abstrak

advertisement
Volume
Tahun 4,
4 Desember
Desember 2011,
Volume VIII
VIII Tahun
2011, hal
hal 11-15
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
ANALISIS TINGKAT KELAHIRAN DAN TINGKAT KEMISKINAN
DI KABUPATEN BOMBANA1)
Wali Aya Rumbia2)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelahiran dan
tingkat kemiskinan di Kabupaten Bombana. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik wawancara langsung di lapangan dengan informan sebanyak 7
orang. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui wawancara
mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata per bulan
keluarga miskin di Kabupaten Bombana berkisar antara Rp 650.000 – Rp
900.000. Masih terdapat pasangan usia subur (PUS) keluarga miskin yang
tidak mengikuti program keluarga berencana (KB) dengan alasan pandangan
mengenai anak sebagai karunia dari Sang Pencipta dan bahwa anak
merupakan asset dan jaminan hari tua,meskipun disisi lain orang tua
berkewajiban untuk menanggung biaya hidup anak-anaknya.
Kata kunci: tingkat kelahiran, tingkat kemiskinan
I.
PENDAHULUAN
Perkembangan jumlah penduduk sangat erat hubungannya dengan
perkembangan peradaban manusia dalam berinteraksi dengan alam
sekitarnya.Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dunia.Indonesia
sebagai negara berkembang tidak terlepas dari perkembangan jumlah
penduduk yang cepat.disamping perkembangannya yang cepat, penyebarannya
berdasarkan pulau juga sangat bervariasi sehingga terdapat kosentrasi
penduduk di pulau jawa, sementara penduduk di Maluku dan Irian Jaya sangat
jarang. Penyebarannya tidak merata bukan hanya antar pulau tetapi juga antar
kota dan desa,dimana sebagian besar penduduk di Indonesia tinggal di
pedesaan.
___________________________________________
1)
Hasil
Penelitian
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
2)
Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo
1
Dengan demikin maka perlu adanya kebijakan kependudukan yaitu:
Suatu keputusan pemerintah tentang pemecahan masalah kependudukan yang
bersifat menyeluruh dan jangka panjang,dalam rangka mempercepat
pencapaian tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Ruang lingkup kependudukan antara lain menurunkan angka kelahiran
karena TFR tinggi, menurunkan angka kematian karena CDR tinggi,harapan
hidup rendah,menyeimbangkan kepadatan penduduk antar pulau dan wilayah
sesuai dengan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membahas integrasi
penduduk dalam pembangunan;yaitu penduduk sebagai objek pembangunan
dan penduduk sebagai subjek pembangunan. Sebagai objek pembangunan
penduduk hanya menikmati hasil pembangunan. Hal semacam ini jelas
mengggambarkan proses pembuatan kebijakan yang top –down. Penduduk
sebagai subjek pembangunan diperlukan upaya pemberdayaan untuk
menyadarkan hak penduduk dan meningkatkan kapasitas penduduk dalam
pembangunan.
Untuk menjelaskan hak dan kewajiban penduduk maka dapat dilihat
dari 5 dimensi yaitu: diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat,
warganegara, dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat
dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu.
Penduduk sebagai diri pribadi atau individu memilki hak pribadi
misalnya menikah atau membentuk rumah tangga dan memilih pasangan
hidup. Penduduk sebagai keluarga menyangkut hak keluarga untuk
menentukan jumlah anak dan tidak mempunyai anak,dan bertanggung jawab
sebagai orang tua. Dengan tanggung jawab tersebut maka keluargalah yang
menentukan pilihan terhadap jumlah anak yang menjadi tanggungjawabnya.
Semakin banyak jumlah anak yang dimiliki akan berdampak pada kondisi
kesejahtraan keluarga apabila tidak diimbangi dengan pendapatan yang
memadai. Pada akhirnya akan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan
merupakan masalah yang sangat krusial selama ini baik secara nasional
maupun regional walaupun sudah banyak program –program yang telah
dicanangkan oleh pemerintah. Namun hasilnya angka kemiskinan di Indonesia
maupun di Popinsi Sultawesi Tenggara masih cukup tinggi.
Salah satu persoalan kependudukan klasik di Indonesia adalah kualitas
data registrasi tidak mengalami perbaikan yang berarti bahkan data registrasi
kependudukan tidak pernah digunakan dalam perencanaan kependudukan.
Disamping itu pencatatan kelahiran maupun kematian masih belum banyak
terregistrasi.Kondisi seperti ini mendorong para peneliti berusaha untuk
melakukan berbagai penelitian guna mendapatkan informasi yang cukup
dalam rangka memecahkan masalah kependududkan di daerah. Berdasarkan
latarbelakang tersebut
makapeneliti tertarik untuk melakukukan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
2
penelitiandegan judul “ Tingkat kelahiran Keluarga miskin
Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara”.
di kabupaten
II. LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi
kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak . Kemiskinan merupakan sebuah
kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum baik
untuk makanan dan non makanan,yang disebut garis kemiskinnan (poperty
line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah
sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar
kebutuhan makanan setara 2100 kili kalori per orang per hari,dan kebutuhan
non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan,
transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2004).
Friedman dalam Suharto dkk (2004),mendefenisikan kemiskinan adalah
ketidaksaman kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial
yang meliputi:
1. Modal produktif atau asset (tanah,perumahan,alat produksi,kesehatan)
2. Sumber keuangan (pekerjaan,kredit)
3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai
kepentingan bersama (koperasi,partai politik,organisasi sosial ).
4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan,barang dan jasa.
5. Pengetahuan dan ketrampilan.
6. Informasi yang bergunan untuk kemajuan hidup.
Konsep lingkaran kemiskinan (vicious circle of proverty) ini pertama
kali dikenalkan oleh Ragnar Nurkse dalam bukunya yang berjudul “Problems
Of Capital Formation In Underdeveloped Countries“ (1953). Lingkaran
kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian kekuatan yang saling
mempengaruhi satu sama lain sehingga menimbulkan suatu kondisi di mana
sebuah Negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak kesulitan untuk
mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.Menurut Nurkse, kemiskinan
bukan hanya di sebabkan oleh tidak adanya pembangunan masa lalu, tetapi
kemiskinan juga dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan di
masa mendatang. Sehubungan dengan hal itu, lahirlah suatu ungkapan Nurkse
yang sangat terkenal yaitu “a country is poor because it is poor”.Pada
hakikatnya konsep lingkaran kemiskinan menganggap bahwa:
1. Ketidak mampuan untuk mengerahkan tabungan yang cukup,
2. Kurangnya faktor pendorong untuk kegiatan penanaman modal.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
3
3.
Tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat yang relatif masih rendah
merupakan tiga faktor utama yang menghambat proses pembentukan
modal dan pembangunan ekonomi di berbagai bidang.
Kemiskinan menurut Wikipedia Bahasa Indonesia adalah keadaan
dimana terjadi ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti
makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan
dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun
sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kini di Indonesia jerat
kemiskinan semakin parah. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009
saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen.
Dalam rangka mempercepat penanggulangan kemiskinan di Indonesia
termasuk di Propinsi Sulawesi Tenggara Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan salah satu kebijakan untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan
masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. IDT diarahkan
pada pengembangankegiatan sosial ekonomi dalam rangka mewujudkan
kemandirian masyarakat miskin di desa atau kelurahan tertinggal, dengan
menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi, serta
menerapkan semangat dan kegiatan kooperatif. Kegiatan sosial ekonomi yang
dikembangkan adalah kegiatan produksi dan pemasaran, terutamayang sumber
dayanya tersedia di lingkungan masyarakat setempat. Guna mempercepat upaya
itu, ditingkatkan pembangunan prasaranadan sarana perdesaan serta disediakan
dana sebagai modal kerja bagi penduduk miskin untuk membangun dan
mengembangkan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
dan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam kerangka itu, program IDT
diupayakan pula untuk memantapkan segi-segi kelembagaan sosial ekonomi
masyarakat perdesaaan, termasuk koperasi sehingga upaya meningkatkan taraf
hidup dapat berlangsung secara berkelanjutan. Kebijakan ini dilaksanakan
khususnya 327 desatertinggal menurut pedoman yang telah ditetapkan secara
nasional.
Umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah
kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam
kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan
pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan
kemiskinan konsumsi yang terkait pula dengan daya beli. Masalah kemiskinan
di Indonesia merupakan masalah abadi yang tak kunjung usai. Begitu pula
pemetaan, sistem pengentasannya.
Kemiskinan struktural bukan sesuatu yang insidental, oleh karena itu
penyelesaian masalah kemiskinan di Indonesia pun hendaknya dilakukan
secara terstruktur dan bersistem. Selama ini pemerintah menggunakan data
BPS sebagai rujukan berapa kuantitas kemiskinan. Data BPS ini berbeda
dengan data kemiskinan dari Asian Development Bank dan World Bank,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
4
karena parameter dalam menentukan kemiskinan untuk masing-masing pihak
yang mengadakan survey berbeda-beda.
Parameter kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Survey sosial ekonomi nasional BPS terakhir masih memakai dua
parameter klasik yakni kebutuhan dan pendapatan rakyat. BPS menyebutkan
jika warga tidak mampu memenuhi kebutuhan 2.100 kilokalori per hari, serta
kebutuhan dasar minimal untuk non-makanan Rp 212.000 per bulan, maka
masuk kategori miskin. Sehingga berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin
di Indonesia adalah 31 juta orang dengan sebaran di perkotaan 11,1 juta orang
dan di pedesaan 19,9 juta orang.
Parameter kemiskinan yang digunakan oleh Asian Development Bank
(ADB) adalah definisi bahwa miskin penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per
hari. Berdasarkan data ADB jumlah penduduk miskin di Indonesia, 2010
adalah 43,1 juta jiwa. Dikatakan ADB bahwa penyelesaian masalah
kemiskinan di Indonesia lambat jika dibandingkan negara-negara lain di Asia.
China dan Vietnam yang tadinya memiliki persentase penduduk miskin lebih
besar berhasil menyalip Indonesia, dimana jumlah warga miskin disana turun
drastis.
Untuk World Bank parameter yang digunakan adalah standar
internasional bahwa penduduk miskin adalah mereka yang memiliki
pengeluaran per hari U$2 atau kurang menggunakan metode Purchasing Power
Parity (PPP). Selain itu World Bank juga menetapkan klasifikasi penduduk
sangat miskin (ekstremely poor) untuk pengeluaran per harinya di bawah
US$1. Berdasarkan kriteria tersebut tentunya jumlah kemiskinan versi World
Bank juga berbeda.Berapapun datanya, masalah kemiskinan itu ada di depan
mata dan memang harus di tuntaskan, terjadi perbedaan data karena versi
survey dan parameternya berbeda. Ukuran lain untuk kemiskinan adalah
Garis kemiskinan yaitu:nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang
dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup
minimum makanan maupun kebutuhan hidup minimum bukan makanan. Jadi,
Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM).
Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita
per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis
komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran,
kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis kemiskinan
non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan,
sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
perdesaan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
5
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis
kemiskinan (GK), karenapenduduk miskin adalah penduduk yang memiliki
rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan.
B.
Konsep Fertilitas/ Kelahiran
Fertilitas ialah suatu istilah yang dipergunakan di dalam bidang
Demografi untuk menggambarkan jumlah anak yang benar-benar dilahirkan
hidup dari seorang wanita atau banyaknya bayi yang dilahirkan hidup oleh
seorang wanita ataupun sekelompok wanita. Fertilitas merupakan suatu ukuran
yang diterapkan untuk mengukur hasil reproduktif wanita
Jumlah kelahiran hidup yang terjadi setiap tahun di dalam suatu
penduduk tertentu sebagian ditentuka oleh berbagai faktor demografi
misalnya; distribusi umur dan jenis kelamin, jumlah pasangan pria dan wanita
yang menikah maupun distribusi umurnya, lamanya perkawinan dan jumlah
anak yang dilahirkan. Selain itu jumlah kelahiran juga ditentukan oleh faktor
lain yang berkaitan erat dengan lingkungan sosial dan ekonomi,dalam suatu
jangka
waktu
tertentu
misalnya
kondisi
perumahan,pendidikan
penghasilan,agama, maupun sikap terhadap besarnya anggota keluarga.
Fertilitas merupakan karakteristik yang pengukurannya jauh lebih sulit
dibandingkan dengan mortalitas.
Pada umumnya angka kelahiran dikaitkan dengan kelahiran yang
meliputi suatu periode tertentu misalnya satu tahun. Alternatif lain mengukur
fertilitas meliputi periode kehidupan reproduksi yang sudah berakhir. Pada
hakekatnya ukuran ini mencakup jumlah kelahiran per orang atau pasangan
pada akhir masa reproduksitif,atau dengan kata lain dinamakan besarnya
keluarga yang lengkap
(completed
familysize). Dalam meneliti
kecenderungan Fertilitas di suatu Negara atau perbedaan fertilitas antara
beberapa Negara sering para ahli demografi ingin mengetahui sejauh mana
perbedaan jumlah kelahiran itu disebabkan oleh faktor-faktor demografi
tersebut.
Suatu kelahiran selalu melibatkan pria dan wanita. Dengan demikian
akan lebih bermanfaat untuk mengukur fertilitas menurut karakteristik
ibu,karakteristik ayah,atau karakteristik pasangan tersebut. Namun statistik
yang dihimpun umumnya berkaitan dengan ibu sehingga sudah menjadi
kebiasaan bahwa untuk mengukur fertilitas biasanya hanya dikaitkan dengan
wanita
Besarnya keluarga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang
dapat bertahan hidup (survive). Hal Itu tergantung pada cara bertingkahlaku
sesuai dengan yang dikehenaki .Apabila orang melaksanakan perhitungan
mengenai jumlah kelahiran anak yang diinginkan, tergantung pada
keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan atau (utility) yang diperoleh dari
biaya tambahan seorang anak. Ada 3 macam tipe kegunaan yakni;
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
6
1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi;
misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua.
2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi yakni
dalam beberapa hal tertentu anak diharapan untuk melakukan suatu
pekerjaan dan menambah pendapatan keluarga.
3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman baik
padaHari tua maupun sebaliknya.
4. Biaya yang dikeluarkan bila memiliki tambahan seorang anak dapat
dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung
adalah biaya atau ongkos –ongkos yang biasanya dikeluarkan dalam
memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang ,pangan,dll,
sampai ia dapat berdiri sendiri. Biaya tidak langsung adalah kesempatan
yang hilang karena adanya tambahan seorang anak ,misalnya seorang ibu
tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak,kehilangan
penghasilan semasa hamil,atau berkurangnya mobilitas orang tua karena
adanya tambahan anak atau yang mempunyai tanggungan keluarga yang
besar.
Dengan adanya perkembangan zaman maka muncullah pendapatpendapat lain seperti (Robinson 1979.) yang mulai melihat tentang kualitas
anak dengan teorinya “ekonomi rumah tangga baru”. Dia berpendapat bahwa :
1. Orang tua lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam
jumlah yang hanya sedikit.
2. Bila pendidikan dan pendapatan meningkat maka semakin banyak waktu
(khususnya dari pihak ibu ) digunakan untuk merawat anak. Jadi anak
menjadi lebih mahal.
Permintan akan anak sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar
belakang seperti agama,pendidikan,tempat tinggal,tipe keluarga,dll. Setiap unit
keluarga mempunyai norma-norma dan sikap-sikap fertilitas berdasarkan atas
karakteristik tersebut di atas. Demikian juga unit-unit keluarga yang
mempunyai
pendapatan
tertinggi,yang
diinginkannya
pendapatan
tertentu,umur, pendididkan dll. Pendapatan yang lebih tinggi tentunya
mempunyai kecenderungan menghasilkan fertilitas yang tinggi,Tetapi
pendapatan yang tidak menentu bisa juga merubah selera terhadap barangbarang lainnya dan mengurangi permintaan terhadap anak.
Secara umum Freedman dengan pendekatan sosiloginya mengatakan
bahwa;bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum
yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting.
Mereka cendrung menciptakan suatu cara penyelesaian normative terhadap
masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang
betingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari
kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan diri dengan norma
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
7
tersebut baik melalui ganjaran maupun hukuman yang implisit dan eksplisit
(Freedman dalamWarren C. Robinson 1983). Karena jumlah anak yang akan
dimiliki oleh sepasang suami istri itu merupakan masalah yang sangat
universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu
penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang
normative untuk mengatasi masalah ini dalam kebanyakan kasus.Pendekatan
psikologis terhadap fertilitas dikemukan oleh (Hoffman dalam Warren
C.Robinson 1983 ) menggunakan konsep Nilai sebagai konsep kunci.
Menurutnya nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang
tua atau kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhinya.Nilai-nilai tertentu
ini tercermin dalam berbagai kebutuhan psikologis tertentu.Nilai- nilai ini
terikat pada struktul sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan
perubahan sosial. Nilai-Nilai ini bisa diperoleh melalui keluarga dan juga
dapat diperoleh melalui cara-cara lainnya. Lebih lanjud dijelaskan bahwa
kebanyakan kaum wanita mempunyai suatu naluri keibuan .Jadi anak memiliki
suatu nilai dasar biologis.Nilai anak juga berkaitan dengan manfaat netto yang
hipotetis dari anak yakni selisih antara nilai – nilai positif (kepuasan) dengan
nilai-nilai negative (biaya). Jadi biaya,nilai, kepuasan serta motivasi dianggap
sama dengan keuntungan. Oleh karena itu selera mempunyai anak nampaknya
bukan hanya terdapat pada tingkat individu saja. Kelompok juga mempunya
selera dan pilihan tentang fertilitas. Jadi cara yang terbaik untuk melihat suatu
norma adalah sebagai suatu aturan keputusan yang dianut oleh suatu kelompok
yang mendasri seleranya atau nilainya dan hasil yang diharapkan. Terdapat
selera sosial dan norma. Pasangan suami istri mempunyai pilihan yang kuat
untuk mempunyai anak, sebaliknya pasangan lain tidak, Jadi ada perbedaan
penilaian subjektif oleh orang tua mengenai keuntungan yang diperoleh dari
anak yang ada, menunjukan perbedaan selera. Selera tersebut tergantung pada
karakteristik individu, sifat dan pengaruh kelomopok pergaulan.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa faktot-faktor yang relevan dengan
pengambiln keputusan terhadap kelahirannya seorang anak atau terhadap anak
yang dimilikinya pada tingkat individu, keluaraga dan masyarakat yang
menyatakan bahwa permintaan akan anak adalah sumber ekonomis dan non
ekonomis serta sumber-sumber kegunaan. Selain itu unsur pengharapan yang
merupakan cara yang terbaik untuk melihat perbedaan pengaruh faktor –faktor
psikologis dan kepribadian individu terhadap permintaan anak. Jadi dua
individu menghadapi situasi objektif yang sama dan kemungkinan manfaat riil
juga sama namun mereka dapat memberikan respon yang berbeda jika
pengharapan subjektif mereka tentang apa yang akan terjadi di masa depan
berbeda. Di lain pihak keterbatasan dalam biaya yang dipikul oleh individu
baik biaya langsung maupun tidak langsung atas anak termasuk
opurtunitas,persaingan dalam memanfaatkan sumber-sumberdaya untuk
mencapai kepuasan,dan setiap norma atau aturan keputusan yang dipaksakan
kepada individu atau kelompok.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
8
Pada tingkat keluarga dan masyarakat, bahwa individu dalam hal ini
pasangan suami istri yang terlibat dalam memperoleh anak juga merupakan
bagian yang integral dari unit keluarga yang lebih besar, manfaat dan biaya
juga mempengaruhi unit yang lebih besar. Berkenaan dengan permintaan akan
anak maka saudara tertua, saudara kandung atau anggota keluarga lainnya bisa
menganggap bahwa tambahan anggota keluarga sebagai keberuntungan atau
sebagai tenaga kerja untuk meningkatkan ketentraman masa depan,dll,atau
sebagai malapetaka dalam arti sebagai persaingan dalam memperoleh tanah,
menurunnya tingkat perawatan anak oleh orang tua dll.. Apabila tidak ada
alasan a priori untuk memikirkannya, cara penyelesaian yang optimum untuk
tingkat ini sama dengan cara penyelesaian terbaik untuk pasangan suami istri.
Bahwa sepasang suami istri yang tinggal dalam kelurga besar menginginkan
anak lebih banyak atau lebih sedikit dari pada jumlah yang dirasakan terbaik.
II.
METODE PENELITIAN
A.
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini merupakan keluarga miskin di Kabupaten
Bombana yang tidak mengikuti Keluarga Berencana. Sampel penelitian
ditentukan secara sengaja sebanyak 7 informan.
B.
Sumber data
Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder.
Data primer adalah data yang bersumber dari lapangan. Data sekunder,data
yang bersumber dari kepustakaan serta instansi terkait.
C.
Metode Pengumpulan Data
Secara umum metode yang digunakan untuk memperoleh data ada tiga
metode yakni:
1. Observasi atau metode pengamatan, peneliti mengadakan pengamatan
langsung di lokasi penelitian.
2. Wawancara, metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang
mendalam dari responden dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan
secara bebas dan leluasa.
3. Dokumentasi, penyelusuran terhadap dokumen yang terkait dengan
masalah penelitian.
d. Metode Analisis Data
Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu
analisis deskriptif kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam. Data
dan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian di deskripsikan secara
objektif
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Gambaran Umum Kabupaten Bombana
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten
Bombana berjumlah 98.568 jiwa terdiri dari 48.896 jiwa penduduk laki-laki
dan 49.672 jiwa penduduk perempuan.Penduduk Kabupaten Bombana tahun
2005 berjumlah 110.029 jiwa terdiri dari 54.635 jiwa penduduk laki-laki dan
55.394 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui
bahwa dalam jangk waktu 5 tahun terjadi kenaikan jumlah penduduk dari
98.568.jiwa menjadi 110.029 atau bertambah sebanyak 11.461 jiwa
Penduduk Kabupaten Bombana berdasarkan Sensus Penduduk tahun
2010 berjumlah 139.235 jiwa terdiri dari 70.367 jiwa penduduk laki-laki dan
68.868 jiwa penduduk perempuan. Selama periode waktu 10 tahun dari tahun
2000 sampai tahun 2010 di Kabupaten Bombana terjadi pertambahan
penduduk dari 98.568. jiwa menjadi 139.235 jiwa atau bertambah sebanyak
40.667 jiwa. Persebaran penduduk di Kabupaten Bombana tidak merata;10,25
% berada di Kecamatan Poleang,8,09 % berada di Poleang barat,sisanya
masing-masing kurang dari 8 % tersebar di 20 Kecamatan lainnya.
Tahun 2010 Struktur umur penduduk di Kabupaten Bombana terdiri dari
kelompok umur muda yaitu penduduk yang berumur kurang dari 14 tahun
sebesar 34,38 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rasio Jenis
Kelamin sebesar 102,18,yang berarti penduduk di Kabupaten Bombana lebih
banyak penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan.
Dengan kata lain dari 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk lakilaki. Jumlah penduduk usia kerja ( 15 tahun ke atas ) sebanyak 65.474 orang,
terdiri dari 41.320 orang atau 35,79 orang penduduk laki-laki dari total jumlah
penduduk dan 24.154 orang penduduk perempuan atau 29.68 %, dari total
jumlah penduduk.
B. Tingkat Fertilitas dan Penduduk Miskin
Angka Fertilitas Total Indonesia mengalami penuruna sejak akhir tahun
1960 - an menjadi 2,6 di tahun 2007 suatu penurunan yang semakin lambat
namun jumlah bayi yang lahir masih cukup tinggi yaitu sebesar 4 juta per
tahun.(BKKBN PUSAT). Berdasarkan data SDKI tahun 1997 TFR Indonesia
sebesar 2,78 namun SDKI tahun 2002-2003 TFR Indonesia turun menjadi
2,6 anak per wanita. Angka Fertilitas antar provinsi bervariasi dari yang
tertinggi 4,2 anak per wanita di Nusa Tenggara Timur dan terendah 1,8 anak
per wanita di DI Yokyakarta. Angka Fertilitas di Propinsi Sulawesi Tenggara
cendrung tidak stabil atau berfluktuasi yaitu berdasarkan SDKI tahun 1994
angka fertilitas atau TFR 3,5 anak per wanita, turun menjadi 2,6 anak per
wanita pada SDKI tahun 1997, naik kembali pada SDKI tahun 2002-2003
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
10
menjadi 3,6 anak per wanita dan turun kembali pada SDKI tahun 2007
menjadi 3,3 anak per wanita. Angka fertilitas di Propinsi Sulawesi Tenggara
tercatat lebih tinggi yaitu 3,3 anak per wanita.dibandingkan dengan angka
fertilitas secara nasional yaitu 2,6 anak per wanita pada SDKI tahun 2007.
Upaya pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin belum
menunjukan hasil yang menggembirakan.Upaya penanggulangan kemiskinan
semakin rumit. Salah satu prioritas pembaharuan kehidupan masyarakat
melalui program penanggulangan kemiskinan namun disisilain dihadaplkan
dengan situasi yang kurang menguntungkan . Sejalandengan pelaksanaan
otoda upaya penanggulangan kemiskinan
dilaksanakan secara
terdesentralisasi.
Peran
pemerintah
kabupaten/kota
sangat
diharapkan.Berdasarkan data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah
Kabupaten Bombana keluarga miskin diklasifikasikan atas keluarga pra
sejahtera dan sejahtera I.
Keluarga pra sejahtera berjumlah 12.493 Kepala Keluarga dan
keluarga sejahtrera I berjumlah 10.696 Kepala Keluarga. Jadi total keluarga
miskin yang berada di Kabupaten Bombana berjumlah 23.188 Kepala
Keluarga. Berdasarkan tingkat pendidikan jumlah Kepala Keluarga Pra
Sejahtera yang berpendidikan tidak tamat SD sebanyak 5.358 Kepala
Keluarga,Tamat SD,SMP,sebanyak 5.304 Kepala Keluarga,Tamat SMA 1.714
Kepala Keluarga, Tamat Akademi /PT Sebanyak 117 Kepala Keluarga.
Keluarga Sejahtera I yang tidak tamat SD sebanyak 3.699.Kepala
Keluaga, tamat SD sebanyak 5.079 Kepala Keluarga, tamat SMA sebanyak
1.804Kepala Keluarga. dan yang tamat Akademi/ PT, sebanyak 114 Kepala
Keluarga. (sumber data Pemerintah Daerah Kabupaten Bombana ).
C. Narasi Informan
Adapun karakteristik informan dan pandangan mengenai kelahiran
anak diuraikan sebagai berikut:
1.
Informan Tajudin , umur 37 tahun.Bertempat tinggal di Kabupaten
Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD,Istrinya bernama Hasidar umur
35 tahun. Pekerjaan Tajudin sebagai seorang nelayan.Pendapatan yang
diperoleh tidak menentu ,namun rata –rata per bulan 700.000
rupiah.Untuk menghidupi keluarga dirasakn sangat sulit dan tidak cukup
dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan
beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 5
orang, Jumlah anak saat ini 5 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 7
orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena tidak cocok
dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2
tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dan anak kedua dari terakhir 2 tahun..
Tempat persalinan pertama di rumah dibantu oleh bidan desa..Pandangan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
11
mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah
oleh karena itu dengan memiliki besar kecilnya jumlah anak tidak
menjadi masalah bagi mereka namun kadang-kadang merepotkan.
2.
Informan Ashar umur 25 tahun. Bertempat tinggal di Kecamatan
Bombana. Pendidikan terakhir Ashar tamat SMP,Isterinya bernama
Dona,Umur 23 tahun. Pekerjaan Ashar sebagai seorang nelayan.
Pendapatan yang diperoleh rata –rata per bulan Rp 650.000. Untuk
menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan
pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban
tanggungan yang tinggi atau besar.Jumlah anak lahir hidup 4 orang,
jumlah anak meninggal 1 orang, Jumalah anak saat ini 3 0rang. Beban
tanggungannya sebanyak 5 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti
program KB, karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan.
Sebab-sebab kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit. Jarak
kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan
anak kedua dari terakhir 2,2 tahun. Tempat persalinan pertamanya di
rumah dibantu oleh dukun..Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak
dianggap sebagai karunia dari Allah.
3.
Informan Hasanudin, umur 37 tahun. Bertempat tinggal di Kabupaten
Bombana.Pendidikan terakhir tamat SD, Istrinya bernama Muliyana umur
25 tahun.Pekerjaan Hasanudin sebagai seorang tukang ojek .Pendapatan
yangdiperoleh rata –rata per bulan 800.000 rupiah. Untuk menghidupi
keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang
diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang
tinggi atau besar.Jumlah anak lahir hidup 4 orang, jumlah anak
meninggal 1 orang, Jumlah anak saat ini 3 0rang. Beban tanggungannya
sebanyak 5 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena
tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Sebab-sebab
kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit cacar. Jarak kelahiran
anak rata-rata 2 tahun. Jarak kelahiran anak terakhir dan anak kedua dari
terakhir
2,3 tahun. Tempat persalinan pertamanya dibantu oleh
dukun..Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai
karunia dari Allah oleh karena itu dengan memiliki jumlah anak tidak
menjadi masalah.
4.
Informan Sukardin, umur 30 tahun. Bertempat tinggal di Kabupaten
Bombana.Pendidikan terakhir tamat SD,Istrinya bernama Lisa umur 26
tahun. Pekerjaan Sukardin sebagai seorang wiraswasta .Pendapatan yang
diperoleh rata-rata per bulan 750.000 rupiah. Untuk menghidupi keluarga
dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang
diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang
tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 4 orang . Jumlah anak saat ini
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
12
4 0rang. Beban tanggungan sebanyak 6 orang. Saat ini mereka tidak
mengikuti program KB,karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang
digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun. Jarak kelahiran anak
terakhir dengan anak kedua dari terakhir 2 tahun. Tempat persalinan
pertamanya di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap
anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah tetapi dengan
memiliki jumlah anak menjadi masalah dan merupakan beban bagi
mereka.
5.
Informan Hasmin, umur 40 tahun.Bertempt tinggal di Kabupaten
Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD ,Istrinya bernama Darmawati
umur 30 tahun. Pekerjaan Hasmin sebagai seorang nelayan. Pendapatan
yang diperoleh rata–rata per bulan 900.000 rupiah.Untuk menghidupi
keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang
diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang
tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 6 orang, jumlah anak
meninggal 1 orang, Jumlah anak saat ini 5 orang. Beban tanggungan
sebanyak 7 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB. Sebabsebab kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit. Jarak
kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan
anak kedua dari terakhir 1,8 tahun. Tempat persalinan pertamanya di
rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak
dianggap sebagai karunia dari Allah.
6.
Informan Husen, umur 27 tahun. Bertempat tinggal di Kecamatan
Rumbia Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SMP,Istrinya
bernama Nur umur 25 tahun. Pekerjaan Husen sebagai seorang pelaut
.Pendapatan yang di peroleh rata –rata per bulan 900.000 rupiah.Untuk
menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan
pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban
tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 3 orang.
Jumlah anak saat ini 3 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 5 orang.
Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena dianggap tidak
cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak ratarata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir
2 tahun.Tempat persalinan pertamanya di rumah dibantu oleh dukun.
Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia
dari Allah oleh karena itu dengan memiliki jumlah anak tidak menjadi
masalah dan tidak merupakan beban bagi mereka.
7.
Informan Mustakim, umur 40 tahun. Bertempat tinggal di kampung
baru Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD. Pekerjaan
Mustakim sebagai nelayan.Pendapatan yang diperoleh rata –rata per
bulan 700.000. rupiah. Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
13
dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena
diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah
anak lahir hidup 4 orang, Jumlah anak saat ini 4 0rang. Beban
tanggungan sebanyak 6 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program
KB pernah ikut tapi gagal karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi
yang digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran
anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 1 tahun 11 bulan. Tempat
persalinan pertama di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka
terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah.
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1.
2.
Tingkat pendapatan yang diperoleh keluarga miskin sampel di Kab.
Bombana rata-rata per bulan berkisar antara Rp 650.000 – Rp 900.000.
Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh di lapangan PUS dari
informan Keluarga miskin di Kabupaten Bombana mereka tidak
mengikuti program KB karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang
digunakan.
B.
Saran-saran
1.
2.
Perlu sosialisasi Kembali program pemerintah tentang KB.
Untuk mengurangi beban tanggungan maka program KB merupakan
pilihan utama.
DAFTAR PUSTAKA.
Anton Namba, 2003, Pendekatan Ekosistem dalam penanggulangan
Kemiskinan Refleksi penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi
Tenggah.
Biro Pusat Statistik 2011,Sulawesi Tenggara dalam Angka.
Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia Cetakan ke- 5,Penerbit Erlangga
Jakarta.
Notoatmodjo, 1996, Pendidikan dan perilaku Kesehatan dan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta.
Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, 2008, Pengantar Ilmu Ekonomi
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Widoddo,1997, Ekonomi Indonesia Fakta dan Tantangan dalam Era
Liberqalisasi, Konisius, Yogyakarta.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
14
Wikipedia, 2004, Rumah di Pinggir Kali di Jakarta.
http: Nurlita Sagala.blog spot com.
http.peds3 com psads.com/www/delivery/ek.php. tanjab barkab.bps.go.id.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
15
Volume VIII Tahun
Tahun 4,
4 Desember
Desember 2011
2011,hal.16-31
hal 115
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
ANALISIS KESEJAHTERAAN MUZAKKI BERDASARKAN
PENGELUARAN KONSUMSI SEDEKAH
(Studi di Kota Malang Provinsi Jawa Timur)1)
Oleh: Ambo Wonua Nusantara2)
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian untuk mengetahui: 1). pengaruh Karakteristik
Individu (umur, status perkawinan, etnis/suku bangsa, pendidikan, kesehatan,
pendapatan dan pengalaman bersedekah) baik secara simultan maupun
parsial terhadap Kesejahteraan Muzakki yang diproksi melalui pengeluaran
konsumsi sedekah , 2). pengaruh Nilai-nilai religius terhadap Kesejahteraan
Muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah di Kota Malang
Provinsi Jawa Timur.
Lokasi penelitian di Kota Malang tepatnya pada dua Lembaga Amil
Zakat Nasional (Laznas): Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dan Yayasan
Dana Sosial Al Falah (YDSF). Populasinya adalah seluruh muzakki/ donatur
yang terdaftar pada kedua Laznas tersebut. Sampelnya adalah donatur yang
telah terdaftar dan aktif minimal selama tiga tahun. Hipotesis penelitian diuji
dengan menggunakan analisa regresi berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan, pengalaman
bersedekah dan nilai-nilai religius berpengaruh secara signifikan terhadap
kesejahteraan muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah,
sedangkan umur, status perkawinan, etnis/suku bangsa, pendidikan dan
kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan. Dari ketiga faktor tersebut,
pendapatan adalah faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap
kesejahteraan muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah.
Kata Kunci :, Kesejahteraan muzakki, Konsumsi sedekah, Karakteristik
individu, nilai-nilai religius
I. PENDAHULUAN
Tujuan hidup tiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan. Hal
ini sesuai dengan maksud Tuhan menciptakan manusia sebagai hamba yang
patuh (‟abid), kreatif (khalifatullah), dan mengajak kepada kepatuhan dan
___________________________________________
1)
Penelitian
JurnalHasil
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo
2)
16
kreatifitas (da‟i), tujuanNya adalah agar manusia dapat
mencapai
kesejahteraannya.
Secara umum, kesejahteraan sering diartikan sebagai terpenuhinya
segala kebutuhan dan keinginan. Semakin terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dan
keinginan-keinginan maka semakin sejahtera keadaan seorang individu
ataupun suatu masyarakat.
Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah munculnya
suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi
nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi
materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi
pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik. Dampak
yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa
malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti
eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan
kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia,
luntumya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit
sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan sebagainya (Iswadi, 2007).
Agama sebagai salah satu bagian penting dari kultur atau kebudayaan
merupakan sumber yang potensial menjadikan kehidupan manusia menjadi
lebih baik secara universal termasuk dalam kehidupan ekonominya. Oleh
karena itu, Weber (1930), berpendapat bahwa, praktek keagamaan atau amal
sholeh dan keimanan seseorang (religious practice and biliefs) memiliki
konsekuensi sangat penting dalam pembangunan ekonomi (economic
development). Artinya persoalan yang dihadapi manusia dalam bidang sosial
dan ekonomi, dapat diantisipasi dengan pendekatan agama, yaitu ajaran agama
dan keyakinan. Oleh karena itu, aktifitas agama ataupun ekonomi keagamaan
sangat perlu mendapat perhatian, khususnya terhadap pengkajian tentang
tingkat kesejahteraan manusia.
Di dalam mengkaji tingkat kesejahteraan, ada dua arena perdebatan
yang merupakan pemahaman kompleks dari kesejahteraan itu sendiri. Pertama
adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana
intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat sebagai
sebuah kesejahteraan seluruh individu.
Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi
kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan
tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktek kebijakan yang
dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh
dinamika pada tingkat global.
Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah,
namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana
menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat
kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita
digantikan dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
17
kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih
mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu
negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati
seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar
ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat
berlangsungnya proses produksi.
Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita,
maka pendapatan rumahtangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena
dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah.
Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga
digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga. Salah satu kelemahan
dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah
angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya.
Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga
dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena
hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan
indikator lain yang lebih komprehensif. Sebagaimana yang diutarakan oleh
Grinols (1994), bahwa kesejahteraan itu tidak hanya dinilai dari sisi materi
melainkan juga mengandung nilai-nilai spiritual, seperti perilaku mulia,
perasaan tenteram, ikhlas, kebebasan dan sebagainya, maka semua aktifitas
yang memberikan kontribusi ke arah nilai-nilai tersebut dapat dijadikan
sebagai indikator dari kesejahteraan dalam perspektif yang berbeda.
Misalkan saja Islam menjelaskan tentang lingkup kesejahteraan dalam
perspektif Agama yang salah satunya ketika pengeluaran konsumsi dijadikan
sebagai ukuran atau memiliki dampak terhadap kesejahteraan, maka konsumsi
yang dianjurkan adalah konsumsi yang dapat memberikan manfaat sekaligus
keberkahan baik bagi individu atau kelompok maupun kepada komunitas atau
masyarakat luas. Jenis konsumsi ini antara lain adalah konsumsi yang
ditujukan untuk ibadah dan konsumsi untuk memenuhi kebu tuhan/
keinginan manusia semata. Contoh jenis konsumsi yang pertama adalah
pembelian barang/jasa untuk diberikan kepada orang miskin, sedekah,
waqf maupun ibadah lainnya. Sedangkan konsumsi jenis kedua adalah
konsumsi untuk memenuhi kebutuhan/ keinginan manusia sebagaimana
konsumsi sehari-hari.
