Jurnal Pendidikan Penabur

advertisement
Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur
Diterbitkan oleh:
BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR)
I S S N : 1412-2588
Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai
sebagai medium tukar pikiran, informasi dan
penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan.
Penanggung Jawab
Dr. Jhan Brinsen Purba
Pemimpin Redaksi
Dr. BP. Sitepu, M.A.
Sekretaris Redaksi
Rosmawati Situmorang
Dewan Editor
Dr. BP. Sitepu, M.A.
Ir. Budyanto Lestyana, M.Si.
Dra. Mulyani
Dr. Theresia K. Brahim
Dra. Vitriyani P., M.Pd.
Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang
berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk
bahasa ilmiah populer.
2.
Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah
dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain.
3.
Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan
bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas.
Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10
point/spasi ganda.
4.
Panjang naskah hasil penelitian + 4500 kata, sedangkan untuk opini,
info, serta resensi buku + 2000 kata.
5.
Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata.
6.
Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar
pustaka, dan keterangan mengenai penulis.
7.
Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata.
9.
Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada
ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar
huruf tidak lebih kecil dari 6 point.
10. Naskah dikirim dalam bentuk disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal
Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5.
Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected]
11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang
pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis.
Alamat Redaksi :
Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470
Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968
http://www.bpkpenabur.or.id
E-mail : [email protected]
12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat
tidak dikembalikan.
13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi
naskah.
14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau
kebijakan BPK PENABUR
Jurnal Pendidikan Penabur
Nomor 06/V/Juni 2006
ISSN: 1412-2588
Daftar Isi
i
Pengantar Redaksi
ii-iii
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes untuk Sampel Berukuran 300 Ditinjau dari Metode
Penyetaraan dan Teknik Penghalusan, A.J.V Tumilisar,
1-19
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat, Keke T. Aritonang,
20-27
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama,
Theresia K. Brahim,
28-33
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia: Sebuah Pemikiran,
Petrus Trimantara,
34-41
The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia, Teguh Santoso,
42-45
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa,
Handy Susanto,
46-51
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar,
Reny Novita,
52-58
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa, Elika Dwi Murwarni,
59-68
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah dengan Masayarakat yang Saling Menguntungkan,
Sih Retno Hastuti,
69-75
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi, Imma Helianti Kusuma,
76-86
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, Yuli Kwartolo,
Mengkritisi Undang - Undang No. 14 Tentang Guru dan Dosen, Hotben Situmorang,
Tulisan Ilmiah, B.P. Sitepu,
93-98
99-101
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru, Rosa Merriyani A.,
Isu Mutakhir, Budyanto Lestyana dan Mudarwan,
Resensi Buku, M. Kusmiyati Situmorang,
102-106
107
108-110
Profil BPK PENABUR Jatibarang, Dwi Puji Lestarianti,
Keterangan Mengenai Penulis,
87-92
111-114
115-117
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
i
Pengantar Redaksi
ecara ringkas bahasa dapat diartikan sebagai alat
komunikasi sosial antar manusia. Bahasa menyandang
pesan ungkapan pikiran atau perasaan yang
menggunakannya. Untuk dapat berfungsi secara efektif
dan efisien sebagai sarana komunikasi, bahasa memiliki
kaidah-kaidah yang perlu diikuti dengan baik. Oleh karena
mengandung dan menyampaikan pesan atau ungkapan
pikiran dengan aturan-aturan tertentu, maka bahasa yang
digunakan dapat menggambarkan keluasan wawasan,
keteraturan berpikir, dan ketajaman penalaran orang yang
menggunakannya. Bahkan bahasa dapat juga
menggambarkan tingkat sosial, peradaban dan budaya
pemakainya.
Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa,
namun ternyata bahasa dapat mempermudah kemampuan
berpikir, menganalisis, menarik kesimpulan, mengingat dan
mengungkapkan pikiran dan perasaan. Dalam hubungannya
dengan berpikir, konsep-konsep dalam bahasa dapat
menghambat atau memperlancar proses berpikir, sehingga
ada orang yang merasa sulit mengungkapkan perasaan dan
pikiran secara tepat dalam bahasa tertentu dan mudah
mengungkapkan pikirannya dalam bahasa lain. Bahasa
memungkinkan kita memberikan tanda/simbol pada gejala
dan keadaan dengan menggunakan kata serta
mengkomunikasikannya kepada orang lain. Singkatnya,
bahasa dianggap merupakan prasyarat kebudayaan.
Untuk dapat berkomunikasi dengan baik lintas
masyarakat yang berbeda bahasa, diperlukan alat
komunikasi yang dapat dipahami bersama, seperti bahasa
nasional untuk bangsa dengan berbagai bahasa daerah dan
bahasa internasional untuk masyarakat internasional dengan
latar belakang bahasa yang beraneka ragam. Kemampuan
berbahasa meliputi kemampuan mendengar, berbicara,
membaca, dan menulis. Untuk menguasai masing-masing
kemampuan itu diperlukan pendekatan dan metode belajar
dan pembelajaran yang sesuai. Menguasai bahasa yang baik
dan benar sebagai alat berpikir dan berkomunikasi tidak
sederhana walaupun mungkin bahasa itu sudah menjadi
bahasa sehari-hari. Oleh karena pentingnya sebagai alat
berpikir dan berkomunikasi, maka bahasa merupakan mata
pelajaran dasar di samping berhitung yang dipelajari mulai
dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Jurnal
Pendidikan Penabur edisi ini memuat beberapa tulisan yang
yang membahas berbagai aspek berkaitan dengan
penggunaan dan pembelajaran bahasa, termasuk kompetensi
guru bahasa.
Perkembangan ilmu pendidikan dan pembelajaran telah
S
ii
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
menggeser paradigma yang semula berorientasi pada
pendidik atau pembelajar (teacher oriented) menjadi pada
peserta didik (student oriented). Pergeseran itu mendorong
pendidik atau guru memberikan peranan lebih besar pada
peserta didik dan mengutamakan kepentingan mereka dalam
proses belajar-membelajarkan. Pengelolaan lembaga
pendidikan pun mengarahkan semua sumber daya untuk
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajarmembelajarkan dengan menempatkan peserta didik sebagai
titik sentral. Beberapa tulisan dalam edisi ini memberikan
pendapat tentang karakteristik dan kepentingan peserta didik
yang perlu mendapat perhatian.
Mengutamakan peserta didik tidak berarti mengabaikan
kedudukan dan peranan guru yang merekayasa desain dan
proses belajar-membelajarkan sehingga memperoleh hasil
yang berkualitas. Pada tanggal 30 Desember 2005 Pemerintah
telah mengesyahkan Undang-Undang Republik Indonesia No
14 Tahun 2005. Pada awalnya Undang-Undang tentang Guru
dan Dosen itu disambut sebagai hadiah Tahun Baru 2006 bagi
guru. Akan tetapi sesudah dicermati secara lebih teliti ,
berbagai komentar bermunculan. Apalagi setelah berusia
enam bulan, guru dan dosen belum merasakan dampak
positifnya, karena belum dilengkapi dengan kebijakan
operasional dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden, dan Peraturan Menteri terkait. Di antara masalahmasalah yang menarik perhatian dalam isi Undang-Undang
itu ialah berkaitan dengan kompetensi dan sertifikasi guru.
Peningkatan pendapatan atau kesejahteraan guru yang
dijanjikan dalam Undang-Undang itu akan menjadi hampa
apabila guru tidak memenuhi persyaratan kompetensi dan
sertifikasi yang ditetapkan. Jurnal Pendidikan Penabur Edisi
ini memuat tulisan yang mengkritisi isi Undang-Undang
tersebut dari berbaga aspek, yang mungkin dapat dijadikan
masukan dalam menyusun peraturan/kebijakan yang lebih
teknis.
Untuk terbitan ini Dewan Redaksi menerima lebih banyak
naskah dari sebelumnya dan beberapa di antaranya terpaksa
tertunda pemuatannya sampai edisi Desember 2006 yang
akan datang karena keterbatasan jumlah halaman untuk
setiap terbitan. Peningkatan jumlah naskah ini diharapkan
sebagai gejala semakin meningkatnya minat dan kemampuan
menulis guru di lingkungan BPK PENABUR. Diterimanya
beberapa naskah dari luar lingkungan BPK PENABUR juga
menunjukkan bahwa Jurnal ini tidak hanya dibaca di
lingkungan sendiri.
Edisi ini terbit dengan dengan format dan tata letak yang
berbeda dengan sebelumnya dengan maksud meningkatkan
kenyamanan membacanya. Di samping itu, penampilan yang
demikian diharapkan dapat mengurangi kesan kaku dan
“menakutkan”, tanpa menurunkan bobot isinya sebagai suatu
karya tulis ilmiah.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
iii
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Penelitian
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes untuk
Sampel Berukuran 300 Ditinjau dari
Metode Penyetaraan dan Teknik Penghalusan
A.J.V Tumilisar*)
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300,
ditinjau dari metode penyetaraan dan teknik penghalusan. Teknik penghalusan yang digunakan adalah
tanpa prapenghalusan (TP), prapenghalusan log-linier (LL) dan prapenghalusan kernel (KN), sedangkan
metode penyetaraan yang digunakan adalah metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB) dan ekipersentil
estimasi frekuensi (EEF). TP, KN, EB, dan EEF, serta rata-rata dari deviasi akar kuadrat rata-rata dari ekivalensi
ekipersentil
( RMSD)
sebagai kriteria akurasi relatif, dianalisis dengan menggunakan program yang dibuat,
sedangkan LL dianalisis dengan program Log-Linear SPSS-X. Penelitian yang dilakukan di 18 SMU Negeri dan
Swasta di DKI Jakarta, pada siswa kelas III IPA semester pertama tahun ajaran 2002/2003, pada mata
pelajaran Fisika ini menyimpulkan bahwa akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300,
yang menggunakan TP dan EEF, lebih tinggi dari TP dan EB.
Kata kunci: Skor tes, sampel, penyetaraan, akurasi relatif penyetaraan, metode
penghalusan.
penyetaraan, teknik
The aim of this research is to study the relative accuracy of the test score equating for sample size of 300,
observed from the equating methods and the smoothing techniques. The presmoothing techniques used
were without presmoothing (TP), log-linear presmoothing (LL), and kernel presmoothing (KN), and whereas
the equating methods used were the chain equipercentile equating method (EB) and the frequency
estimation equipercentile equating method (EEF). TP, KN, EB, EEF, and the mean of the root mean square
deviation ( RMSD ) as the relative accuracy criteria, were calculated by tailored program, while LL was
calculated by Log-Linear SPSS-X program. The research conducted at 18 Private and State Senior High
Schools in DKI Jakarta, for the third year students from Natural Science Program, during the first semester
2002/2003, in Physics concludes that only the relative accuracy of the test score equating for sample size
of 300, using (TP and EEF) was higher than using (TP and EB)
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
oal-soal bentuk pilihan ganda telah mulai
dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an
(Suryadibrata, 1995: 15). Dengan
banyaknya terbitan buku-buku berisi
kumpulan soal berbentuk pilihan ganda, maka
guru pun cenderung dengan mudah memilih atau
mengadaptasi soal-soal pilihan ganda itu. Hal itu
terjadi, karena pada satu sisi membuat tes
berbentuk pilihan ganda yang memenuhi syarat
S
sebagai suatu tes yang baik, tidak mudah dan
menyita waktu, namun pada sisi lain
penskorannya mudah dan cepat.
Pada kebanyakan program tes dalam skala
besar, penyusunan tes-tes yang setara merupakan
kegiatan yang sangat penting, untuk penanganan
yang cepat, apabila terjadi kebocoran tes, dan
untuk membandingkan hasil tes dari peserta yang
menggunakan tes-tes yang berbeda itu. Hal yang
sama juga dialami oleh sekolah sebagai suatu
institusi pengelola pendidikan yang senantiasa
berurusan dengan program tes, meskipun
umumnya tidak dalam skala besar.
*) Guru SMAK Triana Jakarta Pusat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
1
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Seringkali dijumpai di sekolah, peserta tes
yang berbeda harus diukur dengan tes yang
berbeda, meskipun tes-tes itu belum tentu ekivalen,
dan diharapkan dapat diukur sifat dan tuntutan
pencapaian hasil yang dapat dibandingkan. Hal
ini terjadi, misalnya pada situasi sekolah yang
memiliki beberapa kelas paralel yang diajar oleh
guru yang berbeda, atau ketika guru memberikan
ulangan susulan kepada siswa-siswa yang absen
pada saat ulangan dilaksanakan. Meskipun
sampai taraf tertentu kesetaraan beberapa tes
dapat diupayakan pada saat menyusun tes-tes itu
sendiri, tetapi umumnya variasi taraf sukar
antartes tetap terjadi (Swediati, 1997: 1). Jadi
secara empirik membuat dua tes yang sama, tidak
pernah secara sempurna paralel, terandalkan
(reliable) atau unidimensional (Grounlund,
1985:169).
Jika hasil tes itu digunakan untuk menentukan
kenaikan kelas atau penjurusan program,
tentunya hal itu menjadi tidak adil karena tidak
dilakukan ekivalensi skor untuk tes yang berbeda
itu.
Masalah tersebut dapat diatasi dengan
melakukan penyetaraan skor yang diperoleh dari
peserta yang mengambil tes-tes itu. Proses statistik,
dikenal sebagai metode penyetaraan (equating),
telah dikembangkan untuk menangani masalah
ini.
Kenyataan menunjukkan bahwa sekolahsekolah khususnya swasta, pada umumnya hanya
terdiri dari beberapa kelas paralel pada satu
tingkat kelas. Akibatnya, sulit diperoleh respons
dari sejumlah besar peserta tes terhadap sejumlah
butir.
Untuk mengurangi efek dari kesalahan
penarikan sampel, sehingga distribusi skor tes
yang dihasilkan mendekati distribusi skor tes dari
populasi, digunakan teknik penghalusan
(smoothing) (Kolen, 1991: 261).
Pada kepentingan yang lebih luas,
memetakan kecenderungan mutu siswa setiap
tahun dengan membandingkan kinerja siswa
yang menggunakan tes-tes yang berbeda dan
antisipasi cepat ketika terjadi kebocoran tes, juga
merupakan suatu tuntutan.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan
dalam latar belakang tersebut di atas, dapat
diidentifikasikan beberapa faktor yang diduga
berpengaruh terhadap akurasi relatif penyetaraan
skor tes pada sampel kecil.
2
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Faktor-faktor yang perlu diteliti adalah,
pengaruh: metode penyetaraan, teknik
penghalusan,
prapenghalusan
dan
pascapenghalusan, derajat penghalusan (degrees
of smoothing) yang harus dipilih, ukuran sampel
minimum, faktor distribusi kemampuan peserta
tes, jenis mata pelajaran, tes daya dan tes
kecepatan, desain pengumpulan data, panjang
tes, dan bentuk tes, pada akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel dengan
ukuran tertentu.
Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di
atas, peneliti hanya membatasi masalah pada
pengaruh metode penyetaraan dan teknik
penghalusan pada akurasi penyetaraan skor tes
untuk sampel dengan ukuran tertentu.
Metode penyetaraan yang digunakan dalam
penelitian ini ialah metode ekipersentil berantai
(EB) dan metode ekipersentil estimasi frekuensi
(EEF). Teknik penghalusan yang digunakan
dalam penelitian ini ialah tanpa penghalusan
(TP), log-linier (LL) dan kernel (KN).
Penghalusan yang dilakukan adalah
prapenghalusan pada distribusi skor tes, dan
sampel yang digunakan berukuran 300.
Desain pengumpulan data yang digunakan
ialah desain grup nonekivalen-tes jangkar. Tes
jangkar yang digunakan adalah tes jangkar
internal. Banyak butir soal pada tes jangkar
adalah ± 20% dari panjang tes.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan
pembatasan masalah yang telah dikemukakan di
atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut.
Apakah terdapat beda akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300
dengan:
1. TP dan EB, dan LL dan EB?
2. TP dan EB, dan KN dan EB?
3. LL dan EB, dan KN dan EB?
4. TP dan EEF, dan LL dan EEF?
5. TP dan EEF, dan KN dan EEF?
6. LL dan EEF, dan KN dan EEF?
7. TP dan EB, dan TP dan EEF?
8. LL dan EB, dan LL dan EEF?
9. KN dan EB, dan KN dan EEF?
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti
apakah terdapat beda akurasi relatif penyetaraan
skor tes untuk sampel berukuran 300 ditinjau dari
dua faktor: pertama, faktor teknik prapenghalusan
yaitu TP, LL, dan KN; dan kedua, faktor metode
penyetaraan yaitu metode EB dan metode EEF.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat
diketahui teknik prapenghalusan dan metode
penyetaraan manakah yang menghasilkan
akurasi relatif penyetaraan skor tes terbaik, jika
dilakukan pada sampel berukuran 300.
Kegunaan Penelitian
Pertama, manfaat teoritik. Dari sisi keilmuan,
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sedikit kontribusi bagi perkembangan
pengukuran dalam psikometrika, yang banyak
menggunakan statistika terapan, khususnya pada
penyetaraan skor tes untuk ukuran sampel
tertentu. Bagi peneliti pribadi dan para peneliti
lainnya, hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai landasan penelitian lanjutan, khususnya
pada variabel-variabel yang diteliti, maupun
variabel lainnya yang lebih kompleks yang
berpengaruh pada pengukuran akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk ukuran sampel
tertentu.
Melalui penelitian ini
diharapkan dapat diketahui
teknik prapenghalusan dan
metode penyetaraan manakah
yang menghasilkan akurasi
relatif penyetaraan skor tes
terbaik, jika dilakukan pada
sampel berukuran 300.
Kedua, manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat
dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang terkait
dengan penyelenggaraan tes-tes atau ulanganulangan yang dilakukan secara berkala, misalnya
oleh: (1) sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang
jumlah peserta didiknya relatif tidak banyak, baik
secara mandiri atau bersama-sama, sehingga
sekolah-sekolah dapat bekerja sama melakukan
pengembangan tes-tes yang setara. Dengan
membandingan kinerja siswa yang menggunakan
tes-tes yang setara itu, pemutus kebijakan di
sekolah dapat memproyeksikan kecenderungan
mutu sekolah setiap tahun ajaran berdasarkan
suatu kriteria yang ditetapkan oleh sekolah, dan
melakukan evaluasi program pengajaran guru,
serta membuat keputusan atau kebijakan yang
terkait dengan proses belajar mengajar maupun
program evaluasi belajar; (2) guru, bukan sekedar
dituntut mampu menyusun soal berdasarkan isi
materi ajar saja tetapi secara profesional mampu
membuat kompilasi tes-tes yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi kemampuan siswa pada
setiap semester atau tahun ajaran berdasarkan
suatu kriteria yang ditetapkan, dan ia mampu
melakukan perlakuan pengajaran lebih
profesional dan bertanggung jawab. Dengan
dimilikinya kompilasi tes yang setara, pada
akhirnya akan meringankan beban guru, ketika
melakukan tes-tes sub-sumatif dan sumatif; (3)
siswa, pada gilirannya merasa memperoleh
perlakuan yang lebih adil. Apabila ia karena suatu
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak
dapat mengikuti ulangan umum atau ujian maka
ia dapat mengikuti ulangan dan ujian susulan
dengan tes yang setara, sehingga ia tidak merasa
dirugikan atau diuntungkan.
Kerangka Teoretis
Skor Tes
Naga, menyatakan skor tes sebagai hasil koreksi
dari setiap butir yang dikerjakan peserta tes yang
menampilkan jawaban benar atau salah (Naga,
1992: 20).
Sampel pada Penyetaraan
Sampel menurut Steel dan Torrie adalah bagian
dari populasi, kadang-kadang mencakup seluruh
populasi dan umumnya informasi dari sampel
digunakan untuk penarikan kesimpulan tentang
populasi itu (Steel dan H. Torrie, 1991: 13).
Setiadi dalam penelitiannya terhadap
estimasi parameter butir menyatakan bahwa
sampel yang relatif kecil berukuran 100 atau 200
(Setiadi, 1997: 7), sedangkan Livingston dan
Feryok melakukan penelitian pada penyetaraan
ekipersentil estimasi frekuensi dengan
penghalusan pada sampel berukuran 100 sampai
dengan 3000 dan akurasi penyetaraan terjadi
pada sampel berukuran 300 (Livingston dan
Feryok, 1987: 9-10).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
3
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Kesalahan Penyetaraan
Menurut Kolen, ada beberapa tipe kesalahan yang
akan mempengaruhi interpretasi hasil dari
aplikasi metode-metode penyetaraan, yaitu
kesalahan penyetaraan acak (random equating
error) dan kesalahan penyetaraan sistematik
(systematic equating error) (Kolen, 1988: 34 –35).
Kolen dan Brennan menyatakan bahwa
kesalahan penyetaraan acak, terjadi karena data
dikumpulkan dari suatu sampel dan bukan dari
seluruh populasi; sedangkan kesalahan
penyetaraan sistematik terjadi misalnya, asumsi
statistikal pada metode penyetaraan dilanggar
atau desain pengumpulan data tidak sesuai
diimplementasikan atau jika kelompok-kelompok
peserta tes yang digunakan untuk penyetaraan
sangat berbeda secara substansial (Kolen dan
Brennan, 1995: 210-211).
Angoff, menyatakan bahwa standar
kesalahan penyetaraan adalah deviasi standar
dari skor-skor yang diubah ke skala tes Y yang
berkorespondensi dengan suatu nilai tetap dari
tes X (Angoff, 1984: p. 96).
Akurasi Relatif Penyetaraan
Glenn, dalam Mathematics Dictionary 4th edition,
menjelaskan bahwa dalam statistik suatu
kesalahan pengamatan adalah perbedaan antara
suatu pengamatan dan nilai sesungguhnya atau
nilai yang diharapkan terhadap semua faktor
yang tidak terkontrol (Glenn James, 1976: 4, 139).
Dari pendapat di atas, akurasi relatif
penyetaraan dipahami sebagai ketepatan hasil
suatu penyetaraan dibandingkan dengan
ketepatan hasil penyetaraan lain.
PengukuranAkurasi Relatif
Penyetaraan
Livingston menjelaskan cara mengkomputasi
akurasi penyetaraan secara statistik sebagai
RMSD (root mean square deviation) sebagai berikut:
jika x adalah suatu skor pada tes A; yx adalah
suatu skor pada tes B yang disetarakan terhadap
x pada penyetaraan langsung dalam populasi; yxy
adalah skor pada tes B yang setara terhadap x
untuk replikasi ke j pada penyetaraan tes jangkar
dan jika dilakukan untuk r replikasi, maka:
RMSD
=
1
r
∑j ( y xy
r
=1
− y
x
)
(Livingston, 1993: 28-29).
4
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
2
Selanjutnya Livingstone menyatakan bahwa ratarata dari RMSD menunjukkan akurasi
penyetaraan; rata-rata RMSD yang kecil
menunjukkan akurasi yang lebih tinggi daripada
rata-rata RMSD yang besar (Livingston, 1993: p.
34).
Penyetaraan Skor Tes
Barnard berpendapat, tidak ada definisi
penyetaraan skor tes yang dapat diterima secara
universal. (Barnard, 1996: 16).
Penyetaraan didefinisikan oleh Crocker dan
Algina sebagai suatu proses untuk menetapkan
skor-skor ekivalen pada dua instrumen (Crocker
dan Algina, 1986: 457).
1. Pengertian penyetaraan horizontal dan vertikal
Holmes menyatakan penyetaraan horizontal
sebagai proses konversi skor mentah yang
digunakan untuk menyetarakan dua atau
lebih tes yang didesain untuk mengukur
atribut yang sama pada level pendidikan yang
sama, sedangkan penyetaraan vertikal
sebagai proses konversi skor mentah pada
skala bersama (common scale) yang digunakan
untuk menyetarakan tes-tes yang mengukur
atribut yang sama tetapi pada level
pendidikan yang berbeda. (Holmes, 1982:
139).
2. Pengertian tes jangkar (anchor test)
Tes jangkar menurut Petersen, Kolen dan
Hoover terdiri dari sejumlah butir, yang
merupakan miniatur dari kedua tes yang
disetarakan (memiliki keserupaan sedekat
mungkin, baik konten maupun kedalaman
materi dengan kedua tes yang disetarakan).
Menurut Livingston, Dorans dan Wright,
bahwa metode yang menggunakan skor tes
jangkar adalah untuk menyesuaikan
perbedaan kemampuan antara sampelsampel tes baru dan lama (Livingston, Doran
dan Wright, 1990: 75).
Berdasarkan pengalaman dalam praktek (rule
of thumb), Kolen dan Brennan menyatakan
bahwa jumlah butir bersama paling tidak 20%
dari panjang seluruh tes yang berisi 40 butir
soal atau lebih dan meskipun tes sangat
panjang, pada kasus ini 30 butir soal bersama
sudah cukup (Kolen dan Brennan, 1995: 248).
3. Macam-macam desain penyetaraan
Hambleton dan Swaminathan menyatakan
ada tiga desain dasar yang secara luas
digunakan untuk menyesaikan studi
penyetaraan, ketiga desain itu adalah metode
grup tunggal (single group method), metode
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
grup ekivalen (equivalent group method) dan
metode tes jangkar (anchor test design). Jelas
menurut Hambleton dan Swaminathan,
variasi dari desain dasar itu dapat digunakan
untuk menyetarakan dua tes (Hambleton dan
Swaminathan, 1985: 198).
Secara khusus Kolen dan Jarjoura menyatakan
bahwa desain populasi nonkivalen-butir
bersama (common item-nonquivalent populations
design) digunakan untuk menyetarakan skorskor teramati dari dua kelompok peserta tes
dari
populasi
berbeda,
yang
diadministrasikan untuk tes-tes yang berbeda,
dan setiap tes memiliki suatu subset butir
bersama (Kolen dan Jarjoura, 1987: 43).
4. Macam-macam metode penyetaraan
Harris dan Kolen, menggambarkan secara
umum ada tiga metode penyetaraan yaitu
penyetaraan linier, penyetaraan ekipersentil
dan penyetaraan teori responsi butir (Harris
dan Kolen, 1986: 36-37). Secara tradisional
menurut Hambleton, Swaminathan dan
Rogers, metode penytaraan ekipersentil dan
linier telah digunakan untuk penyetaraan testes (Hambleton dan Swaminathan, 1985: 123).
4.1. Metode penyetaraan ekipersentil berantai
(chained equipercentile equating)
Angoff menjelaskan metode penyetaraan EB
yang disebutnya sebagai desain V sebagai
berikut: tes X dan tes jangkar V disetarakan
dengan metode penyetaraan ekipersentil
demikian juga tes Y dan tes jangkar V,
kemudian skor ekivalen pada X dan Y dicari
untuk setiap skor dari tes jangkar V (Angoff,
1984: 115-116).
4.2. Metode penyetaraan ekipersentil estimasi
frekuensi (frequency estimation equipercentile
equating)
Metode penyetaraan EEF didefinisikan oleh
Kolen dan Brennan sebagai suatu metode
untuk mengestimasi distribusi kumulatif
skor-skor dari tes X dan tes Y untuk suatu
populasi sintetik dari data yang dikumpulkan
dengan menggunakan desain grup
nonekivalen-butir bersama dan tara persentil
diperoleh dari distribusi-distribusi kumulatif
(Kolen dan Brennan, 1995: 137).
Teknik Penghalusan (smoothing)
Menurut Kolen tujuan penghalusan dapat
dipandang sebagai usaha untuk mengurangi
kesalahan dalam mengestimasi distribusi
populasi yang diperoleh dari titik-titik skor (Kolen,
1991: 258-259).
Berbeda dengan interpolasi, menurut
Petersen, Kolen dan Hoover, pada penghalusan,
fungsi yang dihasilkan tidak perlu melalui titiktitik data yang teramati (Petersen, Kolen dan
Hoover, 1989: 249). ]
Untuk data yang dikumpulkan dengan
menggunakan desain tes jangkar, menurut Cook
dan Petersen teknik analitik untuk penghalusan
distribusi bivariat lebih tepat dilakukan sebelum
penyetaraan (prapenghalusan) (Cook dan
Petersen, 1987: 227).
1. Penghalusan pada sampel kecil
Kolen menyatakan bahwa, penghalusan
secara tipikal lebih berefek untuk ukuran
sampel yang lebih kecil (Kolen, 1988: 34).
Namun Lord mengindikasikan, meskipun
penghalusan berpotensi untuk mengurangi
kesalahan penyetaraan, hal ini dapat
memunculkan bias yang tidak tampak
meskipun dalam sampel besar (Lord, 1982:
174).
2. Jenis-jenis teknik penghalusan
Menurut Kolen, ada tiga metode yang cukup
fleksibel untuk menyusun kembali dengan
memadai suatu keberagaman distribusi skor
tes yaitu: metode kernel, metode berdasarkan
model strong true-score dari Lord dan metode
yang menggunakan model log-linier
polinomial (Kolen, 1991: 257).
2.1. Pengertian teknik pengha-lusan loglinier
Penghalusan LL menurut Scheuneman dan
Bleistein memberikan suatu cara untuk
menganalisis data kuantitatif melalui
hubungan elemen-elemen dari tabel
kontingensi (Scheuneman dan Bleistein, 1999:
224).
Menurut Kennedy dan Hak, algoritma untuk
estimasi kebolehjadian maksimum untuk
metode di atas dapat menggunakan program
BMDP4F, SASCAT-MOD atau SPSS-X LOGLINIER atau dengan program komputer
lainnya (Kennedy dan Hak, 1997: 571).
2.2. Pengertian teknik pengha-lusan kernel
Menurut Cope dan Kolen, gagasan di balik
estimasi KN adalah untuk membentangkan
kepadatan dari suatu titik skor teramati
dengan menggunakan suatu fungsi
probabilitas kepadatan yang diacu sebagai
kernel (Cope dan Kolen, 1990: 4).
Selanjutnya Cope dan Kolen menyatakan
bahwa estimator KN dikembangkan untuk
distribusi skor mentah yang diskrit dengan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
5
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
penyetaraan ekipersentil, dan secara umum
ketepatan penyetaraan meningkat jika ukuran
sampel bertambah (Kolen, 1984; 35-36).
Menurut penelitian Kolen dan Brennan,
metode EB memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
metode ini tidak membutuhkan pertimbangan dari
distribusi gabungan skor total dan skor tes jangkar,
sehingga secara komputasional sangat kurang
intensif daripada metode EEF, dan kedua, metode
ini tidak tergabung secara langsung dengan
populasi sintetik sehingga tidak jelas untuk
populasi mana hubungan itu berlaku atau
ditujukan agar berlaku (Kolen dan Brennan, 1995:
149).
Braun dan Holland mengindikasikan bahwa
i +h / 2
penyetaraan EB dan EEF secara umum tidak
f h (i ) =
B( j −i + h / 2 h)f ( j )
menghasilkan hasil yang sama, walaupun jika
j =i − h / 2
asumsi untuk EEF dipegang (Braun dan Holland,
di mana h adalah bilangan bulat genap dan 1982: 42).
Kolen dari hasil penelitiannya terhadap
kepadatan binomialnya adalah:
metode-metode penghalusan
untuk mengestimasi distribusi
h
h
h −m
B (m h ) =   0,5m (1 − 0,5 ) =   0,5h = C (m , h )0,5h skor tes, juga mengindikasikan
bahwa kekuatan metode KNl
m 
m 
adalah kesederhanaannya
sehingga
dengan
program komputer mudah
Jadi f h (i) adalah suatu kepadatan sepanjang
diimplementasikan
namun untuk tujuan
jangkauan i = -h/2,…….K,…….
h/2.
Bagaimanapun, perhatian kita adalah mengestimasi distribusi dalam prosedur
mengestimasi sepanjang jangkauan skor tes, i = 0, psikometrik seperti pada penyetaraan
menimbulkan distorsi pada ujung-ujung
1, ………., K.
Kesalahan estimasi validasi silang untuk distribusi yang dapat menimbulkan problematik
penghalusan kernel (Errh) menurut Hanson dapat (Kolen, 1991: 279).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan Kolen,
dihitung secara efisien dengan menggunakan
menunjukkan bahwa penghalusan KN sering kali
rumus:
menimbulkan estimasi distribusi yang
K
B (h / 2 h )  tampak tidak rata atau melonjak-lonjak
2n  K
2
Errh =
f h (i ) −
 f (i )f h (i ) −
 (bumpy) atau menyimpang secara
n − 1  i =o
n
I =0
 sistematik (Kolen, 1991: 263).
Dari penelitian terhadap perbandingan
di mana n ialah jumlah responden dan K ialah
level skor dalam jangkauan skor tes (0, 1, 2, penghalusan univariat dan bivariat pada EEF
............K). Dicari nilai h yang menghasilkan Errh yang dilakukan oleh Livingston dan Feryok
disimpulkan bahwa penghalusan KN pada
minimum.
distribusi gabungan dari sampel berukuran 100
dan 300 peserta tes, secara substansial
Hasil Penelitian yang Relevan
memperbaiki hasil penyetaraan, bahkan pada
sampel dari 1000 dan 3000 peserta tes
penghalusan pada metode ini tidak
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan menghasilkan perbaikan (Livingston dan Feryok,
dengan penelitian ini, dapat dikemukakan sebagai 1987: 1).
Penelitian Livingston terhadap penggunaan
berikut:
Kolen pada penelitiannya tentang keefektivan penghalusan LL pada penyetaraan EB dengan
penghalusan secara analitik pada penyetaraan menggunakan sampel kecil menyimpulkan,
ekipersentil, menyatakan bahwa banyak teknik bahwa akan lebih spekulatif jika menggeneralisasi
penghalusan, cocok untuk setiap metode kesimpulan bahwa penghalusan LL juga akan
menghasilkan hasil terbaik jika digunakan pada
menggunakan suatu kernel binomial untuk
menghasilkan suatu estimasi kepadatan diskrit
(Cope dan Kolen, 1990: 4).
Estimator KN menurut Kolen, adalah
probabilitas binomial yang menggunakan
parameter berhasil 0,5 sehingga kernel simetrik;
parameter h yang diatur oleh peneliti adalah suatu
bilangan genap positif yang merupakan parameter
binomial coba-coba (binomial number of trails
parameter) (Kolen, 1991: 259).
Secara lebih terinci Kolen menjelaskan sebagai
berikut: untuk suatu tes dengan K butir dan suatu
distribusi sampel ; i = 0,………, K dan untuk 0 di
tempat lain, estimator kernel adalah:
∑
∑[
6
]
∑
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
metode penyetaraan ekipersentil lain seperti EEF,
meskipun mungkin akan mengikuti pola serupa
(Livingston, 1993: 38).
Kolen, dari hasil penelitiannya terhadap
berbagai metode penghalusan untuk
mengestimasi distribusi-distribusi skor tes
menyimpulkan bahwa metode LL menghasilkan
estimasi kesalahan lebih kecil daripada metode
KN untuk kebanyakan ukuran sampel untuk tes
studi sosial ACT (American College Testing) dan
ujian sertifikasi namun metode KN menghasilkan
estimasi kesalahan lebih kecil daripada metode
LL untuk tes matematik ACT tetapi semua untuk
ukuran sampel terbesar (Kolen, 1991: 272).
Kerangka Berpikir
1. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP
dan EB, dan dengan LL dan EB
Penghalusan mengindikasikan sangat
potensial untuk memperbaiki hasil
penyetaraan karena mengurangi kesalahan
penarikan sampel.
Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan TP dan EB lebih rendah daripada
dengan LL dan EB atau RMSDTP + EB > RMSDLL+ EB .
2. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP
dan EB, dan dengan KN dan EB
Sama dengan
prapenghalusan LL,
prapenghalusan KN juga memperbaiki hasil
penyetaraan, meskipun perbaikan oleh KN
kurang, dibandingkan dengan LL.
Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan TP dan EB lebih rendah daripada
dengan KN dan EB atau RMSDTP+EB > RMSDKN +EB
3. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL
dan EB, dan dengan KN dan EB
Prapenghalusan LL pada EB untuk sampel
relatif
kecil,
dalam
penelitian
mengindikasikan
hasil
hubungan
penyetaraan yang baik, meskipun demikian
sangat spekulatif untuk menyatakan bahwa
LL juga akan menghasilkan hubungan
penyetaraan yang baik untuk metode
penyataraan lainnya.
Sedangkan penghalusan KN seringkali
menyimpang secara sistematik dan
menghasikan distorsi pada ujung-ujung
distribusi. Jadi KN meskipun memperbaiki
estimasi, namun perbaikan itu kurang
dibandingkan dengan teknik penghalusan
lainnya.
Dari uraian di atas diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan LL dan EB lebih tinggi daripada
dengan KN dan EB atau RMSDLL+EB< RMSDKN+EB .
4. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP
dan EEF, dan dengan LL dan EEF
Penelitian menunjukkan bahwa penghalusan
bivariat pada penyetaraan ekipersentil-butir
bersama, menghasilkan fungsi penyetaraan
yang lebih akurat daripada tanpa
penghalusan, dan tidak tergantung teknik
penghalusannya.
Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan TP dan EEF lebih rendah
daripada dengan LL dan EEF atau
RMSDTP + EEF > RMSDLL+ BEF
5. Perbedaan Akurasi Relatif Penye-taraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP
dan EEF, dan dengan KN dan EEF
Penelitian menyimpulkan bahwa hasil
penyetaraan dari distribusi skor diperhalus
dengan teknik apapun, jauh lebih baik
daripada tanpa penghalusan.
Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan TP dan EEF lebih rendah
daripada dengan KN dan EEF atau RMSDTP + EEF
> RMSDKN + EEF
6. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL
dan EEF, dan dengan KN dan EEF
Penelitian pada mata pelajaran Matematika
mengindikasikan bahwa prapenghalusan
KN justru menghasilkan estimasi kesalahan
lebih kecil daripada LL, meskipun penelitian
itu dilakukan untuk sampel besar.
Penelitian ini dilakukan pada mata pelajaran
Fisika, yang banyak menggunakan
Matematika sebagai alat bantu penyelesaian
soalnya, maka seandainya digunakan pada
sampel besar maka prapenghalusan KN
tentunya akan menghasilkan akurasi yang
lebih baik daripada LL.
Dari uraian di atas diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan LL dan EEf lebih rendah daripada
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
7
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
dengan
KN
dan
EEF
Dari uraian di atas diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk berukuran 300
dengan KN dan EB lebih rendah daripada
dengan
KN
dan
EEF
atau
atau
RMSD LL + EEF > RMSD KN + EEF
7. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP
dan EB, dan dengan TP dan EEF
Penelitian membuktikan bahwa metode EB
dan EEF tidak menghasilkan hasil
penyetaraan yang sama,
Metode EB memiliki kelemahan karena tidak
mempertimbangkan distribusi gabungan dari
skor total dan skor tes jangkarnya sehingga
secara komputasional kurang intensif
daripada metode EEF.
Dari uraian di atas diduga bahwa akurasi
relatif penyetaraan skor tes untuk sampel
berukuran 300, dengan TP dan EB rendah
daripada dengan TP dan EEF atau
RMSDTP + EB > RMSDTP+ EEF
8.
Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL
dan EB, dan dengan LL dan EEF
Penelitian-penelitian yang
dilakukan
dengan menggunakan berbagai teknik
prapenghalusan pada berbagai metode
penyetaraan, menunjukkan beda akurasi
pada hasil penyetaraannya.
Prapenghalusan LL pada penyetaraan EB
dengan menggunakan sampel kecil,
menunjukkan hasil yang sangat baik, namun
hal itu tidak dapat digeneralisasikan pada
penggunaan metode EEF, meskipun hal itu
mungkin akan mengikuti pola yang serupa.
Dari uraian di atas diduga akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan LL dan EB lebih tinggi daripada
dengan
LL
dan
EEF
atau
RMSDLL+ EB < RMSDLL+ EEF
9. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor
Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan KN
dan EB, dan dengan KN dan EEF
Pada penelitian terhadap implementasi
prapenghalusan LL dan KN untuk
kebanyakan ukuran sampel pada tes-tes
matematik, KN menghasilkan estimasi
kesalahan lebih kecil daripada LL.
Penggunaan desain pengumpulan data grup
nonekivalen-tes jangkar, seperti pada
penyetaraan EEF harus melibatkan populasi
sintetik, sedangkan pada penyetaraan EB
tidak harus melibatkan populasi sintetik
sehingga tidak jelas bahwa EB melibatkan
distribusi gabungan skor total dan skor tes
jangkarnya, untuk kedua populasi.
8
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
RMSDKN + EB > RMSDKN + EEF
Pengajuan Hipotesis
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir
yang telah diuraikan di atas, maka sesuai dengan
permasalahan dan tujuan penelitian, dapat
diajukan hipotesis yang akan diuji secara empirik
melalui penelitian ini.
Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk
sampel berukuran 300,
1. TP dan EB lebih rendah daripada LL dan EB
atau RMSDTP &EB > RMSD LL&EB
2. TP dan EB lebih rendah daripada KN dan EB
atau RMSDTP &EB > RMSD
KN &EB
3. LL dan EB lebih tinggi daripada KN dan EB
atau RMSD LL & EB < RMSD KN & EB
4.
TP dan EEF lebih rendah daripada LL dan
EEFi atau RMSDTP &EEF > RMSD LL&BEF
5. TP dan EEF lebih rendah daripada KN dan
EEF atau RMSD TP &EEF > RMSD KN &EEF
6. LL dan EEF lebih rendah daripada KN dan
EEF atau R M SD
LL & EEF
> R M SD
KN & EEF
7. TP dan EB lebih tinggi daripada TP dan EEF
atau RMSD TP &EB > RMSD TP & EEF
8. LL dan EB lebih tinggi daripada LL dan EEF
atau RMSDLL&EB < RMSDLL&EEF
9. KN dan EB lebih rendah daripada KN dan EEF
atau RMSD KN &EB > RMSD KN &EEF
Metodologi Penelitian
Tujuan Operasional Penelitian
Tujuan penelitian ini secara operaional adalah
untuk menjawab masalah-masalah penelitian
yang terkait dengan akurasi relatif penyetaraan
skor tes untuk sampel berukuran 300, ditinjau dari
metode penyetaraan dan teknik prapengalusan.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah
dikemukakan, maka tujuan khusus penelitian ini
adalah untuk mengetahui, perbedaan akurasi
relatif hasil penyetaraan EB dengan: TP, LL dan
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
KN; serta hasil penyetaraan EEF dengan TP, LL
dan KN, untuk sampel sebesar 300.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMUK I, II, III, IV, V
dan VI BPK PENABUR Jakarta; SMUK Gonzaga;
SMUK YPK Ketapang; SMUK Triana; SMUK BHK;
SMUK Tarsisius; SMUN 2; SMUN I5; SMUN 25;
SMUN 36; SMUN 55; SMUN 70; dan SMUN 98,
dengan subyek penelitian siswa kelas III program
IPA semester I tahun ajaran 2002 – 2003.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode eksprimen, untuk menguji
perbedaan akurasi relatif hasil penyetaraan
(TP&EB) dan (LL&EB); (TP&EB) dan (KN&EB);
(LL&EB) dan (KN&EB); (TP&EEF) dan (LL&EEF);
(TP&EEF) dan (KN&EEF); (LL&EEF) dan
(KN&EEF); (TP&EB) dan (TP&EEF); (LL&EB) dan
(LL&EEF); serta (KN&EB) dan (KN&EEF), untuk
sampel sebesar 300.
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari: (1)
variabel bebas dan (2) variabel terikat. Adapun
variabel bebasnya adalah keenam hasil
penyetaraan dengan menggunakan: TP, LL dan
KN, pada EB dan EEF, sedangkan variabel
terikatnya adalah akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300.
Hal yang ditinjau dalam penelitian ini adalah
akurasi penyetaraan yang dinyatakan sebagai
RMSD rata-rata ( RMSD ) dari RMSD ekivalensi
ekipersentil untuk 25 kali replikasi, dengan
rancangan sebagai berikut.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah siswa kelas III SMU
program IPA semester satu tahun ajaran 2002/
2003 dari kedelapanbelas SMU di atas. Populasi
ini terdiri dari 1600 orang siswa, 804 orang siswa
sebagai responden instrumen penelitian A, dan
796 orang siswa sebagai responden instrumen
penelitian B. Desain pengumpulan data yang
digunakan adalah desain grup nonekivalen-tes
jangkar. Tes jangkar yang digunakan merupakan
tes jangkar internal.
Penarikan sampel, dilakukan dengan
penarikan sampel matriks (matrix sampling), yaitu
pensampelan peserta, masing-masing sebanyak
300 orang siswa untuk setiap instrumen
penelitian.
Instrumen Penelitian
Kedua instrumen penelitian A dan B dibuat
berdasarkan kisi-kisi soal dengan memperhatikan
aspek kemampuan ranah kognitif dan taraf sukar,
pada pokok/subpokok bahasan Gerak Harmonik,
Gelombang dan Bunyi sesuai dengan GBPP mata
pelajaran Fisika Kurikulum SMU 1994 Yang
Disempurnakan untuk kelas III SMU program
Ilmu Pengetahuan Alam. Kedua instrumen
diharapkan memiliki keserupaan baik isi maupun
kedalaman materinya.
Setiap instrumen penelitian A dan B memuat
50 butir soal pilihan ganda, dengan 5 (lima)
alternatif pilihan jawaban benar. Tes jangkar
terdiri dari 10 butir soal (± 20% dari panjang tes).
Tes jangkar terdiri dari butir-butir soal yang telah
di-EBTANAS-kan atau di-UAN-kan sehingga
butir-butir soal tersebut telah divalidasi, dan
dapat digunakan untuk tes jangkar. Pemilihan
butir-butir soal untuk tes jangkar diupayakan agar
Matriks Rancangan Penelitian
merupakan miniatur dari
kedua instrumen penelitian.
PP
TP
LL
KN
Skor tes yang diperoleh
MP
EB
EEF
EB
EEF
EB
EEF
dari
kedua
instrumen
penelitian ini diacak sederhana
RMSD
RMSD
RMSD RMSD
RMSD
PP&MP RMSD
dengan sampel matriks, yaitu
secara pensampelan peserta,
TP&EB TP&EEF LL&EB LL&EEF KN&EB KN&EEF
artinya setiap kali replikasi
Keterangan : PP: Teknik prapenghalusan; MP: Metode penyetaraan;
diambil sebanyak 300 peserta
TP: Tanpa prapenghalusan; LL: Prapenghalusan log-linier; KN:
tes yang menjawab semua butir
Prapenghalusan kernel: EB: Metode penyetaraan ekipersentil berantai;
tes, kemudian diperlakukan
EEF: Metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi; RMSD :
prapenghalusan LL dan KN.
rata-rata RMSD
Distribusi skor setelah
prapenghalusan disetarakan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
9
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
dengan metode penyetaraan EB dan EEF,
kemudian dihitung ekivalensi ekipersentilnya.
Dihitung RMSD (root mean square deviation)
dari ekivalensi ekipersentil untuk setiap kali
replikasi dan rata-rata RMSD sebagai akurasi
relatif penyetaraan skor tes.
Konseptual Variabel Penelitian
Akurasi relatif penyetaraan skor tes ialah derajat
ketepatan relatif hasil penyetaraan dua skor tes
sampel berukuran 300, dari dua instrumen
penelitian yang berbeda, yang diperlakukan
dengan teknik penghalusan dan atau metode
penyetaraan berbeda.
Teknik prapenghalusan log-linier (LL) ialah
cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian
distribusi skor tes dari instrumen penelitian dan
dilakukan sebelum penyetaraan, dengan
mengubah fungsi polinomial dari distribusi skor
tes menjadi log dari kepadatan distribusi skor tes
dengan menggunakan metode statistik tertentu.
Teknik prapenghalusan kernel (KN) ialah
cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian
distribusi skor tes dari instrumen penelitian dan
dilakukan sebelum penyetaraan, dengan
mengubah fung-si polinomial dari distribusi skor
tes menjadi probabilitas binomial dengan
menggunakan metode statistik tertentu.
Metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB)
ialah cara mencari ekivalensi ekipersentil dua skor
tes dari dua instrumen penelitian yang berbeda,
dengan menggunakan statistik tertentu.
Ekivalensi ekipersentil dihitung dengan metode
penyetaraan ekipersentil langsung secara terpisah
pada skor tes kedua instrumen, masing-masing
terhadap tes jangkarnya, tanpa menggunakan
populasi sintetik.
Metode penyetaraan ekipersentil estimasi
frekuensi (EEF) ialah cara mencari ekivalensi
ekipersentil dua skor tes dari dua instrumen
penelitian yang berbeda dengan menggunakan
statistik tertentu, Ekivalensi ekipersentil dihitung
dengan mengestimasi distribusi kumulatif dua
skor tes masing-masing terhadap tes jangkarnya,
dengan menggunakan populasi sintetik.
Operasional Variabel Penelitian
Akurasi relatif penyetaraan skor tes ialah rata-rata
RMSD (
) dari ekivalensi persentil untuk
seluruh replikasi yang dilakukan. Ekivalensi
persentil dihitung dari dua skor tes dengan
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
prapenghalusan TP, LL atau KN, dan metode
penyetaraan EB atau EEF.
Teknik prapenghalusan log-linier (LL) ialah
cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian
distribusi skor tes dari dua instrumen penelitian
dengan menggunakan program log-lin SPSS X.
Teknik prapenghalusan kernel (KN) adalah
cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian
distribusi skor tes dari dua instrumen penelitian,
dan dilakukan dengan menghitung kepadatan
binomial dan estimator kernel.
Metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB)
ialah cara mencari ekivalensi persentil skor tes,
yang dihitung dengan mencari: (1) ekivalensi
ekipersentil skor tes instrumen pertama terhadap
skor jangkarnya pada populasi pertama [ey1(x)];
(2) tara peringkat ekipersentil [ey1(x)] terhadap
skor tes butir bersama instrumen kedua dan
diperoleh P[ey1(x)]; (3) ekivalensi ekipersentil skor
tes instrumen kedua terhadap P[ey1(x)] adalah
ey(EB), merupakan ekivalensi ekipesentil untuk
metode ekipersentil berantai (eyEB).
Metode ekipersentil estimasi frekuensi (EEF)
ialah cara mencari ekivalensi ekipersentil skor tes,
yang dihitung dengan mencari: (1) distribusi
gabungan dari skor total pada instrumen
penelitian pertama dan tes jangkarnya untuk
populasi pertama dan distribusi gabungan dari
skor total pada intrumen penelitian kedua dan
tes jangkarnya untuk populasi kedua; (2)
distribusi kondisional skor tes instrumen
penelitian kedua untuk mendapat skor v dari tes
jangkar pada populasi kedua, (3) distribusi
gabungan dari skor instrumen penelitian kedua
dan skor tes jangkar untuk populasi pertama; (4)
frekuensi skor tes instrumen pertama dan kedua
untuk populasi sintetik dan (5) tara peringkat
persentil skor tes kedua instrumen pada populasi
sintetik adalah e y(EEF), merupakan ekivalensi
ekipersentil untuk ekipersentil estimasi frekuensi
(eyEEF).
Kualitas Butir
Sebelum kedua instrumen penelitian digunakan,
terlebih dahulu dilakukan ujicoba untuk
memperoleh validitas empirik dari setiap butir dan
reliabilitas instrumen. Ujicoba intrumen
penelitian A dilakukan di SMUK IPEKA Tomang
dan instrumen penelitian B di salah satu kelas III
IPA SMUK II BPK PENABUR Jakarta.
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Pada ujicoba instrumen
penelitian A untuk 39 orang
siswa, diperolah 30 butir
soal sahih yang memiliki rpbis
≥ 0,316. Dari 30 butir soal
instrumen A diperoleh r KR-20
=
0,746;
sedangkan
instrumen penelitian B
untuk 38 orang siswa,
diperoleh 30 butir soal sahih
yang memiliki rpbis ≥ 0,316.
Dari 30 butir soal instrumen
B diperoleh rKR-20 = 0,807.
Ketigapuluh butir soal
instrumen penelitian baik A
maupun B ditambah dengan
10 butir soal tes jangkar,
merupakan
instrumen
penelitian yang digunakan
untuk penelitian.
Hipotesis Statistik
Gabungan Kelompok
Hipotesis
1. (TP&EB) & (LL&EB)
H0: µAKUR1 ≥ µ AKUR 2
H1: µAKUR1 < µ AKUR 2
2. (TP&EB) & (KN&EB)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
3. (LL&EB) & (KN&EB)
H0: µ AKUR 1 ≤ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 > µ AKUR 2
4. (TP&EEF) & (LL&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
5. (TP&EEF) & (KN&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
6. (LL&EEF) & (KN&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
7. (TP&EEB) & (TP&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
8. (LL&EB) & (LL&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≤ µRMSD2H1: µ AKUR 1 > µ AKUR 2
9. (KN&EB) & (KN&EEF)
H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2
Keterangan:
* µAKUR1<µAKUR2 atau µ RMSD
1
> µ RMSD
2
; µAKUR1>µAKUR2 atau .
Hasil Penelitian
1.
Grafik skor tes-RMSD dari ekivalensi
ekipersentil untuk data pada penyetaraan EB
dan penyetaraan EEF,
a. tanpa
prapenghalusan; b. dengan prapenghalusan
log-linier; dan c. dengan prapenghalusan
kernel.
10
8
6
4
2.
dan DS RMSD dari ekivalensi
RMSD
ekipersentil dari 25 replikasi dan setiap
replikasi terdiri dari 300 responden untuk
keenam kelompok sepanjang rentang skor 4 –
34
2
0
0
4
8
12
16
20
24
28
32
RMSD
TP&EB
TP&EEF
RMSD
1.5157
0.4649
1.5169
DS RMSD 1.8943
0.2726
1.8967
36
LL&EB LL&EEF KN&EB KN&EEF
SK OR
TP & EB
4.4991
1.1797
0.7549
TP & EEF
3. Grafik RMSD
grafis
30
5
25
4
20
7.7848
1.1774
0.6348
dari ekivalensi ekipersetil secara
3
15
2
10
1
5
0
0
0
4
8
12 16 20 24 28 32 36
SK OR
LL&EB
LL&EEF
0
4
8
12
16
20
24 28
32
36
SKOR
KN& EB
KN& EEF
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
11
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Uji Homogenitas
Homogenitas varians populasi dari keenam data
RMSD diuji dengan uji Bartlett, diperoleh:
χ2 hitung = 336.9019 > χ2 tabel (0.95, 5) = 11.1.
Sehingga dapat disimpulkan varians RMSD dari
ekivalensi ekipersentil keenam kelompok itu tidak
homogen.
Pengujian Hipotesis
Karena prasyarat normalitas dan homogenitas
tidak dipenuhi, maka hipotesis penelitian ini diuji
dengan Analisis Varian (ANAVA) Satu Arah
dengan
pendekatan
statistik
nonparametrik.parametrik.
Dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis
(Murti, 1996:97), diperoleh:
= 19.58
Pengujian Persyaratan Analisis
Uji Normalitas
Untuk mengetahui apakah data RMSD ini berasal
dari populasi yang berdistribusi normal, maka
dilakukan uji normalitas dengan menggunakan
uji Lilliefors untuk keenam kelompok data sebagai
berikut:
Rangkuman hasil uji normalitas dengan uji
Lilliefors keenam kelompok pada taraf signifikansi
α = 5%
Kelompok
Jumlah
Sampel
Lhitung
L tabel
1. TP&EB
31
0.2772
0.1591
2. LL &EB
31
0.2772
0.1591
3. KN & EB
31
0.2593
0.1591
n = jumlah seluruh sampel = 186; k = jumah
kelompok = 6: R j =jumlah peringkat tiap
kelompok.
2
H tabel = χ 2(0.95, 5) = 19.58 > Htabel = χ (0.95,5) = 11.1.
Jadi, paling sedikit ada satu kelompok mempunyai
RMSD berbeda RMSD dari kelompok lainnya.
Selanjutnya untuk mengetahui kelompokkelompok mana yang memiliki peringkat RMSD
berbeda, dilakukan Uji Komparasi Ganda
(Multiple Comparison). Menurut Snedecor dan
Cochran, Uji Komparasi Ganda digunakan untuk
menampilkan sejumlah signifikansi tes-tes atau
mengkonstruksi sejumlah interval taraf
konfidensi ketika menganalisis kelompokkelompok data (Snedecor dan Cochran, 1982: p.
233).
Menurut Naga, penentuan kelompok yang
berbeda pada uji Kruskal-Wallis, ialah yang
memenuhi syarat:
Ri − R j ≥ z ( α )
'
4. TP & EEF
31
0.2693
0.1591
5. LL & EEF
31
0.3328
0.1591
6. KN & EEF
31
0.3025
0.1591
Kesimpulan keenam kelompok tidak normal.
12
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
dan
'
n ( n + 1)
1
12
ni
+
1
nj
;
α' =
α
k ( k − 1)
ialah peringkat rata-rata untuk
kelompok i dan j; k ialah banyaknya kelompok
(Naga, 2002: 30).
k = 6, n = 186 dan a = 5%, diperoleh:
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
α ' = 1 .6 6 . 1 0 − 3
z (α ) = z (1.66 .10 ) = 2.93644
−3
'
(dicari dengan program Mini Tab)
ztabel z ( α )
'
n ( n + 1)
1
12
ni
+
1
nj
= 40.16
Rangkuman hasil Uji Komparasi Ganda
1.
 R(TP &EB ) − R( LL &EB ) = 0.74; terima H
 R(TP &EB ) − R( KN &EB ) = 9.42; terima H
 R( LL &EB ) − R( KN &EB ) = 10.16; terima H
b.
o
2.
o
3.
4.
o
 R(TP &EEF ) − R( LL &EEF ) = 32; terima H
 R(TP &EEF ) − R( KN 7EEF ) = 27.77; terima H
 R( LL &EEF ) − R( KN &EEF ) = 4.23; terima H
o
5.
6.
o
8.
 R(TP &EB ) − R(TP &EEF ) = 51.29; tolak H
 R( LL &EB ) − R( LL &EEF ) = 20.03; terima H
9.
 R( KN &EB ) − R( KN &EEF ) =
7.
o
o
o
14.1; terima Ho
Pembahasan Hasil Penelitian
a.
Penarikan kesimpulan pada uji statistikal
Wright menyatakan bahwa tujuan
pengukuran adalah penarikan kesimpulan.
Masalah pertama yang dihadapi pada
penarikan kesimpulan adalah bagaimana
membedakan “inference” (kesimpulan) dan
“missing” (salah tanggap); hal ini terjadi
karena data yang luput pada usaha
pengumpulan data secara aktual (Wright, —
: 2). Penarikan kesimpulan itu memerlukan
solusi statistikal.
Penghalusan menurut Kolen dan Jarjoura
(Kolen dan Jarjoura, 1987: 43), dan
penyetaraan menurut Barnard, adalah proses
statistikal (Barnard, 1996: 1).
