Perubahan Sosial dan Perlindungan Anak

advertisement
Perubahan Sosial dan Perlindungan
Anak: Peran Pemerintah dan Partisipasi
Sosial di LP Anak Muarabulian, Jambi
Marsaid
Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Palembang
Edi Amin
Fakultas Ushuluddin IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstrak:
Artikel ini membahas tentang bentuk dan sistem perlindungan
anak pidana di LP Anak Muarabulian, Jambi. Lebih jauh juga
melihat penerapan undang-undang dan peraturan lainnya, serta
implementasinya dalam perlindungan anak pidana. Konkretnya
bagaimana pada tataran praksis, apakah sistem tersebut berjalan
dengan baik, dan apa kendala-kendala dalam pembinaan terkait
perlindungan anak pidana. Temuan artikel ini adalah bahwa peran
pemerintah sudah berjalan, namun perlu adanya kontrol dan
evaluasi agar perlindungan anak pidana bisa berjalan lebih baik.
Partisipasi sosial masih minim. Sementar kegiatan anak pidana
di LP Anak Muarabulian telah berjalan, baik kegiatan pendidikan
melalui program paket A, B, dan C, maupun kegiatan olahraga
seperti sepak bola, bola voli, dan tenis meja. Kegiatan lainnya
adalah program belajar membaca al-Quran. Kendala-kendala
pembinaan anak pidana antara lain jumlah anak pidana yang
melampaui kapasitas lembaga pemasyarakatan, sumber daya
manusia (SDM) pegawai lapas yang masih rendah, sarana dan
prasarana yang kurang memadai, dan minimnya dana pembinaan.
Kata Kunci: Perubahan sosial, perlindungan anak, peran
pemerintah dan partisipasi sosial, lembaga pemasyarakatan.
A. Pendahuluan
Derasnya perubahan sosial dengan dukungan majunya teknologi
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
190 MARSAID & EDI AMIN
menambah problematika anak. Sebagai generasi penerus, anak atau
remaja seyogianya mendapat perlindungan. Itulah arti pentingnya
Undang-Undang Perlindungan Anak. Namun apakah dalam tataran
realitas, undang-undang tersebut telah berjalan sebagaimana
mestinya? Bagaimanakah model pembinaan di LP Anak Jambi?
Bagaimana peran pemerintah dan partisipasi sosial dalam
mendukung perlindungan anak di lapas?
Berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995
jo Pasal 13 PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembimbingan Warga
Binaan Kemasyarakatan, dikenal tiga golongan anak didik
pemasyarakatan, yaitu anak pidana, anak negara, dan anak sipil. Anak
pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalankan
pidana di LP Anak paling lama sampai berumur 18 tahun. Apabila
anak yang bersangkutan telah berumur 18 tahun tetapi belum selesai
menjalani pidanannya di LP Anak, berdasarkan Pasal 61 UU No. 3
Tahun 1997 harus dipindahkan ke lapas. Bagi anak yang ditempatkan
di lapas karena umurnya sudah mencapai 18 tahun tetapi belum
mencapai 21 tahun, tempatnya dipisahkan dari narapidana yang telah
berumur 21 tahun. Pihak lapas wajib menyediakan blok tertentu untuk
mereka yang telah mencapai umur 21 tahun. Narapidana yang telah
menjalani pidana penjara 2/3 dari pidana yang dijatuhkan, yang
sekurang-kurangnya sembilan bulan, dan berkelakuan baik, dapat
diberikan pembebasan bersyarat (Pasal 62 ayat 4 UU No. 3 Tahun
1997) disertai dengan masa percobaan yang lamanya sama dengn sisa
pidana yang harus dijalankannya. Syarat umumnya yaitu berdasarkan
Pasal 29 ayat 3 UU No. 3 Tahun 1997 bahwa anak pidana tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani pembebasan
bersyarat. Sedangkan syarat khususnya dalam Pasal 29 ayat 4 UU
No. 3 Tahun 1997 adalah syarat yang menentukan melakukan atau
tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam pembebasan
bersyarat, dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Anak-anak
yang memperoleh pembebasan ini diawasi oleh jaksa dan
pembimbingannya dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan dari
balai pemasyarakatan dan pengamatannya dilakukan oleh tim
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 191
pengamat pemasyarakatan.
Lembaga pemasyarakatan yang mempunyai tugas dan fungsi
untuk membina para narapidana (napi) yang pada saatnya akan
kembali hidup di tengah-tengah masyarakat, karena para napi adalah
orang-orang yang telah tersesat melakukan kejahatan. Proses yang
dijalani oleh petugas lembaga pemasyarakatan pada umumnya
bertujuan untuk mengembalikan atau mengerakkan para napi (pelaku
tindak pidana yang telah sah diputus oleh majelis hakim dalam
persidangan) ke arah yang lebih baik, dengan harapan dapat kembali
berperilaku normal sebagaimana yang di harapkan oleh masyarakat
apalagi bila napi adalah anak-anak yang di bawah umur, maka
harapan hidupnya yang masih panjang, yang bersangkutan sangat
diharapkan oleh keluarga untuk menjadi orang yang benar.
Lembaga pemasyarakatan di Indonesia dalam sejarahnya adalah
merupakan pengembangan dari pelaksanaan pidana penjara yang
diwarisi sejak kolonial Belanda beberapa abad yang silam.
Perkembangan melalui perubahan ini karena sistem kepenjaraan
dianggap tidak manusiawi dan tidak mendidik, sehingga bila
seseorang telah selesai menjalani hukuman akan lebih sulit lagi untuk
beradaptasi dengan masyarakat. Usaha untuk mengubah sistem
kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan tersebut terwujud pada
1964, karenanya kemudian lembaga pemasyarakatan ini dianggap
sebagai lembaga yang berfungsi sebagai wadah untuk menciptakan
dan mengembalikan ketenteraman masyarakat, menyelenggarakan
kehidupan bersama secara teratur, menjaga keadilan dan lain
sebagainya yang disebut dengan lembaga sosial. 1 Sesuai dengan
tujuan pemasyarakatan guna merehabilitasi narapinada atau anak
pidana, maka eksistensinya menjadi penting tidak saja membuat efek
jera karena hukuman yang diterimanya, namun lebih jauh bersaha
merehabilitasi perilaku menyimpangnya.
