BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya. Penciptaan karya sastra digunakan untuk
mengekspresikan kepribadian pengarang melalui imajinasi pengarang sehingga
menjadi media jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang
yang ditujukan untuk pembaca. Selain itu, karya sastra diciptakan pengarang
untuk dimaknai oleh pembaca dan diciptakan secara kreatif oleh pengarangnya.
Karya sastra dapat berupa prosa, lirik lagu/puisi, dan naskah drama.
Penciptaan karya sastra merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap
berbagai masalah yang terjadi di sekitar lingkungannya. Sastra merekam
penderitaan dan harapan suatu masyarakat sehingga sifat dan persoalan suatu
zaman dapat dibaca dalam karya sastra (Sumardjo, 1979:15). Dengan demikian,
karya sastra menjadi hubungan sistem kehidupan dengan realitas sejarah dan
realitas sosial suatu masyarakat. Realitas sosial itu dituangkan pengarang ke
dalam sebuah teks. Teks-teks itulah merupakan gambaran fenomena sosial yang
akan dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Karya sastra sebagai hasil refleksi
manusia dapat menjadi media yang strategis untuk dijadikan alat kritik sistem
patriarki. Unsur-unsur peristiwa diperoleh pengarang dari realitas masyarakat di
sekitarnya. Berawal dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya
pada kaum perempuan, memunculkan berbagai karya sastra, salah satunya berupa
1
2
novel etnografi. Novel sebagai salah satu genre sastra mampu berperan penting
dalam memberikan pandangan kepada pembacanya untuk memaknai hidup secara
lebih bermakna.
Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku (KBBI, 2012:969). Kata etnografi menurut KBBI adalah
deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa; ilmu tentang pelukisan
kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi. Etnografi
ditinjau secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang
ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama
sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2007:vii). Dari penjelasan arti etnografi
di atas, inti etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan
dari kejadian yang menimpa orang yang ingin dipahami. Beberapa makna tersebut
terekspresikan secara langsung dalam bahasa. Novel etnografi merupakan salah
satu usaha pengarang untuk mengkritisi fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat, misalnya kehidupan masyarakat yang hidup dalam budaya patriarki.
Novel ini berusaha menyajikan kembali rekaman-rekaman realitas kehidupan.
Novel etnografi dapat dikaji sebagai karya sastra karena novel tersebut berisi
dunia gagasan pengarang (maintance fact). Novel etnografi ini telah sampai
kepada pembaca kemudian pembaca berhak memaknai gagasan-gagasan yang
dibuat pengarang dalam novel. Sebagai salah satu karya sastra, novel etnografi
dalam kajian sastra feminis tidak membutuhkan penelitian lapangan karena
kebenarannya terletak pada gagasan-gagasan pengarang. Salah satu novel
3
etnografi yang mengkritisi fenomena sosial adalah novel etnografi Sali, Kisah
Seorang Wanita Suku Dani, selanjutnya disebut SKSWSD yang mengangkat
realitas sosial kehidupan perempuan suku Dani di pedalaman Papua.
Banyak karya sastra
yang sengaja ditulis untuk memperlihatkan
ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan, terutama sikap laki-laki dan
adat memperlakukan perempuan. Laki-laki dianggap sosok yang aktif, kuat, dan
mendominasi, sedangkan perempuan dianggap sosok yang
pasif, lemah, dan
didominasi. Dominasi laki-laki tidak terlepas dengan budaya patriarki. Budaya
patriarki berpengaruh besar terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan.
Patriarki menurut Bhasin (dalam Sugihastuti, 2002:94) merupakan sebuah
sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan,
yaitu kedudukan perempuan dikuasai. Kemunculan ideologi patriarki sering
dihubungkan
dengan
ketidakadilan
gender.
Patriarki
merupakan
sistem
pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak (KBBI,
2012:1031). Patriarkhisme menurut Nurhayati (2012:xvi) adalah sebuah ideologi
yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai, dan
mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan
perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan dalam dunia lakilaki.
Budaya patriarki yang dianut dan berkembang sebagian besar masyarakat
dunia memberikan sumbangan dan memperkuat konsep superior-inferior bagi
laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki menempatkan peran laki-laki sebagai
penguasa tunggal dari segalanya. Budaya patriarki adalah budaya yang dibangun
4
atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan kedudukan lakilaki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Budaya ini bercirikan lakilaki, yang menganggap wajar bahwa laki-laki memiliki kekuasaan dan
menentukan. Kedudukan kaum laki-laki dianggap atas, sedangkan perempuan
dianggap bawah. Budaya patriarki yang tumbuh dan berkembang di masyarakat
mengakibatkan ketidakadilan gender, menganggap laki-laki mempunyai kuasa
penuh terhadap perempuan. Perempuan harus patuh terhadap laki-laki. Jika tidak,
perempuan dianggap salah, bahkan melanggar adat yang berlaku.
Ketidakadilan gender yang diterima perempuan dan budaya patriarki yang
tumbuh di masyarakat menimbulkan sikap dan pemikiran perempuan-perempuan
yang ingin membela dan mempertahankan haknya. Berawal dari pemikiran ingin
membela dan mempertahankan hak perempuan, muncul berbagai cara untuk
mengkritisi ketidakadilan gender. Karya sastra merupakan salah satu cara dan
media untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Dewasa ini bermunculan pengarang yang menciptakan karyanya dengan
tujuan memaparkan muatan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan.
