4 TINJAUAN PUSTAKA Komponen Kimia Kayu Kayu disusun oleh unsur karbon, hidrogen dan oksigen (Haygreen & Bowyer 1995). Di samping itu, kayu juga mengandung senyawa anorganik yang disebut abu. Abu tersebut mengandung unsur-unsur seperti kalsium, kalium, magnesium, mangan dan silikon. Komposisi unsur kimia penyusun kayu sangat bervariasi. Secara umum komposisi unsur kimia kayu untuk karbon sekitar 49%, hidrogen 6%, oksigen 44%, nitrogen 0.04-0.1%, dan abu (mineral) 0.2-0.5% (Brown et al. 1952, Haygreen & Bowyer 1993). Jaringan kayu tersusun dari bahan polimer dalam bentuk fraksi polisakarida (selulosa dan hemiselulosa) dan lignin (Sjostrom 1995, Brown et al. 1952, Fengel & Wegener 1995, Eaton & Hale 1993, Haygreen & Bowyer 1993). Komponen polimer ini disebut juga komponen primer karena merupakan komponen utama penyusun dinding sel kayu. Selain komponen primer, kayu juga mengandung berbagai macam bahan organik lainnya dan bahan anorganik yang disebut zat ekstraktif yang terdapat di dalam dinding sel maupun rongga sel. Zat ekstraktif disebut juga komponen sekunder karena keberadaannya di dalam kayu bukan merupakan bagian struktural dari dinding sel. Komponen sekunder yang berupa bahan organik ini dapat diekstraks dari dalam kayu tanpa merusak struktur dinding sel kayu (Fengel & Wegener 1995). Selulosa Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit D-anhidro glukopyranosa yang terikat melalui ikatan glikosida β-1-O-4. Gambar 1 menunjukkan struktur dasar selulosa. Jumlah unit-unit glukosa yang menyusun selulosa atau biasa disebut derajat polimerisasi (degree of polymeritation) sekitar 8000-10000 dalam setiap kayu (Eaton & Hale 1993). Selulosa dibentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses fotosintesis, air (H2O) yang diperoleh dari dalam tanah diangkut oleh xylem bagian luar (kayu gubal) dan karbondioksida (CO2) yang diperoleh dari udara dipadukan menjadi glukosa (C6H12O6) dan oksigen (O2) dengan bantuan sinar matahari. Selanjutnya glukosa 5 tersebut diangkut ke pusat-pusat pengolahan yang terletak pada pucuk cabang dan akar (meristem ujung) dan ke lapisan kambium yang menyelubungi batang utama, cabang dan akar. Kemudian dalam suatu proses kompleks, glukosa mengalami modifikasi kimia dengan dilepaskannya satu molekul air (H2O), dan terbentuklah andhidrit glukosa (C6H10O5). Dua unit anhidrid glukosa kemudian saling bersambungan ujung-ujungnya membentuk selobiosa, selanjutnya selobiosa membentuk polimer berantai panjang yang disebut selulosa yang merupakan polimer tersusun dari unit pengulangan dari selobiosa (Haygreen & Bowyer 1993). Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 1 Struktur Dasar Selulosa Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi larutan penggelantang, tidak larut air, alkohol, alkali encer, asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan pulp oleh larutan alkali dan asam pekat (Casey 1980). Dalam produksi bioetanol, selulosa dipertahankan supaya sedikit mungkin mengalami kerusakan selama proses pulping. Semakin tinggi kandungan selulosa suatu bahan diharapkan menghasilkan rendemen etanol yang tinggi pula (Saddler 1993). 