Bab II Tinjauan Pustaka II.1 Penelitian Terdahulu Penerapan

advertisement
9
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1 Penelitian Terdahulu
Penerapan teknologi penginderaan jauh pada perkebunan untuk keperluan
perpajakan sebelumnya telah menjadi objek penelitian, diantaranya :
Suparlan
(2006),
melakukan
penelitian
tentang
penurunan
IKONOS
Orthoproduct untuk meningkatkan ketelitian pengukuran luas bidang tanah bagi
keperluan PBB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses orthorektifikasi
hanya mampu menghasilkan Root Mean Square Error (RMSe) sebesar 4,44 m.
Luas antara luas hasil digitasi dan hasil ukuran Badan Pertanahan Nasional (BPN)
secara umum mempunyai perbedaan dibawah 10%.
Fadli (1995) dalam penelitiannya dengan judul “Pengaruh Umur Tegakkan Kelapa
Sawit terhadap Nilai Kecerahan pada Data Digital SPOT Multispektral ”
melakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui pola spektral tanaman
kelapa sawit dikaitkan dengan umur tanaman, menentukan julat umur tanaman
kelapa sawit berdasarkan nilai korelasi dan determinasi yang paling tinggi serta
menentukan model transformasi matematis yang peka terhadap penonjolan umur
tanaman kelapa sawit. Metode yang digunakan adalah analisis data digital citra
SPOT Multispektral pada saluran tunggal dan transformasi matematis. Penentuan
sampel dilapangan dilakukan dengan cara gabungan yaitu purpose sampling,
karena objek kajian bersifat homogen. Analisis statistik yang digunakan adalah
analisis regresi dan korelasi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan nyata
antara umur tanaman kelapa sawit dengan nilai kecerahan pada saluran tunggal XS1,
XS2, dan XS3, Indeks Vegetasi (Vegetation Index Faster) dan penisbahan R4 &
R6.
Nugraha (2004) melakukan penelitian pemanfaatan citra Landsat 7 ETM+ untuk
keperluan pendataan PBB sektor perkebunan. Hasil penelitian menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan dan positif, artinya setiap pertambahan umur
10
tanaman kelapa sawit menyebabkan peningkatan nilai spektralnya. Hasil lainnya
adalah pengukuran luas hasil klasifikasi terbimbing belum dapat memenuhi
ketentuan toleransi PBB, sedangkan ketelitian hasil pengukuran digitasi sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dan pengalaman peneliti dalam menginterpretasi
objek, ketepatan penempatan titik dan keakuratan serta ketelitian data referensi
serta kondisi medan yang relatif datar dan batas-batas antar blok yang relatif
jelas.
Hariyanto (2006) melakukan penelitian untuk menganalisis kemampuan citra
Ikonos dalam mengidentifikasi batas bidang, bangunan, jenis, dan umur tanaman
kelapa sawit serta ketelitian luas bidang yang dihasilkan dari deliniasi batas
bidang hasil interprestasi manual citra Ikonos untuk keperluan PBB. Hasil
penelitian adalah citra Ikonos dapat digunakan dalam mengidentifikasi batas
perkebunan dan batas bangunan serta untuk mengenali umur kelapa sawit
khususnya untuk areal umur 4 tahun dengan hasil interpretasi yang baik.
II.2 Interpretasi Citra Penginderaan Jauh Satelit Ikonos
Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau
fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 pada Purwadhi, 2001).
Citra adalah gambaran rekaman suatu objek yang biasanya berupa foto yang
dihasilkan dengan cara optik, elektro optik atau elektronik (Simonet et al. : 1983
pada Sutanto : 1994). Sedangkan citra satelit adalah citra hasil penginderaan jauh
suatu jenis satelit (wahana satelit) tertentu (Dephut : 2004).
Satelit Ikonos digolongkan sebagai satelit beresolusi spasial tinggi karena mampu
merekam objek di permukaan bumi sampai dengan 1 meter persegi. Satelit ini
mengorbit pada ketinggian 680 km dari permukaan bumi, pada orbit sun
synchroneus dengan sudut inklinasi sebesar 98,2 derajat. Secara visual satelit
11
Ikonos meliput daerah perekaman yang berdiameter 4.600 km dari stasiun bumi
terdekat dengan liputan area 11 x 11 km pada setiap scene.
Satelit Ikonos memiliki sensor pankromatik untuk menghasilkan citra
pankromatik hitam putih dengan resolusi spasial 1m2 dan sensor multispektral
dengan resolusi spasial 4m² pada empat saluran dengan panjang gelombang yang
berbeda yaitu biru, hijau, merah, dan infrared dekat. Panjang gelombang pada
masing-masing saluran disajikan pada Tabel II.1 berikut :
Tabel II.1 Panjang gelombang saluran satelit Ikonos
No.