Pengarang-pengarang perempuan mulai menyuarakan pandangannya terhadap
budaya patriarki yang menindas perempuan. Beberapa pengarang perempuan yang
menciptakan karya sastra berupa novel yang mengangkat ide feminis, adalah Ayu
Utami dengan karyanya Saman (1998) dan Larung (2001), Oka Rusmini dengan
karyanya Tarian Bumi (2000), Dewi Lestari dengan karyanya Supernova (2001),
Fira Basuki dengan triloginya Jendela-Jendela (2001), Pintu (2002), dan Atap
(2002), Jenar Mahesa Ayu dengan kumpulan cerpennya Nayla (2005) dan
5
kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2005), dan masih
banyak lagi pengarang perempuan lainnya. Selain pengarang perempuan yang
telah disebutkan di atas, sosok Dewi Linggasari juga ikut berperan dalam
mengkritisi realitas sosial yang mengangkat ide feminis dengan salah satu
karyanya yang berjudul Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani.
Dewi Linggasari merupakan salah seorang novelis yang mengangkat ide-ide
feminis dalam karya-karyanya. Dewi Linggasari lahir di Pekalongan, Jawa
Tengah pada 22 Mei 1967. Dewi Linggasari adalah seorang sarjana antropologi
UGM pada tahun 1994. Dewi pernah menjadi asisten peneliti saat kuliah pada
tahun 1993-1994 di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Bersama suaminya
ia menetap di Agats, Papua dan dikarunia dua orang putri. Selama tinggal dan
bekerja di Papua, membuat Dewi semakin produktif menghasilkan berbagai karya
yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat Papua. Beberapa buah karya
diciptakan berlatar suku bangsa Papua. Ketika bergabung dengan komunitas cyber
“kemudian.com”, Dewi semakin dikenal karya-karyanya. Buah karya yang telah
ia hasilkan, antara lain Realitas di Balik Indahnya Ukiran (2002), Pemilu di Mata
Orang Asmat (2004), Yang Perkasa Yang Tertindas (2004), Tinjauan Sosio
Kultural Rumah Adat Asmat (2004) dan folklor pada Rumpun Bisman Asmat
(2008). Selain menghasilkan karya tulis etnografi, Dewi Linggasari juga
menghasilkan beberapa buah penanya berupa novel, antara lain, Istana Pasir
(2001), Kapak (2005), Sali (2007), Asrama Putri (2007), Zaman Pelangi (2007),
dan kumpulan puisi Menapak Jejak: 200 Kumpulan Puisi (2011).
6
Salah satu karya Dewi Linggasari yang menjadi objek pilihan penelitian ini
ialah novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani (selanjutnya disebut
SKSWSD. Novel ini diterbitkan oleh Kunci Ilmu pada tahun 2007. Kata sali yang
tertera di judul novel adalah pakaian tradisional perempuan suku Dani yang
ditinggalkan oleh pemiliknya yang bunuh diri karena sudah tidak kuat terhadap
tekanan adat melalui perilaku suaminya. Dalam arti leksikal, sali berarti rumbairumbai (KBBI, 2012:1209). Penggunaan kata “wanita” lebih dipilih pengarang
daripada kata “perempuan” dalam penulisan judul karena pemilihan kata wanita
dianggap mampu merepresentasikan citra para tokoh perempuan yang menjadi
korban dominasi laki-laki dan budaya patriarki dalam cerita. Makna kata
“perempuan” sering disamakan dengan kata “wanita”. Asumsi ini melekat di
masyarakat sehingga perempuan sering dianggap negatif. Kata “perempuan”
berasal dibandingkan kata “pu” kemudian menjadi “mpu” yang berarti tuan, orang
yang dihormati, ahli dalam suatu bidang, dan pemilik (Keraf, 1984.55). Kata
“wanita” diasumsikan bersumber dari kosakata bahasa Sanskerta seperti yang
terdapat dalam A Practical Sanskrit Dictionary, yaitu “wanita” yang
berarti
diinginkan (oleh kaum pria) (Macdonel, 1954:269). Hal ini menunjukkan bahwa
kata “perempuan” lebih berkonotasi positif dari kata “wanita”. Kata “perempuan”
juga mempertegas posisinya (kaum perempuan) setara dengan laki-laki.
Penyebutan
wanita
dalam
judul
novel
etnografi
ini
dianggap
lebih
merepresentasikan realitas kehidupan perempuan suku Dani yang hidupnya selalu
dikuasai oleh laki-laki dan adat yang berlaku.
7
Dipilihnya karya pengarang perempuan karena pengarang perempuan
dianggap lebih mampu mengekspresikan ide-ide feminis dalam karya sastra
daripada pengarang laki-laki. Pengarang perempuan diasumsikan lebih peka
terhadap penderitaan yang dirasakan perempuan terhadap ketidakadilan gender
yang dialami perempuan daripada pengarang laki-laki. Seperti yang diungkapkan
Santoso (2009:6) bahwa perempuan menulis memberikan sebuah cermin yang
dapat digunakan sebagai bahan mengenali diri sendiri, sebagai introspeksi,
sebagai bahan refleksi, dan sebagai bahan dasar dalam mengembangkan
kemampuan berkomunikasinya. Pengarang perempuan dapat memosisikan dirinya
menjadi penulis sekaligus objek ketidakadilan gender karena berjenis kelamin
sama dengan tokoh-tokoh perempuan yang diciptakan dalam karya sastra. Novel
etnografi SKSWSD diasumsikan banyak menampilkan ketidakadilan gender yang
dialami oleh tokoh-tokoh perempuan yang merupakan wujud dari perjuangan
ketidakadilan gender. Novel ini mengangkat tema feminis, yaitu perjuangan kaum
perempuan suku Dani untuk setara dengan kaum laki-laki baik dalam bidang
domestik maupun publik yang direpresentasikan oleh para tokoh perempuan.
