BAB III SENGKETA HUKUM DALAM KONTRAK ASURANSI DAN PENYELESAIANNYA Sengketa adalah kata lain dari konflik. Ada ahli yang menyamakan Pengertian antara sengketa dengan konflik adapula yang membedakannya. Bagi yang menyamakannya sengketa atau konflik diartikan dengan suatu interaksi yang bersifat antagonistis (berlawanan, berseberangan, bertentangan), atau hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki/merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Bagi yang membedakannya, maka yang dimaksud dengan konflik adalah kedaan dimana para pihak menyadari/mengetahui tentang adanya perasaan tidak puas, sedangkan sengketa adalah dimana konflik tersebut dinyatakan di muka umum atau melibatkan pihak ketiga.1 Sengketa bisa saja terjadi, dan bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Hal ini diawali oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat dialami oleh siapapun baik perorangan maupun kelompok. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan apabila terjadi conflict of interest. Di dalam lalu lintas bisnis, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak biasanya dituangkan dalam suatu kontrak, dalam kontrak tersebut diatur mulai dari hak dan kewajiban para pihak sampai ditentukan pula cara bagaimana penyelesaian perselisihan/sengketa apabila timbul nanti dan biasanya diatur dalam salah satu pasal dalam kontrak tersebut. Begitu pula halnya dalam Kontrak Asuransi. Kontrak Asuransi merupakan hubungan hukum perdata antara pihak penanggung dalam hal ini perusahaan asuransi dengan pihak tertanggung (baik perorangan maupun badan hukum) dimana si penanggung mengikatkan diri untuk mengambil alih risiko kerugian2 yang mungkin akan dialami oleh tertanggung sebagai akibat dari suatu peristiwa yang tidak pasti pada masa yang datang, dimana terhadap kewajiban penanggungan tersebut tertanggung diwajibkan untuk membayar premi. Sebagai penjaminan, produk asuransi seharusnya menjadi produk yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Kehadiran asuransi dilihat dari fungsinya akan mampu memberikan kepastian bagi setiap orang dalam me-manage setiap potensi kerugian ataupun resiko yang akan dialaminya. Oleh karena itu tidak berlebihan kiranya bila disebutkan bahwa pada suatu Negara yang maju, kedudukan perusahaan asuransi seharusnya menjadi sangat penting dan bahkan menjadi salah satu motor utama dalam mendorong pertumbuhan ataupun kemajuan perekonomian suatu negara tersebut, baik melalui penciptaan ketenangan dalam masyarakat atas kepastian pengendalian resiko, begitu juga melalui langkah investasi dalam berbagai 1 2 Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, (Banjarmasin: Artikel dalam Syari'ah Jurnal Hukum dan Pemikiran, Nomor 1 Tahun 2, Januari-Juni, 2002), hal 8-9. Kewajiban untuk mengambil alih risiko kerugian yang mungkin dialami oleh tertanggung dalam kontrak asuransi meliputi setiap bentuk kerugian baik akibat dari kerusakan ataupun kehilangan dari objek pertanggungan, tanggung jawab terhadap pihak ketiga, kehilangan atas keuntungan yang diharapkan, termasuk juga risiko yang ditimbulkan akibat dari meninggalnya si tertanggung terhadap keluarga yang ditinggalkannva ataupun risiko masa tua yang dihadapi tertanggung bila tetap masih hidup hingga pada umur tertentu. aktivitas bisnis dengan mengoptimalkan nilai premi yang diperolehnya dari masyarakat tersebut. Sebagai suatu kontrak, maka segala bentuk kesepakatan yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam kontrak asuransi akan berlaku sebagai hukum khusus (lex specialis) yang mengikat perusahaan asuransi dengan tertanggung ataupun pemegang polisnya. Artinya, bila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasinya (wanprestasi) sesuai dengan yang telah disepakati dalam kontrak asuransi, maka pihak tersebut akan dihukum untuk mengganti kerugian yang dialami oleh mitra berkontraknya sebagai akibat dari wanprestasi tersebut. Ketentuan inilah3 yang menjadi dasar pengaturan bagi setiap produk asuransi yang hadir di Indonesia, baik itu produk asuransi kerugian, asuransi jiwa maupun sosial.4 Saat ini, aktivitas perasuransian di Indonesia berkembang cukup pesat baik dari jenis-jenis produk asuransi yang ditawarkan, mulai dari produk biasa hingga produkproduk yang bersifat derivatif termasuk juga teknik-teknik pengembangan pasar dari produk asuransi tersebut. Dari sisi produk misalnya, terlihat munculnya produk-produk asuransi yang merupakan hasil perkawinan dengan produk lembaga keuangan perbankan ataupun non perbankan lainnya, contohnya antara lain: produk unitlink yang merupakan perkawinan antara produk asuransi dengan investasi yang mirip dengan produk reksadana, begitu juga dengan produk asuransi tabungan yang mirip dengan produk tabungan bank. Sementara dari sisi pengembangan pasar asuransi, terlihat tren penggunaan bank sebagai agen ataupun chniel distribution oleh perusahaan asuransi dalam suatu kolaborasi yang dikenal dengan Bancassurance. Merupakan suatu kenyataan bahwa pertumbuhan aktivitas perasuransian seperti yang telah dijelaskan di atas dalam banyak hal tidak diikuti oleh kesiapan para pelaku-pelaku bisnis perasuransian itu sendiri. Persoalan sumber daya manusia dari sisi pengetahuan dan mentalitas perasuransian yang tidak dapat terpisahkan dari pelaksanaan prinsip the utmost goodfaith, insurable interest dan indemnity, sering menjadi hal yang tidak diperhatikan lagi dalam menyikapi tingginya tingkat persaingan di pasar asuransi Indonesia yang masih relatif kecil. Permasalahan permodalan dihadapkan dengan realita kehadiran pemain-pemain asuransi global 5 di pasar yang sangat sempit dan belum terdidik baik, membuat bisnis asuransi yang seharusnya dibangun sebagai bisnis kepercayaan menjadi sering terlupakan. Perang lobi, perang agen dan perang harga menjadi suatu hal yang tak terhindarkan. Begitu pula dengan 3 Ketentuan ataupun Hukum tentang Kontrak Asuransi, secara umum masih tidak terpisahkan dari Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPer), walaupun secara lebih khusus telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian beserta peraturan-peraturan pelaksana terkait. 4 Terhadap asuransi sosial, walaupun dalam penciptaan hubungan hukum antara perusahaan asuransi dengan tertanggungnva tidak didasarkan oleh asas kebebasan berkontrak (party autonomy), karena dilakukan berdasarkan undang-undang, akan tetapi konsekuensi dan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagai akibat dari diterbitkannya produk asuransi social tersebut akan menjadi dasar hukum ataupun kontrak yang secara khusus mengikat Perusahaan asuransi sosial tersebut dengan tertanggungnya. Kontrak (kontrak asuransi) tidak hanya lahir dari perjanjian akan tetapi juga lahir dari undang-undang. 5 Walaupun harus dalam bentuk joint venture company. kehadiran broker (pialang asuransi atau reasuransi) sebagai intermediary party yang sering tidak memahami kewajibannya sebagai broker profesional, akan tetapi hanya memahami haknya. Hal inilah yang tetap memicu tingginya potensi sengketa dalam aktivitas usaha perasuransian di Indonesia. Dalam praktik perasuransian di Indonesia, tidak sedikit ditemukan sengketasengketa yang timbul dari aktivitas berkontrak tersebut, baik yang penyelesaiannya dapat tercapai tanpa harus melibatkan pengadilan (outside of court settlement), ataupun harus melalui putusan pengadilan (litigation process). Walaupun, konsekuensi dari aktivitas berkontrak merupakan aktivitas yang berada dalam wilayah hukum perdata, akan tetapi dalam praktiknya, banyak juga sengketa-sengketa yang timbul dari hubungan hukum asuransi masuk ke wilayah hukum pidana. Apakah itu berarti hubungan hukum perdata dapat begitu saja masuk menjadi permasalahan pidana? A. Bentuk-Bentuk Sengketa Hukum dari Kontrak Asuransi Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain, tetapi di dalam kontrak asuransi atau suatu perjanjian masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat di kemudian hari. Sengketa yang perlu diantisipasi dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul kontrak asuransi maupun apa isi ketentuan-ketentuan di dalam kontrak asuransi. Sengketa hukum dalam kontrak asuransi dapat terjadi karena di satu pihak: 1. perusahaan asuransi tidak melakukan kewajibannya membayar klaim, 2. terjadi perbedaan intepretasi terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah disepakati para pihak, 3. melakukan penjualan produk yang belum mendapat ijin pihak otoritas, 4. melakukan penanggungan melebihi dari kewenangannya tanpa melakukan reasuransi, 5. perusahaan dalam status Penghentian Kegiatan Usaha (PKU), 6. melakukan pembujukan calon nasabah asuransi melalui data-data yang tidak benar ataupun palsu. Sementara itu di pihak lain: 1. tertanggung (pemegang premi) tidak melakukan kewajiban membayar premi, 2. melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang mempunyai akibat pidana, misalnya dengan melakukan pembakaran, pengrusakan, ataupun pemusnahan objek asuransi secara sengaja untuk mendapatkan penggantian kerugian dari perusahaan asuransi, 3. memberikan data-data ataupun dokumen yang sengaja dipalsukan kepada pihak perusahaan asuransi, 4. melakukan ancaman-ancaman terhadap perusahaan asuransi, 5. bekerja sama dengan agen ataupun orang dalam untuk membobol perusahaan asuransi. Situasi di pasar asuransi saat ini sering terdengar tuduhan bahwa perusahaanperusahaan asuransi hanya pintar menjual polis, tapi tidak cukup "gentlement" untuk membayar klaim jika hal yang diperjanjikan dalam polis asuransi tersebut menjadi jatuh tempo. Salah satu contoh dari sikap pelaku usaha asuransi yang cenderung memunculkan produk-produk asuransi yang berpotensi sengketa di tangan konsumen adalah karena minimnya pemahaman6 antara lain terhadap prinsip the utmost goodfaith. Banyak perusahaan-perusahaan asuransi yang memahami ataupun menerjemahkan bahwa prinsip the utmost good faith merupakan prinsip yang hanya perlu untuk dipatuhi oleh tertanggung (insured), bukan prinsip yang juga harus dipatuhi oleh perusahaan asuransi. Pemahaman yang salah ini membuat banyak perusahaan asuransi yang menyalahgunakan Pasal 251 KUHD7 sebagai tameng untuk membebaskan diri dari tanggungjawab jika klaim asuransi terjadi dengan alasan bahwa tertanggung tidak melaporkan hal-hal yang penting (non disclose material information) yang harus diketahui oleh perusahaan asuransi sebelum kontrak disetujui. Secara teori hal tersebut benar, akan tetapi apakah benar tertanggung dapat disebut tidak melaksanakan prinsip the utmost goodfaith bila perusahaan asuransi itu sendiri sebenarnya tidak melakukan pemeriksaan apapun terhadap tertanggung ketika permohonan asuransi diajukan? Apakah juga benar, bila perusahaan asuransi sebenarnya, telah mengetahui penyakit berat yang telah diderita oleh tertanggungnya dari awal, akan tetapi tetap masih menerima premi dari tertanggung tersebut, lalu kemudian menyatakan bahwa polis asuransi si tertanggung tersebut menjadi batal ketika tertanggung meninggal karena tertanggung telah melanggar prinsip the utmost goodfaith? Selanjutnya apakah benar juga bila polis asuransi yang diedarkan di pasar dihadirkan dengan tulisan yang sulit dibaca karena menggunakan huruf-huruf yang sangat kecil dan sulit dipahami sementara tidak ada penjelasan sama sekali untuk itu. Apakah selayaknya kontrak asuransi dihadirkan menggunakan bahasa Inggris di pasar yang mengatur antara pihak Indonesia dengan Indonesia? Kemudian, apakah benar bila perusahaan asuransi sangat takut pada perusahaan reasuransinya mengingat hampir seluruh pertanggungan (liability) yang telah disepakatinya dengan tertanggung telah dipertangungkannya kembali (direasuransikan) kepada perusahaan reasuransi tersebut membuat sikap penolakan dari perusahaan asuransi terhadap pembayaran premi lebih didasari oleh sikap penolakan perusahaan reasuransi tersebut? Dan, apakah benar pula bila misalnya, perusahaan asuransi menerbitkan produk surety bond tanpa terlebih dulu menganalisa kontrak utama yang menjadi dasar dari penerbitan surety bond tersebut dengan seksama serta tidak juga secara serius menganalis, character, capital, capacity dan condition of economic dari kontraktor (principal) yang akan dijamin tersebut, sehingga sering menimbulkan akibat bahwa 6 7 Atau dapat juga terjadi akibat ketidakperdulian perusahaan asuransi terhadap prinsip-prinsip asuransi akibat pasar yang sangat kecil dan sangat kompetitif, sehingga dalam banyak peristiwa, perusahaan asuransi lebih mengambil sikap; "rebut dulu kesempatan bisnis tersebut, persoalan belakangan." Pasal 251 KUHD ini menjelaskan tentang akibat dari pelanggaran azas the utmost good faith, yang dikutip sebagai berikut: ..Setiap keterangan yang keliru atau tidak benar, ataupun setiap tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung, betapapun itikad baik ada padanya, yang demikian sifatnya, sehingga seandainya si penanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan 0/00. ketika surety bond tersebut jatuh tempo keputusan pembayaran kepada obligee sangat diletakkan pada persetujuan dan kesiapan dari kontraktor untuk memenuhi hak subrogasi dari perusahaan asuransi tersebut nantinya? Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan pertanyan-pertanyaan yang bersifat reflektif untuk secara jujur dapat melihat kelemahan, bahwa walaupun sengketasengketa dalam kontrak asuransi banyak terjadi akibat dari kesalahan ataupun ketidakjujuran dari tertanggung akan tetapi tidak sedikit pula sengketa kontrak asurans timbul akibat dari kesalahan ataupun dari ketidakjujuran dari pelaku-pelaku asuransi itu sendiri. Dalam pembangunan pasar yang baik dan berkesinambungan, kualitas keilmuan dan mentalitas perasuransian merupakan modal utama untuk itu. Hal tersebut, secara tidak langsung telah menggambarkan begitu besarnya potensi sengketa dari produk-produk asuransi yang beredar di masyarakat, yang pada dasarnya merupakan ikatan kontrak antara perusahaan asuransi dengan masingmasing tertanggungnya. B. Penyelesaian Sengketa Hukum dari Kontrak Asuransi Sebagai suatu kontrak, maka ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi8 merupakan hukum yang mengatur para pihak penanggung dengan tertanggungnya. Dalam hal terjadinya sengketa sehubungan dengan kontrak tersebut, pada awalnya, berdasarkan Pasal 1266 KUH Perdata, hanya dapat diselesaikan melalui pengadilan negeri. Akan tetapi dalam perkembangannya, ternyata penyelesaian melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) juga telah diterima dengan menghadirkan kemungkinan penyelesaian melalu Arbitrase, baik melalui lembaga Arbitrase9 maupun secara penyelesaian melalui Arbitrase secara ad hoc. Dan dalam hal pengembangan penyelesaian sengketa asuransi melalui ADR, penyelesaian melalui mediasi telah juga dikembangkan di Indonesia dengan hadirnya Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang mengkhususkan diri untuk memediasi sengketa-sengketa klaim asuransi yang jumlahnya kecil, yaitu maksimum Rp.500.000.000, pada sengketa klaim asuransi kerugian dan maksimun Rp. 300.000.000,- pada sengketa klaim asuransi jiwa dai sosial. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase yang digambarkan di atas, merupakan penyelesaian yang dasar penentuannya tergantung pada para pihak yang berkontrak (party autonomy) ketika kontrak tersebut disepakati10. Artinya, pihak 8 9 10 Berdasarkan Pasal 255 KUHD, kontrak asuransi harus dibuat secara tertulis (tidak bisa secara lisan) dalam suatu akta yang disebut dengan polis. Akan tetapi, polis bukanlah satusatunya bukti bahwa telah terjadi dan mengikatnya suatu kontrak asuransi, karena berdasarkan Pasal 258 KUHD alat-alat ataupun bukti lain selain polis telah dapat digunakan sebagai bukti telah terjadinya kontrak jika polis itu sendiri belum diterbitkan. Tentang teknik berkontrak lebih lanjut, silahkan baca buku “Tehnik Perancangan Kontrak 0/00 Ricardo Simanjuntak. Penerbit Tabloid Kontan edisi pertama 2007. Lembaga Arbitrase di Indonesia misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Walaupun dapat juga para pihak kemudian menentukan pilihan forum penyelesaian sengketa melalui Arbitrase setelah sengketa kontrak asuransi timbul, sepanjang pilihan tersebut secara tertulis dan tegas disepakati kemudian yang akan digunakan untuk menamend tatacara penyelesaian sengketa pada kontrak yang sedang bermasalah. Baca juga UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. penanggung dan tertanggung yang merupakan pihak yang terikat dalan suatu kontrak asuransi harus secara tegas mencantumkan dalam kontrak asuransi tersebut, bila disepakati bahwa forum penyelesaian sengketa adalah Arbitrase. Bila tidak, maka secara hukum, penyelesaian setiap sengketa perdata hanyalah dapat dilakukan melalui pengadilan negeri. 1. Penyelesaian Sengketa Asuransi Melalui Pengadilan Sengketa Hukum dalam Kontrak Asuransi, Pidana atau Perdata? Menurut teori telah jelas diatur bahwa, sebagai suatu kontrak, asuransi adalah timbul dari kesepakatan antara hak-pihak perdata, sehingga dalam hal terjadinya konflik sehubungan dengan hal-hal yang diperjanjikan dalam kontrak asuransi tersebut, konflik atau sengketa tersebut adalah sengketa perdata, bukan pidana. Misalnya dalam hal terjadinya sengketa akibat dari tidak dibayarnya klaim asuransi oleh perusahaan asuransi, ataupun tidak dibayarnya premi oleh tertanggung, ataupun dalam hal terjadinya perbedaan intepretasi terhadap pelaksanaan kewajiban yang telah disepakati dalam kontrak asuransi tersebut, maka sengketa tersebut adalah sengketa perdata yang pengajuannya hanya dapat dilakukan ke pengadilan perdata 11, bukan pengadilan pidana. Akan tetapi, walaupun pada dasarnya kontrak asuransi merupakan hubungan hukum wilayah perdata, tidak tertutup juga kemungkinan terjadinya peristiwa pelanggaran hukum yang dilakukan salah satu pihak berkontrak asuransi tersebut, dimana tindakan pelanggaran hukum tersebut telah masuk pada wilayah hukum pidana. Misalnya dari sisi pelaku usaha asuransi, dalam kasus perusahaan asuransi melakukan penjualan produk yang belum mendapat ijin dari pihak autoritas, melakukan penanggungan melebihi kewenangannya tanpa melakukan pengamanan melalui tindakan penanggungan kembali (reasuransi) kepada pihak reasuradur sehingga menjadi sanggup membayar ketika kewajiban dalam kontrak tersebut menjadi jatuh tempo, melakukan penjualan produk asuransi pada saat perusahaan asuransi tersebut sedang dalam status Penghentian Kegiatan Usaha (PKU), pembujukan calon nasabah asuransi melalui kebohongan-kebohongan ataupun data-data yang tidak benar ataupun palsu. Sementara dari sisi tertanggung dapat saja terjadi perbuatan yang melanggar hukum yang mempunyai pidana, misalnya dengan melakukan pembakaran, pengrusakan, ataupun pemusnahan objek asuransi secara sengaja untuk mendapatkan 11 Pengajuan penyelesaian sengketa perdata melalui gugatan ke Pengadilan Negeri, akan memakan waktu yang cukup lama hingga 4 - 7 tahun, atau bahkan lebih, karena berdasarkan Kitab Hukum Acara Perdata, setiap pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan dapat melakukan upaya hukum banding, kasasi serta upaya hukum khusus Peninjauan Kembali (PK). Dalam proses berperkara perdata di tingkat pengadilan negeri saat ini telah dikembangkan bentuk penyelesaian damai melalui Mediasi, yang disebut dengan Annexed Mediation Process, artinya proses mediasi tersebut dibuka dan diberikan kesempatan kepada para pihak, dengan menunda persidangan hingga untuk masa waktu paling lama 30 hari Jika mediasi tersebut menghasilkan perdamaian, maka perdamaian tersebut akan dibuat menjadi keputusan Pengadilan dalam menyelesaikan perkara tersebut, akan tetapi, apabila mediasi gagal mencapai perdamaian maka, perkara tersebut akan dilanjutkan pada sidang-sidang berikutnya penggantian kerugian dari perusahaan asuransi, memberikan data-data ataupun dokumen yang sengaja dipalsukan kepada pihak perusahaan asuransi, melakukan ancaman-ancaman terhadap perusahaan asuransi, kerja sama dengan agen ataupun orang dalam untuk membobol perusahaan asuransi. Walaupun pelanggaran hukum yang bersifat pidana ini harus diselesaikan ataupun diputuskan nantinya di Pengadilan, proses penyelidikan ataupun penyidikannya akan dilakukan oleh pihak kepolisian berdasarkan pada pengaduan ataupun laporan dari pihak-pihak yang dirugikan12. Hasil dari penyidikan tersebut akan menjadi bahan Jaksa Penuntut Umum yang demi kepentingan negara sebagai penjaga terlaksananya hukum publik akan melakukan penuntutan terhadap pihak yang didakwa melakukan tindakan pidana tersebut di depan Pengadilan Negeri. Keadaan ini, juga memberikan hak bagi pihak yang didakwa melakukan perbuatan pidana tersebut untuk membela diri dan masing-masing pihak berhak untuk melakukan upaya hukum, banding, kasasi, dan bahkan Peninjauan Kembali (PK) jika putusan dari Pengadilan pada masing-masing tingkat tersebut tidak dirasakan memberikan keadilan. Dari contoh di atas, terlihat bahwa permasalahan-permasalahan yang timbul dalam aktivitas perasuransian memungkinkan untuk masuk pada wilayah pidana. Akan tetapi, seringkali dalam praktik, walaupun sebenarnya permasalahan ataupun sengketa yang terjadi antara penangung dan tertanggung tersebut merupakan sengketa di wilayah hukum perdata, dapat saja pihak berkontrak tersebut secara sengaja mengarahkan kasus perdata tersebut ke wilayah pidana, dengan melakukan laporan kepada polisi. Hal ini mungkin dilakukan oleh ketidakpahamannya ataupun kesengajaan pihak pelapor untuk melakukan strategi penekanan bagi pihak lawan. Tentunya sebagai penyidik pihak kepolisian selayaknya harus sangat berhatihati dalam memeriksa dan menganalisa laporan-Iaporan tersebut, dan harus secara tegas pula menolak jika permasalahan tersebut sebenarnya berada pada wilayah perdata. Sayangnya, dalam banyak kasus, upaya pengkriminalisasian kasus-kasus perdata oleh pihak-pihak yang tidak berniat baik untuk tujuan penekanan, yang walaupun sebenarnya tidak merupakan kewenangan dari pihak kepolisian untuk memeriksanya, ternyata sering tetap melaju hingga pada proses penuntutan di pengadilan. Situasi inilah yang menimbulkan ketidakpastian hukum serta keresahan tidak saja bagi pihak perusahaan asuransi akan tetapi juga bagi pihak nasabah asuransi. Karena strategi melakukan penekanan terhadap pihak lawan dengan "memutarbalikkan" kasus yang sebenarnya bersifat perdata menjadi pidana tidak hanya mungkin dilakukan oleh nasabah ataupun konsumen asuransi terhadap perusahaan asuransi, akan juga mungkin dilakukan oleh perusahaan asuransi terhadap nasabahnya. Pada sisi lain, mengingat hukum dan usaha perasuransian merupakan bidang yang belum banyak dikenal di Indonesia, sangat memungkinkan tindakan-tindakan ataupun kesalahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kejaksaan, dan pihak pengadilan dalam penanganan kasus tersebut diakibatkan oleh ketidakpahaman oleh 12 Kejahatan asuransi bukan delik aduan. pihak-pihak penegak hukum tersebut terhadap hukum asuransi dan bisnis asuransi di Indonesia, walaupun tidak tertutup pula kemungkinan diakibatkan oleh persoalan moral. Oleh sebab itu, dalam upaya untuk meminimalkan potensi sengketa yang dapat masuk pada wilayah pidana, para pelaku usaha perasuransian harus membangun mekanisme yang jelas dari tatacara penerbitan dan penjualan produknya di masyarakat serta juga melakukan sertifikasi dan monitoring yang ketat terhadap aktivitas para agenagen penjualan yang berdiri pada garda paling depan dalam penjualan produknya di masyarakat.13 Selain itu, harus juga dikembangkan pemahaman agar perusahaan asuransi juga menahan diri untuk tidak mengambil manuver ataupun strategi penekanan nasabah dengan mengkriminalisasikan kasus perdata seperti yang telah dijelaskan di atas. Jika pelaku-pelaku usaha perasuransian telah dapat menertibkan diri, maka akan lebih mudah untuk mendidik masyarakat ataupun pasar asuransi tersebut untuk menertibkan diri pula. Dalam hal untuk meningkatkan pengetahuan dari para penegak hukum dari pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan tentang hukum dan bisnis perasuransian, sangat perlu kiranya bagi industri perasuransian di Indonesia serta pihak autoritas perasuransian di Indonesia untuk bekerjasama dengan pihak-pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan dalam melakukan pengenalan ataupun pendalaman pemahaman terhadap hukum dan bisnis perasuransian melalui pelatihan-pelatihan yang berkelanjutan, maupun penyediaan-penyediaan fasilitas bacaan yang bermutu. 