Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma Reseei dan

advertisement
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
Pemanfaatan Enzim Selulase dari Trichoderma Reseei dan Aspergillus
Niger sebagai Katalisator Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi dengan
Pretreatment Microwave
Utilization Enzymes Cellulase from Trichoderma reesei and Aspergillus niger For
Enzymatic Hydrolysis of Rice Straw Catalyst with Microwave Pretreatment
Kodri*, Bambang Dwi Argo, Rini Yulianingsih
Jurusan Keteknikan Pertanian - Fakultas Teknologi Pertanian - Universitas Brawijaya
Jl. Veteran, Malang 65145
*Penulis Korespondensi, Email: [email protected]
ABSTRAK
Jerami padi merupakan limbah pertanian yang banyak mengandung selulosa. Selulosa dapat
dimanfaatkan untuk produksi bioetanol dengan melakukan hidrolisis yang mampu memecahkan polisakarida
menjadi monomer gula penyusunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
perbandingan enzim selulase dari Trichoderma reseei dan Aspergillus niger serta waktu hidrolisis terhadap
glukosa yang dihasilkan dari proses hidrolisis enzimatik dengan parameter kadar glukosa yang tertinggi.
Dalam penelitian ini hidrolisis dilakukan secara enzimatik dengan memanfaatkan enzim selulase dari
Trichoderma reseei dan Aspergillus niger. Kapang jenis Trichoderma reseei mempunyai kemampuan
menghasilkan endo-ß-1,4-glukanase dan ekso-ß-1,4-gluknase yang tinggi sedangkan jenis kapang Aspergillus
niger dapat menghasilkan ß-glukosidase yang tinggi. Proses hidrolisis dilakukan dengan memvariasikan
perbandingan dari kedua enzim selulase serta pengamatan terhadap waktu hidrolisis. Variasi perbandingan
volume enzim selulase antara A.niger : T.reesei yaitu 1:0, 0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1, 3:1. Sedangkan untuk waktu
pengambilan sampel dilakukan pada jam ke- 8, 16, 24, 32, 40, 48, 56, 64 serta pada jam ke 72 Berdasarkan
hasil penelitian, perlakuan perbandingan 1 A.niger : 2 T.reesei dengan waktu hidolisis selama 64 jam yang
menghasilkan glukosa sebesar 16.884 %. sedangkan untuk penurunan aktifitas enzim terbesar terdapat pada 1
A.niger : 1 T.reesei yaitu sebesar 0,172 IU/mL.
Kata Kunci : Hidrolisis enzimatik, enzim selulase, glukosa
ABSTRACT
Paddy straw is an agricultural waste that contains cellulose. Cellulose can be used for the production
of bioethanol by hydrolysis of polysaccharides that can solve a constituent monomers of sugar. The aims of
this study was to determine the effect of comparison cellulase enzymes from Trichoderma reseei and
Aspergillus niger and time of hydrolysis to glucose resulting from the enzymatic hydrolysis process with the
highest glucose parameters. In this study the enzymatic hydrolysis performed by utilizing cellulase enzymes
from Trichoderma reseei and Aspergillus niger. Trichoderma Reseei fungus species have the capacity
resulting in endo-ß-1,4-glucanase and exo-ß-1,4-high gluknase whereas species Aspergillus niger can produce
high ß-glucosidase. Hydrolysis process was done by varying the ratio of the two enzymes cellulase and
observation of the hydrolysis time. Variations in the volume ratio between the cellulase enzyme A.niger:
T.reesei was 1:0, 0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1, 3:1. Whereas for taking the time sample performed at 8th, 16, 24, 32,
40, 48, 56, 64 and at 72 hoursBased on the results of the study,. Highest glucose obtained at a ratio of 1
A.niger treatment: 2 T.reesei with hidolisis time during the 64 hours that produces glucose by 16 434%.
Whereas for the biggest decline in the enzyme activity present in 1 A.niger: 1 T.reesei is equal to 0.172 IU /
mL.
