi
yang
sudah
dikumpulkan, baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen
maupun hasil mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi
Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur,
teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur
dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan .
5) Kegiatan mengomunikasikan.
Kegiatan belajarnya yaitu menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan
berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnnya.
Kompetensi yang dikembangkan meliputi mengembangkan sikap jujur,
teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat
dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa
yang baik dan benar.
PENUTUP
Bahasa
Indonesia sebagai
pembawa pengetahuan harus menjadi
pendorong dalam menumbuhkan kecerdasan kognitif, afektif, maupun
psikomotor peserta didik. Konteks sikap sosial peserta didik terbentuk secara
langsung dan tidak langsung melalui proses pembelajaran yang berorientasi
budaya setempat.
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya memperhatikan konteks
sosial budaya lokal. Peserta didik akan mengenal dan melestarikan serta
mengimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Pembelajaran bahasa
Indonesia berbasis budaya diintegrasikan dalam pengenalan teks.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
479
Teks sebagai saluran budaya yang digunakan dalam pembelajaran menjadi
modal utama dalam pembentukan nilai-nilai sosial budaya. Kurikulum 2013
mengunggulkan karakter sebagai unggulan kompetensi akhir peserta didik.
Kompetensi inti dan kompetensi dasar menjadi acuan dalam pelaksanaan
pembelajaran yang berorientasi konteks sosial budaya.
Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis budaya dapat menumbuhkan
kecerdasan kognitif dan kecerdasan sosial peserta didik. Dengan memahami
nilai-nilai budaya pembelajaran dapat menunjang kreativitas guru dan siswa
sehingga dapat meningkatkan kompetensi guru dan siswa.
Dengan demikian Kurikulum 2013 perlu menyelaraskan dengan kebutuhan
guru dan peserta didik sehingga dapat mewujudkan konteks sosial budaya
setempat yang didukung oleh sikap demokratis, kreatif, dan toleransi. Dengan
sikap dan nilai konteks sosial budaya setempat akan terjalin harmonisasi
pembelajaran yang diperankan guru beserta peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik untuk SMA Kelas X.
Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif
Depdikbud. 2013. Bahasa Indonesia Wahana Ilmu Pengetahuan untuk SMP Kelas
VII. Jakarta: Politeknik Negeri Media Kreatif
Depdikbud. 2013. Silabus SMA/SMK/MA. Depdikbud
Depdikbud. 2014. Modul Pelatihan Bahasa Indonesia. Depdikbud
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Mahsun. 2013. Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013. Posted Tue, 04/23/2013 –
11:52 by sidiknas
Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan
480
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PENDIDIKAN KARAKTER DALAM NOVEL
AYAHKU BUKAN PEMBOHONG KARYA TERE LIYE
Tri Wahyuni M dan Ratu Badriyah
Universitas Terbuka
Pos-el: [email protected]/[email protected]
[email protected]/[email protected]
ABSTRAK
Pendidikan Karakter dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong Karya
Tere-Liye. Pesatnya laju globalisasi telah mengubah karakter manusia ke arah
yang memprihatinkan. Keprihatinan ini menyangkut perubahan berbagai sisi
kehidupan baik pola asuh, pola hidup, maupun gaya hidup. Akibat perubahan
tersebut terbentuk sikap hidup manusia dari yang tadinya damai menjadi
gelisah, dari bersahaja menjadi ingin serba ada, dari berpikir sederhana
menjadi rumit, dan dari bersyukur menjadi takabur. Novel ―Ayahku Bukan
Pembohong ― karya Tereliye memberi solusi cara membentuk karakter anak.
Di dalamnya berisi banyak cara belajar tentang membentuk karakter anak
menjadi positif melalui contoh cerita, keteladanan, dan perilaku positif yang
ditanamkan seorang ayah kepada anaknya.
Kata kunci: novel dan pendidikan karakter
PENDAHULUAN
“Kau
seharusnya
lebih
sering
memeluk
ayah
kau,
Dam.”
…………”Kau tahu, sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak
pernah lagi mau memeluk ayah mereka sendiri setelah
tumbuh dewasa.
Padahal sebaliknya, sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati
terdalamnya, seorang ayah selalu ingin memeluk anak-anaknya.”…….Sedikit
sekali anak laki-laki yang memeluk ayahnya sendiri. Padahal boleh jadi ayah
mereka kesepian di usia tua. (Tere Liye :256)
Ayahku-Bukan-Pembohong. Novel ini menceritakan kehidupan seorang
anak laki-laki semata wayang yang bernama Dam. Dam memiliki ayah yang
dikenal sebagai sosok sederhana dan jujur. Kesederhanaan dan kejujurannya
sangat terkenal di kotanya sehingga hampir semua orang di kota mengenal
sifat-sifat lulusan master terbaik dari sekolah hukum terbaik di Eropa itu. Ayah
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
481
lebih memilih menjadi pegawai golongan menengah dari pada berkedudukan
sebagai hakim agung atau pejabat tinggi. Ayah Dam lebih memilih jadi orang
biasa dengan hidup sederhana. Kesederhanaan hidup
itulah yang telah
ditanamkan kepada Dam sejak kecil.
Ketika muda, ayah Dam seorang petualang. Kisah petualangan
ayahnyalah yang menjadi bahan cerita menarik bagi Dam. Bukan hanya
sekedar itu, Ayah Dam juga berhasil menjadikan kisah petualangannya sebagai
sumber motivasi, sumber inspirasi, dan menjadi strategi yang dia terapkan
sehari-hari dalam memaknai hidup. Ayah Dam mendidik Dam dengan strategi
mendongeng yang berbentuk kisah petualangannya bersama Suku Penguasa
Angin, Lembah Bukhara, Kisah Si Nomor Sepuluh, Kisah Si Raja Tidur, dan
Danau Para Sufi. Kisah-kisah itulah yang menjadi sumber inspirasi Dam
sehingga bagi Dam yang sejak kecil tak pernah dimanjakan dengan hadiahhadiah, kisah-kisah ayahnya menjadi salah satu hal terbaik yang bisa ia
dapatkan sampai suatu saat ibunya meninggal ketika usia Dam masih duduk di
kelas terakhir Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Kematian ibunya telah mengubah pandangn Dam terhadap ayahnya.
Dam yang biasa senang mendengarkan kisah petualangan ayahnya sebagai
sumber motivasi akhirnya mengkristal dan membalik menjadi kebencian
terhadap ayahnya karena terlintas pada pikiran Dam, andai mereka punya
uang, dan ayahnya sungguh-sungguh dapat mengobati penyakit ibunya, tentu
ibunya akan terselamatkan. Melihat kondisi ibunya yang kesakitan di rumah
sakit dengan kepala digundul dan beberapa kabel mengitarinya ia menjadi
marah kepada ayahnya. Mulailah ia berpikir bahwa ayahnya hanya mengarangngarang semua cerita yang didengarnya sejak kecil hanya untuk menutupi
ketidakberdayaannya. Ia menuduh ayahnya telah membiarkan penyakit ibunya.
Dam menganggap bahwa cerita-cerita ayahnya hanya dikarang-karang untuk
menutupi ketidakmampuannya dalam mengobati penyakit ibunya. Menurut
Dam, dengan mencekoki Dam berbagai kisah bertujuan agar kesederhanaan
dan ketidakberdayaannya dapat dimaklumi.
Kebencian Dam kepada ayahnya belum hilang sampai Dam mengusir
ayahnya yang ketahuan menceritakan kisah-kisah yang sama kepada anak-
482
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
anak Dam sampai ayahnya ditemukan menjelang kematiannya di pemakaman
tempat ibunya dimakamkan. Klimaks cerita
Dam sadar kembali tentang
kebaikan ayahnya tetapi sia-sia, karena ayahnya telah meninggal.
Kutipan novel Tereliye pada awal tulisan ini, merupakan salah satu dari
sekian kalimat yang termuat di dalam Novel Ayahku Bukan Pembohong.
Kutipan kalimat tersebut diletakkan pada bagian penting untuk mengingatkan
kita bahwa kesibukan arus zaman telah melupakan hal-hal kecil yang sangat
didamba oleh banyak orang. Meskipun kalimat tersebut ditujukan kepada
masyarakat umum, bukan hanya generasi saat ini, ternyata ungkapan tersebut
sangat menginspirasi. Betapa banyaknya lelaki
yang karena sangat
mementingkan logika daripada perasaannya mengakibatkan renggangnya kasih
sayang dalam keluarga.
Kehidupan di masa lalu (sebelum era globalisasi) tidak serumit yang
kita hadapi masa kini. Dulu, perjalanan hidup seorang anak dari ia masih bayi
hingga membentuk keluarga lagi adalah proses yang sangat sederhana. Seperti
misalnya masa seorang anak dilahirkan, dapat bermain di masa kecil, latihan
bekerja, menjadi pekerja, menikah, dan punya anak, begitu seterusnya.
Pendidikan formal yang ada pun tidak kalah kiprahnya oleh pendidikan
nonformal yang ada. Mereka belajar mengaji dan belajar bela diri di sela-sela
latihan bekerja di rumah bagi anak-anak laki-laki, dan belajar mengaji dan
keterampilan wanita bagi anak-anak perempuan. Kegiatan mereka memang
sangat sederhana, tetapi tetap penuh pembelajaran. Mereka belajar mengenai
sifat-sifat manusia baik dan buruk melalui dongeng. Bayangkan kesempatan
mendengarkan dongeng, sekarang ini sudah langka. Mereka juga rata-rata
dapat memperkuat hidupnya melalui belajar berbagai keterampilan. Yang
wanita sedari kecil sudah belajar memasak, menjahit, dan lain-lain yang
memperkuat kemampuan wanita. Yang pria juga demikian dengan belajar
bercocok tanam, memelihara hewan sebagai bekal pencari nafkah kelak. Di
samping itu mereka juga belajar ilmu-limu lainnya, seperti mengaji, berenang,
bela diri, dan membaca melalui sekolah formal dan nonformal, sehingga pada
saatnya mereka sudah terbentuk menjadi wanita handal untuk menjadi ibu, dan
pria handal untuk menjadi ayah. Dari keseharian belajar yang mereka lalukan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
483
telah terbentuk nilai kejujuran, tanggung jawab, kemandirian melalui
keteladanan yang diberikan orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat pada masa
itu.
Begitu sederhananya hidup. Tidak ada yang perlu dirisaukan oleh orang
tua mengenai anak-anaknya. Bahkan banyak orang tua yang membiarkan anakanaknya (tanpa sentuhannya) berproses dalam kehidupan, sehingga akhirnya
mencapai kedewasaannya sendiri, dengan hanya mempercayakan pada
lingkungan tempat anak berada.
Pendidikan Karakter
Berbeda halnya kehidupan yang kita hadapi sekarang. Perjalanan hidup
seorang anak sampai dewasa sangat menuntut campur tangan orang tua atau
lingkungan terdekatnya. Setiap hari orang tua direpotkan dengan berbagai hal
yang berkenaan dengan anak-anaknya. Hal itu terjadi bukan hanya saat anak
masih usia balita yang memang memerlukan bantuan, tetapi sampai sang anak
menjadi dewasa pun sering masih dibantu dalam menyelesaikan tugas-tugas
keseharinnya, bahkan untuk urusan mendapatkan pekerjaan atau lebih dari itu.
Itulah salah satu penyebab anak-anak masa kini menjadi anak-anak yang
kehilangan kemandiriannya. Itulah alasan penulis ingin mengajak pembaca
melihat Novel Tere Liye yang berjudul Ayahku Bukan Pembohong.
Benarkah novel tersebut dapat membentuk karakter?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut kita bahas dulu apakah
pendidikan karakter. Sebagaimana yang kita ketahui pada umumnya bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Karakter adalah cara berpikir dan
berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara, (Suyanto
2009). Jadi pendidikan karakter adalah suatu usaha yang dilakukan secara
sadar dan terencana untuk membentuk cara berpikir dan berperilaku seorang
484
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
siswa sehingga perilaku tersebut mengakar kepada individu tersebut dan
muncul sebagai ciri khasnya.
Membentuk ciri khas seseorang yang berperilaku baik memang
membutuhkan usaha sadar karena hasilnya bukan sebentar tetapi akan terwujud
dalam jangka panjang. Panjangnya waktu yang dibutuhkan dan rutinitas yang
dilakukan dapat melampaui masa sekolah anak dalam beberapa jenjang. Bisa
jadi mulai dari TK sampai SLTA atau lebih. Di samping itu rutinitas juga
diperlukan karena kegiatan yang tidak rutin tentu tidak akan seberhasil latihan
yang rutin.
Ada 18 nilai atau sifat yang seharusnya ada pada seseorang yang
karakternya baik yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif,
mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif,cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Novel
Pengertian novel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang di sekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku. (hal. 788) Sugihastuti dan Suharto berpendapat, bahwa novel
merupakan struktur yang bermakna. Novel bukan sekedar serangkaian tulisan
yang menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan struktur pikiran yang
bermakna yang tersusun dari unsur-unsur yang padu. (hal. 43) Selain itu Hoed
berpendapat, bahwa novel adalah karya kreatif yang menyajikan bukan
kenyataan di dunia ini, tetapi perlambangan dari kenyataan itu (hal. 6).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi dan Analisis
Berikut
adalah nilai-nilai atau sifat
pendidikan karakter yang
terkandung dalam novel Ayahku Bukan Pembohong.
Toleransi―
Ayah tertawa, menyuruhku duduk.‖, Dam, jangan-jangan malam ini jika sang
Kapten kalah, Kaulah yg paling sedih sedunia.‖
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
485
Dan Ayah benar. Ayah benar,
aku tiba-tiba menjadi orang paling sedih
sedunia‖…….(hal.10)
Jujur, toleransi
―Tidak mengapa, Dam, tidak mengapa.‖ Ayah mengelus rambutku, menghibur.