Selanjutnya pendapat Grinols tersebut di atas, diperkuat oleh Chapra
(2001) bahwa semua faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dan
memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada kesejahteraan seluruh
manusia harus diperhitungkan, baik faktor ekonomi maupun non-ekonomi,
publik atau pribadi, moral atau keduniaan. Pandangan tersebut menjadikan
beberapa faktor non ekonomi, seperti umur, status perkawinan, etnis/ suku
bangsa dan faktor moral, seperti kepatuhan kepada sesuatu nilai yang diyakini,
pandangan terhadap perilaku mulia (misalnya filantropi), pandangan tentang
konsumsi dan kesejahteraan secara spiritual, seluruhnya dianggap mampu
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
18
mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia dan memiliki potensi untuk
mempengaruhi kesejahteraannya. Oleh karena itu sangat penting untuk
memasukkan faktor-faktor tersebut dalam pengkajian tentang kesejahteraan,
terutama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Salah satu dari perilaku mulia ini adalah ”filantropi”, yaitu perilaku
memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan. Perilaku
filantropi tersebut memiliki tradisi sangat kuat dalam kalangan Muslim, yang
biasa kita kenal dengan istilah sedekah. Sedangkan dalam kalangan NonMuslim biasa disebut dengan istilah giving atau donation (sumbagan) yang
oleh Friedman (1957) memandangnya sebagai barang konsumsi. Jika dikaitkan
dengan kesejahteraan, maka hal ini sesuai dengan yang diutarakan Grinols
(2001) tentang perilaku mulia sebagai salah satu ukuran kesejahteraan yang
mengandung nilai spiritual.
Oleh karena itu Chapra (2001) merekomendasikan semua faktor yang
mempengaruhi tingkah laku individu dan memiliki potensi untuk memberikan
kontribusi pada kesejahteraan seluruh manusia harus diperhitungkan. Faktorfaktor tersebut antara lain seperti pendapatan/ kekayaan, umur, status
perkawinan, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, kesehatan, etnisitas,
religiusitas, perilaku mulia dan sebagainya.
Beberapa penelitian yang terkait dengan amal sedekah atau giving dan
kesejahteraan, seperti faktor-faktor yang mempengaruhinya atau faktor-faktor
yang memotivasi seorang individu atau kelompok masyarakat atau lembaga
dalam melakukan amal sedekah sudah cukup banyak dilakukan, antara lain:
Kitchen (1992), Chua dan Wong (1999), Gittel dan Tebaldi (2006), Hughes
dan Luksetich (2008), Multifiah (2007), Nur Farida (2008), dan masih banyak
lagi yang lainnya. Namun belum pernah ada satupun penelitian yang
mengkaitkannya dengan kesejahteraan sebagai dampak spiritual dari amal
sedekah (giving) yang diterima Donatur (Muzakki).
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sangat perlu untuk dilakukan
penelitian tentang analisis kesejahteraan muzakki berdasarkan pengeluaran
sedekah, yang dalam hal ini dilakukan studi di Kota Malang dan sekitarnya
karena Kota Malang adalah wilayah yang memiliki karakter umum yang dapat
merepresentasi kondisi wilayah secara umum yang memiliki jumlah
masyarakat pendonor yang cukup besar dan tercatat pada lembaga-lembaga
dan badan-badan sektor nirlaba di Indonesia bahkan di seluruh dunia, sehingga
hasil penelitian diharapkan bisa bersifat umum dan menghasilkan model dan
konsep baru dari amal sedekah dan kesejahteraan sebagai pengembangan dari
model-model dan konsep-konsep sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalahnya
sebagai berikut:
1. Apakah karakteristik individu, yaitu umur, status perkawinan, etnis/ suku
bangsa, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
19
2.
secara bersama-sama maupun parsial berpengaruh terhadap kesejahteraan
muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah.
Apakah faktor-faktor pemahaman nilai-nilai religius berpengaruh
terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran
konsumsi sedekah.
Berdasarkan rumusan masalah dan uraian di atas, maka hipotesis yang
diajukan sebagai dugaan sementara dalm penelitian ini sebagai berikut:
1. Karakteristik individu, yaitu umur, status perkawinan, etinis/ suku bangsa,
pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah, baik
secara bersama-sama maupun parsial berpengaruh terhadap kesejahteraan
Muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah.
2. Faktor-faktor pemahaman nilai-nilai religius berpengaruh terhadap
kesejahteraan Muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi
sedekah.
II. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat explanatory. Suatu penelitian yang bersifat
explanatory umumnya bertujuan untuk menjelaskan kedudukan variabelvariabel yang diteliti serta hubungan dan pengaruh antara satu variabel dengan
variabel yang lain (Sugiyono, 2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan pengumpulan data melalui survei. Survei dilakukan pada
sejumlah Muzakki (Donatur) yang berdomisili di Kota Malang dan sekitarnya.
Data kuantitatif terdiri dari umur, pendidikan, kesehatan, pendapatan
pengalaman bersedekah dan pengeluaran sedekah. Selain itu untuk keperluan
analisis juga diambil data kualitatif yang antara lain meliputi status
perkawinan, etnis/suku bangsa, pengetahuan agama dan aplikasinya serta
persepsi tentang makna kesejahteraan.
Populasi penelitian adalah Individu Muslim yang tercatat sebagai
Muzakki/ Donatur pada Lazis/ Bazis di Kota Malang dan sekitarnya.
Pemilihan sampel dilakukan dengan dua tahap. Mula-mula (tahap I) adalah
memilih Baitul Maal (Lazis/Bazis), yang dalam hal terdiri dari dua Laznas, yaitu
Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dan Yayasan Dana sosial Al-Falah (YDSF).
Pemilihan dua Baitul Maal tersebut ditentukan secara sengaja (purposive),
dengan alasan bahwa lembaga-lembaga tersebut telah beroperasi lebih dari lima
tahun dan keduanya memiliki kesetaraan atau level yang sama. Selanjutnya
(tahap II), diambil data muzakki (Donatur) yang memberikan bantuan donasi
berupa zakat, infaq, sedekah (Shodaqoh), dan sumbangan-sumbangan lainnya
melalui dua Baitul Maal tersebut.
Jumlah sampel penelitian adalah ditentukan dengan purposive quota
sampling, yaitu mereka yang telah memberi bantuan lebih dari tiga tahun
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
20
berturut-turut yang berjumlah 6.000 orang. Sebenarnya tidak ada aturan yang
tegas jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi
yang tersedia. Juga tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan
sampel besar dan yang kecil (Nasution, 2003). Namun untuk keperluan analisis,
maka jumlah sampel yang akan diambil pada penelitian ini didasarkan pada
pendapat Slovin (Umar, 2001) yaitu dengan menggunakan rumus:
n
N
1  N ( e) 2
Berdasarkan rumus tersebut, dapat ditentukan jumlah sampel dalam
penelitian ini, yaitu sebanyak 98 orang atau digenapkan menjadi 100 orang.
Adapun teknik analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan
penelitian
adalah persamaan Regresi Linear Berganda dengan terlebih
dahulu melakukan Uji Reliabilitas dan Uji Validitas terhadap kuesioner yang
digunakan untuk mengumpulkan data, dan Analisis faktor untuk menentukan
faktor scores yang terbentuk dari variabel laten yang dimasukkan dalam
analisis linear berganda.
Variabel independen dalam penelitian ini pertama, meliputi
karakteristik individu (umur, status perkawinan, etinis/ suku bangsa,
pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah serta nilainilai religius, sedangkan variabel dependen adalah pengeluaran konsumsi
sedekah sebagai proksi kesejahteraan muzakki. Model yang akan digunakan
untuk menganalisis data dalam penelitian ini dibangun suatu model
ekonometri yang menunjukkan hubungan antar variabel terkait yang dibangun
atas fungsi pengeluaran sedekah:
Model Umum : S = f (KI, NNR)
Persamaan (1)
Di mana : S = Amal Sedekah, KI = Karakteristik Individu dan
NNR = Nilai-Nilai Religius. Persamaan (1) menggambarkan bahwa tingkat
amal sedekah adalah fungsi dari karakteristik individu dan nilai-nilai religius,
di mana keduanya terdiri dari faktor-faktor yang akan diamati dalam
memprediksi tingkat amal sedekah atau pengeluaran sedekah. Sehingga
didapatkan model ekonometri untuk S sebagaimana persamaan (2) di bawa ini:
S = β0 + β1U + β2SP + β3E + β4P + β5K + β6Y + β7PS + β8NNR + εi
di mana :
S
U
SP
E
P
=
=
=
=
=
Persamaan (2)
Pengeluaran Sedekah
Umur
Status perkawinan (Variabel dummy)
Etnis/ suku bangsa (Variabel dummy)
Pendidikan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
21
K
Y
PS
NNR
β0
β1...β8
ε
=
=
=
=
=
=
=
Kesehatan
Pendapatan
Pengalaman bersedekah
Nilai-nilai religius
Konstanta
Parameter yang diestimasi
Variabel gangguan stokastik
Model yang digunakan secara umum dibangun atas hipotesis bahwa
besarnya pengeluaran sedekah merupakan fungsi dari variabel-variabel
karakteristik individu dan nilai-nilai religius dari responden. Variabel-variabel
tersebut diduga memiliki pengaruh terhadap keputusan individu untuk
mengeluarkan sedekah atau tidak, termasuk frequensi aktifitas sedekah dan
besarannya.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengujian,
bentuk Tabel 1 sebagai berikut.
maka hasil regresi dapat disusun dalam
Tabel 1 Hasil Analisis (1)
Variabel
(Constant)
Umur Donatur
Status Perkawinan
Etnis/Suku Bangsa
Tahun Sukses Pendidikan
Frekuensi Sakit
Pendapatan
Lamanya Menjadi Donatur
Nilai-nilai religius
R
R Square
Adjusted R square
F hitung
Sign. F
α
α
Koefisien regresi
(b)
-271957.947
-49.117
129699.077
73857.956
-2797.551
28233.319
0.014
134072.596
142081.046
Std. error
531868.197
6384.781
144384.428
276186.327
26682.405
70251.637
0.004
51326.566
69292.676
= 0.488
= 0.239
= 0.172
= 3.563
= 0.001
= 0.05
Beta ()
t hitung
Sig.
Keterangan
-0.001
0.087
0.026
-0.011
0.039
0.318
0.266
0.193
-0.511
-0.008
0.898
0.267
-0.105
0.402
3.176
2.612
2.050
0.610
0.994
0.371
0.790
0.917
0.689
0.002
0.011
0.043
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Sumber: Hasil olah data penelitian
Oleh karena umur, status perkawinan, etnis/ suku bangsa, pendidikan,
kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan muzakki yang
diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka variabel tersebut di
drop (dikeluarkan dari pengujian), dan kembali dilakukan regresi berganda
atas variabel yang signifikan saja, dengan hasil sebagaimana Tabel 2. Hasil
Tabel 2 dapat disusun dalam bentuk persamaan:
S = β0 + β6Y + β7PS + β8NNR + εi ................................................................... .. Persamaan (3)
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
22
S = -165749.090 + 0.014 Y + 138706.874 PS + 136507.917 NNR + 0.771 ...... Persamaan (4)
di mana :
S
Y
PS
NNR
β0
β1...β8
ε
=
=
=
=
=
=
=
Pengeluaran Sedekah
Pendapatan
Pengalaman bersedekah
Nilai-nilai religius
Konstanta
Parameter yang diestimasi
Variabel gangguan stokastik pada persamaan
Tabel 2 Hasil Analisis (2)
Variabel
α
(Constant)
Pendapatan
Lamanya Menjadi Donatur
Nilai-nilai religius
R
R Square
Adjusted R square
F hitung
Sign. F
α
Koefisien
regresi (b)
-165749.090
0.014
138706.874
136507.917
Std. error
Beta ()
220341.687
0.004 0.314
45331.462 0.275
67083.893 0.185
= 0.478
= 0.229
= 0.205
= 9.493
= 0.000
= 0.05
t hitung
Sig.
Keterangan
-0.752
3.463
3.060
2.035
0.454
0.001
0.003
0.045
Tidak Signifikan
Signifikan
Signifikan
Signifikan
Sumber: Hasil olah data penelitian
Pada Tabel 2 tampak bahwa nilai koefisien korelasi ganda (Multiple
R) sebesar 0.478 yang menyatakan besarnya derajat keeratan hubungan antara
kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah
dengan pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius mencapai
0.478 serta adanya hubungan yang cukup kuat diantara pendapatan,
pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius tersebut dengan kesejahteraan
muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah.
Untuk nilai koefisien determinasi (R-square) menunjukkan sebesar
0.229, sedangkan koefisien determinasi yang telah terkoreksi dari faktor
kesalahan atau bias dengan tujuan agar lebih mendekati ketepatan model
dalam populasi digunakan Adjusted R Square yaitu sebesar 0.205. Hal ini
menyatakan besarnya pengaruh dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan
nilai-nilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan
pengeluaran konsumsi sedekah mencapai 22.9%. Artinya sebesar 22.9%
keragaman dari kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran
konsumsi sedekah dipengaruhi oleh adanya pendapatan, pengalaman
bersedekah, dan nilai-nilai religius. Sedangkan sisanya 77.1% ditentukan oleh
faktor lain di luar variabel yang diteliti.
Untuk menunjukkan apakah semua variabel independen yang
dimasukkan dalam model persamaan regresi linier berganda mempunyai
pengaruh signifikan secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel
dependen, maka digunakan uji F sebagai uji kelayakan model. Berdasarkan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
23
Tabel 2 tersebut di atas, hipotesis yang dilakukan dengan uji F yaitu pengujian
secara serentak (simultan) diperoleh hasil Fhitung sebesar 9.493 dengan nilai
signifikansi (0.000) yang jauh lebih kecil dari alpha 0.05, sehingga Ho ditolak.
Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari pendapatan,
pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius terhadap kesejahteraan
muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa keragaman dari kesejahteraan muzakki
yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah ditentukan oleh adanya
pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius, dalam persamaan
regresi S = -165749.090 + 0.014 Y + 138706.874 PS + 136507.917 NNR +
0.771.
Untuk menunjukkan pengaruh secara individu (parsial) dari indikator
pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius terhadap
kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah,
maka digunakan uji t sebagai uji parsial. Berdasarkan Tabel 2 dengan
mengambil taraf nyata (signifikansi) sebesar 5% (0.05), untuk konstanta
diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0.454 yang lebih besar dari 0.05, maka
dapat disimpulkan bahwa konstanta tidak berpengaruh nyata terhadap model
regresi. Untuk variabel Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai
religius menunjukkan nilai signifikansi yang berturut-turut sebesar 0.001,
0.003, dan 0.045 yang lebih kecil dari alpha 0.05. Maka dapat disimpulkan
bahwa Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius
berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kesejahteraan muzakki yang
diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah tersebut. Dimana faktor
pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius memberikan
pengaruh yang positif (koefisien bernilai positif) terhadap kesejahteraan
muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Artinya
semakin tinggi pendapatan, semakin lama pengalaman bersedekah, dan
semakin tinggi pemahaman nilai-nilai religius, maka hal itu akan dapat
meningkatkan kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran
konsumsi sedekah secara signifikan. Demikian sebaliknya.
Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil pengujian hipotesis
dengan uji F di atas adalah variabel pendapatan, pengalaman bersedekah, dan
nilai-nilai religius mempunyai pengaruh yang signifikan (bermakna) secara
bersama-sama (simultan) terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi
dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Demikian pula secara parsial, variabel
Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius juga berpengaruh
signifikan terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran
konsumsi sedekah tersebut. Jadi, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka harus
diikuti pula oleh peningkatan faktor pendapatan, pengalaman bersedekah, dan
nilai-nilai religius.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
24
Untuk menunjukkan variabel independen manakah yang paling
dominan mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan
pengeluaran konsumsi sedekah adalah dengan melihat besarnya sumbangan
efektif (kontribusi) yang paling besar dari pendapatan, pengalaman
bersedekah, dan nilai-nilai religius, yaitu hasil perkalian antara koefisien
korelasi dengan beta tiap variabel independen (Hasan, 2002). Oleh karena itu
pengujian terhadap sumbangan efektif ini sangat diperlukan untuk mengetahui
besarnya kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel
dependen. Dalam penelitian ini uji sumbangan efektif digunakan untuk
mengetahui kontribusi dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilainilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan
pengeluaran konsumsi sedekah. Adapun hasil perhitungan sumbangan efektif
tersebut adalah sebagai berikut.
Tabel 3. Perhitungan Sumbangan Efektif
Variabel
Pendapatan
Lamanya Menjadi Donatur
Nilai-nilai religius
R
Beta
0.336
0.314
0.279
0.275
0.251
0.185
Total Sumbangan Efektif
Perhitungan
0.935x0.397x100
0.701x0.123x100
0.894x0.199x100
SE
10.57%
7.67%
4.64%
22.88%
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, ternyata variabel pendapatan
menunjukkan sumbangan efektif yang paling besar yaitu sebesar 10.57 persen.
Selanjutnya dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa pendapatan,
pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius ternyata mampu memberikan
sumbangan efektif sebesar 22.88 persen terhadap kesejahteraan muzakki yang
diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Besarnya sumbangan efektif
total ini sama dengan besarnya koefisien determinasi (R-square=R2) yaitu
sebesar 22.9 persen. Implikasinya adalah terdapat beberapa variabel lain yang
juga mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran
konsumsi sedekah selain pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai
religius.
IV.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai profil
muzakki (donatur) di Kota Malang serta analisis pengaruh karakteristik
muzakki dan pemahaman nilai-nilai religius terhadap kesejahteraannya yang
diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka dapat disimpulkan
beberapa hal:
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
25
1. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, karakteristik dan
pemahaman nilai-nilai religius yang dimiliki muzakki di Kota Malang,
secara simultan berpengaruh terhadap kesejahteraannya yang diproksi
dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Namun demikian, secara parsial
hanya ada tiga faktor yang berpengaruh, yaitu: faktor pendapatan,
pengalaman bersedekah (lamanya menjadi donatur), dan pemahaman nilainilai religius. Artinya, peningkatan kesejahteraan muzakki yang diproksi
dengan pengeluaran konsumsi sedekah, sangat tergantung pada kenaikan
pendapatan, lamanya menjadi donatur (pengalaman bersedekah), dan
pemahaman nilai-nilai religius.
2. Berdasarkan uji sumbangan efektif, didapati bahwa pendapatan adalah
faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kesejahteraan muzakki
yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah dibandingkan
dengan dua faktor signifikan lainnya.
B.
Saran
1. Dalam penelitian ini, kesejahteraan muzakki hanya diproksi dengan
pengeluaran konsumsi sedekah sebagai indikator kesejahteraannya. Perlu
dikaji lebih lanjut mengenai hubungan ini, terutama hubungan antara
konsumsi sedekah dan kesejahteraan itu sendiri, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif.
2. Terkait dengan keterbatasan penelitian ini dalam mengumpulkan data-data
dari variabel konstruk (nilai-nilai religius) melalui kuesioner, maka sangat
perlu untuk dilakukan penelusuran secara mendalam atau menyelami
jawaban responden dengan mengikutsertakan pertanyaan argumentasi
terhadap jawaban secara terbuka. Hal ini sangat penting untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya bias di dalam pengumpulan data dari variabel
konstruk (laten) secara umum.
3. Dalam penelitian ini, nilai koefisien determinasi (R-square=R2) yaitu
hanya sebesar 22.9%. Implikasinya adalah terdapat beberapa variabel lain
yang juga mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan
pengeluaran konsumsi sedekah selain pendapatan, pengalaman
bersedekah, dan nilai-nilai religius, maka sangat perlu memasukkan
variabel-variabel lain yang diprediksi mampu mempempengaruhi perilaku
individu dalam bersedekah, terutama kemampuan dalam membayar atau
membelanjakan pendapatannya untuk kepentingan sesama.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
26
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an al-Karim
Al-Hadits
Al-Kitab ad-diin (At-Targhib, Misykat dan Razin). Al-Kandahlawi,
Maulana M. Zakariyya, 2005, Fadhilah Sedekah. Penerjemah: Ali
Mahfudzi. Edisi Revisi. Cetakan II. Yogyakarta: Ash-Shaff.
Al-Khazin, Imam, Tafsirul Khazin/Lubabut Ta'wil fi Ma'anit Tanzil, Darul
Fikr Beirut, cetakan 1399 H.
Al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi/Al-Jami'li Ahkamil
Qur'an, Dar Ihya‟it Turats Al-Arabi, tanpa tahun cetakan.
Ancok, Dr. Djamaludin, dan Fuat Nashori Suroso, 2005, Psikologi Islam:
Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Andreoni, James (2006), „Philanthropy‟, in Serge Christophe Kolm and Jean
MercierYthier (ed), Handbook of the Economics of Giving, Altruism and
Reciprocity, Vol. 2. Amsterdam Elsevier, pp. 1201-69.
Andreoni, ]., Brown, E., & Rischalt, L (2003). Charitable giving by married
couples: Who decide and why does it matter?" Journal of Human
Resources, 38(1), 111-133.
Andreoni, J., & Scholz, J. K. (1998). An econometric analysis of charitable
giving with interdependent preferences. Economic Inquiry, 36,410 - 428.
Auten, G., Sieg, H., & Clotfelter, C. (2002). Charitable giving, income, and taxes:
An analysis of panel data. The American Economic Review, 95(1), 371 – 382
Auten, G, & Rudney, G. (1990). The variability of individual charitable
giving in the US, Voluntas, 1(2), 80 - 97
Az-Zain, Samih Athif, 1988, Syariat Islam. Diterjemahkan oleh: Mudzakir As.
Husaini, Bandung.
Barrett, McGuirk dan Steinberg R. (1997), Further evidence on the dynamic
impact of taxes on charitable giving. National Tax Journal, 50(2), 321334.
Bartkowski, J.P dan Regis, H.A, (2003). Charitable chokes: Religion, race, and
poverty in the post-welfare era. New York: New York University Press.
Boskin, M. J., & Feldstein, M (1977). Effects of the charitable deduction on
contributions by low income and middle income households: Evidence
from the National Survey of Philanthropy. Review of Economics and
Statistics, 59(3), 351-354.
Brown, Eleanor dan Ferris, James M. (2007), Social Capital and Philanthropy:
An Analysis of the Impact of Social Capital on Individual Giving and
Volunteering Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly; 36; 85
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
27
Budiman, Budi, 2003, The Potential Of ZIS Fund As an Instrument In Islamic
Economy: Its Theory and Management Implementaioan. IQTISAD
Journal of Islamic Economics, Vol. 4, No. 2, Rajab 1424 H/September
2003, pp. 119 – 143.
Carman, K. G. (2004). Social influences and the private provision of public goods:
Evidence from charitable contributions in the workplace. Unpublished
manuscript, Harvard University at Cambridge.
Center on Philanthropy at Indiana University.”Giving USA (2005): The
Annual Report on Philanthropy for the Year 2004, “ Fiftieth Edition.
Chapra, M. Umer, 2000, The Future Of Economics: An Islamic Perspective.
The Islamic Foundation, UK. Ikhwan Abidin Basri (penerjemah).
2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Gema
Insani Press, Jakarta.
Chua, Vincent C.H. and Chung Ming Wong. Tax incentives, individual
characteristics and charitable giving in Singapore, International
Journal of Social Economics, Vol. 26, no. 2, Issue 12, 1999, 1492–
1505., http://www.emeraldinsight.com, didownload 8 Desember 2009.
Clotfelter, 2002, The Economics of Giving (Sanford Institute Working Paper
Series, Working Paper) Durham, NC: Duke University.
Daneshvary, N., & Luksetich, W. (1997). Income sources and declared charitable
tax deductions Applied Economic Letters, 4,271 - 274.
Dasuki, Hafidz, dkk., 1993, Ensiklopedi Islam. (Jilid I, IV dan V), PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta.
Deb, P., Wilhelm, M. O., Rooney, P.M., & Brown, M.S, 2003, Estimating
Charitable Deductions in Giving USA, Nonprofit and Voluntary
Sector Quarterly, Vol. 32, no. 4, 548-567.
Dye, R. F. (1978). Personal charitable contributions: Tax effects and other
motives. In Proceedings of the Seventieth Annual Conference on Taxation
(pp. 211-321). Columbus, OH: National Tax Association
Eckel, Catherine C. dan Grossman, Philip J. (2004)Giving to Seculer Causes by
the Religious and Nonreligious: An Experimental Test of the
Responsiveness of Giving to Subsidies Nonprofit and Voluntary Sector
Quarterly; 33; 271.
Elster, Jon (2006), „Altruistic Behaviour and Altruistic Motivations‟, in Serge
Christophe Kolm and Jean MercierYthier (ed), Handbook of the
Economics of Giving, Altruism and Reciprocity, Vol. 1. Amsterdam
Elsevier, pp. 183-206.
Feenberg, D. (1985). Are tax price models really identified: The case of
charitable giving. National Tax Journal, 15(4), 629 - 633.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
28
Feldstein, M, & Clotfelter, C. (1976). Tax incentives and charitable
contributions in the United States: A microeconometric analysis. Journal
of Public Economics, 5, 1-26
Frey, Bruno S. and Stephan Meier, (2004), „Pro-social behaviour in a natural
setting‟, Journal of Economic Behaviour and Organization, 54(1), 6588.
Friedman, 1957, A theory of the Consumption. Princeton, NJ: Princeton
University Press.
Greenwood, D. T. (1993). Price income and elasticities of charitable giving:
How should income be measured? Public Finance Quarterly, 11,196-209.
Gittel , Ross dan Tebaldi, Edinaldo, Charitable Giving: Factors Infuencing
Giving in U.S. States, Nonprofit and Loluntary Sector Quarterly, Vol.
35, no. 4, December 2006, 721-736. http://nvs.sagepub.com,
didownload 8 Desember 2009.
Grinols, Earl L, 1994, Microeconomics. Houghton Mifflin Company. Boston.
Toronto. Genewa, Illinois Palo Alto Princeton, New Jersey.
Gujarati, Damodar N, 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill Companies.
Inc. New York.
Harafah, LM. 2003, Kajian tentang Produktivitas Pekerja Sektoral dan
Implikasi Kebijakan yang ditempuh bagi Masyarakat Pedesaan di
Propvinsi Sulawesi Tenggara, Surabaya: Disertasi UNAIR.
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok metodologi penelitian dan aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia
Hrung, W. (2004). After-life consumption and charitable giving. American
Journal of Economics and Society, 63(3), 731-745
Hughes, Patricia dan Willam Luksetich, Income Volatility and Wealth: The
Effect on Charitable Giving, Nonprofit and Loluntary Sector
Quarterly,
Vol.
37,
no.
2,
Juni
2008,
264-280.
http://nvs.sagepub.com, didownload 8 Desember 2009.
Iswadi, Muhammad, 2007, Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model
Pendekatan, MAZAHIB, Vol. IV, No. 1 Juni 2007,
http://www.daneprairie.com
Khalil, Elias L. (2004),‟What is altruism? Journal Economic Psyichology.
25(1), 97-123.
Kitchen, Harry, Determinants of charitable donations in Canada: a
comparison over time, Applied Economics, Volume 24, Issue 7 July
1992 , pages 709–713.
Luks, Allan (1991), The Healing Power of Doing Good: The Health and
Spiritual Benefits of Helping Others, New York City.
Muller, Jerry Z. (1993), Adam Smith:In His Time and Ours, Princeton. NJ:
Princeton University Press.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
29
Multifiah, 2007, Peran “ZIS” Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin,
(Studi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal,
Pendidikan dan Kesehatan di Daerah Malang), Disertasi, FEUB,
Malang
Nasution, S., 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah). PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
National Economic Trends, The Economics of Giving. Federal Reserve Bank
of
ST.
Louis.
www.redcross.org/news/ds/hurricanes/katrina_facts.html
Nur Farida, Hikayah Azizie 2008, Variabel-Variabel yang Mempengaruhi
Pembayaran Zakat Oleh Para Muzakki (Studi Kasus Pengelola
Lembaga Keuangan Syariah di Kota Yogyakarta), Journal of Islamic
Business and Economics, Desembar 2008, Vol. 2 No. 2
O'Herlthy, M. A., Havens, J. J., & Schervish, R G. (2006). Charitable giving:
How much, by whom, to what and how? In R. S. Steinberg & W. Powell
(Eds.), The nonprofit sector: A research handbook (2nd ed.). New Haven,
CT: Yale University Press.
Phelps, Edmund (ed.) (1975), Altruism, Morality and Economic Theory: New
York: Russell Sage Foundation.
P3EI-UII, 2008, Ekonomi Islam, Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Ekonomi Islam, Ed. 1, -1. – Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008.
Qardhawi, Yusuf, 1996, Fiqhuz Zakah, Diterjemahkan oleh: Salman.
Rahardja, Prathama, 2004, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi &
Makroekonomi), edisi revisi/ Prathama Rahardja, dan Mandala
Manurung, Penerbit FEUI, Jakarta.
Rahardjo, M. Dawam, Tahun: tt, Kesimpulan dan Rekomendasi Pertemuan
Nasional I Badan Amil Zakah Infak dan Shadaqah. Bunga rampai,
Jakarta.
Randolph, W. C. (1995). Dynamic income, progressive taxes, and the timing of
charitable contributions. Journal of Political Economy, 103, 709-738
Reece, W. S. (1979). Charitable contributions: New evidence on household
behavior. American Economic Review, 69,142-151
Scott, Niall and Jonathan, Seglow, 2007, Altruism, Buckingham: Open
University Press.
Seglow, Jonathan. (2002), „Altruism and Freedom‟, In Jonathan Seglow (ed).
The Ethics of Altruism, special issue of Critical Review of
International Social and Political Philosophy, 5 (4). 145-63.
Singarimbun, M.; Sofian Effendi, (Eds), 1991. Metode Penelitian Survey.
LP3ES, Jakarta.
Solimun, 2002, Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM)
Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
30
Steinberg R, (1990), Taxes and Giving: New Findings, Voluntas, 1, 61-79.
Steinberg, Richard dan Powell, Walter W. (2006) “Why Do People Give? The
Nonprofit Sector, Second Edition, New Haven, CT: Yale University
Press.
Sugiyino. 2002. Metode Penelitian Administrasi, Cetakan kedelapan, Alfabeta,
Bandung.
Weber, Max, 1930 The Protestan Work Ethicand the Spirit Capitalism
(translate P. Baehr and G.C. Wellis, London, Penguin Books, p.112)
Wu, S. Y, (2004). Tax effects on charitable giving in the presence of uncertainty.
Public Finance Review, 32(5), 459-482.
Yen, S. T. (2002). An econometric analysis of household donations in the USA.
Applied Economics Letters, 9(13), 837-S41.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
31
Volume VIII Tahun 4, Desember 2011, hal 32-40
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
HUBUNGAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAN
PERTUMBUHAN EKONOMI
DI PROPINSI SULAWESI TENGGARA1)
Abd. Azis Muthalib 2)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan
yakni time series, untuk periode 2006-2010. Adapun alat analisis yang
digunakan yaitu analsis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi
selama periode 2006-2010 sangat rendah yaitu hanya 0,13 dan bahkan dapat
dikatakan tidak ada hubungan. Hasil uji-t juga menunjukan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran pemerintah (APBN)
dengan pertumbuhan ekonomi
Kata Kunci: pengeluaran pemerintah, anggaran pendapatan belanja negara
(APBN), pertumbuhan ekonomi
I.
PENDAHULUAN
Pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam anggaran
pendapatan dan belanja Negara (APBN) pada dasarnya bertujuan untuk
menciptakan stabilitas perekonomian, perluasan kesempatan kerja,
pertumbuhan ekonomi dan keadilan dalam distribusi pendapatan. Berkaitan
dengan hal tersebut maka pertumbuhan dalam pengeluaran pemerintah harus
dapat memciptakan stabilitas perekonomian, perluasan kesempatan kerja,
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Tulisan ini akan mencoba
menkaji hubungan antara pertumbuhan pengeluaran pemerintah (APBN) dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2006-2010.
Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah,
menjadi subyek penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Kontroversi utama
adalah dapatkah pengeluaran pemerintah menaikkan dalam jangka panjang
1)
Hasil Penelitian
Jurnal
Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
2)
Dosen Jurusan IESP Unhalu
32
tingkat pertumbuhan ekonomi (long run steady state growth economy). Secara
umum gambaran pengeluaran publik, yaitu infrastruktur fisik atau human
capital, dapat mempertinggi pertumbuhan tetapi keuangan khususnya
pengeluaran dapat memperlambat pertumbuhan (because of disincetif effect).
Secara umum dampaknya tergantung dari trade-off antara pengeluaran publik
yang produktif dan effects pajak yang bersifat distorsif (distortionary).
Aktivitas pemerintah baik langsung maupun tidak langsung akan
menaikkan total output sehingga mengalami interaksi dengan private sector.
Lin (1994) secara garis besar mengatakan ada sesuatu yang penting sejalan
dengan peran dimana pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan. Dalam hal
ini sudah termasuk ketentuan mengenai barang publik dan infrastruktur, jasa
social dan target intervensi (karena subsidi ekspor).
Di sisi lain pajak pemerintah mungkin menyebabkan misallocation of
resources, penyediaan barang publik yang tidak efisien, sehingga sektor
publik menggunakan kelebihan dari pengeluaran pemerintah yang tidak
produktif. Hal ini menyebabkan distorsi karena disinsentive effect.
Teori pertumbuhan endogen memberikan gambaran mengenai peran
pemerintah di dalam proses pertumbuhan. Implikasinya bahwa tingkat
pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang adalah endogenous. Ada
beberapa faktor yang sangat penting dalam menentukan pertumbuhan jangka
panjang, walaupun semuanya endogenous growth models, pemerintah dapat
mempengaruhi pertumbuhan salah satunya baik langsung maupun tidak
langsung (Brons, de Groot dan Nijkamp, 1999). Hasilnya dalam jangka
panjang pertumbuhan dapat berbeda antar negara , dan tidak mengharuskan
akan terjadi convergence dalam pendapatan perkapita. Secara signifikan, studi
yang sama dari Dar dan Amir Khalkhali (2002) mencatat bahwa implikasi
utama model endogenous growth adalah kebijakan pemerintah dapat
melebarkan jarak, sehingga dalam jangka panjang Negara dapat menunjukkan
kinerjanya. Artinya, ada tiga instrument fiskal yaitu, pajak, pengeluaran
(expenditure), dan keseimbangan anggaran secara agregat. Dampaknya dalam
jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi penggunaan sumber daya,
tingkat faktor akumulasi, dan kemajuan teknologi.
Fakta menunjukkan bahwa pertama, hubungan antara pengeluaran
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif
atau negatif. Hasil penelitian menunjukan adanya bukti berbeda di Negara
maupun daerah.
Folster dan Henrekson (1999) berargumen Bahwa
hubungannya negatif, sementara Agell et al (1999) menemukan hubungan
yang tidak signifikan. Kedua, sifat dari dampak pengeluaran publik akan
bergantung pada kondisinya. Barro (1990) menemukan adanya kontribusi
pengeluaran yang produktif positif terhadap pengeluaran yang tidak produktif.
Akhirnya tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi ( Folster dan Herokson, 1999).
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
33
Argumentasi yang lain juga datang dari adanya kenyataan bahwa
hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan datang
dari data panel di negara yang berbeda dengan karateristik yang berbeda pula
(Ghali, 1998). Sedangkan penelitian yang menggunakan data panel daerah
propinsi di satu negara belum ada.
Berdasarkan kenyataan seperti tersebut di atas maka tulisan ini akan
menganilisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama kurun waktu 2006-2010.
II. LANDASAN TEORI
Model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan GNP
itu sebenarnya merupakan suatu konsekuensi alamiah atas adanya ekuilibrium
jangka panjang. Motivasi pokok lahirnya teori ini adalah untuk menjelaskan
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar Negara.
Model pertumbuhan endogen mencoba menjelaskan terjadinya
divergensi pola pertumbuhan ekonomi antar Negara dalam jangka panjang,
meskipun teknologi tetap diakui memainkan peran penting, namun model
pertumbuhan endogen menyatakan bahwa faktor teknologi tersebut tidak perlu
di tonjolkan untuk menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi
jangka panjang ( Todaro, 2000)
Barro (1990) menguji model pertumbuhan endogen mengenai
hubungan antara bagian pengeluaran pemerintah di dalam GDP dan tingkat
pertumbuhan riil perkapita GDP. Keistimewaan model Barro ini adalah adanya
constant returns to capital secara luas termasuk private capital dan publik
services. Secara luas mempertimbangkan input publik services didalam
produksi, tepatnya hubungan yang timbul antara pengeluaran pemerintah dan
pertumbuhan ekonomi.
Sebagian besar studi mengenai hubungan antara pengeluaran
pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berasumsi bahwa implikasi semua
pengeluaran investasi pemerintah adalah produktif (Barro, 1990). Landau
(1983, 1986) studi dengan menggunakan data cross-section lebih dari 100
negara menemukan hubungan antara tingkat pertumbuhan GDP riil perkapita
dengan pengeluaran pemerintah. Termasuk di dalamnya pengeluaran
pemerintah yang besar akan mengurangi pertumbuhan pendapatan perkapita
(walaupun hasil ini belum tentu untuk Negara miskin). Studi dari kormendi
dan meguire (1985) menemukan bahwa tidak signifikan hubungan antara
tingkat pertumbuhan GDP riil perkapita dan pengeluaran pemerintah. Disisi
yang lain Ram (1986) dan grossman (1988) menemukan hubungan positif
antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat
pengeluaran per sektor (regardless of the disaggregation of expenditures).
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
34
Diamond (1989) mengamati pengeluaran sosial, hasilnya
menunjukkan signifikan positif berdampak terhadap pertumbuhan jangka
pendek saat pengeluaran infrastruktur lebih sedikit berpengaruh (walaupun
positif). Dia menemukan juga pengeluaran kapital negatif berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sifat negatif disini berhubungan pada periode
jangka panjang dan tidak efisien berhubungan dengan pembiayaan publik.
Barro (1991) menguji 98 negara, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan
negatif antar tingkat pertumbuhan output dan pengeluaran konsumsi
pemerintah, sedangkan untuk publik investment positif tetapi tidak signifikan
terhadap tingkat pertumbuhan output.
Devarajan dan Vinaya (1993) menemukan adanya hubungan negatif
dan tidak signifikan antara pengeluaran produktif dan pertumbuhan ekonomi.
Lin (1994) menemukan pengeluaran tidak produktif negatif dan tidak
signifikan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di negara industry tetapi
signifikan positif berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Negara
berkembang.
