Presentasi Hasil Diskusi Pendalaman

advertisement
Newsletter
Edisi II, 5 Agustus 2016
KONFERENSI DAN PERENCANAAN STRATEGIS
JARINGAN ANTARIMAN INDONESIA (JAII)
REGIO SULAWESI
Presentasi Hasil Diskusi Pendalaman
penyiksaan, dan pembunuhan misterius, dsb.
Kelima, permasalahan politik, seperti
politisasi agama termasuk adanya kebijakan
berbasis agama yang diskriminatif.
Dari diskusi pula, dengan memperhatikan
berbagai permasalahan yang telah
diidentifikasi, muncul pandangan tentang
perlunya aktivis jaringan antariman
melakukan advokasi kebijakan dengan
mendorong agar gerakan toleransi mendapat
dukungan negara misalnya dengan
perlindungan payung hukum. Selain itu,
aktivis jaringan antariman juga perlu
mempersoalkan kebijakan publik atau
regulasi yang diskriminatif dan berpotensi
mengancam kebebasan beragama dan
berkeyakinan seperti Surat Keputusan
Bersama (SKB) 3 Menteri tentang
pembangunan rumah ibadah. Selain itu juga
perlunya mendorong pengakuan negara
terhadap agama-agama lokal di nusantara.
Kamis, 4 Agustus 2016, berlangsung
presentasi hasil diskusi pendalaman dari lima
kelompok atas tema, paparan keynote
speaker Prof. Mochtar Pabottingi, dan
presentasi diskusi dari tiga panelis Alwy
Rachman, Albertus Patty, dan Zuhairi
Misrawi di hari pertama konferensi.
Dalam pemaparan hasil diskusi, setiap
perwakilan kelompok menyampaikan hasil
identifikasi permasalahan-permasalah
aktual, terutama berkenaan dengan persoalan
intoleransi, radikalisme, dan
fundamentalisme, yang terjadi di masingmasing daerah asal para peserta yang
menjadi anggota kelompok.
Dari hasil identifikasi, secara umum
permasalahan yang terjadi di daerah-daerah
para peserta, baik yang tingkatnya
permasalahan lokal maupun nasional, dapat
dikelompokkan ke dalam lima isu. Pertama,
isu sosial-budaya seperti persoalan
intoleransi, kekerasan terhadap kelompok
lain seperti penganut Ahmadiyah, sunat
perempuan, stigmatisasi dan diskriminasi
terhadap penganut agama lain atau kelompok
rentan, hingga pelemahan agama-agama
lokal.
Kedua, permasalahan dalam isu
pendidikan, misalnya muatan radikalisme
dalam pendidikan dasar, komersialisasi
pendidikan, muatan lokal yang minim,
adanya penghapusan mata pelajaran agama
di sekolah, hingga persoalan diskriminasi
dalam penikmatan pendidikan, misalnya
bagi kelompok LGBT dan anak-anak dari
keluarga penganut agama lokal. Ketiga,
berhubungan dengan persoalan modal,
misalnya kasus eksploitasi dan perusakan
lingkungan, perebutan sumber daya alam dan
pengelolaan lahan, termasuk politisasi
agama untuk merebut akses atas sumber daya
alam.
Keempat, permasalahan yang
berhubungan dengan hukum dan HAM,
seperti kewajiban penyebutan identitas
agama dalam dokumen pribadi seperti KTP
yang dapat menimbulkan diskriminasi,
kesulitalan dalam mendirikan rumah ibadah,
operasi keamanan yang menimbulkan
pelanggaran HAM seperti salah tangkap,
Penerbit : PANITIA KONFERENSI DAN PERENCANAAN STRATEGIS
JARINGAN ANTARIMAN INDONESIA (JAII)
REGIO SULAWESI
Selain itu juga pentingnya dukungan dari
media. Belajar dari kasus Temtena dan Poso
yang inspiratif bagi gerakan toleransi, seperti
dukungan umat Kristen di Temtena terhadap
umat Islam dalam penyelenggaraan malam
takbir, yang ternyata kurang diliput media.
Berbeda bila yang terjadi berupa kasus
kekerasan, seperti yang baru-baru ini terjadi
di Tanjung Balai. Media juga perlu didorong
mewartakan fakta-fakta toleransi yang
dibangun dan tumbuh-kembang di
masyarakat.