‖Kau tahu, kekalahan seperti ini justru baik bagi mereka. Agar mereka bisa
menilai kembali kelebihan dan kekurangan tim. Sang kapten tahu persis, cepat
atau lambat, mereka pasti kalah, hanya soal waktu.‖ (hal.11)
Gemar membaca
Sejak kecil, bahkan sejak aku belum bisa diajak bicara, ayah sudah suka
bercerita. Ia menghabiskan banyak waktu menemaniku, membacakan bukubuku.‖ (hal.12)
Religius, toleransi, peduli lingkungan, dan peduli sosial
Aku menyeka ujung mata, teringat walau ayah bertahun-tahun bercerita
tentang petualangan hebatnya, tidak sekalipun kami pernah pergi jauh dari
rumah. Ayah tidak punya cukup uang untuk pelesir. Uang Ayah dihabiskan
untuk hal yang lebih berguna (menurut versi Ayah), membantu tetangga,
menyumbang apalah. (hal.228)
Ayah ikut mnyetujui kalimat ibu. ―Ibu kau benar, kita bisa lanjutkan besok
lusa.‖ Dan Ayah beranjak membereskan meja (hal.17)
Bersahabat/komunikatif,cinta damai
Tidak ada terapi yang bisa membuat ibu kau sembuh seratus persen. Satusatunya yang membuat ibu kau bertahan lama adalah rasa bahagianya.‖
(hal.232) Definisi kebahagiaan ibu kau berbeda, Dam. Keluarga kita amat
berbahagia.‖ (hal.233)
Motivasi, toleransi, kerja keras, sederhana
…‖Apa yang dini hari tadi ayah bilang? Sang kapten pernah menjadi tukang
antar sup jamur dengan sepeda? Itu kabar hebat, sama denganku yang setiap
hari harus mengayuh sepeda ke sekolah.. (20)
486
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Sabar, tanggung jawab, sederhana, tidak mengeluh, peduli
―Dua puluh tahun ibu hidup apa adanya. Sehat empat bulan, jatuh sakit satu
dua minggu. Aku tidak pernah melihat ibu tertawa bahagia, kecuali tersenyum
atau menangis terharu. Ibu tidak pernah ke mana-mana selain rumah kecil kita.
Tidak punya rumah mewah, mobil, perhiasan, hanya berkutat mengurus rumah.
Rutinitas yang sama setiap hari, itu-itu saja. Kehidupan ibu hanya di sekitar itu.
Ibu tidak pernah bahagia. Ibu boleh jadi bosan, tetapi dia tidak pernah
mengeluh.‖ (hal.233)
―Pulang sekolah, dengan menumpang angkutan umum, Ayah menjemputku. Ia
langsung mengantarku ke klub renang kota kami.‖ (22)
…..‖Si Raja Tidur benar, dengan perasaan bahagia ibu kau bisa bertahan
begitu lama. Dia bahkan bisa melihat kau sekolah di Akademi Gajah, melihat
Sang Kapten bermain di kota kita, melihat kau memenangkan piala renang, dan
melihat kau tumbuh dengan pemahaman hidup yang berbeda dibandingkan
jutaan orang lain (hal.234).
―Kau seharusnya lebih sering memeluk ayah kau, Dam.‖ Kau tahu,
sembilan puluh sembilan persen anak laki-laki tidak pernah lagi mau memeluk
ayah mereka sendiri setelah setelah tumbuh dewasa. Padahal sebaliknya,
sembilan puluh sembilan persen dari ungkapan hati terdalamnya, seorang ayah
selalu ingin memeluk anak-anaknya.‖anak laki-laki (hal.256).
… Mereka sibuk bertanya dari mana ide desain cemerlang itu. Aku
hanya tersenyum kaku, berbohong. Sebenarnya, meskipun membenci ceritacerita ayah, aku selalu menjadikannya sumber inspirasi tidak terbatas. Ceritacerita yang kudengar saat kanak-kanak itu berubah menjadi imajinasi tentang
bangunan, bentuk lengkung, bentuk runcing, dan trik arsitektur tidak
terbayangkan. (hal.268)
Jujur
―Tidak semua cerita ayah buruk, Dam. Bahkan itu bisa mendidik anakanak lebih baik. Kau lupa, kau mewarisi tabiat baik dari cerita-cerita itu.
Seluruh penghuni kompleks ini mengenal kau. Dam yang ramah, baik hati, dan
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
487
ringan tangan membantu. Dam selalu menyapa, Dam pandai mendamaikan
pertengkaran. Coba kau tanya sopir angkutan umum di terminal, mereka tahu
rumah Dam Sang Arsitek tidak? Mereka bahkan dengan senang hati mengantar
tamu yang bertanya ke rumah kita. Dan kau lupa, Ayah dikenal di seluruh kota
sebagai pegawai yang jujur dan sederhana. Dia tidak kaya. Dia bukan pejabat
tinggi, tetapi martabatnya tidak tercela. Tidak pernah berbohong.‖ (hal.273)
Bukankah kau jadi perenang andal setelah mendengar cerita tentang
Sang Kapten? Kau jadi ingin tahu dunia luas dan menyayangi alam sekitar saat
mendengar cerita Lembah Bukhara. Bahkan yang paling sederhana, kau
membenci rokok dan perbuatan tidak berguna lainnya setelah mendengar
cerita seperti suku Penguasa Angin. (275)
Disiplin, tanggung jawab, bekerja keras, sederhana, tidak mudah putus
asa.
Kebahagiaan itu datang dari hati sendiri, bukan dari orang lain, harta
benda, ketenaran, apalagi kekuasaan. Tidak perduli berapa jahat dan merusak
sekitar, tidak perduli seberapa banyak parit-parit itu menggelontorkan air
keruh, ketika kau memiliki mata air sendiri dalam hati, dengan cepat danau itu
akan bening kembali.
―Dia menikah dengan ayah enam bulan kemudian. Ayah membawanya
ke Raja Tidur setahun kemudian, mendengarkan kesimpulan menyedihkan itu.
Kami bicara malam itu. Ibu kau bilang, dia setidaknya bisa bertahan setahun
lagi, tidak masalah. Dan kau lahir, Dam. Energi kebahagiaan saat melihat kau
menangis menyambut kehidupan membuat ibu kau bertahan enam tahun. Kau
masuk sekolah, mengenakan seragam, itu membuatnya bertahan tiga tahun
lagi. Kau SMP, kau masuk Akademi Gajah. Ibu kau bertahan lebih lama
dibandingkan perkiraan si Raja Tidur. Ibu kau bahagia, Dam, meski harus
melupakan hari-hari hebatnya. Meski hidup sederhana, tidak memiliki
perhiasan, ke mana-mana naik angkutan umum. Dia paham, dan dia memilih
jalan itu, karena Ayah jauh-jauh hari juga sudah memilih jalan itu.
Keteladanan, sikap baik
488
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
―Ayah tidak menjadi hakim agung. Ayah memilih jalan hidup
sederhana. Berprasangka baik ke semua orang, berbuat baik bahkan pada orang
yang baru dikenal, menghargai orang lain, kehidupan, dan alam sekitar. Itu
jalan hidup ayah. Dan itu juga yang dipilih ibu kau (hal.294)
Motivasi
Tubuhku lemas. Tangan dan kakiku semakin berat digerakkan. Ayolah,
aku mendesis. Bukankah ayah tadi malam bilang sang Kapten tidak pernah
menyerah? Semangatnya tidak pernah patah meskipun kakinya patah ditebas
lawan. Karena itulah El Capino sejati (hal. 27)
Aku menyeringai. Aduh, sepertinya Ayah tidak akan melanjutkan cerita
kalau aku tidak mau meminumnya. Baiklah, enam tegukan cepat, gelas dalam
genggamanku kosong. Aku perlihatkan pada ayah…(14)
Motto untuk selalu berbuat baik
―Nah, Dam, selamat melanjutkan hidup. Apa kata pepatah, hidup harus
terus
berlanjut,
tidak
peduli
seberapa
menyakitkan
atau
seberapa
membahagiakan, biarkan waktu yang menjadi obat. Kau akan menemukan
petualangan hebat berikutnya di luar sana (242).
Sabar dan bijaksana
Kau pasti Dam.‖Gadis itu sudah tertawa.‖ Tidak ada mahasiswa yang
akan ringan hati memberikan antrean pada selusin perempuan yang ketawa
ketiwi, hanya tersenyum saat petugas kantin bilang tidak ada kembalian, atau
sekedar menyeringai datar ketika mejanya diserobot. Tidak ada orang dengan
kebaikan sedetil itu. Kau pasti Dam (244).
Optimistis/motivasi
Tepatnya sejak kecil aku terbiasa dibesarkan tanpa hadiah, kejutan, dan
sejenisnya. Bagiku hadiah hanya berbentuk cerita-cerita ayah, masakan special
ibu, dan jenis hadiah yang tidak lazim kalian bayangkan.
Kau sungguh tidak mau hadiah? Ayah menggoda.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
489
Aku terdiam. ―Aku ingin ibu lekas sembuh.‖
Ayah tersenyum, menepuk lututku.‖Itu bukan hadiah Dam, Itu
keniscayaan.‖
Aku mengangguk. Ayah selalu cerita tentang optimisme. (97)
SIMPULAN
Berdasarkan isi novel tersebut dapat dikatakan bahwa pembentukan
karakter dapat dilakukan melalui karya sastra berbentuk novel. Karya sastra
berisi gambaran kehidupan seseorang atau sekelompok orang/masyarakat
dengan segala kondisi yang melibatkan emosi, pikiran, dan wawasannya.
Artinya gambaran kehidupan tersebut semakin lengkap tergambar semakin
memenuhi aspek positif, atau sikap positif. Sikap positif artinya perilaku baik
yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang berlaku
dalam masyarakat. Sifat-sifat positif pada diri seseorang/siswa tercermin dalam
perilakunya. Sifat atau nilai positif dalam kehidupan seseorang adalah sebagai
berikut.
 Nilai positif yang erat dengan diri sendiri: disiplin, suka bekerja keras, ulet,
serta jujur.
 Nilai positif yang berkaitan dengan orang di luar diri: setia kawan,
kekeluargaan, rela berkorban, selalu menyelesaikan tanggung-jawab dengan
baik, penolong, berani membela kebenaran, serta memiliki toleransi yang
tinggi kepada orang lain.
 Nilai positif yang berkaitan dengan materi: hemat, gemar menabung, dan
hidup sederhana.
 Nilai positif yang berkaitan dengan ketuhanan: bertakwa kepada Tuhan,
selalu mengerjakan perintah-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang
oleh-Nya. (school-press.com/2009).
Atas kesetaraan antara nilai positif yang terdapat pada karya sastra dengan
pendidikan karakter, maka karya sastra dapat dijadikan bahan atau media
dalam pembentukan karakter pembaca, khususnya siswa remaja yang masih
mencari identitas diri.
490
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Novel Ayahku Bukan Pembohong mengandung nilai-nilai atau sifat dalam
pendidikan karakter, yaitu toleransi, jujur, gemar membaca, religius,
bersahabat, motivasi, kerja keras, jujur, disiplin, keteladanan, dan tanggung
jawab.
DAFTAR PUSTAKA
Hoed, Beny. . 1992 Kala dalam Novel . Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/
(school-press.com/2009).
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia .1998. Jakarta: Balai Pustaka
Sugihastuti, dan Suharto. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Tere-Liye . 2011. Ayahku Bukan Pembohong Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
491
KARAKTER DEMOKRASI DALAM UNGKAPAN DAN
PERIBAHASA BAHASA SUNDA DAN INDONESIA
Umi Kulsum
Balai Bahasa Provinsi Jawa Barat
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Karakter Demokrasi dalam Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Sunda dan
Indonesia. Ungkapan budaya yang dihasilkan oleh para pendahulu tentu didasari pula
oleh tujuan dan niat baik untuk mendidik dan membentuk karakter pribadi yang
unggul bagi siapa pun yang mau mempelajarinya. Dalam tulisan ini dibahas ungkapan
dan peribahasa bahasa Sunda dan Indonesia yang mengandung dan terkait dengan
karakter demokrasi (karakter nomor 9). Demokrasi dipilih sebagai topik karena
karakter ini erat kaitannya pemerintahan yang melibatkan orang banyak (negara) dan
demokrasi menjadi sesuatu yang akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Masalah
dalan tulisan ini adalah (1) peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia apa
saja yang berhubungan dengan karakter demokrasi? (2) Bagaimana budaya Sunda
dan Indonesia (Melayu) terkait dengan demokrasi yang dinyatakan dalam ungkapan
dan peribahasa? Tulisan in dapat dijadikan masukan untuk pembuatan bahan ajar.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif. Metode yang
digunakan dalam kajian ialan tulisan ini adalah metode padan referesial. Dari sumber
data yang ada terkumpul sebanyak 46 ungkapan dan peribahasa yang mengandung
atau berhubungan dengan demokrasi yang dapat dipilah atas beberapa bagian.
Kata Kunci: demokrasi, ungkapan, peribahasa
PENDAHULUAN
Kearifan lokal budaya Indonesia merupakan butir-butir kecerdasan dan
kebijaksanaan
yang
dihasilkan
oleh
masyarakat
budaya
Indonesia.
Mempelajari, menghayati, dan mengembangkan budaya sendiri akan
menghasilkan kecerdasan bagi para pelakunya karena mereka terlibat langsung
dalam penciptaan budayanya melalui pengalaman hidup yang dijalani bersama.
Agar kearifan lokal tetap dimiliki masyarakat pendukungnya, pewarisan
bahasa daerah perlu dilakukan sebab kearifan lokal yang terkandung dalam
bahasa daerah dapat menjadi penyaring derasnya arus budaya global yang
masuk ke Indonesia. Selain itu, penguasaan budaya dan pengetahuan akan
membentuk kemampuan logika. Dengan demikian, bahasa daerah berperan
dalam mengembangan kecerdasan masyarakat Indonesia.
492
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Kearifan lokal adalah nilai-nilai terbaik yang merupakan norma-norma
sosial suatu masyarakat. Kearifan lokal berarti etika masyarakatnya (Soemarjo
dalam Rahyono 2011). Kearifan lokal suatu masyarakat (biasanya) dapat
dilihat dari budaya, tatanan hidup, dan peradaban masyarakatnya sebagai hasil
dari sebuah pemikiran masyarakat pendahulunya.
Ungkapan budaya yang dihasilkan oleh para pendahulu tentu didasari
pula oleh tujuan dan niat baik untuk mendidik dan membentuk karakter pribadi
yang unggul bagi siapa pun yang mau mempelajarinya. Nilai-nilai budaya
yang terkandung dalam dalam sebuah bahasa adalah nilai-nilai yang dapat
mengarahkan dan menganjurkan kepada hal-hal yang positif (berbudi pekerti
luhur, saling menghargai antarsesama, dapat meningkatkan persaudaraan,
kegotong-royongan, menumbuhkan semangat bekerja, dan dapat dijadikan
pegangan dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat), dan mencegah serta
melarang kepada hal-hal yang negatif (melegalkan pembunuhan, mengganggu
ketentraman orang lain, berlaku tidak jujur, mengambil hak orang lain (rakus),
sombong, berlaku tidak sopan, dan sebagainya).
