BAB I EKSISTENSI DAN TANTANGAN DI DALAM REZIM SCHENGEN 1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis strategi Rezim Schengen yang hingga saat ini masih dapat bertahan, kendatipun jumlah keanggotaannya bertambah pesat dan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks. Dengan bertambahnya jumlah anggota rezim menyebabkan peluang kerawanan yang terjadi semakin besar, maka setiap negara harus melakukan harmonisasi regulasi Schengen ke dalam wilayah domestik, standarisasi keamanan, koordinasi, dan saling bertukar informasi. Sedangkan permasalahan yang dihadapi yaitu keamanan non-tradisional seperti terorisme, imigran ilegal, perdagangan orang dan narkoba, serta tindak kejahatan lainnya. Seperti yang diketahui, bahwa Eropa pada masa lalu sering berkonflik. Negara-negara tersebut saling berkonflik untuk mendapatkan pengaruh dan kekuasaan di tanah Eropa. Salah satu peperangan terbesar yang terjadi di Eropa, yaitu dalam rentang waktu lebih dari tiga puluh tahun yang dilatarbelakangi oleh masalah agama, yaitu Katolik dan Protestan yang berlangsung pada tahun 1618 hingga 1648. Hingga akhirnya dibentuk sebuah perjanjian yang bernama Perjanjian Westphalia pada tahun 1648. Perjanjian Westphalia ini memberikan konsep legal tentang kedaulatan yang pada dasarnya para penguasa di Eropa saling mengakui kedaulatan wilayahnya masing-masing. Kemudian konsep ini menjadi titik awal berkembangnya sistem negara modern dan susunan masyarakat internasional yang beralih dari kerajaan menjadi negara-bangsa, sehingga muncul konsep nation-state. Tidak hanya pada masa kerajaan Eropa mengalami konflik, pada era modern Eropa juga mengalami konflik, yaitu Eropa pernah menjadi arena pertempuran Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Semua faktor konflik tersebut di dominasi oleh perasaan paling hebat (superior) dari suatu negara, sehingga menganggap negara lain lebih lemah (inferior) dan harus tunduk kepadanya. Dengan demikian konflik 1 di Eropa sering tidak terhindarkan dan terjadi dalam waktu yang lama, sehingga membuat situasi menjadi tidak kondusif. Hingga akhirnya negara-negara di Eropa membahas mengenai proses pengintegrasian, yaitu memilih untuk menghapuskan pengawasan terhadap perbatasan negara yang diatur dalam Rezim Schengen. Proses pengintegrasian Eropa diawali dengan Perjanjian Paris European Coal and Steel Community (ECSC) yang ditandatangani pada 18 April 1951 dan berakhir pada 2002 oleh negara-negara Benelux (Belgia, Netherland, dan Luxembourg), Jerman, Italia, dan Prancis. Perjanjian ini mengakomodir mengenai penghapusan hambatan dan menginginkan adanya pasar tunggal bersama dan bertujuan agar negara-negara anggotanya dapat bergerak bebas tanpa adanya hambatan. Kemudian negara penandatangan ECSC ingin memperluas cakupan bidang ekonomi ke semua sektor dan tidak hanya di sektor batubara dan baja. Dengan demikian negara-negara yang membentuk ECSC membuat suatu perjanjian, yaitu Perjanjian Roma (European Atomic Energy Community (EAEC) dan European Economic Community (EEC)) yang ditandatangani pada 1-2 Juni 1955 dan mulai berlaku pada tahun 1958.1 Negara-negara yang tergabung di dalam EAEC dan EEC berkomitmen untuk membentuk pasar bersama, di antaranya adalah menghapuskan perpindahan barang, jasa, pekerja, dan modal, menghapuskan pajak, pembatasan impor, dan memberlakukan tarif pajak bersama yang ditujukan kepada negara ketiga (non-anggota EAEC dan EEC). Ketiga komunitas ini, yaitu Perjanjian Paris (ECSC) dan Perjanjian Roma (EAEC dan EEC) mulai dibentuk satu dewan dan satu komisi pada 1 Juli 1967.2 Hal ini bertujuan untuk memudahkan kerjasama di antara mereka. Hingga pada akhirnya ketiga komunitas ini menjadi European Communities (EC) dan memiliki Dewan Menteri sendiri. Tindaklanjut untuk proses pengintegrasian ini kemudian dilanjutkan dalam membentuk Perjanjian Schengen (Rezim Schengen). Pada awalnya Perjanjian ‘Sejarah Pembentukan Uni Eropa (UE),’ Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring), <http://www.indonesianmissioneu.org/website/page943418664200310095958555.asp>, diakses pada 20 November 2015. 