Saluran
Panjang Gelombang
(µ m)
1
Pankromatik
0,45 - 0.90
2
Saluran 1 (Biru)
0,45 - 0,53
3
Saluran 2 (Hijau)
0,52 - 0,61
4
Saluran 3 (Merah)
0,61 - 0,72
5
Saluran 4 (Inframerah dekat)
0,77 - 0,88
Data citra Ikonos terekam pada 11 bit dengan gradasi keabuan sebesar 2048 atau
pada 8 bit dengan derajat keabuan 256. Produk citra yang dihasilkan dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan berdasarkan akurasi posisinya, yaitu
georectified product (Geo), orthorectified product, dan stereo product. Akurasi
posisi pada tipe produk Geo dapat dilihat pada Tabel II.2 ;
Tabel II.2 Karakteristik produk Geo satelit Ikonos
Produk
Georectified
Product Geo
Akurasi Posisi
CE90
RMSE
NMAS
50 m
23,6 m
Sumber : Space Imaging,2002
1 : 100.000
Ketersediaan
Mosaik
Stereo
Option
Tidak ada
Tidak ada
12
Geo merupakan produk yang ideal untuk keperluan pengamatan visual dan
interpretasi. Produk ini telah dilakukan rektifikasi pada datum dan sistem
proyeksi peta. Operator space imaging melakukan proses koreksi dengan
menghilangkan distorsi citra akibat kesalahan geometrik pada waktu perekaman
citra kemudian melakukan resampling citra pada Ground Sample Distance (GSD)
yang sama dan proyeksi peta tertentu. Koreksi yang dilakukan tidak
menggunakan titik kontrol tanah ataupun Digital Elevation Models (DEM).
Pada penelitian ini citra Ikonos yang digunakan adalah Geo pansharpened yang
merupakan hasil transformasi RGB to HIS to RGB data fusion antara data
multispektral resolusi 4 meter dengan data pankromatik resolusi 1 meter.
Interpretasi atau penafsiran citra penginderaan jauh (fotografik atau non
fotografik) merupakan perbuatan mengkaji citra dengan maksud untuk
mengidentifikasi objek yang tergambar dalam citra, dan menilai arti pentingnya
objek tersebut (Purwadhi, 2001). Interpretasi citra dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu secara digital dan visual/manual (Sutanto, 1992).
Interpretasi citra digital dapat dilakukan melalui pengenalan pola spektral dengan
dasar klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan
cara statistik (Lillesand dan Kiefer, 2001). Piksel merupakan bagian terkecil yang
dapat digambarkan oleh sistem penginderaan jauh sedangkan nilai spektral
menunjukkan tingkat kegelapan atau rona yang diukur secara numerik, misalnya
antara 0-255.
Interpretasi visual/manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang
mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan
(spasial). Karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali
berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti : rona/warna (tone/color), bentuk
(shape), ukuran (size), tekstur (texture), pola (pattern), bayangan (shadow) atau
ketinggian (height), situs (site), dan asosiasi kenampakan objek (Purwadhi, 2001).
13
II.3 Pengolahan Citra Digital
Pengolahan citra digital merupakan manipulasi dan interpretasi digital dari citra
penginderaan jauh dengan bantuan komputer. Pengolahan citra digital dapat
dikelompokkan dalam tiga prosedur operasional yaitu pra-pengolahan data
mencakup rektifikasi (pembetulan) dan restorasi (pemugaran atau pemulihan)
citra, pembuatan citra komposit dan penajaman citra, serta yang terakhir
klasifikasi citra (Purwadhi, 2001).
II.3.1 Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik diperlukan apabila ternyata citra memiliki kesalahan
radiometrik. Kesalahan radiometrik adalah kesalahan berupa pergeseran nilai atau
derajat keabuan elemen gambar (piksel) pada citra. Penyebab kesalahan dapat
dibedakan menjadi (Purwadi, 2001) :
1. Kesalahan pada sistem optik yang dapat disebabkan oleh (a) bagian optik
pembentuk citra buram, dan (b) perubahan kekuatan sinyal;
2. Kesalahan karena gangguan energi radiasi elektromagnetik pada atmosfer
yang disebabkan oleh (a) pengaruh hamburan dan serapan, (b) tanggapan
(respon) amplitudo yang tidak linier, dan (c) terjadinya bising (noise) pada
waktu transmisi data;
3. Kesalahan karena pengaruh sudut elevasi matahari, menyebabkan (a)
perubahan pencahayaan pada permukaan bumi, karena sifat objek dan
kepekaan objek menerima tenaga dari luar tidak sama (b) perubahan radiasi
dari permukaan objek karena perubahan sudut pengamatan sensor.
