bab ii dasar teori

advertisement
10 BAB II
DASAR TEORI
2.1. Merger dan Akuisisi
Merger dan akuisisi biasanya muncul dalam bentuk kombinasi sebuah
frase, namun sebenarnya 2 hal ini memiliki definisi yang berbeda. Merger
merupakan proses terjadinya penggabungan 2 perusahaan, biasanya memiliki
ukuran yang sama dimana keduanya setuju untuk maju bersama sebagai satu
perusahaan dalam kepemilikan dan operasional (Bruner, 2005). Menurut
Gaughan (2011), merger merupakan perpaduan kombinasi dari 2 perusahaan
dimana hanya satu perusahaan yang bertahan dan perusahaan lainnya hilang
keberadaannya. Merger dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu merger antar
industri yang sama dan merger antar industri yang berlainan. Merger antar
industri berlainan mungkin dilakukan sebagai upaya untuk mendiversifikasi
resiko (Morrison & Floyd, 2000). Selanjutnya menurut Gilson and Roe
(1993), merger antar industri yang sama dilakukan biasanya dilatarbelakangi
motif untuk memperoleh tingkatan cakupan ekonomi dan efisiensi perusahaan
yang lebih tinggi.
Akuisisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan bentuk kata
benda yang memiliki arti pemindahan atau pengambilalihan kepemilikan
10 11 perusahaan atau aset, dimana memperbesar perusahaan dengan cara memiliki
perusahaan lain. Akuisisi sendiri seperti diketahui oleh masyarakat luas
memiliki makna menguasai atau membeli secara keseluruhan akan perusahaan
lain, demi perkembangan bisnis atau usaha yang dijalankan. Akuisisi
biasanya lebih mengarah kepada perusahaan lebih besar membeli perusahaan
yang lebih kecil baik secara ukuran finansial dan asetnya.
Menurut Moin (2010), akuisisi merupakan bentuk pengambil alihan
kepemilikan oleh suatu pihak atas pihak lain sehingga mengakibatkan
berpindahnya kendali perusahaan yang diambil alih tersebut. Disebutkan
bahwa pihak yang melakukan akuisisi biasanya memiliki ukuran yang lebih
besar dibanding pihak yang diakuisisi. Pengendalian oleh pihak yang
melakukan akuisisi, maka perusahaan akan mendapatkan keunikan dari
perusahaan yang diakuisisi. Disebutkan pula akuisisi berbeda dengan merger
dikarenakan akuisisi tidak menyebabkan bubarnya suatu entitas hukum akibat
dilaksanakannya proses tersebut.
Moin (2010) menyatakan bahwa dengan beralihnya kendali maka
pengakuisisi memiliki persentase saham terbesar, biasa ditunjukan dengan
kepemilikan saham lebih dari 50 persen sebagai pemilik suara mayoritas. Ada
kemungkinan bahwa pengakuisisi memiliki jumlah saham kurang dari 50
persen, namun masih dinyatakan sebagai pemilik suara mayoritas dikarenakan
anggaran dasar perusahaan yang diakuisisi menyatakan hal tersebut. Di lain
hal dapat pula anggaran dasar menyebutkan bahwa kepemilikan saham lebih
12 dari 50 persen tersebut tidak ataupun belum dinyatakan sebagai pemilik suara
mayoritas. Akusisi kemudian menimbulkan hubungan antara perusahaan
induk dengan perusahaan anak dan kemudian keduanya memiliki hubungan
afiliasi.
Dauber (2012), menyatakan bahwa merger dan akusisi merupakan
salah satu strategi internasionalisasi dan pengembangan yang paling populer,
dimana secara signifikan membentuk kondisi bisnis internasional saat ini.
Menurut Moin (2010), alasan mengapa perusahaan melakukan merger dan
akuisisi adalah untuk mendapatkan keuntungan yang bisa ditimbulkan
olehnya, meskipun pendapat ini belum sepenuhnya terbukti validitasnya.
Abdul Moin berpendapat cash flow dapat diperoleh dengan cepat karena
produk dan pasar sudah terbentuk. Secara financial pun pihak peminjam
sudah lebih mempercayakan penilaiannya dikarenakan perusahaan telah
berdiri dan terbukti kinerjanya. Perusahaan telah memiliki karyawan yang
memiliki pengalaman dan basis customer tanpa perlu mencari dari awal.
Infrastruktur yang dimiliki pun turut dapat membantu proses pertumbuhan
dan perkembangan perusahaan menjadi lebih cepat.
Selain dari keuntungan yang didapat, merger dan akuisisi juga dapat
memiliki kelemahan karena proses integrasi yang dilakukan tidaklah mudah.
Adanya kesulitan dalam menentukan nilai dari target perusahaan secara
akurat. Tentunya merger dan akuisisi juga menghasilkan biaya yang banyak
meliputi biaya jasa consultant, biaya proses koordinasi, dan biaya-biaya
13 lainnya yang dibutuhkan dalam proses integrasi perusahaan. Merger dan
akuisisi tidak memberikan jaminan bahwa perusahaan maupun pemegang
saham akan memiliki peningkatan kinerja perusahaan yang membuat nilai
dari perusahaan juga ikut meningkat (Moin, 2010).
Bila melihat tujuan utama dari merger dan akuisisi adalah untuk
meningkatkan level perusahaan baik dalam hal kinerja sampai kepada
cakupan bisnis secara global. Merger dan akuisisi dibutuhkan dalam
keputusan strategis pada kinerja perusahaan. Konsolidasi bisnis merupakan
langkah umum bagi perusahaan untuk mencapai perekonomian dengan skala
produktivitas yang lebih tinggi (Rasiah, Ming, & Halim, 2014).