Dalam ungkapan dan peribahasa Sunda, banyak terkandung pesan
moral yang baik. Hal itu baik yang berhubungan manusia dengan Sang Maha
Pencipta, manusia dengan alam, maupun manusia dengan manusia. Hubungan
(antara manusia dengan sesama manusia) dalam masyarakat Sunda pada
dasarnya harus dilandasi oleh sikap silih asah, silih asuh, dan silih asih, artinya
‗harus saling mengasah atau mengajari, saling mengasuh dan saling
mengasihi‘, sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai
keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan. Prinsip
hidup seperti itu tampak pada peribahasa ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi
salebak artinya hidup rukun ke mana pun bersama-sama, maknanya hidup
tentram penuh dengan kedamaian dan selalu membina rasa kebersamaan (tidak
egois). Demikian pula pada peribahasa lainnya ati putih badan bodas artinya
bersih hati, tidak mempunyai niat jahat. Hal itu dimaknai dalam pergaulan
hidup harus didasari hati yang bersih, tidak dilandasi niat jahat terhadap
sesama.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
493
Data yang diambil untuk tulisan ini berasal dari ungkapan (babasaan:
disingkat ukp) dan peribahasa (paribasa: disingkat prb) bahasa Sunda dan
Indonesia. Peribahasa dimaknai sebagai n 1 kelompok kata atau kalimat yang
tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (dl peribahasa
termasuk juga bidal, ungkapan, perumpamaan); 2 ungkapan atau kalimat
ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau
aturan tingkah laku, sedangkan peribahasa dimaknai sebagai n 1 apa-apa yg
diungkapkan: ~ kedua saksi itu benar adanya; 2 Ling kelompok kata atau
gabungan kata yg menyatakan makna khusus (makna unsur-unsurnya sering
kali menjadi kabur); 3 gerak mata (tangan dsb), perubahan air muka yg
menyatakan perasaan hati (Sugono, 2005). Menurut Tamsyah (2010:9),
peribahasa di dalam bahasa Sunda diartikan, paribasa teh babandingan jadi
perlambang lakuning hirup, ngawangun hiji omongan (runtuyan kecap) anu
geus puguh entep seureuhna, geus puhug surupanana, sarta geus tangtu pokpokanana „peribahasa merupakan perbandingan yang menjadi lambang
kehidupan, membangun suatu pembicaraan yang sudah tetap susunan kalimatkalimatnya‘. Berdasarkan unsur strukturnya, ungkapan dan peribahasa
memiliki struktur dan pilihan kata yang cenderung ―beku‖. Bentuk tuturan
bersifat tetap dan tidak berubah-ubah atau berganti konstituen pembentuknya.
Jadi, dalam peribahsa dan ungkapan terdapat kata-kata kunci yang menjadi
pokok pikiran budaya yang dikomunikasikan.
Delapan belas karakter pendidikan yang dicanangkan oleh Menteri
Pendidikan dan Kebudayan adalah (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4)
disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin
tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghayati prestasi,
(13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16)
peduli sosial, (17) peduli lingkungan, dan (18) tanggung jawab. Dalam tulisan
ini dibahas ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda yang mengandung dan
terkait dengan karakter demokrasi (karakter nomor 8). Demokrasi dipilih
sebagai topik karena karakter ini erat kaitannya dengan hajat hidup orang
banyak yang harus dipahami oleh generasi muda sebagai penerus bangsa.
Selain itu, data ini dapat menjadi masukan pemahaman para elite politik
494
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
terdapat esensi demokrasi yang telah dihasilkan oleh para leluhur kita.
Ungkapan dan peribahasa bahasa Sunda dan Indonesia apa saja yang
mengandung dan terkait erat dengan demokrasi dicoba diungkap dalam tulisan
ini. Selain itu, tulisan ini juga mengungkap budaya Sunda dan Indonesia terkait
dengan demokrasi yang dinyatakan dalam ungkapan dan peribahasa bahasa
Sunda dan Indonesia.
Masalah
.
Tulisan ini mengungkap beberapa kearifan lokal dalam bahasa Sunda,
yaitu yang berupa peribahasa dan ungkapan yang berhubungan dengan salah
satu dari delapan belas karakter pendidikan yang dicanangkan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu demokrasi. Masalah dalan tulisan ini adalah
(1) peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia apa saja yang
berhubungan dengan karakter demokrasi? (2) Bagaimana budaya Sunda dan
Indonesia (Melayu) terkait dengan demokrasi yang dinyatakan dalam
ungkapan dan peribahasanya?
Tujuan
Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mendeskripsikan (1) peribahasa
dan ungkapan bahasa Sunda dan Indonesia yang berhubungan dengan karakter
pendidikan yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayan, yaitu
demokrasi dan (2) mendeskripsikan budaya Sunda dan Indonesia (Melayu)
terkait
dengan
pendidikan
yang
dinyatakan
dalam
ungkapan
dan
peribahasanya.
METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif.
Metode deskriptif dalam tulisan ini dipakai untuk memaparkan hasil temuan
yang berupa peribahasan dan ungkapan yang berhubungan dengan karakter
pendidikan, yaitu demokrasi. Pengambilan data dilakukan dengan studi
pustaka, yaitu mengumpulkan peribahasa dan ungkapan bahasa Sunda yang
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
495
mengandung atau berkaitan dengan demokrasi. Kemudian, data tersebut dicatat
dan dikartukan.
Metode yang digunakan dalam kajian ialan tulisan ini adalah metode
padan referensial, yaitu salah satu metode yang terkait dengan makna dan
refensial dari unsur kebahasan yang ada dari sebuah tuturan yang
dikomunikasikan. Selain itu, data diungkap secara kontekstual, yaitu diungkap
tidak hanya menampilkan makna kata-kata secara struktur, tetapi melibatkan
maksud yang dinyatakan melalui ungkapan dan peribahasa tersebut
(melibatkan makna di balik kata-kata pembentuknya).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai karakter bangsa merupakan bagian dari pendidikan karakter yang
merupakan pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan modal, dan
pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Demokrasi dalam pendidikan karakter melingkupi cara berpikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia demokrasi dinyatakan
sebagai berikut: de·mo·kra·si /démokrasi/ n Pol 1 (bentuk atau sistem)
pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan
perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat; 2 gagasan atau pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama
bagi semua warga negara. Untuk keperluan tulisan ini demokrasi mengacu
pada pengertian kedua dalam KBBI, yaitu gagasan atau pandangan hidup yang
mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi
semua warga negara.
Berdasarkan data yang ada, ungkapan dan peribahasa Sunda dan
Indonesia yang terkait dengan demokrasi dapat diklasifikasikan atas beberapa
jenis. Berikut pemaparan ungkapan dan peribahasa yang terkait dengan topik
yang dibahas dalam tulisan ini.
496
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Musyawarah
Musyawarah merupakan salah satu bagian dari demokrasi. Dalam
bahasa Sunda dan bahasa Indonesia dikenal peribahasa dan ungkapan yang
mengandung musyawarah. Berikut adalah peribahasa dan ungkapan dari
bahasa Sunda yang mengandung maksud yang menganjurkan untuk
musyawarah.
(1) nangtung di kariungan, ngadeg di karageman (prb)
musyawarah
(2) adab biada (unk)
berembuk, bermusyawarah
Peribahasa dan ungkatan tersebut mengandung makna bahwa hendaknya
musyawarah atau berembuk menjadi cara untuk memilih atau menyelesaikan
masalah. Hal yang sama juga terdapat dalam peribahasa dan ungkapan bahasa
Indonesia yang dapat dilihat pada contoh berikut.
(3) bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat (prb)
dalam mengambil keputusan hendaknya harus disetujui orang banyak
(4) elok kata dalam mufakat, buruk kata diluar mufakat (prb)
jika menghendaki sesuatu, sebaiknya dimusyawarahkan terlebih dahulu
(5) bulat digilingkan, pipih dilayangkan (prb)
telah menemukan kata mufakat dalam bermusyawarah
(6) hilang adat, hilang mufakat (prb)
mengubah suatu keputusan harus melalui kesepakan bersama
(7) elok kata dalam mufakat, buruk kata di luar mufakat (prb)
hendaknya apa yang dikerjakan itu dimufakatkan terlebih dahulu sebab
jika tidak, bisa menimbulkan penyesalan.
Adil
Sikap adil merupakan bagian dari demokrasi. Peribahasa dan ungkapan
Sunda yang mengandung hal yang terkait dengan sikap adil dapat dilihat pada
contoh berikut.
(8) adil para marta (unk)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
497
sangat adil, penyabar, dan berbudi luhur
Ungkapan adil mara marta merupakan ungkapan untuk seorang raja
atau pemimpin yang menjadi dambaan masyarakat, yaitu mempimpin atau
menjadi raja dengan adil, sabar, dan berbudi luhur. Akan tetapi, ada beberapa
ungkapan dan peribahasa yang justru bersifat sebaliknya, yaitu ungkapan dan
peribahasa negatif yang menjadi sindiran untuk pejabat, pemimpin, atau siapa
pun yang berbuat tidak adil. Contohnya dapat dilihat pada bentuk berikut.
(9) ngeunah eon teu ngeunah ehe (prb)
tidak adil karena salah satu pihak berbuat licik atau pandai membuat
peraturan yang menguntungkan diri sendiri
(10)
sireum atulan (unk)
tidak adil dalam membagian sesuatu atau tidak sama besarnya
dalam membuat sesuatu
(11)
dengdek topi (unk)
tidak adil dalam membuat keputusan, berat sebelah.
Dalam peribahasa dan ungkapan bahasa Indonesia juga banyak ditemukan
sikap adil. Contohnya dapat dilihat pada bentuk berikut.
(12)
membuang jauh-jauh, menggantung tinggi-tinggi (prb)
dalam mengambil suatu keputusan hendaknya dilakukan secara
adil
(13)
tangan mencencang, bahu memikul (prb)
hanya orang yang bersalah yang akan diberi hukuman
(14)
putus gayung dibelebas (prb)
orang yang berbuat jahat hendaknya dihukum sesuai dengan
kejahatan yang dilakukannya
(15)
bagai gendang ditabuh sebelah (prb)
memberi kasih sayang kepada anak yang satu dengan anak yang
lain secara tidak adil
(16)
sariat palu memalu, hakikat balas membalas (prb)
membalas sesuatu hendaknya harus sesuai dengan apa yang
diterima
498
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
(17)
harga ditilik pada rupa, nilai dipandang atas patut (prb)
menempatkan sesuatu hendaknya pada tempatnya
(18)
mengganti sama berat, mengukur sama panjang (prb)
dalam mengambil keputusan hendaknya secara adil
(19)
salah bunuh memberi balas, salah cencang memberi
pampas (prb) menghukum orang yang berbuat kesalahan
hendaknya harus sesuai dengan jenis kesalahannya
Delapan peribahasa bahasa Indonesia tersebut merupakan anjuran berbuat
adil. Di bawah ini peribahasa yang bersifat sebaliknya, yaitu larangan atau
peringatan untuk orang yang tidak berbuat adil dalam bahasa Indonesia.
(20)
santan masuk pasu, ampasnya tumpah ke tanah (prb)
orang tua yang membeda-bedakan kasih sayang pada anaknya
(21)
tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan, tiba di
dada dibusungkan (prb) memutuskan persoalan yang tidak
adil
(22)
timbangan berat sebelah (prb) keputusan yang tidak adil.
Berdasarkan Pertimbangan dan Bukti
Pertimbangan dan bukti erat kaitannya dengan demokrasi. Peribahasa
dan ungkapan bahasa Sunda yang mengandung hal yang terkait dengan
pertimbangan dan bukti dapat dilihat pada contoh berikut.
(23)
kudu asak jeujeuhan (prb)
harus banyak pertimbangan
(24)
caina herang laukna menang (prb)
berhasil mewujudkan keinginan dengan tidak menyakiti hari
orang lain atau tidak menimbulkan percekcokan
(25)
gutat caige (unk)
berdasarkan atas bukti yang ditemukan
Dalam bahasa Indonesia juga ada peribahasa yang menganjurkan untuk
mempertimbangkan sesuatu sebelum bertindak. Hal tersebut dapat dilihat pada
peribahasa berikut.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
499
(26)
manis jangan lekas ditelan, pahit jangan lekas dimuntahkan
(prb) setiap perkataan seseorang hendaknya dipikirkan terlebih
dahulu, sebelum kita mengambil keputusan.
Nasihat untuk Pemimpin
Nasihat untuk para pemimpin tercantum dalam peribahasa Indonesia,
dalam bahasa Sunda tidak ditemukan peribahasa atau ungkapan yang mengacu
pada hal tersebut. Contoh peribahasa Indonesia yang mengandung nasihat
untuk para pemimpin dapat dilihat pada contoh berikut.
(27)
rendah bilang-bilang diseluduki, tinggi kayu ara dilangkahi
(prb) seorang penguasa dalam menjalankan pekerjaannya harus
sesuai dengan peraturan yang berlaku
(28)
besar hendak melanda, panjang hendak melindih (prb)
menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk membuat
peraturan yang dapat mengakibatkan rakyat menjadi sengsara
(29)
Ingat yang di atas, yang di bawah akan menimpa (prb)
pemimpin harus bersikap bijaksana, serta mengetahui, bahwa
bawahannya juga bisa mendatangkan bencana
(30)
Kayu besar di tengah padang, tempat bernaung kepanasan,
tempat berlindung kehujanan (prb) seorang pemimpin adalah
tempat mengadu hal ikhwal pada anak buahnya.
Sindiran untuk Orang yang Merasa Paling Benar dan Mementingkan Diri
Sendiri
Peribahasa dan ungkapan Sunda yang mengandung hal yang terkait
dengan sikap yang merasa paling benar dan mementingkan diri sendiri dapat
dilihat pada contoh berikut.
(31)
nyeupeul ngahuapan maneh (prb)
membuat peraturan yang menguntungkan diri sendiri
(32)
bener aing teu deungeun (prb)
merasa diri paling benar, orang lain tidak ada yang benar
(33)
500
adu renyom (unk)
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
berebut pendirian, masing-masing merasa benar
(34)
aing-aingan (unk)
mementingkan diri sendiri, tidak mau bersatu.
Dalam peribahasa Indonesia justru berlaku sebaliknya. Ditemukan data yang
menjelaskan pengutamaan kepentingan orang lain/orang banyak. Hal tersebut
dapat dilihat pada contoh berikut.
(35)
mencampakkan batu ke luar (prb)
orang yang lebih mengutamakan kepentingan orang lain dari
pada dirinya sendiri.
(36)
kata orang dibulati, kata bersama disepakati (prb)
lebih mendahulukan kepentingan orang banyak, daripada
kepentingan diri sendiri.
Sesuai dengan Peraturan yang Berlaku
Dalam mengerjakan sesuatu hendaknya sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Hal tersebut tecermin dalam peribahasa Indonesia berikut.
(37)
panjang beri ruas, kalau pendek beri berbuku (prb)
mengerjakan sesuatu hendaknya menaati peraturan yang
berlaku.
(38)
lurus lubang, lurus penjolok (prb)
jangan bertindak sewenang-wenang dan patuhilah peraturan
yang berlaku.