2. Penyelesaian Sengketa di Penyelesaian Sengketa (APS) Luar Pengadilan atau Melalui Alternatif Penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), memang dapat menimbulkan kebingungan, seolah-olah mekanisme APS pada akhirnya khususnya dalam sengketa bisnis akan menggantikan proses litigasi di pengadilan. Dalam kaitan ini perlu dipahami terlebih dahulu bahwa APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang berdampingan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Selanjutnya, APS lazimnya dilakukan di luar yurisdiksi pengadilan. Sama seperti istilah “pengobatan alternatif”, bahwa “pengobatan alternatif” sama sekali tidak 13 Sertifikasi dan monitoring yang ketat tidak hanya dilakukan pada agen-agen penjual (sales representatif) ataupun financial planner yang mewakili perusahaan untuk memperkenalkan dan menjual produk asuransi ke masyarakat, akan tetapi juga terhadap bank yang secara kontrak juga telah mendudukkan diri sebagai agen dari penjualan produk asuransi melalui kerjasama bancassurance. Hubungan Asuransi dengan bank dalam kerjasama bancassurance adalah hubungan yang berada dalam hukum keagenan (law of agency), karena dalam hubungan hukum tersebut bank, sama seperti sales representatif, berdiri sebagai pihak yang mewakili perusahaan asuransi dalam menjual produk-produk asuransi tersebut dimana terhadap keberhasilan menjual pihak bank akan mendapatkan uang jasa ataupun komisi. Penulis tidak sependapat dengan komentar pihak bank yang mengatakan bahwa bank bukanlah agen dari perusahaan asuransi dalam hubungan bancassurance, karena kerjasama bancassurance bukanlah kerjasama penyewaan lokasi pendirian counter untuk berdagang produk asuransi oleh perusahaan asuransi di bank tersebut (seperti kerjasama penyewaan counter yang dilakukan oleh perusahaan kosmetik di mal-mal) akan tetapi menyuruh bank tersebut menjualkan produk asuransinya. mengeliminasi “pengobatan dokter”. Bahkan terkadang keduanya saling berdampingan. Begitu juga dengan APS dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dapat berjalan saling berdampingan. Oleh karena itu, para hakim tidak perlu khawatir dengan digunakannya mekanisme APS, pengadilan menjadi kurang pekerjaannya. Ada beberapa pendapat mengenai Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Pertama, APS adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam konteks ini, mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat berupa penyelesaian sengketa melalui arbitrase, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan lain-lain. Kedua, APS adalah forum penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan arbitrase. Hal ini mengingat penyelesaian sengketa melalui APS tidak dilakukan oleh pihak ketiga. Sedangkan dalam forum pengadilan atau arbitrase, pihak ketiga (hakim atau arbiter) mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa. APS di sini hanya terbatas pada teknik penyelesaian sengketa yang bersifat kooperatif, seperti halnya negosiasi,mediasi, dan konsiliasi, serta teknik-teknik penyelesaian sengketa kooperatif lainnya. Ketiga, APS adalah seluruh penyelesaian sengketa yang tidak melalui pengadilan tetapi juga tidak terbatas pada arbitrase, negosiasi, dan sebagainya. Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan APS termasuk juga penyelesaian sengketa yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, tetapi berada di luar pengadilan, seperti Badan Penyelesaian sengketa Pajak (BPSP), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dan sebagainya. Teknik atau prosedur teknis APS di luar pengadilan yang sudah lazim dilakukan adalah: negosiasi, konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Arbitrase merupakan cara yang paling dikenal dan paling banyak digunakan oleh kalangan bisnis dan hukum. Teknik negosiasi, mediasi, dan konsiliasi tidak dikenal di Indonesia. Namun, secara tidak sadar masyarakat Indonesia telah menerapkan mekanisme APS, yakni yang disebut musyawarah untuk mufakat. Asas musyawarah untuk mufakat telah lama dikenal dan dipromosikan oleh pemerintah sebagai suatu budaya bangsa Indonesia. Meskipun APS tidak dianggap sebagai pengganti dari forum pengadilan, namun jangan dilupakan bahwa faktanya APS dianggap sebagai alternatif oleh mereka yang sangat kritis terhadap sistem peradilan Indonesia. Kelambanan proses perkara (di Mahkamah Agung) dilihat sebagai kelemahan dari sistem peradilan dewasa ini. Kelemahan lainnya adalah adanya permainan atau persengkokolan (KKN), mafia peradilan, dan tuduhan bahwa dunia peradilan saat ini bobrok atau rusak. Cara penyelesaian sengketa alternatif, yang biasa digunakan penyelesaian sengketa dalam kontrak asuransi adalah sebagai berikut : a. Melalui Arbitrase 1) Pengertian Arbitrase dalam Istilah arbitrase berasal dari kata “Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”. Dihubungkannya arbitrase dengan kebijaksanaan tersebut dapat menimbulkan kesan seolah-olah seorang arbiter atau majelis arbiter dalam menyelesaikan suatu sengketa tidak berdasarkan norma-norma hukum lagi dan menyandarkan pemutusan sengketa tersebut hanya kepada kebijaksanaan saja. Namun sebenarnya kesan tersebut keliru karena arbiter atau majelis arbiter tersebut juga menerapkan hukum seperti halnya yang dilakukan oleh hakim atau pengadilan. Pengertian arbitrase termuat dalam Pasal 1 angka 8 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.” Arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim yang bertujuan bahwa mereka akan tunduk kepada atau mentaati keputusan yang telah diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.14 Selanjutnya Asikin Kusumah Atmaja, menyatakan: “Arbitrase merupakan suatu prosedur di luar pengadilan yang ditentukan berdasarkan suatu perjanjian, dimana para pihak dalam hal timbulnya sengketa mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut menyetujui penyerahan penyelesaian sengketa tersebut pada wasit yang telah dipilih oleh para pihak itu sendiri.”15 Sedangkan Guru Besar Universitas Gajah Mada, Sudikno Merto Kusumo mengatakan: “Arbitrase atau perwasitan adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang berdasarkan suatu persetujuan pihak-pihak yang bersangkutan diserahkan kepada seorang wasit atau lebih”.16 Menurut Frank El Kaoury dan Edna El Kaoury dalam buku mereka “How Arbitration Works”, mengatakan: Arbitrase adalah “suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka, di mana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.17 JL. Bierly sebagaimana dikutip oleh Sanwani Nasution, Sulaiman Hamid, dan Bachtiar Hamzah, menyatakan bahwa: “Arbitrase tersebut adalah satu proses hukum 14 Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Jakarta: Bina Cipta, 1981), hal. 1. Asikin Kusuma Atmaja, Arbitrase Perdagangan Internasional, Prisma, 1973, hal. 55. 16 Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yoyakarta: Liberty, 1979), hal.190. 17 M. Husseyn Umar, A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, 1995, hal. 2. 15 yang telah ditetapkan dan merupakan satu di antara cara penyelesaian sengketa secara damai”.18 Arbitrase merupakan istilah yang dipakai untuk menjabaran suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. William H. Gill19 memberikan definisi arbitrase sebagai berikut: “An artibtration is the reference of a dispute or difference betweetn not less than two persons for determination after hearing both sides in judical manner by another person or persons, other than a court of competent jurisdiction” 2) Pengaturan Lembaga Arbitrase Berbicara mengenai pengaturan lembaga arbitrase di Indonesia, maka perlu untuk melihat Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia, dalam mana terdapat ketentuan-ketentuan prosedur arbitrase. Di beberapa negara lain masalah arbitrase tidak diatur dalam undang-undang hukum acara, melainkan dalam undang-undang arbitrase tersendiri. Misalnya di Inggris yang mempunyai Arbitration Act 1950 dan Swedia yang mempunyai Arbitration Act 1929. Pada saat ini peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia masih berserakan di berbagai peraturan perundang-undangan, sebagian dimuat dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang berlaku khusus untuk daerah Jawa dan Madura, dan sebagian lagi dimuat dalam Rechtreglement Buitengewesten (Rbg) yang berlaku untuk daerah selain Jawa dan Madura. Di Indonesia pengaturan masalah arbitrase termuat dalam Pasal 615 s/d 651 Reglement Op de Burgerlijk Rechtvordering (RV), Stb. 1847 No. 52 Jo. Stb. 1849 No. 63, yang berlaku untuk orang Eropah dan orang asing lainnya, dan yang kedua adalah HIR yang berlaku untuk penduduk Indonesia di Jawa dan Madura, serta RBG yang berlaku untuk penduduk Indonesia di daerah selain Jawa dan Madura. Sistem yang dualistis ini kemudian dihapuskan bersamaan dengan dihapuskannya Pengadilan Eropah pada masa Pemerintahan Jepang pada tahun 1942. Sebagai akibatnya RV tidak berlaku lagi, sedangkan HIR masih efektif. HIR yang dirancang oleh Ketua Mahkamah Agung Militer pada tahun 1846 hanya dirancang untuk kasus-kasus hukum yang sifatnya masih sederhana dan tidak dirancang untuk mengatur transaksi-transaksi dagang yang rumit. Kasus-kasus hukum yang seperti pengabungan, penjaminan, rekes sipil, arbitrase seperti yang termuat dalam RV tidak terdapat dalam HIR. Apabila timbul sengketa-sengketa perdagangan, pengadilan di Indonesia dapat merujuk kepada ketentuan dalam RV sebagai pedoman, apabila HIR tidak mengatur mengenai suatu sengketa dagang tertentu, dan hal ini masih terus berlangsung sepanjang ketentuan18 Sanwani Nasution, Dkk., Arbitrase Dalam Hukum Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, hal 16. 19 William H. Gill, The Law of Arbitration, 2nd Edition, 1978. ketentuan dalam RV tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Secara singkat beberapa sumber hukum Arbitrase yang pernah ada di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian pula halnya dengan HIR yang diundangkan pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan penggantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut. b) Pasal 377 HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG (Rechtsreglement Bitesten) yang menyatakan bahwa: “Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV. c) Pasal 615 s/d 651 RV (Reglement op de Rechtsvordering) Peraturan mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab Pertama Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi : Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV) Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV) Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV) Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV). d) Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing Dalam hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1967 menyatakan: “Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam, dan cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya mengikat kedua belah pihak”. Selanjutnya dalam Pasal 22 ayat (3) UU No. 1/1967: “Badan arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”. e) UU No. 5 Tahun 1968 Yaitu mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States”. Dengan undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSD) di Washington. f) Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan”. g) Kepres. No. 34 Tahun 1981 Pemerintah Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsai oleh PBB. h) Pasal 80 UU NO. 14 Tahun 1985 Satu-satunya undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 14 Tahun 1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14 Tahun 1985, menentukan bahwa semua peraturan pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1 Tahun 1950 menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1 Tahun 1950). i) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34 Tahun 1958, oleh Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, pada tanggal 1 Maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan. j) UU No. 30 Tahun 1999 UU ini adalah pembaharuan dari Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvoredering. Staatblad 1847: 52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatblad 1941: 44 dan Pasal 705 Reglement acara untuk daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Bujtenewesten, Staatblad 1927: 227). Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG sebagaimana dijelaskan di atas, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30 Tahun 1999. k) Pasal 32 ayat (1), (2), (3) dan (4) UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebagai berikut : Ayat (1) Dalam hal tejadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa Ayat (2) tersebut melalui musyawarah dan mufakat. Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau Ayat (3) alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesakan sengketa Ayat (4) tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut rnelalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak. Saat ini, UU No. 30 Tahun 1999 merupakan aturan pokok dari Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Disamping UU Pokok itu terdapat sejumlah undang-undang yang mengatur Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) untuk bidang-bidang tertentu. Jika di dalam bidang-bidang itu terjadi sengketa maka para pihak yang bersengketa wajib menempuh penyelesaian yang diatur oleh UU itu (compulsory dispute resolution). UU itu adalah sebagai berikut: Arbitrase, mediasi dan lembaga penyelesaian industrial (UU tentang Ketenagakerjaan Nomor 25 Tahun 1997); perselisihan - - - Arbitrase dan musyawarah untuk mencapai mufakat diantara para pihak yang berselisih (UU tentang Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 32 Tahun 1997); Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (UU tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999); Penggunaan jasa pihak ketiga yang disepakati para pihak yang dibentuk masyarakat jasa konstruksi atau Pemerintah (UU tentang Jasa Konstruksi Nomor 18 Tahun 1999); Penggunaan jasa pihak ketiga yang dapat dibentuk oleh masyarakat atau Pemerintah yaitu lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup (UU tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997); Arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (UU tentang Merek Nomor 15 Tahun 2001); Komisi Pengawas Persaingan Usaha untuk menyelesaikan sengketa dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Nomor 5 Tahun 1999) Dengan adanya UU diatas, maka ruang lingkup UU Arbitrase dan APS menjadi lebih sempit penggunaannya karena sengketa yang terjadi didalam bidang-bidang tersebut di atas wajib diselesaikan menurut UU itu (Compulsory Dispute Resolution). 3) Perjanjian Arbitrase Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Pactum decompromittendo) atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Acte compromise). Lingkup dari suatu klausul arbitrase kini ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengujian yang dalam Pasal 13 UU Nomor 30 Tahun 1999, yakni Undang-Undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyatakan sebagai berikut : ”Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa kelanjutan arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (ad-hoc)”. Perjanjian para pihak untuk berarbitrase menerima keputusan yang diambil oleh arbiter, dan bukan untuk menerima nasehatnya. Putusannya harus diterima sebagai suatu yang resmi, final dan mengikat. Sesuai dengan kesepakatan berdasarkan permintaan dan hak yang diberikan kepada arbiter, untuk menerapkan dalam wewenang hukum secara pasti suatu putusan yang telah dipertimbangkannya secara matang dan teliti. Beberapa pembaharuan yang telah berlaku dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 merupakan gabungan berbagai ketentuan arbitrase. Misalnya, definisi tentang “Klausul Arbitrase” dalam kontrak kini dianggap sebagai “Kesepakatan Arbitrase” dan karena statusnya sebagai suatu kontrak, maka kesepakatan ini tidak dapat dibatalkan kecuali disepakati secara tegas, remi dan tertulis oleh para pihak. 4) Objek Perjanjian Arbitrase Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundangundangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup hukum keluarga. Arbitase hanya dapat diterapkan untuk masalahmasalah perniagaan. Bagi pengusaha, arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Adapun kegiatan dalam bidang perniagaan atau perdagangan itu antara lain: perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III Bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854. 5) Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Asuransi Melalui Arbitrase Banyak penyelesaian klaim asuransi yang tidak berjalan dengan lancar. Berbeda dengan praktek yang terjadi, dalam persepsi umum penyelesaian sengketa atas klaim asuransi hanya dilakukan melalui pengadilan. Masyarakat pada umumnya belum mengenal peranan arbitrase dalam penyelesaian suatu perselisihan dalam suatu perjanjian asuransi sampai mereka mengalami perselisihan terutama dalam penyelesaian klaim asuransi dengan penanggung. Sementara itu, penyelesaian perkara asuransi melalui badan peradilan dapat membawa berbagai konsekuensi yang lebih berat dalam penyelesaian perselisihan asuransi. Bagir Manan mengatakan bahwa bila secara teknis, fungsi peradilan atau tugas yang mengadili dirumuskan sebagai “memeriksa dan memutus perkara” yang tidak selalu sama dengan “menyelesaikan” atau “solusi” atau “memecahkan” suatu perkara atau sengketa. Selanjutnya dikatakan tentang perlu sekali adanya perubahan orientasi “memutus perkara” menjadi menyelesaikan perkara”. Arbitrase dapat merupakan jawaban atas kebutuhan perubahan orientasi tersebut. Arbitrase adalah suatu tata cara untuk menyelesaikan suatu perselisihan selain melalui pemeriksaan oleh pengadilan dan terjadi bilamana satu atau lebih orang diangkat untuk mendengarkan argumentasi yang diajukan para pihak yang bersengketa dan untuk memberikan putusan atas perselisihan tersebut. Arbitrase umumnya timbul karena kesepakatan antara para pihak untuk menyelesaikan suatu perselisihan melalui arbitrase, baik atas kesepakatan yang dicapai sebelum atau sesudah perselisihan timbul. Penyelesaian tersebut umumnya lebih disukai karena lebih murah, lebih cepat, lebih informal dan tidak melibatkan publisitas. Priyatna Abdurrasyid mengatakan bahwa arbitrase merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjabarkan suatu bentuk tata cara damai yang sesuai atau sebagai penyediaan dengan cara bagaimana menyelesaikan sengketa yang timbul sehingga mencapai suatu hasil tertentu yang secara hukum final dan mengikat. Penyelesaian sengketa asuransi melalui Arbitrase, merupakan penyelesaian suatu sengketa bisnis (perdata) yang berada di luar mekanisme pengadilan. Hal ini diperbolehkan dan telah diatur dalam UU. No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR). Akan tetapi, mengingat hukum umum (general law) yang berlaku dalam penyelesaian sengketa perdata adalah melalui pengadilan, maka pernyataan penyelesaian sengketa sebagai alternatif penyelesaian haruslah dengan tegas dan tertulis dinyatakan oleh para pihak dalam kontrak yang disepakatinya. Kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dapat dilakukan sebelum sengketa itu terjadi (yaitu ketika kontrak tersebut disepakati) ataupun setelah terjadinya sengketa (yaitu dengan cara mengamendemen kontrak asuransi yang ada). Jika ternyata para pihak telah menyepakati bahwa penyelesaian sengketa asuransi yang dialami hanya akan diselesaikan melalui Arbitrase, maka Pengadilan Indonesia tidak lagi berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara tersebut di pengadilan Indonesia. Di dalam transaksi bisnis asuransi, penyelesaian sengketa pada masyarakat yang sudah sadar akan pentingnya asuransi (insurance minded society) lebih sering diselesaikan melalui arbitrase, karena itu kontrak-kontrak asuransi di negara-negara yang penduduknya sudah masyarakat sadar asuransi selalu memuat klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Di Inggris misalnya, semua sengketa mengenai besarnya jumlah ganti rugi (klaim) asuransi diselesaikan melalui arbitrase, sedangkan sengketa mengenai penafsiran kontrak (contract/policy wording) masih dimungkinkan diselesaikan melalui peradilan umum. Mengapa demikian, karena cara penyelesaian sengketa kontrak asuransi melalui arbitrase dianggap sebagai cara paling adil (fair) bagi para pihak yang bersengketa. Akan tetapi kecenderungan orang untuk memilih arbitrase ini bukan berarti cara penyelesaian sengketa melalui pengadilan negeri sama sekali telah ditinggalkan, sehingga tidak lagi populer. Malahan sebaliknya, peran pengadilan negeri masih tetap tidak mudah untuk digantikan. Hal itu disebabkan setelah selesai suatu sengketa diputus oleh forum pilihan semacam arbitrase, peran pengadilan muncul lagi manakala para pihak tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase bersangkutan. Demikian pula jika forum arbitrase pemutus sengketa itu adalah arbitrase asing (berkedudukan di luar Indonesia). Putusan yang dijatuhkan oleh forum semacam itu untuk dapat diakui dan dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia, terlebih dahulu harus mendapat exequatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 6) Klausul Arbitrase (Arbitratiion Clause) dalam Kontrak Asuransi Penutupan asuransi dituangkan dalam suatu dokumen perjanjian tertulis yang lazim disebut polis atau kontrak asuransi. Kontrak asuransi mengambil asas konsensual yang mengandung arti bahwa kontrak Asuransi sudah lahir dan mulai berlaku sejak dicapai kata sepakat antara penanggung dan tertanggung mengenai penutupan asuransi tersebut yaitu syarat-syarat, ketentuan atau isi dari kontrak asuransi. Secara garis besar isi dari kontrak asuransi terdiri dari uraian mengenai obyek asuransi yang dijamin, nama dan alamat tertanggung dan penanggung, jangka waktu kontrak, risiko atau bahaya-bahaya yang dijamin dan yang dikecualikan (tidak dijamin), syarat-syarat atau ketentuan umum dan yang terakhir adalah cara penyelesaian sengketa atau perselisihan apabila terjadi klaim yang biasanya disebut klausul arbitrase atau penyelesaian sengketa/perselisihan. Klausul arbitrase atau sengketa dalam kontrak asuransi memuat ketentuan apabila terjadi sengketa antara penanggung dan tertanggung mereka sepakat bahwa sengketa tersebut akan diupayakan terlebih dahulu penyelesaian secara musyawarah atau amicable settlement. Akan tetapi jika penyelesaian secara musyawarah tidak dapat dicapai, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Arbitrase adalah suatu cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum (out of court settlement) yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase dalam asuransi adalah suatu kesepakatan tertulis berupa klausul arbitrase yang telah dibuat dan dicantumkan dalam kontrak asuransi pada saat kontrak asuransi dibuat atau dengan perkataan lain, sebelum terjadi sengketa, para pihak yaitu penanggung dan tertanggung sudah sepakat bahwa jika terjadi suatu sengketa dikemudian hari, maka sengketa tersebut akan diselesaikan melalui arbitrase, apabila penyelesaian secara musyawarah tidak tercapai. Ini berarti dari sejak awal penutupan asuransi, penanggung dan tertanggung telah sepakat mengesampingkan atau tidak akan memakai jalur peradilan umum perdata dalam mencari penyelesaian setiap sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari. Akan tetapi seandainya suatu kontrak asuransi tidak memuat klausul