1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu
melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme
penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan
hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang
sesuai dengan aturan perundang-undangan.1 Sedangkan jalur non litigasi adalah
mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan
mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat
bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan, penyelesaian adat,
dll.2 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).3 Salah satu
badan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah arbitrase.
Arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut Undang-Undang
1
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media Hukum, Yogyakarta, 2006,
hlm. 9.
2
Ibid.
Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu,
Jakarta, 2009, hlm. 1.
3
1
2
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Arbitrase merupakan salah satu
bentuk penyelesaian sengketa perdata tetapi tidak melalui jalur pengadilan pada
umumnya. Hal ini sesuai dengan pengertian arbitrase yang diatur dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang
menjelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh pihak yang bersengketa.4
Kompetensi absolut arbitrase lahir ketika ada klausul arbitrase di dalam
perjanjian yang menyebutkan bahwa arbitrase merupakan badan penyelesaian
sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang ditimbul
diantara mereka. Klausul arbitrase tersebut dapat dibuat oleh para pihak pada saat
sebelum terjadi sengketa maupun setelah timbul sengketa. Hal tersebut sesuai dengan
yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu
kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase
tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.5
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
4
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
5
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
3
para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.6 Ini berarti bahwa setiap
perjanjian yang mencantumkan klausul arbitrase, menghapuskan kewenangan
Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian
yang memuat klausul arbitrase tersebut.7 Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 11
Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan adanya
suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase,
kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa sengketa yang dapat diperiksa oleh
arbitrase adalah hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para
pihak yang bersengketa.8 Tidak ada penjelasan mengenai apa yang termasuk dalam
bidang perdagangan seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut. Akan tetapi jika
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah
6
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
7
Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm. 18.
8
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
4
kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman
modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2)
Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.9
Arbitrase merupakan sebuah lembaga penyelesaian sengketa yang terpisah dari
Pengadilan
Negeri, yaitu sebuah lembaga yang bukan merupakan bagian dari
Pengadilan Negeri. Sehingga, ketika para pihak setuju untuk memilih arbitrase
sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang, maka pengadilan harus menolak
untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut.10
Berikut adalah sengketa perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat
perjanjian berklausul arbitrase namun sengketa tersebut diselesaikan melalui badan
peradilan umum:
Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014, Mahkamah
Agung menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon
Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama. Mahkamah Agung
berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan
Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan. Setelah Mahkamah Agung meneliti dengan
9
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
10
Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000,
hlm. 13.
5
saksama memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali dan
dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi dan
putusan Judex Facti, dalam perkara a quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan
Hakim dengan beberapa pertimbangan, yaitu:
Pertama adalah sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan
melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan
Investment Agreement karena terdapat pihak yang tidak terikat dengan Investment
Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan
perjanjian tersebut sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam
Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2002. Mahkamah Agung menambahkan
bahwa perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I
dan Turut tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat
dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili
perkara a quo.
Kedua adalah terbukti Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat. Ketiga adalah surat-surat bukti Pemohon
Peninjauan Kembali I sampai dengan Pemohon Peninjauan Kembali IV semuanya
dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013, yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam
perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013) sehingga tidak bernilai sebagai novum yang
menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14
6
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009. Keempat adalah alasan Pemohon Peninjauan Kembali lainnya
merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon
Peninjauan Kembali dengan Judex Facti (Pengadilan negeri) dan Judex Juris.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya
Bersama adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak oleh Mahkamah Agung. Oleh
karena permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ditolak,
maka Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan peninjauan kembali tersebut.
Investment Agreement yang ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 23
Agustus 2003 tersebut menyepakati adanya klasul arbitrase. Klasul arbitrase terdapat
pada Pasal 13 ayat (3) Investment Agreement tanggal 23 Agustus 2003. Disebutkan
dalam Pasal 13 ayat (3) Investment Agreement apabila sengketa tersebut tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan
mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia.
Panjangnya upaya hukum yang ditempuh oleh kedua belah pihak yang
bersengketa hingga menghasilkan Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah
7
Agung bukan merupakan akhir dari sengketa antara para pihak. Pada 19 November
2013, PT. Berkah Karya Bersama mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (selanjutnya disebut BANI) terhadap Siti Hardiyanti Rukmana, dkk
sehubungan dengan wanprestasi/cidera janji berdasarkan Investment Agreement.11
Dalam Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 547/XI/ARBBANI/2013 tertanggal 12 Desember 201412, BANI menghukum pihak Nyonya Siti
Hardiyanti Rukmana untuk membayar utang sebesar Rp 510.000.000.000,00 kepada
PT. Berkah Karya Bersama, serta membayar biaya perkara sebesar Rp
2.300.000.000,00. BANI dalam putusannya tersebut juga menyatakan sah dan
mengikat Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplement
Agreement tertanggal 7 Februari 2003. Selanjutnya BANI menyatakan bahwa Para
Termohon telah melakukan cedera janji tethadap pemohon dengan mencabut surat
kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan Investment Agreement
tertanggal 23 Agutus 2002.
