Identifikasi Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Perkembangan Kambing
Kambing merupakan hewan piaraan tertua yang didomestikasi setelah anjing
dan domba. Domestikasi kambing pertama kali diperkirakan terjadi pada abad 7
sebelum Masehi, atau dua abad setelah domestikasi domba. Domestikasi kambing
pertama kali terjadi oleh masyarakat yang hidup di Lembah Zawi Chemi Shanidar
dan Gua Shanidar di daerah Pegunungan Zagros Asia Barat yang sekarang
merupakan daerah di wilayah Irak Utara, kurang lebih sekitar 120 km dari Sungai
Tigris (Gall, 1981; Devendra dan Burns, 1994; Moelijanto dan Wiryanta, 2002).
Kambing yang berkembang sekarang berasal dari nenek moyang bangsa kambing
yang hidup di daerah-daerah marginal dan berbatu (Capra hircus aegagrus)
(Heriyadi, 2004).
Sampai saat ini diperkirakan terdapat lebih dari 300 bangsa kambing di
seluruh dunia. Berdasarkan jumlah tersebut, baru sekitar 81 bangsa kambing yang
telah diidentifikasi dan dideskripsikan dengan baik, minimum dapat dibedakan dari
sisi performa fisik yang menyangkut sifat-sifat kualitatif dan sifat-sifat kuantitatif,
serta hanya beberapa bangsa yang dapat dibedakan dari segi komposisi darah dan
gen (Heriyadi, 2001). Bangsa kambing dapat dikelompokkan berdasarkan
kegunaannya, yaitu kambing penghasil daging, susu, dan bulu (mohair). Ada pula
beberapa bangsa kambing yang tergolong tipe dwiguna (dual purpose), seperti
bangsa kambing PE yang tergolong tipe daging dan susu (Heriyadi, 2004).
Kambing termasuk ternak yang memiliki daya adaptasi tinggi, khususnya dari
sisi toleransinya terhadap berbagai jenis hijauan, mulai dari jenis rumput-rumputan,
leguminosa, rambanan, daun-daunan, sampai dengan semak belukar yang biasanya
tidak disukai oleh jenis ruminansia lain, seperti sapi perah, sapi potong, kerbau, dan
domba (Heriyadi, 2004).
Bangsa-bangsa Kambing di Indonesia
Bangsa kambing yang ada di Indonesia antara lain kambing Kacang
(menyebar hampir di seluruh wilayah), kambing PE (banyak terdapat di pulau Jawa),
kambing Etawah, kambing Kosta (banyak terdapat di provinsi Banten), dan kambing
Gembrong (terdapat di pulau Bali dengan populasi yang terus menurun) (Heriyadi,
3
2001).
Bangsa
kambing
di
Indonesia
dapat
dikelompokkan
berdasarkan
kegunaannya, yaitu penghasil daging (kambing Kacang dan kambing Kosta), mohair
(kambing Gembrong), susu (kambing PESA), serta tipe dwiguna (kambing PE,
kambing Etawah dan kambing Saanen).
Kambing Kacang
Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang juga terdapat di
Malaysia dan Philipina. Kambing Kacang sangat cepat berkembang biak, pada umur
15-18 bulan sudah dapat menghasilkan keturunan. Kambing ini cocok sebagai
penghasil daging dan kulit, bersifat prolifik, tahan terhadap berbagai kondisi, dan
mampu beradaptasi dengan baik di berbagai lingkungan yang berbeda termasuk
dalam kondisi pemeliharaan yang sangat sederhana (Pamungkas et al., 2009).
Ciri-ciri kambing Kacang adalah antara lain bulu pendek dan berwarna
tunggal (putih, hitam, dan cokelat). Warna bulunya dapat berasal dari campuran
ketiga warna tersebut. Kambing jantan maupun betina memiliki tanduk yang
berbentuk pedang, dan melengkung ke atas sampai ke belakang dengan telinga
pendek dan menggantung. Janggut selalu terdapat pada jantan, sementara pada betina
jarang ditemukan. Leher berukuran pendek dan punggung berbentuk melengkung.