Keberagaman
Konsep keberagaman tercantum dalam peribahasa Indonesia berikut
(39) lain dulang lain kaki, lain orang lain hati yang maknanya adalah setiap
orang memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dalam bahasa Sunda pun ada
peribahasa yang mengacu pada keragaman seperti halnya dalam bahasa
Indonesia, yaitu (40) desa mawa cara nagara mawa tata dan (41) ciri
sabumi cara sadesa yang maknanya adalah setiap tempat memiliki adatkebiasaan dan caranya masing-masing.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
501
Selain itu, ada juga peribahasa Sunda lainnya yang menunjukkan
keragaman adat atau budaya. Hal tersebut terungkap dalam peribahasa berikut:
(42) jawadah tutug biritna, sacarana-sacarana, ciri sabumi cara sadesa,
yang artinya adalah adat kebiasaan tidak sama.
Dari peribahasa-peribahasa tersebut tecermin bahwa budaya lokal
sangat penting dalam kehidupan bernegara.
Pendirian yang Tidak Tetap
Pendirian yang tidak tetap tecermin dalam beribahasa Indonesia berikut
(43) menyimpan embacang busuk yang maknanya adalah orang yang tidak
memiliki pendirian tetap. Peribahasa lainnya adalah (44) bagai embun di atas
daun yang maknanya adalah orang yang tidak memiliki pendirian tetap.
Sindiran terhadap Penyuap
Sindiran untuk penyuap sudah ada dalam peribahasa Sunda berikut:
(45) Di mana kayu bungkuk, di sanalah hendak meniti yang maknanya
orang yang bodoh ingin mendapatkan keuntungan dengan cara yang singkat,
seorang pemalas yang ingin mendapatkan pekerjaan dengan jalan menyuap.
Hukum dan Adat
Hukum dan adat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan (satu
kesatuan). Hal tersebut dapat dilihat pada peribahasa berikut: (46) Adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitab Allah yang maknanya adalah
hukum dan adat tidak bisa dipisahkan.
SIMPULAN
Dari sumber data yang ada terkumpul sebanyak 46 ungkapan dan
peribahasa yang mengandung atau berhubungan dengan demokrasi dengan
komposisi 9 ungkapan dan 37 peribahasa. Peribahasa dan ungkapan Sunda
berjumlah 25 dan peribahasa Indonesia berjumlah 26. Ungkapan dan
peribahasa tersebut dapat dipilah menjadi beberapa hal, yaitu (a) musyawarah
(7 data), (b) adil (15 data), (c) berdasarkan pertimbangan dan bukti (4 data),
(d) nasihat untuk pemimpin (4 data), (e) sindiran untuk orang yang merasa
paling benar dan mementingkan diri sendiri (6 data), (f) sesuai dengan
peraturan yang berlaku (2 data), (g) keberagaman (4 data), (h) pendirian yang
502
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
tidak tetap (2 data), (i) sindiaran terhadap penyuap (1 data), dan (j) hukum
dan adat (1 data).
Dari jumlah pemilahan tersebut, dapat dinyatakan bahwa yang terkait
dengan adil merupakan jumlah yang terbanyak, yaitu 15 data. Jadi, dalam
bahasa Sunda unsur sindiran lebih banyak daripada unsur yang bersifat positif
dalam karakter demokarasi dan hal ini berbeda dengan dalam bahasa Indonesia
yang umumnya bersifat positif (bukan sindiran).
Sangat menarik mengamati budaya Sunda dan Melayu melalui
ungkapan dan peribahasanya. Banyak nasihat yang terkandung di dalamnya
yang dapat menjadi pegangan dan acuan kehidupan bernegara (pemerintahan)
di Indonesia dan daerah (regional).
Saran
Tulisan ini hanya menyampaikan ungkapan dan peribahasa yang terkait
salah satu karakter yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, yaitu
demokrasi.
Tulisan ini dapat dikembangkan dengan
analisis makna yang lebih mendalam (berdasarkan unsur pembentuknya) dan
juga karakter ini dapat diamati dan dibandingkan dari sumber lainnya, seperti
cerita rakyat, sisindiran, pantun, dan mantera. Selain itu, data ini dapat
dijadikan bahan untuk muatan lokal atau pelajaran bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Lembaga Basa dan Sastra Sunda. 1985. Kamus Basa Sunda. Bandung: Terate.
Sugono, Dendy. 2005. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta:
Balai Pustaka.
Tamsyah, Budi Rahayu. 1995. Kamus Ungkapan dan Peribahasa Sunda.
Bandung: Pustaka Setia.
Rahyono, F. X . ―Ekspresi Budaya Demokrasi dalam Proposisi Berbahasa
Ibu‖. Dalam SIBI 2011.
Suwitaningrum, Retno. 2010. Buku Pintar Peribahasa Pantun dan Puisi.
Surakarta: Putra Mandiri.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
503
RELEVANSI DONGENG PADA GAMBAR VISUAL ANAK
Wanda Listiani dan Maylanny Christin
Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung
Universitas Telkom
Pos-el : [email protected]
[email protected]
ABSTRAK
Relevansi Dongeng pada Gambar Visual Anak. Dongeng dan menggambar
merupakan salah satu cara untuk anak berlatih mendengar dan
memvisualisasikan kembali cerita dalam bentuk gambar berdasarkan imajinasi
anak tentang tokoh dan ilustrasi cerita tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen. Responden adalah Siswa
SD Sekolah Gagasceria di Jl. Malabar 80-84 Bandung. Peneliti mendongeng
untuk anak, dan anak memvisualisasikan dalam bentuk gambar.Hasil
penelitian ini menjelaskan bahwa anak dominan menggambar sesuai dengan
tokoh dan ilustrasi cerita yang diperdengarkan (dongeng) di depan kelas.
Sisanya menggambar obyek lain sesuai imajinasi mereka diluar cerita yang
diperdengarkan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita
(dongeng) pada gambar visual anak dengan tingkatan kreativitas yang berbeda.
Kata kunci : dongeng, ilustrasi, gambar visual anak, imajinasi
PENDAHULUAN
Masa anak-anak merupakan masa eksplorasi ide dengan cara yang asli
dari pengalaman kehidupan mereka sehari-hari. Kecerdasan anak bergantung
pada pengalaman belajar di kelas dan rumah. Pengalaman masa anak-anak
akan membentuk karakter anak selanjutnya. Dongeng dan menggambar
merupakan
salah
satu
cara
untuk
anak
berlatih
mendengar
dan
memvisualisasikan kembali cerita dalam bentuk gambar berdasarkan imajinasi
anak tentang tokoh dan situasi cerita tersebut.Melalui gambar visual, anak
memahami perubahan, masalah, menafsirkan perasaan, penghargaan perbedaan
dalam diri dan melatih ketekunan.
Dongeng dapat mengembangkan daya pikir dan imajinasi, kemampuan
berbicara, serta daya sosialisasi anak. Lewat dongeng anak menyerap sifat
positif, seperti keberanian, kejujuran, kemanusiaan, kasih sayang, serta
504
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
membedakan hal yang baik dan buruk. Dongeng membantu merangsang
berbagai aspek perkembangan anak, terutama sisi intelektual atau kecerdasan
dan emosi. Dongeng juga sebagai mediapembentukan kepribadian dan
moralitas anak usia dini (Haryani, t.t : 5-6).
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode
eksperimen. Metode eksperimen (Bungin, 2005: 38-39) adalah suatu cara
memanipulasi objek penelitian yang dilakukan sedemikian rupa sesuai dengan
format penelitian yang diinginkan. Responden adalah Siswa SD Sekolah
Gagasceria di Jl. Malabar 80-84 Bandung (dekat pasar palasari). Peneliti
mendongeng untuk anak, dan anak memvisualisasikan dalam bentuk gambar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini diawali dengan melakukan diskusi terlebih dahulu
tentang kemampuan siswa SD kelas 1 dengan Guru Wali yang juga menjadi
Guru Kelas Bahasa Indonesia. Kelas 1 di SD Gagasceria ini berjumlah 15
orang. Tim peneliti mendongeng cerita yang dipilih dalam waktu 30 menit dan
anak diminta menggambarkan kembali cerita tentang beo, simpanse dan lebah
dengan bebas diatas kertas yang telah disediakan selama 15 menit. Berikut
suasana kelas dan tempat menggambar anak :
Gambar 1
Suasana Kelas dan Tempat Menggambar Anak
Sumber : Dokumentasi penulis, 2011
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
505
Sebelum mendongeng, guru kelas memberikan pengantar kepada anak tentang
apa itu mendongeng dan apa yang harus dilakukan anak seperti mendengarkan,
memperhatikan dan sebagainya.
Gambar 2
Pengantar Guru Kelas Sebelum Mendongeng
Sumber : Dokumentasi penulis, 2011
Setelah anak mendengarkan dongeng dan interaktif meniru suara dan gerakan
tokoh-tokoh dalam dongeng selanjutnya mereka diminta untuk menggambar
ulang apa saja yang mereka dengarkan tadi.
506
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Gambar 3
Saat Mendongeng dan Menggambar Tokoh Cerita
Sumber : Dokumentasi penulis, 2011
Dari hasil eksperimen tersebut diperoleh prosentase tokoh cerita dalam
hasil gambar anak setelah mendengarkan cerita (dongeng) di kelas yaitu
No.
Tabel 1
Kesesuaian Cerita dan Gambar
Kesesuaian Cerita dan
Jumlah
Persentase
Gambar
1.
Sesuai
18
72%
2.
Tidak
7
28%
Total
25
100%
Terdapat 72% atau 18 anak yang menggambar sesuai dengan tokoh dan
ilustrasi cerita yang diperdengarkan (dongeng) di depan kelas. Sisanya yaitu
28% atau 7 anak menggambar obyek lain sesuai imajinasi mereka diluar cerita
yang diperdengarkan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
507
Gambar 4
Hasil Menggambar Anak Sesuai Tokoh dan Ilustrasi Cerita
Sumber : Dokumentasi penulis, 2011
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita pada gambar visual anak
tersebut dengan tingkatan kreativitas yang berbeda. Berikut prosentase
penggambaran tokoh cerita :
Tabel 2
Prosentase Penggambaran Tokoh Cerita
No.
Tokoh Cerita
Jumlah
Persentase
1.
Beo
17
64%
2.
Simpanse
2
8%
3.
Lebah
1
4%
4.
Lain-lain
7
24%
25
100%
Total
Tokoh cerita ―Beo‖ digambarkan dalam jumlah yang lebih banyak yaitu
sebesar 64% atau 17 anak dengan penggambaran berbagai karakter (bentuk,
ukuran, posisi dan warna). Sedangkan sebanyak 2 siswa atau 8%
menggambarkan ―simpanse‖ serta 1 orang atau 4% menggambar ―lebah‖.
508
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
PENUTUP
Anak menggambar sesuai dengan tokoh dan ilustrasi cerita yang
diperdengarkan (dongeng) di depan kelas. Sisanya menggambar obyek lain
sesuai imajinasi mereka diluar cerita yang diperdengarkan. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh cerita (dongeng) pada gambar visual
anak dengan tingkatan kreativitas yang berbeda. Walau tokoh cerita
digambarkan oleh anak dalam berbagai cara dan bentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif : Komunikasi,
Ekonomi dan Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya, Jakarta
: Kencana
Haryani, t.t. Mencerdaskan Anak dengan Dongeng, Yogyakarta : UNY
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
509
PENILAIAN AUTENTIK UNTUK MEMBANGUN
KARAKTER GENERASI MUDA PADA MATA PELAJARAN
BAHASA INDONESIA
Wikanengsih
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Penilaian Autentik untuk Membangun Karakter Generasi Muda pada Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia. Kelangsungan hidup sebuah negeri ditentukan oleh
generasi mudanya. Para siswa sekolah merupakan bagian dari generasi muda.
Pembinaan terhadap siswa dapat dilakukan melalui proses pembelajaran yang di
dalamnya mengandung unsur penilaian. Penilaian autentik dapat dilakukan sebagai
alternatif pembinaan siswa dalam pembentukan karakternya. Nilai-nilai karakter yang
dapat dikembangkan melalui penilaian autentik mencakup sejumlah nilai karakter
sebagaimana dicanangkan Kemendikbud, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin,
kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah tir,
menghargai prestasi, bersahabat / komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab.
Kata kunci: penilaian autentik, karakter, generasi muda.
PENDAHULUAN
Karakter terbentuk pada diri seseorang berdasarkan pada kebiasaan.
Kebiasaan baik akan membentuk karakter yang baik. Demikian pula, kebiasaan
buruk akan membentuk karakter yang buruk. Para siswa sebagai generasi
penerus bangsa berpeluang untuk dibentuk menjadi generasi muda yang
memiliki karakter yang baik. Pembelajaran bahasa Indonesia sebagai salah satu
mata pelajaran yang terdapat di semua jenjang pendidikan memiliki peluang
sangat besar untuk mewujudkan harapan mulia itu. Dalam prosesnya,
pembelajaran bahasa Indonesia sebagaimana pelajaran-pelajaran yang lain
mengandung beberapa unsur yang harus dilaksanakan, diantaranya unsur
evaluasi.
Kurikulum pendidikan yang berlaku saat ini meskipun masih banyak
mengandung kelemahan terutama dalam aspek penilaiannya menjadi menarik
untuk dikaji. Pengkajian ini tidak bermaksud untuk menghujat terhadap
pemberlakuan kurikulum tersebut yang telah banyak menguras tenaga, waktu
maupun biaya dalam perjalanan ―hidup‖nya selama ini. Namun, pengkajian
510
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dimaksud dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki atau ―mempercantik ―
nya sehingga upaya yang digulirkan pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dapat terwujud dengan baik.
Tuntutan kurikulum dalam aspek evaluasi menghendaki penggunaan
penilaian autentik, yaitu penilaian yang sebenar-benarnya. Penilaian yang
berupaya menggambarkan prestasi belajar sesuai dengan kemampuan mereka
yang sesungguhnya, meliputi aspek sikap, kognitif, dan psikomotor. (Kosasih,
2014: 131). Ketiga ranah kemampuan dimaksud pada prinsipnya bertujuan
membangun pribadi siswa sebagai generasi muda yang handal dalam segi
pengetahuan, mulia dalam segi sikap serta cakap dalam segi keterampilan. Jika
seseorang sudah memiliki ketiga kemampuan dimaksud maka dipastikan akan
menjadi pribadi manusia yang berkarakter.
Oleh karena itu, upaya
pembenahan dan perbaikan pada aspek penilaian autentik (penilaian yang
menyeluruh: sikap, pengetahuan, keterampilan) berpeluang dapat membentuk
karakter siswa sebagaimana diamanahkan dalam kurikulum.
Nilai-nilai Karakter
Lickona (2013) mengemukakan bahwa terdapat dua nilai dasar dalam
karakter yaitu sikap hormat dan tanggungjawab. Dua nilai dasar karakter ini
sangat diperlukan untuk: 1) pengembangan jiwa yang sehat; 2) kepedulian
akan hubungan interpersonal; 3) menciptakan hubungan manusia yang
humanis dan demokratis; 4) dunia yang adil dan damai. Hal itu berarti bahwa
dari nilai karakter sikap hormat akan menurunkan sejumlah nilai karakter lain,
yaitu peduli, demokratis, humanis, empati, dan damai. Demikian juga nilai
karakter tanggung jawab akan menurunkan sejumlah nilai karakter yang lain.
