II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Lignoselulosa Peningkatan

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Lignoselulosa
Peningkatan produk pertanian diikuti pula oleh meningkatnya limbah hasil
pertanian seperti jerami, tongkol jagung, batang kedelai, dan kulit pisang. Limbah
tersebut memiliki komponen utama lignoselulosa. Limbah pertanian umumnya
mempunyai kandungan protein dan kecernaan yang rendah. Limbah pertanian
mengandung banyak bahan lignoselulosa yang bisa didegradasi oleh selulosa.
Kecernaan limbah pertanian yang rendah disebabkan keberadaan lignin yang
bertindak sebagai penghalang proses perombakan polisakarida dinding sel oleh
mikroba. Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman
dan hampir tidak pernah ditemui dalam keadaan murni di alam (Lynd et al.,
2002). Lignoselulosa adalah komponen utama tanaman yang menggambarkan
jumlah sumber bahan organik yang dapat diperbaharui. Unsur utama dari
lignoselulosa adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin. Kesulitan yang dihadapi
dalam proses degradasi lignoselulosa adalah susunan yang heterogen dari
polisakarida yang terdapat pada dinding sel. Komposisi unsur ini dapat bervariasi
dari satu spesies tanaman lain, misalnya kayu memiliki kandungan selulosa lebih
banyak dibandingkan dengan jerami gandum, sedangkan daun memiliki
kandungan hemiselulosa yang lebih banyak. Selain itu, komposisinya di dalam
suatu tanaman bervariasi tergantung dengan usia dan tingkat pertumbuhannya
(Perez et al., 2002). Ikatan lignoselulosa ini merupakan pembatas dalam
pemanfaatan bahan pakan dalam ransum karena akan menurunkan tingkat
kecernaan sehingga mengurangi nilai nutrisi pakan. Komponen lignoselulosa
4
5
merupakan sumber utama untuk menghasilkan produk bernilai seperti
gula dari hasil fermentasi, bahan kimia, bahan bakar cair, sumber karbon dan
energi. Menurut Mosier (2005) berbagai produk nilai tambah dari limbah
lignoselulosa diantaranya adalah untuk pupuk organik, bioetanol, biogas,
biodiesel, biohidrogen dan industri kimia.
Adanya
faktor-faktor
tersebut
menyebabkan
diperlukannya
suatu
informasi mengenai karakter dan komposisi lignoselulosa limbah serta tingkat
degradabilitas enzimatis selulosa dari masing-masing limbah bila dihidrolisis
secara langsung tanpa proses pretreatment. Proses pretreatment merupakan untuk
mengkondisikan bahan – bahan lignoselulosa baik dari segi struktur maupun
ukuran dengan memecah dan menggurangi kandungan lignin dan hemiselulosa.
Limbah yang dapat dihidrolisis secara langsung dan menghasilkan gula reduksi
dengan jumlah banyak akan menguntungkan secara ekonomi (Mosier et al.,
2005).
2.2. Selulosa
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman.
Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari
berat kering tanaman (Lynd et al., 2002). Selulosa merupakan polimer glukosa
dengan ikatan ß-1,4 glukosida dalam rantai lurus. Bangun dasar selulosa berupa
suatu selobiosa yaitu dimer dari glukosa. Rantai panjang selulosa terhubung
secara bersama melalui ikatan hidrogen (Perez et al., 2002). Selulosa mengandung
sekitar 50-90% bagian berkristal (Aziz et al., 2002). Ikatan ß-1,4 glukosida pada
serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa dengan cara hidrolisis
6
asam atau enzimatis. Kesempurnaan pemecahan selulosa pada saluran pencernaan
ternak tergantung pada ketersediaan enzim pemecah selulosa yaitu selulase.
Selulosa merupakan polisakarida yang mempunyai fungsi sebagai unsur
struktural pada dinding sel tumbuhan tingkat tinggi dan juga polisakarida
terbanyak yang ditemukan pada tanaman (Linder dan Teeri, 1997). Selulosa
berbentuk serabut, liat, tidak larut di dalam air, dan ditemukan terutama pada
bagian berkayu pada tumbuhan. Molekul-molekul sellulosa seluruhnya berbentuk
linier, dimana setiap molekul glukosa sebagai penyusun polimer dapat berotasi
hingga 180° (Brown et al., 1996).