Kambing jantan berbulu surai panjang dan kasar sepanjang garis leher, pundak, dan
punggung sampai ekor (Pamungkas et al., 2009) (Gambar 1).
Tingkat kesuburan kambing Kacang tinggi dengan kemampuan hidup dari
lahir sampai sapih 79,4%, sifat prolifik anak kembar dua 52,2%, kembar tiga 2,6%
dan anak tunggal 44,9%. Umur rata-rata dewasa kelamin adalah 307,72 hari dengan
persentase karkas 44-51%. Rata-rata bobot anak lahir 3,28 kg dan bobot sapih (umur
90 hari) sekitar 10,12 kg (Pamungkas et al., 2009).
4
Gambar 1. Kambing Kacang (Pamungkas et al., 2009)
Kambing Kosta
Lokasi penyebaran kambing Kosta dilaporkan Setiadi et al. (2002) ada di
sekitar Jakarta dan Propinsi Banten. Kambing ini dilaporkan mempunyai bentuk
tubuh sedang, hidung rata dan kadang-kadang ada yang melengkung, tanduk pendek,
dan berbulu pendek (Gambar 2). Kambing ini diduga terbentuk dari persilangan
kambing
Kacang
dengan
salah
satu
rumpun
kambing
impor
(Khasmir/Angora/Etawah) (Pamungkas et al., 2009).
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, sebaran warna dari kambing
Kosta ini adalah cokelat tua sampai hitam. Persentase terbanyak adalah warna hitam
(61%), cokelat tua (20%), cokelat muda (10,2%), cokelat merah (5,8%), dan abu-abu
(3,4%). Pola warna tubuh umumnya terdiri dari 2 warna, dan bagian yang belang
didominasi oleh warna putih. Persentase sebaran warna, yaitu satu warna (38%), dua
warna (56%), dan tiga warna (6%). Hasil pengamatan Setiadi et al. (2002)
menunjukkan bahwa rataan lama bunting kambing Kosta adalah 146,33 hari dengan
kisaran 142-148 hari. Rataan jumlah anak sekelahiran sebesar 1,71 ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa kambing Kosta cukup prolifik dengan rataan bobot lahir untuk
kelahiran tunggal adalah 1,9 kg dan kelahiran kembar 1,49 kg. Permasalahan
pengembangan kambing Kosta adalah masih tingginya laju mortalitas anak periode
pra-sapih yaitu pada minggu pertama setelah kelahiran yakni sebesar 42,16 %
(Pamungkas et al., 2009).
5
Gambar 2. Kambing Kosta (Pamungkas et al., 2009)
Kambing Gembrong
Kambing Gembrong berasal dari daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama
di Kabupaten Karangasem. Ciri khas kambing ini adalah berbulu panjang (15-25
cm), bahkan rambut pada bagian kepala menutupi muka dan telinga. Rambut panjang
terdapat pada kambing jantan, sedangkan kambing Gembrong betina berbulu pendek
berkisar 2-3 cm (Pamungkas et al., 2009) (Gambar 3).
Berdasarkan pengukuran dari berbagai aspek seperti panjang tubuh, tinggi
pundak, lingkar dada, dan tinggi pinggul, kambing Gembrong lebih kecil
dibandingkan kambing PE namun lebih besar dari kambing Kacang. Semakin besar
ukuran permukaan tubuh, semakin berat bobot badannya. Pengamatan menunjukkan
bahwa berat badan betina dewasa adalah 27,6 kg. Bobot badan kambing Gembrong
betina lebih rendah dari kambing PE betina dewasa (40,2 kg) dan kambing Jawa
randu betina dewasa (28,7 kg), namun sedikit lebih tinggi dari kambing Kacang (23,8
kg) (Setiadi et al., 2002).
Warna tubuh dominan kambing Gembrong adalah putih (61,5%), sebagian
berwarna cokelat muda (23,08%) dan cokelat (15,38%). Pola warna tubuh umumnya
adalah satu warna (69,23%) dan sisanya terdiri dari dua warna (15,38%) dan tiga
warna (15,38%). Rataan litter size kambing Gembrong adalah 1,25. Rataan bobot
lahir tunggal 2 kg dan kembar dua 1,5 kg. Tingkat kematian pra-sapih sebesar 20%
(Pamungkas et al., 2009).
