KBBI - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah seorang
yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Dari definisi
perempuan dan wanita yang tercantum dalam KBBI, arti dari kata tersebut hanya
berkaitan dengan hal biologis saja tidak ada pernyataan yang berkaitan dengan
suatu pekerjaan. Namun saat di saat ini, definisi perempuan mengalami
perkembangan berupa hal yang berkaitan dengan sebuah pekerjaan. Kehadiran
perempuan di sektor publik merupakan efek dari adanya emansipasi wanita yang
dibawa oleh Kartini. Sehingga kehadiran mereka menciptakan peran-peran sosial
di antara perempuan dan laki-laki yang kemudian disebut sebagai gender. Terdapat
berbagai macam konsep yang menjelaskan apa itu gender?, namun secara umum
gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2010, hal. 8).
Misalnya saja sifat-sifat yang melekat pada perempuan dan laki-laki. Perempuan
merupakan sosok yang lembut, sedangkan laki-laki kasar. Sifat-sifat tersebutlah
yang muncul dari penilaian masyarakat sehingga menimbulkan peran-peran sosial
di antara keduanya.
Keterlibatan perempuan di sektor publik masih menjadi isu yang hangat.
Hal ini menjadi tantangan dan tentu saja ukuran suatu negara terhadap keterbukaan
partisipasi perempuan. Di negara-negara maju seperti Swedia dan Amerika Serikat
1
keikutsertaan perempuan dianggap sebagai kemajuan. Oleh karena itu di parlemen,
militer maupun kesempatan kerja perempuan tidak dibedakan lagi.
Masyarakat masih memandang gender sebagai jenis kelamin. Padahal
sebenanrnya gender tersebut bukan hanya fokus pada ketidakadilan ataupun
ketimpangan tetapi mengenai peran sosial yang dilakukan baik itu oleh perempuan
maupun laki-laki. Peran sosial inilah yang terkadang menimbulkan ketidakadilan
khususnya bagi perempuan. Sehingga dari permasalahan itu gender selalu
diidentikan dengan ketidakadilan, ketimpangan.
Relasi sosial antara perempan dan laki-laki selama ini tak hanya
menimbulkan gesekan melainkan pula tumpang tindih. Kondisi biologis perempuan
sering kali dieksploitasi oleh laki-laki untuk mendudukan perempuan di kelas dua.
Pelbagai praktik sosial menunjukkan betapa kuatnya laki-laki atas perempuan.
Gender identik dengan gerakan feminisme. Feminis menekankan bahwa
perbedaan peran berdasarkan gender merupakan produk budaya dan bukan dari
adanya perbedaan biologis. Karena itu para feminisme berupaya memerangi praktik
sosial yang menindas. Meski dalam kenyataannya banyak keganjilan yang
ditunjukkan oleh feminis sendiri. Misalnya misi utama agenda feminis mainstream
yang memfokuskan pada bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara
kuantitatif, yaitu para pria dan wanita harus sama-sama (fifty-fifty) berperan baik di
luar maupun di dalam rumah (Megawangi, Membiarkan Berbeda ?: Sudut Pandang
Baru Tentang Relasi Gender, 1999, hal. 9). Misi ini dianggap memaksakan.
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan tidaklah muncul begitu
saja melainkan melalui proses yang sangat panjang. Perbedaan tersebut dibentuk
2
oleh berbagai macam hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksikan secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun
negara (Fakih, 2010, hal. 9). Terkadang dari perbedaan-perbedaan inilah yang
menimbulkan hadirnya ketidakadilan baik bagi perempuan ataupun laki-laki.
Namun yang sering terjadi adalah ketidakadilan tersebut mengacu pada kaum
perempuan meskipun ada juga ketidakadilan yang dialami oleh kaum laki-laki.
Kaum laki-laki dan perempuan merupakan korban dari struktur dan sistem yang
dihasilkan oleh adan,ya gender. Terdapat berbagai macam bentuk ketidakadilan
gender yang ada di masyarakat, yaitu marginalisasi perempuan atau proses
pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan
politik, pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan, beban
kerja lebih panjang dan lebih banyak, serta sosialisasi ideologi nilai peran gender
(Fakih, 2010, hal. 13). Ketidakadilan yang disebutkan tadi banyak dialami oleh
kaum perempuan. Oleh karena itu, ketidakadilan gender lebih mengacu kepada
kaum perempuan.
Terkadang banyak perempuan yang tidak menyadari adanya ketidakadilan
pada dirinya. Mereka hanya patuh dengan konstruksi yang sudah ada di masyarakat.