2.2. Kinerja Perusahaan Setelah Akuisisi
Akuisisi merupakan proses dinamis, fenomena yang terus berjalan
dimana
memiliki
pengaruh langsung terhadap karyawan dan kinerja
perusahaan. Manajemen perlu sangat berhati-hati menerapkan langkahlangkah strategis pasca akuisisi dimana hal ini merupakan langkah kritis yang
menentukan kesuksesan proses akuisisi. Usaha atas integrasi pasca proses
akuisisi akan menentukan kinerja dari perusahaan itu sendiri (Vasilaki &
O’Regan, 2008).
Beberapa riset terdahulu memperkirakan bahwa tingkat keberhasilan
dari merger dan akusisi yang dilakukan perusahaan hanya mencapai kurang
14 dari 50 persen. Pihak-pihak yang menjalankan proses negosiasi merger dan
akuisisi perusahaan seringkali tidak memperhatikan aspek penting dalam
pengeluaran finansial dan seringkali menjadi faktor penting akan kegagalan
yang terjadi. Penyebab kegagalan yang terjadi pada umumnya terkait dengan
kebudayaan perusahaan. Perusahaan yang diakuisisi tentunya telah memiliki
kebudayaan yang terbentuk sejak perusahaan tersebut didirikan. Dengan
masuknya budaya perusahaan baru yang cenderung dipaksakan membuat
merger dan akuisisi perusahaan ini mengalami kegagalan (Rasiah, Ming, &
Halim, 2014).
Terdapat beberapa studi yang menunjukkan kegagalan dalam merger
dan akuisisi perusahaan menurut (Ravenscraft and Scherer, 1989; Erez-Rein
et al., 2004; Brock, 2005; McIntyre, 2015; Rasiah, Ming, & Halim, 2014).
Penelitian menyatakan dua per tiga dari merger dan akuisisi yang dilakukan
tidak atau gagal memberikan nilai kepada shareholders dalam jangka waktu
menengah dan kinerja perusahaan yang diakuisisi memberikan hasil di bawah
target setelah akuisisi dilakukan (Ravenscraft and Scherer, 1989). Beberapa
bank menolak proses dari merger dan akuisisi sebagaimana mereka telah
mengantisipasi kegagalan setelah merger dan akuisisi dilakukan, dengan
indikasi kegagalan dari merger dan akuisisi sebesar lima puluh lima sampai
dengan tujuh puluh lima persen (Erez-Rein et al., 2004). Kegagalan kinerja
perusahaan yang dihasilkan setelah proses merger dan akuisisi diakibatkan
sebagai hasil dari perbedaan budaya, dimana tidak adanya integrasi dalam
15 pengelolaan kerangka budaya perusahaan (Brock, 2005). PA Consulting dan
University of Edinburg Management School mengadakan survey terhadap 85
kasus akuisisi global. Hasil menunjukkan adanya peningkatan pendapatan
shareholders dalam 11 hari setelah pengumuman akuisisi sebesar 2 persen,
namun terjadi penurunan sebanyak 8 persen pada 100 hari berikutnya.
Perusahaan-perusahaan tersebut tidak memperoleh peningkatan pendapatan
yang signifikan meskipun penghematan biaya merupakan tujuan utama dari
berlangsungnya kesepakatan akuisisi (McIntyre, 2015). Hal serupa juga
diberikan oleh KPMG Consulting pada tahun 2001, dimana sebesar 70 persen
atas kasus-kasus merger dan akuisisi yang ada gagal dalam memberikan nilai
tambah pada perusahaan, 83 persen gagal dalam menciptakan benefit untuk
shareholders dan lebih dari setengahnya bahkan menghancurkan nilai-nilai
yang ada sebelumnya (Rasiah, Ming, & Halim, 2014; Brock, 2005).
Apabila merger dan akuisisi menunjukkan banyaknya kegagalan
sebagai hasil dari prosesnya, menjadi pertanyaan mengapa perusahaan tetap
mengambil keputusan untuk merger dan akuisisi. Pihak-pihak ini pun
melakukan studi yang sama dalam mengukur transaksi merger dan akuisisi
seperti yang telah dilakukan consultant dan akademisi. Manchester School of
Management melakukan interview terhadap 146 CEO dari 500 perusahaan
teratas di Inggris. Peneliti mendapatkan tujuan dasar dari dilakukannya
merger dan akuisisi adalah untuk memaksimalkan pertumbuhan perusahaan
melalui peningkatan profitabilitas dan penguasaan pasar. Banyak dari CEO
16 yang ada menyatakan akuisisi dari perusahaannya berhasil. Sebanyak 63
persen menyatakan hasil tersebut akan membawa mereka untuk melakukan
pengambilan keputusan atas akuisisi perusahaan lebih lanjut dan 37 persen
sisanya menyatakan ragu-ragu atau tidak akan mengambil langkah lebih
lanjut (Devine, 2002).
Sinha dan Gupta (2011) menyatakan bahwa kinerja post-merger atas
perusahaan sektor keuangan mengalami peningkatan. Bahkan ditemukan pula
profitabilitas
perusahaan-perusahaan
tersebut
membaik
setelah
merger
dilakukan, namun likuiditas yang ada memburuk. Beberapa perusahaan
lainnya bahkan menunjukkan bahwa merger dan akuisisi yang dilakukan
mengurangi resiko sistematis dan non-sistematis pada perusahaan.