6 Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tak sempurna menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobiosa. Selulosa dapat dikonversi menjadi produk-produk bernilai ekonomi yang lebih tinggi seperti glukosa, etanol dan pakan ternak dengan jalan menghidrolisis selulosa dengan bantuan selulase sebagai biokatalisator atau dengan hidrolisis secara asam/basa (Saddler 1993). Hemiselulosa Hemiselulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa, gula heksosa, gula pentosa. Hemiselulosa ini relatif berantai pendek dan bercabang. Derajat polimerisasinya jarang mencapai 200. Komponen hemiselulosa pada kayu daun lebar berbeda dengan kayu daun jarum. Komponen monosakarida yang menyusun hemiselulosa terdiri atas glukosa, xilosa, galaktosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa dan fukosa (Eaton & Hale 1993, Barnet & Jeronimidis 2003). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia komponen-komponen gula hemiselulosa. Menurut Fengel & Wegener (1995), perbedaan utama hemiselulosa kayu daun jarum dengan kayu daun lebar adalah jenis dan jumlah gula penyusun hemiselulosanya. Kayu daun jarum memiliki komponen mannan yang lebih tinggi sedangkan kayu daun lebar komponen xilan yang lebih tinggi. Contoh hemiselulosa pada kayu daun jarum adalah O-asetil-galaktoglukomanan atau biasa disebut galaktoglukomanan (Gambar 3). Sedangkan contoh hemiselulosa pada kayu daun lebar adalah O-asetil-4-O-metil-glukuronoxilan atau glukuronoxilan (Gambar 4). 7 Sumber: Fengel & Wegener (1995) Gambar 2 Struktur Kimia Komponen-Komponen Gula Hemiselulosa Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 3 O-Asetil Galaktoglukomanan dari Kayu Daun Jarum 8 Sumber: Fengel &Wegener (1995) Gambar 4 O-Asetil-4-O-Metilglukoronoxilan dari Kayu Daun Lebar Xilan tersusun dari ikatan xilosida. Xilan yang terdiri atas gugus-gugus ikatan asam uronat dan xilosa sangat tahan terhadap hidrolisis, sedangkan gugus asetil mudah dihidrolisis oleh asam dan sangat efektif diekstraks dengan alkali. Dalam teknologi pulping kraft, gugus asetil ini terdegradasi bersama lignin (Sjostrom 1995). Hemiselulosa dapat dihidrolisis dengan menggunakan pelarut asam maupun basa menghasilkan gula sederhana seperti glukosa, manosa, xilosa, dan galaktosa. Beberapa enzim yang diketahui bisa mendegradasi hemiselulosa antara lain endo1,4-β-D-xylanase (xilanase) dan endo-1,4-β-D-mannase (mannase). Enzim-enzim pendegradasi hemiselulosa tersebut dihasilkan dari jamur seperti Trichoderma spp. dan Aspergillus spp. Bakteri yang dilaporkan penghasil xilanase adalah Bacillus spp. dan Streptomyces spp. (Saddler 1993). 9 Lignin Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari unit-unit fenil propana. Meskipun terdiri atas karbon, hidrogen, dan oksigen, lignin bukanlah suatu karbohidrat tetapi suatu senyawa fenol. Lignin yang berasal dari kayu daun jarum dan kayu daun lebar mempunyai beberapa sifat kimia yang sama yaitu mempunyai metoksil, hidroksil, dan gugus karbonil serta mempunyai inti fenil dalam rangka fenil propana (Haygreen & Bowyer 1993). Menurut Eaton & Hale (1993), berdasarkan strukturnya dikenal tiga jenis unit dasar penyusun lignin yaitu p-kumaril alkohol, koniferil alkohol (guaiasil) dan sinapil alkohol (siringil) (Gambar 5). Dikatakan p-kumaril alkohol jika karbon nomor 3 dan 5 tidak mengikat metoksil. Tipe lignin p-kumaril alkohol umumnya ditemukan pada rumput-rumputan. Jika metoksil hanya terikat pada atom karbon nomor 3 (C3) cincin aromatik maka dikatakan guaiasil sedangkan jika karbon nomor 3 (C3) dan 5 (C5) mengikat metoksil maka disebut siringil. Berdasarkan strukturnya, lignin terdiri atas tiga tipe yaitu lignin guaiasil, lignin guaiasil-siringil dan lignin rumput-rumputan. Lignin guaiasil terdapat pada kayu daun jarum. Kayu daun jarum