ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TONGKOL JAGUNG
Tongkol jagung merupakan salah satu limbah hasil pertanian dari buah jagung. Secara
keseluruhan total bobot total, jagung terdiri dari 30 % bagian berupa tongkol jagung, sedangkan
sisanya adalah biji dan kulit (Koswara 1991). Menurut Irawadi (1990), limbah pertanian
(termasuk tongkol jagung) mengandung selulosa (40-60%), hemiselulosa (20-30%), dan lignin
(15-30%).
Komponen selulosa, hemiselulosa, dan lignin dalam tongkol jagung terikat satu sama lain
dengan ikatan yang kompleks seperti terlihat pada Gambar 1. Menurut Perez et al. (2002),
lapisan dinding sekunder terluar (S1) mempunyai struktur serat menyilang, lapisan S2 mempunyai
mikrofibril yang paralel terhadap poros lumen, dan lapisan S3 mempunyai mikrofibril yang
berbentuk heliks. Mikrofibril dikelilingi oleh hemiselulosa dan lignin. Bagian antara dua dinding
sel disebut lamela tengah (M) dan diisi oleh hemiselulosa dan lignin. Selulosa secara alami
terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin.
Gambar 1. Konfigurasi dinding sel tanaman (Perez et al. 2002)
Sampai saat ini tongkol jagung sudah dimanfaatkan untuk menghasilkan beberapa produk
bernilai tambah seperti bioetanol, pakan ternak, maupun pengganti bahan bakar secara langsung.
Sebagai pakan ternak, bahan yang mengandung komponen lignoselulosa (termasuk tongkol
jagung) memiliki dua kelemahan yaitu tingkat kecernaan yang rendah dan kandungan protein
yang rendah (Artika 2000). Karakteristik dan dan komposisi tongkol jagung dapat dilihat di
Tabel 1.
Serat kasar yang tinggi yang terkandung di dalam tongkol jagung merupakan bahan yang
penting yang memungkinkan tongkol jagung dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Selulosa yang
3 tinggi dalam serat dapat dicerna oleh ternak ruminansia. Menurut Lynd et al. (2002), ternak
ruminansia dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menyokong
pertumbuhan, produksi, dan reproduksi. Selulosa merupakan komponen penyusun dinding sel
tanaman yang tidak pernah ditemukan secara murni di alam, tetapi berikatan dengan bahan lain,
yaitu lignin dan hemiselulosa.
Tabel 1. Komposisi Kimia Tongkol Jagung
Komponen
Air
% b.k
9.40
Komponen
% b.k
Protein N x 6,25
2.5
Selulosa
41
Lemak kasar
0.5
Hemiselulosa
36
Serat kasar
32
Xilan
30
Abu
1.5
Lignin
6
Ekstrak bebas nitrogen
53.5
Pektin
3
Neutral Deterjen Fiber
83
Total nutrien dapat dicerna
42
Pati
0.014
Sumber : Johnson (1991)
Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan
hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Pemanfaatan selulosa oleh ternak sangat
bergantung pada kemampuan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa.
Pemutusan ikatan lignin yang memproteksi selulosa inilah yang disebut sebagai delignifikasi.
Menurut Hofrichter (2002), lignin merupakan senyawa yang heterogen dengan berbagai tipe
ikatan sehingga tidak dapat diuraikan oleh enzim hidrolisis. Namun lignin dapat didegradasi oleh
kapang pelapuk kayu dan secara sempurna hanya oleh kapang pelapuk putih. Kapang
Phanerochaete chrysosporium merupakan salah satu kapang yang dapat menguraikan ikatan dan
mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi lignin.