Koreksi radiometrik adalah koreksi yang dilakukan untuk meminimalkan
kesalahan radiometrik citra yaitu kesalahan yang terjadi akibat berubahnya nilai
spektral gelombang elektromagnetik yang diterima sensor saat perekaman dengan
nilai spektral yang dipancarkan oleh sensor tersebut pada suatu objek tertentu
dipermukaan bumi (Jensen, 1996).
Beberapa metode yang digunakan dalam koreksi radiometrik yaitu metode
penyesuaian histogram (histogram adjustment), metode penyesuaian regresi, dan
14
metode kalibrasi bayangan. Metode penyesuaian histogram merupakan cara yang
paling sederhana, waktu pemrosesan lebih singkat dan tidak memerlukan
perhitungan matematis yang rumit. Asumsi dari metode ini adalah dalam proses
koding digital oleh sensor, objek yang memberikan respon spektral yang paling
rendah seharusnya bernilai nol (null value). Apabila nilainya melebihi nol maka
nilai tersebut dihitung sebagai offset dan koreksi dilakukan dengan mengurangi
seluruh nilai pada saluran tersebut pada offset-nya. Besarnya offset menunjukkan
besarnya pengaruh gangguan oleh atmosfer (Danoedoro, 1996).
II.3.2 Penajaman Citra
Penajaman citra adalah algoritma yang diterapkan pada data penginderaan jauh
untuk menghasilkan kenampakan citra yang memudahkan bagi penerapan analisa
visual atau proses selanjutnya (Jensen, 1986).
Salah satu teknik penajaman citra adalah dengan melakukan penapisan (filtering).
Teknik ini bertujuan untuk memperjelas atau mengurangi ketajaman perubahan
nilai kecerahan yang terlalu besar dengan cara melakukan manipulasi kenampakan
spasial yaitu mengubah nilai tiap piksel pada citra dengan mempertimbangkan nilai
piksel disekelilingnya. Pada ER Mapper teknik ini dapat dilakukan dengan
menggunakan filter spasial yang telah tersedia. Filter spasial dapat dibagi menjadi
tiga kategori utama yaitu :
o Low pass filter atau filter lolos rendah adalah filter yang menekankan frekuensi
rendah meratakan keluaran noise pada citra atau menghilangkan spike pada
citra. Filter ini sering juga disebut filter smoothing atau filter averaging.
o High pass filter atau filter lolos tinggi adalah filter yang menekan frekuensi
tinggi untuk menajamkan penampakan linier pada citra seperti jalan, patahan
lingkungan air dan tanah. Filter ini juga disebut filter sharpening karena secara
umum digunakan untuk menajamkan citra secara detail tanpa mempengaruhi
bagian dari frekuensi rendah citra.
o Edge detection filter adalah filter yang menekan pinggir-pinggir disekeliling
suatu objek atau penampakan dalam suatu citra untuk memudahkan dalam
analisis. Filter ini biasanya membuat suatu citra dengan latar belakang abu-abu
15
dan hitam, dan garis putih yang mengelilingi pinggir objek atau penampakan
dalam suatu citra.
II.3.3 Klasifikasi Multispektral
Klasifikasi citra digital digunakan untuk mengetahui tingkat hubungan
menggunakan pengelompokan dengan karakteristik yang sama, untuk tujuan
membedakan objek satu dengan yang lain dalam citra (Danoedoro, 1996).
Tujuan secara keseluruhan dari prosedur klasifikasi citra digital adalah untuk
mengkategorikan secara otomatis semua piksel dalam citra menjadi kelas-kelas
atau tema tertentu. Secara normal data multispektral digunakan untuk membentuk
klasifikasi dan pola spektral tiap piksel digunakan untuk dasar pengelompokan
secara numeris (Lillesand dan Kiefer, 2000).
Menurut Danoedoro (1996) klasifikasi multispektral adalah suatu algoritma yang
dirancang untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokkan
fenomena berdasar kriterium tertentu, yaitu nilai spektral (atau nilai kecerahan)
pada beberapa saluran sekaligus. Asumsi awalnya adalah tiap objek dapat
dibedakan dari yang lain berdasar nilai spektralnya. Sebuah benda mempunyai
struktur partikel yang berbeda baik mikro maupun makro dengan benda lainnya.
Struktur partikel ini mempengaruhi pola respon elektromagnetiknya. Dengan
dasar pengenalan atas perbedaan respon elektromagnetik setiap benda dapat
dijadikan landasan bagi pembedaan objek. Hasil penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa tiap objek akan memberikan respon spektral yang spesifik.
