BAB II INTEGRASI SOSIAL II.1 Integrasi Sosial II.1.1 Pengertian Istilah integrasi berasal dari kata Latin “Integrare”, artinya memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Dari kata kerja itu dibentuk kata benda “Integritas”, artinya keutuhan atau kebulatan. Dari kata yang sama dibentuk kata sifat “Integer”, artinya utuh. Maka, istilah integrasi berarti membuat unsur-unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh. Integrasi sosial berarti membuat masyarakat menjadi satu keseluruhan yang bulat.1 Konsep mengenai integrasi sosial sering disejajarkan dengan konsep kohesi sosial, solidaritas sosial, keharmonisan sosial, kesatuan sosial. Ensiklopedi bebas menyebutkan integrasi berasal dari Bahasa Inggris, dari kata "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki ! keserasian fungsi.2 Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu keadaan di mana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masing-masing. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi adalah pembauran sesuatu yang tertentu hingga menjadi kesatuan yang utuh dan bulat. Istilah pembauran tersebut mengandung arti masuk ke dalam, menyesuaikan, menyatu atau melebur sehingga menjadi seperti satu. Dengan demikian, integrasi merujuk pada masuk, menyesuaikan atau meleburnya dua atau lebih hal yang berbeda sehingga menjadi seperti satu.3 Integrasi adalah proses penyesuaian unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat sehingga menjadi satu kesatuan. Unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat meliputi perbedaan kedudukan sosial, ras, etnis, agama, bahasa, kebiasaan, sistem nilai dan norma.4 Banton mendefinisikan integrasi sebagai suatu pola hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak memberikan fungsi penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait serta ras seseorang hanya terbatas pada bidang " " ## $ #$ #% & '( " ) * / ( 0' " + ,- . 1 $ * + ! ) ' * 1 ++! 2 tertentu saja dan tidak ada sangkut pautnya dengan bidang pekerjaan atau status.5 Menurut Abu Ahmadi, dalam integrasi masyarakat terdapat kerja sama dari seluruh anggota masyarakat mulai dari tingkat individu, keluarga, lembaga dan masyarakat sehingga menghasilkan konsensus (kesepakatan) nilai yang sama-sama dijunjung tinggi. Namun menurut Abdul Syani, integrasi sosial tidak cukup diukur dari kriteria berkumpul atau bersatunya anggota masyarakat dalam arti fisik. Konsensus juga merupakan pengembangan sikap solidaritas dan perasaan manusiawi. Pengembangan sikap dan perasaan manusia tersebut merupakan dasar dari keselarasan suatu kelompok atau masyarakat.6 Integrasi sosial akan terbentuk apabila sebagian besar anggota masyarakat tersebut sepakat mengenai struktur kemasyarakatan yang dibangun termasuk nilai-nilai, norma-norma dan pranata-pranata sosialnya. Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann mendefinisikan integrasi sebagai “the stability of relations among parts within a systemlike whole, the borders of which clearly separate it from its environment; in such a state, the system is said to be integrated”.7 Tiga arti lain yang mengacu pada proses integrasi adalah (1) The process of relating single elements to one another and, out of these, 3 / ) 7 '8 9 * . /0 ( 0 4,56 % +++ 2 6 - 89 / 0 $ : 4 :" 1 / :/ , 4 ++2 ! / 8 ; ) ,4; ) 3! forming a new structure; (2) Adding single elements or partial structures to an existing structure, to form an interconnected whole; (3) Maintaining or improving relations within a system or structure.8 Definisi-definisi yang dikemukakan oleh Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann berlaku untuk semua bidang. Integrasi dalam konteks sosiologis, mengacu pada stabilitas, hubungan kerja sama dalam sistem sosial yang jelas. Integrasi juga dapat dilihat sebagai suatu proses yang memperkuat hubungan dalam suatu sistem sosial, dan memperkenalkan aktor baru dan kelompok ke dalam sistem dan lembaga-lembaganya. Integrasi pada dasarnya merupakan suatu proses: jika proses ini berhasil, masyarakat dikatakan terintegrasi.9 Menurut Lockwood, teori sosiologis sistem sosial telah mengembangkan konsep integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem adalah hasil dari fungsi anonim lembaga, organisasi dan mekanisme - negara, sistem hukum, pasar, aktor korporasi atau keuangan. Integrasi sosial menurut Lockwood, mengacu pada masuknya individu dalam suatu sistem, pembentukan hubungan antar individu dan sikap mereka terhadap masyarakat. Ini adalah hasil dari interaksi sadar dan termotivasi serta kerjasama antara individu dan kelompok.10 + ! 3 Talcot Parson berpendapat bawa integrasi merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interaksi antara para anggota dalam sistem sosial itu. Supaya sistem sosial itu berfungsi secara efektif sebagai satu satuan, harus ada paling kurang suatu tingkat solidaritas di antara individu yang termasuk di dalamnya. Masalah integrasi menunjuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang cukup menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan dipertahankan.11 II.1.2 Syarat-Syarat Integrasi William F. Ogburn dan Mayer Nimkoff dalam Kamanto Sunarto mengemukakan syarat-syarat berhasilnya suatu integrasi sosial. Pertama, anggota-anggota masyarakat merasa bahwa mereka telah berhasil saling mengisi kebutuhan-kebutuhan mereka. Hal itu berarti kebutuhan fisik dan sosialnya dapat dipenuhi oleh sistem sosial mereka. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut menyebabkan setiap anggota masyarakat saling menjaga keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Kedua, masyarakat berhasil menciptakan kesepakatan (consensus) mengenai norma dan nilai-nilai sosial yang dilestarikan dan dijadikan pedoman dalam berinteraksi antara satu dan lainnya, termasuk menyepakati hal-hal yang dilarang menurut kebudayaannya. % =(% ' ( '* " 2 + * " 2 (< 1 / Ketiga, norma-norma dan nilai sosial itu berlaku cukup lama, tidak mudah berubah dan dijalankan secara konsisten oleh seluruh anggota masyarakat.12 II.1.3 Faktor-Faktor Pendukung Integrasi Suatu integrasi sosial dapat berlangsung cepat atau lambat, tergantung pada faktor-faktor pendukungnya, yakni homogenitas kelompok, besar kecilnya kelompok, mobilitas geografis dan efektifitas komunikasi. Pertama, homogenitas kelompok. Dalam kelompok atau masyarakat yang tingkat homogenitasnya rendah, integrasi sosial akan mudah dicapai. Sebaliknya, dalam kelompok atau masyarakat majemuk, integrasi sosial akan sulit dicapai dan memakan waktu yang sangat lama. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa semakin homogen suatu kelompok atau masyarakat, semakin mudah pula proses integrasi antara anggota di dalam kelompok atau masyarakat tersebut. Contoh kelompok atau masyarakat yang homogen adalah kelompok atau masyarakat dengan satu suku bangsa. Kedua, besar kecilnya kelompok. Umumnya, dalam kelompok yang kecil, tingkat kemajemukan anggotanya relatif rendah sehingga integrasi sosialnya akan lebih mudah dicapai. Hal tersebut dapat disebabkan, dalam kelompok kecil, hubungan sosial antara anggotanya terjadi secara intensif / ) 2 sehingga komunikasi dan tukar-menukar budaya akan semakin cepat. Dengan demikian, penyesuaian antara perbedaan-perbedaan dapat lebih cepat dilakukan. Sebaliknya, dalam kelompok besar, yang tingkat kemajemukannya relatif tinggi, integrasi sosial akan lebih sulit dicapai. Ketiga, mobilitas geografis. Anggota kelompok yang baru datang tentu harus menyesuaikan diri dengan identitas masyarakat yang ditujunya. Namun, semakin sering anggota masyarakat datang dan pergi, semakin sulit pula proses integrasi sosial. Sementara itu, dalam masyarakat yang mobilitasnya rendah, seperti daerah atau suku terisolasi, integrasi sosial dapat cepat terjadi. Keempat, efektivitas komunikasi. Efektifitas komunikasi dalam masyarakat juga akan mempercepat integrasi sosial. Semakin efektif komunikasi berlangsung, semakin cepat integrasi antara anggota-anggota masyarakat tercapai. Sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang berlangsung antara anggota masyarakat, semakin lambat dan sulit integrasi sosial tercapai. II.1.4 Fase-Fase Integrasi Integrasi sebagai suatu proses memerlukan waktu lama sehingga individu atau kelompok yang berbeda menjadi memiliki kesamaan. Untuk tercapainya integrasi sosial, terdapat akomodasi, koperatif, koordinasi dan asimilasi. empat tahapan yakni Pertama, akomodasi (accommodation). Akomodasi merupakan langkah pertama menuju integrasi sosial, dengan mengurangi pertentangan dan mencegah terjadinya disintegrasi. Pada tahap akomodasi ini mencerminkan taraf tercapainya kompromi dan toleransi. Situasi kompromi dan toleransi dapat dicapai dalam keadaan dimana dua lawan atau lebih sama kuatnya. Menurut Ogburn dan Nimkoff, akomodasi adalah “actual working together of individual or groups inspite of differences or latent hostility.” Dengan kata lain, akomodasi merupakan kerja sama secara individual atau kelompok karena adanya faktor kepentingan yang sama meskipun mungkin terdapat perbedaan pendapat atau paham. Jadi kerja sama dalam konteks akomodasi ini dilandasi oleh tujuan yang sama di antara individu atau kelompok. Dalam hal ini akomodasi lebih bersifat pragmatis. Artinya kedua belah pihak yang melakukan kerja sama lebih mengedepankan tercapainya tujuan bersama. Menurut Sumner, akomodasi adalah antagonistis cooperation yakni kerja sama yang antagonis. Sebagai ilustrasi mengenai akomodasi sebagai kerja sama anatagonis adalah adanya kerja sama antara dua belah pihak yang bertikai untuk menyelesaikan pertentangan tersebut. Akomodasi merupakan kondisi yang dapat menggalang kerja sama dan percampuran kebudayaan, yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Dengan adanya akomodasi tersebut dapat tercipta kehidupan sosial yang sesuai dengan kaidah-kaidah sosial. Hasil-hasil yang dapat diperoleh dari proses akomodasi adalah menghindarkan masyarakat dari benih-benih pertentangan, menekan oposisi, melahirkan kerja sama, menyelaraskan dengan perubahan dan memungkinkan terjadinya pergantian dalam posisi tertentu serta terjadinya asimilasi. Kedua, kerjasama (cooperation). Kerja sama disebut juga kooperasi yang terbentuk karena adanya kesadaran bersama akan suatu kepentingan yang dirasakan. Kesadaran tersebut akan melahirkan suatu kesepakatan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan atau kepentingan tersebut. Suatu bentuk kerja sama akan berkembang jika orang-orang yang terlibat dapat digerakkan dan mempunyai kesadaran akan manfaat suatu tujuan bila berhasil dicapai, serta adanya suatu wadah atau organisasi. Untuk masyarakat kita, kerja sama bukan hal yang baru karena sejak dulu telah dikenal dengan sebutan gotong royong dan pada setiap keluarga selalu ditanamkan pola perilaku untuk hidup rukun serta menjalin kerja sama untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kerja sama dapat bersifat positif jika dilakukan berdasarkan kaidah yang berlaku di masyarakat, juga bersifat negatif apabila bertentangan dengan norma. Misalnya kerja sama untuk melakukan tindakan kejahatan. Sehubungan dengan pelaksanaannya, kerja sama dapat diklasifikasikan ke dalam lima bentuk, yaitu: 1. Kerukunan yang mencakup gotong royong dan tolong menolong. + 2. Bargaining, yaitu pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antar dua organisasi atau lebih. 3. Kooptasi (cooptation) yaitu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. 4. Koalisi (coalition) yaitu kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Pada awalnya, koalisi sering mengalami kegoncangan karena adanya perbedaan dari organisasi-organisasi yang melakukan koalisi tersebut. akan tetapi dengan adanya persamaan tujuan, maka langkah-langkah yang diambil bersifat kooperatif. 5. Joint-venture yaitu bentuk kerja sama yang bergerak dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, dengan bagi keuntungan berdasarkan kesepakatan. Kerja sama dapat dibedakan menjadi empat yakni: a. Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) yang secara otomatis ada dalam masyarakat. Misalnya gotong royong. b. Kerja sama Langsung (Directed Cooperation) yang terbentuk karena adanya perintah dari atasan atau penguasa. c. Kerja sama kontrak (Contractual Cooporation) yang terbentuk atas dasar perjanjian. d. Kerja sama tradisional (Traditional Cooperation) yang merupakan bagian dari sistem sosial. 