Kata Pengantar

advertisement
Kata Pengantar
Bismillah, Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Alloh Azza Wa Jalla atas
limpahan rahmat dan ridho-Nya. Salam dan sholawat semoga tercurah kepada
panutan Rosululloh Muhammad shollallohu ’alaihi wa sallam. Modul ini adalah
buah dari sebuah karya kecil atas ijin Alloh dengan tujuan untuk menjadi salah
satu sumber informasi kepada mahasiswa di Fakultas Geografi yang menempuh
mata kuliah migrasi internasional. Perkuliahan Manajemen Sumber Daya Manusia
ditawarkan kepada mahasiswa yang ingin memperdalam beberapa aspek terkait
isu sumber daya manusia seperti konseptualisasi sumber daya manusia, dimensi
sumber daya manusia, indikator pengukur kualitas sumber daya manusia, Human
Development Index (HDI), GDI, HPI, GEM, Kemiskinan, dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia.
Telah sama-sama dipahami bahwa visi Universitas Gadjah Mada adalah
menjadi research university, yaitu universitas yang berkelas dunia dengan didasari
oleh berbagai kegiatan penelitian ilmiah. Demi mewujudkan kualitas lulusan yang
handal, telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari
teaching center (TCL) menjadi student center learning (SCL). Perubahan paradigma
tersebut tidaklah dapat menuai harapan jika tidak diikuti dengan perubahan
proses pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah materi kuliah. Adalah suatu
kemestian adanya perubahan baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode
yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah
Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan
Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Untuk itulah, modul
kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang berisi rangkaian program kegiatan
pembelajaran ini disusun. Secara teknis modul ini memuat satuan acara
perkuliahan berikut metode yang digunakan.
Banyak hal yang belum tercakup di modul kecil ini. Kompleksitas
permasalahan kehidupan manusia memungkinkan berbagai data dan isu sumber
daya manusia berkembang begitu cepat. Penulis mohon maaf jika banyak isu
menarik dan kontemporer belum tercakup di sini. Kritik dan saran demi perbaikan
modul berikutnya sangatlah kami nantikan. Semoga modul ini bermanfaat bagi
pembaca.
Yogyakarta, November 2006
Penyusun
Agus Joko Pitoyo
1
DAFTAR ISI
Halaman
1. RPKPS Manajemen Sumber Daya Manusia .............................................
1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................
1
1.2 Perencanaan Pembelajaran .......................................................................
2
1.3 Jadwal Kegiatan Mingguan ......................................................................
3
1.4 Operasionalisasi Kegiatan Mingguan .....................................................
1.5 Daftar Acuan Pustaka ..............................................................................
2. Paper Pendukung .............................................................................................
2.1 Sumber Daya Manusia ...............................................................................
2.2 Kemiskinan ..................................................................................................
2.3 Pengukuran Kualitas Sumber Daya Manusia ........................................
3. Powerpoint Pendukung Kuliah ....................................................................
2
OPTIMALISASI KULIAH MANAJEMEN SUMBER DAYA
MANUSIA BERBASIS STUDENT CENTER LEARNING
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2006
3
1.1 LATAR BELAKANG
Seirama dengan visi universitas untuk menjadi research university dan upaya
perwujudan kompetensi universitas, terutama dalam hal pencapaian kualitas
lulusan yang handal, adanya perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan
dari teaching center menjadi student center learning adalah suatu kemestian yang tak
dapat ditunda-tunda lagi. Hal ini sudah tentu mengharuskan perbaikan proses
pembelajaran, baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang
diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada
adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan
Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Perlu disampaikan
bahwa (RPKPS) adalah penyempurnaan dari Garis Besar Pokok Pembelajaran
(GBPP) dan/atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang sebelumnya telah ada.
Model pembelajaran yang berbasis pada mahasiswa melalui RPKPS
diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam upaya perbaikan kegiatan belajar
pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang selama ini tidak
berjalan secara optimal. Telah dipahami oleh terutama Mahasiswa Jurusan
Geografi dan Ilmu Lingkungan bahwa mata kuliah Manajemen Sumber Daya
Manusia adalah mata kuliah lanjutan sebagai penentu kompetensi ilmiah
kemampuan analisis sumber daya manusia.
Angin segar tentang suasana kuliah yang kondusif, kegairahan dalam proses
pembelajaran
dan
peningkatan
kreativitas
dan
kesungguhan
mahasiswa
nampaknya dapat menjadi kenyataan jika pilar-pilar dari Student Center Learning
diaplikasikan melalui metode yang tepat, seperti small group discussion, role-play,
collaborative learning, active learning, dan adult learning.
4
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
MIGRASI INTERNASIONAL
1.
2.
3.
4.
Nama Matakuliah
: Manajemen Sumber Daya Manusia
Jumlah SKS
: 3 SKS
Semester
: II (Genap)
Tujuan Pembelajaran :
Kuliah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman aplikasi dan
metodologi terhadap determinan pengukuran kualitas sumber daya
manusia berikut isu-isu kontemporer yang melingkupi hidup manusia.
5.

Outcome Pembelajaran (Learning Outcome)
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan
konsep dan definisi kualitas sumber daya manusia berdasarkan perspektif
keruangan, temporal dan kompleksitas kewilayahan, seperti dinamika
kehidupan manusia di Indonesia.

Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu mengevaluasi kualitas

sumber daya manusia melalui indikator HDI, GDI, HPI, dan GEM
Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu menganalisis permasalahan
sumber daya manusia dan kemiskinan.
6.
Metode Pembelajaran
 Kuliah Kelas (Metode Tatap Muka Partisipatif)
Pada pembelajaran yang berbasis student center learning, kuliah tutorial
bukanlan metode yang utama digunakan, kuliah tatap muka lebih bersifat
partisipasi aktif dengan mekanisme two way communication antara dosen dan
mahasiswa.
Metode tatap muka partisipatif diberikan dengan alokasi waktu setiap kali
pertemuan kurang lebih 40 menit/minggu dengan jumlah tatap muka 14-16
kali pertemuan dalam satu semester, dosen lebih difungsikan sebagai
fasilitator.
5
 Kunjungan Lapangan
Kunjungan lapangan (field study) adalah metode baru yang diterapkan dalam mata
kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia. Hal ini penting dilakukan agar
mahasiswa memahami betul realita fenomena kemiskinan dan kualitas hidup
manusia, termasuk proses dan implikasinya dalam pembangunan daerah.
Kunjungan lapangan akan dilakukan terkoordinasi di instansi pemerintah seperti
Bappeda dan Departemen Sosial.
 Diskusi
Diskusi juga merupakan hal baru yang diintegrasikan dalam setiap kali kuliah,
setidaknya sekitar 40 menit setiap tatap muka (40 menit/minggu), dosen bertindak
sebagai fasilitator.
 Belajar Mandiri
Belajar mandiri penting dilakukan sejalan dengan dinamika isu-isu kualitas sumber
daya manusia. Ini berarti bahwa belajar mandiri terutama dari sumber-sumber
relevan seperti buku literatur, surat kabar, internet mutlak diperlukan dalam
rangka peningkatan partisipasi aktif di kelas, pengkayaan materi dan kompetensi
mata kuliah. Akses internet yang terbuka seperti di perpustakaan Fakultas Geografi
dan laboratorium jurusan secara operasional memang sangat mendukung
mahasiswa demi memperoleh informasi terbaru tentang migrasi internasional.
 Tugas
Tugas diberikan pada mahasiswa dengan membuat makalah dalam bentuk
kelompok
kecil
berjumlah
2-4
orang/kelompok,
dengan
alokasi
waktu
pengumpulan 1-2 bulan.
 Seminar
Seminar dalam bentuk presentasi makalah dilakukan pada pertengahan hingga
akhir perkuliahan, alokasi waktu untuk masing-masing presentasi dan tanya jawab
adalah 25 menit.
 Kuis, Simulasi
Kuis, simulasi, ice-breaking diberikan pada sela-sela kuliah sekitar 10 hingga 15
menit sesuai dengan kebutuhan.
7. Jadwal Kegiatan Mingguan
Minggu
Ke
Topik
Subtansi
Metode Pembelajaran
dan Bentuk Kegiatan
6
1
Pendahuluan
 Menjelaskan pokok-pokok
Ice-Breaking
bahasan, metode
Perkenalan
pembelajaran dan cara
role-play
evaluasi
Diskusi interaktif
 Overview Sumber Daya
Manusia
2, 3, 4

Konsep dan
definisi

Observasi lapangan
manusia
 Indikator Tunggal kualitas
Diskusi, Simulasi
Indikator
sumber daya manusia
Human
sumber daya manusia
 Teori Mutu Modal Manusia
dalam Pengembangan
Permasalahan
Sumber Daya Manusia
 Sumber daya manusia
manusia
Indonesia: gambaran masa
Indonesia
lalu, masa kini, dan
Manusia dan
tantangan masa depan
lingkungan
Tugas Mandiri
 Indikator Komposit Kualitas
Capital
sumber daya

Kunjungan kerja,
 Kualitas non fisik
Komposit

Manusia
Kuliah partisipatif
sumber daya
Tunggal dan

 Kualitas Fisik Sumber Daya
 Hubungan sumber daya
dalam
manusia dengan sumber
perspektif
daya lingkungan
ekologi
 Deterministik, Possibilistik,
manusia
dan probabilistik dalam
manajemen sumber daya
manusia dan lingkungan
7
Minggu
Topik
Subtansi
Ke
5, 6, 7
Metode Pembelajaran
dan Bentuk Kegiatan

Dinamika
pengukuran


 Physical Quality of Life
Index
Kuliah Partisipatif,
Tugas Mandiri
Indikator
 Human Development Index
Membuat paper
kualitas
 Gender Development Index
Diskusi terfokus
sumber daya
 Human Poverty Index
Kuis, Simulasi
manusia
 Gender Empowerment
Indikator
Measure
Ekonomi,
 Human Welfare Index
Pendidikan,
 Dinamika dan
dan Kesehatan
perkembangan pengukuran
Indikator
indikator kualitas hidup
Kesetaraan
manusia
Gender dan
Partisipasi