Lembaga pemasyarakatan menjadi wadah untuk penempaaan
diri. Dengan selesainya para narapidana menjalani hukumannya,
diharapkan mereka tidak akan lagi menjalani kesalahannya berbuat
melanggar hukum yang telah mengantarkannya ke lembaga
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
192 MARSAID & EDI AMIN
pemasyarakatan lagi, dan semestinya kembali ke masyarakat hidup
secara normal dan wajar. Untuk mencapai tujuan ini, narapidana
perlu dibina, dibimbing, dan dihubungkan dengan masyarakat
melalui berbagai aktivitas pembinaan baik melalui petugas, tokoh
agama, dan tokoh adat. Dengan demikian, para napi dalam menjalani
hukuman di lembaga pemasyarakatan, diberi bekal bimbingan baik
rohani maupun keterampilan jasmani sebagai modal kerja bila telah
selasai menjalani masa hukumannya dan juga supaya hidup bisa
bahagia dan tenteram sebagai anggota masyarakat.
Hal di atas sesuai dengan pendapat C. I. Harsonoyang menulis
buku Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Ia menjelaskan bahwa
sistem pemasyarakatan memandang sifat pemberian pekerjaan bagi
narapidana yang sedang menjalani hukuman adalah pembinaan
dengan melatih bekerja narapidana. Hal tersebut dimaksudkan agar
setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, mereka dapat
menerapkan kepandaiannya sebagai bekal keluar lapas, hingga
kejahatan yang pernah dilakukannya tidak diulanginya lagi.2
B. Perubahan Sosial dan
Perilaku Kejahatan Anak di Jambi
Perubahan sosial adalah proses yang akan membawa penggaruh
dalam kehidupan masyarakat. Pengaruh tersebut membawa problem
sosial. Dari segi jenisnya, perubahan sosial dapat dibedakan menjadi
tiga, yaitu:
1. Perubahan yang meringsut (mengecil), yang memberikan
tambahan-tambahan pada keadaan semula tetapi tanpa
mengadakan perubahan dalam subtansi maupun strukturnya.
Bentuk-bentuk perubahan tersebut bisa juga berupa
pengurangan, peniadaan dan modifikasi terhadap subtansi yang
ada, namun demikian tetap tidak menimbulkan perubahan pada
keadaan semula.
2. Perubahan yang luas dan serba meliputi hanya berbeda dari
perubahan beringsut dalam hal jangkauannya yang lebih luas.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 193
3.
Perubahan revolusioner meliputi penggantian suatu tipe norma
secara menyeluruh oleh yang lain dan merupakan penolakan
terhadap pola tingkah laku yang lama.3
Menurut Sutjipto, ketiga perubahan di atas merupakan
rangkaian yang berantai dan bagian dari suatu proses perubahan
sosial saling berinteraksi. Perubahan revolusioner dalam masyarakat
disebut sebagai perubahan dalam pola hubungan di antara anggotaanggota masyarakat atau perubahan dalam posisi yang ditempati oleh
individu atau kelompok masyarakat dalam hubungannya satu sama
lain.4 Ada faktor yang saling mempengaruhi dalam perubahan yang
terjadi di masyarakat. Dinamisasi masyarakat juga ikut menentukan
arah perubahan.
Selanjutnya, apabila dilihat dari jangkauan perubahan sosial,
maka yang menjadi persoalan adalah jumlah kuantitas masyarakat
yang mengalami perubahan dalam norma tingkah lakunnya. Dalam
hal ini, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu perubahan normanorma individual, perubahan norma-norma kelompok, dan
perubahan norma-norma masyarakat.5
Perubahan jenis pertama meliputi perubahan tingkah laku
individual yang sekalipun tampak sebagai satu perubahan yang
berpola, namun belum dapat diartikan secara tepat sebagai perubahan
dalam norma tingkah laku. Perubahan dalam norma-norma kelompok
terjadi pada satuan-satuan yang dikenal dengan sistem politik.
Sedangkan perbedaan model yang ketiga adalah perubahan yang
paling fundamental sifatnya, karena meliputi perubahan dalam nilainilai atau norma-norma dasar suatu masyarakat.
Para ahli ilmu sosial menggambarkan corak atau ciri-ciri
perubahan masyarakat yang akan berkembang di masa sekarang
maupun masa depan adalah ditandai dengan beberapa trend dominan
dan objektif yang anatara lain: Pertama, terjadinya teknologisasi
kehidupan sebagai akibat adanya revolusi dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi. Masyarakat teknologis ditandai dengan adanya
pembekuan kerja dan perubahan nilai (change value), yaitu makin
dominannya pertimbangan efisiensi dan produktifitas. Hubungan
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
194 MARSAID & EDI AMIN
kerja dan kekerabatan akan bergeser ke arah efisiensi dan
produktifitas. Budaya ini bergerak cepat atau lambat sangat
bergantung pada tingkat kesadaran masyarakat atas urgensi dan
manfaat dari budaya modern ini. Kedua, kecenderungan perilaku
masyarakat yang semakin fungsional. Masyarakat seperti ini ditandai
dengan pola hubungan sosial ditentukan oleh seberapa ia bermanfaat
buat orang lain. Karena itu, kemampuan seseorang secara individual
semakin dibutuhkan. Tegasnya, dalam masyarakat seperti ini, akan
terjadi pergeseran pola hubungan sosial dari efektif netral
sebagaimana diteorikan Talcott Parsons. Perubahan dari hubungan
yang bersifat personal ke hubungan yang bersifat efektif dan netral.
Ketiga, masyarakat padat informasi. Masyarakat seperti ini,
keberadaan seseorang pasti sangat ditentukan oleh sebesar-besarnya
ia menguasai informasi. Proses penguasaan informasi sangat
ditentukan oleh sistem nilai yang dibangun secara objektif dan
terbuka ditengah masyarakat. Masyarakat yang padat informasi, akan
semakin bergerak ke depan apabila dia diatur secara baik oleh sistem
yang terbuka (open system) dan dijalankan secara efektif oleh
masyaraktnya.
Sejalan dengan ciri perubahan masyarakat tersebut maka pilihan
terhadap budaya cenderung bergeser pada “budaya tertutup” (close
culture) ke “budaya terbuka” (open culture). Karenanya budaya yang
tidak menghargai pluralitas sosial, cenderung bersikap otoriter,
absolut, dan tiranik. Sedangkan budaya yang gemar menghargai
pluralitas sosial, memiliki kecenderungan sikap demokratis,
kosmopolit, dan egaliter.
Berdasarkan kecenderungan seperti itu, maka tampak jelas
bahwa corak pemikiran masyarakat umum terhadap budaya modern
adalah budaya yang seyogyanya menghargai pluralitas. Budaya yang
memberikan peluang dan kesempatan pada setiap orang untuk
mengekspresikan diri dan kelompoknya di tengah masyarakat.
Budaya inilah yang berwatak tekhnologis, bernurani teologis,
bergerak secara fungsional, produktif, dan inovatif. 6 Sikap
keterbukaan memungkinkan terjadinya transformasi. Transformasi
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 195
harus disikapi dengan “kedewasaan” manajemen yang biasa disebut
sebagai filter, memilah informasi yang kompatibel dengan budaya
lokal.
Perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jambi tidak
terlepas dari faktor globalisasi informasi. Maraknya penyelenggaraan
pemilukada baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bahkan
desa dijadikan sebagai media bagi komunitas tertentu untuk menjadi
tim sukses calon dengan iming-iming dana dan fasilitas yang
menggiurkan. Kesempatan ini ikut melahirkan perubahan sosial
masyarakat lapisan bawah (grass root) dan menengah yang dimediasi
oleh elite. Kondisi tersebut juga dapat menyebabkan manuvermanuver negatif seperti black campaign dan money politics. Perilaku
ini merupakan embrio baru dalam rangka menambah tindak
kriminalitas di tengah-tengah perubahan sosial di masyarakat yang
disebabkan oleh kondisi ketimpangan ekonomi masyarakat, majunya
transformasi informasi, budaya luar yang sulit dikontrol.
Soerjono Soekanto lebih lanjut menyatakan bahwa perubahan
yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh dua faktor, yaitu
faktor dari dalam, antara lain pertambahan atau berkurangnya
penduduk, penemuan baru, konflik/pemberontakan. Sementara
faktor dari luar misalnya perubahan lingkungan fisik dan pengaruh
kebudayaan asing.7
Lemahnya pengawasan, baik orang tua, guru di sekolah
pendidikan, lingkungan masyarakat dan kontrol sosial serta
melemahnya pemahaman dan pembelajaran etika, agama, dan
pranata sosial, semakin menyeret anak dan remaja untuk berperilaku
menyimpang mengikuti tren kehidupan sosial yang negatif. Jika
melawan hukum, maka konsekuensinya anak atau remaja akan
mengisi hari-harinya dengan menghuni di LP.
Di era globalisasi kehidupan masyarakat perkotaan khususnya
merasa bahwa gaya hidup (life style), tuntutan meniru pada
kehidupan masyarakat modern menjadi tidak terelakkan. Dalam
masyarakat modern yang sangat kompleks dan heterogen
(masyarakat Provinsi Jambi terdiri atas multietnik dan sangat
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
196 MARSAID & EDI AMIN
heterogen). Seperti layaknya masyarakat urban, lahir gaya hidup
masyarakat yang anti sosial yang lahirnya kejahatan yang terus
merebak dengan cepat.
Kondisi sosial dengan perubahan lingkungan yang dinamis
menyebabkan norma-norma dan sanksi-sanksi sosial semakin
longgar. Ragam budaya dan masuknya budaya asing menambah
potensi konflik yang akan membawa pengaruh dan munculnya
disorganisasi dalam masyarakat yang pada gilirannya mengakibatkan
kejahatan.8
Jenis kejahatan yang umumnya dilakukan oleh anak-anak di
Jambi adalah pelanggaran KUHP tentang curat (pencurian dan
pemberatan), curanmor (pencurian kendaraan bermotor), anirat
(penganiayaan dan pemberatan), sajam (pelangggaran membawa
senjata tajam tanpa izin), perkelahian, curring (pencurian ringan),
perjudian, narkotika, pembunuhan, lakalantas dan langgarlantas
(kecelakaan lalu lintas dan pelanggaran lalu lintas), penipuan,
penggelapan, pemerasan, curas (pencurian dengan kekerasan),
perampokan, pelanggaran susila, dan pencabulan.
Menurut Syahrul Manan, Kepala LP Anak Muarabulian, Jambi,
kebanyakan anak tersangkut kasus pencabulan (kesusilaan), narkoba,
pencurian, penganiayaan dan pembunuhan. LP Anak tersebut hanya
ditempati 36 anak pidana, sedangkan kurang-lebih 60 persen lainnya
menempati blok-blok di lapas dewasa.9
C. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan
Anak Muarabulian, Jambi
Penghuni LP Anak terdiri dari anak pidana tahanan atau biasa disebut
juga anak didik pemasyarakatan. Tahanan adalah orang-orang yang
secara hukum berada pada proses penyidikan, penyelidikan,
penuntutan maupun penyidangan, yang dalam istilah hukum disebut
tersangka atau terdakwa.
Menurut penuturan Kasubsi Registrasi, idealnya lembaga
pemasyarakatan merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 197
anak didik pemasyarakatan. Dalam hal ini status tahanan tidak
ditempatkan di lapas, melainkan ditempatkan di rutan atau cabang
rutan, tetapi mengingat di Kabupaten Batanghari belum ada rutan
atau cabang rutan, maka orang yang berstatus tahanan pun
ditempatkan di LP Anak.
Berdasarkan data yang ada, jumlah penghuni lapas selalu
fluktuatif dari hari ke hari atau minggu ke minggu selalu berubah.
Perubahan ini terjadi oleh karena penambahan dan seperti adanya
kiriman dari lapas lain, titipan polisi dan titipan jaksa, pengurangan
seperti penghuni yang dimutasi ke lapas lain karena usianya sudah
lebih 18 tahun, penghuni yang bebas dan penghuni yang meniggal
dunia. Akan tetapi dari data yang ada diketahui rata-rata penghuni
antara 35-40 orang. Berdasarkan data bulan November 2010
diketahui bahwa jumlah penghuni LP Anak Muarabulian sebanyak
36 orang.
Ditinjau dari segi jenis kelamin, semua penghuni LP Anak
Muarabulian adalah laki-laki. Keadaan penghuni LP Anak
Muarabulian jika ditinjau dari segi pendidikan dan agama, menurut
Kasi Binaker, mayoritas pendidikan anak bervariatif. Berdasarkan
data diketahui bahwa tahanan berpendidikan tidak tamat SLTA 2
orang, anak didik pemasyarakatan berpendidikan tidak tamat SD 9
orang, dan yang tidak tamat SLTP 16 orang, sementara yang tidak
tamat SLTA 9 orang. Dari segi agama mayoritas penghuni LP Anak
Muarabulian beragama Islam. Dari data diketahui bahwa penghuni
yang beragama Islam 35 dan satu anak beragama Kristen.
Ditinjau dari segi pelanggaran yang dilakukan oleh penghuni LP
Anak Muarabulian, terdapat jenis pelanggaran yang bermacammacam yang masing-masing mempunyai latar belakang yang
berbeda. Berdasarkan data yang ada, diketahui adanya pelanggaran
hukum seperti pembunuhan (pembunuhan ringan, sedang dan berat),
penganiayaan, perampokan, pencurian, ketertiban, kesusilaan,
narkoba, lakalantas, psikotropika dan kejahatan bajak laut serta illegal
loging.