Klasifikasi terbimbing (supervised classification) merupakan klasifikasi dengan
pemilihan kategori informasi yang diinginkan dan memilih training area untuk
tiap kategori penutup lahan yang mewakili sebagai kunci interpretasi. Pada
klasifikasi terbimbing digunakan data penginderaan jauh multispektral yang
berbasis numerik, maka pengenalan polanya merupakan proses otomatik dengan
bantuan komputer.
16
Selanjutnya Purwadhi (2001) membedakan klasifikasi terbimbing menjadi :
1. Wilayah objek dengan mengambil kategori daerah-daerah yang homogen atau
wilayah ketetapan (decision region) dalam bentuk analog bidang segi empat,
biasa disebut parallelipipeds.
2. Pengkelasan berdasarkan piksel dengan cara penghitungan rata-rata jarak
minimum nilai pikselnya (minimum distance to means classifier).
3. Pengkelasan kemiripan maksimum (maximum likelihood) yaitu mengevaluasi
baik secara kuantitatif varian maupun korelasi pola tanggapan spektral
kategori ketika mengklasifikasikan piksel tak dikenal dengan suatu asumsi
bahwa distribusi titik (piksel) yang berbentuk data latihan (sampel)
mempunyai kategori yang bersifat distribusi normal (Gaussian).
II.3.3.1 Klasifikasi Terbimbing Kemiripan Maksimum (Maximum Likelihood)
Klasifikasi terbimbing kemiripan maksimum merupakan klasifikasi yang secara
statistik paling mapan. Asumsi dari klasifikasi ini adalah objek homogen selalu
menampilkan
histogram
yang
terdistribusi
normal
(Bayesian).
Piksel
diklasifikasikan sebagai kelas tertentu tidak karena jarak euklidiannya, melainkan
oleh bentuk, ukuran, dan orientasi sampel pada feature space yang berupa
elipsoida. Ukuran elipsoida ditentukan oleh variansi pada tiap saluran, sedangkan
bentuk dan orientasi elipsoida ditentukan oleh kovariannya (Danoedoro, 1996).
Curan (1985) dalam Danoedoro (1996) menyatakan bahwa pada klasifikasi
kemiripan maksimum diasumsikan bahwa probabilitas untuk semua kelas
dipandang sama. Pada kenyataannya tidak semua kelas dapat diperlakukan
dengan probabilitas sama untuk dipresentasikan pada citra. Suatu gugus sampel
yang jauh lebih kecil dari gugus yang lain tentu mempunyai probabilitas yang
lebih kecil untuk muncul, sehingga perlu adanya faktor pembobot untuk kelas.
Gugus sampel yang lebih kecil dapat diberikan bobot yang lebih rendah
dibanding gugus yang lain.
17
II.3.3.2
Training Area
Sebelum dilakukan klasifikasi multispektral, terlebih dahulu dibuat training area
yang bertujuan sebagai kunci interpretasi. Keberhasilan suatu klasifikasi akan
sangat bergantung pada kualitas training area-nya.
Proses pembuatan training area diawali dengan pemilihan daerah latihan yang
refresentatif. Daerah ini biasanaya dipilih dengan berpedoman pada sumber
rujukan data seperti peta topografi dan foto udara bahkan dapat juga pengamatan
langsung di lapangan. Bila menggunakan teknik yang didasarkan pada
pendekatan statistik, paling sedikit dikumpulkan n + 1 pengamatan piksel untuk
tiap pola latihan, dimana n adalah jumlah saluran spektral (Lillesand, 1979).
Dengan demikian penggunaan jumlah piksel yang lebih kecil dari tiga tidak
memungkinkan untuk melakukan evaluasi variansi dan korelasi secara baik.
Jumlah piksel tiap poligon training area sampel minimal 10n (bagi citra resolusi
tinggi) hingga 100n. Training sampel dipilih pada lokasi yang menyebar pada
citra.
II.3.3.3
Uji Ketelitian Klasifikasi
Uji ketelitian klasifikasi dihitung dengan menggunakan rumus (Short, 1982) ;
MA =
X cr pixel
...……………………..... (II.1)
X cr pixel + X 0 + X co pixel
dimana :
MA = ketelitian pemetaan (mapping accuracy)
X cr = Jumlah kelas X yang terkoreksi (betul)
X 0 = Jumlah kelas X yang masuk ke kelas lain (omisi)
X c 0 = Jumlah kelas X tambahan dari kelas lain (komisi)
Sedangkan ketelitian keseluruhan hasil interpretasi (KH) adalah :
KH =
x 100% ………. ….(II.2)
18
II.3.4 Skema Sampling
Ada lima skema sampling yang umum digunakan yaitu sampling acak sederhana
(simple random sampling), sampling sistematik (systematic sampling), sampling
acak bertahap (stratified systematic sampling), sampling cluster, dan sampling
sistematik bertahap tak sejajar (stratified systematic unaligned sampling).