6. Koordinasi (Coordination). Koordinasi akan terbentuk apabila situasi pertentangan antara kedua belah pihak sudah mengalami ketegangan. Apabila antar individu atau kelompok mengalami pertentangan, mka pada fase koordinasi ini masing-masing individu atau kelompok yang bertentangan tersebut berusaha untuk tidak memperuncingnya lagi. Masing-masing pihak berusaha ataupun tidak menyadari adanya penyesuaian mental dalam diri masing-masing terhadap situasi sosial yang objektif. Mereka menyadari dan berusaha untuk mengadakan penyesuaian terhadap faktor-faktor yang telah menyebabkan pertentangan. Akhirnya, mereka bersedia untuk bekerja sama dan mengharapkan adanya kerja sama. Setiap pihak mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk bekerja sama. Hal ini akan terjadi manakala kerja sama memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Perbedaan antar individu atau kelompok tersebut disadari oleh masing-masing. Tetapi mereka tidak mempermasalahkannya sehingga kehidupan bermasyarakat berlangsung tenang. 7. Asimilasi. Asimilasi merupakan tahap yang paling mendekati integrasi sosial dalam bentuk ideal. Proses asimilasi merupakan proses dua arah (two way process). Karena menyangkut pihak yang diintegrasikan (proses pengakuan) dan pihak yang mengintegrasikan diri (proses penetrasi). Pada fase ini terjadi proses identifikasi kepentingan dan pandangan kelompok. Asimilasi terjadi melalui dua tahapan, yaitu: a. Pertama, terjadinya perubahan nilai-nilai dan kebudayaan pada kelompok asal atau masing-masing kelompok. b. Kedua, adanya penerimaan cara hidup yang baru, misalnya penggunaan bahasa atau cara berani. Dengan kata lain, asimilasi merupakan proses mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus mempelajari dan menerima cara kehidupan yang baru. Apabila setiap individu atau kelompok telah menyesuaikan diri sehingga antara individu atau kelompok yang semula bertentangan (berbeda) telah tercapai suatu situasi adanya pengalaman bersama apalagi tradisi bersama belum terbentuk atau belum ada, maka asimilasi belum terjadi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perncerminan dari tercapainya asimilasi adalah kebudayaan dan tradisi yang sama. Asimilasi merupakan kulminasi dari kehidupan bermasyarakat yang dapat merefleksikan adanya integrasi sosial. Dengan demikian, terwujudnya integrasi sosial sangat penting bagi kelangsungan hidup individu dan kelompok dalam tatanan hidup bermasyarakat. II.1.5 Bentuk-Bentuk Integrasi Menurut Esser, integrasi sosial dapat terjadi dalam tiga bentuk yakni akulturasi, placement, interaksi dan identifikasi.13 Pertama, sosialisasi akulturasi adalah proses (acculturation). dimana Akulturasi seorang individu atau proses memperoleh pengetahuan, standar budaya dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan sukses dalam masyarakat. Kedua, penempatan (placement). Penempatan berarti seorang individu mendapatkan posisi dalam masyarakat - dalam sistem pendidikan atau ekonomi, dalam profesi, atau sebagai warga negara. Penempatan juga menyiratkan perolehan hak yang berhubungan dengan posisi tertentu dan kesempatan untuk membangun hubungan sosial dan untuk memenangkan modal budaya, sosial dan ekonomi. Akulturasi merupakan prasyarat untuk penempatan. Ketiga, interaksi (interaction). Interaksi adalah pembentukan hubungan dan jaringan, oleh individu yang berbagi orientasi bersama. Ini termasuk persahabatan, hubungan romantis atau pernikahan, atau keanggotaan yang lebih umum dari kelompok sosial. Keempat, identifikasi (identification). Identifikasi mengacu pada identifikasi individu dengan sistem sosial: orang melihat dirinya sebagai 7 '8 9 $ : 4 :" :/ ! bagian dari tubuh kolektif. Identifikasi memiliki aspek kognitif dan emosional. II.2 Integrasi menurut Emile Durkheim II.2.1 Latar Belakang Pemikiran Perhatian Durkheim terhadap solidaritas dan integrasi sosial dilatarbelakangi oleh keadaan keteraturan sosial yang goyah di Perancis, sebagai akibat dari revolusi Perancis yang meliputi ketegangan terus menerus dan konflik antara kelompok monakhi dan kaum republik sayap kiri.14 Revolusi industri yang terjadi saat itu membawa perubahan dalam struktur ekonomi, hubungan sosial serta orientasi budaya dasar. Nilai kepercayaan, kebiasaan, hubungan sosial tradisional dan pola-pola mencari nafkah secara tradisional kemudian dirubah ke suatu keteraturan sosial industri kota yang baru. Namun dasar-dasar yang baru itu agaknya goyah, sehingga Durkheim berusaha untuk memahami dasar-dasar keteraturan sosial yang baru itu. Setelah mengamati kesulitan-kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam peralihan itu, Durkheim meyakini bahwa pengetahuan ilmiah mengenai hukum masyarakat dapat mengkonsolidasikan dasar moral keteraturan masyarakat yang sedang muncul itu. Ia bertekad untuk mendorong perubahan pendidikan yang menanamkan perasaan yang kuat ! % =(% ' ( '* " 2 + # * " 3 (< 1 / mengenai moralitas dan solidaritas yang kuat terhadap bangsa bagi warganya saat itu. Perhatiannya mengenai pendidikan itu juga terjadi bersamaan dengan peralihan sistem pendidikan di Perancis dari Khatolik ke sistem pendidikan yang sekuler. Sehingga Durkheim berpikir perlu untuk mengembangkan suatu alternatif lain dari dasar pendidikan agama tradisional, yakni suatu ideologi sekuler atau sistem kepercayaan yang memberikan tonggak-tonggak moral dan etika dalam masyarakat sekuler. Ciri khas positivisme Durkheim adalah usaha satu-satunya untuk mendekati masyarakat sebagai sebuah kenyataan organis yang independen yang memiliki hukum-hukum, perkembangan dan kehidupan sendiri. Holistisisme metodologi Durkheim berkaitan dengan sebuah pendirian yang sangat deterministis, yang berpendapat bahwa individu-individu tidak berdaya di hadapan pembatasan-pembatasan dari kekuatan-kekuatan sosial yang menghasilkan penyesuaian diri dengan norma-norma sosial atau tingkah laku yang disebabkan oleh norma-norma tersebut.15 Bagi Durkheim, moralitas adalah sebuah fenomena sosial dan faktafakta moral dapat dijelaskan seperti setiap jenis faktas sosial lainnya dengan acuan pada sebab-sebab historis dan pertimbangan-pertimbangan fungsional. 