Menurut pengalaman dari beberapa penghuni, motif mereka
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
198 MARSAID & EDI AMIN
melakukan tindakan pelanggaran hukum macam-macam. Ada yang
dilatarbelakangi oleh keterpaksaan, ekonomi dan ada yang karena
pengaruh dari teman dan pengaruh tontonan. Seperti yang dituturkan
oleh seorang penghuni yang semua anggota keluarga masuk lapas
karena melakukan penganiayaan berkelahi sehingga dia ikut juga.
Seorang anak berumur 13 tahun melakukan pencurian uang dalam
jumlah yang cukup banyak karena orangtua tidak dapat memenuhi
kebutuhannya. Sementara yang lain menuturkan melakukan
perkosaan terhadap teman sepermainannya karena pengaruh film
porno yang sebelumnya ditonton. Sementara bagi seorang yang
divonis karena mengonsumsi narkoba menuturkan bahwa motifnya
melakukan hal itu semata-mata dipengaruhi oleh kawan-kawan dan
karena hal itu berlangsung lama menyebabkan ia kecanduan.
Adapun ditinjau dari segi lamanya hukuman berdasarkan data
yang ada, mulai kategori hukuman tiga sampai enam bulan, enam
bulan sampai satu tahun, satu sampai tiga tahun, dan di atas tiga
tahun. Dari jumlah 36 orang anak didik pemasyarakatan lama
hukuman tiga sampai enam bulan berjumlah 2 orang, untuk hukuman
enam bulan sampai satu tahun berjumlah 2 orang dan untuk diatas
satu tahun 32 orang.
LP Anak Muarabulian merupakan satu-satunya LP Anak yang
ada di Provinsi Jambi, maka penghuninya berasal dari kabupaten dan
kota yang ada di dalam Provinsi Jambi. Namun demikian anak pidana
putusan hakim tidak semua menghuni LP Anak, disebabkan tempat
yang jauh dan juga masa hukuman yang tidak terlalu lama pun juga
ada atas permintaan orang tua agar anaknya tidak ditahan di LP Anak
dengan tujuan agar tidak terlalu jauh untuk mengunjungi anak
tersebut.
Berdasarkan data, asal penghuni LP Anak Muarabulian adalah
Kota Jambi berjumlah 7 orang, Kabupaten Batanghari berjumlah 8
orang, Kabupaten Merangin 7 orang, dan tidak ada dari Kabupaten
Sarolangun, Kerinci, Tebo, dan Bungo.
Menurut pegawai Lapas, penghuni atau anak pidana bersikap
dan berperilaku taat dan patuh terhadap mekanisme yang berlaku,
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 199
meskipun ada di antara mereka yang tidak bisa meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan sebelumnya, terbukti setelah mereka bebas
kemudian masuk lagi divonis dalam kasus yang sama. Seperti yang
dikemukakan oleh Kasubsi Keamanan yang bertugas di lapangan,
secara umum mereka patuh pada pegawai, mengikuti aturan, dan
mengikuti berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Penghuni baru
biasanya cenderung belum bisa beradaptasi, yang terkesan bandel,
tetapi itu pun bisa diatasi.
Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa secara umum sikap
dan perilaku penghuni LP Anak Muarabulian memperlihatkan
kepatuhan dan ketaatan pada pegawai maupun aturan-aturan dan
memelihara hak dan kewajiban mereka. Diketahui bahwa hanya
dengan isyarat lonceng berbunyi, mereka langsung menuju lapangan
untuk mengikuti senam pagi atau masuk ke blok masing-masing
dengan tertib. Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu mereka
masih perlu diarahkan dan dikomando. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sikap dan perilaku penghuni secara umum
mencerminkan sikap patuh dan taat yang didorong oleh kesadaran
akan status mereka sebagai seorang anak pidana.
D. Pembinaan dan Perlindungan Anak
Pidana di LP Anak Muarabulian, Jambi
Sebelum menguraikan tentang perlindungan anak, terlebih dahulu
perlu dijelaskan tentang pengertian awal dalam kaitannya dengan
prilaku kejahatan anak, yang menyebabkan anak masuk menjadi napi,
biasanya status seorang anak didasarkan pada tingkat usia, di samping
ada juga yang menggunakan pendekatan psikologi dalam
merumuskan batasan tentang anak. Sebagai gambaran dapat
disajikan beberapa batasan:
Di Amerika Serikat di mana negara bagian menentukan batas umur
antara 8-18 tahun dikatakan anak, Australia di kebanyakan negara
bagian menentukan batas umur 8-16 tahun dikatakan anak. Inggris
menentukan antara 12-16 tahun disebut sebagai anak, sedangkan
Srilangka anak 8-16 tahun, Jepang dan Korea 14-20 tahun, Taiwan
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
200 MARSAID & EDI AMIN
menentukan batasan anak 14-18 tahun, Kamboja batas usia anak 15-18
tahun, negara-negara ASEAN untuk Malaysia 7-18 tahun, Singapura
7-16 tahun, sedangkan Indonesia batas usia anak 8-18 tahun dan belum
pernah kawin.10
Menurut Singit sebagaimana dikutip Paulus:
Klasifikasi perkembangan anak hingga dewasa dikaitkan dengan usia
dan kecenderungan kondisi kejiwaannnya dapat digolongkan menjadi
lima: 1) anak, seseorang yang berusia di bawah 12 tahun, 2) remaja
dini, seorang yang berusia 12-15 tahun, 3) remaja penuh seseorang yang
berusia 16-17 tahun, 4) dewasa muda seseorang yang berusia 18-21
tahun, 5) usia di atas 21 tahun.11
Perlindungan anak merupakan usaha yang dilakukan untuk
menciptakan kondisi agar setiap anak bisa mendapatkan haknya dan
melaksanakan kewajibannya dari pertumbuhan anak secara wajar
baik fisik, mental dan sosial dan hukum atau undang-undang
merupakan jaminan bagi perlindungan anak. Arief bercerita
berpendapat bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi
kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah
penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan
dalam pelaksanakan perlindungan anak.12
Pasal 1 ayat 2 UUD No. 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan
sebagai segala upaya yang ditujukan untuk merehabilitasi dan
memberdayakan anak yang mengalami tidak perlakuan salah,
eksploitasi dan penelantaran.13
Sedangkan kewajiban anak diatur dalam Pasal 19 UU No. 23
Tahun 2002 yang menyatakan bahwa setiap anak berkewajiban
untuk: 1) menghormati orang tua, wali, dan guru; 2) mencintai
keluarga, masyarakat dan menyayangi teman; 3) mencintai tanah air,
bangsa dan negara; 4) menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran
agamanya; 5) melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 201
Keseimbangan antara hak dan kewajiban yang seharusnya
dipertahankan di tengah-tengah masyarakat, ternyata sering
mengalami gangguan akibat dari beberapa faktor yang antara lain
adalah lingkungan masyarakat yang tidak sehat, ekonomi yang
mengalami gap antarindividu, transformasi budaya Barat yang
mempengaruhi kehidupan social dan faktor rumah tangga yang
inlabilitas dan sebagainya akan goyahnya keseimbangan di tengah
masyarakat yang pada akhirnya akan terganggunya stabilitas
ketenteraman anak dan akan mengancam terkontaminasinya untuk
mencontoh dan bahkan berpikiran tak sehat, sehingga lahirlah
kenakalan remaja/anak.