2 Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring). 1 2 Schengen yang dibuat pada 14 Juni 1985 ini hanya diratifikasi oleh lima negara, yaitu Luxembourg, Belanda, Prancis, Jerman, dan Belgia.3 Sedikitnya jumlah negara yang meratifikasi karena banyak negara di Eropa yang belum memiliki ketertarikan terhadap Perjanjian Schengen, hal ini diakibatkan rasa kurang percaya di antara negara Eropa pada saat itu. Hal tersebut juga memiliki alasan yang mendasar bagi negara-negara di Eropa. Dengan diterapkannya Perjanjian Schengen ini, maka bisa saja kejahatan lintas negara akan berkembang. Namun tujuan utama dari dibentuknya Perjanjian Schengen ini adalah untuk memberikan kebebasan berpindah bagi seluruh warga Negara Anggota Eropa, sehingga dapat memudahkan mobilitas antar negara. Perjanjian Schengen ini juga dapat dijadikan alat untuk menangkal adanya imigran ilegal yang masuk ke Eropa. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Perjanjian Schengen, penulis akan membahas mengenai Perjanjian Maastricht terlebih dahulu. Perjanjian Maastricht ini merupakan langkah awal dalam sejarah terbentuknya organisasi supranasional, yaitu Uni Eropa. Pembentukan Uni Eropa disepakati pada 7 Februari 1992 dan mulai berlaku pada 1 November 1993.4 Sehingga European Community (EC) berubah bentuk menjadi European Union (EU) dengan menambahkan kerjasama di bidang Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri dan Peradilan Bersama. Perjanjian Maastricht menghasilkan: ”Pergerakan bebas pekerja, pasar tunggal, pendidikan, penelitian, lingkungan, Trans-European Network, kesehatan, budaya dan perlindungan konsumen.”5 Perjanjian Maastricht ini kemudian di revisi pada Perjanjian Amsterdam. Pertemuan yang berlangsung pada 17 Juni 1997 ini menyetujui untuk merevisi Perjanjian Maastricht. Sehingga Perjanjian Amsterdam menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya adalah penghapusan hambatan dan memperkuat keamanan kerjasama negara anggota Uni Eropa dan perjanjian ini yang kemudian memberikan ‘The Schengen Area and Cooperation,’ Europa (daring), <http://eur-lex.europa.eu/legalcontent/EN/TXT/?uri=URISERV:l33020>, diakses pada 3 November 2015. 4 Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring). 5 Mission of The Republic of Indonesia to the European Union (daring). 3 3 Rezim Schengen ruang untuk dapat diaplikasikan ke dalam organisasi supranasional Uni Eropa, namun Inggris dan Irlandia tidak ikut bergabung ke dalam Rezim Schengen (hanya bergabung pada SIS). Dengan diaplikasikannya Perjanjian Schengen ke dalam Perjanjian Amsterdam membuat banyak negara berangsur-angsur bergabung ke Rezim Schengen. Seiring berjalannya waktu, keanggotaan Rezim Schengen semakin bertambah, hingga saat ini terdapat 26 negara yang tergabung ke dalam Rezim Schengen, yaitu; Austria, Belgia, Republik Czech, Denmark, Estonia, Finlandia, Peranci, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Malta, Belanda, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, dan Liechtenstein.6 Dengan bertambahnya anggota Rezim Schengen, maka akan semakin banyak kepentingan yang harus diakomodir di dalamnya seperti kepentingan keamanan yang menjadi fokus rezim saat ini. Bergabungnya mayoritas negara di Eropa ke dalam Rezim Schengen merupakan suatu keputusan yang besar karena masing-masing negara dapat menurunkan egonya (selfish). Selain negara yang menjadi anggota Rezim Schengen semakin banyak, isu-isu yang berkembang juga semakin luas serta kompleks. Seperti teroris, imigan ilegal, perdagangan orang dan narkoba, serta tindak kejahatan lainnya. 