Indikator
Kemiskinan

Indikator
Ketahanan
Sosial
8
Mid Semester
Materi yang telah diberikan
Ujian tulis, presentasi
dan evaluasi
8
Minggu
Ke
9,10,11,12
13, 14
15
Topik
 Pengendalian
Sumber Daya
Manusia
 Pemanfaatan
Sumber Daya
Manusia
 Pengembangan
Sumber Daya
Manusia
 Kemiskinan dan
Keterbelakangan
Subtansi
 Pengendalian parameter
dasar demografi:
fertilitas, mortalitas,
migrasi
 Pengendalian jumlah dan
kualitas sumber daya
manusia, termasuk
didalamnya struktur
ketenagakerjaan
 Pemanfaatan sumber
daya manusia: dimensi
pemanfatan tenaga kerja
 Pengembangan kualitas
sumber daya manusia:
pendidikan, pelatihan,
peningkatan ketrampilan,
peningkatan standar
kesehatan, dan
peningkatan kecerdasan
emosi dan spiritual
 Kemiskinan dan
keterbelakangan sebagai
jebakan
ketidakberdayaan
 Menuju Millenium
Development Goals
 Indonesia tanpa
kemiskinan: antara
harapan dan kenyataan
 Bentuk-bentuk
Kemiskinan
Seminar dan
 Makalah tentang
diskusi kelompok
pengembangan kualitas
isu-isu kontemporer
sumber daya manusia
pengembangan
kualitas sumber
daya manusia
Overview Kuliah,
 Overview
Penutup,
 Penutup
Metode Pembelajaran
dan Bentuk Kegiatan
Kuis, Simulasi
Kuliah partisipatif,
Diskusi
Presentasi dan Diskusi
Kuliah Partisipatif
Diskusi
9
PAPER PENUNJANG KULIAH
10
KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.
Topik
:
Pembangunan Sumber Daya Manusia
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2007
11
PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA
1.1 Pendahuluan
GBHN 1993 secara tegas mencantumkan bahwa sumber daya manusia (SDM)
merupakan modal dasar dan faktor dominan (Bab II butir D). Pencantuman ini
mengisyaratkan bahwa pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk
meletakkan SDM sebagai unsur yang penting dalam pembangunan nasional. Dari
satu sisi, dapat dikatakan bahwa SDM tidak hanya sebagai modal pembangunan,
tetapi juga keberhasilan dalam pengembangan SDM dapat dijadikan sebagai salah
satu
indikator
keberhasilan
mengakomodasi
kepentingan
pembangunan.
pembangunan
Hal
yang
itu
dilakukan
tidak
hanya
dalam
mengejar
keberhasilan fisik, tetapi juga non-fisik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan
mendasar yang dapat digunakan sebagai landasan berpijak untuk melihat proses
pembangunan. Misalnya, apa konsep sumber daya manusia, pembangunan
manusia, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lainnya. Pertanyaanpertanyaan itu penting dalam rangka untuk menyamakan persepsi, sebelum
berbicara banyak mengenai perencanaan pengembangan sumber daya manusia
(PPSDM). Di samping itu, hal lain yang perlu untuk dibahas adalah mengenai
kualitas sumber daya manusia.
1.2 Sumber Daya Manusia Sebagai Paradigma Pembangunan
Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi perubahan mendasar tentang
paradigma pembangunan, khususnya di negara sedang berkembang. Pembangunan
tidak lagi "hanya" berorientasi kepada pembangunan ekonomi (economic oriented)
tetapi pembangunan ekonomi hanya dijadikan sebagai mean atau cara dalam rangka
mencapai tujuan lain yang lebih mendasar yaitu human security (UNDP, 1994). Hal
ini barangkali disebabkan oleh karena pembangunan yang berorientasi ekonomi
justru akan melahirkan persoalan-persoalan yang lebih parah, misalnya kesenjangan
pendapatan yang muaranya adalah kemiskinan. Bahkan dalam banyak kasus,
pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang juga dibarengi dengan
12
berkurangnya hak-hak politik dan sosial masyarakat. Di samping itu, pergeseran
paradigma
pembangunan
tersebut
tampaknya
berasal
dari
munculnya
kecenderungan sumber daya manusia sebagai paradigma pembangunan.
Pada awalnya, manusia diletakkan sebagai salah satu faktor produksi. Artinya
manusia dipahami dari sisi sebagai tenaga kerja yang sejajar dengan faktor lainnya
yaitu modal dan bahan baku. Dalam pengertian ini maka sumber daya manusia
mempunyai pengertian yang sangat terbatas. Aspek-aspek yang lebih mendalam
dan mendasar yang terkait dengan SDM tidak dipandang penting dalam proses
produksi. Akibatnya adalah bahwa manusia dalam pembangunan ekonomi lebih
dipandang sebagai obyek dari pada subyek. Dalam kerangka tertentu, orientasi
pembangunan, kemudian hanya baranjak dari pengertian manusia sebagai obyek
fisik. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau kemudian muncul masalahmasalah pembangunan, khususnya adanya tren yang tidak sinkron antara
pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia.
Sumber daya manusia sebagai paradigma artinya adalah sumber daya manusia
sebagai kerangka orientasi dalam menentukan dan mengarahkan tindakan-tindakan
manusia (Sindhunata, 1994). Lebih lanjut Sindhunata (1994) menyebutkan bahwa
pergeseran paradigma sumber daya manusia dapat dijelaskan melalui tiga hal.
Pertama paradigma daya cipta manusia. Hal ini bisa dilihat dari munculnya
kecenderungan bahwa bukan kekayaan alam tetapi manusia yang seharusnya
menciptakan kemakmuran. Kedua adalah paradigma kerja manusia. Manusia tidak
lagi hanya dipandang sebagai faktor pendukung atau pembantu dalam proses
produksi, melainkan sebagai bagian dari kekayaan material maupun spiritual.
Pergeseran ini mengandung arti bahwa nilai yang penting bukan hanya pada
produktivitasnya saja, tetapi juga kebersamaan manusia. Ketiga adalah paradigma
tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab terhadap masa lalu dan masa depan.
Bertanggung jawab terhadap masa lalu artinya bahwa manusia harus berani menilai
keputusan yang dibuatnya. Sementara itu tanggung jawab terhadap masa depan
artinya adalah bertanggung jawab terhadap akibat yang akan timbul dari keputusan
yang dibuatnya.
13
Dengan pengertian ini maka menangani manusia tidak cukup hanya dari sisi
ekonomi saja tetapi jauh lebih komplek yang melibatkan unsur sosial bahkan politik.
Hal itu juga tercermin dari rumusan mengenai pembangunan manusia
sebagaimana disebutkan dalam Human Development Report (UNDP, 1992), yaitu
"suatu proses perluasan spektrum pilihan manusia, meningkatkan kesempatan
mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, penghasilan dan
pekerjaan".
Dalam definisi tersebut secara jelas terlihat bahwa bukan unsur ekonomi saja
yang termasuk dalam cakupan pembangunan manusia. Bahkan kata "perluasan
spektrum pilihan manusia" mengisyaratkan munculnya orientasi pembangunan
yang lebih luas. Perluasan spektrum pilihan berarti juga demokratisasi. Dengan
demikian unsur politik masuk di dalamnya.
Hal itu secara jelas juga tercantum dalam Human Development Report 1994
(UNDP, 1994) yang menyebutkan bahwa:
"Development must enable all individuals to enlarge their human capabilities to
the fullest and to put those capabilities to the best use in all fields-economics,
social, cultural, and politics"
Salah satu kritik yang muncul terhadap definisi tersebut adalah bahwa
pengertian tersebut di atas cenderung menyiratkan penekanan pada aspek
pemerataan saja dan anti pertumbuhan. Padahal apabila dikaji lebih mendalam
maka hal tersebut tidak benar. Karena pada akhirnya pembangunan manusia
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya
dalam produktivitas yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan.
Dalam pengertian yang lebih operasional, sumber daya manusia dapat dilihat
dari beberapa dimensi yang di dalamnya mengandung beberapa konsekuensi.
Pertama, sumber daya manusia dapat dilihat dari aspek kuantitatif yang meliputi
jumlah, persebaran dan struktur, serta aspek kualitatif yang berkaitan dengan mutu
manusia misalnya pendidikan, ketrampilan, sikap, nilai, kesehatan dan gizi. Kedua,
sumber daya manusia juga dapat dilihat dari aspek makro (agregat) maupun mikro
14
(individu). Dengan demikian dalam membicarakan dua aspek yang pertama, maka
hal tersebut dapat pula dibahas dalam konteks makro maupun mikro.
Pemahaman sumber daya manusia dari segi kuantitatif tidak menjadi
persoalan, karena variabelnya jelas terukur. Tetapi ketika yang dibicarakan adalah
aspek kualitatif maka sering kali sangat sulit untuk diukur, misalnya mengenai
sikap, nilai dan kepercayaan. Oleh karenanya pemahamannya perlu dilakukan
dengan hati-hati.
Dengan melihat pengertian tersebut maka setiap proses pembangunan yang
berorientasi "manusia" perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Tidak bisa hanya
satu aspek saja yang diperhatikan, karena hanya akan menjadikan proses
pembangunan menjadi timpang.
1.3 Teori Modal Manusia
Dalam teori ini manusia dianggap sebagai suatu modal dalam suatu proses
produksi. Untuk peningkatan produksi, pendidikan dianggap sebagai suatu
investasi yang penting dan dominan dalam peningkatan kapasitas produksi sumber
daya manusia. Konsekuensinya adalah bahwa penduduk yang berpendidikan
merupakan penduduk yang produktif. Akibatnya, pendidikan dipandang sebagai
suatu intervensi yang sangat penting dalam rangka peningkatan sumber daya
manusia.
Pembangunan ekonomi yang cepat di Jepang, Korea dan Eropa Barat biasanya
digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sumber daya manusia
merupakan unsur penting dalam pembangunan. Bahkan pembangunan sumber
daya manusia dilakukan mendahului akumulasi modal fisik (Widarti, 1993).
Keberhasilan pembangunan memerlukan dua syarat, yaitu (a) kemajuan
teknologi dalam rangka untuk meningkatkan produksi, dan (b) sumber daya
manusia yang berpendidikan dalam rangka penerapan teknologi.
Kritik utama yang muncul terhadap teori ini adalah bahwa pendidikan
dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Sebagai
investasi, pendidikan tidak akan lepas dari sistim politik, kondisi sosial dan kultural
15
di suatu negara. Padahal teori tersebut beranggapan bahwa karakteristik individu
merupakan unsur penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Aspek struktur
sosial, yang biasanya merupakan refleksi dari banyak aspek, tidak diperhatikan.
Dalam memandang terjadinya pembagian negara maju dan negara terbelakang, teori
ini mengatakan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan karakteristik masingmasing negara.
Argumentasi seperti itu jelas tidak benar. Teori dependensi mengatakan bahwa
munculnya negara maju dan tidak maju, terjadi karena sifat dependensi negara tidak
maju terhadap negara maju. Bahwa kondisi yang kurang menguntungkan di suatu
negara adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan negara tersebut melepaskan
sifat dependensinya kepada negara maju. Dengan demikian maka perubahan
terhadap karakteristik sumber daya manusia saja tidak cukup untuk memacu laju
pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, harus ada usaha untuk merubah sifat
dependensi menjadi interdependensi.
Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus negara, tetapi juga bisa
ditarik pada skala yang lebih sempit di dalam negara. Sebab justru hubungan antar
daerah lebih terlihat di dalam suatu negara.
1.4 Pembentukan Modal Manusia (PMM) dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (PSDM)
Kedua istilah itu pada prinsipnya sama. Keduanya mengandung pengertian
sebagai suatu proses perubahan kualitas manusia yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu pendidikan formal atau non-formal, latihan di tempat kerja, perbaikan
kesehatan, migrasi, gizi dan sebagainya (Widarti, 1993). Dengan perubahan kualitas,
diharapkan produktivitas sumber daya tenaga kerja juga meningkat. Pengertian
yang terakhir ini yang biasanya disebut dengan pengembangan sumber daya
manusia. Terdapat lima faktor sebagai unsur utama dalam pengembangan sumber
daya manusia, yaitu:
a. pendidikan
b. kesehatan dan gizi
16
c. lingkungan
d. pekerjaan
e. kebebasan politik dan ekonomi
Hal ini sejalan dengan arah baru pembangunan sebagaimana tercantum dalam
Human Development Report (1994), bahwa manusia merupakan alat dan tujuan
pembangunan. Sebagai alat, manusia merupakan modal yang sangat penting dalam
proses pembangunan dan sebagai tujuan pembangunan diarahkan untuk menuju
human security.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar
antara teori modal manusia dengan PPM atau PSDM. Pada pengertian yang kedua,
pendidikan hanya merupakan satu aspek dari sejumlah aspek yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan kualitas untuk meningkatkan produktivitas.
Pengertian yang kedua ini juga membawa konsekuensi terhadap meluasnya titik
perhatian pembangunan nasional. Dalam pengertian yang lain, mengembangkan
sumber daya manusia kemudian tidak hanya meningkatkan pendidikan dan
ketrampilan saja, tetapi juga bagaimana mewujudkan manusia yang sehat,
berpendidikan dan secara ekonomi dan politik mempunyai kebebasan memilih.
1.5 Indikator Sumber Daya Manusia
Untuk memperoleh suatu indikator sumber daya manusia yang memadai
sangat sulit, karena sebagaimana telah dijelaskan di muka, dimensi sumber daya
manusia sangat luas, yaitu mencakup aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam
skala mikro maupun makro. Berikut ini akan dibahas beberapa indikator SDM yang
dapat digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu daerah.
Secara kuantitatif, SDM dapat dilihat dari segi jumlah, misalnya jumlah
penduduk, jumlah tenaga kerja, dan jumlah angkatan kerja. Tetapi perlu diingat
bahwa untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya, variabel ini perlu digabung
dengan variabel lain, misalnya tingkat pendidikan, tingkat melek huruf,
ketrampilan, dan status kesehatan (angka harapan hidup) (Widarti, 1993).
17
Variabel lain yang bisa dimanfaatkan, khususnya berkaitan dengan aspek
ketenagakerjaan adalah variabel yang diturunkan dari pendekatan LUA (Labor
Utilization Approach) oleh Hauser (1974). Dalam pendekatan ini angkatan kerja dapat
dibagi menjadi angkatan kerja yang dimanfaatkan penuh dan yang tidak penuh.
Angkatan kerja yang tidak dimanfaatkan penuh dapat dibagi menjadi tidak
dimanfaatkan
sama
sekali
(penganggur)
dan
setengah
penganggur
(underemployment). Setengah penganggur dapat dibagi lagi menjadi setengah
penganggur menurut jam kerja, upah, dan mismatch. Secara ringkas variabel tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) adalah perbandingan antara jumlah
angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja.
b. Tingkat bekerja (employment rate) adalah perbandingan antara jumlah yang
bekerja terhadap jumlah angkatan kerja.
c.
Tingkat pengangguran terbuka (open unemployment rate) adalah perbandingan
antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja.
d. Tingkat setengah pengangguran adalah perbandingan antara mereka yang
bekerja tidak dimanfaatkan secara penuh (menurut jam kerja, pendapatan,
maupun mismatch) terhadap penduduk yang bekerja.
Indikator-indikator tersebut masih bisa diperluas lagi dengan variabel lain.
Sebagai contoh variabel-variabel yang menggambarkan kualitas manusia dari segi
nir-fisik, misalnya kebahagiaan, kenyamanan, kesejahteraan, ketaatan beragama,
pemenuhan hak asasi, dan lain-lain. Variabel tersebut secara operasional sangat sulit
untuk diukur, sehingga sangat jarang digunakan untuk melihat kondisi SDM.
Meskipun masih jauh dari sempurna, UNDP mencoba membuat indek untuk
melihat kualitas manusia, yang disebut dengan HDI (Human Development Indeks).
Indek ini sebenarnya sebagai respon terhadap munculnya PQLI (Physical Quality of
Life Index) yang dianggap masih kurang. Pada tahun 1990, HDI tersusun atas tiga
variabel, yaitu pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Indeks ini dianggap
kurang sensitif terhadap variabel tertentu, misalnya jenis kelamin, kelompok etnis,
18
dan klas sosial. Oleh karena itu sejak tahun 1991, HDI dihitung dengan memasukkan
jenis kelamin dan distribusi pendapatan sebagai variabel pengontrol. Pada tahun
1994 HDI dihitung berdasarkan empat variabel, yaitu angka harapan hidup, angka
melek huruf, rata-rata tahun sekolah, dan pendapatan per kapita. Dengan HDI bisa
dibuat komparasi antara satu daerah atau negara dengan daerah atau negara yang
lain.
Perlu dicatat bahwa angka HDI merupakan angka agregat yang mencerminkan
kondisi SDM pada suatu wilayah. Dalam menilai kondisi SDM, hal itu perlu
dilengkapi dengan indikator yang bersifat individual.
Dalam dua dekade terakhir, manusia telah diletakkan sebagai posisi sentral
dalam pembangunan nasional. Akibatnya paradigma sumber daya manusia dalam
pembangunan berubah secara drastis. Hal ini menuntut pemerintah untuk secara jeli
merumuskan
orientasi
pembangunan,
agar
apa
yang
diharapkan
dalam
pengembangan sumber daya manusia (PSDM) bisa tercapai.
Secara operasional, akibat yang muncul dari perubahan tersebut adalah
tuntutan terhadap pelaksana pembangunan untuk memahami setiap aspek yang
tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut mencakup
pengertian mengenai konsep dan definisi dan juga indikator sumber daya manusia.
Hal itu penting karena merupakan landasan yang fundamental dalam PSDM.
Salah satu kesulitan yang muncul misalnya dalam merumuskan indikator
SDM. Sejauh ini indikator yang diajukan masih mengacu pada pembangunan fisik
atau ekonomi. Dengan tuntutan untuk memperhatikan dimensi lain dalam SDM,
maka hal itu dipandang belum cukup. Untuk itu perlu dicari rumusan-rumusan
baru yang kemudian bisa digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu tempat.
1.6 Kualitas Sumber Daya Manusia
Pembahasan tentang pengukuran kualitas SDM dari waktu ke waktu selalu
menarik karena memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dari aspek
kualitas fisik maupun non fisik, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Ini
berarti indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas SDM harus mampu
19
menggabungkan antara kualitas fisik dan nonfisik, baik itu yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Alasannya adalah bahwa kualitas penduduk tidak dapat dipisahpisahkan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, kedua-duanya saling menunjang
dalam membentuk kualitas penduduk secara keseluruhan. Meskipun argumen ini
ada betulnya, namun indikator kualitas total penduduk tersebut masih terlalu
umum, sulit diukur, dan sulit pula untuk diberi intervensi. Sejalan dengan hal ini
maka pengukuran kualitas penduduk cenderung dilakukan secara terpisah-pisah
dan cara demikianlah yang banyak digunakan sampai saat ini (Dahlan, 1992).
Perubahan
kualitas
SDM
berhubungan
erat
dengan
keberhasilan
pembangunan. Upaya penentuan indikator kemajuan pembangunan menjadi
penting dalam kerangka untuk mengetahui sasaran pembangunan yaitu penduduk
yang berkualitas. Bank Dunia melalui laporannya World Development Report secara
kontinu sejak tahun 1978 melaporkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan
ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Indikator dari
kedua aspek tersebut adalah Produk Nasional Bruto (GNP) sebagai dasar penentuan
urutan negara mulai dari yang paling miskin sampai yang paling kaya. Cara ini
dianggap sebagai indikator yang sangat penting bagi proses modernisasi, apabila
modernisasi disamakan artinya dengan pembangunan. Pengukuran kualitas
penduduk model seperti ini lebih menekankan pada indikator ekonomi yang dalam
beberapa hal mengabaikan perikehidupan penduduk dalam suatu negara, dalam hal
ini untuk hidup lebih lama yang tercermin pada angka harapan hidup (Soetjipto,
1996).
Kelompok Neo-Malthusianis menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi
berhubungan negatif dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk
yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang identik
dengan kualitas penduduk yang baik. Pendekatan demografis dalam mengukur
kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi
secara sendiri-sendiri dan tidak digabung menjadi satu indeks komposite. Indeks
komposite yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari setiap variabel
mortalitas, fertilitas dan urbanisasi yang digunakan dalam pengukuran kualitas
20
penduduk. Hal yang sama juga dialami oleh pendekatan nondemografi yang secara
terpisah-pisah menggunakan variabel pendidikan, pendapatan, pengeluaran per
kapita, ketenagakerjaan dan kecukupan kalori dan protein dalam mengukur kualitas
penduduk. Demikian pula Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN
menggunakan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.
Metode yang digunakan dalam mengukur kualitas penduduk dari ketiga
pendekatan tersebut
yakni model demografi dan nondemografi maupun
pendekatan yang digunakan oleh Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN
masih secara terpisah-pisah antara variabel yang satu dengan yang lain dan tidak
dirangkum dalam suatu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah
suatu angka/nilai yang merupakan gabungan dari setiap nilai yang ada pada
variabel yang digunakan dalam pengukuran. Berbeda halnya dengan Morris (1979)
dan United Nation Development Programme (1990) telah menyusun suatu indek yang
merupakan gabungan dari beberapa variabel demografi dan nondemografi dalam
mengukur kualitas penduduk seperti halnya Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of
Life Index) dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tulisan
ringkas ini ingin membahas metode pengukuran kualitas penduduk mulai dari
asumsi dan data yang digunakan, kelemahan dan keunggulan dari setiap indikator
serta aplikasinya di Indonesia.
A. Pengukuran Kualitas Penduduk/SDM
Istilah kualitas manusia di Indonesia sudah dikenal sejak GBHN 1983. Pada
dasarnya kualitas manusia mencakup kualitas manusia sebagai individu maupun
secara keseluruhan, baik aspek jasmani maupun rokhaninya. Kemudian istilah
kualitas penduduk pada umumnya digunakan dalam studi kualitas manusia sebagai
agregat, baik dalam konteks makro maupun mikro tentang aspek jasmani dan
rokhaninya. Kualitas penduduk pada hakekatnya mengungkapkan keadaan
kelompok manusia yang hidup dalam suatu daerah pada saat tertentu. Sejalan
dengan hal ini maka cara pengukurannya dilakukan berdasarkan atas angka ratarata per jumlah penduduk dalam waktu tertentu. Dengan demikian yang dimaksud
dengan kualitas penduduk di sini bukanlah kualitas dalam arti eugenic seperti dalam
suatu negara yang membutuhkan tentara untuk mereka yang kuat saja; aborsi
21
diperbolehkan
atas
alasan
kesehatan
dan
sosial-ekonomi,
ibu-ibu
yang
berpendidikan tinggi saja yang diperbolehkan mempunyai banyak anak (Djalal,
1988). Kualitas penduduk yang dimaksud dan diinginkan pemerintah Indonesia
adalah kualitas fisik dan nonfisik yang menjadi prasyarat untuk mencapai
produkstivitas kerja yang tinggi.
Untuk melihat perkembangan kualitas penduduk baik secara regional maupun
nasional dapat menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposite yaitu
merupakan
gabungan
dari
beberapa
variabel/peubah
yang
diasumsikan
mempengaruhi kualitas penduduk. Dalam menyusun indikator tersebut dapat
dilakukan dengan cara indexing dan scaling. Indikator tunggal maupun indikator
komposite, baik itu komposite obyektif maupun komposite subyektif oleh Morris
(1979) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan.
2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik.
3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input).
4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan
5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami
6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional.
Salah satu indikator komposite obyektif yang cukup terkenal adalah Indeks
Mutu Hidup (PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang akan dibahas
pada bagian akhir dari makalah ini. Indikator komposite subyektif yang disusun
oleh Biro Pusat Statistik berusaha menyajikan perkembangan kesejahteraan rumah
tangga selama periode tertentu (1987-1990 dan 1991-1994). Indeks komposite
subyektif disusun berdasarkan pendapat/persepsi kepala rumah tangga tentang
perkembangan sejumlah masalah pokok selama jangka waktu tertentu (lihat data
Susenas modul kesejahteraan rumah tangga). Indikator komposite subyektif ini
merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal yang diperoleh dari
pendapat/persepsi penduduk sehingga mengandung jawaban yang bersifat
subyektif. Makalah ini lebih menekankan pada indikator tunggal maupun indikator
22
komposite obyektif baik yang bersifat demografis maupun nondemografis. Bagi