Kenakalan anak yang sering disebut dengan istilah “juvanile
deliquency” yang bisa diartikan dengan anak cacat sosial, karena anak
melakukan tindakan atau perbuatan yang dianggap bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara
dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan
sebagai perbuatan yang tercela. 14
Pasal 1 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1997 menyatakan bahwa anak
nakal adalah: (a) anak yang melakukan tindak pidana, (b) anak yang
melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak yang
dimaksud, perbuatan yang terlarang bagi anak adalah baik menurut
undang-undang maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Peraturan tersebut
baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, misalnya hukum adat
atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat. Dari dua
pengertian diatas anak nakal yang dapat diselesaikan melalui jalan
hukum hanyalah anak nakal dalam pengertian huruf (a) di atas yaitu
anak yang melakukan tindak pidana.
Konsekuensi yuridis anak tahanan atau anak melanggar hukum
adalah adanya sanksi hukum. Agar hukum dapat ditegakkan, maka
peranan sanksi sangat berguna demi mengendalikan ketertiban,
keamanan, keseimbangan, dan kemaslahatan di tengah masyarakat
dalam kehidupan bersama sebagai anak bangsa.
Apabila hal-hal tersebut dapat dicapai, maka dapat dikatakan
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
202 MARSAID & EDI AMIN
bahwa hukum dapat menjalankan fungsinya. Dalam arti hukum
bahwa hukum salah satu fungsinya adalah sebagai kaidah maupun
sebagai sikap tindak atau perilaku teratur. Menurut Soerjono
Soekanto, fungsi hukum adalah membimbing perilaku manusia
sehingga hal itu juga menjadi salah satu ruang lingkup studi terhadap
hukum secara ilmiah. Studi hukum secara ilmiah dengan sendirinya
mempelajari sampai sejauh mana pengaruh hukum terhadap sikap
tindak atau perilaku manusia.15
Sehubungan dengan sanksi terhadap anak yang melakukan
tindak pidana, mengenai sanksi hukumnya, Undang-Undang
Peradilan Anak telah mengatur dalam Pasal 22 yakni ada dua macam,
yaitu pidana dan tindakan. Mengenai pidana terdapat beberapa
definisi. Menurut Sudarto yang dikutip dari Nani Suparni, definisi
pidana adalah “nestapa yang diberikan negara kepada seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang (hukum
pidana) senggaja sebagai nestapa.”16
Sedangkan pengertian kemasyarakatan adalah bagian dari tata
peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan pembinaan narapidana,
anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan
secara terpadu (dilaksanakan bersama-sama dengan semua aparat
penegak hukum) dengan tujuan agar mereka setelah menjalani
pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.
Secara struktural LP anak di bawah Kanwil Kementerian Hukum
dan HAM Divisi Pemasyarakatan. Lebih jelas dapat digambarkan
bagan struktur sebagai berikut: Kanwil Kementrian Hukum dan HAM
Provinsi Jambi membawahi empat divisi, yaitu: 1) Divisi Administrasi,
2) Divisi Imigrasi, 3) Divisi Pemasyarakatan, dan 4) Divisi Pelayanan
Hukum. Divisi Pemasyarakatan membawahi empat UPT yaitu: 1) UPT
Bapas, 2) UPT Lapas, 3) UPT Rutan, dan 4) UPT Rubasan. Di Provinsi
Jambi yang terdiri dari dua kota dan sembilan kabupaten dapat
digambarkan sebagai berikut: UPT Lapas terdiri dari Kota Jambi,
Kabupaten Muarabulian, LP Anak Muarabulian, Lapas Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo,
Kabupaten Bangko. Rutan hanya ada di Kota Kerinci saja dan Rubasan
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 203
hanya di Kota Jambi. Sedangkan Bapas berada di Kabupaten Kerinci
dan Kabupaten Bungo (namun berada di Kabupaten Tebo). Menurut
Kepala Divisi Pemasyarakatan, semua lapas yang tidak ada rutan
maka lapas berfungsi sebagai rutan, dan rutan yang tidak memiliki
lapas juga berfungsi sebagai lapas. Bagi kabupaten atau kota yang
tidak memiliki UPT Bapas, petugas lapas ditunjuk oleh kepala lapas
untuk bertindak sebagai bapas untuk melaksanakan litmas bagi napi
anak dan mendampingi anak sejak proses penyidikan sampai
persidangan.
Selanjutnya perlu diketahui tentang warga binaan pemasyarakatan. Adapun yang termasuk warga binaan pemasyarakatan
meliputi: a) narapidana yang dibatasi kemerdekaannya dan
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan; b) anak negara, yakni anak
yang berstatus sedang menjalani putusan pengadilan dan
ditempatkan di lembaga pemasyarakatan anak baik laki-laki maupun
perempuan; c) klien pemasyarakatan, yaitu orang yang sedang dibina
oleh Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak
(BISPA) yang berada di luar lembaga pemasyarakatan; d) tahanan
rutan, selanjutnya disebut tahanan, adalah tersangka atau terdakwa
yang ditempatkan di rutan (rumah tahanan) untuk kepentingan
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam proses persidangan
di pengadilan.17
Adapun tahapan yang harus dilakukan dalam pembinaan
sekaligus perlindungan anak pidana, berdasarkan Pasal 17 ayat (1)
dan (2) PP No. 31 Tahun 1999, dilaksanakan dengan tiga tahap, yaitu
tahap awal, tahap lanjutan, dan tahap akhir. Pembinaan tahap awal
meliputi: a) masa pengamatan, pemanggilan, dan penelitian lingkungan (paling lama 1 bulan); b) perencanaan program pembinaan
kepribadian dan kemandirian; c) pelaksanaan program pembinaan
kepribadian dan kemandirian, d) penilaian pelaksanaan program
pembinaan tahap awal.
Pembinaan tahap lanjutan meliputi a) perencanaan prorgam
pembinaan lanjutan; b) pelaksanaan program pembinaan lanjutan;
c) Penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; d)
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
204 MARSAID & EDI AMIN
perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi.
Pembinaan tahap akhir, meliputi perencanaan program
integrasi, pelaksanaan program integrasi, dan pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. Pasal 59 PP No. 31 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pembinaan anak pidana berakhir apabila anak pidana
yang bersangkutan masa pidananya telah habis, memperoleh
pembebasan bersyarat, memperoleh cuti menjelang bebas, atau
meninggal dunia.