Dengan adanya Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 dan Putusan BANI Nomor
547/XI/ARB-BANI/2013 tersebut, menyebabkan adanya dua putusan terhadap objek
yang sama. Hukum memberikan kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase
sebagaimana hukum memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan
11
http://www.idx.co.id/Portals/0/StaticData/NewsAndAnnouncement/ANNOUNCEMENTSTOCK/Fro
m_EREP/201404/ae7d93a20e_27dfc64902.pdf, pada tanggal 08 Mei 2015, pukul 08:59 WIB.
12
Rakhmatulloh, Ini Perintah BANI dalam Putusan Kasus TPI, diakses dari
http://nasional.sindonews.com/read/938712/13/ini-perintah-bani-dalam-putusan-kasus-tpi1418822081, pada tanggal 7 September 2015, pukul 14:40 WIB.
8
tingkat akhir, dan keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala
Pengadilan Negeri.13
Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat
pertama dan terakhir.14 Tidak ada upaya hukum luar biasa lain yang terbuka untuk
mengoreksi putusan peninjauan kembali. Tertutup semua upaya hukum, demi
tegaknya kepastian hukum (legal certainty).15 Salah dan keliru atau tidaknya putusan
peninjauan kembali, harus dianggap putusan yang benar dan adil sehingga tidak bisa
lagi dikoreksi oleh lembaga mana pun.16 Begitu juga dengan putusan arbitrase yang
bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 17
Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan
banding,
kasasi
atau
peninjauan
kembali.18
Wewenang
atau
kompetensi
arbitrase/BANI secara hukum terpisah dan sejajar dengan Pengadilan Negeri, artinya
keputusan arbitrase/BANI mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan
Pengadilan Negeri.19 Perkara yang menurut perjanjian arbitrase diserahkan para pihak
yang bersengketa kepada arbitrase/BANI tidak bisa lagi diperiksa dan diputuskan
oleh Pengadilan Negeri.
13
R. Subekti, Aneka Perjanjian, hlm. 182.
Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
15
M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 449.
16
Ibid.
17
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
18
Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
19
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS): Suatu
Pengantar, Edisi Kedua (Revisi), Cetakan Kedua, Fikahati Aneka, 2011, hlm. 147.
14
9
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai kewenangan mengadili peradilan umum dan badan arbitrase dalam hal
mengadili sengketa berklasul arbitrase dengan judul “KEWENANGAN BADAN
PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN
HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN
BERKLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 238
PK/Pdt/2014”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan
perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian
berklausul arbitrase yang terdapat dalam Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014?
2.
Eksekusi manakah yang didahulukan menurut hukum antara Putusan Nomor
10/Pdt.G.2010/PN.Jkt.Pst ataukan 547XIARB-BANI/2013?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
10
1.
Mengetahui kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan
perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian
berklausul arbitrase sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Nomor
238/PK/Pdt/2014.
2.
Mengetahui eksekusi yang didahulukan menurut hukum antara Putusan Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst atau Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013.
D.
Tinjauan Pustaka
1.
Kewenangan Peradilan Umum dalam Perkara Perdata
Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai kompetensi
atau kewenangan masing-masing, baik kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Peradilan umum merupakan salah satu lingkungan peradilan, di luar peradilan
agama, militer dan tata usaha negara. Di Indonesia, peradilan umum diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
11
tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum ini
dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dan berpuncak pada
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi. 20 Pengadilan Negeri adalah
pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama, sedangkan Pengadilan Tinggi
adalah pengadilan yang mengadili pada tingkat banding.
Kompetensi asbolut Pengadilan Negeri dapat dilihat dalam Pasal 50 UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang menentukan bahwa
pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Jadi, tugas
pokok dari pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa dan memutus (mengadili)
serta menyelesaikan setiap perkara (perdata dan pidana) yang diajukan/dilimpahkan
kepadanya.
Dengan demikian, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis,
karena sengketa bisnis termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata dalam arti
luas.21 Pengecualian untuk sengketa bisnis yang berkaitan dengan masalah kepailitan
20
Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 15.
21
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, hlm. 12.
12
dan penundaan pembayaran utang yang menjadi kewenangan pengadilan niaga untuk
memeriksanya.22
2.
Kewenangan Arbitrase dalam Memeriksa Perkara Perdata
Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar
Pengadilan.23 Berdasarkan rumusan dari beberapa pendapat sarjana tentang
pengertian arbitrase dan juga pengertian arbitrase dari Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat diketahui
bahwa arbitrase lahir karena adanya perjanjian arbitrase.24 Bagaimana dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 25
Perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak tersebut
berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata melalui
jalur non litigasi. Perjanjian arbitrase dapat dibuat para pihak sebelum terjadinya
sengketa ataupun setelah terjadinya sengketa. Bagaimana dirumuskan dalam Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
22
Ibid.
Erman Rajagukguk, op.cit., hlm.1.
24
Andi Julia Cakrawala, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di Indonesia, Rangkang
Education, Yogyakarta, hlm. 85.
