Pedoman Penulisan Naskah untuk Jurnal Pendidikan Penabur Diterbitkan oleh: BADAN PENDIDIKAN KRISTEN PENABUR (BPK PENABUR) I S S N : 1412-2588 Jurnal Pendidikan Penabur (JPP) dapat dipakai sebagai medium tukar pikiran, informasi dan penelitian ilmiah antar para pemerhati masalah pendidikan. Penanggung Jawab Dr. Jhan Brinsen Purba Pemimpin Redaksi Dr. BP. Sitepu, M.A. Sekretaris Redaksi Rosmawati Situmorang Dewan Editor Dr. BP. Sitepu, M.A. Ir. Budyanto Lestyana, M.Si. Dra. Mulyani Dr. Theresia K. Brahim Dra. Vitriyani P., M.Pd. Naskah ditulis dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: 1. Naskah merupakan laporan penelitian, opini, info, dan resensi buku yang berhubungan dengan bidang pendidikan serta disajikan dalam bentuk bahasa ilmiah populer. 2. Naskah merupakan karya asli dari penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dikirimkan ke media lain. 3. Naskah diketik pada kertas A4 dengan margin/batas atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm dan batas kiri 4 cm dari tepi kertas. Menggunakan program MS Word dengan jenis huruf Book Antiqua 10 point/spasi ganda. 4. Panjang naskah hasil penelitian + 4500 kata, sedangkan untuk opini, info, serta resensi buku + 2000 kata. 5. Judul harus singkat, jelas dan tidak lebih dari 10 kata. 6. Format penulisan adalah : Judul, nama penulis, abstrak, isi artikel, daftar pustaka, dan keterangan mengenai penulis. 7. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris maksimum 150 kata. 9. Ilustrasi (grafik, tabel dan foto) harus disajikan dengan jelas. Tulisan pada ilustrasi menggunakan huruf yang sama pada isi naskah dengan besar huruf tidak lebih kecil dari 6 point. 10. Naskah dikirim dalam bentuk disket dan hasil print out ke Redaksi Jurnal Pendidikan Penabur, Jalan Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lantai 5. Jakarta Barat - 11470 atau melalui e-mail: [email protected] 11. Naskah disertai dengan daftar riwayat hidup yang memuat latar belakang pendidikan, pekerjaan dan karya ilmiah lain yang pernah ditulis. Alamat Redaksi : Jln. Tanjung Duren Raya No. 4 Blok E Lt. 5, Jakarta Barat 11470 Telepon (021) 5606773-76, Faks. (021) 5666968 http://www.bpkpenabur.or.id E-mail : [email protected] 12. Tulisan yang dimuat akan mendapat imbalan. Naskah yang tidak dimuat tidak dikembalikan. 13. Redaksi berhak mengedit naskah yang dimuat tanpa mengubah isi naskah. 14. Isi Jurnal Pendidikan Penabur tidak mencerminkan pendapat atau kebijakan BPK PENABUR Jurnal Pendidikan Penabur Nomor 06/V/Juni 2006 ISSN: 1412-2588 Daftar Isi i Pengantar Redaksi ii-iii Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes untuk Sampel Berukuran 300 Ditinjau dari Metode Penyetaraan dan Teknik Penghalusan, A.J.V Tumilisar, 1-19 Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat, Keke T. Aritonang, 20-27 Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama, Theresia K. Brahim, 28-33 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia: Sebuah Pemikiran, Petrus Trimantara, 34-41 The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia, Teguh Santoso, 42-45 Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa, Handy Susanto, 46-51 Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar, Reny Novita, 52-58 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa, Elika Dwi Murwarni, 59-68 Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah dengan Masayarakat yang Saling Menguntungkan, Sih Retno Hastuti, 69-75 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi, Imma Helianti Kusuma, 76-86 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen, Yuli Kwartolo, Mengkritisi Undang - Undang No. 14 Tentang Guru dan Dosen, Hotben Situmorang, Tulisan Ilmiah, B.P. Sitepu, 93-98 99-101 Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru, Rosa Merriyani A., Isu Mutakhir, Budyanto Lestyana dan Mudarwan, Resensi Buku, M. Kusmiyati Situmorang, 102-106 107 108-110 Profil BPK PENABUR Jatibarang, Dwi Puji Lestarianti, Keterangan Mengenai Penulis, 87-92 111-114 115-117 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 i Pengantar Redaksi ecara ringkas bahasa dapat diartikan sebagai alat komunikasi sosial antar manusia. Bahasa menyandang pesan ungkapan pikiran atau perasaan yang menggunakannya. Untuk dapat berfungsi secara efektif dan efisien sebagai sarana komunikasi, bahasa memiliki kaidah-kaidah yang perlu diikuti dengan baik. Oleh karena mengandung dan menyampaikan pesan atau ungkapan pikiran dengan aturan-aturan tertentu, maka bahasa yang digunakan dapat menggambarkan keluasan wawasan, keteraturan berpikir, dan ketajaman penalaran orang yang menggunakannya. Bahkan bahasa dapat juga menggambarkan tingkat sosial, peradaban dan budaya pemakainya. Manusia dapat berpikir tanpa menggunakan bahasa, namun ternyata bahasa dapat mempermudah kemampuan berpikir, menganalisis, menarik kesimpulan, mengingat dan mengungkapkan pikiran dan perasaan. Dalam hubungannya dengan berpikir, konsep-konsep dalam bahasa dapat menghambat atau memperlancar proses berpikir, sehingga ada orang yang merasa sulit mengungkapkan perasaan dan pikiran secara tepat dalam bahasa tertentu dan mudah mengungkapkan pikirannya dalam bahasa lain. Bahasa memungkinkan kita memberikan tanda/simbol pada gejala dan keadaan dengan menggunakan kata serta mengkomunikasikannya kepada orang lain. Singkatnya, bahasa dianggap merupakan prasyarat kebudayaan. Untuk dapat berkomunikasi dengan baik lintas masyarakat yang berbeda bahasa, diperlukan alat komunikasi yang dapat dipahami bersama, seperti bahasa nasional untuk bangsa dengan berbagai bahasa daerah dan bahasa internasional untuk masyarakat internasional dengan latar belakang bahasa yang beraneka ragam. Kemampuan berbahasa meliputi kemampuan mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Untuk menguasai masing-masing kemampuan itu diperlukan pendekatan dan metode belajar dan pembelajaran yang sesuai. Menguasai bahasa yang baik dan benar sebagai alat berpikir dan berkomunikasi tidak sederhana walaupun mungkin bahasa itu sudah menjadi bahasa sehari-hari. Oleh karena pentingnya sebagai alat berpikir dan berkomunikasi, maka bahasa merupakan mata pelajaran dasar di samping berhitung yang dipelajari mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Jurnal Pendidikan Penabur edisi ini memuat beberapa tulisan yang yang membahas berbagai aspek berkaitan dengan penggunaan dan pembelajaran bahasa, termasuk kompetensi guru bahasa. Perkembangan ilmu pendidikan dan pembelajaran telah S ii Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 menggeser paradigma yang semula berorientasi pada pendidik atau pembelajar (teacher oriented) menjadi pada peserta didik (student oriented). Pergeseran itu mendorong pendidik atau guru memberikan peranan lebih besar pada peserta didik dan mengutamakan kepentingan mereka dalam proses belajar-membelajarkan. Pengelolaan lembaga pendidikan pun mengarahkan semua sumber daya untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajarmembelajarkan dengan menempatkan peserta didik sebagai titik sentral. Beberapa tulisan dalam edisi ini memberikan pendapat tentang karakteristik dan kepentingan peserta didik yang perlu mendapat perhatian. Mengutamakan peserta didik tidak berarti mengabaikan kedudukan dan peranan guru yang merekayasa desain dan proses belajar-membelajarkan sehingga memperoleh hasil yang berkualitas. Pada tanggal 30 Desember 2005 Pemerintah telah mengesyahkan Undang-Undang Republik Indonesia No 14 Tahun 2005. Pada awalnya Undang-Undang tentang Guru dan Dosen itu disambut sebagai hadiah Tahun Baru 2006 bagi guru. Akan tetapi sesudah dicermati secara lebih teliti , berbagai komentar bermunculan. Apalagi setelah berusia enam bulan, guru dan dosen belum merasakan dampak positifnya, karena belum dilengkapi dengan kebijakan operasional dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Menteri terkait. Di antara masalahmasalah yang menarik perhatian dalam isi Undang-Undang itu ialah berkaitan dengan kompetensi dan sertifikasi guru. Peningkatan pendapatan atau kesejahteraan guru yang dijanjikan dalam Undang-Undang itu akan menjadi hampa apabila guru tidak memenuhi persyaratan kompetensi dan sertifikasi yang ditetapkan. Jurnal Pendidikan Penabur Edisi ini memuat tulisan yang mengkritisi isi Undang-Undang tersebut dari berbaga aspek, yang mungkin dapat dijadikan masukan dalam menyusun peraturan/kebijakan yang lebih teknis. Untuk terbitan ini Dewan Redaksi menerima lebih banyak naskah dari sebelumnya dan beberapa di antaranya terpaksa tertunda pemuatannya sampai edisi Desember 2006 yang akan datang karena keterbatasan jumlah halaman untuk setiap terbitan. Peningkatan jumlah naskah ini diharapkan sebagai gejala semakin meningkatnya minat dan kemampuan menulis guru di lingkungan BPK PENABUR. Diterimanya beberapa naskah dari luar lingkungan BPK PENABUR juga menunjukkan bahwa Jurnal ini tidak hanya dibaca di lingkungan sendiri. Edisi ini terbit dengan dengan format dan tata letak yang berbeda dengan sebelumnya dengan maksud meningkatkan kenyamanan membacanya. Di samping itu, penampilan yang demikian diharapkan dapat mengurangi kesan kaku dan “menakutkan”, tanpa menurunkan bobot isinya sebagai suatu karya tulis ilmiah. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 iii Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Penelitian Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes untuk Sampel Berukuran 300 Ditinjau dari Metode Penyetaraan dan Teknik Penghalusan A.J.V Tumilisar*) Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, ditinjau dari metode penyetaraan dan teknik penghalusan. Teknik penghalusan yang digunakan adalah tanpa prapenghalusan (TP), prapenghalusan log-linier (LL) dan prapenghalusan kernel (KN), sedangkan metode penyetaraan yang digunakan adalah metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB) dan ekipersentil estimasi frekuensi (EEF). TP, KN, EB, dan EEF, serta rata-rata dari deviasi akar kuadrat rata-rata dari ekivalensi ekipersentil ( RMSD) sebagai kriteria akurasi relatif, dianalisis dengan menggunakan program yang dibuat, sedangkan LL dianalisis dengan program Log-Linear SPSS-X. Penelitian yang dilakukan di 18 SMU Negeri dan Swasta di DKI Jakarta, pada siswa kelas III IPA semester pertama tahun ajaran 2002/2003, pada mata pelajaran Fisika ini menyimpulkan bahwa akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, yang menggunakan TP dan EEF, lebih tinggi dari TP dan EB. Kata kunci: Skor tes, sampel, penyetaraan, akurasi relatif penyetaraan, metode penghalusan. penyetaraan, teknik The aim of this research is to study the relative accuracy of the test score equating for sample size of 300, observed from the equating methods and the smoothing techniques. The presmoothing techniques used were without presmoothing (TP), log-linear presmoothing (LL), and kernel presmoothing (KN), and whereas the equating methods used were the chain equipercentile equating method (EB) and the frequency estimation equipercentile equating method (EEF). TP, KN, EB, EEF, and the mean of the root mean square deviation ( RMSD ) as the relative accuracy criteria, were calculated by tailored program, while LL was calculated by Log-Linear SPSS-X program. The research conducted at 18 Private and State Senior High Schools in DKI Jakarta, for the third year students from Natural Science Program, during the first semester 2002/2003, in Physics concludes that only the relative accuracy of the test score equating for sample size of 300, using (TP and EEF) was higher than using (TP and EB) Pendahuluan Latar Belakang Masalah oal-soal bentuk pilihan ganda telah mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1960-an (Suryadibrata, 1995: 15). Dengan banyaknya terbitan buku-buku berisi kumpulan soal berbentuk pilihan ganda, maka guru pun cenderung dengan mudah memilih atau mengadaptasi soal-soal pilihan ganda itu. Hal itu terjadi, karena pada satu sisi membuat tes berbentuk pilihan ganda yang memenuhi syarat S sebagai suatu tes yang baik, tidak mudah dan menyita waktu, namun pada sisi lain penskorannya mudah dan cepat. Pada kebanyakan program tes dalam skala besar, penyusunan tes-tes yang setara merupakan kegiatan yang sangat penting, untuk penanganan yang cepat, apabila terjadi kebocoran tes, dan untuk membandingkan hasil tes dari peserta yang menggunakan tes-tes yang berbeda itu. Hal yang sama juga dialami oleh sekolah sebagai suatu institusi pengelola pendidikan yang senantiasa berurusan dengan program tes, meskipun umumnya tidak dalam skala besar. *) Guru SMAK Triana Jakarta Pusat Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 1 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Seringkali dijumpai di sekolah, peserta tes yang berbeda harus diukur dengan tes yang berbeda, meskipun tes-tes itu belum tentu ekivalen, dan diharapkan dapat diukur sifat dan tuntutan pencapaian hasil yang dapat dibandingkan. Hal ini terjadi, misalnya pada situasi sekolah yang memiliki beberapa kelas paralel yang diajar oleh guru yang berbeda, atau ketika guru memberikan ulangan susulan kepada siswa-siswa yang absen pada saat ulangan dilaksanakan. Meskipun sampai taraf tertentu kesetaraan beberapa tes dapat diupayakan pada saat menyusun tes-tes itu sendiri, tetapi umumnya variasi taraf sukar antartes tetap terjadi (Swediati, 1997: 1). Jadi secara empirik membuat dua tes yang sama, tidak pernah secara sempurna paralel, terandalkan (reliable) atau unidimensional (Grounlund, 1985:169). Jika hasil tes itu digunakan untuk menentukan kenaikan kelas atau penjurusan program, tentunya hal itu menjadi tidak adil karena tidak dilakukan ekivalensi skor untuk tes yang berbeda itu. Masalah tersebut dapat diatasi dengan melakukan penyetaraan skor yang diperoleh dari peserta yang mengambil tes-tes itu. Proses statistik, dikenal sebagai metode penyetaraan (equating), telah dikembangkan untuk menangani masalah ini. Kenyataan menunjukkan bahwa sekolahsekolah khususnya swasta, pada umumnya hanya terdiri dari beberapa kelas paralel pada satu tingkat kelas. Akibatnya, sulit diperoleh respons dari sejumlah besar peserta tes terhadap sejumlah butir. Untuk mengurangi efek dari kesalahan penarikan sampel, sehingga distribusi skor tes yang dihasilkan mendekati distribusi skor tes dari populasi, digunakan teknik penghalusan (smoothing) (Kolen, 1991: 261). Pada kepentingan yang lebih luas, memetakan kecenderungan mutu siswa setiap tahun dengan membandingkan kinerja siswa yang menggunakan tes-tes yang berbeda dan antisipasi cepat ketika terjadi kebocoran tes, juga merupakan suatu tuntutan. Identifikasi Masalah Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan dalam latar belakang tersebut di atas, dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap akurasi relatif penyetaraan skor tes pada sampel kecil. 2 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Faktor-faktor yang perlu diteliti adalah, pengaruh: metode penyetaraan, teknik penghalusan, prapenghalusan dan pascapenghalusan, derajat penghalusan (degrees of smoothing) yang harus dipilih, ukuran sampel minimum, faktor distribusi kemampuan peserta tes, jenis mata pelajaran, tes daya dan tes kecepatan, desain pengumpulan data, panjang tes, dan bentuk tes, pada akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel dengan ukuran tertentu. Pembatasan Masalah Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, peneliti hanya membatasi masalah pada pengaruh metode penyetaraan dan teknik penghalusan pada akurasi penyetaraan skor tes untuk sampel dengan ukuran tertentu. Metode penyetaraan yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode ekipersentil berantai (EB) dan metode ekipersentil estimasi frekuensi (EEF). Teknik penghalusan yang digunakan dalam penelitian ini ialah tanpa penghalusan (TP), log-linier (LL) dan kernel (KN). Penghalusan yang dilakukan adalah prapenghalusan pada distribusi skor tes, dan sampel yang digunakan berukuran 300. Desain pengumpulan data yang digunakan ialah desain grup nonekivalen-tes jangkar. Tes jangkar yang digunakan adalah tes jangkar internal. Banyak butir soal pada tes jangkar adalah ± 20% dari panjang tes. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas, masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. Apakah terdapat beda akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300 dengan: 1. TP dan EB, dan LL dan EB? 2. TP dan EB, dan KN dan EB? 3. LL dan EB, dan KN dan EB? 4. TP dan EEF, dan LL dan EEF? 5. TP dan EEF, dan KN dan EEF? 6. LL dan EEF, dan KN dan EEF? 7. TP dan EB, dan TP dan EEF? 8. LL dan EB, dan LL dan EEF? 9. KN dan EB, dan KN dan EEF? Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk meneliti apakah terdapat beda akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300 ditinjau dari dua faktor: pertama, faktor teknik prapenghalusan yaitu TP, LL, dan KN; dan kedua, faktor metode penyetaraan yaitu metode EB dan metode EEF. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui teknik prapenghalusan dan metode penyetaraan manakah yang menghasilkan akurasi relatif penyetaraan skor tes terbaik, jika dilakukan pada sampel berukuran 300. Kegunaan Penelitian Pertama, manfaat teoritik. Dari sisi keilmuan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sedikit kontribusi bagi perkembangan pengukuran dalam psikometrika, yang banyak menggunakan statistika terapan, khususnya pada penyetaraan skor tes untuk ukuran sampel tertentu. Bagi peneliti pribadi dan para peneliti lainnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan penelitian lanjutan, khususnya pada variabel-variabel yang diteliti, maupun variabel lainnya yang lebih kompleks yang berpengaruh pada pengukuran akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk ukuran sampel tertentu. Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui teknik prapenghalusan dan metode penyetaraan manakah yang menghasilkan akurasi relatif penyetaraan skor tes terbaik, jika dilakukan pada sampel berukuran 300. Kedua, manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan tes-tes atau ulanganulangan yang dilakukan secara berkala, misalnya oleh: (1) sekolah, khususnya sekolah-sekolah yang jumlah peserta didiknya relatif tidak banyak, baik secara mandiri atau bersama-sama, sehingga sekolah-sekolah dapat bekerja sama melakukan pengembangan tes-tes yang setara. Dengan membandingan kinerja siswa yang menggunakan tes-tes yang setara itu, pemutus kebijakan di sekolah dapat memproyeksikan kecenderungan mutu sekolah setiap tahun ajaran berdasarkan suatu kriteria yang ditetapkan oleh sekolah, dan melakukan evaluasi program pengajaran guru, serta membuat keputusan atau kebijakan yang terkait dengan proses belajar mengajar maupun program evaluasi belajar; (2) guru, bukan sekedar dituntut mampu menyusun soal berdasarkan isi materi ajar saja tetapi secara profesional mampu membuat kompilasi tes-tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan siswa pada setiap semester atau tahun ajaran berdasarkan suatu kriteria yang ditetapkan, dan ia mampu melakukan perlakuan pengajaran lebih profesional dan bertanggung jawab. Dengan dimilikinya kompilasi tes yang setara, pada akhirnya akan meringankan beban guru, ketika melakukan tes-tes sub-sumatif dan sumatif; (3) siswa, pada gilirannya merasa memperoleh perlakuan yang lebih adil. Apabila ia karena suatu alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat mengikuti ulangan umum atau ujian maka ia dapat mengikuti ulangan dan ujian susulan dengan tes yang setara, sehingga ia tidak merasa dirugikan atau diuntungkan. Kerangka Teoretis Skor Tes Naga, menyatakan skor tes sebagai hasil koreksi dari setiap butir yang dikerjakan peserta tes yang menampilkan jawaban benar atau salah (Naga, 1992: 20). Sampel pada Penyetaraan Sampel menurut Steel dan Torrie adalah bagian dari populasi, kadang-kadang mencakup seluruh populasi dan umumnya informasi dari sampel digunakan untuk penarikan kesimpulan tentang populasi itu (Steel dan H. Torrie, 1991: 13). Setiadi dalam penelitiannya terhadap estimasi parameter butir menyatakan bahwa sampel yang relatif kecil berukuran 100 atau 200 (Setiadi, 1997: 7), sedangkan Livingston dan Feryok melakukan penelitian pada penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi dengan penghalusan pada sampel berukuran 100 sampai dengan 3000 dan akurasi penyetaraan terjadi pada sampel berukuran 300 (Livingston dan Feryok, 1987: 9-10). Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 3 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Kesalahan Penyetaraan Menurut Kolen, ada beberapa tipe kesalahan yang akan mempengaruhi interpretasi hasil dari aplikasi metode-metode penyetaraan, yaitu kesalahan penyetaraan acak (random equating error) dan kesalahan penyetaraan sistematik (systematic equating error) (Kolen, 1988: 34 –35). Kolen dan Brennan menyatakan bahwa kesalahan penyetaraan acak, terjadi karena data dikumpulkan dari suatu sampel dan bukan dari seluruh populasi; sedangkan kesalahan penyetaraan sistematik terjadi misalnya, asumsi statistikal pada metode penyetaraan dilanggar atau desain pengumpulan data tidak sesuai diimplementasikan atau jika kelompok-kelompok peserta tes yang digunakan untuk penyetaraan sangat berbeda secara substansial (Kolen dan Brennan, 1995: 210-211). Angoff, menyatakan bahwa standar kesalahan penyetaraan adalah deviasi standar dari skor-skor yang diubah ke skala tes Y yang berkorespondensi dengan suatu nilai tetap dari tes X (Angoff, 1984: p. 96). Akurasi Relatif Penyetaraan Glenn, dalam Mathematics Dictionary 4th edition, menjelaskan bahwa dalam statistik suatu kesalahan pengamatan adalah perbedaan antara suatu pengamatan dan nilai sesungguhnya atau nilai yang diharapkan terhadap semua faktor yang tidak terkontrol (Glenn James, 1976: 4, 139). Dari pendapat di atas, akurasi relatif penyetaraan dipahami sebagai ketepatan hasil suatu penyetaraan dibandingkan dengan ketepatan hasil penyetaraan lain. PengukuranAkurasi Relatif Penyetaraan Livingston menjelaskan cara mengkomputasi akurasi penyetaraan secara statistik sebagai RMSD (root mean square deviation) sebagai berikut: jika x adalah suatu skor pada tes A; yx adalah suatu skor pada tes B yang disetarakan terhadap x pada penyetaraan langsung dalam populasi; yxy adalah skor pada tes B yang setara terhadap x untuk replikasi ke j pada penyetaraan tes jangkar dan jika dilakukan untuk r replikasi, maka: RMSD = 1 r ∑j ( y xy r =1 − y x ) (Livingston, 1993: 28-29). 4 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 2 Selanjutnya Livingstone menyatakan bahwa ratarata dari RMSD menunjukkan akurasi penyetaraan; rata-rata RMSD yang kecil menunjukkan akurasi yang lebih tinggi daripada rata-rata RMSD yang besar (Livingston, 1993: p. 34). Penyetaraan Skor Tes Barnard berpendapat, tidak ada definisi penyetaraan skor tes yang dapat diterima secara universal. (Barnard, 1996: 16). Penyetaraan didefinisikan oleh Crocker dan Algina sebagai suatu proses untuk menetapkan skor-skor ekivalen pada dua instrumen (Crocker dan Algina, 1986: 457). 1. Pengertian penyetaraan horizontal dan vertikal Holmes menyatakan penyetaraan horizontal sebagai proses konversi skor mentah yang digunakan untuk menyetarakan dua atau lebih tes yang didesain untuk mengukur atribut yang sama pada level pendidikan yang sama, sedangkan penyetaraan vertikal sebagai proses konversi skor mentah pada skala bersama (common scale) yang digunakan untuk menyetarakan tes-tes yang mengukur atribut yang sama tetapi pada level pendidikan yang berbeda. (Holmes, 1982: 139). 2. Pengertian tes jangkar (anchor test) Tes jangkar menurut Petersen, Kolen dan Hoover terdiri dari sejumlah butir, yang merupakan miniatur dari kedua tes yang disetarakan (memiliki keserupaan sedekat mungkin, baik konten maupun kedalaman materi dengan kedua tes yang disetarakan). Menurut Livingston, Dorans dan Wright, bahwa metode yang menggunakan skor tes jangkar adalah untuk menyesuaikan perbedaan kemampuan antara sampelsampel tes baru dan lama (Livingston, Doran dan Wright, 1990: 75). Berdasarkan pengalaman dalam praktek (rule of thumb), Kolen dan Brennan menyatakan bahwa jumlah butir bersama paling tidak 20% dari panjang seluruh tes yang berisi 40 butir soal atau lebih dan meskipun tes sangat panjang, pada kasus ini 30 butir soal bersama sudah cukup (Kolen dan Brennan, 1995: 248). 3. Macam-macam desain penyetaraan Hambleton dan Swaminathan menyatakan ada tiga desain dasar yang secara luas digunakan untuk menyesaikan studi penyetaraan, ketiga desain itu adalah metode grup tunggal (single group method), metode Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes grup ekivalen (equivalent group method) dan metode tes jangkar (anchor test design). Jelas menurut Hambleton dan Swaminathan, variasi dari desain dasar itu dapat digunakan untuk menyetarakan dua tes (Hambleton dan Swaminathan, 1985: 198). Secara khusus Kolen dan Jarjoura menyatakan bahwa desain populasi nonkivalen-butir bersama (common item-nonquivalent populations design) digunakan untuk menyetarakan skorskor teramati dari dua kelompok peserta tes dari populasi berbeda, yang diadministrasikan untuk tes-tes yang berbeda, dan setiap tes memiliki suatu subset butir bersama (Kolen dan Jarjoura, 1987: 43). 4. Macam-macam metode penyetaraan Harris dan Kolen, menggambarkan secara umum ada tiga metode penyetaraan yaitu penyetaraan linier, penyetaraan ekipersentil dan penyetaraan teori responsi butir (Harris dan Kolen, 1986: 36-37). Secara tradisional menurut Hambleton, Swaminathan dan Rogers, metode penytaraan ekipersentil dan linier telah digunakan untuk penyetaraan testes (Hambleton dan Swaminathan, 1985: 123). 4.1. Metode penyetaraan ekipersentil berantai (chained equipercentile equating) Angoff menjelaskan metode penyetaraan EB yang disebutnya sebagai desain V sebagai berikut: tes X dan tes jangkar V disetarakan dengan metode penyetaraan ekipersentil demikian juga tes Y dan tes jangkar V, kemudian skor ekivalen pada X dan Y dicari untuk setiap skor dari tes jangkar V (Angoff, 1984: 115-116). 4.2. Metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi (frequency estimation equipercentile equating) Metode penyetaraan EEF didefinisikan oleh Kolen dan Brennan sebagai suatu metode untuk mengestimasi distribusi kumulatif skor-skor dari tes X dan tes Y untuk suatu populasi sintetik dari data yang dikumpulkan dengan menggunakan desain grup nonekivalen-butir bersama dan tara persentil diperoleh dari distribusi-distribusi kumulatif (Kolen dan Brennan, 1995: 137). Teknik Penghalusan (smoothing) Menurut Kolen tujuan penghalusan dapat dipandang sebagai usaha untuk mengurangi kesalahan dalam mengestimasi distribusi populasi yang diperoleh dari titik-titik skor (Kolen, 1991: 258-259). Berbeda dengan interpolasi, menurut Petersen, Kolen dan Hoover, pada penghalusan, fungsi yang dihasilkan tidak perlu melalui titiktitik data yang teramati (Petersen, Kolen dan Hoover, 1989: 249). ] Untuk data yang dikumpulkan dengan menggunakan desain tes jangkar, menurut Cook dan Petersen teknik analitik untuk penghalusan distribusi bivariat lebih tepat dilakukan sebelum penyetaraan (prapenghalusan) (Cook dan Petersen, 1987: 227). 1. Penghalusan pada sampel kecil Kolen menyatakan bahwa, penghalusan secara tipikal lebih berefek untuk ukuran sampel yang lebih kecil (Kolen, 1988: 34). Namun Lord mengindikasikan, meskipun penghalusan berpotensi untuk mengurangi kesalahan penyetaraan, hal ini dapat memunculkan bias yang tidak tampak meskipun dalam sampel besar (Lord, 1982: 174). 2. Jenis-jenis teknik penghalusan Menurut Kolen, ada tiga metode yang cukup fleksibel untuk menyusun kembali dengan memadai suatu keberagaman distribusi skor tes yaitu: metode kernel, metode berdasarkan model strong true-score dari Lord dan metode yang menggunakan model log-linier polinomial (Kolen, 1991: 257). 2.1. Pengertian teknik pengha-lusan loglinier Penghalusan LL menurut Scheuneman dan Bleistein memberikan suatu cara untuk menganalisis data kuantitatif melalui hubungan elemen-elemen dari tabel kontingensi (Scheuneman dan Bleistein, 1999: 224). Menurut Kennedy dan Hak, algoritma untuk estimasi kebolehjadian maksimum untuk metode di atas dapat menggunakan program BMDP4F, SASCAT-MOD atau SPSS-X LOGLINIER atau dengan program komputer lainnya (Kennedy dan Hak, 1997: 571). 2.2. Pengertian teknik pengha-lusan kernel Menurut Cope dan Kolen, gagasan di balik estimasi KN adalah untuk membentangkan kepadatan dari suatu titik skor teramati dengan menggunakan suatu fungsi probabilitas kepadatan yang diacu sebagai kernel (Cope dan Kolen, 1990: 4). Selanjutnya Cope dan Kolen menyatakan bahwa estimator KN dikembangkan untuk distribusi skor mentah yang diskrit dengan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 5 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes penyetaraan ekipersentil, dan secara umum ketepatan penyetaraan meningkat jika ukuran sampel bertambah (Kolen, 1984; 35-36). Menurut penelitian Kolen dan Brennan, metode EB memiliki beberapa kelemahan, yaitu: metode ini tidak membutuhkan pertimbangan dari distribusi gabungan skor total dan skor tes jangkar, sehingga secara komputasional sangat kurang intensif daripada metode EEF, dan kedua, metode ini tidak tergabung secara langsung dengan populasi sintetik sehingga tidak jelas untuk populasi mana hubungan itu berlaku atau ditujukan agar berlaku (Kolen dan Brennan, 1995: 149). Braun dan Holland mengindikasikan bahwa i +h / 2 penyetaraan EB dan EEF secara umum tidak f h (i ) = B( j −i + h / 2 h)f ( j ) menghasilkan hasil yang sama, walaupun jika j =i − h / 2 asumsi untuk EEF dipegang (Braun dan Holland, di mana h adalah bilangan bulat genap dan 1982: 42). Kolen dari hasil penelitiannya terhadap kepadatan binomialnya adalah: metode-metode penghalusan untuk mengestimasi distribusi h h h −m B (m h ) = 0,5m (1 − 0,5 ) = 0,5h = C (m , h )0,5h skor tes, juga mengindikasikan bahwa kekuatan metode KNl m m adalah kesederhanaannya sehingga dengan program komputer mudah Jadi f h (i) adalah suatu kepadatan sepanjang diimplementasikan namun untuk tujuan jangkauan i = -h/2,…….K,……. h/2. Bagaimanapun, perhatian kita adalah mengestimasi distribusi dalam prosedur mengestimasi sepanjang jangkauan skor tes, i = 0, psikometrik seperti pada penyetaraan menimbulkan distorsi pada ujung-ujung 1, ………., K. Kesalahan estimasi validasi silang untuk distribusi yang dapat menimbulkan problematik penghalusan kernel (Errh) menurut Hanson dapat (Kolen, 1991: 279). Selanjutnya penelitian yang dilakukan Kolen, dihitung secara efisien dengan menggunakan menunjukkan bahwa penghalusan KN sering kali rumus: menimbulkan estimasi distribusi yang K B (h / 2 h ) tampak tidak rata atau melonjak-lonjak 2n K 2 Errh = f h (i ) − f (i )f h (i ) − (bumpy) atau menyimpang secara n − 1 i =o n I =0 sistematik (Kolen, 1991: 263). Dari penelitian terhadap perbandingan di mana n ialah jumlah responden dan K ialah level skor dalam jangkauan skor tes (0, 1, 2, penghalusan univariat dan bivariat pada EEF ............K). Dicari nilai h yang menghasilkan Errh yang dilakukan oleh Livingston dan Feryok disimpulkan bahwa penghalusan KN pada minimum. distribusi gabungan dari sampel berukuran 100 dan 300 peserta tes, secara substansial Hasil Penelitian yang Relevan memperbaiki hasil penyetaraan, bahkan pada sampel dari 1000 dan 3000 peserta tes penghalusan pada metode ini tidak Beberapa hasil penelitian terdahulu yang relevan menghasilkan perbaikan (Livingston dan Feryok, dengan penelitian ini, dapat dikemukakan sebagai 1987: 1). Penelitian Livingston terhadap penggunaan berikut: Kolen pada penelitiannya tentang keefektivan penghalusan LL pada penyetaraan EB dengan penghalusan secara analitik pada penyetaraan menggunakan sampel kecil menyimpulkan, ekipersentil, menyatakan bahwa banyak teknik bahwa akan lebih spekulatif jika menggeneralisasi penghalusan, cocok untuk setiap metode kesimpulan bahwa penghalusan LL juga akan menghasilkan hasil terbaik jika digunakan pada menggunakan suatu kernel binomial untuk menghasilkan suatu estimasi kepadatan diskrit (Cope dan Kolen, 1990: 4). Estimator KN menurut Kolen, adalah probabilitas binomial yang menggunakan parameter berhasil 0,5 sehingga kernel simetrik; parameter h yang diatur oleh peneliti adalah suatu bilangan genap positif yang merupakan parameter binomial coba-coba (binomial number of trails parameter) (Kolen, 1991: 259). Secara lebih terinci Kolen menjelaskan sebagai berikut: untuk suatu tes dengan K butir dan suatu distribusi sampel ; i = 0,………, K dan untuk 0 di tempat lain, estimator kernel adalah: ∑ ∑[ 6 ] ∑ Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes metode penyetaraan ekipersentil lain seperti EEF, meskipun mungkin akan mengikuti pola serupa (Livingston, 1993: 38). Kolen, dari hasil penelitiannya terhadap berbagai metode penghalusan untuk mengestimasi distribusi-distribusi skor tes menyimpulkan bahwa metode LL menghasilkan estimasi kesalahan lebih kecil daripada metode KN untuk kebanyakan ukuran sampel untuk tes studi sosial ACT (American College Testing) dan ujian sertifikasi namun metode KN menghasilkan estimasi kesalahan lebih kecil daripada metode LL untuk tes matematik ACT tetapi semua untuk ukuran sampel terbesar (Kolen, 1991: 272). Kerangka Berpikir 1. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP dan EB, dan dengan LL dan EB Penghalusan mengindikasikan sangat potensial untuk memperbaiki hasil penyetaraan karena mengurangi kesalahan penarikan sampel. Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB lebih rendah daripada dengan LL dan EB atau RMSDTP + EB > RMSDLL+ EB . 2. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP dan EB, dan dengan KN dan EB Sama dengan prapenghalusan LL, prapenghalusan KN juga memperbaiki hasil penyetaraan, meskipun perbaikan oleh KN kurang, dibandingkan dengan LL. Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB lebih rendah daripada dengan KN dan EB atau RMSDTP+EB > RMSDKN +EB 3. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL dan EB, dan dengan KN dan EB Prapenghalusan LL pada EB untuk sampel relatif kecil, dalam penelitian mengindikasikan hasil hubungan penyetaraan yang baik, meskipun demikian sangat spekulatif untuk menyatakan bahwa LL juga akan menghasilkan hubungan penyetaraan yang baik untuk metode penyataraan lainnya. Sedangkan penghalusan KN seringkali menyimpang secara sistematik dan menghasikan distorsi pada ujung-ujung distribusi. Jadi KN meskipun memperbaiki estimasi, namun perbaikan itu kurang dibandingkan dengan teknik penghalusan lainnya. Dari uraian di atas diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EB lebih tinggi daripada dengan KN dan EB atau RMSDLL+EB< RMSDKN+EB . 4. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP dan EEF, dan dengan LL dan EEF Penelitian menunjukkan bahwa penghalusan bivariat pada penyetaraan ekipersentil-butir bersama, menghasilkan fungsi penyetaraan yang lebih akurat daripada tanpa penghalusan, dan tidak tergantung teknik penghalusannya. Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EEF lebih rendah daripada dengan LL dan EEF atau RMSDTP + EEF > RMSDLL+ BEF 5. Perbedaan Akurasi Relatif Penye-taraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP dan EEF, dan dengan KN dan EEF Penelitian menyimpulkan bahwa hasil penyetaraan dari distribusi skor diperhalus dengan teknik apapun, jauh lebih baik daripada tanpa penghalusan. Dari uraian di atas, diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EEF lebih rendah daripada dengan KN dan EEF atau RMSDTP + EEF > RMSDKN + EEF 6. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL dan EEF, dan dengan KN dan EEF Penelitian pada mata pelajaran Matematika mengindikasikan bahwa prapenghalusan KN justru menghasilkan estimasi kesalahan lebih kecil daripada LL, meskipun penelitian itu dilakukan untuk sampel besar. Penelitian ini dilakukan pada mata pelajaran Fisika, yang banyak menggunakan Matematika sebagai alat bantu penyelesaian soalnya, maka seandainya digunakan pada sampel besar maka prapenghalusan KN tentunya akan menghasilkan akurasi yang lebih baik daripada LL. Dari uraian di atas diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EEf lebih rendah daripada Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 7 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes dengan KN dan EEF Dari uraian di atas diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk berukuran 300 dengan KN dan EB lebih rendah daripada dengan KN dan EEF atau atau RMSD LL + EEF > RMSD KN + EEF 7. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan TP dan EB, dan dengan TP dan EEF Penelitian membuktikan bahwa metode EB dan EEF tidak menghasilkan hasil penyetaraan yang sama, Metode EB memiliki kelemahan karena tidak mempertimbangkan distribusi gabungan dari skor total dan skor tes jangkarnya sehingga secara komputasional kurang intensif daripada metode EEF. Dari uraian di atas diduga bahwa akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB rendah daripada dengan TP dan EEF atau RMSDTP + EB > RMSDTP+ EEF 8. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan LL dan EB, dan dengan LL dan EEF Penelitian-penelitian yang dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik prapenghalusan pada berbagai metode penyetaraan, menunjukkan beda akurasi pada hasil penyetaraannya. Prapenghalusan LL pada penyetaraan EB dengan menggunakan sampel kecil, menunjukkan hasil yang sangat baik, namun hal itu tidak dapat digeneralisasikan pada penggunaan metode EEF, meskipun hal itu mungkin akan mengikuti pola yang serupa. Dari uraian di atas diduga akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EB lebih tinggi daripada dengan LL dan EEF atau RMSDLL+ EB < RMSDLL+ EEF 9. Perbedaan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Untuk Sampel Berukuran 300 dengan KN dan EB, dan dengan KN dan EEF Pada penelitian terhadap implementasi prapenghalusan LL dan KN untuk kebanyakan ukuran sampel pada tes-tes matematik, KN menghasilkan estimasi kesalahan lebih kecil daripada LL. Penggunaan desain pengumpulan data grup nonekivalen-tes jangkar, seperti pada penyetaraan EEF harus melibatkan populasi sintetik, sedangkan pada penyetaraan EB tidak harus melibatkan populasi sintetik sehingga tidak jelas bahwa EB melibatkan distribusi gabungan skor total dan skor tes jangkarnya, untuk kedua populasi. 8 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 RMSDKN + EB > RMSDKN + EEF Pengajuan Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, maka sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, dapat diajukan hipotesis yang akan diuji secara empirik melalui penelitian ini. Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, 1. TP dan EB lebih rendah daripada LL dan EB atau RMSDTP &EB > RMSD LL&EB 2. TP dan EB lebih rendah daripada KN dan EB atau RMSDTP &EB > RMSD KN &EB 3. LL dan EB lebih tinggi daripada KN dan EB atau RMSD LL & EB < RMSD KN & EB 4. TP dan EEF lebih rendah daripada LL dan EEFi atau RMSDTP &EEF > RMSD LL&BEF 5. TP dan EEF lebih rendah daripada KN dan EEF atau RMSD TP &EEF > RMSD KN &EEF 6. LL dan EEF lebih rendah daripada KN dan EEF atau R M SD LL & EEF > R M SD KN & EEF 7. TP dan EB lebih tinggi daripada TP dan EEF atau RMSD TP &EB > RMSD TP & EEF 8. LL dan EB lebih tinggi daripada LL dan EEF atau RMSDLL&EB < RMSDLL&EEF 9. KN dan EB lebih rendah daripada KN dan EEF atau RMSD KN &EB > RMSD KN &EEF Metodologi Penelitian Tujuan Operasional Penelitian Tujuan penelitian ini secara operaional adalah untuk menjawab masalah-masalah penelitian yang terkait dengan akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, ditinjau dari metode penyetaraan dan teknik prapengalusan. Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui, perbedaan akurasi relatif hasil penyetaraan EB dengan: TP, LL dan Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes KN; serta hasil penyetaraan EEF dengan TP, LL dan KN, untuk sampel sebesar 300. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMUK I, II, III, IV, V dan VI BPK PENABUR Jakarta; SMUK Gonzaga; SMUK YPK Ketapang; SMUK Triana; SMUK BHK; SMUK Tarsisius; SMUN 2; SMUN I5; SMUN 25; SMUN 36; SMUN 55; SMUN 70; dan SMUN 98, dengan subyek penelitian siswa kelas III program IPA semester I tahun ajaran 2002 – 2003. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksprimen, untuk menguji perbedaan akurasi relatif hasil penyetaraan (TP&EB) dan (LL&EB); (TP&EB) dan (KN&EB); (LL&EB) dan (KN&EB); (TP&EEF) dan (LL&EEF); (TP&EEF) dan (KN&EEF); (LL&EEF) dan (KN&EEF); (TP&EB) dan (TP&EEF); (LL&EB) dan (LL&EEF); serta (KN&EB) dan (KN&EEF), untuk sampel sebesar 300. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari: (1) variabel bebas dan (2) variabel terikat. Adapun variabel bebasnya adalah keenam hasil penyetaraan dengan menggunakan: TP, LL dan KN, pada EB dan EEF, sedangkan variabel terikatnya adalah akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300. Hal yang ditinjau dalam penelitian ini adalah akurasi penyetaraan yang dinyatakan sebagai RMSD rata-rata ( RMSD ) dari RMSD ekivalensi ekipersentil untuk 25 kali replikasi, dengan rancangan sebagai berikut. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah siswa kelas III SMU program IPA semester satu tahun ajaran 2002/ 2003 dari kedelapanbelas SMU di atas. Populasi ini terdiri dari 1600 orang siswa, 804 orang siswa sebagai responden instrumen penelitian A, dan 796 orang siswa sebagai responden instrumen penelitian B. Desain pengumpulan data yang digunakan adalah desain grup nonekivalen-tes jangkar. Tes jangkar yang digunakan merupakan tes jangkar internal. Penarikan sampel, dilakukan dengan penarikan sampel matriks (matrix sampling), yaitu pensampelan peserta, masing-masing sebanyak 300 orang siswa untuk setiap instrumen penelitian. Instrumen Penelitian Kedua instrumen penelitian A dan B dibuat berdasarkan kisi-kisi soal dengan memperhatikan aspek kemampuan ranah kognitif dan taraf sukar, pada pokok/subpokok bahasan Gerak Harmonik, Gelombang dan Bunyi sesuai dengan GBPP mata pelajaran Fisika Kurikulum SMU 1994 Yang Disempurnakan untuk kelas III SMU program Ilmu Pengetahuan Alam. Kedua instrumen diharapkan memiliki keserupaan baik isi maupun kedalaman materinya. Setiap instrumen penelitian A dan B memuat 50 butir soal pilihan ganda, dengan 5 (lima) alternatif pilihan jawaban benar. Tes jangkar terdiri dari 10 butir soal (± 20% dari panjang tes). Tes jangkar terdiri dari butir-butir soal yang telah di-EBTANAS-kan atau di-UAN-kan sehingga butir-butir soal tersebut telah divalidasi, dan dapat digunakan untuk tes jangkar. Pemilihan butir-butir soal untuk tes jangkar diupayakan agar Matriks Rancangan Penelitian merupakan miniatur dari kedua instrumen penelitian. PP TP LL KN Skor tes yang diperoleh MP EB EEF EB EEF EB EEF dari kedua instrumen penelitian ini diacak sederhana RMSD RMSD RMSD RMSD RMSD PP&MP RMSD dengan sampel matriks, yaitu secara pensampelan peserta, TP&EB TP&EEF LL&EB LL&EEF KN&EB KN&EEF artinya setiap kali replikasi Keterangan : PP: Teknik prapenghalusan; MP: Metode penyetaraan; diambil sebanyak 300 peserta TP: Tanpa prapenghalusan; LL: Prapenghalusan log-linier; KN: tes yang menjawab semua butir Prapenghalusan kernel: EB: Metode penyetaraan ekipersentil berantai; tes, kemudian diperlakukan EEF: Metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi; RMSD : prapenghalusan LL dan KN. rata-rata RMSD Distribusi skor setelah prapenghalusan disetarakan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 9 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes dengan metode penyetaraan EB dan EEF, kemudian dihitung ekivalensi ekipersentilnya. Dihitung RMSD (root mean square deviation) dari ekivalensi ekipersentil untuk setiap kali replikasi dan rata-rata RMSD sebagai akurasi relatif penyetaraan skor tes. Konseptual Variabel Penelitian Akurasi relatif penyetaraan skor tes ialah derajat ketepatan relatif hasil penyetaraan dua skor tes sampel berukuran 300, dari dua instrumen penelitian yang berbeda, yang diperlakukan dengan teknik penghalusan dan atau metode penyetaraan berbeda. Teknik prapenghalusan log-linier (LL) ialah cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian distribusi skor tes dari instrumen penelitian dan dilakukan sebelum penyetaraan, dengan mengubah fungsi polinomial dari distribusi skor tes menjadi log dari kepadatan distribusi skor tes dengan menggunakan metode statistik tertentu. Teknik prapenghalusan kernel (KN) ialah cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian distribusi skor tes dari instrumen penelitian dan dilakukan sebelum penyetaraan, dengan mengubah fung-si polinomial dari distribusi skor tes menjadi probabilitas binomial dengan menggunakan metode statistik tertentu. Metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB) ialah cara mencari ekivalensi ekipersentil dua skor tes dari dua instrumen penelitian yang berbeda, dengan menggunakan statistik tertentu. Ekivalensi ekipersentil dihitung dengan metode penyetaraan ekipersentil langsung secara terpisah pada skor tes kedua instrumen, masing-masing terhadap tes jangkarnya, tanpa menggunakan populasi sintetik. Metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi (EEF) ialah cara mencari ekivalensi ekipersentil dua skor tes dari dua instrumen penelitian yang berbeda dengan menggunakan statistik tertentu, Ekivalensi ekipersentil dihitung dengan mengestimasi distribusi kumulatif dua skor tes masing-masing terhadap tes jangkarnya, dengan menggunakan populasi sintetik. Operasional Variabel Penelitian Akurasi relatif penyetaraan skor tes ialah rata-rata RMSD ( ) dari ekivalensi persentil untuk seluruh replikasi yang dilakukan. Ekivalensi persentil dihitung dari dua skor tes dengan 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 prapenghalusan TP, LL atau KN, dan metode penyetaraan EB atau EEF. Teknik prapenghalusan log-linier (LL) ialah cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian distribusi skor tes dari dua instrumen penelitian dengan menggunakan program log-lin SPSS X. Teknik prapenghalusan kernel (KN) adalah cara untuk mengurangi kesalahan pengestimasian distribusi skor tes dari dua instrumen penelitian, dan dilakukan dengan menghitung kepadatan binomial dan estimator kernel. Metode penyetaraan ekipersentil berantai (EB) ialah cara mencari ekivalensi persentil skor tes, yang dihitung dengan mencari: (1) ekivalensi ekipersentil skor tes instrumen pertama terhadap skor jangkarnya pada populasi pertama [ey1(x)]; (2) tara peringkat ekipersentil [ey1(x)] terhadap skor tes butir bersama instrumen kedua dan diperoleh P[ey1(x)]; (3) ekivalensi ekipersentil skor tes instrumen kedua terhadap P[ey1(x)] adalah ey(EB), merupakan ekivalensi ekipesentil untuk metode ekipersentil berantai (eyEB). Metode ekipersentil estimasi frekuensi (EEF) ialah cara mencari ekivalensi ekipersentil skor tes, yang dihitung dengan mencari: (1) distribusi gabungan dari skor total pada instrumen penelitian pertama dan tes jangkarnya untuk populasi pertama dan distribusi gabungan dari skor total pada intrumen penelitian kedua dan tes jangkarnya untuk populasi kedua; (2) distribusi kondisional skor tes instrumen penelitian kedua untuk mendapat skor v dari tes jangkar pada populasi kedua, (3) distribusi gabungan dari skor instrumen penelitian kedua dan skor tes jangkar untuk populasi pertama; (4) frekuensi skor tes instrumen pertama dan kedua untuk populasi sintetik dan (5) tara peringkat persentil skor tes kedua instrumen pada populasi sintetik adalah e y(EEF), merupakan ekivalensi ekipersentil untuk ekipersentil estimasi frekuensi (eyEEF). Kualitas Butir Sebelum kedua instrumen penelitian digunakan, terlebih dahulu dilakukan ujicoba untuk memperoleh validitas empirik dari setiap butir dan reliabilitas instrumen. Ujicoba intrumen penelitian A dilakukan di SMUK IPEKA Tomang dan instrumen penelitian B di salah satu kelas III IPA SMUK II BPK PENABUR Jakarta. Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Pada ujicoba instrumen penelitian A untuk 39 orang siswa, diperolah 30 butir soal sahih yang memiliki rpbis ≥ 0,316. Dari 30 butir soal instrumen A diperoleh r KR-20 = 0,746; sedangkan instrumen penelitian B untuk 38 orang siswa, diperoleh 30 butir soal sahih yang memiliki rpbis ≥ 0,316. Dari 30 butir soal instrumen B diperoleh rKR-20 = 0,807. Ketigapuluh butir soal instrumen penelitian baik A maupun B ditambah dengan 10 butir soal tes jangkar, merupakan instrumen penelitian yang digunakan untuk penelitian. Hipotesis Statistik Gabungan Kelompok Hipotesis 1. (TP&EB) & (LL&EB) H0: µAKUR1 ≥ µ AKUR 2 H1: µAKUR1 < µ AKUR 2 2. (TP&EB) & (KN&EB) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 3. (LL&EB) & (KN&EB) H0: µ AKUR 1 ≤ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 > µ AKUR 2 4. (TP&EEF) & (LL&EEF) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2 H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 5. (TP&EEF) & (KN&EEF) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 6. (LL&EEF) & (KN&EEF) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 7. (TP&EEB) & (TP&EEF) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 8. (LL&EB) & (LL&EEF) H0: µ AKUR 1 ≤ µRMSD2H1: µ AKUR 1 > µ AKUR 2 9. (KN&EB) & (KN&EEF) H0: µ AKUR 1 ≥ µ AKUR 2H1: µ AKUR 1 < µ AKUR 2 Keterangan: * µAKUR1<µAKUR2 atau µ RMSD 1 > µ RMSD 2 ; µAKUR1>µAKUR2 atau . Hasil Penelitian 1. Grafik skor tes-RMSD dari ekivalensi ekipersentil untuk data pada penyetaraan EB dan penyetaraan EEF, a. tanpa prapenghalusan; b. dengan prapenghalusan log-linier; dan c. dengan prapenghalusan kernel. 10 8 6 4 2. dan DS RMSD dari ekivalensi RMSD ekipersentil dari 25 replikasi dan setiap replikasi terdiri dari 300 responden untuk keenam kelompok sepanjang rentang skor 4 – 34 2 0 0 4 8 12 16 20 24 28 32 RMSD TP&EB TP&EEF RMSD 1.5157 0.4649 1.5169 DS RMSD 1.8943 0.2726 1.8967 36 LL&EB LL&EEF KN&EB KN&EEF SK OR TP & EB 4.4991 1.1797 0.7549 TP & EEF 3. Grafik RMSD grafis 30 5 25 4 20 7.7848 1.1774 0.6348 dari ekivalensi ekipersetil secara 3 15 2 10 1 5 0 0 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 SK OR LL&EB LL&EEF 0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 SKOR KN& EB KN& EEF Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 11 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Uji Homogenitas Homogenitas varians populasi dari keenam data RMSD diuji dengan uji Bartlett, diperoleh: χ2 hitung = 336.9019 > χ2 tabel (0.95, 5) = 11.1. Sehingga dapat disimpulkan varians RMSD dari ekivalensi ekipersentil keenam kelompok itu tidak homogen. Pengujian Hipotesis Karena prasyarat normalitas dan homogenitas tidak dipenuhi, maka hipotesis penelitian ini diuji dengan Analisis Varian (ANAVA) Satu Arah dengan pendekatan statistik nonparametrik.parametrik. Dengan menggunakan uji Kruskal-Wallis (Murti, 1996:97), diperoleh: = 19.58 Pengujian Persyaratan Analisis Uji Normalitas Untuk mengetahui apakah data RMSD ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal, maka dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji Lilliefors untuk keenam kelompok data sebagai berikut: Rangkuman hasil uji normalitas dengan uji Lilliefors keenam kelompok pada taraf signifikansi α = 5% Kelompok Jumlah Sampel Lhitung L tabel 1. TP&EB 31 0.2772 0.1591 2. LL &EB 31 0.2772 0.1591 3. KN & EB 31 0.2593 0.1591 n = jumlah seluruh sampel = 186; k = jumah kelompok = 6: R j =jumlah peringkat tiap kelompok. 2 H tabel = χ 2(0.95, 5) = 19.58 > Htabel = χ (0.95,5) = 11.1. Jadi, paling sedikit ada satu kelompok mempunyai RMSD berbeda RMSD dari kelompok lainnya. Selanjutnya untuk mengetahui kelompokkelompok mana yang memiliki peringkat RMSD berbeda, dilakukan Uji Komparasi Ganda (Multiple Comparison). Menurut Snedecor dan Cochran, Uji Komparasi Ganda digunakan untuk menampilkan sejumlah signifikansi tes-tes atau mengkonstruksi sejumlah interval taraf konfidensi ketika menganalisis kelompokkelompok data (Snedecor dan Cochran, 1982: p. 233). Menurut Naga, penentuan kelompok yang berbeda pada uji Kruskal-Wallis, ialah yang memenuhi syarat: Ri − R j ≥ z ( α ) ' 4. TP & EEF 31 0.2693 0.1591 5. LL & EEF 31 0.3328 0.1591 6. KN & EEF 31 0.3025 0.1591 Kesimpulan keenam kelompok tidak normal. 12 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 dan ' n ( n + 1) 1 12 ni + 1 nj ; α' = α k ( k − 1) ialah peringkat rata-rata untuk kelompok i dan j; k ialah banyaknya kelompok (Naga, 2002: 30). k = 6, n = 186 dan a = 5%, diperoleh: Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes α ' = 1 .6 6 . 1 0 − 3 z (α ) = z (1.66 .10 ) = 2.93644 −3 ' (dicari dengan program Mini Tab) ztabel z ( α ) ' n ( n + 1) 1 12 ni + 1 nj = 40.16 Rangkuman hasil Uji Komparasi Ganda 1. R(TP &EB ) − R( LL &EB ) = 0.74; terima H R(TP &EB ) − R( KN &EB ) = 9.42; terima H R( LL &EB ) − R( KN &EB ) = 10.16; terima H b. o 2. o 3. 4. o R(TP &EEF ) − R( LL &EEF ) = 32; terima H R(TP &EEF ) − R( KN 7EEF ) = 27.77; terima H R( LL &EEF ) − R( KN &EEF ) = 4.23; terima H o 5. 