Hutzschenreuter, Kleindienst, dan Schmitt (2014), menyatakan bahwa
keberhasilan atau kegagalan dari akuisisi cenderung dilihat secara relatif
dibandingkan hasil absolut. Keberhasilan atau kegagalan dalam akuisisi
perusahaan tidak selalu berarti memberikan efek kinerja positif atau negatif.
Bila proses akuisisi perusahaan tidak berjalan dengan baik maka yang perlu
diragukan adalah kemampuan dari manajemen perusahaan. Kesadaran untuk
mencapai kesuksesan dari manajemen atas lingkungan kerjanya, cenderung
mengarahkan adanya peningkatan kinerja perusahaan pada proses akuisisi.
17 2.3. Faktor – Faktor Mempengaruhi Merger dan Akuisisi
Menurut
Bruner
(2005),
terdapat
faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi keberhasilan merger dan akuisisi atas suatu perusahaan. Pada
umumnya letak kunci keberhasilan dari merger dan akuisisi adalah pada
proses perencanaan. Tentunya terdapat poin-poin perbedaan antara tiap-tiap
lini fungsi bisnis yang dapat turut mempengaruhi dalam pengambilan
keputusan atas merger dan akuisisi perusahaan. Rankine & Howson (2006)
juga menyatakan hal yang sama mengenai keberhasilan akuisisi perusahaan
ditentukan bagaimana perusahaan menghindari kesalahan-kesalahan dalam
setiap fase mulai dari perencanaan awal sampai dengan penggabungan bisnis.
Bisnis yang terlalu rumit dapat menjadi pemicu kegagalan dalam
merger dan akuisisi. Hal ini membuat pihak yang bersangkutan bingung atas
situasi dan kondisi yang ada dalam perusahaan, serta bagaimana solusi untuk
memutuskan suatu proses yang efektif. Pemicu lainnya dapat datang dari
perbedaan kebudayaan perusahaan antara pengakuisisi dan diakuisisi (Bruner,
2005).
2.3.1
Zollo
Leadership
(2004),
mengemukakan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
keberhasilan dari akuisisi suatu perusahaan. Salah satu faktor tersebut adalah
kehandalan dalam menentukan pihak mana yang memegang kendali dalam
18 manajemen perusahaan yang diakuisisi. Bila salah satu team manajemen
dianggap kurang baik, maka team manajemen yang dianggap memiliki
kemampuan lebih baik akan mengambil alih posisi tersebut. Perusahaan yang
mengakuisisi juga perlu membuat suatu nilai yang unik dan tidak ada
bandingannya dengan mengkombinasikan aset-aset yang dimiliki perusahaan
yang diakuisisi sehingga memberikan kondisi positif pada suasana investasi
perusahaan.
Vasilaki dan O’Regan (2008), menyatakan efektivitas dari kinerja
manajemen
memainkan
peranan
penting
dalam
perubahan
rancangan
organisasi. Hal ini mengatur jalannya implementasi perubahan, menjaga
fleksibilitas, dan menciptakan langkah-langkah strategis yang diperlukan
untuk perubahan. Di dalam proses akuisisi, efektivitas dari kinerja
manajemen akan memimpin perubahan kepada harmonisasi pasca proses
akuisisi meliputi penanganan konflik, koordinasi proses integrasi, dan
integrasi antara kedua perusahaan. Kinerja dari perusahaan akan sangat
dipengaruhi oleh kinerja manajemen dalam menciptakan aturan-aturan
pengembangan dan implementasi strategi perusahaan.
Integrasi perusahaan pasca akuisisi merupakan proses yang kompleks,
sehingga dibutuhkan kinerja manajemen yang baik bertindak sebagai
fasilitator proses perubahan dimana bertugas untuk menyampaikan juga
budaya perusahaan yang mendorong kerja sama dan lingkungan pekerjaan
yang baik. Manajemen akan membuat sebuah sistem dimana budaya
19 perusahaan akan memfasilitasi perubahan dan mencapai harmonisasi atas
proses integrasi pasca akuisisi perusahaan (Vasilaki dan O’Regan, 2008).
Lodorfos dan Boateng (2006), menyatakan keberhasilan manajemen
suatu perusahaan dapat dilihat melalui employee turn over rate dari setiap
divisi pada perusahaan tersebut. Terlalu banyak karyawan yang resign
menandakan adanya kesalahan dalam proses manajemen dan kekeliruan pihak
manajemen dalam mengimplementasikan “put the right man in the right
place”. Melalui dasar teori yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa
kehandalan dalam mengelola manajemen perusahaan dapat mempengaruhi
keberhasilan akuisisi perusahaan.
Parola,
Ellis
dan
Golden
(2015),
menyatakan
bahwa
tingkat
kompleksitas dan ketidakpastian yang terjadi pada akuisisi perusahaan akan
memperhatikan
peranan
dari
kepemimpinan
manajemen
di
dalam
keterlibatannya pada pencapaian kesuksesan perusahaan. Proses akuisisi
memerlukan sebuah rangkaian keputusan dari berbagai tingkat kepemimpinan
yang harus diformulasikan dan diimplementasikan ke dalam berbagai langkah
penerapan. Langkah-langkah ini mencakup identifikasi terhadap tujuan
perusahaan, langkah negosiasi pada saat informasi dibagikan dan kebijakan
diterapkan, serta langkah integrasi pada saat kedua perusahaan saling
bertukar sumber daya dan kapabilitas. Keputusan-keputusan akan dibuat pada
setiap langkah, tidak hanya untuk memberikan kontribusi terhadap implikasi
kinerja, namun juga mempengaruhi keputusan kedepannya yang harus dibuat.