Ada beberapa kasus di Negara miskin, dimana tingkat pengeluaran
pemerintah rendah, dampaknya terhadap pertumbuhan mungkin lebih
bermanfaat. Pada tingkat yang rendah pengeluaran pemerintah (on productive
goods) dan perpajakan, dampak produktif barang publik mungkin melebihi
ongkos social kenaikan pembiayaan (Folster dan Henrekson, 1999).
Bagaimanapun ada tendesi untuk koreksi pajak lebih tidak efisien dan tidak
produktif intervensi pemerintah yang lebih umum di Negara miskin (Slemrod,
1995). Mempertimbangkan secara tidak langsung kebutuhan untuk perhatian
didalam kombinasi Negara kaya dan miskin didalam studi cross section.
Peristiwa ini adalah keadaan suatu Negara dengan studi time series, karena itu
disini jelas bahwa hubungan antara pengeluaran dan pertumbuhan sangat
komplek. Ghali (1997) melakukan studi di Saudi Arabia. Hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ditemukan bukti yang konsisten bahwa perubahan
didalam pengeluaran pemerintah berdampak terhadap pertumbuhan output riil
perkapita. Yang terpenting disini adalah implikasi dari perilaku kebijakan
publik di Saudi Arabia bahwa pemerintah memberlakukan defisit anggaran
yang menunjukkan ukuran dan batasan peran pemerintah didalam
perekonomian.
Studi yang dilakukan
(Ramayadi, 2003) menemukan bahwa
pengeluaran pemerintah cenderung berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pengeluaran pemerintah
yang tidak produktif (Cg/Y) berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan. Ini
sejalan dengan temuan Barro (1990) mengenai pengaruh pengeluaran
pemerintah yang tidak produktif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
35
III. METODE ANALISIS
Untuk mengkaji hubungan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dan
pertumbuhan ekonomi digunakan analisa korelasi. Koefisien korelasi dapat
dihitung dengan rumus (Suharyadi dan Purwanto S.K. 2004) sbb:
r 
n   XY     X  Y 
n



2
 X 2    X   n
 Y    Y   …………(1)
2
2
Sedangkan untuk menguji ada tidaknya hubungan yang signifikan
antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi digunakan uji-t.
Nilai t dapat dihitung sebagai berikut:
t 
dimana :
r
n2
1  r 2 …………………..(2)
t = nilai t hitung
r = nilai koefisien korelasi.
n = Jumlah data pengamatan.
Jika t hitung lebih besar dari t tabel berarti terdapat hubungan yang
signifikan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel berarti tidak terdapat
hubungan yang significan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan
ekonomi.
IV. PEMBAHASAN.
A. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah (APBN)
Pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam APBN tahun
2005-2011 cenderung meningkat (Tabel 1), namun ditahun 2009 menurun
sebesar 13,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan
karena menurunnya penerimaan Negara baik yang bersumber dari penerimaan
pajak, penerimaan bukan pajak dan penerimaan hibah. Penerimaan pajak
menurun dari 658.700,8 miliar rupiah pada tahun 2008 menjadi 619.922,2
miliar rupiah pada tahun 2009 atau turun 5,89 persen. Sementara itu
penerimaan bukan pajak menurun dari 320.604,6 miliar rupiah pada tahun
2008 menjadi 227.174,4 miliar rupiah tahun 2009 atau turun sebesar 29,14
persen. Sedangkan untuk penerimaan hibah turun dari 2.304,0 miliar rupiah
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
36
pada tahun 2008 menjadi 1.666,6 miliar rupiah tahun 2009 atau turun 27,66
persen. Adapun trend pertumbuhan APBN dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1.
APBN Tahun 2005-2011 (miliar rupiah)
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
APBN
495,224.2
637,987.2
707,806.2
981,609.4
848,763.2
995,271.5
1,104,902.0
Sumber: Data Pokok APBN 2005-2011
50,0%
40,0%
38,7%
30,0%
28,8%
20,0%
17,3%
0,0%
11,0%
10,9%
10,0%
0,0%
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
-10,0%
-13,5%
-20,0%
Gambar 1 T rend Pertumbuhan APBN Tahun 2005-2011
B. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan pertumbuhan ekonomi nasional selama kurun waktu
2006-2010 relatif stabil dan berada pada kisaran antara 4,58 - 6,35 persen.
Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 5,48 persen
meningkat pada tahun 2007 menjadi 6,35 persen dan menurun pada tahun
2008 menjadi 6,01 persen. Penurunan ini berlanjut hingga tahun 2009 yang
hanya mencapai 4,58 persen. Sedangkan pada tahun 2010 pertumbuhan
ekonomi nasional meningkat menjadi 6,10 persen. Pertumbuhan ekonomi
nasional dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain Jumlah investasi,
pengeluaran pemerintah, dan ekspor. Selain itu pengeluaran comsumsi juga
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dibeberapa daerah seperti Sulawesi
Tenggara, pengeluaran konsumsi memberikan kontribusi yang cukup besar
terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dibeberapa daerah peranan investasi
terhadap pertumbuhan ekonomi cukup besar.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
37
C. Hubungan Pengeluaran Pemerintah (APBN) Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Berdasarkan data yang diperoleh baik data BPS maupun ringkasan
APBN selama kurun waktu 2006-2010 peningkatan dalam pertumbuhan
pengeluaran pemerintah (APBN) tidak diikuti oleh peningkatan dalam
pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007 pertumbuhan APBN menurun
menjadi 10,90 persen, sementara pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi
6,35 persen. Sebaliknya pada tahun 2008, APBN mengalami pertumbuhan
sebesar 38,70 persen meningkat dari tahun sebelumnya, dan pertumbuhan
ekonomi menurun dari tahun sebelumnya menjadi 6,01 persen. Sedangkan
untuk tahun 2009 dan 2010 pertumbuhan dalam pengeluaran pemerintah
(APBN) selalu diikuti dengan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi.
Dilihat dari sisi trend pertumbuhan tampaknya tidak terdapat hubungan
yang searah antara pertumbuhan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan
ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2
Pertumbuhan APBN dan Ekonomi Nasional 2006-2010
50,00
38.70
40,00
30,00
28.80
Pert. APBN
17.30
20,00
10,00
5,48
6,35
6,01
0,00
2006
2007
Pert.Ekonomi
13.50
10.90
2008
4,58
2009
6,10
2010
Hasil analisa korelasi menunjukan bahwa hubungan antara
pengeluaran pemerintah (APBN) dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah
bahkan dapat dikatakan tidak ada hubungan karena koefisien korelasinya
hanya 0,13. Hal ini sejalan pula dengan hasil uji t pada taraf kepercayaan 95
persen yang menunjukkan bahwa nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel
(0,230 lebih kecil 2,78). Ini berarti bahwa hubungan antara pengeluaran
pemerintah (APBN) dengan pertumbuhan ekonomi tidak significan selama
periode 2006-2010.
Dengan demikian peningkatan dalam pengeluaran pemerintah
sebagaimana tercermin dalam APBN tidak mampu menciptakan pertumbuhan
ekonomi sebagaimana yang diharapkan. Salah satu faktor yang menjadi
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
38
penyebab sehingga pengeluaran pemerintah tidak signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, karena sebagian besar pengeluaran pemerintah masih
terfokus pada belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran
cicilan utang dan bunga. Sedangkan untuk belanja modal masih relatif kecil.
Selain itu efisiensi pengeluaran pemerintah masih relatif kurang memadai.
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan
ekonomi selama periode 2006-2010 sangat rendah yaitu hanya 0,13 dan
bahkan dapat dikatakan tidak ada hubungan. Hasil uji-t juga menunjukan pula
bahwa tidak terdapat hubungan yang significan antara pengeluaran pemerintah
(APBN) dengan pertumbuhan ekonomi.
B. Saran
Alokasi dalam pengeluaran pemerintah seharusnya lebih
memprioritaskan belanja modal dibanding belanja lainnya, kecuali untuk
belanja pegawai. Disamping itu pengeluaran pemerintah juga diupayakan
seefisien mungkin pada semua pos pembiayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakarta, berbagai edisi
Agell, J., T. Lind and H. Ohlsson (1999),”Growth and the Public Sector: a
Reply”, European Journal of Political Economy, 15:2, 359-336.
Robert J (1990),”Government Spending in a Simple Model of Endogenous
Growth”, Journal of Political Economy 98 (5), 103-125.
Barro, Robert J (1991),” Economic Growth in a Cross section of Countries”,
Quertely Journal of economy 106, 407-444.
Brons, M., H.L.F. de Groot and P. Nijkamp (1999),”Growth Effect of Fiscal
Policies”, Timbergen Discussion Paper, Amsterdam, Vrije
Universiteit.
Devarajan, S. and S. Vinaya (1993),” What do Government Buy ? The
Composition of Public Spending and Economic Performance”, Policy
Research Waking Paper, The World Bank, WPS 1082.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
39
Diamond, J (1989),” Government Expenditure and Economic Growth: An
Empirical Investigation”, IMF Working Paper No. 89/45, Washington
DC.
Folster, S. and M. Henrekson (1999),” Growth and Public Sector: a critique of
the critics”, European Journal of Political Economy, 15:2, 337-358.
Landau, D. (1983),” Government Expenditure and Economic Growth: A
Cross-Country Evidence,” Southern Economic Journal, Vol 49, 783797.
Lin, S.A.Y (1994),” Government Spending and Economic Growth”, Applied
Economic, 26, 83-94.
Ghali, K.H (1997),” Government Spending and Economic Growth in Saudi
Arabia”, Journal of Economic Development, vol 22, No.2 Desember
1997.
-------- (1998),”Government Size and Economic Growth: Evidence from a
Multivariate Cointegration Analysis”, Applied Economic 31, 975-987.
Kormendi, R., and P. Meguire (1985),” Macroeconomic Determinants of
Growth: Cross Country Evidence”, Journal of Monetary Economic,
16, 141-164.
Ram (1986),” Government Size and Economic Growth: A new Framework
and some Empirical Evidence from cross-sectional and tome-series
data”, American Economic Review, Vol. 7, No.1 191-203.
Ramayadi, Arief (2003),” Economic Growth and Government Size in
Indonesia: Some Lesson for the Local Authorities,” The 5�ℎ Irsa
Internasional Conference, Regional Development in The Era of
Decentralization: Growth, Poverty, and Environment, Bandung.
Slemrod, J. (1995),” What do cross-country studies teach about government
involvement, prosperity, and economic growth ?”, Brookings Papers
on Economic Activity, 2, 373-431.
Todaro, M. P, (2000),” Economic Development”, 7 , Addison Wesley.
World Bank (2004).
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
40
Volume
VIIINomor
Tahun4,4,Desember
Desember
2011
, hal
41-56
Volume VIII
2011,
hal
41-56
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
PENGARUH BELANJA DAERAH TERHADAP PRODUK DOMESTIK
REGIONAL BRUTO DI PROPINSI SULAWESI TENGGARA
PERIODE 2001-20101)
Oleh : Ulfa Mattoka2) dan Kasmiati 3)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belanja
daerah terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Sulawesi
Tenggara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder berupa data belanja daerah dan Produk Domestik Regional
Bruto. Data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi
Tenggara dan Bank Indonesia Cabang Kendari. Alat analisis yang
digunakan adalah Regresi Sederhana. Hasil analisis menunjukkan
bahwa belanja daerah memiliki pengaruh yang erat dengan Produk
Domestik Regional Bruto yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi
(R) sebesar 0.993. sedangkan kontribusi belanja daerah terhadap
produk domestik regional bruto yaitu koefisien determinasi (R2)
sebesar yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang dijelaskan oleh
variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen ditentukan oleh
varibel lain diluar model.
Kata kunci: Produk Domestik Regional Bruto, Belanja Daerah
I.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang giatnya
melakukan pembangunan dalam berbagai bidang untuk mengejar
ketertinggalan dari negara-negara maju demi mensejahterkan kehidupan
rakyat. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah menerapkan
sistem pemerintahan yang bersifat desentarlisasi (otonomi daerah) yang
diberlakukan sejak januari 2001 dalam rangka memberikan kebebasan kepada
1)
Penelitian
Jurnal Hasil
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
2)
Dosen Jurusan IESP Unhalu
41
pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatur ekonomi sesuai dengan potensi
dan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Hal tersebut berimplikasi pada kebijakan-kebijakan tiap daerah yakni
kebijakan fiskal daerah, yang dikarenakan pemberlakuan desentralisasi fiskal
sesuai dengan konsep otonomi daerah (Priadi dan Soebagyo,2007).
Aliran dana yang masuk ke daerah menjadi semakin tingi karena
adanya dana perimbangan dari pusat seperti yang tertera dalam pasal 2 UU No.
33 Th. 2004 ayat 1 berbunyi “perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
dan daerah merupakan susbsistem keuangan negara sebagai konskuensi
pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Provinsi
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang memperoleh dampak
positif atas kebijakan desentralisasi tersebut dimana Pendapatan asli daerah
(PAD) mengalami kenaikan sebagaimana yang dinyatakan dalam Rahman
(2009) bahwa PAD di kabupaten dan kota se Sulawesi Tenggara mengalami
peningkatan yang cukup tinggi di era otonomi. Hal ini tentu saja mendorong
naiknya belanja daerah sebagaimana ditunjukan data berikut bahwa pada tahun
2006 realisasi belanja daerah sebesar Rp.561,198 tahun 2007 sebesar
Rp.759,061 dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan hingga mencapai Rp
1.077. 454. Hal ini semestinya dijadikan sebagai peluang bagi Pemerintah
untuk meningkatkan perananya dalam memajukan pembangunan ekonomi
dengan mengalokasikan anggaran secara efesien.
Kebijakan pemerintah dalam hal penggunaan anggaran dapat
mempengaruhi aktivitas ekonomi secara umum, karena belanja
pemerintah dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan
dalam proses pembangunan, dan juga merupakan salah satu komponen
dari permintaan agregat yang kenaikannya akan mendorong produksi
domestik regional bruto (PDRB) yang menjadi ukuran dari
pembangunan ekonomi karena merupakan nilai dari output (barang &
jasa) yang diproduksi di suatu daerah pada periode tertentu. Selama
beberapa tahun terakhir tampak terlihat PDRB Sulawesi Tenggara
mengalami kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata diatas 7% persen
pertahun dimana pada tahun 2006 PDRB Sultra atas dasar harga konstan
2000 sebesar 8.643.330,06 dan pada tahun 2007 naik lagi menjadi
9.331.719,95 bahkan pada tahun 2010 mencapai 12.226.376,73 dimana
pada tahun ini juga belanja pemerintah cukup tinggi yakni sebesar
1.320.577,08.
Kenaikan PDRB Sultra selama beberapa tahun terakhir belum
dapat dipastikan bahwa itu dipengaruhi oleh belanja pemerintah yang
juga mengalami kenaikan karena variabel pembentuk besaran PDRB
tidak hanya belanja daerah melainkan ada variabel-variabel lain seperti
tingkat investasi, konsumsi masyarakat dan swsata, serta aktivitas
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
42
perdagangan internasional (net eksport) yang juga turut berperan dalam
membentuk PDRB. Belanja daerah merupakan variabel yang memilki
karasteristik yang menarik karena meskipun besaran volumenya
bertambah namun tidak dapat dijadikan jaminan bahwa perananya
dalam membentuk PDRB
akan meningkat sebagaimana yang
dinyatakan dalam Jamzani (2007) bahwa gambaran pengeluaran publik
(belanja daerah), yaitu infrastruktur fisik atau human capital, dapat
mempertinggi pertumbuhan tetapi keuangan khususnya pengeluaran
dapat memperlambat pertumbuhan (because of disincentif effect).
Pemerintah dapat menggunakan kapasistasnya sebagai penentu
besaran alokasi anggaran untuk membuat kebijakan terkait dengan
persoalan fiskal agar belanja daerah memilki peranan yang besar dalam
pembangunan ekonomi mengingat disincentif effect ditentukanoleh
trade-off antara pengeluaran publik yang produktif dan effects pajak
yang bersifat distorsif (disrtortionary) selain itu besaran pengaruh
belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi dapat dibentuk dengan
mengalokasikan anggaran yang besar untuk sektor publik bahwa.
Termasuk ketentuan mengenai barang publik dan infrastruktur, jasa
sosial dan target intervensi, Lin (1994) dalam jamzani (2007). Selain itu
Wibisono (2003) dalam Deddy (2008) di jelaskan pertumbuhan PDRB,
sebagai tolak ukur pertumbuhan suatu ekonomi regional juga tidak bisa
lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik.
Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang produktif maka
semakin memperbesar tingkat perekonomian suatu daerah.
Penjelasan diatas membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitin
dengan judul “ Analisis pengaruh belanja daerah terhadap Produk Domestik
Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara (2001-2010) “.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teoritis
Belanja daerah (Goverment spending) pada dasarnya terdiri atas
belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin adalah belanja yang
sifatnya terus menerus untuk setiap tahun fiskal dan umunya tidak
menghasilkan wujud fisik (contoh: belanja gaji dan honorarium pegawai),
sementara belanja pembangunan umumnya menghasilkan wujud fisik seperti,
jalan, jalan bebas hambatan (highway), jembatan gedung pengadaan jaringan
listrik dan air minum dan sebagainya. Belanja pembangunan non-fisik
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
43
diantaranya mencakup pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan
keamanan masyarkat (Kesit , 2004).
Komponen APBD merujuk pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada
Pasal 5 dijelaskan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi
terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan
daerahterdiri atas :
1. PAD (Pendapatan Asli Daerah)
Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturandaerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimana
sumber PAD terdiri atas :
a. Pajak daerah
Menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No.
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat 6
adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib
yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa
imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan
daerah.
b. Retribusi daerah
Retribusi daerah terdiri atas tiga jenis yaitu retribusi jasa umum,
retribusi jasa usaha dan retribusi perisinan tertentuseperti izin mendirikan
bangunan, izin tempat penjualan minuman beralkohol, Retribusi izin
gangguan, dan Retribusi izin trayek.
c. Bagian laba badan usaha milik daerah
Bagian laba badan usaha milik daerah ialah bagian keuntungan
atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan
badan usaha milik daerah (BUMD), sedangkan perusahaan derah ialah
perusahaan yang modalnya sebagian atauseluruhnya merupakan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
d. Lain-lain PAD yang Sah
Lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan selain yag disebutkan
di atas tetapi sah menurut hukum perundang-undangan. Penerimaan ini
mencakup hasil penjulan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan,
penerimaan sewarumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik
daerah, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, komisi, dan ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan dan atau pengadaan barang atau jasa oleh daerah, serta
penerimaan lain-lain yang sah menurut undang-undang.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
44
2. Dana Perimbangan.
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk menandai kebutuhan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan setiap tahun anggaran
dalam APBN. Dana perimbangan terdiri dari atas:
a. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yangdialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase
untuk menandaikebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana bagi hasil didasarkan atas pajak dan sumber daya
alam, yang berasal dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea perhotelan atas hak tanah, dan bangunan (BPHTB), dan pajak
penghasilan (PPh), pajak orang peribadi dalam negri. Dana bagi hasil
yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangana minyak bumi, gas bumi
dan pertambangan panas bumi.
b. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang di alokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antara daerah untuk membiayai pengeluarannya
dalam rangka desentralisasi. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar
celah fiskal dan alokasi dasar. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan
sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang
ditetapkan dalam APBN.
c. Dana Alokasi khusus (DAK)
Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Daerah penerima
DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10%
dari alokasi DAK.
3.
Pendapatan lain-lain daerah yang sah
Pendapatan daerah lain-lain yang sah merupakan seluruh pendapatan
daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat,
serta lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.Sumber pembiayaan
daerah terdiri terdiri atas:
a. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) merupakan selisih lebih antara
realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode laporan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
45
b.
c.
d.
Penerimaan pinjaman daerah merupakan utang yang timbul dari peristiwa
masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber
daya ekonomi pemerintah.
Dana cadangan daerah adalah dana yang disisihkan umtuk menampung
kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat
dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pencairan dana cadangan
dimaksudkan untuk menutup defisit anggaran pemerintah daerah.
Hasil Penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan estimasi
penerimaan penjualan aset yang dipisahkan adalah perkiraan untuk
membukukan anggaran penerimaan pembiayaan yang berasal dari
penjualan aset daerah yang dipisahkan, misalnya penyertaan modal
pemerintah dan hasil privatisasi perusahaan daerah, yang akan digunakan
untuk menutup defisit anggaran selama tahun periode berjalan sesuai
dengan peraturan daerah mengenai APBD.
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan mengenai program pengeluaran
dan pajak pemerintah (Samuelson dan Nordhaus, 2001) atau dengan kata lain
kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur mengenai keuangan
daerah yakni sumber dana dan belanja daerah.
Belanja daerah merupakan salah satu variabel makro ekonomi yang
sangat penting dan merupakan bagian dari permintaan agregat sebagaimana
yang dinyatakan dalam (Bradley:2005:276-277) bahwa“Goverment Spending
is a third source of aggregate demmand ,and the four major components of
aggregate demmand are”, belanja pemerintah merupakan sumber ketiga dari
permintaan agregat, dan keempat komponenya antara lain adalah:
C= consumption (konsumsi)
I=Investment (Investasi)
G=Goverment spending (Belanja Pemerintah)
X-M = net exports (export minus imports) / ekspor bersih
Belanja daerah merupakan bagian dari kebijakan fiskal seperti yang
dinyatakan dalam (Bradley:2005:276-279) bahwa fiscal policy the use of
goverment taxes and spending to alter macroeconomics outcomes, (kebijakan
fiskal oleh pemerintah menggunakan pajak dan belanja daerah untuk
mengontrol kegiatan makro ekonomi). Kebijakan fiskal berpengaruh terhadap
pengeluaran yang di rencanakan dan mampu menggeser kurva IS yaitu kurva
mengenai investment dan saving, yang menggambarkan mengenai pasar
barang dan jasa.
Economic growth an increase in output (real GDP); an expansion of
production possibilities (Bradley, 2005:335). Hal ini tidak berbeda dengan
pendapat Samuelson dan Nordhaus (2004:249) pertumbuhan ekonomi
menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional negara.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
46
Sehingga Pertumbuhan ekonomi berasal dari nilai laju pertumbuhan
GDP. pertumbuhan ekonomi yang positif menandakan perekonomian dalam
keadaan ekspansif, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang negatif
menandakan perekonomian dalam keadaan resesi.
Adapun cara untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi pada suatu
daerah yang berdasarkan konsep GDP adalah sebagai berikut:
�t
GDP t −GDP t−1
GDP t−1
× 100%
gt
= pertumbuhan ekonomi pada tahun t
GDPt = adalah besarnya Gross Domestic Product pada tahun ke t
GDPt-1 = besarnya Gross Domestic Product pada tahun ke t-1
Samuelson dan Nordhaus (2004: 250) mennyatakan ada empat faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu :
1.
Sumber daya manusia (penawaran tenaga kerja, pendidikan, disiplin,
motivasi).
2.
Sumber daya alam (tanah, mineral,bahan bakar, kualitas lingkungan).
3.
Pembentukan moda ( mesin, pabrik, jalan).
4.
Teknologi (sains, rekayasa, manajemen, kewirausahaan).
Hubungan ini sering di bahasakan sebagai fungsi produksi aggregat
(aggregate production function / APF ), yang menghubungkan total input dan
teknologi. Secara aljabar APF adalah Q= AF (K, L, R) dengan penjelasan
sebagai berikut:
Q= Output
K= Jasa produktif modal
R= Input simber daya alam
A= Menggambarkan tingkat teknologi
F= Fungsi Produksi
Menurut Amstrong (1993) dalam Parhah (2002) ada dua pendekatan
besar dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pendekatan
pertama adalah pendekatan sisi penawaran (supply side) seperti model Neo
Klasik. Penekanan dari model Neo Klasik adalah menekankan pengaruh dari
faktor-faktor penawaran mendasar seperti misalnya pertumbuhan, angkatan
kerja pertumbuhan stok modal dan perubahan tekonologi. Sedangkan
pendekatan kedua adalah pendekatan dari sisi permintaan (demmand side)
seperti model Export-led. Model ini menekankan pentingnya permintaan
eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi.
Produk
domestik
bruto
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
47
suatu daerah atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB terdiri atas dua jenis yaitu PDRB
atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDRB atas
dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang
dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai
dasar.
Dalam menghitung produk domestik regional bruto digunakan tiga
jenis pendekatan yaitusebagai berikut:
1.
Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang
dihasilkan oleh berbagai unit produksi di sebuah daerah suatu negara dalam
jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam
penyajiannya di kelompokkan men-jadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu:
pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik,gas dan air bersih,
bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa.
2.
Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor
produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka
waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan
gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong
pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDRB
mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung
dikurangi subsidi).
3.
Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari:
pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi
pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan
ekspor netto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan akan
menghasilkan angka yang sama. Jadi jumlah pengeluaran akan sama dengan
jumlah barang dan jasa akhir dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan
untuk faktor-faktor produksi.
B.
Kajian Empiris
Sodik yang meneliti mengenai “Pengeluaran pemerintah Dan
pertumbuhan ekonomi regional: Studi kasus data panel di indonesia”
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
48
berkesimpulan bahwa Selama periode penelitian variabel investasi swasta
tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, sedangkan
pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran
rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. yang
mengindikasikan bahwa pengeluaran pembangunan sangat diperlukan oleh
suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya
sendiri.
Penelitian Aliasuddin yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Dan
Pengeluaran Pemerintah ” menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah akan
mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan
mendorong pertambahan pengeluaran pemerintah. Namun, jika dianalisis
lebih lanjut, respon pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi
adalah negatif dan signifikan dalam jangka pendek. Ini bermakna bahwa
dengan adanya pengeluaran pemerintah maka perekonomian mengalami
peningkatan namun peningkatan perekonomian tersebut tidak diinvestasikan
kembali di Aceh sehingga dampak perekonomian terhadap pengeluaran
pemerintah negatif dalam jangka panjang.
Utami (2007) dalam penelitianya yang berjudul “ Analisis pengaruh
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintah terhadap
pertumbuhan ekonomi di indonesia Periode 1975-2004 “ menyimpulkan
bahwa
baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek variabel
pengeluaran rutin pemerintah mempunyai pengaruh yang negatif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada periode
penelitian pengeluaran rutin pemerintah bersifat tidak produktif dan sebagian
besar didominasi oleh pengeluaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang.
Penelitian Diyah juga
menunjukkan bahwa pengeluaran
pembangunan pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena pengeluaran
pembangunan pemerintah lebih mengarah kepada investasi. Akan tetapi pada
jangka panjang pengaruhnya tidak signifikan karena adanya ketidakefisienan
dalam pelaksanaannya.
Riyanto dan Hermanto dalam penelitianya yang berjudul “ Dampak
dana perimbangan terhadap perekonomian daerah dan pemerataan antar
wilyah “ menemukan bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap
peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah , dan belanja rutin dan
belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap
pereonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara
sebelum dan setelah desentralisasi fiskal di implementasikan.
Abrar yang meniliti mengenai “Pengaruh pendapatan asli daerah dan
belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi Aceh ” memperoleh
hasil analisis bahwa
hubungan belanja pembangunan dengan PDRB
menunjukkan fungsi kuadratik yang perlu diwaspadai posisinya di masa depan
walaupun pada data tahun terakhir telahmenunjukkan kondisi yang puncak.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
49
Jika belanja ini tidak dimanfaatkan kepada kegiatan ekonomi produktif maka
dikhawatirkan akan mengalami dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
III.
METODE PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
time series dengan periode analisis 2001-2010. berupa data belanja
daerah dan Produk Domestik Regional Bruto. Adapun alat analisis yang
digunakan yaitu Regresi Linear Sederhana, dengan persamaan:
Y = b0 + b1 X + e
dimana;
Y = Belanja daerah
X = Produk Domestik Regional Bruto
b0 = konstanta
b1 = parameter
e = error term
Pengujian signifkansi dilakukan dengan membandingkan nilai t-sign
dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0.
Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H 1 atau terima H0.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil estimasi regresi sederhana pengaruh belanja daerah terhadap
Produk Domestik Regional Brtuto di Provinsi Sulawesi Tenggara 2001-2010.
Berdasarkan hasil estimasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1 maka di
peroleh nilai koefisien persamaan regresi yang dapat dituliskan sebagai
sebagai berikut:
Y = 5.251 + 5.268 X
Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, nilai elastisitas koefisien
variabel bebas yang mengandung arti sebagai berikut:
1. Nilai konstanta (b0) = 5.251 yang berarti bahwa ketika belanja daerah
(X) konstan atau tidak mengalami perubahan maka Produk Domestik
Regional Bruto (Y) sebesar RP. 5.251,00 miliar .
2. Koefesien b1 = 5.268 artinya jika belanja daerah(X)mengalami
peningkatan sebesar 1 miliar maka Produk Domestik Regional Bruto
akan meningkat sebesar Rp.5.268 Miliar.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
50
Tabel 1 Hasil Estimasi
Model
Unstandardized
Coefficients
t
Sig.
164207.770
31.976
.000
.217
X1
5.268
Sumber: Data Sekunder, diolah
24.231
.000
B
(constant)
5.251
R
R2
F
Sig
.993a
.987
587.145
.000a
Std. Eror
Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara variabel bebas
yakni belanja daerah (X1) terhadap variabel terikat (Y) yaitu Produk Domesti
Regional Bruto dapat dilihat pada nilai koefisien korelasi dari hasil analisis
diperoleh R sebesar 0.993 yang berarti belanja daerah memiliki pengaruh yang
kuat terhadap Produk Domestik Regional Bruto.
Selanjutnya untuk melihat seberapa besar kontribusi yang ditimbulkan
oleh perubahan belanja daerah dalam menjelaskan perubahan variasi varibel
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilihat pada koefisien
determinasi (R square) yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang dijelaskan
oleh variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen ditentukan oleh
varibel lain diluar model yang turut mempengaruhi PDRB.
Sedangkan utuk melihat pengaruh signifikan antara varibel bebas
terhadap variabel terikat secara parsial, maka dilakukan pengujian dengan
statistik uji t-statistik. Namun Sebelum melakukan pengujian, terlebih dahulu
dirumuskan hipotesis statistiknya yaitu:
H0 : b1 = 0
H0 : b1 ≠ 0
Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t-sign
dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0.
Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H1 atau terima H0. Hasil
analisis data yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat signifikant sebesar 0,00 lebih kecil daripada alpa (α) 0,05 hal ini berarti bahwa tolak H0
dan terimaH1 sehingga dapat dikatakan bahwa belanja daerah secara parsial
berpengaruh signifikan terhadap produk domestik regional bruto di Sulawesi
Tenggara.
Hasil penelitian ini sama atau didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rustiono (2008) bahwa pengeluaran pemerintah menggerakkan
pertumbuhan ekonomi begitupula dengan penelitian Sodik yang menyatakan
bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun
pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional.Hal
di atas sejalan dengan teori makro ekonomi yang menyatakan bahwa belanja
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
51
daerah (pengeluaran pemerintah) berpengaruh terhadap produk domestik
regional bruto (PDRB), begitupula dalam hukum Wagner diungkapkan bahwa
ketika perekonomian mengalami peningkatan maka secara relatif pengeluaran
pemerintah akan mengalami peningkatan karena adanya korelasi positif antara
pengeluaran pemerintah dengan tingkat pendapatan nasional.
Besarnya pengaruh belanja daerah terhadap PDRB terjadi karena
selama periode penelitian belanja daerah terus mengalami peningkatan selain
itu proporsi belanja langsung juga tampak lebih besar dibandingkan dengan
belanja tidak lansung sebagaimana digambarkan dalam gambar dibawah ini.
Gambar 1 Proporsi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung
di Propinsi Sulawesi Tenggara 2001-2010
Belanja Langsung
Belanja Tidak Lansung
707.667,79
677.634,76
612.909,30
602.419,01
471.306,15
475.035,28
446.271,53
343.505,62
302.198,86
270.994,71 287.754,92
260.541,19
235.530,21
163.364,85
145.796,10150.001,57
133.719,52
98.485,92110.959,78
55.687,30
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Belanja langsung memang merupakan komponen belanja yang
diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan sasaran pembangunan
daerah. Namun belanja langsung teridiri atas dua bagian yaitu belanja
langsung non investasi dan belanja langsung investasi, dimana belanja
langsung non investasi merupakan anggaran yang dibutuhkan oleh unit kerja
yang digunakan untuk melaksanakan program/kegiatan tanpa menambah aset,
sedang belanja langsung investasi adalah anggaran yang dibutuhkan oleh unit
kerja yang digunakan untuk melaksanakan program/Kegiatan yang berdampak
pada penambahan aset. Namun di Sulawesi Tenggara komponen belanja
lansung lebih didominasi oleh belanja lansung non investasi yakni belanja
pegawai dan belanja barang dan jasa lebih banyak jumlahnya dibandingkan
dengan belanja modal, sementara belanja modal adalah belanja yang akan
menghasilkan pembangunan fisik.
Selain itu volume belanja daerah yang besar karena pendapatan juga
mengalami kenaikan, namun komposisi pendapatan daerah sangat tidak
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
52
proporsional karena selama beberapa tahun terakhir pendapatan daerah
Sulawesi Tenggara lebih banyak didominasi oleh dana alokasi umum
sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara 2007-2010
Jenis
Pendapatan
DAU
2007
Miliar
%
Rupiah
548,30
67,9
2008
Miliar
%
Rupiah
583,4
59,1
2009
Miliar
%
Rupiah
589,8
57,2
2010
Miliar
%
Rupiah
544,9
45,4
DAK
0,0
0,0
30,8
3,1
56,3
5,5
22,0
1,8
Bagi Hasil
74,6
9,2
62,7
6,4
58,9
5,7
58,9
4,9
PAD
166,7
20,6
305,5
31,0
223,1
21,6
552,3
46
Lain-lain
17,7
2,2
4,2
0,4
102,5
9,9
22,1
1,8
Total
807,2
100
986,5
100
1.030,7
100
1.200,30
100
Sumber: Data Sekunder, Diolah
Data diatas menunjukkan bahwa meskipun pendapatan asli daerah
terus mengalamipeningkatan. namun pendapatan daerah Sulawesi Tenggara
masih lebih banyak lagi yang bersumber dari dana transfer pusat dalam
bentuk dana perimbangan, padahal idealnya pendapatan daerah mestinya
didominasi oleh pendapatan asli daerah yang mana hal ini dapat menunjukkan
kemandirin dalam menciptakan pendapatan, namun kenyataan yang terjadi
menunjukkan bahwa Sultra memiliki ketergantungan yang besar terhadap
pemerintah pusat.Sehingga pengaruh belanja daerah yang besar dalam
membentuk PDRB hanya menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang
terjadi dalam hal ini PDRB Sulawesi Tenggara ditopang oleh tingkat konsumsi
yang tinggi baik dari masyarakat dan pemerintah. Karena presentase belanja
pemerintah lebih banyak yang dikeluarkan untuk belanja pegawai yang
mengindikasikan bahwa masyarkat Sultra yang bekerja sebagai pegawai negri
sipil memperoleh
pendapatan yang dapat mendorong meningkatnya
permintaan, selain itu pemerintah Sulawesi Tenggara juga mengalokasikan
anggaran yang besar untuk belanja pembelian barang dan jasa yang tidak
memiliki dampak lansung terhadap pembanguna fisik, karena merupakan
pengeluaran untuk barang habis pakai.
Idealnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih banyak
untuk belanja modal sebagaimana dijelaskan dalam teori model pembangunan
tentang pengeluaran pemerintah yang terbaik dimana pada tahap awal
pengeluaran pemerintah lebih banyak ditujukan untuk investasi, karena hal ini
sangat berkaitan dengan pembangunan disektor riil misalnya infrastruktur
dasar, Mengingat kondisi infrastruktur diwilayah Sulawesi Tenggara masih
kurang memadai misalnya jalan provinsi dan nasioanal 60 persen dalam
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
53
kategori rusak berat dan ringan selain itu infrastruktur pelabuhan juga masih
kurang memadai karena 50 persen lebih wilayah Sulawesi Tenggara
merupakan perairan.
Hal ini disebabkan karena permintaan barang dan jasa oleh pemerintah
serta pendapatan pegawai yang dibelanjakan tidak memberikan dampak
pengembalian terhadap pembangunan disektor riil, meskipun pengeluaran
belanja pegawai dapat meningkatkan permintaan namun disisi lain barangbarang yang dikonsumsi atau diminta masyarakat Sulawesi Tenggara tidak di
produksi sendiri melainkan dikirim dari daerah-daerah lain yakni sebsar 80
persen komoditas yang dikonsumsi masyarkat Sultra berasal dari luar,
sehingga permintaan masyarakat dan pemerintah tidak mendorong
meningkatnya produksi diwilayah Sultra karenanya tingkat pengangguran
masih saja tinggi, bahkan diperkirakan mencapai 20 persen dari total
penduduk masyarkat Sultra termaksud dalam kategori menganggur.
Hal diatas menjadi alasan mengapa belanja pemerintah yang besar dan
berpengaruh terhada PDRB namun disisi lain masalah sosial eknomi tidak
terselesaikan, karena perekonomian sektor riil tidak mengalami peningkatan,
begitupula dengan alokasi belanja yang sangat tidak proporsional antara
belanja pegawai dan pembangunan sehingga tidak terjadi perbaikan
infrastruktur dasar karena tidak tercipta efek pengembalian atas pengeluaran
pemerintah yang besar, sehingga tujuan pembangunan ekonomi untuk
memberikan standar kehidupan yang lebih baik dan merata bagi masyarakat
Sultra tidak tercapai.
Hal serupa terjadi di daerah Aceh sebagaimana yang diungkapkan
dalam penelitian Aliasuddin (2008) menyatakan bahwa akibat pengeluaran
pemerintah maka perekonomian mengalami peningkatan namun peningkatan
perekonomian tersebut tidak diinvestasikan kembali di Aceh sehingga dampak
perekonomian terhadap pengeluaran pemerintah negatif dalam jangka panjang.
Karena itu pemerintah Sulawesi Tenggara harus benar-benar memperhatikan
proposrsi belanja daerah dalam menentukan kebijakan keungan sehingga
memiliki dampak yang menyeluruh terhadap peningkatan pembangunan
ekonomi dan mengurangi kesenjangan antara masyarakatdemi terwujudnya
kesejahteraan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara.
V.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka diperoleh
kesimpulan bahwa belanja daerah mempunyai pengaruh yang kuat dalam
mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Sulawesi
Tenggara dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0.993. sedangkan kontribusi
belanja daerah terhadap produk domestik regional bruto yaitu koefisien
determinasi (R2) sebesar yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
54
dijelaskan oleh variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen
ditentukan oleh varibel lain diluar model yang turut mempengaruhi Produk
Domestik Regional Bruto.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2004. Undang-Undang Otonomi Daerah , Fokus Media : Bandung.
