Deteksi Dini Pelecehan Seksual pada Anak

advertisement
Deteksi Dini Pelecehan Seksual pada Anak
Oleh: Connie Kristanto, M.Psi.
Pada awal tahun ini beredar berita mengenai kasus kekerasan seksual anak di salah satu sekolah swasta
bertaraf internasional di Jakarta. Tidak lama kemudian muncul berita mengenai seorang pemuda yang
melecehkan puluhan anak laki-laki yang lebih kecil darinya. Para orangtua seakan dibangunkan untuk
menyadari bahwa kita harus lebih waspada menjaga dan mengawasi anak-anak setiap waktu.
Pelecehan atau kekerasan seksual adalah masalah sosial yang kompleks dan mempengaruhi
perkembangan anak. Anak korban kekerasan seksual memiliki resiko besar mengalami masalah
kesehatan, emosi, perilaku, dan sosial untuk jangka waktu yang panjang (Saunders, 2003). Trauma
akibat kekerasan seksual pada anak usia dini dapat mempengaruhi perkembangan otak mereka.
Efeknya dapat mengakibatkan gangguan pada bagian otak yang penting untuk mengelola emosi seperti
rasa percaya, kontrol impuls dan identitas diri. (Buczynski, 2014)
Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan umumnya dilakukan oleh orang yang dikenal oleh
korban. Pelaku seringkali menawarkan iming-iming hadiah atau sebaliknya, mengancam akan
menyakiti korban jika mereka bercerita kepada orang lain. Salah satu kondisi yang rawan pelecehan
seksual (abuse-prone) adalah cukup banyaknya kesempatan bagi pelaku untuk mendekati anak-anak
tanpa pendampingan orangtua dan sorotan umum. Korban umumnya memiliki banyak waktu bersama
pelaku sehingga pelaku telah mengenal sifat anak cukup baik. Kedekatan dengan pelaku juga
memungkinkan pelaku mengetahui kesukaan anak kemudian menawarkan hal yang diminati tersebut
sebagai imbalan. Selain itu pada beberapa kasus ditemukan bahwa anak-anak korban pelecehan tidak
cukup dekat dengan orangtua. Mereka seringkali telah memberikan sinyal bahwa ada sesuatu yang
“salah” tetapi tidak langsung disadari oleh orangtua.
Berikut ini adalah hal-hal yang biasa muncul/terlihat pada anak yang mengalami pelecehan seksual:
1. Terjadinya perubahan sikap yang drastis dan mendadak. Anak yang awalnya ceria tiba-tiba
menjadi pemurung, atau anak yang biasanya tenang tiba-tiba menjadi agresif.
2. Anak mengeluhkan rasa sakit di badannya atau di alat kelaminnya. Banyak anak belum
memiliki kata-kata untuk menjelaskan apa yang ada dalam pikirannya, tetapi orangtua dapat
memeriksa tubuh anak dengan teliti dann menceritakannya pada dokter.
3. Anak mulai mengompol kembali. Adanya kecemasan psikis yang sangat tinggi dapat
mengganggu sistem regulasi tubuh.
4. Prestasi belajar anak menurun.
5. Nafsu makan anak berkurang.
6. Anak tidak ingin ditinggalkan sendiri.
7. Anak menuntut perhatian lebih.
Bila terdapat beberapa tanda diatas, sebaiknya orangtua segera membawa anak ke psikolog atau dokter
untuk diperiksakan fisik dan psikis tanpa mengagetkan si anak. Untuk visum korban kekerasan
biasanya tempat terbaik untuk memeriksakan anak adalah di RSCM atau RS Polri. Demikian pula di
Polda Metro Jaya terdapat bagian khusus untuk pelaporan untuk perempuan dan anak korban
kekerasan. Dari sana kita akan mendapatkan informasi yang paling tepat serta perlindungan dari
Negara. Hal yang juga sangat penting adalah kondisi psikologis orangtua untuk itu konseling orangtua
juga perlu dilakukan.
Referensi:
Buczynski, Ruth. (2014). Treating Trauma in Children. www.nicabm.com
Saunders, B.E., Berliner, L., & Hanson, R.F. (2003). Child Physical and Sexual Abuse: Guidelines for
Treatment. Charleston, SC: National Crime Victims Research and Treatment Center.
*Silahkan hubungi penulis melalui kontak www.kla9.com untuk menyadur / mengutip
seluruh/sebagian isi artikel ini.
Download