yang tertarik pada indikator komposite subyektif dapat dilihat pada daftar
pertanyaan yang digunakan dalam Susenas modul kesejahteraan rumah tangga,
dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Biro Pusat Statistik.
B. Kualitas Penduduk: Aspek Demografi
Pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi masih dilakukan secara
terpisah-pisah yakni berupa indikator tunggal yang obyektif. Angka kematian yang
tinggi diasumsikan terjadi pada kualitas penduduk yang masih rendah. Demikian
pula dengan angka fertilitas yang tinggi, prevalensi kontrasepsi maupun urbanisasi
yang rendah identik dengan kualitas penduduk yang rendah. Dengan demikian
kualitas penduduk yang tinggi akan tercermin pada rendahnya IMR, CMR, MMR
dan angka morbiditas, TFR dan angka perceraian serta tingginya angka harapan
hidup, prevalensi kontrasepsi, usia perkawinan pertama dan angka urbanisasi.
Sampai saat ini (sepengetahuan penulis) belum ditemukan suatu model pendekatan
demografi yang menggabungkan dari beberapa variabel demografi ke dalam suatu
indikator komposite obyektif secara komprehensive. Yang dilakukan pada saat ini
baru sampai pada karakteristik variabel demografi secara sendiri-sendiri yakni:
1. Angka Kematian Bayi (IMR)
2. Angka Kematian Anak (MR)
3. Angka Kematian Maternal (MMR)
4. Angka Harapan Hidup (eo)
5. Angka Morbiditas
6. Angka Fertilitas Total (TFR)
7. Angka Perceraian (DR)
8. Usia Perkawinan Pertama
9. Angka Prevalensi Kontrasepsi
10. Angka Urbanisasi.
23
Parameter fertilitas keluarga berencana, mortalitas dan morbiditas maupun
urbanisasi dapat diperoleh dari model-model estimasi secara tidak langsung (indirect
technique for demographic estimation) dari data yang dikumpulkan melalui sensus
penduduk, Supas, Susenas score dan modul. Masalah pokok yang dihadapi dari
model estimasi demografi ini adalah pemenuhan sejumlah asumsi dalam perkiraan
dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Secara nasional dan
regional (propinsi) jumlah sampel yang dibutuhkan untuk estimasi telah memadai,
namun untuk lingkup Dati II dalam beberapa hal masih terlalu sedikit. Sebagai
akibatnya hasil estimasi parameter demografi seringkali tidak dapat digunakan.
Ketergantungan terhadap model estimasi akan terus berlangsung apabila
pelaksanaan sistem Registrasi Penduduk maupun Sistem Informasi Penduduk dan
Keluarga (Siduga) belum dapat berjalan dengan baik dalam arti cakupan wilayah
pendataan dan kualitas data. Kualitas penduduk dilihat dari paramater demografi
tersebut dapat dilihat di lampiran.
C. Kualitas Penduduk: Aspek NonDemografi
Sama halnya dengan pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi,
kualitas penduduk dan aspek nondemografi masih dilihat secara terpisah-pisah.
Beberapa variabel yang sering digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk
mencakup aspek pendidikan seperti pendidikan tertinggi yang ditamatkan,
penduduk usia sekolah menurut status sekolah; pendapatan per kapita; pengeluaran
per kapita untuk keperluan bahan makanan dan bukan untuk bahan makanan;
kecukupan kebutuhan kalori dan protein maupun kecukupan gizi; dan
ketenagakerjaan yang mencakup angka partisipasi angkatan kerja, angka
pengangguran dengan berbagai jenis dan penduduk yang bekerja menurut sektor,
jenis dan status pekerjaan. Kualitas penduduk yang baik dapat dilihat dari
pendidikan yang relatif tinggi, kecukupan kebutuhan kalori dan protein,
pendapatan perkapita yang tinggi, proporsi pengeluaran untuk bukan bahan makan
lebih tinggi daripada untuk bahan makan, angka pengangguran yang rendah dan
sebagian besar pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa, merupakan
pekerja terampil dan bekerja pada sektor formal. Secara rinci pendekatan
24
nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel
seperti berikut:
1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
2. Penduduk usia sekolah menurut status sekolah
3. Kecukupan kalori-protein, status gizi
4. Pendapatan per kapita
5. Pengeluaran per kapita/bahan makan dan bukan bahan makan
6. Angka Partisipasi Angkatan Kerja
7. Angka pengangguran terbuka
8. Pekerja manurut sektor, jenis dan status pekerjaan
Dari delapan variabel yang digunakan tersebut hanya kecukupan kalori dan
protein serta pendapatan per kapita yang sudah ada standarnya untuk membedakan
antara yang baik dan yang kurang baik. Selain variabel ini belum ada standar yang
baku untuk membedakannya. Sebagai contoh berapa angka pengangguran terbuka
itu dimasukkan untuk kelompok yang kurang baik; demikian pula berapa
persentase untuk pekerja sektor manufaktur dan jasa maupun pekerja terampil
dapat dikelompokkan untuk kualitas penduduk yang baik. Sama halnya dengan
pendekatan demografi yang dapat dikatakan baik untuk kualitas penduduk itu
apabila parameter mortalitasnya rendah dan angka harapan hidup tinggi. Akan
tetapi berapa standar IMR, CMR, MMR dan angka harapan hidup dikatakan untuk
kelompok yang baik? Bagaimana pula kalau dalam suatu daerah didapatkan
pemenuhan kalori dan protein di atas standar yang dibakukan telah memenuhi
persyaratan yang dibakukan, akan tetapi di pihak lain angka pengangguran terbuka
cukup tinggi dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan cukup tinggi pula namun
sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja tidak terampil di sektor
formal. Banyaknya variabel yang digunakan, baik aspek demografi dan
nondemografi ini menyebabkan kurang sensitif dalam mengukur kualitas
penduduk. Hal seperti ini dialami pula oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan
dan BKKBN melibatkan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk.
25
Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN telah membetuk Tim
Pengembangan Indikator Kualitas Penduduk yang diberi tugas untuk menyusun
Indikator Kualitas Penduduk. Indikator kualitas penduduk disusun berdasarkan
landasan ideologis, hukum, dan landasan tindak lanjut operasional metodologis.
Kualitas penduduk dilihat dari empat aspek yakni sehat, maju, mandiri-sejahtera
dan aman bahagia mencakup 13 variabel sebagai berikut:
Sehat mencakup 4 variabel:
1.
Angka harapan hidup saat lahir.
2.
Angka kematian maternal
3.
Rasio tempat ibadah terhadap jumlah penduduk
4.
Rasio anak dan remaja yang bermasalah
Maju, hanya mencakup satu variabel:
5. Angka partisipasi sekolah (SLTP ke atas)
Mandiri - Sejahtera mencakup 4 variabel:
6. Angka partisipasi angkatan kerja
7. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makan
8. Rasio kemandirian
9. Proporsi anak yang terpaksa bekerja
Aman - Bahagia mencakup 4 variabel:
10. Angka perceraian
11. Angka kriminalitas
12. Proporsi anak yang terlantar
13. Proporsi rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan berumur tua.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengukuran kualitas penduduk yang
dilakukan oleh Menteri Negara Kependudukan masih dilakukan secara terpisahpisah dari ke 13 variabel yang digunakan. Bahkan di dalam mengukur aspek sehat
pun yang terdiri dari 4 variabel masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum
sampai pada penggabungan dari ke empat variabel ke dalam satu indek sehat. Sama
26
halnya dengan mengukur aspek mandiri-sejahtera, aman sejahtera, masing-masing
masih merupakan variabel yang terpisah-pisah. Selain hal tersebut karena
banyaknya variabel yang digunakan dalam pengukuran maka sumber data yang
digunakan pun sangat beragam seperti sensus penduduk, survai kependudukan dan
survai yang dilakukan oleh departemen tertentu dengan rentang tahun
pengumpulan data yang berbeda-beda.
Indeks Mutu Hidup (PQLI)
Indeks Mutu Hidup (IMH) ini merujuk pada Physical Quality of Life Index
(PQLI) merupakan hasil pemikiran Morris sebagai alat pengukur hasil proses
pemerataan dalam pembangunan. Muncul sebagai jawaban terhadap kelemahankelemahan model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi yang
diukur melalui produk national bruto (GNP). Indeks Mutu Hidup mempunyai
keunggulan daripada GNP sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Nasikun
(1992:69) menyebutkan ada tiga kelemahan pokok menggunakan GNP sebagai
ukuran kualitas penduduk yakni: 1. Hanya terdiri dari transaksi ekonomi dan
mengabaikan kegiatan yang terjadi di luar pasar. 2. Agregasi berbagai kegiatan ke
dalam nilai uang mengasumsikan bahwa isyarat harga merupakan petunjuk yang
netral terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Tidak memperhatikan aspek distribusi
antarwarga masyarakat maupun kelompok penduduk, kesenjangan antarpenduduk,
perusakan sumber daya alam karena akumulasi teknologi serta sumber daya
manusia.
Lebih lanjut dikatakan bahwa penyusunan GNP yang lebih merupakan
akutansi ekonomi mengandung risiko di mana semua aktivitas penduduk harus
dinyatakan dalam uang. Memang hampir semua kegiatan penduduk harus dapat
dihitung dengan uang namun muncul pertanyaan apa yang mau dihitung dan apa
pula artinya. Misalnya, seorang staf pengajar berangkat ke tempat pekerjaan dengan
mobil pribadi yang sangat mahal harganya (meskipun dengan kredit) harus
dihitung senilai biaya transport dengan kendaraan umum yang digunakan oleh
rekan sejawatnya yang sekiranya justru mampu membeli mobil tersebut. Tidur di
rumah sendiri dianggap sebagai pendapatan senilai biaya menginap di hotel.
27
Problema pokok adalah apakah relevan bahwa total nilai uang cukup relevan untuk
mengukur kualitas penduduk?
Beberapa kelemahan GNP dalam mengukur kualitas penduduk tidak dimiliki
oleh IMH namun menurut Nasikun (1992: 70) kelirulah apabila IMH tidak
mempunyai kelemahan. Meskipun IMH disusun dan dirumuskan untuk mengatasi
kelemahan GNP, sejak semula disusun untuk tujuan pengukuran kualitas penduduk
yang sangat terbatas. Ada dua hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam
penggunaan IMH. Pertama, IMH tidak dimaksudkan untuk mengukur total
kesejahteraan penduduk, apalagi jika di dalamnya mengandung masalah
pengukuran rasa aman, kebebasan, keadilan maupun hak-hak asasi manusia. Kedua,
tidak untuk mengukur proses pencapaian tujuan pembangunan. Dengan demikian
IMH lebih sesuai sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di dalam kerangka
model pembangunan pemerataan melalui pertumbuhan dan model pembangunan
untuk pemenuhan kebutuhan dasar.
Indeks Mutu Hidup disusun berdasarkan tiga variabel, merupakan indeks
komposite kualitas hidup fisik yang diturunkan dari tiga variabel yakni: 1. Angka
harapan hidup pada usia satu tahun (e1). 2. Angka kematian bayi (IMR) dan 3.
Angka melek huruf dewasa (15 tahun +). Ketiga variabel ini diukur mengikuti skala
0 (nol) untuk mewakili penampilan yang terburuk yang pernah dicapai oleh suatu
negara pada tahun 1950-an dan nilai 100 untuk mewakili penampilan yang terbaik
yang diperkirakan akan dicapai oleh suatu negara pada tahun 2000. Indeks
komposite IMH untuk suatu negara ini dihitung sebagai nilai rerata dari ketiga
variabel
dengan
bobot
yang
sama.
Implikasi-implikasi
pemakaian
skala
menggunakan asumsi sebagai berikut (Sjahrir, 1986: 42).
a.
Indeks angka kematian bayi (IMR) = 22 per seribu dan indeks = 100
untuk IMR = 7 per seribu. Setiap 2,22 angka perubahan dalam angka IMR
hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks.
b. Indeks angka harapan hidup satu tahun yang berdasarkan indeks = 0 untuk
angka harapan hidup = 30 tahun dan indeks = 100 untuk angka harapan hidup =
28
77 tahun. Setiap 0,39 tahun perubahan angka harapan hidup adalah satu angka
perubahan pada indeks.
c. Indeks melek huruf mendasarkan penduduk usia 15 tahun ke atas mulai dari
yang semuanya buta huruf sampai yang semuanya melek huruf. Setiap satu
persen angka perubahan dalam melek huruf adalah satu angka perubahan dalam
indeks.
Indeks IMR dan e1 digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan secara
fisik sejalan dengan siklus hidup dimulai dari usia bayi. Lingkungan keluarga
diasumsikan memerlukan tahap yang dapat dilewati pada tahun pertama dalam
kehidupannya. Setelah lewat usia satu tahun, mereka dapat menyesuaikan dalam
kehidupan yang lebih luas di luar faktor ibu. Dengan demikian kedua variabel ini
diasumsikan dapat mencerminkan faktor ibu dan faktor di luar ibu yang lebih luas.
Kemudian, melek huruf merupakan potensi seseorang untuk bergerak yang lebih
luas dalam ilmu dan ketrampilan untuk mencari nafkah maupun keperluan sosialbudaya lainnya. Ketiga variabel ini diasumsikan sebagai pengukur hasil upaya
masyarakat/penduduk dan bukan merupakan input dalam proses pembangunan.
Indeks Mutu Hidup dapat dihitung dengan cara berikut:
IMH =
(
e1 – 38
229 +
3,9
IMR
+ Melek Huruf
2,29
):3
Eo – 1 + qo ( 1 – ko
e1 =
)
1 - qo
e1 = angka harapan hidup usia satu tahun
eo = angka harapan hidup usia nol tahun/setelah dilahirkan
qo = IMR = angka kematian bayi
ko = rata-rata periode kelangsungan hidup selama tahun pertama
29
Pada waktu sasaran dari ketiga variabel ini disusun yakni pada tahun 1976 di
negara sedang berkembang rata-rata IMR sekitar 136 per seribu, angka harapan
hidup usia satu tahun adalah 48 tahun dan melek huruf dewasa 34 persen. Pada
tahun 2000 di mana IMH telah mencapai 100 rata-rata IMR kurang dari 50 per
seribu, angka harapan hidup satu tahun telah mencapai 65 tahun dan melek huruf 75
persen. Perubahan IMH menurut propinsi dapat dilihat pada lampiran. Pada
perkembangan selanjutnya ketiga variabel yang digunakan untuk menyusun IMH
terus mengalami perubahan sejalan dengan semakin meningkatnya derajat
kehidupan penduduk. Sebagai akibatnya, angka-angka minimal dan maksimal dari
angka harapan hidup satu tahun bertambah tinggi, demikian halnya dengan angka
melek huruf, dan di lain pihak semakin menurunnya angka kematian bayi,
menyebabkan
angka-angka
dasar
berubah
dari
waktu
ke
waktu.
Pada
perkembangan berikutnya tidak hanya terbatas pada angka dasar dari variabel yang
digunakan, tetapi ada upaya untuk menambah jumlah variabel lebih dari tiga.
Untuk Indonesia, Sayogyo (1984) pernah menyusun IMH dengan menambah satu
variabel yakni fertilitas sebagai unsur yang keempat. IMH dengan empat unsur ini
di kemudian hari lebih dikenal dengan IMH Plus. Fertilitas di masukkan sebagai
variabel ke empat ini dimaksudkan untuk menguji sampai sejauh mana rencana
standar keluarga kecil sejahtera yang sudah dicanangkan sejak Pelita I dapat dicapai.
Dengan proses penyusunan IMH Plus model Sayogya, fertilitas diasumsikan sebesar
3 per wanita usia subur (TFR=3) sebagai angka dasar yang akan dicapai pada tahun
2000. Angka IMH Plus diharapkan mampu menggambarkan variasi fertilitas
menurut propinsi. Distribusi IMH Plus di Indonesia menurut propinsi dapat dilihat
pada journal Prisma tahun XIII, No. 10, 1984:9-19.
Penyajian IMH dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu model angka
tahun
dasar,
model
angka
nasional
dan
model
angka
indeks
tanpa
ditransformasikan. Pendekatan pertama menggunakan angka IMH pada tahun
dasar, misal tahun 1971 nilai IMH untuk DIY = 41 dianggap sama dengan indeks
100. Demikian pula untuk propinsi yang lain di mana nilai IMH pada tahun 1971
dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari 41 (DIY) juga dianggap sama dengan 100.
Dengan demikian indeks IMH pada tahun dasar = 100. Kemudian, untuk tahun
30
setelah tahun 1971 yakni 1980, 1985, 1990 dan 1995 angka IMH hasil perhitungan
ditransformasikan dengan nilai indeks 100 tersebut. Pendekatan kedua mendasarkan
angka IMH nasional dalam hal ini Indonesia untuk tahun 1971 misalnya dianggap
sama dengan indeks 100. Kemudian untuk setelah tahun 1971 yakni 1980=100; 1985=
100; 1990=100 dan 1995=100. Nilai IMH regional akan bergerak antara kurang dari
100, tepat 100 dan lebih dari 100. Pendekatan ketiga yakni angka IMH disajikan
seperti hasil perhitungan tanpa harus ditransformasikan ke indeks 100, baik indeks
propinsi maupun indeks Indonesia. Dari ketiga pendekatan penyajian angka IMH
ini sudah barang tentu mempunyai keuntungan dan kerugian, tergantung tujuan
perhitungan IMH itu sendiri.
Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Mutu Hidup yang diperkenalkan akhir dasawarsa 70-an dimaksudkan
untuk
mengukur
kualitas
penduduk
dalam
lingkup
sejauh
mana
hasil
pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi
peningkatan kualitas fisik kehidupan yang tercermin dari ketiga variabel. Pada awal
tahun 1990 suatu team dari UNDP mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya
untuk memperbaiki IMH dan diharapkan sebagai model pendekatan pengukuran
kualitas penduduk. Tolok ukur ini disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha
untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil
pembangunan telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan
kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk
melakukan pilihan-pilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini
tercermin pada usia harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih
berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic
needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan
hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan
kemampuan daya beli masyarakat setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi
satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama.
Dalam perhitungan IPM digunakan formula yang telah dipakai oleh UNDP
pada tahun 1990 melalui tiga tahap. Pertama, menentukan suatu ukuran deprivasi
31
dari tiga variabel dasar yaitu angka harapan hidup (X1), melek huruf (X2) dan
pendapatan per kapita yang telah disesuaikan (X3). Nilai minimum dan maksimum
ditentukan untuk setiap variabel. Seberapa jauh suatu ukuran propinsi dari nilai
maksimum dapat digunakan untuk mengetahui keterbelakangan suatu daerah.
Untuk mengukur keterbelakangan suatu daerah secara relatif dapat dihitung dengan
cara:
max ( Xj ) – Xpj
Ipj
max ( Xj ) – min ( Xj )
p
= Propinsi 1, 2, 3, 4, dst-nya
j
= indikator 1, 2, dan 3
Xpj
= nilai indikator j untuk propinsi ke p
mak (Xj)
= nilai maksimum indikator j yang pernah dicapai
min (Xj)
= nilai minimum indikator j yang pernah dicapai
Kedua, menentukan rata-rata deprivasi dari ketiga ukuran deprivasi dari
1 3
 I pj
3 j 1
ketiga variabel yaitu:
Ip 
Ketiga,
mengukur
besarnya
indeks
pembangunan
manusia
dengan
cara:
IPM = 1 - Ip
Hasil perhitungan IPM berkisar antara 0 sampai 1, dan oleh UNDP
dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni: 1. Indeks Pembangunan Manusia yang
tinggi di mana nilainya 0,8 dan lebih. 2. Indeks Pembangunan Manusia
cukup/sedang nilainya antara 0,500 - 0,89 dan 3. Indeks Pembangunan Manusia
rendah nilainya kurang dari 0,5. Perkembangan nilai IPM Indonesia sejak tahun 1990
- 1995 dapat dilihat pada laporan Human Development Report, publikasi dari United
Nation Development Programme (UNDP) terbit setiap tahun. Dalam perkembangan
selanjutnya IPM dapat dihitung dengan menggunakan lebih dari tiga variabel.
32
Laporan UNDP 1994 dalam menghitung IPM menggunakan lima variabel yakni
angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, pendidikan
tertinggi yang ditamatkan dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan. Tiga
variabel pendidikan dibuat menjadi satu indeks. Dalam laporan tersebut disajikan
pula IPM yang disusun dengan menggunakan delapan variabel yaitu angka harapan
hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, indeks melek huruf, indeks
sekolah/ pendidikan, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pendapatan riil per
kapita dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan, urutan IPM dan urutan
pendapatan.
Indeks komposite yang disusun dari ketiga variabel atau lebih diharapkan
mampu menggambarkan tiga aspek kehidupan manusia yang penting yaitu dapat
hidup lebih lama, dengan pengetahuan yang cukup memadai untuk hidup layak.
Pada awal mulanya IPM yang dimulai dengan ukuran deprivasi untuk angka
harapan hidup tertinggi yang dicapai oleh Jepang. Kemudian target melek huruf
adalah 100 persen, sedangkan target pendapatan adalah logaritma batas kemiskinan
rata-rata dari negara maju yang dinyatakan dalam kemampuan daya beli
masyarakat. Pendapatan riil perkapita yang telah disesuaikan terhadap kemampuan
daya beli harus dapat mencerminkan kenaikan hasil yang semakin berkurang dalam
mentransformasikan pendapatan menjadi kemampuan manusia. Ini berarti
seseorang tidak memerlukan sumber keuangan yang berlebihan untuk dapat
memenuhi kehidupan yang layak. Dengan menggunakan logaritma pendapatan per
kapita yang disesuaikan ini diharapkan dapat mencerminkan keadaan yang lebih
baik terhadap kemampuan relatif untuk membeli komoditas dan memiliki sumber
daya yang diperlukan untuk hidup.
Kualitas Penduduk NonFisik
Indikator kualitas penduduk nonfisik sangat berbeda dengan kualitas fisik, dan
sebagian besar lebih banyak merupakan ukuran yang tidak langsung seperti ukuran
gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Ascobat Gani (1984)
menyebutkan bahwa kualitas nonfisik dapat dibedakan menjadi tiga sesuai dengan
kepribadian penduduk yakni unsur kecerdasan, unsur rasa dan unsur budi. Unsurunsur kecerdasan adalah kemampuan memahami, menganalisa secara kritis/cermat
33
serta menghasilkan gagasan-gagasan baru. Dilihat menurut sifatnya, kecerdasan
dapat dibedakan menjadi tiga yakni kecerdasan sosial yakni kemampuan untuk
berhubungan secara harmonis dengan orang lain; kecerdasan konseptual yakni
kemampuan memecahkan masalah yang bersifat abstrak dan kecerdasan mekanik
yaitu kemampuan mendayagunakan benda-benda. Pengukuran kecerdasan dapat
dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung misalnya
dengan melakukan psikotest yang lebih dikenal dengan IQ (intelegent quotient).
Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan prestasi akademis mulai dari
pelajar dan mahasiswa. Ada pula pengukuran kecerdasan yang bersifat makro
seperti memperhatikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, perbedaan buta huruf
antara penduduk laki-laki dan perempuan.
Selanjutnya Ascobat Gani (1984) menyebutkan unsur rasa merupakan kualitas
emosi yang merupakan unsur dua arah yakni yang positif seperti bahagia, senang,
rasa aman, puas, sampai yang negatif seperti takut, gelisah, benci, khawatir dan
marah. Oleh karena pengukuran unsur rasa/emosional ini cukup rumit dan
kompleks, maka dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan melihat
kejadian neurosis atau psikosis, meliputi gangguan berupa cemas, histeris dan
sejenisnya. Penelitian Departement Kesehatan tahun 1980 menyebutkn angka
neurosis antara 20-60 per 1000 penduduk dan angka psikosis antara 1-3 per 1000
penduduk. Kemudian unsur budi, merupakan kualitas nonfisik penduduk yang
membatasi tingkah laku seseorang untuk senantiasa mematuhi norma.moral yang
berlaku. Dalam hal ini budi akan mencegah seseorang untuk bersifat destruktif baik
terhadap lingkungan sosial maupun dirinya sendiri. Kualitas budi dapat secara tidak
langsung dilihat dari angka kriminalitas sebagai aspek negatif dan perbuatan
kebijakan seperti beribadat misalnya sebagai aspek positif.
Penentuan indikator kualitas penduduk merupakan pekerjaan yang rumit dan
sulit karena kualitas penduduk tidak dapat dipisah-pisahkan, baik itu yang bersifat
fisik maupun nonfisik. Akan bertambah sulit lagi terutama dalam mengukur
kualitas non fisik karena kadangkala terpaksa menggunakan ukuran gejala untuk
memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Sejalan dengan ini maka indikator
34
kualitas nonfisik merupakan ukuran yang tidak langsung. Berbeda halnya dengan
kualitas
fisik
yang
ukuran
operasionalnya
dapat
mendekati
pengertian
konsepsionalnya, akan tetapi pengembangannya menjadi lambat dan banyak
menimbulkan masalah selama sistem informasi kependudukan belum dapat
menggantikan dominasi model estimasi tidak langsung (indirect methods).
Ketergantungan pada data sensus dan survai dituntut oleh jumlah sampel yang
cukup besar, agar analisis kualitas penduduk menurut sub-regional (Dati II) dapat
ditampilkan. Pada sisi lain, semakin besar jumlah sampel semakin besar pula jumlah
biaya yang diperlukan. Dalam kerangka seperti ini pelaksanaan sistem informasi
kependudukan seperti registrasi penduduk, sistem informasi kependudukan dan
keluarga menjadi mutlak segera dibenahi untuk mengumpulkan data secara cepat,
akurat dan murah biayanya.
