Volume Tahun 4, 4 Desember Desember 2011, Volume VIII VIII Tahun 2011, hal hal 11-15 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu ANALISIS TINGKAT KELAHIRAN DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN BOMBANA1) Wali Aya Rumbia2) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelahiran dan tingkat kemiskinan di Kabupaten Bombana. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara langsung di lapangan dengan informan sebanyak 7 orang. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui wawancara mendalam. Hasil analisis menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata per bulan keluarga miskin di Kabupaten Bombana berkisar antara Rp 650.000 – Rp 900.000. Masih terdapat pasangan usia subur (PUS) keluarga miskin yang tidak mengikuti program keluarga berencana (KB) dengan alasan pandangan mengenai anak sebagai karunia dari Sang Pencipta dan bahwa anak merupakan asset dan jaminan hari tua,meskipun disisi lain orang tua berkewajiban untuk menanggung biaya hidup anak-anaknya. Kata kunci: tingkat kelahiran, tingkat kemiskinan I. PENDAHULUAN Perkembangan jumlah penduduk sangat erat hubungannya dengan perkembangan peradaban manusia dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya.Sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dunia.Indonesia sebagai negara berkembang tidak terlepas dari perkembangan jumlah penduduk yang cepat.disamping perkembangannya yang cepat, penyebarannya berdasarkan pulau juga sangat bervariasi sehingga terdapat kosentrasi penduduk di pulau jawa, sementara penduduk di Maluku dan Irian Jaya sangat jarang. Penyebarannya tidak merata bukan hanya antar pulau tetapi juga antar kota dan desa,dimana sebagian besar penduduk di Indonesia tinggal di pedesaan. ___________________________________________ 1) Hasil Penelitian Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 2) Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 1 Dengan demikin maka perlu adanya kebijakan kependudukan yaitu: Suatu keputusan pemerintah tentang pemecahan masalah kependudukan yang bersifat menyeluruh dan jangka panjang,dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ruang lingkup kependudukan antara lain menurunkan angka kelahiran karena TFR tinggi, menurunkan angka kematian karena CDR tinggi,harapan hidup rendah,menyeimbangkan kepadatan penduduk antar pulau dan wilayah sesuai dengan kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membahas integrasi penduduk dalam pembangunan;yaitu penduduk sebagai objek pembangunan dan penduduk sebagai subjek pembangunan. Sebagai objek pembangunan penduduk hanya menikmati hasil pembangunan. Hal semacam ini jelas mengggambarkan proses pembuatan kebijakan yang top –down. Penduduk sebagai subjek pembangunan diperlukan upaya pemberdayaan untuk menyadarkan hak penduduk dan meningkatkan kapasitas penduduk dalam pembangunan. Untuk menjelaskan hak dan kewajiban penduduk maka dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu: diri pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, warganegara, dan himpunan kuantitas yang bertempat tinggal di suatu tempat dalam batas wilayah negara pada waktu tertentu. Penduduk sebagai diri pribadi atau individu memilki hak pribadi misalnya menikah atau membentuk rumah tangga dan memilih pasangan hidup. Penduduk sebagai keluarga menyangkut hak keluarga untuk menentukan jumlah anak dan tidak mempunyai anak,dan bertanggung jawab sebagai orang tua. Dengan tanggung jawab tersebut maka keluargalah yang menentukan pilihan terhadap jumlah anak yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin banyak jumlah anak yang dimiliki akan berdampak pada kondisi kesejahtraan keluarga apabila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai. Pada akhirnya akan berujung pada kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat krusial selama ini baik secara nasional maupun regional walaupun sudah banyak program –program yang telah dicanangkan oleh pemerintah. Namun hasilnya angka kemiskinan di Indonesia maupun di Popinsi Sultawesi Tenggara masih cukup tinggi. Salah satu persoalan kependudukan klasik di Indonesia adalah kualitas data registrasi tidak mengalami perbaikan yang berarti bahkan data registrasi kependudukan tidak pernah digunakan dalam perencanaan kependudukan. Disamping itu pencatatan kelahiran maupun kematian masih belum banyak terregistrasi.Kondisi seperti ini mendorong para peneliti berusaha untuk melakukan berbagai penelitian guna mendapatkan informasi yang cukup dalam rangka memecahkan masalah kependududkan di daerah. Berdasarkan latarbelakang tersebut makapeneliti tertarik untuk melakukukan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 2 penelitiandegan judul “ Tingkat kelahiran Keluarga miskin Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara”. di kabupaten II. LANDASAN TEORI A. Pengertian Kemiskinan Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum untuk hidup layak . Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada dibawah garis nilai standar kebutuhan minimum baik untuk makanan dan non makanan,yang disebut garis kemiskinnan (poperty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kili kalori per orang per hari,dan kebutuhan non makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2004). Friedman dalam Suharto dkk (2004),mendefenisikan kemiskinan adalah ketidaksaman kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial yang meliputi: 1. Modal produktif atau asset (tanah,perumahan,alat produksi,kesehatan) 2. Sumber keuangan (pekerjaan,kredit) 3. Organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi,partai politik,organisasi sosial ). 4. Jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan,barang dan jasa. 5. Pengetahuan dan ketrampilan. 6. Informasi yang bergunan untuk kemajuan hidup. Konsep lingkaran kemiskinan (vicious circle of proverty) ini pertama kali dikenalkan oleh Ragnar Nurkse dalam bukunya yang berjudul “Problems Of Capital Formation In Underdeveloped Countries“ (1953). Lingkaran kemiskinan didefinisikan sebagai suatu rangkaian kekuatan yang saling mempengaruhi satu sama lain sehingga menimbulkan suatu kondisi di mana sebuah Negara akan tetap miskin dan akan mengalami banyak kesulitan untuk mencapai tingkat pembangunan yang lebih tinggi.Menurut Nurkse, kemiskinan bukan hanya di sebabkan oleh tidak adanya pembangunan masa lalu, tetapi kemiskinan juga dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan di masa mendatang. Sehubungan dengan hal itu, lahirlah suatu ungkapan Nurkse yang sangat terkenal yaitu “a country is poor because it is poor”.Pada hakikatnya konsep lingkaran kemiskinan menganggap bahwa: 1. Ketidak mampuan untuk mengerahkan tabungan yang cukup, 2. Kurangnya faktor pendorong untuk kegiatan penanaman modal. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 3 3. Tingkat pendidikan dan keahlian masyarakat yang relatif masih rendah merupakan tiga faktor utama yang menghambat proses pembentukan modal dan pembangunan ekonomi di berbagai bidang. Kemiskinan menurut Wikipedia Bahasa Indonesia adalah keadaan dimana terjadi ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kini di Indonesia jerat kemiskinan semakin parah. Jumlah kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 saja mencapai 32,53 juta atau 14,15 persen. Dalam rangka mempercepat penanggulangan kemiskinan di Indonesia termasuk di Propinsi Sulawesi Tenggara Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan salah satu kebijakan untuk menumbuhkan dan memperkuat kemampuan masyarakat miskin untuk dapat meningkatkan taraf hidupnya. IDT diarahkan pada pengembangankegiatan sosial ekonomi dalam rangka mewujudkan kemandirian masyarakat miskin di desa atau kelurahan tertinggal, dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi, serta menerapkan semangat dan kegiatan kooperatif. Kegiatan sosial ekonomi yang dikembangkan adalah kegiatan produksi dan pemasaran, terutamayang sumber dayanya tersedia di lingkungan masyarakat setempat. Guna mempercepat upaya itu, ditingkatkan pembangunan prasaranadan sarana perdesaan serta disediakan dana sebagai modal kerja bagi penduduk miskin untuk membangun dan mengembangkan kemampuannya sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya secara mandiri. Dalam kerangka itu, program IDT diupayakan pula untuk memantapkan segi-segi kelembagaan sosial ekonomi masyarakat perdesaaan, termasuk koperasi sehingga upaya meningkatkan taraf hidup dapat berlangsung secara berkelanjutan. Kebijakan ini dilaksanakan khususnya 327 desatertinggal menurut pedoman yang telah ditetapkan secara nasional. Umumnya, ketika kemiskinan dibicarakan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi yang terkait pula dengan daya beli. Masalah kemiskinan di Indonesia merupakan masalah abadi yang tak kunjung usai. Begitu pula pemetaan, sistem pengentasannya. Kemiskinan struktural bukan sesuatu yang insidental, oleh karena itu penyelesaian masalah kemiskinan di Indonesia pun hendaknya dilakukan secara terstruktur dan bersistem. Selama ini pemerintah menggunakan data BPS sebagai rujukan berapa kuantitas kemiskinan. Data BPS ini berbeda dengan data kemiskinan dari Asian Development Bank dan World Bank, Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 4 karena parameter dalam menentukan kemiskinan untuk masing-masing pihak yang mengadakan survey berbeda-beda. Parameter kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Survey sosial ekonomi nasional BPS terakhir masih memakai dua parameter klasik yakni kebutuhan dan pendapatan rakyat. BPS menyebutkan jika warga tidak mampu memenuhi kebutuhan 2.100 kilokalori per hari, serta kebutuhan dasar minimal untuk non-makanan Rp 212.000 per bulan, maka masuk kategori miskin. Sehingga berdasarkan data BPS, jumlah orang miskin di Indonesia adalah 31 juta orang dengan sebaran di perkotaan 11,1 juta orang dan di pedesaan 19,9 juta orang. Parameter kemiskinan yang digunakan oleh Asian Development Bank (ADB) adalah definisi bahwa miskin penghasilan di bawah 1,25 dollar AS per hari. Berdasarkan data ADB jumlah penduduk miskin di Indonesia, 2010 adalah 43,1 juta jiwa. Dikatakan ADB bahwa penyelesaian masalah kemiskinan di Indonesia lambat jika dibandingkan negara-negara lain di Asia. China dan Vietnam yang tadinya memiliki persentase penduduk miskin lebih besar berhasil menyalip Indonesia, dimana jumlah warga miskin disana turun drastis. Untuk World Bank parameter yang digunakan adalah standar internasional bahwa penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per hari U$2 atau kurang menggunakan metode Purchasing Power Parity (PPP). Selain itu World Bank juga menetapkan klasifikasi penduduk sangat miskin (ekstremely poor) untuk pengeluaran per harinya di bawah US$1. Berdasarkan kriteria tersebut tentunya jumlah kemiskinan versi World Bank juga berbeda.Berapapun datanya, masalah kemiskinan itu ada di depan mata dan memang harus di tuntaskan, terjadi perbedaan data karena versi survey dan parameternya berbeda. Ukuran lain untuk kemiskinan adalah Garis kemiskinan yaitu:nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan maupun kebutuhan hidup minimum bukan makanan. Jadi, Garis Kemiskinan (GK) terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Nonmakanan (GKNM). Garis kemiskinan makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll). Garis kemiskinan non-makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 5 Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis kemiskinan (GK), karenapenduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. B. Konsep Fertilitas/ Kelahiran Fertilitas ialah suatu istilah yang dipergunakan di dalam bidang Demografi untuk menggambarkan jumlah anak yang benar-benar dilahirkan hidup dari seorang wanita atau banyaknya bayi yang dilahirkan hidup oleh seorang wanita ataupun sekelompok wanita. Fertilitas merupakan suatu ukuran yang diterapkan untuk mengukur hasil reproduktif wanita Jumlah kelahiran hidup yang terjadi setiap tahun di dalam suatu penduduk tertentu sebagian ditentuka oleh berbagai faktor demografi misalnya; distribusi umur dan jenis kelamin, jumlah pasangan pria dan wanita yang menikah maupun distribusi umurnya, lamanya perkawinan dan jumlah anak yang dilahirkan. Selain itu jumlah kelahiran juga ditentukan oleh faktor lain yang berkaitan erat dengan lingkungan sosial dan ekonomi,dalam suatu jangka waktu tertentu misalnya kondisi perumahan,pendidikan penghasilan,agama, maupun sikap terhadap besarnya anggota keluarga. Fertilitas merupakan karakteristik yang pengukurannya jauh lebih sulit dibandingkan dengan mortalitas. Pada umumnya angka kelahiran dikaitkan dengan kelahiran yang meliputi suatu periode tertentu misalnya satu tahun. Alternatif lain mengukur fertilitas meliputi periode kehidupan reproduksi yang sudah berakhir. Pada hakekatnya ukuran ini mencakup jumlah kelahiran per orang atau pasangan pada akhir masa reproduksitif,atau dengan kata lain dinamakan besarnya keluarga yang lengkap (completed familysize). Dalam meneliti kecenderungan Fertilitas di suatu Negara atau perbedaan fertilitas antara beberapa Negara sering para ahli demografi ingin mengetahui sejauh mana perbedaan jumlah kelahiran itu disebabkan oleh faktor-faktor demografi tersebut. Suatu kelahiran selalu melibatkan pria dan wanita. Dengan demikian akan lebih bermanfaat untuk mengukur fertilitas menurut karakteristik ibu,karakteristik ayah,atau karakteristik pasangan tersebut. Namun statistik yang dihimpun umumnya berkaitan dengan ibu sehingga sudah menjadi kebiasaan bahwa untuk mengukur fertilitas biasanya hanya dikaitkan dengan wanita Besarnya keluarga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang dapat bertahan hidup (survive). Hal Itu tergantung pada cara bertingkahlaku sesuai dengan yang dikehenaki .Apabila orang melaksanakan perhitungan mengenai jumlah kelahiran anak yang diinginkan, tergantung pada keseimbangan antara kepuasan atau kegunaan atau (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan seorang anak. Ada 3 macam tipe kegunaan yakni; Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 6 1. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu barang konsumsi; misalnya sebagai sumber hiburan bagi orang tua. 2. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi yakni dalam beberapa hal tertentu anak diharapan untuk melakukan suatu pekerjaan dan menambah pendapatan keluarga. 3. Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai sumber ketentraman baik padaHari tua maupun sebaliknya. 4. Biaya yang dikeluarkan bila memiliki tambahan seorang anak dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya atau ongkos –ongkos yang biasanya dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan sandang ,pangan,dll, sampai ia dapat berdiri sendiri. Biaya tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seorang anak ,misalnya seorang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak,kehilangan penghasilan semasa hamil,atau berkurangnya mobilitas orang tua karena adanya tambahan anak atau yang mempunyai tanggungan keluarga yang besar. Dengan adanya perkembangan zaman maka muncullah pendapatpendapat lain seperti (Robinson 1979.) yang mulai melihat tentang kualitas anak dengan teorinya “ekonomi rumah tangga baru”. Dia berpendapat bahwa : 1. Orang tua lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya sedikit. 2. Bila pendidikan dan pendapatan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya dari pihak ibu ) digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal. Permintan akan anak sebagiannya ditentukan oleh karakteristik latar belakang seperti agama,pendidikan,tempat tinggal,tipe keluarga,dll. Setiap unit keluarga mempunyai norma-norma dan sikap-sikap fertilitas berdasarkan atas karakteristik tersebut di atas. Demikian juga unit-unit keluarga yang mempunyai pendapatan tertinggi,yang diinginkannya pendapatan tertentu,umur, pendididkan dll. Pendapatan yang lebih tinggi tentunya mempunyai kecenderungan menghasilkan fertilitas yang tinggi,Tetapi pendapatan yang tidak menentu bisa juga merubah selera terhadap barangbarang lainnya dan mengurangi permintaan terhadap anak. Secara umum Freedman dengan pendekatan sosiloginya mengatakan bahwa;bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang penting. Mereka cendrung menciptakan suatu cara penyelesaian normative terhadap masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang betingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan diri dengan norma Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 7 tersebut baik melalui ganjaran maupun hukuman yang implisit dan eksplisit (Freedman dalamWarren C. Robinson 1983). Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang suami istri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normative untuk mengatasi masalah ini dalam kebanyakan kasus.Pendekatan psikologis terhadap fertilitas dikemukan oleh (Hoffman dalam Warren C.Robinson 1983 ) menggunakan konsep Nilai sebagai konsep kunci. Menurutnya nilai anak berkaitan dengan fungsi anak terhadap orang tua atau kebutuhan-kebutuhan orang tua yang dipenuhinya.Nilai-nilai tertentu ini tercermin dalam berbagai kebutuhan psikologis tertentu.Nilai- nilai ini terikat pada struktul sosial dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Nilai-Nilai ini bisa diperoleh melalui keluarga dan juga dapat diperoleh melalui cara-cara lainnya. Lebih lanjud dijelaskan bahwa kebanyakan kaum wanita mempunyai suatu naluri keibuan .Jadi anak memiliki suatu nilai dasar biologis.Nilai anak juga berkaitan dengan manfaat netto yang hipotetis dari anak yakni selisih antara nilai – nilai positif (kepuasan) dengan nilai-nilai negative (biaya). Jadi biaya,nilai, kepuasan serta motivasi dianggap sama dengan keuntungan. Oleh karena itu selera mempunyai anak nampaknya bukan hanya terdapat pada tingkat individu saja. Kelompok juga mempunya selera dan pilihan tentang fertilitas. Jadi cara yang terbaik untuk melihat suatu norma adalah sebagai suatu aturan keputusan yang dianut oleh suatu kelompok yang mendasri seleranya atau nilainya dan hasil yang diharapkan. Terdapat selera sosial dan norma. Pasangan suami istri mempunyai pilihan yang kuat untuk mempunyai anak, sebaliknya pasangan lain tidak, Jadi ada perbedaan penilaian subjektif oleh orang tua mengenai keuntungan yang diperoleh dari anak yang ada, menunjukan perbedaan selera. Selera tersebut tergantung pada karakteristik individu, sifat dan pengaruh kelomopok pergaulan. Secara umum dapat dijelaskan bahwa faktot-faktor yang relevan dengan pengambiln keputusan terhadap kelahirannya seorang anak atau terhadap anak yang dimilikinya pada tingkat individu, keluaraga dan masyarakat yang menyatakan bahwa permintaan akan anak adalah sumber ekonomis dan non ekonomis serta sumber-sumber kegunaan. Selain itu unsur pengharapan yang merupakan cara yang terbaik untuk melihat perbedaan pengaruh faktor –faktor psikologis dan kepribadian individu terhadap permintaan anak. Jadi dua individu menghadapi situasi objektif yang sama dan kemungkinan manfaat riil juga sama namun mereka dapat memberikan respon yang berbeda jika pengharapan subjektif mereka tentang apa yang akan terjadi di masa depan berbeda. Di lain pihak keterbatasan dalam biaya yang dipikul oleh individu baik biaya langsung maupun tidak langsung atas anak termasuk opurtunitas,persaingan dalam memanfaatkan sumber-sumberdaya untuk mencapai kepuasan,dan setiap norma atau aturan keputusan yang dipaksakan kepada individu atau kelompok. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 8 Pada tingkat keluarga dan masyarakat, bahwa individu dalam hal ini pasangan suami istri yang terlibat dalam memperoleh anak juga merupakan bagian yang integral dari unit keluarga yang lebih besar, manfaat dan biaya juga mempengaruhi unit yang lebih besar. Berkenaan dengan permintaan akan anak maka saudara tertua, saudara kandung atau anggota keluarga lainnya bisa menganggap bahwa tambahan anggota keluarga sebagai keberuntungan atau sebagai tenaga kerja untuk meningkatkan ketentraman masa depan,dll,atau sebagai malapetaka dalam arti sebagai persaingan dalam memperoleh tanah, menurunnya tingkat perawatan anak oleh orang tua dll.. Apabila tidak ada alasan a priori untuk memikirkannya, cara penyelesaian yang optimum untuk tingkat ini sama dengan cara penyelesaian terbaik untuk pasangan suami istri. Bahwa sepasang suami istri yang tinggal dalam kelurga besar menginginkan anak lebih banyak atau lebih sedikit dari pada jumlah yang dirasakan terbaik. II. METODE PENELITIAN A. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini merupakan keluarga miskin di Kabupaten Bombana yang tidak mengikuti Keluarga Berencana. Sampel penelitian ditentukan secara sengaja sebanyak 7 informan. B. Sumber data Data penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang bersumber dari lapangan. Data sekunder,data yang bersumber dari kepustakaan serta instansi terkait. C. Metode Pengumpulan Data Secara umum metode yang digunakan untuk memperoleh data ada tiga metode yakni: 1. Observasi atau metode pengamatan, peneliti mengadakan pengamatan langsung di lokasi penelitian. 2. Wawancara, metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dari responden dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas dan leluasa. 3. Dokumentasi, penyelusuran terhadap dokumen yang terkait dengan masalah penelitian. d. Metode Analisis Data Teknik analisis data yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam. Data dan informasi yang diperoleh dari lokasi penelitian di deskripsikan secara objektif Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Bombana Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, penduduk Kabupaten Bombana berjumlah 98.568 jiwa terdiri dari 48.896 jiwa penduduk laki-laki dan 49.672 jiwa penduduk perempuan.Penduduk Kabupaten Bombana tahun 2005 berjumlah 110.029 jiwa terdiri dari 54.635 jiwa penduduk laki-laki dan 55.394 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa dalam jangk waktu 5 tahun terjadi kenaikan jumlah penduduk dari 98.568.jiwa menjadi 110.029 atau bertambah sebanyak 11.461 jiwa Penduduk Kabupaten Bombana berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 berjumlah 139.235 jiwa terdiri dari 70.367 jiwa penduduk laki-laki dan 68.868 jiwa penduduk perempuan. Selama periode waktu 10 tahun dari tahun 2000 sampai tahun 2010 di Kabupaten Bombana terjadi pertambahan penduduk dari 98.568. jiwa menjadi 139.235 jiwa atau bertambah sebanyak 40.667 jiwa. Persebaran penduduk di Kabupaten Bombana tidak merata;10,25 % berada di Kecamatan Poleang,8,09 % berada di Poleang barat,sisanya masing-masing kurang dari 8 % tersebar di 20 Kecamatan lainnya. Tahun 2010 Struktur umur penduduk di Kabupaten Bombana terdiri dari kelompok umur muda yaitu penduduk yang berumur kurang dari 14 tahun sebesar 34,38 % dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Rasio Jenis Kelamin sebesar 102,18,yang berarti penduduk di Kabupaten Bombana lebih banyak penduduk laki-laki dibandingkan dengan penduduk perempuan. Dengan kata lain dari 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk lakilaki. Jumlah penduduk usia kerja ( 15 tahun ke atas ) sebanyak 65.474 orang, terdiri dari 41.320 orang atau 35,79 orang penduduk laki-laki dari total jumlah penduduk dan 24.154 orang penduduk perempuan atau 29.68 %, dari total jumlah penduduk. B. Tingkat Fertilitas dan Penduduk Miskin Angka Fertilitas Total Indonesia mengalami penuruna sejak akhir tahun 1960 - an menjadi 2,6 di tahun 2007 suatu penurunan yang semakin lambat namun jumlah bayi yang lahir masih cukup tinggi yaitu sebesar 4 juta per tahun.(BKKBN PUSAT). Berdasarkan data SDKI tahun 1997 TFR Indonesia sebesar 2,78 namun SDKI tahun 2002-2003 TFR Indonesia turun menjadi 2,6 anak per wanita. Angka Fertilitas antar provinsi bervariasi dari yang tertinggi 4,2 anak per wanita di Nusa Tenggara Timur dan terendah 1,8 anak per wanita di DI Yokyakarta. Angka Fertilitas di Propinsi Sulawesi Tenggara cendrung tidak stabil atau berfluktuasi yaitu berdasarkan SDKI tahun 1994 angka fertilitas atau TFR 3,5 anak per wanita, turun menjadi 2,6 anak per wanita pada SDKI tahun 1997, naik kembali pada SDKI tahun 2002-2003 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 10 menjadi 3,6 anak per wanita dan turun kembali pada SDKI tahun 2007 menjadi 3,3 anak per wanita. Angka fertilitas di Propinsi Sulawesi Tenggara tercatat lebih tinggi yaitu 3,3 anak per wanita.dibandingkan dengan angka fertilitas secara nasional yaitu 2,6 anak per wanita pada SDKI tahun 2007. Upaya pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin belum menunjukan hasil yang menggembirakan.Upaya penanggulangan kemiskinan semakin rumit. Salah satu prioritas pembaharuan kehidupan masyarakat melalui program penanggulangan kemiskinan namun disisilain dihadaplkan dengan situasi yang kurang menguntungkan . Sejalandengan pelaksanaan otoda upaya penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara terdesentralisasi. Peran pemerintah kabupaten/kota sangat diharapkan.Berdasarkan data yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bombana keluarga miskin diklasifikasikan atas keluarga pra sejahtera dan sejahtera I. Keluarga pra sejahtera berjumlah 12.493 Kepala Keluarga dan keluarga sejahtrera I berjumlah 10.696 Kepala Keluarga. Jadi total keluarga miskin yang berada di Kabupaten Bombana berjumlah 23.188 Kepala Keluarga. Berdasarkan tingkat pendidikan jumlah Kepala Keluarga Pra Sejahtera yang berpendidikan tidak tamat SD sebanyak 5.358 Kepala Keluarga,Tamat SD,SMP,sebanyak 5.304 Kepala Keluarga,Tamat SMA 1.714 Kepala Keluarga, Tamat Akademi /PT Sebanyak 117 Kepala Keluarga. Keluarga Sejahtera I yang tidak tamat SD sebanyak 3.699.Kepala Keluaga, tamat SD sebanyak 5.079 Kepala Keluarga, tamat SMA sebanyak 1.804Kepala Keluarga. dan yang tamat Akademi/ PT, sebanyak 114 Kepala Keluarga. (sumber data Pemerintah Daerah Kabupaten Bombana ). C. Narasi Informan Adapun karakteristik informan dan pandangan mengenai kelahiran anak diuraikan sebagai berikut: 1. Informan Tajudin , umur 37 tahun.Bertempat tinggal di Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD,Istrinya bernama Hasidar umur 35 tahun. Pekerjaan Tajudin sebagai seorang nelayan.Pendapatan yang diperoleh tidak menentu ,namun rata –rata per bulan 700.000 rupiah.Untuk menghidupi keluarga dirasakn sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 5 orang, Jumlah anak saat ini 5 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 7 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dan anak kedua dari terakhir 2 tahun.. Tempat persalinan pertama di rumah dibantu oleh bidan desa..Pandangan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 11 mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah oleh karena itu dengan memiliki besar kecilnya jumlah anak tidak menjadi masalah bagi mereka namun kadang-kadang merepotkan. 2. Informan Ashar umur 25 tahun. Bertempat tinggal di Kecamatan Bombana. Pendidikan terakhir Ashar tamat SMP,Isterinya bernama Dona,Umur 23 tahun. Pekerjaan Ashar sebagai seorang nelayan. Pendapatan yang diperoleh rata –rata per bulan Rp 650.000. Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar.Jumlah anak lahir hidup 4 orang, jumlah anak meninggal 1 orang, Jumalah anak saat ini 3 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 5 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Sebab-sebab kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 2,2 tahun. Tempat persalinan pertamanya di rumah dibantu oleh dukun..Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah. 3. Informan Hasanudin, umur 37 tahun. Bertempat tinggal di Kabupaten Bombana.Pendidikan terakhir tamat SD, Istrinya bernama Muliyana umur 25 tahun.Pekerjaan Hasanudin sebagai seorang tukang ojek .Pendapatan yangdiperoleh rata –rata per bulan 800.000 rupiah. Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar.Jumlah anak lahir hidup 4 orang, jumlah anak meninggal 1 orang, Jumlah anak saat ini 3 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 5 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Sebab-sebab kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit cacar. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun. Jarak kelahiran anak terakhir dan anak kedua dari terakhir 2,3 tahun. Tempat persalinan pertamanya dibantu oleh dukun..Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah oleh karena itu dengan memiliki jumlah anak tidak menjadi masalah. 4. Informan Sukardin, umur 30 tahun. Bertempat tinggal di Kabupaten Bombana.Pendidikan terakhir tamat SD,Istrinya bernama Lisa umur 26 tahun. Pekerjaan Sukardin sebagai seorang wiraswasta .Pendapatan yang diperoleh rata-rata per bulan 750.000 rupiah. Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 4 orang . Jumlah anak saat ini Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 12 4 0rang. Beban tanggungan sebanyak 6 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB,karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun. Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 2 tahun. Tempat persalinan pertamanya di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah tetapi dengan memiliki jumlah anak menjadi masalah dan merupakan beban bagi mereka. 5. Informan Hasmin, umur 40 tahun.Bertempt tinggal di Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD ,Istrinya bernama Darmawati umur 30 tahun. Pekerjaan Hasmin sebagai seorang nelayan. Pendapatan yang diperoleh rata–rata per bulan 900.000 rupiah.Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 6 orang, jumlah anak meninggal 1 orang, Jumlah anak saat ini 5 orang. Beban tanggungan sebanyak 7 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB. Sebabsebab kematian bayi meninggal pada saat itu karena sakit. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 1,8 tahun. Tempat persalinan pertamanya di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah. 6. Informan Husen, umur 27 tahun. Bertempat tinggal di Kecamatan Rumbia Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SMP,Istrinya bernama Nur umur 25 tahun. Pekerjaan Husen sebagai seorang pelaut .Pendapatan yang di peroleh rata –rata per bulan 900.000 rupiah.Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 3 orang. Jumlah anak saat ini 3 0rang. Beban tanggungannya sebanyak 5 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB, karena dianggap tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak ratarata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 2 tahun.Tempat persalinan pertamanya di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah oleh karena itu dengan memiliki jumlah anak tidak menjadi masalah dan tidak merupakan beban bagi mereka. 7. Informan Mustakim, umur 40 tahun. Bertempat tinggal di kampung baru Kabupaten Bombana. Pendidikan terakhir tamat SD. Pekerjaan Mustakim sebagai nelayan.Pendapatan yang diperoleh rata –rata per bulan 700.000. rupiah. Untuk menghidupi keluarga dirasakan sangat sulit Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 13 dan tidak cukup dengan pendapatan yang diperolehnya karena diperhadapkan dengan beban tanggungan yang tinggi atau besar .Jumlah anak lahir hidup 4 orang, Jumlah anak saat ini 4 0rang. Beban tanggungan sebanyak 6 orang. Saat ini mereka tidak mengikuti program KB pernah ikut tapi gagal karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. Jarak kelahiran anak rata-rata 2 tahun.Jarak kelahiran anak terakhir dengan anak kedua dari terakhir 1 tahun 11 bulan. Tempat persalinan pertama di rumah dibantu oleh dukun. Pandangan mereka terhadap anak bahwa anak dianggap sebagai karunia dari Allah. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. 2. Tingkat pendapatan yang diperoleh keluarga miskin sampel di Kab. Bombana rata-rata per bulan berkisar antara Rp 650.000 – Rp 900.000. Berdasarkan hasil wawancara yang diperoleh di lapangan PUS dari informan Keluarga miskin di Kabupaten Bombana mereka tidak mengikuti program KB karena tidak cocok dengan alat kontrasepsi yang digunakan. B. Saran-saran 1. 2. Perlu sosialisasi Kembali program pemerintah tentang KB. Untuk mengurangi beban tanggungan maka program KB merupakan pilihan utama. DAFTAR PUSTAKA. Anton Namba, 2003, Pendekatan Ekosistem dalam penanggulangan Kemiskinan Refleksi penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi Tenggah. Biro Pusat Statistik 2011,Sulawesi Tenggara dalam Angka. Dumairy, 1996, Perekonomian Indonesia Cetakan ke- 5,Penerbit Erlangga Jakarta. Notoatmodjo, 1996, Pendidikan dan perilaku Kesehatan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta. Pratama Rahardja dan Mandala Manurung, 2008, Pengantar Ilmu Ekonomi Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Widoddo,1997, Ekonomi Indonesia Fakta dan Tantangan dalam Era Liberqalisasi, Konisius, Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 14 Wikipedia, 2004, Rumah di Pinggir Kali di Jakarta. http: Nurlita Sagala.blog spot com. http.peds3 com psads.com/www/delivery/ek.php. tanjab barkab.bps.go.id. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 15 Volume VIII Tahun Tahun 4, 4 Desember Desember 2011 2011,hal.16-31 hal 115 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu ANALISIS KESEJAHTERAAN MUZAKKI BERDASARKAN PENGELUARAN KONSUMSI SEDEKAH (Studi di Kota Malang Provinsi Jawa Timur)1) Oleh: Ambo Wonua Nusantara2) ABSTRAK Tujuan dari penelitian untuk mengetahui: 1). pengaruh Karakteristik Individu (umur, status perkawinan, etnis/suku bangsa, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah) baik secara simultan maupun parsial terhadap Kesejahteraan Muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah , 2). pengaruh Nilai-nilai religius terhadap Kesejahteraan Muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah di Kota Malang Provinsi Jawa Timur. Lokasi penelitian di Kota Malang tepatnya pada dua Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas): Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dan Yayasan Dana Sosial Al Falah (YDSF). Populasinya adalah seluruh muzakki/ donatur yang terdaftar pada kedua Laznas tersebut. Sampelnya adalah donatur yang telah terdaftar dan aktif minimal selama tiga tahun. Hipotesis penelitian diuji dengan menggunakan analisa regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan, pengalaman bersedekah dan nilai-nilai religius berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah, sedangkan umur, status perkawinan, etnis/suku bangsa, pendidikan dan kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan. Dari ketiga faktor tersebut, pendapatan adalah faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi melalui pengeluaran konsumsi sedekah. Kata Kunci :, Kesejahteraan muzakki, Konsumsi sedekah, Karakteristik individu, nilai-nilai religius I. PENDAHULUAN Tujuan hidup tiap manusia adalah untuk mencapai kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan maksud Tuhan menciptakan manusia sebagai hamba yang patuh (‟abid), kreatif (khalifatullah), dan mengajak kepada kepatuhan dan ___________________________________________ 1) Penelitian JurnalHasil Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 2) 16 kreatifitas (da‟i), tujuanNya adalah agar manusia dapat mencapai kesejahteraannya. Secara umum, kesejahteraan sering diartikan sebagai terpenuhinya segala kebutuhan dan keinginan. Semakin terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan maka semakin sejahtera keadaan seorang individu ataupun suatu masyarakat. Persoalan yang dihadapi umat manusia sekarang adalah munculnya suatu pandangan yang menempatkan aspek material yang bebas dari dimensi nilai pada posisi yang dominan. Pandangan hidup yang berpijak pada ideologi materialisme inilah yang kemudian mendorong perilaku manusia menjadi pelaku ekonomi yang hedonistik, sekularistik dan materialistik. Dampak yang ditimbulkan dari cara pandang inilah yang kemudian membawa malapetaka dan bencana dalam kehidupan sosial masyarakat seperti eksploitasi dan perusakan lingkungan hidup, disparitas pendapatan dan kekayaan antar golongan dalam masyarakat dan antar negara di dunia, luntumya sikap kebersamaan dan persaudaraan, timbulnya penyakit-penyakit sosial, timbulnya revolusi sosial yang anarkhis dan sebagainya (Iswadi, 2007). Agama sebagai salah satu bagian penting dari kultur atau kebudayaan merupakan sumber yang potensial menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik secara universal termasuk dalam kehidupan ekonominya. Oleh karena itu, Weber (1930), berpendapat bahwa, praktek keagamaan atau amal sholeh dan keimanan seseorang (religious practice and biliefs) memiliki konsekuensi sangat penting dalam pembangunan ekonomi (economic development). Artinya persoalan yang dihadapi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi, dapat diantisipasi dengan pendekatan agama, yaitu ajaran agama dan keyakinan. Oleh karena itu, aktifitas agama ataupun ekonomi keagamaan sangat perlu mendapat perhatian, khususnya terhadap pengkajian tentang tingkat kesejahteraan manusia. Di dalam mengkaji tingkat kesejahteraan, ada dua arena perdebatan yang merupakan pemahaman kompleks dari kesejahteraan itu sendiri. Pertama adalah apa lingkup dari substansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas substansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat sebagai sebuah kesejahteraan seluruh individu. Penentuan batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan menjadi perdebatan yang luas. Perumusan tentang batasan tersebut seringkali ditentukan oleh perkembangan praktek kebijakan yang dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh dinamika pada tingkat global. Meskipun penentuan lingkup substansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan secara sederhana menggunakan indikator output ekonomi per kapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Output ekonomi perkapita dipandang Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 17 kurang mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena output ekonomi lebih mencerminkan nilai tambah produksi yang terjadi pada unit observasi, yaitu negara atau wilayah. Nilai tambah itu tidak dengan sendirinya dinikmati seluruhnya oleh masyarakat wilayah itu, bahkan mungkin sebagian besar ditransfer ke wilayah pemilik modal yang berbeda dengan wilayah tempat berlangsungnya proses produksi. Menanggapi kritik terhadap penggunaan output ekonomi perkapita, maka pendapatan rumahtangga digunakan sebagai proksi kesejahteraan karena dipandang lebih mencerminkan apa yang dinikmati oleh masyarakat wilayah. Namun, data pendapatan rumah tangga seringkali sulit diperoleh sehingga digunakan informasi tentang konsumsi rumah tangga. Salah satu kelemahan dari konsumsi rumah tangga adalah taksiran yang cenderung berada di bawah angka pendapatan rumah tangga yang sesungguhnya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Hal ini mendorong penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Sebagaimana yang diutarakan oleh Grinols (1994), bahwa kesejahteraan itu tidak hanya dinilai dari sisi materi melainkan juga mengandung nilai-nilai spiritual, seperti perilaku mulia, perasaan tenteram, ikhlas, kebebasan dan sebagainya, maka semua aktifitas yang memberikan kontribusi ke arah nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sebagai indikator dari kesejahteraan dalam perspektif yang berbeda. Misalkan saja Islam menjelaskan tentang lingkup kesejahteraan dalam perspektif Agama yang salah satunya ketika pengeluaran konsumsi dijadikan sebagai ukuran atau memiliki dampak terhadap kesejahteraan, maka konsumsi yang dianjurkan adalah konsumsi yang dapat memberikan manfaat sekaligus keberkahan baik bagi individu atau kelompok maupun kepada komunitas atau masyarakat luas. Jenis konsumsi ini antara lain adalah konsumsi yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi untuk memenuhi kebu tuhan/ keinginan manusia semata. Contoh jenis konsumsi yang pertama adalah pembelian barang/jasa untuk diberikan kepada orang miskin, sedekah, waqf maupun ibadah lainnya. Sedangkan konsumsi jenis kedua adalah konsumsi untuk memenuhi kebutuhan/ keinginan manusia sebagaimana konsumsi sehari-hari. Selanjutnya pendapat Grinols tersebut di atas, diperkuat oleh Chapra (2001) bahwa semua faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dan memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada kesejahteraan seluruh manusia harus diperhitungkan, baik faktor ekonomi maupun non-ekonomi, publik atau pribadi, moral atau keduniaan. Pandangan tersebut menjadikan beberapa faktor non ekonomi, seperti umur, status perkawinan, etnis/ suku bangsa dan faktor moral, seperti kepatuhan kepada sesuatu nilai yang diyakini, pandangan terhadap perilaku mulia (misalnya filantropi), pandangan tentang konsumsi dan kesejahteraan secara spiritual, seluruhnya dianggap mampu Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 18 mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia dan memiliki potensi untuk mempengaruhi kesejahteraannya. Oleh karena itu sangat penting untuk memasukkan faktor-faktor tersebut dalam pengkajian tentang kesejahteraan, terutama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Salah satu dari perilaku mulia ini adalah ”filantropi”, yaitu perilaku memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan. Perilaku filantropi tersebut memiliki tradisi sangat kuat dalam kalangan Muslim, yang biasa kita kenal dengan istilah sedekah. Sedangkan dalam kalangan NonMuslim biasa disebut dengan istilah giving atau donation (sumbagan) yang oleh Friedman (1957) memandangnya sebagai barang konsumsi. Jika dikaitkan dengan kesejahteraan, maka hal ini sesuai dengan yang diutarakan Grinols (2001) tentang perilaku mulia sebagai salah satu ukuran kesejahteraan yang mengandung nilai spiritual. Oleh karena itu Chapra (2001) merekomendasikan semua faktor yang mempengaruhi tingkah laku individu dan memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada kesejahteraan seluruh manusia harus diperhitungkan. Faktorfaktor tersebut antara lain seperti pendapatan/ kekayaan, umur, status perkawinan, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, kesehatan, etnisitas, religiusitas, perilaku mulia dan sebagainya. Beberapa penelitian yang terkait dengan amal sedekah atau giving dan kesejahteraan, seperti faktor-faktor yang mempengaruhinya atau faktor-faktor yang memotivasi seorang individu atau kelompok masyarakat atau lembaga dalam melakukan amal sedekah sudah cukup banyak dilakukan, antara lain: Kitchen (1992), Chua dan Wong (1999), Gittel dan Tebaldi (2006), Hughes dan Luksetich (2008), Multifiah (2007), Nur Farida (2008), dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun belum pernah ada satupun penelitian yang mengkaitkannya dengan kesejahteraan sebagai dampak spiritual dari amal sedekah (giving) yang diterima Donatur (Muzakki). Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka sangat perlu untuk dilakukan penelitian tentang analisis kesejahteraan muzakki berdasarkan pengeluaran sedekah, yang dalam hal ini dilakukan studi di Kota Malang dan sekitarnya karena Kota Malang adalah wilayah yang memiliki karakter umum yang dapat merepresentasi kondisi wilayah secara umum yang memiliki jumlah masyarakat pendonor yang cukup besar dan tercatat pada lembaga-lembaga dan badan-badan sektor nirlaba di Indonesia bahkan di seluruh dunia, sehingga hasil penelitian diharapkan bisa bersifat umum dan menghasilkan model dan konsep baru dari amal sedekah dan kesejahteraan sebagai pengembangan dari model-model dan konsep-konsep sebelumnya. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalahnya sebagai berikut: 1. Apakah karakteristik individu, yaitu umur, status perkawinan, etnis/ suku bangsa, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah, Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 19 2. secara bersama-sama maupun parsial berpengaruh terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Apakah faktor-faktor pemahaman nilai-nilai religius berpengaruh terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Berdasarkan rumusan masalah dan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan sebagai dugaan sementara dalm penelitian ini sebagai berikut: 1. Karakteristik individu, yaitu umur, status perkawinan, etinis/ suku bangsa, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah, baik secara bersama-sama maupun parsial berpengaruh terhadap kesejahteraan Muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. 2. Faktor-faktor pemahaman nilai-nilai religius berpengaruh terhadap kesejahteraan Muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. II. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat explanatory. Suatu penelitian yang bersifat explanatory umumnya bertujuan untuk menjelaskan kedudukan variabelvariabel yang diteliti serta hubungan dan pengaruh antara satu variabel dengan variabel yang lain (Sugiyono, 2002). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan pengumpulan data melalui survei. Survei dilakukan pada sejumlah Muzakki (Donatur) yang berdomisili di Kota Malang dan sekitarnya. Data kuantitatif terdiri dari umur, pendidikan, kesehatan, pendapatan pengalaman bersedekah dan pengeluaran sedekah. Selain itu untuk keperluan analisis juga diambil data kualitatif yang antara lain meliputi status perkawinan, etnis/suku bangsa, pengetahuan agama dan aplikasinya serta persepsi tentang makna kesejahteraan. Populasi penelitian adalah Individu Muslim yang tercatat sebagai Muzakki/ Donatur pada Lazis/ Bazis di Kota Malang dan sekitarnya. Pemilihan sampel dilakukan dengan dua tahap. Mula-mula (tahap I) adalah memilih Baitul Maal (Lazis/Bazis), yang dalam hal terdiri dari dua Laznas, yaitu Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dan Yayasan Dana sosial Al-Falah (YDSF). Pemilihan dua Baitul Maal tersebut ditentukan secara sengaja (purposive), dengan alasan bahwa lembaga-lembaga tersebut telah beroperasi lebih dari lima tahun dan keduanya memiliki kesetaraan atau level yang sama. Selanjutnya (tahap II), diambil data muzakki (Donatur) yang memberikan bantuan donasi berupa zakat, infaq, sedekah (Shodaqoh), dan sumbangan-sumbangan lainnya melalui dua Baitul Maal tersebut. Jumlah sampel penelitian adalah ditentukan dengan purposive quota sampling, yaitu mereka yang telah memberi bantuan lebih dari tiga tahun Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 20 berturut-turut yang berjumlah 6.000 orang. Sebenarnya tidak ada aturan yang tegas jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Juga tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel besar dan yang kecil (Nasution, 2003). Namun untuk keperluan analisis, maka jumlah sampel yang akan diambil pada penelitian ini didasarkan pada pendapat Slovin (Umar, 2001) yaitu dengan menggunakan rumus: n N 1 N ( e) 2 Berdasarkan rumus tersebut, dapat ditentukan jumlah sampel dalam penelitian ini, yaitu sebanyak 98 orang atau digenapkan menjadi 100 orang. Adapun teknik analisis data yang digunakan berdasarkan tujuan penelitian adalah persamaan Regresi Linear Berganda dengan terlebih dahulu melakukan Uji Reliabilitas dan Uji Validitas terhadap kuesioner yang digunakan untuk mengumpulkan data, dan Analisis faktor untuk menentukan faktor scores yang terbentuk dari variabel laten yang dimasukkan dalam analisis linear berganda. Variabel independen dalam penelitian ini pertama, meliputi karakteristik individu (umur, status perkawinan, etinis/ suku bangsa, pendidikan, kesehatan, pendapatan dan pengalaman bersedekah serta nilainilai religius, sedangkan variabel dependen adalah pengeluaran konsumsi sedekah sebagai proksi kesejahteraan muzakki. Model yang akan digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini dibangun suatu model ekonometri yang menunjukkan hubungan antar variabel terkait yang dibangun atas fungsi pengeluaran sedekah: Model Umum : S = f (KI, NNR) Persamaan (1) Di mana : S = Amal Sedekah, KI = Karakteristik Individu dan NNR = Nilai-Nilai Religius. Persamaan (1) menggambarkan bahwa tingkat amal sedekah adalah fungsi dari karakteristik individu dan nilai-nilai religius, di mana keduanya terdiri dari faktor-faktor yang akan diamati dalam memprediksi tingkat amal sedekah atau pengeluaran sedekah. Sehingga didapatkan model ekonometri untuk S sebagaimana persamaan (2) di bawa ini: S = β0 + β1U + β2SP + β3E + β4P + β5K + β6Y + β7PS + β8NNR + εi di mana : S U SP E P = = = = = Persamaan (2) Pengeluaran Sedekah Umur Status perkawinan (Variabel dummy) Etnis/ suku bangsa (Variabel dummy) Pendidikan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 21 K Y PS NNR β0 β1...β8 ε = = = = = = = Kesehatan Pendapatan Pengalaman bersedekah Nilai-nilai religius Konstanta Parameter yang diestimasi Variabel gangguan stokastik Model yang digunakan secara umum dibangun atas hipotesis bahwa besarnya pengeluaran sedekah merupakan fungsi dari variabel-variabel karakteristik individu dan nilai-nilai religius dari responden. Variabel-variabel tersebut diduga memiliki pengaruh terhadap keputusan individu untuk mengeluarkan sedekah atau tidak, termasuk frequensi aktifitas sedekah dan besarannya. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengujian, bentuk Tabel 1 sebagai berikut. maka hasil regresi dapat disusun dalam Tabel 1 Hasil Analisis (1) Variabel (Constant) Umur Donatur Status Perkawinan Etnis/Suku Bangsa Tahun Sukses Pendidikan Frekuensi Sakit Pendapatan Lamanya Menjadi Donatur Nilai-nilai religius R R Square Adjusted R square F hitung Sign. F α α Koefisien regresi (b) -271957.947 -49.117 129699.077 73857.956 -2797.551 28233.319 0.014 134072.596 142081.046 Std. error 531868.197 6384.781 144384.428 276186.327 26682.405 70251.637 0.004 51326.566 69292.676 = 0.488 = 0.239 = 0.172 = 3.563 = 0.001 = 0.05 Beta () t hitung Sig. Keterangan -0.001 0.087 0.026 -0.011 0.039 0.318 0.266 0.193 -0.511 -0.008 0.898 0.267 -0.105 0.402 3.176 2.612 2.050 0.610 0.994 0.371 0.790 0.917 0.689 0.002 0.011 0.043 Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Sumber: Hasil olah data penelitian Oleh karena umur, status perkawinan, etnis/ suku bangsa, pendidikan, kesehatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka variabel tersebut di drop (dikeluarkan dari pengujian), dan kembali dilakukan regresi berganda atas variabel yang signifikan saja, dengan hasil sebagaimana Tabel 2. Hasil Tabel 2 dapat disusun dalam bentuk persamaan: S = β0 + β6Y + β7PS + β8NNR + εi ................................................................... .. Persamaan (3) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 22 S = -165749.090 + 0.014 Y + 138706.874 PS + 136507.917 NNR + 0.771 ...... Persamaan (4) di mana : S Y PS NNR β0 β1...β8 ε = = = = = = = Pengeluaran Sedekah Pendapatan Pengalaman bersedekah Nilai-nilai religius Konstanta Parameter yang diestimasi Variabel gangguan stokastik pada persamaan Tabel 2 Hasil Analisis (2) Variabel α (Constant) Pendapatan Lamanya Menjadi Donatur Nilai-nilai religius R R Square Adjusted R square F hitung Sign. F α Koefisien regresi (b) -165749.090 0.014 138706.874 136507.917 Std. error Beta () 220341.687 0.004 0.314 45331.462 0.275 67083.893 0.185 = 0.478 = 0.229 = 0.205 = 9.493 = 0.000 = 0.05 t hitung Sig. Keterangan -0.752 3.463 3.060 2.035 0.454 0.001 0.003 0.045 Tidak Signifikan Signifikan Signifikan Signifikan Sumber: Hasil olah data penelitian Pada Tabel 2 tampak bahwa nilai koefisien korelasi ganda (Multiple R) sebesar 0.478 yang menyatakan besarnya derajat keeratan hubungan antara kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah dengan pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius mencapai 0.478 serta adanya hubungan yang cukup kuat diantara pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius tersebut dengan kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Untuk nilai koefisien determinasi (R-square) menunjukkan sebesar 0.229, sedangkan koefisien determinasi yang telah terkoreksi dari faktor kesalahan atau bias dengan tujuan agar lebih mendekati ketepatan model dalam populasi digunakan Adjusted R Square yaitu sebesar 0.205. Hal ini menyatakan besarnya pengaruh dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah mencapai 22.9%. Artinya sebesar 22.9% keragaman dari kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah dipengaruhi oleh adanya pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius. Sedangkan sisanya 77.1% ditentukan oleh faktor lain di luar variabel yang diteliti. Untuk menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model persamaan regresi linier berganda mempunyai pengaruh signifikan secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel dependen, maka digunakan uji F sebagai uji kelayakan model. Berdasarkan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 23 Tabel 2 tersebut di atas, hipotesis yang dilakukan dengan uji F yaitu pengujian secara serentak (simultan) diperoleh hasil Fhitung sebesar 9.493 dengan nilai signifikansi (0.000) yang jauh lebih kecil dari alpha 0.05, sehingga Ho ditolak. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keragaman dari kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah ditentukan oleh adanya pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius, dalam persamaan regresi S = -165749.090 + 0.014 Y + 138706.874 PS + 136507.917 NNR + 0.771. Untuk menunjukkan pengaruh secara individu (parsial) dari indikator pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka digunakan uji t sebagai uji parsial. Berdasarkan Tabel 2 dengan mengambil taraf nyata (signifikansi) sebesar 5% (0.05), untuk konstanta diperoleh nilai signifikansi (p) sebesar 0.454 yang lebih besar dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa konstanta tidak berpengaruh nyata terhadap model regresi. Untuk variabel Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius menunjukkan nilai signifikansi yang berturut-turut sebesar 0.001, 0.003, dan 0.045 yang lebih kecil dari alpha 0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius berpengaruh signifikan secara parsial terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah tersebut. Dimana faktor pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius memberikan pengaruh yang positif (koefisien bernilai positif) terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Artinya semakin tinggi pendapatan, semakin lama pengalaman bersedekah, dan semakin tinggi pemahaman nilai-nilai religius, maka hal itu akan dapat meningkatkan kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah secara signifikan. Demikian sebaliknya. Kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil pengujian hipotesis dengan uji F di atas adalah variabel pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius mempunyai pengaruh yang signifikan (bermakna) secara bersama-sama (simultan) terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Demikian pula secara parsial, variabel Pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius juga berpengaruh signifikan terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah tersebut. Jadi, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka harus diikuti pula oleh peningkatan faktor pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 24 Untuk menunjukkan variabel independen manakah yang paling dominan mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah adalah dengan melihat besarnya sumbangan efektif (kontribusi) yang paling besar dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius, yaitu hasil perkalian antara koefisien korelasi dengan beta tiap variabel independen (Hasan, 2002). Oleh karena itu pengujian terhadap sumbangan efektif ini sangat diperlukan untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Dalam penelitian ini uji sumbangan efektif digunakan untuk mengetahui kontribusi dari pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilainilai religius terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Adapun hasil perhitungan sumbangan efektif tersebut adalah sebagai berikut. Tabel 3. Perhitungan Sumbangan Efektif Variabel Pendapatan Lamanya Menjadi Donatur Nilai-nilai religius R Beta 0.336 0.314 0.279 0.275 0.251 0.185 Total Sumbangan Efektif Perhitungan 0.935x0.397x100 0.701x0.123x100 0.894x0.199x100 SE 10.57% 7.67% 4.64% 22.88% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, ternyata variabel pendapatan menunjukkan sumbangan efektif yang paling besar yaitu sebesar 10.57 persen. Selanjutnya dari hasil perhitungan tersebut dapat diketahui bahwa pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius ternyata mampu memberikan sumbangan efektif sebesar 22.88 persen terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Besarnya sumbangan efektif total ini sama dengan besarnya koefisien determinasi (R-square=R2) yaitu sebesar 22.9 persen. Implikasinya adalah terdapat beberapa variabel lain yang juga mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah selain pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius. IV. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan uraian-uraian pada bab sebelumnya mengenai profil muzakki (donatur) di Kota Malang serta analisis pengaruh karakteristik muzakki dan pemahaman nilai-nilai religius terhadap kesejahteraannya yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, maka dapat disimpulkan beberapa hal: Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 25 1. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda, karakteristik dan pemahaman nilai-nilai religius yang dimiliki muzakki di Kota Malang, secara simultan berpengaruh terhadap kesejahteraannya yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah. Namun demikian, secara parsial hanya ada tiga faktor yang berpengaruh, yaitu: faktor pendapatan, pengalaman bersedekah (lamanya menjadi donatur), dan pemahaman nilainilai religius. Artinya, peningkatan kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah, sangat tergantung pada kenaikan pendapatan, lamanya menjadi donatur (pengalaman bersedekah), dan pemahaman nilai-nilai religius. 2. Berdasarkan uji sumbangan efektif, didapati bahwa pendapatan adalah faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah dibandingkan dengan dua faktor signifikan lainnya. B. Saran 1. Dalam penelitian ini, kesejahteraan muzakki hanya diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah sebagai indikator kesejahteraannya. Perlu dikaji lebih lanjut mengenai hubungan ini, terutama hubungan antara konsumsi sedekah dan kesejahteraan itu sendiri, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 2. Terkait dengan keterbatasan penelitian ini dalam mengumpulkan data-data dari variabel konstruk (nilai-nilai religius) melalui kuesioner, maka sangat perlu untuk dilakukan penelusuran secara mendalam atau menyelami jawaban responden dengan mengikutsertakan pertanyaan argumentasi terhadap jawaban secara terbuka. Hal ini sangat penting untuk mengatasi kemungkinan terjadinya bias di dalam pengumpulan data dari variabel konstruk (laten) secara umum. 3. Dalam penelitian ini, nilai koefisien determinasi (R-square=R2) yaitu hanya sebesar 22.9%. Implikasinya adalah terdapat beberapa variabel lain yang juga mempengaruhi kesejahteraan muzakki yang diproksi dengan pengeluaran konsumsi sedekah selain pendapatan, pengalaman bersedekah, dan nilai-nilai religius, maka sangat perlu memasukkan variabel-variabel lain yang diprediksi mampu mempempengaruhi perilaku individu dalam bersedekah, terutama kemampuan dalam membayar atau membelanjakan pendapatannya untuk kepentingan sesama. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 26 DAFTAR PUSTAKA Al-Qur‟an al-Karim Al-Hadits Al-Kitab ad-diin (At-Targhib, Misykat dan Razin). Al-Kandahlawi, Maulana M. Zakariyya, 2005, Fadhilah Sedekah. Penerjemah: Ali Mahfudzi. Edisi Revisi. Cetakan II. Yogyakarta: Ash-Shaff. Al-Khazin, Imam, Tafsirul Khazin/Lubabut Ta'wil fi Ma'anit Tanzil, Darul Fikr Beirut, cetakan 1399 H. Al-Qurthubi, Imam Abu Abdillah, Tafsir Al-Qurthubi/Al-Jami'li Ahkamil Qur'an, Dar Ihya‟it Turats Al-Arabi, tanpa tahun cetakan. Ancok, Dr. Djamaludin, dan Fuat Nashori Suroso, 2005, Psikologi Islam: Solusi Islam Atas Problem-problem Psikologi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Andreoni, James (2006), „Philanthropy‟, in Serge Christophe Kolm and Jean MercierYthier (ed), Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity, Vol. 2. Amsterdam Elsevier, pp. 1201-69. Andreoni, ]., Brown, E., & Rischalt, L (2003). Charitable giving by married couples: Who decide and why does it matter?" Journal of Human Resources, 38(1), 111-133. Andreoni, J., & Scholz, J. K. (1998). An econometric analysis of charitable giving with interdependent preferences. Economic Inquiry, 36,410 - 428. Auten, G., Sieg, H., & Clotfelter, C. (2002). Charitable giving, income, and taxes: An analysis of panel data. The American Economic Review, 95(1), 371 – 382 Auten, G, & Rudney, G. (1990). The variability of individual charitable giving in the US, Voluntas, 1(2), 80 - 97 Az-Zain, Samih Athif, 1988, Syariat Islam. Diterjemahkan oleh: Mudzakir As. Husaini, Bandung. Barrett, McGuirk dan Steinberg R. (1997), Further evidence on the dynamic impact of taxes on charitable giving. National Tax Journal, 50(2), 321334. Bartkowski, J.P dan Regis, H.A, (2003). Charitable chokes: Religion, race, and poverty in the post-welfare era. New York: New York University Press. Boskin, M. J., & Feldstein, M (1977). Effects of the charitable deduction on contributions by low income and middle income households: Evidence from the National Survey of Philanthropy. Review of Economics and Statistics, 59(3), 351-354. Brown, Eleanor dan Ferris, James M. (2007), Social Capital and Philanthropy: An Analysis of the Impact of Social Capital on Individual Giving and Volunteering Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly; 36; 85 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 27 Budiman, Budi, 2003, The Potential Of ZIS Fund As an Instrument In Islamic Economy: Its Theory and Management Implementaioan. IQTISAD Journal of Islamic Economics, Vol. 4, No. 2, Rajab 1424 H/September 2003, pp. 119 – 143. Carman, K. G. (2004). Social influences and the private provision of public goods: Evidence from charitable contributions in the workplace. Unpublished manuscript, Harvard University at Cambridge. Center on Philanthropy at Indiana University.”Giving USA (2005): The Annual Report on Philanthropy for the Year 2004, “ Fiftieth Edition. Chapra, M. Umer, 2000, The Future Of Economics: An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK. Ikhwan Abidin Basri (penerjemah). 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam. Gema Insani Press, Jakarta. Chua, Vincent C.H. and Chung Ming Wong. Tax incentives, individual characteristics and charitable giving in Singapore, International Journal of Social Economics, Vol. 26, no. 2, Issue 12, 1999, 1492– 1505., http://www.emeraldinsight.com, didownload 8 Desember 2009. Clotfelter, 2002, The Economics of Giving (Sanford Institute Working Paper Series, Working Paper) Durham, NC: Duke University. Daneshvary, N., & Luksetich, W. (1997). Income sources and declared charitable tax deductions Applied Economic Letters, 4,271 - 274. Dasuki, Hafidz, dkk., 1993, Ensiklopedi Islam. (Jilid I, IV dan V), PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Deb, P., Wilhelm, M. O., Rooney, P.M., & Brown, M.S, 2003, Estimating Charitable Deductions in Giving USA, Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, Vol. 32, no. 4, 548-567. Dye, R. F. (1978). Personal charitable contributions: Tax effects and other motives. In Proceedings of the Seventieth Annual Conference on Taxation (pp. 211-321). Columbus, OH: National Tax Association Eckel, Catherine C. dan Grossman, Philip J. (2004)Giving to Seculer Causes by the Religious and Nonreligious: An Experimental Test of the Responsiveness of Giving to Subsidies Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly; 33; 271. Elster, Jon (2006), „Altruistic Behaviour and Altruistic Motivations‟, in Serge Christophe Kolm and Jean MercierYthier (ed), Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity, Vol. 1. Amsterdam Elsevier, pp. 183-206. Feenberg, D. (1985). Are tax price models really identified: The case of charitable giving. National Tax Journal, 15(4), 629 - 633. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 28 Feldstein, M, & Clotfelter, C. (1976). Tax incentives and charitable contributions in the United States: A microeconometric analysis. Journal of Public Economics, 5, 1-26 Frey, Bruno S. and Stephan Meier, (2004), „Pro-social behaviour in a natural setting‟, Journal of Economic Behaviour and Organization, 54(1), 6588. Friedman, 1957, A theory of the Consumption. Princeton, NJ: Princeton University Press. Greenwood, D. T. (1993). Price income and elasticities of charitable giving: How should income be measured? Public Finance Quarterly, 11,196-209. Gittel , Ross dan Tebaldi, Edinaldo, Charitable Giving: Factors Infuencing Giving in U.S. States, Nonprofit and Loluntary Sector Quarterly, Vol. 35, no. 4, December 2006, 721-736. http://nvs.sagepub.com, didownload 8 Desember 2009. Grinols, Earl L, 1994, Microeconomics. Houghton Mifflin Company. Boston. Toronto. Genewa, Illinois Palo Alto Princeton, New Jersey. Gujarati, Damodar N, 2003. Basic Econometrics. McGraw-Hill Companies. Inc. New York. Harafah, LM. 2003, Kajian tentang Produktivitas Pekerja Sektoral dan Implikasi Kebijakan yang ditempuh bagi Masyarakat Pedesaan di Propvinsi Sulawesi Tenggara, Surabaya: Disertasi UNAIR. Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-pokok metodologi penelitian dan aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia Hrung, W. (2004). After-life consumption and charitable giving. American Journal of Economics and Society, 63(3), 731-745 Hughes, Patricia dan Willam Luksetich, Income Volatility and Wealth: The Effect on Charitable Giving, Nonprofit and Loluntary Sector Quarterly, Vol. 37, no. 2, Juni 2008, 264-280. http://nvs.sagepub.com, didownload 8 Desember 2009. Iswadi, Muhammad, 2007, Ekonomi Islam: Kajian Konsep dan Model Pendekatan, MAZAHIB, Vol. IV, No. 1 Juni 2007, http://www.daneprairie.com Khalil, Elias L. (2004),‟What is altruism? Journal Economic Psyichology. 25(1), 97-123. Kitchen, Harry, Determinants of charitable donations in Canada: a comparison over time, Applied Economics, Volume 24, Issue 7 July 1992 , pages 709–713. Luks, Allan (1991), The Healing Power of Doing Good: The Health and Spiritual Benefits of Helping Others, New York City. Muller, Jerry Z. (1993), Adam Smith:In His Time and Ours, Princeton. NJ: Princeton University Press. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 29 Multifiah, 2007, Peran “ZIS” Terhadap Kesejahteraan Rumah Tangga Miskin, (Studi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Bantuan Modal, Pendidikan dan Kesehatan di Daerah Malang), Disertasi, FEUB, Malang Nasution, S., 2003, Metode Research (Penelitian Ilmiah). PT. Bumi Aksara, Jakarta. National Economic Trends, The Economics of Giving. Federal Reserve Bank of ST. Louis. www.redcross.org/news/ds/hurricanes/katrina_facts.html Nur Farida, Hikayah Azizie 2008, Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Pembayaran Zakat Oleh Para Muzakki (Studi Kasus Pengelola Lembaga Keuangan Syariah di Kota Yogyakarta), Journal of Islamic Business and Economics, Desembar 2008, Vol. 2 No. 2 O'Herlthy, M. A., Havens, J. J., & Schervish, R G. (2006). Charitable giving: How much, by whom, to what and how? In R. S. Steinberg & W. Powell (Eds.), The nonprofit sector: A research handbook (2nd ed.). New Haven, CT: Yale University Press. Phelps, Edmund (ed.) (1975), Altruism, Morality and Economic Theory: New York: Russell Sage Foundation. P3EI-UII, 2008, Ekonomi Islam, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ed. 1, -1. – Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008. Qardhawi, Yusuf, 1996, Fiqhuz Zakah, Diterjemahkan oleh: Salman. Rahardja, Prathama, 2004, Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi), edisi revisi/ Prathama Rahardja, dan Mandala Manurung, Penerbit FEUI, Jakarta. Rahardjo, M. Dawam, Tahun: tt, Kesimpulan dan Rekomendasi Pertemuan Nasional I Badan Amil Zakah Infak dan Shadaqah. Bunga rampai, Jakarta. Randolph, W. C. (1995). Dynamic income, progressive taxes, and the timing of charitable contributions. Journal of Political Economy, 103, 709-738 Reece, W. S. (1979). Charitable contributions: New evidence on household behavior. American Economic Review, 69,142-151 Scott, Niall and Jonathan, Seglow, 2007, Altruism, Buckingham: Open University Press. Seglow, Jonathan. (2002), „Altruism and Freedom‟, In Jonathan Seglow (ed). The Ethics of Altruism, special issue of Critical Review of International Social and Political Philosophy, 5 (4). 145-63. Singarimbun, M.; Sofian Effendi, (Eds), 1991. Metode Penelitian Survey. LP3ES, Jakarta. Solimun, 2002, Multivariate Analysis Structural Equation Modelling (SEM) Lisrel dan Amos. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya Malang. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 30 Steinberg R, (1990), Taxes and Giving: New Findings, Voluntas, 1, 61-79. Steinberg, Richard dan Powell, Walter W. (2006) “Why Do People Give? The Nonprofit Sector, Second Edition, New Haven, CT: Yale University Press. Sugiyino. 2002. Metode Penelitian Administrasi, Cetakan kedelapan, Alfabeta, Bandung. Weber, Max, 1930 The Protestan Work Ethicand the Spirit Capitalism (translate P. Baehr and G.C. Wellis, London, Penguin Books, p.112) Wu, S. Y, (2004). Tax effects on charitable giving in the presence of uncertainty. Public Finance Review, 32(5), 459-482. Yen, S. T. (2002). An econometric analysis of household donations in the USA. Applied Economics Letters, 9(13), 837-S41. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 31 Volume VIII Tahun 4, Desember 2011, hal 32-40 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu HUBUNGAN PENGELUARAN PEMERINTAH DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROPINSI SULAWESI TENGGARA1) Abd. Azis Muthalib 2) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan yakni time series, untuk periode 2006-2010. Adapun alat analisis yang digunakan yaitu analsis korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi selama periode 2006-2010 sangat rendah yaitu hanya 0,13 dan bahkan dapat dikatakan tidak ada hubungan. Hasil uji-t juga menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dengan pertumbuhan ekonomi Kata Kunci: pengeluaran pemerintah, anggaran pendapatan belanja negara (APBN), pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN Pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan stabilitas perekonomian, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan keadilan dalam distribusi pendapatan. Berkaitan dengan hal tersebut maka pertumbuhan dalam pengeluaran pemerintah harus dapat memciptakan stabilitas perekonomian, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan. Tulisan ini akan mencoba menkaji hubungan antara pertumbuhan pengeluaran pemerintah (APBN) dan pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2006-2010. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah, menjadi subyek penting untuk dianalisis dan diperdebatkan. Kontroversi utama adalah dapatkah pengeluaran pemerintah menaikkan dalam jangka panjang 1) Hasil Penelitian Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 2) Dosen Jurusan IESP Unhalu 32 tingkat pertumbuhan ekonomi (long run steady state growth economy). Secara umum gambaran pengeluaran publik, yaitu infrastruktur fisik atau human capital, dapat mempertinggi pertumbuhan tetapi keuangan khususnya pengeluaran dapat memperlambat pertumbuhan (because of disincetif effect). Secara umum dampaknya tergantung dari trade-off antara pengeluaran publik yang produktif dan effects pajak yang bersifat distorsif (distortionary). Aktivitas pemerintah baik langsung maupun tidak langsung akan menaikkan total output sehingga mengalami interaksi dengan private sector. Lin (1994) secara garis besar mengatakan ada sesuatu yang penting sejalan dengan peran dimana pemerintah dapat menaikkan pertumbuhan. Dalam hal ini sudah termasuk ketentuan mengenai barang publik dan infrastruktur, jasa social dan target intervensi (karena subsidi ekspor). Di sisi lain pajak pemerintah mungkin menyebabkan misallocation of resources, penyediaan barang publik yang tidak efisien, sehingga sektor publik menggunakan kelebihan dari pengeluaran pemerintah yang tidak produktif. Hal ini menyebabkan distorsi karena disinsentive effect. Teori pertumbuhan endogen memberikan gambaran mengenai peran pemerintah di dalam proses pertumbuhan. Implikasinya bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang adalah endogenous. Ada beberapa faktor yang sangat penting dalam menentukan pertumbuhan jangka panjang, walaupun semuanya endogenous growth models, pemerintah dapat mempengaruhi pertumbuhan salah satunya baik langsung maupun tidak langsung (Brons, de Groot dan Nijkamp, 1999). Hasilnya dalam jangka panjang pertumbuhan dapat berbeda antar negara , dan tidak mengharuskan akan terjadi convergence dalam pendapatan perkapita. Secara signifikan, studi yang sama dari Dar dan Amir Khalkhali (2002) mencatat bahwa implikasi utama model endogenous growth adalah kebijakan pemerintah dapat melebarkan jarak, sehingga dalam jangka panjang Negara dapat menunjukkan kinerjanya. Artinya, ada tiga instrument fiskal yaitu, pajak, pengeluaran (expenditure), dan keseimbangan anggaran secara agregat. Dampaknya dalam jangka panjang akan mempengaruhi efisiensi penggunaan sumber daya, tingkat faktor akumulasi, dan kemajuan teknologi. Fakta menunjukkan bahwa pertama, hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi tidak ada yang konsisten, bisa positif atau negatif. Hasil penelitian menunjukan adanya bukti berbeda di Negara maupun daerah. Folster dan Henrekson (1999) berargumen Bahwa hubungannya negatif, sementara Agell et al (1999) menemukan hubungan yang tidak signifikan. Kedua, sifat dari dampak pengeluaran publik akan bergantung pada kondisinya. Barro (1990) menemukan adanya kontribusi pengeluaran yang produktif positif terhadap pengeluaran yang tidak produktif. Akhirnya tidak ada pernyataan mengenai arah hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi ( Folster dan Herokson, 1999). Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 33 Argumentasi yang lain juga datang dari adanya kenyataan bahwa hubungan negatif antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan datang dari data panel di negara yang berbeda dengan karateristik yang berbeda pula (Ghali, 1998). Sedangkan penelitian yang menggunakan data panel daerah propinsi di satu negara belum ada. Berdasarkan kenyataan seperti tersebut di atas maka tulisan ini akan menganilisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kurun waktu 2006-2010. II. LANDASAN TEORI Model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa pertumbuhan GNP itu sebenarnya merupakan suatu konsekuensi alamiah atas adanya ekuilibrium jangka panjang. Motivasi pokok lahirnya teori ini adalah untuk menjelaskan ketimpangan pertumbuhan ekonomi antar Negara. Model pertumbuhan endogen mencoba menjelaskan terjadinya divergensi pola pertumbuhan ekonomi antar Negara dalam jangka panjang, meskipun teknologi tetap diakui memainkan peran penting, namun model pertumbuhan endogen menyatakan bahwa faktor teknologi tersebut tidak perlu di tonjolkan untuk menjelaskan proses terciptanya pertumbuhan ekonomi jangka panjang ( Todaro, 2000) Barro (1990) menguji model pertumbuhan endogen mengenai hubungan antara bagian pengeluaran pemerintah di dalam GDP dan tingkat pertumbuhan riil perkapita GDP. Keistimewaan model Barro ini adalah adanya constant returns to capital secara luas termasuk private capital dan publik services. Secara luas mempertimbangkan input publik services didalam produksi, tepatnya hubungan yang timbul antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Sebagian besar studi mengenai hubungan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi berasumsi bahwa implikasi semua pengeluaran investasi pemerintah adalah produktif (Barro, 1990). Landau (1983, 1986) studi dengan menggunakan data cross-section lebih dari 100 negara menemukan hubungan antara tingkat pertumbuhan GDP riil perkapita dengan pengeluaran pemerintah. Termasuk di dalamnya pengeluaran pemerintah yang besar akan mengurangi pertumbuhan pendapatan perkapita (walaupun hasil ini belum tentu untuk Negara miskin). Studi dari kormendi dan meguire (1985) menemukan bahwa tidak signifikan hubungan antara tingkat pertumbuhan GDP riil perkapita dan pengeluaran pemerintah. Disisi yang lain Ram (1986) dan grossman (1988) menemukan hubungan positif antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi, tanpa melihat pengeluaran per sektor (regardless of the disaggregation of expenditures). Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 34 Diamond (1989) mengamati pengeluaran sosial, hasilnya menunjukkan signifikan positif berdampak terhadap pertumbuhan jangka pendek saat pengeluaran infrastruktur lebih sedikit berpengaruh (walaupun positif). Dia menemukan juga pengeluaran kapital negatif berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Sifat negatif disini berhubungan pada periode jangka panjang dan tidak efisien berhubungan dengan pembiayaan publik. Barro (1991) menguji 98 negara, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antar tingkat pertumbuhan output dan pengeluaran konsumsi pemerintah, sedangkan untuk publik investment positif tetapi tidak signifikan terhadap tingkat pertumbuhan output. Devarajan dan Vinaya (1993) menemukan adanya hubungan negatif dan tidak signifikan antara pengeluaran produktif dan pertumbuhan ekonomi. Lin (1994) menemukan pengeluaran tidak produktif negatif dan tidak signifikan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di negara industry tetapi signifikan positif berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Negara berkembang. Ada beberapa kasus di Negara miskin, dimana tingkat pengeluaran pemerintah rendah, dampaknya terhadap pertumbuhan mungkin lebih bermanfaat. Pada tingkat yang rendah pengeluaran pemerintah (on productive goods) dan perpajakan, dampak produktif barang publik mungkin melebihi ongkos social kenaikan pembiayaan (Folster dan Henrekson, 1999). Bagaimanapun ada tendesi untuk koreksi pajak lebih tidak efisien dan tidak produktif intervensi pemerintah yang lebih umum di Negara miskin (Slemrod, 1995). Mempertimbangkan secara tidak langsung kebutuhan untuk perhatian didalam kombinasi Negara kaya dan miskin didalam studi cross section. Peristiwa ini adalah keadaan suatu Negara dengan studi time series, karena itu disini jelas bahwa hubungan antara pengeluaran dan pertumbuhan sangat komplek. Ghali (1997) melakukan studi di Saudi Arabia. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ditemukan bukti yang konsisten bahwa perubahan didalam pengeluaran pemerintah berdampak terhadap pertumbuhan output riil perkapita. Yang terpenting disini adalah implikasi dari perilaku kebijakan publik di Saudi Arabia bahwa pemerintah memberlakukan defisit anggaran yang menunjukkan ukuran dan batasan peran pemerintah didalam perekonomian. Studi yang dilakukan (Ramayadi, 2003) menemukan bahwa pengeluaran pemerintah cenderung berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pengeluaran pemerintah yang tidak produktif (Cg/Y) berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan. Ini sejalan dengan temuan Barro (1990) mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah yang tidak produktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 35 III. METODE ANALISIS Untuk mengkaji hubungan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dan pertumbuhan ekonomi digunakan analisa korelasi. Koefisien korelasi dapat dihitung dengan rumus (Suharyadi dan Purwanto S.K. 2004) sbb: r n XY X Y n 2 X 2 X n Y Y …………(1) 2 2 Sedangkan untuk menguji ada tidaknya hubungan yang signifikan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi digunakan uji-t. Nilai t dapat dihitung sebagai berikut: t dimana : r n2 1 r 2 …………………..(2) t = nilai t hitung r = nilai koefisien korelasi. n = Jumlah data pengamatan. Jika t hitung lebih besar dari t tabel berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jika nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel berarti tidak terdapat hubungan yang significan antara pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi. IV. PEMBAHASAN. A. Perkembangan Pengeluaran Pemerintah (APBN) Pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam APBN tahun 2005-2011 cenderung meningkat (Tabel 1), namun ditahun 2009 menurun sebesar 13,5 persen dibanding tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan karena menurunnya penerimaan Negara baik yang bersumber dari penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak dan penerimaan hibah. Penerimaan pajak menurun dari 658.700,8 miliar rupiah pada tahun 2008 menjadi 619.922,2 miliar rupiah pada tahun 2009 atau turun 5,89 persen. Sementara itu penerimaan bukan pajak menurun dari 320.604,6 miliar rupiah pada tahun 2008 menjadi 227.174,4 miliar rupiah tahun 2009 atau turun sebesar 29,14 persen. Sedangkan untuk penerimaan hibah turun dari 2.304,0 miliar rupiah Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 36 pada tahun 2008 menjadi 1.666,6 miliar rupiah tahun 2009 atau turun 27,66 persen. Adapun trend pertumbuhan APBN dapat dilihat pada Gambar 1. Tabel 1. APBN Tahun 2005-2011 (miliar rupiah) Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 APBN 495,224.2 637,987.2 707,806.2 981,609.4 848,763.2 995,271.5 1,104,902.0 Sumber: Data Pokok APBN 2005-2011 50,0% 40,0% 38,7% 30,0% 28,8% 20,0% 17,3% 0,0% 11,0% 10,9% 10,0% 0,0% 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 -10,0% -13,5% -20,0% Gambar 1 T rend Pertumbuhan APBN Tahun 2005-2011 B. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan pertumbuhan ekonomi nasional selama kurun waktu 2006-2010 relatif stabil dan berada pada kisaran antara 4,58 - 6,35 persen. Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi nasional tercatat 5,48 persen meningkat pada tahun 2007 menjadi 6,35 persen dan menurun pada tahun 2008 menjadi 6,01 persen. Penurunan ini berlanjut hingga tahun 2009 yang hanya mencapai 4,58 persen. Sedangkan pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi nasional meningkat menjadi 6,10 persen. Pertumbuhan ekonomi nasional dipengaruhi oleh berbagai factor antara lain Jumlah investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor. Selain itu pengeluaran comsumsi juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dibeberapa daerah seperti Sulawesi Tenggara, pengeluaran konsumsi memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dibeberapa daerah peranan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi cukup besar. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 37 C. Hubungan Pengeluaran Pemerintah (APBN) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan data yang diperoleh baik data BPS maupun ringkasan APBN selama kurun waktu 2006-2010 peningkatan dalam pertumbuhan pengeluaran pemerintah (APBN) tidak diikuti oleh peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2007 pertumbuhan APBN menurun menjadi 10,90 persen, sementara pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 6,35 persen. Sebaliknya pada tahun 2008, APBN mengalami pertumbuhan sebesar 38,70 persen meningkat dari tahun sebelumnya, dan pertumbuhan ekonomi menurun dari tahun sebelumnya menjadi 6,01 persen. Sedangkan untuk tahun 2009 dan 2010 pertumbuhan dalam pengeluaran pemerintah (APBN) selalu diikuti dengan peningkatan dalam pertumbuhan ekonomi. Dilihat dari sisi trend pertumbuhan tampaknya tidak terdapat hubungan yang searah antara pertumbuhan pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Pertumbuhan APBN dan Ekonomi Nasional 2006-2010 50,00 38.70 40,00 30,00 28.80 Pert. APBN 17.30 20,00 10,00 5,48 6,35 6,01 0,00 2006 2007 Pert.Ekonomi 13.50 10.90 2008 4,58 2009 6,10 2010 Hasil analisa korelasi menunjukan bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah bahkan dapat dikatakan tidak ada hubungan karena koefisien korelasinya hanya 0,13. Hal ini sejalan pula dengan hasil uji t pada taraf kepercayaan 95 persen yang menunjukkan bahwa nilai t hitung lebih kecil dari nilai t tabel (0,230 lebih kecil 2,78). Ini berarti bahwa hubungan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dengan pertumbuhan ekonomi tidak significan selama periode 2006-2010. Dengan demikian peningkatan dalam pengeluaran pemerintah sebagaimana tercermin dalam APBN tidak mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diharapkan. Salah satu faktor yang menjadi Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 38 penyebab sehingga pengeluaran pemerintah tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena sebagian besar pengeluaran pemerintah masih terfokus pada belanja pegawai, belanja barang, subsidi dan pembayaran cicilan utang dan bunga. Sedangkan untuk belanja modal masih relatif kecil. Selain itu efisiensi pengeluaran pemerintah masih relatif kurang memadai. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan pertumbuhan ekonomi selama periode 2006-2010 sangat rendah yaitu hanya 0,13 dan bahkan dapat dikatakan tidak ada hubungan. Hasil uji-t juga menunjukan pula bahwa tidak terdapat hubungan yang significan antara pengeluaran pemerintah (APBN) dengan pertumbuhan ekonomi. B. Saran Alokasi dalam pengeluaran pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan belanja modal dibanding belanja lainnya, kecuali untuk belanja pegawai. Disamping itu pengeluaran pemerintah juga diupayakan seefisien mungkin pada semua pos pembiayaan. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik, Statistik Indonesia, Jakarta, berbagai edisi Agell, J., T. Lind and H. Ohlsson (1999),”Growth and the Public Sector: a Reply”, European Journal of Political Economy, 15:2, 359-336. Robert J (1990),”Government Spending in a Simple Model of Endogenous Growth”, Journal of Political Economy 98 (5), 103-125. Barro, Robert J (1991),” Economic Growth in a Cross section of Countries”, Quertely Journal of economy 106, 407-444. Brons, M., H.L.F. de Groot and P. Nijkamp (1999),”Growth Effect of Fiscal Policies”, Timbergen Discussion Paper, Amsterdam, Vrije Universiteit. Devarajan, S. and S. Vinaya (1993),” What do Government Buy ? The Composition of Public Spending and Economic Performance”, Policy Research Waking Paper, The World Bank, WPS 1082. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 39 Diamond, J (1989),” Government Expenditure and Economic Growth: An Empirical Investigation”, IMF Working Paper No. 89/45, Washington DC. Folster, S. and M. Henrekson (1999),” Growth and Public Sector: a critique of the critics”, European Journal of Political Economy, 15:2, 337-358. Landau, D. (1983),” Government Expenditure and Economic Growth: A Cross-Country Evidence,” Southern Economic Journal, Vol 49, 783797. Lin, S.A.Y (1994),” Government Spending and Economic Growth”, Applied Economic, 26, 83-94. Ghali, K.H (1997),” Government Spending and Economic Growth in Saudi Arabia”, Journal of Economic Development, vol 22, No.2 Desember 1997. -------- (1998),”Government Size and Economic Growth: Evidence from a Multivariate Cointegration Analysis”, Applied Economic 31, 975-987. Kormendi, R., and P. Meguire (1985),” Macroeconomic Determinants of Growth: Cross Country Evidence”, Journal of Monetary Economic, 16, 141-164. Ram (1986),” Government Size and Economic Growth: A new Framework and some Empirical Evidence from cross-sectional and tome-series data”, American Economic Review, Vol. 7, No.1 191-203. Ramayadi, Arief (2003),” Economic Growth and Government Size in Indonesia: Some Lesson for the Local Authorities,” The 5�ℎ Irsa Internasional Conference, Regional Development in The Era of Decentralization: Growth, Poverty, and Environment, Bandung. Slemrod, J. (1995),” What do cross-country studies teach about government involvement, prosperity, and economic growth ?”, Brookings Papers on Economic Activity, 2, 373-431. Todaro, M. P, (2000),” Economic Development”, 7 , Addison Wesley. World Bank (2004). Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 40 Volume VIIINomor Tahun4,4,Desember Desember 2011 , hal 41-56 Volume VIII 2011, hal 41-56 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu PENGARUH BELANJA DAERAH TERHADAP PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO DI PROPINSI SULAWESI TENGGARA PERIODE 2001-20101) Oleh : Ulfa Mattoka2) dan Kasmiati 3) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Sulawesi Tenggara. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data belanja daerah dan Produk Domestik Regional Bruto. Data ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tenggara dan Bank Indonesia Cabang Kendari. Alat analisis yang digunakan adalah Regresi Sederhana. Hasil analisis menunjukkan bahwa belanja daerah memiliki pengaruh yang erat dengan Produk Domestik Regional Bruto yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0.993. sedangkan kontribusi belanja daerah terhadap produk domestik regional bruto yaitu koefisien determinasi (R2) sebesar yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang dijelaskan oleh variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen ditentukan oleh varibel lain diluar model. Kata kunci: Produk Domestik Regional Bruto, Belanja Daerah I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang giatnya melakukan pembangunan dalam berbagai bidang untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju demi mensejahterkan kehidupan rakyat. Salah satu kebijakan yang diambil pemerintah adalah menerapkan sistem pemerintahan yang bersifat desentarlisasi (otonomi daerah) yang diberlakukan sejak januari 2001 dalam rangka memberikan kebebasan kepada 1) Penelitian Jurnal Hasil Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 2) Dosen Jurusan IESP Unhalu 41 pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatur ekonomi sesuai dengan potensi dan karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Hal tersebut berimplikasi pada kebijakan-kebijakan tiap daerah yakni kebijakan fiskal daerah, yang dikarenakan pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai dengan konsep otonomi daerah (Priadi dan Soebagyo,2007). Aliran dana yang masuk ke daerah menjadi semakin tingi karena adanya dana perimbangan dari pusat seperti yang tertera dalam pasal 2 UU No. 33 Th. 2004 ayat 1 berbunyi “perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan susbsistem keuangan negara sebagai konskuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang memperoleh dampak positif atas kebijakan desentralisasi tersebut dimana Pendapatan asli daerah (PAD) mengalami kenaikan sebagaimana yang dinyatakan dalam Rahman (2009) bahwa PAD di kabupaten dan kota se Sulawesi Tenggara mengalami peningkatan yang cukup tinggi di era otonomi. Hal ini tentu saja mendorong naiknya belanja daerah sebagaimana ditunjukan data berikut bahwa pada tahun 2006 realisasi belanja daerah sebesar Rp.561,198 tahun 2007 sebesar Rp.759,061 dan pada tahun 2008 mengalami kenaikan hingga mencapai Rp 1.077. 454. Hal ini semestinya dijadikan sebagai peluang bagi Pemerintah untuk meningkatkan perananya dalam memajukan pembangunan ekonomi dengan mengalokasikan anggaran secara efesien. Kebijakan pemerintah dalam hal penggunaan anggaran dapat mempengaruhi aktivitas ekonomi secara umum, karena belanja pemerintah dapat menciptakan berbagai prasarana yang dibutuhkan dalam proses pembangunan, dan juga merupakan salah satu komponen dari permintaan agregat yang kenaikannya akan mendorong produksi domestik regional bruto (PDRB) yang menjadi ukuran dari pembangunan ekonomi karena merupakan nilai dari output (barang & jasa) yang diproduksi di suatu daerah pada periode tertentu. Selama beberapa tahun terakhir tampak terlihat PDRB Sulawesi Tenggara mengalami kenaikan dengan pertumbuhan rata-rata diatas 7% persen pertahun dimana pada tahun 2006 PDRB Sultra atas dasar harga konstan 2000 sebesar 8.643.330,06 dan pada tahun 2007 naik lagi menjadi 9.331.719,95 bahkan pada tahun 2010 mencapai 12.226.376,73 dimana pada tahun ini juga belanja pemerintah cukup tinggi yakni sebesar 1.320.577,08. Kenaikan PDRB Sultra selama beberapa tahun terakhir belum dapat dipastikan bahwa itu dipengaruhi oleh belanja pemerintah yang juga mengalami kenaikan karena variabel pembentuk besaran PDRB tidak hanya belanja daerah melainkan ada variabel-variabel lain seperti tingkat investasi, konsumsi masyarakat dan swsata, serta aktivitas Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 42 perdagangan internasional (net eksport) yang juga turut berperan dalam membentuk PDRB. Belanja daerah merupakan variabel yang memilki karasteristik yang menarik karena meskipun besaran volumenya bertambah namun tidak dapat dijadikan jaminan bahwa perananya dalam membentuk PDRB akan meningkat sebagaimana yang dinyatakan dalam Jamzani (2007) bahwa gambaran pengeluaran publik (belanja daerah), yaitu infrastruktur fisik atau human capital, dapat mempertinggi pertumbuhan tetapi keuangan khususnya pengeluaran dapat memperlambat pertumbuhan (because of disincentif effect). Pemerintah dapat menggunakan kapasistasnya sebagai penentu besaran alokasi anggaran untuk membuat kebijakan terkait dengan persoalan fiskal agar belanja daerah memilki peranan yang besar dalam pembangunan ekonomi mengingat disincentif effect ditentukanoleh trade-off antara pengeluaran publik yang produktif dan effects pajak yang bersifat distorsif (disrtortionary) selain itu besaran pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi dapat dibentuk dengan mengalokasikan anggaran yang besar untuk sektor publik bahwa. Termasuk ketentuan mengenai barang publik dan infrastruktur, jasa sosial dan target intervensi, Lin (1994) dalam jamzani (2007). Selain itu Wibisono (2003) dalam Deddy (2008) di jelaskan pertumbuhan PDRB, sebagai tolak ukur pertumbuhan suatu ekonomi regional juga tidak bisa lepas dari peran pengeluaran pemerintah di sektor layanan publik. Semakin besar pengeluaran pemerintah daerah yang produktif maka semakin memperbesar tingkat perekonomian suatu daerah. Penjelasan diatas membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitin dengan judul “ Analisis pengaruh belanja daerah terhadap Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara (2001-2010) “. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teoritis Belanja daerah (Goverment spending) pada dasarnya terdiri atas belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin adalah belanja yang sifatnya terus menerus untuk setiap tahun fiskal dan umunya tidak menghasilkan wujud fisik (contoh: belanja gaji dan honorarium pegawai), sementara belanja pembangunan umumnya menghasilkan wujud fisik seperti, jalan, jalan bebas hambatan (highway), jembatan gedung pengadaan jaringan listrik dan air minum dan sebagainya. Belanja pembangunan non-fisik Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 43 diantaranya mencakup pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemeliharaan keamanan masyarkat (Kesit , 2004). Komponen APBD merujuk pada UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah pada Pasal 5 dijelaskan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan daerahterdiri atas : 1. PAD (Pendapatan Asli Daerah) Pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturandaerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dimana sumber PAD terdiri atas : a. Pajak daerah Menurut UU No. 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 ayat 6 adalah pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepala daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. b. Retribusi daerah Retribusi daerah terdiri atas tiga jenis yaitu retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha dan retribusi perisinan tertentuseperti izin mendirikan bangunan, izin tempat penjualan minuman beralkohol, Retribusi izin gangguan, dan Retribusi izin trayek. c. Bagian laba badan usaha milik daerah Bagian laba badan usaha milik daerah ialah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atau badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah (BUMD), sedangkan perusahaan derah ialah perusahaan yang modalnya sebagian atauseluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan. d. Lain-lain PAD yang Sah Lain-lain PAD yang sah adalah penerimaan selain yag disebutkan di atas tetapi sah menurut hukum perundang-undangan. Penerimaan ini mencakup hasil penjulan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan, penerimaan sewarumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, komisi, dan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang atau jasa oleh daerah, serta penerimaan lain-lain yang sah menurut undang-undang. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 44 2. Dana Perimbangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk menandai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Dana perimbangan terdiri dari atas: a. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yangdialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk menandaikebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil didasarkan atas pajak dan sumber daya alam, yang berasal dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea perhotelan atas hak tanah, dan bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan (PPh), pajak orang peribadi dalam negri. Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangana minyak bumi, gas bumi dan pertambangan panas bumi. b. Dana Alokasi Umum (DAU) Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antara daerah untuk membiayai pengeluarannya dalam rangka desentralisasi. DAU suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari pendapatan dalam negeri netto yang ditetapkan dalam APBN. c. Dana Alokasi khusus (DAK) Dana alokasi khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. 3. Pendapatan lain-lain daerah yang sah Pendapatan daerah lain-lain yang sah merupakan seluruh pendapatan daerah selain PAD dan dana perimbangan, yang meliputi hibah, dana darurat, serta lain-lain pendapatan yang ditetapkan pemerintah.Sumber pembiayaan daerah terdiri terdiri atas: a. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) merupakan selisih lebih antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode laporan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 45 b. c. d. Penerimaan pinjaman daerah merupakan utang yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya mengakibatkan aliran keluar sumber daya ekonomi pemerintah. Dana cadangan daerah adalah dana yang disisihkan umtuk menampung kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Pencairan dana cadangan dimaksudkan untuk menutup defisit anggaran pemerintah daerah. Hasil Penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan estimasi penerimaan penjualan aset yang dipisahkan adalah perkiraan untuk membukukan anggaran penerimaan pembiayaan yang berasal dari penjualan aset daerah yang dipisahkan, misalnya penyertaan modal pemerintah dan hasil privatisasi perusahaan daerah, yang akan digunakan untuk menutup defisit anggaran selama tahun periode berjalan sesuai dengan peraturan daerah mengenai APBD. Kebijakan fiskal merupakan kebijakan mengenai program pengeluaran dan pajak pemerintah (Samuelson dan Nordhaus, 2001) atau dengan kata lain kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang mengatur mengenai keuangan daerah yakni sumber dana dan belanja daerah. Belanja daerah merupakan salah satu variabel makro ekonomi yang sangat penting dan merupakan bagian dari permintaan agregat sebagaimana yang dinyatakan dalam (Bradley:2005:276-277) bahwa“Goverment Spending is a third source of aggregate demmand ,and the four major components of aggregate demmand are”, belanja pemerintah merupakan sumber ketiga dari permintaan agregat, dan keempat komponenya antara lain adalah: C= consumption (konsumsi) I=Investment (Investasi) G=Goverment spending (Belanja Pemerintah) X-M = net exports (export minus imports) / ekspor bersih Belanja daerah merupakan bagian dari kebijakan fiskal seperti yang dinyatakan dalam (Bradley:2005:276-279) bahwa fiscal policy the use of goverment taxes and spending to alter macroeconomics outcomes, (kebijakan fiskal oleh pemerintah menggunakan pajak dan belanja daerah untuk mengontrol kegiatan makro ekonomi). Kebijakan fiskal berpengaruh terhadap pengeluaran yang di rencanakan dan mampu menggeser kurva IS yaitu kurva mengenai investment dan saving, yang menggambarkan mengenai pasar barang dan jasa. Economic growth an increase in output (real GDP); an expansion of production possibilities (Bradley, 2005:335). Hal ini tidak berbeda dengan pendapat Samuelson dan Nordhaus (2004:249) pertumbuhan ekonomi menggambarkan ekspansi GDP potensial atau output nasional negara. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 46 Sehingga Pertumbuhan ekonomi berasal dari nilai laju pertumbuhan GDP. pertumbuhan ekonomi yang positif menandakan perekonomian dalam keadaan ekspansif, sedangkan pertumbuhan ekonomi yang negatif menandakan perekonomian dalam keadaan resesi. Adapun cara untuk menghitung laju pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah yang berdasarkan konsep GDP adalah sebagai berikut: �t GDP t −GDP t−1 GDP t−1 × 100% gt = pertumbuhan ekonomi pada tahun t GDPt = adalah besarnya Gross Domestic Product pada tahun ke t GDPt-1 = besarnya Gross Domestic Product pada tahun ke t-1 Samuelson dan Nordhaus (2004: 250) mennyatakan ada empat faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yaitu : 1. Sumber daya manusia (penawaran tenaga kerja, pendidikan, disiplin, motivasi). 2. Sumber daya alam (tanah, mineral,bahan bakar, kualitas lingkungan). 3. Pembentukan moda ( mesin, pabrik, jalan). 4. Teknologi (sains, rekayasa, manajemen, kewirausahaan). Hubungan ini sering di bahasakan sebagai fungsi produksi aggregat (aggregate production function / APF ), yang menghubungkan total input dan teknologi. Secara aljabar APF adalah Q= AF (K, L, R) dengan penjelasan sebagai berikut: Q= Output K= Jasa produktif modal R= Input simber daya alam A= Menggambarkan tingkat teknologi F= Fungsi Produksi Menurut Amstrong (1993) dalam Parhah (2002) ada dua pendekatan besar dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pendekatan pertama adalah pendekatan sisi penawaran (supply side) seperti model Neo Klasik. Penekanan dari model Neo Klasik adalah menekankan pengaruh dari faktor-faktor penawaran mendasar seperti misalnya pertumbuhan, angkatan kerja pertumbuhan stok modal dan perubahan tekonologi. Sedangkan pendekatan kedua adalah pendekatan dari sisi permintaan (demmand side) seperti model Export-led. Model ini menekankan pentingnya permintaan eksternal terhadap pertumbuhan ekonomi. Produk domestik bruto merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 47 suatu daerah atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDRB terdiri atas dua jenis yaitu PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku setiap tahun, sedang PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. Dalam menghitung produk domestik regional bruto digunakan tiga jenis pendekatan yaitusebagai berikut: 1. Pendekatan Produksi PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh berbagai unit produksi di sebuah daerah suatu negara dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajiannya di kelompokkan men-jadi 9 lapangan usaha (sektor) yaitu: pertanian, pertambangan, industri pengolahan, listrik,gas dan air bersih, bangunan, pengangkutan, keuangan dan jasa. 2. Pendekatan Pendapatan PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu tertentu. Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung netto (pajak tak langsung dikurangi subsidi). 3. Pendekatan Pengeluaran PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari: pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap domestik bruto, perubahan stok dan ekspor netto (ekspor dikurangi impor). Secara konsep ketiga pendekatan akan menghasilkan angka yang sama. Jadi jumlah pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir dan harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. B. Kajian Empiris Sodik yang meneliti mengenai “Pengeluaran pemerintah Dan pertumbuhan ekonomi regional: Studi kasus data panel di indonesia” Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 48 berkesimpulan bahwa Selama periode penelitian variabel investasi swasta tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional, sedangkan pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. yang mengindikasikan bahwa pengeluaran pembangunan sangat diperlukan oleh suatu daerah untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri. Penelitian Aliasuddin yang berjudul “ Pertumbuhan Ekonomi Dan Pengeluaran Pemerintah ” menyimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi akan mendorong pertambahan pengeluaran pemerintah. Namun, jika dianalisis lebih lanjut, respon pengeluaran pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi adalah negatif dan signifikan dalam jangka pendek. Ini bermakna bahwa dengan adanya pengeluaran pemerintah maka perekonomian mengalami peningkatan namun peningkatan perekonomian tersebut tidak diinvestasikan kembali di Aceh sehingga dampak perekonomian terhadap pengeluaran pemerintah negatif dalam jangka panjang. Utami (2007) dalam penelitianya yang berjudul “ Analisis pengaruh pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia Periode 1975-2004 “ menyimpulkan bahwa baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek variabel pengeluaran rutin pemerintah mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan pada periode penelitian pengeluaran rutin pemerintah bersifat tidak produktif dan sebagian besar didominasi oleh pengeluaran untuk pembayaran cicilan dan bunga utang. Penelitian Diyah juga menunjukkan bahwa pengeluaran pembangunan pemerintah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena pengeluaran pembangunan pemerintah lebih mengarah kepada investasi. Akan tetapi pada jangka panjang pengaruhnya tidak signifikan karena adanya ketidakefisienan dalam pelaksanaannya. Riyanto dan Hermanto dalam penelitianya yang berjudul “ Dampak dana perimbangan terhadap perekonomian daerah dan pemerataan antar wilyah “ menemukan bahwa dana perimbangan berpengaruh nyata terhadap peningkatan anggaran pendapatan dan belanja daerah , dan belanja rutin dan belanja pembangunan pemerintah daerah berpengaruh signifikan terhadap pereonomian daerah. Namun pengaruh tersebut tidak berbeda nyata antara sebelum dan setelah desentralisasi fiskal di implementasikan. Abrar yang meniliti mengenai “Pengaruh pendapatan asli daerah dan belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi Aceh ” memperoleh hasil analisis bahwa hubungan belanja pembangunan dengan PDRB menunjukkan fungsi kuadratik yang perlu diwaspadai posisinya di masa depan walaupun pada data tahun terakhir telahmenunjukkan kondisi yang puncak. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 49 Jika belanja ini tidak dimanfaatkan kepada kegiatan ekonomi produktif maka dikhawatirkan akan mengalami dampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi. III. METODE PENELITIAN Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time series dengan periode analisis 2001-2010. berupa data belanja daerah dan Produk Domestik Regional Bruto. Adapun alat analisis yang digunakan yaitu Regresi Linear Sederhana, dengan persamaan: Y = b0 + b1 X + e dimana; Y = Belanja daerah X = Produk Domestik Regional Bruto b0 = konstanta b1 = parameter e = error term Pengujian signifkansi dilakukan dengan membandingkan nilai t-sign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H 1 atau terima H0. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil estimasi regresi sederhana pengaruh belanja daerah terhadap Produk Domestik Regional Brtuto di Provinsi Sulawesi Tenggara 2001-2010. Berdasarkan hasil estimasi sebagaimana disajikan pada Tabel 1 maka di peroleh nilai koefisien persamaan regresi yang dapat dituliskan sebagai sebagai berikut: Y = 5.251 + 5.268 X Berdasarkan hasil analisis regresi di atas, nilai elastisitas koefisien variabel bebas yang mengandung arti sebagai berikut: 1. Nilai konstanta (b0) = 5.251 yang berarti bahwa ketika belanja daerah (X) konstan atau tidak mengalami perubahan maka Produk Domestik Regional Bruto (Y) sebesar RP. 5.251,00 miliar . 2. Koefesien b1 = 5.268 artinya jika belanja daerah(X)mengalami peningkatan sebesar 1 miliar maka Produk Domestik Regional Bruto akan meningkat sebesar Rp.5.268 Miliar. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 50 Tabel 1 Hasil Estimasi Model Unstandardized Coefficients t Sig. 164207.770 31.976 .000 .217 X1 5.268 Sumber: Data Sekunder, diolah 24.231 .000 B (constant) 5.251 R R2 F Sig .993a .987 587.145 .000a Std. Eror Untuk mengetahui derajat keeratan hubungan antara variabel bebas yakni belanja daerah (X1) terhadap variabel terikat (Y) yaitu Produk Domesti Regional Bruto dapat dilihat pada nilai koefisien korelasi dari hasil analisis diperoleh R sebesar 0.993 yang berarti belanja daerah memiliki pengaruh yang kuat terhadap Produk Domestik Regional Bruto. Selanjutnya untuk melihat seberapa besar kontribusi yang ditimbulkan oleh perubahan belanja daerah dalam menjelaskan perubahan variasi varibel Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dilihat pada koefisien determinasi (R square) yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang dijelaskan oleh variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen ditentukan oleh varibel lain diluar model yang turut mempengaruhi PDRB. Sedangkan utuk melihat pengaruh signifikan antara varibel bebas terhadap variabel terikat secara parsial, maka dilakukan pengujian dengan statistik uji t-statistik. Namun Sebelum melakukan pengujian, terlebih dahulu dirumuskan hipotesis statistiknya yaitu: H0 : b1 = 0 H0 : b1 ≠ 0 Pengujian hipotesis dilakukan dengan membandingkan nilai t-sign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H1 atau terima H0. Hasil analisis data yang tertera pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat signifikant sebesar 0,00 lebih kecil daripada alpa (α) 0,05 hal ini berarti bahwa tolak H0 dan terimaH1 sehingga dapat dikatakan bahwa belanja daerah secara parsial berpengaruh signifikan terhadap produk domestik regional bruto di Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian ini sama atau didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Rustiono (2008) bahwa pengeluaran pemerintah menggerakkan pertumbuhan ekonomi begitupula dengan penelitian Sodik yang menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah (baik pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin) berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional.Hal di atas sejalan dengan teori makro ekonomi yang menyatakan bahwa belanja Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 51 daerah (pengeluaran pemerintah) berpengaruh terhadap produk domestik regional bruto (PDRB), begitupula dalam hukum Wagner diungkapkan bahwa ketika perekonomian mengalami peningkatan maka secara relatif pengeluaran pemerintah akan mengalami peningkatan karena adanya korelasi positif antara pengeluaran pemerintah dengan tingkat pendapatan nasional. Besarnya pengaruh belanja daerah terhadap PDRB terjadi karena selama periode penelitian belanja daerah terus mengalami peningkatan selain itu proporsi belanja langsung juga tampak lebih besar dibandingkan dengan belanja tidak lansung sebagaimana digambarkan dalam gambar dibawah ini. Gambar 1 Proporsi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung di Propinsi Sulawesi Tenggara 2001-2010 Belanja Langsung Belanja Tidak Lansung 707.667,79 677.634,76 612.909,30 602.419,01 471.306,15 475.035,28 446.271,53 343.505,62 302.198,86 270.994,71 287.754,92 260.541,19 235.530,21 163.364,85 145.796,10150.001,57 133.719,52 98.485,92110.959,78 55.687,30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Belanja langsung memang merupakan komponen belanja yang diharapkan mampu membantu untuk mewujudkan sasaran pembangunan daerah. Namun belanja langsung teridiri atas dua bagian yaitu belanja langsung non investasi dan belanja langsung investasi, dimana belanja langsung non investasi merupakan anggaran yang dibutuhkan oleh unit kerja yang digunakan untuk melaksanakan program/kegiatan tanpa menambah aset, sedang belanja langsung investasi adalah anggaran yang dibutuhkan oleh unit kerja yang digunakan untuk melaksanakan program/Kegiatan yang berdampak pada penambahan aset. Namun di Sulawesi Tenggara komponen belanja lansung lebih didominasi oleh belanja lansung non investasi yakni belanja pegawai dan belanja barang dan jasa lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan belanja modal, sementara belanja modal adalah belanja yang akan menghasilkan pembangunan fisik. Selain itu volume belanja daerah yang besar karena pendapatan juga mengalami kenaikan, namun komposisi pendapatan daerah sangat tidak Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 52 proporsional karena selama beberapa tahun terakhir pendapatan daerah Sulawesi Tenggara lebih banyak didominasi oleh dana alokasi umum sebagaimana yang ditunjukkan dalam Tabel 2. Tabel 2 Komposisi Pendapatan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara 2007-2010 Jenis Pendapatan DAU 2007 Miliar % Rupiah 548,30 67,9 2008 Miliar % Rupiah 583,4 59,1 2009 Miliar % Rupiah 589,8 57,2 2010 Miliar % Rupiah 544,9 45,4 DAK 0,0 0,0 30,8 3,1 56,3 5,5 22,0 1,8 Bagi Hasil 74,6 9,2 62,7 6,4 58,9 5,7 58,9 4,9 PAD 166,7 20,6 305,5 31,0 223,1 21,6 552,3 46 Lain-lain 17,7 2,2 4,2 0,4 102,5 9,9 22,1 1,8 Total 807,2 100 986,5 100 1.030,7 100 1.200,30 100 Sumber: Data Sekunder, Diolah Data diatas menunjukkan bahwa meskipun pendapatan asli daerah terus mengalamipeningkatan. namun pendapatan daerah Sulawesi Tenggara masih lebih banyak lagi yang bersumber dari dana transfer pusat dalam bentuk dana perimbangan, padahal idealnya pendapatan daerah mestinya didominasi oleh pendapatan asli daerah yang mana hal ini dapat menunjukkan kemandirin dalam menciptakan pendapatan, namun kenyataan yang terjadi menunjukkan bahwa Sultra memiliki ketergantungan yang besar terhadap pemerintah pusat.Sehingga pengaruh belanja daerah yang besar dalam membentuk PDRB hanya menegaskan bahwa pembangunan ekonomi yang terjadi dalam hal ini PDRB Sulawesi Tenggara ditopang oleh tingkat konsumsi yang tinggi baik dari masyarakat dan pemerintah. Karena presentase belanja pemerintah lebih banyak yang dikeluarkan untuk belanja pegawai yang mengindikasikan bahwa masyarkat Sultra yang bekerja sebagai pegawai negri sipil memperoleh pendapatan yang dapat mendorong meningkatnya permintaan, selain itu pemerintah Sulawesi Tenggara juga mengalokasikan anggaran yang besar untuk belanja pembelian barang dan jasa yang tidak memiliki dampak lansung terhadap pembanguna fisik, karena merupakan pengeluaran untuk barang habis pakai. Idealnya pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih banyak untuk belanja modal sebagaimana dijelaskan dalam teori model pembangunan tentang pengeluaran pemerintah yang terbaik dimana pada tahap awal pengeluaran pemerintah lebih banyak ditujukan untuk investasi, karena hal ini sangat berkaitan dengan pembangunan disektor riil misalnya infrastruktur dasar, Mengingat kondisi infrastruktur diwilayah Sulawesi Tenggara masih kurang memadai misalnya jalan provinsi dan nasioanal 60 persen dalam Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 53 kategori rusak berat dan ringan selain itu infrastruktur pelabuhan juga masih kurang memadai karena 50 persen lebih wilayah Sulawesi Tenggara merupakan perairan. Hal ini disebabkan karena permintaan barang dan jasa oleh pemerintah serta pendapatan pegawai yang dibelanjakan tidak memberikan dampak pengembalian terhadap pembangunan disektor riil, meskipun pengeluaran belanja pegawai dapat meningkatkan permintaan namun disisi lain barangbarang yang dikonsumsi atau diminta masyarakat Sulawesi Tenggara tidak di produksi sendiri melainkan dikirim dari daerah-daerah lain yakni sebsar 80 persen komoditas yang dikonsumsi masyarkat Sultra berasal dari luar, sehingga permintaan masyarakat dan pemerintah tidak mendorong meningkatnya produksi diwilayah Sultra karenanya tingkat pengangguran masih saja tinggi, bahkan diperkirakan mencapai 20 persen dari total penduduk masyarkat Sultra termaksud dalam kategori menganggur. Hal diatas menjadi alasan mengapa belanja pemerintah yang besar dan berpengaruh terhada PDRB namun disisi lain masalah sosial eknomi tidak terselesaikan, karena perekonomian sektor riil tidak mengalami peningkatan, begitupula dengan alokasi belanja yang sangat tidak proporsional antara belanja pegawai dan pembangunan sehingga tidak terjadi perbaikan infrastruktur dasar karena tidak tercipta efek pengembalian atas pengeluaran pemerintah yang besar, sehingga tujuan pembangunan ekonomi untuk memberikan standar kehidupan yang lebih baik dan merata bagi masyarakat Sultra tidak tercapai. Hal serupa terjadi di daerah Aceh sebagaimana yang diungkapkan dalam penelitian Aliasuddin (2008) menyatakan bahwa akibat pengeluaran pemerintah maka perekonomian mengalami peningkatan namun peningkatan perekonomian tersebut tidak diinvestasikan kembali di Aceh sehingga dampak perekonomian terhadap pengeluaran pemerintah negatif dalam jangka panjang. Karena itu pemerintah Sulawesi Tenggara harus benar-benar memperhatikan proposrsi belanja daerah dalam menentukan kebijakan keungan sehingga memiliki dampak yang menyeluruh terhadap peningkatan pembangunan ekonomi dan mengurangi kesenjangan antara masyarakatdemi terwujudnya kesejahteraan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. V. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan maka diperoleh kesimpulan bahwa belanja daerah mempunyai pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan koefisien korelasi (R) sebesar 0.993. sedangkan kontribusi belanja daerah terhadap produk domestik regional bruto yaitu koefisien determinasi (R2) sebesar yaitu sebesar 0.987 atau 98,7 persen yang Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 54 dijelaskan oleh variabel belanja daerah dan sisanya sebesar 1,3 persen ditentukan oleh varibel lain diluar model yang turut mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2004. Undang-Undang Otonomi Daerah , Fokus Media : Bandung. Abrar ,Muhammad . 2010. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Aceh . Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 9, No. 1 April 2010: 79–88. Universitas Syiah Kual Aliasuddin dan Taufiq C. Dawood. 2008. Pertumbuhan Ekonomi Dan Pengeluaran Pemerintah. Makalah : Seminar Universitas Syiah Kuala, Universitas Bengkulu dan Universiti Kebangsaan Malaysia : Banda Aceh Bambang Kesip Prakosa. 2004. Analisi Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) Dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhdapa Prediksi Belanja Daerah (Studi Empirik Di Wilayah Provinsi Jawa Tengah Dan DIY). JAAI volume 8 No. 2. Etarina. 2005. Disparitas Pendapatan Antaradaerah di Indonesia.Jurnal Kebijakan Ekonomi Vol.1, No. 1. Gujarati, Damador. 1999. Ekonometrika dasar. Erlangga: Jakarta Mankiw, Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. Erlangga : Jakarta Parhah, Sitti. Kontribusi Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan (Analisis Data CrossSection Tahun 2002) Priadi Asmanto dan Soebagyo. 2000. Analisis Pengaruh Kebijakn Moneter dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Jawa Timur (periode 19952004). Bulletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. Vol 9, No.4. Bank Indonesia R. Schiller , Bradley .2005. Essentials Of Economics : McGrawHillCompanies, Inc : New York. Rahman, Abddul, 2009. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Sebelum Otonomi Daerah Dan Setelah Otonomi Daerah (Studi Pada Kabupaten Dan Kota Se Sulawesi Tenggara). Skripsi, Universitas Haluoleo, Kendari. Samuelson dan Nordaus. 2004. Ilmu Makro Ekonomi. P.T. Media Global Edukasi : Jakarta Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 55 Satya Azhar, Mhd Karya.2008. Analisis kinerja keuangan pemerintah Kabupaten/Kota sebelum dan setelah otonomi daerah.Tesis, Universitas Sumatra Utara, Medan. Setyawati,Yunita.2006. Analisis kausalitas inflasi dan pertumbuhan ekonomi (kasus perekonomian indonesia tahun 1994.1 – 2003.4) Dengan metode error corection model. Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Siregar, Hermanto dan Riyanto. 2005. Dampak Dana Perimbangan Terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan Antar wilayah. Jurnal Kebijakan Ekonomi. Vol 1, No. 1. Universitas Indonesia. Utami,Diyah.2007.Analisis pengaruh pengeluaran rutin dan Pengeluaran pembangunan pemerintah Terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia Periode 1975-2004. Skripsi , Insitut Pertanian Bogor, Bogor. Waluyo,Joko.2007.Dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi dan Ketimpangan pendapatan antardaerah di indonesia. Parallel Session IA: Fiscal Decentralization : Wisma Makara, Kampus UI – Depok Zodik,Jamzani.2000.Pengeluaran pemerintah Dan pertumbuhan ekonomi regional:Studi kasus data panel di indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No.1. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 56 Volume VII Tahun 4, Desembaer 2011 hal 57-75 Volume VIII Tahun 4, Desember 2011, hal 57-75 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu MODEL PENYANGGA EKONOMI DI LUAR KAWASAN HUTAN LINDUNG NANGA-NANGA PAPALIA KOTA KENDARI 1) Muh. Yani Balaka 2) ABSTRAK Penelitian ini betujuan untuk mengurangi penduduk miskin dengan pengembangan model penyanggga ekonomi pada masyarakat yang berada disekitar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari.Model penyangga ekonomi yaitu suatu model yang dibuat berdasarkan pada potensi SDA dan potensi SDM, kondisi infrastruktur, dan aktivitas kegiatan ekonomi. Berdasarkan aspek potensi yang ada diwilayah penelitian, rata-rata tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SLTP dan SLTA, infratsruktur sudah cukup memadai, sedang aktivitas masyarakat umumnya sebagai PNS, wiraswasta dan bertani, sedang potensi ekonomi yang ada adalah terutama pada kegiatan sektor peternakan dan perkebunan. Model yang deperlukan sebagai penyangga ekonomi adalah dengan membentuk kelompok berdasarkan potensi ekonomi yang ada yaitu kelompok usaha peningkatan keterampilan seperti pembuatan batu bata (batu merah) hal ini cukup potensial untuk dikembangkan karena pasar (konsumen) terhadap produk ini cukup tinggi di Kota Kendari. Kemudian kelompok usaha peternakan dan kelompok usaha perkebunan perlu dikembangkan sesuai potensi yang ada saat ini. Kata Kunci: model penyangga ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumber daya hutan di Kota Kendari adalah kawasan hutan Nanga-Nanga Papalia yang menjadi asset sumber daya penting bagi masyarakat di Kota kendari. Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia pertama kali ditetapkan pada tahun 1982 melalui surat keputusan menteri ___________________________________________ 1) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Hasil Penelitian 2) Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 57 Pertanian-Kehutanan, kemudian dilakukan tata batas ulang (kedua) pada tahun 1997 dan ditetapkan melalui Tata Guna hutan Kesepakatan (TGHK) Nomor: 426/KPTS-II tahun 1997 dengan luas 6.675 ha yang berada dalam dua wilayah administrasi yaitu Kabupaten Konawe dan kota Kendari. Interaksi warga masyarakat desa yang tinggal disekitar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia Kota Kendari sudah berlangsung lama. Akses masyarakat terhadap sumber daya sebagai sumber penghidupan keluarga sudah menjadi keseharian masyarakat.Sejak Hutan Lindung NangaNanga Papalia ada perselisihan dan konflik kepentingan antara pengelola Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dengan masyarakat terus berkembang dan belum menemukan cara-cara penyelesaian masalah yang dianggap paling tepat. Oleh karena itu sangat mendesak untuk dicarikan solusi yang paling optimal untuk mencapai win-win solution dalam pengembangan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia pada masa yang akan datang. Paradigma pembangunan kehutanan sekarang ini mengarah pada kehutanan masyarakat atau yang secara umum dikenal dengan communitybased forest management.Sistem ini menempatkan masyarakat yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan sebagai pelaku utama dalam pengelolaan kawasan hutan tersebut, hal ini sejalan dengan visi pembangunan departemen kehutanan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera. Mengingat pentingnya kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia tersebut, maka perlu upaya yang nyata untuk mewujudkan pengelolaan kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan.Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi akses masyarakat sekitar kawasan terhadap kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia adalah dengan pengembangan model penyangga ekonomi masyarakat desa disekitar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia, sehingga dengan semakin sejahteranya masyarakat sekitar kawasan, gangguan atau tekanan terhadap kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia dapat berkurang. Selain itu perlu pembinaan yang intensif dan terencana agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam upaya pengamanan dan pelestarian kawasan secara swadaya dan mandiri serta semakin meningkatnya kesadaran akan arti pentingnya kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia bagi kehidupan mereka. Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat yang berada di luar Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia telah menimbulkan ekses negatif terhadap keberlangsungan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia.Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari oleh penduduk yang berada diluar kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia menyebabkan mereka berupaya untuk memanfaatkan sumber daya alam yang berada didalam kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia. Untuk membuat suatu model penyangga ekonomi yang tepat terhadap masyarakat yang berada dan berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 58 Lindung Nanga-Nanga Papalia, sangat dibutuhkan data yang akurat terhadap potensi ekonomi, data sosial budaya, kondisi infrastruktur dan data sumber daya manusia, sehingga langkah dan strategi pengentasan kemiskinan dengan model penyangga ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat atau mengurangi penduduk miskin, sekaligus mengurangi tekanan perambah atau bahkan mencegah perambahan terhadap kawasan Hutan Lindung NangaNanga Papalia di Kota Kendari B. Tujuan 1. Teridentifikasinya potensi sumber daya alam (SDA) diwilayah penelitian, potensi sumber daya manusia (SDM) masyarakat didaerah penelitian, teridensifikasinya kondisi rill infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi, Kegiatan ekonomi saat ini, kondisi social dan budaya masyarakat disekitar kawasan hutan lindung. Dibangunnya kesepahaman dengan berbagai stakeholders yang terkait dengan aktivitas ekonomi dan rencana kegiatan kedepan. 2. II. TINJAUAN PUSTAKA Menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak.Teori ekonomi mengatakan untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan dengan peningkatan keterampilan sumber daya manusia, penambahan modal investasi, dan pengembangan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktivitas akan meningkat. Namun kenyataannya dalam praktek tidak semudah itu untuk dilakukan atau memutus lingkaran kemiskinan. Kemiskinan masih melekat setiap sendi kehidupan manusia, tidak terkecuali di Indonesia sehingga membutuhkan suatu upaya pengentasan kemiskinan yang komprehensif, integral dan berkelanjutan.Dalam menanggulangi kemiskinan dibutuhkan suatu pemikiran dan kerja keras, karena kemiskinan merupakan sesuatu yang kompleks sehingga banyak aspek yang mempengaruhinya. Oleh karena itu upaya penanggulangan kemiskinan mensayaratkan adanya identifikasi mengenai siapa, apa, bagaimana, dimana dan mengapa ada masyarakat miskin. Identifikasi tersebut dapat dijadikan sebagai landasan dalam menentukan kebijakan yang paling sesuai untuk menanggulangi masalah kemiskinan. Menurut Max Neef dalam Zikrullah (2000), sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu: (a) Kemiskinan subsistensi, pengahasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; (b) kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 59 pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; (d) kemiskinan partisipatif, tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang mnyangkut nasib diri dan komonitas; (e) kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok social, terfragmentasi; (f) kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komonitas. Selanjutnya Nurhetali mengutip hasil penelitian dari Bank Dunia (2000) dalam Muchtar (2006), yang menyatakan, bahwa orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pendidikan, dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan factor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlessness) sertapengucilan fisik dan social sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bagi orang, kelompok, komonitas, masyarakat miskin, ternyata peningktan pendapatan bukanlah satu-satunya yang amat penting, tetapi perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan suatu hal yang amat bernilai. Untuk lebih menfokuskan tujuan penanggulangan kemiskinan maka data penduduk miskin perlu dikelompokkan kedalam kelompok usia (Sumodiningrat, 2003). dapat dijelaskan bahwa upaya pengentasan kemiskinan, tidak hanya diperankan oleh pemerintah, akan tetapi juga diharapkan adanya peran dari pihak swasta atau lembaga keuangan dalam upaya pengentasan kemiskinan. Peran pihak swasta atau lembaga lain sperti lembaga keuangan atau lembaga perguruan tinggi dalam memberikan pendampingan dan peningkatan kapasitas penduduk miskin terutama ditujukan pada kelompok umur 15 – 55 tahun, hal tersebut dimaksudkan agar keterlibatan pihak ketiga dalam upaya pengentasan kemiskinan lebih menfokuskan pada upaya pemberdayaan penduduk miskin untuk meningkatkan produktivitasnya dan pendapatannya, misalnya dengan memberdayakan penduduk miskin dalam bentuk pemberian bantuan keuangan mikro, dan bantuan pendampingan atas kegiatan yang dilakukan. Disamping perhatian terhadap pengelompokkan umur, juga yang sangat penting adalah potensi yang ada didaerah dimana penduduk miskin tersebut berada. Artinya bahwa program pemberdayaan yang diberikan kepada mereka sudah seharusnya memperhatikan potensi ekonomi yang dimiliki diwilayah dimana mereka berada, sebagai contoh jika penduduk miskin berada di didesa dengan potensi pohon bambu yang cukup melimpah, maka sebaiknya pemberdayaan diarahkan pada pemanfaatan pohon bambu tersebut, dengan memberikan keterampilan guna menciptakan berbagai karya seni dan peralan yang terbuat dari pohon bambu. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 60 Robinson (2001), memandang bahwa penanganan penduduk miskin harus dibedakan berdasarkan kondisi ekonomi penduduk miskin. Bahwa penduduk yang sangat miskin (extremely poor) adalah kelompok yang berada dibawah garis kemiskinan. Kepada mereka ini sebaiknya diberikan bantuan program subsidi pangan, kesehatan, makanan, dan penyedian lapangan kerja, hal tersebut disebabkan pada kelompok ini adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengembangkan diri. Penduduk miskin yang memiliki aktivitas ekonomi (economically active poor) adalah penduduk miskin yang berada sedikit diatas pada garis kemiskinan atau yang rentan terhadap kemiskinan, kepada mereka ini tepat untuk diberikan berbagai bentu-bentuk pemberdayaan ekonomi yang sesuai dengan potensi ekonomi yang dimilikinya dan potensi ekonomi dimana mereka berada. Kelompok penduduk miskin ini diharapkan mereka dapat atau mampu meningkatkan pendapatannya sehingga terlepas dari kemiskinan dan bahkan jika perlu mereka mampu meningkatkan usahanya sehingga menciptakan lapangan pekerjaan bagi sebagian masyarakat yang masih miskin. Pada dasarnya kebijaksanaan penanggulangan kemiskinan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kebijaksanaan yang tidak langsung diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan dan kebijaksanaan yang langsung ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan (Prayitno dan Saloso, 1997). Kebijaksanaan tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang menjamin setiap upaya penanggulangan kemiskinan. Kondisi yang dimaksud antara lain adalah suasana sosial politik yang tenteram, ekonomi yang stabil dan budaya yang berkembang. Upaya pengelolaan ekonomi makro yang berhati-hati melalui kebijaksanaan keuangan dan perpajakan merupakan bagian dari upaya penanggulangan kemiskinan. Pengendalian inflasi merupakan bagian penciptaan kondusif bagi upaya penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan dengan harga terjangkau oleh penduduk miskin. Kebijaksanaan langsung diarahkan kepada peningkatan peran serta dan produktivitas sumber daya manusia, khusus untuk golongan masyarakat yang berpendapatan rendah, melalui pemenuhan kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan, serta pengembangan kegiatan sosial ekonomi yang berkelanjutan untuk mendorong kemandirian golongan masyarakat berpendapatan rendah. Dalam kerangka pengentasan kemiskinan, sasaran utamanya adalah bagaimana mningkatkan pendapatan penduduk miskin, sehingga mereka trlepas dari lingkaran kemiskinan, namun tentunya efektivitas dari suatu upaya pengentasan kemiskinan perlu mempertimbangkan fokus yang akan diberikan bantuan/diberdayakan sehingga hasilnya bisa optimal. Sebagai contoh dikemukakan upaya pengentasan dengan jelas langkah yang akan dilakukan, siapa sasarannya dan tujuan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 61 III. METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian Objek penelitian/kegiatan adalah masyarakat desa yang berada atau berbatasan langsung dengan kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga Papalia, di Kota Kendari. B. Lokasi Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan ini akan dilaksanakan pada 3 kelurahan pada 3 yaitu Kecamatan Poasia, kecamatan kambu, dan kecamatan baruga. Kelurahan tersebut merupakan desa yang secara langsung berbatasan dengan kawasan hutan lindung nanga-nanga papalia Kota Kendari. kelurahan tertebut: Kelurahan Mokoau, Kelurahan Anduonohu, dan Kelurahan Baruga C. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder bersumber dari kantor kelurahan, kantor kecamatan, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup kota Kendari, dan dari berbagai terbitan lembaga yang terkait dengan kebutuhan data sekunder berupa data potensi ekonomi desa, fasilitas infrastruktur, potensi sumber daya alam, kondisi sumber daya manusia masyarakat, dan jenis pemberdayaan yang telah dan sedang dilaksanakan. Data primer diporoleh secara langsung dari masyarakat, berupa data kondisi ekonomi keluarga, sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan, jenis kegiatan/usaha yang sedang dilaksanakan, tingkat pendidikan formal dan nonformal kondisis sosial budaya. Data-data tersebut diporoleh dan akan dijadikan dasar dalam melakukan langkah selanjutnya dalam pembentukan kelompok-kelompok kegiatan atau pemberdayaan masyarakat. D. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang berada di 3 kelurahan yang menjadi tempat dilaksnakannya kegiatan. Sampel data primer penelitian dipilih dengan tehnik cluster random sampling, selanjutnya akan menjadi dasar dalam pelaksanaan kegiatan. E. Metode Pelaksanaan Kegiatan Data sekunder akan dikumpulkan dengan cara dokumentasi yaitu data yang bersumber dari berbagai lembaga atau terbitan yang sesuai data Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 62 dibutuhkan dan pengambilan foto-foto kegiatan dilapangan, akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam membangun kespahaman dan dalam menyusun rencana kedepan. Data primer akan dikumpulkan dengan survey yaitu melalui obesrvasi langsung untuk mengungkap fenomena yang ada dan tidak didapat dalam wawancara. Wawancara langsung dengan pertanyaan terbuka dan tertutup kepada masyarakat, mengenai potensi sumber daya manusia, dan sumber daya alam yang ada di desa rencana pelaksanaan aksi kegiatan, akan dijadikan dasar dalam mebuat kelompok-kelompok kerja dimasyarakat sehingga pembentukan kelompok-kelompok tersebut benar-benar sesuai dengan kondisi di kelurahan yang dijadikan objek rencana kegiatan. F. Analisis Data Analisis deskriptif untuk memberikan gambaran terhadap data yang telah dikumpulkan, baik pada data sekunder maupun pada data primer.Ada tiga tahapan yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan – catatan dilapangan. Sedangkan penyajian data adalah kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif, yang dibantu dengan metric, grafik, table, dan bagan yang bertujuan mempertajam pemahaman peneliti terhadap informasi yang diporoleh.Dan penarikan kesimpulan adalah mencari arti, polapolapenjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat dan proposisi, sehingga data-data yang ada teruji validitasnya. IV. HASIL PENELITIAN A. Kondisi Social Ekonomi Masyarakat yang Berada Di Sekitara Kawasan (Buffer Zone). Awalnya interaksi ini berjalan serasi dan masih dalam batas tolerasi antara kebutuhan pembukaan lahan dan daya dukung kawasan. Akan tetapi dalam perkembangan waktu, pertumbuhan dan perkembangan penduduk mulai menjadi masalah, kebutuhan akan ruang tempat tinggal dan lahan usaha pertanian semakin tinggi. Kebutuhan akan pemenuhan kebutuhan pangan juga menjadi meningkat tajam, sehingga membawa dampak langsung terhadap kondisi kawasankawasan hutan. Disisi lain bahwa perkembangan pembangunan di pusat-pusat Kota Kendari telah memberikan implikasi meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya hutan di kawasan hutan Nanga-nanga Papalia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 63 Masyarakat yang hidup disekitar kawasan (buffer zone) mulai mengalihkan perhatian terhadap kawasan hutan, dengan membuka lahan pertanian baru, memgolah SDA yang tersedia disepanjang aliran sungai. Kondisi ini meningkat pesat takkala permintaan komoditi bahan baku sebagai pendukung utama pembangunan fisik di perkotaan meningkat tajam. Kayu olahan, sampai kayu tingkat semai mulai dijadikan bahan penting.Konsep permintaan dan penawaran mulai berlaku. Selain itu permintaan akan bahan bangunan batu dan pasir sampai tanah galain mulai meningkat tajam. Tekanan lainnya datang dari migrasi penduduk kota ynag tinggi bergeser pada lahan-lahan disekitar kawasan yang hampir diluar pengawasan berarti. Pendudukan dalam kawasan mulai terjadi secara pasti, dimulai dari tahap pembukaan kebun campuran dan tanaman semusim.Kondisi ini banyak dijumpai di kelurahan Anduonohu dan Kelurahan Rahandauna. B. Kelurahan Mokoau Kecamatan Kambu 1. Potensi dan sumber daya Kelurahan Mokoau merupakan salah satu Kelurahan yang secara lansung berbatasan dengan Hutan Lindung Nanga-nanga dengan jumlah penduduk sebesar 2.691 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 1.412 jiwa dan perempuan sebanyak 1.279 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebesar 614 kk (sumber; Kantor Kelurahan Mokoau, 2011). Kelurah Mokoau terdiri dari 4 RW dan 8 RT dan berada pada sebelah selatan wilayah Kecamatan Kambu dengan sarana transportasi yang digunakan masyarakat dalam kegiatan sehari-hari adalah angkutan umum dan angkutan ojek. Secara geografis Kelurahan Mokoau merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 5 meter diatas permukaan air laut dengan luas wilayah Kelurahan Mokoau seluas 1.150 Ha atau 21.50% dari luas wilayah Kota kendari. Masyarakat yang ada di kelurahan ini sebagian besar masih memiliki tingkat pendidikan SLTP dan SLTA. Namun demikian pendidikan yang terbatas tersebut tidak menjadi hambatan dalam menggeluti bidang atau aktivitas kesehariannya guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jika dilihat tingkat pendidikan masyarakat yang ada di kelurahan ini, tergambar bahwa masyarakat yang berpendidikan SLTA masih lebih dominan dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnnya. Jika dilihat dari aspek pekerjaan yang digeluti oleh masyarakat di Kelurahan Mokoau umunya adalah bekerja di kantor baik pemerintahan maupun swasta, meskipun juga beberapa orang mengeluti kegiatan sebagai petani dan pekerja bangunan serta buruh dan wiraswasta. Untuk lebih jelasnya tergambar dalam Gambar 1. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 64 Gambar 1. Status Pekerjaan Masyarakat Kelurahan Mokoau 376 400 300 200 100 0 196 103 5 79 78 43 30 105 85 2 7 6 27 15 20 Sumber: Kelurahan Mokoau, 2010 Walaupun sebagian besar masyarakat Kelurah Mokoau berkerja sebagai pegawai dikantor baik pemerintahan maupun swasta, akan tetapi untuk RW dan RT yang berada atau berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga adalah mayoritas sebagai petani. Sehingga diperlukan suatu strategi untuk pengembangan ekonomi masyarakat yang berada atau berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga tersebut. 2. Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Mokoau Sebanyak 1.320 atau 49 persen masyarkat di Kelurah Mokoau bekerja selain pegawai kantor baik pemerintah maupun swasta, dimana 49% ini berprofesi sebagai petani, tukang kayu, tukang batu, sopir mobil, buruh, tukang ojek, pedagang dan lainnya. Dengan jumlah masyarkat yang relative sebanding dengan masyarakat yang bekerja di kantor tentu banyak masyarakat yang tidak mempunyai pendapatan atau penghasilan yang tetap dan terbatas sehingga dibutuhkan strategi yang tepat oleh berbagai pihak terkait dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat, sehingga taraf hidup masyarakat yang tidak mempunyai penghasil tetap dan terbatas dapat meningkat. Berikut ini adalah potensi-potensi ekonomi yang ada di Kelurahan Mokoau adalah sebagai berikut; a. Peternakan Secara umum ternak yang dikembangkan oleh masyarakat di Kelurahan Mokoau adalah ayam dan kambing, berikut adalah jumlah populasi dan jumlah pemilik dapat dilihat pada Tabel 1. Kepemilikan ternak bagi masyarakat Kelurahan Mokoau sangat membantu bagi masyarakat guna meningkatkan pendapatannya. Umumnya peternak menjual hasil ternaknya langsung kepasarJurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 65 pasar yang berada di Kota Kendari, hal ini cukup memudahkan masyarakat dalam memasarkan hasil-hasil ternak. Sehingga pengembangan usaha ternak ini sangat potensial untuk dilakukan, mengingat kebutuhan akan daging ayam dan kambing di Kota Kendari sangat tinggi. Tabel 1 Kepemilikan Ternak di Kelurahan Mokoau Kecamatan Kambu Jumlah Pemilik Ternak (Orang) Jenis Ternak Jumlah Ternak (Ekor) 85 Ayam 1750 4 Kambing 50 Sumber: Kelurahan Mokoau, 2011 b. Perkebunan Tanaman perkebunan yang mayoritas dikembangkan oleh masyarakat di Kelurahan Mokoau adalah jambu mente, rambutan, durian, sagu dan lada.Hal ini juga sangat potensial untuk dikembangkan dikarenakan ditunjang oleh areal perkebunan yang luas serta tingkat kesesuaian tanaman tersebut dengan keadaan alam serta kesuburan tanah relative baik. c. Pertanian (tanaman pangan) Areal pertanian di Kelurahan Mokoau sangat mendukung untuk dikembangkan sebagai kawasan pusat tanaman palawija dan holtikultura yang berbasis kearifan local yang telah dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Mokoau sejak dahulu kala.Selain itu kawasan Kelurahan Mokoau memiliki tingkat kesuburan tanah yang sangat baik sehingga memungkinkan tanaman pertanian khususnya tanaman palawija dan sayuran. 3. Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Mokoau Infrastruktur yang di Kelurah Mokoau relative cukup baik dan tersedia, hal ini dapat dilihat dari permukaan jalan yang diaspal, dimana jalan utama/jalan raya seluruhnya sudah diaspal dan sebagian jalan sekunder juga sudah diaspal. Disamping itu seluruh wilayah di kelurahan ini tersedia listrik sehingga masyarakat dapat menikmati, air bersih juga cukup tersedia dimana selain terdapat PDAM masyarakat juga menggunakan air sumur gali dan bor. Hal lain tentang infrastruktur seperti pasar tradisional, walaupun pasar tradisional tidak terdapat dikelurahan ini akan tetapi terdapat dikelurahan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 66 tetanga disamping itu took-toko yang menjual kebutuhan masyarakat cukup tersedia. Komunikasi juga sangat lancer dimana seluruh wilayah kelurahan ini dijangkau oleh signal seperti telkomsel, indosat, exel, dll. C. Kelurahan Baruga Kecamatan Baruga 1. Potensi dan Sumberdaya Kelurahan Baruga merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari yang bersebelahan atau berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.473 jiwa. Kelurahan Baruga mempunyai masyarakat yang sebagian besar berada pada usia yang masih produktif. Berikut ini adalah grafik tentang pembagian jumlah penduduk berdasarkan umur, dimana pada grafik ini menunjukkan bahwa masyarakat di Kelurahan Baruga sebagian besar umum berumur antara 15 – 56 tahun sedangkan yang paling sedikit bayi yaitu umur 0-12 bulan (1 tahun) . Tingkat pendidikan masyarkat di Kelurahan Baruga menunjukkan bahwa sebagaian besar adalah tamat SD dan SLTP, hal ini tentu mempengaruhi cara kerja masyarakat Kelurahan Baruga dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan pendidikan yang cukup tentunya akan mempengaruhi tingkat penerimaan dan tingkat pemahaman mereka terhadap kemajuan informasi maupun dalam menyerap teknologi yang lebih baik terhadap penduduk diKelurahan tersebut. Berikut adalah gambaran tentang jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan. Gambar 2 Tingkat Pendidikan Masyarakat di Kelurahan Baruga 1390 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1152 948 394 189 87 241 81 Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011 Dengan pendidikan masyarakat yang mayoritas berada pada tamat SD dan SLTP hal ini dapat digolongkan atau dikatakan pendidikan masyarakat di Kelurahan Baruga Kecamatan Baruga sebagian besar masih terbatas atau Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 67 rendah. Sehingga pekerjaan masyarakat di Kelurahan Baruga juga sebagian besar adalah bertani sedangkan yang paling sedikit adalah sebagai peternak. Untuk lebih jelas jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Jenis Pekerjaan Masyarakat di Kelurahan Baruga 800 600 400 200 0 662 312 214 52 227 141 145 12 8 Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011 Disamping karena tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah juga karena didukung oleh lahan yang masih sangat luas, baik untuk lahan persawahan maupun lahan perkebunan atau ladang. Walaupun demikian banyak masyarakat di Kelurahan Baruga ini yang tidak mengantungkan diri pada satu jenis kegiatan pekerjaan, sebab untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka melakukan pekerjaan tambahan, misalnya sebagai petani, tetapi terkadang juga mereka bisa mengerjakan sebagai tukang kayu atau tukang batu. Kondisi tersebut dilakukan ketika mereka sudah panen atau pada masa menunggu waktu untuk panen. 2. Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Baruga Kelurahan Baruga merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari yang masih memiliki lahan persawahan dan perkebunan yang luas. Hal disebabkan sebagian besar wilayah kelurahan ini berada di pinggiran Kota Kendari, sehingga lahan-lahan tersebut masih berfungsi sebagai kebun dan persawahan masyarakat.Beriku ini adalah jumlah yang ada di Kelurahan Baruga. Jika dilihat dari luas kepemilikan lahan lahan pertanian penduduk diKelurahan Baruga maka lahan persawahan merupakan lahan yang paling luas yaitu 1.700 hektar atau 30 persen persen wilayah kelurahan ini adalah persawahan dan 1.300 hekar atau 23 persen lahan untuk pertanian/perkebunan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 68 Adapun hasil-hasil pertanian yang ada di Kelurahan Baruga sangat beragam, seperti jambu mente, kelapa, tanaman palawija. Hasil-hasil pertania tersebut dipasarkan di Kota Kendari, hal ini cukup memudahkan petani dalam menjual atau memasarkan hasil produksi yang dihasilkan. Disamping dipasarkan langsung juga terkadang di jemput oleh pembeli/pengumpul di kelurahan. Disamping persawahan dan perkebunan, peternakan juga cukup potensial dikembangkan didaerah ini, hal didukung oleh lahan yang masih luas dan kondisi geografis yang dekat dengan pasar dan ketersedian lahan. Walaupun jumlah peternak masih sangat sedikit akan tetapi di kelurahan ini terdapat beberapa peternak ayam petelur dan ras. Sehingga walaupun peternak masih sedikit tetapi para peternak tersebut telah memiliki omset yang cukup banyak. Hal lain tentang potensi ekonomi yang ada di Kelurahan Baruga dapat dilihat dari sisi kelembagaan ekonomi masyarakat pada grafik berikut, yakni usaha perdagangan merupakan usaha yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat warung makan. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Kelembagaan Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Baruga 140 120 100 80 60 40 20 0 Sumber ; Kantor Kelurahan Baruga, diolah, 2011 3. Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Baruga Fasilitas infrastruktur di Kelurahan Baruga cukup baik, dimana akses jalan diseluruh wilayah kelurahan sudah dapat dilalui dengan baik, walaupun belum semua permukaan jalan di kelurahan ini di aspal, khusus di RW 3 wilayah kelurahan yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung NangaNanga masih tahap pengerasan. Sehingga bila musim hujan permukaan jalan tersebut menjadi licin dan berlumpur, hal ini tentu akses jalan kewilayah tersebut menjadi lambat. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 69 Fasilitas lain seperti listrik sudah tersedia diseluruh wilayah kelurahan kecuali wilayah yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung NangaNanga yaitu RW 3, dimana fasilitas listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum ada, sehingga masyarakat masih mengandalkan listrik milik sendiri seperti generator untuk penerangan dan lampu pelita. Fasilitas lain yang tersedia adalah pasar, dimana dikelurahan ini terdapat pasar tradisional yang dijadikan pembeli dan penjual melakukan transaksi kebutuhan seharihari. Pasar tersebut dibuka setiap hari mulai pagi sampai sore hari.Hal ini cukup memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi untuk kebutuhan sehari-hari. D. Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia 1. Potensi dan sumber daya Kelurahan Anduonohu merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari yang bersebelahan atau berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga, yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 7.865 jiwa dengan jumlah Kepala Kelurga (KK) 1.683 dan terdiri 3.823 laki-laki dan 4.042 perempuan. Tingkat pendidikan masyarakat di Kelurahan Anduonohu sebagaian besar adalah tamat SLTP, SLTA dan SD, hal ini tentu mempengaruhi cara kerja masyarakat Kelurahan Anduonohu dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Dengan pendidikan yang cukup tentunya akan mempengaruhi tingkat penerimaan dan tingkat pemahaman mereka terhadap kemajuan informasi maupun dalam menyerap teknologi yang lebih baik terhadap penduduk di Kelurahan tersebut. Dengan pendidikan masyarakat yang mayoritas berada pada tamat SLTP yaitu 2.451 atau 31 persen, SLTA 1.498 atau 19 persen dan SD 1.290 atau 16.4 persen hal ini dapat digolongkan atau dikatakan pendidikan masyarakat di Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia sebagian besar masih terbatas atau rendah. Sehingga pekerjaan masyarakat di Kelurahan Anduonohu juga sebagian besar adalah bertani dan menjadi buruh. Untuk lebih jelas jumlah masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan yang digeluti dapat dilihat pada Gambar 5. Menjadi petani sebagai sumber mata pencaharian masyarakat di karenakan pendidikan yang sangat terbatas dan juga karena masyarakat tidak mempunyai keahlian lain. Dimana bertani merupakan pekerjaan yang sudah turun temurun dilakukan. Hal lain karena didukung oleh lahan yang masih sangat luas, baik untuk lahan perkebunan atau ladang. Akan tetapi masyarakat di Kelurahan Anduonohu juga banyak yang berprofesi ganda yaitu disamping menjadi petani juga menjadi tukang batu, tukang kayu atau tukang ojek khusus pada waktu-waktu menunggu panen atau setelah menanam ataupun ketika kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 70 berladang atau berekebun. Hal ini sangat membantu masyarakat dalam mendapatkan tambahan atau sumber-sumber pendapatan lain. Gambar 5 Jenis Pekerjaan Masyarakat di Kelurahan Anduonohu 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1265 312 254 95 142 241 39 345 227 209 12 95 Sumber ; Kantor Kelurahan Anduonohu, diolah, 2011 2. Potensi Ekonomi Masyarakat di Kelurahan Anduonohu Kelurahan Anduonohu Kecamatan Poasia merupakan salah satu kelurahan di Kota Kendari yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga, wilayah kelurahan yang berada disekitar kawasan tersebut merupakan daerah yang masih berfungsi sebagai sumber mata pencaharian masyarakat kelurahan, dimana daerah ini masih menjadi daerah perkebunan masyarakat dan ladang serta persawahan Jika dilihat dari luas kepemilikan lahan, lahan perkebunan merupakan lahan yang paling luas yaitu 641 hektar atau 73 persen persen wilayah kelurahan ini adalah perkebunan masyarakat dan 90 hektar atau 10.2 persen lahan untuk empang. Potensi ekonomi lain yang terdapat di Kelurahan Anduonohu adalah peternakan, dimana lahan yang tersedia di kelurahan ini cukup potensial untuk dikembangkan berbagai ternak, seperti kambing, sapi, dan ayam atau itik. Pengembangan ternak ini sangat didukung oleh kondisi alam dan cuaca yang mendukung. Kemudian perdagangan dan jasa juga sangat potensial untuk dikembangkan karena jumlah penduduk yang cukup banyak tentu merupakan pasar yang sangat potensial. Dengan semakin majunya Kelurahan Anduonohu tentu akan menyuburkan perkembangan usaha perdagangan dan jasa, sehingga bila usaha perdagang dan jasa dapat dikembangkan maka akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap ekonomi masyarakat di Kelurahan Anduonohu. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 71 Selanjutnya usaha home industri juga cukup mendukung untuk dikembangkan, hal ini dukung oleh masyarakat yang cukup banyak dan dapat dilatih untuk memperoleh keterampilan yang pada akhirnya dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian. 3. Infrastruktur Pendukung di Kelurahan Anduonohu Fasilitas infrastruktur di Kelurahan Anduonohu cukup baik, dimana akses jalan diseluruh wilayah kelurahan sudah dapat dilalui dengan baik, walaupun belum semua permukaan jalan di kelurahan ini di aspal, khususnya jalan-jalan menuju perkebunan masyarakat atau yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Nanga-Nanga masih tahap pengerasan. Sehingga bila musim hujan permukaan jalan tersebut menjadi licin dan berlumpur, hal ini tentu akses jalan kewilayah tersebut menjadi lambat. Fasilitas lain seperti listrik sudah tersedia diseluruh wilayah kelurahan dan untuk jangkauan telekomunikasi juga sangat baik, dimana dijangkau oleh berbagai provider kartu gsm. Fasilitas lain yang tersedia adalah pasar, dimana dikelurahan ini terdapat pasar tradisional yang dijadikan pembeli dan penjual melakukan transaksi kebutuhan sehari-hari. Pasar tersebut dibuka setiap hari mulai pagi sampai sore hari.Hal ini cukup memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam melakukan transaksi untuk kebutuhan sehari-hari. E. Masalah dan Solusi berdasar Participatory Rural Appraisal (PRA) Ketiga Kelurahan yang menjadi daerah penelitian dapat dikemukakan bahwa secara umum merupakan daerah yang memiliki tingkat homogenitas sumber daya manusia, sumber daya alam dan infrastruktur. Kondisi ini terjadi karena daerah tersebut merupakan perkotaan dimana kota sebagai tempat yang dijadikan masyarakat dari desa untuk mencari kehidupan yang lebih baik (migrasi). Dari hasil kajian secara langsung dengan menggunakan metode PRA, ditemukan bahwa umumnya masyarakat masuk ke Kawasan Hutan Lindung Nanga-Nanga adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama mereka masuk untuk merambah hutan.Kayu-kayu tersebut digunakan untuk pembuatan rumah dan bahkan ada yang masuk mengambil kayu dengan tujuan untuk dijual sebagai tambahan pendapatan. Perambahan yang dilakukan berkaitan langsung dengan upaya untuk mengatasi kondisi ekonomi keluarga bagi masyarakat yang berada disekitar daerah penyangga. Jadi masuk ke kawasan hutan lindung mengambil kayu baik dengan tujuan untuk kebutuhan rumah tangga maupun untuk dijual . Apa yang dilakukan sebelumnya dan sekarang ini umumnya masyarakat sudah menyadari hal tersebut bahkan para tokoh masyarakat maupun kepala Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 72 kelurahan dengan sadar mulai mencari solusi agar warganya tidak lagi masuk ke kawasan hutan lindung untuk mencari kebutuhan hidup. Dampak yang timbul dengan adanya rambahan hutan oleh masyarakat yang berada di sekitar daerah penyangga Hutan Lindung Nanga-Nanga, hutan semakin gundul dan kebutuhan air untuk konsumsi rumah tangga sudah mulai dirasakan. Salah satu solusi yang diperoleh berdasarkan hasil PRA, kepala kelurahan mengajak warganya untuk membangun rumah dengan menggunakan batu lebih efisien dan bisa lebih tahan lama. Dengan cara itu telah menekan intensitas masyarakat masuk ke kawasan hutan lindung. Solusi lain yang ada bahwa semakin banyak aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat terutama ativitas yang dapat meningkatkan pendapatan mereka akan membuat mereka sibuk dengan kegiatannya akhirnya mereka tidak memiliki waktu untuk masuk ke kawasan hutan lindung sekaligus dapat mengatasi masalah ekonominya. Solusi yang dapat mengatasi permasalahan didaerah tersebut perlu dibuat kelompok usaha yang bertujuan meningkatkan keterampilan penduduk masyarakat setempat dan untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan cara tersebut akan menggiring masyarakat kearah yang memberikan aktivitas atau kesibukan diluar kawasan yang dapat meningkatkan pendapatannya, sehingga mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk masuk mencari sumber-sumber yang bisa memberikan pemasukan keuangan bagi keluarga mereka. F. Membangun Kesepahaman Dalam Bentuk Pembentukan Kelompok Kegiatan Dalam rangka membangun kesepahaman, diawali dengan diskusi awal dengan para stakeholder, maka disepakati untuk membuat lembaga atau wadah tempat untuk berdiskusi yang menyangkut permasalahan dan upaya mencari solusi dalam memperbaiki ekonomi rakyat diwilayah penelitian. Berdasarkan hasil PRA, maka dapat dibangun kesepahaman diwilayah penelitian tersebut dimana, untuk mengatasi masalah ekonomi rakyat sekaligus menekan intensitas masyarakat masuk kewilayah Hutan Lindung NangaNanga, maka perlu dibentuk kelompok usaha yang dibagi dalam kelompok usaha yang dapat meningkatkan keterampilan dan kelompok usaha berdasarkan kepemilikan sumber daya ekonomi dan sumber daya alam yang ada diwilayah tersebut. Kelompok usaha peningkatan keterampilan seperti pembuatan batu bata (batu merah) hal ini cukup potensial untuk dikembangkan karena pasar (konsumen) terhadap produk ini cukup tinggi, dimana Kota Kendari merupakan kota yang sedang berkembang sehingga kebutuhan akan property (perumahan dan ruko) cukup tinggi. Hal lain yang mendukung adalah ketersediaan bahan baku. Bahan baku untuk pembuatan batu bata ini cukup Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 73 tersedia di ketiga kelurahan. Selanjutnya keterampilan yang dibutuhkan dalam pembuatan batu bata ini relative tidak membutuhkan keterampilan yang kompleks (sulit) artinya dapat dipelajari dengan cepat oleh masyarakat. Pembentukan kelompok berdasarkan kepemilikan lahan dan kepemilikan ternak, dilakukan sebagai tahap awal untuk masuk pada tingkat aktivitas yang lebih baik seperti diawali dengan penyuluhan/pelatihan sesuai kelompok yang terbentuk guna membangun dasar pemahaman dan pengetahuan sesuai dengan kepemilikan sumber daya ekonomi, kemudian dari kelompok-kelompok tersebut pada tahap berikutnya akan dibangun kemitraan, akses kelembaga keuangan mikro, dan intervensi pemerintah. V. SIMPULAN 1. Berdasarkan aspek potensi yang ada diwilyah penelitian, rata-rata tingkat pendidikan sebagian besar tamatan SLTP dan SLTA, infratsruktur sudah cukup memadai, sedang aktivitas masyarakat umumnya sebagai PNS, wiraswasta dan bertani, sedang potensi ekonomi yang ada adalah terutama pada kegiatan sektor peternakan dan perkebunan. Kelompok usaha peningkatan keterampilan seperti pembuatan batu bata (batu merah) hal ini cukup potensial untuk dikembangkan karena pasar (konsumen) terhadap produk ini cukup tinggi, dimana Kota Kendari merupakan kota yang sedang berkembang sehingga kebutuhan akan perumahan dan ruko cukup tinggi. Kelompok usaha peternakan dan kelompok usaha perkebunan perlu dikembangkan sesuai potensi yang ada saat ini. Model penyangga ekonomi yang sesuai dengan potensi yang ada yaitu dengan membentuk kelompok usaha keterampilan dan usaha pertanian seperti usaha batu bata dan kelompok tani dalam arti luas peternakan dan perkebunan. 2. 3. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 74 DAFTAR PUSTAKA Awang, S.A., dkk, 2005, Menuju Pengelolaan Kolaborasi Taman Nasional (kasus Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai), CARE internasional Indonesia Southeast Sulawesi, Kendari Gunawan, H., 2005, Model Daerah Penyangga Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Buletin Konservasi Alam, Vol. 5- No 4. Bogor. Hulme, D., 1997, Impact Assesment Methodologies for Microfinance: Theory,Experience and Better Practice. Institute for Development Policy and Management University of Mancester. United Kingdom. P-4 Muchtar, 2006, Strategi Pemberdayaan Berbasis Kelembagaan Lokal Dalam Penanganan Kemiskinan Perkotaan, PUSLIT PKS Balatbangsos Prayitno dan Saloso, 1997, Ekonomi Pembangunan, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta.p-205. Robinson, Marguiret S., 2001, The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor. Vol. 1. The World Bank, Washington, D.C./Open Society Intitute, New York. P-9 and P-21. Sumodiningrat, G., 2003, Peran lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Kebijkan Otonomi Daerah. Jurnal Eknomi Rakyat, Artikel Th.II-No.1. Widada, 2004, Nilai Manfaat Ekonomi dan Pemanfaatan Taman Nasional Gunung halimun Bagi masyarakat, Pascasarjana, IPB, Bogor Zikrullah, Y., 2000, Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Media Partisipatif-P2KP No. 07 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 75 VolumeVIII VIIITahun Tahun Desember 2011 hal 76-93 Volume 4 ,4,Desember 2011 hal , 76-93 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu PENYUSUNAN RENCANA INDUK (MASTER PLAN) PENGEMBANGAN UMKM DI KABUPATEN KONAWE UTARA1) Gamsir2) dan Syamsir Nur3) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta penyebaran UMKM (dilihat dalam jumlah dan jenis), mengetahui secara tepat, spesifik, dan komprehensif peta/potret permasalahan dan kekuatan yang dimiliki oleh pelaku UMKM serta merumuskan strategi dan program pengembangan yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan upaya pemberdayaan UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Dalam rangka memperoleh data primer digunakan metode survey lapangan dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan sumber sekunder melalui kegiatan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya meliputi usaha yang masih besifat informal dan tradisional. Bersifat informal karena umumnya usaha tersebut belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain: petani penggarap, nelayan, industri rumah tangga, pedagang keliling dan pedagang kaki lima. Sedangkan bersifat tradisional karena usaha tersebut relatif masih menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Selanjutnya faktorfaktor yang secara substansial menjadi kekuatan pelaku usaha serta kekuatan usaha yang dimiliki dan kendala dalam hal pengembangan UMKM diantaranya kondisi pelaku usaha (tingkat umur, pendidikan, pengalaman usaha serta tingkat penggunaan tenaga kerja) aspek permodalan, aspek produksi, aspek pasar dan aspek program pembinaan/bantuan pengembangan usaha. Adapun strategi pengembangan UMKM dapat dilakukan melalui pengembangan jenis usaha yang sesuai dengan potensi daerah setempat serta penguatan modal usaha, peningkatan kapasitas SDM pelaku UMKM, membangun kemitraan perbankan dan pengusaha besar, menciptakan iklim usaha yang kondusif, mendorong pengembangan beragam insentif dan kemudahan lainnya serta promosi produk yang dihasilkan serta pembangunan, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung usaha bagi pelaku ekonomi skala mikro, kecil dan menengah yang merata pada semua wilayah di Kabupaten Konawe Utara. Kata kunci: UMKM, permodalan, produksi, pasar, pengembangan usaha 1) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Hasil Penelitian 2) dan 3) Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 76 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya deregulasi sebagai langkah penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah (UMKM); bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa pertambahan nilai tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, sedang, dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat, dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang, yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro & Abimanyu, 1995). Usaha untuk menumbuhkembangkan UMKM/ industri kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, UMKM/IKRT menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak UMKM/IKRT juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi karena lokasinya banyak di pedesaan, pertumbuhan UMKM/IKRT akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di pedesaan (Simatupang, et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, UMKM/IKRT jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam upaya pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting IKRT memberikan tambahan pendapatan (Sandee et al., 1994), merupakan seedbed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Weijland, 1999). Kedua, upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sulawesi Tenggara pada khususnya, tidak bisa digantungkan semata pada pembinaan usaha skala besar, bukan saja karena alasan bahwa sekitar 99 persen usaha di Sulawesi Tenggara tergolong UMKM, tetapi juga karena pengalaman telah menunjukkan bahwa pada saat krisis ekonomi terjadi, industri besar dengan sifat padat modal, banyak menggantungkan pembiayaan usahanya pada perbankan, dan bahan baku sebagian besar adalah komponen impor, ternyata tidak mampu bertahan menghadapi badai krisis. Industri tersebut satu demi satu rontok akibat depresiasi rupiah yang sangat tajam sehingga harga bahan baku impor menjadi relatif mahal. Sebaliknya dengan indistri/usaha yang tergolong UMKM, ternyata tetap eksis dan tidak banyak terusik oleh gelombang krisis Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 77 Ketiga, fakta di lapangan dan hasil kajian empiris menunjukkan bahwa UMKM lebih menyentuh dan lebih sesuai dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Tenggara/Kabupaten Konawe Utara pada khususnya. Pembinaan dan pengembangan UMKM adalah identik dengan pembinaan dan pengembangan sumber-sumber penghidupan masyarakat banyak yang „nota bene‟ sangat menggantungkan kehidupan ekonomi mereka pada kegiatan UMKM di berbagai sektor ekonomi yang ada. Dengan demikian diharapkan upaya pembinaan dan pengembangan UMKM secara serius, sistematis, dan konsisten dapat menjawab masalah kemiskinan dan pengangguran. Sampai akhir tahun 2008, jumlah UMKM di Sulawesi Tenggara teridentifikasi sekitar 40.000 unit usaha (Kantor Bank Indonesia Kendari). Kurang lebih sekitar 5% UMKM tersebut berada di wilayah Kabupaten Konawe Utara. Secara umum permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar pelaku UMKM adalah rendahnya kemampuan profesional dalam pengelolaan usaha, terbatasnya akses permodalan, dan rendahnya akses teknologi dan pasar. Upaya pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara selama ini telah ditempuh, namun tentu saja sebagai daerah pemekaran yang masih sangat baru, sangat dibutuhkan rancangan strategis yang lebih sistematis untuk mengembangkan UMKM secara optimal dan konsisten. Rancangan strategis untuk pengembangan UMKM di Konawe Utara sebaiknya diawali dengan mengetahui/memetakan secara tepat, spesifik, dan komprehensif apa kelemahan/permasalahan dasar yang dihadapi oleh pelaku UMKM, termasuk juga memetakan apa kekuatan dan peluang yang dimiliki. Berdasarkan peta kelemahan/permasalahan dan kekuatan/peluang tersebut, selanjutnya dirumuskan strategi dan program yang sesuai sehingga upaya pengembangan yang dilakukan bisa berjalan secara optimal dan konsisten. Perumusan berbagai strategi, program dan kegiatan yang tidak mengacu pada pengenalan akar permasalahan yang dihadapi oleh UMKM secara tepat, diyakini hanya akan melahirkan aktivitas yang tumpang tindih, tambal sulam, dan akibatnya tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang ada. Untuk itulah maka sangat diperlukan kajian yang komprehensif dalam rangka mengetahui bagaimana potret/peta permasalahan dan kekuatan dari semua aspek yang terkait dengan keberadaan UMKM di Konawe Utara, yang akan dituangkan dalam dokumen rencana induk (master plan) pengembangan UMKM di Konawe Utara. B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : (1) mengetahui peta penyebaran UMKM (dilihat dalam jumlah dan jenis) pada masing-masing wilayah kecamatan/desa di Kabupaten Konawe Utara; (2) mengetahui secara tepat, Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 78 spesifik, dan komprehensif peta/potret permasalahan dan kekuatan yang dimiliki oleh pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara; dan (3) merumuskan strategi dan program pengembangan yang perlu dilakukan dalam rangka mengoptimalkan upaya pemberdayaan UMKM di Kabupaten Konawe Utara. II. KAJIAN TEORITIS Salah satu ciri khas dari ekonomi kerakyatan adalah dominasi dari usaha-usaha ekonomi berskala kecil. Usaha-usaha ekonomi ini lebih dikenal dengan sebutan UMKM (usaha mikro kecil dan menengah).Kelompok UMKM mencakup Usaha Kecil (UK), Industri Kecil (IK) dan Industri Rumah Tangga (IRT). Undang-undang No. 9/1999 mendefinisikan Usaha Kecil (UK) adalah suatu unit usaha yang memiliki nilai neto (tidak termasuk tanah dan bangunan) yang tidak melebihi Rp. 200 juta, atau penjualan per tahun tidak lebih besar dari Rp. 1 miliar. Menurut BPS (2000), Industri Kecil (IK) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja antara 5-19 orang termasuk pengusaha. Sedangkan, Industri Rumah Tangga (IRT) adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling banyak empat orang termasuk pengusaha. Unit-unit usaha tanpa pekerja (selfemployment unit) termasuk di dalam kategori ini.Pada umumnya usaha mikro merupakan unit-unit usaha yang sifatnya lebih tradisional, dalam arti tidak menerapkan sistem organisasi dan manajemen yang baik seperti lazimnya dalam suatu perusahaan modern: tidak ada pembagian tugas kerja dan sistem pembukuan yang jelas. Sebagian besar usaha kecil terdapat di daerah pedesaan, dan kegiatan produksinya pada umumnya musiman erat kaitannya dengan siklus kegiatan di sektor pertanian. Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang UMKM, di mana yang dimaksud UMKM adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta. Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250). Kendati terdapat beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 79 keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumbersumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan BPS, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi). Dan keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33). Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil. Secara garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omzet kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; bisaanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka. Kedua, bagi PK dengan omzet antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Harus diakui telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan usaha kecil yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang concern dengan pengembangan usaha kecil. Hanya saja, upaya pembinaan usaha kecil sering tumpang tindih dan dilakukan sendiri-sendiri. Perbedaan persepsi mengenai usaha kecil ini pada gilirannya menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sektor oriented, di mana masing-masing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendiri-sendiri. Akibatnya Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 80 terjadilah dua hal: (1) ketidakefektifan arah pembinaan; (2) tiadanya indikator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Karena egoisme sektoral/departemen, dalam praktek sering dijumpai terjadinya "persaingan" antar organisasi pembina. Bagi pengusaha kecil pun, mereka sering mengeluh karena hanya selalu dijadikan "obyek" binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung. Dalam konteks inilah, usulan Assauri (1993) untuk mengembangkan interorganizational process dalam pembinaan usaha kecil menarik untuk kita simak. Dalam praktek, struktur jaringan dalam kerangka organisasi pembinaan usaha kecil semacam ini dapat dilakukan dalam bentuk inkubator bisnis dan PKPK (Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil). PKPK adalah ide dari Departemen Koperasi dan PPK, yang diharapkan dapat berfungsi sebagai wadah pengembangan pengusaha kecil menjadi tangguh dan atau menjadi pengusaha menengah melalui kerjasama dengan perguruan tinggi dan koordinasi antar instansi. Kegiatan semacam ini merupakan suatu terobosan yang tepat mengingat potensi pengusaha kecil di Indonesia sangat memungkinkan untuk dikembangkan. III. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan dalam wilayah Kabupaten Konawe Utara yang meliputi seluruh tingkatan wilayah administratif yang ada. Dalam rangka memperoleh data primer tentang gambaran dan kinerja UMKM, lokasi penelitian dipilih secara sengaja pada empat wilayah kecamatan yakni Kecamatan Lasolo, Molawe, Asera, dan Kecamatan Andowia dengan pertimbangan wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki jumlah UMKM yang lebih banyak dibandingkan daerah kecamatan lainnya. Jenis data/informasi yang dibutuhkan berupa data kuantitatif dan kualitatif yang berhubungan dengan jumlah, jenis, kinerja usaha (jumlah modal, omzet usaha, jumlah tenaga kerja, dll.) masing-masing UMKM pada semua sektor ekonomi, termasuk data/informasi yang berkaitan dengan permasalahan/kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pembinaan yang ada pada masing-masing UMKM dan lain-lain. Sumber data/informasi yang dibutuhkan meliputi sumber primer dan sekunder. Sumber primer meliputi masyarakat dan pelaku usaha, yang data/informasinya diperoleh melalui kegiatan survey lapangan dan FGD (Focus Group Discussion). Sedangkan sumber sekunder meliputi instansi pemerintah dan kelembagaan non pemerintah yang memiliki data/informasi yang sudah diolah dan dapat dipergunakan sebagai bahan untuk penyajian data dasar dalam Rencana Induk Pengembangan UMKM ini. Data/informasi yang bersifat sekunder ini diperoleh melalui kegiatan studi Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 81 dokumentasi dan bila diperlukan, juga melalui kegiatan wawancara dan/atau diskusi. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pemetaan UMKM Kabupaten Konawe Utara Keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya meliputi usaha yang masih besifat informal dan tradisional. Bersifat informal karena umumnya usaha tersebut belum terdaftar, belum tercatat, dan belum berbadan hukum, antara lain: petani penggarap, nelayan, industri rumah tangga, pedagang keliling dan pedagang kaki lima. Sedangkan bersifat tradisional karena usaha tersebut relatif masih menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan secara turun temurun, dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Propinsi Sulawesi Tenggara (2011) keberadaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Kabupaten Konawe Utara masih relatif lebih kecil dibandingkan dengan wilayah kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Tenggara yakni sebesar 0,01 persen dari total UMKM di Sulawesi Tenggara. Hal ini dikarenakan masih terdapat berbagai unit usaha yang belum tercatat dan terdaftar di Kabupaten Konawe Utara. Adapun jumlah usaha, jumlah omzet usaha dan jumlah tenaga kerja Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat Pada Tabel 1. Tabel 1 Klasifikasi Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Di Kabupaten Konawe Utara No. Klasifikasi Usaha 1. 2. 3. Mikro Kecil Menengah Total Jumlah Usaha (Unit) 431 211 6 648 Jumlah Omzet (Rupiah) 19.395.000.000 4.747.500.000 15.000.000.000 39.142.500.000 Jumlah TK (Orang) 784 1.477 310 2.571 Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Prop. Sultra, 2011 Berdasarkan klasifikasi UMKM di Kabupaten Konawe Utara, usaha jenis skala mikro dan kecil lebih banyak dibandingkan dengan usaha jenis skala menengah. Umumnya usaha mikro dan kecil ini berada disektor industri rumah tangga dan perdagangan. Dari aspek penyerapan tenaga kerja usaha skala mikro dan kecil juga mampu menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan usaha skala menengah. Dari sejumlah UMKM yang Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 82 terdapat di Kabupaten Konawe Utara, selanjutnya diuraikan jenis, profil kinerja usaha serta identifikasi permasalahan/kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pembinaan UMKM untuk menjadi bahan penyusunan Rencana Induk Pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Jenis UMKM yang terdapat di Kabupaten Konawe Utara umumnya relatif sama yakni jenis usaha yang bergerak di sektor perdagangan, sektor pertanian dalam arti luas, sektor industri dan sektor jasa. Hasil penelitian diketahui bahwa jenis usaha mikro kecil dan menengah di Kabupaten Konawe Utara umumnya bergerak disektor perdagangan yang mencapai 46,62 persen terdiri dari kios rumahan, pedagang sembako, jual beli cengkeh, warung makan, penadah ikan, penjual ikan, penjual pokea, penjual ayam potong, penjual sayur dan penjual kain. Sedangkan usaha lainnya bergerak disektor industri sebesar 26,63 persen, sektor jasa sebesar 13,31 persen dan sektor usaha lainnya 12,29 persen yakni sebagai penambang pasir gol.c , nelayan dan petani rumput laut. B. Pemetaan Kekuatan Dan Permasalahan UMKM Konawe Utara di Kabupaten Uraian mengenai pemetaan kekuatan UMKM di Kabupaten Konawe Utara secara umum akan mengarahkan kita untuk mengetahui faktor-faktor yang secara substansial menjadi kekuatan pelaku usaha serta kekuatan usaha yang dimiliki dan kendala dalam hal pengembangan UMKM. Beberapa aspek yang masuk dalam faktor-faktor tersebut adalah gambaran umum responden UMKM, gambaran umum aspek permodalan, aspek produksi, aspek pasar dan aspek program pembinaan/bantuan pengembangan usaha. 1. Gambaran umum pelaku UMKM Hasil penelitian diketahui bahwa umur rata-rata pengusaha mikro kecil dan menengah di Kabupaten Konawe Selatan yang menjadi responden sebagian besar berada pada 30 s/d 40 tahun. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pada dasarnya pengusaha mikro kecil dan menengah di Kabupaten Konawe Utara masih berada pada usia produktif.Tingkat pendidikan pelaku UMKM diketahui bahwa rata-rata berpendidikan SLTA (56,66 persen) dan SLTP (21,66 persen). Sementara yang memiliki tingkat pendidikan SD sebanyak 18,33 persen dan diploma/sarjana sebanyak 3,33 persen. Sebagian besar usaha mereka telah berjalan cukup lama yakni 5-10 tahun sebanyak 26,66 persen dan diatas 10 tahun sebanyak 30,00 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha yang digeluti pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara saat ini sudah relatif stabil walaupun sebanyak 43,33 persen masih tergolong masih belum stabil, sehingga masih rentan untuk gagal usaha. Adapun dari aspek penggunaan tenaga kerja diketahui bahwa tenaga kerja yang Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 83 dipekerjakan saat ini masih relatif sedikit, dimana sebanyak 65 persen usaha yang digeluti mempekerjakan kurang dari 5 orang tenaga kerja, sebanyak 30 persen mempekerjakan 5-10 orang tenaga kerja dan hanya 5 persen yang mempekerjakan lebih dari 10 orang tenaga kerja. Hal ini karena usaha yang digeluti umumnya bergerak disektor perdagangan yang klasifikasi mikro dan kecil sehingga belum menggunakan tenaga kerja yang banyak. Adapun yang mempekerjakan lebih dari 10 orang yakni mereka yang memiliki usaha yang bergerak pada industri skala kecil. Umumnya pelaku UMKM di Kabupaten Konawe Utara memiliki rata-rata omzet penjualan sebanyak kurang dari 3 juta rupiah perbulan. Hal ini mengindikasikan bahwa omzet penjualan yang dihasilkan UMKM masih dibawah rata-rata. Selain itu sebanyak 35 persen pelaku usaha memiliki rata-rata omzet penjualan perbulan 3 s/d 5 juta rupiah dan 31,66 persen yang telah memiliki rata-rata omzet penjualan perbulan sebanyak lebih dari 5 juta rupiah perbulan yang berarti rata-rata omzet penjualan yang dihasilkan oleh pelaku UMKM tersebut sudah berada diatas rata-rata (standar omzet penjualan untuk UMKM adalah 5 juta). Dari aspek legalitas formal usaha diketahui bahwa hanya 10 persen UMKM yang memiliki izin usaha yakni usaha meubelier, jasa tukang jahit, penambang pasir dan pedagang sembako. Sedangkan 90 persen UMKM di Kabupaten Konawe Utara saat ini belum memiliki izin usaha. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata UMKM yang digeluti masih bersifat tradisional dan informal. Dengan demikian UMKM akan menemui kendala dalam perolehan bantuan dan pinjaman baik dari pemerintah maupun dari lembaga keuangan. 2. Aspek Permodalan UMKM Aspek permodalan yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi jumlah dan sumber permodalan serta masalah yang dirasakan oleh UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Gambaran mengenai aspek permodalan UKM di Kabupaten Konawe Utara diketahui bahwa terjadi peningkatan kepemilikan modal bagi para responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya jumlah responden yang memiliki modal sekarang 5 s/d 10 juta dan diatas 10 juta rupiah. Kemudian, berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai cukup atau tidaknya modal yang dimiliki saat ini untuk digunakan dalam mengelola usaha, 95 persen responden menjawab belum mencukupi.Sumber modal responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara sebagian besar adalah modal sendiri sebanyak 63,33 persen dan modal pinjaman sebanyak 25 persen. Selebihnya, sumber modal responden sebanyak 11,66 persen adalah modal hibah/bantuan. Adapun Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 84 sumber dari modal pinjaman responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara sebagian besar bersumber dari pemodal/pembeli hasil produksi, orang tua atau sanak keluarga dan hanya sedikit responden UKM di Kabupaten Konawe Utara yang memperoleh pinjaman modal dari lembaga perbankan ataupun pemerintah. Terdapat berbagai alasan pelaku UMKM tidak meminjam modal lembaga perbankan. Gambaran mengenai alasan responden UMKM tidak meminjam modal di bank di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Gambaran Mengenai Alasan Responden UMKM Tidak Meminjam Modal pada Bank No. Alasan Tidak butuh pinjaman modal di bank Persyaratan kredit bank sulit dipenuhi Tidak tahu caranya Tidak berani ambil resiko (takut tidak mampu membayar pinjaman modal) Total Sumber: Data Primer 2011, diolah 1. 2. 3. 4. Jumlah (Orang) 14 32 10 4 Persentase (%) 23,33 53,33 16,66 6,66 60 100 Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa alasan responden UMKM tidak melakukan peminjaman pada lembaga perbankan umumnya dikarenakan persyaratan kredit yang sulit dipenuhi sebanyak 53,33 persen, kemudian alasan tidak butuh pinjaman modal di bank sebanyak 23,33 persen dan respoden yang tidak tahu caranya untuk meminjam dibank sebanyak 16,66 persen, selebihnya responden UMKM yang tidak melakukan pinjaman karena takut tidak mampu membayar pinjaman sebanyak 6,66 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara umumnya masih memiliki keterbatasan dalam memperoleh modal pinjaman di lembaga perbankan. Namun terdapat pula responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara membutuhkan tambahan modal usahanya antara lain karena ingin memperluas tempat usaha sebanyak 36,66 persen, kemudian alasan menambah jumlah alat produksi/jualan sebanyak 33,33 persen dan selebihnya karena responden UMKM ingin menambah jumlah produksi/jualan. Hal ini mengindikasikan bahwa responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara pada umumnya memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan usaha yang digelutinya. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 85 3. Aspek Produksi UMKM Aspek produksi yang dimaksud meliputi sumber perolehan bahan baku atau barang dagangan untuk usaha perdagangan, sifat ketersediaan bahan baku, sumber perolehan tenaga kerja serta pertimbangan responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara dalam penentuan jumlah produksi yang dihasilkan. Hasil penelitian diketahui bahwa sumber bahan baku (input) produksi UMKM yang digeluti responden berasal dari luar kecamatan sebanyak 33,33 persen terutama pada usaha industri meubelier dan usaha jual beli hasil perkebunan. Kemudian sebanyak 30 persen responden UMKM memperoleh bahan baku dari masyarakat setempat atau dari lokasi produksi itu sendiri terutama pada usaha industri batu merah, industri air minum galon, penjual ikan, pengolahan batu suplit, penjual ikan dan tambang pasir. Untuk perolehan bahan baku produksi dari luar desa sebanyak 10 persen. Selanjutnya sebanyak 26,66 persen responden UMKM memperoleh sumber bahan baku dari luar kabupaten (dari Kota Kendari) terutama pada usaha pedagang sembako, usaha lemari etalase, penjual kain, penjualan ayam potong dan jasa bengkel motor. Dengan demikian responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara umumnya merupakan usaha yang masih memiliki tingkat ketergantungan bahan baku yang sangat tinggi terhadap pemasok yang berasal luar lokasi tempat usaha/produksinya. Berdasarkan sifat ketersediaan bahan baku, responden UMKM memberikan persepsi yang berbeda-beda berdasarkan yang mereka alami dalam menjalankan usahanya. Dari aspek jumlah ketersediaan bahan baku, responden UMKM umumnya mengaku ketersediaannya tidak cukup yakni sebanyak 53,33 persen, sedangkan sebanyak 46,66 persen mengatakan jumlah ketersediaan bahan bakunya sudah cukup. Kemudian dari aspek kualitas, secara umum responden UMKM mengaku bahwa bahan baku (input) yang mereka gunakan memiliki kualitas sesuai dengan mereka butuhkan. Adapun dari aspek kontinuitas, sebanyak 60 persen responden UMKM mengaku kadang-kadang mengalami keterlambatan/tidak lancar dan sebanyak 40 persen mengaku ketersediaannya lancar/selalu ada. Hal ini mengindikasikan bahwa ketersediaan bahan baku usaha yang digeluti responden terutama dari aspek jumlah dan kontinuitas masih memiliki kendala sehingga berdampak pada hasil produksi/jualan yang belum maksimal.Gambaran mengenai asal tenaga kerja yang dimiliki oleh responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara diketahui bahwa pada dasarnya usaha yang dikelola oleh responden masih bersifat usaha keluarga. Hal ini didasarkan atas banyaknya responden yang memberikan tanggapan bahwa tenaga kerja yang mereka miliki adalah sanak keluarga sendiri (anak, mantu, sepupu, paman, bibi). Kemudian, secara umum Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 86 dapat dikatakan bahwa UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih memiliki supply tenaga kerja yang cukup. Hal ini dapat dilihat dari sangat sedikitnya responden yang mengimpor tenaga kerja dari luar kabupaten yakni hanya 8,33 persen .Terkait dengan cara penentuan jumlah produksi, responden UMKM umumnya berdasarkan pertimbangan atas sumberdaya yang dimiliki/sesuai kemampuan produksi (66,66 persen), sedangkan sebanyak 23,33 persen dilakukan berdasarkan jumlah penjualan sebelumnya/sesuai kebiasaan dan sebanyak 10 persen responden UMKM menentukan jumlah produksi yang dihasilkan berdasarkan jumlah permintaan/pesanan pembelinya. 