PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERPIKIR KRITIS PADA PELAJARAN IPA SISWA KELAS VII SMP Nindha Ayu Berlianti Program Studi Pendidikan IPA, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Hasyim Asy’ari [email protected] Abstract The Beginning of observation conducted in SMP PGRI Ngraho Bojonegoro Class VIIA. The observation show that student Critical Thinking skills is lack in Acquaintance stuff And solve problem, make hypothesis, make conclusions and develop opinion, with average fg ability Critical Thinking at 53, 2%. Based on that fact learning model need to be apply. The learning model can build ability of critical thinking like problem-Based Learning. The purpose of this observation for knowing the impact of learning model with basic problem to develop student crtical thinking skill. The research conducted by Penelitian Tindakan Kelas (PTK), which consists of two cycles in eight times meeting. The subject of the observation is VII-A SMP PGRI Ngraho Bojonegoro student with total of 30 students. The main topic that used by this observation is statistic and scale. The instrument of this observation are RPP, LKS, problem based learning attending observation sheet, critical thinking skills observation sheet and field notes. The technique of data analysis are data reduction, data presentation and draw conclusion. The result of the observation shows that problem-Based Learning can develop student critical thinking skills. That result show with developing of average percentage of critical thinking skills from 53,2% in beginning of observation rise to 58,5% in cycle I and 73,3% in cycle II. Keywords: Problem-Based Learning, Critical Thinking Skills, Learning Science PENDAHULUAN Penelitian ini mengambil lokasi di SMP PGRI Ngraho Bojonegoro, dalam penelitian ini di fokuskan pada kelas VII A. Pemilihan kelas sebagai subyek penelitian karena kelas VII A paling pasif dibandingkan dengan siswa kelas VII yang lain dalam proses pembelajaran. Hasil wawancara menyatakan bahwa di kelas VII selama proses pembelajaran siswa hanya sedikit atau hampir tidak ada yang menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, jika ada yang menjawab kurang lancar dalam mengungkapkan pendapat, kurang dapat memberikan jawaban yang bervariasi atau hanya meniru dan mengiyakan jawaban temannya. Padahal metode yang digunakan pada pembelajaran disetiap kelas sama yaitu ceramah dan tanya jawab. Keterlibatan siswa dalam tanya jawab dengan guru dalam proses pembelajaran tergolong rendah. Ketika guru bertanya kepada siswa, dari 30 siswa hanya beberapa siswa tertentu saja yang menjawab sedangkan siswa yang lain cenderung diam dan pasif. Selain itu, pada saat guru mengajukan pertanyaan, siswa menjawab dengan meniru jawaban siswa yang lain. Ini menunjukkan bahwa keaslian berpikir siswa kurang. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan guru terdapat beberapa masalah yaitu terdapat kekurangan siswa dalam hal mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat atau mengembangkan pendapat. Seperti yang diungkapkan oleh Mulyasa (2006) Tujuan penerapan KTSP untuk mata pelajaran fisika (IPA) pada tingkat SMP dimaksudkan untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu pengetahuan serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri (Mulyasa, 2006) Observasi awal di kelas SMP PGRI Ngraho Bojonegoro diketahui bahwa keterampilan berpikir kritis siswa dalam mengenal dan memecahkan masalah, membuat hipotesis, membuat kesimpulan dan mengembangkan pendapat siswa masih rendah. Melihat kondisi tersebut, guru dan peneliti menyepakati untuk memilih penerapan model pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran Berbasis Masalah merupakan suatu model pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik. Masalah autentik dapat diartikan sebagai suatu masalah yang sering ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pembelajaran berbasis masalah siswa dapat menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, mandiri serta meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan lagi. Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran inovatif dengan memberikan kondisi aktif dalam pembelajaran yang mendukung siswa berpikir kritis dan mempunyai keterampilan dalam memecahkan masalah dengan menggunakan masalah dunia nyata. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan keterlaksanaan model pembelajaran berbasis masalah yang dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII-A SMP PGRI Ngraho Bojonegoro tahun ajaran 2011/2012. Meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII-A SMP PGRI Ngraho Bojonegoro tahun ajaran 2011/2012 dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima langkah, (1) mengorientasikan siswa pada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada tahap ini siswa dibentuk kelompok untuk mendiskusikan permasalahan yang telah ditentukan dan merumuskan hipotesis, (3) membantu penyelidikan individu dan kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Wartono, 2005). Dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah ini diharapkan keantusiasan siswa dalam pembelajaran meningkat. Keantusiasan siswa ini secara tidak langsung meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan berpikir kritis siswa. Berpikir kritis adalah keterampilan yang dimiliki individu untuk melihat dan memecahkan masalah yang dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu mengenal dan memecahkan masalah, merumuskan hipotesis, menganalisis data, membuat kesimpulan dan menerapkan konsep. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang berjudul “Pembelajaran Berbasis Masalah Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Pada Pelajaran IPA Siswa VII SMP PGRI Nrgaho Bojonegoro”. Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan. Pembelajaran berbasis masalah merupakan pendekatan pembelajaran yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah terjadi dalam benak dan menyusun sebagai pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya, pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks. Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dari guru memberikan siswa suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa, secara singkat kelima tahapan pembelajaran berbasis masalah adalah seperti Tabel 1. Tabel 1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tahapan Tahap 1 : Orientasi siswa pada masalah Tahap 2 : Mengorganisasi siswa belajar Tahap 3 : Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Tingkah laku guru Menjelaskan tujuan pembelajaran Menjelaskan peralatan yang dibutuhkan Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih. Membantu siswa untuk mendefinisikan Mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. Pembelajaran berbasis masalah memusatkan pada masalah kehidupan yang bermakna bagi siswa. pembelajaran berbasis masalah dipandang sebagai proses dimana siswa menemukan kombinasi aturan yang telah dipelajarinya untuk memecahkan masalah baru. Pembelajaran berbasis masalah terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan memperkenalkan siswa pada situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. kelima tahapan pembelajaran berbasis masalah, disajikan pada Tabel 1. Langkah-langkah model pembelajaran Berbasis Masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Mengorientasikan siswa pada masalah Guru menyajikan masalah secara hati-hati dengan prosedur yang jelas, situasi masalah baru disampaikan semenarik mungkin, biasanya memberikan kesempatan siswa untuk melihat, merasakan dan menyentuh sesuatu sehingga dapat memunculkan keterkaitan dan memotivasi inkuiri. Sajian masalah tersebut diharapkan dapat menggugah minat siswa dan menimbulkan keinginan untuk memecahkan masalah tersebut. b. Mengorientasikan siswa belajar Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok, bagaimana kelompok terbentuk tergantung tujuan yang ditetapkan guru untuk masalah tertentu. Setelah siswa diorientasikan kepada situasi masalah dan telah membentuk kelompok, maka tugas pertama bagi kelompok adalah mengajukan hipotesis dari permasalahan yang terjadi. Dalam tahap ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan mengatur waktu untuk melakukan penyelidikan, diskusi serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya. c. Membimbing penyelidikan individual dan kelompok. Penyelidikan yang dilakukan secara mandiri atau kelompok banyak melibatkan pengumpulan data, melakukan percobaan, pengajuan hipotesis, menjelaskan dan memberikan pemecahan masalah. Selama tahap penyelidikan, guru menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa menunggu dan mengingatkan tugas-tugas yang harus mereka selesaikan. Bantuan guru dapat berupa memberikan bimbingan apabila siswa menemukan kesulitan, menyediakan bahan ajar, dan menyediakan alat dan bahan percobaan. d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pada tahap ini, guru membantu siswa dalam