Pasal 22 PP No. 31 Tahun 1999 mengatur tentang pembinaan
anak negara dititikberatkan pada pendidikan adapun wujud
pembinaan anak negara adalah sebagai berikut: pendidikan agama
dan budi pekerti, pendidikan umum, pendidikan kepramukaan, dan
latihan keterampilan.
Dalam hal pembinaan anak negara, Pasal 60 PP No. 31 Tahun
1999 menjelaskan bahwa berakhirnya pembinaan terhadap anak
negara ada empat hal, yaitu anak negara yang bina tersebut mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun, anak negara tersebut memperoleh
pembebasan bersyarat dari hukumnya, anak negara tersebut
memperoleh cuti menjelang bebas yang diberikan oleh lapas tersebut,
dan anak negara tersebut meninggal dunia.
Adapun program pembinaan bagi anak sipil menurut Pasal 26
ayat (1) PP No. 31 Tahun 1999 disesuaikan dengan kepentingan
pendidikan anak sipil yang bersangkutan, sedangkan jangka
waktunya disesuaikan dengan penetapan pengadilan. Dan apabila
diperlukan pembinaan tahap lanjutan maka pentahapan program
pembinaan bagi anak sipil bisa disamakan dengan pentahapan yang
belaku pada anak negara, hanya pada pembinaan anak sipil sewaktuwaktu yang bersangkutan bisa dikeluarkan dari lembaga pemasyarakatan anak, berdasarkan penetapan Menteri Kehakiman atau
pejabat yang ditunjuk atas perumusan orang tua anak yang
bersangkutan atau walinya.
Pembinaan anak sipil berakhir apabila anak yang bersangkutan:
masa penetapannya di LP anak telah selesai berdasarkan penetapan
pengadilan; anak tersebut telah mencapai umur 18 tahun;
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 205
dilaksanakan oleh kepada LP anak atas alasan tertentu; anak
meninggal dunia.
Dari penjelasan di atas dapat ditangkap pesan bahwa amanat
undang-undang dan peraturan pemerintah yang dilahirkan adalah
dalam rangka perlindungan terhadap napi anak baik yang menempati
LP anak maupun yang ada di luar. Hal penting yang perlu dicatat,
dalam amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 1999, terutama Pasal
5, adalah asas pembinaan/pemasyarakatan yang berisi: pengayoman,
persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan,
penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan
kemerdekaan merupakan salah satu penderitaan, terjaminnya hak
untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Memperhatikan asas di atas, sasaran pembinaan/ pemasyarakatan dibagi kepada dua bagian, yaitu 1) sasaran hukum, yaitu
pembinaan terhadap individu warga binaan pemasyarakatan yang
menyangkut, kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan YME.,
kualitas profesionalisme dan keterampilan, serta kualitas kesehatan
jasmani dan rohani; 2) sasaran umum, yaitu indikator keberhasilan
pembinaan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang
menyangkut antara lain: menurunnya secara bertahap dari tahun ke
tahun angka kriminal dan gangguan keamanan lainnya, isi lembaga
pemasyarakatan lebih rendah dari kapasitas, meningkatnya jumlah
napi yang bebas sebelum waktunya karena berprilaku baik sehingga
mendapat remisi, meningkatnya jumlah institusi (pemasyarakatan)
sesuai dengan kebutuhan/golongan warga binaan pemasyarakatan.
Agar tercapai sasaran dimaksud, ditempuh pembinaan yang
dilaksanakan di LP Anak, yaitu pembinaan mental, pembinaan sosial,
dan pembinaan keterampilan.
E. Peran Pemerintah dan Partisipasi Sosial dalam
Perlindungan Anak Pidana di LP Anak Muarabulian
Pembinaan atau bimbingan merupakan hal yang penting dalam
keberhasilan mengembalikan anak pidana/anak didik menjadi
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
206 MARSAID & EDI AMIN
manusia yang lebih baik sebagai anggota masyarakat. LP Anak
berperan dalam pembinaan anak pidana dan memperlakukan serta
mengarahkan agar pembinaan berjalan sesuai dengan aturan yang
berlaku.
Pembinaan anak pidana selalu melibatkan pihak luar masyarakat
binaan, sekalipun dipahami oleh pihak petugas lapas bahwa arah
pembinaan mempunyai tujuan antara lain: 1) membina pribadi anak
pidana sebagai anak didik pemasyarakatan baik secara mental atau
fisiknya agar jangan sampai nantinya mengulanggi kejahatan dalam
menaati peraturan hukum dan undang-undang serta aturan aturan
yang ada di masyarakat; 2) membina hubungan antaranak pidana
sebagai anak didik pemasyarakatan terutama dalam hal saling
menghormati dan menghargai sesama mereka dan kepada petugas
serta pembina yang pada akhirnya hubungan dengan masyarakat luar
nantinya dapat berdiri sendiri dan dapat menjadi masyarakat yang
baik.
Untuk menyelenggarakan usaha pembinaan, diperlukan sarana
yang memadai. Untuk mewujudkannya lembaga pemasyarakatan
berusaha mengundang partisipasi sosial dari semua pihak agar upaya
pembinaan berjalan optimal. Adapun usaha-usaha yang dilakukan
lapas antara lain: 1) penyuluhan agama, dengan mengundang dan
memohon partisipasi dari departemen agama; 2) penyuluhan hukum
dari pihak pengadilan atau kementerian; 3) pembinaan sikap melalui
kepramukaan dengan mengundang partisipasi dari gugus depan
terdekat. Adapun jenis-jenis pembinaan anak pidana dapat
digolongkan kepada tiga macam: pembinaan mental, pembinaan
sosial, dan pembinaan keterampilan.
Adanya patisipasi sosial diharapkan dapat mendukung
pembinaan anak pidana sebagai anak didik karena sedang menjalani
perubahan lingkungan yang tadinya bergerak bebas kini dibatasi terali
dan pagar LP. Situasi demikian dapat mempengaruhi jiwa anak,
hingga dibutuhkan pembinaan yang dapat berjalan nyaman tanpa
tekanan. Hambatan yang paling menonjol saat proses
mengidentifikasikan diri anak didik adalah kurang keterbukaan.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 207
Pemidanaan membawa pengaruh bagi psikologi anak, maka
pemidanaan harus disertai pembinaan yang komprehensif.
Pasal 33 UU No. 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa petugas
kemasyarakatan terdiri atas tiga golongan: pembimbing
kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, pekerja sosial dari
Departemen Sosial, dan pekerja sosial dari organisasi sosial
kemasyarakatan. Petugas sosial mempunyai tugas membimbing,
membantu, dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan
pengadilan diserahkan kepada Departemen Sosial untuk mengikuti
pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Petugas sosial hendaklah
mengadakan koordinasi dengan pembimbing kemasyarakatan.