6
Kambing Etawah (Jamnapari)
Kambing Etawah asli atau dikenal dengan kambing Jamnapari berasal dari
daerah Jamnapari India dengan ciri-ciri hidung melengkung, telinga panjang (30 cm)
terkulai, kaki panjang dan berbulu panjang pada garis belakang kaki, warna bulu
belang hitam putih atau merah, atau cokelat putih. Kambing Jamnapari sangat baik
sebagai hewan perah, dan juga sering dipelihara sebagai penghasil daging. Kambing
ini mempunyai banyak warna, termasuk warna putih, merah cokelat, dan hitam.
(Devendra dan Burns, 1994). Kambing Jamnapari memiliki tinggi tubuh pada jantan
dewasa 90-127 cm dan betina dewasa 76-92 cm (Sudono dan Abdulgani, 2002)
(Gambar 4).
Bobot badan jantan dewasa sekitar 68-91 kg dan betina dewasa 36-63 kg.
Rataan produksi susu sekitar 3 liter /ekor/hari dengan ambing relatif besar dan
panjang seperti botol (Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan, 2008). Kambing
Etawah digunakan secara luas untuk meningkatkan mutu kambing asli yang lebih
kecil diberbagai negara seperti Malaysia dan Indonesia karena kemampuannya untuk
menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya. Produksi susu sekitar 235 kg
selama masa laktasi 261 hari (Devendra dan Burns, 1994). Persilangan dari kambing
Etawah diantaranya adalah kambing PE dan Jawarandu sebagai penghasil susu.
Kambing Saanen
Kambing Saanen berasal dari Swiss barat dan mempunyai ciri-ciri berwarna
putih, krem pucat, atau cokelat muda dengan bercak hitam pada hidung, telinga, dan
ambing. Kambing Saanen baik jantan maupun betina berbulu pendek, telinga tegak
dan mengarah ke depan (Gambar 5). Kambing Saanen umumnya dipelihara sebagai
ternak penghasil daging dan susu (Devendra dan Burns, 1994).
Kambing Saanen sudah tersebar luas di seluruh dunia serta dapat
menghasilkan susu 800 kg per ekor per masa laktasi yang berlangsung selama 250
hari. Bobot saat dewasa kelamin sekitar 65 kg. Kambing ini mempunyai rata-rata
produksi susu tertinggi dibandingkan bangsa kambing manapun, dan karena alasan
ini bangsa kambing ini telah diintroduksi ke banyak negara, termasuk Australia,
Puerto Riko, Hindia Barat, India, Fiji, Ghana, Kenya, Korea, Israel, Malaysia, dan
Filipina. Kambing ini sulit berkembang di daerah tropis karena kepekaannya
terhadap sinar matahari (Devendra dan Burns, 1994).
7
Gambar 3. Kambing Gembrong
(Pamungkas et al., 2009)
Gambar 4. Kambing Etawah
(Rout et al., 1998)
Kambing Peranakan Etawah (PE)
Kambing PE adalah hasil persilangan kambing Kacang betina dengan
kambing Etawah jantan. Kambing PE termasuk bangsa kambing dwiguna (dual
purpose). Sebagai penghasil daging, bangsa kambing ini memiliki nilai lebih
dibandingkan kambing lokal, yaitu ukuran tubuh yang lebih besar dan pada umur
yang sama memiliki bobot potong lebih berat (Heriyadi, 2004). Selain sebagai
penghasil daging, kambing PE betina memiliki kemampuan menghasilkan susu yang
cukup baik. Kambing PE betina rata-rata dapat menghasilkan susu 1,2 liter/ekor/hari
selama fase 70 hari pertama laktasi (Balai Penelitian Ternak, 2001).