Mereka tidak ambil pusing dengan peran yang sudah dijalani dari nenek moyangnya
selama bertahun-tahun, mereka tidak masalah jika masyarakat mengonstruksi
bahwa perempuan hanya pandai bekerja di sektor domestik. Pada umumnya hal
seperti itu dialami oleh perempuan yang memiliki pendidikan rendah. Berbeda
dengan kaum perempuan yang berpendidikan tinggi. Mereka lebih menginginkan
untuk bekerja di sektor publik dari pada hanya berkutat dengan sektor domestik
saja. Mereka lebih ingin memiliki peran di masyarakat serta secara tidak langsung
3
mereka ingin melawan ketidakadilan kaum perempuan di sektor publik. Kaum
perempuan seperti ini ingin menyetarakan perannya di masyarakat dengan peran
kaum laki-laki yang dianggap lebih unggul oleh konstruksi sosial.
Sudah berbagai macam cara dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan
gender. Namun kesetaraan gender masih banyak yang menggunakan standar ukuran
maskulin. Sehingga kesetaraan gender 50/50 yang menggunakan standar ukuran
maskulin (materi, status, dan power) hanya dapat dicapai dengan mengubah
institusi budaya agar “nature” wanita juga dapat berubah (Megawangi, 1999, hal.
111). Keberhasilan standar maskulin sangatlah berbeda jauh dengan sifat kaum
perempuan itu sendiri, yaitu keterikatan, dependen, berkorban, pengasuh, tidak
mampu mengontrol keadaan, dan orientasi sirkular. Padahal dunia publik pada
umumnya menggunakan indikator keberhasilan yang linear progresif. Sehingga
untuk mencapai keberhasilan di dunia publik, perempuan harus masuk dalam dunia
maskulin seorang laki-laki, memiliki karakter agresif, ambisi kuat, dan mampu
menang dalam persaingan.
Saat ini masyarakat sudah terbiasa terhadap peran perempuan di sektor
publik. Terbiasa melihat dan mengetahui bahwa perempuan pun juga bekerja di
sektor publik baik bekerja kantoran ataupun berwiraswasta. Namun jika perempuan
bekerja di sektor yang sangat maskulin yaitu tidak hanya mengandalkan otak saja
tetapi juga kekuatan, merupakan hal yang masih asing dan dianggap nilai lebih bagi
sebagian masyarakat. Seperti yang telah dikemukakan pada paragraf sebelumnya
bahwa perempuan jika ingin berhasil setara dengan laki-laki maka harus
memasukkan sisi maskulin dalam kehidupannya. Masuknya perempuan di sektor
4
yang sangat maskulin merupakan salah satu upaya mereka untuk mewujudkan
kesetaraan tersebut baik secara sadar ataupun tidak.
Kehadiran perempuan di dunia maskulin pun sudah banyak ditemui di
Indonesia. Misalnya saja keterlibatan mereka dalam perusahan-perusahan besar.
Bahkan mereka pun tidak hanya menjadi pegawai tingkat bahwa tetapi ada juga
yang memiliki jabatan. Tidak hanya itu saja perempuan pun sudah banyak yang
membuka lapangan pekerjaan baru. Perempuan sudah banyak yang ikut terlibat
dalam pembangunan negara dalam sektor ekonomi. Bidang sosial dan politik pun
tidak jarang perempuan ikut terlibat di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa
perempuan sudah bisa memasukkan sisi maskulin di dalam kehidupan mereka.
Perempuan sudah tidak takut lagi untuk bekerja setara dengan laki-laki. Hadirnya
perempuan di dunia militer pun sudah tidak asing lagi di Indonesia. Bahkan
merupakan suatu kebanggan bila salah satu anggota keluarganya menjadi anggota
TNI meskipun itu perempuan. Ketakuan akan kejamnya dunia militer pun
sepertinya sudah hilang dari memori keluarga mereka sehingga memperbolehkan
anggota keluarga yang perempuan untuk masuk ke militer.
Dunia militer saat ini tidak hanya milik laki-laki melainkan kaum
perempuan pun bisa ikut berperan dalam institusi militer. Saat ini perempuan pun
banyak yang memiliki minat yang sama dengan laki-laki dalam hal menentukan
peran di masyarakat. Salah satu caranya yaitu dengan ikut serta dalam dunia lakilaki, dunia militer. Perempuan mencoba mendobrak stigma masyarakat bahwa
mereka itu tidak bisa seperti laki –laki yang memiliki sifat kuat, rasional, jantan,
perkasa. Masyarakat pada umumnya melihat perempuan merupakan makhluk
lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sifat-sifat tersebut yang terkadang
5
menyudutkan kaum perempuan. Namun dengan masuknya perempuan di dunia
militer, penilaian masyarakat yang sudah disebutkan di atas sudah tidak
mengandung istilah negatif lagi melainkan menjadi nilai lebih mereka ketika bisa
masuk ke dunia yang semestinya hanya laki-laki yang bisa terlibat.