2. Pertanyaan Penelitian “Bagaimana strategi Rezim Schengen dapat bertahan hingga saat ini?” Tesis ini menjelaskan apa strategi Rezim Schengen dalam menjaga eksistensinya hingga saat ini. Maka dari itu mengapa pertanyaan ini penting mengingat beberapa dinamika yang sangat kompleks di dalam Rezim Schengen seperti berkembangnya isu-isu non-tradisional, dan semakin bertambah banyak anggota rezim. Sehingga membuat pertanyaan ini sesuai untuk diaplikasikan di dalam tulisan ini. 6 ‘Schengen Area Countries List,’ Schengen Visa Info (daring), <http://www.schengenvisainfo.com/schengen-visa-countries-list/>, diakses pada 31 Oktober 2016. 4 3. Literature Review Menurut Mahoney & Thelen konsep layering merupakan suatu alat analisis yang berfungsi untuk melihat perubahan di dalam rezim. Pada umumnya untuk dapat mempertahankan eksistensi dan fungsi suatu rezim maka dibutuhkan penyesuaian peraturan serta implementasinya. Mahoney dan Thelen dalam bukunya yang berjudul Explaining Institutional Change; Ambiguity, Agency, and Power menjelaskan bahwa di dalam rezim terdapat pihak yang mendukung status quo dan berusaha untuk mempertahankan peraturan lama. Namun disaat yang sama mereka tidak dapat menolak adanya perubahan aturan lama atau penambahan aturan baru. Sehingga untuk menjaga stabilitas dan fungsi dari suatu rezim dibutuhkan peraturan baru atau perubahan aturan tanpa harus menghapus peraturan lama.7 Dalam melihat fenomena ini, konsep layering menjadi suatu mekanisme yang sesuai dalam menganalisa Rezim Schengen. Dalam jurnal tulisan Etta Bick yang berjudul "Layering" as a Mode of Institutional Change: National Civic Service in Israel 1996-2014 mengutip dari Lijphardt dan Don Yehiye yang menyatakan bahwa mekanisme layering memungkinkan proses amandemen secara perlahan (aturan lama) tanpa harus menimbulkan kegaduhan politik karena adanya pergeseran aturan.8 Dengan demikian eksistensi dan fungsi dari rezim internasional masih dapat berjalan. Adapun pengimplementasian Rezim Schengen berjalan cukup lama sejak awal Perjanjian Schengen ditandatangani. Pada mulanya Perjanjian Schengen ditandatangani pada 14 Juni 1985 oleh lima negara, yaitu Prancis, Luxembourg, Belgia, Jerman, dan Belanda. Perjanjian ini bertujuan untuk menghapuskan pengawasan perbatasan negara. Menurut Rubben Zaiotti di dalam bukunya yang berjudul Cultures of Border Control; Schengen & the Evolution of European Frontiers, Perjanjian Schengen menjadi rezim baru untuk pengawasan perbatasan 7 J. Mahoney & K.Thelen, Explaining Institutional Change; Ambiguity, Agency, and Power, Cambridge University Press, New York, 2010, p. 9. 8 E. Bick, "Layering" as a Mode of Institutional Change: National Civic Service in Israel 19962014, Ariel University, Israel, p. 16. 5 Eropa dan rezim ini dimulai oleh lima negara anggota Komunitas Eropa (sekarang menjadi Uni Eropa) dari sepuluh negara anggota pada masa itu.9 Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan mobilitas individu serta barang dalam kawasan Uni Eropa terlepas dari munculnyanya pro dan kontra akibat dibentuknya rezim ini. Dalam hal ini terbentuknya Rezim Schengen menjadi pro dan kontra karena dikhawatirkan akan banyak timbul kejahatan lintas negara akibat dari penghapusan pengawasan perbatasan ini. Namun menurut Peter Cofey di dalam bukunya yang berjudul Europe Toward 2001: International Studies in Economics and Econometrics edisi ke 35 menuliskan bahwa Perjanjian Schengen ini tidak akan memberikan kerawanan keamanan akibat dari penghilangan pengawasan perbatasan antar negara, Perjanjian Schengen ini bahkan akan memperkuat keamanan antar negara.10 Hal ini karena Perjanjian Schengen akan fokus pada peningkatkan integrasi keamanan antar negara seperti kerjasama kepolisian dan saling bertukar data yang menyangkut dengan keamanan. Maka dari itu mobilisasi kejahatan yang terjadi di internal Negara Anggota Rezim Schengen dapat dipantau dan dicegah dengan cepat. Sedangkan di sisi lain, perjanjian ini mendapat perhatian penuh dari Lembaga Amnesti Internasional, yaitu perjanjian ini dianggap dapat membatasi imigran untuk masuk ke Uni Eropa dan menghambat akses pencari suaka. Hal ini disebabkan karena pengungsi/ imigran yang mencari suaka pasti