Kambing PE memiliki karakteristik tubuh yang besar dengan bobot badan
jantan dapat mencapai 90 kg dan betina 60 kg. Ciri-ciri spesifik kambing PE antara
lain memiliki bentuk hidung benguk (chubby), kuping, kaki, dan bulu yang panjang,
serta ambing besar dan produksi susu tinggi. Kambing PE telah beradaptasi dengan
baik di Indonesia, dan banyak ditemukan di berbagai daerah di Pulau Jawa dan
Madura, Pulau Sumbawa, dan Pulau Sumatra khususnya di Padang Mangatas
(Direktorat Jenderal Peternakan, 2003).
Kambing PE mempunyai ciri-ciri antara kambing Kacang dengan kambing
Etawah, yaitu bagian (1) telinganya panjang dan terkulai sampai dengan 18-30 cm;
(2) warna bulu bervariasi dari cokelat muda sampai hitam; (3) bobot hidup kambing
PE jantan dewasa sekitar 40 kg dan PE betina sekitar 35 kg dengan tinggi pundak 76100 cm (Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Balai Pengkajian Pertanian Nusa Tenggara Barat, 2009).
8
Gambaran umum kambing PE adalah mempunyai pangkal telinga terkulai,
menggantung, dan melipat mengarah ke depan, tanduk pipih mengarah ke belakang,
serta bulu kaki bagian belakang lebat dan panjang (Dinas Kehewanan dan Kelautan
Purworejo, 2002) (Gambar 6). Kambing PE mampu beranak tiga kali dalam dua
tahun dengan rataan jumlah anak sekelahiran 1-3 ekor (Balai Penelitian Ternak,
2001). Warna bulu ada yang tunggal; putih, hitam dan cokelat, tetapi jarang
ditemukan. Kebanyakan terdiri dari dua atau tiga pola warna, yaitu belang hitam,
belang cokelat, dan putih bertotol hitam (Pamungkas et al., 2009). Rataan bobot lahir
kambing PE kelahiran tunggal adalah 3,2 kg untuk betina dan 3,7 kg untuk jantan,
bobot badan kambing PE dewasa jantan berkisar antara 45-80 kg dan betina berkisar
antara 30-50 kg (Setiadi dan Sutama, 1997).
Gambar 5. Kambing Saanen
(Oklahoma State University, 1995)
Gambar 6. Kambing PE
(Badan Standarisasi Nasional, 2008)
Kambing Peranakan Etawah dan Saanen (PESA)
Kambing PESA merupakan kambing hasil persilangan antara kambing PE
betina dengan kambing Saanen jantan. Kambing PESA mempunyai produksi susu
harian lebih baik daripada kambing PE, tetapi produksinya lebih rendah dari
kambing Saanen impor dan kambing Saanen keturunan (F1) (Ruhimat, 2003).
Produksi susu harian kambing Saanen, PE dan PESA di PT Fajar Taurus Dairy Farm
masing-masing sebesar 2 liter, 1,6 liter, dan 1,8 liter (Noorcandratini, 2004).
Kambing PESA mempunyai produksi susu yang lebih rendah dari Saanen karena
mempunyai masa laktasi yang lebih pendek, dan merupakan persilangan dengan PE
(tipe dwiguna) (Gambar 7). Rataan lama laktasi kambing Saanen keturunan (F1),
9
kambing Saanen impor, kambing PESA, dan kambing PE berturut-turut adalah
321,82±113,44 hari, 310,60±60,00 hari, 178±65,05 hari (Ruhimat, 2003) dan 170,07
hari (Atabany, 2001).
Gambar 7. Kambing PESA (Rachman, 2010)
Gen Hormon Pertumbuhan
Hormon pertumbuhan disekresikan oleh kelenjar pituitary yang berperan
penting dalam laktasi (Baldi, 1999). Hormon pertumbuhan atau growth hormone
(GH) dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan dan metabolisme lemak yang berperan
penting untuk reproduksi, laktasi, dan pertumbuhan tubuh normal (Burton et al.,
1994). GH pada hewan yang sedang tumbuh berguna untuk meningkatkan efisiensi
produksi, pengurangan deposisi lemak, merangsang pertumbuhan otot, meningkatkan
efisiensi penggunaan pakan, meningkatkan pertumbuhan organ, dan meningkatkan
pertumbuhan tulang (Etherton dan Bauman, 1998). GH berperan dalam pengaturan
perkembangan kelenjar mamae pada ternak ruminansia (Akers, 2006). Hubungan
tersebut menjadikan hormon pertumbuhan sebagai salah satu kandidat gen yang
dapat digunakan sebagai penanda genetik dalam program seleksi ternak. Hormon
pertumbuhan disandikan oleh gen GH.