Dipilihnya novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani sebagai
objek kajian kritik sastra feminis karena para tokoh perempuan dalam novel ini
diperlakukan tidak adil atau sebagai sosok inferior. Dipilihnya novel etnografi
karena novel jenis ini masih sedikit diteliti untuk kajian feminis. Penciptaan novel
etnografi ini merupakan suatu gerakan emansipasi dari pembebasan perbudakan
dan perjuangan persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Citra
perempuan suku Dani menarik untuk dianalisis karena menggambarkan realitas
8
kehidupan perempuan suku Dani yang dipandang sebagai makhluk deuxime sexe,
yaitu pandangan yang menilai perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah
jenis kelamin laki-laki, dalam bahasa Inggrisnya disebut the second sex.
Kesan dominasi yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan meliputi di
berbagai aspek kehidupan suku Dani. Perempuan suku Dani memiliki beban
ganda, yaitu mengurus domestik sekaligus mencari nafkah untuk keluarganya
(publik). Perempuan Dani harus melayani suami, mengurus rumah tangga,
merawat anak-anak, menyiapkan makanan, berkebun, hingga memberi makan
babi-babi. Sebagai pelaku adat, perempuan Dani harus mengerjakan tugas-tugas
tersebut karena sudah terbeli dengan mas kawin babi sebanyak dua puluh ekor,
yang dapat diartikan bahwa perempuan suku Dani harus menuruti semua perintah
suaminya. Perempuan suku Dani kehilangan kebebasannya untuk mandiri dan
menentukan pilihan hidupnya. Perempuan Dani harus menaati semua aturan adat
patriarki yang berlaku. Sejak kecil, perempuan Dani harus merasakan kerasnya
sistem patriarki suku Dani. Para perempuan Dani kecil harus membantu ibu
mereka bekerja di kebun dari pagi hingga senja. Beranjak dewasa, perempuan
Dani harus patuh oleh adat yang mengharuskan mereka menikah dengan laki-laki
yang bukan pilihannya. Setelah menikah, beban hidup perempuan Dani semakin
bertambah dengan dominasi yang diberikan oleh suami mereka. Kekerasan
domestik baik fisik maupun psikis sering mereka rasakan dan hal tersebut
dilanggengkan oleh sistem patriarki dalam masyarakat suku Dani. Anak-anak pun
menjadi tanggung jawab perempuan Dani (ibu) bukan laki-laki Dani (ayah).
9
Para laki-laki suku Dani tidak pernah membantu perempuan suku Dani
yang dinikahinya untuk mengurusi pekerjaan rumah. Laki-laki suku Dani hanya
memiliki pekerjaan berburu dan menghisap tembakau. Sebelum krisis moneter
pada tahun 1998, pekerjaan laki-laki suku Dani adalah berperang untuk
mendapatkan wilayah kekuasaan. Akan tetapi, pemerintah mulai masuk ke
wilayah pedalaman suku di Papua untuk mengatur administrasi pemerintahan
negara Republik Indonesia menyebabkan kegiatan perang yang selama ini
dilakukan oleh laki-laki suku Dani beralih menjadi berburu. Kegiatan berburu pun
hanya dilakukan ketika laki-laki suku Dani bosan di honai (rumah asli suku
Papua) bukan karena ingin memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga
seperti makan, memberi makan ternak, hingga berkebun dibebankan kepada para
perempuan suku Dani. Dominasi laki-laki terhadap perempuan menyebabkan
tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat dari budaya patriarki yang
berkembang kuat dalam masyarakat.
Bagi perempuan Dani yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban hidup
di tengah sistem patriarki suku Dani, mereka akan datang ke Fugima, daerah yang
dialiri sungai yang sangat dalam. Perempuan tersebut memberati tubuhnya dengan
batu, kemudian menceburkan diri ke dalam sungai dengan meninggalkan sali di
tepi sungai. Dalam arti leksikal, sali (KBBI, 2012:1209) berarti rumbai-rumbai.
Bagi perempuan suku Dani, sali digunakan untuk menutupi kemaluan mereka.
Sali ini diikatkan di pinggang tubuh perempuan sehingga rumbai-rumbai (sali)
tersebut menjuntai ke bawah menutupi bawah perut.
10
1.2
Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang penelitian yang telah disebutkan di atas,
rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Tokoh bersikap profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan citra
perempuan Dani dalam novel etnografi SKSWSD.
b. Aspek kebahasaan sebagai bentuk refleksi citra perempuan Dani dalam novel
etnografi SKSWSD.
c. Ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat dalam novel
etnografi SKSWSD.
d. Citra perempuan Dani dalam novel etnografi SKSWSD.
1.3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis dalam
penelitian ini adalah memanfaatkan kritik sastra feminis Ruthven sebagai alat
analisis novel etnografi SKSWSD. Pertama, identifikasi tokoh perempuan dan
tokoh
laki-laki
yang
bersikap
profeminis
dan
kontrafeminis
sebagai
pengungkapan citra perempuan Dani. Kedua, mendeskripsikan aspek kebahasaan
yang digunakan pengarang sebagai bentuk refleksi citra perempuan Dani. Ketiga,
mendeskripsikan ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat
dalam novel etnografi tersebut. Keempat, mendeskripsikan citra perempuan suku
Dani yang hidup dalam budaya patriarki. Tujuan lebih lanjut, deskripsi tersebut
digunakan untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam karya sastra.