6. o 8. R(TP &EB ) − R(TP &EEF ) = 51.29; tolak H R( LL &EB ) − R( LL &EEF ) = 20.03; terima H 9. R( KN &EB ) − R( KN &EEF ) = 7. o o o 14.1; terima Ho Pembahasan Hasil Penelitian a. Penarikan kesimpulan pada uji statistikal Wright menyatakan bahwa tujuan pengukuran adalah penarikan kesimpulan. Masalah pertama yang dihadapi pada penarikan kesimpulan adalah bagaimana membedakan “inference” (kesimpulan) dan “missing” (salah tanggap); hal ini terjadi karena data yang luput pada usaha pengumpulan data secara aktual (Wright, — : 2). Penarikan kesimpulan itu memerlukan solusi statistikal. Penghalusan menurut Kolen dan Jarjoura (Kolen dan Jarjoura, 1987: 43), dan penyetaraan menurut Barnard, adalah proses statistikal (Barnard, 1996: 1). Menurut Angoff, disadari sepenuhnya bahwa solusi statistikal secara mendasar tidak lebih tepat dari data yang mendasarinya dan tidak dapat mempertahankan selanjutnya metodemetode yang digunakan untuk memperolehnya, serta asumsi yang mendasarinya (Angoff, 1984: 139). Wright menyarankan, data yang diduga menimbulkan salah tanggap itu tetap dapat digunakan dengan pertama, menggunakan suatu proses stokhastik yang relevan dengan c. rumus yang stabil mulai dari ketepatan data mentah hingga penarikan kesimpulan; dan kedua mencari model matematik yang dapat berpengaruh pada proses stokhastik yang menghasilkan estimasi stabil (langkah kedua ini diakui oleh Wright tampaknya rumit) (Wright, —: 2-3). Ukuran Sampel Livingston dan Feryok pada penelitian terhadap penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi dan penghalusan kernel, membuktikan bahwa akurasi penyetaraan terjadi pada sampel berukuran 300 (Livingston dan Feryok, 1987: p. 9-10); sedangkan Jarjoura dan Kolen menyarankan, jika digunakan kesalahan penyetaraan sebagai indikator akurasi penyetaraan ekipersentil dengan menggunakan desain nonekivalen butir bersama, maka secara praktikal harus digunakan sampel berukuran lebih besar dari 800 (Jarjoura dan Kolen, 1985: 138). Penghalusan Kolen menyatakan bahwa penghalusan secara tipikal lebih berefek untuk ukuran sampel yang lebih kecil (Kolen, 1988: 34). Khususnya pada prapenghalusan, Kolen dan Brennan menyatakan bahwa akurasi distribusi tersebut krusial, karena salah satu sifat penting yang berkaitan dengan akurasi adalah menjaga agar momen dari distribusi diperhalus paling tidak memiliki momen sentral yang sama dengan momen sentral dari distribusi teramati (Kolen dan Brennan, 1995: 71-72). Lord mengindikasikan, bahwa penghalusan meskipun berpotensi untuk mengurangi kesalahan penyetaraan, hal ini dapat memunculkan bias yang tidak tampak meskipun dalam sampel besar (Lord, 1982: 174). Hal ini merupakan indikasi bahwa penghalusan tidak sekedar memerlukan sampel besar, tetapi ada faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan ketika melakukan penghalusan, antara lain keserupaan antara momen sentral dari distribusi skor diperhalus, dan dari distribusi skor teramati. Menurut Kolen dan Brennan, bagaimanapun bahaya dari penggunaan metode penghalusan adalah hasil estimasi dari distribusi populasi meskipun lebih halus, mungkin merupakan estimasi yang lebih buruk dari distribusi populasi atau hubungan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 13 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes penyetaraan, dibandingkan dengan tanpa penghalusan, misalnya hubungan penyetaraan menjadi tidak beraturan walaupun telah diperhalus; kualitas dari penghalusan secara analitik merupakan suatu isu empirik. (Kolen dan Brennan, 1995: 66). d. Validitas silang Menurut Kolen, efektivitas dari prosedur penghalusan secara analitik pada penyetaraan ekipersentil, ditentukan dengan membandingkan hasil-hasil penyetaraannya, dengan menggunakan validitas silang untuk berbagai sampel berukuran 500 hingga 2500 peserta tes (Kolen, 1984: 25). Jadi, pada hasil penyetaraan dengan penghalusan, di samping faktor ukuran sampel dan keserupaan momen sentral dari data yang diperhalus dan data teramati, maka faktor lain yang juga harus diperhatikan, ialah dilakukannya validitas silang, dan atau tersedianya data dengan berbagai bentuk distribusi dan ukuran sampel. e. Pemilihan derajat penghalusan dan kecocokan model Pemilihan derajat penghalusan untuk memilih kecocokkan model, di samping ukuran sampel dan validitas silang, merupakan faktor yang sangat menentukan keefektifan penghalusan, paling tidak untuk mempertahankan keserupaan antara momen sentral dari distribusi skor butir bersama serta distribusi skor total, sebelum dan setelah penghalusan, sehingga dapat dikatakan bahwa tes jangkar merupakan miniatur dari keseluruhan tes. Satu hal yang perlu disimak ialah, pendapat Kolen pada penelitiannya yaitu, keakuratan hasil penyetaraan harus melibatkan distribusi skor dari tes-tes lain, dengan ukuran sampel lebih kecil dan lebih besar; serta hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah prosedur untuk memilih secara otomatis derajat penghalusan sehingga dapat membantu keefektifan dari metode tersebut (Kolen, 1991: 272). f. Keminiaturan Tes Jangkar Tes jangkar yang digunakan pada penelitian ini adalah butir-butir soal yang telah diEBTANAS-kan atau di-UAN-kan, yang dianggap telah divalidasi oleh Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Depdiknas, 14 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 dengan jumlah soal terbatas dan belum tentu merupakan miniatur dari keseluruhan tes. g. Penghalusan log-linier Hanson, Zeng dan Colton, yang menyatakan bahwa pengggunaan penghalusan log-linier harus mengevaluasi penggunaan dari beberapa model log-linier, dan mengambil model yang paling sederhana yang cocok dengan datanya (Hanson, Zeng dan Colton, 1994: 12). Hanson pada penelitiannya terhadap metode-metode penghalusan, menyimpulkan bahwa performans dari metode penghalusan polinominal yang relatif lebih buruk daripada metode penghalusan kernel, dapat sebagian disebabkan oleh strategi pemilihan model, di samping ukuran sampel yang kecil. h. Penghalusan kernel Khususnya terhadap pemilihan h pada penghalusan kernel, Kolen mengingatkan bahwa prosedur validasi silang perlu dilakukan untuk mengurangi subyektivitas pada pemilihan kriteria pemilihan derajat penghalusan h, yaitu dengan membandingkan momen dari distribusi sampel dan distribusi diperhalus (Kolen, 1991: 261) Pemilihan h yang meminimalkan nilai Err h menurut Hanson, adalah rumus pendekatan (aproksimasi) estimasi pada pemilihan h pada validasi silang dan akan bekerja baik untuk sampel sekitar 1000 (Hanson, 1990: 7-8). Cope dan Kolen, pada penelitiannya terhadap metode-metode untuk mengestimasi distribusi skor-skor tes, membuktikan bahwa, jika h pada peng-halusan kernel, bertambah besar maka distribusi skor yang diestimasi meskipun kurang melonjak-lonjak namun lebih menyimpang dari distribusi skor teramati (Cope dan Kolen, 1990: 7). Sebaliknya jika h kecil, menurut Ramsay, dengan prosedur validasi silang maka bias yang terjadi juga kecil (Ramsay, 1991: 618). i. Metode penyetaraan ekipersentil berantai Metode penyetaraan ekipersentil berantai menurut Livingston, terdiri dari dua penyetaraan ekipersentil terpisah, di mana setiap tes disetarakan dengan tes jangkar dalam sampel yang mengambil tes itu (Livingston, 1993: 24). Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes j. Metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi Menurut Harris dan Kolen, metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi, membutuhkan pertimbangan distribusi frekuensi gabungan dari tes X dan tes jangkar internal V (X,V) untuk peserta tes X dan distribusi frekuensi gabungan Y,V untuk peserta tes Y, sehingga diasumsikan distibusi dari tes X dan V sama untuk kedua peserta tes, demikian juga distibusi dari tes Y dan V sama untuk kedua peserta tes (Harris dan Kolen, 1990: 62). Jadi menurut Dorans, distribusi gabungan dari skor-skor tes tersebut, diestimasi untuk suatu populasi dengan suatu distribusi tertentu dari skorskor tes jangkar (Dorans, 1990: 9). Oleh karena itu, menurut Harris dan Kolen, secara teoritikal metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi lebih baik dari metode penyetaraan ekipersentil berantai, walaupun metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi secara praktikal lebih sukar dimplementasikan, jika sampel berukuran besar atau mikrokomputer yang digunakan memiliki kapasitas penyimpanan terbatas (Harris dan Kolen, 1990: 70). Jadi dari pembahasan di atas, beberapa hal yang perlu kita catat adalah: • Penggunaan sampel berukuran 300 pada penelitian ini, diduga merupakan sampel yang dianggap memadai, hanya karena distribusi skor yang mungkin lebih halus, namun tidak termonitor keserupaan antara momen sentral dari distribusi skor yang diperhalus dan yang teramati (sedangkan perangkat lunak komputer yang mampu secara langsung memonitornya tidak ada). · Bahaya dari prapenghalusan ialah, hubungan penyetaraannya dapat menjadi lebih buruk daripada hubungan penyetaraan tanpa prapenghalusan. • Faktor-faktor yang berpengaruh pada hubungan penyetaraan dengan prapenghalusan ialah: ukuran sampel; pemilihan derajat penghalusan h; keserupaan antara momen sentral harus dapat dimonitor; dan validitas silang harus dilakukan dengan mengunakan berbegai bentuk distribusi dan ukuran sampel (sedangkan hal ini tidak dapat dilakukan dan hanya tergantung data primer saja). • Disamping faktor-faktor di atas, maka pada prapenghalusan, a. LL, harus digunakan beberapa model LL dan memilih model yang cocok dengan karakterisik data penelitian. Jadi, prapenghalusan tidak dapat hanya menggunakan model log-lin SPSS X saja. b. KN, meskipun pemilihan h sudah dilakukan dengan menggunakan rumus pendekatan Errh, namun rumus tersebut efektif jika ukuran sampel ± 1000. Hal ini dapat diatasi dengan memilih h yang terkecil pada validitas silang. • Secara teoritis, metode EEF lebih baik dari metode EB, karena EEF mempertimbangkan populasi sintetiknya; sementara EB hanya merupakan dua pernyataan terpisah, masingmasing tes jangkarnya. • Bagaimanapun, penghalusan dan penyetaraan sebagai proses statistikal, seringkali tidak dapat mempertahankan asumsi yang mendasarinya, sehingga solusinya dapat menimbulkan “missing” dan bukan “inference”, jika prasyarat pada model matematiknya tidak dipenuhi, misalnya ketepatan implementasi prapenghalusan. Dari semua paparan di atas, pembahasan yang terkait dengan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 4 dan hipotesis 5. Hipotesis 1: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB, lebih rendah, daripada dengan LL dan EB. Hipotesis 2: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB, lebih rendah, daripada yang menggunakan KN dan EB. Hipotesis 4: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EEF, lebih rendah, daripada dengan LL dan EEF. Hipotesis 5: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EEF, lebih rendah, daripada dengan KN dan EEF. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 1, 2, 4 dan 5 gagal menolak H0. Dari pembahasan di atas, masuk akal jika prapenghalusan (LL dan EB) terkesan tidak efektif untuk menaikan akurasi penyetaraan skor tes. 2. Hipotesis 3: Akurasi penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EB, lebih tinggi, dengan KN dan EB. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 3, gagal menolak H0. Seperti diuraikan pada paparan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 15 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes terdahulu, jika strategi pemilihan model LL tidak tepat karena hanya dilakukan dengan program log-lin SPSS X (sementara programprogram untuk menganalisis berbagai model LL tidak ada), maka performans dari prapenghalusan LL berkemungkinan lebih buruk daripada performans prapenghalusan KN. Hal yang sama terjadi juga pada penggunaan prapenghalusan KN. Meskipun pemonitoran h dengan rumus pendekatan sudah dilakukan, namun tidak dapat memilih h terkecil dengan validitas silang. Diisadari bahwa hasil penelitian ini yang berhubungan dengan penghalusan dan penyetaraan sebagai proses statistikal, berkemungkinan menimbulkan salah interpretasi dan tidak dapat mempertahankan asumsi yang mendasarinya, karena tidak dipenuhinya prasyarat pada model matematik. 3. Hipotesis 6: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EEF, lebih rendah daripada, dengan KN dan EEF. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 6 gagal menolak H 0 . Sejalan dengan pembahasan 3 (hipotesis 3.), dengan menggunakan metode penyetaraan apapun, termasuk metode EEF seharusnya cenderung lebih buruk daripada yang menggunakan KN. Akibatnya tidak dapat mempertahankan asumsi yang mendasarinya. 4. Hipotesis 7: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan TP dan EB, lebih rendah, daripada dengan TP dan EEF. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 7 menolak H0. Sesuai dengan paparan di atas, teoritikal metode EEF lebih baik daripada metode EB, walaupun metode EEF secara praktikal lebih sukar diimplementasikan, jika ukuran sampel yang digunakan besar atau mikrokomputer yang digunakan memiliki kapasitas penyimpanan terbatas 5. Hipotesis 8: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan LL dan EB, lebih tinggi, daripada dengan LL dan EEF. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 8, gagal menolak H 0 . Jika penggunaan LL pada penelitian ini memadai dalam strategi pemilihan modelnya serta derajat penghalusannya, maka akurasi relatif 16 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 penyetaraan skor tes, dengan LL dan EB, diduga secara statistikal dan signifikan, berkemungkinan lebih tinggi daripada dengan LL dan EEF. Namun karena penggunaan prapenghalusan baik LL maupun KN tidak memenuhui prasyarat maka akurasi relatif penyetaraannya cenderung sama. 6. Hipotesis 9: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel berukuran 300, dengan KN dan EB, lebih rendah, daripada dengan KN dan EEF. Hasil penelitian menjukkan hipotesis 9, gagal menolak H0. Jika derajat penghalusan KN dapat dimonitor sehingga dapat dipilih h yang kecil, dengan melakukan validitas silang (yang dalam penelitian ini tidak dapat dilakukan), maka akurasi penyetararaan dengan KN dan EB cenderung lebih rendah daripada akurasi relatif penyetaraan dengan KN dan EEF. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa KN tidak memadai karena nilai derajat penghalusan h umumnya relatif besar, sehingga momen dari distribusi yang diestimasi akan lebih menyimpang dari momen distribusi sampel. Keterbatasan Penelitian Dari paparan di atas dapat dikemukakan bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan: 1. Tidak tersedianya perangkat lunak untuk memilih data yang memiliki keserupaan antara momen sentral dari distribusi skor diperhalus dan distribusi skor teramati, mengakibatkan salah satu prasyarat ketika data itu disetarakan tidak dipenuhi. Akibatnya kesimpulan secara statistiskal, menimbulkan salah tanggap seolah-olah prapenghalusan tidak efektif, karena tidak menaikkan akurasi relatif penyetaraan skor tes, baik untuk metode penyetaraan ekipersentil berantai maupun metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi. 2. Pada penggunaan prapeng-halusan LL, dibutuhkan beberapa perangkat lunak model LL, agar dapat dipilih model LL yang sesuai dengan distribusi datanya, tidak dimiliki pada penelitian ini. 3. Pada penggunaan prapeng-halusan KN, pemonitoran derajat penghalusan tidak cukup hanya dilakukan dengan memonitor nilai Err h dan harus dilakukan validitas Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes silang, agar dapat dipilih derajat penghalusan yang relatif kecil sehingga menghasilkan momen-momen distribusi data diperhalus dan momen-momen distribusi data teramati, tidak terlampau menyimpang. Sementara ini, validitas silang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan yang ada. 4. Pemilihan butir tes jangkar untuk pokok/ subpokok bahasan tertentu sangat terbatas, sehingga sulit menyusun tes jangkar yang merupakan miniatur dari tes-tes yang disetarakan. yang memiliki keserupaan baik konten maupun kedalaman meterinya dengan tes-tes yang disetarakan. Penelitian seharusnya dilakukan dalam semacam laboratorium penelitian dan pengembangan pengukuran, yang mampu menyediakan data simulasi (generated data) dengan berbagai ukuran dan bentuk distribusi. Dengan data simulasi itu, penelitian tidak hanya tergantung pada data primer, dan dapat dilakukan validitas silang. Kesimpulan, Implikasi dan Saran Kesimpulan Berdasarkan hasil uji hipotesis yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: Akurasi relatif penyetaraan skor tes untuk sampel sebesar 300, yang menggunakan TP dan EB, lebih rendah, daripada yang menggunakan TP dan EEF. Implikasi Dengan keterbatasan yang ada, sekolah atau pihak–pihak lain, dapat mengupayakan penyetaraan skor tes dengan: 1. Menyusun dua bentuk tes, berdasarkan kisikisi soal yang spesifikasinya sama. 2. Tes jangkar dapat diambil dari soal-soal yang telah divalidasi, yaitu soal-soal yang telah diEBTANAS-kan atau di-UAN-kan, sesuai dengan pokok/subpokok bahasan yang ditetapkan. 3. Pengumpulan data skor tes yang disetarakan, dilakukan dengan desain tes jangkar nonekivalen. 4. Penyetaraan dilakukan tanpa prapenghalusan dengan metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi. Sejalan dengan hal-hal yang dikemukakan tersebut di atas maka: 1. Yayasan pendidikan yang memiliki beberapa sekolah filial, yang terdiri dari 10 kelas sejenjang (dengan asumsi setiap kelas terdiri dari 30 – 35 orang siswa); 2. sekolah-sekolah kecil yang terdiri dari hanya beberapa kelas sejenjang, dapat bekerja sama dengan sekolah atau sekolah-sekolah lain, sehingga diperoleh sampel sebanyak 300 orang siswa, serta 3. Rayon atau Suku Dinas, atau Dinas Pendidikan yang melaksanakan Ulangan Umum Bersama secara berkala, dengan sampel hingga ribuan, dapat melakukan penyetaraan skor tes dengan metode penyetaraan ekipersentil estimasi frekuensi, sehingga setelah beberapa tahun dapat memiliki kompilasi tes-tes yang setara, baik spesifikasi maupun standar kompetensinya yang dituntut, untuk beberapa pokok/ subpokok bahasan, bahkan untuk ulangan umum, maupun ujian sekolah. Kompilasi tes yang setara itu, dapat digunakan untuk memonitor ketuntasan belajar, memberikan ulangan susulan yang setara, atau mengatasi kebocoran tes, namun juga dapat me-metakan kecenderungan mutu siswa setiap tahun dengan membandingkan kinerja siswa yang menggunakan kompilasi tes tersebut. Saran 1. Perlu dikembangkan semacam suatu laboratorium pengukuran pendidikan, yang mampu mengembangkan dan menyediakan data simulasi, dengan berbagai ukuran sampel dan bentuk distribusi, serta dilengkapi dengan berbagai perangkat lunak model loglinier dan perangkat lunak untuk memonitor derajat penghalusan. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, dengan ukuran sampel dan bentuk distribusi berbeda-beda dan pengaruh keserupaan tes jangkar dengan tes secara keseluruhan terhadap akurasi penyetaraan. 3. Perangkat lunak untuk penyetaraan skor tes dan penghalusan, dapat di-peroleh dengan mudah dan murah, untuk penelitian lebih lanjut maupun untuk kebutuhan pihak yang membutuhkannya. 4. Upaya untuk melakukan penyetaraan skor tes, seyogianya sudah dimulai dilakukan oleh sekolah-sekolah, baik mandiri maupun Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 17 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes secara bersama-sama. Dengan upaya itu, setelah beberapa tahun guru maupun sekolah, memiliki kompilasi tes yang setara. 5. Perlu dilakukan penelitian terhadap penyetaraan dengan bentuk soal esai terstruktur. Daftar Pustaka Angoff, W. H. (1984). Scales, norms and equivalent scores. Princeton, N. J. Educational Testing Service Barnard, John J. (1996). In search for equity in educational measurement: traditional versus modern equating methods. Makalah disampaikan pada ASEESA National Conference di HSRC Conference Centre. Pretoria, Afrika Selatan Braun, H. I. dan Holland P. W. Observed score test equating: A mathematical analysis of some ETS equating procedure. Test equating, ed. P.W. Holland dan D.B. Rubin, 9-49, New York: Academic, 1982 Cook, L. L. dan Peterson, N. S. Problem related to the use of conventional and item response theory equating methods in less than optimal circumstances. Applied psychoogical measurement, Vol. 11, No. 3, 225– 244, 1987 Cope, R. T. dan Kolen, M. J. A study of methods for estimating distributions of test scores, laporan riset ACT. 90-5. Iowa City, I.A: American College Testing Program, 1990 Crocker, Linda dan Algina, James. (1986). Introduction to classical and modern test theory. New York: Hold, Rinehart and Wiston Dorans, N. J. Equating methods and sampling designs: Applied measurement in Education, Vol. 3. No. 1, 3 –17, 1990 Grounlund, Norman E. (1985). Measurement and evaluation in teaching 5th edition. New York: Macmillan Publishing Company Hambleton, R. K. dan Swaminathan, H. (1985). Item response theory: Principles and applications. Boston: Kluwer Hanson, Bradley A. An investigation of methods for improving estimation of Test score distributions. Seri laporan penelitian ACT, No. 90-4, 1990 Hansons, Bradley. A., Zeng, Lingjia dan Colton, Dean. (1994). A comparison of presmoothing and postsmoothing methods in equipercentile equating. Laporan riset ACT. 94-4, Iowa City, I.A: American College Testing Program Harris Deborah J. dan Kolen, Michael J. A comparison of two equipercentile equating methods for 18 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 common item equating. Educational and psychological measurement, Vol. 50, 1990 Holmes, Susan E. Unidimensionality and vertical equating with the rasch model. Journal of educational measurement, Vol. 19, No. 2 139-147, Summer 1982 James, Glen (ed.). (1976). Mathematics dictionary 4th edition. New York: Van Nostrand Reinhold Company Jarjoura David dan Kolen, Michael J. Standard errors of equipercentile equating for the common item nonequivalent populations design. Journal of Educational Statistics, Vol. 10, No. 2, 1985 Kennedy, J. J. dan Ping Tam, Hak. (1997). Log-linear models, educational research, methodology and measurement. Ed. John P. Keeves, 571 – 580. Oxford: Elsevier Science Ltd. Kolen, M. J. Effectiveness of analytic smoothing in equipercentile equating. Journal of Educational Statistic, Vol. 9. No. 1, 25 – 44, 1984 Kolen, M. J.Tradisional equating methodology, educational measurement: Issues and practice, Vol. 7 No. 4, 29 – 36, 1988 Kolen, M. J. Smoothing methods for estimating test score distributions. Journal of educational measurement, Vol. 28. No. 3, 257 – 282, 1991 Kolen, M. J. dan Brennan, R. L. (1995).Test equating methods and practice. New York: SpringerVerlag New York Inc. Kolen, M. J. dan Jarjoura, David. Analytic smoothing forequipercentile equating under the common item nonequivalent population design. Psychometrika, Vol. 52, No. 1, 43-59, 1987 Livingston, Samuel A. Small-sample equating with log-linear smoothing. Journal of Educational Measurement, Vol. 30, No. 1, 23 – 39, 1993 Livingston, S. A. dan Feryok, N. J. Univariate versus bivariate smoothing in frequency estimation equating. Laporan riset No. 87 – 36. Princeton, N. J: Education Testing Service, 1987 Livingstone, S. A., Doran, N. J. dan Wright, N. K. What combination of sampling and equating methods work best?. Applied measurement in education, Vol. 3, 73 – 95, 1990 Lord, F.M. The standard error of equipercentile equating. Journal of educational statistics, Vol. 7, 165 – 174, 1982 Murti, Bhisma. (1996). Penerapan metode statistik nonparametrik dalam ilmu- ilmu kesehatan. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama Naga, Dali S. (1992). Pengantar teori sekor. Jakarta: Gunadarma Naga, Dali S. Statistik terapan revisi tahun 2002 Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes (diktat kuliah di Universitas Tarumanagara dan Universitas Indonesia) Petersen, Nancy S., Kolen, M. J. dan Hoover, H. D. Scaling, norming and equating. Educational measurement 3rd Edition, ed. Robert L. Linn, 221–262. New York: Macmillian Publishing Company, 1989 Ramsay, J.O. Kernel smoothing approches to nonparamatric item characteristic curve estimation. Psychometrika, Vol.56, no. 4. 1991 Scheuneman, J. D. dan Bleistein, C. A. (1999). Item bias. Advanced in measurement in educational research and assessment, ed. Geoffrey N. Masters dan John P. Keeves, 220 – 234. Amsterdam: Pergamon Setiadi, Hari. (1997). Small sample IRT item parameter estimates. Disertasi Universitas Massachusetts Amherst, tidak dipublikasikan Skaggs, G. dan Lissitz, R. W. IRT test equating relevant issues and a review of recent research. Review of educational research, Vol. 56, No. 4, 495 – 529. 1986 Snedecor, George W. dan Cochran, William C. (1982). Statiscal methods 7th edition. Ames, Iowa: The Iowa State University Press Steel, Robert G. D. dan Torrie, James H. (1991). Principles and procedure of statistic (alih bahasa Bambang Sumantri). Jakarta: PT. Gramedia Suryadibrata, Sumadi. Penggunaan bentuk soal Pilihan ganda dalam ujian. Bulletin Pengujian dan Penilaian, Januari, 1995 Swediati, Nonny. Metode untuk pensetaraan (Equating) skor tes secara klasik. Jakarta: Pusat Pengujian Balitbang Dikbud, Maret 1997 Wright, Benyamin D. A history of social science measurement, MESA Psychometric Laboratory Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 19 Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat Penelitian Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat Keke T. Aritonang*) Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah kata per menit kemampuan siswa membaca, pemahaman isi bacaan, faktor-faktor penghambat membaca cepat, cara mengatasinya, serta usaha meningkatkan kemampuan siswa membaca cepat. Pengukuran membaca cepat ini dilakukan terhadap 60 siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta. Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa kecepatan membaca kata per menit siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR yaitu, 46 responden di atas 201 kata per menit, 14 responden lainnya berkisar antara 151 – 200 kata per menit. Sedangkan kemampuan memahami isi bacaan hanya 15 responden yang pemahaman bacaannya di atas 70%, 45 responden lainnya kurang dari 60%. Hasil pengukuran ini menyimpulkan bahwa hanya 25% siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR yang memiliki kemampuan membaca cepat. Disarankan agar guru mengetahui faktor-faktor penghambat membaca cepat, cara mengatasinya, dan melatih siswa dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat. Kata kunci : Membaca cepat, faktor penghambat membaca cepat, meningkatkan kemampuan siswa membaca cepat The purpose of this paper is to find out the reading speed and reading comprehension of Senior High School students. Besides, this paper also discusses some factors which might hamper the reading speed, and the solution to accelerate the student’s reading speed. The research was done in SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta as a case study. The research finds out that 46 of 60 students, have above 201 words per minute. Meanwhile, 14 students have between 151 – 200 words per minute. For reading comprehension out of 60 students only 15 students achive above 70% and 45 students achive less than 60%. The figures show that the student’s reading speed is low and needs improvement. This research suggests the teacher to identify the factors hampering the student’s reading speed and to overcome the problems. Pengertian Membaca Cepat embaca cepat adalah membaca dengan kecepatan tinggi, hampir keseluruhan materi bacaan dibaca (Atar, 1976:5). Biasanya membaca dengan cara ini tidak mungkin dengan cara membaca kata demi kata, tetapi membaca kalimat dan paragraf. Definisi yang dibuat oleh ahli di atas belum dapat menggambarkan membaca cepat dalam arti sesungguhnya, karena rumusan itu tidak mencerminkan tentang penguasaan isi bacaan dan penggunaan waktu yang jelas dalam kegiatan membaca cepat. Menurut Bond dan Tinker definisi kecepatan membaca harus diartikan lagi sebagai kecepatan M *) Guru SMPK 1 BPK PENABUR Jakarta 20 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 memahami bahan-bahan tercetak dan tertulis. Dengan demikian, mengukur kecepatan membaca berarti mengukur kecepatan pemahaman terhadap bahan yang dibaca (Vera Ginting, 2005:25). Membaca cepat adalah membaca dengan kecepatan tinggi, hampir keseluruhan materi dibaca dalam waktu tertentu yang disertai dengan pemahaman isi 70%. Materi dalam hal ini adalah jumlah kata yang terkandung dalam suatu bacaan, sedangkan waktu tertentu artinya untuk memahami materi bacaan memerlukan waktu. Waktu yang dipergunakan dalam membaca cepat adalah satuan waktu, yaitu menit. Dan pemahaman isi bacaan 70% artinya, setelah selesai membaca sekurang-kurangnya pembaca menguasai isi bacaan sebanyak 70%. Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat Henry Guntur Tarigan mengatakan kemampuan membaca cepat siswa SD adalah sebagai berikut: Jumlah kata yang terbaca dalam per menit, yaitu: Kelas I 60 – 80 kata per menit Kelas II 90 – 10 kata per menit Kelas III 120 – 140 kata per menit Kelas IV 150 – 160 kata per menit Kelas V 170 – 180 kata per menit Kelas VI 190 – 250 kata per menit (Tarigan, 1985:29) Sedangkan untuk pemahaman isi bacaan sekurang-kurangnya 70%. Menurut Asep Sadikin, dkk (2004:176) kemampuan membaca cepat siswa SMP dikategorikan sebagai berikut: Jumlah kata yang terbaca dalam per menit, yaitu : 201 - ... kata per menit = baik sekali 151 – 200 kata per menit = baik 101 – 150 kata per menit = sedang 50 – 100 kata per menit = kurang Sedangkan untuk pemahaman isi bacaan, yaitu : 91% - 100% jawaban benar = baik sekali 81% - 90% jawaban benar = baik 71% - 80% jawaban benar = sedang 61% - 70% jawaban benar = kurang …… - < 60% jawaban benar = kurang sekali Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecepatan membaca siswa SMP adalah 200 kata per menit dan pemahaman isi bacaan sekurangkurangnya 75%. Hasil Pengukuran dan Pembahasan Pengukuran membaca cepat ini dilakukan pada siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta. Responden pengukuran adalah 60 orang siswa SMP kelas VII. Data pengukuran dikumpulkan dengan cara memberikan bacaan berupa artikel dengan jumlah kata 242 kata. Bacaan artikel dilakukan untuk mengukur jumlah kata yang terbaca dalam per menit. Sedangkan untuk pemahaman isi bacaan menggunakan lima pertanyaan dari isi bacaan artikel tersebut dalam bentuk pilihan ganda. Adapun rumus yang dipergunakan untuk mengetahui jumlah kata yang terbaca dalam per menit, adalah : Jumlah kata yang terbaca Jumlah detik untuk membaca X 60 = ... KPM Sedangkan untuk mengetahui persentasi pemahaman isi bacaan menggunakan rumus, yaitu : Skor yang diperoleh X 100% = ...% Skor maksimal Adapun hasil pengukuran membaca cepat siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR untuk jumlah kata yang terbaca dalam per menit sebagai berikut : Tabel 1 : Hasil Pengukuran Jumlah Kata Per Menit (KPM) KPM N Kategori 201 - …… 46 Baik sekali 151 – 200 14 Baik 101 – 150 0 Sedang 50 – 100 0 Kurang Keterangan : KPM = kata per menit N = Jumlah Responden Melalui pengukuran jumlah kata yang terbaca dalam per menit tersebut di atas, diperoleh kesimpulan bahwa kemampuan membaca cepat siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR adalah 200 kata per menit dapat dibuktikan berdasarkan hasil pengukuran pada tabel 1 yaitu 46 responden memperoleh KPM di atas 201 dan 14 responden memperoleh KPM berkisar antara 151 – 200. Sedangkan kemampuan pemahaman isi bacaan, sebagai berikut: Tabel 2 : Hasil Pengukuran Pemahaman Isi Bacaan Persentasi N Kategori 91% - 100% 2 Baik sekali 81% - 90% 0 Baik 71% - 80% 13 Sedang 61% - 70% 0 Kurang …… < 60% 45 Kurang sekali Keterangan : Persentasi = hasil yang diperoleh N = jumlah responden Dari tabel 2 dapat disimpulkan bahwa pemahaman isi bacaan siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR 45 responden dinyatakan belum memiliki kemampuan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 21 Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat membaca cepat sekurang-kurangnya 75% atau hanya 25% responden yang memiliki kemampuan membaca cepat. Dengan demikian dari hasil pengukuran di atas bahwa kemampuan siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR dalam membaca cepat jauh dari memuaskan. Faktor-faktor Penghambat dalam Membaca Cepat dan Cara Mengatasinya Ada beberapa hal yang dapat menghambat kecepatan membaca seseorang menurut beberapa ahli, yaitu : 1. Membaca dengan bersuara (memvokalisasi) Memvokalisasi adalah kebiasaan buruk yang dapat menghambat kecepatan membaca. Kecepatan membaca mengeluarkan suara (nyaring) sama dengan kecepatan berbicara. Padahal kecepatan membaca yang normal (membaca tidak bersuara) hampir dua kali lipat dari kecepatan berbicara. Cara mengatasi membaca bersuara ini dengan jalan meletakkan ujung lidah pada pangkal gigi depan bibir ditutup dengan rapat. Adapun latihan untuk mengatasi hambatan membaca bersuara di kelas yang dapat kita lakukan, adalah sebagai berikut: a. guru menyediakan bahan bacaan berupa teks dengan jumlah kata antara 200 – 300 kata b. siswa membaca bacaan tersebut dengan bersuara c. setelah selesai membaca masing-masing siswa mencatat waktu mulai membaca dan waktu selesai membaca. Kemudian catat berapa jumlah kata yang terbaca dalam per menit dengan menggunakan rumus : Jumlah kata yang terbaca Jumlah detik untuk membaca X 60 = ... KPM d. siswa membaca kembali bacaan tersebut dalam hati dengan jalan meletakkan ujung lidah pada pangkal gigi depan bibir ditutup dengan rapat. e. Setelah selesai membaca masing-masing siswa mencatat kembali waktu mulai membaca dan waktu selesai membaca dengan menggunakan rumus pada bagian c di atas. 22 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 2. Dari latihan ini siswa dapat membandingkan hasil kecepatan membacanya apakah lebih cepat membaca dengan bersuara atau membaca dalam hati. Apabila siswa lebih cepat membaca dengan bersuara dan dapat memahami isi bacaan tersebut, siswa didalam belajarnya terutama membaca dapat memilih yang terbaik bagi siswa tersebut. Membaca dengan aktivitas mental (subvokalisasi) Membaca subvokalisasi yaitu membaca dengan tidak menggerakkan bibir dan lidah, tetapi dengan alat pikirnya membaca oral untuk dirinya sendiri. Maksudnya membaca kata demi kata sebagaimana membaca oral tetapi tidak terdengar suaranya. Seorang pembaca yang lancar pada dasarnya tidak merasa perlu untuk ‘mendengarkan’ kata yang dibacanya untuk dapat memahaminya (Redway, 1994:21) Cara mengatasi kebiasaan vokalisasi adalah dengan jalan menyadarkan diri kita bahwa membaca cepat itu sangat diperlukan, serta mengadakan latihan cukup. Pembaca juga harus dapat membedakan mana yang dikatakan membaca dalam hati dengan membaca oral serta tidak mencampur aduk kedua jenis membaca tersebut. Adapun latihan yang dapat dilakukan di kelas untuk mengatasi membaca dengan aktivitas mental dengan langkah sebagai berikut: Langkah pertama: a. Guru menyiapkan bahan bacaan berupa teks dengan jumlah kata antara 200 – 300 kata b. Guru membuat 5 buah pertanyaan dari isi bacaan tersebut. Bentuk pertanyaan dapat pilihan ganda atau benar salah Langkah kedua : a. Siswa diberikan bacaan tersebut, kemudian membaca dalam hati dengan kecepatan tinggi b. Waktu yang diberikan dalam membaca selama satu menit c. Setelah membaca selama satu menit bahan bacaan tersebut dikumpulkan kembali oleh guru d. Siswa menjawab pertanyaan isi bacaan dengan melingkari jawaban yang benar apabila soal tersebut bentuk pilihan ganda Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat e. Hasil jawaban siswa dihitung dengan menggunakan rumus : Skor yang diperoleh X 100% Skor maksimal 3. 4. Dari latihan ini apabila siswa dalam pemahaman isi bacaan belum mencapai sekurang-kurangnya 75% perlu diadakan beberapa kali latihan dan diharapkan siswa di dalam belajarnya dalam membaca cepat tidak lagi dengan subvokalisasi sehingga siswa memperoleh nilai terbaik. Membaca dengan menggerakkan kepala Membaca dengan menggerakkan kepala pada hakikatnya pembaca sedang berada di dalam posisi menunjukkan huruf. Yang menjadi alat sebagai penunjuk adalah hidung yang senantiasa mengikuti barisan huruf. Cara mengatasi kebiasaan ini dilakukan dengan jalan meletakkan dagu di atas tumpangan kedua belah tangan, kedua siku berada di atas meja. Latihan yang dapat digunakan untuk mengatasi kebiasaan membaca dengan menggerakkan kepala dalam proses belajar mengajar di kelas, sebagai berikut: a. Guru menyediakan bacaan dengan tema bebas dan dalam bacaan tersebut terdapat kosakata berbagai bidang ilmu, misalnya kesehatan, ekonomi, sosial, pariwisata, dan lain-lain. b. Bacaan tersebut dengan jumlah kata antara 200 – 300 kata c. Siswa membaca bacaan tersebut dengan posisi meletakkan dagu di atas tumpangan kedua belah tangan, kedua siku berada di atas meja d. Waktu yang diberikan selama satu menit e. Setelah selesai membaca, bahan bacaan tersebut dikumpulkan kembali oleh guru f. Siswa menulis 10 atau 15 kosakata bidang ilmu tersebut yang terdapat dalam bacaan. Membaca dengan kebiasaan menunjuk kata Kebiasaan membaca dengan menunjuk kata adalah kebiasaan buruk yang dilakukan seolah-olah yang bersangkutan tidak mau kehilangan sebuah huruf pun dalam membaca. Dengan alat penunjuk ini, sering menuntut pembaca menitikberatkan perhatian ke bagian-bagian yang tidak penting. 5. Cara mengatasi kebiasaan ini dapat dilakukan melalui kegiatan membaca secara berangsurangsur dengan tidak menggunakan telunjuk, tetapi dapat digantikan dengan pinsil untuk beberapa kali latihan saja. Latihan yang dapat dilakukan untuk menghindari kebiasaan membaca menunjuk kata dalam proses belajar mengajar di kelas, sebagai berikut: a. Guru menyiapkan bacaan berupa artikel dengan jumlah 10 sampai dengan 15 paragraf b. Siswa menyiapkan pensil c. Siswa diberikan bacaan yang sudah disediakan oleh guru dan mencari gagasan utama dari tiap paragraph dengan cara menggaris bawahi gagasan tersebut dengan menggunakan pensil d. Waktu yang disediakan 3 menit e. Guru mengumpulkan hasil kerja siswa dan menilai hasil pekerjaan siswa Membaca dengan melihat kembali ke belakang (Regresi) Regresi adalah kebiasaan membaca melihat kembali ke belakang untuk membaca ulang suatu kata atau beberapa kata sebelumnya. Kebiasaan inilah yang menjadi hambatan serius dalam membaca. Apakah memang benar dengan regresi akan bertambah jelas dalam memahami makna bacaan tersebut. Ternyata dengan regresi dapat mengacaukan susunan kata yang dengan sendirinya mengacaukan arti. Regresi dilakukan karena kurang percaya diri, merasa kurang tepat untuk menangkap arti, dan merasa kehilangan sesuatu atau salah baca sebuah kata. Cara mengatasinya adalah, tanamkan rasa percaya diri. Jangan berusaha untuk mengerti setiap kata atau kalimat di paragraf itu. Jangan terpaku pada detail, terus saja membaca jangan tergoda untuk kembali ke belakang. Ingatlah bahwa kemampuan mata dan otak jauh melebihi pikiran kita. Oleh karena itu paksakan terus dengan demikian Anda akan mengganti kebiasaan lama dengan baru. Latihan yang dilakukan untuk menghindari kebiasaan membaca dengan melihat kembali ke belakang, sebagai berikut: a. Guru menyiapkan teks bacaan dengan jumlah 10 sampai dengan 15 paragraf Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 23 Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat b. Siswa membaca dalam hati dengan tidak mengulang kembali ke belakang bacaan tersebut c. Waktu yang diberikan selama 3 menit d. Setelah membaca teks bacaan tersebut dikumpulkan kembali e. Siswa menuliskan informasi penting yang terdapat dalam bacaan tersebut dan menuliskan kesimpulan dari bacaan. Di samping yang telah dikemukakan di atas, menurut Redway (1994:4) ada beberapa contoh yang perlu dihindari dalam membaca yang dapat mempengaruhi atau menghambat kecepatan membaca, yaitu: 1. Membaca Lambat Membaca yang baik, menyenangkan , serta cermat harus dilakukan secara lambat. Pernyataan ini tidak ada bukti yang mendukung. Membaca lambat mengakibatkan kurang tertariknya para pembaca karena sangat sedikit sekali hasil yang dapat mereka peroleh. Para pembaca yang lambat juga umumnya mempunyai pemahaman yang terkotak-kotak. Mereka pada umumnya kehilangan gambaran keseluruhan ide dan arti dari bahan bacaan tersebut. 2. Membaca Ulang Kesalahan yang paling umum terjadi pada pembaca mengulang kembali apa yang baru saja dibaca untuk mendapatkan pemahaman. Hal ini selain tidak efisien juga akan memungkinkan pikiran melayang-layang tanpa arah yang akan menyingkirkan pembaca dari kebiasaan mengantisipasi sesuatu yang akan datang, dan mengalihkan dari kebiasaan untuk berpikir secara aktif. 3. Membaca itu Menjemukan Membaca itu mengasyikkan dan berharga apabila pembaca memang termotivasi untuk mengikuti iramanya dan secara aktif selalu berusaha mencari informasi. Membaca cepat, memahami dan menyimpan segala apa yang telah dibaca itu bahkan akan terasa lebih menarik lagi. 4. Membaca itu Memerlukan Waktu yang Panjang Ini tidaklah benar. Membaca cepat dan efisien itu membutuhkan konsentrasi. Apabila pembaca memutuskan untuk membaca maka sebelumnya berkonsentrasi dan mengetahui dengan pasti apa sasaran yang ingin dicapai. Dengan cara ini membaca dapat dilakukan antara lima hingga lima belas menit saja. 5. Membaca itu Cepat Membosankan 24 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Membaca cepat melibatkan banyak ragam cara yang menjadikan membaca dinamis dan menantang sehingga tidak membosankan. Atur kecepatan sesuai dengan materi dan tujuan membaca. Usaha Meningkatkan Kemampuan Membaca Cepat Kegiatan membaca dilakukan bersama-sama oleh otak dan mata. Otak adalah unsur utama membaca sedangkan mata adalah alat mengantar gambar ke otak lalu otak menginterpretasi terhadap apa yang dituju oleh mata. Interpretasi didapat pada saat itu, seketika, tertunda, terjadi secara akurat atau salah, mudah atau penuh kesulitan. Interpretasi juga tidak tergantung pada ketajaman penglihatan, tetapi pada kejernihan dan kekayaan pengertian dan persepsi kita dalam memahami bacaan. Dalam kegiatan membaca, persepsi dan interpretasi otak terhadap tulisan yang dilihat oleh mata dapat dilihat pada lamanya mata berfiksasi. Menurut Soedarso (1988 : 28) gerakan mata dalam membaca tidak menggambar liar tetapi terarah ke suatu sasaran kata, sebentar lalu meloncat kesasaran berikutnya satu atau dua kata berikutnya. Melompat, berhenti. Melompat, berhenti, dan seterusnya. Perhentian itulah disebut fiksasi. Pembaca tidak efisien, dalam satu fiksasi hanya dapat satu atau dua kata yang terserap sedangkan pembaca efisien tiga atau empat kata yang terserap. Kesulitan fiksasi bukan karena kesulitan fisik, melainkan karena kesulitan mental dan bukan karena otot mata, melainkan karena ketidakmampuan dari pikiran yang menyerap dengan cepat tanpa salah informasi. Untuk mendapat kecepatan dan efisiensi membaca dapat diusahakan sebagai berikut : 1. Melebarkan Jangkauan Mata Apabila membaca baris yang terdiri atas 12 kata, pembaca berhenti 3 – 4 kali, jangkauan mata tidak persis/diagonal, kadang-kadang pada satu kata atau huruf, dan menjangkau pada pias kiri dan pias kanan, serta kadangkadang antara dua kata. Menurut Soedarso (1988 : 30) jangkauan mata lebih banyak ke pias kanan daripada ke pias kiri. Ada beberapa latihan untuk melebarkan jangkauan mata yaitu: Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat Latihan 1 Fokuskan pandangan ke angka dibarisan tengah dan cobalah baca tiga angka sekaligus, termasuk kiri dan kanan. Misalnya angka 1 0 5 baca dalam hati, “Seratus lima”, jangan dibaca “satu nol lima” 5 7 8 2 6 8 5 8 7 1 9 1 7 2 0 Latihan 2 Kata yang digunakan terdiri dari tiga kata yang erat kaitannya dan membentuk suatu frase. Perhatikanlah kata yang terletak di tengah-tengah dan sekaligus menjangkau kata yang terdapat di kiri dan kanan. Bacalah sekaligus sebagai suatu frase, jangan terpisahpisah. Misalnya, TALI PINGGANG KULIT dibaca “tali pinggang kulit” PETINJU SAPU RUMAH KOPI SIANG PETINJU TANGAN SAKIT SUSU HARI 2. SENIOR MERAH UMUM KENTAL BOLONG Latihan 3 Latihan ini berupa bentuk angka yang berurut. Bacalah bilangan satu sampai terakhir. Gerakan mata dari kiri ke kanan dan ke kiri ke kanan sampai bilangan itu selesai. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Dengan beberapa kali latihan melebarkan jangkauan mata dalam proses pembelajaran di kelas siswa terlatih untuk dapat membaca memindai (scanning). Pada kegiatan membaca scanning ini siswa, antara lain dapat: 1. Mencari kata-kata sukar, kosakata berbagai bidang pengetahuan yang terdapat dalam teks bacaan, kemudian mencari artinya di dalam kamus, 2. Menemukan sesuatu untuk memperoleh kesan umum dari suatu bacaan, misalnya membaca buku atau surat kabar. Jika menelusuri daftar isi atau bab sebuah buku, perhatian ditujukan pada judul-judul dan bagian-bagian bab secara garis besar, 3. melihat kembali bagian-bagian yang telah dibaca dengan seksama dan memasuki 3. perhatian pada bagian bacaan atau butirbutir yang diperlukan saja. Membaca Satu Fiksasi untuk Satu Unit Pengertian Bacalah sebuah buku saku dengan cepat. Cobalah satu fiksasi dengan sekali pandang, lalu segera ke fiksasi berikutnya. Caranya yaitu: a. Mata melompat ke depan dalam tiga lompatan yang berirama dalam membaca satu baris. Lihatlah di titik tengah dari setiap kelompok kata. Cobalah rasakan lompatan mata itu. Lompatan itu ada beberapa yang pendek dan ada beberapa yang panjang. b. Dalam membaca untuk mendapatkan isinya, artinya pembaca tidak menghapal kata-kata atau simbolnya c. Untuk itu paksakan membaca untuk mendapatkan arti setiap fiksasi d. Gerakan mata seperti langkah kaki untuk berjalan sangat penting untuk membaca. e. Walaupun kita mengatur cepat atau lambat gerakan itu secara otomatis. Latihan perkelompok kata ini berguna untuk membiasakan membaca sekelompok kata, dan membaca ungkapan, frase, baris perbaris dan halaman tanpa regresi. Adapun manfaat dari membaca satu fiksasi untuk satu unit pengertian dalam proses pembelajaran di kelas contohnya dalam pelajaran bahasa Indonesia khususnya materi membaca yaitu : 1. Materi bacaan wacana, siswa dapat mencari gagasan pokok dan gagasan penjelas setiap paragrah serta dapat menjawab pertanyaan isi wacana tersebut 2. materi bacaan berita, siswa dapat mencari fakta, opini, dan 5 W dan 1 H yang terdapat dalam bacaan berita tersebut 3. materi teks wawancara, siswa dapat mencari hal-hal penting yang dikemukakan oleh narasumber dalam teks wawancara tersebut 4. materi bacaan artikel, siswa dapat mencari hal-hal penting, intisari, dan kesimpulan dari isi bacaan artikel tersebut Meningkatkan Konsentrasi Dalam membaca perhatian hendaknya dipokuskan pada bahan yang dibaca, maka gagasan atau gambaran tentang isi bacaan akan tampak dengan jelas dan mudah dipahami. Untuk itu konsentrasi sangat Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 25 Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat mutlak diperlukan. Cara meningkatkan daya konsentrasi ada dua kegiatan penting, yaitu: a. Menghilangkan atau menjauhi hal-hal yang menyebabkan fikiran menjadi kusut. b. Memusatkan perhatian secara sungguhsungguh. Hal ini termasuk memilih tempat dan waktu yang sesuai dengan dirinya, serta memilih bahan bacaan yang menarik Hal-hal di atas adalah langkah awal dalam meningkatkan kemampuan membaca cepat. Sedangkan langkah-langkah meningkatkan kecepatan membaca secara signifikan dapat dilakukan dalam dua puluh menit ke depan dengan cara sebagai berikut: a. Pilihlah buku yang diinginkan untuk dibaca sebagai bahan latihan. b. Mulailah membaca setiap baris teks, tidak diawal baris sekali tetapi dua atau tiga kata dari awal baris c. Dengan cara sama, berhentilah membaca dua atau tiga kata dari akhir baris. Dengan demikian, akan mengurangi jumlah teks yang perlu pembaca pandangi sehingga meningkatkan kecepatan membaca tanpa mengorbankan pemahaman. d. Tambahkanlah alat bantu fisik dengan meletakkan tangan secara mendatar di atas halaman buku dan gerakkanlah maju mundur sepanjang halaman dengan gerakan menyapu. Gerakan tangan menuruni halaman dengan kecepatan tetap. e. Mulailah mengerakkan tangan menuruni halaman dengan kecepatan semakin tinggi. Kecepatannya harus lebih tinggi daripada yang pembaca rasa mungkin untuk merekam apa pun. f. Biarkan mata mengikuti ujung jari menuruni halaman, tetapi tetap dalam batasan gerakan “sapuan” tadi. Percepatlah hingga pembaca hanya menghabiskan 4 atau 5 detik per halaman. g. Beberapa kata mulai menonjol di setiap halaman dan itulah sebagian kata kunci. Ini bukti menarik bahwa otak sebenarnya memproses sebagian teks buku tersebut. Pelatihan di atas dapat mengatasi yang pertama mencegah godaan membaca ulang, kedua melepaskan pembaca pada ketergantungan “mendengar” kata-kata dalam benak kita. Untuk itu pembaca harus secara total pada membaca visual yang hasilnya untuk mencapai kecepatan baca yang sangat tinggi. Dalam proses 26 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 pembelajaran di kelas dapat digunakan antara lain, sebagai berikut: 1. Bahan bacaan karya sastra seperti novel, cerpen, atau cerita anak terjemahan dari bacaan tersebut siswa dapat menuliskan unsur-unsur intrinsic karya sastra tersebut yaitu dapat menentukan tema, nama-nama tokoh berikut perwatakannya, alur cerita, sudut pandang pengarang, gaya bahasa yang digunakan, dan pesan/amanat yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca 2. Bahan bacaan buku pelajaran seperti, Agama, PPKN, Sejarah, Geografi, Fisika, Biologi, siswa dapat membuat intisari, ikhtisar, atau rangkuman buku pelajaran tersebut yang pada akhirnya ketika siswa menghadapi berbagai tes siswa dapat mengerjakan tes tersebut dengan benar 3. Bahan bacaan karya tulis atau karya ilmiah, siswa dapat membuat sistematika karya tulis atau karya ilmiah tersebut dan memiliki ide untuk mengadakan penelitian yang pada akhirnya dapat membuat karya tulis atau karya ilmiah sederhana Berikut ini cara membaca super menurut Hernowo (2003 : 147) bahan bacaan buku ajar penting setebal 250 halaman, tersusun dari 10 bab yang masing-masing berisi 25 halaman. Ada delapan langkah dalam membaca super ini, yatiu: 1. Ciptakan gambaran keseluruhanbuku yang sedang dibaca. Dengan kata lain, baca tinjauannya. Apa gagasan intinya. Waktu : 5 – 10 menit. 2. Lihat sekilas bahannya. Baca secara cepat teks di bab pertama dengan kecepatan sekitar 6 detik per halaman. Yang harus dicari adalah gagasan dan fakta kunci. Anda harus dapat menentukan apakah buku ini akan menambah pengetahuan kalau tidak Anda dapat meninggalkannya tanpa membuang waktu. Waktu untuk setiap bab : 3 menit, Waktu untuk seluruh buku : 30 menit 3. Buatlah sketsa tentang hal-hal yang Anda ketahui Waktu untuk setiap bab :3 menit. Waktu untuk seluruh buku : 30 menit 4. Siapkan pertanyaan Misalnya: Apa saja gagasan utamanya? Bukti apa saja yang mendukung? Apakah faktanya aktual? Apakah kesimpulannya sudah diuji? Apa saja hal yang baru? Apa yang dapat saya manfaatkan dari sini? Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam Membaca Cepat Waktu untuk setiap bab: 3 menit. Waktu untuk seluruh buku: 30 menit. 5. Bacalah teks setiap bab, satu per satu. Bacalah dengan kecepatan sekitar 15 – 20 detik per halaman. Di tahap ini, anda dapat menggarisbawahi gagasan-gagasan baru dan menuliskan tanda cek atau tanda tanya. Waktu untuk setiap bab:8 menit. Waktu untuk seluruh buku: 80 menit 6. Tinjauan balik. Baca kembali bab tersebut, dengan cara berhenti di bagian yang sulit dan memahami kaitan antara berbagai gagasan dan argument, yakni untuk memahami pola argumen tersebut. Bacalah dengan bersuara bagian-bagian yang sulit dipahami. Waktu untuk setiap bab: 8 menit. Waktu untuk seluruh buku: 80 menit. 7. Buatlah catatan. Dalam bentuk peta belajar, jika Anda suka. Waktu untuk setiap bab: 10 menit. Waktu untuk seluruh buku:100 menit. 8. Ulangi. Hari berikutnya, lihatlah kembali catatan Anda selama 10 menit. Tambahkan 5 – 10 menit lagi untuk seminggu kemudian, dan 5 – 10 menit lagi sebulan kemudian. Waktu untuk seluruh buku: 30 menit. Cara membaca dengan delapan tahap ini semestinya akan membuat pembaca atau siswa mampu memahami buku ajar 250 halaman dengan tingkat tinggi, dengan waktu total yang dipakai 360 menit, termasuk membuat catatan. (kira-kira 6 jam). Waktu itu mencakup kegiatan membaca aktif yang banyak, membuat catatan, dan mengulang. Ini berarti dua kali lebih cepat daripada orang tak terlatih yang membaca buku ajar 250 halaman satu kali. Bila latihan ini sering dilakukan siswa akan mudah mengikuti pelajaran di sekolah dan mendapatkan nilai terbaik. Penutup Membaca cepat bukan hanya semata-mata membaca dengan kecepatan tinggi tanpa memahami isinya, tetapi sesungguhnya merupakan suatu teknik untuk memusatkan perhatian terhadap isi bacaan yang pada akhirnya mendapatkan apa yang siswa butuhkan. Membaca cepat merupakan keterampilan lanjut atau kelanjutan dari membaca permulaan yang perlu mendapat perhatian khusus bagi para pendidik untuk meningkatkan hasil belajar anak didiknya. Berdasarkan hasil pengukuran membaca cepat yang dilakukan pada siswa kelas VII SMP Kristen 1 BPK PENABUR hanya 25% yang memiliki kemampuan membaca cepat. Bagaimana akan memperoleh hasil belajar yang memuaskan jika anak didik kita belum mampu membaca cepat. Untuk itu faktor-faktor penghambat dalam membaca cepat dan usaha meningkatkan kemampuan membaca cepat perlu dipelajari dan dilatih secara cepat dan baik di kalangan pelajar tingkat rendah maupun tingkat tinggi. Kemampuan membaca cepat sangat membantu dalam lingkungan dunia pendidikan khususnya bagi para pelajar pada saat materi bacaan yang diberikan di sekolah sangat banyak jumlahnya. Sehingga siswa memperoleh hasil belajar yang memuaskan. Daftar Pustaka Asep Ganda Sadikin, dkk. (2004). kompeten berbahasa persatuan bahasa Indonesia untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Penerbit Grafindo Media Pratama Atar, Semi M. (1976). Beberapa pokok pikiran menata pengajaran membaca. Penataran Guru-Guru SMP Regional II Padang Ginting, Vera, Dr. MA: Penguatan membaca, fasilitas sekolah dan keterampilan dasar membaca serta minat baca murid, Jurnal Pendidikan PENABUR, Jakarta, 2005 Hernowo. (2003). Quantum reading. Bandung: Penerbit MLC Kamarudin, Drs. (1993). Diktat kemampuan membaca cepat.. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jambi Kathryn, Redway (1988). Membaca cepat. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo Soedarso. (1985). Sistem membaca cepat dan efektif. Jakarta: Gramedia Tarigan, H.G. (1980). Membaca sebagai suatu keterampilan berbahasa. Bandun: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 27 Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme Opini Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme tentang Pemerolehan Bahasa Pertama Theresia Kristianty*) Abstrak Teori Behaviorisme mengatakan bahwa peniruan sangat penting dalam mempelajari bahasa. Teori ini juga mengatakan bahwa mempelajari bahasa berhubungan dengan pembentukan hubungan antara kegiatan stimulus-respon dengan proses penguatannya. Proses penguatan ini diperkuat oleh suatu situasi yang dikondisikan, yang dilakukan secara berulang-ulang. Sementara itu, karena rangsangan dari dalam dan luar mempengaruhi proses pembelajaran, anak-anak akan merespon dengan mengatakan sesuatu. Ketika responnya benar, maka anak tersebut akan mendapat penguatan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Saat proses ini terjadi berulang-ulang, lama kelamaan anak akan menguasai percakapan. Kata kunci : Behaviorisme, Operant Conditioning, Kegiatan Stimulus-Respons, Reinforcement Process The behaviouristic says that imitation is very important in language learning. It also says that learning a language concerns the formation of stimulus-respond relationship combined with the reinforcement process. The process is strengthened by a conditioning situation which is done through repeatation. Meanwhile, since internal and external stimulis influence the learning process, the influence makes the children respond the stimulis by saying something. When the saying is right, the children will get a strengthening action from the adults surrounding.When this process occours repertively, the children soon master the saying. Pendahuluan Pengertian Bahasa Pertama, Kedua dan Asing ebelum mendiskusikan pandangan kaum Behaviorisme tentang pemerolehan bahasa pertama, ada baiknya terlebih dahulu memahami istilah-istilah berikut ini: bahasa pertama, kedua, asing, dan pemerolehan bahasa pertama. Pemerolehan bahasa pertama terjadi apabila pemelajar, biasanya anak yang sejak semula tanpa bahasa dapat berbahasa. Jadi, bahasa pertama ialah bahasa yang pertama kali dikuasai seseorang. Bahasa kedua ialah bahasa yang dimiliki seseorang sesudah ia menguasai bahasa pertamanya, dan bahasa tersebut digunakan sebagai alat komunikasi berdampingan dengan bahasa pertama. Bahasa kedua tersebut biasanya diperoleh dalam lingkungan sosial tempat bahasa S *) Dosen Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta 28 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 itu digunakan. Sementara itu, istilah bahasa asing digunakan untuk menyatakan bahasa yang diperoleh di dalam lingkungan tempat bahasa tersebut biasanya tidak digunakan (yakni biasanya melalui pembelajaran) dan kalau sudah diperoleh, bahasa tersebut tidak digunakan oleh pemelajar dalam situasi rutin, sehari-hari (Klien, 1986). Contoh berikut ini memperjelas uraian di atas, coba perhatikan. Ika, seorang anak yang lahir dan tumbuh di lingkungan berbahasa Sunda menguasai untuk pertama kalinya bahasa Sunda. Maka, bahasa pertamanya ialah bahasa Sunda. Kemudian, setelah agak besar ia dapat berbahasa Indonesia, maka bahasa keduanya ialah bahasa Indonesia. Bila kemudian ia dapat berbahasa Jawa, maka bahasa tersebut menjadi bahasa ketiganya, dan seterusnya. Di Indonesia, pada umumnya, bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua masyarakatnya. Namun, di kota-kota besar dan di lingkungan keluarga campuran antarsuku, bahasa pertama Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme berbeda, biasanya bahasa Indonesia adalah bahasa pertama anak-anak di lingkungan tersebut. Sedangkan bahasa Inggris di Indonesia disebut sebagai bahasa asing. Disebut demikian karena bahasa ini datang dari luar dan tidak digunakan oleh masyarakat Indonesia secara umum untuk berkomunikasi sehari-hari. Namun, di Singapura dan Filipina, umpamanya, bahasa Inggris adalah bahasa kedua karena sebagaian besar masyarakat tersebut memperoleh bahasa Inggris sebagai bahasa kedua dan menggunakannya dalam berkomunikasi seharihari, di rumah, di sekolah, di tempat bekerja dan sebagainya. Pemerolehan Bahasa Pertama Setiap anak yang normal pada sekitar umur lima tahun dapat berkomunikasi dalam bahasa yang digunakan di lingkungannya, walaupun tanpa pembelajaran formal. Dalam usia ini pada umumnya anak-anak telah menguasai sistem fonologi, sintaksis dan semantik dari bahasa pertamanya, yang juga disebut dengan bahasa ibunya. Penguasaan ini diperolehnya secara bertahap. Mula-mula, selagi bayi dia mengoceh yang biasanya ocehannya tidak dipahami oleh orangtuanya atau orang yang berada di lingkungannya. Sekitar satu tahun, ia dapat mengucapkan kata-kata pertamanya, misalnya “Mama”, “Mamam”, dan “Papa”. Dalam usia ini ujarannya terdiri atas satu kata yang mengekspresikan gagasan yang kompleks dengan makna yang bervariasi tergantung pada konteks. Kata “Mam”, misalnya dapat berarti “Lihat saya sedang makan”, atau “Saya ingin makan”, atau mungkin saja “Ibu sedang makan”, tergantung konteks situasi ketika ujaran itu diucapkan. Tahap berikutnya pada umur kurang lebih dua tahun ia dapat mengkombinasikan dua atau tiga kata dalam bentuk ujaran untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya ataupun untuk menyuruh dan tindakan lainnya. Pada umur tiga tahun kemampuan berbahasanya sangat meningkat dan pada usia kurang lebih lima tahun ia telah mampu menguasai struktur yang kompleks, perbendaharaan katanya berkembang dan kemampuan komunikasinya meningkat. Ada tiga pandangan utama tentang pemerolehan bahasa pertama. Pandangan pertama yakni teori Behaviorisme yang menyatakan bahwa anak dilahirkan sebagai tabula rasa, papan bersih yang tidak tahu dunia ataupun bahasa dan anak-anak dibentuk oleh lingkungan. Menurut aliran ini pemerolehan bahasa ialah pemerolehan kebiasaan (habits). Pandangan kedua ialah pandangan Nativis yang berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa kemampuan berbahasa dengan dimilikinya Alat Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device atau disingkat LAD). Pandangan ketiga ialah pandangan kognitif yang beranggapan bahwa anak dilahirkan dengan kemampuan berpikir dan di dalamnya termasuk kemampuan berbahasa, dan kemampuan ini berkembang karena adanya interaksi dengan orang dan dunia sekitarnya. Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah hanya pandangan Behaviorisme. Pandangan Behaviorisme terhadap Pemerolehan Bahasa Pertama Menurut pandangan kaum Behaviorisme bahasa adalah bagian penting dari keseluruhan tingkah laku manusia. Kaum Behaviorisme ini menamakan bahasa sebagai perilaku verbal (verbal behavior). Untuk membangun teori tentang pemerolehan bahasa, para pakar aliran ini memusatkan perhatian mereka pada aspek-aspek bahasa yang kasat mata, yang teramati, sehingga data mereka adalah ujaran-ujaran tersebut. Teori Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa bersumber pada teori-teori pembelajaran Behavioristic (Behaviorisme Learning Theories). Ada dua teori utama yang dikembangkan oleh para pakar Behaviorisme yakni Classical Conditioning dan Operant Conditioning. Penjelasan berikut ini berdasarkan sumber utama dari Angelis dan Martin (1980) dan Clark (1975). Prinsip-Prinsip Teori Pembelajaran Behaviorisme (Behaviorisme LearningTheory) Dalam teori Behaviorisme ada tiga konsep penting: rangsangan (stimulus) yang disimbolkan dengan S, tanggapan atau respons (response) dengan simbol R, dan penguatan (reinforcement) dengan simbol P. Istilah stimulus mengacu pada semua hal atau perubahan yang ada dalam lingkungan. Kata-kata atau kalimat dalam tulisan ini adalah contoh dari rangsangan. Stimulus dapat berasal dari luar (external stimulus), misalnya suara keras, suara manusia, ujaran atau sinar dan dapat dari dalam (internal stimulus) misalnya rasa lapar, atau Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 29 Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme keinginan untuk berbicara. Respons mengacu pada perubahan perilaku yang melibatkan adanya aktivitas yang disebabkan oleh otot dan kelenjar. Sama halnya dengan stimulus, respons bisa berupa respons luar (external) dan respons dalam (internal). Penguatan (reinforcement) adalah peristiwa atau sesuatu yang dianggap sebagai hadiah atau hukuman yang menyebabkan makin besarnya kemungkinan stimulus (S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu, menyebabkan makin besarnya kemungkinan stimulus (S) tertentu menghasilkan respons (R) tertentu. Belajar dapat digambarkan sebagai pembentukan hubungan antara S dan R. Atau dengan kata lain, belajar adalah kecenderungan S tertentu menghasilkan R tertentu. Prinsip yang menjadi dasar dari pendekatan pembelajaran S-R pada penelaahan perilaku ialah classical conditioning dan operant conditioning. Kedua prosedur pengkondisian ini mulai dari penelitian pada bagaimana hewan belajar dan diperluas pada pembelajaran bahasa. Prosedur conditioning ini dijadikan dasar untuk program pengajaran bahasa kepada tuna rungu dan tuna grahita. Para pakar psikolog juga mengaplikasikan prinsip-prinsip pengkondisian dan pembelajaran makna dan bentuk-bentuk gramatika. Teori Classical Conditioning Classical conditioning yang juga disebut sebagai teori contiguity (keterdekatan dua objek atau lebih tanpa diselingi hal lain) dikembangkan oleh ahli fisiologi Rusia, Ivan Petrovich Pavlov (1894-1936). Dalam mengembangkan teori ini, Pavlov melakukan serangkaian percobaan. Bagaimana percobaan atau eksperimennya? Marilah kita ikuti paparan berikut ini. Dalam ekperimennya ia menunjukkan makanan kepada anjing yang kemudian memakan makanan itu. Setiap kali ditunjukkan makanan, anjing itu mengeluarkan air liur. Tampak bahwa makanan yang di sini disebut unconditional stimulus (UCS) menyebabkan respons (R), keluarnya air liur. Pada percobaan-percobaan berikutnya, bel dibunyikan sebelum makanan ditunjukan kepada anjing. Sesudah beberapa kali percobaan, anjing mulai mengeluarkan air liur sebagai respons terhadap bunyi bel saja. Dengan kata lain anjing tersebut telah terkondisi (terbiasa) untuk memindahkan (mentransferkan) responnya, dalam hal ini keluarnya air liur dari stimulus adalah wajar, yakni makanan ke 30 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 stimulus yang terkondisi (conditioned stimulus) dalam hal ini bunyi bel. Diagram di bawah ini menunjukkan penjelasan di atas. Unconditioned stimulus (UCS) (makanan) R Keluarnya air liur Conditioned stimulus (CS) (Bunyi bel) Gambar 1. Classical Conditioning Sementara itu, stimulus makanan disebut unconditioned stimulus karena stimulus itu dapat menimbulkan respons tanpa adanya pelatihan atau pembelajaran. Stimulus bunyi bel disebut conditioned stimulus atau stimulus terkondisi karena rangsangan ini dapat menimbulkan respons (R) yakni keluarnya air liur setelah latihan berulang kali dengan memasangkannya bersamaan dengan stimulus makanan. Respons yang ditimbulkan oleh conditioned stimulus disebut respons terkondisi (conditioned respons). Penemuan Pavlov tentang kaitan antara stimulus dan respons ini berpengaruh besar terhadap pandangan para ahli tentang psikologi belajar. Berdasarkan penemuan Pavlov ini, John B. Watson dari Amerika Serikat menciptakan istilah behaviorism. Ia menggunakan teori classical conditioning untuk segala yang bertalian dengan belajar. Dengan proses pengkondisian, dibentuk serangkaian kaitan stimulus-respons, dan tingkah laku yang lebih rumit dipelajari dengan membentuk rangkaian-rangkaian respons. Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat, sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respons emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan. Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh berikut ini. Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata “Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respons makna yang tidak menyenangkan bagi Yudi. Jika Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme hal ini terjadi berulang kali dan respons emosional sudah ditransferkan dari hukuman fisik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respons emosional, sama halnya dengan bunyi bel menimbulkan respons air liur. Dengan demikian, ibu tersebut telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami makna “Tidak” yang berarti suatu larangan. Teori Operant Conditioning Teori Operant Conditioning dikemukakan oleh tokoh psikologi B.F. Skinner dengan karyanya yang terkenal berjudul Verbal Behavior (1957). Menurut Skinner, perilaku yang berpengaruh pada lingkungan disebut perilaku operant (to operate: menghasilkan efek yang dikehendaki, mempengaruhi). Operant Conditioning merujuk pada pengkondisian atau pembiasaan di mana manusia memberikan respons atau operant (kalimat atau ujaran) tanpa stimulus yang tampak; operant ini dipelajari dengan pembiasaan (conditioning). Dalam proses pemerolehan bahasa pertama peran peniruan (imitation) dianggap sangat penting. Berdasarkan percobaan-percobaan pada tikus dan burung dara, Skinner berkesimpulan bahwa perilaku atau respons yang diikuti oleh penguat (reinforce) positif cenderung akan diulangi, sedangkan respons-respons yang diikuti oleh hukum atau tidak diikuti oleh penguat cenderung melemah untuk kemudian menghilang. Dengan demikian, dalam lingkup pembelajaran bahasa, pembelajaran perilaku bahasa yang efektif terdiri atas pemberian respons yang tepat terhadap rangsangan yang ada, dan hubungan antara rangsangan dan tanggapan menjadi kebiasaan karena adanya penguatan (reinforcement). Bila seorang anak mengucapkan sesuatu yang kebetulan sesuai (appropriate) dengan situasi, ibunya atau orang disekitarnya menghadiahinya dengan anggukan, ucapan, senyuman, atau tindakan yang lain yang menunjukkan persetujuan. Hal ini akan mengakibatkan respons yang sama akan terjadi lagi dalam situasi yang sama. Namun, jika ujarannya tidak benar, si ibu tidak mengatakannya. Maka akan kecil kemungkinan terjadinya respons yang sama dalam situasi yang sejenis. Untuk jelasnya mari kita pelajari contoh sederhana berikut. Jika Tobi mengatakan “Num”, dan diberi air minum, maka dia akan menggunakan kata “Num” lagi bila ia ingin minum. Sebaliknya, bila ia misalnya, mengatakan, “Ta” tanpa diiringi penguatan dari ibunya atau orang di sekitarnya, maka ia cenderung untuk tidak mengucapkan kata tersebut untuk meminta air minum. Penjelasan di atas selain digunakan untuk menerangkan bagaimana anak menghasilkan ujaran, juga digunakan untuk menjelaskan bagaimana anak memahami ujaran. Jika anak memberi tanggapan dengan benar terhadap rangsangan lisan, maka ia diberi hadiah atau imbalan, misalnya berupa senyuman, ucapan atau pujian. Dengan cara ini, ujaran-ujaran orang dewasa menjadi rangsangan-rangsangan bagi anak untuk menanggapinya. Anak akan menunjukkan bahwa ia memahami ujaran yang didengarnya, dan ia pun mampu menghasilkan wicara yang sesuai dengan situasi. Bagaimanakah dengan perkembangan sintaksis anak? Dalam perkembangan sintaksis anak, proses pemerolehan berarti generalisasi dari satu situasi ke situasi lain, dan dalam setiap situasi pola-pola linguistik yang benar diperkuat oleh orang-orang dewasa di sekitar anak tersebut. Di lain pihak, pola-pola linguistik yang tidak benar tidak diperkuat, dan lambat laun akan hilang dengan sendirinya. Kritikan-kritikan Terhadap Pandangan Behaviourisme Telah dikemukakan di muka bahwa menurut pendekatan Behaviorisme, perilaku bahasa dibentuk dengan peniruan-peniruan. Tampaknya ini ada benarnya, mengingat bahasa pertama yang diperoleh anak-anak sama dengan bahasa yang digunakan oleh orang di sekitarnya. Ini tampak dari kenyataan, misalnya, anak yang dilahirkan dan tumbuh di lingkungan yang berbahasa Melayu Manado akan menguasai bahasa Melayu Manado, bukan Melayu Riau ataupun bahasa Jawa. Namun, faktor peniruan ini banyak diragukan oleh pakar di luar pendekatanan Behaviorisme, khususnya para pakar dari aliran Nativisme. Mereka berpendapat bahwa belajar bahasa terjadi bukan karena meniru. Mari kita pelajari beberapa kritikan mereka terhadap pandangan Behaviorisme beserta dengan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 31 Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme alasan-alasannya. Kritikan-kritikan ini disarikan dari Anglis dan Martin (1980) dan hasil penelitian Clark (1982). 1. Kaum Nativis berpendapat bahwa ujaran anak bukan tiruan dari apa yang didengarnya dari orang tuanya atau orang di sekitarnya. Anak yang berbahasa Inggris mengucapkan All gone milk tentunya bukan karena ia meniru tuturan orang tuanya. Bahkan mungkin orang tuanyalah yang menirukan ujaran anaknya. Demikian pula, kesalahankesalahan yang dibuat anak bukan berdasarkan tiruan (imitation), karena kesalahan-kesalahan ini tidak diucapkan oleh orang dewasa. Misalnya kalimat We goed to the park, yang diucapkan oleh anak bukanlah yang didengarnya dari orang tua atau orang di sekitarnya. 2. Berdasarkan kenyataan yang ada, anak-anak dapat membentuk kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka dengar. Mereka dapat menyusun kalimat berdasarkan kombinasikombinasi dari kata-kata yang sudah mereka kuasai, tetapi kalimat-kalimat atau ujaranujaran tersebut belum pernah mereka dengar. Jika belajar bahasa hanya berdasarkan peniruan, maka tidaklah mungkin anak dapat menyusun kalimat atau ujaran yang belum pernah mereka dengar. 3. Anak-anak, apapun bahasa atau ragam bahasa yang dipelajarinya, mempunyai pola perkembangan kemampuan berbahasa yang relatif sama. Hasil penelitian Brown (1970), yang dikutip oleh McNeill (1973), umpamanya, menunjukan bahwa anak-anak dalam memperoleh bahasa Inggris melalui paling tidak dua tahap. Pada tahap I, ujaran anak-anak rata-rata terdiri atas dua morfem, dan ujaran-ujaran mereka terdiri atas kata penuh (content words) terutama kata benda dan kata kerja. Keuniversalan ini tentunya bukan karena tiruan saja, karena anak-anak terpajan (exposed) oleh bahasa atau ragam bahasa yang berbeda. 4. Hasil-hasil penelitian, misalnya penelitian Eve V. Clark (1982), menunjukkan bahwa anak-anak menciptakan kata-kata atau kalimat yang tidak digunakan oleh orang di sekitarnya. Clark menyebut kemampuan ini sebagai kretivitas leksikal (lexical creativity). Berikut ini beberapa contoh yang diberikannya. Plate-egg dan cup egg untuk fried 32 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 5. egg dan boiled egg, lesonner untuk teacher, salter untuk more saltier lawning untuk moving the lawn; the he’s keying door ketika seorang anak (berumur tiga tahun) melihat orang membuka pintu dengan kunci. Demikian juga, kaum Nativis meragukan faktor penguatan. Kenyataan menunjukkan bahwa orang tua atau orang di sekitar anak, memberikan penguatan bukan pada ujaran yang berbentuk benar, melainkan pada benar tidaknya informasi yang terkandung dalam ujaran. Contoh yang klasik ialah penelitian Brown dan kawan-kawan (1968) yang dikuti oleh McNeill (1970). (parental approval) diberikan pada benar tidaknya kepunyaan Mickey, maka jawabannya ialah No. Namun, jika anak mengatakan That Mickey’s yang seharusnya That’s Mickey’s, maka orang tuanya menyetujuinya dengan mengatakan, Yes. Jika persetujuan sama dengan penguat, maka persetujuan akan memperbesar kemungkinan terciptanya bentuk-bentuk kalimat yang salah, disamping kalimatkalimat yang benar. Penutup Dalam tulisan ini telah dibahas pandangan Behaviorisme terhadap pemerolehan bahasa pertama. Dalam hal ini, kaum Behaviorisme, menekankan pentingnya peniruan dan menyatakan bahwa belajar bahasa melibatkan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons dan penguatan. Pembentukan ini terjadi melalui proses pembiasaan (conditioning) dan pengulangan-pengulangan. Dikatakan,karena adanya stimulus internal atau eksternal, anak memberikan respons dengan mengucapkan ujaran tertentu, dan jika ujaran itu benar ia akan menerima penguatan dari orang dewasa di sekelilingnya. Bila hal ini terjadi berulang kali, maka ujaran-ujaran tersebut telah dikuasai. Pandangan-Pandangan Teoritis Kaum Behaviorisme Daftar Pustaka Angleis, Paul J. dan Martin, Clessen J. , E. Helmut Esan (ed.). (1980). Psycholinguistic: Two viewsLanguage and communication. Columbia: SC: Hornbeam Press, Incorporated Brown, H. Douglas. (1987). Priciples of language learning and teaching: 2nd Edition. Englewood Cliffs: Prentice Hall Regents Clark, Eve V, The Young World Maker. A Case Study of Innovations in the Child’s Lexicon, dalam (eds) E. Wanner dan L.R. Gleitman. (1982). Language acquisition: The state of the art. Cambridge: CUP Clark, Hebert H dan Clark, Eve V. (1977). Psychology and Language: An antroduction to psychologuistics. New York: Hartcourt Brace Jovanovich Clark, Ruth. (1980). Adult Theories, Child Strategies and Their Implecations for the Language Teacher dalam (eds) J.P.B. Allen dan S. Pit Corder, Papers in Applied Linguistics. Oxford: OUP Elliot, Alison J. (1987). Child language. Cambridge: CUP Ellis, R. (1989). Understanding second language ac- quisition. Oxford: OUP Hamid, Zulkifley. (1989). Hipotesis nurani dan pemerolehan bahasa pertama, dalam Jurnal Bahasa, Oktober, pp. 770-777 Karmiloff – Smith, Annette. (1979). A functional approach to child language: A study of determiners and reference. Cambridge: CUP Klien, Wolfgang. (1986). Second language acquisition. Cambridge: CUP McNeill, David. (1970). The acquisition of language: The study of developmental psychologuistics. New York: Happer & Row Publishers Monks, F.J. Knoers, A.M.P, Haditono, Sri Rahayu. (1992). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagainya. Yogyakarta: Gajah Madda University Press Purwo, Bambang Kaswanti. (1990). Perkembangan Bahasa Anak Dari Lahir sampai Masa Sekolah, dalam (ed) B.K. Purwo, Pellba 3: Pertemuan linguistik lembaga bahasa Atma Jaya: Ketiga. Yogyakarta: Kanisius Subyakto, Nababan, Sri Utari. (1992). Psikolingusitik: Suatu pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 33 Opini Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia: Sebuah Pemikiran Petrus Trimantara*) Abstrak Untuk mengetahui tingkat kompetensi guru diperlukan seperangkat alat tes kompetensi yang memenuhi standar sehingga dapat mengukur tingkat kompetensi dan profesionalisme guru sesuai dengan standardisasi mutu pendidikan. Tulisan ini membahas langkah-langkah untuk merancang soal yang relevan dengan sasaran kompetensi guru bahasa Indonesia. Berkaitan dengan tes kompetensi guru bahasa Indonesia, ada dua bentuk tes yang perlu diperhatikan dalam penyusunan alat tes. Pertama, bentuk tes untuk mengukur kemampuan kognitif guru, meliputi kemampuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan kemampuan bersastra. Kedua, bentuk tes mengukur kemampuan psikomotor guru meliputi kemampuan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan kemampuan bersastra. Kata kunci: Standardisasi, tes kompetensi, tes kognitif, tes psikomotor To know the competency level of teacher, we need a set of competency test to measure the competency level and the teacher’s professionalism in accordance with the education quality standardization. This article discusses important steps to construct the treat items, particulary for the teacher of Indonesia language.For the purpose two test forms to be considered. The first tes is the form that can measure Indonesian language teacher’s cognitive ability. Covering phonology ability, morphology, syntax, semantic, discourse, and literature ability. The second is the test form to measure the psychomotoric ability of covering the listening, speaking, writing,reading, and literature ability. Pendahuluan iundangkannya Undang-undang Guru dan dosen pada tanggal 6 Desember 2006 memberikan harapan baru yang lebih baik bagi guru dan dosen. “Lahirnya” UU yang terdiri dari 8 bab dan 84 pasal ini diharapkan dapat memberikan jaminan perlindungan hukum bagi para guru dan dosen untuk memperoleh hakhaknya sebagai pengembangan profesi. Pengesahan UU Guru dan Dosen merupakan sejarah perjuangan panjang yang penting dan monumental bagi perkembangan dunia pendidikan nasional. Secara yuridis formal, dengan diberlakukannya UU ini, guru dan dosen mendapat pengakuan baik secara hukum maupun politik sebagai tenaga profesional. Ada dua hal yang penting dalam undang-undang tersebut. Pertama, jaminan kehidupan/ D *) Guru SMAK 2 BPK PENABUR Bandung 34 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 kesejahteraan yang lebih baik bagi guru dan dosen. Berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan, ada beberapa hal penting yang diatur dalam UU tersebut, yaitu: 1. Pemerintah akan memberikan sarana kemudahan terhadap guru yang memiliki sertifikat pendidikan berupa tunjangan fungsional dan maslahat tambahan paling lama 10 tahun atau sampai guru tersebut telah memenuhi kewajiban memiliki sertifikat pendidikan. 2. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik baik bagi guru yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun guru yang diangkat oleh masyarakat/swasta. 3. Pemerintah akan memberikan tunjangan profesi setara dengan satu kali gaji pokok guru yang diangkat oleh pemerintah, Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia pemerintah daerah, maupun masyarakat/ swasta pada tingkatan, masa kerja, dan kualifikasi yang sama. 4. Pemerintah akan memberikan subsidi tunjangan fungsional kepada guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat/swasta. 5. Pemerintah akan memberikan maslahat tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi guru, serta kemudahan untuk memperoleh pendidikan bagi putra dan putri guru, pelayanan kesehatan, atau bentuk kesejahteraan lain. 6. Pemerintah akan memberi tunjangan khusus sebesar satu kali gaji pokok guru yang diangkat pemerintah dan ditempatkan di daerah khusus. Kedua, adanya proses peningkatan kualitas dan profesioalisme guru dan dosen. Peningkatan kualitas dan profesinalisme guru ini dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, kualifikasi akademik. Kualifikasi akademik adalah ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan. Peningkatan kualitas akademik ini dilakukan melalui pendidikan tinggi program sarjana(S1) atau program diploma empat. Dengan demikian, guru yang belum memperoleh pendidikan tinggi sarjana(S1) atau program diploma empat harus mengambil program itu atas biaya pemerintah. Kedua, peningkatan kompetensi guru. Peningkatan kompetensi guru meliputi empat aspek yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesionalisme, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Ketiga, peningkatan kualitas dan profesionalisme guru melalui program sertifikasi. Program sertifikasi guru ini akan dilakukan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi. Jaminan kesejahteraan dan peningkatan kualitas/ profesionalisme guru merupakan dua hal yang bersinergi. Profesionalisme guru akan berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan guru. Dengan peningkatan profesionalisme guru yang ditunjukkan dengan kompetensinya, para guru akan mendapatkan kesejahteraan yang diharapkan. Dengan demikian, kompetensi guru dalam melaksanakan profesionalismenya menjadi syarat penting karena hanya guru yang berkompetenlah yang akan mendapatkan tunjangan kesejahteraan. Berdasarkan hal tersebut, uji kompetensi atau tes kompetensi yang belakangan ini banyak dilakukan bagi guru, baik guru negeri maupun guru swasta, harus benar-benar dapat digunakan untuk mengukur kompetensi guru yang sebenarnya. Fakta Empiris Kompetensi Guru Dalam harian Pikiran Rakyat, tanggal 15 Desember 2005, guru besar UPI, Prof. Nanang Patah, M.Pd., mengatakan bahwa sebagian besar guru di Indonesia tidak layak mengajar. Untuk meyakinkan, dikemukakan data sebagai berikut. Tabel 1: Persentase Guru Tidak Layak Mengajar Jenjang Pendidikan Banyaknya Guru Tidak Layak Mengajar Persentase SD 605.217 49,3 SLTP 167.643 35,9 SMA 75.684 32,9 SMK 63.961 43,3 Dalam data tersebut terlihat bahwa persentase guru SMA yang tidak layak mengajar masih cukup besar, yaitu sebanyak 75.684 orang atau 32,9 %. Meskipun jika dibandingkan dengan ketidaklayakan guru SD, SLTP, dan SMK persentase guru SMA yang tidak layak mengajar masih relatif lebih kecil, ketidaklayakan itu perlu mendapatkan perhatian yang serius. Apakah jadinya anak-anak bangsa ini jika diajar oleh seorang guru yang sebenarnya tidak layak mengajar? Penanaman konsep yang salah tentunya akan membawa pengertian yang salah juga pada siswa. Ada dua faktor yang menyebabkan guru tidak layak mengajar. Pertama, tingkat kesesuaian guru mengajar. Banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan tingkat keahliannya. Misalnya, guru BP mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia. Hal ini dilakukan oleh sekolah karena keterbatasan biaya. Di samping itu, pelajaran Bahasa Indonesia dianggap sebagai pelajaran yang mudah yang bisa diajarkan oleh siapa saja. Kedua, rendah dan beragamnya kualitas guru. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 35 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia Guru yang mengajar sesuai dengan bidang studi pun masih banyak yang tidak menguasai materi. Pekerjaan mengajar dijalani oleh guru sebagai hal yang rutin sehingga tidak dilakukan persiapan mengajar yang cukup matang. Bahkan, pelatihan guru dan kegemaran guru membaca hal-hal yang berkaitan dengan materi pelajaran jarang dilakukan. Hal ini jarang dilakukan guru dengan berbagai alasan klasik, seperti guru sibuk dan kesejahteraan kurang. Bagaimana dengan guru bahasa Indonesia? Bagaimanakah kompetensi guru bahasa Indonesia? Dari data Balitbang Diknas ditemukan data yang mengejutkan, yaitu data perolehan nilai rata-rata bahasa Indonesia siswa SMA secara nasional sebagai berikut. untuk memperdalam bahasa. Bagaimana mungkin kemampuan siswa yang khusus mempelajari bahasa justru lebih rendah dari kemampuan siswa yang secara tidak khusus mempelajari bahasa? Ada apa dengan pembelajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia? Siapa yang patut dipersalahkan? Meskipun hal ini tidak terlepas dari in put siswa, namun peran guru, khususnya kompetensi guru bahasa Indonesia tetap perlu mendapatkan perhatian. Perlu Standardisasi Mutu Pendidikan Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 Jumlah Rata-rata Nilai ditetapkan bahwa Siswa Nilai B. Indonesia proses pendidikan h e n d a k n y a 180.791 5,56 dilaksanakan 185.229 4,99 berdasarkan 14.487 4,74 standar tertentu, yang meliputi 332.207 5,74 standar isi, standar 500.015 5.05 proses, standar 23.332 5,29 kompetensi lulusan, standar 306.495 5,34 kompetensi 493.864 4,67 pendidik dan 27.289 5,06 t e n a g a kependidikan, 359.804 5,80 standar sarana dan 554.039 5,13 prasarana, standar pengelolaan, 28.675 4,48 s t a n d a r 376.882 5,60 pembiayaan, dan 578.087 4,93 standar penilaian. Salah satu 28.617 4,66 standar yang perlu dipenuhi adalah standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan seperti diatur dalam PP No. 19 tahun 2005, pasal 28 ayat 1 sampai ayat 5 yang menegaskan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik pendidik adalah sarjana S1 atau Diploma empat dengan spesifikasi program akta IV. Sedangkan kompetensi Guru, secara umum, dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditetapkan Tabel 2 : Rata-rata NEM SMA Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Tahun Program Status Jumlah Sekolah 1998/1999 IPA Negeri/Swasta 3.361 IPS Negeri/Swasta 3.966 Bahasa Negeri/Swasta 443 IPA Negeri/Swasta 5.073 IPS Negeri/Swasta 5.998 Bahasa Negeri/Swasta 608 IPA Negeri/Swasta 5.228 IPS Negeri/Swasta 6.275 Bahasa Negeri/Swasta 796 IPA Negeri/Swasta 5.946 IPS Negeri/Swasta 6.946 Bahasa Negeri/Swasta 832 IPA Negeri/Swasta 6.155 IPS Negeri/Swasta 7.191 Bahasa Negeri/Swasta 856 1999/2000 2000/2001 2001/2002 2002/2003 Sumber data Balitbang Diknas Dari data tersebut terlihat bahwa perolehan nilai bahasa Indonesia dari tahun ke tahun masih belum memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan. Perolehan nilai bahasa Indonesia dari tahun 1998 – 2003 masih di bawah angka 6,00. Bahkan yang lebih memprihatinkan, nilai bahasa Indonesia untuk program Bahasa lebih rendah daripada nilai bahasa Indonesia untuk program IPA dan IPS (1998/1999, 2001/2002, 2002/2003), padahal program bahasa khusus 36 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia bahwa guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu: Pertama, kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan guru mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, kompetensi Profesional, yaitu kemampuan guru dalam menguasai materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Ketiga, Kompetensi kepribadian, yaitu kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Keempat, kompetensi sosial, yaitu kemampuan pendidik sebagai bagian masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/ wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. Secara kompetensi guru bahasa Indonesia meliputi: No. khusus, Kompetensi Sub Kompetensi 1. Pedagogik 2. Profesional Teori Pendidikan:a a. Memahami landasan pendidikan, filosofis, sosiologis, kultural, psikologis, ilmiah, dan teknologis. b. Memahami asas-asas pokok pendidikan c. Memahami aliran-aliran pendidikan d. Memahami teori belajar e. Memahami perkembangan peserta didik f. Memahami pendekatan sistem dalam pendidikan g .Memahami tujuan pendidikan nasional h .Memahami kebijakan-kebijakan pendidikan nasional i. Memahami kebijakan pendidikan di SMA Pengelolaan Pembelajaran Bahasa Indonesia: a. Mampu mengidentifikasi karakteristik peserta didik b. Mampu mengembangkan perencanaan pembelajaran bahasa Indonesia c. Mampu mengembangkan materi pembelajaran bahasa Indonesia d. Mampu mengembangkan metode, media, dan sumber belajar e. Mampu menentukan strategi pembelajaran f. Memiliki keterampilan dasar-dasar pembelajaran Bahasa Indonesia g. Mampu melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sesuai tujuan dan karakteristik bahasa Indonesia Evaluasi Pembelajaran: a. Menguasai konsep dasar evaluasi b. Mampu memilih dan mengembangkan metode evaluasi sesuai tujuan pembelajaran bahasa Indonesia c. Mampu mengembangkan instrumen evaluasi pembelajaran bahasa Indonesia d. Mampu melaksanakan evaluasi, penskoran, dan interpretasi hasil evaluasi e. Mampu menggunakan hasil-hasil evaluasi untuk kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia Menguasai pokok-pokok bahasan pembelajaran bahasa Indonesia yang meliputi: a. Keterampilan berbahasa Indonesia; 1. menyimak 2. berbicara Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 37 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia No. Kompetensi 3. 4. Sub Kompetensi 3. membaca 4. menulis b .Kebahasaan: 1. fonologi bahasa Indonesia 2. morfologi bahasa Indonesia 3. sintaksis bahasa Indonesia 4. semantik bahasa Indonesia 5. wacana bahasa Indonesia c. Materi Kesusastraan d. Keterampilan bersastra Kepribadian a. Memiliki sikap, nilai, moral, dan berprilaku sebagai pendidik b. Memiliki integritas dan dedikasi sebagai pendidik c. Memiliki komitmen terhadap pengembangan profesi d. Mampu mengkomunikasikan gagasan-gagasan secara efektif dalam forum ilmiah e. Menguasai metodologi penelitian dan memanfaatkan hasil-hasilnya untuk kepentingan pembelajaran f. Mampu mengadopsi dan mengembangkan inovasi-inovasi pendidikan Sosial a. Mampu membina hubungan dengan siswa b. Mampu membina hubungan dengan sesama guru c. Mampu membina hubungan dengan kepala sekolah d. Mampu membina hubungan dengan tenaga kependidikan e. Mampu membina hubungan dengan orang tua siswa f. Mampu membina hubungan baik dengan komite sekolah g. Mampu membina hubungan baik dengan pengawas Dari keempat kompetensi tersebut, kompetensi profesionalismelah yang membuat kompetensi guru bahasa Indonesia berbeda dengan kompetensi guru yang lain. Dalam pembelajaran bahasa, guru bahasa Indonesia selain harus mampu memahami teori kebahasaan juga harus memiliki kemampuan dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian, untuk mengukur profesionalisme guru bahasa Indonesia harus ada dua variabel, yaitu pemahaman teori kebahasaan dan praktik penggunaan bahasa. Cangelosi (1995: 71) mengatakan bahwa ada lima langkah penting dalam merancang soal yang relevan dengan sasaran kompetensi. Kelima langkah tersebut sebagai berikut. 1. Memusatkan pikiran pada isi dan kontruk perilaku sasaran. Dalam hal ini, isi dan perilaku sasarannya adalah kompetensi guru bahasa Indonesia Tabel 3: Persentase Materi Tes Guru Bahasa Indonesia No 38 Sasaran Kompetensi Persentase Penghitungan Jumlah Soal PG 1. Fonologi bahasa Indonesia 5 0,05 x 50 2 atau 3 2. Morfologi bahasa Indonesia 10 0,10 x 50 5 3. Sintaksis bahasa Indonesia 10 0,10 x 50 5 4. Semantik bahasa Indonesia 25 0,25 x 50 12 atau 13 5. Wacana bahasa Indonesia 30 0,30 x 50 15 6. Teori kesusastraan Indonesia 20 0,20 x 50 10 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia SMA. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada langkah pertama ini. Pertama, isi berkaitan dengan kemampuan kognitif guru bahasa Indonesia meliputi kemapuan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, dan sastra. Untuk menguji kompetensi kebahasaan guru bahasa Indonesia SMA, berikut dipaparkan persentase materi yang perlu mendapatkan penekanan dalam bentuk tes pilihan ganda yang berjumlah 50 soal yang dikerjakan dalam waktu 120 menit. Tes kompetensi guru bahasa Indonesia memang harus mencakup enam komponen/ sasaran kompetensi dengan persentase yang berbeda pada setiap jenjangnya. Misalnya, untuk guru bahasa Indonesia SD kemampuan fonologi dan morfologi tentunya harus mendapatkan porsi yang cukup besar jika dibandingkan dengan sasaran kompetensi yang lain. Untuk guru bahasa Indonesia SMA, kemampuan fonologi memang sudah tidak banyak lagi diperlukan sehingga persentasenya kecil (5%). Pembelajaran bahasa Indonesia di SMA lebih difokuskan pada pemahaman wacana sehingga kemampuan tentang wacana harus dikuasai guru. Dengan demikian, wacana perlu mendapatkan porsi yang cukup besar dalam tes kompetensi (30%). Kemudian diikuti oleh kemampuan semantik (25%), kesusastraan (20%), dan sintaksis (10%). Kedua, perilaku sasaran berkaitan dengan kemampuan psikomotor guru bahasa Indonesia yang meliputi kemampuan menyimak, membaca, berbicara, menulis, dan kemapuan bersastra. Tabel 4: Persentase Tes Keterampilan Berbahasa Guru Bahasa Indonesia No Sasaran Kompetensi Persentase 1. Keterampilan menyimak 15 2. Keterampilan membaca 15 3. Keterampilan berbicara 25 4. Keterampilan menulis 25 5. Keterampilan bersastra 20 Jumlah 100 Kompetensi guru bahasa Indonesia pada bidang menulis dan berbicara sangat diperlukan dalam pembelajaran bahasa di SMA. Sehingga dalam tes praktik, keterampilan menulis dan berbicara harus mendapatkan porsi yang besar, masingmasing (25%). Kemudian, keterampilan bersastra yang mampu untuk mengolah pikiran/logika dan rasa (20%). Sedapat mungkin kelima keterampilan berbahasa tersebut diujikan pada guru bahasa Indonesia. Dengan demikian, akan diperoleh gambaran yang jelas tentang keterampilan berbahasa guru bahasa Indonesia. Namun, karena keterbatasan waktu, dapat juga dipilih satu keterampilan berbahasa yang dipandang cukup signifikan dengan kebutuhan saat ini, misalnya saja keterampilan menulis. Bahkan, usaha mengetahui kompetensi keterampilan berbahasa guru bahasa Indonesia dapat dilakukan dengan mengamati hasil atau karya guru bahasa Indonesia tersebut. Misalnya, dengan memberikan penilaian terhadap karya atau tulisan guru bahasa indonesia yang dimuat di surat kabar atau bahkan dengan melihat sertifikat atau penghargaan yang diperoleh guru bahasa Indonesia tersebut berkaitan dengan keterampilan berbahasanya. Dengan demikian, penilaian terhadap kompetensi keterampilan berbahasa guru bahasa Indonesia ini akan benar-benar objektif. 2. Menjawab pertanyaan pertama dari dua pertanyaan yang berikut ini untuk mengukur aspek kognitif atau psikomotor; menjawab pertanyaan kedua untuk sasaran afektif: (a) Tugas apa yang dapat dilakukan guru setelah mencapai sasaran? (b) Perilaku apa yang diperlihatkan guru sebagai hasil mencapai sasaran itu? Perilaku kebahasaan guru bahasa Indonesia yang diharapkan adalah: 1. Menguasai dan memahami hakikat bahasa sebagai ilmu. Selain harus menguasai materi pembelajaran bahasa, guru bahasa Indonesia juga harus memahami bahasa sebagai ilmu pengetahuan. 2. Guru bahasa Indonesia harus gemar membaca karena dengan membaca dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kreativitas. Guru bahasa Indonesia harus akrab dengan berbagai macam bacaan, baik bacaan fiksi maupun nonfiksi. 3. Guru bahasa Indonesia harus gemar menulis sebagai media untuk mengungkapkan berbagai gagasan dan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 39 Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia pendapat mengenai berbagai persoalan yang dapat dituangkan di berbagai media, baik media sekolah, media lokal, maupun media nasional. 3. Kalau tugas yang dinyatakan pada langkah 2 tidak praktis untuk sebuah soal yang keterpakaiannya tinggi, perlu dirumuskan tugas pengganti yang: a. menuntut guru untuk menunjukkan keterampilan, kemampuan, atau sikap yang sama jenis- nya seperti yang dituntut oleh tugas yang dinyatakan pada langkah 2. b. praktis untuk dicakup dalam sebuah soal yang keterpakaiannya tinggi. 4. Menciptakan sarana yang dapat dipakai untuk menghadapkan guru pada tugas pada langkah 2 atau 3. Sarana yang dapat menunjang kegiatan guru bahasa Indonesia adalah: a. Perpustakaan Perpustakaan sekolah merupakan sarana yang sangat menunjang untuk kegiatan membaca. Perpustakaan yang lengkap, yang memuat berbagai macam buku, sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan guru. b. Media Cetak Media sekolah, baik berupa buletin, majalah dinding, maupun jurnal sekolah merupakan media yang tepat untuk menampung gagasan maupun opini guru. c. Internet Internet merupakan media yang tepat untuk mendapatkan berbagai pengetahuan dari berbagai belahan dunia. Kemajuan iptek menuntut guru harus akrab dengan internet. d. Kelompok Pecinta Sastra Kelompok pecinta sastra merupakan “paguyuban” orang-orang, baik guru maupun siswa, yang mempunyai perhatian khusus terhadap sastra. Kelompok ini dapat berupa kelompok teater, kelompok cerpenis, kelompok novelis, maupun kelompok pecinta puisi. 5. Merumuskan kunci skore soal Tes teori dan tes praktik mempunyai peranan yang sama dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Pemahaman teori kebahasaan yang mendalam akan menunjang penggunaan bahasa dalam kehidupan seharihari. Dengan demikian, penskoran tes kompetensi guru bahasa Indonesia antara tes 40 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 teori dan tes praktik pun juga harus sama. Penskoran tes kompetensi guru bahasa Indonesia adalah sebagai berikut. No Bentuk Tes Skore 1. Tes Teori 50 2. Tes Praktik 50 Jumlah 100 Dari jumlah skore akhir dapat diketahui kualifikasi guru bahasa Indonesia. Adapun kualifikasi hasil uji kompetensi guru bahasa Indonesia tersebut adalah sebagai berikut. Kualifikasi Hasil Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia Skore Kualifikasi 80 – 100 Sangat Baik 70 – 79 Baik 60 – 69 Cukup 50 – 59 Kurang < 50 Sangat kurang Penutup UU Guru dan Dosen mewajibkan setiap guru untuk diuji kompetensinya. Dengan demikian, uji kompetensi bersifat mengikat bagi semua guru, baik guru yunior maupun guru senior, bahkan guru yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Dengan jalan uji kompetensi, kegiatan belajar mengajar dapat dipertanggungjawabkan secara akademik terhadap generasi muda. Uji kompetensi bukan merupakan sesuatu yang perlu ditakuti oleh guru. Uji kompetensi justru dapat memberikan tiga hal yang bermanfaat bagi guru. Pertama, guru dapat merefleksikan potensi dan kompetensi yang dimilikinya. Kedua, dengan mengetahui kompetensi dirinya, guru dapat mengembangkan diri secara optimal sesuai dengan kebutuhan pembelajaran. Ketiga, diharapkan dengan hasil kompetensi yang baik, guru akan mudah mendapatkan sertifikasi pendidikan yang akhirnya akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan guru sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen. Uji kompetensi memerlukan perangkat tes yang mampu menguji kompetensi guru secara global. Uji kompetensi terhadap guru bahasa Standardisasi Tes Kompetensi Guru Bahasa Indonesia Indonesia meliputi dua hal, yaitu tes teori dan tes praktik. Tes praktik terhadap guru bahasa Indonesia bersifat mutlak. Artinya, harus dilaksanakan karena bahasa pada dasarnya merupakan suatu keterampilan yang harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan perpaduan antara tes teori dan tes praktik ini niscaya akan didapatkan guru-guru bahasa Indonesia yang berkualitas dan berkompeten di bidangnya. Dengan demikian, kualitas pembelajaran bahasa Indonesia pun akan semakin meningkat dan akhirnya akan diperoleh out put yang berkualitas juga. Daftar Pustaka Cangelosi, James S. (1995). Merancang Tes Untuk Menilai Prestasi Siswa. Bandung: Penerbit ITB. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai otonomi daerah Pikiran Rakyat, tanggal 15 Desember 2005 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 41 Opini The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia Teguh Santoso*) Abstrak Sekolah dengan program bilingual, yang menerapkan pengajaran suatu pelajaran dalam dua bahasa, merupakan trend di Indonesia. Cummins (2000) menyatakan adanya kecenderungan data penelitian empat ahli lain bahwa siswa program bilingual menghasilkan nilai lebih baik dibandingkan dengan siswa program monolingual. Dalam masyarakat Indonesia yang multilingual, di mana bahasa Inggris diajarkan sebagai bahasa asing, program bilingual ini merupakan suatu terobosan signifikan dengan mendorong juga penggunaan bahasa Inggris dalam bidang studi non-Inggris (mata pelajaran lintas kurikulum). Kata Kunci: Dwibahasa, internasional, Indonesia It has been a trend in Indonesia to find schools with bilingual program, meaning applying the use of two languages in teaching a content subject. Cummins (2000) states from data of four other experts that there is a tendency the bilingual program students obtained better achievements than those in monolingual program. In the context of the Indonesian multilingual society, where English is taught as a foreign language (EFL), such bilingual program has become a significant breakthrough, encouraging the use of English in non-English subjects (known as subjects across curriculum). Introduction Theoretical Frameworks ilingual education has recently been a prestige for a number of educational institutions in Indonesia, especially the pre-university ones. Bilingual is defined as being “able to speak two languages equally well because you have used them since you were very young” (Oxford, 2002), which broadens it meanings to include also the written language in bilingual education or communities. Bilingual education refers to “the use of a second or foreign language in school for the teaching of content subjects” (Richards et. al., 1992), such as maths and physics. This paper would discuss the benefits of bilingual education with some Indonesian schools, adopting bilingual programs and heading to even international program and, finally, it would explore the applications in the Indonesian schools and provide solutions to some hindrances in the field. There have been at least three sources on which the bilingual program hereby is elaborated, two originated from overseas studies and experiments, and one from observation in Indonesia. Most studies made use of English for Academic Purposes (EAP), meaning English is taught as media of instructions of content subjects, such as maths, chemistry and business. First, Swain and Lapkin’s experiments (cited in Cummins, 1986, p. 38), showed the results of nine years of testing early total immersion students in Ontario: “38 separate administrations of standardized maths achievements tests from grade 1 to 8, the immersion students performed as well as, or better than, their English-taught comparison groups in 35 instances.” By the term “immersion program”, it means the same academic content in the immersion class will be covered as in the regular English program. The only difference is B *) Guru SMPK 5 dan SMAK 3 BPK PENABUR Bandung 42 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia the language of instruction is students’ second use the term “Enriched Education Program”, than language. The results showed that although the in English-only or quick-exit transitional bilingual students in the total immersion program above programs. It needs to be noted, however, that the were taught maths in their second language, i.e. term “bilingual education” should be defined more French, they were usually tested in their first precisely in the three literature reviews above. language, English. In another subject, i.e. social Thirdly, bilingualism does not mean that the studies, the test revealed that the non-immersion role of the first language is neglected and totally program students performed a much lower ignored. If that is the case, the program may not achievement when they were tested in French than be a bilingual program. Instead, it leads to what is in English, which was quite surprising as these identified as international school program. For students were taught social studies in only French. instance, Mayor (1994) concluded that supporting The results were different from those of the a child’s first language assists the child to make immersion program students, performing better more progress when learning a second language than the counterpart group. The results showed in terms of the language foundation and the greater that bilingual education provides better awareness of how language works. In addition, achievements, at least, in the maths and social an educational consultant, Davies (The Jakarta science studies for nine years of testing. However, Post, 2005) states that apparently Indonesian it is worth noted that it could be risky if one carries schools have opened up the so-called nationalout a testing to measure accurately subject content plus program, claiming themselves to be holding knowledge when it is done in a second language a bilingual education. Two of the driven (Cummins, 1986), such as the Ontario results on motivations are the prestige of having a bilingual maths and social studies results. education or national plus titles, thus, driving Secondly, bilingual away the real essence of education enables what the aims of bilingual students to use various education are, and the Nevertheless, it is worthwhile strategies to foster their marketing reason to keep to take into some understanding. A the schools survive in the considerations that there classroom-based tight competition. Davies research project exist hindrances in applying further noted that conducted by Eileen “Indonesian children in bilingual education. Chau revealed that the Indonesian schools should adult Chinese migrants get the chance to feel such in her study made use of nine frequently used pride in their own language; placing English, and learning strategies, the top three of which are the so bilingualism, alongside that should be done Chinese language (the learner’s L1) was used respectfully and wisely.” Both Mayor and Davies through bilingual dictionaries, to check/ confirm propose the importance of the role of the first L1 meaning of words or comprehension, and to language in the implementation of the bilingual ask for L1 meaning (Chau, 1993). The Chinese education. adult immigrants’ motivation was boosted due to Nevertheless, it is worthwhile to take into Chao’s use of Chinese language to teach English. some considerations that there exist hindrances This finding is in accordance with what Cummins in applying bilingual education. Cummins (cited synthesized from three literature reviews done by in Moore, 1999) states some obstacles, i.e. the Greene on Meta-Analysis, August and Hakuta on economic factor to hire a qualified teacher for National Research Council Report on improving bilingual program, and some possible cultural schooling for language-minority students, and constraint. A strong proponent of bilingual Rossel and Baker on the educational effectiveness education, Cummins (2000) and another of bilingual education (cited in Cummins, 2000). proponent, Chau (1993) highly encourage various Cummins asserted that the trend in much of the teaching strategies and efforts to boost learners’ data showed there were better outcomes in motivation. bilingual programs, which Cummins preferred to Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 43 The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia Developments of the Bilingual Program in Indonesia Applications of the Bilingual Program in BPK PENABUR More and more schools, usually the wellestablished or well-funded ones, have opened bilingual programs, mostly ranging from Kindergarten to Primary school levels. A number of semi-international schools in Jakarta, for instance, adjust its national curriculum with the Cambridge, West Australian or Singaporean curriculum. In addition to the world recognized Cambridge International Examination http:// www.cie.org.uk, which is taken by Gandhi Memorial International School, the International Baccalaureate (IB) http://www.ibo.org has drawn interests from bilingual and international schools, such as the established Pelita Harapan, Global Jaya, Bina Nusantara (Binus) High, Gandhi Memorial International School (also being a Cambridge Centre) and also High Scope, heading to the 2007 authorization. A 2002 comparative study by SMAK 7 BPK PENABUR Jakarta revealed, among others, that Binus High provided carefully selected materials even for laboratory materials, while IPEKA High adopted Australian curriculum, and some of the latter’s schools have had a bilingual curriculum as claimed in its website. It was disclosed from the discussion in Binus High, however, that a number of students still made efforts to use their native language outside their classrooms despite their high exposure to English in the classrooms. Another finding resulted from a comparative study by BPK PENABUR Jakarta Senior High principals and team to a Ciputra School in Surabaya in early 2003. The selection of teaching staff and the intense communication and sufficient trainings were some of its quality assurance. A number of state schools also apply the bilingual education program, joining the tight academic competition and prestige. To name a few are the most favourite state school in Jakarta, SMAN 8, and the top school in South Jakarta, SMAN 70. They do not apply the International curriculum to its whole classes, but open an international class. According to a CIE representative in Indonesia, both have not applied as Cambridge centres, but they are taking the Cambridge exams. What about the progress of the bilingual education progress in BPK PENABUR? There have been some breakthroughs by BPK PENABUR Bogor, Bandung and Jakarta, for the kindergarten level, by establishing either a national plus school with a bilingual program, such as those in Jakarta and Bogor—also with a national plus primary school, or even an international school, like PENABUR International School (PIS) in Bandung at its kindergarten programs entirely in English, leading to 2007 international primary school program to be implemented in Bandung, and BPK PENABUR Jakarta will also follow to implement this international scholl program. At senior high school level, both SMAK 1 BPK PENABUR Jakarta and Bandung have headed towards bilingual programs in at least 5 subjects of science, math and English language (with Bandung adding Physical education) since 2006 and 2005 respectively, with an international class and carefully selected teachers. Moreover, there comes the role of the first language to be formally taught at school, i.e. Indonesian language, in accordance with the portion of the target language, i.e. English, to be taught in the school subjects. In advent of the socalled competency-based curriculum (CBC), which was reported in early 2006 to be possibly revised as the 2006 Curriculum, it would be wise to provide more understanding on language learning strategies, one of which is by applying bilingual programs to enhance the understanding of students, who experience barriers to use L2 to express their ideas in L1, especially in the multilingual society of Indonesia. The CBC enables the existence of “subjects across curriculum”, like English across curriculum. As stated in the theoretical review above, it is suggested to have various strategies to boost the success of bilingual education not only in the classroom. For instance, in addition to the initiative to carry out English-across-curriculum instructions, some schools have tried to utilize the English club, and to support English-speaking milieu within the school and other technological instructions, including British Council’s programs in recent years, such as partner school with U.K. schools http://www.globalgateway.org.uk, and 44 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 The Benefits of Bilingual Education and its Applications in Indonesia the Montage projects with worldwide schools http://www.britishcouncil.org/montageworld. Here, the role of teachers to assure the success of the English uses in various activities related to non-English subjects has gradually been increasing as shown by the active participation of teachers from the state schools, BPK PENABUR and other private schools in coordination with the internationally recognized British Council. Another strategy to cope with these human resources problems is to have a mutual collaboration with native speakers of English currently managed by UKRIDA PENABUR International (UPI) to provide teacher training for non-native English teachers since 2004 and for the English teachers since 2005, which have been pioneered in BPK PENABUR Jakarta, followed by other schools in other cities. Another instance is gained from one institution in the SMAK 7’s comparative studies above, which recruited Indonesian experts, graduating from overseas with specific qualification capable of teaching science and maths, for example, to its secondary school students. SMAK 1 BPK PENABUR Bandung, in collaboration with a Canadian foundation, even sent its math teacher to Canada for a three-month teacher upgrading. Conclusion Some notions on bilingual education I have been briefly outlined. It is further argued about its applications in the Indonesian context to improve the quality of the language learning. The development of some schools with bilingual programs, progressively shifting to the internationally accredited programs had also been presented. There have been obstacles as well as solutions to the bilingual programs, such as the economic factor and the human resources, the latter of which could be Finally, it is believe the efforts of revitalizing the role of English could be facilitated with the support of its partner language, Indonesian, to enhance students’ understanding in the multilingual society in multi disciplines of study. References Chau, Eileen. (1993). Use of L1 in classroom interactions. Interchange: Journal of the NSW Adult Migrant English Service, no. 21 Cummins, Jim. (2000). Language, power and ideology. Cambridge: Cambridge University Press Cummins, Jim. (2000). [Online] Educational research in bilingual education. Available: http:// www.iteachilearn.com/cummins/ educationalresearch.html Cummins, Jim and Merrill Swain. (1986). Bilingualism in education: Aspects of theory, research and practice. London: Longman Davies, Rachel. (2005). Rising to the challenge of bilingual education. In the Jakarta Post’s October 09, 2005 as printed from http:// www.thejakartapost.com/ yesterdaydetail.asp?fileid=20051009.F05. Jakarta: The Jakarta Post Hornby, A.S. Oxford advanced learner’s dictionary (2002). Oxford: Oxford University Press Mayor, Barbara M. (1994). ‘What does it mean to be bilingual?’ in Stierer, B. and Maybin, J. (1994) Language, literacy and learning in educational practice. Adelaide: Multilingual Matters LTD in association with The Open University Moore, A. (1999). Teaching multicultured students. Culturism and Anti-culturism in school cassrooms. London: Falmer Press Richards, Jack C., John Platt and Heidi Platt. (1992). Dictionary of language teaching and applied linguistics. Essex: Longman Group UK Ltd. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 45 Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa Opini Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa Handy Susanto*) Abstrak Pencapaian prestasi yang biasanya diukur melalui perolehan nilai di sekolah menjadi satu hal yang dianggap sangat penting bagi orang tua dan siswa. Tuntutan untuk mendapatkan nilai sesuai dengan kapasitas siswa, tentu menuntut siswa untuk berkonsentrasi dalam proses belajar agar mereka mampu memahami setiap informasi yang diberikan. Konsentrasi siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah modalitas belajar (Visual, Audiotorial, Kinestetik) yang menentukan bagaimana siswa memproses setiap informasi yang diterimanya. Kejelian memperhatikan modalitas belajar serta kreativitas guru dalam mengembangkan strategi dan metode pembelajaran di kelas akan meningkatkan konsentrasi belajar siswa sehingga hasil belajarnya akan meningkat pula. Kata kunci: Konsentrasi, modalitas belajar Achievement that measured by reaching good marks in the school become important for the parent and the student. The demand to reach the achievement in the school that appropiate with student’s capacity demanded from the student to concentrate in learning process so they can understand every informations that they accepted. Student’s concentration influenced by some factors, on of them is learing modality (visual, audiotory, kinesthetic) that determine how the student processing each information that they accepted. The carefulness of observation to learning modality and teacher’s creativity in developing strategy and learning method in the class will increase student’s concentration so they can increasing they achievement in the school. Pendahuluan ernahkah Bapak/Ibu guru mengalami begitu sulitnya menyampaikan materi pelajaran kepada siswa? Apapun usaha yang dilakukan tidak memberikan hasil yang baik, materi yang disampaikan tidak dapat diserap seutuhnya oleh siswa. Sering menjadi pertanyaan besar bagi guru, siswa, ataupun orang tua siswa mengapa siswa tidak dapat mencapai hasil belajar yang optimal yang biasa diukur melalui nilai ulangan harian ataupun nilai rapor. Pada kondisi normal, dalam arti tingkat kecerdasan siswa tersebut berada pada taraf ratarata ataupun yang memiliki kecerdasan superior, tidak dapat dipungkiri banyak siswa yang tidak bisa memperoleh hasil belajar (nilai) secara optimal sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Tentu kita tidak bisa menyalahkan satu pihak saja, apakah siswa, guru ataupun orang tua. Ada P beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar. Salah satunya adalah kemampuan konsentrasi siswa. Dari kegiatan konseling yang penulis lakukan, cukup banyak siswa yang mengeluh bahwa mereka tidak dapat berkonsentrasi dengan baik selama kegiatan belajar berlangsung sehingga tidak memahami materi yang disampaikan. Ada yang mengeluh gurunya membosankan, tidak tertarik pada materi yang disampaikan, masalah dalam keluarga, tubuh terlalu lelah dan masih banyak alasan lainnya sehingga tidak bisa berkonsentrasi. Kemampuan seseorang untuk berkonsentrasi penting pada saat belajar, maupun dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan. Secara umum yang dimaksud dengan konsentrasi adalah kemampuan seseorang untuk bisa mencurahkan perhatian dalam waktu yang relatif lama. Sedangkan anak dikatakan berkonsentrasi pada pelajaran jika dia bisa memusatkan perhatian pada apa yang dipelajari. Dengan *) Mantan Guru Bimbingan dan Konseling SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya 46 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa berkonsentrasi, anak tidak mudah mengalihkan Yang menjadi kendala sampai saat ini adalah perhatian pada masalah lain di luar yang masih banyak guru-guru yang menggunakan pola dipelajarinya. mengajar yang tradisional yaitu hanya mengajar Semakin banyak informasi yang harus dengan menggunakan metoda ceramah dan diserap oleh siswa maka kemampuan bersifat satu arah (guru berbicara, murid hanya berkonsentrasi mutlak dimiliki dalam mengikuti mendengar). Padahal dengan diberlakukannya proses belajar. Banyak cara yang ditawarkan oleh Kurikulum Berbasis Kompetensi, guru bukan lagi beberapa ahli bagaimana meningkatkan sebagai ‘penguasa kelas’ melainkan sebagai konsentrasi siswa dalam belajar. Misalnya fasilitator yang harus mampu memfasilitasi siswa dengan cara membangkitkan gelombang Alfa agar agar dapat menguasai materi sampai tuntas. setiap siswa dapat berkonsentrasi dengan santai Metoda ceramah yang sering kali digunakan (DePorter, dkk, 2000), mengatur posisi tubuh pada (karena mungkin Anda adalah tipe audiotorial saat belajar, dan mempelajari materi (informasi) atau merasa nyaman dengan menggunakan sesuai dengan kecenderungan modalitas belajar metoda mengajar ini) mungkin cocok bagi siswa siswa itu sendiri. Mempelajari materi sesuai dengan modalitas audiotorial. Walaupun ada dengan modalitas belajar kemungkinan juga diungkapkan oleh Nono siswa akan bosan Hery Yoenanto (2003) yang juga jika tidak ada ... bagaimana menggunakan menyatakan bahwa variasi, terutama modalitas belajar dalam proses kemampuan konsentrasi jika berbicara pembelajaran di kelas sehingga siswa dipengaruhi oleh dengan monoton. modalitas belajar siswa dapat meningkatkan Namun bagaimana (Jawa Pos, 12 September 2003 konsentrasi belajar siswa yang dengan siswa yang dalam http:// memiliki modalitas diharapkan dapat meningkat www.sscbandung.net). yang lain? motivasi dan hasil belajar siswa. Bagi guru modalitas belajar Kemungkinan mungkin bukan hal yang besar mereka tidak asing lagi. Modalitas belajar akan mampu merupakan suatu saringan yang digunakan berkonsentrasi dan kemudian berdampak pada seseorang dalam pembelajaran, pemrosesan kemampuan mereka dalam upaya memahami informasi yang diterimanya, dan juga komunikasi (Bandler & Grinder, 1981 dalam DePorter, dkk, materi tersebut. Bagi siswa yang tidak memiliki modalitas yang sama dengan anda bisa dianggap 2000). Sebagaimana halnya kita memiliki bahwa mereka memproses informasi yang Anda kecenderungan menggunakan salah satu sampaikan dengan ‘bahasa’ yang berbeda. Tentu modalitas belajar, kita juga memiliki kita tahu bahwa jika dua orang berkomunikasi kecenderungan modalitas mengajar yang dengan bahasa yang berbeda maka informasi/ biasanya sama dengan modalitas belajar kita. Jika pesan yang ingin disampaikan tidak dapat Anda pelajar yang cenderung visual, maka Anda dipahami dengan baik sehingga dapat terjadi akan menjadi guru yang visual juga. Artinya kesalahpahaman. setiap metode pengajaran yang digunakan untuk Perlu diingat bahwa setiap siswa memiliki menyampaikan materi pelajaran hanya kebutuhannya masing-masing. Setiap siswa menekankan pada perangsangan indera visual adalah pribadi yang unik memiliki cara masingsaja padahal dalam satu kelas tidak semua siswa masing untuk dapat memproses informasi yang memiliki kecenderungan menggunakan modalitas diterimanya. Sudah barang tentu menjadi hak visual. Jika kondisi tersebut terjadi maka bagi siswa untuk mendapatkan pengajaran sesuai siswa yang memiliki kecenderungan untuk belajar dengan gaya belajar mereka masing-masing. secara audiotorial ataupun kinestetik menjadi Dengan demikian, yang menjadi permasalahan tidak terakomodasi. Jika kebutuhan siswa untuk adalah bagaimana menggunakan modalitas belajar sesuai dengan modalitasnya tidak belajar dalam proses pembelajaran di kelas terakomodasi maka kemampuan siswa untuk sehingga dapat meningkatkan konsentrasi belajar berkonsentrasi dalam belajar pun cenderung siswa yang diharapkan dapat meningkat motivasi menurun. dan hasil belajar siswa. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 47 Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa Konsentrasi Belajar Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam proses belajar dibagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal antara lain kondisi fisik seperti keterbatasan fisik (cacat tubuh), kondisi psikologis seperti kemampuan konsentrasi, faktor kelelahan, sedangkan faktor eksternal meliputi kondisi keluarga seperti kondisi rumah, faktor sekolah seperti metoda pengajaran, dan faktor masyarakat. Seorang anak bisa berkonsentrasi dengan baik atau tidak, dipengaruhi oleh dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor yang muncul dalam diri anak itu. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh yang berasal dari luar individu. Faktor internal misalnya ketidaksiapan mereka dalam menerima pelajaran, kondisi fisik, kondisi psikologis, modalitas belajar, sedangkan faktor eksternal misalnya adanya suara-suara berisik dari TV, radio, atau suara-suara yang mengganggu lainnya. (http://www.sscbandung.net) Modalitas Belajar Dari berbagai cara untuk meningkatkan konsentrasi siswa, modalitas belajar merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan guru dalam mengelola pembelajaran. Modalitas belajar yang dimaksudkan disini ialah jaringan yang digunakan seseorang dalam proses pembelajaran, pemrosesan informasi yang diterimanya serta komunikasi. Terdapat tiga macam modalitas belajar yang digunakan oleh seseorang dalam pembelajaran, pemrosesan informrasi, dan komunikasi (DePorter, dkk, 2000). Senada dengan yang diungkapkan oleh Tim Power Brain Indonesia dalam situsnya menyatakan bahwa secara ilmiah sudah diketahui bahwa dalam hal penyerapan informasi tersebut manusia dibagi menjadi 3 bagian; manusia visual, yang mana ia akan secara optimal menyerap informasi yang dibacanya/ dilihatnya; manusia auditorik, di mana informasi yang masuk melalui apa yang didengarnya akan diserap secara optimal; dan manusia kinestetik, di mana ia akan sangat senang dan cepat mengerti bila informasi yang harus diserapnya terlebih dahulu “dicontohkan” atau ia membayangkan orang lain tersebut melakukan hal tadi (http:// www.medikaholistik.com). 48 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Meskipun kebanyakan orang mampu untuk mengakses / menggunakan ketiga modalitas tersebut, namun orang memiliki kecenderungan hanya menggunakan satu modalitas tertentu didalam pembelajaran, pemrosesan informasi, ataupun komunikasi (Bandler & Grinder, 1981 dalam DePorter, dkk, 2000). Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Dunn yang mengatakan bahwa setiap orang biasanya memiliki sebuah kekuatan (Modalitas belajar) yang dominan, dan juga sebuah kekuatan sekunder (Dunn dalam Gordon Dryden & Jeannette Vos, 1999). Adapun yang menjadi ciri-ciri ketiga modalitas belajar tersebut adalah sebagai berikut: Visual : Modalitas ini mengakses citra visual, yang diciptakan maupun diingat. Warna, hubungan antar ruang, gambaran mental (mental imagery), dan gambar menonjol dalam modalitas ini. Seseorang yang memiliki kecenderungan menggunakan modalitas ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Teratur, memperhatikan segala sesuatu, menjaga penampilan. 2. Mengingat dengan gambar, lebih suka membaca dari pada dibacakan. 3. Membutuhkan gambaran dan tujuan menyeluruh dan menangkap detail-detail, mengingat apa yang dilihat. Audiotorial: Modalitas ini mengakses segala jenis kata dan bunyi, yang diciptakan maupun diingat. Musik, nada, irama, rima, dialog internal, dan suara menonjol dalam modalitas ini. Seseorang yang memiliki kecenderung menggunakan modalitas ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Perhatiannya mudah terpecah. 2. Berbicara dengan pola berirama. 3. Belajar dengan cara mendengarkan, menggerakkan bibir / berbicara pada saat membaca. 4. Berdialog baik secara internal (dalam hati) maupun eksternal (bersuara). Kinestetik: Modalitas ini mengakses segala jenis gerak dan emosi, yang diciptakan maupun diingat. Gerakan, koordinasi, irama, tanggapan emosional, dan kenyamanan fisik menonjol disini. Seseorang yang memiliki kecenderung menggunakan modalitas ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Menyentuh orang lain dan berdiri berdekatan, banyak bergerak. 2. Belajar dengan melakukan, menunjuk tulisan saat membaca, menanggapi secara fisik. 3. Mengingat sambil berjalan dan melihat. Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa Sampai saat ini kita telah mengenal tiga jenis modalitas belajar yaitu visual (penglihatan), audiotorial (pendengaran), dan kinestetik (gerak). siswa yang memiliki kecenderungan menggunakan modalitas visual dikatakan sebagai pelajar visual, yang menggunakan modalitas audiotorial disebut sebagai pelajar audiotorial, dan yang menggunakan modalitas kinestetik disebut sebagai pelajar kinestetik. saraf yang dapat memperkuat belajar siswa kita (dalam DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; Mourie, Sarah Singer, 2000). Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk merangsang ketiga modalitas tersebut yaitu: Visual 1. Menggunakan kertas tulis dengan tulisan berwarna. 2. Menggantungkan grafik di dinding sekeliling ruang kelas yang berisi tentang informasi Saran Aplikasi penting dalam materi. 3. Mendorong siswa untuk menggambarkan Sebagai seorang guru, kita harus dapat informasi yang diterimanya dengan mengakomodasi setiap kebutuhan siswa untuk menggunakan peta pikiran, diagram, tulisan dapat memproses informasi yang diterimanya berwarna. sesuai dengan modalitas belajarnya. Memang 4. Membagikan frase-frase atau garis besar setiap terlihat sangat merepotkan dan mungkin materi pelajaran yang disampaikan dengan melelahkan jika kita harus memenuhi semua memberikan ruang yang kosong untuk kebutuhan siswa, namun hal tersebut sudah menambahkan catatan. menjadi tugas kita agar setiap informasi (materi 5. Memberikan kode warna untuk tiap-tiap pelajaran) yang kita sampaikan dapat diterima materi yang hendak disampaikan. dan dipahami dengan baik 6. Menggunakan bahasa oleh setiap siswa. Di dalam yang dapat menciptakan Hasil penelitian kelas kita tidak hanya visualisasi pada diri anak. menggunakan satu Misalnya: bayangkanlah menunjukkan semakin modalitas yang sesuai bola dunia yang sedang banyak modalitas yang kita dengan kecenderungan berputar mengelilingi libatkan secara bersamamodalitas belajar kita. Kita matahari (jika kita sedang harus mencoba untuk mempelajari tentang sama, maka belajar akan menggunakan ketiga revolusi bumi), dan semakin ‘hidup’, berarti, dan modalitas tersebut dalam sebaginya. bisa melekat. metoda pengajaran. Audiotorial Modalitas seperti ‘jalan tol 1. Menggunakan variasi utama’ untuk memproses rangsangan yang vokal (ritme, volume suara, intonasi) yang datang kepada diri kita dari dunia luar. Yang digunakan pada saat menyampaikan materi perlu diingat bahwa setiap orang memiliki ketiga pelajaran. modalitas belajar tersebut, namun kita cenderung 2. Menggunakan penggulangan dengan cara hanya menggunakan satu modalitas. meminta siswa mengulang kembali konsepMeskipun kita hanya menggunakan satu konsep kunci yang telah dipelajari. modalitas, namun kedua modalitas yang lainnya 3. Mengembangkan dan mendorong setiap tetap ada di dalam diri kita. Jika kita mencoba siswa untuk membuat ‘jembatan keledai’ untuk merangsang penggunaan kedua modalitas untuk menghapal konsep kunci. Misalnya: yang lainnya, maka kita dapat menggunakan warna pelangi adalah MEJIKUHIBINIU seluruh modalitas yang kita miliki. Dari hasil (merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila, penelitian menunjukkan semakin banyak Ungu). modalitas yang kita libatkan secara bersama4. Menggunakan musik sebagai aba-aba untuk sama, maka belajar akan semakin ‘hidup’, berarti, memulai suatu kegiatan (misal musik barok dan bisa melekat. Menurut Richard Restak (1995), untuk mulai menfokuskan perhatian). setiap kali suatu pola saraf tertentu ‘menembak’, 5. Mendorong siswa terutama untuk pelajar maka jalur yang sama akan semudah itu pula audiotorial untuk merekam informasidiaktifkan kembali. Dalam kasus ini, dengan cara informasi penting untuk kemudian melibatkan lebih banyak modalitas dalam didengarkan ulang karena pelajar audiotorial pengajaran, kita memicu lebih banyak lagi jalur tidak terlalu senang mencatat. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 49 Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa 6. Mengijinkan siswa untuk berbicara secara perlahan pada saat sedang mempelajari konsep yang harus dipahaminya. Kinestetik 1. Menggunakan alat bantu pada saat mengajar untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan menekankan konsep-konsep kunci. 2. Menggunakan simulasi konsep agar setiap siswa dapat mengalaminya sendiri. 3. Mencoba berbicara dengan siswa secara pribadi setiap hari, misalkan: “ibu senang kamu sudah terlibat aktif di kelas hari ini”. 4. Memperagakan setiap konsep yang diajarkan dan memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk mencoba mempelajarinya langkah demi langkah. 5. Melakukan lakon pendek dapat membantu siswa untuk memahami materi yang dipelajarinya. Setiap siswa didorong untuk membuat lakon pendek tentang materi yang dipelajari. Misalnya: pada pelajaran biologi yang mempelajari tentang rantai makanan, bagi siswa ke dalam beberapa kelompok yang berbeda jumlah anggotanya, jelaskan bahwa yang lebih banyak adalah yang jadi mangsa sedangkan yang lebih kecil menjadi pemangsa kelompok yang lebih besar. Langkah awal yang harus kita lakukan adalah dengan cara mengenali setiap modalitas belajar yang digunakan oleh setiap siswa. Dengan mengenali cara mereka memproses informasi, maka akan turut mempengaruhi strategi pembelajaran yang diterapkan oleh kita di dalam kelas. Namun bukan berarti bahwa kita hanya merangsang satu modalitas belajar pada siswa, tapi doronglah setiap siswa untuk melibatkan seluruh modalitas belajar yang dimilikinya, karena dengan melibatkan seluruh modalitas tersebut akan dapat membantu siswa untuk memahami materi pelajaran yang diterimanya. Memang terlihat ‘repot’ dalam menerapkan metoda belajar ini, namun jika kita mampu untuk merangsang setiap siswa untuk mengaktifkan seluruh modalitas belajar yang dimilikinya maka proses belajar akan dapat dijalaninya dengan lebih mudah. Dengan pengaktifan ketiga modalitas ini, akan meningkatkan konsentrasi siswa. Jika siswa mampu menfokuskan perhatian dalam proses belajar tersebut sudah pasti kita tidak perlu lagi ‘berteriak’ kepada siswa yang malas dan ribut karena tidak bisa berkonsentrasi sehingga energi kita bisa lebih terfokus untuk menyampaikan materi pelajaran. 50 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Bukan hanya siswa yang dituntut untuk melibatkan ketiga modalitas belajar tersebut, tapi guru pun harus melibatkan ketiga modalitas tersebut dalam menyampaikan materi pelajaran. Pada awal kita mencoba mungkin akan merasa repot karena cukup banyak persiapan yang harus dilakukan, namun jika hal ini telah dilakukan terus menerus maka kita akan terbiasa dan ‘beban’ untuk menyiapkan bahan-bahan pengajaran pun mungkin akan berkurang. Sebagai contoh yang mungkin bisa diaplikasikan dalam merangsang ketiga modalitas belajar, misal dalam pelajaran ekonomi, guru yang membahas tentang pasar dapat membuat bagan atau grafik yang berwarna-warni tentang jalur distribusi dan langkah-langkah yang tercakup dalam proses penjualan dan pembelian dan kemudian diletakkan/digantungkan di dinding kelas selama pelajaran berlangsung (untuk merangsang modalitas visual), kemudian guru menerangkan setiap langkah-langkah yang tercakup dalam proses penjualan dan pembelian dengan menggunakan variasi suara seperti intonasi, ritme, dan volume suara sehingga tidak terkesan monoton yang dapat menimbulkan kejenuhan terhadap siswa (untuk merangsang modalitas audiotorial). Setelah diberikan penjelasan tentang proses penjualan dan pembelian, guru dapat meminta setiap siswa untuk membentuk kelompok-kelompok kecil dan kemudian meminta setiap kelompok untuk membuat suatu lakon (drama) kecil yang menggambarkan atau mensimulasikan tentang proses jual beli yang terjadi di pasar (untuk merangsang modalitas kinestetik). Jikalau memang guru terlalu sibuk untuk menyiapkan bahan-bahan tersebut, maka guru pun dapat menugaskan setiap siswa, misalnya bagi pelajar visual dapat diberikan tugas untuk membuat bagan atau grafik yang menarik (meriah) tentang materi yang akan dipelajari. Bagi pelajar audiotorial dapat ditugaskan untuk membuat ’jembatan keledai’ (jika memungkinkan) yang dirasakan dapat membantu siswa untuk mempelajari materi dengan lebih mudah. Bagi pelajar kinestetik, guru dapat menugaskan kepada mereka untuk menyusun skenario lakon (drama) yang akan diperankan mengenai materi yang akan dipelajari oleh siswa. Dengan penugasan ini bukan berarti membebani mereka karena jika siswa diberikan tugas sesuai dengan modalitas belajarnya, maka siswa tersebut akan merasa senang. Selain itu Meningkatkan Konsentrasi Siswa Melalui Optimalisasi Modalitas Belajar Siswa seorang guru bukan hanya bertanggung jawab menyampaikan materi, tapi juga ‘mengorkestrasi’ kelas tersebut sehingga setiap komponen yang ada di dalam kelas dapat bersinergi untuk mencapai satu tujuan yaitu meningkatkan konsentrasi belajar dalam upaya untuk memperoleh pemahaman terhadap materi yang sedang dipelajari sehingga dapat memberikan hasil (nilai) yang baik pula. Kesimpulan Setiap siswa memiliki kebutuhan yang berbeda dan memiliki gaya belajar yang berbeda dalam memproses informasi guna memahami pemahaman dalam rangka memperoleh hasil belajar yang optimal. Kemampuan untuk dapat memproses informasi tersebut dibutuhkan kemampuan konsentrasi pada siswa tersebut. Namun, pada kenyataannya cukup banyak siswa yang tidak mampu berkonsentrasi karena salah satu faktornya adalah tidak sesuainya gaya pengajaran yang diterapkan oleh guru dengan modalitas belajar setiap siswa. Oleh karena setiap siswa memiliki kecenderungan untuk menggunakan modalitas belajar yang berbeda, maka gaya pengajaran yang dilakukan harus dapat berkesesuaian dengan ketiga modalitas belajar yaitu visual, audiotorial, kinestetik. Dengan mencoba menggunakan ketiga modalitas belajar, maka guru dapat mengakomodir setiap gaya belajar yang kerap kali digunakan oleh siswa. Selain itu guru dapat merangsang dan melatih siswa untuk menggunakan ketiga modalitas belajar secara bersama-sama dalam rangka meningkatkan efektivitas proses belajar yang dilakukan dalam rangka memperoleh hasil belajar yang optimal. Perangsangan ketiga modalitas tersebut yaitu dengan cara membuat bagan atau grafik berwarnawarni untuk merangsang modalitas visual, memberikan penjelasan dengan menggunakan variasi suara seperti intonasi, ritme, dan volume suara untuk merangsang modalitas visual, serta mengajak setiap siswa untuk membuat lakon (drama) kecil yang mensimulasikan materi yang sedang dipelajarinya. Dengan mengoptimalkan penggunaan modalitas belajar siswa melalui metode belajar dan pembelajaran yang bervariasi diharapkan dapat meningkatkan konsentrasi siswa. Dilain pihak, siswa juga dapat memperoleh pengalaman belajar yang menarik sehingga dapat meningkatkan peranan, motivasi, dan hasil belajarnya. Daftar Pustaka DePorter, dkk. (2000). Quantum teaching: Mempraktikkan quantum learning di ruangruang kelas. PT. Mizan Pustaka: Bandung. Gordon Dryden & Jeannette Vos. (1999). Revolusi belajar: The learning revolution. Bandung: Kafia http://www.medikaholistik.com/ Pengaruh modalitas belajar dan musik saat bekerja. http://www.minggupagi.com/Melatih konsentrasi belajar anak/24 Agustus 2004 http://www.sscbandung.net/Kosentrasi kunci keberhasilan belajar anak didik/19 September 2003 http://www.irckesehatan.net/Keringat yang terbuang Slameto. (1988). Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 51 Opini Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran di Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar Reny Novita*) Abstrak Penerapan Kurikulum Berbasisi Kompetensi perlu disertai dengan pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi (EQ), sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. IQ dan EQ itu perlu dikembangkan sedini mungkin melalui proses pembelajaran mulai dari TK. Tulisan ini memberikan berbagai cara mengembangkan IQ dan EQ dalam pembelajaran di TK dan SD dengan contoh nyata. Pemahaman akan konsep IQ dan EQ serta contoh cara mengembangkannya diharapkan dapat memotivasi guru untuk menerapkan dan mengembangkannya masing-masing di sekolah dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Dengan demikian diharapkan berbagai dimensi kecerdasan dalam multiple intelegence bisa berkembang. Kata kunci : Intelligence Quotient (IQ), dan Emotional Quotient (EQ) Competency Based Curriculum should be implemented together with the development of Intellegence Quotients (IQ) and Emotional Quotients (EQ) in order to achieve the instructional objectives properly. IQ and EQ are expected to be developed as early as possible starting from Kindergarten. This article discusses same methods how to develop IQ and EQ both in kindergarten and Premary School with a number of practical examples based on the writer’s experience. The understanding of IQ and EQ concepts are regarded very important to motivate the teachers to apply the concepts in the real class situations with different backgrounds. Developing IQ dan EQ is also expected to enable the teachers to develop all dimensions of multiple intelligence simultanously. Pendahuluan nak didik merupakan aset generasi penerus bangsa yang harus dipersiapkan sejak dini untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Menjawab tantangan tersebut maka Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyusun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang merupakan refleksi, pemikiran, atau pengkajian ulang dan penilaian terhadap Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah tahun 1994 beserta pelaksanaannya. Hasil analisis yang mendalam terhadap keadaan dan kebutuhan anak didik di masa sekarang dan yang akan datang menunjukkan perlunya KBK yang dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan kehidupan secara mandiri, cerdas, A dinamis, kreatif dan produktif (Panduan Umum Bimbingan Konseling di Sekolah dalam Rangka KBK, Balitbang Depdiknas, Oktober 2002). KBK yang diterapkan di sekolah diharapkan dapat membekali peserta didik untuk menghadapi tantangan hidup di masa yang akan datang, sehingga dapat meminimalisasi tumbuhnya ‘the lost generation’. KBK sangat berkaitan dengan kemampuan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) pada anak didik karena aspek-aspek mandiri, dinamis, kreatif dan produktif ada di dalam aspek kecerdasan emosi (EQ) sedangkan yang dimaksud dengan aspek cerdas adalah cerdas dalam kemampuan kognitif (IQ). Atas dasar itulah maka dipandang perlu untuk menerapkan IQ dan EQ dalam metode pembelajaran pada anak didik untuk meraih keberhasilan yang dapat diterapkan oleh pendidik di sekolah dan orang tua dirumah sebagai penunjang pelaksanaan KBK. *) Guru SD BPK PENABUR Metro, Juara III Lomba Karya Tulis HUT ke-55 BPK PENABUR Kategori Guru TKK dan SD 52 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran Pengenalan Kecerdasan Intelektual (IQ) pada Anak Didik Anak cerdas merupakan dambaan setiap orang, sebab kecerdasan merupakan modal anak untuk mengarungi kehidupan di masa mendatang. Banyak ahli yang sepakat mengatakan bahwa semua anak pada dasarnya cerdas. Ebbinghous (1897) dalam Suryabrata (2002: 125) mendefinisikan inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi. Sementara Terman (1921) juga dalam Suryabrata (2002: 125) mengatakan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan untuk berpikir abstrak. Meskipun kecerdasan dipengaruhi oleh faktor genetik atau keturunan, tetapi faktor ini hanya berperan 48% dalam membentuk IQ anak dan sisanya adalah faktor lingkungan, termasuk ketika anak masih dalam kandungan. Beberapa ahli genetik mengungkapkan bahwa gen ibu yang ditandai dengan faktor kromoson X merupakan pembawa kecerdasan pada anak lakilaki maupun perempuan. Sedangkan pengaruh lingkungan terhadap kecerdasan antara lain: kecukupan gizi yang baik semasa bayi, lancar tidaknya proses kelahiran, dan ada tidaknya stimulus yang tepat. Perlu diingat bahwa faktor genetik, proses persalinan dan aspek gizi sewaktu bayi tidak mungkin diubah lagi bila anak sudah melewati semua tahapan itu. Yang masih bisa diusahakan adalah pemberian stimulasi atau rangsangan secara tepat dalam suasana bermain. Hal yang membuat anak didik berkembang menjadi anak didik yang luar biasa atau biasabiasa saja tak lain adalah stimulus dari pendidik dan orang tua. Jadi kalau seorang anak didik sudah diberi kemampuan sampai batas-batas tertentu maka kemampuannya memang tidak akan dapat terlalu jauh bergeser atau dengan kata lain kapasitasnya sudah tidak bisa diubah lagi, sementara yang bisa dioptimalkan adalah fungsinya. Secara logika pemberian stimulus berupa aneka permainan akan merangsang berkembangnya jaringan saraf di otak anak sekaligus menghubungkan antara otak kiri dan kanan. Perkembangan ini berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan kognitif seseorang, dan apabila rangsangan ini dilakukan sejak lahir, terus-menerus, bervariasi, dengan suasana bermain dan kasih sayang dengan pola pengasuhan yang otoritatif (demokratik) akan memacu berbagai aspek kecerdasan anak didik yaitu kecerdasan multipel seperti logika matematik, komunikasi bahasa (linguistik), kecerdasan musikal, gerak (kinestetik), visio spasial, senirupa dan lain-lain. Selama stimulus itu dilakukan dalam suasana bermain dan tidak ada unsur paksaan, maka anak didik akan menikmati dan lebih mudah menerima. Tetapi sebaliknya jika sudah ada unsur paksaan maka anak didik akan tertekan dan hasilnyapun tidak seperti yang diharapkan. Strategi Mengasah IQ Siswa TKK dan SD Beberapa bentuk stimulus melalui permainan yang dapat mencerdaskan (usia 3 tahun ke atas: Play Group/Kelompok Bermain – SD) antara lain: 1. Merangsang kecerdasan musikal (bunyibunyian) a. Mainan berupa alat musik drum dan piano. b. Bunyi kaleng yang ditabuh secara asal. 2. Merangsang kemampuan kognisi (permainan konstruktif) a. Menyusun Lego. b. Menyusun Puzzle. 3. Merangsang kemampuan berbahasa dan kognisi (benda–benda berbagai ukuran, berat, bentuk, tekstur, rasa dan warna) a. Mainan berbentuk huruf, bermanfaat sebagai sarana latihan membaca. b. Komunikasi bersama anak dengan menyebutkan kata-kata sifat yang sering digunakan (besar-kecil, panas-dingin, banyak-sedikit, tinggi-rendah, enak-tidak enak) c. Mengenalkan rasa sambil menyebutkan benda yang mewakilinya “Ini madu. Maniskan?” Suatu saat anak paham akan aneka rasa. d. Permainan tanpa modal seperti busa sabun, sisa kain perca, kulit semangka, dan bebatuan dengan berbagai ukuran. e. Mainan bulatan dan kubus dengan berbagai ukuran yang bisa dimasukkan ke tiang kecil. f. Boneka–boneka yang terbuat dari bahan dengan bermacam tekstur, hingga anak bisa membedakan halus, lembut, kasar dan sebagainya. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 53 Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran g. 4. 5. 6. 7. Bola–bola dengan berbagai warna seperti merah, kuning, hijau dan biru dengan cara menyebutkan warna yang digunakan untuk bermain. Hindari pengenalan warna-warna buram seperti abu-abu, dan coklat karena warna-warna ini kurang menarik perhatian anak. Merangsang kemampuan logika matematika (mendongeng sambil berhitung) a. Dongeng tentang “Putri Salju”, sambil bercerita pendidik atau orang tua bisa bertanya kepada anak didik “tadi kurcacinya sudah datang dua terus datang satu lagi jadi kurcacinya sekarang ada berapa ya?” b. Selain bisa menyisipkan pesan moral dalam dongeng, pendidik atau orang tua pun sekaligus mengajarkan anak didik berhitung. Merangsang perkembangan gerak halus, kemandirian, emosi dan sosial a. Memakai baju, sepatu dan makan sendiri, dan menyikat gigi sendiri. b. Menggambar garis, lingkaran dan manusia. Merangsang gerak kasar dan keseimbangan a. Berdiri satu kaki. b. Permainan meniti kayu. Merangsang kemampuan naturalis a. Menanam biji hingga tumbuh. b. Memelihara tanaman dalam pot. c. Memelihara binatang. d. Berkebun. e. Wisata di hutan, gunung, sungai dan pantai. f. Mengamati langit, awan, bulan dan bintang. Pengenalan Kecerdasan Emosional (EQ) pada Anak Didik Kecerdasan Emosional dicetuskan pertama kali oleh Peter Salovey dan John Mayer (1990) dalam Shapiro (2003: 5) yang mendefinisikan EQ sebagai “himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan”. EQ ini kemudian dipopulerkan oleh Daniel Golemen (1995) dalam 54 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Shapiro (2003: 5) yang mengatakan bahwa EQ adalah “kemampuan untuk berempati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, mandiri, menyesuaikan diri, disukai, memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat”. Setelah sekian lama kita hanya mengenal IQ maka sekarang semua orang di dunia tertuju kepada EQ dimana IQ ternyata hanya berperan sebanyak 20% bagi keberhasilan anak didik sedangkan 80% lainnya adalah EQ termasuk di dalamnya pengaruh lingkungan yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal ini maka banyak para orangtua dan pendidik di negaranegara luar termasuk Indonesia sekarang dapat mengambil kesimpulan bahwa EQ adalah merupakan cara baru untuk membesarkan anak. Kecerdasan emosional ternyata tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi pendidik dan orang tua untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak didik mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan. Contoh: 1. Permainan bola logam mengkilap yang diletakkan pada pelat yang terpasang pada sebuah menara di TK Miss Ansel. Anak diminta menaikkan pelat ini ke puncak menara tanpa menjatuhkan bola kecilnya. 2. Permainan Hula Hop di TK BPK PENABUR Metro Lampung Berdasarkan permainan ini dapat dilihat anak-anak yang masih alami, bahkan ketika menghadapi sesuatu yang mustahil dan kegagalan berulang kali. Menurut Deborah Stipek dalam Shapiro (2003: 5) anak hingga usia 6 atau 7 tahun menaruh harapan yang tinggi untuk berhasil meskipun kinerja pada usaha-usaha yang dilakukannya hampir selalu buruk. Ciri yang diperagakan oleh anak taman kanak-kanak tersebut seperti keuletan, optimisme, motivasi diri, dan antusiasme adalah bagian dari yang disebut Kecerdasan Emosional. Kecerdasan Emosional dapat diterapkan apabila pendidik atau orang tua menjalankan perannya sesuai dengan pola pengasuhan yang otoritatif (demokratik) yaitu pendidik dan orang tua yang selalu memberikan bimbingan, tetapi tidak mengatur mereka memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan serta membolehkan anak didik memberi masukan dalam pengambilan keputusan, menghargai kemandirian anak didik Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran tetapi menuntut mereka memenuhi tanggung jawab yang tinggi kepada keluarga, teman dan masyarakat, upaya untuk berprestasi mendapat dorongan dan pujian. Cara-cara Mendidik Anak Agar Memiliki EQ Tinggi Mendidik anak memiliki EQ tinggi dapat mencakup berbagai tujuan yang bermanfaat bagi anak dalam kehidupannya. Empati dan Mengungkapkan Serta Memahami Perasaan 4. Contoh: a. Ajak anak didik untuk ikut dalam kerja bakti di lingkungan sekitar rumah. b. Ajak anak didik ke panti asuhan dan lainlain. Permainan ungkapan perasaan Contoh: Pendidik harus mempersiapkan gambar tokoh manusia dengan berbagai ekspresi wajah dan aktivitas, kemudian anak didik diminta untuk menuliskan atau menyebutkan ungkapan perasaan apa yang dilihatnya dari gambar yang diperlihatkan, dengan cara berkelompok. Kelompok yang betul menyebutkannya akan mendapatkan nilai dan yang paling tinggi akan menang. (gambarnya harus disesuaikan bobot kesulitannya untuk Kelompok Bermain, TK sampai dengan SD kelas VI). Cara yang dapat dilakukan untuk: Kelompok Bermain, TK, SD kelas I – VI: 1. Perketat tuntutan anda pada anak didik mengenai sikap peduli dan tanggung jawabnya. Mengendalikan Amarah Contoh: a. Peduli terhadap teman yang sakit/ Mengajarkan pengendalian emosi kepada anak didik bisa dengan cara berbicara dengan anak kesusahan. untuk membantu mereka b. M e m b a n t u mengembangkan p e k e r j a a n pemahaman akan pembantu di Mendidik anak memiliki EQ rumah. perasaan-perasaan entah tinggi dapat mencakup c. Ajari anak didik dalam rapat keluarga atau berbagai tujuan yang untuk mengerjakan diskusi kelompok tetapi bermanfaat bagi anak dalam pekerjaan rumah hal ini belum cukup tanpa mereka seperti anak sendiri harus kehidupannya. membereskan menyadari bahwa rasa tempat tidur amarahnya tersebut (artinya anak diajarkan tanggung jawab). tidaklah ada gunanya dan anak harus Perlu diingat bahwa pendidik dan orang mempraktekan pengendalian emosi ini pada tua juga harus bertanggung jawab, waktu sedang diganggu atau merasa terganggu. Contoh permainan pengendalikan amarah jangan memanjakan mereka dan tidak memberi imbalan kepada anak didik yang dianjurkan: berupa uang/hadiah tapi berilah pujian 1. TK dan SD kelas I-III: mengambil batang korek bahwa dengan membantu orang lain api atau lidi batang demi batang dari suatu maka anak didik telah berbuat benar dan kumpulan tanpa menyentuh yang lain. 2. SD kelas IV-V: memisahkan benang yang akan disayang orang tua dan Tuhan. dikusutkan menjadi tidak kusut/rapi. 2. Praktekkan perbuatan baik. 3. SD kelas VI: membawa air di dalam gayung Contoh: yang bocor. a. Ajari anak didik untuk memberi makanan pada teman yang tidak punya makanan. b. Ajari anak didik membukakan pintu Memecahkan Masalah antar Pribadi untuk seorang ibu yang sudah tua atau Apabila anak didik menyaksikan kita dengan guru. tenang membahas sebuah masalah, menguraikan c. Menengok teman yang sakit. 3. Libatkan anak didik dalam kegiatan segala sesuatu, dan menimbang semua pemecahan yang mungkin, mereka dengan pelayanan masyarakat. sendirinya mulai meniru perilaku tersebut. Begitu Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 55 Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran juga sebaliknya apabila kita menunjukan sikap tersinggung, tidak mau kalah, tertekan atau kesal karena masalah kita maka anak didik akan mempelajarinya. Cara yang dapat diterapkan agar anak didik mampu memecahkan masalah: 1. SD kelas I - VI: dengan melakukan rapat keluarga atau diskusi kelompok tentang masalah yang dihadapi seluruh anggota keluarga atau anak didik disekolah dan jangan mengkritik. 2. Kelompok Bermain, TK, dan SD kelas I - III: dengan melakukan permainan kata “Lakukan sesering mungkin”: a. ya/tidak b. dan/atau c. sebagian/semua d. sebelum/sesudah e. sekarang/nanti f. sama/berbeda Ibu/Guru: (bertanya di tokomakanan) “Ayo kita bermain Ya/Bukan”(sambil berbelanja anak diminta membayangkan saja). “Ini kue. Ini makanan tambahan, bukan makanan utama. Ini apel. Apakah ini makanan utama?” Anak : “Bukan. Ini buah-buahan. Ini sama dengan camilan”. Ibu/Guru: “Betul. Ini bukan makanan utama. Ini makanan tambahan atau makanan ringan”. Bisakah kamu menolong ibu mencarikan atau menyebutkan makanan lain untuk makan malam, tapi bukan makanan utama?” 3. SD kelas I–III: Dengan permainan sumbang saran yaitu meminta anak didik untuk menyebutkan masalah yang sering terjadi di dalam kelas kemudian meminta anak menyebutkan solusi atau cara mengatasi masalah tersebut sebanyak mungkin kemudian pendidik dan anak didik kembali untuk memilih solusi yang paling baik. Pendidik membagi kelas itu ke dalam beberapa kelompok. Tiap kelompok akan memperoleh angka untuk setiap solusi atau saran. Pendidik menuliskan tiap saran yang muncul, kemudian melingkari gagasangagasan yang baik, dan mengabaikan yang terlalu mengada-ada. Tujuan permainan ini adalah menghadirkan gagasan berupa saran sebanyak-banyaknya. Apabila anak didik 56 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 4. mencoba memecahkan masalah, anak perlu memperhitungkan semua solusi atau saran yang mungkin, kemudian kembali untuk memilih solusi atau saran yang paling baik. SD kelas I–VI dengan permainan clue–less (permainan saling ketergantungan untuk memecahkan masalah) dengan cara pendidik terlebih dahulu membuat bentuk permainan seperti permainan mencari jalan keluar yang berbentuk garis lurus ada jalan masuk dan jalan keluar yang di dalamnya ada jalan buntu dan ada jalan tanpa hambatan di kertas. Pendidik meminta anak didik untuk memainkan permainan tersebut dengan cara berpasangan di mana yang satu menutup matanya untuk bermain mencari jalan keluar dan anak yang satunya memberikan perintah berupa aba-aba sampai nememukan jalan keluarnya. Kemudian bergantian posisi bermain. Sebelumnya anak harus menuliskan masalah yang dihadapinya dan menentukan cara mengatasi masalah tersebut. Pendidik kemudian memberikan penjelasan bahwa untuk mengatasi masalah memang sangat sulit butuh kerjasama dengan orang lain, harus sabar, kerja keras, dan jangan mudah menyerah. Sikap Hormat (Sopan Santun) Cara mengajarkan perilaku yang lebih sopan kepada anak adalah menaikkan tingkat tuntutan yang anda tetapkan dalam hal sopan santun. Apabila Anda merasa bahwa tuntutan sudah cukup tinggi, naikkan lagi tuntutan itu. Jangan bertoleransi terhadap sikap tidak hormat, kasar, dan tidak sopan, apapun alasannya. Sopan santun adalah salah satu keterampilan EQ yang paling mudah diajarkan, tetapi pengaruhnya luar biasa pada keberhasilan mereka dalam pergaulan di kemudian hari. Cara yang dapat diterapkan pada anak didik dalam mengajarkan sikap hormat: TK - SD kelas I - IV: sebelumnya pendidik harus menjelaskan terlebih dahulu tentang sopan santun, kemudian menyebutkan contoh macammacam sopan santun yang harus dilakukan anak. Pendidik meminta anak untuk memperagakan dan menyebutkan cara bersopan santun kedepan kelas ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, bertamu di rumah orang, makan dimeja, dan lain-lain. Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran Kemampuan Adaptasi (Penyesuaian Diri) Agar anak didik mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan orang lain maka anak didik harus mampu untuk mengendalikan rasa marahnya, sopan, tidak pendiam, harus percaya diri dan tidak pemalu karena kemampuan penyesuaian diri ini sangat menuntut seorang anak untuk bertingkah laku yang sesuai, cocok, tepat dan mengena dengan lingkungan sekitar di mana anak didik itu berada. Cara agar anak mampu beradaptasi. 1. SD kelas IV–V: pendidik mempersiapkan gambar dengan situasi tertentu kemudian anak didik diminta untuk menuliskan cerita dengan menyebutkan macam-macam tingkah laku apa yang dilakukan dan apa yang dibicarakan sementara anak didik membayangkan berada sebagai tokoh di dalam gambar tersebut. 2. SD kelas VI: pendidik meminta anak didik untuk langsung memperagakan kemampuan penyesuaian diri ini di lapangan misalnya di kelas TK ketika anak didik tengah bermain atau makan, kemudian meminta anak didik untuk berbicara, bertingkah laku sesuai dengan situasi yang mereka lihat. Pendidik mengobservasi per kelompok anak dengan melihat apa yang sedang mereka lakukan. Demikianlah yang dapat dilakukan pendidik atau orang tua guna menerapkan EQ pada anak didik untuk meraih keberhasilan. Namun perlu diingat bahwa sebelum pendidik menerapkan pengajaran kecerdasan emosional di sekolah, para pendidik harus terlebih dahulu menyampaikan materi berupa teori tentang aspek kecerdasan emosional tersebut agar anak mengerti bahwa permainan–permainan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dari aspek kecerdasan emosional. Pola pembelajaran berdasarkan EQ ini diterapkan di sekolah-sekolah di Northern California, yaitu di tingkat TK hingga SD kelas 6, dinilai oleh pengamat-pengamat independen, dengan memperbandingkan sekolah-sekolah kontrol dan hasil yang didapat, anak lebih bertanggung jawab, lebih tegas, lebih populer dan mudah bergaul, lebih bersifat sosial dan suka menolong, lebih memahami orang lain, lebih tenggang rasa, penuh perhatian, lebih pintar menerapkan strategi yang lebih peduli lingkungan untuk menyelesaikan masalah antarpribadi, lebih harmonis, lebih demokratis dan lebih terampil dalam menyelesaikan konflik (Golemen, 1999: 219). TK dan SD BPK PENABUR Kota Metro Lampung sudah mulai mencoba menerapkan pola pembelajaran tersebut semenjak tahun 2004. Meskipun terlalu dini untuk menilainya, sedikit banyak tampak bahwa pada tes IQ yang dilakukan sudah memperlihatkan hasil yang memuaskan. Sedangkan untuk EQ yang baru dalam setahun terakhir juga mulai diterapkan menampakkan hasilnya dalam perubahan sikap atau tingkah laku anak didik yang lebih sopan, percaya diri, mandiri, lebih sabar, termotivasi dan sikap yang lebih baik. Apabila kecerdasan emosional ini terus diajarkan kepada anak didik maka anak akan lebih terampil dalam kemampuan sosial, pengendalian diri yang lebih baik, berpikir dahulu sebelum bertindak dan suasana kelas yang lebih positif. Kecerdasan emosional ini dapat diajarkan oleh guru Bimbingan Konseling (BK)/Bimbingan dan Penyuluhan (BP) atau guru wali kelas. Menerapkan pendekatan pembelajaran berdasarkan IQ dan EQ memang tidak mudah tetapi memberikan hasil yang sangat positif untuk meraih keberhasilan anak didik. Apalagi bila IQ dan EQ diterapkan secara bersamaan dan saling berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya, seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial dan emosional, sebagaimana ditunjukkan oleh negarawannegarawan besar dunia. Menurut pakar ilmu politik di Duke University, James David Barner dan Thomas Jefferson memiliki perpaduan antara kepribadian dan intelektualitas yang nyaris sempurna. Ia dikenal sebagai komunikator yang hebat dan penuh empati, selain sebagai seorang jenius sejati.(Shapiro, 2003: 9). Tokoh tersebut dapat dijadikan motivasi kita sebagai pendidik untuk dapat menerapkan metode ini agar anak didik kita menjadi anak-anak yang berhasil dan sukses meraih impian di masa yang akan datang. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. 1. Dengan pendekatan pembelajaran yang menerapkan IQ, anak didik akan lebih cerdas secara kognitif bahkan cerdas secara multiple, Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 57 Mengasah Hakikat IQ dan EQ dalam Pembelajaran 2. 3. 58 tentunya dengan memberikan stimulus dengan suasana yang menyenangkan (bermain). Pendekatan pembelajaran yang menerapkan EQ maka anak didik akan lebih terampil dalam kemampuan sosial, pengendalian diri yang lebih baik, berpikir dahulu sebelum bertindak, dan suasana kelas yang lebih positif. Pendekatan pembelajaran yang menerapkan IQ dan EQ akan tercapai apabila pendidik atau orang tua menjalankan perannya sesuai dengan pola pengasuhan yang otoritatif (demokratik) yaitu pendidik atau orang tua harus memperlihatkan minat, keinginan atau pendapat anak, tidak memaksakan kehendak orang tua atau pendidik, penuh kasih sayang, dan kegembiraan, menciptakan rasa aman dan nyaman, memberi contoh tanpa memaksa, mendorong keberanian untuk mencoba berkreasi, memberi penghargaan atau pujian atas keberhasilan atau perilaku yang baik, memberi koreksi bukan ancaman atau hukuman bila anak tidak dapat melakukan sesuatu atau ketika melakukan kesalahan, memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan serta membolehkan anak memberikan masukkan dalam pengambilan keputusan. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Daftar Pustaka Goleman, Daniel. (1999. Emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Shapiro E, Lawrence. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak. Jakarta: PT Gramedia Suryabrata, Sumadi. (2002). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Soedjatmiko. Pentingnya stimulasi dini pada bayi dan balita untuk mengembangkan kecerdasan multipel dan kreativitas anak. Makalah disajikan pada Seminar Pendekatan Komprehensif untuk Tumbuh Kembang Optimal dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Bandar Lampung, 2004 Soedjatmiko. Pentingnya stimulasi dini untuk merangsang perkembangan bayi dan balita terutama pada bayi berisiko tinggi. Makalah disajikan pada Simposium Nasional dan Pelatihan Klinis Praktis Tumbuh Kembang Anak dari Ikatan Dokter Anak (IDAI). Bandar Lampung, 2005 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Opini Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa Elika Dwi Murwani*) Abstrak Kesadaran kritis lebih melihat pada aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis adalah belajar dari realitas atau pengalaman, tidak menggurui dan dialogis. Pola pembelajaran searah kurang dapat menumbuhkan kesadaran kritis. Peran guru yang lebih tepat untuk membangun kesadaran kritis adalah sebagai fasilitator, dan siswa sebagai subjek bukan objek pembelajaran. Kata kunci : Peran guru, siswa, pembelajaran, kesadaran ktitis The critical consciousness tends to see the system and structural aspect as a problem source.The main feature in developing the critical consciousness is learning from reality or experience, not dictating but interacting. One way instructional process does not develop the critical consciousness In improving the critical consciousness the teacher is expected to act more as a fasilitator, and the student plays as the subject, not the object of learning process. Pendahuluan al yang sangat sering kita dengar dalam dekade terakhir ini adalah menurunnya mutu pendidikan, darimana masyarakat menilai? Apa yang diamati oleh masyarakat adalah anak sekarang tidak dapat memahami hal-hal yang sederhana yang terjadi di sekelilingnya baik dalam fungsi hitungmenghitung, fungsi sosial, maupun perilaku dan moral mereka. Mereka lebih senang tawuran daripada belajar padahal mereka diberi pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang sarat dengan nilai-nilai moral dan etika selama bertahun-tahun, mereka lebih senang membuat gaduh dan tidak tertib daripada berkreasi, mereka cenderung menginginkan segala sesuatu yang instan tanpa mau bersusah payah dan berpikir keras, inisiatif serta kreativitas mereka terbatas. Dimana letak kesalahan pendidikan kita? Siapa yang salah? Para siswa, orang tua, pendidik, sistem pendidikan kita atau Pemerintah sebagai pengambil kebijakan? Sistem pendidikan kita membatasi setiap ruang H gerak anak. Anak tidak mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan apa saja yang menjadi buah pemikirannya. Mereka “ditakdirkan” hanya cukup menerima pemberian guru. Sebab jargon yang mengatakan bahwa “guru tahu segalanya” masih banyak berlaku sehingga sistem yang berjalan adalah satu arah, hanya dari guru ke anak. Tidak ada informasi dari anak ke guru, atau timbal balik keduanya. Bukan hanya guru, tetapi pendidikan secara menyeluruh telah menciptakan generasi inggah-inggih (generasi “asal bapak senang). Dari diskusi siswa-siswi di suatu sekolah di Jakarta yang dimuat dalam majalah Basis, Menggugat Dunia Pendidkan Kita, 1998,: “Menurut pandangan kami yang dimaksud dengan “mencerdaskan” adalah membentuk manusia yang mempunyai pola pikir yang logis, kritis dan reflektif, serta mampu mengungkapkan isi pikirannya, berwawasan luas dan mempunyai daya analisis yang tajam”. Sementara sistem pendidikan sekarang ibarat gelas kecil yang diisi penuh air melalui selang pemadam kebakaran, pada akhirnya akan tumpah ruah karena tidak dapat lagi menampung air yang disemprotkan. *) Kepala Jenjang SMAK BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 59 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa Tidak dapat dipungkiri kalau sistem mampu menentukan pilihan-pilihannya secara pendidikan seperti ini akan mematikan bertanggung jawab. Untuk itu diperlukan kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. kesadaran kritis mengenai tanggung jawab Pendidikan justru membawa para siswa menjadi sebagai manusia. Lalu mengapa kita tidak ‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap membangun kesadaran kritis para siswa untuk lingkungannya sendiri karena hanya belajar sesuatu yang lebih berguna, dengan mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan demikian siswa akan belajar “living value”. materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan Masalah secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranBerpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia pelajaran tersebut tidak bermanfaat. yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi Hal-hal tersebut di atas membuat siswa tumbuh apabila didahului dengan kesadaran kritis yang dan dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang diharapkan dapat ditumbuh kembangkan melalui individualis, dangkal dan lama kelamaan akan pendidikan. Tulisan ini mencoba menelaah peran menanamkan sifat “emang gue pikirin”, sementara guru untuk membangun kesadaran kritis siswanya. guru-guru hanya melaksanakan tugasnya sebagai Disadari bahwa guru mengemban berbagai peran pengajar, bukan sebagai pendidik karena mereka sebagai pembelajar di sekolah, akan tetapi telaah hanya mengejar target materi-materi kurikulum. berikut ini dibatasi pada perannya dalam Salah satu kelemahan utama pendidikan kita membangun kesadaran kritis siswa. adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan Tinjauan Teoritis pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap Filsafat Pendidikan Paulo Fraire dengan baik atau tidak karena kita hanya menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang Paulo Fraire, seorang ahli pendidikan dari Brazilia, kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali (1921–1997) banyak mengkritisi teori-teori dan menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu praktek pendidikan pada jamannya. Dalam yang baru saja diajarkan bukunya yang terkenal yakni kepada mereka. Dalam Pedagogy of Opressed, 1978 taxonomi Bloom tingkat (Pendidikan Kaum Tertindas) Berpikir kritis merupakan belajar yang paling rendah salah satu ciri manusia yang dan Cultural Action for Freeadalah menghafal dan ini dom, 1977 (Gerakan cerdas. Akan tetapi berpikir sudah menjadi pola belajar Kebudayaan Untuk siswa kita bahkan sampai K e m e r d e k a a n ) , kritis akan terjadi apabila tingkat mahasiswa didahului dengan kesadaran menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga kategori sekalipun. Bagaimana : Kesadaran magis, kesadaran mungkin otak mereka kritis yang diharapkan dapat naïf dan kesadaran kritis. mampu menyerap secara ditumbuhkembangkan mendalam ilmu pengetahuan Kesadaran magis (magical melalui pendidikan. yang kita berikan karena consciousness), adalah suatu terlalu banyaknya bahan kesadaran masyarakat yang pelajaran yang kita berikan, dengan demikian tidak mampu mengetahui kaitan antara suatu pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan faktor dengan faktor lainnya. Dalam dunia dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. mampu melakukan analisis terhadap suatu Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena masalah maka proses belajar mengajar tersebut pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat dalam prespektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistic. Proses pendidikan modern bagi perkembangan anak didik. ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan Lalu pertanyaannya menjadi, apakah yang antara sistem dan struktur terhadap suatu hendak kita capai melalui pendidikan untuk anak- permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik anak kita? Orang tua mengharapkan anaknya menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada bertumbuh menjadi manusia yang mandiri dan mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi 60 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Kesadaran naif (naival consciousness), kesadaran ini lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur yang ada sudah baik dan benar. Semuanya merupakan faktor “given” dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar siswa dapat masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Kesadaran kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih siswa dapat untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Bagi Fraire pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri, sistem pendidikan yang ada selama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education). Pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil yang berlipat ganda. Jadi anak didik sebagai objek investasi dan sumber deposito potensial. Secara sederhana Fraire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut : Guru mengajar, murid belajar. Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apaapa. Guru berpikir, murid dipikirkan. Guru bicara, murid mendengarkan. Guru mengatur, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti. Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya. Guru memilih apa yang akan diajarkan, murid menyesuaikan diri. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, mempertentangkannya dengan kebebasan murid-murid. Guru adalah subyek proses belajar, murid obyeknya. Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah saja jika kemudian murid-murid mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus digugu dan ditiru. Sistem pendidikan yang bersifat satu arah yang menjadikan guru sebagai subjek dan murid sebagai objek melahirkan hubungan yang otoriter antara guru dan murid. Pada saatnya sistem dan praktek pendidikan seperti itu melahirkan generasi baru manusiamanusia penindas. Bagi Fraire, sistem pendidikan sebaiknya harus menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat manusia. Sistem pendidikan mapan selama ini telah menjadikan anak didik sebagai manusiamanusia yang terasing dan tercerabut (disinherited masses) dari realita dirinya sendiri dan karena ia telah dididik menjadi seperti orang lain yang bukan dirinya sendiri. Manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Kemanunggalan karsa, kata dan karya disebut praxis. Prinsip praxis inilah yang menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi pendidikan Fraire. Seperti yang digambarkan dalam diagram di bawah ini : Bertindak Bertindak Dst ... Berpikir Berpikir Gambar 1: Kerangka Dasar Sistem dan metodologi Pendidikan Praire Dengan aktif bertindak dan aktif berpikir sebagai pelaku, dengan terlibat langsung dalam permasalahan nyata, dan dalam suasana yang dialogis, maka pendidikan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom). Proses kesadaran seseorang merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti atau mandeg, harus senantiasa berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat “kesadaran naïf” sampai ketingkat “kesadaran kritis”, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam yaitu “kesadarannya kesadaran” (the consice of the consiousness). Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 61 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka orang itupun mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-mata. Ia menjadi orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan diri atau sesuatu berdasarkan suatu “kesadaran”, sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa perlu sadar apa yang dikatakannya, darimana ia telah menerima hafalan yang dinyatakannya, dan untuk apa ia menyatakannya. Berpikir Kritis Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. Berpikir kritis mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman, 1998). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis. Peran Guru Peran guru dalam pendidikan formal (sekolah) 62 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 adalah “mengajar”. Saat ini banyak guru yang karena kesibukannya dalam mengajar lupa bahwa siswa yang sebenarnya harus belajar. Jika guru secara intensif mengajar tetapi siswa tidak intensif belajar maka terjadilah kegagalan pendidikan formal. Jika guru sudah mengajar tetapi murid belum belajar maka guru belum mampu membelajarkan murid. Menurut Yamamoto, belajar mengajar akan mencapai titik optimal ketika guru dan murid mempunyai intensitas belajar yang tinggi dalam waktu yang bersamaan. Kedudukan guru dan siswa haruslah dianggap sejajar dalam belajar, jika kita memandang siswa adalah subyek pendidikan (Sumarsono, 1993). Guru dan siswa sama-sama belajar, kebenaran bukan mutlak di tangan guru. Guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk belajar dan memfasilitasinya agar siswa dapat mengaktualisasikan dirinya untuk belajar. Gurupun harus mengembangkan pengetahuannya secara meluas dan mendalam agar dapat memfasilitasi siswanya. Inilah peran guru dari guru. Kesalahan fatal yang dilakukan pendidik orang dewasa adalah usaha dalam mendefinisikan fungsi dirinya sebagai pelaku tunggal bagi perubahan tingkah laku dan berbuat seolah-olah tugas prinsipnya adalah untuk mengkomunikasikan ide-ide, mendesain latihan (exercise), untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan atau sikap tertentu untuk menentukan perubahan tingkah laku dan melakukan survey untuk mendeteksi kebutuhan. (Kezirow,1987) Di samping orang tua, pelaku utama pendidikan adalah guru, sehingga seringkali guru dalam paradigma lama berlaku sebagai sumber utama ilmu pengetahuan dan menjadi segalagalanya dalam pengajaran. Guru adalah orang yang digugu dan ditiru, sehingga tak pelak lagi guru menjadi orang yang setengah didewakan oleh anak didiknya. Tetapi peran guru yang sentral dalam pendidikan kurang berpengaruh terhadap pembelajaran siswanya. Hal ini tentunya sebatas hubungan formal yang tidak mendalam dalam membangun kesadaran siswa untuk belajar dengan sepenuh hatinya. Guru pada era sekarang bukan satu-satunya sumber pengetahuan karena begitu luas dan cepat akses informasi yang menerpa kita, sehingga tidak mungkin seseorang dapat menguasai begitu luas dan dalamnya ilmu pengetahuan serta perkembangannya. Akan lebih tepat jika guru berlaku sebagai fasilitator bagi para siswanya sehingga siswa memiliki kepandaian dalam memperoleh informasi, belajar memecahkan Peran Guru dalam Membangun Kesadaran masalah, menarik kesimpulan, menuliskan, mengekspresikan apa yang diketahuinya, ini akan membuat siswa menjadi seorang pembelajar yang luar biasa. Ki Hajar Dewantoro merumuskan peran guru dalam mendidik di sekolah sebagai berikut ing ngarso sung tulodo, di depan memberi teladan, ing madyo mangun karso, di tengah membangun kreativitas dan tut wuri handayani, di belakang memberi semangat. Hingga sekarang peran ini masih aktual dan menjadi dasar dari semua peran yang dijalankan seorang guru dalam mendidik, bagaimana guru berperan sebagai teladan, mediator sekaligus motivator dalam proses pembelajaran, dengan pendekatan/metode apapun yang digunakan oleh guru. Pendidikan abad ke-21 diprediksi akan jauh berbeda dengan sebelumnya sehingga UNESCO pada tahun 1977 sudah mulai menggali esensi dari pendidikan dan kemudian memperkenalkan The Four Pillars of Education, yaitu Learning to know, Learning to do, Learning to live together, dan Learning to be, untuk mengantisipasi perubahan yang bukan hanya linier tetapi mungkin eksponensial yang diantisipasi akan terjadi di masyarakat yang mengglobal. Pembahasan Paolo Fraire mencoba untuk mengungkapkan kondisi kemanusiaan yang sedemikian rapuh dalam masyarakat kita dengan kejujuran tanpa tedeng aling-aling. Pernyataan-pernyataan Fraire memang sering kontroversial, meletup-letup dan memancing banyak pertanyaan bahkan kritik, namun fakta yang diungkapkannya adalah realitas tak terbantahkan di hampir semua, negara dunia ketiga. Dalam model banking seperti yang diuraikan oleh Fraire, guru sangat aktif dan siswa menjadi pasif dalam proses belajar mengajar di sekolah. Gurulah yang berkuasa untuk menentukan semuanya, sedangkan siswa hanya menurut saja. Siswa dijadikan objek dan tidak mempunyai hak untuk ikut menentukan. Aktor utama adalah guru bukan siswa. Hal itu tampak praktek guru seperti indoktrinasi sedangkan siswa hanya menerima apa yang diajarkan guru dan tidak boleh bertanya apalagi bersikap kritis. Guru seringkali menekankan pada hanya ada satu nilai/jawaban yang benar, juga guru mengharuskan siswa untuk menggunakan satu jalan saja, tanpa boleh menggunakan cara lain. Jika siswa mengungkapkan gagasan alternatif, selalu disalahkan. Hal ini kadang disebabkan karena guru sendiri tidak memiliki pengetahuan yang luas sehingga tidak memahami ada bermacam-macam alternatif jawaban. Seringkali guru beranggapan siswa yang banyak bertanya sebagai pengganggu, apalagi kalau pertanyaannya tidak dapat dijawab oleh guru. Pola pengajaran demikian membuat siswa kita tidak kreatif, tertekan, tidak bebas dalam mengungkapkan pemikirannya. Jika kita ingin mengubah pendidikan kita maka metode pengajaran di atas perlu diubah dengan metode pengajaran yang membuat siswa aktif, model multinilai dan multikebenaran, bebas berbicara, diperbolehkan salah, metode ilmiah dengan pencarian bebas, berpikir kritis, membahas masalah masyarakat secara terbuka, hubungan guru-siswa dialogis (Paul Suparno, 1999) Seperti yang diungkapkan Andy Hakim Nasoetion, dalam Ilmu untuk Kehidupan dan Penghidupan, seorang murid SD dari suatu desa mengajukan pertanyaan kritis sebagai berikut: “Kalau saya seorang astronut dan membawa kipas ke ruang angkasa, kemudian saya kipas-kipaskan, apakah akan terjadi angin?”. Disusul oleh pertanyaan dari seorang murid SMP sebagai berikut: “Kalau saya nyalakan lilin, nyalanya menuju ke atas. Akan tetapi, kalau lilin itu saya balikkan sumbunya kearah bawah, mengapa nyalanya tidak mengarah ke bawah, melainkan ke atas juga sehingga melelehkan ujung lilin itu lebih cepat?”. Ternyata pertanyaan-pertanyaan itu cukup sukar dijawab oleh para guru, guru tidak siap dalam menjawab pertanyaan kritis dari muridnya. Guru tidak suka merangsang murid untuk bertanya karena pengetahuan guru yang terbatas dan tidak memahami konsep-konsep sains secara mendalam. Guru harus menjadi agen perubahan dengan mengubah paradigma berpikirnya terlebih dulu. Guru harus siap dan dapat mengantisipasi dalam menghadapi setiap perubahan yang terjadi, karena dengan memberi kebebasan bagi siswa untuk berpikir dan berekplorasi maka seringkali apa yang dipikirkan dan ditemukannya berbeda dengan apa yang selama ini menjadi pemahaman guru. Di samping itu guru harus terus menerus mengaktualisasikan diri, belajar memperluas dan memperdalam pengetahuannya agar dapat memfasilitasi siswa dalam belajar. Guru harus membuat dirinya kompeten dan profesional. Hal ini berarti guru perlu secara terus menerus mengembangkan kemampuannya dalam menguasai disiplin ilmu yang diajarkannya serta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 63 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa metodologi pembelajaran. Guru diharapkan memberdayakan siswanya dalam proses pembelajaran sehingga siswa benar-benar memperoleh pengalaman belajar melalui metode pembelajaram yang tepat. Metode Ceramah Di antara berbagai metode pembelajaran siswa, metode ceramah banyak dipergunakan oleh guru dalam berbagai situasi dan tujuan. Pada masa lalu, dan mungkin juga sampai sekarang, banyak orang berpendapat seseorang yang disebut sebagai guru berdiri di depan kelas sementara yang lain duduk diam mendengarkan dan melaksanakan perintahnya. Metode ini hingga sekarang masih berlaku. Pusat pengetahuan hanya ada pada sang guru. Metode mengajar seperti ini kurang mengaktifkan siswa untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan belajar tentang nilai-nilai. Belajar secara aktif akan lebih baik jika proses belajar itu didorong oleh metode pengembangan kemampuan dan pengetahuan yang diproses dari pengalaman masing-masing. Metode ini akan menimbulkan suatu pengalaman belajar yang lain yang lebih menantang baik bagi guru maupun siswa. Guru akan berperan sebagai fasilitator yang mendorong semangat belajar siswanya, dan menjadi faktor pendorong terjadinya perubahan. Kerugian dari Mendengarkan dalam Metode Ceramah Diakui bahwa metode ceramah efektif untuk penyampaian pelajaran yang bersifat kognitif dengan jumlah siswa yang besar dalam suatu kelas. Akan tetapi penggunaan metode ini secara tidak tepat dapat menimbulkan hal-hal negatif sebagai berikut: 1. Pengetahuan yang disampaikan hanya didasarkan pada apa yang dimiliki penceramahnya, ibarat komunikasi maka hanya satu arah tanpa peran partisipan, dan tak ada umpan balik dari pendengarnya. 2. Ada kesenjangan pengetahuan antara penceramah dan pendengarnya. Anggapannya peserta adalah orang yang tidak berpengetahuan sama sekali sehingga harus diisi. 3. Peserta hanya menerima informasi secara pasif, maka mereka akan cepat bosan dan 64 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 lelah. 4. Metode kuliah menekankan pada transfer informasi dan fakta, lebih banyak mengandalkan pesan-pesan dari informasi dibandingkan denga faktanya. 5. Rentang waktu peserta untuk dapat berkonsentrasi penuh sangat terbatas, apalagi ceramah dengan suara monoton. Rata-rata orang melupakan 50% dari apa yang mereka dengar. 6. Penceramah biasanya tidak memiliki cara untuk memastikan seberapa jauh para peserta menangkap dan memahami apa yang disampaikan penceramah, apalagi jika tidak ditinjau ulang selama ceramah atau setelah ceramah. Metode ceramah tidak membuat siswa berpikir secara aktif, apalagi kritis sehingga metode ini tidak tepat untuk dapat membangun kesadaran kritis siswa. Dengan waktu yang terbatas serta jumlah siswa yang banyak dalam kelas, guru tidak mampu melayani berbagai pertanyaan siswa dengan baik. Menurut Vigotsky, proses belajar yang dapat meningkatkan semangat siswa adalah dengan berdiskusi, banyak bertanya, bereksplorasi, dan bermain (fun learning), sehingga kemampuan verbal dan motoriknya berkembang, termasuk kemampuan berpikir kritisnya (higher order thinking). Akan tetapi guru yang telah terbiasa dengan metode tertentu merasa telah nyaman dengan metode tersebut cenderung mempertahankannya sungguhpun hasilnya kurang dapat membuat siswa berpikir kritis. Keengganan guru tersebut juga diungkapkan oleh Ratna Megawangi, dalam Otonomi Sekolah, 2005, dengan mengatakan “Masalah yang sering kami hadapi di Indonesia Heritage Foundation, ketika melatih para guru untuk mengubah metode pembelajaran di kelas agar tujuan membangun manusia holistik yang berkarakter dapat tercapai, yaitu ketakutan dan keengganan para guru untuk memperbaiki metode pembelajaran di kelas agar sesuai dengan teoriteori yang berlaku (misalnya Piaget, Erik Erikson, Vigotsky, dll). Bagaimana Cara Membangun Kesadaran Kritis? Dari uraian di atas jelaslah bahwa membangun kesadaran kritis tidak dapat dilakukan dengan pola pengajaran ceramah, seperti yang selama ini dilakukan oleh para guru. Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih, 2001. Suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan proses pendidikan kritis harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses tersebut. Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa. Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis, yaitu : 1. Belajar dari realitas atau pengalaman : yang diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung bukan pada retorika teoritik. 2. Tidak menggurui : guru dan murid samasama belajar. 3. Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain peran dsb dan menggunakan media (peraga, grafik, audio visual, dsb) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang. Panduan proses belajar harus disusun dan dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal sebagai “daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan” (structural experiences learning cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran kritis dengan cara terlibat didalamnya secara langsung ataupun tidak. Proses yang melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah : 1. Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll). Ini tahap proses mengalami, menggali pengalaman dengan cara melakukan kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya. 2. Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap berikutnya yaitu proses mengungkapkan/ menyatakan kembali apa yang sudah dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas pengalaman tersebut. 3. Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, sistem dari pokok pembahasan. Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga terjadi pemahaman baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum dari kajian atas pengalaman. 5. Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan pemahaman atau pengertian atas realitas tersebut, sehingga ada kemungkinan menciptakan realitas baru yang lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman belumlah lengkap, sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam penerapan ini juga menimbulkan pengalaman baru. Daur proses ini akan berulang kembali dari awal, konsep learning by doing tercipta dalam daur ini. 4. 5 Tindakan 1 Rekontruksi 4 Kesimpulan 2 Ungkapan 3 Analisis Gambar 2: Daur Belajar dari Pengalaman yang Distrukturkan Proses pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator yang siap untuk melayani siswa dalam belajar, bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satusatunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan eksperimen agar siswa sebanyak mungkin merasakan dan mengalami dalam suasana yang dialogis. Motivasi Belajar Selama ini guru cenderung kurang mempedulikan apakah siswanya memiliki motivasi dalam belajar, karena yang penting adalah materi yang harus disampaikan selesai. Padahal jika seseorang tidak Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 65 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa memiliki motivasi yang kuat dalam belajar maka mustahil mereka akan mampu mempelajari sesuatu dengan baik. Tugas seorang fasilitator adalah justru membangkitkan motivasi itu, yaitu dengan menciptakan cara-cara kreatif untuk memotivasi siswa. Dengan demikian diharapkan siswa akan belajar dengan penuh semangat. Bagaimana Menjadi Fasilitator yang Baik? Banyak masalah untuk membangun suasana belajar dan membelajarkan siswa yang aktif dan menarik dan sebagai aktor utama, guru, seringkali secara personal mempunyai banyak kendala. Tetapi tentu saja hal tersebut dapat dipelajari jika diawali dengan niat yang sungguh-sungguh, meskipun untuk menjadi fasilitator yang baik memang diperlukan pengalaman dan jam terbang yang cukup tinggi. Mengutip pendapat dari Jenny Rogers, fasilitator akan dengan semangat, peka dan cermat memandu sebuah proses belajar jika ia memiliki watak/karakter : 1. Kepribadian yang menyenangkan. 2. Kemampuan sosial, dengan kemampuan menciptakan dinamika kelompok. 3. Mampu mendesain cara memfasilitasi yang membangkitkan semangat para partisipan. 4. Mampu mengorganisasi kegiatan. 5. Cermat dalam melihat persoalan partisipan. 6. Memiliki ketertarikan terhadap subyek. 7. Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar. 8. Pemahaman atas materi pokok pembahasan. Media Pembelajaran Dalam perspektif dan metodologi pendidikan kritis, penggunaan media merupakan suatu keharusan dalam hal siswa menemukan dengan pengalamannya sendiri, bukan hafalan, teori, atau kaidah dan rumus-rumus. Media akan membantu siswa untuk memvisualkan hal-hal abstrak, mengasah rasa, merangsang kreatifitas, menemukan pengetahuan, memahami konsep, dll. Agar dapat berfungsi meningkatkan mutu proses dan hasil belajar, media harus disiapkan dan dirancang dengan cermat oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajarannya. Di sini guru dituntut untuk kreatif dan inovatif. 66 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Pembelajaran yang Baik Sebagai contoh program Managing Basic Education (MBA), dalam pendampingan sekolah di Pacitan Jawa Timur mempergunakan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan (PAKEM) yang disusun oleh Lynne Hill. PAKEM memenuhi syarat untuk mengembangkan kesadaran kritis dalam diri siswa. Pembelajaran yang baik dimulai dengan perencanaan yang baik, kemudian diusahakan agar pembelajaran menarik dan menantang serta aktif. Hal ini memerlukan kreativitas guru dan aktualisasi yang terus menerus agar dapat memfasilitasi siswa dengan baik. Dalam merencanakan pembelajaran yang baik guru dapat melakukan hal-hal berikut: 1. Mengidentifikasi dengan tepat tujuan pembelajaran (kompetensi yang diinginkan) 2. Mengidentifikasi apa yang telah diketahui siswa dan mengembangkan pembelajaran berdasarkan informasi tersebut. 3. Membuat urutan pembelajaran terdiri dari beberapa tahap dan kegiatan. 4. Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang efektif. 5. Menyiapkan bahan dan sumber belajar. 6. Mengorganisasikan kelas dan mengelola sumber-sumber yang direncanakan dengan baik. 7. Memutuskan bagaimana menilai hasil belajar siswa. 8. Merencanakan proses maupun hasil belajar (produk). Proses dan produk pembelajaran: apa yang akan dikerjakan siswa dan bagaimana mengerjakannya (proses), dan bagaimana siswa akan mendemonstrasikan hasil belajar mereka (produk). Agar pembelajaran menarik dan menantang sehingga meningkatkan motivasi belajar, guru hendaknya berusaha agar : 1. tidak terlalu banyak bicara dan memberikan ceramah tetapi memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan sendiri kegiatan yang sudah dirancang; 2. siswa tidak terlalu banyak mendengarkan dan menjawab pertanyaan bersama-sama (koor); 3. melakukan kegiatan meningkatkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, termasuk tugas-tugas terbuka, Peran Guru dalam Membangun Kesadaran 4. 1. 2. 3. 4. misalnya percobaan di laboratorium dengan metode inquiry laboratory lesson yaitu guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan pengarah untuk merangsang siswa berpikir untuk memecahkan masalah; mengembangkan pengalaman siswa secara langsung (sumber belajar tangan pertama) untuk meningkatkan minat dan motivasi, misalnya mempelajari tentang hak asasi manusia dengan cara melakukan wawancara dengan tokoh atau orang yang mengalami ketertindasan atau hak-haknya dilanggar. Pembelajaran yang mengaktifkan siswa: belajar dengan mengerjakan, siswa aktif, terlibat, berpartisipasi, bekerja; interaksi antar siswa tinggi, belajar kelompok, berpasangan, bekerjasama; siswa menemukan, memecahkan masalah dan mengambil kesimpulan dari yang dipelajari; dan berfokus pada proses pembelajaran bukan semata-mata hasil atau penyelesaian target materi pelajaran selesai Kesimpulan Kesadaran kritis sangat diperlukan dalam pengembangan pribadi dan intelektual siswa dalam kehidupan sekarang dan maupun kemudian hari. Kesadaran kritis dan berpikir kritis dapat dibangun melalui pendidikan di sekolah dan secara khusus melalui kegiatan belajar dan pembelajaran. Untuk menumbuhkan kesadaran kritis serta berpikir kritis siswa dengan menempatkan siswa sebagai subjek, maka hal-hal berikut perlu diperhatikan guru. 1. Pembelajaran di kelas harus berubah dari berpusat kepada guru menjadi berpusat kepada siswa. 2. Guru berperan sebagai fasilitator untuk melayani siswa dalam membelajarkan siswa dan membuat siswa mengalami serta menyukai belajar. Untuk itu guru senantiasa belajar terus menerus mengaktualisasi diri, memperluas dan memperdalam pengetahuannya agar efektif dalam memfasilitasi siswa dalam belajar. 3. Mengajar dengan mengembangkan metode dialogis dalam diskusi, memberi kesempatan pada siswa untuk berpikir dan mengendapkan pengetahuannya, memberi kesempatan untuk bertanya, berdebat, berekplorasi untuk menemukan suatu pemahaman yang baru. 4. Dalam membelajarkan siswa maka pembelajaran dibuat semenarik mungkin untuk memotivasi siswa sehingga senang belajar, dengan demikian merangsang otak untuk dapat menerima pengetahuan/ pemahaman baru lebih cepat. 5. Membuat perencanaan, persiapkan dengan media yang dapat membantu siswa dalam mengalami belajar, menemukan dan merumuskan sendiri pengetahuannya. 6. Guru berperan sebagai agen perubahan dengan berani mengubah paradigma berpikirnya yaitu menjauhkan diri dari ketakutan dan keengganan mengubah cara mengajarnya yang tidak efektif serta bersikap terbuka. 7. Kesadaran kritis akan terbentuk jika siswa merasa bebas dalam berpikir, berpendapat dan mengekpresikan diri dalam suasana belajar yang terbuka, tidak banyak aturanaturan yang membelenggu, multinilai, multikebenaran, diperbolehkan salah, menerapkan metode ilmiah. Guru tidak menggurui karena guru dan siswa setara. 8. Kesadaran kritis akan membentuk pola pemahaman konsep yang kuat bukan sekedar menghafal, mampu untuk mencerna pengetahuan dengan mendalam, memiliki cara berpikir kritis menghadapi masalahmasalah sehari-hari dalam kehidupan. Pembelajaran dengan membangun kesadaran kritis akan menghasilkan pembelajaran yang bermutu. Pembelajaran yang dapat meningkatkan kesadaran kritis siswa ialah pembelajaran yang membuat siswa menjadi pelaku dan berperan aktif dalam proses belajar dan pembelajaran. Peran aktif siswa dapat dirangsang dan ditingkatkan dengan metode pembelajaran yang berfokus pada kegiatan siswa untuk mengalami belajar (learning by doing). Guru sebaiknya melakukan perubahan dalam mengefektifkan perannya untuk membangun kesadaran kritis siswa sehingga dapat menampilkan pembelajaran menjadi lebih Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 67 Peran Guru dalam Membangun Kesadaran Kritis Siswa bermutu dan berguna bagi masa depan siswanya Daftar Pustaka serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Fakih, Mansour, dkk,. (2001). Pendidikan popular, membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: Insist Hill, Lynne. (2005). Pembelajaran yang baik, dalam Program Managing Basic Education (MBE) Indonesia. http://www.mbeproject.net Majalah BASIS, No. 01-02 tahun ke 47, edisi khusus Menggugat Dunia Pendidikan Kita, Februari 1998 Megawangi, Ratna. Otonomi sekolah. Suara Pembaruan Daily, 2005. http:// www.suarapembaruan.com Nasution, Andi Hakim. (2000). Ilmu untuk kehidupan dan Penghidupan, dalam menggagas paradigma baru pendidikan. Yogyakarta: Yayasan Kanisius Paul, Suparno. (2000). Kurikulum SMU yang menunjang pendidikan demokrasi, dalam membuka masa depan anak-anak kita. Mencari kurikulum pendidikan abad XXI. Yogyakarta: Yayasan Kanisius 68 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Poerwowidagdo, Judo MA, PhD. (2001). Meningkatkan kualitas pendidikan Kristen dalam menjawab perubahan zaman, dalam pendidikan yang mendidik. butir-butir pemikiran strategis-reflektif di seputar pendidikan. Jakarta: Yudhistira Schafersman, Steven D. (1998). Critical thinking and its relation to science and humanism, [email protected]. Sumarsono. (1993). Pendidikan nilai dan profesi guru, dalam Pendidikan nilai memasuki tahun 2000. Jakarta: Grasindo Supeli, Karlina Laksono. Ringkasan pemikiran: Orang Tua di dalam Pendidikan Anak-Anak, Media Kerja Budaya, http:// mkb.kerjabudaya.org , 2003 Tilaar, H.A.R. (1999). Beberapa agenda reformasi pendidikan nasional. Magelang: Tera Indonesia Opini Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah dengan Masyarakat yang Saling Menguntungkan Sih Retno Hastuti *) Abstrak Peran serta masyarakat dalam pendidikan masih sangat rendah. Padahal dalam konsep Manejemen Berbasis Sekolah (MBS), peran serta masyarakat merupakan bagian yang penting. Faktor utama kurangnya dukungan masyarakat ini terletak pada tidak terjalinnya hubungan yang harmonis antara sekolah dengan masyarakat. Untuk itu, perlu dikelola sebuah sinergi yang saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat. Kata kunci: Peran serta masyarakat, sinergi, sekolah, masyarakat, manajemen pendidikan School Based Management implemented in Indonesia in the last few years is aimed at improving the quality of education at primary and secondary level. However, in the implementation of this management the community participation which is essential in succeeding the program is still below the expectation. The relationship and cooperation between the school and community are still inharmonious and to be strenghtened. This article discourses the problem and gives some alternatives to solve. Pendahuluan khir-akhir ini bertaburan programprogram pendidikan luar sekolah yang lebih mementingkan aspek bisnis. Kursus bahasa asing, kursus pajak, dan kursuskursus lain yang menawarkan keterampilan, begitu mudah didapatkan. Sayangnya, keuntungan yang ditawarkan oleh kursus-kursus tersebut, tidak diimbangi dengan kemudahan untuk mendapatkannya. Biaya pendidikan yang harus dikeluarkan untuk mengikuti satu materi kursus saja tidak dapat dikatakan murah, bisa mencapai ratusan ribu rupiah atau bahkan lebih. Di samping itu, ada juga program-program luar sekolah yang kurang memperhatikan aspek perkembangan kepribadian anak, seperti judi melalui permainan komputer atau online game. Sebut saja permainan Ragnarok yang begitu populer di kalangan remaja saat ini. Permainan yang mengutamakan keterampilan individu dan ketekunan bermain ini menuntut pemain untuk mengembangkan level dan keterampilan dari enam karakter yang dapat dipilih. Peningkatan A level atau keterampilan bisa dilakukan dengan cara mencari barang atau membeli barang tersebut dari orang lain dengan menggunakan mata uang zeny, satuan mata uang yang dikenal pada dunia Ragnarok. Selain itu, permainan ini mampu membuat sang pemain kecanduan dan merasa menyatu dengan permainan tersebut. Bahkan ditemukan banyak kasus anak bolos sekolah dan kabur dari rumah hanya untuk main Ragnarok. Pepatah “Apapun yang berlebihan, bisa menjadi tidak baik”, juga berlaku pada Ragnarok. Keasyikan yang berlebihan bisa membuat lupa waktu dan lupa segalanya. Apalagi saat berada dalam alam Ragnarok, semua kejadian sudah serasa seperti di dunia nyata. Tentunya ini menjadi tidak baik. Interaksi sosial tidak ada, hanya di depan komputer. Ketidaksadaran masyarakat akan peran mereka dalam pendidikan anak, kini telah memberikan konsekuensinya. Alih-alih masyarakat ikut serta dalam merencanakan, melaksanakan sebagian program, atau bahkan ikut mengambil keputusan bersama sekolah. Malah sebagian masyarakat menyelenggarakan program-program pendidikan yang tidak *) Staf Bagian Humas BPK PENABUR Jakarta, Juara II Lomba Karya Tulis HUT ke-55 BPK PENABUR Kategori Karyawan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 69 Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah mendidik. Tampak, masyarakat sangat kurang memberikan dukungan dan partisipasinya dalam pendidikan. Peran serta masyarakat terbatas hanya dalam menggunakan jasa pelayanan yang tersedia, misalnya memasukkan anak ke sekolah; peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga; peran serta dalam bentuk keikutsertaan, yang berarti menerima secara pasif apa yang telah diputuskan pihak lain. Misalnya, sekolah atau yayasan memutuskan orang tua membayar iuran bagi setiap anak sekolah, dan orang tua menerima keputusan ini dengan mematuhinya. Padahal, dalam konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), peran serta masyarakat dan orang tua murid sangat luas. Diantaranya meliputi: Memberikan dukungan dana atau sumbangan; Merencanakan kegiatan dan kemungkinan pendanaan kegiatan-kegiatan tersebut, jadi tidak hanya diberi rencananya setelah semua final; Ikut menambah guru yang tidak ada atau kurang, bahkan menjadi “guru” pengganti. Jadi tokoh masyarakat dan orang tua benar-benar merupakan mitra sejajar sekolah (kepala sekolah dan guru), yang ikut terlibat secara aktif memikirkan kemajuan sekolah; Memberikan masukan dan mendiskusikan pelaksanaan pembelajaran, kinerja para guru, prestasi belajar anak, kendala yang dihadapi, dsb.; Masyarakat juga dapat terlibat dalam memilih dan memasukkan guru-guru yang diperlukan sekolah, serta memberhentikan guru yang prestasinya tidak memuaskan. Kurangnya dukungan masyarakat dan orang tua itu memang disebabkan oleh banyak faktor. Namun menurut hemat penulis, faktor utama terletak pada tidak terjalinnya hubungan yang intensif antara sekolah dengan masyarakat. Artikel ini mencoba memberikan usulan-usulan konkret untuk mengelola sebuah sinergi yang saling menguntungkan antara sekolah dengan masyarakat. MBS: Suatu Upaya Pembaruan Sistem Manajemen Pendidikan Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi 70 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney, 1992), studi IEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda. Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-RepeatTIMSS-R, 1999, memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SMP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Indikator lain yang menunjukkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke-105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama, Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui pengadaan buku dan alat pengajaran, berbagai pelatihan dan peningkatan kompetensi guru, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen pendidikan. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Meskipun sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang sangat menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan. Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya terdapat tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata, yakni: Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah 1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan kekuasan/kewenangan, pengetahuan, informasi, nasional menggunakan pendekatan education dan penghargaan kepada sekolah. Melalui MBS production function atau input-output analysis sekolah memiliki kewenangan dalam yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. pengambilan keputusan yang terkait langsung 2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah. Tujuan dilakukan secara birokratik-sentralistik utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, sehingga sekolah sebagai penyelenggara dan pemerataan pendidikan. Peningkatan pendidikan sangat tergantung pada efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola keputusan birokrasi yang mempunyai jalur sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, yang sangat panjang dan kadang-kadang dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, dengan kondisi sekolah setempat. kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan 3. Peran serta masyarakat, khususnya orang tua profesionalisme guru, adanya hadiah dan siswa dalam penyelenggaraan pendidikan hukuman sebagai kontrol, serta hal lain yang dapat selama ini sangat minim, pada umumnya menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. lebih bersifat dukungan input (dana), bukan Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya pada proses p a r t i s i p a s i pendidikan m a s y a r a k a t s e p e r t i : terutama yang Untuk mengimplementasikan MBS pengambilan mampu dan peduli, secara efektif dan efisien, hal penting keputusan, sementara yang yang harus diperhatikan adalah monitoring, kurang mampu akan evaluasi, dan menjadi tanggung manajemen terhadap komponenakuntabilitas jawab pemerintah komponen sekolah itu sendiri. Salah (Depdiknas, 2001). (E. Mulyasa, 2002). satu komponen yang harus dikelola Berdasarkan U n t u k dengan baik, yaitu manajemen kenyataan-kenyataan mengimplementasikan tersebut, tentu saja MBS secara efektif sekolah dengan masyarakat. perlu dilakukan dan efisien, hal upaya-upaya penting yang harus perbaikan, salah satunya dengan reorientasi diperhatikan adalah manajemen terhadap penyelenggaraan pendidikan. komponen-komponen sekolah itu sendiri. Salah Seiring dengan berlakunya UU No. 22 Tahun satu komponen yang harus dikelola dengan baik, 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 yaitu manajemen sekolah dengan masyarakat. tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Karena, dalam MBS partisipasi masyarakat sangat Daerah telah membawa perubahan dalam penting, tidak seperti pada masa lalu yang hanya berbagai bidang kehidupan, termasuk terbatas pada mobilisasi dana. Keterlibatan penyelenggaraan pendidikan. Sistem pendidikan masyarakat benar-benar sangat menentukan yang semula dikelola secara terpusat setiap pengambilan keputusan. Misalnya untuk (sentralisasi), tidak sesuai lagi dengan prinsip menentukan penggunaan buku pelengkap. otonomi pendidikan, sehingga harus Melalui dewan sekolah (school council), orang dilaksanakan sistem desentralisasi pendidikan. tua dan masyarakat dapat berpartisipasi dalam Menurut Boediono, Mantan Kepala Balitbang mengambil keputusan, melaksanakan, dan Depdiknas, yang didesentralisasikan dalam mengevaluasi keputusan mengenai program pendidikan adalah pengelolaan pendidikan. pendidikan di sekolah secara proporsional Pengelolaan yang diserahkan pada kabupaten/ dilandasi kesepakatan (Nanang Fatah, 2003). kotamadya ini, disesuaikan dengan kemampuan Dengan demikian masyarakat dapat lebih daerahnya masing-masing. memahami, serta mengawasi dan membantu Mengenai desentralisasi pendidikan, sekolah dalam pengelolaan termasuk kegiatan diusulkan sebuah model desentralisasi belajar-mengajar. Agar tidak menimbulkan pendidikan yang dikenal sebagai Manajemen rancunya kepentingan antara sekolah, orang tua, Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based dan masyarakat, pemerintah perlu merumuskan Manajemen (SBM). MBS mendesentralisasikan bentuk partisipasi (pembagian tugas) setiap unsur secara jelas dan tegas. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 71 Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah. Dikatakan demikian, karena keduanya memiliki kepentingan. Sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu (Syaiful Sagala, 2004). Namun demikian hendaknya masyarakat tidak begitu saja menyerahkan masalah pendidikan kepada sekolah. Masyarakat harus turut berperan serta aktif dalam pendidikan. Sekolah dan masyarakat bersama-sama menjalankan fungsi dan peran mereka dalam bidang pendidikan. Jadi, terdapat sebuah sinergi antara sekolah dengan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai sebuah sinergi, antara sekolah dan masyarakat harus dibina suatu hubungan yang harmonis. Terciptanya hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan sarana yang strategis dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat bertujuan untuk: (1) memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak; (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat; dan (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, sekolah dapat melakukan berbagai cara dalam menarik simpati masyarakat terhadap sekolah dan menjalin hubungan yang harmonis antara sekolah masyarakat, antara lain: memberitahu masyarakat mengenai programprogram sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Menurut Ngalim Purwanto yang dikutip oleh Supriono S. dan Achmad Sapari (2001), ada tiga jenis hubungan masyarakat yang bisa dikembangkan, yakni: a. Hubungan edukatif Adalah hubungan kerja sama dalam hal mendidik murid, antara guru di sekolah dan 72 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 orang tua di dalam keluarga. Hubungan ini dimaksudkan agar tidak terjadi perbedaan prinsip atau bahkan pertentangan yang dapat mengakibatkan keragu-raguan pendirian dan sikap pada diri anak. Untuk itu sekolah dan masyarakat perlu mengadakan pertemuanpertemuan secara berkala guna membahas pendidikan anak. b. Hubungan kultural Adalah usaha kerja sama antara sekolah dan masyarakat yang memungkinkan adanya saling membina dan mengembangkan kebudayaan masyarakat tempat sekolah itu berada. Misalnya dengan bekerja sama menyelenggarakan pentas seni siswa yang menampilkan berbagai ragam seni dan budaya masyarakat setempat, mengundang perwakilan orang tua siswa untuk bercerita di kelas tentang kebudayaan setempat (di TK), dsb. c. Hubungan institusional Yaitu hubungan kerja sama antara sekolahsekolah dengan lembaga-lembaga atau instansi-instansi resmi lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Misalnya sekolah mengadakan kunjungan ke media massa, kantor kepolisian, pemadam kebakaran, bandara, dsb., yang semuanya itu dilakukan dalam rangka perbaikan dan kemajuan pendidikan. Dengan demikian siswa tidak lagi asing dengan lingkungan tempat tinggalnya yang penuh dengan berbagai ragam jenis profesi. Hubungan sekolah dengan masyarakat dilakukan atas dasar kesamaan tujuan dan tanggung jawab. Sekolah menghendaki agar peserta didik kelak menjadi manusia pembangunan yang berkualitas. Demikian pula masyarakat, mengharapkan agar sekolah dapat menempa sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas sehingga dapat mengembangkan berbagai potensi masyarakat setelah kembali dan hidup bermasyarakat. Sementara itu, masyarakat juga berusaha menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan, lembaga keagamaan, politik, sosial, olahraga, dan kesenian yang bergerak dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau pribadi-pribadi yang simpati terhadap pendidikan. Agar berbagai kegiatan pendidikan yang diselenggarakan di masyarakat sesuai dan Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah sejalan, serta menunjang pendidikan di sekolah, diharapkan dapat menekan dana yang harus sebaiknya program-program yang disusun dan dikeluarkan oleh peserta didik. Peserta didik dikembangkan oleh lembaga-lembaga masyarakat dapat mengikuti pendidikan yang berkualitas, tersebut dikonsultasikan dengan sekolah-sekolah tetapi murah, bahkan kedepannya perlu tempat peserta didik belajar. Dan akan lebih baik diciptakan pendidikan yang gratis bagi seluruh lagi kalau program-program tersebut dapat anggota masyarakat. Dalam bidang pendidikan disusun bersama secara kolaboratif antara pihak anak berkelainan, kerja sama dapat dilakukan sekolah dengan lembaga-lembaga yang ada di untuk melayani peserta didik yang memiliki masyarakat. kemampuan di atas normal (luar biasa pandai), Permasalahannya, banyak di antara anak di bawah normal, juga anak normal yang lembaga-lembaga masyarakat yang tidak mau mengalami hambatan-hambatan dalam mendiskusikan program-program yang akan belajarnya. Program akselerasi (percepatan mereka susun dan kembangkan. Sebagian karena belajar) bagi peserta didik yang memiliki ketidakmengertian mereka akan pentingnya kepandaian luar biasa merupakan salah satu kesesuaian antara kegiatan pendidikan yang contoh hasil kerja sama dengan masyarakat. diselenggarakan di masyarakat dengan di Peran serta masyarakat dalam pendidikan sekolah, dan sebagian ditegaskan dalam UU No. lainnya karena memang 20 Tahun 2003 tentang memiliki perbedaan dalam Sistem Pendidikan Peran serta masyarakat tujuan penyelenggaraan Nasional, Bab XV. dalam pendidikan tidak pendidikan. Dalam hal ini Disebutkan dalam UU ini, sekolah dituntut untuk akan muncul begitu saja masyarakat dapat berperan proaktif menginformasikan serta sebagai sumber, tanpa adanya upaya-upaya tujuan penyelenggaraan pelaksana, dan pengguna untuk menggalangnya. pendidikan sekolah kepada hasil pendidikan. masyarakat, juga Masyarakat juga berhak menjelaskan akan menyelenggarakan pentingnya kesesuaian antara kegiatan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan pendidikan yang diselenggarakan di masyarakat formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan dan di sekolah bagi pendidikan anak. Hal ini agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk dapat dilakukan melalui seminar-seminar kepentingan masyarakat. Selain itu, masyarakat pendidikan atau pertemuan-pertemuan yang dapat berperan dalam peningkatan mutu diselenggarakan secara berkala. pelayanan pendidikan yang meliputi Lembaga-lembaga masyarakat harus perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program berupaya memberikan pendidikan sebagai pendidikan melalui dewan pendidikan dan penambah dan pelengkap. Dalam hal ini, komite sekolah. masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan Peran serta masyarakat dalam pendidikan yang bersifat spesialisasi. Tentu saja program- tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya program ini akan sangat bermanfaat bagi peserta upaya-upaya untuk menggalangnya. Disinilah didik karena pendidikan yang mereka peroleh di diperlukan kegigihan kepala sekolah dan guru sekolah sangat terbatas waktunya, hanya sekitar untuk proaktif menggalang dan memberikan tujuh jam. Perkumpulan-perkumpulan kesenian penyuluhan kepada masyarakat, bahwa di masyarakat akan sangat membantu proses masyarakat ikut bertanggung jawab terhadap pembinaan bakat dan jiwa seni peserta didik. kemajuan pendidikan anak mereka. Melalui pendidikan kesenian ini dapat Berbagai cara mendorong peran serta masyarakat, dikembangkan sifat-sifat yang positif seperti diantaranya: tenggang rasa, demokratis, dan kreatif. Sekolah dan masyarakat dapat bekerja sama 1. Mengundang orang tua dan tokoh masyarakat dalam sebuah diskusi tentang bagaimana menyelenggarakan pementasan-pementasan seni. cara meningkatkan mutu pendidikan di Lembaga-lembaga pendidikan keterampilan di sekolah. Kepala sekolah menyajikan keadaan masyarakat sangat bermanfaat bagi peserta didik dan capaian sekolah selama ini, visi misi karena di sekolah mereka dituntut untuk sekolah, serta keadaan yang diverbalkan bagi memperoleh keterampilan, seperti komputer, anak di masa depan. Orang tua dan tokoh bahasa Inggris, dll. Melalui hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat ini Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 73 Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah masyarakat dapat memberikan masukan dan usulan. 2. Menjelaskan kepada masyarakat bahwa tanggung jawab pendidikan bukan hanya pada pemerintah, melainkan juga masyarakat. Dengan pemahaman yang benar tentang konsep ini, maka diharapkan perlahan-lahan masyarakat akan mengubah sikapnya. Mereka akan semakin bertanggung-jawab terhadap pendidikan di sekolah. Penjelasan dapat dilakukan baik secara langsung misalnya dalam pertemuanpertemuan tatap muka, maupun secara tidak langsung misalnya lewat media massa. 