manyiapkan karya yang sesuai, seperti poster, video, laporan dan model. Setelah pengembangan hasil karya selesai, guru memberikan kesempatan masing-masing kelompok untuk menyajikan hasil karya yang digarapkan dapat mewakili penyelesaian dan penjelasan dari masalah yang sedang dipelajari. e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Tahap ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri serta keterampilan penyelidikan dan keterampilan intelektual yang mereka gunakan. Selama tahap ini, guru meminta siswa untuk melakukan rekonstruksi pemikiran dan aktivitas mereka selama tahap-tahap pelajaran yang telah dilewatinya. f. Assesmen dan evaluasi Penilaian dalam pembelajaran berbasis masalah tidak hanya berpusat pada hasil belajar saja tetapi pada proses pemecahan masalah atau aspek pembangunan kecakapan. Penilaian dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu unjuk kerja, penampilan, presentasi, hasil karya dan tes tulis. Berpikir kritis merupakan salah satu aktivitas mental yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Keterampilan berpikir kritis setiap individu berbeda dan perbedaan itu dipengaruhi oleh pembinaan, pendidikan, maupun pembelajaran yang tepat agar keterampilan berpikir kritis ini dapat dikembangkan. Berpikir kritis bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan di terima atau apa yang akan di lakukan dengan alasan yang logis, memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan, menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut, mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian. Berpikir kritis didefinisikan sebagai keterampilan untuk menganalisis fakta, mencetuskan dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah. Berpikir kritis diartikan sebagai proses intelektual yang dengan aktif dan terampil mengkonseptualisasi, menerapkan, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi informasi yang dikumpulkan atau dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, untuk memandu keyakinan dan tindakan (Murti, 2010). Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Dalam proses ini terjadi kegiatan penggabungan antara persepsi dan unsur-unsur yang ada dalam pikiran, kegiatan manipulasi mental karena adanya rangsangan dari luar yang akan membentuk suatu penalaran, pemikiran dan keputusan, serta kegiatan memperluas aturan yang diketahui untuk memecahkan masalah (Nurhadi, 2004). Pertukaran gagasan yang aktif didalam kelompok kecil tidak hanya menarik perhatian siswa tetapi juga dapat mempromosikan pemikiran kritis. Kerjasama dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat dalam diskusi, bertanggung jawab terhadap pelajaran sehingga dengan begitu mereka menjadi pemikir yang kritis. Materi tentang pemikiran kritis yaitu materi yang melibatkan analisa, sintesis dan evaluasi konsep. Dalam penggolongan Taksonomi Bloom, pada tugas analisis ini siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks atas konsep-konsep dasar. Pada sintesis siswa dapat menggabungkan atau menyusun kembali (reorganize) hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan situasi baru. Sedangkan evaluasi konsep untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki untuk menilai sesuatu kasus yang diajukan oleh penyusun soal (Arikunto, 2002). Makalah yang berjudul Student-centered Learning ICT (Universitas Gadjah Mada, 2008) menyatakan bahwa perilaku berpikir kritis dapat dilihat dari beberapa aspek yang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2 Pedoman Penilaian Keterampilan Berpikir Kritis No Aspek Deskripsi Pencapaian 1. Mengenal dan memecahkan masalah 1. Siswa tidak dapat mengidentifikasi dan memecakan masalah 2. Siswa dapat mengidentifiksi permasalahan tetapi tidak dapat memecahkannya. 3. Siswa dapat mengidentifikasi permasalahan dan menemukan alternatif pemecahannya tetapi tidak tepat. 4. Siswa dapat mengidentifiksi permasalahan dan menemukan pemecahannya dengan tepat. 