BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Ditegaskan dalam pembukaan pembukaan UUD 1945, sebelum amandemen bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Dari istilah ini pula lah muncul istilah ―Supremasi Hukum‖. Dalam perkembangan UUD 1945 setelah amandemen ke-3/2001, supremasi hukum ini ditegaskan dalam pasal 1 (3) yang menyatakan : ―Negara Indonesia adalah negara hukum‖.1 Membangun tatanan/ sistem hukum pada hakikatnya membangun seluruh tatanan berkehidupan berbangsa (di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dsb). Pada dasarnya hukum merupakan bagian dari subsitem dari sosiofilofis, sosiopolitik, sosionomi, dan sosiokultural. Setelah semua disusun dan dibentuk secara demokratis, maka dituangkan dalam sistem/ tatanan hukum.2 Pada sistem penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak hukum harus berada pada barisan terdepan, karena memiliki kewajiban dalam penegakan dan pengawasan agar fungsi hukum itu dapat berialan dengan baik. Polisi adalah sebagai salah satu alat negara yang berfungsi dalam menegakkan hukum ditengah- tengah masyarakat. Tidak hanya itu tetapi juga sebagai pengayom dan pelindung masyarakat. Kepolisian sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan) yang cukup menentukan keberhasilan dari 1 Barda Nawawi, Masalah pengekan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, ( jakarta : Kencana Prenada media , 2007), hal.11. 2 Ibid. Universitas Sumatera Utara kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan suatu subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggungjawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya.3 Namun, berbeda dari kenyataan yang diharapkan justru kehadiran polisi ditengah- tengah masyarakat telah menimbulkan suatu momok bagi masyarakat. Adanya perilaku polisi yang menyimpang dari etika profesi yang diharapkan dan justru ada pula yang menyengsarakan masyarakat, seperti adanya pungli, perilaku arogan dan kekerasan. Hal ini menimbulkan jatuhnya rasa percaya masyarakat kepada polisi. Pun demikian, tetap saja kehadiran polisi didambakan, terutama apabila terjadi gangguan keamanan dan kekacauan di dalam masyarakat. Dalam penegakan hukum pidana polisi memegang peranan penting sebagai penyelidik dan penyidik. Rangkaian tugas penyelidikan tercantum dalam Undangundang No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya. Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana selalu berada dalam posisi yang sangat lemah dibandingkan posisi negara. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum pidana, polisi sebagai bagian dari pemerintah/ eksekutif berwenang untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Alasan penahanan yang selalu digunakan adalah agar tersangka tidak menghambat tugas penyidik 3 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan pidana, (Medan : USU Press), hal. 8 Universitas Sumatera Utara dalam mengumpulkan bukti- bukti yang akan digunakan untuk mendakwanya. Pada kondisi seperti ini, terdakwa tidak mempunyai kemampuan untuk membela dirinya ketika polisi menyiksanya baik secara fisik maupun mental.4 Penahanan yang dilakukan oleh polisi terhadap tersangka adalah bentuk upaya paksa (dwang middelen). Hal ini dilakukan berdasarkan bukti (permulaan) yang cukup. (vide pasal 17 KUHAP). Selama seorang tersangka berada dalam tahanan, ia harus diperlakukan dengan manusiawi dan tidak boleh disiksa, ditekan atau direndahkan martabatnya sebagai manusia. (vide pasal 66, pasal 117, pasal 122 KUHAP). Penggunaan upaya paksa (dwang middelen) merupakan kekuasaan penyidik yang diberikan oleh undang–undang secara terbatas. Pandangan bahwa penggunaan upaya paksa (dwang middelen) dibutuhkan agar tersangka tidak menghalangi atau mempersulit tindakan penyidikan, telah menjadi dasar bagi penyidik untuk merampas kemerdekaan seseorang dengan menangkap serta menahannya5. Indonesia Police Watch sebagai organisasi nirlaba independen yang mengawasi kinerja kepolisan menyatakan bahwa citra polisi identik dengan kekerasan. Menurut Neta S. Pane yang menjabat sebagai ketua Presdium pada tahun 2012, penyebab karakter kekerasan pada polisi adalah rendahnya daya intelektual, karena itu digunakanlah kekerasan. Sebagai contoh, sebuah kejadian di Gorontalo pada tahun 2010 ada oknum polisi memaku tangan seorang tersangka pada saat menyidik suatu perkara. Sebelumnya tersangka tersebut 4 O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 208 5 Ibid. hal. 211 Universitas Sumatera Utara dipukul tangannya, tetapi tidak mengaku. Akhirnya, tangannya pun dipaku. Oknum polisi tersebut akhirnya di proses oleh pihak propam tapi hanya dijatuhi hukuman 12 hari kurungan, padahal pasal perbuatan penganiayaan hukumannnya bisa lima tahun penjara. Apabila rendahnya tingkat pendidikan dan lemahnya tingkat pengawasan terhadap penyelewengan tindakan yang dilakukan oknum polisi tetap dibiarkan, maka akan melahirkan polisi- polisi yang rendah.6 Hampir