3 < / / 0 '' " $ ! " 2 + II.2.2 Fakta Sosial Asumsi umum yang paling fundamental yang mendasari pendekatan Durkheim mengenai sosiologi adalah bahwa gejala sosial itu riil dan mempengaruhi kesadaran individu serta perilakunya yang berbeda dari karakteristik psikologi, biologis, dan lain-lain. Gejala sosial merupakan fakta yang riil, gejala-gejala yang dapat dipelajari dengan metode yang empirik, yang memungkinkan suatu ilmu tentang masyarakat dikembangkan.16 Lewis Coser menjelaskan bahwa yang dimaksudkan oleh Durkheim mengenai fakta sosial adalah suatu ciri atau sifat sosial yang kuat yang tidak harus dijelaskan pada level biologi dan psikologi, sebagai sesuatu yang berada secara khusus di dalam diri manusia.17 Durkheim mendefinisikan fakta sosial sebagai cara-cara bertindak, berpikir dan merasa, yang berada di luar individu dan dimuati dengan sebuah kekuatan memaksa, yang karenanya hal-hal itu mengontrol individu itu. Fakta sosial berkaitan dengan kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan cara hidup umum manusia sebagai sesuatu yang terkandung di dalam institusi-institusi, hukum-hukum, moral-moral dan ideologis politik. Durkheim melihat fakta sosial sebagai hal yang berkaitan dengan pengaturan tingkah laku individu melalui sebuah sistem yang dipaksakan atau sistem eksternal yang memaksakan nilai-nilai dan aturan-aturan.18 2 ' ( '* " = > $ < / / 0 '' % ! ! . $ : 9 : *! 2 " - :" % : & '% Ritzer menjelaskan bahwa fakta sosial, dalam teori Durkheim itu bersifat memaksa karena mengandung struktur-struktur yang berskala luas – misalnya hukum yang melembaga.19 Ada tiga karakteristik fakta sosial yang dikemukakan Durkheim. Pertama, gejala sosial bersifat eksternal terhadap individu. Sesudah memberikan contoh mengenai fakta sosial seperti bahasa, sistem moneter, norma-norma profesional, dll, Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan yang memperlihatkan sifat patut dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran individu. Kedua, bahwa fakta sosial itu memaksa individu. Jelas bagi Durkheim bahwa individu dipaksa, dibimbing, diyakinkan, didorong, atau dengan cara tertentu dipengaruhi oleh berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Menurut Durkheim tipe-tipe perilaku atau berpikir ini mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa individu itu harus mengalami paksaan fakta sosial dengan cara yang negatif atau membatasi seperti memaksa seseorang untuk berperilaku yang bertentangan dengan kemauannya. Ketiga, fakta sosial itu bersifat umum atau tersebar secara meluas dalam satu masyarakat. Dengan kata lain, fakta sosial itu merupakan milik bersama, bukan sifat individu perorangan. Sifat umumnya ini bukan : 1 ? @ ++! 3 ' *1 / " / * sekedar hasil dari penjumlahan beberapa fakta individu. Fakta sosial benar-benar bersifat kolektif, dan pengaruhnya terhadap individu merupakan hasil dari sifat kolektifnya ini. Durkheim ingin menegakkan pentingnya tingkat sosial daripada menarik kenyataan sosial dari karakteristik individu. Fakta sosial meliputi gejala seperti norma, ideal moral, kepercayaan, kebiasaan, pola pikir, perasaan dan pendapat umum. Pengaruh fakta sosial itu pun tampak dalam karyanya mengenai bunuh diri di mana persoalan yang pokok di situ ialah apa motif dan alasan seseorang melakukan tindakan tersebut, atau mengapa beberapa orang cenderung melakukan tindakan itu (bunuh diri). Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan fakta sosial adalah bukan sesuatu yang tampak seperti itu saja, melainkan motif-motif atau dorongan sosial yang menimbulkan sesuatu itu terjadi di dalam realitas sosial. Durkheim menulis, “Sebab yang menentukan dari suatu fakta sosial harus dicari di antara fakta sosial lainnya yang mendahuluinya dan bukan di antara keadaan-keadaan kesadaran individu itu”.20 + ' ( '* " !%"'/ + II.2.3 Solidaritas Sosial Durkheim memulai analisanya mengenai integrasi sosial dengan merumuskan masalah sebagai berikut: “apakah peningkatan pembagian kerja harus dipandang sebagai kewajiban moral yang tidak dapat dihindari oleh manusia?” Durkheim lantas melakukan analisis terhadap fakta-fakta sosial. Durkheim memulai dengan mencari tahu fungsi pembagian kerja. Menurut pengamatannya, fungsi pembagian kerja adalah peningkatan solidaritas. Antara kawan-kawan dan di dalam keluarga-keluarga dimana ketidak-samaan menciptakan suatu ikatan. Justru karena individu-individu mempunyai kualitas yang berbeda-beda maka terdapat keselarasan, ketertiban dan solidaritas. Demikian pula di dalam masyarakat. Karena individu-individu melakukan berbagai kegiatan maka mereka menjadi bergantung dan terikat satu dengan yang lain. Keseimbangan, keselarasan dan solidaritas adalah kualitas-kualitas moral. Konsep solidaritas merupakan konsep sentral Emile Durkheim dalam mengembangkan teori Sosiologi. Solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Hubungan ikatan ini lebih kuat dibandingkan hubungan yang didasarkan pada kontrak atas persetujuan rasional. Karena keadaan hubungan yang ada, timbul dari kemampuan + masing-masing individu dalam berempati terhadap individu atau kelompok yang lain dalam hubungannya itu. Sehingga antara individu dengan yang lain dapat ikut merasakan perasaan batiniah dari salah satunya ketika terkena dampak peristiwa sosial. Wujud nyata dari hubungan bersama akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar mereka. Kepercayaan yang dianut bersama mendorong munculnya kesadaran kolektif. Durkheim menerangkan bahwa masyarakat modern tidak diikat oleh kesamaan antara orang-orang yang melakukan pekerjaaan yang sama, akan tetapi pembagian kerjalah yang mengikat masyarakat dengan memaksa mereka agar tergantung satu sama lain. Durkheim memaparkan pertumbuhan pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Ia menggunakan kedua istilah tersebut untuk menganalisa masyarakat secara keseluruhan, bukan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience), yang menunjuk pada “totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu”. Dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, masyarakat