KEARIFAN LOKAL MITOS GUNUNG KELUD

advertisement
KEARIFAN LOKAL MITOS GUNUNG KELUD
DAN GUNUNG TANGKUBAN PERAHU
Resdianto Permata Raharjo, M.Pd.
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Ilmu PendidikanUniversitas Hasyim Asy’ari
email: [email protected]
Pendahuluan
Banyaknya cerita rakyat yang ada di Indonesia ini menjadikan negara ini banyak
disinggahi oleh wisataswan asing dari mancanegara. Peneliti dari seluruh penjuru dunia
tertarik untuk datang ke Indonesia untuk meneliti banyaknya cerita rakyat yang ada
untuk disumbangkan kepada para pelajar, mahasiswa dan peneliti lainnya.Masyarakat
pada zaman modern sudah banyak yang melupakan cerita rakyat yang berada dalam
tanah kelahirannya, sehingga banyaknya cerita rakyat yang telah hilang ditelan zaman.
Penelitian ini disamping untuk membangkitkan masyarakat dapat juga untuk
membangkitkan cerita rakyat dari kepunahan yang tergerus zaman. Banyaknya filem
yang memunculkan cerita rakyat tiap daerah membantu membangkitkan cerita tersebut.
Penelitian kali ini peneliti bertujuan untuk memberi pengetahuan luas
membandingkan antara dua cerita rakyat atau disebut juga mitos. Penelitian ini berjudul
“Kearifan Mitos Lokal Gunung Kelud dan Gunung Tangkuban Perahu (kajian sastra
bandingan)”. Kearifan lokal diambil karena gunung Kelud dan gunung Tangkuban
Perahu mempunyai perbedaan budaya yang berbeda, selain budaya sumberdaya lokal
yang terkandung dalam dua mitos tersebut juga berbeda, serta upacara yang diadakan
jugak memiliki arti yang berbeda.
Gunung Kelud dan gunung Tangkuban Perahu selain mempunyai kearifan lokal juda
memiliki persamaan dan perbedaan dari segi cerita. Cerita yang terdapat dalam mitos
gunung Kelud yaitu tentang Dewi Kilisuci yang tidak mau menikah dengan laki-laki
yang bernama Lembu Suro dikarenakan Lembu Suro memiliki wajah yang buruk rupa,
tetapi memiliki kekuatan yang sakti, sedangkan cerita yang berada dalam gunung
Tangkuban Perahu yaitu tentang Sangkuriang dan Dayang Sumbi. Dayang Sumbi
adalah ibu dari Sangkuriang yang telah lama terpisah karena sebab Dayang Sumbi
memukul Sanguriang karena membunuh anjing yang bernama Tumang.
Gunung Kelud yang terletak di Desa Sugiwarasa-Kediri mempunyai kearifan lokal
yang sampai sekarang masih diperingati setiap bulan Suroh tepatnya satu Suro, kegiatan
yang dilakukan yaitu, melakukan upacara ritual larung saji untuk menolak balak agar
masyarakat Kediri, Blitar dan sekitarnya tidak terkena kutukan yang dipercaya
masyarakat dengan sumpah Lembu Suro. Gunung Tangkuban Perahu terletak di
Bandung Utara, tepatnya di Cikole Lembang sekitar 20 kilometer dari pusat Kota
Bandung. Gunung ini masih terbilang aktif, karena pernah meletuh di tahun 2013.
Gunung Tangkuban Perahu memiliki mitos yang sudah banyak diketahui oleh semua
orang, mitos yang terdapat di Tangkuban Perahu bukan hanyak mitos tentang
terbentuknya gunung melainkan ada jugak mitos danau maupun bekas tebangan kayu
yang di tebang oleh Sangkuriang. Kearifan lokal yang berada di gunung Tangkubang
Perahu ini masih kental dengan kebudayaan dan masyarkatnya masih melestarikan
kearifan budaya lokal tersebut dengan diadakannya upacara yang bernama Ngertakeun
Bumi Lamba. Ngertakeun Bumi Lamba adalah sebuah Upacara tahunan di puncak
Gunung Tangkuban Parahu, di gelar bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru
mulai kembali dari paling utara bumi menuju selatan, yaitu di setiap bulan ‘kapitu’
(bulan ke 7), dalam hitungan Suryakala, kalaider (kalender) Sunda.
Penelitian tentang “Kearifan Lokal Mitos Gunung Kelud dan Gunung Tangkubang
Perahu (kajian sastra bandingan) memunculkan fokus masalah yang melandasi
penelitian ini yaitu, kearifan lokal yang menggunakan acuan buku (Setya Yuwana
Sudikan), serta persamaan dan perbedaan mitos gunung Kelud dan gunung Takuban
Perahu.Pemilihan judul ini atas pertimbangan bahwa kedua mitos tersebut menarik dan
sampai sekarang masih dipercaya atau melekat di masyarakat sekitar gunung Kelud dan
gunung Tangkuban Perahu serta memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan
masyarakat di sekitar gunung Kelud dan gunung Tangkuban Perahu. Penelitian ini juga
sebagai sarana penggalian, pelestarian, dan pengembangan sastra lisan pada umumnya
dan mitos pada khususnya agar tidak mengalami kepunahan di era modern ini, di mana
masyarakat semakin tidak mempercayai terhadap cerita-cerita mitos.