tidak dapat menunjukkan dokumen dan visa yang dibutuhkan untuk dapat masuk ke wilayah Schengen dan perlindungan kepada para pengungsi akan berkurang.11 Untuk mengatasi hal tersebut Rezim Schengen memiliki cara untuk menyeleksi pencari suaka atau orang asing dari negara ketiga yang dianggap aman atau tidak aman oleh otoritas negara, yaitu penyatuan informasi ke dalam database Eurodac, Visa Information System (VIS), dan Schengen Information System (SIS). Masingmasing dari sistem ini memiliki spesialisasi tersendiri. Seperti Eurodac yang fokus 9 R. Zaiotti, Cultures of Border Control Schengen and the Evolution of European Frontiers, The University of Chicago Press, Chicago, 2011, p. 2. 10 P. Coffey, Europe Toward 2001: International Studies in Economics and Econometrics Volume 35, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1996, p. 161. 11 Coffey, p. 162. 6 pada perekaman sidik jari pencari suaka, VIS yang fokus pada kepengurusan visa, dan SIS yang fokus pada pengawasan keamanan. Seperti yang dijelaskan oleh Steffen Mau dkk. dalam bukunya yang berjudul Liberal States and the Freedom of Movement; Selective Borders, Unequal Mobility bahwa fokus pencari suaka yang dilakukan oleh sistem Eurodac (dactyloscopy; sidik jari) akan memberikan informasi yang akurat mengenai pencari suaka dan imigran ilegal yang datang ke Uni Eropa dan sistem ini dapat mengidentifikasi paspor palsu.12 Sistem ini dapat di akses oleh semua otoritas Negara Anggota Schengen sehingga dengan mudah dapat mengidentifikasi orang yang mungkin dianggap mencurigakan dan membahayakan keamanan negara. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menghilangkan dan mengatasi masalah yang terjadi, Rezim Schengen membuat suatu sistem yang bernama Schengen Information System (SIS). Sistem ini telah mulai beroperasi pada tahun 1995. Berdasarkan tulisan dari Evelien Brouwer dalam bukunya yang berjudul Digital Borders and Real Rights; Eff ective Remedies for Third-Country Nationals in the Schengen Information System akar dari implementasi SIS didasarkan pada Convention on the Implementation of the Schengen Agreement of 1990 (CISA) yang digunakan oleh pihak imigrasi dan pengawasan perbatasan di Uni Eropa.13 Mekanisme tersebut merupakan kebijakan tambahan sebagai akibat dari penghapusan kontrol perbatasan internal di antara Negara Anggota Schengen. Setelah beroperasi pada tahun 1995, Perjanjian Schengen ini kemudian menjadi bagian dari regulasi Uni Eropa melalui amandemen Perjanjian Amsterdam. Menurut Emilio De Capitani dalam artikelnya yang berjudul The Schengen System After Lisbon: From Cooperation to Integration, Perjanjian Schengen dapat diterima dan diimplementasikan oleh Uni Eropa karena memiliki prinsip yang terkandung di dalam Pasal ke 3 Treaty on the European Union (TEU), yaitu memberikan kebebasan bergerak, keamanan dan keadilan tanpa adanya pembatasan pergerakan 12 S. Mau, H. Brabandt, L. Laube & C. Roos, Liberal States and the Freedom of Movement; Selective Borders, Unequal Mobility, Palgrave Macmillan, Hampshire, 2012, p. 98. 13 E. Brouwer, Immigration and Asylum Law and Policy in Europe, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, 2008, p. 1. 7 di dalam Uni Eropa. Visi yang dibawa oleh Rezim Schengen linier dengan prinsip dasar dari Uni Eropa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya kerjasama Rezim Schengen ini akan membuat terjadinya internasionalisasi dalam segala bidang baik itu ekonomi, politik, budaya, dan bidang lainnya. Maka dari itu agar Rezim Schengen tidak hanya memberikan keuntungan kerjasama ekonomi, politik, dan budaya, rezim juga dapat memberikan keuntungan dalam bidang keamanan antar negara. Di dalam buku karangan Stephen Kabera Karanja yang berjudul Transparency and Proportionality in the Schengen Information System and Border Control Co-operation mengatakan bahwa kebijakan di dalam Rezim Schengen ini didasarkan pada kerjasama di segala bidang, seperti bea cukai, keamanan, migrasi, dan