Sebuah negara tentunya memerlukan alat pertahanan untuk membantu
dalam menghadapi acaman dari luar terhadap bangsa. Dalam Undang-Undang
nomor 34 Tahun 2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia, pada pasal 1 nomor
5 menyatakan bahwa pertahanan negara adalah segala usaha untuk menegakkan
kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan melindungi keselamatan segenap masyarakat bangsa dari ancaman
dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Fungsi militer yang sangat
penting dalam menjaga negara dan bangsa tentunya berbanding lurus dengan
kebutuhan dalam mencetak personil-personil yang memiliki kualitas dalam segala
hal terutama pada kegiatan kemiliteran, seperti strategi berperang serta cara-cara
menggunakan peralatan militer.
Kegiatan kemiliteran sangatlah identik dengan kaum laki-laki dalam
perspektif gender disebut sebagai maskulinitas. Pekerjaan militer adalah pekerjaan
maskulin karena pekerjaan ini sangat menekankan pada kekuatan, keperkasaan, dan
heroisme (Darwin, 1999). Oleh karena itu, bagi sebagian laki-laki jika mereka
masuk dalam dunia kemiliteran maka sisi maskulin
akan muncul dengan
sendirinya. Mereka akan terlihat gagah dan terkesan berani. Tidak jarang orang tua
berlomba-lomba untuk memasukkan anaknya dalam dunia militer.
6
Akademi Militer (AKMIL) Magelang baru saja mengeluarkan peraturan
bahwa perempuan diperbolehkan untuk berpartisipasi menjadi siswa di sana.
Peraturan ini diberlakukan pada tahun ajaran baru 2013/2014. Peraturan tersebut
menjadi angin segar bagi perempuan yang menginginkan untuk menempuh
pendidikan tinggi di sekolah militer. Awal kebijakan itu dipublikasikan, memang
belum banyak Taruni AKMIL yang berminat, kurang dari 100 Taruni AKMIL yang
masuk sebagai civitas akademika di AKMIL. Tetapi dari situ dapat dilihat bahwa
kaum perempuan pun memiliki minat untuk masuk di dalam dunia maskulin.
Jika dibandingkan dengan Taruni Akademi Kepolisisan (AKPOL), Taruni
AKMIL usianya lebih muda. Taruni AKPOL sudah ada sejak tahun 2003, dia
menjaring lulusan SMA untuk menjadi perwira Polri (Polisi Republik Indonesia).
Taruni AKPOL harus menjalani 4 tahun masa pendidikan di AKPOL. Sedangkan
di tubuh TNI jalur Taruni seperti di AKPOL belum ada, dan baru ada pada tahun
2013. Fakta di atas sangat menarik jika diihat dari sudut pandang pengarusutaman
gender. Akan tetapi penelitian ini bukan studi perbandingan antara Polisi dan TNI
melainkan pada sebab-sebab dan juga respon TNI dibalik lahirnya Taruni AKMIL.
Baik Taruni AKPOL maupun Taruni AKMIL sesungguhnya memberikan
arti penting. Dalam arti keberadaan mereka menjadi pintu masuk perempuan untuk
berkarir di dunia polisi maupun militer. Jika antusiasme masyarakat terhadap
keterbukaan Taruni AKMIL ini besar, itu adalah bukti bahwa respons terhadap
gender di militer mampu membangun kepercayaan masyarakat.
Hal yang menarik dari lahirnya Taruni AKMIL adalah afirmasi Taruni itu
sendiri sebenarnya belum terlihat. Peran Taruni AKMIL masih belum bisa
7
disamakan dengan peran Taruna AKMIL. Setelah hadirnya siswa perempuan di
lingkungan pendidikan AKMIL tentu saja ada peran-peran yang berubah, tidak
hanya berubah bahkan mungkin ditambahkan dalam kegiatan pendidikan tersebut.
Dan tentu saja ada perbedaan peran yang dilakukan oleh siswa laki-laki, Taruna
AKMIL dengan siswa perempuan, Taruni AKMIL. Perbedaan peran ini lah yang
disebut sebagai peran gender. Penelitian ini berupaya melihat bagimana pendidikan
gender tersebut diberikan dan juga bagaimana proses penerimaan itu berjalan.