Pengukuran kualitas penduduk dapat dilihat dari aspek demografi, dan
nondemografi atau gabungan antara kedua aspek tersebut. Sampai saat ini kecuali
IMH dan IPM masih melakukan secara terpisah-pisah dalam mengukur kualitas
penduduk, baik itu aspek demografi maupun nondemografi. Artinya belum
ditemukan suatu indikator komposite obyektif yang merupakan gabungan dari
beberapa variabel, disusun dalam satu indeks kecuali IMH dan IPM dengan
berbagai keterbatasan-keterbatasannya. Memilih variabel yang akan digunakan
untuk mengukur kualitas penduduk bukan pekerjaan yang mudah, apalagi di dalam
menentukan variabel tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti yang
disebutkan oleh Morris. Bagaimana caranya untuk memilih variabel yang jumlahnya
tidak terlalu banyak, mempunyai daya ungkit yang cukup besar, sudah ada ukuran
standarnya merupakan agenda diskusi yang cukup menarik dalam penyusunan
indikator.
Evaluasi
1. Sebutkan 3 indikator kualitas penduduk dan jelaskan?
2. Jelaskan pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan?
3. Aspek ketenagakerjaan apa saja yang penting untuk diperhatikan dalam era
globalisasi?
4. Apa yang dimaksud dengan Human Capital Theory ?
5. Ada tiga dimensi dalam Human Development, sebutkan dan jelaskan ?
35
36
KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A.
Topik
:
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS GEOGRAFI
YOGYAKARTA
2007
37
Mohon dijawab pertanyaan berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan kultural dan
kemiskinan struktural ?
2. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan subyektif dan
kemiskinan obyektif ?
3. Mengapa orang menjadi miskin ?
4. Bagaimana ciri-ciri orang miskin ?
5. Bagaimana menanggulangi kemiskinan ?
38
KONSEP KEMISKINAN DAN DAERAH TERTINGGAL
Kemiskinan, penduduk miskin dan wilayah miskin (daerah tertinggal)
merupakan tiga istilah yang hingga saat ini terus menjadi bahan perbincangan
menarik di kalangan para pakar. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk
mendefinisikan ketiganya, hal ini disebabkan pengertian kemiskinan dapat ditinjau
dari berbagai aspek dan memuat banyak dimensi baik material maupun non material.
Secara umum kemiskinan berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan pemerataan.
Penduduk miskin didefinisikan berdasarkan berbagai macam kriteria. Sedangkan
identifikasi wilayah miskin juga memiliki beberapa karakteristik tertentu, seperti
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, daya dukung wilayah, infrastruktur dan
keterjangkauan (aksesibilitas). Uraian berikut mencoba menelusuri berbagai
penelitian, penilaian dan perbincangan tentang kemiskinan yang pernah dilakukan,
kriteria, dan termasuk pendefinisian tentang daerah dan desa tertinggal.
2.1.
Konsep Kemiskinan
Dalam Dasawarsa terakhir ini strategi yang dicanangkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia (1990) dalam bidang pembangunan pedesaan
difokuskan pada tekad untuk memerangi kemiskinan. Diantaranya dari Laporan
tahunan yang menyatakan bahwa pembangunan pedesaan diartikan " .... a strategy
designed to improve the economic and social life of the rural poor". Hal ini mengandung
pengertian bahwa aspek sosial-ekonomi yang menyangkut peningkatan pendapatan
masyarakat desa lebih diutamakan daripada aspek fisik lingkungan binaan pedesaan,
selain itu upaya ini lebih ditekankan pada proses perubahan yang berkesinambungan.
Kemiskinan pedesaan (rural poverty) merupakan salah satu topik yang tidak
dapat dipisahkan dari masalah pembangunan pertanian dan pedesaan, terlebih
dinegara sedang berkembang yang sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan
yang umumnya dalam belenggu kemiskinan dengan pertanian sebagai basis
ekonominya (Prayitno, Hadi, 1987:3).
39
Michael Todaro (1978) mengungkapkan bahwa jumlah terbesar penduduk
miskin berada di daerah pedesaan dengan kegiatan di sektor pertanian dan kegiatan
lain yang berhubungan dengan pertanian. Dengan demikian kemiskinan pedesaan
merupakan sebuah pokok masalah yang tidak dapat dipisahkan dari masalah
pembangunan pertanian dan pedesaan.
Suhardjo (1988) ada dua macam kemiskinan bila dilihat dari penyebabnya
yaitu: kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah yaitu
kemiskinan yang terjadi karena keadaan alamnya yang miskin atau langkanya
sumberdaya alam, sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita
oleh
segolongan
masyarakat,
karena
struktur
sosial
masyarakat
tersebut
menyebabkan tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang tersedia.
Kedua jenis kemiskinan ini terdapat di desa tertinggal, yang terjadi secara bersamaan
sehingga sangat sulit membedakan keduanya.
Menurut Robert Chambers yang dikutip Loekman Sutrisno, mengemukakan
bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah jenis kemiskinan terpadu
(integrated proverty), dengan ciri-ciri: kemiskinan pemilikan barang, fisik yang lemah,
keterisoliran,
kerentanan
(vulnerability)
dan
ketidakberdayaan
(powerlessness).
Selanjutnya dua penyebab terakhir merupakan dua jenis ketidakberuntungan yang
sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin.
Dawam Rahadjo (1994) mengidentifikasikan kemiskinan sebagai suatu kondisi
kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kondisi kemiskinan ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya berkaitan dengan:
kesempatan kerja, upah gaji dibawah standar minimum, produktivitas kerja yang
rendah, ketiadaan aset (lahan maupun modal), diskriminasi, tekanan harga dan
penjualan tanah untuk kepentingan non produktif.
Emil salim (1980), terdapat 4 (empat ciri penduduk yang tergolong miskin di
daerah pedesaan. Keempat ciri tersebut antara lain: 1) tidak memiliki faktor produksi
sendiri (lahan, modal dan ketrampilan); 2) tidak memiliki kemungkinan untuk
memperoleh penguasaan terhadap faktor produksi dengan kekuatan sendiri; 3)
tingkat pendidikan rendah; 4) kebanyakan tidak memiliki lahan, kalaupun ada
umumnya sempit, sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh tani atau
40
pekerja kasar di luar pertanian. Untuk dapat mengurangi penduduk miskin pedesaan
paling tidak dapat dilakukan melalui upaya penciptaan peluang kerja, peningkatan
pendapatan dan peningkatan kualitas penduduk (pendidikan dan ketrampilan).
Berbagai penelitian dan pustaka yang berkaitan dengan kemiskinan, umumnya
fokus perdebatan berkisar pada definisi kemiskinan, penentuan batas kemiskinan,
penyebab dan upaya-upaya mengatasi kemiskinan. Beberapa kriteria kemiskinan
yang cukup dikenal antara lain menurut BPS, Depdagri, Sayogyo, Hendra Esmara dan
PBB.
Sebagai contoh kriteria kemiskinan yang dapat membantu dalam penelitian ini;
Departemen Dalam Negeri (1985) dalam penelitiannya untuk menentukan lokasi
Kecamatan miskin menggunakan garis batas kemiskinan atas dasar pendapatan
untuk kebutuhan hidup yang penilaiannya didasarkan pada harga 9 bahan pokok di
pasar setempat, kemudian diklasifikasi ke dalam 4 kelas kemiskinan yaituu: 1) miskin
sekali jika pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum; 2)
miskin, jika pendapatan per kapita antara 75-125%; 3) hampir miskin, jika pendapatan
terletak antara 125 hingga 200 persen; 4) tidak miskin jika pendapatan perkapita lebih
dari 200 persen kebutuhan minimum.
PBB merekomendasikan 9 (sembilan) komponen untuk mengukur kemiskinan,
diantaranya:
kesehatan,
perumahan,
jaminan
konsumsi
sosial,
pangan,
rekreasi
dan
pendidikan,
kebebasan
kesempatan
sebagai
kerja,
ukuran
kesejahteraan.Singarimbun dan Penny (1976) dalam penelitiannya di dusun Miri
Sriharji Imogiri Bantul pada tahun 1970 dengan menyoroti kemiskinan dalam
hubungannya dengan tersedianya lahan dan kepadatan penduduk. Ternyata rasio
yang tinggi antara manusia dan lahan (man-land ratio), mengakibatkan sebagian
terbesar penduduk menjadi miskin, yakni 2/3 dari jumlah penduduk memperoleh
penghasilan dibawah tingkat kecukupan.
Perdebatan tentang pengertian kemiskinan dan batas kemiskinan tidak
kunjung usai. Sebagai gambaran tabel berikut menyajikan tentang beberapa ukuran
yang pernah dikemukakan oleh para pakar kemiskinan.
Tabel 1. Ukuran kemiskinan dari Berbagai Macam Sumber
41
GARIS
KEMISKINAN
KRITERIA
a. Esmara (1970)
Konsumsi beras /kapita (Kg)
b. Sayogyo (1971)
Tingkat pengeluaran Ekwivalen
Beras
b. Anne Both
(1970)
KOTA
DESA
DESA
DAN
KOTA
125
Miskin (M)
480
320
Miskin Sekali (MS)
360
240
Paling Miskin (PM)
270
180
Kebutuhan gizi minimum per orang
per hari
Dan Ginneken
1. Kalori
200
2. Protein (gram)
50
d. Gupta (1973)
Kebutuhan gizi minimum per orang
per tahun (Rp.)
e. Hasan (1975)
Pendapatan minimum per kapita per
tahun (US $)
f. BPS (1984)
Konsumsi kalori per kapita per hari
24000
125
95
2100
Pengeluaran per kapita per bulan
(Rp)
13731
7746
g. Sayogya (1984)
Pengeluaran per kapita per bulan
(Rp.)
8240
6585
h. Bank Dunia
(1984)
Pengeluaran per kapita per bulan
(Rp.)
6719
4479
i. Internasional
1. United Nation (1976), nilai US $
tahun 1970
75
2. Ahluwalia (Pendapatan per kapita
per tahun (US $)
75
Biro Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi terakhir, membuat tolok ukur garis
kemiskinan. Penduduk dikatakan miskin jika berada dibawah garis kemiskinan,
yaitu batas pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan.BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi
dan pengeluaran untuk 52 macam komoditas pangan dan non pangan (27 jenis
untuk kota dan 26 jenis untuk desa). Dalam SUSENAS Maret 2006, dinyatakan
batas kemiskinan (Rp/bulan) untuk Perkotaan (Rp. 175.324), Perdesaan (Rp.
131.256), dan Kota+desa (Rp. 152.849). Berdasar kriteria tersebut,
Jumlah
penduduk miskin pada maret 2006 sebanyak 39,5 juta orang atau 17,75 persen dari
42
total 222 juta penduduk.
Dalam pendataan terakhir yang dilakukan BPS berkaitan dengan penduduk
miskin penelima dana BLT (Bantuan Langsung Tunai), disebutkan bahwa
penduduk miskin yang berhak mendapat BLT memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1.
luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang
2.
lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
3.
jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas
rendah/tembok tidak diplester
4.
tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama/sama dengan rumah
tangga lain
5.
penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik
6.
sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai air
hujan
7.
bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak
tanah
8.
hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu
9.
hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun
10.
hanya sanggu makan sebanyak satu/dua kali sehari
11.
tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik
12.
sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan
lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan
13.
pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah/tidak tamat
SD/hanya SD
14.
tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal
Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal
motor, atau barang modal lainnya.
43
Bank Dunia (2003) mengatakan, 60% rakyat Indonesia tergolong miskin, 1020% diantaranya miskin absolut. Kriteria yang dipakai adalah pendapatan 2 dolar
AS/orang/bulan.Sedangkan MDGs (Millenium Development Goals) tahun 200
menyepakati tentang malnutrisi (gizi kurang/buruk)sebagai indikator kemiskinan,
terutama dengan ukuran operasional tentang proporsi anak balita kurang gizi atau
berberat badan rendah.
Definisi tentang kemiskinan juga disampaikan oleh BKKBN sejak beberapa
tahun lalu menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan yang lebih
operasional yakni dengan membagi keluarga dalam kategori pra sejahtera,
sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus, dengan ciri-ciri sebagai
berikut :
44
Tabel 2. Ukuran Kesejahteraan Keluarga Menurut BKKBN
No
Tipe
1.
2.
Pra KS
KS I
3.
Keluarga Sejahtera
KS II
4.
Keluarga Sejahtera
KS III
5.
Keluarga Sejahtera
KS III+
Keluarga Sejahtera
Indikator
Tidak memiliki ciri 1-22
(Merah)
1. Pernah menjalankan Ibadah
2. Seluruh AK makan >= 2 kali
3. Memiliki pakaian berbeda (sekolah/kerja, bepergian)
4. Lantai sebagian besar bukan dari tanah
5. Jika sakit ke sarana kesehatan
I, memiliki ciri 1-5
(Kuning)
6. Minimal seminggu sekali, pakai menu Daging/Ikan/Telur
7. Baju baru satu stel (minimal satu tahun)
8. Rasio lantai per jiwa minimal 8m2
9. Bisa baca dan tulis
10. Anak usia 10-12 tahun bersekolah
11. Minimal satu AK mempunyai pekerjaan tetap
12. Satu bulan terakhir AK sehat
13. Ibadah secara teratur
II, memiliki ciri 1-13 (Coklat)
14. Jumlah anak maksimal 2 orang dan KB
15. Ada tabungan keluarga
16. Ikut dalam kegiatan masyarakat
17. Rekreasi minimal 3 bulan sekali
18. Mengetahui berita dari Radio/TV/koran
19. Akses terhadap sarana transportasi (angkutan)
20. Peningkatan pengetahuan agama
III, memiliki ciri 1-20 (Hijau)
21. Memberi sumbangan secara teratur dengan materi
22. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan
III+, memiliki ciri 1-22 (Biru)
Keterangan : AK (Anggora Keluarga)
Pada tataran kemiskinan wilayah, tinjauan pustaka relatif langka didapatkan,
meskipun demikian hasil studi dari BPS (1993) tentang identifikasi desa miskin dapat
dijadikan sebagai bahan kajian yang menarik. Variabel yang digunakan sebagai
penentu desa miskin terdiri dari 27 untuk desa di wilayah pedesaan, dan 25 variabel
untuk perkotaan, disamping 9 variabel tambahan. Variabel ini dikelompokkan
menjadi empat, yakni potensi desa, prasarana dan sarana sosial-ekonomi desa, fasilitas
perumahan dan lingkungan, serta keadaan sosial demografi penduduk. Oleh karena
itu secara umum desa-desa miskin dicirikan oleh keadaan rendahnya potensi desa,
prasarana-sarana sosial-ekonomi desa, kondisi perumahan dan lingkungan serta
posisi sosial demografis yang tidak menguntungkan. Lebih lanjut wilayah dengan
potensi miskin umumnya menyebabkan penduduk miskin.
45
2.2. Konsepsi Daerah atau Desa Tertinggal
Salah satu isu strategis yang menjadi tantangan pembangunan nasional
adalah tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, jumlah penduduk
miskin di Indonesia mencapai 36,2 juta jiwa atau sebesar 16,65% dari jumlah
penduduk Indonesia sebesar 217 juta jiwa [data Susenas, BPS, 2004].
Kenyataan obyektif yang masih tergambar adalah lebih dari 60% penduduk
Indonesia bermukim di kawasan perdesaan dan sekitar 14,6 juta dari 36,2 juta
penduduk miskin di Indonesia. Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan
diperparah dengan masih banyaknya daerah tertinggal dan desa-desa tertinggal
(sekitar 10.600 desa).
Dewasa ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah
tertinggal, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara
Timur. Sebagian kecil daerah tertinggal terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Bagian
terbesarnya tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan sebaran
wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau (63%) kawasan tertinggal berada di
Kawasan Timur Indonesia, 58 Kabupaten (28%) berada di Pulau Sumatera, dan 18
Kabupaten (8%) berada di Pulau Jawa dan Bali. Di luar kategori wilayah tertinggal,
terdapat sejumlah kawasan yang dapat kita sebut sebagai “kawasan paling
tertinggal”. Kawasan ini dihuni oleh Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu
kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar. Pada umumnya,
kawasan itu belum tersentuh oleh jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi dan
politik. Sementara itu, hampir seluruh pulau-pulau kecil terluar dan terdepan di
dalam wilayah kedaulatan negara kita, yang berjumlah 92 pulau, termasuk pula di
dalam kategori kawasan tertinggal.
Desa tertinggal tersebut antara lain dicirikan oleh masih relatif rendahnya
tingkat pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan dan pelayanan infrastruktur
termasuk
karakter
penduduknya.
Disamping
itu
juga
dipengaruhi
oleh
keterisolasian dan minimnya potensi daerah yang ada, sehingga menyebabkan
kurang berkembangnya kegiatan ekonomi produktif di perdesaan yang pada
gilirannya mendorong terjadinya peningkatan kemiskinan.
Penduduk
perdesaan
menghadapi
masalah
kemiskinan
karena
46
ketertinggalan
desanya
akan
pelayanan
infrastruktur
perdesaan
untuk
pertumbuhan ekonomi lokal disebabkan karena sangat terbatasnya dana
pembangunan. Penduduk dari sebagian terbesar desa-desa tertinggal (73%) harus
menempuh 6-10 km dari desanya ke pusat pemasaran (terutama pusat kecamatan)
sedangkan desa-desa sisanya bahkan harus menempuh >10Km dengan kondisi
jalan yang memprihatinkan berupa jalan tanah (di sekitar 27% desa tertinggal).
Penduduk yang terlayani air minum perpipaan baru mencapai 9% selebihnya
masih mangambil langsung dari sumber yang tidak terlindungi; Petani dari sekitar
88% desa tertinggal memiliki luas lahan taninya < 0,5 ha (lahan marjinal) sehingga
dibutuhkan prasarana irigasi desa yang mendukung terjamin berlanjutan produksi
guna mencukupi kebutuhannya.
Pembangunan, khususnya pembangunan di perdesaan merupakan suatu
proses peningkatan kemampuan penduduk desa dalam mengusasai lingkungan
sosial. Menguasai lingkungan sosial tersebut baru dapat terjadi apabila
pembangunan perdesaan merupakan proses kemandirian (Hasbullah, 1994).
Akibat dari kemampuan penguasaan terhadap lingkungan sosial adalah terjadinya
peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat perdesaan. Hal ini mutlak
diperlukan agar masyarakat desa dapat terhindar dari upaya-upaya dari luar yang
akan mempengaruhi atau mengambat perkembangan desa tersebut.
Terkait masalah perkembangan desa, dewasa ini topik tersebut menjadi bahan
diskusi yang selalu aktual. Hal ini didasarkan pada tingginya jumlah wilayah desa
di Indonesia yang dikategorikan sebagai daerah/desa tertinggal. Rusli, (1994)
menjelaskan bahwasanya desa tertinggal merupakan wilayah dengan rata-rata
perkembangan yang cenderung lebih rendah dibanding dengan rata-rata
perkembangan desa di Kabupaten atau propinsi yang sama. Dalam berbagai kasus
eksistensi daerah/desa tertinggal seringkali dikaitkan dengan tingkat kemiskinan
yang ada.
Pada dasarnya kemiskinan dan ketertinggalan merupakan dua konsep yang
berbeda, namun memiliki keterkaitan yang cukup erat. Meskipun demikian perlu
digarisbawahi bahwa daerah/desa miskin pada prinsipnya bukan berarti
47
tergolong sebagai daerah/desa tertinggal. Penelitian Rusli dkk, 1994 menunjukkan
bahwa dalam desa yang tidak tertinggal juga ditemukan golongan miskin.
Beberapa contoh ditemukan di Propinsi Riau, terdapat daerah-daerah kumuh yang
umumnya dihuni oleh lapisan bawah dari masyarakat menurut tokoh masyarakat
di tingkat desa/kelurahan pada desa atau kecamatan yang tergolong maju.
2.2.1. Kementrian Daerah Tertinggal
Sampai saat ini belum terdapat pendefinisian desa tertinggal yang baku.
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal mendefinisikan daerah
tertinggal
adalah
daerah
Kabupaten
yang
relatif
kurang
berkembang
dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif
tertinggal.
Beberapa faktor
yang
diienstifikasi ebagai
faktor
penyebab
ketertinggalan suatu daerah adalah :
(1) Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau
karena
letaknya
kepulauan,
yang
pesisir,
geomorfologis
jauh
dan
lainnya
di
pedalaman,
pulau-pulau
sehingga
sulit
perbukitan/pegunungan,
terpencil
atau
dijangkau
oleh
karena
jaringan
faktor
baik
transportasi maupun media komunikasi.
(2)
Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi
sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar
namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak
dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya
alam yang berlebihan.
(3)
Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal
mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif
rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang.
(4)
Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi,
transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya
yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami
kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial.
(5)
Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah
48
mengalami
bencana
alam
dan
konflik
sosial
dapat
menyebabkan
terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi.
(6)
Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan
oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada
pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas
pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam
perencanaan dan pembangunan.
Dilihat dari sebaran keruangannya, daerah tertinggal secara geografis
digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain:
(1) Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan
yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang
relatif lebih maju;
(2) Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk
dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju;
(3) Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di
perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut;
(4) Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor,
gunung api, maupun banjir.
(5) Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penetapan kriteria daerah tertinggal
dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan
6 (enam) kriteria dasar yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia,
prasarana
(infrastruktur),
kemampuan
keuangan
lokal,
aksesibilitas
dan
karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah
perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana,
dan daerah rawan konflik.
2.2.2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Dalam
kaitannya
dengan
program
penanggulangan
kemiskinan
dan
pengembangan daerah tertinggal, satu dasawarsa yang Bappenas (1993) telah
49
menyusun program Inpres Desa tertinggal (IDT) dan melaksanakan penelitian
partisipatoris berupa kaji tindak kebijakan (policy research) program IDT untuk
mengetahui kesesuaian program dengan kenyataan di lapangan serta proses
pembangunan masyarakat desa tertinggal. Studi ini menghasilkan berbagai
karaktersitik, potensi dan keberhasilan program IDT pada berbagai macam tipologi
desa tertinggal. Secara umum didapatkan 23 (duapuluh tiga) tipologi desa di
Indonesia, yaitu desa transmigrasi, desa hutan, desa pantai, desa lahan kering, desa
lahan sawah, desa perkebunan, desa monokultur tanaman tertentu, desa terpencil,
desa daerah aliran sungai, desa adat, desa padat penduduk, desa jarang penduduk,
desa penghasil garam, desa pariwisata, desa peternakan, desa kerajinan (tenun dan
gerabah), desa pegunungan, desa pasang surut, desa perbatasan, desa pertambangan
aspal, desa suku pendatang dan desa tipologi kepulauan.
Selaras dengan definisi tentang daerah tertinggal adalah termasuk wilayah
terisolir, yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1)
terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan
wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan
tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya
sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di
wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan
pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan (5) belum optimalnya
dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayahini.
2.2.3. Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI)
Dalam kaitannya dengan penentuan desa miskin, Direktorat Jendral
Pembangunan Desa (Dirjen Bangdes) mengidentifikasikan daerah/desa/kelurahan
miskin dengan mengukur tingkat pendapatan per kapita per tahun. Pendapatan
bersih desa per kapita per tahun didasarkan pada total pendapatan dari berbagai
sektor dengan memperhitungkan biaya produksi dan penyusutannya. Sektorsektor tersebut meliputi: tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan,
kehutanan dan pekarangan, peternakan, perikanan, pertambangan/bahan galian,
industri/kerajinan rakyat, perdagangan, transportasi/angkutan dan jasa.
50
Di lain pihak Bangdes juga mengidentifikasi daerah/desa tertinggal dengan
melihat tingkat perkembangan desa yang didasarkan pada data potensi desa
(Podes-Bangdes). Podes-Bangdes mengandung 4 aspek pendekatan dan 7 indikator
yang cukup komprehensif, yaitu :