4. Aspek Pemasaran UMKM Aspek pemasaran yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi gambaran mengenai lokasi dan cara pemasaran hasil produksi, kondisi permintaan jumlah produksi yang dihasilkan serta pertimbangan responden UMKM dalam penentuan harga jualnya. Hasil penelitian diketahui bahwa lokasi pemasaran hasil produksi responden UMKM pada umumnya berada didalam wilayah Kabupaten Konawe Utara yakni sebanyak 38,33 persen dalam desa/kelurahan tempat usahanya, kemudian sebanyak 23,33 persen dipasarkan diluar desa/kelurahan responden dan sebanyak 25 persen produksinya dipasarkan diluar kecamatan. Sedangkan hasil produksi yang dipasarkan ke luar kabupaten Konawe Utara yakni Kota Kendari sebanyak 13,33 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar produk yang dihasilkan oleh responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih dijual pada konsumen akhir dan pasar lokal. Sedangkan pemasaran produk ke luar Kabupaten Konawe Utara dijual ke pedagang pengumpul di Kota Kendari. Adapun cara pemasaran responden UMKM bervariasi tergantung dari jenis produk yang dihasilkan. Sebagian besar responden memasarkan produknya dengan cara menjual langsung dilokasi usaha. Selebihnya menggunakan sistem kontrak penjulan dengan pembeli sebanyak 18,33 persen, kemudian diantar ke tempat pembeli sebanyak 16,66 persen responden dan keliling ke pasar-pasar lokal sebanyak 13,33 persen responden. Dengan demikian cara pemasaran produk yang dilakukan responden UMKM Kabupaten Konawe Utara umumnya langsung ke konsumen akhir sekalipun juga ada yang dijual ke pedagang pengumpul yang ada di Kota Kendari. Perbandingan jumlah produksi dan permintaan produk yang dihasilkan responden UMKM berbeda-beda. Sebanyak 56,66 persen responden UMKM mengaku bahwa permintaan atas produk lebih banyak dibandingkan dengan jumlah produksi, kemudian sebanyak 33,33 persen responden mengaku bahwa produksi yang dihasilkan lebih banyak Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 87 dibandingkan dengan jumlah permintaan. Selebihnya sebanyak 10 persen responden UMKM mengaku memiliki produksi sesuai dengan jumlah permintaanya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UMKM di Kabupaten Konawe Utara berpeluang untuk dikembangkan karena memiki prospek pasar/permintaan yang lebih besar. Cara penentuan harga penjualan produk responden UMKM juga bervariasi. Sebagian besar responden UMKM menentukan harga penjualannya sendiri yang mencapai 53,33 persen yang berarti responden adalah penentu harga (price setter). Kemudian sebanyak 25 persen harga penjualan produk responden berdasarkan kesepakatan dengan pembeli. Adapun penentuan harga yang ditentukan oleh pembeli sebanyak 21,66 persen. Harga yang ditentukan oleh pembeli umumnya adalah pihak yang menjadi pemodal responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara yang berarti responden adalah penerima harga (price taker). 5. Permasalahan yang Dihadapi UMKM Selain memiliki berbagai kekuatan dan peluang, keberadaan UMKM juga menghadapi berbagai masalah baik dalam aspek permodalan, aspek produksi maupun dalam aspek pemasaran. Dalam pembahasan ini akan diuraikan berbagai masalah yang dihadapi responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara. a. Masalah Permodalan Gambaran mengenai masalah permodalan yang dihadapi responden pelaku UMKM Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Masalah Permodalan Yang Dihadapi UMKM No. Masalah yang Dihadapi Modal sendiri yang masih terbatas Terbatasnya lembaga keuangan Tidak memiliki agunan kredit Bunga pinjaman yang tinggi Kurangnya bantuan modal usaha dari pemerintah Total Sumber : Data primer 2011, diolah 1. 2. 3. 4. 5. Jumlah (Unit) 32 8 6 5 9 Persentase (%) 53,33 13,33 10,00 8,33 15,00 60 100 Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa terdapat berbagai masalah permodalan yang dihadapi responden UMKM di Kabupaten Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 88 Konawe Utara. Sebagian besar masalah yang dihadapi responden adalah keterbatasan modal sendiri untuk mengembangkan usahanya yang mencapai 53,33 persen. Selain itu sebanyak 15 persen mengaku bahwa masih sangat kurang perhatian pemerintah dalam bantuan modal usaha terutama pada bantuan lunak ataupun hibah. Masalah lainnya yang dialami responden yakni sebanyak 13,33 persen mengakui bahwa masih terbatasnya lembaga keuangan untuk meminjam modal, baik jumlah lembaga maupun lokasi yang jauh. Adapun masalah lainnya yakni tidak memiliki agunan kredit/pinjaman sebanyak 10 persen responden serta bunga pinjaman yang tinggi sebanyak 8,33 persen dirasakan oleh responden UMKM Kabupaten Konawe Utara. b. Masalah Produksi Selain masalah permodalan, responden juga memilki masalah produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 40 persen responden menghadapi masalah ketergantungan jumlah produksinya terhadap cuaca/iklim, kemudian sebanyak 20 persen responden mengaku bahwa ketersediaan energi listrik sangat terbatas sehingga juga menganggu operasional usahanya. Selanjutnya terdapat 15 persen mengaku memiliki masalah dalam hal keterbatasan sarana produksi. Masalah lain yakni masing-masing sebanyak 10 persen responden UMKM mengaku memiliki pasokan bahan baku yang terbatas karena adanya saingan usaha serta output yang dihasilkan tidak tahan lama. Selebihnya sebanyak 5 persen adalah responden yang mengaku adanya gangguan hama produksi sehingga berdampak pada jumlah hasil produksi yang rendah. c. Masalah Pemasaran Adapun masalah pemasaran yang dihadapi responden adalah terkait dengan harga produk yang tidak menentu (43,33 persen), infrastruktur jalan yang masih rusak dirasakan oleh responden UMKM sebanyak 28,33 persen, adanya keterbatasan sarana dan tenaga pemasaran yang dimiliki responden sebanyak 18,33 persen serta masalah transportasi yang sulit dirasakan oleh responden UMKM sebanyak 10 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar masalah pemasaran yang dihadapi responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara dikarenakan akses pasar yang masih sulit. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 89 6. Jenis Pembinaan/Bantuan yang Pernah Diperoleh Pembinaan dan bantuan bagi UMKM merupakan faktor yang sangat penting untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh pelaku UMKM. Adapun jenis pembinaan dan bantuan yang pernah diperoleh UMKM di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis Pembinaan/Bantuan yang Diperoleh No. Jenis Pembinaan/Bantuan 1. 2. 3. 4. Penyuluhan/pelatihan Pendampingan/pembinaan usaha Bantuan modal Tidak pernah ada pembinaan/bantuan Total Sumber : Data primer 2011, diolah Jumlah (Unit) 3 7 50 60 Persentase (%) 5,00 11,66 83,34 100 Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden UMKM mengaku tidak pernah ada pembinaan/bantuan yang diperoleh. Hanya 11,66 persen responden yang pernah memperoleh bantuan modal usaha dan sebanyak 5 persen responden pernah memperoleh penyuluhan/pelatihan yang terkait dengan usahanya. 7. Harapan Terhadap Pemerintah Gambaran mengenai harapan UMKM terhadap pemerintah dalam rangka pengembangan usaha di Kabupaten Konawe Utara dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Gambaran Mengenai Harapan Pelaku UMKM No. 1. 2. Harapan Responden Perlunya bantuan tambahan modal usaha Perbaikan infrastruktur jalan dan ketersediaan energi listrik 3. Perlunya promosi UMKM 4. Perlunya pembinaan/pelatihan usaha 5. Kemudahan pengurusan izin usaha Total Sumber : Data primer 2011, diolah Jumlah (orang) 32 9 Persentase (%) 53,33 15,00 4 12 3 60 6,66 20,00 5,00 100 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 90 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa berbagai harapan responden UMKM terhadap pemerintah dalam rangka pengembangan usahanya. Sebagian besar responden berharap kepada pemerintah untuk diberikan bantuan tambahan modal usaha (53,33 persen) kemudian sebanyak 20 persen responden UMKM berharap adanya pembinaan/pelatihan usaha terutama yang terkait dengan manajemen permodalan, peningkatan produksi maupun pemasaran produk. Selain itu sebanyak 15 persen responden mempunyai harapan terhadap pemerintah terkait dengan perbaikan infrastruktur jalan dan ketersediaan energi listrik. Sebanyak 6,66 persen responden berharap adanya promosi produk UMKM dan 5 persen responden memiliki harapan dalam hal kemudahan dalam pengurusan izin usaha. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa responden UMKM di Kabupaten Konawe Utara masih memiliki keinginan yang kuat untuk mengembangkan usaha yang digelutinya. C. KABUPATEN KONAWE UTARA 1. Strategi Pengembangan UMKM Berkaitan dengan masalah yang masalah yang telah dikemukakan maka dapat dirumuskan strategi pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara, sebagai berikut: a. Pengembangan jenis usaha yang sesuai dengan potensi daerah setempat serta penguatan modal usaha. b. Peningkatan kapasitas SDM pelaku UMKM yang profesional dan menguntungkan dalam bentuk pelatihan, pendidikan, magang dan studi banding. c. Membangun kemitraan antara UMKM dengan perbankan dan pengusaha besar. d. Menciptakan iklim usaha yang kondusif, misalnya perbaikan di bidang birokrasi, pembukaan dan perluasan akses terhadap sumber daya keuangan maupun informasi, dan perbaikan infrastruktur. e. Mendorong pengembangan beragam insentif dan kemudahan lainnya serta promosi produk yang dihasilkan UMKM. f. Pembangunan, perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana yang dapat mendukung usaha bagi pelaku ekonomi skala mikro, kecil dan menengah yang merata pada semua wilayah di Kabupaten Konawe Utara. 2. Program Pengembangan UMKM Rencana Induk (Master Plan) pengembangan UMKM di Kabupaten Konawe Utara dilaksanakan melalui 6 (enam) program pokok yang meliputi: Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 91 a. b. c. d. e. Program Pemberdayaan Lembaga Usaha Ekonomi masyarakat Desa/ Kelurahan Program ini ditujukan untuk menumbuhkembangkan lembaga ekonomi masyarakat desa/kelurahan berdasarkan potensi yang dimiliki, sehingga dapat melaksanakan dan membiayai kegiatan usahanya. Program Penciptaan Lingkungan Usaha Yang Kondusif. Program ini ditujukan bagi pengembangan UMKM se-Kabupaten Konawe Utara. Sasaran program ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian berusaha bagi UMKM. Beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah, yaitu: (1) dukungan informasi guna menciptakan peluang usaha yang luas; (2) perlindungan UMKM; (3) dukungan dana; antara UMKM dengan BUMD. Program Pengembangan Fasilitasi Pembiayaan Program ini ditujukan untuk meningkatkan akses UMKM terhadap pembiayaan. Sasarannya adalah pemberian penjaminan kredit penyaluran dana bergulir dan fasilitasi dengan dana Lembaga Perbankan. Program Pengembangan Kewirausahaan Dan Sumber Daya Manusia UMKM Program ini ditujukan untuk meningkatkan kewirausahaan pelaku UMKM dan menumbuhkan wirausaha baru yang berbasis pengetahuan dan teknologi. Sasaran program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan wirausaha khususnya wirausaha baru. Program Pengembangan Infrastruktur Fisik dan Ekonomi Program ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan fasilitasfasilitas infrastruktur fisik dan ekonomi di Kabupaten Konawe Utara agar arus perputaran roda perekonomian dapat berjalan lancar. Infrastruktur dasar yang dimaksud adalah; irigasi, jalan, jembatan, pasar, perbankan, dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya. Adapun secara praktis peran pemerintah daerah yang dapat meningkatkan pertumbuhan UMKM dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a. Pilih UMKM yang menjadi potensi masing-masing desa atau kecamatan b. UMKM terpilih membuat contoh/sampel produk yang dibuat/prototype. c. Mencari kekurangan/kelebihan dari setiap prototype dengan bantuan tenaga ahli. d. Mencari pasar untuk produk tersebut, melalui pameran, internet, dan media promosi lainnya. e. Bila ada pesanan dan sudah pasti, UMKM tersebut dapat dibantu oleh bank penjamin dengan dasar surat pesanan. f. Diperlukan tenaga pendamping yang bertugas untuk mempersiapkan, UMKM siap mandiri, UMKM berbasis kualitas dan UMKM yang siap melakukan perbaikan terus-menerus. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 92 DAFTAR PUSTAKA BPS. 2010. Kabupaten Konawe Utara dalam Angka. BPS Kabupaten Konawe Utara. Djojohadikusumo, Soemitro. 2001. Ekonomi Pembangunan., Edisi Kedua. LPFE-UI Jakarta Hasibuan, Nurimansyah. 1993. Ekonomi Industri. LP3ES. Jakarta Jhingan, ML., 1999, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Raja Grafindo Persada, Jakarta Kotler, Philip. 2004. Manajemen Pemasaran, Edisi Terjemahan. PT . Perhalindo Persada. Jakarta Kuncoro, Mudrajad. 1997. Ekonomi Pembangunan, Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Pertama. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Partadiredja, 2000. Konsep Pendapatan. Liberty. Jakarta. Lincolin Arsyad, 1999, Pengantar Perencanaan clan Pembangunan Ekonomi Daerah, BPFE-UGM, Yogyakarta Soedarsono, 2002. Teori Ekonomi, Edisi Revisi. BPFE-UGM Yogyakarta. Safi‟i, M. 2008. Paradigma Baru Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Averroes Press. Malang Todaro, 1994., Development Economic, Fifth edition, Longman Singapore Ltd. Wismuadji, 2008. Manajemen Keuangan Untuk Usaha Kecil. Andi. Yogyakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 93 Volume VIII No Tahun 4, Desember 2011 hal 94-105 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu ANALISIS INVESTASI LOGAM MULIA DI INDONESIA1) Manat Rahim2), Heppi Millia3), dan Leny Febrianti ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan return dari investasi logam mulia dengan valuta asing dan deposito rupiah di Indonesia. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder tahun 19902011. Data yang ada dianalisis melalui analisis kuantitatif deskriptif; dan dengan metode komparatif antara nilai investasi akhir logam mulia, deposito valas dan deposito rupiah. Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa: sebelum krisis moneter di Indonesia, urutan investasi yang lebih menguntungkan yaitu; deposito rupiah, deposito USD, dan logam mulia. Sejak krisis moneter di Indonesia sampai dengan krisis Global, urutan investasi yang lebih menguntungkan yaitu: deposito USD, logam mulia dan deposito rupiah. Sedangkan sejak krisis global hingga 2011, urutan investasi yang lebih menguntungkan adalah: logam mulia, deposito USD dan deposito rupiah. Kata kunci: logam mulia, suku bunga deposito, deposito rupiah I. deposito valuta asing, PENDAHULUAN Investasi adalah aktifitas menanamkan sejumlah uang atau membeli suatu aset dengan maksud memperoleh keuntungan untuk periode yang akan datang. Jenis investasi yang dapat memberi peluang keuntungan lebih besar biasanya diikuti dengan risiko kerugian yang lebih besar pula. Saat ini inflasi terus meningkat dan situasi ekonomi yang tidak menentu serta nilai tukar rupiah yang fluktuatif, baik karena pengaruh eksternal maupun internal, akumulasi keadaan tersebut mendorong para pemilik modal untuk lebih selektif dalam memutuskan jenis investasi yang akan mereka tempuh. ___________________________________________ 1) Hasil Penelitian 2) 3) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 dan Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 94 Logam mulia atau emas dapat dijadkan pilihan investasi yang menarik, terutama emas batangan dan koin, sifatnya yang mudah diuangkan jika sewaktu-waktu diperlukan, dan nilainya cenderung lebih stabil, serta tidak memiliki efek inflasi. Selain itu, harga emas setiap tahun meningkat serta biaya pemeliharaan dan penyimpanan relatif kecil. Investasi emas menawarkan cara yang sangat baik bagi investor untuk menyimpan kekayaan saat ekonomi sulit karena sifatnya yang stabil dengan harga yang cenderung terus meningkat dengan resiko yang hampir tidak ada. Sedangkan menyimpan kekayaan dalam deposito dengan tingkat bunga yang relatif kecil dari inflasi menghasilkan nilai tambah yang negatif. Pada sisi lain, menyimpan kekayaan dalam valuta asing sangat berisiko dengan fluktuasi kurs. Jika valuta asing terapresiasi, secara otomatis harga emas naik. Permintaan emas akan meningkat karena sifatnya tidak teroksidasi dan tidak rusak meskipun terbakar, sehingga logam mulia banyak digunakan sebagai komponen industri, terutama yang menampilkan kemewahan dan prestise lainnya. Apapun keputusan jenis investasi tersebut, baik pada logam mulia, valuta asing, maupun deposito rupiah , sangat tergantung dari berapa besarnya peningkatan nilai dan risiko kerugian dari masing-masing aset tersebut. Harapan untuk memperoleh keuntungan dari peningkatan nilai investasi yang ditanamkan dan kecemasan akan mengalami kerugan akibat penurunan nilai investasi tersebut akhirnya melatarbelakangi pengujian secara komparatif antara investasi logam mulia, tabungan valuta asing dan deposito rupiah ini. Sehingga diharapkan dapat memberikan informasi urutan peluang investasi yang lebih tinggi returnnya dan memiliki daya tarik lebih besar dari jenis investasi lainnya. II. TINJAUAN PUSTAKA Logam mulia merupakan salah satu alternatif investasi yang cenderung aman. Menurut Palaloi (2009), ada tiga indikator penting berinvestasi dalam bentuk logam mulia atau emas: 1. 2. Berdasarkan analisis yang dilakukan, harga emas selalu mengikuti naik turunnya mata uang dolar AS. Jika mata uang dolar AS naik terhadap rupiah, harga emas juga cenderung meningkat; Peningkatan inflasi akibat meningkatnya konsumsi masyarakat juga menyebabkan harga emas naik. Berapapun tingkat inflasi, emas akan mengikutinya. Bahkan sejarah membuktikan bahwa harga emas akan selalu lebih tinggi dari nlai inflasi; dan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 95 3. Dalam situasi perekonomin yang belum stabil dan tidak menggembirakan, maka investasi emas merupakan solusi baik untuk menciptakan capital gain, maupun mempertahankan nilai. Uang yang disimpan di bank tentu akan mengalami penyusutan. Nilai mata uang cenderung akan turun dimasa yang akan datang karena adanya inflasi dan perubahan kurs. Karena emas dipatok dalam USD (dolar AS) maka pergerakan USD yang menguat akan menyebabkan harga emas dalam rupiah menguat. Sehingga investasi dalam bentuk emas batangan lebih stabil (Robert Ang, 1997). Ada dua penyebab jika USD melemah maka harga emas cenderung menguat. Pertama, karena jatuhnya mata uang USD akan membuat harga emas lebih murah dalam mata uang lain, sehingga berakhir pada peningkatan permintaan akan emas. Permintaan emas ini akan menguatkan nilai emas. Kedua, apabila nilai USD melemah, maka akan mendorong pihak investor untuk mencari instrumen investasi lain di luar USD. Dalam hal ini emas merupakan salah satu investasi yang paling diminati dunia. Permintaan akan emaspun meningkat, sehingga mendorong kenaikan harganya. Graham Smith yang meneliti pengaruh harga emas dunia terhadap indeks harga saham di Amerika Serikat untuk periode Januari 1999 sampai Oktober 2001, menemukan bahwa harga emas dunia memiliki hubungan negatif dengan indeks harga saham. Hasil penelitian Sri Pangestuti (2010) yang meneliti return emas beserta faktor yang mempengaruhinya untuk periode 1995-2010, menemukan bahwa dalam jangka panjang, emas akan lebih menguntungkan daripada investasi saham LQ45 karena daya belinya lebih baik. Pada sisi lain, Erwin (2009) yang meneliti investasi emas dan investasi kontrak berjangka Olein, menemukan bahwa tingkat pengembalian komoditi Olein lebih kecil dibandingkan komoditi emas. Tingkat pengembalian komoditi Olein sebesar -2,20 persen; sementara tingkat pengembalian komoditi emas sebesar 18,71 persen. Sedangkan tingkat risiko portofolio komoditi Olein sebesar 105,71 persen. Angka ini jauh lebih besar dibanding risiko portofolio komoditi emas yang bernlai 51,64 persen. III. METODE PENELITIAN Jenis data yang digunakan dalam peneltian ini adalah data sekunder, time series dari tahun 1990-2011 yang meliputi: data harga emas USD/troy once, data kurs dolar US terhadap rupiah, harga emas dalam rupiah per gram, dan suku bunga deposito. Metode analisis yang digunakan adalah kuantitatif desktiptif yaitu metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat dan menguraikan obyek penelitian didasarkan pada fakta yang terjadi. Pada Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 96 penelitian ini digunakan pula metode komparatif, yaitu metode yang membandingkan suatu fenomena (variabel) dengan fenomena (variabel) lain. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deposito Valuta Asing Deposito valuta asing dalam bentuk USD (US dolar) merupakan alternatif investasi yang diminati oleh masyarakat untuk memperoleh return yang menjanjikan, karena adanya suku bunga yang biasanya lebih besar dari suku bunga tabungan dan appresiasi USD terhadap rupiah. Adapun perkembangan USD terhadap rupiah disajikan sebagaimana Tabel 1. Tabel 1 Perkembangan USD Terhadap Rupiah Tahun 1990-2011 Tahun Nilai Kurs Pertumbuhan (%) Tahun Nulai Kurs Pertumbuhan (%) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 1.901 1.992 2.308 2.110 2.200 2.308 2.383 3.989 11.591 7.100 9.595 4,79 15,86 -8,58 4,27 4,91 3,25 67,39 190,57 -38,75 35,14 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 10.255 9.049 10.260 10.260 9.830 9.200 9.400 9.666 10.300 8.920 8.900 6,88 -11,76 13,38 0,03 -4,22 -6,41 2,17 2,82 6,55 -13,39 -0,22 Sumber: Bank Indonesia , diolah Perkembangan nilai kurs USD terhadap rupiah secara rata-rata adalah 13,08 persen per tahun, Fluktuasi kurs dari tahun ke tahun sebagaimana Tabel 1 tampak sangat tajam, khususnya tahun 1997 dan 1998 saat terjadi krisis, yang berdampak pada depresiasi nilai rupiah terhadap USD sebesar 67,39 persen untuk tahun 1997 dan 190,57 persen untuk tahun 1998. Untuk periode selanjutnya pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan penstabilan nilai tukar, sehinggi sampai dengan tahun 2011 fluktuas kurs tidak terlalu tajam. Para investor dapat memilih alternatif investasi dalam deposito valuta asing, misalnya USD. Keuntungan yang dapat diperoleh adalah kenaikan nilai dolar ditambah dengan bunga deposito. Misalnya dari tahun 1990-2011, seorang deposan menginvestasikan dana 10 juta rupiah pada awal Januari Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 97 1990 dalam USD. Setelah dikonversi dengan kurs pada saat itu, deposito valas investor bernilai 10.000.000/1.901 = 5.260,4. Setelah didepositokan selama 21 tahun (1990-2011) dengan suku bunga deposito sebagaimana Tabel 2, maka dana investor setelah dikurangi pajak pendapatan 15 persen, akan menghasilkan dana dalam bentuk dolar sebesar 15.505,48. Adapun perubahan dana investasi deposan selama 21 tahun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Suku Bunga Deposito Valas dan Nilai Investasi Akhir Desember Tahun 1990-2011 Suku Bunga Nilai Investasi Deposito Valas (USD) (%) 14,00 5.996,84 1990 13,20 6.440,80 1991 8,75 6.919,83 1992 8,06 6.405,17 1993 7,12 6.792,81 1994 7,40 7.220,08 1995 7,55 7.751,05 1996 8,13 8.286.69 1997 15,0 9.343,24 1998 12,0 10.296,25 1999 5,03 10.891,83 2000 7,00 11.768,68 2001 7,02 12.470,91 2002 3,12 12.802,37 2003 3,00 13.128,83 2004 3,75 13.547,31 2005 4,00 14.007,92 2006 3,25 14.394,89 2007 3,08 14.771,74 2008 2,12 15.037,92 2009 1,86 15.275,66 2010 1,77 15.505,48 2011 Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah) Tahun Berdasarkan Tabel 2, dengan memperhitungkan suku bunga deposito USD yang berlaku dengan perhitungan bunga anuited dan pajak pendapatan 15 persen, maka pada tahun 2011 dana investor tersebut menjadi 15.505,48 dolar. Dan jika dokonversikan ke dalam rupiah menjadi 15.505,48 X 8.900 = 137.998.772 rupiah. Peningkatn dana investor melalui investasi deposito dolar bagus dan tidak terpengaruh oleh gejolak kurs, peningkatan nilai cukup stabil. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 98 B. Investasi Deposito Rupiah Deposito adalah sejenis produk investasi atau tabungan yang ditawarkan oleh bank kepada masyarakat. Deposito merupakan produk simpanan di bank yang penyetoran maupun penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu saja atau sesuai dengan jatuh temponya, sehingga deposito dikenal juga sebagai tabungan berjangka. Sebagaimana tabungan yang sudah memasyarakat deposito juga banyak dipilih orang sebagai alternatif investasi dalam menyimpan uang, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Adapun pengembalian investasi deposito rupiah dengan suku bunga yang berlaku selama tahun 1990-2011 dengan deposito awal sebesar 10 juta rupiah pada Januari 1990, disajikan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Suku Bunga DepositoRupiah dan Nilai Investasi Akhir Desember Tahun 1990-2011 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Suku Bunga Deposito Rupiah (%) 20,06 21,03 15,07 15,06 12,39 15,83 16,09 16,24 24,72 21,05 11,71 14,52 14,42 9,63 6,20 7,05 9,70 7,28 6,93 6,75 5,57 5,50 Nilai Investasi (Rupiah) 11.705.100 13.797.445 15.563.656 15.915.239 16.211.024 18.392.298 20.907.720 23.767.164 28.763.120 34.817.757 38.283.342 42.975.731 48.243.266 52.192.218 54.942.748 58.235.191 63.036.682 66.937.391 70.880.338 74.947.097 79.747.833 83.476.044 Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 99 Berdasarkan Tabel 3, perkembangan suku bunga deposito rupiah di Indonesia periode 1990-2011 cenderung menurun. Penurunan suku bunga tersebut juga terkait dengan liberalisasi perdagangan dan investasi internasional, guna meningkatkan daya saing perbankan swasta nasional terhadap bank asing yang beroperasi di Indonesia. Liberalisasi perdagangan juga menuntut daya saing produksi yang tinggi, jika tingkat bunga tinggi, tentu biaya produksi juga akan tinggi sehingga daya saing komoditas Indonesia akan rendah. Meskipun suku bunga deposito Indonesia lebih tinggi dari suku bunga deposito internasional, yaitu dibawah 5 persen, namun deposito dolar tetap lebih menarik daripada deposito rupiah. Sebab deposito rupiah cenderung terdepresiasi terhadap mata uang asing, terutama dolar AS. Selanjutnya, sebagaimana kasus yang disajikan pada Tabel 3, tampak bahwa dengan modal awal 10 juta rupiah, setelah 21 tahun dan perhitungan bunga annuited setiap tahun dan pajak penghasilan 15 persen, maka diperoleh hasil pada desember 2011 adalah 83.476.044 rupiah. Sehngga tampak bahwa setelah 21 tahun, dana investasi pada deposito menjadi 8 kali lipat lebih. Namun jika memperhitungkan inflasi, nilai deposito tersebut lebih kecil. Karena dari tahun 1990-2011 harga barang telah meningkat 10 kali lipat, untuk semua kelompok jenis barang. Berarti, jika deposito rupiah dijadikan tujuan investasi jangka panjang, maka tidak akan menguntungkan investor. Namun dalam jangka pendek mungkin lebih baik karena aman dan dapat dimanfaatkan sebagai jaminan untuk memperoleh fasilitas kredit investasi yang nilainya jauh lebih besar dari nilai deposito pada bank yang sama. Seterusnya dapat meningkatkan kredibilitas deposan tersebut. C. Investasi Logam Mulia Emas telah terbukti sebagai sarana penyimpan kekayaan yang tahan terhadap inflasi. Emas memiliki korelasi dengan instrumen investasi lainnya, misalnya valuta asing. Jika mata uang asing (USD misalnya) mengalami penurunan, maka pemegang mata uang dolar akan beralih membeli emas. Disamping memiliki korelasi dengan valuta asing, emas juga terkait dengan instrumen investasi saham. Jika harga saham turun maka emas dipastkan naik. Hal tersebut disebabkan karena pemegang saham akan melepas sahamnya dan beralih membeli emas. Emas dipercaya sebagai penangkal inflasi dan penyelamat aset. Harga emas biasanya berbanding lurus dengan tingkat inflasi dan perubahan harga mata uang US dolar . Jika inflasi meningkat, US dolar meningkat, dan harga emas akan meningkat pula. Sehngga emas merupakan bentuk investasi yang risikonya paling rendah. Hasil investasi emas akan menghasilkan pengembalian berdasarkan perkembangan harga emas pada tahun yang bersangkutan. Adapun data Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 100 perkembangan harga emas dan petumbuhannya disajikan pada Tabel 4. kurun waktu 1990-2011 Tabel 4 Perkembangan Harga Emas Internasional Tahun 1990-2011 Tahun 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Harga Emas Per Troy Once (USD) 380 365 341 378 385 386 398 368 293 288 281 276 318 376 412 515 570 667 872 1038 1421 1786 Harga Emas Per Gram (Rp) 23.225 23.376 25.303 25.642 27.231 28.642 30.492 43.348 109.189 65.741 86.684 90.998 92.516 124.029 135.944 162.761 168.598 201.578 270.990 343.736 407.520 511.048 Pertumbuhan (%) 0,65 12,52 1,33 6,19 5,18 6,45 42,16 151,88 -39,79 31,85 4,97 1,66 34,06 9,60 19,72 3,58 19,56 34,43 26,84 18,55 25,40 Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah) Tabel 4 menunjukkan bahwa harga emas cenderung meningkat setiap tahun. Dalam kurun waktu 1990-2011, harga emas internasional (USD per troy once) telah meningkan 370 persen dengan rata-rata perkembangan 17,6 persen pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa investasi emas merupakan investasi yang sangat menguntungkan baik pada saat normal maupun saat krisis ekonomi. Sejak tahun 2002-2011 harga emas tidak pernah turun, kenaikan yang sangat tajam dmulai pada tahun 2005 dengan laju kenaikan harga 25 persen kemudian tahun 2008 dengan laju kenakan 30,03 persen. Kemudian tahun 2009 dengan laju kenaikan harga emas 19 persen. Kemudian tahun 2010 laju kenaikan harga emas 36,9 persen. Dan pada tahun 2011 laju kenaikan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 101 harga emas internasional mencapai 25,7 persen. Memperhatikan pola kenaikan harga emas internasional, maka kenaikan ini terkait dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan berkorelasi positif. Jika harga BBM naik, para investor akan memperkirakan terjadi kenaikan inflasi, sehingga mengalihkan investasinya ke emas batangan. Perilaku ini akan meningkatkan permintaan emas dan mendorong kenaikan harga emas tersebut D. Perbandingan Return Investasi Logam Mulia, Deposito Valas, dan Deposito Rupiah Adapun perbedaan yang nyata antara return investasi pada logam mulia atau emas, deposito valuta asing dan deposito berjangka; disajikan sebagaimana Tabel 5. Tabel 5 Perkembangan Nilai Investasi Logam Mulia, Deposito USD dan Deposito Rupiah Akhir Desember Tahun 1990-2011 Tahun Nilai Investasi Emas (Rp) 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 10.039.415 10.065.004 10.894.713 11.040.676 11.724.852 12.332.386 13.344.225 18.664.348 47.013.508 28.306.102 37.232.350 39.181.009 39.834.614 53.403.116 58.533.408 68.452.394 72.593.241 86.793.439 116.680.164 148.002.409 175.465.886 220.041.937 Nilai Investasi Deposito USD (Rp) Nilai Investasi Deposito Rupiah (Rp) 11.400.001 12.830.073 15.970.968 13.514.909 14.944.182 16.663.945 18.470.752 33.055.606 108.297.495 73.103.375 104.507.109 120.687.813 112.849.265 131.352.316 134.741.182 133.170.057 128.872.864 135.311.966 142.783.369 154.890.576 136.258.887 136.258.877 11.705.100 13.797.445 15.563.656 15.915.239 16.211.024 18.392.298 20.907.720 23.767.164 28.763.120 34.817.757 38.283.342 42.975.731 48.243.266 52.192.218 54.942.748 58.235.191 63.036.682 66.937.391 70.880.338 74.947.097 79.747.833 83.476.044 Sumber: Bank Indonesia Cabang Kendari (diolah) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 102 Pada tabel 5 dapat dilihat komparasi perkembangan nilai investasi dari logam mulia, deposito rupiah dan deposito valas. Perkembangan nilai investasi logam mulia mencerminkan kenaikan harga komoditas tersebut. Perkembangan nilai investasi deposito rupiah mencerminkan perkembangan suku bunga deposito rupiah, sedangkan perkembangan investasi deposito valas mencerminkan perkembangan suku bunga deposito USD dan perkembangan nilai tukar USD terhadap rupiah. Pada periode 1990-1996, investasi deposito rupiah yang paling menguntungkan, diikuti investasi deposito valas, sementara investasi emas jauh lebih rendah hasilnya. Pada tahun 1997, dan puncak krisis moneter 1998, nilai tukar USD naik tajam sehingga nilai investasi dolar meningkat sampai 227,62 persen; dan suku bunga deposito USD juga naik dari 8,13 persen tahun 1997 menjadi 15 persn tahun 1998. Karena periode tersebut kebijakan pemerintah menaikkan suku bunga deposito USD dan deposito rupiah dalam upaya pengetatan moneter yang bertujuan untuk mengatasi dampak spekulasi masyarakat terhadap USD. Pada tahun tersebut harga emas di pasaran turun sebesar negatif 20,38 persen. Keadaan ini menyebabkan kenaikan harga emas dalam rupiah hanya 151,89 persen. Sehingga nilai investasi emas hanya naik sebesar kenaikan harga emas dalam negeri yang lebih rendah dari kenaikan deposito USD. Nilai investasi rupiah juga meningkat 21,02 persen sebagai hasil peningkatan suku bunga deposito rupiah sari 16,24 persen tahun 1997 menjadi 24,72 persen pada tahun 1998. Pada tahun 1999 setelah Indonesia mendapat bantuan dari International Monetary Fund (IMF) rupiah kembali menguat; sehingga menstabilkan kondisi ekonomi, politik dan sosial di dalam negri. Hal tersebut berdampak pada penurunan suku bunga. Dari kondisi yang terjadi, harga emas juga mengalami penurunan namun tidak begitu tajam. Mulai tahun 200 hingga akhir 2011, harga emas selalu mengalami peningkatan yang sangat singnifikan untuk setiap tahunnya, Pada tahun 2000 kurs rupiah terdepresiasi terhadap USD sebagai akibat perkembangan politik dan keamanan menjelang sidang tahunan MPR. Untuk menjaga kestabilan ekonomi pemerintah menurunkan suku bunga, hal ini berdampak pada turunnya suku bunga deposito dan return nilai investasi deposito rupiah; namun sebaliknya, investor yang berinvestasi pada deposito valas mengalami keuntungan yang bersar akibat kenaikan kurs dolar terhadap rupiah. Tahun 2003 nilai tukar kembali melemah disebabkan memanasnya suhu politik menjelang Pilpres Tahun 2004. Adanya ketegangan elit politik berdampak pada buruknya harapan publik terhadap pasar. Suku bunga deposito malah mengalami penurunan akibat situasi ekonomi yang kurang kondusif, dan menyebabkan investor mengalihkan investasinya ke logam mulia ataupu valas. Selanjutnya, pada tahun 2008, USD terapresiasi akibat krisis perekonomian global, dan berlangsung sampai tahun 2009. Faktor lain Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 103 yang menyebabkan kurs rupiah terhadap dolar melemah karena adanya penurunan suku bunga BI. Ini semakin membuat harga emas meningkat karena investor beralih membeli emas untuk menyelamatkan aset yang dimiliki; daripada menyimpan uang dalam bentuk deposito yang bunganya cenderung menurun. Tahun 2010-2011 kurs rupiah terhadap dolar cenderung stabil; hal ini berpengaruh terhadap return investasi dalam bentuk deposito valas sebagaimana Tabel 5 relatif rendah. Namun dari sisi lain, harga emas terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2002-2011 harga emas terus naik di pasaran internasional dengan rata-rata kenaikan 18,31 persen; sedangkan di pasar domestik kenaikan harga emas rata-rata 17,5 persen per tahun. Angka ini jauh lebih besar dari suku bunga deposito valas USD dan deposito rupiah. Akibatnya investasi dalam bentuk logam mulia lebih menguntungkan dibanding investsi deposito valas USD dan deposito rupiah. V. SIMPULAN 1. Sebelum krisis moneter di Indonesia, urutan investasi yang lebih menguntungkan adalah sebagai berikut: deposito rupiah, deposito USD, dan logam mulia. Sejak krisis moneter di Indonesia sampai dengan krisis Global, urutan investasi yang lebih menguntungkan adalah: deposito USD, logam mulia dan deposito rupiah Sejak krisi global, urutan investasi yang lebih menguntungkan adalah: logam mula, deposito USD dan deposito rupiah. 2. 3. DAFTAR PUSTAKA Arumdati, Dewi. 2011. Cara kaya Dengan Investasi. Adri, Natar. 2010. Investasi Mudah dan Murah. Penerbit Araska. Yogyakarta Bank Indonesia. 2010. (www.bi.go.id). Diakses Desember 2011 Dornbusch,R., Fscher,S., Starzt,R. 1994. Makro Ekonomi. Edisi Empat. Penerbit: Erlangga. Jakarta Mankiew, Georgy. 2007. Makro Ekonomi. Penerbit: Erlangga. Jakarta Palaloi, Ihsan. 2010. Kemilau Investasi Emas. Penerbit: Erlangga. Jakarta Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi Kelima. Jilid II. Penerbit:Erlangga. Jakarta Sukirno, Sadono . 2007. Makro Ekonomi. Penerbit: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Smith, Graham. 2001. The Price of Gold and Stock Price Indeces for The United States. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 104 Suryadi, Dede. 2009. Kemilau Investasi Emas Tak Pernah Pudar. (http://dedesuryadi.blogspot.com), diakses 28 Desember 2011. Yusanto, Ismail., dkk. 2001. Dinar Emas Solusi Krisis mOneter. Jakarta: PIRAC,SEM Institute Yusdja, Yusmichad. 2004. Tinjauan Teori Perdagangan Internasional dan Keunggulan Komparatif. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 22 Bo. 2, hal 126-141. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 105 Volume Tahun 4, 4 Desember Desember 2011 2011,, hal hal 106-114 1Volume VIII VIII Tahun 15 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu PENGARUH OPTIMISME ADAPTIF TERHADAP PEMBENTUKAN EKSPEKTASI BISNIS DI INDONESIA PERIODE 2003-20091) E r n a w a t i 2) ABSTRAK Penelitian in bertujuan untuk mengetahui pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Obyek penelitian adalah para pebisnis hasil survey Bank Indonesia. Sehingga sumber data yang digunakan merupakan data hasil survey kegiatan dunia usaha (SKDU) Bank Indonesia periode 2003:I-2009:IV. Peralatan analisis yang digunakan yaitu regresi linear sederhana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selain faktor yang tidak dimasukkan dalam model, pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia dipengaruhi secara positif oleh pengalaman situasi bisnis sebelumnya yang ditunjukkan dengan nilai estimasi sebesar 0,488. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tesis Keynes mengenai ekspektasi adaptif juga berlaku di Indonesia; dengan kata lain pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh optimisme adaptif. Kata kunci: optimisme adaptif, pengalaman bisnis, ekspektasi bisnis I. PENDAHULUAN Faktor psikologi telah banyak memainkan peranan dalam pembentukan sikap seseorang, baik dalam menghadapi perilaku bisnis maupun perilaku non bisnis. Faktor psikologi ini serta merta mendorong manusia untuk keluar dari obyektifitas yang dimiliki ke arah subyektifitas sebuah persoalan. Hasilnya, seseorang tidak akan mengandalkan rasionalitasnya dalam pengambilan keputusan, namun lebih bersifat mengandalkan pengalaman masa lalu atau apa yang telah dialami pada periode sebelumnya. Perilaku yang tidak mengandalkan kelengkapan informasi dalam upaya pengambilan keputusan yang rasional, namun lebih mengandalkan pengalaman masa lalu disebut dengan sifat adaptif. Dan jika dikaitkan dalam terminologi ekspektasi, ___________________________________________ 1) Hasil Penelitian Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 2) Dosen Fakultas Ekonomi Universtas Haluoleo 106 maka perilaku ini dapat diseput dengan optimisme adaptif, atau dalam istilah Keynes lebih dikenal dengan adaptive expectation. Di Indonesia, informasi mengenai perilaku adaptif dalam pembentukan ekspektasi bisnis telah disajikan pada survey kegiatan dunia usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank Indonesia secara triwulanan. Untuk periode 2003 hingga 2009 hasil survey tersebut disajikan sebagaimana Gambar 1. Pada Gambar 1 tampak bahwa secara umum pola ekspektasi bisnis searah dengan optimisme adaptif, yang dalam hal ini optimisme adaptif dapat dilihat melalui situasi yang dialami pebisnis tiga bulan sebelumnya. Gambar 1 juga menunjukkan bahwa terdapat beberapa periode ekspektasi bisnis memiliki pola yang bertentangan dengan pengalaman pebisnis periode sebelumnya. Pertentangan paling menonjol ini setidaknya terjadi pada triwulan II tahun 2005 sampai triwulan I tahun 2006. Periode selanjutnya adalah triwulan I tahun 2007 dan Triwulan II tahun 2008. Untuk periode triwulan I tahun 2007 merupakan arah yang paling bertentangan antara situasi bisnis yang dialami dengan ekspektasi yang terbentuk dari seluruh periode yang disajikan. Pada triwulan I tahun 2007 tersebut, situasi bisnis mengalami penurunan dari 24,37 persen pada triwulan IV tahun 2006 menjadi 19,66 persen. Sementara pebisnis yang berekspektasi mengalami kondisi yang lebih baik meningkat dari 36,55 persen pada triwulan IV tahun 2006 menjadi 43,06 persen. Gambar1 Situasi dan Ekspektasi Bisnis di Indonesia Periode 2003-2009 50 40 30 20 10 2003-I 2003-II 2003-III 2003-IV 2004-I 2004-II 2004-III 2004-IV 2005-I 2005-II 2005-III 2005-IV 2006-I 2006-II 2006-III 2006-IV 2007-I 2007-II 2007-III 2007-IV 2008-I 2008-II 2008-III 2008-IV 2009-I 2009-II 2009-III 2009-IV 0 Situasi Bisnis 3 Bulan Terakhir Ekspektasi Bisnis Akan Datang Berdasarkan pola fluktuasi situasi bisnis yang dialami pebisnis tiga bulan sebelumnya dan pembentukan ekspektasi bisnis, maka perlu diteliti lebih lanjut bagaimana pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 107 II. KAJIAN PUSTAKA Kajian-kajian literatur ekonomi yang ada telah menunjukkan dua pertentangan pandangan mengenai pembentukan ekspektasi. Pada satu sisi Keynes dengan pandangan ekspektasi adaptifnya; dan pada sisi lain aliran new klasik-Rational Expectation (ratex) dengan pandangan ekspektasi rasional. Ekspektasi adaptif Keynes menganggap bahwa harga ekspektasi didasarkan pada perilaku masa lalu, bukan ekspektasi mereka mengenai keadaan masa datang. Bagi Keynes ekspektasi adaptif ini merupakan faktor psikologis dalam pengambilan keputusan, yang salah satunya digunakan pada keputusan berinvestasi. Bentuk faktor psikologis ini kemudian diistilahkan oleh Keynes dengan animal spirit. Menurut Keyness, investasi sebagian akan tergantung pada apa yang disebut animal spirit para kapitalis, yaitu faktor psikologi dan spekulatif. Animal spirit dapat diformulasikan sebagai sikap optimisme investor akan kondisi perekonomian. Karenanya animal spirit dinyatakan dalam bentuk α>0. Ketika kapitalis lebih optimis, maka α akan naik, dan turun ketika pesimis. Investasi kapitalis juga dipengaruhi oleh return atau profit dari investasi modal. Jika tingkat profit tinggi, maka investasi modal juga tinggi. Keterkaitan tersebut dinyatakan dalam bentuk βr dengan β>0 (Hahnel, 2002). Bagi Blecker (2010) animal spirit juga merupakan salah satu faktor yang mendorong utilisasi kapasitas dalam perekonomian. Adapun sikap optimisme pengusaha bagi Keynes berasal dari perilaku adaptive expectation (ekspektasi adaptif) mereka, bukan rational expectation (ekspektasi rasional). Pada sisi lain, pandangan ekspektasi rasional dari aliran ratex dibangun berdasarkan beberapa preposisi, antara lain: bahwa orang atau unitunit ekonomi akan membuat perkiraan (ekspektasi); orang menggunakan informasi yang ada padanya secara efisien; orang tidak membuat kesalahankesalahan secara sistematis dalam berekspektasi; dan orang akan bereaksi secara rasional terhadap kebjaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan demi kepentingan pribadi masing-masing (Deliarnov, 2007). Adapun tiga ciri penting ekspektasi rasional, yaitu: pertama, ekspektasi tersebut didasarkan pada informasi yang relatif lengkap mengenai suatu persoalan. Jadi ia tidak saja didasarkan pengalaman masa lalu atau peristiwa yang baru terjadi. Seorang atau sekumpulan pelaku kegiatan ekonomi yang rasional akan memiliki informasi yang lebih lengkap daripada keadaan yang dialaminya masa lalu atau baru saja terjadi. Kedua, berdasarkan informasi yang dimilikinya tersebut, pelaku-pelaku kegiatan ekonomi akan melakukan tindakan yang „rasional‟, yaitu tindakan yang paling banyak memberi keuntungan. Ketiga, pelaku-pelaku ekonomi mengetahui dengan baik implikasi dari berbagai kebijakan yang dijalankan pemerintah (Sadono, 2000). Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 108 III. METODE PENELITIAN Obyek Penelitian Obyek penelitian ini adalah para pebisnis Indonesia, dengan periode analisis 2004:I - 2009:IV hasil survey Bank Pengukuran Variabel Variabel optimisme adaptif diproxi melalui variabel situasi bisnis yang dialami pebisnis tiga bulan sebelumnya. Sedangkan ekspektasi bisnis diukur dengan ekspektasi pebisnis mengenai kondisi ekonomi enam bulan akan datang. Kedua variabel ini diperoleh secara langsung dari hasil survey kegiatan dunia usaha (SKDU) Bank Indonesia. Adapun metodologi yang diterapkan pada SKDU adalah dengan mengumpulkan data melalui wawancara dan atau pengisian kuesioner langsung sekitar 2000 perusahaan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan dipilih secara purposive sampling. Metode perhitungan dilakukan dengan metode saldo bersih (SB- net balance), yakni dengan menghitung selisih antara persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “baik” dengan persentase jumlah responden yang memberikan jawaban “buruk” dan mengabaikan jawaban “cukup”. Misalnya saldo bersih hasil perhitungan pengalaman situasi bisnis 3 bulan terakhir menunjukkan nilai 20 persen, maka dapat diinterpretasikan bahwa jumlah responden yang optimis mengenai situasi perekonomian adalah lebih tinggi 20 persen dibanding responden yang pesimis. Peralatan Analisis Peralatan analisis yang digunakan yaitu persamaan regresi linear sederhana, dengan ekspektasi bisnis merupakan fungsi dari optimisme adaptif. Adapun persamaan regresi diformulasikan dengan: Ekpts = b0 + b1adptv + e keterangan: b0 b1 = konstanta = parameter Adaptf = optimisme adaptif Ekpts = ekspektasi bisnis e = error term Kriteria uji signifikansi ditentukan dengan membandingkan statistik uji t-hitung terhadap nilai kritikal (critical value) taraf .05 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 109 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor psikologis dalam berinvestasi dapat ditelusuri melalui optimisme investor akan situasi bisnis, baik periode lalu maupun periode yang akan datang. Jika ekspektasi dibentuk berdasarkan pengalaman atau pertimbangan kondisi lalu (sebelumnya), maka ekspektasi tersebut dikatakan ekspektasi adaptif. Dan sebaliknya, jika ekspektasi terbentuk dari informasi yang lengkap mengenai kondisi akan datang, maka ekspektasi tersebut bersifat rasional. Dalam hasil survey kegiatan dunia usaha yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia, ekspektasi adaptif dapat ditelusuri melalui variabel persepsi responden akan situasi bisnis selama tiga bulan terakhir. A. Optimisme Adaptif Faktor psikologis, dalam hal ini pandangan adaptif pebisnis mengenai situas bisnis tiga bulan sebelumnya disajikan sebagaimana Tabel 1.Tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas pebisnis memiliki kondisi ekonomi yang cukup baik selama tiga bulan terakhir, yang diindikasikan dengan persentase rata-rata pebisnis dalam kategori ini sebesar 57,85 persen; dan seluruh periode, 2003:I sampai 2009:IV, lebih dari 50 persen pebisnis mengalami kondisi ekonomi yang cukup baik. Pada sisi lain pebisnis yang mengalami kondisi ekonomi yang baik secara rata-rata sebesar 32,29 persen, dengan persentase terendah terjadi pada triwulan I tahun 2009 dengan nilai 27,47 persen; sementara persentase tertinggi dialami pada triwulan IV tahun 2006 dengan nilai 40,22 persen. Selanjutnya Tabel 1 juga menunjukkan bahwa masih terdapat pebisnis yang mengalami kondisi ekonomi yang buruk selama tiga bulan terakhir, dengan persentase terendah dialami pada triwulan II tahun 2004; dan persentase tertinggi sebesar 15,45 persen dialami pada periode triwulan I tahun 2003. Dan secara rata-rata, pebisnis yang mengalami kondisi yang buruk selama periode penelitian yaitu sekitar 10 persen. Tabel 1 Kondisi Bisnis Tiga Bulan Terakhir Baik % Minimum Maksimum Rata-rata 27,47 40,22 32,39 Cukup Buruk Triwulan % Triwulan % Triwulan 2009:I 2004:IV 53,21 61,33 57,85 2008:IV 2005:III 3,06 15,45 9,58 2004:II 2003:I Saldo Bersih 12,76 33,65 22,81 Sumber: SKDU BI, diolah Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 110 Selanjutnya, dengan mempertimbangkan saldo bersih, dalam hal ini merupakan selisih antara pebisnis yang mengalami kondisi yang baik dengan pebisnis yang mengalami kondisi yang buruk; serta mengabaikan jawaban cukup, diperoleh rata-rata untuk seluruh periode sebesar 22,81 persen. Saldo bersih rata-rata sebesar 22,81 menunjukkan bahwa reponden yang mengalami kondisi ekonomi yang baik adalah 22,81 persen lebih banyak dibanding pebisnis yang mengalami kondisi ekonomi yang buruk. B. Ekspektasi Bisnis Ekspektasi dari pebisnis di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas pebisnis berekspektasi bahwa kondisi bisnisnya enam bulan akan datang sama dengan tiga bulan sebelumnya yang diindikasikan dengan persentase rata-rata pebisnis dalam kategori ini sebesar 54,18 persen. Persentase terendah dari responden yang berekspektasi kondisi bisnis akan sama dengan periode sebelumnya terjadi pada triwulan IV tahun 2009 sebesar 47,46 persen. Sementara persentase tertinggi dialami pada triwulan II tahun 2003 sebesar 61,25 persen. Pada sisi lain pebisnis yang berekspektasi bahwa kondisi ekonomi lebih baik secara rata-rata sebesar 41,15 persen, dengan persentase terendah terjadi pada triwulan III tahun 2005 dengan nilai 34,32 persen; sementara persentase tertinggi dialami pada triwulan IV tahun 2009 dengan nilai 49,62 persen. Selanjutnya Tabel 1 juga menunjukkan bahwa terdapat pebisnis yang berekpektasi bahwa kondisi bisnis enam bulan mendatang akan lebih buruk secara rata-rata sebesar 4,5 persen, dengan persentase terendah dialami pada triwulan IV tahun 2009; dan persentase tertinggi sebesar 9,96 persen pada periode triwulan III tahun 2005. Tabel 2 Ekspektasi Bisnis Enam Bulan Akan Datang Lebih Baik Sama Lebih Buruk Saldo % Triwulan % Triwulan % Triwulan Minimum 34,32 2005:III 47,46 2009:IV 2,92 2009:IV 24,36 Maksimum 49,62 2009:IV 61,25 2003:II 9,96 2005:III 46,70 Rata-rata 41,15 54,18 4,5 36,65 Sumber: SKDU BI, diolah Adapun persentase terendah saldo bersih ekspektasi bisnis enam bulan akan datang sebesar 24,36 persen dan saldo bersih tertinggi sebesar 47,70 persen. Secara rata-rata untuk seluruh periode 2003:I sampai 2009:IV saldo Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 111 bersih ekspektasi bisnis sebesar 36,65 persen. Saldo bersih rata-rata sebesar 36,65 persen menunjukkan bahwa pebisnis yang berekspektasi bahwa kondisi bisnis akan lebih baik sebesar 36,65 persen lebih banyak dibanding pebisnis yang berekspektasi kondisi bisnis akan lebih buruk. C. Pengaruh Faktor Optimisme Adaptif Ekspektasi Bisnis terhadap Pembentukan Tabel 3 menyajikan hasil estimasi pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Hasil estimasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Koefisien b0 = 25.353 artinya jika tidak ada perubahan optimisme adaptif maka pebisnis yang berekspektasi kondisi bisnis lebih baik dari periode sebelumnya sebesar 25.353 persen. Koefisien b1 = 0,488 mengandung pengertian bahwa jika optimisme adaptif sebesar 1 persen maka ekspektasi bisnis akan meningkat sebesar 0,488 persen. Dengan kata lain, pengaruh optimisme adaptif terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia adalah positif. Tabel 3 Hasil Estimasi Pengaruh Optimisme Adaptif terhadap Ekspektasi Bisnis Model 1 (Constant) Adptv Unstandardized Coefficients B Std. Error t Sig. 25.353 4.258 5.955 .000 .488 .183 2.674 .013 a. Dependent Variable: Ekpts F = 7.150 ; Sign .013 R = .464a R2 = .216 Adjusted R Square .186 Sumber: Hasil Olah Data, 2011 Untuk mengetahui tingkat signifikan variabel optimisme adaptif terhadap variabel ekspektasi bisnis, maka dilakukan dengan pengujian statistik uji t. Pengujian hipotesis dapat pula dilakukan dengan membandingkan nilai tsign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H1 atau tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H 1 atau terima H0. Berdasarkan Tabel 3 diatas, diperoleh t-hitung optimisme adaptif sebesar 2,674 atau tingkat signifikan sebesar 0,013< dari α = 0,05, maka terima H1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa optimisme adaptif berpengaruh signifikan terhadap pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 112 Hasil uji simultan menunjukkan signifikansi yang sama dengan hasil uji t, karena model penelitian yang disajikan adalah regresi linear sederhana. Hasil temuan ini sejalan dengan pandangan ekspektasi adaptif Keynes menganggap bahwa ekspektasi didasarkan pada perilaku masa lalu. Bagi Keynes ekspektasi adaptif ini merupakan faktor psikologis dalam pengambilan keputusan, yang salah satunya adalah keputusan berinvestasi. Bentuk faktor psikologis ini kemudian diistilahkan oleh Keynes dengan animal spirit Selanjutnya Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi 2 (R ) sebesar 0,216 atau sebesar 21,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan terhadap variabel ekspektasi bisnis dapat dijelaskan oleh variabel optimisme adaptif sebesar 21,6 persen, sedangkan sisanya sebesar 78,4 persen dijelaskan oleh variabel lain yang belum masuk dalam model penelitian. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan 1. Selain faktor yang tidak dimasukkan dalam model, pembentukan ekspektasi bisnis enam bulan akan datang juga dipengaruhi oleh pengalaman situasi bisnis tiga bulan sebelumnya dari para pebisnis. Pengaruh pengalaman bisnis terhadap ekspektasi bisnis adalah positif, yang ditunjukkan dengan nilai estimasi sebesar 0,488. Simpulan 1 di atas menunjukkan bahwa tesis Keynes mengenai ekspektasi adaptif juga berlaku di Indonesia; dengan kata lain pembentukan ekspektasi bisnis di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh optimisme adaptif. 2. B. 1. 2. Saran-saran Suatu kajian tidak hanya dapat mengandalkan obyektifitas dari individu, namun juga perlu dipadukan dengan subyektifitas, sehingga kesimpulan akan sebuah persoalan ekonomi maupun kajian ilmiah dapat lebih reprensentatif mewakili fakta yang ada di lapangan. Mengandalkan obyektifitas berarti mengandalkan kelengkapan informasi dan data dalam proses pengambilan kebijakan, namun informasi ini tidak selamanya lengkap sehingga subyektifitas dapat menjadi pertimbangan untuk masuk dalam wilayah kajian tersebut. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 113 DAFTAR PUSTAKA Bank Indonesia. (2006) Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Triwulan IV. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. BI. Jakarta (www.bi.go.id) diakses 10 November 2011 --------------- (2010) Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) Triwulan IV. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter. BI. Jakarta (www.bi.go.id) diakses 10 November 2011 Bhaduri, Amit (2008) On the Dynamics of Profit- and Wage- led Growth . Cambridge Journal Economics , vol 32 (1) ; 147-160 Bhaduri, Amit and Marglin, Stephen (1990). Unemployment and the Real Wage: The Economics Basis for Contesting Political Ideology. Cambridge Journal of Economics, 14 . 375-395 Blecker, A. Robert (2009) Stolper- Samuelson After Kalecki : International Trade and Income Distribution with Oligopolistic Mark-ups and Partial Pass – Through . Paper Presented at The Eastern Economics Association Meeting, New York. February 28 Bowles, S. dan Boyer,R. (1995) Wages, Aggregate Demand and Employment in an Open Economy: An Empirical Investigation, pp 143-171 dalam Edisi Epstein G.A. dan Gintis H., Macroeconomic Policy After the Conservative Era, Cambridge University Press, Cambridge Deliarnov. (2007). Perkembangan Pemkiran Ekonomi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Gujarati, Danamor (2003). Basic Econometrics. Fourth Edition. McGraw-Hill. USA Hahnel, Robin (2002). The ABC‟s of Political Economy: A Modern Approach. Pluto Press. London Keynes, J. Maynard (1991) Teori Umum Mengenai Kesempatan Kerja, Bunga dan Uang. Edisi Terjemahan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Muhammad Yunus Zain (2005) Model Makro Ekonomi Politik Suatu Perekonomian Energi: Persfektif Dampak Kenaikan harga BBM Terhadap Daya Beli Masyarkat. Disampaikan pada Forum Ekonomi Regional” Perkembangan Makro Ekonomi dan Keuangan Daerah Sulawesi selatan dan Sulawesi Barat Triwulan III-2005. Makassar, 24 November Sadono Sukirno. (2000). Makro Ekonomi Modern, Perkembangan Pemkiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 114 Volume VolumeVIII VIIITahun Tahun44,Desember Desember2011, 2011hal , hal 115-133 1-15 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu PREDIKSI FINANCIAL DISTRESS PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI DI BURSA EFEK INDONESIA1) Nur Asni 2) ABSTRACT This study aims to knows how the financial condition of companies incorporated in the telecommunication companies listing on the Indonesia Stock Exchange for the period 2006 to 2010. Analysis of financial statements performed using ratios Altman Z-Score method based on the score that has been established to determine the level of failure and financial distress of a company. The results shows that the conditions and criteria have therefore potentially bankrupt the company must work hard to improve financial performance as precaution. PT Indosat Tbk Later in the period 2006 to 2010, showing the conditions and criteria that could potentially bankrupt company's improved financial performance needs to be done to anticipate the poor condition of the company's financial performance in the future. While Mobile8 Telecom Tbk in the period 2006 to 2010 has the performance conditions that are less healthy or prone, it indicates the company going into bankruptcy with poor financial performance if not corrected. Keywords: financial distress, Altman Z-Score I. PENDAHULUAN Kondisi perusahaan telekomunikasi di Indonesia saat ini sudah masuk masa kejenuhan. Menurut Wesley Andry, (2011), hal ini terlihat dari adanya perang tarif, menggantikan persaingan dalam layanan dan kualitas, sehingga menyebabkan keuntungan perusahaan telekomunikasi mengecil. Hal ini memperburuk kondisi keuangan disektor ini, sehingga menyebabkan banyak perusahaan di sektor telekomunikasi mengalami kesulitan keuangan. Forst and Sulvian memperkirakan, setidaknya ada tiga operator seluler yang memiliki peringkat terendah, yakni Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk, dan Mobile-8 telecom Tbk. ___________________________________________ 1) Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Hasil Penelitian 2) Dosen Fakultas Ekonomi Universtas Haluoleo 115 Ketiga operator tersebut merupakan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (Wesley Andry, 2011). Berikut analisis pertumbuhan tiga operator seluler di Indonesia yang menjadi studi kasus penulis: Tabel 1 Data Pertumbuhan Laba Perusahaaan Telekomunikasi Bakrie Telecom, Indosat dan Mobile-8 telecom 2006-2010 (Dalam Miliar Rupiah) Perusahaan Operator Seluler Bakrie Telecom Indosat Mobile-8 telecom 2006 Rp 2007 2008 2009 % Rp 2010 Rp % Rp % Rp % 0,12 113 94.07 121 7 5 (95,87) 2 (60) 182 8 6.2 55 3.29 587,5 101 275 (98,4) 400 1.490 (180) 1.375,2 (165,45) 647 (197) (56,6) (19,7) Sumber: Wesley Andry, 2011 Financial distress adalah suatu konsep luas yang terdiri dari beberapa situasi di mana suatu perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Istilah umum untuk menggambarkan situasi tersebut adalah kebangkrutan, kegagalan, ketidakmampuan melunasi hutang, dan default insolvency dalam kebangkrutan menunjukkan kekayaan bersih negatif. Ketidakmampuan melunasi utang, menunjukkan kinerja negatif dan menunjukkan adanya masalah likuiditas. Default berarti suatu perusahaan melanggar perjanjian dengan kreditur dan dapat menyebabkan tindakan hukum. Menurut Platt dan platt (2002), financial distress adalah tahap penurunan kondisi keuangan yang dialami oleh suatu perusahaan, yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuiditas. Kondisi ini pada umumnya ditandai antara lain dengan adanya penundaan pengiriman, kualitas produk yang menurun, dan penundaan pembayaran tagihan dari bank. Apabila kondisi financial distress ini diketahui, diharapkan dapat dilakukan tindakan untuk memperbaiki situasi tersebut sehingga perusahaan tidak akan masuk pada tahap kesulitan yang lebih berat seperti kebangkrutan ataupun likuidasi. Analisis kebangkrutan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh tanda-tanda awal kebangkrutan. Semakin awal diketahui tanda-tanda kebangkrutan semakin baik bagi manajemen karena manajemen bisa melakukan perbaikan-perbaikan. Kreditur dan pemegang saham bisa melakukan persiapan untuk mengatasi berbagai kemungkinan terburuk. Tandatanda kebangkrutan dalam hal ini dilihat dengan menggunakan data-data akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan. Financial distress bisa berarti mulai dari kesulitan likuiditas yang merupakan kesulitan keuangan paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan, yang merupakan financial distress yang berat. Kesulitan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 116 keuangan bisa dilihat sebagai kontinum yang panjang, mulai dari yang ringan sampai yang paling berat. Model sistem peringatan untuk mengantisipasi adanya financial distress dikembangkan sebagai sarana untuk mengidentifikasi bahkan untuk memperbaiki kondisi sebelum sampai pada kondisi krisis. Teknik model prediksi kebangkrutan sendiri secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam empat kelompok: teknik statistik klasik, analisis recursive partitioning (tree classification), jaringan neural (neural networks), dan algoritma genetik. Tiga metode yang disebut terakhir dapat juga digolongkan sebagai pembelajaran induktif, dan sedikit sulit melaksanakan model-model jenis ini. Karena itu, peneliti bermaksud meneliti bagaimana kondisi keuangan Perusahaan Telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan (financial distress) dengan teknik statistik klasik, yaitu analisis diskriminan linier (model Altman Z-Score). II. TINJAUAN PUSTAKA A. Financial Distress Menurut Harianto dan Sudomo (1998), kebangkrutan adalah kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak mampu menjalankan operasinya dengan baik. Financial distress adalah keuangan atau likuiditas yang mungkin mengawali kebangkrutan. Perusahaan mengalami kesulitan keuangan jika menghadapi keadaan insolvensy (ketidakmampuan membayar). Insolvensy menggambarkan bahwa perusahaan tersebut mengalami kegagalan. Menurut Brigham dan Gapenski (1992), kesulitan keuangan (financial distrees) merupakan kondisi keuangan yang meliputi kesulitan mengenai harapan profitabilitas dimasa depan, hingga kepada suatu keadaan dimana suatu perusahaan dibubarkan atau dilikuidasi. Adapun pengertian-pengertian mengenai financial distress adalah sebagai berikut: 1. Kegagalan Ekonomi (Economic Failure) : yang berarti bahwa pendapatan (revenue) perusahaan tidak dapat menutupi biaya total, termasuk biaya modal. 2. Kegagalan Bisnis (Bisiness Failure) : suatu perusahaan dinyatakan mengalami kegagalan bisnis apabila ia telah menutup satu atau lebih operasi usahanya yang mengakibatkan kerugian kekurangan bagi pihak kreditur. 3. Technical Insolvency : sebuah perusahaan dapat dikatakan mengalami technical insolvency apabila tidak dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya pada saat jatuh tempo. 4. Insolvency in Bankruptcy : suatu perusahaan dinyatakan mengalami insolvency in bankruptcy jika total nilai buku kewajiban telah melebihi Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 117 5. nilai pasar aktivanya. Kondisi ini lebih serius daripada technical insolvency karena hal ini umumnya menandakan kegagalan ekonomis dan mengarah kepada likuidasi perusahaan. Legal Bankruptcy : perusahaan menurut asumsi legal bankruptcy belum boleh dinyatakan bangkrut oleh putusan pengadilan. Seperti yang telah disebutkan, kebangkrutan (bankruptcy) dapat terjadi saat kewajiban total melebihi suatu nilai wajar dari total aktiva perusahaan tersebut. Di sisi lain, perusahaan dapat dinyatakan bangkrut oleh putusan pengadilan. Resiko kebangkrutan mencerminkan ketidak pastian mengenai kemampuan perusahaan untuk meneruskan operasinya jika kondisi finansialnya telah jatuh melewati tingkat minimum. Kebangkrutan adalah kesulitan likuiditas yang sangat parah sehingga perusahaan tidak mampu melaksanakan operasinya dengan baik. Kebangkrutan biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba. Kebangkrutan juga sering disebut likuidas perusahaan atau penutupan perusahaan atau insolvabilitas (Toto Prihadi, 2008). Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam beberapa arti (Martin et al. dalam Thisca Indriyati Irma, 2010). 1. Kegagalan dalam arti ekonomi berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak mampu menutup biaya sendiri, ini berarti bahwa tingkat labanya lebih kecil dari kewajiban. 2. Kegagal keuangan (financial failure) Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk: a. Insolvensi teknis (tehnical insolvency) Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo, walaupun total aktiva melebihi total utang atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap hutang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan bersih terhadap total aktiva yang diisyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak cukup untuk memenuhi pembayaran bunga atau pembayaran kembali pokok pada tanggal tertentu. b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Dalam pengertian ini, kebangkrutan didefinisikan dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 118 Pengertian kebangkrutan dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan perusahaan gagal atau tidak mampu lagi memenuhi kewajiban-kewajiban kepada debitur karena perusahaan mengalami kekurangan dan ketidakcukupan dana untuk menjalankan atau melanjutkan usahanya sehingga tujuan ekonomi yang ingin dicapai oleh perusahaan tidak dapat dicapai dengan profit sebab dengan laba yang diperoleh perusahaan bisa digunakan untuk mengembalikan pinjaman, bisa membiayai perusahaan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi bisa ditutup dengan laba atau aktiva yang dimiliki. Menurut Rico Lesmana dan Rudi Surjanto (2004:183-184) tanda-tanda yang dapat dilihat terhadap sebuah perusahaan yang mengalami kesuliatan dalam bisnisnya dan mungkin kesulitan keuangan antara lain adalah sebagai berikut : a. Penjualan atau pendapatan yang mengalami penurunan secara signifikan b. Penurunan laba dan atau arus kas dari operasi c. Harga pasar saham menurun secara signifikan d. Penurunan total aktiva e. Kemungkinan gagal yang besar dalam perusahaan dengan resiko yang tinggi f. Young company, perusahaan berusia muda pada umumnya mengalami kesulitan di tahun-tahun awal operasinya sehingga kalau tidak didukung sumber permodalan yang kuat akan dapat berakhir dengan kebangkrutan g. Pemotongan yang signifikan dalam deviden B. Analisis Diskriminan Altman Analisis Z-score untuk memprediksi kebangkrutan dikembangkan oleh Edward I. Altman, seorang ahli ekonomi keuangan dan pengajar di leonard N. Stern School of Business di Universitas New York. Analisis diskriminan Altman merupakan salah satu teknik statistik yang bisa digunakan untuk memprediksi adanya kebangkrutan suatu perusahaan. Sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui kegunaan analisis rasio keuangan dalam memprediksi kegagalan perusahaan. Altman telah mengkombinasikan beberapa rasio menjadi model prediksi dengan teknik statistik yaitu analisis diskriminan yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan perusahaan dengan istilah yang sangat terkenal yang disebut Z-score. Z-Score adalah skor yang ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangn yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Rumus yang telah dibuat oleh Altman sangat terbatas hanya untuk perusahaan manufaktur yang telah go-public, sehingga Altman kemudian menggunakan rumus tersebut dan kemudian melakukan perhitungan kembali Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 119 dan memodifikasi rumus tersebut. Altman kemudian menciptakan dua rumus lagi untuk mengindikasikan kebangkrutan, yaitu rumus untuk perusahaan manufaktur yang belum go-public atau private dan untuk perusahaan nonmanufaktur yang telah go-public dan dapat juga digunakan secara umum. Untuk perusahaan non manufaktur dan perusahaan pada umumnya (general use), Menurut Toto Prihadi (2008: 181), Altman mengindikasikan kebangkrutan dengan menggunakan rumus: Z-Score = 6,56 X1 + 3,26 X2 + 6,72 X3 + 1.05 X4 Keterangan : X1 = Net Working Capital / Total Assets X2 = Retained Earnings / Total Assets X3 = EBIT / Total Assets X4 = Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities Dengan kriteria penilaian sebagai berikut : Skor Kebangkruran Kurang dari 1,10 1,1 – 2.60 Bankrupt Sumber: Altman, Edward I, 2000 Gray area Lebih dari 1,10 Non – bankrupt Rasio-rasio inilah yang akan digunakan dalam menganalisis laporan keuangan sebuah perusahaan untuk kemudian mendeteksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan pada perusahaan tersebut).Uraian mengenai masingmasing variabel dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Rasio modal kerja / Total aktiva sebagai X1 Yang dimaksud dengan modal kerja adalah selisih antara aktiva lancar dengan hutang lancar. Pada dasarnya, rasio X1 merupakan salah satu rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek. Semakin besar hasil dari rasio ini berarti semakin besar pula dana yang tertanam dalam aktiva lancar. Apabila aktiva lancar lebih kecil dari hutang lancar, maka rasio ini akan negatif. 2. Rasio saldo laba / Total Aktiva sebagai X2 Pada dasarnya, rasio ini berhak mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi, sehingga umur perusahaan juga berpengaruh pada rasio tersebut, karena semakin lama perusahaan beroperasi, berarti semakin besar pula kemungkinan untuk memperbesar akumulasi laba ditahan. Hal tersebut mengakibatkan perusahaan yang masih relatif muda pada Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 120 umumnya kan menunjukkan angka rasio yang rendah, kecuali modal perusahaan tersebut sangan besar pada awal berdirinya. 3. Rasio EBIT / Total aktiva sebagai X3 Rasio ini hendak mengukur efektifitas perusahaan di dalam menghasilkan laba dengan menggunakan seluruh sumber dana yang dimiliki (Total Aktiva) rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktifitas penggunaan dana uang dipinjam. 4. Rasio nilai pasar modal / Nilai buku hutang sebagai X4 Nilai pasar modal sendiri dihitung dengan cara membagi EAT dengan EPS kemudian mengalikan hasilnya dengan closing price pada akhir periode atau jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya (Sawir, 2005:25), sedangkan hutang meliputi hutang lancar dan hutang jangka panjang. 5. Rasio penjualan / Total aktiva sebagai X5 Penjualan yang dimaksud adalah penjualan bersih, yaitu penjualan (pada nilai faktur) dikurangi dengan pengembalian, pengurangan harga, biaya transportasi yang dibayar untuk langganan dan potongan penjualan yang diambil. Rasio ini hendak mengukur kemampuan manajemen didalam menggunakan aktiva yang dimilikinya untuk menghasilkan penjualan. Hasil dari rasio ini menunjukkan perputaran seluruh aktiva perusahaan. Rasio ini juga menunjukkan efektifitas manajemen di dalam menghasilkan penjualan dengan menggunakan total aktivanya. III. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perusahaan telekomunikasi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dari tahun 2006 sampai tahun 2010 yaitu sebanyak 6 perusahaan. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling, yaitu metode penelitian sampel yang didasarkan pada kriteria tertentu untuk memperoleh sampel yang representatif terhadap populasi. Kriteria pemilihan sampel penelitian adalah sebagai berikut: 1. Perusahaan telah terdaftar sebagai emiten di bursa Efek Indonesia selama 5 tahun berturut – turut yakni dari tahun 2006 sampai tahun 2010. 2. Emiten menerbitkan laporan keuangan yang telah di audit oleh kantor akuntan publik pada periode pengamatan, yaitu tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 secara terus menerus. 3. Perusahaan mengalami penurunan laba pada tahun terakhir. Daftar Emiten Indonesian Capital Market Directory 2010 yaitu : 1. PT. Bakrie Telecom Tbk 2. PT.Indosat Tbk. 3. Mobile-8 Telecom Tbk. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 121 Untuk menganalisis kebangkrutan pada perusahaan telekomunikasi penulis menggunakan model perhitungan model dasar Altman Z-Score, dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berukut : 1. Menghitung rasio-rasio keuangan, yaitu : X1 = Rasio Net Working Capital /Total Asset X2 = Rasio Retained Earnings/ Total Asset X3 = Rasio EBIT / Total Asset X4 =Rasio Market Value of Equity/Book Value of Total Liabilities X5 = Rasio Selt/ Total Asset 2. Melakukan perhitungan Z-Score dengan rumus : Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5 3. Melakukan interpretasi dan klarifikasi atas hasil Z-Score, dengan kriteria penilaian sebagai berikut : Z > 2,99 : Non-Bankrupt (sehat) Z= 1,81 – 2,99 : Gray area ( kurang sehat rawan) Z< 1,81 : Bankrupt ( Potensial Bangkrut) (Sumber: Altman, dalam Toto Prihadi, 2008) IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Financial distress dan kemungkinan perusahaan mengalami kebangkrutan meupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam lingkungan bisnis. Hal ini mendorong banyak orang untuk melakukan penelitian untuk dapat mengidentifikasi terjadinya kondisi dimana sebuah perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan kemungkinan terjadinya kebangkrutan. Rasio X1 (Net Working Capital / Total Assets) Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan rasio modal kerja bersih terhadap total aktiva pada perusahaan telekomunikasi selama tahun 20062010. Berdasarkan hasil rasio modal kerja bersih atas total aktiva, PT Bakrie Telecom Tbk mengalami penurunan yakni pada tahun 2006 sebesar 0,103 menjadi 0,088 pada tahun 2007 dan meningkat pada tahun 2008 sebesar 0,166, selanjutnya mengalami penurunan berturut-turut pada tahun 2009 sebesar -0,029 dan tahun 2010 sebesar -0,006. Hal ini memberikan gambaran investasi perusahaan pada aktiva lancar menurun pada tahun 2007 dan berhasil meningkat pada tahun 2008, namun jumlah hutang lancar masih lebih besar melebihi jumlah aktiva lancar perusahaan sehingga perusahaan mengalami defisit modal kerja bersih. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 122 Berdasarkan perhitungan rasio PT Indosat Tbk, keadaan likuiditas perusahaan pada tahun 2006 sebesar -0,033, mengalami peningkatan pada tahun 2007 sebesar -0,019, namun menurun kembali pada tahun 2008 dan 2009 yakni -0,020 menjadi -0,108 dan menurun -0,011 pada tahun 2010. Hal ini disebabkan hutang lancar yang dimiliki lebih besar dibandingkan aktiva lancar perusahaan. Tabel 2 Rasio X1 (Net Working Capital / Total Assets) Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010 Nama Perusahaan Tahun Modal Kerja (Juta Rupiah) Total Aktiva (Juta Rupiah) PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) (Jutaan rupiah) PT Indosat Tbk. (ISAT) (Jutaan rupiah) 2006 2007 2008 2009 2010 227.896 412.616 1.420.840 -330.163 -69.490 2.217.139 4.664.164 8.545.973 11.436.275 12.311.154 Rasio X1 (Net Working Capital / Total Assets) 0,103 0,088 0,166 -0,029 -0,006 2006 2007 2008 2009 2010 2006 Mobile-8 2007 Telecom Tbk. 2008 (FREN) 2009 (Jutaan rupiah) 2010 Sumber : Data Diolah, 2011 -1.137.773 -8.644.454 -1.015.472 -5.928.495 -5.787.999 570.577 1.129.215 -378.195 -730.037 -1.514.813 34.228.658 45.305.086 51.693.323 55.041.487 52.818.187 3.040.817 4.536.744 4.797.892 4.756.935 5.006.420 -0,033 -0,019 -0,020 -0,108 -0,011 0,188 0,249 -0,079 -0,152 -0,303 Selanjutnya, Mobile-8 Telecom Tbk, keadaan likuiditas perusahaan pada tahun 2006 sebesar 0,188 dan meningkat pada tahun 2007 sebesar 0,249 namun mengalami penurunan drastis pada tahun 2008 sebesar -0,079. Hal ini disebabkan defisitnya nilai modal kerja bersih perusahaan karena hutang lancar yang dimiliki lebih besar dibandingkan aktiva lancar perusahaan, dan pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar -0,152 kemudian menurun pada tahun 2010 sebesar -0,303. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 123 Rasio X2 (Retained Earnings/ Total Assets) Rasio X2 merupakan indikator profitabilitas kumulatif yang relatif terhadap panjangnya waktu, yang mengisyaratkan bahwa semakin muda suatu perusahan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba yang kumulatif sehingga semakin besar kemungkinannya untuk bangkrut. Bila perusahaan merugi, total dari nilai ditahan (retained earnings) pada perusahaan tersebut akan mengalami penurunan. Tabel 3 Rasio X2 (Retained Earnings/ Total Assets) Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010 Nama Perusahaan Tahun PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) (Juta rupiah) PT Indosat Tbk. (ISAT) (Juta rupiah) 2006 2007 2008 2009 2010 2006 2007 2008 2009 2010 2006 Mobile-8 2007 Telecom Tbk. 2008 (FREN) 2009 (Juta rupiah) 2010 Sumber : Data Diolah, 2011 Laba Ditahan (Juta Rupiah) 743.211 612.897 5.950.137 2.514.674 7.692.949 Total Aktiva (Juta Rupiah) 2.217.139 4.664.164 8.545.973 11.436.275 12.311.154 Rasio X2 (Retained Earnings/ Total Assets) 0,335 0,131 0,696 0,220 0,625 12.707.771 14.044.761 15.461.237 15.359.289 15.717.627 -880.534 -798.220 -825.180 -2.052.385 -2.793.877 34.228.658 45.305.086 51.693.323 55.041.487 52.818.187 3.040.817 4.536.744 4.797.892 4.756.935 5.006.420 0,371 0,310 0,299 0,279 0,298 -0,290 -0,018 -0,172 -0,431 -0,558 Berdasarkan perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva (rasio X2) PT Bakrie Telecom Tbk menunjukkan bahwa rasio X2 mengalami fluktuasi, hal ini ditunjukkan pada tahun 2006 sebesar 0,335 kemudian mengalami penurunan tahun 2007 sebesar 0,131 namun tahun 2008 naik sebesar 0,696 dan menurun kembali tahun 2009 sebesar 0,220 sedangkan pada tahun 2010 meningkat sebesar 0,625. Perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva PT Indosat Tbk, menunjukkan pada tahun 2006 sebesar 0,371 dan mengalami penurunan berturut-turut sampai tahun 2010 menjadi sebesar 0,298, sehingga perusahaan telah mengalami penurunan total laba ditahan setiap tahunnya, hal ini menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan profit kurang bagus. Perhitungan rasio laba ditahan terhadap total aktiva pada Mobile-8 Telecom Tbk, pada tahun 2006 sebesar -0,290 kemudian tahun 2007 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 124 mengalami penurunan sebesar -0,018 namun pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar -0,172 sedangkan pada tahun 2009 menurun sampai tahun 2010 yaitu sebesar -0,558. Kemampuan perusahaan menghasilkan laba sangat lemah terlihat dari akumulasi laba ditahan setiap tahunnya yang selalu mengalami penurunan. Rasio X3 (EBIT/ Total Assets) Rasio X3 (Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets) mencerminkan keseluruhan kekuatan perusahaan dalam mendatangkan pendapatan atau dapat pula dikatakan bahwa rasio ini mengukur seberapa besar produktivitas yang sebenarnya dari aktiva perusahaan melemahnya faktor ini merupakan indikator terbaik akan hadirnya kebangkritan. Tabel 4 Rasio X3 (Earnings Before Interest and Taxes / Total Assets) Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010 Nama Perusahaan Tahun EBIT (Juta Rupiah) Total Aktiva (Juta Rupiah) 2006 2007 2008 2009 2010 2006 2007 2008 2009 2010 2006 Mobile-8 2007 Telecom Tbk. 2008 (FREN) 2009 (Juta rupiah) 2010 Sumber : Data Diolah, 2011 75.398 219.693 178.056 145.714 199.366 2.022.667 2.929.616 2.325.115 2.23.993 1.081.817 84.668 56.842 -1.178.493 -674.674 -581.242 2.217.139 4.664.164 8.545.973 11.436.275 12.311.154 34.228.658 45.305.086 51.693.323 55.041.487 52.818.187 3.040.817 4.536.744 4.797.892 4.756.935 5.006.420 PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) (Juta rupiah) PT Indosat Tbk. (ISAT) (Juta rupiah) Rasio X3 (EBIT/Total Assets) 0,034 0,047 0,021 0,013 0,016 0,059 0,065 0,045 0,041 0,020 0,028 0,013 -0,350 -0,142 -0,116 Perhitungan rasio EBIT pada PT Bakrie Telecom Tbk, terhadap total aktiva pada tahu 2006 sebesar 0,034, mengalami peningkatan tahun 2007 sebesar 0,047, kemudian menurun pada tahun 2008 sebesar 0,021 dan tahun 2009 sebesar 0,013. Pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 0,016. Berdasarkan perhitungan tersebut, walaupun perusahaan masih kesulitan dalam memperoleh pendapatan di tahun 2006 sampai 2010, tetapi kondisi perusahaan masih stabil dalam pelaksanaan operasionalnya. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 125 PT Indosat Tbk, pada tahun 2006 rasio EBIT terhadap total aktiva sebesar 0,059, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 0,065 hal ini disebabkan meningkatnya produktivitas perusahaan dalam memeroleh pendapatan dan bertambahnya total aktiva perusahaan, namun pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 mengalami penurunan sebesar 0,020. Hasil perhitungan rasio EBIT terhadap total aktiva pada Mobile-8 Telecom Tbk, tahun 2006 sebesar 0,028 mengalami penurunan 0,013 di tahun 2007. Menurunnya produktifitas perusahaan memperoleh pendapatan dan bertambahnya jumlah total aktiva merupakan faktor penyebab turunnya X 3 pada tahun 2008 sampai tahun 2010 menjadi -0,116. Rasio X4 (Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities) Perhitungan pada rasio ini akan memperlihatkan seberapa banyak asset dari suatu perusahaan dapat mengalami penurunan dalam nilainya sebelum hutangnya melebihi asset dan perusahaan akan berada dalam kondisi Insolvent. Tabel 5 Rasio X4 (Market Value of Equity / Book Value of Total Liabilities) Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010 Nama Perusahaan Tahun MVE (Rp) PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) (Jutaan rupiah) PT Indosat Tbk. (ISAT) (Jutaan rupiah) 2006 2007 2008 2009 2010 4.609.920 7.960.680 1.452.735 4.186.854 6.693.270 Nilai Buku Hutang (Juta Rupiah) 721.717 2.788.955 3.463.921 6.399.344 7.042.807 2006 2007 2008 2009 2010 2006 Mobile-8 2007 Telecom Tbk. 2008 (FREN) 2009 (Jutaan rupiah) 2010 Sumber : Data Diolah, 2011 36.679.500 47.004.100 31.245.500 25.675.650 29.343.600 6.267.200 5.261.360 1.011.800 1.651.700 1.651.700 18.826.293 28.462.986 33.994.764 36.753.204 34.581.701 1.449.704 2.740.558 4.070.574 3.964.403 4.651.631 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Rasio X4 (MVE/ Book Value of Total Liabilities) 6,387 2,854 0,419 0,654 0,950 1,948 1,651 0,919 0,698 0,849 4,323 1,920 0,248 0,417 0,355 126 Rasio X5 (Sales /Total Assets) Rasio X5 (Sales /Total Assets) digunakan dalam mengukur besar kecilnya kemampuan manajemen dalam melakukan penjualan aset-aset perusahaan. Rasio ini hanya digunakan untuk perusahaan manufaktur yang telah go-public dan perusahaan privat (private manufacturing companies). Tabel 6 Rasio X5 (Sales /Total Assets) Perusahaan Telekomunikasi Tahun 2006-2010 Nama Perusahaan Tahun PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) (Jutaan rupiah) 2006 2007 2008 2009 2010 2006 2007 2008 2009 2010 PT Indosat Tbk. (ISAT) (Jutaan rupiah) 2006 Mobile-8 2007 Telecom Tbk. 2008 (FREN) 2009 (Jutaan 2010 rupiah) Sumber : Data Diolah, 2011 Penjualan (Juta Rupiah) Total Aktiva (Juta Rupiah) Rasio X5 (Sales /Total Assets) 607.921 1.289.889 2.202.292 2.742.557 2.047.881 12.239.407 16.488.495 18.659.133 18.393.016 19.796.515 2.217.139 4.664.164 8.545.973 11.436.275 12.311.154 34.228.658 45.305.086 51.693.323 55.041.487 52.818.187 0,274 0,276 0,257 0,239 0,166 0,357 0,363 0,360 0,334 0,374 588.641 882.545 731.831 368.969 203.062 3.040.817 4.536.744 4.797.892 4.756.935 5.006.420 0,193 0,194 0,152 0,077 0,040 Hasil perhitungan rasio sales terhadap total assets pada PT Bakrie Telecom Tbk, terus mengalami penurunan dari tahun ketahun dari mulai tahun 2006 sampai dengan 2010, hal ini menunjukkan menurunnya pendapatan setiap tahunnya. Hasil perhitungan sales terhadap total asset pada PT Indosat Tbk. Menunjukkan angka yang berfluktuatif tetapi tidak terlalu berarti (signifikan), dari tahun 2006 sampai 2008 terjadi peningkatan sebesar 0,357 pada tahun 2005 menjadi 0,360 pada tahun 2008, tetapi kemudian menurun sebesar 0,334 pada tahun 2009 dan kemudian meningkat sebesar 0,374 pada tahun 2010. Perhitungan rasio X5 pada Mobile-8 Telecom Tbk, pada tahun 2006 adalah sebesar 0,193 meningkat menjadi 0,194 di tahun 2007 dengan bertambahnya pendapatan usaha perusahaan, namun pada tahun 2008 mengalami penurunan 0,152 kemudian menurun kembali pada tahun 2009 sebesar 0,077 dan di tahun 2010 turun kembali sebesar 0,040. Hal ini disebabkan karena kecilnya kemampuan perusahaan melakukan penjualan. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 127 Inser Tabel 7 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 128 Hasil Perhitungan Z-Score Berdasarkan hasil perhitungan Z-Score dapat diketahui bagaimana kondisi keuangan perusahaan pada perusahaan telekomunikasi sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh Altman. Tabel 7 memperlihatkan kondisi keuangan setiap perusahaan telekomunikasi berdasarkan kriteria Altman. Hasil perhitungan Z-Score dengan model dasar secara keseluruhan perusahaan telekomunikasi ditunjukkan pada tabel 6 di atas terlihat pada tahun 2006, PT Bakrie Telecom Tbk berada pada kondisi keuangan yang sehat (nonbankrupt) ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan sangat baik, namun dua perusahaan lainnya yakni PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk kinerja keuangannya menurun yaitu berada pada posisi kurang sehat (grey-area). Pada tahun 2007 menunjukkan satu perusahaan kurang sehat yaitu PT Bakrie Telecom Tbk yang sebelumnya kinerja keuangannya mengalami penurunan, dan dua perusahaan lainnya PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk dikategorikan berpotensi bangkrut. Hasil perhitungan yang ditunjukkan Tabel 7 untuk tahun 2008, PT Indosat Tbk mampu meningkatkan kembali kriteria potensi bangkrut menjadi (grey-area), ini menunjukkan bahwa perusahaan telah memperbaiki kinerja keuangannya. Namun berbeda dengan PT Bakrie Telecom Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk mengalami penurunan dengan kategori berpotensi bangkrut. Pada tahun 2009 dan 2010 menunjukkan bahwa ketiga perusahaan tersebut mengalami penurunan dengan kategori masing-masing pada posisi berpotensi bangkrut. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga perusahaan belum berhasil memperbaiki kinerja keuangannya. Pada kenyataannya, berdasarkan data hasil statistik telekomunikasi Indonesia selama tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 menunjukkan bahwa rata–rata perusahaan telekomunikasi di Indonesia mengalami penurunan dalam kinerja perusahaannya, khususnya kinerja keuangan. Terutama perusahaan telekomunikasi yang baru berkembang seperti PT Bakrie Telecom dan Mobile8 Telecom. Sejalan dengan hasil perhitungan Z-Score Model Altman untuk Perusahaan Telekomunikasi, bahwa turunnya kinerja keuangan perusahaan pada ketiga perusahaan telekomunikasi, yaitu PT Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk berpotensi menyebabkan kebangkrutan. Hal ini disebabkan oleh tiga faktor: 1. Faktor Umum Penyebab ketiga perusahaan yang diteliti berpotensi mengalami kebangkrutan adalah adanya gejala inflasi pada harga barang dan jasa serta suku bunga dalam negeri, sehingga terjadi krisis yang cukup berat. Pada saat krisis ini pula kondisi telekomunikasi Indonesia terkena imbasnya, hal ini terjadi karena pada saat krisis, para operator cenderung Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 129 mengambil kebijakan low price, sehingga pendapatan perusahaan pun akan turun. 2. Faktor Eksternal a. Sektor pelanggan Meskipun perusahaan telekomunikasi di Indonesia memiliki pelanggan terbanyak di Asia Tenggara khususnya PT Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk, tetapi bukan berarti bahwa perusahaan telekomunikasi tersebut mengalami peningkatan laba. Banyaknya keluhan yang disampaikan pelanggan terhadap buruknya pelayanan perusahaan seluler di Indonesia, menyebabkan sulitnya perusahaan telekomunikasi memperoleh pelanggan tetap. Contohnya seperti promo tarif murah sekian detik oleh beberapa operator seluler yang menyebabkan banyaknya keluhan konsumen karena merasa tertipu dengan promo tersebut, atau adanya kasus pemotongan pulsa oleh provider yang bekerja sama dengan operator seluler dalam memberikan layanan sms berupa kontent hiburan, berdasarkan pakar telekomunikasi Indonesia Budi hartono, mengatakan bahwa pemotongan pulsa yang dilakukan oleh provider cenderung dibiarkan oleh operator seluler karena pendapatan yang diterima dari provider lebih besar (artikel liputan 6.com). b. Sektor Pesaing Melemahnya kinerja perusahaan telekomunikasi beberapa tahun terakhir diakibatkan perang tarif oleh masing-masing perusahaan telepon seluler (Artikel Majalah Tempo, April 2011). Demi mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya, perusahaan telekomunikasi menurunkan tarif serendah-rendahnya, penurunan tarif ini tentu saja berakibat pada penurunan laba perusahaan, terutama perusahaan telekomunikasi yang baru berkembang seperti PT Bakrie Telecom Tbk, dan Mobile-8 Telecom Tbk. Agar dapat bersaing, maka dengan terpaksa kedua perusahaan telekomunikasi tersebut menurunkan tarif jasa komunikasinya. Sama halnya dengan PT Bakrie Telecom Tbk, dan Mobile-8 Telecom Tbk, Perusahaan telekomunikasi Indosat Tbk mengalami penurunan laba karena kecilnya pendapatan yang diterima sejak tahun 2006 sampai tahun 2010. Selain itu semakin banyaknya perusahaan telekomunikasi asing yang masuk di Indonesia menghambat para vendor telekomunikasi meningkatkan perannya di pasar domestik. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 130 3. Faktor Internal Struktur Biaya Kebijakan manajemen terhadap biaya dalam perusahaan telekomunikasi juga menjadi salah satu faktor potensi kebangkrutan. Pada saat tingginya perkembangan perusahaan telekomunikasi di Indonesia, perusahaan telekomunikasi berusaha memperluas jaringan komunikasinya disetiap wilayah di Indonesia. Besarnya investasi yang dilakukan oleh operator seluler untuk mengembangkan jaringan tidak sebanding dengan penerimaan pendapatan dari pelanggan, sehingga banyak perusahaan telekomunikasi yang mengalami kerugian. Selain itu, beban pajak daerah, gaji dan pemasaran menjadi penyumbang terbesar terhadap tingginya biaya usaha. Hal inilah yang menyebabkan turunnya laba PT Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk. (Statistik Telekomunikasi Indonesia, 2010) V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dengan alat analisis Z-Score menggunakan perhitungan model dasar Altman, maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan telekomunikasi yang listing di BEI (Bursa Efek Indonesia) untuk periode 5 tahun mulai tahun 2006 sampai dengan 2010, telah menunjukkan bahwa perusahaan telekomunikasi yang terdiri dari PT Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk dan Mobile-8 Telecom Tbk. mengalami masalah ketidakstabilan keuangan atau kurang sehat dan berpotensi terancam bangkrut (financial distress) di masa yang akan datang sesuai perhitungan model dasar Altman. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan Z-Score terhadap masing-masing perusahaan berdasarkan laporan keuangannya. Dari tiga perusahaan pada sektor perusahaan telekomunikasi, diketahui bahwa Mobile-8 Telecom Tbk kemungkinan besar mengalami kebangkrutan atau financial distress di masa mendatang, dan PT Bakrie Telecom Tbk, PT Indosat Tbk berada dalam kategori kritis atau kurang sehat karena kondisi keuangan perusahaan yang turun pada setiap tahunnya. B. Saran-saran Berdasarkan hasil penelitian pada perusahaan telekomunikasi dengan perhitungan Z-Score, maka perusahaaan-perusahaan tersebut sebaiknya mengambil langkah-langkah yang tepat diantaranya: Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 131 1. 2. Perusahaan yang terancam bangkrut (bankrupt) di masa yang akan datang perlu melakukan tindakan yang tepat dalam upaya mengatasi kesulitan keuangan didalam perusahaan, khususnya Mobile-8 Telecom Tbk. Perlu melakukan restrukturisasi hutang dan mengambil langkah mengatasi kesulitan keuangan dengan refinancing guna meningkatkan modal kerja perusahaan. Perusahaan dalam kategori gray-area atau kurang sehat diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan berusaha agar tidak sampai mengalami kesulitan keuangan, baik dengan pembenahan dan perbaikan sistem informasi dan meningkatkan sumber daya manusia yang ada dalam perusahaan, meningkatkan modal perusahaan, dan dengan caracara sebagai bagian dari antisipasi terhadap kesulitan diantaranya perlu melakukan inovasi dan mengambil langkah kreatif, yaitu dengan melakukan pengembangan dan perbaikan terhadap kualitas jaringan, fitur dan tarif produk telekomunikasi agar dapat terus bersaing dalam perusahaan telekomunikasi. DAFTAR PUSTAKA Aiyabei, Jonah. Financial Distress: Theory, measurement & Consequence. http://www.fiuc.org/esap/CUEA/CUEA4/CUEA4JS14/ eajournl distress.pdf. Diakses pada tanggal 08-06-2011. Altman, Edward I. 2000. Predicting Financial Distress of Companies: Revisiting The Z-Score and ZETA Models. http://www.pages. stern. nyu.edu/ ~ealtman/ Zscores.pdf. Diakses pada tanggal 08-06-2011. Wesley, Andry. 2011 .Revolusi Telekomunikasi. http://www.revolusi/telekomunikasi.html.Diakses pada tanggal 2906-2011 Bambang Priyatno, Perang Tarif Operator Seluler http:/ /majalah. tempointeraktif.com/id/arsip/2011/04/11/EB/mbm.20110411.EB136 412.id.html. Diakses pada tanggal 04-10-2011 Sari, Atmini. 2005. Manfaat Laba Dan Arus Kas Untuk Memprediksi Kondisi Financial Distress Pada perusahaan Textile Mill Products Dan Apparel And Other Textile Products Yang Terdaftar Di Bursa Efek Jakarta. Sofyan Syafri, Harahap. 2001. Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Raja Grafindo Persada. Jalarta. Ikatan Akuntan Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan Per 1 Juli 2009. Salemba Empat. Jakarta. Lesmana, Rico dan Rudy Surjanto. 2003. Financial performance Analyzing. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 132 Nurrudin, Ali.2005. Analisis Prediksi Kebangkrutan Pada Perbankan Go Public Di Bursa Efek Jakarta. Penelitian Tidak Dipublikasikan. Toto, Prihadi. 2008. Deteksi Cepat Kondisi Keuangan: 7 Analisis Rasio Keuangan. PPM. Jakarta. Sawir, Agnes. 2005. Analisis Kinerja Keuangan dan Perencanaan Keuangan Perusahaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 133 Volume Tahun 4, 4 Desember Desember 2011 2011,, hal hal 134-143 Volume VIII VIII Tahun 1-15 Jurnal Ekonomi Pembangunan FE-Unhalu ANALISIS PENGARUH DANA PIHAK KETIGA, LOAN TO DEPOSIT RATIO DAN NON PERFOMING LOAN TERHADAP PENYALURAN KREDIT BANK UMUM DI SULAWESI TENGGARA1) Jamal Nasir Baso2) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio,dan Non Ferporming Loan terhadap penyaluran Kredit perbankan pada Bank Umum di Sulawesi tenggara. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Bank Indonesia Cabang Kendari, berupa Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, Non Perfoming Loan dan Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum di Sulawesi Tenggara periode 2002:1 – 2011:4. Analisis data menggunakan analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan, baik secara parsial maupun secara simultan. Kata Kunci: Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, Non Perfoming Loan, kredit perbankan A. PENDAHULUAN Meskipun kondisi moneter Indonesia telah relatif membaik dibandingkan pada saat krisis, sebagaimana tercermin dari relatif rendahnya tingkat suku bunga, namun banyaknya jumlah kredit yang disalurkan belum mampu untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Di Indonesia, khususnya Sulawesi Tenggara, kredit perbankan masih menjadi sumber permodalan yang diminati meskipun bukan merupakan satu-satunya. Untuk itu, peran bank dengan menyalurkan kredit masih sangat besar terutama dalam menggerakkan sektor ekonomi. Perkembangan perekonomian Sulawesi Tenggara yang cukup pesat yang tercatat sebesar 8,17 persen berimplikasi kepada pertumbuhan sektor perbankan yang juga cukup tinggi yang tercermin dari pertumbuhan aset sebesar 37,76 persen Pertumbuhan perbankan juga didorong oleh bertambahnya jumlah kantor bank di Sulawesi Tenggara. ____________________________________________ ___________________________________________ 1) ___________________________________________ Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 Hasil Penelitian Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 2) 3) 4) Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo Dosen Jurusan IESP Universtas Haluoleo 134 Beberapa bank yang baru beroperasi pada tahun 2010 yaitu Bank Pundi, Bank Mayapada, Bank Niaga dan Bank Syariah Mandiri. Dengan bertambahnya jumlah bank tersebut, diharapkan dapat memperluas akses masyarakat terhadap pembiayaan dan fasilitas produk perbankan di Sulawesi Tenggara. Volume usaha yang tercermin pada total aset, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), dan kredit/pembiayaan yang disalurkan menunjukkan trend yang meningkat. Fungsi intermediasi perbankan yang tercermin pada Loan to Deposit Ratio (LDR) masih tercatat pada level yang tinggi. Meskipun kredit/pembiayaan mengalami peningkatan, namun risiko kredit (credit risk) perbankan Sulawesi Tenggara masih relatif stabil dan terkendali (di bawah batas 5 persen) khususnya untuk kelompok Bank Umum. Tabel 1.1 Rata-rata DPK, LDR, NPL, dan Kredit pada Bank Umum Sulawesi Tenggara Periode 2002 – 2011 Tahun DPK 2002 1,675,485 LDR (%) 43,97 2003 1,959,072 50,66 3,29 992,501 2004 1,976,192 62,42 4,50 1,233,559 2005 2,243,293 70,71 7,52 1,586,306 2006 2007 2008 2009 2010 2011 3,217,594 3,977,083 4,563,263 5,207,284 5,971,350 8,428,272 61,93 69,99 83,00 90,75 101,90 96,73 4,65 4,20 2,77 2,18 2,28 1,14 1,992,566 2,783,387 3,787,686 4,725,364 6,084,763 8,152,585 (juta rupiah) NPL (%) 2,42 ( juta rupiah) Kredit 736,682 Sumber : Data Bank Indonesia , Indikator Bank Umum Sulawesi Tenggara Salah satu upaya perusahaan perbankan untuk memperlancar penyaluran kredit ke masayarakat adalah menghimpun dana dari pihak ketiga. Dengan meningkatnya dana pihak ketiga maka diharapkan kegiatan usaha utama perbankan yaitu pemberian kredit juga semakin meningkat. Selain Dana pihak ketiga, faktor internal bank lainnya seperti Loan to Deposit Ratio dan Non Perfoming Loan juga berpengaruh terhadap penyaluran kredit perbankan. loan to deposit ratio (LDR) penting karena merupakan faktor untuk mengukur tingkat kesehatan bank pada bagian likuiditas. Loan to deposit ratio (LDR) juga berkaitan dengan penyaluran kredit sebab dari kegiatan kredit inilah bank dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya, membayar kembali semua deposan yang mengambil dana sewaktu-waktu, serta memenuhi permintaan kredit yang telah diajukan. Oleh karena itu, LDR juga dianggap berpengaruh terhadap jumlah penyaluran kredit bank. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 135 Adapun besarnya rata - rata Dana Pihak Ketiga (DPK), Long to Deposit Ratio (LDR), Non Performing Loan (NPL), dan kredit Bank Umum Sulawesi Tenggara dari tahun 2002 hingga 2011 dipaparkan pada Tabel 1.1. II. METODE PENELITIAN Obyek penelitian adalah Bank umum Sulawesi Tenggara. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio,Non Performing Loan serta kredit yg disalurkan, yang berciri time series 2002:1-2011:IV Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan analisis regresi linear berganda. Analisis ini akan mengestimasi semua variabel-variabel bebas (X), sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap variabel terikat, dengan formulasi sebagai berikut : Y= b0 + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e dimana: Y = Penyaluran Kredit Perbankan X1 = Dana Pihak Ketiga X2 = Loan to Deposit Ratio X3 = Non Permofing Loan b0 = Konstanta b1, b2, b3 = Koefisien Regresi e = Kesalahan Pengganggu (error term) Adapun kriteria signifkansi yang digunakah adalah α = 0,05 III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Berdasarkan hasil estimasi regresi sebagaimana Tabel 2, diperoleh nilai koefisien sebagai berikut : Y = 1275,654– 51,902X1 – 7,963X2–102.271X3 + e Hasil regresi menunjukkan bahwa nilai koefisien variabel bebas mengandung arti sebagai berikut : a. Koefisien b0 = 1275,654 artinya jika tidak ada perubahan dana pihak ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan maka penyaluran kredit hanya sebesar Rp. 1.275,654 Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 136 b. Koefisien b1 = -51,902 artinya jika dana pihak ketiga naik sebesar 1 persen pada α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau menurun sebesar Rp 51,902 dengan asumsi loan to deposit ratio dan non perfoming loan adalah tetap (konstan). c. Koefisien b2 = -7,963 artinya jika loan to deposit ratio naik sebesar 1 persen pada α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau menurun sebesar Rp 7,963 dengan asumsi dana pihak ketiga dan non perfoming loan adalah tetap (konstan). d. Koefisien b3 = -102,271 artinya jika non perfoming loan naik sebesar 1 persen pada α = 0,05, maka penyaluran kredit akan berkurang atau menurun sebesar Rp 102,271 dengan asumsi dana pihak ketiga dan loan to deposit ratio adalah tetap (konstan). Tabel 2 Hasil Estimasi Pengaruh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit Unstandardized Coefficient Model (constant) X1 T Sig. B Std. Eror 1275.654 131.259 9.719 .000 -51.902 14.585 -3.559 .001 X2 -7.963 1.378 -5.779 .000 X3 -102.271 15.649 -6.535 .000 R R2 .841a .707 F 28.969 Sig .000a Sumber: Hasil olah data Berdasarkan hasil estimasi Tabel 2, dilakukan pengujian hipotesis berikut ini: 1. Uji parsial (uji- t) Untuk mengetahui tingkat signifikan masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat secara terpisah (parsial), maka dilakukan dengan pengujian statistik uji t. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan. Sementara yang menjadi variabel terikat adalah Penyaluran Kredit Perbankan Pada Bank Umum di Sulawesi Tenggara. Pengujian hipotesis dapat pula dilakukan dengan membandingkan nilai t-sign dengan α = 0,05. Apabila t-sign < dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0. Sebaliknya apabila t-sign > dari α = 0,05 maka tolak H1 atau terima H0. Berdasarkan Tabel diatas, diperoleh t-hitung dana pihak ketiga sebesar -3.559atau tingkat signifikan t sebesar 0, 001< dari α = 0,05, maka terima H1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa dana pihak ketiga Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 137 pada Bank Umum Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Kemudian, loan to deposit ratio diperoleh t-hitung -5.779atau tingkat signifikan t sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa loan to deposit ratio pada Bank Umum Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Selanjutnya, non perfoming loan diperoleh t-hitung -6.535atau tingkat signifikan t sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka terima H 1 atau tolak H0 sehingga dapat dikatakan bahwa non perfoming loan pada Bank Umum Sulawesi Tenggara secara terpisah berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. 2. Uji simultan (uji-f) Berdasarkan table diatas, diperfoleh nilai f-hitung sebesar 28.969atau tingkat signifikan f sebesar 0,000<dari α = 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa semua variabel bebas secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. dengan demikian berdasarkan analisis regresi linear berganda, dengan menggunakan uji F diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa secara bersamasama (simultan) variabel Dana Pihak Ketiga (X1), Loan to Deposit Ratio (X2), dan Non Perfoming Loan (X3) berpengaruh signifikan terhadap Penyaluran kredit kerbankan pada Bank Umum di Sulawesi tenggara . Ini menunjukkan bahwa Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank umum di Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4 dipengaruhi oleh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan. Guna mengetahui nilai koefisien determinasi, berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R 2) 0,707 atau sebesar 70,7 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variasi perubahan terhadap variabelpenyaluran kredit perbankan (Y) diterangkan atau dijelaskan oleh variabel dana pihak ketiga (X1), loan to deposit ratio (X2), dan non perfoming loan sebesar 70,7 persen, sedangkan sisanya sebesar 29,3 persen variasi perubahan variabelpenyaluran kreditperbankan (Y) dijelaskan oleh variabel lain yang belum masuk dalam model penelitian. B. Pembahasan 1. Analisis Pengaruh Simultan Dana Pihak Ketiga, LDR, NPL Terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum di Sulawesi Tenggara Dari hasil uji simultan, diperoleh bahwa nilai f-hitung sebesar 28.969 atau tingkat signifikan f sebesar 0,000lebih kecildari α = 0,05 (0,000< 0,05). Hal ini berarti bahwa tingkat Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 138 Non Perfoming Loan mempunyai pengaruh yang signifikan secara simultan (bersama-sama) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara. Dengan demikian, Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara.dapat diprediksi dari nilai Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan. 2. Analisis Pengaruh Persial Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi Tenggara a. Pengaruh Dana Pihak Ketiga terhadap Penyaluran Kredit Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Dana Pihak Ketiga(X1) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan(Y) diperoleh bahwa nilai diperoleh t-hitung dana pihak ketiga sebesar-3.559 atau tingkat signifikan sebesar 0, 001lebih kecil dari α = 0,05 (0,001<0,05), sehingga hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah (parsial) dana pihak ketiga berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara. Artinya seberapa besar pun perubahan nilai dana pihak ketiga yang terjadi akan berpengaruhsecara parsial terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara tersebut. Namun, hubungan secara spesifik antara jumlah dana pihak ketiga dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian ini melawan atau bertentangan dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu merupakan hubungan berlawanan arah (negatif) yang berarti jumlah dana pihak ketiga yang tinggi akan diikuti dengan menurunnya penyaluran kredit perbankan, dan begitupun sebaliknya, jumlah dana pihak ketiga yang rendah akan diikuti dengan meningkatnya penyaluran kredit perbankan. Hal ini disebabkan karena dalam penyaluran kredit, pihak perbankan tidak hanya mengandalkan dana yang bersumber dari dana pihak ketiga (sumber dana tradisional) tetapi juga mengandalkan dana yang berasal dari sumber dana modern misalnya hasil penjualan obligasi, pasar modal, pinjaman antar bank dan lain lain. b. Pengaruh Loan to Deposit Ratio terhadap Penyaluran Kredit Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Loan to Deposit Ratio(X2) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan(Y) diperoleh bahwa nilai t-hitung Loan to Deposit Ratio sebesar-5.779 atau tingkat signifikan t sebesar 0, 000 lebih kecil dari α = 0,05 (0,000<0,05), sehingga hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah (parsial) loan to deposit ratio berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara. Artinya seberapa Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 139 besar pun perubahan nilai loan to deposit ratio yang terjadi akan berpengaruh secara parsial terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara tersebut. Signifikannya pengaruh loan to deposit ratio terhadap penyaluran kredit perbankan tersebut disebabkan karena loan to deposit ratio juga merupakan salah satu faktor yang dominan bagi pihak perbankan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam hal penyaluran kredit perbankan sehingga perubahan loan to deposit ratio berdampak secara nyata terhadap penyaluran kredit perbankan. Namun, hubungan secara spesifik antara besarnya loan to deposit ratio dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian ini melawan atau bertentangan dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu merupakan hubungan berlawanan arah (negatif) yang berarti loan to deposit ratioyang tinggi akan diikuti dengan menurunnya penyaluran kredit perbankan, dan begitupun sebaliknya, loan to deposit ratio yang rendah akan diikuti dengan meningkatnya penyaluran kredit perbankan. Hal ini disebabkan karena penyaluran kredit tersebut lebih besar daripada tabungan yang ada di bank, sementara dana yang ada di bank tidak hanya berasal dari dana pihak ketiga artinya bank tidak terlalu mengandalkan dana yang bersumber dari dana pihak ketiga (simpanan masyarakat) dalam menyalurkan kredit tetapi lebih mengandalkan modal bank itu sendiri. Jadi hubungannya disini adalah ketika LDR meningkat, dimana LDR adalah rasio antara volume penyaluran kredit terhadap jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber meningkat, kredit menurun dikarenakan dana yang digunakan untuk meyalurkan kredit tersebut di ambil dari modal bank itu sendiri. c. Pengaruh Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit Dari hasil uji hipotesis secara parsial antara variabel Non perfoming Loan (X3) terhadap Penyaluran Kredit Perbankan (Y) diperoleh bahwa nilai diperoleh t-hitung Non perfoming Loan sebesar-6.535atau tingkat signifikan t sebesar 0, 000lebih kecil dari α = 0,05 (0,000<0,05), sehingga hipotesis diterima atau dapat dikatakan bahwa secara terpisah (parsial) Non perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara. Artinya seberapa besar pun perubahan nilai Non perfoming Loan yang terjadi akan berpengaruh secara parsial terhadap penyaluran kredit perbankan pada bank umum Sulawesi Tenggara tersebut. Signifikannya pengaruh Non perfoming Loan terhadap penyaluran kredit perbankan tersebut disebabkan karena Non perfoming Loan juga merupakan salah satu faktor yang dominan bagi pihak perbankan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam hal penyaluran kredit Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 140 perbankan sehingga perubahan Non perfoming Loan berdampak secara nyata terhadap penyaluran kredit perbankan. Adapun hubungan secara spesifik antara besarnya Non perfoming Loan dan penyaluran kredit perbankan pada penelitian sesuai dengan teori yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu merupakan hubungan berlawanan arah (negatif) yang berarti Non perfoming Loanyang tinggi akan diikuti dengan menurunnya penyaluran kredit perbankan, dan begitupun sebaliknya, Non perfoming Loan yang rendah akan diikuti dengan meningkatnya penyaluran kredit perbankan, artinya bila Nilai NPL rendah (kurang dari 5 persen), berarti resiko kredit juga rendah, sehingga kemampuan meyalurkan kredit menjadi kuat IV SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengaruh Dana Pihak Ketiga, Loan to Deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4 dapat disimpulkan bahwa : 1. Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4 2. Secara terpisah (parsial), variabel Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio, dan Non Perfoming Loan berpengaruh signifikan terhadap Penyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4 3. Kemampuan variabel bebas Dana Pihak Ketiga, Loan to deposit Ratio dan Non Perfoming Loan dalam mempengaruhiPenyaluran Kredit Perbankan pada Bank Umum Sulawesi tenggara periode 2002:1 – 2011:4 adalah sebesar 70,7 persen dan sisanya sebesar 29,3 persen di jelaskan oleh variabel lain diluar model yang turut mempengaruhi penyaluran kredit perbankan pada bank umum di Sulawesi tenggara. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang dibuat, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Mengingat sebesar 29,3 persen faktor penjelas yang belum masuk dalam model regresi berganda dalam penelitian ini, maka disarankan melakukan kajian kebih lanjut dengan memasukan variabel bebas tambahan lainnya misalnya capital adequasy ratio (CAR), suku bunga Sertifikat Bank Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 141 2. Indonesia (SBI), Return On Assets (ROA), dan juga faktor ekstenal bank misalnya kondisi keuangan calon debitur dan lain-lain. Disarankan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti kembali dengan menggunakan periode penelitian yang lebih panjang sehingga dapat menghasilkan kesimpulan hasil penelitian yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Admin. 2010. Pengertian Bank, (http://ridwanaz.com/umum/pengertianbank/), (diakses 5 November 2011). Ali, Mashud. 2004. Asset Liability Management : Menyiasati Risiko Pasar dan Risiko Operasional. Jakarta : PT.Gramedia Azis. 2011. Aset Perbankan Sultra Tumbuh Sebesar 24,20 Persen, (http://sultra.antaranews.com/berita/261874/aset-perbankan-sultratumbuh2420-persen), (diakses 6 Maret 2011) Bank Indonesia, Data Perbankan Indonesia. Berbagai edisi, Bank Indonesia. Jakarta Bank Indonesia. 2010. Peraturan Bank Indonesia Nomor:12/19/PBI/2010. Jakarta Bank Indonesia. 1998. Undang – Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan pasal 3. Jakarta Budiawan. 2008. Analisis Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penyaluran Kredit pada Bank Perkreditan Rakyat (Studi Kasus pada BPR di Wilayah Kerja BI Banjarmasin). UniversitasDiponegoro, Semarang. Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan. Jakarta : Penerbit Ghalia Indonesia Gudjarati, 1997. Ekonometrika dasar. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kasmir, 2002. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Manurung Jonni J, Manurung Adler Haymans, dan Saragih Ferdinand Dehoutman. 2005. Ekonometrika Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Mujahid Abu. 2009. Pengertian Kredit, (http://silapcity.blogspot.com/2009/03 pengertian-kredit.html), (diakses 5 November 2011). Pratama Billy Arma. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Penyaluran Kredit perbankan (Studi pada Bank Umum di Indonesia Periode Tahun 2005 - 2009). UniversitasDiponegoro, Semarang. Putra. 2009, Definisi, Fungsi dan Peranan Bank Umum dalam Perekonomian,(http://putracenter.net/2009/09/23/definisiJurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 142 fungsi-dan-peranan-bank-umum-dalam-perekonomian/), (di akses 7 November 2001). Sastra, Widya. 2009. Pengaruh dana pihak ketiga, suku bunga kredit, dan Inflasi terhadap alokasi modal kerja pada Bank-bank Umum di Indonesia. Universitas Haluoleo, Kendari. Satriani, Dewi. 2011. Pengaruh Suku Bunga Kredit dan Tingkat Inflasi Terhadap Jumlah Kredit di Indonesia. Universitas Haluoleo, Kendari. Trisdini, Himaniar, 2010. Pengaruh CAR, NPL dan ROA Terhadap Penyaluran Kredit Modal Kerja Pada Bank Umum yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Universitas Diponegoro, Semarang. Undang – Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan pasal 3, Jakarta Warjiyo, Perry. 2004. Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia.Jakarta: PusatPendidikan dan Studi Kebanksentralan BI. Jurnal Ekonomi Pembangunan Volume VIII Tahun 4, Desember 2011 143