20 Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan perlunya pemimpin
membuat karyawan di bawahnya merasa mereka sangat penting bagi
perusahaan untuk mencapai kesuksesan. Proses integrasi perusahaan menjadi
lebih mudah bila pemimpin membagikan nilai dan kepercayaan yang serupa
terhadap karyawannya, gaya kepemimpinan yang serupa, atau memiliki
kualitas lain yang umum. Bentuk kemiripan dalam kepemimpinan akan
mempermudah
karyawan
dalam
menerima
kepemimpinan
yang
baru.
Pemimpin harus sadar dalam membina hubungan interpersonal terhadap
karyawannya.
Hutzschenreuter, Kleindienst, dan Schmitt (2014), menyatakan bahwa
penelitian yang ada memperlihatkan
dimana
kesuksesan
proses
akuisisi
tergantung dari bentuk kepemimpinan. Kesuksesan akuisisi tersebut jarang
dipengaruhi oleh keadaan atau faktor eksternal perusahan.
2.3.2 Transfer Knowledge
Faktor lainnya yang mempengaruhi keberhasilan akuisisi perusahaan
menurut Zollo (2004) adalah seberapa jauh sharing knowledge dan sharing
experience kepada perusahaan yang diakuisisi. Dengan adanya transfer
knowledge maka terjadi suatu hubungan yang baik antara perusahaan
pengakuisisi dengan perusahaan yang diakusisi, dan juga sebagai jalan untuk
memasukan secara bertahap nilai-nilai perusahaan yang diinginkan oleh
perusahaan pengakuisisi. Semakin besar ilmu dan pengalaman yang dibagikan
21 kepada karyawan, maka akan semakin banyak nilai-nilai yang tertanam sesuai
dengan keinginan perusahaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa transfer
knowledge yang terjadi dalam perusahaan mempengaruhi keberhasilan akan
proses akuisisi.
Knowledge merupakan kunci penting dalam mencapai kesuksesan.
Knowledge
yang
diperoleh
pada
masa-masa
sebelumnya
merupakan
akumulasi dari pengalaman-pengalaman serupa yang telah terjadi, dimana
menjadi kunci untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hasil dari proses
akuisisi perusahaan akan menjadi jauh dari apa yang diharapkan bila
manajemen tidak berpengalaman, dimana pengalaman diperoleh melalui
pengetahuan atas sesuatu yang telah terjadi. Perusahaan yang memiliki
banyak pengalaman terhadap akuisisi tentunya memiliki kapabilitas yang kuat
dalam menciptakan nilai pada proses akuisisi. Pengalaman yang telah
dilewati akan menciptakan arahan berharga pada proses integrasi kedua
perusahaan. Pengalaman dan pengetahuan akan membantu manajemen dalam
mengkoordinasikan langkah-langkah yang diperlukan dan mengatur proses
integrasi yang efektif (Vasilaki & O’Regan, 2008).
Pada
sebuah
perusahaan
agar
dapat
bekerja
efektif
dan
mengkoordinasikan seluruh aktivitasnya maka diperlukan adanya pembagian
pemahaman oleh manajemen atas situasi yang dihadapi. Manajemen yang
secara aktif membagikan pemahaman dan pengetahuan terhadap karyawannya
akan memberikan efek positif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini juga
22 menjadi
salah
satu
wadah
interaksi
untuk
berbagi
pengalaman
dan
komunikasi (Vasilaki & O’Regan, 2008).
Parola, Ellis dan Golden (2015), menyatakan bahwa akumulasi
pengalaman dari perusahaan pengakuisisi akan memberikan peranan penting
dalam
pengembangan
proses
integrasi
kapabilitas
yang
mencakup
pengetahuan dan pengalaman yang telah dicapai sebelumnya. Hal ini akan
ditanamkan melalui setiap karyawan, alat-alat kerja, jenis pekerjaan dan
sistem jaringan perusahaan.
Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan bahwa pelatihan dan
pengembangan karyawan diperlukan untuk memunculkan nilai perusahaan.
Karyawan yang ada dilatih dengan karyawan yang lebih senior dengan
melakukan shadowing dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan. Karyawan
dibimbing dan didampingi oleh pemimpinnya agar dapat diketahui apakah
karyawan
menyukai
pekerjaannya
atau
tidak,
mengerti
apa
yang
diekspektasikan darinya atas pekerjaan yang diberikan. Karyawan dapat
diberikan pelatihan dan pengembangan seperti workshop, seminar, dan bentuk
pengembangan lainnya.
Perusahaan yang kurang memperhatikan transfer knowledge di masa
depan akan mempengaruhi proses akuisisi ke arah negatif, begitu pula
sebaliknya. Terdapat suatu hubungan seperti gelombang antara pengalaman
dan kinerja perusahaan. Pembelajaran dalam perusahaan dibutuhkan untuk
perubahan dalam perilaku perusahaan dan kognisi yang terjadi sebagai
23 pengalaman perusahaan dalam proses akuisisi (Hutzschenreuter, Kleindienst,
& Schmitt, 2014).
2.3.3 Aset Pengakuisisi
Keberhasilan akuisisi perusahaan dipengaruhi pula oleh seberapa besar
dan tangguh aset serta kinerja yang dimiliki oleh perusahaan pengakuisisi.
Diibaratkan bila manusia sedang sakit, maka sejauh mana manusia tersebut
dapat berlari maraton. Perusahaan harus memulai akuisisi dengan memiliki
fondasi yang kuat dan kokoh terlebih dahulu pada perusahaan tersebut.