Upaya apa saja yang dilakukan Taruni AKMIL saat mereka masuk ke dalam dunia
militer. Serta melihat aspek-aspek yang mempengaruhi pengarusutamaan gender di
lingkungan AKMIL.
Dalam faktanya faktor aspirasi Taruni AKMIL dalam ukuran tertentu bisa
dikatakan memuaskan. Di lapangan penulis menemukan adanya perubahan
kebijakan yang direspons cepat oleh Akmil agar lebih responsif terhadap kebutuhan
perempuan. Tetapi dari segi kontrol belum terlihat secara jelas bagaimana mereka
mampu memiliki kontrol terhadap lingkukngan. Aspek manfaat juga belum
sepenuhnya dapat dirasakan.
1.2.
Rumusan Masalah
1. Mengapa Akademi Militer melahirkan Taruni AKMIL di lingkungan
pendidikannya?
2. Apakah kebijakan tersebut sejalan dengan Pengarusutamaan Gender (PUG)
?
1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini sebagai
berikut :
8
1.
Mengkaji kelahiran Taruni AKMIL sebagai upaya responsif gender di
lingkungan TNI. Kelahiran Taruni AKMIL adalah upaya bagi AKMIL
untuk merespons kebutuhan internal mereka sekaligus membuka peluang
bagi perempuan untuk berkarir di militer. Perkembangan ini selaras dengan
wacana gender di aras internasional yang menyeimbangan wacana gender
dengan dunia militer.
2. Mengembangkan wacana pengarusutamaan gender di lingkungan militer
khususnya di Akademi Militer Magelang. Kelahiran Taruni AKMIL,
dengan segala kekurangannya, adalah hal penting. Tentu saja kekurangankekurangan itu harus dilengkapi agar standar PUG benar-benar bisa
direalisasikan.
1.4.
Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi peneliti :
a. Adanya penelitian ini digunakan sebagai salah satu tugas akhir untuk
mendapatkan gelar Sarjana Sosial.
b. Penelitian ini memberikan ilmu baru dan pengetahuan baru bagi peneliti
ketika sedang melakukan penelitian yang mungkin tidak didapatkan ketika
di bangku kuliah.
1.4.2. Manfaat bagi pembaca :
a. Adanya penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan baru bagi
pembaca baik secara isi maupun sistematis penelitiannya.
b. Adanya penelitian ini memberikan pengetahuan baru dalam wacana gender
di lingkungan militer khususnya di Akademi Militer Magelang.
9
1.5
Kerangka Teori
1.5.1. Tinjauan Pengarusutamaan Gender (gender mainstreaming)
Analisis gender dalam diskursus ilmu sosial berfungsi untuk melengkapi
teori-teori sosial yang dinilai telah meninggalkan perdebatan gender. Teori-teori
konflik seperti Karl Marx yang mendarahdaging dianggap kurang lengkap jika tak
memasukkan unsur gender di dalamnya. Persoalan-persoalan yang membentang di
antara hubungan laki-laki dan perempuan selama ini menggugah kesadaran para
ilmuan sosial. Mereka menaruh minat pada kajian gender dengan menempatkan
gagasan-gagasan tentang keadilan gender di tengah ilmu sosial. Mansour Fakih
(2010) menjelaskan:
“Analisis gender dalam sejarah pemikiran manusia tentang ketidakadilan
sosial dianggap suatu analisis baru, dan mendapatkan sambutan akhir-akhir ini.
Dibanding dengan analisis sosial lainnya, sesungguhnya analisis gender tidak
kalah mendasar. Analisis gender justeru ikut mempertajam analisis kritis yang
sudah ada.”
Dengan sendirinya analisis gender memiliki tempat khusus di dunia sosial
karena sangat dibutuhkan, alih-alih sekedar pelengkap. Sepanjang persoalanpersoalan gender di masyarakat tetap mengemuka analisis ini masih tetap dipakai
untuk melihat fenomena tersebut dan memecahkan persoalan. Analisis gender
menjadi bahan penting untuk mengusung bentuk-bentuk keadilan pada praktik
sosial yakni ketika muncul pengarusutamaan gender (gender mainstreaming).
Munculnya pengarusutamaan gender (selanjutnya disebut PUG) menjadi sandaran
kuat pada perjalanan diskursus gender.
