BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Ditegaskan dalam

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang
Ditegaskan dalam pembukaan pembukaan UUD 1945, sebelum amandemen
bahwa negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (machstaat). Dari istilah ini pula lah muncul istilah ―Supremasi
Hukum‖. Dalam perkembangan UUD 1945 setelah amandemen ke-3/2001,
supremasi hukum ini ditegaskan dalam pasal 1 (3) yang menyatakan : ―Negara
Indonesia adalah negara hukum‖.1
Membangun tatanan/ sistem hukum pada hakikatnya membangun seluruh
tatanan berkehidupan berbangsa (di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dsb).
Pada dasarnya hukum merupakan bagian dari subsitem dari sosiofilofis,
sosiopolitik, sosionomi, dan sosiokultural. Setelah semua disusun dan dibentuk
secara demokratis, maka dituangkan dalam sistem/ tatanan hukum.2 Pada sistem
penegakan hukum di Indonesia, aparat penegak hukum harus berada pada barisan
terdepan, karena memiliki kewajiban dalam penegakan dan pengawasan agar
fungsi hukum itu dapat berialan dengan baik. Polisi adalah sebagai salah satu alat
negara yang berfungsi dalam menegakkan hukum ditengah- tengah masyarakat.
Tidak hanya itu tetapi juga sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Kepolisian sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana (polisi, jaksa,
Hakim, Lembaga Pemasyarakatan) yang cukup menentukan keberhasilan dari
1
Barda Nawawi, Masalah pengekan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan, ( jakarta : Kencana Prenada media , 2007), hal.11.
2
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal
ini dikarenakan kepolisian merupakan suatu subsistem yang secara langsung
berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan
tanggungjawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem
lainnya.3
Namun, berbeda dari kenyataan yang diharapkan justru kehadiran polisi
ditengah- tengah masyarakat telah menimbulkan suatu momok bagi masyarakat.
Adanya perilaku polisi yang menyimpang dari etika profesi yang diharapkan dan
justru ada pula yang menyengsarakan masyarakat, seperti adanya pungli, perilaku
arogan dan kekerasan. Hal ini menimbulkan jatuhnya rasa percaya masyarakat
kepada polisi. Pun demikian, tetap saja kehadiran polisi didambakan, terutama
apabila terjadi gangguan keamanan dan kekacauan di dalam masyarakat.
Dalam penegakan hukum pidana polisi memegang peranan penting sebagai
penyelidik dan penyidik. Rangkaian tugas penyelidikan tercantum dalam Undangundang No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya.
Seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana selalu berada dalam posisi
yang sangat lemah dibandingkan posisi negara. Dalam melaksanakan tugasnya
sebagai penegak hukum pidana, polisi sebagai bagian dari pemerintah/ eksekutif
berwenang untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Alasan penahanan
yang selalu digunakan adalah agar tersangka tidak menghambat tugas penyidik
3
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan pidana, (Medan : USU Press),
hal. 8
Universitas Sumatera Utara
dalam mengumpulkan bukti- bukti yang akan digunakan untuk mendakwanya.
Pada kondisi seperti ini, terdakwa tidak mempunyai kemampuan untuk membela
dirinya ketika polisi menyiksanya baik secara fisik maupun mental.4
Penahanan yang dilakukan oleh polisi terhadap tersangka adalah bentuk
upaya paksa (dwang middelen). Hal ini dilakukan berdasarkan bukti (permulaan)
yang cukup. (vide pasal 17 KUHAP). Selama seorang tersangka berada dalam
tahanan, ia harus diperlakukan dengan manusiawi dan tidak boleh disiksa, ditekan
atau direndahkan martabatnya sebagai manusia. (vide pasal 66, pasal 117, pasal
122 KUHAP).
Penggunaan upaya paksa (dwang middelen) merupakan kekuasaan penyidik
yang diberikan oleh undang–undang secara terbatas. Pandangan bahwa
penggunaan upaya paksa (dwang middelen) dibutuhkan agar tersangka tidak
menghalangi atau mempersulit tindakan penyidikan, telah menjadi dasar bagi
penyidik untuk merampas kemerdekaan seseorang dengan menangkap serta
menahannya5.
Indonesia Police Watch sebagai organisasi nirlaba independen yang
mengawasi kinerja kepolisan menyatakan bahwa citra polisi identik dengan
kekerasan. Menurut Neta S. Pane yang menjabat sebagai ketua Presdium pada
tahun 2012, penyebab karakter kekerasan pada polisi adalah rendahnya daya
intelektual, karena itu digunakanlah kekerasan. Sebagai contoh, sebuah kejadian
di Gorontalo pada tahun 2010 ada oknum polisi memaku tangan seorang
tersangka pada saat menyidik suatu perkara.
Sebelumnya tersangka tersebut
4
O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana,
(Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 208
5
Ibid. hal. 211
Universitas Sumatera Utara
dipukul tangannya, tetapi tidak mengaku. Akhirnya, tangannya pun dipaku.