2. Merumuskan Hipotesis 3. Menganalisis data 4. Membuat kesimpulan 1. Siswa tidak dapat meramalkan apa yang mungkin terjadi dari suatu gejala 2. Siswa dapat meramalkan dan menjelaskan suatu gejala tetapi kurang tepat 3. Siswa dapat meramalkan apa yang mungkin terjadi dari suatu gejala tetapi penjelasannya kurang tepat 4. Siswa dapat meramalkan apa yang mungkin terjadi dari suatu gejala beserta penjelasannya dengan jelas dan tepat 1. Siswa tidak menganalisis data 2. Siswa dapat menganalisis data tetapi tidak lengkap dan tidak tepat 3. Siswa dapat menganalisis data dengan tepat tetapi tidak lengkap 4. Siswa dapat menganalisis data dengan tepat dan lengkap 1. Siswa tidak bisa membuat kesimpulan 2. Siswa bisa membuat kesimpulan tetapi tidak jelas dan tidak sesuai dengan tujuan percobaan 3. Siswa bisa membuat kesimpulan sesuai dengan tujuan percobaan tetapi tidak jelas 4. Siswa dapat membuat kesimpulan sesuai dengan tujuan percobaan dengan jelas 5. Menerapkan konsep 1. Siswa tidak dapat menerapkan konsep atau menyebutkan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari 2. Siswa dapat menerapkan konsep atau menyebutkan aplikasinya dalam kehidupan seharihari dengan tidak tepat 3. Siswa dapat mengaplikasikan konsep yang telah diterima pada konteks atau situasi lain tetapi masih kurang tepat 4. Siswa dapat mengaplikasikan konsep yang telah diterima pada konteks atau situasi lain dengan tepat Pembelajaran adalah pengajaran yang dilakukan oleh guru dikelas dengan maksud membelajarkan siswa dengan menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar (Dimyanti, 2002). IPA (Fisika) merupakan ilmu yang lahir dari observasi, eksperimen, hipotesis dan kesimpulan yang saling terkait, pembelajaran IPA (fisika) adalah pengajaran yang dilakukan oleh guru dengan menggunakan metode pembelajaran seperti observasi, eksperimen, hipotesis dan menarik kesimpulan. Keberhasilan pembelajaran sangat dipengaruhi oleh keterampilan guru memilih metode pengajaran yang digunakan. Agar pembelajaran dapat berlangsung dengan baik, maka harus terdapat komponen-komponen pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran. Komponen-komponen tersebut meliputi tujuan instruksional yang akan dicapai, materi pelajaran, metode mengajar, alat peraga pengajaran dan evaluasi sebagai alat ukur tercapai atau tidaknya tujuan pembelajaran (Supat, 2003). Upaya pembelajaran terkait dengan beberapa prinsip belajar antara lain sebagai berikut. Pertama, belajar menjadi lebih bermakna bila siswa memahami tujuan pembelajaran. Oleh karena itu, guru perlu menjelaskan tujuan pembelajaran. Kedua, belajar menjadi bermakna bila siswa dihadapkan pada pemecahan masalah menantang. Ketiga, belajar menjadi bermakna bila guru mampu memusatkan segala keterampilan mental siswa. Keempat, guru menyiapkan pembelajaran dari hal – hal sederhana sampai pada hal – hal yang membuat siswa merasa tertantang mempelajarinya. Kelima, belajar menjadi menantang bila siswa memahami prinsip penilaian dan faedah nilai belajarnya bagi kehidupan di kemudian hari (Dimyati & Mudjiono, 2002). Dalam proses pembelajaran yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan, dapat membuat siswa tertantang mempelajarinya. Masalah – masalah yang diberikan pada siswa haruslah masalah – masalah konstektual yang berkaitan erat dengan kehidupan nyata sehingga siswa dapat mengaitkannya dengan kehidupan sehari – hari mereka. Hal ini dapat diatasi dengan suatu penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran (content) dengan situasi dunia nyata siswa (context) dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari – hari (Johnson, 2002). Salah satu cara untuk mengaitkan konten dengan konteks adalah melalui pembelajaran berbasis masalah. Pembelajaran berbasis masalah juga dikenal dengan nama pembelajaran proyek. Pendidikan berdasarkan pengalaman dan pembelajaran berakar kehidupan nyata. Pembelajaran ini membantu siswa belajar keterampilan memecahkan masalah dengan melibatkan mereka pada situasi masalah kehidupan nyata dan guru berperan menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena memenuhi karakteristik penelitian kualitatif. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas atau (PTK). Tempat penelitian adalah di SMP PGRI Ngraho yang terletak di Jalan Raya NgawiCepu, Kec Ngraho, Kab Bojonegoro. Penelitian berlangsung di ruang kelas. Subjek penelitian adalah siswa kelas VII A SMP PGRI Ngraho Bojonegoro tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 30 orang yang terdiri dari 14 siswa laki-laki dan 16 siswa perempuan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011 sebanyak 8 kali pertemuan. Data dalam penelitian ini adalah (1) data keterlaksanaan pembelajaran berbasis masalah, (2) data keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII SMP PGRI Ngraho Bojonegoro tahun ajaran 2011/2012. Pelaksanaan Penelitian ini instrumen yang dikembangkan instrumen perlakuan berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), Lembar Kerja Siswa (LKS). Instrumen pengukuran