Pengarusutamaan gender adalah ruang baru yang mereposisi hubungan
perempuan dan laki-laki secara adil. Pada praktiknya PUG sudah menyebar luas ke
berbagai sektor. Hampir tak ada yang lepas dari dorongan untuk mengarusutamakan
10
gender dalam kebijakan. PUG adalah bentuk komitmen bahwa dalam praktik sosial
prinsip-prinsip keadilan harus tegak berdiri untuk menghilangkan perlakuan
berdasarkan perbedaan alat genital. Laki-laki dan perempuan dalam peradaban
dianggap sama: memiliki kesempatan. Dalam arti baik perempuan maupun laki-laki
memiliki hak yang sama di dunia pendidikan, ekonomi, budaya maupun
gelanggang politik.
Selama ini nampak persoalan gender di dalam kehidupan sosial masyarakat.
Persoalan yang, pada awalnya, disebabkan alasan biologis yang melekat di antara
laki-laki dan perempuan. Perempuan dengan alat biologis yang melekat sejak lahir
dinilai sebagai keterbatasan. Perbedaan genital membuat keruh peran-peran sosial
di antara mereka sehingga muncul berbagai macam anggapan dan praktik yang
merugikan. Ketidakadilan pada perempuan misalnya tampak pada kesempatan
mengenyam pendidikan. Di sebagian masyarakat tidak terlalu penting untuk
memasukkan anak perempuan ke sekolah. Sebab karir mereka akan berhenti
menjadi ibu rumah tangga saja.
Marginalisasi terhadap perempuan juga bisa dilihat dari nasib buruh
perempuan di perusahaan-perusahaan. Posisi mereka sebagai penggerak roda
perusahaan tidak lantas menjadikan mereka sejahtera. Dari sisi gaji sangat tidak
layak padahal peran mereka sangat penting. Kekerasan terhadap perempuan di
sektor keluarga juga kerap terjadi di mana ini mengindikasikan lemahnya posisi
perempuan di publik. Masih banyak contoh lain yang tak disebutkan.
Para feminis egalitis –demikian Ratna Megawangi menyebut- berusaha
menciptakan keadilan melalui jalan kesetaraan gender. Sistem sosial yang hierarkis
11
yang menindas perempuan harus dirubah agar tercapai posisi yang egaliter. Feminis
liberal yang berangkat dari doktrin natural rights (hak asasi manusia) mengatakan
bahwa setiap manusia memiliki hak hidup yang sama. Karena itu keadilan sudah
seharusnya didistribuskan. John Stuart Mill (1869) mengajak perempuan untuk
merebut sektor publik. Mill menyuruh wanita untuk juga menekan dan
menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik agar
“kebahagiaan” tertinggi dapat dicapai (Megawangi, 1999, hal. 119).
Gagasan-gagasan feminis liberal seperti Mill memang luar biasa. Sebab
dalam praktiknya dapat memantik perubahan sosial dengan mengedepankan prinsip
keadilan bagi perempuan. Mereka banyak mengkritik tentang praktik di sektor
publik seperti sistem kerja maupun sektor keluarga. Dua sektor ini masih
menggerus perempuan di posisi bawah. Bukti yang membuat posisi feminis liberal
ini kuat adalah munculnya fenomena gugatan cerai yang boleh dilakukan oleh
wanita. Selain itu ada pula konsep Equal Rights Amandement (ERA) yang masih
dianut.
Sementara itu feminisme sosialis melihat adanya kesamaan antara ekonomi
kapitalis dengan praktik di dalam keluarga. Baik suami maupun isteri adalah
representasi dari kelas sosial yang tertindas dan yang menindas. Suami
dianalogikan sebagai pemilik sementara isteri adalah “barang” yang dimiliki
sepenuhnya oleh suami. Mereka berdiri secara hierarkis dan hubungan ini hanya
menguntungkan salah satu pihak saja. Maka praktik penindasan dalam keluarga itu
sama nilainya dengan kapitalisme. Feminis sosialis memperjuangkan perempuan
melalui program “masyarakat tanpa kelas”. Segala sesuatu yang menghambat
pembebasan ini atau yang membuat perempuan menjadi inferior harus
12
disingkirkan, bahkan batas agama dianggap perlu diterjang. Bahkan jika yang
menghambat perempuan itu sendiri maka perlu untuk disadari. Ratna Megawangi
(1999) menegaskan bahwa:
“Feminisme sosialis adalah gerakan untuk membebaskan para
perempuan melalui perubahan struktur patriarkat. Perubahan struktur patriarkat
bertujuan agar kesetaraan gender dapat terwujud. Menurut para feminis sosialis,
perwujudan kesetaraan gender adalah salah satu syarat penting untuk terciptanya
masyarakat tanpa kelas, egaliter, atau tanpa hierarki horizontal.”