Sedangkan pekerja sosial sukarela dari LSM (lembaga swadaya
masyarakat) harus mempunyai keahlian khusus sesuai dengan tugas
dan kewajibannya, mempunyai keterampilan teknis, jiwa pengabdian
di bidang usaha kesejahteraan sosial dan berminat untuk membina,
membimbing, dan membantu anak demi kelangsungan hidup
perkembangan fisik, mental, sosial, dan perlindungan anak.
Adapun LSM sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) PP No.
31 Tahun 1999 harus memiliki syarat-yarat sebagai berikut: warga
negara Indonesia, taat dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945,
bertakwa kepada Tuhan YME, pendidikan serendah-rendahnya
sekolah menengah umum atau sekolah kejuruan, telah mengikuti
pelatihan bimbingan dan penyuluhan, sanggup melaporkan hasil
kerja sukarela kepada pembimbing kemasyarakatan.
Dengan demikian maka jelaslah bahwa pembinaan anak pidana
tidak hanya dilakukan petugas atau pegawai lapas saja, tetapi dibantu
oleh lembaga di luar lapas dengan menggunakan metode pekerjaan
sosial sebagai cara pembinaannya. Guna menyesuaikan diri dengan
sistem pemasyarakatan, maka dibentuklah Direktorat Bispa (Balai
Bimbingan dan Pengentasan Anak). Sejak 1970, Menteri Kehakiman
mendirikan Bispa di Jakarta, Surabaya, Madiun, Malang, Yogyakarta,
dan Bandung. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehakiman RI No.
J.S.4/3/7 1976 nama kantor Bispa menjadi Balai Bispa. Berdasarkan
edaran Menteri Kehakiman RI No. M.05.PR.07.03 1997, BALAI
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
208 MARSAID & EDI AMIN
BISPA berubah namanya menjadi Bapas.
Dalam tataran praktis, pelaksanann undang-undang dan PP di
atas belum berjalan secara optimal di LP anak Muarabulian Jambi.
Kondisi tersebut diakibatkan: LSM relawan yang belum ada, jarak
LP Anak Muarabulian, Jambi, yang relatif jauh (60 km dari kota)
dan tranportasi dan kondisi jalan yang tidak memadai, LP Anak juga
kesulitan dalam menjalin kerja sama dengan pihak Departemen Sosial
dan Kementerian Agama.
Pada 2009, sempat terjalin kerja sama dengan produsen motor
Yamaha Jambi. Program berupa pelatihan servis ringan sepeda
motor, yang mendapat antusiasme dan feed back positif dari anak
pidana. Sayangnya, program tersebut tidak berjalan
berkesinambungan. Padahal, skill tersebut dibutuhkan pasar saat ini.
F. Kendala-kendala dalam Perlindungan Anak Pidana
Kendala-kendala dalam pembinaan atau rehabilitasi terkait
perlindungan anak pidana merupakan bentuk-bentuk hambatan
dalam proses perlindungan tersebut. Oleh sebab itu, temuan
hambatan dalam proses perlindungan anak pidana di LP Anak
Muarabulian merupakan bahan untuk dievaluasi lebih dalam oleh
berbagai pihak terkait, khususnya bagi para stakeholder. Naifnya,
terkadang suatu kelemahan atau hambatan sudah diketahui, namun
enggan, bahkan kesalahan itu dibiarkan terus berlangsung dengan
dalih ketidakberdayaan dan ketidakpedulian. Hal inilah yang akan
menghambat perlindungan anak pidana.
Di antara kendala tersebut adalah ketersediaan dana yang
minim. Karena faktor jarak yang relatif jauh dan ketiadaan dana, napi
“telantar” di lapas-lapas dewasa yang tersebar di Provinsi Jambi.
Hanya 36 anak pidana yang menempati LP Anak dari 96 anak pidana
di Jambi. Jaksa yang sedianya menyerahkan anak pidana putusan
hakim ke LP Anak, tidak dijalankan. Kepala LP Anak dalam hal ini
telah berusaha proaktif menjemput anak pidana di LP-LP dewasa.
Namun karena keterbatasan tadi, tidak semua anak pidana dapat
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 209
dijemput.
Keterbatasan pegawai Lapas belum sebanding dengan SDM
untuk pemberdayaan pembinaan anak pidana. Sebagai contoh, Kepala
LP Anak Syahrul Manan selain bertanggung jawab atas
keberlangsungan lembaga, turun tangan mengajar Paket B dan C.
Bahkan dia mengajar salat, baca Alquran, tafsir, dan doa sebelum
Zuhur setiap hari kerja. Keterbatasan SDM juga diungkapkan oleh
pegawai LP yang bernama Sriyono (Kasi Binadik/Pembinaan dan
Pendidikan).18
Sarana dan prasarana yang belum memadai juga merupakan
hambatan dalam pembinaan anak pidana di LP Anak Muarabulian,
Jambi. Komputer untuk praktik hanya satu yang bisa dioperasikan.
Padahal komputer saat ini merupakan kebutuhan zaman modern.
Artinya, jika ada fasilitas yang memadai seperti praktik perakitan dan
servis komputer, laboratorium komputer, dapat membekali anak
pidana dengan skill yang dibutuhkan masyarakat saat ini. Ilham
sebagai pengajar komputer di lapas adalah seorang sarjana komputer.
Sayang SDM yang andal tersebut tidak didukung sarana yang
memadai.
Luas lapangan bola yang tidak standar karena cukup kecil, juga
merupakan kendala dalam pelaksanaan olahraga sepak bola. Sepak
bola adalah olahraga favorit anak pidana, sebagaimana dituturkan
beberapa anak pidana seperti M. Said, Arpa Gitorolis, dan Pandi.19
Jarak LP Muarabulian Jambi yang relatif jauh, juga menambah
kendala dalam proses pembinaan anak. Hal tersebut banyak
dikeluhkan banyak pihak, seperti orangtua. LP Anak pun kesulitan
dalam antar-jemput anak pidana dari atau ke lapas yang ada di
kabupaten atau kota lain di Provinsi Jambi.
G. Penutup
Perubahan sosial memiliki implikasi bagi anak-anak terkait
perlindungannya, khususnya bagi mereka yang telah masuk lapas.