Kajian Teori
Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu
daerah dan selalu dipercaya dari zaman ke zaman. Kearifan lokal dapat diartikan
sebagai sikap atau cara mengambil hikmah dari berbagai peristiwa yang terjadi baik
pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara. Menurut (Nyoman, 2003: 6)
kearifan lokal mempunyai fungsi dan makna seperti, berfungsi sebagai konservasi dan
pelestarian sumber daya alam, berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia,
misalnya berkaitan dengan upacara yang selalu diadakan untuk menolak balak,
berfungsi sebagai petua, kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna etika dan moral,
serta berpolitik.
Kearifan lokal (local wisdom) dapat dikaitkan dengan semua unsur
kebudayaan dalam konteks budaya setempat. Menururt Haba (Yuwana 2013:7)
mengatakan kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya dalam masyarakat,
dan merupakan elemen penting untuk memperkuat kohensi sosial antara warga
masyarakat, dengan ciri dan fungsi sebagai, penanda identitas komunitas, elemen
perekatan sosial, tumbuh dari bawah, serta eksis dalam masyarakat, bukan yang
dipaksakan dari atas, memberi warna kebersamaan komunitas, dan dapat mengubah
pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok, mampu mendorong
terbangunnya kebersamaan, apresiasi dan mekanisme bersama untuk mempertahankan
diri.
Sedyawati (2006:382) menjelaskan bahwa kearifan lokal hendaknya
diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional”, dengan catatan bahwa yang
dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kata
“kearifan” sendiri hendaknya juga dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya
berupa norma-norma atau nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan,
termasuk yang berimplikasi pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dalam
arti lain, “kearifan lokal” itu dijabarkan dalam seluruh warisan budaya, baik yang
tangible maupun intangible.
Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan hidup masyarakat
yang telah berlangsung ama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam
nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai tersebut
menjadi pegangan kelompok masyarakat tetentu yang akan menjadi bagian hidup, tidak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Kearifan lokal meiliki ciri bermata tiga waktu, yaitu masa lalu, sekarang
dan nanti, sehingga ada upaya sambung menyambung dan sistem kehidupan manusia
dalam tempat dan konteks yang berubah-ubah sesuai zaman. Di sini yang
dipertimbangkan adalah bagaimana kearifan lokal dapat memberikan manfaat yang
berkelanjutan bagi masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan setempat.
Menurut Ife ( dalam Pondajar, 2014:34) kearifan lokal memiliki enam
dimensi, yaitu dimensi pengetahuan lokal, dimensi nilai lokal, dimensi keterampilan
lokal, dimensi sumberdaya lokal, dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal, dan
dimensi solidaritas lokal.
Berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal adalah
ciri atau kepribadian yang dimiliki oleh suatu daerah dan diwarisakan secara turuntemurun oleh generasinya yang akan datang dan dijadikan sebagai landasan dalam
bertindak dalam masyarakat, serta antibodi bagi daerah tersebut dari kebudayaan luar
yang semakin hari semakin mengikis kebudayaan lama yang dapat merusak
kelangsungan budaya di daerah tersebut.
Konsep Mitos
Mitos adalah cerita-cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama (religi).
Yang termasuk dalam kelompok mitos adalah cerita tentang cerita yang menerangkan
asal-usul dunia, kehidupan, manusia dan kegiatan-kegiatan hidup seperti bercocoktanam (misalnya tentang kepercayaan Dewi Sri) dan adat istiadat yang lain.
(Hotomo,1991: 63).
Sedangkan menurut Bascom (Dundes,1965: 279) mitos atau mite adalah cerita yang
dianggap benar-benar terjadi, serta suci oleh yang mempunyai cerita. Mitos atau mite di
tokohi oleh para dewa-dewi dan makhluk setengah dewa.
Berdasarkan kedua pengertian yang telah diungkapkan oleh Hotomo dan Bascom dapat
ditarik kesimpulan bahwa mite atau yang bisa disebut dengan mitos ini adalah cerita
rakyat sakral yang dipercaya oleh masyarakat sampai zaman sekarang, mitos itu sendiri
di tokohi oleh Dewa-dewi atau makhluk setengah manusia (iblis).
Pembahasan
Kearifan Lokal Mitos Gunung Kelud dan Gunung Tangkuban Perahu
Kearifan lokal diartikan sebagai identitas atau kepribadian budaya bangsa yang sampai
sekarang masih dilestarikan dan diperingati dengan diadakannya upacara-upacara di
desa yang mempunyai kearifan lokal yang kental, yaitu gunung bromo dan gunung
kelud.