Oknum polisi tersebut akhirnya di proses oleh pihak propam tapi hanya dijatuhi
hukuman 12 hari kurungan, padahal pasal perbuatan penganiayaan hukumannnya
bisa lima tahun penjara. Apabila rendahnya tingkat pendidikan dan lemahnya
tingkat pengawasan terhadap penyelewengan tindakan yang dilakukan oknum
polisi tetap dibiarkan, maka akan melahirkan polisi- polisi yang rendah.6
Hampir setiap tahun sekitar 300 anggota dipecat karena melakukan
pelanggaran- pelanggaran.7 Hal ini menjadi salah satu bukti nyata bahwa
penyelewangan wewenang polisi dalam menjalankan tugas harus ditanggapi
dengan serius, sebab apabila dibiarkan begitu saja, maka akan menjadi budaya
kepolisian Indonesia .
Seringkali, polisi dalam menahan seseorang yang diduga sebagai
tersangka mengabaikan hak- hak yang seharusnya diberitahukan kepada seorang
tersangka/ terdakwa . Ketiadaan perlindungan saksi yang kerap terjadi pada saat
proses penyidikan, telah membawa penyidikan kepolisian yang tidak imparsial.
Hal ini menjadi celah bagi polisi menyimpang dari tugas dan kode etik profesi
polisi. Sehingga, ketika terjadi penganiayaan terhadap tersangka akan menjadi
sulit untuk mengetahui kejadian dan perlakuan yang sebenarnya dialami
tersangka, terlebih apabila ternyata tersangka yang mengalami penganiayaan
tersebut meninggal dunia sebelum proses perkaranya selesai. Hal ini
menimbulkan titik kabur pada fakta- fakta yang tidak tersingkap sebab tidak ada
pendampingan bagi tersangka dalam menjalani proses pemeriksaannya. Keadilan
6
http://m.tempo.co/read/news/2012/01/14/kasus-kakak-adik-di-sijunjung-polisi-identikkekerasan, diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 2.44 WIB
7
http://indonesia-policewatch.com, diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 2.44 WIB
Universitas Sumatera Utara
yang didambakan melalui instrumen kepolisian justru menjadi bumerang bagi
masyarakat, terkhusus para tersangka/terdakwa yang mengalami kekerasan.
Walaupun seseorang dinyatakan sebagai tersangka/ terdakwa, tetap saja ada
instrumen HAM yang melindungi setiap individu tersebut untuk diperlakukan
secara benar dimata hukum Indonesia.
Beranjak dari pemikiran diatas, penulis tertarik mengangkat topik ini
menjadi pembahasan dengan judul Penerapan Ketentuan Pidana bagi Anggota
Kepolisian Pelaku Penganiayaan Tersangka dari Perspektif Perlindungan
Terhadap Tersangka (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi Nomor
75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan Negeri Muaro No.135/ Pid.B
/2012/ PN. MR).
B
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian Latar belakang diatas, maka penulis mengemukakan
rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini sebagai berikut :
1. Bagaimana perlindungan hak- hak tersangka dalam proses pemeriksaan di
tingkat kepolisian?
2. Bagaimana penerapan ketentuan pidana bagi anggota kepolisian pelaku
penganiayaan terhadap tersangka dari perspektif tersangka?
C
Tujuan Penulisan
Tujuan utama yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
1. Untuk mengetahui perlindungan hak- hak tersangka dalam proses
pemeriksaan di tingkat kepolisian
2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana bagi anggota kepolisian
pelaku penganiayaan terhadap tersangka dari perspektif perlindungan
hukum terhadap tersangka
D
Manfaat Penulisan
Hasil penulisan yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penulisan selanjutnya, khususnya bidang hukum pidana
yang berkaitan dengan tindak pidana penganiayaan terhadap tersangka yang
dilakukan oleh oknum polisi.
b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai tindak
pidana penganiayaan terhadap tersangka yang dilakukan oleh oknum polisi.
2. Kegunaan Praktis
A
Sebagai bahan masukan bagi kalangan terkait, yakni Akademisi, Praktisi,
Polisi , maupun Institusi Peradilan di Indonesia dalam hal menerapkan dan
menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana
maupun peraturan lainnya yang memiliki relevansi dengan hukum pidana.
B
Sebagai bahan masukan bagi masyarakat agar memiliki pemahaman
terhadap penegakan hukum pidana khususnya Tersangka/terdakwa
Universitas Sumatera Utara
E
Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana, Unsur-Unsur Tindak Pidana Dan Tindak
Pidana Penganiayaan
1.1.Tindak Pidana
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan Strafbaar
feit (Tindak Pidana) di dalam KUHP maupun diluar KUHP, oleh karena itu para
ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai
saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting untuk
dietahui untuk mengetahui unsur- unsur yang terkandung di dalamnya. Unsurunsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam upaya menentukan apakah
perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak8.
Beberapa ahli hukum telah berusaha memberikan perumusan tentang
pegertian tindak pidana, misalnya :
a. D.Simmons
Pertama kali mengenal perumusan yang diintroduksikan oleh Prof. Simons.
Menurutnya istilah ―peristiwa Pidana‖ itu adalah Een Strafbaargestelde,
onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een
toerekeningsvatbaar persoon. Terjemahan bebasnya yaitu perbuatan salah
melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang
mampu bertanggung jawab.
8
Mohammad Ekaputra , Dasar- Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan : USU PRESS,
2013) hal. 74
Universitas Sumatera Utara
b. Van Hammel
Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan perumusan Simmons,
hanya saja Van Hammel menambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus
pula atau patut dipidana (welk handeling een strafwarding karakter heeft)
c. Vos
Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat
dipidana oleh undang- undang (een strafbaar feit is een door de wet strafbaar
gesteld feit).9
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa di dalam KUHP (WvS) hanya
ada asas legalitas (Pasal 1 KUHP) yang merupakan ―landasan yuridis‖ untuk
menyatakan suatu perbuatan (feit) sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(Strafbaarfeit).Namun, apa yang dimaksud dengan Strafbaarfeit tidak dapat
dijelaskan. Jadi, tidak ada pengertian/ batasan yuridis tentang tindak pidana.