setiap tahun sekitar 300 anggota dipecat karena melakukan pelanggaran- pelanggaran.7 Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa penyelewangan wewenang polisi dalam menjalankan tugas harus ditanggapi dengan serius, sebab apabila dibiarkan begitu saja, maka akan menjadi budaya kepolisian Indonesia . Seringkali, polisi dalam menahan seseorang yang diduga sebagai tersangka mengabaikan hak- hak yang seharusnya diberitahukan kepada seorang tersangka/ terdakwa . Ketiadaan perlindungan saksi yang kerap terjadi pada saat proses penyidikan, telah membawa penyidikan kepolisian yang tidak imparsial. Hal ini menjadi celah bagi polisi menyimpang dari tugas dan kode etik profesi polisi. Sehingga, ketika terjadi penganiayaan terhadap tersangka akan menjadi sulit untuk mengetahui kejadian dan perlakuan yang sebenarnya dialami tersangka, terlebih apabila ternyata tersangka yang mengalami penganiayaan tersebut meninggal dunia sebelum proses perkaranya selesai. Hal ini menimbulkan titik kabur pada fakta- fakta yang tidak tersingkap sebab tidak ada pendampingan bagi tersangka dalam menjalani proses pemeriksaannya. Keadilan 6 http://m.tempo.co/read/news/2012/01/14/kasus-kakak-adik-di-sijunjung-polisi-identikkekerasan, diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 2.44 WIB 7 http://indonesia-policewatch.com, diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 2.44 WIB Universitas Sumatera Utara yang didambakan melalui instrumen kepolisian justru menjadi bumerang bagi masyarakat, terkhusus para tersangka/terdakwa yang mengalami kekerasan. Walaupun seseorang dinyatakan sebagai tersangka/ terdakwa, tetap saja ada instrumen HAM yang melindungi setiap individu tersebut untuk diperlakukan secara benar dimata hukum Indonesia. Beranjak dari pemikiran diatas, penulis tertarik mengangkat topik ini menjadi pembahasan dengan judul Penerapan Ketentuan Pidana bagi Anggota Kepolisian Pelaku Penganiayaan Tersangka dari Perspektif Perlindungan Terhadap Tersangka (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi Nomor 75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan Negeri Muaro No.135/ Pid.B /2012/ PN. MR). B Rumusan Masalah Berdasarkan uraian Latar belakang diatas, maka penulis mengemukakan rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut : 1. Bagaimana perlindungan hak- hak tersangka dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian? 2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana bagi anggota kepolisian pelaku penganiayaan terhadap tersangka dari perspektif tersangka? C Tujuan Penulisan Tujuan utama yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Universitas Sumatera Utara 1. Untuk mengetahui perlindungan hak- hak tersangka dalam proses pemeriksaan di tingkat kepolisian 2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana bagi anggota kepolisian pelaku penganiayaan terhadap tersangka dari perspektif perlindungan hukum terhadap tersangka D Manfaat Penulisan Hasil penulisan yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu : 1. Kegunaan Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penulisan selanjutnya, khususnya bidang hukum pidana yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap tersangka yang dilakukan oleh oknum polisi. b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai tindak pidana penganiayaan terhadap tersangka yang dilakukan oleh oknum polisi. 2. Kegunaan Praktis A Sebagai bahan masukan bagi kalangan terkait, yakni Akademisi, Praktisi, Polisi , maupun Institusi Peradilan di Indonesia dalam hal menerapkan dan menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana maupun peraturan lainnya yang memiliki relevansi dengan hukum pidana. B Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar memiliki pemahaman terhadap penegakan hukum pidana khususnya Tersangka/terdakwa Universitas Sumatera Utara E Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana Dan Tindak Pidana Penganiayaan 1.1.Tindak Pidana Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit (Tindak Pidana) di dalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting untuk dietahui untuk mengetahui unsur- unsur yang terkandung di dalamnya. Unsurunsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak8. Beberapa ahli hukum telah berusaha memberikan perumusan tentang pegertian tindak pidana, misalnya : a. D.Simmons Pertama kali mengenal perumusan yang diintroduksikan oleh Prof. Simons. Menurutnya istilah ―peristiwa Pidana‖ itu adalah Een Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon. Terjemahan bebasnya yaitu perbuatan salah melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab. 8 Mohammad Ekaputra , Dasar- Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan : USU PRESS, 2013) hal. 74 Universitas Sumatera Utara b. Van Hammel Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan perumusan Simmons, hanya saja Van Hammel menambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus pula atau patut dipidana (welk handeling een strafwarding karakter heeft) c. Vos Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang- undang (een strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld feit).9 Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan ―landasan yuridis‖ untuk menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana (Strafbaarfeit).Namun, apa yang dimaksud dengan Strafbaarfeit tidak dapat dijelaskan. Jadi, tidak ada pengertian/ batasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana. Tindak Pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang oleh undang- undang, namun ada kalanya tindak pidana juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. 