BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Penciptaan karya sastra digunakan untuk mengekspresikan kepribadian pengarang melalui imajinasi pengarang sehingga menjadi media jembatan yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pengarang yang ditujukan untuk pembaca. Selain itu, karya sastra diciptakan pengarang untuk dimaknai oleh pembaca dan diciptakan secara kreatif oleh pengarangnya. Karya sastra dapat berupa prosa, lirik lagu/puisi, dan naskah drama. Penciptaan karya sastra merupakan refleksi pandangan pengarang terhadap berbagai masalah yang terjadi di sekitar lingkungannya. Sastra merekam penderitaan dan harapan suatu masyarakat sehingga sifat dan persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya sastra (Sumardjo, 1979:15). Dengan demikian, karya sastra menjadi hubungan sistem kehidupan dengan realitas sejarah dan realitas sosial suatu masyarakat. Realitas sosial itu dituangkan pengarang ke dalam sebuah teks. Teks-teks itulah merupakan gambaran fenomena sosial yang akan dibaca dan dimaknai oleh pembaca. Karya sastra sebagai hasil refleksi manusia dapat menjadi media yang strategis untuk dijadikan alat kritik sistem patriarki. Unsur-unsur peristiwa diperoleh pengarang dari realitas masyarakat di sekitarnya. Berawal dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya pada kaum perempuan, memunculkan berbagai karya sastra, salah satunya berupa 1 2 novel etnografi. Novel sebagai salah satu genre sastra mampu berperan penting dalam memberikan pandangan kepada pembacanya untuk memaknai hidup secara lebih bermakna. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (KBBI, 2012:969). Kata etnografi menurut KBBI adalah deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa; ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup tersebar di muka bumi. Etnografi ditinjau secara harfiah, berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil penelitian lapangan (field work) selama sekian bulan atau sekian tahun (Spradley, 2007:vii). Dari penjelasan arti etnografi di atas, inti etnografi adalah upaya untuk memperhatikan makna-makna tindakan dari kejadian yang menimpa orang yang ingin dipahami. Beberapa makna tersebut terekspresikan secara langsung dalam bahasa. Novel etnografi merupakan salah satu usaha pengarang untuk mengkritisi fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, misalnya kehidupan masyarakat yang hidup dalam budaya patriarki. Novel ini berusaha menyajikan kembali rekaman-rekaman realitas kehidupan. Novel etnografi dapat dikaji sebagai karya sastra karena novel tersebut berisi dunia gagasan pengarang (maintance fact). Novel etnografi ini telah sampai kepada pembaca kemudian pembaca berhak memaknai gagasan-gagasan yang dibuat pengarang dalam novel. Sebagai salah satu karya sastra, novel etnografi dalam kajian sastra feminis tidak membutuhkan penelitian lapangan karena kebenarannya terletak pada gagasan-gagasan pengarang. Salah satu novel 3 etnografi yang mengkritisi fenomena sosial adalah novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani, selanjutnya disebut SKSWSD yang mengangkat realitas sosial kehidupan perempuan suku Dani di pedalaman Papua. Banyak karya sastra yang sengaja ditulis untuk memperlihatkan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan, terutama sikap laki-laki dan adat memperlakukan perempuan. Laki-laki dianggap sosok yang aktif, kuat, dan mendominasi, sedangkan perempuan dianggap sosok yang pasif, lemah, dan didominasi. Dominasi laki-laki tidak terlepas dengan budaya patriarki. Budaya patriarki berpengaruh besar terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan. Patriarki menurut Bhasin (dalam Sugihastuti, 2002:94) merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, yaitu kedudukan perempuan dikuasai. Kemunculan ideologi patriarki sering dihubungkan dengan ketidakadilan gender. Patriarki merupakan sistem pengelompokan sosial yang sangat mementingkan garis keturunan bapak (KBBI, 2012:1031). Patriarkhisme menurut Nurhayati (2012:xvi) adalah sebuah ideologi yang memberikan kepada laki-laki legitimasi superioritas, menguasai, dan mendefinisikan struktur sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik dengan perspektif laki-laki. Dunia dibangun dengan cara berpikir dan dalam dunia lakilaki. Budaya patriarki yang dianut dan berkembang sebagian besar masyarakat dunia memberikan sumbangan dan memperkuat konsep superior-inferior bagi laki-laki dan perempuan. Budaya patriarki menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal dari segalanya. Budaya patriarki adalah budaya yang dibangun 4 atas dasar struktur dominasi dan subordinasi yang mengharuskan kedudukan lakilaki dan pandangan laki-laki menjadi suatu norma. Budaya ini bercirikan lakilaki, yang menganggap wajar bahwa laki-laki memiliki kekuasaan dan menentukan. Kedudukan kaum laki-laki dianggap atas, sedangkan perempuan dianggap bawah. Budaya patriarki yang tumbuh dan berkembang di masyarakat mengakibatkan ketidakadilan gender, menganggap laki-laki mempunyai kuasa penuh terhadap perempuan. Perempuan harus patuh terhadap laki-laki. Jika tidak, perempuan dianggap salah, bahkan melanggar adat yang berlaku. Ketidakadilan gender yang diterima perempuan dan budaya patriarki yang tumbuh di masyarakat menimbulkan sikap dan pemikiran perempuan-perempuan