Keyword : Enzymatic hydrolysis, cellulase enzyme, glucose
36
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
PENDAHULUAN
Sepuluh tahun terakhir energi merupakan persoalan yang sangat krusial di dunia. Peningkatan
permintaan energi yang disebabkan oleh semakin banyaknya populasi penduduk dan menipisnya sumber
cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap
negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi terbaharukan. Selain itu, terjadi peningkatan
harga minyak dunia hingga mencapai 100 U$ per barel juga menjadi alasan yang serius bagi banyak negara di
dunia terutama Indonesia. Lonjakan harga minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai 1,2 juta barel tidak seimbang dengan
produksinya yang nilainya sekitar 1 juta barel sehingga terdapat defisit yang harus dipenuhi melalui impor.
Menurut data ESDM (2012), Indonesia memiliki cadangan hanya sekitar 4 miliar barel. Apabila terus
dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam
dua dekade mendatang. Dengan demikian diperlukan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan untuk
mengatasi menipisnya persediaan bahan bakar yang tak terbarukan.
Salah satu bentuk energi alternatif yang ramah lingkungan serta menjanjikan di masa depan adalah
bioetanol. Bioetanol merupakan etanol (C2H5OH) yang merupakan hasil dari proses fermentasi gula dari
biomassa yang mengandung komponen pati seperti singkong atau jagung dan tetes tebu, menggunakan
bantuan mikroorganisme . Penggunaan molase dan bahan berpati sebagai bahan baku pembuatan etanol akan
berkompetisi dengan bahan baku pembuatan MSG (monosodiumglutamate) dan berkompetisi dengan
kebutuhan sumber pangan di Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu ditemukan sumber bahan
baku lain yang mengandung polisakarida dan tidak dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Salah satu bahan
yang mengandung rantai polisakarida adalah selulosa.
Selulosa banyak terdapat dalam limbah pertanian atau kehutanan dan belum banyak dimanfaatkan.
Limbah ini merupakan salah satu sumber energi yang cukup potensial dan pada umumnya merupakan bahan
berselulosa yang dapat dikonversi menjadi etanol. Salah satu limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai
bahan baku etanol adalah jerami padi. Jerami padi merupakan limbah hasil pertanian yang pada umumnya
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Jerami padi mengandung polisakarida dalam bentuk selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Kandungan jerami padi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam
produksi bioetanol.
Produksi etanol dari biomassa selulosa limbah pertanian meliputi tahap pretreatment, hidrolisis
(sakarifikasi), fermentasi dan tahap pemurnian etanol (Sukumaran et al, 2008). Secara umum proses
pretreatment digunakan untuk memecah lignin dari hemiselulosa dan selulosa. Pretreatment yang dilakukan
dengan menggunakan NaOH 0.5 M dan dipanaskan dengan microwave selama 40 menit dapat mengurangi
lignin sampai 30 % dan meningkatkan selulosa sebanyak 72 %. Proses hidrolisis dilakukan dengan tujuan
untuk mendapatkan glukosa yang kemudian difermentasi oleh khamir untuk menghasilkan etanol. Hidrolisis
meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa yaitu, menjadi monomer gula
penyusunnya.
Proses hidrolisis selulosa dalam penelitian ini menggunakan enzim selulosa yang berasal dari fungi
yaitu Aspergillus niger dan Trichoderma reesai. Fungi jenis Trichoderma reesei dapat menghasilkan endo-ß1,4-glukanase dan ekso-ß-1,4-glukanase sampai dengan 80% tetapi ß-glukosidasenya rendah (Martins Dkk,
2008) sedangkan fungi jenis Aspergillus niger dapat menghasilkan glukosidas lebih tinggi jika dibandingkan
dengan endo-ß-1,4-glukanase dan ekso-ß-1,4-glukanase. Dari perlakuan tersebut diharapkan dapat diperoleh
kondisi optimum untuk proses hidrolisis enzimatik jerami padi. Sehingga dari penelitian ini didapat glukosa
yang dapat dimanfaatkan pada proses fermentasi.
Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui efektifitas enzim selulase dari Trichoderma reseei dan
Aspergillus niger pada tahapan hidrolisis dan untuk mengetahui pengaruh perbandingan enzim selulase dari
Trichoderma reseei dan Aspergillus niger serta waktu hidrolisis terhadap glukosa yang dihasilkan dari proses
hidrolisis enzimatik dengan parameter kadar glukosa yang tertinggi
METODE PENELITIAN
Tahap-tahap dalam penelitian ini pertama, persiapan bahan baku jerami padi jerami padi yang
digunakan berasal dari varietas ciherang. sebelum digunakan sebagai substrat, jerami padi terlebih dahulu
37
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
dibersihkan dari sisa daun dan kotoran kemudian dijemur lalu dipotong ± 2 cm. selanjutnya, jerami dikecilkan
ukurannya menggunakan disk mill kemudian dioven selama 1 jam serta diseragamkan ukurannya dengan
ayakan 100 mesh. Kemudian dilakukan proses pretreatment dimana pada proses pretreatment dilakukan
untuk merusak struktur lignoselulosa agar selulosa menjadi lebih mudah untuk dikonversi menjadi glukosa.
Pretreatment dilakukan dengan menambahkan NaOH 0,5 N pada jerami padi berukuran 100 mesh dengan
perbandingan 1 : 10 (10 gram jerami : 100 ml NaOH 0,5N) kemudian dipanaskan dengan microwave selama
40 menit. Sludge yang dihasilkan kemudian di keringkan pada suhu 105°C selama 24 jam. Bubuk jerami
hasil pretreatment inilah yang dipakai dalam proses hidrolisis enzimatik. Selanjutnya proses produksi enzim
selulase dimana Enzim selulase diproduksi dari mikrofungi Trichoderma reseei dan Aspergillus niger.. Dari
hasil produksi tersebut diperoleh cairan enzim yang akan digunakan pada tahap hidrolisis enzimatik , dimana
Jerami padi hasil pretreatment, diseragamkan ukurannya menjadi 100 mesh. Selanjutnya sebanyak 5 gram
jerami ditimbang dan dimasukkan ke dalam beaker glass. Ditambahkan larutan buffer sitrat pH 5 sebanyak 50
ml dengan volume enzim sesuai perlakuan. Setelah itu, Perbandingan volume enzim Trichoderma reesei dan
Aspergillus niger (V) ditambahkan sesuai perlakuan yaitu 1:0, 0:1, 1:1, 2:1, 1:2, 3:1, 1:3. Selanjutnya,
dimasukkan ke dalam waterbath shaker selama 72 jam dengan suhu 50°C dan kecepatan pengadukan 75 rpm
(Sampel diambil sebanyak 2 ml setiap 8 jam selama 72 jam. Pada setiap pengambilan sampel, pengadukan
dihentikan selama 1 menit untuk mengendapkan bubuk jerami.
Pada Penelitian ini aktifitas enzim dilakukan berdasarkan aktivitas CMCase dalam satuan
Internasiunal Unit (IU) dengan metode DNS (Dinitrosalicylic acid) diuji dengan metode CMCase. Pengujian
aktivitas enzim dilakukan pada masing-masing perlakuan dimana uji dilakukan pada awal yaitu jam ke 0 dan
pada akhir yaitu jam ke 72. Pengujian aktivitas ini dilakukan berdasarkan jumlah glukosa yang dihasilkan tiap
menit dengan waktu pengujian 10 menit dengan suhu 35 oC. Jumlah kadar glukosa yang dihasilkan dilihat
berdasarkan parameter panjang gelombang yang diukur menggunakan spektrofotometer 540 nm. Menurut
Ghose (1987), konversi kadar glukosa ke dalam aktivitas enzim dapat menggunakan rumus berikut.