Abrar ,Muhammad . 2010. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja
Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh . Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Vol. 9,
No. 1 April 2010: 79–88. Universitas
Syiah Kual
Aliasuddin dan Taufiq C. Dawood. 2008. Pertumbuhan Ekonomi Dan
Pengeluaran
Pemerintah. Makalah : Seminar Universitas Syiah
Kuala, Universitas Bengkulu dan Universiti Kebangsaan Malaysia :
Banda Aceh
Bambang Kesip Prakosa. 2004. Analisi Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU)
Dan
Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
Terhdapa Prediksi
Belanja Daerah (Studi Empirik Di Wilayah Provinsi Jawa Tengah
Dan DIY). JAAI volume 8 No. 2.
Etarina. 2005. Disparitas Pendapatan Antaradaerah di Indonesia.Jurnal
Kebijakan Ekonomi
Vol.1, No. 1.
Gujarati, Damador. 1999. Ekonometrika dasar. Erlangga: Jakarta
Mankiw, Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Erlangga : Jakarta
Parhah, Sitti. Kontribusi Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan
(Analisis Data CrossSection Tahun 2002)
Priadi Asmanto dan Soebagyo. 2000. Analisis Pengaruh Kebijakn Moneter
dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga dan
Pertumbuhan Ekonomi Regional Di
Jawa Timur (periode 19952004). Bulletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Vol 9, No.4. Bank
Indonesia
R. Schiller , Bradley .2005. Essentials Of Economics : McGrawHillCompanies, Inc : New
York.
Rahman, Abddul, 2009. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Sebelum
Otonomi Daerah Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten
Dan Kota Se Sulawesi
Tenggara). Skripsi, Universitas Haluoleo,
Kendari.
Samuelson dan Nordaus. 2004. Ilmu Makro Ekonomi. P.T. Media Global
Edukasi : Jakarta
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
55
Satya Azhar, Mhd Karya.2008. Analisis kinerja keuangan pemerintah
Kabupaten/Kota sebelum dan setelah otonomi daerah.Tesis,
Universitas Sumatra Utara, Medan.
Setyawati,Yunita.2006. Analisis kausalitas inflasi dan pertumbuhan ekonomi
(kasus perekonomian indonesia tahun 1994.1 – 2003.4) Dengan
metode error corection model. Skripsi, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta.
Siregar, Hermanto dan Riyanto. 2005. Dampak Dana Perimbangan Terhadap
Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar wilayah. Jurnal
Kebijakan Ekonomi. Vol 1, No. 1.
Universitas Indonesia.
Utami,Diyah.2007.Analisis pengaruh pengeluaran rutin dan Pengeluaran
pembangunan
pemerintah Terhadap pertumbuhan ekonomi di
indonesia Periode 1975-2004. Skripsi
, Insitut Pertanian Bogor,
Bogor.
Waluyo,Joko.2007.Dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi dan
Ketimpangan pendapatan antardaerah di indonesia.
Parallel Session IA: Fiscal
Decentralization : Wisma Makara,
Kampus UI – Depok
Zodik,Jamzani.2000.Pengeluaran pemerintah Dan pertumbuhan ekonomi
regional:Studi kasus data panel di indonesia. Jurnal Ekonomi
Pembangunan Vol. 12 No.1.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
56
Volume VII Tahun 4, Desembaer 2011 hal 57-75
Volume VIII Tahun 4, Desember 2011, hal 57-75
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
MODEL PENYANGGA EKONOMI DI LUAR KAWASAN HUTAN
LINDUNG NANGA-NANGA PAPALIA KOTA KENDARI 1)
Muh. Yani Balaka 2)
ABSTRAK
Penelitian ini betujuan untuk mengurangi penduduk miskin dengan
pengembangan model penyanggga ekonomi pada masyarakat yang berada
disekitar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari.Model
penyangga ekonomi yaitu suatu model yang dibuat berdasarkan pada potensi
SDA dan potensi SDM, kondisi infrastruktur, dan aktivitas kegiatan ekonomi.
Berdasarkan aspek potensi yang ada diwilayah penelitian, rata-rata tingkat
pendidikan sebagian besar tamatan SLTP dan SLTA, infratsruktur sudah
cukup memadai, sedang aktivitas masyarakat umumnya sebagai PNS,
wiraswasta dan bertani, sedang potensi ekonomi yang ada adalah terutama
pada kegiatan sektor peternakan dan perkebunan. Model yang deperlukan
sebagai penyangga ekonomi adalah dengan membentuk kelompok
berdasarkan potensi ekonomi yang ada yaitu kelompok usaha peningkatan
keterampilan seperti pembuatan batu bata (batu merah) hal ini cukup
potensial untuk dikembangkan karena pasar (konsumen) terhadap produk ini
cukup tinggi di Kota Kendari. Kemudian kelompok usaha peternakan dan
kelompok usaha perkebunan perlu dikembangkan sesuai potensi yang ada
saat ini.
Kata Kunci: model penyangga ekonomi
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu sumber daya hutan di Kota Kendari adalah kawasan hutan
Nanga-Nanga Papalia yang menjadi asset sumber daya penting bagi
masyarakat di Kota kendari. Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia
pertama kali ditetapkan pada tahun 1982 melalui surat keputusan menteri
___________________________________________
1)
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Hasil
Penelitian
2)
Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo
57
Pertanian-Kehutanan, kemudian dilakukan tata batas ulang (kedua) pada tahun
1997 dan ditetapkan melalui Tata Guna hutan Kesepakatan (TGHK) Nomor:
426/KPTS-II tahun 1997 dengan luas 6.675 ha yang berada dalam dua wilayah
administrasi yaitu Kabupaten Konawe dan kota Kendari.
Interaksi warga masyarakat desa yang tinggal disekitar kawasan
Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari sudah berlangsung lama.
Akses masyarakat terhadap sumber daya sebagai sumber penghidupan
keluarga sudah menjadi keseharian masyarakat.Sejak Hutan Lindung NangaNanga Papalia ada perselisihan dan konflik kepentingan antara pengelola
Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dengan masyarakat terus berkembang
dan belum menemukan cara-cara penyelesaian masalah yang dianggap paling
tepat. Oleh karena itu sangat mendesak untuk dicarikan solusi yang paling
optimal untuk mencapai win-win solution dalam pengembangan Hutan
Lindung Nanga-Nanga Papalia pada masa yang akan datang.
Paradigma pembangunan kehutanan sekarang ini mengarah pada
kehutanan masyarakat atau yang secara umum dikenal dengan communitybased forest management.Sistem ini menempatkan masyarakat yang berada di
dalam dan sekitar kawasan hutan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan
kawasan hutan tersebut, hal ini sejalan dengan visi pembangunan departemen
kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera.
Mengingat pentingnya kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia
tersebut, maka perlu upaya yang nyata untuk mewujudkan pengelolaan
kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dengan melibatkan masyarakat
sekitar kawasan.Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi akses
masyarakat sekitar kawasan terhadap kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga
Papalia adalah dengan pengembangan model penyangga ekonomi masyarakat
desa disekitar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia, sehingga dengan
semakin sejahteranya masyarakat sekitar kawasan, gangguan atau tekanan
terhadap kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dapat berkurang.
Selain itu perlu pembinaan yang intensif dan terencana agar masyarakat dapat
berpartisipasi dalam upaya pengamanan dan pelestarian kawasan secara
swadaya dan mandiri serta semakin meningkatnya kesadaran akan arti
pentingnya kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia bagi kehidupan
mereka.
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat yang berada di luar Hutan
Lindung Nanga-Nanga Papalia telah menimbulkan ekses negatif terhadap
keberlangsungan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia.Tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan makan sehari-hari oleh penduduk yang berada diluar
kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia menyebabkan mereka berupaya
untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada didalam kawasan Hutan
Lindung Nanga-Nanga Papalia.
Untuk membuat suatu model penyangga ekonomi yang tepat terhadap
masyarakat yang berada dan berbatasan langsung dengan kawasan Hutan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
58
Lindung Nanga-Nanga Papalia, sangat dibutuhkan data yang akurat terhadap
potensi ekonomi, data sosial budaya, kondisi infrastruktur dan data sumber
daya manusia, sehingga langkah dan strategi pengentasan kemiskinan dengan
model penyangga ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau
mengurangi penduduk miskin, sekaligus mengurangi tekanan perambah atau
bahkan mencegah perambahan terhadap kawasan Hutan Lindung NangaNanga Papalia di Kota Kendari
B.
Tujuan
1.
Teridentifikasinya potensi sumber daya alam (SDA) diwilayah
penelitian, potensi sumber daya manusia (SDM) masyarakat didaerah
penelitian, teridensifikasinya kondisi rill infrastruktur pendukung
kegiatan ekonomi, Kegiatan ekonomi saat ini, kondisi social dan budaya
masyarakat disekitar kawasan hutan lindung.
Dibangunnya kesepahaman dengan berbagai stakeholders yang terkait
dengan aktivitas ekonomi dan rencana kegiatan kedepan.
2.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak.Teori
ekonomi mengatakan untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat
dilakukan dengan peningkatan keterampilan sumber daya manusia,
penambahan modal investasi, dan pengembangan teknologi. Melalui berbagai
suntikan maka diharapkan produktivitas akan meningkat. Namun
kenyataannya dalam praktek tidak semudah itu untuk dilakukan atau memutus
lingkaran kemiskinan.
Kemiskinan masih melekat setiap sendi kehidupan manusia, tidak
terkecuali di Indonesia sehingga membutuhkan suatu upaya pengentasan
kemiskinan yang komprehensif, integral dan berkelanjutan.Dalam
menanggulangi kemiskinan dibutuhkan suatu pemikiran dan kerja keras,
karena kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks sehingga banyak aspek
yang mempengaruhinya. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan
mensayaratkan adanya identifikasi mengenai siapa, apa, bagaimana, dimana
dan mengapa ada masyarakat miskin. Identifikasi tersebut dapat dijadikan
sebagai landasan dalam menentukan kebijakan yang paling sesuai untuk
menanggulangi masalah kemiskinan.
Menurut Max Neef dalam Zikrullah (2000), sekurang-kurangnya ada
enam macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh
perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu: (a) Kemiskinan subsistensi,
pengahasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih
mahal; (b) kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
59
pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak
pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal
buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya
kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan;
(d) kemiskinan partisipatif, tidak ada akses dan control atas proses
pengambilan keputusan yang mnyangkut nasib diri dan komonitas; (e)
kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok social,
terfragmentasi; (f) kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak
aman baik ditingkat pribadi maupun komonitas.
Selanjutnya Nurhetali mengutip hasil penelitian dari Bank Dunia
(2000) dalam Muchtar (2006), yang menyatakan, bahwa orang miskin
mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal
yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan,
konsumsi, pendidikan, dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan factor
psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlessness)
sertapengucilan fisik dan social sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian
secara jelas terlihat bagi orang, kelompok, komonitas, masyarakat miskin,
ternyata peningktan pendapatan bukanlah satu-satunya yang amat penting,
tetapi perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan suatu
hal yang amat bernilai.
Untuk lebih menfokuskan tujuan penanggulangan kemiskinan maka
data penduduk miskin perlu dikelompokkan kedalam kelompok usia
(Sumodiningrat, 2003). dapat dijelaskan bahwa upaya pengentasan
kemiskinan, tidak hanya diperankan oleh pemerintah, akan tetapi juga
diharapkan adanya peran dari pihak swasta atau lembaga keuangan dalam
upaya pengentasan kemiskinan. Peran pihak swasta atau lembaga lain sperti
lembaga keuangan atau lembaga perguruan tinggi dalam memberikan
pendampingan dan peningkatan kapasitas penduduk miskin terutama ditujukan
pada kelompok umur 15 – 55 tahun, hal tersebut dimaksudkan agar
keterlibatan pihak ketiga dalam upaya pengentasan kemiskinan lebih
menfokuskan pada upaya pemberdayaan penduduk miskin untuk
meningkatkan produktivitasnya dan pendapatannya, misalnya dengan
memberdayakan penduduk miskin dalam bentuk pemberian bantuan keuangan
mikro, dan bantuan pendampingan atas kegiatan yang dilakukan.
Disamping perhatian terhadap pengelompokkan umur, juga yang
sangat penting adalah potensi yang ada didaerah dimana penduduk miskin
tersebut berada. Artinya bahwa program pemberdayaan yang diberikan kepada
mereka sudah seharusnya memperhatikan potensi ekonomi yang dimiliki
diwilayah dimana mereka berada, sebagai contoh jika penduduk miskin berada
di didesa dengan potensi pohon bambu yang cukup melimpah, maka sebaiknya
pemberdayaan diarahkan pada pemanfaatan pohon bambu tersebut, dengan
memberikan keterampilan guna menciptakan berbagai karya seni dan peralan
yang terbuat dari pohon bambu.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
60
Robinson (2001), memandang bahwa penanganan penduduk miskin
harus dibedakan berdasarkan kondisi ekonomi penduduk miskin. Bahwa
penduduk yang sangat miskin (extremely poor) adalah kelompok yang berada
dibawah garis kemiskinan. Kepada mereka ini sebaiknya diberikan bantuan
program subsidi pangan, kesehatan, makanan, dan penyedian lapangan kerja,
hal tersebut disebabkan pada kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang
tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengembangkan diri.
Penduduk miskin yang memiliki aktivitas ekonomi (economically
active poor) adalah penduduk miskin yang berada sedikit diatas pada garis
kemiskinan atau yang rentan terhadap kemiskinan, kepada mereka ini tepat
untuk diberikan berbagai bentu-bentuk pemberdayaan ekonomi yang sesuai
dengan potensi ekonomi yang dimilikinya dan potensi ekonomi dimana
mereka berada. Kelompok penduduk miskin ini diharapkan mereka dapat atau
mampu meningkatkan pendapatannya sehingga terlepas dari kemiskinan dan
bahkan jika perlu mereka mampu meningkatkan usahanya sehingga
menciptakan lapangan pekerjaan bagi sebagian masyarakat yang masih miskin.
Pada dasarnya kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu kebijaksanaan yang tidak langsung diarahkan
untuk menanggulangi kemiskinan dan kebijaksanaan yang langsung ditujukan
untuk menanggulangi kemiskinan (Prayitno dan Saloso, 1997).
Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang
menjamin setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Kondisi yang dimaksud
antara lain adalah suasana sosial politik yang tenteram, ekonomi yang stabil
dan budaya yang berkembang. Upaya pengelolaan ekonomi makro yang
berhati-hati melalui kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan
bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan. Pengendalian inflasi
merupakan bagian penciptaan kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan
dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan dengan
harga terjangkau oleh penduduk miskin.
Kebijaksanaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta dan
produktivitas sumber daya manusia, khusus untuk golongan masyarakat yang
berpendapatan rendah, melalui pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan,
sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan, serta pengembangan kegiatan
sosial ekonomi yang berkelanjutan untuk mendorong kemandirian golongan
masyarakat berpendapatan rendah.
Dalam kerangka pengentasan kemiskinan, sasaran utamanya adalah
bagaimana mningkatkan pendapatan penduduk miskin, sehingga mereka
trlepas dari lingkaran kemiskinan, namun tentunya efektivitas dari suatu upaya
pengentasan kemiskinan perlu mempertimbangkan fokus yang akan diberikan
bantuan/diberdayakan sehingga hasilnya bisa optimal. Sebagai contoh
dikemukakan upaya pengentasan dengan jelas langkah yang akan dilakukan,
siapa sasarannya dan tujuan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
61
III. METODE PENELITIAN
A.
Objek Penelitian
Objek penelitian/kegiatan adalah masyarakat desa yang berada atau
berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia, di
Kota Kendari.
B. Lokasi Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 3 kelurahan pada 3 yaitu
Kecamatan Poasia, kecamatan kambu, dan kecamatan baruga. Kelurahan
tersebut merupakan desa yang secara langsung berbatasan dengan kawasan
hutan lindung nanga-nanga papalia Kota Kendari. kelurahan tertebut:
Kelurahan Mokoau, Kelurahan Anduonohu, dan Kelurahan Baruga
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data
sekunder bersumber dari kantor kelurahan, kantor kecamatan, Dinas
Kehutanan dan Lingkungan Hidup kota Kendari, dan dari berbagai terbitan
lembaga yang terkait dengan kebutuhan data sekunder berupa data potensi
ekonomi desa, fasilitas infrastruktur, potensi sumber daya alam, kondisi
sumber daya manusia masyarakat, dan jenis pemberdayaan yang telah dan
sedang dilaksanakan.
Data primer diporoleh secara langsung dari masyarakat, berupa data
kondisi ekonomi keluarga, sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan,
jenis kegiatan/usaha yang sedang dilaksanakan, tingkat pendidikan formal dan
nonformal kondisis sosial budaya. Data-data tersebut diporoleh dan akan
dijadikan dasar dalam melakukan langkah selanjutnya dalam pembentukan
kelompok-kelompok kegiatan atau pemberdayaan masyarakat.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berada di 3
kelurahan yang menjadi tempat dilaksnakannya kegiatan. Sampel data primer
penelitian dipilih dengan tehnik cluster random sampling, selanjutnya akan
menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan.
E.
Metode Pelaksanaan Kegiatan
Data sekunder akan dikumpulkan dengan cara dokumentasi yaitu data
yang bersumber dari berbagai lembaga atau terbitan yang sesuai data
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
62
dibutuhkan dan pengambilan foto-foto kegiatan dilapangan, akan dijadikan
sebagai dasar pertimbangan dalam membangun kespahaman dan dalam
menyusun rencana kedepan.
Data primer akan dikumpulkan dengan survey yaitu melalui obesrvasi
langsung untuk mengungkap fenomena yang ada dan tidak didapat dalam
wawancara. Wawancara langsung dengan pertanyaan terbuka dan tertutup
kepada masyarakat, mengenai potensi sumber daya manusia, dan sumber daya
alam yang ada di desa rencana pelaksanaan aksi kegiatan, akan dijadikan dasar
dalam mebuat kelompok-kelompok kerja dimasyarakat sehingga pembentukan
kelompok-kelompok tersebut benar-benar sesuai dengan kondisi di kelurahan
yang dijadikan objek rencana kegiatan.
F.
Analisis Data
Analisis deskriptif untuk memberikan gambaran terhadap data yang
telah dikumpulkan, baik pada data sekunder maupun pada data primer.Ada
tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan – catatan
dilapangan.
Sedangkan penyajian data adalah kegiatan penyajian sekumpulan
informasi dalam bentuk teks naratif, yang dibantu dengan metric, grafik, table,
dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap
informasi yang diporoleh.Dan penarikan kesimpulan adalah mencari arti, polapolapenjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi,
sehingga data-data yang ada teruji validitasnya.
IV.
HASIL PENELITIAN
A.
Kondisi Social Ekonomi Masyarakat yang Berada Di Sekitara
Kawasan (Buffer Zone).
Awalnya interaksi ini berjalan serasi dan masih dalam batas tolerasi
antara kebutuhan pembukaan lahan dan daya dukung kawasan. Akan tetapi
dalam perkembangan waktu, pertumbuhan dan perkembangan penduduk mulai
menjadi masalah, kebutuhan akan ruang tempat tinggal dan lahan usaha
pertanian semakin tinggi.
Kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan pangan juga menjadi meningkat
tajam, sehingga membawa dampak langsung terhadap kondisi kawasankawasan hutan. Disisi lain bahwa perkembangan pembangunan di pusat-pusat
Kota Kendari telah memberikan implikasi meningkatnya eksploitasi terhadap
sumber daya hutan di kawasan hutan Nanga-nanga Papalia.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
63
Masyarakat yang hidup disekitar kawasan (buffer zone) mulai
mengalihkan perhatian terhadap kawasan hutan, dengan membuka lahan
pertanian baru, memgolah SDA yang tersedia disepanjang aliran sungai.
Kondisi ini meningkat pesat takkala permintaan komoditi bahan baku sebagai
pendukung utama pembangunan fisik di perkotaan meningkat tajam. Kayu
olahan, sampai kayu tingkat semai mulai dijadikan bahan penting.Konsep
permintaan dan penawaran mulai berlaku. Selain itu permintaan akan bahan
bangunan batu dan pasir sampai tanah galain mulai meningkat tajam.
Tekanan lainnya datang dari migrasi penduduk kota ynag tinggi
bergeser pada lahan-lahan disekitar kawasan yang hampir diluar pengawasan
berarti. Pendudukan dalam kawasan mulai terjadi secara pasti, dimulai dari
tahap pembukaan kebun campuran dan tanaman semusim.Kondisi ini banyak
dijumpai di kelurahan Anduonohu dan Kelurahan Rahandauna.
B. Kelurahan Mokoau Kecamatan Kambu
1.
Potensi dan sumber daya
Kelurahan Mokoau merupakan salah satu Kelurahan yang secara
lansung berbatasan dengan Hutan Lindung Nanga-nanga dengan jumlah
penduduk sebesar 2.691 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 1.412 jiwa
dan perempuan sebanyak 1.279 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebesar
614 kk (sumber; Kantor Kelurahan Mokoau, 2011).
Kelurah Mokoau terdiri dari 4 RW dan 8 RT dan berada pada sebelah
selatan wilayah Kecamatan Kambu dengan sarana transportasi yang digunakan
masyarakat dalam kegiatan sehari-hari adalah angkutan umum dan angkutan
ojek. Secara geografis Kelurahan Mokoau merupakan dataran rendah dengan
ketinggian rata-rata 5 meter diatas permukaan air laut dengan luas wilayah
Kelurahan Mokoau seluas 1.150 Ha atau 21.50% dari luas wilayah Kota
kendari.
Masyarakat yang ada di kelurahan ini sebagian besar masih memiliki
tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Namun demikian pendidikan yang
terbatas tersebut tidak menjadi hambatan dalam menggeluti bidang atau
aktivitas kesehariannya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika dilihat
tingkat pendidikan masyarakat yang ada di kelurahan ini, tergambar bahwa
masyarakat yang berpendidikan SLTA masih lebih dominan dibandingkan
dengan tingkat pendidikan lainnnya.
Jika dilihat dari aspek pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat di
Kelurahan Mokoau umunya adalah bekerja di kantor baik pemerintahan
maupun swasta, meskipun juga beberapa orang mengeluti kegiatan sebagai
petani dan pekerja bangunan serta buruh dan wiraswasta. Untuk lebih jelasnya
tergambar dalam Gambar 1.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
64
Gambar 1. Status Pekerjaan Masyarakat Kelurahan Mokoau
376
400
300
200
100
0
196
103
5
79 78 43
30
105
85
2 7 6
27 15
20
Sumber: Kelurahan Mokoau, 2010
Walaupun sebagian besar masyarakat Kelurah Mokoau berkerja
sebagai pegawai dikantor baik pemerintahan maupun swasta, akan tetapi untuk
RW dan RT yang berada atau berbatasan langsung dengan Hutan Lindung
Nanga-Nanga adalah mayoritas sebagai petani. Sehingga diperlukan suatu
strategi untuk pengembangan ekonomi masyarakat yang berada atau
berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga tersebut.
2. Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Mokoau
Sebanyak 1.320 atau 49 persen masyarkat di Kelurah Mokoau bekerja
selain pegawai kantor baik pemerintah maupun swasta, dimana 49% ini
berprofesi sebagai petani, tukang kayu, tukang batu, sopir mobil, buruh,
tukang ojek, pedagang dan lainnya. Dengan jumlah masyarkat yang relative
sebanding dengan masyarakat yang bekerja di kantor tentu banyak masyarakat
yang tidak mempunyai pendapatan atau penghasilan yang tetap dan terbatas
sehingga dibutuhkan strategi yang tepat oleh berbagai pihak terkait dalam
pemberdayaan ekonomi masyarakat, sehingga taraf hidup masyarakat yang
tidak mempunyai penghasil tetap dan terbatas dapat meningkat.
Berikut ini adalah potensi-potensi ekonomi yang ada di Kelurahan
Mokoau adalah sebagai berikut;
a.
Peternakan
Secara umum ternak yang dikembangkan oleh masyarakat
di Kelurahan Mokoau adalah ayam dan kambing, berikut adalah
jumlah populasi dan jumlah pemilik dapat dilihat pada Tabel 1.
Kepemilikan ternak bagi masyarakat Kelurahan Mokoau sangat
membantu bagi masyarakat guna meningkatkan pendapatannya.
Umumnya peternak menjual hasil ternaknya langsung kepasarJurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
65
pasar yang berada di Kota Kendari, hal ini cukup memudahkan
masyarakat dalam memasarkan hasil-hasil ternak. Sehingga
pengembangan usaha ternak ini sangat potensial untuk dilakukan,
mengingat kebutuhan akan daging ayam dan kambing di Kota
Kendari sangat tinggi.
Tabel 1 Kepemilikan Ternak di Kelurahan Mokoau Kecamatan Kambu
Jumlah Pemilik Ternak
(Orang)
Jenis Ternak
Jumlah Ternak
(Ekor)
85
Ayam
1750
4
Kambing
50
Sumber: Kelurahan Mokoau, 2011
b.
Perkebunan
Tanaman perkebunan yang mayoritas dikembangkan oleh
masyarakat di Kelurahan Mokoau adalah jambu mente, rambutan, durian,
sagu dan lada.Hal ini juga sangat potensial untuk dikembangkan
dikarenakan ditunjang oleh areal perkebunan yang luas serta tingkat
kesesuaian tanaman tersebut dengan keadaan alam serta kesuburan tanah
relative baik.
c.
Pertanian (tanaman pangan)
Areal pertanian di Kelurahan Mokoau sangat mendukung untuk
dikembangkan sebagai kawasan pusat tanaman palawija dan holtikultura
yang berbasis kearifan local yang telah dimiliki oleh masyarakat
Kelurahan Mokoau sejak dahulu kala.Selain itu kawasan Kelurahan
Mokoau memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat baik sehingga
memungkinkan tanaman pertanian khususnya tanaman palawija dan
sayuran.
3. Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Mokoau
Infrastruktur yang di Kelurah Mokoau relative cukup baik dan
tersedia, hal ini dapat dilihat dari permukaan jalan yang diaspal, dimana jalan
utama/jalan raya seluruhnya sudah diaspal dan sebagian jalan sekunder juga
sudah diaspal. Disamping itu seluruh wilayah di kelurahan ini tersedia listrik
sehingga masyarakat dapat menikmati, air bersih juga cukup tersedia dimana
selain terdapat PDAM masyarakat juga menggunakan air sumur gali dan bor.
Hal lain tentang infrastruktur seperti pasar tradisional, walaupun pasar
tradisional tidak terdapat dikelurahan ini akan tetapi terdapat dikelurahan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
66
tetanga disamping itu took-toko yang menjual kebutuhan masyarakat cukup
tersedia. Komunikasi juga sangat lancer dimana seluruh wilayah kelurahan ini
dijangkau oleh signal seperti telkomsel, indosat, exel, dll.
C.
Kelurahan Baruga Kecamatan Baruga
1.
Potensi dan Sumberdaya
Kelurahan Baruga merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari
yang bersebelahan atau berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Lindung
Nanga-Nanga, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.473 jiwa.
Kelurahan Baruga mempunyai masyarakat yang sebagian besar
berada pada usia yang masih produktif. Berikut ini adalah grafik tentang
pembagian jumlah penduduk berdasarkan umur, dimana pada grafik ini
menunjukkan bahwa masyarakat di Kelurahan Baruga sebagian besar umum
berumur antara 15 – 56 tahun sedangkan yang paling sedikit bayi yaitu umur
0-12 bulan (1 tahun) .
Tingkat pendidikan masyarkat di Kelurahan Baruga menunjukkan
bahwa sebagaian besar adalah tamat SD dan SLTP, hal ini tentu
mempengaruhi cara kerja masyarakat Kelurahan Baruga dalam memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Dengan pendidikan yang cukup tentunya akan
mempengaruhi tingkat penerimaan dan tingkat pemahaman mereka terhadap
kemajuan informasi maupun dalam menyerap teknologi yang lebih baik
terhadap penduduk diKelurahan tersebut. Berikut adalah gambaran tentang
jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.
Gambar 2 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kelurahan Baruga
1390
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
1152
948
394
189
87
241
81
Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011
Dengan pendidikan masyarakat yang mayoritas berada pada tamat SD
dan SLTP hal ini dapat digolongkan atau dikatakan pendidikan masyarakat di
Kelurahan Baruga Kecamatan Baruga sebagian besar masih terbatas atau
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
67
rendah. Sehingga pekerjaan masyarakat di Kelurahan Baruga juga sebagian
besar adalah bertani sedangkan yang paling sedikit adalah sebagai peternak.
Untuk lebih jelas jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan yang
digeluti dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Jenis Pekerjaan Masyarakat di Kelurahan Baruga
800
600
400
200
0
662
312
214
52
227
141 145
12
8
Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011
Disamping karena tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah
juga karena didukung oleh lahan yang masih sangat luas, baik untuk lahan
persawahan maupun lahan perkebunan atau ladang. Walaupun demikian
banyak masyarakat di Kelurahan Baruga ini yang tidak mengantungkan diri
pada satu jenis kegiatan pekerjaan, sebab untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mereka melakukan pekerjaan tambahan, misalnya sebagai petani,
tetapi terkadang juga mereka bisa mengerjakan sebagai tukang kayu atau
tukang batu. Kondisi tersebut dilakukan ketika mereka sudah panen atau pada
masa menunggu waktu untuk panen.
2.
Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Baruga
Kelurahan Baruga merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari
yang masih memiliki lahan persawahan dan perkebunan yang luas. Hal
disebabkan sebagian besar wilayah kelurahan ini berada di pinggiran Kota
Kendari, sehingga lahan-lahan tersebut masih berfungsi sebagai kebun dan
persawahan masyarakat.Beriku ini adalah jumlah yang ada di Kelurahan
Baruga.
Jika dilihat dari luas kepemilikan lahan lahan pertanian penduduk
diKelurahan Baruga maka lahan persawahan merupakan lahan yang paling
luas yaitu 1.700 hektar atau 30 persen persen wilayah kelurahan ini adalah
persawahan dan 1.300 hekar atau 23 persen lahan untuk pertanian/perkebunan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
68
Adapun hasil-hasil pertanian yang ada di Kelurahan Baruga sangat beragam,
seperti jambu mente, kelapa, tanaman palawija. Hasil-hasil pertania tersebut
dipasarkan di Kota Kendari, hal ini cukup memudahkan petani dalam menjual
atau memasarkan hasil produksi yang dihasilkan. Disamping dipasarkan
langsung juga terkadang di jemput oleh pembeli/pengumpul di kelurahan.
Disamping persawahan dan perkebunan, peternakan juga cukup
potensial dikembangkan didaerah ini, hal didukung oleh lahan yang masih luas
dan kondisi geografis yang dekat dengan pasar dan ketersedian lahan.
Walaupun jumlah peternak masih sangat sedikit akan tetapi di kelurahan ini
terdapat beberapa peternak ayam petelur dan ras. Sehingga walaupun peternak
masih sedikit tetapi para peternak tersebut telah memiliki omset yang cukup
banyak.
Hal lain tentang potensi ekonomi yang ada di Kelurahan Baruga dapat
dilihat dari sisi kelembagaan ekonomi masyarakat pada grafik berikut, yakni
usaha perdagangan merupakan usaha yang paling banyak dilakukan oleh
masyarakat warung makan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kelembagaan Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Baruga
140
120
100
80
60
40
20
0
Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011
3.
Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Baruga
Fasilitas infrastruktur di Kelurahan Baruga cukup baik, dimana akses
jalan diseluruh wilayah kelurahan sudah dapat dilalui dengan baik, walaupun
belum semua permukaan jalan di kelurahan ini di aspal, khusus di RW 3
wilayah kelurahan yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung NangaNanga masih tahap pengerasan. Sehingga bila musim hujan permukaan jalan
tersebut menjadi licin dan berlumpur, hal ini tentu akses jalan kewilayah
tersebut menjadi lambat.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
69
Fasilitas lain seperti listrik sudah tersedia diseluruh wilayah kelurahan
kecuali wilayah yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung NangaNanga yaitu RW 3, dimana fasilitas listrik dari Perusahaan Listrik Negara
(PLN) belum ada, sehingga masyarakat masih mengandalkan listrik milik
sendiri seperti generator untuk penerangan dan lampu pelita. Fasilitas lain
yang tersedia adalah pasar, dimana dikelurahan ini terdapat pasar tradisional
yang dijadikan pembeli dan penjual melakukan transaksi kebutuhan seharihari. Pasar tersebut dibuka setiap hari mulai pagi sampai sore hari.Hal ini
cukup memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi
untuk kebutuhan sehari-hari.
D.
Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia
1.
Potensi dan sumber daya
Kelurahan Anduonohu merupakan salah satu kelurahan di Kota
Kendari yang bersebelahan atau berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan
Lindung Nanga-Nanga, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 7.865 jiwa
dengan jumlah Kepala Kelurga (KK) 1.683 dan terdiri 3.823 laki-laki dan
4.042 perempuan.
Tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Anduonohu sebagaian
besar adalah tamat SLTP, SLTA dan SD, hal ini tentu mempengaruhi cara
kerja masyarakat Kelurahan Anduonohu dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Dengan pendidikan yang cukup tentunya akan mempengaruhi tingkat
penerimaan dan tingkat pemahaman mereka terhadap kemajuan informasi
maupun dalam menyerap teknologi yang lebih baik terhadap penduduk di
Kelurahan tersebut.
Dengan pendidikan masyarakat yang mayoritas berada pada tamat
SLTP yaitu 2.451 atau 31 persen, SLTA 1.498 atau 19 persen dan SD 1.290
atau 16.4 persen hal ini dapat digolongkan atau dikatakan pendidikan
masyarakat di Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia sebagian besar masih
terbatas atau rendah. Sehingga pekerjaan masyarakat di Kelurahan Anduonohu
juga sebagian besar adalah bertani dan menjadi buruh. Untuk lebih jelas
jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti dapat dilihat
pada Gambar 5. Menjadi petani sebagai sumber mata pencaharian masyarakat
di karenakan pendidikan yang sangat terbatas dan juga karena masyarakat
tidak mempunyai keahlian lain. Dimana bertani merupakan pekerjaan yang
sudah turun temurun dilakukan. Hal lain karena didukung oleh lahan yang
masih sangat luas, baik untuk lahan perkebunan atau ladang.
Akan tetapi masyarakat di Kelurahan Anduonohu juga banyak yang
berprofesi ganda yaitu disamping menjadi petani juga menjadi tukang batu,
tukang kayu atau tukang ojek khusus pada waktu-waktu menunggu panen atau
setelah menanam ataupun ketika kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
70
berladang atau berekebun. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam
mendapatkan tambahan atau sumber-sumber pendapatan lain.
Gambar 5 Jenis Pekerjaan Masyarakat di Kelurahan Anduonohu
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
1265
312 254
95
142
241
39
345
227 209
12
95
Sumber ; Kantor Kelurahan Anduonohu, diolah, 2011
2.
Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Anduonohu
Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia merupakan salah satu
kelurahan di Kota Kendari yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung
Nanga-Nanga, wilayah kelurahan yang berada disekitar kawasan tersebut
merupakan daerah yang masih berfungsi sebagai sumber mata pencaharian
masyarakat kelurahan, dimana daerah ini masih menjadi daerah perkebunan
masyarakat dan ladang serta persawahan
Jika dilihat dari luas kepemilikan lahan, lahan perkebunan merupakan
lahan yang paling luas yaitu 641 hektar atau 73 persen persen wilayah
kelurahan ini adalah perkebunan masyarakat dan 90 hektar atau 10.2 persen
lahan untuk empang.
Potensi ekonomi lain yang terdapat di Kelurahan Anduonohu adalah
peternakan, dimana lahan yang tersedia di kelurahan ini cukup potensial untuk
dikembangkan berbagai ternak, seperti kambing, sapi, dan ayam atau itik.
Pengembangan ternak ini sangat didukung oleh kondisi alam dan cuaca yang
mendukung. Kemudian perdagangan dan jasa juga sangat potensial untuk
dikembangkan karena jumlah penduduk yang cukup banyak tentu merupakan
pasar yang sangat potensial.
Dengan semakin majunya Kelurahan Anduonohu tentu akan
menyuburkan perkembangan usaha perdagangan dan jasa, sehingga bila usaha
perdagang dan jasa dapat dikembangkan maka akan memberikan dampak yang
cukup signifikan terhadap ekonomi masyarakat di Kelurahan Anduonohu.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
71
Selanjutnya usaha home industri juga cukup mendukung untuk dikembangkan,
hal ini dukung oleh masyarakat yang cukup banyak dan dapat dilatih untuk
memperoleh keterampilan yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai sumber
mata pencaharian.
3.
Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Anduonohu
Fasilitas infrastruktur di Kelurahan Anduonohu cukup baik, dimana
akses jalan diseluruh wilayah kelurahan sudah dapat dilalui dengan baik,
walaupun belum semua permukaan jalan di kelurahan ini di aspal, khususnya
jalan-jalan menuju perkebunan masyarakat atau yang berbatasan langsung
dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga masih tahap pengerasan. Sehingga bila
musim hujan permukaan jalan tersebut menjadi licin dan berlumpur, hal ini
tentu akses jalan kewilayah tersebut menjadi lambat.
Fasilitas lain seperti listrik sudah tersedia diseluruh wilayah kelurahan
dan untuk jangkauan telekomunikasi juga sangat baik, dimana dijangkau oleh
berbagai provider kartu gsm. Fasilitas lain yang tersedia adalah pasar, dimana
dikelurahan ini terdapat pasar tradisional yang dijadikan pembeli dan penjual
melakukan transaksi kebutuhan sehari-hari. Pasar tersebut dibuka setiap hari
mulai pagi sampai sore hari.Hal ini cukup memberikan kemudahan bagi
masyarakat dalam melakukan transaksi untuk kebutuhan sehari-hari.
E.
Masalah dan Solusi berdasar Participatory Rural Appraisal (PRA)
Ketiga Kelurahan yang menjadi daerah penelitian dapat dikemukakan
bahwa secara umum merupakan daerah yang memiliki tingkat homogenitas
sumber daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur. Kondisi ini terjadi
karena daerah tersebut merupakan perkotaan dimana kota sebagai tempat yang
dijadikan masyarakat dari desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik
(migrasi).
Dari hasil kajian secara langsung dengan menggunakan metode PRA,
ditemukan bahwa umumnya masyarakat masuk ke Kawasan Hutan Lindung
Nanga-Nanga adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama mereka
masuk untuk merambah hutan.Kayu-kayu tersebut digunakan untuk
pembuatan rumah dan bahkan ada yang masuk mengambil kayu dengan tujuan
untuk dijual sebagai tambahan pendapatan.