11
Tujuan praktis penelitian ini ialah pertama, memberikan sumbangan
pemikiran mengenai studi perempuan, terutama citra perempuan suku etnografi
Indonesia dalam karya sastra berupa novel etnografi. Kedua, penelitian ini
diharapkan bermanfaat kepada masyarakat dan pembaca untuk mengetahui
pemahaman ragam kritik sastra feminis Ruthven beserta aplikasinya.
1.4
Tinjauan Pustaka
Penelitian novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari menggunakan
teori kritik sastra feminis Ruthven dengan memfokuskan analisis pada identifikasi
tokoh, citra perempuan, aspek kebahasaan, dan ide-ide feminis yang belum diteliti
pada novel etnografi tersebut. Namun, kajian kritik sastra feminis Ruthven telah
digunakan sebagai teori dalam beberapa penelitian karya sastra.
Penelitian tersebut diantaranya adalah skripsi Dwi Purwanti (2009),
Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul “Prosa Lirik Calon Arang: Kisah
Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty”. Dari penelitian ini diperoleh
informasi bahwa dalam prosa lirik Calon Arang terdapat ide-ide feminis yang
terbentuk karena kehidupan masyarakat patriarki yang menjadikan laki-laki dan
perempuan sebagai oposisi dan relasi, opresi dominasi laki-laki, dan budaya
patriarki yang menyebabkan tindak kekerasan fisis dan psikis terhadap
perempuan. Dengan menggunakan kritik sastra feminis Ruthven, dapat
disimpulkan bahwa masyarakat patriarki telah menempatkan perempuan dalam
pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ideologi domestikisasi telah membentuk citra
perempuan sebagai penghuni rumah. Simpulan penelitian tersebut dapat diperoleh
12
dari hasil identifikasi karakter tokoh perempuan dan tokoh laki-laki terhadap ideide feminis, bentuk-bentuk opresi terhadap perempuan, dan citra perempuan
dalam prosa lirik.
Terdapat tesis Mustahid (2009), Fakultas Ilmu Budaya UGM yang
menganalisis novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi
Linggasari yang berjudul “Potret Wanita Suku Dani dalam novel Sali, Kisah
Seorang Wanita Suku Dani: Sosiologi Sastra”. Mustahid melakukan penelitian
terhadap novel ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk mengungkapkan
bahwa novel etnografi SKSWSD mencerminkan permasalahan kehidupan wanita
suku Dani sebagai cerminan masyarakat suku Dani yang diwarnai adat yang
konservatif. Penelitian ini memfokuskan kehidupan masyarakat adatnya yang
terkena dampak dari krisis moneter tahun 1997 dengan berbagai masalah yang
tidak kunjung selesai. Adat yang konversatif itu telah membawa kehidupan
masyarakatnya memprihatinkan dan sulit untuk membuka diri dari kemajuan
zaman. Novel yang berlatar belakang kehidupan masyarakat suku Dani, yaitu
periode ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997, merupakan novel
yang mengungkapkan kehidupan suku Dani yang terjebak dalam rantai persoalan
kehidupan yang tidak kunjung selesai.
Perbedaan penelitian Mustahid dengan penelitian ini ialah bahwa penelitian
Mustahid lebih memfokuskan kajiannya terhadap permasalahan yang dihadapi
semua anggota suku Dani yang ikut merasakan dampak dari krisis moneter
Indonesia baik permasalahan dalam ekonomi maupun publik, sedangkan
13
penelitian ini memfokuskan terhadap citra perempuan suku Dani dan usaha
pembebasan dominasi laki-laki dari budaya patriarki suku Dani.
Selain penelitian yang dilakukan Mustahid dengan objek kajian novel
etnografi SKSWSD, novel ini juga menjadi objek penelitian Vrolita Deska (2010),
Fakultas Sastra, Universitas Andalas. Vrolita menganalisis novel SKSWSD dengan
menggunakan
teori
strukturalisme
genetik
(Lucian
Goldman).
Vrolita
menggunakan pandangan dunia pengarang tentang etnografi suku Dani. Simpulan
penelitian Vrolita adalah mendapatkan pemahaman tentang pangaruh adat
terhadap kehidupan masyarakat suku Dani yang melatarbelakangi terciptanya
novel SKSWSD. Meskipun telah masuk berbagai kemajuan zaman dan budaya
luar, kehidupan suku Dani belum bisa terlepas dari adat. Mereka harus mengenal
pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu tiang utama majunya sebuah
peradaban.
Skripsi Christina Diah Kumalasari (2011), Fakultas Ilmu Budaya UGM
yang berjudul “Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan Gender dalam
Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari: Analisis Kritik Sastra Feminis” .
Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis sosialis sebagai teori dasar untuk
menganalisis objek kajiannya berupa salah satu novel karya Dewi Linggasari,
yaitu novel Ronggeng. Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari diasumsikan
banyak menampilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh
perempuan dalam relasi terhadap tokoh laki-laki. Penelitian ini menggunakan
kritik sastra feminis sosialis yang bertujuan untuk membongkar ketidakadilan
gender yang diterima tokoh perempuan dari kungkungan budaya patriarki. Alasan
14
dipilihnya kritik sastra feminis sosialis untuk menganalisis novel Ronggeng
karena tokoh perempuan dalam novel diperlakukan tidak adil atau tersubordinasi
dan ditemukannya ide-ide feminis dalam novel tersebut. Melalui identifikasi
tokoh, terdapat tokoh-tokoh yang profeminis dan kontrafeminis.