3. Manajemen kepala sekolah hendaknya juga terbuka. Kepala sekolah secara transparan menjelaskan tentang pengelolaan sekolah, dalam hal penyelenggaraan programprogram, SDM, keuangan, dsb. Dengan demikian maka masyarakat akan mempercayai apa yang dilakukan oleh sekolah dan kemudian memberikan dukungan. Setelah masyarakat terdorong untuk berperan serta dalam kegiatan pendidikan di sekolah, maka perlu dipacu agar kreativitas masyarakat semakin meningkat, misalnya dengan cara menghimpun berbagai daya yang ada (Supriono S. – Achmad Sapari, 2001). Sumber daya ini tidak hanya masalah uang. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan, diantaranya: 1. Mencari donatur tetap. Dengan cara ini maka sekolah bersama masyarakat mencari tahu tentang siapa saja yang bisa dijadikan donatur tetap. 2. Mengadakan bazar. Kegiatan ini dapat digunakan untuk mencari tambahan finansial. Apalagi jika masyarakat telah mengetahui bahwa hasil kegiatan ini untuk mendukung kelangsungan pendidikan di sekolah. 3. Mengadakan pertunjukan kesenian/ pergelaran seni, seperti seni tari, paduan suara, drama, ensambel, dsb. Atau dapat pula mengadakan pertunjukan wayang, bila sekolah berlokasi di pedesaan. Hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat ini semakin dirasakan penting oleh masyarakat yang telah menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Pada masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih 74 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 aktif dan kreatif untuk menciptakan hubungan kerja sama yang lebih harmonis. Jika hubungan sekolah dengan masyarakat berjalan dengan baik, partisipasi masyarakat untuk memajukan sekolah juga akan baik dan tinggi. Dan makin besar tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki diikuti makin besar rasa tanggung jawab dan seterusnya makin besar tingkat dedikasi. Agar tercipta hubungan dan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat, masyarakat perlu mengetahui dan memiliki gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan. Sekolah hendaknya secara berkala menginformasikan gambaran dan kondisi sekolah kepada masyarakat. Dalam rangka MBS, hubungan dengan masyarakat dapat dijalin melalui: 1. Dewan Sekolah; dewan sekolah merupakan suatu lembaga yang perlu dibentuk dalam rangka pelaksanaan MBS. Kepengurusan terdiri atas kepala sekolah, guru, beberapa tokoh masyarakat, serta orang tua yang memiliki potensi dan perhatian besar terhadap pendidikan di sekolah. Dewan ini dibentuk untuk membantu menyukseskan kelancaran proses belajar-mengajar di sekolah, baik menyangkut perencanaan, pelaksanaan, maupun penilaian. Dibentuknya dewan sekolah terutama dalam kaitannya dengan relevansi pendidikan yang akan diwujudkan melalui MBS agar apa yang dilaksanakan di sekolah sejalan dan selaras dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. 2. Rapat Bersama. Dalam rapat tersebut, sekolah dapat mengundang lembaga, yayasan, atau seseorang yang bersimpati terhadap dunia pendidikan untuk membahas suatu masalah, misalnya, pendidikan lingkungan, serta etika dan tatakrama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan pembentukan pribadi peserta didik. 3. Konsultasi; sekolah dapat melakukan konsultasi mengenai peserta didiknya kepada seorang ahli yang ada di masyarakat, misalnya psikolog, dan hasilnya dapat digunakan untuk mencari solusi yang tepat. 4. Radio dan Televisi; sekolah dapat menggunakan media ini untuk untuk menyampaikan program-program, prestasi, maupun masalah-masalah yang dihadapi sekolah. Dan melalui media ini juga, masyarakat dapat secara langsung memberikan tanggapan dan bantuannya. Di Mengelola Sebuah Sinergi Sekolah sisi lain sekolah dapat sekaligus menggunakan media ini sebagai promosi. 5. Surat, telepon, dan email; apabila sulit berhubungan langsung dengan para ahli, sekolah dan masyarakat dapat melakukan komunikasi lewat surat, telepon, dan email. Hasil konsultasi dapat digunakan sebagai pedoman dalam membina peserta didik di sekolah. 6. Pameran Sekolah; sekolah dapat memprogramkan kegiatan pameran secara kontinu untuk memamerkan hasil karya siswa termasuk pementasan karya seni, keterampilan, dsb. Melalui pameran ini, diharapkan masyarakat dapat membeli barang-barang karya peserta didik, yang hasil penjualannya dapat dihimpun untuk kepentingan sekolah. 7. Ceramah; sekolah dapat meminta seorang ahli dalam masyarakat untuk memberikan ceramah mengenai permasalahan yang menarik, bermanfaat, dan yang paling banyak mendapat perhatian pada saat itu. Ceramah ini dapat diselenggarakan di hari libur atau digabungkan dengan kegiatan pameran sekolah (E. Mulyasa, 2002). Kepala sekolah yang baik merupakan salah satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan yang baik antara sekolah dan masyarakat secara efektif karena harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan meningkatkan hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk: 1. Saling pengertian antara sekolah, orang tua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada di masyarakat, termasuk dunia kerja; 2. Saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing; 3. Kerja sama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat dan mereka merasa ikut bertanggung jawab atas suksesnya pendidikan di sekolah. Penutup sekolah dengan masyarakat dapat dijalin dengan mengembangkan hubungan edukatif, kultural, dan institusional yang dilakukan atas dasar kesamaan tujuan dan tanggung jawab. Dalam rangka MBS, hubungan sekolah dengan masyarakat dapat dijalin dengan: membentuk Dewan Sekolah; menyelenggarakan Rapat Bersama, Pameran Sekolah, Ceramah, dan Konsultasi: serta mengefektifkan penggunaan media radio, televisi, surat, telepon, dan email. Dan salah satu kunci untuk bisa menciptakan hubungan yang harmonis adalah kepala sekolah dituntut untuk senantiasa membina hubungan kerja sama yang baik antara sekolah dan masyarakat. Dengan bersinergi, sekolah dan masyarakat dapat melihat masalah-masalah dan kebutuhankebutuhan yang diperlukan, serta bisa mencari solusi yang saling menguntungkan. Sekolah dan masyarakat juga dapat saling menjelajah mencari perspektif baru untuk mengganti atau melengkapi paradigma yang ada serta bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Dengan demikian diharapkan proses pendidikan di sekolah lebih produktif, efektif, dan efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang berkualitas. Daftar Pustaka Depdiknas, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenum. (2001). Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Jakarta: Depdiknas, Ditjen Dikdasmen, Direktorat Dikmenum Mulyasa, E. (2002). Manajemen berbasis sekolah: Konsep, strategi, dan implementasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Fattah, Nanang. (2003). Konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) dan Dewan sekolah. Bandung: CV Pustaka Bani Quraisy Subakir, Supriono dan Achmad Sapari. (2001). Manajemen berbasis sekolah. Jakarta: Pemerintah RI, UNICEF, dan UNESCO Sagala, Saiful. (2004). Manajemen berbasis sekolah dan masyarakat, strategi memenangkan mutu. Jakarta: PT Nimas Multima Media Wacana. (2003). Undang-undang No. 20 Tahun 2003: Tentang sistem pendidikan nasional. Yogyakarta Melalui hubungan yang harmonis diharapkan tercapai sebuah sinergi antara sekolah dengan masyarakat. Hubungan yang harmonis antara Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 75 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi Opini Manajemen Pendidikan di Era Reformasi Imma Helianti Kusuma*) Abstrak Pergeseran paradigma yang awalnya memandang lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial dan kini menjadi suatu lahan bisnis mengindikasikan perlunya perubahan pengelolaan. Perubahan pengelolaan ini seirama dengan tuntutan zaman. Situasi, kondisi dan tuntutan pada era reformasi membawa konsekwensi kepada pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan kehidupan di masa depan. Maka merupakan hal yang logis ketika pengelola pendidikan mengambil langkah antisipatif untuk mempersiapkan diri bertahan pada zamannya. Mempertahankan diri dengan tetap mengacu pada mutu pendidikan berkaitan erat dengan manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan pada era reformasi merupakan pembenahan manajemen yang serius dengan menekanakan pembenahan secara global. Pembenahan secara global meliputi 7 bidang utama yang perlu di kelola dengan pendekatan manajemen baru. Ke 7 bidang tersebut adalah (a) sensitivitas lembaga terhadap perubahan dan peluang, (b) manajemen organisasi, (c) manajemen strategi, (d) manajemen sumber daya manusia, (e) reformasi pembelajaran, (f) pembiayaan pendidikan, (g) marketing pendidikan Kata kunci : Manajemen pendidikan, sensitivitas lembaga, manajemen organisasi, manajemen strategi, manajemen sumber daya manusia, reformasi pembelajaran, pembiayaan pendidikan, marketing pendidikan Paradigm shift in education resulted in the change of role of educational institution from social as non profit to profit making busines. The change requires the management improment to enable the educational instituton to sustain, develop, and competc. Board on the future needs, each educational institution should reform or transform itself to answer the demans of society in general and labour market in particular. In line with the paradigm shift, this article discusses the need to improve educational management from seven aspects: (a) sensitivy of change and opportunity, (b) organization management, (c) management strategy, (d) human resource management, (e)educational financing, (F) instructional reform and educational marketing. Pendahuluan emerintah telah mencanangkan wajib belajar 9 tahun bagi anak Indonesia, kemudian diteruskan menjadi 12 tahun, akan lebih baik menjadi 16 tahun sampai mereka dapat meneruskan ke perguruan tinggi. Setelah mereka menyelesaikan tahapan pendidikan, mereka akan bekerja atau dapat dikatakan terjun ke masyarakat. Usia produktif seseorang diperkirakan mencapai 50 tahunan. Jika dikaruniai umur panjang masih dapat memasuki masa pensiun dan berkarya lagi. Melalui tahapan pendidikan 9 sampai 16 tahun P diharapkan oleh masyarakat bahwa apa yang dipelajari oleh anak-anak di sekolah dapat dimanfaatkan dalam sisa kehidupannya. Suatu pertanyaan muncul yang ditujukan kepada pengelola pendidikan, “Apakah pelajaran yang diperoleh di sekolah memadai untuk menghadapi kehidupan di luar tahapan pendidikan yaitu bekerja atau terjun ke masyarakat dengan segala macam perubahan yang terjadi begitu cepat dan terus menerus? Jika pengalaman yang didapat semasa tahapan pendidikan tidak dapat dipergunakan untuk kehidupannya maka apa yang seharusnya dilakukan oleh sebuah lembaga pendidikan? *) Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (III) BPK PENABUR Jakarta, Juara I Lomba Karya Tulis HUT ke-55 BPK PENABUR, Kategori Karyawan 76 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi Kerisauan tentang rendahnya daya saing mengakibatkan tergesernya lembaga pendidikan sumber daya manusia (SDM) Indonesia di pasar yang sudah lama eksis, mulai tidak diakui global menyimpan satu pertanyaan, apa yang masyarakat bahkan lambat laun gulung tikar. seharusnya dibenahi dengan pendidikan kita? Lalu apa sebenarnya yang harus dipersiapkan Pendidikan yang bermutu tercermin pada sekolah oleh sebuah lembaga pendidikan agar diakui dan yang bermutu. Sekolah yang bermutu dicari oleh masyarakat dalam mempertahankan menghasilkan SDM yang bermutu. Rendahnya eksistensinya? mutu SDM signifikan dengan rendahnya mutu Saat ini lahan pendidikan sudah dilirik oleh pendidikan. Lee Iacocca dalam tulisannya “Bila pengusaha-pengusaha bermodal besar yang pendidikan berhasil orang juga akan berhasil”, sebelumnya bergerak di luar bidang pendidikan. mengisyaratkan bahwa diperlukan mutu Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan pendidikan agar menghasilkan SDM yang sudah menjadi lahan bisnis. Pendidikan mereka bermutu. Menurut Josep M Juran masalah mutu kelola secara profesional, dan tidak mustahil bila terletak pada manajemen (pengelolaan). Oleh pengelolaannyapun berdasarkan manajemen karena itu bisnis. Sementara l e m b a g a banyak lembaga pendidikan pendidikan yang masih Saat ini lahan pendidikan sudah dilirik perlu berpikir m e n e r a p k a n apa saja batu manajemen tradisional oleh pengusaha-pengusaha bermodal besar (hal yang dan menganggap besar yang sebelumnya bergerak di luar pendidikan masih penting) yang bidang pendidikan. Hal ini harus dikelola sebagai lembaga sosial. dengan baik? Walaupun pada mengindikasikan bahwa pendidikan Sehingga tidak kenyataannya sudah menjadi lahan bisnis. terjadi salah masyarakat tertentu pengelolaan, m a s i h dalam arti tidak tersebar pada hal-hal kecil yang membutuhkannya karena biaya relatif murah. tidak substantif bahkan cenderung kurang Kedua jenis lembaga ini bersaing pada masa yang berdampak positif terhadap peningkatan mutu. sama. Maka bagaimana seharusnya manajemen Munculnya berbagai lembaga pendidikan yang cocok untuk bidang pendidikan pada era baru yang tiba-tiba diakui keberadaannya oleh globalisasi dan era persaingan yang sangat ketat? masyarakat, mengkondisikan sebuah persaingan Tuntutan perubahan jaman pada era globalisasi yang ketat. Padahal jam terbang mereka relatif membawa dampak pergeseran fungsi pendek, sehingga aspek kualitas belum teruji benar pembelajaran dari yang terbatas pada tahapan atau belum terandalkan. Harus diakui bahwa pendidikan menjadi pembelajaran seumur hidup. lembaga pendidikan baru ini menawarkan Kondisi ini menuntut reformasi pembelajaran. pembelajaran trend yang digandrungi masyarakat Reformasi pembelajaran seperti apa yang perlu masa kini. Biasanya berlabelkan pembelajaran dipersiapkan oleh suatu lembaga pendidikan berwawasan masa depan. Keberadaannya yang untuk mengantisipasi kehidupan di masa datang? mempunyai nilai jual tinggi tentu saja biaya Situasi dan kondisi yang telah dipaparkan di pendidikannyapun tinggi. Sementara itu pada sisi atas membawa konsekuensi logis kepada lain kecenderungan orang tua memilih sekolah pengelola pendidikan untuk melihat kebutuhan karena prestise bukan faktor mutu pendidikan, akan kehidupan masa depan. Hal ini pun dan berpendapat bahwa yang bermutu itu yang dianggap logis ketika pengelola pendidikan mahal. Dengan segala macam promosinya mengambil langkah antisipatif untuk lembaga pendidikan baru ini mampu menjual mempersiapkan kemampuan yang perlu dimiliki program dan memikat masyarakat untuk agar bertahan pada zamannya. Banyak hal yang memilihnya, walau harga yang ditawarkan cukup perlu dipikirkan dan digumuli secara serius, melangit. Akan tetapi perlu disadari juga bahwa misalnya materi pendidikan yang harus tidak semua lembaga pendidikan baru tak disesuaikan dengan tuntutan jaman, bermutu. Pada situasi ini berarti, pangsa pasar penyampaian materi sehingga dimiliki oleh yaitu orang tua yang cenderung tetap atau fanatik siswa, bagaimana masyarakat mengetahui pada sekolah-sekolah tertentu telah tersedot ke inovasi yang dilakukan dalam pengelolaan lembaga pendidikan baru itu. Hal ini pendidikan sehingga masyarakat tetap mengakui Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 77 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi keberadaannya, bagaimana mengelola keuangan dimana bukan hanya keuntungan yang diraih dan menjadi fokus namun stabilitas dari semua pendukung tetap terjaga, bagaimana mengembangkan sumber daya manusia yang ada dan mendaya gunakannya dsb. Agar dapat mewujudkan hal ini tentunya diperlukan manajemen yang baik dalam mengelola pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman. Pada tulisan selanjutnya akan menguraikan 7 hal besar yang harus dibenahi oleh pengelola pendidikan yaitu: (a) sensitivitas lembaga terhadap perubahan dan peluang, (b) manajemen organisasi, (c) manajemen strategi, (d) manajemen sumber daya manusia, (e) reformasi pembelajaran, (f) pembiayaan pendidikan, (g) marketing pendidikan Ke tujuh bidang utama yang perlu dikelola dengan pendekatan manajemen baru. Pembenahan manajemen pada semua aspek ini dalam rangka pembenahan secara global karena satu dan lain hal akan saling terikat, dan diharapkan menuju keberhasilan yang sesuai pada zamannya. Sensitivitas Lembaga Terhadap Perubahan dan Peluang Lembaga pendidikan berfungsi dan berperan dalam pembentukkan sumber daya manusia yang berkompeten pada jamannya, kreatif, inovatif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, menuntut para manajer pendidikan untuk mencari dan menerapkan suatu manajemen baru yang dapat mendorong perbaikan mutu pendidikan. Oleh karena itu pembenahan manajemen pendidikan sangatlah diperlukan. Pembenahan manajemen pendidikan diperlukan sensitivitas lembaga dalam melihat sebuah perubahan yang muncul untuk mengelola kegiatan antisipasi yang harus dilakukan terhadap dampak dari perubahan tersebut, sekaligus melihat peluang yang muncul yang dapat diambil untuk pengembangan lembaga. Perubahan apa yang Muncul dan Membawa Dampak dalam Pendidikan? Manajemen dalam mengelola pendidikan tidak dapat dilepaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukti dari pertalian erat tersebut adalah perubahan yang terjadi pada 78 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 hampir semua aspek kehidupan manusia dengan berbagai permasalahan yang ditimbulkannya dapat dipecahkan melalui upaya penguasaan serta peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kondisi demikian membawa dampak kepada perlunya seseorang mengikuti perkembangan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan berubah. Perkembangan dan perubahan yang terus bergulir ini pun membawa manusia ke era persaingan global yang ketat. Oleh karena itu kalau tidak ingin kalah bersaing dalam era globalisasi peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien. Pengembangan dan peningkatan kualitas SDM yang berdaya saing international dan mempunyai kompetensi untuk bertahan pada perkembangan zaman menjadi suatu perhatian penting dalam manajemen pendidikan. Globalisasi menuntut adanya perubahan paradigma dalam dunia pendidikan. Menurut Reigeluth dan Garfinkle (1994) dalam Syafaruddin, kebutuhan terhadap paradigma baru pendidikan di dasarkan atas perubahan besar-besaran dalam kondisi dan kebutuhankebutuhan pendidikan dalam masyarakat informasi. Untuk melakukan perubahan tersebut maka peranan manajemen pendidikan sangat signifikan untuk menciptakan sekolah-sekolah yang bermutu yang menghasilkan SDM terandalkan dan tangguh yang dibutuhkan masyarakat. Kualitas pendidikan yang diserap pada sekolah yang bermutu sudah seharusnya dipersiapkan seirama dengan perkembangan zaman. Saat ini zaman berada pada era globalisasi dan informasi, maka era inilah yang membawa perubahan-perubahan mendasar dan mewarnai kehidupan pendidikan. Guru mengatur, murid diatur. Peluang apa yang Muncul Saat Ini? Salah satu perubahan mendasar yang telah digulirkan oleh pemerintah untuk menanggapi era globalisasi dan informasi dan membawa dampak pada manajemen pendidikan adalah berubahnya manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi, perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Manajemen Pendidikan di Era Reformasi Pemerintah Daerah” yang kemudian diikuti pedoman pelaksanaannya berupa “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan semangat otonomi. Karena itu, manajemen pendidikan berbasis pusat yang selama ini telah dipraktikkan perlu diubah menjadi manajemen pendidikan berbasis sekolah. Manajemen berbasis sekolah yang sudah berhasil mengangkat kondisi pendidikan dan memecahkan masalah pendidikan di beberapa negara maju seperti Australia dan Amerika tentunya harus ditangkap menjadi satu peluang untuk menyajikan pendidikan yang berkualitas dalam pembentukan SDM. Manajemen pendidikan harus mampu menerjemahkan perubahan itu ke dalam kebijakan-kebijakan strategis bagi lembaganya. Manajemen pendidikan adalah aplikasi prinsip, konsep dan teori manajemen dalam aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. Di berbagai organisasi selalu menjalankan fungsi manajemen yang seharusnya dilaksanakan yaitu “Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling”. Fungsifungsi tersebut tidak jauh berbeda di dalam manajemen pendidikan. Yang membedakan manajemen pendidikan dengan manajemen lainnya adalah komponen di dalamnya. Komponen manajemen pendidikan antara lain meliputi proses pembelajaran, sumber daya manusia, siswa, steakholder, fasilitas, pembiayaan, school public relation, dsb. Ada beberapa teori manajemen yang dapat menjadi panduan pembenahan manajemen pendidikan. Jika kita berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu industri, maka langkah selanjutnya berpikir bagaimana mengembangkan industri itu untuk terus bertumbuh. Maka dalam bingkai pemikiran ini kita memerlukan panduan yang sesuai. Manajemen Mutu Terpadu atau lebih dikenal dengan Total Quality Management dapat dijadikan “guiding philosophy” yang tentunya ditarik ke dunia pendidikan. Malcolm Baldrige Quality Program dapat menjadi salah satu panduan dalam menentukan hal-hal apa saja yang perlu dikelola dengan benar dan harus diperhatikan untuk menjadi sekolah yang bermutu. Balanced Scorecard dapat membantu menyediakan informasi akutansi manajemen strategis yang dapat menuntun dalam mengambil keputusan agar konsisten dengan strategi lembaga. Guru memilih dan memaksakan Bagaimana Menyikapi Peluang dalam Manajemen Pendidikan? Peluang yang tersedia dalam mengelola pendidikan merupakan suatu tantangan bagi lembaga pendidikan. Peluang tersebut tentunya tidak disia-siakan oleh lembaga pendidikan dan segera mengambil perannya untuk menghadapi tantangan ke depan. Tantangan yang dihadapi membuat lembaga pendidikan selalu berpikir dan berjuang mempertahankan eksistensinya. Setiap lembaga pendidikan harus melakukan pembenahan dengan mendasari pada komitmen yang tinggi untuk menentukan langkah-langkah strategis, dan berkiprah pada situasi international. Beberapa komitmen itu antara lain : (1) menekankan pada standar kendali mutu dengan menetapkan strategi-strategi dalam mencapai target yang telah ditetapkan dan konsisten melakukan perbaikan berkelanjutan, (2) memberdayakan seluruh sumber yang ada baik sumber daya manusia maupun sumber dana yang lain, (3) meningkatkan profesionalitas kerja, (4) mengadakan evaluasi yang berkesinambungan baik evaluasi formatif maupun evaluasi sumatif, (5) mengadakan penelitian dan pengkajian dalam pengembangan program, (6) mengikuti dinamika perubahan zamannya dan selalu melakukan inovasi-inovasi dalam segala bidang. Komitmenkomitmen tersebut tentunya framework pengelolaan pendidikan, Selanjutnya komitmen-komitmen di atas juga menjadi dasar untuk menentukan langkah dalam pengelolaan pendidikan. Langkah-langkah itu meliputi : (1) menganalisis fungsi dan peran lembaga pendidikan, (2) menetapkan visi dan misi, (3) mencari kesenjangan yang muncul antara apa yang telah dihasilkan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat, (4)mengevaluasi respon masyarakat terhadap layanan pendidikan yang diberikan, (5)mencermati dan menganalisa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (6)menyikapi problem yang dihadapi masyarakat untuk mencarikan solusi lewat kegiatan akademis, (7) menganalisis kebutuhan kompetensi SDM masa depan, (8)mengatur strategi dan kegiatan preventif dalam menghadapi persoalan masa depan, (9)menganalisis dan memberdayagunakan pihakpihak terkait dalam perencanaan, proses, hasil Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 79 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi dan feedback, (10). menentukan strategi pencapaian tujuan. Manajemen Organisasi Struktur organisasi yang dapat mengakomodir fungsi manajemen (planning, organizing, actuating, controlling) sekaligus quality trilogy controlling) sekaligus quality trilogy (perencanaan mutu, pengawasan mutu, pengingkatan mutu) dapat dilihat pada gambar 2. Pada struktur tersebut tim perencana, pengkajian dan pemberi informasi posisinya seharusnya sangat bebas sehingga mampu berperan dalam memberikan segala macam pemikiran dalam pengembangan lembaga dalam melihat peluang ke depan dan merencanakan Ketika lembaga sensitife terhadap perubahan yang bergulir dan peluang yang ditawarkan, serta mempunyai komitmen dalam mempertahankan eksistensinya dengan menetapkan langkah strategis dalam pengelolaan pendidikan, maka lembaga memerlukan suatu organisasi untuk mewujudkannya. Organisasi merupakan Peningkatan mutu (Quality Improvement) unsur penting dalam Juran’s Quality Triligy manajemen. Manajemen tidakibermakna apabila organisasi tidak ada. Perencanaan Mutu Penjaminan mutu Pengawasan mutu Organisasi yang tangguh (Quality Planning) (Quality Assurance) (Quality Control) adalah organisasi yang memiliki sumber daya Gambar 1 : Pendekatan Quality trilogy manusia bermutu, aktif, bersemangat, struktur strategi untuk tetap diakui keberadaannya di organisasi mantap, dan mempunyai sistem tengah masayarakat tanpa ada informasi yang up to date. Di dalam organisasi tebengankebijakan, tekanan atasan dsbnya. selalu ada orang-orang yang mempunyai tugas Kebijakan, peraturan dan yang sejenis menempel dan peran masing-masing. Mereka saling pada tim pembuat keputusan yang pada akhirnya berinteraksi dalam sebuah struktur organisasi turun ke tim strategy planning (dalam konteks untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi pelaksanaan program). Dalam manajemen merupakan sebuah sistem yang di dalamnya tradisional seringkali tim ini tidak ada atau tidak terdapat input, proses, output dan feedback. Suatu organisasi di bangun tentu memiliki tujuan. TIM 1 TIM 2 TIM 4 Salah satu tujuan untuk Perencana, PengPengambil Evaluasi kajian, PengemKeputusan meningkatkan mutu Sumatif bangan dan pendidikan. Ada satu Pemberi Tidak pendekatan yang biasa di terapkan di berbagai industri Ya besar dalam meningkatkan mutu adalah Quality Trilogi (Dr. TIM 3 Pelaksanaan Joseph M. Juran). Sementara TIM 5 Bagian TIM 3 A Strategi itu pendidikan Marketing Planning padadasarnya adalah suatu dan TIM 3 E Bagian industri di bidang sumber daya Kontrolling Technical TIM 3F TIM 3 B Pelaksanaan/ Care Edumanusia, dengan demikian Support Pelaksana cation Pengawasan quality trilogy dapat Sistem Mutu diterapkan. Quality trilogy dapat menjadi suatu TIM 3 C TIM 3 D Evaluasi Perbaikan pertimbangan dalam Formatif Pelaksanaan membangun struktur organisasi. Quality trilogy yang dimaksud dapat dilihat pada Gambar 2: Struktur organisasi yang mengakomodir fungsi manajemen gambar 1. 80 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi dianggap perlu. Kegiatan yang dilakukan tim 1 dapat meliputi : (1) identifikasi masalah dimana didalamnya ada kegiatan mencari, menemukan dan mengidentifikasi kondisi lingkungan serta trend masa depan, (2) membuat rencana dengan fokus dimana di dalamnya ada kegiatan menciptakan, mengembangkan alternatif solusi, (3) memilih alternatif yang sesuai dengan lembaga tersebut sebagai rekomendasi. (4) mendapatkan feedback dengan terlebih dahulu melakukan evaluasi kegiatan/pelaksanaan. Organisasi akan tetap eksis di tengah masyarakat jika mempunyai komitmen terhadap: satu tujuan; fokus terhadap pelanggan; obsesi yang tinggi terhadap kualitas, motivasi berprestasi dan mengejar daya saing; perencanaan jangka panjang; antisipatif dan proaktif; kerjasama tim yang dinamis; anggota organisasi selalu tekun bekerja, giat berusaha dan terus meningkatkan pengetahuan dan kecakapannya; pemberdayaan dan mendorong anggota untuk maju; memperbaiki proses secara berkesinambungan; terus menerus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Agar komitmen tersebut tetap terjaga oleh organisasi maka dalam sepanjang waktu perlu dilakukan : (a) membina proses; Dalam kegiatan ini anggota organisasi melakukan pekerjaannya sebagaimana ditetapkan dalam uraian pekerjaannya. (b) melakukan perbaikan performance secara perorangan dan atau kelompok, (c) menangani krisis, ini berarti menghadapi dan menangani keadaan darurat. Apabila perbaikan performance dilakukan secara aktif akan menciutkan area penanganan krisis. Agar organisasi dapat mencapai tujuan maka dalam membina proses perlu dibentuk satu “kelompok penggerak dan perintis perubahan”. Untuk menjalankan perannya, ia terlepas dari hirarki organisasi, anggotanya mempunyai idealisme, pengetahuan dan kecakapan, reputasi baik, mempunyai hubungan baik dengan anggotaanggota lainnya. Pemimpinan yang bermutu mempengaruhi laju gerak organisasi. Pimpinan harus mengambil inisiatif. Setiap respon organisasi pendidikan terhadap suatu perubahan ditentukan oleh pola kepemimpinan yang dijalankan. Oleh karena itu pemimpin harus memberikan contoh dalam pola pikir, pola sikap, pola tindak tentang mutu dalam setiap keputusan dan aktivitasnya. Pemimpin dalam satu struktur organisasi dapat digolongkan menjadi lower management, midlle management, top management. Masing-masing klasifikasi pimpinan itu perlu ada batasan dalam perannya sehingga gerak organisasi dapat berjalan lancar, tidak ada tumpang tindih dalam pengambilan keputusan. Lower management dapat mengambil bagian untuk operation control, midlle management dapat mengambil bagian untuk management control, sedangkan top management dapat mengambil bagian pada strategic planning. li Manajemen annya, murid menuruti. Strategi Ketika lembaga pendidikan memasuki lingkungan bisnis maka saat itu juga memasuki lingkungan yang kompetitif dan turbulen. Oleh karena itu manajemen lembaga pendidikan memerlukan sistem manajemen strategik yang pas dan sesuai dengan tuntutan lingkungan bisnis. Strategi adalah suatu cara untuk mencapai sasaran. Balanced scorecard memberikan satu cara untuk mengkomunikasikan strategi suatu lembaga pada manajer-manajer di organisasi. Balanced scorecard dapat membantu menyediakan informasi akuntansi manajemen strategik yang dapat menuntun dalam mengambil keputusan penyusunan rencana strategik agar konsisten dengan strategi lembaga. Banyak lembaga dengan manajemen berkutat tradisional masih meningkatkan laba hanya pada sisi keuangan. Ketika diadakan kebijakan pada sisi keuangan terjadi ketimpangan-ketimpangan pada sisi lain. Lembaga macam ini kecenderungannya memfokuskan pada kinerja jangka pendek. Lembaga pendidikan membutuhkan kinerja jangka panjang sehingga perlu memperhatikan sisi lain agar terjadi keseimbangan yang menyebabkan naiknya kinerja keuangan. Ada 4 perspektif yang perlu menjadi perhatian utama yaitu keuangan, customer, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektive keuangan untuk melihat apakah kinerja keuangan meningkat? Perspektif customer untuk mengukur mutu, pelayanan dan biaya dalam memuaskan pelanggan. Nilai yang sering kali muncul oleh pelanggan terhadap lembaga dirumuskan dari fungsi pendidikan untuk pelanggan + mutu adalah kesesuaian dengan standar permintaan pelanggan + citra adalah daya tarik pelanggan yang tercipta karena proses komunikasi yang tercipta + harga adalah perbandingan harga relatif dengan produk pesaing + waktu adalah ketersediaan dan kecepatan pemenuhan kebutuhan pelanggan + hubungan. Perspektif proses bisnis internal mengukur efisiensi dan efektivitas lembaga dalam mencapai sasaran. Rantai internal yang dapat diterapkan : (1) identifikasi kebutuhan pelanggan, (2) proses inovasi dengan mengenali customer dan ciptakan program, (3) proses operasi dengan bangun program dan luncurkan program, (4) Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 81 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi ino vas i SA SA RA N ME NE NT UK AN Me ng em ba ng ka n si va AN AR AS NS AIA AP NC PE ti mo Me n ika as nik DM mu nS ko ka ng ng Me ba em ng Me N KA AH AR NG ME an sik isa an org ng Me pendampingan purna proses dengan melayani Mengarahkan Pencapaian Sasaran pelanggan selama proses berjalan dan purna 1. Mengkoordinasikan agar semua berjalan program. Prespektif pembelajaran dan sesuai perencanaan. pertumbuhan mengukur kemampuan lembaga 2. Mengkomunikasikan kepada semua pihak untuk mengembangkan dan memanfaatkan SDM terkait untuk meperlancar dan mendukung sehingga tujuan strategik dapat tercapai. program. Melalui ke 4 perspektif ini maka lembaga 3. Memotivasi semua pihak agar stabilitas dapat memperluas cakrawala dalam menafsirkan program terjaga. trend perubahan secara makro. Dalam perumusan 4. Mengarahkan, membimbing dan menasehati strategi disertai dengan analisis SWOT (strengths, semua pihak dalam mencapai sasaran weaknesses, opportunities, and threats) yang program dilaksanakan melalui ke 4 perspektive tersebut, sehingga diperoleh gambaran umum. Dari kondisi itu maka dibuat perumusan strategi dengan sasaran strategi jangka panjang, yang kemudian diturunkan pada program-program, pada akhirnya penyusunan anggaran yang bersifat komprehensif. Berdasarkan analisis di atas maka telah ditentukan sasaran. Banyak organisasi telah menyusun sasaran bahkan sasaran yang amat spesifik, tetapi gagal mengembangkan rencana dan tindakan yang nyata. Oleh karena itu diperlukan “manajemen berdasarkan sasaran” dengan lebih mudahnya penulis mengatakan sebagai “segitiga pengaman”. Segitiga pengaman dapat di Mengembangkan kepekaan lihat pada gambar 3. Adapun contoh sederhana : Mengukur, menilai, dan mengendalikan KETERAMPILAN ERA REFORMASI YANG HARUS DIMILIKI OLEH SISWA MENGUKUR HASIL Menentukan sasaran : 1. Mengumpulkan berbagai Gambar 3 : Manajemen berdasarkan sasaran” dengan “segitiga pengaman informasi tentang keterampilan era reformasi dari berbagai Manajemen Sumber sumber, apakah keterampilan tsb benar-benar Daya Manusia dibutuhkan, siswa jenjang mana saja yang membutuhkan keterampilan tersebut, konsekwensi apa yang harus ditanggung bila Di dalam organisasi ada beberapa orang yang keterampilan tsb di berikan kepada siswa, dsb. melakukan kegiatan sesuai tugas masing-masing 2. Mempersatukan semua informasi dalam satu dan mereka saling berinteraksi. Sebenarnya bukan bentuk urutan logis. hanya interaksi saja namun setiap individu di 3. Merencanakan keterampilan era reformasi dalamnya perlu dipacu untuk terus andil yang harus dimiliki oleh siswa dilengkapi mengambil peran dalam mencapai tujuan yang dengan suatu analisis dan alasan-alasan telah ditetapkan. Oleh karena itu pengelolaan yang menguatkan, hal-hal apa yang berubah sumber daya manusia di dalam organisasi dengan adanya program tsb, hal-hal apa yang sangatlah penting. Manajemen sumber daya mendukung dan perlu pengelolaan serius manusia merupakan bagian dari manajemen agar mendukung program dengan maksimal, organisasi yang memfokuskan pada pengelolaan dsb. sumber daya manusia. Pengembangan sumber 4. Memutuskan keterampilan era reformasi yang daya manusia dibagi dalam beberapa area kerja akan di dilaksanakan dan kebijakan apa yang yaitu desain organisasi, pengembangan muncul untuk mendukung program tersebu.t organisasi, perencanaan dan pengembangan an hk ara bing ng Me mbim hat i Me nase Me 82 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi karir pegawai, perencanaan sumber daya manusia, sistem kinerja pegawai, kompensasi dan gaji, kearsipan pegawai. Perlu dipahami juga oleh suatu organisasi bahwa pilar utama dalam membangun organisasi yang berwawasan global adalah kemampuan setiap individu yang tergabung dalam organisasi. Satu pertanyaan kritis muncul karakteristik individu seperti apa yang dibutuhkan oleh suatu lembaga dalam era reformasi. Karakteristik sumber daya manusia yang diperlukan saat ini adalah mempunyai integritas, inisiatif, kecerdasan, keterampilan sosial, penuh daya dalam bertindak dan penemuan baru, imajinasi dan kreatif, keluwesan, antusiasme dan mempunyai daya juang (kecerdasan adversity / kemampuan mengubah hambatan menjadi peluang), mempunyai pandangan ke depan dan mendunia. Kemampuan-kemampuan diantas adalah kemampuan yang dianggap sesuai untuk era reformasi. Dalam recruitment dan pengembangan sumber daya manusia tentunya mengacu kepada karakteristik-karakteristik di atas. Lembaga mempersiapkan panduan recruitment sesuai karakteristik tsb. Karyawan atau guru yang baru yang menginjakkan kakinya untuk bergabung bersama membutuhkan “masa orientasi” agar nantinya mampu berkembang dan berjuang sesuai yang diharapkan lembaga. Masa orientasi sangat penting untuk mengurangi keluhan pada masa mendatang akan ketidakmampuan individu ketika lembaga mengadakan perubahan. Masa orientasi ini perlu di desain sebaik mungkin karena merupakan masa transisi dimana setiap individu dibentuk sesuai yang diharapkan lembaga dengan dimulai dari kompetensi awal yang dimiliki mereka. Kegiatan pada masa orientasi terbatas pada waktu tertentu dan kegiatan dapat berupa pelatihan atau kegiatan apa saja yang wajib diikuti oleh setiap individu untuk memenuhi standar yang diharapkan. Masa ini menjadi masa kritis guru untuk tetap dipertahankan atau tidak bergabung dengan lembaga. Masa orientasi dapat diteruskan pada “masa pemantapan” dengan pola yang sama dengan orientasi hanya kadar kompetensi yang dituntut berbeda. Guru seumur hidupnya cenderung tetap menjadi guru karena peluang menjadi kepala sekolah sangatlah minim. Hal ini disebabkan satu sekolah hanya membutuhkan satu kepala sekolah. Realita keseharian kualitas guru berbeda-beda, ada guru yang dapat diandalkan ada pula guru yang hanya sekedar menjalankan tugas. Lalu apa yang membedakan guru yang berkualitas dengan yang tidak? Apa yang membuat guru termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya? “Career development” dapat menjadi solusinya. Career development perlu diciptakan oleh lembaga agar dapat memotivasi setiap individu yang terlibat. Setiap individu tahu jelas persyaratan yang harus dipenuhi untuk menduduki satu jabatan atau tingkatan tertentu. Bagi individu ada satu kepastian sejauh mana kemampuan dan pengetahuannya perlu dikembangkan. Setiap individupun dapat menilai dirinya sendiri pada level apa sebenarnya kemampuan dan pengetahuannya. Jelas disini dapat menghindari unsur subyektivitas. Career development dapat menjadi satu nilai positif ketika pada setiap level di dalamnya jelas alat ukurnya. “Pengendalian posisi” dapat menjadi partner dalam career development. Karena dalam pengendalian posisi ada aturan untuk kapan dipromosikan, berapa lama di posisi tersebut, kapan berhenti, individu tersebut direncanakan untuk posisi apa dsb. Pengendalian posisi ini untuk mengantisipasi jika semua guru mempunyai motivasi berprestasi sekaligus mensortir guru yang tak mempunyai motivasi berprestasi. Kondisi demikian akan memicu setiap individu untuk berprestasi sesuai dengan harapan individu dan lembaga. Reformasi Pendidikan Reformasi kini menjadi suatu keharusan dalam pembenahan pendidikan khususnya pembelajaran. Reformasi ada dalam rangka memuaskan pelanggan/masyarakat dengan memberikan pelayanan yang lebih baik agar sesuai dengan harapan dan kebutuhan mereka.. Konsep pembelajaran reformatif berpusat kepada siswa, interaktif atau terjadi interaksi multi arah, multidisipliner, kerja kelompok, guru sebagai fasilitator, mengajarkan bagaimana mempelajari sesuatu, dimungkinkan tim teaching untuk memperoleh kajian lintas disipliner, memberikan peluang kepada siswa mengalami berbagai gaya belajar, pembelajaran kristis dengan pendekatan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi ke masa depan. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran reformatif maka perlu diadakan persiapan baik dari guru maupun siswa. Guru harus bersikap demokratis, selalu mengembangkan kemampuannya dan belajar terus. Harus ada perubahan paradigma guru dengan strategi seperti (a) guru berhak untuk mencari informasi dan mengembangkan diri dalam jam kerjanya baik secara individual Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 83 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi maupun kelompok (diskusi) misalnya 4 jam/ pembelajaran dapat berdasarkan kepada learning minggu, (b) guru berhak mengikuti pelatihan how to know/learning how to think, learning how to yang telah didesain dan ditetapkan oleh learn, learning how to do, learning how to live together, organisasi dan dimungkinkan pilihannya sendiri learning how to be, learning how to have a mastery of misalnya 100 jam/tahun, (c) guru berhak local, learning how to understand the nature/God made membuat karya tulis ilmiah dan dipublikasikan (belajar mengetahui/belajar berpikir, belajar misalnya minimal 1 tulisan/semester, (d) guru bagaimana belajar, belajar berbuat, belajar hidup berhak membuat penelitian sederhana minimal 1 bersama, belajar menjadi diri sendiri, belajar menyesuaikan diri dengan kebutuhan lokal, penelitian/tahun Kondisi demikian tentunya membawa belajar memahami lingkungan sekitar). Ahli konsekuensi yang perlu direncanakan misalnya manajemen Jepang, Konsosuke Matsuhita, adanya wadah untuk menampung tulisan guru, mengemukakan bahwa sebelum belajar adanya reward bagi guru yang sudah berusaha melakukan sesuatu, harus kita pelajari dulu keras mengembangkan diri. Dalam pelaksanaan bagaimana seharusnya kita berperilaku sebagai dapat dilakukan dengan program pembimbingan manusia. Dari sana, dapatlah dikatakan bahwa antarguru. Misalnya membuat karya tulis ilmiah, “mengajarkan bagaimana sesuatu seharusnya guru yang mampu dapat menjadi membimbing dilakukan” adalah pendidikan dalam bentuknya guru yang belum mampu sehingga guru yang yang paling rendah. Pendidikan seharusnya mampu bertumbuh menjadi pembimbing mengajari bagaimana caranya belajar dan bukan sedangkan guru yang belum mampu mempelajari memberikan instruksi tentang suatu pelajaran sesuatu dari temannya. Setiap terjadi tertentu. Apa yang harus dipelajari tidaklah benarpembimbingan maka nama pembimbing benar penting. Yang penting adalah bagaimana c a r a tercantum dalam mempelajarinya. karya tersebut. Dengan demikian Program demikian maka dapat dapat dinamakan Pendidikan seharusnya mengajari mengakomodasi “ t u m b u h bagaimana caranya belajar dan bukan pergeseran fungsi bersama”. pembelajaran dari U n t u k memberikan instruksi tentang suatu terbatas pada merangsang pelajaran tertentu. Apa yang harus t a h a p a n terjadinya proses dipelajari tidaklah benar-benar penting. p e n d i d i k a n pembelajaran m e n j a d i reformatif maka Yang penting adalah bagaimana cara pembelajaran diperlukan langkah mempelajarinya. seumur hidup. Hal langkah yang ini terjadi karena disebut dengan situasi dan kondisi “TUAI” masa depan, yang artinya : Tunjukkan yang terus bergulir begitu cepat sehingga kemampuanmu, Usahakan sebaik mungkin, seseorang perlu belajar seumur hidup. Akal dan pikiran terus dimotivasi, Informasi dan Ilmu dicari terus. Selain itu perlu labelisasi guru Pembiayaan Pendidikan kompetensi dan kemampuan yang ditentukan misalnya, guru yunior, guru senior, pelatih yunior, pelatih senior, penulis buku, staf ahli Berbagai biaya harus ditanggung oleh lembaga dsbnya. Kondisi demikian dapat memberikan dalam peningkatan kualitas. Seharusnya biaya peluang bagi guru untuk mereformasi sistem dialokasi kepada: (1) biaya pencegahan (2) biaya pembelajarnnya karena memang guru tersebut deteksi/penilaian, (3) biaya kegagalan inrenal, mempunyai kompetensi. Kompetensi (4) biaya kegagalan eksternal. Biaya pencegahan professional guru seharusnya meliputi akademis/ merupakan biaya yang terjadi untuk pencegahan pendidikan, penelitian/action research ketidak kesempurnaan program dalam classroom, pengabdian masyarakat/pelayanan. perancangan, pelaksanaan dan pemeliharaan Ketiga kompetensi itu akan membentuk guru program. Biaya deteksi (penilaian) adalah biaya secara utuh dalam profesinya yang kemudian yang terjadi untuk menentukan apakah program dilengkapi dengan kompetensi personal dan memenuhi syarat kualitas. Dalam hal ini berfungsi sosial untuk mendeteksi adan menghindari kesalahan. Strategi pembelajar pun akan menjadi suatu Biaya kegagalan internal adalah biaya yang terjadi hal yang penting dalam peranannya untuk karena ada ketidak sesuaian dengan persyaratan membentuk seseorang yang nantinya mampu dan terdeteksi sebelum program dilaksanakan. bertahan dalam kehidupannya. Strategi Biaya kegagalan eksternal adalah biaya yang 84 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi terjadi karena program/jasa gagal memenuhi syarat dan diketahui setelah program dilaksanakan. Biaya ini merupakan biaya yang paling membahayakan karena bila salah maka menyebabkan reputasi buruk, kehilangan pelanggan dan penurunan pangsa pasar. Aspek pembiayaan sangatlah menentukan kelangsungan dari suatu lembaga pendidikan. Dalam merencanakan suatu pembiayaan pendidikan apalagi pendidikan merupakan salah satu bagian dari bisnis maka pengelolaan keuangan sangat menentukan dalam meraih keuntungan dan menjamin kelangsungan lembaga tersebut. Balanced scorecard baik diterapkan pada masa kini untuk peningkatan kinerja keuangan namun tidak meninggalkan aspek yang lain. Dalam kenyataannya tidak dapat dihindarkan lagi bahwa perlu biaya yang harus dikeluarkan untuk operasional, riset dan pengembangan, pembekalan, investasi masa depan, dsb. Sementara pemasukkan cenderung stabil. Lalu bagaimana untuk mengelola keuangan tersebut. Perlu dipikirkan “perimbangan biaya” pada setiap biaya yang dikeluarkan. Perimbangan biaya ini tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dimungkinkan. Perimbangan biaya tersebut misalnya : (a) Lembaga telah mengeluarkan biaya untuk pembekalan sumber daya manusia agar mempelancar pelaksanaan operasional maka dapat dilakukan satu program untuk perimbangan biaya yang dapat dilakukan. Misalnya menyusun satu paket pelatihan untuk eksternal/orang luar yang dikemas secara professional memanfaatkan sumber daya manusia intern yang telah terlatih, dan menggunakan fasilitas yang sudah ada. Maka keuntungan ganda akan muncul, lembaga akan dikenal oleh masyarakat, sumber daya manusia intern dapat mengaktualisasi dirinya, memanfaatkan fasilitas semaksimal mungkin dan lembaga mendapat keuntungan nominal dari program tsb. (b) Lembaga menyiapkan fasilitas gedung dengan ruangan (aula) yang memadai untuk memperlancar opersional. Setelah tidak ada kegiatan sekolah maka aula, ruang lab dsb menjadi ruangan kosong. Pada kondisi ini dapat perimbangan biaya yang dapat dilakukan misalnya dengan menyewakan ruangan tersebut untuk masyarakat sekitar. Yang tentunya dalam pelaksanaan perlu aturan main yang tidak membahayakan atau merugikan lembaga. Ruang/lab komputer dapat dimanfaatkan dan dikelola untuk pelatihan/ruang kursus. Ruang laboratorium beserta peralatan dapat dikelola (seperti perpustakaan umum) untuk kegiatan penelitian. Namun ada satu syarat bila dikelola secara professional sehingga tidak menggangu pelaksanaan kegiatan sekolah. (c) Pembuatan buku yang didesain oleh lembaga dengan melibatkan guru yang ada. Kondisi ini menguntungkan karena sekolah sudah mempunyai pasar sendiri sehingga tidak takut lagi buku tersebut tidak akan laku. Sementara di sisi lain dapat terciptanya wadah untuk menyalurkan bakat guru sebagai penulis. (d) Lembaga menciptakan perusahaan kecil sebagai pendampingan misalnya percetakkan buku, toko alat tulis, catering yang dikelola secara profesional dan melibatkan kewenangan organisasi dalam networking pelaksanaan. Misalnya ada makan siang yang dikelola oleh lembaga, berarti keuntungan bisa masuk ke lembaga lagi. (f) Pendidikan saat ini sebagai suatu industri SDM maka sudah tidak tabu lagi bila pembiayaan menggunakan sponsor-sponsor sepanjang tidak bertentangan dengan dunia pendidikan. Marketing Pendidikan Lembaga pendidikan selalu menginginkan sekolahnya dicari oleh masyarakat. Di sisi lain masyarakat membutuhkan informasi tentang sekolah mana yang memenuhi standar mutu sesuai yang diharapkan. Hal ini dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka mereka memilih sekolah untuk putra putrinya. Oleh karena itu marketing pendidikan sebagai bidang yang harus digarap secara serius dan menjadi lahan yang diperhitungkan. Dalam penggarapan marketing pendidikan diperlukan: 1. Input: a. riset pasar terutama mengenai data customer, meliputi siapa yang menjadi sasaran program, apa kebutuhan mereka, bagaimana pandangan mereka tentang pendidikan, bagaimana kemampuan mereka dalam hal biaya/keuangan masyarakat, trend pendidikan seperti apa yang muncul di kalangan mereka, jenjang sekolah mana yang menjadi incaran b. customer, siapa pemakai program, harapan apa yang diinginan dari program. data mengenai pesaing, meliputi siapa yang perlu diperhitungkan menjadi pesaing, apa keunggulan para pesaing tersebut, apa yang dicari oleh customer terhadap pesaing, hal apa saja yang menjadi kelebihan pesaing dan menjadi titik lemah lembaga. 2. Output: a. product system, program apa saja yang akan di pasarkan Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 85 Manajemen Pendidikan di Era Reformasi b. place system, tempat yang menjadi pasar harus di ketahui c. promotion sistem, bagaimana mempromosikan program, apa keunggulan program d. price sistem, harga sebaiknya sangat fruetuatif dan dinamis 3. Accounting information Bagian marketing pendidikan berperan dalam menyakinkan masyarakat untuk memberikan kepercayaan dalam mendidik putra-putrinya. Bagian marketing pendidikan akan lebih baik jika didampingi dengan “bagian technical care education”. Bagian ini berbeda dengan marketing. Bagian ini berfungsi untuk membina hubungan baik dengan masyarakat ketika mereka mulai peduli dengan pendidikan. Bagian ini menampung berbagai tanggapan masyarakat. Hal ini penting jika terjadi pandangan negatif, atau ketidakpuasan pelanggan terhadap lembaga/ sekolah maka dapat diadakan pendekatan terlebih dahulu, dengan maksud supaya tidak terjadi pelebaran masalah yang dapat mengakibatkan kerugian bagi lembaga, sehingga komplain dapat diminimalisir Selain itu bagian ini juga membuat program-program dalam konteks pendidikan agar orang tua/masyarakat agar lebih memahami filosofi pendidikan. Hal ini dimaksudkan supaya ketika lembaga hendak mengadakan kerjasama dengan mereka maka tidak terjadi kesenjangan pandangan. Kondisi ini memungkinkan terjadi kerjasama dan saling mendukung antara lembaga pendidikan dan orang tua/masyarakat. Penutup Pembenahan secara total dengan tujuan peningkatan mutu wajib dilakukan oleh lembaga pendidikan. Pembenahan secara total meliputi segala aspek. Jika ini dilakukan maka akan membentuk sebuah jaringan yang kuat yang secara serentak melaju mencapai tujuan/sasaran. Dengan demikian maka sebuah lembaga pendidikan akan tetap eksis dan terus berkembang dalam kancah persiangan global. Kepekaan melihat kondisi yang bergulir dan peluang masa depan menjadi modal utama untuk mengadakan perubahan paradigma dalam manajemen pendidikan. Modal ini akan dapat menjadi pijakan yang kuat untuk mengembangkan pendidikan. Pada titik inilah diperlukan berbagai komitmen untuk perbaikan kualitas. Manakala tahu melihat peluang, dan peluang itu dijadikan modal, kemudian modal menjadi pijakan untuk mengembangkan pendidikan yang disertai komitmen yang tinggi, 86 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 maka secara otomatis akan terjadi sebuah efek domino (positif) dalam pengelolaan organisasi, strategi, SDM, pendidikan dan pengajaran, biaya, marketing pendidikan seperti yang sudah penulis uraikan di atas. Daftar Pustaka Atmodiwirio, Soebagio. (2002). Manajemen pelatihan Jakarta: Ardadizya Jaya Baldrige National Quality Program. (2005). Education criteria for performance excellence. Baldrige. Hardjosoedarmo, Sowarsono. ( 2004). Total quality management. Yokyakarta: Andi Hutagaol, Said. Sistem informasi manajemen (SIM). Universitas Kristen Indonesia Junus, Falah. Manajemen peningkatan mutu pendidikan. http://www.geocities.com/guruvalah/ artikelpendidikan/.html. Mantja, Willem. Mananjemen pendidikan era reformasi - Jurnal Ilmu Pendidikan, jilid 7, nomor 2, Mei 2000, http://www.malang.ac.id/ jip/2000a.htm McConkey, Dale D. (1982). Manajemen bagi organisasi non perusahaan. PPM, Pustaka Binaman Pressindo Mulyadi. (2001). Balanced scorecard. Jakarta: Salemba Empat Mulyasa. Manajemen berbasis sekolah konsep, strategi dan implementasi. Bandung: Remaja Rosda Karya Mukhtar. (2003). Merabah menejemen baru pendidikan tinggi Islam. Misaka Galiza Pidarta, Made. Mananjemen pendidikan era era globalisasi - Jurnal Ilmu Pendidikan, jilid 7, nomor 2, Mei 2000, http://www.malang.ac.id/jip/2000a.htm Saputra, Arvin. (2003). Masa depan pendidikan. Lucky Publishers Sudjana. (2004). Manajemen program pendidikan. Bandung: Falah Production Syafaruddin. (2002). Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan (konsep, strategi dan aplikasi). Jakarta: Grasindo Tangyong, Agus. Manajemen mutu terpadu dalam pendidikan. Majelis Pusat Pendidikan Kristen di Indonesia Tjiptono, Fandy. (2001). TQM. Yogyakarta: Andi Umar, Husein. (1999). Riset sumber daya manusia dalam organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Wahyuni, Erma. Balanced Scorecard untuk Manajemen Publik, YPAPI, Yokyakarta Wen, Syling. (2000). Future of education. An Asiapac Publication Widjaja Tunggal, Amin. (2002). Memahami konsep balanced scorecard. Jakarta: Harvarindo Widayati, Sri. (2002). Reformasi pendidikan dasar. Jakarta: Grasindo dilakukan oleh para guru. Opini Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undang tentang Guru dan Dosen Yuli Kwartolo*) Abstrak Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah disahkan. Salah satu ketentuan penting dalam Undang-Undang ini adalah ‘semua’ guru diwajibkan memiliki sertifikat yang diperoleh ketika guru atau calon guru selesai mengikuti sebuah pendidikan profes. Dengan mengikuti program sertifikasi diharapkan guru akan memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan personal sehingga lebih bermutu. Tulisan ini mencoba mengkaji secara kritis undang-undang itu, khususnya pasal-pasal yang berkaitan dengan guru. Secara spesifik, mengkritisi wacana atau opini dalam undang-udang itu yang sangat menyederhanakan permasalah kualitas guru. Dengan kata lain, guru berkualitas identik dengan guru yang mempunyai sertifikat. Kata kunci: Guru, sertifikat, profesional, menyederhanakan masalah, ada proses yang hilang. Indonesian Act, No. 14/2005 about Teacher and Lecturer has been approved. One of the important regulation in this Act is the requirement for a teacher or teacher candidate to have certificate which he/she can obtain after succesfuly completing a professional education. This certivicate purves his/her professional competency, pedagogy competency, social competency, and personal competency. This reviews critically to the new regulation related to the certivication which seems to simplifying the quality of teachers. Pendahuluan ndang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah disahkan oleh pemerintah tertanggal 30 Desember 2005. Poin penting dari undang-undang ini adalah guru di semua jenjang diakui sebagai tenaga profesional dan pengakuan itu harus dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Seperti biasa, setiap kebijakan selalu menimbulkan pro dan kontra, termasuk undangundang guru ini. Yang pro menyambutnya dengan gembira, penuh antusias, sedangkan yang kontra berpendapat sebagai sebuah kesia-siaan. Pihak yang menyambut gembira menyatakan bahwa undang-undang itu akan menempatkan jabatan guru sebagai suatu profesi seperti dokter, pengacara, akuntan, atau lainnya. Sehingga nantinya harkat dan martabat guru semakin terangkat. Sementara yang berpendapat suatu kesiasiaan, seperti Sofian Effendi, rektor Universitas U Gajah Mada (UGM) Jogjakarta yang juga Ketua Forum Rektor Indonesia seperti dimuat di Tempo Interaktif (6 Desember 2005), menyatakan, bahwa undang-undang itu tidak lebih dari pepesan kosong. Sebab isinya tidak lebih hanya menyatakan bahwa guru adalah sebuah profesi, hal-hal lain yang menyangkut peningkatan kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Pendapat Sofian Effendi itu juga dikuatkan oleh Kartono (2002), meneriakkan pentingnya profesionalitas guru, menyangkut kualifikasi dan kompetensi, tentunya tidak bisa mengabaikan gaji guru. Harus diakui gaji guru di Indonesia begitu rendah dibanding negara-negara lain. Imbal jasa guru di AS adalah 1,7 kali pendapatan per kapita negara itu, atau Jepang rata-rata 2,4 kali pendapatan per kapita. Maka sudah sepantasnyalah guru-guru yang menjalin hubungan kemanusiaan dan menunjukkan kompetensi serta profesionalitasnya harus diberi penghargaan yang memadai. Undang-undang ini memang membicarakan keberadaan guru dan dosen. Tetapi tulisan ini *) Staf Pusat Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 87 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen membahas khusus pasal-pasal yang berkaitan dengan guru. Pasal-pasal yang menurut hemat penulis begitu krusial. meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas prestasi. Selain itu pada pasal-pasal berikutnya Beberapa Pesan Positif guru “dijanjikan” diberi tunjangan profesi dan tunjangan khusus (bagi guru yang bertugas di Undang-undang adalah ketentutan normatif atau daerah khusus). Bahkan di pasal 19 secara dengan kata lain berisi ketentuan-ketentuan yang eksplisit diuraikan mengenai maslahat tambahan seharusnya dilaksanakan. Tetapi pada berupa berbagai kesejahteraan yang diperoleh kenyataannya tidak semua ketentuan, harapan dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi yang sudah dituliskan itu bisa berjalan. Demikian pendidikan, beasiswa, dan kemudahan untuk juga dengan undang-undang guru ini. Namun memperoleh pendidikan bagi putra dan putri paling tidak lahirnya undang-undang ini guru, serta layanan kesehatan. Dengan memperhatikan pasal-pasal mengisyaratkan pesan-pesan positif. Pesan positif menjanjikan tersebut di atas yang seolah seperti tidak hanya kepada guru itu sendiri, melainkan “angin sorga” maka di atas kertas sebenarnya kepada masyarakat secara luas. Apakah pesankegundahan seorang Sofian Effendi dan Kartono pesan positif itu? untuk sementara sudah dapat dijawab. Pertama, dengan sertifikasi guru maka Ketiga, ada jaminan kemudahan memperolah masyarakat (baca: orang tua) mendapat jaminan kesempatan pendidikan bagi putra-putrinya. Ini pasti bahwa putra-putrinya dididik dan diajar ditegaskan dalam penjelasan pasal 19. “Yang oleh guru yang memang benar-benar guru. Dalam arti dididik dan diajar oleh orang-orang yang dimaksud dengan kemudahan untuk memperoleh memang memenuhi kualifikasi-kualifikasi yang pendidikan bagi putra-putri guru adalah berupa kesempatan dan keringan disyaratkan. Dalam biaya pendidikan bagi konteks ini maka putra-putri guru yang telah profesionalisasi Namun paling tidak memenuhi syarat-syarat pendidikan adalah suatu lahirnya Undang-Undang akademik untuk menempuh hal yang tidak bisa pendidikan dalam satuan ini mengisyaratkan pesanditawar-tawar. pendidkan tertentu. Berkaitan dengan pesan positif. Pesan positif Menurut penulis, pesan pesan positif pertama yang tidak hanya kepada guru itu ketiga ini adalah pesan penulis kemukakan, sendiri, melainkan kepada positif yang benar-benar Soejipto (1994) positif. Mengapa? Karena masyarakat secara luas. berpendapat, oleh karena tidak jarang dijumpai putraprofesi keguruan yang putri seorang guru yang tugas utamanya melayani telah berjasa membawa masyarakat dalam bidang pendidikan, maka pengakuan guru sebagai jabatan profesional anak-anak orang lain bisa baca, tulis, berhitung dapat menjaga masyarakat dari kerugian-kurigian kemudian menjadi insinyur, dokter, ahli hukum, yang ditimbulkan olah orang-orang yang tidak arstitek, advokat, tetapi anak-anaknya sendiri gagal mendapat tempat terhormat untuk bertanggung jawab. Kedua, beberapa pasal yang ada di undang- melanjutkan sekolah/pendidikan ke jenjang yang undang ini memberikan statement menjanjikan lebih tinggi. Gagal masuk ke fakultas atau jurusanbagi masa depan guru, khusunya pasal-pasal jurusan favorit yang porspektif. Kegagalan itu bukan karena anak-anak guru berkaitan dengan hak guru. Secara psikologis, dari segi intelektual tidak mampu, tetapi boleh jadi guru berada di wilayah aman untuk urusan sistem seleksi penerimaan siswa atau mahasiswa kesejahteraan hidup. Perhatikan pasal 14 aya 1. baru “hanya” memberikan peluang yang luas Di pasal ini dituliskan guru memperoleh penghasilan bagi golongan yang kuat secara finansial. di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan Konkretnya, meskipun uang masuk atau kesejahteraan sosial. Kemudian statemen ini namanya sudah dipotong sekian persen, tetapi dipertegas lagi di pasal 15, yang dimaksud dengan tetap saja guru tidak mampu memenuhinya. Ini penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sangat ironis. 88 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen Jika pesan-pesan positif yang sudah penulis kemukakan di atas dapat tereralisasikan, maka diharapakan harkat dan martabat guru terangkat. Itulah yang diinginkan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas Satryo Soemantri Brodjonegoro (Kompas, 13 Desember 2004). Guru Berkualitas Tidak Identik dengan Guru Bersertifikat Bagaimanapun juga di balik-balik pesan-pesan positif yang ada, kita harus tetap mengkritisi undang-undang ini. Khususnya statemen yang menyatakan bahwa tujuan dijadikannya guru sebagai suatu profesi adalah sebagai bagian dari peningkatan kualitas dan profesional guru. Secara implisit pernyataan tersebut mengandung makna guru yang berkualitas adalah guru yang telah mengikuti pendidikan profesi dan mendapatkan sertifikat tersebut. Padahal kenyataan tidak. Ukuran kualitas, profesional, dan kompetensi bukan semata-maat ijazah dan sertifikat mengajar. Untuk memperkuat argumen ini, mari kita ikuti kisah yang dipaparkan oleh Bambang Wisudo di Kompas, 24 November 2005 berikut ini. Kompetensi Syariffudin (54) dalam mengajar kesenian dan keterampilan tidak perlu diragukan. Ia tergolong mahir dalam seni lukis, dekorasi, maupun musik. Kemampuannya mengajar di depan kelas juga diakui oleh kawan-kawan seprofesinya. Ia bahkan termasuk guru yang disegani di hadapan murid-muridnya. Tidak mungkin ia bisa bertahan mengajar menjadi guru selama 25 tahun bila dianggap tidak layak menjadi seorang guru. Akan tetapi, bila ukuran kompetensi sematamata ijazah dan sertifikat mengajar, ceritanya bisa jadi lain. Syariffudin memang tidak punya latar belakang pendidikan sebagai guru kesenian. Ia lulusan STM jurusan bangunan. Begitu lulus STM ia bekerja sebagai pramugara kereta api JakartaSurabaya (1973-1978). Bakat alamnya sebagai ’seniman’-lah yang mengantarkan Syariffudin menjadi guru. Syariffudin hampir pasti tidak bisa mengejar kualifikasi sebagai seorang guru seperti disyaratkan dalam UU Guru dan Dosen. Kualifikasi akademik seorang guru, menurut ketentuan dalam UU itu, minimal sarjana S1 atau D4 yang ditempuh rata-rata dalam waktu empat tahun. Di samping itu, seorang guru juga wajib mengikuti pendidikan profesional sebanyak 36 satuan kredit semester, yang bisa ditempuh dalam waktu satu tahun, sebagai syarat untuk memperoleh sertifikat pendidik. Kisah itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa guru yang berkualitas, berkompeten tidak identik dengan guru yang mempunyai sertifikat. Idealis dan Menyederhanakan Masalah Secara rinci dapat disebutkan di sini misi luhur undang-undang itu: 1) mengangkat martabat guru; 2) menjamin hak dan kewajiban guru; 3) meningkatkan kompetensi guru; 4) memajukan profesi serta karier guru; 5) meningkatkan mutu pembelajaran; 6) meningkatkan mutu pendidikan; 7) mengurangi kesenjangan ketersediaan guru antardaerah (jumlah, mutu, kualifikasi akademik, dan kompetensi); 8) mengurangi mutu pendidikan antardaerah; dan 9) meningkatkan pelayanan pendidikan yang bermutu. Misi yang akan digapai melalui undangundang ini dapat dikatakan misi yang sangat idealis. Bahkan menurut hemat penulis ada beberapa misi yang terlalu dipaksakan dan kesannya hanya sekedar retorika atau sebagai pemanis rumusan saja. Rumusan misi yang penulis maksud adalah pada poin 3, 5, 6, dan 9. Kalau diringkas intinya adalah agar guru terus meningkat kualitasnya. Pertanyaannya adalah, apakah ketika guruguru sudah memegang sertifikat profesi otomatis guru itu berkualitas? Guru adalah ujung tombak terdepan dalam penyelenggaraan pendidikan (persekolahan). Ini kenyataan yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu menjadi sangat bijak bila keberadaannya, baik ditinjau dari sisi keprofesian, kesejahteraan, karier, kompetensi harus benar-benar mendapatkan perhatian yang serius. Profesinya harus diakui, kesejahteraan harus terjamin, karier harus jelas, dan kompetensi harus terus ditingkatkan. Jika semua itu terakomodasi tentu saja guru akan dapat menjalankan tugastugasnya dengan senang hati tanpa harus memikirkan hal-hal lain yang kerap mengganggunya (misalnya, pekerjaan lain demi mencukupi kebutuhan hidup). Tetapi apakah dengan berlakunya undangundang itu kelak poin 3, 5, 6, 9 di atas dapat terwujud. Inilah yang penulis maksudkan dengan menyederhanakan masalah dan penulis sendiri masuk dalam barisan yang pesimis. Menjadi guru yang profesional, berkompeten, mesti melalui sebuah proses. Proses itulah yang seharusnya diperhatikan dan digarap secara Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 89 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen serius. Tetapi di sinilah kelemahan yang terjadi. mampu menjawab berbagai masalah Pemerintah tidak pernah belajar dari profesionalisme guru. Dengan kata lain, adalah langkah yang pengalaman. Penulis masih ingat mengenai kebijakan pemerintah memoratorium Sekolah kurang tepat ketika universitas (bekas IKIP) yang Pendidikan Guru (SPG) dan Sekolah Guru ternyata telah gagal menciptakan guru-guru yang Olahraga (SGO). Alasanya untuk meningkatkan handal akan diserahi tugas strategis memberi kualitas pendidikan dasar. Artinya, agar kualitas pendidikan keprofesian kepada guru-guru. Jadi penulis menilai bahwa undang-undang pendidikan sekolah dasar meningkat tidak cukup diajar oleh guru lulusan SPG dan SGO yang itu sangat menyederhanakan masalah rumitnya hanya mengikuti proses pendidikan selama 3 eksitensi guru. Artinya pemerintah berharap tahun. Sebagai gantinya pemerintah mewajibkan dengan mengambil kebijakan berupa guru sekolah dasar harus lulusan Program Guru pengundangan sertifikasi guru, semua persoalan Pendidikan Dasar (PGSD). Program ini setingkat beres termasuk guru akan menjadi profesional, meningkat mutunya, mempunyai kompetensi D2 atau sebutan yang terkenal D2 PGSD. Pertanyaannya adalah, apakah siswa sekolah tinggi. dasar setelah diajar oleh guru lulusan PGSD kualitasnya meningkat? Kita lihat sendiri Ada Proses yang Dilupakan pendidikan dasar kita tetap jalan di tempat. Penulis juga masih ingat kebijakan pemerintah yang mengharuskan Institut Mengharapkan guru yang bermutu, profesional, Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) berganti atau entah apa namanya membutuhkan sebuah nama menjadi universitas. Kita mengenal IKIP proses; tetapi proses itulah yang sering dilupakan. Medan menjadi Universitas Negeri Medan Proses menciptakan guru-guru yang berkualitas (UNIMED), IKIP Jakarta menjadi Universitas itu dapat digambarkan dalam sebuah sistem Negeri Jakarta (UNJ), IKIP Bandung menjadi sederhana seperti berikut. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), , IKIP Jogjakarta menjadi Universitas Negeri Process Output Input Jogjakarta. Tujuannya adalah agar lulusannya lebih berkualitas. Seperti yang tercantum dalam Keputusan Presiden No. 93 Tahun 1999, perubahan nama itu Feedback supaya mutu, relevansi, efisensi, pemerataan Dari gambar sederhana di atas kita tahu dan akuntabilitas dapat ditingkatkan. tahapan-tahapan yang harus dilewati. Input Tapi apa jadinya sekarang, alih-alih menyangkut siapa calon guru (baca: mahasiswa). berkualitas; malah kabarnya tidak pernah Latar belakang pendidikan, ekonomi, intelektual, terdengar lagi. Padahal diharapkan dengan sampai ke motivasinya. Process meliputi di perubahan nama itu bisa mengangkat status yang dalamnya seluruh pendidikan dan pengajaran memang sejak dulu IKIP adalah tempat kuliah yang diikuti mahasiswa, sedangkan output/hasil mahasiswa kelas dua. yaitu lulusan yang dihasilkan dari sistem itu. Jika Winarno Surakhmad (2000) berpendapat, ternyata ouput-nya tidak berkualitas atau tidak universitas-universitas bekas IKIP itu sebagai seperti yang diinginkan maka harus dilihat lembaga baru yang multifungsi. Selain menerima apakah input-nya baik atau mendukung, ataukah dan mendidik mahasiswa sebagai lulusan process-nya ada yang salah. Maka dalam gambar (ilmuwan, karena belajar ilmu-ilmu murni) itu muncul feedback. Artinya output yang berbagai bidang studi, juga bertugas melanjutkan dihasilkan memberi feedback atau umpan balik. tugas IKIP mendidik guru. Tetapi apakah ketika Kembali kepada usaha untuk menciptakan IKIP masih ada tetapi ternyata tidak dapat guru yang berkualitas. Sepanjang penulis amati, melaksanakan fungsi tunggalnya mencetak calon kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya guru yang handal, universitas yang menggantinya ternyata essensinya masih juga tambal sulam, tidak mencari akar masalah yang IKIP yang dulu akan mampu menggantikan peran mendasar maka harapan untuk mendapatkan itu? Pertanyaan ini wajar, sebab selama ini belum guru yang berkualitas hanya utopia saja. Nah, apa kelihatan sifat-sifat lain yang sungguh-sungguh akar masalahnya? Dilihat dari sistem di atas, menurut hemat menjadi pembeda yang meyakinkan kita bahwa peralihan IKIP menjadi universitas memang penulis akar masalahnya terletak pada input-nya. 90 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen Ada ungkapan yang mengatakan biji yang baik mengajar dapat dipastikan juga bukan lulusan akan menghasilkan pohon yang baik. Demikian terbaik. Mereka umumnya menempuh akta mengajar juga masukan yang baik akan menghasilkan karena sulitan mencari pekerjaan di luar guru. produk yang baik pula. Ketika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), seperti Solusi yang Substantif IKIP dan FKIP dan sejenisnya menerima mahasiswa, maaf dengan kualitas yang “rendah”, ditambah dengan motivasi mahasiswa yang tidak Ingin meningkatkan kualitas guru dengan bulat menjadi guru maka yang dihasilkan juga menyodorkan undang-undang sertifikasi menurut guru-guru yang jauh dari kualitas yang hemat penulis bukan langkah yang tepat. Bukan diharapkan. Pertanyaan kritisnya adalah, langkah yang tepat oleh karena tidak menyentuh mengapa pendidikan guru bukan pilihan menarik permasalahan yang mendasar. Undang-undang bagi kaum muda selepas menamatkan sekolah itu sekedar mengakui bahwa orang yang ingin menengah? Ini pertanyaan klasik yang terus mejadi guru harus mempunyai sertifikat. Jika mengemuka dan jawabannya sebenarnya mudah. dianalogikan, mau meningkatkan ekonomi guru Parker (1981) dalam Darmaningtyas (sebagai prayarat utama) supaya harkat dan mengungkapkan, guru pada waktunya dulu martabatnya meningkat tetapi disodori selembar memenuhi sederet kualitas yang memang sertifikat. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan dipersyaratkan; memiliki karakter, semangat oleh guru untuk mendapatkan sertifikat itu. Dari berkorban, tidak mementingkan diri sendiri, mana uangnya, gaji yang diterima untuk biaya berkepribadian, berjiwa pemimpin. Mereka juga hidup saja tidak cukup. adalah pemimpin masyarakat, itulah sebabnya Penulis tetap konsisten bahwa membenahi tidak semua orang dapat melakukan tugas guru. kualitas guru harus di mulai dari input-nya. Calon Sekarang sosok guru itu sudah berubah, dan mahasiswa keguruan dan calon guru diseleksi perubahan itu bukan taken for granted (ada dengan secara ketat dari berbagai aspek. Standar akademis sendirinya), melainkan hasil pergulatan zaman harus di atas rata-rata. Selama ini yang terjadi, maupun konstruksi dari kekuasaan yang ada. standar akademis yang dipersyarakan bagi calom Guru ideal seperti mahasiswa keguruan dilukiskan oleh Parker itu malah lebih rendah dari ternyata sudah menjauh. calon mahasiswa yang Guru yang selama ini Penyebabnya ada masuk ke fakultas atau termarjinalkan dan menerima jurusan lain. Selain itu pergeseran status guru. Guru bukan pekerjaan yang begitu saja konsekuensi dari aspek mental, kepribadian, menarik, baik secara sosial motivasi juga harus sistem yang buruk perlu maupun sisi kesejahteraan diperhatikan. Dengan cara dibawa ke tengah sistem (gaji) yang diterima, tidak seperti itu maka akan bergengsi lagi. Mereka pendidikan. Tidak cukup guru diperoleh calon-calon yang menjadi guru guru yang memang dari hanya disenang-senangkan bukanlah berasal dari awalnya berkualitas dan sebagai suatu profesi. orang kota kaya yang sejak mempunyai motivasi yang awal bercita-bercita ingin tinggi untuk menjadi guru. mencerdaskan bangsa, Tetapi sebelum melainkan berasal dari sekelompok anak muda melangkah pada masalah seleksi masuk, desa yang karena keterpaksaan (masuk ke jalur pemerintah harus mempunyai komitmen tinggi pendidikan guru). Kondisi obyektiflah (sulit memperhatikan kesejahteraan, jenjang karier memperoleh pekerjaan di luar guru) yang yang jelas, dan masa depan (hari tua) yang membuat mereka memilih menjadi guru. Atau terjamin. Pendeknya gaji guru harus lebih dari karena tidak diterima di jurusan favoritnya cukup. Kalau gaji guru minimal setingkat rektor (ekonomi, hukum, biologi, dll), maka masuk ke maka penulis yakin orang-orang muda terbaik di FKIP, IKIP pun jadi. negeri ini akan berbondong-bondong ke loket-loket Suyono (2005) mempertajam lagi, ketika mendaftarkan diri menjadi mahasiswa Lembaga mereka yang lulus dari jurusan non- Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). kependidikan/keguruan yang kemudian tertarik Dengan demikian LPTK sudah mendapatkan menjadi guru dengan mengambil program akta input (mahasiswa calon guru) yang berkualitas. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 91 Berbagai Permasalahan dalam Undang-Undangtentang Guru dan Dosen Ketika mereka lulus dan menjadi guru pun tidak perlu susah-susah ikut penataran ini, itu. Mereka dengan cerdas mampu menerjemahkan isi kurikulum, mengajar dan mendidik dengan baik. Terbuka terhadap perubahan, dan terus berupaya mengembangkan diri. Selain itu, Winarno Surakhmad (2005) berpendapat, dalam jangka panjang harus ada reposisi guru. Guru yang selama ini termarjinalkan dan menerima begitu saja konsekuensi dari sistem yang buruk perlu dibawa ke tengah sistem pendidikan. Tidak cukup guru hanya disenang-senangkan sebagai suatu profesi. Itulah yang penulis maksud dengan mencari solusi yang substantif, yaitu mulai membenahi input-nya terlebih dulu secara bertanggung jawab. . Penutup Berbagai komentar dan tulisan yang ada di media massa berpendapat bahwa Undang-undang ini belum sanggup menjawab beberapa persolan mendasar mengenai profesi guru. Heman Elia (2004), menyangsikan kemampuan sejumlah universitas eks IKIP yang akan menangani program sertifikasi guru. Alasannya, semasa masih bernama IKIP saja “gagal” menciptakan guru-guru yang berkualitas. Selain itu juga belum jelas siapa yang menjadi target untuk sertifikasi. Apakah semua guru yang ada? Atau guru-guru negeri? Atau hanya guruguru yang belum mempunyai akta IV baik guru negeri dan swasta? Kalau guru-guru negeri pemerintah yang membiayai. Bagaimana dengan guru-guru swasta? Berkaitan dengan janji-janji pemerintah dalam meningkatan kesejahteraan, dari mana pembiayannya? APBN saja selalu mengalami 92 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 defisit. Apakah diserahkan ke Pemerintah Daerah melalui APBD? Kalau diserahkan ke pemerintah daerah, apa sanggup? Masalahnya, antara daerah yang satu dengan yang lain dari sisi finansial berbeda. Berbagai tunjangan yang dijanjikan juga belum ditetapakan secara definitif. Maksudnya, berapa besaran rupiah yang akan diberikan? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus diuraikan secara jelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan undang-undang tersebut. Lebih dari itu, pelaksanaan di lapangan yang paling dinanti-nantikan. Bukan rumusan kata-kata yang indah namun nol implementasinya. Kalau kelak ini yang terjadi, undang-undang itu ibarat “macan kertas”, tidak ada apa-apanya. Mari kita tunggu saja. Daftar Pustaka Darmaningytas. (Matinya profesi guru) dalam http:/ /tumasouw.tripod.cm/ Drost, S.J. (1998). Sekolah: Mengajar atau mendidik. Jogjakarta: Kanisius Elia, Herman (2004). Mengangkat harkat guru dengan sertifikasi guru? Kompas, 13 Desember 2004 Kompas, 29 April 2005 (Perlu reposisi peran guru dalam pendidikan nasional) Popham, James dalam Sinurat (1981). Bagaimana mengajar secara sistematis. Jogyakarta: Kanisius S.T. Kartono (2002). Menebus pendidikan yang tergadai. Jogjakarta: Galang Press Surakhmad, Winarno. (Di Manakah engkau guru profesional) dalam http:// www1.bpkpenabur.or.id/ Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Opini Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen Mengkritisi Undang-Undang tentang Guru dan Dosen Hotben Situmorang*) Abstrak Undang-Undang tentang Guru dan Dosen dilahirkan pada saat pendidikan nasional dinilai terpuruk dan menempatkan Indonesia pada urutan 105 pada human development index dan profesi guru menjadi pilihan profesi kelas dua bagi generasi muda. Undang-undang ini juga diharapkan memberikan kepastian penghargaan kepada guru dan dosen sehingga menjadi profesi yang terhormat dan disukai semua generasi. Akan tetap kehadiran Undang-Undang ini menjadi perdebatan yang ramai. Pelayanan pendidikan yang diamanatkan konstitusi ini tidak hanya terbatas pada lembaga yang didirikan oleh pemerintah, akan tetapi juga oleh swasta. Di samping itu masalah sertifikasi, kesejahteraan guru dan dosen, serta masalah dana untuk pendidikan merupakan contoh-contoh yang masih perlu diatur lebih lanjut secara realistik. Kata kunci: Undang-undang tentang guru dan dosen, sertifikasi profesi, kesejahteraan guru, perguruan swasta Acts regarding Teachers and Lecturers in Indonesia were issued by the time when the quality of national education in this country was positioned at the rank of 105 in the human development index. Meanwhile the teaching profession is not favorable for the young generation as it does not promise a bright future. The new Acts become an endless polemic as the Acts regulate not only the educational institutions organized by the Government but also by the privates. Crucial problems such as certification for the teachers, teachers welfare, and the budget for education need to be clarified soon. Pendahuluan sensi kehadiran sebuah undang-undang menjadi koridor ruang gerak aktivitas masyarakat tentang undang-undang yang dimaksud pada jurisdiksi keberadaannyamerupakan aturan yang disepakati untuk dipatuhi secara bersama-sama dan mempunyai konsekuensi hukum bagi pihak yang melanggar. Gambaran sederhana dalam kehidupan masyarakat Jakarta adalah koridor bus-way yang memberi kemudahan pada bus khusus yang dimaksudkan untuk itu supaya terbebas dari kemacetan, akan tetapi juga membatasi ruang gerak bus yang dimaksud supaya tidak mengganggu pergerakan kendaraan pengguna jalan lainnya. Tindakan seorang guru SMP Neg. 56 Jakarta (Melawai) yang bersama sekelompok siswa dan E atas dukungan orang tua siswa menolak tukar guling sekolahnya berdampak pada pemberhentian guru yang bersangkutan merupakan transaksi pertukaran tempat/ bangunan yang bernilai ekonomis atas dasar kesepakatan dari pihak-pihak yang terkait.. Retno seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) SMA Neg. 30 Jakarta mendapat somasi untuk tuntutan mencabut isi tulisan dalam buku PKN yang ditulisnya yang menyangkut peristiwa nyata tentang seorang tokoh politik Akbar Tanjung merupakan teguran/peringatan hukum dari pihak yang merasa dirugikan. Kehadiran undang-undang guru dan dosen akan mendudukkan persoalan tersebut pada kacamata hukum yang lebih jelas. Undang-undang guru dan dosen akan memberi harapan pada guru dan dosen sesuai dengan substansi yang tersirat di dalamnya setelah sekian lama profesi guru seperti *) KepalaPengkajian dan Pengembangan Pendidikan (I) BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 93 Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen kehilangan jati diri kepahlawanannya. Profesi guru memang sudah lama kurang mendapat penghargaan dimata masyarakat dan menjadi pilihan profesi terakhir bagi generasi muda seiring dengan kemilau kesejahteraan yang dijanjikan profesi lainnya. Sesuai dengan apa yang sering disampaikan oleh Prof. Bambang Sudibyo, Menteri Pendidikan Nasional, dalam proses sosialisasi pada masa undang-undang ini masih berupa rancangan, bahwa untuk memperbaiki kualitas pendidikan di negeri ini harus dimulai dengan perbaikan kesejahteraan para guru dan dosen. Teachers is the heart of education. Selain dari aspek perbaikan kesejahteraan, tulisan ini juga menyoroti/mendorong membahas masalah keadilan dalam hak dan kewajiban guru, perlindungan hukum terhadap guru, keterlibatan organisasi guru dalam pembuatan kebijakan pendidikan, dan peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Undang-Undang Kesejahteraan Undang-undang ini terkesan sebagai undangundang kesejahteraan guru terkait dengan topik yang mengedepan dan menjadi impian dari kebanyakan guru. Hak dan kewajiban guru dan dosen mendapat porsi yang cukup luas sebagaimana tercantum pada pasal 14 s/d 20 dan pasal 51 s/d 60. Pada pasal 52 ditegaskan bahwa guru dan dosen akan mendapat tunjangan selain dari gaji pokok berupa: 1. Tunjangan fungsional 2. Tunjangan struktural 3. Tunjangan kemaslahatan 4. Tunjangan khusus untuk pengajar di daerah terpencil atau dosen pengampu mata kuliah langka 5. Tunjangan kehormatan Menurut Sekretaris Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPK) Bahrul Hayat, Ph.D., tunjangan fungsional diberlakukan kepada semua guru negri dan swasta yang implementasinya akan dituangkan pada peraturan pemerintah yang ditargetkan akan terbit pada bulan Juli 2006. Saat ini pemerintah sudah memberikan tunjangan fungsional guru negeri berkisar antara Rp 168.000 hingga Rp 260.000 per-bulan-per-orang, sementara itu juga memberikan kepada 400. 000 guru swasta sebesar Rp 115.000 per-orang. Perlu mendapat klarifikasi 94 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 supaya tidak sekedar ide adalah sumber dana khususnya bagi lembaga pendidikan swasta dikarenakan guru dan dosen negeri dijamin oleh Negara akan tetapi guru atau dosen yang diangkat oleh lembaga pendidikan swasta dengan sebutan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat akan mendapat porsi kesejahteraan yang berbeda sesuai dengan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama (pasal 52:3). Secara gamblang penulis melihat jumlah SMK Negeri di Jakarta, dimana penulis banyak terlibat selama tahun-tahun terakhir terdapat hanya sekitar 10% dari jumlah SMK yang ada. Jika asumsi ini berlaku umum maka jumlah guru negeri dan swasta yang menurut data Ditjen PMPK ada sekitar 2,05 juta mayoritas didominasi dan menjadi beban swasta. Sumber dana perguruan swasta adalah murni dari siswa yang mendaftar pada satuan pendidikan terkait berupa dana awal dan biaya pendidikan bulanan atau paket lainnya. Hal ini berarti beban biaya pendidikan yang akan ditanggung masyarakat akan menjadi lebih besar. Akan menjadi preseden buruk pada pengembangan sumber daya manusia secara nasional dari sisi perguruan swasta yang akan lebih berorientasi pada pengumpulan dana dari siswa/mahasiswa walau kemampuannya tidak sebaik yang diharapkan. Tidak akan selamanya lembaga pendidikan membina bibit yang baik supaya lebih baik, akan tetapi akan ada kecenderungan membina siapa yang mempunyai modal/dana maka dialah yang akan menikmati pendidikan yang baik. Sesungguhnya langkah yang lebih menghargai mereka yang bermodal finansial lebih besar sudah dimulai perguruan tinggi dengan dalih BHMN. Penulis mengusulkan sekiranya ada perumusan jalan keluar yang lebih wajar dengan cara penyaluran dana dari pemerintah kepada satuan pendidikan negeri dan swasta diatur sedemikian berimbang. Hal itu bisa dicapai jika Pemerintah menerima masukan yang terbuka sebelum merumuskan PP yang akan diterbitkan pada beberapa bulan yang akan datang. Undang-Undang Sertifikasi Selain sebagai undang-undang kesejahteraan maka undang-undang guru dan dosen juga dikonotasikan sebagai undang-undang sertifikas yang memberikan pengakuan kelayakan guru Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen mengajar. Hal ini terungkap dikarenakan universitas yang ditunjuk saja yang berhak pemberian perbaikan kesejahteraan tenaga mensertifikasi kelayakan seseorang untuk kependidikan kepada guru dan dosen dikaitkan mengajar. dengan sertifikasi. Informasi yang dirilis oleh Perlu juga mempertanyakan bentuk atau cara Kompas pada 9 Desember 2005 menyatakan sertifikasi yang akan dilakukan uleh universitas hamper separuh dari sekitar 2,6 juta guru di tertunjuk menggunakan pola seperti apa ? Indonesia tidak layak mengajar dikarenakan Apakah sertifikasi dilaksanakan dengan kualifikasi dan kompetensinya yang tidak sesuai. melaksanakan semacam uji kompetensi di atas Kenyataan ini juga diduga sebagai penyebab kertas sebagaimana uji logika (tes IQ) atau sejenis mutu pendidikan di Indonesia rendah. Catatan tes TOEFL untuk kemampuan bahasa Inggris ? Prof. Dr. Nanang Fatah dari UPI Bandung Kompetensi seorang guru dan dosen menyatakan guru yang tidak layak mengajar ada sesungguhnya akan lebih terukur dari 912.505 orang yang terdiri atas 605217 guru SD, sejauhmana yang bersangkutan 167643 guru SMP, 75684 guru SMA dan 63961 mengimplementasikan kemampuannya, dan guru SMK. sudah barang tentu yang lebih kompeten Mayoritas guru yang tidak layak mengajar mengukurnya adalah lembaga pengguna. tersebut adalah guru SD yang kemungkinannya Penunjukan universitas tertentu saja sebagai tersebar di daerah. Hal ini diakibatkan oleh lembaga sertifikasi dapat memberi kesan adanya ketiadaan sumber daya guru yang bersedia KKN dan kepentingan tertentu. Di samping itu ditempatkan di daerah sehingga terjadi calon guru yang akan menempuh sertifikasi dapat pemberdayaan tenaga yang seadanya. saja melakukan praktek KKN yang akan berbuntut Keengganan menjadi guru pada kualitas daerah-daerah tertentu terutama sertifikasi itu daerah yang berpenghasilan sendiri. Bagaimana Yang perlu dipertanyakan juga rendah berbanding lurus di adalah proses sertifikasi profesi perbaikannya dengan jaminan social yang masa datang yang sepertinya tidak memberi terkesan akan diharapkan seorang guru. Daerah perkotaan/urban yang menjadi urusan ruang pada pengakuan pada mempunyai aktivitas ekonomi generasi berikut. sertifikat akta mengajar yang relatif tinggi dapat dikatakan G u n a dikeluarkan oleh IKIP (LPTK) tidak mengalami kekurangan menghindari guru. Sementara di daerah tuduhan yang perkotaan seorang guru dapat kontra-produktif melakukan aktivitas ekonomi yang lain untuk terhadap rumusan pola baru yang akan menopang hidupnya, seperti halnya menjadi menggantikan pola lama seharusnya merupakan tukang ojek, atau buka warung sepulang penyempurnaan yang dapat diterima semua mengajar. Profesi guru memang belum dapat pihak. Penulis meyakini bahwa penerbitan akta diandalkan. mengajar yang selama ini dikeluarkan IKIP atau Yang perlu dipertanyakan juga adalah proses LPTK sudah memenuhi ukuran standar evaluasi sertifikasi profesi yang sepertinya tidak memberi yang dikembangkan perguruan tinggi terkait. ruang pada pengakuan pada sertifikat akta Mempertentangkan proses yang dilakukan oleh mengajar yang dikeluarkan oleh IKIP (LPTK) IKIP dengan kenyataan adanya fakta yang walau secara logika hukum pada sertifikat Akta menunjukkan sejumlah guru yang dinyatakan IV tertulis: tidak layak mengajar dimungkinkan “Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik menimbulkan “cheos” ketidakpercayaan antar Indonesia memberikan kepada “x” Akta IV setelah lembaga. Pertimbangan keterlibatan pakar yang memenuhi semua persyaratan yang ditentukan untuk telah membuahkan hasil sertifikat akta mengajar memperoleh Akta tersebut, kepadanya diberikan hak juga harus mendapat porsi kajian yang layak, dan untuk mengajar dalam bidangnya pada sekolah tidak serta-merta mengganti pola bagaikan menengah tingkat atas serta segala wewenang dan hak membalik tangan. berhubungan dengan akta yang dimilikinya”. Penilaian profesionalitas seseorang untuk dinyatakan layak menyandang gelar atau Hal ini berarti terjadi pencabutan wewenang legitimasi pelayanan masyarakat sebaiknya pada lembaga resmi digantikan oleh lembaga Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 95 Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen mengakomodasi ukuran dari ‘lembaga yang berbadan hukum’ sebagai pengguna jasa layanannya. Rekomendasi lembaga pengguna tersebut sebaiknya merupakan komplementari pengakuan keanggotaan assosiasi profesi. Keanggotaan assosiasi profesi diwujudkan dengan penerbitan nomor legitimasi sertifikat profesi yang bersangkutan. Penilaian profesionalitas yang dimaksud melekat pada pribadi anggota terkait dengan pemenuhan hak dan kewajibannya. Akumulasi penilaian kompetensi dari lembaga yang dilayani oleh guru/dosen terkait dapat disetarakan dengan jenjang kepangkatan profesionalitas yang berdampak pada hak dan kewajibannya dan hal ini berlaku secara nasional, dengan catatan bobot penilaian tergantung pada bonafiditas lembaga yang dilayani. Seluruh track record guru/dosen seyogyanya terekam pada data-base individu yang tersimpan pada lembaga assosiasi profesi itu sendiri. Dokumentasi dari assosiasi profesi terhadap anggotanya dapat dipergunakan sebagai salah satu ukuran akreditasi lembaga pendidikan, dimana jumlah akademisi yang tersertifikasi juga menunjukkan bonafiditas lembaga tersebut. Hal ini menjadi penting dikarenakan adanya standar minimum hak akademisi yang merupakan bagian dari kesejahteraan. Nilai standar minimal juga perlu dikaitkan dengan besaran biaya pendidikan yang dipungut oleh lembaga dari siswa/ mahasiswa yang dilayaninya. Adanya korelasi pembiayaan dengan beban operasional tetap menjunjung azas non-profit. Angka nominal yang dapat disebut berkorelasi positif memerlukan kajian tersendiri. Yang perlu dihindari adalah menjadikan lembaga pendidikan sebagai unit kegiatan yang profit-center dan hanya memperkaya pengelola dengan menjadikan guru menjadi buruh. Pengalaman penulis selama bermukim di Philipina adalah pemberian nomor registrasi bagi setiap pemegang Civil Service Certification dan aktivitas yang bersangkutan didokumentasikan pada data-Base yang dimonitor oleh lembaga assosiasi yang mengayomi profesi terkait. Seorang dokter yang absen dari kegiatan tindakan kedokteran dan up-dating regulasi dan informasi terbaru maka akan mengalami pencabutan sertifikat profesi. Demikian juga seorang akuntan public yang tidak melakukan audit bagi lembaga pengelola keuangan dengan total asset tertentu selama dua tahun maka yang bersangkutan juga 96 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 akan mengalami pencabutan sertifikasi. Tidak ubahnya seorang guru hanya dapat mengajar jika memiliki serifikat terkait dan apabila dalam dua tahun tidak pernah mengajar secara formal yang dapat dilaporkan pada assosiasi guru maka sertifikatnya juga harus dicabut, akan tetapi memang tidak ada sertifikasi ulang secara periodic bagi guru yang sehari-harinya menjadi guru. Merujuk pasal 41 yang mengatur organisasi profesi dan kode etik, maka jika seyogianya PGRI difungsikan memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, dan sebagainya sebagaimana dimaksudkan pada ayat 2, maka legitimasi seseorang disebut seorang guru adalah pada saat PGRI mengeluarkan nomor registrasi berupa nomor kode data-base keanggotaan si-guru tersebut. PGRI yang merupakan organisasi berskala nasional sudah barang tentu mampu memonitor aktivitas guru yang menjadi anggotanya. Kealpaan anggota memenuhi tuntutan organisasi profesi pada kurun waktu tertentu seyogyanya mendapat pinalti tertentu. Pinalti mengharuskan setiap orang memenuhi prasyarat tertentu untuk dapat kembali aktif memperoleh hak keguruannya. Menurut pandangan penulis, seseorang dapat saja menjadi pengajar pada lembaga pendidikan tertentu atas dasar kebutuhan kompetensi khusus, akan tetapi tidak secara otomatis yang bersangkutan menyandang profesi guru. Pengajar yang demikian tidak memperoleh hak yang sama dengan guru akan tetapi menerima hak atas dasar kebutuhan dan kekhususannya. Masalah Anggaran dan Kemauan Politik Di dalam UU Sisdiknas RI No. 20 diamanatkan bahwa anggaran pendidikan sekurangkurangnya adalah sebesar 20% dari total APBN yang dialokasikan. Ini berarti 20% itu adalah limit bawahnya. Namun pada kenyataannya anggaran pendidikan dari tahun ke tahun malah kurang dari 20%. Di mana letak masalahnya? Apakah pemerintah tidak sanggup memenuhinya? Sebenarnya menurut hemat penulis tidak ada kemauan politik dari pemerintah untuk memenuhi tuntatan itu. Gaji menteri dan tunjangan anggota DPR saja terus naik, mengapa untuk investasi di bidang pendidikan tidak bisa memenuhi. Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen Wajib belajar yang telah dicanangkan lebih dari sepuluh tahun silam sepertinya belum mampu mendobrak ketertinggalan anak bangsa ini jika dibandingkan dengan masyarakat ASEAN saja. Kurangnya uang untuk pendidikan berakibat langsung pada kecilnya akses masyarakat akan pendidikan. Sarana pendidikan, seperti gedung dan peralatan pembelajaran tidak dapat dirawat dan diperbaharui, pengadaan guru yang profesional juga sulit. Akibat dari semua kondisi ini, sebagian besar anak bangsa di pedesaan tetap bododh dan akan tetap miskin. Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa ditambah kelimpahan sumberdaya alam yang tidak terukur, sebenarnya adalah kekayaan yang terabaikan dan kita menjadi miskin karena kebodohan. Kemiskinan membuat anak-anak tidak cerdas sebagai akibat dari kurangnya sekolah yang baik. Seyogianya pemerintah dapat mendorong dunia usaha untuk terlibat langsung dalam dunia pendidikan melalui community development program, membangun sekolah bukan hanya di perkotaan akan tetapi juga di pedesaan. Sebenarnya bangsa ini tidak miskin harta, yang ada adalah miskin hati. Dampak Undang-Undang Guru dan Dosen pada Perguruan Swasta Berkaitan dengan program sertifikasi guru dan dosen, jika akhirnya pemerintah hanya mengalokasikan dana untuk guru dan dosen negeri, itu artinya sama saja dengan melempar api, tapi tidak mau bertanggung jawab. Hal itu dapat dianalogikan seorang ayah menjanjikan kepada anaknya akan dibelikan sepeda, namun si anak disuruh mencari sendiri uang itu. Harus diingat, tidak semua sekolah dan perguruan tinggi swasta mempunyai cukup dana. Di mana letak keseteraan antara negeri dan swasta? Bukanlah swasta selalu digembargemborkan sebagai mitra pemerintah. Mitra berarti ada kesetaraan. Akan tetapi menyikapi rumusan undang-undang yang cenderung mengedepankan sekolah negeri dan pola pendanaan terhadap swasta berbentuk subsidi, sekolah swasta mendapat tantangan untuk mampu mempormulasikan program yang menarik supaya memperoleh jumlah siswa/ mahasiswa yang cukup sehingga memperoleh dana yang relevan. Kemajuan program inovasi perguruan swasta adalah dasar perolehan subsidi dari pemerintah terlebih jika hasil evaluasi program memberikan dampak yang nyata dalam dunia pendidikan. Sekolah swasta yang hanya berjalan dengan mengikuti pola pelaksanaan pendidikan di perguruan negeri pada akhirnya akan kesulitan membangun pengadaan sumber dana dari siswa dan dari pemerintah Kesimpulan Undang-Undang tentang Guru dan Dosen di satu sisi menjanjikan, namun di sisi lain bisa jadi sebuah jebakan. Menjanjikan karena menjadi tantangan perbaikan kualitas pendidik melalui proses sertifikasi dan uji kompetensi. Penghasilan guru yang layak akan menjadi pendorong bagi generasi muda yang potensial berkarier, sehingga akan didapatkan tenaga yang berkualitas. Dalam menjaga kualitas pendidikan maka perlu pembinaan profesionalisme sepanjang masa dengan cara menerbitkan nomor sertifikasi profesi guru yang senantiasa memonitor aktivitas pendidikan yang dilaksanakan guru yang bersangkutan. Hasil monitor pencapaian dan aktivitas guru/dosen terkait tersimpan pada dokumen data-Base assosiasi profesi seperti halnya PGRI. Jika PGRI menjadi lembaga assosiasi profesi maka PGRI berkekuatan mencabut dan mengesahkan keberadaan profesi seseorang sebagai guru atau dosen. Perlakuan assosiasi profesi ini harus memperlakukan pegawai negeri dan pegawai swasta secara seimbang. Khususnya jika dikaitkan dengan masalah keuangan, maka akan menjadi jebakan dikarenakan lembaga pendidikan swasta dihadapkan pada persoalan pendanaan dan harus memilih berjalan pada idealisme atau penyelamatan lembaga. Pihak swasta harus terus menggalang kekuatan untuk terus memberi masukan yang komprehensif terhadap peraturan pemerintah sebagai turunan undang-undang tersebut. Konsistensi pemerintah harus terus ditagih, supaya jangan sampai pemerintah pintar mengambil kebijakan tetapi melempar tanggung jawab. Andaikata Undang-undang guru dan dosen merupakan produk legislasi yang mendiskreditkan perguruan swasta atau alat yang Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 97 Mengkritisi Undang-Undang No. 14 tentang Guru dan Dosen dapat menggiring institusi swasta pada arah kepentingan politik sektarian dengan menjanjikan penyaluran dana bantuan atau bentuk lain yang kebetulan menjadi beban swasta, seyogianya swasta merapatkan barisan. Jalan hukum yang mungkin ditempuh adalah melakukan judicial review. 98 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Daftar Pustaka Depdiknas. 2005. Undang-undang RI Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. http:// www.depdiknas.go.id Kompas, 9 Desember 2005: Banyak guru tidak layak mengajar Kompas, 19 Desember 2005. Donny Gahral Adian: Kompetensi dan sertifikasi Dosen Kompas, 2 Mei 2006: Rencana strategis pembangunan pendidikan Tulisan Ilmiah Opini Tulisan Ilmiah B.P. Sitepu*) Abstrak Menyusun dan mempublikasikan tulisan ilmiah merupakan salah satu keharusan bagi guru, dosen, dan peneliti dalam mengembangkan jabatan fungsionalnya. Tidak jarang mereka terlambat memperoleh kenaikan pangkat, golongan atau jabatan karena belum memenuhi persyaratan itu. Tulisan ini mencoba menggugah guru pada khususnya untuk menyusun dan mempublikasikan naskah ilmiah mereka dalam bentuk laporan penelitian, wacana, atau resensi buku. Beberapa persyaratan kajian dan tulisan ilmiah juga diungkapkan sebagai acuan bagi guru dalam menyusun tulisannya. Kata kunci: Kajian ilmiah, tulisan ilmiah, resensi buku, penelitian Scientific writing and its publication are among the requirements for the teachers, lectures and researchers in their professional development. Many of them can not fulfill this task due to their lack of skills in scientific writing. This article tries to encourage teachers in particular to improve their writing skills. Doing a scientific inquiry is an initial step to find a good topic to develop. A set of criteria each for scientific inquiry and scientific writing are also discussed as the guidelines for the teachers to develop their writings. Pendahuluan i samping menggunakan bahasa ragam lisan, pikiran dan perasaan dapat disampaikan dalam ragam tulisan. Kemajuan teknologi komunikasi dewasa ini telah memungkinkan orang berkomunikasi secara lisan dengan cepat dan tepat, sehingga komunikasi secara tertulis (surat) semakin berkurang. Dengan menggunakan telpon celuler, orang dapat berkomunikasi kapan saja dan hampir dari mana saja. Sungguhpun demikian, komunikasi dengan menggunakan bahasa ragam tulisan masih tetap banyak dipergunakan. Penerbitan buku, majalah, surat kabar masih marak dilakukan di negara yang memiliki teknologi informasi dan teknologi komunikasi paling maju sekalipun. Kebiasaan mendokumentasikan dan menyebarkan gagasan atau pengalaman seseorang dalam bentuk tulisan yang kemudian diterbitkan, tetap berkembang. Di pihak lain banyak orang memanfaatkan sumber informasi tertulis/tercetak untuk memperoleh D inspirasi atau pengetahuan dan pengalaman baru. Jabatan fungsional seperti guru, dosen, dan peneliti menuntut mereka meningkatkan profesionalismenya antara lain dengan menulis dan mempublikasikan hasil tulisan mereka dalam majalah, buku, atau surat kabar. Sesuai dengan jabatannya, maka tulisan yang disusun dan diterbitkan itu diharuskan memenuhi kriteria karya ilmiah. Guru, dosen, dan peneliti adalah termasuk ilmuan, yang karena profesinya diharapkan secara terus menerus mengikuti dan mengembangkan pengetahuan dan keahliannya dalam bidang ilmu yang ditekuninya. Kemampuan membelajarkan dan meneliti tidak cukup ditunjukkan hanya dalam praktek pembelajaran dan penelitian, tetapi juga harus dipublikasikan sehingga orang lain tahu dan dapat belajar dari isi tulisan tersebut. Temuan atau karya besar dan penting biasanya diawali dari kajian tulisan ilmiah. Tidak sedikit guru, dosen, dan peneliti, mengalami kesulitan dalam menyusun karya tulis ilmiah seperti yang dipersyaratkan. Kesulitan ini *) Dosen Univeritas Negeri Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 99 Tulisan Ilmiah muncul dan semakin parah antara lain karena kemampuan menulis sering diabaikan dan tidak dikembangkan sejak seseorang mulai mampu membaca dan menulis. Banyak orang memiliki bahan untuk ditulis dari pengalaman empiris atau hasil membaca, tetapi menjadi buntu ketika begitu mulai menuliskannya. Ada pula yang lebih parah, mereka tidak memiliki bahan dan tidak memiliki kemampuan menulis secara ilmiah. Dengan harapan agar guru pada khususnya dapat terbantu dalam menulis dan mempublikasikan tulisan ilmiahnya, uraian berikut ini diarahkan pada tulisan yang diperlukan sebagai persyaratan dalam pengembangan jabatan fungsional guru. Tulisan ilmiah pada umumnya berawal dari suatu kajian ilmiah yang dapat menghasilkan kebenaran atau pengetahuan baru di bidang tertentu. Hasil kajian merupakan dasar penyusunan tulisan ilmiah. Kajian Ilmiah Kajian ilmiah atau scientific inquiry dapat berupa (a) hasil olahan penalaran (logika), (b) hasil penelitian empiris, atau (c) merupakan gabungan olahan penalaran dan penelitian empiris. Persyaratan suatu kajian ilmiah ialah (a) memiliki masalah yang jelas, (b) mempunyai data yang akurat dan mutakhir sebagai bahan analisis, (c) menggunakan teknik analisis yang sesuai dengan masalah dan data yang ada, (d) dilakukan secara sistematis dan logis, dan (e) menghasilkan jawaban atas masalah yang dikaji. Langkah awal yang dapat dkerjakan oleh guru dalam menyusun tulisan ilmiah ialah melakukan kajian ilmiah sebagai bahan tulisannya. Guru memilih dan menetapkan bidang masalah yang perlu dikaji, misalnya pengembangan karier guru sekolah swasta, penerapan kurikulum berbasis kompetensi, atau pendidikan anak berkelainan. Kemudian masalah itu dipersempit dan dipertajam misalnya ketiga bidang masalah tadi dapat dkembangkan menjadi “sejumlah faktor penentu dalam peningkatan karier guru sekolah swasta”, “perbedaan peranan guru dalam menerapkan kurikulum berbasis kompetensi dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya”, atau “desain pembelajaran untuk pendidikan anak berkelainan”. Untuk lebih spesifik lagi, ruang lingkup masing-masing masalah dapat dibatasi dari aspek tempat dengan menentukannya di lembaga pendidikan tertentu sebagai suatu studi kasus misalnya di salah satu SD, SMP, atau SMA. 100 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Dilihat dari jenisnya, masalah kajian ilmiah dapat dikelompokkan pada tiga besar, berkenaan dengan (a) pengembangan seperti pengembangan model, metode, media pembelajaran, (b) penelitian seperti penelitian pengaruh atau hubungan/ korelasioanl antara dua variabel atau lebih, dan (c) evaluasi seperti evaluasi media, strategi pembelajaran, dan evaluasi program pembelajaran. Ketiga jenis masalah tersebut terkait dengan pendidikan dan dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari guru, dalam perbincangan sesama guru, pengalaman di dalam kelas, dan wacana dalam berbagai media atau penataran. Kajian masalah yang dipilih dapat dikategorikan ilmiah apabila memenuhi syarat seperti telah disebutkan sebelumnya. Kedalaman dan keluasan kajian ditentukan oleh tujuan kajian serta kemampuan melakukan kajian itu. Oleh karena itu, kadar ilmiah suatu kajian bukanlah ditentukan oleh besar atau kritisnya masalah yang dikaji tetapi sejauh mana kajian itu memenuhi persyaratan ilmiahnya. Memang tidak dipungkiri, besar atau kritisnya masalah serta kedalaman dan keluasan kajiannya mempengaruhi daya tarik dan kebermanfaatan kajian tersebut. Tulisan Ilmiah Langkah berikutnya ialah menuliskan hasil kajian ilmiah dalam bentuk tulisan. Persyaratan tulisan ilmiah ialah (a) sistematis yaitu runtut dan berkaitan: (b) logis yaitu menggunakan cara berpikir analitik, deduktif atau induktif; (c) netral dalam arti saat melakukan analisis dan mengambil kesimpulan tidak dipengaruhi oleh keperpihakan atau emosi; (d) asli yaitu gagasangagasan dan analisis yang dikemukakan adalah asli dari penulis; (e) etis dalam arti mengikuti secara ajeg notasi ilmiah seperti pencantuman sumber pendapat apabila dikutip dari sumber lain, menyebutkan nama sumber data atau informasi, jujur, sopan; dan (f) menggunakan bahasa yang benar dan efisien dalam arti ungkapan serta pernyataan dikemukakan secara singkat, jelas, tepat, dan mengikuti kaidah-kaidah bahasa. Keenam persyaratan yang dikemukakan berlaku umum untuk penyusunan tulisan ilmiah termasuk untuk keperluan akademis seperti skripsi, tesis, dan disertasi. Jurnal Pendidikan Penabur, sebagai jurnal ilmiah, menggolongkan naskah-naskah yang dimuat ke dalam rubrik (a) laporan penelitian, (b) opini, (c) resensi buku, isu mutakhir, dan profil Tulisan Ilmiah BPK PENABUR Setempat. Setiap tulisan dalam masing-masing rubrik itu berupaya memenuhi keenam persyaratan ilmiah yang di atas disebutkan dengan sistematika dan teknik pengembangan gagasan yang berbeda. Sistematika penulisan laporan penelitan untuk dimuat di jurnal berbeda dengan sistematika pada laporan aslinya. Dalam tulisan ilmiah di jurnal, kajian teori, dan diskripsi, pengolahan, serta analisis data tidak dimuat secara khusus dan lengkap. Hasil penelitian lebih diutamakan dan didiskusikan secara lebih tajam ditinjau dari implikasi dan kegunaannya, yang mungkin dalam laporan aslinya tidak dibahas secara rinci. Oleh karena itu, sistematika tulisan biasanya dimulai dengan (a) judul, yang dirumuskan secara lebih komunikatif dan menarik (tidak harus sesuai dengan judul aslinya),, (b) nama dan identitas penulis, (c) abstrak, memuat secara singkat masalah, tujuan, metode, dan hasil penelitian, (d) pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, (e) rumusan masalah, (f) metode penelitian, (g) hasil penelitian, (h) diskusi hasil peneltian, dan (i) kesimpulan diskusi hasil penelitian. Fokus dan bobot isi tulisan terletak pada diskusi hasil penelitian dan kesimpulannya. Untuk tulisan yang tergolong opini atau wacana, sistematika tulisan adalah (a) judul, dirumuskan secara lebih komunikatif dan menarik; (b) nama dan identitas penulis; (c) abstrak, memuat secara singkat masalah, tujuan, dan kesimpulan; (d) pendahuluan, berisi latar belakang masalah; (e) rumusan masalah; (f) analisis masalah; dan (g) kesimpulan kajian yang merupakan pendapat penulis. Kekuatan tulisan opini terlihat pada aktualitas masalah, sumber yang dipergunakan, teknik dan keluasan/ketajaman analisis, serta sintesis atau kesimpulan kajian. Resensi buku dibedakan dengan ringkasan atau sinopsis isi buku. Resensi buku lebih diarahkan sebagai kajian kritis atas isi buku dan bukan untuk mempromosikan buku itu. Oleh karena itu penyusun resensi perlu memperhatikan (a) buku yang dipilih, di bidang pendidikan dan terbitan semutakhir mungkin; (b) isi buku mengemukakan hal-hal baru dan asli yang belum banyak diketahui dan ditulis; (c) penyusun resensi memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang yang dibicarakan dalam buku itu, paling tidak pernah membaca beberapa buku lain yang terkait dengan isi buku itu, (d) penyusun resensi buku dapat membandingkan pendapatpendapat penulis buku itu dengan pendapat penulis atau pakar lain, (e) secara objektif dapat menunjukkan kelemahan dan keunggulan isi buku itu dari segi gagasan, bahasa, penyajian dan ilustrasinya, dan (f) penyusun resensi dapat membuat kesimpulan yang bermanfaat bagi calon pembaca, penulis, dan penerbit buku itu. Pengetahuan penyusun resensi atas latar belakang pendidikan dan pekerjaan penulis buku serta karya tulisnya yang lain akan bermanfaat dalam melengkapi isi resensi sehingga dapat diketahui perkembangan pemikiran penulis buku itu. Dalam melakukan resensi buku juga diterapkan persyaratan kajian dan tulisan ilmiah sehingga resensi dapat dikategorikan sebagai tulisan ilmiah yang bermutu.kan bernilai. Penutup Pada hakikatnya guru dapat memilih berbagai cara dan bentuk tulisan ilmiah untuk mengembangkan potensi dirinya sehingga lebih profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pembelajar. Melakukan kajian ilmiah, menuliskannya secara ilmiah pula serta menyebarluaskannya melalui media yang tepat akan meningkatkan kemampuan berpikir maju dan bernalar kritis. Sebagai seorang guru tentu diharapkan mewariskan buah pikiran dan pengalamannya tidak hanya melalui peserta didik tetapi juga melalui karya tulis yang dapat dibaca oleh banyak orang. Dalam menerbitkan atau mempublikasikan tulisan ilmiah perlu memilih media yang sesuai. Media yang dipilih hendaknya sesuai dengan isi tulisan, misalnya kalau isi tulisan adalah di bidang pendidikan, hendaknya media yang dipilih adalah terbitan yang mengutamakan tulisan-tulisan imiah di bidang pendidikan. Jumlah tiras dan sebarannya juga perlu diperhatikan. Semakin banyak tirasnya dan semakin luas sebarannya, tentu isi tulisan itu pun dibaca oleh lebih banyak orang. Daftar Pustaka Fraekel, J.R. & Wallen, N.E. (2006). How to design and evaluate research in education. New York: McGraw-Hill Leki, I. (1998). Academic writing: Exploring processes and strategies. London: Cambridge University Press Miarso, Y. (2004). Menyemai benih teknologi pendidikan. Jakarta Prenada Media bekerja sama dengan Pustekom Depdiknas Berbagai sumber Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 101 Opini Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru Rosa Merriyana A.