Selulosa terakumulasi di alam karena relatif resisten di dalam proses
degradasi (proses degrdasi di alam berjalan lambat). Selulosa secara alami
terproteksi dari degradasi dengan adanya hemiselulosa dan lignin. Selulosa dapat
muncul dalam bentuk kristal, disebut selulosa kristalin.
M = lamela tengah, P= dinding primer,S = dinding sekunder, S1= lamela transisi,
S2 = dinding sekunder utama dan S3= dinding sekunder bagian dalam.
Gambar 1. Konfigurasi Dinding Sel Tanaman (Perez et al. 2002).
7
Untuk struktur kimia selulosa adalah ß-1,4-glukosa dihubungkan dengan
ikatan ß1,4-D-glikosida (Fingel et al., 1995). Struktur kimia selulosa disajikan
pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Kimia Selulosa (Sixta, 2006).
Dinding primer mempunyai ketebalan 0.1-0.2 µm dan mengandung
jaringan mikrofibril selulosa yang mengelilingi dinding sekunder yang relatif
lebih tebal (Chahal, 1998). Selulosa pada setiap lapisan dinding sekunder
terbentuk sebagai lembaran tipis yang tersusun oleh rantai panjang residu ß-1,4glukosa dihubungkan dengan ikatan ß1,4-D-glikosida yang disebut serat dasar
(elementary fiber) (Perez et al., 2002).
2.3. Degradasi Selulosa
Bakteri pendegradasi selulosa dapat mengoptimalkan metabolism bakteri
pada keadaan minimal nutrient, setiap bakteri mempunyai strategi yang berbedabeda tergantung pada karakteristik bakteri tersebut (Jeschu, 1995). Besar hasil
akhir yang diperoleh pada proses degradasi tergantung kepada beberapa faktor
yaitu pH, akses terhadap karbon dan konsentrasi subtrat.
Bakteri memiliki kecenderungan untuk mendegradasi selulosa dan
kemampuan ini dimiliki oleh hampir semua bakteri pendegradasi selulosa baik
secara aerob atau anaerobik (Glazer dan Nikaido, 2007). Beberapa jenis bakteri
aerob dan anaerobik khususnya bakteri tanah sering dapat mendegradasi selulosa.
Beberapa bakteri pada kondisi aerobi mampu untuk mendegradasi selulosa di
8
antaranya Acentivibrio cellulolyticus, Bacteriodes cellulosolvent, Bacteriodes
succinogenes, Ruminococcus albus, Ruminococcus flavefaciens dan Clostridium
termocellum dan Sebaliknya, ada beberapa kapang yang dapat mendegradasi
selulosa pada kondisi aerob diantaranya adalah Trichoderma viride, Trichoderma
reesei, Penicillium pinophilum, Sporotrichum pulvelentum, Fusarium solani,
Tolaromyces emersonii, dan Trichoderma koningii (Bhat dan Bhat, 1997).
2.4. Media Isolasi
Isolasi bakteri pada tanah yang tercemar dilakukan dengan menggunakan
media yang disesuaikan dengan habitat asal bakteri (Laura dan Enrique, 2009).
Media tersebut merupakan campuran garam-garam mineral, sehingga media
tersebut dikenal dengan nama medium selulolitik. Bahan-bahan pembentuk untuk
pembuatan medium selulolitik cair untuk uji degradasi adalah sama seperti
pembuatan medium selulolitik padat akan tetapi tidak ditambahkan bacto agar.
Bahan-bahan pembuatan medium selulolitik di atas merupakan sumbersumber mineral makro dan mikro yang penting dan dibutuhkan untuk
pertumbuhan mikroba. Dari bahan-bahan tersebut, KH2PO4 dan K2HPO4 selain
sebagai sumber mineral fosfat, juga berfungsi sebagai larutan penyangga. Larutan
medium selulolitik adalah medium yang cocok digunakan untuk isolasi bakteri
selulolitik.
Mineral, vitamin dan faktor pertumbuhan lainnya biasanya digunakan
untuk mensintesa sel dari substansi sederhana (Cullison, 1979). Beberapa mikro
mineral termasuk Fe dan Mn sangat penting dalam nutrisi ruminan.
Mikroorganisme
rumen
mengandung
sebagian
besar
dari
unsur-unsur
mikromineral ini (Hungate, 1966; Cullison, 1979). Peningkatan aktivitas ruminal
9
dalam mencerna substrat bila ditambahkan Fe dan Mn menunjukkan bahwa
mineral-mineral ini memainkan suatu peranan dalam metabolisme pencernaan
substrat oleh mikroba (Hungate, 1966).