Menurut Congalton (1988) sampling acak sederhana dan acak bertahap
menyajikan hasil yang memuaskan.
Pada sampling acak sederhana, setiap unit sampel dalam studi area memiliki
kesempatan yang sama untuk dipilih. Dalam banyak kasus pembangkit angka
acak digunakan untuk mengambil secara acak koordinat x,y dan mengumpulkan
sampel. Keuntungan utama dari sampling acak sederhana ialah sifat statistik yang
baik dari hasil pemilihan secara acak. Melalui cara sampling acak sederhana ini
diharapkan sampel training area dapat mewakili semua kelas yang ada, sehingga
ada jaminan tidak ada kelas yang terabaikan. Selain itu dapat diharapkan pula
bahwa pengaruh tiap kelas terhadap sampel dapat diabaikan.
II.3.4.1
Unit Sampel
Unit sampel adalah unit yang mendasar dalam evaluasi ketelitian peta yang
dihasilkan dari citra satelit. Unit sampel ini merupakan unit penghubung antara
sebuah lokasi spasial di peta dengan lokasi spasialnya di permukaan bumi
sebenarnya (Stehman dan Czaplewski, 1998). Unit sampel terbagi dalam empat
jenis yaitu; piksel tunggal, kluster piksel (biasanya kumpulan piksel dengan
ukuran 3 x 3), poligon, dan kluster poligon.
Jika tujuan dari pemetaan untuk menghasilkan poligon-poligon peta maka unit
sampel yang digunakan harus berbentuk poligon. Nilai ketelitian yang dihasilkan
selanjutnya menunjukkan kepada pengguna dan pembuat peta mengenai tingkat
kedetilan dari poligon-poligon yang mereka butuhkan.
19
II.3.4.2
Jumlah Sampel
Evaluasi ketelitian membutuhkan jumlah sampel yang memadai per-kelas peta
sehingga setiap analisis yang dilakukan akan absah secara statistik. Mayoritas
peneliti menggunakan sebuah persamaan yang didasarkan pada Distribusi
Binomial atau pendekatan normal menuju Distribusi Binomial untuk menghitung
ukuran sampel yang dibutuhkan. Teknik seperti ini (statistikal) digunakan dalam
perhitungan ukuran sampel yang diperlukan untuk mengukur seluruh ketelitian
klasifikasi atau bahkan seluruh ketelitian dari sebuah kategori tunggal.
Persamaan-persamaannya didasarkan pada bagian sampel yang terklasifikasi
secara benar (piksel, cluster, atau poligon) dan pada kesalahan yang diijinkan
(allowable error). Namun teknik seperti ini tidak didesain untuk memilih ukuran
sampel yang akan diisikan dalam sebuah error matrix.
Dalam error matrix pertanyaan benar atau tidaknya kategori bukanlah hal yang
sederhana, bahkan cenderung membingungkan (confused). Sehingga error matrix
sering juga disebut confused matrix. Sebuah error matrix dengan n kategori
liputan lahan, akan memiliki satu jawaban benar dan n-1 jawaban yang tidak
benar. Sejumlah sampel yang cukup harus diperoleh agar mewakili kebingungan
ini. Oleh karena distribusi binomial yang digunakan untuk menentukan ukuran
sampel pada error matrix tidak cocok maka distribusi multinomial sebaiknya
digunakan (Tortora, 1978).
Keseimbangan antara tepat dan benar secara teoritis (menurut ilmu statistik) dan
kemudahan secara praktisnya harus bisa ditemukan ketika melakukan evaluasi
ketelitian juga pada saat menentukan jumlah sampel. Dari pengalaman berbagai
penelitian sebanyak 50 sampel harus diambil untuk tiap kategori atau tiap
vegetasi pada error matrix disebut juga “rule of thumb (Congalton, 1999).
Penggunaan persamaan multinomial bisa memberikan keseimbangan yang baik
antara tuntutan teoritis dan praktisnya.
20
•
Distribusi binomial
Distribusi binomial cocok untuk situasi dua kasus (hanya benar atau salah).
Memilih ukuran sampel yang cocok dari ditribusi binomial tergantung pada; (1)
tingkat kesalahan yang diterima, dan (2) tingkat kepastian diinginkan yang
merupakan ketelitian aktual sampai dengan jangkauan minimum.