Analisa kadar glukosa dilakukan dengan metode DNS (Dinitrosalicylic acid) dimana Sampel hasil
hidrolisis enzimatik dalam keadaan jernih dipipet sebanyak 0,2 ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
bersih. Selanjutnya ditambahkan 1,8 mL akuades dan 2 mL reagen DNS Tabung reaksi dipanaskan pada air
mendidih selama 5 menit agar terjadi reaksi antara glukosa dalam sampel dengan DNS. Tabung didinginkan
hingga mencapai suhu ruang Angka absorbansi sampel diukur pada panjang gelombang 540 nm dengan
spektrofotometer UV-Vis. Data hasil yang diperoleh tiap variabel, dibuat tabel dan grafik sehingga kondisi
optimum dari masing-masing variabel dapat diketahui. Perlakuan terbaik dipilih berdasarkan pada perlakuan
yang menghasilkan glukosa tertinggi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlakuan awal atau pretreatment dalam penelitian ini dilakukan dengan dua macam perlakuan
yaitu pretreatment secara fisik dan pretreatment secara kimiawi. Perlakuan awal fisik pada jerami padi
sebelum digunakan sebagai substrat dalam proses hidrolisis enzimatik adalah membersihkan kotoran-kotoran
yang terbawa serta menempel ketika proses pemanenan. Kemudian dilakukan proses pengurangan kadar air
dengan dijemur di bawah sinar matahari selama 12 jam sampai batang padi mengalami perubahan warna
menjadi kuning kecoklatan dimana dengan adanya perubahan warna mengindikasikan kadar air telah
berkurang dan respirasi telah terhambat. Penjemuran ini juga dilakukan untuk mencegah proses pembusukan
jerami akibat adanya perkembangan mikroba perusak, selain itu proses penjemuran dilakukan untuk
mempermudah proses pengecilan ukuran dengan diskmill, karena jerami yang masih basah akan membuat
jerami menempel pada kepingan diskmill ketika digiling. Kemudian jerami padi dipotong 2 cm dengan
menggunakan gunting, hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pemasukan jerami padi ke lubang disk
mill. Bubuk jerami hasil penggilingan dioven pada suhu 105°C selama 4 jam agar bubuk jerami tidak
menggumpal serta mempermudah proses pemisahan pada saat pengayakan. Proses pengayakan ukuran
dilakukan secara manual dengan menggunakan ayakan 100 mesh.
38
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
Pretreatment secara kimiawi dilakukan dengan mencampurkan bubuk jerami dengan NaOH 0.5 M
dengan perbandingan 1:10 (bubuk jerami : larutan NaOH). Selanjutnya bahan diproses dengan microwave
selama 40 menit, sludge hasil pretreatment kemudian dibilas dan dinetralkan dengan aquades yang telah
dipanaskan serta dibantu dengan pompa vacum agar proses penetralan berlangsung dengan cepat. Penetralan
dilakukan sampai bahan berwarna putih dengan indikasi bahan telah mencapai pH 7,04. Hasil penetralan
dikeringkan dengan oven pada suhu 105°C selama 6 jam. Setelah itu dilakukan analisis kandungan jerami
(Kandungan lignin, selulosa dan hemiselulosa) sebelum dan setelah proses pretreatment
dengan
menggunakan metode Chesson. Proses pretreatment ini dilakukan untuk membuka struktur lignoselulosa agar
selulosa menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polimer polisakarida menjadi monomer gula
(Rokhmah, 2011).
Nilai kandungan selulosa pada proses sebelum dan sesudah pretreatment mengalami peningkatan
dari 31,37% menjadi 73,48 %. Hal ini dikarenakan setelah proses pretreatment dengan microwave oven
gelombang mikro menyebabkan terjadinya peningkatan suhu yang sangat cepat didalam microwave sehingga
bahan mengalami perubahan suhu. Interaksi jerami padi dengan gelombang mikro mengakibatkan dinding sel
pembungkus mikrofibril selulosa dalam suatu matriks hidrofobik yang terikat pada selulosa maupun
hemiselulosa dapat terlepas dan kandungan lignin pada dinding sel yang menghalangi selulosa mulai turun.
