Kata Pengantar Bismillah, Alhamdulillah puji syukur hanya untuk Alloh Azza Wa Jalla atas limpahan rahmat dan ridho-Nya. Salam dan sholawat semoga tercurah kepada panutan Rosululloh Muhammad shollallohu ’alaihi wa sallam. Modul ini adalah buah dari sebuah karya kecil atas ijin Alloh dengan tujuan untuk menjadi salah satu sumber informasi kepada mahasiswa di Fakultas Geografi yang menempuh mata kuliah migrasi internasional. Perkuliahan Manajemen Sumber Daya Manusia ditawarkan kepada mahasiswa yang ingin memperdalam beberapa aspek terkait isu sumber daya manusia seperti konseptualisasi sumber daya manusia, dimensi sumber daya manusia, indikator pengukur kualitas sumber daya manusia, Human Development Index (HDI), GDI, HPI, GEM, Kemiskinan, dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Telah sama-sama dipahami bahwa visi Universitas Gadjah Mada adalah menjadi research university, yaitu universitas yang berkelas dunia dengan didasari oleh berbagai kegiatan penelitian ilmiah. Demi mewujudkan kualitas lulusan yang handal, telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari teaching center (TCL) menjadi student center learning (SCL). Perubahan paradigma tersebut tidaklah dapat menuai harapan jika tidak diikuti dengan perubahan proses pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah materi kuliah. Adalah suatu kemestian adanya perubahan baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Untuk itulah, modul kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang berisi rangkaian program kegiatan pembelajaran ini disusun. Secara teknis modul ini memuat satuan acara perkuliahan berikut metode yang digunakan. Banyak hal yang belum tercakup di modul kecil ini. Kompleksitas permasalahan kehidupan manusia memungkinkan berbagai data dan isu sumber daya manusia berkembang begitu cepat. Penulis mohon maaf jika banyak isu menarik dan kontemporer belum tercakup di sini. Kritik dan saran demi perbaikan modul berikutnya sangatlah kami nantikan. Semoga modul ini bermanfaat bagi pembaca. Yogyakarta, November 2006 Penyusun Agus Joko Pitoyo 1 DAFTAR ISI Halaman 1. RPKPS Manajemen Sumber Daya Manusia ............................................. 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perencanaan Pembelajaran ....................................................................... 2 1.3 Jadwal Kegiatan Mingguan ...................................................................... 3 1.4 Operasionalisasi Kegiatan Mingguan ..................................................... 1.5 Daftar Acuan Pustaka .............................................................................. 2. Paper Pendukung ............................................................................................. 2.1 Sumber Daya Manusia ............................................................................... 2.2 Kemiskinan .................................................................................................. 2.3 Pengukuran Kualitas Sumber Daya Manusia ........................................ 3. Powerpoint Pendukung Kuliah .................................................................... 2 OPTIMALISASI KULIAH MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS STUDENT CENTER LEARNING FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2006 3 1.1 LATAR BELAKANG Seirama dengan visi universitas untuk menjadi research university dan upaya perwujudan kompetensi universitas, terutama dalam hal pencapaian kualitas lulusan yang handal, adanya perubahan mendasar tentang paradigma pendidikan dari teaching center menjadi student center learning adalah suatu kemestian yang tak dapat ditunda-tunda lagi. Hal ini sudah tentu mengharuskan perbaikan proses pembelajaran, baik dalam hal substansi bahan ajar maupun metode yang diterapkan. Langkah konkrit yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada adalah pembuatan modul bahan ajar seperti Rencana Program dan Kegiatan Pembelajaran Semester (RPKPS) dalam setiap mata kuliah. Perlu disampaikan bahwa (RPKPS) adalah penyempurnaan dari Garis Besar Pokok Pembelajaran (GBPP) dan/atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang sebelumnya telah ada. Model pembelajaran yang berbasis pada mahasiswa melalui RPKPS diharapkan mampu menjadi solusi terbaik dalam upaya perbaikan kegiatan belajar pada mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia yang selama ini tidak berjalan secara optimal. Telah dipahami oleh terutama Mahasiswa Jurusan Geografi dan Ilmu Lingkungan bahwa mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia adalah mata kuliah lanjutan sebagai penentu kompetensi ilmiah kemampuan analisis sumber daya manusia. Angin segar tentang suasana kuliah yang kondusif, kegairahan dalam proses pembelajaran dan peningkatan kreativitas dan kesungguhan mahasiswa nampaknya dapat menjadi kenyataan jika pilar-pilar dari Student Center Learning diaplikasikan melalui metode yang tepat, seperti small group discussion, role-play, collaborative learning, active learning, dan adult learning. 4 PERENCANAAN PEMBELAJARAN MIGRASI INTERNASIONAL 1. 2. 3. 4. Nama Matakuliah : Manajemen Sumber Daya Manusia Jumlah SKS : 3 SKS Semester : II (Genap) Tujuan Pembelajaran : Kuliah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman aplikasi dan metodologi terhadap determinan pengukuran kualitas sumber daya manusia berikut isu-isu kontemporer yang melingkupi hidup manusia. 5. Outcome Pembelajaran (Learning Outcome) Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan konsep dan definisi kualitas sumber daya manusia berdasarkan perspektif keruangan, temporal dan kompleksitas kewilayahan, seperti dinamika kehidupan manusia di Indonesia. Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu mengevaluasi kualitas sumber daya manusia melalui indikator HDI, GDI, HPI, dan GEM Setelah mengikuti kuliah ini mahasiswa mampu menganalisis permasalahan sumber daya manusia dan kemiskinan. 6. Metode Pembelajaran Kuliah Kelas (Metode Tatap Muka Partisipatif) Pada pembelajaran yang berbasis student center learning, kuliah tutorial bukanlan metode yang utama digunakan, kuliah tatap muka lebih bersifat partisipasi aktif dengan mekanisme two way communication antara dosen dan mahasiswa. Metode tatap muka partisipatif diberikan dengan alokasi waktu setiap kali pertemuan kurang lebih 40 menit/minggu dengan jumlah tatap muka 14-16 kali pertemuan dalam satu semester, dosen lebih difungsikan sebagai fasilitator. 5 Kunjungan Lapangan Kunjungan lapangan (field study) adalah metode baru yang diterapkan dalam mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia. Hal ini penting dilakukan agar mahasiswa memahami betul realita fenomena kemiskinan dan kualitas hidup manusia, termasuk proses dan implikasinya dalam pembangunan daerah. Kunjungan lapangan akan dilakukan terkoordinasi di instansi pemerintah seperti Bappeda dan Departemen Sosial. Diskusi Diskusi juga merupakan hal baru yang diintegrasikan dalam setiap kali kuliah, setidaknya sekitar 40 menit setiap tatap muka (40 menit/minggu), dosen bertindak sebagai fasilitator. Belajar Mandiri Belajar mandiri penting dilakukan sejalan dengan dinamika isu-isu kualitas sumber daya manusia. Ini berarti bahwa belajar mandiri terutama dari sumber-sumber relevan seperti buku literatur, surat kabar, internet mutlak diperlukan dalam rangka peningkatan partisipasi aktif di kelas, pengkayaan materi dan kompetensi mata kuliah. Akses internet yang terbuka seperti di perpustakaan Fakultas Geografi dan laboratorium jurusan secara operasional memang sangat mendukung mahasiswa demi memperoleh informasi terbaru tentang migrasi internasional. Tugas Tugas diberikan pada mahasiswa dengan membuat makalah dalam bentuk kelompok kecil berjumlah 2-4 orang/kelompok, dengan alokasi waktu pengumpulan 1-2 bulan. Seminar Seminar dalam bentuk presentasi makalah dilakukan pada pertengahan hingga akhir perkuliahan, alokasi waktu untuk masing-masing presentasi dan tanya jawab adalah 25 menit. Kuis, Simulasi Kuis, simulasi, ice-breaking diberikan pada sela-sela kuliah sekitar 10 hingga 15 menit sesuai dengan kebutuhan. 7. Jadwal Kegiatan Mingguan Minggu Ke Topik Subtansi Metode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan 6 1 Pendahuluan Menjelaskan pokok-pokok Ice-Breaking bahasan, metode Perkenalan pembelajaran dan cara role-play evaluasi Diskusi interaktif Overview Sumber Daya Manusia 2, 3, 4 Konsep dan definisi Observasi lapangan manusia Indikator Tunggal kualitas Diskusi, Simulasi Indikator sumber daya manusia Human sumber daya manusia Teori Mutu Modal Manusia dalam Pengembangan Permasalahan Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia manusia Indonesia: gambaran masa Indonesia lalu, masa kini, dan Manusia dan tantangan masa depan lingkungan Tugas Mandiri Indikator Komposit Kualitas Capital sumber daya Kunjungan kerja, Kualitas non fisik Komposit Manusia Kuliah partisipatif sumber daya Tunggal dan Kualitas Fisik Sumber Daya Hubungan sumber daya dalam manusia dengan sumber perspektif daya lingkungan ekologi Deterministik, Possibilistik, manusia dan probabilistik dalam manajemen sumber daya manusia dan lingkungan 7 Minggu Topik Subtansi Ke 5, 6, 7 Metode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan Dinamika pengukuran Physical Quality of Life Index Kuliah Partisipatif, Tugas Mandiri Indikator Human Development Index Membuat paper kualitas Gender Development Index Diskusi terfokus sumber daya Human Poverty Index Kuis, Simulasi manusia Gender Empowerment Indikator Measure Ekonomi, Human Welfare Index Pendidikan, Dinamika dan dan Kesehatan perkembangan pengukuran Indikator indikator kualitas hidup Kesetaraan manusia Gender dan Partisipasi Indikator Kemiskinan Indikator Ketahanan Sosial 8 Mid Semester Materi yang telah diberikan Ujian tulis, presentasi dan evaluasi 8 Minggu Ke 9,10,11,12 13, 14 15 Topik Pengendalian Sumber Daya Manusia Pemanfaatan Sumber Daya Manusia Pengembangan Sumber Daya Manusia Kemiskinan dan Keterbelakangan Subtansi Pengendalian parameter dasar demografi: fertilitas, mortalitas, migrasi Pengendalian jumlah dan kualitas sumber daya manusia, termasuk didalamnya struktur ketenagakerjaan Pemanfaatan sumber daya manusia: dimensi pemanfatan tenaga kerja Pengembangan kualitas sumber daya manusia: pendidikan, pelatihan, peningkatan ketrampilan, peningkatan standar kesehatan, dan peningkatan kecerdasan emosi dan spiritual Kemiskinan dan keterbelakangan sebagai jebakan ketidakberdayaan Menuju Millenium Development Goals Indonesia tanpa kemiskinan: antara harapan dan kenyataan Bentuk-bentuk Kemiskinan Seminar dan Makalah tentang diskusi kelompok pengembangan kualitas isu-isu kontemporer sumber daya manusia pengembangan kualitas sumber daya manusia Overview Kuliah, Overview Penutup, Penutup Metode Pembelajaran dan Bentuk Kegiatan Kuis, Simulasi Kuliah partisipatif, Diskusi Presentasi dan Diskusi Kuliah Partisipatif Diskusi 9 PAPER PENUNJANG KULIAH 10 KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A. Topik : Pembangunan Sumber Daya Manusia UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2007 11 PEMBANGUNAN SUMBER DAYA MANUSIA 1.1 Pendahuluan GBHN 1993 secara tegas mencantumkan bahwa sumber daya manusia (SDM) merupakan modal dasar dan faktor dominan (Bab II butir D). Pencantuman ini mengisyaratkan bahwa pemerintah mempunyai komitmen yang tinggi untuk meletakkan SDM sebagai unsur yang penting dalam pembangunan nasional. Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa SDM tidak hanya sebagai modal pembangunan, tetapi juga keberhasilan dalam pengembangan SDM dapat dijadikan sebagai salah satu indikator keberhasilan mengakomodasi kepentingan pembangunan. pembangunan Hal yang itu dilakukan tidak hanya dalam mengejar keberhasilan fisik, tetapi juga non-fisik. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar yang dapat digunakan sebagai landasan berpijak untuk melihat proses pembangunan. Misalnya, apa konsep sumber daya manusia, pembangunan manusia, pengembangan sumber daya manusia, dan lain-lainnya. Pertanyaanpertanyaan itu penting dalam rangka untuk menyamakan persepsi, sebelum berbicara banyak mengenai perencanaan pengembangan sumber daya manusia (PPSDM). Di samping itu, hal lain yang perlu untuk dibahas adalah mengenai kualitas sumber daya manusia. 1.2 Sumber Daya Manusia Sebagai Paradigma Pembangunan Selama dua puluh tahun terakhir telah terjadi perubahan mendasar tentang paradigma pembangunan, khususnya di negara sedang berkembang. Pembangunan tidak lagi "hanya" berorientasi kepada pembangunan ekonomi (economic oriented) tetapi pembangunan ekonomi hanya dijadikan sebagai mean atau cara dalam rangka mencapai tujuan lain yang lebih mendasar yaitu human security (UNDP, 1994). Hal ini barangkali disebabkan oleh karena pembangunan yang berorientasi ekonomi justru akan melahirkan persoalan-persoalan yang lebih parah, misalnya kesenjangan pendapatan yang muaranya adalah kemiskinan. Bahkan dalam banyak kasus, pertumbuhan ekonomi di negara sedang berkembang juga dibarengi dengan 12 berkurangnya hak-hak politik dan sosial masyarakat. Di samping itu, pergeseran paradigma pembangunan tersebut tampaknya berasal dari munculnya kecenderungan sumber daya manusia sebagai paradigma pembangunan. Pada awalnya, manusia diletakkan sebagai salah satu faktor produksi. Artinya manusia dipahami dari sisi sebagai tenaga kerja yang sejajar dengan faktor lainnya yaitu modal dan bahan baku. Dalam pengertian ini maka sumber daya manusia mempunyai pengertian yang sangat terbatas. Aspek-aspek yang lebih mendalam dan mendasar yang terkait dengan SDM tidak dipandang penting dalam proses produksi. Akibatnya adalah bahwa manusia dalam pembangunan ekonomi lebih dipandang sebagai obyek dari pada subyek. Dalam kerangka tertentu, orientasi pembangunan, kemudian hanya baranjak dari pengertian manusia sebagai obyek fisik. Oleh karenanya tidak mengherankan kalau kemudian muncul masalahmasalah pembangunan, khususnya adanya tren yang tidak sinkron antara pembangunan ekonomi dan pengembangan sumber daya manusia. Sumber daya manusia sebagai paradigma artinya adalah sumber daya manusia sebagai kerangka orientasi dalam menentukan dan mengarahkan tindakan-tindakan manusia (Sindhunata, 1994). Lebih lanjut Sindhunata (1994) menyebutkan bahwa pergeseran paradigma sumber daya manusia dapat dijelaskan melalui tiga hal. Pertama paradigma daya cipta manusia. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kecenderungan bahwa bukan kekayaan alam tetapi manusia yang seharusnya menciptakan kemakmuran. Kedua adalah paradigma kerja manusia. Manusia tidak lagi hanya dipandang sebagai faktor pendukung atau pembantu dalam proses produksi, melainkan sebagai bagian dari kekayaan material maupun spiritual. Pergeseran ini mengandung arti bahwa nilai yang penting bukan hanya pada produktivitasnya saja, tetapi juga kebersamaan manusia. Ketiga adalah paradigma tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab terhadap masa lalu dan masa depan. Bertanggung jawab terhadap masa lalu artinya bahwa manusia harus berani menilai keputusan yang dibuatnya. Sementara itu tanggung jawab terhadap masa depan artinya adalah bertanggung jawab terhadap akibat yang akan timbul dari keputusan yang dibuatnya. 13 Dengan pengertian ini maka menangani manusia tidak cukup hanya dari sisi ekonomi saja tetapi jauh lebih komplek yang melibatkan unsur sosial bahkan politik. Hal itu juga tercermin dari rumusan mengenai pembangunan manusia sebagaimana disebutkan dalam Human Development Report (UNDP, 1992), yaitu "suatu proses perluasan spektrum pilihan manusia, meningkatkan kesempatan mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan, penghasilan dan pekerjaan". Dalam definisi tersebut secara jelas terlihat bahwa bukan unsur ekonomi saja yang termasuk dalam cakupan pembangunan manusia. Bahkan kata "perluasan spektrum pilihan manusia" mengisyaratkan munculnya orientasi pembangunan yang lebih luas. Perluasan spektrum pilihan berarti juga demokratisasi. Dengan demikian unsur politik masuk di dalamnya. Hal itu secara jelas juga tercantum dalam Human Development Report 1994 (UNDP, 1994) yang menyebutkan bahwa: "Development must enable all individuals to enlarge their human capabilities to the fullest and to put those capabilities to the best use in all fields-economics, social, cultural, and politics" Salah satu kritik yang muncul terhadap definisi tersebut adalah bahwa pengertian tersebut di atas cenderung menyiratkan penekanan pada aspek pemerataan saja dan anti pertumbuhan. Padahal apabila dikaji lebih mendalam maka hal tersebut tidak benar. Karena pada akhirnya pembangunan manusia diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya dalam produktivitas yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan. Dalam pengertian yang lebih operasional, sumber daya manusia dapat dilihat dari beberapa dimensi yang di dalamnya mengandung beberapa konsekuensi. Pertama, sumber daya manusia dapat dilihat dari aspek kuantitatif yang meliputi jumlah, persebaran dan struktur, serta aspek kualitatif yang berkaitan dengan mutu manusia misalnya pendidikan, ketrampilan, sikap, nilai, kesehatan dan gizi. Kedua, sumber daya manusia juga dapat dilihat dari aspek makro (agregat) maupun mikro 14 (individu). Dengan demikian dalam membicarakan dua aspek yang pertama, maka hal tersebut dapat pula dibahas dalam konteks makro maupun mikro. Pemahaman sumber daya manusia dari segi kuantitatif tidak menjadi persoalan, karena variabelnya jelas terukur. Tetapi ketika yang dibicarakan adalah aspek kualitatif maka sering kali sangat sulit untuk diukur, misalnya mengenai sikap, nilai dan kepercayaan. Oleh karenanya pemahamannya perlu dilakukan dengan hati-hati. Dengan melihat pengertian tersebut maka setiap proses pembangunan yang berorientasi "manusia" perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Tidak bisa hanya satu aspek saja yang diperhatikan, karena hanya akan menjadikan proses pembangunan menjadi timpang. 