berupa lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran berbasis masalah dan lembar catatan lapangan. Instrumen keterampilan berpikir kritis berupa lembar observasi lapangan. Instrumen tindakan yang digunakan berupa RPP dan LKS untuk subbab suhu dan pengukuran pada siklus I dan subbab melakukan pengukuran siklus II. Penelitian ini dianalisis secara deskriptif kualitatif sejak pengumpulan data sampai pada tahap penyusunan laporan. Memberikan penilaian terhadap masing-masing aspek keterampilan berpikir sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, Menjumlah skor yang diperoleh untuk masing-masing aspek keterampilan berpikir, Menentukan skor maksimal keterampilan berpikir, Mempersentase skor untuk masing-masing aspek dengan menggunakan rumus yang telah ditentukan, Membandingkan persentase keterampilan berpikir pada hasil observasi awal, siklus I dan siklus II. Indikator keberhasilan jika terdapat peningkatan keterlaksanaan pembelajaran model pembelajaran berbasis masalah dari siklus I ke siklus II, Persentase keterampilan berpikir kritis mencapai 70% dan mengalami peningkatan dari siklus I ke siklus II. Prosedur penelitian menggunakan tiga tahapan yaitu tahapan prapenelitian, tahap pelaksanaan, tahap analisis data dan pelaporan. Tahap prapenelitian ini dilakukan pada tanggal 15 Maret 2011 dengan melakukan wawancara dengan guru fisika, pengamatan kegiatan pembelajaran, memperhatikan situasi kelas, model pembelajaran yang digunakan dan implikasinya, serta faktor pendukung dan penghambat kegiatan pembelajaran. Tahap pelaksanaan dalam penelitian ini mengikuti prinsip dasar tindakan kelas yaitu menggunakan prosedur kerja yang bersifat siklus, meliputi tahap perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi yang diikuti dengan perencanaan ulang. PEMBAHASAN Tabel 3 Persentase Keterlaksanaan PBL Indikator Keterlaksanaan PBL Orientasi siswa pada masalah kontekstual Mengorganisasikan siswa untuk belajar Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Jumlah Siklus (%) 57.5 50 90 100 90 71 Siklus II (%) 82.5 85 90 90 90 86 Tabel 4 Rekapitulasi Keterampilan Berpikir Kritis Siswa pada Observasi Awal, Siklus I dan Siklus II Indikator keterampilan berpikir kritis siswa Mengenal/Mengidentifikasi dan memecahkan masalah Merumuskan hipotesis Menganalisis data Membuat kesimpulan Menerapkan konsep Rata – Rata Observasi Awal (%) 51.6 52.9 53.4 52.9 55 53.3 Siklus I (%) 55.8 57.5 57.5 63.4 59 58.5 Siklus II (%) 72.1 72.9 72.0 75.4 73.8 73.3 Tabel 3 mendeskripsikan tentang peningkatan persentase keterlaksanaan pembelajaran dengan model PBL antara siklus I dan siklus II, terjadi perubahan baik pada tahap mengorientasikan siswa pada masalah yang semula. Ketercapaiannya 57.5 % mengalami kenaikan 25 % menjadi 82.5 %, karena pada siklus I memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah kurang maksimal. Tahap mengorganisasikan mengalami kenaikan 35 % karena pada tahap ini guru sudah lebih tegas dalam mengatasi kesulitan pada siswa yang kurang serius mengikuti pelajaran yaitu dengan memberikan hukuman membuat rangkuman. Tahap membimbing penyelidikan individu dan kelompok tidak mengalami peningkatan karena dalam tahap ini guru sudah membimbing siswa secara maksimal dalam melakukan penyelidikan ataupun dalam melakukan praktikum. Tahap mengembangkan dan menyajikan hasil karya mengalami sedikit penurunan yaitu 10 % karena pada siklus II bertepatan pada bulan puasa sehingga dalam menyajikan hasil karya dengan melakukan presentasi antar kelompok, guru mengurangi jumlah kelompok yang akan maju untuk mempersingkat waktu agar tidak melebihi alokasi waktu, tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah tidak mengalami peningkatan karena guru membimbung siswa secara maksimal. Tabel 4 terlihat peningkatan persentase keterampilan berpikir kritis siswa pada semua aspek dari siklus I ke siklus II. Aspek mengenal/ mengidentifikasi dan memecahkan masalah mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 55.8 % menjadi 72.1 % pada siklus II, karena pada siklus I siswa tidak terbiasa dalam mengidentifikasi dan memecahkan masalah, siswa juga tidak pernah melakukan praktikum sebelumnya sehingga dalam menuliskan judul dan membuat langkah-langkah praktikum masih belum sempurna, sedangkan pada siklus II siswa sudah terbiasa dalam mengenal dan memecahkan masalah. Hal ini terlihat ketika siswa membuat langkah-langkah praktikum. Langkah-langkah praktikum yang dibuat sudah sempurna dan baik., sehingga