Dengan aset yang baik maka perusahaan yang diakuisisi dapat terbantu
kinerja dan pengoperasian bisnisnya serta dapat menghadapi tantangantantangan yang ada (Rankine & Howson, 2006). Dapat ditarik kesimpulan
bahwa besar aset dari perusahaan pengakuisisi dapat mempengaruhi
keberhasilan akuisisi.
Parola, Ellis dan Golden (2015), menyatakan bahwa reaksi dari pasar
jangka pendek akan menangkap tanggapan dari investor terhadap kesepakatan
yang terjadi. Hal ini berdasarkan ekspektasi terhadap hasil cash flow di masa
depan dari kedua perusahaan. Kinerja dari pasar jangka pendek adalah
refleksi dari informasi yang telah ada kepada investor terhadap aspek-aspek
pra integrasi, mencakup karakteristik dari perusahaan pengakuisisi. Investor
cenderung memberikan respon terhadap resiko penerapan yang lebih kecil.
24 Pengalaman dari perusahaan pengakuisisi memiliki peranan kunci dalam
mengembangkan tingkat integrasi dan kinerja pada perusahaan.
Hutzschenreuter, Kleindienst, dan Schmitt (2014), menyatakan bahwa
cadangan kas yang diperoleh perusahaan memiliki dampak terhadap perilaku
yang dilakukan atas proses akuisisi. Hal-hal seperti pelaksanaan proyek,
berbagai macam pengeluaran dan peningkatan nilai perusahaan akan
tergantung dari keadaan cadangan kas tersebut. Di sisi lain, cadangan kas
perusahaan yang besar akan mencegah kemungkinan timbulnya biaya
perusahaan dalam memperoleh pendanaan eksternal dan memberi ruang lebih
besar bagi perusahaan untuk menetapkan kebijakan investasi.
Azofra,
Olalla,
dan
Olmo
(2008),
menyatakan
bahwa
ukuran
perusahaan merupakan salah satu faktor penting dalam proses merger dan
akusisi. Aset pada perusahaan menunjukan tanda positif dan signifikan
terhadap keberlangsungan proses akuisisi. Aset perusahaan menjadi variabel
dimana semakin besarnya aset yang dimiliki perusahaan pengakuisisi maka
akan diperoleh keuntungan bersama yang semakin besar bagi perusahaan.
2.3.4 Struktur
Kebanyakan perusahaan yang diakuisisi memiliki tingkat efisiensi
yang lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan pengakuisisi. Merger dan
akuisisi dapat menjadi cara bagi perusahaan untuk meningkatkan efisiensi dan
25 mengurangi
kelebihan
kapasitas
pada
sektor
perbankan.
Terdapat
pengurangan biaya yang luar biasa mengacu pada skala ekonomi saat
perusahaan mengalami integrasi terhadap perusahaan pengakuisisi. Hal ini
mencakup fasilitas, akses terhadap teknologi atau jaringan distribusi yang
lebih baik. Ukuran perusahaan sendiri akan berbanding lurus dengan
probabilitas perusahaan tersebut menjadi pengakuisisi (Azofra, Olalla, &
Olmo, 2008).
Azofra, Olalla, dan Olmo (2008), menyatakan bahwa deregulasi
menjadi faktor penting lain selain proses teknologi, yang memacu terjadinya
re-organisasi sistem perbankan. Hal ini dilakukan perusahaan untuk
mengeliminasi banyaknya hambatan dari segi regulasi yang selama ini ada
dan
membuat
perusahaan
tidak
efisien.
Secara
umum,
perusahaan
pengakuisisi dapat meningkatkan kualitas dari manajemen atas perusahaan
yang diakuisisi. Perusahaan pengakuisisi secara rata-rata memiliki tingkat
efisiensi yang lebih baik dibandingkan perusahaan yang diakuisisi. Dalam
memperbaiki
manajemen
maka
dimungkinkan
bagi
perusahaan
untuk
melakukan restrukturisasi.
Dauber (2012), menyatakan bahwa integrasi struktur mengacu kepada
keselarasan atau standarisasi atas proses, aset, struktur, dan sistem
perusahaan yang terlibat dalam proses merger dan akuisisi. Hal ini juga
terkait dengan identifikasi dan realisasi atas sinergi operasional.
26 2.3.5 Komunikasi
Menurut Rankine & Howson (2006), komunikasi juga menjadi faktor
penting dalam menentukan keberhasilan dari akuisisi perusahaan. Komunikasi
membuka hubungan menjadi lebih dalam. Semakin banyak intensitas
komunikasi
yang
dilakukan
antara
perusahaan
pengakuisisi
dengan
manajemen perusahaan yang diakuisisi maka visi, misi dan hubungan akan
semakin jelas. Manajemen, karyawan, stakeholders, suppliers, dan pelanggan
dari perusahaan yang diakuisisi tidak pernah menginginkan terjadinya suatu
perubahan. Bahkan sebagian besar dari mereka secara naluri sudah
memperkirakan hasil yang terburuk. Disinilah peran komunikasi menjadi
faktor penting yang menentukan berhasil atau tidaknya seluruh rangkaian
proses akuisisi yang dilakukan. Komunikasi dan penjelasan arah perusahaan
kedepan dilakukan sejak hari pertama akuisisi diumumkan dengan cara
interaksi personal, baik secara individu maupun pertemuan kelompok. Dari
hal ini dapat ditarik kesimpulan bahwa intensitas komunikasi yang dilakukan
antara
perusahaan
pengakuisisi
dan
karyawan
akan
mempengaruhi
keberhasilan akuisisi perusahaan.
Menurut Vasilaki dan O’Regan (2008), menyatakan bahwa komunikasi
menunjukkan kompetensi dari bentuk kepemimpinan dan mempengaruhi
efektivitas komunikasi yang menentukan kualitas perubahan dalam hubungan.