Aspek ideologi dan politik : indikator politik

Aspek Ekonomi : indikator tingkat pendapatan desa per kapita, indikator
tingkat ketergantungan, dan peranserta masyarakat

Aspek sosial budaya : indikator kesehatan masyarakat dan pendidikan

Aspek ketenteraman dan ketertiban : indikator kamtibnas
yang selanjutnya ditentukan tingkat perkembangan desa berdasarkan ciri :
desa swadaya, desa swakarsa, dan desa swasembadan. Selain itu juga
diperhitungkan tipe desa berdasarkan pendekatan potensi dominan yang telah
diolah dan dikembangkan serta menjadi sumber penghidupan sebagian besar
masyarakat, misalnya desa nelayan, desa kerajinan atau desa industri.
2.2.4. Ditjen Agraria (Badan Pertanahan Nasional)
Seperti halnya Bangdes, Direktorat Tataguna Tanah, Ditjen Agraria dan
Departemen Dalam Negeri juga melakukan analisis penentuan daerah miskin pada
level kecamatan untuk seluruh wilayah Indonesia. Patokan yang digunakan adalah
kebutuhan minimum yang meliputi sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari
dan didapatkan 4 klasifikasi, yaitu:

Miskin sekali, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya di
bawah 75 persen dari kebutuhan hidup minimum

Miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya25 persen
kurang atau 25 persen lebih dari pada kebutuhan hidup minimun

Hampir miskin, yaitu daerah yang pendapatan perkapita penduduknya 25
persen lebih dari kebutuhan hidup minimum sampai mencapai kebutuhan
hidup sekunder (200 persen)

Tidak miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya melebihi
kebutuhan hidup sekunder
51
Disamping itu ditentukan pula 14 variabel yang berpengaruh terhadap
kemiskinan daerah yaitu meliputi: kepadatan penduduk, tingkat pengangguran,
realisasi IPEDA, luas lahan pertanian, tanah rusak, luas panen bahan makanan,
jumlah pemilik tanah, nilai ternak, panjang jalan kendaraan roda empat, rumah
permanen dan semi permanen, jumlah anak per kepala keluarga, tanah pertanian
rakyat, dan jumlah anak per penduduk.
2.2.5. Badan Pusat Statistik (BPS)
Biro Pusat Statistik tahun 1993 membuat peta kemiskinan berdasarkan Data
Podes tahun 1990, yang sebenarnya lebih menggambarkan peta tingkat
keterbelakangan atau ketertinggalan wilayah atau desa (Sumardjo, et al, 1995).
Pada tahun 1994 BPS mencoba untuk mengidentifikasikan daerah tertinggal di
Indonesia dengan menyempurnakan metode yang digunakan sebelumnya (tahun
1993), yaitu dengan cara mereduksi varibael wilayah kota dari 25 menjadi 17, dan
dari 27 menjadi 18 (untuk wilayah perdesaan). Variabel-variabel tersebut tidak
hanya mencakup variabel potensi desa dan keadaan perumahan/lingkungan,
tetapi juga variabel mengenai potensi penduduk dan kemudahan (akses) untuk
mencapai fasilitas umum. Variabel tersebut mencakup lapangan usaha mayoritas
penduduk; fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi; kepadatan penduduk;
sumber air minum/masak; sumber bahan bakar; cara membuang sampah; jenis
jamban persentase rumah tangga pengguna listrik, TV, kendaraan bermotor roda 4
atau kapal motor; persentase rumah tangga pertanian; persentase rumah tangga
yang menyekolahkan anak/famili ke PT; keadaan sosial ekonomi; kemudahan
mencapai puskesmas, pasar permanen dan pertokoan. Sedangkan untuk daerah
pedesaan, selain variabel tersebut juga ditambahkan variabel jalan utama desa,
serta keberadaan rumah tangga pelanggan koran/majalah.
2.2.6. Penelitian Sayogyo, dkk
Di lain pihak Sayogyo, dkk (1992) melalui metode tipologi melakukan studi
pengidentifikasian wilayah miskin dengan membedakan antara daerah tertinggal
dan maju. Tipologi tersebut dibuat dengan menganalogikan bahwa kemiskinan
52
merupakan fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral seperti pendidikan,
sarana ekonomi, media massa, kesehatan, industri, pertanian, jasa dan lainnya.
Dengan menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan Sayogyo,
para ahli dari IPB mencoba memetakan wilayah-wilayah tertinggal dengan
memanfaatkan
data
podes
dan
sensus
ekonomi
untuk
menggambarkan
ketenagakerjaan di berbagai sektor. Berdasarkan kombinasi data tersebut
dihasilkan tipe perkembangan wilayah berdasarkan (1) perkembangan sektor
modern, (2) perkembangan sektor tradisional, (3) perkembangan pelayanan umum
dan (4) perkembangan pelayanan pendidikan.
2.2.7. Dinas Sosial
Dalam menentukan daerah tertinggal, Dinas Sosial menggunakan indikator
yang relatif berbeda dengan penekanan pada daerah/desa rawan sosial ekonomi.
Menurut Dinsos terdapat tujuh golongan masyarakat penyandang masalah
kesejahteraan sosial (PMKS), yaitu : keluarga fakir miskin, wanita rawan sosial
ekonomi, keluarga berumah tak layak huni, anak terlantar, gelandangan dan
pengemis. Sedangkan indikator keluarga fakir miskin menurut rumusan Depsos
(1992) adalah

Perorangan atau kepala keluarga berusia 18 – 55 tahun

Mempunyai atau tidak mempunyai pekerjaan yang layak dengan
penghasilan rendah (dibawah standar garis kemiskinan BPS yang berlaku
pada tahun yang sama)

Kondisi rumah dan lingkungan tidak layak huni

Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah

Mempunyai atau menghadapi hambatan-hambatan psikologis dan sosial
53
2.2.8. Pertimbangan Penetapan Daerah tertinggal
Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan
pendekatan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar yaitu : faktor geografis (letak,
aksisibilitas dan karakteristik desa), kondisi sosial ekonomi, sarana dan prasarana,
sumberdaya ekonomi pedesaan, tingkat kerawanan bencana, dan kemampuan
swadaya desa. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan sejumlah desa
tertinggal, beserta prioritas dan pengembangannya.
1. Faktor geografis (lokasi)

Letak
Indentifikasi letak berkaitan dengan penentuan daerah/desa tertinggal
dirasa perlu, sebab letak suatu daerah/desa mampu mencerminkan
hubungan keterkaitan dengan pusat pertumbuhan, pusat pemerintahan,
pusat pelayanan ekonomi ataupun tingkat interaksinya dengan wilayah lain.
Prinsipnya semakin jauh letak suatu daerah dengan pusat pertumbuhan atau
pusat pelayanan ekonomi, maka semakin rendah tingkat perkembangannya.
Hal ini sesuai dengan teori pusat pertumbuhan, dimana daerah di dekat
pusat pertumbuhan akan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan daerah
yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan. Konsekuensi yang harus
ditanggung oleh daerah yang letaknya jauh dari pusat pelayanan adalah
tingginya waktu jempuh untuk mencapai pusat pertumbuhan tersebut

Aksesibilitas
Aksesibilitas merupakan kemudahan untuk mencapai pusat-pusat pelayanan
yang ada. Aksesibilitas yang baik akan mempermudah mobilitas barang dan
modal. Dalam proses produksi, faktor aksesibilitas sangat dipertimbangkan
sebab akan mempengaruhi peningkatan biaya produksi dengan adanya
tambahan biaya pengangkutan. Di lain pihak, juga dipertimbangkan faktor
kualitas jalan sebab akan mempengaruhi kualitas produk yang akan
diperoleh
ataupun
dipasarkan.
Sehingga
seringkali,
daerah
dengan
aksesibilitas rendah akan sulit ditembus oleh investasi atau masuknya modal
dari luar. Akibatnya, daerah tersebut akan mengalami ketertinggalan
perkembangan
54

Karakter desa
Untuk mengetahui tingkat ketertinggalan daerah/desa dapat dilihat
berdasarkan karakter wilayahnya. Daerah berciri desa salahsatunya ditandai
dengan dominasi sektor pertanian, sejauh ini daerah pertanian relatif lambat
pertumbuhannya. Pada sisi lain, desa transisi selain memiliki ciri desa juga
memiliki ciri kota karena faktor kedekatannya dengan pusat pertumbuhan.
Dengan demikian, karakter desa dapat digunakan untuk menentukan
apakah desa tersebut tertinggal atau tidak.
2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa
3. Sarana dan Prasarana

Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk
mengukur tingkat pembangunan sumberdaya manusia. Untuk mencetak
kualitas sumberdaya manusia yang unggul, diperlukan ketersediaan sarana
dan prasarana yang memadai pula. Untuk itu daerah yang memiliki fasilitas
pendidikan cukup lengkap dari tingkat terendah (TK) hingga perguruan
tinggi mencerminkan kemajuan pembangunan di bidang pendidikan

Kesehatan
Di bidang kesehatan, ketersediaan sarana prasarana rumah sakit, poliklinik,
puskesmas,
apotik,
dokter
dan
bidan
menggambarkan
kemajuan
pembangunan kesehatan dan kesiapan daerah dalam melayani masyarakat.
Secara tidak langsung ketersedian sarana prasarana kesehatan akan
berpengaruh terhadap angka harapan hidup masyarakat. Di daerah
tertinggal pada umumnya ketersediaan fasilitas kesehatan cukup terbatas,
dalam kesehatan masyarakat cenderung menggunakan metode tradisional.

