Harus Perhatikan Ekonomi Rakyat Toni Prasetiantono, Chief Economist Bank BNI. Rabu, 19 Nopember 2008 JAKARTA (Suara Karya): Rencana pemerintah untuk mengajukan pinjaman ke Dana Moneter Internasional (IMF) harus didasari persyaratan yang jelas, sehingga hasilnya tidak hanya akan membebani keuangan negara seperti yang terjadi di era krisis 1997-1998. Selain itu, negosiasi pinjaman dengan IMF terkait krisis keuangan global juga harus memperhatikan kepentingan ekonomi kerakyatan. Menurut Chief Economist Bank BNI Toni Prasetiantono, Indonesia bisa menggunakan pinjaman dari IMF untuk men-stabilkan cadangan devisa pada tahun depan. Namun, syaratnya tak ada lagi letter of intent (LoI) yang memberatkan seperti di masa lalu. "Saya setuju kalau Indonesia pakai dana dari IMF, karena cadangan devisa kita sudah turun menjadi 50,5 miliar dolar AS," kata Toni dalam acara "Economic Outlook 2009", di Jakarta, Selasa (18/11). Menurut dia, Indonesia bisa meminjam paling tidak sebanyak 2 miliar dolar AS. Kalau bisa ditambah pinjaman dari Bank Dunia sebesar 5 miliar dolar AS, maka totalnya menjadi 7 miliar dolar AS. Dengan begitu, jika ditambahkan dengan jumlah devisa sekarang menjadi total 57,5 miliar dolar AS atau mendekati posisi normal cadangan devisa di bulan Juli tahun ini yang sebesar 60 miliar dolar AS. "Saya memahami itu, tapi dengan catatan asal mereka (IMF) tidak minta LoI lagi seperti dulu. Ini karena apa pun alasannya kondisi kita berbeda dengan tahun 1998," ujarnya. Lebih jauh Toni Prasetiantono menilai, situasi Indonesia tidak sejelek posisi tahun 1998. Artinya, daya tawar Indonesia terhadap IMF sudah lebih tinggi. "Dari sisi lain, IMF juga tidak berhasil mengatasi persoalan krisis di Indonesia pada tahun 1998," ujarnya. Seperti diketahui, Indonesia kini sedang mengajukan standby loan lebih dari 5 miliar dolar AS. Pinjaman ini sifatnya untuk berjaga-jaga mengamankan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) di tengah ketatnya likuiditas saat ini. Sementara itu, Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini mengatakan, usulan pinjaman dari donor asing harus diwaspadai. Sebab, usulan pinjaman dari IMF hanya akan menempatkan Indonesia kembali masuk perangkap IMF. Apalagi ini terkait permintaan Menkeu Sri Mulyani agar IMF menyediakan fasilitas pinjaman baru pada pertemuan G-20 di Brasil. "Meskipun Presiden SBY menyatakan tidak akan undang IMF, tapi faktanya pada KTT G-20 Presiden meminta negara yang kelebihan cadangan memberikan dananya kepada IMF atau Bank Dunia. Ini dilakukan agar lembaga multilateral tersebut memberikan pinjaman kepada negara berkembang," kata Hendri. Menurut dia, penyediaan fasilitas baru itu akan segera disanggupi karena IMF memiliki kepentingan terhadap Indonesia. Bahkan, pemerintah menyatakan telah mengajukan standby loan kepada Bank Dunia. "Pengajuan bantuan likuiditas pada IMF tinggal menunggu waktu. Tim ekonomi SBY ternyata tetap loyal pada jeratan Washington yang akan mengundang petaka bagi Indonesia," ujar Hendri Saparini. Terkait usulan pinjaman luar negeri tersebut, Ketua Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Adi Sasono menegaskan, pemerintah harus cepat mengambil tindakan terkait problem ekonomi makro yang sedang terjadi. Ini dilakukan sebelum nilai tukar rupiah terhadap mata uang lain semakin terpuruk. "Saat ini ada problem ekonomi makro yang prinsipnya adalah turunnya kepercayaan. Karena itu, pemerintah harus cepat bertindak. Kalau tidak maka kejatuhan rupiah menjadi keniscayaan," kata Adi Sasono. Menurut dia, tindakan tersebut harus dilakukan segera agar tidak terjadi penarikan uang besar-besaran yang saat ini diperkirakan sudah mencapai Rp 300 triliun dari perbankan di Tanah Air. Penarikan uang itu terjadi karena keterlambatan pemerintah Indonesia untuk memberikan jaminan bagi simpanan di atas Rp 2 miliar. "Menghadapi situasi seperti ini tidak mudah. Pada waktu krisis dulu, kita dibantu negara-negara Barat. Tetapi saat ini mereka juga sedang krisis. Jadi, saat ini yang tersisa adalah IMF," tuturnya. Meski demikian, Adi menyarankan agar pemerintah melakukan berbagai pertimbangan sebelum benar-benar mengajukan permintan pembiayaan baru dari donor asing. "Untuk masuk IMF atau tidak, saya sarankan agar diriset dulu dengan teliti dampak dan akibatnya terhadap perekonomian rakyat," ucapnya. Pada intinya, kata dia, pemerintah juga harus menyelamatkan sektor koperasi dan UKM yang merupakan tulang punggung perekonomian negara. "Syaratnya adalah harus ada government spending," kata dia. Langkah intervensi pemerintah itu harus diambil agar nilai tukar rupiah tidak semakin merosot yang pada akhirnya berdampak pada sektor ekonomi rakyat. Untuk itu, Dekopin merekomendasikan kepada pemerintah untuk melindungi ekonomi kerakyatan dalam kaitannya dengan perkuatan ketahanan pangan dan energi. "Kalau bisa kita kembali seperti pada zaman Majapahit, di mana untuk urusan energi dan pangan tidak tergantung orang lain (luar negeri)," katanya. Adi juga menekankan agar sektor industri dipertahankan jangan sampai mati, bahkan bila perlu diberi bantuan permodalan dan diberi relaksasi. "Kalau di AS 60 persen warganya mempunyai saham di pasar modal, sedangkan kita di Indonesia hanya sedikit sekali yang mempunyai saham di pasar modal. Jadi, beda strukturnya. Oleh karena itu, likuiditas di sektor riil sangat perlu. Ini memerlukan kebijakan relaksasi," katanya. Anggota Dewan Pakar Dekopin Deswandy Agusman mengatakan, urgensi dari upaya pemerintah untuk meminta bantuan IMF adalah untuk mengatasi dampak krisis global tersebut terkait dengan cadangan devisa serta untuk mengantisipasi menurunnya likuiditas. Dalam hal ini, pemerintah harus memiliki cadangan dalam dolar AS yang cukup signifikan untuk menahan spekulasi. Selain utang pemerintah, utang swasta dalam bentuk dolar AS saat ini juga besar dan hampir sama dengan cadangan devisa yang ada. (Indra/Andrian/ A Choir)