BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya Pepaya (Carica papaya L

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pepaya
Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang sudah dikenal oleh
masyarakat dan merupakan tanaman family caricaceae yang berasal dari Meksiko
Selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan, dan kini banyak ditanam di daerah
tropis. Pohon pepaya mempunyai sifat khas, yaitu dapat tumbuh dengan cepat karena
ditanam dari benih, sesudah 6 bulan tingginya mencapai 2 meter dan sudah mulai
berbuah. Tanaman tersebut kini menyebar luas dan banyak ditanam di seluruh daerah
tropis untuk diambil buahnya. Pohon pepaya umumnya tidak bercabang atau
bercabang sedikit, tumbuh setinggi 5-10 m dengan daun yang membentuk serupa
spiral pada batang pohon bagian atas. Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang
panjang dan berlubang di bagian tengah (Kalie, 1996).
Pepaya memiliki tiga jenis bunga, yaitu: bunga jantan, bunga betina, dan
bunga hermaprodit. Bunga pepaya memiliki mahkota bunga berwarna kuning pucat
dengan tangkai atau duduk pada batang. Bunga jantan tumbuh pada tangkai panjang
dan berbentuk ramping dengan mahkota bunga terdiri dari 5 helai dan berukuran
kecil. Bunga betina memiliki lima buah putik, berukuran agak besar dan memiliki
bakal buah yang berbentuk bulat, sehingga akan menghasilkan buah yang berbentuk
bulat juga. Bunga hermafrodit memiliki putik dengan bakal buah dan benang sari.
Bunga hermafrodit dibedakan menjadi bunga hermafrodit elongate, bunga
hermafrodit pentadria, dan bunga hermafrodit antara. Bentuk buah pepaya bulat
hingga memanjang, dengan ujung biasanya meruncing. Warna buah ketika muda
hijau gelap, dan setelah masak hijau muda hingga kuning. Bentuk buah membulat
bila berasal dari tanaman betina. Bagian tengah buah berongga (Kalie, 1996).
8
8
9
Berikut adalah klasifikasi dari tanaman pepaya :
Tabel 2.1. Klasifikasi Tanaman Pepaya
Domain
Tumbuhan Berbunga
Kingdom
Plantae
Subkingdom
Tracheobionta
Class
Magnoliophyta
Superdivision
Spermatophyta
Phylum
Steptophyta
Order
Brassicales
Family
Caricaceae
Genus
Carica
Spesies
Carica papayaLinn
(Sumber : Milind dan Gurdita, 2011)
2.1.1
Kandungan gizi daun pepaya
Kandungan gizi daun pepaya terdiri dari :
Tabel 2.2. Kandungan Gizi Daun Pepaya
Energi
Air
Protein
Lemak
Karbohidrat
Fosfor
Kalsium
Potasium
Besi
Natrium
Kalium
Beta – Karoten
Vitamin B1
Jumlah (per 100 gram)
79 kCal
75,4 g
8,0 g
2,0 g
11,9 g
63 mg
353 mg
142 mg
0,8 mg
16 mg
652 mg
11,565 µg
0,09 mg
Vitamin B2
Vitamin B3
Vitamin C
Vitamin E
Vitamin A
0,48 mg
2,1 mg
140 mg
136 mg
18,250 SI
(Sumber :http://rmegga71.blogspot.com/manfaat-pepaya-daun-dan-buahnya.html, 09 April
2013)
10
2.1.2
Kandungan kimia daun pepaya
Kandungan kimia dari daun pepaya adalah alkaloid karpain, dehidrokarpain,
flavonoid, tannin, nikotin, prunasin dan glikosida sianogenik (Duke, 2007). Selain itu
daun pepaya juga mengandung enzim papain yang dilaporkan merupakan enzim
proteolitik cistein dimana enzim ini mempunyai kemampuan proteolitik, yaitu
mampu memecah molekul – molekul protein menjadi bentuk asam amino (Alfa,
2002). Suweta (1995) menyatakan papain mampu menembus kulit telur akibatnya
dapat menganggu perkembangan larva yang ada dalam telur cacing Ascaris suum
dan bahkan dapat membunuh larva cacing oleh daya proteolitik enzim tersebut. Daun
pepaya juga mengandung benzil-isothyocianate (BITC) yang dapat menghambat
asupan glukosa sehingga cacing akan kekurangan glukosa dan secara otomatis akan
menyebabkan kekurangan energi dalam tubuh cacing, dan pada akhirnya
menyebabkan kematian cacing (Singh dan Nagaich, 1999). Karpain terbukti dapat
menghancurkan cacing Ascaris spp, Enterobius vermicularis, dan Trichuris spp
(Yongabi, 2005).