B. Phanerochaete chrysosporium
Phanerochaete chrysosporium adalah kapang pendegradasi lignin dari kelas
Basidiomycetes yang tumbuh dalam bentuk sekumpulan miselia dan berkembang biak secara
aseksual (melalui spora) atau secara seksual (Dhawale dan Katrina 1993). Kapang
P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan senyawa turunannya secara efektif dengan cara
menghasilkan enzim peroksidase ekstraseluler yang berupa lignin peroksidase (LiP) dan mangan
peroksidase (MnP) yang sama efektifitasnya dengan H2O2. Menurut Johjima et al. (1999),
kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin dan berbagai polutan aromatik selama fase
pertumbuhan stasioner yang dipacu oleh kekurangan nutrisi pada substrat. Skema sistem
degradasi lignin oleh kapang tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
4 Gambar 2. Skema sistem degradasi lignin oleh Phanerochaete chrysosporium (Akhtar et al., 1997)
Menurut Fadillah et al. (2008), kapang P. chrysosporium dapat mendegradasi lignin pada
batang jagung sebesar 81.4 % setelah inkubasi pada suhu 38 oC selama 30 hari. Degradasi lignin
juga diikuti dengan degradasi selulosa walaupun jumlahnya relatif lebih sedikit yaitu sebesar
22.3 % setelah 30 hari inkubasi. P. chrysosporium adalah jenis kapang yang termasuk kelas
Basidiomycetes tingkat tinggi yang dapat membentuk badan buah. Badan buah kelas
Basidiomycetes memiliki ukuran yang beraneka ragam, mulai dari yang berukuran mikroskopik
sampai dengan yang bergaris tengah sepanjang 3 kaki (Alexopoulus dan Mims 1979). Umumnya
pada media dengan kandungan nitrogen yang rendah, P. chrysosporium mampu mendegradasi
sebagian besar zat warna. Pada media dengan konsentrasi nitrogen yang cukup tinggi, fraksi zat
warna yang terserap oleh biomassa akan meningkat. Struktur mikroskopis miselia
P. chrysosporium dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur mikroskopis miselia P. chrysosporium (Michel 1999)
5 Untuk tumbuh dan berkembang dengan baik P. chrysosporium membutuhkan lingkungan
dengan kondisi yang sesuai dengan karakteristiknya. Beberapa faktor fisiologis yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan kapang adalah suhu, oksigen, konsentrasi ion hidrogen (pH), dan nutrisi.
Lingkungan fisik lain yaitu cahaya dan aerasi serta lingkungan biologis seperti interaksi dengan
mikroba lain, juga akan mempengaruhi laju degradasi oleh kapang. Kisaran suhu optimum untuk
pertumbuhan kapang P. chrysosporium adalah antara 20-30 oC. Kapang ini dapat mengambil
oksigen secara bebas dari udara untuk keperluan respirasi agar pertumbuhannya optimum.
Kekurangan oksigen dapat menyebabkan terjadinya akumulasi karbon dioksida (CO2), sehingga
pertumbuhan kapang terhambat. Umumnya kapang lebih menyukai suasana asam untuk
pertumbuhannya. Kisaran pH optimum untuk kapang dari kelas Basidiomycetes adalah pH
4.5 – 5.5 (Chang dan Hayes 1978).
Proses delignifikasi diharapkan dapat mendegradasi dan melepaskan ikatan lignin yang
melapisi selulosa. Menurut Adaskaveg et al. (1995), P. chrysosporium mendegradasi komponen
lignoselulosa secara selektif yaitu mendegradasi lignin substrat yang berwarna coklat dan
meninggalkan selulosa yang berwarna putih. Dengan demikian lepasnya lignin tanpa terurainya
selulosa akan memudahkan hidrolisis selulosa oleh kapang selulolitik.
C. Trichoderma viride
Trichoderma viride adalah salah satu jenis kapang yang bersifat selulolitik karena dapat
menghasilkan selulase (Wood 1985). Kapang ini mampu menghidrolisis selulosa tingkat tinggi
dan memiliki kemampuan mensintesis beberapa komponen lignoselulosa yang terikat kuat
dengan ikatan hidrogen. T. viride mampu menghasilkan selulase yang menghidrolisis selulosa
pada biji-bijian sehingga dapat dicerna ternak. Selain itu T. viride mempunyai kemampuan
meningkatkan protein bahan pakan dan pada bahan berselulosa mampu menghasilkan enzim
selulase (Poesponegoro 1976). Kusumaningtyas dan Djaenudin (2006), menambahkan bahwa
T. viride merupakan kapang yang bersifat antagonis terhadap berbagai jenis kapang patogen pada
tanaman sehingga dapat dijadikan agen kontrol biologi.
Trichoderma adalah kapang penghuni tanah yang dapat diisolasi dari perakaran tanaman
lapangan (Gambar 4). Spesies Trichoderma di samping sebagai organisme pengurai, dapat juga
berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies
Trichoderma telah dilaporkan sebagai agen hayati adalah T. harzianum, T. viride, dan T. konigii
yang berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan Trichoderma dalam media
aplikatif seperti dedak dapat diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer.