yang ingin membela dan mempertahankan haknya. Berawal dari pemikiran ingin membela dan mempertahankan hak perempuan, muncul berbagai cara untuk mengkritisi ketidakadilan gender. Karya sastra merupakan salah satu cara dan media untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Dewasa ini bermunculan pengarang yang menciptakan karyanya dengan tujuan memaparkan muatan ketidakadilan gender antara laki-laki dan perempuan. Pengarang-pengarang perempuan mulai menyuarakan pandangannya terhadap budaya patriarki yang menindas perempuan. Beberapa pengarang perempuan yang menciptakan karya sastra berupa novel yang mengangkat ide feminis, adalah Ayu Utami dengan karyanya Saman (1998) dan Larung (2001), Oka Rusmini dengan karyanya Tarian Bumi (2000), Dewi Lestari dengan karyanya Supernova (2001), Fira Basuki dengan triloginya Jendela-Jendela (2001), Pintu (2002), dan Atap (2002), Jenar Mahesa Ayu dengan kumpulan cerpennya Nayla (2005) dan 5 kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2005), dan masih banyak lagi pengarang perempuan lainnya. Selain pengarang perempuan yang telah disebutkan di atas, sosok Dewi Linggasari juga ikut berperan dalam mengkritisi realitas sosial yang mengangkat ide feminis dengan salah satu karyanya yang berjudul Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani. Dewi Linggasari merupakan salah seorang novelis yang mengangkat ide-ide feminis dalam karya-karyanya. Dewi Linggasari lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 22 Mei 1967. Dewi Linggasari adalah seorang sarjana antropologi UGM pada tahun 1994. Dewi pernah menjadi asisten peneliti saat kuliah pada tahun 1993-1994 di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan UGM. Bersama suaminya ia menetap di Agats, Papua dan dikarunia dua orang putri. Selama tinggal dan bekerja di Papua, membuat Dewi semakin produktif menghasilkan berbagai karya yang mengangkat kehidupan sosial masyarakat Papua. Beberapa buah karya diciptakan berlatar suku bangsa Papua. Ketika bergabung dengan komunitas cyber “kemudian.com”, Dewi semakin dikenal karya-karyanya. Buah karya yang telah ia hasilkan, antara lain Realitas di Balik Indahnya Ukiran (2002), Pemilu di Mata Orang Asmat (2004), Yang Perkasa Yang Tertindas (2004), Tinjauan Sosio Kultural Rumah Adat Asmat (2004) dan folklor pada Rumpun Bisman Asmat (2008). Selain menghasilkan karya tulis etnografi, Dewi Linggasari juga menghasilkan beberapa buah penanya berupa novel, antara lain, Istana Pasir (2001), Kapak (2005), Sali (2007), Asrama Putri (2007), Zaman Pelangi (2007), dan kumpulan puisi Menapak Jejak: 200 Kumpulan Puisi (2011). 6 Salah satu karya Dewi Linggasari yang menjadi objek pilihan penelitian ini ialah novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani (selanjutnya disebut SKSWSD. Novel ini diterbitkan oleh Kunci Ilmu pada tahun 2007. Kata sali yang tertera di judul novel adalah pakaian tradisional perempuan suku Dani yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang bunuh diri karena sudah tidak kuat terhadap tekanan adat melalui perilaku suaminya. Dalam arti leksikal, sali berarti rumbairumbai (KBBI, 2012:1209). Penggunaan kata “wanita” lebih dipilih pengarang daripada kata “perempuan” dalam penulisan judul karena pemilihan kata wanita dianggap mampu merepresentasikan citra para tokoh perempuan yang menjadi korban dominasi laki-laki dan budaya patriarki dalam cerita. Makna kata “perempuan” sering disamakan dengan kata “wanita”. Asumsi ini melekat di masyarakat sehingga perempuan sering dianggap negatif. Kata “perempuan” berasal dibandingkan kata “pu” kemudian menjadi “mpu” yang berarti tuan, orang yang dihormati, ahli dalam suatu bidang, dan pemilik (Keraf, 1984.55). Kata “wanita” diasumsikan bersumber dari kosakata bahasa Sanskerta seperti yang terdapat dalam A Practical Sanskrit Dictionary, yaitu “wanita” yang berarti diinginkan (oleh kaum pria) (Macdonel, 1954:269). Hal ini menunjukkan bahwa kata “perempuan” lebih berkonotasi positif dari kata “wanita”. Kata “perempuan” juga mempertegas posisinya (kaum perempuan) setara dengan laki-laki. Penyebutan wanita dalam judul novel etnografi ini dianggap lebih merepresentasikan realitas kehidupan perempuan suku Dani yang hidupnya selalu dikuasai oleh laki-laki dan adat yang berlaku. 7 Dipilihnya karya pengarang perempuan karena pengarang perempuan dianggap lebih mampu mengekspresikan ide-ide feminis dalam karya sastra daripada pengarang laki-laki. Pengarang perempuan diasumsikan lebih peka terhadap penderitaan yang dirasakan perempuan terhadap ketidakadilan gender yang dialami perempuan daripada pengarang laki-laki. Seperti yang diungkapkan Santoso (2009:6) bahwa perempuan menulis memberikan sebuah cermin yang dapat digunakan sebagai bahan mengenali diri sendiri, sebagai introspeksi, sebagai bahan refleksi, dan sebagai bahan dasar dalam mengembangkan kemampuan berkomunikasinya. Pengarang perempuan dapat memosisikan dirinya menjadi penulis sekaligus objek ketidakadilan gender karena berjenis kelamin sama dengan tokoh-tokoh perempuan yang diciptakan dalam karya sastra. Novel etnografi SKSWSD diasumsikan banyak menampilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan yang merupakan wujud dari perjuangan ketidakadilan gender. Novel ini mengangkat tema feminis, yaitu perjuangan kaum perempuan