Menurut Jim Ife dalam (pondajar,2014) kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu;
dimensi pengetahuan lokal, dimensi nilai lokal, dimensi keterampilan lokal, dimensi
sumberdaya lokal, dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal, dimensi
solidaritas lokal.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan enam dimensi diatas untuk membahas mitos
gunung Kelud dan gunung Tangkuban Perahu.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Pengetahuan lokal, yaitu pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim
kemarau dan penghujan, jenis-jenis flaura dan fauna, kondisi geografi, demografi, dan
sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama dan
telah mengalami perubahan-perubahan yang bervariasi menyebabkan mereka mampu
beradaptasi dengan lingkungannya. Kemampuan adaptasi ini menjadi bagian dari
pengetahuan lokal mereka dalam menguasai alam (Sudikan, 2013:46).
Dalam “mitos gunung Kelud” perubahan sebuah tanggul pengaman untuk mencegak
meletusnya gunung kelud agar lahar tidak menyebrang kepemukiman yang sekarang
tanggul itu berubah menjadi Gunung Pegat. Bukti itu dapat dilihat dalam cuplikan
dibawah ini;
Ia memerintahkan pengawalnya agar membangun sebuah tanggul pengaman yang
kokoh, agar bila Gunung Kelud meletus , laharnya tidak menyebar ke pemukiman
penduduk. Tanggul tersebut sekarang dikenal dengan nama Gunung Pegat. Masyarakat
juga disuruh menyelenggarakan selamatan yang disebut denganlarung saji, sebagai
sarana berdoa kepada Tuhan,agar terhindar dari sumpah Lembu Sura.(MGK,104—019).
Perubahan pengetahuan lokal yang berada dalam mitos gunung Tangkuban
Perahu , yaitu perubahan perahu yang telah dibuat oleh sangkuriang menjadi gunung
Tangkuban perahu, dan tunggul pohon yang dibuat oleh sangkuriang bersamaan dengan
membuat perahu berubah nama yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan sebutan
bukit tanggul. Tnggul tersebut tempat dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi
menenggelamkan diri mereka. Bukti tersebut dapat dilihat dalam kutipan sebagai
berikut:
Dengan sangat marah dia mengutuk Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya
yang hampir jadi ke tengah hutan. Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan
membentuk Gunung Tangkuban Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari
tempat itu terdapat tunggul pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita
mengenalnya sebagai Bukit Tunggul. Bendungan yang dibuat Sangkuriang
menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan membentuk sebuah danau dimana
Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri dan tidak terdengar lagi
kabarnya hingga kini. (MTP, 2-3)
Dimensi Nilai Lokal
Setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati
bersama oleh seluruh oleh anggotanya. Nilai-nilai itu biasanya mengatur hubungan
antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan
alam. Nilai-nilai itu memiliki dimensi waktu berupa masa lalu, masa kini, dan masa
datang. Nilai-nilai tersebut mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan
masyarakatnya (Sudikan, 2013:47).
Dalam ”mitos gunung Kelud” terdapat hubungan antara manusia dengan alam,
dikarenakan masyarakat menganggap bahwa meletusnya gunung Kelud itu disebabkan
oleh kemarahan Lembu Suro, setiap tahun diadakannya upacara larung saji. Upacara
Larung Saji tersebut sebagai sarana masyarakat Kediri dan sekitarnya berdoa kepad
Tuhan Yang Maha Esa agar diselamatkan dari meletusnya Gunung Kelud. Hal tersebut
dapat dibuktikan kutipan di bawah ini;
Setiap Gunung Kelud meletus, sebagian masyarakat Kediri, Blitar, dan Tulungagung
dan sekitarnya menganggap bahwa meletusnya Gunung Kelud merupakan pembalasan
dendam Lembu Sura kepada Raja Brawijaya dan Dewi Kilisuci beserta rakyatnya atas
pengkhianatan Raja Brawijaya dan Dewi Kilisuci atas dirinya.Upacara sesaji atau yang
dikenal dengan upacara larung saji, tersebut sampai sekarang masih banyak dilakukan
oleh sebagian masyarakat Kediri, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya, setiap tanggal 1
Sura, sebagai tolak balak sumpah Lembu Sura, agar Lembu Sura tidah marah
lagi.(MGK, 110—117)
Mayarakat meyakini dengan meminta pertolongan dari Tuhan dengan
mengadakan upacara larung saji, masyarakat akan terhindar dari sumpah Lembu Suro.
Ternyata, tidak mempan dengan diadakannya upacara tetap saja terjadi bencana. Dapat
dilihat cuplikan sebagai berikut “Masyarakat juga disuruh menyelenggarakan selamatan
yang disebut denganlarung saji, sebagai sarana berdoa kepada Tuhan,agar terhindar dari
sumpah Lembu Sura”.
Mitos gunung Tangkuban Perahu memiliki dimensi nilai lokal berupa
kesepakatan antara komitmen dirinya sendiri kepada semua orang yang dapat
menemukan pintalannya yang berkali-kali telah terjatuh. Disuatu saat pintala itu terjatuh
kembali dan di temukan oleh hewan berupa anjing yang bernama Tumang, anjing ini
sakti. Dengan berat hati Dayang Sumbi pun menikahinya. Dalam mitos Tangkuban
Perahu dapat diambil perilaku nilai lokal dari seorang Dayang Sumbi, berkomitmen
dengn perkataannya sehingga janji yang Dayang Sumbi katakan menjadi terealisasikan.