Pengertian tindak pidana hanya ada dalam teori atau pendapat para sarjana.
Tindak Pidana tidak hanya terjadi karena telah dilakukannya suatu
perbuatan yang dilarang oleh undang- undang, namun ada kalanya tindak pidana
juga terjadi karena tidak berbuatnya seseorang. 10
1.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana
Berbagai rumusan tindak pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum
jika diperhatikan terdiri dari beberapa unsur/ elemen. Para ahli ada yang
mengemukakan unsur- unsur tindak pidana secara sederhana yang hanya terdiri
9
C.S.T. Kansil dkk., Tindak Pidana Dalam Undang- Undang Nasional, (Jakarta: Jala
Permata Aksara , 2009) hal. 2-3
10
Mohammad Ekaputra, op.cit., hal.75
Universitas Sumatera Utara
dari unsur objektif dan subjektif, dan ada pula yang merinci unsur –unsur tindak
pidana berdasarkan rumusan undang- undang.11
Tindak pidana atau delik adalah tindak yang mengandung 5 unsur yaitu :
1. Harus ada sesuatu Tindakan (gedraging)
2. Tindakan itu harus sesuai dengan uraian –uraian undang- undang (wettelijke
omsschrijving)
3. Tindakan itu adalah Tindakan tanpa hak
4. Tindakan itu dapat diberatkan kepada pelaku
5. Tindakan itu diancam dengan hukuman
Berikut adalah pendapat para ahli mengenai unsur- unsur tindak pidana, yaitu :
1. Van Apeldoorn
Menurut Van Apeldoorn, bahwa elemen delik itu terdiri dari elemen objektif
yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan
hukum dan elemen subjekif yang berupa adanya seorang pembuat (dader)
mampu
bertanggungjawab
atau
dapat
dipersalahkan
(toereke-
ningsvatbaarheid)
2. Pompe
Pompe mengadakan pembagian elemen Strafbaar feit atas :
a. Werderrechttelijkheid (unsur melawan hukum)
b. Schuld (unsur kesalahan)
c. Subsociale (unsur bahaya/ gangguan/ merugikan)
11
Ibid, hal.103
Universitas Sumatera Utara
Pandangan Pompe termasuk golongan pembagian Strafbaar feit yang
mendasar, namun ditambah dengan elemen subsocial yang diperkenalkan
oleh Vrij.12
3. Moeljatno
Menurut Moeljatno unsur- unsur atau elemen- elemen yang harus ada dalam
suatu perbuatan pidana adalah :
a. Kelakuan dan akibat (dapat disamakan dengan perbuatan)
b. Hal atasu keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang objektif
e. Unsur melawan hukum yang subjekti
Kelima unsur atau elemen di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke
dalam dua unsur pokok, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif
dapat dibagi menjadi :
1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai
berikut:
a. Act ialah perbuatan aktif yag disebut juga perbuatan positif dan
b. Ommision ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif
2. Akibat perbuatan manusia
Hal ini erat hubungannya dengan ajaran kausalitas. Akibat yang dimaksud
adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang
12
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak
milik/harta, atau kehormatan.
3. Keadaan- keadaan
Pada umumnya keadaan- keadaan ini dibedakan atas :
a. Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
b. Keadaan setelah perbuatan dilakukan
4. Sifat dapat dihukum dan Sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum itu berkenaan dengan alasan- alasan yang membebaskan
terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum,
yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.
Sedangkan unsur pokok subjektif tercermin dalam asas pokok hukum pidana
yaitu ―tiada pidana tanpa kesalahan‖ (an act does not make guilty unless the
mind is guilty ; actus non facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan yang
dimaksud dalam konteks ini adalah :
1. Kesengajaan, terdiri dari tiga bentuk, yaitu :
a. Sengaja sebagai maksud
b. Sengaja sebagai kepastian
c. Sengaja sebagai kemungkinan (dolus eventualis)
2. Kealpaan, adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan
daripada
kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu :
a. Tidak berhati-hati
b. Tidak menduga- duga akibat perbuatan itu
Universitas Sumatera Utara
Jika diaplikasikan ke dalam rumusan tindak pidana yang disebutkan di
dalam berbagai pasal KUHP, maka dapat dilihat unsur subjektif dan unsur objektif
tindak pidana yang terdapat dalam pasal itu misalnya :
1. Pasal 372 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda
yang seluruhnya atau sebagian merupakan kepunyaan oranglain yang berada
padanya bukan karena kejahatan karena bersalah melakukan penggelapan,
dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan
pidana denda setinggi- tingginya sembilan ratus rupiah.