tersusun dari sekitar 90% guaiasil dan 10% p-kumaril alkohol. Lignin guaiasil-siringil terdapat pada kayu daun lebar yang tersusun dari guaisil dan siringil dengan rasio tertentu. Lignin rumput-rumputan terdapat pada rumput-rumputan (graminae) yang tersusun dari sekitar 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% p-kumaril alkohol (Gullichsen & Paulapuro 2000). Kayu daun lebar mempunyai metoksil yang lebih banyak dibandingkan kayu daun jarum (Eaton & Hale 1993). Struktur lignin penyusun kayu lebar dan kayu daun jarum ditunjukkan pada Gambar 6 dan 7. 10 p-kumaril alkohol koniferil alkohol sinapil alkohol Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 5 Bentuk Unit Fenil Propan yang Terdapat pada Lignin Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 6 Model Lignin Pada kayu Daun Lebar Beech 11 Sumber: Eaton & Hale (1993) Gambar 7 Model Lignin Pada Kayu Daun Jarum Spruce 12 Lignin terdapat di antara sel-sel dan di dalam dinding sel (Haygreen & Bowyer 1995, Siau 1984). Di antara sel-sel, lignin berfungsi sebagai perekat untuk mengikat sel bersama-sama. Di dalam dinding sel, lignin sangat erat hubungannya dengan selulosa dan memberikan ketegaran pada sel. Lignin juga memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan air kayu dan juga memberikan proteksi kayu terhadap organisme perusak kayu. Dalam bidang industri, lignin banyak digunakan sebagai bahan pengikat, dispersan pada industri minyak bumi, bahan penyamak, pengisi bahan dari karet, bahan untuk memperbaiki tekstur tanah, karbon aktif, dan vanilin sintesis (Brown et al. 1952, Bruce & Palfreyman 1998). Dalam proses pulping, lignin berpengaruh terhadap laju delignifikasi baik dari segi kuantitatif dan kualitatif (Syafii et al. 2009). Semakin tinggi kadar lignin kayu maka konsumsi bahan kimia pemasak selama proses pulping akan semakin tinggi pula dan dibutuhkan waktu pemasakan yang lebih lama untuk mencapai tingkat pemasakan tertentu (Casey 1980). Pada kayu daun lebar, perbandingan antara unit siringil dan guaiasil yang dikenal sebagai S/G rasio juga berpengaruh terhadap laju delignifikasi yang terjadi selama proses pulping. Syafii (2001) dan Syafii et al. (2009) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai S/G rasio maka laju delignifikasinya akan meningkat pula. Dalam produksi bioetanol, kehadiran lignin dapat menghambat proses degradasi polisakarida menjadi gula-gula sederhana. Oleh karena itu, lignin terlebih dahulu dihilangkan dengan menggunakan perlakuan pendahuluan (Bruce & Palfreyman 1998). Semakin banyak kandungan lignin suatu jenis kayu maka semakin banyak bahan kimia yang digunakan untuk melarutkan lignin pada proses pulping (Biermann 1993). 13 Zat Ekstraktif Secara umum zat ekstraktif adalah bahan yang berinfiltrasi ke dalam dinding sel atau terdapat sebagai endapan pada permukaan rongga sel atau bahan yang mengisi rongga sel yang dapat dikeluarkan/diekstraks tanpa merusak dinding sel, baik dengan pelarut polar maupun pelarut non polar. Dalam arti yang sempit ekstraktif merupakan senyawa-senyawa yang larut dalam pelarut organik, dan dalam pengertian ini nama ekstraktif digunakan dalam analisis kayu. Senyawasenyawa karbohidrat dan anorganik yang larut dalam air juga termasuk dalam senyawa yang dapat diekstraks (Conner 1977). Kandungan ekstraktif dalam kayu bervariasi mulai kurang dari 1% hingga lebih dari 10% dan dapat mencapai 20% untuk kayu-kayu tropis. Komponen zat ekstraktif dalam kayu dapat menjadi