Pemerintah telah berusaha melindungi anak pidana agar dalam
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
210 MARSAID & EDI AMIN
proses rehabilitasi di lapas mendapat hasil yang optimal. Hal ini
terlihat dalam keseriusan pemerintah mendirikan lapas khusus anak
secara terpisah dari narapidana dewasa. Pemerintah melalui UndangUndang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 1997 juga telah
membuktikan kepeduliannya terhadap perlindungan anak. Dalam
Pasal 33 UU No. 3 Tahun 1997, misalnya, dijelaskan bahwa petugas
kemasyarakatan terdiri atas tiga golongan: pembimbing
kemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, pekerja sosial dari
Departemen Sosial, dan pekerja sosial dari organisasi sosial
kemasyarakatan. Maka, secara yuridis formal, pemerintah telah
berusaha melindungi anak pidana di lapas.
Banyaknya anak pidana yang masih menempati lapas dewasa
perlu pembenahan dari pemerintah. Pemerintah Kabupaten
Batanghari pun telah menunjukkan perhatiannya ke LP Anak dengan
mengirimkan petugas bimbingan agama agar memberikan pengajaran agama di LP Anak Muarabulian, Jambi. Khusus partisipasi sosial
baik dari pekerja sosial dari Departemen Sosial maupun dari organisasi kemasyarakatan belum berjalan baik.
Kegiatan anak pidana di LP Anak Muarabulian juga telah
berjalan, baik kegiatan pendidikan melalui program Paket A, B, dan
C, mapun kegiatan olahraga seperti sepak bola, bola voli, dan tenis
meja. Kegiatan lainnya adalah program belajar membaca Alquran.
Banyak anak pidana yang sebelumnya belum bisa membaca Alquran,
sekarang sudah lancar. Kepala LP Anak Syahrul Manan menekankan
program ini. Syahrul Manan juga berusaha mengajarkan arti bacaan
tersebut dalam kajian tafsir. Kegiatan lain adalah kepramukaan,
kesenian, dan peternakan. Kegiatan tersebut telah berjalan dengan
baik, meski terdapat kendala yang memerlukan perbaikan.
Catatan:
1. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991 ), hlm.
130.
2. C. I. Harsono HS, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta:
Penerbit Djawatan, 1997), hlm. 22.
3. Satjipto Rahadjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: Genta
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 211
Publishing, 2009), hlm. 4.
4. Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, hlm. 39.
5. Rahadjo, Hukum dan Perubahan Sosial, hlm. 5.
6. Said Agil Al-Munawwar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, (Jakarta:
Pena Madani: 2005), hlm. 2009.
7. Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali,
2001),
8. Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),
hlm. 143.
9. Wawancara dengan Kepala LP Anak Syahrul Manan, 26 Juli 2010.
10. Paulus Hadi Suprapto, Juvenile Delinquenci: Pemahaman dan
Penaggulangannya, (Bandung: Citra Aditia Bakti, 1997), hlm. 8.
11. Suprapto, Juvenile Delinquenci, hlm. 12.
12. Arif Rosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo,
1989), hlm. 19.
13. UU No. 23 Tahun 2002.
14. Ramli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak dan Remaja,
(Bandung: Amrico, 1984), hlm. 23.
15. Soerjono Soekanto, Efektivitas Hukum dan Peranan Sanksi, (Jakarta:
Remaja Karya CV Bandung, 1985), hlm. 3.
16. Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Hukum dan
Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 11.
17. Keputusan Menteri Kehakiman RI tentang Pola Pembinaan Narapidana/
Tahanan Tahun 1990.
18. Wawancara dan observasi, 11 November 2010.
19. Wawancara dan observasi, 11 November 2010.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
212 MARSAID & EDI AMIN
DAFTAR PUSTAKA
al-Munawwar, Said Agil Husin, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial,
Jakarta: Pena Madani, 2005.
Anderson, James A., Communicatin Theory: Epistemological
Foundations, New York: Guilford, 1996.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta, 1996, Cet ke-10.
Atmasasmita, Ramli, Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja,
Bandung: Amrico, 1984.
Boudon, Raymond, Theories of Social Change, Cambridge: Polity
Press, 1986.
Departemen Kehakiman , Pola Pembinaan Narapidana dan
Tahanan, Jakarta: tp., 1990.
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Direktorat
Jenderal Pemansyarakatan Jakarta, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan yang
dikeluarkan oleh Depkumham, tahun 2004
Gossman, Law and Change In Modern America, Pacivic Polisades,
California: Good Year, 1971.
Gultom, Maidin, Pelindungan Hukum Terhadap Anak dalam system
Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2009.
Harsono, C. I., Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta:
Penerbit Djawabatan, 1997.
Johnson, Allan G., The Blackwell Dictionary of Sociology, User’s
Guide to Sociological Language, Cambridge: Blakwell
Publishers, 1995.
Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005, Jilid 1.
Kartono, Kartini, Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan),
Bandung,:Masdar Maju, 1995.
Keputusan Menteri Kehakiman RI Tentang Pola Pembinaan
Narapidana/ Tahanan, 1990.
Littlejohn dan Foss, Karen A., Theories of Human Communication,
Canada: Thomson Wadsworth, 2004, ed. 8.
Meliala, A. Syamsudin dan Sumarno, E., Kejahatan Awal Suatu
Tinjauan dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1995.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
PERUBAHAN SOSIAL DAN PERLINDUNGAN ANAK 213
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru
Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004, Cet. ke-4.
Nisbet, J. dan Watt, J., terj. L. Wilardjo, Studi Kasus, Sebuah Panduan
Praktis, Jakarta: PT Gramedia, 1994.
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LkiS, 2008,
Cet. ke-2.
Rahadjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Genta Publishing:
Yogyakarta, 2009.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.
Rosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta Akademi
Pressindo, 1989.
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, dari Denzin
Guba dan Penerapannya, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001,
Cet. ke-1.
Simanjuntak, B., Kriminologi, Bandung, Tarsito, 1984.
Siregar, Bismar., Keadilan Hukum dan Berbagai Aspek Hukum
Nasional, Jakarta: Rajawali, 1986.
Smelser, Neil J., Social Change in the Industrial Revolution, London:
Routledge and Kegan Paul, 1958.
Soekanto, Soerjono, Efektifitas Hukum dan Peranan Sangsi, Jakarta:
Remaja Karya CV Bandung, 1985.Sugiyono, Memahami
Penelitian Kualitatif, Bandung: CV Alvabeta, 2007.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali,
2001, Cet. ke-31.
Suparni, Niniek, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Hukum dan
Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Suprapto, Paulus Hadi, Juvenile Delinquenci: Pemahaman dan
Penaggulangannya, Bandung: Citra Aditia Bakti, 1997.
Surakhmad, Winarno, Pengatar Penelitian Ilmiah, Dasar Metode
Teknik, Bandung: Tarsito, 1990.
Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitataif, Surakarta: Pusat Penelitan
Sebelas Maret, tt.
Yafie, Ali, Menggagas Fiqih Sosial, Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke3.
Media Akademika, Vol. 26, No. 2, April 2011
Download