Untuk memaksimalkan perwujudan nilai karakter yang berasal dari dua nilai
dasar karakter tersebut maka guru di sekolah dalam proses pembelajaran di
kelas harus berupaya menanamkan dua nilai karakter utama itu.
Nilai-nilai karakter lain yang sebaiknya ditanamkan di sekolah yang
merupakan turunan ari dua nilai dasar sebagaimana dikemukakan Lickona
(2013: 74) meliputi: kejujuran, keadilan, toleran, kebjaksanaan, disiplin diri,
tolong menolong, peduli sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
511
Agar mampu menanamkan nilai-nilai karakter yang baik kepada para
siswa, guru harus memiliki pengetahuan tentang komponen karakter yang baik.
Menurut Lickona (2013: 85-99) komponen tersebut terdiri atas: 1) pengetahuan
moral, yang meliputi: kesadaran moral, mengetahui nilai moral, penentuan
perspektif, pemikiran moral, pengambilan keputusan, pengetahuan pribadi; 2)
perasaan moral, meliputi: hati nurani, harga diri, empati, mencintai hal yang
baik, kendali diri, kerendahan hati; 3) tindakan moral, meliputi: kompetensi,
keinginan, dan kebiasaan.
Untuk sampai pada pencapaian nilai karakter yang tertanam pada diri
seseorang, pengetahuan moral saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan
sikap moral dan tindakan moral. Keutuhan tiga komponen karakter yang baik
tersebut dapat terimplementasikan ke dalam diri seseorang dalam waktu relatif
panjang dan harus ditanamkan berkelanjutan. Faktor lingkungan keluarga di
rumah, pergaulan dengan teman di luar rumah dan di luar sekolah menjadi
penentu terintegrasinya ketiga komponen itu pada diri siswa.
Di dunia pendidikan Indonesia, nilai-nilai karakter yang ditetapkan
Kemdikbud meliputi 18 nilai, yaitu: 1) religius, 2) jujur, 3) toleran, 4) disiplin,
5) kerja keras, 6) kreatif, 7) mandiri, 8) demokratis, 9) rasa ingin tahu, 10)
semangat kebangsaan, 11) cinta tanah air,
12) menghargai prestasi, 13)
bersahabat / komunikatif, 14) cinta damai, 15) gemar membaca,16) peduli
lingkungan, 17) peduli sosial, dan 18) tanggung jawab.
Penilaian Autentik
Penilaian autentik (authentic assessment) adalah pengukuran yang
bermakna secara signifikan atas hasil belajar peserta didik untuk ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. (Kemendikbud: 2013)
Penilaian autentik ini merupakan basis penilaian dalam Kurikulum
2013, yang memiliki peran penting dalam mengontrol keberhasilan proses
pembelajaran. Titik tumpu penilaian autentik terletak pada proses belajar siswa
yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan dan psikomotor.
Dalam Kurikulum 2013, ranah sikap dijadikan urutan pertama dalam
kompetensi dasar (KD), yang mencakup dua KD (KD I dan KD II), yaitu sikap
512
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
spiritual dan sikap social. Ranah kognitif tercantum dalam KD III, dan ranah
psikomotor tercantum dalam KD IV.
Penilaian terhadap nilai-nilai sikap (moral yang baik) sebagai roh
pembentuk karakter siswa dapat dilakukan melalui banyak cara, misalnya
lembar pengamatan, skala bertingkat, penilaian diri, penilaian antarsiswa,
wawancara, angket, atau penilaian jurnal.
Penilaian untuk bidang pengetahuan dapat dilakukan melalui tes lisan
maupun tes tulis. Objek penilaian dapat mencakup bidang kebahasaan, sastra,
maupun keterampilan berbahasa. Instrumen penilaian dapat berupa berbagi
jenis soal, baik soal subjektif maupun soal objektif. Demikian pula bentuk
soalnya, dapat menggunakan soal pilihan, isian, maupun soal uraian.
Dalam penilaian ranah kognitif, terdapat dua dimensi , yaitu dimensi
proses dan dimensi pengetahuan. Dimensi pengetahuan terdiri atas
pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan proses dan
pengetahuan metakognitif. Dimensi proses terdiri atas enam tingkat, yaitu: 1)
ingatan; 2) pemahaman; 3) penerapan; 4) analisis; 5) evaluasi; dan 6)
mencipta. (Anderson dan Kratwohl, 2010: 30).
Penilaian untuk bidang keterampilan dapat dilakukan dalam bentuk tes
berupa penilaian keterampilan siswa dalam bentuk praktik menyimak, praktik
berbicara,
praktik membaca,
praktik menulis, praktik dramatisasi dan
sejenisnya.
Penerapan penilaian autentik akan terwujud dalam proses pembelajaran
yang autentik pula. Demikian juga gurunya harus mencerminkan guru yang
autentik dalam mengelola kelas selama proses pembelajaran berlangsung.
Penilaian autentik terdiri dari berbagai teknik penilaian. Pertama,
pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan
hasil jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua,
penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja
yang kompleks. Ketiga, analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan
respon peserta didik atas perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang
ada. (Kemendikbud: 2013).
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
513
Ditinjau dari segi jenis, penilaian autentik menurut Kemendikbud
(2013) terdiri atas: 1) penilaian kinerja, yaitu penilaian yang terfokus pada
pelibatan/partisipasi siswa dalam proses pembelajaran; 2) penilaian proyek,
merupakan kegiatan penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan oleh
peserta didik menurut periode/waktu tertentu. Penyelesaian tugas dimaksud
berupa investigasi yang dilakukan oleh peserta didik, mulai dari perencanaan,
pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan, analisis, dan penyajian
data.; 3) penilaian portofolio, merupakan penilaian atas kumpulan artefak yang
menunjukkan kemajuan dan dihargai sebagai hasil kerja dari dunia nyata.
Penilaian portofolio bisa berangkat dari hasil kerja peserta didik secara
perorangan atau diproduksi secara berkelompok, memerlukan refleksi peserta
didik, dan dievaluasi berdasarkan beberapa dimensi; dan 4) penilaian tertulis,
berbentuk uraian atau esai menuntut peserta didik mampu mengingat,
memahami, mengorganisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis,
mengevaluasi, dan sebagainya atas materi yang sudah dipelajari. Tes tertulis
berbentuk uraian sebisa mungkin bersifat komprehensif, sehingga mampu
menggambarkan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik.
PEMBAHASAN
Peran Penilaian Autentik dalam Membangun Karakter Generasi Muda
Generasi muda
sebuah bangsa merupakan investasi
yang sangat
penting. Generasi muda merupakan penerus berlangsungnya sebuah negara.
Jika generasi mudanya rapuh maka akan rapuh pula negara tersebut di masa
yang akan datang. Siswa atau peserta didik yang merupakan bagian dari
generasi muda dapat dibina sedemikian rupa sehingga tumbuh dan berkembang
sebagai generasi penerus. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui proses
pembelajaran.
Keberhasilan sebuah proses pembelajaran dapat diukur melalui
kegiatan evaluasi/penilaian. Penilaian tersebut dilakukan selama proses belajar
berlangsung melalui penilaian. Selain penilaian proses, penilaian autentik
dapat juga dilakukan untuk mengevaluasi hasil belajar. Jika dihubungkan
dengan tujuan pembelajaran yaitu untuk mencapai tujuan yang termasuk ke
514
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
dalam ranah sikap, kognitif dan psikomotor maka penilaian autentik
merupakan sarana untuk menguji ketiga ranah tersebut. Secara khusus,
penilaian autentik dapat dikategorikan sebagai cara untuk membiasakan siswa
dalam berkarakter baik. Lickona (2013) mengemukakan bahwa karakter
seseorang akan terbentuk melalui kebiasaan, dan kebiasaan akan menjadi
karakter seseorang. Selain itu, karakter dapat terbentuk dari pesan-pesan moral
yang ditanamkan oleh keluarga, saudara atau guru melalui kata-kata atau
kalimat yang sering mereka dengar sebagai bentuk penilaian terhadap diri
seseorang.( Jensen, 2008: 117-118).
Jenis karakter apakah yang dapat dibentuk melalui penilaian autentik?
Jika merujuk pada teori karakter yang dikemukakan Lickona
(2013: 74)
bahwa karakter yang dapat ditanamkan di sekolah meliputi: kejujuran,
keadilan, toleransi, kebijaksanaan, disiplin diri, tolong menolong, peduli
sesama, kerjasama, keberanian, dan sikap demokratis maka semua nilai
karakter tersebut dapat dipastikan akan terbentuk melalui penilaian autentik.
Sebagai contoh: nilai kejujuran akan tumbuh dan berkembang pada diri siswa
melalui proses penilaian pada saat ulangan. Pemantauan terhadap sikap jujur
siswa dengan tidak menyontek atau melakukan hal-hal lain berkaitan dengan
kejujuran maka lama-kelamaan penguasaan terhadap sikap kejujuran itu akan
menjadi kebiasaan, yang akhirnya akan menjadi permanen.
Penilaian autentik yang dapat membentuk karakter siswa tidak saja
hanya terpusat pada penialian untuk ranah sikap, melainkan proses penilaian
untuk ranah kognitif dan psikomotor pun dapat menjadi jalan dalam
pembentukan nilai-nilai karakter yang lain.
Berikut sejumlah nilai-nilai karakter yang dapat dikembangkan melalui
penilaian autentik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Tabel 1
Nilai-nilai Karakter yang Dapat Dikembangkan melalui Penilaian
Autentik
Jenis Penilaian Otentik
Kompetensi Dasar
Sasaran Karakter
Penilaian Kinerja: penilaian
yang terfokus pada
pelibatan/partisipasi siswa
dalam proses pembelajaran
Memahami
dan Kerja keras, mandiri,
mengidentifikasi
komunikatif,
gemar
struktur teks
membaca,
toleran,
demokratis,
cinta
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
515
Jenis Penilaian Otentik
Penilaian Proyek: penilaian
terhadap tugas yang harus
diselesaikan oleh peserta
didik menurut periode/waktu
tertentu. Penyelesaian tugas
dimaksud berupa investigasi
yang dilakukan oleh peserta
didik, mulai dari perencanaan,
pengumpulan
data,
pengorganisasian,
pengolahan, analisis, dan
penyajian data
Penilaian
Portofolio:
penilaian atas kumpulan
artefak yang menunjukkan
kemajuan
dan
dihargai
sebagai
hasil kerja dari dunia nyata.
Kompetensi Dasar
Memproduksi teks
.
Menyunting,
mengabstraksi,
memproduksi teks
Penilaian Tertulis: berbentuk Memahami,
uraian atau esai menuntut
mengidentifikasi
peserta
didik
mampu
mengingat,
memahami, jenis teks
mengorganisasikan,
menerapkan,
menganalisis,
mensintesis,
mengevaluasi,
dan sebagainya atas materi
yang sudah dipelajari.
Sasaran Karakter
damai.
Jujur, kerja keras,
disiplin, mandiri, gemar
membaca,
tanggungjawab, rasa
ingin tahu, kreatif, cinta
tanah air, komunikatif.
Tanggungjawab,
menghargai
prestasi,
gemar
membaca,
komunikatif, tanggung
jawab, kreatif, disiplin,
jujur,
kerja
keras,
religius, peduli social.
Kerja
keras,
jujur,
gemar
membaca,
komunikatif,
kerja
keras
SIMPULAN
Kegiatan menilai sebagai salah satu unsur dalam proses pembelajaran
dapat dijadikan sebagai sarana untuk mebentuk karakter siswa. Penilaian yang
dimaksud yaitu penilaian autentik. Penilaian autentik dalam praktiknya dapat
digunakan untuk menilai ketiga ranah aspek tujuan pendidikan, yaitu
penguasaan kognitif, sikap dan psikomotor. Nilai-nilai karkater yang
dicanangkan Kemendikbud dalam sistem pendidikan di Indonesia memiliki
peluang dapat dikembangkan dengan pelaksanaan penilaian autentik yang
konsisten dan berkesinambungan.
516
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, L dan Krathwohl, D. 2010.Kerangka Landasan untuk
Pembelajaran,
Pengajaran, dan Asesmen. Terjemah Agung
Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jensen, E. 2008.Brain-Based Learning. Pembelajaran Berbasis Kemampuan
Otak. Penerjemah Narulita Yusron. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kosasih.2014. Strategi Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Yrama Widya.
Lickona, T. 2013. Educaing for Character: How Our Schools Can Teach
Respect and Responsibility.Terjemahan:
Juma Abu Wamaungo.
Jakarta: Bumi Aksara.
Kemendikbud.2013. Konsep Panilaian Autentik pada Proses dan Hasil
Belajar. Badan Pengembanagn Sumber Daya Manusia Pendidikan dan
Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
517
KESANTUNAN BERBAHASA DALAM PENDIDIKAN
KARAKTER
Woro Wuryani
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Kesantunan Berbahasa dalam Pendidikan Karakter. Kesantunan merupakan
aturan perilaku yang ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu
sehingga kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.
Kesantunan berbahasa dalam pendidikan karakter adalah suatu usaha sadar sistematis
dalam mengembangkan potensi peserta didik yang merupakan keseluruhan sistem
berpikir, nilai, moral, dan keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.
Karakter merupakan watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk
dari hasil internalisasi berbagai kabijakan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
Kata kunci: kesantunan berbahasa, pendidikan karakter
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar pendidikan pada semua
jenjang pendidikan di Indonesia. Pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar
berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan berbahasa, yaitu mendengarkan atau
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Secara prinsip pengajaran
bahasa bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam berbahasa,
yaitu keterampilan mendengarkan, keterampilan berbicara, keterampilan
membaca, dan keterampilan menulis. Empat keterampilan bahasa tersebut
merupakan satu kesatuan yang merupakan catur tunggal.
Berbicara adalah bercakap atau berbahasa yang memerlukan bahasa
untuk menyampaikan maksud dan tujuan pada lawan bicaranya. Keterampilan
berbicara memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antara
penutur dan mitra tutur. Tuturan yang bisa dikatakan santun adalah apabila
orang tersebut tidak terdengar memaksa atau angkuh. Tuturan itu memberi
pilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu menjadi senang. Jadi,
dapat dikatakan bahwa kesantunan adalah sebuah penghormatan atau
518
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
penempatan seseorang pada tempat terhormat, atau sekurang-kurangnya
menempatkan seseorang pada tempat yang diinginkannya.
PEMBAHASAN
Definisi Kesantunan
Dalam KBBI edisi ketiga (1990) dijelaskan yang dimaksud dengan
kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya).