Sebagai contoh misalnya telah ditetapkan bahwa peta tidak diterima jika
keseluruhan ketelitiannya 90% atau kurang. Juga misalkan peta akan diterima 1
dari 20 kesempatan yang menimbulkan kesalahan berdasarkan sampel dan
menerima peta yang memiliki ketelitian kurang dari 90%. Akhirnya dimisalkan
lagi akan diterima dengan resiko yang sama 1 dari 20 kesempatan dari peta yang
ditolak yang sebenarnya benar. Dengan kata lain harus diambil 298 sampel
sampai dengan 21 sampel boleh salah klasifikasi (misclassified). Jika lebih dari
21 sampel salah diklasifikasi, maka disimpulkan bahwa peta tidak bisa diterima.
•
Distribusi multinomial
Distribusi multinomial menyediakan persamaan-persamaan yang sesuai untuk
melakukan sampling dalam rangka membangun sebuah error matrix. Prosedur
untuk menghasilkan ukuran sampel yang sesuai dengan distribusi multinomial
telah dilakukan Tortora (1978) dan disimpulkan oleh Congalton (1999) dengan
rumus :
n = BΠi (1
Πi ) / bi2
.....................................(II.3)
dimana : B = batas atas (α/k) x ke-100 persentil dari distribusi χ2 (chi square)
Πi = bagian dari populasi pada kategori ke- i
bi = ketepatan absolut sampel ke- i
II.3.5 Skema Klasifikasi
Skema klasifikasi adalah sebuah alat untuk mengorganisasi informasi spasial
supaya teratur dan logis (Cowardin, 1979). Skema klasfikasi menentukan apa
definisi dari kelas objek (unsur) yang akan diinformasikan, atau berapa kelas
objek (unsur) yang akan dipetakan. Unsur yang dimaksud adalah unsur alam
(rumput, tanaman, sungai, hutan, danau, gunung, dan lain-lain) dan unsur buatan
21
manusia (pemukiman, jalan, bangunan, bendungan, dan lain-lain). Dengan kata
lain skema klasifikasi ini mengkarakterisasi unsur-unsur tersebut supaya dapat
dikenal baik oleh pembuat maupun pengguna.
Skema klasifikasi memiliki dua komponen penting, yaitu :
a. Himpunan label (nama unsur atau kelas objek; pemukiman, hutan,
rerumputan)
b.
Himpunan aturan untuk mendefinisikan sebuah label (misal sesuatu
dikatakan hutan jika 75% daerah tutupan lahannya adalah pepohonan)
Gong dan Howart (1992) dalam Jensen (1996) menyatakan bahwa semua kelas
yang digunakan harus dipilih secara seksama dan dipastikan dengan baik dalam
pengkelasan citra menjadi informasi land cover. Hal ini memerlukan skema
klasifikasi yang mengandung taksonomi dengan definisi kelas informasi yang
benar disusun dengan kriteria logis.
Pembagian kelas areal perkebunan kelapa sawit dalam penelitian ini berdasarkan
pada Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak nomor KEP.16/PJ.6/1998 dan
Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-21/PJ.6/1999 yaitu :
1)
Areal kebun sawit umur 1 tahun selanjutnya disebut kebun klasifikasi A
2)
Areal kebun sawit umur 2 tahun selanjutnya disebut kebun klasifikasi B
3)
Areal kebun sawit umur 3 tahun selanjutnya disebut kebun klasifikasi C
4)
Areal kebun sawit umur 4 tahun atau lebih (areal kebun sudah menghasilkan)
selanjutnya disebut kebun klasifikasi D
5)
Areal emplasemen selanjutnya disebut kebun klasifikasi E
6)
Areal sudah diolah belum ditanami selanjutnya disebut kebun klasifikasi F
7)
Areal belum diolah selanjutnya disebut kebun klasifikasi G
8)
Untuk bangunan diklasifikasikan sesuai jenis penggunaan bangunan (JPB),
seperti bangunan pabrik, kantor, gudang/bengkel, perumahan, sarana sosial,
olahraga, poliklinik, dan jalan diperkeras dilokasi perkebunan.
22
II.4 Aktiva Tetap Sektor Perkebunan Kelapa Sawit
Menurut Standar Akuntansi Keuangan No. 16 Paragraf 05 (PSAK No. 16 Tahun
2002) Aktiva Tetap adalah aktiva berwujud yang diperoleh dalam bentuk siap
pakai atau dengan dibangun lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi
perusahaan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal
perusahaan dan mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Aktiva tetap sektor
perkebunan kelapa sawit terbagi atas aktiva tetap berupa tanah, aktiva tetap bentuk
tanaman (kelapa sawit), dan aktiva tetap non tanaman (bangunan, mesin, inventaris
kantor, dan kendaraan bermotor ). Dalam penelitian ini yang menjadi objek
penelitian adalah tanah (luasan), aktiva tetap tanaman kelapa sawit (luasan areal
perkelas tanaman), dan bangunan dimana aktiva-aktiva tersebut biasanya bernilai
75% - 85% dari nilai total aktiva tetap perkebunan.