Dapat dilihat dalam cuplikan berikut:
Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat pintalannya jatuh untuk
kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu bersumpah, dia akan menikahi
siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu. Tepat setelah kata-kata sumpah itu
diucapkan, datang seekor anjing sakti yang bernama Tumang dan menyerahkan pintalan
itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang
Sumbi harus menikahi Anjing tersebut. (MTP, 1)
Dimensi Keterampilan Lokal
Kearifan lokal demensi keterampilan lokal adalah keterampilan yang dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang yang bersifal lokal bagi masyarakat tertentu.
Keterampilan tersebut dapat berupa keterampilan fisik dengan menciptakan sesuatu
barang atau keterampilan atau strategi pemikiran seseorang atau sekelompok orang
dalam memecahkan suatu permasalahan yang dialami seseorang atau sekelompok
orang.
Dalam mitos gunung Tangkuban Perahu dimensi keterampilan lokal yang mucul berupa
pemikiran seorang anak yang putus asa terhadap apa yang ingin dia capai tetapi gagal.
Sangkuriang mempunyai keterampilan lokal berupa pemecahan masalah saat disuruh
ibunya berburu rusa di hutan bersama hewan yang bernama Tumang, bukannya berburu
rusan melainkan membunuh Anjing bernama Tuman alasannya karena frustasi tidak
dapat membunuh rusa untuk diberikan kepada ibunya. Data tersebut dapat dilihat dalam
cuplikan sebagai berikut:
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk
berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa hasil,
Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya. Maka dengan
sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya pada Tumang.
Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya. dayanng Sumbi
yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan anaknya.
(MTP, 1)
Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal
Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut
pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya
untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai
mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Ada masyarakat yang
melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Ada juga
masyarakat yang melakukan secara hierarkis, bertingkat dan berjenjang (Sudikan,
2013:47-48).
Dalam “mitos gunung Kelud” Raja Brawijaya mempunyai seorang anak wanita yang
cantiknya tidak bisa ditandingi wanita manapun, sehingga Raja Brawijaya bingung
untuk menjaganya. Suatu saat ada yang ingi melamarnya yaitu para raja-raja saat itu.
Raja Brawijaya tiadak bisa menolak karena jika menolak akan terjadi peperangan antar
kerajaan. Dari sepenggal cerita diatas Raja Brawijaya mempunyai dimensi pengambila
keputusan lokal yaitu, dengan bertindak adil terhadap para raja yang ingin meminang
anak wanitanya tersebut. Dapat dibuktikan cuplikan di bawah ini;
Kecantikan sang putri sudah terkenal ke seluruh negeri, sehingga banyak putra pangeran
yang jatuh cinta, ingin melamarnya. Sudah banyak pangeran datang dari berbagai
kerajaan melamar sang putri Dewi Kilisuci. Namun, Raja Brawijaya belum menerima
satu pun lamaran dari Sang Pangeran, agar tidak menyakitkan salah satu Pangeran dan
tidak terjadi kecemburuan diantara Pangeran. Raja Brawijaya khawatir, bila menerima
salah satu Pangeran akan mengakibatkan sakit hati bagi Pangeran yang lain, sehingga
bisa terjadi perang antar kerajaan Pangeran dan akan menyerang kerajaan
Kediri.(MGK,6—13).
Dewi Kilisuci juga membuat keputusan tidak ingin menikahi Lembu Suro dan
ingin membatalkan pernikahannya. Dengan ide dari para dayang-dayang kerajaa,
akhirnya Dewi Kilisuci mengambil keputusan memberikan syarat membuat sumur di
puncak gunung Kelud dan harus jadi dalam waktu satu malam. Dapt dilihat cuplikan
dibawah ini;
Salah seorang dayang mengajukan ide agar sang putri minta salah satu persyaratan lagi
yang berat kepada Lembu Sura, agar dibuatkan sumur di puncak Gunung Kelud, untuk
mandi berdua setelah pernikahan selesai. Sumur tersebut harus diselesaikan dalam satu
malam. Usul salah satu dayang, pengasuh sang putri disetujui oleh sang putri dan Raja
Brawijaya juga menyetujuinya. Dewi Kilisuci segera menemui Lembu Sura untuk
mengajukan persyaratan tersebut. Tanpa pikir panjang, Lembu Sura juga menerima dan
menyetujui permintaan Dewi Kilisuci untuk membuatkan sumur di puncak Gunung
Kelud. (MGK, 75—82).