1.3 Teori Modal Manusia Dalam teori ini manusia dianggap sebagai suatu modal dalam suatu proses produksi. Untuk peningkatan produksi, pendidikan dianggap sebagai suatu investasi yang penting dan dominan dalam peningkatan kapasitas produksi sumber daya manusia. Konsekuensinya adalah bahwa penduduk yang berpendidikan merupakan penduduk yang produktif. Akibatnya, pendidikan dipandang sebagai suatu intervensi yang sangat penting dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Pembangunan ekonomi yang cepat di Jepang, Korea dan Eropa Barat biasanya digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sumber daya manusia merupakan unsur penting dalam pembangunan. Bahkan pembangunan sumber daya manusia dilakukan mendahului akumulasi modal fisik (Widarti, 1993). Keberhasilan pembangunan memerlukan dua syarat, yaitu (a) kemajuan teknologi dalam rangka untuk meningkatkan produksi, dan (b) sumber daya manusia yang berpendidikan dalam rangka penerapan teknologi. Kritik utama yang muncul terhadap teori ini adalah bahwa pendidikan dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia. Sebagai investasi, pendidikan tidak akan lepas dari sistim politik, kondisi sosial dan kultural 15 di suatu negara. Padahal teori tersebut beranggapan bahwa karakteristik individu merupakan unsur penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Aspek struktur sosial, yang biasanya merupakan refleksi dari banyak aspek, tidak diperhatikan. Dalam memandang terjadinya pembagian negara maju dan negara terbelakang, teori ini mengatakan bahwa hal tersebut lebih berkaitan dengan karakteristik masingmasing negara. Argumentasi seperti itu jelas tidak benar. Teori dependensi mengatakan bahwa munculnya negara maju dan tidak maju, terjadi karena sifat dependensi negara tidak maju terhadap negara maju. Bahwa kondisi yang kurang menguntungkan di suatu negara adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan negara tersebut melepaskan sifat dependensinya kepada negara maju. Dengan demikian maka perubahan terhadap karakteristik sumber daya manusia saja tidak cukup untuk memacu laju pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, harus ada usaha untuk merubah sifat dependensi menjadi interdependensi. Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus negara, tetapi juga bisa ditarik pada skala yang lebih sempit di dalam negara. Sebab justru hubungan antar daerah lebih terlihat di dalam suatu negara. 1.4 Pembentukan Modal Manusia (PMM) dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Kedua istilah itu pada prinsipnya sama. Keduanya mengandung pengertian sebagai suatu proses perubahan kualitas manusia yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pendidikan formal atau non-formal, latihan di tempat kerja, perbaikan kesehatan, migrasi, gizi dan sebagainya (Widarti, 1993). Dengan perubahan kualitas, diharapkan produktivitas sumber daya tenaga kerja juga meningkat. Pengertian yang terakhir ini yang biasanya disebut dengan pengembangan sumber daya manusia. Terdapat lima faktor sebagai unsur utama dalam pengembangan sumber daya manusia, yaitu: a. pendidikan b. kesehatan dan gizi 16 c. lingkungan d. pekerjaan e. kebebasan politik dan ekonomi Hal ini sejalan dengan arah baru pembangunan sebagaimana tercantum dalam Human Development Report (1994), bahwa manusia merupakan alat dan tujuan pembangunan. Sebagai alat, manusia merupakan modal yang sangat penting dalam proses pembangunan dan sebagai tujuan pembangunan diarahkan untuk menuju human security. Dari pengertian tersebut jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara teori modal manusia dengan PPM atau PSDM. Pada pengertian yang kedua, pendidikan hanya merupakan satu aspek dari sejumlah aspek yang perlu diperhatikan dalam peningkatan kualitas untuk meningkatkan produktivitas. Pengertian yang kedua ini juga membawa konsekuensi terhadap meluasnya titik perhatian pembangunan nasional. Dalam pengertian yang lain, mengembangkan sumber daya manusia kemudian tidak hanya meningkatkan pendidikan dan ketrampilan saja, tetapi juga bagaimana mewujudkan manusia yang sehat, berpendidikan dan secara ekonomi dan politik mempunyai kebebasan memilih. 1.5 Indikator Sumber Daya Manusia Untuk memperoleh suatu indikator sumber daya manusia yang memadai sangat sulit, karena sebagaimana telah dijelaskan di muka, dimensi sumber daya manusia sangat luas, yaitu mencakup aspek kualitatif maupun kuantitatif dalam skala mikro maupun makro. Berikut ini akan dibahas beberapa indikator SDM yang dapat digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu daerah. Secara kuantitatif, SDM dapat dilihat dari segi jumlah, misalnya jumlah penduduk, jumlah tenaga kerja, dan jumlah angkatan kerja. Tetapi perlu diingat bahwa untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya, variabel ini perlu digabung dengan variabel lain, misalnya tingkat pendidikan, tingkat melek huruf, ketrampilan, dan status kesehatan (angka harapan hidup) (Widarti, 1993). 17 Variabel lain yang bisa dimanfaatkan, khususnya berkaitan dengan aspek ketenagakerjaan adalah variabel yang diturunkan dari pendekatan LUA (Labor Utilization Approach) oleh Hauser (1974). Dalam pendekatan ini angkatan kerja dapat dibagi menjadi angkatan kerja yang dimanfaatkan penuh dan yang tidak penuh. Angkatan kerja yang tidak dimanfaatkan penuh dapat dibagi menjadi tidak dimanfaatkan sama sekali (penganggur) dan setengah penganggur (underemployment). Setengah penganggur dapat dibagi lagi menjadi setengah penganggur menurut jam kerja, upah, dan mismatch. Secara ringkas variabel tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a. TPAK (tingkat partisipasi angkatan kerja) adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. b. Tingkat bekerja (employment rate) adalah perbandingan antara jumlah yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja. c. Tingkat pengangguran terbuka (open unemployment rate) adalah perbandingan antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja. d. Tingkat setengah pengangguran adalah perbandingan antara mereka yang bekerja tidak dimanfaatkan secara penuh (menurut jam kerja, pendapatan, maupun mismatch) terhadap penduduk yang bekerja. Indikator-indikator tersebut masih bisa diperluas lagi dengan variabel lain. Sebagai contoh variabel-variabel yang menggambarkan kualitas manusia dari segi nir-fisik, misalnya kebahagiaan, kenyamanan, kesejahteraan, ketaatan beragama, pemenuhan hak asasi, dan lain-lain. Variabel tersebut secara operasional sangat sulit untuk diukur, sehingga sangat jarang digunakan untuk melihat kondisi SDM. Meskipun masih jauh dari sempurna, UNDP mencoba membuat indek untuk melihat kualitas manusia, yang disebut dengan HDI (Human Development Indeks). Indek ini sebenarnya sebagai respon terhadap munculnya PQLI (Physical Quality of Life Index) yang dianggap masih kurang. Pada tahun 1990, HDI tersusun atas tiga variabel, yaitu pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Indeks ini dianggap kurang sensitif terhadap variabel tertentu, misalnya jenis kelamin, kelompok etnis, 18 dan klas sosial. Oleh karena itu sejak tahun 1991, HDI dihitung dengan memasukkan jenis kelamin dan distribusi pendapatan sebagai variabel pengontrol. Pada tahun 1994 HDI dihitung berdasarkan empat variabel, yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, rata-rata tahun sekolah, dan pendapatan per kapita. Dengan HDI bisa dibuat komparasi antara satu daerah atau negara dengan daerah atau negara yang lain. Perlu dicatat bahwa angka HDI merupakan angka agregat yang mencerminkan kondisi SDM pada suatu wilayah. Dalam menilai kondisi SDM, hal itu perlu dilengkapi dengan indikator yang bersifat individual. Dalam dua dekade terakhir, manusia telah diletakkan sebagai posisi sentral dalam pembangunan nasional. Akibatnya paradigma sumber daya manusia dalam pembangunan berubah secara drastis. Hal ini menuntut pemerintah untuk secara jeli merumuskan orientasi pembangunan, agar apa yang diharapkan dalam pengembangan sumber daya manusia (PSDM) bisa tercapai. Secara operasional, akibat yang muncul dari perubahan tersebut adalah tuntutan terhadap pelaksana pembangunan untuk memahami setiap aspek yang tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut mencakup pengertian mengenai konsep dan definisi dan juga indikator sumber daya manusia. Hal itu penting karena merupakan landasan yang fundamental dalam PSDM. Salah satu kesulitan yang muncul misalnya dalam merumuskan indikator SDM. Sejauh ini indikator yang diajukan masih mengacu pada pembangunan fisik atau ekonomi. Dengan tuntutan untuk memperhatikan dimensi lain dalam SDM, maka hal itu dipandang belum cukup. Untuk itu perlu dicari rumusan-rumusan baru yang kemudian bisa digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu tempat. 1.6 Kualitas Sumber Daya Manusia Pembahasan tentang pengukuran kualitas SDM dari waktu ke waktu selalu menarik karena memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dari aspek kualitas fisik maupun non fisik, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Ini berarti indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas SDM harus mampu 19 menggabungkan antara kualitas fisik dan nonfisik, baik itu yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Alasannya adalah bahwa kualitas penduduk tidak dapat dipisahpisahkan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, kedua-duanya saling menunjang dalam membentuk kualitas penduduk secara keseluruhan. Meskipun argumen ini ada betulnya, namun indikator kualitas total penduduk tersebut masih terlalu umum, sulit diukur, dan sulit pula untuk diberi intervensi. Sejalan dengan hal ini maka pengukuran kualitas penduduk cenderung dilakukan secara terpisah-pisah dan cara demikianlah yang banyak digunakan sampai saat ini (Dahlan, 1992). Perubahan kualitas SDM berhubungan erat dengan keberhasilan pembangunan. Upaya penentuan indikator kemajuan pembangunan menjadi penting dalam kerangka untuk mengetahui sasaran pembangunan yaitu penduduk yang berkualitas. Bank Dunia melalui laporannya World Development Report secara kontinu sejak tahun 1978 melaporkan bahwa pembangunan mempunyai tujuan ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan. Indikator dari kedua aspek tersebut adalah Produk Nasional Bruto (GNP) sebagai dasar penentuan urutan negara mulai dari yang paling miskin sampai yang paling kaya. Cara ini dianggap sebagai indikator yang sangat penting bagi proses modernisasi, apabila modernisasi disamakan artinya dengan pembangunan. Pengukuran kualitas penduduk model seperti ini lebih menekankan pada indikator ekonomi yang dalam beberapa hal mengabaikan perikehidupan penduduk dalam suatu negara, dalam hal ini untuk hidup lebih lama yang tercermin pada angka harapan hidup (Soetjipto, 1996). Kelompok Neo-Malthusianis menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi berhubungan negatif dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang identik dengan kualitas penduduk yang baik. Pendekatan demografis dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi secara sendiri-sendiri dan tidak digabung menjadi satu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari setiap variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi yang digunakan dalam pengukuran kualitas 20 penduduk. Hal yang sama juga dialami oleh pendekatan nondemografi yang secara terpisah-pisah menggunakan variabel pendidikan, pendapatan, pengeluaran per kapita, ketenagakerjaan dan kecukupan kalori dan protein dalam mengukur kualitas penduduk. Demikian pula Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN menggunakan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk. Metode yang digunakan dalam mengukur kualitas penduduk dari ketiga pendekatan tersebut yakni model demografi dan nondemografi maupun pendekatan yang digunakan oleh Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN masih secara terpisah-pisah antara variabel yang satu dengan yang lain dan tidak dirangkum dalam suatu indeks komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah suatu angka/nilai yang merupakan gabungan dari setiap nilai yang ada pada variabel yang digunakan dalam pengukuran. Berbeda halnya dengan Morris (1979) dan United Nation Development Programme (1990) telah menyusun suatu indek yang merupakan gabungan dari beberapa variabel demografi dan nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk seperti halnya Indeks Mutu Hidup (Physical Quality of Life Index) dan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index). Tulisan ringkas ini ingin membahas metode pengukuran kualitas penduduk mulai dari asumsi dan data yang digunakan, kelemahan dan keunggulan dari setiap indikator serta aplikasinya di Indonesia. A. Pengukuran Kualitas Penduduk/SDM Istilah kualitas manusia di Indonesia sudah dikenal sejak GBHN 1983. Pada dasarnya kualitas manusia mencakup kualitas manusia sebagai individu maupun secara keseluruhan, baik aspek jasmani maupun rokhaninya. Kemudian istilah kualitas penduduk pada umumnya digunakan dalam studi kualitas manusia sebagai agregat, baik dalam konteks makro maupun mikro tentang aspek jasmani dan rokhaninya. Kualitas penduduk pada hakekatnya mengungkapkan keadaan kelompok manusia yang hidup dalam suatu daerah pada saat tertentu. Sejalan dengan hal ini maka cara pengukurannya dilakukan berdasarkan atas angka ratarata per jumlah penduduk dalam waktu tertentu. Dengan demikian yang dimaksud dengan kualitas penduduk di sini bukanlah kualitas dalam arti eugenic seperti dalam suatu negara yang membutuhkan tentara untuk mereka yang kuat saja; aborsi 21 diperbolehkan atas alasan kesehatan dan sosial-ekonomi, ibu-ibu yang berpendidikan tinggi saja yang diperbolehkan mempunyai banyak anak (Djalal, 1988). Kualitas penduduk yang dimaksud dan diinginkan pemerintah Indonesia adalah kualitas fisik dan nonfisik yang menjadi prasyarat untuk mencapai produkstivitas kerja yang tinggi. Untuk melihat perkembangan kualitas penduduk baik secara regional maupun nasional dapat menggunakan indikator tunggal maupun indikator komposite yaitu merupakan gabungan dari beberapa variabel/peubah yang diasumsikan mempengaruhi kualitas penduduk. Dalam menyusun indikator tersebut dapat dilakukan dengan cara indexing dan scaling. Indikator tunggal maupun indikator komposite, baik itu komposite obyektif maupun komposite subyektif oleh Morris (1979) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan. 2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik. 3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input). 4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan 5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami 6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional. Salah satu indikator komposite obyektif yang cukup terkenal adalah Indeks Mutu Hidup (PQLI) dan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) yang akan dibahas pada bagian akhir dari makalah ini. Indikator komposite subyektif yang disusun oleh Biro Pusat Statistik berusaha menyajikan perkembangan kesejahteraan rumah tangga selama periode tertentu (1987-1990 dan 1991-1994). Indeks komposite subyektif disusun berdasarkan pendapat/persepsi kepala rumah tangga tentang perkembangan sejumlah masalah pokok selama jangka waktu tertentu (lihat data Susenas modul kesejahteraan rumah tangga). Indikator komposite subyektif ini merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal yang diperoleh dari pendapat/persepsi penduduk sehingga mengandung jawaban yang bersifat subyektif. Makalah ini lebih menekankan pada indikator tunggal maupun indikator 22 komposite obyektif baik yang bersifat demografis maupun nondemografis. Bagi yang tertarik pada indikator komposite subyektif dapat dilihat pada daftar pertanyaan yang digunakan dalam Susenas modul kesejahteraan rumah tangga, dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Biro Pusat Statistik. B. Kualitas Penduduk: Aspek Demografi Pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi masih dilakukan secara terpisah-pisah yakni berupa indikator tunggal yang obyektif. Angka kematian yang tinggi diasumsikan terjadi pada kualitas penduduk yang masih rendah. Demikian pula dengan angka fertilitas yang tinggi, prevalensi kontrasepsi maupun urbanisasi yang rendah identik dengan kualitas penduduk yang rendah. Dengan demikian kualitas penduduk yang tinggi akan tercermin pada rendahnya IMR, CMR, MMR dan angka morbiditas, TFR dan angka perceraian serta tingginya angka harapan hidup, prevalensi kontrasepsi, usia perkawinan pertama dan angka urbanisasi. Sampai saat ini (sepengetahuan penulis) belum ditemukan suatu model pendekatan demografi yang menggabungkan dari beberapa variabel demografi ke dalam suatu indikator komposite obyektif secara komprehensive. Yang dilakukan pada saat ini baru sampai pada karakteristik variabel demografi secara sendiri-sendiri yakni: 1. Angka Kematian Bayi (IMR) 2. Angka Kematian Anak (MR) 3. Angka Kematian Maternal (MMR) 4. Angka Harapan Hidup (eo) 5. Angka Morbiditas 6. Angka Fertilitas Total (TFR) 7. Angka Perceraian (DR) 8. Usia Perkawinan Pertama 9. Angka Prevalensi Kontrasepsi 10. Angka Urbanisasi. 