Ekonomi
Kemajuan daerah/desa ditandai dengan ketersediaan sarana prasarana
ekonomi seperti pasar permanen/permanen dan harian/non harian, pasar
hewan/non hewan, kompleks pertokoan, restoran, koperasi, bank serta hotel.
Sarana prasarana tersebut berfungsi untuk menunjang pergerakan aktivitas
55
ekonomi lokal dan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan eksistensi pasar
harian memiliki arti yang lebih penting daripada masyarakat perkotaan,
sebab berfungsi sebagai tempat pemasaran hasil panen mereka.

Umum
Sarana
prasarana
umum
lainnya
yang
berkaitan
dengan
tingkat
perkembangan daerah/desa, tertutama berkenaan dengan keinginan desa
untuk membuka diri terhadap informasi dan dunia luar, menyangkut
ketersediaan wartel/telepon umum/warpostel, kantor pos, koran/surat
kabar, penyewaan video/VCD serta listrik penerang jalan.
4.
Sumberdaya Ekonomi Desa
Daerah/desa pada prinsipnya memiliki variasi sumberdaya ekonomi,
seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri pengolahan,
industri kecil dan rumah tangga dan pertambangan. Terkadang desa/daerah
dimungkinkan memiliki potensi sumberdaya ekonomi lebih dari satu.

Luas/persentase sawah
Luas/persentase sawah berkaitan dengan produktivitas pertanian yang
dapat digunakan sebagai salah satu indikasi kemiskinan wilayah. Dalam hal
tingkat produktivitas pertanian dapat digunakan untuk menentukan desadesa yang tergolong kurang produktif ataupun yang produktif

Sumberdaya perkebunan, dan peternakan
Sumberdaya
perkebunan
dan
peternakan
pada
dasarnya
memiliki
keunggulan komparatif dan apabila dikelola dengan baik dapat memberikan
keuntungan bagi desa secara optimal

Sumberdaya ekonomi perikanan

Keberadaan industri pengolahan
Keberadaan industri pengolahan mampu menggambarkan perubahan
kemajuan pembangunan daerah/desa yang semula bertumpu pada sektor
pertanian

Keberadaan industri kecil dan rumah tangga
56
Terlepas dari peran Industri rumah tangga dan industri kecil sebagai
penopang ekonomi nasional, industri rumah tangga juga merupakan
cerminan kemapaman dan kemandirian ekonomi masyarakat desa.

Sumberdaya pertambangan
Sumberdaya pertambangan terutama yang menguasai hajat hidup orang
banyak akan dikelola oleh negara, sedangkan daerah/desa pemilik
sumberdaya tersebut akan memperoleh income dari eksplorasi dan ekspoitasi
yang dilakukan (perbandingan persentase penerimaan daerah dan negara
sudah diatur oleh pemerintah dengan memeprtimbangkan jenis barang
tambangnya). Dengan demikian, memiliki sumberdaya pertambangan
merupakan modal yang dapat diandalkan untuk pembangunan
5.
Tingkat kerawanan Bencana Alam
Pada dasarnya daerah/desa tertinggal disebabkan karena faktor fisik dan
non fisik. Faktor fisik tersebut mencakup potensi-potensi bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, lahan kritis dan pencemaran
lingkungan. Bekerjanya faktor fisik tersebut berdampak pada ketidakstabilan
sistem dan proses pembangunan. Seringkali pemerintah harus mengeluarkan
biaya ekstra untuk memperbaiki sarana prasarana yang rusak akibat bencana
serta memberikan bantuan kepada korban bencana.
6.
Keswadayaan Desa

Perbandingan swadaya masyarakat dengan dana dari pemerintah
Kemajuan
daerah/desa
dicirikan
dengan
kemandirian
desa
dalam
membiayai pembangunan fisik atau sarana dan prasarana desa. Kondisi ini
secara tidak langsung dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan dan
partisipasi masyarakat, dimana masyarakat dapat menyisakan sebagian aset
yang dimilikinya untuk keperluan pembangunan desa.

Aset desa
Apabila golongan miskin dapat diidentifikasikan dengan melihat rendahnya
kepemilikan aset, maka daerah miskin atau tertinggal juga dapat
diidentifikasikan dengan melihat aset yang dimiliki oleh daerah/desa. Aset
desa dapat dikelola dab dimanfaatkan sebagai modal untuk keperluan
57
pembangunan, tanpa harus menunggu dana dari pemerintah yang relatif
lama dan sulit perolehannya.
Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk
mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai
permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju
dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal
dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah
tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan
pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek
ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut
hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu
kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan
perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal itu.
Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan kita
lakukan demi keadilan. Untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah-daerah
tertinggal, Pemerintah telah dan sedang mengambil langkah-langkah sebagai
berikut: Pertama, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengembangan
sosial ekonomi, terutama membuka akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal, dan
peningkatan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan; Kedua, pemutakhiran
data dan informasi mengenai daerah tertinggal; Ketiga, percepatan pembangunan
infrastruktur perdesaan; dan Keempat, percepatan pembangunan kawasan Produksi
Daerah tertinggal secara terintegrasi.
Indikator Kriteria Desa Tertinggal
Berdasarkan kajian awal teori-teori dan studi tentang pengembangan
wilayah perdesaan dan khususnya desa tertinggal, dapat disusun sejumlah
indikator yang dapat digunakan untuk menetapkan desa tertinggal, diantaranya
terdiri dari enam kelompok indikator, yaitu : (1) Faktor Geografis, (2) Kondisi
58
Sosial Ekonomi Masyarakat, (3) Sarana dan Prasarana Desa, (4) Sumberdaya
Ekonomi Desa, (5) tingkat kerawasan terhadap bencana, dan (6) tingkat
keswadayaan desa. Selengkapnya rincian dari enam indikator tersebut diuraikan
dalam tabel 1 berikut.
59
Tabel 4. Kriteria dan Indikator penentuan Desa tertinggal di Daerah
No.
Indikator
variabel
1
Faktor Geografi
(lokasi)
1. Letak
Tingkat kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas) desa
2. Aksesibilitas
3. karakter desa
2
Kondisi Sosial
Ekonomi
Masyarakat Desa
1. Tingkat
kesejahteraan
2. Tingkat
kesmikinan
3. Karakteristik
rumah dan
lingkungan
3. Tingkat
pendidikan
4. Struktur mata
pencaharian utama
3
5. Tingkat
kesehatan
Sarana dan
prasarana Desa
1. Pendidikan
2. Kesehatan
Jarak desa terhadap pusat kecamatan, pusat kabupaten,
dan pusat ekonomi terdekat
Waktu tempuh dari desaerhadap pusat kecamatan,
pusat kabupaten, dan pusat ekonomi terdekat
Kualitas jalan, baik jalan tanah, jalan batu (diperkeras),
jalan aspal
Jalan dapat dilalui kenaraan roda 4
Jalan desa dilewati angkutan kota / pedesaan
Jalan desa dilewati bus umum antar kota
Tipe atau kelas jalan : Jalan lokal, primer, sekunder,
arteri, dan sebagainya
Desa Rural (berciri desa)
Desa Urban (berciri kota / kelurahan)
Semakin tinggi jumlah atau prosentase penduduk
miskin (pra sejahtera) semakin potensi menjadi desa
tertinggal
Jumlah penduduk pra sejahtera dan sejahtera I (versi
BKKBN)
Jumlah penduduk miskin atau penelima BLT (Bantuan
langsung Tunai)
Jumlah rumah non / semi pernanen
Jenis lantai rumah
Jenis dinding rumah
Jenis atap rumah
Pengunaan listrik
Fasilitas buang air besar
Sumber air minum
Bahan bakar yang dipakai
Proporsi penduduk menurut tingkat pendidikan
(khususnya tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD)
Penduduk bermata pencaharian non pertanian, selain
dari petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani,
nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau
pekerjaan lainnya dengan pendapatan rendah
Kejadian muntaber
Kejadian busung lapar (kurang gizi)
TK (Negeri dan swasta)
SD/MI (Negeri dan swasta)
SMP/MTS(Negeri dan swasta)
SMA/SMK/MAN(Negeri dan swasta)
Kursus ketrampilan
Rumah sakit
Poliklinik
Puskesmas
Puskesmas pembantu
Puskesmas keliling
Bidan/Manteri
Praktek dokter
60
3. Ekonomi
4. Umum
4
Sumberdaya
ekonomi desa
5
Tingkat kerawanan
Bencana alam
6
Keswadayaan desa
Toko obat/apotik
Pasar non permanen
Pasar permanen
Pasar harian
Pasar non harian
Pasar hewan
Kompleks (kelompok) pertokoan
Restoran (Warung makan)
Koperasi
Bank pemerintah/swasta
Hotel/Penginapan
Penyewaan alat (perkawinan, kursi, tenda,dll)
Persewaan Video/VCD, dll
Wartel/telpon umum/warpostel
Kantor pos
Koran/surat kabar
Listrik penerang jalan
Pos polisi
Pos militer (koramil)
Luas /persentase sawah
Sumberdaya perkebunan (keberadaan lahan
perkebunan, perkebunan besar, misalnya karet, sawit,
tebu)
Sumberdaya ekonomi peternakan (jumlah ternak)
Sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah produksi ikan,
eksisten budidaya tambak)
Keberadaan industri pengolahan (industri menengah
dan besar/pabrik)
Keberadaan industri kecil dan rumah tangga
Sumberdaya pertambangan (keberadaan dan jumlah)
Keberadaan tempat atau objek wisata
Eksistensi sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah
produksi ikan)
Jenis kerawanan bencana (kejadian bencana)
Gempa
Banjir
Tanah longsor
Lahan kritis
Pencemaran lingkungan
Besar kecilnya swadaya masyarakat dalam
pembangunan, khususnya jika dibandingkan dengan
dana dari pemerintah
Aset desa
61
Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan
1. Pemenuhan Hak Dasar
Pemenuhan hak-hak dasar manusia terdiri dari penyediaan dan perluasan akses
pangan; layanan kesehatan; layanan pendidikan; peningkatan kesempatan kerja dan
berusaha; perluasan akses layanan perumahan; penyediaan air bersih dan aman, serta
sanitasi; perluasan akses tanah; perluasan akses sumberdaya alam dan lingkungan hidup;
peningkatan rasa aman; dan perluasan akses partisipasi.
1.1 Penyediaan dan Perluasan Akses Pangan
Hak atas pangan merupakan salah satu hak dasar umat manusia, dan dijamin
dlam ketentuan perundang-undangan. UU No.7 tahun 1996 tentang Perlindungan
Pangan menyebutkan bahwa pangan yang aman dan bermutu merupakan kebutuhan
dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Landasan
hukum tersebut didukung dengan berbagai kebijakan seperti halnya Keputusan Menteri
Keuangan No.368/KMK.01/1999 tentang penetapan tarif impor beras, Inpres No.9
tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, Kepres No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan. Lebih lanjut secara operasional penyelenggaraan dan perluasan akses pangan
bagi penduduk miskin diatur dalam Inpres No. 9 tahun 2002 yang kemudian direvisi
dengan Inpres No. 2 tahun 2005. Dalam Inpres tersebut disebutkan bahwa pemerintah
menjaminkan dalam penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok
masyarakat miskin dan rawan pangan.
1.2. Perluasan Akses Layanan Kesehatan
Arah kebijakan pembangunan kesehatan yang telah diluncurkan adalah mencapai
Indonesia sehat tahun 2010. Kebijakan tersebut didukung degnan pelaksanaan Instruksi
Presiden tentang Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes) untuk memperluas jangkauan
pelayanan kesehatan sejak tahun 1970an. Kebijakan tersebut berperan besar dalam
memperbaiki status kesehatan masyarakat.
Upaya pemerintah menciptakan pemerataan pelayanan kesehatan yang telah
dilaksanakan antara lain yaitu penyebaran tenaga kesehatan (PTT); kebijakan
pembebasan biaya kesehatan melalui “Kartu Sehat”; Program Jaring Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan (JPS-BK); PKPS-BBM Bidang Kesehatan Tahun 2003; dan beberapa
kebijakan lainnya yang diatur oleh Undang-undang.
62
Kebijakan program-program tersebut menghadapi kendala antara lain masih
terkonsentrasinya fasilitas layanan kesehatan di kota-kota besar sehingga menyulitkan
masyarakat miskin untuk mengaksesnya; subsidi pelayanan kesehatan yang tidak tepat
sasaran; dan masyarakat belum memperoleh jaminan mutu layanan kesehatan dan
kepastian perlindungan.
Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak dasar atas layanan
kesehatan adalah pusat pelayanan terpadu untuk kesehatan masyarakat termasuk
kesehatan reproduksi, dan pengembangan mekanisme jaminan kesehatan yang memadai
untuk melindungi masyarakat miskin dari goncangan akibat pengeluaran kesehatan.
Upaya ini sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional 2004, Kepmenkes 131 tahun 2004,
dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
1.3. Perluasan Akses Layanan Pendidikan
Pembangunan pendidikan sejak tahun 1980 an ditempuh melalui empat
kebijakan pokok, yaitu pemerataan untuk memperoleh kesempatan pendidikan,
peningkatan mutu pendidikan, efisiensi manajemen pendidikan dan peningkatan
relevansi pendidikan mulai dari anak usia dini sampai dengan orang lanjut usia.
Kebijakan pemerataan pendidikan dimaksudkan untuk memberikan akses
pendidikan yang sama bagi masyarakat. Kebijakan tersebut dituangkan dalam beberapa
program seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD Inpres, Program Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Program Makanan Tambahan untuk Anak
Sekolah (PMTAS). Selain itu peningkatan akses pendidikan juga dilakukan melalui
penyediaan beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin melalui program Jaring Pengaman
Sosial (JPS) Bidang Pendidikan dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM
(PKPS-BBM) dengan tujuan mencegah peningkatan angka putus sekolah sebagai
dampak negatif krisis ekonomi.
Pada umumnya, kebijakan pemerataan pendidikan memberikan hasil yang positif
terhadap pemerataan pendidikan. Akan tetapi kebijakan peningkatan mutu pendidikan
selama ini belum menjadi prioritas dibanding pemerataan pendidikan. Berbagai upaya
peningkatan mutu pendidikan seringkali kurang berhasil karena terhalang oleh
kurangnya jumlah guru yang bermutu, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dan
prasarana pendidikan yang tersedia. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa perhatian
dan dukungan terhadap pengembangan pendidikan masih belum memadai.
63
Langkah strategis suatu kebijakan diperlukan dengan suatu tindakan afirmatif
untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan secara bertahap sesuai tuntutan
konstitusi, meningkatkan kesejahteraan, mutu, dan profesionalisme guru, meningkatkan
ketersediaan mutu sarana prasarana pendidikan, memperluas peluang bagi anak dari
keluarga miskin untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang lebih tinggi.
1.4. Peningkatan Kesempatan Kerja dan Berusaha
Pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi masyarakat miskin ditentukan
oleh ketersediaan lapangan kerja yang dapat mereka akses, kemampuan untuk
mempertahankan dan mengembangkan usaha, dan perlindungan pekerja dari eksploitasi
dan ketidakpastian kerja. Pemenuhan terhadap hak atas pekerjaan tersebut secara
langsung
dan
tidak
langsung
dipengaruhi
oleh
kebijakan
ekonomi
makro,
pengembangan sektor riil, perdagangan, ketenagakerjaan, dan pengembangan koperasi,
usaha mikro dan kecil.
Kebijakan tersebut dituangkan dalam program revitalisasi industri yang
diluncurkan oleh Deperindag (2001-2004), White Paper yang diluncurkan oleh Menko
Perekonomian, dan Propenas (1999-2004). Selain itu pemerintah juga meluncurkan
program jangka pendek untuk menyerap tenaga kerja melalui proyek Pembangunan
Prasarana Perdesaan (P2D), dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), serta
program-program penguatan Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Koperasi melalui
program Bantuan Dana Bergulir.
Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk menjamin hak atas pekerjaan
adalah meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan
kerja dan
kesempatan untuk mengembangkan usaha melalui langkah terpadu untuk menciptakan
lapangan pekerjaan; peningatan investasi yang padat pekerja; pengembangan usaha dan
kerja di luar pertanian; peningkatan akses informasi, teknologi dan pasar;
mengembangkan kelembagaan yang mampu memperjuangkan akses masyarakat miskin
terhadap kesempatan kerja; dan kebijakan lainnya.
2. Pengendalian Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk
Kebijakan kependudukan diarahkan untuk mengendalikan laju pertumbuhan,
memeratakan persebaran dan meningkatkan mutu hidup penduduk. Kebijakan yang
dilaksanakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah program
64
keluarga berencana dan keluarga sejahtera. Sedangkan kebijakan yang dilaksanakan
untuk memeratakan persebaran penduduk adalah transmigrasi. Keberhasilan program
KB yang berhasil menekan angka fertilitas secara signifikan tidak diimbangi dengan
program transmigrasi. Di era otonomi daerah, kebijakan transmigrasi bukan lagi sebagai
pilihan yang tepat, tetapi upaya pemerataan persebaran penduduk masih perlu dilakukan
antara lain dengan memacu wilayah yang jarang penduduknya sehingga menarik
penduduk di wilayah yang lebih padat untuk bermigrasi.
Langkah strategis ke depan perlu adanya peningkatan komitmen pemerintah
daerah terhadap program KB, revitalisasi program KB dengan mengutamakan hak-hak
reproduksi perempuan, pengembangan layanan informasi dan konseling tentang
kesehatan reproduksi remaja yang dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan
seluruh pelaku, peningkatan subsidi kontrasepsi untuk Wanita Usia Subur dan kelompok
miskin.
1.3. Peningkatan Keadilan dan Kesetaran Gender
Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan
dalam UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C ayat 1. Landasan
hukum lain yang memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah UU No.
7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap perempuan; Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang
pengarusutamaan gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan; dan UU No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kendala yang dihadapi dalam peningkatan keadilan dan kesetaraan gender
disebabkan oleh beberapa hal yaitu lemahnya KUHP terhadap perlindungan perempuan
korban kekerasan seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi dan pornoaksi;
sementar itu UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang biasa gender masih berlaku terkait
dengan pasal 3 dimana memperbolehkan poligami dengan syarat ada ijin dari istri.
Poligami sebagai wujud konkrit dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga, dan ijin
isteri tidak meniadakan watak hegemonis dari sitem perkawinan seperti itu. Persyaratan
ijin seringkali diabaikan, atau diberikan oleh isteri dalam situasi tertekan.
Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7/1990 yang hanya mengakui tunjangan
untuk istri dan anak yagn mengakibatkan perbedaan upah pekerja laki-laki dan
perempuan. Psal 34 UU yang sama mengatakan bahwa laki-laki wajib memberikan
65
nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga. Pasal ini sangat bias gender
karena baik laki-laki maupun perempuan sangat terbebani oleh peran gender mereka.
UU No. 39 Tahun 1999 mengatur tentang pelarangan perdagangan perempuan.
Kenyataan menunjukkan bahwa perdagangan permepuan dari waktu ke waktu kian
meningkat. Oleh Karena itu, negara perlu mengambil peran yang lebih besar guna
melindungi perempuan dari akibat buruk.
Kebijakan yang perlu ditempuh adalah revisi undang-undang terbaru tentang
ketenagakerjaan agar lebih berorientasi penegakan hukum bagi perlindungan buruh
migrant, dan pencegahan terjadinya perdagangan perempuan. UU tersebut juga harus
dilaksanakan secara konsisten untuk memberantas perdagangan perempuan dan
melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, penipuan, dan memperhatikan
implikasi kesehatan dan sosial dari migrasi lintas batas.
1.4. Pengembangan Wilayah
Kebijakan pembangunan wilayah diorientasikan ke pembangunan wilayah
perdesaan dan perkotaan. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, kebijakan
pembangunan perdesaan yang telah dilaksanakan antara lain Program IDT (Inpres Desa
Tertinggal) yang kemudian diperluas dengan program seperti Program Pembangunan
Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Berbagai kebijakan tersebut belum cukup untuk memecahkan masalah kemiskinan,
disebabkan lemahnya koordinasi antarsektor, selain itu juga rancangan program bersifat
universal yang diterapkan di berbagai daerah dengan karakter yang berbeda. Masalah lain
adalah rendahnya kualitas SDM, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyrakat serta
terbatasnya alernatif lapangan kerja.
Sementara itu, program yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di perkotaan antara lain adalah program perbaikan kampung atau Kampung
Improvement Program (KIP) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2K). Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program tersebut adalah
terbatasnya lokasi dan cakupan program terhadap seluruh lapisan masyarakat miskin,
kurangnya partisipasi masyrakat, dan terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap
sarana dan prasarana yang telah disediakan.
Strategi yang dilakukan untuk mempercepat pembangunan perdesaan antara lain
melalui pengembangan agroindustri perdesaan, peningkatan nilai tambah produk melalui
66
penanganan pasca panen, penguatan kelembagaan petani untuk meningkatakan posisi
tawar dan mengurangi biaya transaksi, peningkatan akses meliputi: pengembangan kredit
mikro petani dan akses sumberdaya produktif.
Sedangkan strategi yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan perkotaan antara
lain penjaminan ruang berusaha bagi masyarakat miskin dalam sektor formal dan
informal, penyediaan permukiman yagn layak dan sehat, penjaminan pelayanan publik
dalam
administrasi
kependudukan,
pendidikan,
kesehatan,
dan
air
bersih,
pengembangan forum lintas penduduk dan penguatan peran masyarakat miskin dalam
pengambilan keputusan pembangunan kelurahan.
67
Tabel 1. Contoh Agenda Program Penanggulangan Kemiskinan Daerah
NO.
KEGIATAN
SASARAN
1.
Pemberdayaan Masyarakat
 Perbaikan perumahan dan pemukiman
wilayah pedesaan
 Pengadaan rumah sewa yang sehat
untuk
masyarakat
berpenghasilan
rendah
 Sosialisasi tata ruang dan tata guna
tanah pada masyarakat
 Peningkatan
sarana
prasarana
penunjang ekonomi masyarakat
 Perluasan
jangkauan
pelayanan
kesehatan
 Rumah penduduk yang tidak layak
huni
 Masyarakat yang berpenghasilan tidak
tetap
 Lahan / ruang yang belum
mempunyai sertifikat
 Prasarana jalan ke sentra-sentra
produksi
 Daerah-daerah terpencil
 Semua desa kantong kemiskinan
2.
Perluasan Kesempatan Kerja
 Pengadaan alat tangkap untuk nelayan
 Pengadaan mesin Vacuum Praying
untuk kelompok wanita tani
 Bantuan alat kerajinan rumah tangga
 Peningkatan latihan kerja bagi pencari
kerja.
 Pelatihan keterampilan untuk kelompok
penduduk miskin yang produktif
 Penyuluhan pola hidup sehat
 Pemanfaatan lahan tidur potensial
3.
4.
Pelibatan Masyarakat
 Program P2W-KSS
 Rehabilitasi jaringan irigasi (paket padat
karya)
 Penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis
Perlindungan Sosial
 Penanggulangan bencana alam banjir
(normalisasi sungai)
 Perbaikan struktur alur sungai
 Pemeliharaan jaringan irigasi
 Pembangunan daerah irigasi
 Pembuatan cek dam
 Perkuatan tebing sungai
 Perbaikan lingkungan perumahan
 Pembangunan jaringan air bersih
 Masyarakat miskin pada wilayah
pesisir pantai
 Kelompok yang memiliki produksi
yang dapat diberi nilai tambah
 Kelompok wanita produktif
 Pengangguran dan pencari kerja
 Pengangguran
 Pencari kerja
 Daerah terpencil
 Semua kecamatan
 Semua kecamatan
 Wanita dan remaja
 Pengangguran
 Mencegah bencana alam
 Sungai-sungai yang rawan bencana
banjir
 Sungai-sungai yang rawan bencana
banjir
 Peningkatan produksi pertanian
 Peningkatan produksi pertanian
 Pengamanan sungai
 Pengamanan sungai
 Lingkungan dan perumahan Gakin
 Wilayah yg belum terjangkau
pelayanan PDAM
68
5.
6.
Pembangunan infrastruktur penunjang
produktifitas :
 Pembangunan jalan akses
 Pemeliharaan jalan akses
 Peningkatan jalan akses
 Pembangunan jembatan
 Pembangunan pasar tradisional
 Pembangunan jaringan irigasi
 pembangunan
saluran
pembuangan/riol
Pembangunan fasilitas
kesehatan :
 Pembangunan Pustu
 Peningkatan Pustu