peradilan hukum pidana.14 Dengan adanya Rezim Schengen ini, maka akan memudahkan proses mobilisasi atau sistem birokrasi di Uni Eropa. Dengan bergabungnya mayoritas Negara Anggota Uni Eropa ke dalam Rezim Schengen, maka negara tersebut telah mengikatkan diri ke dalam Rezim Schengen serta mentaati peraturan yang telah berlaku, yaitu berupa penghapusan pengawasan perbatasan. Menurut Rubben Zaiotti, dengan bergabungnya negara ke dalam Rezim Schengen, maka setiap negara anggota harus mentransfer hak prerogratif mereka atas perbatasan kepada negara lain.15 Dengan demikian terjadi sistem pemerintahan yang disebut dengan “transgovernmental intensive”, yaitu hubungan antar pemerintah negara yang lebih intensif untuk melakukan kerjasama di segala bidang. Menurut Charles Raab yang terdapat di dalam tulisan Stephen Kabera Karanja, perubahan dalam suatu sistem dapat dibagi menjadi empat cara, yaitu: 1. Penghapusan perbatasan internal 2. Peningkatan aktivitas kriminal internasional, 3. Adanya percepatan perpindahan, sehingga adanya kerjasama polisi dan melibatkan pertukaran informasi. 4. Pengembangan mekanisme pengaturan, termasuk sistem perlindungan data untuk menjaga keamanan dari pertukaran 14 S. K. Karanja, Transparency and Proportionality in the Schengen Information System and Border Control Co-operation, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, 2008, p. 3. 15 Zaiotti, p. 3. 8 data tersebut, serta privasi individu yang rinciannya hanya boleh diketahui oleh polisi.16 Berdasarkan empat poin di atas dapat dijelaskan bahwa perubahan-perubahan dapat dilakukan di dalam suatu sistem, yaitu dengan cara penghapusan perbatasan internal suatu komunitas. Meskipun akan memunculkan berbagai macam peningkatan tindak kejahatan yang mungkin terjadi, maka perlu adanya pertukaran informasi antar pemerintah melalui pihak kepolisian untuk mencegah adanya tindak kejahatan lintas negara. Selain itu rezim juga mengatur mekanisme untuk memperoleh data-data individu dan menjaga kerahasiaan data tersebut. Data-data tersebut digunakan untuk mengetahui individu yang melakukan kejahatan dan mencegah kejahatan yang lebih luas. Namun Raab menambahkan dua hal lagi, yaitu adanya pertukaran sistem informasi pengawasan perbatasan dan meningkatkan sistem perlindungan hak asasi manusia.17 Dengan demikian peningkatan individu dan barang bertujuan untuk kesejahteraan anggota akan tercapai dan sistem keamanan masing-masing negara dapat ditingkatkan kembali tanpa harus melanggar hak asasi manusia, yaitu untuk melakukan lintas batas negara. Oleh sebab itu Rezim Schengen membentuk suatu sistem yang bernama Schengen Information System (SIS). Dengan adanya sistem ini, maka diharapkan kerjasama peningkatan ekonomi dan politik dapat ditingkatkan tanpa harus mengkhawatirkan keamanan negara. Sistem yang dibuat oleh Rezim Schengen dalam SIS memberikan keputusan berupa izin kepada individu, terutama bagi individu yang berasal dari luar wilayah Schengen untuk dapat melarang mereka masuk atau mengizinkannya masuk. Menurut buku yang ditulis oleh Evelien Brouwer, SIS dapat membuat keputusan untuk melaporkan individu dari negara ketiga (non-anggota Schengen) yang dianggap memiliki ancaman bagi ketertiban umum, keamanan publik atau keamanan nasional.18 Lalu keputusan ini yang kemudian berdasarkan keputusan 16 Karanja, p. 1. Karanja, p. 1. 18 Brouwer, p. 2. 