Menurut Angoff, disadari sepenuhnya bahwa
solusi statistikal secara mendasar tidak lebih
tepat dari data yang mendasarinya dan tidak
dapat mempertahankan selanjutnya metodemetode
yang
digunakan
untuk
memperolehnya, serta asumsi yang
mendasarinya (Angoff, 1984: 139). Wright
menyarankan, data yang diduga
menimbulkan salah tanggap itu tetap dapat
digunakan dengan pertama, menggunakan
suatu proses stokhastik yang relevan dengan
c.
rumus yang stabil mulai dari ketepatan data
mentah hingga penarikan kesimpulan; dan
kedua mencari model matematik yang dapat
berpengaruh pada proses stokhastik yang
menghasilkan estimasi stabil (langkah kedua
ini diakui oleh Wright tampaknya rumit)
(Wright, —: 2-3).
Ukuran Sampel
Livingston dan Feryok pada penelitian
terhadap penyetaraan ekipersentil estimasi
frekuensi dan penghalusan kernel,
membuktikan bahwa akurasi penyetaraan
terjadi pada sampel berukuran 300
(Livingston dan Feryok, 1987: p. 9-10);
sedangkan Jarjoura dan Kolen menyarankan,
jika digunakan kesalahan penyetaraan
sebagai indikator akurasi penyetaraan
ekipersentil dengan menggunakan desain
nonekivalen butir bersama, maka secara
praktikal harus digunakan sampel berukuran
lebih besar dari 800 (Jarjoura dan Kolen, 1985:
138).
Penghalusan
Kolen menyatakan bahwa penghalusan
secara tipikal lebih berefek untuk ukuran
sampel yang lebih kecil (Kolen, 1988: 34).
Khususnya pada prapenghalusan, Kolen dan
Brennan menyatakan bahwa akurasi
distribusi tersebut krusial, karena salah satu
sifat penting yang berkaitan dengan akurasi
adalah menjaga agar momen dari distribusi
diperhalus paling tidak memiliki momen
sentral yang sama dengan momen sentral dari
distribusi teramati (Kolen dan Brennan, 1995:
71-72).
Lord mengindikasikan, bahwa penghalusan
meskipun berpotensi untuk mengurangi
kesalahan penyetaraan, hal ini dapat
memunculkan bias yang tidak tampak
meskipun dalam sampel besar (Lord, 1982:
174). Hal ini merupakan indikasi bahwa
penghalusan tidak sekedar memerlukan
sampel besar, tetapi ada faktor-faktor lain
yang perlu diperhatikan ketika melakukan
penghalusan, antara lain keserupaan antara
momen sentral dari distribusi skor
diperhalus, dan dari distribusi skor teramati.
Menurut Kolen dan Brennan, bagaimanapun
bahaya dari penggunaan metode
penghalusan adalah hasil estimasi dari
distribusi populasi meskipun lebih halus,
mungkin merupakan estimasi yang lebih
buruk dari distribusi populasi atau hubungan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
13
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
penyetaraan, dibandingkan dengan tanpa
penghalusan,
misalnya
hubungan
penyetaraan menjadi tidak beraturan
walaupun telah diperhalus; kualitas dari
penghalusan secara analitik merupakan
suatu isu empirik. (Kolen dan Brennan, 1995:
66).
d. Validitas silang
Menurut Kolen, efektivitas dari prosedur
penghalusan secara analitik pada
penyetaraan ekipersentil, ditentukan dengan
membandingkan hasil-hasil penyetaraannya,
dengan menggunakan validitas silang untuk
berbagai sampel berukuran 500 hingga 2500
peserta tes (Kolen, 1984: 25).
Jadi, pada hasil penyetaraan dengan
penghalusan, di samping faktor ukuran
sampel dan keserupaan momen sentral dari
data yang diperhalus dan data teramati, maka
faktor lain yang juga harus diperhatikan,
ialah dilakukannya validitas silang, dan atau
tersedianya data dengan berbagai bentuk
distribusi dan ukuran sampel.
e. Pemilihan derajat penghalusan dan
kecocokan model
Pemilihan derajat penghalusan untuk
memilih kecocokkan model, di samping
ukuran sampel dan validitas silang,
merupakan faktor yang sangat menentukan
keefektifan penghalusan, paling tidak untuk
mempertahankan keserupaan antara momen
sentral dari distribusi skor butir bersama serta
distribusi skor total, sebelum dan setelah
penghalusan, sehingga dapat dikatakan
bahwa tes jangkar merupakan miniatur dari
keseluruhan tes.
Satu hal yang perlu disimak ialah, pendapat
Kolen pada penelitiannya yaitu, keakuratan
hasil penyetaraan harus melibatkan distribusi
skor dari tes-tes lain, dengan ukuran sampel
lebih kecil dan lebih besar; serta hal lain yang
perlu dipertimbangkan adalah prosedur
untuk memilih secara otomatis derajat
penghalusan sehingga dapat membantu
keefektifan dari metode tersebut (Kolen, 1991:
272).
f. Keminiaturan Tes Jangkar
Tes jangkar yang digunakan pada penelitian
ini adalah butir-butir soal yang telah diEBTANAS-kan atau di-UAN-kan, yang
dianggap telah divalidasi oleh Pusat
Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas,
14
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
dengan jumlah soal terbatas dan belum tentu
merupakan miniatur dari keseluruhan tes.
g. Penghalusan log-linier
Hanson, Zeng dan Colton, yang menyatakan
bahwa pengggunaan penghalusan log-linier
harus mengevaluasi penggunaan dari
beberapa model log-linier, dan mengambil
model yang paling sederhana yang cocok
dengan datanya (Hanson, Zeng dan Colton,
1994: 12).
Hanson pada penelitiannya terhadap
metode-metode penghalusan, menyimpulkan
bahwa performans dari metode penghalusan
polinominal yang relatif lebih buruk daripada
metode penghalusan kernel, dapat sebagian
disebabkan oleh strategi pemilihan model, di
samping ukuran sampel yang kecil.
h. Penghalusan kernel
Khususnya terhadap pemilihan h pada
penghalusan kernel, Kolen mengingatkan
bahwa prosedur validasi silang perlu
dilakukan untuk mengurangi subyektivitas
pada pemilihan kriteria pemilihan derajat
penghalusan
h,
yaitu
dengan
membandingkan momen dari distribusi
sampel dan distribusi diperhalus (Kolen,
1991: 261)
Pemilihan h yang meminimalkan nilai
Err h menurut Hanson, adalah rumus
pendekatan (aproksimasi) estimasi pada
pemilihan h pada validasi silang dan akan
bekerja baik untuk sampel sekitar 1000
(Hanson, 1990: 7-8).
Cope dan Kolen, pada penelitiannya terhadap
metode-metode untuk mengestimasi
distribusi skor-skor tes, membuktikan bahwa,
jika h pada peng-halusan kernel, bertambah
besar maka distribusi skor yang diestimasi
meskipun kurang melonjak-lonjak namun
lebih menyimpang dari distribusi skor
teramati (Cope dan Kolen, 1990: 7).
Sebaliknya jika h kecil, menurut Ramsay,
dengan prosedur validasi silang maka bias
yang terjadi juga kecil (Ramsay, 1991: 618).
i. Metode penyetaraan ekipersentil berantai
Metode penyetaraan ekipersentil berantai
menurut Livingston, terdiri dari dua
penyetaraan ekipersentil terpisah, di mana
setiap tes disetarakan dengan tes jangkar
dalam sampel yang mengambil tes itu
(Livingston, 1993: 24).
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
j.
Metode penyetaraan ekipersentil estimasi
frekuensi
Menurut Harris dan Kolen, metode
penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi,
membutuhkan pertimbangan distribusi
frekuensi gabungan dari tes X dan tes jangkar
internal V (X,V) untuk peserta tes X dan
distribusi frekuensi gabungan Y,V untuk
peserta tes Y, sehingga diasumsikan
distibusi dari tes X dan V sama untuk kedua
peserta tes, demikian juga distibusi dari tes Y
dan V sama untuk kedua peserta tes (Harris
dan Kolen, 1990: 62). Jadi menurut Dorans,
distribusi gabungan dari skor-skor tes
tersebut, diestimasi untuk suatu populasi
dengan suatu distribusi tertentu dari skorskor tes jangkar (Dorans, 1990: 9).
Oleh karena itu, menurut Harris dan Kolen,
secara teoritikal metode penyetaraan
ekipersentil estimasi frekuensi lebih baik dari
metode penyetaraan ekipersentil berantai,
walaupun metode penyetaraan ekipersentil
estimasi frekuensi secara praktikal lebih sukar
dimplementasikan, jika sampel berukuran
besar atau mikrokomputer yang digunakan
memiliki kapasitas penyimpanan terbatas
(Harris dan Kolen, 1990: 70).
Jadi dari pembahasan di atas, beberapa hal yang
perlu kita catat adalah:
• Penggunaan sampel berukuran 300 pada
penelitian ini, diduga merupakan sampel
yang dianggap memadai, hanya karena
distribusi skor yang mungkin lebih halus,
namun tidak termonitor keserupaan antara
momen sentral dari distribusi skor yang
diperhalus dan yang teramati (sedangkan
perangkat lunak komputer yang mampu
secara langsung memonitornya tidak ada).
·
Bahaya dari prapenghalusan ialah,
hubungan penyetaraannya dapat menjadi
lebih buruk daripada hubungan penyetaraan
tanpa prapenghalusan.
• Faktor-faktor yang berpengaruh pada
hubungan
penyetaraan
dengan
prapenghalusan ialah: ukuran sampel;
pemilihan derajat penghalusan h; keserupaan
antara momen sentral harus dapat dimonitor;
dan validitas silang harus dilakukan dengan
mengunakan berbegai bentuk distribusi dan
ukuran sampel (sedangkan hal ini tidak dapat
dilakukan dan hanya tergantung data primer
saja).
• Disamping faktor-faktor di atas, maka pada
prapenghalusan,
a.
LL, harus digunakan beberapa model LL
dan memilih model yang cocok dengan
karakterisik data penelitian. Jadi,
prapenghalusan tidak dapat hanya
menggunakan model log-lin SPSS X saja.
b. KN, meskipun pemilihan h sudah
dilakukan dengan menggunakan rumus
pendekatan Errh, namun rumus tersebut
efektif jika ukuran sampel ± 1000. Hal ini
dapat diatasi dengan memilih h yang
terkecil pada validitas silang.
• Secara teoritis, metode EEF lebih baik dari
metode EB, karena EEF mempertimbangkan
populasi sintetiknya; sementara EB hanya
merupakan dua pernyataan terpisah, masingmasing tes jangkarnya.
• Bagaimanapun,
penghalusan
dan
penyetaraan sebagai proses statistikal,
seringkali tidak dapat mempertahankan
asumsi yang mendasarinya, sehingga
solusinya dapat menimbulkan “missing” dan
bukan “inference”, jika prasyarat pada model
matematiknya tidak dipenuhi, misalnya
ketepatan implementasi prapenghalusan.
Dari semua paparan di atas, pembahasan yang
terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 4 dan
hipotesis 5.
Hipotesis 1: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP
dan EB, lebih rendah, daripada dengan LL
dan EB.
Hipotesis 2: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP
dan EB, lebih rendah, daripada yang
menggunakan KN dan EB.
Hipotesis 4: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP
dan EEF, lebih rendah, daripada dengan LL
dan EEF. Hipotesis 5: Akurasi relatif
penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran
300, dengan TP dan EEF, lebih rendah,
daripada dengan KN dan EEF.
Hasil penelitian menjukkan hipotesis 1, 2, 4
dan 5 gagal menolak H0. Dari pembahasan di
atas, masuk akal jika prapenghalusan (LL
dan EB) terkesan tidak efektif untuk menaikan
akurasi penyetaraan skor tes.
2. Hipotesis 3: Akurasi penyetaraan skor tes
untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan
EB, lebih tinggi, dengan KN dan EB.
Hasil penelitian menjukkan hipotesis 3, gagal
menolak H0. Seperti diuraikan pada paparan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
15
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
terdahulu, jika strategi pemilihan model LL
tidak tepat karena hanya dilakukan dengan
program log-lin SPSS X (sementara programprogram untuk menganalisis berbagai model
LL tidak ada), maka performans dari
prapenghalusan LL berkemungkinan lebih
buruk daripada performans prapenghalusan
KN. Hal yang sama terjadi juga pada
penggunaan prapenghalusan KN. Meskipun
pemonitoran h dengan rumus pendekatan
sudah dilakukan, namun tidak dapat
memilih h terkecil dengan validitas silang.
Diisadari bahwa hasil penelitian ini yang
berhubungan dengan penghalusan dan
penyetaraan sebagai proses statistikal,
berkemungkinan menimbulkan salah
interpretasi
dan
tidak
dapat
mempertahankan
asumsi
yang
mendasarinya, karena tidak dipenuhinya
prasyarat pada model matematik.
3. Hipotesis 6: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL
dan EEF, lebih rendah daripada, dengan KN
dan EEF.
Hasil penelitian
menjukkan hipotesis 6
gagal menolak H 0 . Sejalan dengan
pembahasan 3 (hipotesis 3.), dengan
menggunakan metode penyetaraan apapun,
termasuk metode EEF seharusnya cenderung
lebih buruk daripada yang menggunakan KN.
Akibatnya tidak dapat mempertahankan
asumsi yang mendasarinya.
4.
Hipotesis 7: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP
dan EB, lebih rendah, daripada dengan TP
dan EEF.
Hasil penelitian menjukkan hipotesis 7
menolak H0. Sesuai dengan paparan di atas,
teoritikal metode EEF lebih baik daripada
metode EB, walaupun metode EEF secara
praktikal lebih sukar diimplementasikan, jika
ukuran sampel yang digunakan besar atau
mikrokomputer yang digunakan memiliki
kapasitas penyimpanan terbatas
5. Hipotesis 8: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL
dan EB, lebih tinggi, daripada dengan LL dan
EEF.
Hasil penelitian menjukkan hipotesis 8, gagal
menolak H 0 . Jika penggunaan LL pada
penelitian ini memadai dalam strategi
pemilihan modelnya serta derajat
penghalusannya, maka akurasi relatif
16
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
penyetaraan skor tes, dengan LL dan EB,
diduga secara statistikal dan signifikan,
berkemungkinan lebih tinggi daripada
dengan LL dan EEF. Namun karena
penggunaan prapenghalusan baik LL
maupun KN tidak memenuhui prasyarat
maka akurasi relatif penyetaraannya
cenderung sama.
6. Hipotesis 9: Akurasi relatif penyetaraan skor
tes untuk sampel berukuran 300, dengan KN
dan EB, lebih rendah, daripada dengan KN
dan EEF.
Hasil penelitian menjukkan hipotesis 9, gagal
menolak H0. Jika derajat penghalusan KN
dapat dimonitor sehingga dapat dipilih h
yang kecil, dengan melakukan validitas silang
(yang dalam penelitian ini tidak dapat
dilakukan), maka akurasi penyetararaan
dengan KN dan EB cenderung lebih rendah
daripada akurasi relatif penyetaraan dengan
KN dan EEF. Namun, hasil penelitian
menunjukkan bahwa KN tidak memadai
karena nilai derajat penghalusan h umumnya
relatif besar, sehingga momen dari distribusi
yang diestimasi akan lebih menyimpang dari
momen distribusi sampel.
Keterbatasan Penelitian
Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa
penelitian ini memiliki keterbatasan:
1. Tidak tersedianya perangkat lunak untuk
memilih data yang memiliki keserupaan
antara momen sentral dari distribusi skor
diperhalus dan distribusi skor teramati,
mengakibatkan salah satu prasyarat ketika
data itu disetarakan tidak dipenuhi.
Akibatnya kesimpulan secara statistiskal,
menimbulkan salah tanggap seolah-olah
prapenghalusan tidak efektif, karena tidak
menaikkan akurasi relatif penyetaraan skor
tes, baik untuk metode penyetaraan
ekipersentil berantai maupun metode
penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi.
2. Pada penggunaan prapeng-halusan LL,
dibutuhkan beberapa perangkat lunak model
LL, agar dapat dipilih model LL yang sesuai
dengan distribusi datanya, tidak dimiliki
pada penelitian ini.
3. Pada penggunaan prapeng-halusan KN,
pemonitoran derajat penghalusan tidak
cukup hanya dilakukan dengan memonitor
nilai Err h dan harus dilakukan validitas
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
silang, agar dapat dipilih derajat penghalusan
yang relatif kecil sehingga menghasilkan
momen-momen distribusi data diperhalus
dan momen-momen distribusi data teramati,
tidak terlampau menyimpang. Sementara ini,
validitas silang tidak dapat dilakukan karena
keterbatasan yang ada.
4. Pemilihan butir tes jangkar untuk pokok/
subpokok bahasan tertentu sangat terbatas,
sehingga sulit menyusun tes jangkar yang
merupakan miniatur dari tes-tes yang
disetarakan. yang memiliki keserupaan baik
konten maupun kedalaman meterinya
dengan tes-tes yang disetarakan. Penelitian
seharusnya dilakukan dalam semacam
laboratorium penelitian dan pengembangan
pengukuran, yang mampu menyediakan data
simulasi (generated data) dengan berbagai
ukuran dan bentuk distribusi. Dengan data
simulasi itu, penelitian tidak hanya
tergantung pada data primer, dan dapat
dilakukan validitas silang.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran
Kesimpulan
Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah
dikemukakan di atas, dapat dikemukakan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel
sebesar 300, yang menggunakan TP dan EB, lebih
rendah, daripada yang menggunakan TP dan
EEF.
Implikasi
Dengan keterbatasan yang ada, sekolah atau
pihak–pihak lain, dapat mengupayakan
penyetaraan skor tes dengan:
1. Menyusun dua bentuk tes, berdasarkan kisikisi soal yang spesifikasinya sama.
2. Tes jangkar dapat diambil dari soal-soal yang
telah divalidasi, yaitu soal-soal yang telah diEBTANAS-kan atau di-UAN-kan, sesuai
dengan pokok/subpokok bahasan yang
ditetapkan.
3. Pengumpulan data skor tes yang disetarakan,
dilakukan dengan desain tes jangkar
nonekivalen.
4. Penyetaraan
dilakukan
tanpa
prapenghalusan dengan metode penyetaraan
ekipersentil estimasi frekuensi.
Sejalan dengan hal-hal yang dikemukakan
tersebut di atas maka:
1. Yayasan pendidikan yang memiliki beberapa
sekolah filial, yang terdiri dari 10 kelas
sejenjang (dengan asumsi setiap kelas terdiri
dari 30 – 35 orang siswa);
2. sekolah-sekolah kecil yang terdiri dari hanya
beberapa kelas sejenjang, dapat bekerja sama
dengan sekolah atau sekolah-sekolah lain,
sehingga diperoleh sampel sebanyak 300
orang siswa, serta
3. Rayon atau Suku Dinas, atau Dinas
Pendidikan yang melaksanakan Ulangan
Umum Bersama secara berkala, dengan
sampel hingga ribuan, dapat melakukan
penyetaraan skor tes dengan metode
penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi,
sehingga setelah beberapa tahun dapat
memiliki kompilasi tes-tes yang setara, baik
spesifikasi maupun standar kompetensinya
yang dituntut, untuk beberapa pokok/
subpokok bahasan, bahkan untuk ulangan
umum, maupun ujian sekolah.
Kompilasi tes yang setara itu, dapat
digunakan untuk memonitor ketuntasan
belajar, memberikan ulangan susulan yang
setara, atau mengatasi kebocoran tes, namun
juga dapat me-metakan kecenderungan mutu
siswa setiap tahun dengan membandingkan
kinerja siswa yang menggunakan kompilasi
tes tersebut.
Saran
1.
Perlu dikembangkan semacam suatu
laboratorium pengukuran pendidikan, yang
mampu mengembangkan dan menyediakan
data simulasi, dengan berbagai ukuran sampel
dan bentuk distribusi, serta dilengkapi
dengan berbagai perangkat lunak model loglinier dan perangkat lunak untuk memonitor
derajat penghalusan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut,
dengan ukuran sampel dan bentuk distribusi
berbeda-beda dan pengaruh keserupaan tes
jangkar dengan tes secara keseluruhan
terhadap akurasi penyetaraan.
3. Perangkat lunak untuk penyetaraan skor tes
dan penghalusan, dapat di-peroleh dengan
mudah dan murah, untuk penelitian lebih
lanjut maupun untuk kebutuhan pihak yang
membutuhkannya.
4. Upaya untuk melakukan penyetaraan skor
tes, seyogianya sudah dimulai dilakukan oleh
sekolah-sekolah, baik mandiri maupun
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
17
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
secara bersama-sama. Dengan upaya itu,
setelah beberapa tahun guru maupun
sekolah, memiliki kompilasi tes yang setara.
5. Perlu dilakukan penelitian terhadap
penyetaraan dengan bentuk soal esai
terstruktur.
Daftar Pustaka
Angoff, W. H. (1984). Scales, norms and equivalent
scores. Princeton, N. J. Educational Testing
Service
Barnard, John J. (1996). In search for equity in educational measurement: traditional versus modern
equating methods. Makalah disampaikan
pada ASEESA National Conference di HSRC
Conference Centre. Pretoria, Afrika Selatan
Braun, H. I. dan Holland P. W. Observed score test
equating: A mathematical analysis of some ETS
equating procedure. Test equating, ed. P.W.
Holland dan D.B. Rubin, 9-49, New York:
Academic, 1982
Cook, L. L. dan Peterson, N. S. Problem related to the
use of conventional and item response theory
equating methods in less than optimal circumstances. Applied psychoogical measurement,
Vol. 11, No. 3, 225– 244, 1987
Cope, R. T. dan Kolen, M. J. A study of methods for
estimating distributions of test scores, laporan
riset ACT. 90-5. Iowa City, I.A: American
College Testing Program, 1990
Crocker, Linda dan Algina, James. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New
York: Hold, Rinehart and Wiston
Dorans, N. J. Equating methods and sampling designs:
Applied measurement in Education, Vol. 3. No.
1, 3 –17, 1990
Grounlund, Norman E. (1985). Measurement and
evaluation in teaching 5th edition. New York:
Macmillan Publishing Company
Hambleton, R. K. dan Swaminathan, H. (1985). Item
response theory: Principles and applications.
Boston: Kluwer
Hanson, Bradley A. An investigation of methods for
improving estimation of Test score distributions.
Seri laporan penelitian ACT, No. 90-4, 1990
Hansons, Bradley. A., Zeng, Lingjia dan Colton,
Dean. (1994). A comparison of presmoothing
and postsmoothing methods in equipercentile
equating. Laporan riset ACT. 94-4, Iowa City,
I.A: American College Testing Program
Harris Deborah J. dan Kolen, Michael J. A comparison of two equipercentile equating methods for
18
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
common item equating. Educational and psychological measurement, Vol. 50, 1990
Holmes, Susan E. Unidimensionality and vertical
equating with the rasch model. Journal of educational measurement, Vol. 19, No. 2 139-147,
Summer 1982
James, Glen (ed.). (1976). Mathematics dictionary 4th
edition. New York: Van Nostrand Reinhold
Company
Jarjoura David dan Kolen, Michael J. Standard errors of equipercentile equating for the common
item nonequivalent populations design. Journal
of Educational Statistics, Vol. 10, No. 2, 1985
Kennedy, J. J. dan Ping Tam, Hak. (1997). Log-linear models, educational research, methodology
and measurement. Ed. John P. Keeves, 571 –
580. Oxford: Elsevier Science Ltd.
Kolen, M. J. Effectiveness of analytic smoothing in
equipercentile equating. Journal of Educational
Statistic, Vol. 9. No. 1, 25 – 44, 1984
Kolen, M. J.Tradisional equating methodology, educational measurement: Issues and practice, Vol. 7
No. 4, 29 – 36, 1988
Kolen, M. J. Smoothing methods for estimating test score
distributions. Journal of educational measurement, Vol. 28. No. 3, 257 – 282, 1991
Kolen, M. J. dan Brennan, R. L. (1995).Test equating
methods and practice. New York: SpringerVerlag New York Inc.
Kolen, M. J. dan Jarjoura, David. Analytic smoothing forequipercentile equating under the common item nonequivalent population design.
Psychometrika, Vol. 52, No. 1, 43-59, 1987
Livingston, Samuel A. Small-sample equating with
log-linear smoothing. Journal of Educational
Measurement, Vol. 30, No. 1, 23 – 39, 1993
Livingston, S. A. dan Feryok, N. J. Univariate versus
bivariate smoothing in frequency estimation
equating. Laporan riset No. 87 – 36.
Princeton, N. J: Education Testing Service,
1987
Livingstone, S. A., Doran, N. J. dan Wright, N. K.
What combination of sampling and equating
methods work best?. Applied measurement in
education, Vol. 3, 73 – 95, 1990
Lord, F.M. The standard error of equipercentile equating. Journal of educational statistics, Vol. 7, 165
– 174, 1982
Murti, Bhisma. (1996). Penerapan metode statistik
nonparametrik dalam ilmu- ilmu kesehatan.
Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama
Naga, Dali S. (1992). Pengantar teori sekor. Jakarta:
Gunadarma
Naga, Dali S. Statistik terapan revisi tahun 2002
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
(diktat kuliah di Universitas Tarumanagara
dan Universitas Indonesia)
Petersen, Nancy S., Kolen, M. J. dan Hoover, H. D.
Scaling, norming and equating. Educational
measurement 3rd Edition, ed. Robert L. Linn,
221–262. New York: Macmillian Publishing
Company, 1989
Ramsay, J.O. Kernel smoothing approches to
nonparamatric item characteristic curve estimation. Psychometrika, Vol.56, no. 4. 1991
Scheuneman, J. D. dan Bleistein, C. A. (1999). Item
bias. Advanced in measurement in educational
research and assessment, ed. Geoffrey N. Masters dan John P. Keeves, 220 – 234.
Amsterdam: Pergamon
Setiadi, Hari. (1997). Small sample IRT item parameter estimates. Disertasi Universitas Massachusetts Amherst, tidak dipublikasikan
Skaggs, G. dan Lissitz, R. W. IRT test equating relevant issues and a review of recent research. Review of educational research, Vol. 56, No. 4,
495 – 529. 1986
Snedecor, George W. dan Cochran, William C.
(1982). Statiscal methods 7th edition. Ames,
Iowa: The Iowa State University Press
Steel, Robert G. D. dan Torrie, James H. (1991). Principles and procedure of statistic (alih bahasa
Bambang Sumantri). Jakarta: PT. Gramedia
Suryadibrata, Sumadi. Penggunaan bentuk soal
Pilihan ganda dalam ujian. Bulletin Pengujian
dan Penilaian, Januari, 1995
Swediati, Nonny. Metode untuk pensetaraan (Equating) skor tes secara klasik. Jakarta: Pusat
Pengujian Balitbang Dikbud, Maret 1997
Wright, Benyamin D. A history of social science measurement, MESA Psychometric Laboratory
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
19
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
Penelitian
Meningkatkan Kemampuan Siswa
dalam Membaca Cepat
Keke T. Aritonang*)
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kata per menit kemampuan siswa membaca, pemahaman isi
bacaan, faktor-faktor penghambat membaca cepat, cara mengatasinya, serta usaha meningkatkan
kemampuan siswa membaca cepat. Pengukuran membaca cepat ini dilakukan terhadap 60 siswa kelas VII
SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa kecepatan membaca kata
per menit siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR yaitu, 46 responden di atas 201 kata per menit, 14
responden lainnya berkisar antara 151 – 200 kata per menit. Sedangkan kemampuan memahami isi bacaan
hanya 15 responden yang pemahaman bacaannya di atas 70%, 45 responden lainnya kurang dari 60%.
Hasil pengukuran ini menyimpulkan bahwa hanya 25% siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR yang
memiliki kemampuan membaca cepat. Disarankan agar guru mengetahui faktor-faktor penghambat membaca
cepat, cara mengatasinya, dan melatih siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat.
Kata kunci : Membaca cepat, faktor penghambat membaca cepat, meningkatkan kemampuan siswa membaca
cepat
The purpose of this paper is to find out the reading speed and reading comprehension of Senior High
School students. Besides, this paper also discusses some factors which might hamper the reading speed,
and the solution to accelerate the student’s reading speed. The research was done in SMPK 1 BPK PENABUR
Jakarta as a case study. The research finds out that 46 of 60 students, have above 201 words per minute.
Meanwhile, 14 students have between 151 – 200 words per minute. For reading comprehension out of 60
students only 15 students achive above 70% and 45 students achive less than 60%. The figures show
that the student’s reading speed is low and needs improvement. This research suggests the teacher to
identify the factors hampering the student’s reading speed and to overcome the problems.
Pengertian Membaca Cepat
embaca cepat adalah membaca dengan
kecepatan tinggi, hampir keseluruhan
materi bacaan dibaca (Atar, 1976:5).
Biasanya membaca dengan cara ini tidak
mungkin dengan cara membaca kata demi kata,
tetapi membaca kalimat dan paragraf.
Definisi yang dibuat oleh ahli di atas belum dapat
menggambarkan membaca cepat dalam arti
sesungguhnya, karena rumusan itu tidak
mencerminkan tentang penguasaan isi bacaan
dan penggunaan waktu yang jelas dalam kegiatan
membaca cepat.
Menurut Bond dan Tinker definisi kecepatan
membaca harus diartikan lagi sebagai kecepatan
M
*) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta
20
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis.
Dengan demikian, mengukur kecepatan membaca
berarti mengukur kecepatan pemahaman
terhadap bahan yang dibaca (Vera Ginting,
2005:25).
Membaca cepat adalah membaca dengan
kecepatan tinggi, hampir keseluruhan materi
dibaca dalam waktu tertentu yang disertai dengan
pemahaman isi 70%. Materi dalam hal ini adalah
jumlah kata yang terkandung dalam suatu
bacaan, sedangkan waktu tertentu artinya untuk
memahami materi bacaan memerlukan waktu.
Waktu yang dipergunakan dalam membaca cepat
adalah satuan waktu, yaitu menit. Dan
pemahaman isi bacaan 70% artinya, setelah
selesai membaca sekurang-kurangnya pembaca
menguasai isi bacaan sebanyak 70%.
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
Henry Guntur Tarigan mengatakan
kemampuan membaca cepat siswa SD adalah
sebagai berikut:
Jumlah kata yang terbaca dalam per menit, yaitu:
Kelas I
60 – 80 kata per menit
Kelas II
90 – 10 kata per menit
Kelas III
120 – 140 kata per menit
Kelas IV
150 – 160 kata per menit
Kelas V
170 – 180 kata per menit
Kelas VI
190 – 250 kata per menit (Tarigan,
1985:29)
Sedangkan untuk pemahaman isi bacaan
sekurang-kurangnya 70%.
Menurut Asep Sadikin, dkk (2004:176)
kemampuan membaca cepat siswa SMP
dikategorikan sebagai berikut:
Jumlah kata yang terbaca dalam per menit, yaitu :
201 - ... kata per menit = baik sekali
151 – 200 kata per menit = baik
101 – 150 kata per menit = sedang
50 – 100 kata per menit = kurang
Sedangkan untuk pemahaman isi bacaan, yaitu :
91% - 100%
jawaban benar = baik sekali
81% - 90%
jawaban benar = baik
71% - 80%
jawaban benar = sedang
61% - 70%
jawaban benar = kurang
…… - < 60%
jawaban benar = kurang sekali
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
kecepatan membaca siswa SMP adalah 200 kata
per menit dan pemahaman isi bacaan sekurangkurangnya 75%.
Hasil Pengukuran dan Pembahasan
Pengukuran membaca cepat ini dilakukan pada
siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR
Jakarta. Responden pengukuran adalah 60 orang
siswa SMP kelas VII. Data pengukuran
dikumpulkan dengan cara memberikan bacaan
berupa artikel dengan jumlah kata 242 kata.
Bacaan artikel dilakukan untuk mengukur jumlah
kata yang terbaca dalam per menit. Sedangkan
untuk pemahaman isi bacaan menggunakan lima
pertanyaan dari isi bacaan artikel tersebut dalam
bentuk pilihan ganda.
Adapun rumus yang dipergunakan untuk
mengetahui jumlah kata yang terbaca dalam per
menit, adalah :
Jumlah kata yang terbaca
Jumlah detik untuk membaca X 60 = ... KPM
Sedangkan untuk mengetahui persentasi
pemahaman isi bacaan menggunakan rumus,
yaitu :
Skor yang diperoleh
X 100% = ...%
Skor maksimal
Adapun hasil pengukuran membaca cepat
siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR
untuk jumlah kata yang terbaca dalam per menit
sebagai berikut :
Tabel 1 : Hasil Pengukuran Jumlah
Kata Per Menit (KPM)
KPM
N
Kategori
201 - ……
46
Baik sekali
151 – 200
14
Baik
101 – 150
0
Sedang
50 – 100
0
Kurang
Keterangan :
KPM = kata per menit
N
= Jumlah Responden
Melalui pengukuran jumlah kata yang terbaca
dalam per menit tersebut di atas, diperoleh
kesimpulan bahwa kemampuan membaca cepat
siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR
adalah 200 kata per menit dapat dibuktikan
berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 1 yaitu
46 responden memperoleh KPM di atas 201 dan
14 responden memperoleh KPM berkisar antara
151 – 200.
Sedangkan kemampuan pemahaman isi
bacaan, sebagai berikut:
Tabel 2 : Hasil Pengukuran Pemahaman Isi Bacaan
Persentasi
N
Kategori
91% - 100%
2
Baik sekali
81% - 90%
0
Baik
71% - 80%
13
Sedang
61% - 70%
0
Kurang
…… < 60%
45
Kurang sekali
Keterangan :
Persentasi = hasil yang diperoleh
N
= jumlah responden
Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa
pemahaman isi bacaan siswa kelas VII SMP
Kristen 1 BPK PENABUR 45 responden
dinyatakan belum memiliki kemampuan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
21
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
membaca cepat sekurang-kurangnya 75% atau
hanya 25% responden yang memiliki kemampuan
membaca cepat. Dengan demikian dari hasil
pengukuran di atas bahwa kemampuan siswa
kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR dalam
membaca cepat jauh dari memuaskan.
Faktor-faktor Penghambat dalam
Membaca Cepat dan Cara
Mengatasinya
Ada beberapa hal yang dapat menghambat
kecepatan membaca seseorang menurut beberapa
ahli, yaitu :
1. Membaca dengan bersuara (memvokalisasi)
Memvokalisasi adalah kebiasaan buruk yang
dapat menghambat kecepatan membaca.
Kecepatan membaca mengeluarkan suara
(nyaring) sama dengan kecepatan berbicara.
Padahal kecepatan membaca yang normal
(membaca tidak bersuara) hampir dua kali
lipat dari kecepatan berbicara.
Cara mengatasi membaca bersuara ini dengan
jalan meletakkan ujung lidah pada pangkal
gigi depan bibir ditutup dengan rapat.
Adapun latihan untuk mengatasi hambatan
membaca bersuara di kelas yang dapat kita
lakukan, adalah sebagai berikut:
a. guru menyediakan bahan bacaan berupa
teks dengan jumlah kata antara 200 – 300
kata
b. siswa membaca bacaan tersebut dengan
bersuara
c. setelah selesai membaca masing-masing
siswa mencatat waktu mulai membaca
dan waktu selesai membaca. Kemudian
catat berapa jumlah kata yang terbaca
dalam per menit dengan menggunakan
rumus :
Jumlah kata yang terbaca
Jumlah detik untuk membaca X 60 = ... KPM
d. siswa membaca kembali bacaan tersebut
dalam hati dengan jalan meletakkan
ujung lidah pada pangkal gigi depan
bibir ditutup dengan rapat.
e. Setelah selesai membaca masing-masing
siswa mencatat kembali waktu mulai
membaca dan waktu selesai membaca
dengan menggunakan rumus pada
bagian c di atas.
22
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
2.
Dari latihan ini siswa dapat
membandingkan hasil kecepatan
membacanya apakah lebih cepat
membaca dengan bersuara atau membaca
dalam hati. Apabila siswa lebih cepat
membaca dengan bersuara dan dapat
memahami isi bacaan tersebut, siswa
didalam belajarnya terutama membaca
dapat memilih yang terbaik bagi siswa
tersebut.
Membaca dengan aktivitas mental
(subvokalisasi)
Membaca subvokalisasi yaitu membaca
dengan tidak menggerakkan bibir dan lidah,
tetapi dengan alat pikirnya membaca oral
untuk dirinya sendiri. Maksudnya membaca
kata demi kata sebagaimana membaca oral
tetapi tidak terdengar suaranya. Seorang
pembaca yang lancar pada dasarnya tidak
merasa perlu untuk ‘mendengarkan’ kata
yang dibacanya untuk dapat memahaminya
(Redway, 1994:21)
Cara mengatasi kebiasaan vokalisasi adalah
dengan jalan menyadarkan diri kita bahwa
membaca cepat itu sangat diperlukan, serta
mengadakan latihan cukup. Pembaca juga
harus dapat membedakan mana yang
dikatakan membaca dalam hati dengan
membaca oral serta tidak mencampur aduk
kedua jenis membaca tersebut.
Adapun latihan yang dapat dilakukan di
kelas untuk mengatasi membaca dengan
aktivitas mental dengan langkah sebagai
berikut:
Langkah pertama:
a. Guru menyiapkan bahan bacaan berupa
teks dengan jumlah kata antara 200 – 300
kata
b. Guru membuat 5 buah pertanyaan dari
isi bacaan tersebut. Bentuk pertanyaan
dapat pilihan ganda atau benar salah
Langkah kedua :
a. Siswa diberikan bacaan tersebut,
kemudian membaca dalam hati dengan
kecepatan tinggi
b. Waktu yang diberikan dalam membaca
selama satu menit
c. Setelah membaca selama satu menit
bahan bacaan tersebut dikumpulkan
kembali oleh guru
d. Siswa menjawab pertanyaan isi bacaan
dengan melingkari jawaban yang benar
apabila soal tersebut bentuk pilihan
ganda
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
e.
Hasil jawaban siswa dihitung dengan
menggunakan rumus :
Skor yang diperoleh
X 100%
Skor maksimal
3.
4.
Dari latihan ini apabila siswa dalam
pemahaman isi bacaan belum mencapai
sekurang-kurangnya 75% perlu diadakan
beberapa kali latihan dan diharapkan
siswa di dalam belajarnya dalam
membaca cepat tidak lagi dengan
subvokalisasi
sehingga
siswa
memperoleh nilai terbaik.
Membaca dengan menggerakkan kepala
Membaca dengan menggerakkan kepala pada
hakikatnya pembaca sedang berada di dalam
posisi menunjukkan huruf. Yang menjadi alat
sebagai penunjuk adalah hidung yang
senantiasa mengikuti barisan huruf.
Cara mengatasi kebiasaan ini dilakukan
dengan jalan meletakkan dagu di atas
tumpangan kedua belah tangan, kedua siku
berada di atas meja.
Latihan yang dapat digunakan untuk
mengatasi kebiasaan membaca dengan
menggerakkan kepala dalam proses belajar
mengajar di kelas, sebagai berikut:
a. Guru menyediakan bacaan dengan tema
bebas dan dalam bacaan tersebut
terdapat kosakata berbagai bidang ilmu,
misalnya kesehatan, ekonomi, sosial,
pariwisata, dan lain-lain.
b. Bacaan tersebut dengan jumlah kata
antara 200 – 300 kata
c. Siswa membaca bacaan tersebut dengan
posisi meletakkan dagu di atas
tumpangan kedua belah tangan, kedua
siku berada di atas meja
d. Waktu yang diberikan selama satu menit
e. Setelah selesai membaca, bahan bacaan
tersebut dikumpulkan kembali oleh guru
f. Siswa menulis 10 atau 15 kosakata
bidang ilmu tersebut yang terdapat dalam
bacaan.
Membaca dengan kebiasaan menunjuk kata
Kebiasaan membaca dengan menunjuk kata
adalah kebiasaan buruk yang dilakukan
seolah-olah yang bersangkutan tidak mau
kehilangan sebuah huruf pun dalam
membaca. Dengan alat penunjuk ini, sering
menuntut pembaca menitikberatkan
perhatian ke bagian-bagian yang tidak
penting.
5.
Cara mengatasi kebiasaan ini dapat dilakukan
melalui kegiatan membaca secara berangsurangsur dengan tidak menggunakan telunjuk,
tetapi dapat digantikan dengan pinsil untuk
beberapa kali latihan saja.
Latihan yang dapat dilakukan untuk
menghindari kebiasaan membaca menunjuk
kata dalam proses belajar mengajar di kelas,
sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan bacaan berupa artikel
dengan jumlah 10 sampai dengan 15
paragraf
b. Siswa menyiapkan pensil
c. Siswa diberikan bacaan yang sudah
disediakan oleh guru dan mencari
gagasan utama dari tiap paragraph
dengan cara menggaris bawahi gagasan
tersebut dengan menggunakan pensil
d. Waktu yang disediakan 3 menit
e. Guru mengumpulkan hasil kerja siswa
dan menilai hasil pekerjaan siswa
Membaca dengan melihat kembali ke
belakang (Regresi)
Regresi adalah kebiasaan membaca melihat
kembali ke belakang untuk membaca ulang
suatu kata atau beberapa kata sebelumnya.
Kebiasaan inilah yang menjadi hambatan
serius dalam membaca. Apakah memang
benar dengan regresi akan bertambah jelas
dalam memahami makna bacaan tersebut.
Ternyata dengan regresi dapat mengacaukan
susunan kata yang dengan sendirinya
mengacaukan arti. Regresi dilakukan karena
kurang percaya diri, merasa kurang tepat
untuk menangkap arti, dan merasa
kehilangan sesuatu atau salah baca sebuah
kata.
Cara mengatasinya adalah, tanamkan rasa
percaya diri. Jangan berusaha untuk mengerti
setiap kata atau kalimat di paragraf itu.
Jangan terpaku pada detail, terus saja
membaca jangan tergoda untuk kembali ke
belakang. Ingatlah bahwa kemampuan mata
dan otak jauh melebihi pikiran kita. Oleh
karena itu paksakan terus dengan demikian
Anda akan mengganti kebiasaan lama
dengan baru.
Latihan yang dilakukan untuk menghindari
kebiasaan membaca dengan melihat kembali
ke belakang, sebagai berikut:
a. Guru menyiapkan teks bacaan dengan
jumlah 10 sampai dengan 15 paragraf
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
23
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
b.
Siswa membaca dalam hati dengan tidak
mengulang kembali ke belakang bacaan
tersebut
c. Waktu yang diberikan selama 3 menit
d. Setelah membaca teks bacaan tersebut
dikumpulkan kembali
e. Siswa menuliskan informasi penting
yang terdapat dalam bacaan tersebut dan
menuliskan kesimpulan dari bacaan.
Di samping yang telah dikemukakan di atas,
menurut Redway (1994:4) ada beberapa contoh
yang perlu dihindari dalam membaca yang dapat
mempengaruhi atau menghambat kecepatan
membaca, yaitu:
1. Membaca Lambat
Membaca yang baik, menyenangkan , serta
cermat harus dilakukan secara lambat.
Pernyataan ini tidak ada bukti yang
mendukung. Membaca lambat mengakibatkan
kurang tertariknya para pembaca karena
sangat sedikit sekali hasil yang dapat mereka
peroleh. Para pembaca yang lambat juga
umumnya mempunyai pemahaman yang
terkotak-kotak. Mereka pada umumnya
kehilangan gambaran keseluruhan ide dan
arti dari bahan bacaan tersebut.
2. Membaca Ulang
Kesalahan yang paling umum terjadi pada
pembaca mengulang kembali apa yang baru
saja dibaca untuk mendapatkan pemahaman.
Hal ini selain tidak efisien juga akan
memungkinkan pikiran melayang-layang
tanpa arah yang akan menyingkirkan
pembaca dari kebiasaan mengantisipasi
sesuatu yang akan datang, dan mengalihkan
dari kebiasaan untuk berpikir secara aktif.
3. Membaca itu Menjemukan
Membaca itu mengasyikkan dan berharga
apabila pembaca memang termotivasi untuk
mengikuti iramanya dan secara aktif selalu
berusaha mencari informasi. Membaca cepat,
memahami dan menyimpan segala apa yang
telah dibaca itu bahkan akan terasa lebih
menarik lagi.
4. Membaca itu Memerlukan Waktu yang
Panjang
Ini tidaklah benar. Membaca cepat dan efisien
itu membutuhkan konsentrasi. Apabila
pembaca memutuskan untuk membaca maka
sebelumnya berkonsentrasi dan mengetahui
dengan pasti apa sasaran yang ingin dicapai.
Dengan cara ini membaca dapat dilakukan
antara lima hingga lima belas menit saja.
5. Membaca itu Cepat Membosankan
24
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Membaca cepat melibatkan banyak ragam
cara yang menjadikan membaca dinamis dan
menantang sehingga tidak membosankan.
Atur kecepatan sesuai dengan materi dan
tujuan membaca.
Usaha Meningkatkan Kemampuan
Membaca Cepat
Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama oleh
otak dan mata. Otak adalah unsur utama membaca
sedangkan mata adalah alat mengantar gambar
ke otak lalu otak menginterpretasi terhadap apa
yang dituju oleh mata. Interpretasi didapat pada
saat itu, seketika, tertunda, terjadi secara akurat
atau salah, mudah atau penuh kesulitan.
Interpretasi juga tidak tergantung pada ketajaman
penglihatan, tetapi pada kejernihan dan kekayaan
pengertian dan persepsi kita dalam memahami
bacaan.
Dalam kegiatan membaca, persepsi dan
interpretasi otak terhadap tulisan yang dilihat oleh
mata dapat dilihat pada lamanya mata berfiksasi.
Menurut Soedarso (1988 : 28) gerakan mata dalam
membaca tidak menggambar liar tetapi terarah ke
suatu sasaran kata, sebentar lalu meloncat
kesasaran berikutnya satu atau dua kata
berikutnya. Melompat, berhenti. Melompat,
berhenti, dan seterusnya. Perhentian itulah
disebut fiksasi.
Pembaca tidak efisien, dalam satu fiksasi
hanya dapat satu atau dua kata yang terserap
sedangkan pembaca efisien tiga atau empat kata
yang terserap. Kesulitan fiksasi bukan karena
kesulitan fisik, melainkan karena kesulitan
mental dan bukan karena otot mata, melainkan
karena ketidakmampuan dari pikiran yang
menyerap dengan cepat tanpa salah informasi.
Untuk mendapat kecepatan dan efisiensi
membaca dapat diusahakan sebagai berikut :
1. Melebarkan Jangkauan Mata
Apabila membaca baris yang terdiri atas 12
kata, pembaca berhenti 3 – 4 kali, jangkauan
mata tidak persis/diagonal, kadang-kadang
pada satu kata atau huruf, dan menjangkau
pada pias kiri dan pias kanan, serta kadangkadang antara dua kata.
Menurut Soedarso (1988 : 30) jangkauan mata
lebih banyak ke pias kanan daripada ke pias
kiri.
Ada beberapa latihan untuk melebarkan
jangkauan mata yaitu:
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
Latihan 1
Fokuskan pandangan ke angka dibarisan
tengah dan cobalah baca tiga angka sekaligus,
termasuk kiri dan kanan. Misalnya angka 1
0 5 baca dalam hati, “Seratus lima”, jangan
dibaca “satu nol lima”
5
7
8
2
6
8
5
8
7
1
9
1
7
2
0
Latihan 2
Kata yang digunakan terdiri dari tiga kata
yang erat kaitannya dan membentuk suatu
frase. Perhatikanlah kata yang terletak di
tengah-tengah dan sekaligus menjangkau
kata yang terdapat di kiri dan kanan. Bacalah
sekaligus sebagai suatu frase, jangan terpisahpisah. Misalnya, TALI
PINGGANG
KULIT dibaca “tali pinggang kulit”
PETINJU
SAPU
RUMAH
KOPI
SIANG
PETINJU
TANGAN
SAKIT
SUSU
HARI
2.
SENIOR
MERAH
UMUM
KENTAL
BOLONG
Latihan 3
Latihan ini berupa bentuk angka yang
berurut. Bacalah bilangan satu sampai
terakhir. Gerakan mata dari kiri ke kanan dan
ke kiri ke kanan sampai bilangan itu selesai.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Dengan beberapa kali latihan melebarkan
jangkauan mata dalam proses pembelajaran
di kelas siswa terlatih untuk dapat membaca
memindai (scanning). Pada kegiatan membaca
scanning ini siswa, antara lain dapat: 1.
Mencari kata-kata sukar, kosakata berbagai
bidang pengetahuan yang terdapat dalam
teks bacaan, kemudian mencari artinya di
dalam kamus, 2. Menemukan sesuatu untuk
memperoleh kesan umum dari suatu bacaan,
misalnya membaca buku atau surat kabar.
Jika menelusuri daftar isi atau bab sebuah
buku, perhatian ditujukan pada judul-judul
dan bagian-bagian bab secara garis besar, 3.
melihat kembali bagian-bagian yang telah
dibaca dengan seksama dan memasuki
3.
perhatian pada bagian bacaan atau butirbutir yang diperlukan saja.
Membaca Satu Fiksasi untuk Satu Unit
Pengertian
Bacalah sebuah buku saku dengan cepat.
Cobalah satu fiksasi dengan sekali pandang,
lalu segera ke fiksasi berikutnya. Caranya
yaitu:
a. Mata melompat ke depan dalam tiga
lompatan yang berirama dalam membaca
satu baris. Lihatlah di titik tengah dari
setiap kelompok kata. Cobalah rasakan
lompatan mata itu. Lompatan itu ada
beberapa yang pendek dan ada beberapa
yang panjang.
b. Dalam membaca untuk mendapatkan
isinya, artinya pembaca tidak menghapal
kata-kata atau simbolnya
c. Untuk itu paksakan membaca untuk
mendapatkan arti setiap fiksasi
d. Gerakan mata seperti langkah kaki untuk
berjalan sangat penting untuk membaca.
e. Walaupun kita mengatur cepat atau
lambat gerakan itu secara otomatis.
Latihan perkelompok kata ini berguna untuk
membiasakan membaca sekelompok kata, dan
membaca ungkapan, frase, baris perbaris dan
halaman tanpa regresi.
Adapun manfaat dari membaca satu fiksasi
untuk satu unit pengertian dalam proses
pembelajaran di kelas contohnya dalam
pelajaran bahasa Indonesia khususnya
materi membaca yaitu :
1. Materi bacaan wacana, siswa dapat
mencari gagasan pokok dan gagasan
penjelas setiap paragrah serta dapat
menjawab pertanyaan isi wacana tersebut
2. materi bacaan berita, siswa dapat mencari
fakta, opini, dan 5 W dan 1 H yang
terdapat dalam bacaan berita tersebut
3. materi teks wawancara, siswa dapat
mencari hal-hal penting yang
dikemukakan oleh narasumber dalam
teks wawancara tersebut
4. materi bacaan artikel, siswa dapat
mencari hal-hal penting, intisari, dan
kesimpulan dari isi bacaan artikel
tersebut
Meningkatkan Konsentrasi
Dalam membaca perhatian hendaknya
dipokuskan pada bahan yang dibaca, maka
gagasan atau gambaran tentang isi bacaan
akan tampak dengan jelas dan mudah
dipahami. Untuk itu konsentrasi sangat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
25
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
mutlak diperlukan. Cara meningkatkan daya
konsentrasi ada dua kegiatan penting, yaitu:
a. Menghilangkan atau menjauhi hal-hal
yang menyebabkan fikiran menjadi kusut.
b. Memusatkan perhatian secara sungguhsungguh. Hal ini termasuk memilih
tempat dan waktu yang sesuai dengan
dirinya, serta memilih bahan bacaan yang
menarik
Hal-hal di atas adalah langkah awal dalam
meningkatkan kemampuan membaca
cepat.
Sedangkan langkah-langkah meningkatkan
kecepatan membaca secara signifikan dapat
dilakukan dalam dua puluh menit ke depan
dengan cara sebagai berikut:
a. Pilihlah buku yang diinginkan untuk dibaca
sebagai bahan latihan.
b. Mulailah membaca setiap baris teks, tidak
diawal baris sekali tetapi dua atau tiga kata
dari awal baris
c. Dengan cara sama, berhentilah membaca dua
atau tiga kata dari akhir baris. Dengan
demikian, akan mengurangi jumlah teks yang
perlu pembaca pandangi sehingga
meningkatkan kecepatan membaca tanpa
mengorbankan pemahaman.
d. Tambahkanlah alat bantu fisik dengan
meletakkan tangan secara mendatar di atas
halaman buku dan gerakkanlah maju
mundur sepanjang halaman dengan gerakan
menyapu. Gerakan tangan menuruni
halaman dengan kecepatan tetap.
e. Mulailah mengerakkan tangan menuruni
halaman dengan kecepatan semakin tinggi.
Kecepatannya harus lebih tinggi daripada
yang pembaca rasa mungkin untuk merekam
apa pun.
f. Biarkan mata mengikuti ujung jari menuruni
halaman, tetapi tetap dalam batasan gerakan
“sapuan” tadi. Percepatlah hingga pembaca
hanya menghabiskan 4 atau 5 detik per
halaman.
g. Beberapa kata mulai menonjol di setiap
halaman dan itulah sebagian kata kunci. Ini
bukti menarik bahwa otak sebenarnya
memproses sebagian teks buku tersebut.
Pelatihan di atas dapat mengatasi yang
pertama mencegah godaan membaca ulang,
kedua melepaskan pembaca pada ketergantungan
“mendengar” kata-kata dalam benak kita. Untuk
itu pembaca harus secara total pada membaca
visual yang hasilnya untuk mencapai kecepatan
baca yang sangat tinggi. Dalam proses
26
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
pembelajaran di kelas dapat digunakan antara
lain, sebagai berikut:
1. Bahan bacaan karya sastra seperti novel,
cerpen, atau cerita anak terjemahan dari
bacaan tersebut siswa dapat menuliskan
unsur-unsur intrinsic karya sastra tersebut
yaitu dapat menentukan tema, nama-nama
tokoh berikut perwatakannya, alur cerita,
sudut pandang pengarang, gaya bahasa yang
digunakan, dan pesan/amanat yang ingin
disampaikan pengarang pada pembaca
2. Bahan bacaan buku pelajaran seperti, Agama,
PPKN, Sejarah, Geografi, Fisika, Biologi, siswa
dapat membuat intisari, ikhtisar, atau
rangkuman buku pelajaran tersebut yang
pada akhirnya ketika siswa menghadapi
berbagai tes siswa dapat mengerjakan tes
tersebut dengan benar
3. Bahan bacaan karya tulis atau karya ilmiah,
siswa dapat membuat sistematika karya tulis
atau karya ilmiah tersebut dan memiliki ide
untuk mengadakan penelitian yang pada
akhirnya dapat membuat karya tulis atau
karya ilmiah sederhana
Berikut ini cara membaca super menurut
Hernowo (2003 : 147) bahan bacaan buku ajar
penting setebal 250 halaman, tersusun dari 10 bab
yang masing-masing berisi 25 halaman. Ada
delapan langkah dalam membaca super ini, yatiu:
1. Ciptakan gambaran keseluruhanbuku yang
sedang dibaca. Dengan kata lain, baca
tinjauannya. Apa gagasan intinya.
Waktu : 5 – 10 menit.
2. Lihat sekilas bahannya. Baca secara cepat teks
di bab pertama dengan kecepatan sekitar 6
detik per halaman. Yang harus dicari adalah
gagasan dan fakta kunci. Anda harus dapat
menentukan apakah buku ini akan
menambah pengetahuan kalau tidak Anda
dapat meninggalkannya tanpa membuang
waktu.
Waktu untuk setiap bab : 3 menit, Waktu untuk
seluruh buku : 30 menit
3. Buatlah sketsa tentang hal-hal yang Anda
ketahui
Waktu untuk setiap bab :3 menit. Waktu untuk
seluruh buku : 30 menit
4. Siapkan pertanyaan Misalnya: Apa saja
gagasan utamanya? Bukti apa saja yang
mendukung? Apakah faktanya aktual?
Apakah kesimpulannya sudah diuji? Apa
saja hal yang baru? Apa yang dapat saya
manfaatkan dari sini?
Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat
Waktu untuk setiap bab: 3 menit. Waktu untuk
seluruh buku: 30 menit.
5. Bacalah teks setiap bab, satu per satu. Bacalah
dengan kecepatan sekitar 15 – 20 detik per
halaman. Di tahap ini, anda dapat
menggarisbawahi gagasan-gagasan baru dan
menuliskan tanda cek atau tanda tanya.
Waktu untuk setiap bab:8 menit. Waktu untuk
seluruh buku: 80 menit
6. Tinjauan balik. Baca kembali bab tersebut,
dengan cara berhenti di bagian yang sulit dan
memahami kaitan antara berbagai gagasan
dan argument, yakni untuk memahami pola
argumen tersebut. Bacalah dengan bersuara
bagian-bagian yang sulit dipahami.
Waktu untuk setiap bab: 8 menit. Waktu untuk
seluruh buku: 80 menit.
7. Buatlah catatan. Dalam bentuk peta
belajar, jika Anda suka.
Waktu untuk setiap bab: 10 menit. Waktu
untuk seluruh buku:100 menit.
8. Ulangi. Hari berikutnya, lihatlah kembali
catatan Anda selama 10 menit. Tambahkan 5
– 10 menit lagi untuk seminggu kemudian,
dan 5 – 10 menit lagi sebulan kemudian.
Waktu untuk seluruh buku: 30 menit.
Cara membaca dengan delapan tahap ini
semestinya akan membuat pembaca atau siswa
mampu memahami buku ajar 250 halaman
dengan tingkat tinggi, dengan waktu total yang
dipakai 360 menit, termasuk membuat catatan.
(kira-kira 6 jam). Waktu itu mencakup kegiatan
membaca aktif yang banyak, membuat catatan,
dan mengulang. Ini berarti dua kali lebih cepat
daripada orang tak terlatih yang membaca buku
ajar 250 halaman satu kali. Bila latihan ini sering
dilakukan siswa akan mudah mengikuti
pelajaran di sekolah dan mendapatkan nilai
terbaik.
Penutup
Membaca cepat bukan hanya semata-mata
membaca dengan kecepatan tinggi tanpa
memahami isinya, tetapi sesungguhnya
merupakan suatu teknik untuk memusatkan
perhatian terhadap isi bacaan yang pada
akhirnya mendapatkan apa yang siswa butuhkan.
Membaca cepat merupakan keterampilan
lanjut atau kelanjutan dari membaca permulaan
yang perlu mendapat perhatian khusus bagi para
pendidik untuk meningkatkan hasil belajar anak
didiknya. Berdasarkan hasil pengukuran
membaca cepat yang dilakukan pada siswa kelas
VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR hanya 25%
yang memiliki kemampuan membaca cepat.
Bagaimana akan memperoleh hasil belajar yang
memuaskan jika anak didik kita belum mampu
membaca cepat.
Untuk itu faktor-faktor penghambat dalam
membaca cepat dan usaha meningkatkan
kemampuan membaca cepat perlu dipelajari dan
dilatih secara cepat dan baik di kalangan pelajar
tingkat rendah maupun tingkat tinggi.
Kemampuan membaca cepat sangat
membantu dalam lingkungan dunia pendidikan
khususnya bagi para pelajar pada saat materi
bacaan yang diberikan di sekolah sangat banyak
jumlahnya. Sehingga siswa memperoleh hasil
belajar yang memuaskan.