23 Parameter fertilitas keluarga berencana, mortalitas dan morbiditas maupun urbanisasi dapat diperoleh dari model-model estimasi secara tidak langsung (indirect technique for demographic estimation) dari data yang dikumpulkan melalui sensus penduduk, Supas, Susenas score dan modul. Masalah pokok yang dihadapi dari model estimasi demografi ini adalah pemenuhan sejumlah asumsi dalam perkiraan dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Secara nasional dan regional (propinsi) jumlah sampel yang dibutuhkan untuk estimasi telah memadai, namun untuk lingkup Dati II dalam beberapa hal masih terlalu sedikit. Sebagai akibatnya hasil estimasi parameter demografi seringkali tidak dapat digunakan. Ketergantungan terhadap model estimasi akan terus berlangsung apabila pelaksanaan sistem Registrasi Penduduk maupun Sistem Informasi Penduduk dan Keluarga (Siduga) belum dapat berjalan dengan baik dalam arti cakupan wilayah pendataan dan kualitas data. Kualitas penduduk dilihat dari paramater demografi tersebut dapat dilihat di lampiran. C. Kualitas Penduduk: Aspek NonDemografi Sama halnya dengan pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi, kualitas penduduk dan aspek nondemografi masih dilihat secara terpisah-pisah. Beberapa variabel yang sering digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk mencakup aspek pendidikan seperti pendidikan tertinggi yang ditamatkan, penduduk usia sekolah menurut status sekolah; pendapatan per kapita; pengeluaran per kapita untuk keperluan bahan makanan dan bukan untuk bahan makanan; kecukupan kebutuhan kalori dan protein maupun kecukupan gizi; dan ketenagakerjaan yang mencakup angka partisipasi angkatan kerja, angka pengangguran dengan berbagai jenis dan penduduk yang bekerja menurut sektor, jenis dan status pekerjaan. Kualitas penduduk yang baik dapat dilihat dari pendidikan yang relatif tinggi, kecukupan kebutuhan kalori dan protein, pendapatan perkapita yang tinggi, proporsi pengeluaran untuk bukan bahan makan lebih tinggi daripada untuk bahan makan, angka pengangguran yang rendah dan sebagian besar pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa, merupakan pekerja terampil dan bekerja pada sektor formal. Secara rinci pendekatan 24 nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel seperti berikut: 1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan 2. Penduduk usia sekolah menurut status sekolah 3. Kecukupan kalori-protein, status gizi 4. Pendapatan per kapita 5. Pengeluaran per kapita/bahan makan dan bukan bahan makan 6. Angka Partisipasi Angkatan Kerja 7. Angka pengangguran terbuka 8. Pekerja manurut sektor, jenis dan status pekerjaan Dari delapan variabel yang digunakan tersebut hanya kecukupan kalori dan protein serta pendapatan per kapita yang sudah ada standarnya untuk membedakan antara yang baik dan yang kurang baik. Selain variabel ini belum ada standar yang baku untuk membedakannya. Sebagai contoh berapa angka pengangguran terbuka itu dimasukkan untuk kelompok yang kurang baik; demikian pula berapa persentase untuk pekerja sektor manufaktur dan jasa maupun pekerja terampil dapat dikelompokkan untuk kualitas penduduk yang baik. Sama halnya dengan pendekatan demografi yang dapat dikatakan baik untuk kualitas penduduk itu apabila parameter mortalitasnya rendah dan angka harapan hidup tinggi. Akan tetapi berapa standar IMR, CMR, MMR dan angka harapan hidup dikatakan untuk kelompok yang baik? Bagaimana pula kalau dalam suatu daerah didapatkan pemenuhan kalori dan protein di atas standar yang dibakukan telah memenuhi persyaratan yang dibakukan, akan tetapi di pihak lain angka pengangguran terbuka cukup tinggi dan pendidikan tertinggi yang ditamatkan cukup tinggi pula namun sebagian besar dari pekerja tersebut merupakan pekerja tidak terampil di sektor formal. Banyaknya variabel yang digunakan, baik aspek demografi dan nondemografi ini menyebabkan kurang sensitif dalam mengukur kualitas penduduk. Hal seperti ini dialami pula oleh Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN melibatkan 13 variabel dalam mengukur kualitas penduduk. 25 Kantor Menteri Negara Kependudukan dan BKKBN telah membetuk Tim Pengembangan Indikator Kualitas Penduduk yang diberi tugas untuk menyusun Indikator Kualitas Penduduk. Indikator kualitas penduduk disusun berdasarkan landasan ideologis, hukum, dan landasan tindak lanjut operasional metodologis. Kualitas penduduk dilihat dari empat aspek yakni sehat, maju, mandiri-sejahtera dan aman bahagia mencakup 13 variabel sebagai berikut: Sehat mencakup 4 variabel: 1. Angka harapan hidup saat lahir. 2. Angka kematian maternal 3. Rasio tempat ibadah terhadap jumlah penduduk 4. Rasio anak dan remaja yang bermasalah Maju, hanya mencakup satu variabel: 5. Angka partisipasi sekolah (SLTP ke atas) Mandiri - Sejahtera mencakup 4 variabel: 6. Angka partisipasi angkatan kerja 7. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk makan 8. Rasio kemandirian 9. Proporsi anak yang terpaksa bekerja Aman - Bahagia mencakup 4 variabel: 10. Angka perceraian 11. Angka kriminalitas 12. Proporsi anak yang terlantar 13. Proporsi rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan berumur tua. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengukuran kualitas penduduk yang dilakukan oleh Menteri Negara Kependudukan masih dilakukan secara terpisahpisah dari ke 13 variabel yang digunakan. Bahkan di dalam mengukur aspek sehat pun yang terdiri dari 4 variabel masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum sampai pada penggabungan dari ke empat variabel ke dalam satu indek sehat. Sama 26 halnya dengan mengukur aspek mandiri-sejahtera, aman sejahtera, masing-masing masih merupakan variabel yang terpisah-pisah. Selain hal tersebut karena banyaknya variabel yang digunakan dalam pengukuran maka sumber data yang digunakan pun sangat beragam seperti sensus penduduk, survai kependudukan dan survai yang dilakukan oleh departemen tertentu dengan rentang tahun pengumpulan data yang berbeda-beda. Indeks Mutu Hidup (PQLI) Indeks Mutu Hidup (IMH) ini merujuk pada Physical Quality of Life Index (PQLI) merupakan hasil pemikiran Morris sebagai alat pengukur hasil proses pemerataan dalam pembangunan. Muncul sebagai jawaban terhadap kelemahankelemahan model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui produk national bruto (GNP). Indeks Mutu Hidup mempunyai keunggulan daripada GNP sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Nasikun (1992:69) menyebutkan ada tiga kelemahan pokok menggunakan GNP sebagai ukuran kualitas penduduk yakni: 1. Hanya terdiri dari transaksi ekonomi dan mengabaikan kegiatan yang terjadi di luar pasar. 2. Agregasi berbagai kegiatan ke dalam nilai uang mengasumsikan bahwa isyarat harga merupakan petunjuk yang netral terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Tidak memperhatikan aspek distribusi antarwarga masyarakat maupun kelompok penduduk, kesenjangan antarpenduduk, perusakan sumber daya alam karena akumulasi teknologi serta sumber daya manusia. Lebih lanjut dikatakan bahwa penyusunan GNP yang lebih merupakan akutansi ekonomi mengandung risiko di mana semua aktivitas penduduk harus dinyatakan dalam uang. Memang hampir semua kegiatan penduduk harus dapat dihitung dengan uang namun muncul pertanyaan apa yang mau dihitung dan apa pula artinya. Misalnya, seorang staf pengajar berangkat ke tempat pekerjaan dengan mobil pribadi yang sangat mahal harganya (meskipun dengan kredit) harus dihitung senilai biaya transport dengan kendaraan umum yang digunakan oleh rekan sejawatnya yang sekiranya justru mampu membeli mobil tersebut. Tidur di rumah sendiri dianggap sebagai pendapatan senilai biaya menginap di hotel. 27 Problema pokok adalah apakah relevan bahwa total nilai uang cukup relevan untuk mengukur kualitas penduduk? Beberapa kelemahan GNP dalam mengukur kualitas penduduk tidak dimiliki oleh IMH namun menurut Nasikun (1992: 70) kelirulah apabila IMH tidak mempunyai kelemahan. Meskipun IMH disusun dan dirumuskan untuk mengatasi kelemahan GNP, sejak semula disusun untuk tujuan pengukuran kualitas penduduk yang sangat terbatas. Ada dua hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan IMH. Pertama, IMH tidak dimaksudkan untuk mengukur total kesejahteraan penduduk, apalagi jika di dalamnya mengandung masalah pengukuran rasa aman, kebebasan, keadilan maupun hak-hak asasi manusia. Kedua, tidak untuk mengukur proses pencapaian tujuan pembangunan. Dengan demikian IMH lebih sesuai sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan di dalam kerangka model pembangunan pemerataan melalui pertumbuhan dan model pembangunan untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Indeks Mutu Hidup disusun berdasarkan tiga variabel, merupakan indeks komposite kualitas hidup fisik yang diturunkan dari tiga variabel yakni: 1. Angka harapan hidup pada usia satu tahun (e1). 2. Angka kematian bayi (IMR) dan 3. Angka melek huruf dewasa (15 tahun +). Ketiga variabel ini diukur mengikuti skala 0 (nol) untuk mewakili penampilan yang terburuk yang pernah dicapai oleh suatu negara pada tahun 1950-an dan nilai 100 untuk mewakili penampilan yang terbaik yang diperkirakan akan dicapai oleh suatu negara pada tahun 2000. Indeks komposite IMH untuk suatu negara ini dihitung sebagai nilai rerata dari ketiga variabel dengan bobot yang sama. Implikasi-implikasi pemakaian skala menggunakan asumsi sebagai berikut (Sjahrir, 1986: 42). a. Indeks angka kematian bayi (IMR) = 22 per seribu dan indeks = 100 untuk IMR = 7 per seribu. Setiap 2,22 angka perubahan dalam angka IMR hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks. b. Indeks angka harapan hidup satu tahun yang berdasarkan indeks = 0 untuk angka harapan hidup = 30 tahun dan indeks = 100 untuk angka harapan hidup = 28 77 tahun. Setiap 0,39 tahun perubahan angka harapan hidup adalah satu angka perubahan pada indeks. c. Indeks melek huruf mendasarkan penduduk usia 15 tahun ke atas mulai dari yang semuanya buta huruf sampai yang semuanya melek huruf. Setiap satu persen angka perubahan dalam melek huruf adalah satu angka perubahan dalam indeks. Indeks IMR dan e1 digunakan untuk mengukur kemampuan bertahan secara fisik sejalan dengan siklus hidup dimulai dari usia bayi. Lingkungan keluarga diasumsikan memerlukan tahap yang dapat dilewati pada tahun pertama dalam kehidupannya. Setelah lewat usia satu tahun, mereka dapat menyesuaikan dalam kehidupan yang lebih luas di luar faktor ibu. Dengan demikian kedua variabel ini diasumsikan dapat mencerminkan faktor ibu dan faktor di luar ibu yang lebih luas. Kemudian, melek huruf merupakan potensi seseorang untuk bergerak yang lebih luas dalam ilmu dan ketrampilan untuk mencari nafkah maupun keperluan sosialbudaya lainnya. Ketiga variabel ini diasumsikan sebagai pengukur hasil upaya masyarakat/penduduk dan bukan merupakan input dalam proses pembangunan. Indeks Mutu Hidup dapat dihitung dengan cara berikut: IMH = ( e1 – 38 229 + 3,9 IMR + Melek Huruf 2,29 ):3 Eo – 1 + qo ( 1 – ko e1 = ) 1 - qo e1 = angka harapan hidup usia satu tahun eo = angka harapan hidup usia nol tahun/setelah dilahirkan qo = IMR = angka kematian bayi ko = rata-rata periode kelangsungan hidup selama tahun pertama 29 Pada waktu sasaran dari ketiga variabel ini disusun yakni pada tahun 1976 di negara sedang berkembang rata-rata IMR sekitar 136 per seribu, angka harapan hidup usia satu tahun adalah 48 tahun dan melek huruf dewasa 34 persen. Pada tahun 2000 di mana IMH telah mencapai 100 rata-rata IMR kurang dari 50 per seribu, angka harapan hidup satu tahun telah mencapai 65 tahun dan melek huruf 75 persen. Perubahan IMH menurut propinsi dapat dilihat pada lampiran. Pada perkembangan selanjutnya ketiga variabel yang digunakan untuk menyusun IMH terus mengalami perubahan sejalan dengan semakin meningkatnya derajat kehidupan penduduk. Sebagai akibatnya, angka-angka minimal dan maksimal dari angka harapan hidup satu tahun bertambah tinggi, demikian halnya dengan angka melek huruf, dan di lain pihak semakin menurunnya angka kematian bayi, menyebabkan angka-angka dasar berubah dari waktu ke waktu. Pada perkembangan berikutnya tidak hanya terbatas pada angka dasar dari variabel yang digunakan, tetapi ada upaya untuk menambah jumlah variabel lebih dari tiga. Untuk Indonesia, Sayogyo (1984) pernah menyusun IMH dengan menambah satu variabel yakni fertilitas sebagai unsur yang keempat. IMH dengan empat unsur ini di kemudian hari lebih dikenal dengan IMH Plus. Fertilitas di masukkan sebagai variabel ke empat ini dimaksudkan untuk menguji sampai sejauh mana rencana standar keluarga kecil sejahtera yang sudah dicanangkan sejak Pelita I dapat dicapai. Dengan proses penyusunan IMH Plus model Sayogya, fertilitas diasumsikan sebesar 3 per wanita usia subur (TFR=3) sebagai angka dasar yang akan dicapai pada tahun 2000. Angka IMH Plus diharapkan mampu menggambarkan variasi fertilitas menurut propinsi. Distribusi IMH Plus di Indonesia menurut propinsi dapat dilihat pada journal Prisma tahun XIII, No. 10, 1984:9-19. Penyajian IMH dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu model angka tahun dasar, model angka nasional dan model angka indeks tanpa ditransformasikan. Pendekatan pertama menggunakan angka IMH pada tahun dasar, misal tahun 1971 nilai IMH untuk DIY = 41 dianggap sama dengan indeks 100. Demikian pula untuk propinsi yang lain di mana nilai IMH pada tahun 1971 dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari 41 (DIY) juga dianggap sama dengan 100. Dengan demikian indeks IMH pada tahun dasar = 100. Kemudian, untuk tahun 30 setelah tahun 1971 yakni 1980, 1985, 1990 dan 1995 angka IMH hasil perhitungan ditransformasikan dengan nilai indeks 100 tersebut. Pendekatan kedua mendasarkan angka IMH nasional dalam hal ini Indonesia untuk tahun 1971 misalnya dianggap sama dengan indeks 100. Kemudian untuk setelah tahun 1971 yakni 1980=100; 1985= 100; 1990=100 dan 1995=100. Nilai IMH regional akan bergerak antara kurang dari 100, tepat 100 dan lebih dari 100. Pendekatan ketiga yakni angka IMH disajikan seperti hasil perhitungan tanpa harus ditransformasikan ke indeks 100, baik indeks propinsi maupun indeks Indonesia. Dari ketiga pendekatan penyajian angka IMH ini sudah barang tentu mempunyai keuntungan dan kerugian, tergantung tujuan perhitungan IMH itu sendiri. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Mutu Hidup yang diperkenalkan akhir dasawarsa 70-an dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana hasil pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi peningkatan kualitas fisik kehidupan yang tercermin dari ketiga variabel. Pada awal tahun 1990 suatu team dari UNDP mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya untuk memperbaiki IMH dan diharapkan sebagai model pendekatan pengukuran kualitas penduduk. Tolok ukur ini disebut Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk melakukan pilihan-pilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini tercermin pada usia harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama. Dalam perhitungan IPM digunakan formula yang telah dipakai oleh UNDP pada tahun 1990 melalui tiga tahap. Pertama, menentukan suatu ukuran deprivasi 31 dari tiga variabel dasar yaitu angka harapan hidup (X1), melek huruf (X2) dan pendapatan per kapita yang telah disesuaikan (X3). Nilai minimum dan maksimum ditentukan untuk setiap variabel. Seberapa jauh suatu ukuran propinsi dari nilai maksimum dapat digunakan untuk mengetahui keterbelakangan suatu daerah. Untuk mengukur keterbelakangan suatu daerah secara relatif dapat dihitung dengan cara: max ( Xj ) – Xpj Ipj max ( Xj ) – min ( Xj ) p = Propinsi 1, 2, 3, 4, dst-nya j = indikator 1, 2, dan 3 Xpj = nilai indikator j untuk propinsi ke p mak (Xj) = nilai maksimum indikator j yang pernah dicapai min (Xj) = nilai minimum indikator j yang pernah dicapai Kedua, menentukan rata-rata deprivasi dari ketiga ukuran deprivasi dari 1 3 I pj 3 j 1 ketiga variabel yaitu: Ip Ketiga, mengukur besarnya indeks pembangunan manusia dengan cara: IPM = 1 - Ip Hasil perhitungan IPM berkisar antara 0 sampai 1, dan oleh UNDP dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni: 1. Indeks Pembangunan Manusia yang tinggi di mana nilainya 0,8 dan lebih. 