Perambahan yang dilakukan berkaitan langsung dengan upaya untuk
mengatasi kondisi ekonomi keluarga bagi masyarakat yang berada disekitar
daerah penyangga. Jadi masuk ke kawasan hutan lindung mengambil kayu
baik dengan tujuan untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk dijual . Apa
yang dilakukan sebelumnya dan sekarang ini umumnya masyarakat sudah
menyadari hal tersebut bahkan para tokoh masyarakat maupun kepala
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
72
kelurahan dengan sadar mulai mencari solusi agar warganya tidak lagi masuk
ke kawasan hutan lindung untuk mencari kebutuhan hidup.
Dampak yang timbul dengan adanya rambahan hutan oleh masyarakat
yang berada di sekitar daerah penyangga Hutan Lindung Nanga-Nanga, hutan
semakin gundul dan kebutuhan air untuk konsumsi rumah tangga sudah mulai
dirasakan.
Salah satu solusi yang diperoleh berdasarkan hasil PRA, kepala
kelurahan
mengajak warganya untuk membangun rumah dengan
menggunakan batu lebih efisien dan bisa lebih tahan lama. Dengan cara itu
telah menekan intensitas masyarakat masuk ke kawasan hutan lindung. Solusi
lain yang ada bahwa semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat terutama ativitas yang dapat meningkatkan pendapatan mereka
akan membuat mereka sibuk dengan kegiatannya akhirnya mereka tidak
memiliki waktu untuk masuk ke kawasan hutan lindung sekaligus dapat
mengatasi masalah ekonominya.
Solusi yang dapat mengatasi permasalahan didaerah tersebut perlu
dibuat kelompok usaha yang bertujuan meningkatkan keterampilan penduduk
masyarakat setempat dan untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan cara
tersebut akan menggiring masyarakat kearah yang memberikan aktivitas atau
kesibukan diluar kawasan yang dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga
mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk masuk mencari sumber-sumber
yang bisa memberikan pemasukan keuangan bagi keluarga mereka.
F. Membangun Kesepahaman Dalam Bentuk Pembentukan Kelompok
Kegiatan
Dalam rangka membangun kesepahaman, diawali dengan diskusi awal
dengan para stakeholder, maka disepakati untuk membuat lembaga atau wadah
tempat untuk berdiskusi yang menyangkut permasalahan dan upaya mencari
solusi dalam memperbaiki ekonomi rakyat diwilayah penelitian.
Berdasarkan hasil PRA, maka dapat dibangun kesepahaman diwilayah
penelitian tersebut dimana, untuk mengatasi masalah ekonomi rakyat sekaligus
menekan intensitas masyarakat masuk kewilayah Hutan Lindung NangaNanga, maka perlu dibentuk kelompok usaha yang dibagi dalam kelompok
usaha yang dapat meningkatkan keterampilan dan kelompok usaha
berdasarkan kepemilikan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam yang
ada diwilayah tersebut.
Kelompok usaha peningkatan keterampilan seperti pembuatan batu
bata (batu merah) hal ini cukup potensial untuk dikembangkan karena pasar
(konsumen) terhadap produk ini cukup tinggi, dimana Kota Kendari
merupakan kota yang sedang berkembang sehingga kebutuhan akan property
(perumahan dan ruko) cukup tinggi. Hal lain yang mendukung adalah
ketersediaan bahan baku. Bahan baku untuk pembuatan batu bata ini cukup
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
73
tersedia di ketiga kelurahan. Selanjutnya keterampilan yang dibutuhkan dalam
pembuatan batu bata ini relative tidak membutuhkan keterampilan yang
kompleks (sulit) artinya dapat dipelajari dengan cepat oleh masyarakat.
Pembentukan kelompok berdasarkan kepemilikan lahan dan
kepemilikan ternak, dilakukan sebagai tahap awal untuk masuk pada tingkat
aktivitas yang lebih baik seperti diawali dengan penyuluhan/pelatihan sesuai
kelompok yang terbentuk guna membangun dasar pemahaman dan
pengetahuan sesuai dengan kepemilikan sumber daya ekonomi, kemudian dari
kelompok-kelompok tersebut pada tahap berikutnya akan dibangun kemitraan,
akses kelembaga keuangan mikro, dan intervensi pemerintah.
V.
SIMPULAN
1.
Berdasarkan aspek potensi yang ada diwilyah penelitian, rata-rata
tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SLTP dan SLTA,
infratsruktur sudah cukup memadai, sedang aktivitas masyarakat
umumnya sebagai PNS, wiraswasta dan bertani, sedang potensi
ekonomi yang ada adalah terutama pada kegiatan sektor peternakan dan
perkebunan.
Kelompok usaha peningkatan keterampilan seperti pembuatan batu bata
(batu merah) hal ini cukup potensial untuk dikembangkan karena pasar
(konsumen) terhadap produk ini cukup tinggi, dimana Kota Kendari
merupakan kota yang sedang berkembang sehingga kebutuhan akan
perumahan dan ruko cukup tinggi. Kelompok usaha peternakan dan
kelompok usaha perkebunan perlu dikembangkan sesuai potensi yang
ada saat ini.
Model penyangga ekonomi yang sesuai dengan potensi yang ada yaitu
dengan membentuk kelompok usaha keterampilan dan usaha pertanian
seperti usaha batu bata dan kelompok tani dalam arti luas peternakan
dan perkebunan.
2.
3.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
74
DAFTAR PUSTAKA
Awang, S.A., dkk, 2005, Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional
(kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai), CARE
internasional Indonesia Southeast Sulawesi, Kendari
Gunawan, H., 2005, Model Daerah Penyangga Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Buletin Konservasi Alam, Vol. 5- No 4. Bogor.
Hulme, D., 1997, Impact Assesment Methodologies for Microfinance:
Theory,Experience and Better Practice. Institute for Development
Policy and Management University of Mancester. United Kingdom.
P-4
Muchtar, 2006, Strategi Pemberdayaan Berbasis Kelembagaan Lokal Dalam
Penanganan Kemiskinan Perkotaan, PUSLIT PKS Balatbangsos
Prayitno dan Saloso, 1997, Ekonomi Pembangunan, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta.p-205.
Robinson, Marguiret S., 2001, The Microfinance Revolution: Sustainable
Finance for the Poor. Vol. 1. The World Bank, Washington,
D.C./Open Society Intitute, New York. P-9 and P-21.
Sumodiningrat, G., 2003, Peran lembaga Keuangan Mikro Dalam
Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Kebijkan Otonomi
Daerah. Jurnal Eknomi Rakyat, Artikel Th.II-No.1.
Widada, 2004, Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional
Gunung halimun Bagi masyarakat, Pascasarjana, IPB, Bogor
Zikrullah, Y., 2000, Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Media
Partisipatif-P2KP No. 07
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
75
VolumeVIII
VIIITahun
Tahun
Desember
2011
hal 76-93
Volume
4 ,4,Desember
2011
hal , 76-93
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
PENYUSUNAN RENCANA INDUK (MASTER PLAN)
PENGEMBANGAN UMKM DI KABUPATEN KONAWE UTARA1)
Gamsir2) dan Syamsir Nur3)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran UMKM
(dilihat dalam jumlah dan jenis), mengetahui secara tepat, spesifik, dan
komprehensif peta/potret permasalahan dan kekuatan yang dimiliki oleh pelaku
UMKM serta merumuskan strategi dan program pengembangan yang perlu
dilakukan dalam rangka mengoptimalkan upaya pemberdayaan UMKM di
Kabupaten Konawe Utara. Dalam rangka memperoleh data primer digunakan
metode survey lapangan dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan sumber
sekunder melalui kegiatan studi dokumentasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya meliputi usaha
yang masih besifat informal dan tradisional. Bersifat informal karena umumnya
usaha tersebut belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum,
antara lain: petani penggarap, nelayan, industri rumah tangga, pedagang keliling
dan pedagang kaki lima. Sedangkan bersifat tradisional karena usaha tersebut
relatif masih menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara
turun temurun, dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Selanjutnya faktorfaktor yang secara substansial menjadi kekuatan pelaku usaha serta kekuatan
usaha yang dimiliki dan kendala dalam hal pengembangan UMKM diantaranya
kondisi pelaku usaha (tingkat umur, pendidikan, pengalaman usaha serta tingkat
penggunaan tenaga kerja) aspek permodalan, aspek produksi, aspek pasar dan
aspek program pembinaan/bantuan pengembangan usaha. Adapun strategi
pengembangan UMKM dapat dilakukan melalui pengembangan jenis usaha yang
sesuai dengan potensi daerah setempat serta penguatan modal usaha,
peningkatan kapasitas SDM pelaku UMKM, membangun kemitraan perbankan
dan pengusaha besar, menciptakan iklim usaha yang kondusif, mendorong
pengembangan beragam insentif dan kemudahan lainnya serta promosi produk
yang dihasilkan serta pembangunan, perbaikan dan pengadaan sarana dan
prasarana yang dapat mendukung usaha bagi pelaku ekonomi skala mikro, kecil
dan menengah yang merata pada semua wilayah di Kabupaten Konawe Utara.
Kata kunci: UMKM, permodalan, produksi, pasar, pengembangan usaha
1)
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Hasil
Penelitian
2)
dan 3) Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo
76
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan
berbagai upaya deregulasi sebagai langkah penyesuaian struktural dan
restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir
deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak
keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah (UMKM); bahkan justru
perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi
empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak
dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru
perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang,
yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata
perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995).
Usaha untuk menumbuhkembangkan UMKM/ industri kecil dan rumah
tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, UMKM/IKRT
menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja
umumnya membuat banyak UMKM/IKRT juga intensif dalam menggunakan
sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan,
pertumbuhan UMKM/IKRT akan menimbulkan dampak positif terhadap
peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan
dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan
(Simatupang, et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UMKM/IKRT
jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan
bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung
tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting
IKRT memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan
seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi
pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999).
Kedua, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada khususnya,
tidak bisa digantungkan semata pada pembinaan usaha skala besar, bukan saja
karena alasan bahwa sekitar 99 persen usaha di Sulawesi Tenggara tergolong
UMKM, tetapi juga karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pada saat
krisis ekonomi terjadi, industri besar dengan sifat padat modal, banyak
menggantungkan pembiayaan usahanya pada perbankan, dan bahan baku
sebagian besar adalah komponen impor, ternyata tidak mampu bertahan
menghadapi badai krisis. Industri tersebut satu demi satu rontok akibat
depresiasi rupiah yang sangat tajam sehingga harga bahan baku impor menjadi
relatif mahal. Sebaliknya dengan indistri/usaha yang tergolong UMKM,
ternyata tetap eksis dan tidak banyak terusik oleh gelombang krisis
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
77
Ketiga, fakta di lapangan dan hasil kajian empiris menunjukkan bahwa
UMKM lebih menyentuh dan lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat
Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Tenggara/Kabupaten Konawe Utara
pada khususnya. Pembinaan dan pengembangan UMKM adalah identik
dengan pembinaan dan pengembangan sumber-sumber penghidupan
masyarakat banyak yang „nota bene‟ sangat menggantungkan kehidupan
ekonomi mereka pada kegiatan UMKM di berbagai sektor ekonomi yang ada.
Dengan demikian diharapkan upaya pembinaan dan pengembangan UMKM
secara serius, sistematis, dan konsisten dapat menjawab masalah kemiskinan
dan pengangguran.
Sampai akhir tahun 2008, jumlah UMKM di Sulawesi Tenggara
teridentifikasi sekitar 40.000 unit usaha (Kantor Bank Indonesia Kendari).
Kurang lebih sekitar 5% UMKM tersebut berada di wilayah Kabupaten
Konawe Utara. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sebagian
besar pelaku UMKM adalah rendahnya kemampuan profesional dalam
pengelolaan usaha, terbatasnya akses permodalan, dan rendahnya akses
teknologi dan pasar.
Upaya pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara selama ini
telah ditempuh, namun tentu saja sebagai daerah pemekaran yang masih
sangat baru, sangat dibutuhkan rancangan strategis yang lebih sistematis untuk
mengembangkan UMKM secara optimal dan konsisten. Rancangan strategis
untuk pengembangan UMKM di Konawe Utara sebaiknya diawali dengan
mengetahui/memetakan secara tepat, spesifik, dan komprehensif apa
kelemahan/permasalahan dasar yang dihadapi oleh pelaku UMKM, termasuk
juga memetakan apa kekuatan dan peluang yang dimiliki. Berdasarkan peta
kelemahan/permasalahan dan kekuatan/peluang tersebut, selanjutnya
dirumuskan strategi dan program yang sesuai sehingga upaya pengembangan
yang dilakukan bisa berjalan secara optimal dan konsisten.
Perumusan berbagai strategi, program dan kegiatan yang tidak mengacu pada
pengenalan akar permasalahan yang dihadapi oleh UMKM secara tepat,
diyakini hanya akan melahirkan aktivitas yang tumpang tindih, tambal sulam,
dan akibatnya tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Untuk
itulah maka sangat diperlukan kajian yang komprehensif dalam rangka
mengetahui bagaimana potret/peta permasalahan dan kekuatan dari semua
aspek yang terkait dengan keberadaan UMKM di Konawe Utara, yang akan
dituangkan dalam dokumen rencana induk (master plan) pengembangan
UMKM di Konawe Utara.
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui peta penyebaran
UMKM
(dilihat dalam jumlah dan jenis) pada masing-masing wilayah
kecamatan/desa di Kabupaten Konawe Utara; (2) mengetahui secara tepat,
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
78
spesifik, dan komprehensif peta/potret permasalahan dan kekuatan yang
dimiliki oleh pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara; dan (3)
merumuskan strategi dan program pengembangan yang perlu dilakukan dalam
rangka mengoptimalkan upaya pemberdayaan UMKM di Kabupaten Konawe
Utara.
II.
KAJIAN TEORITIS
Salah satu ciri khas dari ekonomi kerakyatan adalah dominasi dari
usaha-usaha ekonomi berskala kecil. Usaha-usaha ekonomi ini lebih dikenal
dengan sebutan UMKM (usaha mikro kecil dan menengah).Kelompok UMKM
mencakup Usaha Kecil (UK), Industri Kecil (IK) dan Industri Rumah Tangga
(IRT). Undang-undang No. 9/1999 mendefinisikan Usaha Kecil (UK) adalah
suatu unit usaha yang memiliki nilai neto (tidak termasuk tanah dan bangunan)
yang tidak melebihi Rp. 200 juta, atau penjualan per tahun tidak lebih besar
dari Rp. 1 miliar. Menurut BPS (2000), Industri Kecil (IK) adalah unit usaha
dengan jumlah pekerja antara 5-19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan,
Industri Rumah Tangga (IRT) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling
banyak empat orang termasuk pengusaha. Unit-unit usaha tanpa pekerja (selfemployment unit) termasuk di dalam kategori ini.Pada umumnya usaha mikro
merupakan unit-unit usaha yang sifatnya lebih tradisional, dalam arti tidak
menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang baik seperti lazimnya
dalam suatu perusahaan modern: tidak ada pembagian tugas kerja dan sistem
pembukuan yang jelas. Sebagian besar usaha kecil terdapat di daerah
pedesaan, dan kegiatan produksinya pada umumnya musiman erat kaitannya
dengan siklus kegiatan di sektor pertanian.
Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama,
definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang
UMKM, di mana yang dimaksud UMKM adalah kegiatan ekonomi rakyat
yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki
kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling
banyak Rp 200 juta. Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS),
usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS
mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri
rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19
orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar
dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).
Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya
usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak
adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi.
Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai
pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
79
keluarga dan kerabat dekatnya.
Kedua, rendahnya akses industri kecil
terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung
menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumbersumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.
Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status
badan hukum. Menurut catatan BPS, ternyata 90,6 persen merupakan
perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong
perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah
mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi). Dan keempat,
dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari
seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan,
minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang
galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri
kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga
(ISIC33).
Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil
adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan
memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan
keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan.
Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia.
Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem
informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena
persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan
masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat
terhadap usaha kecil.
Secara garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat
dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omzet kurang dari Rp 50
juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga
kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan
dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal
yang besar untuk ekspansi produksi; bisaanya modal yang diperlukan sekedar
membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR,
BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal
kerja mereka. Kedua, bagi PK dengan omzet antara Rp 50 juta hingga Rp 1
milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai
memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut.
Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan
usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan
pengembangan usaha kecil. Hanya saja, upaya pembinaan usaha kecil sering
tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi mengenai
usaha kecil ini pada gilirannya menyebabkan pembinaan usaha kecil masih
terkotak-kotak atau sektor oriented, di mana masing-masing instansi pembina
menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Akibatnya
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
80
terjadilah dua hal: (1) ketidakefektifan arah pembinaan; (2) tiadanya indikator
keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya
mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan
sendiri. Karena egoisme sektoral/departemen, dalam praktek sering dijumpai
terjadinya "persaingan" antar organisasi pembina. Bagi pengusaha kecil pun,
mereka sering mengeluh karena hanya selalu dijadikan "obyek" binaan tanpa
ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung.
Dalam konteks inilah, usulan Assauri (1993) untuk mengembangkan
interorganizational process dalam pembinaan usaha kecil menarik untuk kita
simak. Dalam praktek, struktur jaringan dalam kerangka organisasi pembinaan
usaha kecil semacam ini dapat dilakukan dalam bentuk inkubator bisnis dan
PKPK (Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil). PKPK adalah ide dari Departemen
Koperasi dan PPK, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah
pengembangan pengusaha kecil menjadi tangguh dan atau menjadi pengusaha
menengah melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan koordinasi antar
instansi.
Kegiatan semacam ini merupakan suatu terobosan yang tepat
mengingat potensi pengusaha kecil di Indonesia sangat memungkinkan untuk
dikembangkan.
III. METODE PENELITIAN
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah Kabupaten
Konawe Utara yang meliputi seluruh tingkatan wilayah administratif yang ada.
Dalam rangka memperoleh data primer tentang gambaran dan kinerja UMKM,
lokasi penelitian dipilih secara sengaja pada empat wilayah kecamatan yakni
Kecamatan Lasolo, Molawe, Asera, dan Kecamatan Andowia dengan
pertimbangan wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki jumlah
UMKM yang lebih banyak dibandingkan daerah kecamatan lainnya.
Jenis data/informasi yang dibutuhkan berupa data kuantitatif dan
kualitatif yang berhubungan dengan jumlah, jenis, kinerja usaha (jumlah
modal, omzet usaha, jumlah tenaga kerja, dll.) masing-masing UMKM pada
semua sektor ekonomi, termasuk data/informasi yang berkaitan dengan
permasalahan/kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pembinaan yang ada pada
masing-masing UMKM dan lain-lain. Sumber data/informasi yang dibutuhkan
meliputi sumber primer dan sekunder. Sumber primer meliputi masyarakat dan
pelaku usaha, yang data/informasinya diperoleh melalui kegiatan survey
lapangan dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan sumber sekunder
meliputi instansi pemerintah dan kelembagaan non pemerintah yang memiliki
data/informasi yang sudah diolah dan dapat dipergunakan sebagai bahan untuk
penyajian data dasar dalam Rencana Induk Pengembangan UMKM ini.
Data/informasi yang bersifat sekunder ini diperoleh melalui kegiatan studi
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
81
dokumentasi dan bila diperlukan, juga melalui kegiatan wawancara dan/atau
diskusi.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Pemetaan UMKM Kabupaten Konawe Utara
Keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten
Konawe Utara pada umumnya meliputi usaha yang masih besifat informal dan
tradisional. Bersifat informal karena umumnya usaha tersebut belum terdaftar,
belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain: petani penggarap,
nelayan, industri rumah tangga, pedagang keliling dan pedagang kaki lima.
Sedangkan bersifat tradisional karena usaha tersebut relatif masih
menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun
temurun, dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil
dan Menengah (UKM) Propinsi Sulawesi Tenggara (2011) keberadaan Usaha
Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Konawe Utara masih
relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya di
Sulawesi Tenggara yakni sebesar 0,01 persen dari total UMKM di Sulawesi
Tenggara. Hal ini dikarenakan masih terdapat berbagai unit usaha yang belum
tercatat dan terdaftar di Kabupaten Konawe Utara. Adapun jumlah usaha,
jumlah omzet usaha dan jumlah tenaga kerja Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM), di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat Pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah
Di Kabupaten Konawe Utara
No.
Klasifikasi
Usaha
1.
2.
3.
Mikro
Kecil
Menengah
Total
Jumlah
Usaha
(Unit)
431
211
6
648
Jumlah Omzet
(Rupiah)
19.395.000.000
4.747.500.000
15.000.000.000
39.142.500.000
Jumlah
TK
(Orang)
784
1.477
310
2.571
Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Prop. Sultra, 2011
Berdasarkan klasifikasi UMKM di Kabupaten Konawe Utara, usaha
jenis skala mikro dan kecil lebih banyak dibandingkan dengan usaha jenis
skala menengah. Umumnya usaha mikro dan kecil ini berada disektor industri
rumah tangga dan perdagangan. Dari aspek penyerapan tenaga kerja usaha
skala mikro dan kecil juga mampu menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak
dibandingkan dengan usaha skala menengah. Dari sejumlah UMKM yang
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
82
terdapat di Kabupaten Konawe Utara, selanjutnya diuraikan jenis, profil
kinerja usaha serta identifikasi permasalahan/kelemahan, kekuatan dan
kebutuhan pembinaan UMKM untuk menjadi bahan penyusunan Rencana
Induk Pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Jenis UMKM
yang terdapat di Kabupaten Konawe Utara umumnya relatif sama yakni jenis
usaha yang bergerak di sektor perdagangan, sektor pertanian dalam arti luas,
sektor industri dan sektor jasa. Hasil penelitian diketahui bahwa jenis usaha
mikro kecil dan menengah di Kabupaten Konawe Utara umumnya bergerak
disektor perdagangan yang mencapai 46,62 persen terdiri dari kios rumahan,
pedagang sembako, jual beli cengkeh, warung makan, penadah ikan, penjual
ikan, penjual pokea, penjual ayam potong, penjual sayur dan penjual kain.
Sedangkan usaha lainnya bergerak disektor industri sebesar 26,63 persen,
sektor jasa sebesar 13,31 persen dan sektor usaha lainnya 12,29 persen yakni
sebagai penambang pasir gol.c , nelayan dan petani rumput laut.
B.
Pemetaan Kekuatan Dan Permasalahan UMKM
Konawe Utara
di
Kabupaten
Uraian mengenai pemetaan kekuatan UMKM di Kabupaten Konawe
Utara secara umum akan mengarahkan kita untuk mengetahui faktor-faktor
yang secara substansial menjadi kekuatan pelaku usaha serta kekuatan usaha
yang dimiliki dan kendala dalam hal pengembangan UMKM. Beberapa aspek
yang masuk dalam faktor-faktor tersebut adalah gambaran umum responden
UMKM, gambaran umum aspek permodalan, aspek produksi, aspek pasar dan
aspek program pembinaan/bantuan pengembangan usaha.
1.
Gambaran umum pelaku UMKM
Hasil penelitian diketahui bahwa umur rata-rata pengusaha
mikro kecil dan menengah di Kabupaten Konawe Selatan yang menjadi
responden sebagian besar berada pada 30 s/d 40 tahun. Hal ini dapat
mengindikasikan bahwa pada dasarnya pengusaha mikro kecil dan
menengah di Kabupaten Konawe Utara masih berada pada usia
produktif.Tingkat pendidikan pelaku UMKM diketahui bahwa rata-rata
berpendidikan SLTA (56,66 persen) dan SLTP (21,66 persen). Sementara
yang memiliki tingkat pendidikan SD sebanyak 18,33 persen dan
diploma/sarjana sebanyak 3,33 persen. Sebagian besar usaha mereka telah
berjalan cukup lama yakni 5-10 tahun sebanyak 26,66 persen dan diatas
10 tahun sebanyak 30,00 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha
yang digeluti pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara saat ini sudah
relatif stabil walaupun sebanyak 43,33 persen masih tergolong masih
belum stabil, sehingga masih rentan untuk gagal usaha. Adapun dari
aspek penggunaan tenaga kerja diketahui bahwa tenaga kerja yang
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
83
dipekerjakan saat ini masih relatif sedikit, dimana sebanyak 65 persen
usaha yang digeluti mempekerjakan kurang dari 5 orang tenaga kerja,
sebanyak 30 persen mempekerjakan 5-10 orang tenaga kerja dan hanya 5
persen yang mempekerjakan lebih dari 10 orang tenaga kerja. Hal ini
karena usaha yang digeluti umumnya bergerak disektor perdagangan yang
klasifikasi mikro dan kecil sehingga belum menggunakan tenaga kerja
yang banyak. Adapun yang mempekerjakan lebih dari 10 orang yakni
mereka yang memiliki usaha yang bergerak pada industri skala kecil.
Umumnya pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara memiliki
rata-rata omzet penjualan sebanyak kurang dari 3 juta rupiah perbulan.
Hal ini mengindikasikan bahwa omzet penjualan yang dihasilkan UMKM
masih dibawah rata-rata. Selain itu sebanyak 35 persen pelaku usaha
memiliki rata-rata omzet penjualan perbulan 3 s/d 5 juta rupiah dan 31,66
persen yang telah memiliki rata-rata omzet penjualan perbulan sebanyak
lebih dari 5 juta rupiah perbulan yang berarti rata-rata omzet penjualan
yang dihasilkan oleh pelaku UMKM tersebut sudah berada diatas rata-rata
(standar omzet penjualan untuk UMKM adalah 5 juta). Dari aspek
legalitas formal usaha diketahui bahwa hanya 10 persen UMKM yang
memiliki izin usaha yakni usaha meubelier, jasa tukang jahit, penambang
pasir dan pedagang sembako. Sedangkan 90 persen
UMKM di
Kabupaten Konawe Utara saat ini belum memiliki izin usaha. Hal ini
mengindikasikan bahwa rata-rata UMKM yang digeluti masih bersifat
tradisional dan informal. Dengan demikian UMKM akan menemui
kendala dalam perolehan bantuan dan pinjaman baik dari pemerintah
maupun dari lembaga keuangan.
2.
Aspek Permodalan UMKM
Aspek permodalan yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi
jumlah dan sumber permodalan serta masalah yang dirasakan oleh
UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Gambaran mengenai aspek
permodalan UKM di Kabupaten Konawe Utara diketahui bahwa terjadi
peningkatan kepemilikan modal bagi para responden UMKM di
Kabupaten Konawe Utara. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah
responden yang memiliki modal sekarang 5 s/d 10 juta dan diatas 10 juta
rupiah.
Kemudian, berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai
cukup atau tidaknya modal yang dimiliki saat ini untuk digunakan dalam
mengelola usaha, 95 persen responden menjawab belum
mencukupi.Sumber modal responden UMKM di Kabupaten Konawe
Utara sebagian besar adalah modal sendiri sebanyak 63,33 persen dan
modal pinjaman sebanyak 25 persen. Selebihnya, sumber modal
responden sebanyak 11,66 persen adalah modal hibah/bantuan. Adapun
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
84
sumber dari modal pinjaman responden UMKM di Kabupaten Konawe
Utara sebagian besar bersumber dari pemodal/pembeli hasil produksi,
orang tua atau sanak keluarga dan hanya sedikit responden UKM di
Kabupaten Konawe Utara yang memperoleh pinjaman modal dari
lembaga perbankan ataupun pemerintah. Terdapat berbagai alasan pelaku
UMKM tidak meminjam modal lembaga perbankan. Gambaran mengenai
alasan responden UMKM tidak meminjam modal di bank di Kabupaten
Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Gambaran Mengenai Alasan Responden UMKM
Tidak Meminjam Modal pada Bank
No.
Alasan
Tidak butuh pinjaman modal di bank
Persyaratan kredit bank sulit dipenuhi
Tidak tahu caranya
Tidak berani ambil resiko (takut tidak
mampu membayar pinjaman modal)
Total
Sumber: Data Primer 2011, diolah
1.
2.
3.
4.
Jumlah
(Orang)
14
32
10
4
Persentase
(%)
23,33
53,33
16,66
6,66
60
100
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa alasan responden
UMKM tidak melakukan peminjaman pada lembaga perbankan umumnya
dikarenakan persyaratan kredit yang sulit dipenuhi sebanyak 53,33
persen, kemudian alasan tidak butuh pinjaman modal di bank sebanyak
23,33 persen dan respoden yang tidak tahu caranya untuk meminjam
dibank sebanyak 16,66 persen, selebihnya responden UMKM yang tidak
melakukan pinjaman karena takut tidak mampu membayar pinjaman
sebanyak 6,66 persen.
Hal ini mengindikasikan bahwa responden UMKM di Kabupaten
Konawe Utara umumnya masih memiliki keterbatasan dalam memperoleh
modal pinjaman di lembaga perbankan. Namun terdapat pula responden
UMKM di Kabupaten Konawe Utara membutuhkan tambahan modal
usahanya antara lain karena ingin memperluas tempat usaha sebanyak
36,66 persen, kemudian alasan menambah jumlah alat produksi/jualan
sebanyak 33,33 persen dan selebihnya karena responden UMKM ingin
menambah jumlah produksi/jualan. Hal ini mengindikasikan bahwa
responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya memiliki
keinginan yang kuat untuk mengembangkan usaha yang digelutinya.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
85
3.
Aspek Produksi UMKM
Aspek produksi yang dimaksud meliputi sumber perolehan bahan
baku atau barang dagangan untuk usaha perdagangan, sifat ketersediaan
bahan baku, sumber perolehan tenaga kerja serta pertimbangan responden
UMKM di Kabupaten Konawe Utara dalam penentuan jumlah produksi
yang dihasilkan. Hasil penelitian diketahui bahwa sumber bahan baku
(input) produksi UMKM yang digeluti responden berasal dari luar
kecamatan sebanyak 33,33 persen terutama pada usaha industri meubelier
dan usaha jual beli hasil perkebunan. Kemudian sebanyak 30 persen
responden UMKM memperoleh bahan baku dari masyarakat setempat
atau dari lokasi produksi itu sendiri terutama pada usaha industri batu
merah, industri air minum galon, penjual ikan, pengolahan batu suplit,
penjual ikan dan tambang pasir. Untuk perolehan bahan baku produksi
dari luar desa sebanyak 10 persen. Selanjutnya sebanyak 26,66 persen
responden UMKM memperoleh sumber bahan baku dari luar kabupaten
(dari Kota Kendari) terutama pada usaha pedagang sembako, usaha lemari
etalase, penjual kain, penjualan ayam potong dan jasa bengkel motor.
Dengan demikian responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara
umumnya merupakan usaha yang masih memiliki tingkat ketergantungan
bahan baku yang sangat tinggi terhadap pemasok yang berasal luar lokasi
tempat usaha/produksinya.
Berdasarkan sifat ketersediaan bahan baku, responden UMKM
memberikan persepsi yang berbeda-beda berdasarkan yang mereka alami
dalam menjalankan usahanya. Dari aspek jumlah ketersediaan bahan
baku, responden UMKM umumnya mengaku ketersediaannya tidak
cukup yakni sebanyak 53,33 persen, sedangkan sebanyak 46,66 persen
mengatakan jumlah ketersediaan bahan bakunya sudah cukup. Kemudian
dari aspek kualitas, secara umum responden UMKM mengaku bahwa
bahan baku (input) yang mereka gunakan memiliki kualitas sesuai dengan
mereka butuhkan.
Adapun dari aspek kontinuitas, sebanyak 60 persen responden
UMKM mengaku kadang-kadang mengalami keterlambatan/tidak lancar
dan sebanyak 40 persen mengaku ketersediaannya lancar/selalu ada. Hal
ini mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku usaha yang digeluti
responden terutama dari aspek jumlah dan kontinuitas masih memiliki
kendala sehingga berdampak pada hasil produksi/jualan yang belum
maksimal.Gambaran mengenai asal tenaga kerja yang dimiliki oleh
responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara diketahui bahwa pada
dasarnya usaha yang dikelola oleh responden masih bersifat usaha
keluarga. Hal ini didasarkan atas banyaknya responden yang memberikan
tanggapan bahwa tenaga kerja yang mereka miliki adalah sanak keluarga
sendiri (anak, mantu, sepupu, paman, bibi). Kemudian, secara umum
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
86
dapat dikatakan bahwa UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih
memiliki supply tenaga kerja yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari sangat
sedikitnya responden yang mengimpor tenaga kerja dari luar kabupaten
yakni hanya 8,33 persen .Terkait dengan cara penentuan jumlah produksi,
responden UMKM umumnya berdasarkan pertimbangan atas sumberdaya
yang dimiliki/sesuai kemampuan produksi (66,66 persen), sedangkan
sebanyak 23,33 persen dilakukan berdasarkan jumlah penjualan
sebelumnya/sesuai kebiasaan dan sebanyak 10 persen responden UMKM
menentukan jumlah produksi yang dihasilkan berdasarkan jumlah
permintaan/pesanan pembelinya.
4.
Aspek Pemasaran UMKM
Aspek pemasaran yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi
gambaran mengenai lokasi dan cara pemasaran hasil produksi, kondisi
permintaan jumlah produksi yang dihasilkan serta pertimbangan
responden UMKM dalam penentuan harga jualnya. Hasil penelitian
diketahui bahwa lokasi pemasaran hasil produksi responden UMKM pada
umumnya berada didalam wilayah Kabupaten Konawe Utara yakni
sebanyak 38,33 persen dalam desa/kelurahan tempat usahanya, kemudian
sebanyak 23,33 persen dipasarkan diluar desa/kelurahan responden dan
sebanyak 25
persen produksinya dipasarkan diluar kecamatan.
Sedangkan hasil produksi yang dipasarkan ke luar kabupaten Konawe
Utara yakni Kota Kendari sebanyak 13,33 persen. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebagian besar produk yang dihasilkan oleh
responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih dijual pada
konsumen akhir dan pasar lokal. Sedangkan pemasaran produk ke luar
Kabupaten Konawe Utara dijual ke pedagang pengumpul di Kota
Kendari. Adapun cara pemasaran responden UMKM bervariasi
tergantung dari jenis produk yang dihasilkan. Sebagian besar responden
memasarkan produknya dengan cara menjual langsung dilokasi usaha.
Selebihnya menggunakan sistem kontrak penjulan dengan pembeli
sebanyak 18,33 persen, kemudian diantar ke tempat pembeli sebanyak
16,66 persen responden dan keliling ke pasar-pasar lokal sebanyak 13,33
persen responden. Dengan demikian cara pemasaran produk yang
dilakukan responden UMKM Kabupaten Konawe Utara umumnya
langsung ke konsumen akhir sekalipun juga ada yang dijual ke pedagang
pengumpul yang ada di Kota Kendari.
Perbandingan jumlah produksi dan permintaan produk yang
dihasilkan responden UMKM berbeda-beda. Sebanyak 56,66 persen
responden UMKM mengaku bahwa permintaan atas produk lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah produksi, kemudian sebanyak 33,33 persen
responden mengaku bahwa produksi yang dihasilkan lebih banyak
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
87
dibandingkan dengan jumlah permintaan. Selebihnya sebanyak 10 persen
responden UMKM mengaku memiliki produksi sesuai dengan jumlah
permintaanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UMKM di
Kabupaten Konawe Utara berpeluang untuk dikembangkan karena
memiki prospek pasar/permintaan yang lebih besar. Cara penentuan harga
penjualan produk responden UMKM juga bervariasi. Sebagian besar
responden UMKM menentukan harga penjualannya sendiri yang
mencapai 53,33 persen yang berarti responden adalah penentu harga
(price setter). Kemudian sebanyak 25 persen harga penjualan produk
responden berdasarkan kesepakatan dengan pembeli. Adapun penentuan
harga yang ditentukan oleh pembeli sebanyak 21,66 persen. Harga yang
ditentukan oleh pembeli umumnya adalah pihak yang menjadi pemodal
responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara yang berarti responden
adalah penerima harga (price taker).
5.
Permasalahan yang Dihadapi UMKM
Selain memiliki berbagai kekuatan dan peluang, keberadaan UMKM
juga menghadapi berbagai masalah baik dalam aspek permodalan, aspek
produksi maupun dalam aspek pemasaran. Dalam pembahasan ini akan
diuraikan berbagai masalah yang dihadapi responden UMKM di Kabupaten
Konawe Utara.
a.
Masalah Permodalan
Gambaran mengenai masalah permodalan yang dihadapi
responden pelaku UMKM Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Masalah Permodalan Yang Dihadapi UMKM
No.
Masalah yang Dihadapi
Modal sendiri yang masih terbatas
Terbatasnya lembaga keuangan
Tidak memiliki agunan kredit
Bunga pinjaman yang tinggi
Kurangnya bantuan modal usaha dari
pemerintah
Total
Sumber : Data primer 2011, diolah
1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah
(Unit)
32
8
6
5
9
Persentase
(%)
53,33
13,33
10,00
8,33
15,00
60
100
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa terdapat berbagai
masalah permodalan yang dihadapi responden UMKM di Kabupaten
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
88
Konawe Utara. Sebagian besar masalah yang dihadapi responden adalah
keterbatasan modal sendiri untuk mengembangkan usahanya yang
mencapai 53,33 persen. Selain itu sebanyak 15 persen mengaku bahwa
masih sangat kurang perhatian pemerintah dalam bantuan modal usaha
terutama pada bantuan lunak ataupun hibah.
Masalah lainnya yang dialami responden yakni sebanyak 13,33
persen mengakui bahwa masih terbatasnya lembaga keuangan untuk
meminjam modal, baik jumlah lembaga maupun lokasi yang jauh.
Adapun masalah lainnya yakni tidak memiliki agunan kredit/pinjaman
sebanyak 10 persen responden serta bunga pinjaman yang tinggi
sebanyak 8,33 persen dirasakan oleh responden UMKM Kabupaten
Konawe Utara.
b.
Masalah Produksi
Selain masalah permodalan, responden juga memilki masalah
produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40 persen responden
menghadapi masalah ketergantungan jumlah produksinya terhadap
cuaca/iklim, kemudian sebanyak 20 persen responden mengaku bahwa
ketersediaan energi listrik sangat terbatas sehingga juga menganggu
operasional usahanya. Selanjutnya terdapat 15 persen
mengaku
memiliki masalah dalam hal keterbatasan sarana produksi. Masalah lain
yakni masing-masing sebanyak 10 persen responden UMKM mengaku
memiliki pasokan bahan baku yang terbatas karena adanya saingan
usaha serta output yang dihasilkan tidak tahan lama. Selebihnya
sebanyak 5 persen adalah responden yang mengaku adanya gangguan
hama produksi sehingga berdampak pada jumlah hasil produksi yang
rendah.
c.