Tindak Pidana penggelapan atau verduistering dalam bentuk pokok diatur
dalam pasal 372 KUHP mempunyai unsur- unsur sebagai berikut :
a. Unsur subjektif : opzettelijk atau dengan sengaja :
b. Unsur objektif :
1) barangsiapa
2) zich werderrechtelijk toeeigenen atau menguasai secara melawan hukum
3) sebagaian atau seluruhnya kepunyaan oranglain
4) berada padanya bukan karena kejahatan13
1.3 Tindak Pidana Penganiayaan
Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana disebut ―Penganiayaan‖, tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti
Penganiayaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dimuat arti sebagai berikut:
13
Ibid, hal. 110- 112
Universitas Sumatera Utara
‖perlakuan yang sewenang-wenang‖. Pengertian yang dimuat Kamus Besar
Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yakni termasuk yang
menyangkut ‖perasaan‖ atau ‖batiniah‖.
Oleh sebab tidak adanya rumusan yang pasti mengenai pengertian
penganiayaan, maka hal tersebut diterjemahkan melalui yurisprudensi bahwa
―penganiayaan‖ yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan),
rasa
sakit,
atau
luka.
Menurut
alinea
4
pasal
ini,
masuk
pula
dalam pengertian penganiayaan ialah ―sengaja merusak kesehatan orang‖.
Dalam penjelasan KUHP oleh R.Soesilo diterakan beberapa contoh mengenai
―perasaan tidak enak‖, ―rasa sakit‖, ―luka‖, dan ―merusak kesehatan‖:
1. ―perasaan tidak enak‖ misalnya mendorong orang terjun ke kali sehingga
basah, menyuruh orang berdiri di terik matahari, dan sebagainya.
2. ―rasa sakit‖ misalnya menyubit, mendupak, memukul, menempeleng, dan
sebagainya.
3. ―luka‖ misalnya mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.
4. ―merusak kesehatan‖ misalnya orang sedang tidur, dan berkeringat, dibuka
jendela kamarnya, sehingga orang itu masuk angin.
Dalam KUHP itu sendiri, penganiayaan diatur dalam pasal 351 hingga pasal
358 dalam Bab II, yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap tubuh yang
dilakukan dengan sengaja.
Penggolongan jenis tindak pidana penganiayaan yang terdapat pada KUHP
adalah :
Universitas Sumatera Utara
1. Tindak Pidana Penganiayaan Biasa
Penganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok
atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua
penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.
1. Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun
kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua
tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1)
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2)
3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3)
4. Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)
Di ayat 4 diberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan
penganiayaan, yaitu ―dengan sengaja merusak kesehatan orang‖. Dengan
demikian, maka penganiayaan tidak mesti berarti melukai orang. Membuat orang
tidak bisa bicara , membuat orang lumpuh termasuk dalam pengertian ini.14
Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni:
1. Adanya kesengajaan
2. Adanya perbuatan
3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka
pada tubuh.
4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya
14
Andi Hamzah, Delik- delik Tertentu ( Speciale Delicten ) di dalam KUHP. ( Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hal.69
Universitas Sumatera Utara
2. Tindak Pidana Penganiayaan Ringan ( Pasal 352 KUHP)
(1) ―Kecuali yang disebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian, diancam sebagai penganiayaan
ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah bagi orang
yang melakukan kejahatan itu terhadap orag yang bekerja padanya atau
menjadi bawahannya‖.
(2) ―Percobaan untuk melakukan kejahatan itu tidak dipidana‖
Sama dengan Pasal 351, pasal ini pun tidak membuat pengertian atau
rumusan tentang apa yang dimaksud dengan ―penganiayaan‖. Yang membdakan
kedua rumusan ialah rumusan pasal ini disebut penganiayaan ringan. 15
Penganiayaan ringan dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang
tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau
pekerjaan sehari-hari. Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:
a) Bukan berupa penganiayaan biasa
b) Bukan penganiayaan yang dilakukan :
1)
Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya
2)
Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan
tugasanya yang sah
Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk
3)
dimakan atau diminum
c) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan
jabatan dan pencaharian
15
Ibid, hal. 72
Universitas Sumatera Utara
Jika perbuatan penganiayaan itu dilakukan dengan dipikirkan terlebih
dahulu (met voor bedachterade), maka ketentuan tentang penganiayaan ringan ini
tidak berlaku.16
3. Tindak Pidana Penganiayaan Berencana
―Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu
dihukum dipenjara selama- lamanya empat tahun‖, Pasal 353 ayat 1 KUHP.
Direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu (jeda
waktu) untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang. Jeda waktu ini
tidak boleh terlalu lama, yang terpenting adalah pelaku dapat dengan tenang
berpikir guna melakukan tindak pidana tersebut dan masih ada kesempatan untuk
pelaku membatalkan perbuatannya.17
Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu:
1.
Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun.
2.
Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan
hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
3.
Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan
hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.
Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu
sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi
penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:
16
17
Ibid.
Moch. Anwar, Hukum Pidana bagian Khusus jilid I, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 241
Universitas Sumatera Utara
a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam
suasana batin yang tenang.
b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai
dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga
dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain:
a. Resiko apa yang akan ditanggung.
b. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat
untuk melaksanakannya.
c. Bagaimana cara menghilangkan jejak.
c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan
suasana hati yang tenang.
4. Tindak Pidana Penganiayaan Berat
(1) ―Barangsiapa dengan sengaja melukai berat oranglain dihukum karena
menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama- lamanya delapan tahun‖.
(2) ―Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara
selama- lamanya sepuluh tahun‖.
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat
disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan
sengaja oleh orang yang menganiayanya.
Unsur-unsur
penganiayaan
berat,
antara
lain:
Kesalahan
(kesengajaan),
Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya
(luka berat).
Universitas Sumatera Utara
Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus
sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan
pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.
Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut:
a. Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan
sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.
b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan
pencaharian
c. Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra
d. Mendapat cacat besar
e. Lumpuh (kelumpuhan)
f. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu
g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu:
a.
Penganiayaan berat biasa (ayat 1)
b.
Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)
5. Tindak Pidana Penganiayaan Berat Berencana
Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
(1)―Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun‖.
(2) ―Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun‖.
Universitas Sumatera Utara
Bila kita lihat penjelasan di atas tentang kejahatan yang berupa
penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat
berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1
KUHP) dengan penganiayaan berencana (pasal 353 ayat 1 KUHP). Dengan kata
lain, suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua
bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena
harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat
maupun unsur penganiayaan berencana18.
Pasal ini berbeda dengan pasal pembunuhan yang menitikberatkan unsur
―dipikirkan lebih dahulu‖ sebagai bagian inti delik, melainkan sebagai keadaan
―memperberat pidana‖. Perbedaan ini sangat penting bagi penerapan Pasal 58
KUHP.19
Pasal 58 KUHP berbunyi ;
‖Dalam menggunakan aturan aturan pidana, keadaan- keadaan pibadi
seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberikan pengenaan pidana,
hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu (mededader) yang
bersangkutan itu sendiri‖.
2. Kepolisian sebagai Sistem Peradilan Pidana
2.1 Pengertian tentang Kepolisian
Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana (polisi, jaksa,
Hakim, Lembaga Pemasyarakatan) yang cukup menentukan keberhasilan dari
kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal
ini dikarenakan kepolisian merupakan suatu subsistem yang secara langsung
18
19
Ibid.
Ibid, hal.76
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan
tanggungjawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem
lainnya.20
Dalam diktum penjelasan Undang- undang No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, dinyatakan : ―Perkembangan kemajuan
masyarakat yang cukup pesat, seiring dengan merebaknya fenomena supremasi
hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi
dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat
tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan
harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara republik
Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang
dilayaninya‖.21
Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan
hukum.
Kadangkala
pranata
ini
bersifat
militaristis,
seperti
di
Indonesia sebelum POLRI dilepas dari ABRI. Polisi dalam lingkungan pengadilan
bertugas sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia mencari barang bukti, keteranganketerangan dari berbagai sumber, baik keterangan saksi-saksi maupun keterangan
saksi ahli.
Di Indonesia dikenal pula istilah Polisi Pamong Praja. Satuan dikomando
seorang Mantri Polisi Pamong Praja (MP PP) setingkat di bawah camat (dulu
20
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan pidana, (Medan : USU Press),
hal. 8
21
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar
grafika, 2006) Hal.133
Universitas Sumatera Utara
disebut Asisten Wedana). MP PP dulu bertanggung-jawab kepada Wedana.
Di Malaysia dan Brunei, polisi dikenal dengan istilah Polis Diraja.
Istilah polisi berasal dari bahasa Belanda yaitu
politie yang berasal
dari bahasa Latin politia . Politia berasal dari kata Yunani politeia yang berarti
warga kota atau pemerintahan kota. Kata ini pada mulanya dipergunakan untuk
menyebut "orang yang menjadi warga negara dari kota Athena", kemudian
pengertian itu berkembang menjadi "kota" dan dipakai untuk menyebut "semua
usaha kota". Oleh karena pada zaman itu kota merupakan negara yang berdiri
sendiri yang disebut dengan istilah polis, maka politea atau polis diartikan sebagai
semua usaha dan kegiatan negara, juga termasuk kegiatan keagamaan.
Ada beragam pengertian tentang kepolisian menurut para ahli, salah satunya
menurut Satjipto Raharjo,
polisi merupakan alat negara yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat
Di Belanda pada zaman dahulu polisi dikenal melalui konsep Praja van
Vallenhoven yang membagi pemerintah menjadi 4 (empat) bagian yaitu:
1) Bestuur ( pemerintahan );
2) Politie ( polisi );
3) Rechtspraak; dan
4) Regeling.
Dengan demikian, polisi dalam pengertian ini sudah dipisahkan tetapi tetap
merupakan bagian dari pemerintahan sendiri. Polisi termasuk organ-organ
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap
kewajiban-kewajiban umum.
Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa Kepolisian adalah segala
hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 4, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia
bertujuan
untuk
mewujudkan
keamanan
dalam
negeri
yang
meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak assi
manusia.
Selanjutnya Pasal 5 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa:
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
2.2 Tugas dan wewenang Polisi
Dalam Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia dicantumkan Tugas pokok Polisi, yakni :
Universitas Sumatera Utara
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum; dan
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya dalam pasal 14 di rinci mengenai tugas- tugas pokok tersebut
dalam beberapa butir poin :
a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,
dan kelancaran lalu lintas di jalan;
c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa;
g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. menyelenggarakan
identifikasi
kepolisian,
kedokteran
kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas
kepolisian;
i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan
bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya
dalam lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 15
UU Nomor 2 Tahun 2002 ayat (1) yang menyatakan :
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
Universitas Sumatera Utara
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam
rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan lainnya berwenang :
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan
senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha dibidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
i. memberantas kejahatan internasional;
j. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
k. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
l. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian
Di bidang proses pidana (Pasal 16) , Kepolisian Negara Republik Indonesia
berwenang untuk :
Universitas Sumatera Utara
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hurut I adalah
tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syaratsyarat sebagai berikut :
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2. Selaras dengan kewajiban hokum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
3. Harus patut. masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatan nya;
4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa dan;