Daftar Pustaka
Asep Ganda Sadikin, dkk. (2004). kompeten berbahasa
persatuan bahasa Indonesia untuk SMP Kelas
VII. Jakarta: Penerbit Grafindo Media
Pratama
Atar, Semi M. (1976). Beberapa pokok pikiran menata
pengajaran membaca. Penataran Guru-Guru
SMP Regional II Padang
Ginting, Vera, Dr. MA: Penguatan membaca, fasilitas
sekolah dan keterampilan dasar membaca serta
minat baca murid, Jurnal Pendidikan
PENABUR, Jakarta, 2005
Hernowo. (2003). Quantum reading. Bandung:
Penerbit MLC
Kamarudin, Drs. (1993). Diktat kemampuan membaca
cepat.. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jambi
Kathryn, Redway (1988). Membaca cepat. Jakarta:
PT Pustaka Binaman Pressindo
Soedarso. (1985). Sistem membaca cepat dan efektif.
Jakarta: Gramedia
Tarigan, H.G. (1980). Membaca sebagai suatu
keterampilan berbahasa. Bandun: Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
27
Pandangan-Pandangan
Teoritis Kaum Behaviorisme
Opini
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
tentang Pemerolehan Bahasa Pertama
Theresia Kristianty*)
Abstrak
Teori Behaviorisme mengatakan bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa. Teori ini juga
mengatakan bahwa mempelajari bahasa berhubungan dengan pembentukan hubungan antara kegiatan
stimulus-respon dengan proses penguatannya. Proses penguatan ini diperkuat oleh suatu situasi yang
dikondisikan, yang dilakukan secara berulang-ulang. Sementara itu, karena rangsangan dari dalam dan luar
mempengaruhi proses pembelajaran, anak-anak akan merespon dengan mengatakan sesuatu. Ketika
responnya benar, maka anak tersebut akan mendapat penguatan dari orang-orang dewasa di sekitarnya.
Saat proses ini terjadi berulang-ulang, lama kelamaan anak akan menguasai percakapan.
Kata kunci : Behaviorisme, Operant Conditioning, Kegiatan Stimulus-Respons, Reinforcement Process
The behaviouristic says that imitation is very important in language learning. It also says that learning a
language concerns the formation of stimulus-respond relationship combined with the reinforcement process.
The process is strengthened by a conditioning situation which is done through repeatation. Meanwhile,
since internal and external stimulis influence the learning process, the influence makes the children
respond the stimulis by saying something. When the saying is right, the children will get a strengthening
action from the adults surrounding.When this process occours repertively, the children soon master the
saying.
Pendahuluan
Pengertian Bahasa Pertama,
Kedua dan Asing
ebelum mendiskusikan pandangan kaum
Behaviorisme tentang pemerolehan bahasa
pertama, ada baiknya terlebih dahulu
memahami istilah-istilah berikut ini:
bahasa pertama, kedua, asing, dan pemerolehan
bahasa pertama.
Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila
pemelajar, biasanya anak yang sejak semula
tanpa bahasa dapat berbahasa. Jadi, bahasa
pertama ialah bahasa yang pertama kali dikuasai
seseorang. Bahasa kedua ialah bahasa yang
dimiliki seseorang sesudah ia menguasai bahasa
pertamanya, dan bahasa tersebut digunakan
sebagai alat komunikasi berdampingan dengan
bahasa pertama. Bahasa kedua tersebut biasanya
diperoleh dalam lingkungan sosial tempat bahasa
S
*) Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta
28
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
itu digunakan. Sementara itu, istilah bahasa asing
digunakan untuk menyatakan bahasa yang
diperoleh di dalam lingkungan tempat bahasa
tersebut biasanya tidak digunakan (yakni
biasanya melalui pembelajaran) dan kalau sudah
diperoleh, bahasa tersebut tidak digunakan oleh
pemelajar dalam situasi rutin, sehari-hari (Klien,
1986).
Contoh berikut ini memperjelas uraian di atas,
coba perhatikan. Ika, seorang anak yang lahir dan
tumbuh di lingkungan berbahasa Sunda
menguasai untuk pertama kalinya bahasa Sunda.
Maka, bahasa pertamanya ialah bahasa Sunda.
Kemudian, setelah agak besar ia dapat berbahasa
Indonesia, maka bahasa keduanya ialah bahasa
Indonesia. Bila kemudian ia dapat berbahasa
Jawa, maka bahasa tersebut menjadi bahasa
ketiganya, dan seterusnya.
Di Indonesia, pada umumnya, bahasa
Indonesia menjadi bahasa kedua masyarakatnya.
Namun, di kota-kota besar dan di lingkungan
keluarga campuran antarsuku, bahasa pertama
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
berbeda, biasanya bahasa Indonesia adalah
bahasa pertama anak-anak di lingkungan
tersebut. Sedangkan bahasa Inggris di Indonesia
disebut sebagai bahasa asing. Disebut demikian
karena bahasa ini datang dari luar dan tidak
digunakan oleh masyarakat Indonesia secara
umum untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun,
di Singapura dan Filipina, umpamanya, bahasa
Inggris adalah bahasa kedua karena sebagaian
besar masyarakat tersebut memperoleh bahasa
Inggris sebagai bahasa kedua dan
menggunakannya dalam berkomunikasi seharihari, di rumah, di sekolah, di tempat bekerja dan
sebagainya.
Pemerolehan Bahasa Pertama
Setiap anak yang normal pada sekitar umur lima
tahun dapat berkomunikasi dalam bahasa yang
digunakan di lingkungannya, walaupun tanpa
pembelajaran formal. Dalam usia ini pada
umumnya anak-anak telah menguasai sistem
fonologi, sintaksis dan semantik dari bahasa
pertamanya, yang juga disebut dengan bahasa
ibunya. Penguasaan ini diperolehnya secara
bertahap. Mula-mula, selagi bayi dia mengoceh
yang biasanya ocehannya tidak dipahami oleh
orangtuanya atau orang yang berada di
lingkungannya. Sekitar satu tahun, ia dapat
mengucapkan kata-kata pertamanya, misalnya
“Mama”, “Mamam”, dan “Papa”. Dalam usia ini
ujarannya terdiri atas satu kata yang
mengekspresikan gagasan yang kompleks dengan
makna yang bervariasi tergantung pada konteks.
Kata “Mam”, misalnya dapat berarti “Lihat saya
sedang makan”, atau “Saya ingin makan”, atau
mungkin saja “Ibu sedang makan”, tergantung
konteks situasi ketika ujaran itu diucapkan. Tahap
berikutnya pada umur kurang lebih dua tahun ia
dapat mengkombinasikan dua atau tiga kata
dalam bentuk ujaran untuk berinteraksi dengan
orang di sekitarnya ataupun untuk menyuruh dan
tindakan lainnya. Pada umur tiga tahun
kemampuan berbahasanya sangat meningkat
dan pada usia kurang lebih lima tahun ia telah
mampu menguasai struktur yang kompleks,
perbendaharaan katanya berkembang dan
kemampuan komunikasinya meningkat.
Ada tiga pandangan utama tentang
pemerolehan bahasa pertama. Pandangan
pertama yakni teori Behaviorisme yang
menyatakan bahwa anak dilahirkan sebagai
tabula rasa, papan bersih yang tidak tahu dunia
ataupun bahasa dan anak-anak dibentuk oleh
lingkungan. Menurut aliran ini pemerolehan
bahasa ialah pemerolehan kebiasaan (habits).
Pandangan kedua ialah pandangan Nativis yang
berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan
membawa kemampuan berbahasa dengan
dimilikinya Alat Pemerolehan Bahasa (Language
Acquisition Device atau disingkat LAD). Pandangan
ketiga ialah pandangan kognitif yang
beranggapan bahwa anak dilahirkan dengan
kemampuan berpikir dan di dalamnya termasuk
kemampuan berbahasa, dan kemampuan ini
berkembang karena adanya interaksi dengan
orang dan dunia sekitarnya. Dalam tulisan ini,
yang akan dibahas adalah hanya pandangan
Behaviorisme.
Pandangan Behaviorisme terhadap
Pemerolehan Bahasa Pertama
Menurut pandangan kaum Behaviorisme bahasa
adalah bagian penting dari keseluruhan tingkah
laku manusia. Kaum Behaviorisme ini menamakan
bahasa sebagai perilaku verbal (verbal behavior).
Untuk membangun teori tentang pemerolehan
bahasa, para pakar aliran ini memusatkan
perhatian mereka pada aspek-aspek bahasa yang
kasat mata, yang teramati, sehingga data mereka
adalah ujaran-ujaran tersebut. Teori Behaviorisme
terhadap pemerolehan bahasa bersumber pada
teori-teori pembelajaran Behavioristic (Behaviorisme
Learning Theories). Ada dua teori utama yang
dikembangkan oleh para pakar Behaviorisme yakni
Classical Conditioning dan Operant Conditioning.
Penjelasan berikut ini berdasarkan sumber utama
dari Angelis dan Martin (1980) dan Clark (1975).
Prinsip-Prinsip Teori Pembelajaran
Behaviorisme (Behaviorisme
LearningTheory)
Dalam teori Behaviorisme ada tiga konsep penting:
rangsangan (stimulus) yang disimbolkan dengan
S, tanggapan atau respons (response) dengan
simbol R, dan penguatan (reinforcement) dengan
simbol P. Istilah stimulus mengacu pada semua
hal atau perubahan yang ada dalam lingkungan.
Kata-kata atau kalimat dalam tulisan ini adalah
contoh dari rangsangan. Stimulus dapat berasal
dari luar (external stimulus), misalnya suara keras,
suara manusia, ujaran atau sinar dan dapat dari
dalam (internal stimulus) misalnya rasa lapar, atau
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
29
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
keinginan untuk berbicara. Respons mengacu
pada perubahan perilaku yang melibatkan
adanya aktivitas yang disebabkan oleh otot dan
kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons
bisa berupa respons luar (external) dan respons
dalam (internal). Penguatan (reinforcement) adalah
peristiwa atau sesuatu yang dianggap sebagai
hadiah atau hukuman yang menyebabkan makin
besarnya kemungkinan stimulus (S) tertentu
menghasilkan respons (R) tertentu, menyebabkan
makin besarnya kemungkinan stimulus (S)
tertentu menghasilkan respons (R) tertentu.
Belajar dapat digambarkan sebagai
pembentukan hubungan antara S dan R. Atau
dengan kata lain, belajar adalah kecenderungan
S tertentu menghasilkan R tertentu. Prinsip yang
menjadi dasar dari pendekatan pembelajaran S-R
pada penelaahan perilaku ialah classical
conditioning dan operant conditioning.
Kedua prosedur pengkondisian ini mulai dari
penelitian pada bagaimana hewan belajar dan
diperluas pada pembelajaran bahasa. Prosedur
conditioning ini dijadikan dasar untuk program
pengajaran bahasa kepada tuna rungu dan tuna
grahita. Para pakar
psikolog juga
mengaplikasikan prinsip-prinsip pengkondisian
dan pembelajaran makna dan bentuk-bentuk
gramatika.
Teori Classical Conditioning
Classical conditioning yang juga disebut sebagai
teori contiguity (keterdekatan dua objek atau lebih
tanpa diselingi hal lain) dikembangkan oleh ahli
fisiologi Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1894-1936).
Dalam mengembangkan teori ini, Pavlov
melakukan serangkaian percobaan. Bagaimana
percobaan atau eksperimennya? Marilah kita ikuti
paparan berikut ini.
Dalam ekperimennya ia menunjukkan makanan
kepada anjing yang kemudian memakan
makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan,
anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa
makanan yang di sini disebut unconditional
stimulus (UCS) menyebabkan respons (R),
keluarnya air liur. Pada percobaan-percobaan
berikutnya, bel dibunyikan sebelum makanan
ditunjukan kepada anjing. Sesudah beberapa kali
percobaan, anjing mulai mengeluarkan air liur
sebagai respons terhadap bunyi bel saja. Dengan
kata lain anjing tersebut telah terkondisi (terbiasa)
untuk memindahkan (mentransferkan)
responnya, dalam hal ini keluarnya air liur dari
stimulus adalah wajar, yakni makanan ke
30
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus)
dalam hal ini bunyi bel. Diagram di bawah ini
menunjukkan penjelasan di atas.
Unconditioned stimulus (UCS)
(makanan)
R
Keluarnya air liur
Conditioned stimulus (CS)
(Bunyi bel)
Gambar 1. Classical Conditioning
Sementara itu, stimulus makanan disebut
unconditioned stimulus karena stimulus itu dapat
menimbulkan respons tanpa adanya pelatihan
atau pembelajaran. Stimulus bunyi bel disebut
conditioned stimulus atau stimulus terkondisi
karena rangsangan ini dapat menimbulkan
respons (R) yakni keluarnya air liur setelah latihan
berulang kali dengan memasangkannya
bersamaan dengan stimulus makanan. Respons
yang ditimbulkan oleh conditioned stimulus disebut
respons terkondisi (conditioned respons).
Penemuan Pavlov tentang kaitan antara
stimulus dan respons ini berpengaruh besar
terhadap pandangan para ahli tentang psikologi
belajar. Berdasarkan penemuan Pavlov ini, John
B. Watson dari Amerika Serikat menciptakan
istilah behaviorism. Ia menggunakan teori classical
conditioning untuk segala yang bertalian dengan
belajar. Dengan proses pengkondisian, dibentuk
serangkaian kaitan stimulus-respons, dan
tingkah laku yang lebih rumit dipelajari dengan
membentuk rangkaian-rangkaian respons.
Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama,
classical conditioning ini dapat menjelaskan
bagaimana kita belajar makna kata. Seperti
diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan
yang dapat menimbulkan emosi positif atau
negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa,
misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi
bersamaan dengan rangsangan-rangsangan
lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan
bahasa tersebut dapat menimbulkan respons
emosional walaupun tidak ada rangsangan
lingkungan. Untuk jelasnya mari kita pelajari
contoh berikut ini.
Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan
menarik taplak meja makan. Ibunya segera
mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis
tangannya dengan harapan Yudi akan
menghubungkan sakit di tangannya dengan kata
“Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respons
makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
hal ini terjadi berulang kali dan respons emosional
sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran
“Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil.
Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respons
emosional, sama halnya dengan bunyi bel
menimbulkan respons air liur. Dengan demikian,
ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna
“Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami
makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.
Teori Operant Conditioning
Teori Operant Conditioning dikemukakan oleh
tokoh psikologi B.F. Skinner dengan karyanya
yang terkenal berjudul Verbal Behavior (1957).
Menurut Skinner, perilaku yang berpengaruh
pada lingkungan disebut perilaku operant (to
operate: menghasilkan efek yang dikehendaki,
mempengaruhi). Operant Conditioning merujuk
pada pengkondisian atau pembiasaan di mana
manusia memberikan respons atau operant
(kalimat atau ujaran) tanpa stimulus yang
tampak; operant ini dipelajari dengan pembiasaan
(conditioning). Dalam proses pemerolehan bahasa
pertama peran peniruan (imitation) dianggap
sangat penting.
Berdasarkan percobaan-percobaan pada
tikus dan burung dara, Skinner berkesimpulan
bahwa perilaku atau respons yang diikuti oleh
penguat (reinforce) positif cenderung akan
diulangi, sedangkan respons-respons yang
diikuti oleh hukum atau tidak diikuti oleh penguat
cenderung melemah untuk kemudian
menghilang.
Dengan demikian, dalam lingkup
pembelajaran bahasa, pembelajaran perilaku
bahasa yang efektif terdiri atas pemberian respons
yang tepat terhadap rangsangan yang ada, dan
hubungan antara rangsangan dan tanggapan
menjadi kebiasaan karena adanya penguatan
(reinforcement). Bila seorang anak mengucapkan
sesuatu yang kebetulan sesuai (appropriate)
dengan situasi, ibunya atau orang disekitarnya
menghadiahinya dengan anggukan, ucapan,
senyuman, atau tindakan yang lain yang
menunjukkan persetujuan. Hal ini akan
mengakibatkan respons yang sama akan terjadi
lagi dalam situasi yang sama. Namun, jika
ujarannya tidak benar, si ibu tidak
mengatakannya. Maka akan kecil kemungkinan
terjadinya respons yang sama dalam situasi yang
sejenis.
Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh
sederhana berikut. Jika Tobi mengatakan “Num”,
dan diberi air minum, maka dia akan
menggunakan kata “Num” lagi bila ia ingin
minum. Sebaliknya, bila ia misalnya, mengatakan,
“Ta” tanpa diiringi penguatan dari ibunya atau
orang di sekitarnya, maka ia cenderung untuk
tidak mengucapkan kata tersebut untuk meminta
air minum.
Penjelasan di atas selain digunakan untuk
menerangkan bagaimana anak menghasilkan
ujaran, juga digunakan untuk menjelaskan
bagaimana anak memahami ujaran. Jika anak
memberi tanggapan dengan benar terhadap
rangsangan lisan, maka ia diberi hadiah atau
imbalan, misalnya berupa senyuman, ucapan atau
pujian. Dengan cara ini, ujaran-ujaran orang
dewasa menjadi rangsangan-rangsangan bagi
anak untuk menanggapinya. Anak akan
menunjukkan bahwa ia memahami ujaran yang
didengarnya, dan ia pun mampu menghasilkan
wicara yang sesuai dengan situasi.
Bagaimanakah dengan perkembangan
sintaksis anak? Dalam perkembangan sintaksis
anak, proses pemerolehan berarti generalisasi dari
satu situasi ke situasi lain, dan dalam setiap
situasi pola-pola linguistik yang benar diperkuat
oleh orang-orang dewasa di sekitar anak tersebut.
Di lain pihak, pola-pola linguistik yang tidak
benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan
hilang dengan sendirinya.
Kritikan-kritikan Terhadap
Pandangan Behaviourisme
Telah dikemukakan di muka bahwa menurut
pendekatan Behaviorisme, perilaku bahasa
dibentuk dengan peniruan-peniruan. Tampaknya
ini ada benarnya, mengingat bahasa pertama yang
diperoleh anak-anak sama dengan bahasa yang
digunakan oleh orang di sekitarnya. Ini tampak
dari kenyataan, misalnya, anak yang dilahirkan
dan tumbuh di lingkungan yang berbahasa
Melayu Manado akan menguasai bahasa Melayu
Manado, bukan Melayu Riau ataupun bahasa
Jawa.
Namun, faktor peniruan ini banyak
diragukan oleh pakar di luar pendekatanan
Behaviorisme, khususnya para pakar dari aliran
Nativisme. Mereka berpendapat bahwa belajar
bahasa terjadi bukan karena meniru.
Mari kita pelajari beberapa kritikan mereka
terhadap pandangan Behaviorisme beserta dengan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
31
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
alasan-alasannya. Kritikan-kritikan ini disarikan
dari Anglis dan Martin (1980) dan hasil penelitian
Clark (1982).
1. Kaum Nativis berpendapat bahwa ujaran
anak bukan tiruan dari apa yang didengarnya
dari orang tuanya atau orang di sekitarnya.
Anak yang berbahasa Inggris mengucapkan
All gone milk tentunya bukan karena ia meniru
tuturan orang tuanya. Bahkan mungkin
orang tuanyalah yang menirukan ujaran
anaknya. Demikian pula, kesalahankesalahan yang dibuat anak bukan
berdasarkan tiruan (imitation), karena
kesalahan-kesalahan ini tidak diucapkan
oleh orang dewasa. Misalnya kalimat We goed
to the park, yang diucapkan oleh anak
bukanlah yang didengarnya dari orang tua
atau orang di sekitarnya.
2. Berdasarkan kenyataan yang ada, anak-anak
dapat membentuk kalimat atau ujaran yang
belum pernah mereka dengar. Mereka dapat
menyusun kalimat berdasarkan kombinasikombinasi dari kata-kata yang sudah mereka
kuasai, tetapi kalimat-kalimat atau ujaranujaran tersebut belum pernah mereka dengar.
Jika belajar bahasa hanya berdasarkan
peniruan, maka tidaklah mungkin anak
dapat menyusun kalimat atau ujaran yang
belum pernah mereka dengar.
3. Anak-anak, apapun bahasa atau ragam
bahasa yang dipelajarinya, mempunyai pola
perkembangan kemampuan berbahasa yang
relatif sama. Hasil penelitian Brown (1970),
yang dikutip oleh McNeill (1973),
umpamanya, menunjukan bahwa anak-anak
dalam memperoleh bahasa Inggris melalui
paling tidak dua tahap. Pada tahap I, ujaran
anak-anak rata-rata terdiri atas dua morfem,
dan ujaran-ujaran mereka terdiri atas kata
penuh (content words) terutama kata benda dan
kata kerja. Keuniversalan ini tentunya bukan
karena tiruan saja, karena anak-anak terpajan
(exposed) oleh bahasa atau ragam bahasa yang
berbeda.
4. Hasil-hasil penelitian, misalnya penelitian
Eve V. Clark (1982), menunjukkan bahwa
anak-anak menciptakan kata-kata atau
kalimat yang tidak digunakan oleh orang di
sekitarnya. Clark menyebut kemampuan ini
sebagai kretivitas leksikal (lexical creativity).
Berikut ini beberapa contoh yang
diberikannya. Plate-egg dan cup egg untuk fried
32
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
5.
egg dan boiled egg, lesonner untuk teacher, salter
untuk more saltier lawning untuk moving the
lawn; the he’s keying door ketika seorang anak
(berumur tiga tahun) melihat orang membuka
pintu dengan kunci.
Demikian juga, kaum Nativis meragukan
faktor penguatan. Kenyataan menunjukkan
bahwa orang tua atau orang di sekitar anak,
memberikan penguatan bukan pada ujaran
yang berbentuk benar, melainkan pada benar
tidaknya informasi yang terkandung dalam
ujaran. Contoh yang klasik ialah penelitian
Brown dan kawan-kawan (1968) yang dikuti
oleh McNeill (1970). (parental approval)
diberikan pada benar tidaknya kepunyaan
Mickey, maka jawabannya ialah No. Namun,
jika anak mengatakan That Mickey’s yang
seharusnya That’s Mickey’s, maka orang
tuanya menyetujuinya dengan mengatakan,
Yes. Jika persetujuan sama dengan penguat,
maka persetujuan akan memperbesar
kemungkinan terciptanya bentuk-bentuk
kalimat yang salah, disamping kalimatkalimat yang benar.
Penutup
Dalam tulisan ini telah dibahas pandangan
Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa
pertama. Dalam hal ini, kaum Behaviorisme,
menekankan pentingnya peniruan dan
menyatakan bahwa belajar bahasa melibatkan
pembentukan hubungan antara stimulus dan
respons dan penguatan. Pembentukan ini terjadi
melalui proses pembiasaan (conditioning) dan
pengulangan-pengulangan. Dikatakan,karena
adanya stimulus internal atau eksternal, anak
memberikan respons dengan mengucapkan ujaran
tertentu, dan jika ujaran itu benar ia akan
menerima penguatan dari orang dewasa di
sekelilingnya. Bila hal ini terjadi berulang kali,
maka ujaran-ujaran tersebut telah dikuasai.
Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme
Daftar Pustaka
Angleis, Paul J. dan Martin, Clessen J. , E. Helmut
Esan (ed.). (1980). Psycholinguistic: Two
viewsLanguage and communication. Columbia:
SC: Hornbeam Press, Incorporated
Brown, H. Douglas. (1987). Priciples of language
learning and teaching: 2nd Edition. Englewood
Cliffs: Prentice Hall Regents
Clark, Eve V, The Young World Maker. A Case
Study of Innovations in the Child’s Lexicon,
dalam (eds) E. Wanner dan L.R. Gleitman.
(1982). Language acquisition: The state of the
art. Cambridge: CUP
Clark, Hebert H dan Clark, Eve V. (1977). Psychology and Language: An antroduction to
psychologuistics. New York: Hartcourt Brace
Jovanovich
Clark, Ruth. (1980). Adult Theories, Child Strategies
and Their Implecations for the Language Teacher
dalam (eds) J.P.B. Allen dan S. Pit Corder,
Papers in Applied Linguistics. Oxford: OUP
Elliot, Alison J. (1987). Child language. Cambridge:
CUP
Ellis, R. (1989). Understanding second language ac-
quisition. Oxford: OUP
Hamid, Zulkifley. (1989). Hipotesis nurani dan
pemerolehan bahasa pertama, dalam Jurnal
Bahasa, Oktober, pp. 770-777
Karmiloff – Smith, Annette. (1979). A functional approach to child language: A study of determiners and reference. Cambridge: CUP
Klien, Wolfgang. (1986). Second language acquisition.
Cambridge: CUP
McNeill, David. (1970). The acquisition of language: The study of developmental
psychologuistics. New York: Happer & Row
Publishers
Monks, F.J. Knoers, A.M.P, Haditono, Sri Rahayu.
(1992). Psikologi perkembangan: Pengantar
dalam berbagai bagainya. Yogyakarta: Gajah
Madda University Press
Purwo, Bambang Kaswanti. (1990). Perkembangan
Bahasa Anak Dari Lahir sampai Masa
Sekolah, dalam (ed) B.K. Purwo, Pellba 3:
Pertemuan linguistik lembaga bahasa Atma
Jaya: Ketiga. Yogyakarta: Kanisius
Subyakto, Nababan, Sri Utari. (1992).
Psikolingusitik: Suatu pengantar. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
33
Opini
Standardisasi
Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia:
Sebuah Pemikiran
Petrus Trimantara*)
Abstrak
Untuk mengetahui tingkat kompetensi guru diperlukan seperangkat alat tes kompetensi yang memenuhi
standar sehingga dapat mengukur tingkat kompetensi dan profesionalisme guru sesuai dengan standardisasi
mutu pendidikan. Tulisan ini membahas langkah-langkah untuk merancang soal yang relevan dengan sasaran
kompetensi guru bahasa Indonesia. Berkaitan dengan tes kompetensi guru bahasa Indonesia, ada dua
bentuk tes yang perlu diperhatikan dalam penyusunan alat tes. Pertama, bentuk tes untuk mengukur
kemampuan kognitif guru, meliputi kemampuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan
kemampuan bersastra. Kedua, bentuk tes mengukur kemampuan psikomotor guru meliputi kemampuan
menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan kemampuan bersastra.
Kata kunci: Standardisasi, tes kompetensi, tes kognitif, tes psikomotor
To know the competency level of teacher, we need a set of competency test to measure the competency
level and the teacher’s professionalism in accordance with the education quality standardization. This article
discusses
important steps to construct the treat items, particulary for the teacher of Indonesia language.For the
purpose two test forms to be considered. The first tes is the form that can measure Indonesian language
teacher’s cognitive ability. Covering phonology ability, morphology, syntax, semantic, discourse, and literature
ability. The second is the test form to measure the psychomotoric ability of covering the listening, speaking,
writing,reading, and literature ability.
Pendahuluan
iundangkannya Undang-undang Guru
dan dosen pada tanggal 6 Desember 2006
memberikan harapan baru yang lebih baik
bagi guru dan dosen. “Lahirnya” UU yang
terdiri dari 8 bab dan 84 pasal ini diharapkan
dapat memberikan jaminan perlindungan hukum
bagi para guru dan dosen untuk memperoleh hakhaknya sebagai pengembangan profesi.
Pengesahan UU Guru dan Dosen merupakan
sejarah perjuangan panjang yang penting dan
monumental bagi perkembangan dunia
pendidikan nasional. Secara yuridis formal,
dengan diberlakukannya UU ini, guru dan dosen
mendapat pengakuan baik secara hukum
maupun politik sebagai tenaga profesional.
Ada dua hal yang penting dalam undang-undang
tersebut. Pertama, jaminan kehidupan/
D
*) Guru SMAK 2 BPK PENABUR Bandung
34
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
kesejahteraan yang lebih baik bagi guru dan
dosen. Berkaitan dengan peningkatan
kesejahteraan, ada beberapa hal penting yang
diatur dalam UU tersebut, yaitu:
1. Pemerintah akan memberikan sarana
kemudahan terhadap guru yang memiliki
sertifikat pendidikan berupa tunjangan
fungsional dan maslahat tambahan paling
lama 10 tahun atau sampai guru tersebut telah
memenuhi kewajiban memiliki sertifikat
pendidikan.
2. Pemerintah akan memberikan tunjangan
profesi kepada guru yang telah memiliki
sertifikat pendidik baik bagi guru yang
diangkat oleh pemerintah, pemerintah
daerah, maupun guru yang diangkat oleh
masyarakat/swasta.
3. Pemerintah akan memberikan tunjangan
profesi setara dengan satu kali gaji pokok
guru yang diangkat oleh pemerintah,
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
pemerintah daerah, maupun masyarakat/
swasta pada tingkatan, masa kerja, dan
kualifikasi yang sama.
4. Pemerintah akan memberikan subsidi
tunjangan fungsional kepada guru yang
diangkat oleh satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat/swasta.
5. Pemerintah akan memberikan maslahat
tambahan kesejahteraan yang diperoleh
dalam bentuk tunjangan pendidikan,
asuransi pendidikan, beasiswa, dan
penghargaan bagi guru, serta kemudahan
untuk memperoleh pendidikan bagi putra
dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau
bentuk kesejahteraan lain.
6. Pemerintah akan memberi tunjangan khusus
sebesar satu kali gaji pokok guru yang
diangkat pemerintah dan ditempatkan di
daerah khusus.
Kedua, adanya proses peningkatan kualitas
dan profesioalisme guru dan dosen. Peningkatan
kualitas dan profesinalisme guru ini dilakukan
melalui tiga tahap. Pertama, kualifikasi akademik.
Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang
pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh
guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan
pendidikan formal di tempat penugasan.
Peningkatan kualitas akademik ini dilakukan
melalui pendidikan tinggi program sarjana(S1)
atau program diploma empat. Dengan demikian,
guru yang belum memperoleh pendidikan tinggi
sarjana(S1) atau program diploma empat harus
mengambil program itu atas biaya pemerintah.
Kedua, peningkatan kompetensi guru. Peningkatan
kompetensi guru meliputi empat aspek yaitu
kompetensi
pedagogik,
kompetensi
profesionalisme, kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial. Ketiga, peningkatan kualitas
dan profesionalisme guru melalui program
sertifikasi. Program sertifikasi guru ini akan
dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang
terakreditasi.
Jaminan kesejahteraan dan peningkatan kualitas/
profesionalisme guru merupakan dua hal yang
bersinergi. Profesionalisme guru akan
berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan
guru. Dengan peningkatan profesionalisme guru
yang ditunjukkan dengan kompetensinya, para
guru akan mendapatkan kesejahteraan yang
diharapkan. Dengan demikian, kompetensi guru
dalam melaksanakan profesionalismenya menjadi
syarat penting karena hanya guru yang
berkompetenlah yang akan mendapatkan
tunjangan kesejahteraan.
Berdasarkan hal tersebut, uji kompetensi atau tes
kompetensi yang belakangan ini banyak
dilakukan bagi guru, baik guru negeri maupun
guru swasta, harus benar-benar dapat digunakan
untuk mengukur kompetensi guru yang
sebenarnya.
Fakta Empiris Kompetensi Guru
Dalam harian Pikiran Rakyat, tanggal 15 Desember
2005, guru besar UPI, Prof. Nanang Patah, M.Pd.,
mengatakan bahwa sebagian besar guru di
Indonesia tidak layak mengajar. Untuk
meyakinkan, dikemukakan data sebagai berikut.
Tabel 1: Persentase Guru Tidak Layak Mengajar
Jenjang
Pendidikan
Banyaknya Guru
Tidak Layak
Mengajar
Persentase
SD
605.217
49,3
SLTP
167.643
35,9
SMA
75.684
32,9
SMK
63.961
43,3
Dalam data tersebut terlihat bahwa persentase
guru SMA yang tidak layak mengajar masih cukup
besar, yaitu sebanyak 75.684 orang atau 32,9 %.
Meskipun jika dibandingkan dengan
ketidaklayakan guru SD, SLTP, dan SMK
persentase guru SMA yang tidak layak mengajar
masih relatif lebih kecil, ketidaklayakan itu perlu
mendapatkan perhatian yang serius. Apakah
jadinya anak-anak bangsa ini jika diajar oleh
seorang guru yang sebenarnya tidak layak
mengajar? Penanaman konsep yang salah
tentunya akan membawa pengertian yang salah
juga pada siswa.
Ada dua faktor yang menyebabkan guru tidak
layak mengajar. Pertama, tingkat kesesuaian guru
mengajar. Banyak guru yang mengajar tidak
sesuai dengan tingkat keahliannya. Misalnya,
guru BP mengajarkan pelajaran Bahasa
Indonesia. Hal ini dilakukan oleh sekolah karena
keterbatasan biaya. Di samping itu, pelajaran
Bahasa Indonesia dianggap sebagai pelajaran
yang mudah yang bisa diajarkan oleh siapa saja.
Kedua, rendah dan beragamnya kualitas guru.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
35
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
Guru yang mengajar sesuai dengan bidang studi
pun masih banyak yang tidak menguasai materi.
Pekerjaan mengajar dijalani oleh guru sebagai hal
yang rutin sehingga tidak dilakukan persiapan
mengajar yang cukup matang. Bahkan, pelatihan
guru dan kegemaran guru membaca hal-hal yang
berkaitan dengan materi pelajaran jarang
dilakukan. Hal ini jarang dilakukan guru dengan
berbagai alasan klasik, seperti guru sibuk dan
kesejahteraan kurang.
Bagaimana dengan guru bahasa Indonesia?
Bagaimanakah kompetensi guru bahasa
Indonesia? Dari data Balitbang Diknas ditemukan
data yang mengejutkan, yaitu data perolehan nilai
rata-rata bahasa Indonesia siswa SMA secara
nasional sebagai berikut.
untuk memperdalam bahasa. Bagaimana
mungkin kemampuan siswa yang khusus
mempelajari bahasa justru lebih rendah dari
kemampuan siswa yang secara tidak khusus
mempelajari bahasa? Ada apa dengan
pembelajaran bahasa, khususnya bahasa
Indonesia? Siapa yang patut dipersalahkan?
Meskipun hal ini tidak terlepas dari in put siswa,
namun peran guru, khususnya kompetensi guru
bahasa Indonesia tetap perlu mendapatkan
perhatian.
Perlu Standardisasi
Mutu Pendidikan
Dalam Peraturan
Pemerintah No. 19
tahun
2005
Jumlah Rata-rata Nilai
ditetapkan
bahwa
Siswa Nilai B. Indonesia
proses pendidikan
h e n d a k n y a
180.791
5,56
dilaksanakan
185.229
4,99
berdasarkan
14.487
4,74
standar tertentu,
yang
meliputi
332.207
5,74
standar isi, standar
500.015
5.05
proses, standar
23.332
5,29
kompetensi
lulusan, standar
306.495
5,34
kompetensi
493.864
4,67
pendidik
dan
27.289
5,06
t e n a g a
kependidikan,
359.804
5,80
standar sarana dan
554.039
5,13
prasarana, standar
pengelolaan,
28.675
4,48
s t a n d a r
376.882
5,60
pembiayaan, dan
578.087
4,93
standar penilaian.
Salah
satu
28.617
4,66
standar yang perlu
dipenuhi adalah
standar kompetensi pendidik dan tenaga
kependidikan seperti diatur dalam PP No. 19
tahun 2005, pasal 28 ayat 1 sampai ayat 5 yang
menegaskan bahwa pendidik harus memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai
agen pembelajaran. Kualifikasi akademik
pendidik adalah sarjana S1 atau Diploma empat
dengan spesifikasi program akta IV.
Sedangkan kompetensi Guru, secara umum,
dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan
Tabel 2 : Rata-rata NEM SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
Tahun
Program
Status
Jumlah
Sekolah
1998/1999 IPA
Negeri/Swasta
3.361
IPS
Negeri/Swasta
3.966
Bahasa
Negeri/Swasta
443
IPA
Negeri/Swasta
5.073
IPS
Negeri/Swasta
5.998
Bahasa
Negeri/Swasta
608
IPA
Negeri/Swasta
5.228
IPS
Negeri/Swasta
6.275
Bahasa
Negeri/Swasta
796
IPA
Negeri/Swasta
5.946
IPS
Negeri/Swasta
6.946
Bahasa
Negeri/Swasta
832
IPA
Negeri/Swasta
6.155
IPS
Negeri/Swasta
7.191
Bahasa
Negeri/Swasta
856
1999/2000
2000/2001
2001/2002
2002/2003
Sumber data Balitbang Diknas
Dari data tersebut terlihat bahwa perolehan
nilai bahasa Indonesia dari tahun ke tahun masih
belum memperlihatkan hasil yang cukup
memuaskan. Perolehan nilai bahasa Indonesia
dari tahun 1998 – 2003 masih di bawah angka
6,00. Bahkan yang lebih memprihatinkan, nilai
bahasa Indonesia untuk program Bahasa lebih
rendah daripada nilai bahasa Indonesia untuk
program IPA dan IPS (1998/1999, 2001/2002,
2002/2003), padahal program bahasa khusus
36
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
bahwa guru harus memiliki empat kompetensi,
yaitu:
Pertama, kompetensi pedagogik, yaitu
kemampuan guru mengelola pembelajaran peserta
didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta
didik, perencanaan dan pelaksanaan
pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan
peserta
didik
untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
Kedua, kompetensi Profesional, yaitu
kemampuan guru dalam menguasai materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing peserta didik
memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan
dalam Standar Nasional Pendidikan.
Ketiga, Kompetensi kepribadian, yaitu
kemampuan kepribadian yang mantap, stabil,
dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi
peserta didik, dan berakhlak mulia.
Keempat, kompetensi sosial, yaitu kemampuan
pendidik sebagai bagian masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.
Secara
kompetensi
guru
bahasa Indonesia meliputi:
No. khusus,
Kompetensi
Sub
Kompetensi
1.
Pedagogik
2.
Profesional
Teori Pendidikan:a
a. Memahami landasan pendidikan, filosofis, sosiologis, kultural, psikologis,
ilmiah, dan teknologis.
b. Memahami asas-asas pokok pendidikan
c. Memahami aliran-aliran pendidikan
d. Memahami teori belajar
e. Memahami perkembangan peserta didik
f. Memahami pendekatan sistem dalam pendidikan
g .Memahami tujuan pendidikan nasional
h .Memahami kebijakan-kebijakan pendidikan nasional
i. Memahami kebijakan pendidikan di SMA
Pengelolaan Pembelajaran Bahasa Indonesia:
a. Mampu mengidentifikasi karakteristik peserta didik
b. Mampu mengembangkan perencanaan pembelajaran bahasa Indonesia
c. Mampu mengembangkan materi pembelajaran bahasa Indonesia
d. Mampu mengembangkan metode, media, dan sumber belajar
e. Mampu menentukan strategi pembelajaran
f. Memiliki keterampilan dasar-dasar pembelajaran Bahasa Indonesia
g. Mampu melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
sesuai tujuan dan karakteristik bahasa Indonesia
Evaluasi Pembelajaran:
a. Menguasai konsep dasar evaluasi
b. Mampu memilih dan mengembangkan metode evaluasi sesuai tujuan
pembelajaran bahasa Indonesia
c. Mampu mengembangkan instrumen evaluasi pembelajaran bahasa
Indonesia
d. Mampu melaksanakan evaluasi, penskoran, dan interpretasi hasil evaluasi
e. Mampu menggunakan hasil-hasil evaluasi untuk kepentingan
pembelajaran bahasa Indonesia
Menguasai pokok-pokok bahasan pembelajaran bahasa Indonesia yang
meliputi:
a. Keterampilan berbahasa Indonesia;
1. menyimak
2. berbicara
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
37
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
No. Kompetensi
3.
4.
Sub Kompetensi
3. membaca
4. menulis
b .Kebahasaan:
1. fonologi bahasa Indonesia
2. morfologi bahasa Indonesia
3. sintaksis bahasa Indonesia
4. semantik bahasa Indonesia
5. wacana bahasa Indonesia
c. Materi Kesusastraan
d. Keterampilan bersastra
Kepribadian a. Memiliki sikap, nilai, moral, dan berprilaku sebagai pendidik
b. Memiliki integritas dan dedikasi sebagai pendidik
c. Memiliki komitmen terhadap pengembangan profesi
d. Mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan secara efektif dalam forum
ilmiah
e. Menguasai metodologi penelitian dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk
kepentingan pembelajaran
f. Mampu mengadopsi dan mengembangkan inovasi-inovasi pendidikan
Sosial
a. Mampu membina hubungan dengan siswa
b. Mampu membina hubungan dengan sesama guru
c. Mampu membina hubungan dengan kepala sekolah
d. Mampu membina hubungan dengan tenaga kependidikan
e. Mampu membina hubungan dengan orang tua siswa
f. Mampu membina hubungan baik dengan komite sekolah
g. Mampu membina hubungan baik dengan pengawas
Dari keempat kompetensi tersebut,
kompetensi profesionalismelah yang membuat
kompetensi guru bahasa Indonesia berbeda
dengan kompetensi guru yang lain. Dalam
pembelajaran bahasa, guru bahasa Indonesia
selain harus mampu memahami teori kebahasaan
juga harus memiliki kemampuan dalam
penggunaan bahasa. Dengan demikian, untuk
mengukur profesionalisme guru bahasa
Indonesia harus ada dua variabel, yaitu
pemahaman teori kebahasaan dan praktik
penggunaan bahasa.
Cangelosi (1995: 71) mengatakan bahwa ada
lima langkah penting dalam merancang soal yang
relevan dengan sasaran kompetensi. Kelima
langkah tersebut sebagai berikut.
1. Memusatkan pikiran pada isi dan kontruk
perilaku sasaran.
Dalam hal ini, isi dan perilaku sasarannya
adalah kompetensi guru bahasa Indonesia
Tabel 3: Persentase Materi Tes Guru Bahasa Indonesia
No
38
Sasaran Kompetensi
Persentase
Penghitungan
Jumlah
Soal PG
1.
Fonologi bahasa Indonesia
5
0,05 x 50
2 atau 3
2.
Morfologi bahasa Indonesia
10
0,10 x 50
5
3.
Sintaksis bahasa Indonesia
10
0,10 x 50
5
4.
Semantik bahasa Indonesia
25
0,25 x 50
12 atau 13
5.
Wacana bahasa Indonesia
30
0,30 x 50
15
6.
Teori kesusastraan Indonesia
20
0,20 x 50
10
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
SMA. Ada dua hal yang perlu diperhatikan
pada langkah pertama ini. Pertama, isi
berkaitan dengan kemampuan kognitif guru
bahasa Indonesia meliputi kemapuan
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik,
wacana, dan sastra. Untuk menguji
kompetensi kebahasaan guru bahasa
Indonesia SMA, berikut dipaparkan
persentase materi yang perlu mendapatkan
penekanan dalam bentuk tes pilihan ganda
yang berjumlah 50 soal yang dikerjakan dalam
waktu 120 menit.
Tes kompetensi guru bahasa Indonesia
memang harus mencakup enam komponen/
sasaran kompetensi dengan persentase yang
berbeda pada setiap jenjangnya. Misalnya,
untuk guru bahasa Indonesia SD kemampuan
fonologi dan morfologi tentunya harus
mendapatkan porsi yang cukup besar jika
dibandingkan dengan sasaran kompetensi
yang lain. Untuk guru bahasa Indonesia SMA,
kemampuan fonologi memang sudah tidak
banyak lagi diperlukan sehingga
persentasenya kecil (5%). Pembelajaran
bahasa Indonesia di SMA lebih difokuskan
pada pemahaman wacana sehingga
kemampuan tentang wacana harus dikuasai
guru. Dengan demikian, wacana perlu
mendapatkan porsi yang cukup besar dalam
tes kompetensi (30%). Kemudian diikuti oleh
kemampuan semantik (25%), kesusastraan
(20%), dan sintaksis (10%).
Kedua, perilaku sasaran berkaitan
dengan kemampuan psikomotor guru bahasa
Indonesia yang meliputi kemampuan
menyimak, membaca, berbicara, menulis, dan
kemapuan bersastra.
Tabel 4: Persentase Tes Keterampilan Berbahasa
Guru Bahasa Indonesia
No
Sasaran Kompetensi
Persentase
1.
Keterampilan menyimak
15
2.
Keterampilan membaca
15
3.
Keterampilan berbicara
25
4.
Keterampilan menulis
25
5.
Keterampilan bersastra
20
Jumlah
100
Kompetensi guru bahasa Indonesia pada
bidang menulis dan berbicara sangat
diperlukan dalam pembelajaran bahasa di
SMA. Sehingga dalam tes praktik,
keterampilan menulis dan berbicara harus
mendapatkan porsi yang besar, masingmasing (25%). Kemudian, keterampilan
bersastra yang mampu untuk mengolah
pikiran/logika dan rasa (20%).
Sedapat mungkin kelima keterampilan
berbahasa tersebut diujikan pada guru bahasa
Indonesia. Dengan demikian, akan diperoleh
gambaran yang jelas tentang keterampilan
berbahasa guru bahasa Indonesia. Namun,
karena keterbatasan waktu, dapat juga dipilih
satu keterampilan berbahasa yang dipandang
cukup signifikan dengan kebutuhan saat ini,
misalnya saja keterampilan menulis. Bahkan,
usaha mengetahui kompetensi keterampilan
berbahasa guru bahasa Indonesia dapat
dilakukan dengan mengamati hasil atau
karya guru bahasa Indonesia tersebut.
Misalnya, dengan memberikan penilaian
terhadap karya atau tulisan guru bahasa
indonesia yang dimuat di surat kabar atau
bahkan dengan melihat sertifikat atau
penghargaan yang diperoleh guru bahasa
Indonesia tersebut berkaitan dengan
keterampilan berbahasanya. Dengan
demikian, penilaian terhadap kompetensi
keterampilan berbahasa guru bahasa
Indonesia ini akan benar-benar objektif.
2. Menjawab pertanyaan pertama dari dua
pertanyaan yang berikut ini untuk mengukur
aspek kognitif atau psikomotor; menjawab
pertanyaan kedua untuk sasaran afektif:
(a) Tugas apa yang dapat dilakukan guru
setelah mencapai sasaran?
(b) Perilaku apa yang diperlihatkan guru
sebagai hasil mencapai sasaran itu?
Perilaku kebahasaan guru bahasa Indonesia
yang diharapkan adalah:
1. Menguasai dan memahami hakikat bahasa
sebagai ilmu. Selain harus menguasai
materi pembelajaran bahasa, guru bahasa
Indonesia juga harus memahami bahasa
sebagai ilmu pengetahuan.
2. Guru bahasa Indonesia harus gemar
membaca karena dengan membaca dapat
menambah
pengetahuan dan
meningkatkan kreativitas. Guru bahasa
Indonesia harus akrab dengan berbagai
macam bacaan, baik bacaan fiksi maupun
nonfiksi.
3. Guru bahasa Indonesia harus gemar
menulis sebagai media untuk
mengungkapkan berbagai gagasan dan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
39
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
pendapat mengenai berbagai persoalan
yang dapat dituangkan di berbagai media,
baik media sekolah, media lokal, maupun
media nasional.
3. Kalau tugas yang dinyatakan pada langkah 2
tidak praktis untuk sebuah soal yang keterpakaiannya tinggi, perlu dirumuskan tugas
pengganti yang:
a. menuntut guru untuk menunjukkan
keterampilan, kemampuan, atau sikap yang
sama jenis- nya seperti yang dituntut oleh
tugas yang dinyatakan pada langkah 2.
b. praktis untuk dicakup dalam sebuah soal
yang keterpakaiannya tinggi.
4. Menciptakan sarana yang dapat dipakai untuk
menghadapkan guru pada tugas pada
langkah 2 atau 3.
Sarana yang dapat menunjang kegiatan guru
bahasa Indonesia adalah:
a. Perpustakaan
Perpustakaan sekolah merupakan sarana
yang sangat menunjang untuk kegiatan
membaca. Perpustakaan yang lengkap,
yang memuat berbagai macam buku, sangat
bermanfaat untuk menambah pengetahuan
guru.
b. Media Cetak
Media sekolah, baik berupa buletin,
majalah dinding, maupun jurnal sekolah
merupakan media yang tepat untuk
menampung gagasan maupun opini guru.
c. Internet
Internet merupakan media yang tepat untuk
mendapatkan berbagai pengetahuan dari
berbagai belahan dunia. Kemajuan iptek
menuntut guru harus akrab dengan
internet.
d. Kelompok Pecinta Sastra
Kelompok pecinta sastra merupakan
“paguyuban” orang-orang, baik guru
maupun siswa, yang mempunyai perhatian
khusus terhadap sastra. Kelompok ini
dapat berupa kelompok teater, kelompok
cerpenis, kelompok novelis, maupun
kelompok pecinta puisi.
5. Merumuskan kunci skore soal
Tes teori dan tes praktik mempunyai peranan
yang sama dalam pembelajaran bahasa
Indonesia. Pemahaman teori kebahasaan
yang mendalam akan menunjang
penggunaan bahasa dalam kehidupan seharihari. Dengan demikian, penskoran tes
kompetensi guru bahasa Indonesia antara tes
40
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
teori dan tes praktik pun juga harus sama.
Penskoran tes kompetensi guru bahasa
Indonesia adalah sebagai berikut.
No
Bentuk Tes
Skore
1.
Tes Teori
50
2.
Tes Praktik
50
Jumlah
100
Dari jumlah skore akhir dapat diketahui
kualifikasi guru bahasa Indonesia. Adapun
kualifikasi hasil uji kompetensi guru bahasa
Indonesia tersebut adalah sebagai berikut.
Kualifikasi Hasil Tes Kompetensi
Guru Bahasa Indonesia
Skore
Kualifikasi
80 – 100
Sangat Baik
70 – 79
Baik
60 – 69
Cukup
50 – 59
Kurang
< 50
Sangat kurang
Penutup
UU Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru
untuk diuji kompetensinya. Dengan demikian, uji
kompetensi bersifat mengikat bagi semua guru,
baik guru yunior maupun guru senior, bahkan
guru yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun.
Dengan jalan uji kompetensi, kegiatan belajar
mengajar dapat dipertanggungjawabkan secara
akademik terhadap generasi muda.
Uji kompetensi bukan merupakan sesuatu
yang perlu ditakuti oleh guru. Uji kompetensi justru
dapat memberikan tiga hal yang bermanfaat bagi
guru. Pertama, guru dapat merefleksikan potensi
dan kompetensi yang dimilikinya. Kedua, dengan
mengetahui kompetensi dirinya, guru dapat
mengembangkan diri secara optimal sesuai
dengan kebutuhan pembelajaran. Ketiga,
diharapkan dengan hasil kompetensi yang baik,
guru akan mudah mendapatkan sertifikasi
pendidikan yang akhirnya akan bermuara pada
peningkatan kesejahteraan guru sesuai dengan
yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen.
Uji kompetensi memerlukan perangkat tes
yang mampu menguji kompetensi guru secara
global. Uji kompetensi terhadap guru bahasa
Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia
Indonesia meliputi dua hal, yaitu tes teori dan tes
praktik. Tes praktik terhadap guru bahasa
Indonesia bersifat mutlak. Artinya, harus
dilaksanakan karena bahasa pada dasarnya
merupakan suatu keterampilan yang harus
diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan perpaduan antara tes teori dan tes
praktik ini niscaya akan didapatkan guru-guru
bahasa Indonesia yang berkualitas dan
berkompeten di bidangnya. Dengan demikian,
kualitas pembelajaran bahasa Indonesia pun akan
semakin meningkat dan akhirnya akan diperoleh
out put yang berkualitas juga.
Daftar Pustaka
Cangelosi, James S. (1995). Merancang Tes Untuk
Menilai Prestasi Siswa. Bandung: Penerbit
ITB.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai otonomi
daerah
Pikiran Rakyat, tanggal 15 Desember 2005
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
41
Opini
The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia
The Benefits of Bilingual Education
and its Applications in Indonesia
Teguh Santoso*)
Abstrak
Sekolah dengan program bilingual, yang menerapkan pengajaran suatu pelajaran dalam dua bahasa,
merupakan trend di Indonesia. Cummins (2000) menyatakan adanya kecenderungan data penelitian empat
ahli lain bahwa siswa program bilingual menghasilkan nilai lebih baik dibandingkan dengan siswa program
monolingual. Dalam masyarakat Indonesia yang multilingual, di mana bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa
asing, program bilingual ini merupakan suatu terobosan signifikan dengan mendorong juga penggunaan
bahasa Inggris dalam bidang studi non-Inggris (mata pelajaran lintas kurikulum).
Kata Kunci: Dwibahasa, internasional, Indonesia
It has been a trend in Indonesia to find schools with bilingual program, meaning applying the use of two
languages in teaching a content subject. Cummins (2000) states from data of four other experts that
there is a tendency the bilingual program students obtained better achievements than those in monolingual
program. In the context of the Indonesian multilingual society, where English is taught as a foreign
language (EFL), such bilingual program has become a significant breakthrough, encouraging the use of
English in non-English subjects (known as subjects across curriculum).
Introduction
Theoretical Frameworks
ilingual education has recently been a
prestige for a number of educational
institutions in Indonesia, especially the
pre-university ones. Bilingual is defined
as being “able to speak two languages equally well
because you have used them since you were very
young” (Oxford, 2002), which broadens it
meanings to include also the written language in
bilingual education or communities. Bilingual
education refers to “the use of a second or foreign
language in school for the teaching of content
subjects” (Richards et. al., 1992), such as maths
and physics. This paper would discuss the benefits
of bilingual education with some Indonesian
schools, adopting bilingual programs and
heading to even international program and, finally,
it would explore the applications in the
Indonesian schools and provide solutions to some
hindrances in the field.
There have been at least three sources on which
the bilingual program hereby is elaborated, two
originated from overseas studies and experiments,
and one from observation in Indonesia. Most
studies made use of English for Academic
Purposes (EAP), meaning English is taught as
media of instructions of content subjects, such as
maths, chemistry and business.
First, Swain and Lapkin’s experiments (cited
in Cummins, 1986, p. 38), showed the results of
nine years of testing early total immersion students
in Ontario: “38 separate administrations of
standardized maths achievements tests from grade
1 to 8, the immersion students performed as well
as, or better than, their English-taught comparison
groups in 35 instances.” By the term “immersion
program”, it means the same academic content in
the immersion class will be covered as in the
regular English program. The only difference is
B
*) Guru SMPK 5 dan SMAK 3 BPK PENABUR Bandung
42
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia
the language of instruction is students’ second use the term “Enriched Education Program”, than
language. The results showed that although the in English-only or quick-exit transitional bilingual
students in the total immersion program above programs. It needs to be noted, however, that the
were taught maths in their second language, i.e. term “bilingual education” should be defined more
French, they were usually tested in their first precisely in the three literature reviews above.
language, English. In another subject, i.e. social
Thirdly, bilingualism does not mean that the
studies, the test revealed that the non-immersion role of the first language is neglected and totally
program students performed a much lower ignored. If that is the case, the program may not
achievement when they were tested in French than be a bilingual program. Instead, it leads to what is
in English, which was quite surprising as these identified as international school program. For
students were taught social studies in only French. instance, Mayor (1994) concluded that supporting
The results were different from those of the a child’s first language assists the child to make
immersion program students, performing better more progress when learning a second language
than the counterpart group. The results showed in terms of the language foundation and the greater
that bilingual education provides better awareness of how language works. In addition,
achievements, at least, in the maths and social an educational consultant, Davies (The Jakarta
science studies for nine years of testing. However, Post, 2005) states that apparently Indonesian
it is worth noted that it could be risky if one carries schools have opened up the so-called nationalout a testing to measure accurately subject content plus program, claiming themselves to be holding
knowledge when it is done in a second language a bilingual education. Two of the driven
(Cummins, 1986), such as the Ontario results on motivations are the prestige of having a bilingual
maths and social studies results.
education or national plus titles, thus, driving
Secondly, bilingual
away the real essence of
education
enables
what the aims of bilingual
students to use various
education are, and the
Nevertheless, it is worthwhile
strategies to foster their
marketing reason to keep
to take into some
understanding.
A
the schools survive in the
considerations that there
classroom-based
tight competition. Davies
research
project
exist hindrances in applying
further
noted
that
conducted by Eileen
“Indonesian
children
in
bilingual education.
Chau revealed that the
Indonesian schools should
adult Chinese migrants
get the chance to feel such
in her study made use of nine frequently used pride in their own language; placing English, and
learning strategies, the top three of which are the so bilingualism, alongside that should be done
Chinese language (the learner’s L1) was used respectfully and wisely.” Both Mayor and Davies
through bilingual dictionaries, to check/ confirm propose the importance of the role of the first
L1 meaning of words or comprehension, and to language in the implementation of the bilingual
ask for L1 meaning (Chau, 1993). The Chinese education.
adult immigrants’ motivation was boosted due to
Nevertheless, it is worthwhile to take into
Chao’s use of Chinese language to teach English. some considerations that there exist hindrances
This finding is in accordance with what Cummins in applying bilingual education. Cummins (cited
synthesized from three literature reviews done by in Moore, 1999) states some obstacles, i.e. the
Greene on Meta-Analysis, August and Hakuta on economic factor to hire a qualified teacher for
National Research Council Report on improving bilingual program, and some possible cultural
schooling for language-minority students, and constraint. A strong proponent of bilingual
Rossel and Baker on the educational effectiveness education, Cummins (2000) and another
of bilingual education (cited in Cummins, 2000). proponent, Chau (1993) highly encourage various
Cummins asserted that the trend in much of the teaching strategies and efforts to boost learners’
data showed there were better outcomes in motivation.
bilingual programs, which Cummins preferred to
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
43
The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia
Developments of the Bilingual
Program in Indonesia
Applications of the Bilingual
Program in BPK PENABUR
More and more schools, usually the wellestablished or well-funded ones, have opened
bilingual programs, mostly ranging from
Kindergarten to Primary school levels. A number
of semi-international schools in Jakarta, for
instance, adjust its national curriculum with the
Cambridge, West Australian or Singaporean
curriculum. In addition to the world recognized
Cambridge International Examination http://
www.cie.org.uk, which is taken by Gandhi
Memorial International School, the International
Baccalaureate (IB) http://www.ibo.org has drawn
interests from bilingual and international schools,
such as the established Pelita Harapan, Global
Jaya, Bina Nusantara (Binus) High, Gandhi
Memorial International School (also being a
Cambridge Centre) and also High Scope, heading
to the 2007 authorization.
A 2002 comparative study by SMAK 7 BPK
PENABUR Jakarta revealed, among others, that
Binus High provided carefully selected materials
even for laboratory materials, while IPEKA High
adopted Australian curriculum, and some of the
latter’s schools have had a bilingual curriculum
as claimed in its website. It was disclosed from the
discussion in Binus High, however, that a number
of students still made efforts to use their native
language outside their classrooms despite their
high exposure to English in the classrooms.
Another finding resulted from a comparative
study by BPK PENABUR Jakarta Senior High
principals and team to a Ciputra School in
Surabaya in early 2003. The selection of teaching
staff and the intense communication and sufficient
trainings were some of its quality assurance.