suku Dani untuk setara dengan kaum laki-laki baik dalam bidang domestik maupun publik yang direpresentasikan oleh para tokoh perempuan. Dipilihnya novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani sebagai objek kajian kritik sastra feminis karena para tokoh perempuan dalam novel ini diperlakukan tidak adil atau sebagai sosok inferior. Dipilihnya novel etnografi karena novel jenis ini masih sedikit diteliti untuk kajian feminis. Penciptaan novel etnografi ini merupakan suatu gerakan emansipasi dari pembebasan perbudakan dan perjuangan persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Citra perempuan suku Dani menarik untuk dianalisis karena menggambarkan realitas 8 kehidupan perempuan suku Dani yang dipandang sebagai makhluk deuxime sexe, yaitu pandangan yang menilai perempuan sebagai jenis kelamin kedua setelah jenis kelamin laki-laki, dalam bahasa Inggrisnya disebut the second sex. Kesan dominasi yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan meliputi di berbagai aspek kehidupan suku Dani. Perempuan suku Dani memiliki beban ganda, yaitu mengurus domestik sekaligus mencari nafkah untuk keluarganya (publik). Perempuan Dani harus melayani suami, mengurus rumah tangga, merawat anak-anak, menyiapkan makanan, berkebun, hingga memberi makan babi-babi. Sebagai pelaku adat, perempuan Dani harus mengerjakan tugas-tugas tersebut karena sudah terbeli dengan mas kawin babi sebanyak dua puluh ekor, yang dapat diartikan bahwa perempuan suku Dani harus menuruti semua perintah suaminya. Perempuan suku Dani kehilangan kebebasannya untuk mandiri dan menentukan pilihan hidupnya. Perempuan Dani harus menaati semua aturan adat patriarki yang berlaku. Sejak kecil, perempuan Dani harus merasakan kerasnya sistem patriarki suku Dani. Para perempuan Dani kecil harus membantu ibu mereka bekerja di kebun dari pagi hingga senja. Beranjak dewasa, perempuan Dani harus patuh oleh adat yang mengharuskan mereka menikah dengan laki-laki yang bukan pilihannya. Setelah menikah, beban hidup perempuan Dani semakin bertambah dengan dominasi yang diberikan oleh suami mereka. Kekerasan domestik baik fisik maupun psikis sering mereka rasakan dan hal tersebut dilanggengkan oleh sistem patriarki dalam masyarakat suku Dani. Anak-anak pun menjadi tanggung jawab perempuan Dani (ibu) bukan laki-laki Dani (ayah). 9 Para laki-laki suku Dani tidak pernah membantu perempuan suku Dani yang dinikahinya untuk mengurusi pekerjaan rumah. Laki-laki suku Dani hanya memiliki pekerjaan berburu dan menghisap tembakau. Sebelum krisis moneter pada tahun 1998, pekerjaan laki-laki suku Dani adalah berperang untuk mendapatkan wilayah kekuasaan. Akan tetapi, pemerintah mulai masuk ke wilayah pedalaman suku di Papua untuk mengatur administrasi pemerintahan negara Republik Indonesia menyebabkan kegiatan perang yang selama ini dilakukan oleh laki-laki suku Dani beralih menjadi berburu. Kegiatan berburu pun hanya dilakukan ketika laki-laki suku Dani bosan di honai (rumah asli suku Papua) bukan karena ingin memenuhi kebutuhan keluarga. Kebutuhan keluarga seperti makan, memberi makan ternak, hingga berkebun dibebankan kepada para perempuan suku Dani. Dominasi laki-laki terhadap perempuan menyebabkan tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat dari budaya patriarki yang berkembang kuat dalam masyarakat. Bagi perempuan Dani yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban hidup di tengah sistem patriarki suku Dani, mereka akan datang ke Fugima, daerah yang dialiri sungai yang sangat dalam. Perempuan tersebut memberati tubuhnya dengan batu, kemudian menceburkan diri ke dalam sungai dengan meninggalkan sali di tepi sungai. Dalam arti leksikal, sali (KBBI, 2012:1209) berarti rumbai-rumbai. Bagi perempuan suku Dani, sali digunakan untuk menutupi kemaluan mereka. Sali ini diikatkan di pinggang tubuh perempuan sehingga rumbai-rumbai (sali) tersebut menjuntai ke bawah menutupi bawah perut. 10 1.2 Rumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang penelitian yang telah disebutkan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Tokoh bersikap profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan citra perempuan Dani dalam novel etnografi SKSWSD. b. Aspek kebahasaan sebagai bentuk refleksi citra perempuan Dani dalam novel etnografi SKSWSD. c. Ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat dalam novel etnografi SKSWSD. d. Citra perempuan Dani dalam novel etnografi SKSWSD. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis dalam penelitian ini adalah memanfaatkan kritik sastra feminis Ruthven sebagai alat analisis novel etnografi SKSWSD. Pertama, identifikasi tokoh perempuan dan tokoh laki-laki yang bersikap profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan citra perempuan Dani. Kedua, mendeskripsikan aspek kebahasaan yang digunakan pengarang sebagai bentuk refleksi citra perempuan Dani. Ketiga, mendeskripsikan ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat dalam novel etnografi tersebut. Keempat, mendeskripsikan citra perempuan suku Dani yang hidup dalam budaya patriarki. Tujuan lebih lanjut, deskripsi tersebut digunakan untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam karya sastra. 