METODE DEKOMPOSISI SPEKTRAL DENGAN METODE CONTINOUS WAVELET TRANSFORM (CWT) DALAM MENGIDENTIFIKASI SHALE PROSPEKTIF DI LAPANGAN “X” Raden Rama Kresandi1, Abdul Haris2, Endra Triyana3 1 Departemen Fisika, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 [email protected] Abstrak Dekomposisi spektral lanjutan dengan menggunakan metode Continous Wavelet Transform (CWT) dilakukan dengan mencari estimasi nilai atenuasi pada data seismik. Penggunaan dekomposisi spektral dengan metode CWT memperlihatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan metode dekomposisi spektral yang lain. Obyek penelitian adalah lapisan shale prospektif pada formasi Talang Akar. Daerah penelitian terletak di Lapangan X yang berada di cekungan south sumatera offshore. Sebelum dilakukan dekomposisi spektral, penelitian difokuskan terlebih dahulu pada analisis petrofisika untuk menentukan lapisan shale prospektif. Selain itu, dilakukan pula overlay kurva DlogR dengan kurva Transit time sonic dan Resistivitas. Lapisan zona target shale diinterpretasikan sebagai zona shale yang prospektif. Dan data-data ini diperkuat dengan analisis lanjutan dekomposisi spektral dengan nilai atenuasi dari faktor Q yang telah diestimasi. Abstract The Advanced Spectral Decomposition using Continuous Wavelet Transform (CWT) is done by finding the estimated value of attenuation on seismic data. The use of advanced spectral decomposition method based on CWT shows better result than the other methods of spectral decomposition. Object of study is a prospective shale layer in Talang Akar Formation. Study area is located at X Field in South Sumatera Offshore, Sunda-Asr Basin. Before spectral decomposition applicated, prior research has focused on petrophysics analysis and crossplot analysis to determine prospective shale layer. Else, also used overlay curve DlogR with Sonic transit time. From one shale zone is created, estimated shale layer at Shale zone is the layer of shale prospective. These results are supported also by the estimated value of the attenuation of advance spectral decomposition. Keywords: Spectral Decomposition, Prospective Shale Analysis, Attenuation Value Estimated PENDAHULUAN Formasi shale merupakan formasi batuan sedimen yang mempunyai tekstur berbutir halus dan berstruktur laminasi yang memiliki permeabilitas yang kecil (ukuran permeabilitas dalam nanodarcy). Dalam petroleum system, shale dapat menjadi batuan penutup (seal) dan batuan penghasil hidrokarbon (source rock). Shale tersebut pada umumnya diendapkan di lingkungan seperti rawa, laut dangkal, atau danau. Batuan shale dapat mengandung unsur material organik yang melimpah. Khususnya pada shale sebagai batuan induk yang pada umumnya memiliki kandungan organik dalam rentang 0.2% hingga 1.65% dari berat total batuan (Passey et al., 1990). Sedangkan dalam penelitian (Triyana, E., 2010) pada formasi Gumai di lapangan Abiyoso cekungan Sumatera Selatan nilai kandungan organik pada shale dapat mencapai hingga sebesar 2% dari berat total batuan. Dalam menentukan banyak ataupun sedikitnya kandungan organik dari shale, biasanya digunakan analisis geokimia seperti analisis TOC, Thermal Alteration Index, dan Vitrinite Reflectance (Boyer et al., 2006). Selain dengan menggunakan analisis geokimia TOC, potensi shale dapat diperkirakan dengan cara menggunakan data rekaman sumur (well log) (Passey et al., 1990). Yang diantaranya menggunakan data tersebut menggunakan data sifat fisis batuan seperti Gamma Ray, Densitas, Resistivitas, dan Transit-time sonic. Selain itu untuk mendeteksi potensi hidrokarbon di shale dapat digunakan metode dekomposisi spektral. Dekomposisi spektral merupakan metode yang memisahkan tras seismik ke dalam kumpulan tras yang memiliki frekuensi yang sama sehingga menghasilkan single-frequency maps. Dekomposisi spektral digunakan untuk menganalisis sinyal tras seismik. Oleh karena itu, pada perkembangannya analisis fourier biasa dikembangkan oleh para ilmuwan agar dapat menghasilkan sinyal 2D dalam waktu dan frekuensi, kemudian melakukan short-time window setelah dilakukan transformasi fourier. Metode ini dikenal dengan sebutan Short-Tme Fourier Transform (STFT). Akan tetapi, resolusi time-frekuensi dengan menggunakan STFT terbatas dalam menggunakan lebar window. Permasalahan penentuan lebar window dalam analisis time-frekuensi dapat diatasi dengan metode Continous Wavelet Transform (CWT) (Daubechies, 1992). Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Untuk penelitian geofisika shale play telah dilakukan oleh (Triyana, E., 2010), (Wijaya, Y.H., 2012), dan (Suhendra, 2012) pada Formasi Gumai, Lapangan Abiyoso, Cekungan Sumatera Selatan. (Triyana, E., 2010) melakukan penelitian Formasi Gumai dengan model petrofisika dan elastisitas batuan yang menghasilkan perbedaan antara shale mengandung organik yang sudah matang (mature) dan dengan yang belum matang (immature), (Wijaya, Y.H., 2012) meneliti Formasi Gumai dari tinjauan AI yang menghasilkan perbedaan AI pada shale mature hydrocarbon dan immature, dan Suhendra (2012) menggunakan metode dekomposisi spektral dengan Smoothed Pseudo Wigner-Ville Distribution (SPWVD) dengan menggunakan frekuensi 15 Hz, 25 Hz, 40 Hz, dan 70 Hz telah membedakan spectral decomposition pada shale play yang mengandung hidrokarbon dan tidak mengandung hidrokarbon. Pada penelitian ini difokuskan menggunakan metode dekomposisi spektral, yaitu metode Continuous Wavelet Transform (CWT) yang diterapkan pada Formasi yang lain, yaitu pada Formasi Talang Akar pada cekungan sebelahnya, yaitu cekungan Asri (Sumatera Selatan offshore). Diharapkan agar metode ini dapat menghasilkan data atribut seismik yang berupa respon anomali amplitudo dari adanya hidrokarbon yang terkandung dalam formasi tersebut yang dihasilkan dari dekomposisi spektral. Sehingga, dapat dibedakannya antara shale yang prospektif dengan yang tidak prospektif. Objek Penelitian Lapangan x merupakan bagian dari cekungan Sunda-Asri (South-east Sumatera offshore) (Gambar 1.2). Objek penelitiannya adalah shale pada formasi Talang Akar (Gambar 1.1). Formasi Talang Akar tersebut terdiri dari 2 anggota: a. Anggota Zelda Anggota Zelda diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Banuwati. Anggota yang diendapkan pada Kala Oligosen Tengah sampai Oligosen Akhir ini secara umum tersusun atas sedimen non marine, yaitu batupasir interbeded fluviatile, mudstone yang tebal, batulanau, dan lapisan batubara tipis. Litologi yang dominan adalah kuarsa arenit yang berbutir kasar sampai konglomerat yang diendapkan pada braided stream, multistory channel dan point bar system dan shallow lacustrine. b. Anggota Gita Anggota Gita diendapkan selaras di atas Anggota Zelda. Anggota ini tersusun atas batupasir interbedded, mudstone, serpih, batubara, perselingan batupasir dan batulanau, perselingan batulanau dan batulempung dengan sisipan batubara dan batugamping. Sedimen ini diendapkan menerus hampir di seluruh cekungan. Anggota ini berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal dan diendapkan pada lingkungan fluvio-deltaic. Batuan serpih (shale) pada formasi Talang Akar terendapkan pada akhir Oligosen, perkembangan cekungan semakin luas, demikian juga dengan perkembangan formasi Talang Akar. Serpih Talang Akar diendapkan dalam lingkungan lakustrin, fluviatil dan paludal. Lingkungan pengendapan yang demikian berpotensi menghasilkan batuan induk yang kaya akan material organik. Dari hasil analisis geokimia di sekitar cekungan south-east Sumatera offshore (Pertamina BPKKA, 1993), menunjukkan bahwa serpih formasi Talang Akar dikategorikan berpotensi dari baik sampai dengan sangat baik dengan TOC 1,13 % sampai 15 %. Analisis Petrofisika Pada analisis petrofisika ini diketahui bahwa zona shale pada formasi Talang Akar terletak pada rentang kedalaman 1130 ms sampai 1270 ms pada sumur E-1. Hal tersebut didapatkan dari pembacaan kurva log Gamma Ray yang relatif tinggi yaitu sekitar > 75 API, log Porositas yang relatif kecil yaitu < 25 %, log Densitas yang relatif besar > 2,2 g/cc, log Sonik (pwave) yang relatif besar menunjukkan, dan log Resistivitas relatif lebih besar. Seperti Gambar 3. Dari data log juga dapat diketahui bahwa zona yang diduga sebagai hidrokarbon yaitu berada pada kedalaman sekitar 1200 ms sampai dengan 1260 ms. Diduga pada kedalaman tersebut mengandung hidrokarbon. Hal tersebut diduga dikarenakan kurva log Porositas dan log Densitas