Dalam cerita mitos gunung Tangkuban Perahu mekanisme pengambilam keputusan
lokal yang tampak dalam cerita berupa keputusan untuk tidak menikahi sangkuriang,
karena Dayang Sumbi mengenali bahwa Sangkuriang adalah anaknya sendiri dari bekas
luka di dahi akibat telah membunuh Tumang. Dapat dibuktikan dalam kutipan sebagai
berikut:
Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik. Segera saja dia jatuh
cinta pada wanita tersebut. Wanita itu adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling
mengenali satu sama lainnya. Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima
dengan senang hati. Sehari sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut
tunangannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang,
akhirnya dia menyadari bahwa dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal
tersebut Dayang Sumbi berusaha menggagalkan pernikahannya. (MTP, 2).
Dimensi solidaritas lokal
Demensi solidaritas sosial yang dimaksud adalah kepedulian sesorang atau sekelompok
orang terhadap orang lain atau sekelompok orang yang sedang mengalami masalah dan
memerlukan pertolongan atau solidaritas sosial. Solidaritas sosial dapat muncul dalam
diri seseorang atau sekelompok orang karena ada hubungan darah atau keluarga,
persamaan nasib, suku bangsa, bangsa, dan agama.
Solidaritas lokal dalam cerita mitos gunung Kelud, yaitu sebuah ide dari salah satu
dayang yang membantu mencarikan solusi untuk Dewi Kilisuci agar tidak jadi menikah
dengan Lembu Suro. Ide tersebut mucul dari salah satu dayang untuk memberikan
syarat kepada Lembu Suro agar dibuatkan sumur di puncak gunung Kelud dalam waktu
satu malam. Raja Brawijaya dan Dewi Kilisuci menyetujui ide dari salah satu dayang
tersebut. Tercermin bahwa dimensi solidaritas lokal terdapat pada dayang yang
membantu sang putri agar tidak jadi menikah dengan Lembu Suro. Bukti dapat dilihat
dalam cuplikan sebagai berikut:
Melihat kenyataan tesebut, Dewi Kilisuci segera lari ke istana sambil menangis,
merenungi nasibnya, karena ia harus bersuamikan Lembu Sura, seorang pemuda jelek
berkepala lembu. Di istana Dewi Kilisuci sehari-hari selalu menangis tersedu-sedu
meratapi nasibnya, berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan
dan minum. Melihat kesedian sang putri, para dayang ikut merasakan sedih, mereka
selalu membujuk dan menasihati sang putri agar tidak selalu sedih dan menangis, harus
dicarikan jalan keluarnya sebelum hari pernikahan dengan Lembu Sura tiba. Salah
seorang dayang mengajukan ide agar sang putri minta salah satu persyaratan lagi yang
berat kepada Lembu Sura, agar dibuatkan sumur di puncak Gunung Kelud, untuk mandi
berdua setelah pernikahan selesai. Sumur tersebut harus diselesaikan dalam satu malam.
Usul salah satu dayang, pengasuh sang putri disetujui oleh sang putri dan Raja
Brawijaya juga menyetujuinya. (MGK, 69-80)
Etnografi Mitos Gunung Kelud dan Gunung Tangkuban Perahu
Mitos Gunung Kelud dan gunung Tangkuban Perahu mempunyai perbandinganculture
budaya yang berbeda antara gunung Kelud dengan gunung Tangkuban Perahu. Gunung
Kelud yang terletak di Jawa Timur memiliki tradisi kearifan lokal yang tidak sama
dengan gunung Tangkuban perahu jika dilihat dari segi bahasa dan budaya diadakannya
upacara sesembahan.
Etnografi sendiri merupakan kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu
masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi,
bahasa. Bidang kajian yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu
kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok
(Richards dkk.1985).
Letak mitos gunung kelud sendiri berasal dari cerita zaman kerajaan brawijaya yang
dahulu bertempat di Kediri. Cuplikan berikut menjabarkan etnografi dari asal mula
mitos tersebut berada yaitu Kediri.
1)
Gunung Kelud
a)
Informasi Lebih Rinci (Detil) Gunung Kelud
Nama : Gunung Kelud
Nama Internasional : Mount Kelud
Bentuk / Nama Lain : Ketinggian : 1350 meter / 4429 kaki
Negara : Indonesia
Wilayah / Benua : Asia
Keterangan Wilayah : Pulau Jawa
Huruf Awal Nama : K
Tipe / Jenis : Gunung
Peringkat Ketinggian (Dunia) : Belum Tersedia
Koordinat Peta : Belum Tersedia
Penonjolan (meter) : Belum Tersedia
Informasi Tambahan : Kabupaten Kediri, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang;
Gunung Berapi
Bahasa yang digunakan: Bahasa Jawa
b)
Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat gunung kelud adalah sebagian besar sebagai petani sayur
dan ada sebagian orang yang mendapat penghasilan dari wisata gunung Kelud. Ada juga
dari masyarakat yang keluar untuk mencari pekerjaan yang lebih tinggi dari bertani.