*) Abstrak Guru merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan mutu pendidikan. Tentu saja hal ini harus didukung dengan peningkatan kesejahteraan guru itu sendiri. Upaya peningkatan kesejahteraan guru yaitu dengan tunjangan pemerintah dan sistem kenaikan pangkat. Kenaikan pangkat guru dilakukan dengan cara akumulasi angka kredit guru, salah satunya adalah dengan membuat tulisan yang berupa hasil penelitian, publikasi, dan lain-lain. Ternyata, bagi sebagian guru sangat sulit melakukan penelitian, dikarenakan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya. Solusi yang dapat ditawarkan agar guru tetap dapat mengembangkan kemampuan menulisnya namun tidak mengganggu tugasnya membelajarkan siswa adalah dengan menggunakan metode Meta Analisis. Kata kunci: Penelitian, meta analysis, analisis isi. This article discusses Meta Analysis as one of research methods which is simple and practical for the teachers to employ. To improve their professionalism and career, the teachers are required do a number of tasks related to their profession, including to do a scientific research. To complete this task, many teachers meet time amd financial constrains as well as their limited research knowledge and experience. To overcome the problem, meta analysis is presented as one of the most possible alternative. Pendahuluan ecara umum guru merupakan faktor penentu mutu proses pendidikan, walaupun faktor peserta didik, sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum, sistem pendidikan, dan lingkungan tidak dapat diabaikan. Berbagai kesulitan dalam poses belajar dan membelajarkan di sekolah dapat diatasi apabila guru memiliki kemampuan dan prakarsa sesuai dengan profesinya. Kelemahan-kelemahan dalam kurikulum dan buku pelajaran serta keterbatasan alat peraga dan praktek dapat ditanggulangi oleh guru yang berkualitas. Dengan demikian wajarlah kalau guru diberikan jabatan fungsional yang berarti prestasi kerja dan perkembangan kariernya ditentukan oleh kemampuan profesionalnya. Oleh karena strategisnya kedudukan guru dalam proses pendidikan maka jabatan dan tugas yang mulia itu menuntut persyaratan tertentu. S *) Alumni Universitas Negeri Jakarta 102 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Untuk menilai kinerja guru, telah ditetapkan tata cara pelaksanaan jabatan fungsional guru melalui Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 025/O/1995. Unsur utama dalam penilaian ialah (a) pendidikan, (b) proses belajar mengajar atau bimbingan, (c) pengembangan profesi, dan (d) penunjang profesi belajar mengajar atau bimbingan. Dari keempat unsur itu, pengembangan profesi merupakan kegiatan yang nampaknya merupakan hal yang cukup sulit bagi kebanyakan guru. Pengembangan profesi itu meliputi: 1. melaksanakan kegiatan karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan, 2. menemukan teknologi tepat guna, 3. membuat alat pelajaran/alat peraga atau bimbingan, 4. menciptakan karya seni, 5. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Dari kelima kegiatan itu, tulisan ini memusatkan bahasan pada melaksanakan karya Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan dan mengakibatkan salah satu hambatan dalam secara lebih khusus lagi berkaitan dengan karya melaksanakan tugas profesional mereka, yang di ilmiah hasil penelitian yang dipersyaratkan antaranya ialah melakukan penelitian ilmiah dan untuk guru yang akan naik pangkat dari IIId ke menyusun laporannya. Dalam sistem kredit, guru IV a dan seterusnya. Banyak guru yang terhenti diharuskan dapat menunjukkan bukti-bukti fisik di pangkat IIId atau pangkat tertentu di IV karena yang disyaratkan termasuk laporan penelitian kurang mampu membuat penelitian serta ilmiah itu. Sedangkan metodologi penelitian serta menyusun laporannya. Kesulitan itu mungkin penyusunan laporannya biasanya dipelajari di karena kurangnya pengetahuan tentang program S1. penelitian atau kurangnya waktu untuk Pada umumnya penelitian ilmiah yang baik melaksanakan penelitian. memerlukan kemampuan khusus, waktu yang Dalam Pasal 7 Undang-Undang RI No 14 cukup, serta biaya. Latar belakang pendidikan Tahun 2005 ditetapkan prinsip profesonalitas seperti telah disajikan di atas menunjukkan guru dan dosen yang antara lain memiliki banyak guru masih belum memiliki pengetahuan kualifikasi akademik dan latar belakang dan pengalaman melakukan penelitian. Di pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya. samping itu waktu luang untuk meneliti juga Selanjutnya dalam Pasal 8 disebutkan bahwa sedikit dan terbatas karena kesibukan di sekolah guru wajib memiliki kualifikasi akademik, dan mencari uang tambahan. Keadaan ekonomi kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan mereka pun kurang mendukung untuk melakukan rohani, serta memiliki kemampuan untuk penelitian yang memerlukan biaya. Sementera itu mewujudkan tujuan pendidikan nasional. tambahan pendapatan mereka sebagai imbalan Kualifikasi yang demikian diperoleh melalui atas kenaikan pangkat tidak seberapa (sekitar Rp pendidikan tinggi program sarjana atau program 25,000). diploma empat. Sedangkan berkaitan dengan Oleh karena itulah, tulisan ini menawarkan kompetensi guru dijabarkan lebih lanjut dalam sebuah alternatif bagi guru untuk tetap dapat Pasal 10 mencakup (a) kompetensi pedagogik, (b) melakukan penelitian dengan efisiensi waktu, kompetensi kepribadian, (c) kompetensi sosial, tenaga dan biaya, tanpa mengurangi bobot ilmiah dan (d) kompetensi profesional. penelitian dan laporannya. Dengan melakukan Persyaratan seperti yang ditetapkan dalam penelitian meta analisis, guru dapat melakukan Undang-Undang itu kelihatannya bermaksud penelitian secara mandiri dengan hasil yang meningkatkan mutu guru. Dengan meningkatnya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. kemampuan guru, diharapkan kinerja mereka Penelitian ini tidak memerlukan waktu yang ketat dalam membelajarkan dan mendidik peserta didik dan biaya yang tinggi. Guru dapat juga serta merta meningkat atau dengan perkataan mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis lain mutu pendidikan secara nasional akan data serta menyususn laporannya sesuai dengan meningkat. Akan tetapi dewasa ini nampaknya waktunya yang tersedia. Yang penting ialah masih terdapat kesenjangan yang lebar antara kemampuan guru yang Jumlah Guru Menurut Ijazah Tertinggi ada di sekolah dengan yang Tahun 2002/2003 dikehendaki dalam UndangNo Pendidi Jumlah Ijazah Tertinggi (dalam %) Undang itu. Sebagai contoh dapat dilihat data guru menurut ijazah kan Guru <D1 D2 D3 S1 S2/S3 pada tabel di samping ini . 1 TK 137.069 90.57 5.55 3.88 Data dalam tabel di samping 2 SLB 8.304 47.58 5.62 46.35 0.45 menunjukkan, semakin rendah tingkat pendidikan semakin banyak 3 SD 1.234.927 49.33 40.14 2.17 8.30 0.05 jumlah guru yang belum memiliki 4 SMP 466.748 11.23 21.33 25.10 42.03 0.31 izajah S1. Di SMA dan SMK pun 5 SMA 230.114 1.10 1.89 23.92 72.75 0.33 masih cukup banyak guru yang belum memiliki ijazah S1 yakni 6 SMK 147.559 3.54 1.79 30.18 64.16 0.33 masing-masing 27,25 % dan 35,84%. Sumber: Balitbang 2004 dikutip dari A. Hakam Naja, UU Guru Latar belakang pendidikan guru dan Dosen : Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan. yang demikian dapat Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 103 Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru pemahaman atas prosedur penelitian ini serta kecermatan dan ketekunan dalam melaksanakannya. Penelitian Penelitian atau kajian ilmiah diartikan sebagai suatu usaha yang sistematis dan objektif untuk memecahkan masalah dengan menggunakan metodologi tertentu. Secara singkat, penelitian bertujuan untuk memperoleh jawaban untuk satu atau beberapa pertanyaan, sebagaimana dikemukakan Tuckman berikut: “Research is a systematic attemp to provide anwers to questions. (Tuckman: 1978, p.1). Dengan demikian persyaratan utama suatu penelitian ialah terencana, sistematis, logis dan objektif. Untuk dapat memenuhi syarat itu, maka dalam merencanakan penelitian, masalah dan tujuan penelitian dirumuskan dengan jelas dan terukur. Dengan menggunakan metode dan teknik tertentu data dikumpulkan, diolah, dan dianalisis secara objektif sehingga dapat menghasilkan kesimpulan atau temuan yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawaban. Hasil penelitian biasanya disajikan dalam sebuah laporan yang disusun secara sistematis, logis, objektif, original, etis, dan mengunakan bahasa yang baik dan benar. Penelitian dapat dikategorikan ke dalam berbagai jenis, dilihat dari paradigma, tujuan, tempat dan datanya. Berdasarkan sumber datanya, penelitian dapat dibagi menjadi dua, yaitu penelitian primer dan penelitian sekunder. Penelitian primer membutuhkan data ataupun informasi dari sumber pertama, yang biasa disebut dengan responden. Data ataupun informasi diperoleh melalui pertanyaan tertulis dengan menggunakan kuesioner/angket ataupun secara lisan dengan menggunakan teknik wawancara. Metode penelitian yang termasuk ke dalam kategori ini ialah studi kasus, dan survei. Sementara yang dimaksud dengan penelitian sekunder yaitu penelitian yang menggunakan data yang diperoleh bukan dari sumber pertama untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian ini disebut juga penelitian dengan pendekatan studi kepustakaan/dokumentasi. Metode yang termasuk dalam kategori ini yaitu content analysis, meta analysis, library research. 104 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Meta Analisis Meta analisis secara sederhana dapat diartikan sebagai analisis atas analisis. Sebagai penelitian, meta analisis merupakan kajian atas sejumlah hasil penelitian dalam masalah yang sejenis. Meta analisis sebagai metode penelitian pertama kali diperkenalkan oleh Karl Pearson pada tahun 1904 untuk kajian di bidang kesehatan/pengobatan. Dalam perkembangannya meta analisis sebagai jenis dan metode penelitian dipergunakan untuk mengkaji berbagai masalah/topik dan untuk berbagai keperluan. Dalam dunia pendidikan meta analisis mulai dilakukakan sekitar tahun 1970-an, yang dilakukan oleh Gene Glass, Frank L. Schmidt, dan John E. Hunter. (http:// en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis) Meta analisis pada hakekatnya merupakan sintesis sebuah topik yang diambil dari beberapa laporan penelitian. Berdasarkan sintesis tersebut ditarik sebuah kesimpulan mengenai topik yang diteliti. Penelitian ini menggunakan hasil-hasil penelitian yang sejenis sebagai data dasar dalam melakukan kajian dan kesimpulan. Dalam dunia pendidikan, meta analisis biasanya digunakan untuk melihat signifikansi suatu treatment/ intervensi terhadap subjek pembelajaran, yaitu siswa. Misalnya saja, pengaruh metode pembelajaran, motivasi siswa, sumber belajar terhadap hasil belajar siswa. Selain itu, meta analisis juga dapat digunakan untuk penelitian yang bukan desain eksperimen, misalnya saja penelitian deskriptif. Sebagai contoh guru ingin mengetahui bagaimana pengaruh belajar berbasis komputer terhadap hasil belajar peserta didik di tingkat Sekolah Dasar. Guru tidak harus melakukan penelitian eksperimen tetapi dapat melakukan penelitian meta analisis dengan mengumpulkan sejumlah laporan penelitian yang berkaitan belajar berbasis komputer di SD. Sungguhpun belum ada kesepakatan antar para ahli, jumlah minimal laporan penelitian yang dijadikan sumber data ialah tujuh penelitian. Akan teteapi semakin banyak jumlah laporan yang dianalisis, semakin terandalkan hasil penelitian meta analisis. Laporan penelitian itu dapat berupa skripsi, tesis, atau desertasi atau laporan penelitian untuk keperluan lain yang dipublikasikan di jurnal atau melalui internet. David B. Wilson dan George A. Kelley menyarankan langkah-langkah yang dapat Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru ditempuh dalam melakukan penelitian meta analisis.(http://pitt.edu.htm) Walaupun kedua ahli itu tidak memiliki pendapat yang persis sama, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Tetapkan masalah atau topik yang hendak diteliti. Misalnya, peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh belajar berbasis komputer dapat meningkatkan hasil belajar siswa di SD. 2. Tentukan periode hasil-hasil penelitian yang dijadikan sumber data, misalnya 10 tahun terakhir. 3. Cari laporan penelitian yang berkaitan dengan pengaruh belajar berbasis komputer terhadap hasil belajar siswa di SD selama 10 tahun terakhir. Laporan tersebut dapat dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi, atau laporan lain yang dapat diperoleh dari perpustakaanperpustakaan dan internet. 4. Baca judul dan abstrak laporan penelitian untuk melihat kesesuaian isinya dengan masalah yang akan diteliti. 5. Fokuskan penelitian pada masalah, metodologi penelitian (jenis, tempat dan waktu penelitian, metode, pupulasi, sampel, teknik penarikan sampel, teknik analisis data), data, analisis data, dan hasil (kesimpulan dan saran). 6. Kategorikan masing-masing penelitian berdasarkan paradigmanya, misalnya penelitian kuantitatif(positivistik) atau penelitian kualitatif (post positivistik). Penelitian kuantitatif biasanya dalam bentuk eksperimen untuk mengukur pengaruh atau hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat. Peneitian kualitatif biasanya dalam bentuk deskriptif eksploratif dengan analisis yang kritis. 7. Bandingkan hasil semua penelitian sesuai dengan kategorinya. Untuk memperoleh kesimpulan besarnya pengaruh atau hubungan antara variabel dalam penelitian kuantitatif dipergunakan rumus : d = Xe – Xc sp Keterangan : d = effect sized Xe = kelompok eksperimen Xc = kelompok control sp = Standar deviasi Sedangkan untuk mengetahui kesimpulan penelitian kualitatif, dapat dilakukan melalui perhitungan prosentase temuan yang sama untuk masalah yang sejenis. 8. Analisis kesimpulan yang ditemukan dengan mengkaji hasil-hasil penelitian itu dengan mengkaji metode dan analisis data dalam setiap penelitian sehingga dapat diketahui keunggulan dan kelemahan penelitian ang dilakukan sebelumnya. 9. Tarik kesimpulan penelitian meta analisis ini atas dasar langkah ke tujuh dan ke delapan di atas. Berikut ini contoh penelitian dalam bidang pendidikan yang menggunakan meta analisis. a. David Johnson and Robert Johnson, Cooperative Learning Methods: A Meta Analysis (2000). Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari tahu sejauh mana peneliti melakukan penelitian mengenai cooperative learning. Sekalipun telah banyak review yang dilakukan mengenai prosedur dalam pembelajaran kooperatif ini, namun tidak ada review yang komprehensif dan lengkap mengenai efektivitas pembelajaran kooperatif dengan variasinya. Penelitian ini mengumpulkan data dari 158 studi. Variabel yang diteliti adalah pembelajaran kooperatif sebagai variabel bebas dan pencapaian hasil belajar yang merupakan variabel terikat. Berdasarkan perhitungan effect size, disimpulkan bahwa jika pembelajaran kooperatif dilakukan secara efektif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran kooperatif memungkinkan pencapaian hasil belajar yang lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran individual maupun competitive learning ataupun direct methods. b. Siti Julaeha dan Agus Pratmoko, Kualitas Bahan Ajar: Suatu Meta Analisis (2003). Studi ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang gambaran umum kualitas modul UT. Sumber data adalah penelitian kualitatif. Kualitas modul yang ditelaah berkenaan dengan kriteria isi materi dan kriteria strategi penyajian. Kriteria isi materi dinilai melalui kesesuaian modul dengan GBPP, kesesuaian TIK dengan TIU, kesesuaian materi dengan TIK, dan kesesuaian tes formatif dengan TIK. Kriteria strategi penyajian dinilai melalui Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 105 Meta Analisis Penelitian Alternatif bagi Guru ketumpangtindihan materi dan tingkat keterbacaan. Sampel studi ini adalah enam laporan penelitian yang disusun tahun 1992 yang membahas kualitas bahan ajar cetak UT. Variabel yang diteliti dan temuan dari keenam penelitian tersebut diidentifikasi dan dikelompokkan berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan. Studi ini hanya menggunakan enam buah laporan. Dalam menjawab setiap pertanyaan penelitian, hanya ada satu atau dua laporan yang digunakan. Oleh karena itu, tujuan studi ini belum menggambarkan keseluruhan kualitas bahan ajar. Di samping itu, laporan yang digunakan dalam studi ini berasal dari beberapa penelitian yang masih menunjukkan kelemahan dalam segi metodologi. Dilihat dari sumber datanya, penelitian meta analisis dikategorikan penelitian kepustakaan karena menggunakan laporan-laporan yang telah ada. Dilihat dari teknik pengumplan datanya, penelitian menggunakan analisis isi (content analysis). Salah satu ciri khas penelitian ini ialah sumber datanya adalah laporan/hasil penelitian dan keterandalannya diukur dari sintesis dan analisisnya terhadap laporan-laporan penelitian terdahulu. Penelitian meta analisis tentu dapat dilakukan oleh guru sesuai dengan topik yang diminatinya. Kesulitan yang mungkin dihadapi ialah mengumpulkan laporan-laporan penelitian yang relevan dengan topik itu. Akan tetapi kesulitan yang demikian dapat diatasi dengan mencarinya di internet. Kesimpulan Salah satu hambatan bagi guru dalam mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan jabatan fungsionalnya ialah melakukan penelitian dan menyusun laporannya. Kesibukan guru serta keterbatasan pengetahuan dan pengalaman guru membuat tugas melakukan penelitian itu sering membuat guru enggan atau 106 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 tertunda-tunda melakukannya. Namun dengan terbitnya UU tentang Guru dan Dosen, nampaknya kewajiban melakukan penelitian dan membuat laporan ilmiah itu harus dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Penelitian meta analisis yang sebenarnya sudah banyak dan telah lama dipergunakan sebagai suatu kajian ilmiah dapat membantu guru dalam melakukan penelitan itu serta sekaligus meambah pengetahuannya di bidang yang diminatinya. Diharapkan dengan metode ini, guru sebagai salah satu penentu mutu pendidikan dapat tetap mengembangkan mutu akademisnya tanpa harus mengganggu tugasnya dalam membelajarkan siswa. Daftar Pustaka Bangert-Drowns, Robert L. & Lawrence M. Rudner, Meta-analysis in Educational Research. 2003, (http://pareonline.net) G. Leandro, Meta Analysis: The handbook for understanding and practice of Meta Analysis. www.meta-analysis.com Johnson, David W., Roger T. Johnson and Mary Beth Stanne. Cooperative Leaning Methods: A Meta Analysis. www.co-operation.org Julaeha, Siti & Agus Pratmoko. Kualitas bahan ajar: suatu meta analisis. http://psi.ut.ac.id Kelley, George A. Meta-analysis : An Introduction, 2003, (http://pitt.edu.htm) Soejono dan Abdurrahman.(1999). Metode Penelitian: Suatu pengukuran dan penerapan Jakarta: Rineka Cipta Stemler, Steve, An Introduction to Content Analysis, 2004, (http://writing.colostate.edu.com) Tuckman, Bruce W.(1972). Conducting Educational Research, New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc. Undang-Undang RI, No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen., Jakarta: Eko Jaya, 2006 Wikipedia. (2005). Meta Analysis, 2005 . http:// en.wikipedia.org/wiki/Meta-analysis Akurasi Relatif Penyetaraan Skor Tes Isu Mutakhir Budyanto Lestyana*) Mudarwan**) Kurikulum 2006 emerintah berencana menerapkan kurikulum 2006 sebagai pengganti kurikulum 1994. Kurikulum 2006 merupakan penyempurnaan KBK 2004. Berikut ini marilah kita simak perbedaan dan implikasinya. P Setelah dilakukannya piloting Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi di berbagai daerah, memberikan berbagai masukan mengenai kelebihan dan kekurangan disain kurikulum ini. Sebagai tindak lanjut, BSNP mengeluarkan draft rancangan kurikulum baru yang disempurnakan. Oleh berbagai pihak, draft ini disebut-sebut sebagai Kurikulum 2006. Menurut Djaali, Sekretaris BSNP, kepada Media Indonesia pada 9 Feb 2006, bahwa secara substansial BSNP tidak melakukan perubahan mendasar pada Kurikulum 2004. Sehingga, isi, target maupun materi kurikulum baru 2006 akan sama persis dengan KBK 2004. Menurut Sumiyati (staf Puskur), ada perbedaan antara draft kurikulum 2006 dengan kurikulum 2004, yaitu terletak pada isi dan format kurikulum. Isi Kurikulum 2006 berkurang *) **) 20% dibandingkan dengan Kurikulum 2004. Sedangkan format kurikulum yang dibakukan sama dengan Kurikulum 2004, hanya saja indikator tidak lagi diberikan. Dengan demikian guru harus menyusun sendiri indikator. Guru diberikan kesempatan untuk menguraikan indikator sebagai suatu patokan kompetensi yang akan dicapai. Pencapaian kompetensi akan diukur dengan suatu evaluasi pembelajaran, sesuai panduan dari indikator di atas. Feedback yang diperoleh dari evaluasi pembelajaran tersebut akan digunakan untuk mengarahkan strategi pembelajaran berikutnya. Dengan demikian, kualitas indikator yang disusun guru berhubungan dengan kompetensi yang seperti apa yang akan dikuasai siswa. Hal ini akan berpengaruh terhadap kualitas siswa untuk dapat lulus dan/atau melanjutkan ke pendidikan selanjutnya. Di sinilah terletak peluang sekaligus ancaman bagi guru. Guru yang menguasai kurikulum dan bidang studinya sehingga dapat menyusun indikator dengan baik, akan lebih berpeluang menghantarkan siswa menguasai kompetensi yang pada akhirnya siswa mampu meneruskan pendidikan di jenjang selanjutnya. Sebaliknya guru yang kurang siap akan menghasilkan siswa yang kurang kompeten dan mengalami kesulitan melanjutkan pendidikan. Dalam persaingan bebas di era global ini, guru yang kurang siap akan segera tersingkir dari pekerjaannya. Persaingan pendidikan di masa mendatang ini tampaknya belum begitu disadari oleh para guru. Karena itulah “Guru-guru harus mempersiapkan diri sebaikbaiknya,” tanggapan Sri Sukabdiyah (konsultan managemen sekolah, Depdiknas Jakarta Barat) menyetujui hal di atas dalam workshop di BPK PENABUR Jakarta bulan Mei 2006. KepalaPengkajian dan Pengembangan Pendidikan (II) BPK PENABUR Jakarta Staf Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 107 Resensi Buku buku: Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak Anna Yulia, 2005 Jakarta, Elex Media Komputindo XVI + 151 halam, ISBN: 979-20-6948-8 Oleh : M. Kusmiyati Situmorang *) aat ini bukan hal aneh jika orang tua menuntut anaknya yang bersekolah TK bisa cepat membaca. Hal inipun didukung beberapa SD yang mewajibkan anak harus sudah bisa membaca saat akan mendaftar di kelas 1 SD. Menghadapi persyaratan tersebut, para orang tua menjadi gelisah tatkala anaknya yang akan masuk SD belum bisa membaca. Membaca merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan manusia untuk memperluas wawasan. Menurut Mary Leonhardt penulis buku “Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t”, ada perbedaan antara anak yang gemar membaca dengan yang hanya sekadar mendapat tugas membaca. Anak yang gemar membaca cenderung lebih sukses. Leonhardt memuat beberapa saran kepada orangtua untuk merangsang minat baca anak, antara lain: (a) Beri waktu kepada anak untuk membaca di rumah. Orang-tua harus memiliki cara untuk membuat anak mereka tertarik membaca; (b) Pada tahap awal, bacakan buku untuk anak setiap hari. Lalu, bantulah mereka saat ingin membaca sendiri. (c) Mintalah informasi dari siapa saja tentang daftar buku favorit anak. Doronglah anak untuk memilih buku-buku dari daftar itu. (d) Binalah pengetahuan anak. Belilah buku-buku khusus tentang permainan sepakbola, tentang luar angkasa, atau musik — sesuai dengan minat anak. Doronglah anak untuk menceritakan kembali pengetahuan yang sudah dibacanya. (e) Sisihkan S *) Pustakawan SMPK GS BPK PENABUR Jakarta 108 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 uang untuk berlangganan majalah atau tabloid yang sesuai dengan usia dan minat anak. Kemudian cobalah mulai memberi buku berseri atau buku komik. (f) Biarlah mereka melihat Anda membaca dan menjadikan buku sebagai bagian dari bahan pembicaraan. (g) Ketika anak masih kecil, dampingi mereka membaca sehingga mereka bisa bertanya apa saja yang tidak dipahami. Hal ini menumbuhkan sikap keterbukaan dengan orangtua. Orang tua turut mengawasi jenis bacaan yang digemari anak. Jika isi bacaan itu bisa membawa dampak negatif, Anda bisa menjelaskan kepada anak supaya mereka mengerti bacaan mana yang tidak baik dan mana yang bermanfaat. Peran orangtua dan guru adalah pondasi bagi keberhasilan anak-anak di kemudian hari karena membaca adalah cara belajar tanpa batas, sedangkan belajar itu sendiri suatu keterampilan yang sangat penting dan berguna untuk kelangsungan hidup. Kegiatan membaca merupakan jendela dunia yang memperkaya ilmu pengetahuan anak-anak. Buku “Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak” setebal 151 halaman, terbagi dalam enam bab, ditulis oleh Anna Yulia turut memberi kontribusi yang sarat dengan inspirasi bagi praktisi pendidikan. Pendahuluan buku ini menjelaskan tentang Chating Society (Budaya membaca). Menurut peneliti ASEAN Libraries, masyarakat negara-negara berkembang masih kental dengan Resensibuku: Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak budaya ngobrol dibanding dengan budaya membaca. Kesadaran untuk menggunakan waktu untuk membaca masih sangat rendah. Anna Yulia dalam bukunya memberikan paparan yang dapat memacu minat baca melalui: Manfaat Buku, Cara Menumbuhkan Minat Baca, Menumbuhkan Minat Baca sesuai dengan Tingkat Kecerdasan Anak, Komentar Orang-Tua dan Tips untuk Guru disekolah. Pertama, minat baca dimulai dari keluarga yang meletakkan dasar yang kuat bagi anak agar dapat belajar sepanjang hayat (Lifelong learning). Dengan melatih anak membaca, orang tua sudah memberi makanan mental bagi anak. Selain makanan bergizi, mental perlu diisi dengan bacaan yang bermutu. Anakanak merupakan cerminan orang-tuanya. Jika menginginkan anak-anak menjadi baik, berarti orang tua hendaknya menjadi lebih baik terlebih dahulu. Orang-tua harus bersedia untuk selalu berbuat baik, dengan memperkaya ilmu pengetahuan terus-menerus. Salah satu hal yang terbaik yang diberikan orang tua kepada anakanak adalah menanamkan nilai-nilai moral dan mendorong perkembangan moral anak agar dapat berkembang lebih baik menurut. Dalam Bab II buku ini membahas peran membaca dalam membentuk moral serta fungsi dan manfaat buku. Buku sebagai media dapat mengajarkan keterampilan membaca. Menurut Glenn Doman membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia. Perlu disyukuri bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk hidup di dunia yang bisa membaca. Buku juga dapat mengembangkan imajinasi dan kreativitas. Buku komik dan cerita bergambar sangat mempengaruhi imajinasi dan kreativitas anakanak yang sering membacanya. Sebagai sumber informasi buku dapat memberikan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Kita dapat belajar apa saja dari membaca. Otak tidak boleh lapar seperti halnya perut menurut Herbert Spencer. Jadi rasa ingin tahu anak harus dipupuk sejak dini dengan memberinya buku-buku ilmu pengetahuan yang dapat memunculkan ilmuwan-ilmuwan. Buku yang baik dapat berfungsi sebagai alat untuk membina moral dan karakter. Sering orang-tua atau guru menjelaskan moral secara lisan tetapi lebih efektif bila mengajarkan konsep moral/etika yang melalui buku cerita yang dapat menyentuh sehingga anak mampu berpikir kritis dan berbuat lebih baik. Di lain pihak buku dapat juga dimanfaatkan sebagai media untuk belajar bahasa asing. Masa balita adalah masa yang paling tepat untuk belajar bahasa. Cerita Bergambar dalam bahasa Inggris sangat bermanfaat untuk memperkenalkan kosakata dan struktur kalimat bahasa Inggris kepada anak. Ditambahkan pula bahwa buku dapat berfungsi sebagai pemacu kecerdasan. Menurut Glenn Doman, membaca paling efektif diajarkan pada bayi, karena usia anak balita bisa menyerap informasi secara luar biasa, semakin muda usia anak semakin besar daya serapnya terhadap informasi baru. Akhirnya buku adalah salah satu alat untuk relaksasi dan memperkaya kehidupan mental. Dengan membaca buku anak akan menjadi lebih semangat misalnya buku-buku Chicken Soup, majalah, cerita bergambar. Uraian dalam buku ini memperluas wawasan pembaca betapa strategisnya kedudukan buku dalam mencerdaskan dan membudayakan anak membaca sejak dini. Untuk menumbuhkan semangat membaca dibahas dalam bab tiga yaitu bahwa anak harus diperkenalkan pada buku sedini mungkin yaitu sejak anak masih bayi atau masih dalam kandungan (hal 52). Setelah anak sudah bisa membaca, doronglah anak untuk bercerita kembali apa yang didengar dan dibacanya. Disarankan agar anak diajak ke toko buku dan perpustakaan. Menganggarkan dana khusus untuk membeli buku karena buku merupakan investasi di masa depan. Kalau anak sudah tertarik membaca, perlu diberikan penguatan dengan memberikan reward (pujian/hadiah buku). Dalam Bab IV dibahas bagaimana menumbuhkan minat baca sesuai kecerdasan majemuk anak. Ada delapan kecerdasan menurut Dr. Howard Gardner yaitu: Kecerdasan bahasa (Linguistik), kecerdasan logika (Matematika), k ecerdasan musik, kecerdasan gambar, visual, kecerdasan kinestik (olah tubuh), kecerdasan intrapersonal (memahami sesama), kecerdasan interpersonal (memahami diri-sendiri), kecerdasan natural (alam). Buku ini belum menambahkan kecerdasan yang ke sembilan (eksistensial) yang akhir-akhir ini telah dikembangkan Howard Garden. Dari kedelapan kecerdasan tersebut orang-tua harus lebih selektif dalam memilih buku untuk anak. Anak akan lebih termotivasi bila buku yang dibaca sesuai dengan jenis dan tingkat kecerdasannya, karena setiap anak memiliki kekhasan dan kecerdasan yang berbeda-beda. Bab V dan VI, berhubungan dengan tanggapan orangtua dan tips untuk guru di Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 109 Resensi buku: Cara Menumbuhkan Minat Baca Anak sekolah. Hidup tanpa membaca ibarat kertas putih tanpa ada tulisan karena membaca menjadi TAHU, orang juga jadi MENGERTI, PINTAR. Belajarlah dari kata MEMBACA: M ... Mengenal A ... Alangkah indahnya E…. Eloknya tulisan C ... Ceria dunia M ... Mengerti A ... Alam semesta B ... Bagusnya kata-kata Khusus sebagai guru di sekolah perlu membudayakan membaca siswa. Lebih-lebih dalam 2 tahun terakhir ini kurikulum sekolah menggunakan KBK, siswa tidak hanya sebagai objek pengajaran tetapi siswa diharapkan aktif sebagai subjek dalam setiap pembelajaran. Fasilitas media dan koleksi perpustakaan sekolah terus dikembangkan untuk kegiatan membaca siswa dan mengadakan observasi tugas sekolah. Untuk itu perpustakaan sekolah perlu lebih difungsikan dengan menyiapkan SDM, manajemen dan kesejahteraan pekerja sehingga benar-benar mendukung kegiatan sekolah. Beberapa catatan yang belum dipaparkan dalam buku Anna Yulia yang berhubungan dengan minat baca adalah: (a) Keterlibatan komponen yang mendukung minat baca anak yaitu orangtua, guru, sekolah dan pemerintah tidak dijelaskan secara mendetail sebab komponen inilah yang menjadi model utama, (b) Penggunaan sumber bacaan secara rinci tidak diperjelas bagaimana dapat memotivasi anak yang tidak suka membaca menjadi lebih suka membaca. (c) Program apa saja yang digunakan dalam memotivasi minat baca disekolah juga kurang diperjelas sehingga terkesan buku ini hanya sebuah paper hasil penelitian pustaka. (d) Hal-hal yang menghambat “minat baca” serta kiat memotivasi minat baca juga belum dibahas secara rinci sehingga buku ini harus ada kelanjutannya. Perlu diingat bahwa buku yang dikarang oleh Anna Yulia ini juga dapat menjadi benang merah antara penelitian Glenn Doman tentang keterampilan membaca sejak dini dengan menumbuhkan minat baca sesuai dengan kecerdasan majemuk (Multiple Intellegences) yang dimiliki oleh anak. Berdasarkan paparan tersebut untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca diperlukan motivasi internal dan motivasi eksternal yang lebih ditumpukan pada peran guru, pustakawan, sekolah, orang-tua dan pemerintah. Pikiran-pikiran yang dikemukakan Anna Yulia dalam buku ini cukup ideal untuk masyarakat yang berlatar belakang sosial dan 110 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 ekonomi yang telah memadai. Masyarakat yang demikian biasanya tinggal di daerah perkotaan. Untuk masyarakat yang masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) nampaknya upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan minat baca masih lemah. Sulit dibayangkan bagaimana nasihat-nasihat untuk orang tua yang disebut dalam buku itu dapat diikuti oleh mereka-mereka yang tinggal di desa dengan berbagai keterbatasanketerbatasannya. Di Indonesia sendiri, pernah dicanangkan Mei sebagai Bulan Buku Nasional, September sebagai Hari Kunjung ke Perpustakaan, dan Desember sebagai Bulan Waktu Buku, tapi dalam perjalanannya tenggelam dalam krisis ekonomi. Sungguhpun demikian, upaya-upaya meningkatkan dan membudayakan masyarakat membaca buku perlu terus ditingkatkan dalam mewujudkan masyarakat cerdas yang gandrung membaca dan belajar. Profil BPK PENABUR Jatibarang Profil Profil BPK PENABUR Jatibarang Dwi Puji Lestarianti*) Sejarah Singkat PK PENABUR Jatibarang berdiri ketika tahun 1906. Seorang anggota Majelis GKI Indramayu Tan Hiang Eng menghibahkan tanah kepada gereja. Atas biaya beliau pula dibangun sebuah gedung gereja yang sekaligus digunakan sebagai ruang sekolah. Untuk mendukung pertumbuhan jemaat di Jatibarang didirikanlah sekolah Kristen/zending school tahun 1932. Guru pertama yang ditugaskan adalah Ong Guan Soey. Tahun 1932 NZV menempatkan seorang Guru injil yang bernama S.Majan. Dengan hadirnya guru injil pendidikan, kegiatan gereja semakin baik. Tahun 1935 pengurus sekolah membeli sebidang tanah di Jalan Siliwangi No. 55 (dahulu Jl. Tuparev) yang kemudian dibangun sekolah zending dan sekarang bernama BPK PENABUR Jatibarang. Ketika Jepang masuk ke Indonesia semua sekolah Belanda tutup. Sekolah kemudian berfungsi menjadi pusat pengungsian tahun 1946. Tahun 1947 menjadi markas TRI. Pada 5 oktober 1948 didukung Mejelis Gereja THHK Jatibarang dibentuk Panitia Persiapan Pendirian Sekolah Rakyat Kristen yang diketuai Yo Kian Seng dengan pensehat Oey Bian Tiong dan Liem Boen Liong. Tanggal 19 Juli 1950, di Bandung berdiri BPK JABAR, maka di Jatibarang juga berdiri resmi BPK Jatibarang di bawah naungan Cirebon, diketuai oleh Bapak Laba Budiman, sekretaris Tan kok Tjay, bendahara Liem Eng Kian dan anggota Tan Tjin Lok. Berdasarkan keputusan Sidang Sinode GKI Jabar Tahun 1960, KPS Jatibarang resmi menjadi bagian anggota BPK Jabar dengan ketua KPS Bapak Laba Budiman. B Gambaran Umum No Jenjang TKK SDK Fasilitas Pendukung Perlu Pembenahan - Memiliki sarana dan Pembelajaran komputer - Sarana mandi bola - Pembelajaran menggunakan media TV - Penambahan sarana di taman - Anak-anak diberi keterampilan bermain lalu lintas angklung - Perbaikan selokan air - Sarana bermain di dalam ruangan maupun - Fasilitas perpustakaan TK di luar ruangan lengkap - Lokasi mudah dijangkau dengan angkutan umum - Lingkungan aman dan nyaman untuk anak- anak belajar - Memiliki sarana pembelajaran komputer - Secara rutin belajar angklung dan pianika - Memiliki kelengkapan alat peraga, laboratorium dan lapangan olahraga - Lokasi mudah dijangkau dengan angkutan umum - Perbaikan selokan air - Ruang UKS dan ruang khusus Kepala Sekolah - Pengadaan alat peraga dan buku perpustakaan - Penambahan guru yang *) Kepala SMPK BPK PENABUR Jatibarang Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 111 Profil BPK PENABUR Jatibarang Jenjang SMPK Fasilitas Pendukung Perlu Pembenahan - Lingkungan aman dan nyaman untuk anak- Penambahan guru yang anak belajar berkualitas sesuai latar - Menggunakan prinsip PAKEM (Pembelajaran belakang pendidikannya Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) - Guru khusus musik - Memiliki Laboratorium Komputer - Program ekstrakulikuler KIR - Memiliki Ruang Multimedia (Kelompok Ilmiah Remaja) - Memiliki Ruang Multimedia - Perbaikan selokan air - Memiliki Laboratorium IPA - Memiliki Ruang Perpustakaan - Memiliki Kelas dengan jumlah siswa yang ideal - Menggunakan pembelajaran dengan pola interaktif setelah menonton tayangan VCD pembelajaran - Memiliki sarana musik band lengkap - Memiliki ekstrakurikuler basket, listening (Bahasa Inggris ), renang, musik dan nyanyi, pramuka - Memiliki kelengkapan sarana olahraga - Memiliki alat peraga pendukung proses pembelajaran di dalam dan di luar kelas - Mewujudkan SMP sehat dengan program “Sabtu Sehat “ semua guru,karyawan dan siswa olahraga bersama - Melaksanakan retret dan study tour setiap tahun - Melaksanakan “Open Doors “ setiap tanggal 21 April untuk menampilkan hasil karya siswa di depan orang tua dan undangan lainnya - Melaksanakan perayaan hari-hari besar - Melaksanakan eksibisi dan pertandingan persahabatan Jumlah Siswa Ketua Yayasan (Pengurus) TKK SD SMP No Nama 2003-2004 41 120 71 1. Ishak Tanadi 1982-1984 2004-2005 36 114 75 2. Winanto 1984-1986 2005-2006 41 68 3. Winanto 1986-1990 4. Winanto 1990-1994 5. Nila Mariawati 1994-1996 6. Nila Mariawati 1996-1998 7. Nila Mariawati 1998-2002 8. Santo 2002-2006 Tahun 112 Jumlah Guru Tahun TKK SD SMP 2003-2004 3 8 10 2004-2005 3 8 10 2005-2006 3 8 11 112 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Masa Jabatan Profil BPK PENABUR Jatibarang Kepala TKK No Nama Masa Jabatan 1. Yenny Adriani Oeli 1975-1982 2. Sukamto Amelia 1985-1988 3. Tuti Mujiastuti 1989-1990 4. Yulia Chandra 1991-2001 5. Linda R. Siregar 3. 4. 2001-sekarang 5. Kepala SDK No Nama Masa 1. Kho Im Liok 1948-1951 2. Tan Kim Hok 1951-1955 3. Tan Hok Liem 1955-1962 4. Lim Kem Kwie 1962-1963 1. 5. Susyati Tanuwijaya 1963-1999 2. 6. Agustini Tanusatrio (Pj) 1999-2003 7. Agustini Tanusatrio 2003-sekarang Beberapa Hal yang Menjadi Kelebihan dari Sekolah Lain 3. 4. Kepala SMPK No Nama 1. Sarno 1968-1976 2. Melisa 1976-1977 3. Anna Maria 1977-1979 4. Marwoto 1979-1980 5. Budiharto 1980-1997 6. Agustini Tanusatrio 1997-2003 7. Dwi Puji Lestarianti (Pj) 2003-2004 8. Dwi Puji Lestarianti Masa Jabatan 2004-sekarang Beberapa Penyebab Berkurangnya Jumlah Siswa 1. 2. Indramayu atau 50 Km dari Kotamadya Cirebon. Sekolah Negeri jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk sebuah kecamatan (SMP: 3 sekolah, SD: 62 sekolah) dan kebanyakan masyarakat masih berorientasi ke sekolah negeri Sebagian masyarakat belum terbiasa menyekolahkan anaknya di sekolah yang bercirikan keagaman yang berbeda dengan agama yang diyakininya. Jarak sekolah yang satu dengan yang lainnya cukup berdekatan (300 m dengan sekolah swasta, dan 500 m dengan sekolah Negeri). Keberhasilan Program KB, sehingga terjadi penurunan jumlah anak usia sekolah. Jatibarang merupakan kota kecamatan yang jaraknya hanya 18 Km dari Kabupaten Terkenal sebagai sekolah yang disiplin dan berprestasi. TK, SD dan SMP BPK PENABUR Jatibarang sudah diakreditasi tahun 2005/2006. Sarana Prasarana sekolah yang dimiliki dinilai paling lengkap untuk kecamatan Jatibarang. Menggali kemampuan dan bakat siswa melalui program intra dan program ekstrakulikuler. Menciptakan Tantangan Menjadi Peluang Melihat tantangan dan nilai lebih yang dimiliki BPK PENABUR Jatibarang maka untuk mengembangkan sekolah di depan maka BPK PENABUR Jatibarang perlu untuk: 1. Menjalin kebersamaan dari TK, SD dan SMP untuk memfokuskan penanganan siswa yang berkelanjutan sehingga menjadi nilai lebih bagi para orang tua siswa untuk lebih percaya menyekolahkan anaknya di BPK PENABUR Jatibarang dengan rasa aman karena anaknya sudah ditangani dengan baik. 2. Mengadakan acara khusus (kebersamaan bersama Pengurus, Guru dan Orang tua siswa) untuk sosialisasi ke orang tua siswa mengenai profil BPK PENABUR dan perkembangan akademik yang sudah dicapai sehingga orang tua tidak perlu bersusah payah menyekolahkan anaknya di luar kota. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 113 Profil BPK PENABUR Jatibarang 3. 4. 5. 6. 7. 8. 114 Menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan untuk para orang tua dan siswa-siswi yang masuk ke BPK PENABUR Jatibarang. Open House untuk umum sehingga lebih banyak orang dapat mengenal profil BPK PENABUR Jatibarang. Mengembangkan sekolah yang ditangani dengan baik. Tenaga pengajar yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Pemberdayaan SDM di BPK PENABUR Jatibarang secara maksimal dan profesional. Peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan sarana dan prasarana sekolah sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan siswa-siswi di dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar. Menjalin kerjasama dengan gereja-gereja sekitar (khususnya GKI) untuk mendukung putra-putrinya mendapatkan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai Kristiani. Komitmen bersama (pengurus, guru dan karyawan) untuk saling mendukung program-program yang sudah direncanakan dan menciptakan suasana yang harmonis serta kondusif. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06/Th.V/Juni 2006 Penutup Sekolah BPK PENABUR Jatibarang merupakan sekolah berciri khas Kristen dan memiliki ciri pembelajaran dengan menerapkan nilai–nilai kristiani. Meskipun demikian di BPK PENABUR Jatibarang sudah terjadi pembauran karena yang menjadi siswa bukan hanya dari latar belakang Kristen. Dengan keberadaan sekolah yang strategis dan fasilitas yang baik, juga perhatian guru terhadap siswa ditambah prestasi dan kedisiplinan maka BPK PENABUR Jatibarang menjadi salah satu sekolah yang diperhitungkan di lingkungannya. Periode 4 tahun terakhir sarana prasarana diperhatikan dan dipelihara dengan baik melalui program terpadu, meskipun sampai sekarang masalah saluran pembuangan air yang meluap di musim hujan masih menjadi masalah utama, namun dengan semangat dan kebersamaan program sekolah tidak pernah terhambat. Untuk masalah satu ini sedang direncanakan pembangunan tanggul dan mempertinggi ruang– ruang kelas sehingga akan lebih nyaman untuk belajar. Kami berharap semangat Iman, Ilmu dan Pelayanan menjadikan Visi dan misi yang Tuhan berikan bagi BPK PENABUR dapat menjadi lebih hidup dan terealisasi. Kiranya Tuhan memberkati dan senantiasa memberikan kekuatan Iman dan Keteguhan hati agar segala kemuliaan dapat dipersembahkan hanya bagi Yesus Tuhan. Keterangan Mengenai Penulis A.J.V Tumilisar, Dr. Lahir di Cirebon, September 1945, menyelesaikan S1 pendidikan bidang studi Pendidikan Matematika di Universitas Terbuka pada tahun 1990, melanjutkan S2 pada Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Pascasarjana di IKIP Jakarta pada tahun 1997, pada tahun 1998 ditransfer ke Program Doktor (S3) pada Program Studi yang sama. Gelar doktor diperoleh pada tahun 2005. Tahun 1967 hingga tahun 1973. menjadi guru tetap di SMPK III dan guru honor di SMAK I BPK Jabar KPS Jakarta. Tahun 1974 hingga tahun 1985, menjadi guru tetap di SMAK I BPK Jabar KPS Jakarta. Tahun 1986 hingga kini menjadi kepala sekolah SMAK Triana, di Jakarta Pusat. Tahun 1985, 1986, dan 1987, menjadi pemenang I Lomba Kreativitas Guru Bidang Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sekolah Lanjutan Atas, yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). B. P. Sitepu, Dr., M.A. Lahir di Berastepu, Sumatera Utara, Juni 1948, menyelesaikan pendidikan program S1 jurusan pengajaran bahasa Inggris di IKIP Negeri Jakarta (1975), S2 bidang perencanaan pendidikan di Macquarie University, Sydney, Australia, (1979) dan S3 di bidang teknologi pendidikan di IKIP Negeri Jakarta (1994). Menjadi tenaga pengajar tetap di Universitas Negeri Jakarta dengan jabatan Lektor Kepala (2001), dan sebelumnya pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang telah berubah menjadi Departemen Pendidikan Nasional, (1976-2001). Budyanto Lestyana, M.Si. Lahir di Semarang, Desember 1970, menyelesaikan program S2 dari IPB-Bogor tahun 2000. Menjabat sebagai Kepala Bidang Kurikulum dari tahun 2000-2004. Terlibat berbagai proyek pengembangan kurikulum dan diversifikasi sekolah serta berkecimpung dalam pengembangan KIR. Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta. Dwi Puji Lestarianti Lahir di Bandung, Pebruari 1968. Lulusan Diploma ( D3 ) Kimia IKIP Bandung Tahun 1990. Mengajar di SMA Negeri 1 Indramayu sebagai Guru Kimia tahun 1989 – 1990, tahun 1990 – 1993 mengajar Kimia di SMA Negeri 3 dan SMA PGRI II Indramayu, tahun 1994 mengajar Kimia di STM Gajah Mada Semarang, tahun 1996 pertama kali bergabung di BPK PENABUR Jatibarang sebagai guru IPA sampai sekarang. Tahun 2003 Pj Kepala SMP BPK PENABUR Jatibarang. Tahun 2004 – sekarang menjadi Kepala SMP BPK PENABUR Jatibarang. Elika Dwi Murwani,Dra. Lahir di Klaten, Jawa Tengah, menyelesaikan studi di IKIP Sanata Dharma tahun 1984, sekarang Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Saat ini menjabat sebagai Kepala Jenjang SLTA BPK PENABUR Jakarta, sambil mengikuti Program Pascasarjana Magister Manajemen di Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta. Sebelumnya menjadi kepala sekolah di SMAK 5 BPK PENABUR Jakarta dan guru fisika dan matematika di beberapa sekolah swasta Kristen dan Katholik. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 115 Handy Susanto, S.Psi. Lahir di Tasikmalaya, Februari 1981. Lulusan S1 Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha, tahun 2003. Tahun pelajaran 2003/ 2004 sebagai staff BK di SMAK 1 BPK PENABUR Bandung. Tahun 2003 – 2004, kemudian di SMPK BPK PENABUR Tasikmalaya sampai tahun 2005. Saat ini sedang mengambil Program S2 di Universitas Maranatha Bandung. Hotben Situmorang, Drs., M.B.A. Lahir di Toba Sumatera Utara, April 1961. Menyelesaikan S1 di IKIP Jakarta jurusan Pendidikan Fisika (1985). Sambil menyelesaikan S1, guru di SMA Neg. 50 (1982), SMA Neg.31 (1983-1997) dan ikut mendirikan SMA PGRI 10. Guru dan pejabat Kepala Sekolah Indonesia di Davao Philippines (1987-1994) sekaligus menyelesaikan S2 bidang Business Management di Ateneo de Davao Philippines (1994). Mengikuti Program Mission Studies di Overseas Ministries Study Centre, Connecticut USA (1994/1995). Menjadi konsultan Yakoma PGI dan dosen di UKI (1996). Bekerja di BPK PENABUR sebagai Kepala Bidang Pengembangan (1997). Care and taker Kepala SMK 2 BPK PENABUR ( 1996-2004). Saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta. Imma Helianti Kusuma, M.Pd. Lahir di Salatiga, Desember 1967. Menyelesaikan S1 di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Program Studi Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tahun 1990. Menyelesaikan S2, Magister Pendidikan dari Universitas Kristen Indonesia (UKI) tahun 2003. Sebagai staf Media Pendidikan BPK PENABUR (1991-1995), Kepala Unit Laboratorium dan Keterampilan Pendidikan (1995-1999), di Bidang Kurikulum (1999-2003), Kepala Bidang Evaluasi Akademis (2003-2004) dan saat ini sebagai Kepala Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan BPK PENABUR Jakarta dan juga sebagai dosen di Universitas Kristen Indonesia Jakarta. Keke T. Aritonang, M.Pd. Lahir di Jakarta, April 1969. menyelesaikan S1 di FKIP Universitas Jambi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (1996). Menyelesaikan Magister Pendidikan tahun 2004 di Universitas Kristen Jakarta. Tulisan pertamanya dengan judul Kompensasi Kerja, Disiplin Kerja Guru dan Kinerja Guru SMP Kristen BPK PENABUR Jakarta termuat pada jurnal pendidikan BPK PENABUR Jakarta No. 04/IV/Juli 2005. Bekerja di BPK PENABUR sejak tahun 1988 dan saat ini sebagai guru Bahasa Indonesia di SMP Kristen 1 BPK PENABUR Jakarta. M. Kusmiyati Situmorang, Dra. Lahir di Grobogan, Maret 1975. Alumni Universitas Kristen Indonesia Jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2000. Semasa Kuliah aktif di Organisasi Kepemudaan Lembaga Alkitab Indonesia (KKP-LAI), GMKI, Reporter Freelance di Adil Indonesia, Kelompok Wartawan Lingkungan, Marketing Freelance Lippo Karawaci. Sejak tahun pertama kuliah tahun 1995 sebagai Pustakawan SMPK ML. dan SMUK 6 PENABUR ML. yang sekarang menjadi SMAK PENABUR Gading Serpong, aktivis jurnalis di Jakarta serta pelatih ekstrakurikuler jurnalistik di SMPK PENABUR ML. tahun 2003 sampai sekarang. Mudarwan, S.Si. Lahir di Bagan Siapi-api, Juni 1973. Memperoleh gelar Sarjana Sains dari FMIPA Universitas Indonesia tahun 1998 Jurusan Biologi. Pernah mengajar dan menjadi kepala sekolah di SMP Permai tahun 1998 – 2004. Sejak Agustus 2004 bekerja sebagai staf bagian Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (P4) BPK PENABUR Jakarta. 116 Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 Petrus Trimantara, S.Pd. Lahir di Klaten, Oktober 1972. Menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Kolese De Britto Yogyakarta (1992) Jurusan Ilmu Biologi (A2). Menyelesaikan S1 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (1998). Bekerja di BPK PENABUR Bandung sejak tahun 1998 yaitu sebagai staf pengajar Bahasa Indonesia di SMA Kristen 2 BPK PENABUR Bandung. Reny Novita, S.Psi. Lahir di Tembilahan Riau, November 1974. Menyelesaikan S1 pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung tahun 2000. Pernah bekerja sebagai HRD Manager di PT. Indowira Putra Paint Factory Bandung tahun 2002. Saat ini bekerja sebagai Guru Bimbingan dan Konseling di TK dan SD BPK PENABUR Kota Metro Lampung. Rosa Meriyana A, S.Pd. Lahir Agustus 1983 dan tinggal di Jakarta, menyelesaikan program S1 dalam bidang Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta tahun 2005. Memperoleh pengalaman sebagai pembimbing kegiatan ekstrakurikuler Bahasa Inggris di TK Tunas Bangsa dan pengalaman berorganisasi di BEM Jurusan Teknologi Pendidikan, FIP- Univeritas Negeri Jakarta. Sekarang ini dalam persiapan mengikuti Program Pasca Sarjana Strata 2, Teknologi Pendidikan, di Univeritas Negeri Jakarta. Sih Retno Hastuti, S. Sos. Lahir di Purworejo, Februari 1975. Menyelesaikan S1 di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Program Studi Ilmu Komunikasi tahun 1998. Saat ini sebagai staf di Bagian Humas BPK PENABUR Jakarta. Teguh Santoso, S.Pd. Lahir di Malang, Jawa Timur, Mei 1969. Menyelesaikan S1 di FKIP Pendidikan Bahasa dan Seni Inggris di UNIKA Atma Jaya Jakarta tahun 1993 (cum laude). Mengajar di BPK PENABUR sejak tahun 1991 sebagai guru SDK 7 Bintaro (1991-1993), SMAK 1 Jakarta (1993-2001), SMAK 7 Jakarta (2001-2005). Mengambil program Pascasarjana di Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung untuk jurusan Bahasa Inggris sejak tahun 2005, sekaligus tetap mengabdi di BPK PENABUR, membantu mengajar Bahasa Inggris di SMPK 5 BPK PENABUR Bandung, koordinator laboratorium SMAK 3 Bandung sejak 2005. Dalam bidang I.T., dua kali meraih penghargaan dari SEAMEO-RELC Singapore tahun 2001 dan 2002 untuk keaktifan berkomunikasi via mailing list guru dan dosen ASEAN serta mengelola website 4 sekolah di BPK PENABUR. Theresia Kristianty, Dr. Lahir di Jakarta, September 1952. Menyelesaikan pendidikan program S1 di IKIP Jakarta tahun 1981. Pada tahun 1992 mencapai gelar Doktor Pendidikan di IKIP Negeri Jakarta. Sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Bagian Litbang BPK PENABUR Jakarta, dan Sekretaris Umum MPPK (Majelis Pusat Pendidikan Kristen). Yuli Kwartolo, S.Pd. Alumni Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga jurusan Teknologi Pendidikan tahun 1991. Semasa kuliah aktif menulis di “Gita Kampus”, koran kampus UKSW Salatiga, pernah menjadi guru di sekolah swasta Semarang, sebagai reporter Harian Kartika (Koran Lokal Semarang). Banyak menulis artikel pendidikan dan juga menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD. Saat ini sebagai staf di Pusat Pengkajian dan Pengembangan BPK PENABUR Jakarta dan menyusun buku pelajaran IPS kelas I-IV SD. Jurnal Pendidikan Penabur - No.06 /Th.V/Juni 2006 117