Pendapat
lain
diuraikan
dalam
bahwa
kesantunan
(politiness),
kesopansantunan, atau etiket adalah tata cara, adat, atau kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Kesantunan merupakan aturan perilaku yang
ditetapkan dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga
kesantunan sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh perilaku sosial.
Oleh karena itu, kesantunan ini biasa disebut "tatakrama". Kesantunan bersifat
relatif di dalam masyarakat. Ujaran tertentu bisa dikatakan santun di dalam
suatu kelompok masyarakat tertentu, akan tetapi di kelompok masyarakat lain
bisa dikatakan tidak santun. Menurut Zamzani,dkk. (2010:2) kesantunan
(politeness) merupakan perilaku yang diekspresikan dengan cara yang baik
atau beretika. Kesantunan merupakan fenomena kultural, sehingga apa yang
dianggap santun oleh suatu kultur mungkin tidak demikian halnya dengan
kultur yang lain. Tujuan kesantunan, termasuk kesantunan berbahasa, adalah
membuat suasana berinteraksi menyenangkan, tidak mengancam muka dan
efektif.
Kesantunan Berbahasa
Menurut
Rahardi
(2005:35)
penelitian
kesantunan
mengkaji
penggunaan bahasa (language use) dalam suatu masyarakat bahasa tertentu.
Masyarakat tutur yang dimaksud adalah masyarakat dengan aneka latar
belakang situasi sosial dan budaya yang mewadahinya. Adapun yang dikaji di
dalam penelitian kesantunan adalah segi maksud dan fungsi tuturan. Fraser
(melalui Rahardi, 2005:38-40) menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat empat
pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji masalah kesantunan dalam
bertutur.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
519
1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the
social-norm view). Dalam pandangan ini, kesantunan dalam bertutur
ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan
berlaku di dalam masyarakat bahasa itu. Santun dalam bertutur ini
disejajarkan dengan etiket berbahasa (language etiquette).
2) Pandangan
yang melihat
kesantunan sebagai
sebuah
maksim
percakapan (conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya
penyelamatan muka (face saving). Pandangan kesantunan sebagai
maksim percakapan menganggap prinsip kesantunan (politeness
principle) hanyalah sebagai pelengkap prinsip kerja sama (cooperative
principle).
3) Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi
persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational
contract). Jadi, bertindak santun itu sejajar dengan bertutur yang penuh
pertimbangan etiket berbahasa.
4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian
sosiolinguistik. Dalam pandangan ini, kesantunan dipandang sebagai
sebuah indeks sosial (social indexing). Indeks sosial yang demikian
terdapat dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference),
honorific (honorific), dan gaya bicara (style of speaking) (Rahardi,
2005: 40). Menurut Chaer (2010: 10) secara singkat dan umum ada tiga
kaidah yang harus dipatuhi agar tuturan kita terdengar santun oleh
pendengar atau lawan tutur kita. Ketiga kaidah itu adalah (1) formalitas
(formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy), dan (3) kesamaan atau
kesekawanan (equality or camaraderie). Jadi, menurut Chaer (2010:
11) dengan singkat bisa dikatakan bahwa sebuah tuturan disebut santun
kalau ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu
memberipilihan tindakan kepada lawan tutur, dan lawan tutur itu
menjadi senang. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara
berkomunikasi lewat tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika
berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya
sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tata cara berbahasa
520
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat
tempat hidup dan dipergunakannya suatu bahasa dalam berkomunikasi.
Apabila tata cara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan normanorma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya
dituduh sebagai orang yang sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak
beradat, bahkan tidak berbudaya. Kesantunan berbahasa dapat
dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun
berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Jadi,
diharapkan pelaku tutur dalam bertutur dengan mitra tuturnya untuk
tidak mengabaikan prinsip sopan santun. Hal ini untuk menjaga
hubungan baik dengan mitra tuturnya.
Penggolongan Prinsip Kesantunan Berbahasa
Wijana
interpersonal,
(1996:55)
pragmatik
mengungkapkan
membutuhkan
bahwa
prinsip
sebagai
kesopanan
retorika
(politeness
principle). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan,
yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan
orang lain adalah lawan tutur, dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan
lawan tutur. Senada dengan hal di atas, menurut Rahardi (2005:60-66) dalam
bertindak tutur yang santun, agar pesan dapat disampaikan dengan baik pada
peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsipprinsip
kesantunan
berbahasa.
Prinsip
kesantunan
berbahasa
yang
dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni sebagai berikut :
1) Maksim Kebijaksanaan
Rahardi (2005:60) mengungkapkan gagasan dasar dalam maksim
kebijaksanaan dalam prinsip kesantunan adalah bahwa para peserta
pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi
keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain
dalam kegiatan bertutur. Orang bertutur yang berpegang dan
melaksanakan maksim kebijaksanaan akan dapat dikatakan sebagai
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
521
orang santun. Wijana (1996:56) menambahkan bahwa semakin panjang
tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap sopan kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang
diutarakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung. Dalam maksim
kebijaksanaan ini, Leech (1993:206) menggunakan istilah maksim
kearifan.
Contoh:
Tuan rumah : ―Silakan makan saja dulu, nak!‖ Tadi kami semua sudah
mendahului.‖
Tamu : ―Wah, saya jadi tidak enak, Bu.‖
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang ibu kepada seorang anak muda yang sedang
bertamu di rumah ibu tersebut. Pada saat itu, ia harus berada di rumah
ibu tersebut sampai malam karena hujan sangat deras dan tidak segera
reda (Rahardi, 2005:60).
Dalam tuturan di atas, tampak dengan jelas bahwa apa yang dituturkan
si tuan rumah sungguh memaksimalkan keuntungan bagi sang tamu.
Lazimnya, tuturan semacam itu ditemukan dalam keluarga pada
masyarakat tutur desa. Orang desa biasanya sangat menghargai tamu,
baik tamu yang datangnya secara kebetulan maupun tamu yang sudah
direncanakan terlebih dahulu kedatangannya (Rahardi,2005: 60-61).
2) Maksim Kedermawanan
Menurut Leech (1993: 209) maksud dari maksim kedermawanan ini
adalah buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin; buatlah
kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Rahardi (2005:61) mengatakan
bahwa dengan maksim kedermawanan atau maksim kemurahan hati,
para peserta pertuturan diharapkan dapat menghormati orang lain.
Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat
522
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan bagi pihak lain. Chaer (2010: 60) menggunakan istilah
maksim penerimaan untuk maksim kedermawanan Leech.Rahardi
(2005: 62) memberikan contoh sebagai berikut.
Anak kos A : ― Mari saya cucikan baju kotormu! Pakaianku tidak
banyak, kok, yang kotor.‖
Anak kos B : ―Tidak usah, Mbak. Nanti siang saya akan mencuci juga,
kok!
Informasi Indeksial:
Tuturan ini merupakan cuplikan pembicaraan antar anak kos pada
sebuah rumah kos di kota Yogyakarta. Anak yang satu berhubungan
demikian
eratdengan
anak
yang satunya.
Dari
tuturan
yang
disampaikan si A di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha
memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara menambahkan
beban bagi dirinya sendiri. Orang yang tidak suka membantu orang
lain, apalagi tidak pernah bekerja bersama dengan orang lain, akan
dapat dikatakan tidak sopan dan biasanya tidak akan mendapatkan
banyak teman di dalam pergaulan keseharian hidupnya (Rahardi, 2005:
62).
3) Maksim Penghargaan
Menurut Wijana (1996: 57) maksim penghargaan ini diutarakan dengan
kalimat ekspresif dan kalimat asertif. Nadar (2009: 30) memberikan
contoh tuturan ekspresif yakni mengucapkan selamat, mengucapkan
terima kasih, memuji, dan mengungkapkan bela sungkawa. Dalam
maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan
rasa hormat kepada orang lain, dan meminimalkan rasa tidak hormat
kepada orang lain. Rahardi (2005:63) menambahkan, dalam maksim
penghargaan dijelaskan bahwa orang akan dapat dianggap santun
apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan
kepada pihak lain. Dengan maksim ini, diharapkan agar para peserta
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
523
pertuturan tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling
merendahkan pihak lain. Dalam maksim ini Chaer menggunakan istilah
lain, yakni maksim kemurahan.
Contoh:
Dosen A : ― Pak, aku tadi sudah memulai kuliah perdana untuk kelas
Bussines English.‖
Dosen B :―Oya, tadi aku mendengar Bahasa Inggrismu jelas sekali dari
sini.‖
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang dosen kepada temannya yang juga seorang
dosen dalam ruang kerja dosen pada sebuah perguruan tinggi (Rahardi,
2005: 63).Pemberitahuan yang disampaikan dosen A terhadap rekannya
dosen B pada contoh di atas, ditanggapi dengan sangat baik bahkan
disertai pujian atau penghargaan oleh dosen A. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa di dalam pertuturan itu, dosen B berperilaku santun
(Rahardi, 2005: 63).
4) Maksim Kesederhanaan
Rahardi (2005: 63) mengatakan bahwa di dalam maksim kesederhanaan
atau maksim kerendahan hati, peserta tutur diharapkan dapat bersikap
rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri.
Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan
kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian
kesantunan
seseorang.
Wijana
(1996:58)
mengatakan
maksim
kerendahan hati ini diungkapkan dengan kalimat ekspresif dan asertif.
Bila maksim kemurahan atau penghargaan berpusat pada orang lain,
maksim kerendahan hati berpusat pada diri sendiri. Maksim ini
menuntut
setiap
peserta
pertuturan
untuk
memaksimalkan
ketidakhormatan pada diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat pada
diri sendiri.
524
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Contoh:
Sekretaris A : ―Dik, nanti rapatnya dibuka dengan doa dulu, ya!‖
Sekretaris B : ―Ya, Mbak. Tapi saya jelek, lho.‖
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang sekretaris kepada sekretaris lain yang masih
junior pada saat mereka bersama-sama bekerja di ruang kerja mereka
(Rahardi, 2005:64). Dari tuturan sekretaris B di atas, dapat terlihat
bahwa ia bersikap rendah hati dan mengurangi pujian untuk dirinya
sendiri. Dengan demikian, tuturan tersebut terasa santun.
5) Maksim Permufakatan
Menurut Rahardi (2005:64) dalam maksim ini, ditekankan agar para
peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan di
dalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan
antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masingmasing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Wijana
(1996:59) menggunakan istilah maksim kecocokan dalam maksim
permufakatan ini. Maksim kecocokan ini diungkapkan dengan kalimat
ekspresif dan asertif. Maksim kecocokan menggariskan setiap penutur
dan lawan tutur untuk memaksimalkan kecocokan di antara mereka,
dan meminimalkan ketidakcocokan di antara mereka.
Contoh:
Noni : ―Nanti malam kita makan bersama ya, Yun!‖
Yuyun : ―Boleh. Saya tunggu di Bambu Resto.‖
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang mahasiswa kepada temannya yang juga
mahasiswa pada saat mereka sedang berada di sebuah ruangan kelas
(Rahardi, 2005:65). Tuturan di atas terasa santun, karena Yuyun
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
525
mampu membina kecocokan dengan Noni. Dengan memaksimalkan
kecocokan di antara mereka tuturan akanmenjadi santun.
6) Maksim Kesimpatian
Leech (1993:207) mengatakan di dalam maksim ini diharapkan agar
parapeserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang
satu denganpihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta
tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Orang yang bersikap
antipati terhadap orang lain, apalagi sampai bersikap sinis terhadap pihak
lain, akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu sopan santun di dalam
masyarakat (Rahardi, 2005:65). Menurut Wijana (1996:60), jika lawan
tutur mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, penutur wajib
memberikan ucapan selamat. Bila lawan tutur mendapatkan kesusahan,
atau musibah, penutur layak turut berduka, atau mengutarakan ucapan
bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Contoh:
Ani : ―Tut, nenekku meninggal.‖
Tuti : ―Innalillahiwainailaihi rojiun. Ikut berduka cita.‖
Informasi Indeksial:
Dituturkan oleh seorang karyawan kepada karyawan lain yang sudah
berhubungan erat pada saat mereka berada di ruang kerja mereka
(Rahardi, 2005:66). Dari tuturan di atas, terlihat Tuti menunjukkan rasa
simpatinya kepada Ani. Orang yang mampu memaksimalkan rasa
simpatinya kepada orang lain akan dianggap orang yang santun.
Ciri Kesantunan Berbahasa
Kesantunan berbahasa seseorang, dapat diukur dengan beberapa jenis
skala kesantunan.Chaer (2010:63) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
skala kesantunan adalah peringkat kesantunan, mulai dari yang tidak santun
sampai dengan yang paling santun. Rahardi (2005:66-67) menyebutkan bahwa
526
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
sedikitnya terdapat tiga macam skala pengukur peringkat kesantunan yang
sampai saat ini banyak digunakan sebagai dasar acuan dalam penelitian
kesantunan. Dalam model kesantunan Leech, setiap maksimum interpersonal
itu dapat dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah
tuturan. Rahardi (2005:66) menyatakan bahwa skala kesantunan Leech dibagi
menjadi lima.
1) Cost benefit scale atau skala kerugian dan keuntungan, menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah
tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut merugikan diri
penutur, akan semakin dianggap santunlah tuturan itu. Demikian sebaliknya,
semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur akan semakin dianggap tidak
santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
2) Optionality scale atau skala pilihan, menunjuk kepada banyak atau
sedikitnya pilihan (options) yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur
di dalam kegiatan bertutur. Semakin pertuturan itu memungkinkan penutur
atau mitra tutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, akan dianggap
semakin santunlah tuturan itu. Sebaliknya, apabila pertuturan itu sama sekali
tidak memberikan kemungkinan memilih bagi si penutur dan si mitra tutur,
tuturan tersebut dianggaptidak santun (Rahardi, 2005: 67).
3) Indirectness scale atau skala ketidak langsungan menunjuk kepada
peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. Semakin
tuturan itu bersifat langsung akan dianggap semakin tidak santunlah tuturan
itu. Demikian sebaliknya, semakin tidak langsung, maksud sebuah tuturan,
akan dianggap semakin santunlah tuturan itu (Rahardi, 2005: 67).
4) Authority scale atau skala keotoritasan menunjuk kepada hubungan
status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan.
Semakin jauh jarak peringkat sosial (rank rating) antara penutur dan dengan
mitra tutur, tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
527
akan cenderung berkuranglah peringkat kesantunan tuturan yang digunakan
dalam bertutur itu (Rahardi, 2005: 67).
5) Social distance scale atau skala jarak sosial menunjuk kepada
peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam
sebuah pertuturan. Ada kecenderungan bahwa semakin dekat jarak peringkat
sosial di antara keduanya, akan menjadi semakin kurang santunlah tuturan itu.
Demikian sebaliknya, semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur
dengan mitra tutur, akan semakin santunlah tuturan yang digunakan itu
(Rahardi,
2005:67).