2. Indeks Pembangunan Manusia cukup/sedang nilainya antara 0,500 - 0,89 dan 3. Indeks Pembangunan Manusia rendah nilainya kurang dari 0,5. Perkembangan nilai IPM Indonesia sejak tahun 1990 - 1995 dapat dilihat pada laporan Human Development Report, publikasi dari United Nation Development Programme (UNDP) terbit setiap tahun. Dalam perkembangan selanjutnya IPM dapat dihitung dengan menggunakan lebih dari tiga variabel. 32 Laporan UNDP 1994 dalam menghitung IPM menggunakan lima variabel yakni angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan. Tiga variabel pendidikan dibuat menjadi satu indeks. Dalam laporan tersebut disajikan pula IPM yang disusun dengan menggunakan delapan variabel yaitu angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, indeks melek huruf, indeks sekolah/ pendidikan, pendidikan tertinggi yang ditamatkan, pendapatan riil per kapita dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan, urutan IPM dan urutan pendapatan. Indeks komposite yang disusun dari ketiga variabel atau lebih diharapkan mampu menggambarkan tiga aspek kehidupan manusia yang penting yaitu dapat hidup lebih lama, dengan pengetahuan yang cukup memadai untuk hidup layak. Pada awal mulanya IPM yang dimulai dengan ukuran deprivasi untuk angka harapan hidup tertinggi yang dicapai oleh Jepang. Kemudian target melek huruf adalah 100 persen, sedangkan target pendapatan adalah logaritma batas kemiskinan rata-rata dari negara maju yang dinyatakan dalam kemampuan daya beli masyarakat. Pendapatan riil perkapita yang telah disesuaikan terhadap kemampuan daya beli harus dapat mencerminkan kenaikan hasil yang semakin berkurang dalam mentransformasikan pendapatan menjadi kemampuan manusia. Ini berarti seseorang tidak memerlukan sumber keuangan yang berlebihan untuk dapat memenuhi kehidupan yang layak. Dengan menggunakan logaritma pendapatan per kapita yang disesuaikan ini diharapkan dapat mencerminkan keadaan yang lebih baik terhadap kemampuan relatif untuk membeli komoditas dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk hidup. Kualitas Penduduk NonFisik Indikator kualitas penduduk nonfisik sangat berbeda dengan kualitas fisik, dan sebagian besar lebih banyak merupakan ukuran yang tidak langsung seperti ukuran gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Ascobat Gani (1984) menyebutkan bahwa kualitas nonfisik dapat dibedakan menjadi tiga sesuai dengan kepribadian penduduk yakni unsur kecerdasan, unsur rasa dan unsur budi. Unsurunsur kecerdasan adalah kemampuan memahami, menganalisa secara kritis/cermat 33 serta menghasilkan gagasan-gagasan baru. Dilihat menurut sifatnya, kecerdasan dapat dibedakan menjadi tiga yakni kecerdasan sosial yakni kemampuan untuk berhubungan secara harmonis dengan orang lain; kecerdasan konseptual yakni kemampuan memecahkan masalah yang bersifat abstrak dan kecerdasan mekanik yaitu kemampuan mendayagunakan benda-benda. Pengukuran kecerdasan dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Pengukuran langsung misalnya dengan melakukan psikotest yang lebih dikenal dengan IQ (intelegent quotient). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan prestasi akademis mulai dari pelajar dan mahasiswa. Ada pula pengukuran kecerdasan yang bersifat makro seperti memperhatikan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, perbedaan buta huruf antara penduduk laki-laki dan perempuan. Selanjutnya Ascobat Gani (1984) menyebutkan unsur rasa merupakan kualitas emosi yang merupakan unsur dua arah yakni yang positif seperti bahagia, senang, rasa aman, puas, sampai yang negatif seperti takut, gelisah, benci, khawatir dan marah. Oleh karena pengukuran unsur rasa/emosional ini cukup rumit dan kompleks, maka dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan melihat kejadian neurosis atau psikosis, meliputi gangguan berupa cemas, histeris dan sejenisnya. Penelitian Departement Kesehatan tahun 1980 menyebutkn angka neurosis antara 20-60 per 1000 penduduk dan angka psikosis antara 1-3 per 1000 penduduk. Kemudian unsur budi, merupakan kualitas nonfisik penduduk yang membatasi tingkah laku seseorang untuk senantiasa mematuhi norma.moral yang berlaku. Dalam hal ini budi akan mencegah seseorang untuk bersifat destruktif baik terhadap lingkungan sosial maupun dirinya sendiri. Kualitas budi dapat secara tidak langsung dilihat dari angka kriminalitas sebagai aspek negatif dan perbuatan kebijakan seperti beribadat misalnya sebagai aspek positif. Penentuan indikator kualitas penduduk merupakan pekerjaan yang rumit dan sulit karena kualitas penduduk tidak dapat dipisah-pisahkan, baik itu yang bersifat fisik maupun nonfisik. Akan bertambah sulit lagi terutama dalam mengukur kualitas non fisik karena kadangkala terpaksa menggunakan ukuran gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Sejalan dengan ini maka indikator 34 kualitas nonfisik merupakan ukuran yang tidak langsung. Berbeda halnya dengan kualitas fisik yang ukuran operasionalnya dapat mendekati pengertian konsepsionalnya, akan tetapi pengembangannya menjadi lambat dan banyak menimbulkan masalah selama sistem informasi kependudukan belum dapat menggantikan dominasi model estimasi tidak langsung (indirect methods). Ketergantungan pada data sensus dan survai dituntut oleh jumlah sampel yang cukup besar, agar analisis kualitas penduduk menurut sub-regional (Dati II) dapat ditampilkan. Pada sisi lain, semakin besar jumlah sampel semakin besar pula jumlah biaya yang diperlukan. Dalam kerangka seperti ini pelaksanaan sistem informasi kependudukan seperti registrasi penduduk, sistem informasi kependudukan dan keluarga menjadi mutlak segera dibenahi untuk mengumpulkan data secara cepat, akurat dan murah biayanya. Pengukuran kualitas penduduk dapat dilihat dari aspek demografi, dan nondemografi atau gabungan antara kedua aspek tersebut. Sampai saat ini kecuali IMH dan IPM masih melakukan secara terpisah-pisah dalam mengukur kualitas penduduk, baik itu aspek demografi maupun nondemografi. Artinya belum ditemukan suatu indikator komposite obyektif yang merupakan gabungan dari beberapa variabel, disusun dalam satu indeks kecuali IMH dan IPM dengan berbagai keterbatasan-keterbatasannya. Memilih variabel yang akan digunakan untuk mengukur kualitas penduduk bukan pekerjaan yang mudah, apalagi di dalam menentukan variabel tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti yang disebutkan oleh Morris. Bagaimana caranya untuk memilih variabel yang jumlahnya tidak terlalu banyak, mempunyai daya ungkit yang cukup besar, sudah ada ukuran standarnya merupakan agenda diskusi yang cukup menarik dalam penyusunan indikator. Evaluasi 1. Sebutkan 3 indikator kualitas penduduk dan jelaskan? 2. Jelaskan pentingnya kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan? 3. Aspek ketenagakerjaan apa saja yang penting untuk diperhatikan dalam era globalisasi? 4. Apa yang dimaksud dengan Human Capital Theory ? 5. Ada tiga dimensi dalam Human Development, sebutkan dan jelaskan ? 35 36 KULIAH: MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA Disiapkan Oleh: Agus Joko Pitoyo, S.Si, M.A. Topik : Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2007 37 Mohon dijawab pertanyaan berikut: 1. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural ? 2. Apa yang dimaksud dengan kemiskinan subyektif dan kemiskinan obyektif ? 3. Mengapa orang menjadi miskin ? 4. Bagaimana ciri-ciri orang miskin ? 5. Bagaimana menanggulangi kemiskinan ? 38 KONSEP KEMISKINAN DAN DAERAH TERTINGGAL Kemiskinan, penduduk miskin dan wilayah miskin (daerah tertinggal) merupakan tiga istilah yang hingga saat ini terus menjadi bahan perbincangan menarik di kalangan para pakar. Bukanlah suatu hal yang mudah untuk mendefinisikan ketiganya, hal ini disebabkan pengertian kemiskinan dapat ditinjau dari berbagai aspek dan memuat banyak dimensi baik material maupun non material. Secara umum kemiskinan berkaitan dengan masalah kesejahteraan dan pemerataan. Penduduk miskin didefinisikan berdasarkan berbagai macam kriteria. Sedangkan identifikasi wilayah miskin juga memiliki beberapa karakteristik tertentu, seperti sumberdaya alam, sumberdaya manusia, daya dukung wilayah, infrastruktur dan keterjangkauan (aksesibilitas). Uraian berikut mencoba menelusuri berbagai penelitian, penilaian dan perbincangan tentang kemiskinan yang pernah dilakukan, kriteria, dan termasuk pendefinisian tentang daerah dan desa tertinggal. 2.1. Konsep Kemiskinan Dalam Dasawarsa terakhir ini strategi yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bank Dunia (1990) dalam bidang pembangunan pedesaan difokuskan pada tekad untuk memerangi kemiskinan. Diantaranya dari Laporan tahunan yang menyatakan bahwa pembangunan pedesaan diartikan " .... a strategy designed to improve the economic and social life of the rural poor". Hal ini mengandung pengertian bahwa aspek sosial-ekonomi yang menyangkut peningkatan pendapatan masyarakat desa lebih diutamakan daripada aspek fisik lingkungan binaan pedesaan, selain itu upaya ini lebih ditekankan pada proses perubahan yang berkesinambungan. Kemiskinan pedesaan (rural poverty) merupakan salah satu topik yang tidak dapat dipisahkan dari masalah pembangunan pertanian dan pedesaan, terlebih dinegara sedang berkembang yang sebagian besar penduduknya tinggal di pedesaan yang umumnya dalam belenggu kemiskinan dengan pertanian sebagai basis ekonominya (Prayitno, Hadi, 1987:3). 39 Michael Todaro (1978) mengungkapkan bahwa jumlah terbesar penduduk miskin berada di daerah pedesaan dengan kegiatan di sektor pertanian dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian. Dengan demikian kemiskinan pedesaan merupakan sebuah pokok masalah yang tidak dapat dipisahkan dari masalah pembangunan pertanian dan pedesaan. Suhardjo (1988) ada dua macam kemiskinan bila dilihat dari penyebabnya yaitu: kemiskinan alamiah dan kemiskinan struktural. Kemiskinan alamiah yaitu kemiskinan yang terjadi karena keadaan alamnya yang miskin atau langkanya sumberdaya alam, sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh segolongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat tersebut menyebabkan tidak dapat ikut menggunakan sumber pendapatan yang tersedia. Kedua jenis kemiskinan ini terdapat di desa tertinggal, yang terjadi secara bersamaan sehingga sangat sulit membedakan keduanya. Menurut Robert Chambers yang dikutip Loekman Sutrisno, mengemukakan bahwa kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah jenis kemiskinan terpadu (integrated proverty), dengan ciri-ciri: kemiskinan pemilikan barang, fisik yang lemah, keterisoliran, kerentanan (vulnerability) dan ketidakberdayaan (powerlessness). Selanjutnya dua penyebab terakhir merupakan dua jenis ketidakberuntungan yang sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin. Dawam Rahadjo (1994) mengidentifikasikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan yang dialami seseorang atau suatu keluarga. Kondisi kemiskinan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang berbeda, diantaranya berkaitan dengan: kesempatan kerja, upah gaji dibawah standar minimum, produktivitas kerja yang rendah, ketiadaan aset (lahan maupun modal), diskriminasi, tekanan harga dan penjualan tanah untuk kepentingan non produktif. Emil salim (1980), terdapat 4 (empat ciri penduduk yang tergolong miskin di daerah pedesaan. Keempat ciri tersebut antara lain: 1) tidak memiliki faktor produksi sendiri (lahan, modal dan ketrampilan); 2) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh penguasaan terhadap faktor produksi dengan kekuatan sendiri; 3) tingkat pendidikan rendah; 4) kebanyakan tidak memiliki lahan, kalaupun ada umumnya sempit, sebagian besar bermatapencaharian sebagai buruh tani atau 40 pekerja kasar di luar pertanian. Untuk dapat mengurangi penduduk miskin pedesaan paling tidak dapat dilakukan melalui upaya penciptaan peluang kerja, peningkatan pendapatan dan peningkatan kualitas penduduk (pendidikan dan ketrampilan). Berbagai penelitian dan pustaka yang berkaitan dengan kemiskinan, umumnya fokus perdebatan berkisar pada definisi kemiskinan, penentuan batas kemiskinan, penyebab dan upaya-upaya mengatasi kemiskinan. Beberapa kriteria kemiskinan yang cukup dikenal antara lain menurut BPS, Depdagri, Sayogyo, Hendra Esmara dan PBB. Sebagai contoh kriteria kemiskinan yang dapat membantu dalam penelitian ini; Departemen Dalam Negeri (1985) dalam penelitiannya untuk menentukan lokasi Kecamatan miskin menggunakan garis batas kemiskinan atas dasar pendapatan untuk kebutuhan hidup yang penilaiannya didasarkan pada harga 9 bahan pokok di pasar setempat, kemudian diklasifikasi ke dalam 4 kelas kemiskinan yaituu: 1) miskin sekali jika pendapatan per kapita kurang dari 75% kebutuhan hidup minimum; 2) miskin, jika pendapatan per kapita antara 75-125%; 3) hampir miskin, jika pendapatan terletak antara 125 hingga 200 persen; 4) tidak miskin jika pendapatan perkapita lebih dari 200 persen kebutuhan minimum. PBB merekomendasikan 9 (sembilan) komponen untuk mengukur kemiskinan, diantaranya: kesehatan, perumahan, jaminan konsumsi sosial, pangan, rekreasi dan pendidikan, kebebasan kesempatan sebagai kerja, ukuran kesejahteraan.Singarimbun dan Penny (1976) dalam penelitiannya di dusun Miri Sriharji Imogiri Bantul pada tahun 1970 dengan menyoroti kemiskinan dalam hubungannya dengan tersedianya lahan dan kepadatan penduduk. Ternyata rasio yang tinggi antara manusia dan lahan (man-land ratio), mengakibatkan sebagian terbesar penduduk menjadi miskin, yakni 2/3 dari jumlah penduduk memperoleh penghasilan dibawah tingkat kecukupan. Perdebatan tentang pengertian kemiskinan dan batas kemiskinan tidak kunjung usai. Sebagai gambaran tabel berikut menyajikan tentang beberapa ukuran yang pernah dikemukakan oleh para pakar kemiskinan. Tabel 1. Ukuran kemiskinan dari Berbagai Macam Sumber 41 GARIS KEMISKINAN KRITERIA a. Esmara (1970) Konsumsi beras /kapita (Kg) b. Sayogyo (1971) Tingkat pengeluaran Ekwivalen Beras b. Anne Both (1970) KOTA DESA DESA DAN KOTA 125 Miskin (M) 480 320 Miskin Sekali (MS) 360 240 Paling Miskin (PM) 270 180 Kebutuhan gizi minimum per orang per hari Dan Ginneken 1. Kalori 200 2. Protein (gram) 50 d. Gupta (1973) Kebutuhan gizi minimum per orang per tahun (Rp.) e. Hasan (1975) Pendapatan minimum per kapita per tahun (US $) f. BPS (1984) Konsumsi kalori per kapita per hari 24000 125 95 2100 Pengeluaran per kapita per bulan (Rp) 13731 7746 g. Sayogya (1984) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp.) 8240 6585 h. Bank Dunia (1984) Pengeluaran per kapita per bulan (Rp.) 6719 4479 i. Internasional 1. United Nation (1976), nilai US $ tahun 1970 75 2. Ahluwalia (Pendapatan per kapita per tahun (US $) 75 Biro Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi terakhir, membuat tolok ukur garis kemiskinan. Penduduk dikatakan miskin jika berada dibawah garis kemiskinan, yaitu batas pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran untuk 52 macam komoditas pangan dan non pangan (27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa). Dalam SUSENAS Maret 2006, dinyatakan batas kemiskinan (Rp/bulan) untuk Perkotaan (Rp. 175.324), Perdesaan (Rp. 131.256), dan Kota+desa (Rp. 152.849). Berdasar kriteria tersebut, Jumlah penduduk miskin pada maret 2006 sebanyak 39,5 juta orang atau 17,75 persen dari 42 total 222 juta penduduk. Dalam pendataan terakhir yang dilakukan BPS berkaitan dengan penduduk miskin penelima dana BLT (Bantuan Langsung Tunai), disebutkan bahwa penduduk miskin yang berhak mendapat BLT memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2. lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan 3. jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tidak diplester 4. tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama/sama dengan rumah tangga lain 5. penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik 6. sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai air hujan 7. bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah 8. hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu 9. hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun 10. hanya sanggu makan sebanyak satu/dua kali sehari 11. tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik 12. sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan 13. pendidikan tertinggi kepala rumah tangga adalah tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD 14. tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000 seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. 