A number of state schools also apply the
bilingual education program, joining the tight
academic competition and prestige. To name a few
are the most favourite state school in Jakarta,
SMAN 8, and the top school in South Jakarta,
SMAN 70. They do not apply the International
curriculum to its whole classes, but open an
international class. According to a CIE
representative in Indonesia, both have not applied
as Cambridge centres, but they are taking the
Cambridge exams. What about the progress of the
bilingual education progress in BPK PENABUR?
There have been some breakthroughs by BPK
PENABUR Bogor, Bandung and Jakarta, for the
kindergarten level, by establishing either a
national plus school with a bilingual program,
such as those in Jakarta and Bogor—also with a
national plus primary school, or even an
international school, like PENABUR International
School (PIS) in Bandung at its kindergarten
programs entirely in English, leading to 2007
international primary school program to be
implemented in Bandung, and BPK PENABUR
Jakarta will also follow to implement this
international scholl program.
At senior high school level, both SMAK 1 BPK
PENABUR Jakarta and Bandung have headed
towards bilingual programs in at least 5 subjects
of science, math and English language (with
Bandung adding Physical education) since 2006
and 2005 respectively, with an international class
and carefully selected teachers.
Moreover, there comes the role of the first
language to be formally taught at school, i.e.
Indonesian language, in accordance with the
portion of the target language, i.e. English, to be
taught in the school subjects. In advent of the socalled competency-based curriculum (CBC),
which was reported in early 2006 to be possibly
revised as the 2006 Curriculum, it would be wise
to provide more understanding on language
learning strategies, one of which is by applying
bilingual programs to enhance the understanding
of students, who experience barriers to use L2 to
express their ideas in L1, especially in the
multilingual society of Indonesia. The CBC
enables the existence of “subjects across
curriculum”, like English across curriculum.
As stated in the theoretical review above, it is
suggested to have various strategies to boost the
success of bilingual education not only in the
classroom. For instance, in addition to the initiative
to carry out English-across-curriculum
instructions, some schools have tried to utilize
the English club, and to support English-speaking
milieu within the school and other technological
instructions, including British Council’s programs
in recent years, such as partner school with U.K.
schools http://www.globalgateway.org.uk, and
44
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia
the Montage projects with worldwide schools
http://www.britishcouncil.org/montageworld.
Here, the role of teachers to assure the success of
the English uses in various activities related to
non-English subjects has gradually been
increasing as shown by the active participation of
teachers from the state schools, BPK PENABUR
and other private schools in coordination with
the internationally recognized British Council.
Another strategy to cope with these human
resources problems is to have a mutual
collaboration with native speakers of English
currently managed by UKRIDA PENABUR
International (UPI) to provide teacher training for
non-native English teachers since 2004 and for
the English teachers since 2005, which have been
pioneered in BPK PENABUR Jakarta, followed by
other schools in other cities. Another instance is
gained from one institution in the SMAK 7’s
comparative studies above, which recruited
Indonesian experts, graduating from overseas with
specific qualification capable of teaching science
and maths, for example, to its secondary school
students. SMAK 1 BPK PENABUR Bandung, in
collaboration with a Canadian foundation, even
sent its math teacher to Canada for a three-month
teacher upgrading.
Conclusion
Some notions on bilingual education I have been
briefly outlined. It is further argued about its
applications in the Indonesian context to improve
the quality of the language learning. The
development of some schools with bilingual
programs, progressively shifting to the
internationally accredited programs had also been
presented. There have been obstacles as well as
solutions to the bilingual programs, such as the
economic factor and the human resources, the
latter of which could be Finally, it is believe the
efforts of revitalizing the role of English could be
facilitated with the support of its partner language,
Indonesian, to enhance students’ understanding
in the multilingual society in multi disciplines of
study.
References
Chau, Eileen. (1993). Use of L1 in classroom interactions. Interchange: Journal of the NSW Adult
Migrant English Service, no. 21
Cummins, Jim. (2000). Language, power and ideology. Cambridge: Cambridge University
Press
Cummins, Jim. (2000). [Online] Educational research
in bilingual education. Available: http://
www.iteachilearn.com/cummins/
educationalresearch.html
Cummins, Jim and Merrill Swain. (1986). Bilingualism in education: Aspects of theory, research
and practice. London: Longman
Davies, Rachel. (2005). Rising to the challenge of bilingual education. In the Jakarta Post’s October 09, 2005 as printed from http://
www.thejakartapost.com/
yesterdaydetail.asp?fileid=20051009.F05.
Jakarta: The Jakarta Post
Hornby, A.S. Oxford advanced learner’s dictionary
(2002). Oxford: Oxford University Press
Mayor, Barbara M. (1994). ‘What does it mean to be
bilingual?’ in Stierer, B. and Maybin, J. (1994)
Language, literacy and learning in educational
practice. Adelaide: Multilingual Matters LTD
in association with The Open University
Moore, A. (1999). Teaching multicultured students.
Culturism and Anti-culturism in school
cassrooms. London: Falmer Press
Richards, Jack C., John Platt and Heidi Platt. (1992).
Dictionary of language teaching and applied
linguistics. Essex: Longman Group UK Ltd.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
45
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
Opini
Meningkatkan Konsentrasi Siswa
Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
Handy Susanto*)
Abstrak
Pencapaian prestasi yang biasanya diukur melalui perolehan nilai di sekolah menjadi satu hal yang dianggap
sangat penting bagi orang tua dan siswa. Tuntutan untuk mendapatkan nilai sesuai dengan kapasitas siswa,
tentu menuntut siswa untuk berkonsentrasi dalam proses belajar agar mereka mampu memahami setiap
informasi yang diberikan. Konsentrasi siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah modalitas
belajar (Visual, Audiotorial, Kinestetik) yang menentukan bagaimana siswa memproses setiap informasi yang
diterimanya. Kejelian memperhatikan modalitas belajar serta kreativitas guru dalam mengembangkan strategi
dan metode pembelajaran di kelas akan meningkatkan konsentrasi belajar siswa sehingga hasil belajarnya
akan meningkat pula.
Kata kunci: Konsentrasi, modalitas belajar
Achievement that measured by reaching good marks in the school become important for the parent and
the student. The demand to reach the achievement in the school that appropiate with student’s capacity
demanded from the student to concentrate in learning process so they can understand every informations
that they accepted. Student’s concentration influenced by some factors, on of them is learing modality
(visual, audiotory, kinesthetic) that determine how the student processing each information that they
accepted. The carefulness of observation to learning modality and teacher’s creativity in developing strategy
and learning method in the class will increase student’s concentration so they can increasing they achievement
in the school.
Pendahuluan
ernahkah Bapak/Ibu guru mengalami
begitu sulitnya menyampaikan materi
pelajaran kepada siswa? Apapun usaha
yang dilakukan tidak memberikan hasil
yang baik, materi yang disampaikan tidak dapat
diserap seutuhnya oleh siswa. Sering menjadi
pertanyaan besar bagi guru, siswa, ataupun orang
tua siswa mengapa siswa tidak dapat mencapai
hasil belajar yang optimal yang biasa diukur
melalui nilai ulangan harian ataupun nilai rapor.
Pada kondisi normal, dalam arti tingkat
kecerdasan siswa tersebut berada pada taraf ratarata ataupun yang memiliki kecerdasan superior,
tidak dapat dipungkiri banyak siswa yang tidak
bisa memperoleh hasil belajar (nilai) secara
optimal sesuai dengan tingkat kecerdasannya.
Tentu kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja,
apakah siswa, guru ataupun orang tua. Ada
P
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
keberhasilan siswa dalam belajar. Salah satunya
adalah kemampuan konsentrasi siswa. Dari
kegiatan konseling yang penulis lakukan, cukup
banyak siswa yang mengeluh bahwa mereka tidak
dapat berkonsentrasi dengan baik selama
kegiatan belajar berlangsung sehingga tidak
memahami materi yang disampaikan. Ada yang
mengeluh gurunya membosankan, tidak tertarik
pada materi yang disampaikan, masalah dalam
keluarga, tubuh terlalu lelah dan masih banyak
alasan lainnya sehingga tidak bisa
berkonsentrasi. Kemampuan seseorang untuk
berkonsentrasi penting pada saat belajar, maupun
dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan.
Secara umum yang dimaksud dengan konsentrasi
adalah kemampuan seseorang untuk bisa
mencurahkan perhatian dalam waktu yang relatif
lama. Sedangkan anak dikatakan berkonsentrasi
pada pelajaran jika dia bisa memusatkan
perhatian pada apa yang dipelajari. Dengan
*) Mantan Guru Bimbingan dan Konseling SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya
46
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
berkonsentrasi, anak tidak mudah mengalihkan
Yang menjadi kendala sampai saat ini adalah
perhatian pada masalah lain di luar yang masih banyak guru-guru yang menggunakan pola
dipelajarinya.
mengajar yang tradisional yaitu hanya mengajar
Semakin banyak informasi yang harus dengan menggunakan metoda ceramah dan
diserap oleh siswa maka kemampuan bersifat satu arah (guru berbicara, murid hanya
berkonsentrasi mutlak dimiliki dalam mengikuti mendengar). Padahal dengan diberlakukannya
proses belajar. Banyak cara yang ditawarkan oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi, guru bukan lagi
beberapa ahli bagaimana meningkatkan sebagai ‘penguasa kelas’ melainkan sebagai
konsentrasi siswa dalam belajar. Misalnya fasilitator yang harus mampu memfasilitasi siswa
dengan cara membangkitkan gelombang Alfa agar agar dapat menguasai materi sampai tuntas.
setiap siswa dapat berkonsentrasi dengan santai Metoda ceramah yang sering kali digunakan
(DePorter, dkk, 2000), mengatur posisi tubuh pada (karena mungkin Anda adalah tipe audiotorial
saat belajar, dan mempelajari materi (informasi) atau merasa nyaman dengan menggunakan
sesuai dengan kecenderungan modalitas belajar metoda mengajar ini) mungkin cocok bagi siswa
siswa itu sendiri. Mempelajari materi sesuai dengan modalitas audiotorial. Walaupun ada
dengan modalitas belajar
kemungkinan
juga diungkapkan oleh Nono
siswa akan bosan
Hery Yoenanto (2003) yang
juga jika tidak ada
... bagaimana menggunakan
menyatakan
bahwa
variasi, terutama
modalitas belajar dalam proses
kemampuan konsentrasi
jika
berbicara
pembelajaran di kelas sehingga
siswa dipengaruhi oleh
dengan monoton.
modalitas belajar siswa
dapat meningkatkan
Namun bagaimana
(Jawa Pos, 12 September 2003
konsentrasi belajar siswa yang
dengan siswa yang
dalam
http://
memiliki modalitas
diharapkan dapat meningkat
www.sscbandung.net).
yang
lain?
motivasi dan hasil belajar siswa.
Bagi guru modalitas belajar
Kemungkinan
mungkin bukan hal yang
besar mereka tidak
asing lagi. Modalitas belajar
akan
mampu
merupakan suatu saringan yang digunakan
berkonsentrasi
dan
kemudian
berdampak
pada
seseorang dalam pembelajaran, pemrosesan
kemampuan
mereka
dalam
upaya
memahami
informasi yang diterimanya, dan juga komunikasi
(Bandler & Grinder, 1981 dalam DePorter, dkk, materi tersebut. Bagi siswa yang tidak memiliki
modalitas yang sama dengan anda bisa dianggap
2000).
Sebagaimana halnya kita memiliki bahwa mereka memproses informasi yang Anda
kecenderungan menggunakan salah satu sampaikan dengan ‘bahasa’ yang berbeda. Tentu
modalitas belajar, kita juga memiliki kita tahu bahwa jika dua orang berkomunikasi
kecenderungan modalitas mengajar yang dengan bahasa yang berbeda maka informasi/
biasanya sama dengan modalitas belajar kita. Jika pesan yang ingin disampaikan tidak dapat
Anda pelajar yang cenderung visual, maka Anda dipahami dengan baik sehingga dapat terjadi
akan menjadi guru yang visual juga. Artinya kesalahpahaman.
setiap metode pengajaran yang digunakan untuk
Perlu diingat bahwa setiap siswa memiliki
menyampaikan materi pelajaran hanya kebutuhannya masing-masing. Setiap siswa
menekankan pada perangsangan indera visual adalah pribadi yang unik memiliki cara masingsaja padahal dalam satu kelas tidak semua siswa masing untuk dapat memproses informasi yang
memiliki kecenderungan menggunakan modalitas diterimanya. Sudah barang tentu menjadi hak
visual. Jika kondisi tersebut terjadi maka bagi siswa untuk mendapatkan pengajaran sesuai
siswa yang memiliki kecenderungan untuk belajar dengan gaya belajar mereka masing-masing.
secara audiotorial ataupun kinestetik menjadi Dengan demikian, yang menjadi permasalahan
tidak terakomodasi. Jika kebutuhan siswa untuk
adalah bagaimana menggunakan modalitas
belajar sesuai dengan modalitasnya tidak
belajar dalam proses pembelajaran di kelas
terakomodasi maka kemampuan siswa untuk
sehingga dapat meningkatkan konsentrasi belajar
berkonsentrasi dalam belajar pun cenderung
siswa yang diharapkan dapat meningkat motivasi
menurun.
dan hasil belajar siswa.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
47
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
Konsentrasi Belajar
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam proses belajar
dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal antara lain kondisi fisik
seperti keterbatasan fisik (cacat tubuh), kondisi
psikologis seperti kemampuan konsentrasi, faktor
kelelahan, sedangkan faktor eksternal meliputi
kondisi keluarga seperti kondisi rumah, faktor
sekolah seperti metoda pengajaran, dan faktor
masyarakat.
Seorang anak bisa berkonsentrasi dengan baik
atau tidak, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
internal dan eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang muncul dalam diri anak itu.
Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh
yang berasal dari luar individu. Faktor internal
misalnya ketidaksiapan mereka dalam menerima
pelajaran, kondisi fisik, kondisi psikologis,
modalitas belajar, sedangkan faktor eksternal
misalnya adanya suara-suara berisik dari TV,
radio, atau suara-suara yang mengganggu
lainnya. (http://www.sscbandung.net)
Modalitas Belajar
Dari berbagai cara untuk meningkatkan
konsentrasi siswa, modalitas belajar merupakan
salah satu aspek yang perlu diperhatikan guru
dalam mengelola pembelajaran. Modalitas belajar
yang dimaksudkan disini ialah jaringan yang
digunakan seseorang dalam proses pembelajaran,
pemrosesan informasi yang diterimanya serta
komunikasi.
Terdapat tiga macam modalitas belajar yang
digunakan oleh seseorang dalam pembelajaran,
pemrosesan informrasi, dan komunikasi (DePorter,
dkk, 2000). Senada dengan yang diungkapkan
oleh Tim Power Brain Indonesia dalam situsnya
menyatakan bahwa secara ilmiah sudah
diketahui bahwa dalam hal penyerapan
informasi tersebut manusia dibagi menjadi 3
bagian; manusia visual, yang mana ia akan secara
optimal menyerap informasi yang dibacanya/
dilihatnya; manusia auditorik, di mana informasi
yang masuk melalui apa yang didengarnya akan
diserap secara optimal; dan manusia kinestetik,
di mana ia akan sangat senang dan cepat mengerti
bila informasi yang harus diserapnya terlebih
dahulu “dicontohkan” atau ia membayangkan
orang lain tersebut melakukan hal tadi (http://
www.medikaholistik.com).
48
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Meskipun kebanyakan orang mampu untuk
mengakses / menggunakan ketiga modalitas
tersebut, namun orang memiliki kecenderungan
hanya menggunakan satu modalitas tertentu
didalam pembelajaran, pemrosesan informasi,
ataupun komunikasi (Bandler & Grinder, 1981
dalam DePorter, dkk, 2000). Hal ini sejalan dengan
yang diungkapkan oleh Dunn yang mengatakan
bahwa setiap orang biasanya memiliki sebuah
kekuatan (Modalitas belajar) yang dominan, dan
juga sebuah kekuatan sekunder (Dunn dalam
Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999).
Adapun yang menjadi ciri-ciri ketiga
modalitas belajar tersebut adalah sebagai berikut:
Visual : Modalitas ini mengakses citra visual, yang
diciptakan maupun diingat. Warna, hubungan
antar ruang, gambaran mental (mental imagery),
dan gambar menonjol dalam modalitas ini.
Seseorang yang memiliki kecenderungan
menggunakan modalitas ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Teratur, memperhatikan segala sesuatu,
menjaga penampilan.
2. Mengingat dengan gambar, lebih suka
membaca dari pada dibacakan.
3. Membutuhkan gambaran dan tujuan
menyeluruh dan menangkap detail-detail,
mengingat apa yang dilihat.
Audiotorial: Modalitas ini mengakses segala jenis
kata dan bunyi, yang diciptakan maupun diingat.
Musik, nada, irama, rima, dialog internal, dan
suara menonjol dalam modalitas ini. Seseorang
yang memiliki kecenderung menggunakan
modalitas ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perhatiannya mudah terpecah.
2. Berbicara dengan pola berirama.
3. Belajar dengan cara mendengarkan,
menggerakkan bibir / berbicara pada saat
membaca.
4. Berdialog baik secara internal (dalam hati)
maupun eksternal (bersuara).
Kinestetik: Modalitas ini mengakses segala jenis
gerak dan emosi, yang diciptakan maupun
diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan
emosional, dan kenyamanan fisik menonjol disini.
Seseorang yang memiliki kecenderung
menggunakan modalitas ini memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Menyentuh orang lain dan berdiri berdekatan,
banyak bergerak.
2. Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan
saat membaca, menanggapi secara fisik.
3. Mengingat sambil berjalan dan melihat.
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
Sampai saat ini kita telah mengenal tiga jenis
modalitas belajar yaitu visual (penglihatan),
audiotorial (pendengaran), dan kinestetik (gerak).
siswa yang memiliki kecenderungan
menggunakan modalitas visual dikatakan sebagai
pelajar visual, yang menggunakan modalitas
audiotorial disebut sebagai pelajar audiotorial,
dan yang menggunakan modalitas kinestetik
disebut sebagai pelajar kinestetik.
saraf yang dapat memperkuat belajar siswa kita
(dalam DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie,
Sarah Singer, 2000).
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk merangsang ketiga modalitas tersebut
yaitu:
Visual
1. Menggunakan kertas tulis dengan tulisan
berwarna.
2. Menggantungkan grafik di dinding sekeliling
ruang kelas yang berisi tentang informasi
Saran Aplikasi
penting dalam materi.
3. Mendorong siswa untuk menggambarkan
Sebagai seorang guru, kita harus dapat
informasi yang diterimanya dengan
mengakomodasi setiap kebutuhan siswa untuk
menggunakan peta pikiran, diagram, tulisan
dapat memproses informasi yang diterimanya
berwarna.
sesuai dengan modalitas belajarnya. Memang 4. Membagikan frase-frase atau garis besar setiap
terlihat sangat merepotkan dan mungkin
materi pelajaran yang disampaikan dengan
melelahkan jika kita harus memenuhi semua
memberikan ruang yang kosong untuk
kebutuhan siswa, namun hal tersebut sudah
menambahkan catatan.
menjadi tugas kita agar setiap informasi (materi 5. Memberikan kode warna untuk tiap-tiap
pelajaran) yang kita sampaikan dapat diterima
materi yang hendak disampaikan.
dan dipahami dengan baik
6. Menggunakan bahasa
oleh setiap siswa. Di dalam
yang dapat menciptakan
Hasil penelitian
kelas kita tidak hanya
visualisasi pada diri anak.
menggunakan
satu
Misalnya: bayangkanlah
menunjukkan semakin
modalitas yang sesuai
bola dunia yang sedang
banyak modalitas yang kita
dengan kecenderungan
berputar mengelilingi
libatkan secara bersamamodalitas belajar kita. Kita
matahari (jika kita sedang
harus mencoba untuk
mempelajari
tentang
sama, maka belajar akan
menggunakan
ketiga
revolusi bumi), dan
semakin ‘hidup’, berarti, dan
modalitas tersebut dalam
sebaginya.
bisa melekat.
metoda
pengajaran.
Audiotorial
Modalitas seperti ‘jalan tol
1. Menggunakan variasi
utama’ untuk memproses rangsangan yang
vokal (ritme, volume suara, intonasi) yang
datang kepada diri kita dari dunia luar. Yang
digunakan pada saat menyampaikan materi
perlu diingat bahwa setiap orang memiliki ketiga
pelajaran.
modalitas belajar tersebut, namun kita cenderung
2. Menggunakan penggulangan dengan cara
hanya menggunakan satu modalitas.
meminta siswa mengulang kembali konsepMeskipun kita hanya menggunakan satu
konsep kunci yang telah dipelajari.
modalitas, namun kedua modalitas yang lainnya
3. Mengembangkan dan mendorong setiap
tetap ada di dalam diri kita. Jika kita mencoba
siswa untuk membuat ‘jembatan keledai’
untuk merangsang penggunaan kedua modalitas
untuk menghapal konsep kunci. Misalnya:
yang lainnya, maka kita dapat menggunakan
warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU
seluruh modalitas yang kita miliki. Dari hasil
(merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila,
penelitian menunjukkan semakin banyak
Ungu).
modalitas yang kita libatkan secara bersama4. Menggunakan musik sebagai aba-aba untuk
sama, maka belajar akan semakin ‘hidup’, berarti,
memulai suatu kegiatan (misal musik barok
dan bisa melekat. Menurut Richard Restak (1995),
untuk mulai menfokuskan perhatian).
setiap kali suatu pola saraf tertentu ‘menembak’,
5. Mendorong siswa terutama untuk pelajar
maka jalur yang sama akan semudah itu pula
audiotorial untuk merekam informasidiaktifkan kembali. Dalam kasus ini, dengan cara
informasi penting untuk kemudian
melibatkan lebih banyak modalitas dalam
didengarkan ulang karena pelajar audiotorial
pengajaran, kita memicu lebih banyak lagi jalur
tidak terlalu senang mencatat.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
49
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
6.
Mengijinkan siswa untuk berbicara secara
perlahan pada saat sedang mempelajari
konsep yang harus dipahaminya.
Kinestetik
1. Menggunakan alat bantu pada saat mengajar
untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan
menekankan konsep-konsep kunci.
2. Menggunakan simulasi konsep agar setiap
siswa dapat mengalaminya sendiri.
3. Mencoba berbicara dengan siswa secara
pribadi setiap hari, misalkan: “ibu senang
kamu sudah terlibat aktif di kelas hari ini”.
4. Memperagakan setiap konsep yang diajarkan
dan memberikan kesempatan kepada setiap
siswa untuk mencoba mempelajarinya
langkah demi langkah.
5. Melakukan lakon pendek dapat membantu
siswa untuk memahami materi yang
dipelajarinya. Setiap siswa didorong untuk
membuat lakon pendek tentang materi yang
dipelajari. Misalnya: pada pelajaran biologi
yang mempelajari tentang rantai makanan,
bagi siswa ke dalam beberapa kelompok yang
berbeda jumlah anggotanya, jelaskan bahwa
yang lebih banyak adalah yang jadi mangsa
sedangkan yang lebih kecil menjadi
pemangsa kelompok yang lebih besar.
Langkah awal yang harus kita lakukan
adalah dengan cara mengenali setiap modalitas
belajar yang digunakan oleh setiap siswa. Dengan
mengenali cara mereka memproses informasi,
maka akan turut mempengaruhi strategi
pembelajaran yang diterapkan oleh kita di dalam
kelas. Namun bukan berarti bahwa kita hanya
merangsang satu modalitas belajar pada siswa,
tapi doronglah setiap siswa untuk melibatkan
seluruh modalitas belajar yang dimilikinya,
karena dengan melibatkan seluruh modalitas
tersebut akan dapat membantu siswa untuk
memahami materi pelajaran yang diterimanya.
Memang terlihat ‘repot’ dalam menerapkan
metoda belajar ini, namun jika kita mampu untuk
merangsang setiap siswa untuk mengaktifkan
seluruh modalitas belajar yang dimilikinya maka
proses belajar akan dapat dijalaninya dengan lebih
mudah. Dengan pengaktifan ketiga modalitas ini,
akan meningkatkan konsentrasi siswa. Jika siswa
mampu menfokuskan perhatian dalam proses
belajar tersebut sudah pasti kita tidak perlu lagi
‘berteriak’ kepada siswa yang malas dan ribut
karena tidak bisa berkonsentrasi sehingga energi
kita bisa lebih terfokus untuk menyampaikan
materi pelajaran.
50
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Bukan hanya siswa yang dituntut untuk
melibatkan ketiga modalitas belajar tersebut, tapi
guru pun harus melibatkan ketiga modalitas
tersebut dalam menyampaikan materi pelajaran.
Pada awal kita mencoba mungkin akan merasa
repot karena cukup banyak persiapan yang harus
dilakukan, namun jika hal ini telah dilakukan
terus menerus maka kita akan terbiasa dan ‘beban’
untuk menyiapkan bahan-bahan pengajaran pun
mungkin akan berkurang.
Sebagai contoh yang mungkin bisa
diaplikasikan dalam merangsang ketiga modalitas
belajar, misal dalam pelajaran ekonomi, guru yang
membahas tentang pasar dapat membuat bagan
atau grafik yang berwarna-warni tentang jalur
distribusi dan langkah-langkah yang tercakup
dalam proses penjualan dan pembelian dan
kemudian diletakkan/digantungkan di dinding
kelas selama pelajaran berlangsung (untuk
merangsang modalitas visual), kemudian guru
menerangkan setiap langkah-langkah yang
tercakup dalam proses penjualan dan pembelian
dengan menggunakan variasi suara seperti
intonasi, ritme, dan volume suara sehingga tidak
terkesan monoton yang dapat menimbulkan
kejenuhan terhadap siswa (untuk merangsang
modalitas audiotorial). Setelah diberikan penjelasan
tentang proses penjualan dan pembelian, guru
dapat meminta setiap siswa untuk membentuk
kelompok-kelompok kecil dan kemudian meminta
setiap kelompok untuk membuat suatu lakon
(drama) kecil yang menggambarkan atau
mensimulasikan tentang proses jual beli yang
terjadi di pasar (untuk merangsang modalitas
kinestetik).
Jikalau memang guru terlalu sibuk untuk
menyiapkan bahan-bahan tersebut, maka guru
pun dapat menugaskan setiap siswa, misalnya
bagi pelajar visual dapat diberikan tugas untuk
membuat bagan atau grafik yang menarik (meriah)
tentang materi yang akan dipelajari. Bagi pelajar
audiotorial dapat ditugaskan untuk membuat
’jembatan keledai’ (jika memungkinkan) yang
dirasakan dapat membantu siswa untuk
mempelajari materi dengan lebih mudah. Bagi
pelajar kinestetik, guru dapat menugaskan kepada
mereka untuk menyusun skenario lakon (drama)
yang akan diperankan mengenai materi yang
akan dipelajari oleh siswa.
Dengan penugasan ini bukan berarti
membebani mereka karena jika siswa diberikan
tugas sesuai dengan modalitas belajarnya, maka
siswa tersebut akan merasa senang. Selain itu
Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa
seorang guru bukan hanya bertanggung jawab
menyampaikan materi, tapi juga ‘mengorkestrasi’
kelas tersebut sehingga setiap komponen yang ada
di dalam kelas dapat bersinergi untuk mencapai
satu tujuan yaitu meningkatkan konsentrasi
belajar dalam upaya untuk memperoleh
pemahaman terhadap materi yang sedang
dipelajari sehingga dapat memberikan hasil (nilai)
yang baik pula.
Kesimpulan
Setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda
dan memiliki gaya belajar yang berbeda dalam
memproses informasi guna memahami
pemahaman dalam rangka memperoleh hasil
belajar yang optimal. Kemampuan untuk dapat
memproses informasi tersebut dibutuhkan
kemampuan konsentrasi pada siswa tersebut.
Namun, pada kenyataannya cukup banyak siswa
yang tidak mampu berkonsentrasi karena salah
satu faktornya adalah tidak sesuainya gaya
pengajaran yang diterapkan oleh guru dengan
modalitas belajar setiap siswa.
Oleh karena setiap siswa memiliki kecenderungan
untuk menggunakan modalitas belajar yang
berbeda, maka gaya pengajaran yang dilakukan
harus dapat berkesesuaian dengan ketiga
modalitas belajar yaitu visual, audiotorial,
kinestetik. Dengan mencoba menggunakan ketiga
modalitas
belajar, maka guru dapat
mengakomodir setiap gaya belajar yang kerap kali
digunakan oleh siswa. Selain itu guru dapat
merangsang dan melatih siswa untuk
menggunakan ketiga modalitas belajar secara
bersama-sama dalam rangka meningkatkan
efektivitas proses belajar yang dilakukan dalam
rangka memperoleh hasil belajar yang optimal.
Perangsangan ketiga modalitas tersebut yaitu
dengan cara membuat bagan atau grafik berwarnawarni untuk merangsang modalitas visual,
memberikan penjelasan dengan menggunakan
variasi suara seperti intonasi, ritme, dan volume
suara untuk merangsang modalitas visual, serta
mengajak setiap siswa untuk membuat lakon
(drama) kecil yang mensimulasikan materi yang
sedang dipelajarinya.
Dengan mengoptimalkan penggunaan modalitas
belajar siswa melalui metode belajar dan
pembelajaran yang bervariasi diharapkan dapat
meningkatkan konsentrasi siswa. Dilain pihak,
siswa juga dapat memperoleh pengalaman belajar
yang menarik sehingga dapat meningkatkan
peranan, motivasi, dan hasil belajarnya.
Daftar Pustaka
DePorter, dkk. (2000). Quantum teaching:
Mempraktikkan quantum learning di ruangruang kelas. PT. Mizan Pustaka: Bandung.
Gordon Dryden & Jeannette Vos. (1999). Revolusi
belajar: The learning revolution. Bandung:
Kafia
http://www.medikaholistik.com/ Pengaruh modalitas
belajar dan musik saat bekerja.
http://www.minggupagi.com/Melatih konsentrasi
belajar anak/24 Agustus 2004
http://www.sscbandung.net/Kosentrasi kunci
keberhasilan belajar anak didik/19 September
2003
http://www.irckesehatan.net/Keringat yang
terbuang
Slameto. (1988). Belajar dan Faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
51
Opini
Mengasah
Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar
Reny Novita*)
Abstrak
Penerapan Kurikulum Berbasisi Kompetensi perlu disertai dengan pengembangan kecerdasan intelektual
(IQ) dan kecerdasan emosi (EQ), sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. IQ dan EQ itu
perlu dikembangkan sedini mungkin melalui proses pembelajaran mulai dari TK. Tulisan ini memberikan berbagai
cara mengembangkan IQ dan EQ dalam pembelajaran di TK dan SD dengan contoh nyata. Pemahaman
akan konsep IQ dan EQ serta contoh cara mengembangkannya diharapkan dapat memotivasi guru untuk
menerapkan dan mengembangkannya masing-masing di sekolah dengan berbagai latar belakang yang berbeda.
Dengan demikian diharapkan berbagai dimensi kecerdasan dalam multiple intelegence bisa berkembang.
Kata kunci : Intelligence Quotient (IQ), dan Emotional Quotient (EQ)
Competency Based Curriculum should be implemented together with the development of Intellegence
Quotients (IQ) and Emotional Quotients (EQ) in order to achieve the instructional objectives properly. IQ
and EQ are expected to be developed as early as possible starting from Kindergarten. This article discusses
same methods how to develop IQ and EQ both in kindergarten and Premary School with a number of
practical examples based on the writer’s experience. The understanding of IQ and EQ concepts are regarded
very important to motivate the teachers to apply the concepts in the real class situations with different
backgrounds. Developing IQ dan EQ is also expected to enable the teachers to develop all dimensions of
multiple intelligence simultanously.
Pendahuluan
nak didik merupakan aset generasi
penerus bangsa yang harus dipersiapkan
sejak dini untuk menghadapi tantangan
global di masa mendatang. Menjawab
tantangan tersebut maka Departemen Pendidikan
Nasional (Depdiknas) menyusun Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) yang merupakan
refleksi, pemikiran, atau pengkajian ulang dan
penilaian terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar
dan Menengah tahun 1994 beserta
pelaksanaannya. Hasil analisis yang mendalam
terhadap keadaan dan kebutuhan anak didik di
masa sekarang dan yang akan datang
menunjukkan perlunya KBK yang dapat
membekali peserta didik untuk menghadapi
tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas,
A
dinamis, kreatif dan produktif (Panduan Umum
Bimbingan Konseling di Sekolah dalam Rangka
KBK, Balitbang Depdiknas, Oktober 2002).
KBK yang diterapkan di sekolah diharapkan
dapat membekali peserta didik untuk
menghadapi tantangan hidup di masa yang akan
datang, sehingga dapat meminimalisasi
tumbuhnya ‘the lost generation’. KBK sangat
berkaitan dengan kemampuan Intelligence
Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) pada
anak didik karena aspek-aspek mandiri, dinamis,
kreatif dan produktif ada di dalam aspek
kecerdasan emosi (EQ) sedangkan yang dimaksud
dengan aspek cerdas adalah cerdas dalam
kemampuan kognitif (IQ). Atas dasar itulah maka
dipandang perlu untuk menerapkan IQ dan EQ
dalam metode pembelajaran pada anak didik
untuk meraih keberhasilan yang dapat diterapkan
oleh pendidik di sekolah dan orang tua dirumah
sebagai penunjang pelaksanaan KBK.
*) Guru SD BPK PENABUR Metro, Juara III Lomba Karya Tulis HUT ke-55 BPK PENABUR Kategori Guru
TKK dan SD
52
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
Pengenalan Kecerdasan
Intelektual (IQ) pada Anak Didik
Anak cerdas merupakan dambaan setiap orang,
sebab kecerdasan merupakan modal anak untuk
mengarungi kehidupan di masa mendatang.
Banyak ahli yang sepakat mengatakan bahwa
semua anak pada dasarnya cerdas. Ebbinghous
(1897) dalam Suryabrata (2002: 125)
mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan
untuk membuat kombinasi. Sementara Terman
(1921) juga dalam Suryabrata (2002: 125)
mengatakan bahwa inteligensi adalah suatu
kemampuan untuk berpikir abstrak. Meskipun
kecerdasan dipengaruhi oleh faktor genetik atau
keturunan, tetapi faktor ini hanya berperan 48%
dalam membentuk IQ anak dan sisanya adalah
faktor lingkungan, termasuk ketika anak masih
dalam kandungan.
Beberapa ahli genetik mengungkapkan bahwa
gen ibu yang ditandai dengan faktor kromoson X
merupakan pembawa kecerdasan pada anak lakilaki maupun perempuan. Sedangkan pengaruh
lingkungan terhadap kecerdasan antara lain:
kecukupan gizi yang baik semasa bayi, lancar
tidaknya proses kelahiran, dan ada tidaknya
stimulus yang tepat. Perlu diingat bahwa faktor
genetik, proses persalinan dan aspek gizi sewaktu
bayi tidak mungkin diubah lagi bila anak sudah
melewati semua tahapan itu. Yang masih bisa
diusahakan adalah pemberian stimulasi atau
rangsangan secara tepat dalam suasana bermain.
Hal yang membuat anak didik berkembang
menjadi anak didik yang luar biasa atau biasabiasa saja tak lain adalah stimulus dari pendidik
dan orang tua. Jadi kalau seorang anak didik
sudah diberi kemampuan sampai batas-batas
tertentu maka kemampuannya memang tidak
akan dapat terlalu jauh bergeser atau dengan kata
lain kapasitasnya sudah tidak bisa diubah lagi,
sementara yang bisa dioptimalkan adalah
fungsinya.
Secara logika pemberian stimulus berupa
aneka
permainan
akan
merangsang
berkembangnya jaringan saraf di otak anak
sekaligus menghubungkan antara otak kiri dan
kanan. Perkembangan ini berpengaruh terhadap
peningkatan kemampuan kognitif seseorang, dan
apabila rangsangan ini dilakukan sejak lahir,
terus-menerus, bervariasi, dengan suasana
bermain dan kasih sayang dengan pola
pengasuhan yang otoritatif (demokratik) akan
memacu berbagai aspek kecerdasan anak didik
yaitu kecerdasan multipel seperti logika
matematik, komunikasi bahasa (linguistik),
kecerdasan musikal, gerak (kinestetik), visio spasial,
senirupa dan lain-lain. Selama stimulus itu
dilakukan dalam suasana bermain dan tidak ada
unsur paksaan, maka anak didik akan menikmati
dan lebih mudah menerima. Tetapi sebaliknya
jika sudah ada unsur paksaan maka anak didik
akan tertekan dan hasilnyapun tidak seperti yang
diharapkan.
Strategi Mengasah IQ
Siswa TKK dan SD
Beberapa bentuk stimulus melalui permainan
yang dapat mencerdaskan (usia 3 tahun ke atas:
Play Group/Kelompok Bermain – SD) antara lain:
1. Merangsang kecerdasan musikal (bunyibunyian)
a. Mainan berupa alat musik drum dan
piano.
b. Bunyi kaleng yang ditabuh secara asal.
2. Merangsang kemampuan kognisi (permainan
konstruktif)
a. Menyusun Lego.
b. Menyusun Puzzle.
3. Merangsang kemampuan berbahasa dan
kognisi (benda–benda berbagai ukuran, berat,
bentuk, tekstur, rasa dan warna)
a. Mainan berbentuk huruf, bermanfaat
sebagai sarana latihan membaca.
b. Komunikasi bersama anak dengan
menyebutkan kata-kata sifat yang sering
digunakan (besar-kecil, panas-dingin,
banyak-sedikit, tinggi-rendah, enak-tidak
enak)
c. Mengenalkan rasa sambil menyebutkan
benda yang mewakilinya “Ini madu.
Maniskan?” Suatu saat anak paham akan
aneka rasa.
d. Permainan tanpa modal seperti busa
sabun, sisa kain perca, kulit semangka,
dan bebatuan dengan berbagai ukuran.
e. Mainan bulatan dan kubus dengan
berbagai ukuran yang bisa dimasukkan
ke tiang kecil.
f. Boneka–boneka yang terbuat dari bahan
dengan bermacam tekstur, hingga anak
bisa membedakan halus, lembut, kasar
dan sebagainya.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
53
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
g.
4.
5.
6.
7.
Bola–bola dengan berbagai warna seperti
merah, kuning, hijau dan biru dengan
cara menyebutkan warna yang
digunakan untuk bermain. Hindari
pengenalan warna-warna buram seperti
abu-abu, dan coklat karena warna-warna
ini kurang menarik perhatian anak.
Merangsang kemampuan logika matematika
(mendongeng sambil berhitung)
a. Dongeng tentang “Putri Salju”, sambil
bercerita pendidik atau orang tua bisa
bertanya kepada anak didik “tadi
kurcacinya sudah datang dua terus
datang satu lagi jadi kurcacinya sekarang
ada berapa ya?”
b. Selain bisa menyisipkan pesan moral
dalam dongeng, pendidik atau orang tua
pun sekaligus mengajarkan anak didik
berhitung.
Merangsang perkembangan gerak halus,
kemandirian, emosi dan sosial
a. Memakai baju, sepatu dan makan sendiri,
dan menyikat gigi sendiri.
b. Menggambar garis, lingkaran dan
manusia.
Merangsang gerak kasar dan keseimbangan
a. Berdiri satu kaki.
b. Permainan meniti kayu.
Merangsang kemampuan naturalis
a. Menanam biji hingga tumbuh.
b. Memelihara tanaman dalam pot.
c. Memelihara binatang.
d. Berkebun.
e. Wisata di hutan, gunung, sungai dan
pantai.
f. Mengamati langit, awan, bulan dan
bintang.
Pengenalan Kecerdasan
Emosional (EQ) pada Anak Didik
Kecerdasan Emosional dicetuskan pertama kali
oleh Peter Salovey dan John Mayer (1990) dalam
Shapiro (2003: 5) yang mendefinisikan EQ sebagai
“himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan dan
emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain, memilah-milah semuanya, dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing
pikiran dan tindakan”. EQ ini kemudian
dipopulerkan oleh Daniel Golemen (1995) dalam
54
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Shapiro (2003: 5) yang mengatakan bahwa EQ
adalah “kemampuan untuk berempati,
mengungkapkan dan memahami perasaan,
mengendalikan amarah, mandiri, menyesuaikan
diri, disukai, memecahkan masalah antar pribadi,
ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan
sikap hormat”. Setelah sekian lama kita hanya
mengenal IQ maka sekarang semua orang di dunia
tertuju kepada EQ dimana IQ ternyata hanya
berperan sebanyak 20% bagi keberhasilan anak
didik sedangkan 80% lainnya adalah EQ termasuk
di dalamnya pengaruh lingkungan yang telah
disebutkan di atas. Berdasarkan hal ini maka
banyak para orangtua dan pendidik di negaranegara luar termasuk Indonesia sekarang dapat
mengambil kesimpulan bahwa EQ adalah
merupakan cara baru untuk membesarkan anak.
Kecerdasan emosional ternyata tidak begitu
dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga
membuka kesempatan bagi pendidik dan orang
tua untuk melanjutkan apa yang sudah
disediakan oleh alam agar anak didik mempunyai
peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan.
Contoh:
1. Permainan bola logam mengkilap yang
diletakkan pada pelat yang terpasang pada
sebuah menara di TK Miss Ansel. Anak
diminta menaikkan pelat ini ke puncak
menara tanpa menjatuhkan bola kecilnya.
2. Permainan Hula Hop di TK BPK PENABUR
Metro Lampung
Berdasarkan permainan ini dapat dilihat
anak-anak yang masih alami, bahkan ketika
menghadapi sesuatu yang mustahil dan
kegagalan berulang kali.
Menurut Deborah Stipek dalam Shapiro
(2003: 5) anak hingga usia 6 atau 7 tahun menaruh
harapan yang tinggi untuk berhasil meskipun
kinerja pada usaha-usaha yang dilakukannya
hampir selalu buruk. Ciri yang diperagakan oleh
anak taman kanak-kanak tersebut seperti keuletan,
optimisme, motivasi diri, dan antusiasme adalah
bagian dari yang disebut Kecerdasan Emosional.
Kecerdasan Emosional dapat diterapkan
apabila pendidik atau orang tua menjalankan
perannya sesuai dengan pola pengasuhan yang
otoritatif (demokratik) yaitu pendidik dan orang tua
yang selalu memberikan bimbingan, tetapi tidak
mengatur mereka memberi penjelasan tentang
yang mereka lakukan serta membolehkan anak
didik memberi masukan dalam pengambilan
keputusan, menghargai kemandirian anak didik
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
tetapi menuntut mereka memenuhi tanggung
jawab yang tinggi kepada keluarga, teman dan
masyarakat, upaya untuk berprestasi mendapat
dorongan dan pujian.
Cara-cara Mendidik Anak Agar
Memiliki EQ Tinggi
Mendidik anak memiliki EQ tinggi dapat
mencakup berbagai tujuan yang bermanfaat bagi
anak dalam kehidupannya.
Empati dan Mengungkapkan Serta
Memahami Perasaan
4.
Contoh:
a. Ajak anak didik untuk ikut dalam kerja
bakti di lingkungan sekitar rumah.
b. Ajak anak didik ke panti asuhan dan lainlain.
Permainan ungkapan perasaan
Contoh:
Pendidik harus mempersiapkan gambar
tokoh manusia dengan berbagai ekspresi
wajah dan aktivitas, kemudian anak didik
diminta untuk menuliskan atau menyebutkan
ungkapan perasaan apa yang dilihatnya dari
gambar yang diperlihatkan, dengan cara
berkelompok. Kelompok yang betul
menyebutkannya akan mendapatkan nilai
dan yang paling tinggi akan menang.
(gambarnya harus disesuaikan bobot
kesulitannya untuk Kelompok Bermain, TK
sampai dengan SD kelas VI).
Cara yang dapat dilakukan untuk: Kelompok
Bermain, TK, SD kelas I – VI:
1. Perketat tuntutan anda pada anak didik
mengenai sikap peduli dan tanggung
jawabnya.
Mengendalikan Amarah
Contoh:
a. Peduli terhadap teman yang sakit/ Mengajarkan pengendalian emosi kepada anak
didik bisa dengan cara berbicara dengan anak
kesusahan.
untuk membantu mereka
b. M e m b a n t u
mengembangkan
p e k e r j a a n
pemahaman
akan
pembantu
di
Mendidik anak memiliki EQ
rumah.
perasaan-perasaan
entah
tinggi dapat mencakup
c. Ajari anak didik
dalam rapat keluarga atau
berbagai tujuan yang
untuk mengerjakan
diskusi kelompok tetapi
bermanfaat bagi anak dalam
pekerjaan rumah
hal ini belum cukup tanpa
mereka seperti
anak sendiri harus
kehidupannya.
membereskan
menyadari bahwa rasa
tempat
tidur
amarahnya
tersebut
(artinya anak diajarkan tanggung jawab). tidaklah ada gunanya dan anak harus
Perlu diingat bahwa pendidik dan orang mempraktekan pengendalian emosi ini pada
tua juga harus bertanggung jawab, waktu sedang diganggu atau merasa terganggu.
Contoh permainan pengendalikan amarah
jangan memanjakan mereka dan tidak
memberi imbalan kepada anak didik
yang dianjurkan:
berupa uang/hadiah tapi berilah pujian 1. TK dan SD kelas I-III: mengambil batang korek
bahwa dengan membantu orang lain
api atau lidi batang demi batang dari suatu
maka anak didik telah berbuat benar dan
kumpulan tanpa menyentuh yang lain.
2. SD kelas IV-V: memisahkan benang yang
akan disayang orang tua dan Tuhan.
dikusutkan menjadi tidak kusut/rapi.
2. Praktekkan perbuatan baik.
3. SD kelas VI: membawa air di dalam gayung
Contoh:
yang bocor.
a. Ajari anak didik untuk memberi makanan
pada teman yang tidak punya makanan.
b. Ajari anak didik membukakan pintu
Memecahkan Masalah antar Pribadi
untuk seorang ibu yang sudah tua atau
Apabila anak didik menyaksikan kita dengan
guru.
tenang membahas sebuah masalah, menguraikan
c. Menengok teman yang sakit.
3. Libatkan anak didik dalam kegiatan segala sesuatu, dan menimbang semua
pemecahan yang mungkin, mereka dengan
pelayanan masyarakat.
sendirinya mulai meniru perilaku tersebut. Begitu
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
55
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
juga sebaliknya apabila kita menunjukan sikap
tersinggung, tidak mau kalah, tertekan atau kesal
karena masalah kita maka anak didik akan
mempelajarinya.
Cara yang dapat diterapkan agar anak didik
mampu memecahkan masalah:
1. SD kelas I - VI: dengan melakukan rapat
keluarga atau diskusi kelompok tentang
masalah yang dihadapi seluruh anggota
keluarga atau anak didik disekolah dan
jangan mengkritik.
2. Kelompok Bermain, TK, dan SD kelas I - III:
dengan melakukan permainan kata “Lakukan
sesering mungkin”:
a. ya/tidak
b. dan/atau
c. sebagian/semua
d. sebelum/sesudah
e. sekarang/nanti
f.
sama/berbeda
Ibu/Guru: (bertanya di tokomakanan) “Ayo
kita bermain Ya/Bukan”(sambil
berbelanja
anak
diminta
membayangkan saja). “Ini kue. Ini
makanan tambahan, bukan
makanan utama. Ini apel. Apakah
ini makanan utama?”
Anak : “Bukan. Ini buah-buahan. Ini sama
dengan camilan”.
Ibu/Guru: “Betul. Ini bukan makanan utama.
Ini makanan tambahan atau
makanan ringan”. Bisakah kamu
menolong ibu mencarikan atau
menyebutkan makanan lain untuk
makan malam, tapi bukan
makanan utama?”
3. SD kelas I–III: Dengan permainan sumbang
saran yaitu meminta anak didik untuk
menyebutkan masalah yang sering terjadi di
dalam kelas kemudian meminta anak
menyebutkan solusi atau cara mengatasi
masalah tersebut sebanyak mungkin
kemudian pendidik dan anak didik kembali
untuk memilih solusi yang paling baik.
Pendidik membagi kelas itu ke dalam
beberapa kelompok. Tiap kelompok akan
memperoleh angka untuk setiap solusi atau
saran. Pendidik menuliskan tiap saran yang
muncul, kemudian melingkari gagasangagasan yang baik, dan mengabaikan yang
terlalu mengada-ada. Tujuan permainan ini
adalah menghadirkan gagasan berupa saran
sebanyak-banyaknya. Apabila anak didik
56
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
4.
mencoba memecahkan masalah, anak perlu
memperhitungkan semua solusi atau saran
yang mungkin, kemudian kembali untuk
memilih solusi atau saran yang paling baik.
SD kelas I–VI dengan permainan clue–less
(permainan saling ketergantungan untuk
memecahkan masalah) dengan cara pendidik
terlebih dahulu membuat bentuk permainan
seperti permainan mencari jalan keluar yang
berbentuk garis lurus ada jalan masuk dan
jalan keluar yang di dalamnya ada jalan
buntu dan ada jalan tanpa hambatan di
kertas. Pendidik meminta anak didik untuk
memainkan permainan tersebut dengan cara
berpasangan di mana yang satu menutup
matanya untuk bermain mencari jalan keluar
dan anak yang satunya memberikan perintah
berupa aba-aba sampai nememukan jalan
keluarnya. Kemudian bergantian posisi
bermain. Sebelumnya anak harus menuliskan
masalah yang dihadapinya dan menentukan
cara mengatasi masalah tersebut. Pendidik
kemudian memberikan penjelasan bahwa
untuk mengatasi masalah memang sangat
sulit butuh kerjasama dengan orang lain,
harus sabar, kerja keras, dan jangan mudah
menyerah.
Sikap Hormat (Sopan Santun)
Cara mengajarkan perilaku yang lebih sopan
kepada anak adalah menaikkan tingkat tuntutan
yang anda tetapkan dalam hal sopan santun.
Apabila Anda merasa bahwa tuntutan sudah
cukup tinggi, naikkan lagi tuntutan itu. Jangan
bertoleransi terhadap sikap tidak hormat, kasar,
dan tidak sopan, apapun alasannya.
Sopan santun adalah salah satu keterampilan EQ
yang paling mudah diajarkan, tetapi pengaruhnya
luar biasa pada keberhasilan mereka dalam
pergaulan di kemudian hari.
Cara yang dapat diterapkan pada anak didik
dalam mengajarkan sikap hormat:
TK - SD kelas I - IV: sebelumnya pendidik harus
menjelaskan terlebih dahulu tentang sopan
santun, kemudian menyebutkan contoh macammacam sopan santun yang harus dilakukan anak.
Pendidik meminta anak untuk memperagakan
dan menyebutkan cara bersopan santun kedepan
kelas ketika berbicara dengan orang yang lebih
tua, bertamu di rumah orang, makan dimeja, dan
lain-lain.
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
Kemampuan Adaptasi
(Penyesuaian Diri)
Agar anak didik mampu untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan orang lain maka anak
didik harus mampu untuk mengendalikan rasa
marahnya, sopan, tidak pendiam, harus percaya
diri dan tidak pemalu karena kemampuan
penyesuaian diri ini sangat menuntut seorang
anak untuk bertingkah laku yang sesuai, cocok,
tepat dan mengena dengan lingkungan sekitar di
mana anak didik itu berada.
Cara agar anak mampu beradaptasi.
1. SD kelas IV–V: pendidik mempersiapkan
gambar dengan situasi tertentu kemudian
anak didik diminta untuk menuliskan cerita
dengan menyebutkan macam-macam tingkah
laku apa yang dilakukan dan apa yang
dibicarakan sementara anak didik
membayangkan berada sebagai tokoh di
dalam gambar tersebut.
2. SD kelas VI: pendidik meminta anak didik
untuk langsung memperagakan kemampuan
penyesuaian diri ini di lapangan misalnya di
kelas TK ketika anak didik tengah bermain
atau makan, kemudian meminta anak didik
untuk berbicara, bertingkah laku sesuai
dengan situasi yang mereka lihat. Pendidik
mengobservasi per kelompok anak dengan
melihat apa yang sedang mereka lakukan.
Demikianlah yang dapat dilakukan pendidik
atau orang tua guna menerapkan EQ pada anak
didik untuk meraih keberhasilan. Namun perlu
diingat bahwa sebelum pendidik menerapkan
pengajaran kecerdasan emosional di sekolah, para
pendidik harus terlebih dahulu menyampaikan
materi berupa teori tentang aspek kecerdasan
emosional tersebut agar anak mengerti bahwa
permainan–permainan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan dari aspek kecerdasan
emosional.
Pola pembelajaran berdasarkan EQ ini
diterapkan di sekolah-sekolah di Northern
California, yaitu di tingkat TK hingga SD kelas 6,
dinilai oleh pengamat-pengamat independen,
dengan memperbandingkan sekolah-sekolah
kontrol dan hasil yang didapat, anak lebih
bertanggung jawab, lebih tegas, lebih populer dan
mudah bergaul, lebih bersifat sosial dan suka
menolong, lebih memahami orang lain, lebih
tenggang rasa, penuh perhatian, lebih pintar
menerapkan strategi yang lebih peduli lingkungan
untuk menyelesaikan masalah antarpribadi, lebih
harmonis, lebih demokratis dan lebih terampil
dalam menyelesaikan konflik (Golemen, 1999:
219).
TK dan SD BPK PENABUR Kota Metro
Lampung sudah mulai mencoba menerapkan
pola pembelajaran tersebut semenjak tahun 2004.
Meskipun terlalu dini untuk menilainya, sedikit
banyak tampak bahwa pada tes IQ yang
dilakukan sudah memperlihatkan hasil yang
memuaskan. Sedangkan untuk EQ yang baru
dalam setahun terakhir juga mulai diterapkan
menampakkan hasilnya dalam perubahan sikap
atau tingkah laku anak didik yang lebih sopan,
percaya diri, mandiri, lebih sabar, termotivasi dan
sikap yang lebih baik.
Apabila kecerdasan emosional ini terus
diajarkan kepada anak didik maka anak akan
lebih terampil dalam kemampuan sosial,
pengendalian diri yang lebih baik, berpikir dahulu
sebelum bertindak dan suasana kelas yang lebih
positif. Kecerdasan emosional ini dapat diajarkan
oleh guru Bimbingan Konseling (BK)/Bimbingan
dan Penyuluhan (BP) atau guru wali kelas.
Menerapkan pendekatan pembelajaran
berdasarkan IQ dan EQ memang tidak mudah
tetapi memberikan hasil yang sangat positif untuk
meraih keberhasilan anak didik. Apalagi bila IQ
dan EQ diterapkan secara bersamaan dan saling
berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan
konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya,
seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif
sekaligus keterampilan sosial dan emosional,
sebagaimana ditunjukkan oleh negarawannegarawan besar dunia. Menurut pakar ilmu
politik di Duke University, James David Barner
dan Thomas Jefferson memiliki perpaduan antara
kepribadian dan intelektualitas yang nyaris
sempurna. Ia dikenal sebagai komunikator yang
hebat dan penuh empati, selain sebagai seorang
jenius sejati.(Shapiro, 2003: 9). Tokoh tersebut
dapat dijadikan motivasi kita sebagai pendidik
untuk dapat menerapkan metode ini agar anak
didik kita menjadi anak-anak yang berhasil dan
sukses meraih impian di masa yang akan datang.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Dengan pendekatan pembelajaran yang
menerapkan IQ, anak didik akan lebih cerdas
secara kognitif bahkan cerdas secara multiple,
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
57
Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran
2.
3.
58
tentunya dengan memberikan stimulus
dengan suasana yang menyenangkan
(bermain).
Pendekatan pembelajaran yang menerapkan
EQ maka anak didik akan lebih terampil
dalam kemampuan sosial, pengendalian diri
yang lebih baik, berpikir dahulu sebelum
bertindak, dan suasana kelas yang lebih
positif.
Pendekatan pembelajaran yang menerapkan
IQ dan EQ akan tercapai apabila pendidik
atau orang tua menjalankan perannya sesuai
dengan pola pengasuhan yang otoritatif
(demokratik) yaitu pendidik atau orang tua
harus memperlihatkan minat, keinginan atau
pendapat anak, tidak memaksakan kehendak
orang tua atau pendidik, penuh kasih sayang,
dan kegembiraan, menciptakan rasa aman
dan nyaman, memberi contoh tanpa
memaksa, mendorong keberanian untuk
mencoba berkreasi, memberi penghargaan
atau pujian atas keberhasilan atau perilaku
yang baik, memberi koreksi bukan ancaman
atau hukuman bila anak tidak dapat
melakukan sesuatu atau ketika melakukan
kesalahan, memberi penjelasan tentang yang
mereka lakukan serta membolehkan anak
memberikan masukkan dalam pengambilan
keputusan.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Daftar Pustaka
Goleman, Daniel. (1999. Emotional intelligence.
Jakarta: PT Gramedia
Shapiro E, Lawrence. (2003). Mengajarkan emotional
intelligence pada anak. Jakarta: PT Gramedia
Suryabrata, Sumadi. (2002). Psikologi pendidikan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Soedjatmiko. Pentingnya stimulasi dini pada bayi dan
balita untuk mengembangkan kecerdasan
multipel dan kreativitas anak. Makalah
disajikan pada Seminar Pendekatan
Komprehensif untuk Tumbuh Kembang
Optimal dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Bandar Lampung, 2004
Soedjatmiko. Pentingnya stimulasi dini untuk
merangsang perkembangan bayi dan balita
terutama pada bayi berisiko tinggi. Makalah
disajikan pada Simposium Nasional dan
Pelatihan Klinis Praktis Tumbuh Kembang
Anak dari Ikatan Dokter Anak (IDAI).
Bandar Lampung, 2005
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran
Opini
Peran Guru dalam Membangun
Kesadaran Kritis Siswa
Elika Dwi Murwani*)
Abstrak
Kesadaran kritis lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Ciri-ciri pokok dari
pembelajaran yang membangun kesadaran kritis adalah belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui
dan dialogis. Pola pembelajaran searah kurang dapat menumbuhkan kesadaran kritis. Peran guru yang lebih
tepat untuk membangun kesadaran kritis adalah sebagai fasilitator, dan siswa sebagai subjek bukan objek
pembelajaran.
Kata kunci : Peran guru, siswa, pembelajaran, kesadaran ktitis
The critical consciousness tends to see the system and structural aspect as a problem source.The main
feature in developing the critical consciousness is learning from reality or experience, not dictating but
interacting. One way instructional process does not develop the critical consciousness
In improving the critical consciousness the teacher is expected to act more as a fasilitator, and the student
plays as the subject, not the object of learning process.
Pendahuluan
al yang sangat sering kita dengar dalam
dekade terakhir ini adalah menurunnya
mutu pendidikan, darimana masyarakat
menilai? Apa yang diamati oleh
masyarakat adalah anak sekarang tidak dapat
memahami hal-hal yang sederhana yang terjadi
di sekelilingnya baik dalam fungsi hitungmenghitung, fungsi sosial, maupun perilaku dan
moral mereka. Mereka lebih senang tawuran
daripada belajar padahal mereka diberi pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila yang sarat dengan
nilai-nilai moral dan etika selama bertahun-tahun,
mereka lebih senang membuat gaduh dan tidak
tertib daripada berkreasi, mereka cenderung
menginginkan segala sesuatu yang instan tanpa
mau bersusah payah dan berpikir keras, inisiatif
serta kreativitas mereka terbatas. Dimana letak
kesalahan pendidikan kita? Siapa yang salah?