11 Tujuan praktis penelitian ini ialah pertama, memberikan sumbangan pemikiran mengenai studi perempuan, terutama citra perempuan suku etnografi Indonesia dalam karya sastra berupa novel etnografi. Kedua, penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada masyarakat dan pembaca untuk mengetahui pemahaman ragam kritik sastra feminis Ruthven beserta aplikasinya. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari menggunakan teori kritik sastra feminis Ruthven dengan memfokuskan analisis pada identifikasi tokoh, citra perempuan, aspek kebahasaan, dan ide-ide feminis yang belum diteliti pada novel etnografi tersebut. Namun, kajian kritik sastra feminis Ruthven telah digunakan sebagai teori dalam beberapa penelitian karya sastra. Penelitian tersebut diantaranya adalah skripsi Dwi Purwanti (2009), Fakultas Ilmu Budaya UGM berjudul “Prosa Lirik Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty”. Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa dalam prosa lirik Calon Arang terdapat ide-ide feminis yang terbentuk karena kehidupan masyarakat patriarki yang menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai oposisi dan relasi, opresi dominasi laki-laki, dan budaya patriarki yang menyebabkan tindak kekerasan fisis dan psikis terhadap perempuan. Dengan menggunakan kritik sastra feminis Ruthven, dapat disimpulkan bahwa masyarakat patriarki telah menempatkan perempuan dalam pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ideologi domestikisasi telah membentuk citra perempuan sebagai penghuni rumah. Simpulan penelitian tersebut dapat diperoleh 12 dari hasil identifikasi karakter tokoh perempuan dan tokoh laki-laki terhadap ideide feminis, bentuk-bentuk opresi terhadap perempuan, dan citra perempuan dalam prosa lirik. Terdapat tesis Mustahid (2009), Fakultas Ilmu Budaya UGM yang menganalisis novel etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari yang berjudul “Potret Wanita Suku Dani dalam novel Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani: Sosiologi Sastra”. Mustahid melakukan penelitian terhadap novel ini menggunakan teori sosiologi sastra untuk mengungkapkan bahwa novel etnografi SKSWSD mencerminkan permasalahan kehidupan wanita suku Dani sebagai cerminan masyarakat suku Dani yang diwarnai adat yang konservatif. Penelitian ini memfokuskan kehidupan masyarakat adatnya yang terkena dampak dari krisis moneter tahun 1997 dengan berbagai masalah yang tidak kunjung selesai. Adat yang konversatif itu telah membawa kehidupan masyarakatnya memprihatinkan dan sulit untuk membuka diri dari kemajuan zaman. Novel yang berlatar belakang kehidupan masyarakat suku Dani, yaitu periode ketika Indonesia dilanda krisis moneter tahun 1997, merupakan novel yang mengungkapkan kehidupan suku Dani yang terjebak dalam rantai persoalan kehidupan yang tidak kunjung selesai. Perbedaan penelitian Mustahid dengan penelitian ini ialah bahwa penelitian Mustahid lebih memfokuskan kajiannya terhadap permasalahan yang dihadapi semua anggota suku Dani yang ikut merasakan dampak dari krisis moneter Indonesia baik permasalahan dalam ekonomi maupun publik, sedangkan 13 penelitian ini memfokuskan terhadap citra perempuan suku Dani dan usaha pembebasan dominasi laki-laki dari budaya patriarki suku Dani. Selain penelitian yang dilakukan Mustahid dengan objek kajian novel etnografi SKSWSD, novel ini juga menjadi objek penelitian Vrolita Deska (2010), Fakultas Sastra, Universitas Andalas. Vrolita menganalisis novel SKSWSD dengan menggunakan teori strukturalisme genetik (Lucian Goldman). Vrolita menggunakan pandangan dunia pengarang tentang etnografi suku Dani. Simpulan penelitian Vrolita adalah mendapatkan pemahaman tentang pangaruh adat terhadap kehidupan masyarakat suku Dani yang melatarbelakangi terciptanya novel SKSWSD. Meskipun telah masuk berbagai kemajuan zaman dan budaya luar, kehidupan suku Dani belum bisa terlepas dari adat. Mereka harus mengenal pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu tiang utama majunya sebuah peradaban. Skripsi Christina Diah Kumalasari (2011), Fakultas Ilmu Budaya UGM yang berjudul “Perjuangan Perempuan Melawan Ketidakadilan Gender dalam Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari: Analisis Kritik Sastra Feminis” . Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis sosialis sebagai teori dasar untuk menganalisis objek kajiannya berupa salah satu novel karya Dewi Linggasari, yaitu novel Ronggeng. Novel Ronggeng karya Dewi Linggasari diasumsikan banyak menampilkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh-tokoh perempuan dalam relasi terhadap tokoh laki-laki. Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis sosialis yang bertujuan untuk membongkar ketidakadilan gender yang diterima tokoh perempuan dari kungkungan budaya patriarki. Alasan 14 dipilihnya kritik sastra feminis sosialis untuk menganalisis novel Ronggeng karena tokoh perempuan dalam novel diperlakukan tidak adil atau tersubordinasi dan ditemukannya ide-ide feminis dalam novel tersebut. Melalui identifikasi tokoh, terdapat tokoh-tokoh yang profeminis dan kontrafeminis. Perbedaan beberapa penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada objek formal dan teori yang digunakan. Novel etnografi SKSWSD telah dikaji dengan teori sosiologi sastra dan struktural genetik. Sejauh pengetahuan penulis, novel etnografi ini belum pernah diteliti dengan kajian teori kritik sastra feminis. Penelitian ini menggunakan kritik sastra feminis Ruthven untuk mengidentifikasi tokoh, mendeskripsikan aspek kebahasaan yang digunakan oleh pengarang, menganalisis ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani yang terdapat dalam novel etnografi SKSWSD, dan mendiskripsikan citra perempuan Dani. 1.5 Landasan Teori Gerakan feminis pada dasarnya berangkat dari kesadaran ketertindasan perempuan serta rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kesadaran ini membentuk kebutuhan untuk mengakhiri penindasan terhadap perempuan. Feminisme dianggap sebagai alat untuk mendobrak bentuk penindasan dan eksploitasi perempuan. Feminisme menurut Geofe (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002:18) ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Feminisme menurut Fakih merupakan gerakan 15 yang berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi, serta harus ada upaya mengakhiri penindasan dan pengeksploitasian (2012:79). Hal ini akan menumbuhkan kesadaran tentang adanya ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan dan diharapkan perwujudan dalam tindakan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun lakilaki untuk mengubah keadaan tersebut (Sofia dan Sugihastuti, 2003:13). Feminisme berbeda dengan emansipasi. Emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa mempersoalkan hak serta kepentingan mereka yang dinilai tidak adil, sedangkan feminisme memandang bahwa perempuan memiliki aktivitas dan inisiatif sendiri untuk memperjuangkan hak dan kepentingan tersebut dalam berbagai gerakan (Sofia dan Sugihastuti, 2003:24). Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan derajat dengan laki-laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki. Cara lain adalah membebaskan perempuan dari lingkungan domestik atau lingkungan keluarga dan rumah tangga (SoenarjatiDjajanegara, 2000:4). Feminisme menjelaskan bahwa seks atau jenis kelamin merupakan kategori biologis sedangkan gender merupakan makna kultural yang dihubungkan dengan jenis kelamin (Ruthven, 1984:8). Gender dan seksualitas adalah salah satu konsep utama feminisme. Istilah gender telah digunakan sejak awal 1970-an untuk 16 menunjukkan feminitas dan maskulinitas yang dibentuk oleh budaya sebagai sesuatu yang berlawanan dengan perbedaan jenis kelamin secara biologis (Soenarjati-Djajanegara, 2000:225). Dalam bahasa Inggris, istilah “seks” (sex) menunjukkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan (sebagai dua jenis kelamin) atau seks sebagai aktivitas erotis (melakukan seks). Begitu pula kata “seksual” merujuk pada kegiatan atau atribut yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Konsep gender memiliki gagasan bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidaklah selalu ditentukan oleh bentuk biologis. Simone de Beauvoir pada tahun 1940-an menulis “Seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk menjadi perempuan.” Anggapan bahwa perempuan dibentuk dan bukan dilahirkan telah menjadi pusat perhatian dalam teori gender. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2012:8). Hal yang paling penting dari perspektif feminis adalah bahwa gender dirumuskan secara hierarkis, kita tidak berhadapan dengan perbedaan simetris antara laki-laki dan perempuan, namun dengan hubungan tidak simetris dan tidak setara (Soenarjati-Djajanegara, 2000: 227). Gender dan seks (jenis kelamin) memiliki arti yang berbeda. Jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2012:8). Misalnya manusia ada dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang dimaksud adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakun (kala menjing), dan memroduksi sperma. Perempuan 17 memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memroduksi sel telur (ovum), memiliki vagina, dan memiliki payudara. Alat-alat produksi tersebut melekat secara biologis dan tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis laki-laki dan perempuan. Alat-alat biologis tersebut merupakan kodrat Tuhan yang melekat secara permanen, sedangkan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural (Fakih, 2012:8). Pembedaan tersebut selanjutnya membawa kategori maskulin dan feminin. Misalnya perempuan dianggap memiliki sifat lemah, emosional, keibuan, dan lembut. Sementara laki-laki dianggap memiliki sifat kuat, rasional, tangguh, dan perkasa. Sifat-sifat tersebut dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang lembut dan keibuan dan ada juga perempuan yang kuat dan tangguh. Ciri dan sifat tersebut dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat satu ke tempat yang lain. Jadi, dapat disimpulkan bahwa gender tidak sama dengan jenis kelamin. Adanya perspektif gender ini membentuk budaya dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki yang menempatkan posisi laki-laki menjadi posisi yang utama. Kaum feminis harus memperhatikan dua hal penting ketika menghadapi teks-teks sastra (Ruthven, 1984:90). Pertama, terkait dengan proses pembacaan. Kedua, terkait dengan kecenderungan ideologis pada proses pembacaan. Makna tidak tertanam begitu saja dalam teks. Akan tetapi, makna merupakan produk yang dihasilkan dari pembacaan teks. Kebenaran interpretasi bersifat tidak pasti karena terbatas pada komunitas pembaca tertentu. Feminisme sepakat dengan alur pemikiran