mengalami “crossover” pada kedalaman tersebut. Dan juga data tersebut didukung pula dengan data log resistivitas yang sangat tinggi. Sementara itu untuk hasil analisis ∆LogR yang menggunakan log kombinasi Resistivitas dan TransitTime Sonic. Dimana antara kedua kurva log tersebut terjadi separasi yang dikenal sebagai ∆LogR. Hal tersebut mengindikasikan batuan yang kaya akan kandungan organik karena pemisahan ∆LogR berhubungan linear dengan TOC (Passey et al., 1990). Sehingga pada Gambar 4 diketahui bahwa kurva Resistivitas meningkat bersamaan dengan kurva Gamma Ray dan Transit-Time Sonic yang diduga karena batuan induk (shale) tersebut sebagai shale yang sudah matang (mature) dan terbentuknya hidrokarbon. Terjadinya separasi ∆LogR dikarenakan respon log Resistivitas yang relatif tinggi akibat terbentuknya hidrokatrbon dan respon porositas dari kandungan organik yang menyebabkan meningkatnya pembacaan Transit time sonic (P-wave). Analisis Dekomposisi Spektral Hasil dekomposisi spektral pada lapangan x dapat merepresentasikan indikasi dari keberadaan hidrokarbon. Pada lintasan 01 yang telah dilakukan pemilihan horison, dimana pemilihan horison tersebut merupakan top reservoar shale (Gambar 5). Zona reservoar shale yang terisi hidrokarbon akan terlihat seperti adanya ”bright spot” pada Hasil dekomposisi spektral pada lintasan 01 pada kedalaman 1200 ms Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 sampai 1250 ms dengan metode CWT. Meskipun pada frekuensi 15 Hz mempunyai amplitudo yang cukup besar (Gambar 6). Tetapi kemudian, pada frekuensi 30 Hz terjadi penguatan energi dimana amplitudonya bernilai lebih besar daripada frekuensi yang lainnya (Gambar 7). Dan pada frekuensi 60 Hz, dimana terjadi penyerapan energi yang cukup signifikan (Gambar 8), hal tersebut terlihat dari nilai amplitudo yang semakin kecil seiring. Dan ini terjadi pada lintasan-lintasan yang lain dengan penggunaan frekuensi yang sama. Pada frekuensi 15 Hz nilai amplitudonya relatif lebih kecil terhadap amplitudo pada frekuensi 30 Hz yang seharusnya pada pembahasan sebelumnya akan terjadi penyerapan energi yang ditandai dengan turunnya amplitudo seiring dengan frekuensi yang bertambah besar dimungkinkan karena frekuensi yang rendah akan meghasilkan resolusi yang rendah pada pada hasil dekomposisi spektral di zona prospek shale. Sementara itu, zona prospek shale yang mengandung material organik berada dibawah lapisan shale yang tidak mengandung material organik, yang menyebabkan cepat rambat pada reservoar shale akan lebih rendah daripada shale diatasnya. Cepat rambat di dalam batuan akan berpengaruh terhadap koefisien pantul seismik pada bidang-bidang perlapisan. Dan besarnya amplitudo gelombang pantul vertikal akan bergantung kepada koefisien pantul. Oleh karena itu akibat dari kr (koefisien pantul) yang negatif akan menghasilkan pelemahan amplitudo. Sedangkan pada frekuensi 30 Hz dengan resolusi yang baik akan menghasilkan hasil CWT yang bagus dan dapat terlihat bahwa amplitudo yang ditunjukkan oleh warna merah jambu. Dan pada frekuensi yang tinggi yaitu 60 Hz telah terjadi pelemahan energi yang ditandai turunnya nilai amplitudo yang cukup signifikan dan ini merupakan indikasi dari respon saturasi fluida hidrokarbon. Hal tersebut dijustifikasi dengan data analisis petrofisika, dimana kurva Gamma Ray dan Resistivitas yang cukup tinggi dan kurva sonik yang bernilai meningkat. Sehingga terjadi separasi ∆LogR pada kurva Sonik dan Resistivitas yang mengindikasikan adanya kematangan batuan induk serta terjadinya “Cross-Over” pada kurva log Porositas dan Densitas pada kedalaman 1200 ms sampai dengan 1250 ms yang mengindikasikan adanya hidrokarbon gas. Analisis Dekomposisi Spektral Lanjutan Faktor kualitas merupakan kompensasi energi gelombang yang hilang saat perambatannya. Secara umum, atenuasi gelombang seismik disebabkan oleh faktor geometri yang disebut atenuasi ekstrinsik dan faktor kondisi lapisan itu sendiri yang disebut atenuasi intrinsik. Reservoar hidrokarbon diindikasikan dengan adanya atenuasi intrinsik yang besar atau nilai Q yang kecil. Dalam hal ini di ketahui bahwa dari data Absorpsion Quality Factor yang didapat dari program OpenDtect 4.2. bahwa nilai absorption atau atenuasi pada faktor kualitas sangat besar pada kedalaman 1200 ms sampai 1250 ms. Maka hal ini dapat menjadi data pendukung bahwa pada kedalaman tersebut merupakan zona interest shale yang mengandung hidrokarbon, dalam hal ini gas. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. Kesimpulan Dari rangkaian proses penelitian ini terdapat beberapa kesimpulan yang didapat: 1. Shale pada formasi Talang Akar yang terdapat di lapangan X cekungan South Sumatera Offshore ini merupakan shale yang mempunyai kandungan hidrokarbon. Hidrokarbon tersebut diidentifikasikan terdapat di kedalaman 1200 ms sampai 1250 ms. 2. Metode Dekomposisi Spektral cukup baik dalam mendeteksi keberadaan hidrokarbon, yang dapat diidentifikasi dari respon fluida yang menyerap energi pada frekuensi – frekuensi tertentu sehingga penurunan nilai amplitudo dapat diinterpretasikan sebagai respon flluida. 3. Metode dekomposisi spektral kurang baik dalam mendeteksi perubahan amplitudo pada frekuensi rendah dalam responnya terhadap shale reservoar yang diatasnya merupakan shale yang tidak mempunyai kandungan material organik. 4. Shale yang berada di formasi talang akar ini berhasil diidentifikasi sebagai shale yang sudah matang dengan Metode ∆LogR dimana memanfaatkan log kombinasi Resistivitas dan Transit-Time Sonic. Dimana ∆LogR ini berhubungan linear dengan TOC. 5. Hidrokarbon yang terdapat di shale ini dinterpretasikan sebagai gas. Interpretasi tersebut didasari oleh kurva log Porositas dan Densitas yang terdapat pemisahan atau “crossover”. Daftar Acuan Aly., et al. 2003. Resistivity, Radioactivity, and Porosity Logs as Tools to Evaluate The Organic Content of Abu Roash “F” and “G” Members, Nort Western Desert, Egypt. EGS Journal, vol.1, No.1, 129-137 (2003). Boyer., et al. 2006. Producing Gas from Its Source. Autumn Oilfield Review, 2006. Burnet, Michael D., dan Castagna, John P. 2003. Advances in Spectral Decomposition and Reflectivity Modeling in the Frio Formation of Gulf Coast. Online Presentation from Geophysical Corner colomn in AAPG Explorer, January, 2003. Daubeschies, I.,1992, Ten Lectures on Wavelet. SIAM. Mallat, S., 1999, A Wavelet Tour of Signal Processing. 2nd ed.: Academic Press. Partyka, G., J. Gridley, and J. Lopez. 1999. Intepretational Applications of Spectral Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Decomposition in Reservoir Characterization. The Leading Edge, 18, No.3, 346-352. Passey., et al. 1990. A Practical Model for Organic Richness from Porosity and Resistivity Logs. AAPG Bulletin December 1990 V.74, No.12. P.1777-1794. Sinha, S., 2003,Time-Frequency Atribute of Seismic Data using Continuous Wavelet Transform:SEG2003. Suhendra. 2012. Dekomposisi Spektral Lanjutan Dengan Metode Smoothed Pseudo WignerVille Distribution (SPWVD) untuk Identifikasi Shale Prospektif: Studi Kasus di Lapangan Abiyoso, Cekungan Sumatera Selatan. Universitas Indonesia. Triyana, Endra. 2010. Karakterisasi Organic Rich/ Oil Shale dengan Menggunakan Model Oil Yield dan Elastisitas Batuan pada Formasi Gumai, Sumur NBL-1, Lapangan Abiyoso, Sub Cekungan Jambi, Cekungan Sumatera Selatan. Universitas Indonesia. Wijaya, Y.H., 2012. Seismik Inversi Untuk Identifikasi Kandungan Organik Serpih : Studi Kasus Pada Formasi Gumai Cekungan Sumatera Selatan. Universitas Indonesia. Lampiran Gambar 1. Model skematik formasi pada cekungan South Sumatera Offshore (Pertamina BPKKA, 1993) Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Gambar 2. Peta Geografis Sunda-Asri Basin Gambar 3. Zona Interest Shale pada Sumur E-1 yang terdiri dari Log Gamma-Ray, Log Porositas, Log Resistivitas, Salinitas, dan Litologi. Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Gambar 4. Log Sumur E-1 Sebagai Panduan interpretasi metode ∆LogR. Gambar 5. Lintasan 01 Sebelum Proses CWT Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Gambar 6. Hasil dekomposisi Spektral CWT dengan 15 Hz pada Lintasan 01 Gambar 7. Hasil dekomposisi Spektral CWT dengan 30Hz pada Lintasan 01 Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013 Gambar 8. Hasil dekomposisi Spektral CWT dengan 60 Hz pada Lintasan 01 Gambar 9. Faktor Q pada Lintasan 01 Metode dekomposisi …, R Rama Kresandi, FMIPA UI, 2013