25
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
23
13
Penyelesaian Sengketa, perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klasula
arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak
sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para
pihak setelah timbul sengketa.26 Dari rumusan yang terkandung dalam pasal tersebut,
dapat disimpulkan perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan
berupa:
a.
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
para pihak sebelum timbul sengketa; atau
b.
Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul
sengketa.
Dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa Pengadilan Negeri
tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam
perjanjian arbitrase.27 Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang mencantumkan klausul
arbitrase, menghapuskan kewenangan pengadilan negeri untuk menyelesaikan setiap
sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase tersebut. 28
Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mempertegas yuridiksi absolut
26
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
27
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
28
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, loc.cit.
14
arbitrase yang disebut dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa adanya suatu perjanjian
arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian
sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan
Negeri.29 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menambahkan bahwa Pengadilan Negeri wajib
menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang
telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan
dalam Undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa). 30
Perjanjian
arbitrase
memberikan
kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc untuk
menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di antara para pihak yang timbul atau
mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu, yang penyelesaianya disepakati
dengan cara arbitrase.31
Adapun yang menjadi objek pemeriksaan arbitrase adalah memeriksa sengketa
keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui
arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, yaitu sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
29
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
30
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
31
Andi Julia Cakrawala, op.cit., hlm. 87.
15
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 32
Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, tidak memberikan
apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan
penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang termasuk dalam ruang lingkup perdagangan
adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan,
penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual.33 Selanjutnya Pasal 5 ayat
(2) menyebutkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi
arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan sengketa mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.34
Sepanjang itu penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diserahkan
kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.
32
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
33
Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
34
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003, hlm. 126.
16
E.
Metode Penelitian
Metode penelitian adalah tatacara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan
(metdhos = tata cara).35 Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan
aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi.36 Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif.
1.
Fokus penelitian
Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah:
a.
Kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan perbuatan
melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian berklausul
arbitrase yang terdapat dalam Putusan Nomor 238/PK/Pdt/2014.
b.
Eksekusi
yang
didahulukan
menurut
hukum
antara
Putusan
Nomor
10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst atau Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013.
2.
Narasumber
Narasumber dalam penelitian ini adalah:
a.
Ridwan Kahirandy selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
35
Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi: Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Cetakan
Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm.21.
36
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Kencana, Jakarta, 2005, hlm.
35.
17
b.
Tata Wijayanta selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
c.
Sri Muryanto selaku Hakim Utama Pengadilan Tinggi Yogyakarta.
3.
Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi:
a.
Bahan hukum primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat.37 Bahan
hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah peraturan
perundang-undangan dan putusan pengadilan. Peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun
200 tentang Peradilan Umum. Sedangkan putusan pengadilan yang digunakan dalam
penelitian
ini
adalah
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Jakarta
Nomor
629/PDT/2011/PT.DKI, Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/Pdt/2013, dan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 PK/Pdt/2014.
b.
Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum
37
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, hlm. 113.
18
primer.38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah:
literatur, buku, makalah, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c.
Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 39 Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian hukum ini adalah kamus, ensiklopedia, serta bahan-bahan
di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang
diperlukan dalam penelitian hukum ini.
4.
Cara Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam penelitin ini dilakukan dengan cara:
a.
Studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji literatur, hasil penelitian hukum dan
jurnal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian hukum ini.
b.
Studi dokumen yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen yang berupa
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
38
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009,
hlm. 12.
39
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Cetakan
ke-3, Jakarta, 1986, hlm. 52.
19
5.
Pendekatan yang Digunakan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif atau hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 40, yang
mungkin mencakup bahan hukum hukum primer, sekunder dan tertier.41
6.
Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif
kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara
kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan;
b.
Hasil kualifikasi dan selanjutnya disistematikan; dan
c.
Data yang telah disistematikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam
mengambil kesimpulan.
40
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Cetakan Ketiga belas, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2011, hlm. 13-14.
41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, loc.cit.
20
F.
Sistematika Penulisan
Berdasarkan rumsuan permasalahan serta hal-hal yang telah diuraikan
sebelumnya, maka susunan penelitian ini dibagi dalam empat bab, dengan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab satu berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua
menguraikan teori atau hasil kepustakaan, yang berisi mengenai tinjauan umum
tentang kewenangan menagdili badan peradilan umum dan arbitrase dalam perkara
perdata.
Bab tiga berisi pembahasan dari apa yang terdapat pada rumusan masalah,
antara lain adalah pembahasan mengenai kewenangan badan peradilan umum dalam
mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan
perjanjian berklausul arbitrase. Pembahasan tersebut didasarkan pada studi kasus
terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014.
Bab empat berisi tentang kesimpulan dan saran terkait dengan rumusan
permasalahan yang diteliti. Kesimpulan merupakan inti dari analisa pembahasan,
sedangkan saran penelitian diberikan dengan maksud untuk melengkapi kekurangan
dari penelitian ini. Kemudian diakhiri dengan pemberian daftar pustaka.
Download