Berdasarkan
keenam
maksim
kesantunan
yang
dikemukakan Leech (1993:206), Chaer (2010:56-57) memberikan ciri
kesantunan sebuah tuturan sebagai berikut :
1) Semakin panjang tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu
untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
2) Tuturan yang diutarakan secara tidak langsung, lebih santun dibandingkan
dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
3) Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang lebih
santun dibandingkan dengan kalimat perintah (imperatif). Zamzani, dkk.
(2010:20) merumuskan beberapa ciri tuturan yang baik berdasarkan prinsip
kesantunan Leech, yakni sebagai berikut.
a) Tuturan yang menguntungkan orang lain
b) Tuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri
c) Tuturan yang menghormati orang lain
d) Tuturan yang merendahkan hati sendiri
e) Tuturan yang memaksimalkan kecocokan tuturan dengan orang lain
f) Tuturan yang memaksimalkan rasa simpati pada orang lain
g) Gunakan kata ―bapak/ibu‖ untukmenyapa orang ketiga.
Implementasi indikator kesantunan dalam berkomunikasi digunakan
agar kegiatan berbahasa dapat mencapai tujuan. Berdasarkan pen dapat
beberapa
ahli,
Pranowo
(2009:110)
menguraikanhal-hal
yang
diperhatikan agar komunikasi dapat berhasil, yakni sebagai berikut:
528
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
perlu
1) Perhatikan situasinya.
2) Perhatikan mitratuturnya.
3) Perhatikan pesan yang disampaikan.
4) Perhatikan tujuan yang hendak dicapai.
5) Perhatikan cara menyampaikan.
6) Perhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
7) Perhatikan ragam bahasa yang digunakan.
8) Perhatikan relevansi tuturannya.
9) Jagalah martabat atau perasaan mitra tutur.
10) Hindarihal-hal yang kurang baik bagi mitra tutur (konfrontasi
dengan mitra tutur).
11) Hindari pujian untuk dirisendiri.
12) Berikan keuntungan pada mitra tutur.
13) Berikan pujian pada mitra tutur.
14) Ungkapkan rasa simpati pada mitra tutur.
15) Ungkapkan hal-hal yang membuat mitra tutur menjadi senang.
16) Buatlah kesepahaman dengan mitra tutur.
Berdasarkan beberapa ciri kesantunan dari beberapa pendapat ahli di atas,
disusunlah indikator kesantunan yang dapat digunakan untuk mengukur santun
tidaknya sebuah tuturan peserta didik.
Penyebab ketidaksantunan berbahasa
Pranowo (melalui Chaer, 2010:69) menyatakan bahwa ada beberapa
faktora tau hal yang menyebab kan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun
.Penyebab ketidak santunan itu antara lain:
1) Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
Menurut Chaer (2010:70) kritik kepada lawan tutur secara langsung dan
dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan sebuah pertuturan
menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan. Dengan memberikan
kritik secara langsung dan menggunakan kata-kata yang kasar tersebut dapat
menyinggung perasaan lawan tutur,sehingga dinila itidak santun.contoh:
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
529
―Pemerintah memang tidak pecus mengelola uang. Mereka bisanya
hanya mengkorupsi uang saja.‖
Tuturan di atas jelas menyinggung perasaan lawan tutur . Kalimat di atas terasa
tidak santun karena penutur
menyatakan kritik secara langsung dan
menggunakan kata-kata yang kasar.
2) Dorongan rasa emosi penutur
Chaer (2010: 70) mengungkapkan, kadang kala ketika bertutur dorongan rasa
emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan bahwa penutur marah
kepada lawan tuturnya .Tuturan yang diungkapkan dengan rasa emosi oleh
penuturnya akan dianggap menjadi tuturan yang tidak santun.
Contoh:―Apa buktinya kalau pendapat anda benar? Jelas-jelas jawaban anda
tidak masuk akal.
Tuturan di atas terkesan dilakukan secara emosional dan kemarahan .Pada
tuturan tersebut terkesan bahwa penutur tetap berpegang teguh pada
pendapatnya , dan tidak mau menghargai pendapat orang lain.
3) Protek tif terhadap pendapat
Menurut Chaer (2010: 1), seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat
protektif terhadap pendapatnya. Hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur
tidak dipercaya oleh pihak lain. Penutur ingin memperlihatkan pada orang lain
bahwa pendapatnya benar , sedang kan pendapat mitra tutur salah. Dengan
tuturan seperti itu akan dianggap tidak santun.
Contoh:
 Silakan kalau tidak percaya. Semua akan terbukti kalau pendapat saya
yang paling benar.
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menyatakan dialah yang benar dia
memproteksi kebenaran tuturannya. Kemudian menyatakan pendapat yang
dikemukakan lawan tuturnya salah.
4) Sengaja menuduh lawan tutur
530
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Chaer (2010: 71) menyatakan bahwa acap kali penutur menyampaikan tuduhan
pada mitra tutur dalam tuturannya. Tuturan nyamenjadi tidak santun jika
penutur terkesan menyampaikan kecurigaannya terhadap mitratutur.
contoh:
― Hasil penelitian ini sangat lengkap dan bagus. Apakah yakin tidak ada
manipulasi data?
Tuturan di atas tidak santun karena penutur menuduh lawan tutur atas dasar
kecurigaan belaka terhadap lawan tutur. apa yang dituturkan dan juga cara
menuturkannya dirasa tidak santun.
5) Sengaja memojokkan mitra tutur
Chaer (2010:72) mengungkapkan bahwa adakala nya pertuturan menjadi tidak
santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan
membuat lawan tutur tidak berdaya. Dengan ini, tuturan yang disampaikan
penutur menjadikan lawan tutur tidak dapat melakukan pembelaan.
Contoh:
―Katanya sekolah gratis, tetapi mengapa siswa masih diminta
membayar iuran sekolah?
Pada akhirnya masih banyak anak-anak
yang putus sekolah.‖
Tuturan di atas terkesan sangat keras karena terlihat keinginan untuk
memojokkan lawan tutur. Tuturan seperti itu dinilai tidak santun, karena
menunjukkan bahwa penutur berbicara kasar, dengan nada marah, dan rasa
jengkel.
Definisi Pendidikan Karakter
Samani dan Hariyanto (2012:43) memaknai karakter sebagai:
Nilai dasar yang membangun pribadi seseorang, terbentuk baik karena
pengaruh
hereditas
maupun
pengaruh
lingkungan,
yang
membedakannya dengan orang lain, serta diwujudkan dalam sikap dan
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
531
Definisi tersebut mewujudkan bahwa karakter sangat berperan penting
terhadap setiap individu. Hal itu sebagai konsekuensi setiap individu yang
melakukan kegiatan dalam suatu lingkungan social. Dengan demikian perlu
memiliki karakter untuk bias bersosialisasi. Dengan karakterlah setiap individu
mengekspresikan diri dalam lingkungan sosialnya sehingga harus memiliki
karakter yang baik dan benar tentunya.
Sementara itu, Soedarsono (dalam Mulyana, 2012)menyusun suatu
definisi tentang karakter sebagai jati diri bangsa yaitu karakter bangsa yang
merupakan nilai-nilai moral yang terpatri dalam diri kita melalui pendidikan,
pengalaman, percobaan, pengorbanan, dan pengaruh lingkungan, menjadi nilai
intrinsik mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi, pemikiran,
sikap dan perilaku kita. Dari devinisi tersebut, dapat dikatakan bahwa
pendidikan karakter suatu bangsa senantiasa harus mengutamakan pendidikan
yang mengandung unsur praktik langsung (pengalaman, aplikasi ilmu
(percobaan) keikhlasan dalan menjalani proses pendidikan (pengorbanan), dan
situasi-situasi masyarakat yang mendukung (pengaruh lingkungan). Semua
aspek tersebut akan dapat tercapai dengan proses pendidikan yang
mengandung nilai-nilai illahiah dan ruhiah sehingga rohani tidak kosong tetapi
menjadi terasah.
Selain itu,
„..,.character isn‟tinherited. One its daily by the way one thinks and
acts, thought by thought,action by action‟
„…karakter tidak diwariskan, tetapi suatu yang dibangun secara
kesinambungan dari hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan,
pikiran demi pikiran, tindakan demi tindakan‘(Helen G Doulas dalam
Samani dan Hariyanto, 2012:41)
Dari definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa karakter pun merupakan
sesuatu yang tidak bersifat gen atau tergantung keturunan. Akan tetapi, harus
dibangun dengan seimbang dan terus menerus baik dengan pikiran, terutama
dengan perbuatan.
532
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dari beberapa pengertian di atas dapat diartikan bahwa karakter
merupakan suatu nilai dasar yang sangat penting untuk dibiasakan, sehingga
terpatri dalamdiri yang mewujud baik dalam pikiran maupun tindakan yang
baik dan benar tentunya.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
533
Hubungan Karakter dengan Pendidikan
Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang sadar akan tujuan atau
pilihan yang diambil. Tujuan pendidikan secara umum adalah membawa anak
didik mencapai tinggkat kedewasaan atau kemandirian dalam kehidupannya
(Suryosubroto, 2010:9). Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (UU
Sisdiknas tahun 2003). Dengan demikian, pendidikan sejatinya harus memiliki
tujuan yang ingin dicapai sehingga peserta didik benar-benar terarahkan
dengan baik. Pendidikan pun membahas karakter di dalamnya, seperti telah
terbahas oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan adalah upaya untuk
memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter) pikiran,dan
tubuh anak. Menurutnya, bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita
dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita (kemendiknasd,{tt}).
Dari pendapat Ki Hajar Dewantara tersebut, terlihat bahwa pendidikan
harusmemiliki nilai-nilai illahiah,yaitu memiliki kekuatan batin yang dapat
membentuk karakter peserta didik. Dengan demikian, pendidik tidak hanya
uraian-uraian kosong. Akan tetapi, memiliki keberartian dan kebermaknaan.
Dalam
kaitannya
dalam
pendidikan
nasional,
pendidikan nasional. Pendidikn nasional bertujuan untuk
terdapat
tujuan
berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahkal mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU
Sisdiknas tahun 2003).
Dari tujuan pendidikan secara umum sampai pada tujuan pendidikan
nasional, terlihat adanya hubungan antara karakter dengan pendidikan sehingga
memunculkan adanya pendidikan karakter. Keterhubungan itu terlihat dari
adanya tujuan pendidikan menjadikan peserta didik kuat dalam bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter),spirit keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, ahlak mulia, beriman dan bertakwa. Konsep tersebut sangat
534
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
berkaitan erat dengan ihwal karakter yang telah diuraikan di atas. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa karakter sangat berhubungan dengan
pendidikan sehingga melahirkan konsep pendidikan karakter dengan nilai-nilai
karsakter yang sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum.
Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bukan sesuatu hal yang baru. Pada hakikatnya
pendidikan karakter telah dilakukan manusia dengan cara yang berbeda-beda.
Pendidikan karakter pun pada prinsipnya tidak diajarkan, tetapi dibiasakan,
harus bersama-sama baik pendidik maupun peserta didik; harus diciptakan
lingkungan
yang
kondusif,dan
harus
terus
menerus
berproses
(Mulyana,2010:4) Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan
karakter berpusat pada pembinaan hal yang baik dan benar terhadap pribadi
peserta didik melalui keteladanan bersama.Hal ini diharapkan tumbuhnya
manusia yang berkepribadian mulia.
Sekaitan dengan pendidikan karakter,Kementrian Pendidikan Nasional
pun telah menerbitkan nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dapat
dikembangkan dalam proses pembelajaran. Kemendiknas merumuskan antara
budaya dengan pendidikan karakter menjadi pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Berikut ini rumusan definisi pendidikan budaya dan karakter bangsa
yang diterbitkan oleh Kemendiknas.
1) Pendidikan merupan suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam
mengembangkan potensi peserta didik.
2) Budaya merupakan keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, dan
keyakinan (belief) manusia yang dihasilkan masyarakat.
3) Karakter merupakan watak, tabiat,akhlak,atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kabijakan (virtues) yang
diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap,dan bertindak.
Dari
beberapa
penjelasan
tersebut,
dapat
disimpulkan
bahwa
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah suatu usaha sadar sistematis
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
535
dalam mengembangkan potensi peserta didik agar mampu melakukan proses
internalisasi, menghayati nilai-nilai menjadi kepribadian mereka dalam bergaul
di masyarakat, dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih
sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat
(Kemendiknas:2010).
Selain itu, pendidikan karakter pun merupakan proses pemberian
tuntunan kepada peserta didik dengan terencana sehingga menjadikannya
manusia yang berkarakter baik dan benar. Dengan karakter yang baik dan
benar tersebut, peserta didik mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
dengan semua makhluk dan pencipta-NYA (Samani dan Hariyanto, 2012:4546).
SIMPULAN
Dari uraian materi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan kesantunan adalah kehalusan dan baik (budi bahasanya, tingkah
lakunya).
Pendapat
lain
diuraikan
bahwa
kesantunan
(politiness),
kesopansantunan, atau etiket adalah tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku
dalam masyarakat. Fraser (melalui Rahardi, 2005: 38-40) menyebutkan bahwa
sedikitnya terdapat empat pandangan yang dapat digunakan untuk mengkaji
masalah kesantunan dalam bertutur.
1) Pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial (the
social-norm view).
2) Pandangan yang melihat kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan
(conversational maxim) dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka
(faces aving).
3)
Pandangan ini melihat kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi
persyaratan terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational
contract).
4) Pandangan kesantunan yang keempat berkaitan dengan penelitian
sosiolinguistik.
536
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Dalam penggolongan prinsip kesantunan berbahasa ada prinsip
kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech (1993: 206-207), yakni
sebagai berikut.
1) Maksim Kebijaksanaan
2) Maksim Kedermawanan
3) Maksim Penghargaan
4) Maksim Kesederhanaan
5) Maksim Permufakatan
6) Maksim Kesimpatian
Adapun faktor penyebab ketidaksantunan dalam berbahasa yaitu:
1) kritik secara langsung dengan kata-kata kasar
2) dorongan rasa emosi penutur
3) protektif terhadap pendapat
4) sengaja menuduh lawan tutur
5) sengaja memojokkan mitra tutur
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pedoman Pendidikan dan Karakter
Bangsa. Jakarta : Balitbang Pusat Kurikulum.
Kementerian Pendidikan Nasional. (tt). Rencana Induk Pengembangan
Pendidikan dan Karakter Bangsa. Diunduh 16-11-2014.
Koentjaraningrat. (1985). Kebudayaan Mentalitas dan Pengembangan.
Jakarta: PT. Gramedia.
Koentjaraningrat. (1999). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
http://lit.atmajaya.ac.id ―Realisasi Kesantunan Berbahasa Antar Generasi
Dalam Masyarakat Indonesia‖.