5. Menghormati hak asasi manusia.
Setelah diketahui tugas dan wewenang Polisi Republik Indonesia, dengan
demikian ditegaskan pada pasal 17 bahwa pelaksanaan tugas dan wewenang polisi
dilaksanakan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, khususnya di daerah
Universitas Sumatera Utara
hukum pejabat yang bersangkutan ditugaskan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Bertitik tolak dari tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik
Indonesia di atas, Kepolisian dalam menjalankan tugasnya, selain tunduk dan
patuh pada UU nomor 2 Tahun 2002 tersebut, juga memegang teguh prinsipprinsip yang terkandung dalam ―Kode Etik Kepolisian‖. Kode etik ini merupakan
pedoman yang bersifat khusus, karena mengandung makna dan filosofi yang
sangat mendalam bagi kepolisian itu sendiri.22
2.3 Kode Etik Kepolisian
Masih banyak perilaku anggota POLRI yang menurunkan citra lembaga
kepolisian, yang pada akhirnya akan menjatuhkan kehormatan/ nama baik POLRI
di masyarakat, misalnya; penarikan dana partisipasi masyarakat atau pungli,
komersialisasi perkara/kasus, sikap arogan dan tidak ramah, kurang menghargai
warga yang membutuhkan pelayanan, sikap sok berkuasa dan mau menang sendiri
sering kali menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan/ menyelesaikan
masalah, prasangka buruk kepada setiap orang yang ditemui, curiga berlebihan,
keinginan untuk menonjolkkan diri serta tidak berempati kepada anggota
masyarakat dan sesama anggota POLRI. 23
Selain itu, kerap pula terjadi penyalahgunaan jabatan/wewenang Polisi di
lingkungan internal Polri. Berdasarkan fakta- fakta tersebut diatas, maka
22
Supriadi, op.cit., hal. 140
Suwarni, Perilaku Polisi Studi atas budaya organisasi dan pola komunikasi, (Bandung:
Nusa Media, 2009) hal. 249
23
Universitas Sumatera Utara
diperlukan suatu pedoman sebagai rambu-rambu nurani bagi anggota polisi untuk
pemuliaan profesi kepolisian dalam menjalankan peran dan tugas-tugasnya.
Etika profesi Kepolisian memuat 3 (tiga) substansi etika yaitu Etika
Pengabdian, Kelembagaan dan KeNegaraan yang dirumuskan dan disepakati oleh
seluruh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga menjadi
kesepakatan bersama sebagai Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang memuat komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Pada naskah Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
memuat
1) Bab I berisi nilai-nilai dasar tentang jatidiri anggota Kepolisian Negara
Republik
Indonesia
yang
menggambarkan
nilai-nilai
pengabdian
sebagaimana terumus dalam filosofi Tribrata, berisi norma moral dalam etika
kedinasan yang menggambarkan tingkat profesionalisme anggota.
2) Bab II berisi komitmen moral setiap individu anggota dan institusinya yang
berhubungan dengna institusi lainnya dalam kehidupan bernegara.
3) Bab IV berisi ketentuan penegakan Kode Etik Profesi Polri yang mengatur
ketentuan sanksi moral dan Tata Cara Sidang Komisi.
Pada Pasal 9 Bab II tentang Etika Kelembagaan, ditegaskan bahwa :
1) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia memegang teguh garis
komando, mematuhi jenjang kewenangan, dan bertindak disiplin berdasarkan
aturan dan tata cara yang berlaku.
2) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
perintah kedinasan tidak dibenarkan melampaui batas kewenangannya dan
wajib menyampaikan pertanggungjawaban tugasnya kepada atasan
langsungnya.
Universitas Sumatera Utara
3) Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya tidak boleh terpengaruh oleh istri, anak dan orangorang lain yang masih terkait hubungan keluarga atau pihak lain yang tidak
ada hubungannya dengan kedinasan.
Pasal 17
1) Setiap pelanggaran terhadap Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia dikenakan sanksi moral, berupa :
a. Perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela;
b. Kewajiban pelanggar untuk menyatakan penyesalan atau meminta maaf
secara terbatas ataupun secara terbuka;
c. Kewajiban pelanggar untuk mengikuti pembinaan ulang profesi;
d. Pelanggar dinyatakan tidak layak lagi untuk menjalankan profesi
Kepolisian.
Pasal 18
Pemeriksaan atas pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia dilakukan oleh Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
2.4 Kedudukan Kepolisian dalam Sistem Peradilan Hukum Pidana
Sistem Peradilan Pidana menurut Andi Hamzah adalah susunan (pidana)
dan cara pemidanaan.24 Dalam suatu sistem terdapat hal- hal atau faktor- faktor25
sebagai berikut :
Ada seperangkat elemen tertentu
Elemen- elemen itu saling terjalin secara teratur
Ada mekanisme keterjanilan antarelemen itu sendiri dan merupakan
kesatuan organisasi
d. Kesatuan organisasi itu berfungsi untuk mencapai suatu tujuan
a.
b.
c.
24
Andi Hamzah, Sistem Peradilan Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta : Pradnya Paramita,
1993), hal. 1
25
Moh. Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana dalam KUHP dan Pengaturannya menurut
Konsep KUHP Baru, ( Medan : USU Press, hal. 13)
Universitas Sumatera Utara
e.