Para siswa, orang tua, pendidik, sistem
pendidikan kita atau Pemerintah sebagai
pengambil kebijakan?
Sistem pendidikan kita membatasi setiap ruang
H
gerak anak. Anak tidak mempunyai kebebasan
untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi
buah pemikirannya. Mereka “ditakdirkan” hanya
cukup menerima pemberian guru. Sebab jargon
yang mengatakan bahwa “guru tahu segalanya”
masih banyak berlaku sehingga sistem yang
berjalan adalah satu arah, hanya dari guru ke anak.
Tidak ada informasi dari anak ke guru, atau timbal
balik keduanya. Bukan hanya guru, tetapi
pendidikan secara menyeluruh telah menciptakan
generasi inggah-inggih (generasi “asal bapak
senang).
Dari diskusi siswa-siswi di suatu sekolah di
Jakarta yang dimuat dalam majalah Basis,
Menggugat Dunia Pendidkan Kita, 1998,: “Menurut
pandangan kami yang dimaksud dengan
“mencerdaskan” adalah membentuk manusia
yang mempunyai pola pikir yang logis, kritis dan
reflektif, serta mampu mengungkapkan isi
pikirannya, berwawasan luas dan mempunyai
daya analisis yang tajam”. Sementara sistem
pendidikan sekarang ibarat gelas kecil yang diisi
penuh air melalui selang pemadam kebakaran,
pada akhirnya akan tumpah ruah karena tidak
dapat lagi menampung air yang disemprotkan.
*) Kepala Jenjang SMAK BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
59
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa
Tidak dapat dipungkiri kalau sistem mampu menentukan pilihan-pilihannya secara
pendidikan seperti ini akan mematikan bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan
kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. kesadaran kritis mengenai tanggung jawab
Pendidikan justru membawa para siswa menjadi sebagai manusia. Lalu mengapa kita tidak
‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap membangun kesadaran kritis para siswa untuk
lingkungannya sendiri karena hanya belajar sesuatu yang lebih berguna, dengan
mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan demikian siswa akan belajar “living value”.
materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan
Masalah
secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara
mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranBerpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia
pelajaran tersebut tidak bermanfaat.
yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi
Hal-hal tersebut di atas membuat siswa tumbuh apabila didahului dengan kesadaran kritis yang
dan dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang diharapkan dapat ditumbuh kembangkan melalui
individualis, dangkal dan lama kelamaan akan pendidikan. Tulisan ini mencoba menelaah peran
menanamkan sifat “emang gue pikirin”, sementara guru untuk membangun kesadaran kritis siswanya.
guru-guru hanya melaksanakan tugasnya sebagai Disadari bahwa guru mengemban berbagai peran
pengajar, bukan sebagai pendidik karena mereka sebagai pembelajar di sekolah, akan tetapi telaah
hanya mengejar target materi-materi kurikulum.
berikut ini dibatasi pada perannya dalam
Salah satu kelemahan utama pendidikan kita membangun kesadaran kritis siswa.
adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa
dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan
Tinjauan Teoritis
pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu
apakah pengetahuan yang kita berikan diserap
Filsafat Pendidikan Paulo Fraire
dengan baik atau tidak karena kita hanya
menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang Paulo Fraire, seorang ahli pendidikan dari Brazilia,
kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali (1921–1997) banyak mengkritisi teori-teori dan
menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu praktek pendidikan pada jamannya. Dalam
yang baru saja diajarkan
bukunya yang terkenal yakni
kepada mereka. Dalam
Pedagogy of Opressed, 1978
taxonomi Bloom tingkat
(Pendidikan Kaum Tertindas)
Berpikir kritis merupakan
belajar yang paling rendah
salah satu ciri manusia yang dan Cultural Action for Freeadalah menghafal dan ini
dom,
1977
(Gerakan
cerdas. Akan tetapi berpikir
sudah menjadi pola belajar
Kebudayaan
Untuk
siswa kita bahkan sampai
K e m e r d e k a a n ) ,
kritis akan terjadi apabila
tingkat
mahasiswa
didahului dengan kesadaran menggolongkan kesadaran
manusia menjadi tiga kategori
sekalipun.
Bagaimana
: Kesadaran magis, kesadaran
mungkin otak mereka kritis yang diharapkan dapat
naïf dan kesadaran kritis.
mampu menyerap secara
ditumbuhkembangkan
mendalam ilmu pengetahuan
Kesadaran magis (magical
melalui pendidikan.
yang kita berikan karena
consciousness), adalah suatu
terlalu banyaknya bahan
kesadaran masyarakat yang
pelajaran yang kita berikan, dengan demikian tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu
pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan faktor dengan faktor lainnya. Dalam dunia
dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak
para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. mampu melakukan analisis terhadap suatu
Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena masalah maka proses belajar mengajar tersebut
pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat dalam prespektif Freirean disebut sebagai
pendidikan fatalistic. Proses pendidikan modern
bagi perkembangan anak didik.
ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan
Lalu pertanyaannya menjadi, apakah yang antara sistem dan struktur terhadap suatu
hendak kita capai melalui pendidikan untuk anak- permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik
anak kita? Orang tua mengharapkan anaknya menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada
bertumbuh menjadi manusia yang mandiri dan mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi
60
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran
dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran
ini lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar
penyebab masalah masyarakat. Pendidikan dalam
konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan
struktur yang ada sudah baik dan benar.
Semuanya merupakan faktor “given” dan oleh
sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas
pendidikan adalah bagaimana membuat dan
mengarahkan agar siswa dapat masuk
beradaptasi dengan sistem yang sudah benar
tersebut.
Kesadaran kritis (critical consciousness),
kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Paradigma
kritis dalam pendidikan, melatih siswa dapat
untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’
dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian
mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan
struktur itu bekerja, serta bagaimana
mentransformasikannya.
Bagi Fraire pendidikan haruslah berorientasi
kepada pengenalan realitas diri manusia dan
dirinya sendiri, sistem pendidikan yang ada
selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah
“bank” (banking concept of education). Pelajar diberi
ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat
mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi
anak didik sebagai objek investasi dan sumber
deposito potensial.
Secara sederhana Fraire menyusun daftar
antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai
berikut :
Guru mengajar, murid belajar.
Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa.
Guru berpikir, murid dipikirkan.
Guru bicara, murid mendengarkan.
Guru mengatur, murid diatur.
Guru memilih dan memaksakan pilihannya,
murid menuruti.
Guru bertindak, murid membayangkan
bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan
gurunya.
Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri.
Guru mengacaukan wewenang ilmu
pengetahuan
dengan
wewenang
profesionalismenya, mempertentangkannya
dengan kebebasan murid-murid.
Guru adalah subyek proses belajar, murid
obyeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat
segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja
jika kemudian murid-murid mengidentifikasikan
diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal
yang harus digugu dan ditiru. Sistem pendidikan
yang bersifat satu arah yang menjadikan guru
sebagai subjek dan murid sebagai objek melahirkan
hubungan yang otoriter antara guru dan murid.
Pada saatnya sistem dan praktek pendidikan
seperti itu melahirkan generasi baru manusiamanusia penindas.
Bagi Fraire, sistem pendidikan sebaiknya harus
menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat
manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini
telah menjadikan anak didik sebagai manusiamanusia yang terasing dan tercerabut (disinherited
masses) dari realita dirinya sendiri dan karena ia
telah dididik menjadi seperti orang lain yang
bukan dirinya sendiri.
Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari
fungsi berpikir, berbicara dan berbuat.
Kemanunggalan karsa, kata dan karya disebut
praxis. Prinsip praxis inilah yang menjadi
kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan
Fraire. Seperti yang digambarkan dalam diagram
di bawah ini :
Bertindak
Bertindak
Dst ...
Berpikir
Berpikir
Gambar 1: Kerangka Dasar Sistem dan metodologi
Pendidikan Praire
Dengan aktif bertindak dan aktif berpikir
sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam
permasalahan nyata, dan dalam suasana yang
dialogis, maka pendidikan segera menumbuhkan
kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa
takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Proses
kesadaran seseorang merupakan proses inti atau
hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia
kesadaran seseorang tidak boleh berhenti atau
mandeg, harus senantiasa berproses, berkembang
dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya,
dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ketingkat
“kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai
tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam yaitu
“kesadarannya kesadaran” (the consice of the
consiousness).
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
61
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat
kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang
itupun mulai masuk ke dalam proses pengertian
dan bukan proses menghafal semata-mata. Ia
menjadi orang yang mengerti bukanlah orang
yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau
sesuatu berdasarkan suatu “kesadaran”,
sedangkan orang yang menghafal hanya
menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis
tanpa perlu sadar apa yang dikatakannya,
darimana ia telah menerima hafalan yang
dinyatakannya, dan untuk apa ia menyatakannya.
Berpikir Kritis
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis
akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi
dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan
kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang
mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab
tantangan masa depan pada era globalisasi yang
serba tidak pasti dan berubah sangat cepat.
Berpikir kritis mencakup seluruh proses
mendapatkan, membandingkan, menganalisis,
mengevaluasi, internalisasi dan bertindak
melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai.
Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab
berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam
nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum
didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven
D. Schafersman, 1998). Berpikir kritis berarti
berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal
tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang
dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang
beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan
terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan
keputusan yang dapat dipercaya.
Seseorang yang berpikir kritis dapat
mengajukan pertanyaan dengan tepat,
memperoleh informasi yang relevan, efektif dan
kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan
logis dari informasi, sampai pada kesimpulan
yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang
dunia yang memungkinkan untuk hidup dan
beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah
tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi
diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan
berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului
oleh kesadaran kritis.
Peran Guru
Peran guru dalam pendidikan formal (sekolah)
62
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
adalah “mengajar”. Saat ini banyak guru yang
karena kesibukannya dalam mengajar lupa bahwa
siswa yang sebenarnya harus belajar. Jika guru
secara intensif mengajar tetapi siswa tidak intensif
belajar maka terjadilah kegagalan pendidikan formal. Jika guru sudah mengajar tetapi murid belum
belajar maka guru belum mampu membelajarkan
murid.
Menurut Yamamoto, belajar mengajar akan
mencapai titik optimal ketika guru dan murid
mempunyai intensitas belajar yang tinggi dalam
waktu yang bersamaan. Kedudukan guru dan
siswa haruslah dianggap sejajar dalam belajar, jika
kita memandang siswa adalah subyek pendidikan
(Sumarsono, 1993). Guru dan siswa sama-sama
belajar, kebenaran bukan mutlak di tangan guru.
Guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya
bagi siswa untuk belajar dan memfasilitasinya agar
siswa dapat mengaktualisasikan dirinya untuk
belajar. Gurupun harus mengembangkan
pengetahuannya secara meluas dan mendalam
agar dapat memfasilitasi siswanya. Inilah peran
guru dari guru.
Kesalahan fatal yang dilakukan pendidik orang dewasa
adalah usaha dalam mendefinisikan fungsi dirinya
sebagai pelaku tunggal bagi perubahan tingkah laku dan
berbuat seolah-olah tugas prinsipnya adalah untuk
mengkomunikasikan ide-ide, mendesain latihan (exercise), untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan atau sikap tertentu untuk menentukan
perubahan tingkah laku dan melakukan survey untuk
mendeteksi kebutuhan. (Kezirow,1987)
Di samping orang tua, pelaku utama
pendidikan adalah guru, sehingga seringkali guru
dalam paradigma lama berlaku sebagai sumber
utama ilmu pengetahuan dan menjadi segalagalanya dalam pengajaran. Guru adalah orang
yang digugu dan ditiru, sehingga tak pelak lagi guru
menjadi orang yang setengah didewakan oleh
anak didiknya. Tetapi peran guru yang sentral
dalam pendidikan kurang berpengaruh terhadap
pembelajaran siswanya. Hal ini tentunya sebatas
hubungan formal yang tidak mendalam dalam
membangun kesadaran siswa untuk belajar
dengan sepenuh hatinya.
Guru pada era sekarang bukan satu-satunya
sumber pengetahuan karena begitu luas dan cepat
akses informasi yang menerpa kita, sehingga tidak
mungkin seseorang dapat menguasai begitu luas
dan dalamnya ilmu pengetahuan serta
perkembangannya. Akan lebih tepat jika guru
berlaku sebagai fasilitator bagi para siswanya
sehingga siswa memiliki kepandaian dalam
memperoleh informasi, belajar memecahkan
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran
masalah, menarik kesimpulan, menuliskan,
mengekspresikan apa yang diketahuinya, ini akan
membuat siswa menjadi seorang pembelajar yang
luar biasa.
Ki Hajar Dewantoro merumuskan peran guru
dalam mendidik di sekolah sebagai berikut ing
ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan, ing
madyo mangun karso, di tengah membangun
kreativitas dan tut wuri handayani, di belakang
memberi semangat. Hingga sekarang peran ini
masih aktual dan menjadi dasar dari semua peran
yang dijalankan seorang guru dalam mendidik,
bagaimana guru berperan sebagai teladan, mediator sekaligus motivator dalam proses
pembelajaran, dengan pendekatan/metode
apapun yang digunakan oleh guru.
Pendidikan abad ke-21 diprediksi akan jauh
berbeda dengan sebelumnya sehingga UNESCO
pada tahun 1977 sudah mulai menggali esensi dari
pendidikan dan kemudian memperkenalkan The
Four Pillars of Education, yaitu Learning to know,
Learning to do, Learning to live together, dan Learning
to be, untuk mengantisipasi perubahan yang bukan
hanya linier tetapi mungkin eksponensial yang
diantisipasi akan terjadi di masyarakat yang
mengglobal.
Pembahasan
Paolo Fraire mencoba untuk mengungkapkan
kondisi kemanusiaan yang sedemikian rapuh
dalam masyarakat kita dengan kejujuran tanpa
tedeng aling-aling. Pernyataan-pernyataan Fraire
memang sering kontroversial, meletup-letup dan
memancing banyak pertanyaan bahkan kritik,
namun fakta yang diungkapkannya adalah
realitas tak terbantahkan di hampir semua, negara
dunia ketiga. Dalam model banking seperti yang
diuraikan oleh Fraire, guru sangat aktif dan siswa
menjadi pasif dalam proses belajar mengajar di
sekolah. Gurulah yang berkuasa untuk
menentukan semuanya, sedangkan siswa hanya
menurut saja. Siswa dijadikan objek dan tidak
mempunyai hak untuk ikut menentukan. Aktor
utama adalah guru bukan siswa. Hal itu tampak
praktek guru seperti indoktrinasi sedangkan siswa
hanya menerima apa yang diajarkan guru dan
tidak boleh bertanya apalagi bersikap kritis.
Guru seringkali menekankan pada hanya ada
satu nilai/jawaban yang benar, juga guru
mengharuskan siswa untuk menggunakan satu
jalan saja, tanpa boleh menggunakan cara lain.
Jika siswa mengungkapkan gagasan alternatif,
selalu disalahkan. Hal ini kadang disebabkan
karena guru sendiri tidak memiliki pengetahuan
yang luas sehingga tidak memahami ada
bermacam-macam alternatif jawaban. Seringkali
guru beranggapan siswa yang banyak bertanya
sebagai
pengganggu,
apalagi
kalau
pertanyaannya tidak dapat dijawab oleh guru.
Pola pengajaran demikian membuat siswa kita
tidak kreatif, tertekan, tidak bebas dalam
mengungkapkan pemikirannya. Jika kita ingin
mengubah pendidikan kita maka metode
pengajaran di atas perlu diubah dengan metode
pengajaran yang membuat siswa aktif, model
multinilai dan multikebenaran, bebas berbicara,
diperbolehkan salah, metode ilmiah dengan
pencarian bebas, berpikir kritis, membahas
masalah masyarakat secara terbuka, hubungan
guru-siswa dialogis (Paul Suparno, 1999)
Seperti yang diungkapkan Andy Hakim
Nasoetion, dalam Ilmu untuk Kehidupan dan
Penghidupan, seorang murid SD dari suatu desa
mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut:
“Kalau saya seorang astronut dan membawa kipas
ke ruang angkasa, kemudian saya kipas-kipaskan,
apakah akan terjadi angin?”. Disusul oleh
pertanyaan dari seorang murid SMP sebagai
berikut: “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya
menuju ke atas. Akan tetapi, kalau lilin itu saya
balikkan sumbunya kearah bawah, mengapa
nyalanya tidak mengarah ke bawah, melainkan
ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu
lebih cepat?”. Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu
cukup sukar dijawab oleh para guru, guru tidak
siap dalam menjawab pertanyaan kritis dari
muridnya. Guru tidak suka merangsang murid
untuk bertanya karena pengetahuan guru yang
terbatas dan tidak memahami konsep-konsep sains
secara mendalam.
Guru harus menjadi agen perubahan dengan
mengubah paradigma berpikirnya terlebih dulu.
Guru harus siap dan dapat mengantisipasi dalam
menghadapi setiap perubahan yang terjadi, karena
dengan memberi kebebasan bagi siswa untuk
berpikir dan berekplorasi maka seringkali apa yang
dipikirkan dan ditemukannya berbeda dengan apa
yang selama ini menjadi pemahaman guru. Di
samping itu guru harus terus menerus
mengaktualisasikan diri, belajar memperluas dan
memperdalam pengetahuannya agar dapat
memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru harus
membuat dirinya kompeten dan profesional. Hal
ini berarti guru perlu secara terus menerus
mengembangkan kemampuannya dalam
menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya serta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
63
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa
metodologi pembelajaran. Guru diharapkan
memberdayakan siswanya dalam proses
pembelajaran sehingga siswa benar-benar
memperoleh pengalaman belajar melalui metode
pembelajaram yang tepat.
Metode Ceramah
Di antara berbagai metode pembelajaran siswa,
metode ceramah banyak dipergunakan oleh guru
dalam berbagai situasi dan tujuan. Pada masa lalu,
dan mungkin juga sampai sekarang, banyak
orang berpendapat seseorang yang disebut sebagai
guru berdiri di depan kelas sementara yang lain
duduk diam mendengarkan dan melaksanakan
perintahnya. Metode ini hingga sekarang masih
berlaku. Pusat pengetahuan hanya ada pada sang
guru. Metode mengajar seperti ini kurang
mengaktifkan siswa untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dan belajar tentang nilai-nilai.
Belajar secara aktif akan lebih baik jika proses
belajar itu didorong oleh metode pengembangan
kemampuan dan pengetahuan yang diproses dari
pengalaman masing-masing. Metode ini akan
menimbulkan suatu pengalaman belajar yang lain
yang lebih menantang baik bagi guru maupun
siswa. Guru akan berperan sebagai fasilitator yang
mendorong semangat belajar siswanya, dan
menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan.
Kerugian dari Mendengarkan
dalam Metode Ceramah
Diakui bahwa metode ceramah efektif untuk
penyampaian pelajaran yang bersifat kognitif
dengan jumlah siswa yang besar dalam suatu
kelas. Akan tetapi penggunaan metode ini secara
tidak tepat dapat menimbulkan hal-hal negatif
sebagai berikut:
1. Pengetahuan yang disampaikan hanya
didasarkan pada apa yang dimiliki
penceramahnya, ibarat komunikasi maka
hanya satu arah tanpa peran partisipan, dan
tak ada umpan balik dari pendengarnya.
2. Ada kesenjangan pengetahuan antara
penceramah
dan
pendengarnya.
Anggapannya peserta adalah orang yang
tidak berpengetahuan sama sekali sehingga
harus diisi.
3. Peserta hanya menerima informasi secara
pasif, maka mereka akan cepat bosan dan
64
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
lelah.
4. Metode kuliah menekankan pada transfer
informasi dan fakta, lebih banyak
mengandalkan pesan-pesan dari informasi
dibandingkan denga faktanya.
5. Rentang waktu peserta untuk dapat
berkonsentrasi penuh sangat terbatas, apalagi
ceramah dengan suara monoton. Rata-rata
orang melupakan 50% dari apa yang mereka
dengar.
6. Penceramah biasanya tidak memiliki cara
untuk memastikan seberapa jauh para peserta
menangkap dan memahami apa yang
disampaikan penceramah, apalagi jika tidak
ditinjau ulang selama ceramah atau setelah
ceramah.
Metode ceramah tidak membuat siswa berpikir
secara aktif, apalagi kritis sehingga metode ini tidak
tepat untuk dapat membangun kesadaran kritis
siswa. Dengan waktu yang terbatas serta jumlah
siswa yang banyak dalam kelas, guru tidak mampu
melayani berbagai pertanyaan siswa dengan baik.
Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat
meningkatkan semangat siswa adalah dengan
berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan
bermain (fun learning), sehingga kemampuan verbal dan motoriknya berkembang, termasuk
kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking). Akan tetapi guru yang telah terbiasa dengan
metode tertentu merasa telah nyaman dengan
metode tersebut cenderung mempertahankannya
sungguhpun hasilnya kurang dapat membuat
siswa berpikir kritis. Keengganan guru tersebut
juga diungkapkan oleh Ratna Megawangi, dalam
Otonomi Sekolah, 2005, dengan mengatakan
“Masalah yang sering kami hadapi di Indonesia
Heritage Foundation, ketika melatih para guru
untuk mengubah metode pembelajaran di kelas
agar tujuan membangun manusia holistik yang
berkarakter dapat tercapai, yaitu ketakutan dan
keengganan para guru untuk memperbaiki metode
pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teoriteori yang berlaku (misalnya Piaget, Erik Erikson,
Vigotsky, dll).
Bagaimana Cara Membangun
Kesadaran Kritis?
Dari uraian di atas jelaslah bahwa membangun
kesadaran kritis tidak dapat dilakukan dengan
pola pengajaran ceramah, seperti yang selama ini
dilakukan oleh para guru.
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran
Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih,
2001.
Suatu penyelenggaraan belajar-mengajar,
merupakan proses pendidikan kritis harus
mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan
pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama,
bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses
tersebut.
Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari
pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin
dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa.
Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang
membangun kesadaran kritis, yaitu :
1. Belajar dari realitas atau pengalaman : yang
diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat,
kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas
nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang
ditentukan oleh pembuktiannya dalam
realitas tindakan atau pengalaman langsung
bukan pada retorika teoritik.
2. Tidak menggurui : guru dan murid samasama belajar.
3. Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah
tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain
peran dsb dan menggunakan media (peraga,
grafik, audio visual, dsb) yang lebih
memungkinkan terjadinya dialog kritis antara
semua orang.
Panduan proses belajar harus disusun dan
dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal
sebagai “daur belajar dari pengalaman yang
distrukturkan” (structural experiences learning
cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam
pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap
orang untuk mencapai pemahaman dan
kesadaran kritis dengan cara terlibat didalamnya
secara langsung ataupun tidak. Proses yang
melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah :
1. Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali
rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian,
dll). Ini tahap proses mengalami, menggali
pengalaman dengan cara melakukan
kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami
adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan
mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang
menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya.
2. Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap
berikutnya yaitu proses mengungkapkan/
menyatakan kembali apa yang sudah
dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas
pengalaman tersebut.
3. Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan
permasalahan yang ada dalam realitas
tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, sistem
dari pokok pembahasan.
Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau
hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga
terjadi pemahaman baru yang lebih utuh,
berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum
dari kajian atas pengalaman.
5. Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini
adalah memutuskan dan melaksanakan
tindakan-tindakan baru yang lebih baik
berdasarkan pemahaman atau pengertian
atas realitas tersebut, sehingga ada
kemungkinan menciptakan realitas baru yang
lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan
cara merencanakan tindakan dalam rangka
menerapkan prinsip-prinsip yang telah
disimpulkan.
Proses pengalaman belumlah lengkap,
sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman
baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji
dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam
penerapan ini juga menimbulkan pengalaman
baru. Daur proses ini akan berulang kembali dari
awal, konsep learning by doing tercipta dalam daur
ini.
4.
5
Tindakan
1
Rekontruksi
4
Kesimpulan
2
Ungkapan
3
Analisis
Gambar 2: Daur Belajar dari Pengalaman yang
Distrukturkan
Proses
pendidikan
kritis
untuk
menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai
jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator
yang siap untuk melayani siswa dalam belajar,
bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satusatunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan
lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan
eksperimen agar siswa sebanyak mungkin
merasakan dan mengalami dalam suasana yang
dialogis.
Motivasi Belajar
Selama ini guru cenderung kurang mempedulikan
apakah siswanya memiliki motivasi dalam belajar,
karena yang penting adalah materi yang harus
disampaikan selesai. Padahal jika seseorang tidak
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
65
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa
memiliki motivasi yang kuat dalam belajar maka
mustahil mereka akan mampu mempelajari
sesuatu dengan baik. Tugas seorang fasilitator
adalah justru membangkitkan motivasi itu, yaitu
dengan menciptakan cara-cara kreatif untuk
memotivasi siswa. Dengan demikian diharapkan
siswa akan belajar dengan penuh semangat.
Bagaimana Menjadi
Fasilitator yang Baik?
Banyak masalah untuk membangun suasana
belajar dan membelajarkan siswa yang aktif dan
menarik dan sebagai aktor utama, guru, seringkali
secara personal mempunyai banyak kendala.
Tetapi tentu saja hal tersebut dapat dipelajari jika
diawali dengan niat yang sungguh-sungguh,
meskipun untuk menjadi fasilitator yang baik
memang diperlukan pengalaman dan jam terbang
yang cukup tinggi.
Mengutip pendapat dari Jenny Rogers,
fasilitator akan dengan semangat, peka dan
cermat memandu sebuah proses belajar jika ia
memiliki watak/karakter :
1. Kepribadian yang menyenangkan.
2. Kemampuan sosial, dengan kemampuan
menciptakan dinamika kelompok.
3. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang
membangkitkan semangat para partisipan.
4. Mampu mengorganisasi kegiatan.
5. Cermat dalam melihat persoalan partisipan.
6. Memiliki ketertarikan terhadap subyek.
7. Fleksibel dalam merespon perubahan
kebutuhan belajar.
8. Pemahaman atas materi pokok pembahasan.
Media Pembelajaran
Dalam perspektif dan metodologi pendidikan
kritis, penggunaan media merupakan suatu
keharusan dalam hal siswa menemukan dengan
pengalamannya sendiri, bukan hafalan, teori, atau
kaidah dan rumus-rumus. Media akan membantu
siswa untuk memvisualkan hal-hal abstrak,
mengasah rasa, merangsang kreatifitas,
menemukan pengetahuan, memahami konsep,
dll. Agar dapat berfungsi meningkatkan mutu
proses dan hasil belajar, media harus disiapkan
dan dirancang dengan cermat oleh guru untuk
mencapai tujuan pembelajarannya. Di sini guru
dituntut untuk kreatif dan inovatif.
66
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Pembelajaran yang Baik
Sebagai contoh program Managing Basic Education
(MBA), dalam pendampingan sekolah di Pacitan
Jawa Timur mempergunakan Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang
disusun oleh Lynne Hill. PAKEM memenuhi
syarat untuk mengembangkan kesadaran kritis
dalam diri siswa.
Pembelajaran yang baik dimulai dengan
perencanaan yang baik, kemudian diusahakan
agar pembelajaran menarik dan menantang serta
aktif. Hal ini memerlukan kreativitas guru dan
aktualisasi yang terus menerus agar dapat
memfasilitasi siswa dengan baik.
Dalam merencanakan pembelajaran yang
baik guru dapat melakukan hal-hal berikut:
1. Mengidentifikasi dengan tepat tujuan
pembelajaran (kompetensi yang diinginkan)
2. Mengidentifikasi apa yang telah diketahui
siswa dan mengembangkan pembelajaran
berdasarkan informasi tersebut.
3. Membuat urutan pembelajaran terdiri dari
beberapa tahap dan kegiatan.
4. Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang
efektif.
5. Menyiapkan bahan dan sumber belajar.
6. Mengorganisasikan kelas dan mengelola
sumber-sumber yang direncanakan dengan
baik.
7. Memutuskan bagaimana menilai hasil belajar
siswa.
8. Merencanakan proses maupun hasil belajar
(produk). Proses dan produk pembelajaran:
apa yang akan dikerjakan siswa dan
bagaimana mengerjakannya (proses), dan
bagaimana siswa akan mendemonstrasikan
hasil belajar mereka (produk).
Agar pembelajaran menarik dan menantang
sehingga meningkatkan motivasi belajar, guru
hendaknya berusaha agar :
1. tidak terlalu banyak bicara dan memberikan
ceramah tetapi memberi kesempatan pada
siswa untuk melakukan sendiri kegiatan
yang sudah dirancang;
2. siswa tidak terlalu banyak mendengarkan
dan menjawab pertanyaan bersama-sama
(koor);
3. melakukan kegiatan meningkatkan
kemampuan berpikir kritis, memecahkan
masalah, termasuk tugas-tugas terbuka,
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran
4.
1.
2.
3.
4.
misalnya percobaan di laboratorium dengan
metode inquiry laboratory lesson yaitu guru
dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan
pengarah untuk merangsang siswa berpikir
untuk memecahkan masalah;
mengembangkan pengalaman siswa secara
langsung (sumber belajar tangan pertama)
untuk meningkatkan minat dan motivasi,
misalnya mempelajari tentang hak asasi
manusia dengan cara melakukan wawancara
dengan tokoh atau orang yang mengalami
ketertindasan atau hak-haknya dilanggar.
Pembelajaran yang mengaktifkan siswa:
belajar dengan mengerjakan, siswa aktif,
terlibat, berpartisipasi, bekerja;
interaksi antar siswa tinggi, belajar kelompok,
berpasangan, bekerjasama;
siswa menemukan, memecahkan masalah
dan mengambil kesimpulan dari yang
dipelajari; dan
berfokus pada proses pembelajaran bukan
semata-mata hasil atau penyelesaian target
materi pelajaran selesai
Kesimpulan
Kesadaran kritis sangat diperlukan dalam
pengembangan pribadi dan intelektual siswa
dalam kehidupan sekarang dan maupun
kemudian hari. Kesadaran kritis dan berpikir kritis
dapat dibangun melalui pendidikan di sekolah
dan secara khusus melalui kegiatan belajar dan
pembelajaran.
Untuk menumbuhkan kesadaran kritis serta
berpikir kritis siswa dengan menempatkan siswa
sebagai subjek, maka hal-hal berikut perlu
diperhatikan guru.
1. Pembelajaran di kelas harus berubah dari
berpusat kepada guru menjadi berpusat
kepada siswa.
2. Guru berperan sebagai fasilitator untuk
melayani siswa dalam membelajarkan siswa
dan membuat siswa mengalami serta
menyukai belajar. Untuk itu guru senantiasa
belajar terus menerus mengaktualisasi diri,
memperluas
dan
memperdalam
pengetahuannya agar efektif dalam
memfasilitasi siswa dalam belajar.
3. Mengajar dengan mengembangkan metode
dialogis dalam diskusi, memberi kesempatan
pada siswa untuk berpikir dan
mengendapkan pengetahuannya, memberi
kesempatan untuk bertanya, berdebat,
berekplorasi untuk menemukan suatu
pemahaman yang baru.
4. Dalam membelajarkan siswa maka
pembelajaran dibuat semenarik mungkin
untuk memotivasi siswa sehingga senang
belajar, dengan demikian merangsang otak
untuk dapat menerima pengetahuan/
pemahaman baru lebih cepat.
5. Membuat perencanaan, persiapkan dengan
media yang dapat membantu siswa dalam
mengalami belajar, menemukan dan
merumuskan sendiri pengetahuannya.
6. Guru berperan sebagai agen perubahan
dengan berani mengubah paradigma
berpikirnya yaitu menjauhkan diri dari
ketakutan dan keengganan mengubah cara
mengajarnya yang tidak efektif serta bersikap
terbuka.
7. Kesadaran kritis akan terbentuk jika siswa
merasa bebas dalam berpikir, berpendapat
dan mengekpresikan diri dalam suasana
belajar yang terbuka, tidak banyak aturanaturan yang membelenggu, multinilai,
multikebenaran, diperbolehkan salah,
menerapkan metode ilmiah. Guru tidak
menggurui karena guru dan siswa setara.
8. Kesadaran kritis akan membentuk pola
pemahaman konsep yang kuat bukan sekedar
menghafal, mampu untuk mencerna
pengetahuan dengan mendalam, memiliki
cara berpikir kritis menghadapi masalahmasalah sehari-hari dalam kehidupan.
Pembelajaran dengan membangun kesadaran
kritis akan menghasilkan pembelajaran yang
bermutu.
Pembelajaran yang dapat meningkatkan
kesadaran kritis siswa ialah pembelajaran yang
membuat siswa menjadi pelaku dan berperan aktif
dalam proses belajar dan pembelajaran. Peran
aktif siswa dapat dirangsang dan ditingkatkan
dengan metode pembelajaran yang berfokus pada
kegiatan siswa untuk mengalami belajar (learning
by doing).
Guru sebaiknya melakukan perubahan dalam
mengefektifkan perannya untuk membangun
kesadaran kritis siswa sehingga dapat
menampilkan pembelajaran menjadi lebih
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
67
Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa
bermutu dan berguna bagi masa depan siswanya
Daftar
Pustaka
serta mencerdaskan
kehidupan
bangsa.
Fakih, Mansour, dkk,. (2001). Pendidikan popular,
membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: Insist
Hill, Lynne. (2005). Pembelajaran yang baik, dalam
Program Managing Basic Education (MBE) Indonesia. http://www.mbeproject.net
Majalah BASIS, No. 01-02 tahun ke 47, edisi khusus
Menggugat Dunia Pendidikan Kita, Februari
1998
Megawangi, Ratna. Otonomi sekolah. Suara
Pembaruan Daily, 2005. http://
www.suarapembaruan.com
Nasution, Andi Hakim. (2000). Ilmu untuk
kehidupan dan Penghidupan, dalam menggagas
paradigma baru pendidikan. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius
Paul, Suparno. (2000). Kurikulum SMU yang
menunjang pendidikan demokrasi, dalam
membuka masa depan anak-anak kita.
Mencari kurikulum pendidikan abad XXI.
Yogyakarta: Yayasan Kanisius
68
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Poerwowidagdo, Judo MA, PhD. (2001).
Meningkatkan kualitas pendidikan Kristen
dalam menjawab perubahan zaman, dalam
pendidikan yang mendidik. butir-butir
pemikiran strategis-reflektif di seputar
pendidikan. Jakarta: Yudhistira
Schafersman, Steven D. (1998). Critical thinking and
its relation to science and humanism,
[email protected].
Sumarsono. (1993). Pendidikan nilai dan profesi guru,
dalam Pendidikan nilai memasuki tahun 2000.
Jakarta: Grasindo
Supeli, Karlina Laksono. Ringkasan pemikiran: Orang Tua di dalam Pendidikan Anak-Anak, Media
Kerja
Budaya,
http://
mkb.kerjabudaya.org , 2003
Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa agenda reformasi
pendidikan nasional. Magelang: Tera Indonesia
Opini
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
dengan Masyarakat yang Saling Menguntungkan
Sih Retno Hastuti *)
Abstrak
Peran serta masyarakat dalam pendidikan masih sangat rendah. Padahal dalam konsep Manejemen Berbasis
Sekolah (MBS), peran serta masyarakat merupakan bagian yang penting. Faktor utama kurangnya dukungan
masyarakat ini terletak pada tidak terjalinnya hubungan yang harmonis antara sekolah dengan masyarakat.
Untuk itu, perlu dikelola sebuah sinergi yang saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat.
Kata kunci: Peran serta masyarakat, sinergi, sekolah, masyarakat, manajemen pendidikan
School Based Management implemented in Indonesia in the last few years is aimed at improving the quality
of education at primary and secondary level. However, in the implementation of this management the
community participation which is essential in succeeding the program is still below the expectation. The
relationship and cooperation between the school and community are still inharmonious and to be
strenghtened. This article discourses the problem and gives some alternatives to solve.
Pendahuluan
khir-akhir ini bertaburan programprogram pendidikan luar sekolah yang
lebih mementingkan aspek bisnis. Kursus
bahasa asing, kursus pajak, dan kursuskursus lain yang menawarkan keterampilan,
begitu mudah didapatkan. Sayangnya,
keuntungan yang ditawarkan oleh kursus-kursus
tersebut, tidak diimbangi dengan kemudahan
untuk mendapatkannya. Biaya pendidikan yang
harus dikeluarkan untuk mengikuti satu materi
kursus saja tidak dapat dikatakan murah, bisa
mencapai ratusan ribu rupiah atau bahkan lebih.
Di samping itu, ada juga program-program luar
sekolah yang kurang memperhatikan aspek
perkembangan kepribadian anak, seperti judi
melalui permainan komputer atau online game.
Sebut saja permainan Ragnarok yang begitu
populer di kalangan remaja saat ini. Permainan
yang mengutamakan keterampilan individu dan
ketekunan bermain ini menuntut pemain untuk
mengembangkan level dan keterampilan dari
enam karakter yang dapat dipilih. Peningkatan
A
level atau keterampilan bisa dilakukan dengan
cara mencari barang atau membeli barang tersebut
dari orang lain dengan menggunakan mata uang
zeny, satuan mata uang yang dikenal pada dunia
Ragnarok. Selain itu, permainan ini mampu
membuat sang pemain kecanduan dan merasa
menyatu dengan permainan tersebut. Bahkan
ditemukan banyak kasus anak bolos sekolah dan
kabur dari rumah hanya untuk main Ragnarok.
Pepatah “Apapun yang berlebihan, bisa menjadi
tidak baik”, juga berlaku pada Ragnarok.
Keasyikan yang berlebihan bisa membuat lupa
waktu dan lupa segalanya. Apalagi saat berada
dalam alam Ragnarok, semua kejadian sudah
serasa seperti di dunia nyata. Tentunya ini
menjadi tidak baik. Interaksi sosial tidak ada,
hanya di depan komputer.
Ketidaksadaran masyarakat akan peran
mereka dalam pendidikan anak, kini telah
memberikan konsekuensinya. Alih-alih
masyarakat ikut serta dalam merencanakan,
melaksanakan sebagian program, atau bahkan
ikut mengambil keputusan bersama sekolah.
Malah sebagian masyarakat menyelenggarakan
program-program pendidikan yang tidak
*) Staf Bagian Humas BPK PENABUR Jakarta, Juara II Lomba Karya Tulis HUT ke-55 BPK PENABUR
Kategori Karyawan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
69
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
mendidik. Tampak, masyarakat sangat kurang
memberikan dukungan dan partisipasinya dalam
pendidikan.
Peran serta masyarakat terbatas hanya dalam
menggunakan jasa pelayanan yang tersedia,
misalnya memasukkan anak ke sekolah; peran
serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan,
dan tenaga; peran serta dalam bentuk
keikutsertaan, yang berarti menerima secara pasif
apa yang telah diputuskan pihak lain. Misalnya,
sekolah atau yayasan memutuskan orang tua
membayar iuran bagi setiap anak sekolah, dan
orang tua menerima keputusan ini dengan
mematuhinya.
Padahal, dalam konsep Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS), peran serta masyarakat dan orang
tua murid sangat luas. Diantaranya meliputi:
Memberikan dukungan dana atau sumbangan;
Merencanakan kegiatan dan kemungkinan
pendanaan kegiatan-kegiatan tersebut, jadi tidak
hanya diberi rencananya setelah semua final; Ikut
menambah guru yang tidak ada atau kurang,
bahkan menjadi “guru” pengganti. Jadi tokoh
masyarakat dan orang tua benar-benar
merupakan mitra sejajar sekolah (kepala sekolah
dan guru), yang ikut terlibat secara aktif
memikirkan kemajuan sekolah; Memberikan
masukan dan mendiskusikan pelaksanaan
pembelajaran, kinerja para guru, prestasi belajar
anak, kendala yang dihadapi, dsb.; Masyarakat
juga dapat terlibat dalam memilih dan
memasukkan guru-guru yang diperlukan sekolah,
serta memberhentikan guru yang prestasinya
tidak memuaskan.
Kurangnya dukungan masyarakat dan orang
tua itu memang disebabkan oleh banyak faktor.
Namun menurut hemat penulis, faktor utama
terletak pada tidak terjalinnya hubungan yang
intensif antara sekolah dengan masyarakat.
Artikel ini mencoba memberikan usulan-usulan
konkret untuk mengelola sebuah sinergi yang
saling menguntungkan antara sekolah dengan
masyarakat.
MBS: Suatu Upaya Pembaruan
Sistem Manajemen Pendidikan
Salah satu permasalahan pendidikan yang
dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan
pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan
menengah. Indikator rendahnya mutu
pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi
70
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
siswa. Dalam skala internasional, menurut
Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992), studi IEA
(International Association for the Evaluation of
Educational Achievement) di Asia Timur
menunjukkan bahwa keterampilan membaca
siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah.
Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand),
52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30%
dari materi bacaan dan mereka sulit sekali
menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini karena mereka
sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal
pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third
International Mathematic and Science Study-RepeatTIMSS-R, 1999, memperlihatkan bahwa, diantara
38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas 2
Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA,
ke-34 untuk Matematika. Indikator lain yang
menunjukkan rendahnya mutu pendidikan di
Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000)
tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan
penghasilan per kepala yang menunjukkan
bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia,
Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun
1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan
ke-109 tahun 1999. Data yang dilaporkan The
World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia
memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvai di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat
sebagai follower bukan sebagai pemimpin
teknologi dari 53 negara di dunia.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara
lain melalui pengadaan buku dan alat pengajaran,
berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi
guru, perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen
pendidikan. Namun demikian, berbagai indikator
mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Meskipun sebagian
sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan
peningkatan mutu pendidikan yang sangat
menggembirakan, namun sebagian besar lainnya
masih memprihatinkan.
Dari berbagai pengamatan dan analisis,
sedikitnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan
mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan
secara merata, yakni:
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
1.
Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan kekuasan/kewenangan, pengetahuan, informasi,
nasional menggunakan pendekatan education dan penghargaan kepada sekolah. Melalui MBS
production function atau input-output analysis sekolah memiliki kewenangan dalam
yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. pengambilan keputusan yang terkait langsung
2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Tujuan
dilakukan secara birokratik-sentralistik utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu,
sehingga sekolah sebagai penyelenggara dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
pendidikan sangat tergantung pada efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola
keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat,
yang sangat panjang dan kadang-kadang dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan
kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua,
dengan kondisi sekolah setempat.
kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan
3. Peran serta masyarakat, khususnya orang tua profesionalisme guru, adanya hadiah dan
siswa dalam penyelenggaraan pendidikan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat
selama ini sangat minim, pada umumnya menumbuhkembangkan suasana yang kondusif.
lebih bersifat dukungan input (dana), bukan Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya
pada
proses
p a r t i s i p a s i
pendidikan
m a s y a r a k a t
s e p e r t i :
terutama
yang
Untuk mengimplementasikan MBS
pengambilan
mampu
dan
peduli,
secara efektif dan efisien, hal penting
keputusan,
sementara yang
yang harus diperhatikan adalah
monitoring,
kurang mampu akan
evaluasi,
dan
menjadi tanggung
manajemen terhadap komponenakuntabilitas
jawab pemerintah
komponen sekolah itu sendiri. Salah
(Depdiknas, 2001).
(E. Mulyasa, 2002).
satu komponen yang harus dikelola
Berdasarkan
U n t u k
dengan baik, yaitu manajemen
kenyataan-kenyataan
mengimplementasikan
tersebut, tentu saja
MBS secara efektif
sekolah dengan masyarakat.
perlu
dilakukan
dan efisien, hal
upaya-upaya
penting yang harus
perbaikan, salah satunya dengan reorientasi diperhatikan adalah manajemen terhadap
penyelenggaraan pendidikan.
komponen-komponen sekolah itu sendiri. Salah
Seiring dengan berlakunya UU No. 22 Tahun satu komponen yang harus dikelola dengan baik,
1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 yaitu manajemen sekolah dengan masyarakat.
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Karena, dalam MBS partisipasi masyarakat sangat
Daerah telah membawa perubahan dalam penting, tidak seperti pada masa lalu yang hanya
berbagai bidang kehidupan, termasuk terbatas pada mobilisasi dana. Keterlibatan
penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan masyarakat benar-benar sangat menentukan
yang semula dikelola secara terpusat setiap pengambilan keputusan. Misalnya untuk
(sentralisasi), tidak sesuai lagi dengan prinsip menentukan penggunaan buku pelengkap.
otonomi pendidikan, sehingga harus
Melalui dewan sekolah (school council), orang
dilaksanakan sistem desentralisasi pendidikan. tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam
Menurut Boediono, Mantan Kepala Balitbang mengambil keputusan, melaksanakan, dan
Depdiknas, yang didesentralisasikan dalam mengevaluasi keputusan mengenai program
pendidikan adalah pengelolaan pendidikan. pendidikan di sekolah secara proporsional
Pengelolaan yang diserahkan pada kabupaten/ dilandasi kesepakatan (Nanang Fatah, 2003).
kotamadya ini, disesuaikan dengan kemampuan Dengan demikian masyarakat dapat lebih
daerahnya masing-masing.
memahami, serta mengawasi dan membantu
Mengenai desentralisasi pendidikan, sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan
diusulkan sebuah model desentralisasi belajar-mengajar. Agar tidak menimbulkan
pendidikan yang dikenal sebagai Manajemen rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua,
Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based dan masyarakat, pemerintah perlu merumuskan
Manajemen (SBM). MBS mendesentralisasikan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap
unsur secara jelas dan tegas.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
71
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
Manajemen Hubungan Sekolah
dengan Masyarakat
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak
dapat
dipisahkan
dari
masyarakat
lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak
dapat dipisahkan dari sekolah. Dikatakan
demikian, karena keduanya memiliki
kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal
yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih
dan membimbing generasi muda bagi
peranannya di masa depan, sementara
masyarakat merupakan pengguna jasa
pendidikan itu (Syaiful Sagala, 2004).
Namun demikian hendaknya masyarakat
tidak begitu saja menyerahkan masalah
pendidikan kepada sekolah. Masyarakat harus
turut berperan serta aktif dalam pendidikan.
Sekolah dan masyarakat bersama-sama
menjalankan fungsi dan peran mereka dalam
bidang pendidikan. Jadi, terdapat sebuah sinergi
antara sekolah dengan masyarakat. Salah satu
cara untuk mencapai sebuah sinergi, antara
sekolah dan masyarakat harus dibina suatu
hubungan yang harmonis.
Terciptanya hubungan sekolah dengan
masyarakat pada hakikatnya merupakan sarana
yang strategis dalam membina dan
mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta
didik di sekolah. Hubungan sekolah dengan
masyarakat bertujuan untuk: (1) memajukan
kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak;
(2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan
kualitas hidup dan penghidupan masyarakat; dan
(3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin
hubungan dengan sekolah. Untuk merealisasikan
tujuan tersebut, sekolah dapat melakukan
berbagai cara dalam menarik simpati masyarakat
terhadap sekolah dan menjalin hubungan yang
harmonis antara sekolah masyarakat, antara lain:
memberitahu masyarakat mengenai programprogram sekolah, baik program yang telah
dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan,
maupun yang akan dilaksanakan sehingga
masyarakat mendapat gambaran yang jelas
tentang sekolah yang bersangkutan.
Menurut Ngalim Purwanto yang dikutip oleh
Supriono S. dan Achmad Sapari (2001), ada tiga
jenis hubungan masyarakat yang bisa
dikembangkan, yakni:
a. Hubungan edukatif
Adalah hubungan kerja sama dalam hal
mendidik murid, antara guru di sekolah dan
72
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
orang tua di dalam keluarga. Hubungan ini
dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan
prinsip atau bahkan pertentangan yang dapat
mengakibatkan keragu-raguan pendirian dan
sikap pada diri anak. Untuk itu sekolah dan
masyarakat perlu mengadakan pertemuanpertemuan secara berkala guna membahas
pendidikan anak.
b. Hubungan kultural
Adalah usaha kerja sama antara sekolah dan
masyarakat yang memungkinkan adanya
saling membina dan mengembangkan
kebudayaan masyarakat tempat sekolah itu
berada. Misalnya dengan bekerja sama
menyelenggarakan pentas seni siswa yang
menampilkan berbagai ragam seni dan
budaya masyarakat setempat, mengundang
perwakilan orang tua siswa untuk bercerita
di kelas tentang kebudayaan setempat (di TK),
dsb.
c. Hubungan institusional
Yaitu hubungan kerja sama antara sekolahsekolah dengan lembaga-lembaga atau
instansi-instansi resmi lainnya, baik swasta
maupun pemerintah. Misalnya sekolah
mengadakan kunjungan ke media massa,
kantor kepolisian, pemadam kebakaran,
bandara, dsb., yang semuanya itu dilakukan
dalam rangka perbaikan dan kemajuan
pendidikan. Dengan demikian siswa tidak
lagi asing dengan lingkungan tempat
tinggalnya yang penuh dengan berbagai
ragam jenis profesi.
Hubungan sekolah dengan masyarakat
dilakukan atas dasar kesamaan tujuan dan
tanggung jawab. Sekolah menghendaki agar
peserta didik kelak menjadi manusia
pembangunan yang berkualitas. Demikian pula
masyarakat, mengharapkan agar sekolah dapat
menempa sumber daya manusia yang produktif
dan berkualitas sehingga dapat mengembangkan
berbagai potensi masyarakat setelah kembali dan
hidup bermasyarakat. Sementara itu, masyarakat
juga berusaha menyelenggarakan pendidikan
atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam
masyarakat terdapat lembaga-lembaga
penyelenggara pendidikan, lembaga keagamaan,
politik, sosial, olahraga, dan kesenian yang
bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam
masyarakat juga terdapat individu-individu atau
pribadi-pribadi yang simpati terhadap
pendidikan.
Agar berbagai kegiatan pendidikan yang
diselenggarakan di masyarakat sesuai dan
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
sejalan, serta menunjang pendidikan di sekolah, diharapkan dapat menekan dana yang harus
sebaiknya program-program yang disusun dan dikeluarkan oleh peserta didik. Peserta didik
dikembangkan oleh lembaga-lembaga masyarakat dapat mengikuti pendidikan yang berkualitas,
tersebut dikonsultasikan dengan sekolah-sekolah tetapi murah, bahkan kedepannya perlu
tempat peserta didik belajar. Dan akan lebih baik diciptakan pendidikan yang gratis bagi seluruh
lagi kalau program-program tersebut dapat anggota masyarakat. Dalam bidang pendidikan
disusun bersama secara kolaboratif antara pihak anak berkelainan, kerja sama dapat dilakukan
sekolah dengan lembaga-lembaga yang ada di untuk melayani peserta didik yang memiliki
masyarakat.
kemampuan di atas normal (luar biasa pandai),
Permasalahannya, banyak di antara anak di bawah normal, juga anak normal yang
lembaga-lembaga masyarakat yang tidak mau mengalami hambatan-hambatan dalam
mendiskusikan program-program yang akan belajarnya. Program akselerasi (percepatan
mereka susun dan kembangkan. Sebagian karena belajar) bagi peserta didik yang memiliki
ketidakmengertian mereka akan pentingnya kepandaian luar biasa merupakan salah satu
kesesuaian antara kegiatan pendidikan yang contoh hasil kerja sama dengan masyarakat.
diselenggarakan di masyarakat dengan di
Peran serta masyarakat dalam pendidikan
sekolah, dan sebagian
ditegaskan dalam UU No.
lainnya karena memang
20 Tahun 2003 tentang
memiliki perbedaan dalam
Sistem
Pendidikan
Peran serta masyarakat
tujuan penyelenggaraan
Nasional,
Bab
XV.
dalam pendidikan tidak
pendidikan. Dalam hal ini
Disebutkan dalam UU ini,
sekolah dituntut untuk
akan muncul begitu saja
masyarakat dapat berperan
proaktif menginformasikan
serta sebagai sumber,
tanpa adanya upaya-upaya
tujuan penyelenggaraan
pelaksana, dan pengguna
untuk menggalangnya.
pendidikan sekolah kepada
hasil
pendidikan.
masyarakat,
juga
Masyarakat juga berhak
menjelaskan
akan
menyelenggarakan
pentingnya kesesuaian antara kegiatan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan
pendidikan yang diselenggarakan di masyarakat formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan
dan di sekolah bagi pendidikan anak. Hal ini agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk
dapat dilakukan melalui seminar-seminar kepentingan masyarakat. Selain itu, masyarakat
pendidikan atau pertemuan-pertemuan yang dapat berperan dalam peningkatan mutu
diselenggarakan secara berkala.
pelayanan pendidikan yang meliputi
Lembaga-lembaga masyarakat harus perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program
berupaya memberikan pendidikan sebagai pendidikan melalui dewan pendidikan dan
penambah dan pelengkap. Dalam hal ini, komite sekolah.
masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan
Peran serta masyarakat dalam pendidikan
yang bersifat spesialisasi. Tentu saja program- tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya
program ini akan sangat bermanfaat bagi peserta upaya-upaya untuk menggalangnya. Disinilah
didik karena pendidikan yang mereka peroleh di diperlukan kegigihan kepala sekolah dan guru
sekolah sangat terbatas waktunya, hanya sekitar untuk proaktif menggalang dan memberikan
tujuh jam. Perkumpulan-perkumpulan kesenian penyuluhan kepada masyarakat, bahwa
di masyarakat akan sangat membantu proses masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap
pembinaan bakat dan jiwa seni peserta didik.
kemajuan pendidikan anak mereka.
Melalui pendidikan kesenian ini dapat
Berbagai cara mendorong peran serta masyarakat,
dikembangkan sifat-sifat yang positif seperti
diantaranya:
tenggang rasa, demokratis, dan kreatif. Sekolah
dan masyarakat dapat bekerja sama 1. Mengundang orang tua dan tokoh masyarakat
dalam sebuah diskusi tentang bagaimana
menyelenggarakan pementasan-pementasan seni.
cara meningkatkan mutu pendidikan di
Lembaga-lembaga pendidikan keterampilan di
sekolah. Kepala sekolah menyajikan keadaan
masyarakat sangat bermanfaat bagi peserta didik
dan capaian sekolah selama ini, visi misi
karena di sekolah mereka dituntut untuk
sekolah, serta keadaan yang diverbalkan bagi
memperoleh keterampilan, seperti komputer,
anak di masa depan. Orang tua dan tokoh
bahasa Inggris, dll. Melalui hubungan kerja sama
yang baik antara sekolah dan masyarakat ini
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
73
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
masyarakat dapat memberikan masukan dan
usulan.
2. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa
tanggung jawab pendidikan bukan hanya
pada pemerintah, melainkan juga
masyarakat. Dengan pemahaman yang benar
tentang konsep ini, maka diharapkan
perlahan-lahan masyarakat akan mengubah
sikapnya.
Mereka
akan
semakin
bertanggung-jawab terhadap pendidikan di
sekolah. Penjelasan dapat dilakukan baik
secara langsung misalnya dalam pertemuanpertemuan tatap muka, maupun secara tidak
langsung misalnya lewat media massa.
3. Manajemen kepala sekolah hendaknya juga
terbuka. Kepala sekolah secara transparan
menjelaskan tentang pengelolaan sekolah,
dalam hal penyelenggaraan programprogram, SDM, keuangan, dsb. Dengan
demikian maka masyarakat akan
mempercayai apa yang dilakukan oleh
sekolah dan kemudian memberikan
dukungan.
Setelah masyarakat terdorong untuk berperan
serta dalam kegiatan pendidikan di sekolah, maka
perlu dipacu agar kreativitas masyarakat semakin
meningkat, misalnya dengan cara menghimpun
berbagai daya yang ada (Supriono S. – Achmad
Sapari, 2001).
Sumber daya ini tidak hanya masalah uang.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan,
diantaranya:
1. Mencari donatur tetap. Dengan cara ini maka
sekolah bersama masyarakat mencari tahu
tentang siapa saja yang bisa dijadikan
donatur tetap.
2. Mengadakan bazar. Kegiatan ini dapat
digunakan untuk mencari tambahan
finansial. Apalagi jika masyarakat telah
mengetahui bahwa hasil kegiatan ini untuk
mendukung kelangsungan pendidikan di
sekolah.
3. Mengadakan pertunjukan kesenian/
pergelaran seni, seperti seni tari, paduan
suara, drama, ensambel, dsb. Atau dapat pula
mengadakan pertunjukan wayang, bila
sekolah berlokasi di pedesaan.
Hubungan yang harmonis antara sekolah
dan masyarakat ini semakin dirasakan penting
oleh masyarakat yang telah menyadari
pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Pada
masyarakat yang kurang menyadari akan
pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih
74
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
aktif dan kreatif untuk menciptakan hubungan
kerja sama yang lebih harmonis.
Jika hubungan sekolah dengan masyarakat
berjalan dengan baik, partisipasi masyarakat
untuk memajukan sekolah juga akan baik dan
tinggi. Dan makin besar tingkat partisipasi, makin
besar rasa memiliki diikuti makin besar rasa
tanggung jawab dan seterusnya makin besar
tingkat dedikasi. Agar tercipta hubungan dan kerja
sama yang baik antara sekolah dan masyarakat,
masyarakat perlu mengetahui dan memiliki
gambaran yang jelas tentang sekolah yang
bersangkutan. Sekolah hendaknya secara berkala
menginformasikan gambaran dan kondisi
sekolah kepada masyarakat.
Dalam rangka MBS, hubungan dengan
masyarakat dapat dijalin melalui:
1. Dewan Sekolah; dewan sekolah merupakan
suatu lembaga yang perlu dibentuk dalam
rangka pelaksanaan MBS. Kepengurusan
terdiri atas kepala sekolah, guru, beberapa
tokoh masyarakat, serta orang tua yang
memiliki potensi dan perhatian besar
terhadap pendidikan di sekolah. Dewan ini
dibentuk untuk membantu menyukseskan
kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah,
baik menyangkut perencanaan, pelaksanaan,
maupun penilaian. Dibentuknya dewan
sekolah terutama dalam kaitannya dengan
relevansi pendidikan yang akan diwujudkan
melalui MBS agar apa yang dilaksanakan di
sekolah sejalan dan selaras dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
2. Rapat Bersama. Dalam rapat tersebut, sekolah
dapat mengundang lembaga, yayasan, atau
seseorang yang bersimpati terhadap dunia
pendidikan untuk membahas suatu masalah,
misalnya, pendidikan lingkungan, serta etika
dan tatakrama untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif
bagi
perkembangan dan pembentukan pribadi
peserta didik.
3. Konsultasi; sekolah dapat melakukan
konsultasi mengenai peserta didiknya kepada
seorang ahli yang ada di masyarakat,
misalnya psikolog, dan hasilnya dapat
digunakan untuk mencari solusi yang tepat.