dapat disimpulkan pada aspek mengenal/ mengidentifikasi dan memecahkan masalah mengalami peningkatan sebesar 16.3% . Aspek merumuskan hipotesis juga mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 57.5 % menjadi 72.9 % pada siklus II, karena pada siklus I siswa belum terbiasa meramalkan dan menjelaskan yang akan terjadi dari suatu gejala, sedangkan pada siklus II siswa sudah mengerti apa dan bagaimana membuat hipotesis. Siswa juga sudah diajarkan oleh guru untuk membuat hipotesis di secarik kertas, waktu diperintahkan membuat hipotesis hampir semua siswa bisa membuatnya. Sehingga dapat disimpulkan pada aspek merumuskan hipotesis mengalami peningkatan sebesar 15.4% . Aspek menganalisis data terjadi peningkatan pada siklus I sebesar 57.5 % menjadi 72.0 % pada siklus II, karena pada siklus I siswa masih belum terbiasa bekerja sama membagi tugas dalam mengumpulkan dan menganalisis data, sehingga data yang dihasilkan kurang lengkap, kurang tepat, dan kadang tidak diberi satuan, pada siklus II sudah cukup baik karena siswa sudah terbiasa dan terampil bekerja sama dalam kelompok untuk mengumpulkan data dan data yang diisikan sudah lengkap, dan sudah diberi satuan. Sehingga dapat disimpulkan pada aspek menganalisis data mengalami peningkatan sebesar 14.5 % . Aspek membuat kesimpulan mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 63.4 % menjadi 75.4 % pada siklus II, karena pada siklus I siswa belum terbiasa dalam membuat kesimpulan. Kesimpulan yang dibuat tidak sesuai dengan tujuan percobaan dan kurang jelas, sedangkan pada siklus II siswa sudah terbiasa dalam membuat kesimpulan. Kesimpulan yang dibuat siswa sudah sesuai dengan tujuan percobaan, sehingga dapat disimpulkan pada aspek membuat kesimpulan mengalami peningkatan sebesar 12.0 % . Aspek menerapkan konsep mengalami peningkatan pada siklus I sebesar 59.0 % menjadi 73.8 % pada siklus II, karena pada siklus I relatif rendah hal ini disebabkan oleh siswa tidak pernah dibiasakan untuk menerapkan konsep yang diterima ke dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan pada siklus II siswa sudah bisa menerapkan konsep dalam kehidupan sehari-hari meskipun ada yang tidak sesuai dengan materi. Sehingga dapat disimpulkan pada aspek menerapkan konsep mengalami peningkatan sebesar 14.8% . Keterampilan berpikir kritis siswa sudah mengalami peningkatan pada semua aspek, hal ini dikarenakan pada siklus I siswa belum terbiasa dengan penerapan model pembelajaran PBL, siswa juga belum pernah melakukan praktikum dan diskusi dengan teman sebaya sebelumnya, sedangkan pada siklus II, siswa sudah terbiasa dengan penerapan model PBL dan setelah dilakukan refleksi dan perbaikan RPP untuk siklus II, siswa mulai berkembang keterampilan berpikir kritisnya yang meliputi mengenal dan memecahakan masalah, membuat hipotesis, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan menerapkan konsep. SIMPULAN Keterlaksanaan proses pembelajaran model PBL pada siklus I rata-rata ketercapaiannya sebesar 71% dan pada siklus II ketercapaiannya sebesar 86% yang meliputi lima tahap yaitu mengorientasikan siswa pada masalah, mengorganisasikan siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan individu dan kelompok, mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa kelas VII-A SMP PGRI Ngraho Bojonegoro, dari 54% pada observasi awal menjadi 73,9% pada siklus II. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Dimyanti dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : PT Rineka Cipta. Handayanto, S. K. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang. Johnson. E. B. 2002. Contextual Teaching And Learning. Menjadikan Kegiatan Belajar Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna. Bandung : PT MLC. Mulyasa. 2006. Suatu Panduan Praktis Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Murti, B. 2010. Berpikir Kritis Student Centred Learning ICT. Yogjakarta : Universiatas Gajah Mada. (Online), (Http :// www. ugm.ac.id, Diakses Tanggal 8 Juni 2011). Nurhadi, Yasin, B. Senduk, A. 2004. Pembelajaran Kontekstual Dan Penerapannya Dalam KBK. Malang : UM Press. Supat, 2003. Peningkatan Prestasi Belajar Fisika dengan Menggunakan Problem Possing dan Problem Solving Berbasis Konstruktivisme pada Siswa Kelas 1 semester II SMU Negeri 2 Tanjung Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Skripsi. Malang: Universitas Negeri Malang. Tidak diterbitkan. Wartono, H. M. 2005. Keterampilan Dasar Mengajar. Malang : FMIPA Jurusan Fisika UM.