43 Bank Dunia (2003) mengatakan, 60% rakyat Indonesia tergolong miskin, 1020% diantaranya miskin absolut. Kriteria yang dipakai adalah pendapatan 2 dolar AS/orang/bulan.Sedangkan MDGs (Millenium Development Goals) tahun 200 menyepakati tentang malnutrisi (gizi kurang/buruk)sebagai indikator kemiskinan, terutama dengan ukuran operasional tentang proporsi anak balita kurang gizi atau berberat badan rendah. Definisi tentang kemiskinan juga disampaikan oleh BKKBN sejak beberapa tahun lalu menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan yang lebih operasional yakni dengan membagi keluarga dalam kategori pra sejahtera, sejahtera I, Sejahtera II, Sejahtera III, dan Sejahtera III plus, dengan ciri-ciri sebagai berikut : 44 Tabel 2. Ukuran Kesejahteraan Keluarga Menurut BKKBN No Tipe 1. 2. Pra KS KS I 3. Keluarga Sejahtera KS II 4. Keluarga Sejahtera KS III 5. Keluarga Sejahtera KS III+ Keluarga Sejahtera Indikator Tidak memiliki ciri 1-22 (Merah) 1. Pernah menjalankan Ibadah 2. Seluruh AK makan >= 2 kali 3. Memiliki pakaian berbeda (sekolah/kerja, bepergian) 4. Lantai sebagian besar bukan dari tanah 5. Jika sakit ke sarana kesehatan I, memiliki ciri 1-5 (Kuning) 6. Minimal seminggu sekali, pakai menu Daging/Ikan/Telur 7. Baju baru satu stel (minimal satu tahun) 8. Rasio lantai per jiwa minimal 8m2 9. Bisa baca dan tulis 10. Anak usia 10-12 tahun bersekolah 11. Minimal satu AK mempunyai pekerjaan tetap 12. Satu bulan terakhir AK sehat 13. Ibadah secara teratur II, memiliki ciri 1-13 (Coklat) 14. Jumlah anak maksimal 2 orang dan KB 15. Ada tabungan keluarga 16. Ikut dalam kegiatan masyarakat 17. Rekreasi minimal 3 bulan sekali 18. Mengetahui berita dari Radio/TV/koran 19. Akses terhadap sarana transportasi (angkutan) 20. Peningkatan pengetahuan agama III, memiliki ciri 1-20 (Hijau) 21. Memberi sumbangan secara teratur dengan materi 22. Aktif dalam organisasi kemasyarakatan III+, memiliki ciri 1-22 (Biru) Keterangan : AK (Anggora Keluarga) Pada tataran kemiskinan wilayah, tinjauan pustaka relatif langka didapatkan, meskipun demikian hasil studi dari BPS (1993) tentang identifikasi desa miskin dapat dijadikan sebagai bahan kajian yang menarik. Variabel yang digunakan sebagai penentu desa miskin terdiri dari 27 untuk desa di wilayah pedesaan, dan 25 variabel untuk perkotaan, disamping 9 variabel tambahan. Variabel ini dikelompokkan menjadi empat, yakni potensi desa, prasarana dan sarana sosial-ekonomi desa, fasilitas perumahan dan lingkungan, serta keadaan sosial demografi penduduk. Oleh karena itu secara umum desa-desa miskin dicirikan oleh keadaan rendahnya potensi desa, prasarana-sarana sosial-ekonomi desa, kondisi perumahan dan lingkungan serta posisi sosial demografis yang tidak menguntungkan. Lebih lanjut wilayah dengan potensi miskin umumnya menyebabkan penduduk miskin. 45 2.2. Konsepsi Daerah atau Desa Tertinggal Salah satu isu strategis yang menjadi tantangan pembangunan nasional adalah tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 36,2 juta jiwa atau sebesar 16,65% dari jumlah penduduk Indonesia sebesar 217 juta jiwa [data Susenas, BPS, 2004]. Kenyataan obyektif yang masih tergambar adalah lebih dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan perdesaan dan sekitar 14,6 juta dari 36,2 juta penduduk miskin di Indonesia. Tingginya tingkat kemiskinan di perdesaan diperparah dengan masih banyaknya daerah tertinggal dan desa-desa tertinggal (sekitar 10.600 desa). Dewasa ini terdapat 199 daerah yang dikategorikan sebagai daerah tertinggal, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Sebagian kecil daerah tertinggal terdapat di Pulau Jawa dan Bali. Bagian terbesarnya tersebar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Berdasarkan sebaran wilayahnya, sebanyak 123 kabupaten atau (63%) kawasan tertinggal berada di Kawasan Timur Indonesia, 58 Kabupaten (28%) berada di Pulau Sumatera, dan 18 Kabupaten (8%) berada di Pulau Jawa dan Bali. Di luar kategori wilayah tertinggal, terdapat sejumlah kawasan yang dapat kita sebut sebagai “kawasan paling tertinggal”. Kawasan ini dihuni oleh Komunitas Adat Terpencil (KAT), yaitu kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar. Pada umumnya, kawasan itu belum tersentuh oleh jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi dan politik. Sementara itu, hampir seluruh pulau-pulau kecil terluar dan terdepan di dalam wilayah kedaulatan negara kita, yang berjumlah 92 pulau, termasuk pula di dalam kategori kawasan tertinggal. Desa tertinggal tersebut antara lain dicirikan oleh masih relatif rendahnya tingkat pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan dan pelayanan infrastruktur termasuk karakter penduduknya. Disamping itu juga dipengaruhi oleh keterisolasian dan minimnya potensi daerah yang ada, sehingga menyebabkan kurang berkembangnya kegiatan ekonomi produktif di perdesaan yang pada gilirannya mendorong terjadinya peningkatan kemiskinan. Penduduk perdesaan menghadapi masalah kemiskinan karena 46 ketertinggalan desanya akan pelayanan infrastruktur perdesaan untuk pertumbuhan ekonomi lokal disebabkan karena sangat terbatasnya dana pembangunan. Penduduk dari sebagian terbesar desa-desa tertinggal (73%) harus menempuh 6-10 km dari desanya ke pusat pemasaran (terutama pusat kecamatan) sedangkan desa-desa sisanya bahkan harus menempuh >10Km dengan kondisi jalan yang memprihatinkan berupa jalan tanah (di sekitar 27% desa tertinggal). Penduduk yang terlayani air minum perpipaan baru mencapai 9% selebihnya masih mangambil langsung dari sumber yang tidak terlindungi; Petani dari sekitar 88% desa tertinggal memiliki luas lahan taninya < 0,5 ha (lahan marjinal) sehingga dibutuhkan prasarana irigasi desa yang mendukung terjamin berlanjutan produksi guna mencukupi kebutuhannya. Pembangunan, khususnya pembangunan di perdesaan merupakan suatu proses peningkatan kemampuan penduduk desa dalam mengusasai lingkungan sosial. Menguasai lingkungan sosial tersebut baru dapat terjadi apabila pembangunan perdesaan merupakan proses kemandirian (Hasbullah, 1994). Akibat dari kemampuan penguasaan terhadap lingkungan sosial adalah terjadinya peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat perdesaan. Hal ini mutlak diperlukan agar masyarakat desa dapat terhindar dari upaya-upaya dari luar yang akan mempengaruhi atau mengambat perkembangan desa tersebut. Terkait masalah perkembangan desa, dewasa ini topik tersebut menjadi bahan diskusi yang selalu aktual. Hal ini didasarkan pada tingginya jumlah wilayah desa di Indonesia yang dikategorikan sebagai daerah/desa tertinggal. Rusli, (1994) menjelaskan bahwasanya desa tertinggal merupakan wilayah dengan rata-rata perkembangan yang cenderung lebih rendah dibanding dengan rata-rata perkembangan desa di Kabupaten atau propinsi yang sama. Dalam berbagai kasus eksistensi daerah/desa tertinggal seringkali dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang ada. Pada dasarnya kemiskinan dan ketertinggalan merupakan dua konsep yang berbeda, namun memiliki keterkaitan yang cukup erat. Meskipun demikian perlu digarisbawahi bahwa daerah/desa miskin pada prinsipnya bukan berarti 47 tergolong sebagai daerah/desa tertinggal. Penelitian Rusli dkk, 1994 menunjukkan bahwa dalam desa yang tidak tertinggal juga ditemukan golongan miskin. Beberapa contoh ditemukan di Propinsi Riau, terdapat daerah-daerah kumuh yang umumnya dihuni oleh lapisan bawah dari masyarakat menurut tokoh masyarakat di tingkat desa/kelurahan pada desa atau kecamatan yang tergolong maju. 2.2.1. Kementrian Daerah Tertinggal Sampai saat ini belum terdapat pendefinisian desa tertinggal yang baku. Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal mendefinisikan daerah tertinggal adalah daerah Kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional, dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Beberapa faktor yang diienstifikasi ebagai faktor penyebab ketertinggalan suatu daerah adalah : (1) Geografis. Umumnya secara geografis daerah tertinggal relatif sulit dijangkau karena letaknya kepulauan, yang pesisir, geomorfologis jauh dan lainnya di pedalaman, pulau-pulau sehingga sulit perbukitan/pegunungan, terpencil atau dijangkau oleh karena jaringan faktor baik transportasi maupun media komunikasi. (2) Sumberdaya Alam. Beberapa daerah tertinggal tidak memiliki potensi sumberdaya alam, daerah yang memiliki sumberdaya alam yang besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan. (3) Sumberdaya Manusia. Pada umumnya masyarakat di daerah tertinggal mempunyai tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan yang relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang. (4) Prasarana dan Sarana. Keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan masyarakat di daerah tertinggal tersebut mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial. (5) Daerah Rawan Bencana dan Konflik Sosial. Seringnya suatu daerah 48 mengalami bencana alam dan konflik sosial dapat menyebabkan terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi. (6) Kebijakan Pembangunan. Suatu daerah menjadi tertinggal dapat disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat seperti kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan. Dilihat dari sebaran keruangannya, daerah tertinggal secara geografis digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain: (1) Daerah yang terletak di wilayah pedalaman, tepi hutan, dan pegunungan yang pada umumnya tidak atau belum memiliki akses ke daerah lain yang relatif lebih maju; (2) Daerah yang terletak di pulau-pulau kecil, gugusan pulau yang berpenduduk dan memiliki kesulitan akses ke daerah lain yang lebih maju; (3) Daerah yang secara administratif sebagian atau seluruhnya terletak di perbatasan antarnegara baik batas darat maupun laut; (4) Daerah yang terletak di wilayah rawan bencana alam baik gempa, longsor, gunung api, maupun banjir. (5) Daerah yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penetapan kriteria daerah tertinggal dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu : perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal, aksesibilitas dan karakteristik daerah, serta berdasarkan kabupaten yang berada di daerah perbatasan antarnegara dan gugusan pulau-pulau kecil, daerah rawan bencana, dan daerah rawan konflik. 2.2.2. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Dalam kaitannya dengan program penanggulangan kemiskinan dan pengembangan daerah tertinggal, satu dasawarsa yang Bappenas (1993) telah 49 menyusun program Inpres Desa tertinggal (IDT) dan melaksanakan penelitian partisipatoris berupa kaji tindak kebijakan (policy research) program IDT untuk mengetahui kesesuaian program dengan kenyataan di lapangan serta proses pembangunan masyarakat desa tertinggal. Studi ini menghasilkan berbagai karaktersitik, potensi dan keberhasilan program IDT pada berbagai macam tipologi desa tertinggal. Secara umum didapatkan 23 (duapuluh tiga) tipologi desa di Indonesia, yaitu desa transmigrasi, desa hutan, desa pantai, desa lahan kering, desa lahan sawah, desa perkebunan, desa monokultur tanaman tertentu, desa terpencil, desa daerah aliran sungai, desa adat, desa padat penduduk, desa jarang penduduk, desa penghasil garam, desa pariwisata, desa peternakan, desa kerajinan (tenun dan gerabah), desa pegunungan, desa pasang surut, desa perbatasan, desa pertambangan aspal, desa suku pendatang dan desa tipologi kepulauan. Selaras dengan definisi tentang daerah tertinggal adalah termasuk wilayah terisolir, yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain: (1) terbatasnya akses transportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif lebih maju; (2) kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar; (3) kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia; (4) belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) secara langsung; dan (5) belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayahini. 2.2.3. Departemen Dalam Negeri (DEPDAGRI) Dalam kaitannya dengan penentuan desa miskin, Direktorat Jendral Pembangunan Desa (Dirjen Bangdes) mengidentifikasikan daerah/desa/kelurahan miskin dengan mengukur tingkat pendapatan per kapita per tahun. Pendapatan bersih desa per kapita per tahun didasarkan pada total pendapatan dari berbagai sektor dengan memperhitungkan biaya produksi dan penyusutannya. Sektorsektor tersebut meliputi: tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, kehutanan dan pekarangan, peternakan, perikanan, pertambangan/bahan galian, industri/kerajinan rakyat, perdagangan, transportasi/angkutan dan jasa. 50 Di lain pihak Bangdes juga mengidentifikasi daerah/desa tertinggal dengan melihat tingkat perkembangan desa yang didasarkan pada data potensi desa (Podes-Bangdes). Podes-Bangdes mengandung 4 aspek pendekatan dan 7 indikator yang cukup komprehensif, yaitu : Aspek ideologi dan politik : indikator politik Aspek Ekonomi : indikator tingkat pendapatan desa per kapita, indikator tingkat ketergantungan, dan peranserta masyarakat Aspek sosial budaya : indikator kesehatan masyarakat dan pendidikan Aspek ketenteraman dan ketertiban : indikator kamtibnas yang selanjutnya ditentukan tingkat perkembangan desa berdasarkan ciri : desa swadaya, desa swakarsa, dan desa swasembadan. Selain itu juga diperhitungkan tipe desa berdasarkan pendekatan potensi dominan yang telah diolah dan dikembangkan serta menjadi sumber penghidupan sebagian besar masyarakat, misalnya desa nelayan, desa kerajinan atau desa industri. 2.2.4. Ditjen Agraria (Badan Pertanahan Nasional) Seperti halnya Bangdes, Direktorat Tataguna Tanah, Ditjen Agraria dan Departemen Dalam Negeri juga melakukan analisis penentuan daerah miskin pada level kecamatan untuk seluruh wilayah Indonesia. Patokan yang digunakan adalah kebutuhan minimum yang meliputi sembilan bahan pokok kebutuhan sehari-hari dan didapatkan 4 klasifikasi, yaitu: Miskin sekali, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya di bawah 75 persen dari kebutuhan hidup minimum Miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya25 persen kurang atau 25 persen lebih dari pada kebutuhan hidup minimun Hampir miskin, yaitu daerah yang pendapatan perkapita penduduknya 25 persen lebih dari kebutuhan hidup minimum sampai mencapai kebutuhan hidup sekunder (200 persen) Tidak miskin, yaitu daerah yang pendapatan per kapita penduduknya melebihi kebutuhan hidup sekunder 51 Disamping itu ditentukan pula 14 variabel yang berpengaruh terhadap kemiskinan daerah yaitu meliputi: kepadatan penduduk, tingkat pengangguran, realisasi IPEDA, luas lahan pertanian, tanah rusak, luas panen bahan makanan, jumlah pemilik tanah, nilai ternak, panjang jalan kendaraan roda empat, rumah permanen dan semi permanen, jumlah anak per kepala keluarga, tanah pertanian rakyat, dan jumlah anak per penduduk. 2.2.5. Badan Pusat Statistik (BPS) Biro Pusat Statistik tahun 1993 membuat peta kemiskinan berdasarkan Data Podes tahun 1990, yang sebenarnya lebih menggambarkan peta tingkat keterbelakangan atau ketertinggalan wilayah atau desa (Sumardjo, et al, 1995). Pada tahun 1994 BPS mencoba untuk mengidentifikasikan daerah tertinggal di Indonesia dengan menyempurnakan metode yang digunakan sebelumnya (tahun 1993), yaitu dengan cara mereduksi varibael wilayah kota dari 25 menjadi 17, dan dari 27 menjadi 18 (untuk wilayah perdesaan). Variabel-variabel tersebut tidak hanya mencakup variabel potensi desa dan keadaan perumahan/lingkungan, tetapi juga variabel mengenai potensi penduduk dan kemudahan (akses) untuk mencapai fasilitas umum. Variabel tersebut mencakup lapangan usaha mayoritas penduduk; fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi; kepadatan penduduk; sumber air minum/masak; sumber bahan bakar; cara membuang sampah; jenis jamban persentase rumah tangga pengguna listrik, TV, kendaraan bermotor roda 4 atau kapal motor; persentase rumah tangga pertanian; persentase rumah tangga yang menyekolahkan anak/famili ke PT; keadaan sosial ekonomi; kemudahan mencapai puskesmas, pasar permanen dan pertokoan. Sedangkan untuk daerah pedesaan, selain variabel tersebut juga ditambahkan variabel jalan utama desa, serta keberadaan rumah tangga pelanggan koran/majalah. 2.2.6. Penelitian Sayogyo, dkk Di lain pihak Sayogyo, dkk (1992) melalui metode tipologi melakukan studi pengidentifikasian wilayah miskin dengan membedakan antara daerah tertinggal dan maju. Tipologi tersebut dibuat dengan menganalogikan bahwa kemiskinan 52 merupakan fungsi dari ketertinggalan perkembangan sektoral seperti pendidikan, sarana ekonomi, media massa, kesehatan, industri, pertanian, jasa dan lainnya. Dengan menggunakan metode yang sama seperti yang digunakan Sayogyo, para ahli dari IPB mencoba memetakan wilayah-wilayah tertinggal dengan memanfaatkan data podes dan sensus ekonomi untuk menggambarkan ketenagakerjaan di berbagai sektor. Berdasarkan kombinasi data tersebut dihasilkan tipe perkembangan wilayah berdasarkan (1) perkembangan sektor modern, (2) perkembangan sektor tradisional, (3) perkembangan pelayanan umum dan (4) perkembangan pelayanan pendidikan. 