c)
Upacara
Upacara yang dilakukan oleh masyarakat desa Rejomulyo, Mulyorejo, dan Sugiwaras
adalah upacara Kasada yag setiap tahun sekali diadakan, setiap bulan Suro. Masyarakat
meyakini bahwa dengan diadakannya upacara Larung Saji akan menolak balak yang
zaman dulu telah di sumpahka oleh Lembu Suro. Tempat upacara untung larung saji ada
dua, yaitu di dekat anak gunung Kelud, dan yang satunya di sebelah terowongan zaman
jepang yang sampai sekarang masih dilewati untuk mencapai dan melihat anak gunung
kelud.
d)
Jumlah Masyarakat
Jumlah penduduk terpapar sekitar 201.228 jiwa atau sekitar 58.341 jiwa kepala
keluarga. Terdapat tiga desa yaitu, Mulyorejo, Rejomulyo, dan Sugiwaras. Dalam tiga
tersebut terdapat dua agama yaitu Hindu dan Islam. Ritual yang diadakan oelh
masyarkat tersebut pun terbagi menjadi dua tempat.
2)
Gunung Tangkuban Perahu
Tangkuban Parahu atau Gunung Tangkuban Perahu adalah salah satu gunung yang
terletak di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Sekitar 20 km ke arah utara Kota Bandung,
dengan rimbun pohon pinus dan hamparan kebun teh di sekitarnya, Gunung Tangkuban
Perahu mempunyai ketinggian setinggi 2.084 meter. Bentuk gunung ini adalah
Stratovulcano dengan pusat erupsi yang berpindah dari timur ke barat. Jenis batuan
yang dikeluarkan melalui letusan kebanyakan adalah lava dan sulfur, mineral yang
dikeluarkan adalah sulfur belerang, mineral yang dikeluarkan saat gunung tidak aktif
adalah uap belerang. Daerah Gunung Tangkuban Perahu dikelola oleh Perum
Perhutanan. Suhu rata-rata hariannya adalah 17 oC pada siang hari dan 2 oC pada
malam hari.Gunung Tangkuban Perahu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit,
hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.
Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat gunung Tangkuban Perahu adalah
bahasa sunda. Mayoritas masyarakat gunung Tangkuban Perahu memiliki tiga bahasa,
yaitu bahasa asli Sunda, yang kedua bahasa umum yaitu bahasa Indonesia dan yang
ketiga adalah bahasa Internasional (Inggris), karena di Tangkuban Perahu bukan hanya
turis domestic saja yang datanag melainkan turis manca negara pun ada.
Asal-usul Gunung Tangkuban Perahu dikaitkan dengan legenda Sangkuriang, yang
dikisahkan jatuh cinta kepada ibunya, Dayang Sumbi/Rarasati. Untuk menggagalkan
niat anaknya menikahinya, Dayang Sumbi mengajukan syarat supaya Sangkuriang
membuat sebuah telaga dan sebuah perahu dalam semalam. Ketika usahanya gagal,
Sangkuriang marah dan menendang perahu itu sehingga mendarat dalam keadaan
terbalik. Perahu inilah yang kemudian membentuk Gunung Tangkuban Parahu.
Gunung Tangkuban Parahu ini termasuk gunung api aktif yang statusnya diawasi terus
oleh Direktorat Vulkanologi Indonesia. Beberapa kawahnya masih menunjukkan tanda
tanda keaktifan gunung ini. Di antara tanda aktivitas gunung berapi ini adalah
munculnya gas belerang dan sumber-sumber air panas di kaki gunungnya, di antaranya
adalah di kasawan Ciater, Subang. Gunung Tangkuban Parahu pernah mengalami
letusan kecil pada tahun 2006, yang menyebabkan 3 orang luka ringan.
Keberadaan gunung ini serta bentuk topografi Bandung yang berupa cekungan dengan
bukit dan gunung di setiap sisinya menguatkan teori keberadaan sebuah telaga besar
yang kini merupakan kawasan Bandung. Diyakini oleh para ahli geologi bahwa
kawasan dataran tinggi Bandung dengan ketinggian kurang lebih 709 m di atas
permukaan laut merupakan sisa dari danau besar yang terbentuk dari pembendungan Ci
Tarum oleh letusan gunung api purba yang dikenal sebagai Gunung Sunda dan Gunung
Tangkuban Parahu merupakan sisa Gunung Sunda purba yang masih aktif. Fenomena
seperti ini dapat dilihat pada Gunung Krakatau di Selat Sunda dan kawasan Ngorongoro
di Tanzania, Afrika. Sehingga legenda Sangkuriang yang merupakan cerita masyarakat
kawasan itu diyakini merupakan sebuah dokumentasi masyarakat kawasan Gunung
Sunda Purba terhadap peristiwa pada saat itu.
Upacara yang di peringati oelh masyarakat pemilik mitos gunung Tangkubang Perahu
adalah upacara yang dinamakan Ngertakeun Bumi Laba. Ngertakeun Bumi Lamba
adalah sebuah Upacara tahunan di puncak Gunung Tangkuban Parahu, di gelar
bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru mulai kembali dari paling utara bumi
menuju selatan, yaitu di setiap bulan ‘kapitu’ (bulan ke 7), dalam hitungan Suryakala,
kalaider (kalender) Sunda.