2.1.3
Hasil penelitian antelmintik pepaya
Penelitian tentang tanaman pepaya sebagai anthelmintik herbal telah
dilakukan, diantaranya Ardana (2007), dengan melakukan penelitian herbal serbuk
biji pepaya matang. Hasil penelitian didapatkan bahwa nilai efikasi dan Fecal egg
count reduction (FECR) herbal serbuk biji pepaya matang dengan dosis 3 gram/kg
berat badan babi selama 3 hari berturut-turut sebesar 100% yang setara dengan
pemberian albendazol. Selain itu, pengendalian terhadap infeksi A. suum pada babi
yang bertujuan untuk memutus siklus hidupnya, dilakukan dengan cara menurunkan
daya berembrio dan kerusakan telur cacing A. suum. Model penelitian ini dilakukan
secara in vitro menggunakan telur cacing A. suum yang diperoleh dari uterus cacing
A. suum dari babi penderita askariasis yang dipotong di Rumah Potong Hewan
(RPH) Sanggaran, Denpasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa herbal serbuk biji
pepaya matang yang digunakan untuk merendam telur cacing A. suum secara in vitro
dapat menurunkan daya berembrio secara efektif. Penurunan ini mungkin
11
berhubungan dengan granulasi (koagulasi albumin) kulit telur cacing A. suum yang
direndam dalam herbal serbuk biji pepaya matang tersebut. Penelitian ini bertujuan
mengetahui efek pemberian herbal serbuk biji pepaya matang pada babi penderita
ascariasis terhadap penurunan daya berembrio telur cacing A. suum baik pada tinja
maupun pada uterus cacing yang keluar bersama tinja akibat pengobatan tersebut.
2.2 Cacing Ascaris suum
1.2.1 Taksonomi
Menurut Soulsby (1982), taksonomi cacing Ascaris suum digolongkan
sebagai berikut:
Phylum
:
Class
:
Sub-Class
:
Ordo
:
Super-Familia :
Familia
:
Genus
:
Spesies
:
Nemathelminthes
Nematoda
Scernentea
Ascaridia
Ascaridea
Ascarididae
Ascaris
Ascaris Lumbricoides var .suum
1.2.2 Morfologi cacing dan telur A. suum
Cacing Ascaris suum berbentuk bulat panjang, memiliki kutikula yang tebal
serta memiliki tiga buah bibir tipis pada bagian mulutnya. Pada bibirnya mempunyai
deretan gigi-gigi yang bentuknya menyerupai bentuk gigi pada spesies Ascaris
Lumbricoides. Pada permukaannya terdapat organ sensor, di mana posisinya
berdekatan dengan mulut yang berhubungan dengan radiate esophagus. Masingmasing bibir dilengkapi dengan papil di bagian lateral dan sub ventral. Cacing A.
suum mempunyai diameter penampang lintangnya sekitar 5 mm. Panjang tubuh
cacing dewasa jantan adalah 15-25 cm sedangkan cacing betina dewasa sekitar 20-40
cm (Soulsby, 1982; Noble dan Noble, 1989; Levine, 1994; Suweta, 1995).
Telur cacing Ascaris suum berukuran 50-80 x 40-60 µm, kulit telurnya
tebal, berwarna kuning kecoklatan, serta mempunyai empat lapisan albuminosa, serta
bagian luarnya dilapisi oleh lapisan albumin yang tidak rata sehingga membentuk
tonjolan yang bergerigi dan ini merupakan ciri khas dari genus Ascaris. Telur cacing
Ascaris suum mempunyai ketahanan tinggi terhadap lingkungan luar dan zat kimia
12
karena susunan kulit telurnya yang sangat tebal sehingga sulit untuk memutus mata
rantai daur hidupnya (Levine, 1994). Lapisan luar (out layer) telur cacing Ascaris
suum terdiri dari empat lapisan berwarna kebiruan, bersifat asam dan mengandung
mucopolysaccarida/protein, dengan lapisan terakhir berupa vitelin yang disertai
dengan chitinous sebagai pelindung dari pengaruh mekanis sedangkan lapisan dalam
kulit telur terdiri dari lipid (inner lipid layer) untuk melindungi telur dari pengaruh
zat kimia (Lysek et al, 1985).
Gambar 2. Cacing Ascaris suum dewasa
(Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Ascaris-suum.jpg, 09 April 2013)
1.2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup cacing Ascaris suum terjadi secara langsung. Cacing betina
bertelur dalam usus, dan telur tersebut keluar bersama tinja. Setiap cacing betina
bertelur kurang lebih sebanyak 2 juta butir tiap hari, yang berarti sekitar 6 butir
setiap detik. (Levine, 1994)
Cacing Ascaris suum dalam hidupnya harus melalui dua fase perkembangan,
yakni fase eksternal (di luar tubuh inang) dan fase internal (di dalam tubuh inang).