4. Radio dan Televisi; sekolah dapat
menggunakan media ini untuk untuk
menyampaikan program-program, prestasi,
maupun masalah-masalah yang dihadapi
sekolah. Dan melalui media ini juga,
masyarakat dapat secara langsung
memberikan tanggapan dan bantuannya. Di
Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah
sisi lain sekolah dapat sekaligus
menggunakan media ini sebagai promosi.
5. Surat, telepon, dan email; apabila sulit
berhubungan langsung dengan para ahli,
sekolah dan masyarakat dapat melakukan
komunikasi lewat surat, telepon, dan email.
Hasil konsultasi dapat digunakan sebagai
pedoman dalam membina peserta didik di
sekolah.
6. Pameran
Sekolah;
sekolah
dapat
memprogramkan kegiatan pameran secara
kontinu untuk memamerkan hasil karya
siswa termasuk pementasan karya seni,
keterampilan, dsb. Melalui pameran ini,
diharapkan masyarakat dapat membeli
barang-barang karya peserta didik, yang hasil
penjualannya dapat dihimpun untuk
kepentingan sekolah.
7. Ceramah; sekolah dapat meminta seorang ahli
dalam masyarakat untuk memberikan
ceramah mengenai permasalahan yang
menarik, bermanfaat, dan yang paling banyak
mendapat perhatian pada saat itu. Ceramah
ini dapat diselenggarakan di hari libur atau
digabungkan dengan kegiatan pameran
sekolah (E. Mulyasa, 2002).
Kepala sekolah yang baik merupakan salah
satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan
yang baik antara sekolah dan masyarakat secara
efektif karena harus menaruh perhatian tentang
apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah
dan apa yang dipikirkan orang tua tentang
sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk
senantiasa berusaha membina dan meningkatkan
hubungan kerja sama yang baik antara sekolah
dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang
efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini
akan membentuk:
1. Saling pengertian antara sekolah, orang tua,
masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang
ada di masyarakat, termasuk dunia kerja;
2. Saling membantu antara sekolah dan
masyarakat karena mengetahui manfaat, arti
dan pentingnya peranan masing-masing;
3. Kerja sama yang erat antara sekolah dengan
berbagai pihak yang ada di masyarakat dan
mereka merasa ikut bertanggung jawab atas
suksesnya pendidikan di sekolah.
Penutup
sekolah dengan masyarakat dapat dijalin dengan
mengembangkan hubungan edukatif, kultural,
dan institusional yang dilakukan atas dasar
kesamaan tujuan dan tanggung jawab. Dalam
rangka MBS, hubungan sekolah dengan
masyarakat dapat dijalin dengan: membentuk
Dewan Sekolah; menyelenggarakan Rapat
Bersama, Pameran Sekolah, Ceramah, dan
Konsultasi: serta mengefektifkan penggunaan
media radio, televisi, surat, telepon, dan email.
Dan salah satu kunci untuk bisa menciptakan
hubungan yang harmonis adalah kepala sekolah
dituntut untuk senantiasa membina hubungan
kerja sama yang baik antara sekolah dan
masyarakat.
Dengan bersinergi, sekolah dan masyarakat
dapat melihat masalah-masalah dan kebutuhankebutuhan yang diperlukan, serta bisa mencari
solusi yang saling menguntungkan. Sekolah dan
masyarakat juga dapat saling menjelajah mencari
perspektif baru untuk mengganti atau melengkapi
paradigma yang ada serta bekerja sama untuk
mencapai tujuan yang telah disepakati. Dengan
demikian diharapkan proses pendidikan di
sekolah lebih produktif, efektif, dan efisien
sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang
berkualitas.
Daftar Pustaka
Depdiknas, Ditjen Dikdasmen, Direktorat
Dikmenum. (2001). Manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah. Jakarta: Depdiknas,
Ditjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenum
Mulyasa, E. (2002). Manajemen berbasis sekolah:
Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung:
PT Remaja Rosda Karya
Fattah, Nanang. (2003). Konsep manajemen berbasis
sekolah (MBS) dan Dewan sekolah. Bandung:
CV Pustaka Bani Quraisy
Subakir, Supriono dan Achmad Sapari. (2001).
Manajemen berbasis sekolah. Jakarta:
Pemerintah RI, UNICEF, dan UNESCO
Sagala, Saiful. (2004). Manajemen berbasis sekolah
dan masyarakat, strategi memenangkan mutu.
Jakarta: PT Nimas Multima
Media Wacana. (2003). Undang-undang No. 20
Tahun 2003: Tentang sistem pendidikan
nasional. Yogyakarta
Melalui hubungan yang harmonis diharapkan
tercapai sebuah sinergi antara sekolah dengan
masyarakat. Hubungan yang harmonis antara
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
75
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
Opini
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
Imma Helianti Kusuma*)
Abstrak
Pergeseran paradigma yang awalnya memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial dan kini menjadi
suatu lahan bisnis mengindikasikan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan ini seirama
dengan tuntutan zaman. Situasi, kondisi dan tuntutan pada era reformasi membawa konsekwensi kepada
pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan kehidupan di masa depan. Maka merupakan hal yang logis
ketika pengelola pendidikan mengambil langkah antisipatif untuk mempersiapkan diri bertahan pada zamannya.
Mempertahankan diri dengan tetap mengacu pada mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen
pendidikan. Manajemen pendidikan pada era reformasi merupakan pembenahan manajemen yang serius
dengan menekanakan pembenahan secara global. Pembenahan secara global meliputi 7 bidang utama yang
perlu di kelola dengan pendekatan manajemen baru. Ke 7 bidang tersebut adalah (a) sensitivitas lembaga
terhadap perubahan dan peluang, (b) manajemen organisasi, (c) manajemen strategi, (d) manajemen
sumber daya manusia, (e) reformasi pembelajaran, (f) pembiayaan pendidikan, (g) marketing pendidikan
Kata kunci : Manajemen pendidikan, sensitivitas lembaga, manajemen organisasi, manajemen strategi,
manajemen sumber daya manusia, reformasi pembelajaran, pembiayaan pendidikan, marketing
pendidikan
Paradigm shift in education resulted in the change of role of educational institution from social as non profit
to profit making busines. The change requires the management improment to enable the educational
instituton to sustain, develop, and competc. Board on the future needs, each educational institution
should reform or transform itself to answer the demans of society in general and labour market in particular.
In line with the paradigm shift, this article discusses the need to improve educational management from
seven aspects: (a) sensitivy of change and opportunity, (b) organization management, (c) management
strategy, (d) human resource management, (e)educational financing, (F) instructional reform and educational
marketing.
Pendahuluan
emerintah telah mencanangkan wajib
belajar 9 tahun bagi anak Indonesia,
kemudian diteruskan menjadi 12 tahun,
akan lebih baik menjadi 16 tahun sampai
mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi.
Setelah mereka menyelesaikan tahapan
pendidikan, mereka akan bekerja atau dapat
dikatakan terjun ke masyarakat. Usia produktif
seseorang diperkirakan mencapai 50 tahunan.
Jika dikaruniai umur panjang masih dapat
memasuki masa pensiun dan berkarya lagi.
Melalui tahapan pendidikan 9 sampai 16 tahun
P
diharapkan oleh masyarakat bahwa apa yang
dipelajari oleh anak-anak di sekolah dapat
dimanfaatkan dalam sisa kehidupannya. Suatu
pertanyaan muncul yang ditujukan kepada
pengelola pendidikan, “Apakah pelajaran yang
diperoleh di sekolah memadai untuk menghadapi
kehidupan di luar tahapan pendidikan yaitu
bekerja atau terjun ke masyarakat dengan segala
macam perubahan yang terjadi begitu cepat dan
terus menerus? Jika pengalaman yang didapat
semasa tahapan pendidikan tidak dapat
dipergunakan untuk kehidupannya maka apa
yang seharusnya dilakukan oleh sebuah lembaga
pendidikan?
*) Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (III) BPK PENABUR Jakarta, Juara I Lomba Karya Tulis
HUT ke-55 BPK PENABUR, Kategori Karyawan
76
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
Kerisauan tentang rendahnya daya saing mengakibatkan tergesernya lembaga pendidikan
sumber daya manusia (SDM) Indonesia di pasar yang sudah lama eksis, mulai tidak diakui
global menyimpan satu pertanyaan, apa yang masyarakat bahkan lambat laun gulung tikar.
seharusnya dibenahi dengan pendidikan kita? Lalu apa sebenarnya yang harus dipersiapkan
Pendidikan yang bermutu tercermin pada sekolah oleh sebuah lembaga pendidikan agar diakui dan
yang bermutu. Sekolah yang bermutu dicari oleh masyarakat dalam mempertahankan
menghasilkan SDM yang bermutu. Rendahnya eksistensinya?
mutu SDM signifikan dengan rendahnya mutu
Saat ini lahan pendidikan sudah dilirik oleh
pendidikan. Lee Iacocca dalam tulisannya “Bila pengusaha-pengusaha bermodal besar yang
pendidikan berhasil orang juga akan berhasil”, sebelumnya bergerak di luar bidang pendidikan.
mengisyaratkan bahwa diperlukan mutu Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan
pendidikan agar menghasilkan SDM yang sudah menjadi lahan bisnis. Pendidikan mereka
bermutu. Menurut Josep M Juran masalah mutu kelola secara profesional, dan tidak mustahil bila
terletak pada manajemen (pengelolaan). Oleh pengelolaannyapun berdasarkan manajemen
karena
itu
bisnis.
Sementara
l e m b a g a
banyak
lembaga
pendidikan
pendidikan yang masih
Saat ini lahan pendidikan sudah dilirik
perlu berpikir
m e n e r a p k a n
apa saja batu
manajemen tradisional
oleh pengusaha-pengusaha bermodal
besar (hal yang
dan
menganggap
besar yang sebelumnya bergerak di luar pendidikan masih
penting) yang
bidang pendidikan. Hal ini
harus dikelola
sebagai lembaga sosial.
dengan baik?
Walaupun
pada
mengindikasikan bahwa pendidikan
Sehingga tidak
kenyataannya
sudah menjadi lahan bisnis.
terjadi salah
masyarakat tertentu
pengelolaan,
m
a
s
i
h
dalam arti tidak tersebar pada hal-hal kecil yang membutuhkannya karena biaya relatif murah.
tidak substantif bahkan cenderung kurang Kedua jenis lembaga ini bersaing pada masa yang
berdampak positif terhadap peningkatan mutu.
sama. Maka bagaimana seharusnya manajemen
Munculnya berbagai lembaga pendidikan yang cocok untuk bidang pendidikan pada era
baru yang tiba-tiba diakui keberadaannya oleh globalisasi dan era persaingan yang sangat ketat?
masyarakat, mengkondisikan sebuah persaingan Tuntutan perubahan jaman pada era globalisasi
yang ketat. Padahal jam terbang mereka relatif membawa dampak pergeseran fungsi
pendek, sehingga aspek kualitas belum teruji benar pembelajaran dari yang terbatas pada tahapan
atau belum terandalkan. Harus diakui bahwa pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup.
lembaga pendidikan baru ini menawarkan Kondisi ini menuntut reformasi pembelajaran.
pembelajaran trend yang digandrungi masyarakat Reformasi pembelajaran seperti apa yang perlu
masa kini. Biasanya berlabelkan pembelajaran dipersiapkan oleh suatu lembaga pendidikan
berwawasan masa depan. Keberadaannya yang untuk mengantisipasi kehidupan di masa datang?
mempunyai nilai jual tinggi tentu saja biaya
Situasi dan kondisi yang telah dipaparkan di
pendidikannyapun tinggi. Sementara itu pada sisi atas membawa konsekuensi logis kepada
lain kecenderungan orang tua memilih sekolah pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan
karena prestise bukan faktor mutu pendidikan, akan kehidupan masa depan. Hal ini pun
dan berpendapat bahwa yang bermutu itu yang dianggap logis ketika pengelola pendidikan
mahal. Dengan segala macam promosinya mengambil langkah antisipatif
untuk
lembaga pendidikan baru ini mampu menjual mempersiapkan kemampuan yang perlu dimiliki
program dan memikat masyarakat untuk agar bertahan pada zamannya. Banyak hal yang
memilihnya, walau harga yang ditawarkan cukup perlu dipikirkan dan digumuli secara serius,
melangit. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa misalnya materi pendidikan yang harus
tidak semua lembaga pendidikan baru tak disesuaikan dengan tuntutan jaman,
bermutu. Pada situasi ini berarti, pangsa pasar penyampaian materi sehingga dimiliki oleh
yaitu orang tua yang cenderung tetap atau fanatik siswa, bagaimana masyarakat mengetahui
pada sekolah-sekolah tertentu telah tersedot ke inovasi yang dilakukan dalam pengelolaan
lembaga pendidikan baru itu. Hal ini pendidikan sehingga masyarakat tetap mengakui
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
77
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
keberadaannya, bagaimana mengelola keuangan
dimana bukan hanya keuntungan yang diraih
dan menjadi fokus namun stabilitas dari semua
pendukung tetap terjaga, bagaimana
mengembangkan sumber daya manusia yang ada
dan mendaya gunakannya dsb. Agar dapat
mewujudkan hal ini tentunya diperlukan
manajemen yang baik dalam mengelola
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Pada tulisan selanjutnya akan menguraikan
7 hal besar yang harus dibenahi oleh pengelola
pendidikan yaitu: (a) sensitivitas lembaga
terhadap perubahan dan peluang, (b) manajemen
organisasi, (c) manajemen strategi, (d) manajemen
sumber daya manusia, (e) reformasi pembelajaran,
(f) pembiayaan pendidikan, (g) marketing
pendidikan
Ke tujuh bidang utama yang perlu dikelola
dengan pendekatan manajemen baru.
Pembenahan manajemen pada semua aspek ini
dalam rangka pembenahan secara global karena
satu dan lain hal akan saling terikat, dan
diharapkan menuju keberhasilan yang sesuai
pada zamannya.
Sensitivitas Lembaga Terhadap
Perubahan dan Peluang
Lembaga pendidikan berfungsi dan berperan
dalam pembentukkan sumber daya manusia yang
berkompeten pada jamannya, kreatif, inovatif dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menuntut
para manajer pendidikan untuk mencari dan
menerapkan suatu manajemen baru yang dapat
mendorong perbaikan mutu pendidikan. Oleh
karena itu pembenahan manajemen pendidikan
sangatlah diperlukan. Pembenahan manajemen
pendidikan diperlukan sensitivitas lembaga dalam
melihat sebuah perubahan yang muncul untuk
mengelola kegiatan antisipasi yang harus
dilakukan terhadap dampak dari perubahan
tersebut, sekaligus melihat peluang yang muncul
yang dapat diambil untuk pengembangan lembaga.
Perubahan apa yang Muncul dan
Membawa Dampak dalam
Pendidikan?
Manajemen dalam mengelola pendidikan tidak
dapat dilepaskan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Bukti dari pertalian
erat tersebut adalah perubahan yang terjadi pada
78
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
hampir semua aspek kehidupan manusia dengan
berbagai permasalahan yang ditimbulkannya
dapat dipecahkan melalui upaya penguasaan
serta peningkatan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kondisi demikian membawa dampak
kepada perlunya seseorang mengikuti
perkembangan dan menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terus berkembang dan
berubah. Perkembangan dan perubahan yang
terus bergulir ini pun membawa manusia ke era
persaingan global yang ketat. Oleh karena itu
kalau tidak ingin kalah bersaing dalam era
globalisasi peningkatan kualitas sumber daya
manusia merupakan kenyataan yang harus
dilakukan secara terencana, terarah, intensif,
efektif dan efisien. Pengembangan dan
peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing
international dan mempunyai kompetensi untuk
bertahan pada perkembangan zaman menjadi
suatu perhatian penting dalam manajemen
pendidikan.
Globalisasi menuntut adanya perubahan
paradigma dalam dunia pendidikan. Menurut
Reigeluth dan Garfinkle (1994) dalam
Syafaruddin, kebutuhan terhadap paradigma
baru pendidikan di dasarkan atas perubahan
besar-besaran dalam kondisi dan kebutuhankebutuhan pendidikan dalam masyarakat
informasi. Untuk melakukan perubahan tersebut
maka peranan manajemen pendidikan sangat
signifikan untuk menciptakan sekolah-sekolah
yang bermutu yang menghasilkan SDM
terandalkan dan tangguh yang dibutuhkan
masyarakat. Kualitas pendidikan yang diserap
pada sekolah yang bermutu sudah seharusnya
dipersiapkan seirama dengan perkembangan
zaman. Saat ini zaman berada pada era globalisasi
dan informasi, maka era inilah yang membawa
perubahan-perubahan mendasar dan mewarnai
kehidupan pendidikan.
Guru mengatur,
murid diatur.
Peluang apa yang Muncul Saat Ini?
Salah satu perubahan mendasar yang telah
digulirkan oleh pemerintah untuk menanggapi
era globalisasi dan informasi dan membawa
dampak pada manajemen pendidikan adalah
berubahnya manajemen berbasis pusat menjadi
manajemen berbasis daerah. Secara resmi,
perubahan manajemen ini telah diwujudkan
dalam bentuk “Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
Pemerintah Daerah” yang kemudian diikuti
pedoman pelaksanaannya berupa “Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi.
Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa
manajemen pendidikan harus disesuaikan
dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu,
manajemen pendidikan berbasis pusat yang
selama ini telah dipraktikkan perlu diubah
menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah.
Manajemen berbasis sekolah yang sudah berhasil
mengangkat kondisi pendidikan dan
memecahkan masalah pendidikan di beberapa
negara maju seperti Australia dan Amerika
tentunya harus ditangkap menjadi satu peluang
untuk menyajikan pendidikan yang berkualitas
dalam
pembentukan SDM. Manajemen
pendidikan harus mampu menerjemahkan
perubahan itu ke dalam kebijakan-kebijakan
strategis bagi lembaganya.
Manajemen pendidikan adalah aplikasi
prinsip, konsep dan teori manajemen dalam
aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan secara efektif dan efisien. Di berbagai
organisasi selalu menjalankan fungsi manajemen
yang seharusnya dilaksanakan yaitu “Planning,
Organizing, Actuating, dan Controlling”. Fungsifungsi tersebut tidak jauh berbeda di dalam
manajemen pendidikan. Yang membedakan
manajemen pendidikan dengan manajemen
lainnya adalah komponen di dalamnya.
Komponen manajemen pendidikan antara lain
meliputi proses pembelajaran, sumber daya
manusia, siswa, steakholder, fasilitas,
pembiayaan, school public relation, dsb.
Ada beberapa teori manajemen yang dapat
menjadi panduan pembenahan manajemen
pendidikan. Jika kita berpendapat bahwa
pendidikan adalah suatu industri, maka langkah
selanjutnya berpikir bagaimana mengembangkan
industri itu untuk terus bertumbuh. Maka dalam
bingkai pemikiran ini kita memerlukan panduan
yang sesuai. Manajemen Mutu Terpadu atau lebih
dikenal dengan Total Quality Management dapat
dijadikan “guiding philosophy” yang tentunya
ditarik ke dunia pendidikan. Malcolm Baldrige
Quality Program dapat menjadi salah satu
panduan dalam menentukan hal-hal apa saja
yang perlu dikelola dengan benar dan harus
diperhatikan untuk menjadi sekolah yang
bermutu. Balanced Scorecard dapat membantu
menyediakan informasi akutansi manajemen
strategis yang dapat menuntun dalam mengambil
keputusan agar konsisten dengan strategi
lembaga.
Guru memilih dan memaksakan
Bagaimana Menyikapi Peluang
dalam Manajemen Pendidikan?
Peluang yang tersedia dalam mengelola
pendidikan merupakan suatu tantangan bagi
lembaga pendidikan. Peluang tersebut tentunya
tidak disia-siakan oleh lembaga pendidikan dan
segera mengambil perannya untuk menghadapi
tantangan ke depan. Tantangan yang dihadapi
membuat lembaga pendidikan selalu berpikir dan
berjuang mempertahankan eksistensinya. Setiap
lembaga pendidikan harus melakukan
pembenahan dengan mendasari pada komitmen
yang tinggi untuk menentukan langkah-langkah
strategis, dan berkiprah pada situasi international.
Beberapa komitmen itu antara lain : (1)
menekankan pada standar kendali mutu dengan
menetapkan strategi-strategi dalam mencapai
target yang telah ditetapkan dan konsisten
melakukan perbaikan berkelanjutan, (2)
memberdayakan seluruh sumber yang ada baik
sumber daya manusia maupun sumber dana yang
lain, (3) meningkatkan profesionalitas kerja, (4)
mengadakan evaluasi yang berkesinambungan
baik evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif,
(5) mengadakan penelitian dan pengkajian dalam
pengembangan program, (6) mengikuti dinamika
perubahan zamannya dan selalu melakukan
inovasi-inovasi dalam segala bidang. Komitmenkomitmen tersebut tentunya framework
pengelolaan pendidikan,
Selanjutnya komitmen-komitmen di atas juga
menjadi dasar untuk menentukan langkah dalam
pengelolaan pendidikan. Langkah-langkah itu
meliputi : (1) menganalisis fungsi dan peran
lembaga pendidikan, (2) menetapkan visi dan
misi, (3) mencari kesenjangan yang muncul antara
apa yang telah dihasilkan dengan kebutuhan dan
harapan masyarakat, (4)mengevaluasi respon
masyarakat terhadap layanan pendidikan yang
diberikan, (5)mencermati dan menganalisa
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
(6)menyikapi problem yang dihadapi masyarakat
untuk mencarikan solusi lewat kegiatan
akademis, (7) menganalisis kebutuhan
kompetensi SDM masa depan, (8)mengatur
strategi dan kegiatan preventif dalam
menghadapi persoalan masa depan,
(9)menganalisis dan memberdayagunakan pihakpihak terkait dalam perencanaan, proses, hasil
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
79
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
dan feedback, (10). menentukan strategi
pencapaian tujuan.
Manajemen Organisasi
Struktur organisasi yang dapat mengakomodir
fungsi manajemen (planning, organizing, actuating,
controlling) sekaligus quality trilogy controlling)
sekaligus quality trilogy (perencanaan mutu,
pengawasan mutu, pengingkatan mutu) dapat
dilihat pada gambar 2.
Pada struktur tersebut tim perencana,
pengkajian dan pemberi informasi posisinya
seharusnya sangat bebas sehingga mampu
berperan dalam memberikan segala macam
pemikiran dalam pengembangan lembaga dalam
melihat peluang ke depan dan merencanakan
Ketika lembaga sensitife terhadap perubahan
yang bergulir dan peluang yang ditawarkan, serta
mempunyai komitmen dalam mempertahankan
eksistensinya dengan menetapkan langkah
strategis dalam pengelolaan pendidikan, maka
lembaga memerlukan suatu organisasi untuk
mewujudkannya.
Organisasi merupakan
Peningkatan mutu (Quality Improvement)
unsur penting dalam
Juran’s Quality Triligy
manajemen. Manajemen
tidakibermakna apabila
organisasi tidak ada.
Perencanaan Mutu
Penjaminan mutu
Pengawasan mutu
Organisasi yang tangguh
(Quality
Planning)
(Quality
Assurance)
(Quality Control)
adalah organisasi yang
memiliki sumber daya
Gambar 1 : Pendekatan Quality trilogy
manusia bermutu, aktif,
bersemangat, struktur
strategi untuk tetap diakui keberadaannya di
organisasi mantap, dan mempunyai sistem tengah
masayarakat
tanpa
ada
informasi yang up to date. Di dalam organisasi tebengankebijakan, tekanan atasan dsbnya.
selalu ada orang-orang yang mempunyai tugas Kebijakan, peraturan dan yang sejenis menempel
dan peran masing-masing. Mereka saling pada tim pembuat keputusan yang pada akhirnya
berinteraksi dalam sebuah struktur organisasi turun ke tim strategy planning (dalam konteks
untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi pelaksanaan program). Dalam manajemen
merupakan sebuah sistem yang di dalamnya tradisional seringkali tim ini tidak ada atau tidak
terdapat input, proses, output
dan feedback.
Suatu organisasi di
bangun tentu memiliki tujuan.
TIM 1
TIM 2
TIM 4
Salah satu tujuan untuk
Perencana, PengPengambil
Evaluasi
kajian, PengemKeputusan
meningkatkan
mutu
Sumatif
bangan dan
pendidikan.
Ada
satu
Pemberi
Tidak
pendekatan yang biasa di
terapkan di berbagai industri
Ya
besar dalam meningkatkan
mutu adalah Quality Trilogi (Dr.
TIM 3 Pelaksanaan
Joseph M. Juran). Sementara
TIM 5
Bagian
TIM 3 A Strategi
itu
pendidikan
Marketing
Planning
padadasarnya adalah suatu
dan
TIM 3 E
Bagian
industri di bidang sumber daya
Kontrolling
Technical
TIM 3F
TIM 3 B
Pelaksanaan/
Care Edumanusia, dengan demikian
Support
Pelaksana
cation
Pengawasan
quality
trilogy
dapat
Sistem
Mutu
diterapkan. Quality trilogy
dapat
menjadi
suatu
TIM 3 C
TIM 3 D
Evaluasi
Perbaikan
pertimbangan
dalam
Formatif
Pelaksanaan
membangun
struktur
organisasi. Quality trilogy yang
dimaksud dapat dilihat pada
Gambar 2: Struktur organisasi yang mengakomodir fungsi manajemen
gambar 1.
80
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
dianggap perlu. Kegiatan yang dilakukan tim 1
dapat meliputi : (1) identifikasi masalah dimana
didalamnya ada kegiatan mencari, menemukan
dan mengidentifikasi kondisi lingkungan serta
trend masa depan, (2) membuat rencana dengan
fokus dimana di dalamnya ada kegiatan
menciptakan, mengembangkan alternatif solusi,
(3) memilih alternatif yang sesuai dengan lembaga
tersebut sebagai rekomendasi. (4) mendapatkan
feedback dengan terlebih dahulu melakukan
evaluasi kegiatan/pelaksanaan.
Organisasi akan tetap eksis di tengah
masyarakat jika mempunyai komitmen terhadap:
satu tujuan; fokus terhadap pelanggan; obsesi
yang tinggi terhadap kualitas, motivasi berprestasi
dan mengejar daya saing; perencanaan jangka
panjang; antisipatif dan proaktif; kerjasama tim
yang dinamis; anggota organisasi selalu tekun
bekerja, giat berusaha dan terus meningkatkan
pengetahuan dan kecakapannya; pemberdayaan
dan mendorong anggota untuk maju;
memperbaiki proses secara berkesinambungan;
terus menerus menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan. Agar komitmen tersebut tetap terjaga
oleh organisasi maka dalam sepanjang waktu
perlu dilakukan : (a) membina proses; Dalam
kegiatan ini anggota organisasi melakukan
pekerjaannya sebagaimana ditetapkan dalam
uraian pekerjaannya. (b) melakukan perbaikan
performance secara perorangan dan atau kelompok,
(c) menangani krisis, ini berarti menghadapi dan
menangani keadaan darurat.
Apabila perbaikan performance dilakukan
secara aktif akan menciutkan area penanganan
krisis. Agar organisasi dapat mencapai tujuan
maka dalam membina proses perlu dibentuk satu
“kelompok penggerak dan perintis perubahan”.
Untuk menjalankan perannya, ia terlepas dari
hirarki organisasi, anggotanya mempunyai
idealisme, pengetahuan dan kecakapan, reputasi
baik, mempunyai hubungan baik dengan anggotaanggota lainnya.
Pemimpinan yang bermutu mempengaruhi
laju gerak organisasi. Pimpinan harus mengambil
inisiatif. Setiap respon organisasi pendidikan
terhadap suatu perubahan ditentukan oleh pola
kepemimpinan yang dijalankan. Oleh karena itu
pemimpin harus memberikan contoh dalam pola
pikir, pola sikap, pola tindak tentang mutu dalam
setiap keputusan dan aktivitasnya. Pemimpin
dalam satu struktur organisasi dapat digolongkan
menjadi lower management, midlle management, top
management. Masing-masing klasifikasi pimpinan
itu perlu ada batasan dalam perannya sehingga
gerak organisasi dapat berjalan lancar, tidak ada
tumpang tindih dalam pengambilan keputusan.
Lower management dapat mengambil bagian untuk
operation control, midlle management dapat
mengambil bagian untuk management control,
sedangkan top management dapat mengambil
bagian pada strategic planning. li
Manajemen
annya, murid
menuruti.
Strategi
Ketika lembaga pendidikan memasuki
lingkungan bisnis maka saat itu juga memasuki
lingkungan yang kompetitif dan turbulen. Oleh
karena itu manajemen lembaga pendidikan
memerlukan sistem manajemen strategik yang pas
dan sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis.
Strategi adalah suatu cara untuk mencapai
sasaran. Balanced scorecard memberikan satu cara
untuk mengkomunikasikan strategi suatu
lembaga pada manajer-manajer di organisasi.
Balanced scorecard dapat membantu
menyediakan informasi akuntansi manajemen
strategik yang dapat menuntun dalam mengambil
keputusan penyusunan rencana strategik agar
konsisten dengan strategi lembaga.
Banyak lembaga dengan manajemen berkutat
tradisional masih meningkatkan laba hanya pada
sisi keuangan. Ketika diadakan kebijakan pada
sisi keuangan terjadi ketimpangan-ketimpangan
pada sisi lain. Lembaga macam ini
kecenderungannya memfokuskan pada kinerja
jangka pendek. Lembaga pendidikan
membutuhkan kinerja jangka panjang sehingga
perlu memperhatikan sisi lain agar terjadi
keseimbangan yang menyebabkan naiknya kinerja
keuangan. Ada 4 perspektif yang perlu menjadi
perhatian utama yaitu keuangan, customer, proses
bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan.
Perspektive keuangan untuk melihat apakah
kinerja keuangan meningkat? Perspektif customer
untuk mengukur mutu, pelayanan dan biaya
dalam memuaskan pelanggan. Nilai yang sering
kali muncul oleh pelanggan terhadap lembaga
dirumuskan dari fungsi pendidikan untuk
pelanggan + mutu adalah kesesuaian dengan
standar permintaan pelanggan + citra adalah daya
tarik pelanggan yang tercipta karena proses
komunikasi yang tercipta + harga adalah
perbandingan harga relatif dengan produk
pesaing + waktu adalah ketersediaan dan
kecepatan pemenuhan kebutuhan pelanggan +
hubungan. Perspektif proses bisnis internal
mengukur efisiensi dan efektivitas lembaga dalam
mencapai sasaran. Rantai internal yang dapat
diterapkan : (1) identifikasi kebutuhan pelanggan,
(2) proses inovasi dengan mengenali customer dan
ciptakan program, (3) proses operasi dengan
bangun program dan luncurkan program, (4)
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
81
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
ino
vas
i
SA
SA
RA
N
ME
NE
NT
UK
AN
Me
ng
em
ba
ng
ka
n
si
va
AN
AR
AS
NS
AIA
AP
NC
PE
ti
mo
Me
n
ika
as
nik
DM
mu
nS
ko
ka
ng
ng
Me
ba
em
ng
Me
N
KA
AH
AR
NG
ME
an
sik
isa
an
org
ng
Me
pendampingan purna proses dengan melayani Mengarahkan Pencapaian Sasaran
pelanggan selama proses berjalan dan purna 1. Mengkoordinasikan agar semua berjalan
program.
Prespektif pembelajaran dan
sesuai perencanaan.
pertumbuhan mengukur kemampuan lembaga 2. Mengkomunikasikan kepada semua pihak
untuk mengembangkan dan memanfaatkan SDM
terkait untuk meperlancar dan mendukung
sehingga tujuan strategik dapat tercapai.
program.
Melalui ke 4 perspektif ini maka lembaga 3. Memotivasi semua pihak agar stabilitas
dapat memperluas cakrawala dalam menafsirkan
program terjaga.
trend perubahan secara makro. Dalam perumusan 4. Mengarahkan, membimbing dan menasehati
strategi disertai dengan analisis SWOT (strengths,
semua pihak dalam mencapai sasaran
weaknesses, opportunities, and threats) yang
program
dilaksanakan melalui ke 4 perspektive tersebut,
sehingga diperoleh gambaran umum.
Dari kondisi itu maka dibuat perumusan
strategi dengan sasaran strategi jangka
panjang, yang kemudian diturunkan
pada program-program, pada akhirnya
penyusunan anggaran yang bersifat
komprehensif.
Berdasarkan analisis di atas maka
telah ditentukan sasaran. Banyak
organisasi telah menyusun sasaran
bahkan sasaran yang amat spesifik, tetapi
gagal mengembangkan rencana dan
tindakan yang nyata. Oleh karena itu
diperlukan “manajemen berdasarkan
sasaran” dengan lebih mudahnya
penulis mengatakan sebagai “segitiga
pengaman”. Segitiga pengaman dapat di
Mengembangkan kepekaan
lihat pada gambar 3.
Adapun contoh sederhana :
Mengukur, menilai,
dan mengendalikan
KETERAMPILAN ERA REFORMASI
YANG HARUS DIMILIKI OLEH SISWA
MENGUKUR HASIL
Menentukan sasaran :
1. Mengumpulkan
berbagai
Gambar 3 : Manajemen berdasarkan sasaran” dengan “segitiga pengaman
informasi tentang keterampilan
era reformasi dari berbagai
Manajemen Sumber
sumber, apakah keterampilan tsb benar-benar
Daya Manusia
dibutuhkan, siswa jenjang mana saja yang
membutuhkan keterampilan tersebut,
konsekwensi apa yang harus ditanggung bila Di dalam organisasi ada beberapa orang yang
keterampilan tsb di berikan kepada siswa, dsb. melakukan kegiatan sesuai tugas masing-masing
2. Mempersatukan semua informasi dalam satu dan mereka saling berinteraksi. Sebenarnya bukan
bentuk urutan logis.
hanya interaksi saja namun setiap individu di
3. Merencanakan keterampilan era reformasi dalamnya perlu dipacu untuk terus andil
yang harus dimiliki oleh siswa dilengkapi mengambil peran dalam mencapai tujuan yang
dengan suatu analisis dan alasan-alasan telah ditetapkan. Oleh karena itu pengelolaan
yang menguatkan, hal-hal apa yang berubah sumber daya manusia di dalam organisasi
dengan adanya program tsb, hal-hal apa yang sangatlah penting. Manajemen sumber daya
mendukung dan perlu pengelolaan serius manusia merupakan bagian dari manajemen
agar mendukung program dengan maksimal, organisasi yang memfokuskan pada pengelolaan
dsb.
sumber daya manusia. Pengembangan sumber
4. Memutuskan keterampilan era reformasi yang daya manusia dibagi dalam beberapa area kerja
akan di dilaksanakan dan kebijakan apa yang yaitu desain organisasi, pengembangan
muncul untuk mendukung program tersebu.t organisasi, perencanaan dan pengembangan
an
hk
ara bing
ng
Me mbim hat i
Me nase
Me
82
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
karir pegawai, perencanaan sumber daya
manusia, sistem kinerja pegawai, kompensasi dan
gaji, kearsipan pegawai. Perlu dipahami juga oleh
suatu organisasi bahwa pilar utama dalam
membangun organisasi yang berwawasan global
adalah kemampuan setiap individu yang
tergabung dalam organisasi. Satu pertanyaan
kritis muncul karakteristik individu seperti apa
yang dibutuhkan oleh suatu lembaga dalam era
reformasi.
Karakteristik sumber daya
manusia yang diperlukan saat ini adalah
mempunyai integritas, inisiatif, kecerdasan,
keterampilan sosial, penuh daya dalam
bertindak dan penemuan baru, imajinasi dan
kreatif, keluwesan, antusiasme dan mempunyai
daya juang (kecerdasan adversity / kemampuan
mengubah hambatan menjadi peluang),
mempunyai pandangan ke depan dan
mendunia. Kemampuan-kemampuan diantas
adalah kemampuan yang dianggap sesuai untuk
era reformasi. Dalam recruitment dan
pengembangan sumber daya manusia tentunya
mengacu kepada karakteristik-karakteristik di atas.
Lembaga mempersiapkan panduan
recruitment sesuai karakteristik tsb. Karyawan
atau guru yang baru yang menginjakkan kakinya
untuk bergabung bersama membutuhkan “masa
orientasi” agar nantinya mampu berkembang dan
berjuang sesuai yang diharapkan lembaga. Masa
orientasi sangat penting untuk mengurangi
keluhan pada masa mendatang akan
ketidakmampuan individu ketika lembaga
mengadakan perubahan. Masa orientasi ini perlu
di desain sebaik mungkin karena merupakan
masa transisi dimana setiap individu dibentuk
sesuai yang diharapkan lembaga dengan dimulai
dari kompetensi awal yang dimiliki mereka.
Kegiatan pada masa orientasi terbatas pada waktu
tertentu dan kegiatan dapat berupa pelatihan atau
kegiatan apa saja yang wajib diikuti oleh setiap
individu untuk memenuhi standar yang
diharapkan. Masa ini menjadi masa kritis guru
untuk tetap dipertahankan atau tidak bergabung
dengan lembaga. Masa orientasi dapat diteruskan
pada “masa pemantapan” dengan pola yang
sama dengan orientasi hanya kadar kompetensi
yang dituntut berbeda.
Guru seumur hidupnya cenderung tetap
menjadi guru karena peluang menjadi kepala
sekolah sangatlah minim. Hal ini disebabkan satu
sekolah hanya membutuhkan satu kepala sekolah.
Realita keseharian kualitas guru berbeda-beda,
ada guru yang dapat diandalkan ada pula guru
yang hanya sekedar menjalankan tugas. Lalu apa
yang membedakan guru yang berkualitas dengan
yang tidak? Apa yang membuat guru termotivasi
untuk meningkatkan kinerjanya? “Career
development” dapat menjadi solusinya. Career
development perlu diciptakan oleh lembaga agar
dapat memotivasi setiap individu yang terlibat.
Setiap individu tahu jelas persyaratan yang harus
dipenuhi untuk menduduki satu jabatan atau
tingkatan tertentu. Bagi individu ada satu
kepastian sejauh mana kemampuan dan
pengetahuannya perlu dikembangkan. Setiap
individupun dapat menilai dirinya sendiri pada
level apa sebenarnya kemampuan dan
pengetahuannya. Jelas disini dapat menghindari
unsur subyektivitas. Career development dapat
menjadi satu nilai positif ketika pada setiap level
di dalamnya jelas alat ukurnya. “Pengendalian
posisi” dapat menjadi partner dalam career
development. Karena dalam pengendalian posisi
ada aturan untuk kapan dipromosikan, berapa
lama di posisi tersebut, kapan berhenti, individu
tersebut direncanakan untuk posisi apa dsb.
Pengendalian posisi ini untuk mengantisipasi jika
semua guru mempunyai motivasi berprestasi
sekaligus mensortir guru yang tak mempunyai
motivasi berprestasi. Kondisi demikian akan
memicu setiap individu untuk berprestasi sesuai
dengan harapan individu dan lembaga.
Reformasi Pendidikan
Reformasi kini menjadi suatu keharusan dalam
pembenahan
pendidikan
khususnya
pembelajaran. Reformasi ada dalam rangka
memuaskan pelanggan/masyarakat dengan
memberikan pelayanan yang lebih baik agar
sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka..
Konsep pembelajaran reformatif berpusat
kepada siswa, interaktif atau terjadi interaksi multi
arah, multidisipliner, kerja kelompok, guru
sebagai fasilitator, mengajarkan bagaimana
mempelajari sesuatu, dimungkinkan tim teaching
untuk memperoleh kajian lintas disipliner,
memberikan peluang kepada siswa mengalami
berbagai gaya belajar, pembelajaran kristis dengan
pendekatan pemecahan masalah (problem solving)
yang berorientasi ke masa depan. Untuk dapat
melaksanakan pembelajaran reformatif maka
perlu diadakan persiapan baik dari guru maupun
siswa. Guru harus bersikap demokratis, selalu
mengembangkan kemampuannya dan belajar
terus. Harus ada perubahan paradigma guru
dengan strategi seperti (a) guru berhak untuk
mencari informasi dan mengembangkan diri
dalam jam kerjanya baik secara individual
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
83
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
maupun kelompok (diskusi) misalnya 4 jam/ pembelajaran dapat berdasarkan kepada learning
minggu, (b) guru berhak mengikuti pelatihan how to know/learning how to think, learning how to
yang telah didesain dan ditetapkan oleh learn, learning how to do, learning how to live together,
organisasi dan dimungkinkan pilihannya sendiri learning how to be, learning how to have a mastery of
misalnya 100 jam/tahun, (c) guru berhak local, learning how to understand the nature/God made
membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan (belajar mengetahui/belajar berpikir, belajar
misalnya minimal 1 tulisan/semester, (d) guru bagaimana belajar, belajar berbuat, belajar hidup
berhak membuat penelitian sederhana minimal 1 bersama, belajar menjadi diri sendiri, belajar
menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal,
penelitian/tahun
Kondisi demikian tentunya membawa belajar memahami lingkungan sekitar). Ahli
konsekuensi yang perlu direncanakan misalnya manajemen Jepang, Konsosuke Matsuhita,
adanya wadah untuk menampung tulisan guru, mengemukakan bahwa sebelum belajar
adanya reward bagi guru yang sudah berusaha melakukan sesuatu, harus kita pelajari dulu
keras mengembangkan diri. Dalam pelaksanaan bagaimana seharusnya kita berperilaku sebagai
dapat dilakukan dengan program pembimbingan manusia. Dari sana, dapatlah dikatakan bahwa
antarguru. Misalnya membuat karya tulis ilmiah, “mengajarkan bagaimana sesuatu seharusnya
guru yang mampu dapat menjadi membimbing dilakukan” adalah pendidikan dalam bentuknya
guru yang belum mampu sehingga guru yang yang paling rendah. Pendidikan seharusnya
mampu bertumbuh menjadi pembimbing mengajari bagaimana caranya belajar dan bukan
sedangkan guru yang belum mampu mempelajari memberikan instruksi tentang suatu pelajaran
sesuatu dari temannya. Setiap terjadi tertentu. Apa yang harus dipelajari tidaklah benarpembimbingan maka nama pembimbing benar penting. Yang penting adalah bagaimana
c
a
r
a
tercantum dalam
mempelajarinya.
karya tersebut.
Dengan demikian
Program demikian
maka
dapat
dapat dinamakan
Pendidikan seharusnya mengajari
mengakomodasi
“ t u m b u h
bagaimana caranya belajar dan bukan
pergeseran fungsi
bersama”.
pembelajaran dari
U n t u k
memberikan instruksi tentang suatu
terbatas
pada
merangsang
pelajaran tertentu. Apa yang harus
t a h a p a n
terjadinya proses
dipelajari tidaklah benar-benar penting. p e n d i d i k a n
pembelajaran
m e n j a d i
reformatif maka
Yang penting adalah bagaimana cara
pembelajaran
diperlukan langkah
mempelajarinya.
seumur hidup. Hal
langkah
yang
ini terjadi karena
disebut dengan
situasi dan kondisi
“TUAI”
masa
depan,
yang
artinya
:
Tunjukkan yang terus bergulir begitu cepat sehingga
kemampuanmu, Usahakan sebaik mungkin, seseorang perlu belajar seumur hidup.
Akal dan pikiran terus dimotivasi, Informasi dan
Ilmu dicari terus. Selain itu perlu labelisasi guru
Pembiayaan Pendidikan
kompetensi dan kemampuan yang ditentukan
misalnya, guru yunior, guru senior, pelatih
yunior, pelatih senior, penulis buku, staf ahli Berbagai biaya harus ditanggung oleh lembaga
dsbnya. Kondisi demikian dapat memberikan dalam peningkatan kualitas. Seharusnya biaya
peluang bagi guru untuk mereformasi sistem dialokasi kepada: (1) biaya pencegahan (2) biaya
pembelajarnnya karena memang guru tersebut deteksi/penilaian, (3) biaya kegagalan inrenal,
mempunyai kompetensi.
Kompetensi (4) biaya kegagalan eksternal. Biaya pencegahan
professional guru seharusnya meliputi akademis/ merupakan biaya yang terjadi untuk pencegahan
pendidikan, penelitian/action research ketidak kesempurnaan program dalam
classroom, pengabdian masyarakat/pelayanan. perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan
Ketiga kompetensi itu akan membentuk guru program. Biaya deteksi (penilaian) adalah biaya
secara utuh dalam profesinya yang kemudian yang terjadi untuk menentukan apakah program
dilengkapi dengan kompetensi personal dan memenuhi syarat kualitas. Dalam hal ini berfungsi
sosial
untuk mendeteksi adan menghindari kesalahan.
Strategi pembelajar pun akan menjadi suatu Biaya kegagalan internal adalah biaya yang terjadi
hal yang penting dalam peranannya untuk karena ada ketidak sesuaian dengan persyaratan
membentuk seseorang yang nantinya mampu dan terdeteksi sebelum program dilaksanakan.
bertahan dalam kehidupannya. Strategi Biaya kegagalan eksternal adalah biaya yang
84
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
terjadi karena program/jasa gagal memenuhi
syarat dan diketahui setelah program
dilaksanakan. Biaya ini merupakan biaya yang
paling membahayakan karena bila salah maka
menyebabkan reputasi buruk, kehilangan
pelanggan dan penurunan pangsa pasar.
Aspek pembiayaan sangatlah menentukan
kelangsungan dari suatu lembaga pendidikan.
Dalam merencanakan suatu pembiayaan
pendidikan apalagi pendidikan merupakan salah
satu bagian dari bisnis maka pengelolaan
keuangan sangat menentukan dalam meraih
keuntungan dan menjamin kelangsungan
lembaga tersebut. Balanced scorecard baik
diterapkan pada masa kini untuk peningkatan
kinerja keuangan namun tidak meninggalkan
aspek yang lain.
Dalam kenyataannya tidak dapat
dihindarkan lagi bahwa perlu biaya yang harus
dikeluarkan untuk operasional, riset dan
pengembangan, pembekalan, investasi masa
depan, dsb. Sementara pemasukkan cenderung
stabil. Lalu bagaimana untuk mengelola
keuangan tersebut. Perlu dipikirkan
“perimbangan biaya” pada setiap biaya yang
dikeluarkan. Perimbangan biaya ini tentunya
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang
dimungkinkan. Perimbangan biaya tersebut
misalnya : (a) Lembaga telah mengeluarkan biaya
untuk pembekalan sumber daya manusia agar
mempelancar pelaksanaan operasional maka
dapat dilakukan satu program untuk
perimbangan biaya yang dapat dilakukan.
Misalnya menyusun satu paket pelatihan untuk
eksternal/orang luar yang dikemas secara
professional memanfaatkan sumber daya manusia
intern yang telah terlatih, dan menggunakan
fasilitas yang sudah ada. Maka keuntungan
ganda akan muncul, lembaga akan dikenal oleh
masyarakat, sumber daya manusia intern dapat
mengaktualisasi dirinya, memanfaatkan fasilitas
semaksimal mungkin dan lembaga mendapat
keuntungan nominal dari program tsb. (b)
Lembaga menyiapkan fasilitas gedung dengan
ruangan (aula) yang memadai untuk
memperlancar opersional. Setelah tidak ada
kegiatan sekolah maka aula, ruang lab dsb
menjadi ruangan kosong. Pada kondisi ini dapat
perimbangan biaya yang dapat dilakukan
misalnya dengan menyewakan ruangan tersebut
untuk masyarakat sekitar. Yang tentunya dalam
pelaksanaan perlu aturan main yang tidak
membahayakan atau merugikan lembaga.
Ruang/lab komputer dapat dimanfaatkan dan
dikelola untuk pelatihan/ruang kursus. Ruang
laboratorium beserta peralatan dapat dikelola
(seperti perpustakaan umum) untuk kegiatan
penelitian. Namun ada satu syarat bila dikelola
secara professional sehingga tidak menggangu
pelaksanaan kegiatan sekolah. (c) Pembuatan
buku yang didesain oleh lembaga dengan
melibatkan guru yang ada. Kondisi ini
menguntungkan karena sekolah sudah
mempunyai pasar sendiri sehingga tidak takut
lagi buku tersebut tidak akan laku. Sementara di
sisi lain dapat terciptanya wadah untuk
menyalurkan bakat guru sebagai penulis. (d)
Lembaga menciptakan perusahaan kecil sebagai
pendampingan misalnya percetakkan buku, toko
alat tulis, catering yang dikelola secara profesional
dan melibatkan kewenangan organisasi dalam
networking pelaksanaan. Misalnya ada makan
siang yang dikelola oleh lembaga, berarti
keuntungan bisa masuk ke lembaga lagi. (f)
Pendidikan saat ini sebagai suatu industri SDM
maka sudah tidak tabu lagi bila pembiayaan
menggunakan sponsor-sponsor sepanjang tidak
bertentangan dengan dunia pendidikan.
Marketing Pendidikan
Lembaga pendidikan selalu menginginkan
sekolahnya dicari oleh masyarakat. Di sisi lain
masyarakat membutuhkan informasi tentang
sekolah mana yang memenuhi standar mutu
sesuai yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan oleh
masyarakat dalam rangka mereka memilih
sekolah untuk putra putrinya. Oleh karena itu
marketing pendidikan sebagai bidang yang harus
digarap secara serius dan menjadi lahan yang
diperhitungkan.
Dalam penggarapan marketing pendidikan
diperlukan:
1. Input:
a. riset pasar terutama mengenai data
customer, meliputi siapa yang menjadi
sasaran program, apa kebutuhan mereka,
bagaimana pandangan mereka tentang
pendidikan, bagaimana kemampuan
mereka dalam hal biaya/keuangan
masyarakat, trend pendidikan seperti apa
yang muncul di kalangan mereka, jenjang
sekolah mana yang menjadi incaran
b.
customer, siapa pemakai program, harapan
apa yang diinginan dari program.
data mengenai pesaing, meliputi siapa
yang perlu diperhitungkan menjadi
pesaing, apa keunggulan para pesaing
tersebut, apa yang dicari oleh customer
terhadap pesaing, hal apa saja yang
menjadi kelebihan pesaing dan menjadi
titik lemah lembaga.
2. Output:
a. product system, program apa saja yang akan
di pasarkan
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
85
Manajemen Pendidikan di Era Reformasi
b.
place system, tempat yang menjadi pasar
harus di ketahui
c.
promotion
sistem,
bagaimana
mempromosikan
program,
apa
keunggulan program
d.
price sistem, harga sebaiknya sangat
fruetuatif dan dinamis
3. Accounting information
Bagian marketing pendidikan berperan dalam
menyakinkan masyarakat untuk memberikan
kepercayaan dalam mendidik putra-putrinya.
Bagian marketing pendidikan akan lebih baik
jika didampingi dengan “bagian technical care
education”. Bagian ini berbeda dengan marketing.
Bagian ini berfungsi untuk membina hubungan
baik dengan masyarakat ketika mereka mulai
peduli dengan pendidikan. Bagian ini
menampung berbagai tanggapan masyarakat. Hal
ini penting jika terjadi pandangan negatif, atau
ketidakpuasan pelanggan terhadap lembaga/
sekolah maka dapat diadakan pendekatan
terlebih dahulu, dengan maksud supaya tidak
terjadi pelebaran masalah yang dapat
mengakibatkan kerugian bagi lembaga, sehingga
komplain dapat diminimalisir Selain itu bagian
ini juga membuat program-program dalam
konteks pendidikan agar orang tua/masyarakat
agar lebih memahami filosofi pendidikan. Hal ini
dimaksudkan supaya ketika lembaga hendak
mengadakan kerjasama dengan mereka maka
tidak terjadi kesenjangan pandangan. Kondisi ini
memungkinkan terjadi kerjasama dan saling
mendukung antara lembaga pendidikan dan
orang tua/masyarakat.
Penutup
Pembenahan secara total dengan tujuan
peningkatan mutu wajib dilakukan oleh lembaga
pendidikan. Pembenahan secara total meliputi
segala aspek. Jika ini dilakukan maka akan
membentuk sebuah jaringan yang kuat yang
secara serentak melaju mencapai tujuan/sasaran.
Dengan demikian maka sebuah lembaga
pendidikan akan tetap eksis dan terus berkembang
dalam kancah persiangan global.
Kepekaan melihat kondisi yang bergulir dan
peluang masa depan menjadi modal utama untuk
mengadakan perubahan paradigma dalam
manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat
menjadi
pijakan
yang
kuat
untuk
mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah
diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan
kualitas. Manakala tahu melihat peluang, dan
peluang itu dijadikan modal, kemudian modal
menjadi pijakan untuk mengembangkan
pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi,
86
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek
domino (positif) dalam pengelolaan organisasi,
strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya,
marketing pendidikan seperti yang sudah penulis
uraikan di atas.
Daftar Pustaka
Atmodiwirio, Soebagio. (2002). Manajemen pelatihan
Jakarta: Ardadizya Jaya
Baldrige National Quality Program. (2005). Education
criteria for performance excellence. Baldrige.
Hardjosoedarmo, Sowarsono. ( 2004). Total quality management. Yokyakarta: Andi
Hutagaol, Said. Sistem informasi manajemen (SIM). Universitas Kristen Indonesia
Junus, Falah. Manajemen peningkatan mutu pendidikan.
http://www.geocities.com/guruvalah/
artikelpendidikan/.html.
Mantja, Willem. Mananjemen pendidikan era
reformasi - Jurnal Ilmu Pendidikan, jilid 7,
nomor 2, Mei 2000, http://www.malang.ac.id/
jip/2000a.htm
McConkey, Dale D. (1982). Manajemen bagi organisasi
non perusahaan. PPM, Pustaka Binaman
Pressindo
Mulyadi. (2001). Balanced scorecard. Jakarta: Salemba
Empat
Mulyasa. Manajemen berbasis sekolah konsep, strategi dan
implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya
Mukhtar. (2003). Merabah menejemen baru pendidikan
tinggi Islam. Misaka Galiza
Pidarta, Made. Mananjemen pendidikan era era globalisasi
- Jurnal Ilmu Pendidikan, jilid 7, nomor 2, Mei
2000, http://www.malang.ac.id/jip/2000a.htm
Saputra, Arvin. (2003). Masa depan pendidikan. Lucky
Publishers
Sudjana. (2004). Manajemen program pendidikan.
Bandung: Falah Production
Syafaruddin. (2002). Manajemen mutu terpadu dalam
pendidikan (konsep, strategi dan aplikasi). Jakarta:
Grasindo
Tangyong, Agus. Manajemen mutu terpadu dalam
pendidikan. Majelis Pusat Pendidikan Kristen di
Indonesia
Tjiptono, Fandy. (2001). TQM. Yogyakarta: Andi
Umar, Husein. (1999). Riset sumber daya manusia dalam
organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Wahyuni, Erma. Balanced Scorecard untuk Manajemen
Publik, YPAPI, Yokyakarta
Wen, Syling. (2000). Future of education. An Asiapac
Publication
Widjaja Tunggal, Amin. (2002). Memahami konsep balanced scorecard. Jakarta: Harvarindo
Widayati, Sri. (2002). Reformasi pendidikan dasar. Jakarta:
Grasindo
dilakukan oleh para guru.
Opini
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
Berbagai Permasalahan
dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen
Yuli Kwartolo*)
Abstrak
Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah disahkan. Salah satu ketentuan
penting dalam Undang-Undang ini adalah ‘semua’ guru diwajibkan memiliki sertifikat yang diperoleh
ketika guru atau calon guru selesai mengikuti sebuah pendidikan profes. Dengan mengikuti program
sertifikasi diharapkan guru akan memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan personal sehingga
lebih bermutu. Tulisan ini mencoba mengkaji secara kritis undang-undang itu, khususnya pasal-pasal yang
berkaitan dengan guru. Secara spesifik, mengkritisi wacana atau opini dalam undang-udang itu yang sangat
menyederhanakan permasalah kualitas guru. Dengan kata lain, guru berkualitas identik dengan guru yang
mempunyai sertifikat.
Kata kunci: Guru, sertifikat, profesional, menyederhanakan masalah, ada proses yang hilang.
Indonesian Act, No. 14/2005 about Teacher and Lecturer has been approved. One of the important regulation in this Act
is the requirement for a teacher or teacher candidate to have certificate which he/she can obtain after succesfuly
completing a professional education. This certivicate purves his/her professional competency, pedagogy competency,
social competency, and personal competency. This reviews critically to the new regulation related to the certivication
which seems to simplifying the quality of teachers.
Pendahuluan
ndang-Undang RI No. 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen telah disahkan
oleh pemerintah tertanggal 30 Desember
2005. Poin penting dari undang-undang
ini adalah guru di semua jenjang diakui sebagai
tenaga profesional dan pengakuan itu harus
dibuktikan dengan sertifikat pendidik.
Seperti biasa, setiap kebijakan selalu
menimbulkan pro dan kontra, termasuk undangundang guru ini. Yang pro menyambutnya
dengan gembira, penuh antusias, sedangkan yang
kontra berpendapat sebagai sebuah kesia-siaan.
Pihak yang menyambut gembira menyatakan
bahwa undang-undang itu akan menempatkan
jabatan guru sebagai suatu profesi seperti dokter,
pengacara, akuntan, atau lainnya. Sehingga
nantinya harkat dan martabat guru semakin
terangkat.
Sementara yang berpendapat suatu kesiasiaan, seperti Sofian Effendi, rektor Universitas
U
Gajah Mada (UGM) Jogjakarta yang juga Ketua
Forum Rektor Indonesia seperti dimuat di Tempo
Interaktif (6 Desember 2005), menyatakan, bahwa
undang-undang itu tidak lebih dari pepesan
kosong. Sebab isinya tidak lebih hanya
menyatakan bahwa guru adalah sebuah profesi,
hal-hal lain yang menyangkut peningkatan
kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Pendapat
Sofian Effendi itu juga dikuatkan oleh Kartono
(2002), meneriakkan pentingnya profesionalitas
guru, menyangkut kualifikasi dan kompetensi,
tentunya tidak bisa mengabaikan gaji guru.
Harus diakui gaji guru di Indonesia begitu
rendah dibanding negara-negara lain. Imbal jasa
guru di AS adalah 1,7 kali pendapatan per kapita
negara itu, atau Jepang rata-rata 2,4 kali
pendapatan per kapita. Maka sudah
sepantasnyalah guru-guru yang menjalin
hubungan kemanusiaan dan menunjukkan
kompetensi serta profesionalitasnya harus diberi
penghargaan yang memadai.
Undang-undang ini memang membicarakan
keberadaan guru dan dosen. Tetapi tulisan ini
*) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
87
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
membahas khusus pasal-pasal yang berkaitan
dengan guru. Pasal-pasal yang menurut hemat
penulis begitu krusial.
meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada
gaji, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan
yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang
ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas
prestasi. Selain itu pada pasal-pasal berikutnya
Beberapa Pesan Positif
guru “dijanjikan” diberi tunjangan profesi dan
tunjangan khusus (bagi guru yang bertugas di
Undang-undang adalah ketentutan normatif atau daerah khusus). Bahkan di pasal 19 secara
dengan kata lain berisi ketentuan-ketentuan yang eksplisit diuraikan mengenai maslahat tambahan
seharusnya dilaksanakan. Tetapi pada berupa berbagai kesejahteraan yang diperoleh
kenyataannya tidak semua ketentuan, harapan dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi
yang sudah dituliskan itu bisa berjalan. Demikian pendidikan, beasiswa, dan kemudahan untuk
juga dengan undang-undang guru ini. Namun memperoleh pendidikan bagi putra dan putri
paling tidak lahirnya undang-undang ini guru, serta layanan kesehatan.