Masalah Pemasaran
Adapun masalah pemasaran yang dihadapi responden adalah terkait
dengan harga produk yang tidak menentu (43,33 persen), infrastruktur
jalan yang masih rusak dirasakan oleh responden UMKM sebanyak
28,33 persen, adanya keterbatasan sarana dan tenaga pemasaran yang
dimiliki responden sebanyak 18,33 persen serta masalah transportasi
yang sulit dirasakan oleh responden UMKM sebanyak 10 persen. Hal
ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masalah pemasaran yang
dihadapi responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara dikarenakan
akses pasar yang masih sulit.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
89
6.
Jenis Pembinaan/Bantuan yang Pernah Diperoleh
Pembinaan dan bantuan bagi UMKM merupakan faktor yang sangat
penting untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku
UMKM. Adapun jenis pembinaan dan bantuan yang pernah diperoleh UMKM
di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis Pembinaan/Bantuan yang Diperoleh
No.
Jenis Pembinaan/Bantuan
1.
2.
3.
4.
Penyuluhan/pelatihan
Pendampingan/pembinaan usaha
Bantuan modal
Tidak pernah ada pembinaan/bantuan
Total
Sumber : Data primer 2011, diolah
Jumlah
(Unit)
3
7
50
60
Persentase
(%)
5,00
11,66
83,34
100
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden UMKM
mengaku tidak pernah ada pembinaan/bantuan yang diperoleh. Hanya 11,66
persen responden yang pernah memperoleh bantuan modal usaha dan
sebanyak 5 persen responden pernah memperoleh penyuluhan/pelatihan yang
terkait dengan usahanya.
7.
Harapan Terhadap Pemerintah
Gambaran mengenai harapan UMKM terhadap pemerintah dalam
rangka pengembangan usaha di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Gambaran Mengenai Harapan Pelaku UMKM
No.
1.
2.
Harapan Responden
Perlunya bantuan tambahan modal usaha
Perbaikan infrastruktur jalan dan
ketersediaan energi listrik
3. Perlunya promosi UMKM
4. Perlunya pembinaan/pelatihan usaha
5. Kemudahan pengurusan izin usaha
Total
Sumber : Data primer 2011, diolah
Jumlah
(orang)
32
9
Persentase
(%)
53,33
15,00
4
12
3
60
6,66
20,00
5,00
100
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
90
Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa berbagai harapan responden
UMKM terhadap pemerintah dalam rangka pengembangan usahanya.
Sebagian besar responden berharap kepada pemerintah untuk diberikan
bantuan tambahan modal usaha (53,33 persen) kemudian sebanyak 20 persen
responden UMKM berharap adanya pembinaan/pelatihan usaha terutama yang
terkait dengan manajemen permodalan, peningkatan produksi maupun
pemasaran produk. Selain itu sebanyak 15 persen responden mempunyai
harapan terhadap pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur jalan dan
ketersediaan energi listrik. Sebanyak 6,66 persen responden berharap adanya
promosi produk UMKM dan 5 persen responden memiliki harapan dalam hal
kemudahan dalam pengurusan izin usaha. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih memiliki
keinginan yang kuat untuk mengembangkan usaha yang digelutinya.
C.
KABUPATEN KONAWE UTARA
1.
Strategi Pengembangan UMKM
Berkaitan dengan masalah yang masalah yang telah dikemukakan
maka dapat dirumuskan strategi pengembangan UMKM di Kabupaten
Konawe Utara, sebagai berikut:
a. Pengembangan jenis usaha yang sesuai dengan potensi daerah setempat
serta penguatan modal usaha.
b. Peningkatan kapasitas SDM pelaku UMKM yang profesional dan
menguntungkan dalam bentuk pelatihan, pendidikan, magang dan studi
banding.
c. Membangun kemitraan antara UMKM dengan perbankan dan
pengusaha besar.
d. Menciptakan iklim usaha yang kondusif, misalnya perbaikan di bidang
birokrasi, pembukaan dan perluasan akses terhadap sumber daya
keuangan maupun informasi, dan perbaikan infrastruktur.
e. Mendorong pengembangan beragam insentif dan kemudahan lainnya
serta promosi produk yang dihasilkan UMKM.
f. Pembangunan, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana yang
dapat mendukung usaha bagi pelaku ekonomi skala mikro, kecil dan
menengah yang merata pada semua wilayah di Kabupaten Konawe
Utara.
2.
Program Pengembangan UMKM
Rencana Induk (Master Plan) pengembangan UMKM di Kabupaten
Konawe Utara dilaksanakan melalui 6 (enam) program pokok yang meliputi:
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
91
a.
b.
c.
d.
e.
Program Pemberdayaan Lembaga Usaha Ekonomi masyarakat Desa/
Kelurahan
Program ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan lembaga ekonomi
masyarakat desa/kelurahan berdasarkan potensi yang dimiliki, sehingga
dapat melaksanakan dan membiayai kegiatan usahanya.
Program Penciptaan Lingkungan Usaha Yang Kondusif.
Program ini ditujukan bagi pengembangan UMKM se-Kabupaten
Konawe Utara. Sasaran program ini adalah untuk memberikan jaminan
kepastian berusaha bagi UMKM. Beberapa hal yang seharusnya
dilakukan oleh pemerintah, yaitu: (1) dukungan informasi guna
menciptakan peluang usaha yang luas; (2) perlindungan UMKM; (3)
dukungan dana; antara UMKM dengan BUMD.
Program Pengembangan Fasilitasi Pembiayaan
Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses UMKM terhadap
pembiayaan. Sasarannya adalah pemberian penjaminan kredit penyaluran
dana bergulir dan fasilitasi dengan dana Lembaga Perbankan.
Program Pengembangan Kewirausahaan Dan Sumber Daya Manusia
UMKM
Program ini ditujukan untuk meningkatkan kewirausahaan pelaku
UMKM dan menumbuhkan wirausaha baru yang berbasis pengetahuan
dan teknologi. Sasaran program ini adalah untuk meningkatkan
kemampuan dan pengetahuan wirausaha khususnya wirausaha baru.
Program Pengembangan Infrastruktur Fisik dan Ekonomi
Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan fasilitasfasilitas infrastruktur fisik dan ekonomi di Kabupaten Konawe Utara
agar arus perputaran roda perekonomian dapat berjalan lancar.
Infrastruktur dasar yang dimaksud adalah; irigasi, jalan, jembatan,
pasar, perbankan, dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya.
Adapun secara praktis peran pemerintah daerah yang dapat
meningkatkan pertumbuhan UMKM dilakukan melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Pilih UMKM yang menjadi potensi masing-masing desa atau kecamatan
b. UMKM terpilih membuat contoh/sampel produk yang dibuat/prototype.
c. Mencari kekurangan/kelebihan dari setiap prototype dengan bantuan
tenaga ahli.
d. Mencari pasar untuk produk tersebut, melalui pameran, internet, dan
media promosi lainnya.
e. Bila ada pesanan dan sudah pasti, UMKM tersebut dapat dibantu oleh
bank penjamin dengan dasar surat pesanan.
f. Diperlukan tenaga pendamping yang bertugas untuk mempersiapkan,
UMKM siap mandiri, UMKM berbasis kualitas dan UMKM yang siap
melakukan perbaikan terus-menerus.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
92
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2010. Kabupaten Konawe Utara dalam Angka. BPS Kabupaten Konawe
Utara.
Djojohadikusumo, Soemitro. 2001. Ekonomi Pembangunan., Edisi Kedua.
LPFE-UI Jakarta
Hasibuan, Nurimansyah. 1993. Ekonomi Industri. LP3ES. Jakarta
Jhingan, ML., 1999, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Kotler, Philip. 2004. Manajemen Pemasaran, Edisi Terjemahan. PT .
Perhalindo Persada. Jakarta
Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan
Kebijakan, Edisi Pertama. UPP AMP YKPN. Yogyakarta.
Partadiredja, 2000. Konsep Pendapatan. Liberty. Jakarta.
Lincolin Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan clan Pembangunan
Ekonomi Daerah, BPFE-UGM, Yogyakarta
Soedarsono, 2002. Teori Ekonomi, Edisi Revisi. BPFE-UGM Yogyakarta.
Safi‟i, M. 2008. Paradigma Baru Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Averroes Press. Malang
Todaro, 1994., Development Economic, Fifth edition, Longman Singapore
Ltd.
Wismuadji, 2008. Manajemen Keuangan Untuk Usaha Kecil. Andi.
Yogyakarta.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
93
Volume VIII No Tahun 4, Desember 2011 hal 94-105
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
ANALISIS INVESTASI LOGAM MULIA DI INDONESIA1)
Manat Rahim2), Heppi Millia3), dan Leny Febrianti
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan return dari
investasi logam mulia dengan valuta asing dan deposito rupiah di Indonesia.
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder tahun 19902011. Data yang ada dianalisis melalui analisis kuantitatif deskriptif; dan
dengan metode komparatif antara nilai investasi akhir logam mulia,
deposito valas dan deposito rupiah. Berdasarkan hasil analisis ditemukan
bahwa: sebelum krisis moneter di Indonesia, urutan investasi yang lebih
menguntungkan yaitu; deposito rupiah, deposito USD, dan logam mulia.
Sejak krisis moneter di Indonesia sampai dengan krisis Global, urutan
investasi yang lebih menguntungkan yaitu: deposito USD, logam mulia dan
deposito rupiah. Sedangkan sejak krisis global hingga 2011, urutan investasi
yang lebih menguntungkan adalah: logam mulia, deposito USD dan deposito
rupiah.
Kata kunci: logam mulia, suku bunga deposito,
deposito rupiah
I.
deposito valuta asing,
PENDAHULUAN
Investasi adalah aktifitas menanamkan sejumlah uang atau membeli
suatu aset dengan maksud memperoleh keuntungan untuk periode yang akan
datang. Jenis investasi yang dapat memberi peluang keuntungan lebih besar
biasanya diikuti dengan risiko kerugian yang lebih besar pula. Saat ini inflasi
terus meningkat dan situasi ekonomi yang tidak menentu serta nilai tukar
rupiah yang fluktuatif, baik karena pengaruh eksternal maupun internal,
akumulasi keadaan tersebut mendorong para pemilik modal untuk lebih
selektif dalam memutuskan jenis investasi yang akan mereka tempuh.
___________________________________________
1)
Hasil Penelitian
2)
3)
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan
Volume
VIII Tahun
4, Desember 2011
dan
Dosen
Jurusan IESP
Universtas
Haluoleo
94
Logam mulia atau emas dapat dijadkan pilihan investasi yang menarik,
terutama emas batangan dan koin, sifatnya yang mudah diuangkan jika
sewaktu-waktu diperlukan, dan nilainya cenderung lebih stabil, serta tidak
memiliki efek inflasi. Selain itu, harga emas setiap tahun meningkat serta
biaya pemeliharaan dan penyimpanan relatif kecil. Investasi emas menawarkan
cara yang sangat baik bagi investor untuk menyimpan kekayaan saat ekonomi
sulit karena sifatnya yang stabil dengan harga yang cenderung terus meningkat
dengan resiko yang hampir tidak ada. Sedangkan menyimpan kekayaan dalam
deposito dengan tingkat bunga yang relatif kecil dari inflasi menghasilkan
nilai tambah yang negatif. Pada sisi lain, menyimpan kekayaan dalam valuta
asing sangat berisiko dengan fluktuasi kurs. Jika valuta asing terapresiasi,
secara otomatis harga emas naik. Permintaan emas akan meningkat karena
sifatnya tidak teroksidasi dan tidak rusak meskipun terbakar, sehingga logam
mulia banyak digunakan sebagai komponen
industri, terutama yang
menampilkan kemewahan dan prestise lainnya.
Apapun keputusan jenis investasi tersebut, baik pada logam mulia,
valuta asing, maupun deposito rupiah , sangat tergantung dari berapa besarnya
peningkatan nilai dan risiko kerugian dari masing-masing aset tersebut.
Harapan untuk memperoleh keuntungan dari peningkatan nilai investasi yang
ditanamkan dan kecemasan akan mengalami kerugan akibat penurunan nilai
investasi tersebut akhirnya melatarbelakangi pengujian secara komparatif
antara investasi logam mulia, tabungan valuta asing dan deposito rupiah ini.
Sehingga diharapkan dapat memberikan informasi urutan peluang investasi
yang lebih tinggi returnnya dan memiliki daya tarik lebih besar dari jenis
investasi lainnya.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Logam mulia merupakan salah satu alternatif investasi yang
cenderung aman. Menurut Palaloi (2009), ada tiga indikator penting
berinvestasi dalam bentuk logam mulia atau emas:
1.
2.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, harga emas selalu mengikuti naik
turunnya mata uang dolar AS. Jika mata uang dolar AS naik terhadap
rupiah, harga emas juga cenderung meningkat;
Peningkatan inflasi akibat meningkatnya konsumsi masyarakat juga
menyebabkan harga emas naik. Berapapun tingkat inflasi, emas akan
mengikutinya. Bahkan sejarah membuktikan bahwa harga emas akan
selalu lebih tinggi dari nlai inflasi; dan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
95
3.
Dalam situasi perekonomin yang belum stabil dan tidak menggembirakan,
maka investasi emas merupakan solusi baik untuk menciptakan capital
gain, maupun mempertahankan nilai.
Uang yang disimpan di bank tentu akan mengalami penyusutan. Nilai
mata uang cenderung akan turun dimasa yang akan datang karena adanya
inflasi dan perubahan kurs. Karena emas dipatok dalam USD (dolar AS) maka
pergerakan USD yang menguat akan menyebabkan harga emas dalam rupiah
menguat. Sehingga investasi dalam bentuk emas batangan lebih stabil (Robert
Ang, 1997).
Ada dua penyebab jika USD melemah maka harga emas cenderung
menguat. Pertama, karena jatuhnya mata uang USD akan membuat harga emas
lebih murah dalam mata uang lain, sehingga berakhir pada peningkatan
permintaan akan emas. Permintaan emas ini akan menguatkan nilai emas.
Kedua, apabila nilai USD melemah, maka akan mendorong pihak investor
untuk mencari instrumen investasi lain di luar USD. Dalam hal ini emas
merupakan salah satu investasi yang paling diminati dunia. Permintaan akan
emaspun meningkat, sehingga mendorong kenaikan harganya.
Graham Smith yang meneliti pengaruh harga emas dunia terhadap
indeks harga saham di Amerika Serikat untuk periode Januari 1999 sampai
Oktober 2001, menemukan bahwa harga emas dunia memiliki hubungan
negatif dengan indeks harga saham. Hasil penelitian Sri Pangestuti (2010)
yang meneliti return emas beserta faktor yang mempengaruhinya untuk
periode 1995-2010, menemukan bahwa dalam jangka panjang, emas akan
lebih menguntungkan daripada investasi saham LQ45 karena daya belinya
lebih baik.
Pada sisi lain, Erwin (2009) yang meneliti investasi emas dan
investasi kontrak berjangka Olein, menemukan bahwa tingkat pengembalian
komoditi Olein
lebih kecil dibandingkan komoditi emas.
Tingkat
pengembalian komoditi Olein sebesar -2,20 persen; sementara tingkat
pengembalian komoditi emas sebesar 18,71 persen. Sedangkan tingkat risiko
portofolio komoditi Olein sebesar 105,71 persen. Angka ini jauh lebih besar
dibanding risiko portofolio komoditi emas yang bernlai 51,64 persen.
III.
METODE PENELITIAN
Jenis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data sekunder,
time series dari tahun 1990-2011 yang meliputi: data harga emas USD/troy
once, data kurs dolar US terhadap rupiah, harga emas dalam rupiah per gram,
dan suku bunga deposito. Metode analisis yang digunakan adalah kuantitatif
desktiptif yaitu metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan
menguraikan obyek penelitian didasarkan pada fakta yang terjadi. Pada
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
96
penelitian ini digunakan pula metode komparatif, yaitu metode yang
membandingkan suatu fenomena (variabel) dengan fenomena (variabel) lain.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Deposito Valuta Asing
Deposito valuta asing dalam bentuk USD (US dolar) merupakan
alternatif investasi yang diminati oleh masyarakat untuk memperoleh return
yang menjanjikan, karena adanya suku bunga yang biasanya lebih besar dari
suku bunga tabungan dan appresiasi USD terhadap rupiah. Adapun
perkembangan USD terhadap rupiah disajikan sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan USD Terhadap Rupiah Tahun 1990-2011
Tahun
Nilai
Kurs
Pertumbuhan
(%)
Tahun
Nulai
Kurs
Pertumbuhan
(%)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
1.901
1.992
2.308
2.110
2.200
2.308
2.383
3.989
11.591
7.100
9.595
4,79
15,86
-8,58
4,27
4,91
3,25
67,39
190,57
-38,75
35,14
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
10.255
9.049
10.260
10.260
9.830
9.200
9.400
9.666
10.300
8.920
8.900
6,88
-11,76
13,38
0,03
-4,22
-6,41
2,17
2,82
6,55
-13,39
-0,22
Sumber: Bank Indonesia , diolah
Perkembangan nilai kurs USD terhadap rupiah secara rata-rata adalah
13,08 persen per tahun, Fluktuasi kurs dari tahun ke tahun sebagaimana Tabel
1 tampak sangat tajam, khususnya tahun 1997 dan 1998 saat terjadi krisis,
yang berdampak pada depresiasi nilai rupiah terhadap USD sebesar 67,39
persen untuk tahun 1997 dan 190,57 persen untuk tahun 1998. Untuk periode
selanjutnya pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan penstabilan nilai
tukar, sehinggi sampai dengan tahun 2011 fluktuas kurs tidak terlalu tajam.
Para investor dapat memilih alternatif investasi dalam deposito valuta
asing, misalnya USD. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah kenaikan nilai
dolar ditambah dengan bunga deposito. Misalnya dari tahun 1990-2011,
seorang deposan menginvestasikan dana 10 juta rupiah pada awal Januari
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
97
1990 dalam USD. Setelah dikonversi dengan kurs pada saat itu, deposito valas
investor bernilai 10.000.000/1.901 = 5.260,4. Setelah didepositokan selama 21
tahun (1990-2011) dengan suku bunga deposito sebagaimana Tabel 2, maka
dana investor setelah dikurangi pajak pendapatan 15 persen, akan
menghasilkan dana dalam bentuk dolar sebesar 15.505,48. Adapun perubahan
dana investasi deposan selama 21 tahun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Suku Bunga Deposito Valas dan Nilai Investasi
Akhir Desember Tahun 1990-2011
Suku Bunga
Nilai Investasi
Deposito Valas
(USD)
(%)
14,00
5.996,84
1990
13,20
6.440,80
1991
8,75
6.919,83
1992
8,06
6.405,17
1993
7,12
6.792,81
1994
7,40
7.220,08
1995
7,55
7.751,05
1996
8,13
8.286.69
1997
15,0
9.343,24
1998
12,0
10.296,25
1999
5,03
10.891,83
2000
7,00
11.768,68
2001
7,02
12.470,91
2002
3,12
12.802,37
2003
3,00
13.128,83
2004
3,75
13.547,31
2005
4,00
14.007,92
2006
3,25
14.394,89
2007
3,08
14.771,74
2008
2,12
15.037,92
2009
1,86
15.275,66
2010
1,77
15.505,48
2011
Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah)
Tahun
Berdasarkan Tabel 2, dengan memperhitungkan suku bunga deposito
USD yang berlaku dengan perhitungan bunga anuited dan pajak pendapatan
15 persen, maka pada tahun 2011 dana investor tersebut menjadi 15.505,48
dolar. Dan jika dokonversikan ke dalam rupiah menjadi 15.505,48 X 8.900 =
137.998.772 rupiah. Peningkatn dana investor melalui investasi deposito dolar
bagus dan tidak terpengaruh oleh gejolak kurs, peningkatan nilai cukup stabil.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
98
B.
Investasi Deposito Rupiah
Deposito adalah sejenis produk investasi atau tabungan yang
ditawarkan oleh bank kepada masyarakat. Deposito merupakan produk
simpanan di bank yang penyetoran maupun penarikannya hanya dapat
dilakukan pada waktu tertentu saja atau sesuai dengan jatuh temponya,
sehingga deposito dikenal juga sebagai tabungan berjangka. Sebagaimana
tabungan yang sudah memasyarakat deposito juga banyak dipilih orang
sebagai alternatif investasi dalam menyimpan uang, baik jangka pendek
maupun jangka panjang.
Adapun pengembalian investasi deposito rupiah dengan suku bunga
yang berlaku selama tahun 1990-2011 dengan deposito awal sebesar 10 juta
rupiah pada Januari 1990, disajikan sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Suku Bunga DepositoRupiah dan Nilai Investasi
Akhir Desember Tahun 1990-2011
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Suku Bunga
Deposito Rupiah
(%)
20,06
21,03
15,07
15,06
12,39
15,83
16,09
16,24
24,72
21,05
11,71
14,52
14,42
9,63
6,20
7,05
9,70
7,28
6,93
6,75
5,57
5,50
Nilai Investasi
(Rupiah)
11.705.100
13.797.445
15.563.656
15.915.239
16.211.024
18.392.298
20.907.720
23.767.164
28.763.120
34.817.757
38.283.342
42.975.731
48.243.266
52.192.218
54.942.748
58.235.191
63.036.682
66.937.391
70.880.338
74.947.097
79.747.833
83.476.044
Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah)
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
99
Berdasarkan Tabel 3, perkembangan suku bunga deposito rupiah di
Indonesia periode 1990-2011 cenderung menurun. Penurunan suku bunga
tersebut juga terkait dengan liberalisasi perdagangan dan investasi
internasional, guna meningkatkan daya saing perbankan swasta nasional
terhadap bank asing yang beroperasi di Indonesia. Liberalisasi perdagangan
juga menuntut daya saing produksi yang tinggi, jika tingkat bunga tinggi, tentu
biaya produksi juga akan tinggi sehingga daya saing komoditas Indonesia
akan rendah. Meskipun suku bunga deposito Indonesia lebih tinggi dari suku
bunga deposito internasional, yaitu dibawah 5 persen, namun deposito dolar
tetap lebih menarik daripada deposito rupiah. Sebab deposito rupiah cenderung
terdepresiasi terhadap mata uang asing, terutama dolar AS.
Selanjutnya, sebagaimana kasus yang disajikan pada Tabel 3, tampak
bahwa dengan modal awal 10 juta rupiah, setelah 21 tahun dan perhitungan
bunga annuited setiap tahun dan pajak penghasilan 15 persen, maka diperoleh
hasil pada desember 2011 adalah 83.476.044 rupiah. Sehngga tampak bahwa
setelah 21 tahun, dana investasi pada deposito menjadi 8 kali lipat lebih.
Namun jika memperhitungkan inflasi, nilai deposito tersebut lebih kecil.
Karena dari tahun 1990-2011 harga barang telah meningkat 10 kali lipat, untuk
semua kelompok jenis barang. Berarti, jika deposito rupiah dijadikan tujuan
investasi jangka panjang, maka tidak akan menguntungkan investor. Namun
dalam jangka pendek mungkin lebih baik
karena aman dan dapat
dimanfaatkan sebagai jaminan untuk memperoleh fasilitas kredit investasi
yang nilainya jauh lebih besar dari nilai deposito pada bank yang sama.
Seterusnya dapat meningkatkan kredibilitas deposan tersebut.
C.
Investasi Logam Mulia
Emas telah terbukti sebagai sarana penyimpan kekayaan yang tahan
terhadap inflasi. Emas memiliki korelasi dengan instrumen investasi lainnya,
misalnya valuta asing. Jika mata uang asing (USD misalnya) mengalami
penurunan, maka pemegang mata uang dolar akan beralih membeli emas.
Disamping memiliki korelasi dengan valuta asing, emas juga terkait dengan
instrumen investasi saham. Jika harga saham turun maka emas dipastkan naik.
Hal tersebut disebabkan karena pemegang saham akan melepas sahamnya dan
beralih membeli emas.
Emas dipercaya sebagai penangkal inflasi dan penyelamat aset. Harga
emas biasanya berbanding lurus dengan tingkat inflasi dan perubahan harga
mata uang US dolar . Jika inflasi meningkat, US dolar meningkat, dan harga
emas akan meningkat pula. Sehngga emas merupakan bentuk investasi yang
risikonya paling rendah.
Hasil investasi emas akan menghasilkan pengembalian berdasarkan
perkembangan harga emas pada tahun yang bersangkutan. Adapun data
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
100
perkembangan harga emas dan petumbuhannya
disajikan pada Tabel 4.
kurun waktu 1990-2011
Tabel 4 Perkembangan Harga Emas Internasional Tahun 1990-2011
Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Harga Emas
Per Troy Once
(USD)
380
365
341
378
385
386
398
368
293
288
281
276
318
376
412
515
570
667
872
1038
1421
1786
Harga Emas
Per Gram
(Rp)
23.225
23.376
25.303
25.642
27.231
28.642
30.492
43.348
109.189
65.741
86.684
90.998
92.516
124.029
135.944
162.761
168.598
201.578
270.990
343.736
407.520
511.048
Pertumbuhan
(%)
0,65
12,52
1,33
6,19
5,18
6,45
42,16
151,88
-39,79
31,85
4,97
1,66
34,06
9,60
19,72
3,58
19,56
34,43
26,84
18,55
25,40
Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah)
Tabel 4 menunjukkan bahwa harga emas cenderung meningkat setiap
tahun. Dalam kurun waktu 1990-2011, harga emas internasional (USD per troy
once) telah meningkan 370 persen dengan rata-rata perkembangan 17,6 persen
pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi emas merupakan investasi
yang sangat menguntungkan baik pada saat normal maupun saat krisis
ekonomi. Sejak tahun 2002-2011 harga emas tidak pernah turun, kenaikan
yang sangat tajam dmulai pada tahun 2005 dengan laju kenaikan harga 25
persen kemudian tahun 2008 dengan laju kenakan 30,03 persen. Kemudian
tahun 2009 dengan laju kenaikan harga emas 19 persen. Kemudian tahun 2010
laju kenaikan harga emas 36,9 persen. Dan pada tahun 2011 laju kenaikan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
101
harga emas internasional mencapai 25,7 persen. Memperhatikan pola kenaikan
harga emas internasional, maka kenaikan ini terkait dengan kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM), dan berkorelasi positif. Jika harga BBM naik,
para investor akan memperkirakan terjadi kenaikan inflasi, sehingga
mengalihkan investasinya ke emas batangan. Perilaku ini akan meningkatkan
permintaan emas dan mendorong kenaikan harga emas tersebut
D.
Perbandingan Return Investasi Logam Mulia, Deposito Valas, dan
Deposito Rupiah
Adapun perbedaan yang nyata antara return investasi pada logam
mulia atau emas, deposito valuta asing dan deposito berjangka; disajikan
sebagaimana Tabel 5.
Tabel 5 Perkembangan Nilai Investasi Logam Mulia, Deposito USD dan
Deposito Rupiah Akhir Desember Tahun 1990-2011
Tahun
Nilai Investasi
Emas
(Rp)
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
10.039.415
10.065.004
10.894.713
11.040.676
11.724.852
12.332.386
13.344.225
18.664.348
47.013.508
28.306.102
37.232.350
39.181.009
39.834.614
53.403.116
58.533.408
68.452.394
72.593.241
86.793.439
116.680.164
148.002.409
175.465.886
220.041.937
Nilai Investasi
Deposito USD
(Rp)
Nilai Investasi
Deposito
Rupiah (Rp)
11.400.001
12.830.073
15.970.968
13.514.909
14.944.182
16.663.945
18.470.752
33.055.606
108.297.495
73.103.375
104.507.109
120.687.813
112.849.265
131.352.316
134.741.182
133.170.057
128.872.864
135.311.966
142.783.369
154.890.576
136.258.887
136.258.877
11.705.100
13.797.445
15.563.656
15.915.239
16.211.024
18.392.298
20.907.720
23.767.164
28.763.120
34.817.757
38.283.342
42.975.731
48.243.266
52.192.218
54.942.748
58.235.191
63.036.682
66.937.391
70.880.338
74.947.097
79.747.833
83.476.044
Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah)
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
102
Pada tabel 5 dapat dilihat komparasi perkembangan nilai investasi dari
logam mulia, deposito rupiah dan deposito valas. Perkembangan nilai investasi
logam mulia mencerminkan kenaikan harga komoditas tersebut.
Perkembangan nilai investasi deposito rupiah mencerminkan perkembangan
suku bunga deposito rupiah, sedangkan perkembangan investasi deposito valas
mencerminkan perkembangan suku bunga deposito USD dan perkembangan
nilai tukar USD terhadap rupiah.
Pada periode 1990-1996, investasi deposito rupiah yang paling
menguntungkan, diikuti investasi deposito valas, sementara investasi emas
jauh lebih rendah hasilnya. Pada tahun 1997, dan puncak krisis moneter 1998,
nilai tukar USD naik tajam sehingga nilai investasi dolar meningkat sampai
227,62 persen; dan suku bunga deposito USD juga naik dari 8,13 persen tahun
1997 menjadi 15 persn tahun 1998. Karena periode tersebut kebijakan
pemerintah menaikkan suku bunga deposito USD dan deposito rupiah dalam
upaya pengetatan moneter yang bertujuan untuk mengatasi dampak spekulasi
masyarakat terhadap USD. Pada tahun tersebut harga emas di pasaran turun
sebesar negatif 20,38 persen. Keadaan ini menyebabkan kenaikan harga emas
dalam rupiah hanya 151,89 persen. Sehingga nilai investasi emas hanya naik
sebesar kenaikan harga emas dalam negeri yang lebih rendah dari kenaikan
deposito USD. Nilai investasi rupiah juga meningkat 21,02 persen sebagai
hasil peningkatan suku bunga deposito rupiah sari 16,24 persen tahun 1997
menjadi 24,72 persen pada tahun 1998.
Pada tahun 1999 setelah Indonesia mendapat bantuan dari
International Monetary Fund (IMF) rupiah kembali menguat; sehingga
menstabilkan kondisi ekonomi, politik dan sosial di dalam negri. Hal tersebut
berdampak pada penurunan suku bunga. Dari kondisi yang terjadi, harga emas
juga mengalami penurunan namun tidak begitu tajam. Mulai tahun 200 hingga
akhir 2011, harga emas selalu mengalami peningkatan yang sangat singnifikan
untuk setiap tahunnya,
Pada tahun 2000 kurs rupiah terdepresiasi terhadap USD sebagai
akibat perkembangan politik dan keamanan menjelang sidang tahunan MPR.
Untuk menjaga kestabilan ekonomi pemerintah menurunkan suku bunga, hal
ini berdampak pada turunnya suku bunga deposito dan return nilai investasi
deposito rupiah; namun sebaliknya, investor yang berinvestasi pada deposito
valas mengalami keuntungan yang bersar akibat kenaikan kurs dolar terhadap
rupiah.
Tahun 2003 nilai tukar kembali melemah disebabkan memanasnya
suhu politik menjelang Pilpres Tahun 2004. Adanya ketegangan elit politik
berdampak pada buruknya harapan publik terhadap pasar. Suku bunga
deposito malah mengalami penurunan akibat situasi ekonomi yang kurang
kondusif, dan menyebabkan investor mengalihkan investasinya ke logam
mulia ataupu valas. Selanjutnya, pada tahun 2008, USD terapresiasi akibat
krisis perekonomian global, dan berlangsung sampai tahun 2009. Faktor lain
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
103
yang menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar melemah karena adanya
penurunan suku bunga BI. Ini semakin membuat harga emas meningkat karena
investor beralih membeli emas untuk menyelamatkan aset yang dimiliki;
daripada menyimpan uang dalam bentuk deposito yang bunganya cenderung
menurun.
Tahun 2010-2011 kurs rupiah terhadap dolar cenderung stabil; hal ini
berpengaruh terhadap return investasi dalam bentuk deposito valas
sebagaimana Tabel 5 relatif rendah. Namun dari sisi lain, harga emas terus
mengalami peningkatan. Sejak tahun 2002-2011 harga emas terus naik di
pasaran internasional dengan rata-rata kenaikan 18,31 persen; sedangkan di
pasar domestik kenaikan harga emas rata-rata 17,5 persen per tahun. Angka ini
jauh lebih besar dari suku bunga deposito valas USD dan deposito rupiah.
Akibatnya investasi dalam bentuk logam mulia lebih menguntungkan
dibanding investsi deposito valas USD dan deposito rupiah.
V.
SIMPULAN
1.
Sebelum krisis moneter di Indonesia, urutan investasi yang lebih
menguntungkan adalah sebagai berikut: deposito rupiah, deposito USD,
dan logam mulia.
Sejak krisis moneter di Indonesia sampai dengan krisis Global, urutan
investasi yang lebih menguntungkan adalah: deposito USD, logam
mulia dan deposito rupiah
Sejak krisi global, urutan investasi yang lebih menguntungkan adalah:
logam mula, deposito USD dan deposito rupiah.
2.
3.
DAFTAR PUSTAKA
Arumdati, Dewi. 2011. Cara kaya Dengan Investasi.
Adri, Natar. 2010. Investasi Mudah dan Murah. Penerbit Araska. Yogyakarta
Bank Indonesia. 2010. (www.bi.go.id). Diakses Desember 2011
Dornbusch,R., Fscher,S., Starzt,R. 1994. Makro Ekonomi. Edisi Empat.
Penerbit: Erlangga. Jakarta
Mankiew, Georgy. 2007. Makro Ekonomi. Penerbit: Erlangga. Jakarta
Palaloi, Ihsan. 2010. Kemilau Investasi Emas. Penerbit: Erlangga. Jakarta
Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jilid II.
Penerbit:Erlangga. Jakarta
Sukirno, Sadono . 2007. Makro Ekonomi. Penerbit: PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Smith, Graham. 2001. The Price of Gold and Stock Price Indeces for The
United States.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
104
Suryadi, Dede. 2009. Kemilau Investasi Emas Tak Pernah Pudar.
(http://dedesuryadi.blogspot.com), diakses 28 Desember 2011.
Yusanto, Ismail., dkk. 2001. Dinar Emas Solusi Krisis mOneter. Jakarta:
PIRAC,SEM Institute
Yusdja, Yusmichad. 2004. Tinjauan Teori Perdagangan Internasional dan
Keunggulan Komparatif. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 22
Bo. 2, hal 126-141.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
105
Volume
Tahun 4,
4 Desember
Desember 2011
2011,, hal
hal 106-114
1Volume VIII
VIII Tahun
15
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
PENGARUH OPTIMISME ADAPTIF TERHADAP PEMBENTUKAN
EKSPEKTASI BISNIS DI INDONESIA PERIODE 2003-20091)
E r n a w a t i 2)
ABSTRAK
Penelitian in bertujuan untuk mengetahui pengaruh optimisme adaptif
terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Obyek penelitian
adalah para pebisnis hasil survey Bank Indonesia. Sehingga sumber data
yang digunakan merupakan data hasil survey kegiatan dunia usaha (SKDU)
Bank Indonesia periode 2003:I-2009:IV. Peralatan analisis yang digunakan
yaitu regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain
faktor yang tidak dimasukkan dalam model, pembentukan ekspektasi bisnis di
Indonesia dipengaruhi secara positif oleh
pengalaman situasi bisnis
sebelumnya yang ditunjukkan dengan nilai estimasi sebesar 0,488. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa tesis Keynes mengenai ekspektasi adaptif juga
berlaku di Indonesia; dengan kata lain pembentukan ekspektasi bisnis di
Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh optimisme adaptif.
Kata kunci: optimisme adaptif, pengalaman bisnis, ekspektasi bisnis
I.
PENDAHULUAN
Faktor psikologi
telah banyak memainkan peranan dalam
pembentukan sikap seseorang, baik dalam menghadapi perilaku bisnis maupun
perilaku non bisnis. Faktor psikologi ini serta merta mendorong manusia untuk
keluar dari obyektifitas yang dimiliki ke arah subyektifitas sebuah persoalan.
Hasilnya, seseorang tidak akan mengandalkan rasionalitasnya dalam
pengambilan keputusan, namun lebih bersifat mengandalkan pengalaman
masa lalu atau apa yang telah dialami pada periode sebelumnya. Perilaku yang
tidak mengandalkan kelengkapan informasi dalam upaya pengambilan
keputusan yang rasional, namun lebih mengandalkan pengalaman masa lalu
disebut dengan sifat adaptif. Dan jika dikaitkan dalam terminologi ekspektasi,
___________________________________________
1)
Hasil
Penelitian
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
2)
Dosen Fakultas Ekonomi Universtas Haluoleo
106
maka perilaku ini dapat diseput dengan optimisme adaptif, atau dalam istilah
Keynes lebih dikenal dengan adaptive expectation.
Di Indonesia, informasi mengenai perilaku adaptif
dalam
pembentukan ekspektasi bisnis telah disajikan pada survey kegiatan dunia
usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara triwulanan. Untuk
periode 2003 hingga 2009 hasil survey tersebut disajikan sebagaimana Gambar
1. Pada Gambar 1 tampak bahwa secara umum pola ekspektasi bisnis searah
dengan optimisme adaptif, yang dalam hal ini optimisme adaptif dapat dilihat
melalui situasi yang dialami pebisnis tiga bulan sebelumnya. Gambar 1 juga
menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode ekspektasi bisnis memiliki
pola yang bertentangan dengan pengalaman pebisnis periode sebelumnya.
Pertentangan paling menonjol ini setidaknya terjadi pada triwulan II tahun
2005 sampai triwulan I tahun 2006. Periode selanjutnya adalah triwulan I
tahun 2007 dan Triwulan II tahun 2008. Untuk periode triwulan I tahun 2007
merupakan arah yang paling bertentangan antara situasi bisnis yang dialami
dengan ekspektasi yang terbentuk dari seluruh periode yang disajikan. Pada
triwulan I tahun 2007 tersebut, situasi bisnis mengalami penurunan dari
24,37 persen pada triwulan IV tahun 2006 menjadi 19,66 persen. Sementara
pebisnis yang berekspektasi mengalami kondisi yang lebih baik meningkat
dari 36,55 persen pada triwulan IV tahun 2006 menjadi 43,06 persen.
Gambar1 Situasi dan Ekspektasi Bisnis di Indonesia
Periode 2003-2009
50
40
30
20
10
2003-I
2003-II
2003-III
2003-IV
2004-I
2004-II
2004-III
2004-IV
2005-I
2005-II
2005-III
2005-IV
2006-I
2006-II
2006-III
2006-IV
2007-I
2007-II
2007-III
2007-IV
2008-I
2008-II
2008-III
2008-IV
2009-I
2009-II
2009-III
2009-IV
0
Situasi Bisnis 3 Bulan Terakhir
Ekspektasi Bisnis Akan Datang
Berdasarkan pola fluktuasi situasi bisnis yang dialami pebisnis tiga
bulan sebelumnya dan pembentukan ekspektasi bisnis, maka perlu diteliti
lebih lanjut bagaimana pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan
ekspektasi bisnis di Indonesia.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
107
II.