Perbedaan beberapa penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada
objek formal dan teori yang digunakan. Novel etnografi SKSWSD telah dikaji
dengan teori sosiologi sastra dan struktural genetik. Sejauh pengetahuan penulis,
novel etnografi ini belum pernah diteliti dengan kajian teori kritik sastra feminis.
Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis Ruthven untuk mengidentifikasi
tokoh, mendeskripsikan aspek kebahasaan yang digunakan oleh pengarang,
menganalisis ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat
dalam novel etnografi SKSWSD, dan mendiskripsikan citra perempuan Dani.
1.5
Landasan Teori
Gerakan feminis pada dasarnya berangkat dari kesadaran ketertindasan
perempuan serta rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat. Kesadaran ini membentuk kebutuhan untuk
mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Feminisme dianggap sebagai alat
untuk mendobrak bentuk penindasan dan eksploitasi perempuan.
Feminisme menurut Geofe (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002:18) ialah
teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik,
ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak
serta kepentingan perempuan. Feminisme menurut Fakih merupakan gerakan
15
yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya
ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan
pengeksploitasian (2012:79). Hal ini akan menumbuhkan kesadaran
tentang
adanya ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan dan diharapkan
perwujudan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun lakilaki untuk mengubah keadaan tersebut (Sofia dan Sugihastuti, 2003:13).
Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi lebih menekankan pada
partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta
kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang
bahwa perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan
hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sofia dan Sugihastuti,
2003:24).
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat
perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan derajat dengan laki-laki.
Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai
cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan
yang dimiliki laki-laki. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari
lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (SoenarjatiDjajanegara, 2000:4).
Feminisme menjelaskan bahwa seks atau jenis kelamin merupakan kategori
biologis sedangkan gender merupakan makna kultural yang dihubungkan dengan
jenis kelamin (Ruthven, 1984:8). Gender dan seksualitas adalah salah satu konsep
utama feminisme. Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk
16
menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai
sesuatu yang berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis
(Soenarjati-Djajanegara, 2000:225). Dalam bahasa Inggris, istilah “seks” (sex)
menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan (sebagai dua jenis
kelamin) atau seks sebagai aktivitas erotis (melakukan seks). Begitu pula kata
“seksual” merujuk pada kegiatan atau atribut yang dimiliki laki-laki dan
perempuan.
Konsep gender memiliki gagasan bahwa perbedaan antara laki-laki dan
perempuan tidaklah selalu ditentukan oleh bentuk biologis. Simone de Beauvoir
pada tahun 1940-an menulis “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan,
tetapi dibentuk menjadi perempuan.” Anggapan bahwa perempuan dibentuk dan
bukan dilahirkan telah menjadi pusat perhatian dalam teori gender. Konsep gender
adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang
dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2012:8). Hal yang paling
penting dari perspektif feminis adalah bahwa gender dirumuskan secara hierarkis,
kita tidak berhadapan dengan perbedaan simetris antara laki-laki dan perempuan,
namun dengan hubungan tidak simetris dan tidak setara (Soenarjati-Djajanegara,
2000: 227).
Gender dan seks (jenis kelamin) memiliki arti yang berbeda. Jenis kelamin
merupakan pensifatan atau pembagian secara biologis yang melekat pada jenis
kelamin tertentu (Fakih, 2012:8). Misalnya manusia ada dua jenis kelamin yaitu
laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang dimaksud adalah manusia yang memiliki
penis, memiliki jakun (kala menjing), dan memroduksi sperma. Perempuan
17
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memroduksi
sel telur (ovum), memiliki vagina, dan memiliki payudara. Alat-alat produksi
tersebut melekat secara biologis dan tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis
laki-laki dan perempuan. Alat-alat biologis tersebut merupakan kodrat Tuhan
yang melekat secara permanen, sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun
kultural (Fakih, 2012:8). Pembedaan tersebut selanjutnya membawa kategori
maskulin dan feminin. Misalnya perempuan dianggap memiliki sifat lemah,
emosional, keibuan, dan lembut. Sementara laki-laki dianggap memiliki sifat kuat,
rasional, tangguh, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan. Artinya
ada laki-laki yang lembut dan keibuan dan ada juga perempuan yang kuat dan
tangguh. Ciri dan sifat tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari
tempat satu ke tempat yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gender tidak sama
dengan jenis kelamin. Adanya perspektif gender ini membentuk budaya dalam
masyarakat yang menganut sistem patriarki yang menempatkan posisi laki-laki
menjadi posisi yang utama.
Kaum feminis harus memperhatikan dua hal penting ketika menghadapi
teks-teks sastra (Ruthven, 1984:90). Pertama, terkait dengan proses pembacaan.
Kedua, terkait dengan kecenderungan ideologis pada proses pembacaan. Makna
tidak tertanam begitu saja dalam teks. Akan tetapi, makna merupakan produk
yang dihasilkan dari pembacaan teks. Kebenaran interpretasi bersifat tidak pasti
karena terbatas pada komunitas pembaca tertentu. Feminisme sepakat dengan alur
pemikiran ini. Dalam kritik sastra feminis, tugas peneliti bukanlah mencari makna
18
teks sesuai dengan kondisi ketika teks tersebut lahir, melainkan mencari maknamakna baru sesuai dengan zaman ketika teks-teks tersebut dibaca (Ruthven,
1984:91).