Nilai kandungan hemiselulosa pada proses sebelum dan sesudah pretreatment mengalami penurunan
dari 18,14% menjadi 16,02%. Hal ini dikarenakan adanya penambahan NaoH pada proses petreatment masih
adanya kandungan air didalam jerami padi yang menyebabkan terjadinya penguapan hemiselulosa terurai
menjadi asam, yang mengkatalis dekomposisi hemiselulosa dan melepaskan selulosa. Hal ini sesuai dengan
pendapat Anggorodi (1979), yang menyatakan bahwa hemiselulosa merupakan golongan zat karbohidrat yang
tidak larut dalam air mendidih, tetapi larut dalam alkali encer dan hancur dalam asam encer. Hemiselulosa
merupakan polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih kecil dari pada selulosa. Molekul hemiselulosa
lebih mudah menyerap air, bersifat plastis, dan mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih luas
dari selulosa.
Penurunan nilai kandungan lignin paling optimal pada proses sebelum dan sesudah pretreament dari
7.93% menjadi 3.29%. Hal ini dikarenakan setelah proses pretreatment gelombang mikro pada microwave
memecah struktur lignin yang kompleks menjadi struktur-struktur penyusunnya yang lebih sederhana.
Interaksi microwave dengan bahan pada saat pretreatment, akan menghasilkan efek termal yang akan
digunakan untuk melakukan proses fisik, kimia atau biologi. Efek panas merupakan respon dari molekul polar
dan ion untuk mengubah arah dari medan listrik yang dihasilkan oleh gelombang elektromagnetik pada
frekuensi microwave. Molekul polar melurus diluar medan elektromegnetik, namun oscillating (gerakan
bolak-balik) medan listrik dari radiasi microwave menyebabkan molekul polar bervibrasi dengan cepat
sebagai akibat lignin yang melurus dalam medan listrik. Adanya penambahan NaOH juga dapat menurunkan
kandungan lignin yang cukup besar, karena terjadi reaksi pemutusan ikatan lignin menjadi lebih cepat.
Pembuatan kurva standar glukosa dilakukan dengan melarutkan 0,3637 gram glukosa anhidrat dalam
100 mL akuades, sehingga diperoleh konsentrasi larutan 20 mM. Dipipet ke dalam tabung reaksi bersih sesuai
konsentrasi yang telah ditentukan yaitu 0-20 mM. Hasil pengukuran nilai absorbansi pada larutan glukosa
standar dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil pengukuran larutan glukosa standar
Konsentrasi
Nilai
Glukosa
Absorbansi
0
5
10
15
20
0
0.21
0.5
0.87
1.09
Sumber : Hasil Penelitian
39
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
Gambar 1. Grafik absorbansi terhadap konsentrasi glukosa
Berdasarkan data pada Tabel 1, maka dapat dihitung regresi linier untuk glukosa. Persamaan
matematis glukosa yaitu y = 0.0568x - 0.034 dimana x adalah konsentrasi glukosa dan y merupakan nilai
absorbansi dari glukosa pada panjang gelombang 540 nm. Dari persamaan ini, maka dapat dihitungan kadar
glukosa sebagai produk dari reaksi reaksi enzim selulase terhadap substrat jerami padi pada beberapa
konsentrasi substrat dengan menggunakan data hasil pengamatan nilai absorbansi dari tiap sampel. Hasil
pengukuran nilai absorbansi pada setiap konstrasi glukosa mengalami peningkatan. Dimana nilai absorbansi
tertinggi terjadi pada konsentrasi glukosa 20 mM yaitu sebesar 1, 09. Hal ini dikarenakan semakin tinggi
kandungan glukosa pada bahan maka semakin besar nilai yang dapat dibaca spektofotometer.