2.2.7. Dinas Sosial Dalam menentukan daerah tertinggal, Dinas Sosial menggunakan indikator yang relatif berbeda dengan penekanan pada daerah/desa rawan sosial ekonomi. Menurut Dinsos terdapat tujuh golongan masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), yaitu : keluarga fakir miskin, wanita rawan sosial ekonomi, keluarga berumah tak layak huni, anak terlantar, gelandangan dan pengemis. Sedangkan indikator keluarga fakir miskin menurut rumusan Depsos (1992) adalah Perorangan atau kepala keluarga berusia 18 – 55 tahun Mempunyai atau tidak mempunyai pekerjaan yang layak dengan penghasilan rendah (dibawah standar garis kemiskinan BPS yang berlaku pada tahun yang sama) Kondisi rumah dan lingkungan tidak layak huni Tingkat pendidikan dan keterampilan rendah Mempunyai atau menghadapi hambatan-hambatan psikologis dan sosial 53 2.2.8. Pertimbangan Penetapan Daerah tertinggal Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan berdasarkan 6 (enam) kriteria dasar yaitu : faktor geografis (letak, aksisibilitas dan karakteristik desa), kondisi sosial ekonomi, sarana dan prasarana, sumberdaya ekonomi pedesaan, tingkat kerawanan bencana, dan kemampuan swadaya desa. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka ditetapkan sejumlah desa tertinggal, beserta prioritas dan pengembangannya. 1. Faktor geografis (lokasi) Letak Indentifikasi letak berkaitan dengan penentuan daerah/desa tertinggal dirasa perlu, sebab letak suatu daerah/desa mampu mencerminkan hubungan keterkaitan dengan pusat pertumbuhan, pusat pemerintahan, pusat pelayanan ekonomi ataupun tingkat interaksinya dengan wilayah lain. Prinsipnya semakin jauh letak suatu daerah dengan pusat pertumbuhan atau pusat pelayanan ekonomi, maka semakin rendah tingkat perkembangannya. Hal ini sesuai dengan teori pusat pertumbuhan, dimana daerah di dekat pusat pertumbuhan akan lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan daerah yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan. Konsekuensi yang harus ditanggung oleh daerah yang letaknya jauh dari pusat pelayanan adalah tingginya waktu jempuh untuk mencapai pusat pertumbuhan tersebut Aksesibilitas Aksesibilitas merupakan kemudahan untuk mencapai pusat-pusat pelayanan yang ada. Aksesibilitas yang baik akan mempermudah mobilitas barang dan modal. Dalam proses produksi, faktor aksesibilitas sangat dipertimbangkan sebab akan mempengaruhi peningkatan biaya produksi dengan adanya tambahan biaya pengangkutan. Di lain pihak, juga dipertimbangkan faktor kualitas jalan sebab akan mempengaruhi kualitas produk yang akan diperoleh ataupun dipasarkan. Sehingga seringkali, daerah dengan aksesibilitas rendah akan sulit ditembus oleh investasi atau masuknya modal dari luar. Akibatnya, daerah tersebut akan mengalami ketertinggalan perkembangan 54 Karakter desa Untuk mengetahui tingkat ketertinggalan daerah/desa dapat dilihat berdasarkan karakter wilayahnya. Daerah berciri desa salahsatunya ditandai dengan dominasi sektor pertanian, sejauh ini daerah pertanian relatif lambat pertumbuhannya. Pada sisi lain, desa transisi selain memiliki ciri desa juga memiliki ciri kota karena faktor kedekatannya dengan pusat pertumbuhan. Dengan demikian, karakter desa dapat digunakan untuk menentukan apakah desa tersebut tertinggal atau tidak. 2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa 3. Sarana dan Prasarana Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sumberdaya manusia. Untuk mencetak kualitas sumberdaya manusia yang unggul, diperlukan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai pula. Untuk itu daerah yang memiliki fasilitas pendidikan cukup lengkap dari tingkat terendah (TK) hingga perguruan tinggi mencerminkan kemajuan pembangunan di bidang pendidikan Kesehatan Di bidang kesehatan, ketersediaan sarana prasarana rumah sakit, poliklinik, puskesmas, apotik, dokter dan bidan menggambarkan kemajuan pembangunan kesehatan dan kesiapan daerah dalam melayani masyarakat. Secara tidak langsung ketersedian sarana prasarana kesehatan akan berpengaruh terhadap angka harapan hidup masyarakat. Di daerah tertinggal pada umumnya ketersediaan fasilitas kesehatan cukup terbatas, dalam kesehatan masyarakat cenderung menggunakan metode tradisional. Ekonomi Kemajuan daerah/desa ditandai dengan ketersediaan sarana prasarana ekonomi seperti pasar permanen/permanen dan harian/non harian, pasar hewan/non hewan, kompleks pertokoan, restoran, koperasi, bank serta hotel. Sarana prasarana tersebut berfungsi untuk menunjang pergerakan aktivitas 55 ekonomi lokal dan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan eksistensi pasar harian memiliki arti yang lebih penting daripada masyarakat perkotaan, sebab berfungsi sebagai tempat pemasaran hasil panen mereka. Umum Sarana prasarana umum lainnya yang berkaitan dengan tingkat perkembangan daerah/desa, tertutama berkenaan dengan keinginan desa untuk membuka diri terhadap informasi dan dunia luar, menyangkut ketersediaan wartel/telepon umum/warpostel, kantor pos, koran/surat kabar, penyewaan video/VCD serta listrik penerang jalan. 4. Sumberdaya Ekonomi Desa Daerah/desa pada prinsipnya memiliki variasi sumberdaya ekonomi, seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri pengolahan, industri kecil dan rumah tangga dan pertambangan. Terkadang desa/daerah dimungkinkan memiliki potensi sumberdaya ekonomi lebih dari satu. Luas/persentase sawah Luas/persentase sawah berkaitan dengan produktivitas pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu indikasi kemiskinan wilayah. Dalam hal tingkat produktivitas pertanian dapat digunakan untuk menentukan desadesa yang tergolong kurang produktif ataupun yang produktif Sumberdaya perkebunan, dan peternakan Sumberdaya perkebunan dan peternakan pada dasarnya memiliki keunggulan komparatif dan apabila dikelola dengan baik dapat memberikan keuntungan bagi desa secara optimal Sumberdaya ekonomi perikanan Keberadaan industri pengolahan Keberadaan industri pengolahan mampu menggambarkan perubahan kemajuan pembangunan daerah/desa yang semula bertumpu pada sektor pertanian Keberadaan industri kecil dan rumah tangga 56 Terlepas dari peran Industri rumah tangga dan industri kecil sebagai penopang ekonomi nasional, industri rumah tangga juga merupakan cerminan kemapaman dan kemandirian ekonomi masyarakat desa. Sumberdaya pertambangan Sumberdaya pertambangan terutama yang menguasai hajat hidup orang banyak akan dikelola oleh negara, sedangkan daerah/desa pemilik sumberdaya tersebut akan memperoleh income dari eksplorasi dan ekspoitasi yang dilakukan (perbandingan persentase penerimaan daerah dan negara sudah diatur oleh pemerintah dengan memeprtimbangkan jenis barang tambangnya). Dengan demikian, memiliki sumberdaya pertambangan merupakan modal yang dapat diandalkan untuk pembangunan 5. Tingkat kerawanan Bencana Alam Pada dasarnya daerah/desa tertinggal disebabkan karena faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik tersebut mencakup potensi-potensi bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, lahan kritis dan pencemaran lingkungan. Bekerjanya faktor fisik tersebut berdampak pada ketidakstabilan sistem dan proses pembangunan. Seringkali pemerintah harus mengeluarkan biaya ekstra untuk memperbaiki sarana prasarana yang rusak akibat bencana serta memberikan bantuan kepada korban bencana. 6. Keswadayaan Desa Perbandingan swadaya masyarakat dengan dana dari pemerintah Kemajuan daerah/desa dicirikan dengan kemandirian desa dalam membiayai pembangunan fisik atau sarana dan prasarana desa. Kondisi ini secara tidak langsung dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan dan partisipasi masyarakat, dimana masyarakat dapat menyisakan sebagian aset yang dimilikinya untuk keperluan pembangunan desa. Aset desa Apabila golongan miskin dapat diidentifikasikan dengan melihat rendahnya kepemilikan aset, maka daerah miskin atau tertinggal juga dapat diidentifikasikan dengan melihat aset yang dimiliki oleh daerah/desa. Aset desa dapat dikelola dab dimanfaatkan sebagai modal untuk keperluan 57 pembangunan, tanpa harus menunggu dana dari pemerintah yang relatif lama dan sulit perolehannya. Pembangunan daerah tertinggal merupakan upaya terencana untuk mengubah suatu daerah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pembangunan daerah tertinggal ini berbeda dengan penanggulangan kemiskinan dalam hal cakupan pembangunannya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, dan keamanan (bahkan menyangkut hubungan antara daerah tertinggal dengan daerah maju). Di samping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Berdasarkan hal tersebut di atas, Pemerintah memiliki komitmen yang tinggi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di kawasan-kawasan yang tertinggal itu. Pemihakan terhadap rakyat di kawasan itu adalah suatu keniscayaan dan kita lakukan demi keadilan. Untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah-daerah tertinggal, Pemerintah telah dan sedang mengambil langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, meningkatkan sarana dan prasarana pendukung pengembangan sosial ekonomi, terutama membuka akses ke pusat-pusat pertumbuhan lokal, dan peningkatan pelayanan di bidang pendidikan dan kesehatan; Kedua, pemutakhiran data dan informasi mengenai daerah tertinggal; Ketiga, percepatan pembangunan infrastruktur perdesaan; dan Keempat, percepatan pembangunan kawasan Produksi Daerah tertinggal secara terintegrasi. Indikator Kriteria Desa Tertinggal Berdasarkan kajian awal teori-teori dan studi tentang pengembangan wilayah perdesaan dan khususnya desa tertinggal, dapat disusun sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk menetapkan desa tertinggal, diantaranya terdiri dari enam kelompok indikator, yaitu : (1) Faktor Geografis, (2) Kondisi 58 Sosial Ekonomi Masyarakat, (3) Sarana dan Prasarana Desa, (4) Sumberdaya Ekonomi Desa, (5) tingkat kerawasan terhadap bencana, dan (6) tingkat keswadayaan desa. Selengkapnya rincian dari enam indikator tersebut diuraikan dalam tabel 1 berikut. 59 Tabel 4. Kriteria dan Indikator penentuan Desa tertinggal di Daerah No. Indikator variabel 1 Faktor Geografi (lokasi) 1. Letak Tingkat kemudahan keterjangkauan (aksesibilitas) desa 2. Aksesibilitas 3. karakter desa 2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Desa 1. Tingkat kesejahteraan 2. Tingkat kesmikinan 3. Karakteristik rumah dan lingkungan 3. Tingkat pendidikan 4. Struktur mata pencaharian utama 3 5. Tingkat kesehatan Sarana dan prasarana Desa 1. Pendidikan 2. Kesehatan Jarak desa terhadap pusat kecamatan, pusat kabupaten, dan pusat ekonomi terdekat Waktu tempuh dari desaerhadap pusat kecamatan, pusat kabupaten, dan pusat ekonomi terdekat Kualitas jalan, baik jalan tanah, jalan batu (diperkeras), jalan aspal Jalan dapat dilalui kenaraan roda 4 Jalan desa dilewati angkutan kota / pedesaan Jalan desa dilewati bus umum antar kota Tipe atau kelas jalan : Jalan lokal, primer, sekunder, arteri, dan sebagainya Desa Rural (berciri desa) Desa Urban (berciri kota / kelurahan) Semakin tinggi jumlah atau prosentase penduduk miskin (pra sejahtera) semakin potensi menjadi desa tertinggal Jumlah penduduk pra sejahtera dan sejahtera I (versi BKKBN) Jumlah penduduk miskin atau penelima BLT (Bantuan langsung Tunai) Jumlah rumah non / semi pernanen Jenis lantai rumah Jenis dinding rumah Jenis atap rumah Pengunaan listrik Fasilitas buang air besar Sumber air minum Bahan bakar yang dipakai Proporsi penduduk menurut tingkat pendidikan (khususnya tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD) Penduduk bermata pencaharian non pertanian, selain dari petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan rendah Kejadian muntaber Kejadian busung lapar (kurang gizi) TK (Negeri dan swasta) SD/MI (Negeri dan swasta) SMP/MTS(Negeri dan swasta) SMA/SMK/MAN(Negeri dan swasta) Kursus ketrampilan Rumah sakit Poliklinik Puskesmas Puskesmas pembantu Puskesmas keliling Bidan/Manteri Praktek dokter 60 3. Ekonomi 4. Umum 4 Sumberdaya ekonomi desa 5 Tingkat kerawanan Bencana alam 6 Keswadayaan desa Toko obat/apotik Pasar non permanen Pasar permanen Pasar harian Pasar non harian Pasar hewan Kompleks (kelompok) pertokoan Restoran (Warung makan) Koperasi Bank pemerintah/swasta Hotel/Penginapan Penyewaan alat (perkawinan, kursi, tenda,dll) Persewaan Video/VCD, dll Wartel/telpon umum/warpostel Kantor pos Koran/surat kabar Listrik penerang jalan Pos polisi Pos militer (koramil) Luas /persentase sawah Sumberdaya perkebunan (keberadaan lahan perkebunan, perkebunan besar, misalnya karet, sawit, tebu) Sumberdaya ekonomi peternakan (jumlah ternak) Sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah produksi ikan, eksisten budidaya tambak) Keberadaan industri pengolahan (industri menengah dan besar/pabrik) Keberadaan industri kecil dan rumah tangga Sumberdaya pertambangan (keberadaan dan jumlah) Keberadaan tempat atau objek wisata Eksistensi sumberdaya ekonomi perikanan (jumlah produksi ikan) Jenis kerawanan bencana (kejadian bencana) Gempa Banjir Tanah longsor Lahan kritis Pencemaran lingkungan Besar kecilnya swadaya masyarakat dalam pembangunan, khususnya jika dibandingkan dengan dana dari pemerintah Aset desa 61 Kebijakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan 1. Pemenuhan Hak Dasar Pemenuhan hak-hak dasar manusia terdiri dari penyediaan dan perluasan akses pangan; layanan kesehatan; layanan pendidikan; peningkatan kesempatan kerja dan berusaha; perluasan akses layanan perumahan; penyediaan air bersih dan aman, serta sanitasi; perluasan akses tanah; perluasan akses sumberdaya alam dan lingkungan hidup; peningkatan rasa aman; dan perluasan akses partisipasi. 1.1 Penyediaan dan Perluasan Akses Pangan Hak atas pangan merupakan salah satu hak dasar umat manusia, dan dijamin dlam ketentuan perundang-undangan. UU No.7 tahun 1996 tentang Perlindungan Pangan menyebutkan bahwa pangan yang aman dan bermutu merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia. Landasan hukum tersebut didukung dengan berbagai kebijakan seperti halnya Keputusan Menteri Keuangan No.368/KMK.01/1999 tentang penetapan tarif impor beras, Inpres No.9 tahun 2002 tentang kebijakan perberasan, Kepres No.68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Lebih lanjut secara operasional penyelenggaraan dan perluasan akses pangan bagi penduduk miskin diatur dalam Inpres No. 9 tahun 2002 yang kemudian direvisi dengan Inpres No. 2 tahun 2005. Dalam Inpres tersebut disebutkan bahwa pemerintah menjaminkan dalam penyediaan dan penyaluran beras bersubsidi bagi kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan. 1.2. Perluasan Akses Layanan Kesehatan Arah kebijakan pembangunan kesehatan yang telah diluncurkan adalah mencapai Indonesia sehat tahun 2010. Kebijakan tersebut didukung degnan pelaksanaan Instruksi Presiden tentang Sarana Kesehatan (Inpres Sarkes) untuk memperluas jangkauan pelayanan kesehatan sejak tahun 1970an. Kebijakan tersebut berperan besar dalam memperbaiki status kesehatan masyarakat. Upaya pemerintah menciptakan pemerataan pelayanan kesehatan yang telah dilaksanakan antara lain yaitu penyebaran tenaga kesehatan (PTT); kebijakan pembebasan biaya kesehatan melalui “Kartu Sehat”; Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK); PKPS-BBM Bidang Kesehatan Tahun 2003; dan beberapa kebijakan lainnya yang diatur oleh Undang-undang. 62 Kebijakan program-program tersebut menghadapi kendala antara lain masih terkonsentrasinya fasilitas layanan kesehatan di kota-kota besar sehingga menyulitkan masyarakat miskin untuk mengaksesnya; subsidi pelayanan kesehatan yang tidak tepat sasaran; dan masyarakat belum memperoleh jaminan mutu layanan kesehatan dan kepastian perlindungan. Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk memenuhi hak dasar atas layanan kesehatan adalah pusat pelayanan terpadu untuk kesehatan masyarakat termasuk kesehatan reproduksi, dan pengembangan mekanisme jaminan kesehatan yang memadai untuk melindungi masyarakat miskin dari goncangan akibat pengeluaran kesehatan. Upaya ini sesuai dengan Sistem Kesehatan Nasional 2004, Kepmenkes 131 tahun 2004, dan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional. 1.3. Perluasan Akses Layanan Pendidikan Pembangunan pendidikan sejak tahun 1980 an ditempuh melalui empat kebijakan pokok, yaitu pemerataan untuk memperoleh kesempatan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, efisiensi manajemen pendidikan dan peningkatan relevansi pendidikan mulai dari anak usia dini sampai dengan orang lanjut usia. Kebijakan pemerataan pendidikan dimaksudkan untuk memberikan akses pendidikan yang sama bagi masyarakat. Kebijakan tersebut dituangkan dalam beberapa program seperti Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), SD Inpres, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah (PMTAS). Selain itu peningkatan akses pendidikan juga dilakukan melalui penyediaan beasiswa bagi siswa dari keluarga miskin melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Bidang Pendidikan dan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) dengan tujuan mencegah peningkatan angka putus sekolah sebagai dampak negatif krisis ekonomi. Pada umumnya, kebijakan pemerataan pendidikan memberikan hasil yang positif terhadap pemerataan pendidikan. Akan tetapi kebijakan peningkatan mutu pendidikan selama ini belum menjadi prioritas dibanding pemerataan pendidikan. Berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan seringkali kurang berhasil karena terhalang oleh kurangnya jumlah guru yang bermutu, terbatasnya anggaran, terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Selain itu, kenyataan menunjukkan bahwa perhatian dan dukungan terhadap pengembangan pendidikan masih belum memadai. 