Sasaran feminisme sosialis sebenarnya adalah perempuan sendiri, yang
dianggapnya sebagai korban. Sebab menurut mereka perempuanlah yang bisa
merubah sendiri dengan cara menumbuhkan kesadaran. Termasuk bagaimana
mereka diharuskan mengilangkan feminine mode dan bersikap layaknya laki-laki.
Kesadaran gender pada cara pandang di atas tentu saja menggugat praktik
sosial sehari-hari di masyarakat yang sudah terbiasa dengan posisinya yang
timpang. PUG memang mengandaikan adanya sensitif gender dalam cara pandang.
Sensitif gender adalah semangat menghindari diskriminasi gender dan mendukung
keadilan bagi laki-laki dan perempuan. PUG dengan sensitif gendernya
membangun ruang baru yang egaliter.
PUG mengarah pada dua sasaran. Pertama pada ketidakadilan yang
diciptakan oleh budaya patriarki. Mereka dituntut untuk sensifit terhadap gender
dan mengakui serta menerima perempuan dan laki-laki secara sejajar. Perempuan
memiliki hak untuk diberdayakan sebagaimana laki-laki. Kedua, seruan untuk
perempuan sendiri agar mereka dapat bersaing dengan laki-laki. Perempuan perlu
untuk mengejar harapan, mengembangkan karir, dan meneguhkan semangat juang.
Mereka juga perlu yakin bahwa setiap orang berhak atas kesempatan baik di dunia
13
kerja maupun pendidikan. Sementara berdasarkan aspek kelembagaan, sasaran
PUG adalah negara, masyarakat, dan organisasi.
Dengan demikian tujuan PUG adalah terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan
kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam konteks pembangunan nasional keberhasilan
pembangunan tergantung pada peran aktif masyarakatnya yang meliputi laki-laki
dan perempuan. Ketimpangan di antara keduanya tentu harus ditutup agar
pembangunan bisa jalan secara optimal.
Untuk melengkapi kerja PUG dibutuhkan model analisa. Dalam hal ini, dan
yang sesuai dengan penelitian ini, adalah model analisa GAP (Gender Analysis
Pathway). Model atau kerangka analisa gender GAP merupakan suatu alat analisa
gender yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan dan pelaksanaan dari
kegiatan pengarusutamaan gender melalui perencanaan kebijakan, program, atau
proyek dari kegiatan pembangunan.
“GAP merupakan piranti yang dirancang sejak semula bagi para
perencana dalam melakukan keseluruhan proses perencanaan agar
kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang dihasilkan menjadi
responsif gender.”
Perencanaan ini berusaha menempatkan ulang perempuan dan laki-laki
secara adil dengan mendistribusikan prinsip-prinsip keadilan. Di berbagai negara
responsif gender sudah dipopulerkan. Walau bagaimanapun juga perempuan berhak
untuk mendapatkan hak-haknya. Berbagai kebutuhan atau keinginan yang
mendorong transformasi masyarakat, khususnya di bidang gender, dengan
14
mencanangkan kerja sama laki-laki dan perempuan perlu didorong. Dalam
hubungannya dengan pemerintah perencanaan pembangunan yang responsif gender
tentu merupakan suatu keharusan.
“Perencanaan yang responsif gender adalah perencanaan
berdasarkan atas analisis secara sistematis terhadap data dan informasi
yang terpilah menurut jenis kelamin, dengan mempertimbangkan isu-isu
gender yang timbul sebagai hasil dari pengalaman, kebutuhan, aspirasi dan
permasalahan yang dihadapi perempuan atau laki-laki dalam mengakses
dan memanfaatkan intervensi kebijakan/program/kegiatan pembangunan.
Selanjutnya melalui analisis gender, hasilnya diintegrasikan ke dalam
keseluruhan proses penyusunan perencanaan itu, yaitu sejak
memformulasikan tujuan (kebijakan atau program atau kegiatan) sampai
dengan monitoring dan evaluasi serta menentukan indikator.”