Dengan memperhatikan pasal-pasal
mengisyaratkan pesan-pesan positif. Pesan positif
menjanjikan
tersebut di atas yang seolah seperti
tidak hanya kepada guru itu sendiri, melainkan
“angin
sorga”
maka di atas kertas sebenarnya
kepada masyarakat secara luas. Apakah pesankegundahan
seorang
Sofian Effendi dan Kartono
pesan positif itu?
untuk
sementara
sudah
dapat dijawab.
Pertama, dengan sertifikasi guru maka
Ketiga,
ada
jaminan
kemudahan
memperolah
masyarakat (baca: orang tua) mendapat jaminan
kesempatan
pendidikan
bagi
putra-putrinya.
Ini
pasti bahwa putra-putrinya dididik dan diajar
ditegaskan
dalam
penjelasan
pasal
19.
“Yang
oleh guru yang memang benar-benar guru. Dalam
arti dididik dan diajar oleh orang-orang yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh
memang memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa
kesempatan dan keringan
disyaratkan.
Dalam
biaya pendidikan bagi
konteks
ini
maka
putra-putri guru yang telah
profesionalisasi
Namun paling tidak
memenuhi syarat-syarat
pendidikan adalah suatu
lahirnya Undang-Undang
akademik untuk menempuh
hal yang tidak bisa
pendidikan dalam satuan
ini
mengisyaratkan
pesanditawar-tawar.
pendidkan tertentu.
Berkaitan
dengan
pesan positif. Pesan positif
Menurut penulis, pesan
pesan positif pertama yang
tidak hanya kepada guru itu
ketiga
ini adalah pesan
penulis
kemukakan,
sendiri,
melainkan
kepada
positif
yang
benar-benar
Soejipto
(1994)
positif.
Mengapa?
Karena
masyarakat secara luas.
berpendapat, oleh karena
tidak
jarang
dijumpai
putraprofesi keguruan yang
putri
seorang
guru
yang
tugas utamanya melayani
telah
berjasa
membawa
masyarakat dalam bidang pendidikan, maka
pengakuan guru sebagai jabatan profesional anak-anak orang lain bisa baca, tulis, berhitung
dapat menjaga masyarakat dari kerugian-kurigian kemudian menjadi insinyur, dokter, ahli hukum,
yang ditimbulkan olah orang-orang yang tidak arstitek, advokat, tetapi anak-anaknya sendiri
gagal mendapat tempat terhormat untuk
bertanggung jawab.
Kedua, beberapa pasal yang ada di undang- melanjutkan sekolah/pendidikan ke jenjang yang
undang ini memberikan statement menjanjikan lebih tinggi. Gagal masuk ke fakultas atau jurusanbagi masa depan guru, khusunya pasal-pasal jurusan favorit yang porspektif.
Kegagalan itu bukan karena anak-anak guru
berkaitan dengan hak guru. Secara psikologis,
dari
segi intelektual tidak mampu, tetapi boleh jadi
guru berada di wilayah aman untuk urusan
sistem
seleksi penerimaan siswa atau mahasiswa
kesejahteraan hidup. Perhatikan pasal 14 aya 1.
baru
“hanya”
memberikan peluang yang luas
Di pasal ini dituliskan guru memperoleh penghasilan
bagi
golongan
yang kuat secara finansial.
di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
Konkretnya,
meskipun
uang masuk atau
kesejahteraan sosial. Kemudian statemen ini
namanya
sudah
dipotong
sekian
persen, tetapi
dipertegas lagi di pasal 15, yang dimaksud dengan
tetap
saja
guru
tidak
mampu
memenuhinya.
Ini
penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum
sangat ironis.
88
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
Jika pesan-pesan positif yang sudah penulis
kemukakan di atas dapat tereralisasikan, maka
diharapakan harkat dan martabat guru terangkat.
Itulah yang diinginkan oleh Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro
(Kompas, 13 Desember 2004).
Guru Berkualitas Tidak Identik
dengan Guru Bersertifikat
Bagaimanapun juga di balik-balik pesan-pesan
positif yang ada, kita harus tetap mengkritisi
undang-undang ini. Khususnya statemen yang
menyatakan bahwa tujuan dijadikannya guru
sebagai suatu profesi adalah sebagai bagian dari
peningkatan kualitas dan profesional guru. Secara
implisit pernyataan tersebut mengandung makna
guru yang berkualitas adalah guru yang telah
mengikuti pendidikan profesi dan mendapatkan
sertifikat tersebut. Padahal kenyataan tidak.
Ukuran kualitas, profesional, dan kompetensi
bukan semata-maat ijazah dan sertifikat mengajar.
Untuk memperkuat argumen ini, mari kita ikuti
kisah yang dipaparkan oleh Bambang Wisudo di
Kompas, 24 November 2005 berikut ini.
Kompetensi Syariffudin (54) dalam mengajar
kesenian dan keterampilan tidak perlu diragukan.
Ia tergolong mahir dalam seni lukis, dekorasi,
maupun musik. Kemampuannya mengajar di
depan kelas juga diakui oleh kawan-kawan
seprofesinya. Ia bahkan termasuk guru yang
disegani di hadapan murid-muridnya. Tidak
mungkin ia bisa bertahan mengajar menjadi guru
selama 25 tahun bila dianggap tidak layak
menjadi seorang guru.
Akan tetapi, bila ukuran kompetensi sematamata ijazah dan sertifikat mengajar, ceritanya bisa
jadi lain. Syariffudin memang tidak punya latar
belakang pendidikan sebagai guru kesenian. Ia
lulusan STM jurusan bangunan. Begitu lulus STM
ia bekerja sebagai pramugara kereta api JakartaSurabaya (1973-1978). Bakat alamnya sebagai
’seniman’-lah yang mengantarkan Syariffudin
menjadi guru.
Syariffudin hampir pasti tidak bisa mengejar
kualifikasi sebagai seorang guru seperti
disyaratkan dalam UU Guru dan Dosen.
Kualifikasi akademik seorang guru, menurut
ketentuan dalam UU itu, minimal sarjana S1 atau
D4 yang ditempuh rata-rata dalam waktu empat
tahun. Di samping itu, seorang guru juga wajib
mengikuti pendidikan profesional sebanyak 36
satuan kredit semester, yang bisa ditempuh dalam
waktu satu tahun, sebagai syarat untuk
memperoleh sertifikat pendidik.
Kisah itu sebenarnya ingin mengatakan
bahwa guru yang berkualitas, berkompeten tidak
identik dengan guru yang mempunyai sertifikat.
Idealis dan Menyederhanakan
Masalah
Secara rinci dapat disebutkan di sini misi luhur
undang-undang itu: 1) mengangkat martabat
guru; 2) menjamin hak dan kewajiban guru; 3)
meningkatkan kompetensi guru; 4) memajukan
profesi serta karier guru; 5) meningkatkan mutu
pembelajaran; 6) meningkatkan mutu pendidikan;
7) mengurangi kesenjangan ketersediaan guru
antardaerah (jumlah, mutu, kualifikasi akademik,
dan kompetensi); 8) mengurangi mutu pendidikan
antardaerah; dan 9) meningkatkan pelayanan
pendidikan yang bermutu.
Misi yang akan digapai melalui undangundang ini dapat dikatakan misi yang sangat
idealis. Bahkan menurut hemat penulis ada
beberapa misi yang terlalu dipaksakan dan
kesannya hanya sekedar retorika atau sebagai
pemanis rumusan saja. Rumusan misi yang
penulis maksud adalah pada poin 3, 5, 6, dan 9.
Kalau diringkas intinya adalah agar guru terus
meningkat kualitasnya.
Pertanyaannya adalah, apakah ketika guruguru sudah memegang sertifikat profesi otomatis
guru itu berkualitas?
Guru adalah ujung tombak terdepan dalam
penyelenggaraan pendidikan (persekolahan). Ini
kenyataan yang tidak terbantahkan. Oleh karena
itu menjadi sangat bijak bila keberadaannya, baik
ditinjau dari sisi keprofesian, kesejahteraan,
karier, kompetensi harus benar-benar
mendapatkan perhatian yang serius. Profesinya
harus diakui, kesejahteraan harus terjamin, karier
harus jelas, dan kompetensi harus terus
ditingkatkan. Jika semua itu terakomodasi tentu
saja guru akan dapat menjalankan tugastugasnya dengan senang hati tanpa harus
memikirkan hal-hal lain yang kerap
mengganggunya (misalnya, pekerjaan lain demi
mencukupi kebutuhan hidup).
Tetapi apakah dengan berlakunya undangundang itu kelak poin 3, 5, 6, 9 di atas dapat
terwujud. Inilah yang penulis maksudkan
dengan menyederhanakan masalah dan penulis
sendiri masuk dalam barisan yang pesimis.
Menjadi guru yang profesional, berkompeten,
mesti melalui sebuah proses. Proses itulah yang
seharusnya diperhatikan dan digarap secara
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
89
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
serius. Tetapi di sinilah kelemahan yang terjadi. mampu menjawab berbagai masalah
Pemerintah tidak pernah belajar dari profesionalisme guru.
Dengan kata lain, adalah langkah yang
pengalaman. Penulis masih ingat mengenai
kebijakan pemerintah memoratorium Sekolah kurang tepat ketika universitas (bekas IKIP) yang
Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru ternyata telah gagal menciptakan guru-guru yang
Olahraga (SGO). Alasanya untuk meningkatkan handal akan diserahi tugas strategis memberi
kualitas pendidikan dasar. Artinya, agar kualitas pendidikan keprofesian kepada guru-guru.
Jadi penulis menilai bahwa undang-undang
pendidikan sekolah dasar meningkat tidak cukup
diajar oleh guru lulusan SPG dan SGO yang itu sangat menyederhanakan masalah rumitnya
hanya mengikuti proses pendidikan selama 3 eksitensi guru. Artinya pemerintah berharap
tahun. Sebagai gantinya pemerintah mewajibkan dengan mengambil kebijakan berupa
guru sekolah dasar harus lulusan Program Guru pengundangan sertifikasi guru, semua persoalan
Pendidikan Dasar (PGSD). Program ini setingkat beres termasuk guru akan menjadi profesional,
meningkat mutunya, mempunyai kompetensi
D2 atau sebutan yang terkenal D2 PGSD.
Pertanyaannya adalah, apakah siswa sekolah tinggi.
dasar setelah diajar oleh guru lulusan PGSD
kualitasnya meningkat? Kita lihat sendiri
Ada Proses yang Dilupakan
pendidikan dasar kita tetap jalan di tempat.
Penulis juga masih ingat kebijakan
pemerintah yang mengharuskan Institut Mengharapkan guru yang bermutu, profesional,
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) berganti atau entah apa namanya membutuhkan sebuah
nama menjadi universitas. Kita mengenal IKIP proses; tetapi proses itulah yang sering dilupakan.
Medan menjadi Universitas Negeri Medan Proses menciptakan guru-guru yang berkualitas
(UNIMED), IKIP Jakarta menjadi Universitas itu dapat digambarkan dalam sebuah sistem
Negeri Jakarta (UNJ), IKIP Bandung menjadi sederhana seperti berikut.
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ,
IKIP Jogjakarta menjadi Universitas Negeri
Process
Output
Input
Jogjakarta. Tujuannya adalah agar
lulusannya lebih berkualitas. Seperti yang
tercantum dalam Keputusan Presiden No.
93 Tahun 1999, perubahan nama itu
Feedback
supaya mutu, relevansi, efisensi, pemerataan
Dari gambar sederhana di atas kita tahu
dan akuntabilitas dapat ditingkatkan.
tahapan-tahapan yang harus dilewati. Input
Tapi apa jadinya sekarang, alih-alih menyangkut siapa calon guru (baca: mahasiswa).
berkualitas; malah kabarnya tidak pernah Latar belakang pendidikan, ekonomi, intelektual,
terdengar lagi. Padahal diharapkan dengan sampai ke motivasinya. Process meliputi di
perubahan nama itu bisa mengangkat status yang dalamnya seluruh pendidikan dan pengajaran
memang sejak dulu IKIP adalah tempat kuliah yang diikuti mahasiswa, sedangkan output/hasil
mahasiswa kelas dua.
yaitu lulusan yang dihasilkan dari sistem itu. Jika
Winarno Surakhmad (2000) berpendapat, ternyata ouput-nya tidak berkualitas atau tidak
universitas-universitas bekas IKIP itu sebagai seperti yang diinginkan maka harus dilihat
lembaga baru yang multifungsi. Selain menerima apakah input-nya baik atau mendukung, ataukah
dan mendidik mahasiswa sebagai lulusan process-nya ada yang salah. Maka dalam gambar
(ilmuwan, karena belajar ilmu-ilmu murni) itu muncul feedback. Artinya output yang
berbagai bidang studi, juga bertugas melanjutkan dihasilkan memberi feedback atau umpan balik.
tugas IKIP mendidik guru. Tetapi apakah ketika
Kembali kepada usaha untuk menciptakan
IKIP masih ada tetapi ternyata tidak dapat
guru yang berkualitas. Sepanjang penulis amati,
melaksanakan fungsi tunggalnya mencetak calon
kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya
guru yang handal, universitas yang
menggantinya ternyata essensinya masih juga tambal sulam, tidak mencari akar masalah yang
IKIP yang dulu akan mampu menggantikan peran mendasar maka harapan untuk mendapatkan
itu? Pertanyaan ini wajar, sebab selama ini belum guru yang berkualitas hanya utopia saja. Nah, apa
kelihatan sifat-sifat lain yang sungguh-sungguh akar masalahnya?
Dilihat dari sistem di atas, menurut hemat
menjadi pembeda yang meyakinkan kita bahwa
peralihan IKIP menjadi universitas memang penulis akar masalahnya terletak pada input-nya.
90
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
Ada ungkapan yang mengatakan biji yang baik mengajar dapat dipastikan juga bukan lulusan
akan menghasilkan pohon yang baik. Demikian terbaik. Mereka umumnya menempuh akta mengajar
juga masukan yang baik akan menghasilkan karena sulitan mencari pekerjaan di luar guru.
produk yang baik pula. Ketika Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), seperti
Solusi yang Substantif
IKIP dan FKIP dan sejenisnya menerima
mahasiswa, maaf dengan kualitas yang “rendah”,
ditambah dengan motivasi mahasiswa yang tidak Ingin meningkatkan kualitas guru dengan
bulat menjadi guru maka yang dihasilkan juga menyodorkan undang-undang sertifikasi menurut
guru-guru yang jauh dari kualitas yang hemat penulis bukan langkah yang tepat. Bukan
diharapkan. Pertanyaan kritisnya adalah, langkah yang tepat oleh karena tidak menyentuh
mengapa pendidikan guru bukan pilihan menarik permasalahan yang mendasar. Undang-undang
bagi kaum muda selepas menamatkan sekolah itu sekedar mengakui bahwa orang yang ingin
menengah? Ini pertanyaan klasik yang terus mejadi guru harus mempunyai sertifikat. Jika
mengemuka dan jawabannya sebenarnya mudah. dianalogikan, mau meningkatkan ekonomi guru
Parker (1981) dalam Darmaningtyas (sebagai prayarat utama) supaya harkat dan
mengungkapkan, guru pada waktunya dulu martabatnya meningkat tetapi disodori selembar
memenuhi sederet kualitas yang memang sertifikat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan
dipersyaratkan; memiliki karakter, semangat oleh guru untuk mendapatkan sertifikat itu. Dari
berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, mana uangnya, gaji yang diterima untuk biaya
berkepribadian, berjiwa pemimpin. Mereka juga hidup saja tidak cukup.
adalah pemimpin masyarakat, itulah sebabnya
Penulis tetap konsisten bahwa membenahi
tidak semua orang dapat melakukan tugas guru. kualitas guru harus di mulai dari input-nya. Calon
Sekarang sosok guru itu sudah berubah, dan mahasiswa keguruan dan calon guru diseleksi
perubahan itu bukan taken for granted (ada dengan secara ketat dari berbagai aspek. Standar akademis
sendirinya), melainkan hasil pergulatan zaman harus di atas rata-rata. Selama ini yang terjadi,
maupun konstruksi dari kekuasaan yang ada.
standar akademis yang dipersyarakan bagi calom
Guru ideal seperti
mahasiswa keguruan
dilukiskan oleh Parker itu
malah lebih rendah dari
ternyata sudah menjauh.
calon mahasiswa yang
Guru yang selama ini
Penyebabnya
ada
masuk ke fakultas atau
termarjinalkan dan menerima jurusan lain. Selain itu
pergeseran status guru.
Guru bukan pekerjaan yang
begitu saja konsekuensi dari
aspek mental, kepribadian,
menarik, baik secara sosial
motivasi juga harus
sistem yang buruk perlu
maupun sisi kesejahteraan
diperhatikan. Dengan cara
dibawa ke tengah sistem
(gaji) yang diterima, tidak
seperti itu maka akan
bergengsi lagi. Mereka
pendidikan. Tidak cukup guru diperoleh calon-calon
yang menjadi guru
guru yang memang dari
hanya disenang-senangkan
bukanlah berasal dari
awalnya berkualitas dan
sebagai suatu profesi.
orang kota kaya yang sejak
mempunyai motivasi yang
awal bercita-bercita ingin
tinggi untuk menjadi guru.
mencerdaskan bangsa,
Tetapi
sebelum
melainkan berasal dari sekelompok anak muda melangkah pada masalah seleksi masuk,
desa yang karena keterpaksaan (masuk ke jalur pemerintah harus mempunyai komitmen tinggi
pendidikan guru). Kondisi obyektiflah (sulit memperhatikan kesejahteraan, jenjang karier
memperoleh pekerjaan di luar guru) yang yang jelas, dan masa depan (hari tua) yang
membuat mereka memilih menjadi guru. Atau terjamin. Pendeknya gaji guru harus lebih dari
karena tidak diterima di jurusan favoritnya cukup. Kalau gaji guru minimal setingkat rektor
(ekonomi, hukum, biologi, dll), maka masuk ke maka penulis yakin orang-orang muda terbaik di
FKIP, IKIP pun jadi.
negeri ini akan berbondong-bondong ke loket-loket
Suyono (2005) mempertajam lagi, ketika mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Lembaga
mereka yang lulus dari jurusan non- Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
kependidikan/keguruan yang kemudian tertarik
Dengan demikian LPTK sudah mendapatkan
menjadi guru dengan mengambil program akta input (mahasiswa calon guru) yang berkualitas.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
91
Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen
Ketika mereka lulus dan menjadi guru pun tidak
perlu susah-susah ikut penataran ini, itu. Mereka
dengan cerdas mampu menerjemahkan isi
kurikulum, mengajar dan mendidik dengan baik.
Terbuka terhadap perubahan, dan terus berupaya
mengembangkan diri.
Selain itu, Winarno Surakhmad (2005)
berpendapat, dalam jangka panjang harus ada
reposisi guru. Guru yang selama ini
termarjinalkan dan menerima begitu saja
konsekuensi dari sistem yang buruk perlu dibawa
ke tengah sistem pendidikan. Tidak cukup guru
hanya disenang-senangkan sebagai suatu profesi.
Itulah yang penulis maksud dengan mencari
solusi yang substantif, yaitu mulai membenahi
input-nya terlebih dulu secara bertanggung
jawab.
.
Penutup
Berbagai komentar dan tulisan yang ada di media
massa berpendapat bahwa Undang-undang ini
belum sanggup menjawab beberapa persolan
mendasar mengenai profesi guru.
Heman Elia (2004), menyangsikan
kemampuan sejumlah universitas eks IKIP yang
akan menangani program sertifikasi guru.
Alasannya, semasa masih bernama IKIP saja
“gagal” menciptakan guru-guru yang berkualitas.
Selain itu juga belum jelas siapa yang menjadi
target untuk sertifikasi. Apakah semua guru yang
ada? Atau guru-guru negeri? Atau hanya guruguru yang belum mempunyai akta IV baik guru
negeri dan swasta? Kalau guru-guru negeri
pemerintah yang membiayai. Bagaimana dengan
guru-guru swasta?
Berkaitan dengan janji-janji pemerintah
dalam meningkatan kesejahteraan, dari mana
pembiayannya? APBN saja selalu mengalami
92
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
defisit. Apakah diserahkan ke Pemerintah Daerah
melalui APBD? Kalau diserahkan ke pemerintah
daerah, apa sanggup? Masalahnya, antara daerah
yang satu dengan yang lain dari sisi finansial
berbeda. Berbagai tunjangan yang dijanjikan juga
belum ditetapakan secara definitif. Maksudnya,
berapa besaran rupiah yang akan diberikan?
Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang
harus diuraikan secara jelas dalam Peraturan
Pemerintah (PP) sebagai turunan undang-undang
tersebut. Lebih dari itu, pelaksanaan di lapangan
yang paling dinanti-nantikan. Bukan rumusan
kata-kata
yang
indah
namun
nol
implementasinya. Kalau kelak ini yang terjadi,
undang-undang itu ibarat “macan kertas”, tidak
ada apa-apanya. Mari kita tunggu saja.
Daftar Pustaka
Darmaningytas. (Matinya profesi guru) dalam http:/
/tumasouw.tripod.cm/
Drost, S.J. (1998). Sekolah: Mengajar atau mendidik.
Jogjakarta: Kanisius
Elia, Herman (2004). Mengangkat harkat guru dengan
sertifikasi guru? Kompas, 13 Desember 2004
Kompas, 29 April 2005 (Perlu reposisi peran guru
dalam pendidikan nasional)
Popham, James dalam Sinurat (1981). Bagaimana
mengajar secara sistematis. Jogyakarta:
Kanisius
S.T. Kartono (2002). Menebus pendidikan yang
tergadai. Jogjakarta: Galang Press
Surakhmad, Winarno. (Di Manakah engkau guru
profesional)
dalam
http://
www1.bpkpenabur.or.id/
Undang-Undang Republik Indonesia No. 14
Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Opini
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
Mengkritisi Undang-Undang tentang Guru dan Dosen
Hotben Situmorang*)
Abstrak
Undang-Undang tentang Guru dan Dosen dilahirkan pada saat pendidikan nasional dinilai terpuruk dan
menempatkan Indonesia pada urutan 105 pada human development index dan profesi guru menjadi pilihan
profesi kelas dua bagi generasi muda. Undang-undang ini juga diharapkan memberikan kepastian penghargaan
kepada guru dan dosen sehingga menjadi profesi yang terhormat dan disukai semua generasi. Akan tetap
kehadiran Undang-Undang ini menjadi perdebatan yang ramai. Pelayanan pendidikan yang diamanatkan
konstitusi ini tidak hanya terbatas pada lembaga yang didirikan oleh pemerintah, akan tetapi juga oleh
swasta. Di samping itu masalah sertifikasi, kesejahteraan guru dan dosen, serta masalah dana untuk pendidikan
merupakan contoh-contoh yang masih perlu diatur lebih lanjut secara realistik.
Kata kunci:
Undang-undang tentang guru dan dosen, sertifikasi profesi, kesejahteraan guru, perguruan
swasta
Acts regarding Teachers and Lecturers in Indonesia were issued by the time when the quality of national
education in this country was positioned at the rank of 105 in the human development index. Meanwhile
the teaching profession is not favorable for the young generation as it does not promise a bright future.
The new Acts become an endless polemic as the Acts regulate not only the educational institutions
organized by the Government but also by the privates. Crucial problems such as certification for the teachers,
teachers welfare, and the budget for education need to be clarified soon.
Pendahuluan
sensi kehadiran sebuah undang-undang
menjadi koridor ruang gerak aktivitas
masyarakat tentang undang-undang yang
dimaksud
pada
jurisdiksi
keberadaannyamerupakan aturan yang
disepakati untuk dipatuhi secara bersama-sama
dan mempunyai konsekuensi hukum bagi pihak
yang melanggar. Gambaran sederhana dalam
kehidupan masyarakat Jakarta adalah koridor
bus-way yang memberi kemudahan pada bus
khusus yang dimaksudkan untuk itu supaya
terbebas dari kemacetan, akan tetapi juga
membatasi ruang gerak bus yang dimaksud
supaya tidak mengganggu pergerakan kendaraan
pengguna jalan lainnya.
Tindakan seorang guru SMP Neg. 56 Jakarta
(Melawai) yang bersama sekelompok siswa dan
E
atas dukungan orang tua siswa menolak tukar
guling
sekolahnya
berdampak
pada
pemberhentian guru yang bersangkutan
merupakan transaksi pertukaran tempat/
bangunan yang bernilai ekonomis atas dasar
kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait.. Retno
seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan
(PKN) SMA Neg. 30 Jakarta mendapat somasi
untuk tuntutan mencabut isi tulisan dalam buku
PKN yang ditulisnya yang menyangkut peristiwa
nyata tentang seorang tokoh politik Akbar
Tanjung merupakan teguran/peringatan hukum
dari pihak yang merasa dirugikan. Kehadiran
undang-undang guru dan dosen akan
mendudukkan persoalan tersebut pada kacamata
hukum yang lebih jelas.
Undang-undang guru dan dosen akan
memberi harapan pada guru dan dosen sesuai
dengan substansi yang tersirat di dalamnya
setelah sekian lama profesi guru seperti
*) KepalaPengkajian dan Pengembangan Pendidikan (I) BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
93
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
kehilangan jati diri kepahlawanannya. Profesi
guru memang sudah lama kurang mendapat
penghargaan dimata masyarakat dan menjadi
pilihan profesi terakhir bagi generasi muda seiring
dengan kemilau kesejahteraan yang dijanjikan
profesi lainnya. Sesuai dengan apa yang sering
disampaikan oleh Prof. Bambang Sudibyo,
Menteri Pendidikan Nasional, dalam proses
sosialisasi pada masa undang-undang ini masih
berupa rancangan, bahwa untuk memperbaiki
kualitas pendidikan di negeri ini harus dimulai
dengan perbaikan kesejahteraan para guru dan
dosen. Teachers is the heart of education.
Selain dari aspek perbaikan kesejahteraan,
tulisan ini juga menyoroti/mendorong membahas
masalah keadilan dalam hak dan kewajiban guru,
perlindungan hukum terhadap guru, keterlibatan
organisasi guru dalam pembuatan kebijakan
pendidikan, dan peningkatan mutu pendidikan
itu sendiri.
Undang-Undang Kesejahteraan
Undang-undang ini terkesan sebagai undangundang kesejahteraan guru terkait dengan topik
yang mengedepan dan menjadi impian dari
kebanyakan guru. Hak dan kewajiban guru dan
dosen mendapat porsi yang cukup luas
sebagaimana tercantum pada pasal 14 s/d 20 dan
pasal 51 s/d 60. Pada pasal 52 ditegaskan bahwa
guru dan dosen akan mendapat tunjangan selain
dari gaji pokok berupa:
1. Tunjangan fungsional
2. Tunjangan struktural
3. Tunjangan kemaslahatan
4. Tunjangan khusus untuk pengajar di daerah
terpencil atau dosen pengampu mata kuliah
langka
5. Tunjangan kehormatan
Menurut Sekretaris Ditjen Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPK)
Bahrul Hayat, Ph.D., tunjangan fungsional
diberlakukan kepada semua guru negri dan
swasta yang implementasinya akan dituangkan
pada peraturan pemerintah yang ditargetkan akan
terbit pada bulan Juli 2006. Saat ini pemerintah
sudah memberikan tunjangan fungsional guru
negeri berkisar antara Rp 168.000 hingga Rp
260.000 per-bulan-per-orang, sementara itu juga
memberikan kepada 400. 000 guru swasta sebesar
Rp 115.000 per-orang. Perlu mendapat klarifikasi
94
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
supaya tidak sekedar ide adalah sumber dana
khususnya bagi lembaga pendidikan swasta
dikarenakan guru dan dosen negeri dijamin oleh
Negara akan tetapi guru atau dosen yang
diangkat oleh lembaga pendidikan swasta dengan
sebutan satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat akan mendapat porsi
kesejahteraan yang berbeda sesuai dengan
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
(pasal 52:3). Secara gamblang penulis melihat
jumlah SMK Negeri di Jakarta, dimana penulis
banyak terlibat selama tahun-tahun terakhir
terdapat hanya sekitar 10% dari jumlah SMK yang
ada. Jika asumsi ini berlaku umum maka jumlah
guru negeri dan swasta yang menurut data Ditjen
PMPK ada sekitar 2,05 juta mayoritas didominasi
dan menjadi beban swasta.
Sumber dana perguruan swasta adalah murni
dari siswa yang mendaftar pada satuan
pendidikan terkait berupa dana awal dan biaya
pendidikan bulanan atau paket lainnya. Hal ini
berarti beban biaya pendidikan yang akan
ditanggung masyarakat akan menjadi lebih besar.
Akan menjadi preseden buruk pada
pengembangan sumber daya manusia secara
nasional dari sisi perguruan swasta yang akan
lebih berorientasi pada pengumpulan dana dari
siswa/mahasiswa walau kemampuannya tidak
sebaik yang diharapkan. Tidak akan selamanya
lembaga pendidikan membina bibit yang baik
supaya lebih baik, akan tetapi akan ada
kecenderungan membina siapa yang mempunyai
modal/dana maka dialah yang akan menikmati
pendidikan yang baik. Sesungguhnya langkah
yang lebih menghargai mereka yang bermodal
finansial lebih besar sudah dimulai perguruan
tinggi dengan dalih BHMN.
Penulis
mengusulkan sekiranya ada perumusan jalan
keluar yang lebih wajar dengan cara penyaluran
dana dari pemerintah kepada satuan pendidikan
negeri dan swasta diatur sedemikian berimbang.
Hal itu bisa dicapai jika Pemerintah menerima
masukan yang terbuka sebelum merumuskan PP
yang akan diterbitkan pada beberapa bulan yang
akan datang.
Undang-Undang Sertifikasi
Selain sebagai undang-undang kesejahteraan
maka undang-undang guru dan dosen juga
dikonotasikan sebagai undang-undang sertifikas
yang memberikan pengakuan kelayakan guru
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
mengajar. Hal ini terungkap dikarenakan universitas yang ditunjuk saja yang berhak
pemberian perbaikan kesejahteraan tenaga mensertifikasi kelayakan seseorang untuk
kependidikan kepada guru dan dosen dikaitkan mengajar.
dengan sertifikasi. Informasi yang dirilis oleh
Perlu juga mempertanyakan bentuk atau cara
Kompas pada 9 Desember 2005 menyatakan sertifikasi yang akan dilakukan uleh universitas
hamper separuh dari sekitar 2,6 juta guru di tertunjuk menggunakan pola seperti apa ?
Indonesia tidak layak mengajar dikarenakan Apakah sertifikasi dilaksanakan dengan
kualifikasi dan kompetensinya yang tidak sesuai. melaksanakan semacam uji kompetensi di atas
Kenyataan ini juga diduga sebagai penyebab kertas sebagaimana uji logika (tes IQ) atau sejenis
mutu pendidikan di Indonesia rendah. Catatan tes TOEFL untuk kemampuan bahasa Inggris ?
Prof. Dr. Nanang Fatah dari UPI Bandung Kompetensi seorang guru dan dosen
menyatakan guru yang tidak layak mengajar ada sesungguhnya akan lebih terukur dari
912.505 orang yang terdiri atas 605217 guru SD, sejauhmana
yang
bersangkutan
167643 guru SMP, 75684 guru SMA dan 63961 mengimplementasikan kemampuannya, dan
guru SMK.
sudah barang tentu yang lebih kompeten
Mayoritas guru yang tidak layak mengajar mengukurnya adalah lembaga pengguna.
tersebut adalah guru SD yang kemungkinannya
Penunjukan universitas tertentu saja sebagai
tersebar di daerah. Hal ini diakibatkan oleh lembaga sertifikasi dapat memberi kesan adanya
ketiadaan sumber daya guru yang bersedia KKN dan kepentingan tertentu. Di samping itu
ditempatkan di daerah sehingga terjadi calon guru yang akan menempuh sertifikasi dapat
pemberdayaan tenaga yang seadanya. saja melakukan praktek KKN yang akan berbuntut
Keengganan menjadi guru
pada
kualitas
daerah-daerah tertentu terutama
sertifikasi
itu
daerah yang berpenghasilan
sendiri.
Bagaimana
Yang perlu dipertanyakan juga
rendah berbanding lurus
di
adalah proses sertifikasi profesi perbaikannya
dengan jaminan social yang
masa
datang
yang sepertinya tidak memberi terkesan akan
diharapkan seorang guru.
Daerah perkotaan/urban yang
menjadi urusan
ruang pada pengakuan pada
mempunyai aktivitas ekonomi
generasi berikut.
sertifikat akta mengajar yang
relatif tinggi dapat dikatakan
G u n a
dikeluarkan oleh IKIP (LPTK)
tidak mengalami kekurangan
menghindari
guru. Sementara di daerah
tuduhan
yang
perkotaan seorang guru dapat
kontra-produktif
melakukan aktivitas ekonomi yang lain untuk terhadap rumusan pola baru yang akan
menopang hidupnya, seperti halnya menjadi menggantikan pola lama seharusnya merupakan
tukang ojek, atau buka warung sepulang penyempurnaan yang dapat diterima semua
mengajar. Profesi guru memang belum dapat pihak. Penulis meyakini bahwa penerbitan akta
diandalkan.
mengajar yang selama ini dikeluarkan IKIP atau
Yang perlu dipertanyakan juga adalah proses LPTK sudah memenuhi ukuran standar evaluasi
sertifikasi profesi yang sepertinya tidak memberi yang dikembangkan perguruan tinggi terkait.
ruang pada pengakuan pada sertifikat akta Mempertentangkan proses yang dilakukan oleh
mengajar yang dikeluarkan oleh IKIP (LPTK) IKIP dengan kenyataan adanya fakta yang
walau secara logika hukum pada sertifikat Akta menunjukkan sejumlah guru yang dinyatakan
IV tertulis:
tidak layak mengajar dimungkinkan
“Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik menimbulkan “cheos” ketidakpercayaan antar
Indonesia memberikan kepada “x” Akta IV setelah lembaga. Pertimbangan keterlibatan pakar yang
memenuhi semua persyaratan yang ditentukan untuk telah membuahkan hasil sertifikat akta mengajar
memperoleh Akta tersebut, kepadanya diberikan hak juga harus mendapat porsi kajian yang layak, dan
untuk mengajar dalam bidangnya pada sekolah tidak serta-merta mengganti pola bagaikan
menengah tingkat atas serta segala wewenang dan hak membalik tangan.
berhubungan dengan akta yang dimilikinya”.
Penilaian profesionalitas seseorang untuk
dinyatakan
layak menyandang gelar atau
Hal ini berarti terjadi pencabutan wewenang
legitimasi
pelayanan
masyarakat sebaiknya
pada lembaga resmi digantikan oleh lembaga
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
95
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
mengakomodasi ukuran dari ‘lembaga yang
berbadan hukum’ sebagai pengguna jasa
layanannya. Rekomendasi lembaga pengguna
tersebut sebaiknya merupakan komplementari
pengakuan keanggotaan assosiasi profesi.
Keanggotaan assosiasi profesi diwujudkan
dengan penerbitan nomor legitimasi sertifikat
profesi yang bersangkutan. Penilaian
profesionalitas yang dimaksud melekat pada
pribadi anggota terkait dengan pemenuhan hak
dan kewajibannya. Akumulasi penilaian
kompetensi dari lembaga yang dilayani oleh
guru/dosen terkait dapat disetarakan dengan
jenjang kepangkatan profesionalitas yang
berdampak pada hak dan kewajibannya dan hal
ini berlaku secara nasional, dengan catatan bobot
penilaian tergantung pada bonafiditas lembaga
yang dilayani. Seluruh track record guru/dosen
seyogyanya terekam pada data-base individu
yang tersimpan pada lembaga assosiasi profesi
itu sendiri.
Dokumentasi dari assosiasi profesi terhadap
anggotanya dapat dipergunakan sebagai salah
satu ukuran akreditasi lembaga pendidikan,
dimana jumlah akademisi yang tersertifikasi juga
menunjukkan bonafiditas lembaga tersebut. Hal
ini menjadi penting dikarenakan adanya standar
minimum hak akademisi yang merupakan bagian
dari kesejahteraan. Nilai standar minimal juga
perlu dikaitkan dengan besaran biaya pendidikan
yang dipungut oleh lembaga dari siswa/
mahasiswa yang dilayaninya. Adanya korelasi
pembiayaan dengan beban operasional tetap
menjunjung azas non-profit. Angka nominal yang
dapat disebut berkorelasi positif memerlukan
kajian tersendiri. Yang perlu dihindari adalah
menjadikan lembaga pendidikan sebagai unit
kegiatan yang profit-center dan hanya
memperkaya pengelola dengan menjadikan guru
menjadi buruh.
Pengalaman penulis selama bermukim di
Philipina adalah pemberian nomor registrasi bagi
setiap pemegang Civil Service Certification dan
aktivitas yang bersangkutan didokumentasikan
pada data-Base yang dimonitor oleh lembaga
assosiasi yang mengayomi profesi terkait. Seorang
dokter yang absen dari kegiatan tindakan
kedokteran dan up-dating regulasi dan informasi
terbaru maka akan mengalami pencabutan
sertifikat profesi. Demikian juga seorang akuntan
public yang tidak melakukan audit bagi lembaga
pengelola keuangan dengan total asset tertentu
selama dua tahun maka yang bersangkutan juga
96
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
akan mengalami pencabutan sertifikasi. Tidak
ubahnya seorang guru hanya dapat mengajar jika
memiliki serifikat terkait dan apabila dalam dua
tahun tidak pernah mengajar secara formal yang
dapat dilaporkan pada assosiasi guru maka
sertifikatnya juga harus dicabut, akan tetapi
memang tidak ada sertifikasi ulang secara
periodic bagi guru yang sehari-harinya menjadi
guru.
Merujuk pasal 41 yang mengatur organisasi
profesi dan kode etik, maka jika seyogianya PGRI
difungsikan memajukan profesi, meningkatkan
kompetensi, karier, dan sebagainya sebagaimana
dimaksudkan pada ayat 2, maka legitimasi
seseorang disebut seorang guru adalah pada saat
PGRI mengeluarkan nomor registrasi berupa
nomor kode data-base keanggotaan si-guru
tersebut. PGRI yang merupakan organisasi
berskala nasional sudah barang tentu mampu
memonitor aktivitas guru yang menjadi
anggotanya. Kealpaan anggota memenuhi
tuntutan organisasi profesi pada kurun waktu
tertentu seyogyanya mendapat pinalti tertentu.
Pinalti mengharuskan setiap orang memenuhi
prasyarat tertentu untuk dapat kembali aktif
memperoleh hak keguruannya.
Menurut pandangan penulis, seseorang
dapat saja menjadi pengajar pada lembaga
pendidikan tertentu atas dasar kebutuhan
kompetensi khusus, akan tetapi tidak secara
otomatis yang bersangkutan menyandang profesi
guru. Pengajar yang demikian tidak memperoleh
hak yang sama dengan guru akan tetapi menerima
hak atas dasar kebutuhan dan kekhususannya.
Masalah Anggaran dan
Kemauan Politik
Di dalam UU Sisdiknas RI No. 20 diamanatkan
bahwa anggaran pendidikan sekurangkurangnya adalah sebesar 20% dari total APBN
yang dialokasikan. Ini berarti 20% itu adalah limit
bawahnya. Namun pada kenyataannya anggaran
pendidikan dari tahun ke tahun malah kurang
dari 20%. Di mana letak masalahnya? Apakah
pemerintah tidak sanggup memenuhinya?
Sebenarnya menurut hemat penulis tidak ada
kemauan politik dari pemerintah untuk memenuhi
tuntatan itu. Gaji menteri dan tunjangan anggota
DPR saja terus naik, mengapa untuk investasi di
bidang pendidikan tidak bisa memenuhi.
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
Wajib belajar yang telah dicanangkan lebih
dari sepuluh tahun silam sepertinya belum
mampu mendobrak ketertinggalan anak bangsa
ini jika dibandingkan dengan masyarakat ASEAN
saja. Kurangnya uang untuk pendidikan berakibat
langsung pada kecilnya akses masyarakat akan
pendidikan. Sarana pendidikan, seperti gedung
dan peralatan pembelajaran tidak dapat dirawat
dan diperbaharui, pengadaan guru yang
profesional juga sulit. Akibat dari semua kondisi
ini, sebagian besar anak bangsa di pedesaan tetap
bododh dan akan tetap miskin.
Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220
juta jiwa ditambah kelimpahan sumberdaya alam
yang tidak terukur, sebenarnya adalah kekayaan
yang terabaikan dan kita menjadi miskin karena
kebodohan. Kemiskinan membuat anak-anak
tidak cerdas sebagai akibat dari kurangnya
sekolah yang baik. Seyogianya pemerintah dapat
mendorong dunia usaha untuk terlibat langsung
dalam dunia pendidikan melalui community
development program, membangun sekolah
bukan hanya di perkotaan akan tetapi juga di
pedesaan. Sebenarnya bangsa ini tidak miskin
harta, yang ada adalah miskin hati.
Dampak Undang-Undang Guru dan
Dosen pada Perguruan Swasta
Berkaitan dengan program sertifikasi guru dan
dosen, jika akhirnya pemerintah hanya
mengalokasikan dana untuk guru dan dosen
negeri, itu artinya sama saja dengan melempar
api, tapi tidak mau bertanggung jawab. Hal itu
dapat dianalogikan seorang ayah menjanjikan
kepada anaknya akan dibelikan sepeda, namun
si anak disuruh mencari sendiri uang itu.
Harus diingat, tidak semua sekolah dan
perguruan tinggi swasta mempunyai cukup
dana. Di mana letak keseteraan antara negeri dan
swasta? Bukanlah swasta selalu digembargemborkan sebagai mitra pemerintah. Mitra
berarti ada kesetaraan. Akan tetapi menyikapi
rumusan undang-undang yang cenderung
mengedepankan sekolah negeri dan pola
pendanaan terhadap swasta berbentuk subsidi,
sekolah swasta mendapat tantangan untuk
mampu mempormulasikan program yang
menarik supaya memperoleh jumlah siswa/
mahasiswa yang cukup sehingga memperoleh
dana yang relevan.
Kemajuan program inovasi perguruan swasta
adalah dasar perolehan subsidi dari pemerintah
terlebih jika hasil evaluasi program memberikan
dampak yang nyata dalam dunia pendidikan.
Sekolah swasta yang hanya berjalan dengan
mengikuti pola pelaksanaan pendidikan di
perguruan negeri pada akhirnya akan kesulitan
membangun pengadaan sumber dana dari siswa
dan dari pemerintah
Kesimpulan
Undang-Undang tentang Guru dan Dosen di satu
sisi menjanjikan, namun di sisi lain bisa jadi
sebuah jebakan. Menjanjikan karena menjadi
tantangan perbaikan kualitas pendidik melalui
proses sertifikasi dan uji kompetensi. Penghasilan
guru yang layak akan menjadi pendorong bagi
generasi muda yang potensial berkarier, sehingga
akan didapatkan tenaga yang berkualitas. Dalam
menjaga kualitas pendidikan maka perlu
pembinaan profesionalisme sepanjang masa
dengan cara menerbitkan nomor sertifikasi profesi
guru yang senantiasa memonitor aktivitas
pendidikan yang dilaksanakan guru yang
bersangkutan. Hasil monitor pencapaian dan
aktivitas guru/dosen terkait tersimpan pada
dokumen data-Base assosiasi profesi seperti
halnya PGRI. Jika PGRI menjadi lembaga
assosiasi profesi maka PGRI berkekuatan
mencabut dan mengesahkan keberadaan profesi
seseorang sebagai guru atau dosen. Perlakuan
assosiasi profesi ini harus memperlakukan
pegawai negeri dan pegawai swasta secara
seimbang.
Khususnya jika dikaitkan dengan masalah
keuangan, maka akan menjadi jebakan
dikarenakan lembaga pendidikan swasta
dihadapkan pada persoalan pendanaan dan
harus memilih berjalan pada idealisme atau
penyelamatan lembaga. Pihak swasta harus terus
menggalang kekuatan untuk terus memberi
masukan yang komprehensif terhadap peraturan
pemerintah sebagai turunan undang-undang
tersebut. Konsistensi pemerintah harus terus
ditagih, supaya jangan sampai pemerintah pintar
mengambil kebijakan tetapi melempar tanggung
jawab.
Andaikata Undang-undang guru dan dosen
merupakan
produk
legislasi
yang
mendiskreditkan perguruan swasta atau alat yang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
97
Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen
dapat menggiring institusi swasta pada arah
kepentingan politik sektarian dengan
menjanjikan penyaluran dana bantuan atau
bentuk lain yang kebetulan menjadi beban swasta,
seyogianya swasta merapatkan barisan. Jalan
hukum yang mungkin ditempuh adalah
melakukan judicial review.
98
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2005. Undang-undang RI Nomor 14
tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. http://
www.depdiknas.go.id
Kompas, 9 Desember 2005: Banyak guru tidak layak
mengajar
Kompas, 19 Desember 2005. Donny Gahral Adian:
Kompetensi dan sertifikasi Dosen
Kompas, 2 Mei 2006: Rencana strategis pembangunan
pendidikan
Tulisan Ilmiah
Opini
Tulisan Ilmiah
B.P. Sitepu*)
Abstrak
Menyusun dan mempublikasikan tulisan ilmiah merupakan salah satu keharusan bagi guru, dosen, dan peneliti
dalam mengembangkan jabatan fungsionalnya. Tidak jarang mereka terlambat memperoleh kenaikan pangkat,
golongan atau jabatan karena belum memenuhi persyaratan itu. Tulisan ini mencoba menggugah guru pada
khususnya untuk menyusun dan mempublikasikan naskah ilmiah mereka dalam bentuk laporan penelitian,
wacana, atau resensi buku. Beberapa persyaratan kajian dan tulisan ilmiah juga diungkapkan sebagai acuan
bagi guru dalam menyusun tulisannya.
Kata kunci: Kajian ilmiah, tulisan ilmiah, resensi buku, penelitian
Scientific writing and its publication are among the requirements for the teachers, lectures and researchers
in their professional development. Many of them can not fulfill this task due to their lack of skills in scientific
writing. This article tries to encourage teachers in particular to improve their writing skills. Doing a scientific
inquiry is an initial step to find a good topic to develop. A set of criteria each for scientific inquiry and
scientific writing are also discussed as the guidelines for the teachers to develop their writings.
Pendahuluan
i samping menggunakan bahasa ragam
lisan, pikiran dan perasaan dapat
disampaikan dalam ragam tulisan.
Kemajuan teknologi komunikasi dewasa
ini telah memungkinkan orang berkomunikasi
secara lisan dengan cepat dan tepat, sehingga
komunikasi secara tertulis (surat) semakin
berkurang. Dengan menggunakan telpon celuler,
orang dapat berkomunikasi kapan saja dan
hampir dari mana saja. Sungguhpun demikian,
komunikasi dengan menggunakan bahasa ragam
tulisan masih tetap banyak dipergunakan.
Penerbitan buku, majalah, surat kabar masih
marak dilakukan di negara yang memiliki
teknologi informasi dan teknologi komunikasi
paling
maju
sekalipun.
Kebiasaan
mendokumentasikan dan menyebarkan gagasan
atau pengalaman seseorang dalam bentuk tulisan
yang kemudian diterbitkan, tetap berkembang. Di
pihak lain banyak orang memanfaatkan sumber
informasi tertulis/tercetak untuk memperoleh
D
inspirasi atau pengetahuan dan pengalaman
baru.
Jabatan fungsional seperti guru, dosen, dan
peneliti menuntut mereka meningkatkan
profesionalismenya antara lain dengan menulis
dan mempublikasikan hasil tulisan mereka dalam
majalah, buku, atau surat kabar. Sesuai dengan
jabatannya, maka tulisan yang disusun dan
diterbitkan itu diharuskan memenuhi kriteria
karya ilmiah. Guru, dosen, dan peneliti adalah
termasuk ilmuan, yang karena profesinya
diharapkan secara terus menerus mengikuti dan
mengembangkan pengetahuan dan keahliannya
dalam bidang ilmu yang ditekuninya.
Kemampuan membelajarkan dan meneliti tidak
cukup ditunjukkan hanya dalam praktek
pembelajaran dan penelitian, tetapi juga harus
dipublikasikan sehingga orang lain tahu dan
dapat belajar dari isi tulisan tersebut. Temuan atau
karya besar dan penting biasanya diawali dari
kajian tulisan ilmiah.
Tidak sedikit guru, dosen, dan peneliti,
mengalami kesulitan dalam menyusun karya tulis
ilmiah seperti yang dipersyaratkan. Kesulitan ini
*) Dosen Univeritas Negeri Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
99
Tulisan Ilmiah
muncul dan semakin parah antara lain karena
kemampuan menulis sering diabaikan dan tidak
dikembangkan sejak seseorang mulai mampu
membaca dan menulis. Banyak orang memiliki
bahan untuk ditulis dari pengalaman empiris atau
hasil membaca, tetapi menjadi buntu ketika begitu
mulai menuliskannya. Ada pula yang lebih parah,
mereka tidak memiliki bahan dan tidak memiliki
kemampuan menulis secara ilmiah.
Dengan harapan agar guru pada khususnya
dapat terbantu dalam menulis dan
mempublikasikan tulisan ilmiahnya, uraian
berikut ini diarahkan pada tulisan yang
diperlukan sebagai persyaratan dalam
pengembangan jabatan fungsional guru. Tulisan
ilmiah pada umumnya berawal dari suatu kajian
ilmiah yang dapat menghasilkan kebenaran atau
pengetahuan baru di bidang tertentu. Hasil kajian
merupakan dasar penyusunan tulisan ilmiah.
Kajian Ilmiah
Kajian ilmiah atau scientific inquiry dapat berupa
(a) hasil olahan penalaran (logika), (b) hasil
penelitian empiris, atau (c) merupakan gabungan
olahan penalaran dan penelitian empiris.
Persyaratan suatu kajian ilmiah ialah (a) memiliki
masalah yang jelas, (b) mempunyai data yang
akurat dan mutakhir sebagai bahan analisis, (c)
menggunakan teknik analisis yang sesuai dengan
masalah dan data yang ada, (d) dilakukan secara
sistematis dan logis, dan (e) menghasilkan
jawaban atas masalah yang dikaji.
Langkah awal yang dapat dkerjakan oleh
guru dalam menyusun tulisan ilmiah ialah
melakukan kajian ilmiah sebagai bahan
tulisannya. Guru memilih dan menetapkan
bidang masalah yang perlu dikaji, misalnya
pengembangan karier guru sekolah swasta,
penerapan kurikulum berbasis kompetensi, atau
pendidikan anak berkelainan. Kemudian masalah
itu dipersempit dan dipertajam misalnya ketiga
bidang masalah tadi dapat dkembangkan menjadi
“sejumlah faktor penentu dalam peningkatan
karier guru sekolah swasta”, “perbedaan peranan
guru dalam menerapkan kurikulum berbasis
kompetensi dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya”, atau “desain pembelajaran untuk
pendidikan anak berkelainan”. Untuk lebih
spesifik lagi, ruang lingkup masing-masing
masalah dapat dibatasi dari aspek tempat dengan
menentukannya di lembaga pendidikan tertentu
sebagai suatu studi kasus misalnya di salah satu
SD, SMP, atau SMA.
100
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Dilihat dari jenisnya, masalah kajian ilmiah
dapat dikelompokkan pada tiga besar, berkenaan
dengan (a) pengembangan seperti pengembangan
model, metode, media pembelajaran, (b) penelitian
seperti penelitian pengaruh atau hubungan/
korelasioanl antara dua variabel atau lebih, dan
(c) evaluasi seperti evaluasi media, strategi
pembelajaran,
dan evaluasi program
pembelajaran. Ketiga jenis masalah tersebut terkait
dengan pendidikan dan dapat ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari guru, dalam perbincangan
sesama guru, pengalaman di dalam kelas, dan
wacana dalam berbagai media atau penataran.
Kajian masalah yang dipilih dapat
dikategorikan ilmiah apabila memenuhi syarat
seperti telah disebutkan sebelumnya. Kedalaman
dan keluasan kajian ditentukan oleh tujuan kajian
serta kemampuan melakukan kajian itu. Oleh
karena itu, kadar ilmiah suatu kajian bukanlah
ditentukan oleh besar atau kritisnya masalah yang
dikaji tetapi sejauh mana kajian itu memenuhi
persyaratan ilmiahnya. Memang tidak dipungkiri,
besar atau kritisnya masalah serta kedalaman dan
keluasan kajiannya mempengaruhi daya tarik
dan kebermanfaatan kajian tersebut.
Tulisan Ilmiah
Langkah berikutnya ialah menuliskan hasil kajian
ilmiah dalam bentuk tulisan. Persyaratan tulisan
ilmiah ialah (a) sistematis yaitu runtut dan
berkaitan: (b) logis yaitu menggunakan cara
berpikir analitik, deduktif atau induktif; (c) netral
dalam arti saat melakukan analisis dan
mengambil kesimpulan tidak dipengaruhi oleh
keperpihakan atau emosi; (d) asli yaitu gagasangagasan dan analisis yang dikemukakan adalah
asli dari penulis; (e) etis dalam arti mengikuti
secara ajeg notasi ilmiah seperti pencantuman
sumber pendapat apabila dikutip dari sumber
lain, menyebutkan nama sumber data atau
informasi, jujur, sopan; dan (f) menggunakan
bahasa yang benar dan efisien dalam arti
ungkapan serta pernyataan dikemukakan secara
singkat, jelas, tepat, dan mengikuti kaidah-kaidah
bahasa. Keenam persyaratan yang dikemukakan
berlaku umum untuk penyusunan tulisan ilmiah
termasuk untuk keperluan akademis seperti
skripsi, tesis, dan disertasi.
Jurnal Pendidikan Penabur, sebagai jurnal
ilmiah, menggolongkan naskah-naskah yang
dimuat ke dalam rubrik (a) laporan penelitian, (b)
opini, (c) resensi buku, isu mutakhir, dan profil
Tulisan Ilmiah
BPK PENABUR Setempat. Setiap tulisan dalam
masing-masing rubrik itu berupaya memenuhi
keenam persyaratan ilmiah yang di atas
disebutkan dengan sistematika dan teknik
pengembangan gagasan yang berbeda.
Sistematika penulisan laporan penelitan
untuk dimuat di jurnal berbeda dengan
sistematika pada laporan aslinya. Dalam tulisan
ilmiah di jurnal, kajian teori, dan diskripsi,
pengolahan, serta analisis data tidak dimuat
secara khusus dan lengkap. Hasil penelitian lebih
diutamakan dan didiskusikan secara lebih tajam
ditinjau dari implikasi dan kegunaannya, yang
mungkin dalam laporan aslinya tidak dibahas
secara rinci. Oleh karena itu, sistematika tulisan
biasanya dimulai dengan (a) judul, yang
dirumuskan secara lebih komunikatif dan menarik
(tidak harus sesuai dengan judul aslinya),, (b)
nama dan identitas penulis, (c) abstrak, memuat
secara singkat masalah, tujuan, metode, dan hasil
penelitian, (d) pendahuluan yang berisi latar
belakang masalah, (e) rumusan masalah, (f)
metode penelitian, (g) hasil penelitian, (h) diskusi
hasil peneltian, dan (i) kesimpulan diskusi hasil
penelitian. Fokus dan bobot isi tulisan terletak
pada diskusi hasil penelitian dan kesimpulannya.
Untuk tulisan yang tergolong opini atau wacana,
sistematika tulisan adalah (a) judul, dirumuskan
secara lebih komunikatif dan menarik; (b) nama dan
identitas penulis; (c) abstrak, memuat secara singkat
masalah, tujuan, dan kesimpulan; (d) pendahuluan,
berisi latar belakang masalah; (e) rumusan masalah;
(f) analisis masalah; dan (g) kesimpulan kajian yang
merupakan pendapat penulis. Kekuatan tulisan opini
terlihat pada aktualitas masalah, sumber yang
dipergunakan, teknik dan keluasan/ketajaman
analisis, serta sintesis atau kesimpulan kajian.
Resensi buku dibedakan dengan ringkasan
atau sinopsis isi buku. Resensi buku lebih
diarahkan sebagai kajian kritis atas isi buku dan
bukan untuk mempromosikan buku itu. Oleh
karena itu penyusun resensi perlu memperhatikan
(a) buku yang dipilih, di bidang pendidikan dan
terbitan semutakhir mungkin; (b) isi buku
mengemukakan hal-hal baru dan asli yang belum
banyak diketahui dan ditulis; (c) penyusun
resensi memiliki pengetahuan yang cukup luas
tentang bidang yang dibicarakan dalam buku itu,
paling tidak pernah membaca beberapa buku lain
yang terkait dengan isi buku itu, (d) penyusun
resensi buku dapat membandingkan pendapatpendapat penulis buku itu dengan pendapat
penulis atau pakar lain, (e) secara objektif dapat
menunjukkan kelemahan dan keunggulan isi
buku itu dari segi gagasan, bahasa, penyajian dan
ilustrasinya, dan (f) penyusun resensi dapat
membuat kesimpulan yang bermanfaat bagi calon
pembaca, penulis, dan penerbit buku itu.
Pengetahuan penyusun resensi atas latar
belakang pendidikan dan pekerjaan penulis buku
serta karya tulisnya yang lain akan bermanfaat
dalam melengkapi isi resensi sehingga dapat
diketahui perkembangan pemikiran penulis buku
itu. Dalam melakukan resensi buku juga
diterapkan persyaratan kajian dan tulisan ilmiah
sehingga resensi dapat dikategorikan sebagai
tulisan ilmiah yang bermutu.kan bernilai.
Penutup
Pada hakikatnya guru dapat memilih berbagai
cara dan bentuk tulisan ilmiah untuk
mengembangkan potensi dirinya sehingga lebih
profesional dalam melaksanakan tugasnya
sebagai pendidik dan pembelajar. Melakukan
kajian ilmiah, menuliskannya secara ilmiah pula
serta menyebarluaskannya melalui media yang
tepat akan meningkatkan kemampuan berpikir
maju dan bernalar kritis. Sebagai seorang guru
tentu diharapkan mewariskan buah pikiran dan
pengalamannya tidak hanya melalui peserta didik
tetapi juga melalui karya tulis yang dapat dibaca
oleh banyak orang.
Dalam menerbitkan atau mempublikasikan
tulisan ilmiah perlu memilih media yang sesuai.
Media yang dipilih hendaknya sesuai dengan isi
tulisan, misalnya kalau isi tulisan adalah di
bidang pendidikan, hendaknya media yang
dipilih adalah terbitan yang mengutamakan
tulisan-tulisan imiah di bidang pendidikan.
Jumlah tiras dan sebarannya juga perlu
diperhatikan. Semakin banyak tirasnya dan
semakin luas sebarannya, tentu isi tulisan itu pun
dibaca oleh lebih banyak orang.