63 Langkah strategis suatu kebijakan diperlukan dengan suatu tindakan afirmatif untuk meningkatkan alokasi anggaran pendidikan secara bertahap sesuai tuntutan konstitusi, meningkatkan kesejahteraan, mutu, dan profesionalisme guru, meningkatkan ketersediaan mutu sarana prasarana pendidikan, memperluas peluang bagi anak dari keluarga miskin untuk memperoleh pelayanan pendidikan yang lebih tinggi. 1.4. Peningkatan Kesempatan Kerja dan Berusaha Pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi masyarakat miskin ditentukan oleh ketersediaan lapangan kerja yang dapat mereka akses, kemampuan untuk mempertahankan dan mengembangkan usaha, dan perlindungan pekerja dari eksploitasi dan ketidakpastian kerja. Pemenuhan terhadap hak atas pekerjaan tersebut secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi makro, pengembangan sektor riil, perdagangan, ketenagakerjaan, dan pengembangan koperasi, usaha mikro dan kecil. Kebijakan tersebut dituangkan dalam program revitalisasi industri yang diluncurkan oleh Deperindag (2001-2004), White Paper yang diluncurkan oleh Menko Perekonomian, dan Propenas (1999-2004). Selain itu pemerintah juga meluncurkan program jangka pendek untuk menyerap tenaga kerja melalui proyek Pembangunan Prasarana Perdesaan (P2D), dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK), serta program-program penguatan Lembaga Keuangan Mikro dan Usaha Koperasi melalui program Bantuan Dana Bergulir. Langkah strategis yang perlu dilakukan untuk menjamin hak atas pekerjaan adalah meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja dan kesempatan untuk mengembangkan usaha melalui langkah terpadu untuk menciptakan lapangan pekerjaan; peningatan investasi yang padat pekerja; pengembangan usaha dan kerja di luar pertanian; peningkatan akses informasi, teknologi dan pasar; mengembangkan kelembagaan yang mampu memperjuangkan akses masyarakat miskin terhadap kesempatan kerja; dan kebijakan lainnya. 2. Pengendalian Pertumbuhan dan Persebaran Penduduk Kebijakan kependudukan diarahkan untuk mengendalikan laju pertumbuhan, memeratakan persebaran dan meningkatkan mutu hidup penduduk. Kebijakan yang dilaksanakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk adalah program 64 keluarga berencana dan keluarga sejahtera. Sedangkan kebijakan yang dilaksanakan untuk memeratakan persebaran penduduk adalah transmigrasi. Keberhasilan program KB yang berhasil menekan angka fertilitas secara signifikan tidak diimbangi dengan program transmigrasi. Di era otonomi daerah, kebijakan transmigrasi bukan lagi sebagai pilihan yang tepat, tetapi upaya pemerataan persebaran penduduk masih perlu dilakukan antara lain dengan memacu wilayah yang jarang penduduknya sehingga menarik penduduk di wilayah yang lebih padat untuk bermigrasi. Langkah strategis ke depan perlu adanya peningkatan komitmen pemerintah daerah terhadap program KB, revitalisasi program KB dengan mengutamakan hak-hak reproduksi perempuan, pengembangan layanan informasi dan konseling tentang kesehatan reproduksi remaja yang dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh pelaku, peningkatan subsidi kontrasepsi untuk Wanita Usia Subur dan kelompok miskin. 1.3. Peningkatan Keadilan dan Kesetaran Gender Landasan hukum yang menjamin keadilan dan kesetaraan gender dirumuskan dalam UUD 1945 pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C ayat 1. Landasan hukum lain yang memastikan terciptanya kesetaraan dan keadilan gender adalah UU No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan; Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam kebijakan, program dan kelembagaan; dan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kendala yang dihadapi dalam peningkatan keadilan dan kesetaraan gender disebabkan oleh beberapa hal yaitu lemahnya KUHP terhadap perlindungan perempuan korban kekerasan seperti pelecehan seksual, perkosaan, pornografi dan pornoaksi; sementar itu UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang biasa gender masih berlaku terkait dengan pasal 3 dimana memperbolehkan poligami dengan syarat ada ijin dari istri. Poligami sebagai wujud konkrit dari hegemoni laki-laki dalam rumah tangga, dan ijin isteri tidak meniadakan watak hegemonis dari sitem perkawinan seperti itu. Persyaratan ijin seringkali diabaikan, atau diberikan oleh isteri dalam situasi tertekan. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 7/1990 yang hanya mengakui tunjangan untuk istri dan anak yagn mengakibatkan perbedaan upah pekerja laki-laki dan perempuan. Psal 34 UU yang sama mengatakan bahwa laki-laki wajib memberikan 65 nafkah kepada istri dan istri wajib mengurus rumah tangga. Pasal ini sangat bias gender karena baik laki-laki maupun perempuan sangat terbebani oleh peran gender mereka. UU No. 39 Tahun 1999 mengatur tentang pelarangan perdagangan perempuan. Kenyataan menunjukkan bahwa perdagangan permepuan dari waktu ke waktu kian meningkat. Oleh Karena itu, negara perlu mengambil peran yang lebih besar guna melindungi perempuan dari akibat buruk. Kebijakan yang perlu ditempuh adalah revisi undang-undang terbaru tentang ketenagakerjaan agar lebih berorientasi penegakan hukum bagi perlindungan buruh migrant, dan pencegahan terjadinya perdagangan perempuan. UU tersebut juga harus dilaksanakan secara konsisten untuk memberantas perdagangan perempuan dan melindungi perempuan dan anak dari kekerasan, penipuan, dan memperhatikan implikasi kesehatan dan sosial dari migrasi lintas batas. 1.4. Pengembangan Wilayah Kebijakan pembangunan wilayah diorientasikan ke pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan. Dalam upaya penanggulangan kemiskinan, kebijakan pembangunan perdesaan yang telah dilaksanakan antara lain Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang kemudian diperluas dengan program seperti Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT) dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Berbagai kebijakan tersebut belum cukup untuk memecahkan masalah kemiskinan, disebabkan lemahnya koordinasi antarsektor, selain itu juga rancangan program bersifat universal yang diterapkan di berbagai daerah dengan karakter yang berbeda. Masalah lain adalah rendahnya kualitas SDM, lemahnya kelembagaan dan organisasi masyrakat serta terbatasnya alernatif lapangan kerja. Sementara itu, program yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan di perkotaan antara lain adalah program perbaikan kampung atau Kampung Improvement Program (KIP) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2K). Masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program-program tersebut adalah terbatasnya lokasi dan cakupan program terhadap seluruh lapisan masyarakat miskin, kurangnya partisipasi masyrakat, dan terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap sarana dan prasarana yang telah disediakan. Strategi yang dilakukan untuk mempercepat pembangunan perdesaan antara lain melalui pengembangan agroindustri perdesaan, peningkatan nilai tambah produk melalui 66 penanganan pasca panen, penguatan kelembagaan petani untuk meningkatakan posisi tawar dan mengurangi biaya transaksi, peningkatan akses meliputi: pengembangan kredit mikro petani dan akses sumberdaya produktif. Sedangkan strategi yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan perkotaan antara lain penjaminan ruang berusaha bagi masyarakat miskin dalam sektor formal dan informal, penyediaan permukiman yagn layak dan sehat, penjaminan pelayanan publik dalam administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, dan air bersih, pengembangan forum lintas penduduk dan penguatan peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan pembangunan kelurahan. 67 Tabel 1. Contoh Agenda Program Penanggulangan Kemiskinan Daerah NO. KEGIATAN SASARAN 1. Pemberdayaan Masyarakat Perbaikan perumahan dan pemukiman wilayah pedesaan Pengadaan rumah sewa yang sehat untuk masyarakat berpenghasilan rendah Sosialisasi tata ruang dan tata guna tanah pada masyarakat Peningkatan sarana prasarana penunjang ekonomi masyarakat Perluasan jangkauan pelayanan kesehatan Rumah penduduk yang tidak layak huni Masyarakat yang berpenghasilan tidak tetap Lahan / ruang yang belum mempunyai sertifikat Prasarana jalan ke sentra-sentra produksi Daerah-daerah terpencil Semua desa kantong kemiskinan 2. Perluasan Kesempatan Kerja Pengadaan alat tangkap untuk nelayan Pengadaan mesin Vacuum Praying untuk kelompok wanita tani Bantuan alat kerajinan rumah tangga Peningkatan latihan kerja bagi pencari kerja. Pelatihan keterampilan untuk kelompok penduduk miskin yang produktif Penyuluhan pola hidup sehat Pemanfaatan lahan tidur potensial 3. 4. Pelibatan Masyarakat Program P2W-KSS Rehabilitasi jaringan irigasi (paket padat karya) Penghijauan dan rehabilitasi lahan kritis Perlindungan Sosial Penanggulangan bencana alam banjir (normalisasi sungai) Perbaikan struktur alur sungai Pemeliharaan jaringan irigasi Pembangunan daerah irigasi Pembuatan cek dam Perkuatan tebing sungai Perbaikan lingkungan perumahan Pembangunan jaringan air bersih Masyarakat miskin pada wilayah pesisir pantai Kelompok yang memiliki produksi yang dapat diberi nilai tambah Kelompok wanita produktif Pengangguran dan pencari kerja Pengangguran Pencari kerja Daerah terpencil Semua kecamatan Semua kecamatan Wanita dan remaja Pengangguran Mencegah bencana alam Sungai-sungai yang rawan bencana banjir Sungai-sungai yang rawan bencana banjir Peningkatan produksi pertanian Peningkatan produksi pertanian Pengamanan sungai Pengamanan sungai Lingkungan dan perumahan Gakin Wilayah yg belum terjangkau pelayanan PDAM 68 5. 6. Pembangunan infrastruktur penunjang produktifitas : Pembangunan jalan akses Pemeliharaan jalan akses Peningkatan jalan akses Pembangunan jembatan Pembangunan pasar tradisional Pembangunan jaringan irigasi pembangunan saluran pembuangan/riol Pembangunan fasilitas kesehatan : Pembangunan Pustu Peningkatan Pustu 7. Pengadaan Puskesmas keliling pengadaan obat-obatan Pembangunan MCK Penyuluhan kesehatan Peningkatan dan penempatan tenaga medis di wilayah terpencil Peningkatan pendidikan dan keterampilan: Pembangunan USB (SD, SMP) Pendirian sekolah kecil/terpencil (SD, SMP) Pengangkatan guru daerah terpencil (TK, SD, SMP) Pemberian beasiswa Pembebasan biaya pendidikan Pemberian bantuan alat belajar mengajar Perbaikan sarana dan prasaran pendidikan Pelatihan keterampilan bagi pemuda produktif Kepusat pemukiman dan produksi Kepusat pemukiman dan produksi Kepusat pemukiman dan produksi Kepusat pemukiman dan produksi Sentra-sentra produksi Areal pertanian rakyat miskin Pemukiman Pemukiman baru KK miskin Pemukiman KK miskin dalam skala besar Pelayanan KK miskin Pelayanan KK miskin Pemukiman KK miskin Keluarga miskin daerah terpencilan dan perkotaan Meningkatkan pelayaan kesehatan Sentra pemukiman KK miskin Sentra pemukiman KK miskin Sekolah-sekolah pemukiman di KK miskin Siswa berprestasi KK miskin Siswa dari KK miskin Sekolah-sekolah dipemukiman kk Miskin Sekolah-sekolah dipemukiman kk Miskin Angkatan kerja dari kk miskin 69 CONTOH PAPER HASIL PENELITIAN PENYUSUNAN INDIKATOR HASIL PEMBANGUNAN DI KAWASAN DAV DAN NON DAV, PROYEK BP INDONESIA, KABUPATEN TELUK BINTUNI, PAPUA A. Pendahuluan Indikator pembangunan adalah sesuatu yang dapat memberikan gambaran atau petunjuk tentang kegiatan pembangunan dan hasil-hasilnya baik yang telah, sedang maupun yang akan dilakukan. Indikator pembangunan merupakan ringkasan atau rangkuman dari serangkaian data statistik sosial, ekonomi, politik, budaya dan aspek lokalitas spesifik suatu wilayah. Dalam penyusunannya, indikator dibuat dengan cara indexing dan scaling. Menurut Morris (1979), penyusunan indikator harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Sahih untuk mengukur berbagai cara/pola pembangunan. 2. Harus obyektif, tidak bias pada nilai-nilai spesifik. 3. Harus dapat mengukur hasil (output) bukan masukan (input). 4. Mampu menggambarkan distribusi hasil pembangunan 5. Sederhana cara penyusunannya dan mudah dipahami 6. Harus dapat dipakai untuk perbandingan internasional. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan berbagai turunannya saat ini sedang popular di Indonesia sebagai alat ukur keberhasilan pembangunan. IPM adalah indikator perbaikan dari Physical Quality of Life Index (PQLI) atau Indeks Mutu Hidup (IMH) yang diperkenalkan akhir dasawarsa 1970-an. PQLI dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana hasil pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi peningkatan kualitas fisik kehidupan. Pada awal tahun 1990 UNDP mengembangkan tolok ukur baru sebagai upaya untuk memperbaiki IMH yang dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks ini berusaha untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan pemerataan hasil pembangunan telah mampu secara nyata memberikan output seperti peningkatan kebutuhan fisik 70 dasar manusia dan perluasan kemampuan manusia untuk melakukan pilihanpilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup lebih baik ini tercermin pada usia harapan hidup yang semakin bertambah panjang, lebih berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IPM adalah usia harapan hidup, pendidikan, dan pendapatan per kapita yang disesuaikan dengan kemampuan daya beli masyarakat setempat. Ketiga variabel ini digabung menjadi satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama. Seirama dengan penilaian hasil-hasil pembangunan di Kawasan Teluk Bintuni, tulisan ini bermaksud menyajikan indeks kesejahteraan, yaitu suatu indeks dengan komponen seperti yang ada pada IPM. Perlu disadari bahwa nilai/indeks yang ada terbentur pada deprivasi maksimum dan minimum karena data tersebut tidak ada pada tingkat lokal di Kawasan Teluk Bintuni. Angka-angka penyusun indeks saat ini tersedia pada tingkat nasional dan internasional yang tentu saja kurang relevan untuk tingkat lokal. Untuk itu, dalam penyusunan indeks kesejahteraan dilakukan dengan berbagai penyesuaian. Secara operasional penyusunan indeks kesejahteraan lingkup kampung dapat dilakukan karena telah tersedia data hasil sensus tahun 2007. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah ketelitian memilih variabel lokalitas untuk kampung yang diharapkan menggambarkan keberhasilan pembangunan penduduk setempat. B. Tinjauan Teoritis Indikator Pembangunan Manusia Secara umum kata pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. Istilah kemajuan seringkali diartikan sebagai kemajuan material, utamanya bidang ekonomi. Pada kenyataannya, kemajuan non ekonomi tidak kalah penting dibandingkan dengan bidang ekonomi. Kemajuan suatu masyarakat semestinya diukur minimal dalam dua aspek yaitu bidang ekonomi dan non ekonomi. Beberapa indikator pembangunan manusia yang pernah digunakan di Indonesia antara lain sebagai berikut: 71 B.1 Indikator Komposit Obyektif 1. Kekayaan Rata-rata Suatu masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan apabila pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Hal ini dilihat melalui produktivitas masyarakat/produktivitas negara untuk setiap tahun. Indikator utama yang digunakan adalah Produk Nasional Bruto (PNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB). Kesejahteraan selanjutnya ditentukan dengan PNB atau PDB per kapita. 2. Pemerataan Fakta menunjukkan diberbagai negara/daerah dengan PDB per kapita tinggi tetapi hanya sebagian kecil penduduknya yang memiliki kekayaan berlimpah, sementara sebagian besar penduduk justru hidup dalam kemiskinan. Terlihat sepintas tingginya PNB/PDB per kapita akan dapat menutupi adanya kemiskinan dan kelaparan. Tentu saja hal ini sangat dilematis. Untuk itu, penting dimasukkan aspek pemerataan dalam ukuran pembangunan. Beberapa cara mengukur pemerataan antara lain: persen dari PNB/PDB yang diperoleh 40 persen penduduk termiskin, berapa persen oleh 40 persen penduduk golongan menengah dan berapa persen oleh 20 persen penduduk terkaya. Ketimpangan yang ada dianggap mencolok apabila 40 persen penduduk termiskin menerima kurang dari 12 persen. Ketimpangan sedang , kalau 40 persen penduduk termiskin menerima antara 12-17 persen dan ketimpangan kecil/rendah bilamana golongan ini menerima lebih dari 17 persen. Cara lain yang banyak digunakan dalam mengukur pemerataan adalah indeks Gini. Indeks ini berkisar antara nilai 0 (nol) berarti tidak ada ketimpangan sampai 1 (satu) berarti ketimpangan maksimal. Semakin kecil nilai indeks semakin kecil ketimpangan pembagian pendapatan. Secara umum dikatakan apabila Indeks Gini lebih besar atau sama dengan 0,5 dianggap sebagai kesenjangan pemerataan yang tinggi. Kesenjangan sedang dicerminkan dengan indeks Gini antara 0,35-0,49 dan ketimpangan pemerataan yang kecil bila Indeks Gini kurang dari 0,35. 