Untuk mendukung responsif gender perlu ukuran-ukuran tertentu untuk
mematok apakah pembangunan itu sudah responsif. Ukuran-ukuran itu berupa
akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat. Empat point inilah yang menjadi acuan
perencanaan pembangunan, yaitu :
1. Akses: adalah salah satu indikator bagaimana perencanaan pembangunan
atau kebijakan harus responsif gender. Karena itu apakah perencanaan
pembangunan yang dibuat telah mempertimbangkan untuk memberikan
akses yang adil bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh sumber
daya pembangunan? Inilah pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap
pengambil keputusan. Contohnya bagaimana kesempatan pendidikan bagi
anak perempuan yang selama ini masih menjadi masalah. Di masyarakat
masih berkembang nilai-nilai yang menyudutkan perempuan. Imbasnya
adalah mereka tidak diperbolehkan mengenyam sekolah dan lebih memilih
untuk mengawinkan anaknya.
2. Partisipasi: partisipasi adalah instrumen penting untuk melihat tingkat
partisipasi perempuan di dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi itu
15
bisa berupa pengalaman, ide atau aspek lainnya yang mengakomodir
kebutuhan
perempuan.
Sering
kali
perempuan
jarang
terwakili
partisipasinya sehingga berbagai perencanaan pembangunan menyudutkan
mereka.
3. Kontrol: yaitu bahwa lelaki dan perempuan mempunyai kesempatan yang
sama untuk melakukan kontrol atas pemanfaatan sumber daya-sumber daya
tersebut.
4. Manfaat: yaitu bahwa lelaki dan perempuan harus sama-sama menikmati
hasil-hasil pemanfaatan sumber daya-atau pembangunan-secara sama dan
setara.
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1. Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, metode yang dipakai menggunakan kualitatif dengan
pendekatan deskriptif sebagai pisau analisis. Metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (Sugiyono, 2011, hal. 15). Metode
kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu di balik
fenomena yang sedikit pun belum diketahui ataupun sesuatu yang baru sedikit
diketahui.
Secara
umum
penelitian
kualitatif
bertujuan
untuk
memahami
(understanding) dunia makna yang disimbolkan dalam perilaku masyarakat
menurut perspektif masyarakat itu sendiri (Suprayogo, 2001, hal. 1). Penelitian
kualitatif merupakan salah satu metode untuk mendapatkan kebenaran dan
16
tergolong sebagai penelitian ilmiah yang dibangun atas dasar teori-teori yang
berkembang dari penelitian dan terkontrol atas dasar empirik.
Sedangkan pendekatan deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa saja
yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat,
analisis, dan mengintepretasikan kondisi yang sekarang terjadi atau ada. Dengan
kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk memperoleh informasi
mengenai keadaan yang ada (Mardalis, 1999, hal. 26).
Penelitian deskriptif kualitatif dirancang untuk mrngumpulkan informasi
mengenai keadaan nyata sekarang yang sementara berlangsung. Mely G. Tan dalam
(Silalahi, 2010) mengatakan:
“Penelitian yang bersifat desktiptif bertujuan menggambarkan
secara tepat sifat sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok
tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu
antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Dalam hal ini
mungkin sudah ada hipotesis-hipotesis, mungkin belum, tergantung dari
sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan”.
Pendekatan deskriptif yang dipakai dalam penelitian ini ditujukan untuk
mengamati secara mendalam mengenai sebab-sebab Taruni AKMIL hadir di
AKMIL. Di mana baru pada tahun 2013 Akademi Militer membolehkan perempuan
untuk berpartisipasi ke dalam proses pendidikan di Akademi Militer. Hal ini yang
menarik melihat berbagai macam latar belakang atas hadirnya Taruni AKMIL di
Akademi Militer.
1.6.2. Pemilihan Informan
Pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive
sampling. Pada teknik ini dalam pengambilan informan sumber data menggunakan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang dimaksudkan di sini adalah orang
tersebut yang dianggap paling mengetahui mengenai apa yang peneliti harapkan,
17
atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan peneliti
menjelajahi obyek/situasi sosial yang diteliti (Sugiyono, 2011, hal. 300).
Informan dalam penelitian ini merupakan instansi terkait yaitu Akademi
Militer. Informan yang dibutuhkan berjumlah 6 orang yang sebagian berperan
dalam proses pembuat kebijakan bagi Akademi Militer, seperti pejabat Akademi
Militer, pengajar Akademi Militer, pengasuh Taruni AKMIL dan sebagian lagi
adalah Taruni AKMIL itu sendiri. Alasan pemilihan informan ini dikarenakan
pembuat kebijakan tentunya mengerti alasan yang memperbolehkan perempuan
menjadi siswa di Akademi Militer. Sehingga mereka dapat memberikan informasi
yang tepat dalam penelitian ini.