Teori kritik sastra feminis berpandangan bahwa sastra merupakan
konkretisasi dari berbagai kekuatan fundamental yang diwarisi dari masyarakat
dan diwariskan kepada masyarakat. Kritik sastra feminis bermaksud menyajikan
pengetahuan-pengetahuan baru dengan jalan mengungkapkan semua komponen
gender pada semua wacana humaniora dan sosial, termasuk dalam karya sastra
berupa novel etnografi. Pengetahuan-pengetahuan baru tersebut merupakan sarana
untuk mengungkapkan dan
menjelaskan berbagai maksud tersembunyi yang
terdapat dalam karya sastra sekaligus menyimpulkannya (Ruthven, 1984:24).
Dalam usaha mengkritisi karya sastra yang bernilai feminis, diperlukan
kritik yaitu kritik sastra feminis Ruthven. Kritik ini memberikan alternatif lain
dalam menganalisis label-label perjuangan perempuan dan citra perempuan dalam
karya sastra. Kritik sastra feminis menurut Ruthven (1984:4) berasal dari istilah
“kritik sastra feminis” yang dipahami dengan pembagian istilah ke dalam tiga
frasa “kritik”, “sastra”, dan “feminis”. Kritik merupakan praktik diskursif yang
bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi karya sastra. Sastra merupakan
kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan. Oleh karena itu, istilah kritik sastra
feminis
dipahami
mengandung
makna
sebagai
bentuk
sekunder
yang
mengevaluasi dan menilai bentuk primer berlandaskan teori.
Berbagai kritik sastra feminis pada intinya tetap memiliki persamaan tujuan
untuk mengakhiri dominasi laki-laki. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh
19
Andrea Dworkin (dalam Ruthven, 1984:6) bahwa pekerjaan utama feminis adalah
mengakhiri dominasi laki-laki, meskipun untuk melakukannya diperlukan usaha
yang tidak mudah. Hal tersebut terjadi karena feminisme harus merobohkan
bangunan budaya yang diantaranya terdiri atas seni, gereja, hukum, keluarga inti
yang berdasarkan kekuasaan kepala keluarga dan kepala negara.
Keragaman pandangan feminisme dan praktik kritik sastra feminis juga
merupakan
upaya
membongkar
androsentrisme
dalam
masyarakat.
Androsentrisme merupakan pandangan yang menilai bahwa laki-laki adalah jenis
kelamin pertama, sedangkan perempuan adalah jenis kelamin kedua (Ruthven,
1984:50). Kata Andro berasal dari bahasa Yunani yang berarti laki-laki (Ruthven,
1984:1—2). Salah satu cara untuk melihat bias androsentrisme dalam budaya
patriarki adalah dengan karya sastra (Ruthven, 1984:71).
Karya sastra sebagai bagian produk budaya patriarki tidak terlepas dari bias
gender yang timpang dan berkuasa. Keadaan tersebut dilukiskan melalui jalinan
hubungan yang sederhana antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dan
perempuan
ditempatkan
dalam
pasangan
oposisi
biner.
Oposisi
biner
menempatkan manusia secara tidak seimbang antara pemenang-pecundang atau
menindas-tertindas yang dikerucutkan menjadi dua model umum. Pertama,
oposisi model vertikal yang berearti berada dalam posisi hierarki. Salah satu
konstituen lebih diunggulkan ketimbang yang lain. Hal ini terjadi pula pada
hubungan laki-laki dan perempuan (superior-inferior). Pihak laki-laki menjadi
superior dan perempuan menjadi inferior. Kedua, adalah model horizontal yang
menempatkan oposisi dalam bentuk ordinat. Salah satu konstituen menjadi pusat
20
dan kontituen lain sebagai radial dari pusat. Radial merupakan pusat
termajinalkan. Dalam hal ini, yang menjadi pusat adalah laki-laki dan perempuan
menjadi yang termajinalkan (Ruthven, 1984:50).
Model hubungan oposisi tersebut berdampak merugikan perempuan.
Perempuan tidak memiliki eksistensi diri. Perempuan terdikte oleh konstruksi
budaya patriarki. Perempuan menjadi subjek yang terbagi, subjek yang
terfeminimkan oleh budaya dan subjek yang menjadi pelampisan hasrat laki-laki.
Perempuan sebagai diri sendiri seharusnya mampu menuturkan makna dan
pengalaman sendiri tanpa harus terintervensi patriarkisme (Ruthven, 1984:45).
Patriarki menurut Bhasin (1996:3) adalah sistem dominasi dan superioritas
laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, yang menunjukkan bahwa
perempuan dikuasai. Patriarki melekatkan ideologi yang menyatakan bahwa lakilaki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh lakilaki, dan bahwa perempuan adalah bagian dari milik laki-laki (Bhasin, 1996:4).
Menurut Ruthven (1984:2) patriarki adalah sistem sosial yang memungkinkan
laki-laki untuk menguasai perempuan dalam segala relasi sosial.
Ruthven (1984:24) juga mengemukakan bahwa teori feminis diharapkan
mampu membuka pandangan-pandangan baru dengan jalan mengungkap
komponen gender, terutama yang berkaitan dengan karakter-karakter perempuan
dalam karya sastra. Pandangan-pandangan tersebut diharapkan menghasilkan
pengetahuan baru yang mempertautkan sastra dengan kondisi dan situasi
masyarakat tempat lingkungan sastra tersebut lahir. Sesuai dengan pengertian
tersebut, kritik sastra feminis adalah usaha untuk melihat bagaimana perempuan
21
memandang dirinya di dalam masyarakat dan budaya tempat ia lahir, bagaimana
teks terwujud melalui relasi gender dan perbedaan sosial. Selain menunjukkan
bagaimana wujud representasi perempuan, kritik juga berusaha menggali
bagaimana potensi perempuan dilukiskan di tengah kekuasaan dominasi budaya
patriarki dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40—50). Kerja kritik ini adalah
meneliti karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan
menunjukkan perbedaan antara yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak
dari sebuah pembacaan yang teliti (Ruthven, 1984:32).