arbitrase, apakah sengketa yang timbul dapat diselesaikan melalui arbitrase? Penyelesaian melalui arbitrase masih tetap dapat dilakukan. Dalam hal ini para pihak yang bersengketa wajib membuat suatu perjanjian tertulis yang memuat bahwa para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang telah terjadi melalui arbitrase. Perjanjian arbitrase semacam ini disebut Akta Compromis. Industri asuransi Indonesia saat ini mengenal berbagai jenis klausul penyelesaian sengketa yang berbeda isinya dari satu jenis polis ke jenis polis lainnya bahkan dari satu penanggung ke penanggung lainnya untuk jenis polis asuransi yang sama. Klausul penyelesaian perselisihan yang beredar di Indonesia mulai dari ketentuan mengenai penyelesaian yang terbatas atas perselisihan mengenai jumlah klaim yang timbul (quantum) sampai pada penyelesaian atas setiap perselisihan yang timbul. Dewasa ini, industri asuransi Indonesia sudah memulai penyederhanaan dan penyeragaman klausul penyelesaian perselisihan untuk jenis-jenis asuransi tertentu yang telah memiliki polis standar Indonesia, misalnya untuk Polis Standar Asuransi Kebakaran, Polis Standar Asuransi Gempa Bumi dan Polis Standar Asuransi Kendaraan Bermotor. Pada polis yang telah memiliki klausul penyelesaian perselisihan standar tersebut terdapat tiga jenis klausul penyelesaian sengketa. Klausul Penyelesaian Perselisihan (A) menentukan bahwa perselisihan yang timbul akan diselesaikan melalui arbitrase. Klausul Penyelesaian Perselisihan (B) menyatakan bahwa perselisihan yang timbul akan diselesaikan melalui pengadilan. Pada klausul (C), tertanggung memiliki hak untuk memilih bilamana timbul perselisihan untuk menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase atau pengadilan. Di antara ketiga jenis klausul tersebut, klausul (C) adalah yang paling sering dipergunakan untuk jenis asuransi yang telah memiliki klausul penyelesaian sengketa yang standar. Klausul-klausul standar tersebut mulai dipergunakan penanggung untuk berbagai jenis polis asuransi lainnya. Dalam kontrak asuransi, penentuan jenis klausul penyelesaian sengketa yang akan dipergunakan pada umumnya ditentukan sepihak oleh penanggung kecuali atas penutupan polis asuransi yang dilakukan oleh broker asuransi profesional yang telah terlebih dahulu membahas dasar pemilihan klausul dengan kliennya. Berbeda dengan praktek umum yang memungkinkan para pihak terlibat secara bersama-sama dalam mempersiapkan isi suatu perjanjian atau dapat mempelajari terlebih dahulu isi suatu perjanjian sebelum mengikatkan diri, kontrak asuransi dipersiapkan sepihak oleh penanggung (contract of adhesion). Sifat kontrak asuransi tersebut pada umumnya mendudukkan tertanggung pada posisi bila tidak menerima berarti tidak membeli atau menerima apa adanya. Keadaan tersebut sering kali belum mendorong tertanggung untuk mempelajari isi perjanjian sebelum mengikatkan diri, bahkan, tertanggung belum tentu akan mempelajari secara rinci ketentuan-ketentuan dalam polis asuransi yang telah dibeli termasuk ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan. Keterbatasan pemahaman tertanggung tentang jenis klausul dan pertimbangan dalam pemilihan klausul yang dipergunakan telah menimbulkan persepsi umum pada pemegang polis bahwa sengketa hukum yang timbul dalam suatu kontrak asuransi akan diselesaikan melalui pengadilan, terlepas dari jenis klausul yang tercantum dalam polis yang dimilikinya. 7) Macam-Macam Lembaga Arbitrase Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat tentang suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase ada 2 (dua) macam lembaga yaitu penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase Ad-hoc dan lembaga Arbitrase Permanen yang disebut juga Arbitrase Institusional. a) Lembaga Arbitrase Institusional Yaitu arbitrase yang terkoordinir oleh suatu lembaga, pada umumnya keberadaanya diprakarsai oleh suatu kamar dagang. Indonesia juga mengenal bentuk lembaga arbitrase institusional ini, yaitu dengan dibentuknya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) pada tanggal 3 Desember 1977 yang diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, yang bertujuan untuk dapat menyelesaikan perselisihan dengan adil dan cepat atas persengketaan yang timbul di bidang Perdata mengenai soal-soal perdagangan, industri, dan keuangan, baik yang bersifat nasional maupun internasional.20 Selain itu, juga terdapat Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Oktober 1993, bertujuan sebagai badan permanen yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan Umat Islam. BAMUI lebih erat kaitannya dengan Koperasi Muamalat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta asuransi yang berdasarkan Syariat Islam.21 Selain itu, ada badan arbitrase institusional yang berskala internasional seperti The ICC International Court of Arbitration yang berkedudukan di Paris, Nederlands Instituut yang berkedudukan di Rotterdam, The Japan Commercial Arbitration yang berkedudukan di Tokyo, The London Court of InternationalArbitration yang berkedudukan di London, Regional Centre of Arbitration yang berkedudukan di Kuala Lumpur, ASEAN-African Legal Consultative Commitee (AALCC) yang berkedudukan di New Delhi.22 b) Lembaga Arbitrase Ad Hoc Yaitu lembaga arbitrase yang tidak permanen atau disebut juga Arbitrase Volunter. Badan arbitrase ad hoc ini bersifat temporer karena dibentuk khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu, sesuai dengan kebutuhan pada saat itu, apabila telah menyelesaikan tugasnya maka badan arbitrase ini bubar dengan sendirinya.23 Pembentukan majelis arbitrase ad hoc dilakukan oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan klausul arbitrase ad hoc yang terdapat dalam kontrak atau perjanjian arbitrase (akta compromis). Karena itu adalah suatu hal yang sangat penting dicantumkan secara jelas dalam setiap klausul arbitrase dalam suatu kontrak, arbitrase mana yang dimaksud atau disepakati, apakah Arbitrase Ad-hoc atau Arbitrase Institusional. Jika para pihak yang bersengketa tidak dapat mencapai kesepakatan atas penunjukkan arbiter, maka mereka dapat memohon ketua pengadilan negeri untuk menunjuk arbiter. Para pihak dapat menyetujui penunjukkan/pengangkatan seorang arbiter tunggal atau masing-masing pihak mengangkat seorang arbiter dan kedua arbiter yang telah ditunjuk akan memilih dan menunjuk arbiter yang ketiga menjadi ketua majelis arbitrase. Para pihak bebas untuk menentukan acara atau kerangka dan tata cara arbitrase sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Arbitrase. 20 21 22 23 Subekti, Op.Cit., hal. 32. Abstract Teaching Material Arbitrase, Program Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan ELIPS Project, 1995, hal. 13. Cut Memi, Pilihan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia., Buletin Ilmiah Tarumanegara Th. 10/No. 35/ 1996, Jakarta, hal.62-63. Abstract Teaching Meterial Arbitrase, Op.Cit. Dalam arbitrase ad hoc, proses pemeriksaan arbitrase berlangsung tanpa ada pengawasan atau peninjauan yang bersifat lembaga sebagaimana halnya dalam arbitrase Permanen/ Institusional, karena itu pengangkatan dan penunjukkan arbiter yang cakap, kompeten dan berpengalaman serta mempunyai pengetahuan teknis yang baik dalam masalah yang dipersengketakan menjadi suatu hal yang sangat penting. Jika yang disepakati untuk menyelesaikan sengketa yang timbul adalah arbitrase Permanen atau Institusional, maka sebaiknya disebut badan arbitrase mana yang dimaksud, misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Arbitrase Institusional adalah suatu lembaga arbitrase yang pada umumnya didirikan atas inisiatif Kamar Dagang dan Industri dari suatu negara seperti BANI, atau The Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC) Paris. Badan Arbitrase Permanen mempunyai aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dalam berarbitrase dan juga tata cara pengangkatan arbiter. Badan Arbitrase Permanen melakukan pengawasan terhadap proses arbitrase. Dalam bisnis asuransi, dari sejumlah kontrak asuransi yang pernah penulis lihat/ baca, semua kontrak asuransi tersebut memuat klausul arbitrase ad hoc. Ada kontrak asuransi yang memuat klausul arbitrase ad hoc yang lebih rinci karena dalam klausul arbitrase ad hoc tersebut telah diuraikan tata cara pengangkatan arbiter dan proses arbitrase, akan tetapi ada juga yang hanya secara singkat mensyaratkan bahwa jika terjadi sengketa, maka para pihak sepakat untuk menyelesaikannya melalui arbitrase. 8) Manfaat atau Keuntungan Penyelesaian Sengketa Asuransi Melalui Arbitrase Dalam kurun dua dekade terakhir ini, Arbitrase disebut-sebut sebagai metode alternatif yang banyak dipilih para pelaku niaga dalam penyelesaian sengketa komersial mereka. Disebut alternatif karena bukan satu-satunya metode yang dapat dipilih. Terdapat beberapa metode penyelesaian sengketa yang lainnya yang juga dikenal dalam masyarakat, lebih-lebih masyarakat niaga transnasional. Mediasi (mediation), Negosiasi (negotiation), Konsiliasi (conciliation), adalah beberapa contoh metode penyelesaian sengketa yang lazim dipergunakan masyarakat internasional dalam menyelesaikan sengketa. Arbitrase sebagai salah satu metode alternatif di antara sekian jenis metode penyelesaian sengketa kemudian menjadi lebih populer dibandingkan dengan jenis metode lainnya. Bahkan penggunaannya di luar bidang hukum publik terutama amat diminati sebagai salah satu metode dalam menyelesaikan sengketa komersial atau bidang hukum pernigaan dan perikatan. Sengketa yang paling sering timbul dalam kontrak asuransi adalah sengketa mengenai klaim atau tuntutan ganti rugi oleh tertanggung kepada penanggung atau perusahaan asuransi. Penyelesaian sengketa klaim asuransi melalui arbitrase mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan penyelesaian melalui peradilan umum. Adapun keuntungan tersebut adalah sebagai berikut: a) Para arbiter adalah orang-orang yang memahami masalah yang dipersengketakan karena arbiter ditunjuk oleh para pihak dari b) c) d) e) orang-orang profesional yang telah berpengalaman di bidang asuransi, karena itu putusannyapun akan lebih fair, jujur dan adil. Proses arbitrase dilakukan secara tertutup atau rahasia, sehingga publisitas dapat dihindarkan. Pada umumnya manusia atau badan usaha tidak senang jika masyarakat luas atau publik mengetahui dirinya atau suatu badan usaha sedang dalam sengketa. Biaya ber-arbitrase lebih murah daripada biaya berperkara di pengadilan. Putusan Arbitrase akan bersifat final dan mengikat (final and binding) dan harus segera dilaksanakan oleh para pihak24 Penyelesaian melalui Arbitrase ini merupakan penyelesaian yang lebih baik dalam masyarakat bisnis, karena penyelesaian sengketa melalui Arbitrase dapat dilakukan jauh lebih cepat 25 dibandingkan dengan melalui Pengadilan negeri. Walaupun penyelesaian perkara melalui Arbitrase masih lebih baik dibandingkan dengan penyelesaian melalui pengadilan, akan tetapi harus diingat bahwa pilihan penyelesaian melalui Arbitrase harus terjadi akibat dari kesepakatan kedua belah pihak. Dalam hal kontrak asuransi, yang draft ataupun polisnya dalam prakteknya disiapkan oleh perusahaan asuransi secara tercetak, sehingga harus sangat ditekankan bahwa pilihan penyelesaian sengketa melalui Arbitrase harus benar-benar dipahami dan dimaui oleh tertangung juga. Khususnya asuransi-asuransi yang bernilai kecil (personal insurance) dimana dapat saja tertanggung melihat Arbitrase bukan jalan yang baik, karena terhadap jumlah klaim tersebut berperkara melalui Arbitrase justru lebih mahal. Oleh karena itu, untuk memberikan kebebasan dan kepastian informasi, penjelasan, ataupun pemahaman terhadap konsumen asuransi sebelum menyetujui kontrak asuransi tersebut, sebaiknya dalam draft polis asuransi yang telah tercetak tersebut tidak langsung dicantumkan pilihan arbitrase, akan tetapi dihadirkan kedua pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan dan melalui Arbitrase tersebut untuk nantinya dijelaskan agar memberikan kebebasan memilih bagi nasabah asuransi pada saat persetujuan kontrak26. Hal ini akan menimbulkan efek kepastian dan sentimen positif dari pasar, karena konsumen asuransi tidak akan merasa dijebak oleh polis-polis yang telah disediakan secara tercetak tersebut, karena telah diberikan kesempatan yang baik bagi mereka untuk memahami dan menyetujuinya. 