ini. Dalam kritik sastra feminis, tugas peneliti bukanlah mencari makna 18 teks sesuai dengan kondisi ketika teks tersebut lahir, melainkan mencari maknamakna baru sesuai dengan zaman ketika teks-teks tersebut dibaca (Ruthven, 1984:91). Teori kritik sastra feminis berpandangan bahwa sastra merupakan konkretisasi dari berbagai kekuatan fundamental yang diwarisi dari masyarakat dan diwariskan kepada masyarakat. Kritik sastra feminis bermaksud menyajikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan jalan mengungkapkan semua komponen gender pada semua wacana humaniora dan sosial, termasuk dalam karya sastra berupa novel etnografi. Pengetahuan-pengetahuan baru tersebut merupakan sarana untuk mengungkapkan dan menjelaskan berbagai maksud tersembunyi yang terdapat dalam karya sastra sekaligus menyimpulkannya (Ruthven, 1984:24). Dalam usaha mengkritisi karya sastra yang bernilai feminis, diperlukan kritik yaitu kritik sastra feminis Ruthven. Kritik ini memberikan alternatif lain dalam menganalisis label-label perjuangan perempuan dan citra perempuan dalam karya sastra. Kritik sastra feminis menurut Ruthven (1984:4) berasal dari istilah “kritik sastra feminis” yang dipahami dengan pembagian istilah ke dalam tiga frasa “kritik”, “sastra”, dan “feminis”. Kritik merupakan praktik diskursif yang bertujuan untuk menjelaskan dan mengevaluasi karya sastra. Sastra merupakan kumpulan teks yang memiliki nilai kesastraan. Oleh karena itu, istilah kritik sastra feminis dipahami mengandung makna sebagai bentuk sekunder yang mengevaluasi dan menilai bentuk primer berlandaskan teori. Berbagai kritik sastra feminis pada intinya tetap memiliki persamaan tujuan untuk mengakhiri dominasi laki-laki. Hal tersebut seperti diungkapkan oleh 19 Andrea Dworkin (dalam Ruthven, 1984:6) bahwa pekerjaan utama feminis adalah mengakhiri dominasi laki-laki, meskipun untuk melakukannya diperlukan usaha yang tidak mudah. Hal tersebut terjadi karena feminisme harus merobohkan bangunan budaya yang diantaranya terdiri atas seni, gereja, hukum, keluarga inti yang berdasarkan kekuasaan kepala keluarga dan kepala negara. Keragaman pandangan feminisme dan praktik kritik sastra feminis juga merupakan upaya membongkar androsentrisme dalam masyarakat. Androsentrisme merupakan pandangan yang menilai bahwa laki-laki adalah jenis kelamin pertama, sedangkan perempuan adalah jenis kelamin kedua (Ruthven, 1984:50). Kata Andro berasal dari bahasa Yunani yang berarti laki-laki (Ruthven, 1984:1—2). Salah satu cara untuk melihat bias androsentrisme dalam budaya patriarki adalah dengan karya sastra (Ruthven, 1984:71). Karya sastra sebagai bagian produk budaya patriarki tidak terlepas dari bias gender yang timpang dan berkuasa. Keadaan tersebut dilukiskan melalui jalinan hubungan yang sederhana antara laki-laki dan perempuan, laki-laki dan perempuan ditempatkan dalam pasangan oposisi biner. Oposisi biner menempatkan manusia secara tidak seimbang antara pemenang-pecundang atau menindas-tertindas yang dikerucutkan menjadi dua model umum. Pertama, oposisi model vertikal yang berearti berada dalam posisi hierarki. Salah satu konstituen lebih diunggulkan ketimbang yang lain. Hal ini terjadi pula pada hubungan laki-laki dan perempuan (superior-inferior). Pihak laki-laki menjadi superior dan perempuan menjadi inferior. Kedua, adalah model horizontal yang menempatkan oposisi dalam bentuk ordinat. Salah satu konstituen menjadi pusat 20 dan kontituen lain sebagai radial dari pusat. Radial merupakan pusat termajinalkan. Dalam hal ini, yang menjadi pusat adalah laki-laki dan perempuan menjadi yang termajinalkan (Ruthven, 1984:50). Model hubungan oposisi tersebut berdampak merugikan perempuan. Perempuan tidak memiliki eksistensi diri. Perempuan terdikte oleh konstruksi budaya patriarki. Perempuan menjadi subjek yang terbagi, subjek yang terfeminimkan oleh budaya dan subjek yang menjadi pelampisan hasrat laki-laki. Perempuan sebagai diri sendiri seharusnya mampu menuturkan makna dan pengalaman sendiri tanpa harus terintervensi patriarkisme (Ruthven, 1984:45). Patriarki menurut Bhasin (1996:3) adalah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, yang menunjukkan bahwa perempuan dikuasai. Patriarki melekatkan ideologi yang menyatakan bahwa lakilaki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh lakilaki, dan bahwa perempuan adalah bagian dari milik laki-laki (Bhasin, 1996:4). Menurut Ruthven (1984:2) patriarki adalah sistem sosial yang memungkinkan laki-laki untuk menguasai perempuan dalam segala relasi sosial. Ruthven (1984:24) juga mengemukakan bahwa teori feminis diharapkan mampu membuka pandangan-pandangan baru dengan jalan mengungkap komponen gender, terutama yang berkaitan dengan karakter-karakter perempuan dalam karya sastra. Pandangan-pandangan tersebut diharapkan menghasilkan pengetahuan baru yang mempertautkan sastra dengan kondisi dan situasi masyarakat tempat lingkungan sastra tersebut lahir. Sesuai dengan pengertian tersebut, kritik sastra feminis adalah usaha untuk melihat bagaimana perempuan 21 memandang dirinya di dalam masyarakat dan budaya tempat ia lahir, bagaimana teks terwujud melalui relasi gender dan perbedaan sosial. Selain menunjukkan bagaimana wujud representasi perempuan, kritik juga berusaha menggali bagaimana potensi perempuan dilukiskan