Saat seluruh karyawan memiliki komunikasi yang efektif maka perusahaan
pada umumnya mengalami peningkatan kinerja dan memperoleh keunggulan
27 kompetitif. Proses akuisisi sendiri pada umumnya memberikan dampak
negatif terhadap karyawan dimana mereka merasakan ketidakpastian, tingkat
stress yang meningkat, turunnya kepuasan kerja, dan turunnya komitmen
karyawan serta persepsi kepercayaan atas perusahaan. Hasil dari dampak
yang ada dapat berupa meningkatnya tingkat kehadiran, menurunnya
produktivitas, dan kerugian finansial.
Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan manajemen perusahaan
seringkali mengkomunikasikan informasi terhadap karyawan berdasarkan
basis yang seperlunya untuk diketahui. Karyawan seringkali tidak mengerti
bagaimana potongan informasi yang didapat dapat menyatu bersama. Hal ini
mengakibatkan kebingungan dan keputusasaan pada karyawan. Manajemen
tidak memberikan gambaran besar kepada karyawan karena mereka tidak
mengartikulasikan secara jelas terhadap diri mereka sendiri. Manajemen tidak
melibatkan karyawan dikarenakan karyawan tidak secara langsung terlibat
dalam proses penggabungan perusahaan.
Penelitian dalam psikologi kognitif menunjukkan bahwa individu
cenderung tertarik dengan informasi baru, keterbukaan terhadap beberapa
perspektif, perhatian terhadap detail dimana terjadi ketika dihadapkan pada
tugas baru. Setiap tugas baru yang dihasilkan melalui proses akuisisi yang
cenderung kompleks biasanya memerlukan pengolahan informasi yang cukup.
Untuk mengurangi keterbatasan dalam melakukan pekerjaan, perusahaan
berusaha untuk meningkatkan kesadaran karyawan atas informasi dengan
28 mengkomunikasikan apa saja yang dipandang paling perlu untuk diperhatikan
(Hutzschenreuter, Kleindienst, & Schmitt, 2014).
2.3.6 Budaya Organisasi
Menurut Wiener & Vardi (1990), budaya organisasi adalah sebuah
sistem
dari
menghasilkan
nilai-nilai
yang
dibagikan,
tekanan
normatif
kepada
dimana
nilai-nilai
masing-masing
tersebut
anggota
pada
organisasi. Budaya organisasi dapat diartikan sebagai suatu pola asumsi
anggota organisasi mengenai kehidupan berorganisasi dalam perusahaan
(Schein, 1985).
Budaya organisasi dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan
produktivitas, dan memiliki dampak signifikan terhadap keberlangsungan
perusahaan, kinerja ekonomi, profitabilitas, turn over karyawan, dan
komitmen karyawan. Budaya organisasi bila dikomunikasikan dengan baik,
maka dapat digunakan untuk memacu semangat karyawan dan mendorong
karyawan untuk setia terhadap perusahaan (Gupta, 2011).
Budaya organisasi dan strategi organisasi sangat saling terkait.
Hubungan terlihat ketika suatu perusahaan mengalami perubahan strategi,
maka harus dilakukan penyelarasan budaya perusahaan dengan strategi.
Mengabaikan penyesuaian budaya organisasi terhadap strategi akan membawa
organisasi ke arah gagalnya strategi organisasi (Gupta, 2011). Penelitian
menunjukkan pentingnya budaya organisasi dalam pelaksanaan strategi
29 mencakup faktor-faktor lain seperti struktur organisasi, sistem informasi, dan
proses bisnis yang penting (Wu et al., 2004).
Menurut Xiaoming & Junchen (2012), terdapat hubungan antara
budaya organisasi dengan kinerja perusahaan. Perusahaan dengan kinerja baik
memiliki budaya organisasi yang kuat, namun dengan turut memperhatikan
kesesuaian budaya dengan lingkungan perusahaan. Kinerja perusahaan akan
selalu ditopang dengan budaya organisasi yang mengandung nilai-nilai
perubahan
yang
membawa
perusahaan
untuk
secara
terus
menerus
beradaptasi, berbudaya dan sebaliknya dengan lingkungan perusahaannya.
Kesalahan yang cukup serius terjadi dimana perusahaan seringkali
berasumsi bahwa budaya dari perusahaan internasional bila diimplementasi
maka akan sesuai dengan budaya dari perusahaan yang diakuisisi dikarenakan
pemikiran globalisasi. Faktor ini menjadi penting dalam mempengaruhi
keberhasilan akuisisi, dimana budaya perusahaan tidak dapat dipaksakan
masuk tetapi dibiarkan berkembang secara kreatif menyesuaikan budaya
perusahaan yang telah ada. Penyesuaian budaya perusahaan yang terjadi
secara terus menerus maka akan membentuk suatu nilai kebudayaan baru
yang baik bagi perusahaan (Trompenaars & Turner, 2004). Terranova (2007)
menyatakan bahwa perusahaan perlu melakukan pendekatan dalam menilai
budaya organisasi yang diakuisisinya. Dapat ditarik kesimpulan bahwa
budaya organisasi dapat mempengaruhi keberhasilan proses akuisisi.
30 Shearer, Hames dan Runge (2001), menyatakan bahwa budaya baru
pada perusahaan harus secara efektif menghubungkan sumber daya manusia
antar perusahaan selaras dengan strategi bisnisnya. Manajemen harus sadar
bahwa seluruh komponen perusahaan akan mempengaruhi budaya perusahaan.