9) Sistem Hukum yang Kurang Mendukung Jika dilihat dari berbagai keuntungan yang akan didapat apabila suatu sengketa tuntutan klaim atau ganti kerugian dalam kontrak asuransi diselesaikan melalui arbitrase, seyogyanya para pihak, khususnya pihak tertanggung akan cenderung dan lebih banyak menyelesaikan sengketa klaim melalui arbitrase. Akan tetapi jika kita lihat dalam kenyataannya belum seperti itu. Beberapa tertanggung masih membawa kasus 24 Jika putusan Arbitrase tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah dalam perkara tersebut, pihak yang dimenangkan dapat meminta Pengadilan Negeri untuk melakukan eksekusi terhadap putusan Arbitrase tersebut. Oleh karena itu. Arbiter wajib untuk mendaftarkan putusan arbitrase yang diputuskan ke Pengadilan Negeri untuk mengantisipasi jika putusan Arbitrase tersebut nantinya tidak dilaksanakan secara sukarela. 25 Paling lama 180 hari telah putus, dibandingkan dengan penyelesaian perkara melalui pengadilan perdata yang dapat memakan waktu 4-7 tahun. 26 Dengan cara salah satunya akan dicoret. sengketa klaim asuransi kepada peradilan umum (court settlement), meskipun dalam kontrak asuransinya sudah ada tercantum klausul penyelesaian sengketa/perselisihan melalui arbitrase. Dari pengamatan dan pengalaman penulis, Peraturan dan Klaim Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), beberapa sengketa klaim yang dimohon oleh tertanggung untuk diselesaikan melalui arbitrase, ternyata sengketa-sengketa tersebut sebelumnya sudah pernah dibawa ke peradilan umum, akan tetapi karena peradilan umum (Pengadilan Negeri/Niaga, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung) dalam putusannya menolak mengadili sengketa klaim tersebut, karena pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili karena kontrak asuransinya memuat klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase, dengan demikian arbitrase mempunyai kewenangan absolut untuk menyelesaikan (memeriksa dan memutus) sengketa/perkara tersebut. Mengapa klausul arbitrase kerapkali tidak menjadi acuan dalam penyelesaian sengketa klaim asuransi, hal ini dapat dilihat dari uraian dibawah ini. Hukum mempunyai (antara lain) tiga fungsi yaitu hukum berfungsi sebagai alat pengendali sosial (social control), fungsi merubah masyarakat (social engineering) dan fungsi menyelesaikan sengketa (disputes settlement). Penyelesaian sengketa tidak hanya dimaksud penyelesaian sengketa oleh badan peradilan umum, akan tetapi juga oleh penyelesaian sengketa informal seperti negosiasi, mediasi dan arbitrase. Suatu perjanjian adalah undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt sesvanda), karena itu kontrak asuransi yang didalamnya telah disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah undangundang atau hukum bagi tertanggung dan penanggung, yang seyogyanya dipatuhi dan dilaksanakan oleh para pihak. Mengapa suatu ketentuan hukum atau undang-undang dalam hal ini ketentuan (klausul) arbitrase dalam kontrak asuransi tidak berlaku efektif atau kurang dipatuhi oleh tertanggung, menurut pengamatan penulis, hal ini sangat berkaitan dengan pendapat Lawrence M. Friedman bahwa ada 3 (tiga) faktor atau komponen yang mempengaruhi efektifitas dari suatu ketentuan hukum yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substantive) dan budaya hukum (legal culture). a) Struktur Struktur dalam hal ini menyangkut aparat penegak hukum yaitu hakim dan peradilan yang ada. Para hakim mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendorong para pihak untuk menyelesaikan sengketa klaim asuransi melalui arbitrase atau sebaliknya. Jika para hakim apakah karena keliru atau dengan sadar menerima, melayani dan bersedia memeriksa dan memutus perkara/sengketa klaim asuransi, padahal dalam kontrak asuransi sudah diatur dan disepakati bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, dalam hal seperti ini para hakim justru tidak mendukung penyelesaian sengketa asuransi melalui arbitrase. Dalam kenyataannya, sekalipun para pihak sudah sepakat dalam kontrak asuransi bahwa sengketa akan diselesaikan melalui arbitrase, akan tetapi jika salah satu pihak, biasanya tertanggung, tetap mengajukan gugatan ke pengadilan negeri/niaga, masih ada hakim menerima, memeriksa dan memutus perkara/sengketa klaim asuransi yang diajukan. Hal ini menjadi suatu hal yang patut dipertanyakan dan dapat menjadi obyek studi/penelitian hukum tersendiri. Sikap hakim dan pengadilan seperti diuraikan di atas membuat ketentuan atau klausul arbitrase dalam kontrak asuransi menjadi kehilangan daya penerapannya (law enforcement). Seandainya para hakim/pengadilan negeri menolak untuk mengadili dan memutus perkara/sengketa klaim asuransi yang diajukan kepadanya, niscaya para pihak dalam kontrak asuransi akan mentaati klausul arbitrase yang telah disepakati. b) Substansi Yang dimaksud dengan substansi adalah ketentuan perundang-undangan atau hukum itu sendiri. Sebelum diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, ketentuan yang mengatur arbitrase adalah Reglemen Hukum Acara Perdata (Reglemen op de Burgerlijke Rechtsvordering yang disingkat dengan RV), hukum peninggalan Belanda yang melalui Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 jo Pasal 337 HIR diberlakukan di Indonesia. RV ini sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha. Sedangkan UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) hanya membolehkan penyelesaian perkara diluar pengadilan melalui wasit atau arbitrase, tanpa ada pengaturan yang lebih rinci, misalnya mengenai ketentuan-ketentuan berarbitrase, seperti kompetensi absolut dari arbitrase, eksekusi putusan arbitrase dan lain-lain. Karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang secara khusus, jelas, rinci dan tegas mengatur arbitrase, telah mengakibatkan tidak ada pegangan (acuan) yang jelas bagi para pihak dalam kontrak asuransi dan juga bagi para hakim/pengadilan. Keadaan yang lebih memprihatinkan terjadi karena ada hakim-hakim yang menganut paham atau berpendapat bahwa meskipun ada klausul arbitrase dalam suatu kontrak akan tetapi arbitrase tidak mempunyai kompetensi absolut, karena itu jika salah satu pihak tetap menginginkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, maka hal itu dapat dilakukan. Dengan keadaan seperti ini, klausul arbitrase dari kontrak asuransi menjadi kehilangan kepastian hukumnya. Dengan diundangkannya UU No. 30 Tahun 1999, diharapkan keadaan seperti diuraikan di atas akan berubah, karena UU No. 30 Tahun 1999 sudah mengatur dengan tegas bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis (klausul arbitrase atau akta compromis) meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri dan selanjutnya ditegaskan bahwa pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase terkecuali dalam halhal tertentu seperti adanya dokumen palsu, tipu muslihat dan penipuan. c) Budaya Hukum Yang dimaksud dengan budaya hukum adalah nilai-nilai yang hidup di masyarakat (values) dan sikap dari masyarakat (attitudes) terhadap hukum, dalam hal ini apakah nilai-nilai dan sikap anggota masyarakat mendukung keberadaan arbitrase dalam penyelesaian sengketa asuransi. Kita lihat lebih dahulu sikap tertanggung sebagai anggota masyarakat. Masyarakat tertanggung nampaknya mempunyai persepsi bahwa tempat penyelesaian sengketa hanyalah pengadilan. Jika ada sengketa atau perkara, mereka mengingat pengacara, hakim dan pengadilan yang bisa membantu mereka menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Mengapa demikian? Dari pengamatan penulis, ada beberapa faktor penyebab: Faktor pertama, tertanggung kurang memahami isi kontrak/polis asuransi yang dibelinya, tidak membaca klausul-klausul yang ada, sehingga tidak memahami bahwa jika ada sengketa, maka sengketa itu sesuai kontrak harus diselesaikan melalui arbitrase. Mengapa tertanggung tidak membaca kontrak/polis asuransi? Alasan yang paling sering dikemukakan adalah bahwa tulisan dalam kontrak asuransi kecil-kecil dan bahasanya bahasa hukum yang tidak mudah dipahami, yang menurut penulis alasan ini tidak sepenuhnya benar, karena klausul arbitrase dalam polis asuransi selalu cukup jelas dengan kalimat dan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang awam dalam hukum.Alasan kedua adalah bahwa tertanggung sebenarnya belum tertarik dan belum berniat menutup atau membeli jaminan asuransi, akan tetapi karena ada pinjaman/kredit dari Bank dan Bank mewajibkan membeli asuransi, sehingga dia menuruti saja kemauan Bank dan tidak ada minat untuk membaca kontrak asuransinya. Faktor kedua, karena sifat rahasia dan tertutup dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengakibatkan masyarakat tertanggung jarang sekali atau bahkan tidak pernah mendengar berita atau membaca di media cetak dan elektronik penyelesaian-penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Sebaliknya setiap hari ada berita di media cetak mengenai penyelesaian sengketa/perkara melalui pengadilan. Keadaan ini menimbulkan suatu kondisi pemikiran atau persepsi bahwa pengadilanlah satu-satunya tempat menyelesaikan sengketa yang dihadapi. Faktor ketiga, sosialisasi tentang penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang masih kurang, baik dari pemerintah, BANI dan dunia usaha perasuransian. Dari pengamatan penulis, sekalipun UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa telah diundangkan, akan tetapi tidak banyak masyarakat tertanggung yang mengetahui apa itu arbitrase. Faktor keempat, para pengacara (lawyers) mempunyai kecenderungan untuk membawa sengketa klaim asuransi ke pengadilan, padahal sebagai penasehat hukum atau pengacara seharusnya mengetahui bahwa ada klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase, karena itu seharusnya mereka mencari penyelesaian sengketa klaim asuransi melalui arbitrase. Dari beberapa sengketa klaim yang dimohon ke AAUI untuk diselesaikan melalui arbitrase oleh pengacara, sengketa tersebut beberapa diantaranya telah terlebih dahulu diajukan ke pengadilan, setelah pengadilan memutus menolak mengadilinya, barulah para pengacara tersebut membawa sengketa klaim itu untuk diselesaikan melaui arbitrase. Semoga sikap para pengacara seperti ini berubah di masa yang akan datang dan sikap hakim yang mendukung pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui arbitrase seperti yang terjadi dalam sengketa/perkara asuransi selama ini semakin tumbuh dan diikuti oleh klaim-klaim yang lain. 10) Arbitrase Dimasa yang Akan Datang Sejak diundangkannya UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa, sudah ada peningkatan jumlah sengketa klaim asuransi yang diselesaikan melalui Arbitrase. Setiap tahun ada sengketa klaim asuransi yang diselesaikan melalui arbitrase. Sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya, belum tentu ada setiap tahun sengketa klaim asuransi yang diselesaikan melalui arbitrase. Mengapa terjadi peningkatan yang cukup besar jumlahnya? Menurut penulis salah satu faktor adalah karena UU No. 30 Tahun 1999 memberikan dukungan yang begitu besar terhadap pelaksanaan (law enforcement) Klausul Arbitrase yang telah disepakati oleh para pihak dalam suatu kontrak/perjanjian, termasuk kontrak asuransi. Selanjutnya UU No. 30 Tahun 1999 meniadakan hak para pihak dalam perjanjian untuk mengajukan penyelesaian sengketa ke pengadilan negeri dan juga mewajibkan pengadilan negeri untuk menolak dan tidak campur tangan di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, terkecuali dalam hal adanya dokumen palsu, tipu muslihat dan penipuan. Oleh karena itu, UU No. 30 Tahun 1999 ini telah menciptakan sistem hukum yang mendukung penyelesaian sengketa melalui arbitrase di masa yang akan datang. Struktur yang menyangkut aparat penegak hukum yaitu hakim dan peradilan diwajibkan untuk menghormati klausul arbitrase. Sedangkan dari segi substansi yaitu ketentuan perundang-undangan UU No. 30 Tahun 1999, paling tidak untuk tahap awal, dinilai cukup memadai. Sedangkan yang menyangkut budaya hukum dari masyarakat khususnya tertanggung akan mengalami perubahan menjadi lebih mengenal arbitrase sebagai akibat dari penolakan sengketa yang dibawa ke pengadilan, dan juga jika diberikan sosialisasi oleh penanggung (perusahaan-perusahaan asuransi, asosiasi perusahaan asuransi), maka penulis optimis bahwa arbitrase sebagai pranata penyelesaian sengketa yang ideal dalam sengketa klaim asuransi akan semakin berperan di masa yang akan datang. 