terdiri dari kelompok sanak-keluarga-politik yang disejajarkan (kelompok clan), yang sangat mirip satu sama lain dalam hal organisasi intern. Masyarakat didominasi oleh adanya suatu perangkat sentimen dan kepercayaan yang terbentuk dengan kuat serta dimiliki oleh seluruh anggota masyarakat. Pemilikan dalam solidaritas mekanis bersifat komunal, suatu gejala yang merupakan satu aspek spesifik dari individualisasi tingkat rendah pada umumnya. Karena dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis kepribadian kolektif merupakan satu-satunya kepribadian yang ada, maka harta milik menjadi sesuatu yang bersifat kolektif atau milik bersama.21 Solidaritas mekanis dibentuk oleh hukum represif (menekan) karena anggota masyarakat jenis ini memiliki kesamaan satu sama lain, dan karena mereka cenderung sangat percaya pada moralitas bersama. Apapun pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu. Pelanggar akan dihukum atas pelanggarannya terhadap sistem moral kolektif. Meskipun pelanggaran terhadap sistem moral hanya pelanggaran kecil namun mungkin saja akan dihukum dengan hukuman yang berat. Masyarakat solidaritas organik dibentuk oleh hukum restitutif (memulihkan). Dimana seseorang yang melanggar harus melakukan restitusi untuk kejahatan mereka, pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu atau segmen tertentu dari masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. Dalam hal ini, kurangnya moral kebanyakan orang tidak melakukan reaksi secara emosional terhadap pelanggaran hukum. Durkheim berpendapat bentuk solidaritas moral masyarakat modern mengalami perubahan, bukan hilang. % = " 6 %( 1 " 2 !5 3 * ( 0 6 - Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan tetapi sekaligus menjadi semakin tergantung satu sama lain, karena masing-masing individu hanya merupakan satu bagian saja dari suatu pembagian pekerjaan sosial. Solidaritas organik terjadi karena adanya diferensiasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Masyarakat dengan solidaritas organik merupakan tipe masyarakat yang pluralistik, orang merasa lebih bebas. Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadaran pada umumnya. Heterogenitas yang semakin beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Solidaritas organik ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Masingmasing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang. Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika kepentingan- kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi. Tabel 2.1 Perbandingan Masyarakat Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik 1. Pembagian kerja rendah 2. Kesadaran kolektif kuat 3. Hukum represif dominan 4. Individualitas rendah 5. Konsensus terhadap pola-pola normatif itu penting. 6. Keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang. 7. Secara relatif saling ketergantungan itu rendah. 8. Bersifat primitif atau pedesaan. 1. Pembagian kerja tinggi 2. Kesadaran kolektif melemah 3. Hukum restitutif dominan 4. Individualitas tinggi 5. Konsensus pada nilainilai abstrak dan umum itu penting 6. Badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang 7. Saling ketergantungan yang tinggi 8. Bersifat perkotaan. industrial Ancaman-ancaman terhadap solidaritas sosial antara lain konflik antar kelompok, penyimpangan, individualisme yang berlebihan dan anomi.22 ! +! ! II.2.4 Teori Bunuh Diri (Suicide) Durkheim menunjukkan betapa pentingnya arti solidaritas dan integrasi dalam masyarakat melalui analisanya mengenai bunuh diri (Suicide). Tindakan yang nampak sangat individu ternyata tidak dapat dijelaskan secara individual sebab bertalian juga dengan masalah sosial. Durkheim melihat tindakan bunuh diri sebagai antithesis individu terhadap solidaritas dan integrasi sosial, dan angka bunuh diri yang tinggi dilihatnya sebagai petunjuk kurangnya efektivitas ikatan-ikatan sosial. Dia melakukan penelitian tentang angka bunuh diri di beberapa negara di Eropa.23 Secara statistik hasil dari data-data yang dikumpulkannya menunjukkan kesimpulan bahwa gejala-gejala psikologis sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Menurut Durkheim peristiwa-peristiwa bunuh diri sebenarnya merupakan kenyataan-kenyataan sosial tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana penelitian dengan menghubungkannya terhadap sturktur sosial dan derajat integrasi sosial dari suatu kehidupan masyarakat. Durkheim membagi tipe bunuh diri ke dalam 3 macam. Pertama, bunuh diri egoistis. Bunuh diri egoistis adalah bunuh diri yang terjadi karena individuasi yang berlebih-lebihan yang terjadi bila individu dicabut dari kesadaran kolektif yang memberi arah dan makna kehidupannya.24 ! A < / = %/ / ; " / 0 '' ! ( 3 ! ! Tingginya angka bunuh diri egoistis dapat ditemukan dalam masyarakat atau kelompok di mana individu tidak berinteraksi dengan baik dalam unit sosial yang luas. Lemahnya integrasi ini melahirkan perasaan bahwa individu bukan bagian dari masyarakat, dan masyarakat bukan pula bagian dari individu. Sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan orang lain (egoisme), yang tidak memilki tujuan hidup bagi lingkungan sekitarnya berujung pada bunuh diri. Durkheim menyatakan bahwa ada faktor paksaan sosial dalam diri individu untuk melakukan bunuh diri, di mana individu menganggap bunuh diri adalah jalan lepas dari paksaan sosial. Contoh: Tingkat bunuh diri dalam masyarakat agama Protestan lebih tinggi. Superioritas Protestantisme dari sudut pandang bunuh diri disebabkan karena integritas Gereja Kristen Prostestan lebih lemah dibanding Gereja Khatolik.25 Kedua, bunuh diri altruistis. Bunuh diri altruistis adalah hasil individuasi yang tidak memadai dan karenanya labih umum di dalam masyarakat-masyarakat primitif dimana individu tidak memiliki rasa eksistensi yang terarah, yang jelas dan karenanya siap untuk mengorbankan dirinya sendiri untuk kelompok.26 Bunuh diri altruistik bersangga atas adanya suatu kesadaran umum (conscience collective) yang kuat, yang sedemikian mendominasi 3 = " 2 ! 1 7 : 5 '9 '' ++! 