Proses enzimatik merupakan proses ramah lingkungan berbahan baku terbarukan (renewable raw
material). Kelemahan dari metode ini adalah bahan penyusun reagennya yang cenderung sulit didapat serta
sampel yang diukur harus benar – benar dalam keadaan jernih. Oleh karena itu, jika sampel dalam kondisi
keruh maka perlu adanya proses penjernihan terlebih dahulu. Pengujian aktivitas enzim pada masing–masing
perlakuan dengan menggunakn metode CMCase menunjukan adanya penurunan aktifitas enzim awal dan
aktivitas enzim akhir. Aktivitas enzim Berikut ini grafik yang menunjukan hasil pengukuran aktivitas enzim
pada berbagai perlakuan.
Gambar 2. Grafik hasil pengujian aktivitas enzim
Berdasarkan grafik diatas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan aktivitas enzim awal dan aktivitas
enzim akhir pada setiap perlakuan. Hal ini dikarenakan perbedaan waktu pengukuran dimana semakin lama
enzim selulosa tersebut digunakan maka aktivitasnya akan mengalami penurunan. Pada pengukuran aktivitas
40
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
enzim dengan perlakuan perbandingan enzim selulase Aspergillus niger : Trichoderma reseei yaitu 1:0,
0:1, 1:1, 1:2, 1:3, 2:1, 3:1 memberikan hasil penurunan dari aktivitas enzim awal ke aktivitas enzim akhir
berturutan adalah 0,074 IU/mL; 0,044 IU/mL ; 0,172 IU/mL, 0,045 IU/mL; 0,047 IU/mL; 104 IU/mL dan
0,104 IU/mL. Berdasarkan pengujian aktifitas enzim dari 7 perlakuan penurunan aktivitas enzim yang paling
besar yaitu pada perbandingan 1 Aspergillus niger : 1 Trichoderma reseei sebesar 0,172 IU/mL dan yang
terendah pada perbandingan 1 Aspergillus niger : 0 Trichoderma reseei sebesar 0,044 IU/mL. Faktor yang
menyebabkan penurunan aktifitas enzim yaitu waktu dan suhu. Dimana dapat dilihat dari gambar 1 tersebut
semakin lama penggunan enzim selulase untuk proses hidrolisis maka aktivitas enzimnya semakin menurun.
Hal ini juga diperkuat dari penelitian Gautam (2011) bahwa aktivitas akan mengalami kenaikan pada awal
namun akan mulai mengalami penurunan setelah hari ke delapan. Selain itu penurunan aktivitas enzim juga
disebabkan karena adanya faktor suhu yang mana pada enzim selulase yang dari Trichoderma sp akan
mengalami penurunan yang akibat jenis kapang ini tidak tahan pada suhu yang terlalu panas. Sejalan dengan
penelitian sebelumnya yaitu Gautam et.al (2011) yang mendapatkan aktivitas enzim tertinggi pada kisaran
suhu 40 - 50 oC untuk produksi enzim selulase dari Trichoderma sp.
Glukosa akan terbentuk dari hasil gula reduksi pada proses hidrolisis enzimatik jerami padi dengan
katalis enzim selulase. Pertimbangan penggunaan metode ini karena mudah dilakukan dan hasil yang
didapatkan lebih memuaskan untuk mengukur gula reduksi. Selain itu, Pereaksi DNS umum digunakan untuk
mengukur gula reduksi yang diproduksi oleh mikroba karena tingkat ketelitiannya yang tinggi sehingga dapat
diaplikasikan pada gula dengan kadar kecil sekalipun. Akan tetapi metode ini menpunya kekurangan yaitu
regen DNS akan mengalami ketidakstabilan apabila terjadi kontak langsung dengan cahaya sehingga
penyimpanan reagen DNS harus terhindar dari kontak langsung dengan cahaya. Hasil pengukuran kadar
glukosa pada masing – masing sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode DNS (Dinitrosalicylic
Acid) menunjukkan hasil yang pada awalnya naik kemudian pada jam tertentu mengalami penurunan. Berikut
ini grafik yang menggambarkan hasil pengukuran kadar glukosa pada berbagai perlakuan.