10 1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/ elemen. Para ahli ada yang mengemukakan unsur- unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri 9 C.S.T. Kansil dkk., Tindak Pidana Dalam Undang- Undang Nasional, (Jakarta: Jala Permata Aksara , 2009) hal. 2-3 10 Mohammad Ekaputra, op.cit., hal.75 Universitas Sumatera Utara dari unsur objektif dan subjektif, dan ada pula yang merinci unsur –unsur tindak pidana berdasarkan rumusan undang- undang.11 Tindak pidana atau delik adalah tindak yang mengandung 5 unsur yaitu : 1. Harus ada sesuatu Tindakan (gedraging) 2. Tindakan itu harus sesuai dengan uraian –uraian undang- undang (wettelijke omsschrijving) 3. Tindakan itu adalah Tindakan tanpa hak 4. Tindakan itu dapat diberatkan kepada pelaku 5. Tindakan itu diancam dengan hukuman Berikut adalah pendapat para ahli mengenai unsur- unsur tindak pidana, yaitu : 1. Van Apeldoorn Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum dan elemen subjekif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) mampu bertanggungjawab atau dapat dipersalahkan (toereke- ningsvatbaarheid) 2. Pompe Pompe mengadakan pembagian elemen Strafbaar feit atas : a. Werderrechttelijkheid (unsur melawan hukum) b. Schuld (unsur kesalahan) c. Subsociale (unsur bahaya/ gangguan/ merugikan) 11 Ibid, hal.103 Universitas Sumatera Utara Pandangan Pompe termasuk golongan pembagian Strafbaar feit yang mendasar, namun ditambah dengan elemen subsocial yang diperkenalkan oleh Vrij.12 3. Moeljatno Menurut Moeljatno unsur- unsur atau elemen- elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah : a. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan) b. Hal atasu keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana d. Unsur melawan hukum yang objektif e. Unsur melawan hukum yang subjekti Kelima unsur atau elemen di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif dapat dibagi menjadi : 1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a. Act ialah perbuatan aktif yag disebut juga perbuatan positif dan b. Ommision ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif 2. Akibat perbuatan manusia Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang 12 Ibid. Universitas Sumatera Utara dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta, atau kehormatan. 3. Keadaan- keadaan Pada umumnya keadaan- keadaan ini dibedakan atas : a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan 4. Sifat dapat dihukum dan Sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan- alasan yang membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana yaitu ―tiada pidana tanpa kesalahan‖ (an act does not make guilty unless the mind is guilty ; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang dimaksud dalam konteks ini adalah : 1. Kesengajaan, terdiri dari tiga bentuk, yaitu : a. Sengaja sebagai maksud b. Sengaja sebagai kepastian c. Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis) 2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu : a. Tidak berhati-hati b. Tidak menduga- duga akibat perbuatan itu Universitas Sumatera Utara Jika diaplikasikan ke dalam rumusan tindak pidana yang disebutkan di dalam berbagai pasal KUHP, maka dapat dilihat unsur subjektif dan unsur objektif tindak pidana yang terdapat dalam pasal itu misalnya : 1. Pasal 372 KUHP Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan oranglain yang berada padanya bukan karena kejahatan karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda setinggi- tingginya sembilan ratus rupiah. Tindak Pidana penggelapan atau verduistering dalam bentuk pokok diatur dalam pasal 372 KUHP mempunyai unsur- unsur sebagai berikut : a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja : b. Unsur objektif : 1) barangsiapa 2) zich werderrechtelijk toeeigenen atau menguasai secara melawan hukum 3) sebagaian atau seluruhnya kepunyaan oranglain 4) berada padanya bukan karena kejahatan13 1.3 Tindak Pidana Penganiayaan Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana disebut ―Penganiayaan‖, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti Penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat arti sebagai berikut: 13 Ibid, hal. 110- 112 Universitas Sumatera Utara ‖perlakuan yang sewenang-wenang‖. Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang menyangkut ‖perasaan‖ atau ‖batiniah‖. Oleh sebab tidak adanya rumusan yang pasti mengenai pengertian penganiayaan, maka hal tersebut diterjemahkan melalui yurisprudensi bahwa ―penganiayaan‖ yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Menurut alinea 4 pasal ini, masuk pula dalam pengertian penganiayaan ialah ―sengaja merusak kesehatan orang‖. Dalam penjelasan KUHP oleh R.Soesilo diterakan beberapa contoh mengenai ―perasaan tidak enak‖, ―rasa sakit‖, ―luka‖, dan ―merusak kesehatan‖: 1. ―perasaan tidak enak‖ misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya. 2. ―rasa sakit‖ misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan sebagainya. 3. ―luka‖ misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain. 4. ―merusak kesehatan‖ misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin. Dalam KUHP itu sendiri, penganiayaan diatur dalam pasal 351 hingga pasal 358 dalam Bab II, yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Penggolongan jenis tindak pidana penganiayaan yang terdapat pada KUHP adalah : Universitas Sumatera Utara 1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan. 1. Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1) 2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2) 3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3) 4. Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4) Di ayat 4 diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan, yaitu ―dengan sengaja merusak kesehatan orang‖. Dengan demikian, maka penganiayaan tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang tidak bisa bicara , membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini.14 Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni: 1. Adanya kesengajaan 2. Adanya perbuatan 3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh. 4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya 14 Andi Hamzah, Delik- delik Tertentu ( Speciale Delicten ) di dalam KUHP. ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.69 Universitas Sumatera Utara 2. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan ( Pasal 352 KUHP) (1) ―Kecuali yang disebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orag yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya‖. (2) ―Percobaan untuk melakukan kejahatan itu tidak dipidana‖ Sama dengan Pasal 351, pasal ini pun tidak membuat pengertian atau rumusan tentang apa yang dimaksud dengan ―penganiayaan‖. Yang membdakan kedua rumusan ialah rumusan pasal ini disebut penganiayaan ringan. 15 Penganiayaan ringan dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni: a) Bukan berupa penganiayaan biasa b) Bukan penganiayaan yang dilakukan : 1) Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya 2) Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk 3) dimakan atau diminum c) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian 15 Ibid, hal. 72 Universitas Sumatera Utara Jika perbuatan penganiayaan itu dilakukan dengan dipikirkan terlebih dahulu (met voor bedachterade), maka ketentuan tentang penganiayaan ringan ini tidak berlaku.16 3. Tindak Pidana Penganiayaan Berencana ―Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum dipenjara selama- lamanya empat tahun‖, Pasal 353 ayat 1 KUHP. Direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu (jeda waktu) untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang. Jeda waktu ini tidak boleh terlalu lama, yang terpenting adalah pelaku dapat dengan tenang berpikir guna melakukan tindak pidana tersebut dan masih ada kesempatan untuk pelaku membatalkan perbuatannya.17 Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu: 1. Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. 2. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. 3. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun. Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat: 16 17 Ibid. Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian Khusus jilid I, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 241 Universitas Sumatera Utara a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang. b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain: a. Resiko apa yang akan ditanggung. b. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya. c. Bagaimana cara menghilangkan jejak. c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang. 4. Tindak Pidana Penganiayaan Berat (1) ―Barangsiapa dengan sengaja melukai berat oranglain dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama- lamanya delapan tahun‖. (2) ―Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama- lamanya sepuluh tahun‖. Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya. Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat). Universitas Sumatera Utara Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat. Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut: a. Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian c. Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra d. Mendapat cacat besar e. Lumpuh (kelumpuhan) f. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu: a. Penganiayaan berat biasa (ayat 1) b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2) 5. Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : (1)―Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun‖. (2) ―Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun‖. Universitas Sumatera Utara Bila kita lihat penjelasan di atas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1 KUHP) dengan penganiayaan berencana (pasal 353 ayat 1 KUHP). Dengan kata lain, suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana18. Pasal ini berbeda dengan pasal pembunuhan yang menitikberatkan unsur ―dipikirkan lebih dahulu‖ sebagai bagian inti delik, melainkan sebagai keadaan ―memperberat pidana‖. Perbedaan ini sangat penting bagi penerapan Pasal 58 KUHP.19 Pasal 58 KUHP berbunyi ; ‖Dalam menggunakan aturan aturan pidana, keadaan- keadaan pibadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberikan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu (mededader) yang bersangkutan itu sendiri‖. 2. Kepolisian sebagai Sistem Peradilan Pidana 2.1 Pengertian tentang Kepolisian Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (polisi, jaksa, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan) yang cukup menentukan keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan suatu subsistem yang secara langsung 18 19 Ibid. Ibid, hal.76 Universitas Sumatera Utara berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggungjawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya.20 Dalam diktum penjelasan Undang- undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan : ―Perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya‖.21 Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan hukum. Kadangkala pranata ini bersifat militaristis, seperti di Indonesia sebelum POLRI dilepas dari ABRI. Polisi dalam lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia mencari barang bukti, keteranganketerangan dari berbagai sumber, baik keterangan saksi-saksi maupun keterangan saksi ahli. Di Indonesia dikenal pula istilah Polisi Pamong Praja. Satuan dikomando seorang Mantri Polisi Pamong Praja (MP PP) setingkat di bawah camat (dulu 20 Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan pidana, (Medan : USU Press), hal. 8 21 Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar grafika, 2006) Hal.133 Universitas Sumatera Utara disebut Asisten Wedana). MP PP dulu bertanggung-jawab kepada Wedana. Di Malaysia dan Brunei, polisi dikenal dengan istilah Polis Diraja. Istilah polisi berasal dari bahasa Belanda yaitu politie yang berasal dari bahasa Latin politia . Politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti warga kota atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk menyebut "orang yang menjadi warga negara dari kota Athena", kemudian pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut "semua usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota merupakan negara yang berdiri sendiri yang disebut dengan istilah polis, maka politea atau polis diartikan sebagai semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan. Ada beragam pengertian tentang kepolisian menurut para ahli, salah satunya menurut Satjipto Raharjo, polisi merupakan alat negara yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan memberikan perlindungan kepada masyarakat Di Belanda pada zaman dahulu polisi dikenal melalui konsep Praja van Vallenhoven yang membagi pemerintah menjadi 4 (empat) bagian yaitu: 1) Bestuur ( pemerintahan ); 2) Politie ( polisi ); 3) Rechtspraak; dan 4) Regeling. Dengan demikian, polisi dalam pengertian ini sudah dipisahkan tetapi tetap merupakan bagian dari pemerintahan sendiri. Polisi termasuk organ-organ Universitas Sumatera Utara pemerintahan yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 4, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak assi manusia. Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa: 1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. 2. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). 2.2 Tugas dan wewenang Polisi Dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dicantumkan Tugas pokok Polisi, yakni : Universitas Sumatera Utara a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya dalam pasal 14 di rinci mengenai tugas- tugas pokok tersebut dalam beberapa butir poin : a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 15 UU Nomor 2 Tahun 2002 ayat (1) yang menyatakan : a. menerima laporan dan/atau pengaduan; b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; Universitas Sumatera Utara d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; i. mencari keterangan dan barang bukti; j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya berwenang : a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam; f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan; g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan i. memberantas kejahatan internasional; j. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; k. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; l. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian Di bidang proses pidana (Pasal 16) , Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : Universitas Sumatera Utara a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; h. mengadakan penghentian penyidikan; i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hurut I adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; 2. Selaras dengan kewajiban hokum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; 3. Harus patut. masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan nya; 4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan; 5. Menghormati hak asasi manusia. Setelah diketahui tugas dan wewenang Polisi Republik Indonesia, dengan demikian ditegaskan pada pasal 17 bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang polisi dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya di daerah Universitas Sumatera Utara hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Bertitik tolak dari tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas, Kepolisian dalam menjalankan tugasnya, selain tunduk dan patuh pada UU nomor 2 Tahun 2002 tersebut, juga memegang teguh prinsipprinsip yang terkandung dalam ―Kode Etik Kepolisian‖. Kode etik ini merupakan pedoman yang bersifat khusus, karena mengandung makna dan filosofi yang sangat mendalam bagi kepolisian itu sendiri.22 2.3 Kode Etik Kepolisian Masih banyak perilaku anggota POLRI yang menurunkan citra lembaga kepolisian, yang pada akhirnya akan menjatuhkan kehormatan/ nama baik POLRI di masyarakat, misalnya; penarikan dana partisipasi masyarakat atau pungli, komersialisasi perkara/kasus, sikap arogan dan tidak ramah, kurang menghargai warga yang membutuhkan pelayanan, sikap sok berkuasa dan mau menang sendiri sering kali menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan/ menyelesaikan masalah, prasangka buruk kepada setiap orang yang ditemui, curiga berlebihan, keinginan untuk menonjolkkan diri serta tidak berempati kepada anggota masyarakat dan sesama anggota POLRI. 23 Selain itu, kerap pula terjadi penyalahgunaan jabatan/wewenang Polisi di lingkungan internal Polri. Berdasarkan fakta- fakta tersebut diatas, maka 22 Supriadi, op.cit., hal. 140 Suwarni, Perilaku Polisi Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi, (Bandung: Nusa Media, 2009) hal. 249 23 Universitas Sumatera Utara diperlukan suatu pedoman sebagai rambu-rambu nurani bagi anggota polisi untuk pemuliaan profesi kepolisian dalam menjalankan peran dan tugas-tugasnya. Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika Pengabdian, Kelembagaan dan KeNegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memuat 1) Bab I berisi nilai-nilai dasar tentang jatidiri anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menggambarkan nilai-nilai pengabdian sebagaimana terumus dalam filosofi Tribrata, berisi norma moral dalam etika kedinasan yang menggambarkan tingkat profesionalisme anggota. 2) Bab II berisi komitmen moral setiap individu anggota dan institusinya yang berhubungan dengna institusi lainnya dalam kehidupan bernegara. 3) Bab IV berisi ketentuan penegakan Kode Etik Profesi Polri yang mengatur ketentuan sanksi moral dan Tata Cara Sidang Komisi. Pada Pasal 9 Bab II tentang Etika Kelembagaan, ditegaskan bahwa : 1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang teguh garis komando, mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan aturan dan tata cara yang berlaku. 2) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan langsungnya. Universitas Sumatera Utara 3) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya tidak boleh terpengaruh oleh istri, anak dan orangorang lain yang masih terkait hubungan keluarga atau pihak lain yang tidak ada hubungannya dengan kedinasan. Pasal 17 1) Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dikenakan sanksi moral, berupa : a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela; b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf secara terbatas ataupun secara terbuka; c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi; d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi Kepolisian. Pasal 18 Pemeriksaan atas pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2.4 Kedudukan Kepolisian dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah adalah susunan (pidana) dan cara pemidanaan.24 Dalam suatu sistem terdapat hal- hal atau faktor- faktor25 sebagai berikut : Ada seperangkat elemen tertentu Elemen- elemen itu saling terjalin secara teratur Ada mekanisme keterjanilan antarelemen itu sendiri dan merupakan kesatuan organisasi d. Kesatuan organisasi itu berfungsi untuk mencapai suatu tujuan a. b. c. 24 Andi Hamzah, Sistem Peradilan Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal. 1 25 Moh. Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana dalam KUHP dan Pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, ( Medan : USU Press, hal. 13) Universitas Sumatera Utara e. Berfungsinya organisasi itu menghasilkan sesuatu yang dapat diamati dan dipersaksikan Sistem Peradilan Pidana Terpadu merupakan unsur hukum pidana yang sangat penting dalam kerangka penegakan hukum pidana materiil.26 Sistem Peradilan Pidana terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Melalui komponen tersebut secara keseluruhan dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak- hak terdakwa. Pasal 1 KUHAP, pada ayat 1 dan 4, dinyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah Pejabat Polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan yang dalam hal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.27 Demikian ditarik kesimpulan, bahwa dalam penegakan hukum pidana Polisi memegang peranan penting penyelidik dan penyidik. Rangkaian tugas penyelidikan tercantum dalam Undang- undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya. Kedua peran tersebut adalah berbeda. 26 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Malang : UMM Press, 2005), hal. 2 27 Mahmud Mulayadi, op.cit., hal.10 Universitas Sumatera Utara Pengertian penyelidik yaitu dapat ditemukan melalui KUHAP : Pasal 1 angka 4 KUHAP Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Pasal 1 angka 5 KUHAP Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa, dengan berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.28 Meskipun dalam KUHAP dinyatakan bahwa setiap anggota Kepolisian adalah penyelidik, namun penyelidikan ditangani oleh petugas- petugas kepolisian yang memenuhi syarat ditinjau dari pengalaman dan pengetahuannya. 29 28 Djoko Prakoso. Polri sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. (Jakarta : PT Bina Aksara, 1987), hal.44 29 Mahmud Mulyadi. Op.cit, hal.12 Universitas Sumatera Utara Kekeliruan Pejabat Penyelidik dalam menentukan suatu peristiwa sebagai suatu tindak pidana dan atas tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan, akan membawa konsekuensi berupa kegagalan pada tahap penyidikan. Kekeliruan tersebut juga dapat menyebabkan kepolisian sebagai aparat penyidik dihadapkan pada suatu sanksi hukum yang dapat dituntut melalui lembaga praperadilan seperti diatur dalam pasal 77 KUHAP. 30 Apabila proses penyelidikan telah berhasil dilaksanakan, maka langkah selanjutnya adalah meneruskan ke tingkat penyidikan. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP dinyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP). Sesuai dengan perumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, maka sasaran/target tindakan pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/ jelas dan sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya.31 Penyidikan dimulai sejak Penyidik menggunakan kewenangan penyidikan yang berkaitan langsung dengan hak tersangka, seperti menggunakan upaya paksa penangkapan. Saat penggunaan upaya paksa tersebut maka timbullah kewajiban 30 Ibid. hal.14 HMA Kuffal.Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum edisi revisi, (Malang :UMM Press, 2008), hal. 53 31 Universitas Sumatera Utara Penyidik untuk memberitahukan telah dimulainya penyidikan atas suatu tindak pidana kepada penuntut umum.32 3. Tersangka Pengertian Tersangka sering disalahartikan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia, bahwa seolah-olah tersangka itu sudah pasti bersalah. Padahal yang berhak menentukan bersalah atau tidaknya adalah pengadilan, dengan adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.33 Dalam hukum positif Indonesia, Tersangka diartikan sebagai seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Pengertian tersebut tercantum pada Pasal 1 angka 14 KUHAP. Seseorang yang diduga telah melakukan perbuatan pidana, maka terlebih dahulu ia diselidiki, disidik dan diperiksa oleh penyidik. Apabila perlu, maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undang-undang. ― Black Dictionary Law ‖ memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda dengan KUHAP bahwa Tersangka diartikan sebagai Suspect, yaitu : A person reputed or suspected to be involved in a crime atau dapat diartikan Tersangka adalah seseorang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan.34 32 H.Hamrat Hamid dan Harun M. Hussein. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan. (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.37 33 Abdul Hakim G. Nusantara, KUHAP dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1996), hal. 213 34 Teguh Samudera dkk. Analisis dan Ealuasi Hukum tentang Tersangka/ Terdakwa dalam KUHAP, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi manusia RI : 2004), hal.8 Universitas Sumatera Utara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tersangka adalah diduga, dicurigai. Kata tersangka merupakan kata sangka yang berarti duga, kira. Yang mendapat imbuhan ter-sehingga mengarah kepada subjek. Berarti orang yang diduga atau orang yang dicurigai. Berdasarkan pengertian Tersangka dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersangka ditujukan untuk peristiwa atau kejadian yang umum belum mengarah kepada perkara pidana. Selain sering disalahartikan, Tersangka juga sering diidentikkan dengan terdakwa. Padahal kedua istilah tersebut adalah berbeda satu sama lain. Menurut Pasal 1 butir 15 KUHAP terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. F Keaslian Penulisan Penulisan tentang Penerapan Ketentuan Pidana Terhadap Anggota Kepolisian Pelaku Penganiayaan Terhadap Tersangka Ditinjau dari Perspektif Perlindungan Terhadap Tersangka (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi Nomor 75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan Negeri Muaro No.135/ Pid.B /2012/ PN. MR) belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama serta telah lulus uji bersih dibagian pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Jadi penulisan skripsi ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka. Bila dikemudian hari ternyata ada judul dan permasalahan yang sama sebelum skripsi ini dibuat saya bertanggung jawab sepenuhnya. Universitas Sumatera Utara G Metode Penelitian Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah,selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis, metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya, pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ilmiah ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan berdasarkan pada normanorma hukum yang berlaku. Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.36 2. Jenis dan Sumber Data Setiap penelitian ilmiah mempunyai sumber-sumber sebagai bahan rujukan guna mendukung argumentasi peneliti. Berbeda dengan sumber-sumber rujukan 35 Soemitro Ronny Hanintjio, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta : Ghalia Indonesia,1998), hal.9. 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13-14. Universitas Sumatera Utara yang ada pada penelitian di bidang ilmu lain, dalam penelitian hukum yang bersifat normatif tidak mengenal adanya data. Sumber rujukan penelitian hukum normatif sendiri berasal dari bahan hukum penulis sebagai berikut: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan, seperti kaidah- kaidah dasar, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Straafrecht), Peraturan Kepolisian , Kode Etik Kepolisian, Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan lain yang relevan terhadap tulisan ini. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh. Publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, direktori Mahkamah Agung, jurnal yang bersifat ilmiah, serta buku- buku literatur yang berkaitan dengan judul pembahasan. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri dari : c. Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, wikipedia bahasa indonesia. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan teknik Library Research (penelitian kepustakaan) dengan mengumpulkan bahan- Universitas Sumatera Utara bahan berupa buku literatur , jurnal, peraturan perundang- undangan, KUHAP, KUHP, yang berkaitan dengan permasalahan. 4. Analisis Data Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah studi pustaka (Literature study) dan studi dokumen. Studi pustaka menurut Sanapiah Faisal disebut sebagai sumber data non manusia, dan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan jalan mempelajari peraturan perundangundangan, literatur-literatur dan dokumen – dokumen hukum yang mendukung obyek penelitian.37 H Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari bab yang isinya antara lain memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan sistematika penulisan. BAB II : PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN Bab ini memuat tentang uraian pemeriksaan tersangka di tingkat kepolisian . apa- apa saja hak seorang tersangka saat diperiksa di kepolisian, serta bentuk perlindungan terhadap tersangka dalam proses pemeriksaan . 37 Ibid, hal. 81 Universitas Sumatera Utara BAB III : PENERAPAN KETENTUAN PIDANA ANGGOTA KEPOLISIAN PELAKU PENGANIAYAAN TERHADAP TERSANGKA DARI PERSPEKTIF PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERSANGKA Bab ini menguraikan lebih lanjut pembahasan BAB II, yaitu tentang pengaturan tindak pidana penganiayaan di indonesia. Sebelumnya, diuraikan terlebih dahulu unsur- unsur tindak pidana, serta sanksi apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku. Kemudian, menganalisis putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi Nomor 75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan Negeri Muaro No.135/ Pid.B /2012/ PN. MR. BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas Universitas Sumatera Utara