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
537
METODE ROLE PLAYING DALAM PEMBELAJARAN
NEGOSIASI PADA PESERTA DIDIK KELAS X SEKOLAH
MENENGAH ATAS
Upaya Menanamkan Karakter Bersahabat dan Komunikatif pada Siswa
Yeni Rostikawati
STKIP Siliwangi Bandung
Pos-el: [email protected]
ABSTRAK
Metode Role Playing dalam Pembelajaran Negosiasi pada Peserta Didik Kelas X
Sekolah Menengah Atas. Pembentukan karakter menjadi hal yang sangat disoroti
dari kurikulum 2013 saat ini. Ada beberapa poin karakter yang harus dimunculkan
pada diri siswa, diantaranya yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras,
kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air,
menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (BPPPuskur, 2010: 9-10). Karakterkarakter tersebut dapat dibentuk melalui proses pembelajaran yang tepat dan inovatif.
Salah satu faktor yang mampu menciptakan proses pembelajaran efektif adalah
pemilihan metode. Metode role playing yang dipilih oleh peneliti merupakan salah
satu metode yang diajukan untuk menyiasati kurikulum 2013. Dalam kelas, peneliti
menemukan permasalahan yang sering dihadapi siswa, yaitu permasalahan
keterampilan berbicara yang masih kurang akibat rasa percaya diri siswa yang minim.
Oleh karena itu, pemilihan metode role playing dalam pembelajaran negosiasi
diharapkan mampu mengatasi permasalahan tersebut. Adapun tujuan penelitian ini
yaitu untuk mengetahui keefektifan penerapan metode role playing dalam
pembelajaran negosiasi di kelas X. Penerapan metode tersebut diharapkan mampu
memunculkan karakter bersahabat dan komunikatif pada siswa.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif dengan
desain penelitian one group pretest-postest design. Sampel yang diambil sebanyak 25
orang siswa kelas X Sekolah Menengah Atas. Setelah metode role playing ini
diujicobakan dalam pembelajaran negosiasi, ternyata hasilnya efektif dalam
menciptakan antusiasme belajar siswa sehingga menjadi pembiasaan dalam
membentuk karakter bersahabat serta komunikatif pada siswa.
Kata kunci: role playing, pembelajaran negosiasi, karakter bersahabat/komunikatif .
PENDAHULUAN
Ada sebuah pepatah menarik yang dikemukakan oleh Hull (dalam Holt,
2010:cover) yaitu jika kita mengajarkan anak-anak untuk berbicara, mereka
tidak akan pernah belajar. Pepatah tersebut menyampaikan sebuah pesan yang
mendalam, bahwa proses belajar itu bukan mengajarkan. Namun, membimbing
peserta didik untuk belajar dan tanpa unsur paksaan.
538
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Demi proses pembelajaran yang efektif dan menyenangkan, para ahli
pendidikan (pemerintah) senantiasa melakukan revisi terhadap kurikulum
dengam seluruh warga yang bergerak dalam bidang pendidikan dari tahun ke
tahun. Saat ini, kurikulum yang sedang bergulir adalah kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 ini diharapkan mampu menjawab semua persoalan
pendidikan yang berhubungan dengan degradasi nilai-nilai moral dan akhlak
anak bangsa melalui pendidikan karakter sebagai ciri khasnya. Seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut:
―pendidikan karakter dalam kurikulum 2013 bertujuan untuk meningkatkan
mutu proses dan hasil pendidikan, yang mengarah pada pembentukan budi
pekerti dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang,
sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Selain
itu, dengan pendekatan tematik dan kontekstual diharapkan peserta didik
mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya,
mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan
akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.‖ (Mulyasa, 2013:7)
Dalam kutipan tersebut perlu digaris bawahi bahwa pendekatan tematik
dan kontekstual menjadi faktor utama yang diharapkan mampu mewujudkan
tujuan pendidikan. Itu artinya bahwa proses pembelajaran harus sangat dekat
dengan realitas kehidupan di sekeliling peserta didik sehingga ilmu yang
didapatkan dari sekolah adalah ilmu yang siap pakai dalam kehidupan
bermasyarakat. Mampu membentuk pribadi peserta didik yang cerdas dan
terampil. Oleh karena itu, posisi peserta didik dalam proses pembelajaran pun
bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek. Objek sifatnya pasif, tidak
produktif, dan kurang kreatif. Sedangkan subjek sifatnya aktif, produktif,
sehingga mampu berkreasi menciptakan sesuatu yang baru.
Proses pembelajaran yang efektif tidak dapat dipisahkan dari kreativitas
guru dalam mengorganisasikan proses pembelajaran dalam kelas. Proses
pembelajaran yang baik pun tidak dapat dipisahkan dari metode atau strategi
pembelajaran yang tepat. Jika antara guru, peserta didik, serta metode
pembelajaran sudah terintegrasi dengan baik, maka akan tercipta suatu proses
pembelajaran yang bermutu. Adapun dalam proses pembelajaran bahasa
Indonesia, ada empat keterampilan yang harus dikuasi peserta didik, yaitu
membaca, berbicara, menulis, dan menyimak. Oleh karena itu, harus ada
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
539
metode pembelajaran yang cocok untuk meningkatkan keempat keterampilan
tersebut pada peserta didik.
Dalam makalah ini akan dibahas keterampilan berbicara pada kelas X
Sekolah Menengah Atas (SMA) kurikulum 2013, yaitu kemampuan
bernegosiasi.
Metode
pembelajaran
yang
akan
diujicobakan
untuk
meningkatkan kemampuan bernegosiasi ini yaitu metode role playing atau
bermain peran.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
semu (quasi experiment). Penelitian eksperimen ini dilakukan untuk mencari
hubungan sebab akibat (hubungan kausal) antara dua faktor yang sengaja
ditimbulkan oleh peneliti. Kedua faktor tersebut adalah penerapan metode role
playing (sebagai faktor penyebab) dan kemampuan bernegosiasi (sebagai
faktor akibat). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan dengan
teknik Tes Awal-Tes Akhir pada satu kelompok eksperimen (The one group
Pretest-Posttest Design).
Adapun teknik penelitian dilakukan beberapa tahapan penelitian, yaitu
tahapan pengumpulan data dengan teknik tes dan observasi. Tahapan kedua,
pengolahan data, Data kuantitatif terdiri atas data hasil pretes dan postes.
Kedua data tersebut diteliti dan ditabulasikan untuk mengetahui rata-rata dan
standar deviasinya. Setelah itu dilakukan uji normalitas dan homogenitas.
Apabila data terbukti normal dan homogen, maka pengolahan data dilanjutkan
dengan uji-t atau t-test. Namun, apabila data tidak berdistribusi normal, maka
pengolahan data dilanjutkan dengan penghitungan statistika nonparametrik.
540
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembelajaran Negosiasi (Keterampilan Berbicara)
Pembelajaran negosiasi diambil dari Silabus Kurikulum 2013 sebagai
berikut:
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Tujuan Pembelajaran
1
2
3
KI 1:
1. Mensyukuri anugerah
Menghayati dan
Tuhan akan
mengamalkan ajaran
keberadaan bahasa
agama yang
Indonesia dan
dianutnya
menggunakannya
sesuai dengan kaidah
dan konteks untuk
mempersatukan
bangsa
2. Mensyukuri anugerah
Tuhan akan
keberadaan bahasa
Indonesia dan
menggunakannya
sebagai sarana
komunikasi dalam
memahami,
menerapkan, dan
menganalisis
informasi lisan dan
tulis melalui teks
anekdot, laporan
hasil observasi,
prosedur kompleks,
dan negosiasi
3. Mensyukuri anugerah
Tuhan akan
keberadaan bahasa
Indonesia dan
menggunakannya
sebagai sarana
komunikasi dalam
mengolah, menalar,
dan menyajikan
informasi lisan dan
tulis melalui teks
anekdot, laporan
hasil observasi,
prosedur kompleks,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Memunculkan rasa
syukur peserta didik
terhadap anugerah Tuhan
yang telah menjadi sebab
keberadaan bahasa
Indonesia sehingga dapat
menggunakan bahasa
dengan baik dan benar
dalam kehidupan seharihari serta
memanfaatkannya untuk
hal positif.
541
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
KI 2:
1.
Menghayati dan
mengamalkan
perilaku jujur,
disiplin, tanggung
jawab, peduli
(gotong royong,
kerja sama, toleran,
damai), santun,
responsif dan proaktif dan
menunjukkan sikap 2.
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan dalam
berinteraksi secara
efektif dengan
lingkungan sosial
dan alam serta dalam
menempatkan diri
3.
sebagai cerminan
bangsa dalam
pergaulan dunia
4.
5.
542
eksposisi, dan
negosiasi
Menunjukkan sikap
tanggung jawab,
peduli, responsif, dan
santun dalam
menggunakan bahasa
Indonesia untuk
membuat anekdot
mengenai
permasalahan sosial,
lingkungan, dan
kebijakan publik
Menunjukkan
perilaku jujur,
disiplin, tanggung
jawab, dan proaktif
dalam menggunakan
bahasa Indonesia
untuk menceritakan
hasil observasi
Menunjukkan
perilaku jujur,
tanggung jawab, dan
disiplin dalam
menggunakan bahasa
Indonesia untuk
menunjukkan
tahapan dan langkah
yang telah ditentukan
Menunjukkan
perilaku jujur,
disiplin, peduli, dan
santun dalam
menggunakan bahasa
Indonesia untuk
bernegosiasi
merundingkan
masalah perburuhan,
perdagangan, dan
kewirausahaan
Menunjukkan
perilaku jujur, peduli,
santun, dan tanggung
jawab dalam
penggunaan bahasa
Indonesia untuk
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tujuan Pembelajaran
mampu memunculkan
karakter:
1. Jujur, menyampaikan
informasi yang benar
saat melakukan
negosiasi.
2. Inisiatif, mampu
mengutarakan ide
dalam negosiasi dan
mengambil keputusan
secara cepat dan
tepat.
3. Toleransi, mampu
menahan emosi saat
melakukan negosiasi
berbeda pendirian.
Kompetensi Inti
KI 3:
Memahami,
menerapkan,
menganalisis
pengetahuan faktual,
konseptual,
prosedural
berdasarkan rasa
ingin tahunya
tentang ilmu
pengetahuan,
teknologi, seni,
budaya, dan
humaniora dengan
wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan, dan
peradaban terkait
fenomena dan
kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan
prosedural pada
bidang kajian yang
spesifik sesuai
dengan bakat dan
minatnya untuk
memecahkan
masalah
Kompetensi Dasar
1.
2.
3.
4.
5.
6.
memaparkan konflik
sosial, politik,
ekonomi,dan
kebijakan publik
Memahami struktur
dan kaidah teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi, baik
melalui lisan maupun
tulisan
Membandingkan teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi, baik
melalui lisan maupun
tulisan
Menganalisis teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi, baik
melalui lisan maupun
tulisan
Mengevaluasi teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi
berdasarkan kaidahkaidah teks, baik
melalui lisan maupun
tulisan
Menginterpretasi
makna teks anekdot,
laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi, baik
secara lisan maupun
tulisan
Memproduksi teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
Tujuan Pembelajaran
1. Memahami kaidah
negosiasi.
2. Memahami
prosedur negosiasi.
3. Menganalisis
bentuk negosiasi.
4. Mengevaluasi hasil
negosiasi.
543
Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar
Tujuan Pembelajaran
dan negosiasi yang
koheren sesuai
dengan karakteristik
teks yang akan
dibuat, baik secara
lisan maupun tulisan
7. Menyunting teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi sesuai
dengan struktur dan
kaidah teks, baik
secara lisan maupun
tulisan
8. Mengabstraksi teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi, baik
secara lisan maupun
tulisan
9. Mengonversi teks
anekdot, laporan hasil
observasi, prosedur
kompleks, eksposisi,
dan negosiasi ke
dalam bentuk yang
lain sesuai dengan
struktur dan kaidah
teks, baik secara lisan
maupun tulisan
Keterampilan bernegosiasi dijadikan materi pembahasan dalam makalah
ini mengingat bahwa kehidupan sehari-hari tidak dapat lepas dari kegiatan
negosiasi. Dalam lingkungan masyarakat, keluarga, maupun pertemanan,
selalu ada perbedaan pendapat sehingga untuk menyelesaikan perbedaan
pendapat tersebut diperlukan negosiasi. Negosiasi dilakukan oleh dua pihak
yang berkepentingan untuk mencapai keputusan yang saling menguntungkan.
Ada beberapa aspek yang terkandung dalam kegiatan negosiasi, yaitu:
a. Melibatkan dua pihak atau lebih, baik secara perseorangan, kelompok,
ataupun perwakilan organisasi ataupun perusahaan.
544
Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia 2014
b. Berupa kegiatan komunikasi langsung (tatap muka), menggunakan bahasa
lisan, didukung oleh gerak tubuh dan ekspresi wajah.
c. Mengandung konflik, pertentangan, ataupun perselisihan.
d. Menyelesaikannya melalui tawar-menawar (bargain) atau tukar-menukar
(barter).
e. Menyangkut suatu rencana, program, suatu keinginan, atau sesuatu yang
belum terjadi.
f. Berujung pada dua hal, yaitu sepakat atau tidak sepakat.
Adapun Kompetensi Dasar (KD) yang dibahas dalam makalah ini adalah
Kompetensi Inti 3 pada Kompetensi Dasar 4 yaitu.
―Mengevaluasi teks anekdot, laporan hasil observasi, prosedur kompleks,
eksposisi, dan negosiasi berdasarkan kaidah-kaidah teks, baik melalui
lisan maupun tulisan.‖
Tujuan pembelajarannya yaitu peserta didik mampu mengevaluasi teks
negosiasi dengan cara berperan untuk melakukan negosiasi. Proses evaluasi ini
merupakan tujuan akhir pembelajaran setelah sebelumnya memahami kaidah
negosiasi, memahami prosedur negosiasi, dan menganalisis bentuk negosiasi.
Proses evaluasi ini membutuhkan praktik agar peserta didik dilatih aspek
afektif dan psikomotor, disamping aspek kognitif. Dalam praktik negosiasi ini
KI 1 dan 2 dapat diimplementasikan, misalnya, agar peserta didik dapat
mensyukuri nikmat kemampuan berbahasa, maka mereka harus menggunakan
bahasa tersebut dengan baik dan benar. Hal tersebut dapat diimplementasikan
dalam proses bernegosiasi, sehingga negosiasi yang dilakukan tetap dalam
koridor etika. Selain itu, dalam KI 2, sasaran utamanya adalah membentuk
karakter peserta didik, karakter yang dibangun dalam negosiasi adalah jujur,
inisiatif, dan toleransi. Evaluasi ini dilakukan terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain (peserta didik lain). Evaluasi terhadap diri sendiri melalui
kemampuan
mengapresiasi
teks
negosiasi
sehingga
mampu
menginterpretasikan menjadi perbuatan, sedangkan evaluasi terhadap orang
lain ada
Download