Pemanfaatan lahan sulfat masam 1(2), ... Pengembangan Inovasi Pertanian 2008: 129-131 129 PEMANFAATAN LAHAN SULFAT MASAM BERWAWASAN LINGKUNGAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN PRODUKSI BERAS NASIONAL Tim Sintesis Kebijakan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jalan Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123 PENDAHULUAN Tantangan pembangunan pertanian dalam upaya meningkatkan pangan nasional terutama beras menjadi makin kompleks, akibat perubahan lingkungan strategis yang cepat. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional dihadapkan pada laju pertambahan penduduk Indonesia dan terjadinya penyempitan pemilikan lahan, peningkatan alih fungsi lahan pertanian subur untuk kepentingan nonpertanian, pelandaian laju peningkatan produktivitas lahan, dan terjadinya degradasi lahan pertanian. Pada periode 1981-1999 di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas 1,60 juta ha, yaitu 1 juta ha terjadi di Pulau Jawa dan 0,6 juta ha di luar Jawa. Pemanfaatan lahan marginal, seperti lahan pasang surut, belum diupayakan secara optimal untuk memenuhi dan mempertahankan kebutuhan pangan nasional. Areal pasang surut di Indonesia diperkirakan mencapai 20,11 juta ha, di mana 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71 juta ha sulfat masam, 19,89 juta ha lahan gambut, dan 0,44 juta ha lahan salin. Dari 9,53 juta ha lahan yang berpotensi sebagai areal perta- 1) Naskah disampaikan pada Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan April 2007. nian, telah direklamasi 4,19 juta ha sehingga masih tersedia 5,34 juta ha yang dapat dimanfaatkan menjadi areal pertanian. Pemanfaatan tanah sulfat masam di lahan pasang surut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi prospektif di masa mendatang, secara optimal dapat dilakukan melalui penerapan teknologi secara tepat dan terpadu. Namun, sifat lahan yang rapuh seperti pH dan kesuburan tanah yang rendah, adanya lapisan pirit, genangan air yang berlebihan, dan peresapan air garam perlu dipertimbangkan. Di beberapa daerah pasang surut, petani telah menerapkan sistem surjan, tata air mikro, saluran air satu atap, serta varietas padi unggul toleran genangan seperti Martapura dan Margasari. Peningkatan populasi penduduk Indonesia setiap waktu mempunyai konsekuensi pula terhadap peningkatan permintaan produk pertanian. Bergantung pada teknologi yang diterapkan dalam usahatani di lahan pasang surut, emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung akan meningkat. Semakin luas lahan yang akan dikonversi menjadi lahan sawah atau lahan pertanian lain dan semakin meningkatnya jumlah ternak, kebutuhan pupuk, maka akumulasi residu pertanian dalam tanah dan tanaman semakin besar dan juga emisi GRK. 130 Tim Sintesis Kebijakan PERMASALAHAN Padi sebagai pangan pokok di Indonesia dikonsumsi oleh kebanyakan penduduk Indonesia yang populasinya lebih dari 220 juta jiwa. Dengan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,5% setiap tahun dan konsumsi per kapita 130 kg/tahun, jumlah substansial padi akan dibutuhkan di masa mendatang. Melalui teknologi, diprediksi bahwa laju peningkatan emisi metana akan proporsional dengan peningkatan produksi padi. Lahan pasang surut terutama lahan sulfat masam sebagian telah dimanfaatkan sebagai areal budi daya padi. Areal persawahan merupakan kontributor utama emisi gas metana (CH4) dan nitro oksida (N2O), yaitu sebesar 70%. Meskipun emisi GRK tersebut sangat kecil dan tidak signifikan secara global, sifat reaktivitas dan waktu tinggalnya lebih lama dibandingkan gas CO2, sehingga peningkatan konsentrasi GRK tersebut di atmosfir harus tetap diwaspadai. Informasi karakteristik tanah sulfat masam yang terkait dengan kemampuan memproduksi GRK terutama metana dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengelolaan tanah tersebut untuk budi daya tanaman padi sawah yang ramah lingkungan. Peningkatan emisi GRK di Indonesia pada periode 1990-2002 lebih tinggi dibandingkan di Cina dan India, meskipun total emisinya masih rendah. Emisi GRK di Indonesia meningkat 97%, sedangkan di Cina dan India masing-masing hanya 49 dan 70%. Perubahan iklim akibat peningkatan pemanasan global 1oC dapat menurunkan produksi pangan nasional. Pengaruhnya terhadap produksi pertanian secara nasional diperkirakan dapat menurunkan produksi sekitar 2,5% untuk daerah-daerah tertentu, tetapi dapat terjadi kenaikan produksi 2,5% untuk daerah lainnya. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto baru-baru ini, Indonesia berperan serta dalam mengendalikan terjadinya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfir. Peningkatan konsentrasi GRK menyebabkan pemanasan bumi global yang dapat berakibat terhadap ketidakseimbangan ekologi dan terjadinya ledakan hama dan penyakit tanaman. Pemanasan bumi global berdampak terhadap perubahan iklim, yang diperkirakan akan mempengaruhi hasil panen dan produksi pertanian. Dampak perubahan iklim di sektor pertanian antara lain berupa pergeseran iklim dan zona pertanian, perubahan pola produksi, pendorong produktivitas pertanian karena kenaikan jumlah CO2 di atmosfir, perubahan pola hujan dan bertambah rentannya kondisi para petani miskin yang tidak memiliki lahan. ANALISIS MASALAH Potensi produksi metana tanah sulfat masam yang digunakan sebagai areal persawahan di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan beragam dengan kisaran 0,03- 0,56 µg CH4/g tanah. Produksi metana tertinggi terdapat di Kecamatan Mandastana (0,56 µg CH4/g tanah, sedangkan produksi metana terendah terdapat di kecamatan Alalak (0,03 µg CH4/g tanah). Potensi produksi metana tanah sulfat masam (Sulfaquept) untuk budi daya padi sawah lebih rendah dibandingkan potensi produksi metana tanah Inceptisol di Jawa Tengah (0,05-0,96 µg CH4/g tanah) dan tanah Inceptisol di Jawa Timur (0,39 -1,44 µg CH4/g tanah). Pemanfaatan lahan sulfat masam ... Potensi produksi metana di lahan pasang surut dipengaruhi oleh karakteristik tanah, antara lain kemasaman, potensial redoks, kandungan karbon, ketersediaan hara, dan pengelolaan lahan. Produksi metana tanah sulfat masam meningkat dengan peningkatan pH, penurunan potensial redoks, dan penurunan ketersediaan sulfat dalam tanah. Beberapa varietas padi unggul pasang surut telah dilepas ke petani, namun kemampuan varietas-varietas tersebut dalam mengemisi gas CH4 beragam, bergantung pada karakteristik, morfologi, dan fisiologi varietas. Masing-masing varietas memiliki umur, sifat, dan aktivitas akar yang berbeda seperti daya oksidasi, kecepatan pertukaran gas serta eksudat akar Varietas Punggur mengemisi metana lebih rendah dibandingkan varietas Indragiri, Sei Lalan, dan Martapura, dengan emisi masingmasing 105, 141, 153, dan 171 kg CH4/ha. IMPLIKASI KEBIJAKAN Lahan sulfat masam merupakan ekosistem yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, karena arealnya yang cukup luas sehingga mempunyai peran yang strategis dalam mendukung peningkatan produksi beras nasional. Namun dalam pelaksanaannya harus dikelola 131 secara hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru. Pengelolaan tanah sulfat masam untuk pertanian oleh stakeholders harus dilakukan secara bijaksana dengan memperhatikan lingkungan. Kebijakan pemilihan tanah sulfat masam untuk mendukung peningkatan produksi beras nasional merupakan kebijakan yang tepat. Namun dalam pelaksanaannya perlu disosialisasikan teknologi yang tepat dengan menerapkan usaha tani yang memperhatikan keseimbangan lingkungan dan menekan tingkat emisi GRK serendahrendahnya. Teknologi pengelolaan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan perlu disosialisasikan kepada stakeholders, seperti teknologi yang dapat menekan emisi GRK ke atmosfir. Teknologi tersebut meliputi penggunaan varietas padi rendah emisi disertai dengan aerasi secara berselang, peningkatan oksidasi metana secara mikrobiologis (metanotroph), dan mengurangi masukan karbon mudah terdegradasi. Informasi potensi produksi GRK dan varietas padi yang rendah emisi di lahan pasang surut, terutama pada tanah sulfat masam, seperti varietas Punggur dan Indragiri dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam menerapkan teknologi usaha tani pasang surut ramah lingkungan untuk mendukung peningkatan produksi beras nasional.