Dengan demikian Trichoderma viride memiliki kemampuan mendekomposisi limbah organik
(rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Selain itu, Trichoderma
dapat juga digunakan sebagai biofungisida karena mampu menghambat pertumbuhan beberapa
kapang penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum,
Rizoctonia solani, dan Sclerotium rolfsii (Ramada 2008).
Ramada (2008) menyatakan bahwa pupuk biologis Trichoderma dapat dibuat dengan
inokulasi biakan murni pada media aplikatif seperti dedak, sedangkan biakan murni dapat dibuat
melalui isolasi dari perakaran tanaman, serta dapat diperbanyak dan diremajakan kembali pada
media PDA (Potato Dextrose Agar).
6 (a)
(b)
Gambar 4. T. viride di tanah (a) dan struktur mikroskopis (b)
(Volk 2006)
Kapang Trichoderma viride juga digunakan untuk meningkatkan nilai manfaat jerami
padi melalui kultivasi, karena kapang ini mempunyai sifat selulolitik dan mengeluarkan enzim
selulase yang dapat merombak selulosa menjadi selobiosa hingga akhirnya menjadi glukosa.
Proses yang terjadi ketika jerami padi dikultivasi menggunakan Trichoderma viride adalah
terjadinya degradasi terhadap dinding sel yang diselaputi oleh lignin, selulosa, dan hemiselulosa.
Akibat degradasi ini, sebagian lignin akan terurai, sedangkan selulosa dan hemiselulosa juga akan
terurai menjadi glukosa (Mandels dan Reese 1957).
D. Aspergillus niger
Aspergillus niger termasuk kapang selulolitik yang menghasilkan selulase untuk
menghidrolisis selulosa (Usama et al. 2008). Frazier dan Westhoff (1981), menyatakan bahwa
Aspergillus niger merupakan kapang yang termasuk dalam genus Aspergillus, famili
Moniliaceae, ordo Monoliales, dan kelas Fungi imperfecti. Aspergillus adalah kapang yang
hifanya berseptat dan sporanya bersifat aseksual. Spora aspergillus berbentuk globula dan
konidianya kasar dengan beberapa pita yang berpigmen. Ada dua macam pita pada Aspergillus,
yaitu hifa yang terletak pada bagian terendam dari substrat, berfungsi untuk menyerap zat hara,
sedangkan bagian yang menghadap ke permukaan berfungsi sebagai alat reproduksi.
A. niger dapat tumbuh dengan cepat, sehingga dapat digunakan secara komersial dalam
produksi asam sitrat, asam glukonat, dan pembuatan beberapa enzim seperti amilase, pektinase,
amiloglukosidase, dan selulase. Menurut Villena (2007), A. niger dapat memproduksi enzim
lignoselulotik seperti enzim selulase dan enzim xilanase. A. niger dapat tumbuh pada suhu
35 ºC-37 ºC (optimum), 6 ºC-8 ºC (minimum), 45 ºC-47 ºC (maksimum), dan memerlukan
oksigen yang cukup (Frazier dan Westhoff 1981).
A. niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora
tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna hitam, bulat, cenderung
memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur. Konidiospora
memiliki dinding yang halus, tetapi juga berwarna coklat. A. niger mempunyai koloni pada
medium Czapek’s Dox mencapai diameter 4-5 cm dalam 7 hari dan terdiri dari suatu lapisan yang
kompak berwarna putih hingga kuning dan suatu lapisan konidiofor yang lebat yang berwarna
coklat tua hingga hitam. Konidia berbentuk bulat hingga semibulat, berwarna coklat, dan
memiliki ornamentasi berupa tonjolan dan duri-duri yang tidak beraturan (Gambar 5).
7 A. niger memerlukan mineral (NH4)2SO4, KH2PO4, MgSO4, urea, CaCl2.7H2O, FeSO4,
dan MnSO4.H2O untuk dapat tumbuh dengan baik. Bahan organik dengan kandungan nitrogen
tinggi dapat dikomposisi lebih cepat dari pada bahan organik yang rendah kandungan nitrogennya
pada tahap awal dekomposisi. Penurunan bahan organik disebabkan pemanfaatan karbon dan
nitrogen sebagai sumber energi oleh A. niger untuk bahan penunjang pertumbuhan. A. niger
dalam pertumbuhannya dipengaruhi langsung oleh zat makanan yang terdapat dalam substrat.
Dalam hal ini molekul sederhana yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung diserap
sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel.