17 9 hukum imigrasi dapat mendeportasi individu tersebut, menolak masuk dan bahkan dapat menahannya, serta individu tersebut akan secara otomatis tertolak ke setiap negara anggota Schengen. Dari beberapa sumber review literatur yang penulis paparkan di atas, uraian tersebut memberikan masukan dan kontribusi dalam proses analisis di dalam penelitian ini. Penulis mendapatkan penjelasan dan pengetahuan tentang apa saja tantangan yang terjadi dalam Rezim Schengen sehingga terdapat beberapa perubahan dan penambahan regulasi. Namun, terdapat beberapa perbedaan pokok penulisan yang menjadi sumber review literatur dengan penelitian yang penulis buat. Secara garis besar review literatur di atas memberikan pembahasan tentang sejarah dibentuknya Perjanjian Schengen, proses masuknya perjanjian ini ke dalam struktur Uni Eropa, regulasi yang dibentuk, dan permasalahan yang terjadi di dalam Rezim Schengen. Penulis belum dapat menemukan analisis yang membahas mengapa Rezim Schengen masih dapat bertahan hingga saat ini. Meskipun anggota yang ada semakin banyak dan permasalahan yang dihadapi terus berkembang. Maka dari itu penulis ingin mengelaborasi lebih lanjut dan menganalisis lebih dalam mengenai perubahan Rezim Schengen dengan menggunakan mekanisme layering. 4. Kerangka Pemikiran a. Rezim Internasional Schengen merupakan suatu rezim internasional yang menjadi wadah untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan Negara Anggotanya di wilayah Eropa. Menurut Stephen D. Krasner dalam jurnal Theories of International Regimes yang ditulis oleh Stephan Haggard dan Beth A. Simmons menjelaskan bahwa rezim internasional adalah "Implicit or explicit principles, norms, rules and decision-making procedures around which actors' expectations converge in a given area of international relations.”19 Maka dapat dijelaskan rezim internasional merupakan suatu tatanan yang berisi kumpulan prinsip, norma, S. Haggard & B.A Simmons, ‘Theories of International Regimes,’ International Organization Foundation, vol. 41, No. 3 (Summer, 1987), p. 493. 19 10 aturan, dan prosedur pembuatan kebijakan baik yang berupa eksplisit maupun implisit, yang berkaitan dengan ekspektasi dan kepentingan aktor dalam hubungan internasional. Sedangkan menurut Andrew Heywood dalam buku Global Politics menyatakan rezim internasional adalah “International regime is a set of principles, procedures, norms or rules that govern the interactions of states and non-state actors in particular issue areas within international politics.”20 Sama seperti pendapat dari Stephen Krasner, Andrew Heywood juga menjelaskan bahwa rezim internasional adalah seperangkat prinsip, prosedur, norma, atau peraturan yang mengatur interaksi aktor antar negara maupun non negara di dalam masalah politik internasional. Berdasarkan definisi rezim internasional di atas terdapat empat konsep yang dapat menjelaskan rezim internasional. Empat konsep ini menurut Stpehen D. Krasner dalam jurnal Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables, yaitu: 1. Konsep principles yang merupakan kepercayaan atas fact (kenyataan), causation (penyebab), dan rectitude (kejujuran). 2. Konsep norms yang merupakan standar perilaku yang dituangkan atas hak dan kewajiban di dalam rezim. 3. Konsep rules yang merupakan ketentuan dan larangan yang harus dipatuhi dalam bertindak. 4. Decision-making merupakan praktik umum untuk membuat dan mengimplementasikan keputusan bersama.21 Lebih lanjut lagi Mc Elwain dalam buku International Political Economy, Power and Wealth: Institutional Approaches menjelaskan karakter dan perilaku fungsional yang dapat merubah suatu rezim, yaitu: “Principles dan norms didefinisikan sebagai karakter sebuah rezim, yaitu perubahan yang terjadi merupakan indikasi dari adanya pergeseran dalam sebuah rezim. Rules dan decisionmaking procedures adalah perilaku fungsional dalam rezim, yaitu 20 A. Heywood, Global Politics, Palgrave Macmillan, China, 2011, p. 67. S. D. Krasner, ‘Structural Causes and Regime Consequences: Regimes as Intervening Variables,’ International Organization, vol. 36, no. 2, (Spring, 1982), p. 186. 21 11 perubahan yang terjadi merupakan indikasi pergeseran dalam sebuah rezim.”22 Perubahan yang terjadi dalam Rezim Schengen berada pada perilaku fungsional, yaitu rules dan decision making procedures. Sedangkan karakter dari Rezim Schengen yang terdapat pada principles dan norms tidak dirubah atau dihilangkan. Pembahasan lebih lanjut mengenai institusionalisasi/ rezim menurut Keohane adalah sebagai berikut: 1. Kebersamaan: Derajat di mana harapan-harapan terhadap perilaku dan pemahaman yang tepat mengenai bagaimana menginterpretasikan tindakan dibagi bersama oleh partisipan dalam sistem tersebut. 