3! ' $ 2 ) tindakan-tindakan pribadi orang, sehingga ia mau mengorbankan jiwanya demi kelanjutan keutuhan suatu nilai kolektif.27 Bunuh diri semacam ini adalah lawan bunuh diri egoistis, dan merupakan akibat ikatan pada kelompok sosial (masyarakat) yang kuat, kesetiaan. Adanya suatu tuntutan ikatan yang demikian kuat, maka ia harus menyesuaikan diri dengannya untuk kepentingan bersama. Bunuh diri Altruistik terjadi bukan karena si pelaku menggunakan haknya untuk menghilangkan nyawanya melainkan kewajiban. Jika ia tidak menjalani kewajiban ini maka ia akan terkena hukuman sesuai dengan sanksi agama atau hinaan dalam masyarakat.28 Contoh: bunuh diri seorang pelayan kepada tuannya, bunuh diri tentara jepang dalam perang dunia. Ketiga, bunuh diri anomik. Bunuh diri anomik berasal dari ketiadaan peraturan moral.29 Bunuh diri ini terjadi ketika kekuatan regulasi masyarakat terganggu. Gangguan tersebut mungkin akan membuat individu merasa tidak puas karena lemahnya kontrol terhadap nafsu mereka, yang akan bebas berkeliaran dalam ras yang tidak pernah puas terhadap kesenangan. Bunuh diri anomik terjadi ketika menempatkan orang dalam situasi norma lama tidak berlaku lagi sementara norma baru belum dikembangkan (tidak ada pegangan hidup). Bunuh diri semacam ini tidak berhubungan = " A = " 1 ! + = %/ / ; " % ! !! 1 ! +2 dengan kemiskinan tetapi berasal dari frustasi dan keputusasaan yang diakibatkan oleh keinginan-keinginan yang tidak dapat diwujudkan.30 Contoh: bunuh diri dalam situasi depresi ekonomi seperti pabrik yang tutup sehingga para tenaga kerjanya kehilangan pekerjaan, dan mereka lepas dari pengaruh regulatif yang selama ini mereka rasakan. Contoh lainnya seperti booming ekonomi yaitu bahwa kesuksesan yang tiba-tiba individu menjauh dari struktur tradisional tempat mereka sebelumnya melekatkan diri. Bunuh diri anomik juga bisa disebabkan oleh hilangnya aturan matrimonial di mana perkawinan yang mengatur hubungan cinta dan perceraian yang terjadi di mana-mana menjadi suatu indikator adanya anomie dalam perkawinan (anomie conjugal).31 Teori bunuh diri (Suicide) Durkheim dapat dilihat dengan jelas melalui memahami dua fakta sosial utama yang membentuknya, yakni integrasi dan regulasi. Integrasi merujuk pada kuat tidaknya keterikatan dengan masyarakat dan regulasi merujuk pada tingkat paksaaan eksternal yang dirasakan oleh individu. Menurut Durkheim, kedua arus sosial tersebut adalah variabel yang saling berkaitan dan angka bunuh diri meningkat ketika salah satu arus menurun dan yang lain meningkat. Sehingga dibutuhkan moral untuk mengontrol dan menghindari berbagai penyimpangan yang mungkin terjadi. + < / = " / 0 ''% 1 ! '9 '' ' ! 33 Moralitas merupakan sutau aturan yang menjadi patokan bagi tindakan dan perilaku manusia dan interaksinya di dalam masyarakat. Konsep Durkheim mengenai moralitas ini merujuk pada apa yang dinamakan norms (norma-norma) dan rules (aturan-aturan) yang harus dijadikan acuan dalam berinteraksi. Nilai-nilai moral dan interaksi dalam kehidupan masyarakat dangat mempengaruhi proses integrasi sosial. Berdasarkan teori bunuh diri (Suicide) yang dipaparkan oleh Durkheim, maka setidaknya ada dua bentuk integrasi yakni integrasi rendah dan integrasi tinggi. Pertama, integrasi rendah. Dalam kelompok yang memiliki integrasi rendah anggota-anggota kelompok cenderung individualistis yang mengurangi perasaan kelompok. Kedua, integrasi tinggi. Dalam kelompok yang memiliki integrasi tinggi, anggota-anggota kelompok lebih kompak dan solid atau memperlihatkan perasaan sebagai anggota kelompok yang tinggi.32 Menurut Durkheim, konsensus atau kesepakatan mengenai seperangkat nilai merupakan kekuatan untuk mengintegrasikan atau mengukuhkan masyarakat.33 Melalui konsensus (kesepakatan) di antara anggota-anggota masyarakat, maka semua anggota masyarakat dapat memahami satu sama lain. Dan pada akhirnya akan menimbulkan kondisi aman dan tentram serta integrasi dalam masyarakat tersebut. * 1 8 ; ; ( / / $ ++ 2 ) 9 (< II.2.5 Teori Agama Dalam teori ini Durkheim mengulas sifat-sifat, sumber bentukbentuk, akibat, dan variasi agama dari sudut pandang sosiologis. Menurut Durkheim, agama merupakan ”a unified system of belief and practices relative to sacret things”, dan selanjutnya “that is to say, things set apart and forbidden – belief and practices which unite into one single moral community called church all those who adhere to them.”34 Dalam pandangannya, agama merupakan serangkaian keyakinan dan praktik yang berkaitan dengan sesuatu yang sakral, sesuatu yang terlarang, keyakinan dan praktik yang menyatukan satu komunitas moral. Agama menurut Durkheim berasal dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profan atau duniawi. Hal-hal yang sakral adalah hal-hal yang dilindungi dan diisolasi oleh larangan-larangan; hal-hal yang profan adalah hal-hal tempat larangan-larangan itu diterapkan dan harus tetap dibiarkan berjarak dari hal-hal yang sakral.35 Kesakralan itu terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan manusia.36 Agama di mata Durkheim adalah sesuatu yang kolektif. Agama adalah sebuah fenomena sosial yang menjadi sumber kekuatan moral. Ideide keagamaan muncul dari dalam lingkungan sosial. Agama merupakan ! * A ,/ ' " / < A% %? ) + + ? $ ; @ " 3 ! ,'@ 0 " > (< ? A 1 8 ( 2 * " / ) ++ !