Beberapa bakteri yang membentuk asam dalam medium harus tahan
terhadap asam dalam asam yang dibentuknya. KH2PO4 adalah garam asam yang
lemah, sedangkan K2HPO4 bersifat sedikit basa. Sehingga dengan demikian, jika
akibat metabolisme bakteri menghasilkan sedikit asam atau basa kuat maka kedua
larutan penyangga tersebut masih bisa mengantisipasinya, sehingga pH tidak
berubah. Fosfat banyak digunakan dalam pembuatan media.
Banyaknya
penggunaan
fosfat
tersebut
dikarenakan
zat
tersebut
merupakan bahan anorganik yang menyangga dalam batas fisiologis yang penting
yaitu sekitar netral, dan relatif tidak beracun untuk mikroba. Selain itu, dalam
konsentrasi yang sesuai, fosfat merupakan sumber fosfor yang sangat penting
untuk pertumbuhan bakteri tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan nitrogen
organik, pada medium selulolitik merupakan turunan dari protein dan medium
selulolitik juga menyediakan bermacam-macam unsur pokok seperti nitrogen
organik, dan mengandung senyawa-senyawa lain yang digunakan sebagai faktor
tumbuh oleh mikroba.
2.5. Uji Degradasi Selulosa
Uji Gram’s iodine bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri selulolitik.
Reagent yang digunakan adalah larutan iodine yang merupakan I2 terlarut dalam
iodine. Iodine dapat membentuk kompleks kuning, amilopektin dengan iodine
akan memberi warna merah ungu sedangkan dengan glikogen dan dekstrin akan
membentuk warna kuning kecoklatan (Monruw et al., 2010). Isolat yang
10
digunakan dalam pemujian ini adalah isolat hasil isolasi dan isolat yang terbaik
dilakukan pemujian kembali menggunakan gram’s iodine pada bakteri (Marcon et
al., 2006). Hal ini dikarena sumber karbon dibutuhkan pada bakteri selulolitik
semakin tinggi, sehingga uji gram’s iodin yang dilakukan menyebabkan terjadinya
perubahan warna pada medium selulolitik. Uji gram’s iodine diperkuat dengan
penggunaan iodin dengan tujuanya untuk mewarnai bakteri yang tumbuh pada
cawan perti dan dapat menunjukkan warna coklat gelap (Kasana et al., 2008).
Selulosa di alam lebih banyak ditemukan dalam bentuk selulosa kristalin
(Fikrinda et al., 2000). Upaya untuk memperoleh isolat bakteri selulolitik yang
dapat dimanfaatkan dalam konversi selulosa alam, maka selain aktivitasnya dalam
mendegradasi
selulosa
dan
isolat
bakteri
selulolitik
juga
perlu
diuji
kemampuannya tumbuh pada substrat yang terdiri dari selulosa kristalin. Kertas
saring (filter paper) merupakan salah satu jenis substrat berupa selulosa kristalin
yang berikatan dengan lignin membentuk kompleks lignoselulosa yang sulit
didegradasi (Wirahadikusuma et al., 1995). Untuk mempelajari isolat bakteri
pengurai selulosa dari usus rayap jenis lokal apakah mampu tumbuh pada substrat
yang terdiri dari selulosa kristalin, maka dapat diuji secara in vitro dengan
menumbuhkannya pada medium selulolitik dengan penambahan kertas filter
(Whatman no.1).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Hatami (2008) diketahui bahwa
jumlah bakteri yang berhasil diisolasi dari lahan pertanian dan hasil isolasi pada
medium selulolitik bekteri didapatkan lebih banyak. Dari total bakteri yang
berhasil diisolasi dapat diketahui bahwa jumlah total isolat bakteri pendegadasi
selulosa lebih banyak. Hal ini terjadi karena terdapat perbedaan material organik
11
yang terdapat pada lahan pertanian. Lahan pertanian yang tercemar pertisida dan
limbah pertanian memiliki keanekaragaman material organik yang lebih tinggi.
2.6. Pertumbuhan Populasi Bakteri
Suatu bakteri yang dimasukkan ke dalam medium baru yang sesuai akan
tumbuh memperbanyak diri. Jika pada waktu-waktu tertentu jumlah mikroba
dihitung dan dibuat grafik hubungan antara jumlah mikroba dengan waktu maka
akan diperoleh suatu grafik atau kurva pertumbuhan. Pertumbuhan populasi
mikrobia dibedakan menjadi dua yaitu biakan sistem tertutup (batch culture) dan
biakan sistem terbuka.