72 3. Kualitas Hidup (PQLI) Indeks Mutu Hidup (IMH) atau Physical Quality of Life Index (PQLI) diperkenalkan oleh Morris (1977) untuk mengukur pemenuhan kebutuhan pokok (Basic Need) melalui tiga (3) indikator yakni: (1) rata-rata harapan hidup setelah usia satu tahun (2) angka kematian bayi (Infant Mortality Rate), dan (3) persentase melek huruf dewasa dengan implikasi sebagai berikut: (a) Angka kematian bayi – berdasarkan jarak 229 (untuk indeks 0 (nol) sampai dengan 7 (untuk indeks 100) kematian per seribu kelahiran hidup. Setiap 2,22 angka perubahan dalam IMR, hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks. (b) Indeks Usia Harapan Hidup sejak usia setahun didasarkan pada jarak 30 (untuk indels 0 (nol) sampai 77 (untuk indeks 100). Setiap 0,39 tahun perubahan dalam usia harapan hidup hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks. (c) Indeks melek huruf – mengasumsikan penduduk dewasa (15+) – setiap satu persen angka perubahan dalam melek huruf hasilnya adalah satu angka perubahan dalam indeks. e 39 229 IMR PQLI 1 % Literasi / 3 0,39 2,22 e10 e0 1 q0 (1 K 0 ) 1 q0 q = IMR K = rata-rata periode kelangsungan hidup (0-2 tahun) selama tahun pertama eo = Usia harapan hidup saat kelahiran e1 = Usia harapan hidup pada umur satu tahun 4. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia Bertujuan mengukur pencapaian keseluruhan hasil pembangunan dari suatu Negara dalam tiga dimensi dasar 73 pembangunan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) diperkenalkan oleh UNDP pada awal 1990 dalam upaya untuk mengukur keberhasilan pembangunan sumber daya manusia karena parameter sebelumnya dianggap sudah kurang memadahi lagi sehingga diperlukan indeks yang baru. Meskipun demikian IPM ini juga telah mendapatkan banyak kritik (terutama dalam pemilihan variabel, deprivasi nilai maksimal dan minimal serta penyesuaian kemampuan daya beli masyarakat (purchasing power parity/PPP). Variabel yang digunakan dalam penyusunan IPM adalah: (a). Hidup lebih lama dan sehat diukur melalui usia harapan hidup saat dilahirkan, semakin tinggi usia harapan hidup diasumsikan semakin baik kehidupan masyarakat, dan tidak sakit-sakitan. (b). Berpengetahuan, diukur melalui persentase melek huruf dewasa (15 +) dan rata-rata tahun sekolah (Mean Years of Schooling). (c). Pendapatan yang layak agar dapat memenuhi kebutuhan hidup dasar (Basic needs). IPM= 1/3 (Indeks X1, Indeks X2 dan Indeks X3) Dimana : X1, X2 dan X3 adalah usia harapan hidup, tingkat pendidikan dan tingkat kehidupan yang layak. Indeks pendidikan = (2/3)Melek Huruf + (1/3)MYS. Nilai IPM dihitung berdasarkan nilai Maksimum dan Minimum yang ditentukan sebelumnya seperti sebagai berikut Variabel IPM Nilai Max Nilai Min Sumber (a) Usia harapan hidup 85 25 UNDP (b) Melek Huruf 100 0 UNDP 15 0 UNDP 737.720 300.000 (1996) UNDP Rata-rata sekolah (c) Daya beli (Rp) 360.000 (1999) 5. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Ditujukan untuk mengukur sebaran suatu kemajuan dan ketertinggalan yang masih ada. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) merupakan gabungan dari beberapa variable kemiskinan yang dianggap 74 menunjukkan keterbelakangan/deprivasi manusia. Indikator penduduk/manusia miskin diukur melalui tiga hal yakni: (a) Peluang penduduk untuk tidak dapat bertahan hidup sampai usia 40 tahun (P1). Penduduk miskin diasumsikan usia harapan hidupnya pendek. (b) Peluang tidak dapat membaca dan menulis diukur melalui persentase buta huruf dewasa (P2) (c) Keterbatasan/ketidakmampuan terhadap layanan dasar (P3) diukur dengan: P31 : persentase penduduk/rumah tangga tidak mampu mengakses terhadap air bersih P32 : persentase penduduk/rumah tangga tidak memiliki akses ke sarana kesehatan modern P33 : persentase penduduk Balita dengan status gizi buruk/malnutrisi 1 IKM ( P13 P23 P33 3 1/ 3 1 P3 ( P31 P32 P33 ) 3 6. Indeks Pembangunan Jender (IPJ) Ditujukan untuk mengukur ketimpangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dalam pembangunan. Indeks Pembangunan yang terkait dengan jender (IPJ) atau Gender Related Development Index (GDI) lebih ditujukan untuk menggambarkan ada tidaknya ketimpangan jender. Semakin besar ketimpangan jender dalam pembangunan manusia, semakin rendah IPJ. Variabel yang digunakan dalam pengukuran ketimpangan antara laki-laki dengan perempuan adalah: (a) Proporsi penduduk (laki-laki dan perempuan) (b) Usia harapan hidup (laki-laki dan perempuan) (c) Persentase melek huruf (laki-laki – perempuan) (d) Rata-rata lama sekolah (laki-laki – Perempuan) 75 (e) Penduduk Aktif secara ekonomi (laki-laki – perempuan) (f) Upah non pertanian (laki-laki – perempuan) IPJ merupakan gabungan dari berbagai indeks yang dihitung dari ke enam variabel tersebut. Dari variabel tersebut kemudian dihitung indeks usia harapan hidup, indeks melek huruf, indeks lama sekolah, indeks pendidikan, indeks distribusi pendapatan non pertanian, rasio upah dan sumbangan pendapatan. Rumus untuk menghitung IPJ adalah sebagai berikut. IPJ 1 X ede(1) X ede( 2 ) I inc dis 3 7. Indeks Pemberdayaan Jender (IDJ) Gender Empowerment Measure (GEM) bertujuan untuk menggambarkan peran perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik. Bidang yang ingin dilihat adalah partisipasi perempuan di bidang pengambilan keputusan politik yang diukur dengan keanggotaan DPR dan DPRD (legislatif). Di bidang ekonomi diukur seberapa banyak perempuan yang bekerja sebagai pegawai senior, manajer, supervisor, professional dan teknisi. Indeks pemberdayaan perempuan dapat dihitung dengan cara: IDJ 1 I par I dm I inc dist 3 Perlu disadari bahwa ketujuh indikator komposit objektif tersebut banyak digunakan pada skala internasional. Banyak pula digunakan pada tingkatan regional (provinsi) maupun lokal (kabupaten/kota). Permasalahan yang dihadapi pada National Human Development Report (NHDR) 2001 dan 2004 adalah deprivasi nilai maksimal dan minimal dari setiap variabel yang digunakan dalam penyusunan indeks. Sejalan dengan hal tersebut, maka PQLI, HDI, GDI, GEM belum dapat disusun untuk tingkat kecamatan dan desa. Semestinya HPI dapat digunakan untuk mengukur kualitas sumber daya manusia berperspektif kemiskinan. Indikator komposit subjektif dapat mengisi kekosongan indikator pembangunan manusia pada tingkat pemerintahan di bawah kabupaten, yakni 76 kecamatan dan desa, dan dimungkinkan untuk dusun apabila data/variabel subjektivitas telah tersedia. B.2 Indikator Komposit Subjektif Indikator subyektif adalah indikator keberhasilan pembangunan yang diperoleh dari hasil wawancara dan/atau diskusi pada rumah tangga sasaran. Disebut subyektif karena ada kemungkinan unsur subyektivitas jawaban responden. Indikator ini dapat berupa indikator tunggal, yaitu menggunakan satu aspek/variabel saja atau menggunakan indikator komposit beberapa variabel. Dalam praktiknya, indikator tunggal jarang digunakan dengan alasan kesulitan memilih satu dari beberapa variabel yang menggambarkan hasil pembangunan sumber daya manusia. Itulah makanya, indikator tunggal subjektif jarang digunakan. Indikator komposit subjektif merupakan gabungan dari beberapa indikator tunggal subjektif yang variabelnya dikumpulkan dengan wawancara, diskusi, rembug desa, diskusi topik khusus maupun bentuk lainnya dengan melibatkan sebagian dan/atau seluruh masyarakat. Indeks disusun berdasarkan jawaban responden terhadap pertanyaan dan/atau pernyataan yang telah diseleski untuk menyusun indeks. Jawaban dari pertanyaan dan/atau pernyataan dapat berupa jawaban ya/tidak, setuju/tidak sejutu, ada/tidak ada, pernah/tidak pernah, dan variasi lainnya. Jawaban ya diberi nilai 1, sedangkan tidak nilai 0 tergantung pertanyaan yang diajukan pada sasaran penelitian. Tipe pertanyaan tertutup yang digunakan harus sejenis dan mempunyai aspek yang saling mendukung atau menjelaskan dan tidak saling bertentangan, antara varibel satu dengan lainnya. Dalam indikator komposit subjektif variasi jawaban dikotomi ya/tidak, setuju/tidak setuju relatif jarang digunakan. Ini disebabkan oleh tidak banyaknya gradasi/tingkatan jawaban sehingga dirasakan kehilangan informasi. Misalnya jawaban setuju dan tidak setuju dapat digradasikan ke dalam sangat setuju, setuju, agak setuju, sama saja, tidak setuju, agak tidak setuju, sangat tidak setuju atau variasi lainnya. Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional 1982 77 dan 1986 pernah mengumpulkan data tentang pendapat/persepsi masyarakat tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat saat pendataan dilakukan dibandingkan dengan tiga tahun sebelumnya dengan menggunakan 20 pertanyaan. (a) Pertanyaan 1, 2, 3, 4, dan 5 digunakan untuk menyusun indeks kesejahteraan dasar. (b) Pertanyaan 6, 7, 8, dan 9 digunakan untuk mengukur indkes kesehatan masyarakat. (c) Pertanyaan 10, 11, dan 12 untuk mengukur indeks pendidikan. (d) Pertanyaan 13, 14, dan 15 untuk mengukur rasa aman dan persatuan. (e) Pertanyaan 16, 17, dan 18 digunakan untuk mengukur indeks transaportasi dan komunikasi. (f) Pertanyaan 19 dan 20 digunakan untuk mengukur kesempatan kerja dan kesehatan jasmani. Sejak 1996 secara berkesinambungan, BPS melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional Modul dilakukan setiap tiga tahun mengumpulkan data kesejahteraan masyarakat dengan beberapa penyempurnaan terhadap susunan variabel yang digunakan sebelumnya. Dengan menggunakan 23 pertanyaan, skala jawaban dari sangat setuju sampai sangat tidak setuju, disediakan untuk pengguna data untuk mengukur indeks/indikator perkembangan kesejahteraan secara umum. Secara rinci bagi yang tertarik dapat membaca publikasi BPS tentang Statistik Kesejahteraan Rakyat dan Indikator Kesejahteraan Rakyat yang terbit setiap tahun. Kelemahan yang cukup mendasar dari data tersebut adalah utilitas pada analisis wilayah provinsi, sedangkan analisis kabupaten/kota, apalagi kecamatan tidak dapat dilakukan karena sangat kecil jumlah sampel yang ada. 78 C. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif di DAVs dan Non DAVs Penyusunan Indeks Kesejahteraan Obyektif dilakukan berdasarkan konsep IPM dengan data dasar hasil sensus 2007 (lihat Tabel 1). Dimensi yang digunakan untuk menghitung indeks kesejahteraan adalah sebagai berikut. 1. Dimensi ekonomi, terdiri dari variabel pendapatan perkapita 2. Dimensi pendidikan, terdiri dari dua variabel yaitu a. Tingkat melek huruf (baca dan tulis) b. Rata-rata tahun sukses (Mean Years of Schooling) 3. Dimensi kesehatan, terdiri dari dua variabel yaitu a. Tingkat morbiditas b. Angka kematian balita Langkah langkah penyusunan indeks adalah sebagai berikut 1. Menentukan variabel penyusun indeks sesuai dengan standar IPM 2. Kesenjangan distribusi pendapatan dilakukan dengan cara membuat logaritma untuk pendapatan perkapita 3. Asumsi deprivasi maksimum dan minimum berdasarkan angka di Provinsi Papua (Data tersaji di National Human Development Report 2004 dipublikasikan kerjasama BPS, BAPPENAS, dan UNDP, 2004). Berdasarkan hal itu maka diperoleh angka angka dasar sebagai berikut. Indeks Maksimum Minimum Mean Years of Schooling 10.4000 2.2 (tahun) 98 30 Litteracy (%) Pendapatan perkapita 5.9550 5.422 (log) 0.4816 0.021 Kesehatan 4. Menyusun Indeks Ekonomi, Indeks Kesehatan dan Indeks Kesehatan (lihat Tabel 2) 5. Menyusun Indeks Kesejahteraan 6. Hasil Indeks Kesejahteraan Obyektif , a. Total Indeks Kesejahteraan DAVs = 53,36 b. Total Indeks Kesejahteraan Non DAVs = 43,55 c. Rata-rata indeks untuk seluruh kampung adalah = 48,69 79 Tabel 1. Data Dasar Penyusunan Indeks Kesejahteraan Kemampuan Baca Tulis No Nama Kampung Baca Tulis Partisipasi Sekolah Pendapatan Per Kapita (Rp) Tingkat Morbiditas 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 Weriagar Mogotira Tomu Ekam Taroi Onar Tanah Merah Saengga Tofoi Toweri Tomage Idoor Atibo Mogoi Wagura Rejosari Barma 0.70 0.70 0.60 0.70 0.70 0.80 0.80 0.90 0.90 0.70 0.80 0.80 0.50 0.70 0.70 0.70 0.80 0.70 0.70 0.60 0.60 0.70 0.80 0.90 0.90 0.90 0.80 0.80 0.80 0.60 0.70 0.80 0.70 0.80 0.90 0.80 0.70 0.70 0.80 0.90 0.90 0.90 0.90 0.80 0.90 0.90 0.70 0.80 0.80 0.70 0.80 353,100 399,500 362,800 358,500 812,700 545,400 612,600 840,500 467,100 900,900 457,200 369,500 330,300 537,300 388,400 497,100 680,400 0.18 0.28 0.21 0.18 0.48 0.21 0.14 0.18 0.22 0.30 0.12 0.25 0.17 0.18 0.17 0.18 0.21 18 19 20 21 Jahabra Meristem Riendo Irarutu 3 0.30 0.50 0.40 0.90 0.20 0.50 0.40 0.90 0.40 0.60 0.50 0.90 283,300 659,400 441,700 803,100 0.05 0.17 0.28 0.17 Partisipasi Perempuan dalam Kegiatan Profesional 0.07 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.08 0.28 0.26 0.00 0.00 0.32 0.27 0.00 0.20 0.30 0.25 (tidak ada kasus) 0.00 0.00 0.28 Partisipasi Pendapatan Perempuan dalam Rumah Tangga Rata-Rata Tahun Sukses Tingkat Mortalitas Balita 0.13 0.12 0.16 0.08 0.12 0.09 0.11 0.09 0.23 0.07 0.04 0.18 0.18 0.26 0.06 0.18 0.11 6 6 5 6 6 6 7 7 7 6 5 7 6 7 5 8 7 0.09 0.02 0.09 0.04 0.06 0.13 0.11 0.04 0.54 0.11 0.08 0.13 0.04 0.06 0.11 0.03 0.09 0.06 0.13 0.08 0.16 5 4 4 8 0.07 0.00 0.11 0.04 80 81 Tabel 2. Penghitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Kampung Weriagar Mogotira Tomu Ekam Taroi Onar Tanah Merah Saengga Tofoi Toweri Tomage Idoor Atibo Mogoi Wagura Rejosari Barma Jahabra Meristem Riendo Irarutu 3 Indeks Ekonomi 23.6206 33.6804 25.8288 24.8573 91.5441 59.0460 68.5135 94.2848 46.4184 99.9393 44.6728 27.3198 18.1817 57.8268 31.3845 51.4904 77.0665 5.6748 74.5120 41.8626 90.5759 Indeks Pendidikan 53.68723 55.02869 41.85079 53.24008 53.15878 63.93831 68.57245 78.37637 78.57963 53.72788 60.03587 67.67814 35.21760 58.68723 50.51650 61.85796 67.43424 11.05691 26.43711 18.70636 81.58776 Indeks Kesehatan 33.6863 55.2678 41.9941 33.8443 99.3697 40.0320 25.6038 33.8104 42.9252 60.4919 21.3845 50.0921 32.8732 34.4890 31.8210 34.5090 39.9479 6.8675 32.7562 56.1487 31.9032 Indeks Kesejahteraan 36.99803 47.99230 36.55789 37.31387 81.35753 54.33875 54.22993 68.82383 55.97439 71.38635 42.03106 48.36334 28.75749 50.33433 37.90733 49.28579 61.48287 7.86639 44.56843 38.90587 68.02230 82 D. Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs dan Non DAVs Penyusunan Indeks Kesejahteraan Subyektif baik di DAVs maupun Non DAVs dilakukan berdasarkan hasil perhitungan dari 23 variabel. Langkah perhitungannya adalah sebagai berikut. 1. Membuat tabel distribusi jawaban responden terkait persepsi saat ini dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu. 2. Menjumlahkan distribusi jawaban menurut 23 variabel yang ditanyakan 3. Mengalikan jumlah distribusi jawaban tersebut dengan nilai tiap-tiap jawaban. Dalam hal ini nilai jawaban bervariasi sebagai berikut. a. Jawaban lebih buruk bernilai 1 b. Jawaban sama buruk bernilai 2 c. Jawaban sama baik bernilai 3 d. Jawaban lebih baik bernilai 4 4. Menghitung indeks kesejahteraan subyektif dengan cara membagi jumlah total jawaban yang telah dikalikan dengan nilai dengan jumlah total jawaban. 5. Pembacaan indeks adalah sebagai berikut. a. Nilai indeks mendekati angka 1 berarti kesejahteraan saat ini lebih buruk dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu b. Nilai indeks lebih dari 1 atau mendekati angka 2 berarti kesejahteraan saat ini sama buruk dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu c. Nilai indeks lebih dari 2 dan mendekati angka 3 berarti kesejahteraan saat ini sama baik dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu d. Nilai indeks lebih dari 3 atau mendekati angka 4 berarti kesejahteraan saat ini lebih baik dibandingkan dengan tiga tahun yang lalu 6. Kesejahteraan subyektif secara total adalah sebagai berikut. a. b. c. Total Indeks Kesejahteraan Subyektif DAVs = 3,193 Total Indeks Kesejahteraan Subyektif Non DAVs = 3,154 Total Indeks Kesejahteraan Subyektif untuk semua desa = 3,173 83 D. Closing Remarks 1. Secara keseluruhan terkait dengan kesejahteraan penduduk di DAVs semakin baik dari waktu ke waktu. Hal ini dapat dilihat dari Indeks Kesejahteraan Manusia baik yang bersifat obyektif maupun subyektif 2. Berdasarkan perhitungan Indeks Kesejahteraan Obyektif terlihat bahwa standar kehidupan penduduk di DAVs cenderung lebih baik daripada penduduk di Non-DAVS. Hal ini juga berlaku untuk standar kehidupan secara subyektif. Total nilai untuk Indeks Kesejahteraan Subyektif di DAVs sedikit lebih tinggi daripada di Non-DAVs. 3. Sekitar 55 persen desa-desa di DAVs mempunyai tingkat indeks kesejahteraan lebih tinggi dari angka rata-rata, untuk indicator yang sama hanya 40 persen di Non DAVs 4. Standar hidup masyarakat di beberapa desa seperti Taroi, Otoweri, Saengga, Irarutu 3, Barma, and Saengga adalah tinggi. 5. Berikut ini adalah daftar nama desa yang mempunyai standar hidup rendah yaitu Atibo, Jahabra, Weriagar, Tomu, dan Ekam 6. Sebagian besar penduduk menyatakan bahwa kondisi kehidupan saat ini lebih baik dibandingkan dengan 3 tahun yang lalu 84 POWERPOINT PENUNJANG KULIAH 85