(a)
(b)
Gambar 5. A. niger dalam bentuk spora (a) dan struktur mikroskopis (b)
(Stajich 2007)
Berdasarkan penelitian Sumangat (2003), kapang A. niger memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kadar protein pada kultivasi bahan berserat tinggi dengan adanya penambahan
amonium sulfat (ZA) sebagai sumber nitrogen. Penelitian Sumangat (2003) menunjukkan adanya
peningkatan kandungan protein pada serat jambu mete sampai 17 % melalui kultivasi dengan
penambahan amonium sulfat sebanyak 3 % bahan. Menurut Garaway dan Evans (1984) dan
Cochrane (1958) di dalam Risfaheri (1998), A. niger menghasilkan enzim urease yang dapat
digunakan untuk menghidrolisis urea menjadi ion NH4+ dan CO2. Selanjutnya ion NH4+ ini
digunakan untuk pembentukan asam amino yang merupakan penyusun protein.
E. DELIGNIFIKASI BIOLOGIS
Lignin merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propan yang diikat
dengan ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Lignin bersifat tahan terhadap hidrolisis
karena adanya ikatan arilalkil dan ikatan eter. Lignin dengan struktur tiga dimensi merupakan
material yang paling kuat dalam biomassa, serta sangat resisten terhadap degradasi, baik secara
biologi, enzimatis, maupun kimia (Judoamidjojo et al. 1989).
Menurut Fridia (1989), secara umum proses delignifikasi biologis merupakan perlakuan
pendahuluan terhadap bahan baku, sehingga mempermudah pelepasan hemiselulosa, dan proses
ini berfungsi untuk menghilangkan lignin. Pada proses delignifikasi, lignin dihilangkan, sehingga
hemiselulosa dan selulosa mudah dihidrolisis. Menurut Anggraini (2003) delignifikasi dilakukan
8 dengan merendam serbuk tongkol jagung dalam larutan NaOCl 1 % selama 5 jam pada suhu
28 oC. Lignin akan terlarut pada fraksi cairan, sedangkan fraksi padatan merupakan hemiselulosa
dan selulosa.
Menurut Fengel dan Wegener (1995), bahan yang dikenai proses delignifikasi selain
mengalami penurunan kandungan ligninnya juga mengalami penurunan selulosa dan
hemiselulosa. Proses delignifikasi yang baik adalah yang menghasilkan holoselulosa dengan
kandungan sisa lignin yang rendah, hilangnya polisakarida minimal, serta terjadi degradasi
oksidatif dan hidrolitik selulosa minimal. Johjima et al. (1999) menambahkan bahwa delignifikasi
atau degradasi lignin dilakukan oleh kapang Phanerochaete chrysosporium karena mampu
menghasilkan lignin peroksidase (LiP) dan manganese peroksidase (MnP) sebagai produk
metabolit sekunder. Kedua jenis enzim ini diproduksi untuk memecah lignin sekaligus memenuhi
kebutuhan karbon
Selulosa diekstraksi dengan cara merendam bahan hasil proses delignifikasi dalam larutan
NaOH 15 % selama 24 jam pada suhu 28 oC (Anggraini 2003). Hemiselulosa yang terkandung
pada bahan akan terlarut pada bahan tersebut. Fraksi padatan merupakan selulosa tongkol jagung.
Pemisahan dilakukan menggunakan kain saring dengan dibilas dengan air berulang kali hingga
pH 8. Kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dilakukan pada suhu 50 oC
selama 48 jam.
F. HIDROLISIS SELULOLITIK
Hidrolisis adalah kelanjutan proses delignifikasi yang dilakukan untuk memecah selulosa
menjadi monomer glukosa yang mudah dicerna oleh hewan ruminansia. Degradasi selulosa
terjadi akibat adanya produksi enzim selulase yang yang dihasilkan oleh kapang selulolitik.
Enzim merupakan katalis yang spesifik, seperti halnya enzim selulase dapat menghidrolisis
selulosa dengan sedikit hasil samping.
Enzim selulase yang berasal dari kapang merupakan suatu campuran yang terdiri atas tiga
enzim yaitu endo β-glukonase, selobiohidrolase, dan β-glukosidase yang bekerja secara sinergi
dalam menghidrolisis selulosa berkristal menjadi glukosa. Selobiohidrolase menyerang struktur
berkristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo beta glukonase menghidrolisis
bagian amorf selulosa menjadi senyawa–senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil (beta–
oligomer menjadi glukosa) (Sasaki 1982).