Pemimpin, karyawan, dan budaya merupakan fenomena yang sistemik. Suatu
perubahan yang terjadi pada salah satu diantaranya maka akan mempengaruhi
variabel lainnya. Manajemen harus memperhatikan atas budaya antara dua
perusahaan terkait akuisisi. Bagaimana cara untuk saling menghubungkan
antar komponen perusahaan mengikuti sesuai yang diinginkan kedepannya.
Menciptakan
budaya
campuran
akan
menghindarkan
perusahaan
dari
penolakan terhadap perubahan, dengan mempertahankan nilai-nilai dan
kepercayaan perusahaan yang mirip.
Dauber (2012), menyatakan bahwa secara umum terdapat argumentasi
dimana kesesuaian budaya perusahaan setelah proses merger dan akuisisi
dinilai lebih penting dibandingkan dengan kesesuaian strategi perusahaan.
Kesesuaian strategi merupakan syarat awal yang diperlukan perusahaan,
namun
kesesuaian
budaya
dapat
mengaktifkan
atau
menon-aktifkan
direalisasikannya sinergi atas kompabilitas strategi. Perbedaan budaya yang
timbul akan berdampak besar pada proses akulturasi dan hasil atas kinerja
merger dan akuisisi. Akulturasi dapat dikelompokkan menjadi: integrasi,
asimilasi, separasi, dan marjinalisasi. Integrasi mengacu kepada proses
dimana kedua perusahaan, pengakuisisi dan diakuisisi akan menyesuaikan
31 diri satu sama lain dalam rangka membentuk organisasi ketiga dengan elemen
bersama. Asimilasi merupakan strategi dimana perusahaan yang diakuisisi
akan menyesuaikan dengan perusahaan pengakuisisi, dan unsur-unsur yang
ada pada perusahaan selama ini akan hilang dan tergantikan dengan unsur
baru. Dalam kasus separasi, kedua perusahaan yang terlibat akan secara terus
menerus berada secara independen dari satu sama lainnya. Pengelompokkan
terakhir yaitu marjinalisasi merupakan proses dimana pengakuisisi hanya
fokus terhadap nilai aset dari perusahaan dan tidak tertarik pada perusahaan
secara keseluruhan.
Hofstede (2011), menyatakan bahwa kebudayaan merupakan suatu
pemrograman kolektif dari pikiran yang membedakan anggota suatu
kelompok atau kategori orang, dari yang lain. Budaya dapat dikelompokkan
ke dalam beberapa dimensi, sebagai berikut:
1. Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda terhadap
masalah dasar dari ketidak setaraan manusia.
2. Uncertainty Avoidance, terkait dengan tingkat dari stres dalam
lingkungan sosial menghadapi masa depan yang tidak diketahui.
3. Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi dari
individu ke dalam kelompok-kelompok utama.
4. Masculinity versus Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran
emosi antara pria dan wanita.
32 5. Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari
fokus untuk usaha manusia di masa depan, saat ini, atau masa lalu.
6. Indulgence versus Restraint, terkait kepada gratifikasi dibandingkan
kendali dari kebutuhan dasar manusia untuk menikmati hidup.
2.3.6.1
Power Distance
Hofstede (2011), menyatakan bahwa Power Distance atau jarak
kekuasaan merupakan sejauh mana anggota dari suatu organisasi atau
lembaga yang berada dalam posisi yang kurang kuat menerima dan berharap
kekuasaan didistribusikan secara tidak merata. Dimensi budaya yang
mendukung jarak kekuasaan rendah (Small Power Distance) mengharapkan
dan menerima hubungan kekuasaan secara lebih konsultatif atau demokratis.
Orang berhubungan satu sama lain terlepas dari posisi formalitas mereka.
Bawahan merasa lebih nyaman serta menuntut hak untuk berkontribusi dalam
pengambilan keputusan.
Di negara-negara dengan jarak kekuasaan tinggi (large power
distance) cenderung menggunakan hubungan kekuasaan yang lebih otokratis
dan paternalistik. Bawahan mengakui kekuatan orang lain hanya berdasarkan
dimana mereka berada dalam struktur formal atau posisi hirarki tertentu.
Dengan demikian, indeks jarak kekuasaan bukan mencerminkan perbedaan
obyektif dalam distribusi daya, melainkan cara orang memandang perbedaanperbedaan kekuasaan.
33 2.3.6.2
Uncertainty Avoidance
Hofstede (2011), menyatakan bahwa Uncertainty Avoidance adalah
bentuk toleransi masyarakat untuk ketidakpastian dan ambiguitas. Hal ini
menggambarkan sejauh mana anggota organisasi atau lembaga berusaha
untuk mengatasi perasaan cemas dan mengurangi ketidakpastian yang mereka
hadapi. Pemahaman ini menjelaskan bahwa uncertainty avoidance bukan
berarti penghindaran risiko.
Orang-orang
yang
memiliki
dimensi
budaya
high
uncertainty
avoidance cenderung lebih emosional. Mereka mencoba untuk meminimalkan
terjadinya keadaan yang tidak diketahui atau tidak biasa. Saat terjadi
perubahan mereka menjalaninya dengan hati-hati, langkah demi langkah
dengan perencanaan dan menerapkan hukum serta peraturan yang berlaku.
Sebaliknya, dimensi budaya low uncertainty avoidance menerima dan
merasa nyaman dalam situasi yang tidak terstruktur atau lingkungan yang
kerap kali mengalami perubahan. Mereka mencoba untuk memiliki beberapa
aturan dalam aktifitas mereka. Orang-orang dalam dimensi budaya ini
cenderung lebih pragmatis, mereka jauh lebih toleran terhadap perubahan.