Gen GH juga merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu,
karkas, dan respon immun (Ge et al., 2003). Sekuens hormon gen GH pada kambing
memiliki panjang 2544 pasang basa (pb) (Kioka et al., 1989). Gen GH terbagi dalam
sekuens nukleotida terdiri dari 5 exon dan 4 intron yang sama pada spesies mamalia
yang berbeda (Gambar 8) (Barta et al., 2001). Exon adalah pengkode protein
sementara intron merupakan spacer internal antara pengkode protein pada saat
10
transkripsi bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi berjalan dengan
baik (Jakaria, 2008). Sekuens gen GH ditunjukkan pada Gambar 9 (Kioka et al.,
1989). Gen GH memiliki keanekaragaman pola genotipe yang sangat tinggi pada
exon 3, 4 dan 5 sementara pada exon 1 dan 2 pola genotipe gen GH lebih terpelihara
(seragam) (Marques et al., 2003). Pola genotipe gen GH pada exon 2 yaitu AB
(75,9%) dan BB (24,1%) (Malveiro et al., 2001).
Beberapa parameter sekresi GH dan puncak laktasi berhubungan dengan
hewan perah yang mempunyai nilai genetik yang tinggi (Reinecke et al., 1993) yang
ditunjukkan oleh hewan yang memiliki produksi susu tinggi (mempunyai rata-rata
level GH yang tinggi) (Vasilatos dan Wangsness, 1981). Keragaman gen GH pada
kambing Algarvia (Portugis) yang diidentifikasi dengan metode single strand
conformation polymorphism (SSCP) berhubungan dengan produksi, lemak, dan
protein susu (Boutinaud et al., 2003). Keragaman haploid gen GH│HaeIII pada
kambing Boer berpengaruh terhadap bobot lahir, bobot sapih, pertambahan bobot
badan perhari sebelum sapih, dan bobot pada umur 11 bulan (Hua, 2009).
5’
kodon awal ATG
exon 1
Flanking
region 5’
3’
Coding sequence (CDS)
Intron 1
exon 2
kodon akhir TAG
exon 3
Intron 2
Intron 3
exon 4
exon 5
Intron 4
Flanking
region 3’
Keterangan :
Lokus : D00476
Panjang : 2544 pb
Gen
: 432-444, 692-852, 1080-1196, 1426-1587, 1864-2064
Sekuens depan : 431pb
Exon 1 : 432-444
= 13 pb
Intron 1 : 445-691
= 247 pb
Exon 2 : 692-852
= 161 pb
Intron 2 : 853-1079 = 227 pb
Exon 3 : 1080-1196 = 117 pb
Intron 3 : 1197-1425 = 229 pb
Exon 4 : 1426-1587 = 162 pb
Intron 4 : 1588-1863 = 276 pb
Exon 5 : 1864-2064 = 201 pb
Gambar 8. Rekonstruksi Struktur Gen GH Berdasarkan Sekuens Gen GH yang
Diakses di GenBank No. D00476 (Kioka et al., 1989)
11
1 gggattttct gacccaggga ttaaacctga gtctcctgca tttgcagctc gattctttat
61 ggctgagcca cctgggaagc ccattcgttt ctgctacctc ccccttaaaa agaaaaccta
Gambar
8. Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing yang
121 tggggtgggc tctcaagctg agaccctgtg tgtacagccc tcaggctggt ggcagtggag
diakses di GenBank No. D00476 ( Kioka et al., 1989)
181 aggggatgat gatgagcctg ggggacatga ccccagagaa ggaacgggaa caggatgagt