11) Peranan BANI dalam Penyelesaian Sengketa Asuransi Industri asuransi telah memberikan fasilitas penyelesaian perselisihan melalui forum arbitrase tetapi selama ini peranan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam penyelesaian perselisihan pada perjanjian asuransi masih terbatas. Majelis arbitrase untuk keperluan penyelesaian perselisihan dalam perjanjian asuransi umumnya adalah bersifat ad hoc yang dibentuk dan bubar sesuai dengan kebutuhan masing-masing kasus yang timbul. Prosedur pelaksanaan yang ditempuh dalam arbitrase ad hoc tidak bersifat baku tetapi berdasarkan kesepakatan para pihak yang terlibat serta pengalaman para arbiter yang diangkat. Walaupun terdapat berbagai variasi, sebagian besar klausul arbitrase Indonesia dan perkembangan yang muncul menentukan bahwa penanggung dan tertanggung masing-masing akan mengangkat seorang arbiter dan kedua arbiter yang telah diangkat akan menunjuk seseorang yang lain sebagai arbiter ketiga merangkap ketua majelis arbitrase. Isi klausul arbitrase dalam kontrak asuransi tersebut di atas menimbulkan pertanyaan bagaimanakah lembaga arbitrase institusional seperti BANI dapat berperan dalam penyelesaian sengketa hukum asuransi? Ketentuan klausul arbitrase ad hoc tidak serta-merta menutup pintu bagi keterlibatan BANI dalam penyelesaian sengketa asuransi. Pertama-tama, dengan kesepakatan kedua belah pihak, para pihak dapat bersepakat untuk tidak mengindahkan klausul arbitrase yang telah ada dalam polis asuransi (pactum de compromintendo) dan menunjuk BANI setelah perselisihan timbul. Para pihak dapat mempertimbangkan keberadaan BANI yang telah berusia 30 tahun dan telah memiliki ketentuan administratif dan prosedur, persyaratan pengangkatan arbiter yang telah teruji serta Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Arbiter yang dimiliki BANI sebagai dasar untuk memilih untuk menyerahkan penyelesaian sengketa asuransi kepada BANI. Hal ini sejalan dengan pendapat Priyatna Abdurrasyid yang mengatakan bahwa arbitrase adalah hukum prosedur (law of procedure) dan hukum para pihak (law of the parties). Suatu klausul arbitrase dibuat dengan memperhatikan kesiapan berbagai pihak yang mungkin terlibat dan berpijak pada pemikiran bahwa sebuah klausul dibuat untuk dipergunakan dalam jangka waktu yang lama. Setiap pilihan akan dipengaruhi oleh kesiapan dan kemampuan pasar asuransi Indonesia pada umumnya dan lembaga arbitrase institusional yang mungkin terlibat. Keterbatasan pengetahuan dan akses tertanggung dalam pemilihan arbiter dapat menjadi pertimbangan tertanggung untuk mengusulkan agar penyelesaian sengketa yang timbul diserahkan kepada BANI. Bilamana, keinginan tersebut tidak tercapai, salah satu pihak yang memerlukan terutama tertanggung karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki dapat memilih seorang arbiter yang terdaftar pada BANI untuk diangkat dalam suatu majelis arbitrase ad hoc. Dengan pertimbangan keberadaan prosedur BANI yang baku dan telah teruji, salah satu pihak yang bersengketa dapat pula mengusulkan untuk mempergunakan ketentuan administratif dan prosedur BANI dalam menyelesaikan suatu perselisihan asuransi. Dengan demikian, sekiranya BANI tidak terlibat secara institusional dalam penyelesaian suatu perselisihan asuransi, secara tidak langsung BANI dapat memberikan kontribusi bagi kepentingan masyarakat yang memerlukan melalui pemakaian prosedur arbitrase yang dimilikinya, melalui arbiter BANI yang ditunjuk untuk keperluan arbitrase ad hoc dan bahkan melalui pemanfaatan fasilitas ruang persidangan dan sekretariat BANI. b. Melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) 1) Latar Belakang Berdirinya BMAI Indonesia merupakan pangsa pasar asuransi yang sangat besar karena jumlah penduduknya yang besar. Faktor itulah yang menyebabkan usaha perasuransian di Indonesia berkembang dengan pesat. Beraneka ragam jenis produk asuransi yang dirancang secara menarik menyesuaikan pada kebutuhan pasar serta didukung dengan makin banyaknya agen-agen profesional. Seiring dengan perkembangannya tersebut, usaha perasuransian tidak luput dari permasalahan-permasalahan di lingkungannya yang dapat mengakibatkan munculnya berbagai sengketa. Sampai saat ini masih menjadi dilema dalam usaha perasuransian adalah permasalahan antara perusahaan asuransi dengan nasabah. Pada tahun-tahun belakangan ini pengadilan kita mulai mengarahkan sistem penyelesaian sengketa melalui metode–metode penyelesain di luar pengadilan, seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrase yang biasa disebut Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Hal itulah yang memacu para pakar untuk mengkaji dan membentuk lembagalembaga penyelesaian sengketa alternatif, begitu juga dalam usaha perasuransian. Kemudian atas kesepakatan bersama dibentuklah Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI). Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) adalah lembaga independent dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian perselisihan antara Perusahaan Asuransi dengan Tertanggung. Pendirian BMAI digagas oleh Pemerintah dan semua Asosiasi Perusahaan Perasuransi Indonesia (FAPI) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Sosial Indonesia (AAJSI) dengan tujuan untuk dapat memberikan pelayanan yang lebih professional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakkan hak-hak pelanggan. BMAI secara resmi didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi mulai tanggal 30 September 2006 sebagai lembaga alternatif untuk penyelesaian masalah antara nasabah dan perusahaan asuransi di Indonesia. BMAI yang independen ini didirikan sebagai jawaban atas dukungan yang penuh dari Biro Perasuransian Departemen Keuangan RI sebagai regulator kepada nasabah (masyarakat) dalam menyelesaikan permasalahan yang mungkin terjadi antara nasabah dengan perusahaan asuransi. 2) Manfaat BMAI Industri asuransi Indonesia telah melakukan suatu langkah besar yang memberikan arti penting bagi kepentingan tertanggung melalui pendirian Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang telah beroperasi sejak awal 2007. Badan tersebut dapat berperan dalam penyelesaian perselisihan atas klaim asuransi yang tidak melebihi Rp 500,000,000.- bagi perselisihan yang menyangkut polis asuransi umum atau asuransi kerugian sampai dengan Rp 300,000,000.- untuk polis asuransi jiwa yang diajukan kepadanya. Putusan BMAI akan mengikat penanggung tetapi tetap memberikan keleluasaan kepada tertanggung untuk membawa perselisihan yang timbul melalui forum penyelesaian sengketa lain, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam polis yang dimilikinya bilamana tertanggung tidak puas dengan putusan BMAI. Ketentuan ini menunjukkan bahwa meskipun badan mediasi tersebut didirikan berdasarkan kesepakatan para penanggung, tertanggung yang membawa perselisihan yang timbul kepada badan tersebut tidak dibatasi haknya. Melalui keberadaan BMAI diharapkan klaim-klaim yang melibatkan nominal yang kecil akan dapat diselesaikan secara cepat dan murah. Sementara itu, atas klaim yang melibatkan jumlah yang lebih besar dari wewenang yang dimiliki oleh BMAI, tertanggung dan penanggung tetap mengacu kepada ketentuan yang dimuat dalam klausul penyelesaian perselisihan yang melekat pada polis asuransi masing-masing. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) adalah lembaga one-stop-service yang mudah diakses oleh semua masyarakat. Tertanggung untuk penyelesaian perselisihan dan memberikan solusi yang mudah bagi Tertanggung yang tidak mampu untuk menyelesaiakan suatu perkara melalui pengadilan atau tidak mampu membayar biaya bantuan hukum yang mahal. BMAI mempunyai staff yang sudah berpengalaman dalam bidang perasuransi dan peraturan serta perundangan yang berlaku. Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) dibentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa asuransi dalam hubungan antara perusahaanperusahaan asuransi sebagai penanggung (anggota) dan nasabah asuransi sebagai tertanggung (pemohon) yang sengketanya memenuhi persyaratan bersengketa di BMAI. Sehingga diharapkan keberadaan BMAI ini dapat memberikan representasi yang seimbang antara Tertanggung dengan Perusahaan Asuransi. Selain itu, Dewan Pengawas BMAI terdiri dari tokoh-tokoh-tokoh terkemuka baik dalam bidang hukum maupun bidang perasuransian untuk menjamin agar BMAI bertindak independen, adil, mudah diakses, transparan, berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakan hak-hak Tertanggung dan Pemegang Polis. 3) Proses Penyelesaian Sengketa dalam Kontrak Asuransi Melalui BMAI Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa mekanisme penyelesaian sengketa perdata (dalam konteks ini sengketa Asuransi) selain melalui Pengadilan, juga dikenal penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Selain dari Arbitrase sebagai salah satu bentuk dari ADR, dikenal juga beberapa cara penyelesaian lain yang berada diluar cara ADR, yaitu dengan cara Mediasi, Adjudikasi, ataupun Mini Trial. Teknik penyelesaian sengketa asuransi yang secara kenyataan juga tidak selalu diselesaikan secara melalui Pengadilan ataupun melalui Arbitrase, membuat Industri Asuransi Indonesia sepakat untuk mengembangkan teknik penyelesaian sengketa asuransi melalui Mediasi dan Adjudikasi. Sehubungan dengan itu, Industri perasuransian di Indonesia mendirikan Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) yang saat ini telah beroperasi penuh.27 Penyelesaian kasus melalui BMAI, pada saat ini hanya diperuntukkan pada sengketa-sengketa klaim asuransi yang berjumlah kecil, yaitu untuk nilai maksimum Rp .500.000.000,- untuk sengketa klaim asuransi umum dan maksimum Rp.300.000.000,- untuk sengketa klaim asuransi jiwa dan sosial. Sedangkan sengketa yang tidak dapat dibawa ke BMAI diantaranya yakni sengketa yang menyangkut penetapan harga premi, kebijakan yang berhubungan dengan bunga (interest rate) dan biaya-biaya, standar aktuaria dan ketentuan yang telah berlaku umum. Selain itu kasus yang berhubungan dengan tindak kriminal, keluhan yang diajukan lebih dari enam bulan setelah putusan penolakan oleh perusahaan asuransi, serta kasus yang telah diselesaikan secara damai. Di samping itu masih ada lagi sengketa yang tidak dapat dibawa ke BMAI yakni kasus komersial dan sengketa tersebut pernah dibawa ke pengadilan/arbitrase atau dalam proses investigasi oleh pihak yang berwajib. Selanjutnya, untuk proses penyelesaian perselisihan oleh BMAI terdiri dari dua tahap, yaitu: tahap pertama mediasi dan tahap kedua ajudikasi. a) Mediasi, Pada tahap ini BMAI akan menyediakan seorang Mediator (Case Manager) yang akan membantu Tertanggung/Pemegang Polis dan Perusahaan Asuransi untuk dapat meneyelesaikan perselisihan klaim yang dilaporkan secara damai dan adil bagi kedua belah pihak, selama kasus klaim tersebut berada dalam yuridiksi BMAI. Tertanggung dan Perusahaan Asuransi dibebaskan dari semua biaya untuk pelayanan ini. b) Ajudikasi, Jika perselisihan klaim (tuntutan ganti rugi atau manfaat) tidak dapat diselesaikan melalui tahap Mediasi, maka kasus sengketa tersebut akan dibawa ke tingkat Ajudikasi, dimana pada tahapan ini BMAI akan menunjuk Ajudikator yang dapat memberikan keputusan atas sengketa klaim tersebut berdasarkan dengan fakta yang ada. Untuk tingkat ini Tertanggung/Pemegang Polis dan Perusahaan Asuransi juga dibebaskan dari biaya. Adapaun cara mengajukan kasus sengketa di BMAI adalah sebagai berikut: a) Tertanggung yang menghadapi perselisihan yang tidak dapat diselesaikan langsung dengan Perusahaan Asuransi dapat menyampaikan keluhan kepada BMAI tanpa dipungut biaya baik langsung datang sendiri atau melalui fax, pos atau email. b) Case Manager akan memproses kasus klaim yang diterima. Bila kasus klaim berada dalam yurisdiksi BMAI, Case Manager akan menghubungi Perusahaan Asuransi terkait dan memfasilitasi suatu penyelesian perselisihan melalui proses penanganan kasus dan mediasi. Tertanggung dibebaskan dari semua biaya untuk pelayanan ini. c) Bila penyelesaian tidak dapat dicapai, Tertanggung dapat memilih untuk melanjutkan proses penyelesaian ke tingkat Ajudikasi dan BMAI akan menunjuk seorang Ajudikator atau Panel Ajudikator sesuai dengan keadaan. Untuk tingkat ini Tertanggung dan Perusahaan Asuransi mungkin akan diminta untuk membayar sejumlah biaya administrasi yang akan diputuskan oleh Ajudikator atau Panel Ajudikator. 