7.
Pengadaan Puskesmas keliling
pengadaan obat-obatan
Pembangunan MCK
Penyuluhan kesehatan
Peningkatan dan penempatan tenaga
medis di wilayah terpencil
Peningkatan
pendidikan
dan
keterampilan:
 Pembangunan USB (SD, SMP)
 Pendirian sekolah kecil/terpencil (SD,
SMP)
 Pengangkatan guru daerah terpencil
(TK, SD, SMP)
 Pemberian beasiswa
 Pembebasan biaya pendidikan
 Pemberian bantuan alat belajar
mengajar
 Perbaikan sarana dan prasaran
pendidikan
 Pelatihan keterampilan bagi pemuda
produktif







Kepusat pemukiman dan produksi
Kepusat pemukiman dan produksi
Kepusat pemukiman dan produksi
Kepusat pemukiman dan produksi
Sentra-sentra produksi
Areal pertanian rakyat miskin
Pemukiman
 Pemukiman baru KK miskin
 Pemukiman KK miskin dalam skala
besar
 Pelayanan KK miskin
 Pelayanan KK miskin
 Pemukiman KK miskin
 Keluarga miskin daerah terpencilan
dan perkotaan
 Meningkatkan pelayaan kesehatan
 Sentra pemukiman KK miskin
 Sentra pemukiman KK miskin
 Sekolah-sekolah pemukiman di KK
miskin
 Siswa berprestasi KK miskin
 Siswa dari KK miskin
 Sekolah-sekolah dipemukiman kk
Miskin
 Sekolah-sekolah dipemukiman kk
Miskin
 Angkatan kerja dari kk miskin
69
CONTOH PAPER HASIL PENELITIAN
PENYUSUNAN INDIKATOR HASIL PEMBANGUNAN
DI KAWASAN DAV DAN NON DAV, PROYEK BP INDONESIA,
KABUPATEN TELUK BINTUNI, PAPUA
A. Pendahuluan
Indikator pembangunan adalah sesuatu yang dapat memberikan gambaran
atau petunjuk tentang kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya baik yang telah,
sedang maupun yang akan dilakukan. Indikator pembangunan merupakan
ringkasan atau rangkuman dari serangkaian data statistik sosial, ekonomi, politik,
budaya dan aspek lokalitas spesifik suatu wilayah. Dalam penyusunannya,
indikator dibuat dengan cara indexing dan scaling. Menurut Morris (1979),
penyusunan indikator harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan.
2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik.
3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input).
4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan
5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami
6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan berbagai turunannya saat ini
sedang popular di Indonesia sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan. IPM
adalah indikator perbaikan dari Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Indeks
Mutu Hidup (IMH) yang diperkenalkan akhir dasawarsa 1970-an.
PQLI
dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana hasil
pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi
peningkatan
kualitas
fisik
kehidupan.
Pada
awal
tahun
1990
UNDP
mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya untuk memperbaiki IMH yang
dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha untuk
mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan
telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan kebutuhan fisik
70
dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk melakukan pilihanpilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini tercermin pada usia
harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih berpendidikan dan mampu
memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang
dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan hidup, pendidikan, dan
pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat
setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi satu indeks dengan memberikan
bobot nilai yang sama.
Seirama dengan penilaian hasil-hasil pembangunan di Kawasan Teluk Bintuni,
tulisan ini bermaksud menyajikan indeks kesejahteraan, yaitu suatu indeks dengan
komponen seperti yang ada pada IPM. Perlu disadari bahwa nilai/indeks yang ada
terbentur pada deprivasi maksimum dan minimum karena data tersebut tidak ada
pada tingkat lokal di Kawasan Teluk Bintuni. Angka-angka penyusun indeks saat
ini tersedia pada tingkat nasional dan internasional yang tentu saja kurang relevan
untuk tingkat lokal. Untuk itu, dalam penyusunan indeks kesejahteraan dilakukan
dengan berbagai penyesuaian.
Secara
operasional
penyusunan
indeks
kesejahteraan lingkup kampung dapat dilakukan karena telah tersedia data hasil
sensus tahun 2007. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah ketelitian memilih
variabel lokalitas untuk kampung yang diharapkan menggambarkan keberhasilan
pembangunan penduduk setempat.
B. Tinjauan Teoritis Indikator Pembangunan Manusia
Secara umum kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan
kehidupan masyarakat dan warganya. Istilah kemajuan seringkali diartikan
sebagai kemajuan material, utamanya bidang ekonomi. Pada kenyataannya,
kemajuan non ekonomi tidak kalah penting dibandingkan dengan bidang
ekonomi. Kemajuan suatu masyarakat semestinya diukur minimal dalam dua
aspek yaitu bidang ekonomi dan non ekonomi. Beberapa indikator pembangunan
manusia yang pernah digunakan di Indonesia antara lain sebagai berikut:
71
B.1 Indikator Komposit Obyektif
1. Kekayaan Rata-rata
Suatu masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan apabila
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Hal ini dilihat melalui produktivitas
masyarakat/produktivitas negara untuk setiap tahun. Indikator utama yang
digunakan adalah Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik
Bruto (PDB). Kesejahteraan selanjutnya ditentukan dengan PNB atau PDB
per kapita.
2. Pemerataan
Fakta menunjukkan diberbagai negara/daerah dengan PDB per kapita
tinggi tetapi hanya sebagian kecil penduduknya yang memiliki kekayaan
berlimpah, sementara sebagian besar penduduk justru hidup dalam
kemiskinan. Terlihat sepintas tingginya PNB/PDB per kapita akan dapat
menutupi adanya kemiskinan dan kelaparan. Tentu saja hal ini sangat
dilematis. Untuk itu, penting dimasukkan aspek pemerataan dalam ukuran
pembangunan. Beberapa cara mengukur pemerataan antara lain: persen dari
PNB/PDB yang diperoleh 40 persen penduduk termiskin, berapa persen
oleh 40 persen penduduk golongan menengah dan berapa persen oleh 20
persen penduduk terkaya. Ketimpangan yang ada dianggap mencolok
apabila 40 persen penduduk termiskin menerima kurang dari 12 persen.
Ketimpangan sedang , kalau 40 persen
penduduk termiskin menerima
antara 12-17 persen dan ketimpangan kecil/rendah bilamana golongan ini
menerima lebih dari 17 persen. Cara lain yang banyak digunakan dalam
mengukur pemerataan adalah indeks Gini. Indeks ini berkisar antara nilai 0
(nol) berarti tidak ada ketimpangan sampai 1 (satu) berarti ketimpangan
maksimal. Semakin kecil nilai indeks semakin kecil ketimpangan pembagian
pendapatan. Secara umum dikatakan apabila Indeks Gini lebih besar atau
sama dengan 0,5 dianggap sebagai kesenjangan pemerataan yang tinggi.
Kesenjangan sedang dicerminkan dengan indeks Gini antara 0,35-0,49 dan
ketimpangan pemerataan yang kecil bila Indeks Gini kurang dari 0,35.
72
3. Kualitas Hidup (PQLI)
Indeks Mutu Hidup (IMH) atau Physical Quality of Life Index (PQLI)
diperkenalkan oleh Morris (1977) untuk mengukur pemenuhan kebutuhan
pokok (Basic Need) melalui tiga (3) indikator yakni: (1) rata-rata harapan
hidup setelah usia satu tahun (2) angka kematian bayi (Infant Mortality Rate),
dan (3) persentase melek huruf dewasa dengan implikasi sebagai berikut:
(a) Angka kematian bayi – berdasarkan jarak 229 (untuk indeks 0 (nol)
sampai dengan 7 (untuk indeks 100) kematian per seribu kelahiran
hidup. Setiap 2,22 angka perubahan dalam IMR, hasilnya adalah satu
angka perubahan dalam indeks.
(b) Indeks Usia Harapan Hidup sejak usia setahun didasarkan pada jarak
30 (untuk indels 0 (nol) sampai 77 (untuk indeks 100). Setiap 0,39
tahun perubahan dalam usia harapan hidup hasilnya adalah satu
angka perubahan dalam indeks.
(c) Indeks melek huruf – mengasumsikan penduduk dewasa (15+) –
setiap satu persen angka perubahan dalam melek huruf hasilnya
adalah satu angka perubahan dalam indeks.
 e  39   229  IMR 
PQLI   1