KAJIAN PUSTAKA
Kajian-kajian literatur ekonomi yang ada telah menunjukkan dua
pertentangan pandangan mengenai pembentukan ekspektasi. Pada satu sisi
Keynes dengan pandangan ekspektasi adaptifnya; dan pada sisi lain aliran new
klasik-Rational Expectation (ratex) dengan pandangan ekspektasi rasional.
Ekspektasi adaptif Keynes menganggap bahwa harga ekspektasi didasarkan
pada perilaku masa lalu, bukan ekspektasi mereka mengenai keadaan masa
datang. Bagi Keynes ekspektasi adaptif ini merupakan faktor psikologis dalam
pengambilan keputusan, yang salah satunya digunakan pada keputusan
berinvestasi. Bentuk faktor psikologis ini kemudian diistilahkan oleh Keynes
dengan animal spirit.
Menurut Keyness, investasi sebagian akan tergantung pada apa yang
disebut animal spirit para kapitalis, yaitu faktor psikologi dan spekulatif.
Animal spirit dapat diformulasikan sebagai sikap optimisme investor akan
kondisi perekonomian. Karenanya animal spirit dinyatakan dalam bentuk
α>0. Ketika kapitalis lebih optimis, maka α akan naik, dan turun ketika
pesimis. Investasi kapitalis juga dipengaruhi oleh return atau profit dari
investasi modal. Jika tingkat profit tinggi, maka investasi modal juga tinggi.
Keterkaitan tersebut dinyatakan dalam bentuk βr dengan β>0 (Hahnel, 2002).
Bagi Blecker (2010) animal spirit juga merupakan salah satu faktor yang
mendorong utilisasi kapasitas dalam perekonomian. Adapun sikap optimisme
pengusaha bagi Keynes berasal dari perilaku adaptive expectation (ekspektasi
adaptif) mereka, bukan rational expectation (ekspektasi rasional).
Pada sisi lain, pandangan ekspektasi rasional dari aliran ratex
dibangun berdasarkan beberapa preposisi, antara lain: bahwa orang atau unitunit ekonomi akan membuat perkiraan (ekspektasi); orang menggunakan
informasi yang ada padanya secara efisien; orang tidak membuat kesalahankesalahan secara sistematis dalam berekspektasi; dan orang akan bereaksi
secara rasional terhadap kebjaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan demi
kepentingan pribadi masing-masing (Deliarnov, 2007).
Adapun tiga ciri penting ekspektasi rasional, yaitu: pertama,
ekspektasi tersebut didasarkan pada informasi yang relatif lengkap mengenai
suatu persoalan. Jadi ia tidak saja didasarkan pengalaman masa lalu atau
peristiwa yang baru terjadi. Seorang atau sekumpulan pelaku kegiatan
ekonomi yang rasional akan memiliki informasi yang lebih lengkap daripada
keadaan yang dialaminya masa lalu atau baru saja terjadi. Kedua, berdasarkan
informasi yang dimilikinya tersebut, pelaku-pelaku kegiatan ekonomi akan
melakukan tindakan yang „rasional‟, yaitu tindakan yang paling
banyak memberi keuntungan. Ketiga, pelaku-pelaku ekonomi mengetahui
dengan baik implikasi dari berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah
(Sadono, 2000).
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
108
III.
METODE PENELITIAN
Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah para pebisnis
Indonesia, dengan periode analisis 2004:I - 2009:IV
hasil
survey Bank
Pengukuran Variabel
Variabel optimisme adaptif diproxi melalui variabel situasi bisnis
yang dialami pebisnis tiga bulan sebelumnya. Sedangkan ekspektasi bisnis
diukur dengan ekspektasi pebisnis mengenai kondisi ekonomi enam bulan
akan datang. Kedua variabel ini diperoleh secara langsung dari hasil survey
kegiatan dunia usaha (SKDU) Bank Indonesia.
Adapun metodologi yang diterapkan pada SKDU adalah dengan
mengumpulkan data melalui wawancara dan atau pengisian kuesioner
langsung sekitar 2000 perusahaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia
dan dipilih secara purposive sampling. Metode perhitungan dilakukan dengan
metode saldo bersih (SB- net balance), yakni dengan menghitung selisih
antara persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “baik” dengan
persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “buruk” dan
mengabaikan jawaban “cukup”. Misalnya saldo bersih hasil perhitungan
pengalaman situasi bisnis 3 bulan terakhir menunjukkan nilai 20 persen, maka
dapat diinterpretasikan bahwa jumlah responden yang optimis mengenai
situasi perekonomian adalah lebih tinggi 20 persen dibanding responden yang
pesimis.
Peralatan Analisis
Peralatan analisis yang digunakan yaitu persamaan regresi linear
sederhana, dengan ekspektasi bisnis merupakan fungsi dari optimisme adaptif.
Adapun persamaan regresi diformulasikan dengan:
Ekpts = b0 + b1adptv + e
keterangan:
b0
b1
= konstanta
= parameter
Adaptf
= optimisme adaptif
Ekpts
= ekspektasi bisnis
e
= error term
Kriteria uji signifikansi ditentukan dengan membandingkan statistik
uji t-hitung terhadap nilai kritikal (critical value) taraf .05
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
109
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Faktor psikologis dalam berinvestasi dapat ditelusuri melalui optimisme
investor akan situasi bisnis, baik periode lalu maupun periode yang akan
datang. Jika ekspektasi dibentuk berdasarkan pengalaman atau pertimbangan
kondisi lalu (sebelumnya), maka ekspektasi tersebut dikatakan ekspektasi
adaptif. Dan sebaliknya, jika ekspektasi terbentuk dari informasi yang lengkap
mengenai kondisi akan datang, maka ekspektasi tersebut bersifat rasional.
Dalam hasil survey kegiatan dunia usaha yang dilaksanakan oleh Bank
Indonesia, ekspektasi adaptif dapat ditelusuri melalui variabel persepsi
responden akan situasi bisnis selama tiga bulan terakhir.
A.
Optimisme Adaptif
Faktor psikologis, dalam hal ini pandangan adaptif pebisnis mengenai
situas bisnis tiga bulan sebelumnya disajikan sebagaimana Tabel 1.Tabel 1
menunjukkan bahwa mayoritas pebisnis memiliki kondisi ekonomi yang
cukup baik selama tiga bulan terakhir, yang diindikasikan dengan persentase
rata-rata pebisnis dalam kategori ini sebesar 57,85 persen; dan seluruh periode,
2003:I sampai 2009:IV, lebih dari 50 persen pebisnis mengalami kondisi
ekonomi yang cukup baik.
Pada sisi lain pebisnis yang mengalami kondisi ekonomi yang baik
secara rata-rata sebesar 32,29 persen, dengan persentase terendah terjadi pada
triwulan I tahun 2009 dengan nilai 27,47 persen; sementara persentase
tertinggi dialami pada triwulan IV tahun 2006 dengan nilai 40,22 persen.
Selanjutnya Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masih terdapat pebisnis yang
mengalami kondisi ekonomi yang buruk selama tiga bulan terakhir, dengan
persentase terendah dialami pada triwulan II tahun 2004; dan persentase
tertinggi sebesar 15,45 persen dialami pada periode triwulan I tahun 2003. Dan
secara rata-rata, pebisnis yang mengalami kondisi yang buruk selama periode
penelitian yaitu sekitar 10 persen.
Tabel 1 Kondisi Bisnis Tiga Bulan Terakhir
Baik
%
Minimum
Maksimum
Rata-rata
27,47
40,22
32,39
Cukup
Buruk
Triwulan
%
Triwulan
%
Triwulan
2009:I
2004:IV
53,21
61,33
57,85
2008:IV
2005:III
3,06
15,45
9,58
2004:II
2003:I
Saldo
Bersih
12,76
33,65
22,81
Sumber: SKDU BI, diolah
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
110
Selanjutnya, dengan mempertimbangkan saldo bersih, dalam hal ini
merupakan selisih antara pebisnis yang mengalami kondisi yang baik dengan
pebisnis yang mengalami kondisi yang buruk; serta mengabaikan jawaban
cukup, diperoleh rata-rata untuk seluruh periode sebesar 22,81 persen. Saldo
bersih rata-rata sebesar 22,81 menunjukkan bahwa reponden yang mengalami
kondisi ekonomi yang baik adalah 22,81 persen lebih banyak dibanding
pebisnis yang mengalami kondisi ekonomi yang buruk.
B.
Ekspektasi Bisnis
Ekspektasi dari pebisnis di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
menunjukkan bahwa mayoritas pebisnis
berekspektasi bahwa kondisi
bisnisnya enam bulan akan datang sama dengan tiga bulan sebelumnya yang
diindikasikan dengan persentase rata-rata pebisnis dalam kategori ini sebesar
54,18 persen. Persentase terendah dari responden yang berekspektasi kondisi
bisnis akan sama dengan periode sebelumnya terjadi pada triwulan IV tahun
2009 sebesar 47,46 persen. Sementara persentase tertinggi dialami pada
triwulan II tahun 2003 sebesar 61,25 persen.
Pada sisi lain pebisnis yang berekspektasi bahwa kondisi ekonomi
lebih baik secara rata-rata sebesar 41,15 persen, dengan persentase terendah
terjadi pada triwulan III tahun 2005 dengan nilai 34,32 persen; sementara
persentase tertinggi dialami pada triwulan IV tahun 2009 dengan nilai 49,62
persen. Selanjutnya Tabel 1 juga menunjukkan bahwa terdapat pebisnis yang
berekpektasi bahwa kondisi bisnis enam bulan mendatang akan lebih buruk
secara rata-rata sebesar 4,5 persen, dengan persentase terendah dialami pada
triwulan IV tahun 2009; dan persentase tertinggi sebesar 9,96 persen pada
periode triwulan III tahun 2005.
Tabel 2 Ekspektasi Bisnis Enam Bulan Akan Datang
Lebih Baik
Sama
Lebih Buruk
Saldo
%
Triwulan
%
Triwulan
%
Triwulan
Minimum
34,32
2005:III
47,46
2009:IV
2,92
2009:IV
24,36
Maksimum
49,62
2009:IV
61,25
2003:II
9,96
2005:III
46,70
Rata-rata
41,15
54,18
4,5
36,65
Sumber: SKDU BI, diolah
Adapun persentase terendah saldo bersih ekspektasi bisnis enam bulan
akan datang sebesar 24,36 persen dan saldo bersih tertinggi sebesar 47,70
persen. Secara rata-rata untuk seluruh periode 2003:I sampai 2009:IV saldo
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
111
bersih ekspektasi bisnis sebesar 36,65 persen. Saldo bersih rata-rata sebesar
36,65 persen menunjukkan bahwa pebisnis yang berekspektasi bahwa kondisi
bisnis akan lebih baik sebesar 36,65 persen lebih banyak dibanding pebisnis
yang berekspektasi kondisi bisnis akan lebih buruk.
C.
Pengaruh Faktor Optimisme Adaptif
Ekspektasi Bisnis
terhadap Pembentukan
Tabel 3 menyajikan hasil estimasi pengaruh optimisme adaptif
terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Hasil estimasi pada
Tabel 3 menunjukkan bahwa Koefisien b0 = 25.353 artinya jika tidak ada
perubahan optimisme adaptif
maka pebisnis yang berekspektasi kondisi
bisnis lebih baik dari periode sebelumnya sebesar 25.353 persen. Koefisien b1
= 0,488 mengandung pengertian bahwa jika optimisme adaptif sebesar 1
persen maka ekspektasi bisnis akan meningkat sebesar 0,488 persen. Dengan
kata lain, pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan ekspektasi bisnis
di Indonesia adalah positif.
Tabel 3 Hasil Estimasi Pengaruh Optimisme Adaptif
terhadap Ekspektasi Bisnis
Model
1
(Constant)
Adptv
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
t
Sig.
25.353
4.258
5.955
.000
.488
.183
2.674
.013
a. Dependent Variable: Ekpts
F = 7.150 ; Sign
.013
R = .464a
R2 = .216
Adjusted R Square .186
Sumber: Hasil Olah Data, 2011
Untuk mengetahui tingkat signifikan variabel optimisme adaptif
terhadap variabel ekspektasi bisnis, maka dilakukan dengan pengujian statistik
uji t. Pengujian hipotesis dapat pula dilakukan dengan membandingkan nilai tsign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H1 atau
tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H 1 atau terima
H0. Berdasarkan Tabel 3 diatas, diperoleh t-hitung optimisme adaptif
sebesar 2,674 atau tingkat signifikan sebesar 0,013< dari α = 0,05, maka
terima H1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa optimisme adaptif
berpengaruh signifikan terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
112
Hasil uji simultan menunjukkan signifikansi yang sama dengan hasil uji t,
karena model penelitian yang disajikan adalah regresi linear sederhana. Hasil
temuan ini
sejalan dengan pandangan ekspektasi adaptif
Keynes
menganggap bahwa ekspektasi didasarkan pada perilaku masa lalu. Bagi
Keynes ekspektasi adaptif ini merupakan faktor psikologis dalam pengambilan
keputusan, yang salah satunya adalah keputusan berinvestasi. Bentuk faktor
psikologis ini kemudian diistilahkan oleh Keynes dengan animal spirit
Selanjutnya Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi
2
(R ) sebesar 0,216 atau sebesar 21,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
variasi perubahan terhadap variabel ekspektasi bisnis dapat dijelaskan oleh
variabel optimisme adaptif sebesar 21,6 persen, sedangkan sisanya sebesar
78,4 persen dijelaskan oleh variabel lain yang belum masuk dalam model
penelitian.
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
1.
Selain faktor yang tidak dimasukkan dalam model, pembentukan
ekspektasi bisnis enam bulan akan datang juga dipengaruhi oleh
pengalaman situasi bisnis tiga bulan sebelumnya dari para pebisnis.
Pengaruh pengalaman bisnis terhadap ekspektasi bisnis adalah positif,
yang ditunjukkan dengan nilai estimasi sebesar 0,488.
Simpulan 1 di atas menunjukkan bahwa tesis Keynes mengenai
ekspektasi adaptif juga berlaku di Indonesia; dengan kata lain
pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia salah satunya dipengaruhi
oleh optimisme adaptif.
2.
B.
1.
2.
Saran-saran
Suatu kajian tidak hanya dapat mengandalkan obyektifitas dari individu,
namun juga perlu dipadukan dengan subyektifitas, sehingga kesimpulan
akan sebuah persoalan ekonomi maupun kajian ilmiah dapat lebih
reprensentatif mewakili fakta yang ada di lapangan.
Mengandalkan obyektifitas berarti mengandalkan
kelengkapan
informasi dan data dalam proses pengambilan kebijakan, namun
informasi ini tidak selamanya lengkap sehingga subyektifitas dapat
menjadi pertimbangan untuk masuk dalam wilayah kajian tersebut.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
113
DAFTAR PUSTAKA
Bank Indonesia. (2006) Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Triwulan IV.
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. BI. Jakarta (www.bi.go.id)
diakses 10 November 2011
--------------- (2010) Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Triwulan IV.
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. BI. Jakarta (www.bi.go.id)
diakses 10 November 2011
Bhaduri, Amit (2008) On the Dynamics of Profit- and Wage- led Growth .
Cambridge Journal Economics , vol 32 (1) ; 147-160
Bhaduri, Amit and Marglin, Stephen (1990). Unemployment and the Real
Wage: The Economics Basis for Contesting Political Ideology.
Cambridge Journal of Economics, 14 . 375-395
Blecker, A. Robert (2009) Stolper- Samuelson After Kalecki : International
Trade and Income Distribution with Oligopolistic Mark-ups and Partial
Pass – Through . Paper Presented at The Eastern Economics
Association Meeting, New York. February 28
Bowles, S. dan Boyer,R. (1995) Wages, Aggregate Demand and Employment
in an Open Economy: An Empirical Investigation, pp 143-171 dalam
Edisi Epstein G.A. dan Gintis H., Macroeconomic Policy After the
Conservative Era, Cambridge University Press, Cambridge
Deliarnov. (2007). Perkembangan Pemkiran Ekonomi. PT Raja Grafindo
Persada. Jakarta
Gujarati, Danamor (2003). Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill.
USA
Hahnel, Robin (2002). The ABC‟s of Political Economy: A Modern Approach.
Pluto Press. London
Keynes, J. Maynard (1991) Teori Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga
dan Uang. Edisi Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Muhammad Yunus Zain (2005) Model Makro Ekonomi Politik Suatu
Perekonomian Energi: Persfektif Dampak Kenaikan harga BBM
Terhadap Daya Beli Masyarkat. Disampaikan pada Forum Ekonomi
Regional” Perkembangan Makro Ekonomi dan Keuangan Daerah
Sulawesi selatan dan Sulawesi Barat Triwulan III-2005. Makassar, 24
November
Sadono Sukirno. (2000). Makro Ekonomi Modern, Perkembangan Pemkiran
Dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
114
Volume
VolumeVIII
VIIITahun
Tahun44,Desember
Desember2011,
2011hal
, hal 115-133
1-15
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS
PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI
DI BURSA EFEK INDONESIA1)
Nur Asni 2)
ABSTRACT
This study aims to knows how the financial condition of companies
incorporated in the telecommunication companies listing on the Indonesia
Stock Exchange for the period 2006 to 2010. Analysis of financial statements
performed using ratios Altman Z-Score method based on the score that has
been established to determine the level of failure and financial distress of a
company. The results shows that the conditions and criteria have therefore
potentially bankrupt the company must work hard to improve financial
performance as precaution. PT Indosat Tbk Later in the period 2006 to 2010,
showing the conditions and criteria that could potentially bankrupt company's
improved financial performance needs to be done to anticipate the poor
condition of the company's financial performance in the future. While Mobile8 Telecom Tbk in the period 2006 to 2010 has the performance conditions that
are less healthy or prone, it indicates the company going into bankruptcy with
poor financial performance if not corrected.
Keywords: financial distress, Altman Z-Score
I. PENDAHULUAN
Kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia saat ini sudah masuk
masa kejenuhan. Menurut Wesley Andry, (2011), hal ini terlihat dari adanya
perang tarif, menggantikan persaingan dalam layanan dan kualitas, sehingga
menyebabkan keuntungan perusahaan telekomunikasi mengecil. Hal ini
memperburuk kondisi keuangan disektor ini, sehingga menyebabkan banyak
perusahaan di sektor telekomunikasi mengalami kesulitan keuangan. Forst
and Sulvian memperkirakan, setidaknya ada tiga operator seluler yang
memiliki peringkat terendah, yakni Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk, dan
Mobile-8 telecom Tbk.
___________________________________________
1)
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Hasil
Penelitian
2)
Dosen Fakultas Ekonomi Universtas Haluoleo
115
Ketiga operator tersebut merupakan perusahaan yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia (Wesley Andry, 2011). Berikut analisis pertumbuhan tiga
operator seluler di Indonesia yang menjadi studi kasus penulis:
Tabel 1 Data Pertumbuhan Laba Perusahaaan Telekomunikasi
Bakrie Telecom, Indosat dan Mobile-8 telecom 2006-2010
(Dalam Miliar Rupiah)
Perusahaan
Operator
Seluler
Bakrie
Telecom
Indosat
Mobile-8
telecom
2006
Rp
2007
2008
2009
%
Rp
2010
Rp
%
Rp
%
Rp
%
0,12
113
94.07
121
7
5
(95,87)
2
(60)
182
8
6.2
55
3.29
587,5
101
275
(98,4)
400
1.490
(180)
1.375,2
(165,45)
647
(197)
(56,6)
(19,7)
Sumber: Wesley Andry, 2011
Financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa
situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan.
Istilah umum untuk menggambarkan situasi tersebut adalah kebangkrutan,
kegagalan, ketidakmampuan melunasi hutang, dan default insolvency dalam
kebangkrutan menunjukkan kekayaan bersih negatif. Ketidakmampuan
melunasi utang, menunjukkan kinerja negatif dan menunjukkan adanya
masalah likuiditas. Default berarti suatu perusahaan melanggar perjanjian
dengan kreditur dan dapat menyebabkan tindakan hukum.
Menurut Platt dan platt (2002), financial distress adalah tahap
penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi
sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuiditas. Kondisi ini pada
umumnya ditandai antara lain dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas
produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank. Apabila
kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan
untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk
pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi.
Analisis kebangkrutan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
tanda-tanda awal kebangkrutan. Semakin awal diketahui tanda-tanda
kebangkrutan semakin baik bagi manajemen karena manajemen bisa
melakukan perbaikan-perbaikan. Kreditur dan pemegang saham bisa
melakukan persiapan untuk mengatasi berbagai kemungkinan terburuk. Tandatanda kebangkrutan dalam hal ini dilihat dengan menggunakan data-data
akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan.
Financial distress bisa berarti mulai dari kesulitan likuiditas yang
merupakan kesulitan keuangan paling ringan, sampai kepernyataan
kebangkrutan, yang merupakan financial distress yang berat. Kesulitan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
116
keuangan bisa dilihat sebagai kontinum yang panjang, mulai dari yang ringan
sampai yang paling berat.
Model sistem peringatan untuk mengantisipasi adanya financial
distress dikembangkan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan untuk
memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis. Teknik model
prediksi kebangkrutan sendiri secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam
empat kelompok: teknik statistik klasik, analisis recursive partitioning (tree
classification), jaringan neural (neural networks), dan algoritma genetik. Tiga
metode yang disebut terakhir dapat juga digolongkan sebagai pembelajaran
induktif, dan sedikit sulit melaksanakan model-model jenis ini. Karena itu,
peneliti bermaksud
meneliti bagaimana kondisi keuangan Perusahaan
Telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan
model prediksi kebangkrutan (financial distress) dengan teknik statistik klasik,
yaitu analisis diskriminan linier (model Altman Z-Score).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Financial Distress
Menurut Harianto dan Sudomo (1998), kebangkrutan adalah kesulitan
likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak mampu menjalankan
operasinya dengan baik. Financial distress adalah keuangan atau likuiditas
yang mungkin mengawali kebangkrutan. Perusahaan mengalami kesulitan
keuangan jika menghadapi keadaan insolvensy (ketidakmampuan membayar).
Insolvensy menggambarkan bahwa perusahaan tersebut mengalami kegagalan.
Menurut Brigham dan Gapenski (1992), kesulitan keuangan (financial
distrees) merupakan kondisi keuangan yang meliputi kesulitan mengenai
harapan profitabilitas dimasa depan, hingga kepada suatu keadaan dimana
suatu perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi. Adapun pengertian-pengertian
mengenai financial distress adalah sebagai berikut:
1. Kegagalan Ekonomi (Economic Failure) : yang berarti bahwa pendapatan
(revenue) perusahaan tidak dapat menutupi biaya total, termasuk biaya
modal.
2. Kegagalan Bisnis (Bisiness Failure) : suatu perusahaan dinyatakan
mengalami kegagalan bisnis apabila ia telah menutup satu atau lebih
operasi usahanya yang mengakibatkan kerugian kekurangan bagi pihak
kreditur.
3. Technical Insolvency : sebuah perusahaan dapat dikatakan mengalami
technical insolvency apabila tidak dapat memenuhi kewajiban jangka
pendeknya pada saat jatuh tempo.
4. Insolvency in Bankruptcy : suatu perusahaan dinyatakan mengalami
insolvency in bankruptcy jika total nilai buku kewajiban telah melebihi
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
117
5.
nilai pasar aktivanya. Kondisi ini lebih serius daripada technical
insolvency karena hal ini umumnya menandakan kegagalan ekonomis dan
mengarah kepada likuidasi perusahaan.
Legal Bankruptcy : perusahaan menurut asumsi legal bankruptcy belum
boleh dinyatakan bangkrut oleh putusan pengadilan.
Seperti yang telah disebutkan, kebangkrutan (bankruptcy) dapat terjadi
saat kewajiban total melebihi suatu nilai wajar dari total aktiva perusahaan
tersebut. Di sisi lain, perusahaan dapat dinyatakan bangkrut oleh putusan
pengadilan. Resiko kebangkrutan mencerminkan ketidak pastian mengenai
kemampuan perusahaan untuk meneruskan operasinya jika kondisi
finansialnya telah jatuh melewati tingkat minimum.
Kebangkrutan adalah kesulitan likuiditas yang sangat parah
sehingga perusahaan tidak mampu melaksanakan operasinya dengan baik.
Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam
menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan
juga sering disebut likuidas perusahaan atau penutupan perusahaan atau
insolvabilitas (Toto Prihadi, 2008).
Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti
(Martin et al. dalam Thisca Indriyati Irma, 2010).
1. Kegagalan dalam arti ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan
uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutup biaya sendiri, ini
berarti bahwa tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban.
2. Kegagal keuangan (financial failure)
Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi. Insolvensi atas
dasar arus kas ada dua bentuk:
a. Insolvensi teknis (tehnical insolvency)
Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat
memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo, walaupun total aktiva
melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi
salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio
aktiva lancar terhadap hutang lancar yang telah ditetapkan atau rasio
kekayaan bersih terhadap total aktiva yang diisyaratkan. Insolvensi teknis
juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga
atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu.
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan
Dalam pengertian ini, kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran
sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai
sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
118
Pengertian kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan
perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban
kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan
dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi
yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai dengan profit sebab
dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa digunakan untuk mengembalikan
pinjaman, bisa membiayai perusahaan dan kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva yang dimiliki.
Menurut Rico Lesmana dan Rudi Surjanto (2004:183-184) tanda-tanda
yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesuliatan
dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan keuangan antara lain adalah sebagai
berikut :
a. Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan
b. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi
c. Harga pasar saham menurun secara signifikan
d. Penurunan total aktiva
e. Kemungkinan gagal yang besar dalam perusahaan dengan resiko yang
tinggi
f. Young company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami
kesulitan di tahun-tahun awal operasinya sehingga kalau tidak didukung
sumber permodalan yang kuat akan dapat berakhir dengan kebangkrutan
g. Pemotongan yang signifikan dalam deviden
B.
Analisis Diskriminan Altman
Analisis Z-score untuk memprediksi kebangkrutan dikembangkan oleh
Edward I. Altman, seorang ahli ekonomi keuangan dan pengajar di leonard N.
Stern School of Business di Universitas New York. Analisis diskriminan
Altman merupakan salah satu teknik statistik yang bisa digunakan untuk
memprediksi adanya kebangkrutan suatu perusahaan. Sejumlah studi telah
dilakukan untuk mengetahui kegunaan analisis rasio keuangan dalam
memprediksi kegagalan perusahaan.
Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model
prediksi dengan teknik statistik yaitu analisis diskriminan yang digunakan
untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan istilah yang sangat
terkenal yang disebut Z-score. Z-Score adalah skor yang ditentukan dari
hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangn yang akan menunjukkan tingkat
kemungkinan kebangkrutan perusahaan.
Rumus yang telah dibuat oleh Altman sangat terbatas hanya untuk
perusahaan manufaktur yang telah go-public, sehingga Altman kemudian
menggunakan rumus tersebut dan kemudian melakukan perhitungan kembali
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
119
dan memodifikasi rumus tersebut. Altman kemudian menciptakan dua rumus
lagi untuk mengindikasikan kebangkrutan, yaitu rumus untuk perusahaan
manufaktur yang belum go-public atau private dan untuk perusahaan nonmanufaktur yang telah go-public dan dapat juga digunakan secara umum.
Untuk perusahaan non manufaktur dan perusahaan pada umumnya
(general use), Menurut Toto Prihadi (2008: 181), Altman mengindikasikan
kebangkrutan dengan menggunakan rumus:
Z-Score = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1.05 X4
Keterangan :
X1 = Net Working Capital / Total Assets
X2 = Retained Earnings / Total Assets
X3 = EBIT / Total Assets
X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities
Dengan kriteria penilaian sebagai berikut :
Skor Kebangkruran
Kurang dari 1,10
1,1 – 2.60
Bankrupt
Sumber: Altman, Edward I, 2000
Gray area
Lebih dari 1,10
Non – bankrupt
Rasio-rasio inilah yang akan digunakan dalam menganalisis laporan
keuangan sebuah perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan
terjadinya kebangkrutan pada perusahaan tersebut).Uraian mengenai masingmasing variabel dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Rasio modal kerja / Total aktiva sebagai X1
Yang dimaksud dengan modal kerja adalah selisih antara aktiva lancar
dengan hutang lancar. Pada dasarnya, rasio X1 merupakan salah satu rasio
likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi
kewajiban jangka pendek. Semakin besar hasil dari rasio ini berarti semakin
besar pula dana yang tertanam dalam aktiva lancar. Apabila aktiva lancar
lebih kecil dari hutang lancar, maka rasio ini akan negatif.
2. Rasio saldo laba / Total Aktiva sebagai X2
Pada dasarnya, rasio ini berhak mengukur akumulasi laba selama
perusahaan beroperasi, sehingga umur perusahaan juga berpengaruh pada
rasio tersebut, karena semakin lama perusahaan beroperasi, berarti semakin
besar pula kemungkinan untuk memperbesar akumulasi laba ditahan. Hal
tersebut mengakibatkan perusahaan yang masih relatif muda pada
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
120
umumnya kan menunjukkan angka rasio yang rendah, kecuali modal
perusahaan tersebut sangan besar pada awal berdirinya.
3. Rasio EBIT / Total aktiva sebagai X3
Rasio ini hendak mengukur efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan
laba dengan menggunakan seluruh sumber dana yang dimiliki (Total
Aktiva) rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar
produktifitas penggunaan dana uang dipinjam.
4. Rasio nilai pasar modal / Nilai buku hutang sebagai X4
Nilai pasar modal sendiri dihitung dengan cara membagi EAT dengan EPS
kemudian mengalikan hasilnya dengan closing price pada akhir periode
atau jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar
sahamnya (Sawir, 2005:25), sedangkan hutang meliputi hutang lancar dan
hutang jangka panjang.
5. Rasio penjualan / Total aktiva sebagai X5
Penjualan yang dimaksud adalah penjualan bersih, yaitu penjualan (pada
nilai faktur) dikurangi dengan pengembalian, pengurangan harga, biaya
transportasi yang dibayar untuk langganan dan potongan penjualan yang
diambil. Rasio ini hendak mengukur kemampuan manajemen didalam
menggunakan aktiva yang dimilikinya untuk menghasilkan penjualan. Hasil
dari rasio ini menunjukkan perputaran seluruh aktiva perusahaan. Rasio ini
juga menunjukkan efektifitas manajemen di dalam menghasilkan penjualan
dengan menggunakan total aktivanya.
III.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan
telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2006 sampai
tahun 2010 yaitu sebanyak 6 perusahaan. Pemilihan sampel dalam penelitian
ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode penelitian sampel
yang didasarkan pada kriteria tertentu untuk memperoleh sampel yang
representatif terhadap populasi. Kriteria pemilihan sampel penelitian adalah
sebagai berikut:
1. Perusahaan telah terdaftar sebagai emiten di bursa Efek Indonesia selama
5 tahun berturut – turut yakni dari tahun 2006 sampai tahun 2010.
2. Emiten menerbitkan laporan keuangan yang telah di audit oleh kantor
akuntan publik pada periode pengamatan, yaitu tahun 2006 sampai dengan
tahun 2010 secara terus menerus.
3. Perusahaan mengalami penurunan laba pada tahun terakhir.
Daftar Emiten Indonesian Capital Market Directory 2010 yaitu :
1. PT. Bakrie Telecom Tbk
2. PT.Indosat Tbk.
3. Mobile-8 Telecom Tbk.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
121
Untuk menganalisis kebangkrutan pada perusahaan telekomunikasi
penulis menggunakan model perhitungan model dasar Altman Z-Score,
dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berukut :
1.
Menghitung rasio-rasio keuangan, yaitu :
X1 = Rasio Net Working Capital /Total Asset
X2 = Rasio Retained Earnings/ Total Asset
X3 = Rasio EBIT / Total Asset
X4 =Rasio Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities
X5 = Rasio Selt/ Total Asset
2.
Melakukan perhitungan Z-Score dengan rumus :
Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5
3.
Melakukan interpretasi dan klarifikasi atas hasil Z-Score, dengan
kriteria penilaian sebagai berikut :
Z > 2,99
: Non-Bankrupt (sehat)
Z= 1,81 – 2,99
: Gray area ( kurang sehat rawan)
Z< 1,81
: Bankrupt ( Potensial Bangkrut)
(Sumber: Altman, dalam Toto Prihadi, 2008)
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Financial distress dan kemungkinan perusahaan mengalami
kebangkrutan meupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam
lingkungan bisnis. Hal ini mendorong banyak orang untuk melakukan
penelitian untuk dapat mengidentifikasi terjadinya kondisi dimana sebuah
perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan kemungkinan terjadinya
kebangkrutan.
Rasio X1 (Net Working Capital / Total Assets)
Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan rasio modal kerja bersih
terhadap total aktiva pada perusahaan telekomunikasi selama tahun 20062010. Berdasarkan hasil rasio modal kerja bersih atas total aktiva, PT
Bakrie Telecom Tbk mengalami penurunan yakni pada tahun 2006
sebesar 0,103 menjadi 0,088 pada tahun 2007 dan meningkat pada tahun
2008 sebesar 0,166, selanjutnya mengalami penurunan berturut-turut
pada tahun 2009 sebesar -0,029 dan tahun 2010 sebesar -0,006. Hal ini
memberikan gambaran investasi perusahaan pada aktiva lancar menurun
pada tahun 2007 dan berhasil meningkat pada tahun 2008, namun
jumlah hutang lancar masih lebih besar melebihi jumlah aktiva lancar
perusahaan sehingga perusahaan mengalami defisit modal kerja bersih.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
122
Berdasarkan perhitungan rasio PT Indosat Tbk, keadaan likuiditas
perusahaan pada tahun 2006 sebesar -0,033, mengalami peningkatan pada
tahun 2007 sebesar -0,019, namun menurun kembali pada tahun 2008 dan
2009 yakni
-0,020 menjadi -0,108 dan menurun -0,011 pada tahun 2010.
Hal ini disebabkan hutang lancar yang dimiliki lebih besar dibandingkan
aktiva lancar perusahaan.
Tabel 2 Rasio X1 (Net Working Capital / Total Assets)
Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010
Nama
Perusahaan
Tahun
Modal
Kerja
(Juta
Rupiah)
Total Aktiva
(Juta
Rupiah)
PT Bakrie
Telecom
Tbk.
(BTEL)
(Jutaan
rupiah)
PT Indosat Tbk.
(ISAT)
(Jutaan rupiah)
2006
2007
2008
2009
2010
227.896
412.616
1.420.840
-330.163
-69.490
2.217.139
4.664.164
8.545.973
11.436.275
12.311.154
Rasio X1
(Net
Working
Capital /
Total Assets)
0,103
0,088
0,166
-0,029
-0,006
2006
2007
2008
2009
2010
2006
Mobile-8
2007
Telecom Tbk.
2008
(FREN)
2009
(Jutaan rupiah)
2010
Sumber : Data Diolah, 2011
-1.137.773
-8.644.454
-1.015.472
-5.928.495
-5.787.999
570.577
1.129.215
-378.195
-730.037
-1.514.813
34.228.658
45.305.086
51.693.323
55.041.487
52.818.187
3.040.817
4.536.744
4.797.892
4.756.935
5.006.420
-0,033
-0,019
-0,020
-0,108
-0,011
0,188
0,249
-0,079
-0,152
-0,303
Selanjutnya, Mobile-8 Telecom Tbk, keadaan likuiditas perusahaan
pada tahun 2006 sebesar 0,188 dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 0,249
namun mengalami penurunan drastis pada tahun 2008 sebesar -0,079. Hal ini
disebabkan defisitnya nilai modal kerja bersih perusahaan karena hutang
lancar yang dimiliki lebih besar dibandingkan aktiva lancar perusahaan, dan
pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar -0,152 kemudian menurun
pada tahun 2010 sebesar -0,303.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
123
Rasio X2 (Retained Earnings/ Total Assets)
Rasio X2 merupakan indikator profitabilitas kumulatif yang relatif
terhadap panjangnya waktu, yang mengisyaratkan bahwa semakin muda suatu
perusahan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba
yang kumulatif sehingga semakin besar kemungkinannya untuk bangkrut. Bila
perusahaan merugi, total dari nilai ditahan (retained earnings) pada
perusahaan tersebut akan mengalami penurunan.
Tabel 3 Rasio X2 (Retained Earnings/ Total Assets)
Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010
Nama
Perusahaan
Tahun
PT Bakrie
Telecom
Tbk.
(BTEL)
(Juta
rupiah)
PT Indosat Tbk.
(ISAT)
(Juta rupiah)
2006
2007
2008
2009
2010
2006
2007
2008
2009
2010
2006
Mobile-8
2007
Telecom Tbk.
2008
(FREN)
2009
(Juta rupiah)
2010
Sumber : Data Diolah, 2011
Laba
Ditahan
(Juta
Rupiah)
743.211
612.897
5.950.137
2.514.674
7.692.949
Total Aktiva
(Juta
Rupiah)
2.217.139
4.664.164
8.545.973
11.436.275
12.311.154
Rasio X2
(Retained
Earnings/
Total Assets)
0,335
0,131
0,696
0,220
0,625
12.707.771
14.044.761
15.461.237
15.359.289
15.717.627
-880.534
-798.220
-825.180
-2.052.385
-2.793.877
34.228.658
45.305.086
51.693.323
55.041.487
52.818.187
3.040.817
4.536.744
4.797.892
4.756.935
5.006.420
0,371
0,310
0,299
0,279
0,298
-0,290
-0,018
-0,172
-0,431
-0,558
Berdasarkan perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva (rasio
X2) PT Bakrie Telecom Tbk menunjukkan bahwa rasio X2 mengalami
fluktuasi, hal ini ditunjukkan pada tahun 2006 sebesar 0,335 kemudian
mengalami penurunan tahun 2007 sebesar 0,131 namun tahun 2008 naik
sebesar 0,696 dan menurun kembali tahun 2009 sebesar 0,220 sedangkan pada
tahun 2010 meningkat sebesar 0,625.
Perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva PT Indosat Tbk,
menunjukkan pada tahun 2006 sebesar 0,371 dan mengalami penurunan
berturut-turut sampai tahun 2010 menjadi sebesar 0,298, sehingga perusahaan
telah mengalami penurunan total laba ditahan setiap tahunnya, hal ini
menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan profit kurang bagus.
Perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva pada Mobile-8
Telecom Tbk, pada tahun 2006 sebesar -0,290 kemudian tahun 2007
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
124
mengalami penurunan sebesar -0,018 namun pada tahun 2008 mengalami
peningkatan sebesar -0,172 sedangkan pada tahun 2009 menurun sampai tahun
2010 yaitu sebesar -0,558. Kemampuan perusahaan menghasilkan laba sangat
lemah terlihat dari akumulasi laba ditahan setiap tahunnya yang selalu
mengalami penurunan.
Rasio X3 (EBIT/ Total Assets)
Rasio X3 (Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets)
mencerminkan keseluruhan kekuatan perusahaan dalam mendatangkan
pendapatan atau dapat pula dikatakan bahwa rasio ini mengukur seberapa
besar produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan melemahnya
faktor ini merupakan indikator terbaik akan hadirnya kebangkritan.
Tabel 4 Rasio X3 (Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets)
Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010
Nama
Perusahaan
Tahun
EBIT
(Juta Rupiah)
Total Aktiva
(Juta
Rupiah)
2006
2007
2008
2009
2010
2006
2007
2008
2009
2010
2006
Mobile-8
2007
Telecom Tbk.
2008
(FREN)
2009
(Juta rupiah)
2010
Sumber : Data Diolah, 2011
75.398
219.693
178.056
145.714
199.366
2.022.667
2.929.616
2.325.115
2.23.993
1.081.817
84.668
56.842
-1.178.493
-674.674
-581.242
2.217.139
4.664.164
8.545.973
11.436.275
12.311.154
34.228.658
45.305.086
51.693.323
55.041.487
52.818.187
3.040.817
4.536.744
4.797.892
4.756.935
5.006.420
PT Bakrie
Telecom
Tbk.
(BTEL)
(Juta rupiah)
PT Indosat
Tbk.
(ISAT)
(Juta rupiah)
Rasio X3
(EBIT/Total
Assets)
0,034
0,047
0,021
0,013
0,016
0,059
0,065
0,045
0,041
0,020
0,028
0,013
-0,350
-0,142
-0,116
Perhitungan rasio EBIT pada PT Bakrie Telecom Tbk, terhadap total
aktiva pada tahu 2006 sebesar 0,034, mengalami peningkatan tahun 2007
sebesar 0,047, kemudian menurun pada tahun 2008 sebesar 0,021 dan tahun
2009 sebesar 0,013. Pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 0,016.
Berdasarkan perhitungan tersebut, walaupun perusahaan masih kesulitan
dalam memperoleh pendapatan di tahun 2006 sampai 2010, tetapi kondisi
perusahaan masih stabil dalam pelaksanaan operasionalnya.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
125
PT Indosat Tbk, pada tahun 2006 rasio EBIT terhadap total aktiva
sebesar 0,059, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 0,065 hal ini
disebabkan meningkatnya produktivitas perusahaan dalam memeroleh
pendapatan dan bertambahnya total aktiva perusahaan, namun pada tahun
2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 0,020.
Hasil perhitungan rasio EBIT terhadap total aktiva pada
Mobile-8 Telecom Tbk, tahun 2006 sebesar 0,028 mengalami penurunan 0,013
di tahun 2007. Menurunnya produktifitas perusahaan memperoleh pendapatan
dan bertambahnya jumlah total aktiva merupakan faktor penyebab turunnya X 3
pada tahun 2008 sampai tahun 2010 menjadi -0,116.
Rasio X4 (Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities)
Perhitungan pada rasio ini akan memperlihatkan seberapa banyak
asset dari suatu perusahaan dapat mengalami penurunan dalam nilainya
sebelum hutangnya melebihi asset dan perusahaan akan berada dalam kondisi
Insolvent.
Tabel 5 Rasio X4 (Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities)
Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010
Nama
Perusahaan
Tahun
MVE
(Rp)
PT Bakrie
Telecom
Tbk.
(BTEL)
(Jutaan
rupiah)
PT Indosat Tbk.
(ISAT)
(Jutaan rupiah)
2006
2007
2008
2009
2010
4.609.920
7.960.680
1.452.735
4.186.854
6.693.270
Nilai Buku
Hutang
(Juta
Rupiah)
721.717
2.788.955
3.463.921
6.399.344
7.042.807
2006
2007
2008
2009
2010
2006
Mobile-8
2007
Telecom Tbk.
2008
(FREN)
2009
(Jutaan rupiah)
2010
Sumber : Data Diolah, 2011
36.679.500
47.004.100
31.245.500
25.675.650
29.343.600
6.267.200
5.261.360
1.011.800
1.651.700
1.651.700
18.826.293
28.462.986
33.994.764
36.753.204
34.581.701
1.449.704
2.740.558
4.070.574
3.964.403
4.651.631
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Rasio X4
(MVE/ Book
Value of Total
Liabilities)
6,387
2,854
0,419
0,654
0,950
1,948
1,651
0,919
0,698
0,849
4,323
1,920
0,248
0,417
0,355
126
Rasio X5 (Sales /Total Assets)
Rasio X5 (Sales /Total Assets) digunakan dalam mengukur besar
kecilnya kemampuan manajemen dalam melakukan penjualan aset-aset
perusahaan. Rasio ini hanya digunakan untuk perusahaan manufaktur yang
telah go-public dan perusahaan privat (private manufacturing companies).
Tabel 6 Rasio X5 (Sales /Total Assets)
Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010
Nama
Perusahaan
Tahun
PT Bakrie
Telecom
Tbk.
(BTEL)
(Jutaan rupiah)
2006
2007
2008
2009
2010
2006
2007
2008
2009
2010
PT Indosat
Tbk.
(ISAT)
(Jutaan
rupiah)
2006
Mobile-8
2007
Telecom Tbk.
2008
(FREN)
2009
(Jutaan
2010
rupiah)
Sumber : Data Diolah, 2011
Penjualan
(Juta
Rupiah)
Total Aktiva
(Juta
Rupiah)
Rasio X5 (Sales
/Total Assets)
607.921
1.289.889
2.202.292
2.742.557
2.047.881
12.239.407
16.488.495
18.659.133
18.393.016
19.796.515
2.217.139
4.664.164
8.545.973
11.436.275
12.311.154
34.228.658
45.305.086
51.693.323
55.041.487
52.818.187
0,274
0,276
0,257
0,239
0,166
0,357
0,363
0,360
0,334
0,374
588.641
882.545
731.831
368.969
203.062
3.040.817
4.536.744
4.797.892
4.756.935
5.006.420
0,193
0,194
0,152
0,077
0,040
Hasil perhitungan rasio sales terhadap total assets pada PT Bakrie
Telecom Tbk, terus mengalami penurunan dari tahun ketahun dari mulai tahun
2006 sampai dengan 2010, hal ini menunjukkan menurunnya pendapatan
setiap tahunnya.
Hasil perhitungan sales terhadap total asset pada PT Indosat Tbk.
Menunjukkan angka yang berfluktuatif tetapi tidak terlalu berarti (signifikan),
dari tahun 2006 sampai 2008 terjadi peningkatan sebesar 0,357 pada tahun
2005 menjadi 0,360 pada tahun 2008, tetapi kemudian menurun sebesar 0,334
pada tahun 2009 dan kemudian meningkat sebesar 0,374 pada tahun 2010.
Perhitungan rasio X5 pada Mobile-8 Telecom Tbk, pada tahun 2006
adalah sebesar 0,193 meningkat menjadi 0,194 di tahun 2007 dengan
bertambahnya pendapatan usaha perusahaan, namun pada tahun 2008
mengalami penurunan 0,152 kemudian menurun kembali pada tahun 2009
sebesar 0,077 dan di tahun 2010 turun kembali sebesar 0,040. Hal ini
disebabkan karena kecilnya kemampuan perusahaan melakukan penjualan.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
127
Inser Tabel 7
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
128
Hasil Perhitungan Z-Score
Berdasarkan hasil perhitungan Z-Score dapat diketahui bagaimana
kondisi keuangan perusahaan pada perusahaan telekomunikasi sesuai kriteria
yang telah ditentukan oleh Altman. Tabel 7 memperlihatkan kondisi
keuangan setiap perusahaan telekomunikasi berdasarkan kriteria Altman.
Hasil perhitungan Z-Score dengan model dasar secara keseluruhan
perusahaan telekomunikasi ditunjukkan pada tabel 6 di atas terlihat pada tahun
2006, PT Bakrie Telecom Tbk berada pada kondisi keuangan yang sehat (nonbankrupt) ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan sangat baik,
namun dua perusahaan lainnya yakni PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom
Tbk kinerja keuangannya menurun yaitu berada pada posisi kurang sehat
(grey-area). Pada tahun 2007 menunjukkan satu perusahaan kurang sehat yaitu
PT Bakrie Telecom Tbk yang sebelumnya kinerja keuangannya mengalami
penurunan, dan dua perusahaan lainnya PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom
Tbk dikategorikan berpotensi bangkrut.
Hasil perhitungan yang ditunjukkan Tabel 7 untuk tahun 2008, PT
Indosat Tbk mampu meningkatkan kembali kriteria potensi bangkrut menjadi
(grey-area), ini menunjukkan bahwa perusahaan telah memperbaiki kinerja
keuangannya. Namun berbeda dengan PT Bakrie Telecom Tbk dan Mobile-8
Telecom Tbk mengalami penurunan dengan kategori berpotensi bangkrut.
Pada tahun 2009 dan 2010 menunjukkan bahwa ketiga perusahaan tersebut
mengalami penurunan dengan kategori masing-masing pada posisi berpotensi
bangkrut. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga perusahaan belum berhasil
memperbaiki kinerja keuangannya.
Pada kenyataannya, berdasarkan data hasil statistik telekomunikasi
Indonesia selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan bahwa
rata–rata perusahaan telekomunikasi di Indonesia mengalami penurunan dalam
kinerja perusahaannya, khususnya kinerja keuangan. Terutama perusahaan
telekomunikasi yang baru berkembang seperti PT Bakrie Telecom dan Mobile8 Telecom. Sejalan dengan hasil perhitungan Z-Score Model Altman untuk
Perusahaan Telekomunikasi, bahwa turunnya kinerja keuangan perusahaan
pada ketiga perusahaan telekomunikasi, yaitu PT Bakrie Telecom Tbk, PT
Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk berpotensi menyebabkan
kebangkrutan. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor:
1.
Faktor Umum
Penyebab ketiga perusahaan yang diteliti berpotensi mengalami
kebangkrutan adalah adanya gejala inflasi pada harga barang dan jasa
serta suku bunga dalam negeri, sehingga terjadi krisis yang cukup berat.
Pada saat krisis ini pula kondisi telekomunikasi Indonesia terkena
imbasnya, hal ini terjadi karena pada saat krisis, para operator cenderung
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
129
mengambil kebijakan low price, sehingga pendapatan perusahaan pun
akan turun.
2.
Faktor Eksternal
a. Sektor pelanggan
Meskipun perusahaan telekomunikasi di Indonesia memiliki
pelanggan terbanyak di Asia Tenggara khususnya PT Bakrie Telecom
Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk, tetapi bukan berarti
bahwa perusahaan telekomunikasi tersebut mengalami peningkatan laba.
Banyaknya keluhan yang disampaikan pelanggan terhadap buruknya
pelayanan perusahaan seluler di Indonesia, menyebabkan sulitnya
perusahaan telekomunikasi memperoleh pelanggan tetap. Contohnya
seperti promo tarif murah sekian detik oleh beberapa operator seluler
yang menyebabkan banyaknya keluhan konsumen karena merasa tertipu
dengan promo tersebut, atau adanya kasus pemotongan pulsa oleh
provider yang bekerja sama dengan operator seluler dalam memberikan
layanan sms berupa kontent hiburan, berdasarkan pakar telekomunikasi
Indonesia Budi hartono, mengatakan bahwa pemotongan pulsa yang
dilakukan oleh provider cenderung dibiarkan oleh operator seluler karena
pendapatan yang diterima dari provider lebih besar (artikel liputan
6.com).
b.
Sektor Pesaing
Melemahnya kinerja perusahaan telekomunikasi beberapa tahun
terakhir diakibatkan perang tarif oleh masing-masing perusahaan telepon
seluler (Artikel Majalah Tempo, April 2011). Demi mendapatkan
pelanggan sebanyak-banyaknya, perusahaan telekomunikasi menurunkan
tarif serendah-rendahnya, penurunan tarif ini tentu saja berakibat pada
penurunan laba perusahaan, terutama perusahaan telekomunikasi yang
baru berkembang seperti PT Bakrie Telecom Tbk, dan Mobile-8 Telecom
Tbk. Agar dapat bersaing, maka dengan terpaksa kedua perusahaan
telekomunikasi tersebut menurunkan tarif jasa komunikasinya. Sama
halnya dengan PT Bakrie Telecom Tbk, dan Mobile-8 Telecom Tbk,
Perusahaan telekomunikasi Indosat Tbk mengalami penurunan laba
karena kecilnya pendapatan yang diterima sejak tahun 2006 sampai tahun
2010. Selain itu semakin banyaknya perusahaan telekomunikasi asing
yang masuk di Indonesia menghambat para vendor telekomunikasi
meningkatkan perannya di pasar domestik.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
130
3.
Faktor Internal
Struktur Biaya
Kebijakan manajemen terhadap biaya dalam perusahaan telekomunikasi
juga menjadi salah satu faktor potensi kebangkrutan. Pada saat tingginya
perkembangan perusahaan telekomunikasi di Indonesia, perusahaan
telekomunikasi berusaha memperluas jaringan komunikasinya disetiap
wilayah di Indonesia. Besarnya investasi yang dilakukan oleh operator
seluler untuk mengembangkan jaringan tidak sebanding dengan
penerimaan pendapatan dari pelanggan, sehingga banyak perusahaan
telekomunikasi yang mengalami kerugian. Selain itu, beban pajak daerah,
gaji dan pemasaran menjadi penyumbang terbesar terhadap tingginya
biaya usaha. Hal inilah yang menyebabkan turunnya laba PT Bakrie
Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk. (Statistik
Telekomunikasi Indonesia, 2010)
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dengan alat analisis Z-Score
menggunakan perhitungan model dasar Altman, maka dapat disimpulkan
bahwa perusahaan telekomunikasi yang listing di BEI (Bursa Efek Indonesia)
untuk periode 5 tahun mulai tahun 2006 sampai dengan 2010, telah
menunjukkan bahwa perusahaan telekomunikasi yang terdiri dari PT Bakrie
Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk. mengalami
masalah ketidakstabilan keuangan atau kurang sehat dan berpotensi terancam
bangkrut (financial distress) di masa yang akan datang sesuai perhitungan
model dasar Altman. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan Z-Score terhadap
masing-masing perusahaan berdasarkan laporan keuangannya.
Dari tiga perusahaan pada sektor perusahaan telekomunikasi,
diketahui bahwa Mobile-8 Telecom Tbk kemungkinan besar mengalami
kebangkrutan atau financial distress di masa mendatang, dan PT Bakrie
Telecom Tbk, PT Indosat Tbk berada dalam kategori kritis atau kurang sehat
karena kondisi keuangan perusahaan yang turun pada setiap tahunnya.
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian pada perusahaan telekomunikasi dengan
perhitungan Z-Score, maka perusahaaan-perusahaan tersebut sebaiknya
mengambil langkah-langkah yang tepat diantaranya:
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
131
1.
2.
Perusahaan yang terancam bangkrut (bankrupt) di masa yang akan datang
perlu melakukan tindakan yang tepat dalam upaya mengatasi kesulitan
keuangan didalam perusahaan, khususnya Mobile-8 Telecom Tbk. Perlu
melakukan restrukturisasi hutang dan mengambil langkah mengatasi
kesulitan keuangan dengan refinancing guna meningkatkan modal kerja
perusahaan.
Perusahaan dalam kategori gray-area atau kurang sehat diharapkan dapat
meningkatkan kinerja perusahaan dan berusaha agar tidak sampai
mengalami kesulitan keuangan, baik dengan pembenahan dan perbaikan
sistem informasi dan meningkatkan sumber daya manusia yang ada
dalam perusahaan, meningkatkan modal perusahaan, dan dengan caracara sebagai bagian dari antisipasi terhadap kesulitan diantaranya perlu
melakukan inovasi dan mengambil langkah kreatif, yaitu dengan
melakukan pengembangan dan perbaikan terhadap kualitas jaringan, fitur
dan tarif produk telekomunikasi agar dapat terus bersaing dalam
perusahaan telekomunikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Aiyabei, Jonah. Financial Distress: Theory, measurement & Consequence.
http://www.fiuc.org/esap/CUEA/CUEA4/CUEA4JS14/
eajournl
distress.pdf. Diakses pada tanggal 08-06-2011.
Altman, Edward I. 2000. Predicting Financial Distress of Companies:
Revisiting The Z-Score and ZETA Models. http://www.pages. stern.
nyu.edu/ ~ealtman/ Zscores.pdf. Diakses pada tanggal 08-06-2011.
Wesley, Andry. 2011 .Revolusi Telekomunikasi.
http://www.revolusi/telekomunikasi.html.Diakses pada tanggal 2906-2011
Bambang Priyatno, Perang Tarif
Operator Seluler http:/ /majalah.
tempointeraktif.com/id/arsip/2011/04/11/EB/mbm.20110411.EB136
412.id.html. Diakses pada tanggal 04-10-2011
Sari, Atmini. 2005. Manfaat Laba Dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi
Financial Distress Pada perusahaan Textile Mill Products Dan
Apparel And Other Textile Products Yang Terdaftar Di Bursa Efek
Jakarta.
Sofyan Syafri, Harahap. 2001. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Raja
Grafindo Persada. Jalarta.
Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juli
2009. Salemba Empat. Jakarta.
Lesmana, Rico dan Rudy Surjanto. 2003. Financial performance Analyzing.
PT Elex Media Komputindo. Jakarta.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
132
Nurrudin, Ali.2005. Analisis Prediksi Kebangkrutan Pada Perbankan Go
Public Di Bursa Efek Jakarta. Penelitian Tidak Dipublikasikan.
Toto, Prihadi. 2008. Deteksi Cepat Kondisi Keuangan: 7 Analisis Rasio
Keuangan. PPM. Jakarta.
Sawir, Agnes. 2005. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan
Perusahaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
133
Volume
Tahun 4,
4 Desember
Desember 2011
2011,, hal
hal 134-143
Volume VIII
VIII Tahun
1-15
Jurnal Ekonomi
Pembangunan FE-Unhalu
ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA, LOAN TO DEPOSIT
RATIO DAN NON PERFOMING LOAN TERHADAP PENYALURAN
KREDIT BANK UMUM DI SULAWESI TENGGARA1)
Jamal Nasir Baso2)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Dana Pihak
Ketiga, Loan to Deposit Ratio,dan Non Ferporming Loan terhadap
penyaluran Kredit perbankan pada Bank Umum di Sulawesi tenggara. Data
yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia
Cabang Kendari, berupa Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, Non
Perfoming Loan dan Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum di
Sulawesi Tenggara periode 2002:1 – 2011:4. Analisis data menggunakan
analisis regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Dana Pihak Ketiga, Loan to
deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap
penyaluran kredit perbankan, baik secara parsial maupun secara simultan.
Kata Kunci: Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, Non Perfoming Loan,
kredit perbankan
A. PENDAHULUAN
Meskipun kondisi moneter Indonesia telah relatif membaik
dibandingkan pada saat krisis, sebagaimana tercermin dari relatif rendahnya
tingkat suku bunga, namun banyaknya jumlah kredit yang disalurkan belum
mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, khususnya
Sulawesi Tenggara, kredit perbankan masih menjadi sumber permodalan yang
diminati meskipun bukan merupakan satu-satunya. Untuk itu, peran bank
dengan menyalurkan kredit masih sangat besar terutama dalam menggerakkan
sektor ekonomi.
Perkembangan perekonomian Sulawesi Tenggara yang cukup pesat
yang tercatat sebesar 8,17 persen berimplikasi kepada pertumbuhan sektor
perbankan yang juga cukup tinggi yang tercermin dari pertumbuhan aset
sebesar 37,76 persen
Pertumbuhan perbankan juga didorong oleh
bertambahnya jumlah kantor bank di Sulawesi Tenggara.
____________________________________________
___________________________________________
1) ___________________________________________
Jurnal
Ekonomi
Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
Hasil
Penelitian
Dosen
Jurusan
IESP
Universtas
Haluoleo
2) 3) 4) Dosen
Jurusan
IESP
Universtas
Haluoleo
Dosen Jurusan
IESP
Universtas
Haluoleo
134
Beberapa bank yang baru beroperasi pada tahun 2010 yaitu Bank
Pundi, Bank Mayapada, Bank Niaga dan Bank Syariah Mandiri. Dengan
bertambahnya jumlah bank tersebut, diharapkan dapat memperluas akses
masyarakat terhadap pembiayaan dan fasilitas produk perbankan di Sulawesi
Tenggara. Volume usaha yang tercermin pada total aset, penghimpunan dana
pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan yang disalurkan menunjukkan
trend yang meningkat. Fungsi intermediasi perbankan yang tercermin pada
Loan to Deposit Ratio (LDR) masih tercatat pada level yang tinggi. Meskipun
kredit/pembiayaan mengalami peningkatan, namun risiko kredit (credit risk)
perbankan Sulawesi Tenggara masih relatif stabil dan terkendali (di bawah
batas 5 persen) khususnya untuk kelompok Bank Umum.
Tabel 1.1 Rata-rata DPK, LDR, NPL, dan Kredit
pada Bank Umum Sulawesi Tenggara Periode 2002 – 2011
Tahun
DPK
2002
1,675,485
LDR
(%)
43,97
2003
1,959,072
50,66
3,29
992,501
2004
1,976,192
62,42
4,50
1,233,559
2005
2,243,293
70,71
7,52
1,586,306
2006
2007
2008
2009
2010
2011
3,217,594
3,977,083
4,563,263
5,207,284
5,971,350
8,428,272
61,93
69,99
83,00
90,75
101,90
96,73
4,65
4,20
2,77
2,18
2,28
1,14
1,992,566
2,783,387
3,787,686
4,725,364
6,084,763
8,152,585
(juta rupiah)
NPL
(%)
2,42
( juta rupiah)
Kredit
736,682
Sumber : Data Bank Indonesia , Indikator Bank Umum Sulawesi Tenggara
Salah satu upaya perusahaan perbankan untuk memperlancar
penyaluran kredit ke masayarakat adalah menghimpun dana dari pihak ketiga.
Dengan meningkatnya dana pihak ketiga maka diharapkan kegiatan usaha
utama perbankan yaitu pemberian kredit juga semakin meningkat.
Selain Dana pihak ketiga, faktor internal bank lainnya seperti Loan to
Deposit Ratio dan Non Perfoming Loan juga berpengaruh terhadap penyaluran
kredit perbankan. loan to deposit ratio (LDR) penting karena merupakan
faktor untuk mengukur tingkat kesehatan bank pada bagian likuiditas. Loan to
deposit ratio (LDR) juga berkaitan dengan penyaluran kredit sebab dari
kegiatan kredit inilah bank dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya,
membayar kembali semua deposan yang mengambil dana sewaktu-waktu,
serta memenuhi permintaan kredit yang telah diajukan. Oleh karena itu, LDR
juga dianggap berpengaruh terhadap jumlah penyaluran kredit bank.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
135
Adapun besarnya rata - rata Dana Pihak Ketiga (DPK), Long to
Deposit Ratio (LDR), Non Performing Loan (NPL), dan kredit Bank Umum
Sulawesi Tenggara dari tahun 2002 hingga 2011 dipaparkan pada Tabel 1.1.
II. METODE PENELITIAN
Obyek penelitian adalah Bank umum Sulawesi Tenggara. Data yang
digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari Dana Pihak Ketiga, Loan to
Deposit Ratio,Non Performing Loan serta kredit yg disalurkan, yang berciri
time series 2002:1-2011:IV
Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, maka penulis
menggunakan analisis regresi linear berganda. Analisis ini akan mengestimasi
semua variabel-variabel bebas (X), sehingga dapat diketahui pengaruhnya
terhadap variabel terikat, dengan formulasi sebagai berikut :
Y= b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e
dimana:
Y
= Penyaluran Kredit Perbankan
X1
= Dana Pihak Ketiga
X2
= Loan to Deposit Ratio
X3
= Non Permofing Loan
b0
= Konstanta
b1, b2, b3 = Koefisien Regresi
e
= Kesalahan Pengganggu (error term)
Adapun kriteria signifkansi yang digunakah adalah α = 0,05
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Berdasarkan hasil estimasi regresi sebagaimana Tabel 2,
diperoleh nilai koefisien sebagai berikut :
Y = 1275,654– 51,902X1 – 7,963X2–102.271X3 + e
Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien variabel bebas
mengandung arti sebagai berikut :
a. Koefisien b0 = 1275,654 artinya jika tidak ada perubahan dana pihak
ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan maka penyaluran
kredit hanya sebesar Rp. 1.275,654
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
136
b. Koefisien b1 = -51,902 artinya jika dana pihak ketiga naik sebesar 1 persen
pada
α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau menurun
sebesar Rp 51,902 dengan asumsi loan to deposit ratio dan non perfoming
loan adalah tetap (konstan).
c. Koefisien b2 = -7,963 artinya jika loan to deposit ratio naik sebesar 1
persen pada α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau
menurun sebesar Rp 7,963 dengan asumsi dana pihak ketiga dan non
perfoming loan adalah tetap (konstan).
d. Koefisien b3 = -102,271 artinya jika non perfoming loan naik sebesar 1
persen pada α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau
menurun sebesar Rp 102,271 dengan asumsi dana pihak ketiga dan loan to
deposit ratio adalah tetap (konstan).
Tabel 2 Hasil Estimasi Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non
Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit
Unstandardized
Coefficient
Model
(constant)
X1
T
Sig.
B
Std. Eror
1275.654
131.259
9.719
.000
-51.902
14.585
-3.559
.001
X2
-7.963
1.378
-5.779
.000
X3
-102.271
15.649
-6.535
.000
R
R2
.841a
.707
F
28.969
Sig
.000a
Sumber: Hasil olah data
Berdasarkan hasil estimasi Tabel 2, dilakukan pengujian hipotesis
berikut ini:
1.
Uji parsial (uji- t)
Untuk mengetahui tingkat signifikan masing-masing variabel bebas
terhadap variabel terikat secara terpisah (parsial), maka dilakukan dengan
pengujian statistik uji t. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah
Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan.
Sementara yang menjadi variabel terikat adalah Penyaluran Kredit Perbankan
Pada Bank Umum di Sulawesi Tenggara.
Pengujian hipotesis dapat pula dilakukan dengan membandingkan
nilai t-sign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1
atau tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H1 atau
terima H0.
Berdasarkan Tabel diatas, diperoleh t-hitung dana pihak ketiga
sebesar -3.559atau tingkat signifikan t sebesar 0, 001< dari α = 0,05, maka
terima H1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa dana pihak ketiga
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
137
pada Bank Umum Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan
terhadap penyaluran kredit perbankan.
Kemudian, loan to deposit ratio diperoleh t-hitung -5.779atau tingkat
signifikan t sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0
sehingga dapat dikatakan bahwa loan to deposit ratio pada Bank Umum
Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap penyaluran
kredit perbankan.
Selanjutnya, non perfoming loan diperoleh t-hitung -6.535atau tingkat
signifikan t sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0
sehingga dapat dikatakan bahwa non perfoming loan pada Bank Umum
Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap penyaluran
kredit perbankan.
2.
Uji simultan (uji-f)
Berdasarkan table diatas, diperfoleh nilai f-hitung sebesar 28.969atau
tingkat signifikan f sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa semua variabel bebas secara bersama-sama (simultan) berpengaruh
signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan.
dengan demikian berdasarkan analisis regresi linear berganda, dengan
menggunakan uji F diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa secara bersamasama (simultan) variabel Dana Pihak Ketiga (X1), Loan to Deposit Ratio (X2),
dan Non Perfoming Loan (X3) berpengaruh signifikan terhadap Penyaluran
kredit kerbankan pada Bank Umum di Sulawesi tenggara . Ini menunjukkan
bahwa Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank umum di Sulawesi tenggara
periode 2002:1 – 2011:4 dipengaruhi oleh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit
Ratio, dan Non Perfoming Loan.
Guna mengetahui nilai koefisien determinasi, berdasarkan hasil
estimasi pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R 2)
0,707 atau sebesar 70,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan
terhadap variabelpenyaluran kredit perbankan (Y) diterangkan atau dijelaskan
oleh variabel dana pihak ketiga (X1), loan to deposit ratio (X2), dan non
perfoming loan sebesar 70,7 persen, sedangkan sisanya sebesar 29,3 persen
variasi perubahan variabelpenyaluran kreditperbankan (Y) dijelaskan oleh
variabel lain yang belum masuk dalam model penelitian.
B.
Pembahasan
1.
Analisis Pengaruh Simultan Dana Pihak Ketiga, LDR, NPL Terhadap
Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum di Sulawesi Tenggara
Dari hasil uji simultan, diperoleh bahwa nilai f-hitung sebesar 28.969
atau tingkat signifikan f sebesar 0,000lebih kecildari α = 0,05 (0,000< 0,05).
Hal ini berarti bahwa tingkat Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
138
Non Perfoming Loan mempunyai pengaruh yang signifikan secara simultan
(bersama-sama) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum
Sulawesi tenggara. Dengan demikian, Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank
Umum Sulawesi tenggara.dapat diprediksi dari nilai Dana Pihak Ketiga, Loan
to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan.
2.
Analisis Pengaruh Persial Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio,
dan Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada
Bank Umum Sulawesi Tenggara
a. Pengaruh Dana Pihak Ketiga terhadap Penyaluran Kredit
Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Dana Pihak
Ketiga(X1) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan(Y) diperoleh bahwa
nilai diperoleh t-hitung dana pihak ketiga sebesar-3.559 atau tingkat
signifikan sebesar 0, 001lebih kecil dari α = 0,05 (0,001<0,05), sehingga
hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah (parsial)
dana pihak ketiga berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit
perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara. Artinya seberapa besar
pun perubahan nilai dana pihak ketiga yang terjadi akan
berpengaruhsecara parsial terhadap penyaluran kredit perbankan pada
bank umum Sulawesi Tenggara tersebut.
Namun, hubungan secara spesifik antara jumlah dana pihak ketiga
dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian ini melawan atau
bertentangan dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu
merupakan hubungan berlawanan arah (negatif) yang berarti jumlah dana
pihak ketiga yang tinggi akan diikuti dengan menurunnya penyaluran
kredit perbankan, dan begitupun sebaliknya, jumlah dana pihak ketiga
yang rendah akan diikuti dengan meningkatnya penyaluran kredit
perbankan. Hal ini disebabkan karena dalam penyaluran kredit, pihak
perbankan tidak hanya mengandalkan dana yang bersumber dari dana
pihak ketiga (sumber dana tradisional) tetapi juga mengandalkan dana
yang berasal dari sumber dana modern misalnya hasil penjualan obligasi,
pasar modal, pinjaman antar bank dan lain lain.
b. Pengaruh Loan to Deposit Ratio terhadap Penyaluran Kredit
Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Loan to
Deposit Ratio(X2) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan(Y) diperoleh
bahwa nilai t-hitung Loan to Deposit Ratio sebesar-5.779 atau tingkat
signifikan t sebesar 0, 000 lebih kecil dari α = 0,05 (0,000<0,05),
sehingga hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah
(parsial) loan to deposit ratio berpengaruh signifikan terhadap penyaluran
kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara. Artinya seberapa
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
139
besar pun perubahan nilai loan to deposit ratio yang terjadi akan
berpengaruh secara parsial terhadap penyaluran kredit perbankan pada
bank umum Sulawesi Tenggara tersebut.
Signifikannya pengaruh loan to deposit ratio terhadap penyaluran
kredit perbankan tersebut disebabkan karena loan to deposit ratio juga
merupakan salah satu faktor yang dominan bagi pihak perbankan dalam
pengambilan keputusan khususnya dalam hal penyaluran kredit
perbankan sehingga perubahan loan to deposit ratio berdampak secara
nyata terhadap penyaluran kredit perbankan.
Namun, hubungan secara spesifik antara besarnya loan to deposit
ratio dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian ini melawan atau
bertentangan dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu
merupakan hubungan berlawanan arah (negatif) yang berarti loan to
deposit ratioyang tinggi akan diikuti dengan menurunnya penyaluran
kredit perbankan, dan begitupun sebaliknya, loan to deposit ratio yang
rendah akan diikuti dengan meningkatnya penyaluran kredit perbankan.
Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit tersebut lebih besar daripada
tabungan yang ada di bank, sementara dana yang ada di bank tidak hanya
berasal dari dana pihak ketiga artinya bank tidak terlalu mengandalkan
dana yang bersumber dari dana pihak ketiga (simpanan masyarakat)
dalam menyalurkan kredit tetapi lebih mengandalkan modal bank itu
sendiri. Jadi hubungannya disini adalah ketika LDR meningkat, dimana
LDR adalah rasio antara volume penyaluran kredit terhadap jumlah
penerimaan dana dari berbagai sumber meningkat, kredit menurun
dikarenakan dana yang digunakan untuk meyalurkan kredit tersebut di
ambil dari modal bank itu sendiri.
c. Pengaruh Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit
Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Non
perfoming Loan (X3) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan (Y) diperoleh
bahwa nilai diperoleh t-hitung Non perfoming Loan sebesar-6.535atau
tingkat signifikan t sebesar 0, 000lebih kecil dari α = 0,05 (0,000<0,05),
sehingga hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah
(parsial) Non perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap
penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara.
Artinya seberapa besar pun perubahan nilai Non perfoming Loan yang
terjadi akan berpengaruh secara parsial terhadap penyaluran kredit
perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara tersebut.
Signifikannya pengaruh Non perfoming Loan terhadap penyaluran
kredit perbankan tersebut disebabkan karena Non perfoming Loan juga
merupakan salah satu faktor yang dominan bagi pihak perbankan dalam
pengambilan keputusan khususnya dalam hal penyaluran kredit
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
140
perbankan sehingga perubahan Non perfoming Loan berdampak secara
nyata terhadap penyaluran kredit perbankan.
Adapun hubungan secara spesifik antara besarnya Non perfoming
Loan dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian sesuai dengan teori
yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu merupakan hubungan berlawanan
arah (negatif) yang berarti Non perfoming Loanyang tinggi akan diikuti
dengan menurunnya penyaluran kredit perbankan, dan begitupun
sebaliknya, Non perfoming Loan yang rendah akan diikuti dengan
meningkatnya penyaluran kredit perbankan, artinya bila Nilai NPL
rendah (kurang dari 5 persen), berarti resiko kredit juga rendah, sehingga
kemampuan meyalurkan kredit menjadi kuat
IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh
Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan terhadap
Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode
2002:1 – 2011:4 dapat disimpulkan bahwa :
1. Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan
secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap
Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara
periode 2002:1 – 2011:4
2. Secara terpisah (parsial), variabel Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit
Ratio, dan Non Perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap
Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara
periode 2002:1 – 2011:4
3. Kemampuan variabel bebas Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio
dan Non Perfoming Loan dalam mempengaruhiPenyaluran Kredit
Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4
adalah sebesar 70,7 persen dan sisanya sebesar 29,3 persen di jelaskan
oleh variabel lain diluar model yang turut mempengaruhi penyaluran
kredit perbankan pada bank umum di Sulawesi tenggara.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dibuat, maka penulis menyarankan
sebagai berikut:
1. Mengingat sebesar 29,3 persen faktor penjelas yang belum masuk dalam
model regresi berganda dalam penelitian ini, maka disarankan melakukan
kajian kebih lanjut dengan memasukan variabel bebas tambahan lainnya
misalnya capital adequasy ratio (CAR), suku bunga Sertifikat Bank
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
141
2.
Indonesia (SBI), Return On Assets (ROA), dan juga faktor ekstenal bank
misalnya kondisi keuangan calon debitur dan lain-lain.
Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti kembali dengan
menggunakan periode penelitian yang lebih panjang sehingga dapat
menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Admin. 2010. Pengertian Bank, (http://ridwanaz.com/umum/pengertianbank/), (diakses 5 November 2011).
Ali, Mashud. 2004. Asset Liability Management : Menyiasati Risiko Pasar dan
Risiko Operasional. Jakarta : PT.Gramedia
Azis. 2011. Aset Perbankan Sultra Tumbuh Sebesar 24,20 Persen,
(http://sultra.antaranews.com/berita/261874/aset-perbankan-sultratumbuh2420-persen), (diakses 6 Maret 2011)
Bank Indonesia, Data Perbankan Indonesia. Berbagai edisi, Bank Indonesia.
Jakarta
Bank Indonesia. 2010. Peraturan Bank Indonesia Nomor:12/19/PBI/2010.
Jakarta
Bank Indonesia. 1998. Undang – Undang No. 10 tahun 1998 tentang
Perbankan pasal 3. Jakarta
Budiawan. 2008. Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran
Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (Studi Kasus pada BPR di
Wilayah Kerja BI Banjarmasin). UniversitasDiponegoro, Semarang.
Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta : Penerbit
Ghalia Indonesia
Gudjarati, 1997. Ekonometrika dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kasmir, 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Keenam. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Manurung Jonni J, Manurung Adler Haymans, dan Saragih Ferdinand
Dehoutman. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Mujahid Abu. 2009. Pengertian Kredit, (http://silapcity.blogspot.com/2009/03
pengertian-kredit.html), (diakses 5 November 2011).
Pratama Billy Arma. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kebijakan Penyaluran Kredit perbankan (Studi pada Bank Umum di
Indonesia Periode Tahun 2005 - 2009). UniversitasDiponegoro,
Semarang.
Putra.
2009,
Definisi,
Fungsi
dan
Peranan
Bank
Umum
dalam Perekonomian,(http://putracenter.net/2009/09/23/definisiJurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
142
fungsi-dan-peranan-bank-umum-dalam-perekonomian/), (di akses 7
November 2001).
Sastra, Widya. 2009. Pengaruh dana pihak ketiga, suku bunga kredit, dan
Inflasi terhadap alokasi modal kerja pada Bank-bank Umum di
Indonesia. Universitas Haluoleo, Kendari.
Satriani, Dewi. 2011. Pengaruh Suku Bunga Kredit dan Tingkat Inflasi
Terhadap Jumlah Kredit di Indonesia. Universitas Haluoleo, Kendari.
Trisdini, Himaniar, 2010. Pengaruh CAR, NPL dan ROA Terhadap
Penyaluran Kredit Modal Kerja Pada Bank Umum yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Universitas Diponegoro, Semarang.
Undang – Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan pasal 3, Jakarta
Warjiyo, Perry. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter
di Indonesia.Jakarta: PusatPendidikan dan Studi Kebanksentralan BI.
Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011
143
Download