Tanaman kelapa sawit tumbuh tegak lurus (fototropi) dan dapat mencapai
ketinggian 15 hingga 20 meter. Pohon ini termasuk kedalam famili Palmae, sub
famili Cocoideae, genus Elaeis, dan species Elaeis Guineensis Jacq. Pelepah daun
kelapa sawit berbentuk 1/8, yang berarti dalam satu lingkaran daun terdapat 8
pelepah dengan arah ke kiri dan kekanan.
Selama satu tahun pelepah daun yang dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit muda
mencapai 20 hingga 30 pelepah yang kemudian akan berkurang sesuai dengan
pertambahan usia menjadi hanya 18 sampai 25 pelepah. Pohon kelapa sawit dewasa
biasanya memiliki 40 sampai dengan 56 pelepah (Lubis, 1992).
Kelapa sawit ditanam dengan jarak tanam dan pola yang sama. Jarak tanam
ditentukan berdasarkan ukuran tanaman terutama diameter tajuk, tanaman dapat
menangkap cahaya matahari secara optimal, dan mempertimbangkan diameter
perakaran. Jarak tanam yang ideal berbentuk segitiga samasisi karena
memungkinkan penangkapan cahaya matahari oleh tanaman lebih optimal dan
populasi tanaman lebih tinggi (jumlah tanaman 15% lebih banyak). Namun
kekurangannya adalah sulit untuk penerapan mekanisasi dalam kegiatan
penanaman, pemeliharaan, maupun panen. Untuk itu itu secara operasional bisa
23
juga digunakan bentuk bujursangkar dengan maksud untuk memudahkan
pemeliharaan atau segiempat untuk memudahkan mekanisasi. Hubungan jarak
tanam, bentuk jarak tanam, dan populasi tanaman dapat dilihat pada tabel II.3
(http://www.faperta.ugm.ac.id) berikut ;
Tabel II.3 Hubungan jarak tanam, bentuk jarak tanam dengan
populasi tanaman kelapa sawit ;
Jarak tanam
6
7
8
9
m
m
m
m
Bentuk Segiempat
Populasi tanaman
(Pohon)
278
204
156
123
Bentuk Segitiga
samasisi
Populasi tanaman
(Pohon)
320
236
180
143
II.4.1 Nilai Pasar atau Nilai Wajar Aktiva Tetap Perkebunan Kelapa Sawit
Sesuai Standar Penilaian Indonesia (SPI) yang dikeluarkan Gabungan Perusahaan
Penilai Indonesia (GAPPI) dan Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI)
penentuan nilai aktiva tetap perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan dengan
beberapa metode yaitu ;
a.
Metode Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach)
Merupakan suatu penilaian dimana perkiraan nilai pasar aktiva tetap
ditentukan dengan cara membandingkan penawaran ataupun transaksi jual
beli yang terjadi atas aktiva tetap yang sejenis pada waktu itu.
b.
Pendekatan Biaya (Cost Approach)
Merupakan suatu metode penilaian dimana nilai aktiva tetap diperoleh dari
biaya reproduksi baru pada saat itu dikurangi penyusutan atas aktiva tersebut.
c.
Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan (Income Approach)
Merupakan suatu metode penilaian dimana nilai aktiva tetap dihitung
berdasarkan pada proyeksi jumlah pendapatan bersih wajar yang diharapkan
dapat dihasilkan oleh aktiva tetap tersebut sepanjang umur ekonomis yang
masih tersisa.
24
Penilaian tanaman kelapa sawit bisanya menggunakan metode pendekatan
kapitalisasi pendapatan dengan teknik penyisaan tanaman. Penentuan nilai
tanaman dilakukan dengan perhitungan yang didasarkan pada perkiraan
penerimaan yang akan diperoleh ditahun-tahun mendatang selama umur
ekonomisnya (biasanya 25 tahun) dan diterjemahkan kedalam nilai saat ini
dengan rumus sebagai berikut :
NSI = NN X
............................(II.4)
dimana :
NSI
NN
r
n
= Nilai saat ini
= Nilai Nanti adalah proyeksi produksi sawit selama umur
produksi ekonomis (luas per hektar) X prediksi nilai jual (ton/
hektar) – biaya operasional tanaman
= tingkat suku bunga efektif yang berlaku
= jumlah tahun(umur produksi ekonomis – umur tanaman saat ini)
Sementara penilaian atas tanah perkebunan biasanya menggunakan metode
pendekatan nilai pasar, dan aktiva bangunan dinilai dengan pendekatan kalkulasi
biaya.