2. Kekhususan: Derajat di mana harapan-harapan ini jelas khusus dalam bentuk aturan-aturan. 3. Otonom: Perluasan di mana institusi dapat mengubah aturannya sendiri daripada tergantung pada badan-badan dan agen-agen asing untuk melakukan hal tersebut.23 Pendapat dari Keohane di atas sesuai dengan pembahasan yang penulis angkat di dalam penelitian ini. Rezim Schengen merupakan institusi yang mengedepankan kebersamaan. Rezim Schengen juga memiliki wewenang untuk membuat atau mengubah aturannya secara independen. b. Konsep Layering Mahoney & Thelen menyatakan bahwa perubahan institusi seringkali terjadi secara gradual dan tidak serentak, artinya suatu rezim tidak berubah secara langsung atau menyeluruh.24 Perubahan tersebut tidak hanya dipengaruhi faktor eksternal (eksogenous) tetapi juga faktor internal (endogenous), terdapat empat konsep dalam perubahan rezim internasional yaitu, displacement, layering, drift, conversion.25 22 Mc Elwain, International Political Economy, Power and Wealth: Institutional Approaches, p. 1. 23 R. Jackson & G. Sorensen, Introduction to International Relations: Theories and Approaches 5th edisi bahasa Indonesia Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori dan Pendekatan edisi 5, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2014, p. 195. 24 Mahoney & Thelen, p. 4. 25 Mahoney & Thelen, p. 8. 12 Tabel 1. Tipe-tipe Perubahan Institusi Secara Perlahan Change of Formation Displacement Layering Drift Conversion Yes No No No - No Yes No - No Yes Yes Yes Yes No No Removal of old rules Neglect of old rules Change impact/enactment of old rules Introduction of new rules Sumber: James Mahoney & Kathleen Thelen. Explaining Institutional Change; Ambiguity, Agency, and Power, New York, Cambridge University Press. 2010. Berikut ini penjabaran empat mekanisme perubahan rezim internasional menurut tabel di atas; displacement, merupakan perubahan formasi dalam rezim dengan menghapus peraturan lama dan membuat peraturan baru. Layering, membuat peraturan baru tanpa menghapus peraturan lama rezim, sehingga peraturan baru akan berjalan secara berdampingan dengan peraturan lama. Menurut Mahoney & Thelen, layering merupakan mekanisme yang melakukan amandemen, revisi, atau penambahan aturan baru.26 Drift, yaitu terjadi pengabaian terhadap peraturan lama dalam suatu rezim dan melakukan perubahan yang kuat terhadap peraturan lama. Conversion, yaitu terjadi perubahan peran dari peraturan lama rezim dan melakukan perubahan terhadap peraturan lama rezim secara drastis. Dinamika yang terjadi di dalam Rezim Schengen membuat rezim ini harus membuat atau mengamandemen peraturan. Hal tersebut dilakukan untuk memperkuat serta menjaga stabilitas rezim. Meskipun pembuatan amandemen suatu aturan menjadi tuntutan di dalam rezim, Negara Anggota tidak sertamerta menghapuskan peraturan lama dengan peraturan baru. Namun peraturan baru tetap berjalan di samping peraturan lama, maka dengan demikian 26 Mahoney & Thelen, p. 9. 13 peraturan baru melapisi (layering) peraturan lama. Sehingga eksistensi dari Rezim Schengen dapat di analisis dengan konsep mekanisme layering. Berdasarkan penjelasan layering di atas, maka sesuai dengan adanya perubahan di dalam Rezim Schengen yang menambah aturan baru dan adanya amandemen terhadap peraturan lama. Pembuatan aturan baru yaitu seperti penambahan peraturan Visa Information System (VIS), Eurodac dan mengamandamen peraturan lama Schengen Information System (SIS) menjadi Schengen Information System II (SIS II). Semua peraturan baru dan amandemen peraturan lama ini tidak mengubah secara menyuluruh aturan lama Rezim Schengen, yaitu kerjasama ekonomi yang menghilangkan pengawasan perbatasan internal Negara Anggota. Perubahan-perubahan yang ada juga ditujukan untuk menjaga stabilitas Rezim Schengen agar semakin kuat dan anggota-anggota rezim semakin memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. 