Paparan hasil diskusi ini selanjutnya akan
dirumuskan kembali dan dikerucutkan pada
persoalan-persoalan apa yang sekiranya
paling penting dan mendesak untuk
ditangani oleh para aktivis jaringan
antariman regio Sulawesi. Selain itu juga
akan dirumuskan hal-hal apa yang sekiranya
dapat dikontribusikan oleh para aktivis
jaringan antariman dari regio-regio lainnya
bagi regio Sulawesi.*
Diskusi Paralel dalam Lima Cluster
Setelah melakukan diskusi
pendalaman atas tema, paparan keynote
speaker, dan presentasi narasumber
dalam diskusi panel di hari pertama,
peserta kemudian membagi diri ke dalam
lima kelompok cluster dan secara paralel
melakukan diskusi tematik. Isu-isu yang
dibahas dalam kelima cluster tersebut
mewakili persoalan-persoalan yang
dinilai penting dan cenderung merupakan
permasalahan dominan yang terjadi di
Sulawesi.
Peserta yang bergabung dalam cluster
pertama mendiskusikan tentang
persoalan seputar perebutan sumber daya
alam. Sebagai pemantik diskusi, Alim S.
Niode, Ketua Ombudsman Gorontalo,
selaku narasumber menyampaikan materi
presentasi tentang persoalan perebutan
sumber daya alam.
Peserta dalam cluster kedua
mendiskusikan tentang masalah
keamanan dan penegakan hukum serta
hak asasi manusia (HAM). Darwis Waru
serta Dr. H. Lukman S. Thahir, MA dari
Palu, selaku narasumber menyampaikan
materi presentasi tentang problem hukum
dan penegakan HAM di Sulawesi Tengah
untuk memantik diskusi.
Peserta dalam cluster ketiga
mendiskusikan permasalahan
komersialisasi sebagai tantangan bagi
pendidikan dan pendidikan alternatif
sebagai peluang. Selaku narasumber,
Pastor Yong Ohoitimur, Guru Besar Ilmu
Filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat
(STF) Seminari Pineleng, Manado
memantik diskusi dengan presentasi
tentang komersialisasi pendidikan dan
pendidikan alternatif, antara peluang dan
tantangan.
Peserta dalam cluster keempat
mendiskusikan persoalan kekerasan
berbasis gender dan orientasi seksual.
Sebagai narasumber, Lusia Palulungan
menyampaikan materi presentasi
mengenai kekerasan berbasis gender dan
orientasi seksual sebagai pemantik
diskusi.
Peserta dalam cluster kelima
mendiskusikan persoalan yang dihadapi
kaum muda dalam tantangan relasi kuasa
politik-modal-agama. Untuk memantik
diskusi, Syamsurijal Ad'han selaku
narasumber menyampaikan tentang kaum
muda di bawah bayang-bayang
fundamentalisme agama.
Diskusi yang berlangsung hingga sore
hari tersebut sekaligus juga sambil
merumuskan butir-butir kesimpulan dan
menyusun laporan tiap-tiap cluster.
Laporan tersebut selanjutnya akan
dipresentasikan oleh perwakilan
kelompok dalam rapat pleno di hari
selanjutnya (hari ketiga), sebagai
masukan bagi Perencanaan Stategis JAII
Regio Sulawesi pada 6-7 Agustus 2016.*
Malam Budaya Persaudaraan
Di sela jadwal konferensi yang
padat, dari pagi hingga malam, dan
diskusi-diskusi yang
membutuhkan konsentrasi serta
keseriusan, di penghujung acara
hari kedua diselenggarakan
“Malam Budaya Persaudaraan”.
Dalam acara tersebut, masingmasing delegasi dari Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi
Barat, Gorontalo, Kendari,
Sulawesi Selatan, Aceh, DI
Yogyakarta, Cirebon (Jawa Barat),
Kalimantan Selatan, Papua,
Maluku, NTT, dsb menampilkan
karya seni-budaya dari daerah
masing-masing. Seperti
menampilkan pakaian adat,
menarikan secara bersama taritarian daerah, menyanyikan lagulagu dan permainan daerah, hingga
membaca puisi dan menceritakan
mop-mop yang mengundang tawa.
Suasana malam budaya
persaudaraan, yang
penyelenggaraannya dikoordinir
oleh peserta sendiri, penampilan
dari peserta, oleh peserta, dan
untuk peserta tersebut sangat seru
dan penuh tawa kegembiraan.
Selain mampu melepaskan
kepenatan dan mempererat
keakraban antar peserta,
penyelenggaraan malam budaya
persaudaraan ini juga mampu
membangkitkan apresiasi peserta
terhadap karya seni-budaya baik
dari daerah sendiri maupun daerahdaerah lainnya di Indonesia.*
Download