+ * )+ " ( perwujudan dari collective consciouness sekalipun selalu ada perwujudanperwujudan lainnya. Agama merupakan lambang collective representation. Dalam bentuknya yang ideal, agama adalah sarana untuk memperkuat kesadaran kolektif seperti ritus-ritus agama. Ritus-ritus merupakan aturan tentang laku-laku yang menentukan bagaimana manusia harus mengatur hubungan dirinya dengan hal-hal yang sakral.37 Objekobjek dan tanda-tanda sakral adalah simbol. Dengan pemahaman itulah Durkheim melakukan analisa terhadap sistem keagamaan suku Arunta di Australia dengan bertolak dari sistem keagamaan di Amerika. Durkheim mengidentifikasikan sistem keagamaan mereka sebagai bentuk totemisme, yang dianggap sebagai bentuk dasar kehidupan beragama. Totemisme di mata Durkheim merupakan “a whole complex of beliefs and ritual that involved a ritual attitude toward nature, and a cosmology that expresse the idea that human and nature form a part of a spiritual totality.”38 Totemisme memiliki tema-tema pokok yang penting. Pertama, adanya kelompok-kelompok sembahan khusus, khususnya yang terkait dengan orang-orang dekat yang dimaksdkan untuk melaksanakan ritualritual di tempat totemik-totemik yang dianggap suci. Tempat-tempat yang berhubungan dengan roh-roh nenek moyang tertentu atau makhluk mistik; Kedua, setiap kelompok totemik memiliki objek-objek ritual yang diyakini /0 ,/ ' 9 ; 6 - " / ( ( 3 ! % " ' > $ memiliki kekuatan supernatural. Objek ritual ini terdiri dari kayu-kayu, batu-batu yang menyimbolkan pahlawan-pahlawan langit atau nenek moyang totemik. Objek-objek ritual memainkan peranan penting dalam ritus-ritus inisasi; dan Ketiga, masing-masing kelompok totemik memiliki keterkaitan dengan totem-totem khusus, yang biasanya berupa spesiesspesies natural, tetapi juga fenomen natural, angin, hujan, hutan.39 Bagi Durkheim, di balik totemisme terdapat gagasan mengenai kekuatan impersonal atau apa yang ia sebut sebagai “face of the totemic principle” yang menjelma dalam manusia dan fenomena natural. Tuhan sebuah suku hanyalah roh nenek moyang yang pada akhirnya menduduki tempat yang sangat tinggi.40 Dalam pandangan Durkheim, Tuhan adalah ekspresi figuratif dari masyarakat. Semua benda dan makhluk yang oleh manusia diberi sifat sakral pada dasarnya hanyalah lambang-lambang dari kelompok manusia itu sendiri. Yang terpenting dari segala yang sakral adalah kemampuannya untuk membangkitkan rasa hormat dan karena itu ia memiliki kekuatan untuk mengatur tingkah laku manusia dan mengukuhkan nilai-nilai moral bersama.41 7 : *" ? " ' 6 ( !+ 3 ! ,'@ 0 " > * ++3 , ! " / ! 5 ! " , ) ' ) II.3 Pela di Maluku Pela merupakan salah satu kearifan lokal yang memperkuat kerukunan di Maluku. Pela adalah suatu sistem hubungan sosial yang dikenal dalam masyarakat Maluku berupa suatu perjanjian hubungan antara satu Negeri (desa) dengan negeri lainnya yang biasanya berada di pulau lain dan kadang juga menganut agama lain. Di Maluku, biasanya satu Negeri memiliki satu atau dua Pela. Sistem perjanjian ini diperkirakan telah dikenal sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Maluku, dan digunakan untuk memperkuat pertahanan terhadap serbuan bangsa Eropa pada waktu itu. John Ruhulessin mengungkapkan sekurang-kurangnya terdapat tiga macam pengertian mengenai kata Pela. Pertama, dalam lingkungan kebahasaan daerah Uli Hatuhaha (negeri Pelauw, Kailolo, Ruhumoni, Kabauw dan Hulaliu) di pulau Haruku, pela berarti “sudah”. Dalam lingkungan kebahasaan Uli Solimata (Tulehu, Tengah-tengah dan Tial) di pulau Ambon, pela berarti “cukup”. Istilah peia sama dengan istilah pela nia yang artinya “sampe jua”. Biasanya hubungan pela dilatar belakangi oleh konflik atau perang yang pernah terjadi, yang mengakibatkan hancurnya ikatan-ikatan kekeluargaan. Dalam konteks ini, pela dimaksudkan untuk mengakhiri kondisi kehancuran tersebut. Kedua, dalam lingkungan kebahasaan masyarakat di Seram, kata ini diaksarakan dengan kata “peia” yang menunjuk pada “saudara” yang terambil dari tradisi Kakehan. Saudara dalam tradisi kakehan tidak menunjuk pada faktor ! genealogis melainkan pada keanggotaan suku. Sebuah ikatan yang menyatukan satu negeri dengan negeri yang lain sebagai orang basudara. Ketiga, kata pela juga diartikan sebagai “orang tua-tua dulu punya keterkaitan”, yang berasal dari istilah Pela-hela. Jadi pela merupakan sesuatu yang berasal dari orang tua atau leluhur. Penghormatan kepada orang tua dalam konsep masyarakat Seram sebagai pusat narasi kultural orang Maluku sangat kuat. Mereka menganggap apa yang telah dilakukan oleh orang tua-tua adalah ajaran kebijaksanaan yang bersifat etik.42 Sementara itu, Dieter Bartels mendifinisikan pela sebagai suatu sistem persahabatan, atau sistem persaudaraan atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan atau sistem tersebut telah diterapkan oleh para leluhur dalam keadaan khusus, dan menyertakan hak-hak serta kewajiban-kewajiban tertentu bagi pihak-pihak yang ada dan terikat oleh akta perjanjian ikatan pela.43 Faktor yang menyatukan negeri-negeri berpela adalah kesadaran bahwa mereka berasal dari satu nenek moyang yang pernah menetap pada satu wilayah teritorial yang sama. Hal ini menghasilkan rasa persaudaraan yang dipakai sebagai dasar hubungan masyarakat. Dari nilai persaudaraan inilah individu bahkan masyarakat membangun nilai dalam hidup kemasyarakatan yang lebih luas. Ruhulessin menyebutkan bahwa pemahaman mengenai saudara merupakan ! ! ! ! 5 3 ! 3 !! standar dan motif etik bagi cara individu mengembangkan sikapnya satu terhadap yang lain.44 II.3.1 Bentuk-bentuk Pela Latar belakang terjadinya pela berbeda antara satu negeri dengan negeri lainnya. Bertels menyebutkan beberapa hal yang membentuk hubungan pela antar negeri di Maluku yakni pertama, Hubungan pela sebagai balas jasa dari negeri yang satu kepada negeri yang lain yang pernah membantu baik dalam lapangan politik (peperangan) maupun dalam ranah sosial (bencana alam, pertolongan di laut, dll). Kedua, Hubungan pela sebab adanya hubungan persaudaraan di masa lalu antara negeri yang bersangkutan menurut cerita dari datuk-datuk mereka bahwa mereka adalah saudara kandung. Ketiga, hubungan pela yang terjadi karena alasan yang luar biasa, seperti pela yang terjadi antara negeri Latuhalat di Nusaniwe dan negeri Allang di Tanjung Allang, yang konon disebabkan oleh kisah cinta.45 Bartels juga mengungkapkan klasifikasi dari berbagai jenis pela. Kategori pertama adalah katgori sejarah dan kategori kedua adalah kategori fungsi. Dari segi sejarah, pela dibuat sejak masa pra-kolonial yang berfungsi sebagai persekutuan perang dan perjanjian perdamaian (war alliance and peace treaty). Ikatan pela perang itu bersifat keras, !! ! 