Menurut Wasserman (1984), hidrolisis selulosa dengan enzim dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu dengan menggunakan enzim yang telah diisolasi dari sumbernya atau dengan
menggunakan mikroba penghasil enzim selulase. Enzim selulase pada umumnya tidak tahan
terhadap panas. Aktivitasnya akan hilang sebanyak 50 % dengan pemanasan selama dua jam pada
suhu 60 oC. Selulosa merupakan polimer yang tersusun atas unit-unit glukosa melalui ikatan
α-1-4-glikosida dengan bentuk yang menumpuk dan terikat menjadi serat yang sangat kuat.
Selulosa mempunyai dua macam ikatan hidrogen, yaitu hidrogen intramolekul dan ikatan
hidrogen intermolekul. Struktur fibril dan kuatnya ikatan hidrogen menyebabkan selulosa bersifat
tidak larut dalam berbagai pelarut (Achmadi 1989). Pemutusan ikatan pada selulosa untuk
menghasilkan monomer glukosa disajikan pada Gambar 6.
Gambar 6 menunjukkan sistem kerja enzim menghidrolisis selulosa menjadi glukosa dan
gula sederhana lainnya. Enzim endoglukanase menghidrolisis secara acak bagian amorf selulosa
serat menghasilkan oligosakarida dengan panjang yang berbeda dan terbentuknya ujung rantai
9 baru. Enzim eksoglukanase bekerja terhadap ujung pereduksi dan non pereduksi rantai
polisakarida selulosa dan membebaskan glukosa yang dilakukan oleh enzim glukanohidrolase
atau selobiosa yang dilakukan oleh enzim selobiohidrolase. Hidrolisis bagian berkristal hanya
dapat dilakukan secara efisien oleh enzim eksoglukanase. Hasil kerja sinergis endoglukanase dan
eksoglukanase menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan
enzim β-glukanase yang memecah selobiosa menjadi dua molekul glukosa (Howard 2003: Lynd
et al. 2002).
Hidrolisis dapat terjadi baik pada selulosa maupun hemiselulosa. Hemiselulosa dapat
didegradasi menjadi xilosa dengan menggunakan asam dan enzim. Hidrolisis hemiselulosa secara
asam dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, hidrolisis dengan menggunakan suhu tinggi atau
menggunakan asam konsentrasi tinggi (Kosaric et al. 1983). Selain penggunaan asam dan panas,
hidrolisis selulosa dan hemiselulosa juga dapat dilakukan dengan pemanfaatan enzim. Menurut
Saddler (1993), hidrolisis sempurna xilan memerlukan aktivitas sinergis kelompok enzim
hemiselulosa (hidrolitik), di antaranya adalah enzim endo-β-xilanase dan exo-β-xilosidase.
Gambar 6. Hidrolisis selulosa menjadi glukosa (Lynd et al. 2002)
G. PAKAN TERNAK RUMINANSIA
Pakan ternak ruminansia dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu golongan pakan
hijauan dan golongan pakan tambahan berupa konsentrat. Pakan hijauan dapat diperoleh dari jenis
rumput, kacang-kacangan, daun pisang, daun nangka, dan hijauan lain. Pakan konsentrat adalah
pakan tambahan yang kandungan proteinnya tinggi, diusahakan murah harganya, serta tidak
bersaing dengan kebutuhan manusia. Jenis pakan ini dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti
tongkol jagung, ampas bir, bekatul, onggok, dan tetes. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak,
dikenal istilah complete feed atau pakan lengkap yang berasal dari bahan bukan hijauan.
Complete feed merupakan pakan yang terbuat dari limbah pertanian yang diformulasikan
sedemikian sehingga semua nutrisi kebutuhan ternak ruminansia bisa dipenuhi. Kandungan
10 protein dan serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing
sebesar > 8 % dan > 15 % (Riwantoro 2005).
Riwantoro (2005) juga menyatakan bahwa bahan-bahan yang biasa digunakan untuk
pembuatan complete feed antara lain : (1) sumber serat kasar (jerami kedelai, tongkol jagung,
pucuk tebu dan lain-lain), (2) sumber energi (pollard, dedak padi, bungkil tapioka, tetes dan lainlain), (3) sumber protein (bungkil kopra, bungkil sawit, bungkil minyak biji kapok atau klenteng,
kulit kopi, kulit kakao, urea dan lain-lain), dan (4) sumber mineral (tepung tulang, campuran
mineral, garam dapur dan lain-lain).
11 
Download