di tengah kekuasaan dominasi budaya patriarki dalam karya sastra (Ruthven, 1984:40—50). Kerja kritik ini adalah meneliti karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan antara yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan yang teliti (Ruthven, 1984:32). Lebih lanjut, Ruthven (1984:55) menggunakan tingkatan graphireader dalam melakukan pembacaan terhadap karya sastra. Tingkatan graphireader ialah pembacaan yang tidak menghubungkan pengarang dengan teks karena setiap kata dalam teks diyakini sebagai sumber makna. Salah satu bentuk kritik sastra feminis yang fokus terhadap masalah tersebut adalah images of women. Kritik ini dianggap sebagai suatu jenis sosiologi. Lebih lanjut, Ruthven (1984:70—71) menjelaskan hal itu sebagai pendekatan praktik sosio-feminis. Konsep tersebut menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai bukti untuk melihat jenis dan bentuk peran yang disediakan untuk perempuan. Ada tujuan yang berlawanan dan berkaitan dengan pemberian peran tersebut. Di satu sisi, ada keinginan untuk mengungkapkan sifat representasi stereotip yang menindas. Di sisi lain, peran tersebut memberikan peluang untuk berpikir tentang perempuan dengan membandingkan bagaimana perempuan sebenarnya dan perempuan direpresentasikan oleh produk-produk budaya. Karya sastra seharusnya menjadikan teladan, menyajikan identitas feminin yang positif, 22 menampilkan citra-citra perempuan sebagai makhluk yang mampu mengaktualisasikan diri, memiliki identitas pribadi, dan tidak bergantung pada laki-laki. Keberatan-keberatan yang menyatakan pada kritik images of women merupakan suatu hal yang mudah dipatahkan karena sebuah kualitas kritik ditentukan oleh banyaknya bacaan yang melatarbelakanginya (Ruthven, 1984:74). Perempuan dalam images of women tidak hanya dibicarakan sebagai subjek, tetapi juga dalam hubungannya dengan dunia medis, hukum, biologi, psikoanalisis, dan sebagainya. Dengan demikian, penelitian images of women ini merupakan usaha transdisipliner yang menempatkan perempuan sebagai jenis interteks yang ditulis dalam hubungan dengan berbagai hal. Oleh karena itu, pembicaraan yang baik dalam mencitrakan perempuan tergantung pada representasi yang dipilih untuk mewakilinya. Pembicaraan ini menggunakan bantuan ideologi feminis yang mengklasifikasikan beberapa citra perempuan (Ruthven, 1984:75). Mengingat fokus penelitian ini adalah citra perempuan, pengertian citra perlu diperjelas. Menurut Pradopo (2002:77), citra yaitu setiap gambar pemikiran yang merupakan sebuah efek dalam pikiran yang sangat menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah objek yang dilihat oleh mata, syaraf penglihatan, dan daerah otak yang berhubungan dan bersangkutan. Citra merupakan kesan mental atau bayangan visual yang ditimbulkan oleh suatu kata, frasa, kalimat, dan merupakan unsur dasar yang khas dalam karya prosa dan puisi (KBBI, 2012:216). Pengertian citra perempuan dalam penelitian ini adalah 23 semua wujud gambaran mental, spritual, dan tingkah laku perempuan yang menunjukkan ciri khas perempuan. Menurut Ruthven (1984:74) mengenai citra perempuan, langkah penelitian sastra dengan pendekatan feminis adalah sebagai berikut. Mengidentifikasi tokoh perempuan di dalam sebuah karya sastra. Selanjutnya mencari kedudukan tokohtokoh tersebut dalam berbagai hubungan, tidak harus hubungan dengan laki-laki, tetapi juga menekankan pada identitasnya dalam lingkungan, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini juga memperhatikan pendirian serta ucapan para tokoh lain. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh perempuan dan tokoh laki-laki akan banyak memberikan keterangan tentang tokoh tersebut. Selain fokus terhadap citra perempuan, analisis kritik sastra feminis juga menganalisis aspek kebahasaan yang dipakai pengarang dalam karya sastranya. Sastra tidak terlepas dari media bahasa dan pengaruh bahasa dari masyarakat penutur suatu budaya. Bahasa tidak hanya cermin masyarakat penuturnya, namun di dalamnya terselubung konstruksi perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan gender tersebut tidak hanya berlaku dalam masyarakat sosial, tetapi juga berimplikasi pada konstruksi bahasa. Setelah mengidentikasi tokoh, dan menganalisis aspek kebahasaan yang dipakai pengarang, selanjutnya akan ditemukan ideologi pengarang yang terkandung dalam novel etnografi SKSWSD. Ideologi pengarang tersebut pembentuk pencitraan perempuan Dani. Ideologi yang ditemukan merupakan 24 perjuangan perempuan untuk mendapatkan haknya yang terbebas dari penindasan kaum laki-laki di tengah norma adat patriaki. Analisis kritik sastra feminis dalam novel etnografi SKSWSD tidak terlepas dari konsep feminisme sebagai alat untuk menganalisis. Konsep feminisme digunakan sebagai alat bantu pemahaman kritik sastra feminis terhadap novel etnografi SKSWD. Kajian kritik sastra feminis Ruthven diasumsikan dapat digunakan untuk mengidentifikasi tokoh, citra perempuan, aspek kebahasaan, dan ide-ide feminis yang merupakan tujuan penelitian ini. 1.6 Metode Penelitian Kritik sastra feminis tidak memiliki metodologi tunggal atau teori tunggal. Akan tetapi, kritik sastra feminis juga tidak antiteori karena antiteori dapat menjerumuskan kritik sastra feminis pada subjektivisme primitif (Ruthven, 1984:25). Sugihastuti dan Suharto (2002:10) menambahkan bahwa kritik sastra feminis tidak mencari metodologi atau konseptual tunggal, tetapi sebaliknya menjadi pluralis dalam teori dan praktiknya, dengan kebebasan dan pendekatan yang digunakan dalam pelaksanaan kritiknya. Oleh karena itu, kritik sastra feminis selalu membutuhkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu seperti, antropologi, sosiologi, etnologi, dan sebagainya. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiofeminis yang berfokus pada images as a women. Penelitian images as a women ini merupakan jenis sosiologi yang menganggap bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai adanya di melihat berbagai peranan perempuan di masyarakat (Ruthven, 1984:70—71). Pendekatan 25 tersebut menjelaskan bahwa teks sastra dapat digunakan sebagai bukti untuk melihat jenis dan bentuk peran yan disediakan untuk perempuan. Penelitian citra merupakan penerapan images as a women yang digunakan untuk mengungkapkan hakikat representasi streotip yang menindas ke dalam model-model peran serta menawarkan pandangan sangat terbatas yang diharapkan oleh seseorang perempuan. Selain itu, penelitian images as a women digunakan untuk memberikan peluang tentang perempuan dan bagaimana seharusnya merepresentasikan perempuan (Sofia, 2009:22—23). Pengungkapan citra perempuan suku Dani yang dilakukan dengan menggunakan kritik sastra feminis ini bersifat kualitatif sehingga data yang diambil merupakan data yang bersifat kualitatif, misal data yang menunjukkan citra perempuan sebagai individu, anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Untuk memperkuat langkah kerja penelitian digunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi. Metode kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian misalnya, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, dan pada suatu konteks khusus yang alamiah (Moleong, 2006:6). Langkah yang diperlukan dalam penelitian secara kualitatif adalah sebagai berikut. a. Menentukan objek kajian yang akan diteliti. Objek kajian penelitian yang digunakan adalah novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari yang terbit tahun 2007. 26 b. Merumuskan dan menetapkan pokok permasalahan yang menentukan arah penelitian, yaitu mengidentifikasi tokoh profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan citra, menganalisis aspek kebahasaan sebagai bentuk refleksi citra perempuan, membongkar muatan ideologi pembentukan citra, dan menganalisis citra perempuan. c. Mengumpulkan bahan dan data penelitian sebagai data formal yaitu kata-kata, kalimat, dan wacana yang kemudian mengklasifikannya. d. Melakukan analisis novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari dengan menggunakan teori kritik sastra feminis Ruthven. e. Menarik kesimpulan yang sudah dilakukan dan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk laporan. Dalam hal kutipan sumber data, penulisan mengikuti kaidah ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan. Langkah ini untuk mengonsistensikan teknik penulisan ilmiah tanpa mengubah kata, frasa, dan kalimat dalam kutipan novel. Menurut Ruthven (1984:74) mengenai citra perempuan, langkah penelitian sastra dengan pendekatan feminis adalah sebagai berikut. Mengidentifikasi tokoh perempuan di dalam sebuah karya sastra. Selanjutnya mencari kedudukan tokohtokoh tersebut dalam berbagai hubungan, tidak harus hubungan dengan laki-laki, tetapi juga menekankan pada identitasnya dalam lingkungan, keluarga, dan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini juga memperhatikan pendirian serta ucapan para tokoh lain. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakan oleh tokoh perempuan dan tokoh laki-laki akan banyak memberikan keterangan tentang tokoh tersebut. 27 1.7 Sistematika Laporan Penelitian Pada penelitian yang berjudul “Citra Perempuan Suku Dani dalam Novel Etnografi Sali, Kisah Seorang Wanita Suku Dani karya Dewi Linggasari: Analisis Kritik Sastra Feminis Ruthven” ini terdiri atas enam bab. Bab I pendahuluan. Dalam bagian ini dikemukakan (a) latar belakang penelitian; (b) rumusan masalah; (c) tujuan penelitian; (d) tinjauan pustaka; (e) landasan teori; (f) metode penelitian; dan (g) sistematika laporan penelitian. Bab II analisis identifikasi tokoh yang ada dalam novel etnografi SKSWSD karya Dewi Linggasari. Pada bab ini akan diidentifikasi tokoh-tokoh perempuan dan laki-laki yang bersikap profeminis dan kontrafeminis sebagai pengungkapan citra perempuan dani. Bab III analisis aspek kebahasaan. Bab ini mendiskripsikan tentang penggunaan diksi yang digunakan pengarang dalam novel etnografi SKSWSD. Bab IV analisis ideologi pembentuk pencitraan perempuan Dani. Pada bab ini akan dideskripsikan ideologi-ideologi pengarang yang muncul sebagai pembentuk citra perempuan dani. Ideologi feminisme tersebut adalah (1) perempuan berkuasa atas dirinya, (2) perempuan selalu berusaha bebas dari dominasi laki-laki, dan (3) perempuan berhak memperoleh pendidikan. Bab V citra perempuan. Pada bab ini akan dipaparkan citra perempuan yang terbagi atas citra domestik dan citra publik. Citra domestik perempuan Dani meliputi citra perempuan sebagai anak, sebagai istri, dan sebagai ibu. Citra publik 28 perempuan Dani meliputi citra perempuan sebagai pelaku adat dan sebagai pencari nafkah. Bab VI kesimpulan.