Bersama mengekspresikan sembah kepada yang telah memberi kehidupan dengan cara
menghaturkan beragam keindahan rasa persembahan, hasil bumi, lantunan mantera,
musik sakral dan tarian. Intinya adalah berterima kasih kepada asal-muasal keberadaan
diri di alam ini. Menghormati Gunung sebagai tempat ‘kabuyutan’ (sumber air,
makanan atau juga leluhur). Mengingatkan kepada setiap kita bahwa kesucian gunung
adalah sumber utama mahluk di sekitar gunung tersebut, gunung adalah Pakuan Bumi di
semesta ini, gunung menjadi sumber nilai spiritual dan budi pekerti yang mendasari
perilaku yang berbudaya bagi umat manusia di muka bumi, sebagaimana nama SUNDA
yang melekat pada Gunung Tangkuban Parahu (Purba Kancana Parahyangan).
Perbandingan Etnografi Mitos Gunung Kelud dan Gunung Tangkuban Perahu
Etnografi yang dapat dilihat jelas dari etnografi diatas adalah perbedaan dari segi bahasa
yang digunakan sehari-hari, masyarakat gunung Kelud menggunakan bahasa Jawa
untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar maupun masyarakat luar, sedangkan
untuk bahasa Sunda, Indonesia, dan Inggris digunakan oleh masyarakat gunung
Tangkuban Perahu dikeranakan banyaknya wisatawan domestic maupun mancanegara
datang ketempat tersebut.
Upacara yang diadakan oleh masyarakat kediri adalah upacara Kasada yang diperingati
setiap bulan Kasada hari ke 7 untuk sesembahan kepada sang penjaga gunung Kelud
yang dikenal oleh masyarakat sekitar Kediri adalah Lembu Suro, sedangkan upacara
yang diadakan oleh masyarakat gunung Tangkuban Perahu hanyalah untuk pelengkap
keselamatan warga sekitar lereng agar tidak terjadi bencana, nama dari upacara gunung
Tangkuban Perahu adalah Ngertakeun Bumi Laba yang di adakan setiap bulan ‘kapitu’
(bulan ke 7), dalam hitungan Suryakala, kalaider (kalender) Sunda.
Upacara Larung Saji berasal dari gunung Kelud membuat sesaji berupa tumpeng
sebanyak 10 beserta isi lengkap seperti lauk pauk ayam, nasi kuning, mie goring,
sambel goreng, lalu ada jajanan polo pendem, lemper dll. Upacara Larung Saji di
adakan secara besar-besaran. Mengawali upacara dengan nyanyian tembang yang
berasal dari cerita Lembu Suro dan Dewi Kilisuci.
Upacara adat Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan ketika matahari berada di sebelah
utara bumi, biasanya ini terjadi selama enam bulan sekali. Ini merupakan kali ke-7
upacara adat Ngertakeun Bumi Lamba dilaksanakan.
Rangkaian upacara adat dimulai di lahan hijau pelataran parkir Jayagiri, dimana para
peserta upacara adat duduk menghadap gunung sambil berdoa menurut kepercayaannya
masing-masing. Selanjutnya, para peserta upacara adat melanjutkan upacara dengan
berjalan kaki hingga puncak gunung, tepatnya di Kawah Ratu Gunung Tangkuban
Parahu.
Di sana, para peserta menjalankan ritual “ngalarung” dengan mengembalikan hasil alam
kepada alam yang diwakili oleh kawah gunung.
“Larung itu merupakan simbol keterikatan kita, dimana kita berada di puncak yang
disucikan, kita mengembalikan apa yang berasal dari kesucian kembali ke kesucian.
Kita berterima kasih pada gunung berapi ini karena menjadikan tanah yang subur dan
memberikan banyak hasil,” ujar Gingin.
Masyarakat adat yang hadir berasal dari berbagai suku adat serta penganut kepercayaan
di Indonesia. Dari ujung timur diwakili oleh masyarakat Papua, sedangkan dari ujung
barat diwakili oleh Suku Batak Karo. Hadir pula suku Baduy, Jawa, Sunda, Dayak
Sagandu, Maluku serta bermacam penganut kepercayaan yang ada di Indonesia seperti
komunitas Ajisaka dari Jakarta.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan sebelumnya dapat di simpulkan bahwa
dalam mitos gunung Kelud dan gunung Tangkuban Perahu mempunyai kearifan lokal
serta perbandingan etnografi sebagai berikut.
Kearifan Lokal
1.
Dimensi Pengetahuan Lokal
Dalam mitos gunung bromo mempunyai dimensi lokal yaituperubahan sebuah tanggul
pengaman untuk mencegak meletusnya gunung kelud agar lahar tidak menyebrang
kepemukiman yang sekarang tanggul itu berubah menjadi Gunung Pegat, sedangkan
gunung Tangkuban Perahu yaitu perubahan perahu yang telah dibuat oleh sangkuriang
menjadi gunung Tangkuban perahu, dan tunggul pohon yang dibuat oleh sangkuriang
bersamaan dengan membuat perahu berubah nama yang dikenal oleh masyarakat
setempat dengan sebutan bukit tanggul. Tnggul tersebut tempat dimana Sangkuriang
dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri mereka.