Lebih lanjut, Ruthven (1984:55) menggunakan tingkatan graphireader
dalam melakukan pembacaan terhadap karya sastra. Tingkatan graphireader ialah
pembacaan yang tidak menghubungkan pengarang dengan teks karena setiap kata
dalam teks diyakini sebagai sumber makna.
Salah satu bentuk kritik sastra feminis yang fokus terhadap masalah tersebut
adalah images of women. Kritik ini dianggap sebagai suatu jenis sosiologi. Lebih
lanjut, Ruthven (1984:70—71) menjelaskan hal itu sebagai pendekatan praktik
sosio-feminis. Konsep tersebut menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan
sebagai bukti untuk melihat jenis dan bentuk peran yang disediakan untuk
perempuan. Ada tujuan yang berlawanan dan berkaitan dengan pemberian peran
tersebut. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengungkapkan sifat representasi
stereotip yang menindas. Di sisi lain, peran tersebut memberikan peluang untuk
berpikir tentang perempuan dengan membandingkan bagaimana perempuan
sebenarnya dan perempuan direpresentasikan oleh produk-produk budaya. Karya
sastra seharusnya menjadikan teladan, menyajikan identitas feminin yang positif,
22
menampilkan
citra-citra
perempuan
sebagai
makhluk
yang
mampu
mengaktualisasikan diri, memiliki identitas pribadi, dan tidak bergantung pada
laki-laki.
Keberatan-keberatan yang menyatakan pada kritik images of women
merupakan suatu hal yang mudah dipatahkan karena sebuah kualitas kritik
ditentukan oleh banyaknya bacaan yang melatarbelakanginya (Ruthven, 1984:74).
Perempuan dalam images of women tidak hanya dibicarakan sebagai subjek, tetapi
juga dalam hubungannya dengan dunia medis, hukum, biologi, psikoanalisis, dan
sebagainya. Dengan demikian, penelitian images of women ini merupakan usaha
transdisipliner yang menempatkan perempuan sebagai jenis interteks yang ditulis
dalam hubungan dengan berbagai hal. Oleh karena itu, pembicaraan yang baik
dalam mencitrakan perempuan tergantung pada representasi yang dipilih untuk
mewakilinya. Pembicaraan ini menggunakan bantuan ideologi feminis yang
mengklasifikasikan beberapa citra perempuan (Ruthven, 1984:75).
Mengingat fokus penelitian ini adalah citra perempuan, pengertian citra
perlu diperjelas. Menurut Pradopo (2002:77), citra yaitu setiap gambar pemikiran
yang merupakan sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran
yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dilihat oleh
mata, syaraf penglihatan, dan daerah otak yang berhubungan dan bersangkutan.
Citra merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh suatu
kata, frasa, kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan
puisi (KBBI, 2012:216). Pengertian citra perempuan dalam penelitian ini adalah
23
semua wujud gambaran mental, spritual, dan tingkah laku perempuan yang
menunjukkan ciri khas perempuan.
Menurut Ruthven (1984:74) mengenai citra perempuan, langkah penelitian
sastra dengan pendekatan feminis adalah sebagai berikut. Mengidentifikasi tokoh
perempuan di dalam sebuah karya sastra. Selanjutnya mencari kedudukan tokohtokoh tersebut dalam berbagai hubungan, tidak harus hubungan dengan laki-laki,
tetapi juga menekankan pada identitasnya dalam lingkungan, keluarga, dan
masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini juga memperhatikan pendirian serta
ucapan para tokoh lain. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh
perempuan dan tokoh laki-laki akan banyak memberikan keterangan tentang
tokoh tersebut.
Selain fokus terhadap citra perempuan, analisis kritik sastra feminis juga
menganalisis aspek kebahasaan yang dipakai pengarang dalam karya sastranya.
Sastra tidak terlepas dari media bahasa dan pengaruh bahasa dari masyarakat
penutur suatu budaya. Bahasa tidak hanya cermin masyarakat penuturnya, namun
di dalamnya terselubung konstruksi perbedaan gender antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan gender tersebut tidak hanya berlaku dalam masyarakat
sosial, tetapi juga berimplikasi pada konstruksi bahasa.
Setelah mengidentikasi tokoh, dan menganalisis aspek kebahasaan yang
dipakai pengarang, selanjutnya akan ditemukan ideologi pengarang yang
terkandung dalam novel etnografi SKSWSD. Ideologi pengarang tersebut
pembentuk pencitraan perempuan Dani. Ideologi yang ditemukan merupakan
24
perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya yang terbebas dari penindasan
kaum laki-laki di tengah norma adat patriaki.
Analisis kritik sastra feminis dalam novel etnografi SKSWSD tidak terlepas
dari konsep feminisme sebagai alat untuk menganalisis. Konsep feminisme
digunakan sebagai alat bantu pemahaman kritik sastra feminis terhadap novel
etnografi SKSWD. Kajian kritik sastra feminis Ruthven diasumsikan dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tokoh, citra perempuan, aspek kebahasaan, dan
ide-ide feminis yang merupakan tujuan penelitian ini.