Gambar 3. Grafik kadar glukosa pada berbagai perlakuan
Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa hasil pengukuran kadar glukosa pada perbandingan 1
Aspergillus niger : 2 Trichoderma reseei dengan waktu hidrolisi selama 64 jam merupakan perlakuan yang
mendapatkan kadar glukosa tertinggi yaitu sebesar 16,884 %. Dimana kadar glukosa terus meningkat mulai
dari jam 8 sampai dengan jam ke 64 namun mengalami penurunan pada jam ke 72. Hal ini dikarenakan
jumlah substrat pada awal hidrolisis masih cukup banyak sehingga dengan semakin lamanya waktu hidrolisis,
glukosa yang dihasilkan juga meningkat selain itu juga dapat disebabkan gula sebagai sumber nutrisi masih
banyak tersedia sehingga memungkinkan terjadi peningkatan kadar glukosa pada waktu tertentu, namun pada
waktu tertentu akan menglami penurunan kadar glukosa dikarenakan semakin lamanya waktu hidrolisis
jumlah substrat (jerami padi) akan semakin berkurang karena telah banyak yang terhidrolisis sehingga
glukosa yang dihasilkan cenderung menurun atau konstan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah
41
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
dilakukan oleh Fatrikadona (2012) yang menghidrolisis jerami padi menjadi glukosa secara enzimatik dengan
menggunkan enzim selulase dari mikrofungi Trichoderma reseei dan mendapatkan waktu optimal hidrolisis
selama 60 jam.
Perbandingan enzim selulase Aspergillus niger ; Trichoderma reseei = 1:2 dimungkinkan
menghasilkan jumlah endo-1.4-β-D-glukanase dan ekso-β-1.4-glukanase yang lebih banyak dibandingkan
dengan perbandingan yang lainnya sehingga menghasilkan selobiosa yang banyak pula. Adapun penambahan
Aspergillus niger yang menghasilkan β-glukosidase bereaksi memotong rantai selobiosa menjadi glukosa.
Hal ini juga didukung oleh penelitian Eva Palmqvist, (1996) dalam Arias dkk (2008) yang menyatakan pada
perbandingan pencampuran A.niger : T.reesei = 1:2 mampu menghasilkan endo dan eksoglukanase yang akan
merubah jerami padi menjadi selobiosa dengan sedikit penambahan β-glukosidase dari A.niger yang
kemudian selobiosa beraksi dengan β-glukosidase untuk menghasilkan glukosa. Penambahan A.niger yang
cukup banyak akan menurunkan konsentrasi dari glukosa dikarenakan selobiosa yang dihasilkan sangat
sedikit sehingga glukosa yang akan di hasilkan akan sedikit.
Pada dasarnya mekanisme pemotongan rantai ikatan oleh enzim selulase sangat kompleks karena
melibatkan sinergitas kerja 3 komponen besar yaitu endo-1.4-β-D-glukanase yang berfungsi memutuskan
ikatan selulosa secara random dengan memulai serangan acak pada sisi internal daerah amorf dari serat
selulosa sehingga sisi yang terbuka dapat diserang oleh cellobiohydrolase. Kemudian kerja dari ekso-β-1.4glukanase yang memotong ujung-ujung rantai individu selulosa. ekso-β-1.4-glukanase atau disebut
cellobiohydrolase menyerang bagian luar non-reducing dari selulosa sehingga dihasilkan selobiosa sebagai
struktur utamanya. Selanjutnya adalah kerja dari β-glukosidase yang berfungsi memotong selobiosa menjadi
molekul-molekul glukosa.
Enzim selulase dapat mengubah selulosa tak tersubtitusi menjadi selobiosa yang kemudian
dihidrolisis lebih lanjut dengan β-glukosidase (Alexander dkk, 1992). Pemutusan ikatan ini akan
menghasilkan oligosakarida turunan selulosa, yang akhirnya diubah menjadi monomer glukosa (Chaplin,
1994). Nama sistematik dari selulase adalah β-1,4-D-glukan-glukano hidrolase (Pigman dan Hirton, 1970).