Berfungsinya organisasi itu menghasilkan sesuatu yang dapat diamati dan
dipersaksikan
Sistem Peradilan Pidana Terpadu merupakan unsur hukum pidana yang
sangat penting dalam kerangka penegakan hukum pidana materiil.26 Sistem
Peradilan Pidana terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan.
Melalui
komponen
tersebut
secara
keseluruhan
dapat
memberikan perlindungan hukum terhadap hak- hak terdakwa.
Pasal 1 KUHAP, pada ayat 1 dan 4, dinyatakan bahwa kedudukan Polri
dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada Pasal
1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah Pejabat Polisi negara
Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan
penyelidikan yang dalam hal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam KUHAP.27
Demikian ditarik kesimpulan, bahwa dalam penegakan hukum pidana Polisi
memegang peranan penting penyelidik dan penyidik. Rangkaian tugas
penyelidikan tercantum dalam Undang- undang No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang- undangan lainnya. Kedua peran tersebut adalah berbeda.
26
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Malang : UMM Press, 2005),
hal. 2
27
Mahmud Mulayadi, op.cit., hal.10
Universitas Sumatera Utara
Pengertian penyelidik yaitu dapat ditemukan melalui KUHAP :
Pasal 1 angka 4 KUHAP
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Pasal 1 angka 5 KUHAP
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya
Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya
perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan
pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan
adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi. Tidak semua peristiwa yang
terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut
dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannnya upaya paksa,
dengan berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan
ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak
pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan
dengan penyidikan.28
Meskipun dalam KUHAP dinyatakan bahwa setiap anggota Kepolisian
adalah penyelidik, namun penyelidikan ditangani oleh petugas- petugas kepolisian
yang memenuhi syarat ditinjau dari pengalaman dan pengetahuannya. 29
28
Djoko Prakoso. Polri sebagai Penyidik dalam Penegakan Hukum. (Jakarta : PT Bina
Aksara, 1987), hal.44
29
Mahmud Mulyadi. Op.cit, hal.12
Universitas Sumatera Utara
Kekeliruan Pejabat Penyelidik dalam menentukan suatu peristiwa sebagai
suatu tindak pidana dan atas tindak pidana itu dapat dilakukan penyidikan, akan
membawa konsekuensi berupa kegagalan pada tahap penyidikan. Kekeliruan
tersebut juga dapat menyebabkan kepolisian sebagai aparat penyidik dihadapkan
pada suatu sanksi hukum yang dapat dituntut melalui lembaga praperadilan seperti
diatur dalam pasal 77 KUHAP. 30
Apabila proses penyelidikan telah berhasil dilaksanakan, maka langkah
selanjutnya adalah meneruskan ke tingkat penyidikan. Dalam Pasal 1 angka 1
KUHAP dinyatakan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi negara Republik
Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Sedangkan Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya (Pasal 1 angka 2 KUHAP).
Sesuai dengan perumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, maka sasaran/target
tindakan pidana yang terjadi, agar tindak pidananya menjadi terang/ jelas dan
sekaligus menemukan siapa tersangka pelakunya.31
Penyidikan dimulai sejak Penyidik menggunakan kewenangan penyidikan
yang berkaitan langsung dengan hak tersangka, seperti menggunakan upaya paksa
penangkapan. Saat penggunaan upaya paksa tersebut maka timbullah kewajiban
30
Ibid. hal.14
HMA Kuffal.Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum edisi revisi, (Malang :UMM
Press, 2008), hal. 53
31
Universitas Sumatera Utara
Penyidik untuk memberitahukan telah dimulainya penyidikan atas suatu tindak
pidana kepada penuntut umum.32
3. Tersangka
Pengertian Tersangka sering disalahartikan oleh kebanyakan masyarakat
Indonesia, bahwa seolah-olah tersangka itu sudah pasti bersalah. Padahal yang
berhak menentukan bersalah atau tidaknya adalah pengadilan, dengan adanya
putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.33
Dalam hukum positif Indonesia, Tersangka diartikan sebagai seorang yang
karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana. Pengertian tersebut tercantum pada Pasal 1 angka
14 KUHAP. Seseorang yang diduga telah melakukan perbuatan pidana, maka
terlebih dahulu ia diselidiki, disidik dan diperiksa oleh penyidik. Apabila perlu,
maka ia dapat dikenakan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan sesuai dengan undang-undang.
― Black Dictionary Law ‖ memberikan pengertian yang tidak jauh berbeda
dengan KUHAP bahwa Tersangka diartikan sebagai Suspect, yaitu : A person
reputed or suspected to be involved in a crime atau dapat diartikan Tersangka
adalah seseorang yang disangka terlibat dalam suatu kejahatan.34
32
H.Hamrat Hamid dan Harun M. Hussein. Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penyidikan. (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hal.37
33
Abdul Hakim G. Nusantara, KUHAP dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta :
Djambatan, 1996), hal. 213
34
Teguh Samudera dkk. Analisis dan Ealuasi Hukum tentang Tersangka/ Terdakwa dalam
KUHAP, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi
manusia RI : 2004), hal.8
Universitas Sumatera Utara
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Tersangka adalah diduga, dicurigai.
Kata tersangka merupakan kata sangka yang berarti duga, kira. Yang mendapat
imbuhan ter-sehingga mengarah kepada subjek. Berarti orang yang diduga atau
orang yang dicurigai. Berdasarkan pengertian Tersangka dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia, istilah tersangka ditujukan untuk peristiwa atau kejadian yang
umum belum mengarah kepada perkara pidana.