2.
Dimensi Nilai Lokal
Dimensi nilai pada gunung kelud yaitu hubungan antara manusia dengan alam,
dikarenakan masyarakat menganggap bahwa meletusnya gunung Kelud itu disebabkan
oleh kemarahan Lembu Suro, setiap tahun diadakannya upacara larung saji. Upacara
Larung Saji tersebut sebagai sarana masyarakat Kediri dan sekitarnya berdoa kepad
Tuhan Yang Maha Esa agar diselamatkan dari meletusnya Gunung Bromo, sedangkan
gunung Tangkuban Perahu yaitu kesepakatan antara komitmen dirinya sendiri kepada
semua orang yang dapat menemukan pintalannya yang berkali-kali telah terjatuh.
Disuatu saat pintala itu terjatuh kembali dan di temukan oleh hewan berupa anjing yang
bernama Tumang, anjing ini sakti. Dengan berat hati Dayang Sumbi pun menikahinya.
Dalam mitos Tangkuban Perahu dapat diambil perilaku nilai lokal dari seorang Dayang
Sumbi, berkomitmen dengn perkataannya sehingga janji yang Dayang Sumbi katakan
menjadi terealisasikan
3.
Dimensi Keterampilan Lokal
Dalam mitos gunung Tangkuban Perahu dimensi keterampilan lokal yang mucul berupa
pemikiran seorang anak yang putus asa terhadap apa yang ingin dia capai tetapi gagal.
Sangkuriang mempunyai keterampilan lokal berupa pemecahan masalah saat disuruh
ibunya berburu rusa di hutan bersama hewan yang bernama Tumang, bukannya berburu
rusan melainkan membunuh Anjing bernama Tuman alasannya karena frustasi tidak
dapat membunuh rusa untuk diberikan kepada ibunya.
4.
Dimensi Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal
Dimensi pengambian keputusan pada gunung Kelud yaitu Raja Brawijaya mempunyai
seorang anak wanita yang cantiknya tidak bisa ditandingi wanita manapun, sehingga
Raja Brawijaya bingung untuk menjaganya. Suatu saat ada yang ingi melamarnya yaitu
para raja-raja saat itu. Raja Brawijaya tiadak bisa menolak karena jika menolak akan
terjadi peperangan antar kerajaan. Dari sepenggal cerita diatas Raja Brawijaya
mempunyai dimensi pengambila keputusan lokal yaitu, dengan bertindak adil terhadap
para raja yang ingin meminang anak wanitanya tersebut, berupa keputusan untuk tidak
menikahi sangkuriang, karena Dayang Sumbi mengenali bahwa Sangkuriang adalah
anaknya sendiri dari bekas luka di dahi akibat telah membunuh Tumang.
5.
Dimensi solidaritas lokal
Solidaritas lokal pada gunung Kelud yaitu sebuah ide dari salah satu dayang yang
membantu mencarikan solusi untuk Dewi Kilisuci agar tidak jadi menikah dengan
Lembu Suro. Ide tersebut mucul dari salah satu dayang untuk memberikan syarat
kepada Lembu Suro agar dibuatkan sumur di puncak gunung Kelud dalam waktu satu
malam.
a)
Perbandingan Etnografi
Dapat disimpulkan bahwa etnografi yang berada dalam kedua mitos tersbut memiliki
persamaan dan perbedaan yang seknifikan. Perbedaannya memilki bahasa yang berbeda
gunung Kelud menggunakan bahasa Jawa sedangkan gunung Tangkuban Perahu
menggunakan bahasa Sunda. tradisi kebudayaannya pun berbeda dari segi tatanan sesaji
sampai prosesi memiliki proses yang berbeda. Jenis upacara yang diadakan di gunung
Kelud bernama Larung Saji yang diadakan setiap bulan Kasada sedangkan nama
upacara gunung Tangkuban Perahu adalah Ngertakeun Bumi Laba yang di adakan
setiap bulan bulan ‘kapitu’ (bulan ke 7), dalam hitungan Suryakala, kalaider (kalender)
Sunda.
Segi cerita yang disuguhkan juga memiliki persamaan yaitu sama-sama bertema putri
cantik yang tidak mau dinikahi oleh orang yang jelek tetapi sakti. Memiliki tokoh yang
sama-sama gagah dan sakti.
Daftar Pustaka
Dundes, Alan. 1965. The Study Of Foklore. United States Of America: Prentice Hall.
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang terlupakan: Pengantar Studi Sastra. Jatim:
Hiski
Pondajar, Margriet marjam Andriani. 2014. Cerita Rakyat Arfak di Kabupaten
Manokwari Provinsi Papua Barat. Tesis tidak diterbitkan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sudikan,Setya Yuwana. 2013. Kearifan Budaya Lokal, Sidoarjo: Damar.
Download