  % Literasi / 3
 0,39   2,22 
e10 
e0  1  q0 (1  K 0 )
1  q0
q = IMR
K = rata-rata periode kelangsungan hidup (0-2 tahun) selama tahun
pertama
eo = Usia harapan hidup saat kelahiran
e1 = Usia harapan hidup pada umur satu tahun
4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks
Pembangunan
Manusia
Bertujuan
mengukur
pencapaian
keseluruhan hasil pembangunan dari suatu Negara dalam tiga dimensi dasar
73
pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development
Index (HDI) diperkenalkan oleh UNDP pada awal 1990 dalam upaya untuk
mengukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia karena parameter
sebelumnya dianggap sudah kurang memadahi lagi sehingga diperlukan indeks
yang baru. Meskipun demikian IPM ini juga telah mendapatkan banyak kritik
(terutama dalam pemilihan variabel, deprivasi nilai maksimal dan minimal serta
penyesuaian kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity/PPP).
Variabel yang digunakan dalam penyusunan IPM adalah:
(a). Hidup lebih lama dan sehat diukur melalui usia harapan hidup saat dilahirkan,
semakin tinggi usia harapan hidup diasumsikan semakin baik kehidupan
masyarakat, dan tidak sakit-sakitan.
(b). Berpengetahuan, diukur melalui persentase melek huruf dewasa (15 +) dan
rata-rata tahun sekolah (Mean Years of Schooling).
(c). Pendapatan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar (Basic
needs).
IPM= 1/3 (Indeks X1, Indeks X2 dan Indeks X3)
Dimana
: X1, X2 dan X3 adalah usia harapan hidup, tingkat pendidikan
dan tingkat kehidupan yang layak.
Indeks pendidikan = (2/3)Melek Huruf + (1/3)MYS.
Nilai IPM dihitung berdasarkan nilai Maksimum dan Minimum yang ditentukan
sebelumnya seperti sebagai berikut
Variabel IPM
Nilai Max
Nilai Min
Sumber
(a) Usia harapan hidup
85
25
UNDP
(b) Melek Huruf
100
0
UNDP
15
0
UNDP
737.720
300.000 (1996)
UNDP
Rata-rata sekolah
(c) Daya beli (Rp)
360.000 (1999)
5. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)
Ditujukan untuk mengukur sebaran suatu kemajuan dan ketertinggalan yang
masih ada. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI)
merupakan gabungan dari beberapa variable kemiskinan yang dianggap
74
menunjukkan keterbelakangan/deprivasi manusia. Indikator penduduk/manusia
miskin diukur melalui tiga hal yakni:
(a) Peluang penduduk untuk tidak dapat bertahan hidup sampai usia 40 tahun
(P1). Penduduk miskin diasumsikan usia harapan hidupnya pendek.
(b) Peluang tidak dapat membaca dan menulis diukur melalui persentase buta
huruf dewasa (P2)
(c) Keterbatasan/ketidakmampuan terhadap layanan dasar
(P3) diukur
dengan:
P31 : persentase penduduk/rumah tangga tidak mampu mengakses
terhadap air bersih
P32 : persentase penduduk/rumah tangga tidak memiliki akses ke sarana
kesehatan modern
P33 : persentase penduduk Balita dengan status gizi buruk/malnutrisi
1

IKM   ( P13  P23  P33 
3

1/ 3
1
P3  ( P31  P32  P33 )
3
6. Indeks Pembangunan Jender (IPJ)
Ditujukan untuk mengukur ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan
perempuan dalam pembangunan. Indeks Pembangunan yang terkait dengan
jender (IPJ) atau Gender Related Development Index (GDI) lebih ditujukan untuk
menggambarkan ada tidaknya ketimpangan jender. Semakin besar ketimpangan
jender dalam pembangunan manusia, semakin rendah IPJ. Variabel yang
digunakan dalam pengukuran ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan
adalah:
(a) Proporsi penduduk (laki-laki dan perempuan)
(b) Usia harapan hidup (laki-laki dan perempuan)
(c) Persentase melek huruf (laki-laki – perempuan)
(d) Rata-rata lama sekolah (laki-laki – Perempuan)
75
(e) Penduduk Aktif secara ekonomi (laki-laki – perempuan)
(f) Upah non pertanian (laki-laki – perempuan)
IPJ merupakan gabungan dari berbagai indeks yang dihitung dari ke enam
variabel tersebut. Dari variabel tersebut kemudian dihitung indeks usia harapan
hidup, indeks melek huruf, indeks lama sekolah, indeks pendidikan, indeks
distribusi pendapatan non pertanian, rasio upah dan sumbangan pendapatan.
Rumus untuk menghitung IPJ adalah sebagai berikut.
IPJ 

1
X ede(1)  X ede( 2 )  I inc dis
3

7. Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ)
Gender Empowerment Measure (GEM) bertujuan untuk menggambarkan
peran perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Bidang
yang ingin dilihat adalah partisipasi perempuan di
bidang pengambilan
keputusan politik yang diukur dengan keanggotaan DPR dan DPRD (legislatif). Di
bidang ekonomi diukur seberapa banyak perempuan yang bekerja sebagai
pegawai
senior,
manajer,
supervisor,
professional
dan
teknisi.
Indeks
pemberdayaan perempuan dapat dihitung dengan cara:
IDJ 

1
I par  I dm  I inc dist
3
Perlu disadari bahwa ketujuh

indikator komposit objektif tersebut banyak
digunakan pada skala internasional. Banyak pula digunakan pada tingkatan
regional (provinsi) maupun lokal (kabupaten/kota). Permasalahan yang dihadapi
pada National Human Development Report (NHDR) 2001 dan 2004 adalah deprivasi
nilai maksimal dan minimal dari setiap variabel yang digunakan dalam
penyusunan indeks. Sejalan dengan hal tersebut, maka PQLI, HDI, GDI, GEM
belum dapat disusun untuk tingkat kecamatan dan desa. Semestinya HPI dapat
digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia berperspektif
kemiskinan. Indikator komposit subjektif dapat mengisi kekosongan indikator
pembangunan manusia pada tingkat pemerintahan di bawah kabupaten, yakni
76
kecamatan dan desa, dan dimungkinkan untuk dusun apabila data/variabel
subjektivitas telah tersedia.
B.2 Indikator Komposit Subjektif
Indikator subyektif adalah indikator keberhasilan pembangunan yang
diperoleh dari hasil wawancara dan/atau diskusi pada rumah tangga sasaran.
Disebut subyektif karena ada kemungkinan unsur subyektivitas jawaban
responden. Indikator ini dapat berupa indikator tunggal, yaitu menggunakan satu
aspek/variabel saja atau menggunakan indikator komposit beberapa variabel.
Dalam praktiknya, indikator tunggal jarang digunakan dengan alasan kesulitan
memilih satu dari beberapa variabel yang menggambarkan hasil pembangunan
sumber daya manusia. Itulah makanya, indikator tunggal subjektif jarang
digunakan.
Indikator komposit subjektif merupakan gabungan dari beberapa indikator
tunggal subjektif yang variabelnya dikumpulkan dengan wawancara, diskusi,
rembug desa, diskusi topik khusus maupun bentuk lainnya dengan melibatkan
sebagian dan/atau seluruh masyarakat. Indeks disusun berdasarkan jawaban
responden terhadap pertanyaan dan/atau pernyataan yang telah diseleski untuk
menyusun indeks. Jawaban dari pertanyaan dan/atau pernyataan dapat berupa
jawaban ya/tidak, setuju/tidak sejutu, ada/tidak ada, pernah/tidak pernah, dan
variasi lainnya. Jawaban ya diberi nilai 1, sedangkan tidak nilai 0 tergantung
pertanyaan yang diajukan pada sasaran penelitian. Tipe pertanyaan tertutup yang
digunakan harus sejenis dan mempunyai aspek yang saling mendukung atau
menjelaskan dan tidak saling bertentangan, antara varibel satu dengan lainnya.
Dalam indikator komposit subjektif variasi jawaban dikotomi ya/tidak,
setuju/tidak setuju relatif jarang digunakan. Ini disebabkan oleh tidak banyaknya
gradasi/tingkatan jawaban sehingga dirasakan kehilangan informasi. Misalnya
jawaban setuju dan tidak setuju dapat digradasikan ke dalam sangat setuju, setuju,
agak setuju, sama saja, tidak setuju, agak tidak setuju, sangat tidak setuju atau
variasi lainnya. Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional 1982
77
dan 1986 pernah mengumpulkan data tentang pendapat/persepsi masyarakat
tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat saat pendataan dilakukan
dibandingkan
dengan
tiga
tahun
sebelumnya
dengan
menggunakan
20
pertanyaan. (a) Pertanyaan 1, 2, 3, 4, dan 5 digunakan untuk menyusun indeks
kesejahteraan dasar. (b) Pertanyaan 6, 7, 8, dan 9 digunakan untuk mengukur
indkes kesehatan masyarakat. (c) Pertanyaan 10, 11, dan 12 untuk mengukur
indeks pendidikan. (d) Pertanyaan 13, 14, dan 15 untuk mengukur rasa aman dan
persatuan. (e) Pertanyaan 16, 17, dan 18 digunakan untuk mengukur indeks
transaportasi dan komunikasi. (f) Pertanyaan 19 dan 20 digunakan untuk
mengukur kesempatan kerja dan kesehatan jasmani.
Sejak 1996 secara berkesinambungan, BPS melalui Survei Sosial Ekonomi
Nasional Modul dilakukan setiap tiga tahun mengumpulkan data kesejahteraan
masyarakat dengan beberapa penyempurnaan terhadap susunan variabel yang
digunakan sebelumnya. Dengan menggunakan 23 pertanyaan, skala jawaban dari
sangat setuju sampai sangat tidak setuju, disediakan untuk pengguna data untuk
mengukur indeks/indikator perkembangan kesejahteraan secara umum. Secara
rinci bagi yang tertarik dapat membaca publikasi BPS tentang Statistik
Kesejahteraan Rakyat dan Indikator Kesejahteraan Rakyat yang terbit setiap tahun.
Kelemahan yang cukup mendasar dari data tersebut adalah utilitas pada analisis
wilayah provinsi, sedangkan analisis kabupaten/kota, apalagi kecamatan tidak
dapat dilakukan karena sangat kecil jumlah sampel yang ada.
78
C. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif di DAVs dan Non DAVs
Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif dilakukan berdasarkan konsep IPM
dengan data dasar hasil sensus 2007 (lihat Tabel 1). Dimensi yang digunakan untuk
menghitung indeks kesejahteraan adalah sebagai berikut.
1. Dimensi ekonomi, terdiri dari variabel pendapatan perkapita
2. Dimensi pendidikan, terdiri dari dua variabel yaitu
a. Tingkat melek huruf (baca dan tulis)
b. Rata-rata tahun sukses (Mean Years of Schooling)
3. Dimensi kesehatan, terdiri dari dua variabel yaitu
a. Tingkat morbiditas
b. Angka kematian balita
Langkah langkah penyusunan indeks adalah sebagai berikut
1. Menentukan variabel penyusun indeks sesuai dengan standar IPM
2. Kesenjangan distribusi pendapatan dilakukan dengan cara membuat
logaritma untuk pendapatan perkapita
3. Asumsi deprivasi maksimum dan minimum berdasarkan angka di Provinsi
Papua (Data tersaji di National Human Development Report 2004
dipublikasikan kerjasama BPS, BAPPENAS, dan UNDP, 2004). Berdasarkan
hal itu maka diperoleh angka angka dasar sebagai berikut.
Indeks
Maksimum Minimum
Mean Years of Schooling
10.4000
2.2
(tahun)
98
30
Litteracy (%)
Pendapatan perkapita
5.9550
5.422
(log)
0.4816
0.021
Kesehatan
4. Menyusun Indeks Ekonomi, Indeks Kesehatan dan Indeks Kesehatan (lihat
Tabel 2)
5. Menyusun Indeks Kesejahteraan
6. Hasil Indeks Kesejahteraan Obyektif ,
a. Total Indeks Kesejahteraan DAVs = 53,36
b. Total Indeks Kesejahteraan Non DAVs = 43,55
c. Rata-rata indeks untuk seluruh kampung adalah = 48,69
79
Tabel 1. Data Dasar Penyusunan Indeks Kesejahteraan
Kemampuan Baca
Tulis
No
Nama Kampung
Baca
Tulis
Partisipasi
Sekolah
Pendapatan
Per Kapita
(Rp)
Tingkat
Morbiditas
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Weriagar
Mogotira
Tomu
Ekam
Taroi
Onar
Tanah Merah
Saengga
Tofoi
Toweri
Tomage
Idoor
Atibo
Mogoi
Wagura
Rejosari
Barma
0.70
0.70
0.60
0.70
0.70
0.80
0.80
0.90
0.90
0.70
0.80
0.80
0.50
0.70
0.70
0.70
0.80
0.70
0.70
0.60
0.60
0.70
0.80
0.90
0.90
0.90
0.80
0.80
0.80
0.60
0.70
0.80
0.70
0.80
0.90
0.80
0.70
0.70
0.80
0.90
0.90
0.90
0.90
0.80
0.90
0.90
0.70
0.80
0.80
0.70
0.80
353,100
399,500
362,800
358,500
812,700
545,400
612,600
840,500
467,100
900,900
457,200
369,500
330,300
537,300
388,400
497,100
680,400
0.18
0.28
0.21
0.18
0.48
0.21
0.14
0.18
0.22
0.30
0.12
0.25
0.17
0.18
0.17
0.18
0.21
18
19
20
21
Jahabra
Meristem
Riendo
Irarutu 3
0.30
0.50
0.40
0.90
0.20
0.50
0.40
0.90
0.40
0.60
0.50
0.90
283,300
659,400
441,700
803,100
0.05
0.17
0.28
0.17
Partisipasi
Perempuan
dalam
Kegiatan
Profesional
0.07
0.02
0.00
0.00
0.00
0.00
0.08
0.28
0.26
0.00
0.00
0.32
0.27
0.00
0.20
0.30
0.25
(tidak ada
kasus)
0.00
0.00
0.28
Partisipasi
Pendapatan
Perempuan
dalam Rumah
Tangga
Rata-Rata
Tahun
Sukses
Tingkat
Mortalitas
Balita
0.13
0.12
0.16
0.08
0.12
0.09
0.11
0.09
0.23
0.07
0.04
0.18
0.18
0.26
0.06
0.18
0.11
6
6
5
6
6
6
7
7
7
6
5
7
6
7
5
8
7
0.09
0.02
0.09
0.04
0.06
0.13
0.11
0.04
0.54
0.11
0.08
0.13
0.04
0.06
0.11
0.03
0.09
0.06
0.13
0.08
0.16
5
4
4
8
0.07
0.00
0.11
0.04
80
81
Tabel 2. Penghitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Kampung
Weriagar
Mogotira
Tomu
Ekam
Taroi
Onar
Tanah Merah
Saengga
Tofoi
Toweri
Tomage
Idoor
Atibo
Mogoi
Wagura
Rejosari
Barma
Jahabra
Meristem
Riendo
Irarutu 3
Indeks
Ekonomi
23.6206
33.6804
25.8288
24.8573
91.5441
59.0460
68.5135
94.2848
46.4184
99.9393
44.6728
27.3198
18.1817
57.8268
31.3845
51.4904
77.0665
5.6748
74.5120
41.8626
90.5759
Indeks
Pendidikan
53.68723
55.02869
41.85079
53.24008
53.15878
63.93831
68.57245
78.37637
78.57963
53.72788
60.03587
67.67814
35.21760
58.68723
50.51650
61.85796
67.43424
11.05691
26.43711
18.70636
81.58776
Indeks
Kesehatan
33.6863
55.2678
41.9941
33.8443
99.3697
40.0320
25.6038
33.8104
42.9252
60.4919
21.3845
50.0921
32.8732
34.4890
31.8210
34.5090
39.9479
6.8675
32.7562
56.1487
31.9032
Indeks
Kesejahteraan
36.99803
47.99230
36.55789
37.31387
81.35753
54.33875
54.22993
68.82383
55.97439
71.38635
42.03106
48.36334
28.75749
50.33433
37.90733
49.28579
61.48287
7.86639
44.56843
38.90587
68.02230
82
D. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs dan Non DAVs
Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif baik di DAVs maupun Non DAVs
dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari 23 variabel. Langkah perhitungannya
adalah sebagai berikut.
1. Membuat tabel distribusi jawaban responden terkait persepsi saat ini
dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu.
2. Menjumlahkan distribusi jawaban menurut 23 variabel yang ditanyakan
3. Mengalikan jumlah distribusi jawaban tersebut dengan nilai tiap-tiap jawaban.
Dalam hal ini nilai jawaban bervariasi sebagai berikut.
a. Jawaban lebih buruk bernilai 1
b. Jawaban sama buruk bernilai 2
c. Jawaban sama baik bernilai 3
d. Jawaban lebih baik bernilai 4
4. Menghitung indeks kesejahteraan subyektif dengan cara membagi jumlah total
jawaban yang telah dikalikan dengan nilai dengan jumlah total jawaban.
5. Pembacaan indeks adalah sebagai berikut.
a. Nilai indeks mendekati angka 1 berarti kesejahteraan saat ini lebih
buruk dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu
b. Nilai indeks lebih dari 1 atau mendekati angka 2 berarti kesejahteraan
saat ini sama buruk dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu
c. Nilai indeks lebih dari 2 dan mendekati angka 3 berarti kesejahteraan
saat ini sama baik dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu
d. Nilai indeks lebih dari 3 atau mendekati angka 4 berarti kesejahteraan
saat ini lebih baik dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu
6. Kesejahteraan subyektif secara total adalah sebagai berikut.
a.
b.
c.
Total Indeks Kesejahteraan Subyektif DAVs = 3,193
Total Indeks Kesejahteraan Subyektif Non DAVs = 3,154
Total Indeks Kesejahteraan Subyektif untuk semua desa = 3,173
83
D. Closing Remarks
1. Secara keseluruhan terkait dengan kesejahteraan penduduk di DAVs semakin
baik dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Kesejahteraan
Manusia baik yang bersifat obyektif maupun subyektif
2. Berdasarkan perhitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif terlihat bahwa
standar kehidupan penduduk di DAVs cenderung lebih baik daripada
penduduk di Non-DAVS. Hal ini juga berlaku untuk standar kehidupan secara
subyektif. Total nilai untuk Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs sedikit
lebih tinggi daripada di Non-DAVs.
3. Sekitar 55 persen desa-desa di DAVs mempunyai tingkat indeks kesejahteraan
lebih tinggi dari angka rata-rata, untuk indicator yang sama hanya 40 persen di
Non DAVs
4. Standar hidup masyarakat di beberapa desa seperti Taroi, Otoweri, Saengga,
Irarutu 3, Barma, and Saengga adalah tinggi.
5. Berikut ini adalah daftar nama desa yang mempunyai standar hidup rendah
yaitu Atibo, Jahabra, Weriagar, Tomu, dan Ekam
6. Sebagian besar penduduk menyatakan bahwa kondisi kehidupan saat ini lebih
baik dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu
84
POWERPOINT PENUNJANG
KULIAH
85
Download