Hidrolisis selulosa menjadi glukosa secara konsisten melewati dua tahap penting dalam sistem enzimatik,
yaitu pemecahan ikatan glukosidik pada selulosa menjadi selobiosa oleh β-1,4-glukanase dan pemecahan
ikatan β-1,4-glukosidik pada selobiosa menjadi glukosa oleh β-glukosidase (Fox, 1991). Enzim selulase yang
berasal dari gabungan mikrofungi Trichoderma reseei dan Aspergillus niger memiliki kemampuan yang
tinggi didalam memecahkan ikatan pada stuktur selulosa sehingga mampu menghasilkan glukosa yang lebih
tinggi. Oleh karena itu, hidrolisis enzimatik limbah pertanian dapat memberikan nilai tambah.
KESIMPULAN
1.
2.
Enzim selulase yang dihasilkan dari mikrofungi Aspergillus niger dan Trichoderma reseei dapat
dimanfaatkan sebagai katalis dalam proses hidrolisis enzimatik jerami padi dimana produk akhir
yang dihasilkan berupa glukosa.
Kondisi operasi yang mempengaruhi proses hidrolisis adalah perbandingan enzim selulase dari
Aspergillus niger dan Trichoderma reseei serta waktu hidrolisis enzimatik. Dimana Kombinasi
perlakuan terbaik yaitu pada perbandingan 1 Aspergillus niger : 2 Trichoderma reseei dengan waktu
hidrolisis 64 jam menghasilkan glukosa sebesar 12.169 g/L.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M., D.A. Hopwood, B.H. Iglewski, and A.I. Laskin, 1992, Encyclopedia of Microbiology, vol 1 ,
Academic Press, Inc., New York.
Anggorodi. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta.
Antiq Fatrikadona, 2011. Hidrolisis Enzimatik Jerami Padi Dengan Memanfaatkan Enzim
Dari
Trichoderma Reseei Sebagai
Katalisator
Pembentuk
Glukosa.
Jurusan Keteknikan
Pertanian,
Universitas Brawijaya : Malang.
Selulase
Skripsi.
42
Jurnal Bioproses Komoditas Tropis
Vol. 1 No. 1, April 2013
Arias Gema, Elsa Astriana. 2008. Variasi Kondisi Operasi Steam Pretreatment Sawdust
Kayu) Sebagai Bahan Baku Produksi Glukosa. Surabaya.
Chaplin,M., 1994, “Glucose from Cellulose”,
tanggal akses : 22 Februari 2007.
ESDM,
(Serbuk
http://www.lsbu.ac.uk/biology/enztech/cellulose.html,
2012,
“Laju
Eksplorasi
Minyak
Cadangan
Indonesia
Sangat
Tinggi”,
http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/5529-laju-eksplorasi-cadangan-minyakindonesia-sangat-tinggi.html tanggal akses: 6 Juni 2012
Fox, P.F. 1991. Food Enzymology, vol 1, Elsevier Applied Science Ltd., New York.
Gautam, S.P., Bundela P.S., Pandey A.K., and Jamaluddin Khan, M.K. 2011. Optimization for the
Production of Cellulase Enzyme from Municipital Solid Waste Residu by Two Novel Celluloly
Fungi. Biotechnology Research International. Volume 2011(2011). Rani Durgavati University :
India.
Martins, L.F., D. Kolling, M. Camassola, A.J.P. Dillon, L.P. Ramos. 2008. Comparison of Penicillium
echinulatum and Trichoderma reesei Cellulases in Relation to Their ActivityAgainst Various
Cellulosic Substrates. Bioresource Technology, 99, 1417–1424.
Rokhmah, I. 2011. Pengaruh Pretreatment (Delignifikasi) Bertekanan terhadap Kandungan Bubuk
Jerami Padi Giling pada Produksi Bioetanol. Skripsi. Jurusan Keteknikan Pertanian, Universitas
Brawijaya : Malang.
nd
Pigman, W., dan D. Hirton, 1970, The Carbohydrates Chemistry and Biochemistry, 2
Academic Press, London.
edition,
43
Download