241 gagaggaggt tctaaattat ccattagcac aggctgccag tggtccttgc ataaatgtat
301 agagcacaca ggtgggggga aagggagaga gaagaagcca gggtataaaa agggcccagc
361 agagaccaat tccaggatcc caggacccag ttcaccagac gactcagggt cctgctgaca
421 gctcaccaac tatgatggct gcaggtaagc tcacaaaaat cccctccatt agcgtgtcct
481 aagggggtga tgcgggagaa ctgccgatgg atgtgtccac agctttgggt tttagggctt
541 ctgaatgcga acataggtat ctgcacccag acatttggcc aagtttgaaa tgttctcagt
601 ccctggaggg aagggcaggc gggggctggc aggagatcag gcatccagct ctctgggccc
661 ctccgtcgcg gccctcctgg tctctcccta gggccccgga cgtccctgct cctggctttc
721 accctgctct gcctgccctg gactcaggtg gtgggcgcct tcccagccat gtccttgtcc
781 ggcctgtttg ccaacgctgt gctccgggct cagcacctgc atcaactggc tgctgacacc
841 ttcaaagagt ttgtaagctc cccagagatg tgtcctagag gtggggaggc aggaaggggt
901 gaatccgcac cccctccaca caatgggagg gaactgagga cctcagtggt attttatcca
961 agtaaggatg tggtcagggg agtagaaatg ggggtgtgtg gggtggggag ggttccgaat
1021 aaggcagtga ggggaaccac acaccagctt agacccgggt gggtgtgttc tccccccagg
1081 agcgcaccta catcccggag ggacagagat actccatcca gaacacccag gttgccttct
1141 gcttctccga aaccatcccg gcccccacgg gcaagaatga ggcccagcag aaatcagtga
1201 gtggccacct aggaccgagg agcaggggac ctccttcatc ttaagtaggc tgccccagct
1261 ctctgcaccg ggcctggggt ggcgttctcc ctgaggtggc agagggtgtt ggatggcagt
1321 ggaggatgat ggttggtggt ggtggcagga ggtcctcggg cagaggccga ccttgcaggg
1381 ctgccccgag cccggggcac ccaccaacca cccatctgcc agcaggactt ggagctgctt
1441 cgcatctcac tgctccttat ccagtcgtgg cttgggcccc tgcagttcct cagcagagtc
1501 ttcaccaaca gcctggtgtt tggcacctcg gaccgtgtct atgagaagct gaaggacctg
1561 gaggaaggca tcctggcgct gatgcgggtg aggatggcgt tgttgggtcc cttccatgct
1621 gggggccatg cccaccctct cctggcttag ccaggagaac acacgtgggc tgggggagag
1681 agatccctgc tctctctctc tctttctagc agcccagtct tgacccagga gaaacctctt
1741 cccgttttga aacctccttc ctcgcccttc tccaagccta taggggaggg tggaaaatgg
1801 agcgggcagg agggagccgc tcctgagggc cttcggcctc tctgtctctc cctcccttgg
1861 caggagctgg aagatgttac cccccgggct gggcagatcc tcaagcagac ctatgacaaa
1921 tttgacacaa acatgcggag tgacgacgcg ctgctgaaga actacggtct gctctcctgc
1981 ttccggaagg acctgcacaa gacggagacg tacctgaggg tcatgaagtg tcgccgcttc
2041 ggggaggcga gctgcgcgtt ctagttgcca gccatctgtt gttacccctc cccgtgcctt
2101 cctagaccct ggaaggtgcc actccagtgc ccactgtcct ttcctaataa agcgaggaaa
2161 ttgcatcaca ttgtctgagt aggtgtcatt ctattctagg gggtggggtc aggcaggata
2221 gcgagaggga ggattgggaa gacaatagca gggatgctgt gggctctatg ggtacccagg
2281 tgctgaataa ttgacccggt tcttcctggg ccagaaggaa gcaggcacat ccccttctct
2341 gtgacacacc cggtcctcgc ccctggtcct tagttccagc cccactcata ggacactcat
2401 agctcaggag ggctctgcct tcagtcccac ccgctaaagt gcttggagcg gtttctcctt
2461 ccctcatcag cccaccaaac caaacctagc ctccaagagt gggaagaaat taaagcaaga
2521 caggctatga agtacagagg gaga
Gambar 9.