1.6.3. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari data yang langsung diambil
melalaui kegiatan lapangan penelitian seperti wawancara mendalam (indept
interview) dan observasi lapangan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak
lain yang bukan merupakan informan utama untuk melengkapi data primer,
memperkuat analisis, serta menarik kesimpulan. Data sekunder berupa studi
literatur serta informasi dari internet.
a) Wawancara mendalam ( Indept Interview )
Metode wawancara mendalam digunakan untuk wawancara langsung ke
domain subyek penelitian. Wawancara dilakukan secara terstruktur, sehingga
mendapatkan gambaran lengkap mengenai obyek yang akan diteliti. Peneliti
menggunakan interview guide dalam proses wawancara agar memudahkan untuk
menggali informasi yang diperlukan secara santai dan mengalir. Peneliti juga
18
mencoba memahami apa yang diungkapkan oleh informan secara cermat.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan prinsip triangulasi, dimana data yang
diperoleh dari informan akan di crossceck kepada informan lain untuk memperoleh
data yang valid.
Persoalan yang dihadapi penulis dalam mewawancarai pejabat AKMIL
tentu saja adalah kesulitan waktu karena harus menyesuaikan kesibukan mereka.
Wawancara terhadap Taruni AKMIL juga sedikit menemui kendala karena jadual
yang padat. Tetapi dengan kesabaran dan ketekunan semua persoalan ini dapat
diatasi.
b) Dokumentasi lapangan
Keadaan dan setting dari lokasi Akademi Militer Magelang serta kegiatan
pendidikan khususnya pada kegiatan lapangan didokumentasikan agar didapatkan
data sekunder sebagai penguat data primer. Dokumentasi dilakukan pada saat
observasi dan proses pengumpulan data dengan cara mendokumentasikan kejadian
atau gambar yang dapat digunakan sebagai instrumen atau suplemen untuk
memperkuat analisis data informan.
c) Observasi
Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistemtik
fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1984, hal. 136). Digunakan sebagai
langkah awal dan pendalaman untuk mengetahui kondisi lokasi penelitian sebagai
penguat data primer. Observasi dilakukan dengan datang langsung ke lokasi melihat
kegiatan Taruni AKMIL Akademi Militer serta proses pengajaran yang diberikan
untuk mereka khususnya pada kegiatan lapangan. Pencarian infomasi melalui studi
pustaka yang bersifat literatur seperti buku, jurnal, e-book, surat kabar, serta
19
berbagai situs di internet pun dilakukan guna melihat profil secara umum Akademi
Militer Magelang serta bagaimana pengarusutamaan gender di Akademi Militer
guna memperkuat data primer.
Sebelum penelitian ini berlangsung penulis terlebih dulu melakukan
observasi ke AKMIL. Dari situ dapat diketahui secara sederhana potret Taruni
AKMIL. Juga aktivitas dan kegiatan yang ada. Selain itu penulis juga melakukan
penelusuran literatur khususnya melalui internet tentang Taruni AKMIL. Tidak
banyak data tentang hal ini. Hal ini dapat dimaklumi karena sampai sekarang
keberadaan Taruni AKMIL berada pada fase percobaan. Tetapi beberapa data yang
penulis himpun cukup membantu peneliti.
1.6.4. Analisis data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain,
sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada
orang
lain.
Analisis
data
dilakukan
dengan
mengorganisasikan
data,
menjabarkannya ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dipelajarim dan membuat kesimpulan
yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Peneliti menemukan kendala pada wawancara. Misalnya pada hari tertentu
penulis mewawancarai tentang kehidupan Taruni tetapi setelah dikaji hasil
wawancara itu kurang memenuhi kebutuhan peneliti. Ini yang mengharuskan
penulis melakukan wawancara ulang demi terpenuhinya data yang diinginkan.
a) Reduksi Data
20
Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang
yang tiak perlu. Data yang direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas,
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan
mencarinya bila diperlukan (Sugiyono, 2011, hal. 334).
b) Penyajian Data
Penyajian data adalah proses dimana suatu data dibentuk sedemikian rupa
berupa rangkaian penelitian secara diskriptif dengan tujuan agar mempermudah
pembaca dalam memahami penelitian ini (Sugiyono, 2011, hal. 334).
c) Penarikan Kesimpulan
(Sugiyono, 2011, hal. 345) menyebutkan pada proses penarikan kesimpulan
ini bersifat awal atau bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan
bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh
bukti bukti yang valid dan konsisten saat penelitian kembali ke lapangan
mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan
yang kredibel.
21
Download