32 !3 " 9 . ' " / " & " ) !3 * abadi. Contohnya: Pela Batu Karang/Pela Keras atau Pela Tumpah Darah. Jenis Pela Darah atau Pela Batu Karang adalah ikatan hubungan berpela antar sekutu pela yang ditetapkan secara ketat melalui sumpah para leluhur dengan cara mengangkat sumpah, meminum darah sebagai bentuk legitimasi pela selamanya. Termasuk di dalamnya saling membantu dalam suka dan duka hingga larangan untuk saling menikah antar sekutu pela.46 II.3.2 Pandangan Dunia Masyarakat Maluku Pemahaman mengenai pela dan tradisi pela di Maluku tidak dapat dipisahkan dari pandangan dunia atau worldview masyarakatnya. Cara pandang masyarakat Maluku menunjukkan eksistensinya. Worldview suatu masyarakat dapat dijelaskan melalui penggambaran cara hidup. 1. Agama Nunusaku Masyarakat Maluku Tengah memiliki keyakinan bahwa mereka semua berasal dari sebuah gunung bernama Nunusaku. Menurut F. Litaay, Nunusaku adalah sebuah gunung yang dipandang sakral di Seram bagian Barat, dekat negeri Manusa Manuwe.47 Bagi masyarakat Maluku Tengah, Nunusaku merupakan pusat dunia. Nunusaku juga diyakini sebagai titik dimulainya penciptaan manusia pertama dan tempat penghakiman terakhir. Kepercayaan inilah yang !2 *" ? " ' 4' ( 9 . , 01 6 - ! ! ) ' ) ) 1 ) 7 : !2 % < menjadi dasar dan identitas masyarakat Maluku Tengah baik Islam maupun Kristen. Bartels menyebut Nunusaku sebagai ‘Gunung Bayangan’, yang dimahkotai pohon beringin yang mengayomi, ibarat sebuah payung yang memberi perlindungan baik kepada kaum Muslimin maupun Nasrani dan merupakan sendi dari satu ‘agama bayangan’ (invisible religion) yang mengatasi (transcends) kedua agama di Pulau Seram.48 Intisari Agama Nunusaku adalah sistem kepercayaan tradisional pra-Muslim dan pra-Kristen yang didasarkan pada pemujaan leluhur. Setelah beralih kepada Islam atau Kekristenan, kedua pihak masyarakat sebagian besar melanjutkan cara hidup menurut hukum dan kebiasaan (adat) yang ditetapkan atas dasar kepercayaan mistik di masa lalu oleh leluhur mereka.49 2. Kosmologi Orang Maluku Agama Nunusaku berkaitan dengan kepercayaan terhadap leluhur. Adalah penting untuk menggunakan kosmologi orang Ambon dalam memahami pandangan masyarakat Maluku, khususnya Ambon, mengenai konsep leluhur. Ada tiga unsur penting dalam kosmologi orang Ambon, yakni manusia di tengah alam sekitar yang penuh pertentangan, angka dan ! =' B ? < " $ " < ! * 6 9 ' ) 2 % ) ) +++ ! + ! penjumlahan angka (kombinasi angka-angka) dan manusia dan kelompoknya.50 Pertama, Manusia di tengah alam sekitar yang penuh pertentangan. Inti pemahaman ini adalah bahwa manusia berada di tengah lingkungan yang penuh pertentangan. Sehingga manusia harus berupaya menciptakan keseimbangan. Dalam konsep ini, manusia berperan sebagai pusat. Konsep manusia Maluku, sebagai materialisasi falsafah fisiologis, membentuk suatu jaringan fungsional. Manusia terdiri dari dimensi Hesam/asa, Hatu dan hesam hesa. Hesam/asa adalah kepala. Hesam/asa menunjuk pada pranata tertinggi yang mengandung di dalamnya aspek kekuasaan dan nilai-nilai tertinggi atau utama dari hidup. Konsep teologis dari agama Nunusaku melihat Asa sebagai sebuah wilayah transenden yang juga mengandung kuasa menata, mengawasi, memelihara, menertibkan tatanan hidup masyarakat. Hatu atau alas mengandung pengertian bahwa manusia tidak terpisah dari tanah sebagai hak genealogis yang diwarisi secara turun-temurun. Leluhur dipahami sebagai manusia-manusia pertama yang meletakan dasar-dasar negeri, menyelenggarakan norma dan menciptakan sebuah sistem tertib sosial. Antara Hesam/Asa dan Hatu sering terjadi pertentangan. Sehingga dibutuhkan Hesam Hesa sebagai titik temu dan titik 3+ *" ? " ' ! 5 ! penyeimbang antara Hesam dan Hatu. Hesam Hesa berfungsi sebagai suatu kekuatan pengendali yang mempertemukan Hesam dengan Hatu dan juga menjaga harmoni kemanusiaan. Selain pertentangan antara Hesam dan Hatu, ada juga pertentangan antara Ama (ayah) dan Ina (ibu). Ama menggambarkan manusia yang mandul dan Ina menggambarkan manusia yang berkembang biak. Untuk dapat bertahan hidup dengan aman, maka dibutuhkan keseimbangan dan keserasian di antara keduanya. Kedua, angka dan penjumlahan angka (kombinasi angkaangka). Pertentangan dan kecocokan antara unsur-unsur atau dimensi-dimensi dijelmakan dalam kombinasi angka-angka. Ama dan Ina dipahami sebagai dua pihak yang harus menyatu demi keseimbangan. Uli Lima termasuk kelompok Ama dan merupakan persekutuan yang disebut Aman atau Uli dari Ama. Pimpinannya digelar Amanupunyo atau Uli Upu Aman. Sedangkan Uli Siwa termasuk dalam kelompok Ina yang terdiri dari Hena-Hena atau Uli dari Ina. Pemimpinnya digelar Upu Hena. Angka 9 dan 5 yang terdapat pada masing-masing Uli menunjukkan keserasian, keseimbangan dan dipimpin oleh masing-masing Upu.51 Ketiga, manusia dan kelompoknya. Dalam kelompoknya, setiap anggota berusaha untuk berada dan berfungsi sesuai 3 ! ! keberadaannya masing-masing. Setiap manusia dalam kelompoknya berbeda satu dengan yang lain. Namun perbedaan itulah yang membuat mereka penting bagi kelompoknya. Usaha untuk mencari keseimbangan menghasilkan adat. Adat adalah segala kebijaksanaan untuk mengadakan peraturan pada pelbagai tindakan yang menyangkut kehidupan bersama.52 Adat dipergunakan oleh nenek moyang ketika mereka mulai membangun kelompok pertama. Adat bertujuan untuk mencapai keseimbangan dan keserasian antara para anggota, manusia dengan sesama, dengan alam sekitar, antara negeri yang satu dengan negeri yang lain. Berdasarkan kosmologinya, orang Ambon mengembangkan kehidupan masyarakat adatnya yang merupakan suatu komunitas dengan leluhur mereka. Upu dan tete nene moyang adalah istilah umum yang sering dipakai untuk menyebut leluhur. Tete nene moyang memiliki peran untuk melindungi tetapi juga menghukum. Setiap negeri memiliki Tete nene moyang. Terkadang juga dua atau tiga negeri memiliki leluhur yang sama jika mereka memiliki hubungan kekerabatan. Orang Ambon sangat percaya pada tiga kekuatan yaitu gunung, tanah dan Tete nene moyang. Gunung mewakili unsur langit (laki-laki), tanah mewakili unsur bumi (perempuan) dan Tete nene moyang mewakili roh leluhur. Manusia akan terlindung apabila 3 3 3+ menjaga hubungan baik dan teratur dengan leluhur, termasuk melaksanakan kebijakan-kebijakan adat yang telah diturunkan oleh leluhur. Hubungan itu dimaksudkan untuk menjaga keselarasan, keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan pribadi, sosial dan negeri.53 3 3