Pada biakan sistem tertutup, pengamatan jumlah sel dalam waktu yang
cukup lama akan memberikan gambaran berdasarkan kurva pertumbuhan bahwa
terdapat fase-fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan dimulai pada fase permulaan,
fase pertumbuhan yang dipercepat, fase pertumbuhan logaritma (eksponensial),
fase pertumbuhan yang mulai dihambat, fase stasioner maksimum, fase kematian
dipercepat, dan fase kematian logaritma (Dwidjoseputro, 1994; Pratiwi, 2008).
Pada fase permulaan, bakteri baru menyesuaikan diri dengan lingkungan
yang baru, sehingga sel belum membelah diri. Sel mikrobia mulai membelah diri
pada fase pertumbuhan yang dipercepat, tetapi waktu generasinya masih panjang.
Fase permulaan sampai fase pertumbuhan dipercepat sering disebut lag phase.
Kecepatan sel membelah diri paling cepat terdapat pada fase pertumbuhan
logaritma atau pertumbuhan eksponensial, dengan waktu generasi pendek dan
konstan. Selama fase logaritma, metabolisme sel paling aktif, sintesis bahan sel
sangat cepat dengan jumlah konstan sampai nutrien habis atau terjadinya
penimbunan hasil metabolisme yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan.
12
Selanjutnya pada fase pertumbuhan yang mulai terhambat, kecepatan pembelahan
sel berkurang dan jumlah sel yang mati mulai bertambah. Pada fase stasioner
maksimum jumlah sel yang mati semakin meningkat sampai terjadi jumlah sel
hidup hasil pembelahan sama dengan jumlah sel yang mati, sehingga jumlah sel
hidup konstan, seolah-olah tidak terjadi pertumbuhan (pertumbuhan nol). Pada
fase kematian yang dipercepat kecepatan kematian sel terus meningkat sedang
kecepatan pembelahan sel nol, sampai pada fase kematian logaritma maka
kecepatan kematian sel mencapai maksimal, sehingga jumlah sel hidup menurun
dengan cepat seperti deret ukur. Walaupun demikian penurunan jumlah sel hidup
tidak mencapai nol, dalam jumlah minimum tertentu sel mikrobia akan tetap
bertahan sangat lama dalam medium tersebut (Schlegel et al., 1994).
Gambar 3. Grafik pertumbuhan mikroba dalam biakan sistem tertutup (batch
culture) (Schlegel et al., 1994).
13
2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroba
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah
a) Waktu.
Pertumbuhan dapat diamati dari meningkatnya jumlah sel. Mikroba pada
umumnya pertumbuhannya meningkat maksimal selama 4 hari. Pada saat
mikroba diinkubasi diatas 4 hari lama kelamaan bakteri tidak akan
tumbuh. Karena nutrisi pada medium selulolitik sudah semakin berkurang
dan menyebabkan mikroba tidak bisa tumbuh/mati. Waktu pertumbuhan
mikrobia, dari beberapa menit, beberapa jam sampai beberapa hari
tergantung kecepatan pertumbuhan mikroba pada media dan lamanya
inkubasi mikroba (Case et al., 1984).
b) pH.
Mikroba mempunyai kemampuan dalam mendegradasi selulosa pada
medium selulolitik dan mikroba dapat tumbuh pada pH asam dan basa.
Pertumbuhan yang paling baik ditunjukkan pada pH 7 (netral) dibandingan
pH asam dan basa (Wibowo et al., 2012).
c) Sifat Organisme.
Kemampuan suatu bahan tertentu bergantung pada komponen organisme
yang diuji dengan bahan tersebut. Yang terpenting adalah spesies
mikroorganisme, fase pertumbuhan kultur, adanya struktur khusus, seperti
spora atau kapsul, sejarah kultur sebelumnya, dan jumlah organisme dalam
sistem uji (Brock et al., 2003).
14
d) Usia Mikroorganisme.
Tingkat kerentanan mikroorganisme sangat ditentukan oleh umur biakan
mikroorganisme. Pada prinsipnya kerentanan mikroorganisme yang tinggi
yaitu pada fase pertumbuhan eksponensial, sedangkan pada fase stasioner
dianggap kurang efektif karena metabolisme sel mikroba tidak terlalu aktif
(Brock et al., 2003).
Download