Sekuens Gen GH pada Ternak Kambing yang Diakses di
GenBank No. D00476 (Kioka et al., 1989)
12
Analisis Keragaman DNA
DNA digunakan sebagai bahan genetik karena dapat mewariskan sifat-sifat
organisme induk. Genom adalah segmen DNA yang mengandung informasi genetika
yang bisa diturunkan meliputi gen dan non gen. Molekul DNA adalah polimer dari
Deoxyribonucleotida (basa, zat gula, dan satu atau lebih gugus fosfat). Polymerase
chain reaction (PCR) adalah suatu reaksi in vitro untuk menggandakan molekul
DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang
berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan enzim polymerase dan
oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin termocycler. Primer merupakan
oligonukleotida spesifik yang menempel pada bagian sampel DNA yang akan
diperbanyak. Enzim polymerase merupakan enzim yang dapat mencetak urutan DNA
baru (Williams, 2005). Proses yang terjadi dalam mesin PCR meliputi tiga tahap
utama, yaitu tahap pradenaturasi, tahap kedua yang terdiri dari 35 siklus yang
masing-masing siklus terdiri dari denaturasi
(pemisahan untai ganda DNA),
penempelan (annealing), ekstensi awal molekul DNA, dan tahap terakhir adalah
ekstensi akhir. Produk PCR dapat langsung divisualisasikan melalui proses
elektroforesis dan dapat digunakan untuk analisis lebih lanjut (Muladno, 2002).
Penanda Molekuler
Penanda molekuler merupakan pemanfaatan dari keragaman pada tingkat
deoxyribonucleic acid (DNA). Penanda molekuler memiliki peranan penting dalam
genetika ternak, yang merupakan salah satu faktor utama yang mendasari terjadinya
proses seleksi (Vignal et al., 2002).
Penanda molekuler yang utama digunakan pada hewan adalah Restriction
Fragment Length Polymorphisms (RFLP), Microsatellites (MS), pemetaan genome,
metode untuk mendeteksi marker-hubungan QTL dan penggunaan Marker Assisted
Selection (MAS) (Montaldo dan Herrera, 1998), Single-Strand Conformation
Polymorphisms (SSCP) (Livingstone et al., 1999). Penanda molekuler yang utama
yang digunakan untuk pembiakan tanaman tetapi dengan penggunaan yang potensial
dapat digunakan untuk hewan adalah Randomly Amplified Polymorphic DNA
(RAPD), Amplification Fragment Length Polymorphism (AFLP) (Montaldo dan
Herrera, 1998).
13
Prinsip dasar penerapan MAS (Marker Assisted Selection) adalah adanya
hubungan yang kuat secara statistik antara tipe gen (alel) tertentu dengan sifat
ekonomis unggul. Kebanyakan sifat-sifat ekonomis penting merupakan sifat
kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen dan masing-masing gen memberikan
sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2004). Namun demikian, diprediksi
terdapat beberapa gen utama yang memberikan kontribusi lebih pada variasi suatu
sifat. Gen semacam ini disebut dengan gen mayor (major gene) yang terletak pada
lokus sifat kuantitatif atau quantitative traits loci (QTL). Gen mayor yang dapat
digunakan sebagai kandidat dalam program MAS adalah apabila gen tersebut
mempunyai fungsi dan pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif
(Diyono, 2009).
Sistem mikrosatelit tersusun dari pengulangan DNA yang biasanya
merupakan dinukleotida sederhana (seperti TG) yang setiap dinukleotida diulang
sekitar sepuluh kali pada setiap lokus. Derajat polimorfisme yang tinggi dalam setiap
ulangan memungkinkan penggunaannya sebagai penanda lokasi dalam penandaan
genom.