27 Yang Tim Kelompok Kerja Pendirian BMAI tersebut diketuai oleh Sdr. Kornelius Simanjuntak, dimana penulis juga menjadi salah satu anggota Tim Kelompok Kerja tersebut. Untuk lebih jelasnya tentang proses penyelesaian sengketa asuransi melalui BMAI dapat dilihat pada gambar skema berikut ini: Tertanggung Menyampaikan Keluhan ke BMAI Case Manager (asuransi umum, jiwa, dan sosial) menerima kasus yang diterima. Apakah kasus tersebut Berada dalam Yurisdiksi BMAI YA TIDAK Mengupayakan mediasi BMAI Tidak dapat/bisa Meneruskan Perkara Lebih Lanjut Hasil Mediasi YA TIDAK Perselisihan Selesai Kasus diajukan di Ajusifikasi File di Tutup Ajudifikasi memeutuskan berdasarkan fakta dan merik kedua belah pihak Berapa lama proses penyelesaian kasus perselisihan klaim oleh BMAI? Jangka waktu penyelesaian yang dibutuhkan akan berbeda antara satu kasus dengan kasus lainnya tergantung pada kompleksitas kasusnya. BMAI akan mengupayakan penyelesaian Sengketa secepat mungkin. Tujuan dari kehadiran BMAI ini adalah untuk memberikan fasilitas yang terbaik bagi setiap konsumen asuransi yang memenuhi kriteria tersebut di atas, dalam mempertahankan hak-hak serta juga memahami kewajibannya sehubungan dengan sengketa yang terjadi dengan perusahaan asuransi dimana dia menjadi nasabahnya. Pilihan untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui BMAI merupakan fasilitas yang diberikan kepada konsumen, sehingga kewenangan untuk memilih apakah penyelesaian tersebut akan diajukan melalui BMAI atau Pengadilan adalah kewenangan yang diberikan kepada konsumen asuransi, bukan kepada Perusahaan asuransi. Akan tetapi kewenangan tersebut hanya akan mulai berlaku jika telah ada penolakan yang final dari perusahaan asuransi terhadap klaim yang diajukannya. Dengan kalimat lain, bahwa nasabah asuransi tidak dapat dengan begitu saja membawa permasalahan asuransi yang dihadapinya dengan pihak Penanggungnya tanpa terlebih dahulu mendapatkan jawaban penolakan yang final dari perusahaan asuransi tersebut. Tudingan miring "tidak independen" terhadap kehadiran BMAI ini, menurut penulis, tidak berdasar walaupun terdapat fakta bahwa pendirian dan pengoperasian BMAI ini dibiayai oleh masyarakat pelaku perasuransian. Argumentasi terhadap tudingan tersebut adalah, bahwa pilihan untuk menyelesaikan sengketa asuransi ke BMAI adalah pilihan yang diletakkan pada kemauan konsumen asuransi, bukan pada kewenangan perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi sebagai bagian dari pelayanannya hanya berkewajiban untuk menjelaskan, baik dalam brosur-brosur produk yang dipasarkannya, ataupun melalui surat penjelasan yang dicantumkan dalam surat penolakannya yang menjelaskan bahwa dalam hal konsumen asuransi tidak puas dengan penolakan klaim yang dilakukan oleh perusahaan asuransi, konsumen tersebut dapat mengambil langkah hukum melalui BMAI. Akan tetapi, jika konsumen tidak hendak mengambil jalan penyelesaian sengketa melalui BMAI, maka dia bebas melakukannya melalui pengadilan. Selain itu, mengingat sengketa-sengketa asuransi yang dikhususkan untuk diselesaikan BMAI adalah sengketa yang berjumlah kecil, pada umumnya tertanggung ataupun pemegang polis yang secara komersial akan sulit untuk memperkarakan jika konsumen asuransi tersebut tidak puas dengan penolakan klaim yang dilakukan oleh Penanggung (insurer)nya. Menghadirkan BMAI sebagai alternatif penyelesaian perkara lebih merupakan fasilitas bagi konsumen asuransi, karena pengajuan penyelesaian perkara melalui BMAI tidak akan dikenakan biaya. Selain itu, terhadap putusan dari BMAI, itupun akan merupakan kewenangan dari konsumen asuransi untuk secara rela tunduk dan melaksanakan putusan tersebut atau tidak. Karena jika tidak maka putusan BMAI tersebut tidak akan mengikat konsumen asuransi tersebut, dan atas ketidakpuasan terhadap putusan BMAI dapat saja konsumen asuransi tersebut menolak putusan BMAI dan membawa kembali permasalahan tersebut ke Pengadilan Negeri. Sementara pada sisi lain, putusan dari BMAI tersebut terhadap pelaku Asuransi adalah bersifat final dan mengikat, karena dalam pembentukan BMAI yang timbul dari perjanjian seluruh pelaku asuransi tersebut, para pelaku asuransi menyetujui bahwa seluruh putusan BMAI (walaupun tidak mengikat pada konsumen asuransi), akan tetapi mengikat dan bersifat final bagi perusahaan asuransi. Jadi, jika perusahaan asuransi dikalahkan, maka perusahaan tersebut harus tunduk dan tidak dapat melakukan upaya hukum apapun. Dari gambaran tersebut di atas, secara teori sangat sulit bila BMAI disebutkan merupakan alat bagi pelaku asuransi untuk mengendalikan para konsumen asuransinya. Akan tetapi, walaupun secara teori sangat jelas bahwa BMAI merupakan badan yang independen, dalam prakteknya, hal ini harus secara tegas dan professional dibuktikan oleh para mediator dan adjudicator BMAI. Karena bila terbukti putusan tersebut memihak, ataupun pengurus-pengurus BMAI lebih takut pada pelaku-pelaku asuransi yang membiayai BMAI, hal ini akan berakibat bahwa selain konsumen asuransi tidak terikat pada putusan tersebut, konsumen asuransi akan hilang kepercayaan pada lembaga yang baru tersebut, sehingga tidak ada pilihan selain BMAI tersebut membubarkan diri jika hal tersebut terjadi. Potensi sengketa yang dapat saja selalu muncul dari aktivitas berkontrak dalam bisnis perasuransian merupakan hal yang tidak dapat terelakkan dan merupakan bagian dari realitas aktivitas berkontrak. Akan tetapi sepanjang pelaku-pelaku usaha perasuransian, khususnya perusahaan asuransi dan reasuransi dapat menjalankan perusahaannya dengan benar, didukung oleh permodalan yang kuat, dan sumber daya manusia yang berkualitas keilmuan dan moral yang baik, maka sengketa-sengketa tersebut di atas, adalah sengketa yang akan lebih mudah untuk dihadapi dan diselesaikan. Dan terhadap terjadinya sengketa tersebut tidak akan begitu saja memperburuk image perusahaan asuransi di mata para konsumennya. Masa depan usaha perasuransian Indonesia adalah ditangan para pelaku-pelaku usaha perasuransian itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Abdul Kadir, Hukum Asuransi Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Abdurrahman, Peranan Hukum Dalam penanggulangan Konflik Sosial, Artikel dalam Syari'ah (Jurnal Hukum dan Pemikiran, Nomor 1 tahun 2, Januari-Juni 2002) Banjarmasin, 2002. Abstract Teaching Material Arbitrase. Program Pencangkokan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan ELIPS Project, 1995. Ali, A. Hasymi. Bidang Usaha Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara, 1995. AM. Hasan, Ali. Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam. Suatu Tinjauan Analisis, Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Prenada Media, 2004. Ayat, Safri. Pengantar Reasuransi. Jakarta: Akademi Asuransi Trisakti, 2000. Dahlan, Siamat. Manajemen Lembaga Keuangan. edisi ketiga. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001. Darmawi, Herman. Prinsip-Prinsip dan Praktek Asuransi. Jakarta:Insurance Institute, 1994. ------------------. Manajemen Asuransi. Jakarta: Bumi Aksara, 2001. Darus Badrulzaman, Mariam. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1983. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, Tahun 1996. G. Morton. Principles of Life and Health Insurance. Loma.1999. Goenka, Ashok. Practical Aspects of Reinsurance. Singapura: Singapore College of Insurance, 2003. H. Gunarto, Asuransi Kebakaran di Indonesia, Jakarta: Tirta Pustaka, 1984 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Buku 6, Jakarta: Djambatan, 1990. HIAA. Group Life and Health Insurance. Washington DC: Part A. HIAA, 1994. Hartono, Sri Rejeki. Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi. Jakarta: Sinar Grafika, 1997. J. Satrio. Hukum Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992. J. Vaughan, Emmet. dan Therese M. Vaughan. Essential of Insurance: A Risk Management Perspective. Canada: John Wiley & Son, Inc., 1995. Klaus Gerathewohl,et .al. Reinsurance Principles and Practice Vol. II. Federal Republic of Germany: Verlag Versicherungs Wirtschaft C.V, Karlsruhe, 1982. Koh Seng Kee dan Fonf Wai Mun. Personal Financial Planning, Prentice Hall, 2003 Kusuma Atmaja, Asikin. Arbitrase Perdagangan Internasional. Prisma, 1973. Mark R. Greene, Mark. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat, 1996. Merto Kusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yoyakarta: Liberty, 1979. ------------------,Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta Liberty, 1999 Memi, Cut. Pilihan Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Asing Di Indonesia., Buletin Ilmiah Tarumanegara Th. 10/No. 35/ 1996, Jakarta. Muslehuddin, Muhammad. Insurance and Islamic Law, Penerj: Burhan Wirasubrata, Menggugat Asuransi Modern: mengajukan suatu alternatif baru dalam perspektif hukum Islam. Jakarta: Lentera, 1999. Olsson, Carl. Risk Management in Emerging Markets How to Survive and Prosper. Buku Satu. Great Britain: Prentice Hall, 2000. Pangaribuan Simanjuntak, Emmy. Hukum Pertanggungan Kerugian Pada Umumnya dan Jiwa. Yogyakarta: Seksi hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1975. ------------------. Hukum Pertanggungan. Yogyakarta: UGM, 1990. ------------------. Hukum Pertanggungan dan Perkembangan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1980 Patrik, Purwahid. Asas-Asas Hukum Perikatan. Semarang: Jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum UNDIP. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Asuransi di Indonesia. Jakarta: Intermasa, Tahun 1996. Purba, Radiks. Memahami Asuransi Di Indonesia. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1995. R.L. Carter. Reinsurance. London: Kluwer Publishing Limited, 1979. Robert I Mehr dan E. Cammack. Principles of Insurance. Illionis: Richard D. Darwin. Inc, 1980. ------------------ “Fundamentals of Insurance,” Manajemen Lembaga Keuangan, penyunting Siamat Dahlan, edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001. Salim, Abbas. Asuransi dan Manajemen Risiko. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000. Salim H.S. “Hukum Kontrak:Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,”. Jakarta: Sinar Grafika Cet. II, 2004. Subekti. Arbitrase Perdagangan. Jakarta: Bina Cipta, 1981. ------------------ “Hukum Perjanjian,”. Jakarta: PT. Intermasa Cet. XII,1990. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek, diterjemahkan oleh cet. 8. Jakarta: Pradnya Paramita, Tahun 1996. Umar, M. Husseyn. A. Supriyani Kardono, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan Hukum Ekonomi dan Penyempurnaan Sistem Pengadaan, 1995. William H. Gill, The Law of Arbitration, 2nd Edition, 1978. ------------------, “Panduan Lengkap Perundangan Asuransi”. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010