34 2.3.6.3
Individualism Vs Collectivism
Hofstede (2011), menyatakan bahwa ciri organisasi atau lembaga
Individualism
dengan
Collectivism,
adalah
sejauh
mana
individu
diintegrasikan ke dalam organisasi atau lembaga tersebut. Dalam masyarakat
yang individualistik (individualism), tekanan atau stres diletakkan dalam
permasalahan
pribadi,
serta
menuntut
hak-hak
individu.
Orang-orang
diharapkan untuk membela diri sendiri dan keluarga mereka. Selain itu juga
mereka diharapkan untuk memilih afiliasi sendiri. Sebaliknya dalam
masyarakat kolektif (collectivism), individu bertindak terutama sebagai
anggota kelompok seumur hidup. Daya kohesifitas yang tinggi tercipta di
dalam masing-masingkelompok. Orang-orang memiliki keluarga besar, yang
dijadikan sebagai perlindungan bagi dirinya sehingga loyalitasnya tidak
diragukan.
2.3.6.4
Masculinity Vs Feminity
Hofstede (2011), menyatakan bahwa Masculinity berkaitan dengan
nilai perbedaan gender dalam masyarakat, atau distribusi peran emosional
antara gender yang berbeda. Nilai-nilai dimensi maskulin (masculinity)
terkandung nilai daya saing, ketegasan, materialistik, ambisi dan kekuasaan.
Dimensi feminin (feminimity) menempatkan nilai yang lebih terhadap
hubungan dan kualitas hidup.
35 Dalam dimensi maskulin, perbedaan antara peran gender nampak lebih
dramatis dan kurang fleksibel dibandingkan dengan dimensi feminin yang
melihat
pria
dan
wanita
memiliki
nilai
yang
sama,
menekankan
kesederhanaan serta kepedulian.
2.3.6.5
Long Term Vs Short Term Orientation
Hofstede (2011), menyatakan bahwa dimensi long term versus short
term orientation ini sangat dipengaruhi oleh ajaran Konghucu. Empat elemen
ajaran yang mempengaruhi terbentuknya dimensi ini adalah:
1. Stabilitas sosial berdasarkan atas ketidaksetaraan hubungan antara
orang.
2. Keluarga adalah bentuk dasar dari seluruh organisasi sosial.
3. Perilaku berbudi luhur kepada orang lain mengandung makna tidak
memperlakukan orang lain seperti apa yang tidak ingin diperlakukan
terhadap diri sendiri oleh orang lain.
4. Berbuat baik adalah salah satu tugas hidup dengan cara menambah
pengetahuan, keterampilan, bekerja keras, tidak boros, sabar, dan
memelihara.
Masyarakat yang berorientasi jangka panjang (long term orientation)
lebih mementingkan masa depan. Mereka mendorong nilai-nilai pragmatis
36 berorientasi pada penghargaan, termasuk ketekunan, tabungan dan kapasitas
adaptasi. Masyarakat yang memiliki dimensi orientasi hubungan jangka
pendek (short term orientation), nilai dipromosikan terkait dengan masa lalu
dan sekarang, termasuk kestabilan, menghormati tradisi, menjaga selalu
penampilan di muka umum, dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosial.
2.3.6.6
Indulgence Vs Restraint
Kesenangan (indulgence) mengarah kepada lingkungan sosial yang
mengijinkan gratifikasi sebagai nafsu manusiawi yang alamiah terkait dengan
menikmati hidup. Pengekangan (restraint) mengarah kepada lingkungan
sosial yang mengontrol gratifikasi dari kebutuhan dan peraturan-peraturan
dengan cara norma sosial yang tegas (Hofstede, 2011).
2.4. Kerangka Pemikiran
Zollo (2004), mengemukakan bahwa kinerja dari akuisisi dapat diukur
dengan melihat perbedaan antara Return on Asset (ROA) setahun sebelum
akuisisi dijalankan dan beberapa tahun setelah akuisisi dijalankan. Beberapa
penelitian mengenai merger dan akuisisi perusahaan menggunakan Return on
Asset sebagai alat ukur kinerja perusahaan (Kasmir, 2007; Keown, 2008;
Rasiah et al., 2014).
37 Kinerja perusahaan selama proses akuisisi dipengaruhi oleh faktorfaktor yang terkait di dalamnya. Salah satu faktor tersebut adalah kehandalan
dalam menentukan pihak mana yang memegang kendali dalam manajemen
perusahaan yang diakuisisi. Hal ini merupakan dimensi penting pada proses
integrasi pasca akuisisi, dimana melibatkan sumber daya yang telah ada pada
perusahaan yang diakuisisi. Leadership memegang kendali atas proses
tersebut, dimana manajemen memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan
(Zollo, 2004).
Faktor lain yang mempengaruhi kinerja perusahaan menurut Zollo
(2004),
yaitu
transfer
knowledge
dimana
merupakan
jembatan
bagi
perusahaan pengakuisisi dengan perusahaan yang diakusisi, dan sebagai jalan
untuk memasukan secara bertahap nilai-nilai perusahaan yang diinginkan oleh
perusahaan pengakuisisi. Semakin besar knowledge yang diberikan dan
dibagikan oleh perusahaan, maka semakin baik kinerja ekonomi perusahan
sebagai hasil dari kinerja karyawan. Beberapa penelitian juga menyatakan
faktor-faktor lainnya seperti struktur, komunikasi dan budaya perusahaan
turut mempengaruhi kinerja perusahaan setelah akuisisi (Dauber, 2012;
Rankine & Howson, 2006; Terranova, 2007).
Download