Selain sering disalahartikan, Tersangka juga sering diidentikkan dengan
terdakwa. Padahal kedua istilah tersebut adalah berbeda satu sama lain. Menurut
Pasal 1 butir 15 KUHAP terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili
di sidang pengadilan.
F
Keaslian Penulisan
Penulisan tentang Penerapan Ketentuan Pidana Terhadap Anggota
Kepolisian Pelaku Penganiayaan Terhadap Tersangka Ditinjau dari Perspektif
Perlindungan Terhadap Tersangka (Studi Putusan Pengadilan Negeri Bukit Tinggi
Nomor 75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan Negeri Muaro No.135/
Pid.B /2012/ PN. MR) belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan
yang sama serta telah lulus uji bersih dibagian pendidikan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Jadi penulisan skripsi ini dapat disebut asli sesuai
dengan asas-asas keilmuan yaitu, jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
Bila dikemudian hari ternyata ada judul dan permasalahan yang sama sebelum
skripsi ini dibuat saya bertanggung jawab sepenuhnya.
Universitas Sumatera Utara
G
Metode Penelitian
Penelitian merupakan salah satu cara yang tepat untuk memecahkan
masalah,selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan untuk mengumpulkan
data guna memperoleh pemecahan masalah atau mendapatkan jawaban atas
pokok-pokok permasalahan yang dirumuskan, sehingga diperlukan rencana yang
sistematis, metodologi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu
penelitian ilmiah. Oleh karenanya, pada saat melakukan penelitian seseorang
harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.35
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ilmiah ini adalah penelitian
hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan berdasarkan pada normanorma hukum yang berlaku. Metode penelitian hukum normatif atau metode
penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di
dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang
ada.36
2. Jenis dan Sumber Data
Setiap penelitian ilmiah mempunyai sumber-sumber sebagai bahan rujukan
guna mendukung argumentasi peneliti. Berbeda dengan sumber-sumber rujukan
35
Soemitro Ronny Hanintjio, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, (Jakarta :
Ghalia Indonesia,1998), hal.9.
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 13-14.
Universitas Sumatera Utara
yang ada pada penelitian di bidang ilmu lain, dalam penelitian hukum yang
bersifat normatif tidak mengenal adanya data. Sumber rujukan penelitian hukum
normatif sendiri berasal dari bahan hukum penulis sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan permasalahan, seperti kaidah- kaidah dasar, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (Wetboek Van Straafrecht), Peraturan Kepolisian , Kode Etik
Kepolisian, Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan lain
yang relevan terhadap tulisan ini.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku
teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh. Publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, direktori
Mahkamah Agung, jurnal yang bersifat ilmiah, serta buku- buku literatur yang
berkaitan dengan judul pembahasan. Bahan hukum sekunder merupakan
bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
sebagaimana yang terdapat dalam kumpulan pustaka yang bersifat sebagai
penunjang dari bahan hukum primer yang terdiri dari :
c. Bahan hukum tertier merupakan bahan hukum yang memberikan informasi
lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti
kamus, wikipedia bahasa indonesia.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan
teknik Library Research (penelitian kepustakaan) dengan mengumpulkan bahan-
Universitas Sumatera Utara
bahan berupa buku literatur , jurnal, peraturan perundang- undangan, KUHAP,
KUHP, yang berkaitan dengan permasalahan.
4. Analisis Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penulisan skripsi ini adalah
studi pustaka (Literature study) dan studi dokumen. Studi pustaka menurut
Sanapiah Faisal disebut sebagai sumber data non manusia, dan dilakukan untuk
memperoleh data sekunder dengan jalan mempelajari peraturan perundangundangan, literatur-literatur dan dokumen – dokumen hukum yang mendukung
obyek penelitian.37
H
Sistematika Penulisan
BAB I
: PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari bab yang isinya antara lain memuat Latar
Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat penulisan,
Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian
dan sistematika penulisan.
BAB II
: PERLINDUNGAN HAK- HAK TERSANGKA DALAM
PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT KEPOLISIAN
Bab ini memuat tentang uraian pemeriksaan tersangka di tingkat
kepolisian . apa- apa saja hak seorang tersangka saat diperiksa
di kepolisian, serta bentuk perlindungan terhadap tersangka
dalam proses pemeriksaan .
37
Ibid, hal. 81
Universitas Sumatera Utara
BAB III
: PENERAPAN KETENTUAN PIDANA ANGGOTA
KEPOLISIAN PELAKU PENGANIAYAAN TERHADAP
TERSANGKA DARI PERSPEKTIF PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP TERSANGKA
Bab ini menguraikan lebih lanjut pembahasan BAB II, yaitu
tentang pengaturan tindak pidana penganiayaan di indonesia.
Sebelumnya, diuraikan terlebih dahulu unsur- unsur tindak
pidana, serta sanksi apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku.
Kemudian, menganalisis putusan Pengadilan Negeri Bukit
Tinggi Nomor 75/Pid.B/2012/PN.BT dan Putusan Pengadilan
Negeri Muaro No.135/ Pid.B /2012/ PN. MR.
BAB IV
: KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan adalah bab penutup yang berisi kesimpulan
dan saran mengenai permasalahan yang dibahas
Universitas Sumatera Utara
Download