Daftar Pustaka
Fraekel, J.R. & Wallen, N.E. (2006). How to design
and evaluate research in education. New York:
McGraw-Hill
Leki, I. (1998). Academic writing: Exploring processes
and strategies. London: Cambridge University Press
Miarso, Y. (2004). Menyemai benih teknologi
pendidikan. Jakarta Prenada Media bekerja
sama dengan Pustekom Depdiknas
Berbagai sumber
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
101
Opini
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru
Meta Analisis
Penelitian Alternatif bagi Guru
Rosa Merriyana A.*)
Abstrak
Guru merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Tentu saja hal ini
harus didukung dengan peningkatan kesejahteraan guru itu sendiri. Upaya peningkatan kesejahteraan guru
yaitu dengan tunjangan pemerintah dan sistem kenaikan pangkat. Kenaikan pangkat guru dilakukan dengan
cara akumulasi angka kredit guru, salah satunya adalah dengan membuat tulisan yang berupa hasil penelitian,
publikasi, dan lain-lain. Ternyata, bagi sebagian guru sangat sulit melakukan penelitian, dikarenakan
keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Solusi yang dapat ditawarkan agar guru tetap dapat mengembangkan
kemampuan menulisnya namun tidak mengganggu tugasnya membelajarkan siswa adalah dengan
menggunakan metode Meta Analisis.
Kata kunci: Penelitian, meta analysis, analisis isi.
This article discusses Meta Analysis as one of research methods which is simple and practical for the
teachers to employ. To improve their professionalism and career, the teachers are required do a number
of tasks related to their profession, including to do a scientific research. To complete this task, many
teachers meet time amd financial constrains as well as their limited research knowledge and experience.
To overcome the problem, meta analysis is presented as one of the most possible alternative.
Pendahuluan
ecara umum guru merupakan faktor
penentu mutu proses pendidikan,
walaupun faktor peserta didik, sarana dan
prasarana pendidikan, kurikulum, sistem
pendidikan, dan lingkungan tidak dapat
diabaikan. Berbagai kesulitan dalam poses belajar
dan membelajarkan di sekolah dapat diatasi
apabila guru memiliki kemampuan dan prakarsa
sesuai dengan profesinya. Kelemahan-kelemahan
dalam kurikulum dan buku pelajaran serta
keterbatasan alat peraga dan praktek dapat
ditanggulangi oleh guru yang berkualitas.
Dengan demikian wajarlah kalau guru diberikan
jabatan fungsional yang berarti prestasi kerja dan
perkembangan kariernya ditentukan oleh
kemampuan profesionalnya. Oleh karena
strategisnya kedudukan guru dalam proses
pendidikan maka jabatan dan tugas yang mulia
itu menuntut persyaratan tertentu.
S
*) Alumni Universitas Negeri Jakarta
102
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Untuk menilai kinerja guru, telah ditetapkan
tata cara pelaksanaan jabatan fungsional guru
melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional
RI No. 025/O/1995. Unsur utama dalam
penilaian ialah (a) pendidikan, (b) proses belajar
mengajar atau bimbingan, (c) pengembangan
profesi, dan (d) penunjang profesi belajar
mengajar atau bimbingan. Dari keempat unsur
itu, pengembangan profesi merupakan kegiatan
yang nampaknya merupakan hal yang cukup sulit
bagi kebanyakan guru. Pengembangan profesi itu
meliputi:
1. melaksanakan kegiatan karya tulis/karya
ilmiah di bidang pendidikan,
2. menemukan teknologi tepat guna,
3. membuat alat pelajaran/alat peraga atau
bimbingan,
4. menciptakan karya seni,
5. mengikuti kegiatan pengembangan
kurikulum.
Dari kelima kegiatan itu, tulisan ini
memusatkan bahasan pada melaksanakan karya
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru
tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan dan mengakibatkan salah satu hambatan dalam
secara lebih khusus lagi berkaitan dengan karya melaksanakan tugas profesional mereka, yang di
ilmiah hasil penelitian yang dipersyaratkan antaranya ialah melakukan penelitian ilmiah dan
untuk guru yang akan naik pangkat dari IIId ke menyusun laporannya. Dalam sistem kredit, guru
IV a dan seterusnya. Banyak guru yang terhenti diharuskan dapat menunjukkan bukti-bukti fisik
di pangkat IIId atau pangkat tertentu di IV karena yang disyaratkan termasuk laporan penelitian
kurang mampu membuat penelitian serta ilmiah itu. Sedangkan metodologi penelitian serta
menyusun laporannya. Kesulitan itu mungkin penyusunan laporannya biasanya dipelajari di
karena kurangnya pengetahuan tentang program S1.
penelitian atau kurangnya waktu untuk
Pada umumnya penelitian ilmiah yang baik
melaksanakan penelitian.
memerlukan kemampuan khusus, waktu yang
Dalam Pasal 7 Undang-Undang RI No 14 cukup, serta biaya. Latar belakang pendidikan
Tahun 2005 ditetapkan prinsip profesonalitas seperti telah disajikan di atas menunjukkan
guru dan dosen yang antara lain memiliki banyak guru masih belum memiliki pengetahuan
kualifikasi akademik dan latar belakang dan pengalaman melakukan penelitian. Di
pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. samping itu waktu luang untuk meneliti juga
Selanjutnya dalam Pasal 8 disebutkan bahwa sedikit dan terbatas karena kesibukan di sekolah
guru wajib memiliki kualifikasi akademik, dan mencari uang tambahan. Keadaan ekonomi
kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan mereka pun kurang mendukung untuk melakukan
rohani, serta memiliki kemampuan untuk penelitian yang memerlukan biaya. Sementera itu
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. tambahan pendapatan mereka sebagai imbalan
Kualifikasi yang demikian diperoleh melalui atas kenaikan pangkat tidak seberapa (sekitar Rp
pendidikan tinggi program sarjana atau program 25,000).
diploma empat. Sedangkan berkaitan dengan
Oleh karena itulah, tulisan ini menawarkan
kompetensi guru dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah alternatif bagi guru untuk tetap dapat
Pasal 10 mencakup (a) kompetensi pedagogik, (b) melakukan penelitian dengan efisiensi waktu,
kompetensi kepribadian, (c) kompetensi sosial, tenaga dan biaya, tanpa mengurangi bobot ilmiah
dan (d) kompetensi profesional.
penelitian dan laporannya. Dengan melakukan
Persyaratan seperti yang ditetapkan dalam penelitian meta analisis, guru dapat melakukan
Undang-Undang itu kelihatannya bermaksud penelitian secara mandiri dengan hasil yang
meningkatkan mutu guru. Dengan meningkatnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
kemampuan guru, diharapkan kinerja mereka Penelitian ini tidak memerlukan waktu yang ketat
dalam membelajarkan dan mendidik peserta didik dan biaya yang tinggi. Guru dapat
juga serta merta meningkat atau dengan perkataan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis
lain mutu pendidikan secara nasional akan data serta menyususn laporannya sesuai dengan
meningkat. Akan tetapi dewasa ini nampaknya waktunya yang tersedia. Yang penting ialah
masih terdapat kesenjangan yang
lebar antara kemampuan guru yang
Jumlah Guru Menurut Ijazah Tertinggi
ada di sekolah dengan yang
Tahun 2002/2003
dikehendaki dalam UndangNo Pendidi Jumlah
Ijazah Tertinggi (dalam %)
Undang itu. Sebagai contoh dapat
dilihat data guru menurut ijazah
kan
Guru
<D1 D2
D3
S1
S2/S3
pada tabel di samping ini .
1
TK
137.069
90.57 5.55
3.88
Data dalam tabel di samping
2
SLB
8.304
47.58
5.62
46.35
0.45
menunjukkan, semakin rendah
tingkat pendidikan semakin banyak
3
SD
1.234.927 49.33 40.14 2.17
8.30
0.05
jumlah guru yang belum memiliki
4
SMP
466.748
11.23 21.33 25.10
42.03 0.31
izajah S1. Di SMA dan SMK pun
5
SMA
230.114
1.10
1.89
23.92
72.75 0.33
masih cukup banyak guru yang
belum memiliki ijazah S1 yakni
6
SMK
147.559
3.54
1.79
30.18
64.16 0.33
masing-masing 27,25 % dan 35,84%.
Sumber: Balitbang 2004 dikutip dari A. Hakam Naja, UU Guru
Latar belakang pendidikan guru
dan Dosen : Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan.
yang
demikian
dapat
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
103
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru
pemahaman atas prosedur penelitian ini serta
kecermatan
dan
ketekunan
dalam
melaksanakannya.
Penelitian
Penelitian atau kajian ilmiah diartikan sebagai
suatu usaha yang sistematis dan objektif untuk
memecahkan masalah dengan menggunakan
metodologi tertentu. Secara singkat, penelitian
bertujuan untuk memperoleh jawaban untuk satu
atau beberapa pertanyaan, sebagaimana
dikemukakan Tuckman berikut: “Research is a
systematic attemp to provide anwers to questions.
(Tuckman: 1978, p.1). Dengan demikian
persyaratan utama suatu penelitian ialah
terencana, sistematis, logis dan objektif. Untuk
dapat memenuhi syarat itu, maka dalam
merencanakan penelitian, masalah dan tujuan
penelitian dirumuskan dengan jelas dan terukur.
Dengan menggunakan metode dan teknik tertentu
data dikumpulkan, diolah, dan dianalisis secara
objektif sehingga dapat menghasilkan
kesimpulan atau temuan yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawaban.
Hasil penelitian
biasanya disajikan dalam sebuah laporan yang
disusun secara sistematis, logis, objektif, original,
etis, dan mengunakan bahasa yang baik dan
benar.
Penelitian dapat dikategorikan ke dalam
berbagai jenis, dilihat dari paradigma, tujuan,
tempat dan datanya. Berdasarkan sumber
datanya, penelitian dapat dibagi menjadi dua,
yaitu penelitian primer dan penelitian sekunder.
Penelitian primer membutuhkan data ataupun
informasi dari sumber pertama, yang biasa disebut
dengan responden. Data ataupun informasi
diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan
menggunakan kuesioner/angket ataupun secara
lisan dengan menggunakan teknik wawancara.
Metode penelitian yang termasuk ke dalam
kategori ini ialah studi kasus, dan survei.
Sementara yang dimaksud dengan penelitian
sekunder yaitu penelitian yang menggunakan
data yang diperoleh bukan dari sumber pertama
untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Penelitian ini disebut juga penelitian dengan
pendekatan studi kepustakaan/dokumentasi.
Metode yang termasuk dalam kategori ini yaitu
content analysis, meta analysis, library research.
104
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Meta Analisis
Meta analisis secara sederhana dapat diartikan
sebagai analisis atas analisis. Sebagai penelitian,
meta analisis merupakan kajian atas sejumlah
hasil penelitian dalam masalah yang sejenis. Meta
analisis sebagai metode penelitian pertama kali
diperkenalkan oleh Karl Pearson pada tahun 1904
untuk kajian di bidang kesehatan/pengobatan.
Dalam perkembangannya meta analisis sebagai
jenis dan metode penelitian dipergunakan untuk
mengkaji berbagai masalah/topik dan untuk
berbagai keperluan. Dalam dunia pendidikan
meta analisis mulai dilakukakan sekitar tahun
1970-an, yang dilakukan oleh Gene Glass, Frank
L. Schmidt, dan John E. Hunter. (http://
en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis)
Meta analisis pada hakekatnya merupakan
sintesis sebuah topik yang diambil dari beberapa
laporan penelitian. Berdasarkan sintesis tersebut
ditarik sebuah kesimpulan mengenai topik yang
diteliti. Penelitian ini menggunakan hasil-hasil
penelitian yang sejenis sebagai data dasar dalam
melakukan kajian dan kesimpulan. Dalam dunia
pendidikan, meta analisis biasanya digunakan
untuk melihat signifikansi suatu treatment/
intervensi terhadap subjek pembelajaran, yaitu
siswa. Misalnya saja, pengaruh metode
pembelajaran, motivasi siswa, sumber belajar
terhadap hasil belajar siswa. Selain itu, meta
analisis juga dapat digunakan untuk penelitian
yang bukan desain eksperimen, misalnya saja
penelitian deskriptif.
Sebagai contoh guru ingin mengetahui
bagaimana pengaruh belajar berbasis komputer
terhadap hasil belajar peserta didik di tingkat
Sekolah Dasar. Guru tidak harus melakukan
penelitian eksperimen tetapi dapat melakukan
penelitian meta analisis dengan mengumpulkan
sejumlah laporan penelitian yang berkaitan
belajar berbasis komputer di SD. Sungguhpun
belum ada kesepakatan antar para ahli, jumlah
minimal laporan penelitian yang dijadikan
sumber data ialah tujuh penelitian. Akan teteapi
semakin banyak jumlah laporan yang dianalisis,
semakin terandalkan hasil penelitian meta
analisis. Laporan penelitian itu dapat berupa
skripsi, tesis, atau desertasi atau laporan
penelitian untuk keperluan lain yang
dipublikasikan di jurnal atau melalui internet.
David B. Wilson dan George A. Kelley
menyarankan langkah-langkah yang dapat
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru
ditempuh dalam melakukan penelitian meta
analisis.(http://pitt.edu.htm)
Walaupun kedua ahli itu tidak memiliki
pendapat yang persis sama, langkah-langkah
yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Tetapkan masalah atau topik yang hendak
diteliti. Misalnya, peneliti ingin mengetahui
bagaimana pengaruh belajar berbasis
komputer dapat meningkatkan hasil belajar
siswa di SD.
2. Tentukan periode hasil-hasil penelitian yang
dijadikan sumber data, misalnya 10 tahun
terakhir.
3. Cari laporan penelitian yang berkaitan
dengan pengaruh belajar berbasis komputer
terhadap hasil belajar siswa di SD selama 10
tahun terakhir. Laporan tersebut dapat dalam
bentuk skripsi, tesis, disertasi, atau laporan
lain yang dapat diperoleh dari perpustakaanperpustakaan dan internet.
4. Baca judul dan abstrak laporan penelitian
untuk melihat kesesuaian isinya dengan
masalah yang akan diteliti.
5. Fokuskan penelitian pada masalah,
metodologi penelitian (jenis, tempat dan
waktu penelitian, metode, pupulasi, sampel,
teknik penarikan sampel, teknik analisis
data), data, analisis data, dan hasil
(kesimpulan dan saran).
6. Kategorikan masing-masing penelitian
berdasarkan paradigmanya, misalnya
penelitian kuantitatif(positivistik) atau
penelitian kualitatif (post positivistik).
Penelitian kuantitatif biasanya dalam bentuk
eksperimen untuk mengukur pengaruh atau
hubungan antara variabel bebas terhadap
variabel terikat. Peneitian kualitatif biasanya
dalam bentuk deskriptif eksploratif dengan
analisis yang kritis.
7. Bandingkan hasil semua penelitian sesuai
dengan kategorinya. Untuk memperoleh
kesimpulan besarnya pengaruh atau
hubungan antara variabel dalam penelitian
kuantitatif dipergunakan rumus :
d = Xe – Xc
sp
Keterangan :
d = effect sized
Xe = kelompok eksperimen
Xc = kelompok control
sp = Standar deviasi
Sedangkan untuk mengetahui kesimpulan
penelitian kualitatif, dapat dilakukan melalui
perhitungan prosentase temuan yang sama
untuk masalah yang sejenis.
8. Analisis kesimpulan yang ditemukan dengan
mengkaji hasil-hasil penelitian itu dengan
mengkaji metode dan analisis data dalam
setiap penelitian sehingga dapat diketahui
keunggulan dan kelemahan penelitian ang
dilakukan sebelumnya.
9. Tarik kesimpulan penelitian meta analisis ini
atas dasar langkah ke tujuh dan ke delapan
di atas.
Berikut ini contoh penelitian dalam bidang
pendidikan yang menggunakan meta analisis.
a. David Johnson and Robert Johnson, Cooperative
Learning Methods: A Meta Analysis (2000).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari
tahu sejauh mana peneliti melakukan
penelitian mengenai cooperative learning.
Sekalipun telah banyak review yang
dilakukan mengenai prosedur dalam
pembelajaran kooperatif ini, namun tidak ada
review yang komprehensif dan lengkap
mengenai efektivitas pembelajaran kooperatif
dengan variasinya.
Penelitian ini mengumpulkan data dari 158
studi. Variabel yang diteliti adalah
pembelajaran kooperatif sebagai variabel
bebas dan pencapaian hasil belajar yang
merupakan variabel terikat. Berdasarkan
perhitungan effect size, disimpulkan bahwa
jika pembelajaran kooperatif dilakukan secara
efektif dapat meningkatkan hasil belajar
siswa.
Pembelajaran
kooperatif
memungkinkan pencapaian hasil belajar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pembelajaran individual maupun competitive
learning ataupun direct methods.
b. Siti Julaeha dan Agus Pratmoko, Kualitas Bahan
Ajar: Suatu Meta Analisis (2003).
Studi ini bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang gambaran umum kualitas
modul UT. Sumber data adalah penelitian
kualitatif. Kualitas modul yang ditelaah
berkenaan dengan kriteria isi materi dan
kriteria strategi penyajian. Kriteria isi materi
dinilai melalui kesesuaian modul dengan
GBPP, kesesuaian TIK dengan TIU,
kesesuaian materi dengan TIK, dan
kesesuaian tes formatif dengan TIK. Kriteria
strategi penyajian dinilai melalui
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
105
Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru
ketumpangtindihan materi dan tingkat
keterbacaan. Sampel studi ini adalah enam
laporan penelitian yang disusun tahun 1992
yang membahas kualitas bahan ajar cetak UT.
Variabel yang diteliti dan temuan dari keenam
penelitian tersebut diidentifikasi dan
dikelompokkan berdasarkan pertanyaan
penelitian yang diajukan. Studi ini hanya
menggunakan enam buah laporan. Dalam
menjawab setiap pertanyaan penelitian,
hanya ada satu atau dua laporan yang
digunakan. Oleh karena itu, tujuan studi ini
belum menggambarkan keseluruhan kualitas
bahan ajar. Di samping itu, laporan yang
digunakan dalam studi ini berasal dari
beberapa penelitian yang masih menunjukkan
kelemahan dalam segi metodologi.
Dilihat dari sumber datanya, penelitian meta
analisis dikategorikan penelitian kepustakaan
karena menggunakan laporan-laporan yang telah
ada. Dilihat dari teknik pengumplan datanya,
penelitian menggunakan analisis isi (content analysis). Salah satu ciri khas penelitian ini ialah sumber
datanya adalah laporan/hasil penelitian dan
keterandalannya diukur dari sintesis dan
analisisnya terhadap laporan-laporan penelitian
terdahulu.
Penelitian meta analisis tentu dapat dilakukan
oleh guru sesuai dengan topik yang diminatinya.
Kesulitan yang mungkin dihadapi ialah
mengumpulkan laporan-laporan penelitian yang
relevan dengan topik itu. Akan tetapi kesulitan
yang demikian dapat diatasi dengan mencarinya
di internet.
Kesimpulan
Salah satu hambatan bagi guru dalam
mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan
pangkat dan jabatan fungsionalnya ialah
melakukan penelitian dan menyusun laporannya.
Kesibukan guru serta keterbatasan pengetahuan
dan pengalaman guru membuat tugas melakukan
penelitian itu sering membuat guru enggan atau
106
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
tertunda-tunda melakukannya. Namun dengan
terbitnya UU tentang Guru dan Dosen,
nampaknya kewajiban melakukan penelitian dan
membuat laporan ilmiah itu harus dilakukan
untuk meningkatkan profesionalisme guru.
Penelitian meta analisis yang sebenarnya
sudah banyak dan telah lama dipergunakan
sebagai suatu kajian ilmiah dapat membantu guru
dalam melakukan penelitan itu serta sekaligus
meambah pengetahuannya di bidang yang
diminatinya. Diharapkan dengan metode ini, guru
sebagai salah satu penentu mutu pendidikan
dapat tetap mengembangkan mutu akademisnya
tanpa harus mengganggu tugasnya dalam
membelajarkan siswa.
Daftar Pustaka
Bangert-Drowns, Robert L. & Lawrence M. Rudner,
Meta-analysis in Educational Research. 2003,
(http://pareonline.net)
G. Leandro, Meta Analysis: The handbook for understanding and practice of Meta Analysis.
www.meta-analysis.com
Johnson, David W., Roger T. Johnson and Mary
Beth Stanne. Cooperative Leaning Methods:
A Meta Analysis. www.co-operation.org
Julaeha, Siti & Agus Pratmoko. Kualitas bahan ajar:
suatu meta analisis. http://psi.ut.ac.id
Kelley, George A. Meta-analysis : An Introduction,
2003, (http://pitt.edu.htm)
Soejono dan Abdurrahman.(1999). Metode
Penelitian: Suatu pengukuran dan penerapan
Jakarta: Rineka Cipta
Stemler, Steve, An Introduction to Content Analysis,
2004, (http://writing.colostate.edu.com)
Tuckman, Bruce W.(1972). Conducting Educational
Research, New York: Harcourt Brace
Jovanovich, Inc.
Undang-Undang RI, No. 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen., Jakarta: Eko Jaya, 2006
Wikipedia. (2005). Meta Analysis, 2005 . http://
en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis
Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes
Isu Mutakhir
Budyanto Lestyana*)
Mudarwan**)
Kurikulum 2006
emerintah berencana
menerapkan kurikulum
2006 sebagai pengganti
kurikulum 1994.
Kurikulum 2006 merupakan
penyempurnaan KBK 2004.
Berikut ini marilah kita simak
perbedaan dan implikasinya.
P
Setelah dilakukannya piloting
Kurikulum 2004 Berbasis
Kompetensi di berbagai
daerah, memberikan berbagai
masukan mengenai kelebihan
dan kekurangan disain
kurikulum ini. Sebagai tindak
lanjut, BSNP mengeluarkan
draft rancangan kurikulum
baru yang disempurnakan.
Oleh berbagai pihak, draft ini
disebut-sebut sebagai
Kurikulum 2006.
Menurut Djaali, Sekretaris
BSNP, kepada Media
Indonesia pada 9 Feb 2006,
bahwa secara substansial
BSNP tidak melakukan
perubahan mendasar pada
Kurikulum 2004. Sehingga, isi,
target maupun materi
kurikulum baru 2006 akan
sama persis dengan KBK 2004.
Menurut Sumiyati (staf
Puskur), ada perbedaan antara
draft kurikulum 2006 dengan
kurikulum 2004, yaitu terletak
pada isi dan format kurikulum.
Isi Kurikulum 2006 berkurang
*)
**)
20% dibandingkan dengan
Kurikulum 2004. Sedangkan
format kurikulum yang
dibakukan sama dengan
Kurikulum 2004, hanya saja
indikator tidak lagi diberikan.
Dengan demikian guru harus
menyusun sendiri indikator.
Guru diberikan
kesempatan untuk
menguraikan indikator sebagai
suatu patokan kompetensi
yang akan dicapai. Pencapaian
kompetensi akan diukur
dengan suatu evaluasi
pembelajaran, sesuai panduan
dari indikator di atas. Feedback
yang diperoleh dari evaluasi
pembelajaran tersebut akan
digunakan untuk
mengarahkan strategi
pembelajaran berikutnya.
Dengan demikian, kualitas
indikator yang disusun guru
berhubungan dengan
kompetensi yang seperti apa
yang akan dikuasai siswa. Hal
ini akan berpengaruh terhadap
kualitas siswa untuk dapat
lulus dan/atau melanjutkan ke
pendidikan selanjutnya. Di
sinilah terletak peluang
sekaligus ancaman bagi guru.
Guru yang menguasai
kurikulum dan bidang
studinya sehingga dapat
menyusun indikator dengan
baik, akan lebih berpeluang
menghantarkan siswa
menguasai kompetensi yang
pada akhirnya siswa mampu
meneruskan pendidikan di
jenjang selanjutnya.
Sebaliknya guru yang kurang
siap akan menghasilkan siswa
yang kurang kompeten dan
mengalami kesulitan
melanjutkan pendidikan.
Dalam persaingan bebas di era
global ini, guru yang kurang
siap akan segera tersingkir dari
pekerjaannya. Persaingan
pendidikan di masa
mendatang ini tampaknya
belum begitu disadari oleh
para guru. Karena itulah
“Guru-guru harus
mempersiapkan diri sebaikbaiknya,” tanggapan Sri
Sukabdiyah (konsultan
managemen sekolah,
Depdiknas Jakarta Barat)
menyetujui hal di atas dalam
workshop di BPK PENABUR
Jakarta bulan Mei 2006.
KepalaPengkajian dan Pengembangan Pendidikan (II) BPK PENABUR Jakarta
Staf Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
107
Resensi Buku
buku: Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak
Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak
Anna Yulia, 2005
Jakarta, Elex Media Komputindo
XVI + 151 halam,
ISBN: 979-20-6948-8
Oleh : M. Kusmiyati Situmorang *)
aat ini bukan hal aneh jika orang tua
menuntut anaknya yang bersekolah TK
bisa cepat membaca. Hal inipun didukung
beberapa SD yang mewajibkan anak harus
sudah bisa membaca saat akan mendaftar di kelas
1 SD. Menghadapi persyaratan tersebut, para
orang tua menjadi gelisah tatkala anaknya yang
akan masuk SD belum bisa membaca.
Membaca merupakan salah satu kegiatan
yang dilakukan manusia
untuk memperluas wawasan.
Menurut Mary Leonhardt
penulis buku “Parents Who
Love Reading, Kids Who Don’t”,
ada perbedaan antara anak
yang gemar membaca dengan
yang hanya sekadar mendapat
tugas membaca. Anak yang
gemar membaca cenderung
lebih sukses.
Leonhardt
memuat
beberapa saran kepada
orangtua untuk merangsang
minat baca anak, antara lain:
(a) Beri waktu kepada anak
untuk membaca di rumah.
Orang-tua harus memiliki
cara untuk membuat anak
mereka tertarik membaca; (b) Pada tahap awal,
bacakan buku untuk anak setiap hari. Lalu,
bantulah mereka saat ingin membaca sendiri. (c)
Mintalah informasi dari siapa saja tentang daftar
buku favorit anak. Doronglah anak untuk memilih
buku-buku dari daftar itu. (d) Binalah
pengetahuan anak. Belilah buku-buku khusus
tentang permainan sepakbola, tentang luar
angkasa, atau musik — sesuai dengan minat anak.
Doronglah anak untuk menceritakan kembali
pengetahuan yang sudah dibacanya. (e) Sisihkan
S
*) Pustakawan SMPK GS BPK PENABUR Jakarta
108
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
uang untuk berlangganan majalah atau tabloid
yang sesuai dengan usia dan minat anak.
Kemudian cobalah mulai memberi buku berseri
atau buku komik. (f) Biarlah mereka melihat Anda
membaca dan menjadikan buku sebagai bagian
dari bahan pembicaraan. (g) Ketika anak masih
kecil, dampingi mereka membaca sehingga mereka
bisa bertanya apa saja yang tidak dipahami. Hal
ini menumbuhkan sikap keterbukaan dengan
orangtua. Orang tua turut
mengawasi jenis bacaan
yang digemari anak. Jika isi
bacaan itu bisa membawa
dampak negatif, Anda bisa
menjelaskan kepada anak
supaya mereka mengerti
bacaan mana yang tidak
baik dan mana yang
bermanfaat.
Peran orangtua dan
guru adalah pondasi bagi
keberhasilan anak-anak di
kemudian hari karena
membaca adalah cara
belajar
tanpa
batas,
sedangkan belajar itu
sendiri suatu keterampilan
yang sangat penting dan
berguna untuk kelangsungan hidup. Kegiatan
membaca merupakan jendela dunia yang
memperkaya ilmu pengetahuan anak-anak.
Buku “Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak”
setebal 151 halaman, terbagi dalam enam bab,
ditulis oleh Anna Yulia turut memberi kontribusi
yang sarat dengan inspirasi bagi praktisi
pendidikan. Pendahuluan buku ini menjelaskan
tentang Chating Society (Budaya membaca).
Menurut peneliti ASEAN Libraries, masyarakat
negara-negara berkembang masih kental dengan
Resensibuku: Cara Menumbuhkan Minat Baca
Anak
budaya ngobrol dibanding dengan budaya
membaca. Kesadaran untuk menggunakan waktu
untuk membaca masih sangat rendah.
Anna Yulia dalam bukunya memberikan
paparan yang dapat memacu minat baca melalui:
Manfaat Buku, Cara Menumbuhkan Minat Baca,
Menumbuhkan Minat Baca sesuai dengan
Tingkat Kecerdasan Anak, Komentar Orang-Tua
dan Tips untuk Guru disekolah. Pertama, minat
baca dimulai dari keluarga yang meletakkan dasar
yang kuat bagi anak agar dapat belajar sepanjang
hayat (Lifelong learning). Dengan melatih anak
membaca, orang tua sudah memberi makanan
mental bagi anak. Selain makanan bergizi, mental
perlu diisi dengan bacaan yang bermutu. Anakanak merupakan cerminan orang-tuanya. Jika
menginginkan anak-anak menjadi baik, berarti
orang tua hendaknya menjadi lebih baik terlebih
dahulu. Orang-tua harus bersedia untuk selalu
berbuat baik, dengan memperkaya ilmu
pengetahuan terus-menerus. Salah satu hal yang
terbaik yang diberikan orang tua kepada anakanak adalah menanamkan nilai-nilai moral dan
mendorong perkembangan moral anak agar dapat
berkembang lebih baik menurut.
Dalam Bab II buku ini membahas peran
membaca dalam membentuk moral serta fungsi
dan manfaat buku. Buku sebagai media dapat
mengajarkan keterampilan membaca. Menurut
Glenn Doman membaca merupakan salah satu
fungsi tertinggi otak manusia. Perlu disyukuri
bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk
hidup di dunia yang bisa membaca. Buku juga
dapat mengembangkan imajinasi dan kreativitas.
Buku komik dan cerita bergambar sangat
mempengaruhi imajinasi dan kreativitas anakanak yang sering membacanya. Sebagai sumber
informasi buku dapat memberikan ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni. Kita dapat
belajar apa saja dari membaca. Otak tidak boleh
lapar seperti halnya perut menurut Herbert
Spencer. Jadi rasa ingin tahu anak harus dipupuk
sejak dini dengan memberinya buku-buku ilmu
pengetahuan yang dapat memunculkan
ilmuwan-ilmuwan. Buku yang baik dapat
berfungsi sebagai alat untuk membina moral dan
karakter. Sering orang-tua atau guru menjelaskan
moral secara lisan tetapi lebih efektif bila
mengajarkan konsep moral/etika yang melalui
buku cerita yang dapat menyentuh sehingga anak
mampu berpikir kritis dan berbuat lebih baik. Di
lain pihak buku dapat juga dimanfaatkan sebagai
media untuk belajar bahasa asing. Masa balita
adalah masa yang paling tepat untuk belajar
bahasa. Cerita Bergambar dalam bahasa Inggris
sangat bermanfaat untuk memperkenalkan
kosakata dan struktur kalimat bahasa Inggris
kepada anak. Ditambahkan pula bahwa buku
dapat berfungsi sebagai pemacu kecerdasan.
Menurut Glenn Doman, membaca paling efektif
diajarkan pada bayi, karena usia anak balita bisa
menyerap informasi secara luar biasa, semakin
muda usia anak semakin besar daya serapnya
terhadap informasi baru. Akhirnya buku adalah
salah satu alat untuk relaksasi dan memperkaya
kehidupan mental. Dengan membaca buku anak
akan menjadi lebih semangat misalnya buku-buku
Chicken Soup, majalah, cerita bergambar. Uraian
dalam buku ini memperluas wawasan pembaca
betapa strategisnya kedudukan buku dalam
mencerdaskan dan membudayakan anak
membaca sejak dini.
Untuk menumbuhkan semangat membaca
dibahas dalam bab tiga yaitu bahwa anak harus
diperkenalkan pada buku sedini mungkin yaitu
sejak anak masih bayi atau masih dalam
kandungan (hal 52). Setelah anak sudah bisa
membaca, doronglah anak untuk bercerita kembali
apa yang didengar dan dibacanya. Disarankan
agar anak diajak ke toko buku dan perpustakaan.
Menganggarkan dana khusus untuk membeli
buku karena buku merupakan investasi di masa
depan. Kalau anak sudah tertarik membaca, perlu
diberikan penguatan dengan memberikan reward
(pujian/hadiah buku).
Dalam Bab IV dibahas bagaimana
menumbuhkan minat baca sesuai kecerdasan
majemuk anak. Ada delapan kecerdasan menurut
Dr. Howard Gardner yaitu: Kecerdasan bahasa
(Linguistik), kecerdasan logika (Matematika), k
ecerdasan musik, kecerdasan gambar, visual,
kecerdasan kinestik (olah tubuh), kecerdasan
intrapersonal (memahami sesama), kecerdasan
interpersonal (memahami diri-sendiri),
kecerdasan natural (alam). Buku ini belum
menambahkan kecerdasan yang ke sembilan
(eksistensial) yang akhir-akhir ini telah
dikembangkan Howard Garden. Dari kedelapan
kecerdasan tersebut orang-tua harus lebih selektif
dalam memilih buku untuk anak. Anak akan lebih
termotivasi bila buku yang dibaca sesuai dengan
jenis dan tingkat kecerdasannya, karena setiap
anak memiliki kekhasan dan kecerdasan yang
berbeda-beda.
Bab V dan VI, berhubungan dengan
tanggapan orangtua dan tips untuk guru di
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
109
Resensi buku: Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak
sekolah. Hidup tanpa membaca ibarat kertas putih
tanpa ada tulisan karena membaca menjadi
TAHU, orang juga jadi MENGERTI, PINTAR.
Belajarlah dari kata MEMBACA:
M ... Mengenal
A ... Alangkah indahnya
E…. Eloknya tulisan
C ... Ceria dunia
M ... Mengerti
A ... Alam semesta
B ... Bagusnya kata-kata
Khusus sebagai guru di sekolah perlu
membudayakan membaca siswa. Lebih-lebih
dalam 2 tahun terakhir ini kurikulum sekolah
menggunakan KBK, siswa tidak hanya sebagai
objek pengajaran tetapi siswa diharapkan aktif
sebagai subjek dalam setiap pembelajaran.
Fasilitas media dan koleksi perpustakaan sekolah
terus dikembangkan untuk kegiatan membaca
siswa dan mengadakan observasi tugas sekolah.
Untuk itu perpustakaan sekolah perlu lebih
difungsikan dengan menyiapkan SDM,
manajemen dan kesejahteraan pekerja sehingga
benar-benar mendukung kegiatan sekolah.
Beberapa catatan yang belum dipaparkan
dalam buku Anna Yulia yang berhubungan dengan
minat baca adalah: (a) Keterlibatan komponen
yang mendukung minat baca anak yaitu orangtua, guru, sekolah dan pemerintah tidak dijelaskan
secara mendetail sebab komponen inilah yang
menjadi model utama, (b) Penggunaan sumber
bacaan secara rinci tidak diperjelas bagaimana
dapat memotivasi anak yang tidak suka membaca
menjadi lebih suka membaca. (c) Program apa saja
yang digunakan dalam memotivasi minat baca
disekolah juga kurang diperjelas sehingga
terkesan buku ini hanya sebuah paper hasil
penelitian pustaka. (d) Hal-hal yang menghambat
“minat baca” serta kiat memotivasi minat baca
juga belum dibahas secara rinci sehingga buku
ini harus ada kelanjutannya.
Perlu diingat bahwa buku yang dikarang oleh
Anna Yulia ini juga dapat menjadi benang merah
antara penelitian Glenn Doman tentang
keterampilan membaca sejak dini dengan
menumbuhkan minat baca sesuai dengan
kecerdasan majemuk (Multiple Intellegences) yang
dimiliki oleh anak. Berdasarkan paparan tersebut
untuk meningkatkan minat dan kegemaran
membaca diperlukan motivasi internal dan
motivasi eksternal yang lebih ditumpukan pada
peran guru, pustakawan, sekolah, orang-tua dan
pemerintah.
Pikiran-pikiran yang dikemukakan Anna
Yulia dalam buku ini cukup ideal untuk
masyarakat yang berlatar belakang sosial dan
110
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
ekonomi yang telah memadai. Masyarakat yang
demikian biasanya tinggal di daerah perkotaan.
Untuk masyarakat yang masih mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan,
dan papan) nampaknya upaya-upaya untuk
menumbuhkembangkan minat baca masih lemah.
Sulit dibayangkan bagaimana nasihat-nasihat
untuk orang tua yang disebut dalam buku itu
dapat diikuti oleh mereka-mereka yang tinggal di
desa dengan berbagai keterbatasanketerbatasannya.
Di Indonesia sendiri, pernah dicanangkan
Mei sebagai Bulan Buku Nasional, September
sebagai Hari Kunjung ke Perpustakaan, dan
Desember sebagai Bulan Waktu Buku, tapi dalam
perjalanannya tenggelam dalam krisis ekonomi.
Sungguhpun
demikian,
upaya-upaya
meningkatkan dan membudayakan masyarakat
membaca buku perlu terus ditingkatkan dalam
mewujudkan masyarakat cerdas yang gandrung
membaca dan belajar.
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Profil
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Dwi Puji Lestarianti*)
Sejarah Singkat
PK PENABUR Jatibarang berdiri ketika tahun 1906. Seorang anggota Majelis GKI Indramayu
Tan Hiang Eng menghibahkan tanah kepada gereja. Atas biaya beliau pula dibangun sebuah
gedung gereja yang sekaligus digunakan sebagai ruang sekolah.
Untuk mendukung pertumbuhan jemaat di Jatibarang didirikanlah sekolah Kristen/zending
school tahun 1932. Guru pertama yang ditugaskan adalah Ong Guan Soey. Tahun 1932 NZV
menempatkan seorang Guru injil yang bernama S.Majan. Dengan hadirnya guru injil pendidikan,
kegiatan gereja semakin baik. Tahun 1935 pengurus sekolah membeli sebidang tanah di Jalan Siliwangi
No. 55 (dahulu Jl. Tuparev) yang kemudian dibangun sekolah zending dan sekarang bernama BPK
PENABUR Jatibarang. Ketika Jepang masuk ke Indonesia semua sekolah Belanda tutup. Sekolah
kemudian berfungsi menjadi pusat pengungsian tahun 1946. Tahun 1947 menjadi markas TRI.
Pada 5 oktober 1948 didukung Mejelis Gereja THHK Jatibarang dibentuk Panitia Persiapan Pendirian
Sekolah Rakyat Kristen yang diketuai Yo Kian Seng dengan pensehat Oey Bian Tiong dan Liem Boen
Liong. Tanggal 19 Juli 1950, di Bandung berdiri BPK JABAR, maka di Jatibarang juga berdiri resmi
BPK Jatibarang di bawah naungan Cirebon, diketuai oleh Bapak Laba Budiman, sekretaris Tan kok
Tjay, bendahara Liem Eng Kian dan anggota Tan Tjin Lok. Berdasarkan keputusan Sidang Sinode
GKI Jabar Tahun 1960, KPS Jatibarang resmi menjadi bagian anggota BPK Jabar dengan ketua KPS
Bapak Laba Budiman.
B
Gambaran Umum
No Jenjang
TKK
SDK
Fasilitas Pendukung
Perlu Pembenahan
- Memiliki sarana dan Pembelajaran komputer - Sarana mandi bola
- Pembelajaran menggunakan media TV
- Penambahan sarana di taman
- Anak-anak diberi keterampilan bermain
lalu lintas
angklung
- Perbaikan selokan air
- Sarana bermain di dalam ruangan maupun
- Fasilitas perpustakaan TK
di luar ruangan lengkap
- Lokasi mudah dijangkau dengan angkutan
umum
- Lingkungan aman dan nyaman untuk
anak- anak belajar
- Memiliki sarana pembelajaran komputer
- Secara rutin belajar angklung dan pianika
- Memiliki kelengkapan alat peraga,
laboratorium dan lapangan olahraga
- Lokasi mudah dijangkau dengan angkutan
umum
- Perbaikan selokan air
- Ruang UKS dan ruang khusus
Kepala Sekolah
- Pengadaan alat peraga dan
buku perpustakaan
- Penambahan guru yang
*) Kepala SMPK BPK PENABUR Jatibarang
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
111
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Jenjang
SMPK
Fasilitas Pendukung
Perlu Pembenahan
- Lingkungan aman dan nyaman untuk anak- Penambahan guru yang
anak belajar
berkualitas sesuai latar
- Menggunakan prinsip PAKEM (Pembelajaran
belakang pendidikannya
Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan)
- Guru khusus musik
- Memiliki Laboratorium Komputer
- Program ekstrakulikuler KIR
- Memiliki Ruang Multimedia
(Kelompok Ilmiah Remaja)
- Memiliki Ruang Multimedia
- Perbaikan selokan air
- Memiliki Laboratorium IPA
- Memiliki Ruang Perpustakaan
- Memiliki Kelas dengan jumlah siswa yang ideal
- Menggunakan pembelajaran dengan pola
interaktif setelah menonton tayangan VCD
pembelajaran
- Memiliki sarana musik band lengkap
- Memiliki ekstrakurikuler basket, listening
(Bahasa Inggris ), renang, musik dan nyanyi,
pramuka
- Memiliki kelengkapan sarana olahraga
- Memiliki alat peraga pendukung proses
pembelajaran di dalam dan di luar kelas
- Mewujudkan SMP sehat dengan program
“Sabtu Sehat “ semua guru,karyawan dan
siswa olahraga bersama
- Melaksanakan retret dan study tour setiap tahun
- Melaksanakan “Open Doors “ setiap tanggal
21 April untuk menampilkan hasil karya siswa
di depan orang tua dan undangan lainnya
- Melaksanakan perayaan hari-hari besar
- Melaksanakan eksibisi dan pertandingan
persahabatan
Jumlah Siswa
Ketua Yayasan (Pengurus)
TKK
SD
SMP
No
Nama
2003-2004
41
120
71
1.
Ishak Tanadi
1982-1984
2004-2005
36
114
75
2.
Winanto
1984-1986
2005-2006
41
68
3.
Winanto
1986-1990
4.
Winanto
1990-1994
5.
Nila Mariawati
1994-1996
6.
Nila Mariawati
1996-1998
7.
Nila Mariawati
1998-2002
8.
Santo
2002-2006
Tahun
112
Jumlah Guru
Tahun
TKK
SD
SMP
2003-2004
3
8
10
2004-2005
3
8
10
2005-2006
3
8
11
112
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Masa Jabatan
Profil BPK PENABUR Jatibarang
Kepala TKK
No
Nama
Masa Jabatan
1.
Yenny Adriani Oeli
1975-1982
2.
Sukamto Amelia
1985-1988
3.
Tuti Mujiastuti
1989-1990
4.
Yulia Chandra
1991-2001
5.
Linda R. Siregar
3.
4.
2001-sekarang
5.
Kepala SDK
No
Nama
Masa
1.
Kho Im Liok
1948-1951
2.
Tan Kim Hok
1951-1955
3.
Tan Hok Liem
1955-1962
4.
Lim Kem Kwie
1962-1963
1.
5.
Susyati Tanuwijaya
1963-1999
2.
6.
Agustini Tanusatrio (Pj)
1999-2003
7.
Agustini Tanusatrio
2003-sekarang
Beberapa Hal yang Menjadi
Kelebihan dari Sekolah Lain
3.
4.
Kepala SMPK
No
Nama
1.
Sarno
1968-1976
2.
Melisa
1976-1977
3.
Anna Maria
1977-1979
4.
Marwoto
1979-1980
5.
Budiharto
1980-1997
6.
Agustini Tanusatrio
1997-2003
7.
Dwi Puji Lestarianti (Pj)
2003-2004
8.
Dwi Puji Lestarianti
Masa Jabatan
2004-sekarang
Beberapa Penyebab
Berkurangnya Jumlah Siswa
1.
2.
Indramayu atau 50 Km dari Kotamadya
Cirebon.
Sekolah Negeri jumlahnya sudah lebih dari
cukup untuk sebuah kecamatan (SMP: 3
sekolah, SD: 62 sekolah) dan kebanyakan
masyarakat masih berorientasi ke sekolah
negeri
Sebagian masyarakat belum terbiasa
menyekolahkan anaknya di sekolah yang
bercirikan keagaman yang berbeda dengan
agama yang diyakininya.
Jarak sekolah yang satu dengan yang lainnya
cukup berdekatan (300 m dengan sekolah
swasta, dan 500 m dengan sekolah Negeri).
Keberhasilan Program KB, sehingga terjadi
penurunan jumlah anak usia sekolah.
Jatibarang merupakan kota kecamatan yang
jaraknya hanya 18 Km dari Kabupaten
Terkenal sebagai sekolah yang disiplin dan
berprestasi.
TK, SD dan SMP BPK PENABUR Jatibarang
sudah diakreditasi tahun 2005/2006.
Sarana Prasarana sekolah yang dimiliki
dinilai paling lengkap untuk kecamatan
Jatibarang.
Menggali kemampuan dan bakat siswa
melalui program intra dan program
ekstrakulikuler.
Menciptakan Tantangan
Menjadi Peluang
Melihat tantangan dan nilai lebih yang dimiliki
BPK PENABUR Jatibarang maka untuk
mengembangkan sekolah di depan maka BPK
PENABUR Jatibarang perlu untuk:
1. Menjalin kebersamaan dari TK, SD dan SMP
untuk memfokuskan penanganan siswa yang
berkelanjutan sehingga menjadi nilai lebih
bagi para orang tua siswa untuk lebih percaya
menyekolahkan anaknya di BPK PENABUR
Jatibarang dengan rasa aman karena anaknya
sudah ditangani dengan baik.
2. Mengadakan acara khusus (kebersamaan
bersama Pengurus, Guru dan Orang tua
siswa) untuk sosialisasi ke orang tua siswa
mengenai profil BPK PENABUR dan
perkembangan akademik yang sudah dicapai
sehingga orang tua tidak perlu bersusah
payah menyekolahkan anaknya di luar kota.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
113
Profil BPK PENABUR Jatibarang
3.
4.
5.
6.
7.
8.
114
Menciptakan suasana yang nyaman dan
menyenangkan untuk para orang tua dan
siswa-siswi yang masuk ke BPK PENABUR
Jatibarang.
Open House untuk umum sehingga lebih
banyak orang dapat mengenal profil BPK
PENABUR Jatibarang.
Mengembangkan sekolah yang ditangani
dengan baik. Tenaga pengajar yang sesuai
dengan latar belakang pendidikannya.
Pemberdayaan SDM di BPK PENABUR
Jatibarang secara maksimal dan profesional.
Peningkatan kualitas pendidikan dan
pengembangan sarana dan prasarana
sekolah sesuai dengan kebutuhan yang
diperlukan siswa-siswi di dalam proses
Kegiatan Belajar Mengajar.
Menjalin kerjasama dengan gereja-gereja
sekitar (khususnya GKI) untuk mendukung
putra-putrinya mendapatkan pendidikan
sesuai dengan nilai-nilai Kristiani.
Komitmen bersama (pengurus, guru dan
karyawan) untuk saling mendukung
program-program yang sudah direncanakan
dan menciptakan suasana yang harmonis
serta kondusif.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006
Penutup
Sekolah BPK PENABUR Jatibarang merupakan
sekolah berciri khas Kristen dan memiliki ciri
pembelajaran dengan menerapkan nilai–nilai
kristiani. Meskipun demikian di BPK PENABUR
Jatibarang sudah terjadi pembauran karena yang
menjadi siswa bukan hanya dari latar belakang
Kristen. Dengan keberadaan sekolah yang
strategis dan fasilitas yang baik, juga perhatian
guru terhadap siswa ditambah prestasi dan
kedisiplinan maka BPK PENABUR Jatibarang
menjadi salah satu sekolah yang diperhitungkan
di lingkungannya.
Periode 4 tahun terakhir sarana prasarana
diperhatikan dan dipelihara dengan baik melalui
program terpadu, meskipun sampai sekarang
masalah saluran pembuangan air yang meluap
di musim hujan masih menjadi masalah utama,
namun dengan semangat dan kebersamaan
program sekolah tidak pernah terhambat. Untuk
masalah satu ini sedang direncanakan
pembangunan tanggul dan mempertinggi ruang–
ruang kelas sehingga akan lebih nyaman untuk
belajar.
Kami berharap semangat Iman, Ilmu dan
Pelayanan menjadikan Visi dan misi yang Tuhan
berikan bagi BPK PENABUR dapat menjadi lebih
hidup dan terealisasi. Kiranya Tuhan memberkati
dan senantiasa memberikan kekuatan Iman dan
Keteguhan hati agar segala kemuliaan dapat
dipersembahkan hanya bagi Yesus Tuhan.
Keterangan Mengenai Penulis
A.J.V Tumilisar, Dr.
Lahir di Cirebon, September 1945, menyelesaikan S1 pendidikan
bidang studi Pendidikan Matematika di Universitas Terbuka pada
tahun 1990, melanjutkan S2 pada Program Studi Penelitian dan
Evaluasi Pendidikan Pascasarjana di IKIP Jakarta pada tahun 1997,
pada tahun 1998 ditransfer ke Program Doktor (S3) pada Program
Studi yang sama. Gelar doktor diperoleh pada tahun 2005. Tahun 1967
hingga tahun 1973. menjadi guru tetap di SMPK III dan guru honor di
SMAK I BPK Jabar KPS Jakarta. Tahun 1974 hingga tahun 1985,
menjadi guru tetap di SMAK I BPK Jabar KPS Jakarta. Tahun 1986
hingga kini menjadi kepala sekolah SMAK Triana, di Jakarta Pusat.
Tahun 1985, 1986, dan 1987, menjadi pemenang I Lomba Kreativitas
Guru Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah
Lanjutan Atas, yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI).
B. P. Sitepu, Dr., M.A.
Lahir di Berastepu, Sumatera Utara, Juni 1948, menyelesaikan
pendidikan program S1 jurusan pengajaran bahasa Inggris di IKIP
Negeri Jakarta (1975), S2 bidang perencanaan pendidikan di
Macquarie University, Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang
teknologi pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1994). Menjadi tenaga
pengajar tetap di Universitas Negeri Jakarta dengan jabatan Lektor
Kepala (2001), dan sebelumnya pegawai negeri sipil di Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah berubah menjadi Departemen
Pendidikan Nasional, (1976-2001).
Budyanto Lestyana,
M.Si.
Lahir di Semarang, Desember 1970, menyelesaikan program S2 dari
IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum
dari tahun 2000-2004. Terlibat berbagai proyek pengembangan
kurikulum dan diversifikasi sekolah serta berkecimpung dalam
pengembangan KIR. Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan
Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta.
Dwi Puji Lestarianti
Lahir di Bandung, Pebruari 1968. Lulusan Diploma ( D3 ) Kimia IKIP
Bandung Tahun 1990. Mengajar di SMA Negeri 1 Indramayu sebagai
Guru Kimia tahun 1989 – 1990, tahun 1990 – 1993 mengajar Kimia di
SMA Negeri 3 dan SMA PGRI II Indramayu, tahun 1994 mengajar
Kimia di STM Gajah Mada Semarang, tahun 1996 pertama kali
bergabung di BPK PENABUR Jatibarang sebagai guru IPA sampai
sekarang. Tahun 2003 Pj Kepala SMP BPK PENABUR Jatibarang.
Tahun 2004 – sekarang menjadi Kepala SMP BPK PENABUR
Jatibarang.
Elika Dwi Murwani,Dra.
Lahir di Klaten, Jawa Tengah, menyelesaikan studi di IKIP Sanata
Dharma tahun 1984, sekarang Universitas Sanata Dharma,
Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
(FMIPA). Saat ini menjabat sebagai Kepala Jenjang SLTA BPK
PENABUR Jakarta, sambil mengikuti Program Pascasarjana Magister
Manajemen di Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta. Sebelumnya
menjadi kepala sekolah di SMAK 5 BPK PENABUR Jakarta dan guru
fisika dan matematika di beberapa sekolah swasta Kristen dan
Katholik.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
115
Handy Susanto, S.Psi.
Lahir di Tasikmalaya, Februari 1981. Lulusan S1 Fakultas Psikologi
Universitas Kristen Maranatha, tahun 2003. Tahun pelajaran 2003/
2004 sebagai staff BK di SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun
2003 – 2004, kemudian di SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya sampai
tahun 2005. Saat ini sedang mengambil Program S2 di Universitas
Maranatha Bandung.
Hotben Situmorang, Drs.,
M.B.A.
Lahir di Toba Sumatera Utara, April 1961. Menyelesaikan S1 di IKIP
Jakarta jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil menyelesaikan S1,
guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1997) dan ikut
mendirikan SMA PGRI 10. Guru dan pejabat Kepala Sekolah
Indonesia di Davao Philippines (1987-1994) sekaligus menyelesaikan
S2 bidang Business Management di Ateneo de Davao Philippines (1994).
Mengikuti Program Mission Studies di Overseas Ministries Study
Centre, Connecticut USA (1994/1995). Menjadi konsultan Yakoma PGI
dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK PENABUR sebagai Kepala
Bidang Pengembangan (1997). Care and taker Kepala SMK 2 BPK
PENABUR ( 1996-2004). Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan
Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta.
Imma Helianti Kusuma,
M.Pd.
Lahir di Salatiga, Desember 1967. Menyelesaikan S1 di Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW), Program Studi Kurikulum dan
Teknologi Pendidikan tahun 1990. Menyelesaikan S2, Magister
Pendidikan dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) tahun 2003.
Sebagai staf Media Pendidikan BPK PENABUR (1991-1995), Kepala
Unit Laboratorium dan Keterampilan Pendidikan (1995-1999), di
Bidang Kurikulum (1999-2003), Kepala Bidang Evaluasi Akademis
(2003-2004) dan saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan
Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta dan juga sebagai
dosen di Universitas Kristen Indonesia Jakarta.
Keke T. Aritonang, M.Pd.
Lahir di Jakarta, April 1969. menyelesaikan S1 di FKIP Universitas
Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996). Menyelesaikan
Magister Pendidikan tahun 2004 di Universitas Kristen Jakarta.
Tulisan pertamanya dengan judul Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja
Guru dan Kinerja Guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta termuat
pada jurnal pendidikan BPK PENABUR Jakarta No. 04/IV/Juli 2005.
Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun 1988 dan saat ini sebagai guru
Bahasa Indonesia di SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta.
M. Kusmiyati
Situmorang, Dra.
Lahir di Grobogan, Maret 1975. Alumni Universitas Kristen Indonesia
Jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2000. Semasa Kuliah aktif di
Organisasi Kepemudaan Lembaga Alkitab Indonesia (KKP-LAI),
GMKI, Reporter Freelance di Adil Indonesia, Kelompok Wartawan
Lingkungan, Marketing Freelance Lippo Karawaci. Sejak tahun pertama
kuliah tahun 1995 sebagai Pustakawan SMPK ML. dan SMUK 6
PENABUR ML. yang sekarang menjadi SMAK PENABUR Gading
Serpong, aktivis jurnalis di Jakarta serta pelatih ekstrakurikuler
jurnalistik di SMPK PENABUR ML. tahun 2003 sampai sekarang.
Mudarwan, S.Si.
Lahir di Bagan Siapi-api, Juni 1973. Memperoleh gelar Sarjana Sains
dari FMIPA Universitas Indonesia tahun 1998 Jurusan Biologi. Pernah
mengajar dan menjadi kepala sekolah di SMP Permai tahun 1998 –
2004. Sejak Agustus 2004 bekerja sebagai staf bagian Pengkajian dan
Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta.
116
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
Petrus Trimantara, S.Pd.
Lahir di Klaten, Oktober 1972. Menyelesaikan pendidikan menengah
atas di SMA Kolese De Britto Yogyakarta (1992) Jurusan Ilmu Biologi
(A2). Menyelesaikan S1 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1998). Bekerja di
BPK PENABUR Bandung sejak tahun 1998 yaitu sebagai staf pengajar
Bahasa Indonesia di SMA Kristen 2 BPK PENABUR Bandung.
Reny Novita, S.Psi.
Lahir di Tembilahan Riau, November 1974. Menyelesaikan S1 pada
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung tahun
2000. Pernah bekerja sebagai HRD Manager di PT. Indowira Putra
Paint Factory Bandung tahun 2002. Saat ini bekerja sebagai Guru
Bimbingan dan Konseling di TK dan SD BPK PENABUR Kota Metro
Lampung.
Rosa Meriyana A, S.Pd.
Lahir Agustus 1983 dan tinggal di Jakarta, menyelesaikan program S1
dalam bidang Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta
tahun 2005. Memperoleh pengalaman sebagai pembimbing kegiatan
ekstrakurikuler Bahasa Inggris di TK Tunas Bangsa dan pengalaman
berorganisasi di BEM Jurusan Teknologi Pendidikan, FIP- Univeritas
Negeri Jakarta. Sekarang ini dalam persiapan mengikuti Program
Pasca Sarjana Strata 2, Teknologi Pendidikan, di Univeritas Negeri
Jakarta.
Sih Retno Hastuti, S. Sos.
Lahir di Purworejo, Februari 1975. Menyelesaikan S1 di Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Program Studi Ilmu Komunikasi tahun
1998. Saat ini sebagai staf di Bagian Humas BPK PENABUR Jakarta.
Teguh Santoso, S.Pd.
Lahir di Malang, Jawa Timur, Mei 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP
Pendidikan Bahasa dan Seni Inggris di UNIKA Atma Jaya Jakarta
tahun 1993 (cum laude). Mengajar di BPK PENABUR sejak tahun 1991
sebagai guru SDK 7 Bintaro (1991-1993), SMAK 1 Jakarta (1993-2001),
SMAK 7 Jakarta (2001-2005). Mengambil program Pascasarjana di
Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung untuk jurusan Bahasa
Inggris sejak tahun 2005, sekaligus tetap mengabdi di BPK PENABUR,
membantu mengajar Bahasa Inggris di SMPK 5 BPK PENABUR
Bandung, koordinator laboratorium SMAK 3 Bandung sejak 2005.
Dalam bidang I.T., dua kali meraih penghargaan dari SEAMEO-RELC
Singapore tahun 2001 dan 2002 untuk keaktifan berkomunikasi via
mailing list guru dan dosen ASEAN serta mengelola website 4 sekolah di
BPK PENABUR.
Theresia Kristianty, Dr.
Lahir di Jakarta, September 1952. Menyelesaikan pendidikan program
S1 di IKIP Jakarta tahun 1981. Pada tahun 1992 mencapai gelar Doktor
Pendidikan di IKIP Negeri Jakarta. Sebelumnya pernah menjabat
sebagai Kepala Bagian Litbang BPK PENABUR Jakarta, dan Sekretaris
Umum MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen).
Yuli Kwartolo, S.Pd.
Alumni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga jurusan Teknologi
Pendidikan tahun 1991. Semasa kuliah aktif menulis di “Gita
Kampus”, koran kampus UKSW Salatiga, pernah menjadi guru di
sekolah swasta Semarang, sebagai reporter Harian Kartika (Koran
Lokal Semarang). Banyak menulis artikel pendidikan dan juga
menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD. Saat ini sebagai staf di
Pusat Pengkajian dan Pengembangan BPK PENABUR Jakarta dan
menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD.
Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006
117
Download