5. Hipotesa “Strategi Rezim Schangen dapat bertahan hingga saat ini adalah dengan mekanisme layering, yaitu melapisi regulasi lama dengan regulasi baru” Dengan strategi layering tersebut, maka aktor-aktor di dalam Rezim Schengen tidak perlu mengganti aturan terdahulu dengan aturan baru karena pasti akan timbul resistensi dari aktor-aktor lain. Demi keberlangsungan Rezim Schengen maka para aktor cukup menambahkan aturan baru disamping aturan lama (layering) sebagai solusi untuk menjaga stabilitas rezim. 6. Batasan Penelitian Penelitian ini membatasi ruang lingkup penulisan pada regulasi yang ditambahkan setelah disepakatinya Perjanjian Schengen pada tahun 1985. Penelitian membahas mengenai regulasi inti yang ditambahkan dan diamandemenkan dalam Rezim Schengen yaitu SIS, VIS, dan Eurodac. Tiga regulasi ini yang kemudian menjadi fokus peneliti untuk menjelaskan bertahannya Rezim Schengen hingga saat ini. 14 7. Metode Penelitian Tesis ini merupakan penelitian yang bersifat eksplanasi. Kerangka pemikiran tulisan ini memakai penjelasan konseptual yang digunakan sebagai alat untuk menganalisis penelitian ini. Tesis ini memiliki fokus analisis pada Rezim Schengen yang masih dapat bertahan hingga saat ini. Konsep layering dalam penelitian ini digunakan untuk menjelaskan fungsi dan eksistensi Rezim Schengen dalam menghadapi perkembangan berbagai masalah. Konsep layering dalam Rezim Schengen terefleksi pada pembuatan dan amandemen peraturan. Adapun peraturan yang ditambahkan setelah Rezim Schengen dibentuk adalah VIS dan Eurodac. Sedangkan peraturan yang diamandemen adalah SIS. Semua pembuatan dan amandemen peraturan tersebut dimaksudkan untuk menjaga stabilitas Rezim Schengen agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sedangkan untuk metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode kualitatif. Metode kualitatif merupakan metode yang menggunakan data primer dan sekunder dari sumber analisis yang berasal dari buku, jurnal, tesis, internet dan sumber lain yang berkaitan dengan penulisan tesis dan dapat dipertanggungjawabkan. 8. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I EKSISTENSI DAN TANTANGAN DI DALAM REZIM SCHENGEN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah dari penelitian yang penulis angkat, yaitu mengenai eksistensi Rezim Schengen dapat bertahan hingga saat ini. Selain itu, di dalam bab ini penulis membahas latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, kerangka konseptual, hipotesis, batasan penelitian, metodologi penelitian, dan isi (sistematika penulisan setiap bab menjelaskan analisis yang lebih dalam). 15 BAB II KERJASAMA AWAL INTEGRASI EROPA DAN TERBENTUKNYA REZIM SCHENGEN Bab ini menguraikan permulaan kerjasama integrasi Eropa dan sejarah Rezim Schengen, proses pembentukan yang memakan waktu cukup lama untuk kemudian regulasi rezim dapat dijalankan. Selain penjabaran sejarah dan proses pembentukan rezim Schengen, bab ini juga menjabarkan implementasi rezim di Uni Eropa. BAB III ANALISIS PERMASALAHAN YANG DIHADAPI REZIM SCHENGEN Bab ini memaparkan analisis kompleksitas isu yang semakin berkembang dalam wilayah Rezim Schengen. Banyaknya anggota dan masalah yang kompleks dalam Rezim Schengen, membuat rezim memiliki kerawanan atas eksistensi. Meskipun demikian, Rezim Schengen masih dapat bertahan hingga saat ini. BAB IV MENGATASI TANTANGAN REZIM SCHENGEN Bab ini menjelaskan strategi yang digunakan dalam menghadapi isu yang semakin kompleks. Perkembangan isu tersebut memberikan celah untuk dibuatnya suatu perubahan atau tambahan aturan baru di dalam Rezim Schengen. Penambahan aturan baru dan amandemen dibuat agar rezim dapat bertahan dan stabil dalam menghadapi setiap isu-isu yang sedang berkembang. BAB V KESIMPULAN Bab ini memaparkan jawaban dari rumusan masalah dalam penelitian ini serta sekaligus menjadi kesimpulan dalam tesis ini. 16