lebih tinggi pada bagian tertentu, misalnya pada bagian pangkal batang, kayu teras, akar dan bagian luka. Jumlah ekstraktif yang relatif tinggi diperoleh dalam kayu tropis dan subtropis tertentu (Zinkel 1978). Menurut Kimland & Norin (1972), kandungan dan komponen zat ekstraktif berbeda-beda di antara spesies kayu. Variasi ini juga bergantung pada letak geografi dan musim. Zat Ekstraktif terkonsentrasi dalam saluran resin dan sel-sel parenkim jari-jari, jumlah yang rendah juga terdapat dalam lamella tengah, saluran interseluler dan dinding sel trakeid dan serabut libriform. Zat ekstraktif tidak tersebar merata dalam batang maupun pada dinding serat. Lemak dan esternya terdapat dalam sel parenkim terutama di dalam sel jari-jari. Bagianbagian yang larut dalam air seperti gula terdapat pada kayu gubal dari batang. Resin banyak terdapat pada pembulu kayu teras. Tanin banyak terdapat dalam kulit kayu. Bahan-bahan mineral terdapat dalam dinding sel kayu. Keberadaan zat ekstraktif kayu menyebabkan beberapa permasalahan dalam proses pulping seperti dapat meningkatkan komsumsi bahan kimia pemasak dan mengurangi rendemen pulp (Biermann 1993). Selain itu, zat ekstraktif juga dapat menghambat proses hidrolisis selulosa dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol (Saddler 1993). 14 Pemanfaatan Bioetanol sebagai Energi Baru dan Terbarukan Etanol (etil alkohol) adalah zat kimia organik berbentuk cair pada suhu kamar, berwarna jernih, berbau khas alkohol, mudah terbakar dan dapat dibuat dari biomassa maupun fraksi minyak bumi yang memiliki rumus molekul C2H5OH dengan berat molekul 46.07. Bioetanol merupakan etanol yang terbuat dari bahan nabati yang mengandung gula (nira tebu, aren, molase), berpati (ubi kayu, ubi jalar, sorgum, jagung) atau bahan berlignoselulosa (jerami padi, tongkol jagung, tandan kosong kelapa sawit, bambu, dan kayu). Dalam industri, etanol umumnya digunakan sebagai bahan baku industri turunan alkohol, campuran untuk minuman keras serta farmasi dan kosmetika. Berdasarkan kadar alkoholnya, alkohol terbagi menjadi tiga kelas yaitu kelas industri dengan kadar alkohol 90-94%, kelas netral dengan kadar alkohol 96-99.5% (umumnya digunakan untuk minuman keras atau bahan baku farmasi), kelas bahan bakar dengan kadar alkohol di atas 99.5% (Hambali et al. 2007). Bioetanol sangat berpotensi sebagai bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar fosil. Pemanfaatan bioetanol ini telah terbukti lebih ramah lingkungan. Hasil pembakaran bioetanol ini menghasilkan limbah yang bersih, bilangan oktan yang lebih tinggi, mengurangi emisi gas karbon monoksida dan penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar diharapkan dapat mengurangi emisi karbon dioksida yang berpotensi menyebabkan pemanasan global (Smith et al. 2003, Samejima 2008). Bahan bakar yang dicampur dengan etanol disebut dengan gasohol. Gasohol singkatan dari gasoline (bensin) dan alcohol (bioetanol). Gasohol merupakan campuran bioetanol kering/absolut terdenaturasi dan bensin pada kadar alkohol sampai dengan sekitar 22% volume. Istilah bioetanol identik dengan bahan bakar murni (BEX: gasohol berkadar bioetanol X%-volume). Sebagai bahan bakar substitusi BBM pada motor bensin, digunakan dalam bentuk nett 100% (B100) atau di-blending dengan premium (EXX). Etanol absolut memiliki angka oktan (ON) 117, sedangkan premium hanya 87 sampai 88. Gasohol E-10 secara proporsional memiliki ON 92 atau setara Pertamax (Susmiati 2010).