1.6
Metode Penelitian
Kritik sastra feminis tidak memiliki metodologi tunggal atau teori tunggal.
Akan tetapi, kritik sastra feminis juga tidak antiteori karena antiteori dapat
menjerumuskan kritik sastra feminis pada subjektivisme primitif (Ruthven,
1984:25). Sugihastuti dan Suharto (2002:10) menambahkan bahwa kritik sastra
feminis tidak mencari metodologi atau konseptual tunggal, tetapi sebaliknya
menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya, dengan kebebasan dan pendekatan
yang digunakan dalam pelaksanaan kritiknya. Oleh karena itu, kritik sastra
feminis selalu membutuhkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu seperti,
antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiofeminis yang berfokus pada
images as a women. Penelitian images as a women ini merupakan jenis sosiologi
yang menganggap bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai adanya di melihat
berbagai peranan perempuan di masyarakat (Ruthven, 1984:70—71). Pendekatan
25
tersebut menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai bukti untuk
melihat jenis dan bentuk peran yan disediakan untuk perempuan.
Penelitian citra merupakan penerapan images as a women yang digunakan
untuk mengungkapkan hakikat representasi streotip yang menindas ke dalam
model-model peran serta menawarkan pandangan sangat terbatas yang diharapkan
oleh seseorang perempuan. Selain itu, penelitian images as a women digunakan
untuk memberikan peluang tentang perempuan dan bagaimana seharusnya
merepresentasikan perempuan (Sofia, 2009:22—23).
Pengungkapan citra perempuan suku Dani yang dilakukan dengan
menggunakan kritik sastra feminis ini bersifat kualitatif sehingga data yang
diambil merupakan data yang bersifat kualitatif, misal data yang menunjukkan
citra perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat.
Untuk memperkuat langkah kerja penelitian digunakan metode kualitatif.
Metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya
dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif adalah penelitian yang bermaksud
untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya,
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan pada suatu konteks khusus yang
alamiah (Moleong, 2006:6). Langkah yang diperlukan dalam penelitian secara
kualitatif adalah sebagai berikut.
a. Menentukan objek kajian yang akan diteliti. Objek kajian penelitian yang
digunakan adalah novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari yang
terbit tahun 2007.
26
b. Merumuskan dan menetapkan pokok permasalahan yang menentukan arah
penelitian, yaitu mengidentifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis
sebagai pengungkapan citra, menganalisis aspek kebahasaan sebagai bentuk
refleksi citra perempuan, membongkar muatan ideologi pembentukan citra,
dan menganalisis citra perempuan.
c. Mengumpulkan bahan dan data penelitian sebagai data formal yaitu kata-kata,
kalimat, dan wacana yang kemudian mengklasifikannya.
d. Melakukan analisis novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari dengan
menggunakan teori kritik sastra feminis Ruthven.
e. Menarik kesimpulan yang sudah dilakukan dan menyajikan hasil penelitian
dalam bentuk laporan.
Dalam hal kutipan sumber data, penulisan mengikuti kaidah ejaan bahasa
Indonesia yang disempurnakan. Langkah ini untuk mengonsistensikan teknik
penulisan ilmiah tanpa mengubah kata, frasa, dan kalimat dalam kutipan novel.
Menurut Ruthven (1984:74) mengenai citra perempuan, langkah penelitian
sastra dengan pendekatan feminis adalah sebagai berikut. Mengidentifikasi tokoh
perempuan di dalam sebuah karya sastra. Selanjutnya mencari kedudukan tokohtokoh tersebut dalam berbagai hubungan, tidak harus hubungan dengan laki-laki,
tetapi juga menekankan pada identitasnya dalam lingkungan, keluarga, dan
masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini juga memperhatikan pendirian serta
ucapan para tokoh lain. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh
perempuan dan tokoh laki-laki akan banyak memberikan keterangan tentang
tokoh tersebut.
27
1.7
Sistematika Laporan Penelitian
Pada penelitian yang berjudul “Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel
Etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari: Analisis
Kritik Sastra Feminis Ruthven” ini terdiri atas enam bab.
Bab I pendahuluan. Dalam bagian ini dikemukakan (a) latar belakang
penelitian; (b) rumusan masalah; (c) tujuan penelitian; (d) tinjauan pustaka;
(e) landasan teori; (f) metode penelitian; dan (g) sistematika laporan penelitian.
Bab II analisis identifikasi tokoh yang ada dalam novel etnografi SKSWSD
karya Dewi Linggasari. Pada bab ini akan diidentifikasi tokoh-tokoh perempuan
dan laki-laki yang bersikap profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan
citra perempuan dani.
Bab III analisis aspek kebahasaan. Bab ini mendiskripsikan tentang
penggunaan diksi yang digunakan pengarang dalam novel etnografi SKSWSD.
Bab IV analisis ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani. Pada bab
ini akan dideskripsikan ideologi-ideologi pengarang yang muncul sebagai
pembentuk citra perempuan dani. Ideologi feminisme tersebut adalah (1)
perempuan berkuasa atas dirinya, (2) perempuan selalu berusaha bebas dari
dominasi laki-laki, dan (3) perempuan berhak memperoleh pendidikan.
Bab V citra perempuan. Pada bab ini akan dipaparkan citra perempuan yang
terbagi atas citra domestik dan citra publik. Citra domestik perempuan Dani
meliputi citra perempuan sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. Citra publik
28
perempuan Dani meliputi citra perempuan sebagai pelaku adat dan sebagai
pencari nafkah.
Bab VI kesimpulan.
Download