I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha budidaya ikan di berbagai daerah di Indonesia saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan benih karena semua aktivitas tersebut membutuhkan benih dan tercipta saluran distribusi baru karena hasil produksi meningkat. Ikan mas (Cyprinus carpio L.) merupakan salah satu ikan konsumsi air tawar. Ikan mas termasuk salah satu komoditas sektor perikanan air tawar yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari permintaan pasar yang terus meningkat. Sulitnya orang yang memelihara ikan mas menyebabkan mereka harus membeli benih dalam keadaan hidup pada para pembudidaya ikan. Oleh karena itu, diperlukan cara penanganan yang baik terhadap benih ikan mas tersebut agar dapat menekan kematian benih ikan mas. Pengangkutan dalam keadaan hidup merupakan salah satu tahap dalam usaha budidaya ikan. Pengangkutan menjadi tahap yang sangat penting apabila petani ikan tidak memproduksi sendiri benih ikan yang dibesarkan tetapi membelinya pada petani yang khusus memproduksi benih ikan. Harga jual benih ikan itu sendiri sangat ditentukan oleh ukuran dan tingkat kesegaran ikan. Benih yang lemah akan rendah nilai jualnya, sedangkan benih yang mati tidak laku sama sekali. Menurut Kuncoro (2004), proses pengangkutan ikan memerlukan teknik dan perlakuan yang berbeda-beda tergantung jarak yang akan ditempuh. Proses pengangkutan ikan ada dua cara yakni cara tertutup dan terbuka. Pada setiap proses pengangkutan ikan hidup, ikan harus dikondisikan untuk mengkonsumsi oksigen sekecil mungkin karena konsumsi oksigen dari sejumlah ikan yang diangkut membatasi lamanya pengangkutan. Menurut Susanto (1991) cit Hariyanto et al. (2008), suhu yang tinggi menyebabkan ikan bernafas lebih cepat sehingga ikan mudah lelah, stres dan kebutuhan oksigen juga meningkat. Dengan demikian, proses pengeluaran kotoran menjadi cepat akibatnya kualitas air menurun dan mengakibatkan kematian ikan. Untuk mengatasi masalah ini, dapat dilakukan dengan menurunkan suhu medium hidupnya 1 atau menggunakan bahan-bahan pembius (anestesi) baik alami maupun buatan (Karnila, 2001). Bahan anestetik dapat berupa bahan kimia sintetik atau bahan alami. Bahan kimia yang biasa digunakan dalam anestetik diantaranya adalah MS-222, benzocaine, metomidate, phenoxyethanol, quinaldine, chinaldine. Bahan kimia tersebut merupakan cairan toksik. Penggunaan bahan kimia sebagai bahan anestetik dapat meninggalkan residu yang berbahaya bagi ikan, manusia dan lingkungan (Saskia et al., 2012). Menurut Yanto (2012), kadar MS-222 50 ppm dan kepadatan ikan 50 ekor/l adalah yang terbaik untuk kelangsungan hidup ikan botia pada transportasinya. Penggunaan bahan-bahan kimia sebagai obat bius ikan memberi efek kurang baik terhadap kualitas dan kesehatan ikan, maka diperlukan alternatif obat bius alami untuk mengurangi kematian ikan (Purwanto, 1994) cit (Hariyanto et al., 2008). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu penggunaan bahan anestesi alami seperti: minyak sereh, ekstrak alga laut hijau (Caulerpa racemosa), ekstrak daun kecubung (Datura metel L.) dan minyak cengkih. Minyak sereh pernah digunakan dalam penelitian Budiardi et al. (2010), minyak sereh berhasil digunakan pada ikan kerapu macan ukuran panjang 7 cm dan rata-rata beratnya 4,02 g dengan dosis terbaik yaitu 10 mg/l yang dilihat dari rendahnya kandungan Total Amonia Nitrogen (TAN) sebesar 6,459+1,290 mg/l dan nilai sintasan tertinggi yaitu sebesar 97,5%. Ekstrak alga laut hijau Caulerpa racemosa digunakan sebagai anestesi pada transportasi ikan nila (Orechromis niloticus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentarsi uji sebesar 6%, 12%, 18%, dan 24% belum terlihat respon ikan nila. Perubahan tingkah laku ikan mulai terlihat pada penggunaan konsentrasi 30%, 36%, 42%, 48%, dan 54%. Hal tersebut diduga bahwa pada konsentrasi uji yang lebih tinggi ekstrak alga laut hijau dapat mempengaruhi keseimbangan tubuh, fungsi syaraf serta jaringan otak ikan. Semakin tinggi konsentrasi uji ekstrak alga laut hijau yang digunakan maka semakin besar pula daya anestesi yang diberikan (Pramono, 2002). Penggunaan minyak cengkih dalam penelitian pengangkutan ikan telah banyak dilakukan sebagai bahan anestesi. Akbari et al. (2010), menggunakan minyak cengkih sebagai anestesi pada pengangkutan udang putih india (Fenneropenaeus indicus) ukuran PL (Post Larva) dengan konsentrasi minyak cengkeh 1,3 mg/l. Perdikaris et al. (2010), melakukan penelitian dengan minyak cengkih pada rainbow trout (Oncorhynchus 2 mykiss) dengan ukuran 20-23 cm dan 30-33 cm dan pada goldfish (Carrasius auratus) dengan ukuran 5-7, 11-15, dan 20-25 cm. konsentrasi yang digunakan adalah 50, 100, dan 150 mg/l untuk ikan rainbow trout dan konsentrasi minyak cengkih untuk goldfish yang digunakan yaitu 75, 100, dan 150 mg/l. Menurut Perdikaris et al. (2010), pada kedua spesies ikan tersebut, minyak cengkih sangat efektif digunakan dengan rendahnya produksi stres, kecilnya tingkat kematian dan dapat direkomendasikan sebagai bahan anestesi yang efektif. Minyak cengkih adalah salah satu bahan pembius alami yang dapat digunakan dalam pengangkutan ikan. Beberapa kelebihan minyak cengkih dari obat bius lain adalah karakteristik waktu induksi yang singkat dan waktu sedasi yang cukup lama. Minyak cengkih juga tidak bersifat toksik bagi ikan, mudah terurai, mudah didapat dan harganya relatif lebih murah. Minyak cengkih aman untuk ikan dan manusia sehingga ikan lebih aman dikonsumsi, mudah dalam penggunaannya, dapat bekerja meskipun dalam konsentrasi yang lebih rendah, alami, dan yang lebih penting lagi mudah diperoleh karena cengkih merupakan komoditas lokal yang cukup tinggi di Indonesia (Rahim dkk., 2013). B. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh penggunaan minyak cengkih terhadap waktu induksi dan waktu penormalan. 2. Mengetahui dosis minyak cengkih yang efektif pada pengangkutan benih ikan mas. C. Manfaat Mengetahui dosis yang optimal minyak cengkih dalam pengangkutan benih ikan mas sehingga dapat menekan kematian pada pengangkutan sistem tertutup. 3