Fase eksternal dimulai saat keluarnya telur cacing dari tubuh babi bersama tinja saat
terjadi defikasi. Telur ini tidak bersegmen dan belum infektif sampai waktu 30 hari
sampai 40 hari pada suhu 180 sampai 200. Di luar, pada kondisi lingkungan yang
menunjang, telur akan berkembang sehingga di dalam telur berbentuk larva stadium I.
Bila kondisi tetap menunjang, larva stadium I akan berkembang lebih lanjut menjadi
larva stadium II yang tetap berada dalam telur. Telur yang mengandung larva
13
stadium II bersifat infeksius (telur infektif) dan siap menulari ternak babi apabila
telur tertelan melalui makanan (Soulsby, 1982).
Fase internal dimulai saat telur yang infektif tertelan oleh hospes definitif. Di
dalam usus halus, telur infektif tersebut dicerna oleh enzim pencernaan dan
terbebaslah larva stadium II. Larva stadium II akan menembus dinding usus halus
menuju hati atau larva akan mengikuti peredaran darah vena porta menuju ke hati.
Selanjutnya larva stadium II tersebut menembus kapsul hati dan masuk melalui selsel parenkem hati untuk selanjutnya ikut peredaran darah dari hati menuju ke jantung,
paru-paru, dan bahkan dapat menyebar seluruh organ tubuh. Jika babi bunting dapat
terjadi infeksi prenatal. Juga larva dapat mencapai kelenjar susu, didalam kelenjar
susu, larva cacing akan bersifat dorman (tidak berkembang lebih lanjut atau
mengalami fase istirahat ) dan baru akan berkembang didalam tubuh keturunannya
(anak) bila mana sudah lahir dan penularannya melalui air susu. Didalam paru-paru
larva stadium II berkembang menjadi larva stadium III, kemudian keluar dari kapiler
alveoli paru-paru menuju bronchioli, bronchi dan selanjutnya ke trachea, pharing
(iritasi terjadi proses batuk) kemudian tertelan kembali oleh usus halus. Di dalam
usus halus larva stadium III menjadi larva stadium IV, kemudian larva stadium IV
menjadi larva stadium V, dan larva stadium V berkembang menjadi cacing dewasa
(Seddon, 1967 ; Soulsby, 1982 dan Levine, 1994).
Jadi siklus hidup Ascaris suum sangat sederhana dan tidak memerlukan inang
perantara atau siklus hidup langsung (Mukayat, 1987). Tetapi lalat rumah (Musca
domestica) merupakan salah satu vektor mekanik (Seddon, 1967). Sedangkan
menurut Noble dan Noble (1989) cacing tanah dan kumbang tinja (Geotrupes) dapat
bertindak sebagai hospes cadangan (reservoir host) bagi larva Ascaris suum.
Ditelan babi
14
Paru paru
Usus
Hati
Feses
babi
Ditelan babi
Larva A.suum
Stadium II
Telur A.suum
Gambar 3. Siklus hidup cacing Ascaris suum
(Sumber : http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Ascaris-suum.jpg, 09 April 2013)
2.2.4
Patogenesis
Larva maupun cacing dewasa Ascaris suum menyebabkan kerusakan dari
jaringan tubuh inang definitif. Gejala khas dari cacing ini adalah timbulnya “milk
spot” atau disebut sebagai bintik putih pada hati dan terbentuk filament-filamen
fibrosis oleh larva cacing A. suum (Levine, 1994). Hal ini disebabkan oleh
migrasinya larva cacing ke hati melalui vena porta, yang menyebabkan reaksi
inflamasi pada hati, nekrosis interlobular, dan reaksi granulose. Jaringan interlobular
akan menebal karena terjadi pembentukan kolagen yang disertai oleh infiltrasi
eosinofil. Kejadian “milk spot” ini akan berangsur-angsur menghilang ketika larva
Ascaris suum meninggalkan lokasi tersebut setelah 4-6 minggu. Akibat infeksi yang
berulang akan menimbulkan jaringan fibrotik di organ hati babi (Dunn, 1978).
Di dalam paru-paru larva Ascaris suum menyebabkan infeksi primer yang
tidak terlalu parah, yaitu terjadinya kerusakan pada alveoli, hemoragi, dan infiltrasi
sel radang yang bersifat lokal (Dunn, 1978). Pada kondisi infeksi yang lebih berat
cacing ini menyebabkan pneumonia vermirosa. Kondisi ini disertai juga dengan
batuk yang asmatik, sulit bernafas, oedema, pusat-pusat hemoragik, dan emfisema
(Levine, 1994). Jaringan paru-paru menjadi tebal dan basah sehingga menyebabkan
inefisiensi respirasi, yang semakin diperparah dengan adanya debu, ammonia, dan
15
bakteri (Corwin dan Tubbs, 1993). Jika virus influenza babi yang bersifat laten
masuk ke tubuh babi, maka akan mengakibatkan gejala yang lebih parah seperti
mycoplasma dan viral pneumonia. Selain itu masuknya larva ke dalam paru-paru
akan mengakibatkan penurunan bobot badan, keadaan rambut yang kusam dan
peningkatan temperature tubuh (Straw, 1991).