II.4.2 Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Selain nilai pasar/nilai wajar aktiva yang telah dijelaskan, nilai pasar lain yang
ada dan biasa digunakan dalam transaksi jual beli adalah NJOP. NJOP merupakan
nilai jual dari tanah dan bangunan yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan sesuai kondisi daerah dan
wilayah masing-masing.
NJOP ditentukan melalui kegiatan penilaian atas objek pajak dengan
menggunakan pendekatan data pasar, pendekatan biaya, dan pendekatan
kapitalisasi pendapatan. Sedangkan teknik yang digunakan adalah penilaian
individu atau secara massal. Komponen utama identifikasi nilai objek pajak bumi
adalah Zona Nilai Tanah (ZNT) yang akan digunakan untuk pembentukan Nilai
Indikasi Rata-rata. NIR adalah nilai pasar wajar rata-rata yang dapat mewakili
25
nilai tanah dalam suatu Zona Nilai Tanah. Sementara untuk bangunan adalah
Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Proses pembentukan ZNT
selengkapnya disajikan pada gambar II.1 ;
Gambar II.1 Proses pembentukan/penyempurnaan ZNT/NIR
Untuk sektor perkebunan besarnya NJOP ditentukan sebagai berikut :
a. Areal kebun adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah
Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut umur
tanaman.
b. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan, adalah
sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
c. Objek pajak berupa bangunan adalah sebesar NJOP berupa bangunan.
26
Standar Investasi adalah jumlah biaya yang diinvestasikan untuk suatu
pembangunan dan atau penanaman, dan atau penggalian jenis sumberdaya alam
atau budidaya tertentu, yang dihitung berdasarkan komponen tenaga kerja, bahan
dan alat, mulai dari awal pelaksanaan pekerjaan hingga tahap produksi atau
menghasilkan.
SIT perkebunan dihitung dengan ketentuan :
Tingkat suku bunga investasi bersih setahun dalam kondisi ekonomi normal.
Data biaya pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan seterusnya yang
dapat diperoleh dari Dinas Perkebunan, instansi terkait lainnya, dan atau hasil
pengumpulan data lapangan
Penanaman cover corp adalah penanaman tanaman pelindung.
Formula :
FV = PV x (1 + i)n
………………..(II.5)
dimana ;
FV :
PV :
i
:
n :
II.5
Future Value
Present Value
Interest
Tahun ke-n
= Nilai akan datang
= Nilai sekarang
= bunga
Uji Statistik Perbedaan Luas
Uji statistik yang digunakan untuk menguji signifikansi suatu hipotesis
komparatif dua sampel adalah uji t dua pihak (two tail test) dengan taraf
signifikansi 5%. Uji statistik dengan hipotesis nol (H₀) berbunyi “tidak sama
dengan” dan hipotesis alternatif (Ha) berbunyi “sama dengan”. Rumusan t-test
yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah : (Sugiono, 2000)
t =
∆L
…………………..(II.6)
S ∆L
n
dimana :
∆L
S∆L
n
=
=
=
rata-rata beda luas ke-i dua metode pengukuran
simpangan baku rata-rata beda luas hasil pengukuran
jumlah data
27
Rata-rata beda luas dihitung dengan rumus,
∆L
=
∑ ∆L
i
…………………………..(II.7)
n
dimana :
i
= 1,2,3,….. n
∆Li
= beda luas ke-i dua metode pengukuran
Simpangan baku rata-rata beda luas dihitung dengan rumus,
S =
∑ (∆L
i
− ∆L) 2
n −1
...............……..………………..(II.8)
Dalam pengujian hipotesis uji dua pihak (two tail test) berlaku ketentuan apabila
nilai perhitungan uji statistik lebih besar dibandingkan nilai yang berasal dari
tabel (nilai perhitungan > nilai tabel), keputusannya : H0 ditolak. H0 ditolak
berarti ada perbedaan kejadian (mean/proporsi) yang signifikan antara kelompok
data satu dengan kelompok data lain. Sedangkan apabila nilai perhitungan uji
statistik diantara nilai ± tabel ( (-) nilai t-tabel < nilai t-perhitungan < (+) nilai ttabel), keputusannya ; H0 gagal ditolak. H0 gagal ditolak berarti tidak ada
perbedaan kejadian (mean/proporsi) antara kelompok data satu dengan kelompok
data yang lain. Perbedaan yang ada hanya akibat dari faktor kebetulan (by
chance).
Download