Penggunaan
teknik
RFLP,
menjadi
semakin
intensif
setelah
dikembangkannya teknik amplifikasi fragmen DNA yaitu polymerase chain reaction
(PCR). Kombinasi teknik PCR dan RFLP merupakan teknik pertama yang
dikembangkan untuk memvisualisasikan perbedaan level DNA yang didasarkan pada
penggunaan enzim pemotong (restriction enzyme) yang dapat memotong pada
sekuens nukleotida spesifik (Montaldo dan Herrera, 1998).
Metode PCR-SSCP (Polymerase Chain Reaction-Single Strand Conformation
Polymorphism)
PCR-SSCP merupakan salah satu metode analisis lebih lanjut yang
memanfaatkan produk PCR. Metode PCR-SSCP merupakan metode yang handal
dalam mendeteksi adanya mutasi secara cepat (Hayashi, 1991). Metode ini
didasarkan pada asumsi bahwa perubahan asam nukleotida akan menyebabkan
perubahan pola migrasi pada gel poliakrilamida nondenaturasi (Barroso et al., 1999).
Mutasi dideteksi dari adanya perbedaan pola migrasi dari bentuk ikatan utas tunggal
DNA pada gel poliakrilamida (Hayashi, 1991) yang disebut sebagai perubahan
konformasi atau bentuk molekul. Perbedaan konformasi molekul akan menyebabkan
14
perbedaan migrasinya dalam gel poliakrilamid pada saat elektroforesis (Montaldo
dan Herrera, 1998).
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi sensitivitas dari metode PCRSSCP yaitu: (1) komposisi gel, (2) ukuran fragmen DNA, (3) komposisi buffer,
termasuk kekuatan ion dan derajat keasaman, (4) ada tidaknya buffer aditif seperti
gliserol, (5) suhu pada saat elektroforesis, (6) kosentrasi DNA, (7) kandungan basa G
dan C dalam fragmen DNA (Nataraj et al., 1999). Barroso et al. (1999)
menambahkan bahwa lokasi mutasi pada fragmen DNA juga dapat mempengaruhi
sensitivitas dari metode PCR-SSCP.
Metode analisis SSCP meliputi beberapa tahapan seperti yang dijelaskan oleh
Nataraj et al. (1999), yaitu tahap amplifikasi DNA target dengan cara PCR, tahap
denaturasi DNA produk PCR pada suhu 94 0C, penambahan formamide dye, dan
tahap elektroforesis dalam gel poliakrilamida nondenaturasi. Beberapa kelebihan
SSCP dibanding metode lain, yaitu: (1) sederhana dan tidak memerlukan peralatan
yang rumit dan khusus (Bastos et al., 2001; Nataraj et al., 1999), (2) dapat
mendeteksi adanya mutasi pada fragmen DNA (Barroso et al., 1999) sehingga dapat
dibedakan dengan yang normal (Nataraj et al., 1999), (3) visualisasi tidak perlu
menggunakan bahan radioaktif (Nataraj et al., 1999), (4) dapat dikerjakan di
laboratorium biasa dan tidak terlalu mahal (Bastos et al., 2001). Kekurangan PCRSSCP, yaitu: (1) terbatas ukuran fragmen DNA yang dapat dianalisis, (2) butuh
kondisi yang beragam untuk mendeteksi semua kemungkinan mutasi, (3) kadangkadang sulit untuk mengintepretasikan pita-pita yang dihasilkan, (4) tidak efisien
untuk fragmen DNA yang tidak diketahui urutan nukleotidanya. Prizenberg et al.
(2005) menambahkan bahwa analisis SSCP juga terbatas dalam menentukan jumlah
alel.
Keragaman gen GH pada kambing Algarvia (Portugis) yang diidentifikasi
dengan metode single strand conformation polymorphism (SSCP) berhubungan
antara pola genotipe yang beragam dari gen GH exon 4 dan exon 5 dengan produksi
susu (Malveiro et al., 2001). Marques et al. (2003), menyatakan bahwa produksi susu
berhubungan dengan pola genotipe GH exon 2 (tipe Jarmelista) dan GH exon 4 (tipe
Ribatejano) dari keturunan kambing Serrana yang diidentifikasi dengan PCR-SSCP.
15
Download