Pada organ saluran pencernaan khususnya usus halus, cacing ini dapat
menyebabkan kerusakan pada mukosa usus. Jika dalam kondisi infeksi yang hebat
dapat menyebabkan obstruksi usus (Johnstone, 2000).
2.2.5
Gejala klinik
Ascariosis merupakan infeksi parasit cacing Ascaris suum. Ternak babi yang
terkena ascariosis mengalami penurunan nafsu makan, diare dan dalam kondisi yang
ekstrim dapat menyebabkan kekurusan. Akibat infeksi cacing A. suum, babi dapat
mengalami gejala kolik disebabkan karena rusaknya mukosa usus dengan sangat
hebat sehingga gerakan peristaltik usus terganggu. Gejala kolik dapat terjadi jika
babi terkena infeksi dalam kondisi yang ekstrim, yakni jumlah cacing yang sangat
banyak dan disertai pertumbuhan cacing yang pesat (Corwin dan Tubbs, 2005).
2.2.6
Diagnosa
Diagnosa ascariosis dapat dilihat berdasarkan gejala klinis yang timbul, dan
dapat juga dilakukan pemeriksaan sampel tinja untuk melihat ada atau tidaknya telur
cacing Ascaris suum pada ternak babi. Jika pada pemeriksaan tidak ditemukan telur
cacing maka belum dapat dipastikan bahwa ternak babi benar-benar bebas dari
ascariosis. Kemungkinan ini dapat terjadi jika infeksi baru terjadi dan belum
memasuki fase dewasa untuk menghasilkan telur. Selama fase pulmonary dapat
dilakukan pemeriksaan kehadiran larva Ascaris suum dengan melakukan
pemeriksaan usapan kerongkongan. Juga dapat dilakukan pemeriksaan post mortem
dari babi yang mati. (Dunn, 1978)
16
2.2.7
Terapi
Untuk mengatasi dan mencegah infeksi yang disebabkan cacing Ascaris suum
puluhan obat telah diproduksi dan dipasarkan. Untuk pengobatan terhadap infeksi
cacing Ascaris suum dapat digunakan obat seperti ; Piperazin dengan dosis untuk
sapi dan babi 275-440 mg/kg bb. Dichlorvos dengan dosis untuk babi 11-12 mg/kg
bb. Trichlorphon dengan dosis untuk babi 50 mg/kg bb. Pirantel tartrat dengan dosis
untuk ruminansia, unta, babi 25 mg/kg bb. Tetramisol dengan dosis untuk babi 15
mg/kg bb. Levamisole dengan dosis untuk babi 360 mg/50 kg bb. Cambendazol
dengan dosis untuk babi 20-40 mg/kg bb. Fenbendazol dengan dosis untuk babi 3-6
mg/kg bb. Oxfendazol dengan dosis untuk babi 3 mg/kg bb. Parbendazol dengan
dosis untuk babi 25-50 mg/kg bb. (Subroto dan Ida, 2001).
2.2.8
Albendazol
Albendazol merupakan antelmintik dengan spectrum yang sangat luas dari
golongan benzimidazole carbamates. Selain bekerja terhadap cacing dewasa,
albendazol telah terbukti mempunyai aktivitas larvasidal dan ovisidal terhadap
cacing Ascaris suum. Obat ini secara selektif bekerja menghambat pengambilan
glukosa oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal. Akibatnya
terjadi pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit yang mana akan
mengakibatkan berkurangnya pembentukan adenosin tri phospat (ATP). ATP ini
penting untuk reproduksi dan mempertahankan hidupnya, dan kemudian parasit akan
mati (Bertram, 2004).
Albendazol sedikit larut dalam air sehingga hanya 5% saja yang diserap oleh
usus. Kadar obat tertinggi dalam darah tercapai 2-5 jam setelah pengobatan. Ekskresi
obat ini kebanyakan bersama tinja dan hanya 5% melalui urin. Albendazol yang
terserap dalam usus akan mengalami biotransformasi di hati menjadi bentuk aktif
sulfoksida yang kemudian kembali ke usus. Bentuk ini lama bertahan dalam darah
dan bersifat aktif untuk anti parasit pada jaringan lain (Fresser, et al., 1986)
Download